BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nervus Trigeminus Nervus

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nervus Trigeminus
Nervus Trigeminus adalah saraf kranial terbesar dan merupakan saraf otak
motorik dan sensorik. Serabut motoriknya mempersarafi muskulus maseter,
temporalis, pterigoideus internus dan eksternus, tensor timpani, omohioideus dan
bagian anterior dari muskulus digastrikus.
Inti
motoriknya
terletak
di
pons.
Serabut-serabut motoriknya bergabung dengan serabut-serabut sensorik nervus
trigeminus yang berasal dari ganglion Gasseri. Serabut-serabut sensoriknya
menghantarkan impuls nyeri, suhu, raba, dan perasaan proprioseptif. Kawasannya
ialah wajah, dan selaput lendir lidah dan rongga mulut serta gusi dan rongga hidung.
Impuls proprioseptif, terutama berasal dari otot-otot yang disarafi oleh cabang
mandibular, dihantarkan oleh serabut sensorik cabang mandibular sampai ke ganglion
Gasseri.16
Gambar 1. Nervus trigeminus11
Gambar 2. Jalur sensorik Nervus Trigeminus11
Jika ditinjau dari cabang-cabang perifernya, maka nervus trigeminus memiliki
3 cabang, yaitu: 16
1. Cabang Optalmik
Cabang ini menghantarkan impuls protopatik dari bola mata serta ruang
orbita, kulit dahi sampai verteks. Impuls sekretomotorik dihantarkannya ke glandula
lakriminalis. Serabut-serabut dari dahi menyusun nervus frontalis masuk ke ruang
orbita melalui foramen supraorbital.16
Serabut-serabut dari bola mata dan rongga hidung bergabung menjadi
seberkas saraf yang dikenal sebagai nervus nasosiliaris. Berkas saraf yang menuju ke
glandula lakrimalis dikenal sebagai nervus lakrimalis. Ketiga berkas saraf, yaitu
nervus frontalis, nervus nasosiliaris dan nervus lakrimalis mendekati satu dengan
yang lain pada fisura orbitalis superior dan dibelakang fisura tersebut bergabung
menjadi cabang I N.V (nervus optalmikus). Cabang tersebut menembus durameter
dan melanjutkan perjalanan di dalam dinding sinus cavernous. Pada samping
prosesus klinoideus posterior cabang ini keluar dari dinding tersebut dan berakhir di
ganglion Gasseri. Di dekatnya terdapat arteri fasialis. 16
Adanya lesi pada cabang ini seperti tumor, multipel sklerosis, dll
menyebabkan hilangnya reflek kornea dan sensasi pada daerah dermatome.
Perubahan pada kornea (neuropatik keratitis) juga mungkin terjadi.17
2. Cabang maksilaris
Cabang ini tersusun oleh serabut-serabut somatosensorik yang menghantarkan
impuls protopatik dari wajah bagian pipi, kelopak mata bawah, bibir atas, hidung dan
sebagian rongga hidung, gigi-geligi rahang atas, ruang nasofaring, sinus maksilaris,
palatum mole dan atap rongga mulut. Serabut-serabut yang berasal dari kulit wajah
masuk ke dalam tulang maksilar melalui foramen infraorbital. Berkas saraf ini
dinamakan nervus infraorbital. Saraf-saraf dari mukosa cavum nasi dan rahang atas
serta gigi-geligi atas juga bergabung dalam saraf ini dan setelahnya disebut nervus
maksilaris, cabang II N.V. Ia masuk ke dalam rongga tengkorak melalui foramen
rotundum kemudian menembus durameter untuk berjalan di dalam dinding sinus
cavernous dan berakhir pada ganglion Gasseri. Cabang maksila nervus V juga
menerima serabut-serabut sensorik yang berasal dari dura fossa krania media dan fosa
pterigopalatinum. 16 Adanya lesi menyebabkan kehilangan sensasi reflek palatal.17
3. Cabang Mandibular
Cabang ini tersusun oleh serabut somatomotorik dan sensorik serta
sekremotorik (parasimpatetik). Serabut-serabut somatomotorik muncul pada daerah
lateral pons menggabungkan diri dengan berkas serabut sensorik yang dinamakan
cabang mandibular ganglion Gasseri. Secara eferen, cabang mandibular keluar dari
ruang intrakranial melalui foramen ovale dan tiba di fossa infratemporal. Disitu
nervus
meningea
media
(sensorik)
yang
mempersarafi
selaput
meningen
menggabungkan diri pada pangkal cabang mandibular. Di bagian depan fossa
infratemporal, cabang III N.V bercabang dua. 16
Yang satu terletak lebih kebelakang dari yang lain. Cabang belakang
merupakan
pangkal
dari
saraf
aferen
dari
kulit
daun
telinga
(nervus
aurikulotemporal), kulit yang menutupi rahang bawah, mukosa bibir bawah, dan dua
pertiga bagian depan lidah (nervus lingual), glandula parotis dan gusi rahang bawah
(nervus dentalis inferior) dan serabut eferen yang mempersarafi otot-otot
omohioideus dan bagian anterior muskulus digastrikus.16
Lesi pada cabang ini menyebabkan kekurangan sekresi saliva, kehilangan rasa
kecap di 2/3 anterior lidah, kelemahan pada otot pengunyahan adalah ciri yang
menonjol.17
2.2 Trigeminal neuralgia
2.2.1 Definisi Trigeminal neuralgia
Trigeminal neuralgia pertama kali dikemukakan oleh John Fothergill pada
tahun 1773. Ia mendeskripsikan secara jelas gambaran klinis yang khas pada
Trigeminal neuralgia seperti nyeri paroksismal pada sebagian sisi wajah dan dipicu
oleh aktivitas seperti makan, berbicara, adanya sentuhan ringan, dimulai serta
berhenti secara tiba-tiba dan berhubungan dengan kecemasan.18
Dalam bahasa Yunani kuno Roma, Trigeminal Neuralgia disebut juga dengan
“Cephalgia”. Disebut juga dengan “Tic doulourex” oleh Nicholas Andre (1756).
“Forthergill’s disease” oleh John Fothergill (1773). “Epileptiform neuralgia” oleh
Trousseau (1853).19
International Association for the Study of Pain (IASP) dan International
Headache Society (IHS) memiliki kriteria diagnostik sendiri tentang Trigeminal
Neuralgia.18 International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan
Trigeminal neuralgia sebagai nyeri yang tiba-tiba, biasanya unilateral, tajam, hebat,
singkat, dan berulang yang berdistribusi pada satu atau lebih cabang dari saraf
trigeminal atau saraf kranial kelima.4 Sementara menurut International Headache
Society (IHS), Trigeminal neuralgia adalah nyeri wajah yang tajam seperti tersengat
listrik, terbatas pada satu atau lebih cabang nervus trigeminus.20
2.2.2 Klasifikasi
Trigeminal neuralgia menurut The International Headache Society dibagi
menjadi dua tipe yaitu :5
1. Trigeminal neuralgia klasikal : Jika dalam pemeriksaan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan neurologik serta pemeriksaan penunjang tidak ditemukan
penyebab dari nyeri wajah.
2. Trigeminal neuralgia simptomatik : penyebab nyeri wajahnya dapat
diketahui dari pemeriksaan penunjang tertentu atau pada eksplorasi fossa posterior.
Dapat diakibatkan oleh tumor, multiple sklerosis atau kelainan pada basis kranii.
2.2.3 Etiologi
Sebagian besar kasus Trigeminal neuralgia merupakan kasus yang klasik
(idiopatik) dan sebanyak 15% pasien yang mengalami tipe simptomatik. Pada
Trigeminal neuralgia, etiologinya tidak diketahui dengan pasti (idiopatik). Beberapa
teori menyebutkan Trigeminal neuralgia terjadi akibat adanya kompresi vaskular pada
saraf menyebabkan kerusakan saraf trigeminal.21
Kompresi vaskular ini terjadi di daerah dorsal root entry zone pada fosa
posterior yaitu pada ganglion trigeminal. Dorsal root entry zone merupakan daerah
tempat keluarnya saraf trigeminal dari batang otak.12 Daerah ini menunjukkan
hubungan antara mielin yang berasal dari sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer
pada sel Schwann dan astrocytes.22 Akan tetapi akson yang terdapat pada Dorsal root
entry zone lebih banyak dilapisi oleh mielin yang berasal dari sistem saraf pusat.21
Semua keadaan yang terjadi pada daerah ini, secara potensial dapat mempengaruhi
fungsi dari seluruh neuron di saraf trigeminal. Trigeminal neuralgia simptomatik
disebabkan oleh adanya lesi yang mempengaruhi saraf trigeminal seperti multipel
sklerosis dan cerebellopontine-angle tumour.5,23
2.2.4 Patofisiologi
Sampai saat ini, patofisiologi dari Trigeminal neuralgia masih diperdebatkan.
Hal yang menjadi perdebatan adalah apakah patofisiologi Trigeminal neuralgia
melibatkan sistem saraf pusat atau sistem saraf perifer. Sebagian besar penderita
Trigeminal neuralgia menunjukkan adanya external vascular compression.5 Beberapa
teori menyebutkan adanya perubahan fisiologis pada anatomi tubuh yang
berhubungan dengan faktor aging, seperti hipertensi menyebabkan vasodilatasi atau
penebalan pada pembuluh darah arteri. Hal ini terkadang menyebabkan adanya
kontak neurovaskular pada saraf trigeminal.24 Pada orang normal pembuluh darah
tidak bersinggungan dengan nervus trigeminus. Arteri yang sering menekan saraf
trigeminal adalah arteri serebelar superior.21
Penekanan yang berulang menyebabkan iritasi dan akan mengakibatkan
hilangnya lapisan mielin (demielinisasi) pada serabut saraf.21 Demielinasi pada
serabut saraf trigeminal yang disertai dengan adanya subsequent ephatic cross talk
diantara beberapa akson mengakibatkan terjadinya perubahan pada voltage gated
sodium channels, yang mana dapat meningkatkan sensitifitas terhadap nyeri.9 Voltage
gated sodium channels berperan dalam impuls nosiseptif dan mekanisme terjadinya
nyeri.25 Adanya demielinasi atau kerusakan pada selubung myelin saraf trigeminal
terlihat pada Trigeminal neuralgia tipe klasik dan simptomatik.13
Demielinisasi akibat adanya kompresi pada saraf trigeminal juga terlihat pada
Trigeminal neuralgia tipe simptomatik yang disebabkan oleh tumor dan multipel
sklerosis. Pada pasien multipel sklerosis terlihat adanya plak yang meluas pada
daerah dorsal root entry zone saraf trigeminal.22 Sebagai hasilnya terjadi peningkatan
aktifitas aferen serabut saraf dan penghantaran sinyal abnormal ke nukleus nervus
trigeminus dan menimbulkan gejala Trigeminal neuralgia.26
Rekaman intraseluler telah menunjukkan bahwa ini adalah karena
peningkatan osilasi subthreshold dalam potensial membran istirahat dari subpopulasi
A-neuron
mencapai
ambang
batas.
Peningkatan
aktivitas
lonjakan
dapat
menyebabkan terjadinya depolarisasi dan C-sel yang disekitarnya menjadi
hyperexcitable. Hal ini menyebabkan sinyal nosiseptif akan dirasakan sebagai rasa
nyeri. Sinyal tersebut akan berhenti secara tiba-tiba, seperti pada Trigeminal
neuralgia. Hal ini terjadi karena mekanisme inherent cellular self-quenching.22
Gambar 3. Penekanan pada saraf
trigeminal oleh arteri serebelar superior
yang abnormal.21
2.2.5 Tingkat Kerusakan Saraf
Tingkat kerusakan pada saraf di klasifikasikan masing-masing oleh Seddon
dan Sunderland. Seddon mengklasifikasikan cedera saraf menjadi 3 kelompok yaitu
neuropraksia, aksonotmesis, dan neurotmesis. Klasifikasi ini lebih sering digunakan
dibandingkan dengan klasifikasi oleh Sunderland. Sunderland membuat klasifikasi
cedera saraf menjadi 5 tipe. Tipe 1 yaitu neuropraksia. Kemudian ia membagi
aksonotmesis menjadi tipe 2, 3, dan 4 berdasarkan ada tidaknya kerusakan pada
jaringan ikat saraf, sedangkan tipe 5 adalah neurometsis27
Pada Trigeminal neuralgia, jenis kerusakan yang terjadi adalah neuropraksia,
dimana adanya cedera saraf saraf yang menyebabkan kerusakan pada mielin saraf
Trigeminal. Pada neuropraksia, penyembuhan pada saraf dapat terjadi setelah faktor
penyebab cedera saraf dihilangkan. Penyembuhan dapat terjadi sekitar beberapa
minggu sampai beberapa bulan.28
Tabel 1. Klasifikasi kerusakan pada saraf27
Seddon
Sunderland
Patofisiologi
Neuropraksia
Tipe 1
Kerusakan mielin secara lokal biasanya disebabkan
oleh adanya penekanan pada saraf.
Aksonotmesis Tipe 2
Adanya diskontinuitas pada akson; endoneurium,
perineurium, dan epineurium masih utuh.
Tipe 3
Adanya diskontinuitas pada axon dan endoneurium;
perineurium dan epineurium masih utuh.
Tipe 4
Adanya diskontinuitas pada akson, endoneurium, dan
perineurium; epineurium masih utuh.
Neurotmesis
Tipe 5
Kerusakan saraf total
2.2.7 Diagnosis
Gambaran klinis Trigeminal neuralgia berupa nyeri yang biasanya dirasakan
pada daerah mata, bibir, hidung, kulit kepala, dahi, dan rahang serta pada sebagian
besar kasus terbatas pada satu bagian sisi wajah (95%). Nyeri wajah bisa terjadi
secara bilateral namun tidak pada waktu yang bersamaan.6
Nyeri terjadi secara episodik sekitar dua menit dan diantara dua episode rasa
nyeri bisa berkurang.29 Serangan nyeri dapat bervariasi, mulai dari sekali dalam
sehari sampai lebih dari sekali dalam setiap menit, dimana hal ini sangat
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya.6 Dapat terjadi secara spontan atau dipicu
oleh rangsangan taktil pada daerah trigger zone, pergerakan orofasial, serta
perubahan suhu. Aktivitas sehari-hari seperti mencuci wajah, bercukur, berbicara,
menggosok gigi, makan, dan minum dapat memulai terjadinya nyeri.27 Berbicara dan
makan menjadi common trigger dalam memulai terjadinya nyeri.6
Disamping itu, sebagian besar penderita Trigeminal neuralgia memiliki rasa
nyeri pada wajah bagian bawah yang sering dipersepsikan sebagai nyeri gigi.20
Berikut ini beberapa deskripsi pasien yang biasanya dikemukakan oleh pasien
tentang neuralgia trigeminal :4
1. Rasa nyeri yang tajam, menusuk, seperti tersengat listrik didaerah hidung dan
pipi sebelah kiri.
2. Serangan nyeri lebih dari 100 kali dalam sehari. Serangan nyeri kebanyakan
terjadi selama 20 detik sampai 2 menit. Terkadang rasa nyeri tumpul diikuti
dengan rasa nyeri tajam selama 20 menit atau lebih dan rasa nyeri bisa hilang
tiba-tiba.
3. Terkadang rasa nyeri mengalami periode remisi atau tidak hadir sama sekali.
4. Rasa nyerinya sangat kuat sehingga saya merasa ingin mati.
5. Faktor pemicu timbulnya nyeri biasanya seperti makan, menggosok gigi,
berbicara, tetapi rasa nyeri bisa terjadi secara tiba-tiba.
6. Rasa nyeri dapat membuat saya dehidrasi dan mengalami penurunan berat
badan.
Gambar 4. Lokasi nyeri Trigeminal neuralgia.11
Langkah-langkah yang dilakukan untuk mendiagnosis Trigeminal neuralgia
adalah anamnesa, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis
lengkap dilakukan mencakup onset, lokasi, kualitas, intensitas, frekuensi, durasi,
faktor-faktor yang memperberat rasa nyeri, perawatan sebelumnya yang sudah
dilakukan dalam mengatasi nyeri, serta riwayat medis, keluarga, dan psikososial.5
Trigeminal neuralgia ditandai dengan adanya nyeri yang sering terjadi unilateral atau
hanya pada satu sisi wajah. Nyeri biasanya terjadi tiba-tiba bersifat tajam, hebat,
singkat, berulang yang berdistribusi pada satu atau lebih cabang dari saraf
trigeminal.4 Pada umumnya terjadi periode remisi atau rasa nyeri tidak terjadi sama
sekali dalam jangka waktu yang bervariasi.17
Setelah dilakukan anamnesa, kemudian pemeriksaan fisik dilakukan.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan neurologis, pemeriksaan
myofasial kepala dan leher, pemeriksaan intraoral, evaluasi pergerakan leher dan
rahang, dan evaluasi funduskopi.5 Pada pemeriksaan fisik neurologi dapat ditemukan
sewaktu terjadi serangan, penderita tampak menderita sedangkan diluar serangan
tampak normal. Reflek kornea dan test sensibilitas untuk menilai sensasi pada ketiga
cabang nervus trigeminus bilateral. Membuka mulut dan deviasi dagu untuk menilai
fungsi otot maseter (otot pengunyah) dan fungsi otot pterigoideus.21 Kemudian tes
lain yaitu dengan memblokir secara selektif daerah yang mengalami nyeri dengan
anestesi lokal (2% Xylocaine; 1:80000) untuk melihat batas daerah nyeri.17
Pemeriksaan penunjang dilakukan apabila terdapat keadaan abnormal yang
ditemukan pada saat anamnesa dan pemeriksaan fisik, yaitu onset nyeri yang baru,
nyeri yang berkembang dengan cepat, onset nyeri yang baru pada pasien dengan
penyakit sistemik seperti kanker dan HIV, onset nyeri pada pasien yang berusia 50
tahun keatas, keadaan abnormal yang ditemukan pada saat pemeriksaan neurologis,
nyeri yang disertai demam dan rasa tegang pada leher, pergerakan rahang dan leher
yang tidak normal, dan nyeri yang disebabkan oleh pergerakan leher dan rahang.5
Pemeriksaan penunjang lebih bertujuan untuk membedakan Trigeminal
neuralgia klasik (idiopatik) dan simptomatik. CT Scan kepala untuk melihat tumor.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk melihat plak pada multipel sklerosis dan
pontine gliomas, dan Magnetic resonance angiography (MRA) merupakan MRI
dengan resolusi yang lebih tinggi untuk melihat ada tidaknya penekanan oleh
pembuluh darah.17
Tabel 2. Kriteria diagnostik Trigeminal neuralgia menurut The International
Headache Society5
Klasikal
Simptomatik
A. Serangan nyeri paroksismal pada A. Serangan nyeri paroksismal yang
wajah dan bagian frontal dari beberapa berlangsung dari beberapa detik sampai
detik sampai dua menit, mempengaruhi dua menit, dengan atau tanpa rasa sakit
satu
atau
lebih
cabang
dari
saraf yang menetap, mempengaruhi satu atau
trigeminal dan memenuhi kriteria B dan lebih cabang dari saraf trigeminal dan
C.
memenuhi criteria B dan C.
B. Nyeri memiliki setidaknya satu dari B. Nyeri memiliki setidaknya satu dari
karakteristik berikut :
karakteristik berikut:
1. Intens, tajam, dangkal, dan
1. Intens, tajam, dangkal, dan
menusuk.
2. Dipercepat pada daerah trigger
zone dan trigger factor.
3. Terkadang asimptomatik,
menusuk.
2. Dipercepat pada daerah trigger
zone dan trigger factor.
3. Terkadang asimptomatik
disamping adanya serangan nyeri yang
disamping adanya serangan nyeri yang
hebat.
hebat.
C. Serangan yang stereotip pada setiap
4. Ditemukan adanya lesi penyebab,
pasien.
selain kompresi vascular yang telah
D. Tidak adanya defisit neurologik
dibuktikan dengan pemeriksaan khusus
yang terbukti secara klinis.
serta eksplorasi pada fosa posterior.
E.
Tidak berhubungan dengan
gangguan lain.
2.2.8 Diagnosis Banding
Trigeminal neuralgia biasanya terjadi pada sebagian sisi wajah atau unilateral.
Hanya 3% pasien yang mengalami gejala bilateral, dimana gejala nyeri tersebut tidak
datang pada waktu yang sama. Diagnosis banding Trigeminal neuralgia harus
terfokus pada gejala nyeri orofasial yang unilateral. Namun banyak juga dari berbagai
macam penyebab nyeri orofasial memiliki gejala yang bilateral. Serangan pertama
Trigeminal neuralgia sering terjadi secara mendadak seperti sakit gigi. Pasien sering
menganggap bahwa rasa sakit tersebut disebabkan oleh gigi dan mencari perawatan
dental sebagai perawatan yang pertama kali. Oleh karena itu, penting bagi dokter gigi
untuk mencurigai adanya penyebab yang non dental dan tidak mencoba prosedur
yang irreversibel seperti pencabutan gigi tanpa adanya keadaan patologis yang jelas.5
Gejala Trigeminal neuralgia juga muncul secara intraoral, sehingga hal ini
dapat membingungkan bagi pasien dan dokter. Zakrzewska membuat daftar mengenai
beberapa jenis nyeri orofasial yang perlu diperhatikan ketika tidak ada penyebab
nyeri yang jelas seperti infeksi atau trauma, yaitu :5
1. Secondary Trigeminal neuralgia
Sangat penting untuk mengulang pemeriksaan neurologis pada intervalnya.
Kelainan ini akan terlihat jelas seiring berjalannya waktu serta menunjukkan bahwa
ada penyebab sekunder dari neuralgia trigeminal.5
2. Nyeri yang berasal dari gigi
•
Nyeri Pulpa
Nyeri pulpa diklasifikasikan sebagai reversible atau ireversibel, tergantung
tingkat peradangannya. Pulpitis reversibel ditandai dengan adanya sensasi nyeri
ketika diberikan iritan seperti es. Nyeri timbul selama diberikan stimulus dan tidak
terjadi secara spontan. Nekrosis pulpa juga sering terjadi dan perkusi pada gigi
dilakukan untuk melihat ada tidaknya lesi periapikal. Pada kasus ini biasanya gigi
tidak mempunyai respon terhadap stimulus suhu. Pulpitis pada gigi yang berakar
lebih dari satu mungkin akan sangat membingungkan dalam menentukan
diagnosanya.5
Pulpitis ireversibel mungkin terjadi secara spontan atau dipicu oleh beberapa
faktor penyebab dan memiliki berbagai macam gambaran klinis. Nyeri berupa nyeri
tajam atau tumpul, berlanjut atau episodik, terlokalisir atau berdifusi.5
•
Nyeri periodontal
Nyeri ini biasanya mudah diidentifikasi melalui aksi propioseptor dari
ligamen periodontal. Rasa sakit berkaitan dengan fungsi biomekanik (pengunyahan).
Nyeri ini tidak sama dengan nyeri pulpa dimana sumber nyeri dapat terlokalisir
karena adanya kemampuan reseptor periodontal.5
•
Parafunction-induced alveolitis
Kondisi ini biasanya melibatkan beberapa gigi terutama pada gigi yang
berlawanan tanpa disertai gangguan yang jelas. Mempunyai karakteristik nyeri
berupa nyeri periodontal. Penyebab umum dari kondisi ini biasanya penekanan yang
berlebihan akibat adanya parafungsi seperti clenching dan bruxism.5
•
Crack tooth syndrome
Gigi retak cenderung menyebabkan rasa sakit yang tidak menentu pada
pengunyahan. Umumnya tidak terdapat nyeri pada saat pemeriksaan perkusi, tidak
adanya gambaran radiografi yang dapat menunjukkan penyebabnya, serta tidak
adanya nyeri terhadap suhu yang ekstrim.5
Gigi retak dapat dibedakan menjadi garis retak, fraktur pada kuspal, gigi
retak, fraktur vertikal dari akar gigi. Dalam mendiagnosis gigi retak dibutuhkan
anamnesa yang hati-hati dan melakukan pemeriksaan visual dan taktil secara
subjektif, pemeriksaan gigitan, periodontal probing, pewarnaan, transiluminasi, dan
pemeriksaan radiografi. Terkadang perlu dilakukan pembongkaran tambalan untuk
melihat ada tidaknya keretakan pada gigi.5
3. Ekstrakranial
•
Sinusitis
Okeson dan Bell meringkaskan tentang krakteristik klinis dari sinusitis
sebagai berikut :5
-
Adanya rasa tertekan dibawah mata
-
Peningkatan rasa nyeri saat menundukkan kepala
-
Peningkatan rasa nyeri saat menekan daerah sinus yang terkena
-
Pemberian anastesi lokal pada gigi tidak dapat menghilangkan nyeri
-
Diagnosa ditentukan ketika melihat tingkat cairan di rongga sinus pada
pemeriksaan radiografi.
•
Gangguan sendi rahang
Okeson dan Bell meringkaskan tentang krakteristik klinis dari gangguan sendi
temporomandibular adalah sebagai berikut :5
-
Nyeri yang konstan, tidak berdenyut
-
Tidak responsif terhadap provokasi lokal gigi
-
Nyeri meningkat saat otot-otot pengunyahan berfungsi
-
Anastesi lokal pada gigi tidak mempengaruhi rasa sakit
-
Anastesi lokal pada otot yang terlibat (titik pemicu) dapat mengurangi rasa
sakitnya
4. Neuropatik
•
Pretrigeminal neuralgia
Kriteria diagnostik Pretrigeminal neuralgia menurut Zarkzewska:5
-
Nyeri yang cukup berat, tumpul, dan seperti sakit gigi
-
Unilateral, sering pada salah satu cabang dari saraf cranial kelima
-
Nyeri pendek, berulang
-
Dipicu oleh sentuhan ringan
-
Nyeri berkurang dengan obat antikonvulsan
-
Tidak ada kelainan lokal yang jelas
-
Dapat berkembang menjadi neuralgia trigeminal
•
Trigeminal neuropathy
Neuropati pada saraf trigeminal sering membingungkan kita dalam membuat
diagnosis jika dibandingkan dengan Trigeminal neuralgia klasik. Trigeminal
neuropathy biasanya dikaitkan dengan adanya trauma pada sistem saraf pusat atau
perifer. Kondisi ini dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu sentral dan perifer. Nyeri
trigeminal perifer memiliki karakteristik berupa rasa sakit atau nyeri terbakar dengan
intensitas sedang pada daerah intraoral ataupun ektraoral yang sebelumnya
mengalami trauma saraf. Nyeri neuropatik kronis dapat berasal dari cedera yang
ringan pada daerah mulut. Prosedur dental seperti tindakan profilaksis telah
dihubungkan dengan terjadinya trigeminal neuropathy.5
Neuropati perifer ditandai dengan adanya respon pasien terhadap anastesi
lokal dan topikal. Hal ini dikarenakan nyeri akibat neuropati perifer dapat dihilangkan
dengan memblok daerah perifer sedangkan rasa sakit neuropati sentral tidak akan
terpengaruh oleh adanya blok perifer disebabkan adanya mekanisme nyeri didalam
sistem saraf pusat bukan karena aktivitas saraf tepi.5
Nyeri neuropatik sentral ditandai dengan kurangnya respon terhadap anestesi
lokal dan topikal. Selain kurangnya respon terhadap blok anestesi terjadi mekanisme
dinamik alodinia yaitu adanya nyeri ketika stimulus berupa gerakan yang tidak
menyakitkan (seperti gumpalan kapas yang diusapkan pada daerah nyeri) serta
adanya rasa sakit yang berlebihan ketika diberikan tusukan jarum kecil didaerah nyeri
yang disebut dengan hiperalgesia.5
•
Glosopharingeal neuralgia
Gejala biasanya dimulai pada usia 60 tahun keatas. Glosopharingeal neuralgia
adalah rasa sakit yang parah, sementara, menusuk yang dirasakan pada daerah
telinga, pangkal lidah, fosa tonsil, atau di bawah sudut rahang. Rasa sakit dirasakan
pada distribusi dari cabang aurikularis dan faring saraf vagus serta saraf
glossopharingeal. Hal ini umumnya dipicu oleh menelan, berbicara, atau batuk. Sama
hal nya dengan Trigeminal neuralgia, Glosoparingeal neuralgia juga memiliki periode
remisi dimana rasa nyeri tidak muncul pada beberapa waktu.5
•
Postherpetik neuralgia
Adanya infeksi virus Herpes zoster pada pasien lanjut usia diduga menjadi
penyebab dari Posherpetik neuralgia. Sebagian besar infeksi tersebut mempengaruhi
cabang opthalmikus akan tetapi mungkin juga mempengaruhi cabang maksila dan
mandibula. Rasa sakit sering digambarkan sebagai rasa terbakar, gatal, atau
kesemutan pada daerah sekitar kulit yang didistribusikan oleh saraf yang terkena,
yang dapat disertai dengan rasa menusuk yang dalam atau seperti nyeri neuralgia
lainnya.5
•
Peripheral neuritis
Adanya peradangan pada saraf. Lokasi nyeri biasanya terjadi pada daerah
distribusi saraf yang mengalami peradangan. Memiliki kualitas nyeri seperti rasa
terbakar.5
•
Nerve compression
Nyeri mungkin disebabkan oleh adanya lesi struktural yang mempengaruhi
serat aferen yang menginervasi daerah kepala dan leher. Adanya defisit sensorik pada
distribusi saraf yang terkena. Lesi penyebab mungkin spaceoccupying, seperti tumor.5
5. Neurovascular
•
Migraine
Kriteria Diagnostik dari Migraine menurut IHS :5
A. Setidaknya ada lima serangan nyeri yang memenuhi kriteria B-D.
B. Serangan sakit kepala yang berlangsung 4-72 jam (tidak diobati atau tidak
berhasil diobati).
C. Sakit kepala memiliki setidaknya dua dari karakteristik berikut :
- Lokasinya unilateral.
- Berdenyut.
- Intensitas nyeri sedang atau berat.
- Diperburuk dengan adanya aktivitas rutin (misalnya berjalan atau naik tangga)
dan menyebabkan pasien menghindar dari aktivitas tersebut.
D. Selama sakit kepala setidaknya terjadi salah satu dari karakteristik berikut :
-
Mual dan muntah.
-
Fotopobia dan phonophobia.
E. Tidak berhubungan dengan gangguan lain
•
Cluster headache
Kriteria diagnostik dari Cluster Headache menurut IHS :5
A. Setidaknya ada lima serangan yang memenuhi kriteria B-D
B.
Rasa nyeri yang berat atau bahkan sangat berat yang terjadi secara unilateral
pada daerah orbital, supraorbital dan temporal serta berlangsung selama 15-180
menit jika tidak diobati.
C. Sakit kepala disertai dengan setidaknya salah satu dari berikut :
-
Adanya nyeri tekan yang menusuk pada konjungtiva ipsilateral dan lakrimasi
-
Hidung tersumbat ipsilateral dan rhinorrhea
-
Edema kelopak mata yang ipsilateral
-
Wajah dan dahi berkeringat yang ipsilateral
-
Miosis dan ptosis ipsilateral
-
Rasa gelisah atau agitasi
-
Serangan memiliki frekuensi 1-8 kali dalam sehari
D. Tidak berhubungan dengan gangguan lain
•
Short-lasting unilateral neuralgiaform headache with conjunctival
injection and tearing (SUNCT)
Kriteria diagnostik dari short-lasting unilateral neuralgiform headache
attacks with conjunctival injection and tearing (SUNCT) menurut IHS :5
A. Sedikitnya ada 20 serangan nyeri yang memenuhi kriteria B-D.
B. Serangan nyeri pada daerah orbital, supraorbital dan temporal yang menusuk,
berdenyut dan berlangsung selama 5-240 detik.
C. Nyeri disertai dengan injeksi konjungtiva ipsilateral dan lakrimasi.
D. Serangan nyeri terjadi dengan frekuensi 3-200 kali per hari.
E. Tidak berhubungan dengan gangguan lain.
•
Chronic paroxysmal hemicranias
Kriteria diagnostik untuk hemicrania paroxysmal menurut IHS:5
A. Sedikitnya ada 20 serangan nyeri yang memenuhi kriteria B-D
B. Serangan nyeri orbital, supraorbital dan temporal yang parah, unilateral dan
berlangsung selama 2-30 menit.
C. Sakit kepala disertai dengan setidaknya salah satu dari berikut :
-
Adanya nyeri tekan yang menusuk pada konjungtiva ipsilateral dan lakrimasi
-
Hidung tersumbat ipsilateral dan rinorrhea
-
Edema kelopak mata yang ipsilateral
-
Wajah dan dahi berkeringat yang ipsilateral
-
Miosis dan ptosis ipsilateral
D. Serangan nyeri memiliki frekuensi ≥ 5 kali dalam sehari selama 12 jam atau dapat
terjadi frekuensi yang lebih rendah.
E. Serangan nyeri dapat berkurang atau hilang dengan terapi indometasin.
F. Tidak berhubungan dengan gangguan lain.
•
Giant cell arteritis
Kriteria diagnostik Giant cell arteritis menurut IHS :5
A. Adanya sakit kepala yang memenuhi kriteria C dan D.
B. Setidaknya salah satu dari karakteristik berikut:
-
Bengkak pada kulit kepala berupa arteri dengan tingkat sedimentasi eritrosit
dan protein C-reaktif.
-
Biopsi arteri temporal menunjukkan adanya arteritis sel raksasa.
C. Sakit kepala berkembang dalam hubungan temporal yang dekat dengan gejala dan
tanda-tanda lainnya dari arteritis sel raksasa
D. Rasa sakit pada kepala dapat hilang atau bahkan sangat meningkatkan dalam
waktu 3 hari dari penggunaan dosis tinggi steroid.
6. Psychogenic
Okeson dan Bell membuat daftar kriteria diagnostik Psychogenic sebagai berikut :5
-
Pasien mengatakan adanya rasa nyeri dibeberapa gigi sering menyakitkan
dengan karakter dan lokasi yang berubah-ubah.
-
Ada perubahan dari pola nyeri yang normal atau fisiologis.
-
Pasien mengalami nyeri kronis
-
Kurangnya respon terhadap perawatan gigi yang wajar atau adanya respon
yang tidak biasa dan tak terduga saat terapi dilakukan.
-
Tidak adanya keadaan patologis.
2.2.9 Insidensi
Insidensi Trigeminal neuralgia adalah 3 sampai 5 per 100.000 kasus per
tahun. Lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan rasio sebesar
1,74:1 pada kelompok usia 50-60 tahun. Sebagian besar kasus menyatakan bahwa
serangan terjadi pada sisi wajah bagian kanan.10,11
Hasil penelitian Jainkittivong, Aneksuk, dan Langlais pada tahun 2011 di
Thailand menunjukkan bahwa dari 188 pasien dengan Trigeminal neuralgia, terdapat
70 pasien (37,2%) adalah pria dan 118 pasien (62,8%) wanita dengan perbandingan
1,7 : 1. Insidensi tertinggi (46,8%) terjadi pada rentan usia 50-69 tahun. Nyeri pada
sisi wajah bagian kanan lebih banyak terjadi dibandingkan dengan sisi kiri (1,8:1).
Paling sering terjadi pada cabang mandibularis dari nervus trigeminus (30,3%),
disusul oleh kombinasi dari cabang maksilaris dan mandibularis (29,3%) dan cabang
maksilaris (25%). Faktor pencetus terjadinya Trigeminal neuralgia yang paling umum
adalah mengunyah (61,2%) dan berbicara (47,3%).12 Trigeminal neuralgia klasik
(80%) lebih sering terjadi dibandingkan Trigeminal neuralgia simptomatik (10%).13
2.2.10 Penatalaksanaan
2.2.10.1 Terapi Obat
Terapi obat lebih digunakan sebagai perawatan pertama pada Trigeminal
neuralgia klasik (idiopatik). The American Academy of Neurology and the European
Federation
of
Neurological
Societies
merekomendasikan
untuk
pemakaian
carbamazepine sebagai pilihan terapi obat yang pertama kali.14
Selama bertahun-tahun carbamazepine (CBZ) telah digunakan sebagai gold
standard dalam mengobati Trigeminal neuralgia.9 Penelitian awal dilakukan pada
tahun 1962 dan obat ini efektif pada 75% pasien yang diuji.5 Obat ini dapat
memblokade
voltage
sodium
channels
sehingga
menstabilkan
terjadinya
hyperexcitable (mudah terangsang) pada nervus trigeminus.9
Carbamazepine memiliki beberapa efek samping seperti mual, mengantuk,
kelelahan, penurunan ingatan, leukopenia, diplopia, disfungsi hati, dan hepatotoksis.5
Oxcarbazepine merupakan keto analogue dari carbamazepine, dimana obat ini
memiliki efek toksik yang lebih sedikit dibanding carbamazepine. Obat ini bisa
digunakan sebagai alternatif pada pasien yang tidak mentoleransi efek samping dari
carbamazepine. Pada double blind RCTs ( randomized controlled trials ) telah
dibuktikan bahwa pada pasien yang megkonsumsi carbamazepine atau oxcarbazepine
mengalami penurunan jumlah serangan nyeri. Carbamazepine dan oxcarbazepine
dapat digunakan sebagai first line therapy pada Trigeminal neuralgia.9
Secara umum pemberian obat dimulai dengan dosis yang rendah dan dititrasi
secara bertahap dengan pemantauan klinis sampai mencapai dosis maksimum atau
dosis dimana bebas rasa nyeri. Pemberian obat secara bertahap akan memberikan
efek samping yang lebih sedikit dan mencegah terjadinya pemberian obat yang
berlebihan. Meskipun monoterapi adalah tujuan terapi, akan tetapi banyak pasien
memiliki efek samping yang parah dan manfaat terbatas dari satu obat. Dalam hal ini,
dapat digunakan obat kedua. Seringkali kombinasi carbamazepine dengan obat lain
dapat menghilangkan rasa sakit.5
Terapi obat yang masuk kedalam kategori second line therapy merupakan
obat yang digunakan pada pasien yang tidak memiliki respon terhadap
carbamazepine maupun oxcarbazepine. Sebagai contoh, Baclofen yang merupakan
obat golongan muscle relaxant, sering digunakan sebagai second line therapy pada
pasien Trigeminal neuralgia.9 Baclofen diketahui dapat meningkatkan efek kerja
sinergis bila dikombinasikan dengan carbamazepine. Baclofen merupakan GABA-B
reseptor agonist yang menekan terjadinya hipereksitabilitas pada saraf.29 Oleh karena
itu, banyak dokter yang menambahkan baclofen terhadap carbamazepine ketika
pemberian carbamazepine saja mengalami kegagalan dalam mengatasi nyeri.
Baclofen juga dapat memperpanjang kegunaan carbamazepine. Obat ini juga dapat
digunakan sebagai monoterapi.5 Dosis pada masing-masing obat dapat dilihat pada
tabel 3.
Tabel 3. Pilihan terapi obat pada Trigeminal neuralgia5
Obat
Dosis
Efek samping
First line therapy
Carbamazepine
200-800
mg
dosis Mual, mengantuk, kelelahan,
(Tegretol, Tegretol XL, dibagi menjadi 2-3 kali penurunan ingatan, leukopenia,
Carbitol)
sehari,
kerja
membutuhkan diplopia, disfungsi hati, dan
darah
secara hepatotoksisitas.
periodik.
Oxcarbazepine
300-1800 mg dosis
(Tegretol, Tegretol XL, dibagi menjadi 2-3 kali
Carbitrol)
sehari.
Pusing, sakit kepala, gangguan
konsentrasi, tremor, kelelahan,
penurunan kadar natrium.
Second line therapy
Gabapentin
900-3600
mg
dosis Ataksia, kelelahan, nistagmus,
(Trileptal)
dibagi menjadi 3-4 kali pusing,
peningkatan
berat
badan.
sehari.
Lamotrigine
100-600
mg
dosis Pusing, sakit kepala, ruam,
(Lamictal)
dibagi menjadi 2 kali insomnia,
sehari.
myalgia,
artralgia
dan
sindrom
Stevens-
yang
ekstrim,
Johnson.
Baclofen
40-80 mg dosis dibagi Kelelahan
(Lioresal)
menjadi 2-3 kali sehari.
Topiramate
200-400
mg
lemah, dan mengantuk.
dosis Kelelahan, penurunan berat
dibagi menjadi 2 kali badan, parestesia, perubahan
sehari.
rasa kecap, batu ginjal,
perasaan depresi.
Sodium valproate,
500-2000
mg
dosis Mual, gangguan pencernaan,
divalproex sodium.
dibagi menjadi 2 kali sedasi, disfungsi trombosit,
sehari.
rambut rontok, tremor,
perubahan kognisi,
hepatotoksisitas, berat badan
Phenytoin
200-400 mg dosis 1
Pusing, mengantuk, ruam pada
kali atau dibagi
kulit, insomnia, ataksia,
menjadi 2 kali sehari
gingivitis
Clonazepam
1,5-8 mg dosis dibagi
Ataksia, sedasi, pengembangan
menjadi 3-4 kali sehari
toleransi, dan sindrom
withdrawal jika tiba-tiba
dihentikan
Felbamate
1200-3600 mg dosis
Anoreksia, muntah, insomnia,
dibagi menjadi 3 kali
mual, pusing, mengantuk, sakit
sehari
kepala, dan beberapa interaksi
obat.
Pimozide
Zonisamide
Pregabalin
Tergantung berat badan
Reaksi neuromuskular
dan tidak lebih dari 10
(ekstrapiramidal) dan beberapa
mg sehari.
interaksi obat.
200-400 mg dosis
Mengantuk, anoreksia, pusing,
dibagi menjadi 2 kali
sakit kepala, mual, dan agitasi /
sehari.
mudah marah.
100-600 mg dosis
Mengantuk, pusing, ataksia,
dibagi menjadi 2 kali
kebingungan, astenia, berpikir
sehari
tidak normal, penglihatan
kabur, inkoordinasi, dan edema
perifer.
2.2.10.2 Terapi bedah
Biasanya terapi bedah diindikasikan pada pasien yang memiliki penyebab
Trigeminal neuralgia sekunder yang jelas, tidak responsif, rasa nyeri berat dan tidak
berhenti sehingga membatasi kemampuan mereka untuk makan, dan pasien yang
kontraindikasi terhadap obat-obatan tersebut.5
Meskipun
terapi
obat
digunakan
sebagai
pilihan
pertama
dalam
penatalaksanaan Trigeminal neuralgia, akan tetapi memiliki efek samping yang lebih
banyak dan tidak dapat ditoleransi oleh tubuh. Sebanyak 50% penderita Trigeminal
neuralgia tidak puas dengan terapi obat karena kontrol nyeri yang tidak komplit dan
efek samping yang ditimbulkannya. Terapi bedah dilakukan ketika terapi obat gagal
dalam mengatasi nyeri serta memiliki efek samping yang tidak dapat ditoleransi oleh
tubuh.6
Terapi bedah yaitu Percutaneous glycerol retrogasserian rhizotomy,
percutaneous ballon compression of the trigeminal nerve, radiofrequency trigeminal
(retrogasserian) rhizotomy, gamma knife radiosurgery, microvascular decompression
of the trigeminal nerve (MVD).5
a. Percutaneous glycerol retrogasserian rhizotomy
Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan alkohol absolut atau fenol dan
selanjutnya dengan campuran fenol / gliserol disuntikkan ke dalam trigeminal
sisterna. Pasien diposisikan terlentang dan sudut ipsilateral mulut dan pipi
dipersiapkan dengan betadine kemudian diberikan 1 g Keflex secara intravena. Jarum
spinal A 20 ukuran 3,5 inci dimasukkan ke pipi 2 cm ke lateral komisura mulut
melalui jaringan lunak bukal. Jarum dimasukkan sepanjang daerah yang di inervasi
oleh cabang mandibula saraf trigeminal antara pterigoideus dan ramus mandibula ke
foramen ovale menggunakan teknik Hartel. Jari pertama dari tangan yang berlawanan
ditempatkan didalam mulut untuk membantu menghindari penetrasi jarum ke mukosa
bukal yang dapat menyebabkan infeksi dan meningitis.5
Jika prosedur dilanjutkan dan jarum kemudian masuk ke dalam cairan
serebrospinal. Tampilan fluoroskopik lateral dan oblik digunakan untuk melihat
lintasan dan kedalaman jarum yang tepat. Ketika jarum sudah menembus foramen
ovale dan memasuki trigeminal sisterna biasanya dikarakteristikan oleh adanya
kedutan rahang dan cairan serebrospinal akan masuk ke dalam jarum. Adanya cairan
serebrospinal yang memasuki jarum mungkin berhubungan dengan posisi yang buruk
atau karena jaringan parut di dalam sisterna akibat operasi sebelumnya.5
Larutan saline digunakan untuk menyiram semua kontras yang ada didalam
cistern. Kontras larutan air non-ionik (omnipaque) kemudian disuntikkan untuk
memastikan posisi jarum yang sesuai didalam sisterna dan untuk memperkirakan
volume injeksi gliserol (sekitar 0,2-0,5 ml) didalam sisterna. Larutan saline
digunakan untuk membilas semua kontras yang ada didalam sisterna Larutan kontras
memiliki kerapatan yang lebih besar dari gliserol dan jika dibiarkan didalam cistern
akan menyebabkan gliserol yang disuntikkan menjadi melayang di atas kontras.
Sebagai alternatif, teknik ini juga dapat digunakan dengan untuk merawat Trigeminal
neuralgia yang hanya melibatkan divisi atas dari saraf (teknik floating) dan
mengurangi risiko mati rasa pada divisi yang lebih rendah.5
Selanjutnya, dengan posisi jarum yang tetap, pasien dibawa ke posisi duduk
dengan dagu sedikit tertekuk ke bawah. Hal ini akan membuat sisterna ke posisi yang
akan menahan gliserol seperti cangkir dan mencegah tumpahan gliserol keluar dari
sisterna ke dalam fossa posterior. Anhidrat gliserol 99% dengan volume sudah
ditentukan kemudian di injeksikan ke dalam trigeminal sisterna dan jarum ditarik.
Pemberian injeksi pada lokasi yang tepat sering ditandai dengan adanya blush pada
kulit di daerah ipsilateral malar. Pasien juga mengatakan seperti adanya rasa
kesemutan dan kebas ringan pada cabang saraf yang di injeksi. Posisi duduk
dipertahankan selama 2 jam di ruang pemulihan dan pasien dipulangkan pada hari
yang sama. Jarang, beberapa pasien akan mengalami rasa sakit Trigeminal neuralgia
setelah injeksi dan rasa sakit akan berkurang setelah beberapa jam sampai beberapa
hari. Sekitar 90% dari pasien kehilangan rasa nyeri neuralgia setelah injeksi gliserol
dan sekitar 77% pasien mengalami kontrol nyeri yang sangat baik selama 10 tahun.
Hilangnya sensasi fasial dapat terjadi setelah injeksi gliserol sebagai berikut: 32-48%
ringan, 13% sedang, 6% berat. Facial Dysesthesia telah dilaporkan pada sekitar 222% dan anestesi dolorosa kurang lebih 1%. Wabah Transient perioral herpes terlihat
pada 3,8-37% dari pasien sampai 1 minggu setelah operasi. Aseptik meningitis telah
dilaporkan pada 0,6-1,5% pasien.5
Gambar 5. Injeksi Gliserol31
b. Percutaneous ballon compression of the trigeminal nerve
Prosedur ini dilakukan dengan anestesi umum. Prosedur ini juga memerlukan
adanya transcutaneous cardiac pacer pads dan atropin karena respon depressor dari
kompresi saraf trigeminal. Teknik ini melibatkan set-up pasien yang sama dan
menempatkan jarum spinal ukuran 20 ke dalam cistern saraf trigeminal dengan
menggunakan teknik Hartel dan fluoroskopi seperti yang sudah dijelaskan pada
Injeksi gliserol.5
Selanjutnya, jarum ukuran 14 dimasukkan sepanjang lintasan jarum spinal
ukuran 20 ke foramen ovale dan kemudian jarum spinal ditarik. Sebelum penetrasi ke
foramen ovale, stilet tajam pada jarum ukuran 14 diganti dengan stilet tumpul
sehingga tidak menimbulkan cedera pada saraf trigeminal atau ganglion. Begitu
jarum telah memasuki foramen ovale, stilet tumpul ditarik dan kateter Fogarty nomor
#4 masuk ke Meckel’s cave atau trigeminal sisterna sekitar 1,5-2,0 cm di luar
foramen. Balon tersebut kemudian mengembang dengan 0,75-1,0 ml kontras
(omnipaque) dan jarum suntik tuberkulin atau dengan pompa insufflating. Pompa
dapat memungkinkan terjadinya titrasi yang tepat dari tekanan intraluminal balon,
yang biasanya berkisar 1200-1500 mmHg.5
Posisi ideal untuk balon adalah di pintu masuk ke Meckel’s cave (porous
trigeminus), menghasilkan konfigurasi berbentuk buah pir dimana bagian yang lebih
besar berada di trigeminal sisterna dan bagian yang lebih kecil di subarachnoid ruang
posterior pada tulang petrosa (prepontine cistern). Posisi ini memungkinkan kompresi
yang adekuat dari serabut saraf trigeminal retrogasserian pada batas-batas porous
trigeminus, di mana saraf dikelilingi oleh durameter dibagian atas dan tulang kaku di
bagian bawah. Balon dibiarkan tetap mengembang selama 1 menit. Sering terjadi
respon penekanan pada jantung ketika balon mengembang yang diikuti dengan
adanya respon hipertensi. Maka dari itu, dokter anestesi harus mengatur denyut
jantung dan tekanan darah dengan cardiac pacer, atropin, atau bahan anestesi yang
digunakan. Setelah 1 menit, balon kemudian mengempis dan kateter Fogarty serta
jarum ditarik bersama-sama. Jika terjadi perdarahan pada pipi dan lokasi penyisipan
jarum, biasanya cukup diberikan kompresi lokal. Betadine dibersihkan dari pipi dan
diaplikasikan perban elastik. Pasien kemudian dibangunkan, diekstubasi, dan diamati
di ruang pemulihan selama 2-4 jam sebelum diizinkan pulang.5
Biasanya, rasa sakit ini akan mereda dengan segera (seperti teknik
perkutaneus lainnya), tetapi dapat tertunda sampai 1 minggu setelah terapi bedah
dilakukan. Rasa kebas di daerah distribusi cabang maksilaris dan mandibularis
(sekitar 80% dari pasien), tetapi biasanya ringan. Sebagian besar pasien akan
memiliki keterbatasan dalam membuka rahang atau kelemahan pterigoideus, yang
biasanya ringan dan sering sembuh dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan.5
Pada kasus yang jarang, gejala kelemahan pergerakan rahang unilateral dapat
bersifat permanen. Kemungkinan kelemahan pergerakan rahang tetap membuat
prosedur bedah ini menjadi kontraindikasi untuk setiap pasien dengan kelemahan
rahang kontralateral yang sudah ada karena akan menyebabkan jatuhnya rahang (drop
jaw). Secara teori, hal ini juga bisa menjadi masalah saat melakukan prosedur ini
secara bilateral seperti pada beberapa pasien yang mengalami multipel sklerosis.
Komplikasi lain yang jarang namun dapat terjadi, yaitu diplopia akibat adanya
penekanan pada saraf kranial keempat dan keenam.5
Rasa nyeri yang berkurang dengan segera terjadi pada 92-100% pasien dan
yang mengalami kekambuhan sebanyak 19-32% pada usia 5-20 tahun. Hilangnya
sensasi berat atau disestesia terjadi 3-20% pasien. Sebanyak 3-16% dari pasien
mengalami kelemahan rahang dan otot masetter, walaupun dapat sembuh setelah 1
tahun. Diplopia yang bersifat sementara telah dilaporkan terjadi pada 1,6% pasien.5
Gambar 6. Balon Kompresi32
c. Radiofrequency trigeminal (retrogasserian) rhizotomy
Prosedur ini terdiri dari rangsangan rendah untuk menentukan posisi yang
tepat dari elektroda pada serat saraf trigeminal, diikuti oleh pembentukan lesi
permanen menggunakan arus yang lebih tinggi untuk menghasilkan temperatur yang
cukup dalam menghancurkan serat saraf yang dipilih.5
Pada awalnya pasien diberi efek sedasi ringan dan jarum elektroda melewati
foramen ovale menggunakan fluroskopi dan lintasan standar Hartel. Setelah
memasuki foramen ovale, pasien harus bangun untuk pemberian rangsangan arus
rendah dan memposisikan elektroda pada daerah distribusi nyeri wajah. Pengaturan
untuk rangsangan arus yang adekuat biasanya berkisar 0.1-0.5 V pada 50 Hz dengan
durasi pulsa 1 milidetik. Posisi akhir elektroda tergantung pada respon pasien
terhadap rangsangan. Stimulasi harus menghasilkan parestesia kesemutan ringan dan
sensasi nyeri seperti jarum yang menusuk berkurang pada daerah distribusi terjadinya
neuralgia.5
Dengan memutar ujung elektroda, seorang ahli bedah yang berpengalaman
dapat memilih cabang opthalmikus, mandibularis, dan maksilaris dari saraf trigeminal
retrogasserian. Setelah mencapai posisi jarum yang tepat, lesi permanen pada saraf
trigeminal retrogasserian telah terbentuk yang dimulai pada 10 V dan sekitar 60 mA
untuk jangka waktu 30-40 detik kemudian meningkat menjadi sekitar 20 V dan 100
mA. Lesi radiofrekuensi adalah cedera panas dan tergantung waktu dan keadaan saat
ini. Sebuah sensor thermocouple dapat digunakan untuk mentitrasi suhu di ujung
elektroda dengan hati-hati untuk menciptakan lesi dan secara berurutan meningkatkan
suhu 5 ° C serta durasi selama 10-20 detik.5
Suatu parestesia ringan di distribusi nyeri wajah adalah tujuan perawatan
terapi dengan radiofrekuensi pada Trigeminal neuralgia. Disestesia yang signifikan
atau hilangnya sensasi dilaporkan terjadi pada sekitar 6-28% pasien dan hilangnya
refleks kornea mata dapat terjadi pada 3-8% pasien, tergantung pada teknik yang
digunakan. Tentu saja, ketika merawat daerah distribusi cabang optalmikus saraf
trigeminal neuralgia memiliki risiko terjadinya anestesia kornea mata dan keratitis
yang lebih besar.5
Adanya kelemahan saraf trigeminal motorik setelah perawatan dengan
radiofrekuensi telah dilaporkan terjadi pada 14% pasien. Namun, hal ini biasanya
ringan dan sementara. Komplikasi yang jarang telah dilaporkan juga dapat terjadi,
misalnya seperti cedera arteri karotis, stroke, diplopia, meningitis, kejang, dan
kematian.5
Gambar 7. Radiofrequency
Rhizotomy33
d. Gamma knife radiosurgery
Gamma knife radiosurgery (GKRS) merupakan satu-satunya perawatan bedah
noninvasif pada neuralgia trigeminal Prosedur ini dilakukan selama satu hari saja,
kemudian setelah perawatan pasien diperbolehkan untuk pulang. Pasien dirawat di
pusat radiosurgery pada pagi hari dan memperoleh suntikan secara intravena. Efek
sedasi ringan secara intravena hanya digunakan selama penempatan Leksell
headframe stereotactic. Empat pin diletakkan pada kepala, dua didaerah frontal dan
dua lagi didaerah oksipital dan dipersiapkan dengan betadyne dan disuntik dengan
bupivacaine / bikarbonat untuk anastesi lokal. Setelah penempatan headframe Leksell,
pengukuran standar dari kepala pasien dalam bingkai diperoleh, kemudian dilakukan
stereotactic magnetic resonance imaging (MRI) otak.5
Data MRI kemudian dimuat ke dalam bentuk perencanaan komputer Gamma
Knife dan bagian sisterna dari saraf trigeminal dikenali. Perangkat lunak ini
digunakan untuk membuat rencana perawatan dan tidak pernah ada rencana
perawatan yang sama. Kelemahannya adalah biayanya mahal dan pemeliharaan
perangkat radiosurgery serta masa laten antara perawatan dan adanya nyeri wajah
kembali. Penurunan rasa nyeri biasanya akan terjadi setelah periode laten 4-12
minggu setelah perawatan, yang dilaporkan 1 hari sampai 13 bulan setelah
perawatan.5
Gambar 8. Gamma knife
radiosurgery34
e. Microvascular decompression of the trigeminal nerve (MVD)
Dekompresi mikrovaskuler (MVD) adalah satu-satunya intervensi medis atau
bedah yang secara langsung mengatasi patologi yang mendasari dugaan terjadinya
Trigeminal neuralgia klasik, yaitu fokal kompresi vaskular pada saraf trigeminal
didekat zona masuk akar didaerah batang otak. Prosedur ini memerlukan anestesi
umum. Sebuah kateter subarachnoid lumbal dapat digunakan untuk mengalirkan
cairan serebrospinal dan mempermudah relaksasi otak untuk meminimalkan retraksi
selama prosedur dibagian intradural.5
Pasien diposisikan pada posisi lateral atau terlentang dengan kepala tetap
berada didalam Mayfield head holder. Wilayah retroaurikular dicukur dan daerah
tersebut diasepsiskan dengan betadine. Daerah retroaurikular diinsisi sedikit
melengkung yang dibuat untuk memperlihatkan daerah Asterion dan suboksipital
retrosigmoid.5
Bor dengan kecepatan tinggi digunakan untuk membuat kranioektomi
retrosigmoid. Duramater dibuka dengan selebaran dural ke arah sigmoid dan sinus
transversal. Belahan cerebellar ditarik pelan, sehingga memperlihatkan saraf
trigeminal dan daerah sekitar membran arachnoid. Dengan menggunakan mikroskop
intraoperatif, membran arakhnoid sekitar saraf trigeminal dibuka dan terlihat saraf
trigeminal mulai dari batang otak ke pintu saraf sampai ke Meckel’s cave dimana
terletak ganglion saraf trigeminal (ganglion gasserian). Microdissection dilakukan di
bawah visualisasi mikroskopis dan endoskopi untuk menggerakkan setiap arteri atau
vena yang menekan saraf trigeminal.5
Satu atau lebih Teflon spons kemudian ditempatkan diantara pembuluh darah
dan saraf trigeminal yang dibedah untuk mencegah terjadinya kompresi vaskuler
yang berlanjut pada saraf trigeminal. Pembuluh darah vena yang menekan saraf
trigeminal terkadang dapat menjadi terbagi. Penting untuk dicatat bahwa penekanan
biasanya disebabkan oleh pembuluh darah arteri, paling sering cabang dari arteri
cerebellar superior. Namun, penekanan oleh vena saja atau kombinasi dari arteri dan
vena juga dapat terjadi. Duramater ditutup secara langsung atau dengan mengikis
pericranium secara lokal untuk menambal dura.5
Gambar 9. Microvascular Decompression35
2.3 Pengetahuan
2.3.1 Pengertian pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu, baik indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain kognitif yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan dapat diperoleh
secara alami maupun terencana yaitu melalui proses pendidikan.36,37
2.3.2 Tingkat pengetahuan
Pengetahuan merupakan ranah kognitif yang mempunyai tingkatan, yaitu :36
a. Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau terhadap
suatu rangsangan tertentu. Oleh karena itu, ‘tahu’ merupakan tingkat pengetahuan
yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa seseorang ‘tahu’ tentang apa
yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan,
dan sebagainya.
b. Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara
benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini diartikan sebagai
penggunaan hokum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks
atau situasi yang lain.
d. Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi
tersebut, dan masih berkaitan satu dengan lainnya. Kemampuan analisis ditandai
dengan penggunaan kata kerja diantaranya dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis yaitu kemampuan menghubungkan bagian-bagian dalam suatu
bentuk keseluruhan yang baru. Sintesis juga dapat diartikan sebagai suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah ada, misalnya
dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan, dan sebagainya
terhadap suatu teori yang telah ada.
f. Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap
suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu criteria yang
ditentukan sendiri atau menggunakann criteria yang telah ada, misalnya dapat
membandingkan, menanggapi, menafsirkan, dan sebagainya.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan melalui wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin dikur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur, dapat
disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.36,37,38
2.3.3 Kriteria Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan
menggunakan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:39
a. Baik : Hasil presentase 76% - 100%
b. Cukup : Hasil presentase 56% - 75%
Kurang : Hasil presentase <56%
2.4 Kerangka Teori
Defenisi
Klasifikasi
Nervus
Trigeminus
Klasikal
(Idiopatik)
Simptomatik
Etiologi
Kompresi
vaskular dan
kerusakan
saraf
Patofisiologi
Anamnesis dan
Pemeriksaan
Klinis
Trigeminal
neuralgia
Pemeriksaan
Laboratorium
Diagnosis
Pemeriksaan
Penunjang
MRI
CT Scan
Diagnosis
banding
Terapi Obat
Penatalaksanaan
Terapi Bedah
2.5 Kerangka Konsep
Pengetahuan mahasiswa
kepaniteraan klinik
Trigeminal neuralgia
Departemen Bedah Mulut
RSGM-P FKG USU
-
Definisi
Klasifikasi
Etiologi
Patofisiologi
Gambaran klinis
Diagnosis
Diagnosis banding
Penatalaksanaan
Download