Laporan Penelitian Percutaneous Epidural Adhesiolysis

advertisement
Daftar Isi
Laporan Penelitian
Percutaneous Epidural Adhesiolysis (PEA) untuk Manajemen Nyeri Pinggang
Bawah Kronis
Farid Yudoyono, Sevline Estethia Ompusunggu, Rully Hanafi Dahlan, Rossa Avrina,
Muhammad Zafrullah Arifin ..................................................................................................
79–83
Laporan Kasus
Manajemen Anestesia pada Carotid Endarterectomy: Pasien dengan Kinking Arteri Karotis
Interna
Riyadh Firdaus, Iwan Fuadi, Sri Rahardjo, Himendra Wargahadibrata..................................
84–90
Diabetes Insipidus Pascaoperasi Kraniopharingioma pada Anak
Achmad Wahib, Siti Chasnak Saleh, Sri Rahardjo .................................................................
91–7
Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis Torakalis dan Tumor
Esktramedular (Meningioma Torakalis) T7–11
Silmi Adriman, Dewi Yulianti Bisri, Sri Rahardjo, Himendra Wargahadibrata .......................
98–103
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik pada Pasien Berusia Lanjut
Silmi Adriman, Nazarudin Umar, Marsudi Rasman ..............................................................
104–11
Total Intravenous Anesthesia pada Geriatri dengan Meningioma Parietalis
Rebecca Sidhapramudita Mangastuti, Nazaruddin Umar, Marsudi Rasman .............................
112–18
Tinjauan Pustaka
Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika
Iwan Abdul Rachman, Sri Rahardjo, Siti Chasnak Saleh ......................................................
119–33
Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada Preeklampsia/Eklampsia
Rafidya Indah Septica, Yusmein Uyun, Bambang Suryono S ..............................................
134–48
Efek Proteksi Otak Erythropoietin
Iwan Fuadi, Tatang Bisri .......................................................................................................
149–56
Percutaneous Epidural Adhesiolysis (PEA) untuk Manajemen Nyeri Pinggang Bawah
Kronis
Farid Yudoyono*), Sevline Estethia Ompusunggu*), Rully Hanafi Dahlan*), Rossa Avrina**), Muhammad
Zafrullah Arifin*)
*)
Divisi Neurospine, Nyeri dan Saraf Perifer, Bagian Bedah Saraf, Rumah Sakit Hasan Sadikin, Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran, **)Departemen Epidemiologi Klinik, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Nyeri pinggang bawah yang disebabkan oleh penekanan radik saraf tulang belakang
maupun thecal sac sering dijumpai dan dapat menimbulkan kecacatan. Percutaneous epidural adhesiolysis
(PEA) adalah salah satu tindakan yang dilakukan untuk mengatasi nyeri sehingga penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi efektifitas PEA menggunakan lidokain 2% dalam mengatasi nyeri pinggang bawah.
Subyek dan Metode: Penelitian cohort retrospektif dengan lima data pasien diambil dari database bagian Bedah
Saraf. Semua pasien dilakukan PEA dengan injeksi anestesi lokal menggunakan 5 mL lidokain 2%, pengukuran
luaran menggunakan Visual Analog Score (VAS), Oswestry Disability Index (ODI) dan penggunaan obat opioid
yang dianalisa pada bulan ke-3 dan 6 bulan setelah tindakan.
Hasil: Usia tertua adalah 60 tahun dengan 80% penderita adalah laki-laki dengan nilai maksimum VAS sebelum
tindakan adalah 9, VAS 3 bulan pascatindakan adalah 3 sedangkan VAS 6 bulan pascatindakan adalah 2. Sehingga
terdapat perbaikan VAS dan ODI yang signifikan (Friedman test dan post hoc Wilcoxon test) dengan nilai p<0,05.
Satu pasien tetap menggunakan opioid hingga 6 bulan pascatindakan PEA.
Simpulan: Pengurangan nyeri yang signifikan disertai dengan perbaikan status fungsional terjadi pada pasien
yang diberikan PEA dengan menggunakan anestetika lokal lidokain 2%.
Kata kunci: Nyeri pinggang bawah, Percutaneous epidural adhesiolysis, Visual Analogue Score, Oswestry
Disability Index
JNI 2015; 4 (2): 79–83
Percutaneous Epidural Adhesiolysis (PEA) for Chronic Low Back Pain Management
Abstract
Background and Objective: Chronic low back pain caused by compression of spinal nerves roots or thecal
sac is common and can lead to disability. Percutaneous epidural adhesiolysis (PEA) is an interventional pain
management to relieve the pain.This study aims to evaluate the effectiveness of the PEA using lidocaine 2% in
relieving lower back pain.
Material and Methods: This retrospective cohort study was done using five patient’s data taken from medical
record, with all patients had underwent PEA using 5 mL of 2% lidocaine, outcome measurements were evaluated
using Visual Analogue Score (VAS), Oswestry Disability Index (ODI) and the useage of opioid drugs at 3rd and
6th month afterward.
Results: The oldest age was 60 years and 80% of patients were male with a maximum value of VAS before
procedure was 9, VAS score at 3rd month was 3 and VAS score at 6th month was 2. The maximum value ODI
before procedure was 90, ODI at 3rd month was 50, while the 6th month was 25. Friedman test and post hoc
Wilcoxon test revealed a significant difference in VAS score between before procedure, 3rd month and 6th month
post-procedure (p <0,05).
Conclusion: PEA with lidocaine 2%, is an effective treatment for chronic low back pain and can reduce pain thus
increase fungsional state significantly.
Key words: Low back pain, Percutaneous epidural adhesiolysis, Visual Analogue Score, Oswestry Disability
Index
JNI 2015; 4 (2): 79–83
79
80
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
II. Metode
Nyeri yang berasal dari tulang belakang berasal
dari beberapa struktur otot, fascia, tulang, facet
joint, diskus dan saraf tepi masing-masing dapat
menyebabkan nyeri pinggang kronis. Secara
global prevalensi dari nyeri pinggang bawah
adalah 65%–80% dan 13% diantaranya disertai
dengan disabilitas sedang sampai berat. Di
Malaysia 11,6% dari 2600 populasi didiagnosa
nyeri pinggang bawah. Di Eropa prevalensi nyeri
pinggang bawah 70%, paling banyak terjadi
pada usia 35–55 tahun. Nyeri pinggang bawah
sering disebabkan oleh kanal stenosis ataupun
foraminal stenosis merupakan gangguan yang
disebabkan oleh banyak faktor yaitu mekanisme
neurovaskular seperti berkurangnya aliran
arteri pada kauda equina, kongesti vena, dan
peningkatan tekanan epidural, eksitasi radik saraf
oleh peradangan lokal, atau kompresi langsung
pada cauda equina serta pengaruh biokimia.1-8
Penelitian ini bersifat cohort retrospektif dengan
lima orang pasien diambil dari database bagian
Bedah Saraf. Semua pasien dilakukan PEA dengan
injeksi anestesi lokal menggunakan 5 mL lidokain
2%. Penelitian ini dilakukan pada pasien dengan
nyeri pinggang yang tidak mengalami perubahan
dengan terapi konservatif di Divisi Neurospine,
Pain dan Peripheral Nerve Departemen Bedah
Saraf Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
periode bulan Agustus–Desember 2013. Subjek
penelitian yaitu pasien dewasa menderita penyakit
spine degeneratif dengan keluhan nyeri pinggang
yang tidak respon dengan terapi konservatif, tidak
mempunyai riwayat pembedahan sebelumnya.
Kelainan diskus yang disebabkan oleh proses
degeneratif berhubungan dengan bertambahnya
usia merupakan penyebab tersering dari nyeri
pinggang dan disabilitas dan pada kenyataanya
sering tidak menimbulkan gejala.8-11 Secara
umum penatalaksanaan nyeri pinggang bawah
yang disebabkan karena stenosis spinal ditangani
dengan konservatif, tehnik intervensional dan
pembedahan intervensional. Salah satu metode
pengobatan yang diterapkan pada pasien dengan
nyeri tulang belakang disebut adhesiolisis yang
dapat dilakukan secara percutan sehingga disebut
Percutaneous Epidural Adhesiolysis (PEA).
Konsep dasar adhesiolisis adalah bahwa penyebab
nyeri berasal dari adhesi serta peradangan pada
ruang epidural yang dapat merangsang serabut
saraf, dan dengan menghilangkan penyebabnya
maka diharapkan nyeri dapat berkurang.
Tehnik ini telah banyak digunakan oleh para ahli
dihampir seluruh dunia selama kurang lebih 10
tahun terakhir, PEA dapat digunakan dengan
memberikan berbagai macam obat salah satu
diantaranya adalah lidokain 2%.1-4,7-9 Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
efektifitas PEA menggunakan lidokain 2% dalam
mengatasi nyeri pinggang bawah.
Didapatkan sebanyak lima orang pasien yang
memenuhi kriteria inklusi tersebut kemudian
dilakukan tindakan PEA dengan menggunakan
anestetika lokal 5 mL lidokain 2%, di Operating
Theater Rumah Sakit Hasan Sadikin oleh ahli
Bedah Saraf. Tindakan dilakukan dengan prinsip
sterilitas pembedahan di kamar operasi, setelah
insersi dari Racz kateter menggunakan jarum RK
(Epimed international, Farmer branch, TX,USA)
dilakukan identifikasi level menggunakan zat
kontras iohexol merupakan nonionic watersoluble contrast sebanyak 5–10 mL disesuaikan
dengan klinis dan gambaran magnetic ressonance
imaging (MRI). Dengan memastikan posisi
kateter sesuai dengan lesi kemudian dilakukan
penyuntikan 3 mL zat kontras jika tidak didapatkan
pengisian kedalam rongga subarachnoid dan
intravaskular kemudian dilakukan penyuntikan
5 mL lidokain 2% (gambar 1).2,3 Pengukuran
luaran menggunakan Visual Analog Score (VAS),
Oswestry Disability Index (ODI) dan penggunaan
obat opioid yang dianalisa pada bulan ke 3 dan
6 bulan setelah tindakan. Lidokain merupakan
anestesi lokal golongan amide dengan mekanisme
memblok kanal kalsium pada membran sel post
sinap sehingga mencegah terjadinya depolarisasi
dan perjalanan impuls saraf.12,13
III. Hasil
Tabel 1 memperlihatkan karakteristik penderita
penyakit degeneratif spine yang telah direkrut.
Percutaneous Epidural Adhesiolysis (PEA) untuk
Manajemen Nyeri Pinggang Bawah Kronis
Dari tabel tersebut terlihat usia tertinggi penderita
adalah 60 tahun, dan sebagian besar berjenis
kelamin laki-laki. Lama nyeri terendah adalah 4
bulan. Jenis nyeri nya 4 pasien (80%) disebabkan
karena nontraumatik/degeneratif untuk lokasi
nyeri 3 pasien (60%) menjalar ke kaki kanan atau
kaki kiri, distribusi nyeri 4 pasien (60%) didaerah
kanan atau kiri. Untuk VAS sebelum tindakan
mempunyai nilai median 7 dengan nilai maksimum
9, dengan median VAS 3 bulan pascatindakan
adalah 2 dan nilai maksimum adalah 3 sedangkan
median VAS 6 bulan pascatindakan adalah 1
dengan nilai maksimum 2. Nilai maksimum ODI
sebelum tindakan adalah 90, sedangkan nilai
maksimum ODI 3 bulan pascatindakan adalah
50 sedangkan 6 bulan pascatindakan adalah
Gambar 1. Percutaneous Epidural Adhesiolysis
A,B) Jarum epidural melewati sacral hiatus
C,D) Menggunakan kontras untuk menentukan
level lesi (courtesy of Spine Research lab)
Tabel 1. Data demografi Pasien dan Klinis
Jenis kelamin
Usia (tahun)
Lama Nyeri (Bulan)
Lokasi Nyeri Menjalar
Laki-Laki
Perempuan
Median (min-max)
Median (min-max)
Jumlah
80% (4)
20% (1)
56 (45–60)
8 (4–10)
Bilateral
Unilateral Kanan / Kiri
40% (2)
60% (3)
Bilateral
Kanan / Kiri
40% (2)
60% (3)
Non Traumatic
Traumatic
Median (min-max)
Median (min-max)
80% (4)
20 % (1)
7(6–9)
60 (50–90)
Distribusi Nyeri
Jenis Nyeri
VAS pre op
ODI pre op
Tabel 2. Perbandingan Nyeri dengan VAS dan ODI
VAS
81
VAS
ODI
Median (min-max)
Nilai P
Median (min-max) Nilai P
Sebelum Tindakan
Setelah 3 bulan
7 (6–9)
2 (2–3)
0,0067
60 (50–90)
40 (40–50)
Setelah 6 bulan
1 (1–2)
0,0067
20 (20–25)
Ket : Nilai p pada post hoc Wilcoxon:
VAS : sebelum vs 3 bulan (p=0,039); sebelum vs 6 bulan (p=0,039); 3 bulan vs 6 bulan(p=0,025)
ODI : sebelum vs 3 bulan (p=0,042); sebelum vs 6 bulan (p=0,043); 3 bulan vs 6 bulan(p=0,039)
82
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
25. Dengan menggunakan Friedman test dan
post hoc Wilcoxon test untuk membandingkan
tiga kali pengukuran didapatkan ada perbedaan
VAS antara sebelum operasi, setelah 3 bulan
pascatindakan dan 6 bulan tindakan dengan nilai
p <0,05, demikin juga pada ODI (Tabel 2). Satu
pasien tetap menggunakan opioid hingga 6 bulan
pascatindakan PEA.
IV. Pembahasan
PEA telah digunakan sejak lima dekade silam
untuk mengatasi nyeri menjalar pada lumbal.
Beberapa
penelitian
menunjukkan
hasil
yang kurang memuaskan, tapi ada juga yang
memberikan hasil yang menggembirakan. Pada
penelitian ini didapatkan perbaikan klinis setelah
penyuntikan dilihat dengan adanya perubahan
yang signifikan pada nilai VAS dan ODI (Tabel.2).
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
lain tentang efektifitas dari PEA untuk mengatasi
nyeri yang disebabkan stenosis spinal. Nyeri
pinggang bawah yang disebabkan stenosis spinal
merupakan penyakit kronik diimplikasikan pada
kompresi discogenik ataupun nondiscogenic
pada kauda equina, sehingga menyebabkan
gejala kompleks termasuk nyeri pinggang bawah,
nyeri menjalar pada otot-otot paha dan betis
yang diprovokasi saat berdiri dan berjalan, dan
berkurang dalam beberapa menit dengan duduk
atau berbaring. Paling sering ditemukan pada
pria, meskipun wanita lebih sering mengalami
penyakit degeneratif.4,5
Dari hasil penelitian didapatkan usia rerata adalah
56 (45–60) tahun, hal ini sesuai dengan usia
puncak rata-rata penderita penyakit degeneratif
spine yaitu lebih dari 40–50 tahun, kemudian
80% penderita adalah laki-laki hal ini disebabkan
karena laki-laki laki-laki lebih banyak terpapar
dengan aktivitas berat yang merupakan faktor
resiko terjadinya hernia nukleus pulposus
dibandingkan wanita14, lama nyeri adalah 8 (4–
10) bulan termasuk penyakit kronik berdasarkan
lama nyerinya, jenis nyeri nya 4 pasien (80%)
disebabkan karena nontraumatik berupa
degeneratif untuk lokasi nyeri 3 pasien (60%)
menjalar ke kaki kanan atau kaki kiri, distribusi
nyeri 4 pasien (60%) didaerah kanan atau kiri hal
ini disebabkan karena pada permukaan posterior
dari korpus vertebra terdapat posterior longitudinal
ligamen sehingga diskus yang mengalami proses
degeneratif akan menekan saraf tepi pada leven
foramen intervertebralis dan adanya hipertrofi
dari facet joint pada salah satu sisi. Untuk
VAS sebelum tindakan adalah 7 (6–9), VAS 3
bulan pascatindakan adalah 2 (2–3) sedangkan
VAS 6 bulan pascatindakan adalah 1(1–2).
ODI sebelum tindakan adalah 60 (50–90) ODI 3
bulan pascatindakan adalah 40(40–50) sedangkan
6 bulan pascatindakan adalah 20 (20–25) dengan
nilai p<0,05. Satu pasien tetap menggunakan
opioid hingga 3 bulan pascatindakan PEA.
Stenosis spinal sering berhubungan dengan
fibrosis epidural yang membungkus cauda equina
gejala melibatkan kedua ekstremitas. Mekanisme
kerja dari adhesiolisis ini adalah menggabungkan
antara lavase faktor proinflamasi sitokine,
mengurangi inflamasi, mengurangi adhesi
dan sebagai anestesi lokal, walaupun efek ini
sebenarnya masih diperdebatkan.3,6 Semua pasien
dilakukan PEA dengan injeksi anestesi lokal
menggunakan 5 mL lidokain 2%. Pengukuran
luaran menggunakan Visual Analog Score (VAS),
Oswestry Disability Index (ODI) dan pengunaan
obat opioid yang dianalisa pada bulan ke 3 dan
6 bulan setelah tindakan. Hasil akhir didapati
bahwa 50% atau lebih mengalami perbaikan
derajat nyeri VAS dan skor ODI.
V. Simpulan
PEA dengan lidokain berpotensi sebagai
modalitas pengobatan yang efektif dalam
mengelola nyeri pinggang bawah. Teknik ini
efektif dan meningkatkan status fungsional
secara keseluruhan dan mengurangi asupan obat
golongan narkotika untuk mengurangi nyeri.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa PEA
yang dilakukan terbukti aman dan mungkin
suatu modalitas pengobatan yang efektif dalam
mengelola gejala nyeri pinggang bawah yang
tidak mengalami perbaikan dengan terapi
konservatif. Diperlukan penambahan jumlah
sampel penelitian dan waktu pengamatan
yang lebih lama kemudian perlu dibentuk
tim penanggulangan nyeri lintas departemen
sehingga didapatkan database yang lebih banyak
Percutaneous Epidural Adhesiolysis (PEA) untuk
Manajemen Nyeri Pinggang Bawah Kronis
dan penatalaksanaan yang lebih komprehensif.
Daftar Pustaka
1. Helm S, Benyamin RM, Chopra P, Deer TR,
and Justiz R. Percutaneous adhesiolysis in
the management of chronic low back pain
in post lumbar surgery syndrome and spinal
stenosis: a systematic review. Pain Physician
2012; 15:E435–E462.
2. Manchikanti L, Singh V, Cash KA, Pampati V.
Assessment of effectiveness of percutaneous
adhesiolysis and caudal epidural injections
in managing post lumbar surgery syndrome:
2-year follow-up of a randomized controlled
trial. Journal of Pain Research 2012;5:597–
608.
83
Myanmar migrant seafood processing factory
workers in Samut Sakorn Province, Thailand.
Industrial Health 2010;48:283–91.
8. Samad NIA, Abdullah H, Moin S, Tamrin
SBM, Hashim Z. Prevalence of low back pain
and its risk factors among school teachers.
American Journal of Applied Sciences.
2010;7(5):634–39.
9. Manchikanti L, Rivera JJ, Pampati V, Damron
KS, McManus CD, Brandon DE and Wilson
SR. One day lumbar epidural adhesiolysis and
hypertonic saline neurolysis in treatment of
chronic low back pain: a randomized, doubleblind trial. Pain Physician. 2004;7:177–86.
3. Racz GB, Day MR, Heavner JE. Epidural
lysis of adhesions and percutaneous
neuroplasty. Pain Management – Current
Issues and Opinions,www.intechopen.com.
10. Oh CH, Ji GY, Goo Cho PG, Choi WS, Shin
DA, Kim KN, Kang H. The catheter tip
position and effects of percutaneous epidural
neuroplasty in patients with lumbar disc
disease during 6-months of follow-up. Pain
Physician 2014;17:E599–E608.
4. Gerdesmeyer L, Wagenpfeil S, Birkenmaier
C, Veihelmann A, Hauschild M, Wagner K, et
al. Percutaneous epidural lysis of adhesions in
chronic lumbar radicular pain: a randomized,
double-blind placebo controlled trial. Pain
Physician. 2013 May-Jun;16(3):185–96.
11. Kim HJ, Rim BC, Lim JW, Park NK, Kang
TW, Sohn MK, Beom J, Kang S. Efficacy of
epidural neuroplasty versus transforaminal
epidural steroid injection for the radiating
pain caused by a herniated lumbar disc. Ann
Rehabil Med 2013;37(6):824–31.
5. Manchikanti L, Cash KA, McManus CD,
Pampati V. Assessment of effectiveness
of percutaneous adhesiolysis in managing
chronic low back pain secondary to lumbar
central spinal canal stenosis. Int J Med Sci
2013; 10(1):50–59
12. Jørgensen MB, Holtermann A, Gyntelberg F,
Suadicani P. Physical fitness as a predictor
of herniated lumbar disc disease – a 33year follow-up in the Copenhagen male
study. BMC Musculoskeletal Disorders
2013;14:86:2–6.
6. Chun-jing H, Hao-xiong N, Jia-xiang N. The
application of percutaneous lysis of epidural
adhesions in patients with failed back surgery
syndrome. Acta Cirúrgica Brasileira 2012;
27 (4):357.
13. Cummins TR. Setting up for the block: the
mechanism underlying lidocaine’s usedependent inhibition of sodium channels. J
Physiol. 2007;582.1:11.
7. Tomita S, Arphorn S, Muto T, Koetkhlai K,
Naing SS, Chaikittiporn C. Prevalence and
risk factors of low back pain among Thai and
14. Buck ML. Use of lidocaine for analgesia
in children and adolescents. Pediatr Pharm.
2013;19(12):1–4.
Manajemen Anestesia pada Carotid Endarterectomy:
Pasien dengan Kinking Arteri Karotis Interna
Riyadh Firdaus*), Iwan Fuadi**), Sri Rahardjo***), Himendra Wargahadibrata**)
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo-Jakarta, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada–RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
*)
Abstrak
Prosedur Carotid Endarterectomy (CEA) adalah prosedur penting untuk pencegahan stroke karena sumbatan
arteri karotis. Seorang laki-laki 71 tahun akan dilakukan operasi CEA. Pasien mengeluh pusing berputar, riwayat
hipertensi diakui sejak 10 tahun dengan tekanan darah tertinggi 170/100 mmHg, riwayat stroke diakui 1 tahun yang
lalu dan 1,5 bulan lalu. Gejala sisa stroke saat ini kelemahan extremitas sebelah kiri. Pasien terdapat riwayat sakit
jantung, irama tidak teratur, tidak disertai sesak nafas 1 tahun yang lalu dan saat itu diberikan amiodaron tablet.
Operasi dilakukan dengan anestesi umum, menggunakan pipa endotrakeal no.8.0, ventilasi kendali. Obat yang
dipergunakan adalah midazolam 1 mg iv, fentanyl 150 mcg iv, propofol 70 mg iv, rocuronium 40 mg iv. Rumatan
dilanjutkan dengan sevofluran, fraksi oksigen 45% dan propofol bolus jika diperlukan. Monitoring tanda vital
(tekanan darah, nadi, SaO2, elektrokardiografi) dan artery line. CEA dilakukan selama 3,5 jam, tidak ditemukan
stenosis tetapi terdapat kinking. Selama operasi hemodinamik relatif stabil. Pascaoperasi pasien di rawat di ruang
perawatan intensif. Berbagai pendekatan bedah telah dikemukakan untuk kinking arteri karotis interna. Pilihan
pendekatan dipengaruhi oleh pemilihan pasien, penilaian praoperasi & optimasi, dan manajemen perioperatif &
perawatan untuk pasien yang akan menjalani CEA.
Kata kunci: Anestesi umum, kinking arteri karotis interna, carotid endarterectomy
JNI 2015; 4 (2): 84–90
Anesthetic Management for Carotid Endarterectomy:
Patient with Internal Carotid Artery Kinking
Abstract
Carotid endarterectomy (CEA) is an important procedure for stroke prevention due to obstruction of carotid artery.
A 71 years old male was scheduled for CEA surgery. The patient complained of spinning headache. He had been
suffered from hypertension since 10 years ago with highest blood pressure of 170/100 mmHg, and had a two
times stroke 1 year and 1.5 months ago. Sequelae symptom of stroke is weakness on the left extremity. Patient
also had a history of heart disease, irregular rhythm, without shortness of breath approximatelly1year ago, treated
with amiodarone tablets. The CEA operation was performed under general anesthesia using endotrachenal tube
8.0, controlled ventilation, 1 mg midazolam, 150 mcg fentanyl, 70 mg propofol and 40 mg rocuronium, given
intravenously. Maintenance of anesthesia was done using sevoflurane, oxygen fraction of 45% and propofol 10
mg given intermittently as needed. Noninvasive vital signs monitoring and invasive arterial blood pressure were
recorded. Hemodynamics were stable during the 3.5 hours operation. We found no plaque but a kinking on the carotid
artery. Postoperatively, patients was admitted to the intensive care unit. Various surgical approaches have been done
and developed to manage the internal carotid artery kinking. Options approach is influenced by patient selection,
preoperative assessment and optimization, and perioperative management and care for patients undergoing CEA.
Key words: General anesthesia, kinking of the internal carotid artery, carotid endarterectomy
JNI 2015; 4 (2): 84–90
84
Manajemen Anestesia pada Carotid Endarterectomy:
Pasien dengan Kinking Arteri Karotis Interna
1. Pendahuluan
Stenosis karotis merupakan 20 persen penyebab
dari kasus stroke. Stenosis ipsilateral arteri karotis
dianggap berhubungan dengan 1–2% kasus stroke
per tahunnya. Carotid Endarterectomy (CEA)
diperkenalkan pada tahun 1950 merupakan
prosedur yang penting untuk tatalaksana dalam
pencegahan stroke.1 Salah satu dugaan penyebab
stenosis adalah arteri karotis yang kinking.
Prosedur CEA untuk memperbaiki kinking
arteri karotis saat ini masih dilakukan meskipun
menimbulkan kontroversi. CEA dalam hal ini
melibatkan cross-clamping arteri karotis.
Selama periode cross-clamping aliran darah
otak (cerebral blood flow/CBF) berkurang
tergantung pada derajat aliran kolateral melalui
sirkulus Willisi. Aliran darah otak ipsilateral
dapat ditingkatkan dengan membuat shunt
sementara. Pencapaian luaran yang baik dari
tatalaksana kinking arteri karotis dengan cara
CEA berkaitan dengan berbagai faktor. American
Heart Association (AHA) merekomendasikan
pada pasien dengan stenosis karotis 50% sampai
99% yang mengalami gejala untuk dilakukan
CEA jika resiko perioperatif stroke dan kematian
kurang dari 6%.2 Usia, jenis kelamin dan kualitas
hidup yang diharapkan dapat mempengaruhi
keputusan untuk melakukan prosedur ini atau
tidak. Sebelum melakukan CEA diperlukan
kesiapan tim untuk melakukan pemilihan pasien,
penilaian praoperasi & optimasi, dan manajemen
perioperatif dan perawatan untuk pasien yang
akan menjalani CEA. Faktor-faktor praoperasi
ini adalah hal-hal yang harus dipertimbangkan
juga di dalam manajemen anestesia. Manajemen
anestesia untuk CEA pada pasien dengan kinking
arteri dapat berupa anestesia umum dan regional.
Bukti saat ini menunjukkan bahwa luaran CEA
adalah sama baiknya dengan pilihan anestesia
regional maupun umum.3 Manajemen anestesia
meliputi perhatian tentang efek operasi terhadap
fungsi otak dan fungsi organ lainnya.
II. Kasus
Anamnesa
Pasien laki-laki usia 71 tahun datang dengan
keluhan pusing berputar dirasakan sejak 2 hari
85
sebelum masuk rumah sakit. Riwayat operasi
tidak ada. Riwayat alergi disangkal. Riwayat
sakit asma dan diabetes melitus disangkal.
Riwayat hipertensi diakui, sejak 10 tahun dengan
tekanan darah tertinggi 170/100 mmHg. Riwayat
stroke diakui, 1 tahun yang lalu dan 1,5 bulan
yang lalu, dikatakan stroke tersumbat. Gejala sisa
stroke saat ini kelemahan ekstremitas sebelah
kiri. Riwayat sakit jantung diakui, irama tidak
teratur, tidak disertai sesak nafas, 1 tahun yang
lalu, saat itu diberikan amiodaron tablet. Saat ini
keluhan irama jantung tidak teratur tidak ada.
Riwayat sakit paru/ hati/ kejang/ ginjal disangkal.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Kesadaran
: composmentis
Berat Badan
: 71 kg
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Frekuensi Nadi
Frekuensi nafas
Suhu
S t a t u s
Generalisata
Mata
THT
Jantung
Paru
Ekstremitas
Neurologis
Kekuatan
motorik 3/4
: 85 x/menit
: 20 x/menit
: 36,4 oC
: tidak pucat/ikterik, pupil
bulat,
isokor,
reflex
cahaya +/+
: Buka mulut lebih dari 3
cm, Mallampati 2, fleksi
dan ekstensi
leher
maksimal
: BJ 1–2 (+) regular, tidak
terdengar murmur dan
gallop
: Vesikular normal, tidak
terdengar ronkhi dan
wheezing
: Akral hangat, capillary
refill time kurang dari 2
detik
: Hemiparese sinistra
86
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Pemeriksaan Penunjang
Carotid Doppler USG:
Gambar 1. Pemeriksaan USG Karotis
Tampak pembentukan trombus di pangkal arteri
karotis komunis kanan sampai ke arteri karotis
interna kanan yang menimbulkan stenosis relatif
antara 40-80%, maksimal pada pertengahan arteri
karotis komunis (80%). Pembuluh darah karotis
bilateral umumnya menunjukkan diameter lumen
yang normal disertai penebalan tunika intima dan
media (I–M complex) lebih kurang 1,5mm (nilai
normal <0,8mm), dengan peak velocity yang
relatif meningkat pada arteri karotis kanan.
Pemeriksaan MRI Kepala
Tampak atrofi serebral ringan sesuai usia yang
disertai dengan degenerasi substansia alba
periventrikular di kedua serebral hemisfer,
terutama bagian frontal dan parietal bilateral.
Tampak lesi lakunar subakut multipel di daerah
subkortikal frontal kiri, parietal bilateral, dan
korona radiata bilateral. Selain itu tampak lesi
iskemik/infark subakut terbatas di talamus kanan.
Struktur serebral/intrakranial lainnya tidak
menunjukkan abnormalitas lebih lanjut, terutama
tak terlihat adanya space occupying lession (SOL),
malformasi vaskuler, atau perdarahan serebral
akut baik supratentorial maupun infratentorial.
EKG: ritme sinus, laju QRS 88x/menit, tidak ada
perubahan ST–T, terdapat T inverted di lead II,
III, aVF, LBBB (–), RVH (–), LVH (–).
Darah perifer lengkap: Hb 14,5/Ht 44,1/L
12160,Tr 292000, PT/aPTT 12,3 (12,4)/ 45,5
(30,7) detik, Fibrinogen 367.6 mg/dL, d-Dimer
kuantitatif < 100 ng/mL, SGOT/SGPT 10/8 U/L,
Albumin 4,14 g/dL, Ur/Cr 23/1,0 mg/dL,Gula
Darah Puasa 104 mg/dL, Na/K/Cl 143/3,83/99,7
mEq/L.
Foto Toraks: Kardiomegali, bronkitis kronis
Gambar 2. Pemeriksaan MRI Kepala
Echocardiografi: Global normokinetik, regurgitasi
aorta ringan, fungsi sistolik ventrikel kiri baik,
ejection fraction (EF) 71%, fungsi sistolik
ventrikel kanan baik, tricuspid annular plane
systolic excursion (TAPSE) 21 mm (gambaran
fraksi ejeksi ventrikel kanan, normal <20mm).
Disfungsi Diastolik Ringan.
Kesan: ASA 3 dengan Hypertensive Heart
Disease (Tekanan Darah 130/80 mmHg, Th/
Biopres dan Herbesser), coronary artery diseases
(CAD) inferior (klinis tenang, tanpa terapi,
Functional Class 1–2), Riwayat stroke iskemik
berulang dengan gejala sisa hemiparese sinistra,
leukositosis 12.160. Rencana operasi: carotid
endarterectomy
Manajemen Perioperatif
Dilakukan pemasangan monitor EKG, tekanan
darah non invasif, SpO2. Didapatkan tekanan
darah 160/90 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit,
SpO2 97–98%. Pasien diberikan preoksigenasi
O2 100% 6 liter permenit selama 5 menit. Pasien
di berikan midazolam 1 mg, diikuti fentanyl
150 mcg. Lalu dilakukan induksi dengan
propofol titrasi sampai 70 mg dan sevofluran 2
vol%. Intubasi difasilitasi rocuronium 40 mg
dengan pipa endotrakheal no 8.0 fiksasi 22 cm.
Pemeliharaan anestesi dengan sevofluran 0,8–1,5
vol%, compressed air, dan oksigen fraksi 45%.
Respon berlebihan terhadap tindakan operasi
dicegah dengan pemberian propofol intermiten.
Lama clamp arteri lebih kurang 22 menit. Selama
clamp arteri karotis, tekanan darah berkisar
120–140 mmHg. Operator tidak melakukan
Manajemen Anestesia pada Carotid Endarterectomy:
Pasien dengan Kinking Arteri Karotis Interna
Gambar 3. Pemantauan hemodinamik
shunt arteri karotis saat clamping arteri
karotis. Operasi berlangsung selama 3,5 jam.
Pascaoperasi: Pascaoperasi pasien ditranspor
ke ICU dalam keadaan masih terintubasi. Obat
nyeri pascaoperasi yang diberikan paracetamol
3x1g dan tramadol 3x100 mg. Saaat pasien sadar
dan dipastikan tidak ada hematoma di jalan nafas,
dilakukan ekstubasi. Tekanan darah selama di
ICU dikontrol dengan nicardapine 2–5 mg/jam.
Pasien dirawat di ICU selama 2 hari, selama
di ICU tidak ditemukan adanya gejala defisit
neurologis tambahan.
III. Pembahasan
Indikasi dilakukannya tindakan CEA berdasarkan
American Academy of Neurology dapat
dipertimbangkan pada dua kelompok pasien.4
Kelompok pertama adalah pasien yang bergejala
yang memiliki plak yang dapat menyebabkan
emboli ke sirkulasi serebral yang nantinya
dapat menyebabkan transient ischemic attack
(TIA). Kelompok kedua adalah pasien yang
tidak memiliki gejala tapi dari pemeriksaaan
didapatkan lesi yang jelas pada bifurcatio
carotis tanpa adanya riwayat defisit neurologis.1
Dalam panduan tatalaksana stroke dari National
Institute of Clinical Excellence tahun 2008
merekomendasikan dilakukannya CEA dalam
waktu 2 minggu pada pasien dengan risiko tinggi
terhadap stroke. Berdasarkan penelitian Fairhead
dan Blaser, CEA dapat menghasilkan keluaran
lebih baik apabila dilakukan dalam interval
waktu 2 minggu setelah munculnya gejala defisit
87
neurologis untuk mencegah defisit yang lebih
jauh. Walaupun begitu, beberapa laporan tetap
menyarankan dilakukannya CEA dalam interval
4–6 minggu setelah munculnya defisit neurologis.
Teknis operasi CEA adalah dengan melakukan
pendekatan arteri karotis melalui insisi sepanjang
anterior dari sternokleidomastoideus. Setelah
dipisahkan dengan nervus fasialis, carotid sheath
dibuka dan arteri karotis di dengan menghindari
cedera pada frenikus, vagus, ansa hypoglossi dan
nervus hypoglossal. Setelah arteri karotis interna
dan eksterna terkontrol, heparin dimasukkan
5000–10.000 unit pada saat 5 menit sebelum
arteri karotis di clamp bertahap. Selama karotis
cross clamping hindari penurunan tekanan
darah. Untuk menjaga perfusi karotis indwelling
shunt digunakan. Endarterektomi dimulai dari
proksimal menuju distal pada kedua cabang
externa dan interna dengan menaruh fin tapered
diakhir. Setelah semua trombus, jaringan otot
polos dan endothelium diangkat, arteriotomi
ditutup dengan atau tanpa patch. Arteri di flush
dan dipastikan alirannya. Insisi di tutup setelah
hemostasis dipastikan baik.
Pada kasus ini pasien dapat dipertimbangkan
untuk pengobatan bedah karena kinking karotis
dapat menyebabkan perubahan dalam dinding
arteri. Hal ini mungkin terkait dengan reaksi
nonatherosclerotic yang salah satu akibatnya
dapat terjadi peradangan. Kinking juga sering
dikaitkan dengan stenosis, degenerasi dan
hilangnya elastisitas dari dinding arteri.
Terbentuknya kinking pada suatu pembuluh darah
dapat juga berhubungan dengan bentuk pembuluh
darah yang melingkar, satu atau dua lingkaran
pembuluh darah dapat menyebabkan pembuluh
darah tersebut kinking. Sampai saat ini etiologi
dari perpanjangan pembuluh darah dan kondisi
yang dihasilkan masih menjadi kontroversi.
Apakah ini gejala sisa dari aterosklerosis,
fibromuskular displasia, degenerasi terkait
usia atau variasi normal tetap menjadi bahan
perdebatan.5 Pengendalian tekanan darah sebelum
operasi sangat penting untuk mengendalikan dan
menjaga tekanan arteri. Target tekanan arteri
optimum pada pasien dengan asymptomatic
carotid stenosis/setelah TIA/stroke ringan belum
ditetapkan. Sebuah rekomendasi mengatakan
88
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
untuk menunda operasi elektif jika tekanan arteri
sistolik >180 mmHg atau tekanan arteri diastolik
>100 mmHg pada pasien tanpa kecemasan atau
nyeri.6 Pengobatan antihipertensi yang kuat
sebelum pembedahan/ hipotensi selama anestesia
dapat menyebabkan stroke iskemik serebral
karena hipoperfusi dan oleh karena itu harus
dihindari. Sebagai aturan umum, banyak dokter
anestesiologi dan dokter bedah mempertahankan
tekanan sistolik 160 mmHg atau kurang sebelum
dilakukan CEA elektif, melanjutkan terapi sampai
pagi operasi, dan memulai terapi normal secepat
mungkin setelah operasi. Penurunan tekanan
darah arteri secara tiba-tiba dapat merugikan
bagi pasien-pasien yang hendak dilakukan CEA.
Target tekanan darah di atas harus dilihat sebagai
pedoman umum saja karena terapi untuk masingmasing pasien bersifat individual dan bervariasi.
Pada saat operasi penting untuk menjaga
tekanan perfusi cerebral dan aliran kolateral
selama periode ketika autoregulasi tekanan di
otak dipengaruhi oleh efek anestesi, barorefleks
dipengaruhi oleh efek langsung dari operasi
dan aliran darah otak dapat terganggu oleh
klem karotis. Hipertensi intraoperatif dapat
membuat penempatan shunt bedah lebih sulit,
predisposisi iskemia miokard dan dikaitkan
dengan perdarahan intraserebral. Hipotensi harus
dihindari terutama selama periode carotid crossclamping dan tetap menjaga agar tidak terjadi
hipertensi setelah aliran arteri karotis selesai
diperbaiki. Pentingnya hal ini berhubungan
dengan lamanya cross-clamping yang aman
untuk pasien. Manajemen hemodinamik
intraoperatif penting diperhatikan. Selama cross
clamping arteri karotis, risiko iskemia serebral
dapat dikurangi dengan mempertahankan tekanan
perfusi normal atau tinggi. Plak ateromatosa
mengurangi tekanan perfusi otak dan menganggu
sensitivitas baroreseptor. Pencegahan perubahan
tekanan arteri dicapai dengan mengantisipasi
rangsangan dan menggunakan dosis kecil
obat terapi. Tujuannya sebelum dan sesudah
arteri cross-clamping adalah normotensi, dan
tekanan arteri harus atau secara umum akan
sedikit meningkat dari base line (–20%) selama
cross- clamping.Cross-clamping arteri karotid
menyebabkan berkurangnya aliran darah otak
yang disertai dengan peningkatan kompensasi
tekanan arteri yang dimediasi oleh refleks
baroreseptor dan peningkatan aktivitas saraf
simpatik. Besarnya perubahan ini tergantung
pada sejumlah faktor, termasuk tingkat stenosis
ipsilateral, integritas aliran kolateral, durasi
iskemia serebral, dan faktor bedah dan anestesi.
Pada kasus ini perubahan tidak begitu terlihat
karena pasien menjalani CEA di bawah anestesi
umum akibatnya fungsi baroreseptor dan
autoregulasi serebral dapat dilemahkan oleh
konsentrasi tinggi dari anestetika volatil.7,8
Durasi cross-clamping dapat mempengaruhi
stabilitas hemodinamik, hipertensi yang paling
sering terjadi, sementara hipotensi pascaoperasi
juga telah dilaporkan kemungkinan berhubungan
dengan cross-clamp karotis selama 10–15
menit. Penerapan carotid clamp sering dikaitkan
dengan peningkatan tekanan darah, barorefleks
karena hilangnya hamparan dinding pembuluh
darah. Peningkatan tekanan arteri dapat diterima
(sampai kira-kira 20%) di atas tingkat basal, tetapi
kenaikan berlebihan harus dikendalikan. Teknik
pemasangan shunt dapat dipertimbangkan jika
ingin memperpanjang durasi dari cross-clamp.2
Hipertensi paling sering muncul dalam merespon
nyeri viseral terkait dengan traksi atau distorsi
dari arteri karotis atau struktur disekitarnya.
Pada kasus ini tidak dipersiapkan obat tekanan
darah. Tekanan darah harus dikontrol dengan
antihipertensi intravena seperti esmolol atau
labetalol. Hipotensi dan bradikardia juga dapat
menyertai traksi pada arteri karotis selama
diseksi bedah. Respon ini merupakan luaran
parasimpatis dari barorefleks. Kondisi ini dapat
direduksi dengan kedalaman anestesi, pemberian
cairan intravena dan jika perlu dengan pemberian
vasopressor seperti fenilefrin (0,5–1,0 mg/kg).6
Monitoring intraoperatif pada pasien CEA
meliputi EKG (dapat mendeteksi iskemia),
kanula intraarteri (untuk pemantauan tekanan
darah), pengambilan sampel darah arteri
untuk gas darah analisis, pada pasien beresiko
tinggi dapat dipantau tekanan vena sentral,
tekanan baji kapiler paru, curah jantung,
transesophageal echocardiography dan keluaran
urine, oksigen dipantau terus menerus dengan
Manajemen Anestesia pada Carotid Endarterectomy:
Pasien dengan Kinking Arteri Karotis Interna
menggunakan pulse oximeter, stetoskop
esophagus (pemantauan suhu inti serta ventilasi),
dan pemeliharaan PaCO2 dalam batas normal.
Pada pasien ini tidak digunakan tekanan baji
kapiler paru, transesophageal echocardiography,
dan curah jantung karena dari pemeriksaan
echocardiography baik, sehingga diputuskan
untuk pemantauan kecukupan cairan melalu
tanda-tanda klinis saja. Pemilihan teknik anestesia
dipilih berdasarkan teknik yang mengoptimalkan
perfusi otak, meminimalkan stres miokard, dan
memungkinkan untuk pemulihan yang cepat.
Pada pasien ini dipilih anestesia umum. Pilihan
tehnik tergantung pada pertimbangan keuntungan
dan kerugian dari masing-masing pengalaman
dokter dan keinginan pasien. Anestesia dikontrol
dengan gas anestesia dilengkapi dengan anestesi
intravena menggunakan infus propofol yang
dikombinasikan dengan opioid tambahan. Induksi
pada pasien ini diberikan midazolam lalu diikuti
opioid fentanyl.
Pemberian midazolam dapat mengurangi
kebutuhan obat anestesia lain untuk induksi
dan memperdalam induksi. Propofol semakin
banyak digunakan dalam induksi anestesi dan
sedasi di perawatan neurointensif. Beberapa
studi menunjukkan propofol memiliki efek
proteksi terhadap otak. Tekanan intrakranial,
aliran darah otak dan metabolisme otak turun
pada penggunaaan propofol.9 Pada kasus ini
digunakan propofol titrasi sampai 70 mg pada
pasien dengan berat badan 71 kg. Pemberian
propofol dapat menyebabkan penurunan tekanan
darah rata-rata 20% dan penurunan resitensi
vaskuler sistemik sebesar 26% dan nantinya
dapat menyebabkan penurunan perfusi serebral.
Akan tetapi, penurunan tersebut dapat dicegah
dengan pemberian propofol secara titrasi.
Penggunaan alat target controlled infusion (TCI)
menunjukkan stabilitas hemodinamik yang lebih
tinggi selama fase induksi maupun rumatan.
Anestetika inhalasi yang diberikan pada kasus
ini adalah sevoflurane 0,8–1,5 vol%, compressed
air dan menggunakan aliran gas O2. Penggunaan
aliran oksigen 45% bertujuan untuk memantau
tekanan PaO2 melalui analisis gas darah.
Sevoflurane adalah anestetika volatil pilihan bagi
neuroanesthesia.3 Sevoflurane digunakan dalam
89
kasus ini karena efek dari vasodilatasi serebral
serta peningkatan aliran darah otak yang paling
rendah diantara semua gas anestesi. Sevofluran
telah terbukti mengakibatkan waktu ekstubasi
cepat dan profil pemulihan setelah CEA. Obat
pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini
adalah rocuronium 40 mg. Rocuronium adalah
neuromuskular nondepolarisasi yang berperan
sebagai blocking agent yang diindikasikan
sebagai tambahan untuk anestesi umum yang
dapat memfasilitasi intubasi trakea, dan untuk
memberikan relaksasi otot skeletal selama
operasi atau ventilasi mekanis. Obat ini dipilih
dalam kasus ini karena tidak menyebabkan
pelepasan histamin yang dapat mencetuskan
reaksi hipersensitivitas dan tidak meningkatkan
aliran darah ke otak yang dapat menyebabkan
edema.10 Penilaian fungsi neurologis pada pada
pasien ketika berada di bawah anastesi umum
lebih sulit.8 Hal ini berkaitan dengan keputusan
shunt dimasukkan atau tidak. Pada anestesia
regional fungsi neurologis dapat dinilai langsung,
apakah pasien menjadi bingung dan gelisah,
berhenti merespons perintah, atau berhenti
untuk berkomunikasi, ini semua tanda-tanda
iskemia serebral dan merupakan indikasi untuk
melakukan pemasangan shunt.
Pada kasus ini dalam penilaian fungsi neurologis
digunakan bispectral index (BIS). Indeks
bispektrum adalah salah satu dari beberapa
teknologi yang digunakan untuk memantau
kedalaman anestesi. Mekanisme kerja BIS adalah
dengan menganalisis electroencephalogram
pasien selama anestesi umum. Pada anestesia
umum menurut O’Conner dan Tuman
ada beberapa tekhnik dan monitor yang
tersedia, diantaranya: Stump pressure, EEG,
Somatosensory evoked potentials (SSEPs), Near
infrared spectroscopy (NIRS), dan Transcranial
Doppler (TCD). Pada saat dilakukan cross clamp
arteri dapat digunakan Transcranial Doppler
(TCD) yang bertujuan untuk mengukur kecepatan
aliran darah di arteri cerebri selama CEA dan
diikuti sebagai indikator CBF. Iskemia dianggap
parah jika rata-rata kecepatan setelah menjepit
adalah 0–15% dari nilai preclamp, ringan jika
16–40% dan absent jika >40%. Pada kasus ini
tidak digunakan TCD karena keterbatasan alat
90
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dan tenaga ahli. Tatalaksana pascaoperasi pada
pasien yang telah dilakukan CEA adalah dengan
mempertahankan kanula intraarteri (selama
periode pasca awal operasi untuk pemantauan
tekanan darah terus menerus dan pengambilan
sampel darah untuk analisis gas darah). Oksigen
tambahan dan kecukupan oksigen dipantau oleh
oksimetri pulsa, resting PaCO2 meningkat sekitar
5 mmHg, dan penilaian perubahan hemodinamik
pascaoperasi; Hipertensi lebih sering terjadi
pada pasien dengan hipertensi praoperasi yang
tidak terkontrol. Penyebab lain ketidakstabilan
hemodinamik setelah CEA adalah iskemia
miokard atau infark, disritmia seperti fibrilasi
atrium, hipoksia, hiperkarbia, pneumotoraks,
nyeri, stroke dan distensi kandung kemih.
Analgetik pascaoperasi Paracetamol 3x1g dan
Tramadol 3x100 mg, sesuai dengan step ladder
pain management WHO. Pascaoperasi pasien di
ICU dan dikontrol dengan nicardapine 2–5 mg/
jam. Nicardapine dipilih karena dapat bekerja
dengan cara memperlebar pembuluh darah yang
dapat membuat jantung lebih mudah memompa
dan mengurangi beban kerjanya. Ada beberapa
komplikasi pascaoperasi besar setelah CEA
diantaranya stroke, infark miokard, kematian,
sindrom hiperperfusi, pembentukan hematoma
dan kelumpuhan saraf kranial.
II. Simpulan
Pada prinsipnya tatalaksana CEA pada kasus
kinking arteri karotid interna sama dengan CEA
pada stenosis pada umumnya. Salah satu aspek
yang penting dalam tatalaksana anestesia CEA
adalah manajemen perfusi ke otak dari waktu
ke waktu selama persiapan operasi, intraoperasi
dan pascaoperasi. Monitoring neurologis
perlu diperhatikan selama operasi CEA baik
dalam anestesia umum atau selama anestesia
regional. Komunikasi antara anestesiologis
dan dokter bedah dalam hal ini sangat penting
untuk menghindari morbiditas dan mortalitas
perioperatif.
Daftar Pustaka
1. 2007 Clinical Expert Consensus Document
on Carotid Stenting: The American College
of Cardiology Foundation Task Force on
Clinical Expert Consensus Documents,
Vascular Medicine 12:35–83, 2007.
2. Chaturvedi S1, Bruno A, Feasby T, Holloway
R, Benavente O, Cohen SN, Cote R, Hess
D, Saver J, Spence JD, Stern B,Wilterdink
J; Therapeutic. Carotid endarterect- omy–
an evidence-based review: report of the
Therapeutics and Technology Assessment
Subcommittee of the American Academy of
Neurology. Neurology 2005; 65: 794–801
3. Engelhard K, Werner C. Inhalational or
intravenous anesthetics for craniotomies?
Pro inhalational. Curr Opin Anaesthesiol
2006; 19: 504–8
4. O’connor CJ, Tuman KJ. Anesthetic
considerations for carotid artery surgery.
Dalam: Kaplan JA, Lake CL, Murray MJ, eds.
Vascular Anaesthesia, 2nd ed. Philadelphia:
Churchill Livingstone; 2004; 187–98.
5. Poorthuis MHF, Brand EC, Toorop RJ, Moll
FL, Jan de Borst G. Posterior transverse
plication of the internal carotid artery to
correct for kinking. Journal of Vascular
Surgery, 2014; 968–77.
6. Howell S. Carotid endarterectomy. Br J
Anaesth 2007;99:119–31.
7. Nadia Ladak, Jonathan Thompson. General or
local anaesthesia for carotid endarterectomy?,
Br J Anaesth 2012;12: 92–96.
8. Stoneham MD, Thompson JP. Arterial
pressure
management
and
carotid
endarterectomy. Br J Anaesth 2009; 102 (4):
442–52.
9. Flower O, Hellings S. Sedation in traumatic
brain injury. Emergency Medicine Int 2012; 2
10. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi, edisi ke
2. Bandung: Saga Olah Citra; 2008: 1–74.
Diabetes Insipidus Pascaoperasi Kraniopharingioma pada Anak
Achmad Wahib*), Siti Chasnak Saleh**), Sri Rahardjo***)
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Paru Jember, **)Departemen Anestesiologi
dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr. Soetomo, ***)Departemen Anestesiologi
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada–RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
*)
Abstrak
Kraniopharingioma adalah malformasi embriogenik sebagian berbentuk kistik dari area selar dan paraselar. Tumor
epitel jarang timbul di sepanjang jalan saluran kraniopharyngeal. Tumor ini biasanya menyebabkan gangguan
neurologis, endokrinologis, atau gejala visual. Diagnosis untuk kraniopharingioma anak dan orang dewasa
ditandai dengan kombinasi sakit kepala, gangguan penglihatan, dan poliuria/polidipsia, yang juga bisa termasuk
penambahan berat badan yang signifikan. Dengan kejadian sampai 0,5–2,0 kasus baru per juta penduduk per tahun
terjadi pada anak-anak dan remaja. Pada anak sering mengalami gangguan pertumbuhan, dan atau pubertas dini
pascaoperasi. Penatalaksanaan pembedahan dengan lokalisasi tumor yang menguntungkan adalah reseksi lengkap;
pada lokalisasi tumor yang tidak menguntungkan, operasi radikal adalah terapi pilihan pada kraniopharingioma.
Seorang anak perempuan 11 tahun dengan keluhan pusing, mual, muntah dengan disertai tanda-tanda dehidrasi
ringan tanpa ada gangguan visus yang menurun. Saat di IGD dilakukan rehidrasi, pemeriksaan diagnostik ditemukan
adanya hidrosefalus dan direncanakan pemesangan VP–Shunt dengan menggunakan anestesia umum. Manajemen
dari tumor intrakranial dengan hidrosefalus yang mengalami dehidrasi pada situasi darurat merupakan tantangan
dokter anestesi. Sepuluh hari kemudian dilakukan eksisi tumor dengan anestesi umum. Sebuah prosedur gabungan
seperti di atas memerlukan diskusi dan kordinasi untuk memastikan kondisi pascaoperasi. Manifestasi patologis,
serta tantangan-tantangan khusus gejala sisa yang timbul, memerlukan tindakan diagnosis, pengobatan (terutama
titik waktu yang ideal iradiasi), dan kualitas hidup dengan penyakit kronis ini (obesitas) dengan melibatkan
managemen multidisiplin seumur hidup untuk orang dewasa dan anak-anak penderita kraniopharingioma.
Kata kunci: Kraniopharingioma, bedah saraf, kualitas hidup
JNI 2015; 4 (2): 91–7
Diabetes Insipidus Post Craniopharyngioma Surgery in Pediatric
Abstract
Craniopharingioma is shaped cystic malformation embryogenic portion of the small opening area and paraselar.
Epithelial tumors rarely arise along the way craniopharyngeal channels. These tumors usually cause neurological
disorders, endocrinological, or visual symptoms. Craniopharyngioma diagnosis for children and adults is
characterized by a combination of headache, visual disturbances, and polyuria/polydipsia, which also can include
significant weight gain. With events until 0.5 to 2.0 new cases per million population per year occur in children
and adolescents. On postoperative impaired child growth, or early puberty. Management of surgery with favorable
tumor localization is complete resection; the unfavorable tumor localization, radical surgery is the treatment of
choice in craniopharyngioma. A daughter 11 yrs with complaints of dizziness, nausea, vomiting accompanied
by signs of mild dehydration without any interruption decreased visual acuity. While in the emergency room
rehydration, diagnostic examinations found their planned hydrocephalus and VP-Shunt custom installation using
general anesthesia. Management of intracranial tumors with hydrocephalus dehydrated in emergency situations
is a challenge anesthetist. Ten days later the tumor excision under general anesthesia. A combined procedure as
above require discussion and coordination to ensure post-surgical conditions. Pathological manifestations, as well
as the specific challenges that arise sequelae, require action diagnosis, treatment (particularly ideal time point
irradiation), and quality of life with this chronic disease (obesity) involving multi-disciplinary management of a
lifetime for adults and children ren craniopharyngioma patients.
Key words: craniopharyngioma, neurosurgery, quality of life
91
JNI 2015; 4 (2): 91–7
92
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
Kraniopharingioma adalah tumor intrakranial
yang langka, berasal dari jaringan non-glial,
dysontogenic dengan gambaran histologi
jinak tetapi secara klinis menunjukan perilaku
yang ganas, dengan kecenderungan untuk
menyerang struktur sekitarnya dan kambuh
setelah reseksi dengan kesan tumor total yang
sudah terangkat, tumor ini berasal dari kelainan
jaringan
embrional.1-3 Secara
patogenesis
kraniopharingioma saat ini diperdebatkan antara
dua hipotesis utama: satu menggambarkan asal
tumor sebagai sisa-sisa ektodermal dari kantong
Rathke; kedua berpendapat kraniopharingioma
merupakan malformasi epitel embrional sisa
dari anterior kelenjar hipofise dan anterior
infundibulum.1-4
Manifestasi klinik yang ditemukan selama
masa kanak-kanak dan remaja, dimana dari
30–50% dari angka kejadian kasus 0,5–2 per
juta orang per tahun mewakili 1,2–4% dari
semua anak-anak tumor intrakranial pada usia
5–12 tahun. Dalam masa anak dan remaja, jenis
histologis biasanya adamantinomatous dengan
pembentukan kista.5-6 Pada anak-anak mengalami
gangguan pertumbuhan, dan atau pubertas dini
sering terjadi pascaoperasi.6 Pada usia dewasa
kraniopharingioma timbul antara usia 50–70th,
dengan jenis histologi skuamosa-papiler yang
paling sering ditemui.7 Lebih dari 70% tidak
terdeteksi dari jenis papiler, kraniopharingioma
jenis adamantinomatous mengandung mutasi dari
gen β-catenin.9 Penatalaksanaan pembedahan
dengan lokalisasi tumor yang menguntungkan
adalah reseksi lengkap; pada lokalisasi tumor
yang tidak menguntungkan, operasi radikal
adalah terapi pilihan pada kraniopharingioma.12-14
II. Laporan Kasus
Anamnesis
Anak usia 11 tahun, berat badan 26 kg diagnosa
kraniopharingioma post pasang vp shunt, operasi:
eksisi tumor. Dua puluh dua hari sebelum masuk
rumah sakit pasien mengeluh pusing, mual,
sampai muntah, tidak mengalami gangguan
penglihatan, keadaan umum lemah. Pada MRI
didapatkan masa dan hidrocephalus. Pada 5
November 2014 dilakukan pemasangan VP
Shunt. Setelah pemasangan VP Shunt keluhan
mual muntah berkurang dan bisa makan minum.
Riwayat pingsan, asma, alergi, gangguan
pertumbuhan, disangkal.
Pemeriksaan Fisik
Jalan nafas bebas, nafas spontan, frekwensi nafas
14x/mnt, vesikuler +/+, rh -/-, whz -/- Tekanan
darah 100/60 mmHg, nadi 52 x/menit, reguler,
kuat angkat. Suara jantung dalam batas normal.
Kesadaran GCS 456, reflek cahaya (+) isokor Ø
4mm/4mm. Pada pemeriksaan suhu tubuh: tidak
panas. Pasien dengan status fisik ASA 3. Terapi
yang diberikan: dexamethason: 3 x 4 mg dan
metoclopamid: 3 x 5mg.
Pemeriksaaan Penunjang
Thorak Foto: paru dan jantung dalam batas
normal.
Tabel 1. Laboratorium sebelum Operasi
Hb
13,2
PPT
14,2
GDA
109
Wbc
8,900
APTT
21,7
urea
0,69
Rbc
5,12
Na
135
BUN
15,3
Hct
38,9
K
4,4
OT
12
Plt
265,000
Cl
100
PT
14
Alb
3,22
Pengeloloaan Anestesi
Dikamar operasi dilakukan tindakan premedikasi
dengan sulfas atropine 0.5 mg. Preoksigenasi
dilanjutkan
dengan
induksi
intravena
menggunakan fentanyl 25µg, propofol 50 mg
dan intubasi menggunakan rocuronium 25 mg.
Monitor yang bisa dilakukan adalah tekanan
darah non invasif, EKG dan saturasi oksigen.
CVC dipasang di vena subclavia kanan setelah
pasien di intubasi dengan pipa endotrakheal no
5.5. Selama operasi menggunakan anestetika
inhalasi sevoflurane, oksigen dan N20. Posisi
pasien selama operasi tetap supine dengan
pendekatan kepala miring, meja operasi dalam
posisi agak miring 30°. Saturasi O2 selama operasi
99–100%, 30 menit menjelang akhir operasi
selesai, pasien diberikan metoclopramide 5 mg
dan ketoprofen 25 mg iv. Operasi berlangsung 3,0
jam, perdarahan 250 ml, produksi urine 900 ml
93
Diabetes Insipidus Pascaoperasi Kraniopharingioma pada Anak
Tabel 2. Laboratorium AGD sebelum, selama, setelah operasi dan selama perawatan
pH
PCO2
PaO2
BE
Na
K
Pre
7,42
40
165
0,1
135 4,4
Op
7,38
33
207
-0,4
Ekstubasi 7,40
41
190
-0,3
Cl
Hb
Hct
BUN
GDA O s m CVP
pla
B J Balans
Urn
100
13,2
39
15,3
109
0,69
1,010
14
13,5
100
306
11
1,007
-110
15,3
148 3,4
109
12,4
30
Hari1
148 3,4
109
15,9
103
307
12
1,003
-500
Hari2
150 4,2
104
16,5
126
313
13
1,002
-135
Hari3
160 4,0
108
16,2
100
331
12
1,001
-350
Hari4
151 4,5
103
14,2
98
319
11
1,004
Hari5
145 3,5
100
13,6
90
229
13
1,008
Gambar 1. MRI dengan Gambaran Tumor dan Hydrocephalus sebelum Pemasangan VP Shunt
dalam 3 jam. Cairan yang diberikan ringerfundin
1000 ml dan koloid 500 ml. Mesin anestesi
dengan frekwensi 16x/menit, tidal volume 200
ml dengan kadar oksigen 50%, pemeriksaan
analisa gas darah dilakukan 30 menit setelah
intubasi. Selama tindakan eksisi tumor dilakukan
pemberian dexamethasone 4 mg (iv), kemudian
pada saat insisi dari kulit dimasukan manitol 50
cc. Pada saat membuka tulang kepala tampak
otak slack, duramater putih, berdenyut.
Pengelolaan Pascabedah
Pascaoperasi pasien dirawat di ICU, empat jam
pascaoperasi dilakukan ekstubasi. Pasien dirawat
di ICU 5 hari dengan permasalahan terjadi
poliuria pada jam ke 8 pascaoperasi tiap 3 jam
produksi urine >4 cc/kgBB/jam dengan BJ urine
1.010. Pada jam ke 12 meningkat sampai 5–6 cc/
kgBB/jam dalam evaluasi tiap 3 jam didapatkan
BJ urine 1.007. Pada 24 jam pascaoperasi
diuresis berkelanjutan dengan produksi urine
8 cc/kgBB/jam BJ urine 1.003, Natrium serum
meningkat sampai 148 meg/L, osmolalitas serum
sedikit naik 307.5 mmol/kg, CVP masih relatif
stabil. Dengan pertimbangan klinis diatas terjadi
diabetus incipidus (DI).
III. Pembahasan
Pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial
dan bradikardi. Pengelolaan anestesi pada
operasi daerah suprasella khususnya pada anakanak memerlukan perhatian khusus mulai dari
persiapan operasi. Harus ditentukan berapa
lama keluhan mual muntah untuk menentukan
status rehidrasi, defisit neurologi seperti mata
kabur memerlukan evaluasi lapangan pandang
mata, dimana terjadi pendesakan kearah anterior
menuju sisterna prechiasmatic dan ruang frontal. Pemeriksaan laboratorium penunjang dalam batas
normal. Meskipun pemeriksaan fisik dalam batas
normal akan tetapi keluhan adrenal insufisiensi
94
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
seperti mual muntah muncul sebelum VP Shunt.
Untuk gangguan endokrin seperti hipotiroidisme
(edema, reflek tendon menurun, hipoventilasi
dan penurunan curah jantung, konstipasi) dan
defisiensi aldosteron (penurunan curah jantung,
penurunan aliran darah ginjal) tidak didapatkan.
Tujuan utama dari manajemen anestesi adalah
untuk
menjaga
stabilitas
hemodinamik,
memelihara oksigenasi dan perfusi otak yang
memadai.
Tindakan premedikasi dengan memberikan sulfas
atropin 0,5mg yang mempunyai efek kompetitif
antagonis asetilcholin di reseptor muscarinic pusat
dan perifer, efek ini memberikan denyut nadi yang
naik. Untuk metoclopropamid dengan tujuan
meningkatkan kerja sphingter esophagus bawah
yang bertujuan membantu pengosongan lambung.
Pada induksi pemberian fentanyl bertujuan
mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah
yang berat akibat tindakan intubasi yang akan
meningkatkan ICP. Fentanyl dengan dosis 1 mcg/
kg dapat diberikan untuk menumpulkan respon
hemodinamik dan nyeri. Propofol mempunyai
efek sedasi-hipnosis, amnesia dengan aksi singkat
yang tidak akan mengganggu/mengaburkan
pemeriksaan neurologis pasien. Efek samping
propofol berupa hipotensi dapat diatasi dengan
pemberian cairan infus. Keuntungan lain dari
pemakaian propofol, adanya efek proteksi otak
yang mampu menghasilkan electrical silence
yang komplit dari otak sehingga mengurangi
kebutuhan energi untuk aktivitas elektrik otak,
aliran darah otak turun dan tekanan intrakranial
yang turun. Pemakaian pelumpuh otot pada
tindakan intubasi selain berfungsi untuk fasilitasi
intubasi juga berguna dalam mencegah terjadinya
reflek batuk. Pemakaian pelumpuh otot disertai
dengan analgesi dan hipnosis yang adekuat untuk
memperoleh kondisi trias anestesi dapat mencegah
terjadinya peningkatan ICP akibat intoleransi pipa
endotrakheal. Pelumpuh otot non depolarisasi
atau metabolitnya dapat mempengaruhi sirkulasi
serebral melalui pelepasan histamin. Rocuronium
memiliki onset yang lebih cepat dibandingkan
dengan pelumpuh otot non depolarisasi yang lain,
pada anak meningkatkan laju denyut jantung,
bekerja sebagai antagonis aktif di asetilcholin
yang bekertja pada myoneural junction. Selain
itu efek samping dari rocuronium seperti
pelepasan histamin juga minimal atau tidak ada.
Hal ini menyebabkan rocuronium dianjurkan
pemakaiannya pada neuroanestesi, terutama
apabila dibutuhkan tindakan rapid sequence
intubation sebagai obat pengganti suksinilkolin.
Dalam memberikan anestesi pada pasien bedah
saraf adalah untuk mengendalikan tekanan
intrakranial serta volume otak, memberikan
proteksi otak akibat iskemia dan injuri, serta
mengurangi perdarahan. Adanya otak yang
kembung akibat peningkatan tekanan intrakranial
akan menyebabkan iskemia akibat retraksi
ahli bedah atau robekan jaringan otak oleh
tulang selain akan menambah iskemia karena
penurunan tekanan perfusi otak. Memposisikan
pasien dengan tepat, memfasilitasi pendekatan
Gambar 2. Duramater saat dibuka
bedah, memberikan pemulihan yang cepat,
dan menilai fungsi neurologis pascaoperasi.
Diabetes insipidus merupakan kegagalan dari
proses homeostasis ADH yang berkaitan dengan
disfungsi aksis hipotalamus-hipofise yang
mengalami penekanan di daerah supra sella.
Karakteristik dari DI ditemukan gejala poliuria
(>2 cc/KgBB/jam) selama pengamatan tiga jam
berturut-turut, osmolaritas urin turun 279,3 mmol/
kg (<350 mmol/kg), berat jenis urin 1,001 dan
peningkatan osmolaritas plasma 331 (normal 285
± 5 mmol/kg), tidak terjadi kelebihan pemberian
cairan, pengaruh terapi diuretik serta tidak adanya
kelainan intrarenal.
Diabetes Insipidus Pascaoperasi Kraniopharingioma pada Anak
95
Grafik 1. Produksi Urine dari Pascaoperasi, hari
pertama, hari kedua
Grafik 2 : Produksi urine hari ketiga, hari keempat
diruang intermediate
Grafik 3. Produksi Urine hari kelima, keenam
diruangan
Grafik 3. Osmolalitas Plasma, BJ urine, Osmolalitas
Urine
Pada pasien ini terjadi tipe transient, yaitu DI
terjadi pada 24 sampai 60 jam pascaoperasi, yang
selanjutnya akan terjadi penurunan gejala secara
bertahap. Transien DI diakibatkan oleh gangguan
sementara terhadap produksi AVP. Pada tipe
ini, transien DI, akan membaik ketika fungsi
neuron mulai normal kembali. Walaupun hal
ini dapat terjadi sampai 11 hari setelah operasi,
diabetes insipidus ini biasanya transien dan dapat
disebabkan oleh luka kecil pada posterior hipofise
atau edema. Pada kasus DI ini mengalami
resolusi setelah hari ke lima. Pada pasien ini
diberikan DDAVP (desmopresine) pada 28 jam
pascaoperasi, merupakan asam amino pengganti
dari ADH, mengurangi produksi urin dan
mempermudah terapi cairan, sediaan yang ada
berupa semprotan hidung. Pemantauan dari kadar
gula darah, produksi urine, BJ urine, osmolaritas
plasma dan pengukuran CVP. Menurut teori
Gambar 3. Pasien Post Operasi di Internediate
Hari ke 2
96
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Gambar 4. 8 Minggu Post Operasi dan Belajar Motorik
penggunaan DDAVP sebaiknya hanya diberikan
pada DI yang berat atau menetap setelah hari
ketiga.3 Akan tetapi dengan pertimbangan
kesulitan pemberian cairan oral dalam jumlah
lebih 1000cc dalam 24 jam maka pada pasien
ini diberikan DDA VP dengan nasal spray dan
diberikan dengan durasi 8–12 jam setiap hari
sampai tercapai produksi normo urine 1 cc/kgbb/
jam, osmolalitas plasma kearah normal dan kadar
Na+serum kearah normal.
Pada pasien ini terapi yang diberikan penggantian
cairan dengan infus D5 0,45 NS akan tetapi
Natrium meningkat diganti dengan infus D5
0,225 NS, pemberian air minum sesuai balans
cairan dan nutrisi dengan menggunakan susu
600 kalori/hari serta pertimbangan pemberian
vasopressin intranasal. Penggantian cairan
dititrasi sampai kadar natrium menurun 1–2
mmol/jam jika terjadi akut hipernatremia dengan
kadar natrium >160 mmol/L. Pada pasien ini
dimonitor kadar gula darah, osmolalitas urine,
BJ urine, CVP, serum natrium. Pemberian cairan
yang mengandung glukosa, pemberian insulin
dan kalium mungkin dapat dipertimbangkan.
Pemberian cairan rumatan lewat oral, enteral
pada pasien ini dengan menggunakan: infus
D5 0,225 NS dan pemberian minum air sebisa
mungkin. Untuk mengatasi rasa lapar, nutrisi
diberikan susu dengan 3 x 250 kalori perhari.
Rencana evaluasi pascaoperasi dilakukan dengan
memeriksa MRI otak baru yang digunakan untuk
membandingkan MRI sebelumnya dan korelasi
dari MRI dengan pemeriksaan klinis dan hasil
pengujian neurokognitif. Pemeriksaan dan
penilaian neurokognitif harus dipertimbangkan
untuk pasien praoperasi dan pascaoperasi serta
pasien yang telah menjalani reseksi subtotal
diikuti oleh radiasi. Pasien ini memiliki tes
neurokognitif sebelum operasi dan dicocokan
setelah operasi yang berguna untuk mengevaluasi
kinerja di sekolah.
IV. Simpulan
Terjadi poliuri pascaoperasi pada jam ke 24
yang kemungkinan terjadi manipulasi di daerah
fossa posterior yang menyebabkan edema, yang
berakibat gangguan sementara terhadap produksi
AVP. Pada jam ke 24 pascaoperasi terjadi
poliuri >2 cc/kgBB/jam, BJ Urine 1.003, dan
Osmolaritas plasma 307.5 mmol/Kg, sehingga
diterapi sebagai diabetes insipidus. Diputuskan
pemberian desmopresin tetes hidung. Evaluasi
48 jam pascabedah pemeriksaan penunjang
didapatkan 1.001 dan osmolaritas plasma 325
mmol/Kg dilanjutkan desmopresin intranasal.
Hasil terapi dan evaluasi pasien ini mengalami
transien DI, dimana setelah hari kelima perawatan
dan evaluasi laboratorium osmolaritas 299 mmol/
Kg dan BJ urine 1.008 menunjukan respon
resolusi fungsi neuron kearah normal. Terapi
hormone antidiuretik diberikan dan pemberian
cairan yang dilakukan untuk mempertahankan
osmolalitas plasma, osmolitas urine, serum Na+
dalam batas normal, produksi urine, BJ urine dan
pengukuran CVP, dengan pertimbangan poliuria
dan cairan yang masuk tidak bisa berimbang dan
terjadi kecenderungan kekurangan cairan. Untuk
itu pemberian preparat hormon DDAVP untuk
kasus lainya dapat dipertimbangkan dengan
evaluasi klinis dan laboratorium yang lebih ketat.
Diabetes Insipidus Pascaoperasi Kraniopharingioma pada Anak
Daftar Pustaka
1. Müller HL. Childhood craniopharyngioma
-current concepts in diagnosis, therapy and
follow-up. Nat Rev Endocrinol. 2010 Nov;
6(11):609–18.
2. Müller HL. Craniopharyngioma. Hand book
Clin Neurol. 2014;124:23553.[Medline].
3. Cavalheiro S, Di Rocco C, Valenzuela
S, Dastoli PA, Tamburrini G, Massimi
L.
Craniopharyngiomas:
intratumoral
chemotherapy with interferon-alpha: a
multicenter preliminary study with 60 cases:
a Neurosurg Focus. 2010 Apr; 28(4): E12.
4. Garrè ML, Cama AC. Craniopharyngioma:
modern concepts in pathogenesis and
treatment. Curr Opin Pediatr. 2007 Aug;
19(4):471–9.
5. Nielsen EH, Feldt-Rasmussen U, Poulsgaard
L, Kristensen LO, Astrup J, Jørgensen JO, et al,
Incidence of craniopharyngioma in Denmark
(n = 189) and estimated world incidence of
craniopharyngioma in children and adults. J
Neurooncol. 2011 Sep; 104(3):755–63.
6. Yoshimoto M, de Toledo SR, da
Silva
NS.
Comparative
genomic
hybridization
analysis
of
pediatric
adamantinomatous craniopharyngiomas and
a review of the literature. J Neurosurg.Aug
2004;101(1Suppl):8590. [Medline].
7. Rushing EJ, Giangaspero F, Paulus W,
Burger PC. "Craniopharyngioma,” Dalam:
Louis D N, Ohgaki H, Wiestler O D, Cavanee
W. K, eds. WHO Classification of Tumours
of the Central Nervous System. Lyon: IARC
Press;2007, 238–40
8. Craniopharyngioma Clinical Presentation
:http://emedicine.medscape.com/
article/1157758clinical# showall Oct 2014
97
9. Sands SA, Milner JS, Goldberg J, Mukhi V,
Moliterno JA, Maxfield C. Quality of life
and behavioral follow-up study of pediatric
survivors of craniopharyngioma. J Neurosurg.
2005 Oct;103(4 Suppl):302–11. [Medline].
10. Waber DP, Pomeroy SL, Chiverton
AM. Everyday cognitive function after
craniopharyngioma in childhood. Pediatr
Neurol. Jan 2006;34(1):139. [Medline].
11. Barriger RB, Chang A, Lo SS. Phosphorus32
therapy for cystic craniopharyngiomas.
Radiother Oncol.2011 Feb;98(2):20712.
Epub 2011 Jan 25.
12. Grant P, Whitelaw B, Barazi S, Aylwin S.
Salt and water balance following pituitary
surgery. European Society of Endocrinology
2012;11(0892):1–22.
13. Vance ML. Perioperative management
of patients undergoing pituitary surgery.
Endocrinol Metabolisme Clinics North
America, 32(2003) 355–65.
14. Loh AJ, Verbalis JG. Disorder of water and
salt metabolism associated with pituitary
disease. Endrocrinol Metab Clin N Am 2008;
37 : 213–34.
15. Hannon M, Finucane F, Sherlock M, Agha A,
Thompson C. Disorder of water omeostasis
in neurosurgical patients. J Clin Endocrinol
2012; 97(5):0000–0000.
16. Cottrell JE, Newfield P. Handbook of
Neuroanesthesia. 4th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins. Brooklyn – New York;
2007, 191–5.
17. Hölsken A, Buchfelder M, Fahlbusch R,
Blümcke I, Buslei R. Tumour cell migration
in adamantinomatous craniopharyngiomas
is promoted by activated Wnt-signalling. cta
Neuropathol. 2010 May; 119(5): 631–9
Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis Torakalis dan Tumor
Esktramedular (Meningioma Torakalis) T7–11
Silmi Adriman*), Dewi Yulianti Bisri**), Sri Rahardjo***), Himendra Wargahadibrata**)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh, **)Departemen
Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung,
***)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada–RSUD Dr. Sardjito
Yogyakarta
*)
Abstrak
Spondilitis tuberkulosis dan tumor spinal merupakan dua dari banyak penyakit yang dapat menyebabkan kompresi
dan lesi pada medula spinalis. Gejala klinis muncul sesuai dengan lokasi kompresi atau lesi, seperti kelemahan
anggota gerak bawah, gangguan miksi dan gangguan neurologis lainnya. Pada hampir semua kasus, gejala-gejala
yang muncul ini menjadi dasar dilakukannya tindakan pembedahan. Pada kasus seperti ini, pemilihan pengaturan
posisi pasien saat dilakukan pembedahan, selain untuk mendapatkan akses yang optimal untuk ahli bedah, juga
dapat mempengaruhi waktu pulih, morbiditas dan mortalitas. Pada kasus ini dilaporkan laki-laki, 16 tahun,
dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS) 15, berat badan 50 kg dan hemodinamik stabil, datang dengan keluhan
kelemahan pada kedua kaki. Hasil magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan adanya abses pada vertebra
torakal 7–8 dan tumor ekstramedular pada vertebra torakal 7-11. Pada pasien dilakukan tindakan laminektomi,
pengangkatan tumor, drainase abses dan pemasangan stabilisasi posterior dengan anestesi umum. Tindakan
pembedahan dilakukan pada posisi prone.
Kata Kunci: Spondilitis tuberkulosis, tumor spinal, parestesia, posisi prone
JNI 2015; 4 (2): 98–103
Anesthetic Management of Tuberculous Spondylitis and Extramedullary Tumor
(Thoracalis Meningioma) T7–11
Abstract
Tuberculous spondylitis and tumors of the spine are two of many commonly cause of multiple lesions and spinal
cord compression. The location of the lesion often determines the clinical manifestation. Mild to severe limb
weakness, urinary disturbance and other abnormality due to posterior column compression are the common
clinical manifestations. In most cases, these symptoms were used as guidance for surgical treatment. In a case like
this, patient’s position during surgery, in addition to gain optimal access for the surgeon, could affect recovery
time, morbidity and mortality. This case reported a 16 years old male, with Glasgow Coma Scale (GCS) score
15, bodyweight 50 kgs with stable haemodynamic, admitted to hospital due to paresthesian both legs. Magnetic
Resonance Imaging (MRI) revealed paravertebral abscess at vertebral body T7–T8 and coincidencewith
extramedullary tumor of the vertebrae T7–T11. Laminectomy, tumor removal, abscess drainage and posterior
fixation were performed under general anesthesia. Surgical intervention was done in prone position.
Key words: Tuberculous spondylitis, spinal tumor, paresthesia, prone position
JNI 2015; 4 (2): 98–103
98
Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis Torakalis
dan Tumor Esktramedular (Meningioma Torakalis) T7–11
I.
Pendahuluan
Spondilitis Tuberkulosis (TB) dan tumor spinal
merupakan dua dari banyak penyakit yang dapat
menyebabkan kompresi dan lesi pada medula
spinalis. Setiap kompresi dan lesi yang terjadi
pada medula spinalis dapat berakibat pada nyeri
pinggang dan defisit neurologis seperti kelemahan
anggota gerak bawah dan gangguan miksi.
Gejala klinis yang muncul ini ditentukan oleh
lokasi kompresi atau penyakit.1 Spondilitis TB
adalah salah satu bentuk infeksi TB yang sering
terjadi.2 Spondilitis TB terjadi pada 1–5% kasus
dari semua kasus TB.3 Infeksi ini menyebabkan
destruksi tulang dan mengakibatkan deformitas
tulang belakang berupa kifosis (deformitas
kifotik, atau sering disebut dengan gibbus). Abses
terbentuk jika infeksi menyebar ke otot psoas
atau jaringan ikat sekitarnya.4 Manifestasi klinis
spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien
biasanya mengeluhkan nyeri tidak spesifik pada
daerah vertebra yang terinfeksi. Gejala klasik TB
seperti demam, malaise, penurunan berat badan
juga dapat ditemukan. Pada kasus kronis, dapat
ditemukan kifosis dan defisit neurologis berupa
paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/
atau sindrom equina.4 Penatalaksanaan spondilitis
TB hampir sama dengan TB biasa, yaitu dengan
menggunakan obat-obatan. Intervensi bedah
diindikasikan untuk pasien dengan nyeri berat
akibat abses dan dengan defisit neurologis akibat
kompresi korda spinalis.5 Tumor spinal terjadi
pada 2–10 setiap 100.000 jiwa. Sembilan puluh
Gambar 1. Hasil Pemeriksaan MRI1
99
persen diantaranya berusia di atas 20 tahun. Salah
satu bentuk tumor spinal adalah meningioma.
Meningioma merupakan tumor spinal intradural
yang paling sering dijumpai, 80% kasus pada
daerah toraks dan 75%–85% kasus terjadi
pada wanita. Tumor ini berada di intraduralekstrameduler (Extramedullary, intradural spinal
tumors/EISTs), dimana separuhnya berlokasi di
lateral dan sisanya di dorsal atau diventral.6 Gejala
klinis yang muncul sesuai dengan lokasi tumor.
Pada hampir semua kasus, gejala-gejala yang
muncul ini menjadi dasar dilakukannya tindakan
pembedahan.7 Pemilihan posisi pasien saat
pembedahan menjadi hal yang sangat penting.
Setiap posisi yang dipilih memiliki banyak
implikasi, baik bagi ahli bedah maupun bagi ahli
anestesi. Pada kasus ini, posisi prone dipilih untuk
mendapatkan akses yang optimal untuk ahli bedah
tapi posisi ini dapat meningkatkan resiko emboli
udara, mengganggu jalan nafas, menurunkan
aliran darah di kedua arteri vertebralis dan karotis
dan beberapa hal lainnya.8,9
II. Kasus
Anamnesa
Laki-laki, 16 tahun, dengan diagnosa abses e.c
spondilitis TB dan tumor meningioma torakalis
T7–11, datang dengan keluhan kelemahan
anggota gerak bawah sejak ± 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan diawali dengan
nyeri di daerah punggung 6 bulan sebelumnya.
Riwayat demam (+) dalam 2 bulan terakhir,
Gambar 2. Hasil Pemeriksaan MRI2
100
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
riwayat batuk lama (+), riwayat batuk darah (+),
riwayat keringat malam (+), riwayat penurunan
berat badan (+), riwayat minum Obat Anti
Tuberkulosis/ OAT (–), riwayat TB pada keluarga
(–).
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tampak kifosis pada
tulang belakang disertai dengan benjolan yang
dicurigai sebagai abses; nyeri (+), fluktuasi
(+). pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan
kelemahan anggota gerak bawah (+). Tidak
ditemukan kelainan sistem organ lainnya. Pada
pemeriksaan pasien sadar GCS 15, respirasi 20
x/ menit, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80
x/ menit.
Pemeriksaan Penunjang
Darah: Hb 11 gr/dl, Ht 29%, Leukosit 14.300 /ul,
Trombosit 303.000 /ul, LED 65 mm/jam, CT/BT
7’/2’, SGOT/SGPT 21/18 u/l, Albumin/Globulin
4,1/2,7 gr/dl, Ureum/Creatinin 17/0,6 mg/dl,
Gambar 3. Stabilisasi Posterior setelah
Pengangkatan Tumor
Asam urat 4 mg/dl, Gula Darah Acak 118 mg/dl,
Na/K/Cl 143/4,1/110 meq/L.
MRI: abses setinggi T7-8, suspek tumor
ekstramedular setinggi T7-11 dan kifosis.
Foto Thoraks: dalam batas normal.
Pengelolaan Anestesi
Di ruang operasi, pasien dipasang alat-alat
monitor invasif (tekanan darah, denyut jantung,
SaO2, EKG dan kateter urin). Pasien diberikan
premedikasi dengan midazolam 2,5 mg iv dan
deksamethason 2 mg iv. Pasien diinduksi dengan
fentanyl 50 mcg, propofol 150 mg, intubasi
dengan pipa endotrakeal nomor 7 dan difasilitasi
dengan vekuronium 5 mg. Pemeliharaan anestesi
oksigen : udara = 3 L/menit : 3 L/menit, sevofluran
1–2 volume%. Infusi propofol 100–300 mg/jam
dan infusi vekuronium 1 mg/jam dengan pompa
semprit. Fentanyl diberikan secara berkala.
Tabel 1. Komplikasi yang Terjadi Terkait dengan
Posisi Prone.14
Komplikasi
Sistem saraf
Iskemia serebral
Iskemia servical spine
Palsi
Saraf intrakranial
Pleksus brakhialis
Saraf skiatik
Saraf peroneal
Airway
Edema muka, lidah, leher (obstruksi
pascabedah)
Migrasi pipa endotrakheal
Pulmonari
Ventilasi/perfusi
Abnomalitas
Peningkatan tekanan jalan nafas
Tension pneumocephalus
Kardiovaskular
Hipotensi
Disritmia
Kebutuhan transfusi darah
Lain-laim
Penekanan mata
Compartment syndrome
Emboli udara vena
Emboli udara paradoxical
Posisi Prone
+
+
++
0
0
++
++
+
++
+
++
++
++
+++
0
++
+
Ket: *0, +, ++, +++ menunjukkan nilai dari tidak ada resiko
sampai resiko tinggi
Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis Torakalis
dan Tumor Esktramedular (Meningioma Torakalis) T7–11
Ventilator diatur dengan volume tidal 500 ml,
pernafasan 10 kali/menit, I : E = 1 : 2.
Operasi dilakukan selama 6 jam dengan posisi
prone dan dengan jumlah perdarahan 500
ml, jumlah urine 800 ml. Jumlah cairan yang
masuk 2000 ml terdiri dari NaCl 0,9% 1000 ml
dan ringer laktat 1000 ml. Pada akhir operasi,
dilakukan pemberian lidokain terlebih dahulu
sebelum dilakukan ekstubasi. Pascabedah
diberikan, mepiridin 150 mg, tramadol 200 mg
dan ondansetron 16 mg selama 24 jam. Pasien
dirawat di ruangan biasa.
II. Pembahasan
Spondilitis TB ataupun tumor spinal (pada kasus
ini meningioma thorakalis) sangat berpotensi
menyebabkan morbiditas serius, termasuk
terjadinya defisit neurologis dan deformitas
tulang belakang yang permanen, oleh karena itu
diagnosis dini sangatlah penting. Tumor spinal
dapat didiagnosis sedini mungkin berdasarkan
gejala klinis yang muncul, tapi, diagnosis dini
spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering
disalahartikan sebagai neoplasma spinal atau
spondilitis piogenik lainnya. Diagnosis biasanya
baru ditegakkan pada stadium lanjut, saat telah
terjadi deformitas tulang belakang yang berat
dan defisit neurologis yang bermakna seperti
parestesia dan paraplegia.4,1
Terjadinya dua jenis penyakit dalam satu
kasus seperti pada kasus ini adalah sesuatu
hal yang jarang ditemukan. Kebanyakan
penelitian hanya melaporkan bahwa adanya
perbedaan diagnosis pada sebelum dan sesudah
dilakukan
pembedahan.
Diagnosis
awal
mungkin saja meningioma berdasarkan hasil
pemeriksaan radiologi. Diagnosis akhir dapat
menjadi berbeda setelah dilakukan tindakan
pembedahan dan pemeriksaan histopatologi.
Hal ini disebabkan karena kemiripan keduanya
pada pemeriksaan radiologi. Tapi pada kasus
ini ditemukan keduanya, baik itu spondilitis
TB, maupun meningioma thorakalis.10,11
Prabedah
Pada kasus ini seperti ini ahli anestesi harus
101
dihadapkan dengan berbagai kemungkinan
abnormalitas sistem organ yang terjadi akibat
kemungkinan
kerusakan medulla spinalis.
Abnormalitas sistem organ yang terjadi dapat
berupa disritmia jantung, disfungsi ventrikel
dan hipotensi pada sistem kardiovaskular. Pada
sistem respirasi bisa saja terjadi paralisis otot
pernafasan. Abnormalitas pengosongan kandung
kemih dapat terjadi pada sistem urogenital. Ileus
pada sistem pencernaan, resiko trombosis pada
vena-vena dalam pada hematologi dan beberapa
abnormalitas sistem organ lainnya. Setiap
abnormalitas sistem yang terjadi sesuai dengan
lokasi lesi medulla spinalis. Pada kasus ini pasien
dalam keadaan baik, GCS 15, hasil laboratorium
dalam batas normal, hanya ditemukan parestesia
tanpa kelainan sistem organ lainnya.9
Rumatan Anestesi
Sebelum diposisikan, anestesi diberikan
tidak terlalu dalam untuk meminimalkan efek
hemodinamik saat perubahan posisi 180°.9 Pada
kasus ini rumatan yang dipilih adalah anestesi
inhalasi sevofluran 1–2 volume % menggunakan
oksigen dan udara (3 L/menit : 3 L/menit),
dikombinasikan dengan propofol dan fentanyl.
Posisi
Pendekatan posterior, yaitu posisi prone, untuk
pembedahan spinal dilakukan pada kasus ini.
Pasien diposisikan dari terlentang ke telungkup.
Sebelum diposisikan, sambungan pipa endotrakeal
dan sambungan monitor dilepas terlebih dahulu
agar tidak terjadi tarikan dan terlepas. Akses vena
dibiarkan tetap terbuka (hanya satu akses vena)
agar dapat digunakan setiap saat saat diperlukan.9
Pengaturan posisi dilakukan dengan sebaik
mungkin untuk menghindari cedera. Kepala yang
ekstensi dapat meningkatkan tekanan vena serebral.
Kepala dan leher diatur sedemikian rupa untuk
mencegah tekanan yang berlebihan pada mata dan
hidung, serta mencegah rotasi yang berlebihan
pada leher. Diketahui bahwa rotasi leher 60°
dapat menurunkan aliran darah arteri vertebralis
dan karotis. Bahkan, aliran arteri vertebralis
akan terhenti bila rotasi leher mencapai 80°.9,12
Ekstremitas superior kiri dan kanan diatur dengan
sedikit fleksi anterior, abduksi dan rotasi eksternal
< 90°. Dilakukan pemberian bantalan pada dada
102
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
secara hati-hati agar tidak mengganggu aksila dan
pada lengan bawah untuk mencegah kompresi
nervus ulnaris pada cubital tunnel dan axillary
neurovascular bundle. Selain itu, tindakan yang
menyebabkan terjadinya penekanan selama
operasi seperti pada abdomen, dada, area pelvis
dan genital dihindari untuk meminimalkan resiko
nekrosis.9,13
Perubahan Fisiologis pada Posisi Prone
Penggunaan posisi prone juga menyebabkan
perubahan fisiologis dan meningkatkan resiko
terjadinya komplikasi. Posisi prone dapat
menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh
darah paru dan perifer, menurunnya aliran balik
vena hingga resiko emboli udara (Tabel 1.).9,14
Posisi prone diketahui dapat menyebabkan
hipotensi berat. Penurunan curah jantung, volume
darah sekuncup (stroke volume) dan indeks jantung
juga dapat terjadi pada beberapa pasien dengan
derajat berat yang bervariasi. Hal ini disesuaikan
dengan keadaan sistem kardiovaskuler masing
-masing pasien.15 Posisi prone juga dapat
mengkompresi abdomen dan menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen. Peningkatan
tekanan intraabdomen akan meningkatkan
tekanan pada vena cava dan resiko terjadinya
perdarahan epidural saat pembedahan. Meskipun
digunakan bantal dengan ketebalan yang sesuai
untuk menyangga pasien, bagian abdomen
tetap saja dapat terkompresi dan menyebabkan
perdarahan, terutama pada pasien-pasien
gemuk.16 Beberapa penelitian mengungkapkan
posisi prone dapat menyebabkan kompresi
pada ventrikel kanan jantung oleh sternum pada
pasien dengan pektus ekskavatum. Posisi prone
juga dapat meningkatkan denyut jantung secara
signifikan dan diikuti dengan penurunan tekanan
darah setelah pasien diposisikan.17
Akhir Anestesi dan Pascabedah Dini
Ekstubasi dilakukan pada posisi supine.
Perubahan posisi dari posisi prone ke supine dapat
mengiritasi trakea akibat adanya pipa endotrakea
sehingga menyebabkan refleks jalan nafas
seperti batuk dan spasme bronkus. Perubahanperubahan ini akan menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial dan intraabdomen, selain
itu juga dapat meningkatkan resiko perdarahan
pada tempat pembedahan. Hal ini dapat dicegah
dengan pemberian lidokain. Lidokain diketahui
dapat mencegah terjadinya batuk, peningkatan
tekanan darah dan frekuensi nadi selama dan
setelah ekstubasi dilakukan.6
IV. Simpulan
Telah dilakukan tindakan drainase abses dengan
anestesi umum dan dengan posisi prone pada
pasien laki-laki, 16 tahun. Tindakan pembedahan
berhasil dengan baik dan proteksi medulla
spinalis juga berhasil dengan baik.
Daftar Pustaka
1. Rodallec MH, Feydy A, Larousserie F, Anract
P, Campagna R, Babinet A, Zins M, Drape
FL. Diagnostic imaging of solitary tumors of
the spine: what to do and say. Radio Graphics.
2008; 28(4): 1019–41.
2. Gard AR, Somvanshi DS. Spinal tuberculosis:
a review. The Journal of Spinal Cord
Medicine. 2011; 34.
3. Trecarichi EM, Meco ED, Mazzota V.
Tuberculous spondylitis: epidemiology.
European Review for Medical and
Pharmalogical Science. 2012; 16.
4. Zuwanda, Jarwita R. Spondilitis Tuberkulosa.
Cermin Dunia Kedokteran. 2013; 40.
5. Millet JP, Moreno A. Factors that influence
current tuberculosis Epidemiology. Europe
Spine Journal. 2012; 12.
6. Arnautovic K, Arnautovic A. Extramedullary
intradural spinal tumors: a review of modern
diagnostic and treatment options and a report
of a series. Bosnian Journal of Basic Medical
Sciences. 2009; 9(1): S40–S45.
7. Guppy KH, Hou L, Moes GS, Sahrakar K.
Spinal intradural, extramedullary anaplastic
ependyoma with an extradural component:
case report and review of the literature. Surg
Neurol Int. 2011; 2: 119–23.
Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis Torakalis
dan Tumor Esktramedular (Meningioma Torakalis) T7–11
8. Kulshrestha A, Bajwa SJS. Anaesthetic
considerations in intracranial neurosurgical
patients. J Spine Neurosurg. 2013; S1.
9. Saleh SC. Neuroanestesi Klinik. Surabaya:
Zifatma Publisher; 2013, 163–75.
10. Shim DM, Kyun S, Kim TK, Chae SU.
Intradural extramedullary Tuberculoma
mimicking en plaque meningioma. Clinics in
Orthopedic Surgery. 2010; 2: 260–63.
11. Konar SK, Rao KVLN, Mahadevan A,
Devi BI. Tuberculous lumbar arachnoiditis
mimicking conus cauda tumor: a case
report and review of literature. Journal of
Neurosciences in Rural Practice. 2011; 2(1):
93–96.
12. Newton MC. Anesthesia for spinal surgery.
Dalam: Essentials of Neuroanesthesia and
Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders
Elsevier. 2008; 55–159.
13. Knight DJW, Mahajan RP. Patient positioning
in anesthesia. Contin Educ Anesth Critical
103
Care Pain. 2004; 1(5): 160–63.
14. Smith DS. Anesthetic management for
posterior fossa surgery. Dalam: Cottrell and
Young’s Neuroanesthesia, 5th Ed. USA:
Mosby Elsevier. 203–17.
15. Vanamoorthy P, Pandia MP, Bithal PK,
Valiareedan SS. Refractory hypotension due
to intraoperative hypothermia during spinal
instrumentation. Indian J Anaesth. 2010;
54(1): 56–58.
16. Han IH, Son DW, Nom KH, Choi BK, Song
GS. The effect of body mass index on intraabdominal pressure and blood loss in lumbar
spine surgery. J Korean Neurosurg. 2012; 51:
81–85.
17. Dharmavaram S, Jellish WS, Russ N, Shea
J, Mehmood R, Ghanayem A, Kleinman B,
Jacobs W. Effects of prone positioning systems
on hemodynamic and cardiac function during
lumbar spine surgery: an echocardiographic
Study. Spine. 2006; 31(12): 1388–93.
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik
pada Pasien Berusia Lanjut
Silmi Adriman*), Nazarudin Umar**), Marsudi Rasman***)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala-RSUD Dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara-RSUP. H. Adam Malik Medan, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran–RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
*)
Abstrak
Data epidemiologi terus menunjukkan peningkatan populasi penduduk berusia lanjut dan berdampak pada
peningkatan permintaan layanan kesehatan, termasuk kebutuhan untuk menjalani prosedur pembedahan karena
berbagai sebab. Salah satu penyebabnya adalah cedera otak traumatik (COT), termasuk di dalamnya perdarahan
epidural, subdural dan intraserebral (epidural, subdural, intracerebral hemorrhage/EDH, SDH, ICH). Pada pasien
berusia lanjut, COT bertanggung jawab terhadap lebih dari 80.000 kasus dengan tiga-perempat diantaranya harus
menjalani rawat inap setiap tahunnya. Perencanaan penatalaksanaan perioperatif membutuhkan pertimbangkan
beberapa hal untuk mencapai tingkat anestesi dan analgesi yang optimal pada pasien berusia lanjut. Seorang lakilaki, 65 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran pasca kecelakaan bermotor. Setelah resusitasi
dan stabilisasi didapatkan jalan napas bebas, laju pernapasan 18 kali/menit, tekanan darah 140/80 mmHg, laju nadi
88 kali/menit. Pada pasien dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi EDH dan kraniektomi evakuasi SDH dan ICH
dengan anestesi umum dan dengan memperhatikan prinsip neuroanestesi serta geriatri anestesi selama tindakan
bedah berlangsung.
Kata kunci: geriatri, cedera otak traumatik, penatalaksanaan perioperatif
JNI 2015; 4 (2): 104–11
Perioperative Management of Traumatic Brain Injury
in Elderly Surgical Patients
Abstract
Current epidemiological data showed an increasing number of elderly population, whereas in accordance with
an increased demand for health care service, including surgical treatments for elderly. Traumatic brain injury
(TBI), such as epidural hemorrhage (EDH), subdural hemorrhage (SDH) and intracerebral hemorrhage (ICH) are
among the demanded surgery in elderly. In elderly population, TBI is responsible for more than 80.000 emergency
department cases each year; with approximately three-quarters of these cases require further hospitalization.
Perioperative management planning requires some considerationsin order to achieve the optimal level of anesthesia
and analgesia in the elderly patients. A 65 years old male patient was admitted to the hospital with decreased level
of consciousness after motor vehicle traffic injury. During resuscitation, airway was clear, respiratory rate was
18 x/min, blood pressure was 140/80 mmHg, heart rate was 88 x/min. Patient directly underwent an emergency
craniotomy evacuation of EDH, SDH and ICH under general anesthesia with continue and comprehensive care of
neuroanesthesia and geriatric anesthesia principles.
Key words: Geriatry, traumatic brain injury, perioperative management
JNI 2015; 4 (2): 104–11
104
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik
pada Pasien Berusia Lanjut
I. Pendahuluan
Populasi penduduk berusia lanjut (geriatri,
berumur 65 tahun dan lebih) di dunia mencapai
laju kenaikan yang sangat luar biasa. Sebagian
besar berhubungan dengan penurunan laju
kelahiran dan peningkatan angka harapan hidup.
Saat ini, sekitar 14% dari penduduk Amerika
Serikat (AS) telah berumur 65 tahun atau lebih,
bahkan pada tahun 2020 diperkirakan meningkat
menjadi 20% atau sekitar 60.000.000 orang. Hal
ini akan berdampak pada peningkatan permintaan
layanan kesehatan dan perawatan, termasuk
kebutuhan untuk menjalani prosedur pembedahan
(operasi) karena berbagai sebab.1
Pasien berusia lanjut diketahui empat kali
lipat lebih sering menjalani tindakan operasi
dibandingkan dengan pasien berusia muda.2
Salah satu penyebabnya adalah cedera otak
traumatik (COT). Pada pasien berusia lanjut,
COT bertanggung jawab terhadap lebih dari
80.000 kunjungan ke Unit Gawat Darurat (UGD)
setiap tahunnya dan sekitar tiga-perempatnya
harus mendapatkan perawatan rawat inap. Jatuh
menjadi penyebab utama terjadinya COT (51%)
dan kecelakaan bermotor (baik sebagai pejalan
kaki atau pengguna/penumpang kendaraan)
sebagai penyebab kedua terbanyak (9%).3,4
Penuaan menyebabkan penurunan kapasitas
fisiologik berbagai sistem organ dan kemampuan
untuk
memelihara
atau
mengembalikan
homeostasis,
serta
beradaptasi
terhadap
suatu stres, termasuk stres metabolik terkait
tindakan operasi. Penuaan juga diikuti dengan
perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik
berbagai obat-obatan di dalam tubuh, termasuk
penggunaan obat-obatan anestesi selama
tindakan pembedahan dilakukan.5,6 Perencanaan
penatalaksanaan perioperatif, termasuk teknik
anestesi yang digunakan, membutuhkan beberapa
pertimbangan khusus. Diantaranya adalah usia
pasien, prosedur bedah yang akan dilaksanakan
dan berbagai komorbiditas yang sedang diderita
pasien.6 Prinsip perubahan farmakodinamik
terkait penuaan dihubungkan dengan pengurangan
kebutuhan dosis anestesi yang digunakan, hal ini
disebabkan karena meningkatnya sensitivitas
105
obat-obatan pada pasien usia lanjut. Pemberian
titrasi obat-obat anestesi yang hati-hati dapat
membantu mencegah terjadinya efek samping
dan perpanjangan durasi obat; obat dengan kerja
singkat (short acting agent) seperti propofol,
desfluran, remifentanyl dan suksinilkolin
diketahui sangat baik digunakan pada pasien usia
lanjut.7
II. Kasus
Anamnesa
Seorang laki-laki berusia 65 tahun datang dengan
penurunan kesadaran sejak 4 jam sebelum masuk
rumah sakit. Pasien mengalami kecelakaan
bermotor, jatuh dari motor dengan posisi kepala
jatuh dan terbentur terlebih dahulu ke aspal.
Pasien diketahui tidak menggunakan helm saat
berkendara dan langsung tidak sadarkan diri.
Pada pasien terdapat perdarahan dari telinga
dan hidung, muntah (+), kejang (–). Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit yang lain.
Pemeriksaan Fisik
Status neurologis GCS E2M5V3 (10), pupil
isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya (+/+). Pada
pemeriksaan didapatkan tekanan darah 140/80
mmHg, laju nadi 88 kali/menit, suhu tubuh 36,2
°C, laju napas 18 kali/menit spontan. Jalan napas
bebas, suara napas vesikuler, tidak didapatkan
ronki maupun wheezing, diberikan simple mask
non breathing 10 liter/menit, didapatkan SpO2 99–
100%. Suara jantung normal, tidak ada murmur.
Pada pemeriksaan abdomen tidak ditemukan
kelainan, pada pemeriksaan ekstremitas tidak
ditemukan edema, tidak ditemukan hemiparese.
Pemeriksaan Penunjang
Darah: Hb 12,8 g/dl, Ht 31,2%, leukosit 21 x 103 /
ul, trombosit 202 x 103 /ul, Natrium 136 mmol/L,
Kalium 3,7 mmol/L, Klorida 100 mmol/L,
kadar gula darah sewaktu 135 mg/dl.
Foto thoraks: jantung dan paru dalam batas normal.
CT scan kepala: tampak adanya pembengkakkan
jaringan lunak di daerah temporoparietal sinistra,
parietal dextra. Sulkus dan gyrus kompresi.
Ventrikel kompresi. Sisterna masih terbuka.
Tampak lesi hiperdens pada temporal base kiri
parenkim otak, tampak gambaran hiperdens
106
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Gambar 1. CT-Scan Kepala
berbentuk biconvex pada temporoparietal
sinistra dan tampak lesi hiperdens berbentuk
biconcave pada region parietal dextra, tidak
terdapat pergeseran midline shift. Kesan
ICH a.r. temporal base sinistra + SDH a.r.
parietal sinistra + EDH parietal dextra.
Pengelolaan Anestesi
Pasien disiapkan untuk tindakan kraniotomi dan
kraniektomi evakuasi cyto. Selama persiapan,
pasien diposisikan dalam posisi supinasi dengan
kepala head up 30° netral, oksigenasi dengan
simple mask non rebreathing (SMNR) 8–10 liter/
menit, manitol 200 cc drip, rencana pascaoperasi
perawatan di Unit Perawatan Intensif (Intensive
Care Unit/ ICU). Pemeriksaan fisik kembali
dilakukan sebelum tindakan operasi. Kondisi
pasien masih sama seperti awal masuk, dengan
tanda-tanda vital stabil dan hemodinamik stabil.
Di kamar operasi, pasien diposisikan dalam
posisi supinasi dengan kepala head up 15–30°
netral. Pasien dipasang alat-alat monitor noninvasif (tekanan darah, denyut jantung, EKG,
SaO2) dan kateter urine. Oksigenasi 6 liter/menit
dengan sungkup selama 3 menit, hemodinamik
pre-induksi tekanan darah 140/80 mmHg,
laju jantung 80x/menit, laju napas 20 x/menit,
SpO2 100%. Pasien diinduksi dengan 50
mcg fentanyl intravena perlahan selama 2 menit
dan 70 mg propofol. Untuk fasilitasi intubasi
diberikan 6 mg vecuronium dan 1,5 mg/kgBB
lidokain. Pasien diintubasi dengan menggunakan
laringoskop Macintosh dengan pipa endotrakheal
non-kinking ukuran 7,0. Mata diberi salep
dan ditutup dengan plester kertas 3 lapis.
Rumatan anestesi dengan sevoflurane 1,5–2
vol%, O2/udara: 1L/1L, vecuronium 4 mg/jam
dengan menggunakan syringe pump dengan
ventilasi kendali mode volume control (VC), tidal
volume (TV) 400 ml, laju napas 14 kali/menit.
Dipasang kateter vena sentral (central vein
catheter/CVC) di vena subklavia kanan dan
dihubungkan dengan transfusi set serta cairan
NaCl 0,9%. Setelah dilakukan dreeping dan
sebelum dilakukan insisi kulit, ditambahkan
fentanyl 1 mcg/kgBB. Untuk mengurangi
perdarahan diberikan asam traneksamat 500 mg
iv. Analgetik selama tindakan diberikan tramadol
100 mg iv. Manitol 150 cc diberikan selama 15
menit dan furosemid 20 mg iv sebelum tulang
kepala dibuka. Tulang
tengkorak
dibuka,
tampak duramater tegang kebiruan. Kemudian
duramater dibuka, tampak slack brain dan otak
tampak berdenyut. Ditemukan SDH 30 cc, ICH
15 cc dan EDH 25 cc. Sumber perdarahan berasal
dari laserasi pembuluh darah korteks dan arteri
meningia media.
Operasi berlangsung selama 3 jam dengan
jumlah pendarahan 500 cc dan diuresis 1300 cc.
Pemberian cairan intraoperatif menggunakan
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik
pada Pasien Berusia Lanjut
120
100
80
60
40
20
0
107
sistolik
diastolik
Grafik 1.Pemantauan Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik selama Operasi.
80
75
70
nadi
65
Grafik 2. Pemantauan Laju Nadi selama Operasi
Ringerfundin sebanyak 1000 cc, NaCl 0,9% 500
cc dan koloid 500 cc. Diberikan ondansetron 8
mg iv 30 menit sebelum tindakan selesai. Selama
operasi hemodinamik relatif stabil.Tanda-tanda
vital selama operasi dapat dilihat pada grafik 1
dan 2.
Pengeloaan Pascabedah
Pascabedah, pasien dirawat di ICU dan masih
terintubasi. Pasien dirawat dalam kontrol
ventilator selama 24 jam. Pemeriksaan
laboratorium pascaoperasi didapatkan Hb 10,8 g/
dl, Ht 31,8%, leukosit 16,3 x 103 /ul, trombosit
213 x 103/ul, natrium 138 mmol/L, kalium 3,5
mmol/L, klorida 105 mmol/L, kadar gula darah
sewaktu 136 mg/dl. Setelah 24 jam, pernapasan
pasien mulai spontan, dilakukan weaning
bertahap hingga pernapasan cukup adekuat serta
GCS E4M6V5, pasien diekstubasi. Pada hari ke-4
pasien dipindahkan ke High Care Unit (HCU).
Hari ke-8 pascaoperasi hemodinamik pasien
stabil, pasien dipindahkan ke ruang perawatan.
Pasien dipulangkan pada hari ke-12 dengan
keluhan kesulitan berbicara.
III. Pembahasan
Cedera otak traumatik yang disajikan dalam
laporan ini merupakan salah satu penyebab utama
kematian dan penyebab disabilitas seumur hidup
bagi penderita yang bertahan hidup di seluruh
dunia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
angka kejadian COT terus meningkat terkait
dengan peningkatan penggunaan kendaraan
bermotor, khususnya pada negara miskin dan
berkembang. Meskipun tidak diketahui angka
kejadian yang pasti, Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) memperkirakan sekitar
1,7 juta orang mengalami COT setiap tahunnya,
1,4 juta orang dirawat di Unit Gawat Darurat
(UGD), 275 ribu orang harus dirawat inap dan 52
ribu orang di antaranya mengalami kematian.8,9
Perdarahan intrakranial menjadi konsekuensi
umum dan serius akibat COT. Frekuensi
108
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Tabel 1. Perubahan Fisiologik terkait Proses Menua dan Dampaknya pada Penatalaksanaan
Perioperatif.12
Sistem
Umum
Perubahan Terkait Umur
Penurunan massa otot rangka
Penurunan termoregulasi
Kulit
Penurunan re-epitelisasi
Penurunan pembuluh darah kulit
Kardiovaskular Peningkatan kekakuan vaskular
Peningkatan kekakuan ventrikel
Degenerasi sistem konduksi
Degenerasi katup jantung
Dampak Perioperatif
Perubahan distribusi volume
Berpotensi terjadinya toksisitas obat
Kerentanan (fragilty) lebih besar
Penurunan pemulihan fungsional
Berpotensi terjadinya hipotermia
Penurunan laju penyembuhan luka
Peningkatan tekanan darah dan beban ventrikel
Hipertensi
Hipertrofi ventrikel
Peningkatan sensitivitas terhadap perubahan
volume
Dekondisi kardiopulmonal
Peningkatan resiko blok AV derajat tinggi
Peningkatan prevalensi penyakit Peningkatan resiko iskemia miokard
arteri koroner
Pulmonal
Ginjal
Imunitas
Hepatik
Endokrin
Penurunan elastisitas jaringan
Peningkatan potensi kegagalan respirasi (misalnya
akibat efek obat sedatif)
Peningkatan kekakuan dinding Peningkatan resiko aspirasi dan infeksi
dada
Penurunan proteksi jalan napas
Penurunan jumlah nefron
Peningkatan waktu paruh obat yang diekskresi
ginjal
Penurunan ekskresi natrium dan Peningkatan resiko kelebihan cairan tubuh
air
Hipertrofi prostat
Peningkatan resiko retensi urin dan infeksi saluran
kemih
Penurunan fungsi imun
Peningkatan resiko infeksi
Penurunan aliran darah
Peningkatan waktu paruh obat yang diekskresi hati
Penurunan oksidasi mikrosomal
Resistensi insulin
Hiperglikemia
Gangguan sekresi insulin
perdarahan intrakranial bervariasi sesuai dengan
tingkat keparahan COT, usia, ada atau tidaknya
fraktur tulang tengkorak dan anatomi tempat
cedera (frontal, temporo-parietal, oksipital).
Berdasarkan lokasi perdarahan, perdarahan
intrakranial diklasifikasikan menjadi tiga jenis;
perdarahan epidural (epidural hemorrhage/EDH),
perdarahan subdural (subdural hemorrhage/
SDH) dan perdarahan intraserebral (intracerebral
hemorrhage/ ICH).10
Perdarahan epidural adalah perdarahan yang
terletak antara duramater dan tulang tengkorak,
sering terjadi sebagai akibat kerusakan dari
tengkorak itu sendiri. Fraktur tulang tengkorak
dapat merobek pembuluh darah meningen yang
mengakibatkan timbulnya hematoma. Perdarahan
yang terjadi biasanya berasal dari arteri sehingga
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik
pada Pasien Berusia Lanjut
keadaan neurologi dapat dengan cepat memburuk.
Subdural hemorrhage adalah perdarahan yang
terjadi di antara lapisan duramater dan arachnoid,
terjadi sebagai hasil dari trauma aselerasideselarasi terhadap otak yang mengakibatkan
regangan dan kerusakan vena parasagital.
Gejalanya mungkin timbul lebih lambat
dibandingkan dengan EDH, tapi mortalitasnya
lebih tinggi karena dilandasi dengan kerusakan
jaringan otak. Intracerebral hemorrhage adalah
perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
akibat robeknya pembuluh darah yang ada dalam
jaringan otak. Angka kejadiannya lebih kecil
jika dibandingkan EDH dan SDH. Umumnya
lesi parenkim yang kecil tidak memerlukan
tindakan pembedahan. Tapi, jika lesinya besar,
efek massa yang besar akan menyebabkan cedera
otak sekunder dan beresiko untuk memperburuk
status neurologis dan bahkan dapat menyebabkan
kematian. Tindakan pembedahan dilakukan jika
volume lebih dari 30 cc, ketebalan lebih dari 15
mm dan terjadi pergeseran garis tengah lebih dari
5 mm.10,11 Pasien usia lanjut yang mengalami
COT, mekanisme trauma dan prognosis memiliki
perbedaan yang cukup signifikan dengan pasien
yang berusia lebih muda. Beberapa penelitian
mungkin menyebutkan adanya penurunan angka
kejadian COT secara keseluruhan berdasarkan
pada penurunan angka kecelakaan bermotor, tapi
tidak pada pasien usia lanjut. Jatuh, yang menjadi
penyebab utama mekanisme terjadinya COT
pada pasien usia lanjut, masih terus terjadi.4
Identifikasi faktor reversibel yang berkaitan
dengan morbiditas perioperatif pada pasien berusia
lanjut yang menjalani tindakan pembedahan
merupakan hal yang sangat penting. Sebagai
bahan pertimbangan untuk melakukan upaya
tersebut, perlu dipahami berbagai perubahan
fisiologik terkait dengan proses penuaan yang
berdampak pada pengelolaan perioperatif pada
pasien berusia lanjut (Tabel 1).12
Penatalaksanaan perioperatif pasien usia lanjut
sangat kompleks. Hal ini disebabkan karena
penuaan yang terjadi menyebabkan perubahan
farmakokinetik dan farmakodinamik obatobatan di dalam tubuh. Sehingga penggunaan
obat-obat anestesi menjadi lebih menantang
dan persiapan sebelum dan setelah operasi
109
menjadi lebih penting.13 Penurunan massa otot
yang progresif dan peningkatan kadar lemak
menyebabkan penurunan cairan total tubuh.
Penurunan volume distribusi obat yang dapat larut
dalam air (water-soluble) akan menyebabkan
konsentrasinya dalam plasma meningkat;
sebaliknya meningkatnya volume distribusi obat
yang dapat larut dalam lipid (lipid-soluble) akan
menyebabkan konsentrasi dalam plasma menjadi
sedikit. Perubahan-perubahan volume distribusi
ini akan mempengaruhi waktu paruh. Jika
obat dengan volume distribusinya bertambah,
waktu paruh akan memanjang, kecuali rata-rata
keluaran (rate of clearance) juga meningkat.
Tetapi, karena fungsi ginjal dan hati menurun
sesuai dengan usia, penurunan rate of clearance
akan memperpanjang durasi kerja obat.14, 15
Prinsip perubahan farmakodinamik terkait
penuaan dihubungkan dengan pengurangan
kebutuhan dosis anestesi yang digunakan, hal
ini disebabkan karena meningkatnya sensitivitas
obat-obatan pada pasien usia lanjut. Pemberian
titrasi obat-obat anestesi yang hati-hati dapat
membantu mencegah terjadinya efek samping
dan perpanjangan durasi obat; obat dengan kerja
singkat (short acting agent) seperti propofol,
desfluran, remifentanyl dan suksinilkolin
diketahui sangat baik digunakan pada pasien usia
lanjut.7
Kasus ini menggunaan kombinasi propofol dan
fentanyl sebagai induksi. Propofol diketahui telah
lama menjadi obat pilihan kraniotomi. Secara
signifikan, propofol akan menurunkan aliran
darah otak dan tekanan intrakranial, menurunkan
metabolisme otak dan meningkatkan tekanan
perfusi serebral pasien. Propofol juga diketahui
memiliki efek neuroprotektif.15,16 Pemberian
propofol yang dikombinasikan dengan fentanyl
dapat mengurangi respon stres selama intubasi
dan mempercepat proses pemulihan setelah
tindakan pembedahan selesai dilakukan.17 Selain
itu, keduanya termasuk ke dalam kelompok
obat-obatan dengan kerja singkat yang diketahui
cukup ideal digunakan untuk induksi pada pasien
usia lanjut.14 Vecuronium digunakan sebagai
obat pelumpuh otot pada kasus ini. Vecuronium
termasuk ke dalam kategori obat pelumpuh
otot non-depolarisasi yang dapat membantu
memperbaiki kondisi pasien usia lanjut selama
110
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
tindakan pembedahan. Vecuronium diketahui
dapat mencegah terjadinya edema serebral
dengan tidak meningkatkan aliran darah otak
sehingga baik digunakan untuk pasien yang
menjalani pembedahan intrakranial. Penggunaan
vecuronium pada pasien usia lanjut tetap harus
dititrasi. Hal ini disebabkan karena penurunan
ekspresi hepar dari kehilangan massa hepar
akan memperpanjang eliminasi waktu paruh
dan durasi dari kerja vecuronium.14,15Anestetika
inhalasi yang digunakan pada kasus ini adalah
sevoflurane. Sevoflurane dipilih karena memiliki
kelarutan dalam darah yang cepat (0,63)
serta eliminasi yang cepat. Sevoflurane selain
diketahui memiliki efek vasodiltasi pembuluh
darah yang paling rendah jika dibandingkan
dengan anestesi inhalasi lainnya, juga memiliki
efek neuroprotektif berupa antinekrotik dan
antiapoptosis.
Sevoflurane merupakan anestesi volatil, sehingga
pemulihan dari pengaruh anestesi mungkin
jadi lebih lama. Hal ini disebabkan karena
terjadi peningkatan volume distribusi (karena
peningkatan body fat), penurunan fungsi hati dan
penurunan pertukaran udara di dalam paru.14, 15,
17
Pascabedah, tindakan-tindakan umum seperti
perpindahan posisi pasien, suctioning, fisioterapi
dan usaha pencegahan infeksi tetap dilakukan
untuk mengurangi resiko dan komplikasi yang
dapat memperburuk keadaan pasien.11
IV. Simpulan
Telah dilakukan penatalaksanaan anestesi untuk
pembedahan kraniotomi evakuasi EDH dan
kraniektomi evakuasi ICH dan SDH pada pasien
laki-laki berusia 65 tahun. Tindakan pembedahan
telah berhasil dilakukan dengan anestesi umum
dengan memfokuskan pada prinsip-prinsip yang
berlaku untuk pasien usia lanjut dan sesuai
dengan prinsip neuroanestesia.
Daftar Pustaka
1. Silverstein JH. The practice of geriatric
anesthesia. Dalam: Silverstein JH, Rooke
GA, McLeskey CH, editors. Geriatric
Anesthesiology. 2nd ed. USA: Springer.
2008, 3–14.
2. Bettelli G. Anesthesia for elderly outpatient:
preoperative assessment and evaluation,
anesthetic technique and postoperative
pain management. Current Opinion in
Anesthesiology. 2010; 23: 726–31.
3. Thompson HJ, McCormick WC, Kagan
SH. Traumatic brain injury in older
adults: epidemiology, outcomes and future
implications. J Am Geriatri Soc. 2006;
54(10): 1590–95.
4. Susman M, Dirusso SM, Sullivan T, Risucci
D, Nealon P, Cuff S, et al. Traumatic brain
injury in the elderly: increased mortality
and worse functional outcome at discharge
despite lower injury severity. Journal of
Trauma. 2002; 53: 219–24.
5. Muravchick S. Theories of aging. Dalam:
Silverstein JH, Rooke GA, McLeskey CH,
eds. Geriatric Anesthesiology. 2nd ed. USA:
Springer. 2008, 29–37.
6. Kanonidou Z, Karystianou G. Anesthesia for
elderly. Hippokratia. 2007; 11(4): 175–77.
7. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson
CP. Geriatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology. New York: McGraw Hill;
2002, 875–81.
8. Saatman KE, Duhaime AC, Bullock R, Maas
AIR, Valadka A, Manley GT. Classification of
traumatic brain injury for targeted therapies.
Journal of Neurotrauma. 2008; 25: 719–38.
9. Roozenbeek B, Mass AIR, Menon DK.
Changing patterns in the epidemiology of
traumatic brain injury. Nat Rev Neurol. 2013;
9: 231–36.
10. Perel P, Roberts I, Bouamra O, Woodford
M, Mooney J, Lecky F. Intracranial bleeding
in patients with traumatic brain injury: a
prognostic study. BMC Emergency Medicine.
2009; 9(15): 1–8.
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik
pada Pasien Berusia Lanjut
11. Saleh SC. Sinopsis Neuroanestesi Klinik.
Surabaya: Zifatama Publisher; 2014, 147–62.
12. Reuben DB, Rosen S. Principles of geriatric
assessment. Dalam: Halter J, Ouslander JG,
Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana
S, editors. Hazzard’s Geriatric Medicine and
Gerontology. 6th ed. New York: McGraw
Hill; 2009, 141–52.
13. Silverstein JH, Rooke GA. Anesthesia.
Dalam: Halter J, Ouslander JG, Tinetti
ME, Studenski S, High KP, Asthana S,
eds. Hazzard’s Geriatric Medicine and
Gerontology. 6th ed. New York: McGraw
Hill; 2009. 417–29.
14. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Edisi ke-
111
2. Bandung: Saga Olah Citra; 2008, 1–74.
15. Sakabe T, Matsumoto M. Effects of anesthetic
agents and other drugs on cerebral blood flow,
metabolism and intracranial pressure. Dalam:
Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, 5th
ed; 2010, 78–90.
16. Bajwa SJS, Bajwa SK, Kaur J. Comparison
of two drug combinations in total intravenous
anesthesia: propofol-ketamine and propofolfentanyl. Saudi J Anaesth. 2010; 4(2): 72–79.
17. Adamezyk S, Robin E, Simerabet M, Kipnis
E, Tavernier B, Vallet B, et al. Sevoflurane
pre- and post-conditioning protect the brain
via the mitochondrial KATP channel. Br J
Anaesth. 2010; 104(2): 191–200.
Total Intravenous Anesthesia pada Geriatri dengan Meningioma Parietalis
Rebecca Sidhapramudita Mangastuti*), Nazaruddin Umar**), Marsudi Rasman***)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Lebak Bulus, Jakarta Selatan,
**)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara–RSUP H. Adam
Malik Medan ***)Departemen Anestesiologi &Terapi Intensif–Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
*)
Abstrak
Meningioma merupakan tumor intrakranial jinak yang sering ditemukan. Tumor ini berasal dari jaringan meningen
dan medulla spinalis, tidak tumbuh dari jaringan otak. Gejala klinis baru dirasakan saat terjadi penekanan pada
otak atau jaringan yang terdesak oleh tumor. Operasi pengangkatan tumor meningioma merupakan tindakan yang
dianjurkan. Penatalaksanaan anestesi bertujuan menghindari terjadinya hipertensi intrakranial dan pembengkakan
otak (brain bulging). Pada kasus ini, pasien wanita, usia 71 tahun, berat badan 60 kg, datang ke rumah sakit dengan
keluhan tangan dan kaki kanan lemah dan tidak dapat berbicara (aphasia) sejak 2 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Kesadaran somnolen, E3M6V afasia, pupil isokor bilateral 2 mm, hemodinamik stabil, jantung normal,
tuberculosis paru sinistra. Fungsi motorik dan sensorik ekstremitas kanan terganggu. MRI 3T dan MRA 3T Head
Contrast didapatkan massa tumor kistik ring enhance 5,8 x 4,6 x 5 cm berisi cairan kental.Tampak pula massa
tumor padat dan bercak perdarahan didalamnya ukuran 4,3 x 5,1 x 5 cm mencakup lobus parietal kiri dan lobus
occipital kiri disertai perifokal edema disekitarnya. Dari hasil yang ada, disimpulkan pasien menderita meningioma
parietalis sinistra dan tindakan yang dianjurkan adalah craniotomi pengangkatan tumor. Operasi dilakukan dengan
anestesi umum. Operasi berlangsung selama 6,5 jam dan tumor dapat terangkat semua. Jumlah perdarahan
2000 ml. Pasien mendapat 300 ml Fresh Frozen Plasma (FFP) dan 500 ml Packed Red Cell (PRC) intraoperasi.
Untuk mengurangi tekanan intrakranial, digunakan total intra venous anesthesia (TIVA) dengan syringe pump
dan diberikan manitol 0,5 gram/kgBB. Pascaoperasi, pasien tidak diekstubasi dan rawat diruang ICU. Five year
survival rate untuk menigioma jinak 70%, meningioma ganas 55%.
Kata kunci: anestesi, meningioma, total intravenous anesthesia
JNI 2015; 4 (2): 112–18
Total Intravenous Anesthesia for Elderly with Meningioma Parietalis Sinistra
Abstract
Intracranial meningiomas are benign tumors that are often found. These tumors originate from the meninges and
spinal cord tissue, brain tissue does not grow out of. Clinical symptoms felt during a new emphasis on the brain
or tumor tissue driven by. Surgical removal of the meningiomas tumor is a recommended actions. Management
of anesthesia aims to avoid the occurrence of intracranial hyperternsion and brain bulging. In this case, female,
71 years, weight 60 kg, came to the hospital with complaints of arm and right leg is weak and unable to speak
(aphasia) since 2 months before admission. Somnolence, E3M6V aphasia, pupil isocor 2 mm, hemodynamic
stable, normal heart, the left pulmonary had tuberculosis. Motor function and sensory impaired right limb. MRI
3T and MRA head contrast found cystic tumor mass 5,8 x 4,6 x 5 cm and solid tumor mass measures 4,3 x 5,1 x 5
cm. From the result, it was consluded the patients suffering from the left parietal meningioma and recommended
actions are craniotomy removal of the tumor. The operation if perfomed under general anesthesia. The operation
lasted for 7 hours and the tumor can be taken out. The amount of bleeding 2000 ml. Patients received 300 ml Fresh
Frozen Plasma (FFP) and 500 ml Packed Red Cell (PRC). To reduce intracranial pressure, we used total intra
venous anesthesia (TIVA) and given manitol 0,5 gr/kg. Postoperatively, patients had not been extubation and take
care in ICU unit. Five year survival rate of 70% for benign meningioma and 55% for malignant meningiomas.
Key words: anesthesia, meningiomas, total intra venous anesthesia
JNI 2015; 4 (2): 112–18
112
Total Intravenous Anesthesia pada Geriatri dengan Meningioma Parietalis
I. Pendahuluan
Meningioma merupakan tumor otak jinak yang
banyak ditemukan. Tumor ini tidak tumbuh
dari jaringan otak, namun berasal dari jaringan
meningen dan medulla spinalis. Pertumbuhan
tumor yang lambat, menyebabkan gejala klinis
baru terlihat setelah otak atau jaringan sekitar
terdesak tumor. Sedikitnya 6500 orang di Amerika
Serikat didiagnosis meningioma setiap tahunnya.
Umumnya ditemukan lebih banyak didapatkan
pada wanita dibandingkan pria dengan rasio
wanita berbanding pria kira-kira 3 : 1. Diduga
bahwa terpapar gelombang radiasi, trauma, virus
atau herediter yang disebut neurofibromatosis
tipe 2 (NF–2), merupakan faktor predisposisi
meningioma.1-4 Meningioma terbagi atas 3
kategori, yakni meningioma jinak, meningioma
atipikal dan meningioma maligna (anaplastik).
Tujuh puluh sampai 80% meningioma umumnya
jinak, 2–3% meningioma maligna, sisanya
meningioma atipikal yaitu meningioma yang
tumbuhnya lebih cepat dibanding meningioma
jinak dan dapat tumbuh kembali walaupun tumor
sudah diangkat.1,5,6
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis
dan diperkuat dengan hasil CT scan kepala atau
magnetic resonance imaging (MRI) kepala.
Terapi yang dianjurkan, umumnya kraniotomi
evakuasi tumor, atau radiasi jika tumor tidak
dapat terangkat semua. Tehnik anestesi yang
digunakan adalah anestesi umum dengan tujuan
menghindari terjadinya hipertensi intrakranial
dan pembengkakan otak (brain bulging).2,3,6
Usia penderita, besar masa tumor, lokasi tumor,
kecepatan tumbuh dari tumor dan data five
year survival rate untuk menigioma jinak 70%,
meningioma ganas 55% turut menentukan
prognosis penderita meningioma.1,2,6
II. Kasus
Anamnesa
Wanita berusia 71 tahun dengan berat badan 60
kg. Dari anamnesis didapatkan tangan dan kaki
kanan lemah dan tidak dapat berbicara (afasia)
sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Pasien sering mengeluh sakit kepala, yang hilang
113
dengan obat paracetamol (panadol/paramex/
bodrex). Kesemutan, kejang, demam dan
riwayat jatuh sebelumnya, disangkal. Terdapat
riwayat hipertensi dan diabetes. Obat rutin yang
dikonsumsi: Galvus 2 x 50 mg, Norvask 1 x 5
mg, Beculin 1 x 15 mg, Simvastatin 1 x 10 mg,
Glimepiride 1x 2 mg.
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran somnolen, E3M6V afasia, pupil
isokor, reflek cahaya positip pada kedua mata.
Tekanan darah 130/80 mmHg, laju nadi 84 x/
menit, laju nafas 12 x/menit, suhu 36,8 oC. Bunyi
jantung I, II reguler, tidak didapatkan murmur dan
gallop. Paru vesikuler, tidak didapatkan ronki dan
wheezing di kedua lapang paru. Abdomen lemas,
soepel, nyeri tekan tidak ada, tidak membuncit,
hepar dan lien tidak membesar. Ekstremitas
hangat, tidak sianosis, tidak ikterik, kekuatan
motoric kanan 3333, kiri 5555. Terdapat disfungsi
sensorik pada ekstremitas kanan. Fungsi sensoris
ekstremitas kiri normal.
Pemeriksaan Laboratorium
Dari data hasil pemeriksaaan laboratorium
didapatkan Hemoglobin13,6 g/dl, Hematokrit
40 %, Leukosit 9800 /mm3, Trombosit 296.000
/mm3, Ureum 21 mg/dl, Kreatinin 0,59 mg/
dl, Gula darah puasa 129, gula darah 2 jam PP
195 mg/dl. Albumin 3,1 g/dl, Globulin 3 g/dl.
Natrium 140 mEq/L, Kalium 3,6 mEq/L, Klorida
109 mEq/L. SGOT 11, SGPT 10, CEA 18,89.
Pada foto toraks PA, didapatkan, CTR 50%, aorta
knob prominence, pulmo: fibro infiltratif supra
hiler kiri dan paracardial kiri, diaphragm dan
sinus baik, kesan Aorto Sclerotic Heart Disease
(ASHD) dengan gambaran tuberculosis sinistra
aktif.
EKG: sinus ritme, laju jantung 102 x/menit, tidak
terdapat ventricular extra systole (VES) dan T
inverted. Ekokardiografi: LV hyperthrophi, AR
mild, MR mild, PR mild, diastolic disfunction
grade 1, good LV and RV sistolic function, LVEF
69%. Pemeriksaan sidik tulang (Tc–99m MDP 19
MCi) tampak gambaran multipel lesi osteoblastik
pada kosta, perlu diwaspadai sebagai salah satu
proses metastasis (DD/ pascatrauma). MRI 3T dan
MRA 3T Head Contrast didapatkan massa tumor
114
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Gambar 1. Foto MRI 3T dan MRA 3T Head Contrast
kistik ring enhace 5,8 x 4,6 x 5 cm berisi cairan
kental dengan mural node menyangat kontras
diameter 1,3 x 3 x 2,5 cm pada dinding medial
di lobus temporalis kiri disertai perifokal edema
disekitarnya. Mendesak dan menekan midbrain,
pons, thalamus kiri, ventrikel lateralis kiri dan
ventrikel III, dilatasi ventrikel lateralis kanan dan
midline shift ke kanan sejauh 1,2 cm. Tampak
pula massa tumor padat dengan komponen kistik
multiloculated menyangat kontras dan bercak
perdarahan didalamnya ukuran 4,3 x 5,1 x 5 c
mencakup lobus parietal kiri dan lobus occipital
kiri disertai perifokal edema disekitarnya. Massa
tumor tampat mengobliterasi serta meluas ke
cornu posterior ventrikel lateralis kiri, sugestif
metastasis. Sulci cerebri tampak menyempit.
Sisterna ambient, sisterna quadrigemina, sisterna
Grafik 1.Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik
selama Operasi Berlangsung
Grafik 2. Laju Nadi dan Laju Nafas selama
Operasi Berlangsung
Grafik 3. Saturasi O2 dan end tidal CO2 selama
Operasi Berlangsung
Total Intravenous Anesthesia pada Geriatri dengan Meningioma Parietalis
basalis serta fissure Sylvii tampak menyempit.
Struktur otak/intracranial dalam batas normal.
Tidak tampak infark akut, perdarahan maupun
malformasi vaskular intrakranial. Struktur
arteri intrakranial pada sircullus Willisi dan
vertebrobasiler dalam batas normal, tidak tampak
stenosis signifikan, aneurisma maupun AVM.
Diagnosis kerja, SOL kistik regio parietal sinistra.
Direncanakan kraniotomi eksisi tumor parietal
kiri.
Penatalaksanaan Anestesi
Saat masuk kamar operasi, kesadaran pasien
somnolen, E3 M6 V afasia, TD 132 / 78 mmHg, laju
nadi 90 x/menit, laju nafas 12 x/menit, suhu 36,5
0
C. Diberikan midazolam 2,5 mg iv dan fentanyl
25 mcg iv. Induksi dengan propofol 1%60 mg iv,
fentanil 175 mcg iv, lidokain 120 mg iv. Intubasi
dengan pipa endotrakheal non kinking no 8, cuff
(+) yang difasilitasi dengan vecuronium 7 mg iv,
propofol 1% 70 mg iv titrasi. Saat akan dilakukan
pemasangan head-pin diberikan fentanil 50 mcg
iv. Pada saat akan insisi kulit diberikan fentanil
50 mcg iv. Pemeliharaan anestesi dengan total
intravenous anesthesia (TIVA) menggunakan
syringe pump, propofol 4–6 mg/kg BB/jam,
vecuronium 0,06 mg/kg BB/jam, fentanyl 1 mcg/
kg BB/jam, dexmedetomidine 0,1–0,2 mcg/
kg BB/jam. Inhalasi dengan gas O2: air = 1 : 1,
dengan aliran gas segar 1,6 L/menit tanpa gas
anestesi. Frekuensi napas disesuaikan dengan
target end tidal CO2 (EtCO2) 28–30 mmHg.
Gambar 2. Lobus Parietalis
115
Cairan masuk intraoperatif, kristaloid 2500 ml,
koloid 1000 ml, manitol 20% 250 ml, Fresh
Frozen Plasma (FFP) 300 ml, dan pack red
cells (PRC) 500 ml. Cairan keluar intraoperatif,
urin 1500 ml dan perdarahan sekitar 2000 ml.
Diusahakan balans imbang selama operasi
berlangsung. Hemodinamik, saturasi O2 dan end
tidal CO2 stabil selama intraoperatif. Operasi
berjalan selama 6,5 jam. Tumor berhasil terangkat
semua. Pascaoperasi, tidak dilakukan ekstubasi
dan rawat di ICU.
III. Pembahasan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, didapatkan
pasien
wanita, usia 71 tahun dengan keluhan kelemahan
anggota gerak kanan dan sulit bicara sejak 2
bulan sebelum masuk rumahsakit. Kesadaran
somnolen, E3 M6 V afasia, pupil isokor.
Hemodinamik normal, jantung normal, paru
tampak gambaran tuberculosis sinistra aktif dan
suspek metastase paru, abdomen tidak didapatkan
kelainan. Didapatkan hemiparese dextra. Terdapat
disfungsi sensorik pada ekstremitas kanan.
Fungsi sensoris di ekstremitas kiri normal. Hasil
laboratorium dalam batas normal. Hasil MRI 3T
dan MRI 3T Head Contrast, didapatkan massa
tumor kistik ukuran 5,8 x 4,6 x 5 cm berisi cairan
kental dengan mural node menyangat kontras
diameter 1,3 x 3 x 2,5 cm pada dinding medial
di lobus temporalis kiri disertai perifokal edema
disekitarnya. Mendesak dan menekan midbrain,
pons, thalamus kiri, ventrikel lateralis kiri dan
ventrikel III, dilatasi ventrikel lateralis kanan dan
midline shift ke kanan sejauh 1,2 cm. Tampak
pula massa tumor padat dengan komponen kistik
multiloculated menyangat kontras dan bercak
perdarahan didalamnya ukuran 4,3 x 5,1 x 5 cm
mencakup lobus parietal kiri dan lobus occipital
kiri disertai perifokal edema disekitarnya. Massa
tumor tampat mengobliterasi serta meluas ke
cornu posterior ventrikel lateralis kiri, sugestif
metastasis. Massa tumor tampak mengobliterasi
serta meluas ke cornu posterior ventrikel
lateralis kiri, sugestif metastasis. Sulci cerebri
tampak menyempit. Sisterna ambient, sisterna
quadrigemina, sisterna basalis serta fissure
Sylvii tampak menyempit. Berdasarkan data
116
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
yang ada, dapat disimpulkan pasien menderita
tumor meningioma parietalis sinistra dengan
peningkatan tekanan intrakranial dan edema
serebri. Meningioma umumnya terdeteksi pada
usia 40–70 tahun. Umumnya lebih banyak
dijumpai pada wanita, hal ini diduga karena
faktor hormonal estrogen, progesteron dan
androgen yang terkait dengan pola menstruasi
dan kehamilan.2,3,7-9 Pada kasus ini penderita
adalah wanita berusia 71 tahun.
Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial
dan cenderung mudah berdarah. Tumor ini berasal
dari lapisan meningen dan medulla spinalis, tidak
tumbuh dari jaringan otak. Umumnya tumbuh ke
dalam otak yang menyebabkan tekanan pada otak
dan medulla spinalis, tetapi juga dapat tumbuh
keluar ke arah tulang tengkorak. Pertumbuhan
tumor ini lambat sehingga pasien tidak merasakan
gejala klinis yang bersifat akut. Gejala klinis
baru terasa saat telah terjadi penekanan yang
bermakna yang berlangsung lambat pada otak
atau jaringan sekitar akibat desakan tumor.1,2,7
Meningioma pada kasus ini terletak pada lobus
parietalis sinistra. Lobus parietalis terletak di
upper, posterior kortex cerebri dan memiliki
fungsi yang sangat spesifik. Sebagai bagian dari
kortex serebri, lobus ini bertanggung jawab untuk
memproses rangsang sensorik (raba, rasa, suhu)
dalam hitungan detik. Kerusakan lobus parietalis
menyebabkan rangsang sensorik (raba, rasa,
suhu) menjadi tumpul.4,6-8
Fungsi ini terintegrasi dalam lobus kanan
dan lobus kiri. Disfungsi lobus kiri disebut
Gerstmann’s Syndrome dengan gejala klinis rightleft confusion, agraphia (kemampuan menulis
terganggu), acalculia (kemampuan matematis
terganggu), aphasia (gangguan berbicara) dan
agnosia (gangguan dalam persepsi visual).
Disfungsi lobus kanan, memiliki gejala klinis
contralateal neglect (gangguan koordinasi tubuh
kontralateral) sehingga kemampuan merawat diri
(memakai baju, mandi, dll) terganggu. Gejala
klinis lain, constructional apraxia (gangguan
dalam membuat sesuatu), anosagnosia atau denial
of defisit (menyangkal adanya disfungsi tubuh) dan
terganggunya kemampuan menggambar (drawing
abilitydysfunction). Disfungsi lobus bilateral
menyebabkan Balint’s Syndrome (visual attention
and motor syndrome) dengan gejala klinis ocular
apraxia (ketidakmampuan mengontrol gerakan
bola mata), simultanagnosia (ketidakmampuan
mengintegrasi rangsang visual), optic ataxia
(ketidakmampuan memperkirakan jangkauan
benda secara visual).4,6-8 Didapatkan penurunan
kesadaran, aphasia dan penurunan fungsi motorik
dan fungsi sensorik kanan pada pasien. Hal ini
sesuai dengan letak meningioma. Agraphia,
acalculia, agnosia dan right-left confusion tidak
dapat dinilai karena adanya aphasia dan faktor
usia pasien. Pada kasus ini, tidak didapatkan
papil edema, gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran. Hal ini diduga karena belum atau
tidak terdesaknya area tersebut oleh masa tumor.
Adanya kenaikan tekanan intrakranial pada
pasien ini ditandai dengan gejala sakit kepala
yang hilang timbul dan penurunan kesadaran.
Pandangan kabur, papil edema dan depresi
nafas tidak didapatkan. Pada CT-scan atau
MRI, peningkatan tekanan intrakranial terlihat
dengan adanya pergeseran garis tengah ke kanan
sekitar 1,2 cm disertai dengan edema perifokal.
Peningkatan tekanan intrakranial pada pasien
ini, merupakan masalah yang harus diperhatikan
saat penatalaksanaan preoperasi, intraoperasi dan
pascaoperasi. Preoperatif, telah diberikan terapi
infus manitol 20% sebanyak 250 mg dalam waktu
6 jam dan dilanjutkan dengan infus manitol 20%
4 x 125 mg iv, medixon 2 x 125 mg iv.
Intraoperasi, penatalaksanaan anestesi yang
dilakukan bertujuan menghindari terjadinya
hipertensi intrakranial dan pembengkakan otak
(brain bulging), melalui tindakan preventif dan
treatment, dengan cara memberikan sedasi,
analgetik dan ansiolisis yang adekuat dengan
midazolam 5 mg iv (dosis tidak melebihi
0,25 mg/kgBB), propofol 2–2,5 mg/kg BB iv,
fentanil 1–3 mcg/kgBB, vecuronium 0,1–0,15
mg/kgBB. Lidokain 1–1,5 mg/kgBB diberikan
3 menit sebelum intubasi dilakukan untuk
menghindari terjadinya lonjakan hemodimanik
saat laringoskopi dan intubasi. Sesaat sebelum
dilakukan pemasangan head-pin diberikan
fentanil 50 mcg iv dan propofol 20 mg iv, dan
saat akan insisi kulit diberikan fentanil 50 mcg iv.
Rumatan anestesi digunakan teknik TIVA melalui
syringe pump, dengan dosis propofol 4–6 mg/
Total Intravenous Anesthesia pada Geriatri dengan Meningioma Parietalis
kg BB/jam, vecuronium 0,06 mg/kg BB/jam,
fentanyl 1 mcg/kg BB/jam, dexmedetomidine 0,1
– 0,2 mcg/kg BB/jam. Inhalasi dengan gas O2: air
= 1 : 1, tanpa gas anestesi dengan aliran gas segar
1.6 L/menit. Teknik TIVA, yaitu tehnik anestesi
umum dengan menggunakan obat anestesi secara
intravena yang dilakukan saat induksi maupun
rumatan anestesi tanpa menggunakan gas
anestesi. Keuntungan TIVA adalah hemodinamik
lebih stabil, kedalaman anestesi lebih stabil, lebih
dapat diprediksi, pemulihan lebih cepat, mual
muntah pascaoperasi menurun, tidak ada polusi di
kamar operasi, tidak toksis terhadap organ, tidak
iritasi pada jalan nafas, tidak delirium pascabedah,
laju jantung lebih rendah, menurunkan tingkat
stres hormon, mempertahankan reaktifitas
serebrovaskular.1
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah
propofol, fentanil, dexmedetomidine dan
vecuronium. Tindakan lain untuk menurunkan
peningkatan tekanan intrakranial, adalah
posisi head-up. Tindakan posisi head-up untuk
menurunkan ICP harus dilakukan dengan hatihati, karena MAP lebih menurun daripada ICP saat
posisi head-up. Posisi head-up yang dianjurkan
10–20% atau 15–30o. Posisi pasien terlentang
dengan kepala miring ke kanan dan dipastikan tidak
terdapat penekanan pada vena jugularis. Steroid
(medixon) telah diberikan selama perawatan.
Kortikosteroid akan mengurangi edema sekeliling
tumor otak. Penurunan tekanan intrakranial
baru terlihat beberapa jam atau hari pada terapi
kortikosteroid. Pemberian kortiosteroid sebelum
reseksi tumor sering menimbulkan perbaikan
neurologik mendahului pengurangan tekanan
intrakranial. Kortikosteroid dapat memperbaiki
kerusakan sawar darah otak (blood brain barier
/BBB), mengurangi edema otak, dehidrasi otak,
mencegah aktivitas lisosom, mempertinggi
transport elektrolit serebral, merangsang ekresi air
dan elektrolit, menghambat aktivitas fosfolipase
A2. Efek pemberian kortikosteroid dalam jangka
panjang adalah hiperglikemi, ulkus peptikum,
peningkatan kejadian infeksi.10-12 Penurunan
tekanan intrakranial yang cepat, dapat dicapai
dengan pemberian diuretik. Dua macam diuretik
yang umum digunakan yaitu osmotik diuretik
(manitol) dan loop diuretik (furosemide). Manitol
117
diberikan secara bolus intravena dengan dosis
0,25–1 gram/kg BB, diberikan secara perlahan
selama 10–20 menit. Bekerja dalam waktu
10–15 menit dan efektif kira-kira selama 2 jam.
Manitol tidak menembus sawar darah otak yang
intact. Manitol akan meningkatkan osmolalitas
darah relatif terhadap otak dan menarik air dari
otak ke dalam pembuluh darah. Bila sawar darah
otak rusak, manitol dapat memasuki otak dan
menyebabkan rebound fenomena, yaitu kenaikan
tekanan intrakranial sebab ada suatu reversal dari
perbedaan osmotik. Manitol dapat menyebabkan
vasodilatasi yang tergantung dari besarnya dosis
dan kecepatan pemberian. Vasodilatasi akibat
manitol dapat menyebabkan peningkatan volume
darah otak dan tekanan intrakranial secara
selintas yang simultan dengan penurunan tekanan
darah sistemik. Penggunaan manitol jangka
panjang dapat menyebabkan dehidrasi, gangguan
elektrolit, hiperosmolalitas dan gangguan fungsi
ginjal. Hal ini terutama bila serum osmolalitas
meningkat diatas 320 mOsm/kg.10-12
Furosemide mengurangi tekanan intrakranial
dengan menimbulkan diuresis, menurunkan
produksi cairan serebrospinal, dan memperbaiki
edema serebral dengan memperbaiki transport
air seluler. Furosemide menurunkan tekanan
intrakranial tanpa meningkatkan volume darah
otak atau osmolalitas darah, tetapi tidak seefektif
manitol dalam menurunkan tekanan intrakranial.
Furosemide dapat diberikan sendiri dengan dosis
0,5–1 mg/ kg BB atau dengan manitol dengan dosis
yang lebih rendah 0,15–0,3 mg/kg BB. Kombinasi
manitol dan furosemide lebih efektif daripada
manitol saja dalam mengurangi brain bulk dan
tekanan intrakranial, tetapi lebih menimbulkan
dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit,
sehingga diperlukan pemantauan serum elektrolit
dan osmolalitas dan penggantian kalium bila ada
indikasi.10,11 Pola pernafasan diatur sesuaidengan
target PaO2 100–200 mmHg dan PaCO2 29–34
mmHg yang setara dengan endtidal CO2 25–30%.
Intraoperasi, tidak menggunakan PEEP untuk
menghindari terjadinya peningkatan tekanan
intratorakal yang dapat meningkatkan tekanan
intrakranial intraoperatif. Perdarahan 2000 ml
dan urin 1500 ml intraopratif digantikan dengan
kristaloid 2500 ml, koloid 1000 ml, FFP 300 ml
118
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dan PRC 500 ml. Diusahakan balans imbang
selama operasi berlangsung. Operasi berlangsung
selama 6,5 jam. Tumor berhasil terangkat semua.
Pascabedah, tidak dilakukan ekstubasi dan rawat
di ruang ICU. Hari ketiga pascaoperasi, pasien
diekstubasi dan pindah keruang perawatan
biasa hari keempat pascaoperasi. Pasien dirawat
selama 5 hari di ruang perawatan. Hari kesepuluh
pascaoperasi, pasien diperbolehkan pulang.
Saatpulang, kesadaran composmentis, E4 M6
V2, TD 130/80 mmHg, laju jantung 90 x/menit,
laju nafas 12 x/menit, suhu 36,8 oC.
IV. Simpulan
Teknik rumatan anestesi yang digunakan
pada kasus kraniotomi untuk pengangkatan
tumor supratentorial ini adalah TIVA murni,
tanpa menggunakan zat anestesi inhalasi sama
sekali sejak awal sampai akhir proses. Selama
proses induksi maupun pengakhiran anestesi
telah berhasil dicapai kondisi hemodinamik
tanpa gejolak, yang merupakan faktor utama
pengendalian tekanan intrakranial. Demikian pula
selama proses pembedahan yang berlangsung
selama sekitar 6,5 jam dan telah berhasil
mengangkat seluruh jaringan tumor, tidak
didapatkan gejolak hemodinamik serta kondisi
otak yang lembek yang sangat membantu ahli
bedah bekerja. Tatakelola anestesi pada kasus
ini mampu menunjukkan bahwa teknik rumatan
anestesi dengan TIVA yang menggunakan
gabungan propofol, fentanyl, vecuronium dan
dexmedetomidine secara kontinyu, sangat ideal
untuk neuroanestesi pada kasus kraniotomi.
Daftar Pustaka
1. Roosiati B, Rahardjo S. Tiva pada kraniotomi
pengangkatan meningioma residif. JNI
Oktober 2012; 1(4): 269–77
2. Meningioma. American Association of
Neurological Surgeons Jurnal, Juni 2012. Vol
122 (5): 1157–62
3. Smith WOHG. Supratentorial masses:
anesthetic consideration. Dalam: Anesthesia
and Neurosurgery. 4th ed; St Louis, Missourri,
Mosby, 297–313
4. Park JK. Meningioma (beyond the basics).
Wolters Kluwer Health Journal. Juli 2013,
vol 11(4): 593–9
5. Laura J, Martin MD. WebMD Medical
Reference. June 22, 2012: 67–69
6. Gonzales N. Meningioma brain tumor. UCLA
Neurosurgery Journal, 2013; (4): 1034–104
7. Bruder N, Ravussin P. Supratentorial masses;
anesthetic considerations. Dalam: Cottrell
and Young’s Neuroanesthesia. 5th ed; ; St
Louis, Mosby: 184–91
8. Bisri T. Neurofisiologi. Dalam: Penanganan
Neuroanestesia dan Critical Care: Cedera Otak
Traumatik. Cetakan 1. Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran;2012,
10–12
9. Kaal ECA, Vecht CJ. The Management of
brain edema in brain tumors. Current Opinion
in Oncology 2004, 593–9
10. Haddad G. Meningioma treatment and
management. Medscape Jurnal. May 2013:
175–77
11. Wen P. Meningioma treatment options. Brain
science foundation Journal.April 2012: 160–67
12. Morgan GE, Jr, Mikhail MS, Murray MJ.
Nonvolatile anesthetic agents. Dalam:
Clinical Anesthesiology. 4 th ed: New York:
The McGrow Hill Companies; 2006. 192–202.
13. Aboukais R, Zairi F, Le jeune JP, Rhun
LE, Vermandel M, Blond S, et al. Grade 2
meningioma and radiosurgery. Journal of
Neurosurgery. 2015; 122 (5) : 1157–62
Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika
Iwan Abdul Rachman*), Sri Rahardjo**), Siti Chasnak Saleh***)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP. Dr. Hasan
Sadikin Bandung, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada–RSUP Dr. Sardjito-Yogyakarta, ***)Departemen Anestesiologi &
Reanimasi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD. Dr. Soetomo-Surabaya
*)
Abstrak
Cedera otak traumatika merupakan kasus yang sering ditemukan yang berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Hipertensi intrakranial dan edema serebral adalah manifestasi utama dari cedera otak berat,
keduanya dikenal sebagai kontributor utama pada cedera otak sekunder dan memiliki luaran neurologis yang buruk.
Tatalaksana pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial dan edema serebral akibat cedera otak traumatika
yaitu mengontrol ventilasi, mempertahankan homeostasis otak dan fungsi tubuh, pemberian sedasi, serta terapi
hiperosmolar. Manitol dikenal secara luas sebagai terapi utama pada terapi hipertensi intrakranial, namun larutan
salin hipertonik dan natrium laktat hipertonik juga merupakan terapi alternatif yang potensial untuk terapi hipertensi
intrakranial. Pemberian obat hiperosmolar pada pasien cedera kepala berat bertujuan untuk menurunkan kadar
air dalam daerah interstisial otak akibat efek hiperosmolarnya sehingga terjadi penurunan tekanan intrakranial
meskipun terdapat beberapa mekanisme lain yang kemungkinan juga terlibat dalam terjadinya penurunan tekanan
intrakranial. Sekarang ini efektivitas cairan hiperosmotik dalam mengurangi edema pada jaringan yang pembuluh
darahnya mengalami kerusakan masih dipertanyakan. Bahkan penggunaan obat-obatan tersebut sebagai terapi
hiperosmolar diduga malah meningkatkan angka kematian karena dapat memperluas edema sehingga semakin
memperburuk peningkatan tekanan intrakranial.
Kata kunci: cedera otak traumatika, tekanan intrakranial, terapi hiperosmolar
JNI 2015; 4 (2): 119–33
Hyperosmolar Therapy in Traumatic Brain Injury
Abstract
Traumatic brain injury is a common case and related with high morbidity and mortality. Intracranial hypertension
and cerebral edema are the main manifestation from severe brain injury and known as main contributor for
secondary brain injury, with detrimental neurological outcome. Management of elevated intracranial pressure and
cerebral edema are controlling ventilation, maintaining brain homeostasis as well as body function, sedation, and
hyperosmolar fluid therapy. Mannitol has been widely known as the main therapy for intracranial hypertension,
showever, hypertonic saline and hypertonic sodium lactate are considered as potential alternative therapy for
intracranial hypertension. The provision of hyperosmolar theraphy for severe head injury patients aims to reduce
water content in the interstitial of the brain for its hyperosmolar effect that would decrease intracranial pressure,
even though there probably other mechanism which involve for the decrease of intracranial pressure. In present
day, the effectiveness of hyperosmolar fluid in reducing edema in the damaged tissue with impared blood vessel
remains questionable. Moreover, the usage of those medication as hyperosmolar therapy allegedly increases
mortality because it could adjuct the edema which would exacerbate extension of edema which exacerbate the
increase of intracranial pressure.
Key words: traumatic brain injury, intracranial pressure, hyperosmolar therapy
JNI 2015; 4 (2): 119–33
119
120
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
1. Pendahuluan
Hipertensi intrakranial dan edema serebral adalah
manifestasi utama cedera otak berat yang dapat
diakibatkan bermacam sebab termasuk trauma
kepala, stroke iskemik, perdarahan intraserebral,
perdarahan subarahnoid akibat pecahnya
aneurisma, infeksi, dan neoplasma.1 Secara
umum, cedera kepala dibagi menjadi dua periode
waktu terpisah yaitu cedera otak primer dan
sekunder. Cedera otak primer adalah kerusakan
fisik pada parenkim (jaringan dan pembuluh
darah) yang terjadi selama peristiwa traumatis,
sehingga menyebabkan kompresi jaringan otak
di sekitarnya. Cedera otak sekunder merupakan
kelanjutan hasil dari cedera otak primer dengan
komplikasi utama cedera otak pada jam dan hari
berikutnya. Banyak sekali komplikasi cedera
otak sekunder,yang dapat memperberat trauma
otak dan mengakibatkan cedera otak sekunder
yaitu gangguan intrakranial meliputi edema
serebral, hematoma, hidrosefalus, hipertensi
intrakranial, vasospasme, gangguan metabolik,
eksitotoksisitas, toksisitas ion kalsium, infeksi,
dan kejang.1-2 Cedera otak primer dan cedera
otak sekunder menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskuler, edema serebral, dan
peningkatan tekanan intrakranial, ketiga hal
tersebut merupakan penentu prognosis seorang
pasien dengan cedera kepala berat. Edema
serebral dapat diklasifikasikan menjadi edema
serebral sitotoksik atau vasogenik. Edema
sitotoksik adalah pembengkakan sel yang timbul
akibat cedera, umumnya berupa cedera iskemik
atau toksik. Edema vasogenik merupakan edema
ekstraseluler yang timbul secara sekunder akibat
kerusakan kapiler, dan dapat menimbulkan
kerusakan sawar darah-otak. Edema sitotoksik
terjadi beberapa menit hingga beberapa jam
setelah timbul cedera, sedangkan edema
vasogenik timbul beberapa jam hingga beberapa
hari setelah timbulnya cedera. Jenis edema yang
timbul merupakan hal yang penting diketahui
dalam menentukan terapi, karena edema sitotoksik
lebih resisten terhadap terapi. Hal terpenting dari
pegobatan medis termasuk mengontrol ventilasi,
osmoterapi, mempertahankan homeostasis otak,
fungsi tubuh, dan sedasi. Osmoterapi adalah
faktor penting pada penatalaksanaan trauma
kepala, perdarahan intraserebral, perdarahan
subarahnoid akibat aneurisma, dan strok iskemik.
Saat ini sediaan untuk osmoterapi yaitu manitol,
larutan salin hipertonik, dan larutan natrium
laktat hipertonik. Manitol telah dikenal secara
luas sebagai terapi utama pada terapi hipertensi
intrakranial, namun larutan salin hipertonik
merupakan terapi alternatif yang juga potensial
untuk terapi hipertensi intrakranial.1
2. Cedera Kepala
2.1 Insidensi Cedera Kepala
Cedera kepala merupakan penyebab utama
kematian dan disabilitas di seluruh dunia.
Frekuensi terjadinya cedera otak traumatika
bervariasi tergantung umur, jenis kelamin, faktor
geografis dan sosial. Di Amerika Serikat, insidensi
terjadinya cedera otak traumatika sebesar 1,7 juta
penduduk/tahun, dari jumlah tersebut sebanyak
50.000 penduduk/tahun mengalami kematian,
dan sebanyak 5 juta penduduk/tahun mengalami
disabilitas akibat cedera kepala.1-4 Cedera kepala
umumnya mengenai penderita usia muda (15–19
tahun) dan dewasa tua usia lebih atau sama dengan
65 tahun, dimana angka kejadian pada laki-laki
2 kali lebih sering dibandingkan perempuan.
Mekanisme cedera kepala di Amerika Serikat
adalah akibat terjatuh (35,2%), kecelakaan
kendaraan bermotor (34,1%), perkelahian (10%),
dan penyebab lain yang tidak diketahui (21%).1–4
2.2 Menegakkan Diagnosa Cedera Kepala dan
Prognosisnya
Diagnosa cedera kepala didapatkan dari riwayat
trauma, pemeriksaan fisik terdapat jejas trauma,
adanya defisit neurologis, tanda vital yang
tidak stabil, laserasi kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, dan keluarnya cairan serebrospinal
dari hidung maupun telinga. Pemeriksaan
Computed Tomography (CT) Scan memegang
peranan penting untuk menegakkan diagnosa
cedera kepala dan juga monitoring kerusakan
yang terjadi. Penilaian GCS merupakan indikator
yang dapat dipercaya dengan pemeriksaan
berulang untuk mengetahui terjadinya perbaikan
atau perburukan. Penilaian GCS meliputi
kemampuan bicara, membuka mata, dan fungsi
motorik. Nilai GCS membagi cedera kepala
Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika
Tabel 2.1 Hubungan Skor GSC dan Trauma
Skor GCS Skor Trauma Kemungkinan Hidup
(%)
14-15 = 5
16
99
11-23 = 4
13
93
8-10 = 3
10
60
5-7 = 2
7
15
3-4 = 1
4
2
1
0
Dikutip dari : Shoemaker WC, et.al.2
menjadi kategori berat (GCS 3-8), sedang
(GCS 9–12), ringan (GCS 13–14), dan normal
(GCS 15) (tabel 2.1). Nilai GCS, ukuran pupil,
refleks pupil terhadap cahaya, hipotensi, tekanan
intrakranial, gambaran CT-scan, dan usia dapat
menjadi penentu prognosis suatu cedera kepala.1-2
2.3 Penatalaksanaan Cedera Kepala
Penatalaksaan awal yaitu berdasarkan protokol
Advanced Trauma Life Support, setelah stabil
tatalaksana definitif dan monitoring harus
segera dilakukan berdasarkan panduan Brain
Trauma Foundation (BTF). BTF Guideline 2007
memberikan panduan pengelolaan cedera kepala
berat, salah satunya yaitu terapi hiperosmolar.
Dikatakan bahwa terapi cairan hiperosmolar
yang digunakan yaitu manitol, efektif mengontrol
peningkatan tekanan intrakranial dengan dosis
0,25–1 gr/kgBB.
3. Hipertensi Intrakranial
Mekanisme Hipertensi Intrakranial
Kranium merupakan struktur yang keras, yang
tidak dapat berekspansi. Penambahan volume
otak akan mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial. Ekspansi salah satu komponen
intrakranial seperti otak, darah intravaskular, dan
cairan serebrospinal intrakranial akan disertai
pengurangan komponen lainnya (hipotesa
Monro-Kellie).1-2
Mekanisme kompensasi yang terjadi dengan
terdapatnya peningkatan volume otak, cairan
serebrospinal akan didorong dari rongga
subarahnoid dan ventrikel lateral ke rongga
subarahnoid spinal. Namun, pada titik tertentu
dimana mekanisme kompensasi sudah tidak
121
dapat melakukan fungsinya lagi, maka pembuluh
darah akan ditekan dan aliran darah serebral akan
berkurang. Jika tekanan intrakranial mencapai
50–60 mmHg, maka akan mengenai arteri di
sirkulus Willis dan terjadi iskemik otak secara
global, yang berakhir dengan kematian otak.1-3
Penatalaksanaan Hipertensi Intrakranial
Penatalaksanaan yang harus segera dilakukan
yaitu
menurunkan
tekanan
intrakranial
(Intracranial Pressure/ICP) dan mengoptimalkan
tekanan perfusi serebral (Cerebral Perfusion
Pressure/CPP). CPP adalah selisih mean arterial
pressure (MAP) dan ICP (CPP = MAP – ICP).
Nilai ICP harus <20 mmHg, dan target CPP 50–
70 mmHg. Dalam keadaan normal aliran darah
serebral diatur oleh autoregulasi, namun pada
keadaan cedera kepala, autoregulasi terganggu,
sehingga berisiko terjadi iskemik serebral bila
terjadi hipotensi.1-3 Jika nilai ICP >20 mmHg dan
CPP <50 mmHg, maka pasien akan memperoleh
hasil akhir yang buruk karena terjadi iskemia
otak. Pasien harus segera diterapi dengan cairan
intravena dan kemungkinan pemberian vasopresor
seperti halnya pada kondisi hipovolemik. Hasil
akhir resusitasi cairan tersebut yaitu suatu
keadaan euvolemik. Tidak disarankan untuk
meningkatkan CPP >70 mmHg dengan cairan
intravena atau vasopresor. Pada suatu penelitian
uji klinik, tindakan tersebut tidak mengakibatkan
perbaikan hasil akhir dan berhubungan dengan
peningkatan risiko terjadinya acute respiratory
distress syndrome (ARDS). Sebaliknya, pasien
yang tidak diberikan vasopresor dengan nilai CPP
> 70mmHg setelah resusitasi tidak memerlukan
terapi antihipertensi untuk menurunkan CPP
kecuali jika tekanan darah terlalu tinggi
(>180/100mmHg) sehingga berbahaya atau
meningkatkan efek samping lainnya (gangguan
fungsi neurologis, meningkatnya ICP).
4. Fisiologi Cairan Jaringan Otak
Pertukaran cairan mikrovaskular di dalam
jaringan otak
Pertukaran cairan melewati kapiler serebral
didasarkan pada ikatan kuat interendotelial.
Faktor lainnya yaitu ukuran dan kemampuan suatu
cairan dan komposisi glikokaliks endotel. Semua
122
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
hal tersebut membentuk suatu membran kapiler
semipermeabel kompleks, yang merupakan
bagian dari fungsi sawar darah otak (blood–brain
barrier). Kapiler membran serebral memiliki
permeabilitas yang terbatas, bukan hanya untuk
protein tetapi untuk larutan yang kecil tidak
dapat digunakan. Untuk menggambarkan aliran
volume cairan (volume flow/Jv) melewati lapisan
mikrovaskular serebral adalah :
Jv = LpS [ΔP – Δ∏p – ∑σsΔ∏s]
Jv= aliran volume cairan
LpS = konduksi hidrolik
ΔP = tekanan hidrostatik transkapiler
Δ∏p= efektifitas tekanan osmotik koloid untuk
protein
∑σs= koefisien refleksi suatu cairan
Δ∏s = tekanan osmotik transkapiler untuk larutan
kecil
Gambar 2.2 Skema Aliran Cairan pada Blood
Brain Barier.3
Lp menunjukkan permeabilitas spesifik komponen
air, S (surface) adalah area permukaan yang
tersedia untuk proses pertukaran cairan, dan LpS
adalah konduksi hidrolik yang menggambarkan
kapasitas total dalam pertukaran cairan tersebut,
termasuk jumlah kapiler di dalam jaringan. DP
adalah tekanan hidrostatik transkapiler, DPp
adalah efektivitas tekanan osmotik koloid untuk
protein, dimana koefisien refleksi protein adalah
1. DPs adalah tekanan osmotik transkapiler
untuk laurtan yang kecil, sedangkan rs adalah
koefisien refleksi suatu cairan. Ion sodium dan
klorida memiliki kemampuan larut dalam lipid
yang rendah, permukaan yang tersedia untuk
filtrasi (S) tidak berbeda dengan permukaan yang
tersedia untuk difusi, dimana lebih mudah untuk
membedakannya.
bahwa air akan memasuki sawar darah otak dari
berbagai arah dan akibatnya terjadi kekurangan
yang memicu terjadinya dilusi. Meskipun
dilusi hanya terjadi sedikit pada kompartemen
interstisial, akan menyebabkan penurunan
tekanan osmotik yang melewati membran, dan
jika dilusi terjadi hingga 5600 mmHg maka akan
menginduksi terjadinya efek pembatasan filtrasi.
Hal tersebut berarti jika terjadi reduksi minimal
sekalipun, koefisien refleksi sodium dan klorida
akan mengganggu regulasi volume normal otak
dan menginduksi terjadi serebral edema diikuti
ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan
tekanan osmotik.1,2
Gambar di atas memberikan gambaran skema
mengenai kebocoran protein melewati dinding
kapiler pada jaringan otak dan otot yang normal
dibandingkan dengan
kondisi dimana ada
peningkatan permeabilitas pada organ tersebut.
Pengendalian Cairan pada Otak Normal
Efektivitas tekanan osmotik suatu cairan yang
melewati sawar darah otak ditentukan oleh
perbedaan tekanan osmotik. Ion sodium dan
klorida adalah ion yang mendominasi cairan dari
osmolaritas ekstraseluler. Dalam kondisi normal,
koefisien refleksi dalam kapiler otak adalah
1.0, dibandingkan bagian tubuh lainnya dimana
koefisien refleksi sangat rendah mendekati 0.
Kenyataan bahwa refleksi koefisien untuk larutan
yang kecil seperti ion sodium dan klorida yang
mendekati 1,0 pada otak normal menyatakan
Pergerakan Cairan antar Kapiler Otak dan
Jaringan Otak
Persamaan Starling secara akurat menggambaran
pergerakan cairan antara intravascular dengan
jaringan perifer intertistial (misalnya jaringan
intertistial antara paru, usus atau otot). Namun otak
dan saraf tulang belakang tidak seperti jaringan
lain terisolasi dari kompartemen intravaskuler
dengan adanya sawar darah otak sehingga pada
kapiler otak untuk kebanyakan cairan mendekati
1.0. Secara morfologis pembatas ini diketahui
berasal dari jaringan endotel yang membentuk
Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika
jaringan kapiler pada otak dan sumsum. Ukuran
dari sawar ini sangat kecil yakni 7–9Å sehingga
sangat membatasi pergerakan protein namun
juga membatasi pergerakan natrium, kalium dan
klorida antar ruang. Efeknya dapat dikatakan
bahwa sawar ini bersifat seperti membran yang
tidak dapat ditembus. Secara perbandingan,
endotel pada sistem vaskuler biasa mempunyai
pori-pori yang sangat besar sekitar 1000 kali
lebih besar sehingga pergerakan air, elektrolit dan
protein bisa lebih mudah meskipun pergerakan
protein lebih sulit karena dikendalikan oleh
beberapa faktor lain. Secara kontras di otak,
pergerakan cairan sangat ditentukan oleh gradient
osmolaritas antara plasma dan intertistium.
Perbedaan inilah yang menjelaskan mengapa
pemberian cairan isoosmolar kristaloid dalam
jumlah besar akan menyebabkan edema perifer
akibat dilusi protein plasma namun pada otak
tidak akan meningkatkan ICP karena pergerakan
cairan tetap akan rendah di otak.3
Efek pada Penatalaksanaan Pasien
Osmolaritas merupakan faktor penentu utama
pergerakan cairan yang dapat menyebabkan
peningkatan ICP dan pembengkakan otak. Secara
kontras, cairan hiperosmolar pada jaringan otak
yang mengalami cedera dengan gangguan sawar
ternyata menyebabkan pergerakan air keluar dari
jaringan otak. Efek dehidrasi ini dapat bermakna
pada edema otak. Pada otak yang dibekukan,
pemberian cairan hipertonik menurunkan ICP
namun tidak mengurangi jumlah air dalam otak
yang cedera. Kemungkinan karena mekanisme
ini bekerja pada jaringan otak normal di sekitar
lesi.4
5. Terapi Hiperosmolar
Larutan hipertonik yang secara klinis paling
sering digunakan adalah manitol, urea, dan
hipertonik salin, dimana manitol dan urea paling
sering digunakan untuk mengurangi edema
otak, sedangkan natrium laktat hipertonik
salin digunakan baik untuk mengurangi edema
otak dan untuk memperbesar volume plasma.
Larutan hipertonik yang baru adalah natrium
laktat hipertonik. Urea adalah zat endogen
yang diproduksi dalam sel metabolik yang aktif
123
dan biasanya menembus membran sel melalui
proses difusi. Manitol juga terbukti menembus
membran sel. Hal ini berarti bahwa efek plasmaexpanding urea dan manitol tidak bertahan lama
dan tidak dapat digunakan untuk meningkatkan
volume plasma yang turun. Lebih lanjut
mengenai kemungkinan peningkatan volume
akibat efek rebound transien akibat akumulasi
manitol di intraselular seperti yang ditunjukkan
dalam penelitian pada sel glial dan otot rangka
kucing. Situasinya mungkin berbeda untuk salin
hipertonik karena efek pompa natrium dalam
membran sel akan mencegah akumulasi natrium
dan klorida intraseluler. Efek absorbsi hipertonik
salin dapat diperkirakan lebih tahan lama
dibandingkan manitol dan urea, dengan risiko
lebih kecil untuk terjadinya efek rebound.1-4 Di
otak, manitol dan hipertonik salin menimbulkan
perbedaan osmolaritas untuk memindahkan
cairan menembus membran kapiler serebral
dimana sawar darah otak (blood brain barrier/
BBB) membatasi permeabilitas zat ini. Ini berarti
bahwa akan ada pengurangan volume ruang
interstitial, tetapi juga dari ruang intraseluler
akibat peningkatan sekunder dari osmolalitas
interstitial. Urea perlahan menembus kapiler otak
serta membran sel otak karena itu kurang efektif
dalam mengurangi volume otak dibandingkan
manitol dan hipertonik salin. Setelah cedera otak,
keadaan tergantung pada keparahan gangguan
pada BBB, berkaitan dengan kesulitan penetrasi
molekul larutan hipertonik melewati membran
kapiler otak. Semakin terbuka BBB bagi zat
terlarut yang kecil, semakin sedikit cairan
akan diserap melewati membran kapiler, dan
penyerapan cairan akan lebih banyak berasal
dari ruang intraseluler. Jika pembukaan BBB
makin signifikan, tekanan akan sama di seluruh
tubuh dengan ekspansi volume interstitial dan
intravascular setelah diberikan infus larutan
hipertonik.
Fisiologis obat-obat osmotik dan mekanisme
kerjanya
Di
dalam
tubuh,
pemberian
larutan
hipertonik intravena akan membentuk suatu
ketidakseimbangan tekanan osmotik antara
kompartemen intraseluler dan ekstraseluler
keduanya dipisahkan oleh membran sel.
124
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Kompartemen ekstraseluler oleh endotel kapiler
dibagi menjadi kompartemen intravaskuler dan
kompartemen interstisial. Di dalam otak, air
bergerak terbatas melewati endotel kapiler karena
adanya sawar darah otak. Tekanan hidrostatik
dan tekanan osmosis kapiler bekerja berlawanan
arah pada dinding kapiler. Tekanan hidrostatik
berkerja menekan cairan keluar dari kapiler,
sedangkan tekanan osmosis berfungsi menarik
cairan kedalam endotel. Efektivitas osmolaritas
suatu cairan tergantung pada gradien osmotik
yang terbentuk dan koefisien osmotik membran
terhadap cairan. Reseptor aquaporin memegang
peranan yang sangat penting pada konduktivitas
hidrolik (dimana air dapat melewati membran)
melewati sawar darah otak. Akibatnya, transpor
cairan yang melewati aquaporin tergantung
pada gradien konsentrasi cairan tersebut dan
merubah permeabilitas reseptor. Koefisien
refleksi (reflection coefficient/σ) suatu substansi
menunjukkan tingkat kesulitan substansi
tersebut untuk secara pasif melewati dinding
mikrovaskular.
Agen-agen Hiperosmolar
Terapi hisperosmolar dengan pemberian secara
bolus atau infus. Agen hiperosmolar yang sering
digunakan untuk cedera kepala berat adalah
manitol dan cairan NaCl hipertonik. Berdasarkan
rekomendasi The Brain Trauma Foundation
terapi utama hipertensi intrakranial adalah
manitol, namun NaCl hipertonik merupakan
alternatif yang potensial untuk digunakan.1-4
5.1 Manitol
Manitol merupakan suatu derivat alkohol dari
gula manosa yang pertamakali ditemukan pada
tahun 1961, dan sering diberikan sebagai salah
satu pilihan terapi cedera kepala berat dengan
peningkatan tekanan intrakranial. Manitol
digunakan untuk mengendalikan peningkatan
tekanan
intrakranial dengan dua keadaan.
Penggunaan manitol pada keadaan yang pertama
yaitu dengan pemberian dosis tunggal bertujuan
memberikan efek jangka pendek sehingga dapat
dilakukan prosedur diagnostik (CT-scan) dan
intervensi (evakuasi masa lesi intrakranial).
Pada keadaan kedua manitol digunakan sebagai
terapi jangka panjang kasus peningkatan tekanan
intrakranial. Meskipun demikian belum cukup
bukti yang mendukung pemberian manitol
secara rutin dan berulang hingga beberapa hari.
Meskipun terdapat data mengenai mekanisme
kerja dasar dari manitol namun hanya beberapa
penelitian pada manusia yang dapat memberikan
validasi terhadap pemberian manitol dengan
regimen yang beragam.5-7
Mekanisme Kerja Manitol
Manitol dapat menurunkan tekanan intrakranial
melalui dua mekanisme. Manitol secara cepat
menurunkan tekanan intrakranial dengan
mengurangi viskositas darah dan mengurangi
diameter pembuluh darah. Hal tersebut terjadi
sebagai kompensasi fungsi autoregulasi cerebral
blood flow (CBF). Kadar CBF dipertahankan
melalui refleks vasokonstriksi, akibatnya terjadi
penurunan volume darah serebral dan penurunan
tekanan intrakranial. Pemberian manitol juga
mengurangi tekanan intrakranial melalui
mekanisme osmotik, yang terjadi lebih lambat
(15–30 menit), berhubungan dengan pergerakan
gradual kandungan air dari parenkim ke sirkulasi
darah. Efek manitol tersebut bertahan hingga
6 jam dan memerlukan sawar darah-otak yang
intak. Manitol dapat berakumulasi di daerah
otak yang mengalami trauma, dimana terjadi
gangguan osmotik dan cairan bergerak dari
kompartemen intravaskular ke parenkim otak,
yang kemungkinan mengakibatkan peningkatan
tekanan intrakranial. Berbagai penelitian yang
dilakukan pada manusia dan hewan diketahui
bahwa pemberian manitol memberikan efek
menguntungkan terhadap kondisi peningkatan
tekanan intrakranial, CPP, CBF, dan metabolisme
otak. Manitol juga memberikan efek jangka
pendek
yang
menguntungkan
terhadap
kondisi neurologis. Meskipun demikian masih
belum diketahui mekanisme pasti bagaimana
efek menguntungkan tersebut tercapai dan
kemungkinan efek utama manitol terhadap
otak yaitu menyebabkan peningkatan volume
plasma secara cepat sehingga viskositas darah
menurun, CBF meningkat, perfusi mikrosirkulasi
meningkat, dan terjadi peningkatan penghantaran
oksigen ke otak. Peningkatan volume plasma
tersebut akan menyebabkan peningkatan volume
darah sistemik, sehingga terjadi peningkatan
Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika
cardiac output dan tekanan darah, hal tersebut
kemudian diikuti dengan timbulnya efek diuretik
yang kuat yang dapat menyebabkan terjadinya
hipovolemia. Berdasarkan suatu penelitian
manitol diketahui menyebabkan peningkatan
tekanan perfusi serebral sebanyak 18% dan
penurunan tekanan intraserebral sebanyak 21%
tanpa mempengaruhi tekanan darah arteri. Pada
penelitian tersebut flow velocity pada arteri
serebral medial meningkat sebesar 15,6%.
Efek osmotik manitol mulai timbul pada menit ke
15 sampai dengan ke 30, dimana pada jeda waktu
tersebut terbentuk gradien antara plasma dan
sel, efek tersebut bertahan selama periode yang
bervariasi antara 90 menit hingga 6 jam atau lebih
tergantung pada kondisi klinis.6-7
Dosis dan Sediaan Manitol
Manitol dapat digunakan dalam bentuk infus
kontinyu atau secara bolus berulang. Pemberian
secara bolus lebih efektif dibanding infus
kontinyu. Dosis manitol yang diperlukan
sehingga terjadi peningkatan CBF dan penurunan
tekanan intrakranial umumnya sekitar 0,5–1g/
kg berat badan. Meskipun demikian, seringkali
dosis kurang dari dosis anjuran tersebut sudah
cukup untuk menyebabkan perbaikan. Pada
pasien dewasa, 100ml larutan yang mengandung
manitol 20g sebanyak 20% umumnya cukup
untuk menimbulkan efek terapi. Dosis yang
direkomendasikan untuk pemberian manitol
secara bolus adalah 0,25–1g/kg berat badan.
Saat ini, manitol tersedia dalam bentuk larutan
5%, 10%, 15%, dan 20%. Bentuk sediaan yang
paling sering digunakan adalah 15% dan 20%.
Larutan manitol 15% memiliki osmolaritas 940
mOsm/L.6-7
Efek Samping Manitol
Timbulnya hiperosmolaritas yang hanya terjadi
pada “otak normal” dengan sawar darah otak yang
masih utuh, dikhawatirkan dapat menyebabkan
peningkatan volume otak pada daerah di sekitar
jaringan yang rusak. Hal tersebut lebih jauhnya
akan menyebabkan timbulnya peningkatan
tekanan osmotik pada daerah otak yang rusak,
sehingga terjadi peningkatan kadar air dalam
otak, volume otak kembali tinggi, dan terjadi
125
rebound berupa peningkatan tekanan intrakranial.
Pada suatu penelitian meta-analisis diketahui
bahwa pada pemberian manitol rebound effect
tersebut dapat terjadi. Manitol yang diekskresikan
melalui membran gromelorus tanpa diubah dapat
menyebabkan terjadinya gagal ginjal yang diduga
berhubungan dengan tingginya osmolaritas
pada tubulus, sehingga terjadi nekrosis tubuler
akut. Pada suatu penelitian didapatkan bahwa
manitol merupakan faktor risiko independen
untuk terjadinya gagal ginjal akut pada pasien
cedera kepala berat dalam terapi. Hipotensi arteri,
sepsis, obat nefrotoksik, atau adanya penyakit
ginjal sebelumnya dapat meningkatkan risiko
pasien mengalami gagal ginjal akibat terapi
hiperosmotik.1 Setelah pemberian manitol dapat
timbul penurunan volume cairan intravaskular
yang berlebihan dan gagal ginjal sehingga apabila
terdapat kekhawatiran terjadinya hal tersebut
maka dapat dipilih NaCl hipertonik sebagai
pilihan terapi alternatif.6-7 Pemberian manitol
dapat menyebabkan gangguan keseimbangan
elektrolit berupa hiponatremia dan hipokalemia,
yang kemudian diikuti hiponatremia akibat efek
diuretik kuat yang ditimbulkan.6-7
Berbagai Penelitian mengenai Pemakaian
Manitol
Berdasarkan penelitian terbaru tidak terdapat
perbedaan efektivitas antara pemberian manitol
secara bolus intermiten dengan infus kontinyu.
Pada penelitian terbaru yang membandingkan efek
manitol dengan barbiturat untuk mengendalikan
tekanan intrakranial yang tinggi akibat cedera
kepala diketahui bahwa manitol lebih baik
dibanding barbiturat dalam mengendalikan
tekanan CPP, tekanan intraserebral, dan
menurunkan angka kematian. Pada penelitian
yang membandingkan penggunaan manitol
dengan NaCl hipertonik didapatkan manitol
memiliki efek yang lebih rendah dalam mencegah
mortalitas. Suatu penelitian yang membandingkan
manitol terhadap obat lain yang menurunkan
tekanan intrakranial dan membandingkan manitol
dengan plasebo. Kriteria inklusi yaitu penderita
yang mengalami trauma kepala dengan GCS ≤
11 yang diberikan manitol 20% sebanyak 15 ml/
kg selama 5 menit atau plasebo (larutan saline
0,9%) dalam jumlah yang sama. Pada penelitian
126
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
tersebut nilai RR untuk terjadinya kematian yaitu
1.75% (CI 95% 0.48–6.38). Penelitian yang
dilakukan untuk membandingkan fenobarbital
pada pasien trauma kepala dengan GCS <8 dan
terjadi peningkatan tekanan intrakranial selama
lebih dari 15 menit. Kelompok yang diberikan
manitol menerima dosis awal sebanyak 1gram/
kg untuk mempertahankan tekanan intrakranial
kurang dari 20. Kelompok yang diberikan
pentobarbital diberikan dosis awal 10 mg/
kg intravena, dilanjutkan 0,5–3 mg/kg /jam
infus, didapatkan CPP tetap di atas 50. Dosis
tambahan diberikan bila tekanan intrakranial
diatas 20. Kelompok yang diberikan manitol
menunjukkan hasil yang lebih baik dimana nilai
RR untuk terjadi kematian 0,85 meskipun secara
statistik tidak signifikan. Pada penelitian yang
membandingkan efek hiperventilasi, manitol dan
drainase ventrikulostomi, manitol diberikan 25
gram selama 5 menit. Ditemukan hasil bahwa
drainase ventrikular dan pemberian manitol
memberikan efek yang sama dalam menurunkan
tekanan intrakranial. Saturasi oksigen rata-rata
pada pembuluh darah jugular meningkat 2.5 ±
0.7% dengan pemberian manitol, sedangkan
pada drainase ventrikular tidak ditemukan
perubahan, sedangkan hiperventilasi hanya
memberikan penurunan yang minimal. Penelitian
ini menyatakan bahwa hiperventilasi, manitol
dan drainase ventrikulostomi menurunkan
tekanan intrakranial, namun hanya manitol yang
secara signifikan meningkatkan SJV02 dan CBF.
Penelitian serupa juga pernah dilakukan, dimana
didapatkan hasil efek terapi hiperosmolar lebih
konsisten dan bertahan lebih lama dibandingkan
efek hiperventilasi.
Beberapa penelitian eksperimental menemukan
bahwa larutan salin hipertonik sebanding
dengan manitol dalam menurunkan tekanan
intrakranial. Penelitian yang membandingkan
pemberian salin 7,5% sebanyak 250 ml dengn
manitol 20% sebanyak 250 ml pada hewan
coba domba, keduanya didapatkan hasil yang
sama dalam menurunkan tekanan intrakranial.
Penelitian serupa dilakukan pada kasus
trauma kepala berat. Kedua agen hiperosmolar
tersebut diberikan dengan dosis 2 ml/kg untuk
menurunkan tekanan intrakranial <25mmHg.
Penelitian lain didapatkan bahwa manitol lebih
baik menurunkan angka kejadian mortalitas.
Penenlitian yang membandingkan penggunaan
salin 23,4% sebanyak 30ml dan didapatkan hasil
bahwa larutan salin tersebut memiliki efektivitas
yang sama seperti penggunaan manitol 20%
sebanyak 220ml pada penderita dengan hipertensi
intrakranial refraktorik. Terdapat penelitian RCT
yang membandingkan manitol dengan larutan
salin hipertonik pada 20 pasien dengan tekanan
intrakranial >20 mmHg setelah sebelumnya
mengalami trauma kepala. Setelah 60 menit
pemberian melalui infus, tekanan intrakranial
berkurang menjadi 14 mmHg pada kelompok
dengan pemberian manitol dan 10 mmHg pada
kelompok salin hipertonik. Penelitian lain
menemukan bahwa larutan salin hipertonik lebih
efektif dalam menurunkan tekanan intrakranial
jika manitol tidak berhasil menurunkan tekanan
intrakranial.7-8
5.2 NaCl Hipertonik
Berbagai penelitian klinis menunjukkan bahwa
penurunan tekanan intrakranial juga dapat dicapai
melalui pemberian NaCl hipertonik. Penggunaan
NaCl hipertonik untuk mengendalikan tekanan
intrakranial pertama kali dilakukan pada
penelitian mengenai resusitasi hipovolume.
Pada penelitian tersebut cairan NaCl hipertonik
diberikan pada pasien multitrauma dengan syok
perdarahan. Subgrup yang disertai cedera kepala
berat mendapatkan keuntungan yang paling besar
dengan pemberian NaCl hipertonik. Hal tersebut
ditandai dengan parameter hemodinamik secara
efektif dapat dipulihkan dan pasien dapat bertahan
hidup. Hasil penelitian tersebut menunjukan
bahwa NaCl hipertonik dapat memberikan
keuntungan pada pasien cedera kepala berat dan
menjaga atau bahkan memulihkan parameter
hemodinamik, memicu untuk dilakukannya
penelitian lebih lanjut.9
Mekanisme Kerja NaCl Hipertonik
Pada otak dengan sawar darah-otak yang utuh,
sangat sedikit natrium yang dapat melewati sawar
darah-otak, sehingga apabila kadar natrium dalam
pembuluh darah tinggi, maka cairan interstisial
pada otak akan tertarik ke pembuluh darah.5 Efek
prinsip dari mekanisme kerja NaCl hipertonik
kemungkinan karena mobilisasi osmotik air
Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika
melewati sawar darah-otak yang utuh sehingga
mengurangi kandungan air pada serebral. Pada
penelitian terhadap penggunaan NaCl hipertonik
pada hewan diketahui bahwa terjadi penurunan
kadar air terutama pada jaringan otak yang tidak
terkena trauma, akibat efek osmotik yang timbul
setelah sebelumnya terbentuk gradien antara
sawar darah-otak, meskipun hasil penelitian
tersebut tidak dapat dijadikan sebagai bukti
pendukung.
Mekanisme lain dari NaCl hipertonik yaitu
diduga menurunkan viskositas darah, sehingga
terjadi peningkatan CBF dan oksigenasi serebral,
dan terjadi vasokonstriksi autoregulasi yang
menyebabkan penurunan tekanan intrakranial.8-9
Efek NaCl terhadap mikrosirkulasi juga memiliki
peran penting yaitu menyebabkan sel endotel dan
eritrosit mengalami dehidrasi sehingga terjadi
peningkatan diameter pembuluh darah dan
deformabilitas eritrosit, dan pada akhirnya terjadi
peningkatan volume plasma disertai perbaikan
aliran darah. Meskipun mekanisme pastinya
belum diketahui, namun NaCl hipertonik
diketahui memiliki efek pelumpuh otot terhadap
otot polos sel endotel yang menyebabkan dilatasi
arteri. NaCl hipertonik juga diduga memiliki efek
imunomodulator yaitu mengurangi migrasi dan
adhesi leukosit ke jaringan otak yang mengalami
trauma, dan mengurangi ekspresi CD11b pada
leukosit dan neutrofil. Selain itu, NaCl hipertonik
juga menurunkan kadar sitokin pro-inflamasi
seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α),
dan meningkatkan kadar sitokin anti-inflamasi,
sehingga menyeimbangkan respons inflamasi dan
mencegah kerusakan lebih lanjut.
Dosis dan Sediaan NaCl Hipertonik
Konsentrasi dan volume NaCl hipertonik yang
digunakan sangat bervariasi secara signifikan,
dari konsentrasi 1,5% hingga 23%, dan volume
10 hingga 30ml/kg berat badan. Saat ini, bentuk
sediaan yang paling sering digunakan adalah
larutan 7,2% yang diberikan secara bolus dalam
volume rendah. Selain itu, larutan 3% juga
dapat direkomendasikan untuk diberikan secara
kontinyu dan dikatakan memiliki efek samping
yang lebih rendah. Larutan 7,2% memiliki
osmolaritas 2280 mOsm/L sedangkan larutan 3%
memiliki osmolaritas 950 mOsm/L. Berdasarkan
127
hal tersebut maka larutan manitol 15% memiliki
nilai osmolaritas setara larutan NaCl hipertonik
3%.
Cara Pemberian NaCl Hipertonik
NaCl hipertonik telah menjadi agen resusitasi
yang dapat diberikan secara bolus maupun secara
infus kontinyu.
Pemberian NaCl Hipertonik Secara Infus
Kontinyu
Pemberian NaCl hipertonik pada cedera
kepala berat bertujuan juga antara lain untuk
mengobati hiponatremia yang terjadi atau untuk
menciptakan kondisi hipernatremia.3 Penelitian
yang dilakukan pada 34 pasien dewasa dengan
GCS 13 atau kurang akibat cedera kepala. Pasien
tersebut dibagi ke dalam dua kelompok. Pada
kelompok NaCl hipertonik diberikan 1,6% NaCl
yang tertitrasi untuk mengobati instabilitasi
hemodinamik dengan tekanan darah sistolik
<90mmHg pada periode prehospital dan inhospital
hingga maksimal 5 hari dan sebagai terapi rumatan
diberikan NaCl normal. Pada kelompok lainnya
diberikan larutan Ringer Lactate sebagai terapi
instabilitas hemodinamik, dan NaCl setengah dari
kadar normal sebagai terapi rumatan. Hasil dari
penelitian tersebut tidak ditemukan perbedaan
perjalanan penurunan tekanan intrakranial antara
pada kedua kelompok tersebut. Pada anakanak telah banyak dilakukan penelitian untuk
mengetahui efek pemberian NaCl hipertonik.
Dosis efektif pada anak yaitu pada rentang 0,1
hingga 1,0 mL/kgBB/jam. Pemilihan manitol
atau NaCl hipertonik sebagai agen perosmolar
lini pertama diserahkan pada dokter yang
mengobatinya. Pada panduan penatalaksanaan
cairan pada anak dengan peningkatan tekanan
intrakranial, direkomendasikan pemberian infus
kontinyu larutan NaCl 3% untuk mengendalikan
peningkatan tekanan intrakranial.
Pemberian NaCl Hipertonik Secara Bolus
Pemberian bolus untuk pengobatan hipertensi
intrakranial pada 4 serial kasus telah
dipublikasikan untuk mengevaluasi pemberian
infus bolus NaCl hipertonis antrara 7,2 hingga
10% pada pasien yang mengalami TBI. Dari
total 34 pasien yang turut serta dalam penelitian
128
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
didapatkan bahwa pemberian infus bolus NaCl
hipertonik dapat menurunkan secara signnifikan
tekanan intrakranial pada seluruh pasien penelitian
tersebut. NaCl hipertonik efektif menurunkan
tekanan intrakranial pada pasien yang refrakter
terhadap manitol. Enam dari tujuh penelitian
RCT mendukung penggunaan NaCl hipertonik
secara bolus sebagai terapi peningkatan tekanan
intrakranial, dan tidak terdapat penelitian yang
memberikan hasil buruk dibanding terapi lain
pada pemberian NaCl hipertonik secara bolus.
Pengukuran efek terapi hiperosmolar dapat diukur
melalui osmolaritas serum. Target osmolaritas
serum yaitu 300–320 mOsm/liter. Osmolaritas
dapat dihitung berdasarkan kadar sodium (mOsm/
liter), glukosa (mg/dl), dan blood urea nitrogen
(mg/dl), berdasarkan rumus osmolaritas yaitu (2
× sodium) + (glukosa ÷ 18) + (blood urea nitrogen
÷ 3). Efek pemberian manitol atau larutan salin
hipertonik dapat juga diketahui dengan menilai
kadar sodium dalam serum, dimana nilai yang
diharapkan yaitu antara 145–150 mmol/liter.8
Efek Samping NaCl Hipertonik
Rebound phenomenon yang terjadi pada
penggunaan manitol juga dilaporkan terjadi
pada pemberian NaCl 3% pada edema tanpa
trauma, namun fenomena tersebut belum pernah
dilaporkan pada pemberiannya untuk cedera
kepala berat bahkan pada pemberian berulang.2
Pada sebuah penelitian diketahui bahwa kejadian
rebound relatif lebih jarang dengan durasi yang
lebih pendek pada pasien yang diberikan NaCl
hipertonik dibandingkan pada pasien yang
diberikan manitol.9,10 Salah satu efek samping
yang paling buruk dan mungkin terjadi pada
pemberian NaCl hipertonik adalah central
pontine myelinolysis atau osmotic demyelination
syndrome, yang melibatkan destruksi mielin
terutama pada pons dengan gambaran klinis
letargi dan quadraparesis. Infus menggunakan
NaCl hipertonik berisiko menyebabkan central
pontine myelinolysis apabila diberikan pada
pasien dengan riwayat hipernatremia kronis
sebelumnya. Pada pasien anak hipernatremia dan
hiperosmolaritas yang terjadi secara umum dapat
ditoleransi dengan baik selama tidak terdapat
kondisi lain yang memberatkan, seperti misalnya
hipovolemia yang kemudian dapat menyebabkan
gagal ginjal akut.2,9,10 Terapi hiperosmosis dapat
menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit,
dan hal ini pada pemberian NaCl hipertonik
berupa peningkatan kadar natrium dan klorida
diatas normal hingga terjadi hipernatremia dan
asidosis hiperkloremik. Selain itu, sejumlah besar
kalium juga terbuang melalui ginjal sehingga
terjadi hipokalemia. Plebitis dan kerusakan
jaringan sekitar daerah pemasangan infus larutan
hiperosmolar dapat terjadi apabila lokasinya di
daerah vena perifer. Larutan NaCl 2% atau lebih
harus diberikan melalui kateter vena sentral.4, 9,10
Perbandingan Pemberian Manitol dengan NaCl
Hipertonik
Terdapat beberapa
penelitian yang telah
dilakukan untuk membandingkan penggunaan
manitol dengan NaCl hipertonik yang
memberikan hasil bervariasi. Sebagian besar hasil
penelitian menunjukkan bahwa NaCl hipertonik
memberikan efek mengendalikan tekanan
intrakranial yang lebih baik dibanding manitol.
Pada beberapa penelitian didapatkan hasil berupa
penurunan tekanan intrakranial yang lebih baik
pada beberapa menit hingga jam pertama setelah
pemberian NaCl hipertonik dibanding manitol.
Meskipun demikian, pada beberapa penelitian
lainnya tidak didapatkan perbedaan antara efek
pemberian NaCl hipertonik dengan manitol.
Baik pada pemberian manitol maupun NaCl
hipertonik, tidak didapatkan risiko hipotensi
yang signifikan. Berikut hasil beberapa penelitian
mengenai perbandingan efek pemberian manitol
dengan NaCl hipertonik pada peningkatan
tekanan intrakranial akibat cedera kepala.9-10
Pro Kontra Pemakaian Terapi Hiperosmolar
pada Cedera Kepala
Pada suatu penelitian didapatkan bahwa pasien
yang mendapatkan terapi hiperosmolar memiliki
luaran yang lebih buruk dibanding kontrol pada
bulan ketiga. Hal tersebut disimpulkan setelah
sebelumnya kemungkinan adanya variabel
lain yang dapat mengacaukan hasil penelitian
disingkirkan. Beberapa alasan terjadinya hal
tersebut adalah pertama patofisiologi dari
penyebab edema cerebral. Pada cedera kepala
edema cerebral yang terjadi sebagian besar
adalah edema sitotoksik yang resisten terhadap
Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika
129
Tabel 1. Berbagai Penelitian mengenai Perbandingan Efek Pemberian Manitol dengan NaCl Hipertonik
pada Peningkatan Tekanan Intrakranial Akibat Cedera Kepala
Peneliti dan Tahun Penelitian
Ichal dkk. 2009
Francony dkk. 2009
Harutjunyan dkk. 2005
Vialet dkk. 2003
Yildizdas dkk. 2006
Design Penelitian
RCT
Jumlah Pasien Perubahan Neurologis/ Mortalitas
34
Skor GOS lebih baik pada kelompok
NaCl hipertonis
RCT
20
Tidak spesifik
RCT
32
Angka survival 59% pada kelompok
NaCl hipertonik, 40% pada kelompok
manitol
RCT
20
Tidak terdapat perbedaan tingkat
mortalitas merupakan perkembangan
status neurologis pada hari ke-90
R e t r o s p e k t i f , 67
Tingkat mortalitas dan durasi periode
crossover
koma lebih rendah pada kelompok NaCl
hipertonik dibanding kelompok manitol
Dikutip dari: Mortazavi dkk.9
terapi hiperosmotik, serta timbul bekuan darah
yang juga menimbulkan resistensi terhadap terapi
tersebut. Selain itu, adanya kerusakan sawar
darah-otak juga menjadi alasan timbulnya hasil
yang buruk tersebut.11-12
Efek Samping Terapi Hiperosmolar
Terdapat beberapa penelitian yang mengemukakan
efek samping dari pemberian larutan salin
hipertonis. Salah satu komplikasi terburuk yaitu
terjadinya central pontine myelinolysis atau
osmoticdemyelination syndrome, dimana terjadi
kerusakan mielin di dalam pons yang ditandai
dengan letargi dan quadraparesis. Efek samping
ini umumnya terjadi akibat koreksi cepat
hiponatremi dengan pemberian larutan salin
hipertonik. Pada penelitian dengan dosis bolus,
rata-rata konsentrasi sodium tertinggi setelah
pemberian larutan salin hipertonik yaitu 170,7
mmol/L, dan tidak ditemukan efek samping.
Dikatakan bahwa kadar sodium dalam serum
sebaiknya diukur dalam waktu 6 jam setelah
pemberian bolus. Efek samping yang umum
ditemukan pada pemberian osmoterapi yaitu
volume yang berlebih, dan merupakan masalah
yang potensial pada pasien yang mengalami
gangguan kardiopulmonal.
Pemberian larutan salin hipertonik umumnya
mengalami hipervolemik, sedangkan pemberian
manitol awalnya akan mengalami hipervolemik,
namun
kemudian
mengalami
dehidrasi.
Pada pasien dimana diperlukan volume
yang dipertahankan seperti pada perdarahan
subarahnoid, larutan salin hipertonik memberikan
terapi terhadap hipertensi intrakranial dan
pencegahan/pengobatan vasospasme. Pemberian
manitol berpotensi berbahaya, namun tetap dapat
digunakan dengan pengawasan melalui tekanan
vena sentral dan memperhatikan input dan output
cairan. Manitol diekskresi melalui membran
glomerular secara utuh dapat mengakibatkan
gagal ginjal. Walaupun mekanisme terjadinya
masih belum jelas, namun kemungkinan
berhubungan dengan osmolaritas yang sangat
tinggi pada tubulus, mengakibatkan nekrosis
tubular akut.11,12
Gambar 2.4 Efek Pemberian Manitol pada Edema
Serebri.12
130
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
5.3 Natrium laktat hipertonik
Merupakan larutan hipertonik yang berisi
natrium laktat, kalium klorida, dan kalsium
klorida dalam konsentrasi fisiologis. Laktat
digunakan sebagai metabolit interselular kunci
antara glikolisis dan fosforilasi oksidatif yang
keduanya dapat diproduksi dan digunakan oleh
otak dibawah kondisi patologis. Studi terhadap
hewan dan manusia menunjukkan bahwa laktat
dapat mencegah efek neurologis yang merugikan
dari hipoglikemia, mengindikasikan bahwa laktat
sistemik dapat dimetabolisme oleh otak.12,13
Mekanisme kerja natrium laktat hipertonik
Natrium laktat hipertonik dalam volume kecil
selama kondisi hipovolemia pada penderita
postoperasi jantung mampu meningkatkan curah
jantung, penghantaran oksigen, keluaran urin,
mengurangi asidosis metabolik, dan menjaga
hemodinamik agar tetap stabil. Hasil tersebut
lebih baik jika dibandingkan dengan pemberian
kristaloid. Beberapa penelitian menunjukkan
pemberian infus laktat pada cedera kepala akan
meningkatkan suplai glukosa yang akhirnya
mempengaruhi hasil fungsional dan histologis.
Laktat diduga menjadi sumber energi otak
pada penderita yang mengalami cedera kepala
maupun yang tidak, efek ini didapatkan dengan
menaikkan konsumsi oksigen mitokondria.
Laktat mampu menaikkan konsumsi oksigen
mitokondria jaringan otak, sedangkan glukosa
menjaga konsumsi oksigen mitokondria jaringan
otak pada nilai yang stabil.12
Prinsip kerja cairan hiperosmotik seperti natrium
laktat hipertonik adalah untuk menghasilkan
gradien osmotik diantara sawar darah otak (blood
brain barrier) karena impermeabilitas sawar
darah otak terhadap manitol dan Na, namun
tidak terhadap laktat. Sifat hiperosmotik natrium
laktat hipertonik yang berasal dari konsentrasi
Na, sedangkan laktat berperan sebagai alternatif
sumber energi untuk jaringan otak, terutama
pada keadaan post-iskemia. Efektivitas cairan
hiperosmotik bergantung pada “koefisien
refleksi” pada agen terlarutnya, yang menentukan
impermeabilitas relatif dari sawar darah otak
terhadap larutan. Koefisien refleksi 1 berarti
sawar darah otak impermeabel (tidak dapat
ditembus) absolut terhadap komponen terlarut,
sedangkan 0 berarti permeabel total. koefisien
refleksi Na adalah 1 dan manitol adalah 0,9,
karena itu larutan hipertonik yang mengandung
Na secara teoritis bisa lebih superior dibanding
manitol dalam menurunkan tekanan intrakranial
atau pembengkakan otak. Sayangnya belum
ada bukti yang mendukung teori ini.13 Studi ini
menunjukkan bahwa natrium laktat hipertonis
berhubungan dengan efek diuretik yang kurang
dibandingkan manitol, yang sudah dilaporkan
oleh studi lain. Rozet et al juga melaporkan balans
cairan negatif yang terjadi setelah pemberian
manitol dan peningkatan kadar laktat setelah
pemberian natrium laktat hipertonis. Peningkatan
kadar laktat dapat merupakan sekunder dari
hipovolemia efektif yang dicetuskan manitol.
Baik hipertonik salin 3% maupun hipertonik laktat
memiliki kadar Na yang sama dan meningkatkan
kadar Na serum.13
Efek samping natrium laktat hipertonik
Peningkatan kadar Na serum merangsang
pelepasan hormon antidiuretik, menimbulkan
absorpsi air bebas dari ginjal yang menjelaskan
efek diuretik hipertonik salin laktat yang lebih
kecil dibandingkan manitol. Manitol berhubungan
dengan penurunan CVP signifikan dibandingkan
hipertonik salin laktat, kemungkinan dikarenakan
efek diuretik dari manitol. Kami mengamati
peningkatan signifikan dari CVP dalam 15
menit setelah pemberian hipertonik salin laktat,
dapat diakibatkan ekspansi volume dari larutan
hiperosmotik, namun peningkatan tersebut tidak
bertahan. Temuan yang sama ditunjukkan oleh
studi Gemma et al setelah pemberian hipertonik
salin 7,5%.13 Laktat dianggap dapat meningkatkan
kadar gula darah melalui glukoneogenesis hepatik
(siklus Cori). Terdapat beberapa penelitian
mengenai efek pemberian larutan RL dan NaCl
terhadap kadar gula darah. Pemberian RL 20 ml/
kg akan meningkatkan kadar gula darah sebanyak
14.56 ± 0.51 mg/dl, sedangkan pemberian
NaCl hipertonik 100 ml meningkatkan glukosa
darah 3,8% dibandingkan baseline. Penelitian
serupa menunjukkan peningkatan kadar gula
darah yang signifikan pada kelompok natrium
laktat hipertonik yang dapat diakibatkan karena
volume pemberian natrium laktat hipertonik
Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika
yang lebih banyak pada pasien, respons stres
pembedahan, dan pengaruh dari isoflurane
selama prosedur operasi.13 Kadar gula darah
yang tinggi dapat menimbulkan efek negatif pada
otak, pasien dengan cedera otak traumatik berat
dengan kadar gula darah post operasi >200 mg/
dl memiliki prognosa buruk secara signifikan
dibandingkan pasien dengan kadar gula darah <
200 mg/dl. Teori lama mengatakan bahwa kadar
gula darah yang tinggi dapat merugikan pada
kondisi iskemik karena glukosa akan dikonversi
menjadi asam laktat yang dapat merusak jaringan
saraf. Namun bukti-bukti mendukung teori baru
dari Schrurr et al, bahwa efek merugikan dari
hiperglikemia selama iskemia serebral tidak
berhubungan dengan laktat melainkan karena
pelepasan corticosterone sebagai respons dari
kadar gula yang tinggi. Kontras pada kondisi post
iskemik dimana oxygen delivery akan segera
membaik, laktat berperan sebagai substrat siap
pakai, yang akan langsung dikonversi menjadi
piruvat. Kemudian piruvat memasuki siklus
asam trikarboksilat memproduksi ATP, dimana
satu molekul laktat menghasilkan 17 ATP.13
Berbagai penelitian mengenai natrium laktat
hipertonik
Natrium laktat hipertonik saat ini merupakan
alternatif yang menarik baik sebagai cairan
resusitasi maupun osmoterapi. Sebuah studi
membandingkan efikasi dari natrium laktat
hipertonik dan manitol pada penurunan tekanan
intrakanial menunjukkan bahwa natrium
laktat hipertonik menghasilkan penurunan
tekanan intrakranial yang nyata dan signifikan
dibanding manitol. Namun studi yang sama
juga menunjukkan penurunan kadar gula darah
yang signifikan pada pasien yang mendapatkan
natrium laktat hipertonik. peningkatan kadar gula
darah hingga batas tertentu berhubungan dengan
efek merugikan pada hasil akhir neurologis.
Penelitian tentang efek manitol dan natrium
laktat hipertonik pada tekanan intrakranial pun
telah dilakukan dan memberikan hasil natrium
laktat hipertonik dilaporkan lebih efektif dalam
menurunkan tekanan intra kranial dan memiliki
efek lebih panjang dari manitol. Pemberian
bolus natrium laktat hipertonik 3% 5 ml/kg
dengan manitol, tidak menemukan perbedaan
131
dalam relaksasi otak pada kedua grup tersebut.
Efek infus natrium laktat hipertonik 3% 160
ml dan manitol 20% 150 ml terhadap relaksasi
otak, menunjukkan hasil bahwa salin hipertonis
lebih baik dibandingkan manitol 20%, yang
mana tidak sesuai dengan temuan kami (natrium
laktat hipertonik memiliki konsentrasi Na yang
sama dengan salin hipertonik. Perbedaan ini
disebabkan karena perbedaan volume pada cairan
hiperosmotik yang diberikan pada pasien dan
populasi yang diteliti.13
VI. Simpulan
Manitol dan NaCl hipertonik sebagai obat terapi
hiperosmolar dalam penatalaksanaan pasien
trauma kepala masih menjadi pilihan. Kedua obat
tersebut diyakini efektif dalam mengurangi tekanan
intrakranial dalam penatalaksanaan hipertensi
intrakranial akibat trauma. Berbagai penelitian,
termasuk penelitian RCT menunjukkan bahwa
pemberian NaCl hipertonik lebih efektif dalam
menurunkan tekanan intrakranial, dibanding
manitol. Namun, keuntungan yang ditimbulkan
terhadap peningkatan status neurologis pasien dari
pemberian NaCl hipertonik dibanding manitol
tidak jelas meskipun terdapat trend positif ke arah
penggunaan NaCl hipertonik, sehingga belum
cukup kuat untuk dapat merekomendasikan
penggunaan, konsentrasi dan cara pemberian
NaCl hipertonik untuk terapi hipertensi
intrakranial. Sebagai pertimbangan lain, NaCl
hipertonik juga tidak menyebabkan hipotensi
dibanding manitol. Namun efek samping yang
ditimbulkan oleh kedua obat tersebut juga cukup
banyak; mulai dari gangguan elektrolit hingga
efek terhadap jantung, ginjal serta organ-organ
lain. Dalam penggunaannya harus disertai dengan
alat monitoring untuk mencegah efek samping
pada organ-organ. Efektivitas cairan hiperosmotik
dalam mengurangi edema pada jaringan yang
pembuluh darahnya mengalami kerusakan juga
masih dipertanyakan. Bahkan penggunaan obatobatan tersebut sebagai terapi hiperosmlar diduga
malah meningkatkan angka kematian karena
dapat memperluas edema sehingga semakin
memperburuk peningkatan tekanan intrakranial.
Disamping sifat hiperosmotiknya, cairan
hiperosmolar seperti manitol, NaCl hipertonik,
132
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
natrium laktat hipertonik dapat meningkatkan
perfusi otak melalui efek pada reologi darah,
pengempisan eritrosit, dan penurunan produksi
cairan serebrospinal. Baik manitol maupun
natrium laktat hipertonik keduanya memiliki
sifat anti inflamasi. Manitol memiliki sifat
menghancurkan radikal bebas (free-radical
scavenging) yang dapat menurunkan kadar
malondialdehid,
katalase,
dan
glutasion
peroksidase yang meningkat pada cedera otak
traumatik. Efek ini tidak dimiliki oleh natrium
laktat hipertonik. Natrium laktat hipertonik
mengandung levo-laktat, yang berperan sebagai
substrat siap pakai bagi metabolisme energi
otak pada kondisi pasca iskemik. Manitol tidak
memiliki keuntungan ini, disebabkan oleh sifat
osmotiknya. Manitol maupun natrium laktat
hipertonik memiliki keunggulan masing-masing
terhadap kondisi pasien secara spesifik. Natrium
laktat hipertonik direkomendasikan pada pasien
dengan suspek hipovolemia atau hipoksia,
sedangkan manitol direkomendasikan pada kasuskasus dengan baseline gula darah yang tinggi,
riwayat diabetes atau kondisi hipernatremia.
Dalam penelitian prospektif acak pada manusia
yang membandingkan efek dari larutan natrium
laktat hipertonik dan manitol ekuosmolar dan
ekuivolemik terhadap relaksasi otak, tekanan
darah, CVP, dan kadar gula darah intraoperatif.
Natrium laktat hipertonik dapat direkomendasikan
sebagai alternatif manitol dalam menghasilkan
relaksasi otak selama prosedur kraniektomi pada
kasus cedera otak traumatik sedang, hemodinamik
tidak stabil dan/atau risiko hipovolemia dan
bukan pada pasien dengan riwayat diabetes.
Daftar Pustaka
1. Bullock MR, Povlishock JT. Guidelines for
the management of severe traumatic brain
injury. Edisi ke-3. Journal of Neurotrauma.
2007;24(1): S1–S2.
2. Haddad S, Arabi Y. Critical care management
of severe traumatic brain injury in
adults. Scandinavian Journal of Trauma,
Resuscitation and Emergency Medicine
2012, 20:12.
3. Helmy A, Vizcaychipin M, Gupta AK.
Traumatic brain injury: intensive care
management. Br J Anaesth 2007; 99: 32–42.
4. Kolmodin L, Sekhon MS, Henderson WR,
Turgeon AF, Griesdale DE. Hypernatremia
in patients with severe traumatic brain injury:
a systematic review. Annal Intensive Care.
2013; 3: 35.
5. Wakai A, McCabe A, Robert I, Schierhout
G. Mannitol for acute traumatic brain injury.
The Cochrane Collaboration. 2013; 8: 1–21.
6. Wani AA, Ramzan AU, Nizami F, Malik NK,
Kirmani AR, Bhatt AR, dkk. Controversy in
use of mannitol in head injury. Indian Journal
of Neurotrauma. 2008; 5(11): 11–3.
7. Sharma G, Setlur R, Swamy MN. Evaluation
of mannitol as an osmotherapeutic agent in
traumatic brain injuries by measuring serum
osmolality. MJAFI 2011;67:230–233.
8. Li J, Wang B. Hyperosmolar therapy for
the intracranial pressure in neurological
practice: manitol versus hypertonic saline.
International Journal of Anesthesiology
Research. 2013; 1: 56–61.
9. Mortazavi MM, Romeo AK, Deep A,
Griessennauer CJ, Shoja MM, Tubbs RS,
dkk. Hypertonic saline for treating raised
intracranial pressure: literature review with
meta-analysis. J Neurosurg. 2012; 116: 210–21.
10. Collins TR. Hyperosmolar therapy yield
worse results in primary ICH patients,
database review show. Neurology Today.
2014; 42–5.
11. Marko NF. Hypertonic saline, not mannitol
should be considerred gold-standard medical
therapy for intracranial hypertension. Critical
Care. 2012; 16: 1–3.
12. Arifin MZ, Risdianto A. Perbandingan
efektivitas natrium laktat dengan manitol
untuk menurunkan tekanan intrakranial
Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika
penderita cedera kepala berat. MKB 2012,
Volume 44 No. 1.
13. Ahmad RM, Hanna. Effect of equiosmolar
solutions of hypertonic sodium lactate
133
versus mannitol in craniectomy patients
with moderate traumatic brain injury. Med J
Indones. 2014; 23–1.
Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada Preeklampsia/Eklampsia
Rafidya Indah Septica, Yusmein Uyun, Bambang Suryono S
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada –Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta
Abstrak
Preeklampsia adalah kelainan multisistim unik pada ibu hamil. Preeklampsia terjadi pada sekitar 3-8% kehamilan,
dengan angka mortalitas akibat gangguan serebrovaskuler yang cukup tinggi (67%). Adanya 2 protein antiangiogenik
yang diproduksi berlebihan oleh plasenta yang memberi akses masuk ke sirkulasi maternal merupakan molekul
yang bertanggung jawab terhadap munculnya preeklampsia, yaitu soluble Fms-like tyrosine kinase, yang merupakan
inhibitor endogen vascular endothelial growth factor dan placental growth factor, dan endoglin terlarut (sEng).
Faktor-faktor tersebut menyebabkan disfungsi endotel sistemik yang berefek terutama ke hati, otak, dan ginjal.
Disfungsi endotel pada otak diasumsikan berperan melalui 2 teori, yaitu sebagai respon terhadap hipertensi berat
akut, sehingga regulasi berlebihan serebrovaskuler memicu terjadinya vasospasme; dihipotesakan aliran darah
otak (ADO) hilang akibat iskemia, edema sitotoksik, infark dan terjadinya peningkatan mendadak tekanan darah
sistemik melebihi kapasitas autoregulasi serebrovaskuler normal, sehingga terjadi kerusakan tekanan ujung kapiler
yang menyebabkan kenaikan tekanan hidrostatik, hiperperfusi, ekstravasasi plasma dan sel darah merah melalui
endothelial tight junctions yang terbuka mengakibatkan akumulasi edema vasogenik. Walaupun demikian perubahan
serebrovaskuler tidak selalu menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Dengan bantuan teknologi yang lebih
baik dan canggih, abnormalitas serebrovaskuler yang dipicu oleh preeklampsia-eklampsia, juga efek hipertensi
pada perfusi serebral dapat dijelaskan dengan lebih baik. Pertimbangan khusus pemilihan teknik anestesi pada
preeklampsia dimulai dengan persiapan preoperatif berupa penilaian preanestesi, pemilihan manajemen anestesi,
teknik induksi pada anestesi umum, dan interaksi antara MgSO4 dan pelumpuh otot nondepolarisasi. Teknik anestesi
sesuai kaidah neuroanestesi adalah teknik terpilih pada preeklampsia/eklampsia dengan kenaikan tekanan intrakranial
Kata kunci: preeklampsia, patofisiologi serebrovaskuler, manajemen anestesi
JNI 2015; 4 (2): 134–48
Cerebrovascular Pathophysiology and Anesthetic Implication in Preeclampsia/Eclamsia
Abstract
Preeclampsia is a uniqe multisystem disorder in pregnant women. Preeclampsia affecting 3-8% of pregnancies, with
high maternal mortality related to cerebrovascular accident (67%). The over produced two antiangiogenic proteins
by placenta that gain access to the maternal circulation have become the main molecules responsible for phenotype
of preeclampsia; which are soluble Fms-like tyrosine kinase, endogenous inhibitor of vascular endothelial growth
factor and placental growth factor, and soluble endoglin (sEng). All these factors cause systemic endothelial
dysfunction, mostly affected liver, brain, and kidney. Endothelial cell dysfunction may play role in two theories: as
respon to acute severe hypertension thus cerebrovascular overregulation leads to vasospasm; as hypothesized,the
diminished cerebral blood flow (CBF) resulted in ischaemia, cytotoxic edema, and infarct and a sudden elevation in
systemic blood pressure exceeded the normal cerebrovascular autoregulatory capacity, and lead to disruption of the
end-capillary pressure which causes increased hydrostatic pressure, hyperperfusion, and extravasation of plasma
as well as red cells through disruption of the endothelial tight junctions leading to the accumulation of vasogenic
edema. Nevertheless, cerebrovascular changes not always increase intracranial pressure. With the new and better
technologies, the abnormal cerebrovascular related to preeclampsia-ecclampsia, and hypertension effect on cerebral
perfusion can be more clearly explained. Special consideration for anesthesia technique in preeclampsia should be
begin with preoperative preparation as pre-anesthestia assesment, choosing the anesthestia technique, induction
technique and consideration of MgSO4 and nondepolarising muscle relaxant interaction when using general anesthesia.
If intracranial pressure increased, neuroanesthesia technique is recommended. In preeclampsia/eclampsia cases.
Key words: preeclampsia, cerebrovascular pathophysiology, anesthestic management
134
JNI 2015; 4 (2): 134–48*
Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada
Preeklampsia/Eklampsia
I. Pendahuluan
Sindrom klinik preeklampsia didefinisikan
sebagai hipertensi dan proteinuria yang muncul
setelah kehamilan 20 minggu. Edema tidak lagi
dimasukkan dalam kriteria diagnosa, karena
rendahnya spesifisitas.1,2 Edema banyak terjadi
pada wanita hamil yang sehat.1 Preeklampsia
terjadi pada sekitar 3–8% kehamilan.2 Selama
tahun 2003–2005 Confidential Enquiry into
Maternal and Child Health (CEMACH)
melaporkan, 18 kematian akibat preeklampsia dan
eklampsia; 67% akibat gangguan serebrovaskuler
(10 perdarahan intrakranial, ICH; dan 2 infark
serebral).1 Preeklampsia adalah penyakit
multisistim unik pada ibu hamil. Walaupun
penelitian berlanjut, pemahaman tentang
etiologinya tetap belum jelas. Adanya 2 protein
antiangiogenik yang diproduksi berlebihan oleh
plasenta yang memberi akses masuk ke sirkulasi
maternal merupakan molekul yang bertanggung
jawab terhadap munculnya preeklampsia. Soluble
Fms-like tyrosine kinase (sFlt-1), inhibitor
endogen vascular endothelial growth factor
(VEGF) dan placental growth factor (PlGF)
dan endoglin terlarut (sEng), co-reseptor yang
mengubah growth factor beta diketahui meningkat
pada serum ibu preeklampsia. Pada penelitian,
injeksi mediator-mediator tersebut pada tikus,
menyebabkan disfungsi endotel sistemik yang
mirip dengan preeklampsia, termasuk hipertensi
berat, proteinuria, endoteliosis glomerular, dan
sindroma HELLP.3 Progresivitas disfungsi endotel
sistemik pada ibu berefek terutama padahati, otak,
dan ginjal.2 Otak mempunyai peran sentral pada
sindrom preeklampsia-eklampsia. Penelitian
neuroanatomi semakin baik dan canggih dengan
ditemukannya teknologi computed tomography
(CT), Doppler, dan magneting resonance imaging.
Dengan bantuan teknologi tersebut abnormalitas
serebrovaskuler yang dipicu preeklampsiaeklampsia, juga efek hipertensi pada perfusi
serebral dapat digambarkan dengan lebih baik.4
II. Neuroanatomi pada Eklampsia
Mayoritas kematian akibat eklampsia adalah
edema pulmonum sedangkan lesi pada otak
merupakan ko-insiden.4 Perdarahan intraserebral
135
lebih dari 60%, hanya menyebabkan kematian
pada 50% pasien eklampsia. Lesi utama lain
yang ditemukan saat otopsi adalah petekia
kortikal dan subkortikal seperti tampak pada
gambar 1. Gambaran histologinya terdiri dari
sejumlah perdarahan kecil diameter 0,3–1,0 mm
membentuk garis-garis radial 2–4cm di korteks.
Banyak muncul di permukaan gyrus, terbanyak
pada lobus oksipital, paling sedikit pada pada
lobus temporal. Lesi lain yang tampak, edema
subkortikal, area multipel nonperdarahan, area
perdarahan pada substansia alba, perdarahan
pada basal ganglia atau pons, sering dengan
ruptur yang meluas ke ventrikel. Beberapa
kasus menunjukkan infark kecil kortikal,
bervariasi dengan diameter 0,3 sampai 1,0 mm
dan kadang-kadang menyatu. Lesi vaskuler
klasik yang tampak secara mikroskopis adalah
nekrosis fibrinoid dinding arteri dan mikroinfark
perivaskuler dan perdarahan perivaskuler.4
Lesi serebral dengan patogenesis eklampsia
Kehamilan memicu perubahan pada sistim
kardiovaskuler, sedangkan autoregulasi otak
tetap terjaga. Walaupun demikian, perubahan
hemodinamik serebrovaskuler yang dipicu
oleh kehamilan belum banyak diteliti,
sehingga patogenesis manifestasi serebral pada
preeklampsia juga belum jelas. Beberapa dekade
terakhir, temuan patologis dan neuroimaging
menuju pada 2 teori umum yang menjelaskan
abnormalitas serebral yang berkaitan dengan
eklampsia. Yang terpenting adalah disfungsi
sel endotel pada sindrom preeklampsia berperan
dalam 2 teori, yaitu:
1. Disfungsi sel endotel sebagai respon
terhadap hipertensi berat akut, sehingga
regulasi berlebihan serebrovaskuler memicu
terjadinya vasospasme. Asumsi ini didasari
oleh tampilan angiografi difus atau segmental
multifokal sempit diduga vasospasme
pada serebrovaskuler wanita hamil dengan
preeklampsia berat dan eklampsia. Dari
sudut ini, hilangnya aliran darah otak
(ADO) dihipotesakan akibat iskemia, edema
sitotoksik, dan bahkan infark jaringan otak.4,5
2. Peningkatan mendadak tekanan darah
sistemik melebihi kapasitas autoregulasi
serebrovaskuler normal. Timbul daerah
136
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Gambar 1. Lokasi perdarahan serebral dan
petekie pada wanita dengan eklampsia: (A)
perdarahan pia-arakhnoid; (B) petekie kortikal;
(C) petekie subkortikal; (D) focal softening atau
petekie di midbrain atau substansia alba
vasodilatasi terpaksa dan vasokonstriksi,
terutama pada zona perbatasan arteri. Pada
tingkat kapiler, kerusakan tekanan kapiler
akhir (end-capillary pressure) menyebabkan
kenaikan tekanan hidrostatik, hiperperfusi,
dan ekstravasasi plasma dan sel darah merah
melalui endothelial tight junctions yang
terbuka, sehingga terjadi akumulasi edema
vasogenik.
Kejang eklamptik diasumsikan sebagai akibat
vasospasme serebral dan iskemia.1,5 Penelitian
dengan CT-scan pada 43 wanita hamil dengan
eklampsia menemukan edema terjadi pada 27
pasien, dan beratnya edema dihubungkan dengan
lamanya kejang-kejang intermiten. Pada 5 pasien
menunjukkan adanya kenaikan sekilas tekanan
intrakranial dan perdarahan intrakranial yang
bisa fatal ditemukan pada 4 pasien.
Penelitian lain dengan CT-scan, MRI, dan
angiografi
serebral
menyokong
konsep
1
vasospasme daripada edema menyeluruh. Kejang
melepaskan neurotransmiter eksitatori berlebihan
(terutama glutamat), depolarisasi masif jaringan
neuron, dan burst aksi potensial. Bukti klinis dan
penelitian menduga bahwa kejang yang lama
akan menyebabkan cedera otak yang signifikan
dan kemudian berlanjut menjadi disfungsi otak.4,6
Kejang juga akan merusak sawar darah otak
dan aliran darah otak yang berlebihan dan
tidak terkontrol. Aktivasi reseptor glutamat
pada otot polos vasa dan endotel dapat
menyebabkan vasodilatasi serebral yang poten,
kegagalan autoregulasi, dan hilangnya resistensi
serebrovaskuler (CVR).4 Efek kejang mirip yang
terjadi pada ensefalopati hipertensi.4,6 Adanya
sindrom Haemolisys Elevated Liver Enzymes
Low Platelets (HELLP) dan Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) meningkatkan
risiko terjadinya komplikasi perdarahan serebral.1
Dengan demikian, adanya vasospasme serebral,
edema, perdarahan, dan ensefalopati hipertensif
berpengaruh pada patogenesis kejang eklamptik.5
Autoregulasi cerebral
Autoregulasi adalah proses regulasi agar aliran
darah otak (ADO) relatif konstan terhadap
gangguan tekanan perfusi serebral (cerebral
perfusion pressure, CPP). Ketika CPP turun,
CVR turun akibat vasodilatasi miogenik arteri
pial dan arteriolae, sehingga menaikkan perfusi.
Sebagai alternatif, bila CPP naik, autoregulasi
akan menaikkan CVR dengan vasokonstriksi,
sehingga ADO relatif konstan. Dengan demikian,
autoregulasi adalah mekanisme protektif
fisiologis yang mencegah iskemia otak selama
tekanan turun dan mencegah kerusakan kapiler
dan edema selama tekanan naik. Pada orang
dewasa yang normotensif, ADO dipertahankan
sekitar 50 ml/100gram jaringan otak/menit, akan
memberikan CPP dalam batas 60–160 mmHg.
Di atas dan di bawah batas tersebut, autoregulasi
akan hilang dan ADO menjadi tergantung
langsung dari tekanan arteri rerata (mean arterial
pressure/MAP).4 Cedera otak yang signifikan
terjadi bila mekanisme autoregulasi hilang.
Misalnya saat hipertensi akut dengan MAP di
atas batas autoregulasi, kira-kira 160 mmHg
pada orang sehat, vasokonstriksi miogenik otot
polos vasa terjadi akibat tekanan intravaskuler
berlebih dan dilatasi terpaksa vasa-vasa serebral.
Hilangnya tonus miogenik selama dilatasi paksa
akan menurunkan CVR dan menaikkan ADO,
menghasilkan hiperperfusi, rusaknya sawar darah
otak, dan pembentukan edema.4
Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada
Preeklampsia/Eklampsia
137
Pada sirkulasi serebral, perkembangan sausage
string sejalan dengan perkembangan kerusakan
vaskuler, spesifik pada regio dilatasi (gagal
mempertahankan vasokonstriksi miogenik),
mengakibatkan
hipermeabilitas
endotelial
dan
ekstravasasi
makromolekul.
Selain
modulasi tonus vaskuler, aspek unik endotel
serebrovaskuler adalah fungsinya sebagai sawar
darah otak. Area yang dipasok oleh sirkulasi
posterior paling rapuh merusak sawar darah
otak dan gagal mempertahankan mekanisme
autoregulasi, mungkin akibat sedikitnya inervasi
simpatis yang dapat memaksa terjadinya dilatasi.
Gambar 2. Grafik Tekanan Darah vs Diameter
Arteri Serebral pada Hewan tidak Hamil (NP,
segitiga hitam), Hamil tua (LP, bulat hitam), dan
Postpartum (PP, kotak hitam)
Hubungan antara autoregulasi, ADO dan
kerusakan sawar darah otak telah banyak diteliti.
Korelasi positip antara hilangnya autoregulasi,
peningkatan perfusi, dan permeabilitas sawar
darah otak yang mengarah pada edema serebral.
Adanya mekanisme peningkatan resistensi,
seperti stimulasi saraf simpatis atau remodeling
arteriolae selama hipertensi kronis, melemahkan
peningkatan ADO saat hipertensi akut dan
memproteksi sawar darah otak. Umumnya ketika
ADO dibandingkan antara area yang mengalami
ekstravasasi albumin maupun yang tidak, area
dengan peningkatan permeabilitas mempunyai
aliran darah yang terbanyak, mengindikasikan
hilangnya autoregulasi dan penurunan CVR.
Temuan ini mendukung pemikiran penurunan
resistensi dan hiperperfusi saat hipertensi akut
menyebabkan rusaknya sawar darah otak,
sedangkan peningkatan resistensi merupakan
proteksi mikrosirkulasi. Dengan demikian,
penurunan CVR akibat hiperperfusi selama
hipertensi akut dipertimbangkan sebagai penyebab
utama edema selama ensefalopati hipertensif
dan eklampsia.4 Laporan eksperimental tentang
hipertensi berat yang dibuat dengan infus agen
vasogenik, arteriolae membentuk pola konstriksi
dan dilatasi, memunculkan gambaran yang
disebut sausage string. Pola pembuluh darah
ini muncul di mana-mana, termasuk di otak.
Pemahaman
pengaruh
kehamilan
dan
pemahaman preeklampsia berpengaruh pada
sirkulasi posterior menjadi penting bila
mempertimbangkan simptom-simptom yang
sering menyertai eklampsia: skotomata, diplopia,
gangguan visual, dan berbagai derajat kebutaan.4
Kebutaan kortikal pada preeklampsia-eklampsia
disebabkan oleh mikroinfark dan perdarahan
mikro dengan edema di subtansia grisea oksipital.
Adanya flash atau kejadian kilatan cahaya pada
preeklampsi berat merupakan tanda terjadinya
lesi kecil. Lesi-lesi ini menyebabkan kebutaan
kortikal. Pupil tetap bereaksi terhadap cahaya
(refleks otak tengah), tetapi kemampuan berkedip
hilang. Bila lesi menjadi komplit, nistagmus
optokinetik tidak ada dan pasien abai terhadap
kebutaannya (simptom Anton). Dengan demikian
posterior reversible encephalopathy syndrome
(PRES) dengan kebutaan kortikal sebagai ciri
klinis utamanya, mempunyai kemiripan klinis
yang signifikan dengan kejang eklamptik, karena
secara patologi lebih kurang identik.9 Adanya
papiledema jelas merupakan edema serebri.9
Autoregulasi Aliran Darah Otak pada Kehamilan
Nilai tekanan darah autoregulasi serebrovaskuler
pada kehamilan tidak diketahui, dan sebaliknya
nilai autoregulasi tersebut rusak. Kejadian
eklampsi dengan hipertensi ringan tidak dapat
membuat hipotesa nilai atas autoregulasi serebral
turun pada sindrom preeklampsia, karena bukti
yang ada terlalu sedikit.4 Efek kehamilan pada
hemodinamik serebral dan autoregulasi ADO
menjadi perhatian utama karena gangguan
autoregulasi serebral dianggap kontributor utama
138
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
pada perkembangan eklampsia.4,7 Walaupun harus
dipertimbangkan efek kejang serupa dengan
hipertensi akut dan akan memunculkan efek
yang sama pada hemodinamik serebral, termasuk
hilangnya CVR, hiperperfusi, dan rusaknya
sawar darah otak, penyebab dan efek kejang
akan sulit dilihat. Kebanyakan ibu hamil dengan
eklampsia, kejadiannya seperti itu, walaupun
tekanan darahnya lebih rendah daripada yang
terjadi pada ensefalopati hipertensif. Temuan ini
mengasumsikan bahwa kurva autoregulasi ADO
bergeser turun selama kehamilan. Penelitian
pada tikus teranestesi menunjukkan: ketika
kurva autoregulasi dibandingkan antara tikus
tidak hamil dan tikus hamil tua, tidak terdapat
perbedaan tekanan yang merusak sawar darah
otak. Bagaimanapun hanya hewan hamil
menunjukkan edema akibat hipertensi akut dan
rusaknya autoregulasi, mengasumsikan endotel
lebih rentan terhadap edema hidrostatik selama
kehamilan. Penelitian lebih lanjut menunjukkan
pada hamil tua terjadi penurunan bermakna
CVR dengan peningkatan ADO lebih besar
dibandingkan dengan hewan yang tidak hamil
saat tekanan darah dinaikkan mendadak. Pada
hewan-hewan ini, kehamilan dihubungkan dengan
penurunan CVR sebesar 40% dibandingkan
dengan hewan yang tidak hamil pada perubahan
tekanan darah yang sama. Karena peningkatan
CVR untuk menaikkan tekanan perfusi serebral
merupakan mekanisme protektif otak yang
mencegah transmisi tekanan hidrostatik yang
membahayakan mikrosirkulasi, berkurangnya
CVR selama kehamilan sebagai respon terhadap
hipertensi akut dapat memunculkan kerusakan
sawar darah otak dan edema vasogenik, mirip
yang terjadi selama eklampsia.
Mekanisme kehamilan menurunkan CVR
selama hipertensi akut masih belum jelas,
tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan
struktural yang mempengaruhi diameter arteri
dan arteriolae. Resistensi dan regulasi aliran
darah secara prinsip ditentukan oleh kaliber
pembuluh darah. Kemampuan miogenik otot
polos serebrovaskuler penting untuk membuat
CVR yang sesuai, yang memproteksi arteriolae
dan kapiler terhadap perubahan tekanan perfusi
dan untuk mempertahankan perfusi jaringan
ketika tekanan darah turun. Sirkulasi serebral
merupakan jaringan vaskuler unik yang dalam
jumlah besar vasa-vasa pial ekstrakranial
dan intrakranial berkontribusi kira-kira 50%
terhadap CVR total. Penelitian pada isolat arteri
serebral pada hewan tidak hamil, hamil tua, dan
postpartum menunjukkan bahwa dilatasi paksa
terjadi pada tekanan darah yang lebih rendah
selama kehamilan dan postpartum. Kemungkinan
ini merupakan mekanisme yang menyebabkan
penurunan CVR selama naiknya tekanan darah.
Grafik berikut (gambar 2) menunjukkan
perubahan tekanan darah dibanding diameter
kurva arteri-arteri serebral posterior pada
nonhamil (NP, segitiga), hamil tua (P, bulat),
dan postpartum (PP, kotak). Arteri semua grup
mengalami vasokonstriksi sebagai respon
terhadap kenaikan tekanan (tekanan 50–125
mmHg), menunjukkan reaktivitas miogenik.
Arteri pada hamil tua dan postpartum mengalami
dilatasi paksa pada tekanan darah yang lebih
rendah dibandingkan dengan hewan tidak hamil;
ditunjukkan dengan peningkatan diameter
sebagai respon peningkatan tekanan. Peningkatan
diameter dengan dilatasi paksa merupakan
kejadian primer pada perkembangan edema otak
hidrostatik bila CVR turun.
Penelitian terbaru menunjukkan perbedaan
resistensi vasa-vasa kecil pada parenkim otak
dapat diperhitungkan menjadi perbedaan
regional pada permeabilitas sawar darah otak
selama hipertensi akut. Pada penelitian khusus
arteriolae parenkim otak, vasa-vasa pada hewan
hamil tua menunjukkan diameter lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak hamil. Dapat
disimpulkan terjadi remodeling arteriolae
parenkim yang dipicu oleh kehamilan. Walaupun
perubahan struktur tidak berpengaruh terhadap
ADO basal, perubahan tersebut berdampak nyata
pada hemodinamik lokal pada kondisi rusaknya
autoregulasi (saat vasa dilatasi maksimal) atau
kejang. Vasa-vasa itu terlihat lebih tipis saat hamil.
Dengan demikian, perubahan yang tampak pada
arteri dan arteriolae serebral selama kehamilan
tidak terbatas pada menurunkan CVR selama
hipertensi akut, tetapi juga cenderung memicu
terjadinya perdarahan otak, temuan patologis
lain dari eklampsia, karena peningkatan tekanan/
Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada
Preeklampsia/Eklampsia
stres dinding vasa yang besar (keadaan dimana
diameter dan tekanan arteriolae meningkat
tinggi). Dengan demikian, gagalnya mekanisme
autoregulasi terjadi lebih sebagai akibat
peningkatan tekanan darah akut dan atau relatif
tinggi dibandingkan dengan kenaikan absolut
tekanan darah. Keakutan kenaikan tekanan darah
pada keadaan disfungsi endotel yang bertanggung
jawab menyebabkan gangguan tekanan perfusi
serebral dan kapiler pada eklampsia.4
III. Sawar Darah Otak
Mekanisme primer terjadinya edema otak pada
eklampsia adalah peningkatan permeabilitas
sawar darah otak akibat peningkatan tekanan
hidrostatik darah yang patologis, pembentukan
edema vasogenik-edema otak hidrostatik.4,5
Endotel serebral yang membentuk sawar darah
otak adalah unik; tidak terpengaruh ion atau
yang terlarut. Struktur unik ini menyebabkan
efek tekanan hidrostatik pada filtrasi kapiler
minimal dan merupakan proteksi melawan
edema vasogenik. Peningkatan tekanan darah
akut yang menurunkan CVR tetap meningkatkan
tekanan hidrostatik tinggi pada mikrosirkulasi,
menyebabkan kerusakan sawar darah otak dan
edema otak hidrostatik.4
Sawar Darah Otak pada Kehamilan
Adaptasi serebrovaskuler pada kehamilan normal
memberi kecenderungan terjadinya edema otak
hidrostatik ketika tekanan darah meningkat akut.
Remodeling bagian luararteriolae parenkim otak
menurunkan resistensi vasa-vasa kecil. Keadaan
ini pada hipertensi akut dan dilatasi paksa
menyebabkan transmisi tekanan hidrostatik ke
mikrosirkulasi dan memicu kerusakan sawar
darah otak. Penurunan resistensi vasa-vasa kecil
hanya sebagai konsekuensi kenaikan tekanan
darah yang tinggi saat aliran vasa-vasa pial
mengalami dilatasi paksa. Bila tekanan darah
stabil dalam batas normal, perubahan resistensi
vasa-vasa kecil lebih ditoleransi, tetapi kehamilan
merubah endotel serebal, sehingga menyebabkan
permeabilitas sawar darah otak membesar dan/
atau konduktvitas hidrostatik membesar terhadap
tekanan hidrostatik biasanya, menjadi penentu
munculnya edema serebral.4
139
Penelitian dengan menggunakan Lucifer Yellow
menunjukkan membesarnya permeabilitas sawar
darah otak; diduga terjadi perubahan permeabilitas
itu disebabkan oleh transpor transeluler yang
merupakan kontributor utama pada permeabilitas
sawar darah otak selama eklampsia. Walaupun
demikian efek kehamilan pada vena-vena serebral
belum pernah dilakukan.4
Gambar 3 menunjukkan permeabilitas sawar
darah otak terhadap Lucifer yellow yang dinilai
pada arteri serebral sebagai respon terhadap
kenaikan tekanan darah dari 60 sampai 200 mmHg.
Perhatikan bahwa kehamilan menyebabkan
peningkatan signifikan permeabilitas sawar darah
otak sebagai respon terhadap perubahan yang
sama pada tekanan hidrostatik (p<0,5 vs NP).
Pengaruh Hipertensi pada Remodeling Arteri
Serebral selama Kehamilan
Simptom eklampsia mirip dengan PRES dan
ensefalopati hipertensif akibat hipertensi akut,
sedangkan hipertensi selama kehamilan juga
mirip dengan hipertensi kronis, yaitu terjadi
adaptasi struktural dan remodeling.4 Hipertensi
kronis dihubungkan dengan remodeling
serebrovaskuler dan hipertrofi medial yang
diasumsikan melindungi otak. Hipertrofi tunika
media pada arteri serebral yang besar dan kecil
sebagai respon hipertensi kronis menebalkan
dinding: rasio lumen dan tekanan lingkar dinding
yang meningkat akibat kenaikan tekanan arteri
rata-rata. Hipertrofi tunika media dan remodeling
arteri serebral besar dan kecil menurunkan
kenaikan tekanan bagian awal mikrovasa,
sehingga melindungi sawar darah otak dari
kerusakan.4
Remodeling dan hipertrofi tunika media arteri
serebral pada hipertensi kronis merupakan
perlindungan terhadap sawar darah otak. Pada
penelitian dengan hewan hamil, hal tersebut
tidak tampak. Bahkan pada hewan hamil dengan
kondisi hipertensi yang dipertahankan 2–5
minggu mengalami reverse remodelling ke bentuk
awal. Reverse remodelling ini memungkinkan
predisposisi ibu hamil dengan hipertensi kronis
mengalami eklampsia karena tekanan darahnya
meningkat, tetapi tanpa peningkatan rasio
dinding: lumen yang dapat melindungi sawar
140
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Gambar 3. Pengaruh Kehamilan terhadap
Permeabilitas Sawar Darah Otak sebagi Respon
terhadap Kenaikan Tekanan Hidrostatik. (Sumber:
Lindheimer.4
darah otak.4 Mekanisme kehamilan mencegah
dan mengembalikan remodeling akibat hipertensi
pada arteri serebral tidak diketahui, tetapi
tampaknya berhubungan dengan keadaan hamil.
Salah satu alasan adalah bahwa kehamilan sendiri
sudah menyebabkan remodeling serebrovaskuler
tanpa perlu mengalami hipertensi. Keadaan ini
ditunjukkan pada keadaan arteriolae-arteriolae
yang berpenetrasi mengalami remodeling untuk
menurunkan resistensi vasa-vasa kecil, dan vasavasa pial juga mengalami remodeling luar pada
kondisi hipertensi untuk mereverse remodeling
dalam akibat hipertensi itu.4
Aquaporin dan Edema Serebral
Aquaporin adalah famili channel yang membentuk
protein transmembran yang memfasilitasi
pergerakan air, gliserol, dan larutan lain melewati
membran sel. Tiga aquaporin (AQP1, AQP4, dan
AQP9) teridentifikasi di otak. AQP4 merupakan
aquaporin predominan di otak, terutama di ujung
kaki (endfeet) astrosit seputar vasa, membran glia
dan ependima. AQP4 berdasarkan keberadaannya
diasumsikan memfasilitasi pergerakan air pada
permukaan sawar darah-otak dan darah-cairan
serebrospinal.4 Ketiga aquaporin terdapat pada
otak selama kehamilan. AQP4 memiliki tingkat
ekspresi yang jelas meningkat selama kehamilan
dibandingkan dengan kondisi tidak hamil.
Temuan ini mengasumsikan bahwa kehamilan
saja merupakan keadaan yang mengubah
homeostasis air otak. Karena AQP4 tidak
ditemukan pada endotel serebral, tidak
mempengaruhi konduktivitas hidrolik pada
sawar darah otak. Peningkatan AQP4 selama
kehamilan lebih berhubungan dengan resolusi
edema, seperti yang ditunjukkan pada model
cedera otak. Mutasi AQP4 dihubungkan dengan
pembentukan edema saat stroke, sehingga adanya
variasi genetik menjelaskan mengapa beberapa
ibu hamil dengan preeklampsia mengalami edema
serebri dan eklampsia, tetapi selebihnya tidak.4 AQP4 mempengaruhi homeostasis K+ pada otak
dan memodulasi kejang. Penelitian AQP4 pada
tikus pingsan menunjukkan penurunan ambang
kejang ketika dipaparkan kemokonvulsan
fentylentetrozol atau stimulasi kejang elektrik.
Keadaan tersebut diasumsikan dimediasi oleh
homeostasis K+ otak yang berubah. Dengan
demikian, peningkatan ekspresi AQP4 selama
kehamilan menurunkan ambang kejang.4
Pemberian Magnesium Sulfat
Beberapa penelitian berasumsi bahwa magnesium
bekerja pada serebrovaskuler menyebabkan
vasodilatasi dan melepaskan vasospasme.
Penelitian lain menunjukkan magnesium sulfat
hanya mempunyai sedikit efek pada hemodinamik
serebral dan aliran darah otak.4,7 Penelitian
dengan isolat dan arteri serebral bertekanan,
magnesium menunjukkan efek vasodilator, tetapi
respon sensitivitasnya selama kehamilan dan
masa postpartum menurun. Pada penelitian klinis,
magnesium sulfat lebih efektif mencegah kejang
eklamptik dibandingkan nimodipin (ca-channel
blocker). Temuan-temuan ini mendukung asumsi
bahwa aksi utama magnesium sulfat mencegah
eklampsia bukan berefek pada vasospasmenya.4
Banyak penelitian melaporkan efek magnesium
sulfat menurunkan permeabilitas sawar darah
otak dan pembentukan edema pada berbagai
kondisi cedera otak; cedera otak akibat trauma,
ensefalopati pada sepsis, hipoglikemia, dan injeksi
manitol hiperosmoler. Euser dkk menunjukkan
bahwa magnesium sulfat selama kehamilan
menurunkan permeabilitas sawar darah otak
terhadap Evans blue sebagai respon terhadap
hipertensi akut. Efek tersebut terutama terjadi
Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada
Preeklampsia/Eklampsia
pada otak posterior, regio otak paling mudah
terjadi pembentukan edema pada eklampsia.4
Eklampsia sebagai Bentuk Posterior Revesible
Encephalopathy Syndrome (PRES)
Eklampsia dianggap sebagai salah satu bentuk
PRES, karena mempunyai etiologi yang mirip.
Pada pasien tidak hamil, PRES biasanya
merupakan penyakit serebral akut dengan gejala
sakit kepala, mual, gangguan fungsi mental,
gangguan penglihatan, dan kejang. Kejang
umumnya, tetapi tidak khusus, muncul di bagian
oksipital dan berkorelasi secara karakteristik
predominan dengan lesi otak posterior seperti
tampak pada MRI. Pada manusia, regio paling
sering terkena di korteks adalah regio sulcus
parieto-oksipital yang mewakili zona batas arteri
anterior, medial, dan posterior. Keterlibatan
korteks dapat meluas ke batang otak, serebelum,
ganglia basalis, dan lobus frontalis.4,9 Beberapa
pasien dengan PRES hanya mengalami kejang
dan tidak muncul gejala lain. Dapat muncul
juga, hanya kenaikan tekanan darah ringansedang akut, tetapi tanpa kenaikan tekanan darah
yang dramatis yang menjadi tipikal ensefalopati
hipertensif. Dengan demikian, PRES dapat
terjadi hanya dengan hipertensi ringan
dengan kerusakan endotel. Keadaan tersebut
digambarkan pada thrombotic microangiopathy
syndromes – hemolytic uremic syndromes (HUS)
dan thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP),
seperti juga pada Systemic Lupus Erythomatosus
(SLE), dengan toksisitas obat imunosupresif, atau
dengan penggunaan agen kemoterapi termasuk
metotreksat dan cisplatin. Lebih lanjut, adalah
penting mengenali PRES karena gangguan
neurologis dapat diterapi dengan menurunkan
kenaikan tekanan darah dan melakukan koreksi
kondisi medis yang mendasari yang menyebabkan
terjadinya cedera endotel.4
Neuroimaging pada Eklampsia
Teknik pencitraan digunakan untuk memahami
mekanisme serebrovaskuler pada sindrom
preeklampsia, termasuk angiografi, CT-scan,
dan MRI. Perkembangan MRI sangat berguna
memberi informasi etiopatogenesis manifestasi
serebral pada preeklampsia.
141
Computed Tomography
Adanya lesi hipodens terlokalisir pada junction
substansia alba-grisea, terutama pada lobus
parieto-oksipital merupakan ciri yang ditemukan
pada eklampsia. Lesi tersebut dapat terlihat
juga di lobus frontalis dan temporal inferior,
juga ganglia basalis dan thalamus. Pada kasus
dengan edema luas, tampak penekanan atau
bahkan penyumbatan ventrikel. Beberapa
memunculkan tanda-tanda herniasi transtentorial
yang mengancam jiwa. Banyak laporan
menunjukkan reversibilitas edema serebral.
Pada sedikit ibu hamil dengan eklampsia, infark
serebral telah dilaporkan dan terjadi transformasi
serebral hemoragik menjadi infark iskemik.
Temuan ini menonjolkan isu tentang patogenesis
preeklampsia memicu perdarahan intrakranial
dan pencegahannya.4,5,9
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Temuan yang umum pada eklampsia adalah
lesi hiperintens T2 pada regio korteks dan
subkorteks pada lobus parietal dan oksipital
dengan kadang-kadang ganglia basalis dan atau
batang otak. Ketika lesi PRES umumnya tampak
pada eklampsia, insidensinya pada preeklampsia
belum jelas. Diasumsikan tampak pada ibu
hamil dengan sakit berat atau yang muncul gejala
neurologis. Walaupun biasanya reversibel, lesi
hiperintens tampak sebagai infark dan persisten.
Diffusion-Weighted Magnetic Resonance
Imaging and Apparent Diffusion Coefficient
Dahulu, terdapat 2 perbedaan yang nyata edema
serebri pada eklampsia, edema vasogenik
dan edema sitotoksik.1,4,5 Edema vasogenik
dihubungkan dengan peningkatan tekanan
hidrostatik dan kebocoran kapiler, sedangkan
edema sitotoksik dihubungkan dengan iskemia dan
kematian sel akibat infark. Kedua perbedaan ini
sangat penting, karena edema vasogenik biasanya
reversibel, sedangkan edema sitotoksik tidak.
Tidak mungkin dengan menggunakan CT scan
biasa atau MRI biasa untuk membedakan 2 bentuk
edema ini. Dengan menggunakan rangkaian
diffusion-weighted imaging (DWI) dan apparent
diffusion coefficient (ADC), lesi hiperintens pada
pencitraan T2 dapat dinilai lebih baik.4 DWI
bekerja dengan mengambil keuntungan gradien
142
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
difusi yang kuat yang mendeteksi perubahan pada
distribusi molekul air di jaringan. Pengukuran
kuantitatif dari difusi pada jaringan diekspresikan
sebagai ADC. Edema vasogenik dicirikan
dengan peningkatan cairan ekstrasel dengan
peningkatan difusi air dan akan terlihat sebagai
kombinasi normal DWI dengan lesi hiperintens
T2 dan peningkatan ADC. Sebaliknya, adanya
kejadian iskemik, edema sitotoksik disebabkan
oleh kegagalan pompa Na dan kematian sel.4,9,10
Keadaan ini menyebabkan penurunan difusi
proton akibat pergeseran air dari ekstrasel ke
intrasel dan memunculkan gambaran hiperintens
pada DWI, tetapi menurunkan ADC. Gambaran
regio iskemik diidentifikasi dalam menit sampai
jam setelah onset simptom neurologis muncul.4
Pada eklampsia, penelitian dengan menggunakan
serial DWI menunjukkan bahwa aslinya edema
serebral adalah vasogenik, tetapi sedikit jarang
dengan iskemik dan perubahan sitotoksik
seperti infark. Perubahan sitotoksik dan iskemik
memberi gambaran lesi hiperintens T2 pada DWI
dan penurunan ADC pada pola edema vasogenik.4
Hemodinamik Cerebral pada Kehamilan Normal
dan Preeklampsia
Sirkulus Willisi yang terdapat pada basis cranii
divaskularisasi oleh arteri karotis interna dan
arteri vertebralis dan mendistribusikan aliran
darahke korteks serebral. Arteri serebralis media
membawa hampir 80% darah ke hemisfer. Setelah
keluar dari sirkulus willisi, sebagian cabang arteri
anterior, medialis, dan posterior membentuk
jaringan arteriolae-kapiler. Bagian vasa-vasa
berpasangan ini mempunyai peran penting
pada preeklampsia, karena kejang eklamptik
biasanya muncul dengan abnormalitas motorik
dengan gangguan elektrik lobus parietalis.4 Pada
eklampsia, ketika pasokan oksigen dan ADO
normal, kira-kira 20% penggunaan oksigen
menurun.4,11
Transcranial Doppler (TCD) Ultrasonography
Ultrasonografi Doppler adalah teknik noninvasif
untuk menilai sirkulasi intraserebral. Telah
digunakan luas pada pasien bedah saraf untuk
mendeteksi awal terjadinya vasospasme serebral
yang mengikuti perdarahan subarakhnoid. TCD
pad arteri serebral media memberi informasi
perubahan kecepatan aliran sel darah merah, dan
ketika dikombinasikan dengan tekanan darah,
indeks relatif perfusi serebral dan CVR muncul
di awal arteriolae.4 Penelitian pada kehamilan
normal menunjukkan penurunan kecepatan
rata-rata arteri serebral media sejalan dengan
bertambahnya usia kehamilan dan kembali ke
nilai sebelum hamil pada masa puerpurium.4,9
Penurunan kecepatan rata-rata akibat penurunan
resistensi
vaskuler,
yang
menunjukkan
vasodilatasi arteri yang lebih distal dan sesuai
dengan penelitian yang menunjukkan remodeling
luar vasa-vasa kecil otak selama hamil.
Beberapa peneliti mendapatkan peningkatan
kecepatan aliran darah arteri serebral media
pada preeklampsia. Preeklampsia dengan
gejala gangguan penglihatan atau sakit kepala
menunjukkan kecepatan yang paling tinggi.
Peningkatan kecepatan juga dilaporkan terjadi
pada eklampsia. Peningkatan kecepatan ini pada
preeklampsia diasumsikan akibat sekunder dari
resistensi yang tinggi pada bagian awal arteriolae.
Pada hipertensi kronis tanpa preeklampsia
tidak terdapat kenaikan kecepatan aliran darah
serebral walaupun terjadi kenaikan tekanan arteri
rata-rata.4,9 Uji autoregulasi serebral dinamis
dengan menggunakan metode transcranial
Doppler (TCD) didasarkan pada respon
terhadap kecepatan aliran darah serebral pada
perubahan kecil fisiologis pada tekanan darah
arterial. Pada eklampsia menunjukkan hilangnya
autoregulasialiran darah serebral.
Velocity-Encoded Phase Contrast MRI
Aliran darah otak berkurang secara signifikan
pada akhir trimester pertama. Aliran selanjutnya
konstan sampai 36–38 minggu, selanjutnya
menurun drastis (20%). Diameter arteri serebral
media dan posterior tidak berubah selama
kehamilan dan masa postpartum. Temuan-temuan
ini mendukung penelitian dengan menggunakan
TCD bahwa kecepatan aliran arteri serebral media
menurun dan tonus dinding vasa hilang saat hamil
tua. Dihipotesakan bahwa resistensi bagian awal
arteriolae menjadi lebih dilatasi untuk menjaga
aliran darah konstan pada tingkat jaringan.
Pada preeklampsia berat, aliran darah otak pada
masa aterm yang diukur dengan menggunakan
velocity-encoded phase contrast MRI tampak
Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada
Preeklampsia/Eklampsia
menunjukkan kenaikan signifikan dibandingkan
dengan kehamilan normal. Peningkatan aliran
darah otak tidak berhubungan dengan vasodilatasi
arteri serebral besar karena diameter keempat
vasa utama tidak berubah. Tetap tidak jelas dan
spekulatif apakah kenaikan aliran darah berasal
dari perubahan resistensi bagian awal arteriolae,
kenaikan curah jantung, kenaikan tekanan arteri
rata-rata, atau faktor-faktor sistim saraf pusat
yang mengendalikan autoregulasi.
Teknik Lain untuk Menilai Hemodinamik
Cerebral
Beberapa teknik lain untuk menilai hemodinamik
serebral adalah dengan perfussion-weighted
imaging (PWI), single photon emission computed
tomography
(SPECT),
proton
magnetic
resonance spectroscopy (MRS), near-infrared
spectroscopy (NIRS)
Perdarahan Serebral
Perdarahan intrakranial tidak mematikan
(nonletal) sering terjadi pada eklampsia. Pada
beberapa kasus, kematian mendadak terjadi
setelah kejang, dan merupakan akibat dari
perdarahan serebral masif. Perdarahan lebih
mudah terjadi pada pada ibu hamil dengan riwayat
hipertensi kronis sebelumnya dan merupakan
akibat sekunder dari lipohialinosis yang dipicu
oleh hipertensi yang akan merusak arteri serebral
kecil dan ukuran sedang di area striatokapsuler,
talamus, serebelum, dan batang otak. Perubahan
ini disebut Charcot-Bouchard aneuroform atau
miliary aneuroform. Perdarahan dapat terjadi di
area yang mengalami iskemia atau infark yang
berubah menjadi infark hemoragik. Perdarahan
seperti ini sering terjadi pada ibu muda dengan
sindrom HELLP dan eklampsia. Preeklampsia
juga dapat mengalami perdarahan subarakhnoid.
Pada beberapa kasus ditemukan sedikit darah
pada lobus frontal atau parietal yang meluas ke
fisura sylvian atau jaringan interhemisfer dan
diduga akibat ruptur petekie kortikal permukaan
otak atau ruptur vena-vena kecil pada piamater.
Hanya sedikit dilaporkan adanya perdarahan
intraserebral pada preeklampsia akibat ruptur
aneurisma atau malformasi arteriovenosa (AVM).
143
Cortical Blindness (Buta Kortikal)
Kemungkinan disebabkan oleh perbedaan
inervasi sirkulasi serebral posterior, gejala visual
muncul pada 40% preeklampsia dan jarang
didahului oleh gejala awal. Gejala-gejala yang
muncul berupa skotomata, amaurosis, penglihatan
kabur, diplopia, kromatopsia, dan homonymous
hemianopsia.
Abnormalitas retina termasuk edema, vasospasme
arteriolae, trombosis arteri retina sentral, lepasnya
retina biasanya dapat disingkirkan. Edema fokal
lobus oksipital termasuk edema bilateral nuclei
geniculata lateral dapat dilihat dengan pencitraan
serebral. Sebagai tambahan, refleks cahaya pupil
dan pergerakan bola mata tetap baik. Mayoritas
pada preeklampsia dengan buta kartikal pulih
kembali penglihatannya dalam waktu 2 jam
sampai 21 hari. Perbaikan klinis juga tampak
pada pencitraan serebral. Ibu dengan kelainan
penglihatan permanen termasuk kebutaan
biasanya mempunyai iskemia atau infark arteri
retinanya–Purtscher’s retinopathy atau infark
pada nuclei geniculata lateral.1,4,9,10,14
Remote Prognosis Lesi Otak
Sampai saat ini, diketahui bahwa kejang
pada preeklampsia tidak mempunyai sekuele
jangka panjang. Penelitian-penelitian terbaru
mendukung pandangan bahwa pulih kembali
secara komplit tidak selalu terjadi. Dengan
demikian, PRES tidak sesuai menggambarkan
lesi otak yang tampak dengan MRI dan CT-scan
pada eklampsia. Lesi-lesi tersebut tidak terbatas
pada bagian posterior seberal dan kadang-kadang
persisten. Lesi pada substansia alba 6–8 minggu
postpartum juga tampak pada MRI. Parameter
klinis keparahan eklampsia dengan atau tanpa
lesi dapat dilihat pada tabel 1 di bawah. Data
preliminari terbaru sesuai dengan persistensi
jangka panjang lesi pada substansia alba yang
terjadi saat kejang eklamptik.
Menetapnya lesi otak setelah eklampsia bahkan
masih dapat dilihat 7 tahun setelah kejadian.
Patofisiologi yang mendasari perubahan morfologi
dan kaitan klinisnya tetap tidak jelas. Kejadian
serebrovaskuler pada eklampsia yang muncul
merupakan rangkaian yang digolongkan sebagai
awal, fase reversibel edema vasogenik yang
144
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
disebabkan hipertensi dengan disfungsi endotel.
Pada beberapa kasus, edema vasogenik berat
dapat menurunkan perfusi serebral menyebabkan
iskemia fokal. Paling tidak, seperempat kasus
eklampsia pada MRI menunjukkan transisi
antara edema vasogenik reversibel ke edema
sitotoksik, iskemia serebral ireversibel, dan
infark. Pada kasus-kasus ekstrim, edema otak
global progresif menyebabkan kemunduran
status neurologis, termasuk kebutaan, status
mental, koma, herniasi transtentorial, dan
kematian.4,9,10 Lesi otak persisten pada eklampsia
meningkatkan kemungkinan adanya bukti
disfungsi otak yang tidak jelas/samar. Dengan
demikian, keadaan ini kontradiktif dengan
pemikiran bahwa eklampsia akan diikuti oleh
pulih komplit status neurologis.4,9,10 Setidaknya
terdapat 1 penelitian yang dirancang untuk
meneliti hal ini. Penelitian kognitif terhadap ibu
dengan eklampsia melaporkan terjadi gangguan
fungsi kognitif, tetapi tidak ada data sebelum
terjadi eklampsia.4 Beberapa kasus digambarkan
mengalami epilepsi paska-eklampsia. Sklerosis
hipokampus dilaporkan terjadi pada pasien
dengan epilepsi lobus temporal beberapa bulan
sampai beberapa tahun setelah PRES. Tidak
diketahui bila gliosis dapat menjadi fokus
epilepsi kronis, tetapi perlu dipertimbangkan.
Telah didapatkan data epidemiologis yang
mendukung konsekuensi serebrovaskuler jangka
panjang pada preeklampsia dibandingkan dengan
kehamilan normal, bahwa mereka mengalami
3–5 kali stroke fatal pada preeklampsia. Tidak
diketahui, apakah stroke sering terjadi pada
eklampsia.4,7,11
Implikasi Anestesia
Pelayanan
anestesi
meliputi
pelayanan
preanestesi, tindakan anestesi, dan postanestesi.
Persiapan preoperatif yang tidak terburu-buru
menurunkan risiko anestesi pada ibu dengan
preeklampsia.9,12
Penilaian preanestesi ibu preeklampsia difokuskan
pada pemeriksaan jalan napas, hemodinamik
dan status koagulasi, dan status hidrasi. Edema
generalisata mungkin menyulitkan laringoskopi.
Preeklampsia sering dihubungkan dengan
berbagai derajat deplesi volume intravaskuler
dan penilaian klinis status volume intravaskuler
menjadi sulit. Penggunaan monitor vaskuler
invasif direkomendasikan pada kasus-kasus
berat.13 Penggunaan kateter vena sentral untuk
monitoring respon pemberian cairan pada kasus
oliguri sebetulnya layak, walaupun jarang
Tabel 1. Perbandingan Parameter Klinis Keparahan Eklampsia dengan ada atau tidaknya Infark
Serebral. (Sumber: Lindheimer.4)
Faktor
Umur (tahun)
Umur kehamilan (mg)
MAP (mmHg)
Δ MAP (mmHg)
Serum kreatinin > 0,9
(mg/dL)
Proteinuria
≥
3+
(dipstick)
Jumlah
trombosit
(x1000/µL):
Mean
< 150
< 100
Sindrom HELLP
Kejang berulang
Ada Infark (n=6)
23,0 ± 7,1
36,2 ± 2,4
123 ± 10,8
40,4 ± 15,1
4 (67%)
Tidak Ada Infark (n=18)
20,7 ± 6,4
39,0 ± 2,1
112 ± 11,1
30,1 ± 11,7
2 (11%)
p value
0,465
0,12
< 0,001
0,096
0,007
4 (67%)
3 (17%)
0,020
105 ± 53
4 (67%)
3 (50%)
3 (50%)
5 (83%)
203 ± 63
4 (22%)
1 (6%)
1 (6%)
2 (11%)
0,002
0,046
0,012
0,012
< 0,001
Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada
Preeklampsia/Eklampsia
dilakukan. Bila pemasangan monitor vaskuler
invasif menunda atau memperlama tindakan
definitif operatif, pemasangannya tidak dilakukan,
karena tidak mengubah manajemen anestesi
intraoperatif. Kebanyakan para dokter kandungan
memilih segera melahirkan bayi walaupun ibu
dalam keadaan oliguria dan mengoptimalisasi
status hidrasi setelah kelahiran.13
Pertimbangan anestesia pada kasus preeklampsiaeklampsia harus mengingat kembali kejadian yang
sebenarnya terjadi pada serebrovaskuler otak.
Bahwa telah terjadi perubahan serebrovaskuler
di otak, tidak selalu memunculkan adanya
kenaikan tekanan intrakranial yang menjadi
pertimbangan penting pemilihan tindakan dan
obat yang dipakai dalam anestesi. Bila terdapat
kenaikan tekanan intrakranial, anestesi umum
dengan kaidah neuroanestesi merupakan
pilihan.5,13 Hiperventilasi dapat diberikan segera
setelah kelahiran bayi untuk meminimalisir efek
penurunan PaCO2 pada arteri uterina.5 Dokter
anestesi, dokter kebidanan, dan intensivis
merupakan tim dalam penanganan kasus
preeklampsi kritis. Penanganan icu pada masa
antenatal dan postpartum yang diindikasikan pada
pasien dengan preeklampsi berat yang mengalami
edema paru, hipertensi tidak terkontrol, anuria
atau gagal ginjal, kejang berulang, DIC,
gangguan neurologis yang membutuhkan
ventilasi misalnya perdarahan intraserebral atau
infark serebral atau edema serebri) dan gangguan
kritis intraabdominal, seperti gagal hepar akut,
hematoma hepar subkapsuler.9
Pada pelayanan tindakan obstetri, teknik
regional anestesi merupakan pilihan bila tidak
ada kontraindikasi, sehingga pemeriksaan
mendetail tentang kontraindikasi masingmasing teknik anestesi harus diteliti pada pasien.
Laporan tentang kematian ibu hamil di Inggris
menunjukkan bahwa penyebab utama kematian
ibu dengan preeklampsia adalah perdarahan
intrakranial. Kerugian dilakukannya tindakan
anestesi umum pada preeklampsia adalah risiko
perdarahan intrakranial dari respon hipertensif
akibat intubasi dan ekstubasi endotrakeal.
Risiko sulit intubasi dan aspirasi yang besar
juga merupakan faktor yang mungkin terjadi.
Bagaimanapun, pertimbangan khusus pemilihan
145
teknik anestesi pada preeklampsia untuk seksio
sesaria adalah: pemilihan teknik anestesi, teknik
induksi pada anestesi umum, dan interaksi antara
MgSO4 dengan pelumpuh otot nondepoler.9,12,13
Pada prinsipnya teknik regional tidak dilakukan
pada pasien yang menolak tindakan anestesi
regional, dengan gangguan faktor koagulasi,
dan sepsis.6,8-13Anestesi umum diindikasikan
pada pasien dengan gawat janin berat, edema
pulmonum,
ketidakstabilan
hemodinamik,
risiko intraspinal hematom (misalnya abrupsio
plasenta, trombositopenia berat) atau eklampsia
dengan gangguan kesadaran atau defisit
neurologis.9 Trombositopenia terjadi pada 15%–
20% pasien dengan preeklampsia berat, sehingga
pemeriksaan jumlah trombosit menjadi sangat
penting. Aktivitas trombosit mungkin abnormal
pada preeklampsia berat dengan jumlah trombosit
<100.000/mm3, sehingga analisa fungsi trombosit
atau faktor koagulasi lain menjadi penting.12,15,16
Beberapa literatur merekomendasikan batas
80.000/mm3 untuk dilakukan teknik regional
anestesia dengan nilai faktor koagulasi lain
dalam batas normal.6 Tidak diketahui nilai
trombosit yang berisiko untuk terjadinya epidural
hematom.12,13 Bila teknik regional anestesi tetap
dipilih pada kasus jumlah trombosit <100.000/
mm3, rekomendasi untuk mengurangi risiko
epidural hematom dan sekuelenya adalah:
1. Tindakan sebaiknya dilakukan oleh dokter
anestesi yang paling mahir untuk mengurangi
penusukan dan kemungkinan berdarah.
2. Teknik spinal anestesi dipilih dibanding
teknik epidural, karena kecilnya jarum.
3. Penggunaan kateter epidural yang lentur
untuk menghindari trauma vena (bila epidural
menjadi pilihan, sesuai indikasi).
4. Monitoring postanestesi-postoperasi terhadap
tanda-tanda neurologis perdarahan epidural.
5. Cek jumlah trombosit sebelum lepas kateter
epidural (sedikitnya 75.000 sampai 80.000/
mm3).
6. Pemeriksaan pencitraan (CT scan/MRI) dan
konsultasi neurologi atau bedah saraf harus
dilakukan segera bila terdapat kecurigaan
tentang epidural hematom untuk mencegah
cedera neurologis permanen.13
Pada masa persalinan, pemberian analgesia
neuroaksial sering diberikan dengan alasan
146
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
menghindari anestesi umum dengan kemungkinan
sulit pengendalian jalan napas, risiko aspirasi
dan hipertensi poten akibat laringoskopi pada
persalinan dengan sc emergensi, mengoptimalkan
kateter epidural sebelum terjadi penurunan
jumlah trombosit, dan memberikan efek
menguntungkan analgesia neuroaksial pada
perfusi uteroplasenta.11,13
Continuous lumbar epidural anesthesia atau
combined spinal epidural analgesia merupakan
pilihan manajemen nyeri selama persalinan
pada preeklampsia, karena memberikan kualitas
analgesi yang baik sehingga mengurangi respon
hipertensif akibat nyeri, menurunkan kadar
katekolamin yang beredar dan hormon stres
lain, memperbaiki aliran darah intervilosa, dan
memberi akses bila seksio sesarea emergensi
harus dilakukan. Sayangnya teknik kombinasi
tidak dapat dievaluasi sampai resolusi akibat
anestesi spinal sudah terjadi komplit.11,13 Pada
kasus emergensi, kateter epidural yang berfungsi
baik dapat menjadi akses tindakan anestesi untuk
seksio sesarea, tetapi bila membutuhkan waktu
lebih lama untuk efektif, konversi ke anestesi
umum dapat merupakan pilihan.
Ketika keputusan untuk melakukan anestesi
umum dibuat, dokter anestesi dihadapkan pada 3
tantangan utama, yaitu potensi sulit laringoskopiintubasi, respon hipertensif akibat laringoskopiintubasi dan ekstubasi, dan efek MgSO4 pada
transmisi neuromuskuler dan tonus uterus.
Berikut adalah rekomendasi teknik anestesi
umum pada ibu preeklampsia berat:12,13
1. Pasang kanul arteri radialis untuk monitor
tekanan darah kontinyu.
2. Pasang akses intravena besar untuk antisipasi
perdarahan postpartum.
3. Pastikan berbagai ukuran pipa endotrakheal
dan perlengkapan sulit intubasi.
4. Berikan antagonis reseptor H2 dan
metoklopramid iv 30–60 menit sebelum
induksi anestesi.
5. Berikan antasida nonpartikel per oral 30
menit sebelum induksi.
6. Denitrogenasi (3 menit bernapas biasa atau
8 kali bernapas dalam dengan oksigen 100%
menggunakan sungkup muka).
7. Beri labetolol (10 mg iv bolus) untuk
mentitrasi penurunan tekanan darah sampai
140/90 mmHg sebelum induksi anestesi.
Labetolol merupakan obat pilihan, karena
onsetnya lambat dan durasinya panjang. Bila
tidak tersedia, tidak respon atau kontraindikasi
dengan labetolol dapat digunakan hidralazin
atau nikardipin, sodium nitroprusid (SNP)
atau infus nitrogliserin. Pemberian SNP dan
nitrogliserin harus hati-hati, karena berefek
pada preload, sedangkan pasien dengan
preload terbatas. Nikardipin diberikan
dengan dosis 15–30 mcg/kgbb intravena.
Karena sifatnya yang arterioselektif (tidak
ada efek pada kapasitan vena atau preload),
nikardipin tidak menurunkan dengan cepat
tekanan darah dibandingkan dengan SNP dan
nitrogliserin. Dapat juga diberikan MgSO4
intravena bolus 30–45 mg/kgbb segera
setelah induksi.
8. Monitor denyut jantung janin.
9. Lakukan rapid sequence induction (RSI)
dengan propofol 2–2,8 mg/kgbb dan pelumpuh
otot kemudian lakukan laringoskopi.
10. Pemeliharaan anestesi dengan agen volatil
atau propofol intravena dan oksigen 100%
sebelum lahir bayi. Bila bayi telah lahir,
turunkan dosis agen volatil atau propofol
untuk mengurangi risiko atoni dan berikan
opioid dengan atau tanpa benzodiazepin.
Sebaiknya tidak memberi tambahan
pelumpuh otot nondepoler.
11. Pada akhir operasi, reverse pelumpuh otot
nondepoler dan dapat diberikan lagi labetolol
5–10 mg intravena bolus untuk mencegah
hipertensi akibat ekstubasi.
Pasien yang tidak kembali secara neurologis
(tidak sadar/awake atau concious) sebaiknya
tetap terintubasi dan dimonitor di ICU. Bila
kesadaran menetap, evaluasi neurologis lebih
lanjut dengan elektroensefalografi dan pencitraan
otak perlu dilakukan untuk menyingkirkan
masalah neurologis lain yang mendasari.5,13
Risiko preeklampsia berat tidak berakhir begitu
saja setelah kelahiran bayi. Ibu preeklampsia
masih berisiko terjadi edema pulmonum,
hipertensi, stroke, tromboemboli, sumbatan jalan
Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada
Preeklampsia/Eklampsia
napas, kejang, bahkan eklampsia dan sindroma
HELLP. Risiko kejadian serebrovaskuler tinggi
pada periode ini, karena ibu dengan preeklampsia
biasanya mengalami pemanjangan kejadian
hipertensif. Direkomendasikan untuk memberikan
obat anti hipertensi bila tekanan darah sistol diatas
150 mmHg atau tekanan darah diastol diatas 100
mmHg. Keadaan ini harus dimonitor dengan baik.
Pada ibu pada masa postpartum yang mengalami
peningkatan tekanan darah disertai nyeri kepala
atau gejala neurologis, atau munculnya tiba-tiba
hipertensi berat, pemberian MgSO4 selama 24
jam mencegah kejadian eklampsia atau gangguan
serebrovaskuler.9,13-18
Analgesia postoperasi tidak berbeda dengan
kehamilan sehat termasuk patient controlled
intravenous opioids, opioid intratekal, continuous
epidural infusion. Penanggulangan nyeri
menumpulkan respon hipertensif akibat nyeri
pada postpartum preeklampsia/eklampsia.9,13
III. Simpulan
Terjadi perubahan serebrovaskuler pada
preeklampsia/eklampsia berupa edema vasogenik,
edema sitotoksik, peningkatan permeabilitas
sawar darah otak, dan rusaknya autoregulasi.
Perubahan
serebrovaskuler
tidak
selalu
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Persiapan
preoperatif
berupa
penilaian
preanestesi menurunkan risiko anestesi pada
ibu dengan preeklampsia. Pertimbangan khusus
pemilihan teknik anestesi pada preeklampsia
adalah pemilihan teknik anestesi, teknik induksi
pada anestesi umum, dan interaksi antara MgSO4
dan NMDR. Teknik anestesi sesuai kaidah
neuroanestesi merupakan rekomendasi pada
preeklampsia/eklampsia dengan peningkatan
tekanan intrakranial.
Daftar Pustaka
1. Polley LS. Hypertensive disorder. Dalam:
Chesnut DH, Polley LS, Tsen LC, Wong,
CA, editors. Chesnut’s Obstetric Anesthesia
Principles and Practice. 4th ed. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2009. 975–1007.
2. Sregovskikh D, Braveman FR. Pegnancy-
147
associated diseases.
Dalam:
Stoelting
RK, editor. Stoelting’s Anesthesia and Coexisting Disease. 6th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2012.558–82.
3. Cerdeira AS, Karumanchi SA. Biomarkers
in preeclampsia. Dalam: Lindheimer MD,
Roberts JM, Cunningham FG, editors.
Chesley’s Hypertensive Disorders in
Pregnancy. 3rd ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2009; 385–426.
4. Lindheimer MD, Roberts JM, Cunningham
FG. Cerebrovascular (Patho)Physiology in
preeclampsia/eclampsia. Dalam: Lindheimer
MD, Roberts JM, Cunningham FG, editors.
Chesley’s Hypertensive Disorders in
Pregnancy. 3rd ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2009.227–47.
5. Hepner DL, Kodali BS, Segal S. Pregnancy
and obstetrics complications.
Dalam:
Fleisher LA, editor. Anesthesia and
Uncommon Diseases. 6th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2012.537–72.
6. Priyambodo GD, Suwondo BS. Seksio
sesaria pada pasien eklampsi dan preeklampsi.
Dalam: Bisri T, Wahjoeningsih S, Suwondo
BS, editors. Anestesi Obstetri. Bandung:
Saga Olahcitra; 2013;135–51.
7. Veillon EW, Martin JN. Pregnancy-related
stroke. Dalam: Belfort M, Saade G, Foley
M, Phelan J, Dildy GA, editors. Critical Care
Obstetrics Volume 1. 5th ed. West Sussex:
Wiley-Blackwell; 2010;235–55.
8. Dodson BA, Rosen MA. Anesthesia for
neurosurgery during pregnancy. Dalam:
Hughes SC, Levinson G, Rosen MA, editors.
Shnider and Levinson’s Anesthesia for
Obstetrics. 4th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins; 2002;509–27.
9. Dekker G. Hypertension. Dalam: James DK,
editor. High-Risk Pregnancy: Management
Options. 4th ed. St. Louis: Saunders
Elsevier; 2011;599–610.
148
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
10. Markham KB, Funai EF. Pregnancy-related
hypertension. Dalam: Creasy RK, Resnik
R, Lams JD, editors. Creasy and Resnik’s
Maternal-Fetal Medicine Principles and
Practice. 7th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2014;756–89.
11. Beilin,Y. Preeclampsia. Dalam: Reed AP,
Yudkowitz FS, editors. Clinical Cases in
Anesthesia. 4th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2014;285–90.
12. Baysinger CL. Hypertensive disorder
of pregnancy. Dalam: Atlee JL, editor.
Complications in Anesthesia. 2nd ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007;759–
62.
13. Bateman BT, Polley LS. Hypertensive
disorder.
Dalam: Chesnut DH, editor.
Chesnut’s Obstetric Anesthesia: Principles
and Practice. 5th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2014; 825–59.
14. Horlocker TT, Wedel DJ, Rowlingson JC,
Enneking FK, Kopp SL, Benzon HT, et al.
Regional anesthesia in the patient receiving
antithrombotic or thrombolytic therapy:
American Society of Regional Anesthesia and
Pain Medicine Evidence-Based Guidelines 3rd
ed. Reg Anesth Pain Med 2010; 35:64–101.
15. Bateman BT, Mhyre JM, Ehrenfeld J,
Kheterpal S, Abbey KR, Argalious M,
et al. The risk and outcomes of epidural
hematomas after perioperative and obstetric
epidural catheterization: a report from the
multicenter perioperative outcomes group
research consortium. Anesth Analg 2013;
116: 1380–5.
16. Cantu-Brito C, Arauz A, Aburto Y,
Barinagarrementeria F, Ruiz-Sandoval JL,
Baizabal-Carvallo, JF.
Cerebrovascular
complications during pregnancy and
postpartum:
clinical and prognosis
observations in 240 Hispanic women. Eur J
Neurol 2011; 18:819–25.
17. Powe CE, Levine RJ, Karumanchi SA.
Preeclampsia, a disease of the maternal
endothelium: the role of antiangiogenic
factors and implications for later
cardiovascular disease. Circulation 2011;
123:2856–69.
18. Vigil-De Gracia P, Ortega-Paz L.
Preeclampsia/eclampsia and hepatic rupture.
Int J Gynaecol Obstet 2012; 118: 186–9.
Efek Proteksi Otak Erythropoietin
Iwan Fuadi, Tatang Bisri
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung
Abstrak
Eritropoietin (EPO) adalah hormon ginjal yang berfungsi mempertahankan jumlah eritrosit. Penelitian-penelitian
menunjukkan bahwa EPO adalah molekul multifungsi yang dihasilkan dan digunakan oleh berbagai jaringan.
Selain eritropoiesis. EPO juga terlibat pada respon biologis kerusakan jaringan akut dan subakut. Eritropoietin
tidak hanya berperan dalam eritropoiesis tetapi juga memiliki efek proteksi otak dengan merangsang protein of
repair, mengurangi eksitotoksisitas neuron, mengurangi inflamasi, menghambat apoptosis neuron dan merangsang
neurogenesis dan angiogenesis pada penelitian eksperimental cedera iskemia, hipoksia dan cedera toksik. EPO
juga memperbaiki outcome neurologik dan fungsi mental. Ditemukannnya EPO dan reseptor EPO (EPOR) di
organ-organ dan jaringan non eritroid menunjukkan EPO mempunyai fungsi yang lain. Produksi ekstrarenal
dari EPO ditemukan pada binatang pengerat dewasa dan pada manusia dengan severely anemic anephric masih
ditemukan kadar EPO walau sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi sintesa ekstrarenal dari EPO.
Berbagai jenis sel pada sistem saraf pusat memproduksi EPO dan mengkespresikan EPOR. Mekanisme kerja
EPO dapat mempengaruhi berbagai langkah dalam kaskade kematian sel. EPO dapat mencegah kematian sel
neuron eksitotoksik yang diakibatkan oleh berbagai reseptor glutamat agonis juga melindungi sel neuron dari
toksisitas yang diakibatkan oleh kainate, NMDA dan AMPA. EPO dapat melawan efek sitotoksik dari glutamat,
meningkatkan ekspresi enzim-enzim antioksidan, mengurangi pembentukan radikal bebas, memperbaiki aliran
darah serebral, mempengaruhi pelepasan neurotransmiter, dan meningkatkan angiogenesis. EPO tidak hanya
berfungsi dalam proses eritropoiesis tetapi juga mempunyai efek protektor otak. Jalur proteksi otak dari EPO
memang masih belum jelas tetapi penelitian-penelitian menunjukkan terdapat perbaikan dari otak baik secara
klinis maupun laboratoris setelah pemberian EPO.
Kata kunci: EPO, proteksi otak, kematian sel neuron
JNI 2015; 4 (2): 149–56
Brain Protection Effect of Erythropoietin
Abstract
Erythropoietin (EPO) has been viewed solely as a renal hormone with a specialized role in maintaining adequate
numbers of erythrocytes. However, recent studies have revealed that EPO is a multifunctional molecule
produced and utilized by many tissues. In addition to erythropoiesis, EPO’s other key roles involve the acute
and sub acute biological responses to tissue damage. Studies showed that EPO stimulates proteins of repair,
diminishes neuronal excitotoxicity, reduces inflammation, inhibit neuronal apoptosis and stimulates both
neurogenesis and angiogenesis. EPO also improved neurological outcomes and mental function. The discovery
of EPO and EPOR (erythropoietin receptor) in many non-erythroid organs and tissues suggested that EPO has
other roles. Extrarenal production of EPO found in adult rodents and in humans. Different cell types in the
nervous system produce EPO and express EPOR. EPO mechanism influence every step in cascade of neuronal
cell death. EPO prevents excitotoxic neuronal cell death caused by glutamate receptor agonists that protect
neuron from toxicity from kainate, NMDA and AMPA. EPO can resist cytotoxic effect of glutamate, increased
antioxidant enzymes expression, reduce free radical formation, repair cerebral blood flow, influence release of
neurotransmitter dan angiogenesis. EPO function not only in erythropoiesis but also in brain protection. The
brain protection pathway of EPO remains unclear but clinical and laboratory studies showed that good result.
Key words: EPO, brain protection, neuronal cell death
JNI 2015; 4 (2): 149–56
149
150
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
Cedera otak merupakan masalah kesehatan
di seluruh dunia. Cedera otak traumatika
menyebabkan gangguan fisik, kognitif, perilaku
dan emosi jangka panjang. Saat ini kerusakan
otak primer akibat cedera otak sangat kecil
kemungkinan untuk diperbaiki tetapi kerusakan
otak sekunder memiliki peluang untuk perbaikan.
Saat ini terapi secara farmakologis untuk
menurunkan kerusakan otak sekunder tidak ada
yang spesifik. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa erythropoietin (EPO) merupakan mediator
endogen untuk proteksi otak pada berbagai
gangguan sistim saraf pusat termasuk cedera
otak traumatika.1 Selama bertahun-tahun EPO
dianggap hanya sebagai hormon dari ginjal yang
berfungsi khusus untuk mempertahankan jumlah
eritrosit yang adekuat. Tetapi banyak penelitian
yang menunjukkan bahwa EPO merupakan
molekul multifungsi yang dihasilkan dan
digunakan oleh berbagai jaringan. Selain fungsi
eritropoiesis EPO juga berperan dalam respon
kerusakan jaringan baik yang akut maupun yang
subakut. Pada kondisi tersebut EPO mengurangi
kerusakan baik primer maupun sekunder dan
memfasilitasi perbaikan fungsi-fungsi jaringan.2
Ditemukannya EPO dan reseptor EPO (EPOR)
di organ-organ dan jaringan non eritroid seperti
sel endotel, organ reproduksi, jantung, traktus
gastrointestinal, sel otot dan sistim saraf pusat
menunjukkan EPO mempunyai fungsi-fungsi
yang lain. Produksi ekstrarenal dari EPO sekitar
15–20% dari total produksi EPO pada binatang
mengerat dewasa. Pada manusia dengan severely
anemic anephric masih ditemukan kadar EPO
walau sangat rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa terjadi sintesa ekstrarenal dari EPO.1
Berbagai jenis sel pada sistem saraf pusat
(neuron, sel glia dan sel endotelial) memproduksi
EPO dan mengkespresikan EPOR. EPO memiliki
beberapa kemungkinan jalur untuk proteksi
otak. Penelitian sebelumnya menunjukkan
EPO melindungi neuron dari proses toksisitas
glutamat dengan mengaktivasi kanal Ca eksitatori
dan meningkatkan aktifitas antioksidan dalam
neuron. Penelitian pada tikus yang diberikan
EPO sebelum dan sesudah trauma pada otak
menunjukkan nekrosis yang lebih sedikit,
penurunan inflamasi, apoptosis, dan edema otak.3
Penelitian pemberian EPO pada pasien stroke
aman dan memperbaiki outcome fungsional.4
Penelitian penggunaan EPO pada manusia
dengan cedera kepala aman digunakan hanya
hasil yang didapat kurang memuaskan karena
sampel yang kurang homogen diperkirakan bila
sampel homogen akan didapatkan hasil yang
lebih baik.5
II. Erythropoietin
Recombinant Human Erythropoietin (rhEPO)
EPO endogen diproduksi oleh interstitial
fibroblast dan endotel peritubuler di ginjal (90%)
pada orang dewasa, dan di hepatosit (10%) pada
saat fetus yang merupakan primer EPO. EPO
mRNA (messenger RNA) juga dapat dideteksi di
paru-paru, testis, dan otak, tetapi tidak pada otot,
usus atau tulang belakang dari golongan binatang
pengerat. Carnot dan Deflandre merupakan
orang yang pertama kali mempublikasikan
hemapoietin pada otak. Lebih dari 60 tahun,
banyak penelitian dilakukan untuk membuktikan
kemungkinan bahwa EPO dapat diproduksi oleh
otak sendiri. Sejak diketahui bahwa EPO dapat
melewati sawar darah otak, banyak penelitian
tentang EPO dan efeknya terhadap susunan
saraf pusat (SSP).6,7 Ada empat macam rhEPO,
yaitu epoetin alfa, epoetin beta, epoetin omega,
dan epoetin delta. Sampai saat ini tentang
epoetin delta belum banyak didapatkan data.
EPO yang ada di Indonesia adalah epoetin alfa.
Perbedaan struktur kimia terdapat pada kadar
oligosakarida. Epoetin alfa (39% oligosakarida),
epoetin beta (24% oligosakarida),dan epoetin
omega (21% oligosakarida) tidak ada perbedaan
efikasi dan farmakologinya. Epoetin alfa dan
beta diproduksi dari Chinese hamster ovary
(CHO) dan epoetin omega diproduksi dari sel
baby hamster kidney (BHK).6,7 Epoetin alfa ini
dihasilkan dengan teknologi DNA rekombinan
melalui pengenalan gen eritropoetin manusia
dalam sel CHO. Sel CHO yang sudah dipilih
kemudian dikloning sampai menghasilkan
70–80 ribu sel. Selama kloning diberikan terapi
bromdeoxyuridine dengan konsentrasi 250
ug/mL kemudian dilakukan kromatografi dan
selanjutnya dilakukan pemilihan sel yang sesuai
Efek Proteksi Otak Erythropoietin
morfologi, kariotip, dan fenotipnya. Untuk
pembuatan rhEPO disiapkan cotransfection
dari sel CHO dengan plasma pSVEp2neo dan
pBRTK dilanjutkan dengan proses stabilisasi
sampai menghasilkan sel rhEPO yang bebas
virus dan tidak ada perubahan kariotip, isozim,
laju pertumbuhan sel, copy number of vector,
kadar enzim dan hibridisasi in situ. Hal ini yang
menghasilkan efek biologis dan urutan asam
amino yang sama dengan eritropoetin endogen.7
Struktur Kimia Eritropoietin
Epoetin alfa merupakan glikoprotein 34.000
Dalton, yang terdiri dari 60% protein dan 40%
karbohidrat yang mempengaruhi eritropoisis sel
darah merah. Human gen EPO merupakan singleCopy-gen, yang terletak pada kromosom 7 yang
terdiri dari 5 ekson dan 4 intron, 165 asam amino
peptida. EPO memiliki berat molekul glikoprotein
30.000, deglikosilat EPO 18.000 terdiri dari 2 buah
rantai disulfida, 4 a-helical bundle, dengan proporsi
karbohidrat berupa fruktosa, galaktosa, manosa,
N-asetilgalaktosamin, asam N-asetilneuraminik,
3 N linked, 1 O-linked glykosilasi.6 EPO akan
merangsang pembelahan dan diferensiasi
progenitor eritroid pada sumsum tulang
belakang. EPO masuk ke sirkulasi, kemudian di
sumsum tulang mengatur produksi sel darah, dan
mencegah apoptosis dari sel progenitor eritroid.8
Mekanisme Kerja EPO
Mekanisme kerja EPO dapat mempengaruhi
berbagai langkah dalam kaskade kematian sel
Dikutip dari: Rabie T dkk.3
Gambar 1 Proses Sinyal EPO
151
neuron. Sebagai contoh EPO dapat mencegah
kematian sel neuron eksitotoksik yang diakibatkan
oleh berbagai glutamat reseptor agonis. EPO
juga melindungi sel neuron dari toksisitas yang
diakibatkan oleh kainate dan NMDA dan AMPA.
EPO juga menghambat pelepasan eksitotoksisitas
glutamat yang diinduksi oleh kalsium pada granula
serebelar neuron akibat iskemia oleh zat kimia
pada in vitro. Penghambatan eksitotoksisitas
glutamat yang akan menghambat aksi glutamat
pada reseptornya dihambat oleh EPO sehingga
kematian sel akibat iskemia dapat ditekan. EPO
juga menurunkan NO-mediated injury.9
Mekanisme Kerja EPO di Sistim Saraf Pusat
Ekspresi EPO di otak dewasa meningkat pada
hipoksia dan stres metabolik akut. Hal ini
dibuktikan dengan terdeteksinya EPO dalam
cairan serebrospinalis atau pada jaringan otak
setelah cedera kepala traumatika, perdarahan
subarakhnoid, dan stroke pada pemeriksaan
post mortem.10 Mekanisme kerja EPO sebagai
neuroprotektor diduga multifaktorial baik
secara langsung maupun tidak langsung pada
neuron. EPO dapat melawan efek sitotoksik
dari glutamat, meningkatkan ekspresi enzimenzim antioksidan, mengurangi pembentukan
radikal bebas, memperbaiki aliran darah serebral,
mempengaruhi
pelepasan
neurotransmiter,
dan meningkatkan angiogenesis.10 Hipoksia
dan cedera meningkatkan produksi EPO
dan EPO reseptor (EPO-R) pada otak. EPO
menurunkan regulasi tyrosine phosphatase dan
mengaktifkan ERK1 dan ERK2 suatu regulator
kinase pada neuron di daerah cortex. Epoetin
alfa melindungi neuron daerah hipokampus
pada tikus dari kematian sel akibat hipoksia
melalui aktifasi ERK1, ERK 2 dan Akt.10 Pada
neuron di cortex otak tikus Pada neuron daerah
cortex pada tikusEPO berefek proteksi dengan
cara EPO–R mengaktifasi JAK2 kemudian
mengaktifasi kaskade nuclear factor (NF)–kB dan
meningkatkan ekspresi gen inhibitor apoptosis
yaitu XIAP dan c-IAP2. EPO juga mempunyai
efek proteksi terhadap cedera akibat iskemia pada
neuron melalui regulasi gen anti apoptosis yaitu
gen Bcl–x. Efek neuroprotektor juga dapat dilihat
dari efek penurunan inflamasi dari daerah cedera
otak. NF–kB yang diaktifasi oleh EPO adalah
152
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
regulator dari gen inflamasi (gambar 1).10
Eritropoietin memiliki efek neuroprotektor
kemungkinan melalui beberapa cara. Hypoxiainduced EPO mengatur regulasi penyampaian
oksigen ke otak. Pengaruh EPO terhadap
endotelium juga diduga berefek neuroprotektor,
dengan cara:
1. Memproduksi faktor-faktor yang mengatur
aliran darah.
2. Meningkatkan survival sel endotel.
3. Melakukan modifikasi mobilisasi sel
progenitor endotelial dan angiogenesis.
4. Mempunyai efek neurogenesis dan migrasi
neuroblast.
EPO berefek maturasi oligodendrosit dan
melindungi dari interferon-gamma (IFN-γ),
toksisitas lipopolisakaraida, ekspresi inducible
nitric-oxide synthase (iNOS) dan produksi
nitrit.11 EPO mempunyai efek antioksidan (secara
langsung sebagai free radical scavenging atau
tidak langsung dengan mengaktifasi enzim-enzim
antioksidan).11 Anti apoptosis dari EPO dengan
cara berikatan dengan EPO–R menginduksi
fosforilasi dari Janus tyrosine kinase 2 (Jak2).
Jak2 yang teraktifasi menyebabkan fosforilasi
dari tyrosine site pada EPO-R intrasel.
Fosforilasi ini menyebabkan aktifasi dari signal
transducer and activator of transcription 5
(STAT5), phosphoinositol-3-kinase (P13K),
mitogen-activated protein kinases (MAPKs),
SH2-containing protein-tyrosine phosphatases
(SHPs) dan NF–kB transcription factor. STAT5
Dikutip dari : Keswani dkk.12
Gambar 2 Skema jalur proteksi EPO pada axon
mengaktifkan protein antiapoptosis Bcl–xl.
P13K mengaktifkan protein kinase B (Akt)
yang menghambat programed cell death (PCD).
MAPKs menjembatani ekspresi gen yang
mencegah PCD. SHPs menghambat PCD dan
menurunkan regulasi EPO. NF–kB menyebabkan
induksi inhibitor of apoptosis protein (IAP)
family.11 EPO sistemik juga menurunkan
degenerasi dari axon, kelemahan anggota gerak
dan nyeri neuropatik. Hipotesa jalur proteksi
EPO terhadap axon sebagai berikut, axon yang
mengalami cedera merangsang produksi nitric
oxide (NO) dalam neuron, NO merangsang
produksi EPO dari sel Schwann sekitarnya. EPO
yang dihasilkan dari sel Schwann mengaktifkan
jalur proteksi axon melalui ligasi EPO–R pada
neuron (gambar 2).12
Jalur Sinyal yang Berperan dalam Proses
Neuroproteksi dari EPO
Berbagai penelitian telah mengeksplorasi
proteksi otak dari EPO melalui jalur sinyal
EPO–EPOR kompleks (gambar 3). EPO
endogen dan eksogen dapat berikatan dengan
EPOR menyebabkan homodimerization dan
fosforilasi JAK–2 mengakibatkan proses aktivasi
downstream signaling yang rumit.1 Fosforilasi
JAK–2 mengaktifkan phosphatidylinositol 3–
kinase (P13–K) dan menginduki aktifasi NF–
kβ (nuclear factor) dan menstimulasi STAT-5
homodimerization. Selain itu fosforilasi JAK–2
mengaktifasi Ras-Mitogen activated protein
kinase (MAPK) signaling pathways, dan modulasi
konsentrasi kalsium pada sel yang tereksitasi,
aktifitas elektrik dan pelepasan neurotransmiter
dengan mengaktifkan phospholipase C–ƴ.
Dari berbagai jalur ini yang perlu diperhatikan
adalah jalur PI3– K/v–akt murine thymoma
viral oncogene homolog (Akt) Ras/MAPK,
kedua jalur tersebut penting pada efek anti
apoptosis dan efek tropik dari EPO. Jalur Janustyrosine-kinase-2 (JAK2)–PI3K sangat penting
kemampuan neuroproteksi dari EPO. Penelitian
in vivo menunjukkan inhibisi JAK–2 atau PI3–K
menghilangkan efek neuroproteksi dari EPO.
Aktifasi Akt yang dimediasi melalui PI3–K,
memodulasi beberapa sinyal intrasel yang
berperan pada apoptosis, synaptic signaling, dan
sintesa glikogen. Molekul target dari Akt adalah
Efek Proteksi Otak Erythropoietin
p53, GSK–3 dan cytochrome c yang berperan
pada proses-proses modulasi penting seperti
sintesa glikogen, siklus sel dan kematian sel.
alur Ras/Raf/MEK/extracellular signal-regulated
kinase (ERK)–1/2 juga berperan pada respon
neuroproteksi diperkirakan berperan pada efek
antiapoptosis dari EPO dengan meningkatkan
transkripsi dari gen-gen antiapoptosis (Bcl–2,
Bcl–xL). Penelitian sebelumnya menemukan
bahwa EPO menurunkan volume infark dan
merangsang aktifasi dari jalur JAK–2, ERK–
1/2, and PI3–K/Akt yang berhubungan dengan
peningkatan protein antiapoptosis Bcl-xL.
Akhirnya jalur JAK2–STAT diperkirakan
berperan penting pada efek antiapoptosis dari
EPO. Fosforilasi STAT–5 akibat EPO/EPOR
coupling melalui JAK–2. Phosphorylated STAT–
5 yang sudah berfosforilasi berhomodimerisasi
dan memasuki inti sel dimana gen antiapoptosis
Bcl-2 and Bcl-xL dintranskripsi. Bcl–2 dan Bcl–
xL mempunyai kemampuan untuk mencegah
pelepasan cytochrome c dari mitokondria. EPO
telah diketahui meningkatkan STAT–5 dan
konsentrasi gen-gen antiapoptosis. Peran pasti
dari jalur STAT–5 masih belum jelas, tetapi
kemungkinan berperan pada efek antiapoptosis
dan neurogenesis. Beberapa jalur baru yang
yang mungkin berperan dalam kemampuan EPO
untuk mencegah apoptosis seluler berkaitan erat
dengan Akt-1. Setelah aktifasi jalur PI3–K, EPO
Dikutip dari : Ponce dkk.1
Gambar 3 Jalur Proteksi Otak oleh Erythropoietin
153
melakukan modulasi pro-apoptotic forkhead
transcription factor O3 (FOXO3a) dimana pada
kondisi normal akan mengaktifasi transkripsi
gen-gen apoptosis. Selain itu setelah pemaparan
β-amyloid peptide di sel saraf, EPO menggunakan
NFk–β untuk mencegah apoptosis.1
Transport EPO Melalui Sawar Darah Otak
Kemampuan EPO dalam menembus sawar
darah otak masih menjadi pertanyaan. Penelitian
pada tikus yang disuntikkan biotynilated
EPO ditemukan biotin di otak tikus tersebut.
Kemungkinan dapat menembus otak melalui
proses transitosis.3 Penelitian ini menyarankan
bahwa pemberian EPO eksogen dalam jumlah
yang cukup dapat melindungi sistem saraf dengan
melewati sawar darah otak secara langsung dan
tidak langsung.11 Penelitian lain menunjukkan
dengan menggunakan radiolabeled EPO dan
albumin, menunjukkan EPO masuk ke parenkhim
otak menggunakan cara yang sama. EPO terbukti
dapat melewati sawar darah otak pada penelitan
nuclear imaging dengan menggunakan indiumlabeled EPO yang diberikan secara sistemik pada
pasien normal dan pasien dengan schizophrenia.3
Farmakokinetik EPO
Farmakokinetik EPO diukur berdasarkan
konsentrasi serum dengan radioimunoassay atau
enzym-linked immunoassay, EPO endogen tidak
berbeda dengan EPO eksogen karena struktur
protein yang sama.13 Pemberian EPO dapat
melalui intravena, intraperitoneal atau subkutan.
Gambaran farmakokinetik pemberian suntikan
EPO intravena dan subkutan sangat berbeda.
Pada pemberian suntikan intravena, kadar dalam
plasma meningkat dengan cepat, dan akan
mencapai kadar puncak tertinggi serta secara
cepat pula kadar dalam plasma akan menurun
dalam waktu 6–9 jam. Pada pemberian secara
subkutan, kadar dalam plasma akan meningkat
dalam waktu 12–24 jam pertama, kemudian
menurun sampai kadar puncak terendah, tetapi
menurun sangat lambat dalam beberapa hari.
Akibatnya kadar epoetin alfa dapat tetap di atas
kadar normal untuk lebih dari 100 jam setelah
pemberian suntikan subkutan tunggal. Namun
pemberian intraperitoneal hampir mendekati
subkutan walaupun pemberian pada manusia
154
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
tidak lazim. Bioaviabilitas relatif (dihitung
sebagai daerah di bawah konsentrasi dan kurva
waktu = AUC) setelah suntikan subkutan pada
umumnya lebih kecil 10–40% bila dibandingkan
dengan suntikan intravena pada dosis yang sama.
Namun, intraperitoneal 2,9–14% lebih rendah
bila dibandingkan subkutan.7 Pemberian dosis
tunggal EPO dievaluasi farmakokinetik EPO
pada delapan penderita dialisis setelah pemberian
dosis tunggal intravena dan subkutan dengan
dosis 40 IU/kg dengan jarak 7 hari. Kemudian,
seluruh penderita mendapat 40 IU/kg subkutan 3
kali dalam seminggu selama 6 minggu.
Parameter farmakokinetik setelah pemberian
dosis tunggal EPO intravena dan subkutan
dipantau (digunakan nilai rata-rata); konsentrasi
maksimal (Cmax); 416,7 U/L dan 39,5 U/L
(p<0,02); AUC; 3.049 Uh/L dan 1.22 Uh/L
(p<0,02); waktu paruh (t1/2); 6,7jam dan 13,2 jam
(p=NS); F: 100% dan 38,7%. Sedangkan waktu
klirens pemberian secara intravena EPO 8,1–8,6
mL/jam/kg. Secara statistik, tidak ada perbedaan
bermakna dalam nilai parameter farmakokinetik
bila dibandingkan antara pemberian secara EPO
dosis tunggal dan ganda.7
Meskipun bioavailabilitas antara dua rute
pemberian sangat berbeda, responsnya sama.
Alasannya adalah kemungkinan terdapat sejumlah
reseptor yang terbatas pada permukaan unit
koloni eritroid yang secara cepat akan tersaturasi
pada pemberian intravena. Kadar puncak tertingi
tampak setelah pemberian intravena sebagai
akibat penggunaan EPO yang inadekuat dan
selanjunya diekskresikan tanpa menghasilkan
efek biologikal yang penuh. Sebaliknya,
kadar puncak terendah dan bioavaibilitas pada
pemberian subkutan lebih fisiologis. Disamping
itu, mungkin digunakan sebagian besar sel-sel.
Karena waktu paruh epoetin alfa yang panjang
bila disuntikan secara subkutan, saturasi reseptor
dipertahankan sehingga efek growth factor akan
lebih lama dan lebih kuat.7 Klirens sistemik EPO
pada manusia berkisar 3,3–17 ml/menit. Kurang
dari 5% dari dosis intravena tidak berubah pada
urin, sedangkan eliminasi melalui urin sedikit
sekali (10% dari eliminasi total/hari).7
Farmakodinamik EPO
Pada susunan saraf pusat diketahui bahwa EPO
dapat meningkatkan pengeluaran dopamin.
Eritropoietin diduga aman diberikan pada
penderita Parkinson. Pemberian EPO dapat
memperbaiki penderita ensefalomielitis karena
efek dari antiinflamasi dari EPO. Bahkan, EPO
berfungsi sebagai terapi pada schizophrenia
hebefrenik.14 Pada gastrointestinal, respiratori,
dan kardiovaskuler otot polos pada hewan
percobaan dengan dosis 70–7.000 U/kg tidak
ditemukan efek yang bermakna. Pada air dan
ekskresi elektrolit dosis EPO di atas 700 U/kg
meningkatkan volume urin tikus, tetapi tidak
merubah konsentrasi Na+ dan K+ urin. Faktor
pembekuan darah berupa PT dan APTT tidak
dipengaruhi dengan pemberian EPO 70–7.000
U/kg. Namun pemberian EPO meningkatkan Hb
pada penderita penyakit renal.7
Efek yang Tidak Diharapkan dari Pemberian
EPO
Timbulnya hipertensi dan eksaserbasi hipertensi
tidak disebabkan oleh peningkatan hematokrit
atau Hb. Hal ini terjadi karena nitric oxide (NO)
resisten dapat menyebabkan vasokonstriksi,
meningkatkan produksi endotelial, meningkatkan
renin di jaringan, serta menimbulkan perubahan
pada jaringan penghasil prostaglandin vaskuler.15
Hal yang terpenting dalam pemberian EPO
adalah meminimalisasi peningkatan hematokrit
yang dapat menyebabkan peningkatan viskositas
darah karena peningkatan hematokrit dapat
menyebabkan defisit perfusi pada otak. Hal ini
terjadi karena EPO menyebabkan peningkatan
hematokrit lebih dari 80%. Bahaya yang lebih
besar lagi adalah kemungkinan infark serebral.16
Dosis, Cara dan Waktu Pemberian EPO
Pemberian
EPO
sebagai
neuroprotektor
bergantung pada konsentrasi dan waktu
pemberiannya. Pada trauma kepala dengan sawar
darah otak yang masih utuh pemberian EPO
dibutuhkan lebih besar apabila dibandingkan
dengan yang tidak utuh karena harus melewati
endotelial kapiler yang terdiri dari beberapa lapis
dan mempunyai corak yang berbeda, diantaranya
lapisan yang sudah tidak adanya fenestra, tightjunction, jaringan yang mempunyai jumlah
Efek Proteksi Otak Erythropoietin
sel yang rendah dan perivaskuler yang dekat
dengan astrosit kemudian lapisan ependim yang
kaya akan organela dan lisosom.17 Pemberian
EPO intravena total 100.000 IU (3,3x104
IU/50ml/30 menit selama 3 hari) pada pasien
stroke meningkatkan kadar EPO dalam cairan
serebrospinalis 60–100 kali lipat. Dosis ini adalah
dosis besar pada percobaan klinis masih dapat
ditoleransi.4 Dosis besar diperlukan untuk dapat
menembus sawar darah otak, karena hanya sekitar
1% yang mencapai otak.18 Pada manusia dosis
yang dapat menembus sawar darah otak adalah
40.000 U atau 1.500 U/kg secara intravena.10
Pemberian EPO pada manusia pada 40 penderita
stroke yang timbulnya kurang dari 8 jam diberikan
EPO 3,3 x 104IU/50 mL/30 menit selama 3 hari.
Kemudian, dievaluasi dengan MRI pada hari ke1, ke-3, dan ke 18, lalu dinilai skala stroke serta
kadar S–100B. Dari hasil MRI didapat perbaikan
pada hari ke-3 dan skala stroke kembali normal
pada hari ke-30 dan kadar S–100B mulai menurun
pada hari ke-3 dengan dosis 3,3 x 104 IU/50 mL/30
detik akan memperbaiki outcome pada hari ke-30,
jika diberikan selama 3 hari tanpa peningkatan
dari nilai hematokrit. Waktu pemberian 24 jam
sebelum sampai 6 jam setelah kejadian stroke
mempunyai outcome yang baik. Pada hewan
percobaan ditemukan hasil yang hampir sama.4
Pemberian EPO sebaiknya kurang dari 3 jam
setelah kejadian trauma, karena proses apoptosis
sebagai salah satu target proteksi EPO, terjadi
3 jam setelah proses infark. Hal ini didukung
hasil penelitian pada binatang yang dilakukan
oklusi arteri serebri media. Pemberian EPO 3 jam
setelah oklusi sama efektifnya dengan pemberian
EPO pada saat oklusi. Efektifitas EPO menurun
50% pada pemberian setelah 6 jam pascaoklusi
dan tidak mempunyai efek neuroproteksi pada
pemberian 9 jam setelah oklusi.4
III. Simpulan
EPO tidak hanya berfungsi dalam proses
eritropoiesis tetapi juga mempunyai efek
protektor otak. Jalur proteksi otak dari EPO
memang masih belum jelas tetapi penelitianpenelitian menunjukkan terdapat perbaikan dari
155
otak baik secara klinis maupun laboratoris setelah
pemberian EPO.
Daftar Pustaka
1. Ponce LL, Navarro JC, Ahmed O, Robertson
CS. Erythropoietin neuroprotection with
traumatic brain injury. PATPHY. 2012;730:1–
8.
2. Brines M, Cerami A. Erythropoietin-mediated
tissue protection reducing collateral damage
from the primary injury response. J Intern
Med. 2008;264:405–32.
3. Rabie T, Marti HH. Brain protection by
erythropoietin: a manifold task. Physiology.
2010;23:263–74.
4. Ehrenreich H, Hasselblatt M, Dembowski
C, Cepek L, Lewczuk P, Stiefel M, et al.
Erythtropoietin therapy for acute stroke
is both safe and beneficial. Mol Med.
2002;8(3):495–505.
5. Nirula R, Diaz-Arrastia R, Brasel K, Wigelt
JA, Waxman K. Safety and efficaccy of
erythropoietin in traumatic brain injury
patients : a pilot randomized trial. Crit Care
Res Pr. 2010;
6. Deicher R, Horl H. Differentiating factors
between erythropoiesis-stimulating agents.
Drugs. 2004;64:499–507.
7. Sofia P, Bisri T, Wargahadibrata AH. Effect
neuroprotector epoetin alfa after brain
trauma: a histopathology brain rats study.
Anesth Crit Care. 2005;23(3):203–13.
8. Dicicayglioglu M, Bichet S, Marti H.
Localization of specific eryhtropoietin
binding sites in defined areas of the mouse
brain. Proc Natl Acad Sci. 1995;3717–20.
9. Marti HH. Erythropoietin and the hypoxic
brain. J Exp Biol. 2004;207:3233–42.
156
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
10. Weiss MJ. New insight into erythropoietin
and epoetin alfa: mechanism of action,
target tissues, and clinical applications. The
Oncologist. 2003;8:18–29.
15. Wang XQ, Vaziri ND. Erythropoietin
depresses nitric oxide synthase expression
by human endothelial cell. Hypertension.
1999;33:894–9.
11. Almpani M. Neuroprotective effects of
erythropoietin. Adv Altern Think Neurosci.
2009;1:21–5.
16. Iperen V, Gaillard M, Kraaijenhagen
J. Response of erythropoiesis and iron
metabolism
to
recombinant
human
eryhtropoietin in intensive care unit patients.
Crit Care Med. 2001;29:193–8.
12. Keswani SC, Buldanlioglu U, Fischer A,
Reed N, Polley M, Liang H, et al. A novel
endogenous eryhtropoietin mediated pathway
prevents axonal degeneration. Ann Neurol.
2004;56:815–26.
13. Menon G, Nair S, Bhattacharya R.
Cerebral protection-current concepts. IJNT.
2005;2(2):67–79.
14. Ehrenreich H, Degner D, Brines M.
Erythropoietin: a candidate compound
for neuroprotection in schizophrenia. Mol
Psychiatry. 2004;9:42–54.
17. Kass IS, Cottrell JE. Pathophysiology of
Brain Injury. 4th ed. St Louis, Missouri:
Mosby Inc; 2001. 69–82.
18. Siren A-L, Fabhauer T, Bartel C, Ehrenreich
H. Therapeutic potential of erythropoietin
and its structural or functional variants in the
nervous system. J Am Soc Exp Neurother.
2009;6:108–27.
Indeks Penulis
A
N
Nazarudin Umar, 104, 112
B
Bambang Suryono S , 134
R
Rafidya Indah Septica, 134
Rebecca Sidhapramudita Mangastuti, 112
Riyadh Firdaus, 84
Rully Hanafi Dahlan, 79
Rossa Avrina, 79
Achmad Wahib, 91
D
Dewi Yulianti Bisri, 98
F
Farid Yudoyono, 79
H
Himendra Wargahadibrata, 84, 98
I
Iwan Abdul Rachman, 119
Iwan Fuadi, 84, 149
M
Marsudi Rasman, 104, 112
Muhammad Zafrullah Arifin, 79
S
Sevline Estethia Ompusunggu, 79
Silmi Adriman, 98, 104
Siti Chasnak Saleh, 91, 119
Sri Rahardjo, 84, 91, 98, 119
T
Tatang Bisri, 149
Y
Yusmein Uyun, 134
Indeks Subjek
A
Anestesi, 112
Anestesi umum, 84
B
Bedah saraf, 91
C
Cedera otak traumatika, 104, 119
Carotid endarterectomy, 84
E
EPO, 149
G
Geriatri, 104
K
Kinking arteri karotis interna, 84
Kematian sel neuron, 149
Kualitas hidup, 91
Kraniopharingioma, 91
M
Manajemen anestesi, 134
Meningioma, 112
N
Nyeri pinggang bawah, 79
O
Oswetry Disability Index, 79
P
Parestesia, 98
Patofisiologi serebrovaskuler, 134
Penatalaksanaan perioperatif, 104
Percutaneous epidural adhesiolysis, 79
Posisi prone, 98
Preeklampsia, 134
Proteksi otak, 149
S
Spondilitis tuberkulosis, 98
T
Tumor spinal, 98
Tekanan intrakranial, 119
Terapi hiperosmolar, 119
Total intravenous anesthesia, 112
V
Visual analogue score, 79
Pedoman Bagi Penulis
1.
Ketentuan Umum
Redaksi
majalah
Jurnal
Neuroanestesia
Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam
bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus,
Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah
yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah
naskah lengkap yang belum dipublikasikan
dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang
telah dimuat dalam proceeding pertemuan
ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat
izin tertulis dari panitia penyelenggara.
2.
Judul
Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata,
judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata.
3. Abstrak
Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata.
Abstrak Penelitian:
Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method,
Result, and Discussion). Dalam introduction
mengandung latar belakang dan tujuan penelitian.
Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan.
Contoh Penulisan Abstrak Penelitian:
Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi
kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi
dan menjadi masalah serius karena dapat
menurunkan kualitas hidup pasien yang
menjalani pembedahan dan meningkatkan beban
pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO
pada pasien yang menjalani operasi elektif
di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa
faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya.
Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan
50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih
yang menjalani pembedahan lebih dari dua
jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi
kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi.
Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan
memori. Faktor yang diduga mempengaruhi
kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah
usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.
Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel
mengalami gangguan atensi, 36% sampel
mengalami gangguan memori dan 52% sampel
mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi.
Pemeriksaan
kognitif
yang
mengalami
penurunan bermakna adalah digit repetition
test, immediate recall, dan paired associate
learning. Analisa logistik regresi variabel usia
(p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan
durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian
DKPO menunjukkan hubungan yang tidak
bermakna. Namun bila dianalisa pada masing
masing kelompok usia tampak bahwa persentase
pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih
tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan
≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menit
Simpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada
pasien yang
menjalani operasi elektif di
GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor
usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi
tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO
meskipun secara statistik tidak signifikan.
Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif
pascaoperasi, memori
Abstrak Laporan Kasus:
Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan,
simpulan
Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus:
Abstract
Meningoencephaloceles are very rare congenital
malformations in the world that have a high
incidence in the population of Southeast Asia,
include in Indonesia. Children with anterior
meningoencephaloceles should have surgical
correction as early as possible because of the facial
dysmorphia, impairment of binocular vision,
increasing size of the meningoencephalocele
caused by increasing brainprolapse, and risk
of infection of the central nervous system. In
the report, we presented a case of a 9 monthsold baby girl with naso-frontal encephalocele
and hydrocepahalus non communicant, posted
for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt)
and cele excision. Becaused of the mass,
nasofrontal or frontoethmoidal and occipital
meningoencephalocele leads the anaesthetist to
problems since the anaesthesia during the operation
until post operative care. Anaesthetic challenges
in management of meningoencephalocele,
which most of the patients are children, include
securing the airway with intubation with the
mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its
associated complications and accurate assessment
of blood loss and prevention of hypothermia
pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan
nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik
dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial
atau drainase ventrikel atau keduanya.
Key
words:
Anaesthesia,
difficult
ventilation, difficult intubation, naso-frontal,
meningoencephalocele, padiatrics
Contoh cara penulisannya:
Abstrak Tinjauan Pustaka:
Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan
Abstrak
Stroke hemoragik merupakan penyakit yang
mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup
dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum
dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid
haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan
dari arteriovenous malformation (AVM),
atau perdarahan intraserebral. Perdarahan
intraserebral sering dihubungkan dengan
hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati
lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma,
atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari
sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik
lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke
iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%.
Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala,
mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal
yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan
letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik
dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai
koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1)
Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke
perdarahan
Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang
ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah.
4.
Cara Penulisan Makalah
Penulisan Daftar Pustaka:
•
Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan
datang” di dalam teks, Vancouver style.
Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal
20 buah.
•
Dari Jurnal:
1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and
head trauma. Common effect and common
mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl
1):S107–S110.
2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer
HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus
intracerebral haemorrhage. N Engl J Med
2001,344(19):1450–58.
Dari Buku:
1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial
hemorrhage: Intensive care management.
Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials
of Neuroanesthesia and Neurointensive Care.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229–
36.
2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage.
Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical
Care. New York: Cambridge University
Press;2010,143–56.
Materi Elektronik
Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B,
Fosha D. Attachment as a transformative process
in AEDP: operationalizing the intersection of
attachment theory and affective neuroscience.
Journal of Psychotherapy Integration [Online
Journal] 2011 [diunduh 25 November 2011].
Tersedia dari: http://www.sciencedirect.com
5.
Jumlah halaman
Laporan Kasus
: 10-12 halaman
Laporan Penelitian : 15 halaman
Tinjauan Pustaka
: 15-20 halaman
Surat Pembaca
: 1 halaman
Ditik 1,5 spasi, Times New Roman, 11 font.
Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus
kepada mitra bebestari:
Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO
(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)
Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA
(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)
Bambang Suryono, dr., SpAnKNA, KAO, M.Kes
(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)
Dr. Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA
(Universitas Khatolik Atmajaya–Tangerang)
Dr. Nazaruddin Umar, dr., SpAnKNA
(Universitas Sumatera Utara–Medan)
Dr. I Putu Pramana Suarjaya, dr., SpAnKNA, KMN, M.Kes
(Universitas Udayana–Denpasar)
Dr. Diana Lalenoh, dr., SpAnKNA, KAO, M.Kes
(Universitas Sam Ratulangi–Manado)
Dr. MM. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.Si
(Universitas Soedirman–Purwokerto)
Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal
Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan
datang
Redaksi
FORMULIR PESANAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Lengkap
: ………………………………………………………………...
Alamat Rumah
: ………………………………………………………………...
………………………………………………………………...
……………….. Kode pos………………………….................
Telepon …………………………Faks ………………….........
HP ………………………………E-mail…………...................
Alamat Praktik
: ………………………………………………………………...
Telepon …………………………Faks ……………….............
Alamat Kantor
: ………………………………………………………................
……………………….. Kode pos……………………………..
Telepon …………………………Faks ……………………......
Mulai berlangganan
: ………………………………. s.d ……………………………...
Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan
sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**
Pembayaran melalui :
□
Langsung ke Sekretariat Redaksi
Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161
Mobile
: 087722631615
JNI dikirimkan ke* :
□
□
□
Alamat Rumah
Alamat praktik
Alamat Kantor
Bandung, …………………………………
Hormat Saya
(
* pilih salah satu
** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi
*** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten
)
Download