BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Payudara 2.1.1. Anatomi payudara

advertisement
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Payudara
2.1.1.
Anatomi payudara
Kelenjar payudara merupakan kelenjar aksesoris kulit khusus yang terdapat
pada wanita maupun pria. Pada pria maupun wanita yang belum dewasa payudara
memiliki bentuk yang sama (Snell, 2012). Payudara yang matang merupakan salah
satu tanda kelamin sekunder dari seorang gadis dan merupakan salah satu organ yang
indah dan menarik. Lebih dari itu, fungsi organ ini menjadi sangat berperan dalam hal
mempertahankan keturunan (Hanum, 2010). Papilla mammae( puting susu) kecil dan
dikelilingi oleh daerah kulit yang berwarna gelap yang disebut areola mammae.
Jaringan payudara sendiri tersusun oleh sekelompok kecil sistem saluran yang
terdapat di dalam jaringan ikat dan bermuara di daerah areola mammae (Snell, 2012).
Kelenjar payudara merupakan modifikasi dari kelenjar keringat, disusun oleh
duktus dan alveoli payudara. Kelenjar ini berkembang pada payudara wanita di masa
pubertas dan berfungsi dalam aktivitas laktasi atau menyusui. Fungsi laktasi sendiri
berasosiasi dengan sistem reproduksi, di mana dari proses laktasi atau menyusui
dihasilkan susu yang berfungsi sebagai nutrisi anak. Bentuk dan ukuran payudara
sangat bervariasi sesuai dengan perbedaan genetik, persentasi lemak tubuh, atau
kehamilan. Saat massa pubertas, estrogen dari ovarium menstimulus pertumbuhan
kelenjar payudara dan deposit jaringan adiposa di dalam payudara. Kelenjar payudara
mengalami hipertrofi pada wanita di massa kehamilan dan menyusui dan biasanya
atrofi setelah menopause (Graff, 2002). Kelenjar ini terdiri atas berbagai struktur
seperti: 1) jaringan kelenjar jenis tubulo-alveolar, yang mampu mensekresikan ASI;
Universitas Sumatera Utara
7
2) jaringan ikat fibrosa yang menghubungkan lobus-lobusnya; 3) jaringan lemak
interlobar di antara lobus-lobus dan lobulus-lobulus kelenjarnya (Santoso, 2005).
Payudara terbentuk dimulai pada embrio muda di mana timbul sebuah garis
penebalan ektoderm disebut rigi susu, yang terbentang dari aksial miring ke region
inguinalis (Moore et al,2010). Kelenjar ini pertama kali dapat terlihat pada embrio
yang berusia 4 minggu sebagai tunas (bud) atau nodul jaringan epitel yang tampak di
sepanjang garis yang disebut krista susu. Pada embrio yang lebih berkembang, krista
ini meluas dari midaksilaris sampai daerah inguinal (Linda dan Danny, 2008). Pada
hewan, beberapa kelenjar payudara dibentuk di sepanjang linea ini. Pada manusia,
linea ini menghilang kecuali sebagian kecil di region pektoralis. Daerah kecil ini
menebal, sedikit tertekan, dan mengirim 15 sampai 20 tali padat, yang tumbuh ke
dalam mesenkim di bawahnya. Sementara itu, mesenkim berproliferasi, dan ektoderm
yang tertekan menebal menjadi timbul ke permukaan untuk membentuk papilla
mammae (Moore et al, 2010).Bagian ini berkembang di bawah pengaruh sinyal
parakrin dan mesenkim. Tunas epitel sekunder nantinya akan membentuk korda
seluler yang memanjang dan bercabang serta memiliki rongga. Korda ini menjadi
duktus ekstretoris dan laktiferus pada kelenjar payudara (Linda dan Danny, 2008).
Pada usia 5 bulan, dapat ditemukan areola pada kulit sebagai area sirkular yang
berpigmen di sekitar bakal papilla mammae (Moore et al, 2010).
Jumlah lemak yang mengelilingi jaringan kelenjar menentukan ukuran dari
payudara pada massa tidak menyusui. Secara kasar, anatomi sirkular dari payudara
sendiri bersandar di atas sebuah bantalan yang meluas secara transversal dari batas
lateral sternum ke arah garis midaksilaris dan secara vertikal dari kosta kedua
hingga keenam. Dua per tiga dari bagian bantalan payudara dibentuk oleh fasia
pektoral yang menutupi pektoralis mayor; satu per tiga bagian lainnya oleh fasia
yang menutupi serratus anterior. Di antara payudara dan fasia pektoral adalah sebuah
latar jaringan ikat longgar ataupun ruang potensial ̶ retromammary space (bursa)
(Moore et al, 2010).
Universitas Sumatera Utara
8
Setiap kelenjar payudara terdiri atas 15 sampai 20 lobus, di mana pada setiap
lobusnya memiliki saluran drainase menuju bagian luar. Lobus-lobus tersebut
dipisahkan oleh jaringan lemak dengan jumlah yang bervariasi. Jumlah dari jaringan
lemak menentukan ukuran dan bentuk payudara namun tidak menentukan
kemampuan wanita untuk mengasuh. Setiap lobus dibagi lagi menjadi lobuluslobulus yang mengandung alveoli kelenjar payudara. Alveoli payudara adalah
struktur yang menghasilkan susu pada wanita yang menyusui. Ligamentum
suspensorium diantara lobulus memanjang dari kulit ke bagian fasia dalam menutupi
otot pektoralis mayor dan menyokong payudara. Sekumpulan alveoli payudara
mensekresikan susu ke dalam saluran payudara yang berkumpul untuk membentuk
saluran laktiferus. Lumen pada setiap saluran laktiferus memanjang dekat puting
untuk membentuk sinus laktiferus. Susu disimpan di dalam sinus laktiferus sebelum
dialirkan ke ujung puting (Graff, 2002).
Gambar 2.1 Potongan superfisial regio pektoralis wanita. Fasia pektoral telah
diangkat kecuali yang melekat dalam pada payudara. Dasar payudara meluas dari
tulang kosta kedua sampai keenam.
Sumber : Clinically Oriented Anatomy (Moore et al, 2010)
Universitas Sumatera Utara
9
Terdapat perbedaan pada payudara yang dikaitkan dengan berbagai kondisi
seperti kehamilan, pasca menyusui, dan pascamenopause. Pada massa kehamilan saja,
keadaan payudara di awal maupun akhir kehamilan juga berbeda. Dalam bulan-bulan
awal kehamilan, terdapat penambahan yang cepat dan panjang dari cabang-cabang
sistem duktus. Alveoli sekretorius berkembang pada ujung duktus-duktus kecil,
jaringan penyambung mulai terisi dengan alveoli sekretorius yang menyebar dan
bertunas. Vaskularisasi jaringan penyambung juga meningkat untuk menyediakan
makanan yang cukup bagi kelenjar yang sedang berkembang. Papilla mammae
membesar dan areola menjadi lebih gelap dan lebih lebar sebagai akibat dari
bertambahnya deposit pigmen melanin di dalam epidermis. Kelenjar areola membesar
dan menjadi lebih aktif. Selama massa pertengahan kedua kehamilan, pertumbuhan
menjadi melambat. Namun demikian, kelenjar payudara tetap bertambah besar,
terutama disebabkan oleh menggelembungnya alveoli sekretorius oleh cairan yang
disebut colostrum.
Begitu bayi disapih payudara kembali ke stadium inaktifnya. Susu yang
tertinggal diserap kembali, alveoli sekretorius mengerut, dan hampir seluruh alveoli
menghilang. Jaringan penyambung interlobaris menebal. Kelenjar payudara beserta
papilla mammae mengecil dan kembali mendekati ukuran semula. Pigmentasi areola
berkurang, tetapi warna areanya tidak pernah kembali sepucat sebelumnya.
Setelah menopause, payudara mengalami atrofi. Hampir seluruh alveoli
sekretorius menghilang, meninggalkan duktus. Jumlah jaringan adiposa dapat
bertambah atau berkurang. Payudara cenderung mengecil dan terletak dalam posisi
menggantung. Atrofi pascamenopause disebabkan oleh tidak adanya hormon estrogen
ovarium dan progesteron (Snell, 2012).
Universitas Sumatera Utara
10
Gambar 2.2 Skema perkembangan kelenjar payudara
Sumber : http://brisken-lab.epfl.ch/research [Accesed 10 May 2015]
Payudara sama seperti organ lainnya memiliki vaskularisasi berupa arteri
dan vena disamping memiliki aliran limfe. Untuk arteri, cabang-cabang pembuluh
darah ke payudara berasal dari:
1)
Arteri subklavia membentuk arteri torasika interna pada bagian anterior
interkostalis dan arteri mammaria medial
2)
Arteri torasika lateralis dan torakoabdominal, cabang dari arteri aksilaris.
3)
Arteri interkostalis posterior, cabang dari aorta torasika pada sela interkosta
ke-2,ke-3,dan ke-4.
Untuk aliran darah balik atau vena, terutama menuju ke vena aksilaris,
namun ada beberapa aliran yang menuju ke vena torasika interna (Moore et
al, 2010).
Universitas Sumatera Utara
11
Selain itu, kita membedakan 2 macam kumpulan pembuluh balik atau vena,
yakni (1) pembuluh balik superfisial di bawah kulit; (2) pembuluh balik letak dalam.
Yang pertama terletak di bawah fasia yang superfisial di bawah kulit. Kalau ada
pertumbuhan di bawah kulit baik ganas ataupun tidak, dibutuhkan perdarahan yang
lebih banyak, sehingga pada inspeksi dengan penerangan biasanya kita melihat
pelebaran-pelebaran pembuluh di bawah kulit. Pembuluh balik yang letak dalam
dipusatkan pada 3 kumpulan yang menerima darah dari seluruh kelenjar payudara,
yakni (1) cabang-cabang dari vv.mammaria interna yang bermuara di v.innominata;
(2) kumpulan v.aksilaris dan subklavia; (3) vv.interkostalis yang bermuara ke
belakang ke vv.vertebrales. Ada pula satu kumpulan perdarahan balik yang sering
dilupakan, vv.kommunikantes yang menghubungkan pembuluh-pembuluh kelenjar
payudara kanan dan kiri, sehingga kita menemukan dalam praktik bahwa sesudah
beberapa bulan kanker pada salah satu payudara dioperasi, dapat timbul penyakit ini
di payudara sebelahnya (Sarwono, 2009).
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2.3 Vaskularisasi payudara. A. Kelenjar payudara dipendarahi dari bagian
medial terutama oleh cabang-cabang arteri torasika interna dan oleh beberapa cabang
dari arteri aksilaris (umumnya arteri torasika lateral) pada bagian superior dan lateral.
B. Payudara bagian dalam dipendarahi oleh cabang-cabang yang berasal dari arteri
interkostalis. C. Aliran darah vena menuju vena aksilaris (terutama) dan juga menuju
ke vena torasika interna.
Sumber : Clinically Oriented Anatomy (Moore et al, 2010)
Persarafan dari payudara berasal dari cabang kutaneus anterior dan lateral
nervus interkostalis ke-4 sampai ke-6. Cabang nervus interkostalis melewati fasia
pektoral menutupi pektoralis mayor untuk mencapai jaringan subkutan dan kulit
payudara. Cabang nervus interkostalis menyampaikan serat sensorik dari kulit
payudara dan serat simpatis ke pembuluh darah di payudara dan otot polos sepanjang
papilla mammae dan kulit (Moore et al, 2010).
Universitas Sumatera Utara
13
Gambar 2.4 Segmen-segmen dari persarafan sensoris toraks bagian anterior dan
dinding abdomen. Regio-regio nyeri yang berasal dari penyakit-penyakit organ
visceral (zona kepala).
Sumber: Atlas of Human Anatomy (Sobotta, 2006)
Aliran limfe payudara penting sekali di klinik mengingat sering timbulnya
kanker pada kelenjar ini dan penyebaran sel-sel ganas melalui pembuluh limfe
menuju ke nodus limfetikus.
Kuadran lateral kelenjar payudara mengalirkan limfenya ke nodus limfoid
aksilaris anterior atau kelompok pektoralis (terletak tepat posterior terhadap pinggir
bawah musculus pektoralis mayor). Kuadran medial mengalirkan limfenya melalui
pembuluh-pembuluh yang menembus ruangan interkostalis dan masuk ke dalam
nodus limfoid torakalis interna (terletak di dalam rongga toraks sepanjang arteri
torasika interna). Beberapa pembuluh limfe mengikuti arteri interkostalis posterior
dan mengalirkan limfenya ke posterior ke dalam nodus limfoid interkostalis posterior
(terletak sepanjang arteri interkostalis posterior);beberapa pembuluh berhubungan
dengan pembuluh limfe payudara sisi yang lain dan dengan kelenjar di dinding
anterior abdomen (Snell, 2012)
Universitas Sumatera Utara
14
Gambar 2.5 Aliran limfe pada payudara. A. Nodus limfe menerima aliran dari
payudara.
Sumber : Clinically Oriented Anatomy (Moore et al, 2010)
Gambar 2.6 Aliran limfe pada payudara. B. Arah berwarna merah menunjukkan
aliran limfe dari payudara kanan. Sebagian besar limfe, khususnya yang berasal dari
kuadran lateral superior dan pusat payudara, mengalir menuju nodus limfe aksilaris
yang selanjutnya akan berubah untuk dialiri oleh pemanjangan dari aliran limfe
subklavia. Bagian kanan, aliran limfe masuk ke sistem vena melalui duktus limfatikus
kanan. C. Sebagian besar limfe dari payudara kanan kembali ke sistem vena melalui
duktus torasikus.
Sumber : Clinically Oriented Anatomy (Moore et al, 2010)
Untuk lokasi anatomi dan deskripsi tumor dan kista, permukaan payudara
dibagi ke dalam empat kuadran. Sebagai contoh, sebuah catatan seorang dokter berisi
“Sebuah massa padat tidak beraturan dirasakan pada kuadran superior medial dari
payudara di posisi 2 o’clock, kira-kira 2,5 cm dari batas areola (Moore et al.2010).
Universitas Sumatera Utara
15
Gambar 2.7 Kuadran-kuadran pada payudara
Sumber: Clinically Oriented Anatomy (Moore et al, 2010)
2.1.2.
Histologi Payudara
Telah dikatakan bahwa setiap kelenjar payudara terdiri atas 15-20 lobus dari
jenis tubuloalveolar kompleks, yang berfungsi menyekresi air susu bagi neonatus.
Setiap lobus, yang dipisahkan satu sama lain oleh jaringan ikat padat dan banyak
jaringan lemak, sesungguhnya merupakan suatu kelenjar tersendiri dengan duktus
ekskretorius laktiferusnya sendiri. Duktus ini, dengan panjang 2-4,5 cm, bermuara
pada papilla mammae, yang memiliki 15-25 muara, masing-masing berdiameter 0,5
mm. Struktur histologi kelenjar payudara bervariasi sesuai dengan jenis kelamin,
usia, dan status fisiologis.
Pembesaran payudara selama pubertas terjadi akibat penimbunan jaringan
lemak dan jaringan ikat, dengan meningkatnya pertumbuhan dan percabangan duktus
laktiferus akibat bertambahnya jumlah estrogen ovarium. Struktur khas kelenjar ̶
lobus ̶ pada wanita dewasa berkembang pada ujung duktus terkecil. Sebuah lobus
terdiri atas sejumlah duktus yang bermuara ke dalam satu duktus terminal. Setiap
Universitas Sumatera Utara
16
lobus terdapat dalam jaringan ikat longgar. Suatu jaringan ikat yang kurang padat dan
kurang banyak mengandung sel, memisahkan lobus-lobus.
Dekat dengan muara papilla mammae, duktus laktiferus menjadi lebar dan
membentuk sinus laktiferus. Sinus laktiferus dilapisi epitel berlapis gepeng pada
muara luarnya. Epitel ini berubah menjadi epitel berlapis silindris atau berlapis
kuboid. Lapisan duktus laktiferus dan duktus terminal merupakan epitel selapis
kuboid dan dibungkus sel mioepitel yang berhimpitan.
Jaringan ikat yang mengelilingi alveoli mengandung banyak limfosit dan sel
plasma. Populasi sel plasma bertambah nyata menjelang akhir kehamilan, sel ini
berfungsi menyekresi imunoglobulin (IgA sekretorik) yang memberikan kekebalan
pasif kepada neonatus.
Struktur histologi kelenjar ini mengalami sedikit perubahan selama siklus
menstruasi, misalnya proliferasi sel duktus di sekitar masa ovulasi. Perubahan ini
bertepatan dengan saat ketika kadar estrogen yang beredar mencapai puncaknya.
Bertambahnya cairan jaringan ikat pada fase pra-menstruasi menambah besar
payudara.
Papilla mammae (puting susu) berbentuk kerucut dan warnanya mungkin
merah muda, coklat muda atau coklat tua. Bagian luar papilla mammae ditutupi
epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk yang berhubungan langsung kulit di
dekatnya. Kulit di sekitar papilla mammae membentuk areola mammae. Epitel
papilla mammae berada di atas selapis jaringan ikat yang banyak mengandung
serabut otot polos. Serabut-serabut ini tersusun melingkari duktus laktiferus yang
lebih dalam dan tersusun sejajar terhadap duktus ini di tempat masuknya duktus pada
papilla mammae. Papilla mammae ini banyak dipersarafi oleh ujung saraf sensorik.
Payudara tumbuh pesat selama kehamilan sebagai akibat kerja sinergis
beberapa hormon, terutama estrogen, progesteron, prolaktin, dan laktogen plasenta
Universitas Sumatera Utara
17
manusia. Salah satu fungsi hormon ini adalah proliferasi alveoli di ujung duktus
terminalis. Alveoli adalah struktur bulat yang terdiri atas kumpulan sel epitel yang
menjadi struktur pensekresi. Sel mioepitel stelata dijumpai di antara sel-sel epitel
alveoli dan lamina basal. Jumlah jaringan ikat dan jaringan lemak, dibandingkan
dengan parenkim, berkurang selama kehamilan,
Selama laktasi, susu diproduksi oleh sel-sel epitel alveoli dan mengumpul di
dalam lumennya dan di dalam duktus laktiferus. Sel-sel sekretoris mengecil dan
berbentuk kuboid rendah, serta sitoplasmanya mengandung tetesan bulat dengan
berbagai ukuran, yang terutama mengandung trigliserida netral. Tetes lipid ini keluar
dari sel ke dalam lumen dan sewaktu keluar, lipid ini diliputi sebagian membran sel
apikal. Komposisi lipid lebih kurang 4% dari susu manusia.
Setelah tetes lipid, terdapat banyak vakuol berbatas membran yang
mengandung granul berisi kasein dan protein susu lainnya. Protein susu mencakup
beberapa kasein, α-laktalbumin, dan IgA yang dihasilkan plasmosit (Janqueira, 2004).
Gambar 2.8 Kelenjar payudara aktif pada dewasa
Sumber: http://www.ouhsc.edu/hystology/ [Accesed 27 April 2015]
Universitas Sumatera Utara
18
Gambar 2.9 Kelenjar payudara inaktif pada usia muda
Sumber: http://www.ouhsc.edu/hystology/ [Accesed 27 April 2015]
Gambar 2.10 Kelenjar payudara inaktif pada dewasa
Sumber: http://www.ouhsc.edu/hystology/ [Access 27 April 2015]
2.2.
Kelainan Payudara
Universitas Sumatera Utara
19
Kelainan payudara perempuan jauh lebih sering daripada kelainan payudara
laki-laki. Kelainan ini biasanya mengambil bentuk massa atau nodus yang dapat
diraba dan kadang-kadang nyeri. Untungnya, sebagian besar lesi bersifat jinak, tetapi
seperti telah diketahui, kanker payudara adalah penyebab terpenting kematian akibat
kanker pada perempuan di Amerika Serikat sampai tahun 1986. Kelainan –kelainan
berikut seyogianya dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kemungkinan
kemiripan kelainan secara klinis dengan keganasan. Massalah ini paling akut pada
kelainan fibrokistik karena penyakit ini merupakan penyebab tersering “benjolan” di
payudara dan karena terus berlanjut silang-pendapat mengenai keterkaitan varian
tertentu dengan karsinoma payudara (Robbins, 2007).
10%
Perubahan fibrokistik
Penyakit jinak lainnya
7%
Fibroadenoma
13%
40%
Kanker
Tidak ada penyakit
Gambar 2.11 Representasi temuan pada beberapa perempuan yang mencari evaluasi
terhadap “benjolan” payudaranya yang tampak
Sumber: Buku Ajar Patologi (Robbins, 2007)
2.2.1.
Perubahan Fibrokistik
Nama ini digunakan untuk berbagai perubahan di payudara perempuan yang
berkisar dari kelainan tidak berbahaya hingga pola yang berkaitan dengan
peningkatan resiko karsinoma payudara. Sebagian kelainan ini menyebabkan
benjolan yang dapat diraba. Telah diterima secara luas bahwa ragam kelainan ini
Universitas Sumatera Utara
20
adalah akibat dari peningkatan dan distorsi perubahan siklik payudara yang terjadi
secara normal selama daur haid.
Secara tradisional, kelainan payudara ini pernah diberi nama penyakit
fibrokistik; namun, para dokter sangat keberatan dengan nama ini. Sebagian besar
perubahan yang tercakup dalam diagnosis penyakit fibrokistik kurang memiliki
makna klinis, kecuali bahwa perubahan tersebut menyebabkan nodularitas; hanya
sebagian kecil yang mencerminkan bentuk hiperplasia epitel yang secara klinis
penting. Oleh karena itu, istilah perubahan fibrokistik lebih dianjurkan, karena tidak
menstigmasi subjek dengan kata penyakit. Di luar silang-pendapat semantik ini,
benjolan yang ditimbulkan oleh berbagai pola perubahan fibrokistik harus dibedakan
dengan kanker, dan pembedaan antara lesi yang ringan dan lesi yang tidak terlalu
ringan dilakukan dengan pemeriksaan bahan aspirasi jarum-halus atau secara lebih
pasti dengan biopsi dan evaluasi histologik. Dengan cara yang sedikit banyak arbitrer,
kelainan di sini dibagi atas pola nonproliferatif dan proliferatif.
Lesi nonproliferatif mencakup kista dan/atau fibrosis tanpa hiperplasia sel
epitel, yang dikenal sebagai perubahan fibrokistik sederhana. Lesi proliferatif
mencakup serangkaian hiperplasia sel epitel duktulus atau duktus banal atau atipikal
serta adenosis sklerotikans. Semuanya cenderung timbul selama usia subur dan
mungkin menetap setelah menopause. Berbagai perubahan, terutama yang
nonproliferatif, sedemikian seringnya ditemukan (ditemukan pada autopsi dari 60%
hingga 80% perempuan) sehingga hampir dapat dianggap sebagai varian fisiologik
(Robbins, 2007).
Universitas Sumatera Utara
21
Gambar 2.12 Beberapa spesimen biopsi yang memperlihatkan perubahan fibrokistik
pada payudara.
Sumber: Buku Ajar Patologi (Robbins, 2007)
Gambar 2.13 Detail mikroskopik perubahan fibrokistik pada payudara.
Sumber: Buku Ajar Patologi (Robbins, 2007)
Hubungan perubahan fibrokistik dengan karsinoma payudara merupakan
suatu massalah medis yang kontroversial. Secara klinis, meskipun beberapa gambaran
tertentu pada perubahan fibrokistik cenderung membedakannya dengan kanker, satusatunya cara pasti untuk membuat pembedaan ini adalah dengan biopsi dan
pemeriksaan histologik. Dalam kaitannya dengan hubungan berbagai pola perubahan
fibrokistik dengan kanker, pernyataan berikut saat ini merupakan opini yang paling
memiliki dasar:
1) Tidak ada atau sangat sedikit peningkatan resiko karsinoma payudara;
fibrosis, perubahan kistik (mikro atau makroskopik), metaplasia apokrin,
hiperplasia ringan.
Universitas Sumatera Utara
22
2) Sedikit peningkatan resiko (1,5 hingga 2 kali): hiperplasia sedang hingga
subur, papilomatosis duktus, adenosis sklerotikans, fibroadenoma, terutama
jika berkaitan dengan perubahan fibrokistik, penyakit payudara proliferatif,
atau riwayat kanker payudara dalam keluarga.
3) Peningkatan resiko yang bermakna (5 kali) ; hiperplasia atipikal, duktulus
atau lobulus.
4) Lesi proliferatif mungkin multifokal, dan resiko karsinoma berikutnya berlaku
untuk kedua payudara.
5) Riwayat kanker payudara dalam keluarga dapat meningkatkan resiko pada
semua kategori (missal, menjadi sekitar sepuluh kali lipatpada hiperplasia
atipikal) (Robbins, 2007).
2.2.2.
Tumor Payudara
Tumor merupakan lesi terpenting pada payudara perempuan. Walaupun
mungkin berasal dari jaringan ikat atau struktur epitel, tumor struktur epitel yang
sering menyebabkan neoplasma payudara.
2.2.2.1. Fibroadenoma
Fibroadenoma sejauh ini adalah tumor jinak tersering pada payudara
perempuan. Peningkatan mutlak atau nisbi aktivitas estrogen diperkirakan berperan
dalam pembentukannya (Robbins, 2007). Hal ini juga dikemukakan oleh Wilson
dalam buku Christopher-Davis, di mana disebutkan bahwa ada hubungan antara kadar
hormon wanita dalam darah dan penyakit ini, karena dapat timbul pada binatang
percobaan dengan pemberian estrogen (Sarwono, 2007).
Secara morfologi, fibroadenoma muncul sebagai nodus diskret, biasanya
tunggal, mudah digerakkan, dan bergaris tengah 1 hingga 10 cm. Walaupun jarang,
tumor mungkin multipel dan, juga sama jarangnya, tumor mungkin bergaris tengah
lebih dari 10 cm (fibroadenoma raksasa). Berapapun ukurannya, tumor ini biasanya
mudah “dikupas”. Secara makroskopis, semua tumor teraba padat dengan warna
Universitas Sumatera Utara
23
seragam coklat-putih pada irisan, dengan bercak-bercak kuning-merah muda yang
mencerminkan daerah kelenjar.
Secara histologis, tampak stroma fibroblastik longgar yang mengandung
rongga mirip duktus berlapis epitel dengan ukuran dan bentuk beragam. Meskipun di
sebagian lesi rongga duktus terbuka, bundar sampai oval, dan cukup teratur
(fibroadenoma perikanalikularis), sebagian lainnya tertekan oleh proliferasi ekstensif
stroma sehingga pada potongan melintang rongga tersebut tampak sebagai celah atau
struktur irregular mirip-bintang (fibroadenoma intrakanalikular).
Secara klinis, lesi mungkin membesar pada akhir daur haid dan selama
kehamilan. Pascamenopause, lesi mungkin mengecil dan mengalami kalsifikasi.
Pemeriksaan sitogenik memperlihatkan bahwa sel stroma bersifat monoklonal
sehingga mencerminkan elemen neoplastik dari tumor ini. Fibrioadenoma hampir
tidak pernah menjadi ganas (Robbin, 2007).
Universitas Sumatera Utara
24
Gambar 2.14 Gambaran makroskopis (fibroadenoma). Paling sering tampak sebagai
nodul soliter dengan ukuran kecil (3-4 cm), berbatas jelas, tunggal, dan mobile (tidak
menginfiltrasi kulit ataupun struktur jaringan lemak yang dalam ataupun bahkan otot
rangka. Permukaan tumor berwarna putih keabu-abuan, berlobus atau menyerupai
bunga kol (cauliflower-like), dengan pola yang melingkar dan celah ireguler.
Sumber:
http://www.pathologyatlas.ro/fibroadenoma-breast-pathology.php
[Accesed 27 April 2015]
Gambar 2. Gambaran mikroskopis fibroadenoma. Berbentuk nodul dan berkapsul,
berada di dalam struktur payudara. Fibroadenoma intrakanalikular (gambar A):
dominasi proliferasi stromal dan menekan duktus, bentuknya iregular dan
mengurangi celah yang ada. Fibroadenoma perikanalikular (gambar B): proliferasi
stroma fibrous mengelilingi celah duktus, sehingga tetap berbentuk bulat atau oval
pada potongan melintang. Membran basement tetap utuh. (H&E, ob. X4)
Sumber: http://www.pathologyatlas.ro/fibroadenoma-breast-pathology.php [Accesed
27 April 2015]
2.2.2.2. Tumor Filoides
Tumor ini jauh lebih jarang ditemukan daripada fibroadenoma dan
diperkirakan berasal dari stroma intralobulus, jarang dari fibroadenoma yang sudah
ada. Tumor ini mungkin kecil (garis tengah 3 hingga 4 cm), tetapi sebagian besar
tumbuh hingga berukuran besar, mungkin massif sehingga payudara membesar.
Sebagian mengalami lobulasi dan menjadi kistik; karena pada potongan
memperlihatkan celah mirip daun, tumor ini disebut tumor filoides (kata Yunani
untuk “seperti daun”).
Universitas Sumatera Utara
25
Perubahan yang paling merugikan adalah peningkatan selularitas stroma
disertai oleh anaplasia dan aktivitas mitotik yang tinggi, disertai oleh peningkatan
pesat ukuran, biasanya dengan invasi jaringan payudara di sekitarnya oleh stroma
maligna (Robbins, 2007).
Gambar 2.16 Tumor filoides payudara
Sumber: http://anatpat.unicamp.br/pecasgin26.html [Accesed 27 April 2015]
Gambar 2.17 Gambaran mikroskopik tumor jinak filoides
Universitas Sumatera Utara
26
Sumber:http://www.brown.edu/Courses/Digital_Path/systemic_path/breast/phyllodes
.html [Accesed 27 April 2015]
2.2.2.3. Papiloma Intraduktal
Ini adalah pertumbuhan tumor neoplastik di dalam suatu duktus. Sebagian
besar lesi bersifat soliter, ditemukan di dalam sinus atau duktus laktiferus utama. Lesi
ini menimbulkan gejala klinis berupa (1) keluarnya discharge serosa atau berdarah
dari puting payudara, (2) adanya tumor subareola kecil dengan garis tengah beberapa
millimeter, atau (3) (yang jarang) retraksi puting payudara.
Pada beberapa kasus, terbentuk banyak papiloma di beberapa duktus atau
papilomatosis intraduktus. Lesi kadang-kadang menjadi ganas, sedangkan papiloma
soliter hampir selalu tetap jinak. Demikian juga, karsinoma papilaris perlu
disingkirkan; tumor ini tidak memiliki komponen mioepitel dan memperlihatkan
atipia sel yang parah dengan gambaran mitotik abnormal (Robbin, 2007).
Gambar 2.18 Papiloma intraduktal payudara
Sumber: http://anatpat.unicamp.br/pecasgin31.html [Accesed 27 April 2015]
Universitas Sumatera Utara
27
Gambar 2.19 Gambaran mikroskopik papiloma intraduktal
Sumber:
http://www.brown.edu/Courses/Digital_Path/systemic_path/breast/intraductal.html
[Accesed 27 April 2015]
2.2.3.
Kanker Payudara
2.2.3.1. Etiologi dan Faktor Resiko
Belum begitu jelas apa yang menyebabkan terjadinya kanker payudara.
Dokter mengetahui bahwa kanker payudara terjadi ketika beberapa sel payudara
mulai tumbuh secara tidak normal dan membelah secara lebih cepat dari sel-sel pada
keadaan normal. Proses pembelahan itu akan terus berlangsung dan menimbulkan
akumulasi sehingga membentuk sebuah massa, bahkan sel-sel tersebut bisa saja
mengalami penyebaran atau metastasis dari payudara menuju pembuluh limfe
maupun ke bagian lain dari tubuh (Mayo Clinic, 2014).
Banyak faktor resiko yang bisa meningkatkan kemungkinan seseorang
untuk terkena kanker payudara, namun tetap saja belum diketahui secara pasti
bagaimana berbagai faktor resiko tersebut menyebabkan sel berkembang menjadi
sebuah kanker. Faktor resiko sendiri merupakan sesuatu yang bisa menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
28
seseorang mempunyai kesempatan untuk mendapatkan suatu penyakit, termasuk
kanker. Namun, faktor resiko tidak menjelaskan kepada kita sepenuhnya. Mempunyai
sebuah faktor resiko, atau bahkan beberapa, tidak berarti seseorang pasti akan
mendapatkan penyakit. Kebanyakan wanita yang mempunyai satu atau lebih faktor
resiko tidak pernah berkembang menjadi suatu penyakit, ketika wanita lain yang tidak
mempunyai faktor resiko mengalami kanker payudara. Bahkan ketika seorang wanita
dengan faktor resiko mengalami kanker payudara, ini masih sulit untuk menjelaskan
seberapa besar faktor resiko tersebut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
kanker payudara (American Cancer Society, 2015).
1) Jenis kelamin
Wanita merupakan faktor resiko terpenting dari kanker payudara.
Namun, pria juga bisa mengalami kanker payudara hanya saja resiko untuk
wanita sekitar 100 kali lebih besar daripada pria. Kemungkinan hal ini akibat
pria memiliki sedikit hormon estrogen dan progesteron daripada wanita, di
mana hormon tersebut merupakan promoter dari pertumbuhan sel kanker
payudara (American Cancer Society, 2015).
Menurut penelitian Kumiko dan Tomotaka pada tahun 2009, dijelaskan
bahwa angka kematian kasar penderita kanker payudara pria di Jepang pada
tahun 2006 adalah 0,2 per 100.000 populasi. Sedangkan di Amerika pada tahun
2004 angka ini menunjukkan besar 0,3 per 100.000 populasi. Namun, angka ini
masih rendah bila dibandingkan tingkat kematian pada wanita yang mencapai
85-90 kAli lebih tinggi daripada pria di Negara Jepang maupun Amerika.
2) Usia
Resiko
berkembangnya
kanker
payudara
meningkat
dengan
bertambahnya usia. Sekitar 1 dari 8 kanker payudara invasive ditemukan pada
wanita berusia dibawah 45 tahun, ketika 2 dari 3 kanker payudara invasive
Universitas Sumatera Utara
29
ditemukan pada wanita berusia 55 tahun dan lebih tua (American Cancer
Society, 2015).
Hal tersebut dikuatkan dengan penelitian yang dlakukan oleh Ali et al
tahun 2011 di Iran di mana distribusi pada pasien yang mengalami kanker
payudara berdasarkan usia terdapat lebih banyak pada usia lebih dari 40 tahun
dibandingkan dengan usia dibawah 40 tahun yakni 82,8%.
3) Genetik
Sekitar 5% hingga 10% kasus kanker payudara diperkirakan karena
adanya faktor herediter, artinya bahwa kanker merupakan hasil langsung dari
adanya defek pada gen atau biasa disebut dengan mutasi yang berasal dari orang
tua (American Cancer Society, 2015). Mutasi tersebut diturunkan secara
autosomal dominan dan bervariasi dalam jenis mutasi yang terjadi (Devita et al,
2011).
Penyebab paling utama dari terjadinya kanker payudara adalah adanya
mutasi dari gen BRCA1 dan BRCA2 yang diturunkan. Pada keadaan normal,
gen-gen tersebut berfungsi mencegah kanker dengan memproduksi suatu
protein yang menjaga sel agar tidak mengalami perkembangan secara tidak
normal, sehingga jika seseorang memiliki kopian mutasi dari kedua gen tersebut
dari orang tua, maka seseorang tersebut memiliki resiko tinggi untuk menjadi
kanker payudara di sepanjang hidupnya (American Cancer Society, 2015).
Lebih dari 700 perbedaan mutasi yang terjadi pada gen BRCA1 dan 300
pada BRCA2 telah dijelaskan, dan posisi mutasi dalam gen telah ditunjukkan
mempengaruhi resiko terjadnya kanker payudara maupun kanker ovarium
(Devita et al, 2011). Pada beberapa keluarga dengan mutasi gen BRCA1 resiko
terjadinya kanker payudara sebesar 80%. Pada usia lebih tua resiko ini terlihat
menurun, yakni berkisar antara 55% sampai dengan 65%. Sedangkan untuk
Universitas Sumatera Utara
30
mutasi gen BRCA2 resikonya lebih rendah dari BRCA1 yakni sebesar 45%
(American Cancer Society, 2015).
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Antoniou et al
yang memperlihatkan hasil bahwa pada sampel yang mengalami mutasi gen
BRCA1 mempunyai resiko kumulatif yang lebih besar untuk terjadinya kanker
payudara dibandingkn pada sampel yang mengalami mutasi gen BRCA2.
Terdapat mutasi genetik lainnya yang berasosiasi dengan terjadinya
kanker payudara, walaupun jumlahnya mungkin saja lebih sedikit bila
dibandingkan dengan mutasi yang terjadi pada BRCA1 ataupun BRACA2. Gen
ATM yang pada kondisi normal memiliki kemampuan untuk membantu dalam
hal memperbaiki DNA yang rusak, jika terjadi mutasi dapat menyebabkan
kelainan tertentu. Adanya dua kopian abnormal dari gen ini yang diturunkan
akan menyebabkan terjadinya ataxia-telangiektasis sedang satu kopian
abnormal dari gen ini yang diturunkan akan berhubungan dengan kejadian
kanker payudara pada beberapa keluarga.
Selain itu adanya mutasi pada gen TP53 juga dpat memicu terjadinya
kanker payudara, karena pada kondsi normal gen ini menghasilkan protein p53
yang membantu menghentikan pertumbuhan sel yang tidak normal.Namun
mutasi pada gen ini jarang terjadi. Mutasi pada gen PALB2 juga meningkatkan
resiko kanker payudara, karena gen ini berfungsi menghasilkan sebuah protein
yang berinteraksi dengan protein yang dibuat oleh gen BRCA1 dan BRCA2.
Mutasi gen CHEK2, PTEN, CDH1, dan STK11 juga dapat meningkatkan resiko
terjadinya kanker payudara pada wanita (American Cancer Society, 2015).
4) Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga sudah sejak lama diakui sebagai faktor resiko
terjadinya kanker payudara. Resiko untuk menjadi kanker payudara meningktat
Universitas Sumatera Utara
31
1,5 sampai 3 kali lipat pada wanita yang memiliki ibu ataupun saudara
perempuan
yang
mengalami
kanker
payudara.
Riwayat
keluarga,
bagaimanapun, merupakan faktor resiko yang heterogen dengan implikasi yang
berbeda-beda bergantung pada relativitas kanker payudara, hubungan keluarga
yang dekat, usia saat terdiagnosis, dan sebagainya (Harold et al, 2011).
5) Ras dan Etnis
Wanita kulit putih sedikit lebih mungkin untuk terkena kanker payudara
dibandingkan wanita Afrika-Amerika. Kanker payudara juga lebih umum
terjadi pada wanita Afrika-Amerika di usia kurang dari 45 tahun. Wanita Asia,
Hispanic, dan Native-America mempunyai resiko yang lebih rendah untuk
berkembang menjadi kanker payudara (American Cancer Society, 2015).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ruth et al yang melihat kejadian
kanker payudara pada wanita kulit putih dan kulit hitam di Inggris Tenggara
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan tingkat insiden kanker payudara pada
wanita Black Caribbean, Black African dan wanita kulit putih dibawah usia 50
tahun, namun wanita Black Caribbean dan Black African didiagnosis dengan
kanker payudara pada usia rata-rata yang lebih muda dibandingkan wanita kulit
putih ataupun wanita yang tidak diketahui etnisnya.
6) Kepadatan Jaringan Payudara
Kepadatan jaringan payudara adalah suatu kondisi di mana terdapat
lebih banyak jaringan kelenjar dan jaringan ikat serta lebih sedikit jaringan
lemak. Wanita dengan payudara yang padat pada mammografi mempunyai
resiko untuk terkena kanker payudara sebesar 1,2 sampai 2 kali daripada wanita
yang mempunyai kepadatan payudara seperti pada umumnya atau rata-rata. Dan
sangat disayangkan juga bahwa jaringan payudara yang padat dapat membuat
mamografi kurang akurat (American Cancer Society, 2015).
Universitas Sumatera Utara
32
Menurut
Norman
kepadatan
mammografi
jaringan
payudara
berhubungan dengan proliferasi epitel dan stromal fibrosis. Hubungan diantara
gambaran histologi dan resiko kanker payudara dijelaskan oleh adanya kerja
sebuah growth factor yang diperkirakan mempunyai peran penting dalam
perkembangan payudara dan karsinogenesis. Hasil tersebut didukung oleh
sebuah studi meta-analysis yang melibatkan 42 artikel menunjukkan bahwa
adanya peningkatan resiko kanker payudara pada wanita dengan densitas
payudara yang meningkat.
7) Faktor Hormonal
Perkembangan kanker payudara pada banyak wanita berhubungan dengan
hormon reproduksi wanita. Studi epidemiologi secara konsisten mengidentifkasi
sejumlah faktor resiko kanker payudara yang berhubungan dengan peningkatan
paparan terhadap estrogen endogen. Usia menarke yang lebih awal, nulliparitas,
ataupun kehamilan pada usia yang terlalu tua, serta usia menopause yang
terlambat meningkatkan resiko kanker payudara (Harold et al, 2011).
Terapi pengganti hormon setelah menopause yang berkorelasi dengan
level estrogen plasma dan level estradiol plasma, dihubungkan dengan
peningkatan resiko kanker payudara (Harold et al, 2011). Penelitian yang
dilakukan oleh Ronald et al menujukkan bahwa resiko kanker payudara
meningkat 10% setiap 5 tahun penggunaan terapi hormon pengganti. Walaupun
resiko tidak meningkat secara monoton dengan peningkatan lama penggunaan
terapi hormon pengganti, data yang ada tersebut sesuai dengan peningkatan yang
teratur dari peningkatan lama penggunaan terapi hormon pengganti. Setelah 15
tahun penggunaan, resiko kanker payudara menjadi 36%.
8) Menyusui
Universitas Sumatera Utara
33
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa menyusui menurunkan resiko
untuk terkena kanker payudara pada wanita, terutama jika menyusui
berlangsung selama 1,5 sampai 2 tahun (American Cancer Society, 2015).
Penelitian Young Lee et al di Korea menunjukkan adanya penurunan insidensi
kanker payudara dengan semakin lamanya seorang wanita menyusui.
9) Obesitas
Menjadi obesitas pada saat menopause ataupun karena mendapatkan berat
sewaktu dewasa berhubungan dengan peningkatan resiko untuk menjadi kanker
payudara (American Cancer Society, 2015). Menurut Margot dan Michael
obesitas menjadi faktor resiko terjadinya kanker payudara untuk penderita kanker
payudara pada usia postmenopause, terutama karena adanya perkembangan dari
hormon-responsive tumor. Meningkatnya level estrogen pada sirkulasi menjadi
faktor pertumbuhan primer dalam meningkatkan resiko kanker payudara. Selain
itu adipokin yang secara langsung disintesis di jaringan adiposa mungkin
mempengaruhi tumorigenesis.
Beberapa hipotesis lain diajukan untuk menjelaskan hubungan ini, salah
satunya menyatakan bahwa obesitas yang berasosiasi dengan metabolic syndrome
memicu terjadinya peningkatan sirkulasi insulin dan juga insulin-like growth
faktor (IGF) yang berperan sebagai mitogen. Bagian dari mekanisme kerja
mitogen tersebut juga dimediasi oleh adanya crosstalk dari jalur ini dengan jalur
reseptor estrogen pada sel payudara (Lorincz dan Sukumar, 2006).
2.2.3.2. Klasifikasi dan staging
Kanker payudara dibagi menjadi kanker yang belum menembus membrane
basal (non-invasive) dan kanker yang sudah menembus membrane basal (invasive).
Bentuk utama karsinoma payudara dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
34
A. Non-invasive
1) Karsinoma duktus in situ (DCIS; karsinoma intra-duktus)
Pada DCIS, gambaran histologik memperlihatkan pola yang beragam.
Pola arsitekturnya antara lain tipe solid, kribformis, papilaris, mikropapilaris dan
clinging. Di setiap tipe kemungkinan ditemukan nekrosis. Gambaran nukleus
bervariasi dari derajat rendah dan monomorfik hingga derajat tinggi dan
heterogen. DCIS sering disertai kalsifikasi karena bahan sekretorik atau debris
nekrotik yang mengalami kalsifikasi. Saat ini DCIS jarang terlihat sebagai massa
yang dapat diraba atau terlihat secara radiografis. Apabila deteksi terlambat,
mungkin terdapat massa yang dapat diraba atau discharge puting payudara.
Prognosis DCIS sangat baik, dengan lebih dari 97% pasien bertahan hidup lama.
Sebagian pasien mengalami metastasis jauh tanpa rekurensi lokal, kasus ini
biasanya adalah DCIS derajat tinggi ekstensif dan mungkin memiliki daerah
invasive kecil yang tidak terdeteksi. Saat ini, upaya terapi untuk melenyapkan
DCIS adalah dengan pembedahan dan radiasi. Terapi dengan antiestrogen
tamoksifen juga dapat mengurangi kekambuhan (Robbins, 2007).
2) Karsinoma lobulus in situ (LCIS)
Pada LCIS, tidak seperti DCIS, memperlihatkan gambaran uniform. Sel
bersifat monomorfik dengan nukleus polos bundar dan terdapat dalam kelompok
kohesif di duktus dan lobules. Vakuol musin intrasel sering ditemukan. LCIS
hampir selalu ditemukan secara tidak sengaja dan jarang menimbulkan metastasis.
LCIS juga jarang membentuk massa sehingga jarang mengalami kalsifikasi. LCIS
merupakan penanda peningkatan resiko timbulnya kanker di kedua payudara dan
prekusor langsung bagi sejumlah kanker (Robbins et al,2007).
B. Karsinoma Invasive
1) Karsinoma duktus invasive
Universitas Sumatera Utara
35
Karsinoma duktus invasive merupakan istilah yang digunakan untuk
semua karsinoma yang tidak dapat disubklasifikasikan ke dalam salah satu tipe
khusus yang dijelaskan di bawah dan tidak menunjukkan bahwa tumor ini secara
spesifik berasal dari sistem duktus. Sebagian besar (70% hingga 80%) kanker
masuk ke dalam kategori ini. Sebagian besar karsinoma duktus menimbulkan
respon desmoplastik, yang menggantikan lemak payudara normal dan membentuk
massa yang teraba keras. Gambaran mikroskopik cukup heterogen, berkisar dari
tumor dengan pembentukan tubulus yang sempurna serta nukleus derajat rendah
hingga tumor yang terdiri atas lembaran-lembaran sel anaplastik. Tepi tumor
biasanya irregular, tetapi kadang-kadang menekan dan sirkumskripta. Mungkin
ditemukan invasi ke rongga limfovaskular atau di sepanjang saraf. Sekitar dua
pertiga tumor mengekspresikan reseptor estrogen atau progesterone, dan sepertiga
mengekspresikan secara berlebihan ERBB2 (Robbins, 2007).
2) Karsinoma lobules invasive
Karsinoma ini terdiri atas sel yang secara morfologis identik dengan sel
pada LCIS. Pada dua pertiga kasus ditemukan LCIS disekitar tumor. Sel-sel
secara sendiri-sendiri menginvasi stroma dan sering tersusun membentuk
rangkaian. Kadang-kadang sel tersebut mengelilingi asinus atau duktus yang
tampak normal atau karsinomatosa, menciptakan apa yang disebut sebagai mata
sapi (bull’s eye). Karsinoma lobulus lebih sering bermetastasis ke cairan otak,
permukaan serosa, ovarium dan uterus, serta sumsum tulang dibandingkan
dengan karsinoma duktus. Karsinoma jenis ini juga lebih sering bersifat
multisentrik dan bilateral (10% hingga 20%). Hampir semua karsinoma ini
mengekspresikan reseptor hormon, tetapi ekspresi ERBB2 jarang atau bahkan
tidak terjadi. Tumor ini membentuk kurang dari 20% dari semua kanker payudara
(Robbins, 2007).
3) Karsinoma medularis
Universitas Sumatera Utara
36
Subtipe karsinoma yang jarang dan membentuk sekitar 2% dari kasus ini
merupakan kanker yang berbentuk lembaran sel besar anaplastik dengan tepi yang
berbatas tegas. Secara klinis, tumor ini mungkin bisa disalahartikan dengan
fibroadenoma. Selalu terdapat infiltrat limfoplasmasitik yang mencolok.
Karsinoma ini tidak memiliki reseptor hormon dan tidak mengekspresikan
ERBB2 secara berlebihan (Robbins, 2007).
4) Karsinoma koloid (musinosa)
Seperti karsinoma medularis, karsinoma jenis ini juga jarang terjadi. Sel
kanker menghasilkan banyak musin ekstrasel yang merembes ke dalam stroma di
sekitarnya. Tumor ini sering bermanifestasi sebagai massa sirkumskripta dan
mungkin disangka fibroadenoma. Secara makroskopis, tumor biasanya lunak dan
gelatinosa. Sebagian besar mengekspresikan reseptor hormon, dan beberapa
mungkin mengekspresikan ERBB2 secara berlebihan (Robbins, 2007).
5) Karsinoma tubulus
Jenis ini jarang bermanifestasi sebagai massa yang dapat diraba tetapi
merupakan penyebab 10% karsinoma invasive yang berukuran kurang kurang dari
1 cm yang ditemukan pada pemeriksaan mammografi. Pada mammografi, tumor
biasanya tampak sebagai densitas ireguler. Secara mikroskopis, karsinoma terdiri
atas tubulus yang berdiferensiasi baik dengan nukleus derajat rendah. Jarang
bermetastasis ke kelenjar getah bening, dan prognosis baik. Hampir semua
karsinoma tubulus mengekspresikan reseptor hormon, dan sangat jarang
mengekspresikan ERBB2 secara berlebihan (Robbins, 2007).
6) Karsinoma tipe lain
Universitas Sumatera Utara
37
Tabel 2.1 Klasifikasi Kanker Payudara Sistem TNM
Universitas Sumatera Utara
38
Tabel 2.1 (Lanjutan…)
Universitas Sumatera Utara
39
Tabel 2.1 (Lanjutan…)
Sumber: AJCC, 2009
2.2.3.3. Patogenesis
Kanker payudara memperlihatkan tingkah laku yang mencakup ke dalam
biologi maupun klinis. Keberagaman ini diperlihatkan melalui variasi molekular dan
morfologi yang mendasarinya, dengan adanya spektrum dari gambaran histologi dan
marker patologi secara molekular sangat berguna dalam memprediksi clinical
outcome dan pemilihan terapi yang tepat (Subramaniam and Isaacs, 2005 dalam Kwei
et al, 2010).
Kanker sendiri merupakan penyakit genetik dan sangat jelas dimengerti
melalui pembelajaran mengenai adanya perubahan DNA yang memicu terjadinya
perkembangan suatu sel menjadi kanker. Begitu juga kanker payudara, kanker ini
merupakan penyakit heterogen yang secara fundamental disebabkan oleh akumulasi
yang progresif dari penyimpangan genetik, termasuk di dalamnya seperti mutasi
point, amplifikasi kromosom, delesi, penyususnan kembali, translokasi, dan duplikasi
(Erin, Gina, and Lyndsay, 2011).
Universitas Sumatera Utara
40
Bukti molekuler telah memperjelas mengenai adanya jalur berbeda yang
memicu terjadinya perkembangan kanker payudara invasive. Studi memperhatikan
pada
pola ataupun bentuk dari perubahan dan mutasi sejumlah kopi gen telah
mengidentifikasi mengenai adanya perubahan pada gen tertentu seperti delesi pada
16q ataupun penambahan gen pada 1q. Hal tersebut terlihat lebih sering terjadi pada
kanker dengan ER-positive daripada ER-negative karena kanker dengan ER-negative
cenderung lebih terlindungi dari kerusakan genetik yang berat seperti mutasi pada
p53, amplifikasi HER2, disfungsi BRCA1, dan instabilitas gen yang tinggi. Bukti ini
juga memperlihatkan bahwa kanker dengan ER-positive dan ER-negative mempunyai
jalur yang berbeda untuk berkembang, yang mana satu sama lain sangat jarang sekali
untuk tumpang tindih (overlap).
Selain itu, bertentangan dengan data sebelumnya yang menyatakan bahwa
progresifitas kanker invasive dari low-to-high-grade jarang terjadi, kanker dengan
ER-positive memperlihatkan kemungkinan untuk berkembang dari tingkat rendah
menjadi tinggi (from low to high grade). Kira-kira 50% kanker dengan ER-positive
grade 3 mengalami perubahan gen yang sama seperti pada kanker dengan ER-positive
grade 1, yakni pada 16q dan 1q. Hal tersebut memperlihatkan adanya jalur umum
dari perkembangan kanker. Hanya saja, pada kanker grade 3 cenderung
mengakumulasi perubahan gen yang lebih ekstra sehingga menyebabkan proliferasi
yang lebih tinggi dan instabilitas gen yang lebih besar.
Bukti terakhir juga menunjukkan bahwa kanker duktus maupun lobular
denga ER-positive, baik pada jenis invasive ataupun in situ terlihat begitu identik jika
dilihat dari sudut pandang genetik. Namun, pada jenis lobular, selain terjadi
perubahan pada gen 16q dan 1q terjadi juga ekspresi E-cadherin yang menghilang.
Pemikiran sebelumnya yang menyatakan bahwa sel-sel basal/myoepithelial dari
payudara yang “bangun” sebagai penyebab terjadi kanker payudara ditolak dengan
adanya bukti terakhir yang menyatakan bahwa kemungkinan adanya prekusorprekusor lain yang dapat menyebabkan terjadinya kanker payudara.
Universitas Sumatera Utara
41
Gambar 2.20 Skema pathogenesis molecular (molecular pathogenesis) kanker
payudara
Sumber: Molecular Pathology of Breast Cancer (Allison, 2012)
Pada akhirnya, berbagai bukti terakhir yang menyoroti heterogenitas genetik
dan molekular dari kanker, termasuk payudara, telah membawa konsep evolusi klonal
pada kanker ke barisan depan mengenai teori perkembangan suatu kanker (Allison,
2012).
2.3.
Usia dan Gambaran Histopatologi Kanker Payudara
Penuaan merupakan faktor resiko terbesar untuk terjadinya suatu penyakit,
mulai dari kanker sampai neurodegeneratif. Berbagai patologi yang berhubungan
Universitas Sumatera Utara
42
dengan usia pada umumnya berjalan secara kronik, hal tersebut menyebabkan
morbiditas serius yang terjadi dalam waktu lama atau bahkan bisa menimbulkan
kematian.
Untuk memulai memahami bagaimana suatu penyakit oleh karena usia
berhubungan, telah terdapat dua kategori yang digunakan untuk membagi agerelated-disease. Kategori pertama adalah mengenai penyakit-penyakit yang timbul
karena adanya kehilangan fungsi. Penyebabnya adalah adanya kehilangan pada
berbagai aspek mulai dari sel, fungsi subseluler, elemen jaringan, atapun fungsi
jaringan. Penyakit neurodegeneratif dan beberapa penyakit kardiovaskular masuk ke
dalam kategori ini. Kategori kedua adalah mengenai penyakit yang timbul karena
bertambahnya fungsi. Bentuk paling umum dari kategori ini adalah hiperplasia, yang
pada kasus tertentu menyebabkan timbulnya fungsi seluler baru. Bentuk paling
dikenal dari kategori ini tentu saja kanker.
Dalam perkembangannya, suatu kanker sangat dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu faktor internal sel kanker dan faktor eksternal sel kanker. Adanya akumulasi
mutasi somatik merupakan faktor internal sel kanker. Di mana biasanya kanker
mempunyai tipikal untuk melindungi perubahan genetik pada sel itu sendiri. Hal
tersebut dipercepat oleh adanya mutasi lebih awal yang dapat menginaktivasi genetik
yang mempunyai fungsi kritis dalam mempertahankan kestabilan genomik. Selain itu,
adanya mutasi tadi memberikan beberapa sifat keganasan yang penting secara
fungsional, seperti unchecked cell proliferation, survival, motility, dan invasiveness.
Faktor kedua merupakan faktor eksternal yang berasal dari lingkungan mikro
(microenvironment) dari sel kanker tersebut. Dalam keadaan normal, lingkungan
tersebut melindungi sel dengan menekan sel yang mengalami mutasi untuk tidak
dapat berkembang serta tidak dapat untuk bertahan, ini sebabnya mengapa setiap sel
kanker harus mempunyai kemampuan untuk merubah keadaan lingkungan tersebut.
Salah satu variable yang dapat memicu untuk suatu lingkungan sel menjadi pro-
Universitas Sumatera Utara
43
carsinogenic adalah usia. Hal tersebut terjadi melalui berbagai faktor, namun hingga
saat ini mekanisme pasti belum begitu dimengerti. Salah satu mekanisme yang cukup
dimenegrti saat ini adalah mengenai cellular senescence yang berperan dalam respon
terhadap stress dan kerusakan. Hal tersebut juga menjadi dasar sebuah hipotesis
mengenai hubungan kanker dengan adanya petologi degeneratif dari penuaan
(degenerative pathologies of aging).
Cellular senescence merupakan suatu keadaan di mana kemampuan suatu
sel untuk berproliferasi menjadi hilang secara irreversibel yang terjadi ketika suatu sel
terkena stimulus onkogenik. Oleh karena hal tersebut, saat ini cellular senescence
merupakan mekanisme supresif tumor yang potent dan paling efektif. Efek dari
cellular senescence sangat bergantung kepada fungsi dari jalur p53 dan
p16INK4a/pRB, di mana keduanya merupakan jalur tumor supresif yang paling kuat
yang dikode oleh genom vetebrata (Judith et al,2011). Sehingga jika p53 ataupun
pRB mengalami inaktivasi, sebagian besar sel manusia akan berproliferasi hingga
telomere menjadi sangat pendek. Hal tersebut dapat membawa sel ke dalam keadaan
yang tidak stabil, dan diketahui bahwa erosi telomer serta kromosom yang berada
dalam kondisi tidak stabil dapat
menyebabkan kematian sel. Pada beberapa sel
lainnya, adanya mutasi dapat memungkinkan sel untuk menstabilkan telomer mereka
sehingga dapat terus mengalami proliferasi namun dengan resiko besar untuk
berkembang menjadi ganas. Hal yang sangat menarik adalah senescent cell
mengalami peningkatan dengan bertambahnya usia di berbagai jaringan tubuh
mammalia (Judith et al, 2001).
Senescence cell memperlihatkan tanda dan perubahan yang berbeda pada
pola ekspresi gen, diantaranya adalah adanya peningkatan level mRNA yang terjadi
secara kuat serta sekresi sejumlah sitokin, kemokin, growth factor, dan protease, yang
selanjutnya dikenal dengan SASP (Senescence-associated secretory phenotype).
SASP memungkinkan sel yang rusak untuk berkomunikasi menyebabkan sel
Universitas Sumatera Utara
44
berkeliling pada jaringan. Oleh karena itu, SASP berperan dalam menstimulasi
regenerasi atau perbaikan jaringan setelah mengalami kerusakan.
SASP juga mengandung sejumlah kemokin dan sitokin yang dapat memicu
serta mengaktivasi sel imun sistem, karena senescence cell mengekspresikan ligan
untuk sel-sel imun sitotoksik seperti sel NK. Respon ini mungkin juga berhubungan
dengan mekanisme yang memfasilitasi pembersihan (clearance) senescent cell dari
jaringan. Sesuai dengan pernyataan di atas, ditemukan bahwa senescent cell
mengalami peningkatan frekuensi pada sel yang tua. Satu hal yang mendasari hal ini
kemungkinan
adalah
sitem
imun
yang mengalami
penuaan. Kondisi
ini
memperlihatkan pengurangan dan gangguan pada fungsi sel imun tersebut sehingga
sistem imun menjadi kurang mampu untuk membersihkan (clearing) senescence cell
dari jaringan.
Senescence cell secara jelas diperlihatkan menganggu struktur normal dari
sebuah jaringan dan mendiferensiasikan fungsi pada model seluler dari suatu
kompleks sel. Sebagai contoh senescence stroma fibroblast diperlihatkan menganggu
organisasi normal dan fungsi khusus sel epitel payudara.
Universitas Sumatera Utara
45
Gambar 2.21 Senesceny cells, berdasarkan adanya SASP, memungkinkan untuk
terjadinya penyakit degeneratif ataupun neoplastik. Baik senescent cells ataupun selsel neoplastik meningkat sejalan dengan bertambahnya usia pada banyak jaringan.
SASP dari senescent cells dapat menyebabkan sel normal dalam jaringan kehilangan
fungsi optimal, memicu degenerasi jaringan. SASP juga dapat menyebabkan sel
premaligna mengalami proliferasi dan mengadopsi lebih banyak fenotip yang bersifat
maligna.
Sumber: Cellular Senescence: A link between cancer and age-related degenerative
disease? (Judith et al, 2011)
Kemungkinan lain yang memperlihatkan bukti langsung yang berkontribusi
terhadap age-related degeneration berasal dari studi pada tikus yang diketahui
mengalami kekurangan ekspresi protein p16INK4a, yang diketahui sebelumnya
mempunyai fungsi sebagai suppressor tumor.
Meskipun SASP memiliki kemampuan untuk memfasilitsi terjadinya
suppresi pada sel tumor, bukti lain memperlihatkan bahwa SASP dapat memicu
fenotipe ganas (malignant phenotype) pada kultur. Pada kultur tersebut, SASP
merupakan penginduksi yang poten terhadap terjadinya transisi sel epitel ke
mesenkim yang merupakan tahap penting dalam perkembangan karsinoma invasive
dan metastasis (Judith et al, 2011).
Prediksi dari hal tersebut adalah adanya fungsi supresi tumorigenesis pada
organisme yang lebih muda namun secara kontras justru mempunyai efek menghapus
pada sel. Sehingga disimpulkan bahwa walaupun pada usia muda senescence cell
melindungi dari sel kanker, justru pada usia tua senescene cell justru memicu
terjadinya kanker (Judith et al ,2001).
Semua pernyataan di atas didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Farhat et al yang membagi sampel ke dalam tiga kelompok usia yakni 40-49 tahun,
50-69 tahun, dan 70-79 tahun. Dalam penelitiannya diperlihatkan peningkatan
kejadian kanker payudara jenis invasive dengan peningkatan umur, dan sebaliknya
Universitas Sumatera Utara
46
penurunan kejadian kanker payudara jenis non-invasive dengan bertambahnya usia.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Mehmet et al juga memperlihatkan peningkatan
kejadian kanker payudara jenis invasive dengan bertambahnya usia, hanya saja pada
penelitian ini angka kejadian kanker payudara jenis non-invasive menunjukkan
peningkatan dan penurunan yang tidak konsisten dengan bertambahnya usia.
Universitas Sumatera Utara
Download