Daftar Isi Laporan Penelitian Percutaneous Epidural Adhesiolysis (PEA) untuk Manajemen Nyeri Pinggang Bawah Kronis Farid Yudoyono, Sevline Estethia Ompusunggu, Rully Hanafi Dahlan, Rossa Avrina, Muhammad Zafrullah Arifin .................................................................................................. 79–83 Laporan Kasus Manajemen Anestesia pada Carotid Endarterectomy: Pasien dengan Kinking Arteri Karotis Interna Riyadh Firdaus, Iwan Fuadi, Sri Rahardjo, Himendra Wargahadibrata.................................. 84–90 Diabetes Insipidus Pascaoperasi Kraniopharingioma pada Anak Achmad Wahib, Siti Chasnak Saleh, Sri Rahardjo ................................................................. 91–7 Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis Torakalis dan Tumor Esktramedular (Meningioma Torakalis) T7–11 Silmi Adriman, Dewi Yulianti Bisri, Sri Rahardjo, Himendra Wargahadibrata ....................... 98–103 Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik pada Pasien Berusia Lanjut Silmi Adriman, Nazarudin Umar, Marsudi Rasman .............................................................. 104–11 Total Intravenous Anesthesia pada Geriatri dengan Meningioma Parietalis Rebecca Sidhapramudita Mangastuti, Nazaruddin Umar, Marsudi Rasman ............................. 112–18 Tinjauan Pustaka Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika Iwan Abdul Rachman, Sri Rahardjo, Siti Chasnak Saleh ...................................................... 119–33 Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada Preeklampsia/Eklampsia Rafidya Indah Septica, Yusmein Uyun, Bambang Suryono S .............................................. 134–48 Efek Proteksi Otak Erythropoietin Iwan Fuadi, Tatang Bisri ....................................................................................................... 149–56 Percutaneous Epidural Adhesiolysis (PEA) untuk Manajemen Nyeri Pinggang Bawah Kronis Farid Yudoyono*), Sevline Estethia Ompusunggu*), Rully Hanafi Dahlan*), Rossa Avrina**), Muhammad Zafrullah Arifin*) *) Divisi Neurospine, Nyeri dan Saraf Perifer, Bagian Bedah Saraf, Rumah Sakit Hasan Sadikin, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, **)Departemen Epidemiologi Klinik, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Abstrak Latar Belakang dan Tujuan: Nyeri pinggang bawah yang disebabkan oleh penekanan radik saraf tulang belakang maupun thecal sac sering dijumpai dan dapat menimbulkan kecacatan. Percutaneous epidural adhesiolysis (PEA) adalah salah satu tindakan yang dilakukan untuk mengatasi nyeri sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektifitas PEA menggunakan lidokain 2% dalam mengatasi nyeri pinggang bawah. Subyek dan Metode: Penelitian cohort retrospektif dengan lima data pasien diambil dari database bagian Bedah Saraf. Semua pasien dilakukan PEA dengan injeksi anestesi lokal menggunakan 5 mL lidokain 2%, pengukuran luaran menggunakan Visual Analog Score (VAS), Oswestry Disability Index (ODI) dan penggunaan obat opioid yang dianalisa pada bulan ke-3 dan 6 bulan setelah tindakan. Hasil: Usia tertua adalah 60 tahun dengan 80% penderita adalah laki-laki dengan nilai maksimum VAS sebelum tindakan adalah 9, VAS 3 bulan pascatindakan adalah 3 sedangkan VAS 6 bulan pascatindakan adalah 2. Sehingga terdapat perbaikan VAS dan ODI yang signifikan (Friedman test dan post hoc Wilcoxon test) dengan nilai p<0,05. Satu pasien tetap menggunakan opioid hingga 6 bulan pascatindakan PEA. Simpulan: Pengurangan nyeri yang signifikan disertai dengan perbaikan status fungsional terjadi pada pasien yang diberikan PEA dengan menggunakan anestetika lokal lidokain 2%. Kata kunci: Nyeri pinggang bawah, Percutaneous epidural adhesiolysis, Visual Analogue Score, Oswestry Disability Index JNI 2015; 4 (2): 79–83 Percutaneous Epidural Adhesiolysis (PEA) for Chronic Low Back Pain Management Abstract Background and Objective: Chronic low back pain caused by compression of spinal nerves roots or thecal sac is common and can lead to disability. Percutaneous epidural adhesiolysis (PEA) is an interventional pain management to relieve the pain.This study aims to evaluate the effectiveness of the PEA using lidocaine 2% in relieving lower back pain. Material and Methods: This retrospective cohort study was done using five patient’s data taken from medical record, with all patients had underwent PEA using 5 mL of 2% lidocaine, outcome measurements were evaluated using Visual Analogue Score (VAS), Oswestry Disability Index (ODI) and the useage of opioid drugs at 3rd and 6th month afterward. Results: The oldest age was 60 years and 80% of patients were male with a maximum value of VAS before procedure was 9, VAS score at 3rd month was 3 and VAS score at 6th month was 2. The maximum value ODI before procedure was 90, ODI at 3rd month was 50, while the 6th month was 25. Friedman test and post hoc Wilcoxon test revealed a significant difference in VAS score between before procedure, 3rd month and 6th month post-procedure (p <0,05). Conclusion: PEA with lidocaine 2%, is an effective treatment for chronic low back pain and can reduce pain thus increase fungsional state significantly. Key words: Low back pain, Percutaneous epidural adhesiolysis, Visual Analogue Score, Oswestry Disability Index JNI 2015; 4 (2): 79–83 79 80 Jurnal Neuroanestesi Indonesia I. Pendahuluan II. Metode Nyeri yang berasal dari tulang belakang berasal dari beberapa struktur otot, fascia, tulang, facet joint, diskus dan saraf tepi masing-masing dapat menyebabkan nyeri pinggang kronis. Secara global prevalensi dari nyeri pinggang bawah adalah 65%–80% dan 13% diantaranya disertai dengan disabilitas sedang sampai berat. Di Malaysia 11,6% dari 2600 populasi didiagnosa nyeri pinggang bawah. Di Eropa prevalensi nyeri pinggang bawah 70%, paling banyak terjadi pada usia 35–55 tahun. Nyeri pinggang bawah sering disebabkan oleh kanal stenosis ataupun foraminal stenosis merupakan gangguan yang disebabkan oleh banyak faktor yaitu mekanisme neurovaskular seperti berkurangnya aliran arteri pada kauda equina, kongesti vena, dan peningkatan tekanan epidural, eksitasi radik saraf oleh peradangan lokal, atau kompresi langsung pada cauda equina serta pengaruh biokimia.1-8 Penelitian ini bersifat cohort retrospektif dengan lima orang pasien diambil dari database bagian Bedah Saraf. Semua pasien dilakukan PEA dengan injeksi anestesi lokal menggunakan 5 mL lidokain 2%. Penelitian ini dilakukan pada pasien dengan nyeri pinggang yang tidak mengalami perubahan dengan terapi konservatif di Divisi Neurospine, Pain dan Peripheral Nerve Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode bulan Agustus–Desember 2013. Subjek penelitian yaitu pasien dewasa menderita penyakit spine degeneratif dengan keluhan nyeri pinggang yang tidak respon dengan terapi konservatif, tidak mempunyai riwayat pembedahan sebelumnya. Kelainan diskus yang disebabkan oleh proses degeneratif berhubungan dengan bertambahnya usia merupakan penyebab tersering dari nyeri pinggang dan disabilitas dan pada kenyataanya sering tidak menimbulkan gejala.8-11 Secara umum penatalaksanaan nyeri pinggang bawah yang disebabkan karena stenosis spinal ditangani dengan konservatif, tehnik intervensional dan pembedahan intervensional. Salah satu metode pengobatan yang diterapkan pada pasien dengan nyeri tulang belakang disebut adhesiolisis yang dapat dilakukan secara percutan sehingga disebut Percutaneous Epidural Adhesiolysis (PEA). Konsep dasar adhesiolisis adalah bahwa penyebab nyeri berasal dari adhesi serta peradangan pada ruang epidural yang dapat merangsang serabut saraf, dan dengan menghilangkan penyebabnya maka diharapkan nyeri dapat berkurang. Tehnik ini telah banyak digunakan oleh para ahli dihampir seluruh dunia selama kurang lebih 10 tahun terakhir, PEA dapat digunakan dengan memberikan berbagai macam obat salah satu diantaranya adalah lidokain 2%.1-4,7-9 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektifitas PEA menggunakan lidokain 2% dalam mengatasi nyeri pinggang bawah. Didapatkan sebanyak lima orang pasien yang memenuhi kriteria inklusi tersebut kemudian dilakukan tindakan PEA dengan menggunakan anestetika lokal 5 mL lidokain 2%, di Operating Theater Rumah Sakit Hasan Sadikin oleh ahli Bedah Saraf. Tindakan dilakukan dengan prinsip sterilitas pembedahan di kamar operasi, setelah insersi dari Racz kateter menggunakan jarum RK (Epimed international, Farmer branch, TX,USA) dilakukan identifikasi level menggunakan zat kontras iohexol merupakan nonionic watersoluble contrast sebanyak 5–10 mL disesuaikan dengan klinis dan gambaran magnetic ressonance imaging (MRI). Dengan memastikan posisi kateter sesuai dengan lesi kemudian dilakukan penyuntikan 3 mL zat kontras jika tidak didapatkan pengisian kedalam rongga subarachnoid dan intravaskular kemudian dilakukan penyuntikan 5 mL lidokain 2% (gambar 1).2,3 Pengukuran luaran menggunakan Visual Analog Score (VAS), Oswestry Disability Index (ODI) dan penggunaan obat opioid yang dianalisa pada bulan ke 3 dan 6 bulan setelah tindakan. Lidokain merupakan anestesi lokal golongan amide dengan mekanisme memblok kanal kalsium pada membran sel post sinap sehingga mencegah terjadinya depolarisasi dan perjalanan impuls saraf.12,13 III. Hasil Tabel 1 memperlihatkan karakteristik penderita penyakit degeneratif spine yang telah direkrut. Percutaneous Epidural Adhesiolysis (PEA) untuk Manajemen Nyeri Pinggang Bawah Kronis Dari tabel tersebut terlihat usia tertinggi penderita adalah 60 tahun, dan sebagian besar berjenis kelamin laki-laki. Lama nyeri terendah adalah 4 bulan. Jenis nyeri nya 4 pasien (80%) disebabkan karena nontraumatik/degeneratif untuk lokasi nyeri 3 pasien (60%) menjalar ke kaki kanan atau kaki kiri, distribusi nyeri 4 pasien (60%) didaerah kanan atau kiri. Untuk VAS sebelum tindakan mempunyai nilai median 7 dengan nilai maksimum 9, dengan median VAS 3 bulan pascatindakan adalah 2 dan nilai maksimum adalah 3 sedangkan median VAS 6 bulan pascatindakan adalah 1 dengan nilai maksimum 2. Nilai maksimum ODI sebelum tindakan adalah 90, sedangkan nilai maksimum ODI 3 bulan pascatindakan adalah 50 sedangkan 6 bulan pascatindakan adalah Gambar 1. Percutaneous Epidural Adhesiolysis A,B) Jarum epidural melewati sacral hiatus C,D) Menggunakan kontras untuk menentukan level lesi (courtesy of Spine Research lab) Tabel 1. Data demografi Pasien dan Klinis Jenis kelamin Usia (tahun) Lama Nyeri (Bulan) Lokasi Nyeri Menjalar Laki-Laki Perempuan Median (min-max) Median (min-max) Jumlah 80% (4) 20% (1) 56 (45–60) 8 (4–10) Bilateral Unilateral Kanan / Kiri 40% (2) 60% (3) Bilateral Kanan / Kiri 40% (2) 60% (3) Non Traumatic Traumatic Median (min-max) Median (min-max) 80% (4) 20 % (1) 7(6–9) 60 (50–90) Distribusi Nyeri Jenis Nyeri VAS pre op ODI pre op Tabel 2. Perbandingan Nyeri dengan VAS dan ODI VAS 81 VAS ODI Median (min-max) Nilai P Median (min-max) Nilai P Sebelum Tindakan Setelah 3 bulan 7 (6–9) 2 (2–3) 0,0067 60 (50–90) 40 (40–50) Setelah 6 bulan 1 (1–2) 0,0067 20 (20–25) Ket : Nilai p pada post hoc Wilcoxon: VAS : sebelum vs 3 bulan (p=0,039); sebelum vs 6 bulan (p=0,039); 3 bulan vs 6 bulan(p=0,025) ODI : sebelum vs 3 bulan (p=0,042); sebelum vs 6 bulan (p=0,043); 3 bulan vs 6 bulan(p=0,039) 82 Jurnal Neuroanestesi Indonesia 25. Dengan menggunakan Friedman test dan post hoc Wilcoxon test untuk membandingkan tiga kali pengukuran didapatkan ada perbedaan VAS antara sebelum operasi, setelah 3 bulan pascatindakan dan 6 bulan tindakan dengan nilai p <0,05, demikin juga pada ODI (Tabel 2). Satu pasien tetap menggunakan opioid hingga 6 bulan pascatindakan PEA. IV. Pembahasan PEA telah digunakan sejak lima dekade silam untuk mengatasi nyeri menjalar pada lumbal. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, tapi ada juga yang memberikan hasil yang menggembirakan. Pada penelitian ini didapatkan perbaikan klinis setelah penyuntikan dilihat dengan adanya perubahan yang signifikan pada nilai VAS dan ODI (Tabel.2). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian lain tentang efektifitas dari PEA untuk mengatasi nyeri yang disebabkan stenosis spinal. Nyeri pinggang bawah yang disebabkan stenosis spinal merupakan penyakit kronik diimplikasikan pada kompresi discogenik ataupun nondiscogenic pada kauda equina, sehingga menyebabkan gejala kompleks termasuk nyeri pinggang bawah, nyeri menjalar pada otot-otot paha dan betis yang diprovokasi saat berdiri dan berjalan, dan berkurang dalam beberapa menit dengan duduk atau berbaring. Paling sering ditemukan pada pria, meskipun wanita lebih sering mengalami penyakit degeneratif.4,5 Dari hasil penelitian didapatkan usia rerata adalah 56 (45–60) tahun, hal ini sesuai dengan usia puncak rata-rata penderita penyakit degeneratif spine yaitu lebih dari 40–50 tahun, kemudian 80% penderita adalah laki-laki hal ini disebabkan karena laki-laki laki-laki lebih banyak terpapar dengan aktivitas berat yang merupakan faktor resiko terjadinya hernia nukleus pulposus dibandingkan wanita14, lama nyeri adalah 8 (4– 10) bulan termasuk penyakit kronik berdasarkan lama nyerinya, jenis nyeri nya 4 pasien (80%) disebabkan karena nontraumatik berupa degeneratif untuk lokasi nyeri 3 pasien (60%) menjalar ke kaki kanan atau kaki kiri, distribusi nyeri 4 pasien (60%) didaerah kanan atau kiri hal ini disebabkan karena pada permukaan posterior dari korpus vertebra terdapat posterior longitudinal ligamen sehingga diskus yang mengalami proses degeneratif akan menekan saraf tepi pada leven foramen intervertebralis dan adanya hipertrofi dari facet joint pada salah satu sisi. Untuk VAS sebelum tindakan adalah 7 (6–9), VAS 3 bulan pascatindakan adalah 2 (2–3) sedangkan VAS 6 bulan pascatindakan adalah 1(1–2). ODI sebelum tindakan adalah 60 (50–90) ODI 3 bulan pascatindakan adalah 40(40–50) sedangkan 6 bulan pascatindakan adalah 20 (20–25) dengan nilai p<0,05. Satu pasien tetap menggunakan opioid hingga 3 bulan pascatindakan PEA. Stenosis spinal sering berhubungan dengan fibrosis epidural yang membungkus cauda equina gejala melibatkan kedua ekstremitas. Mekanisme kerja dari adhesiolisis ini adalah menggabungkan antara lavase faktor proinflamasi sitokine, mengurangi inflamasi, mengurangi adhesi dan sebagai anestesi lokal, walaupun efek ini sebenarnya masih diperdebatkan.3,6 Semua pasien dilakukan PEA dengan injeksi anestesi lokal menggunakan 5 mL lidokain 2%. Pengukuran luaran menggunakan Visual Analog Score (VAS), Oswestry Disability Index (ODI) dan pengunaan obat opioid yang dianalisa pada bulan ke 3 dan 6 bulan setelah tindakan. Hasil akhir didapati bahwa 50% atau lebih mengalami perbaikan derajat nyeri VAS dan skor ODI. V. Simpulan PEA dengan lidokain berpotensi sebagai modalitas pengobatan yang efektif dalam mengelola nyeri pinggang bawah. Teknik ini efektif dan meningkatkan status fungsional secara keseluruhan dan mengurangi asupan obat golongan narkotika untuk mengurangi nyeri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa PEA yang dilakukan terbukti aman dan mungkin suatu modalitas pengobatan yang efektif dalam mengelola gejala nyeri pinggang bawah yang tidak mengalami perbaikan dengan terapi konservatif. Diperlukan penambahan jumlah sampel penelitian dan waktu pengamatan yang lebih lama kemudian perlu dibentuk tim penanggulangan nyeri lintas departemen sehingga didapatkan database yang lebih banyak Percutaneous Epidural Adhesiolysis (PEA) untuk Manajemen Nyeri Pinggang Bawah Kronis dan penatalaksanaan yang lebih komprehensif. Daftar Pustaka 1. Helm S, Benyamin RM, Chopra P, Deer TR, and Justiz R. Percutaneous adhesiolysis in the management of chronic low back pain in post lumbar surgery syndrome and spinal stenosis: a systematic review. Pain Physician 2012; 15:E435–E462. 2. Manchikanti L, Singh V, Cash KA, Pampati V. Assessment of effectiveness of percutaneous adhesiolysis and caudal epidural injections in managing post lumbar surgery syndrome: 2-year follow-up of a randomized controlled trial. Journal of Pain Research 2012;5:597– 608. 83 Myanmar migrant seafood processing factory workers in Samut Sakorn Province, Thailand. Industrial Health 2010;48:283–91. 8. Samad NIA, Abdullah H, Moin S, Tamrin SBM, Hashim Z. Prevalence of low back pain and its risk factors among school teachers. American Journal of Applied Sciences. 2010;7(5):634–39. 9. Manchikanti L, Rivera JJ, Pampati V, Damron KS, McManus CD, Brandon DE and Wilson SR. One day lumbar epidural adhesiolysis and hypertonic saline neurolysis in treatment of chronic low back pain: a randomized, doubleblind trial. Pain Physician. 2004;7:177–86. 3. Racz GB, Day MR, Heavner JE. Epidural lysis of adhesions and percutaneous neuroplasty. Pain Management – Current Issues and Opinions,www.intechopen.com. 10. Oh CH, Ji GY, Goo Cho PG, Choi WS, Shin DA, Kim KN, Kang H. The catheter tip position and effects of percutaneous epidural neuroplasty in patients with lumbar disc disease during 6-months of follow-up. Pain Physician 2014;17:E599–E608. 4. Gerdesmeyer L, Wagenpfeil S, Birkenmaier C, Veihelmann A, Hauschild M, Wagner K, et al. Percutaneous epidural lysis of adhesions in chronic lumbar radicular pain: a randomized, double-blind placebo controlled trial. Pain Physician. 2013 May-Jun;16(3):185–96. 11. Kim HJ, Rim BC, Lim JW, Park NK, Kang TW, Sohn MK, Beom J, Kang S. Efficacy of epidural neuroplasty versus transforaminal epidural steroid injection for the radiating pain caused by a herniated lumbar disc. Ann Rehabil Med 2013;37(6):824–31. 5. Manchikanti L, Cash KA, McManus CD, Pampati V. Assessment of effectiveness of percutaneous adhesiolysis in managing chronic low back pain secondary to lumbar central spinal canal stenosis. Int J Med Sci 2013; 10(1):50–59 12. Jørgensen MB, Holtermann A, Gyntelberg F, Suadicani P. Physical fitness as a predictor of herniated lumbar disc disease – a 33year follow-up in the Copenhagen male study. BMC Musculoskeletal Disorders 2013;14:86:2–6. 6. Chun-jing H, Hao-xiong N, Jia-xiang N. The application of percutaneous lysis of epidural adhesions in patients with failed back surgery syndrome. Acta Cirúrgica Brasileira 2012; 27 (4):357. 13. Cummins TR. Setting up for the block: the mechanism underlying lidocaine’s usedependent inhibition of sodium channels. J Physiol. 2007;582.1:11. 7. Tomita S, Arphorn S, Muto T, Koetkhlai K, Naing SS, Chaikittiporn C. Prevalence and risk factors of low back pain among Thai and 14. Buck ML. Use of lidocaine for analgesia in children and adolescents. Pediatr Pharm. 2013;19(12):1–4. Manajemen Anestesia pada Carotid Endarterectomy: Pasien dengan Kinking Arteri Karotis Interna Riyadh Firdaus*), Iwan Fuadi**), Sri Rahardjo***), Himendra Wargahadibrata**) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo-Jakarta, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada–RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta *) Abstrak Prosedur Carotid Endarterectomy (CEA) adalah prosedur penting untuk pencegahan stroke karena sumbatan arteri karotis. Seorang laki-laki 71 tahun akan dilakukan operasi CEA. Pasien mengeluh pusing berputar, riwayat hipertensi diakui sejak 10 tahun dengan tekanan darah tertinggi 170/100 mmHg, riwayat stroke diakui 1 tahun yang lalu dan 1,5 bulan lalu. Gejala sisa stroke saat ini kelemahan extremitas sebelah kiri. Pasien terdapat riwayat sakit jantung, irama tidak teratur, tidak disertai sesak nafas 1 tahun yang lalu dan saat itu diberikan amiodaron tablet. Operasi dilakukan dengan anestesi umum, menggunakan pipa endotrakeal no.8.0, ventilasi kendali. Obat yang dipergunakan adalah midazolam 1 mg iv, fentanyl 150 mcg iv, propofol 70 mg iv, rocuronium 40 mg iv. Rumatan dilanjutkan dengan sevofluran, fraksi oksigen 45% dan propofol bolus jika diperlukan. Monitoring tanda vital (tekanan darah, nadi, SaO2, elektrokardiografi) dan artery line. CEA dilakukan selama 3,5 jam, tidak ditemukan stenosis tetapi terdapat kinking. Selama operasi hemodinamik relatif stabil. Pascaoperasi pasien di rawat di ruang perawatan intensif. Berbagai pendekatan bedah telah dikemukakan untuk kinking arteri karotis interna. Pilihan pendekatan dipengaruhi oleh pemilihan pasien, penilaian praoperasi & optimasi, dan manajemen perioperatif & perawatan untuk pasien yang akan menjalani CEA. Kata kunci: Anestesi umum, kinking arteri karotis interna, carotid endarterectomy JNI 2015; 4 (2): 84–90 Anesthetic Management for Carotid Endarterectomy: Patient with Internal Carotid Artery Kinking Abstract Carotid endarterectomy (CEA) is an important procedure for stroke prevention due to obstruction of carotid artery. A 71 years old male was scheduled for CEA surgery. The patient complained of spinning headache. He had been suffered from hypertension since 10 years ago with highest blood pressure of 170/100 mmHg, and had a two times stroke 1 year and 1.5 months ago. Sequelae symptom of stroke is weakness on the left extremity. Patient also had a history of heart disease, irregular rhythm, without shortness of breath approximatelly1year ago, treated with amiodarone tablets. The CEA operation was performed under general anesthesia using endotrachenal tube 8.0, controlled ventilation, 1 mg midazolam, 150 mcg fentanyl, 70 mg propofol and 40 mg rocuronium, given intravenously. Maintenance of anesthesia was done using sevoflurane, oxygen fraction of 45% and propofol 10 mg given intermittently as needed. Noninvasive vital signs monitoring and invasive arterial blood pressure were recorded. Hemodynamics were stable during the 3.5 hours operation. We found no plaque but a kinking on the carotid artery. Postoperatively, patients was admitted to the intensive care unit. Various surgical approaches have been done and developed to manage the internal carotid artery kinking. Options approach is influenced by patient selection, preoperative assessment and optimization, and perioperative management and care for patients undergoing CEA. Key words: General anesthesia, kinking of the internal carotid artery, carotid endarterectomy JNI 2015; 4 (2): 84–90 84 Manajemen Anestesia pada Carotid Endarterectomy: Pasien dengan Kinking Arteri Karotis Interna 1. Pendahuluan Stenosis karotis merupakan 20 persen penyebab dari kasus stroke. Stenosis ipsilateral arteri karotis dianggap berhubungan dengan 1–2% kasus stroke per tahunnya. Carotid Endarterectomy (CEA) diperkenalkan pada tahun 1950 merupakan prosedur yang penting untuk tatalaksana dalam pencegahan stroke.1 Salah satu dugaan penyebab stenosis adalah arteri karotis yang kinking. Prosedur CEA untuk memperbaiki kinking arteri karotis saat ini masih dilakukan meskipun menimbulkan kontroversi. CEA dalam hal ini melibatkan cross-clamping arteri karotis. Selama periode cross-clamping aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF) berkurang tergantung pada derajat aliran kolateral melalui sirkulus Willisi. Aliran darah otak ipsilateral dapat ditingkatkan dengan membuat shunt sementara. Pencapaian luaran yang baik dari tatalaksana kinking arteri karotis dengan cara CEA berkaitan dengan berbagai faktor. American Heart Association (AHA) merekomendasikan pada pasien dengan stenosis karotis 50% sampai 99% yang mengalami gejala untuk dilakukan CEA jika resiko perioperatif stroke dan kematian kurang dari 6%.2 Usia, jenis kelamin dan kualitas hidup yang diharapkan dapat mempengaruhi keputusan untuk melakukan prosedur ini atau tidak. Sebelum melakukan CEA diperlukan kesiapan tim untuk melakukan pemilihan pasien, penilaian praoperasi & optimasi, dan manajemen perioperatif dan perawatan untuk pasien yang akan menjalani CEA. Faktor-faktor praoperasi ini adalah hal-hal yang harus dipertimbangkan juga di dalam manajemen anestesia. Manajemen anestesia untuk CEA pada pasien dengan kinking arteri dapat berupa anestesia umum dan regional. Bukti saat ini menunjukkan bahwa luaran CEA adalah sama baiknya dengan pilihan anestesia regional maupun umum.3 Manajemen anestesia meliputi perhatian tentang efek operasi terhadap fungsi otak dan fungsi organ lainnya. II. Kasus Anamnesa Pasien laki-laki usia 71 tahun datang dengan keluhan pusing berputar dirasakan sejak 2 hari 85 sebelum masuk rumah sakit. Riwayat operasi tidak ada. Riwayat alergi disangkal. Riwayat sakit asma dan diabetes melitus disangkal. Riwayat hipertensi diakui, sejak 10 tahun dengan tekanan darah tertinggi 170/100 mmHg. Riwayat stroke diakui, 1 tahun yang lalu dan 1,5 bulan yang lalu, dikatakan stroke tersumbat. Gejala sisa stroke saat ini kelemahan ekstremitas sebelah kiri. Riwayat sakit jantung diakui, irama tidak teratur, tidak disertai sesak nafas, 1 tahun yang lalu, saat itu diberikan amiodaron tablet. Saat ini keluhan irama jantung tidak teratur tidak ada. Riwayat sakit paru/ hati/ kejang/ ginjal disangkal. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Kesadaran : composmentis Berat Badan : 71 kg Tekanan Darah : 130/90 mmHg Frekuensi Nadi Frekuensi nafas Suhu S t a t u s Generalisata Mata THT Jantung Paru Ekstremitas Neurologis Kekuatan motorik 3/4 : 85 x/menit : 20 x/menit : 36,4 oC : tidak pucat/ikterik, pupil bulat, isokor, reflex cahaya +/+ : Buka mulut lebih dari 3 cm, Mallampati 2, fleksi dan ekstensi leher maksimal : BJ 1–2 (+) regular, tidak terdengar murmur dan gallop : Vesikular normal, tidak terdengar ronkhi dan wheezing : Akral hangat, capillary refill time kurang dari 2 detik : Hemiparese sinistra 86 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Pemeriksaan Penunjang Carotid Doppler USG: Gambar 1. Pemeriksaan USG Karotis Tampak pembentukan trombus di pangkal arteri karotis komunis kanan sampai ke arteri karotis interna kanan yang menimbulkan stenosis relatif antara 40-80%, maksimal pada pertengahan arteri karotis komunis (80%). Pembuluh darah karotis bilateral umumnya menunjukkan diameter lumen yang normal disertai penebalan tunika intima dan media (I–M complex) lebih kurang 1,5mm (nilai normal <0,8mm), dengan peak velocity yang relatif meningkat pada arteri karotis kanan. Pemeriksaan MRI Kepala Tampak atrofi serebral ringan sesuai usia yang disertai dengan degenerasi substansia alba periventrikular di kedua serebral hemisfer, terutama bagian frontal dan parietal bilateral. Tampak lesi lakunar subakut multipel di daerah subkortikal frontal kiri, parietal bilateral, dan korona radiata bilateral. Selain itu tampak lesi iskemik/infark subakut terbatas di talamus kanan. Struktur serebral/intrakranial lainnya tidak menunjukkan abnormalitas lebih lanjut, terutama tak terlihat adanya space occupying lession (SOL), malformasi vaskuler, atau perdarahan serebral akut baik supratentorial maupun infratentorial. EKG: ritme sinus, laju QRS 88x/menit, tidak ada perubahan ST–T, terdapat T inverted di lead II, III, aVF, LBBB (–), RVH (–), LVH (–). Darah perifer lengkap: Hb 14,5/Ht 44,1/L 12160,Tr 292000, PT/aPTT 12,3 (12,4)/ 45,5 (30,7) detik, Fibrinogen 367.6 mg/dL, d-Dimer kuantitatif < 100 ng/mL, SGOT/SGPT 10/8 U/L, Albumin 4,14 g/dL, Ur/Cr 23/1,0 mg/dL,Gula Darah Puasa 104 mg/dL, Na/K/Cl 143/3,83/99,7 mEq/L. Foto Toraks: Kardiomegali, bronkitis kronis Gambar 2. Pemeriksaan MRI Kepala Echocardiografi: Global normokinetik, regurgitasi aorta ringan, fungsi sistolik ventrikel kiri baik, ejection fraction (EF) 71%, fungsi sistolik ventrikel kanan baik, tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) 21 mm (gambaran fraksi ejeksi ventrikel kanan, normal <20mm). Disfungsi Diastolik Ringan. Kesan: ASA 3 dengan Hypertensive Heart Disease (Tekanan Darah 130/80 mmHg, Th/ Biopres dan Herbesser), coronary artery diseases (CAD) inferior (klinis tenang, tanpa terapi, Functional Class 1–2), Riwayat stroke iskemik berulang dengan gejala sisa hemiparese sinistra, leukositosis 12.160. Rencana operasi: carotid endarterectomy Manajemen Perioperatif Dilakukan pemasangan monitor EKG, tekanan darah non invasif, SpO2. Didapatkan tekanan darah 160/90 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, SpO2 97–98%. Pasien diberikan preoksigenasi O2 100% 6 liter permenit selama 5 menit. Pasien di berikan midazolam 1 mg, diikuti fentanyl 150 mcg. Lalu dilakukan induksi dengan propofol titrasi sampai 70 mg dan sevofluran 2 vol%. Intubasi difasilitasi rocuronium 40 mg dengan pipa endotrakheal no 8.0 fiksasi 22 cm. Pemeliharaan anestesi dengan sevofluran 0,8–1,5 vol%, compressed air, dan oksigen fraksi 45%. Respon berlebihan terhadap tindakan operasi dicegah dengan pemberian propofol intermiten. Lama clamp arteri lebih kurang 22 menit. Selama clamp arteri karotis, tekanan darah berkisar 120–140 mmHg. Operator tidak melakukan Manajemen Anestesia pada Carotid Endarterectomy: Pasien dengan Kinking Arteri Karotis Interna Gambar 3. Pemantauan hemodinamik shunt arteri karotis saat clamping arteri karotis. Operasi berlangsung selama 3,5 jam. Pascaoperasi: Pascaoperasi pasien ditranspor ke ICU dalam keadaan masih terintubasi. Obat nyeri pascaoperasi yang diberikan paracetamol 3x1g dan tramadol 3x100 mg. Saaat pasien sadar dan dipastikan tidak ada hematoma di jalan nafas, dilakukan ekstubasi. Tekanan darah selama di ICU dikontrol dengan nicardapine 2–5 mg/jam. Pasien dirawat di ICU selama 2 hari, selama di ICU tidak ditemukan adanya gejala defisit neurologis tambahan. III. Pembahasan Indikasi dilakukannya tindakan CEA berdasarkan American Academy of Neurology dapat dipertimbangkan pada dua kelompok pasien.4 Kelompok pertama adalah pasien yang bergejala yang memiliki plak yang dapat menyebabkan emboli ke sirkulasi serebral yang nantinya dapat menyebabkan transient ischemic attack (TIA). Kelompok kedua adalah pasien yang tidak memiliki gejala tapi dari pemeriksaaan didapatkan lesi yang jelas pada bifurcatio carotis tanpa adanya riwayat defisit neurologis.1 Dalam panduan tatalaksana stroke dari National Institute of Clinical Excellence tahun 2008 merekomendasikan dilakukannya CEA dalam waktu 2 minggu pada pasien dengan risiko tinggi terhadap stroke. Berdasarkan penelitian Fairhead dan Blaser, CEA dapat menghasilkan keluaran lebih baik apabila dilakukan dalam interval waktu 2 minggu setelah munculnya gejala defisit 87 neurologis untuk mencegah defisit yang lebih jauh. Walaupun begitu, beberapa laporan tetap menyarankan dilakukannya CEA dalam interval 4–6 minggu setelah munculnya defisit neurologis. Teknis operasi CEA adalah dengan melakukan pendekatan arteri karotis melalui insisi sepanjang anterior dari sternokleidomastoideus. Setelah dipisahkan dengan nervus fasialis, carotid sheath dibuka dan arteri karotis di dengan menghindari cedera pada frenikus, vagus, ansa hypoglossi dan nervus hypoglossal. Setelah arteri karotis interna dan eksterna terkontrol, heparin dimasukkan 5000–10.000 unit pada saat 5 menit sebelum arteri karotis di clamp bertahap. Selama karotis cross clamping hindari penurunan tekanan darah. Untuk menjaga perfusi karotis indwelling shunt digunakan. Endarterektomi dimulai dari proksimal menuju distal pada kedua cabang externa dan interna dengan menaruh fin tapered diakhir. Setelah semua trombus, jaringan otot polos dan endothelium diangkat, arteriotomi ditutup dengan atau tanpa patch. Arteri di flush dan dipastikan alirannya. Insisi di tutup setelah hemostasis dipastikan baik. Pada kasus ini pasien dapat dipertimbangkan untuk pengobatan bedah karena kinking karotis dapat menyebabkan perubahan dalam dinding arteri. Hal ini mungkin terkait dengan reaksi nonatherosclerotic yang salah satu akibatnya dapat terjadi peradangan. Kinking juga sering dikaitkan dengan stenosis, degenerasi dan hilangnya elastisitas dari dinding arteri. Terbentuknya kinking pada suatu pembuluh darah dapat juga berhubungan dengan bentuk pembuluh darah yang melingkar, satu atau dua lingkaran pembuluh darah dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut kinking. Sampai saat ini etiologi dari perpanjangan pembuluh darah dan kondisi yang dihasilkan masih menjadi kontroversi. Apakah ini gejala sisa dari aterosklerosis, fibromuskular displasia, degenerasi terkait usia atau variasi normal tetap menjadi bahan perdebatan.5 Pengendalian tekanan darah sebelum operasi sangat penting untuk mengendalikan dan menjaga tekanan arteri. Target tekanan arteri optimum pada pasien dengan asymptomatic carotid stenosis/setelah TIA/stroke ringan belum ditetapkan. Sebuah rekomendasi mengatakan 88 Jurnal Neuroanestesi Indonesia untuk menunda operasi elektif jika tekanan arteri sistolik >180 mmHg atau tekanan arteri diastolik >100 mmHg pada pasien tanpa kecemasan atau nyeri.6 Pengobatan antihipertensi yang kuat sebelum pembedahan/ hipotensi selama anestesia dapat menyebabkan stroke iskemik serebral karena hipoperfusi dan oleh karena itu harus dihindari. Sebagai aturan umum, banyak dokter anestesiologi dan dokter bedah mempertahankan tekanan sistolik 160 mmHg atau kurang sebelum dilakukan CEA elektif, melanjutkan terapi sampai pagi operasi, dan memulai terapi normal secepat mungkin setelah operasi. Penurunan tekanan darah arteri secara tiba-tiba dapat merugikan bagi pasien-pasien yang hendak dilakukan CEA. Target tekanan darah di atas harus dilihat sebagai pedoman umum saja karena terapi untuk masingmasing pasien bersifat individual dan bervariasi. Pada saat operasi penting untuk menjaga tekanan perfusi cerebral dan aliran kolateral selama periode ketika autoregulasi tekanan di otak dipengaruhi oleh efek anestesi, barorefleks dipengaruhi oleh efek langsung dari operasi dan aliran darah otak dapat terganggu oleh klem karotis. Hipertensi intraoperatif dapat membuat penempatan shunt bedah lebih sulit, predisposisi iskemia miokard dan dikaitkan dengan perdarahan intraserebral. Hipotensi harus dihindari terutama selama periode carotid crossclamping dan tetap menjaga agar tidak terjadi hipertensi setelah aliran arteri karotis selesai diperbaiki. Pentingnya hal ini berhubungan dengan lamanya cross-clamping yang aman untuk pasien. Manajemen hemodinamik intraoperatif penting diperhatikan. Selama cross clamping arteri karotis, risiko iskemia serebral dapat dikurangi dengan mempertahankan tekanan perfusi normal atau tinggi. Plak ateromatosa mengurangi tekanan perfusi otak dan menganggu sensitivitas baroreseptor. Pencegahan perubahan tekanan arteri dicapai dengan mengantisipasi rangsangan dan menggunakan dosis kecil obat terapi. Tujuannya sebelum dan sesudah arteri cross-clamping adalah normotensi, dan tekanan arteri harus atau secara umum akan sedikit meningkat dari base line (–20%) selama cross- clamping.Cross-clamping arteri karotid menyebabkan berkurangnya aliran darah otak yang disertai dengan peningkatan kompensasi tekanan arteri yang dimediasi oleh refleks baroreseptor dan peningkatan aktivitas saraf simpatik. Besarnya perubahan ini tergantung pada sejumlah faktor, termasuk tingkat stenosis ipsilateral, integritas aliran kolateral, durasi iskemia serebral, dan faktor bedah dan anestesi. Pada kasus ini perubahan tidak begitu terlihat karena pasien menjalani CEA di bawah anestesi umum akibatnya fungsi baroreseptor dan autoregulasi serebral dapat dilemahkan oleh konsentrasi tinggi dari anestetika volatil.7,8 Durasi cross-clamping dapat mempengaruhi stabilitas hemodinamik, hipertensi yang paling sering terjadi, sementara hipotensi pascaoperasi juga telah dilaporkan kemungkinan berhubungan dengan cross-clamp karotis selama 10–15 menit. Penerapan carotid clamp sering dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah, barorefleks karena hilangnya hamparan dinding pembuluh darah. Peningkatan tekanan arteri dapat diterima (sampai kira-kira 20%) di atas tingkat basal, tetapi kenaikan berlebihan harus dikendalikan. Teknik pemasangan shunt dapat dipertimbangkan jika ingin memperpanjang durasi dari cross-clamp.2 Hipertensi paling sering muncul dalam merespon nyeri viseral terkait dengan traksi atau distorsi dari arteri karotis atau struktur disekitarnya. Pada kasus ini tidak dipersiapkan obat tekanan darah. Tekanan darah harus dikontrol dengan antihipertensi intravena seperti esmolol atau labetalol. Hipotensi dan bradikardia juga dapat menyertai traksi pada arteri karotis selama diseksi bedah. Respon ini merupakan luaran parasimpatis dari barorefleks. Kondisi ini dapat direduksi dengan kedalaman anestesi, pemberian cairan intravena dan jika perlu dengan pemberian vasopressor seperti fenilefrin (0,5–1,0 mg/kg).6 Monitoring intraoperatif pada pasien CEA meliputi EKG (dapat mendeteksi iskemia), kanula intraarteri (untuk pemantauan tekanan darah), pengambilan sampel darah arteri untuk gas darah analisis, pada pasien beresiko tinggi dapat dipantau tekanan vena sentral, tekanan baji kapiler paru, curah jantung, transesophageal echocardiography dan keluaran urine, oksigen dipantau terus menerus dengan Manajemen Anestesia pada Carotid Endarterectomy: Pasien dengan Kinking Arteri Karotis Interna menggunakan pulse oximeter, stetoskop esophagus (pemantauan suhu inti serta ventilasi), dan pemeliharaan PaCO2 dalam batas normal. Pada pasien ini tidak digunakan tekanan baji kapiler paru, transesophageal echocardiography, dan curah jantung karena dari pemeriksaan echocardiography baik, sehingga diputuskan untuk pemantauan kecukupan cairan melalu tanda-tanda klinis saja. Pemilihan teknik anestesia dipilih berdasarkan teknik yang mengoptimalkan perfusi otak, meminimalkan stres miokard, dan memungkinkan untuk pemulihan yang cepat. Pada pasien ini dipilih anestesia umum. Pilihan tehnik tergantung pada pertimbangan keuntungan dan kerugian dari masing-masing pengalaman dokter dan keinginan pasien. Anestesia dikontrol dengan gas anestesia dilengkapi dengan anestesi intravena menggunakan infus propofol yang dikombinasikan dengan opioid tambahan. Induksi pada pasien ini diberikan midazolam lalu diikuti opioid fentanyl. Pemberian midazolam dapat mengurangi kebutuhan obat anestesia lain untuk induksi dan memperdalam induksi. Propofol semakin banyak digunakan dalam induksi anestesi dan sedasi di perawatan neurointensif. Beberapa studi menunjukkan propofol memiliki efek proteksi terhadap otak. Tekanan intrakranial, aliran darah otak dan metabolisme otak turun pada penggunaaan propofol.9 Pada kasus ini digunakan propofol titrasi sampai 70 mg pada pasien dengan berat badan 71 kg. Pemberian propofol dapat menyebabkan penurunan tekanan darah rata-rata 20% dan penurunan resitensi vaskuler sistemik sebesar 26% dan nantinya dapat menyebabkan penurunan perfusi serebral. Akan tetapi, penurunan tersebut dapat dicegah dengan pemberian propofol secara titrasi. Penggunaan alat target controlled infusion (TCI) menunjukkan stabilitas hemodinamik yang lebih tinggi selama fase induksi maupun rumatan. Anestetika inhalasi yang diberikan pada kasus ini adalah sevoflurane 0,8–1,5 vol%, compressed air dan menggunakan aliran gas O2. Penggunaan aliran oksigen 45% bertujuan untuk memantau tekanan PaO2 melalui analisis gas darah. Sevoflurane adalah anestetika volatil pilihan bagi neuroanesthesia.3 Sevoflurane digunakan dalam 89 kasus ini karena efek dari vasodilatasi serebral serta peningkatan aliran darah otak yang paling rendah diantara semua gas anestesi. Sevofluran telah terbukti mengakibatkan waktu ekstubasi cepat dan profil pemulihan setelah CEA. Obat pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini adalah rocuronium 40 mg. Rocuronium adalah neuromuskular nondepolarisasi yang berperan sebagai blocking agent yang diindikasikan sebagai tambahan untuk anestesi umum yang dapat memfasilitasi intubasi trakea, dan untuk memberikan relaksasi otot skeletal selama operasi atau ventilasi mekanis. Obat ini dipilih dalam kasus ini karena tidak menyebabkan pelepasan histamin yang dapat mencetuskan reaksi hipersensitivitas dan tidak meningkatkan aliran darah ke otak yang dapat menyebabkan edema.10 Penilaian fungsi neurologis pada pada pasien ketika berada di bawah anastesi umum lebih sulit.8 Hal ini berkaitan dengan keputusan shunt dimasukkan atau tidak. Pada anestesia regional fungsi neurologis dapat dinilai langsung, apakah pasien menjadi bingung dan gelisah, berhenti merespons perintah, atau berhenti untuk berkomunikasi, ini semua tanda-tanda iskemia serebral dan merupakan indikasi untuk melakukan pemasangan shunt. Pada kasus ini dalam penilaian fungsi neurologis digunakan bispectral index (BIS). Indeks bispektrum adalah salah satu dari beberapa teknologi yang digunakan untuk memantau kedalaman anestesi. Mekanisme kerja BIS adalah dengan menganalisis electroencephalogram pasien selama anestesi umum. Pada anestesia umum menurut O’Conner dan Tuman ada beberapa tekhnik dan monitor yang tersedia, diantaranya: Stump pressure, EEG, Somatosensory evoked potentials (SSEPs), Near infrared spectroscopy (NIRS), dan Transcranial Doppler (TCD). Pada saat dilakukan cross clamp arteri dapat digunakan Transcranial Doppler (TCD) yang bertujuan untuk mengukur kecepatan aliran darah di arteri cerebri selama CEA dan diikuti sebagai indikator CBF. Iskemia dianggap parah jika rata-rata kecepatan setelah menjepit adalah 0–15% dari nilai preclamp, ringan jika 16–40% dan absent jika >40%. Pada kasus ini tidak digunakan TCD karena keterbatasan alat 90 Jurnal Neuroanestesi Indonesia dan tenaga ahli. Tatalaksana pascaoperasi pada pasien yang telah dilakukan CEA adalah dengan mempertahankan kanula intraarteri (selama periode pasca awal operasi untuk pemantauan tekanan darah terus menerus dan pengambilan sampel darah untuk analisis gas darah). Oksigen tambahan dan kecukupan oksigen dipantau oleh oksimetri pulsa, resting PaCO2 meningkat sekitar 5 mmHg, dan penilaian perubahan hemodinamik pascaoperasi; Hipertensi lebih sering terjadi pada pasien dengan hipertensi praoperasi yang tidak terkontrol. Penyebab lain ketidakstabilan hemodinamik setelah CEA adalah iskemia miokard atau infark, disritmia seperti fibrilasi atrium, hipoksia, hiperkarbia, pneumotoraks, nyeri, stroke dan distensi kandung kemih. Analgetik pascaoperasi Paracetamol 3x1g dan Tramadol 3x100 mg, sesuai dengan step ladder pain management WHO. Pascaoperasi pasien di ICU dan dikontrol dengan nicardapine 2–5 mg/ jam. Nicardapine dipilih karena dapat bekerja dengan cara memperlebar pembuluh darah yang dapat membuat jantung lebih mudah memompa dan mengurangi beban kerjanya. Ada beberapa komplikasi pascaoperasi besar setelah CEA diantaranya stroke, infark miokard, kematian, sindrom hiperperfusi, pembentukan hematoma dan kelumpuhan saraf kranial. II. Simpulan Pada prinsipnya tatalaksana CEA pada kasus kinking arteri karotid interna sama dengan CEA pada stenosis pada umumnya. Salah satu aspek yang penting dalam tatalaksana anestesia CEA adalah manajemen perfusi ke otak dari waktu ke waktu selama persiapan operasi, intraoperasi dan pascaoperasi. Monitoring neurologis perlu diperhatikan selama operasi CEA baik dalam anestesia umum atau selama anestesia regional. Komunikasi antara anestesiologis dan dokter bedah dalam hal ini sangat penting untuk menghindari morbiditas dan mortalitas perioperatif. Daftar Pustaka 1. 2007 Clinical Expert Consensus Document on Carotid Stenting: The American College of Cardiology Foundation Task Force on Clinical Expert Consensus Documents, Vascular Medicine 12:35–83, 2007. 2. Chaturvedi S1, Bruno A, Feasby T, Holloway R, Benavente O, Cohen SN, Cote R, Hess D, Saver J, Spence JD, Stern B,Wilterdink J; Therapeutic. Carotid endarterect- omy– an evidence-based review: report of the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology 2005; 65: 794–801 3. Engelhard K, Werner C. Inhalational or intravenous anesthetics for craniotomies? Pro inhalational. Curr Opin Anaesthesiol 2006; 19: 504–8 4. O’connor CJ, Tuman KJ. Anesthetic considerations for carotid artery surgery. Dalam: Kaplan JA, Lake CL, Murray MJ, eds. Vascular Anaesthesia, 2nd ed. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2004; 187–98. 5. Poorthuis MHF, Brand EC, Toorop RJ, Moll FL, Jan de Borst G. Posterior transverse plication of the internal carotid artery to correct for kinking. Journal of Vascular Surgery, 2014; 968–77. 6. Howell S. Carotid endarterectomy. Br J Anaesth 2007;99:119–31. 7. Nadia Ladak, Jonathan Thompson. General or local anaesthesia for carotid endarterectomy?, Br J Anaesth 2012;12: 92–96. 8. Stoneham MD, Thompson JP. Arterial pressure management and carotid endarterectomy. Br J Anaesth 2009; 102 (4): 442–52. 9. Flower O, Hellings S. Sedation in traumatic brain injury. Emergency Medicine Int 2012; 2 10. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi, edisi ke 2. Bandung: Saga Olah Citra; 2008: 1–74. Diabetes Insipidus Pascaoperasi Kraniopharingioma pada Anak Achmad Wahib*), Siti Chasnak Saleh**), Sri Rahardjo***) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Paru Jember, **)Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr. Soetomo, ***)Departemen Anestesiologi Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada–RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. *) Abstrak Kraniopharingioma adalah malformasi embriogenik sebagian berbentuk kistik dari area selar dan paraselar. Tumor epitel jarang timbul di sepanjang jalan saluran kraniopharyngeal. Tumor ini biasanya menyebabkan gangguan neurologis, endokrinologis, atau gejala visual. Diagnosis untuk kraniopharingioma anak dan orang dewasa ditandai dengan kombinasi sakit kepala, gangguan penglihatan, dan poliuria/polidipsia, yang juga bisa termasuk penambahan berat badan yang signifikan. Dengan kejadian sampai 0,5–2,0 kasus baru per juta penduduk per tahun terjadi pada anak-anak dan remaja. Pada anak sering mengalami gangguan pertumbuhan, dan atau pubertas dini pascaoperasi. Penatalaksanaan pembedahan dengan lokalisasi tumor yang menguntungkan adalah reseksi lengkap; pada lokalisasi tumor yang tidak menguntungkan, operasi radikal adalah terapi pilihan pada kraniopharingioma. Seorang anak perempuan 11 tahun dengan keluhan pusing, mual, muntah dengan disertai tanda-tanda dehidrasi ringan tanpa ada gangguan visus yang menurun. Saat di IGD dilakukan rehidrasi, pemeriksaan diagnostik ditemukan adanya hidrosefalus dan direncanakan pemesangan VP–Shunt dengan menggunakan anestesia umum. Manajemen dari tumor intrakranial dengan hidrosefalus yang mengalami dehidrasi pada situasi darurat merupakan tantangan dokter anestesi. Sepuluh hari kemudian dilakukan eksisi tumor dengan anestesi umum. Sebuah prosedur gabungan seperti di atas memerlukan diskusi dan kordinasi untuk memastikan kondisi pascaoperasi. Manifestasi patologis, serta tantangan-tantangan khusus gejala sisa yang timbul, memerlukan tindakan diagnosis, pengobatan (terutama titik waktu yang ideal iradiasi), dan kualitas hidup dengan penyakit kronis ini (obesitas) dengan melibatkan managemen multidisiplin seumur hidup untuk orang dewasa dan anak-anak penderita kraniopharingioma. Kata kunci: Kraniopharingioma, bedah saraf, kualitas hidup JNI 2015; 4 (2): 91–7 Diabetes Insipidus Post Craniopharyngioma Surgery in Pediatric Abstract Craniopharingioma is shaped cystic malformation embryogenic portion of the small opening area and paraselar. Epithelial tumors rarely arise along the way craniopharyngeal channels. These tumors usually cause neurological disorders, endocrinological, or visual symptoms. Craniopharyngioma diagnosis for children and adults is characterized by a combination of headache, visual disturbances, and polyuria/polydipsia, which also can include significant weight gain. With events until 0.5 to 2.0 new cases per million population per year occur in children and adolescents. On postoperative impaired child growth, or early puberty. Management of surgery with favorable tumor localization is complete resection; the unfavorable tumor localization, radical surgery is the treatment of choice in craniopharyngioma. A daughter 11 yrs with complaints of dizziness, nausea, vomiting accompanied by signs of mild dehydration without any interruption decreased visual acuity. While in the emergency room rehydration, diagnostic examinations found their planned hydrocephalus and VP-Shunt custom installation using general anesthesia. Management of intracranial tumors with hydrocephalus dehydrated in emergency situations is a challenge anesthetist. Ten days later the tumor excision under general anesthesia. A combined procedure as above require discussion and coordination to ensure post-surgical conditions. Pathological manifestations, as well as the specific challenges that arise sequelae, require action diagnosis, treatment (particularly ideal time point irradiation), and quality of life with this chronic disease (obesity) involving multi-disciplinary management of a lifetime for adults and children ren craniopharyngioma patients. Key words: craniopharyngioma, neurosurgery, quality of life 91 JNI 2015; 4 (2): 91–7 92 Jurnal Neuroanestesi Indonesia I. Pendahuluan Kraniopharingioma adalah tumor intrakranial yang langka, berasal dari jaringan non-glial, dysontogenic dengan gambaran histologi jinak tetapi secara klinis menunjukan perilaku yang ganas, dengan kecenderungan untuk menyerang struktur sekitarnya dan kambuh setelah reseksi dengan kesan tumor total yang sudah terangkat, tumor ini berasal dari kelainan jaringan embrional.1-3 Secara patogenesis kraniopharingioma saat ini diperdebatkan antara dua hipotesis utama: satu menggambarkan asal tumor sebagai sisa-sisa ektodermal dari kantong Rathke; kedua berpendapat kraniopharingioma merupakan malformasi epitel embrional sisa dari anterior kelenjar hipofise dan anterior infundibulum.1-4 Manifestasi klinik yang ditemukan selama masa kanak-kanak dan remaja, dimana dari 30–50% dari angka kejadian kasus 0,5–2 per juta orang per tahun mewakili 1,2–4% dari semua anak-anak tumor intrakranial pada usia 5–12 tahun. Dalam masa anak dan remaja, jenis histologis biasanya adamantinomatous dengan pembentukan kista.5-6 Pada anak-anak mengalami gangguan pertumbuhan, dan atau pubertas dini sering terjadi pascaoperasi.6 Pada usia dewasa kraniopharingioma timbul antara usia 50–70th, dengan jenis histologi skuamosa-papiler yang paling sering ditemui.7 Lebih dari 70% tidak terdeteksi dari jenis papiler, kraniopharingioma jenis adamantinomatous mengandung mutasi dari gen β-catenin.9 Penatalaksanaan pembedahan dengan lokalisasi tumor yang menguntungkan adalah reseksi lengkap; pada lokalisasi tumor yang tidak menguntungkan, operasi radikal adalah terapi pilihan pada kraniopharingioma.12-14 II. Laporan Kasus Anamnesis Anak usia 11 tahun, berat badan 26 kg diagnosa kraniopharingioma post pasang vp shunt, operasi: eksisi tumor. Dua puluh dua hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh pusing, mual, sampai muntah, tidak mengalami gangguan penglihatan, keadaan umum lemah. Pada MRI didapatkan masa dan hidrocephalus. Pada 5 November 2014 dilakukan pemasangan VP Shunt. Setelah pemasangan VP Shunt keluhan mual muntah berkurang dan bisa makan minum. Riwayat pingsan, asma, alergi, gangguan pertumbuhan, disangkal. Pemeriksaan Fisik Jalan nafas bebas, nafas spontan, frekwensi nafas 14x/mnt, vesikuler +/+, rh -/-, whz -/- Tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 52 x/menit, reguler, kuat angkat. Suara jantung dalam batas normal. Kesadaran GCS 456, reflek cahaya (+) isokor Ø 4mm/4mm. Pada pemeriksaan suhu tubuh: tidak panas. Pasien dengan status fisik ASA 3. Terapi yang diberikan: dexamethason: 3 x 4 mg dan metoclopamid: 3 x 5mg. Pemeriksaaan Penunjang Thorak Foto: paru dan jantung dalam batas normal. Tabel 1. Laboratorium sebelum Operasi Hb 13,2 PPT 14,2 GDA 109 Wbc 8,900 APTT 21,7 urea 0,69 Rbc 5,12 Na 135 BUN 15,3 Hct 38,9 K 4,4 OT 12 Plt 265,000 Cl 100 PT 14 Alb 3,22 Pengeloloaan Anestesi Dikamar operasi dilakukan tindakan premedikasi dengan sulfas atropine 0.5 mg. Preoksigenasi dilanjutkan dengan induksi intravena menggunakan fentanyl 25µg, propofol 50 mg dan intubasi menggunakan rocuronium 25 mg. Monitor yang bisa dilakukan adalah tekanan darah non invasif, EKG dan saturasi oksigen. CVC dipasang di vena subclavia kanan setelah pasien di intubasi dengan pipa endotrakheal no 5.5. Selama operasi menggunakan anestetika inhalasi sevoflurane, oksigen dan N20. Posisi pasien selama operasi tetap supine dengan pendekatan kepala miring, meja operasi dalam posisi agak miring 30°. Saturasi O2 selama operasi 99–100%, 30 menit menjelang akhir operasi selesai, pasien diberikan metoclopramide 5 mg dan ketoprofen 25 mg iv. Operasi berlangsung 3,0 jam, perdarahan 250 ml, produksi urine 900 ml 93 Diabetes Insipidus Pascaoperasi Kraniopharingioma pada Anak Tabel 2. Laboratorium AGD sebelum, selama, setelah operasi dan selama perawatan pH PCO2 PaO2 BE Na K Pre 7,42 40 165 0,1 135 4,4 Op 7,38 33 207 -0,4 Ekstubasi 7,40 41 190 -0,3 Cl Hb Hct BUN GDA O s m CVP pla B J Balans Urn 100 13,2 39 15,3 109 0,69 1,010 14 13,5 100 306 11 1,007 -110 15,3 148 3,4 109 12,4 30 Hari1 148 3,4 109 15,9 103 307 12 1,003 -500 Hari2 150 4,2 104 16,5 126 313 13 1,002 -135 Hari3 160 4,0 108 16,2 100 331 12 1,001 -350 Hari4 151 4,5 103 14,2 98 319 11 1,004 Hari5 145 3,5 100 13,6 90 229 13 1,008 Gambar 1. MRI dengan Gambaran Tumor dan Hydrocephalus sebelum Pemasangan VP Shunt dalam 3 jam. Cairan yang diberikan ringerfundin 1000 ml dan koloid 500 ml. Mesin anestesi dengan frekwensi 16x/menit, tidal volume 200 ml dengan kadar oksigen 50%, pemeriksaan analisa gas darah dilakukan 30 menit setelah intubasi. Selama tindakan eksisi tumor dilakukan pemberian dexamethasone 4 mg (iv), kemudian pada saat insisi dari kulit dimasukan manitol 50 cc. Pada saat membuka tulang kepala tampak otak slack, duramater putih, berdenyut. Pengelolaan Pascabedah Pascaoperasi pasien dirawat di ICU, empat jam pascaoperasi dilakukan ekstubasi. Pasien dirawat di ICU 5 hari dengan permasalahan terjadi poliuria pada jam ke 8 pascaoperasi tiap 3 jam produksi urine >4 cc/kgBB/jam dengan BJ urine 1.010. Pada jam ke 12 meningkat sampai 5–6 cc/ kgBB/jam dalam evaluasi tiap 3 jam didapatkan BJ urine 1.007. Pada 24 jam pascaoperasi diuresis berkelanjutan dengan produksi urine 8 cc/kgBB/jam BJ urine 1.003, Natrium serum meningkat sampai 148 meg/L, osmolalitas serum sedikit naik 307.5 mmol/kg, CVP masih relatif stabil. Dengan pertimbangan klinis diatas terjadi diabetus incipidus (DI). III. Pembahasan Pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial dan bradikardi. Pengelolaan anestesi pada operasi daerah suprasella khususnya pada anakanak memerlukan perhatian khusus mulai dari persiapan operasi. Harus ditentukan berapa lama keluhan mual muntah untuk menentukan status rehidrasi, defisit neurologi seperti mata kabur memerlukan evaluasi lapangan pandang mata, dimana terjadi pendesakan kearah anterior menuju sisterna prechiasmatic dan ruang frontal. Pemeriksaan laboratorium penunjang dalam batas normal. Meskipun pemeriksaan fisik dalam batas normal akan tetapi keluhan adrenal insufisiensi 94 Jurnal Neuroanestesi Indonesia seperti mual muntah muncul sebelum VP Shunt. Untuk gangguan endokrin seperti hipotiroidisme (edema, reflek tendon menurun, hipoventilasi dan penurunan curah jantung, konstipasi) dan defisiensi aldosteron (penurunan curah jantung, penurunan aliran darah ginjal) tidak didapatkan. Tujuan utama dari manajemen anestesi adalah untuk menjaga stabilitas hemodinamik, memelihara oksigenasi dan perfusi otak yang memadai. Tindakan premedikasi dengan memberikan sulfas atropin 0,5mg yang mempunyai efek kompetitif antagonis asetilcholin di reseptor muscarinic pusat dan perifer, efek ini memberikan denyut nadi yang naik. Untuk metoclopropamid dengan tujuan meningkatkan kerja sphingter esophagus bawah yang bertujuan membantu pengosongan lambung. Pada induksi pemberian fentanyl bertujuan mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah yang berat akibat tindakan intubasi yang akan meningkatkan ICP. Fentanyl dengan dosis 1 mcg/ kg dapat diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik dan nyeri. Propofol mempunyai efek sedasi-hipnosis, amnesia dengan aksi singkat yang tidak akan mengganggu/mengaburkan pemeriksaan neurologis pasien. Efek samping propofol berupa hipotensi dapat diatasi dengan pemberian cairan infus. Keuntungan lain dari pemakaian propofol, adanya efek proteksi otak yang mampu menghasilkan electrical silence yang komplit dari otak sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk aktivitas elektrik otak, aliran darah otak turun dan tekanan intrakranial yang turun. Pemakaian pelumpuh otot pada tindakan intubasi selain berfungsi untuk fasilitasi intubasi juga berguna dalam mencegah terjadinya reflek batuk. Pemakaian pelumpuh otot disertai dengan analgesi dan hipnosis yang adekuat untuk memperoleh kondisi trias anestesi dapat mencegah terjadinya peningkatan ICP akibat intoleransi pipa endotrakheal. Pelumpuh otot non depolarisasi atau metabolitnya dapat mempengaruhi sirkulasi serebral melalui pelepasan histamin. Rocuronium memiliki onset yang lebih cepat dibandingkan dengan pelumpuh otot non depolarisasi yang lain, pada anak meningkatkan laju denyut jantung, bekerja sebagai antagonis aktif di asetilcholin yang bekertja pada myoneural junction. Selain itu efek samping dari rocuronium seperti pelepasan histamin juga minimal atau tidak ada. Hal ini menyebabkan rocuronium dianjurkan pemakaiannya pada neuroanestesi, terutama apabila dibutuhkan tindakan rapid sequence intubation sebagai obat pengganti suksinilkolin. Dalam memberikan anestesi pada pasien bedah saraf adalah untuk mengendalikan tekanan intrakranial serta volume otak, memberikan proteksi otak akibat iskemia dan injuri, serta mengurangi perdarahan. Adanya otak yang kembung akibat peningkatan tekanan intrakranial akan menyebabkan iskemia akibat retraksi ahli bedah atau robekan jaringan otak oleh tulang selain akan menambah iskemia karena penurunan tekanan perfusi otak. Memposisikan pasien dengan tepat, memfasilitasi pendekatan Gambar 2. Duramater saat dibuka bedah, memberikan pemulihan yang cepat, dan menilai fungsi neurologis pascaoperasi. Diabetes insipidus merupakan kegagalan dari proses homeostasis ADH yang berkaitan dengan disfungsi aksis hipotalamus-hipofise yang mengalami penekanan di daerah supra sella. Karakteristik dari DI ditemukan gejala poliuria (>2 cc/KgBB/jam) selama pengamatan tiga jam berturut-turut, osmolaritas urin turun 279,3 mmol/ kg (<350 mmol/kg), berat jenis urin 1,001 dan peningkatan osmolaritas plasma 331 (normal 285 ± 5 mmol/kg), tidak terjadi kelebihan pemberian cairan, pengaruh terapi diuretik serta tidak adanya kelainan intrarenal. Diabetes Insipidus Pascaoperasi Kraniopharingioma pada Anak 95 Grafik 1. Produksi Urine dari Pascaoperasi, hari pertama, hari kedua Grafik 2 : Produksi urine hari ketiga, hari keempat diruang intermediate Grafik 3. Produksi Urine hari kelima, keenam diruangan Grafik 3. Osmolalitas Plasma, BJ urine, Osmolalitas Urine Pada pasien ini terjadi tipe transient, yaitu DI terjadi pada 24 sampai 60 jam pascaoperasi, yang selanjutnya akan terjadi penurunan gejala secara bertahap. Transien DI diakibatkan oleh gangguan sementara terhadap produksi AVP. Pada tipe ini, transien DI, akan membaik ketika fungsi neuron mulai normal kembali. Walaupun hal ini dapat terjadi sampai 11 hari setelah operasi, diabetes insipidus ini biasanya transien dan dapat disebabkan oleh luka kecil pada posterior hipofise atau edema. Pada kasus DI ini mengalami resolusi setelah hari ke lima. Pada pasien ini diberikan DDAVP (desmopresine) pada 28 jam pascaoperasi, merupakan asam amino pengganti dari ADH, mengurangi produksi urin dan mempermudah terapi cairan, sediaan yang ada berupa semprotan hidung. Pemantauan dari kadar gula darah, produksi urine, BJ urine, osmolaritas plasma dan pengukuran CVP. Menurut teori Gambar 3. Pasien Post Operasi di Internediate Hari ke 2 96 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Gambar 4. 8 Minggu Post Operasi dan Belajar Motorik penggunaan DDAVP sebaiknya hanya diberikan pada DI yang berat atau menetap setelah hari ketiga.3 Akan tetapi dengan pertimbangan kesulitan pemberian cairan oral dalam jumlah lebih 1000cc dalam 24 jam maka pada pasien ini diberikan DDA VP dengan nasal spray dan diberikan dengan durasi 8–12 jam setiap hari sampai tercapai produksi normo urine 1 cc/kgbb/ jam, osmolalitas plasma kearah normal dan kadar Na+serum kearah normal. Pada pasien ini terapi yang diberikan penggantian cairan dengan infus D5 0,45 NS akan tetapi Natrium meningkat diganti dengan infus D5 0,225 NS, pemberian air minum sesuai balans cairan dan nutrisi dengan menggunakan susu 600 kalori/hari serta pertimbangan pemberian vasopressin intranasal. Penggantian cairan dititrasi sampai kadar natrium menurun 1–2 mmol/jam jika terjadi akut hipernatremia dengan kadar natrium >160 mmol/L. Pada pasien ini dimonitor kadar gula darah, osmolalitas urine, BJ urine, CVP, serum natrium. Pemberian cairan yang mengandung glukosa, pemberian insulin dan kalium mungkin dapat dipertimbangkan. Pemberian cairan rumatan lewat oral, enteral pada pasien ini dengan menggunakan: infus D5 0,225 NS dan pemberian minum air sebisa mungkin. Untuk mengatasi rasa lapar, nutrisi diberikan susu dengan 3 x 250 kalori perhari. Rencana evaluasi pascaoperasi dilakukan dengan memeriksa MRI otak baru yang digunakan untuk membandingkan MRI sebelumnya dan korelasi dari MRI dengan pemeriksaan klinis dan hasil pengujian neurokognitif. Pemeriksaan dan penilaian neurokognitif harus dipertimbangkan untuk pasien praoperasi dan pascaoperasi serta pasien yang telah menjalani reseksi subtotal diikuti oleh radiasi. Pasien ini memiliki tes neurokognitif sebelum operasi dan dicocokan setelah operasi yang berguna untuk mengevaluasi kinerja di sekolah. IV. Simpulan Terjadi poliuri pascaoperasi pada jam ke 24 yang kemungkinan terjadi manipulasi di daerah fossa posterior yang menyebabkan edema, yang berakibat gangguan sementara terhadap produksi AVP. Pada jam ke 24 pascaoperasi terjadi poliuri >2 cc/kgBB/jam, BJ Urine 1.003, dan Osmolaritas plasma 307.5 mmol/Kg, sehingga diterapi sebagai diabetes insipidus. Diputuskan pemberian desmopresin tetes hidung. Evaluasi 48 jam pascabedah pemeriksaan penunjang didapatkan 1.001 dan osmolaritas plasma 325 mmol/Kg dilanjutkan desmopresin intranasal. Hasil terapi dan evaluasi pasien ini mengalami transien DI, dimana setelah hari kelima perawatan dan evaluasi laboratorium osmolaritas 299 mmol/ Kg dan BJ urine 1.008 menunjukan respon resolusi fungsi neuron kearah normal. Terapi hormone antidiuretik diberikan dan pemberian cairan yang dilakukan untuk mempertahankan osmolalitas plasma, osmolitas urine, serum Na+ dalam batas normal, produksi urine, BJ urine dan pengukuran CVP, dengan pertimbangan poliuria dan cairan yang masuk tidak bisa berimbang dan terjadi kecenderungan kekurangan cairan. Untuk itu pemberian preparat hormon DDAVP untuk kasus lainya dapat dipertimbangkan dengan evaluasi klinis dan laboratorium yang lebih ketat. Diabetes Insipidus Pascaoperasi Kraniopharingioma pada Anak Daftar Pustaka 1. Müller HL. Childhood craniopharyngioma -current concepts in diagnosis, therapy and follow-up. Nat Rev Endocrinol. 2010 Nov; 6(11):609–18. 2. Müller HL. Craniopharyngioma. Hand book Clin Neurol. 2014;124:23553.[Medline]. 3. Cavalheiro S, Di Rocco C, Valenzuela S, Dastoli PA, Tamburrini G, Massimi L. Craniopharyngiomas: intratumoral chemotherapy with interferon-alpha: a multicenter preliminary study with 60 cases: a Neurosurg Focus. 2010 Apr; 28(4): E12. 4. Garrè ML, Cama AC. Craniopharyngioma: modern concepts in pathogenesis and treatment. Curr Opin Pediatr. 2007 Aug; 19(4):471–9. 5. Nielsen EH, Feldt-Rasmussen U, Poulsgaard L, Kristensen LO, Astrup J, Jørgensen JO, et al, Incidence of craniopharyngioma in Denmark (n = 189) and estimated world incidence of craniopharyngioma in children and adults. J Neurooncol. 2011 Sep; 104(3):755–63. 6. Yoshimoto M, de Toledo SR, da Silva NS. Comparative genomic hybridization analysis of pediatric adamantinomatous craniopharyngiomas and a review of the literature. J Neurosurg.Aug 2004;101(1Suppl):8590. [Medline]. 7. Rushing EJ, Giangaspero F, Paulus W, Burger PC. "Craniopharyngioma,” Dalam: Louis D N, Ohgaki H, Wiestler O D, Cavanee W. K, eds. WHO Classification of Tumours of the Central Nervous System. Lyon: IARC Press;2007, 238–40 8. Craniopharyngioma Clinical Presentation :http://emedicine.medscape.com/ article/1157758clinical# showall Oct 2014 97 9. Sands SA, Milner JS, Goldberg J, Mukhi V, Moliterno JA, Maxfield C. Quality of life and behavioral follow-up study of pediatric survivors of craniopharyngioma. J Neurosurg. 2005 Oct;103(4 Suppl):302–11. [Medline]. 10. Waber DP, Pomeroy SL, Chiverton AM. Everyday cognitive function after craniopharyngioma in childhood. Pediatr Neurol. Jan 2006;34(1):139. [Medline]. 11. Barriger RB, Chang A, Lo SS. Phosphorus32 therapy for cystic craniopharyngiomas. Radiother Oncol.2011 Feb;98(2):20712. Epub 2011 Jan 25. 12. Grant P, Whitelaw B, Barazi S, Aylwin S. Salt and water balance following pituitary surgery. European Society of Endocrinology 2012;11(0892):1–22. 13. Vance ML. Perioperative management of patients undergoing pituitary surgery. Endocrinol Metabolisme Clinics North America, 32(2003) 355–65. 14. Loh AJ, Verbalis JG. Disorder of water and salt metabolism associated with pituitary disease. Endrocrinol Metab Clin N Am 2008; 37 : 213–34. 15. Hannon M, Finucane F, Sherlock M, Agha A, Thompson C. Disorder of water omeostasis in neurosurgical patients. J Clin Endocrinol 2012; 97(5):0000–0000. 16. Cottrell JE, Newfield P. Handbook of Neuroanesthesia. 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Brooklyn – New York; 2007, 191–5. 17. Hölsken A, Buchfelder M, Fahlbusch R, Blümcke I, Buslei R. Tumour cell migration in adamantinomatous craniopharyngiomas is promoted by activated Wnt-signalling. cta Neuropathol. 2010 May; 119(5): 631–9 Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis Torakalis dan Tumor Esktramedular (Meningioma Torakalis) T7–11 Silmi Adriman*), Dewi Yulianti Bisri**), Sri Rahardjo***), Himendra Wargahadibrata**) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, ***) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada–RSUD Dr. Sardjito Yogyakarta *) Abstrak Spondilitis tuberkulosis dan tumor spinal merupakan dua dari banyak penyakit yang dapat menyebabkan kompresi dan lesi pada medula spinalis. Gejala klinis muncul sesuai dengan lokasi kompresi atau lesi, seperti kelemahan anggota gerak bawah, gangguan miksi dan gangguan neurologis lainnya. Pada hampir semua kasus, gejala-gejala yang muncul ini menjadi dasar dilakukannya tindakan pembedahan. Pada kasus seperti ini, pemilihan pengaturan posisi pasien saat dilakukan pembedahan, selain untuk mendapatkan akses yang optimal untuk ahli bedah, juga dapat mempengaruhi waktu pulih, morbiditas dan mortalitas. Pada kasus ini dilaporkan laki-laki, 16 tahun, dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS) 15, berat badan 50 kg dan hemodinamik stabil, datang dengan keluhan kelemahan pada kedua kaki. Hasil magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan adanya abses pada vertebra torakal 7–8 dan tumor ekstramedular pada vertebra torakal 7-11. Pada pasien dilakukan tindakan laminektomi, pengangkatan tumor, drainase abses dan pemasangan stabilisasi posterior dengan anestesi umum. Tindakan pembedahan dilakukan pada posisi prone. Kata Kunci: Spondilitis tuberkulosis, tumor spinal, parestesia, posisi prone JNI 2015; 4 (2): 98–103 Anesthetic Management of Tuberculous Spondylitis and Extramedullary Tumor (Thoracalis Meningioma) T7–11 Abstract Tuberculous spondylitis and tumors of the spine are two of many commonly cause of multiple lesions and spinal cord compression. The location of the lesion often determines the clinical manifestation. Mild to severe limb weakness, urinary disturbance and other abnormality due to posterior column compression are the common clinical manifestations. In most cases, these symptoms were used as guidance for surgical treatment. In a case like this, patient’s position during surgery, in addition to gain optimal access for the surgeon, could affect recovery time, morbidity and mortality. This case reported a 16 years old male, with Glasgow Coma Scale (GCS) score 15, bodyweight 50 kgs with stable haemodynamic, admitted to hospital due to paresthesian both legs. Magnetic Resonance Imaging (MRI) revealed paravertebral abscess at vertebral body T7–T8 and coincidencewith extramedullary tumor of the vertebrae T7–T11. Laminectomy, tumor removal, abscess drainage and posterior fixation were performed under general anesthesia. Surgical intervention was done in prone position. Key words: Tuberculous spondylitis, spinal tumor, paresthesia, prone position JNI 2015; 4 (2): 98–103 98 Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis Torakalis dan Tumor Esktramedular (Meningioma Torakalis) T7–11 I. Pendahuluan Spondilitis Tuberkulosis (TB) dan tumor spinal merupakan dua dari banyak penyakit yang dapat menyebabkan kompresi dan lesi pada medula spinalis. Setiap kompresi dan lesi yang terjadi pada medula spinalis dapat berakibat pada nyeri pinggang dan defisit neurologis seperti kelemahan anggota gerak bawah dan gangguan miksi. Gejala klinis yang muncul ini ditentukan oleh lokasi kompresi atau penyakit.1 Spondilitis TB adalah salah satu bentuk infeksi TB yang sering terjadi.2 Spondilitis TB terjadi pada 1–5% kasus dari semua kasus TB.3 Infeksi ini menyebabkan destruksi tulang dan mengakibatkan deformitas tulang belakang berupa kifosis (deformitas kifotik, atau sering disebut dengan gibbus). Abses terbentuk jika infeksi menyebar ke otot psoas atau jaringan ikat sekitarnya.4 Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya mengeluhkan nyeri tidak spesifik pada daerah vertebra yang terinfeksi. Gejala klasik TB seperti demam, malaise, penurunan berat badan juga dapat ditemukan. Pada kasus kronis, dapat ditemukan kifosis dan defisit neurologis berupa paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom equina.4 Penatalaksanaan spondilitis TB hampir sama dengan TB biasa, yaitu dengan menggunakan obat-obatan. Intervensi bedah diindikasikan untuk pasien dengan nyeri berat akibat abses dan dengan defisit neurologis akibat kompresi korda spinalis.5 Tumor spinal terjadi pada 2–10 setiap 100.000 jiwa. Sembilan puluh Gambar 1. Hasil Pemeriksaan MRI1 99 persen diantaranya berusia di atas 20 tahun. Salah satu bentuk tumor spinal adalah meningioma. Meningioma merupakan tumor spinal intradural yang paling sering dijumpai, 80% kasus pada daerah toraks dan 75%–85% kasus terjadi pada wanita. Tumor ini berada di intraduralekstrameduler (Extramedullary, intradural spinal tumors/EISTs), dimana separuhnya berlokasi di lateral dan sisanya di dorsal atau diventral.6 Gejala klinis yang muncul sesuai dengan lokasi tumor. Pada hampir semua kasus, gejala-gejala yang muncul ini menjadi dasar dilakukannya tindakan pembedahan.7 Pemilihan posisi pasien saat pembedahan menjadi hal yang sangat penting. Setiap posisi yang dipilih memiliki banyak implikasi, baik bagi ahli bedah maupun bagi ahli anestesi. Pada kasus ini, posisi prone dipilih untuk mendapatkan akses yang optimal untuk ahli bedah tapi posisi ini dapat meningkatkan resiko emboli udara, mengganggu jalan nafas, menurunkan aliran darah di kedua arteri vertebralis dan karotis dan beberapa hal lainnya.8,9 II. Kasus Anamnesa Laki-laki, 16 tahun, dengan diagnosa abses e.c spondilitis TB dan tumor meningioma torakalis T7–11, datang dengan keluhan kelemahan anggota gerak bawah sejak ± 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan diawali dengan nyeri di daerah punggung 6 bulan sebelumnya. Riwayat demam (+) dalam 2 bulan terakhir, Gambar 2. Hasil Pemeriksaan MRI2 100 Jurnal Neuroanestesi Indonesia riwayat batuk lama (+), riwayat batuk darah (+), riwayat keringat malam (+), riwayat penurunan berat badan (+), riwayat minum Obat Anti Tuberkulosis/ OAT (–), riwayat TB pada keluarga (–). Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik tampak kifosis pada tulang belakang disertai dengan benjolan yang dicurigai sebagai abses; nyeri (+), fluktuasi (+). pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan kelemahan anggota gerak bawah (+). Tidak ditemukan kelainan sistem organ lainnya. Pada pemeriksaan pasien sadar GCS 15, respirasi 20 x/ menit, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80 x/ menit. Pemeriksaan Penunjang Darah: Hb 11 gr/dl, Ht 29%, Leukosit 14.300 /ul, Trombosit 303.000 /ul, LED 65 mm/jam, CT/BT 7’/2’, SGOT/SGPT 21/18 u/l, Albumin/Globulin 4,1/2,7 gr/dl, Ureum/Creatinin 17/0,6 mg/dl, Gambar 3. Stabilisasi Posterior setelah Pengangkatan Tumor Asam urat 4 mg/dl, Gula Darah Acak 118 mg/dl, Na/K/Cl 143/4,1/110 meq/L. MRI: abses setinggi T7-8, suspek tumor ekstramedular setinggi T7-11 dan kifosis. Foto Thoraks: dalam batas normal. Pengelolaan Anestesi Di ruang operasi, pasien dipasang alat-alat monitor invasif (tekanan darah, denyut jantung, SaO2, EKG dan kateter urin). Pasien diberikan premedikasi dengan midazolam 2,5 mg iv dan deksamethason 2 mg iv. Pasien diinduksi dengan fentanyl 50 mcg, propofol 150 mg, intubasi dengan pipa endotrakeal nomor 7 dan difasilitasi dengan vekuronium 5 mg. Pemeliharaan anestesi oksigen : udara = 3 L/menit : 3 L/menit, sevofluran 1–2 volume%. Infusi propofol 100–300 mg/jam dan infusi vekuronium 1 mg/jam dengan pompa semprit. Fentanyl diberikan secara berkala. Tabel 1. Komplikasi yang Terjadi Terkait dengan Posisi Prone.14 Komplikasi Sistem saraf Iskemia serebral Iskemia servical spine Palsi Saraf intrakranial Pleksus brakhialis Saraf skiatik Saraf peroneal Airway Edema muka, lidah, leher (obstruksi pascabedah) Migrasi pipa endotrakheal Pulmonari Ventilasi/perfusi Abnomalitas Peningkatan tekanan jalan nafas Tension pneumocephalus Kardiovaskular Hipotensi Disritmia Kebutuhan transfusi darah Lain-laim Penekanan mata Compartment syndrome Emboli udara vena Emboli udara paradoxical Posisi Prone + + ++ 0 0 ++ ++ + ++ + ++ ++ ++ +++ 0 ++ + Ket: *0, +, ++, +++ menunjukkan nilai dari tidak ada resiko sampai resiko tinggi Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis Torakalis dan Tumor Esktramedular (Meningioma Torakalis) T7–11 Ventilator diatur dengan volume tidal 500 ml, pernafasan 10 kali/menit, I : E = 1 : 2. Operasi dilakukan selama 6 jam dengan posisi prone dan dengan jumlah perdarahan 500 ml, jumlah urine 800 ml. Jumlah cairan yang masuk 2000 ml terdiri dari NaCl 0,9% 1000 ml dan ringer laktat 1000 ml. Pada akhir operasi, dilakukan pemberian lidokain terlebih dahulu sebelum dilakukan ekstubasi. Pascabedah diberikan, mepiridin 150 mg, tramadol 200 mg dan ondansetron 16 mg selama 24 jam. Pasien dirawat di ruangan biasa. II. Pembahasan Spondilitis TB ataupun tumor spinal (pada kasus ini meningioma thorakalis) sangat berpotensi menyebabkan morbiditas serius, termasuk terjadinya defisit neurologis dan deformitas tulang belakang yang permanen, oleh karena itu diagnosis dini sangatlah penting. Tumor spinal dapat didiagnosis sedini mungkin berdasarkan gejala klinis yang muncul, tapi, diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering disalahartikan sebagai neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya. Diagnosis biasanya baru ditegakkan pada stadium lanjut, saat telah terjadi deformitas tulang belakang yang berat dan defisit neurologis yang bermakna seperti parestesia dan paraplegia.4,1 Terjadinya dua jenis penyakit dalam satu kasus seperti pada kasus ini adalah sesuatu hal yang jarang ditemukan. Kebanyakan penelitian hanya melaporkan bahwa adanya perbedaan diagnosis pada sebelum dan sesudah dilakukan pembedahan. Diagnosis awal mungkin saja meningioma berdasarkan hasil pemeriksaan radiologi. Diagnosis akhir dapat menjadi berbeda setelah dilakukan tindakan pembedahan dan pemeriksaan histopatologi. Hal ini disebabkan karena kemiripan keduanya pada pemeriksaan radiologi. Tapi pada kasus ini ditemukan keduanya, baik itu spondilitis TB, maupun meningioma thorakalis.10,11 Prabedah Pada kasus ini seperti ini ahli anestesi harus 101 dihadapkan dengan berbagai kemungkinan abnormalitas sistem organ yang terjadi akibat kemungkinan kerusakan medulla spinalis. Abnormalitas sistem organ yang terjadi dapat berupa disritmia jantung, disfungsi ventrikel dan hipotensi pada sistem kardiovaskular. Pada sistem respirasi bisa saja terjadi paralisis otot pernafasan. Abnormalitas pengosongan kandung kemih dapat terjadi pada sistem urogenital. Ileus pada sistem pencernaan, resiko trombosis pada vena-vena dalam pada hematologi dan beberapa abnormalitas sistem organ lainnya. Setiap abnormalitas sistem yang terjadi sesuai dengan lokasi lesi medulla spinalis. Pada kasus ini pasien dalam keadaan baik, GCS 15, hasil laboratorium dalam batas normal, hanya ditemukan parestesia tanpa kelainan sistem organ lainnya.9 Rumatan Anestesi Sebelum diposisikan, anestesi diberikan tidak terlalu dalam untuk meminimalkan efek hemodinamik saat perubahan posisi 180°.9 Pada kasus ini rumatan yang dipilih adalah anestesi inhalasi sevofluran 1–2 volume % menggunakan oksigen dan udara (3 L/menit : 3 L/menit), dikombinasikan dengan propofol dan fentanyl. Posisi Pendekatan posterior, yaitu posisi prone, untuk pembedahan spinal dilakukan pada kasus ini. Pasien diposisikan dari terlentang ke telungkup. Sebelum diposisikan, sambungan pipa endotrakeal dan sambungan monitor dilepas terlebih dahulu agar tidak terjadi tarikan dan terlepas. Akses vena dibiarkan tetap terbuka (hanya satu akses vena) agar dapat digunakan setiap saat saat diperlukan.9 Pengaturan posisi dilakukan dengan sebaik mungkin untuk menghindari cedera. Kepala yang ekstensi dapat meningkatkan tekanan vena serebral. Kepala dan leher diatur sedemikian rupa untuk mencegah tekanan yang berlebihan pada mata dan hidung, serta mencegah rotasi yang berlebihan pada leher. Diketahui bahwa rotasi leher 60° dapat menurunkan aliran darah arteri vertebralis dan karotis. Bahkan, aliran arteri vertebralis akan terhenti bila rotasi leher mencapai 80°.9,12 Ekstremitas superior kiri dan kanan diatur dengan sedikit fleksi anterior, abduksi dan rotasi eksternal < 90°. Dilakukan pemberian bantalan pada dada 102 Jurnal Neuroanestesi Indonesia secara hati-hati agar tidak mengganggu aksila dan pada lengan bawah untuk mencegah kompresi nervus ulnaris pada cubital tunnel dan axillary neurovascular bundle. Selain itu, tindakan yang menyebabkan terjadinya penekanan selama operasi seperti pada abdomen, dada, area pelvis dan genital dihindari untuk meminimalkan resiko nekrosis.9,13 Perubahan Fisiologis pada Posisi Prone Penggunaan posisi prone juga menyebabkan perubahan fisiologis dan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi. Posisi prone dapat menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh darah paru dan perifer, menurunnya aliran balik vena hingga resiko emboli udara (Tabel 1.).9,14 Posisi prone diketahui dapat menyebabkan hipotensi berat. Penurunan curah jantung, volume darah sekuncup (stroke volume) dan indeks jantung juga dapat terjadi pada beberapa pasien dengan derajat berat yang bervariasi. Hal ini disesuaikan dengan keadaan sistem kardiovaskuler masing -masing pasien.15 Posisi prone juga dapat mengkompresi abdomen dan menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen. Peningkatan tekanan intraabdomen akan meningkatkan tekanan pada vena cava dan resiko terjadinya perdarahan epidural saat pembedahan. Meskipun digunakan bantal dengan ketebalan yang sesuai untuk menyangga pasien, bagian abdomen tetap saja dapat terkompresi dan menyebabkan perdarahan, terutama pada pasien-pasien gemuk.16 Beberapa penelitian mengungkapkan posisi prone dapat menyebabkan kompresi pada ventrikel kanan jantung oleh sternum pada pasien dengan pektus ekskavatum. Posisi prone juga dapat meningkatkan denyut jantung secara signifikan dan diikuti dengan penurunan tekanan darah setelah pasien diposisikan.17 Akhir Anestesi dan Pascabedah Dini Ekstubasi dilakukan pada posisi supine. Perubahan posisi dari posisi prone ke supine dapat mengiritasi trakea akibat adanya pipa endotrakea sehingga menyebabkan refleks jalan nafas seperti batuk dan spasme bronkus. Perubahanperubahan ini akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan intraabdomen, selain itu juga dapat meningkatkan resiko perdarahan pada tempat pembedahan. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian lidokain. Lidokain diketahui dapat mencegah terjadinya batuk, peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi selama dan setelah ekstubasi dilakukan.6 IV. Simpulan Telah dilakukan tindakan drainase abses dengan anestesi umum dan dengan posisi prone pada pasien laki-laki, 16 tahun. Tindakan pembedahan berhasil dengan baik dan proteksi medulla spinalis juga berhasil dengan baik. Daftar Pustaka 1. Rodallec MH, Feydy A, Larousserie F, Anract P, Campagna R, Babinet A, Zins M, Drape FL. Diagnostic imaging of solitary tumors of the spine: what to do and say. Radio Graphics. 2008; 28(4): 1019–41. 2. Gard AR, Somvanshi DS. Spinal tuberculosis: a review. The Journal of Spinal Cord Medicine. 2011; 34. 3. Trecarichi EM, Meco ED, Mazzota V. Tuberculous spondylitis: epidemiology. European Review for Medical and Pharmalogical Science. 2012; 16. 4. Zuwanda, Jarwita R. Spondilitis Tuberkulosa. Cermin Dunia Kedokteran. 2013; 40. 5. Millet JP, Moreno A. Factors that influence current tuberculosis Epidemiology. Europe Spine Journal. 2012; 12. 6. Arnautovic K, Arnautovic A. Extramedullary intradural spinal tumors: a review of modern diagnostic and treatment options and a report of a series. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences. 2009; 9(1): S40–S45. 7. Guppy KH, Hou L, Moes GS, Sahrakar K. Spinal intradural, extramedullary anaplastic ependyoma with an extradural component: case report and review of the literature. Surg Neurol Int. 2011; 2: 119–23. Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis Torakalis dan Tumor Esktramedular (Meningioma Torakalis) T7–11 8. Kulshrestha A, Bajwa SJS. Anaesthetic considerations in intracranial neurosurgical patients. J Spine Neurosurg. 2013; S1. 9. Saleh SC. Neuroanestesi Klinik. Surabaya: Zifatma Publisher; 2013, 163–75. 10. Shim DM, Kyun S, Kim TK, Chae SU. Intradural extramedullary Tuberculoma mimicking en plaque meningioma. Clinics in Orthopedic Surgery. 2010; 2: 260–63. 11. Konar SK, Rao KVLN, Mahadevan A, Devi BI. Tuberculous lumbar arachnoiditis mimicking conus cauda tumor: a case report and review of literature. Journal of Neurosciences in Rural Practice. 2011; 2(1): 93–96. 12. Newton MC. Anesthesia for spinal surgery. Dalam: Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008; 55–159. 13. Knight DJW, Mahajan RP. Patient positioning in anesthesia. Contin Educ Anesth Critical 103 Care Pain. 2004; 1(5): 160–63. 14. Smith DS. Anesthetic management for posterior fossa surgery. Dalam: Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, 5th Ed. USA: Mosby Elsevier. 203–17. 15. Vanamoorthy P, Pandia MP, Bithal PK, Valiareedan SS. Refractory hypotension due to intraoperative hypothermia during spinal instrumentation. Indian J Anaesth. 2010; 54(1): 56–58. 16. Han IH, Son DW, Nom KH, Choi BK, Song GS. The effect of body mass index on intraabdominal pressure and blood loss in lumbar spine surgery. J Korean Neurosurg. 2012; 51: 81–85. 17. Dharmavaram S, Jellish WS, Russ N, Shea J, Mehmood R, Ghanayem A, Kleinman B, Jacobs W. Effects of prone positioning systems on hemodynamic and cardiac function during lumbar spine surgery: an echocardiographic Study. Spine. 2006; 31(12): 1388–93. Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik pada Pasien Berusia Lanjut Silmi Adriman*), Nazarudin Umar**), Marsudi Rasman***) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala-RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-RSUP. H. Adam Malik Medan, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung *) Abstrak Data epidemiologi terus menunjukkan peningkatan populasi penduduk berusia lanjut dan berdampak pada peningkatan permintaan layanan kesehatan, termasuk kebutuhan untuk menjalani prosedur pembedahan karena berbagai sebab. Salah satu penyebabnya adalah cedera otak traumatik (COT), termasuk di dalamnya perdarahan epidural, subdural dan intraserebral (epidural, subdural, intracerebral hemorrhage/EDH, SDH, ICH). Pada pasien berusia lanjut, COT bertanggung jawab terhadap lebih dari 80.000 kasus dengan tiga-perempat diantaranya harus menjalani rawat inap setiap tahunnya. Perencanaan penatalaksanaan perioperatif membutuhkan pertimbangkan beberapa hal untuk mencapai tingkat anestesi dan analgesi yang optimal pada pasien berusia lanjut. Seorang lakilaki, 65 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran pasca kecelakaan bermotor. Setelah resusitasi dan stabilisasi didapatkan jalan napas bebas, laju pernapasan 18 kali/menit, tekanan darah 140/80 mmHg, laju nadi 88 kali/menit. Pada pasien dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi EDH dan kraniektomi evakuasi SDH dan ICH dengan anestesi umum dan dengan memperhatikan prinsip neuroanestesi serta geriatri anestesi selama tindakan bedah berlangsung. Kata kunci: geriatri, cedera otak traumatik, penatalaksanaan perioperatif JNI 2015; 4 (2): 104–11 Perioperative Management of Traumatic Brain Injury in Elderly Surgical Patients Abstract Current epidemiological data showed an increasing number of elderly population, whereas in accordance with an increased demand for health care service, including surgical treatments for elderly. Traumatic brain injury (TBI), such as epidural hemorrhage (EDH), subdural hemorrhage (SDH) and intracerebral hemorrhage (ICH) are among the demanded surgery in elderly. In elderly population, TBI is responsible for more than 80.000 emergency department cases each year; with approximately three-quarters of these cases require further hospitalization. Perioperative management planning requires some considerationsin order to achieve the optimal level of anesthesia and analgesia in the elderly patients. A 65 years old male patient was admitted to the hospital with decreased level of consciousness after motor vehicle traffic injury. During resuscitation, airway was clear, respiratory rate was 18 x/min, blood pressure was 140/80 mmHg, heart rate was 88 x/min. Patient directly underwent an emergency craniotomy evacuation of EDH, SDH and ICH under general anesthesia with continue and comprehensive care of neuroanesthesia and geriatric anesthesia principles. Key words: Geriatry, traumatic brain injury, perioperative management JNI 2015; 4 (2): 104–11 104 Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik pada Pasien Berusia Lanjut I. Pendahuluan Populasi penduduk berusia lanjut (geriatri, berumur 65 tahun dan lebih) di dunia mencapai laju kenaikan yang sangat luar biasa. Sebagian besar berhubungan dengan penurunan laju kelahiran dan peningkatan angka harapan hidup. Saat ini, sekitar 14% dari penduduk Amerika Serikat (AS) telah berumur 65 tahun atau lebih, bahkan pada tahun 2020 diperkirakan meningkat menjadi 20% atau sekitar 60.000.000 orang. Hal ini akan berdampak pada peningkatan permintaan layanan kesehatan dan perawatan, termasuk kebutuhan untuk menjalani prosedur pembedahan (operasi) karena berbagai sebab.1 Pasien berusia lanjut diketahui empat kali lipat lebih sering menjalani tindakan operasi dibandingkan dengan pasien berusia muda.2 Salah satu penyebabnya adalah cedera otak traumatik (COT). Pada pasien berusia lanjut, COT bertanggung jawab terhadap lebih dari 80.000 kunjungan ke Unit Gawat Darurat (UGD) setiap tahunnya dan sekitar tiga-perempatnya harus mendapatkan perawatan rawat inap. Jatuh menjadi penyebab utama terjadinya COT (51%) dan kecelakaan bermotor (baik sebagai pejalan kaki atau pengguna/penumpang kendaraan) sebagai penyebab kedua terbanyak (9%).3,4 Penuaan menyebabkan penurunan kapasitas fisiologik berbagai sistem organ dan kemampuan untuk memelihara atau mengembalikan homeostasis, serta beradaptasi terhadap suatu stres, termasuk stres metabolik terkait tindakan operasi. Penuaan juga diikuti dengan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik berbagai obat-obatan di dalam tubuh, termasuk penggunaan obat-obatan anestesi selama tindakan pembedahan dilakukan.5,6 Perencanaan penatalaksanaan perioperatif, termasuk teknik anestesi yang digunakan, membutuhkan beberapa pertimbangan khusus. Diantaranya adalah usia pasien, prosedur bedah yang akan dilaksanakan dan berbagai komorbiditas yang sedang diderita pasien.6 Prinsip perubahan farmakodinamik terkait penuaan dihubungkan dengan pengurangan kebutuhan dosis anestesi yang digunakan, hal ini disebabkan karena meningkatnya sensitivitas 105 obat-obatan pada pasien usia lanjut. Pemberian titrasi obat-obat anestesi yang hati-hati dapat membantu mencegah terjadinya efek samping dan perpanjangan durasi obat; obat dengan kerja singkat (short acting agent) seperti propofol, desfluran, remifentanyl dan suksinilkolin diketahui sangat baik digunakan pada pasien usia lanjut.7 II. Kasus Anamnesa Seorang laki-laki berusia 65 tahun datang dengan penurunan kesadaran sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengalami kecelakaan bermotor, jatuh dari motor dengan posisi kepala jatuh dan terbentur terlebih dahulu ke aspal. Pasien diketahui tidak menggunakan helm saat berkendara dan langsung tidak sadarkan diri. Pada pasien terdapat perdarahan dari telinga dan hidung, muntah (+), kejang (–). Pasien tidak memiliki riwayat penyakit yang lain. Pemeriksaan Fisik Status neurologis GCS E2M5V3 (10), pupil isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya (+/+). Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah 140/80 mmHg, laju nadi 88 kali/menit, suhu tubuh 36,2 °C, laju napas 18 kali/menit spontan. Jalan napas bebas, suara napas vesikuler, tidak didapatkan ronki maupun wheezing, diberikan simple mask non breathing 10 liter/menit, didapatkan SpO2 99– 100%. Suara jantung normal, tidak ada murmur. Pada pemeriksaan abdomen tidak ditemukan kelainan, pada pemeriksaan ekstremitas tidak ditemukan edema, tidak ditemukan hemiparese. Pemeriksaan Penunjang Darah: Hb 12,8 g/dl, Ht 31,2%, leukosit 21 x 103 / ul, trombosit 202 x 103 /ul, Natrium 136 mmol/L, Kalium 3,7 mmol/L, Klorida 100 mmol/L, kadar gula darah sewaktu 135 mg/dl. Foto thoraks: jantung dan paru dalam batas normal. CT scan kepala: tampak adanya pembengkakkan jaringan lunak di daerah temporoparietal sinistra, parietal dextra. Sulkus dan gyrus kompresi. Ventrikel kompresi. Sisterna masih terbuka. Tampak lesi hiperdens pada temporal base kiri parenkim otak, tampak gambaran hiperdens 106 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Gambar 1. CT-Scan Kepala berbentuk biconvex pada temporoparietal sinistra dan tampak lesi hiperdens berbentuk biconcave pada region parietal dextra, tidak terdapat pergeseran midline shift. Kesan ICH a.r. temporal base sinistra + SDH a.r. parietal sinistra + EDH parietal dextra. Pengelolaan Anestesi Pasien disiapkan untuk tindakan kraniotomi dan kraniektomi evakuasi cyto. Selama persiapan, pasien diposisikan dalam posisi supinasi dengan kepala head up 30° netral, oksigenasi dengan simple mask non rebreathing (SMNR) 8–10 liter/ menit, manitol 200 cc drip, rencana pascaoperasi perawatan di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ ICU). Pemeriksaan fisik kembali dilakukan sebelum tindakan operasi. Kondisi pasien masih sama seperti awal masuk, dengan tanda-tanda vital stabil dan hemodinamik stabil. Di kamar operasi, pasien diposisikan dalam posisi supinasi dengan kepala head up 15–30° netral. Pasien dipasang alat-alat monitor noninvasif (tekanan darah, denyut jantung, EKG, SaO2) dan kateter urine. Oksigenasi 6 liter/menit dengan sungkup selama 3 menit, hemodinamik pre-induksi tekanan darah 140/80 mmHg, laju jantung 80x/menit, laju napas 20 x/menit, SpO2 100%. Pasien diinduksi dengan 50 mcg fentanyl intravena perlahan selama 2 menit dan 70 mg propofol. Untuk fasilitasi intubasi diberikan 6 mg vecuronium dan 1,5 mg/kgBB lidokain. Pasien diintubasi dengan menggunakan laringoskop Macintosh dengan pipa endotrakheal non-kinking ukuran 7,0. Mata diberi salep dan ditutup dengan plester kertas 3 lapis. Rumatan anestesi dengan sevoflurane 1,5–2 vol%, O2/udara: 1L/1L, vecuronium 4 mg/jam dengan menggunakan syringe pump dengan ventilasi kendali mode volume control (VC), tidal volume (TV) 400 ml, laju napas 14 kali/menit. Dipasang kateter vena sentral (central vein catheter/CVC) di vena subklavia kanan dan dihubungkan dengan transfusi set serta cairan NaCl 0,9%. Setelah dilakukan dreeping dan sebelum dilakukan insisi kulit, ditambahkan fentanyl 1 mcg/kgBB. Untuk mengurangi perdarahan diberikan asam traneksamat 500 mg iv. Analgetik selama tindakan diberikan tramadol 100 mg iv. Manitol 150 cc diberikan selama 15 menit dan furosemid 20 mg iv sebelum tulang kepala dibuka. Tulang tengkorak dibuka, tampak duramater tegang kebiruan. Kemudian duramater dibuka, tampak slack brain dan otak tampak berdenyut. Ditemukan SDH 30 cc, ICH 15 cc dan EDH 25 cc. Sumber perdarahan berasal dari laserasi pembuluh darah korteks dan arteri meningia media. Operasi berlangsung selama 3 jam dengan jumlah pendarahan 500 cc dan diuresis 1300 cc. Pemberian cairan intraoperatif menggunakan Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik pada Pasien Berusia Lanjut 120 100 80 60 40 20 0 107 sistolik diastolik Grafik 1.Pemantauan Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik selama Operasi. 80 75 70 nadi 65 Grafik 2. Pemantauan Laju Nadi selama Operasi Ringerfundin sebanyak 1000 cc, NaCl 0,9% 500 cc dan koloid 500 cc. Diberikan ondansetron 8 mg iv 30 menit sebelum tindakan selesai. Selama operasi hemodinamik relatif stabil.Tanda-tanda vital selama operasi dapat dilihat pada grafik 1 dan 2. Pengeloaan Pascabedah Pascabedah, pasien dirawat di ICU dan masih terintubasi. Pasien dirawat dalam kontrol ventilator selama 24 jam. Pemeriksaan laboratorium pascaoperasi didapatkan Hb 10,8 g/ dl, Ht 31,8%, leukosit 16,3 x 103 /ul, trombosit 213 x 103/ul, natrium 138 mmol/L, kalium 3,5 mmol/L, klorida 105 mmol/L, kadar gula darah sewaktu 136 mg/dl. Setelah 24 jam, pernapasan pasien mulai spontan, dilakukan weaning bertahap hingga pernapasan cukup adekuat serta GCS E4M6V5, pasien diekstubasi. Pada hari ke-4 pasien dipindahkan ke High Care Unit (HCU). Hari ke-8 pascaoperasi hemodinamik pasien stabil, pasien dipindahkan ke ruang perawatan. Pasien dipulangkan pada hari ke-12 dengan keluhan kesulitan berbicara. III. Pembahasan Cedera otak traumatik yang disajikan dalam laporan ini merupakan salah satu penyebab utama kematian dan penyebab disabilitas seumur hidup bagi penderita yang bertahan hidup di seluruh dunia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa angka kejadian COT terus meningkat terkait dengan peningkatan penggunaan kendaraan bermotor, khususnya pada negara miskin dan berkembang. Meskipun tidak diketahui angka kejadian yang pasti, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan sekitar 1,7 juta orang mengalami COT setiap tahunnya, 1,4 juta orang dirawat di Unit Gawat Darurat (UGD), 275 ribu orang harus dirawat inap dan 52 ribu orang di antaranya mengalami kematian.8,9 Perdarahan intrakranial menjadi konsekuensi umum dan serius akibat COT. Frekuensi 108 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Tabel 1. Perubahan Fisiologik terkait Proses Menua dan Dampaknya pada Penatalaksanaan Perioperatif.12 Sistem Umum Perubahan Terkait Umur Penurunan massa otot rangka Penurunan termoregulasi Kulit Penurunan re-epitelisasi Penurunan pembuluh darah kulit Kardiovaskular Peningkatan kekakuan vaskular Peningkatan kekakuan ventrikel Degenerasi sistem konduksi Degenerasi katup jantung Dampak Perioperatif Perubahan distribusi volume Berpotensi terjadinya toksisitas obat Kerentanan (fragilty) lebih besar Penurunan pemulihan fungsional Berpotensi terjadinya hipotermia Penurunan laju penyembuhan luka Peningkatan tekanan darah dan beban ventrikel Hipertensi Hipertrofi ventrikel Peningkatan sensitivitas terhadap perubahan volume Dekondisi kardiopulmonal Peningkatan resiko blok AV derajat tinggi Peningkatan prevalensi penyakit Peningkatan resiko iskemia miokard arteri koroner Pulmonal Ginjal Imunitas Hepatik Endokrin Penurunan elastisitas jaringan Peningkatan potensi kegagalan respirasi (misalnya akibat efek obat sedatif) Peningkatan kekakuan dinding Peningkatan resiko aspirasi dan infeksi dada Penurunan proteksi jalan napas Penurunan jumlah nefron Peningkatan waktu paruh obat yang diekskresi ginjal Penurunan ekskresi natrium dan Peningkatan resiko kelebihan cairan tubuh air Hipertrofi prostat Peningkatan resiko retensi urin dan infeksi saluran kemih Penurunan fungsi imun Peningkatan resiko infeksi Penurunan aliran darah Peningkatan waktu paruh obat yang diekskresi hati Penurunan oksidasi mikrosomal Resistensi insulin Hiperglikemia Gangguan sekresi insulin perdarahan intrakranial bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan COT, usia, ada atau tidaknya fraktur tulang tengkorak dan anatomi tempat cedera (frontal, temporo-parietal, oksipital). Berdasarkan lokasi perdarahan, perdarahan intrakranial diklasifikasikan menjadi tiga jenis; perdarahan epidural (epidural hemorrhage/EDH), perdarahan subdural (subdural hemorrhage/ SDH) dan perdarahan intraserebral (intracerebral hemorrhage/ ICH).10 Perdarahan epidural adalah perdarahan yang terletak antara duramater dan tulang tengkorak, sering terjadi sebagai akibat kerusakan dari tengkorak itu sendiri. Fraktur tulang tengkorak dapat merobek pembuluh darah meningen yang mengakibatkan timbulnya hematoma. Perdarahan yang terjadi biasanya berasal dari arteri sehingga Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik pada Pasien Berusia Lanjut keadaan neurologi dapat dengan cepat memburuk. Subdural hemorrhage adalah perdarahan yang terjadi di antara lapisan duramater dan arachnoid, terjadi sebagai hasil dari trauma aselerasideselarasi terhadap otak yang mengakibatkan regangan dan kerusakan vena parasagital. Gejalanya mungkin timbul lebih lambat dibandingkan dengan EDH, tapi mortalitasnya lebih tinggi karena dilandasi dengan kerusakan jaringan otak. Intracerebral hemorrhage adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak akibat robeknya pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Angka kejadiannya lebih kecil jika dibandingkan EDH dan SDH. Umumnya lesi parenkim yang kecil tidak memerlukan tindakan pembedahan. Tapi, jika lesinya besar, efek massa yang besar akan menyebabkan cedera otak sekunder dan beresiko untuk memperburuk status neurologis dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Tindakan pembedahan dilakukan jika volume lebih dari 30 cc, ketebalan lebih dari 15 mm dan terjadi pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.10,11 Pasien usia lanjut yang mengalami COT, mekanisme trauma dan prognosis memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan pasien yang berusia lebih muda. Beberapa penelitian mungkin menyebutkan adanya penurunan angka kejadian COT secara keseluruhan berdasarkan pada penurunan angka kecelakaan bermotor, tapi tidak pada pasien usia lanjut. Jatuh, yang menjadi penyebab utama mekanisme terjadinya COT pada pasien usia lanjut, masih terus terjadi.4 Identifikasi faktor reversibel yang berkaitan dengan morbiditas perioperatif pada pasien berusia lanjut yang menjalani tindakan pembedahan merupakan hal yang sangat penting. Sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan upaya tersebut, perlu dipahami berbagai perubahan fisiologik terkait dengan proses penuaan yang berdampak pada pengelolaan perioperatif pada pasien berusia lanjut (Tabel 1).12 Penatalaksanaan perioperatif pasien usia lanjut sangat kompleks. Hal ini disebabkan karena penuaan yang terjadi menyebabkan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obatobatan di dalam tubuh. Sehingga penggunaan obat-obat anestesi menjadi lebih menantang dan persiapan sebelum dan setelah operasi 109 menjadi lebih penting.13 Penurunan massa otot yang progresif dan peningkatan kadar lemak menyebabkan penurunan cairan total tubuh. Penurunan volume distribusi obat yang dapat larut dalam air (water-soluble) akan menyebabkan konsentrasinya dalam plasma meningkat; sebaliknya meningkatnya volume distribusi obat yang dapat larut dalam lipid (lipid-soluble) akan menyebabkan konsentrasi dalam plasma menjadi sedikit. Perubahan-perubahan volume distribusi ini akan mempengaruhi waktu paruh. Jika obat dengan volume distribusinya bertambah, waktu paruh akan memanjang, kecuali rata-rata keluaran (rate of clearance) juga meningkat. Tetapi, karena fungsi ginjal dan hati menurun sesuai dengan usia, penurunan rate of clearance akan memperpanjang durasi kerja obat.14, 15 Prinsip perubahan farmakodinamik terkait penuaan dihubungkan dengan pengurangan kebutuhan dosis anestesi yang digunakan, hal ini disebabkan karena meningkatnya sensitivitas obat-obatan pada pasien usia lanjut. Pemberian titrasi obat-obat anestesi yang hati-hati dapat membantu mencegah terjadinya efek samping dan perpanjangan durasi obat; obat dengan kerja singkat (short acting agent) seperti propofol, desfluran, remifentanyl dan suksinilkolin diketahui sangat baik digunakan pada pasien usia lanjut.7 Kasus ini menggunaan kombinasi propofol dan fentanyl sebagai induksi. Propofol diketahui telah lama menjadi obat pilihan kraniotomi. Secara signifikan, propofol akan menurunkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, menurunkan metabolisme otak dan meningkatkan tekanan perfusi serebral pasien. Propofol juga diketahui memiliki efek neuroprotektif.15,16 Pemberian propofol yang dikombinasikan dengan fentanyl dapat mengurangi respon stres selama intubasi dan mempercepat proses pemulihan setelah tindakan pembedahan selesai dilakukan.17 Selain itu, keduanya termasuk ke dalam kelompok obat-obatan dengan kerja singkat yang diketahui cukup ideal digunakan untuk induksi pada pasien usia lanjut.14 Vecuronium digunakan sebagai obat pelumpuh otot pada kasus ini. Vecuronium termasuk ke dalam kategori obat pelumpuh otot non-depolarisasi yang dapat membantu memperbaiki kondisi pasien usia lanjut selama 110 Jurnal Neuroanestesi Indonesia tindakan pembedahan. Vecuronium diketahui dapat mencegah terjadinya edema serebral dengan tidak meningkatkan aliran darah otak sehingga baik digunakan untuk pasien yang menjalani pembedahan intrakranial. Penggunaan vecuronium pada pasien usia lanjut tetap harus dititrasi. Hal ini disebabkan karena penurunan ekspresi hepar dari kehilangan massa hepar akan memperpanjang eliminasi waktu paruh dan durasi dari kerja vecuronium.14,15Anestetika inhalasi yang digunakan pada kasus ini adalah sevoflurane. Sevoflurane dipilih karena memiliki kelarutan dalam darah yang cepat (0,63) serta eliminasi yang cepat. Sevoflurane selain diketahui memiliki efek vasodiltasi pembuluh darah yang paling rendah jika dibandingkan dengan anestesi inhalasi lainnya, juga memiliki efek neuroprotektif berupa antinekrotik dan antiapoptosis. Sevoflurane merupakan anestesi volatil, sehingga pemulihan dari pengaruh anestesi mungkin jadi lebih lama. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan volume distribusi (karena peningkatan body fat), penurunan fungsi hati dan penurunan pertukaran udara di dalam paru.14, 15, 17 Pascabedah, tindakan-tindakan umum seperti perpindahan posisi pasien, suctioning, fisioterapi dan usaha pencegahan infeksi tetap dilakukan untuk mengurangi resiko dan komplikasi yang dapat memperburuk keadaan pasien.11 IV. Simpulan Telah dilakukan penatalaksanaan anestesi untuk pembedahan kraniotomi evakuasi EDH dan kraniektomi evakuasi ICH dan SDH pada pasien laki-laki berusia 65 tahun. Tindakan pembedahan telah berhasil dilakukan dengan anestesi umum dengan memfokuskan pada prinsip-prinsip yang berlaku untuk pasien usia lanjut dan sesuai dengan prinsip neuroanestesia. Daftar Pustaka 1. Silverstein JH. The practice of geriatric anesthesia. Dalam: Silverstein JH, Rooke GA, McLeskey CH, editors. Geriatric Anesthesiology. 2nd ed. USA: Springer. 2008, 3–14. 2. Bettelli G. Anesthesia for elderly outpatient: preoperative assessment and evaluation, anesthetic technique and postoperative pain management. Current Opinion in Anesthesiology. 2010; 23: 726–31. 3. Thompson HJ, McCormick WC, Kagan SH. Traumatic brain injury in older adults: epidemiology, outcomes and future implications. J Am Geriatri Soc. 2006; 54(10): 1590–95. 4. Susman M, Dirusso SM, Sullivan T, Risucci D, Nealon P, Cuff S, et al. Traumatic brain injury in the elderly: increased mortality and worse functional outcome at discharge despite lower injury severity. Journal of Trauma. 2002; 53: 219–24. 5. Muravchick S. Theories of aging. Dalam: Silverstein JH, Rooke GA, McLeskey CH, eds. Geriatric Anesthesiology. 2nd ed. USA: Springer. 2008, 29–37. 6. Kanonidou Z, Karystianou G. Anesthesia for elderly. Hippokratia. 2007; 11(4): 175–77. 7. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Geriatric anesthesia. Dalam: Clinical Anesthesiology. New York: McGraw Hill; 2002, 875–81. 8. Saatman KE, Duhaime AC, Bullock R, Maas AIR, Valadka A, Manley GT. Classification of traumatic brain injury for targeted therapies. Journal of Neurotrauma. 2008; 25: 719–38. 9. Roozenbeek B, Mass AIR, Menon DK. Changing patterns in the epidemiology of traumatic brain injury. Nat Rev Neurol. 2013; 9: 231–36. 10. Perel P, Roberts I, Bouamra O, Woodford M, Mooney J, Lecky F. Intracranial bleeding in patients with traumatic brain injury: a prognostic study. BMC Emergency Medicine. 2009; 9(15): 1–8. Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik pada Pasien Berusia Lanjut 11. Saleh SC. Sinopsis Neuroanestesi Klinik. Surabaya: Zifatama Publisher; 2014, 147–62. 12. Reuben DB, Rosen S. Principles of geriatric assessment. Dalam: Halter J, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S, editors. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed. New York: McGraw Hill; 2009, 141–52. 13. Silverstein JH, Rooke GA. Anesthesia. Dalam: Halter J, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S, eds. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed. New York: McGraw Hill; 2009. 417–29. 14. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Edisi ke- 111 2. Bandung: Saga Olah Citra; 2008, 1–74. 15. Sakabe T, Matsumoto M. Effects of anesthetic agents and other drugs on cerebral blood flow, metabolism and intracranial pressure. Dalam: Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, 5th ed; 2010, 78–90. 16. Bajwa SJS, Bajwa SK, Kaur J. Comparison of two drug combinations in total intravenous anesthesia: propofol-ketamine and propofolfentanyl. Saudi J Anaesth. 2010; 4(2): 72–79. 17. Adamezyk S, Robin E, Simerabet M, Kipnis E, Tavernier B, Vallet B, et al. Sevoflurane pre- and post-conditioning protect the brain via the mitochondrial KATP channel. Br J Anaesth. 2010; 104(2): 191–200. Total Intravenous Anesthesia pada Geriatri dengan Meningioma Parietalis Rebecca Sidhapramudita Mangastuti*), Nazaruddin Umar**), Marsudi Rasman***) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Lebak Bulus, Jakarta Selatan, **) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara–RSUP H. Adam Malik Medan ***)Departemen Anestesiologi &Terapi Intensif–Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran– RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung *) Abstrak Meningioma merupakan tumor intrakranial jinak yang sering ditemukan. Tumor ini berasal dari jaringan meningen dan medulla spinalis, tidak tumbuh dari jaringan otak. Gejala klinis baru dirasakan saat terjadi penekanan pada otak atau jaringan yang terdesak oleh tumor. Operasi pengangkatan tumor meningioma merupakan tindakan yang dianjurkan. Penatalaksanaan anestesi bertujuan menghindari terjadinya hipertensi intrakranial dan pembengkakan otak (brain bulging). Pada kasus ini, pasien wanita, usia 71 tahun, berat badan 60 kg, datang ke rumah sakit dengan keluhan tangan dan kaki kanan lemah dan tidak dapat berbicara (aphasia) sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Kesadaran somnolen, E3M6V afasia, pupil isokor bilateral 2 mm, hemodinamik stabil, jantung normal, tuberculosis paru sinistra. Fungsi motorik dan sensorik ekstremitas kanan terganggu. MRI 3T dan MRA 3T Head Contrast didapatkan massa tumor kistik ring enhance 5,8 x 4,6 x 5 cm berisi cairan kental.Tampak pula massa tumor padat dan bercak perdarahan didalamnya ukuran 4,3 x 5,1 x 5 cm mencakup lobus parietal kiri dan lobus occipital kiri disertai perifokal edema disekitarnya. Dari hasil yang ada, disimpulkan pasien menderita meningioma parietalis sinistra dan tindakan yang dianjurkan adalah craniotomi pengangkatan tumor. Operasi dilakukan dengan anestesi umum. Operasi berlangsung selama 6,5 jam dan tumor dapat terangkat semua. Jumlah perdarahan 2000 ml. Pasien mendapat 300 ml Fresh Frozen Plasma (FFP) dan 500 ml Packed Red Cell (PRC) intraoperasi. Untuk mengurangi tekanan intrakranial, digunakan total intra venous anesthesia (TIVA) dengan syringe pump dan diberikan manitol 0,5 gram/kgBB. Pascaoperasi, pasien tidak diekstubasi dan rawat diruang ICU. Five year survival rate untuk menigioma jinak 70%, meningioma ganas 55%. Kata kunci: anestesi, meningioma, total intravenous anesthesia JNI 2015; 4 (2): 112–18 Total Intravenous Anesthesia for Elderly with Meningioma Parietalis Sinistra Abstract Intracranial meningiomas are benign tumors that are often found. These tumors originate from the meninges and spinal cord tissue, brain tissue does not grow out of. Clinical symptoms felt during a new emphasis on the brain or tumor tissue driven by. Surgical removal of the meningiomas tumor is a recommended actions. Management of anesthesia aims to avoid the occurrence of intracranial hyperternsion and brain bulging. In this case, female, 71 years, weight 60 kg, came to the hospital with complaints of arm and right leg is weak and unable to speak (aphasia) since 2 months before admission. Somnolence, E3M6V aphasia, pupil isocor 2 mm, hemodynamic stable, normal heart, the left pulmonary had tuberculosis. Motor function and sensory impaired right limb. MRI 3T and MRA head contrast found cystic tumor mass 5,8 x 4,6 x 5 cm and solid tumor mass measures 4,3 x 5,1 x 5 cm. From the result, it was consluded the patients suffering from the left parietal meningioma and recommended actions are craniotomy removal of the tumor. The operation if perfomed under general anesthesia. The operation lasted for 7 hours and the tumor can be taken out. The amount of bleeding 2000 ml. Patients received 300 ml Fresh Frozen Plasma (FFP) and 500 ml Packed Red Cell (PRC). To reduce intracranial pressure, we used total intra venous anesthesia (TIVA) and given manitol 0,5 gr/kg. Postoperatively, patients had not been extubation and take care in ICU unit. Five year survival rate of 70% for benign meningioma and 55% for malignant meningiomas. Key words: anesthesia, meningiomas, total intra venous anesthesia JNI 2015; 4 (2): 112–18 112 Total Intravenous Anesthesia pada Geriatri dengan Meningioma Parietalis I. Pendahuluan Meningioma merupakan tumor otak jinak yang banyak ditemukan. Tumor ini tidak tumbuh dari jaringan otak, namun berasal dari jaringan meningen dan medulla spinalis. Pertumbuhan tumor yang lambat, menyebabkan gejala klinis baru terlihat setelah otak atau jaringan sekitar terdesak tumor. Sedikitnya 6500 orang di Amerika Serikat didiagnosis meningioma setiap tahunnya. Umumnya ditemukan lebih banyak didapatkan pada wanita dibandingkan pria dengan rasio wanita berbanding pria kira-kira 3 : 1. Diduga bahwa terpapar gelombang radiasi, trauma, virus atau herediter yang disebut neurofibromatosis tipe 2 (NF–2), merupakan faktor predisposisi meningioma.1-4 Meningioma terbagi atas 3 kategori, yakni meningioma jinak, meningioma atipikal dan meningioma maligna (anaplastik). Tujuh puluh sampai 80% meningioma umumnya jinak, 2–3% meningioma maligna, sisanya meningioma atipikal yaitu meningioma yang tumbuhnya lebih cepat dibanding meningioma jinak dan dapat tumbuh kembali walaupun tumor sudah diangkat.1,5,6 Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan diperkuat dengan hasil CT scan kepala atau magnetic resonance imaging (MRI) kepala. Terapi yang dianjurkan, umumnya kraniotomi evakuasi tumor, atau radiasi jika tumor tidak dapat terangkat semua. Tehnik anestesi yang digunakan adalah anestesi umum dengan tujuan menghindari terjadinya hipertensi intrakranial dan pembengkakan otak (brain bulging).2,3,6 Usia penderita, besar masa tumor, lokasi tumor, kecepatan tumbuh dari tumor dan data five year survival rate untuk menigioma jinak 70%, meningioma ganas 55% turut menentukan prognosis penderita meningioma.1,2,6 II. Kasus Anamnesa Wanita berusia 71 tahun dengan berat badan 60 kg. Dari anamnesis didapatkan tangan dan kaki kanan lemah dan tidak dapat berbicara (afasia) sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien sering mengeluh sakit kepala, yang hilang 113 dengan obat paracetamol (panadol/paramex/ bodrex). Kesemutan, kejang, demam dan riwayat jatuh sebelumnya, disangkal. Terdapat riwayat hipertensi dan diabetes. Obat rutin yang dikonsumsi: Galvus 2 x 50 mg, Norvask 1 x 5 mg, Beculin 1 x 15 mg, Simvastatin 1 x 10 mg, Glimepiride 1x 2 mg. Pemeriksaan Fisik Kesadaran somnolen, E3M6V afasia, pupil isokor, reflek cahaya positip pada kedua mata. Tekanan darah 130/80 mmHg, laju nadi 84 x/ menit, laju nafas 12 x/menit, suhu 36,8 oC. Bunyi jantung I, II reguler, tidak didapatkan murmur dan gallop. Paru vesikuler, tidak didapatkan ronki dan wheezing di kedua lapang paru. Abdomen lemas, soepel, nyeri tekan tidak ada, tidak membuncit, hepar dan lien tidak membesar. Ekstremitas hangat, tidak sianosis, tidak ikterik, kekuatan motoric kanan 3333, kiri 5555. Terdapat disfungsi sensorik pada ekstremitas kanan. Fungsi sensoris ekstremitas kiri normal. Pemeriksaan Laboratorium Dari data hasil pemeriksaaan laboratorium didapatkan Hemoglobin13,6 g/dl, Hematokrit 40 %, Leukosit 9800 /mm3, Trombosit 296.000 /mm3, Ureum 21 mg/dl, Kreatinin 0,59 mg/ dl, Gula darah puasa 129, gula darah 2 jam PP 195 mg/dl. Albumin 3,1 g/dl, Globulin 3 g/dl. Natrium 140 mEq/L, Kalium 3,6 mEq/L, Klorida 109 mEq/L. SGOT 11, SGPT 10, CEA 18,89. Pada foto toraks PA, didapatkan, CTR 50%, aorta knob prominence, pulmo: fibro infiltratif supra hiler kiri dan paracardial kiri, diaphragm dan sinus baik, kesan Aorto Sclerotic Heart Disease (ASHD) dengan gambaran tuberculosis sinistra aktif. EKG: sinus ritme, laju jantung 102 x/menit, tidak terdapat ventricular extra systole (VES) dan T inverted. Ekokardiografi: LV hyperthrophi, AR mild, MR mild, PR mild, diastolic disfunction grade 1, good LV and RV sistolic function, LVEF 69%. Pemeriksaan sidik tulang (Tc–99m MDP 19 MCi) tampak gambaran multipel lesi osteoblastik pada kosta, perlu diwaspadai sebagai salah satu proses metastasis (DD/ pascatrauma). MRI 3T dan MRA 3T Head Contrast didapatkan massa tumor 114 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Gambar 1. Foto MRI 3T dan MRA 3T Head Contrast kistik ring enhace 5,8 x 4,6 x 5 cm berisi cairan kental dengan mural node menyangat kontras diameter 1,3 x 3 x 2,5 cm pada dinding medial di lobus temporalis kiri disertai perifokal edema disekitarnya. Mendesak dan menekan midbrain, pons, thalamus kiri, ventrikel lateralis kiri dan ventrikel III, dilatasi ventrikel lateralis kanan dan midline shift ke kanan sejauh 1,2 cm. Tampak pula massa tumor padat dengan komponen kistik multiloculated menyangat kontras dan bercak perdarahan didalamnya ukuran 4,3 x 5,1 x 5 c mencakup lobus parietal kiri dan lobus occipital kiri disertai perifokal edema disekitarnya. Massa tumor tampat mengobliterasi serta meluas ke cornu posterior ventrikel lateralis kiri, sugestif metastasis. Sulci cerebri tampak menyempit. Sisterna ambient, sisterna quadrigemina, sisterna Grafik 1.Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik selama Operasi Berlangsung Grafik 2. Laju Nadi dan Laju Nafas selama Operasi Berlangsung Grafik 3. Saturasi O2 dan end tidal CO2 selama Operasi Berlangsung Total Intravenous Anesthesia pada Geriatri dengan Meningioma Parietalis basalis serta fissure Sylvii tampak menyempit. Struktur otak/intracranial dalam batas normal. Tidak tampak infark akut, perdarahan maupun malformasi vaskular intrakranial. Struktur arteri intrakranial pada sircullus Willisi dan vertebrobasiler dalam batas normal, tidak tampak stenosis signifikan, aneurisma maupun AVM. Diagnosis kerja, SOL kistik regio parietal sinistra. Direncanakan kraniotomi eksisi tumor parietal kiri. Penatalaksanaan Anestesi Saat masuk kamar operasi, kesadaran pasien somnolen, E3 M6 V afasia, TD 132 / 78 mmHg, laju nadi 90 x/menit, laju nafas 12 x/menit, suhu 36,5 0 C. Diberikan midazolam 2,5 mg iv dan fentanyl 25 mcg iv. Induksi dengan propofol 1%60 mg iv, fentanil 175 mcg iv, lidokain 120 mg iv. Intubasi dengan pipa endotrakheal non kinking no 8, cuff (+) yang difasilitasi dengan vecuronium 7 mg iv, propofol 1% 70 mg iv titrasi. Saat akan dilakukan pemasangan head-pin diberikan fentanil 50 mcg iv. Pada saat akan insisi kulit diberikan fentanil 50 mcg iv. Pemeliharaan anestesi dengan total intravenous anesthesia (TIVA) menggunakan syringe pump, propofol 4–6 mg/kg BB/jam, vecuronium 0,06 mg/kg BB/jam, fentanyl 1 mcg/ kg BB/jam, dexmedetomidine 0,1–0,2 mcg/ kg BB/jam. Inhalasi dengan gas O2: air = 1 : 1, dengan aliran gas segar 1,6 L/menit tanpa gas anestesi. Frekuensi napas disesuaikan dengan target end tidal CO2 (EtCO2) 28–30 mmHg. Gambar 2. Lobus Parietalis 115 Cairan masuk intraoperatif, kristaloid 2500 ml, koloid 1000 ml, manitol 20% 250 ml, Fresh Frozen Plasma (FFP) 300 ml, dan pack red cells (PRC) 500 ml. Cairan keluar intraoperatif, urin 1500 ml dan perdarahan sekitar 2000 ml. Diusahakan balans imbang selama operasi berlangsung. Hemodinamik, saturasi O2 dan end tidal CO2 stabil selama intraoperatif. Operasi berjalan selama 6,5 jam. Tumor berhasil terangkat semua. Pascaoperasi, tidak dilakukan ekstubasi dan rawat di ICU. III. Pembahasan Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, didapatkan pasien wanita, usia 71 tahun dengan keluhan kelemahan anggota gerak kanan dan sulit bicara sejak 2 bulan sebelum masuk rumahsakit. Kesadaran somnolen, E3 M6 V afasia, pupil isokor. Hemodinamik normal, jantung normal, paru tampak gambaran tuberculosis sinistra aktif dan suspek metastase paru, abdomen tidak didapatkan kelainan. Didapatkan hemiparese dextra. Terdapat disfungsi sensorik pada ekstremitas kanan. Fungsi sensoris di ekstremitas kiri normal. Hasil laboratorium dalam batas normal. Hasil MRI 3T dan MRI 3T Head Contrast, didapatkan massa tumor kistik ukuran 5,8 x 4,6 x 5 cm berisi cairan kental dengan mural node menyangat kontras diameter 1,3 x 3 x 2,5 cm pada dinding medial di lobus temporalis kiri disertai perifokal edema disekitarnya. Mendesak dan menekan midbrain, pons, thalamus kiri, ventrikel lateralis kiri dan ventrikel III, dilatasi ventrikel lateralis kanan dan midline shift ke kanan sejauh 1,2 cm. Tampak pula massa tumor padat dengan komponen kistik multiloculated menyangat kontras dan bercak perdarahan didalamnya ukuran 4,3 x 5,1 x 5 cm mencakup lobus parietal kiri dan lobus occipital kiri disertai perifokal edema disekitarnya. Massa tumor tampat mengobliterasi serta meluas ke cornu posterior ventrikel lateralis kiri, sugestif metastasis. Massa tumor tampak mengobliterasi serta meluas ke cornu posterior ventrikel lateralis kiri, sugestif metastasis. Sulci cerebri tampak menyempit. Sisterna ambient, sisterna quadrigemina, sisterna basalis serta fissure Sylvii tampak menyempit. Berdasarkan data 116 Jurnal Neuroanestesi Indonesia yang ada, dapat disimpulkan pasien menderita tumor meningioma parietalis sinistra dengan peningkatan tekanan intrakranial dan edema serebri. Meningioma umumnya terdeteksi pada usia 40–70 tahun. Umumnya lebih banyak dijumpai pada wanita, hal ini diduga karena faktor hormonal estrogen, progesteron dan androgen yang terkait dengan pola menstruasi dan kehamilan.2,3,7-9 Pada kasus ini penderita adalah wanita berusia 71 tahun. Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial dan cenderung mudah berdarah. Tumor ini berasal dari lapisan meningen dan medulla spinalis, tidak tumbuh dari jaringan otak. Umumnya tumbuh ke dalam otak yang menyebabkan tekanan pada otak dan medulla spinalis, tetapi juga dapat tumbuh keluar ke arah tulang tengkorak. Pertumbuhan tumor ini lambat sehingga pasien tidak merasakan gejala klinis yang bersifat akut. Gejala klinis baru terasa saat telah terjadi penekanan yang bermakna yang berlangsung lambat pada otak atau jaringan sekitar akibat desakan tumor.1,2,7 Meningioma pada kasus ini terletak pada lobus parietalis sinistra. Lobus parietalis terletak di upper, posterior kortex cerebri dan memiliki fungsi yang sangat spesifik. Sebagai bagian dari kortex serebri, lobus ini bertanggung jawab untuk memproses rangsang sensorik (raba, rasa, suhu) dalam hitungan detik. Kerusakan lobus parietalis menyebabkan rangsang sensorik (raba, rasa, suhu) menjadi tumpul.4,6-8 Fungsi ini terintegrasi dalam lobus kanan dan lobus kiri. Disfungsi lobus kiri disebut Gerstmann’s Syndrome dengan gejala klinis rightleft confusion, agraphia (kemampuan menulis terganggu), acalculia (kemampuan matematis terganggu), aphasia (gangguan berbicara) dan agnosia (gangguan dalam persepsi visual). Disfungsi lobus kanan, memiliki gejala klinis contralateal neglect (gangguan koordinasi tubuh kontralateral) sehingga kemampuan merawat diri (memakai baju, mandi, dll) terganggu. Gejala klinis lain, constructional apraxia (gangguan dalam membuat sesuatu), anosagnosia atau denial of defisit (menyangkal adanya disfungsi tubuh) dan terganggunya kemampuan menggambar (drawing abilitydysfunction). Disfungsi lobus bilateral menyebabkan Balint’s Syndrome (visual attention and motor syndrome) dengan gejala klinis ocular apraxia (ketidakmampuan mengontrol gerakan bola mata), simultanagnosia (ketidakmampuan mengintegrasi rangsang visual), optic ataxia (ketidakmampuan memperkirakan jangkauan benda secara visual).4,6-8 Didapatkan penurunan kesadaran, aphasia dan penurunan fungsi motorik dan fungsi sensorik kanan pada pasien. Hal ini sesuai dengan letak meningioma. Agraphia, acalculia, agnosia dan right-left confusion tidak dapat dinilai karena adanya aphasia dan faktor usia pasien. Pada kasus ini, tidak didapatkan papil edema, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran. Hal ini diduga karena belum atau tidak terdesaknya area tersebut oleh masa tumor. Adanya kenaikan tekanan intrakranial pada pasien ini ditandai dengan gejala sakit kepala yang hilang timbul dan penurunan kesadaran. Pandangan kabur, papil edema dan depresi nafas tidak didapatkan. Pada CT-scan atau MRI, peningkatan tekanan intrakranial terlihat dengan adanya pergeseran garis tengah ke kanan sekitar 1,2 cm disertai dengan edema perifokal. Peningkatan tekanan intrakranial pada pasien ini, merupakan masalah yang harus diperhatikan saat penatalaksanaan preoperasi, intraoperasi dan pascaoperasi. Preoperatif, telah diberikan terapi infus manitol 20% sebanyak 250 mg dalam waktu 6 jam dan dilanjutkan dengan infus manitol 20% 4 x 125 mg iv, medixon 2 x 125 mg iv. Intraoperasi, penatalaksanaan anestesi yang dilakukan bertujuan menghindari terjadinya hipertensi intrakranial dan pembengkakan otak (brain bulging), melalui tindakan preventif dan treatment, dengan cara memberikan sedasi, analgetik dan ansiolisis yang adekuat dengan midazolam 5 mg iv (dosis tidak melebihi 0,25 mg/kgBB), propofol 2–2,5 mg/kg BB iv, fentanil 1–3 mcg/kgBB, vecuronium 0,1–0,15 mg/kgBB. Lidokain 1–1,5 mg/kgBB diberikan 3 menit sebelum intubasi dilakukan untuk menghindari terjadinya lonjakan hemodimanik saat laringoskopi dan intubasi. Sesaat sebelum dilakukan pemasangan head-pin diberikan fentanil 50 mcg iv dan propofol 20 mg iv, dan saat akan insisi kulit diberikan fentanil 50 mcg iv. Rumatan anestesi digunakan teknik TIVA melalui syringe pump, dengan dosis propofol 4–6 mg/ Total Intravenous Anesthesia pada Geriatri dengan Meningioma Parietalis kg BB/jam, vecuronium 0,06 mg/kg BB/jam, fentanyl 1 mcg/kg BB/jam, dexmedetomidine 0,1 – 0,2 mcg/kg BB/jam. Inhalasi dengan gas O2: air = 1 : 1, tanpa gas anestesi dengan aliran gas segar 1.6 L/menit. Teknik TIVA, yaitu tehnik anestesi umum dengan menggunakan obat anestesi secara intravena yang dilakukan saat induksi maupun rumatan anestesi tanpa menggunakan gas anestesi. Keuntungan TIVA adalah hemodinamik lebih stabil, kedalaman anestesi lebih stabil, lebih dapat diprediksi, pemulihan lebih cepat, mual muntah pascaoperasi menurun, tidak ada polusi di kamar operasi, tidak toksis terhadap organ, tidak iritasi pada jalan nafas, tidak delirium pascabedah, laju jantung lebih rendah, menurunkan tingkat stres hormon, mempertahankan reaktifitas serebrovaskular.1 Obat yang digunakan pada kasus ini adalah propofol, fentanil, dexmedetomidine dan vecuronium. Tindakan lain untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakranial, adalah posisi head-up. Tindakan posisi head-up untuk menurunkan ICP harus dilakukan dengan hatihati, karena MAP lebih menurun daripada ICP saat posisi head-up. Posisi head-up yang dianjurkan 10–20% atau 15–30o. Posisi pasien terlentang dengan kepala miring ke kanan dan dipastikan tidak terdapat penekanan pada vena jugularis. Steroid (medixon) telah diberikan selama perawatan. Kortikosteroid akan mengurangi edema sekeliling tumor otak. Penurunan tekanan intrakranial baru terlihat beberapa jam atau hari pada terapi kortikosteroid. Pemberian kortiosteroid sebelum reseksi tumor sering menimbulkan perbaikan neurologik mendahului pengurangan tekanan intrakranial. Kortikosteroid dapat memperbaiki kerusakan sawar darah otak (blood brain barier /BBB), mengurangi edema otak, dehidrasi otak, mencegah aktivitas lisosom, mempertinggi transport elektrolit serebral, merangsang ekresi air dan elektrolit, menghambat aktivitas fosfolipase A2. Efek pemberian kortikosteroid dalam jangka panjang adalah hiperglikemi, ulkus peptikum, peningkatan kejadian infeksi.10-12 Penurunan tekanan intrakranial yang cepat, dapat dicapai dengan pemberian diuretik. Dua macam diuretik yang umum digunakan yaitu osmotik diuretik (manitol) dan loop diuretik (furosemide). Manitol 117 diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,25–1 gram/kg BB, diberikan secara perlahan selama 10–20 menit. Bekerja dalam waktu 10–15 menit dan efektif kira-kira selama 2 jam. Manitol tidak menembus sawar darah otak yang intact. Manitol akan meningkatkan osmolalitas darah relatif terhadap otak dan menarik air dari otak ke dalam pembuluh darah. Bila sawar darah otak rusak, manitol dapat memasuki otak dan menyebabkan rebound fenomena, yaitu kenaikan tekanan intrakranial sebab ada suatu reversal dari perbedaan osmotik. Manitol dapat menyebabkan vasodilatasi yang tergantung dari besarnya dosis dan kecepatan pemberian. Vasodilatasi akibat manitol dapat menyebabkan peningkatan volume darah otak dan tekanan intrakranial secara selintas yang simultan dengan penurunan tekanan darah sistemik. Penggunaan manitol jangka panjang dapat menyebabkan dehidrasi, gangguan elektrolit, hiperosmolalitas dan gangguan fungsi ginjal. Hal ini terutama bila serum osmolalitas meningkat diatas 320 mOsm/kg.10-12 Furosemide mengurangi tekanan intrakranial dengan menimbulkan diuresis, menurunkan produksi cairan serebrospinal, dan memperbaiki edema serebral dengan memperbaiki transport air seluler. Furosemide menurunkan tekanan intrakranial tanpa meningkatkan volume darah otak atau osmolalitas darah, tetapi tidak seefektif manitol dalam menurunkan tekanan intrakranial. Furosemide dapat diberikan sendiri dengan dosis 0,5–1 mg/ kg BB atau dengan manitol dengan dosis yang lebih rendah 0,15–0,3 mg/kg BB. Kombinasi manitol dan furosemide lebih efektif daripada manitol saja dalam mengurangi brain bulk dan tekanan intrakranial, tetapi lebih menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit, sehingga diperlukan pemantauan serum elektrolit dan osmolalitas dan penggantian kalium bila ada indikasi.10,11 Pola pernafasan diatur sesuaidengan target PaO2 100–200 mmHg dan PaCO2 29–34 mmHg yang setara dengan endtidal CO2 25–30%. Intraoperasi, tidak menggunakan PEEP untuk menghindari terjadinya peningkatan tekanan intratorakal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial intraoperatif. Perdarahan 2000 ml dan urin 1500 ml intraopratif digantikan dengan kristaloid 2500 ml, koloid 1000 ml, FFP 300 ml 118 Jurnal Neuroanestesi Indonesia dan PRC 500 ml. Diusahakan balans imbang selama operasi berlangsung. Operasi berlangsung selama 6,5 jam. Tumor berhasil terangkat semua. Pascabedah, tidak dilakukan ekstubasi dan rawat di ruang ICU. Hari ketiga pascaoperasi, pasien diekstubasi dan pindah keruang perawatan biasa hari keempat pascaoperasi. Pasien dirawat selama 5 hari di ruang perawatan. Hari kesepuluh pascaoperasi, pasien diperbolehkan pulang. Saatpulang, kesadaran composmentis, E4 M6 V2, TD 130/80 mmHg, laju jantung 90 x/menit, laju nafas 12 x/menit, suhu 36,8 oC. IV. Simpulan Teknik rumatan anestesi yang digunakan pada kasus kraniotomi untuk pengangkatan tumor supratentorial ini adalah TIVA murni, tanpa menggunakan zat anestesi inhalasi sama sekali sejak awal sampai akhir proses. Selama proses induksi maupun pengakhiran anestesi telah berhasil dicapai kondisi hemodinamik tanpa gejolak, yang merupakan faktor utama pengendalian tekanan intrakranial. Demikian pula selama proses pembedahan yang berlangsung selama sekitar 6,5 jam dan telah berhasil mengangkat seluruh jaringan tumor, tidak didapatkan gejolak hemodinamik serta kondisi otak yang lembek yang sangat membantu ahli bedah bekerja. Tatakelola anestesi pada kasus ini mampu menunjukkan bahwa teknik rumatan anestesi dengan TIVA yang menggunakan gabungan propofol, fentanyl, vecuronium dan dexmedetomidine secara kontinyu, sangat ideal untuk neuroanestesi pada kasus kraniotomi. Daftar Pustaka 1. Roosiati B, Rahardjo S. Tiva pada kraniotomi pengangkatan meningioma residif. JNI Oktober 2012; 1(4): 269–77 2. Meningioma. American Association of Neurological Surgeons Jurnal, Juni 2012. Vol 122 (5): 1157–62 3. Smith WOHG. Supratentorial masses: anesthetic consideration. Dalam: Anesthesia and Neurosurgery. 4th ed; St Louis, Missourri, Mosby, 297–313 4. Park JK. Meningioma (beyond the basics). Wolters Kluwer Health Journal. Juli 2013, vol 11(4): 593–9 5. Laura J, Martin MD. WebMD Medical Reference. June 22, 2012: 67–69 6. Gonzales N. Meningioma brain tumor. UCLA Neurosurgery Journal, 2013; (4): 1034–104 7. Bruder N, Ravussin P. Supratentorial masses; anesthetic considerations. Dalam: Cottrell and Young’s Neuroanesthesia. 5th ed; ; St Louis, Mosby: 184–91 8. Bisri T. Neurofisiologi. Dalam: Penanganan Neuroanestesia dan Critical Care: Cedera Otak Traumatik. Cetakan 1. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran;2012, 10–12 9. Kaal ECA, Vecht CJ. The Management of brain edema in brain tumors. Current Opinion in Oncology 2004, 593–9 10. Haddad G. Meningioma treatment and management. Medscape Jurnal. May 2013: 175–77 11. Wen P. Meningioma treatment options. Brain science foundation Journal.April 2012: 160–67 12. Morgan GE, Jr, Mikhail MS, Murray MJ. Nonvolatile anesthetic agents. Dalam: Clinical Anesthesiology. 4 th ed: New York: The McGrow Hill Companies; 2006. 192–202. 13. Aboukais R, Zairi F, Le jeune JP, Rhun LE, Vermandel M, Blond S, et al. Grade 2 meningioma and radiosurgery. Journal of Neurosurgery. 2015; 122 (5) : 1157–62 Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika Iwan Abdul Rachman*), Sri Rahardjo**), Siti Chasnak Saleh***) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada–RSUP Dr. Sardjito-Yogyakarta, ***)Departemen Anestesiologi & Reanimasi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD. Dr. Soetomo-Surabaya *) Abstrak Cedera otak traumatika merupakan kasus yang sering ditemukan yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hipertensi intrakranial dan edema serebral adalah manifestasi utama dari cedera otak berat, keduanya dikenal sebagai kontributor utama pada cedera otak sekunder dan memiliki luaran neurologis yang buruk. Tatalaksana pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial dan edema serebral akibat cedera otak traumatika yaitu mengontrol ventilasi, mempertahankan homeostasis otak dan fungsi tubuh, pemberian sedasi, serta terapi hiperosmolar. Manitol dikenal secara luas sebagai terapi utama pada terapi hipertensi intrakranial, namun larutan salin hipertonik dan natrium laktat hipertonik juga merupakan terapi alternatif yang potensial untuk terapi hipertensi intrakranial. Pemberian obat hiperosmolar pada pasien cedera kepala berat bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam daerah interstisial otak akibat efek hiperosmolarnya sehingga terjadi penurunan tekanan intrakranial meskipun terdapat beberapa mekanisme lain yang kemungkinan juga terlibat dalam terjadinya penurunan tekanan intrakranial. Sekarang ini efektivitas cairan hiperosmotik dalam mengurangi edema pada jaringan yang pembuluh darahnya mengalami kerusakan masih dipertanyakan. Bahkan penggunaan obat-obatan tersebut sebagai terapi hiperosmolar diduga malah meningkatkan angka kematian karena dapat memperluas edema sehingga semakin memperburuk peningkatan tekanan intrakranial. Kata kunci: cedera otak traumatika, tekanan intrakranial, terapi hiperosmolar JNI 2015; 4 (2): 119–33 Hyperosmolar Therapy in Traumatic Brain Injury Abstract Traumatic brain injury is a common case and related with high morbidity and mortality. Intracranial hypertension and cerebral edema are the main manifestation from severe brain injury and known as main contributor for secondary brain injury, with detrimental neurological outcome. Management of elevated intracranial pressure and cerebral edema are controlling ventilation, maintaining brain homeostasis as well as body function, sedation, and hyperosmolar fluid therapy. Mannitol has been widely known as the main therapy for intracranial hypertension, showever, hypertonic saline and hypertonic sodium lactate are considered as potential alternative therapy for intracranial hypertension. The provision of hyperosmolar theraphy for severe head injury patients aims to reduce water content in the interstitial of the brain for its hyperosmolar effect that would decrease intracranial pressure, even though there probably other mechanism which involve for the decrease of intracranial pressure. In present day, the effectiveness of hyperosmolar fluid in reducing edema in the damaged tissue with impared blood vessel remains questionable. Moreover, the usage of those medication as hyperosmolar therapy allegedly increases mortality because it could adjuct the edema which would exacerbate extension of edema which exacerbate the increase of intracranial pressure. Key words: traumatic brain injury, intracranial pressure, hyperosmolar therapy JNI 2015; 4 (2): 119–33 119 120 Jurnal Neuroanestesi Indonesia 1. Pendahuluan Hipertensi intrakranial dan edema serebral adalah manifestasi utama cedera otak berat yang dapat diakibatkan bermacam sebab termasuk trauma kepala, stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan subarahnoid akibat pecahnya aneurisma, infeksi, dan neoplasma.1 Secara umum, cedera kepala dibagi menjadi dua periode waktu terpisah yaitu cedera otak primer dan sekunder. Cedera otak primer adalah kerusakan fisik pada parenkim (jaringan dan pembuluh darah) yang terjadi selama peristiwa traumatis, sehingga menyebabkan kompresi jaringan otak di sekitarnya. Cedera otak sekunder merupakan kelanjutan hasil dari cedera otak primer dengan komplikasi utama cedera otak pada jam dan hari berikutnya. Banyak sekali komplikasi cedera otak sekunder,yang dapat memperberat trauma otak dan mengakibatkan cedera otak sekunder yaitu gangguan intrakranial meliputi edema serebral, hematoma, hidrosefalus, hipertensi intrakranial, vasospasme, gangguan metabolik, eksitotoksisitas, toksisitas ion kalsium, infeksi, dan kejang.1-2 Cedera otak primer dan cedera otak sekunder menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, edema serebral, dan peningkatan tekanan intrakranial, ketiga hal tersebut merupakan penentu prognosis seorang pasien dengan cedera kepala berat. Edema serebral dapat diklasifikasikan menjadi edema serebral sitotoksik atau vasogenik. Edema sitotoksik adalah pembengkakan sel yang timbul akibat cedera, umumnya berupa cedera iskemik atau toksik. Edema vasogenik merupakan edema ekstraseluler yang timbul secara sekunder akibat kerusakan kapiler, dan dapat menimbulkan kerusakan sawar darah-otak. Edema sitotoksik terjadi beberapa menit hingga beberapa jam setelah timbul cedera, sedangkan edema vasogenik timbul beberapa jam hingga beberapa hari setelah timbulnya cedera. Jenis edema yang timbul merupakan hal yang penting diketahui dalam menentukan terapi, karena edema sitotoksik lebih resisten terhadap terapi. Hal terpenting dari pegobatan medis termasuk mengontrol ventilasi, osmoterapi, mempertahankan homeostasis otak, fungsi tubuh, dan sedasi. Osmoterapi adalah faktor penting pada penatalaksanaan trauma kepala, perdarahan intraserebral, perdarahan subarahnoid akibat aneurisma, dan strok iskemik. Saat ini sediaan untuk osmoterapi yaitu manitol, larutan salin hipertonik, dan larutan natrium laktat hipertonik. Manitol telah dikenal secara luas sebagai terapi utama pada terapi hipertensi intrakranial, namun larutan salin hipertonik merupakan terapi alternatif yang juga potensial untuk terapi hipertensi intrakranial.1 2. Cedera Kepala 2.1 Insidensi Cedera Kepala Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan disabilitas di seluruh dunia. Frekuensi terjadinya cedera otak traumatika bervariasi tergantung umur, jenis kelamin, faktor geografis dan sosial. Di Amerika Serikat, insidensi terjadinya cedera otak traumatika sebesar 1,7 juta penduduk/tahun, dari jumlah tersebut sebanyak 50.000 penduduk/tahun mengalami kematian, dan sebanyak 5 juta penduduk/tahun mengalami disabilitas akibat cedera kepala.1-4 Cedera kepala umumnya mengenai penderita usia muda (15–19 tahun) dan dewasa tua usia lebih atau sama dengan 65 tahun, dimana angka kejadian pada laki-laki 2 kali lebih sering dibandingkan perempuan. Mekanisme cedera kepala di Amerika Serikat adalah akibat terjatuh (35,2%), kecelakaan kendaraan bermotor (34,1%), perkelahian (10%), dan penyebab lain yang tidak diketahui (21%).1–4 2.2 Menegakkan Diagnosa Cedera Kepala dan Prognosisnya Diagnosa cedera kepala didapatkan dari riwayat trauma, pemeriksaan fisik terdapat jejas trauma, adanya defisit neurologis, tanda vital yang tidak stabil, laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, dan keluarnya cairan serebrospinal dari hidung maupun telinga. Pemeriksaan Computed Tomography (CT) Scan memegang peranan penting untuk menegakkan diagnosa cedera kepala dan juga monitoring kerusakan yang terjadi. Penilaian GCS merupakan indikator yang dapat dipercaya dengan pemeriksaan berulang untuk mengetahui terjadinya perbaikan atau perburukan. Penilaian GCS meliputi kemampuan bicara, membuka mata, dan fungsi motorik. Nilai GCS membagi cedera kepala Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika Tabel 2.1 Hubungan Skor GSC dan Trauma Skor GCS Skor Trauma Kemungkinan Hidup (%) 14-15 = 5 16 99 11-23 = 4 13 93 8-10 = 3 10 60 5-7 = 2 7 15 3-4 = 1 4 2 1 0 Dikutip dari : Shoemaker WC, et.al.2 menjadi kategori berat (GCS 3-8), sedang (GCS 9–12), ringan (GCS 13–14), dan normal (GCS 15) (tabel 2.1). Nilai GCS, ukuran pupil, refleks pupil terhadap cahaya, hipotensi, tekanan intrakranial, gambaran CT-scan, dan usia dapat menjadi penentu prognosis suatu cedera kepala.1-2 2.3 Penatalaksanaan Cedera Kepala Penatalaksaan awal yaitu berdasarkan protokol Advanced Trauma Life Support, setelah stabil tatalaksana definitif dan monitoring harus segera dilakukan berdasarkan panduan Brain Trauma Foundation (BTF). BTF Guideline 2007 memberikan panduan pengelolaan cedera kepala berat, salah satunya yaitu terapi hiperosmolar. Dikatakan bahwa terapi cairan hiperosmolar yang digunakan yaitu manitol, efektif mengontrol peningkatan tekanan intrakranial dengan dosis 0,25–1 gr/kgBB. 3. Hipertensi Intrakranial Mekanisme Hipertensi Intrakranial Kranium merupakan struktur yang keras, yang tidak dapat berekspansi. Penambahan volume otak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial. Ekspansi salah satu komponen intrakranial seperti otak, darah intravaskular, dan cairan serebrospinal intrakranial akan disertai pengurangan komponen lainnya (hipotesa Monro-Kellie).1-2 Mekanisme kompensasi yang terjadi dengan terdapatnya peningkatan volume otak, cairan serebrospinal akan didorong dari rongga subarahnoid dan ventrikel lateral ke rongga subarahnoid spinal. Namun, pada titik tertentu dimana mekanisme kompensasi sudah tidak 121 dapat melakukan fungsinya lagi, maka pembuluh darah akan ditekan dan aliran darah serebral akan berkurang. Jika tekanan intrakranial mencapai 50–60 mmHg, maka akan mengenai arteri di sirkulus Willis dan terjadi iskemik otak secara global, yang berakhir dengan kematian otak.1-3 Penatalaksanaan Hipertensi Intrakranial Penatalaksanaan yang harus segera dilakukan yaitu menurunkan tekanan intrakranial (Intracranial Pressure/ICP) dan mengoptimalkan tekanan perfusi serebral (Cerebral Perfusion Pressure/CPP). CPP adalah selisih mean arterial pressure (MAP) dan ICP (CPP = MAP – ICP). Nilai ICP harus <20 mmHg, dan target CPP 50– 70 mmHg. Dalam keadaan normal aliran darah serebral diatur oleh autoregulasi, namun pada keadaan cedera kepala, autoregulasi terganggu, sehingga berisiko terjadi iskemik serebral bila terjadi hipotensi.1-3 Jika nilai ICP >20 mmHg dan CPP <50 mmHg, maka pasien akan memperoleh hasil akhir yang buruk karena terjadi iskemia otak. Pasien harus segera diterapi dengan cairan intravena dan kemungkinan pemberian vasopresor seperti halnya pada kondisi hipovolemik. Hasil akhir resusitasi cairan tersebut yaitu suatu keadaan euvolemik. Tidak disarankan untuk meningkatkan CPP >70 mmHg dengan cairan intravena atau vasopresor. Pada suatu penelitian uji klinik, tindakan tersebut tidak mengakibatkan perbaikan hasil akhir dan berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS). Sebaliknya, pasien yang tidak diberikan vasopresor dengan nilai CPP > 70mmHg setelah resusitasi tidak memerlukan terapi antihipertensi untuk menurunkan CPP kecuali jika tekanan darah terlalu tinggi (>180/100mmHg) sehingga berbahaya atau meningkatkan efek samping lainnya (gangguan fungsi neurologis, meningkatnya ICP). 4. Fisiologi Cairan Jaringan Otak Pertukaran cairan mikrovaskular di dalam jaringan otak Pertukaran cairan melewati kapiler serebral didasarkan pada ikatan kuat interendotelial. Faktor lainnya yaitu ukuran dan kemampuan suatu cairan dan komposisi glikokaliks endotel. Semua 122 Jurnal Neuroanestesi Indonesia hal tersebut membentuk suatu membran kapiler semipermeabel kompleks, yang merupakan bagian dari fungsi sawar darah otak (blood–brain barrier). Kapiler membran serebral memiliki permeabilitas yang terbatas, bukan hanya untuk protein tetapi untuk larutan yang kecil tidak dapat digunakan. Untuk menggambarkan aliran volume cairan (volume flow/Jv) melewati lapisan mikrovaskular serebral adalah : Jv = LpS [ΔP – Δ∏p – ∑σsΔ∏s] Jv= aliran volume cairan LpS = konduksi hidrolik ΔP = tekanan hidrostatik transkapiler Δ∏p= efektifitas tekanan osmotik koloid untuk protein ∑σs= koefisien refleksi suatu cairan Δ∏s = tekanan osmotik transkapiler untuk larutan kecil Gambar 2.2 Skema Aliran Cairan pada Blood Brain Barier.3 Lp menunjukkan permeabilitas spesifik komponen air, S (surface) adalah area permukaan yang tersedia untuk proses pertukaran cairan, dan LpS adalah konduksi hidrolik yang menggambarkan kapasitas total dalam pertukaran cairan tersebut, termasuk jumlah kapiler di dalam jaringan. DP adalah tekanan hidrostatik transkapiler, DPp adalah efektivitas tekanan osmotik koloid untuk protein, dimana koefisien refleksi protein adalah 1. DPs adalah tekanan osmotik transkapiler untuk laurtan yang kecil, sedangkan rs adalah koefisien refleksi suatu cairan. Ion sodium dan klorida memiliki kemampuan larut dalam lipid yang rendah, permukaan yang tersedia untuk filtrasi (S) tidak berbeda dengan permukaan yang tersedia untuk difusi, dimana lebih mudah untuk membedakannya. bahwa air akan memasuki sawar darah otak dari berbagai arah dan akibatnya terjadi kekurangan yang memicu terjadinya dilusi. Meskipun dilusi hanya terjadi sedikit pada kompartemen interstisial, akan menyebabkan penurunan tekanan osmotik yang melewati membran, dan jika dilusi terjadi hingga 5600 mmHg maka akan menginduksi terjadinya efek pembatasan filtrasi. Hal tersebut berarti jika terjadi reduksi minimal sekalipun, koefisien refleksi sodium dan klorida akan mengganggu regulasi volume normal otak dan menginduksi terjadi serebral edema diikuti ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik.1,2 Gambar di atas memberikan gambaran skema mengenai kebocoran protein melewati dinding kapiler pada jaringan otak dan otot yang normal dibandingkan dengan kondisi dimana ada peningkatan permeabilitas pada organ tersebut. Pengendalian Cairan pada Otak Normal Efektivitas tekanan osmotik suatu cairan yang melewati sawar darah otak ditentukan oleh perbedaan tekanan osmotik. Ion sodium dan klorida adalah ion yang mendominasi cairan dari osmolaritas ekstraseluler. Dalam kondisi normal, koefisien refleksi dalam kapiler otak adalah 1.0, dibandingkan bagian tubuh lainnya dimana koefisien refleksi sangat rendah mendekati 0. Kenyataan bahwa refleksi koefisien untuk larutan yang kecil seperti ion sodium dan klorida yang mendekati 1,0 pada otak normal menyatakan Pergerakan Cairan antar Kapiler Otak dan Jaringan Otak Persamaan Starling secara akurat menggambaran pergerakan cairan antara intravascular dengan jaringan perifer intertistial (misalnya jaringan intertistial antara paru, usus atau otot). Namun otak dan saraf tulang belakang tidak seperti jaringan lain terisolasi dari kompartemen intravaskuler dengan adanya sawar darah otak sehingga pada kapiler otak untuk kebanyakan cairan mendekati 1.0. Secara morfologis pembatas ini diketahui berasal dari jaringan endotel yang membentuk Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika jaringan kapiler pada otak dan sumsum. Ukuran dari sawar ini sangat kecil yakni 7–9Å sehingga sangat membatasi pergerakan protein namun juga membatasi pergerakan natrium, kalium dan klorida antar ruang. Efeknya dapat dikatakan bahwa sawar ini bersifat seperti membran yang tidak dapat ditembus. Secara perbandingan, endotel pada sistem vaskuler biasa mempunyai pori-pori yang sangat besar sekitar 1000 kali lebih besar sehingga pergerakan air, elektrolit dan protein bisa lebih mudah meskipun pergerakan protein lebih sulit karena dikendalikan oleh beberapa faktor lain. Secara kontras di otak, pergerakan cairan sangat ditentukan oleh gradient osmolaritas antara plasma dan intertistium. Perbedaan inilah yang menjelaskan mengapa pemberian cairan isoosmolar kristaloid dalam jumlah besar akan menyebabkan edema perifer akibat dilusi protein plasma namun pada otak tidak akan meningkatkan ICP karena pergerakan cairan tetap akan rendah di otak.3 Efek pada Penatalaksanaan Pasien Osmolaritas merupakan faktor penentu utama pergerakan cairan yang dapat menyebabkan peningkatan ICP dan pembengkakan otak. Secara kontras, cairan hiperosmolar pada jaringan otak yang mengalami cedera dengan gangguan sawar ternyata menyebabkan pergerakan air keluar dari jaringan otak. Efek dehidrasi ini dapat bermakna pada edema otak. Pada otak yang dibekukan, pemberian cairan hipertonik menurunkan ICP namun tidak mengurangi jumlah air dalam otak yang cedera. Kemungkinan karena mekanisme ini bekerja pada jaringan otak normal di sekitar lesi.4 5. Terapi Hiperosmolar Larutan hipertonik yang secara klinis paling sering digunakan adalah manitol, urea, dan hipertonik salin, dimana manitol dan urea paling sering digunakan untuk mengurangi edema otak, sedangkan natrium laktat hipertonik salin digunakan baik untuk mengurangi edema otak dan untuk memperbesar volume plasma. Larutan hipertonik yang baru adalah natrium laktat hipertonik. Urea adalah zat endogen yang diproduksi dalam sel metabolik yang aktif 123 dan biasanya menembus membran sel melalui proses difusi. Manitol juga terbukti menembus membran sel. Hal ini berarti bahwa efek plasmaexpanding urea dan manitol tidak bertahan lama dan tidak dapat digunakan untuk meningkatkan volume plasma yang turun. Lebih lanjut mengenai kemungkinan peningkatan volume akibat efek rebound transien akibat akumulasi manitol di intraselular seperti yang ditunjukkan dalam penelitian pada sel glial dan otot rangka kucing. Situasinya mungkin berbeda untuk salin hipertonik karena efek pompa natrium dalam membran sel akan mencegah akumulasi natrium dan klorida intraseluler. Efek absorbsi hipertonik salin dapat diperkirakan lebih tahan lama dibandingkan manitol dan urea, dengan risiko lebih kecil untuk terjadinya efek rebound.1-4 Di otak, manitol dan hipertonik salin menimbulkan perbedaan osmolaritas untuk memindahkan cairan menembus membran kapiler serebral dimana sawar darah otak (blood brain barrier/ BBB) membatasi permeabilitas zat ini. Ini berarti bahwa akan ada pengurangan volume ruang interstitial, tetapi juga dari ruang intraseluler akibat peningkatan sekunder dari osmolalitas interstitial. Urea perlahan menembus kapiler otak serta membran sel otak karena itu kurang efektif dalam mengurangi volume otak dibandingkan manitol dan hipertonik salin. Setelah cedera otak, keadaan tergantung pada keparahan gangguan pada BBB, berkaitan dengan kesulitan penetrasi molekul larutan hipertonik melewati membran kapiler otak. Semakin terbuka BBB bagi zat terlarut yang kecil, semakin sedikit cairan akan diserap melewati membran kapiler, dan penyerapan cairan akan lebih banyak berasal dari ruang intraseluler. Jika pembukaan BBB makin signifikan, tekanan akan sama di seluruh tubuh dengan ekspansi volume interstitial dan intravascular setelah diberikan infus larutan hipertonik. Fisiologis obat-obat osmotik dan mekanisme kerjanya Di dalam tubuh, pemberian larutan hipertonik intravena akan membentuk suatu ketidakseimbangan tekanan osmotik antara kompartemen intraseluler dan ekstraseluler keduanya dipisahkan oleh membran sel. 124 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Kompartemen ekstraseluler oleh endotel kapiler dibagi menjadi kompartemen intravaskuler dan kompartemen interstisial. Di dalam otak, air bergerak terbatas melewati endotel kapiler karena adanya sawar darah otak. Tekanan hidrostatik dan tekanan osmosis kapiler bekerja berlawanan arah pada dinding kapiler. Tekanan hidrostatik berkerja menekan cairan keluar dari kapiler, sedangkan tekanan osmosis berfungsi menarik cairan kedalam endotel. Efektivitas osmolaritas suatu cairan tergantung pada gradien osmotik yang terbentuk dan koefisien osmotik membran terhadap cairan. Reseptor aquaporin memegang peranan yang sangat penting pada konduktivitas hidrolik (dimana air dapat melewati membran) melewati sawar darah otak. Akibatnya, transpor cairan yang melewati aquaporin tergantung pada gradien konsentrasi cairan tersebut dan merubah permeabilitas reseptor. Koefisien refleksi (reflection coefficient/σ) suatu substansi menunjukkan tingkat kesulitan substansi tersebut untuk secara pasif melewati dinding mikrovaskular. Agen-agen Hiperosmolar Terapi hisperosmolar dengan pemberian secara bolus atau infus. Agen hiperosmolar yang sering digunakan untuk cedera kepala berat adalah manitol dan cairan NaCl hipertonik. Berdasarkan rekomendasi The Brain Trauma Foundation terapi utama hipertensi intrakranial adalah manitol, namun NaCl hipertonik merupakan alternatif yang potensial untuk digunakan.1-4 5.1 Manitol Manitol merupakan suatu derivat alkohol dari gula manosa yang pertamakali ditemukan pada tahun 1961, dan sering diberikan sebagai salah satu pilihan terapi cedera kepala berat dengan peningkatan tekanan intrakranial. Manitol digunakan untuk mengendalikan peningkatan tekanan intrakranial dengan dua keadaan. Penggunaan manitol pada keadaan yang pertama yaitu dengan pemberian dosis tunggal bertujuan memberikan efek jangka pendek sehingga dapat dilakukan prosedur diagnostik (CT-scan) dan intervensi (evakuasi masa lesi intrakranial). Pada keadaan kedua manitol digunakan sebagai terapi jangka panjang kasus peningkatan tekanan intrakranial. Meskipun demikian belum cukup bukti yang mendukung pemberian manitol secara rutin dan berulang hingga beberapa hari. Meskipun terdapat data mengenai mekanisme kerja dasar dari manitol namun hanya beberapa penelitian pada manusia yang dapat memberikan validasi terhadap pemberian manitol dengan regimen yang beragam.5-7 Mekanisme Kerja Manitol Manitol dapat menurunkan tekanan intrakranial melalui dua mekanisme. Manitol secara cepat menurunkan tekanan intrakranial dengan mengurangi viskositas darah dan mengurangi diameter pembuluh darah. Hal tersebut terjadi sebagai kompensasi fungsi autoregulasi cerebral blood flow (CBF). Kadar CBF dipertahankan melalui refleks vasokonstriksi, akibatnya terjadi penurunan volume darah serebral dan penurunan tekanan intrakranial. Pemberian manitol juga mengurangi tekanan intrakranial melalui mekanisme osmotik, yang terjadi lebih lambat (15–30 menit), berhubungan dengan pergerakan gradual kandungan air dari parenkim ke sirkulasi darah. Efek manitol tersebut bertahan hingga 6 jam dan memerlukan sawar darah-otak yang intak. Manitol dapat berakumulasi di daerah otak yang mengalami trauma, dimana terjadi gangguan osmotik dan cairan bergerak dari kompartemen intravaskular ke parenkim otak, yang kemungkinan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial. Berbagai penelitian yang dilakukan pada manusia dan hewan diketahui bahwa pemberian manitol memberikan efek menguntungkan terhadap kondisi peningkatan tekanan intrakranial, CPP, CBF, dan metabolisme otak. Manitol juga memberikan efek jangka pendek yang menguntungkan terhadap kondisi neurologis. Meskipun demikian masih belum diketahui mekanisme pasti bagaimana efek menguntungkan tersebut tercapai dan kemungkinan efek utama manitol terhadap otak yaitu menyebabkan peningkatan volume plasma secara cepat sehingga viskositas darah menurun, CBF meningkat, perfusi mikrosirkulasi meningkat, dan terjadi peningkatan penghantaran oksigen ke otak. Peningkatan volume plasma tersebut akan menyebabkan peningkatan volume darah sistemik, sehingga terjadi peningkatan Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika cardiac output dan tekanan darah, hal tersebut kemudian diikuti dengan timbulnya efek diuretik yang kuat yang dapat menyebabkan terjadinya hipovolemia. Berdasarkan suatu penelitian manitol diketahui menyebabkan peningkatan tekanan perfusi serebral sebanyak 18% dan penurunan tekanan intraserebral sebanyak 21% tanpa mempengaruhi tekanan darah arteri. Pada penelitian tersebut flow velocity pada arteri serebral medial meningkat sebesar 15,6%. Efek osmotik manitol mulai timbul pada menit ke 15 sampai dengan ke 30, dimana pada jeda waktu tersebut terbentuk gradien antara plasma dan sel, efek tersebut bertahan selama periode yang bervariasi antara 90 menit hingga 6 jam atau lebih tergantung pada kondisi klinis.6-7 Dosis dan Sediaan Manitol Manitol dapat digunakan dalam bentuk infus kontinyu atau secara bolus berulang. Pemberian secara bolus lebih efektif dibanding infus kontinyu. Dosis manitol yang diperlukan sehingga terjadi peningkatan CBF dan penurunan tekanan intrakranial umumnya sekitar 0,5–1g/ kg berat badan. Meskipun demikian, seringkali dosis kurang dari dosis anjuran tersebut sudah cukup untuk menyebabkan perbaikan. Pada pasien dewasa, 100ml larutan yang mengandung manitol 20g sebanyak 20% umumnya cukup untuk menimbulkan efek terapi. Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian manitol secara bolus adalah 0,25–1g/kg berat badan. Saat ini, manitol tersedia dalam bentuk larutan 5%, 10%, 15%, dan 20%. Bentuk sediaan yang paling sering digunakan adalah 15% dan 20%. Larutan manitol 15% memiliki osmolaritas 940 mOsm/L.6-7 Efek Samping Manitol Timbulnya hiperosmolaritas yang hanya terjadi pada “otak normal” dengan sawar darah otak yang masih utuh, dikhawatirkan dapat menyebabkan peningkatan volume otak pada daerah di sekitar jaringan yang rusak. Hal tersebut lebih jauhnya akan menyebabkan timbulnya peningkatan tekanan osmotik pada daerah otak yang rusak, sehingga terjadi peningkatan kadar air dalam otak, volume otak kembali tinggi, dan terjadi 125 rebound berupa peningkatan tekanan intrakranial. Pada suatu penelitian meta-analisis diketahui bahwa pada pemberian manitol rebound effect tersebut dapat terjadi. Manitol yang diekskresikan melalui membran gromelorus tanpa diubah dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal yang diduga berhubungan dengan tingginya osmolaritas pada tubulus, sehingga terjadi nekrosis tubuler akut. Pada suatu penelitian didapatkan bahwa manitol merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya gagal ginjal akut pada pasien cedera kepala berat dalam terapi. Hipotensi arteri, sepsis, obat nefrotoksik, atau adanya penyakit ginjal sebelumnya dapat meningkatkan risiko pasien mengalami gagal ginjal akibat terapi hiperosmotik.1 Setelah pemberian manitol dapat timbul penurunan volume cairan intravaskular yang berlebihan dan gagal ginjal sehingga apabila terdapat kekhawatiran terjadinya hal tersebut maka dapat dipilih NaCl hipertonik sebagai pilihan terapi alternatif.6-7 Pemberian manitol dapat menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit berupa hiponatremia dan hipokalemia, yang kemudian diikuti hiponatremia akibat efek diuretik kuat yang ditimbulkan.6-7 Berbagai Penelitian mengenai Pemakaian Manitol Berdasarkan penelitian terbaru tidak terdapat perbedaan efektivitas antara pemberian manitol secara bolus intermiten dengan infus kontinyu. Pada penelitian terbaru yang membandingkan efek manitol dengan barbiturat untuk mengendalikan tekanan intrakranial yang tinggi akibat cedera kepala diketahui bahwa manitol lebih baik dibanding barbiturat dalam mengendalikan tekanan CPP, tekanan intraserebral, dan menurunkan angka kematian. Pada penelitian yang membandingkan penggunaan manitol dengan NaCl hipertonik didapatkan manitol memiliki efek yang lebih rendah dalam mencegah mortalitas. Suatu penelitian yang membandingkan manitol terhadap obat lain yang menurunkan tekanan intrakranial dan membandingkan manitol dengan plasebo. Kriteria inklusi yaitu penderita yang mengalami trauma kepala dengan GCS ≤ 11 yang diberikan manitol 20% sebanyak 15 ml/ kg selama 5 menit atau plasebo (larutan saline 0,9%) dalam jumlah yang sama. Pada penelitian 126 Jurnal Neuroanestesi Indonesia tersebut nilai RR untuk terjadinya kematian yaitu 1.75% (CI 95% 0.48–6.38). Penelitian yang dilakukan untuk membandingkan fenobarbital pada pasien trauma kepala dengan GCS <8 dan terjadi peningkatan tekanan intrakranial selama lebih dari 15 menit. Kelompok yang diberikan manitol menerima dosis awal sebanyak 1gram/ kg untuk mempertahankan tekanan intrakranial kurang dari 20. Kelompok yang diberikan pentobarbital diberikan dosis awal 10 mg/ kg intravena, dilanjutkan 0,5–3 mg/kg /jam infus, didapatkan CPP tetap di atas 50. Dosis tambahan diberikan bila tekanan intrakranial diatas 20. Kelompok yang diberikan manitol menunjukkan hasil yang lebih baik dimana nilai RR untuk terjadi kematian 0,85 meskipun secara statistik tidak signifikan. Pada penelitian yang membandingkan efek hiperventilasi, manitol dan drainase ventrikulostomi, manitol diberikan 25 gram selama 5 menit. Ditemukan hasil bahwa drainase ventrikular dan pemberian manitol memberikan efek yang sama dalam menurunkan tekanan intrakranial. Saturasi oksigen rata-rata pada pembuluh darah jugular meningkat 2.5 ± 0.7% dengan pemberian manitol, sedangkan pada drainase ventrikular tidak ditemukan perubahan, sedangkan hiperventilasi hanya memberikan penurunan yang minimal. Penelitian ini menyatakan bahwa hiperventilasi, manitol dan drainase ventrikulostomi menurunkan tekanan intrakranial, namun hanya manitol yang secara signifikan meningkatkan SJV02 dan CBF. Penelitian serupa juga pernah dilakukan, dimana didapatkan hasil efek terapi hiperosmolar lebih konsisten dan bertahan lebih lama dibandingkan efek hiperventilasi. Beberapa penelitian eksperimental menemukan bahwa larutan salin hipertonik sebanding dengan manitol dalam menurunkan tekanan intrakranial. Penelitian yang membandingkan pemberian salin 7,5% sebanyak 250 ml dengn manitol 20% sebanyak 250 ml pada hewan coba domba, keduanya didapatkan hasil yang sama dalam menurunkan tekanan intrakranial. Penelitian serupa dilakukan pada kasus trauma kepala berat. Kedua agen hiperosmolar tersebut diberikan dengan dosis 2 ml/kg untuk menurunkan tekanan intrakranial <25mmHg. Penelitian lain didapatkan bahwa manitol lebih baik menurunkan angka kejadian mortalitas. Penenlitian yang membandingkan penggunaan salin 23,4% sebanyak 30ml dan didapatkan hasil bahwa larutan salin tersebut memiliki efektivitas yang sama seperti penggunaan manitol 20% sebanyak 220ml pada penderita dengan hipertensi intrakranial refraktorik. Terdapat penelitian RCT yang membandingkan manitol dengan larutan salin hipertonik pada 20 pasien dengan tekanan intrakranial >20 mmHg setelah sebelumnya mengalami trauma kepala. Setelah 60 menit pemberian melalui infus, tekanan intrakranial berkurang menjadi 14 mmHg pada kelompok dengan pemberian manitol dan 10 mmHg pada kelompok salin hipertonik. Penelitian lain menemukan bahwa larutan salin hipertonik lebih efektif dalam menurunkan tekanan intrakranial jika manitol tidak berhasil menurunkan tekanan intrakranial.7-8 5.2 NaCl Hipertonik Berbagai penelitian klinis menunjukkan bahwa penurunan tekanan intrakranial juga dapat dicapai melalui pemberian NaCl hipertonik. Penggunaan NaCl hipertonik untuk mengendalikan tekanan intrakranial pertama kali dilakukan pada penelitian mengenai resusitasi hipovolume. Pada penelitian tersebut cairan NaCl hipertonik diberikan pada pasien multitrauma dengan syok perdarahan. Subgrup yang disertai cedera kepala berat mendapatkan keuntungan yang paling besar dengan pemberian NaCl hipertonik. Hal tersebut ditandai dengan parameter hemodinamik secara efektif dapat dipulihkan dan pasien dapat bertahan hidup. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa NaCl hipertonik dapat memberikan keuntungan pada pasien cedera kepala berat dan menjaga atau bahkan memulihkan parameter hemodinamik, memicu untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut.9 Mekanisme Kerja NaCl Hipertonik Pada otak dengan sawar darah-otak yang utuh, sangat sedikit natrium yang dapat melewati sawar darah-otak, sehingga apabila kadar natrium dalam pembuluh darah tinggi, maka cairan interstisial pada otak akan tertarik ke pembuluh darah.5 Efek prinsip dari mekanisme kerja NaCl hipertonik kemungkinan karena mobilisasi osmotik air Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika melewati sawar darah-otak yang utuh sehingga mengurangi kandungan air pada serebral. Pada penelitian terhadap penggunaan NaCl hipertonik pada hewan diketahui bahwa terjadi penurunan kadar air terutama pada jaringan otak yang tidak terkena trauma, akibat efek osmotik yang timbul setelah sebelumnya terbentuk gradien antara sawar darah-otak, meskipun hasil penelitian tersebut tidak dapat dijadikan sebagai bukti pendukung. Mekanisme lain dari NaCl hipertonik yaitu diduga menurunkan viskositas darah, sehingga terjadi peningkatan CBF dan oksigenasi serebral, dan terjadi vasokonstriksi autoregulasi yang menyebabkan penurunan tekanan intrakranial.8-9 Efek NaCl terhadap mikrosirkulasi juga memiliki peran penting yaitu menyebabkan sel endotel dan eritrosit mengalami dehidrasi sehingga terjadi peningkatan diameter pembuluh darah dan deformabilitas eritrosit, dan pada akhirnya terjadi peningkatan volume plasma disertai perbaikan aliran darah. Meskipun mekanisme pastinya belum diketahui, namun NaCl hipertonik diketahui memiliki efek pelumpuh otot terhadap otot polos sel endotel yang menyebabkan dilatasi arteri. NaCl hipertonik juga diduga memiliki efek imunomodulator yaitu mengurangi migrasi dan adhesi leukosit ke jaringan otak yang mengalami trauma, dan mengurangi ekspresi CD11b pada leukosit dan neutrofil. Selain itu, NaCl hipertonik juga menurunkan kadar sitokin pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), dan meningkatkan kadar sitokin anti-inflamasi, sehingga menyeimbangkan respons inflamasi dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Dosis dan Sediaan NaCl Hipertonik Konsentrasi dan volume NaCl hipertonik yang digunakan sangat bervariasi secara signifikan, dari konsentrasi 1,5% hingga 23%, dan volume 10 hingga 30ml/kg berat badan. Saat ini, bentuk sediaan yang paling sering digunakan adalah larutan 7,2% yang diberikan secara bolus dalam volume rendah. Selain itu, larutan 3% juga dapat direkomendasikan untuk diberikan secara kontinyu dan dikatakan memiliki efek samping yang lebih rendah. Larutan 7,2% memiliki osmolaritas 2280 mOsm/L sedangkan larutan 3% memiliki osmolaritas 950 mOsm/L. Berdasarkan 127 hal tersebut maka larutan manitol 15% memiliki nilai osmolaritas setara larutan NaCl hipertonik 3%. Cara Pemberian NaCl Hipertonik NaCl hipertonik telah menjadi agen resusitasi yang dapat diberikan secara bolus maupun secara infus kontinyu. Pemberian NaCl Hipertonik Secara Infus Kontinyu Pemberian NaCl hipertonik pada cedera kepala berat bertujuan juga antara lain untuk mengobati hiponatremia yang terjadi atau untuk menciptakan kondisi hipernatremia.3 Penelitian yang dilakukan pada 34 pasien dewasa dengan GCS 13 atau kurang akibat cedera kepala. Pasien tersebut dibagi ke dalam dua kelompok. Pada kelompok NaCl hipertonik diberikan 1,6% NaCl yang tertitrasi untuk mengobati instabilitasi hemodinamik dengan tekanan darah sistolik <90mmHg pada periode prehospital dan inhospital hingga maksimal 5 hari dan sebagai terapi rumatan diberikan NaCl normal. Pada kelompok lainnya diberikan larutan Ringer Lactate sebagai terapi instabilitas hemodinamik, dan NaCl setengah dari kadar normal sebagai terapi rumatan. Hasil dari penelitian tersebut tidak ditemukan perbedaan perjalanan penurunan tekanan intrakranial antara pada kedua kelompok tersebut. Pada anakanak telah banyak dilakukan penelitian untuk mengetahui efek pemberian NaCl hipertonik. Dosis efektif pada anak yaitu pada rentang 0,1 hingga 1,0 mL/kgBB/jam. Pemilihan manitol atau NaCl hipertonik sebagai agen perosmolar lini pertama diserahkan pada dokter yang mengobatinya. Pada panduan penatalaksanaan cairan pada anak dengan peningkatan tekanan intrakranial, direkomendasikan pemberian infus kontinyu larutan NaCl 3% untuk mengendalikan peningkatan tekanan intrakranial. Pemberian NaCl Hipertonik Secara Bolus Pemberian bolus untuk pengobatan hipertensi intrakranial pada 4 serial kasus telah dipublikasikan untuk mengevaluasi pemberian infus bolus NaCl hipertonis antrara 7,2 hingga 10% pada pasien yang mengalami TBI. Dari total 34 pasien yang turut serta dalam penelitian 128 Jurnal Neuroanestesi Indonesia didapatkan bahwa pemberian infus bolus NaCl hipertonik dapat menurunkan secara signnifikan tekanan intrakranial pada seluruh pasien penelitian tersebut. NaCl hipertonik efektif menurunkan tekanan intrakranial pada pasien yang refrakter terhadap manitol. Enam dari tujuh penelitian RCT mendukung penggunaan NaCl hipertonik secara bolus sebagai terapi peningkatan tekanan intrakranial, dan tidak terdapat penelitian yang memberikan hasil buruk dibanding terapi lain pada pemberian NaCl hipertonik secara bolus. Pengukuran efek terapi hiperosmolar dapat diukur melalui osmolaritas serum. Target osmolaritas serum yaitu 300–320 mOsm/liter. Osmolaritas dapat dihitung berdasarkan kadar sodium (mOsm/ liter), glukosa (mg/dl), dan blood urea nitrogen (mg/dl), berdasarkan rumus osmolaritas yaitu (2 × sodium) + (glukosa ÷ 18) + (blood urea nitrogen ÷ 3). Efek pemberian manitol atau larutan salin hipertonik dapat juga diketahui dengan menilai kadar sodium dalam serum, dimana nilai yang diharapkan yaitu antara 145–150 mmol/liter.8 Efek Samping NaCl Hipertonik Rebound phenomenon yang terjadi pada penggunaan manitol juga dilaporkan terjadi pada pemberian NaCl 3% pada edema tanpa trauma, namun fenomena tersebut belum pernah dilaporkan pada pemberiannya untuk cedera kepala berat bahkan pada pemberian berulang.2 Pada sebuah penelitian diketahui bahwa kejadian rebound relatif lebih jarang dengan durasi yang lebih pendek pada pasien yang diberikan NaCl hipertonik dibandingkan pada pasien yang diberikan manitol.9,10 Salah satu efek samping yang paling buruk dan mungkin terjadi pada pemberian NaCl hipertonik adalah central pontine myelinolysis atau osmotic demyelination syndrome, yang melibatkan destruksi mielin terutama pada pons dengan gambaran klinis letargi dan quadraparesis. Infus menggunakan NaCl hipertonik berisiko menyebabkan central pontine myelinolysis apabila diberikan pada pasien dengan riwayat hipernatremia kronis sebelumnya. Pada pasien anak hipernatremia dan hiperosmolaritas yang terjadi secara umum dapat ditoleransi dengan baik selama tidak terdapat kondisi lain yang memberatkan, seperti misalnya hipovolemia yang kemudian dapat menyebabkan gagal ginjal akut.2,9,10 Terapi hiperosmosis dapat menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit, dan hal ini pada pemberian NaCl hipertonik berupa peningkatan kadar natrium dan klorida diatas normal hingga terjadi hipernatremia dan asidosis hiperkloremik. Selain itu, sejumlah besar kalium juga terbuang melalui ginjal sehingga terjadi hipokalemia. Plebitis dan kerusakan jaringan sekitar daerah pemasangan infus larutan hiperosmolar dapat terjadi apabila lokasinya di daerah vena perifer. Larutan NaCl 2% atau lebih harus diberikan melalui kateter vena sentral.4, 9,10 Perbandingan Pemberian Manitol dengan NaCl Hipertonik Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk membandingkan penggunaan manitol dengan NaCl hipertonik yang memberikan hasil bervariasi. Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa NaCl hipertonik memberikan efek mengendalikan tekanan intrakranial yang lebih baik dibanding manitol. Pada beberapa penelitian didapatkan hasil berupa penurunan tekanan intrakranial yang lebih baik pada beberapa menit hingga jam pertama setelah pemberian NaCl hipertonik dibanding manitol. Meskipun demikian, pada beberapa penelitian lainnya tidak didapatkan perbedaan antara efek pemberian NaCl hipertonik dengan manitol. Baik pada pemberian manitol maupun NaCl hipertonik, tidak didapatkan risiko hipotensi yang signifikan. Berikut hasil beberapa penelitian mengenai perbandingan efek pemberian manitol dengan NaCl hipertonik pada peningkatan tekanan intrakranial akibat cedera kepala.9-10 Pro Kontra Pemakaian Terapi Hiperosmolar pada Cedera Kepala Pada suatu penelitian didapatkan bahwa pasien yang mendapatkan terapi hiperosmolar memiliki luaran yang lebih buruk dibanding kontrol pada bulan ketiga. Hal tersebut disimpulkan setelah sebelumnya kemungkinan adanya variabel lain yang dapat mengacaukan hasil penelitian disingkirkan. Beberapa alasan terjadinya hal tersebut adalah pertama patofisiologi dari penyebab edema cerebral. Pada cedera kepala edema cerebral yang terjadi sebagian besar adalah edema sitotoksik yang resisten terhadap Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika 129 Tabel 1. Berbagai Penelitian mengenai Perbandingan Efek Pemberian Manitol dengan NaCl Hipertonik pada Peningkatan Tekanan Intrakranial Akibat Cedera Kepala Peneliti dan Tahun Penelitian Ichal dkk. 2009 Francony dkk. 2009 Harutjunyan dkk. 2005 Vialet dkk. 2003 Yildizdas dkk. 2006 Design Penelitian RCT Jumlah Pasien Perubahan Neurologis/ Mortalitas 34 Skor GOS lebih baik pada kelompok NaCl hipertonis RCT 20 Tidak spesifik RCT 32 Angka survival 59% pada kelompok NaCl hipertonik, 40% pada kelompok manitol RCT 20 Tidak terdapat perbedaan tingkat mortalitas merupakan perkembangan status neurologis pada hari ke-90 R e t r o s p e k t i f , 67 Tingkat mortalitas dan durasi periode crossover koma lebih rendah pada kelompok NaCl hipertonik dibanding kelompok manitol Dikutip dari: Mortazavi dkk.9 terapi hiperosmotik, serta timbul bekuan darah yang juga menimbulkan resistensi terhadap terapi tersebut. Selain itu, adanya kerusakan sawar darah-otak juga menjadi alasan timbulnya hasil yang buruk tersebut.11-12 Efek Samping Terapi Hiperosmolar Terdapat beberapa penelitian yang mengemukakan efek samping dari pemberian larutan salin hipertonis. Salah satu komplikasi terburuk yaitu terjadinya central pontine myelinolysis atau osmoticdemyelination syndrome, dimana terjadi kerusakan mielin di dalam pons yang ditandai dengan letargi dan quadraparesis. Efek samping ini umumnya terjadi akibat koreksi cepat hiponatremi dengan pemberian larutan salin hipertonik. Pada penelitian dengan dosis bolus, rata-rata konsentrasi sodium tertinggi setelah pemberian larutan salin hipertonik yaitu 170,7 mmol/L, dan tidak ditemukan efek samping. Dikatakan bahwa kadar sodium dalam serum sebaiknya diukur dalam waktu 6 jam setelah pemberian bolus. Efek samping yang umum ditemukan pada pemberian osmoterapi yaitu volume yang berlebih, dan merupakan masalah yang potensial pada pasien yang mengalami gangguan kardiopulmonal. Pemberian larutan salin hipertonik umumnya mengalami hipervolemik, sedangkan pemberian manitol awalnya akan mengalami hipervolemik, namun kemudian mengalami dehidrasi. Pada pasien dimana diperlukan volume yang dipertahankan seperti pada perdarahan subarahnoid, larutan salin hipertonik memberikan terapi terhadap hipertensi intrakranial dan pencegahan/pengobatan vasospasme. Pemberian manitol berpotensi berbahaya, namun tetap dapat digunakan dengan pengawasan melalui tekanan vena sentral dan memperhatikan input dan output cairan. Manitol diekskresi melalui membran glomerular secara utuh dapat mengakibatkan gagal ginjal. Walaupun mekanisme terjadinya masih belum jelas, namun kemungkinan berhubungan dengan osmolaritas yang sangat tinggi pada tubulus, mengakibatkan nekrosis tubular akut.11,12 Gambar 2.4 Efek Pemberian Manitol pada Edema Serebri.12 130 Jurnal Neuroanestesi Indonesia 5.3 Natrium laktat hipertonik Merupakan larutan hipertonik yang berisi natrium laktat, kalium klorida, dan kalsium klorida dalam konsentrasi fisiologis. Laktat digunakan sebagai metabolit interselular kunci antara glikolisis dan fosforilasi oksidatif yang keduanya dapat diproduksi dan digunakan oleh otak dibawah kondisi patologis. Studi terhadap hewan dan manusia menunjukkan bahwa laktat dapat mencegah efek neurologis yang merugikan dari hipoglikemia, mengindikasikan bahwa laktat sistemik dapat dimetabolisme oleh otak.12,13 Mekanisme kerja natrium laktat hipertonik Natrium laktat hipertonik dalam volume kecil selama kondisi hipovolemia pada penderita postoperasi jantung mampu meningkatkan curah jantung, penghantaran oksigen, keluaran urin, mengurangi asidosis metabolik, dan menjaga hemodinamik agar tetap stabil. Hasil tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan pemberian kristaloid. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian infus laktat pada cedera kepala akan meningkatkan suplai glukosa yang akhirnya mempengaruhi hasil fungsional dan histologis. Laktat diduga menjadi sumber energi otak pada penderita yang mengalami cedera kepala maupun yang tidak, efek ini didapatkan dengan menaikkan konsumsi oksigen mitokondria. Laktat mampu menaikkan konsumsi oksigen mitokondria jaringan otak, sedangkan glukosa menjaga konsumsi oksigen mitokondria jaringan otak pada nilai yang stabil.12 Prinsip kerja cairan hiperosmotik seperti natrium laktat hipertonik adalah untuk menghasilkan gradien osmotik diantara sawar darah otak (blood brain barrier) karena impermeabilitas sawar darah otak terhadap manitol dan Na, namun tidak terhadap laktat. Sifat hiperosmotik natrium laktat hipertonik yang berasal dari konsentrasi Na, sedangkan laktat berperan sebagai alternatif sumber energi untuk jaringan otak, terutama pada keadaan post-iskemia. Efektivitas cairan hiperosmotik bergantung pada “koefisien refleksi” pada agen terlarutnya, yang menentukan impermeabilitas relatif dari sawar darah otak terhadap larutan. Koefisien refleksi 1 berarti sawar darah otak impermeabel (tidak dapat ditembus) absolut terhadap komponen terlarut, sedangkan 0 berarti permeabel total. koefisien refleksi Na adalah 1 dan manitol adalah 0,9, karena itu larutan hipertonik yang mengandung Na secara teoritis bisa lebih superior dibanding manitol dalam menurunkan tekanan intrakranial atau pembengkakan otak. Sayangnya belum ada bukti yang mendukung teori ini.13 Studi ini menunjukkan bahwa natrium laktat hipertonis berhubungan dengan efek diuretik yang kurang dibandingkan manitol, yang sudah dilaporkan oleh studi lain. Rozet et al juga melaporkan balans cairan negatif yang terjadi setelah pemberian manitol dan peningkatan kadar laktat setelah pemberian natrium laktat hipertonis. Peningkatan kadar laktat dapat merupakan sekunder dari hipovolemia efektif yang dicetuskan manitol. Baik hipertonik salin 3% maupun hipertonik laktat memiliki kadar Na yang sama dan meningkatkan kadar Na serum.13 Efek samping natrium laktat hipertonik Peningkatan kadar Na serum merangsang pelepasan hormon antidiuretik, menimbulkan absorpsi air bebas dari ginjal yang menjelaskan efek diuretik hipertonik salin laktat yang lebih kecil dibandingkan manitol. Manitol berhubungan dengan penurunan CVP signifikan dibandingkan hipertonik salin laktat, kemungkinan dikarenakan efek diuretik dari manitol. Kami mengamati peningkatan signifikan dari CVP dalam 15 menit setelah pemberian hipertonik salin laktat, dapat diakibatkan ekspansi volume dari larutan hiperosmotik, namun peningkatan tersebut tidak bertahan. Temuan yang sama ditunjukkan oleh studi Gemma et al setelah pemberian hipertonik salin 7,5%.13 Laktat dianggap dapat meningkatkan kadar gula darah melalui glukoneogenesis hepatik (siklus Cori). Terdapat beberapa penelitian mengenai efek pemberian larutan RL dan NaCl terhadap kadar gula darah. Pemberian RL 20 ml/ kg akan meningkatkan kadar gula darah sebanyak 14.56 ± 0.51 mg/dl, sedangkan pemberian NaCl hipertonik 100 ml meningkatkan glukosa darah 3,8% dibandingkan baseline. Penelitian serupa menunjukkan peningkatan kadar gula darah yang signifikan pada kelompok natrium laktat hipertonik yang dapat diakibatkan karena volume pemberian natrium laktat hipertonik Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika yang lebih banyak pada pasien, respons stres pembedahan, dan pengaruh dari isoflurane selama prosedur operasi.13 Kadar gula darah yang tinggi dapat menimbulkan efek negatif pada otak, pasien dengan cedera otak traumatik berat dengan kadar gula darah post operasi >200 mg/ dl memiliki prognosa buruk secara signifikan dibandingkan pasien dengan kadar gula darah < 200 mg/dl. Teori lama mengatakan bahwa kadar gula darah yang tinggi dapat merugikan pada kondisi iskemik karena glukosa akan dikonversi menjadi asam laktat yang dapat merusak jaringan saraf. Namun bukti-bukti mendukung teori baru dari Schrurr et al, bahwa efek merugikan dari hiperglikemia selama iskemia serebral tidak berhubungan dengan laktat melainkan karena pelepasan corticosterone sebagai respons dari kadar gula yang tinggi. Kontras pada kondisi post iskemik dimana oxygen delivery akan segera membaik, laktat berperan sebagai substrat siap pakai, yang akan langsung dikonversi menjadi piruvat. Kemudian piruvat memasuki siklus asam trikarboksilat memproduksi ATP, dimana satu molekul laktat menghasilkan 17 ATP.13 Berbagai penelitian mengenai natrium laktat hipertonik Natrium laktat hipertonik saat ini merupakan alternatif yang menarik baik sebagai cairan resusitasi maupun osmoterapi. Sebuah studi membandingkan efikasi dari natrium laktat hipertonik dan manitol pada penurunan tekanan intrakanial menunjukkan bahwa natrium laktat hipertonik menghasilkan penurunan tekanan intrakranial yang nyata dan signifikan dibanding manitol. Namun studi yang sama juga menunjukkan penurunan kadar gula darah yang signifikan pada pasien yang mendapatkan natrium laktat hipertonik. peningkatan kadar gula darah hingga batas tertentu berhubungan dengan efek merugikan pada hasil akhir neurologis. Penelitian tentang efek manitol dan natrium laktat hipertonik pada tekanan intrakranial pun telah dilakukan dan memberikan hasil natrium laktat hipertonik dilaporkan lebih efektif dalam menurunkan tekanan intra kranial dan memiliki efek lebih panjang dari manitol. Pemberian bolus natrium laktat hipertonik 3% 5 ml/kg dengan manitol, tidak menemukan perbedaan 131 dalam relaksasi otak pada kedua grup tersebut. Efek infus natrium laktat hipertonik 3% 160 ml dan manitol 20% 150 ml terhadap relaksasi otak, menunjukkan hasil bahwa salin hipertonis lebih baik dibandingkan manitol 20%, yang mana tidak sesuai dengan temuan kami (natrium laktat hipertonik memiliki konsentrasi Na yang sama dengan salin hipertonik. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan volume pada cairan hiperosmotik yang diberikan pada pasien dan populasi yang diteliti.13 VI. Simpulan Manitol dan NaCl hipertonik sebagai obat terapi hiperosmolar dalam penatalaksanaan pasien trauma kepala masih menjadi pilihan. Kedua obat tersebut diyakini efektif dalam mengurangi tekanan intrakranial dalam penatalaksanaan hipertensi intrakranial akibat trauma. Berbagai penelitian, termasuk penelitian RCT menunjukkan bahwa pemberian NaCl hipertonik lebih efektif dalam menurunkan tekanan intrakranial, dibanding manitol. Namun, keuntungan yang ditimbulkan terhadap peningkatan status neurologis pasien dari pemberian NaCl hipertonik dibanding manitol tidak jelas meskipun terdapat trend positif ke arah penggunaan NaCl hipertonik, sehingga belum cukup kuat untuk dapat merekomendasikan penggunaan, konsentrasi dan cara pemberian NaCl hipertonik untuk terapi hipertensi intrakranial. Sebagai pertimbangan lain, NaCl hipertonik juga tidak menyebabkan hipotensi dibanding manitol. Namun efek samping yang ditimbulkan oleh kedua obat tersebut juga cukup banyak; mulai dari gangguan elektrolit hingga efek terhadap jantung, ginjal serta organ-organ lain. Dalam penggunaannya harus disertai dengan alat monitoring untuk mencegah efek samping pada organ-organ. Efektivitas cairan hiperosmotik dalam mengurangi edema pada jaringan yang pembuluh darahnya mengalami kerusakan juga masih dipertanyakan. Bahkan penggunaan obatobatan tersebut sebagai terapi hiperosmlar diduga malah meningkatkan angka kematian karena dapat memperluas edema sehingga semakin memperburuk peningkatan tekanan intrakranial. Disamping sifat hiperosmotiknya, cairan hiperosmolar seperti manitol, NaCl hipertonik, 132 Jurnal Neuroanestesi Indonesia natrium laktat hipertonik dapat meningkatkan perfusi otak melalui efek pada reologi darah, pengempisan eritrosit, dan penurunan produksi cairan serebrospinal. Baik manitol maupun natrium laktat hipertonik keduanya memiliki sifat anti inflamasi. Manitol memiliki sifat menghancurkan radikal bebas (free-radical scavenging) yang dapat menurunkan kadar malondialdehid, katalase, dan glutasion peroksidase yang meningkat pada cedera otak traumatik. Efek ini tidak dimiliki oleh natrium laktat hipertonik. Natrium laktat hipertonik mengandung levo-laktat, yang berperan sebagai substrat siap pakai bagi metabolisme energi otak pada kondisi pasca iskemik. Manitol tidak memiliki keuntungan ini, disebabkan oleh sifat osmotiknya. Manitol maupun natrium laktat hipertonik memiliki keunggulan masing-masing terhadap kondisi pasien secara spesifik. Natrium laktat hipertonik direkomendasikan pada pasien dengan suspek hipovolemia atau hipoksia, sedangkan manitol direkomendasikan pada kasuskasus dengan baseline gula darah yang tinggi, riwayat diabetes atau kondisi hipernatremia. Dalam penelitian prospektif acak pada manusia yang membandingkan efek dari larutan natrium laktat hipertonik dan manitol ekuosmolar dan ekuivolemik terhadap relaksasi otak, tekanan darah, CVP, dan kadar gula darah intraoperatif. Natrium laktat hipertonik dapat direkomendasikan sebagai alternatif manitol dalam menghasilkan relaksasi otak selama prosedur kraniektomi pada kasus cedera otak traumatik sedang, hemodinamik tidak stabil dan/atau risiko hipovolemia dan bukan pada pasien dengan riwayat diabetes. Daftar Pustaka 1. Bullock MR, Povlishock JT. Guidelines for the management of severe traumatic brain injury. Edisi ke-3. Journal of Neurotrauma. 2007;24(1): S1–S2. 2. Haddad S, Arabi Y. Critical care management of severe traumatic brain injury in adults. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine 2012, 20:12. 3. Helmy A, Vizcaychipin M, Gupta AK. Traumatic brain injury: intensive care management. Br J Anaesth 2007; 99: 32–42. 4. Kolmodin L, Sekhon MS, Henderson WR, Turgeon AF, Griesdale DE. Hypernatremia in patients with severe traumatic brain injury: a systematic review. Annal Intensive Care. 2013; 3: 35. 5. Wakai A, McCabe A, Robert I, Schierhout G. Mannitol for acute traumatic brain injury. The Cochrane Collaboration. 2013; 8: 1–21. 6. Wani AA, Ramzan AU, Nizami F, Malik NK, Kirmani AR, Bhatt AR, dkk. Controversy in use of mannitol in head injury. Indian Journal of Neurotrauma. 2008; 5(11): 11–3. 7. Sharma G, Setlur R, Swamy MN. Evaluation of mannitol as an osmotherapeutic agent in traumatic brain injuries by measuring serum osmolality. MJAFI 2011;67:230–233. 8. Li J, Wang B. Hyperosmolar therapy for the intracranial pressure in neurological practice: manitol versus hypertonic saline. International Journal of Anesthesiology Research. 2013; 1: 56–61. 9. Mortazavi MM, Romeo AK, Deep A, Griessennauer CJ, Shoja MM, Tubbs RS, dkk. Hypertonic saline for treating raised intracranial pressure: literature review with meta-analysis. J Neurosurg. 2012; 116: 210–21. 10. Collins TR. Hyperosmolar therapy yield worse results in primary ICH patients, database review show. Neurology Today. 2014; 42–5. 11. Marko NF. Hypertonic saline, not mannitol should be considerred gold-standard medical therapy for intracranial hypertension. Critical Care. 2012; 16: 1–3. 12. Arifin MZ, Risdianto A. Perbandingan efektivitas natrium laktat dengan manitol untuk menurunkan tekanan intrakranial Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika penderita cedera kepala berat. MKB 2012, Volume 44 No. 1. 13. Ahmad RM, Hanna. Effect of equiosmolar solutions of hypertonic sodium lactate 133 versus mannitol in craniectomy patients with moderate traumatic brain injury. Med J Indones. 2014; 23–1. Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada Preeklampsia/Eklampsia Rafidya Indah Septica, Yusmein Uyun, Bambang Suryono S Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada –Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta Abstrak Preeklampsia adalah kelainan multisistim unik pada ibu hamil. Preeklampsia terjadi pada sekitar 3-8% kehamilan, dengan angka mortalitas akibat gangguan serebrovaskuler yang cukup tinggi (67%). Adanya 2 protein antiangiogenik yang diproduksi berlebihan oleh plasenta yang memberi akses masuk ke sirkulasi maternal merupakan molekul yang bertanggung jawab terhadap munculnya preeklampsia, yaitu soluble Fms-like tyrosine kinase, yang merupakan inhibitor endogen vascular endothelial growth factor dan placental growth factor, dan endoglin terlarut (sEng). Faktor-faktor tersebut menyebabkan disfungsi endotel sistemik yang berefek terutama ke hati, otak, dan ginjal. Disfungsi endotel pada otak diasumsikan berperan melalui 2 teori, yaitu sebagai respon terhadap hipertensi berat akut, sehingga regulasi berlebihan serebrovaskuler memicu terjadinya vasospasme; dihipotesakan aliran darah otak (ADO) hilang akibat iskemia, edema sitotoksik, infark dan terjadinya peningkatan mendadak tekanan darah sistemik melebihi kapasitas autoregulasi serebrovaskuler normal, sehingga terjadi kerusakan tekanan ujung kapiler yang menyebabkan kenaikan tekanan hidrostatik, hiperperfusi, ekstravasasi plasma dan sel darah merah melalui endothelial tight junctions yang terbuka mengakibatkan akumulasi edema vasogenik. Walaupun demikian perubahan serebrovaskuler tidak selalu menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Dengan bantuan teknologi yang lebih baik dan canggih, abnormalitas serebrovaskuler yang dipicu oleh preeklampsia-eklampsia, juga efek hipertensi pada perfusi serebral dapat dijelaskan dengan lebih baik. Pertimbangan khusus pemilihan teknik anestesi pada preeklampsia dimulai dengan persiapan preoperatif berupa penilaian preanestesi, pemilihan manajemen anestesi, teknik induksi pada anestesi umum, dan interaksi antara MgSO4 dan pelumpuh otot nondepolarisasi. Teknik anestesi sesuai kaidah neuroanestesi adalah teknik terpilih pada preeklampsia/eklampsia dengan kenaikan tekanan intrakranial Kata kunci: preeklampsia, patofisiologi serebrovaskuler, manajemen anestesi JNI 2015; 4 (2): 134–48 Cerebrovascular Pathophysiology and Anesthetic Implication in Preeclampsia/Eclamsia Abstract Preeclampsia is a uniqe multisystem disorder in pregnant women. Preeclampsia affecting 3-8% of pregnancies, with high maternal mortality related to cerebrovascular accident (67%). The over produced two antiangiogenic proteins by placenta that gain access to the maternal circulation have become the main molecules responsible for phenotype of preeclampsia; which are soluble Fms-like tyrosine kinase, endogenous inhibitor of vascular endothelial growth factor and placental growth factor, and soluble endoglin (sEng). All these factors cause systemic endothelial dysfunction, mostly affected liver, brain, and kidney. Endothelial cell dysfunction may play role in two theories: as respon to acute severe hypertension thus cerebrovascular overregulation leads to vasospasm; as hypothesized,the diminished cerebral blood flow (CBF) resulted in ischaemia, cytotoxic edema, and infarct and a sudden elevation in systemic blood pressure exceeded the normal cerebrovascular autoregulatory capacity, and lead to disruption of the end-capillary pressure which causes increased hydrostatic pressure, hyperperfusion, and extravasation of plasma as well as red cells through disruption of the endothelial tight junctions leading to the accumulation of vasogenic edema. Nevertheless, cerebrovascular changes not always increase intracranial pressure. With the new and better technologies, the abnormal cerebrovascular related to preeclampsia-ecclampsia, and hypertension effect on cerebral perfusion can be more clearly explained. Special consideration for anesthesia technique in preeclampsia should be begin with preoperative preparation as pre-anesthestia assesment, choosing the anesthestia technique, induction technique and consideration of MgSO4 and nondepolarising muscle relaxant interaction when using general anesthesia. If intracranial pressure increased, neuroanesthesia technique is recommended. In preeclampsia/eclampsia cases. Key words: preeclampsia, cerebrovascular pathophysiology, anesthestic management 134 JNI 2015; 4 (2): 134–48* Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada Preeklampsia/Eklampsia I. Pendahuluan Sindrom klinik preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi dan proteinuria yang muncul setelah kehamilan 20 minggu. Edema tidak lagi dimasukkan dalam kriteria diagnosa, karena rendahnya spesifisitas.1,2 Edema banyak terjadi pada wanita hamil yang sehat.1 Preeklampsia terjadi pada sekitar 3–8% kehamilan.2 Selama tahun 2003–2005 Confidential Enquiry into Maternal and Child Health (CEMACH) melaporkan, 18 kematian akibat preeklampsia dan eklampsia; 67% akibat gangguan serebrovaskuler (10 perdarahan intrakranial, ICH; dan 2 infark serebral).1 Preeklampsia adalah penyakit multisistim unik pada ibu hamil. Walaupun penelitian berlanjut, pemahaman tentang etiologinya tetap belum jelas. Adanya 2 protein antiangiogenik yang diproduksi berlebihan oleh plasenta yang memberi akses masuk ke sirkulasi maternal merupakan molekul yang bertanggung jawab terhadap munculnya preeklampsia. Soluble Fms-like tyrosine kinase (sFlt-1), inhibitor endogen vascular endothelial growth factor (VEGF) dan placental growth factor (PlGF) dan endoglin terlarut (sEng), co-reseptor yang mengubah growth factor beta diketahui meningkat pada serum ibu preeklampsia. Pada penelitian, injeksi mediator-mediator tersebut pada tikus, menyebabkan disfungsi endotel sistemik yang mirip dengan preeklampsia, termasuk hipertensi berat, proteinuria, endoteliosis glomerular, dan sindroma HELLP.3 Progresivitas disfungsi endotel sistemik pada ibu berefek terutama padahati, otak, dan ginjal.2 Otak mempunyai peran sentral pada sindrom preeklampsia-eklampsia. Penelitian neuroanatomi semakin baik dan canggih dengan ditemukannya teknologi computed tomography (CT), Doppler, dan magneting resonance imaging. Dengan bantuan teknologi tersebut abnormalitas serebrovaskuler yang dipicu preeklampsiaeklampsia, juga efek hipertensi pada perfusi serebral dapat digambarkan dengan lebih baik.4 II. Neuroanatomi pada Eklampsia Mayoritas kematian akibat eklampsia adalah edema pulmonum sedangkan lesi pada otak merupakan ko-insiden.4 Perdarahan intraserebral 135 lebih dari 60%, hanya menyebabkan kematian pada 50% pasien eklampsia. Lesi utama lain yang ditemukan saat otopsi adalah petekia kortikal dan subkortikal seperti tampak pada gambar 1. Gambaran histologinya terdiri dari sejumlah perdarahan kecil diameter 0,3–1,0 mm membentuk garis-garis radial 2–4cm di korteks. Banyak muncul di permukaan gyrus, terbanyak pada lobus oksipital, paling sedikit pada pada lobus temporal. Lesi lain yang tampak, edema subkortikal, area multipel nonperdarahan, area perdarahan pada substansia alba, perdarahan pada basal ganglia atau pons, sering dengan ruptur yang meluas ke ventrikel. Beberapa kasus menunjukkan infark kecil kortikal, bervariasi dengan diameter 0,3 sampai 1,0 mm dan kadang-kadang menyatu. Lesi vaskuler klasik yang tampak secara mikroskopis adalah nekrosis fibrinoid dinding arteri dan mikroinfark perivaskuler dan perdarahan perivaskuler.4 Lesi serebral dengan patogenesis eklampsia Kehamilan memicu perubahan pada sistim kardiovaskuler, sedangkan autoregulasi otak tetap terjaga. Walaupun demikian, perubahan hemodinamik serebrovaskuler yang dipicu oleh kehamilan belum banyak diteliti, sehingga patogenesis manifestasi serebral pada preeklampsia juga belum jelas. Beberapa dekade terakhir, temuan patologis dan neuroimaging menuju pada 2 teori umum yang menjelaskan abnormalitas serebral yang berkaitan dengan eklampsia. Yang terpenting adalah disfungsi sel endotel pada sindrom preeklampsia berperan dalam 2 teori, yaitu: 1. Disfungsi sel endotel sebagai respon terhadap hipertensi berat akut, sehingga regulasi berlebihan serebrovaskuler memicu terjadinya vasospasme. Asumsi ini didasari oleh tampilan angiografi difus atau segmental multifokal sempit diduga vasospasme pada serebrovaskuler wanita hamil dengan preeklampsia berat dan eklampsia. Dari sudut ini, hilangnya aliran darah otak (ADO) dihipotesakan akibat iskemia, edema sitotoksik, dan bahkan infark jaringan otak.4,5 2. Peningkatan mendadak tekanan darah sistemik melebihi kapasitas autoregulasi serebrovaskuler normal. Timbul daerah 136 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Gambar 1. Lokasi perdarahan serebral dan petekie pada wanita dengan eklampsia: (A) perdarahan pia-arakhnoid; (B) petekie kortikal; (C) petekie subkortikal; (D) focal softening atau petekie di midbrain atau substansia alba vasodilatasi terpaksa dan vasokonstriksi, terutama pada zona perbatasan arteri. Pada tingkat kapiler, kerusakan tekanan kapiler akhir (end-capillary pressure) menyebabkan kenaikan tekanan hidrostatik, hiperperfusi, dan ekstravasasi plasma dan sel darah merah melalui endothelial tight junctions yang terbuka, sehingga terjadi akumulasi edema vasogenik. Kejang eklamptik diasumsikan sebagai akibat vasospasme serebral dan iskemia.1,5 Penelitian dengan CT-scan pada 43 wanita hamil dengan eklampsia menemukan edema terjadi pada 27 pasien, dan beratnya edema dihubungkan dengan lamanya kejang-kejang intermiten. Pada 5 pasien menunjukkan adanya kenaikan sekilas tekanan intrakranial dan perdarahan intrakranial yang bisa fatal ditemukan pada 4 pasien. Penelitian lain dengan CT-scan, MRI, dan angiografi serebral menyokong konsep 1 vasospasme daripada edema menyeluruh. Kejang melepaskan neurotransmiter eksitatori berlebihan (terutama glutamat), depolarisasi masif jaringan neuron, dan burst aksi potensial. Bukti klinis dan penelitian menduga bahwa kejang yang lama akan menyebabkan cedera otak yang signifikan dan kemudian berlanjut menjadi disfungsi otak.4,6 Kejang juga akan merusak sawar darah otak dan aliran darah otak yang berlebihan dan tidak terkontrol. Aktivasi reseptor glutamat pada otot polos vasa dan endotel dapat menyebabkan vasodilatasi serebral yang poten, kegagalan autoregulasi, dan hilangnya resistensi serebrovaskuler (CVR).4 Efek kejang mirip yang terjadi pada ensefalopati hipertensi.4,6 Adanya sindrom Haemolisys Elevated Liver Enzymes Low Platelets (HELLP) dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) meningkatkan risiko terjadinya komplikasi perdarahan serebral.1 Dengan demikian, adanya vasospasme serebral, edema, perdarahan, dan ensefalopati hipertensif berpengaruh pada patogenesis kejang eklamptik.5 Autoregulasi cerebral Autoregulasi adalah proses regulasi agar aliran darah otak (ADO) relatif konstan terhadap gangguan tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure, CPP). Ketika CPP turun, CVR turun akibat vasodilatasi miogenik arteri pial dan arteriolae, sehingga menaikkan perfusi. Sebagai alternatif, bila CPP naik, autoregulasi akan menaikkan CVR dengan vasokonstriksi, sehingga ADO relatif konstan. Dengan demikian, autoregulasi adalah mekanisme protektif fisiologis yang mencegah iskemia otak selama tekanan turun dan mencegah kerusakan kapiler dan edema selama tekanan naik. Pada orang dewasa yang normotensif, ADO dipertahankan sekitar 50 ml/100gram jaringan otak/menit, akan memberikan CPP dalam batas 60–160 mmHg. Di atas dan di bawah batas tersebut, autoregulasi akan hilang dan ADO menjadi tergantung langsung dari tekanan arteri rerata (mean arterial pressure/MAP).4 Cedera otak yang signifikan terjadi bila mekanisme autoregulasi hilang. Misalnya saat hipertensi akut dengan MAP di atas batas autoregulasi, kira-kira 160 mmHg pada orang sehat, vasokonstriksi miogenik otot polos vasa terjadi akibat tekanan intravaskuler berlebih dan dilatasi terpaksa vasa-vasa serebral. Hilangnya tonus miogenik selama dilatasi paksa akan menurunkan CVR dan menaikkan ADO, menghasilkan hiperperfusi, rusaknya sawar darah otak, dan pembentukan edema.4 Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada Preeklampsia/Eklampsia 137 Pada sirkulasi serebral, perkembangan sausage string sejalan dengan perkembangan kerusakan vaskuler, spesifik pada regio dilatasi (gagal mempertahankan vasokonstriksi miogenik), mengakibatkan hipermeabilitas endotelial dan ekstravasasi makromolekul. Selain modulasi tonus vaskuler, aspek unik endotel serebrovaskuler adalah fungsinya sebagai sawar darah otak. Area yang dipasok oleh sirkulasi posterior paling rapuh merusak sawar darah otak dan gagal mempertahankan mekanisme autoregulasi, mungkin akibat sedikitnya inervasi simpatis yang dapat memaksa terjadinya dilatasi. Gambar 2. Grafik Tekanan Darah vs Diameter Arteri Serebral pada Hewan tidak Hamil (NP, segitiga hitam), Hamil tua (LP, bulat hitam), dan Postpartum (PP, kotak hitam) Hubungan antara autoregulasi, ADO dan kerusakan sawar darah otak telah banyak diteliti. Korelasi positip antara hilangnya autoregulasi, peningkatan perfusi, dan permeabilitas sawar darah otak yang mengarah pada edema serebral. Adanya mekanisme peningkatan resistensi, seperti stimulasi saraf simpatis atau remodeling arteriolae selama hipertensi kronis, melemahkan peningkatan ADO saat hipertensi akut dan memproteksi sawar darah otak. Umumnya ketika ADO dibandingkan antara area yang mengalami ekstravasasi albumin maupun yang tidak, area dengan peningkatan permeabilitas mempunyai aliran darah yang terbanyak, mengindikasikan hilangnya autoregulasi dan penurunan CVR. Temuan ini mendukung pemikiran penurunan resistensi dan hiperperfusi saat hipertensi akut menyebabkan rusaknya sawar darah otak, sedangkan peningkatan resistensi merupakan proteksi mikrosirkulasi. Dengan demikian, penurunan CVR akibat hiperperfusi selama hipertensi akut dipertimbangkan sebagai penyebab utama edema selama ensefalopati hipertensif dan eklampsia.4 Laporan eksperimental tentang hipertensi berat yang dibuat dengan infus agen vasogenik, arteriolae membentuk pola konstriksi dan dilatasi, memunculkan gambaran yang disebut sausage string. Pola pembuluh darah ini muncul di mana-mana, termasuk di otak. Pemahaman pengaruh kehamilan dan pemahaman preeklampsia berpengaruh pada sirkulasi posterior menjadi penting bila mempertimbangkan simptom-simptom yang sering menyertai eklampsia: skotomata, diplopia, gangguan visual, dan berbagai derajat kebutaan.4 Kebutaan kortikal pada preeklampsia-eklampsia disebabkan oleh mikroinfark dan perdarahan mikro dengan edema di subtansia grisea oksipital. Adanya flash atau kejadian kilatan cahaya pada preeklampsi berat merupakan tanda terjadinya lesi kecil. Lesi-lesi ini menyebabkan kebutaan kortikal. Pupil tetap bereaksi terhadap cahaya (refleks otak tengah), tetapi kemampuan berkedip hilang. Bila lesi menjadi komplit, nistagmus optokinetik tidak ada dan pasien abai terhadap kebutaannya (simptom Anton). Dengan demikian posterior reversible encephalopathy syndrome (PRES) dengan kebutaan kortikal sebagai ciri klinis utamanya, mempunyai kemiripan klinis yang signifikan dengan kejang eklamptik, karena secara patologi lebih kurang identik.9 Adanya papiledema jelas merupakan edema serebri.9 Autoregulasi Aliran Darah Otak pada Kehamilan Nilai tekanan darah autoregulasi serebrovaskuler pada kehamilan tidak diketahui, dan sebaliknya nilai autoregulasi tersebut rusak. Kejadian eklampsi dengan hipertensi ringan tidak dapat membuat hipotesa nilai atas autoregulasi serebral turun pada sindrom preeklampsia, karena bukti yang ada terlalu sedikit.4 Efek kehamilan pada hemodinamik serebral dan autoregulasi ADO menjadi perhatian utama karena gangguan autoregulasi serebral dianggap kontributor utama 138 Jurnal Neuroanestesi Indonesia pada perkembangan eklampsia.4,7 Walaupun harus dipertimbangkan efek kejang serupa dengan hipertensi akut dan akan memunculkan efek yang sama pada hemodinamik serebral, termasuk hilangnya CVR, hiperperfusi, dan rusaknya sawar darah otak, penyebab dan efek kejang akan sulit dilihat. Kebanyakan ibu hamil dengan eklampsia, kejadiannya seperti itu, walaupun tekanan darahnya lebih rendah daripada yang terjadi pada ensefalopati hipertensif. Temuan ini mengasumsikan bahwa kurva autoregulasi ADO bergeser turun selama kehamilan. Penelitian pada tikus teranestesi menunjukkan: ketika kurva autoregulasi dibandingkan antara tikus tidak hamil dan tikus hamil tua, tidak terdapat perbedaan tekanan yang merusak sawar darah otak. Bagaimanapun hanya hewan hamil menunjukkan edema akibat hipertensi akut dan rusaknya autoregulasi, mengasumsikan endotel lebih rentan terhadap edema hidrostatik selama kehamilan. Penelitian lebih lanjut menunjukkan pada hamil tua terjadi penurunan bermakna CVR dengan peningkatan ADO lebih besar dibandingkan dengan hewan yang tidak hamil saat tekanan darah dinaikkan mendadak. Pada hewan-hewan ini, kehamilan dihubungkan dengan penurunan CVR sebesar 40% dibandingkan dengan hewan yang tidak hamil pada perubahan tekanan darah yang sama. Karena peningkatan CVR untuk menaikkan tekanan perfusi serebral merupakan mekanisme protektif otak yang mencegah transmisi tekanan hidrostatik yang membahayakan mikrosirkulasi, berkurangnya CVR selama kehamilan sebagai respon terhadap hipertensi akut dapat memunculkan kerusakan sawar darah otak dan edema vasogenik, mirip yang terjadi selama eklampsia. Mekanisme kehamilan menurunkan CVR selama hipertensi akut masih belum jelas, tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan struktural yang mempengaruhi diameter arteri dan arteriolae. Resistensi dan regulasi aliran darah secara prinsip ditentukan oleh kaliber pembuluh darah. Kemampuan miogenik otot polos serebrovaskuler penting untuk membuat CVR yang sesuai, yang memproteksi arteriolae dan kapiler terhadap perubahan tekanan perfusi dan untuk mempertahankan perfusi jaringan ketika tekanan darah turun. Sirkulasi serebral merupakan jaringan vaskuler unik yang dalam jumlah besar vasa-vasa pial ekstrakranial dan intrakranial berkontribusi kira-kira 50% terhadap CVR total. Penelitian pada isolat arteri serebral pada hewan tidak hamil, hamil tua, dan postpartum menunjukkan bahwa dilatasi paksa terjadi pada tekanan darah yang lebih rendah selama kehamilan dan postpartum. Kemungkinan ini merupakan mekanisme yang menyebabkan penurunan CVR selama naiknya tekanan darah. Grafik berikut (gambar 2) menunjukkan perubahan tekanan darah dibanding diameter kurva arteri-arteri serebral posterior pada nonhamil (NP, segitiga), hamil tua (P, bulat), dan postpartum (PP, kotak). Arteri semua grup mengalami vasokonstriksi sebagai respon terhadap kenaikan tekanan (tekanan 50–125 mmHg), menunjukkan reaktivitas miogenik. Arteri pada hamil tua dan postpartum mengalami dilatasi paksa pada tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan dengan hewan tidak hamil; ditunjukkan dengan peningkatan diameter sebagai respon peningkatan tekanan. Peningkatan diameter dengan dilatasi paksa merupakan kejadian primer pada perkembangan edema otak hidrostatik bila CVR turun. Penelitian terbaru menunjukkan perbedaan resistensi vasa-vasa kecil pada parenkim otak dapat diperhitungkan menjadi perbedaan regional pada permeabilitas sawar darah otak selama hipertensi akut. Pada penelitian khusus arteriolae parenkim otak, vasa-vasa pada hewan hamil tua menunjukkan diameter lebih besar dibandingkan dengan yang tidak hamil. Dapat disimpulkan terjadi remodeling arteriolae parenkim yang dipicu oleh kehamilan. Walaupun perubahan struktur tidak berpengaruh terhadap ADO basal, perubahan tersebut berdampak nyata pada hemodinamik lokal pada kondisi rusaknya autoregulasi (saat vasa dilatasi maksimal) atau kejang. Vasa-vasa itu terlihat lebih tipis saat hamil. Dengan demikian, perubahan yang tampak pada arteri dan arteriolae serebral selama kehamilan tidak terbatas pada menurunkan CVR selama hipertensi akut, tetapi juga cenderung memicu terjadinya perdarahan otak, temuan patologis lain dari eklampsia, karena peningkatan tekanan/ Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada Preeklampsia/Eklampsia stres dinding vasa yang besar (keadaan dimana diameter dan tekanan arteriolae meningkat tinggi). Dengan demikian, gagalnya mekanisme autoregulasi terjadi lebih sebagai akibat peningkatan tekanan darah akut dan atau relatif tinggi dibandingkan dengan kenaikan absolut tekanan darah. Keakutan kenaikan tekanan darah pada keadaan disfungsi endotel yang bertanggung jawab menyebabkan gangguan tekanan perfusi serebral dan kapiler pada eklampsia.4 III. Sawar Darah Otak Mekanisme primer terjadinya edema otak pada eklampsia adalah peningkatan permeabilitas sawar darah otak akibat peningkatan tekanan hidrostatik darah yang patologis, pembentukan edema vasogenik-edema otak hidrostatik.4,5 Endotel serebral yang membentuk sawar darah otak adalah unik; tidak terpengaruh ion atau yang terlarut. Struktur unik ini menyebabkan efek tekanan hidrostatik pada filtrasi kapiler minimal dan merupakan proteksi melawan edema vasogenik. Peningkatan tekanan darah akut yang menurunkan CVR tetap meningkatkan tekanan hidrostatik tinggi pada mikrosirkulasi, menyebabkan kerusakan sawar darah otak dan edema otak hidrostatik.4 Sawar Darah Otak pada Kehamilan Adaptasi serebrovaskuler pada kehamilan normal memberi kecenderungan terjadinya edema otak hidrostatik ketika tekanan darah meningkat akut. Remodeling bagian luararteriolae parenkim otak menurunkan resistensi vasa-vasa kecil. Keadaan ini pada hipertensi akut dan dilatasi paksa menyebabkan transmisi tekanan hidrostatik ke mikrosirkulasi dan memicu kerusakan sawar darah otak. Penurunan resistensi vasa-vasa kecil hanya sebagai konsekuensi kenaikan tekanan darah yang tinggi saat aliran vasa-vasa pial mengalami dilatasi paksa. Bila tekanan darah stabil dalam batas normal, perubahan resistensi vasa-vasa kecil lebih ditoleransi, tetapi kehamilan merubah endotel serebal, sehingga menyebabkan permeabilitas sawar darah otak membesar dan/ atau konduktvitas hidrostatik membesar terhadap tekanan hidrostatik biasanya, menjadi penentu munculnya edema serebral.4 139 Penelitian dengan menggunakan Lucifer Yellow menunjukkan membesarnya permeabilitas sawar darah otak; diduga terjadi perubahan permeabilitas itu disebabkan oleh transpor transeluler yang merupakan kontributor utama pada permeabilitas sawar darah otak selama eklampsia. Walaupun demikian efek kehamilan pada vena-vena serebral belum pernah dilakukan.4 Gambar 3 menunjukkan permeabilitas sawar darah otak terhadap Lucifer yellow yang dinilai pada arteri serebral sebagai respon terhadap kenaikan tekanan darah dari 60 sampai 200 mmHg. Perhatikan bahwa kehamilan menyebabkan peningkatan signifikan permeabilitas sawar darah otak sebagai respon terhadap perubahan yang sama pada tekanan hidrostatik (p<0,5 vs NP). Pengaruh Hipertensi pada Remodeling Arteri Serebral selama Kehamilan Simptom eklampsia mirip dengan PRES dan ensefalopati hipertensif akibat hipertensi akut, sedangkan hipertensi selama kehamilan juga mirip dengan hipertensi kronis, yaitu terjadi adaptasi struktural dan remodeling.4 Hipertensi kronis dihubungkan dengan remodeling serebrovaskuler dan hipertrofi medial yang diasumsikan melindungi otak. Hipertrofi tunika media pada arteri serebral yang besar dan kecil sebagai respon hipertensi kronis menebalkan dinding: rasio lumen dan tekanan lingkar dinding yang meningkat akibat kenaikan tekanan arteri rata-rata. Hipertrofi tunika media dan remodeling arteri serebral besar dan kecil menurunkan kenaikan tekanan bagian awal mikrovasa, sehingga melindungi sawar darah otak dari kerusakan.4 Remodeling dan hipertrofi tunika media arteri serebral pada hipertensi kronis merupakan perlindungan terhadap sawar darah otak. Pada penelitian dengan hewan hamil, hal tersebut tidak tampak. Bahkan pada hewan hamil dengan kondisi hipertensi yang dipertahankan 2–5 minggu mengalami reverse remodelling ke bentuk awal. Reverse remodelling ini memungkinkan predisposisi ibu hamil dengan hipertensi kronis mengalami eklampsia karena tekanan darahnya meningkat, tetapi tanpa peningkatan rasio dinding: lumen yang dapat melindungi sawar 140 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Gambar 3. Pengaruh Kehamilan terhadap Permeabilitas Sawar Darah Otak sebagi Respon terhadap Kenaikan Tekanan Hidrostatik. (Sumber: Lindheimer.4 darah otak.4 Mekanisme kehamilan mencegah dan mengembalikan remodeling akibat hipertensi pada arteri serebral tidak diketahui, tetapi tampaknya berhubungan dengan keadaan hamil. Salah satu alasan adalah bahwa kehamilan sendiri sudah menyebabkan remodeling serebrovaskuler tanpa perlu mengalami hipertensi. Keadaan ini ditunjukkan pada keadaan arteriolae-arteriolae yang berpenetrasi mengalami remodeling untuk menurunkan resistensi vasa-vasa kecil, dan vasavasa pial juga mengalami remodeling luar pada kondisi hipertensi untuk mereverse remodeling dalam akibat hipertensi itu.4 Aquaporin dan Edema Serebral Aquaporin adalah famili channel yang membentuk protein transmembran yang memfasilitasi pergerakan air, gliserol, dan larutan lain melewati membran sel. Tiga aquaporin (AQP1, AQP4, dan AQP9) teridentifikasi di otak. AQP4 merupakan aquaporin predominan di otak, terutama di ujung kaki (endfeet) astrosit seputar vasa, membran glia dan ependima. AQP4 berdasarkan keberadaannya diasumsikan memfasilitasi pergerakan air pada permukaan sawar darah-otak dan darah-cairan serebrospinal.4 Ketiga aquaporin terdapat pada otak selama kehamilan. AQP4 memiliki tingkat ekspresi yang jelas meningkat selama kehamilan dibandingkan dengan kondisi tidak hamil. Temuan ini mengasumsikan bahwa kehamilan saja merupakan keadaan yang mengubah homeostasis air otak. Karena AQP4 tidak ditemukan pada endotel serebral, tidak mempengaruhi konduktivitas hidrolik pada sawar darah otak. Peningkatan AQP4 selama kehamilan lebih berhubungan dengan resolusi edema, seperti yang ditunjukkan pada model cedera otak. Mutasi AQP4 dihubungkan dengan pembentukan edema saat stroke, sehingga adanya variasi genetik menjelaskan mengapa beberapa ibu hamil dengan preeklampsia mengalami edema serebri dan eklampsia, tetapi selebihnya tidak.4 AQP4 mempengaruhi homeostasis K+ pada otak dan memodulasi kejang. Penelitian AQP4 pada tikus pingsan menunjukkan penurunan ambang kejang ketika dipaparkan kemokonvulsan fentylentetrozol atau stimulasi kejang elektrik. Keadaan tersebut diasumsikan dimediasi oleh homeostasis K+ otak yang berubah. Dengan demikian, peningkatan ekspresi AQP4 selama kehamilan menurunkan ambang kejang.4 Pemberian Magnesium Sulfat Beberapa penelitian berasumsi bahwa magnesium bekerja pada serebrovaskuler menyebabkan vasodilatasi dan melepaskan vasospasme. Penelitian lain menunjukkan magnesium sulfat hanya mempunyai sedikit efek pada hemodinamik serebral dan aliran darah otak.4,7 Penelitian dengan isolat dan arteri serebral bertekanan, magnesium menunjukkan efek vasodilator, tetapi respon sensitivitasnya selama kehamilan dan masa postpartum menurun. Pada penelitian klinis, magnesium sulfat lebih efektif mencegah kejang eklamptik dibandingkan nimodipin (ca-channel blocker). Temuan-temuan ini mendukung asumsi bahwa aksi utama magnesium sulfat mencegah eklampsia bukan berefek pada vasospasmenya.4 Banyak penelitian melaporkan efek magnesium sulfat menurunkan permeabilitas sawar darah otak dan pembentukan edema pada berbagai kondisi cedera otak; cedera otak akibat trauma, ensefalopati pada sepsis, hipoglikemia, dan injeksi manitol hiperosmoler. Euser dkk menunjukkan bahwa magnesium sulfat selama kehamilan menurunkan permeabilitas sawar darah otak terhadap Evans blue sebagai respon terhadap hipertensi akut. Efek tersebut terutama terjadi Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada Preeklampsia/Eklampsia pada otak posterior, regio otak paling mudah terjadi pembentukan edema pada eklampsia.4 Eklampsia sebagai Bentuk Posterior Revesible Encephalopathy Syndrome (PRES) Eklampsia dianggap sebagai salah satu bentuk PRES, karena mempunyai etiologi yang mirip. Pada pasien tidak hamil, PRES biasanya merupakan penyakit serebral akut dengan gejala sakit kepala, mual, gangguan fungsi mental, gangguan penglihatan, dan kejang. Kejang umumnya, tetapi tidak khusus, muncul di bagian oksipital dan berkorelasi secara karakteristik predominan dengan lesi otak posterior seperti tampak pada MRI. Pada manusia, regio paling sering terkena di korteks adalah regio sulcus parieto-oksipital yang mewakili zona batas arteri anterior, medial, dan posterior. Keterlibatan korteks dapat meluas ke batang otak, serebelum, ganglia basalis, dan lobus frontalis.4,9 Beberapa pasien dengan PRES hanya mengalami kejang dan tidak muncul gejala lain. Dapat muncul juga, hanya kenaikan tekanan darah ringansedang akut, tetapi tanpa kenaikan tekanan darah yang dramatis yang menjadi tipikal ensefalopati hipertensif. Dengan demikian, PRES dapat terjadi hanya dengan hipertensi ringan dengan kerusakan endotel. Keadaan tersebut digambarkan pada thrombotic microangiopathy syndromes – hemolytic uremic syndromes (HUS) dan thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), seperti juga pada Systemic Lupus Erythomatosus (SLE), dengan toksisitas obat imunosupresif, atau dengan penggunaan agen kemoterapi termasuk metotreksat dan cisplatin. Lebih lanjut, adalah penting mengenali PRES karena gangguan neurologis dapat diterapi dengan menurunkan kenaikan tekanan darah dan melakukan koreksi kondisi medis yang mendasari yang menyebabkan terjadinya cedera endotel.4 Neuroimaging pada Eklampsia Teknik pencitraan digunakan untuk memahami mekanisme serebrovaskuler pada sindrom preeklampsia, termasuk angiografi, CT-scan, dan MRI. Perkembangan MRI sangat berguna memberi informasi etiopatogenesis manifestasi serebral pada preeklampsia. 141 Computed Tomography Adanya lesi hipodens terlokalisir pada junction substansia alba-grisea, terutama pada lobus parieto-oksipital merupakan ciri yang ditemukan pada eklampsia. Lesi tersebut dapat terlihat juga di lobus frontalis dan temporal inferior, juga ganglia basalis dan thalamus. Pada kasus dengan edema luas, tampak penekanan atau bahkan penyumbatan ventrikel. Beberapa memunculkan tanda-tanda herniasi transtentorial yang mengancam jiwa. Banyak laporan menunjukkan reversibilitas edema serebral. Pada sedikit ibu hamil dengan eklampsia, infark serebral telah dilaporkan dan terjadi transformasi serebral hemoragik menjadi infark iskemik. Temuan ini menonjolkan isu tentang patogenesis preeklampsia memicu perdarahan intrakranial dan pencegahannya.4,5,9 Magnetic Resonance Imaging (MRI) Temuan yang umum pada eklampsia adalah lesi hiperintens T2 pada regio korteks dan subkorteks pada lobus parietal dan oksipital dengan kadang-kadang ganglia basalis dan atau batang otak. Ketika lesi PRES umumnya tampak pada eklampsia, insidensinya pada preeklampsia belum jelas. Diasumsikan tampak pada ibu hamil dengan sakit berat atau yang muncul gejala neurologis. Walaupun biasanya reversibel, lesi hiperintens tampak sebagai infark dan persisten. Diffusion-Weighted Magnetic Resonance Imaging and Apparent Diffusion Coefficient Dahulu, terdapat 2 perbedaan yang nyata edema serebri pada eklampsia, edema vasogenik dan edema sitotoksik.1,4,5 Edema vasogenik dihubungkan dengan peningkatan tekanan hidrostatik dan kebocoran kapiler, sedangkan edema sitotoksik dihubungkan dengan iskemia dan kematian sel akibat infark. Kedua perbedaan ini sangat penting, karena edema vasogenik biasanya reversibel, sedangkan edema sitotoksik tidak. Tidak mungkin dengan menggunakan CT scan biasa atau MRI biasa untuk membedakan 2 bentuk edema ini. Dengan menggunakan rangkaian diffusion-weighted imaging (DWI) dan apparent diffusion coefficient (ADC), lesi hiperintens pada pencitraan T2 dapat dinilai lebih baik.4 DWI bekerja dengan mengambil keuntungan gradien 142 Jurnal Neuroanestesi Indonesia difusi yang kuat yang mendeteksi perubahan pada distribusi molekul air di jaringan. Pengukuran kuantitatif dari difusi pada jaringan diekspresikan sebagai ADC. Edema vasogenik dicirikan dengan peningkatan cairan ekstrasel dengan peningkatan difusi air dan akan terlihat sebagai kombinasi normal DWI dengan lesi hiperintens T2 dan peningkatan ADC. Sebaliknya, adanya kejadian iskemik, edema sitotoksik disebabkan oleh kegagalan pompa Na dan kematian sel.4,9,10 Keadaan ini menyebabkan penurunan difusi proton akibat pergeseran air dari ekstrasel ke intrasel dan memunculkan gambaran hiperintens pada DWI, tetapi menurunkan ADC. Gambaran regio iskemik diidentifikasi dalam menit sampai jam setelah onset simptom neurologis muncul.4 Pada eklampsia, penelitian dengan menggunakan serial DWI menunjukkan bahwa aslinya edema serebral adalah vasogenik, tetapi sedikit jarang dengan iskemik dan perubahan sitotoksik seperti infark. Perubahan sitotoksik dan iskemik memberi gambaran lesi hiperintens T2 pada DWI dan penurunan ADC pada pola edema vasogenik.4 Hemodinamik Cerebral pada Kehamilan Normal dan Preeklampsia Sirkulus Willisi yang terdapat pada basis cranii divaskularisasi oleh arteri karotis interna dan arteri vertebralis dan mendistribusikan aliran darahke korteks serebral. Arteri serebralis media membawa hampir 80% darah ke hemisfer. Setelah keluar dari sirkulus willisi, sebagian cabang arteri anterior, medialis, dan posterior membentuk jaringan arteriolae-kapiler. Bagian vasa-vasa berpasangan ini mempunyai peran penting pada preeklampsia, karena kejang eklamptik biasanya muncul dengan abnormalitas motorik dengan gangguan elektrik lobus parietalis.4 Pada eklampsia, ketika pasokan oksigen dan ADO normal, kira-kira 20% penggunaan oksigen menurun.4,11 Transcranial Doppler (TCD) Ultrasonography Ultrasonografi Doppler adalah teknik noninvasif untuk menilai sirkulasi intraserebral. Telah digunakan luas pada pasien bedah saraf untuk mendeteksi awal terjadinya vasospasme serebral yang mengikuti perdarahan subarakhnoid. TCD pad arteri serebral media memberi informasi perubahan kecepatan aliran sel darah merah, dan ketika dikombinasikan dengan tekanan darah, indeks relatif perfusi serebral dan CVR muncul di awal arteriolae.4 Penelitian pada kehamilan normal menunjukkan penurunan kecepatan rata-rata arteri serebral media sejalan dengan bertambahnya usia kehamilan dan kembali ke nilai sebelum hamil pada masa puerpurium.4,9 Penurunan kecepatan rata-rata akibat penurunan resistensi vaskuler, yang menunjukkan vasodilatasi arteri yang lebih distal dan sesuai dengan penelitian yang menunjukkan remodeling luar vasa-vasa kecil otak selama hamil. Beberapa peneliti mendapatkan peningkatan kecepatan aliran darah arteri serebral media pada preeklampsia. Preeklampsia dengan gejala gangguan penglihatan atau sakit kepala menunjukkan kecepatan yang paling tinggi. Peningkatan kecepatan juga dilaporkan terjadi pada eklampsia. Peningkatan kecepatan ini pada preeklampsia diasumsikan akibat sekunder dari resistensi yang tinggi pada bagian awal arteriolae. Pada hipertensi kronis tanpa preeklampsia tidak terdapat kenaikan kecepatan aliran darah serebral walaupun terjadi kenaikan tekanan arteri rata-rata.4,9 Uji autoregulasi serebral dinamis dengan menggunakan metode transcranial Doppler (TCD) didasarkan pada respon terhadap kecepatan aliran darah serebral pada perubahan kecil fisiologis pada tekanan darah arterial. Pada eklampsia menunjukkan hilangnya autoregulasialiran darah serebral. Velocity-Encoded Phase Contrast MRI Aliran darah otak berkurang secara signifikan pada akhir trimester pertama. Aliran selanjutnya konstan sampai 36–38 minggu, selanjutnya menurun drastis (20%). Diameter arteri serebral media dan posterior tidak berubah selama kehamilan dan masa postpartum. Temuan-temuan ini mendukung penelitian dengan menggunakan TCD bahwa kecepatan aliran arteri serebral media menurun dan tonus dinding vasa hilang saat hamil tua. Dihipotesakan bahwa resistensi bagian awal arteriolae menjadi lebih dilatasi untuk menjaga aliran darah konstan pada tingkat jaringan. Pada preeklampsia berat, aliran darah otak pada masa aterm yang diukur dengan menggunakan velocity-encoded phase contrast MRI tampak Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada Preeklampsia/Eklampsia menunjukkan kenaikan signifikan dibandingkan dengan kehamilan normal. Peningkatan aliran darah otak tidak berhubungan dengan vasodilatasi arteri serebral besar karena diameter keempat vasa utama tidak berubah. Tetap tidak jelas dan spekulatif apakah kenaikan aliran darah berasal dari perubahan resistensi bagian awal arteriolae, kenaikan curah jantung, kenaikan tekanan arteri rata-rata, atau faktor-faktor sistim saraf pusat yang mengendalikan autoregulasi. Teknik Lain untuk Menilai Hemodinamik Cerebral Beberapa teknik lain untuk menilai hemodinamik serebral adalah dengan perfussion-weighted imaging (PWI), single photon emission computed tomography (SPECT), proton magnetic resonance spectroscopy (MRS), near-infrared spectroscopy (NIRS) Perdarahan Serebral Perdarahan intrakranial tidak mematikan (nonletal) sering terjadi pada eklampsia. Pada beberapa kasus, kematian mendadak terjadi setelah kejang, dan merupakan akibat dari perdarahan serebral masif. Perdarahan lebih mudah terjadi pada pada ibu hamil dengan riwayat hipertensi kronis sebelumnya dan merupakan akibat sekunder dari lipohialinosis yang dipicu oleh hipertensi yang akan merusak arteri serebral kecil dan ukuran sedang di area striatokapsuler, talamus, serebelum, dan batang otak. Perubahan ini disebut Charcot-Bouchard aneuroform atau miliary aneuroform. Perdarahan dapat terjadi di area yang mengalami iskemia atau infark yang berubah menjadi infark hemoragik. Perdarahan seperti ini sering terjadi pada ibu muda dengan sindrom HELLP dan eklampsia. Preeklampsia juga dapat mengalami perdarahan subarakhnoid. Pada beberapa kasus ditemukan sedikit darah pada lobus frontal atau parietal yang meluas ke fisura sylvian atau jaringan interhemisfer dan diduga akibat ruptur petekie kortikal permukaan otak atau ruptur vena-vena kecil pada piamater. Hanya sedikit dilaporkan adanya perdarahan intraserebral pada preeklampsia akibat ruptur aneurisma atau malformasi arteriovenosa (AVM). 143 Cortical Blindness (Buta Kortikal) Kemungkinan disebabkan oleh perbedaan inervasi sirkulasi serebral posterior, gejala visual muncul pada 40% preeklampsia dan jarang didahului oleh gejala awal. Gejala-gejala yang muncul berupa skotomata, amaurosis, penglihatan kabur, diplopia, kromatopsia, dan homonymous hemianopsia. Abnormalitas retina termasuk edema, vasospasme arteriolae, trombosis arteri retina sentral, lepasnya retina biasanya dapat disingkirkan. Edema fokal lobus oksipital termasuk edema bilateral nuclei geniculata lateral dapat dilihat dengan pencitraan serebral. Sebagai tambahan, refleks cahaya pupil dan pergerakan bola mata tetap baik. Mayoritas pada preeklampsia dengan buta kartikal pulih kembali penglihatannya dalam waktu 2 jam sampai 21 hari. Perbaikan klinis juga tampak pada pencitraan serebral. Ibu dengan kelainan penglihatan permanen termasuk kebutaan biasanya mempunyai iskemia atau infark arteri retinanya–Purtscher’s retinopathy atau infark pada nuclei geniculata lateral.1,4,9,10,14 Remote Prognosis Lesi Otak Sampai saat ini, diketahui bahwa kejang pada preeklampsia tidak mempunyai sekuele jangka panjang. Penelitian-penelitian terbaru mendukung pandangan bahwa pulih kembali secara komplit tidak selalu terjadi. Dengan demikian, PRES tidak sesuai menggambarkan lesi otak yang tampak dengan MRI dan CT-scan pada eklampsia. Lesi-lesi tersebut tidak terbatas pada bagian posterior seberal dan kadang-kadang persisten. Lesi pada substansia alba 6–8 minggu postpartum juga tampak pada MRI. Parameter klinis keparahan eklampsia dengan atau tanpa lesi dapat dilihat pada tabel 1 di bawah. Data preliminari terbaru sesuai dengan persistensi jangka panjang lesi pada substansia alba yang terjadi saat kejang eklamptik. Menetapnya lesi otak setelah eklampsia bahkan masih dapat dilihat 7 tahun setelah kejadian. Patofisiologi yang mendasari perubahan morfologi dan kaitan klinisnya tetap tidak jelas. Kejadian serebrovaskuler pada eklampsia yang muncul merupakan rangkaian yang digolongkan sebagai awal, fase reversibel edema vasogenik yang 144 Jurnal Neuroanestesi Indonesia disebabkan hipertensi dengan disfungsi endotel. Pada beberapa kasus, edema vasogenik berat dapat menurunkan perfusi serebral menyebabkan iskemia fokal. Paling tidak, seperempat kasus eklampsia pada MRI menunjukkan transisi antara edema vasogenik reversibel ke edema sitotoksik, iskemia serebral ireversibel, dan infark. Pada kasus-kasus ekstrim, edema otak global progresif menyebabkan kemunduran status neurologis, termasuk kebutaan, status mental, koma, herniasi transtentorial, dan kematian.4,9,10 Lesi otak persisten pada eklampsia meningkatkan kemungkinan adanya bukti disfungsi otak yang tidak jelas/samar. Dengan demikian, keadaan ini kontradiktif dengan pemikiran bahwa eklampsia akan diikuti oleh pulih komplit status neurologis.4,9,10 Setidaknya terdapat 1 penelitian yang dirancang untuk meneliti hal ini. Penelitian kognitif terhadap ibu dengan eklampsia melaporkan terjadi gangguan fungsi kognitif, tetapi tidak ada data sebelum terjadi eklampsia.4 Beberapa kasus digambarkan mengalami epilepsi paska-eklampsia. Sklerosis hipokampus dilaporkan terjadi pada pasien dengan epilepsi lobus temporal beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah PRES. Tidak diketahui bila gliosis dapat menjadi fokus epilepsi kronis, tetapi perlu dipertimbangkan. Telah didapatkan data epidemiologis yang mendukung konsekuensi serebrovaskuler jangka panjang pada preeklampsia dibandingkan dengan kehamilan normal, bahwa mereka mengalami 3–5 kali stroke fatal pada preeklampsia. Tidak diketahui, apakah stroke sering terjadi pada eklampsia.4,7,11 Implikasi Anestesia Pelayanan anestesi meliputi pelayanan preanestesi, tindakan anestesi, dan postanestesi. Persiapan preoperatif yang tidak terburu-buru menurunkan risiko anestesi pada ibu dengan preeklampsia.9,12 Penilaian preanestesi ibu preeklampsia difokuskan pada pemeriksaan jalan napas, hemodinamik dan status koagulasi, dan status hidrasi. Edema generalisata mungkin menyulitkan laringoskopi. Preeklampsia sering dihubungkan dengan berbagai derajat deplesi volume intravaskuler dan penilaian klinis status volume intravaskuler menjadi sulit. Penggunaan monitor vaskuler invasif direkomendasikan pada kasus-kasus berat.13 Penggunaan kateter vena sentral untuk monitoring respon pemberian cairan pada kasus oliguri sebetulnya layak, walaupun jarang Tabel 1. Perbandingan Parameter Klinis Keparahan Eklampsia dengan ada atau tidaknya Infark Serebral. (Sumber: Lindheimer.4) Faktor Umur (tahun) Umur kehamilan (mg) MAP (mmHg) Δ MAP (mmHg) Serum kreatinin > 0,9 (mg/dL) Proteinuria ≥ 3+ (dipstick) Jumlah trombosit (x1000/µL): Mean < 150 < 100 Sindrom HELLP Kejang berulang Ada Infark (n=6) 23,0 ± 7,1 36,2 ± 2,4 123 ± 10,8 40,4 ± 15,1 4 (67%) Tidak Ada Infark (n=18) 20,7 ± 6,4 39,0 ± 2,1 112 ± 11,1 30,1 ± 11,7 2 (11%) p value 0,465 0,12 < 0,001 0,096 0,007 4 (67%) 3 (17%) 0,020 105 ± 53 4 (67%) 3 (50%) 3 (50%) 5 (83%) 203 ± 63 4 (22%) 1 (6%) 1 (6%) 2 (11%) 0,002 0,046 0,012 0,012 < 0,001 Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada Preeklampsia/Eklampsia dilakukan. Bila pemasangan monitor vaskuler invasif menunda atau memperlama tindakan definitif operatif, pemasangannya tidak dilakukan, karena tidak mengubah manajemen anestesi intraoperatif. Kebanyakan para dokter kandungan memilih segera melahirkan bayi walaupun ibu dalam keadaan oliguria dan mengoptimalisasi status hidrasi setelah kelahiran.13 Pertimbangan anestesia pada kasus preeklampsiaeklampsia harus mengingat kembali kejadian yang sebenarnya terjadi pada serebrovaskuler otak. Bahwa telah terjadi perubahan serebrovaskuler di otak, tidak selalu memunculkan adanya kenaikan tekanan intrakranial yang menjadi pertimbangan penting pemilihan tindakan dan obat yang dipakai dalam anestesi. Bila terdapat kenaikan tekanan intrakranial, anestesi umum dengan kaidah neuroanestesi merupakan pilihan.5,13 Hiperventilasi dapat diberikan segera setelah kelahiran bayi untuk meminimalisir efek penurunan PaCO2 pada arteri uterina.5 Dokter anestesi, dokter kebidanan, dan intensivis merupakan tim dalam penanganan kasus preeklampsi kritis. Penanganan icu pada masa antenatal dan postpartum yang diindikasikan pada pasien dengan preeklampsi berat yang mengalami edema paru, hipertensi tidak terkontrol, anuria atau gagal ginjal, kejang berulang, DIC, gangguan neurologis yang membutuhkan ventilasi misalnya perdarahan intraserebral atau infark serebral atau edema serebri) dan gangguan kritis intraabdominal, seperti gagal hepar akut, hematoma hepar subkapsuler.9 Pada pelayanan tindakan obstetri, teknik regional anestesi merupakan pilihan bila tidak ada kontraindikasi, sehingga pemeriksaan mendetail tentang kontraindikasi masingmasing teknik anestesi harus diteliti pada pasien. Laporan tentang kematian ibu hamil di Inggris menunjukkan bahwa penyebab utama kematian ibu dengan preeklampsia adalah perdarahan intrakranial. Kerugian dilakukannya tindakan anestesi umum pada preeklampsia adalah risiko perdarahan intrakranial dari respon hipertensif akibat intubasi dan ekstubasi endotrakeal. Risiko sulit intubasi dan aspirasi yang besar juga merupakan faktor yang mungkin terjadi. Bagaimanapun, pertimbangan khusus pemilihan 145 teknik anestesi pada preeklampsia untuk seksio sesaria adalah: pemilihan teknik anestesi, teknik induksi pada anestesi umum, dan interaksi antara MgSO4 dengan pelumpuh otot nondepoler.9,12,13 Pada prinsipnya teknik regional tidak dilakukan pada pasien yang menolak tindakan anestesi regional, dengan gangguan faktor koagulasi, dan sepsis.6,8-13Anestesi umum diindikasikan pada pasien dengan gawat janin berat, edema pulmonum, ketidakstabilan hemodinamik, risiko intraspinal hematom (misalnya abrupsio plasenta, trombositopenia berat) atau eklampsia dengan gangguan kesadaran atau defisit neurologis.9 Trombositopenia terjadi pada 15%– 20% pasien dengan preeklampsia berat, sehingga pemeriksaan jumlah trombosit menjadi sangat penting. Aktivitas trombosit mungkin abnormal pada preeklampsia berat dengan jumlah trombosit <100.000/mm3, sehingga analisa fungsi trombosit atau faktor koagulasi lain menjadi penting.12,15,16 Beberapa literatur merekomendasikan batas 80.000/mm3 untuk dilakukan teknik regional anestesia dengan nilai faktor koagulasi lain dalam batas normal.6 Tidak diketahui nilai trombosit yang berisiko untuk terjadinya epidural hematom.12,13 Bila teknik regional anestesi tetap dipilih pada kasus jumlah trombosit <100.000/ mm3, rekomendasi untuk mengurangi risiko epidural hematom dan sekuelenya adalah: 1. Tindakan sebaiknya dilakukan oleh dokter anestesi yang paling mahir untuk mengurangi penusukan dan kemungkinan berdarah. 2. Teknik spinal anestesi dipilih dibanding teknik epidural, karena kecilnya jarum. 3. Penggunaan kateter epidural yang lentur untuk menghindari trauma vena (bila epidural menjadi pilihan, sesuai indikasi). 4. Monitoring postanestesi-postoperasi terhadap tanda-tanda neurologis perdarahan epidural. 5. Cek jumlah trombosit sebelum lepas kateter epidural (sedikitnya 75.000 sampai 80.000/ mm3). 6. Pemeriksaan pencitraan (CT scan/MRI) dan konsultasi neurologi atau bedah saraf harus dilakukan segera bila terdapat kecurigaan tentang epidural hematom untuk mencegah cedera neurologis permanen.13 Pada masa persalinan, pemberian analgesia neuroaksial sering diberikan dengan alasan 146 Jurnal Neuroanestesi Indonesia menghindari anestesi umum dengan kemungkinan sulit pengendalian jalan napas, risiko aspirasi dan hipertensi poten akibat laringoskopi pada persalinan dengan sc emergensi, mengoptimalkan kateter epidural sebelum terjadi penurunan jumlah trombosit, dan memberikan efek menguntungkan analgesia neuroaksial pada perfusi uteroplasenta.11,13 Continuous lumbar epidural anesthesia atau combined spinal epidural analgesia merupakan pilihan manajemen nyeri selama persalinan pada preeklampsia, karena memberikan kualitas analgesi yang baik sehingga mengurangi respon hipertensif akibat nyeri, menurunkan kadar katekolamin yang beredar dan hormon stres lain, memperbaiki aliran darah intervilosa, dan memberi akses bila seksio sesarea emergensi harus dilakukan. Sayangnya teknik kombinasi tidak dapat dievaluasi sampai resolusi akibat anestesi spinal sudah terjadi komplit.11,13 Pada kasus emergensi, kateter epidural yang berfungsi baik dapat menjadi akses tindakan anestesi untuk seksio sesarea, tetapi bila membutuhkan waktu lebih lama untuk efektif, konversi ke anestesi umum dapat merupakan pilihan. Ketika keputusan untuk melakukan anestesi umum dibuat, dokter anestesi dihadapkan pada 3 tantangan utama, yaitu potensi sulit laringoskopiintubasi, respon hipertensif akibat laringoskopiintubasi dan ekstubasi, dan efek MgSO4 pada transmisi neuromuskuler dan tonus uterus. Berikut adalah rekomendasi teknik anestesi umum pada ibu preeklampsia berat:12,13 1. Pasang kanul arteri radialis untuk monitor tekanan darah kontinyu. 2. Pasang akses intravena besar untuk antisipasi perdarahan postpartum. 3. Pastikan berbagai ukuran pipa endotrakheal dan perlengkapan sulit intubasi. 4. Berikan antagonis reseptor H2 dan metoklopramid iv 30–60 menit sebelum induksi anestesi. 5. Berikan antasida nonpartikel per oral 30 menit sebelum induksi. 6. Denitrogenasi (3 menit bernapas biasa atau 8 kali bernapas dalam dengan oksigen 100% menggunakan sungkup muka). 7. Beri labetolol (10 mg iv bolus) untuk mentitrasi penurunan tekanan darah sampai 140/90 mmHg sebelum induksi anestesi. Labetolol merupakan obat pilihan, karena onsetnya lambat dan durasinya panjang. Bila tidak tersedia, tidak respon atau kontraindikasi dengan labetolol dapat digunakan hidralazin atau nikardipin, sodium nitroprusid (SNP) atau infus nitrogliserin. Pemberian SNP dan nitrogliserin harus hati-hati, karena berefek pada preload, sedangkan pasien dengan preload terbatas. Nikardipin diberikan dengan dosis 15–30 mcg/kgbb intravena. Karena sifatnya yang arterioselektif (tidak ada efek pada kapasitan vena atau preload), nikardipin tidak menurunkan dengan cepat tekanan darah dibandingkan dengan SNP dan nitrogliserin. Dapat juga diberikan MgSO4 intravena bolus 30–45 mg/kgbb segera setelah induksi. 8. Monitor denyut jantung janin. 9. Lakukan rapid sequence induction (RSI) dengan propofol 2–2,8 mg/kgbb dan pelumpuh otot kemudian lakukan laringoskopi. 10. Pemeliharaan anestesi dengan agen volatil atau propofol intravena dan oksigen 100% sebelum lahir bayi. Bila bayi telah lahir, turunkan dosis agen volatil atau propofol untuk mengurangi risiko atoni dan berikan opioid dengan atau tanpa benzodiazepin. Sebaiknya tidak memberi tambahan pelumpuh otot nondepoler. 11. Pada akhir operasi, reverse pelumpuh otot nondepoler dan dapat diberikan lagi labetolol 5–10 mg intravena bolus untuk mencegah hipertensi akibat ekstubasi. Pasien yang tidak kembali secara neurologis (tidak sadar/awake atau concious) sebaiknya tetap terintubasi dan dimonitor di ICU. Bila kesadaran menetap, evaluasi neurologis lebih lanjut dengan elektroensefalografi dan pencitraan otak perlu dilakukan untuk menyingkirkan masalah neurologis lain yang mendasari.5,13 Risiko preeklampsia berat tidak berakhir begitu saja setelah kelahiran bayi. Ibu preeklampsia masih berisiko terjadi edema pulmonum, hipertensi, stroke, tromboemboli, sumbatan jalan Patofisiologi Serebrovaskuler dan Implikasi Anestesi pada Preeklampsia/Eklampsia napas, kejang, bahkan eklampsia dan sindroma HELLP. Risiko kejadian serebrovaskuler tinggi pada periode ini, karena ibu dengan preeklampsia biasanya mengalami pemanjangan kejadian hipertensif. Direkomendasikan untuk memberikan obat anti hipertensi bila tekanan darah sistol diatas 150 mmHg atau tekanan darah diastol diatas 100 mmHg. Keadaan ini harus dimonitor dengan baik. Pada ibu pada masa postpartum yang mengalami peningkatan tekanan darah disertai nyeri kepala atau gejala neurologis, atau munculnya tiba-tiba hipertensi berat, pemberian MgSO4 selama 24 jam mencegah kejadian eklampsia atau gangguan serebrovaskuler.9,13-18 Analgesia postoperasi tidak berbeda dengan kehamilan sehat termasuk patient controlled intravenous opioids, opioid intratekal, continuous epidural infusion. Penanggulangan nyeri menumpulkan respon hipertensif akibat nyeri pada postpartum preeklampsia/eklampsia.9,13 III. Simpulan Terjadi perubahan serebrovaskuler pada preeklampsia/eklampsia berupa edema vasogenik, edema sitotoksik, peningkatan permeabilitas sawar darah otak, dan rusaknya autoregulasi. Perubahan serebrovaskuler tidak selalu menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Persiapan preoperatif berupa penilaian preanestesi menurunkan risiko anestesi pada ibu dengan preeklampsia. Pertimbangan khusus pemilihan teknik anestesi pada preeklampsia adalah pemilihan teknik anestesi, teknik induksi pada anestesi umum, dan interaksi antara MgSO4 dan NMDR. Teknik anestesi sesuai kaidah neuroanestesi merupakan rekomendasi pada preeklampsia/eklampsia dengan peningkatan tekanan intrakranial. Daftar Pustaka 1. Polley LS. Hypertensive disorder. Dalam: Chesnut DH, Polley LS, Tsen LC, Wong, CA, editors. Chesnut’s Obstetric Anesthesia Principles and Practice. 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009. 975–1007. 2. Sregovskikh D, Braveman FR. Pegnancy- 147 associated diseases. Dalam: Stoelting RK, editor. Stoelting’s Anesthesia and Coexisting Disease. 6th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012.558–82. 3. Cerdeira AS, Karumanchi SA. Biomarkers in preeclampsia. Dalam: Lindheimer MD, Roberts JM, Cunningham FG, editors. Chesley’s Hypertensive Disorders in Pregnancy. 3rd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009; 385–426. 4. Lindheimer MD, Roberts JM, Cunningham FG. Cerebrovascular (Patho)Physiology in preeclampsia/eclampsia. Dalam: Lindheimer MD, Roberts JM, Cunningham FG, editors. Chesley’s Hypertensive Disorders in Pregnancy. 3rd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009.227–47. 5. Hepner DL, Kodali BS, Segal S. Pregnancy and obstetrics complications. Dalam: Fleisher LA, editor. Anesthesia and Uncommon Diseases. 6th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012.537–72. 6. Priyambodo GD, Suwondo BS. Seksio sesaria pada pasien eklampsi dan preeklampsi. Dalam: Bisri T, Wahjoeningsih S, Suwondo BS, editors. Anestesi Obstetri. Bandung: Saga Olahcitra; 2013;135–51. 7. Veillon EW, Martin JN. Pregnancy-related stroke. Dalam: Belfort M, Saade G, Foley M, Phelan J, Dildy GA, editors. Critical Care Obstetrics Volume 1. 5th ed. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2010;235–55. 8. Dodson BA, Rosen MA. Anesthesia for neurosurgery during pregnancy. Dalam: Hughes SC, Levinson G, Rosen MA, editors. Shnider and Levinson’s Anesthesia for Obstetrics. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2002;509–27. 9. Dekker G. Hypertension. Dalam: James DK, editor. High-Risk Pregnancy: Management Options. 4th ed. St. Louis: Saunders Elsevier; 2011;599–610. 148 Jurnal Neuroanestesi Indonesia 10. Markham KB, Funai EF. Pregnancy-related hypertension. Dalam: Creasy RK, Resnik R, Lams JD, editors. Creasy and Resnik’s Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. 7th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2014;756–89. 11. Beilin,Y. Preeclampsia. Dalam: Reed AP, Yudkowitz FS, editors. Clinical Cases in Anesthesia. 4th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2014;285–90. 12. Baysinger CL. Hypertensive disorder of pregnancy. Dalam: Atlee JL, editor. Complications in Anesthesia. 2nd ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007;759– 62. 13. Bateman BT, Polley LS. Hypertensive disorder. Dalam: Chesnut DH, editor. Chesnut’s Obstetric Anesthesia: Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2014; 825–59. 14. Horlocker TT, Wedel DJ, Rowlingson JC, Enneking FK, Kopp SL, Benzon HT, et al. Regional anesthesia in the patient receiving antithrombotic or thrombolytic therapy: American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine Evidence-Based Guidelines 3rd ed. Reg Anesth Pain Med 2010; 35:64–101. 15. Bateman BT, Mhyre JM, Ehrenfeld J, Kheterpal S, Abbey KR, Argalious M, et al. The risk and outcomes of epidural hematomas after perioperative and obstetric epidural catheterization: a report from the multicenter perioperative outcomes group research consortium. Anesth Analg 2013; 116: 1380–5. 16. Cantu-Brito C, Arauz A, Aburto Y, Barinagarrementeria F, Ruiz-Sandoval JL, Baizabal-Carvallo, JF. Cerebrovascular complications during pregnancy and postpartum: clinical and prognosis observations in 240 Hispanic women. Eur J Neurol 2011; 18:819–25. 17. Powe CE, Levine RJ, Karumanchi SA. Preeclampsia, a disease of the maternal endothelium: the role of antiangiogenic factors and implications for later cardiovascular disease. Circulation 2011; 123:2856–69. 18. Vigil-De Gracia P, Ortega-Paz L. Preeclampsia/eclampsia and hepatic rupture. Int J Gynaecol Obstet 2012; 118: 186–9. Efek Proteksi Otak Erythropoietin Iwan Fuadi, Tatang Bisri Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Abstrak Eritropoietin (EPO) adalah hormon ginjal yang berfungsi mempertahankan jumlah eritrosit. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa EPO adalah molekul multifungsi yang dihasilkan dan digunakan oleh berbagai jaringan. Selain eritropoiesis. EPO juga terlibat pada respon biologis kerusakan jaringan akut dan subakut. Eritropoietin tidak hanya berperan dalam eritropoiesis tetapi juga memiliki efek proteksi otak dengan merangsang protein of repair, mengurangi eksitotoksisitas neuron, mengurangi inflamasi, menghambat apoptosis neuron dan merangsang neurogenesis dan angiogenesis pada penelitian eksperimental cedera iskemia, hipoksia dan cedera toksik. EPO juga memperbaiki outcome neurologik dan fungsi mental. Ditemukannnya EPO dan reseptor EPO (EPOR) di organ-organ dan jaringan non eritroid menunjukkan EPO mempunyai fungsi yang lain. Produksi ekstrarenal dari EPO ditemukan pada binatang pengerat dewasa dan pada manusia dengan severely anemic anephric masih ditemukan kadar EPO walau sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi sintesa ekstrarenal dari EPO. Berbagai jenis sel pada sistem saraf pusat memproduksi EPO dan mengkespresikan EPOR. Mekanisme kerja EPO dapat mempengaruhi berbagai langkah dalam kaskade kematian sel. EPO dapat mencegah kematian sel neuron eksitotoksik yang diakibatkan oleh berbagai reseptor glutamat agonis juga melindungi sel neuron dari toksisitas yang diakibatkan oleh kainate, NMDA dan AMPA. EPO dapat melawan efek sitotoksik dari glutamat, meningkatkan ekspresi enzim-enzim antioksidan, mengurangi pembentukan radikal bebas, memperbaiki aliran darah serebral, mempengaruhi pelepasan neurotransmiter, dan meningkatkan angiogenesis. EPO tidak hanya berfungsi dalam proses eritropoiesis tetapi juga mempunyai efek protektor otak. Jalur proteksi otak dari EPO memang masih belum jelas tetapi penelitian-penelitian menunjukkan terdapat perbaikan dari otak baik secara klinis maupun laboratoris setelah pemberian EPO. Kata kunci: EPO, proteksi otak, kematian sel neuron JNI 2015; 4 (2): 149–56 Brain Protection Effect of Erythropoietin Abstract Erythropoietin (EPO) has been viewed solely as a renal hormone with a specialized role in maintaining adequate numbers of erythrocytes. However, recent studies have revealed that EPO is a multifunctional molecule produced and utilized by many tissues. In addition to erythropoiesis, EPO’s other key roles involve the acute and sub acute biological responses to tissue damage. Studies showed that EPO stimulates proteins of repair, diminishes neuronal excitotoxicity, reduces inflammation, inhibit neuronal apoptosis and stimulates both neurogenesis and angiogenesis. EPO also improved neurological outcomes and mental function. The discovery of EPO and EPOR (erythropoietin receptor) in many non-erythroid organs and tissues suggested that EPO has other roles. Extrarenal production of EPO found in adult rodents and in humans. Different cell types in the nervous system produce EPO and express EPOR. EPO mechanism influence every step in cascade of neuronal cell death. EPO prevents excitotoxic neuronal cell death caused by glutamate receptor agonists that protect neuron from toxicity from kainate, NMDA and AMPA. EPO can resist cytotoxic effect of glutamate, increased antioxidant enzymes expression, reduce free radical formation, repair cerebral blood flow, influence release of neurotransmitter dan angiogenesis. EPO function not only in erythropoiesis but also in brain protection. The brain protection pathway of EPO remains unclear but clinical and laboratory studies showed that good result. Key words: EPO, brain protection, neuronal cell death JNI 2015; 4 (2): 149–56 149 150 Jurnal Neuroanestesi Indonesia I. Pendahuluan Cedera otak merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Cedera otak traumatika menyebabkan gangguan fisik, kognitif, perilaku dan emosi jangka panjang. Saat ini kerusakan otak primer akibat cedera otak sangat kecil kemungkinan untuk diperbaiki tetapi kerusakan otak sekunder memiliki peluang untuk perbaikan. Saat ini terapi secara farmakologis untuk menurunkan kerusakan otak sekunder tidak ada yang spesifik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa erythropoietin (EPO) merupakan mediator endogen untuk proteksi otak pada berbagai gangguan sistim saraf pusat termasuk cedera otak traumatika.1 Selama bertahun-tahun EPO dianggap hanya sebagai hormon dari ginjal yang berfungsi khusus untuk mempertahankan jumlah eritrosit yang adekuat. Tetapi banyak penelitian yang menunjukkan bahwa EPO merupakan molekul multifungsi yang dihasilkan dan digunakan oleh berbagai jaringan. Selain fungsi eritropoiesis EPO juga berperan dalam respon kerusakan jaringan baik yang akut maupun yang subakut. Pada kondisi tersebut EPO mengurangi kerusakan baik primer maupun sekunder dan memfasilitasi perbaikan fungsi-fungsi jaringan.2 Ditemukannya EPO dan reseptor EPO (EPOR) di organ-organ dan jaringan non eritroid seperti sel endotel, organ reproduksi, jantung, traktus gastrointestinal, sel otot dan sistim saraf pusat menunjukkan EPO mempunyai fungsi-fungsi yang lain. Produksi ekstrarenal dari EPO sekitar 15–20% dari total produksi EPO pada binatang mengerat dewasa. Pada manusia dengan severely anemic anephric masih ditemukan kadar EPO walau sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi sintesa ekstrarenal dari EPO.1 Berbagai jenis sel pada sistem saraf pusat (neuron, sel glia dan sel endotelial) memproduksi EPO dan mengkespresikan EPOR. EPO memiliki beberapa kemungkinan jalur untuk proteksi otak. Penelitian sebelumnya menunjukkan EPO melindungi neuron dari proses toksisitas glutamat dengan mengaktivasi kanal Ca eksitatori dan meningkatkan aktifitas antioksidan dalam neuron. Penelitian pada tikus yang diberikan EPO sebelum dan sesudah trauma pada otak menunjukkan nekrosis yang lebih sedikit, penurunan inflamasi, apoptosis, dan edema otak.3 Penelitian pemberian EPO pada pasien stroke aman dan memperbaiki outcome fungsional.4 Penelitian penggunaan EPO pada manusia dengan cedera kepala aman digunakan hanya hasil yang didapat kurang memuaskan karena sampel yang kurang homogen diperkirakan bila sampel homogen akan didapatkan hasil yang lebih baik.5 II. Erythropoietin Recombinant Human Erythropoietin (rhEPO) EPO endogen diproduksi oleh interstitial fibroblast dan endotel peritubuler di ginjal (90%) pada orang dewasa, dan di hepatosit (10%) pada saat fetus yang merupakan primer EPO. EPO mRNA (messenger RNA) juga dapat dideteksi di paru-paru, testis, dan otak, tetapi tidak pada otot, usus atau tulang belakang dari golongan binatang pengerat. Carnot dan Deflandre merupakan orang yang pertama kali mempublikasikan hemapoietin pada otak. Lebih dari 60 tahun, banyak penelitian dilakukan untuk membuktikan kemungkinan bahwa EPO dapat diproduksi oleh otak sendiri. Sejak diketahui bahwa EPO dapat melewati sawar darah otak, banyak penelitian tentang EPO dan efeknya terhadap susunan saraf pusat (SSP).6,7 Ada empat macam rhEPO, yaitu epoetin alfa, epoetin beta, epoetin omega, dan epoetin delta. Sampai saat ini tentang epoetin delta belum banyak didapatkan data. EPO yang ada di Indonesia adalah epoetin alfa. Perbedaan struktur kimia terdapat pada kadar oligosakarida. Epoetin alfa (39% oligosakarida), epoetin beta (24% oligosakarida),dan epoetin omega (21% oligosakarida) tidak ada perbedaan efikasi dan farmakologinya. Epoetin alfa dan beta diproduksi dari Chinese hamster ovary (CHO) dan epoetin omega diproduksi dari sel baby hamster kidney (BHK).6,7 Epoetin alfa ini dihasilkan dengan teknologi DNA rekombinan melalui pengenalan gen eritropoetin manusia dalam sel CHO. Sel CHO yang sudah dipilih kemudian dikloning sampai menghasilkan 70–80 ribu sel. Selama kloning diberikan terapi bromdeoxyuridine dengan konsentrasi 250 ug/mL kemudian dilakukan kromatografi dan selanjutnya dilakukan pemilihan sel yang sesuai Efek Proteksi Otak Erythropoietin morfologi, kariotip, dan fenotipnya. Untuk pembuatan rhEPO disiapkan cotransfection dari sel CHO dengan plasma pSVEp2neo dan pBRTK dilanjutkan dengan proses stabilisasi sampai menghasilkan sel rhEPO yang bebas virus dan tidak ada perubahan kariotip, isozim, laju pertumbuhan sel, copy number of vector, kadar enzim dan hibridisasi in situ. Hal ini yang menghasilkan efek biologis dan urutan asam amino yang sama dengan eritropoetin endogen.7 Struktur Kimia Eritropoietin Epoetin alfa merupakan glikoprotein 34.000 Dalton, yang terdiri dari 60% protein dan 40% karbohidrat yang mempengaruhi eritropoisis sel darah merah. Human gen EPO merupakan singleCopy-gen, yang terletak pada kromosom 7 yang terdiri dari 5 ekson dan 4 intron, 165 asam amino peptida. EPO memiliki berat molekul glikoprotein 30.000, deglikosilat EPO 18.000 terdiri dari 2 buah rantai disulfida, 4 a-helical bundle, dengan proporsi karbohidrat berupa fruktosa, galaktosa, manosa, N-asetilgalaktosamin, asam N-asetilneuraminik, 3 N linked, 1 O-linked glykosilasi.6 EPO akan merangsang pembelahan dan diferensiasi progenitor eritroid pada sumsum tulang belakang. EPO masuk ke sirkulasi, kemudian di sumsum tulang mengatur produksi sel darah, dan mencegah apoptosis dari sel progenitor eritroid.8 Mekanisme Kerja EPO Mekanisme kerja EPO dapat mempengaruhi berbagai langkah dalam kaskade kematian sel Dikutip dari: Rabie T dkk.3 Gambar 1 Proses Sinyal EPO 151 neuron. Sebagai contoh EPO dapat mencegah kematian sel neuron eksitotoksik yang diakibatkan oleh berbagai glutamat reseptor agonis. EPO juga melindungi sel neuron dari toksisitas yang diakibatkan oleh kainate dan NMDA dan AMPA. EPO juga menghambat pelepasan eksitotoksisitas glutamat yang diinduksi oleh kalsium pada granula serebelar neuron akibat iskemia oleh zat kimia pada in vitro. Penghambatan eksitotoksisitas glutamat yang akan menghambat aksi glutamat pada reseptornya dihambat oleh EPO sehingga kematian sel akibat iskemia dapat ditekan. EPO juga menurunkan NO-mediated injury.9 Mekanisme Kerja EPO di Sistim Saraf Pusat Ekspresi EPO di otak dewasa meningkat pada hipoksia dan stres metabolik akut. Hal ini dibuktikan dengan terdeteksinya EPO dalam cairan serebrospinalis atau pada jaringan otak setelah cedera kepala traumatika, perdarahan subarakhnoid, dan stroke pada pemeriksaan post mortem.10 Mekanisme kerja EPO sebagai neuroprotektor diduga multifaktorial baik secara langsung maupun tidak langsung pada neuron. EPO dapat melawan efek sitotoksik dari glutamat, meningkatkan ekspresi enzimenzim antioksidan, mengurangi pembentukan radikal bebas, memperbaiki aliran darah serebral, mempengaruhi pelepasan neurotransmiter, dan meningkatkan angiogenesis.10 Hipoksia dan cedera meningkatkan produksi EPO dan EPO reseptor (EPO-R) pada otak. EPO menurunkan regulasi tyrosine phosphatase dan mengaktifkan ERK1 dan ERK2 suatu regulator kinase pada neuron di daerah cortex. Epoetin alfa melindungi neuron daerah hipokampus pada tikus dari kematian sel akibat hipoksia melalui aktifasi ERK1, ERK 2 dan Akt.10 Pada neuron di cortex otak tikus Pada neuron daerah cortex pada tikusEPO berefek proteksi dengan cara EPO–R mengaktifasi JAK2 kemudian mengaktifasi kaskade nuclear factor (NF)–kB dan meningkatkan ekspresi gen inhibitor apoptosis yaitu XIAP dan c-IAP2. EPO juga mempunyai efek proteksi terhadap cedera akibat iskemia pada neuron melalui regulasi gen anti apoptosis yaitu gen Bcl–x. Efek neuroprotektor juga dapat dilihat dari efek penurunan inflamasi dari daerah cedera otak. NF–kB yang diaktifasi oleh EPO adalah 152 Jurnal Neuroanestesi Indonesia regulator dari gen inflamasi (gambar 1).10 Eritropoietin memiliki efek neuroprotektor kemungkinan melalui beberapa cara. Hypoxiainduced EPO mengatur regulasi penyampaian oksigen ke otak. Pengaruh EPO terhadap endotelium juga diduga berefek neuroprotektor, dengan cara: 1. Memproduksi faktor-faktor yang mengatur aliran darah. 2. Meningkatkan survival sel endotel. 3. Melakukan modifikasi mobilisasi sel progenitor endotelial dan angiogenesis. 4. Mempunyai efek neurogenesis dan migrasi neuroblast. EPO berefek maturasi oligodendrosit dan melindungi dari interferon-gamma (IFN-γ), toksisitas lipopolisakaraida, ekspresi inducible nitric-oxide synthase (iNOS) dan produksi nitrit.11 EPO mempunyai efek antioksidan (secara langsung sebagai free radical scavenging atau tidak langsung dengan mengaktifasi enzim-enzim antioksidan).11 Anti apoptosis dari EPO dengan cara berikatan dengan EPO–R menginduksi fosforilasi dari Janus tyrosine kinase 2 (Jak2). Jak2 yang teraktifasi menyebabkan fosforilasi dari tyrosine site pada EPO-R intrasel. Fosforilasi ini menyebabkan aktifasi dari signal transducer and activator of transcription 5 (STAT5), phosphoinositol-3-kinase (P13K), mitogen-activated protein kinases (MAPKs), SH2-containing protein-tyrosine phosphatases (SHPs) dan NF–kB transcription factor. STAT5 Dikutip dari : Keswani dkk.12 Gambar 2 Skema jalur proteksi EPO pada axon mengaktifkan protein antiapoptosis Bcl–xl. P13K mengaktifkan protein kinase B (Akt) yang menghambat programed cell death (PCD). MAPKs menjembatani ekspresi gen yang mencegah PCD. SHPs menghambat PCD dan menurunkan regulasi EPO. NF–kB menyebabkan induksi inhibitor of apoptosis protein (IAP) family.11 EPO sistemik juga menurunkan degenerasi dari axon, kelemahan anggota gerak dan nyeri neuropatik. Hipotesa jalur proteksi EPO terhadap axon sebagai berikut, axon yang mengalami cedera merangsang produksi nitric oxide (NO) dalam neuron, NO merangsang produksi EPO dari sel Schwann sekitarnya. EPO yang dihasilkan dari sel Schwann mengaktifkan jalur proteksi axon melalui ligasi EPO–R pada neuron (gambar 2).12 Jalur Sinyal yang Berperan dalam Proses Neuroproteksi dari EPO Berbagai penelitian telah mengeksplorasi proteksi otak dari EPO melalui jalur sinyal EPO–EPOR kompleks (gambar 3). EPO endogen dan eksogen dapat berikatan dengan EPOR menyebabkan homodimerization dan fosforilasi JAK–2 mengakibatkan proses aktivasi downstream signaling yang rumit.1 Fosforilasi JAK–2 mengaktifkan phosphatidylinositol 3– kinase (P13–K) dan menginduki aktifasi NF– kβ (nuclear factor) dan menstimulasi STAT-5 homodimerization. Selain itu fosforilasi JAK–2 mengaktifasi Ras-Mitogen activated protein kinase (MAPK) signaling pathways, dan modulasi konsentrasi kalsium pada sel yang tereksitasi, aktifitas elektrik dan pelepasan neurotransmiter dengan mengaktifkan phospholipase C–ƴ. Dari berbagai jalur ini yang perlu diperhatikan adalah jalur PI3– K/v–akt murine thymoma viral oncogene homolog (Akt) Ras/MAPK, kedua jalur tersebut penting pada efek anti apoptosis dan efek tropik dari EPO. Jalur Janustyrosine-kinase-2 (JAK2)–PI3K sangat penting kemampuan neuroproteksi dari EPO. Penelitian in vivo menunjukkan inhibisi JAK–2 atau PI3–K menghilangkan efek neuroproteksi dari EPO. Aktifasi Akt yang dimediasi melalui PI3–K, memodulasi beberapa sinyal intrasel yang berperan pada apoptosis, synaptic signaling, dan sintesa glikogen. Molekul target dari Akt adalah Efek Proteksi Otak Erythropoietin p53, GSK–3 dan cytochrome c yang berperan pada proses-proses modulasi penting seperti sintesa glikogen, siklus sel dan kematian sel. alur Ras/Raf/MEK/extracellular signal-regulated kinase (ERK)–1/2 juga berperan pada respon neuroproteksi diperkirakan berperan pada efek antiapoptosis dari EPO dengan meningkatkan transkripsi dari gen-gen antiapoptosis (Bcl–2, Bcl–xL). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa EPO menurunkan volume infark dan merangsang aktifasi dari jalur JAK–2, ERK– 1/2, and PI3–K/Akt yang berhubungan dengan peningkatan protein antiapoptosis Bcl-xL. Akhirnya jalur JAK2–STAT diperkirakan berperan penting pada efek antiapoptosis dari EPO. Fosforilasi STAT–5 akibat EPO/EPOR coupling melalui JAK–2. Phosphorylated STAT– 5 yang sudah berfosforilasi berhomodimerisasi dan memasuki inti sel dimana gen antiapoptosis Bcl-2 and Bcl-xL dintranskripsi. Bcl–2 dan Bcl– xL mempunyai kemampuan untuk mencegah pelepasan cytochrome c dari mitokondria. EPO telah diketahui meningkatkan STAT–5 dan konsentrasi gen-gen antiapoptosis. Peran pasti dari jalur STAT–5 masih belum jelas, tetapi kemungkinan berperan pada efek antiapoptosis dan neurogenesis. Beberapa jalur baru yang yang mungkin berperan dalam kemampuan EPO untuk mencegah apoptosis seluler berkaitan erat dengan Akt-1. Setelah aktifasi jalur PI3–K, EPO Dikutip dari : Ponce dkk.1 Gambar 3 Jalur Proteksi Otak oleh Erythropoietin 153 melakukan modulasi pro-apoptotic forkhead transcription factor O3 (FOXO3a) dimana pada kondisi normal akan mengaktifasi transkripsi gen-gen apoptosis. Selain itu setelah pemaparan β-amyloid peptide di sel saraf, EPO menggunakan NFk–β untuk mencegah apoptosis.1 Transport EPO Melalui Sawar Darah Otak Kemampuan EPO dalam menembus sawar darah otak masih menjadi pertanyaan. Penelitian pada tikus yang disuntikkan biotynilated EPO ditemukan biotin di otak tikus tersebut. Kemungkinan dapat menembus otak melalui proses transitosis.3 Penelitian ini menyarankan bahwa pemberian EPO eksogen dalam jumlah yang cukup dapat melindungi sistem saraf dengan melewati sawar darah otak secara langsung dan tidak langsung.11 Penelitian lain menunjukkan dengan menggunakan radiolabeled EPO dan albumin, menunjukkan EPO masuk ke parenkhim otak menggunakan cara yang sama. EPO terbukti dapat melewati sawar darah otak pada penelitan nuclear imaging dengan menggunakan indiumlabeled EPO yang diberikan secara sistemik pada pasien normal dan pasien dengan schizophrenia.3 Farmakokinetik EPO Farmakokinetik EPO diukur berdasarkan konsentrasi serum dengan radioimunoassay atau enzym-linked immunoassay, EPO endogen tidak berbeda dengan EPO eksogen karena struktur protein yang sama.13 Pemberian EPO dapat melalui intravena, intraperitoneal atau subkutan. Gambaran farmakokinetik pemberian suntikan EPO intravena dan subkutan sangat berbeda. Pada pemberian suntikan intravena, kadar dalam plasma meningkat dengan cepat, dan akan mencapai kadar puncak tertinggi serta secara cepat pula kadar dalam plasma akan menurun dalam waktu 6–9 jam. Pada pemberian secara subkutan, kadar dalam plasma akan meningkat dalam waktu 12–24 jam pertama, kemudian menurun sampai kadar puncak terendah, tetapi menurun sangat lambat dalam beberapa hari. Akibatnya kadar epoetin alfa dapat tetap di atas kadar normal untuk lebih dari 100 jam setelah pemberian suntikan subkutan tunggal. Namun pemberian intraperitoneal hampir mendekati subkutan walaupun pemberian pada manusia 154 Jurnal Neuroanestesi Indonesia tidak lazim. Bioaviabilitas relatif (dihitung sebagai daerah di bawah konsentrasi dan kurva waktu = AUC) setelah suntikan subkutan pada umumnya lebih kecil 10–40% bila dibandingkan dengan suntikan intravena pada dosis yang sama. Namun, intraperitoneal 2,9–14% lebih rendah bila dibandingkan subkutan.7 Pemberian dosis tunggal EPO dievaluasi farmakokinetik EPO pada delapan penderita dialisis setelah pemberian dosis tunggal intravena dan subkutan dengan dosis 40 IU/kg dengan jarak 7 hari. Kemudian, seluruh penderita mendapat 40 IU/kg subkutan 3 kali dalam seminggu selama 6 minggu. Parameter farmakokinetik setelah pemberian dosis tunggal EPO intravena dan subkutan dipantau (digunakan nilai rata-rata); konsentrasi maksimal (Cmax); 416,7 U/L dan 39,5 U/L (p<0,02); AUC; 3.049 Uh/L dan 1.22 Uh/L (p<0,02); waktu paruh (t1/2); 6,7jam dan 13,2 jam (p=NS); F: 100% dan 38,7%. Sedangkan waktu klirens pemberian secara intravena EPO 8,1–8,6 mL/jam/kg. Secara statistik, tidak ada perbedaan bermakna dalam nilai parameter farmakokinetik bila dibandingkan antara pemberian secara EPO dosis tunggal dan ganda.7 Meskipun bioavailabilitas antara dua rute pemberian sangat berbeda, responsnya sama. Alasannya adalah kemungkinan terdapat sejumlah reseptor yang terbatas pada permukaan unit koloni eritroid yang secara cepat akan tersaturasi pada pemberian intravena. Kadar puncak tertingi tampak setelah pemberian intravena sebagai akibat penggunaan EPO yang inadekuat dan selanjunya diekskresikan tanpa menghasilkan efek biologikal yang penuh. Sebaliknya, kadar puncak terendah dan bioavaibilitas pada pemberian subkutan lebih fisiologis. Disamping itu, mungkin digunakan sebagian besar sel-sel. Karena waktu paruh epoetin alfa yang panjang bila disuntikan secara subkutan, saturasi reseptor dipertahankan sehingga efek growth factor akan lebih lama dan lebih kuat.7 Klirens sistemik EPO pada manusia berkisar 3,3–17 ml/menit. Kurang dari 5% dari dosis intravena tidak berubah pada urin, sedangkan eliminasi melalui urin sedikit sekali (10% dari eliminasi total/hari).7 Farmakodinamik EPO Pada susunan saraf pusat diketahui bahwa EPO dapat meningkatkan pengeluaran dopamin. Eritropoietin diduga aman diberikan pada penderita Parkinson. Pemberian EPO dapat memperbaiki penderita ensefalomielitis karena efek dari antiinflamasi dari EPO. Bahkan, EPO berfungsi sebagai terapi pada schizophrenia hebefrenik.14 Pada gastrointestinal, respiratori, dan kardiovaskuler otot polos pada hewan percobaan dengan dosis 70–7.000 U/kg tidak ditemukan efek yang bermakna. Pada air dan ekskresi elektrolit dosis EPO di atas 700 U/kg meningkatkan volume urin tikus, tetapi tidak merubah konsentrasi Na+ dan K+ urin. Faktor pembekuan darah berupa PT dan APTT tidak dipengaruhi dengan pemberian EPO 70–7.000 U/kg. Namun pemberian EPO meningkatkan Hb pada penderita penyakit renal.7 Efek yang Tidak Diharapkan dari Pemberian EPO Timbulnya hipertensi dan eksaserbasi hipertensi tidak disebabkan oleh peningkatan hematokrit atau Hb. Hal ini terjadi karena nitric oxide (NO) resisten dapat menyebabkan vasokonstriksi, meningkatkan produksi endotelial, meningkatkan renin di jaringan, serta menimbulkan perubahan pada jaringan penghasil prostaglandin vaskuler.15 Hal yang terpenting dalam pemberian EPO adalah meminimalisasi peningkatan hematokrit yang dapat menyebabkan peningkatan viskositas darah karena peningkatan hematokrit dapat menyebabkan defisit perfusi pada otak. Hal ini terjadi karena EPO menyebabkan peningkatan hematokrit lebih dari 80%. Bahaya yang lebih besar lagi adalah kemungkinan infark serebral.16 Dosis, Cara dan Waktu Pemberian EPO Pemberian EPO sebagai neuroprotektor bergantung pada konsentrasi dan waktu pemberiannya. Pada trauma kepala dengan sawar darah otak yang masih utuh pemberian EPO dibutuhkan lebih besar apabila dibandingkan dengan yang tidak utuh karena harus melewati endotelial kapiler yang terdiri dari beberapa lapis dan mempunyai corak yang berbeda, diantaranya lapisan yang sudah tidak adanya fenestra, tightjunction, jaringan yang mempunyai jumlah Efek Proteksi Otak Erythropoietin sel yang rendah dan perivaskuler yang dekat dengan astrosit kemudian lapisan ependim yang kaya akan organela dan lisosom.17 Pemberian EPO intravena total 100.000 IU (3,3x104 IU/50ml/30 menit selama 3 hari) pada pasien stroke meningkatkan kadar EPO dalam cairan serebrospinalis 60–100 kali lipat. Dosis ini adalah dosis besar pada percobaan klinis masih dapat ditoleransi.4 Dosis besar diperlukan untuk dapat menembus sawar darah otak, karena hanya sekitar 1% yang mencapai otak.18 Pada manusia dosis yang dapat menembus sawar darah otak adalah 40.000 U atau 1.500 U/kg secara intravena.10 Pemberian EPO pada manusia pada 40 penderita stroke yang timbulnya kurang dari 8 jam diberikan EPO 3,3 x 104IU/50 mL/30 menit selama 3 hari. Kemudian, dievaluasi dengan MRI pada hari ke1, ke-3, dan ke 18, lalu dinilai skala stroke serta kadar S–100B. Dari hasil MRI didapat perbaikan pada hari ke-3 dan skala stroke kembali normal pada hari ke-30 dan kadar S–100B mulai menurun pada hari ke-3 dengan dosis 3,3 x 104 IU/50 mL/30 detik akan memperbaiki outcome pada hari ke-30, jika diberikan selama 3 hari tanpa peningkatan dari nilai hematokrit. Waktu pemberian 24 jam sebelum sampai 6 jam setelah kejadian stroke mempunyai outcome yang baik. Pada hewan percobaan ditemukan hasil yang hampir sama.4 Pemberian EPO sebaiknya kurang dari 3 jam setelah kejadian trauma, karena proses apoptosis sebagai salah satu target proteksi EPO, terjadi 3 jam setelah proses infark. Hal ini didukung hasil penelitian pada binatang yang dilakukan oklusi arteri serebri media. Pemberian EPO 3 jam setelah oklusi sama efektifnya dengan pemberian EPO pada saat oklusi. Efektifitas EPO menurun 50% pada pemberian setelah 6 jam pascaoklusi dan tidak mempunyai efek neuroproteksi pada pemberian 9 jam setelah oklusi.4 III. Simpulan EPO tidak hanya berfungsi dalam proses eritropoiesis tetapi juga mempunyai efek protektor otak. Jalur proteksi otak dari EPO memang masih belum jelas tetapi penelitianpenelitian menunjukkan terdapat perbaikan dari 155 otak baik secara klinis maupun laboratoris setelah pemberian EPO. Daftar Pustaka 1. Ponce LL, Navarro JC, Ahmed O, Robertson CS. Erythropoietin neuroprotection with traumatic brain injury. PATPHY. 2012;730:1– 8. 2. Brines M, Cerami A. Erythropoietin-mediated tissue protection reducing collateral damage from the primary injury response. J Intern Med. 2008;264:405–32. 3. Rabie T, Marti HH. Brain protection by erythropoietin: a manifold task. Physiology. 2010;23:263–74. 4. Ehrenreich H, Hasselblatt M, Dembowski C, Cepek L, Lewczuk P, Stiefel M, et al. Erythtropoietin therapy for acute stroke is both safe and beneficial. Mol Med. 2002;8(3):495–505. 5. Nirula R, Diaz-Arrastia R, Brasel K, Wigelt JA, Waxman K. Safety and efficaccy of erythropoietin in traumatic brain injury patients : a pilot randomized trial. Crit Care Res Pr. 2010; 6. Deicher R, Horl H. Differentiating factors between erythropoiesis-stimulating agents. Drugs. 2004;64:499–507. 7. Sofia P, Bisri T, Wargahadibrata AH. Effect neuroprotector epoetin alfa after brain trauma: a histopathology brain rats study. Anesth Crit Care. 2005;23(3):203–13. 8. Dicicayglioglu M, Bichet S, Marti H. Localization of specific eryhtropoietin binding sites in defined areas of the mouse brain. Proc Natl Acad Sci. 1995;3717–20. 9. Marti HH. Erythropoietin and the hypoxic brain. J Exp Biol. 2004;207:3233–42. 156 Jurnal Neuroanestesi Indonesia 10. Weiss MJ. New insight into erythropoietin and epoetin alfa: mechanism of action, target tissues, and clinical applications. The Oncologist. 2003;8:18–29. 15. Wang XQ, Vaziri ND. Erythropoietin depresses nitric oxide synthase expression by human endothelial cell. Hypertension. 1999;33:894–9. 11. Almpani M. Neuroprotective effects of erythropoietin. Adv Altern Think Neurosci. 2009;1:21–5. 16. Iperen V, Gaillard M, Kraaijenhagen J. Response of erythropoiesis and iron metabolism to recombinant human eryhtropoietin in intensive care unit patients. Crit Care Med. 2001;29:193–8. 12. Keswani SC, Buldanlioglu U, Fischer A, Reed N, Polley M, Liang H, et al. A novel endogenous eryhtropoietin mediated pathway prevents axonal degeneration. Ann Neurol. 2004;56:815–26. 13. Menon G, Nair S, Bhattacharya R. Cerebral protection-current concepts. IJNT. 2005;2(2):67–79. 14. Ehrenreich H, Degner D, Brines M. Erythropoietin: a candidate compound for neuroprotection in schizophrenia. Mol Psychiatry. 2004;9:42–54. 17. Kass IS, Cottrell JE. Pathophysiology of Brain Injury. 4th ed. St Louis, Missouri: Mosby Inc; 2001. 69–82. 18. Siren A-L, Fabhauer T, Bartel C, Ehrenreich H. Therapeutic potential of erythropoietin and its structural or functional variants in the nervous system. J Am Soc Exp Neurother. 2009;6:108–27. Indeks Penulis A N Nazarudin Umar, 104, 112 B Bambang Suryono S , 134 R Rafidya Indah Septica, 134 Rebecca Sidhapramudita Mangastuti, 112 Riyadh Firdaus, 84 Rully Hanafi Dahlan, 79 Rossa Avrina, 79 Achmad Wahib, 91 D Dewi Yulianti Bisri, 98 F Farid Yudoyono, 79 H Himendra Wargahadibrata, 84, 98 I Iwan Abdul Rachman, 119 Iwan Fuadi, 84, 149 M Marsudi Rasman, 104, 112 Muhammad Zafrullah Arifin, 79 S Sevline Estethia Ompusunggu, 79 Silmi Adriman, 98, 104 Siti Chasnak Saleh, 91, 119 Sri Rahardjo, 84, 91, 98, 119 T Tatang Bisri, 149 Y Yusmein Uyun, 134 Indeks Subjek A Anestesi, 112 Anestesi umum, 84 B Bedah saraf, 91 C Cedera otak traumatika, 104, 119 Carotid endarterectomy, 84 E EPO, 149 G Geriatri, 104 K Kinking arteri karotis interna, 84 Kematian sel neuron, 149 Kualitas hidup, 91 Kraniopharingioma, 91 M Manajemen anestesi, 134 Meningioma, 112 N Nyeri pinggang bawah, 79 O Oswetry Disability Index, 79 P Parestesia, 98 Patofisiologi serebrovaskuler, 134 Penatalaksanaan perioperatif, 104 Percutaneous epidural adhesiolysis, 79 Posisi prone, 98 Preeklampsia, 134 Proteksi otak, 149 S Spondilitis tuberkulosis, 98 T Tumor spinal, 98 Tekanan intrakranial, 119 Terapi hiperosmolar, 119 Total intravenous anesthesia, 112 V Visual analogue score, 79 Pedoman Bagi Penulis 1. Ketentuan Umum Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesia Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah naskah lengkap yang belum dipublikasikan dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang telah dimuat dalam proceeding pertemuan ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat izin tertulis dari panitia penyelenggara. 2. Judul Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata. 3. Abstrak Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata. Abstrak Penelitian: Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, Result, and Discussion). Dalam introduction mengandung latar belakang dan tujuan penelitian. Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan. Contoh Penulisan Abstrak Penelitian: Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi dan menjadi masalah serius karena dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani pembedahan dan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan lebih dari dua jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi. Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan memori. Faktor yang diduga mempengaruhi kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi. Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi. Pemeriksaan kognitif yang mengalami penurunan bermakna adalah digit repetition test, immediate recall, dan paired associate learning. Analisa logistik regresi variabel usia (p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian DKPO menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Namun bila dianalisa pada masing masing kelompok usia tampak bahwa persentase pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menit Simpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO meskipun secara statistik tidak signifikan. Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif pascaoperasi, memori Abstrak Laporan Kasus: Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan, simpulan Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus: Abstract Meningoencephaloceles are very rare congenital malformations in the world that have a high incidence in the population of Southeast Asia, include in Indonesia. Children with anterior meningoencephaloceles should have surgical correction as early as possible because of the facial dysmorphia, impairment of binocular vision, increasing size of the meningoencephalocele caused by increasing brainprolapse, and risk of infection of the central nervous system. In the report, we presented a case of a 9 monthsold baby girl with naso-frontal encephalocele and hydrocepahalus non communicant, posted for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) and cele excision. Becaused of the mass, nasofrontal or frontoethmoidal and occipital meningoencephalocele leads the anaesthetist to problems since the anaesthesia during the operation until post operative care. Anaesthetic challenges in management of meningoencephalocele, which most of the patients are children, include securing the airway with intubation with the mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its associated complications and accurate assessment of blood loss and prevention of hypothermia pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel atau keduanya. Key words: Anaesthesia, difficult ventilation, difficult intubation, naso-frontal, meningoencephalocele, padiatrics Contoh cara penulisannya: Abstrak Tinjauan Pustaka: Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan Abstrak Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala, mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1) Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke perdarahan Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah. 4. Cara Penulisan Makalah Penulisan Daftar Pustaka: • Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan datang” di dalam teks, Vancouver style. Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal 20 buah. • Dari Jurnal: 1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and head trauma. Common effect and common mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl 1):S107–S110. 2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus intracerebral haemorrhage. N Engl J Med 2001,344(19):1450–58. Dari Buku: 1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial hemorrhage: Intensive care management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229– 36. 2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. New York: Cambridge University Press;2010,143–56. Materi Elektronik Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B, Fosha D. Attachment as a transformative process in AEDP: operationalizing the intersection of attachment theory and affective neuroscience. Journal of Psychotherapy Integration [Online Journal] 2011 [diunduh 25 November 2011]. Tersedia dari: http://www.sciencedirect.com 5. Jumlah halaman Laporan Kasus : 10-12 halaman Laporan Penelitian : 15 halaman Tinjauan Pustaka : 15-20 halaman Surat Pembaca : 1 halaman Ditik 1,5 spasi, Times New Roman, 11 font. Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus kepada mitra bebestari: Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO (Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta) Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA (Universitas Diponegoro ‒ Semarang) Bambang Suryono, dr., SpAnKNA, KAO, M.Kes (Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta) Dr. Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA (Universitas Khatolik Atmajaya–Tangerang) Dr. Nazaruddin Umar, dr., SpAnKNA (Universitas Sumatera Utara–Medan) Dr. I Putu Pramana Suarjaya, dr., SpAnKNA, KMN, M.Kes (Universitas Udayana–Denpasar) Dr. Diana Lalenoh, dr., SpAnKNA, KAO, M.Kes (Universitas Sam Ratulangi–Manado) Dr. MM. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.Si (Universitas Soedirman–Purwokerto) Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan datang Redaksi FORMULIR PESANAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Lengkap : ………………………………………………………………... Alamat Rumah : ………………………………………………………………... ………………………………………………………………... ……………….. Kode pos…………………………................. Telepon …………………………Faks …………………......... HP ………………………………E-mail…………................... Alamat Praktik : ………………………………………………………………... Telepon …………………………Faks ………………............. Alamat Kantor : ………………………………………………………................ ……………………….. Kode pos…………………………….. Telepon …………………………Faks ……………………...... Mulai berlangganan : ………………………………. s.d ……………………………... Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan sebesar Rp. 250.000,00 per tahun** Pembayaran melalui : □ Langsung ke Sekretariat Redaksi Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161 Mobile : 087722631615 JNI dikirimkan ke* : □ □ □ Alamat Rumah Alamat praktik Alamat Kantor Bandung, ………………………………… Hormat Saya ( * pilih salah satu ** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi *** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten )