JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 i

advertisement
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
i
Jurnal Kesehatan dr. Soebandi
Vol. 3 No. 2, April – September 2015
Terbit 2 kali setahun pada bulan April dan Oktober. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil
penelitian dan kajian analisis-kritis di bidang ilmu kesehatan.
Susunan Redaksi Jurnal Kesehatan dr. Soebandi
No. SK : 878/U.K/X/2013
Pelindung
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dr. Soebandi Jember
Penasehat
Ketua Lembaga Pengembangan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP3M)
Penyunting
Ketua
Ns. Khofi Hadidi, S.Kep.
Sekretaris
Diana Octania, SH
Bendahara
Ns. Lailil Fatkuriyah, S.Kep.
Penelaah Ahli
DR. Ah. Yusuf, S.Kp., M. Kes. (PPNI Jawa Timur)
Penyunting pelaksana
Andi Eka Pranata., S.Kep., M. Kes.
Fitria Jannatul Laili, S.Keb., Bd
Ns. Firdha Novitasari, S.Kep., MM.
Ns. Zidni Nuris Yuhbaba, S.Kep., MM.
Dinar Perbawati, SST.
Ai Nurjannah, SST.
Dana dan Usaha
Kustin, SKM., MM.
Mussia, SST., MM.
Marketing
Drs. H. M. Fanani, MM.
Ns. Akhmad Efrizal Amrullah, S.Kep., M. Si.
Herlidian Putri, S.ST., M.Kes
Zaida Mauludiyah, S.Keb., Bd.
Alamat Penyunting : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dr. Soebandi Jember, JL. dr. Soebandi No. 99
Jember. Telp (0331) 483536. Fax. (0331) 483536. Email : [email protected].
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain.
Naskah diketik sesuai dengan format seperti tercantum pada petunjuk dibagian belakang jurnal
ini. Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara
lainnya.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
ii
Jurnal Kesehatan dr. Soebandi
Vol. 3 No. 2, April – September 2015
DAFTAR ISI ( CONTENT)
HALAMAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Perbedaan Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Remaja Sebelum Dan Sesudah
Penerimaan Penyuluhan Kesehatan Tentang Kebutuhan Seksual Di SMA
Muhammadiyah 3 Jember
Hendra Dwi Cahyono……………………………………………….........................................
Hubungan Pengetahuan Tentang Hipertensi Dengan Perilaku Lansia Dalam
Pencegahan Hipertensi Di Posyandu Lansia Desa Tegal Wangi Kecamatan
Umbulsari Kabupaten Jember
Brahmantio Chrisna Tobias.................................................................................
Penurunan Tingkat Kecemasan Mahasiswa Dengan Pemberian Terapi Musik
Di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dr. Soebandi Jember
Tirta Vira Cakti Yudha ………………………………………………………….............................
Hubungan Teknik Menyusui Dengan Terjadinya Lecet Puting Susu Pada Ibu
Nifas Di Wilayah Kerja Puskesmas Pembantu Desa Tamansari Kecamatan
Mumbulsari Kabupaten Jember
Rizka Yuliatul H………………………………………………………………………………………………..
Gambaran Kenaikan Berat-Badan Ibu Akseptor KB Suntik 3 Bulan Di
Puskesmas Pembantu Kebonsari Kabupaten Jember
Nanik Fitriyah………………………………………………………………………………………………….
Hubung an Dukungan Kel uarg a Dengan Kunjungan Lansia Ke
Posyandu Lansia Di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember
Nur Fadilah………………………………………………………………………………………………………
P e n g a r u h P e n y u l u h a n T e n t a n g J a j a n a n Sehat Terhadap Sikap
Anak SD Kelas IV Dan V Dalam Konsumsi Jajanan Di SDN V Ajung Kalisat
Kabupaten Jember 2015
Anwarah Andriani…………………………………………………………………………………………...
Mengukur Kualitas Kinerja Pelayanan Publik (Program Jaminan Kesehatan
Nasional) Dengan Survey Kepuasan Pasien
Moh. Wildan…………………………………………………………………………………………………..
Pengaruh Metode SHEMAP Terhadap Peningkatan Pola Pikir Kritis Dan
Kreatif Pada Mahasiswa S1 Keperawatan Di STIKES dr. Soebandi Jember
Andi Eka Pranata…………………………………………………………………………………………….
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
134-143
144-148
149-155
156-162
163-167
168-181
182-190
191-202
203-212
iii
PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA SEBELUM
DAN SESUDAH PENERIMAAN PENYULUHAN KESEHATAN TENTANG
KEBUTUHAN SEKSUAL DI SMA MUHAMMADIYAH 3 JEMBER
Hendra Dwi Cahyono*, Ni Made Armawati**, Lailil Fatkuriyah***
*, **Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember
**Poltekkes Kemenkes Malang
ABSTRACT
Adolescent is a period of transition between childhood and adult stages. Physical changes
that occur in adolescence led to the emergence of sexual interest and curiosity is high on
sexuality. The purpose of this study was to determine differences in the level of knowledge
and attitudes about adolescent sexual counseling before and after the acceptance of sexual
needs in SMA Muhammadiyah Jember 3.
This type of research used in this study was Quasi Experiment (quasi-experimental) with
the design of one-group pre-test post-test design, where the level of students' knowledge
and attitudes regarding sexual needs were measured before and after treatment are given
in the form of health education / counseling. The population in this study is a Class XI
student at SMA Muhammadiyah Jember totaled 3 152 people consisting of grade social
studies and language. The sample size in this study was 60 with a sampling technique used
was purposive sampling. Research before giving counseling to determine the level of
knowledge about the category (88.3%), sufficient (11.7%). Negative attitudes (85%),
positive (15%). After the provision of information to determine the level of knowledge both
categories (3.3%), adequate (55%), and less (41.7%). Negative attitudes (60%), positive
(40%). Based on the Wilcoxon test were analyzed using SPSS obtained significance value
(Asymp. Sig) between the level of knowledge before and after the extension of 0000> 0.05,
meaning that there is a significant difference between the level of knowledge before
(pretest) and after (posttest) was given counseling. The conclusion of this study is there
are different levels of knowledge and attitudes of adolescents before and after receipt of
counseling in IPS-grade students at SMA Muhammadiyah Jember 3.
Keywords: Extension, level of knowledge, attitude.
PENDAHULUAN
Seksual merupakan bagian integral
dari kehidupan manusia terutama remaja.
Remaja merupakan masa peralihan antara
tahap anak dan dewasa yang jangka
waktunya berbeda-beda tergantung faktor
sosial dan budaya. Ciri-cirinya adalah alat
reproduksi mulai berfungsi, libido mulai
muncul, intelegensi mencapai puncak
perkembangannya, emosi sangat labil,
kesetiakawanan yang kuat terhadap
teman sebaya dan belum menikah.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Kondisi
yang
belum
menikah
menyebabkan remaja secara sosial
budaya termasuk agama dianggap belum
berhak atas informasi dan edukasi apalagi
pelayanan medis untuk kesehatan
reproduksi. Terjerumusnya remaja ke
dalam dunia hubungan sosial yang luas
maka mereka tidak saja harus mulai
adaptasi dengan norma perilaku sosial
tetapi juga sekaligus dihadapkan dengan
munculnya perasaan dan keinginan
seksual (Subakhti, 2009).
134
Perubahan-perubahan fisik yang
terjadi pada remaja merupakan gejala
primer dalam pertumbuhan remaja
Kematangan seksual pada usia remaja
menyebabkan munculnya minat seksual
dan keingintahuan yang tinggi tentang
seksualitas. Rasa ingin tahu dan mencoba
yang kuat seringkali membuat remaja
terjerumus dalam tingkah laku yang
merugikan dirinya, seperti menonton
VCD porno, majalah-majalah yang
memberikan gambar gambar dan cerita
yang vulgar, serta akses internet yang
sering disalahgunakan menjadi sarana
untuk menyebarkan informasi ke arah
pornografi. Berbagai dampak dari media
elektronik atau media cetak dengan
mudah dapat diamati, dilihat, atau dibaca
oleh remaja (Santrock, 2007).
Perilaku seksual pada remaja saat
ini menjadi masalah yang tidak dapat
diabaikan dalam kehidupan manusia.
Fauziah (2007) berpendapat bahwa
perilaku seksual adalah segala bentuk
kegiatan dan aktivitas yang dapat
menyalurkan dorongan seksual remaja
dalam hubungannya dengan lawan jenis
dan dilakukan remaja sebelum menikah.
Sementara menurut Vener dan Stewart
(Thornburg, 2002) perilaku seksual itu
dimulai dari saling berpegangan tangan,
berpelukan, berciuman, necking, petting
tahap ringan hingga berat dan kemudian
melakukan senggama.
Kecenderungan perilaku seksual pra
nikah di kalangan remaja semakin banyak
terjadi, tercermin dari perilaku seks di
kalangan
remaja.
World
Health
Organization (WHO) memperkirakan
dengan rata-rata 100% seluruh remaja
yang ada di dunia, diperkirakan 47% nya
telah terlibat dalam perilaku seks bebas.
Suatu penelitian yang pernah dilakukan
BKKBN (Badan Kesejahteraan Keluarga
Berencana Nasional) menyatakan bahwa
perilaku seksual remaja belakangan ini
memang
mencemaskan.
Persentase
remaja laki-laki yang melakukan
hubungan seksual adalah 4,9% dan
perempuan yang pernah melakukan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
hubungan seksual sebelum menikah
sebesar 24%. Remaja di Jakarta yang
pernah melakukan hubungan seks
sebelum menikah ada sebanyak 42%
(Badan Kesehatan Keluarga Berencana
Negara, 2008).
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI)
tahun 2007 yang dilakukan oleh remaja
usia 15-19 tahun baik putra maupun putri
menunjukkan bahwa tidak sedikit yang
sudah pernah melakukan hubungan
seksual. Dari data terhadap 10.833 remaja
putra dan 9.344 remaja putri berusia 1519 tahun, didapatkan bahwa remaja putra
yang sudah berpacaran sebanyak 72%,
pernah berciuman sebanyak 92%, pernah
meraba-raba pasangan sebanyak 62% dan
pernah melakukan hubungan seksual
sebanyak 10,2%. Sedangkan remaja putri
yang sudah berpacaran sebanyak 77%,
pernah berciuman sebanyak 92%, pernah
meraba-raba pasangan sebanyak 62% dan
pernah melakukan hubungan seksual
sebanyak 6,3%.
Hasil survei yang dilakukan
terhadap 8084 remaja usia 15-24 tahun
pada 4 propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa
tengah, Jawa Timur, dan Lampung
menunjukkan 46,2% remaja menganggap
bahwa perempuan tidak akan hamil
hanya
dengan
sekali
melakukan
hubungan seks. Kesalahan persepsi ini
sebagian besar diyakini oleh remaja laki
laki sebesar 49,7% dan 42,3% oleh
remaja putri. Selain itu juga dari hasil
survei yang sama menunjukkan bahwa
51% remaja mengira bahwa risiko
tertular HIV hanya bila berhubungan seks
dengan pekerja seks komersial dan hanya
19,2% yang menyadari peningkatan
risiko tertular penyakit seksual bila
memiliki lebih dari satu pasangan
(Darwisyah, 2000).
Angka ini juga
sangat berkaitan dengan tingginya jumlah
angka penderita HIV/AIDS (Human
Irnmunodeviciency
Virus/Aquared
Immuno Deficiency Virus) yang terus
menerus meningkat setiap tahunnya.
Terbukti pada tahun 2002 jumlah
135
penderita diperkirakan 90.000 hingga
160.000an kasus. Angka ini semakin
meningkat ditahun 2006, antara 169.000
hingga 216.000, data akhir di bulan
September menjukan angka 6.987 dengan
kasus baru (Kartono, 2008).
Studi pendahuluan yang telah
dilakukan di SMA Muhammadiyah 3
Jember pada 21 siswa. Menunjukkan
sebanyak 9 siswi (42.9%) mengatakan
mereka sudah mengetahui tentang
seksualitas dari media masa seperti
majalah wanita, tetapi mereka mengaku
pengetahuan yang didapatkan masih
kurang lengkap karena pembahasaanya
tidak mendetail. Sementara 11 (57.1%)
siswa lainnya tidak mengetahui masalah
yang berkaitan dengan seksualitas.
Pengetahuan mereka sebatas pada
persoalan menstruasi yang normal
dialami oleh siswi atau mimpi basah bagi
siswa. Sementara sikap siswa terhadap
seksual diketahui bahwa 4 siswa menolak
atau tidak setuju dengan hubungan
seksual sebelum menikah, 12 siswa setuju
dengan berciuman dan berpegangan
tangan selama pacaran, 5 siswa sangat
setuju dengan hubungan seksual selama
pacaran atau sebelum menikah.
Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan guru di SMA Muhammadiyah
Jember, pendidikan tentang seksualitas
remaja belum sepenuhnya diberikan
kepada
siswa-siswi.
Pendidikan
seksualitas diberikan melalui mata
pelajaran Biologi yang hanya membahas
mengenai hewan, tumbuh-tumbuhan dan
susunan anatomi organ reproduksi
manusia serta fungsinya. Tetapi, dalam
mata pelajaran tersebut tidak membahas
tentang remaja dan permasalahan
seksualitas. Belum pernah mendapatkan
penyuluhan tentang seksualitas secara
lengkap, sehingga timbul perasaan cemas,
takut, dan binggung berkaitan dengan
seksualitas.
Banyaknya persoalan mengenai
penyimpangan
seks
pada
remaja
berangkat dari pemahaman yang keliru
mengenai
seksualitas
sehingga
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
menjadikan mereka mencoba untuk
bereksperimen mengenai masalah seks
tanpa menyadari bahaya yang timbul dari
perbuatannya, dan ketika permasalahan
yang ditimbulkan oleh perilaku seksnya
mulai bermunculan, remaja takut untuk
mengutarakan permasalahan tersebut
kepada orang tua. Remaja lebih senang
menyimpan dan memilih jalannya sendiri
tanpa berani mengungkapkan kepada
orang tua. Hal ini disebabkan karena
ketertutupan orang tua terhadap anak
terutama masalah seks yang dianggap
tabu untuk dibicarakan serta kurang
terbukanya anak terhadap orang tua
karena anak merasa takut untuk bertanya
(Amrillah, 2008).
Keterbatasan akses dan informasi
mengenai seksualitas bagi remaja di
Indonesia
bisa
dipahami
karena
masyarakat umumnya masih menganggap
seksualitas sebagai sesuatu yang tabu dan
tidak untuk dibicarakan secara terbuka.
Orang tua biasanya enggan untuk
memberikan penjelasan masalah-masalah
seksualitas dan reproduksi kepada
remajanya, dan anak pun cenderung malu
bertanya secara terbuka kepada orang
tuanya. Selain itu, beragam mitos tentang
seksualitas juga menjadi masalah
tersendiri
bagi
remaja.
Seperti
berhubungan seksual dengan pacar
merupakan bukti cinta, dan melakukan
hubungan seksual dengan senggama
terputus berarti aman dari kehamilan
Informasi yang salah tentang seks
dapat mengakibatkan pengetahuan dan
persepsi seseorang mengenai seluk beluk
seks itu sendiri menjadi salah. Hal ini
menjadi
salah
satu
indikator
meningkatnya perilaku seks bebas di
kalangan remaja. Pengetahuan yang
setengah-setengah justru lebih berbahaya
dibandingkan tidak tahu sama sekali,
kendati dalam hal ini ketidaktahuan
bukan
berarti
tidak
berbahaya.
Pengetahuan tentang proses reproduksi
yang didapat dari sekolah misalnya dari
pelajaran
biologi,
juga
kurang
komprehensif atau sepotong-sepotong
136
saja, bahkan campur aduk dengan
pengetahuan popular atau mitos-mitos
yang diperolehnya dari teman-teman
sebaya, sumber-sumber lain seperti media
massa, buku pornografis, atau bahkan
blue movies.
Tenaga
kesehatan
menpunyai
peranan penting serta dapat bekerja sama
dengan
pihak
sekolah
dalam
menyumbangkan pengetahuan serta
memberikan
penyuluhan
tentang
kesehatan reproduksi dikalangan remaja,
namun bukan pendidikan seks secara
vulgar, melainkan pendidikan seperti;
tentang organ reproduksi, bahaya akibat
pergaulan bebas, seperti penyakit
menular seksual dan sebagainya. Dengan
demikian, diharapkan para remaja ini bisa
terhindar
dari
percobaan
untuk
melakukan seks bebas (Gemari, 2001).
Informasi yang benar dan jelas
mengenai kesehatan reproduksi, kegiatan
penyuluhan dilakukan untuk memberikan
informasi. Penyuluhan kesehatan yaitu
kegiatan pendidikan kesehatan yang
dilakukan dengan menyebarkan pesan,
menanamkan
keyakinan,
sehingga
masyarakat tidak saja sadar, tahu dan
mengerti, tetapi juga mau dan dapat
melakukan suatu anjuran yang ada
hubungannya dengan kesehatan (Santosa
dkk, 2005). Penyampaian informasi
dengan penyuluhan yang benar dan jelas
diharapkan dapat membantu remaja untuk
memahami betapa pentingnya masalah
seksualitas.
Bertambahnya informasi sebagai
pengetahuan bagi remaja diharapkan
dapat membentuk suatu sikap yang baru.
Menurut
Notoatmodjo
(2003),
pengetahuan yang baru pada subjek dapat
menimbulkan respon batin dalam bentuk
sikap subjek terhadap objek yang
diketahuinya itu. Sikap remaja terhadap
seksualitas dipengaruhi oleh informasi
atau pengetahuan. Pengetahuan terhadap
objek dapat dipersepsikan sebagai hal
yang positif maupun hal yang negatif.
Pengetahuan
tentang
kesehatan
reproduksi
yang
memadai,
akan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
dipersepsikan ke dalam sikap yang positif
terhadap kesehatan reproduksi
Selain itu, 35 penelitian yang
dilakukan di
negara maju dan
berkembang
menyimpulkan
bahwa
pendidikan kesehatan seksual berbasis
sekolah
tidak
menyebabkan
bertambahnya kegiatan seksual remaja.
Bahkan sebaliknya berdampak pada
penundaan kegiatan seks (Danuwisastra,
2003). Menurut Ajun (2001) semakin
remaja mendapat bekal pengetahuan
tentang seksualitas, maka akan semakin
berhati-hati dalam perilakunya, serta akan
memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan menyangkut seksualitasnya.
Selain itu, WHO menekankan pentingnya
pendidikan kesehatan reproduksi kepada
remaja muda (younger adolescents), yaitu
kelompok usia 10 hingga 14 tahun. Usia
ini merupakan masa emas untuk
terbentuknya landasan yang kuat tentang
kesehatan reproduksi, sehingga dapat
mempersiapkan mereka untuk mengambil
keputusan seksual yang lebih aman dan
bijaksana dalam hidupnya
Bertitik tolak pada uraian tersebut
maka perlu dilakukan penelitian tentang
perbedaan tingkat pengetahuan dan sikap
remaja tentang kebutuhan seksual
sebelum dan sesuadah mendapatkan
penyuluhan di SMA Muhammadiyah 3
Jember. Upaya yang dilakukan adalah
pemberian
informasi
atau
pesan
kesehatan berupa penyuluhan kesehatan
untuk memberikan atau meningkatkan
pengetahuan dan sikap tentang kesehatan
agar memudahkan terjadinya perilaku
sehat. Sehingga mempunyai kemampuan
mengenal masalah kesehatan dirinya,
keluarga, dan kelompoknya dalam
meningkatkan kesehatannya.
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Quasi
Experiment (eksperimen semu) dengan
rancangan one-group pre-test post-test
design (rancangan pra-pasca test dalam
satu
kelompok),
dimana
tingkat
137
pengetahuan dan sikap siswa mengenai
menggunakan
purposive
sampling
kesehatan diukur sebelum dan setelah
melalui pendekatan rumus Slovin sebesar
diberikan perlakuan berupa pendidikan
60
orang.
Instrumen
penelitian
kesehatan/penyuluhan.
menggunakan kuesioner dan analisis data
Populasi dalam penelitian ini adalah
menggunakan uji wilcoxon.
siswa Kelas XI di SMA Muhammadiyah
3 Jember berjumlah 152 orang yang
terdiri dari kelas IPS dan Bahasa. Sampel
dalam penelitian ini diambil dengan
HASIL
Hasil penelitian akan dipaparkan sebagai berikut.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Remaja Sebelum Penerimaan
Penyuluhan
No
1
2
Tingkat Pengetahuan
Cukup
Kurang
Jumlah
Frekuensi
7
53
60
Prosentase (%)
11.7
88.3
100
Sumber : Data primer diolah tahun 2014
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden
penyuluhan berada pada kategori kurang yaitu 53 orang (88.3%).
sebelum
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Remaja Sesudah
Penerimaan
Penyuluhan
No
1
2
3
Tingkat Pengetahuan
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah
Frekuensi
2
33
25
60
Prosentase (%)
3.3
55.0
41.7
100
Sumber : Data primer diolah tahun 2014
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden
penyuluhan berada pada kategori cukup yaitu 33 orang (55%).
sesudah
Tabel 3. Distribusi Frekuensi pemberian ASI ekslusif pada ibu yang diberikan
konseling di Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember
No
1
Konseling
Konseling
Eksklusif
∑
%
20
74.07
Tidak Eksklusif
∑
%
7
25.93
Jumlah
∑
%
27
100
Sumber : Data primer diolah tahun 2014
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa ibu yang mendapatkan konseling sebagian
besar memberikan ASI secara Eksklusif pada bayi selama 24 jam yaitu (74.04%).
Tabel 4 Distribusi Silang Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Kebutuhan
Seksual Pada Siswa di SMA Muhammadiyah 3 Jember Sebelum dan
Sesudah Penerimaan Penyuluhan
No
Penyuluhan
Pengetahuan
1
Baik
2
Cukup
3
Kurang
Jumlah
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Sebelum
∑
%
0
0
7
11.7
53
88.3
60
100
Sesudah
∑
%
2
3.3
33
55.0
25
41.7
60
100
138
Sumber : Data primer diolah tahun 2014
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui
bahwa terdapat peningkatan tingkat
pengetahuan remaja setelah menerima
penyuluhan tentang kebutuhan seksual.
Berdasarkan uji Wilcoxon yang dianalisis
dengan menggunakan SPSS diperoleh
nilai signifikansi (Asymp. Sig) antara
tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah
penyuluhan sebesar 0.000 < 0.05, artinya
ada perbedaan tingkat pengetahuan yang
bermakna antara sebelum (pretest) dan
sesudah (posttest) diberi penyuluhan.
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Sikap Remaja Sebelum Penerimaan Penyuluhan
No Sikap
1
Positif
2
Negatif
Jumlah
Frekuensi
9
51
60
Prosentase (%)
15.0
85.0
100
Sumber : Data primer diolah tahun 2014
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa sikap responden sebelum penyuluhan adalah
negatif yaitu 51 orang (85%).
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Sikap Remaja Sesudah Penerimaan Penyuluhan
No Sikap
Frekuensi Prosentase (%)
1
Positif
36
60.0
2
Negatif
24
40.0
Jumlah
60
100
Sumber : Data primer diolah tahun 2014
Tabel 6 dapat diketahui bahwa sikap responden sesudah penyuluhan adalah positif yaitu 36
orang (60%).
Tabel 7 Distribusi Silang Sikap Remaja Tentang Kebutuhan Seksual Pada Siswa di
SMA Muhammadiyah 3 Jember Sebelum dan Sesudah Penerimaan Penyuluhan
No
Penyuluhan
Sebelum
Sesudah
Sikap
∑
%
∑
%
1
Positif
9
15.0
36
60.0
2
Negatif
51
85.0
24
40.0
Jumlah
60
100
60
100
Sumber : Data primer diolah tahun 2014
Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui
bahwa terdapat peningkatan sikap remaja
setelah mendapatkan penyuluhan tentang
kebutuhan seksual. Hasil penelitian
menunjukkan jika sikap remaj sebelum
merima penyuluhan sebagian besar
adalah negatif dan setelah menerima
penyuluhan sebagian besar adalah positif.
Berdasarkan uji Wilcoxon yang dianalisis
dengan menggunakan SPSS diperoleh
nilai signifikansi (Asymp. Sig) antara
sikap sebelum dan sesudah penyuluhan
sebesar 0.000 < 0.05, artinya adanya
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
perbedaan sikap yang bermakna antara
sebelum (pretest) dan sesudah (posttest)
diberi penyuluhan
PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil
penelitian
diketahui bahwa sebelum penyuluhan
tentang kebutuhan seksual diketahui
berada pada kategori kurang yaitu
(88.3%). Beberapa hal yang mendasari
tingkat pengetahuan siswa kelas IPS dan
Bahasa berada pada kategori kurang.
Seperti
usia,
pendidikan.
Usia
139
menunjukkan
pengalaman
hidup
seseorang. Selain itu usia mempengaruhi
terhadap daya tangkap dan pola pikir
seseorang. Semakin bertambah usia akan
semakin berkembang pula daya tangkap
dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan
yang diperolehnya semakin membaik.
Menurut Notoatmodjo (2007) umur
mempengaruhi daya tangkap dan pola
pikir seseorang. Semakin bertambah
umur akan semakin berkembang pula
daya tangkap dan pola pikirnya sehingga
pengetahuan yang diperoleh semakin
membaik. Siswa kelas IPS dan Bahasa
dominan masih berusia <20 tahun
sehingga masih belum memiliki tingkat
kematangan dan berpikir. Menurut
Hurlock (2008), Usia 21-40 tahun
dinamakan
dewasa
awal
dimana
kemampuan mental mencapai puncaknya
dalam usia 20 tahun untuk mempelajari
dan menyesuaikan diri pada situasisituasi baru seperti pada misalnya
mengingat hal hal yang pernah dipelajari,
penalaran analogis dan berfikir kreatif.
Selain usia rendahnya pengetahuan
dimungkinkan karena materi pelajaran
yang diterima jarang yang bersentuhan
dengan persoalan seksual. Sehingga
informasi yang diperoleh siswa sangatlah
minim tentang seksual. Materi pelajaran
merupakan
satu-satunya
sumber
informasi yang berada di SMA
Muhammadiyah 3 Jember, meski terdapat
mading (majalah dinding) tidak pernah
sama sekali membahas mengenai seksual.
Pihak
sekolah
tidak
pernah
mendatangkan petugas kesehatan untuk
memberikan informasi kesehatan kepada
siswa, sehingga informasi yang diperoleh
siswa kelas IPS dan Bahasa sangat
terbatas, selain itu persoalan seksual bagi
sebagian siswa masih dianggap tabu dan
tidak bisa diperbincangkan dengan bebas
atau umum. Akibatnya siswa akan
berperilaku tertutup. Keadaan ini pada
gilirannya akan mempengaruhi akses atau
jumlah informasi siswa. Semakin banyak
jumlah informasi yang diterima siswa
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
memungkinkan akan berdampak pada
tingkat pengetahuan yang dimiliki.
Berdasarkan hasil penelitian setelah
siswa
mendapatkan
penyuluhan
mengenai kebutuhan seksual diperoleh
hasil bahwa tingkat pengetahuan siswa
kelas IPS kategori cukup (55%). Angka
ini menjelaskan jika dengan pemberian
penyuluhan mengenai kebutuhan seksual
akan turut serta berdampak pada jumlah
informasi
yang
diterima
siswa.
Penyuluhan merupakan salah satu cara
untuk memberikan informasi mengenai
kebutuhan seksual. Pada kegiatan
penyuluhan siswa diberikan informasi
yang tidak diketahui sebelumnya,
semakin banyak informasi yang diperoleh
dalam kegiatan penyuluhan maka
memungkinkan akan semakin baik pula
tingkat pengetahuan yang dimiliki.
Menurut Santosa dkk, (2005) Penyuluhan
kesehatan yaitu kegiatan pendidikan
kesehatan yang dilakukan dengan
menyebarkan
pesan,
menanamkan
keyakinan, sehingga masyarakat tidak
saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga
mau dan dapat melakukan suatu anjuran
yang ada hubungannya dengan kesehatan.
Kegiatan
penyuluhan
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
memberikan sejumlah informasi yang
berkaitan dengan kebutuhan seksual
remaja. Penyampaian informasi dengan
penyuluhan yang benar dan jelas
diharapkan dapat membantu remaja untuk
memahami betapa pentingnya masalah
kebutuhan seksual. Pada kegiatan
penyuluhan terdapat transfer informasi
yang disampaikan dari penyuluh kepada
peserta dalam hal ini adalah sisw kelas
IPS, semakin banyak jumlah informasi
yang diterima maka memungkinkan akan
semakin banyak pula pengetahuan yang
diserap oleh siswa tentang kebutuhan
seksual.
Berdasarkan
hasil
penelitian
diketahui
bahwa
skor
rata-rata
pengetahuan siswa kelas IPS dan Bahasa
sebelum mendapatkan penyuluhan 45.07
dan setelah mendapatkan penyuluhan
140
menjadi 57.13, pemberian penyuluhan
dapat meningkatkan pengetahuan siswa
sebesar 21.11%. uji statistic menunjukkan
jika nilai signifikansi (Asymp. Sig) antara
tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah
penyuluhan sebesar 0.000 < 0.05, artinya
ada perbedaan tingkat pengetahuan yang
bermakna antara sebelum (pretest) dan
sesudah (posttest) diberi penyuluhan. Hal
ini menjelaskan bahwa penyuluhan
merupakan salah satu cara yang berperan
penting
dalam
meningkatkan
pengetahuan siswa. Semakin sering
kegiatan penyuluhan yang dilakukan akan
akan berdampak besar pula pada tingkat
pengetahuan siswa.
Menurut Depkes (2005) Penyuluhan
kesehatan
adalah
penambahan
pengetahuan dan kemampuan seseorang
melalui tekhnik praktek belajar atau
instruksi dengan tujuan mengubah atau
mempengaruhi perilaku manusia secara
individu, kelompok maupun masyarakat
untuk dapat lebih mandiri dalam
mencapai tujuan hidup sehat. Fungsi
penyuluhan adalah sebagai penghubung
yang menjabarkan proses penyampaian
ilmu pengetahuan dari sumbernya kepada
masyarakat yang membutuhkannya.
Informasi
yang
diperoleh
dapat
memberikan pengaruh jangka pendek
(immediate
impact)
sehingga
menghasilkan
perubahan
atau
peningkatan
pengetahuan.
Semakin
banyak informasi yang masuk semakin
banyak pula pengetahuan yang didapat
tentang kesehatan.
Hasil penelitian ini menjelaskan
bahwa dengan adanya penyuluhan akan
turut serta memberikan dampak terhadap
peningkatan pengetahuan seseorang. Hal
ini disebabkan karena dalam kegiatan
penyuluhan terdapat transfer informasi.
Semakin
banyak
informasi
yang
diperoleh maka akan semakin baik pula
pengetahuan yang dimilikinya. Hasil
penelitian ini sesuai dengan pendapat
Machfoedz, Suryani, Sutrisno, & Santosa,
(2005) yang menyatakan bahwa Agar
para remaja dapat memperoleh informasi
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
yang benar dan jelas mengenai kesehatan
reproduksi,
kegiatan
penyuluhan
dilakukan untuk memberikan informasi.
Penyuluhan kesehatan yaitu kegiatan
pendidikan kesehatan yang dilakukan
dengan
menyebarkan
pesan,
menanamkan
keyakinan,
sehingga
masyarakat tidak saja sadar, tahu dan
mengerti, tetapi juga mau dan dapat
melakukan suatu anjuran yang ada
hubungannya dengan kesehatan. Hasil
penelitian serupa juga dilakukan oleh
Kustriyani (2009) tentang perbedaan
pengetahuan dan sikap siswi sebelum dan
sesudah pemberian pendidikan kesehatan
tentang keputihan DI SMU Negeri 4
Semarang. Peningkatan jumlah responden
yang memiliki pengetahuan tinggi
sebelum dan sesudah pendidikan
kesehatan sebesar 70,2% dengan p value
0,000, dan terdapat peningkatan jumlah
responden yang memiliki sikap baik
sebelum dan sesudah pendidikan
kesehatan yaitu sebanyak 26,3% dengan
p value 0,000.
Rachma Wardani (2010) meneiliti
tentang Pengaruh Penyuluhan Terhadap
Tingkat
Pengetahuan
Kesehatan
Reproduksi Remaja Perempuan SMP
Muhammadiyah 7 Surakarta.
Hasil
p<0.001 menunjukkan bahwa variabelvariabel dalam penelitian ini memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap
tingkat pengetahuan remaja SMP tentang
kesehatan
reproduksi,
rata-rata
mendapatkan 1.6 poin lebih tinggi
daripada remaja yang tidak disuluh
(b=1.6; CI 95% 0.7 s.d. 2.5; a=4.2; R2 =
41.1%).
Pemberian penyuluhan mengenai
kebutuhan seksual pada remaja terbukti
secara statistik dapat meningkatkan
pengetahuannnya.
Pada kegiatan
penyuluhan siswa mendapatkan sejumlah
informasi
yang
tidak
diketahui
sebelumnya oleh siswa berkaitan dengan
kebutuhan seksual. Semakin banyak
informasi yang diperoleh siswa mengenai
kebutuhan seksual maka semakin banyak
pula sesuatu yang diketahui oleh siswa.
141
Jumlah informasi ini pada gilirannya
akan
berdampak
pada
tingkat
pengetahuan yang dimiliki siswa.
Berdasarkan
hasil
penelilitian
diketahui bahwa sikap siswa kelas IPS
sebelum dilakukan kegiatan penyuluhan
sebagian besar adalah negatif yaitu 51
orang (85%). Terbentuk sikap siswa kelas
IPS berada pada kategori negatif tidak
berdiri sendiri, terdapat beberapa hal
yang diduga berkaitan dengan sikap
siswa kelas IPS yang negatif. Menurut
Azwar (2000) mengemukakan beberapa
faktor yang mempengaruhi pembentukan
sikap seseorang yaitu pengalaman
pribadi, kebudayaan, orang lain yang
dianggap penting, media massa, institusi
atau lembaga pendidikan dan lembaga
agama, serta faktor emosi dalam diri
individu.
Sikap siswa kelas IPS dan Bahasa
dominan negatif salah satunya karena
tingkat pengetahuan yang dimiliki.
Pengetahuan seseorang akan menjadi
dasar
atau
pertimbangan
dalam
memberikan respon terhadap seseuatu.
Respon tersebut akan bernilai positif jika
didukung dengan tingkat pengetahuan
yang baik. Menurut Notoatmodjo (2003),
pengetahuan yang baru pada subjek dapat
menimbulkan respon batin dalam bentuk
sikap subjek terhadap objek yang
diketahuinya itu. Sikap yang didasari
dengan pengetahuan yang baik cenderung
akan positif jika dibandingkan dengan
sikap yang didsari oleh pengetahuan yang
kurang.
Selain pengetahuan, sikap terbentuk
dari interakasi sosial. Menurut Azwar,
(2000) Pembentukan sikap seseorang
pada dasarnya disebabkan oleh adanya
interaksi sosial, dalam interaksi sosial,
terjadi pertukaran informasi antar
individu dan hubungan yang saling
mempengaruhi. Hubungan yang timbal
balik inilah yang membentuk pola sikap
terhadap objek yang dihadapinya.
Kegiatan interaksi yang dilakukan antara
siswa
di
SMA
Muhammadiyah
dimungkinkan tidak interaktif untuk
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
persoalan seksual. Siswa cenderung
tertutup dan menilai persoalan kebutuhan
seksual merupakan sesuatu yang privasi
dan tidak untuk konsumsi publik,
sehingga sedikit yang membicarakan
persoalan ini antar sesama siswa.
Berdasarkan
hasil
penelitian
diperoleh skor rata-rata 85.25 sebelum
penyuluhan,
dan
102.18
setelah
penyuluhan.
Kegiatan
penyuluhan
meningkatkan sikap responden sebesar
16.57%. Realitas ini menunjukkan jika
pemberian informasi kepada siswa kelas
IPS dan Bahasa dalam bentuk
penyuluhan membantu siswa dalam
memahami kebutuhan seksual yang benar
dan tepat. Pengetahuan atau informasi
yang diterima siswa akan membetuk
dalam menentukan sikap mengikuti atau
menolaknya.
Menurut penelitian yang dilakukan
oleh dr. Boyke pada remaja menunjukkan
bahwa sebelum mengikuti seminar,
mereka rata-rata menyetujui hubungan
seksual pranikah. Tapi sesudah seminar
90% peserta menyatakan tidak setuju
dengan hubungan seksual pranikah
(Pratiwi, 2004). Selain itu, 35 penelitian
yang dilakukan di negara maju dan
berkembang
menyimpulkan
bahwa
pendidikan kesehatan seksual berbasis
sekolah
tidak
menyebabkan
bertambahnya kegiatan seksual remaja.
Bahkan sebaliknya berdampak pada
penundaan kegiatan seks (Danuwisastra,
2003).
Menurut
Wahyudi
(2000)
kurangnya komunikasi secara terbuka
antara orang tua dengan remaja dapat
memperkuat munculnya perilaku yang
menyimpang. Sebagian siswa menilai
persoalan kebutuhan seksual bukanlah
konsumsi umum dan tidak layak untuk
dikomunikasikan dengan orang lain,
akibatnya mereka akan mencari informasi
sendiri dari berbagai sumber seperti
internet dan sebaginya. Menurut Azwar
(2011), berbagai bentuk media massa
seperti televisi, radio, surat kabar,
majalah dan lain-lain mempunyai
142
pengaruh yang besar dalam pembentukan
opini dan kepercayaan individu. Media
massa memberikan pesan-pesan yang
sugestif yang mengarahkan opini
seseorang. Adanya informasi baru
mengenai sesuatu hal memberikan
landasan kognitif baru bagi terbentuknya
sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup
kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi
dasar afektif dalam menilai sesuatu hal
sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
Kurangnya
atau
belum
pernah
mendapatkan informasi sebelumnya juga
menyebabkan penilaian yang berbeda
terhadap sikap individu.
Hasil penelitian Iriani dkk (2011)
meneliti tentang perbedaan sikap
terhadap hubungan seks pranikah antara
remaja yang diberi penyuluhan dan yang
tidak diberi penyuluhan kesehatan
reproduksi remaja. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
signifikan sikap terhadap pranikah
seksual di kalangan remaja dengan
kesehatan reproduksi intervensi dan
remaja tanpa intervensi kesehatan
reproduksi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian pada
bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan
bhwa tingkat pengetahuan remaja tentang
kebutuhan seksual pada remaja di SMA
Muhammadiyah 3 Jember sebelum
penyuluhan adalah kurang (88.3%),
tingkat pengetahuan remaja tentang
kebutuhan seksual pada remaja di SMA
Muhammadiyah 3 Jember sesudah
penyuluhan adalah cukup (55%), terdapat
perbedaan tingkat pengetahuan remaja
tentang kebutuhan seksual sebelum dan
sesudah penyuluhan dengan nilai
signifikansi (Asymp. Sig) sebesar 0.000 <
0.05. Sikap remaja tentang kebutuhan
seksual
pada
remaja
di
SMA
Muhammadiyah 3 Jember sebelum
penyuluhan sebagain besar adalah negatif
(85%), sikap remaja tentang kebutuhan
seksual
pada
remaja
di
SMA
Muhammadiyah 3 Jember sesudah
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
penyuluhan adalah positif (60%).
Terdapat perbedaan sikap remaja tentang
kebutuhan seksual sebelum dan sesudah
penyuluhan dengan nilai signifikansi
(Asymp. Sig) sebesar 0.000 < 0.05.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2003). Metode Penelitian.
Yogyakarta: Pustaka
Azwar,
Saifuddin.
(2005).
Sikap
Manusia:
Teori
dan
Pengukurannya.
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fitri Fauziah & Julianty Widuri. (2007).
Psikologi
Abnormal
Klinis
Dewasa. Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press).
Santrock, J. W. (2007). Perkembangan
Anak, edisi ke-11 jilid 1. Jakarta:
Penerbit Erlangga
Surbakti, E.B. (2009). Kenalilah Anak
Remaja Anda. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo.
Notoatmodjo,
Soekidjo.
(2007).
Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan
Seni. Jakarta: Rineka Cipta
Thornburg D H. (2002). Development in
Adolenscence. Second Edition,
California: Brook Cole Publishing
Co.
143
HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG HIPERTENSI DENGAN
PERILAKU LANSIA DALAM PENCEGAHAN HIPERTENSI DI
POSYANDU LANSIA DESA TEGAL
WANGI KECAMATAN UMBULSARI
KABUPATEN JEMBER
Oleh
Brahmantio Chrisna Tobias*, Kiswati, Said Mardijanto**,
Akhmad Efrizal Amrullah***
*, **, *** Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember
ABSTRAK
Hipertensi menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius, karena jika tidak
terkendali akan berkembang dan menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Kenaikan
kasus hipertensi terutama di negara berkembang diperkirakan sekitar 80% pada tahun 2025
dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di
tahun 2025. Penelitian ini adalah penelitian korelational dengan pendekatan cross
sectional yaitu peneliti dapat mencari, menjelaskan hubungan dan menguji antara 2
variabel yaitu tingkat pengetahuan tentang hipertensi dengan perilaku pencegahan
hipertensi. Populasi dalam penelitian ini adalah 34 responden, sementara sampel sebesar
31 responden. Tehnik sampling yang digunakan adalah simple random sampling. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden (51,6%) mempunyai
pengetahuan kurang dan sebagian kecil (12,9%) lansia berpengetahuan baik. Sementara
perilaku pencegahan hipertensi sebagian besar (54,84%) responden berperilaku cukup dan
sebagian kecil (16,13%) lansia berperilaku baik. Berdasarkan analisis data diketahui bahwa
ada hubungan antara pengetahuan tentang hipertensi dengan perilaku lansia dalam
pencegahan hipertensi. Simpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara pengetahuan
tentang hipertensi dengan perilaku lansia dalam pencegahan hipertensi Di Desa Tegal
Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember. Pemberian informasi oleh petugas kesehatan
mengenai hipertensi akan memiliki peran besar dalam menurunkan terjadinya hipertensi. Hal ini
diasumsikan bahwa perilaku seseorang merupakan manifestasi dari segala yang diketahuinya.
Kata kunci
: Tingkat Pengetahuan, Perilaku Pencegahan Hipertensi
PENDAHULUAN
Hipertensi atau tekanan darah
tinggi adalah suatu keadaan dimana
terjadi peningkatan tekanan darah sistolik
> 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
> 90 mmHg. Hipertensi merupakan
kelainan yang sulit diketahui oleh tubuh
kita sendiri (Mansjoer, 2001:49).
Kenaikan kasus hipertensi terutama
di negara berkembang diperkirakan
sekitar 80% pada tahun 2025 dari
sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di
perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di
tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
angka penderita hipertensi saat ini dan
pertambahan penduduk saat ini. Di
Indonesia banyaknya penderita hipertensi
diperkirakan 15 juta orang tetapi hanya
4%
yang
merupakan
hipertensi
terkontrol.
Prevalensi
penderita
hipertensi di Indonesia cukup tinggi
yaitu 7% sampai 22%. Berdasarkan hasil
survey penderita yang berujung pada
penyakit jantung 75%, stroke 15%, dan
gagal ginjal 10%. Penelitian juga
menunjukkan prevalensi hipertensi juga
meningkat dengan bertambahnya usia.
Dari berbagai penelitian epidemiologis
144
yang
dilakukan
di
Indonesia
menunjukkan 1,8%-28,6%
penduduk
yang berusia di atas 20 tahun adalah
penderita hipertensi
Diprovinsi Jawa Timur tahun 2010,
tercatat penderita hipertensi sebanyak
12,41%
dari
38.026.550
jumlah
penduduk Jawa Timur (Utami, 2013:17).
Sedangkan
menurut
data
Dinas
Kesehatan Kabupaten Jember tahun 2013
tercatat prevalensi lansia hipertensi
meningkat sampai 30%, pada umur
setelah 69 tahun (Dinkes Jember, 2013).
Lansia dengan hipertensi sangat
beresiko mengalami berbagai macam
komplikasi. Komplikasi yang paling
mungkin timbul dari hipertensi yang
diderita oleh lansia adalah penyakit
jantung dan stroke (pecah pembuluh
darah serebral). Apabila pembuluh darah
otak menyempit, maka aliran darah ke
otak akan terganggu dan sel-sel otak akan
mengalami kematian (Soeparman &
Waspadji, 2001). Upaya untuk mengatasi
atau mengurangi resiko terjadinya
komplikasi pada lansia dengan hipertensi,
terdapat empat cara yang dapat dilakukan
oleh lansia dengan hipertensi untuk
mengurangi atau mencegah terjadinya
komplikasi, yaitu pengaturan diet,
modifikasi pola hidup atau gaya hidup,
manajemen stres, dan kontrol kesehatan
(Hart et al, 2010).
Menurut Yundini, (2006) beberapa
faktor yang menyebabkan hipertensi
yaitu kurangnya aktivitas fisik, berat
badan lebih, gangguan dari perubahan
hormonal serta faktor genetika, serta
kurangnya
pengetahuan
penderita
hipertensi dan
keluarga tentang
pencegahan, penanganan dan perawatan
dengan baik dan benar.
Salah
satu
cara
untuk
menanggulangi
masalah
kesehatan
adalah dengan pencegahan terjadinya
hipertensi bagi masyarakat secara
umum dan pencegahan kekambuhan
pada
penderita
hipertensi
pada
khususnya. Pencegahan hipertensi perlu
dilakukan
oleh
semua
penderita
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
hipertensi
agar tidak
terjadi
peningkatan tekanan darah yang lebih
parah. Tetapi sayangnya tidak semua
penderita hipertensi dapat melakukan
pencegahan terhadap penyakitnya. Hal
ini
disebabkan
karena
tingkat
pengetahuan penderita hipertensi tentang
pencegahan kekambuhan penyakitnya
tidaklah sama.
Tingkat
Pengetahuan
adalah
merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi
setelah orang melakukan penginderaan
terhadap
suatu
objek
tertentu.
Penginderaan terjadi melalui pancaindera
manusia, yakni: indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2010:139).
Berdasarkan data jumlah kasus
hipertensi di Posyandu Lansia Desa Tegal
Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten
Jember dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan; pada tahun 2010 tercatat 10
lansia (33%), pada tahun 2011 tercatat 12
lansia (40%), pada tahun 2012 tercatat 15
lansia (50%), pada tahun 2013 tercatat 18
lansia (60%), dan 2014 tercatat 22 lansia
(73,3%), dari total keseluruhan lansia
yang aktif mengikuti kegiatan di
posyandu lansia sebanyak 34 orang.
(Data Posyandu Lansia Tegal Wangi,
2014). Berdasarkan studi pendahuluan
yang dilakukan posyandu lansia Desa
Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari
Kabupaten Jember pada bulan Februari
2015 dari 10 responden didapatkan 5
(50%) lansia dengan pengetahuan tentang
hipertensi masih kurang, 3 (30%) lansia
dengan pengetahuan cukup dan 2 (20%)
lansia
dengan
pengetahuan
baik.
Berdasarkan wawancara sebagian besar
lansia mempunyai perilaku kebiasaan
mengkonsumsi garam dalam jumlah yang
berlebihan, menggunakan penyedap
masakan dalam jumlah banyak. Sebagian
besar lansia tidak bekerja dan tempat
berobat biasanya pergi ke puskesmas
pembantu Desa Tegal Wangi Kecamatan
Umbulsari Kabupaten Jember.
145
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian korelationaldengan pendekatan
cross sectionalyaitu peneliti dapat
mencari, menjelaskan hubungan dan
menguji antara 2 variabel yang
menekankan pada waktu pengukuran atau
observasi data variabel hanya satu kali
pada satu saat (Notoatmodjo, 2010:37).
Pada penelitian ini populasi yang
digunakan adalah seluruh anggota
Posyandu Lansia di Desa Tegal Wangi
Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember
yang aktif mengikuti kegiatan posyandu
lansia sebanyak 34 orang. Besar sampel
yang digunakan adalah sejumlah 31
lansia, dengan pengambilan sampling
simple random sampling. Unit analisis
yang digunakan adalah Spearman rank.
HASIL PENELITIAN
a. Demorafi Responden
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Umur
Responden di Posyandu Lansia
Desa Tegal Wangi Kecamatan
Umbulsari Kabupaten Jember
Umur
45 – 59 Tahun
60 – 74 Tahun
75 – 90 Tahun
Jumlah
Tabel
Frekuensi
1
19
11
31
Persentase
3,2%
61,3%
35,5%
100
2 Distribusi Frekuensi Jenis
Kelamin Responden di Posyandu
Lansia
Desa
Tegal
Wangi
Kecamatan Umbulsari Kabupaten
Jember
Jenis Kelamin
Laki – laki
Perempuan
Jumlah
Frekuensi
9
22
31
Persentase
29%
71%
100
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Tingkat
Pendidikan Responden di Posyandu
Lansia
Desa
Tegal
Wangi
Kecamatan Umbulsari Kabupaten
Jember
Pendidikan
Tidak Sekolah
SD/SR
SMP
SMU
Frekuensi
Persentase
16
10
1
4
51,6%
32,3%
3,2%
12,9%
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
D3
S1
Jumlah
0
0
31
0%
0%
100
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Pekerjaan
Responden di Posyandu Lansia
Desa Tegal Wangi Kecamatan
Umbulsari Kabupaten Jember
Pekerjaan
Tidak Bekerja
Buruh Tani
Pedagang
Pensiunan PNS
Jumlah
Frekuensi
22
6
2
1
30
Persentase
71,0%
19,4%
6,5%
3,2%
100
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Sumber
Informasi
yang
Diperoleh
Responden tentang Hipertensi di
Posyandu Lansia Desa Tegal
Wangi
Kecamatan
Umbulsari
Kabupaten Jember
Sumber Informasi
Teman/Saudara
Tenaga Kesehatan
Posyandu Lansia
Media
massa/Elektronik
Jumlah
Frekuensi
4
18
9
Persentase
12,9%
58,1%
29,0%
-
-
31
100
b. Data Khusus
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Pengetahuan
Lansia tentang Hipertensi di
Posyandu Lansia Desa Tegal
Wangi
Kecamatan
Umbulsari
Kabupaten Jember
Pengetahuan
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah
Frekuensi
4
11
16
31
Persentase
12,9%
35,5%
51,6%
100
Tabel 7 Distribusi Frekuensi Perilaku
Lansia
dalam
Pencegahan
Hipertensi di Posyandu Lansia
Desa Tegal Wangi Kecamatan
Umbulsari Kabupaten Jember
Perilaku
Pencegahan
Hipertensi
Baik
Cukup
Frekuensi
Persentase
5
17
16,13%
54,84%
146
Kurang
Jumlah
9
31
29,03%
100
Tabel 8 Tabel Silang Pengetahuan Lansia
tentang
Hipertensi
dengan
Perilaku
Lansia
dalam
Pencegahan
Hipertensi
di
Posyandu Lansia Desa Tegal
Wangi Kecamatan Umbulsari
Kabupaten Jember.
Pengeta
huan
Baik
Cukup
Kurang
Jumlah
Baik
F
%
4 12.9
0
0
1
3.2
5 16.1
Perilaku Lansia
Cukup
Kurang
F
% F
%
0
0
0
0
10 32.3 1
3.2
7 22.6 8 25.8
17 54.8 9 29.0
∑
%
F
4 12.9
11 35.5
16 51.6
31 100
Berdasarkan hasil uji data dengan
menggunakan analisis Spearman Rank
(Rho) dengan jumlah sampel 31 orang
didapatkan p-value 0,000, pada taraf
signifikan p α (alpha)0,05 sehingga
Hipotesanol (Ho) ditolak dan Hipotesis
alternatif (Ha) diterima. Hal ini berarti
adanya hubungan pengetahuan lansia
tentang hipertensi dengan perilaku lansia
dalam pencegahan hipertensi di Posyandu
Lansia Desa Tegal Wangi Kecamatan
Umbulsari Kabupaten Jember.
Menurut
Notoadmodjo, (2002)
mengungkaplan bahwa perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tidak
didasari
pengetahuan.
Menurut
Simanungkalit (2011), perilaku seseorang
atau masyarakat dalam memanfaatkan
fasilitas kesehatan ditentukan oleh
pengetahuan. Menurut Sarwono, (2004)
perilaku merupakan hasil dari segala
macam pengalaman serta interaksi
manusia dengan lingkungannya yang
terwujud dalam bentuk pengetahuan,
sikap, dan tindakan
Hasil penelitian serupa dilakukan
oleh
Salinding dk, (2012) yang
memberikan hasil bahwa
terdapat
hubungan antara pengetahuan dan
sikap dengan
perilaku
pencegahan
stroke pada pasien hipertensi di
Rumah
Sakit
Umum
Daerah
Lakipadada Kabupaten Tana Toraja.
Hasil penelitian ini berbeda dengan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
penelitian yang dilakukan oleh Musthofa
(2013) menunjukkan hasil bahwa tidak
ada hubungan antara pengetahuan
dengan perilaku penderita hipertensi
dalam pencegahan stroke.
KESIMPULAN
Ada hubungan antara pengetahuan
tentang hipertensi dengan perilaku lansia
dalam pencegahan hipertensi.
SARAN
Mengingat masalah hipertensi pada
lansia cukup komplek dan melibatkan
berbagai pihak terkait serta hasil
penelitian ini belum sempurna, maka agar
tercapai kesempurnaan penelitian ini dan
untuk
mengoptimalkan
pencegahan
hipertensi di Posyandu Lansia Desa Tegal
Wangi, diperlukan penelitian lebih lanjut
dengan melengkapi data-data yang lebih
akurat dengan mengambil populasi yang
lebih luas.
Pada pola makan diharapkan lansia
untuk menghindari konsumsi garam
dapat mengurangi resiko penyakit
hipertensi. Disarankan bagi peneliti
selanjutnya untuk menambahkan atau
mengkaji
variabel
lain
yang
mempengaruhi perilaku pencegahan
hipertensi pada lansia seperti petugas
kesehatan, dukungan keluarga, budaya,
genetik dan sebaginya.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala
Psikologi (edisi 2). Penerbit
Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Arikunto, S. (2007). Prosedur Penelitian
suatu
Pendekatan
Praktek.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Azwar. (2010). Perilaku dan Cara
Pengukurannya. Jakarta: Salemba
Medika.
BPOM. (2004). Persyaratan Penggunaan
Bahan
Tambahan
Pangan
Pemanis Buatan dalam Produk
Pangan. http://www.pom.go.id:
Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
147
BPOM. (2006). Bahan Berbahaya Yang
Dilarang
Untuk
Pangan.
http://www.pom.go.id:
Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
Depkes. (2008). Pedoman Umum
Pengelolaan Posyandu. Jakarta:
Departeman Kesehatan Repiblik
Indonesia.
Depkes. (2009). PHBS di Rumah Tangga.
Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.
Friedman.
(2010).
Buku
Ajar
Keperawatan Keluarga Riset,
Teori, dan Praktek, Edisi kelima.
Jakarta.: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Hardywinoto.
(2005).
Panduan
Gerontologi
Tinjauan
dari
Berbagai
Aspek:
Menjaga
Keseimbangan Kualitas Hidup
Para Lanjut Usia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hidayat, A. A. (2014). Metodelogi
Penelitian Kebidanan dan Teknik
Analisis Data. Jakarta: Salemba
Medika.
Hurlock. (2002). Perkembangan Anak.
Jakarta: Erlangga.
Iswaranti, F. d. (2004). Amankah
Makanan Jajanan Anak Sekolah
di Indonesia. http://www.gizi.net:
diakses tanggal 20 Maret 2012.
Kominfojatim. (2013). BPOM: 22 persen
Jajanan
Anak
Sekolah
Berbahaya.
http://kominfo.jatimprov.go.id/wa
tch/35146: diakses tanggal 25
Maret 2015.
Kusmiyati. (2014). Jajanan Anak Sekolah
Masih Jadi Perhatian di 2014.
http://health.liputan6.com/read/79
5798/jajanan-anak-sekolahmasih-jadi-perhatian-di-2014: di
akses tanggal 23 Maret 2015 .
Maulana, H. D. (2009). Promosi
Kesehatan. Jakarta: EGC.
Notoatmodjo. (2010). Metode penelitian
Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Notoatmodjo. (2010). Promosi Kesehatan
dan Ilmu Perilaku . Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Nursalam. (2011). Konsep & Penerapan
Metode
Penelitian
Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Pertiwi, D. (2003). Kebiasaan Jajan dan
Preferensi terhadap Makanan
Jajanan Tradisional pada Anak
SD . Fakultas Pertanian Institut
Pertanian.
Pertiwi, H. W. (2013). faktor-Faktor
yang
berhubungan
dengan
Frekuensi Kehadiran Lanjut Usia
di Posyandu Lansia . Bidan Prada
: Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 4
No. 1 Edisi Juni 2013.
Pondokibu. (2012). Bahaya Makanan
Jajanan
di
Sekitas
Kita.
http://pondokibu.com/2862/bahay
a-makanan-jajanan-di-sekitarkita/: diakses tanggal 26 Maret
2015.
Purwati, M. E. (2004). Aspek Gizi dan
Keamanan Pangan Makanan
Jajajnan Di Bursa Kue Subuh
Pasar Senenn. Jakarta : Media
Gizi & Keluarga.
Sawertini, K. (2007). Pangan jajanan
anak
Sekolah.
http://www.pom.go.id.: dikases
tanggal 20 Maret 2012.
Sibagariang, E. E. (2010). Buku Saku
Metode Penelitian. Jakarta: CV.
Trans Info Media.
Soetjiningsih. (2007). Tumbuh Kembang
Remaja dan Permasalahannya.
Jakarta: Sagung Seto.
Suci, E. S. (2014). Gambaran Perilaku
Jajan Murid Sekolah Dasar di
Jakarta,
Vol
1.
Jakarta:
Psikobuana.
Sugiyono.
(2009).
Statistik
Non
Parametrik.
Jakarta:
CV.
Alfabeta.
Utomo, T. (2008). Mencegah &
Mengatasi Krisis Anak. Jakarta:
Grasindo.
148
PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN MAHASISWA DENGAN
PEMBERIAN TERAPI MUSIK DI SEKOLAH TINGGI
ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER
Tirta Vira Cakti Yudha*, Kiswati**, Khofi Hadidi***
*, *** Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember
** Poltekkes Kemenkes Malang
ABSTRAK
Penyebab kecemasan karena beban skripsi dan kekurangmampuan mengatur
waktu menyelesaikannya serta semester pendek. Prevalansi kecemasan dunia mencapai
20%, kecemasan di Indonesia berkisar 2-5% (Pietra, 2001). Angka kecemasan di STIKES
dr. Soebandi Jember sebanyak 17 mahasiswa pada semester delapan.
Tujuan penelitian adalah mengetahui keefektifan penurunan tingkat kecemasan
mahasiswa dengan pemberian terapi musik di STIKES dr. Soebandi Jember. Jenis
penelitian quasy eksperiment dengan rancangan one group pre-test and post-test treatment
design. Sampel penelitian sebanyak 17 mahasiswa STIKES dr. Soebandi Jember Prodi S1
keperawatan semester delapan menggunakan tekhnik total sampling dengan kriteria inklusi
bersedia menjadi responden dan dapat dilakukan pengukuran tingkat kecemasan. Analisis
menggunakan wilcoxon match pairs test dengan p < 0,05.
Hasil penelitian sebelum dilakukan terapi musik adalah kecemasan sedang
sebanyak 11 mahasiswa (68,75%), dan kecemasan ringan sebanyak 5 mahasiswa (31,25%).
Tingkat kecemasan setelah dilakukan terapi musik adalah tingkat kecemasan ringan
sebanyak 8 mahasiswa (50%), kecemasan sedang 5 mahasiswa (31,25%) dan terdapat
mahasiswa yang tidak mengalami kecemasan sebanyak 3 mahasiswa (18,75%), rata-rata
penurunan kecemasan 3,06. Hasil uji wilcoxon didapatkan nilai p=0,007, yang berarti ada
perbedaan tingkat kecemasan pada mahasiswa yang menyusun tugas akhir sebelum dan
setelah diberikan terapi musik. Koping menanggulangi kecemasan dengan mendengarkan
musik. Secara psikologis musik membuat rileks dengan musik sedatif. Untuk itu musik
efektif digunakan sebagai terapi mengurangi kecemasan.
Kata kunci : tingkat kecemasan, terapi musik
LATAR BELAKANG
Kecemasan pada mahasiswa biasanya
merupakan kecemasan karena frustasi
yang menggangu kemampuan individu
untuk mencapai tujuannya dengan
berbagai tanggungan, kecemasan juga
mempengaruhi hasil belajar, karena
kecemasan menghasilkan distorsi dan
menggangu belajar dengan menurunkan
kemampuan memusatkan perhatian,
menurunkan daya ingat, menggangu
kemampuan menghubungkan beberapa
hal (Kaplan dan Saddock, 2005). Pada
studi pendahuluan melalui observasi dan
wawancara terhadap mahasiswa semester
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
delapan tentang kecemasan yang dihadapi
saat menyusun skripsi didapatkan bahwa
semua mahasiswa menyatakan cemas
misalnya: tampak raut muka muram,
kehilangan kepercayaan pada orang lain,
mendiamkan orang lain, menarik diri dan
penurunan konsentrasi. Hal ini muncul
karena dari dalam diri mahasiswa sendiri
berupa kekurangmampuan mengatur
waktu belajar karena banyaknya kegiatan
yang harus diselesaikan, dan penyebab
dari luar berupa kegiatan atau tugas
perkuliahan yang harus diselesaikan
dengan baik dan tepat waktu, misalnya:
semester pendek, dan riset sebagai tugas
149
akhir. Hasil wawancara dengan dosen
keperawatan
diidentifikasi
banyak
mahasiswa mengalami permasalahan
kecemasan. Permasalahan yang dialami
adalah
gejala
kecemasan
yang
diakibatkan dari beban skripsi. Kenyataan
ini dirasa cukup serius dan perlu
diberikan penanganan secara tepat.
Mengingat hal ini penting sekali, karena
apabila dibiarkan terus-menerus maka
akan
menggangu
kelancaran
pembelajaran,
proses
skripsi
dan
kelulusan mahasiswa pada akhirnya.
Prevalansi penderita kecemasan sebanyak
20% dari populasi di dunia (Gail, 2002),
dan sebanyak 47,7% remaja sering
merasa cemas (Haryadi, 2007). Angka
kecemasan di Indonesia setiap tahunnya
semakin meningkat berkisar antara 2-5%
dari populasi umum atau 7-16% dari
semua penderita gangguan jiwa (Pietra,
2001). Hasil penelitian Susanti dan
Rohmah (2011) pemberian terapi musik
pada 115 siswa SMA Negeri 5
Yogyakarta kelas XI jurusan ilmu
pengetahuan sosial yang mengalami
kecemasan saat pelajaran matematika,
bahwa terdapat perbedaan tingkat
kecemasan matematika yang signifikan
antara sebelum dan sesudah perlakuan.
Siswa yang belajar matematika dengan
mendengarkan musik klasik mengalami
penurunan skor kecemasan matematika.
Hasil penelitian terdapat selisih rerata
sebesar 49,5 dan pada kelompok kontrol
sebesar 43,5. Hasil penelitian Prayogi
(2009) pemberian terapi musik pada
pasien preoperasi di bangsal bedah RSD.
Balung Jember, bahwa dari 30 pasien
yang akan menjalani operasi mengalami
kecemasan, kemudian diberikan terapi
musik dengan mendengarkan lagu klasik.
Hasil penelitian diperoleh tingkat
kecemasan pasien preoperasi sebelum
dilakukan terapi musik adalah cemas
sedang sebanyak 21 orang (70%), dan
sesudah dilakukan terapi musik adalah
cemas ringan sebanyak 20 orang (66,7%).
Angka kecemasan di STIKES dr.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Soebandi
Jember
sebanyak
17
mahasiswa.
Penyebab kecemasan ditimbulkan
karena bahaya dalam diri sendiri yaitu
stimulus internal atau juga bahaya dari
luar yang bersangkutan (Salan, 1997
dalam Prayogi, 2009). Berdasarkan
konsep psikoneuroimunologi, kecemasan
merupakan
stressor
yang
bisa
menurunkan imun tubuh, hal ini terjadi
melalui
serangkaian
aksi
yang
diperantarai
oleh
HPA-Axis
(Hipotalamus-Pituatry-Adrenal),
kecemasan akan merangsang hipotalamus
untuk meningkatkan produksi CRF
(Corticotropin
Releasing
Factor)
sehingga merangsang hormon pituitary
anterior untuk meningkatkan produksi
ACTH (Adrenocorticotrofic hormone).
ACTH akan merangsang korteks adrenal
untuk meningkatkan sekresi kortisol,
yang akan menekan sistem imun tubuh
(Sholeh, 2005; Gayton & Hall, 1997).
Seseorang yang memiliki kecenderungan
tingkat kecemasan yang tinggi biasanya
memiliki
keyakinan
diri
rendah.
Akibatnya seseorang akan selalu ragu
dalam bertindak. Tingkat cemas sedang
dan
berat
menimbulkan
perilaku
menyerang, biasanya digunakan untuk
mengatasi
hambatan
pemenuhan
kebutuhan, perilaku menarik diri baik
secara fisik maupun psikologi untuk
memudahkan seseorang dari sumber stres
dan perilaku kompromi cara ini
digunakan
untuk
mengubah
cara
seseorang mengoperasikan, mengganti
tujuan atau mengorbankan aspek
kebutuhan personal seseorang, tetapi bila
berlangsung pada tingkat tidak sadar dan
melibatkan penipuan diri dan distorsi
realitas, maka dapat merupakan respon
maladaftif terhadap cemas.
Penanganan masalah kecemasan
secara
farmakologi
ataupun
non
farmakologi
digunakan
untuk
mengurangi atau menurunkan kecemasan.
Strategi
koping
yang
dilakukan
mahasiswa
untuk
menanggulangi
kecemasan dengan bermain game on line,
150
bermain alat musik, mendengarkan
musik. Data yang ditemukan penulis
bahwa, mendengarkan musik adalah cara
yang dilakukan oleh sebagian besar
mahasiswa
dalam
mengatasi
kecemasannya. Salah satunya dengan
cara non farmakologi yaitu seperti latihan
fisik/olahraga, terapi musik, pijat/masage
ataupun secara spiritiual. Metode musik
merupakan salah satu cara relaksasi yang
paling
banyak
digunakan
untuk
mengatasi
kecemasan.
Secara
keseluruhan musik berpengaruh secara
fisik
maupun
psikologis.
Secara
psikologis musik membuat seseorang
menjadi rileks, mengurangi kecemasan,
menimbulkan rasa aman dan sejahtera,
melepaskan rasa gembira dan sedih, dan
membantu serta melepaskan rasa sakit
(Djohan, 2006).
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian adalah quasy
eksperiment,
tanpa
menggunakan
kelompok kontrol. Rancangan penelitian
ini menggunakan one group pre-test and
post-test treatment design. Tujuan
penelitian
membandingkan
tingkat
kecemasan sebelum diberikan perlakuan
dan setelah diberikan perlakuan.
Alat pengumpil data dengan
menggunakan
Instrumen
Hamilton
Anxiety Rating Scale, kuesioner berisi 13
gejala kecemasan: perasaan cemas,
ketegangan, ketakutan, gangguan tidur,
gangguan kecedasan, perasaan depresi,
gejala somatik/fisik (otot), gejala
somatik/fisik
(sensorik),
gejala
kardiovaskuler, gejala respiratori, gejala
gastrointestinal, gejala urogenital, gejala
autonom, dan 1 kategori tingkah laku
(sikap) pada wawancara. Jumlah skor 056 dengan penilaian: 1) tidak ada gejala
sama sekali= 0; 2) satu gejala dari pilihan
yang ada= 1; 3) separuh dari gejala yang
ada= 2; 4)lebih dari separuh dari gejala
yang ada= 3; 5) semua gejala ada= 4.
Kategori kecemasan meliputi: 1) <14
(tidak ada kecemasan); 2) 14-20
(kecemasan
ringan);
3)
21–27
(kecemasan
sedang);
4)
28–41
(kecemasan berat) 5) 42–56 (kecemasan
berat sekali). Pengisian lembar kuisioner
membutuhkan waktu 10 menit.
Instrumen
terapi
musik
menggunakan Tehnik terapi diadopsi dari
buku terapi musik karangan Djohan,
berisi jenis musik dengan genre pop
dengan waktu terapi 30 menit. Terdapat
tiga tahapan yaitu tahap orientasi, tahap
kerja, tahap terminasi.
Penelitian ini menggunakan uji
wilcoxon matched pairs test dengan
tingkat kemaknaan p < 0,05 untuk
menguji hipotesis komparatif dua sampel
yang berkolerasi bila datanya berbentuk
ordinal.
HASIL PENELITIAN
Data Umum
Data umum
a. Umur
1. 17-25 tahun
2. 26-35 tahun
Total
b. Jenis kelamin
1. Laki-laki
2. Perempuan
Total
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Frekuens
i
Persentas
e (%)
14
2
16
87,5
12,5
100
12
4
16
75
25
100
Data
umum
mengenai
karakteristik responden yang terdiri dari
umur mahasiswa dan jenis kelamin
mahasiswa dapat dilihat pada tabel 5.1
Tabel
5.1
Karakteristik
Umum
Responden Berdasarkan Umur dan Jenis
Kelamin
Di STIKES dr. Soebandi
Jember Periode April-Mei 2014
Sumber : Data Primer 2014
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebagian
besar umur responden berada dalam usia
17-25 tahun sebanyak 14 mahasiswa
(87,5%), sedangkan usia 26-35 tahun
sebanyak 2 mahasiswa (12,5%). Sebagian
besar jenis kelamin responden adalah
laki-laki sebanyak 12 mahasiswa (75%),
sedangkan perempuan sebanyak 4
mahasiswi (25%).
151
Distribusi usia dan jenis kelamin
dengan tingkat kecemasan mahasiswa di
STIKES dr. Soebandi Jember
Data
umum
Tidak
ada
kecemasan
f
%
17-25
26-35
0
0
0
0
Total
0
0
Laki-laki
Perempuan
0
0
0
0
1
6,25
3
0
0
5
31,25
11
Total
Kecemasan
ringan
f
%
Tabel 5.2 Distribusi Usia dan Jenis
Kelamin Dengan Tingkat Kecemasan
Mahasiswa Di STIKES dr. Soebandi
Jember Periode April-Mei 2014
5
0
5
Kecemasan
sedang
f
%
Kecemasa
n berat
f
%
Kecemasan
berat sekali
f
%
Total
56,25
12,5
0
0
0
0
0
0
0
0
87,5
12,5
11 68,75
0
0
0
0
100
8
0
0
0
0
75
0
0
0
0
25
0
0
0
0
100
31,25
0
31,25
4
9
2
25
50
18,75
68,75
Sumber : Data Primer 2014
Hasil tabel 5.2 menunjukkan bahwa
sebagian besar usia 17-25 tahun
mengalami kecemasan sedang sebanyak 9
mahasiswa
(56,25%).
Sedangkan
sebagian kecil pada usia 26-35
mengalami kecemasan sedang yaitu
sebanyak 2 mahasiswa (12,5%). Dari data
jenis kelamin menunjukkan bahwa
sebagian besar responden laki-laki
memiliki tingkat kecemasan sedang yaitu
sebanyak 8 mahasiswa (50%). Sedangkan
mahasiswa yang berjenis kelamin
perempuan sebagian besar memiliki
tingkat kecemasan sedang sebanyak 3
mahasiswa (18,75%).
Data Khusus
Tingkat Kecemasan Mahasiswa
Sebelum Terapi Musik
Tabel 5.3 Tingkat Kecemasan Mahasiswa
Sebelum Terapi Musik Di STIKES dr.
Soebandi Jember Periode April-Mei 2014
Tingkat
Kecemasan
Tidak cemas
Cemas ringan
Cemas sedang
Cemas berat
Cemas
berat
sekali
Total
Frekuensi
3
8
5
0
0
Persenta
se (%)
18,75
50
31,25
0
0
16
100
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Sumber : Data Primer 2014
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa sebagian
besar tingkat kecemasan mahasiswa
adalah tingkat kecemasan sedang yaitu
sebanyak 11 mahasiswa (68,75%).
Sedangkan sebagian kecil memiliki
tingkat kecemasan ringan sebanyak 5
mahasiswa (31,25%).
Tingkat Kecemasan Mahasiswa
Sesudah Diberikan Terapi Musik
Tabel 5.4 Tingkat Kecemasan Mahasiswa
Sesudah Terapi Musik Di STIKES dr.
Soebandi Jember Periode April-Mei 2014
Tingkat
Kecemasan
Frekuensi
Tidak cemas
Cemas ringan
Cemas sedang
Cemas berat
Cemas berat
sekali
0
5
11
0
0
Persen
tase
(%)
0
31,25
68,75
0
0
Total
16
100
Sumber : Data Primer 2014
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa sebagian
besar tingkat kecemasan mahasiswa
setelah dilakukan terapi musik adalah
tingkat kecemasan ringan yaitu sebanyak
152
8 mahasiswa (50%), dan sebagian kecil
adalah mahasiswa yang tidak memiliki
kecemasan setelah diberikan terapi musik
sebanyak 3 mahasiswa (18,75%).
Perbedaan Tingkat Kecemasan
Mahasiswa Sebelum Dan Sesudah
Diberikan Terapi Musik
Tabel 5.5 Hasil Uji Wilcoxon Perbedaan
Tingkat Kecemasan Mahasiswa Sebelum
dan Sesudah Diberikan Terapi Musik di
Stikes Dr. Soebandi Periode April-Mei
2014
Nilai Z
Sign (2-tailed)
Sebelum Sesudah
-2,714ª
0,007
Sumber : Data Primer 2014
Pada tabel 5.5 didapatkan nilai Z
uji= -2,714ª dan nilai Wilcoxon yaitu
0,007. Karena p<0,05, maka Ho ditolak,
artinya
terdapat
perbedaan
yang
signifikan antara tingkat kecemasan
mahasiswa sebelum
dan sesudah
diberikan terapi musik.
PEMBAHASAN
Tingkat kecemasan yang dialami
mahasiswa sebelum diberikan terapi
musik pada penelitian ini menunjukkan
bahwa tingkat kecemasan sedang lebih
tinggi dibandingkan dengan tingkat
kecemasan ringan. Hal ini dikarenakan
mahasiswa belum siap dalam menyusun
skripsi, dan masih ada beban pikiran
dalam melaksanakan semester pendek
sehingga mereka mengalami kecemasan.
Hasil penelitian pada hubungan usia
dengan tingkat kecemasan mahasiswa
didapatkan hasil bahwa usia 17-25 tahun
mengalami kecemasan ringan sebanyak 5
mahasiswa (31,25%) dan kecemasan
sedang sebanyak 9 mahasiswa (56,25%).
Sedangkan pada usia 26-35 mengalami
kecemasan sedang yaitu sebanyak 2
mahasiswa (12,5%). Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa usia 17-25
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
tahun memiliki jumlah responden yang
paling banyak mengalami kecemasan
yaitu 14 mahasiswa. Hal ini sesuai
dengan teori bahwa umur yang lebih
muda akan mengalami tingkat kecemasan
yang lebih tinggi daripada yang berusia
lebih tua (Soewardi, 2009). Kecemasan
pada usia remaja akhir terjadi karena
berbagai hal, misalnya dukungan
emosional yang kurang pada usia ini.
Seperti yang kita ketahui bahwa pada fase
dan kondisi ini, mahasiswa membutuhkan
dukungan emosional dan mekanisme
koping yang tepat untuk mengurangi
kecemasannya.
Hasil penelitian pada hubungan
jenis kelamin dengan tingkat kecemasan
mahasiswa didapatkan hasil bahwa jenis
kelamin laki-laki 50% memiliki tingkat
kecemasan sedang yaitu sebanyak 8
mahasiswa dan kecemasan ringan
sebanyak 4 mahasiswa (12,5%). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa jenis
kelamin laki-laki memiliki jumlah
responden
yang
paling
banyak
mengalami kecemasan. Menurut hasil
wawancara hal ini bisa terjadi karena
mahasiswa laki-laki lebih serius dalam
menanggapi mata kuliah di semester
delapan ini dan menginginkannya cepat
selesai sehingga tidak bisa bersikap santai
hingga akhirnya lebih merasa terbeban.
Dari hasil penelitian pada tingkat
kecemasan mahasiswa setelah diberikan
terapi musik terdapat persentase yang
cukup besar pada kategori cemas ringan
sebanyak 8 mahasiswa (50%), kecemasan
sedang terdapat 5 mahasiswa (31,25%)
dan mahasiswa yang tidak mengalami
kecemasan sebanyak 3 mahasiswa
(18,75%). Hal tersebut mengindikasikan
bahwa
responden
membutuhkan
dukungan dan mekanisme koping yang
tepat
dalam
menghadapi
skripsi
khususnya
saat
para
mahasiswa
mengalami
kecemasan.
Hal
ini
menunjukkan
penurunan
tingkat
kecemasan yang sebelum diberikan terapi
musik paling banyak adalah cemas
tingkat sedang turun menjadi tingkat
153
ringan, rata-rata penurunan tingkat
kecemasan 3,06 setelah dilakukan terapi
musik. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
musik dapat mengurangi ketegagan otot,
meningkatkan
endofrin,
Mengatur
hormon yang bisa menurunkan stress dan
kecemasan (Yuanitasari 2008). Musik
juga dapat merangsang sistem saraf
simpatis dan sistem saraf parasimpatis
yang akan mempengaruhi kontraksi dan
relaksasi organ-organ. Relaksasi dapat
merangsang hipotalamus sehingga timbul
ketenangan. Sebagai ejector dari rasa
rileks dan ketenangan yang timbul, akan
mengeluarkan Gamma Amino Butyric
Acid (GABA), enkhephalin, dan beta
endorphin.
Zat
tersebut
dapat
menimbulkan efek analgesia (Ganong,
2002).
Sehubungan dengan persentase
kecemasan ringan pada responden yang
dinilai cukup besar, maka dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar
mahasiswa masih mengalami kondisi
cemas.
Namun
mahasiswa
dapat
mengurangi atau bahkan tidak mengalami
kondisi cemas apabila selalu mendapat
dukungan emosional, dan menggunakan
mekanisme koping yang tepat dalam
mengatasi kecemasan salah satunya
dengan terapi musik.
Berdasarkan uji wilcoxon didapatkan
tingkat signifikansi (p) sebesar 0,007.
Menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
tingkat kecemasan mahasiswa sebelum
dan sesudah diberikan terapi musik di
STIKES dr. Soebandi Jember. Hasil
tersebut dibuktikan dengan tingkat
kecemasan yang dialami oleh responden
ketika sebelum diberikan terapi musik
lebih tinggi dibandingkan dengan cemas
yang dialami sesudah diberikan terapi
musik.
Artinya
terdapat
penurunan
tingkat kecemasan yang sangat bermakna
pada
responden.
Hampir
seluruh
responden
dengan
cemas
sedang
mengalami
penurunan
kecemasan
ketingkat yang lebih rendah yaitu tingkat
cemas ringan, bahkan terdapat mahasiswa
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
yang mengalami penurunan ke tingkat
tidak mengalami kecemasan. Pernyataan
tersebut mendukung tinjauan teori bahwa
terapi musik dapat digunakan untuk
mengatur hormon yang bisa menurunkan
stress dan kecemasan (Yuanitasari, 2008).
Cara
kerja
musik
dapat
mempengaruhi kondisi psikologis pasien
adalah musik dari korteks auditorius yang
terdapat pada korteks serebri, jaras
berlanjut ke sistem limbik, melalui
korteks
limbik.
Korteks
yang
mengelilingi srtuktur subkortikal limbik
ini berfungsi sebagai zona transisional
yang dilewati sinyal yang dijalarkan dari
sisi korteks ke dalam sistem limbik dan
juga kearah berlawanan. Dari korteks
limbik, impuls pendengaran dilanjutkan
ke
hipotalamus
yang
merupakan
pengaturan fungsi endokrin tubuh seperti
halnya banyak aspek perilaku emosional,
jaras pendengaran diteruskan ke formatio
retikularis sebagai penyalur impuls
menuju serat saraf otonom. Serat saraf
tersebut mempunyai dua sistem saraf
yaitu sistem saraf simpatis dan sistem
saraf parasimpatis (Prayogi 2009).
Kedua sistem ini mempengaruhi
kontraksi dan relaksasi organ. Relaksasi
dapat merangsang hipotalamus sehingga
timbul ketenangan. Sebagai ejector dari
rasa rileks dan ketenangan yang timbul,
akan mengeluarkan Gamma Amino
Butyric Acid (GABA), enkhephalin, dan
beta endorphin. Zat tersebut dapat
menimbulkan efek analgesia (Prayogi
2009). Musik dapat meningkatkan suatu
respon seperti endorphin, yang dapat
mempengaruhi suasana hati yang dapat
menurunkan kecemasan pasien. Dalam
penataan praktek, musik dapat membantu
pasien untuk rileks sebelum dan selama
prosedur pemicu kecemasan, perawatan
dan terapi yang berhubungan dengan
kecemasan (Prayogi 2009).
KESIMPULAN
Tingkat kecemasan mahasiswa sebelum
diberikan terapi musik di Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan dr. Soebandi Jember
154
sebagian besar adalah tingkat kecemasan
sedang.
1. Tingkat
kecemasan
mahasiswa
setelah diberikan terapi musik di
sekolah tinggi ilmu kesehatan dr.
Soebandi Jember sebagian besar
adalah tingkat kecemasan ringan.
2. Terdapat perbedaan antara tingkat
kecemasan mahasiswa sebelum dan
sesudah diberikan terapi musik di
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dr.
Soebandi Jember.
DAFTAR PUSTAKA
Bandiyah, S dan Lukaningsih, Z. 2011.
Psikologi Kesehatan. Yogyakarta:
Muha Medika.
Bassano, M. 2009. Terapi Musik dan
Warna. Yogyakarta: Rumpun.
Bisepta, P. 2009. Perbedaan Tingkat
Kecemasan Pada Pasien Preoperasi
Sebelum Dan Sesudah Diberikan
Terapi Musik Di Bangsal Bedah Rsd.
Balung Jember. Skripsi. Jember:
Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Negeri Jember.
Carpenito, L. 2006. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Djohan. 2006. Terapi Musik Teori dan
Aplikasi.Yogyakarta: Galangpress.
Ganong, WF. 2002. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Jakarta: EGC.
Guyton, AC & Hall, JE. 2002. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Hadidi, K. 2011. Pengaruh Terapi Musik
Terhadap Tingkat Perkembangan
Anak Usia Prasekolah Di Tk Aba
Kalisat Kabupaten Jember. Skripsi.
Jember: Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Negeri
Jember.
Hawari, D. 2013. Manajemen Stres
Cemas Dan Depresi. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Maslim, R. 2003. Buku Saku Diagnosis
Gangguan Jiwa. Jakarta: Nuh Jaya
Muttaqin, M. 2008. Seni Musik Klasik.
Jakarta: DEPDIKNAS.
Notoatmodjo, S. 2012. Metode Penelitian
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Pieter, H. & Lubis, N. 2012. Pengantar
Psikologi Dalam Keperawatan.
Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Potter, A. P & Perry G. A. 2005. Buku
ajar Fundamental Keperawatan :
Konsep, Proses, dan praktik edisi 4.
Jakarta : EGC.
Rasyid, F. 2010. Cerdaskan Anakmu
Dengan
Musik.
Yogyakarta:
DIVApress.
Setiawan, A dan Saryono. Metode
Penelitian Kebidanan. Yogyakarta:
Muha Medika.
Stuart, G W. 2007. Buku Saku
Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta:
EGC.
Sugiono.
2013.
Statistika
untuk
Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Wilkinson, J. 2007. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Yuanita, L. 2008. Terapi Musik untuk
Anak Balita. Yogyakarta: Cemerlang
Publising.
Rohmah, F. Efektivitas Musik Klasik
Dalam Menurunkan kecemasan
Matematika (Math Anxiety)Pada
Siswa Kelas XI. Skripsi. Yogyakarta:
Fakultas
Psikologi
Universitas
Ahmad Dahlan. Bersumber dari:
http://faridahainur.wordpress.com
(diakses 9 maret 2014).
155
HUBUNGAN TEKNIK MENYUSUI DENGAN TERJADINYA LECET
PUTING SUSU PADA IBU NIFAS DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PEMBANTU DESA TAMANSARI KECAMATAN
MUMBULSARI KABUPATEN JEMBER
Rizka Yuliatul H*, Kiswati**, Siti Mudawamah***
*, *** Progam Studi DIII Kebidanan STIKES dr. Soebandi Jember
**Poltekkes Kemenkes Malang
ABSTRAK
Menyusui adalah proses memberikan makanan pada bayi dengan menggunakan air susu
ibu langsung dari payudara ibu. Menurut WHO (2009) terdapat 35,6% ibu gagal menyusui
bayinya dan 20% diantaranya adalah ibu –ibu di Negara berkembang, sementara itu
berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 dijelaskan bahwa
67,5% ibu yang gagal memberikan ASI ekslusif kepada bayinya.Tujuan dari penelitian ini
adalah mengetahui adanya hubungan teknik menyusui dengan terjadinya lecet puting susu
pada ibu nifas di Wilayah Kerja Pustu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari
Kabupaten Jember. Jenis penelitian adalah analitik. Populasi dalam penelitian ini adalah
berjumlah 57 orang. Besar sampel yang digunakan 50 orang dengan teknik sampling
adalah purposive sampling. Data dianalis menggunakan komputer dengan Statistical
Product and Service Solution (SPSS) 16.0 for Windows. Hasil penelitian diperoleh
sebagain besar tehnik menyusui ibu nifas adalah salah adalah 27 (54%), mengalami
kejadian lecet 25 (50%). Berdasarkan analisis data diperoleh nilai x2 hitung (13.607) > x2
tabel (3.481), dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 < 0.05, sehingga pada penelitian ini
hipotesis diterima. Simpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara teknik
menyusui dengan terjadinya lecet puting susu pada ibu nifas di Pustu Desa Tamansari
Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember tahun 2014 dengan kekuatan hubungan
kategori cukup berarti atau sedang. Petugas kesehatan senantias memberikan penyuluhan
tentang tehnik menyusui untuk mengurangi resiko terjadinya lecet.
Kata kunci : Tehnik menyusui, kejadian lecet puting susu
PENDAHULUAN
Menyusui
adalah
proses
memberikan makanan pada bayi dengan
menggunakan air susu ibu langsung dari
payudara ibu (Depkes, 2006). Air susu
ibu (ASI) memiliki semua nutrisi yang
dibutuhkan bayi. Air susu Ibu (ASI)
adalah makanan terbaik bayi pada awal
usia kehidupan, hal ini tidak hanya
karena ASI mengandung cukup zat gizi
tetapi karena ASI mengandung zat
imunologik yang melindumgi bayi dari
infeksi praktek menyusui dinegara
berkembang
telah
berhasil
menyelamatkan sekitar 1,5 juta bayi
pertahun (Amirudin, 2006). ASI juga
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
memberikan
keuntungan
dalam
melindungi bayi terhadap penyakit seperti
diare, pneumonia, diabetes dan kanker.
Dengan menghisap ASI, bayi menjadi
lebih dekat dengan ibu, membantunya
merasa aman dan dilindungi (Thompson,
2008).
Meskipun menyusui dan ASI sangat
bermanfaat, namun belum terlaksana
sepenuhnya, diperkirakan 85% ibu-ibu di
dunia tidak memberikan ASI secara
optimal. Menurut WHO (2009) terdapat
35,6% ibu gagal menyusui bayinya dan
20% diantaranya adalah ibu –ibu di
Negara berkembang, sementara itu
berdasarkan data dari Riset Kesehatan
156
Dasar (Riskesdas) tahun 2010 dijelaskan
bahwa 67,5% ibu yang gagal memberikan
ASI ekslusif kepada bayinya.
Masalah yang tersering dalam
post partum adalah Puting susu nyeri /
lecet, sekitar 57% dari ibu yang post
partum dilaporkan pernah menderita
kelecetan pada putingnya. Kebanyakan
Puting nyeri atau lecet disebabkan oleh
kesalahan dalam teknik post partum yaitu
bayi tidak menyusu sampai kekalang
payudara. (Soetjningsih, 1997). Sering
kali kegagalan post partum disebabkan
karena kesalahan memposisikan dan
melekatkan
bayi
(Suradi,
2008).
Berdasarkan survei UNICEF, ibu yang
menyusui bayinya dengan ASI eksklusif
38%, di Amerika sekitar 75%, jumlah di
Indonesia yaitu sekitar 7,8%, sedangkan
di Jawa Timur wilayah perkotaan 4 12%, sedangkan dipedesaan 4 – 25%.
Sedangkan di wilayah Jember persentase
66.37% ibu yang menyusui bayinya
dengan ASI eksklusif.
Teknik menyusui yang baik dan
benar adalah apabila areola sedapat
mungkin semuanya masuk ke dalam
mulut bayi, tetapi hal ini tidak mungkin
dilakukan pada ibu yang kalang
payudaranya besar. Untuk ini, maka
sudah cukup bila rahang bayi supaya
menekan tempat penampungan air susu
(sinus laktiferus) yang terletak dipuncak
areola di belakang puting susu. Teknik
salah, yaitu apabila bayi menghisap pada
puting saja, karena bayi hanya dapat
menghisap susu sedikit dan pihak ibu
akan timbul lecet-lecet pada puting susu
(Kristiyanasari, 2009). Pada sebagian ibu
yang tidak paham bagaimana teknik
menyusui yang benar dapat menjadi
masalah dalam menyusui. Adapun
masalah dalam menyusui adalah puting
susu lecet, payudara bengkak, abses
payudara (mastitis) (Sulystyawati, 2009).
Teknik menyusui yang tidak benar dapat
mengakibatkan puting susu menjadi lecet,
ASI tidak keluar optimal sehingga
mempengaruhi produksi ASI selanjutnya
atau bayi enggan menyusu. Untuk itu,
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
seorang ibu butuh seseorang yang dapat
membimbingnya dalam merawat bayi
termasuk dalam menyusui. Orang yang
dapat membantunya adalah orang yang
berpengaruh besar dalam kehidupannya
atau yang disegani, seperti suami,
keluarga/kerabat terdekat dan perlu
dibina kelompok pendukung ASI di
lingkungan masyarakat yang dapat
menjadi saranap endukung ibu agar dapat
menyusui bayinya dengan baik dan di
bantu oleh tenaga kesehatan, serta
diperlukan pengetahuan mengenai teknikteknik yang benar (Mansjoer, 2001 :
323). Dalam menyusui usahakan
sebagian besar areola dapat masuk
kemulut bayi, sehingga puting susu
berada dibawah langit-langit da nlidah
bayi akan menekan ASI keluar dari
tempat penampungan ASI yang terletak
di bawah areola (Kristiyansari, 2009 :
44). Oleh karena itu, apabila ibu hamil
kurang mengetahui tentang teknik
menyusui yang benar, maka akan timbul
masalah seperti puting susu lecet,
payudara bengkak, air susu tersumbat.
Sebagaimana dilaporkan pada tahun 2013
dari 118 ibu menyusui di Desa Tamansari
kecamatan
Mumbulsari
Kabupaten
Jember yang pernah menderita kelecetan
pada putingnya ada 43 (36.44%) orang,
dan pada tahun 2014 dari bulan januari –
juni dari 57 ibu menyusui terdapat 8
(14.04%) ibu menyusui yang pernah
menderita kelecetan pada putingnya.
Berdasarkan data yang sudah di peroleh
maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan hubungan teknik
menyusui dengan terjadinya lecet puting
susu pada ibu nifas di Wilayah Kerja
Puskesmas Pembantu Desa Tamansari
Kecamatan
Mumbulsari
Kabupaten
Jember.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian adalah usaha
merencanakan dan menentukan segala
kemungkinan dan perlengkapan yang
diperlukan dalam suatu penelitian
(Moleong, 2002).
157
Rancangan penelitian yang digunakan
adalah korelasi dengan pendekatan
retrospektif. Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah teknik menyusui,
variabel terikat adalah terjadinya lecet
puting susu pada ibu nifas.
Populasi adalah semua ibu nifas yang
memiliki bayi hidup di Puskesmas
Pembantu Desa Tamansari Kecamatan
Mumbulsari
Kabupaten
Jember
berjumlah 57 orang. Sampel penelitian
dalam penelitian ini adalah ibu nifas yang
memiliki bayi dengan kriteria sebagai
berikut:
a) Ibu nifas yang menyusui
b) Ibu nifas yang mengalami lecet
puting susu
c) Ibu nifas yang belum megalami
lecet pada puting susu
d) Bersedia menjadi
responden
penelitian dan menandatangani
inform consent.
Teknik sampling yang digunakan
adalah
sampel
kuota.
Sampling
kuota adalah teknik untuk menentukan
sampel dari populasi yang mempunyai
ciri-ciri tertentu sampai jumlah kuota
yang diinginkan (Sugiyono, 2011). Besar
sampel dalam penelitian ini ditentukan
berdasarkan rumus Slovin yaitu sebesar
50.
Ibu Nifas di Pustu Desa Tamansari
Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember
tahun 2014
Persentase
No Pendidikan Frek
(%)
1
Dasar
33
66.0
2
Menengah 16
32.0
3
Tinggi
1
2.0
Jumlah
50
100
Sumber : Data primer diolah tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui
bahwa pendidikan ibu nifas adalah SD 3
(6%), SMP 30 (60%), SMA 16 (32%), dan
Perguruan Tinggi 1 (2%).
HASIL PENELITIAN
A. Data Umum
B. Data Khusus
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Tehnik
Menyusui Ibu Nifas
di Pustu Desa
Tamansari
Kecamatan
Mumbulsari
Kabupaten Jember tahun 2014
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Usia Ibu
Nifas di Pustu Desa Tamansari Kecamatan
Mumbulsari Kabupaten Jember tahun 2014
No
Usia
Frek
Persentase
(%)
1
18-24 Th
12
24.0
2
25-31 Th
28
56.0
3
32- 38 Th
10
20.0
Jumlah
50
100
Sumber : Data primer diolah tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui
bahwa
usia ibu nifas adalah 18-24 Tahun 12
(24%), 24-30 Tahun 28 (56%), dan 32- 38
Tahun 10 (20%).
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pendidikan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Tabel 5.3
Distribusi
Frekuensi
Pekerjaan Ibu Nifas di Pustu Desa Tamansari
Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember
tahun 2014
Persentase
No Pekerjaan
Frek
(%)
1
PNS
1
2.0
2
Buruh
14
28.0
3
Petani
6
12.0
Wiraswasta
4
21
42.0
5
IRT
8
16.0
Jumlah
50
100
Sumber : Data primer diolah tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui
bahwa pekerjaan ibu nifas adalah PNS 1
(2%), Buruh 14 (28%), Petani 6 (12%,
wiraswasta 21 (42%), dan IRT 8 (16%)
Tehnik
Menyusui
1
Benar
2
Salah
Jumlah
No
Frek
23
27
50
Pers (%)
46.0
54.0
100
Sumber : Data primer diolah tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui
bahwa tehnik menyusui ibu nifas benar 23
(46%), dan salah 27 (54%).
Tabel 5.5
Distribusi
Frekuensi
Kejadian Lecet Ibu Nifas di Pustu Desa
Tamansari
Kecamatan
Mumbulsari
Kabupaten Jember tahun 2014
158
Kejadian
Lecet
1
Lecet
2
Tidak Lecet
Jumlah
No
Frek
Pers (%)
25
25
50
50.0
50.0
100
Sumber : Data primer diolah tahun 2014
Berdasarkan gambar 5.1 dapat
diketahui 25 (50%) ibu nifas mengalami
kejadian lecet dan 25 (50%) ibu nifas tidak
mengalami lecet pada puting susu
Tabel 5.5
Diagram lingkaran Tehnik
Menyusui Ibu Nifas dengan Kejadian
Lecet pada Puting Susu di Pustu Desa
Tamansari
Kecamatan
Mumbulsari
Kabupaten Jember tahun 2014
Kejadian lecet
Tehnik menyusui
Lecet ∑
Lecet %
Tidak Lecet ∑
Tidak Lecet %
Jumlah ∑
Berdasarkan gambar 5.1 dapat
diketahui bahwa dari 25 ibu nifas yang
mengalami lecet pada puting susu sebesar
40% karena tehnik menyusuinya salah
dan 10% karena tehnik menyusuinya
benar. Sementara ibu nifas yang tidak
mengalami lecet pada puting susu
berjumlah 25 orang diantara 36% karena
tehnik menyusuinya benar dan 14% salah
dalam menyusui. Berdasarkan uji chi
square data diperoleh hasil bahwa nilai x2
hitung (13.607) > x2 tabel (3.481),
signifikansi sebesar 0.000 < 0.05, nilai
koifisien kongtingensi sebesar 0.463.
PEMBAHASAN
Menyusui adalah proses memberikan
makanan pada bayi dengan menggunakan air
susu ibu langsung dari payudara ibu. Tehnik
menyusui adalah cara memberikan ASI
kepada bayi dengan perlekatan dan posisi
ibu dan bayi dengan benar. Berdasarkan
hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar tehnik menyusui ibu nifas
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
adalah salah adalah 27 (54%). Teknik
menyusui yang salah. Teknik menyusui
yang baik dan benar adalah apabila areola
sedapat mungkin semuanya masuk ke
dalam mulut bayi, tetapi hal ini tidak
mungkin dilakukan pada ibu yang
areolanya besar. Untuk ini, maka sudah
cukup bila rahang bayi supaya menekan
tempat penampungan air susu (sinus
laktiferus) yang terletak dipuncak areola
di belakang puting susu. Teknik salah,
yaitu apabila bayi menghisap pada puting
saja, karena bayi hanya dapat menghisap
susu sedikit dan pihak ibu akan timbul
lecet-lecet
pada
puting
susu
(Kristiyansari, 2009 : 44).
Responden yang dapat melakukan
teknik menyusui yang benar didasarkan
pada taraf pendidikan dan pengetahuan
yang baik. Perilaku ibu dalam menyusui
sangat erat kaitannya dengan beberapa
faktor yang mempengaruhi perilaku
tersebut seperti usia, pendidikan, dan
pekerjaan.
Berdasarkan usia diperoleh hasil
bahwa usia nifas adalah 25-31 Tahun
28 (56%). Menurut Notoatmodjo (2007)
yang
mengatakan
bahwa
usia
mempengaruhi terhadap daya tangkap
dan pola pikir seseorang. Semakin
bertambah
usia
akan
semakin
berkembang pula daya tangkap dan pola
pikirnya, sehingga pengetahuan yang
diperolehnya semakin membaik, akan
tetapi
pada
umur-umur
tertentu
bertambahnya proses perkembangan
mental ini tidak secepat seperti ketika
berumur belasan tahu. Usia menunjukkan
pengalaman hidup seseorang, semakin
tua usia seseorang memungkinkan akan
semakin banyak pengalaman hidup yang
diperoleh.
Pengalaman-pengalamn
tersebut yang nantinya akan menjadi
dasar bagi ibu nifas dalam berperilaku.
Selain usia, perilaku menyusui juga
erat kaitannya dengan pendidikan
seseorang. Berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa sebagian pendidikan ibu
nifas adalah
SMP 30 (60%). SMP
termasuk kategori pendidikan dasar.
159
Dalam pendidikan terdapat transfer
informasi, semakin banyak informasi
yang diperoleh makan akan semakin baik
pula pengatahuan ibu. Pengetahuan ini
yang pada gilirannya akan mendasari ibu
dalam berperilaku. Seseorang cenderung
berperilaku sesuai dengan apa yang
diketahuinya.
Faktor terakhir adalah pekerjaan.
Pekerjaan merupakan pengorbanan waktu
untuk memperoleh hasil berupa materi.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
bahwa sebagian pekerjaan ibu nifas
adalah wiraswasta 21 (42%). Ibu yang
bekerja cenderung memiliki waktu yang
sedikit
untuk
meningkatkan
pengetahuannya sebab sebagian besar
waktu ibu digunakan untuk bekerja.
Berdasarkan
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa 50% responden
mengalami lecet puting susu dan 50%
yang tidak mengalami lecet puting susu.
Hasil penelitian sesuai dengan pendapat
Kristiyansari, (2009) Ibu yang mengalami
lecet puting susu disebabkan karena
teknik menyusui yang salah, tapi dapat
juga disebabkan oleh thrush (candidates)
atau dermatitis. Hal ini sesuai dengan
teori yang menyatakan bahwa sebagian
besar areola dapat masuk ke mulut bayi,
sehingga puting susu berada dibawah
langit-langit dan lidah bayi akan menekan
ASI keluar dari tempat penampungan
ASI yang terletak dibawah areola.
Apabila bayi hanya menghisap pada
puting saja, maka akan mengakibatkan
puting lecet.
Kejadian lecet pada puting susu
tidak hanya disebabkan karena tehnik
menyusui yang salah, karena perawatan
payudara dan daya isap bayi turut serta
menyebabkan kejadian lecet pada puting
susu. Menyusui secara rutin sesuai
dengan kebutuhan bisa mambantu
mengurangi pengerasan, tetapi jika bayi
sudah menyusui dengan baik dan sudah
mencapai berat badan ideal, ibu mungkin
harus
melakukan
sesuatu
untuk
mengurangi tekanan pada payudara.
Sebagi contoh, merendam kain dalam air
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
hangat dan kemudian di tempelkan pada
payudara atau mandi dengan air hangat
sebelum menyuusi bayi. Mungkin ibu
juga bisa mengeluarkan sejumlah kecil
ASI sebelum menyusui, baik secara
manual atau dengan menggunakan pompa
payudara. Untuk pengerasan yang parah,
gunakan kompres dingin atau es kemasan
ketika tidak sedang menyusui untuk
mengurangi rasa tidak nyaman dan
mengurangi pembengkakan.
Selain perawatan payudara tehnik
menyusui yang salah juga berperan besar
terjadinya lecet pada puting susu. Tehnik
menyusui yang benar yaitu sebelum
menyusui, keluarkan ASI dan oleskan di
sekitar areola. Ini sebagai desinfektan dan
menjaga kelebaban puting susu, Letakkan
bayi menghadap perut ibu/payudara,
Pegang payudara dengan ibu jari di atas
dan jari yang lain di bawah, jangan
menekan puting susu (hanya areolanya
saja), Merangsang bayi agar membuka
mulut dengan cara menyentuh sisi mulut
bayi dengan puting susu, Setelah bayi
membuka mulut dengan cepat masukkan
payudara ke dalam mulut bayi, dan
usahakan semua areola masuk kedalam
mulut bayi. Setelah bayi mulai
menghisap tidak perlu menyangga
payudara lagi.
Selain
itu,
responden
yang
mengalami lecet puting susu, mungkin
karena sebelumnya responden tidak
pernah mendapatkan informasi tentang
masalah-masalah
dalam
menyusui,
sehingga responden mengalami masalah
tersebut. Sedangkan responden yang
tidak mengalami lecet puting susu, hal ini
mungkin disebabkan karena responden
pernah melihat pengalaman dari teman
atau saudaranya atau bahkan dari petugas
kesehatan yang memberikan informasi
dalam bentuk penyuluhan. Terjadinya
lecet puting susu pada responden
dilatarbelakangi oleh pengalaman dan
informasi yang pernah didapatkannya.
Lingkungan
memberikan
pengaruh
pertama
bagi
seseorang,
dimana
seseorang dapat mempelajari hal-hal yang
160
baik juga dan juga hal-hal yang buruk
tergantung pada pada sifat kelompoknya.
Maka dari itu responden harus memiliki
kemampuan untuk mengolah informasi
yang diberikan oleh petugas kesehatan
melalui penyuluhan-penyuluhan masalah
menyusui.
Berdasarkan
hasil
penelitian
diketahui bahwa bahwa dari 25 ibu nifas
yang mengalami lecet pada puting susu
sebesar 40% karena tehnik menyusuinya
salah
dan
10%
karena
tehnik
menyusuinya benar. Sementara ibu nifas
yang tidak mengalami lecet pada puting
susu berjumlah 25 orang diantara 36%
karena tehnik menyusuinya benar dan
14% salah dalam menyusui. Berdasarkan
uji analisa data diperoleh hasil bahwa
nilai x2 hitung (13.607) > x2 tabel
(3.481), dengan nilai signifikansi sebesar
0.000 < 0.05, sehingga pada penelitian ini
hipotesis diterima, artinya ada hubungan
antara teknik menyusui dengan terjadinya
lecet puting susu pada ibu nifas di Pustu
Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari
Kabupaten
Jember
tahun
2014.
Sementara berdasarkan nilai koifisien
kongtingensi sebesar 0.463, artinya
keeratan hubungan antara tingkat
pengetahuan ibu tentang teknik menyusui
dengan terjadinya lecet puting susu pada
ibu nifas berada pada kategori cukup
berarti atau sedang.
Hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Kristiyansari (2009)
bahwa sebagian besar areola mamme
harus sedapat mungkin masuk ke mulut
bayi, sehingga puting susu berada
dibawah langit-langit dan lidah bayi akan
menekan ASI keluar dari tempat
penampungan ASI yang terletak dibawah
areola. Apabila bayi hanya menghisap
pada
puting
saja,
maka
akan
mengakibatkan lecet puting susu.
Teknik menyusui yang tidak benar
dapat mengakibatkan puting susu
menjadi lecet, ASI tidak keluar optimal
sehingga mempengaruhi produksi ASI
selanjutnya atau bayi enggan menyusu.
Upaya yang dapat dilakukan untuk
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
meningkatkan
pelaksanaan
teknik
menyusui yang baik adalah dengan
pemberian
pendidikan/
penyuluhan
kesehatan yang dilakukan oleh peneliti
dan petugas kesehatan terutama tentang
teknik
menyusui
yang
benar dan masalah yang terjadi jika
teknik menyusui ibu nifas kurang. Agar
ibu nifas juga lebih memperhatikan
masalah dalam menyusui, dan dimana
mereka akhirnya akan berupaya untuk
dapat melaksanakan teknik menyusui
yang baik.
Keadaan
diatas
menunjukkan
bahwa pelaksanaan teknik menyusui yang
salah dapat mengakibatkan terjadinya
lecet puting susu atau masalah lain dalam
menyusui, tetapi lecet puting susu dapat
juga
disebabkan
oleh
perawatan payudara yang salah misalnya
membasuh payudara terutama puting susu
dengan menggunakan sabun, thrush
(candidates), dan dermatitis.
KESIMPULAN
Tehnik menyusui ibu nifas di di
Pustu Desa Tamansari Kecamatan
Mumbulsari Kabupaten Jember sebagian
besar adalah salah adalah 27 (54%).
Kejadian lecet pada ibu nifas di
Pustu Desa Tamansari Kecamatan
Mumbulsari Kabupaten Jember 50%
adalah lecet.
Berdasarkan uji analisa data
diperoleh hasil bahwa nilai x2 hitung
(13.607) > x2 tabel (3.481), dengan nilai
signifikansi sebesar 0.000 < 0.05,
sehingga pada penelitian ini hipotesis
diterima, artinya ada hubungan antara
teknik menyusui dengan terjadinya lecet
puting susu pada ibu nifas di Pustu Desa
Tamansari
Kecamatan
Mumbulsari
Kabupaten Jember tahun 2014 dengan
keratan hubungan berada pada kategori
cukup berarti atau sedang.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, R. 2006. Susu Formula
Menghambat
Pemberian
ASI
Eksklusif pada Bayi 6-11 Bulan. Di
161
ambil Tanggal 5 Oktober 2010.
http://www.artikeilmiah.com.html
Asih, Rianti. 2010. Gambaran Pemberian
ASI Eksklusif pada Balita di
Posyandu Sehat Sejahtera Desa
Tanggungharjo Lamongan. Diakses
tanggal 14 Juli 2014. Dari:
http://www.jptunair.com/45html.
Bobak, dkk.
2004. Buku Ajar
Keperawatan Maternitas. Jakarta:
EGC.
Danuatmaja, Bonny. 2003. 40 Hari
Pasca Persalinan, Masalah dan
Solusinya. Cetakan I. Jakarta :
Puspa Swara.
Djamaludin, dkk, 2010. Panduan Pintar
Merawat Bayi dan Balita. Wahyu
Media. Jakarta
Depkes RI, 2003. Indikator Indonesia
Sehat
2010
dan
Pedoman
Penetapan. Indikator Provinsi
Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat.
Jakarta
Depkes RI.2006.
Pedoman
Umum
Pengelolaan Posyandu. Jakarta
Hanyow,
2008.
ASI
Eksklusif
Terjemahan, New Jersey
Khasanah, Nur. 2011. ASI atau Susu
Formula ya ?. Jogjakarta :
FlashBook.
Kristiyansari, W., 2009. ASI:Menyusui
dan Sadari. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Mansjoer, Arief. 2001, Kapita Selekta
Kedokteran 1, Buku Kedokteran ,.
EGC, Jakarta
Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan
Anak dalam Kebidanan, Jakarta:
CV. Trans Info.
Moleong, Lexy. 2002. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT. remaja
Rosdakarya
Mochtar, Rustam. 2008 .Sinopsis obstetri
: obstetri operatif, obstetri sosial,
jilid. 2. Jakarta: EGC
Nana Syaodih S. 2009. Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung: Rosdakarya
Notoatmodjo, Soekidjo . 2005. Metode
penelitian
kesehatan.
Jakarta:
Rineka
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Notoatmodjo,
Soekidjo. 2010.
Ilmu
Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT
Rineka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi
Kesehatan dan Ikmu Perilaku.
Jakarta:. Rineka
Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan
Metode
Penelitian
Ilmu
Keperawatan: Pedoman Skripsi,
Tesis, dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta. Salemba
Medika
Roesli, Utami.2001. Bayi Sehat Berkat
ASI Eksklusif. Jakarta: PT Elex
Komputindo.
Siregar, Charles. JP., 2004. Farmasi
Rumah Sakit Teori dan Penerapan.
Cetakan. I, Jakarta. Penerbit EGC,
Soetjiningsih. 1997. ASI Petunjuk Untuk
Tenaga Kesehatan. Jakarta: EGC.
Soetjiningsih, 2003. ASI Petunjuk Untuk
Tenaga Kesehatan. Jakarta: EGC
Sugiyono, 2008. Metode Penelitian
Kunatitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung. Alfabeta
Sulistyawati,
Ari.
2009.
Asuhan
Kebidanan pada Ibu Nifas,
Yogyakarta: Andi
Suradi & Kristina (Ed). 2004.
Manajemen Laktasi Cetakan ke 2.
Jakarta:
Program
Manajemen
Laktasi Perkumpulan Perinatologi
Indonesia
Wadsworth, Thomson et al, 2005..
Nutrition through the life cycle. 2nd
edition. USA
Winkjosastro, 2002. Ilmu Kandungan,
Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirorahardjo
Cara Merawat Payudara Bagi Ibu
Menyusui. Diakses pada tanggal 12
September 2014 dari www.
http://pondokibu.com/caramerawat-payudara-bagi-ibumenyusui.html
162
GAMBARAN KENAIKAN BERAT-BADAN IBU AKSEPTOR KB SUNTIK 3
BULAN DI PUSKESMAS PEMBANTU KEBONSARI
KABUPATEN JEMBER
Nanik Fitriyah*, Mussia**, Nur Riska Rahmawati***
*, **, *** Progam Studi DIII Kebidanan STIKES dr. Soebandi Jember
ABSTRACT
One of the side effects of the three-monthly injective contraceptive device is the increase on
the acceptor’s body weight. The DMPA injective contraceptive device may stimulate the
control center of hypothalamus appetite that causes a person to eat more than usual
portion which allows her to gain weight. The constant increase will cause overweight or
obesity which, in turn, causing several chronic diseases like Diabetes Mellitus,
hypertension, stroke and cardiac attack. This research is designed as a descriptivequantitative one. Results ofthe research reveal that the average increase of body weight is
4,5 kilograms;while the value of the median of body weight increase is 55 kilograms; and
the modus of the body weight increase is 5 kilograms. The conclusion of this research
states that body weight increase is stimulated by a raise on progesterone hormone
incurred in the three-monthly injective contraceptive device, altough there are several
other factors to contribute to one’s body weight increase like physical activities and food
intake, respectively.
Key word: body weight, injective contraceptive
PENDAHULUAN
Program KB bukan saja untuk
mengatur kelahiran tetapi mempunyai
konstribusi terhadap penurunan Angka
Kematian Ibu (AKI). Tingginya AKI
disebabkan oleh terlalu muda, terlalu tua,
terlalu sering, dan terlalu banyak
melahirkan, untuk mencegah empat
terlalu
tersebut,
pemerintah
menganjurkan kepada Pasangan Usia
Subur (PUS) untuk menggunakan
kontrasepsi.Kontrasepsi yang paling
populer di Indonesia adalah kontrasepsi
suntik jenis Depo Medroksi Progesteron
Asetat (DMPA) karena memiliki angka
kegagalan yang rendah (0,7%), dan tidak
berpengaruh pada hubungan suami istri.
Worl Health Organization (WHO)
mengatakan bahwa jumlah pengguna
kontrasepsi suntik yaitu sebanyak
4.000.000 orang. Menurut Departemen
Kesehatan 2011, menunjukkan bahwa
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
prevalensi pengguna kontrasepsi di
indonesia 75,96%, alat atau cara
kontrasepsi yang dominan dipakai adalah
suntik (46,47%), pil (25,81%), IUD
(11,28%), implant (8,82%), MOW
(3,49%), MOP (0,71%), dan kondom
(2,96%).
Hasil survey BKKBN Propinsi
Jawa Timur bulan Desember 2010
diketahui sebanyak 955,336 seluruh
akseptor, presentase metode KB yang
digunakan meliputi KB suntik (56,50%),
pil (24,00%), AKDR (8,50%), implant
(5,40%), kondom (3,90%), MOW
(1,40%), dan MOP (0,40%). Pemakaian
alat kontrasepsi aktif di Jember pada
tahun 2012 adalah KB Suntik sebesar
(50,38%), Pil (31,81%), IUD (11,04%),
Implant (4,90%), MOW (1,13%), MOP
(0,13%), Kondom (0,60%). (DINKES
Kab. Jember, 2012).
163
Berdasar kan data dari Dinas
Kesehatan Kota Jember di Kecamatan
Sumbersari Puskesmas Gladak pakem
pada tahun 2012 menduduki angka
tertinggi
dalam
pemakaian
alat
kontrasepsi suntik yaitu sebesar 76,36%.
(DINKES Kab. Jember, 2012). Dari data
yang diperoleh dari Puskesmas Gladak
Pakem pada tahun 2013 akseptor KB
suntik di daerah Kebonsari Kecamatan
Sumbersari sebanyak 3319 akseptor,
sedangkan pada tahun 2014 di Puskesmas
Pembantu (januari – agustus) sebanyak
112 akseptor.
Kontrasepsi suntik 3 bulan dapat
menyebabkan kenaikan berat badan.
Kenaikan berat badan yang terus menerus
akan menyebabkan kegemukan atau
obesitas yang dapat memicu timbulnya
beberapa penyakit kronis diantaranya
Diabetes Melitus, hipertensi, stroke dan
serangan jantung. Kontrasepsi suntik
DMPA
dapat
merangsang
pusat
pengendali nafsu makan hipotalamus
sehingga menyebabkan akseptor makan
lebih banyak dari biasanya dan
berdampak pada kenaikan berat badan.
Umumnya pertambahan Berat-badan
tidak terlalu besar, bervariasi antara
kurang dari 1-5 kg pada tahun pertama.
Meskipun begitu, tidak semua akseptor
mengalami kenaikan berat- badan secara
berlebih, tergantung reaksi tubuh
akseptor tersebut terhadap metabolisme
progesteron. (Hanafi, 2002 : Hal: 171).
Berdasarkan
latar
belakang
tersebut penulis tertarik untuk meneliti
lebih jauh mengenai Gambaran Kenaikan
Berat-Badan Ibu Akseptor KB Suntik 3
Bulan
di
Puskesmas
Pembantu
Kebonsari.
METODELOGI PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah menggunakan
jenis penelitian kuantitatif, sesuai dengan
namanya, penelitian kuantitatif banyak
dituntut menggunakan angka, mulai dari
pengumpulan data, penafsiran terhadap
data tersebut, serta penampilan terhadap
hasilnya. Demikian juga pemahaman
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
akan simpulan penelitian akan lebih baik
apabila juga disertai dengan tabel, grafik,
bagan, gambar atau tampilan lain.
(Arikunto : 2010).
HASIL
1. Karakteristik responden berdasarkan
pekerjaan
Tabel 4.2 Distribusi Responden
Berdasakan Pekerjaan di Puskesmas
Pembantu
Kebonsari
Kabupaten
Jember pada Tahun 2014.
No
Pekerjaan
1.
Di dalam
ruangan
Di luar
ruangan
Jumlah
2.
Frekue
nsi
44
Persenta
se (%)
83
9
17
53
100
Sumber: Data Primer Tahun 2014.
Berdasarkan tabel 4.2 tersebut dapat
diketahui
jumlah
responden
berdasarkan pekerjaan
di dalam
ruangan sebanyak 44 (83%), dan yang
berdasarkan pekerjaan di luar ruangan
sebanyak 9 responden (17%).
2. Karakteristik Responden Berdasarkan
Kebiasaan Pola makan
Tabel 4.3
Distribusi Responden
Berdasarkan Kebiasaan Pola makan di
Puskesmas
Pembantu
Kebonsari
Kabupaten Jember pada Tahun 2014.
No
1.
2.
3.
4.
Kebiasaan
pola
makan
1X/hari
2X/hari
3X/hari
>3X/hari
Jumlah
Frekuensi
0
0
49
4
53
Persen
tase(%)
0
0
92.4
7.5
100
Sumber: Data Primer.
Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui
kebiasaan pola makan responden untuk
1X/hari sebanyak 0 (0%), 2X/hari
sebanyak 0 (0%), 3X/hari 49 (92.4%),
untuk responden yang pola makan nya
>3X/hari sebanyak 4 (7.5%).
164
3. Karakteristik responden berdasarkan
kebiasaan camilan
Tabel 4.4 Distribusi Responden
Berdasarkan
Kebiasaan
Makan
Camilan di Puskesmas Pembantu
Kebonsari Kabupaten Jember pada
Tahun 2014.
No
1.
2.
Kebiasaan
camilan
Ada
Tidak ada
Jumlah
Frekuensi
53
0
53
Persent
ase (%)
100
0
100
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Berdasarkan tabel 4.4 dapat
diketahui rata-rata responden mempunyai
kebiasaan memakan camilan sebanyak 53
responden
(100%),
yang
tidak
mengkonsumsi camilan sebanyak 0
responden (0%).
4. Karakteristik responden berdasarkan
kebiasaan olahraga
Tabel 4.5 Distribusi Responden
Berdasarkan Kebiasaan Olahraga di
Puskesmas
Pembantu
Kebonsari
Kabupaten Jember pada tahun 2014.
No
Olahraga
1.
2.
Iya
Tidak
pernah
Jumlah
Frekuensi
3
50
Persentase
(%)
2
94.3
53
100
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Berdasarkan tabel 4.5 dapat
diketahui responden yang mempunyai
kebiasaan olahraga sebanyak 3 responden
(2%), yang tidak pernah olahraga
sebanyak 50 responden (94.3%).
5. Karakteristik responden berdasarkan
kenaikan berat-badan di Puskesmas
Pembantu Kebonsari Kabupaten
Jember pada Tahun 2014.
Tabel
4.6 Distribusi Responden
Berdasarkan rata-rata Kenaikan Beratbadan pada Akseptor KB Suntik 3 bulan
di Puskesmas Pembantu Kebonsari
Kabupaten Jember pada Tahun 2014.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
No.
Kenaikan
1.
2.
3.
4.
5.
3kg
4kg
5kg
6kg
7kg
Jumlah
Frekuensi
6
19
25
1
2
53
Persenta
se (%)
11.3
35.8
47.1
1.8
3.7
100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 4.6 tersebut
dapat diketahui rata-rata kenaikan beratbadan untuk kenaikan berat-badan 3 kg
sebanyak 6 responden, untuk kenaikan
berat-badan 4 kg sebanyak 19 responden,
untuk kenaikan berat-badan 5 kg
sebanyak 25 responden, untuk kenaikan
berat badan 6 kg sebanyak 1 responden
dan untuk kenaikan berat-badan 7 kg
sebanyak 2 responden. Dihitung suntikan
ke-8 dikurangi Berat-badan sebelum di
suntik pertama kali.
PEMBAHASAN
A. Gambaran Penggunaan KB DMPA
Terhadap Kenaikan Berat-badan
Berdasarkan
hasil
penelitian
tentang gambaran kenaikan berat-badan
akseptor KB suntik 3 bulan di Puskesmas
Pembantu Kebonsari Kabupaten Jember
menunjukkan terjadinya kenaikan beratbadan rata-rata 4,5 kg dan nilai beratbadan yang sering muncul adalah 5 kg
sebanyak 25 responden (47.1%).
Suntik 3 bulan adalah alat
kontrasepsi yang berisi DMPA ( Depo
medroxy progesteron asetate) suntik
DMPA juga berisi hormon progesteron
dimana hormon progesteron dapat
mempermudah perubahan karbohidrat
dan gula menjadi lemak, sehingga lemak
dibawah kulit bertambah, selain itu
hormon progesteron juga menyebabkan
nafsu makan bertambah dan dan
menurunkan aktifitas fisik, akibatnya
pemakaian suntikan dapat menyebabkan
165
berat-badan bertambah (Koes irianto
2012).
Dalam
penggunaan
jangka
panjang DMPA (hingga dua tahun) turut
memicu terjadinya peningkatan berat
badan, kanker, kekeringan pada vagina,
gangguan emosi, dan jerawat karena
penggunaan hormonal yang lama dapat
mengacaukan keseimbangan hormon
estrogen dan progesteron dalam tubuh
sehingga
mengakibatkan
terjadi
perubahan sel yang normal (Saifuddin,
2006). Kenaikan berat-badan selain
dipicu oleh hormon progesteron ditambah
lagi disebabkan oleh faktor eksternal
yaitu aktifitas fisik dan nutrisi.
Menurut Hartanto (2004) periode
usia istri 20-35 tahun ini merupakan
periode usia paling baik untuk
melahirkan, dengan jumlah anak 2 orang
dan jarak antara kelahiran adalah 2-4
tahun. Pada masa usia ini perempuan
sedang ada pada masa puncak kesuburan
pada masa puncak ini perempuan akan
lebih peka dan sensitif dan pada usia
subur ini perempuan akan mengalami
peningkatan berat-badan. Pada usia ini
juga sangat cocok bagi wanita untuk
hamil dan melahirkan karena organ
reproduksinya yang masih berfungsi
dengan baik. Pada usia ini diperlukan
jenis kontrasepsi yang mempunyai
efektivitas cukup tinggi, reversibilitas
cukup tinggi karena peserta masih
mengharapkan punya anak lagi, dapat
dipakai 2-4 tahun yaitu sesuai dengan
jarak kehamilan anak yang direncanakan.
Diperkuat dengan hasil penelitian
pada tabel 4.1 yang dilakukan terhadap
akseptor KB DMPA didapatkan hasil
pada penambahan berat-badan terjadi
pada usia 20-35 tahun. Pemilihan KB
DMPA
adalah
pilihan
rasional
dibandingkan dengan KB lainnya selain
cocok untuk usia ini, KB DMPA cukup
ekonomis sehingga dapat terjangkau
disemua lapisan masyarakat. Hal inilah
yang menjadi alasan mengapa pada usia
lebih dari 30 tahun, dengan jumlah 2 anak
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
lebih memilih KB DMPA dibandingkan
dengan jenis KB lainnya.
Pekerjaan dan aktifitas olahraga
sangat
erat
kaitannya
dengan
penambahan berat-badan pada table 4.2
dan 4.5 hasil penelitian pada akseptor KB
DMPA
di
Puskesmas
Pembantu
Kebonsari Kabupaten Jember sebanyak
83% akseptor memiliki pekerjaan di
dalam ruangan dan pada tabel 4.5
akseptor 94.3% tidak mempunyai
kebiasaan
olahraga
sehingga
mengakibatkan peningkatan lemak tubuh
dan metabolisme yang dicerna akan lebih
lambat, metabolisme yang lambat juga
dapat meningkatkan berat badan karena
perempuan mempunyai otot tubuh yang
lebih kecil dari laki-laki, otot membakar
kalori lebih banyak dari jaringan tubuh
yang lain sehingga metabolisme pada
perempuan jauh lebih lambat daripada
laki-laki. Hal ini akan menyebabkan
perempuan akan lebih mudah gemuk jika
dibanding dengan laki-laki. Kurangnya
aktivitas fisik karena orang yang
beraktivitas aktif akan membakar kalori
lebih banyak dari pada yang beramalsmalasan dan faktor psikologis. Pada
beberapa orang emosi mempengaruhi
kebiasaan makan, bahkan ada orang yang
tiba-tiba ingin makan banyak saat sedang
emosi (Narudin, 2008).
Hasil pengamatan pada pada tabel
4.3 yang dilakukan terhadap 53 akseptor
KB DMPA di dapatkan akseptor
mengalami kenaikan berat-badan dipicu
karena akseptor makan lebih banyak. Dan
hasil pengamatan pada tabel 4.4 akseptor
100% mengkonsumsi camilan (makanan
ringan). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa KB DMPA hanya resiko
terjadinya
kenaikan
berat
badan
meningkat.
Dari teori yang telah diuraikan di
atas dapat disimpulkan bahwa kenaikan
berat- badan dipicu oleh peningkatan
hormon
progesteron
yang
dapat
merangsang pusat pengendali nafsu
makan
dihipotalamus
sehingga
menyebabkan akseptor makan lebih
166
banyak dari biasanya dan berdampak
pada kenaikan berat badan. Hormon
progesteron mempermudah perubahan
karbohidrat
dan
gula
menjadi
lemak,sehingga lemak dibawah kulit
bertambah. Kenaikan Berat-badan juga
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal meliputi: genetik, regulasi
termis, dan metabolisme sedangkan pada
faktor eksternal meliputi: aktifitas fisik
dan asupan makanan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan di Puskesmas Pembantu
Kebonsari Kabupaten Jember, dapat
disimpulkan bahwa rata-rata kenaikan
berat-badan adalah 4.5 kg, nilai median
disusun menurut besar kecilnya nilai,
maka didapatkan hasilnya adalah 55 kg
dan nilai kenaikan berat-badan yang
paling tinggi pada kelompok adalah 5 kg
sebanyak 25 responden.
SARAN
1. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan dapat dijadikan sebagai
data awal untuk penelitian tentang
gambaran kenaikan berat-badan ibu
akseptor KB suntik 3 bulan.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Diharapkan
dapat
meningkatkan
pelayanan kesehatan khususnya bidan
dalam memberikan konseling tentang
efek samping KB DMPA sehingga
tidak ada kekhawatiran dari akseptor
KB tersebut.
3. Bagi masyarakat
Diharapkan ibu akseptor KB DMPA
menanyakan kepada petugas kesehatan
mengenai efek samping KB DMPA
sehingga masyarakat mendapatkan
informasi yang benar mengenai efek
samping kontrasepsi KB DMPA.
Arikunto S. (2010). Prosedur Penelitian
Suatu pendekatan praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Handayani, S. (2010). Pelayanan
Keluarga
Berencana.
Sewon
Bantul
Yogyakarta:
Pustaka
Rihama.
Hartanto, Hanafi, dr., (2003). Keluarga
Berencana
dan
kontrasepsi.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Hastono, Sutanto Priyo. (2011). Statistik
Kesehatan. Jakarta: PT Rajawali
Pers.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode
Penelitian Kebidanan Dan Teknik
Analisis Data. Jakarta: Salemba
Medika.
Irianto, K (2012). Keluarga Berencana
Untuk Paramedis dan Nonmedis,
Margahayu Permai Bandung: CV
Yrama Widya.
Manuaba, Ida Bagus. (1998). Ilmu
Kebidanan, Penyakit Kandungan
dan KB.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Notoatmodjo,
Soekidjo.(
2005).
Metodelogi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. (2009). Konsep dan penerapan
Metode
Penelitian
Ilmu
Keperawatan: Pedoman Skripsi,
Tesis, dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: salemba
Medika.
Sabri, L. (2010). Statistik Kesehatan.
Jakarta: Rajawali Pers.
Saifuddin, Abdul Bari. (2001) Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Saifuddin, Abdul bari (2013) Buku
Panduan Praktis Pelayanan
Kontrasepsi. Jakarta: Tridasa
Printer.
Winkjosastro,
Hanifa.(2002).
Ilmu
Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka sarwono Prawirohardjo.
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
167
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN
KUNJUNGAN LANSIA KE POSYANDU LANSIA DI POSYANDU
BUGENVIL 50 DESA GUGUT KABUPATEN JEMBER
Nur Fadilah*, Syaiful Bachri**, Sutrisno, Irwina Angelia***
*, *** Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember
**Poltekkees Kemenkes Malang
ABSTRAK
Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari harapan
hidup penduduknya. Usia lanjut merupakan suatu periode dari rentang kehidupan yang
ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh. Tujuan dari penelitian ini
adalah menganalisa hubungan dukungan keluarga dengan kunjungan lansia ke posyandu
lansia di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember. Penelitian ini merupakan
penelitian korelasi (correlation study). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia pada
posyandu Bugenvil 50 di Desa Gugut Kabupaten Jember sejumlah 210 orang. Jumlah
sampel sebesar 68 orang, sampling yang digunakan adalah simple random sampling. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan keluarga adalah baik sebanyak 39 orang
(57.4%), tidak baik 29 orang (42.6%), dan keaktifan kunjungan lansia pada posyandu
adalah tidak aktif sebanyak 38 orang (55.9%), aktif 30 orang (44.1%). Berdasarkan uji chi
square diperoleh hasil x2 hitung (11.257) > x2 tabel (3.48) dengan n nilai p value (0,001) < a
(0,05). Hal ini berarti bahwa Ha diterima yaitu ada Hubungan Dukungan Keluarga
dengan Kunjungan Lansia ke Posyandu Lansia di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut
Kabupaten Jember. Simpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan yang positif
dukungan keluarga dengan kunjungan lansia ke posyandu lansia di Posyandu Bugenvil 50
Desa Gugut Kabupaten Jember
Kata kunci
: Dukungan Keluarga, Keaktifan Kunjungan Lansia
PENDAHULUAN
Salah satu tolak ukur kemajuan
suatu bangsa seringkali dilihat dari
harapan
hidup
penduduknya.
Berdasarkan
data hasil
sensus
penduduk tahun 2010, menunjukkan
bahwa penduduk lanjut usia (lansia)
usia 60 tahun ke atas meningkat
secara signifikan. Lansia merupakan
seseorang yang sudah berumur di atas 60
tahun. Usia lanjut merupakan suatu
periode dari rentang kehidupan yang
ditandai
dengan
perubahan
atau
penurunan fungsi tubuh (Papalia dkk,
2007). Lanjut usia (lansia) merupakan
tahap akhir dari kehidupan dan
merupakan proses alami yang tidak
dapat dihindari oleh setiap individu.
Proses
alami
ditandai
dengan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan
jaringan
untuk
memperbaiki diri / mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan
yang
diderita (Contantinides, 1994
dalam Nugroho, 2008).
Secara umum, populasi penduduk
lansia 60 tahun ke atas pada saat ini
di negara-negara dunia diprediksikan
akan mengalami peningkatan. Menurut
data
Perserikatan
Bangsa-Bangsa,
Indonesia
diperkirakan
mengalami
peningkatan jumlah warga berusia lanjut
yang tertinggi di dunia, yaitu 414%,
hanya dalam waktu 35 tahun (19902025), sedangkan di tahun 2020
diperkirakan jumlah penduduk lanjut
168
usia akan mencapai 25,5 juta jiwa
(Soerjono, 2006).
Menurut
data
Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia tahun
2014 diperkirakan sebesar 23,9 juta jiwa,
usia harapan hidupnya 67,4 tahun.
Jumlah penduduk lansia pada tahun 1990
sekitar 6,6% dari jumlah penduduk,
diperkirakan pada tahun 2020 akan
mencapai 11% (Kemenkes, 2014).
Wahyuningsih
(2011),
menyatakan
bahwa lima provinsi dengan jumlah
lansia paling banyak di Indonesia, yaitu:
Di Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Bali, dan Jawa Barat. Provinsi
Jawa Timur menempati peringkat kedua
terbanyak setelah Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan persentasi lansia
yaitu 9,36 persen dari keseluruhan
penduduk (Wahyuningsih, 2011).
Kabupaten Jember adalah salah
satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur
yang memiliki jumlah lansia terbanyak
kedua setelah Kabupaten Malang
(Yunita, 2010). Berdasarkan data di
Kabupaten Jember jumlah lansia adalah
128.485 jiwa yang tersebar dalam 31
kecamatan (Dinas Kesehatan Jember,
2011). Data Badan Pusat Statistik (2010)
menunjukkan bahwa pada sensus
penduduk tahun 2000 di Kabupaten
Jember didapatkan data jumlah lansia
dengan rentang usia 55-64 tahun sebesar
5.469 orang dan lansia dengan usia >65
tahun sebesar 3.682 jiwa.
Meningkatnya
jumlah
lansia
membutuhkan penanganan yang serius
karena secara alamiah lansia itu
mengalami kemunduran baik dari fisik,
biologis, maupun mentalnya. Hal ini
tidak terlepas dari masalah ekonomi,
sosial dan budaya sehingga perlu adanya
peran serta dan dukungan dari
keluarga
dalam
penanganannya.
Menurunnya fungsi berbagai organ,
lansia
menjadi
rentan
terhadap
penyakit yang bersifat akut atau kronis.
Ada kecenderungan terjadi penyakit
degeneratif
dan penyakit metabolik,
(Nugroho, 2008). Dampak Penurunan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
kemandirian adalah lansia akan lebih
rentan
terhadap serangan
penyakit
(Hardywinoto, 2005). Kondisi seperti
ini jika tidak segera diatasi akan
memperburuk keadaan lansia sehingga
di
perlukan dukungan
keluarga
(Watson,
2003). Menurut
Menkes
(2012) masalah yang sering ditemui
pada lansia dalam kehidupan sehari-hari
yaitu penyakit jantung koroner (32 %),
hipertensi (31,7%), arthritis (30,3%),
cedera (7,5%) (Riskesdas, 2007).
Posyandu merupakan suatu forum
komunikasi, alih tehnologi dan pelayanan
kesehatan oleh masyarakat dan untuk
masyarakat yang mempunyai nilai
stategis untuk pengembangan sumber
daya manusia, khususnya lanjut usia.
Posyandu bertujuan untuk meningkatakan
derajat kesehatan dan mutu kehidupan
untuk mencapai masa tua yang bahagia
dan berdaya guna dalam kehidupan
keluarga dan masyakat sesuai dengan
keberadaannya
dalam
strata
kemasyarakatan (Depkes RI, 2008).
Pelaksanaan
kegiatan
posyandu
merupakan
salah
satu
usaha
pendekatan masyarakat
terhadap
pelayanan kesehatan primer, semakin
tinggi
masyarakat
mendapatkan
pelayanan
kesehatan,
semakin
meningkatkan derajat kesehatan di
masyarakat. Salah satu keberhasilan
dalam rangka pelaksanaan posyandu
adalah memperbaiki atau meningkatkan
derajat
kesehatan
di
masyarakat
(Sarwono, 2009). Meski kegiatan
posyandu penting untuk menjaga
kesehatan lansia namun pelaksanaannya
masih jauh dari harapan.
Berdasarkan data diketahui bahwa
di Kabupaten Jember terdapat 49
Puskesmas yang tersebar dalam 31
kecamatan (Dinkes Jember, 2013).
Berdasarkan data tersebut Rambipuji
merupakan salah satu kecamatan yang
memiliki angka lansia cukup tinggi.
Berdasarkan data dari Puskesmas
Rambipuji tahun 2014 jumlah lansia
terbanyak yaitu terdapat di Desa Gugut
169
dengan jumlah 440 orang yang terbagi
dalam 3 posyandu lansia Posyandu
Bugenvile 47 sejumlah 40 (44%),
Posyandu Bugenvile 48 sejumlah 80
(58%),dan Posyandu Bugenvile 50
sejumlah 120 (57%). Dari ke tiga
posyandu tersebut menjelaskan bahwa
Posyandu Bugenvile 50 memiliki tingkat
aktifitas kunjungan posyandu lansia
paling rendah. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Posyandu Lansia Desa
Gugut pada tahun 2014 kunjungan lansia
pada setia bulannya rata-rata mencapai
17.64% hal ini berarti kunjungan lansia
berada pada kategori tidak aktif. Perilaku
kunjungan yang tidak aktif sedikit akan
berdampak pada status kesehatan lansia.
Terdapat beberpa faktor yang
mempengaruhi aktifitas kunjungan lansia
dalam
melakukan
kunjungan
ke
Posyandu lansia, salah satunya adalah
dukungan keluarga. Menurut Ismawati
(2010) menjelaskan bahwa kegiatan
posyandu lansia tidak terlepas dari faktorfaktor yang mempengaruhi antara lain
pengetahuan, pendidikan, usia, sarana
prasarana, jangkauan pelayanan, dan
dukungan keluarga
Keluarga merupakan satu-satunya
tempat yang sangat penting untuk
memberikan dukungan, pelayanan serta
kenyamanan bagi lansia (Depkes RI:
2003). Menurut
Kusumoputro dan
Sidiarto
(2004)
bahwa
setelah
seseorang memasuki masa lansia, maka
dukungan sosial dari orang lain
menjadi sangat berharga dan akan
menambah
ketentraman
hidupnya.
Namun demikian dengan adanya
dukungan sosial tidaklah berarti bahwa
setelah memasuki masa lansia. Seorang
lansia hanya tinggal duduk,
diam,
tenang, dan berdiam diri saja. Untuk
menjaga kesehatan baik fisik maupun
kejiwaannya lansia justru harus tetap
melakukan
aktivitas-aktivitas
yang
berguna bagi kehidupannya. Lansia
tidak boleh duduk diam, enak dan
semua dilayani oleh orang lain. Hal ini
justru akan
mendatangkan berbagai
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
penyakit dan penderitaan, sehingga bisa
menyebabkan para lansia tersebut
cepat meninggal, (Azizah, 2011)
Dukungan keluarga terbagi atas 4
jenis
yaitu; dukungan
emosional,
dukungan yang diberikan keluarga dalam
bentuk perhatian, kasih sayang pada
lansia. Dukungan penghargaan yaitu
dukungan
yang diberikan keluarga
dalam
bentuk
menghargai,
mendengarkan, dan berbicara pada
lansia. Dukungan informasi yaitu
dukungan yang diberikan keluarga dalam
bentuk pemberian informasi terkait
tentang
kesehatan pada
lansia.
Dukungan instrumental yaitu dukungan
yang diberikan keluarga dalam bentuk
bantuan tenaga, waktu, dan biaya
untuk mengontrol kesehatan lansia.
Dukungan tersebut bertujuan agar lansia
tetap dapat menjalankan kegiatan sehariharinya.
Keluarga
merupakan support
system utama bagi lansia dalam
mempertahankan
kesehatannya
(Maryam et al, 2012). Keluarga
merupakan sistem pendukung utama
pemberi pelayanan langsung pada setiap
keadaan (sehat sakit) anggota keluarga.
Dukungan keluarga merupakan sesuatu
keadaan yang bermanfaat bagi individu
yang diperoleh dari orang lain yang
dapat dipercaya, sehingga seseorang
akan tahu bahwa ada orang lain yang
memperhatikan,
menghargai
dan
mencintainya (Setiadi, 2008).
Dukungan keluarga memiliki peran
besar dalam meningkatkan keaktifan
lansia dalam melakukan kunjungan pada
posyandu
lansia.
Keluarga
dapat
membantu lansia dengan memberikan
penjelasan,
informasi
kesehatan,
melakukan pendampingan, menyediakan
waktu dan sebagainya sebagai penunjang
pada
kegaitan
posyandu
lansia.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan
yang dilakukan pada tanggal 15 Juni
2015 di Posyandu Bongenvil 50 di Desa
Gugut pada 5 lansia yang aktif datang ke
posyandu dan 5 yang tidak aktif ke
170
posyandu lansia. Dilakukan wawancara
dengan pertanyaan yang berkaitan
dengan dukungan keluarga pada lansia
untuk datang ke posyandu diperoleh
informasi
sebagai
berikut;
pada
pertanyaan berkaitan dengan keluarga
memberikan informasi untuk mengikuti
kegiatan posyandu lansia diperoleh hasil
bahwa dari 5 lansia aktif sebanyak 4
(80%) mendapatkan informasi dan
sebanyak 1 (20%) tidak mendapatkan
informasi dari keluarga, sementara dari 5
lansia yang tidak aktif melakukan
kegiatan posyandu lansia sebanyak 2
(40%) mendapatkan informasi dan
sebnayk 3 (60%) tidak mendapatkan
informasi dari keluarga. Pada pertanyaan
berkaitan dengan keluarga menyediakan
semua kebutuhan untuk mengikuti
kegiatan posyandu lansia diperoleh dari 5
lansia yang aktif sebanyak 3 (60%)
disediakan kebutuhannya oleh keluarga,
dan
2
(40%)
tidak
disediakan
kebutuhannya oleh keluarga. Sementara
pada 5 lansia yang tidak aktif diperoleh
hasil sebanyak 1 (20%) disediakan
kebutuhannya, dan 4 (80%) tidak
disediakan
kebutuhannya.
Pada
pertanyaan berkaitan dengan keluarga
mengingatkan jadwal dilaksanakannya
posyandu lansia diperoleh dari 5 lansia
yang aktif sebanyak 4 (80%) diingatkan
oleh keluarga, dan 1 (20%) tidak
diingatkan oleh keluarga. Sementara pada
5 lansia yang tidak aktif diperoleh hasil
sebanyak 3 (60%) diingatkan oleh
keluarga, dan 2 (40%) tidak diingatkan
oleh keluarga. Pada pertanyaan berkaitan
dengan keluarga bersedia menemani
sampai selesai pada kegiatan posyandu
diperoleh dari 5 lansia yang aktif
sebanyak 3 (60%) bersedia menemani
sampai selesai, dan 2 (40%) tidak
bersedia menemani sampai selesai.
Sementara pada 5 lansia yang tidak aktif
diperoleh hasil sebanyak 2 (40%)
bersedia menemani sampai selesai, dan 3
(60%) tidak bersedia menemani sampai
selesai.
Realitas
ini
memberikan
pemahaman bahwa dukungan keluarga
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
sangat
berperan
penting
dalam
meningkatkan antifitas kunjungan lansia
ke Posyandu. Hal ini berdasarkan pada
fakta bahwa lansia perlu pendampingan
dalam melakukan kunjungan, lansia juga
memerlukan informasi atau jadwal
sehingga dengan mudah lansia bisa
mengetahui jadwal kunjungan ke
posyandu.
Keadaan
inilah
yang
seharusnya perlu untuk ditingkatkan dari
keluarga dengan memberikan informasi,
melakukan
pendampingan
dan
sebagainya.
Berdasarkan uraian diatas, penulis
tertarik untuk meneliti tentang hubungan
dukungan keluarga dengan kunjungan
lansia ke Posyandu Lansia di Posyandu
Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten
Jember.
TINJAUAN PUSTAKA
Dukungan
Menurut
Sarafino
(2008),
mengatakan bahwa dukungan adalah
suatu bentuk kenyamanan, perhatian,
penghargaan, ataupun bantuan yang
diterima individu dari orang yang berarti,
baik
secara
perorangan
maupun
kelompok. Dukungan dapat berupa
dukungan sosial keluarga internal, seperti
dukungan dari suami istri atau dukungan
dari saudara kandung; atau dukungan
sosial keluarga eksternal - dukungan
sosial eksternal bagi keluarga inti (dalam
jaringan kerja sosial keluarga). Sebuah
jaringan sosial keluarga secara sederhana
adalah jaringan kerja sosial keluarga inti.
Keluarga
Menurut Duvall dalam Mubarok,
(2009), keluarga adalah sekumpulan
orang dengan ikatan perkawinan,
kelahiran, dan adopsi yang bertujuan
untuk menciptakan, mempertahankan
budaya,
dan
meningkatkan
perkembangan fisik, mental, emosional,
serta sosial dari tiap anggota keluarga.
Menurut
Friedman (2010)
karakteristik keluarga antara lain:
171
a. Terdiri dari dua atau lebih individu
yang diikat oleh hubungan darah,
perkawinan atau adopsi
b. Anggota keluarga biasanya hidup
bersama atau jika terpisah mereka
tetap memperhatikan satu sama lain
c. Anggota keluarga berinteraksi satu
sama
lain
dan
masing-masing
mempunyai peran sosial: suami, istri,
anak, kakak dan adik
d. Mempunyai tujuan: menciptakan dan
mempertahankan
budaya,
meningkatkan perkembangan fisik,
psikologis, dan sosial anggota.
Dalam menjalankan tugasnya maka
keluarga juga mempunyai berbagai
macam fungsi, menurut Mubarok (2009)
diantaranya:
a. Fungsi biologis
1. Meneruskan keturunan
2. Memelihara dan membesarkan
anak
3. Memenuhi kebutuhan gizi keluarga
4. Memelihara dan merawat anggota
keluarga
b. Fungsi psikologis
1. Memberikan kasih sayang dan rasa
aman
2. Memberikan perhatian di antara
anggota keluarga
3. Membina pendewasaan kepribadian
anggota keluarga
4. Memberikan identitas keluarga
c. Fungsi sosialisasi
1. Membina sosialisasi pada anak
2. Membentuk norma-norma tingkah
laku
sesuai
dengan
tingkat
perkembangan anak
3. Meneruskan nilai-nilai budaya
keluarga
d. Fungsi ekonomi
1. Mencari
sumber-sumber
penghasilan
untuk
memenuhi
kebutuhan keluarga
2. Pengaturan
penggunaan
penghasilan
keluarga
untuk
memenuhi kebutuhan keluarga
3. Menabung
untuk
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan keluarga di
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
masa
yang
akan
datang
(pendidikan, jaminan hari tua)
e. Fungsi pendidikan
1. Menyekolahkan
anak
untuk
memberikan
pengetahuan,
ketrampilan
dan
membentuk
perilaku anak sesuai dengan bakat
dan minat yang dimilikinya
2. Mempersiapkan
anak
untuk
kehidupan dewasa yang akan
datang
dalam
memenuhi
peranannya sebagai orang dewasa
3. Mendidik anak sesuai dengan
tingkat-tingkat perkembangannya.
Dukungan Keluarga
Dukungan merupakan salah satu
faktor penguat (reinforcing factor) yang
dapat mempengaruhi seseorang dalam
berperilaku
(Notoatmodjo,
2010).
Dukungan keluarga adalah sikap,
tindakan dan penerimaan keluarga
terhadap anggotanya. Anggota keluarga
memandang bahwa orang yang bersifat
mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan
(Friedman, 2010).
Friedman (2010) menjelaskan
bahwa keluarga memiliki beberapa jenis
dukungan yaitu :
a. Dukungan informasional
Keluarga
berfungsi
sebagai
sebuah
kolektor
dan
diseminator
(penyebar) informasi tentang dunia.
Menjelaskan tentang pemberian saran,
sugesti, informasi yang dapat digunakan
mengungkapkan suatu masalah. Manfaat
dari dukungan ini adalah dapat menekan
munculnya
suatu
stressor
karena
informasi
yang
diberikan
dapat
menyumbangkan aksi sugesti yang
khusus pada individu.
b. Dukungan penilaian
Keluarga
bertindak
sebagai
sebuah
bimbingan
umpan
balik,
membimbing dan menengahi pemecahan
masalah, sebagai sumber dan validator
indentitas anggota keluarga diantaranya
memberikan
support,
penghargaan,
perhatian.
c. Dukungan instrumental
172
Keluarga merupakan sebuah
sumber pertolongan praktis dan konkrit,
diantaranya: kesehatan penderita dalam
hal kebutuhan makan dan minum,
istirahat, terhindarnya penderita dari
kelelahan.
d. Dukungan emosional
Keluarga sebagai tempat yang
aman dan damai untuk istirahat dan
pemulihan serta membantu penguasaan
terhadap
emosi.
Dukungan
yang
diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya
kepercayaan, perhatian, mendengarkan
dan didengarkan.
Friedman (2010), ada bukti kuat dari
hasil penelitian yang menyatakan bahwa
keluarga besar dan keluarga kecil secara
kualitatif menggambarkan pengalamanpengalaman perkembangan. Anak-anak
yang berasal dari keluarga kecil menerima
lebih banyak perhatian daripada anak-anak
dari keluarga yang besar. Selain itu,
dukungan yang diberikan orangtua
(khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia.
Ibu yang masih muda cenderung untuk
lebih tidak bisa merasakan atau mengenali
kebutuhan anaknya dan juga lebih
egosentris dibandingkan ibu-ibu yang lebih
tua.
Lansia
Manusia usia lanjut merupakan
seseorang
yang
karena
usianya
mengalami perubahan biologis, fisik,
kejiwaan dan sosial yang nantinya akan
mempengaruhi fungsi dan kemampuan
badan secara keseluruhan. Lanjut usia
merupakan orang yang sudah memasuki
tahap dewasa akhir dengan usia sekitar
60 tahun ke atas (Depkes, Pedoman
Umum Pengelolaan Posyandu, 2008).
Organisasi
Kesehatan
Dunia
(WHO)
dalam
Bustan
(2007)
menggolongkan lanjut usia menjadi 4
yaitu :
a. Usia pertengahan (middle age) 45 – 59
tahun,
b. Lanjut usia (elderly) 60 – 74 tahun,
c. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun
d. Dan usia sangat tua (very old) diatas
90 tahun.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Posyandu lansia
Pos Pelayanan Terpadu Lanjut Usia
merupakan suatu forum komunikasi, alih
tehnologi dan pelayanan kesehatan oleh
masyarakat dan untuk masyarakat yang
mempunyai
nilai
stategis
untuk
pengembangan sumber daya manusia,
khususnya Lanjut Usia. Posyandu ini
untuk masyarakat usia lanjut di suatu
wilayah tertentu yang sudah disepakati,
yang digerakkan oleh masyarakat dimana
mereka bisa mendapatkan pelayanan
kesehatan Posyandu lansia merupakan
pengembangan dari kebijakan pemerintah
melalui pelayanan kesehatan bagi lansia
yang
penyelenggaraannya
melalui
program Puskesmas dengan melibatkan
peran serta para lansia, keluarga, tokoh
masyarakat dan organisasi sosial dalam
penyelenggaraannya (Depkes, Pedoman
Umum Pengelolaan Posyandu, 2008).
Faktor–faktor yang mempengaruhi
perilaku kesehatan yang berkaitan dengan
kehadiran lansia di Posyandu Lansia
adalah:
1. Pendidikan
Pendidikan dasar berbentuk sekolah
dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah
(MI) atau bentuk lain yang sederajat
serta sekolah menengah pertama
(SMP) dan madrasah tsanawiyah
(MTs), atau bentuk lain yang
sederajat.
Pendidikan
menengah
merupakan lanjutan pendidikan dasar.
Pendidikan menengah terdiri atas
pendidikan menengah umum dan
pendidikan
menengah
kejuruan.
Pendidikan
menengah
berbentuk
sekolah menengah atas (SMA),
madrasah aliyah (MA), sekolah
menengah kejuruan (SMK), dan
madrasah aliyah kejuruan (MAK),
atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan tinggi merupakan jenjang
pendidikan
setelah
pendidikan
menengah yang mencakup program
pendidikan diploma, sarjana, magister,
spesialis,
dan
doktor
yang
diselenggarakan oleh pendidikan
tinggi.
Pendidikan
tinggi
173
2.
3.
4.
5.
diselenggarakan
dengan
sistem
terbuka.
Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu yang
terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek
tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan
manusia
diperoleh
melalui mata dan telinga. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (Notoatmodjo,
2010)
Pekerjaan sekarang
Bagi lansia yang bukan pegawai
negeri atau karyawan swasta, misalnya
wiraswastawan, pedagang, ulama,
guru, swasta dan lain-lain pikiran akan
pensiun mungkin tidak terlintas,
mereka
umumnya
mengurangi
kegiataanya setelah lansia dn semakin
tua tugas-tugas tersebut secara
berangsur berkurang sampai suatu saat
secara rela dan tulus menghentikan
kegiatannya. Kalau mereka masih mau
melakukan
kegiataan
umumnya
sebatas untuk beramal tau seolah-olah
menjadi kegiataan hobby.
Keyakinan
Keyakinan adalah suatu sikap yang
ditunjukkan oleh manusia saat ia
merasa cukup tahu dan menyimpulkan
bahwa dirinya telah mencapai
kebenaran.
Karena
keyakinan
merupakan
suatu
sikap,
maka
keyakinan seseorang tidak selalu benar
atau, keyakinan semata bukanlah
jaminan kebenaran.
Dukungan keluarga
Dukungan tersebut berupa dorongan,
motivasi, empati, ataupun bantuan
yang dapat membuat individu yang
lainnya merasa lebih tenang dan aman.
Dukungan didapatkan dari keluarga
yang terdiri dari keluarga, orang tua,
ataupun keluarga dekat lainnya.
Dukungan
keluarga
dapat
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
mendatangkan rasa senang, rasa aman,
rasa puas, rasa nyaman dan membuat
orang yang bersangkutan merasa
mendapat dukungan emosional yang
akan mempengaruhi kesejahteraan
jiwa manusia. Dukungan keluarga
berkaitan
dengan
pembentukan
keseimbangan mental dan kepuasan
psikologis. Suhendro B. Kar dalam
Notoatmodjo (2010) menyatakan
bahwa
dukungan
sosial
dari
masyarakat
sekitar
akan
mempengaruhi
seseorang
dalam
berperilaku
terhadap
kesehatan,
demikian juga dengan lajut usia,
mereka memerlukan dukungan dari
keluarga untuk berkunjung ke
pelayanan kesehatan atau Posyandu.
Dukungan keluarga dapat diwujudkan
dalam bentuk menghormati dan
menghargai orang tua, mengajaknya
dalam
acara
keluarga,
serta
memeriksakan kesehatannya.
6. Kader Posyandu
Masyarakat
akan
memanfaatkan
pelayanan tergantung pada penilaian
tentang pelayanan tersebut. Jika
pelayanan kurang baik atau kurang
berkualitas, maka kecenderungan
untuk tidak memanfaatkannyapun
akan semakin besar. Persepsi tentang
pelayanan selalu dikaitkan dengan
kepuasan dan harapan pengguna
layanan. Konsumen mengatakan mutu
pelayanan baik jika harapan dan
keinginan sesuai dengan pengalaman
yang diterimanya.
7. Ketersediaan fasilitas kesehatan
Ketersediaan
fasilitas
pelayanan
terhadap lanjut usia yang terbatas di
tingkat masyarakat, peleyanan tingkat
dasar, pelayanan tingkat I dan tingkat
II, sering menimbulkan permasalahan
bagi para lanjut usia. Demikian pula,
lembaga kesehatan masyarakat dan
organisasi sosial dan kemasyarakatan
lainnya yang menaruh minat pada
permasalahan ini terbatas jumlahnya.
Hal ini mengakibatkan para lanjut usia
tak dapat diberi pelayanan sedini
174
mungkin,
sehingga
persoalnnya
menjadi berat pada saat diberikan
pelayanan (Hardywinoto, 2005).
8. Lingkungan masyarakat
Lingkungan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi terhadap
pembentukan dan perkembangan
perilaku individu, baik lingkungan
fisik maupun lingkungan sosiopsikologis, termasuk didalamnya
adalah belajar (Hardywinoto, 2005).
9. Kebijakan pemerintah
Direktur Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat menyatakan pemerintah
telah merumuskan kebijakan, program
dan kegiataan bagi para lanjut
usia.Tujuan bahwa program usia lanjut
adalah untuk meningkatkan derajat
kesehatan lanjut usia agar tetap sehat,
mandiri dan berdaya guna sehingga
tidak menjadi beban begi dirinya
sendiri, keluarga naupun masyarakat.
Aspek-aspek yang dikembangkan
adalah dengan memperlambat proses
menua (degeneratif). Bagi mereka
yang merasa tua perlu dipulihkan
(rehabilitatif) agar tetap mampu
mengerjakan kehidupan sehari-hari
secara mandiri (Pertiwi H. W., 2013)
Hipotesis
Hipotesa
merupakan
suatu
pernyataan yang masih lemah dan
membutuhkan
pembuktian
untuk
menegaskan apakah hipotesis tersebut
dapat diterima atau harus ditolak
berdasarkan fakta atau data empiris yang
telah dikumpulkan dalam penelitian
(Hidayat, 2014).
Jenis hipotesa sesuai pendapat Hidayat,
(2014) sebagai berikut:
1. Hipotesis Nol (Ho)
Hipotesis nol (H0) adalah hipotesis
yang menyatakan hubungan yang
definitif dan tepat diantara dua variabel.
Secara umum hipotesis nol diungkapkan
sebagai tidak terdapatnya hubungan yang
signifikan.
2. Hipotesis alternatif (H1)
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Hipotesis alternatif (H1) adalah
hipotesis yang menyatakan adanya
hubungan antara dua variabel. Pada
umumnya, simpulan uji statistik yang
digunakan jika nilai hitung lebih besar
dari nilai kritis.
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
H1 : Ada
hubungan
dukungan
keluarga dengan kunjungan
lansia ke posyandu lansia di
Posyandu Bugenvil 50 Desa
Gugut Kabupaten Jember.
METODE PENELITIAN
Desain
penelitian
merupakan
rancangan yang disusun sedemikian rupa
sehingga dapat memperoleh jawaban
terhadap pertanyaan penelitian. Penelitian
ini menggunakan jenis penelitian korelasi
(correlation study) yaitu peneliti dapat
mencari, menjelaskan hubungan dan
menguji antara 2 variabel. Dengan
pendekatan dilakukan secara cross
sectional yaitu menekankan pada waktu
pengukuran atau observasi data variabel
hanya satu kali pada satu saat (Nursalam,
2011). Pada penelitian ini populasi yang
akan diambil adalah lansia pada
posyandu Bugenvil 50 di Desa Gugut
Kabupaten Jember sejumlah 210 orang.
Besar sampel ditentukan dengan rumus
Slovin berjumlah 68 orang. Pengambilan
subyek penelitian dilakukan secara acak
dengan teknik undian (lottery technique).
Caranya dengan membuat daftar nama
dari seluruh populasi yang ada kemudian
dibuat nomer 1-210 dan diundi sebanyak
68 kali. Nama yang keluar akan diambil
sebagai sampel.
Alat ukur yang digunakan adalah
Kuesioner. Kuesioner merupakan teknik
pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara memberi seperangkat
pertanyaan atau pernyataan tertulis
kepada responden untuk dijawabnya. uji
korelasi yang digunakan adalah uji Chi
Square.
HASIL PENELITIAN
Data Umum
175
a. Karakteristik
Umur
Lansia
Berdasarkan
5.1: Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Umur di Posyandu Bugenvil
50 Desa Gugut Kabupaten Jember
No
Umur
Jumlah Persentase
1
45-59 tahun
20
29.4
2
60-74 tahun
34
50.0
3
75-90 tahun
13
19.1
4
>90 tahun
1
1.5
Jumlah
68
100%
Sumber : Data Primer 2015
Tabel
5.3:
Distribusi
Frekuensi
Responden Berdasarkan Pendidikan
di Posyandu Bugenvil 50 Desa
Gugut Kabupaten Jember
No
1
Pendidikan
Tidak
Sekolah
SD
SMP
Tabel
Berdasarkan tabel 5.1 dapat
diketahui bahwa umur responden
sebagian besar
umur 60-74 tahun
sejumlah 34 orang (50%). Usia ini
termasuk kategori lanjut usia/elderly.
Pada masa ini lansia lebih senang
mempertahankan pendapatnya dari pada
mendengarkan pendapat orang lain.
Lansia pada usia ini masih bisa
melakukan kegiatan secara mandiri
termasuk datang ke posyandu, berbeda
dengan usia yang lebih tua cenderung
didampingi oleh keluarga karena tidak
bisa melakukan kegiatan secara mandiri.
b. Karakteristik Lansia Berdasarkan
Jenis Kelamin
5.2: Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin di Posyandu
Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten
Jember
No Jenis Kelamin
Jumlah Persentase
1
Laki-laki
16
23.5
2
Perempuan
52
76.5
Jumlah
68
100%
Sumber : Data Primer 2015
2
3
Jumlah
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
32
29
7
68
Persentase
47.1
42.6
10.3
100%
Sumber : Data Primer 2015
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui
bahwa pendidikan responden sebagian
besar adalah tidak sekolah sejumlah 32
orang (47.1%). Jenjang pendidikan ini
berkaitan dengan kemampuan lansia
dalam membaca dan menulis. Lansia
yang pernah sekolah cenderung bisa
membaca dan menulis.
Data Khusus
a.
Identifikasi Dukungan Informasi
Keluarga di Posyandu Bugenvil 50
Desa Gugut Kabupaten Jember
Tabel
Tabel
Berdasarkan tabel 5.2 dapat
diketahui bahwa jenis kelamin responden
sebagian besar perempuan sejumlah 52
orang (76.5%). Perempuan lebih banyak
yang berkunjungan ke lansia disebabkan
karena
memang
populasi
lansia
perempuan lebih banyak, selain itu
kesempatan yang dimiliki lebih banyak
perempuan sebab lansia perempuan
sudah jarang yang bekerja, mereka lebih
sering dirumah menemani keluarga yang
lain.
c. Karakteristik Lansia Berdasarkan
Pendidikan
Jumlah
5.4:
Distribusi
Frekuensi
Dukungan Keluarga Responden
berdasarkan
Dukungan
Informasional
di
Posyandu
Bugenvil
50
Desa
Gugut
Kabupaten Jember
No
Kategori
1
Baik
2
Tidak Baik
Jumlah
Jumlah
38
30
68
Persentase
55.9
44.1
100%
Sumber : Data Primer 2015
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui
sebagian besar dukungan informasional
adalah baik sebanyak 38 orang (55.9%).
Hal ini menjelaskan bahwa keluarga telah
memberikan
saran dan informasi
berkaitan dengan pentingnya kunjungan
posyandu bagi lansia.
b. Identifikasi
Dukungan
Penilaian
Keluarga di Posyandu Bugenvil 50
Desa Gugut Kabupaten Jember
Tabel
5.5:
Distribusi
Frekuensi
Dukungan Keluarga Responden
berdasarkan Dukungan Penilaian
di Posyandu Bugenvil 50 Desa
Gugut Kabupaten Jember
176
No
Kategori
1
Baik
2
Tidak Baik
Jumlah
Jumlah
42
26
68
Persentase
61.8
38.2
100%
Sumber : Data Primer 2015
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui
bahwa sebagian besar Dukungan
Penilaian adalah baik sebanyak 42 orang
(61.8%). Hal ini menjelaskan bahwa
keluarga telah memberikan bentuk
perhatian dan sopport/dukungan yang
berkaitan dengan kesehatan lansia untuk
selalu berkunjung ke posyandu lansia.
c. Identifikasi Dukungan Instrumental
Keluarga di Posyandu Bugenvil 50
Desa Gugut Kabupaten Jember
Tabel
5.6:
Distribusi
Frekuensi
Dukungan Keluarga Responden
berdasarkan
Dukungan
Instrumental di Posyandu Bugenvil
50 Desa Gugut Kabupaten Jember
No
Kategori
1
Baik
2
Tidak Baik
Jumlah
Jumlah
40
28
68
Persentase
58.8
41.2
100%
Sumber : Data Primer 2015
Berdasarkan tabel 5.6 diketahui
bahwa sebagian besar Dukungan
Instrumental adalah baik sebanyak 40
orang (58.8%). Hal ini menjelaskan
bahwa keluarga telah menyiapkan segala
kebutuhan lansia baik dari makanan,
biaya dan transportasi.
d. Identifikasi Dukungan Emosional
Keluarga di Posyandu Bugenvil 50
Desa Gugut Kabupaten Jember
Tabel
5.7:
Distribusi
Frekuensi
Dukungan Keluarga Responden
berdasarkan Dukungan Emosional
di Posyandu Bugenvil 50 Desa
Gugut Kabupaten Jember
No
Kategori
1
Baik
2
Tidak Baik
Jumlah
Jumlah
45
23
68
Persentase
66.2
33.8
100%
Sumber : Data Primer 2015
Berdasarkan tabel 5.7 diketahui
bahwa sebagian besar dukungan keluarga
adalah baik sebanyak 45 orang (66.2%).
Hal ini menjelaskan bahwa keluarga
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
sering
meluangkan
waktu
untuk
mendengarkan
permasalahan
yang
dihadapi lansia.
e. Identifikasi Dukungan Keluarga di
Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut
Kabupaten Jember
Tabel
5.8:
Distribusi
Frekuensi
Dukungan Keluarga di Posyandu
Bugenvil
50
Desa
Gugut
Kabupaten Jember
No
Kategori
1
Baik
2
Tidak Baik
Jumlah
Jumlah
39
29
68
Persentase
57.4
42.6
100%
Sumber : Data Primer 2015
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui
bahwa sebagian besar dukungan keluarga
adalah baik sebanyak 39 orang (57.4%).
Hal ini menjelaskan bahwa keluarga telah
menjalani perannya dalam memberikan
dukungan
kepada
keluarga
baik
dukungan
informasional,
penilaian,
intrumental dan emosional.
f. Identifikasi Kunjungan Lansia ke
posyandu lansia di Posyandu
Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten
Jember
Tabel
5.9:
Distribusi
Frekuensi
Kunjungan Lansia Responden di
Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut
Kabupaten Jember
No Kategori
1
Aktif
2
Tidak Aktif
Jumlah
Jumlah
30
38
68
Persentase
44.1
55.9
100%
Sumber : Data Primer 2015
Berdasarkan tabel 5.9 diketahui
bahwa
sebagian
besar
keaktifan
kunjungan lansia pada posyandu adalah
tidak aktif sebanyak 38 orang (55.9%).
Hal ini menjelaskan bahwa tingkat
kehadiran lansia dalam kunjungan
posyandu lansia kurang dari 8 kehadiran.
g. Hubungan
Dukungan
Keluarga
dengan Kunjungan Lansia Ke
Posyandu lansia di Posyandu
Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten
Jember.
177
Tabel 5.10 : Tabulasi Silang Dukungan
Keluarga dengan Kunjungan
Lansia Ke Posyandu lansia di
Posyandu Bugenvil 50 Desa
Gugut Kabupaten Jember Tahun
2015
Dukungan
Keluarga
Baik
Tidak Baik
Jumlah
Kunjungan Lansia
Aktif
Tidak Aktif
24
15
6
23
30
38
∑
39
29
68
Sumber : Data Primer 2015
Berdasarkan
tabel
5.10
menunjukkan bahwa sebanyak 30 lansia
yang aktif melakukan kunjungan lansia
cenderung terjadi pada lansia yang
memperoleh
dukungan
baik
dari
keluarga, sementara lansia yang tidak
aktif sebanyak 38 cenderung terjadi pada
lansia yang memperolah dukungan tidak
baik.
Hasil pengujian dengan uji chi
square diperoleh hasil x2 hitung (11.257) >
x2 tabel (3.48) dengan n nilai p value
(0,001) < a (0,05). Ini berarti bahwa Ha
diterima yaitu ada Hubungan Dukungan
Keluarga dengan Kunjungan Lansia ke
Posyandu Lansia di Posyandu Bugenvil
50 Desa Gugut Kabupaten Jember
PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa sebanyak 30 lansia
yang aktif melakukan kunjungan lansia
cenderung terjadi pada lansia yang
memperoleh
dukungan
baik
dari
keluarga, sementara lansia yang tidak
aktif sebanyak 38 cenderung terjadi pada
lansia yang memperolah dukungan tidak
baik.
Berdasarkan
hasil
pengujian
dengan uji chi square diperoleh hasil x2
2
hitung (11.257) > x tabel (3.48) dengan n
nilai p value (0,001) < a (0,05). Ini
berarti bahwa Ha diterima yaitu ada
Hubungan Dukungan Keluarga dengan
Kunjungan Lansia ke Posyandu Lansia di
Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut
Kabupaten Jember
Keaktifan lansia dalam mengikuti
Posyandu lansia sangat dipengaruhi oleh
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
dukungan
keluarga
itu
sendiri.
keluarga diharapkan dapat memberikan
motivasi
pada
lansia
dalam
mempertahankan kesehatanya (Maryam,
2008). Dukungan keluarga mempunyai
pengaruh yang besar dalam kehidupan
lansia,
karena merasa memperoleh
dukungan keluarga, secara emosional
karena merasa diperhatikan, mendapat
saran atau kesan yang menyenangkan
pada dirinya dan perilaku suatu kegiatan
atau aktifitas yang dapat diamati
maupun tidak. (Rahayu, 2008). Keluarga
merupakan tempat
bernaung dan
berlindung bagi para lansia, oleh karena
itu
keluarga
diharapkan
dapat
memberikan dukungannya
terhadap
lansia, karena dukungan keluarga
merupakan salah satu unsur terpenting
dalam
membantu
individu
menyelesaikan masalah dalam hal ini
masalah kesehatanya. Apabila ada
dukungan, rasa percaya diri akan
bertambah
dan
motivasi
untuk
menghadapi masalah yang terjadi akan
meningkat (Stuart dan Sundeen, 1995
dalam Tamher dan Noorkhasiani, 2009).
Peneliti menganalisa bahwa pada
orang lanjut usia (lansia) banyak dari
organ tubuh yang mulai mengalami
proses degenerasi atau menua serta
berbagai macam penyakit kronis yang
mulai mengghinggapi mereka. Maka
perlu peran dari anggota keluarga dalam
memberikan dukungan. Dukungan sosial
merupakan informasi verbal maupun non
verbal, saran, bantuan yang nyata yang
diberikan oleh orang-orang yang dekat
dengan subjek di dalam lingkungan
sosialnya, atau yang berupa kehadiran
dan hal-hal yang dapat memberikan
keuntungan emosional atau pengaruh
pada tingkah laku penerimanya.
Peneliti menganalisa bahwa
keluarga menghendaki lansia tinggal
bersama agar dapat dirawat oleh
keluarga, hal ini memberi manfaat bagi
kedua belah pihak sehingga lansia
dapat merasakan kedamaian berada di
tengah-tengah
keluarga.
Sedangkan
178
keluarga dapat
memetik
manfaat
kepuasan
batin dalam memberikan
pengabdian,
balas
budi
dan
membahagiakan orang tua. Cara ini
sesuai dengan agama, maupun budaya
yang mengikat mereka. Permasalahan
bagi
lansia
adalah
permasalahan
kesehatan, oleh karena itu peran
keluarga sangat diperlukan sebagai
bentuk dukungan bagi lansia terutama
dalam memeriksakan kesehatan secara
rutin ke Posyandu Lansia.
KESIMPULAN
1. Identifikasi
dukungan
informasi
keluarga di Posyandu Bugenvil 50
Desa Gugut Kabupaten Jember
sebagian
besar
dukungan
informasional adalah baik sebanyak 38
orang (55.9%)
2. Identifikasi
dukungan
penilaian
keluarga di Posyandu Bugenvil 50
Desa Gugut Kabupaten Jember
sebagian besar Dukungan Penilaian
adalah baik sebanyak 42 orang
(61.8%)
3. Identifikasi dukungan instrumental
keluarga di Posyandu Bugenvil 50
Desa Gugut Kabupaten Jember
sebagian besar Dukungan Instrumental
adalah baik sebanyak 40 orang
(58.8%)
4. Identifikasi dukungan Emosional
keluarga di Posyandu Bugenvil 50
Desa Gugut Kabupaten Jember bahwa
sebagian besar dukungan keluarga
adalah baik sebanyak 45 orang
(66.2%)
5. Identifikasi dukungan keluarga di
Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut
Kabupaten Jember bahwa sebagian
besar dukungan keluarga adalah baik
sebanyak 39 orang (57.4%)
6. Identifikasi kunjungan lansia ke
posyandu lansia di Posyandu Bugenvil
50 Desa Gugut Kabupaten Jember
sebagian besar keaktifan kunjungan
lansia pada posyandu adalah tidak
aktif sebanyak 38 orang (55.9%)
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
7. Ada hubungan yang positif dukungan
keluarga dengan kunjungan lansia ke
posyandu lansia di Posyandu Bugenvil
50 Desa Gugut Kabupaten Jember
SARAN
1. Bagi Posyandu Bugenvil 50 Desa
Gugut
Mengingat
kunjungan
lansia
banyak yang tidak aktif maka diharapkan
kader posyandu semakin kreatif dalam
meningkatkan partisipasi kunjungan
lansia seperti melakukan kunjungan door
to door ke rumah lansia agar ikatan
emosional terbangun antara lansia dengan
kader.
2. Bagi Institusi Keperawatan STIKES
dr. Soebandi Jember
Institusi sebagai pencetak sumber
daya
manusia
diharapkan
dapat
meningkatkan kemampuan mahasiswa
berbasis pada kebutuhan masyarakat, hal
ini diharapkan agar nantinya ilmu yang
diperoleh lansung bisa diterapkan dalam
kehidupan masyarakat
3. Bagi Peneliti
Perlu dilakukan penelitian lanjutan
dengan menambahkan variabel lain yang
tidak dikaji dalam penelitian ini seperti
jarak tempu dan sebagainya
4.
Bagi Responden/Lansia
Lansia semakin aktif dalam
melakukan kunjungan mengingat lansia
mengalami banyak kemunduran fisik
sehingga kesehatan perlu diperhatikan
salah satunya dengan melakukan
kunjungan ke posyandu
5.
Bagi Profesi
Meningkatkan upaya pelayanan
kesehatan agar lansia dapat termotivasi
dalam meakukan kunjungan ke posyandu,
hal
ini
bisa
dilakukan
dengan
memudahkan lansia dalam menerima
pelayanan kesehatan di posyandu, atau
bisa dilakukan dengan pelayanan
kesehatan keliling bagi lansia
DAFTAR PUSTAKA
Azizah. (2011). Keperawatan Lanjut
Usia.Yogyakarta: Graha Ilmu
179
Bandiyah, S. (2009). Lanjut Usia Dan
Keperawatan
Gerontik.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Bart, Smet. (2004). Psikologi kesehatan.
Jakarta: PT. Grasindo.
BPS
Kabupaten
Jember.(2010).
Kabupaten Jember Dalam Angka
Tahun 2009. Kabupaten Jember:
Badan Pusat Statistik
Bustan,
M.N. (2007).
Epidemiologi
Penyakit Tidak Menular. Jakarta :
Rineka Cipta
Dinkes Jember, (2013). Profil Kesehatan
Kabupaten Jember Tahun
2012. Jember
Depkes RI, (2003). Indikator Indonesia
Sehat
2010
dan
Pedoman
Penetapan Indikator Provinsi Sehat
dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta.
Departemen
Kesehatan R.I.
(2005).
Rencana
Strategi Departemen
Kesehatan. Jakarta: Depkes. RI.
Depkes. (2008). Pedoman Umum
Pengelolaan Posyandu. Jakarta:
Departeman Kesehatan Repiblik
Indonesia.
Friedman.
(2010).
Buku
Ajar
Keperawatan
Keluarga
Riset,
Teori, dan Praktek, Edisi kelima.
Jakarta.:
Fakultas
Kedokteran
Universitas Indonesia.
Hardywinoto.
(2005).
Panduan
Gerontologi
Tinjauan
dari
Berbagai
Aspek:
Menjaga
Keseimbangan Kualitas Hidup
Para
Lanjut
Usia.
Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hidayat, A. A. (2014). Metodelogi
Penelitian Kebidanan dan Teknik
Analisis Data. Jakarta: Salemba
Medika.
Ismawati, S. (2010). Posyandu Dan Desa
Siaga . Yogyakarta: Nuha Medika.
Kusumoputro, S & Sidiarto, L. D.
(2004). Mengenal Awal Pikun
Alzheimer.
Jakarta:
Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press).
Kementrian
Kesehatan Republik
Indonesia,
(2012).
Profil
Kesehatan Indonesia.2010 Jakarta
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia 2011 [Diakses pada 12
Januari 2015]. Available from
URL:
HIPERLINKhttp://www.depkes.go.
id/downloads/PROFIL_DATA_KE
SEHATAN_INDONESIA.pdf
Kemenkes. (2014). Gambaran Kesehatan
Lanjut Usia di Indonesia. Buletin
Jendela, Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI.
Maryam, et all, (2012). Mengenal Usia
Lanjut Dan Perawatannya, Jakarta:
Salemba Medika
Mubarok, d. (2009). Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Salemba
Medika.
Notoatmodjo. (2010). Metode penelitian
Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Nugroho, W. (2008). Perawatan Lanjut
Usia. Jakarta: EGC.
Nursalam. (2011). Konsep & Penerapan
Metode
Penelitian
Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Orford,
Jim.
(1992).
Community
Psychology Theory and Prachce.
England: John Willey and sons
Papalia, D. E. dkk. (2007). Adult
Development and Aging (3rded.).
New York: Mc.
Prawirohardjo,
Sarwono.
(2009). Pelayanan
Kesehatan
Maternal Dan Neonatal. Jakarta:
PT Bina Pustaka
Pertiwi, H. W. (2013). faktor-Faktor
yang
berhubungan
dengan
Frekuensi Kehadiran Lanjut Usia
di Posyandu Lansia . Bidan Prada :
Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 4
No. 1 Edisi Juni 2013.
Rahayu, Juniati Kohar, Eva Rahayu.
(2008).
Hubungan
Antara
Dukungan Keluarga
Melalui
Interaksi
Sosial,
Upaya
Penyediaan
Transportasi,
Finansial, Dan Dukungan Dalam
Menyiapkan Makanan Dengan
Respon Kehilangan Pada Lansia
180
Di
Desa
Pekaja,
kalibagor
Kabupaten Banyumas,
diakses
dari
http://jurnalonline.unsoed.ac.id/ind
ex.php/keperawatan/article/view/24
9/100, tanggal 5 maret 2015
Riset
Kesehatan
Dasar.
(2007).
Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan
Kesehatan,
Departemen Kesehatan, Republik
Indonesia.
Sarafino, E. (2008). Healt Psychology :
Biopsychosocial Interactions. Fifth
Edition. USA : John Wiley & Son
Schaffer, S. Graf 2000. Pencegahan
. Jakarta: EGC.
Sarwono, S. (2009). Pengantar Psikologi
Umum. Jakarta: Rajawali Press.
Setiadi, (2008), Keperawatan Keluarga,
Jakarta: EGC
Soekanto, Soerjono. (2006).
Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: Raja
Grafindo. Persada
Sugiyono.
(2009).
Statistik
Non
Parametrik. Jakarta: CV. Alfabeta.
Suparyanto. (2011). Konsep Dukungan
http://drsuparyanto.com/2011/05/konsep dukungan.html: diakses tanggal 20
April 2015.
Tamher, S. & Noorkasiani. (2009).
Kesehatan Usia Lanjut dengan
Pendekatan. Asuhan Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Veilel, Hans of. & Urs Baumann. (1992).
The many meaning of social
support. In : Meaning and
Measurement of Social Support.
Hans of Veilel & Urs Baumann.
Eds. New York : Hemisphere
Publish Corp
Wahjudi, Nugroho. (2008). Keperawatan
Gerontik & Geriatrik. Jakarta: EGC
Wahyuningsih, Merry. (2011). Ini Dia 5
Provinsi dengan Jumlah Lansia
Paling Banyak. Diakses pada 15
Maret
2015
dari
http://health.detik.com/read/2011/1
2/06/170435/1784303/763/ini-dia-
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
5-provinsi-dengan-jumlah-lansiapaling-banyak
Watson, Roger. (2003). Perawatan Pada
Lansia. Jakarta : EGC
Wijayanti, R. (2010). Hubungan antara
Dukungan
Keluarga
dengan
Respon Sosial pada Lansia di Desa
Sokaraja Lor Kecamatan Sokaraja.
Jurnal Keperawatan Soedirman
(The Soedirman Journal of
Nursing), Volume 5, No.1, Maret
2010: diakses tanggal 15 April
2015
Yunita, Nalindra Prima. (2010). Pusat
Pelayanan Lanjut Usia di Jember.
Tugas Akhir. Surabaya: Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas Pembangunan Nasional
Veteran
181
P E NG A RU H PE N Y U L U H A N T E N T A NG J AJ ANA N SEHAT
TERHADAP SIKAP ANAK SD KELAS IV DAN V DALAM
KONSUMSI JAJANAN DI SDN V AJUNG KALISAT KABUPATEN
JEMBER 2015
Anwarah Andriani*, Moh. Wildan**, Said Mardijanto***, Lailil Fatkuriyah****
*, ***, **** Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember
**Poltekkes Kemenkes Malang
ABSTRAK
Makanan jajanan sekolah saat ini perlu menjadi perhatian masyarakat, khususnya
orang tua, pendidik, dan pengelola sekolah. Makanan dan jajanan sekolah sangat beresiko
terhadap cemaran biologis atau kimiawi yang banyak menganggu kesehatan, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Penelitian ini adalah penelitian pra-eksperimen one group
pretest - post test yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyuluhan tentang jajanan
sehat terhadap sikap anak SD dalam konsumsi jajanan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten
Jember. Populasi dalam penelitian ini adalah 60 responden dengan sampel sebesar 52
responden. Teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa sikap anak SD dalam konsumsi jajanan sebelum
mendapat penyuluhan yaitu negatif sejumlah 27 orang (51.9%) setelah mendapat
penyuluhan positif sejumlah 40 orang (63.73%). Berdasarkan uji Wilcoxon yang dianalisis
dengan menggunakan SPSS diperoleh nilai signifikansi (Asymp. Sig) antara sikap sebelum
dan sesudah penyuluhan sebesar 0.008 < 0.05, artinya ho ditolak dan ha diterima, sehingga
ada Pengaruh Penyuluhan tentang Jajanan Sehat terhadap Sikap Anak SD Kelas IV dan V
dalam Konsumsi Jajanan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember. Simpulan dari
penelitian ini adalah pemberian penyuluhan terbukti efektif merubah sikap siswa terhadap
konsumsi jajanan sehat, sehingga semakin sering pemberian informasi/penyuluhan maka
akan semakin baik sikap yang terbentuk. Mengingat pentingnya penyuluhan terhadap
konsumsi jajanan maka upaya untuk meningkatkan pemberian informasi oleh pihak
sekolah kepada siswa SD sangatlah penting agar resiko penyakit dapat dikurangi.
Kata kunci
: Sikap, Penyuluhan, Jajanan Sehat
PENDAHULUAN
Makanan jajanan sekolah saat ini
perlu menjadi perhatian masyarakat,
khususnya orang tua, pendidik, dan
pengelola sekolah. Makanan dan jajanan
sekolah sangat beresiko terhadap cemaran
biologis atau kimiawi yang banyak
menganggu kesehatan, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Dengan
banyaknya makanan yang mengandung
bahan kimia berbahaya di pasaran, kantinkantin sekolah, dan penjaja makanan di
sekitar sekolah merupakan agen penting
yang bisa membuat siswa mengkonsumsi
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
makanan tidak sehat (Iswaranti, 2004).
Ketidaktahuan tentang bahan makanan
dapat menyebabkan pemilihan makanan
yang salah.
Survei oleh BPOM tahun 2014
ditargetkan 10 persen sekolah dari total
180.000 SD dan MI yang akan dilakukan
pengawasan Pangan Jajanan Anak
Sekolah (PJAS) yaitu 8.000 sekolah
SD/MI terkait PJAS sudah dapat
memenuhi syarat seperti tidak ada bahan
berbahaya, tidak ada bahan tambahan
pangan, bebas dari kontaminasi logam
berat dan higienis (Kusmiyati, 2014).
182
Balai Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) Surabaya, selama
kejadian tahun 2012 ditemukan 22 persen
JPAS yang masih berbahaya. Sebanyak 78
persen sisanya diyakini BPOM sudah
cukup aman untuk dikonsumsi dari target
BPOM Surabaya pada 2012 hanya 70
persen
PJAS
aman
konsumsi
(Kominfojatim,
2013).
Berdasarkan
Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) kabupaten Jember tahun 2015,
masih menemukan adanya jajanan anak di
sekolah yang mengandung bahan tidak
aman untuk kesehatan, tercatat hampir
90% jajanan anak sekolah mengandung
bahan berbahaya seperti boraks, formalin,
dan zat pewarna (BPOM Surabaya, 2015).
Di Indonesia, kejadian luar biasa
karena pangan yang kerap terjadi adalah
keracunan makanan. Menurut data
BPOM, pada tahun 2013 jumlah korban
keracunan pangan Indonesia mencapai
25.268 orang. Dari 80% kasus keracunan
yang terjadi pada anak sekolah, 35%-nya
dialami anak sekolah dasar.
Bahaya makanan jajanan sekolah
dan makanan umum lainnya bisa muncul
untuk jangka pendek, bisa juga pada
jangka panjang. Pada jangka pendek,
terjadi keracunan makanan sebab tercemar
mikroorganisme, parasit, atau bahan racun
kimiawi (pestisida). Muntah dan diare
sehabis mengonsumsi jajanan paling
sering ditemukan. Bahaya jangka panjang
jajanan yang tidak menyehatkan apabila
bahan tambahan dalam makanan dan
minuman bersifat pemantik kanker, selain
kemungkinan gangguan kesehatan lainnya
(Pondokibu, 2012).
Untuk mengatasi masalah makanan,
masyarakat khususnya anak sekolah usia
(6-12 tahun anak perlu memperoleh bekal
pengetahuan tentang makanan. Memiliki
pengetahuan tentang makanan tidak
berarti
seseorang
mau
mengubah
kebiasaan
mengkonsumsi
makanan.
Mereka mungkin mengerti tentang
protein, karbohidrat, vitamin, mineral dan
zat gizi lainnya yang diperlukan untuk
kebutuhan,
tetapi
tidak
pernah
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
mengaplikasikan pengetahuan tersebut
didalam kehidupan sehari-hari (Suci,
2014).
Berdasarkan studi pendahuluan
yamg di lakukan pada bulan maret di SDN
V Kalisat terhadap 10 anak kelas IV di
dapatkan hasil sikap 6 (60%) sikap negatif
dan 4 (40%) di dapatkan sikap positif
tentang makanan jajanan sehat. Dan dari
10 anak ada beberapa anak mengatakan
sakit perut 2 anak setelah jajan tetapi anak
tersebut tidak menganggap itu sebagai
sebuah masalah.
Menurut
Notoatmodjo
(2010)
perilaku kesehatan seseorang dipengaruhi
oleh pengetahuan, kepercayaan, sikap,
orang penting sebagai referensi, sumber
daya dan kebudayaaan. Pengetahuan
merupakan faktor dominan yang sangat
penting untuk terbentuknya sikap dan
perilaku seseorang. Penerimaan sikap dan
perilaku didasari oleh pengetahuan,
kesadaran dan sikap yang positif maka
perilaku tersebut akan bersifat langgeng.
Penelitian Purtiantini (2010) yang
dilakukan di SDIT Muhammadiyah Al
Kautsar Gumpang Kartasura didapatkan
Hasil
penelitian
diketahui
tingkat
pengetahuan anak tentang pemilihan
makanan
jajanan
sebagian
besar
mempunyai tingkat pengetahuan baik
yaitu 96,6%. Sikap anak tentang
pemilihan makanan jajanan sebagian besar
mempunyai sikap mendukung sebanyak
60,3%. Perilaku anak dalam memilih
makanan sebagian besar mempunyai
perilaku baik sebanyak 43,1% dan yang
mempunyai perilaku tidak baik sebanyak
56,9%.
Salah satu metode perubahan sikap
yang bisa dilakukan dengan memberikan
penyuluhan. Penyuluhan
merupakan
peran penting dalam
memberi
pengetahuan atau menanamkan suatu
konsep. Penyuluhan ini
mengubah
domain pengetahuan dan sikap, sehingga
pada akhirnya seseorang dapat melakukan
tindakan perubahan dengan benar
(Notoatmodjo, 2010).
183
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut: Adakah
Pengaruh
Penyuluhan tentang Jajanan Sehat
terhadap Sikap Anak SD Kelas IV dan V
dalam Konsumsi jajanan di SDN V Ajung
Kalisat Kabupaten Jember?
TINJAUAN PUSTAKA
Perilaku
Perilaku manusia pada hakekatnya
adalah tindakan atau aktivitas manusia itu
sendiri yang mempunyai bentangan yang
sangat luas antara lain: berjalan, berbicara,
menangis, tertawa, bekerja, kuliah,
menulis, membaca, dan sebagainya. Dari
uraian ini dapat disimpulkan bahwa
perilaku (manusia) adalah semua kegiatan
atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati langsung, maupun yang tidak
dapat diamati oleh pihak luar (Sugiyono,
2009).
Menurun Lawrence Green dalam
Notoatmodjo 2010, perilaku dipengaruhi
oleh 3 faktor utama, yakni:
1. Faktor-faktor predisposisi
(predisposing factor)
Faktor-faktor
ini
mencakup:
pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap
kesehatan,
tradisi
dan
kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kesehatan, sistem
nilai yang dianut masyarakat tingkat
pendidikan, tingkat sosial ekonomi.
Ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut. Untuk perilaku kesehatan,
misalnya: pemeriksaan kesehatan bagi ibu
hamil diperlukan pengetahuan dan
kesadaran ibu tersebut tentang manfaat
periksa hamil.
2. Faktor-faktor pemungkin (enambling
factors)
Faktor-faktor
ini
mencakup
ketersediaan sarana dan prasarana atau
fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misal:
air
bersih,
tempat
pembuangan
sampah,ketersediaan makanan bergizi
termasuk
juga
fasilitas
pelayanan
kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit,
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
poliklinik posyandu, polindes, dokter atau
bidan praktek swasta dan sebagainya.
3. Faktor-faktor penguat (reinforcing
factors)
Faktor-faktor ini meliputi faktor
sikap dan perilaku tokoh masyarakat
(toma),tokoh agama (toga), sikap dan
perilaku para petugas termasuk petugas
kesehatan, termasuk juga disini undangundang, peraturan-peraturan baik dari
pusat maupun pemerintah daerah yang
terkait dengan kesehatan.
Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon
seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap secara
nyata menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktifitas, akan tetapi
merupakan “pre-disposisi” tindakan atau
perilaku. Sikap itu masih merupakan
reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi
terbuka (Notoatmodjo, 2010).
Menurut Azwar (2010), sikap sosial
terbentuk dari adanya interaksi social
yang dialami oleh individu. Dalam
interaksi sosial, terjadi hubungan saling
mempengaruhi diantara individu yang satu
dengan yang lain, terjadi hubungan timbal
balik yang turut membentuk pola sikap
tertentu terhadap berbagai obyek yang
dihadapi. Faktor yang mempengaruhi
pembentukan sikap manusia antara lain:
a. Pengalaman pribadi
Untuk
dapat
menjadi
dasar
pembentukan sikap, pengalaman pribadi
harus meninggalkan kesan yang kuat.
Karena itu, sikap akan lebih mudah
terbentuk apabila pengalaman pribadi
terjadi dalam situasi yang melibatkan
emosi, penghayatan akan pengalaman
lebih mendalam dan lebih lama
membekas.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap
penting
Pada umumnya, individu cenderung
untuk memilih sikap yang searah dengan
sikap orang yang dianggapnya penting.
Pada masa anak - anak dan remaja, orang
184
tua biasanya menjadi figur yang paling
berarti bagi anak. Interaksi antara anak
dan orang tua merupakan determinan
utama sikap anak. Sikap orang tua dan
sikap anak cenderung untuk selalu sama.
Namun, apabila dibandingkan dengan
pengaruh teman sebaya maka pengaruh
sikap orang tua jarang sekali menang.
c. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana individu hidup
dan dibesarkan mempunyai pengaruh
besar terhadap pembentukan sikap.
d. Media Massa
Mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan opini dan kepercayaan
orang. Media massa membawa pesanpesan yang berisi sugesti yang dapat
mengarahkan opini. Adanya informasi
baru mengenai sesuatu hal memberikan
landasan kognitif baru bagi terbentuknya
sikap terhadap hal tersebut.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga
Agama
Kedua lembaga tersebut meletakkan
dasar pengertian dan konsep moral dalam
diri individu.
f. Media Massa
Dalam pemberitaan surat kabar
mauoun radio atau media komunikasi
lainnya, berita yang seharusnya faktual
disampaikan secara obyektif cenderung
dipengaruhi oleh sikap penulisnya,
akibatnya berpengaruh terhadap sikap
konsumennya.
Penyuluhan
Penyuluhan
kesehatan
adalah
kegiatan pendidikan kesehatan yang
dilakukan dengan cara menyebarluaskan
pesan dan menanamkan keyakinan.
Dengan demikian, masyarakat tidak saja
sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau
dan dapat melakukan anjuran yang
berhubungan dengan kesehatan (Maulana,
2009).
Menurut
Notoatmodjo
(2007),
metode penyuluhan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi tercapainya
suatu hasil penyuluhan secara optimal.
Metode yang dikemukakan antara lain :
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
a. Metode
penyuluhan
perorangan
(individual)
Dalam
penyuluhan
kesehatan
metode ini digunakan untuk membina
perilaku baru atau seseorang yang telah
mulai tertarik pada suatu perubahan
perilaku atau inovasi. Dasar digunakan
pendekatan individual ini karena setiap
orang mempunyai masalah atau alasan
yang berbeda-beda sehubungan dengan
penerimaan atau perilaku baru tersebut.
Bentuk dari pendekatan ini antara lain :
1. Bimbingan dan penyuluhan
Dengan cara ini kontak antara klien
dengan petugas lebih intensif. Setiap
masalah yang dihadapi oleh klien dapat
dikoreksi dan dibantu penyelesaiannya.
Akhirnya klien akan dengan sukarela,
berdasarkan kesadaran dan penuh
pengertian akan menerima perilaku
tersebut.
2. Wawancara
Cara ini sebenarnya merupakan
bagian dari bimbingan dan penyuluhan.
Wawancara antara petugas kesehatan
dengan klien untuk menggali informasi
mengapa ia tidak atau belum menerima
perubahan, ia tertarik atau belum
menerima
perubahan,
untuk
mempengaruhi apakah perilaku yang
sudah atau akan diadopsi itu mempunyai
dasar pengertian dan kesadaran yang kuat,
apabila belum maka perlu penyuluhan
yang lebih mendalam lagi.
b. Metode penyuluhan kelompok
Dalam memilih metode penyuluhan
kelompok harus mengingat besarnya
kelompok sasaran serta tingkat pendidikan
formal pada sasaran. Untuk kelompok
yang besar, metodenya akan berbeda
dengan kelompok kecil. Efektifitas suatu
metode akan tergantung pula pada
besarnya sasaran penyuluhan. Metode ini
mencakup :
1. Kelompok besar, yaitu apabila peserta
penyuluhan lebih dari 15 orang.
Metode yang baik untuk kelompok ini
adalah ceramah dan seminar
a) Ceramah
185
Metode ini baik untuk sasaran yang
berpendidikan tinggi maupun rendah. Halhal yang perlu diperhatikan dalam
menggunakan metode ceramah adalah :
1) Persiapan
Ceramah yang berhasil apabila
penceramah itu sendiri menguasai materi
apa yang akan diceramahkan, untuk itu
penceramah harus mempersiapkan diri.
Mempelajari materi dengan sistematika
yang baik. Lebih baik lagi kalau disusun
dalam diagram atau skema dan
mempersiapkan
alat-alat
bantu
pengajaran.
2) Pelaksanaan
Kunci keberhasilan pelaksanaan
ceramah adalah apabila penceramah dapat
menguasai
sasaran
Untuk
dapat
menguasai sasaran penceramah dapat
menunjukkan sikap dan penampilan yang
meyakinkan. Tidak boleh bersikap raguragu dan gelisah. Suara hendaknya cukup
keras dan jelas.
Pandangan harus tertuju ke seluruh
peserta. Berdiri di depan/dipertengahan,
seyoganya tidak duduk dan menggunakan
alat bantu lihat semaksimal mungkin.
b) Seminar
Metode ini hanya cocok untuk
sasaran kelompok besar deng pendidikan
menengah ke atas. Seminar adalah suatu
penyajian dari seseorang ahli atau
beberapa orang ahli tentang suatu topik
yang dianggap penting dan dianggap
hangat di masyarakat.
2. Kelompok kecil, yaitu apabila peserta
penyuluhan kurang dari 15 orang.
Metode yang cocok untuk kelompok
ini adalah diskusi kelompok, curah
pendapat, bola salju, memainkan
peranan, permainan simulasi.
c. Metode penyuluhan massa
Dalam metode ini penyampaian
informasi ditujukan kepada masyarakat
yang sifatnya massa atau publik. Oleh
karena sasaran bersifat umum dalam arti
tidak membedakan golongan umur, jenis
kelamin, pekerjaan, status ekonomi,
tingkat pendidikan dan sebagainya, maka
pesan kesehatan yang akan disampaikan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
harus dirancang sedemikian rupa sehingga
dapat ditangkap oleh massa tersebut. Pada
umumnya bentuk pendekatan masa ini
tidak langsung, biasanya menggunakan
media massa. Beberapa contoh dari
metode ini adalah ceramah umum, pidato
melalui media massa, simulasi, dialog
antara pasien dan petugas kesehatan,
sinetron, tulisan dimajalah atau koran, bill
board yang dipasang di pinggir jalan,
spanduk, poster dan sebagainya.
Jajanan Sehat
Makanan
jajanan
merupakan
makanan dan minuman yang dipersiapkan
dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima di
jalanan dan di tempat-tempat keramaian
umum lain yang langsung dimakan atau
dikonsumsi tanpa pengolahan atau
persiapan lebih lanjut. Konsumsi makanan
jajanan
yang
tidak
sehat
dapat
mengakibatkan penurunan status gizi dan
meningkatnya angka kesakitan pada anak
sekolah.
Jajan atau panganan merupakan
suatu kebiasaan yang di dapat dari hasil
belajar, yang artinya masih bisa
dimodifikasi. Kegiatan jajan bagi anak
merupakan
pengalaman
yang
menyenangkan. Jajan pada anak terkadang
suatu bentuk perlawanan terhadap
orangtua
atau
sebagai
"lambang
pergaulan"
bersama
teman-teman
sebayanya, atau untuk "membeli"
pertemanan. Kebiasaan jajan pada anak
bisa berpengaruh terhadap gizi buruk.
Jajan yaitu membeli sesuatu yang
tersedia di kantin, restoran, warung atau
penjajan/penjual keilling berupa makanan
atau minuman jadi tanpa memasaknya
kembali dan langsung, merupakan
santapan sewaktu-waktu diluar jam makan
(Purwati, 2004).
Jenis makanan jajanan dibagi
menjacli 4 kelompok, yaitu:
a. Makanan utama, seperti rames, nasi
pecel, bakso, mie ayam, dan
sebagainya.
b. Snack atau penganan seperti permen,
ciki-ciki, cilok ,sosis dan sebagainya.
186
c. Golongan minuman seperti cendol, es
krim, es teler, es buah, es teh, es sirup
dan sebagainya.
d. Buah-buahan segar (Kusmiyati, 2014)
Hipotesis
Hipotesis
merupakan
suatu
pernyataan yang masih lemah dan
membutuhkan
pembuktian
untuk
menegaskan apakah hipotesis tersebut
dapat diterima atau harus ditolak
berdasarkan fakta atau data empiris yang
telah dikumpulkan dalam penelitian
(Notoatmodjo, 2010).
Hipotesi pada penelitian ini adalah :
Ha : Ada Pengaruh Penyuluhan tentang
Jajanan Sehat terhadap Sikap Anak
SD Kelas IV dan V dalam
Konsumsi Jajanan di SDN V Ajung
Kalisat Kabupaten Jember.
Ho : Tidak ada Pengaruh Penyuluhan
tentang Jajanan Sehat terhadap
Sikap Anak SD Kelas IV dan V
dalam Konsumsi Jajanan di SDN V
Ajung Kalisat Kabupaten Jember.
METODE PENELITIAN
Desain yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian praeksperimen one group pretest - post test.
Rancangan ini tidak ada kelompok
pembanding (kontrol), tetapi paling tidak
sudah dilakukan observasi pertama
(pretest) yang memungkinkan peneliti
dapat menguji perubahan–perubahan yang
terjadi setelah adanya eksperimen (dalam
hal ini penyuluhan). Pada penelitian ini
populasi yang akan diambil adalah seluruh
siswa kelas IV dan V SDN V Ajung
Kalisat sebanyak 60 orang. Besar sampel
sebanyak 52 orang. Pada penelitian ini
pengambilan
sampling
dengan
menggunakan simple random sampling
yaitu pengambilan sampel dengan cara
acak tanpa memperhatikan strata yang ada
dalam anggota populasi (Notoatmodjo,
2010). Unit analisis yang digunakan
adalah Uji statistik Wilcoxon
HASIL PENELITIAN
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Data Umum
d. Identifikasi Umur Responden
Tabel
5.2: Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Umur di SDN V Ajung
Kalisat Kabupaten Jember 2015.
Umur
Jumlah
Persentase
12 tahun
30
57,7%
13 tahun
20
38,5%
14 tahun
2
3,8%
Jumlah
52
100%
Sumber : Data Sekunder 2015
Berdasarkan tabel 5.2 umur
responden sebagian besar umur 12 tahun
sejumlah 30 orang (57,7%).
e. Identifikasi Jenis Kelamin Responden
Tabel
5.3: Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin di SDN V
Ajung Kalisat Kabupaten Jember 2015.
Jenis Kelamin
Jumlah
Persentase
Laki- Laki
22
42,3%
Perempuan
30
57,7%
Jumlah
52
100%
Sumber : Data Sekunder 2015
Berdasarkan tabel
responden sebagian besar
sejumlah 30 orang (57,7%).
5.3 umur
perempuan
Data Khusus
h. Identifikasi sikap anak SD tentang
konsumsi jajanan sebelum mendapat
penyuluhan di SDN V Ajung Kalisat
Kabupaten Jember.
Tabel 5.4: Distribusi Frekuensi Sikap Anak SD
tentang
Konsumsi Jajanan Sebelum
Mendapat Penyuluhan di SDN V Ajung
Kalisat Kabupaten Jember pada Tahun
2015
Sikap Sebelum
Mendapat Penyuluhan
Jumlah
Persentase
Positif
25
48.1%
Negatif
27
51.9%
Jumlah
52
100%
Sumber : Data Sekunder 2015
Berdasarkan tabel 5.4 sebagian
besar sikap anak SD tentang konsumsi
187
jajanan sebelum mendapat penyuluhan
yaitu negatif sejumlah 27 orang (51.9%)
dan positif sejumlah 25 orang (48.1%).
i. Identifikasi sikap anak SD tentang
konsumsi jajanan setelah mendapat
penyuluhan di SDN V Ajung Kalisat
Kabupaten Jember.
penyuluhan.
Hasil
penelitian
menunjukkan jika sikap anak SD Kelas IV
dan V dalam konsumsi jajanan sebelum
menerima penyuluhan sebagian besar
adalah negatif dan setelah menerima
penyuluhan sebagian besar adalah positif.
Berdasarkan uji Wilcoxon yang dianalisis
dengan menggunakan SPSS diperoleh
nilai signifikansi (Asymp. Sig) antara sikap
sebelum dan sesudah penyuluhan sebesar
0.008 < 0.05, artinya ho ditolak dan ha
diterima, sehingga
ada Pengaruh
Penyuluhan tentang Jajanan Sehat
terhadap Sikap Anak SD Kelas IV dan V
dalam Konsumsi Jajanan di SDN V Ajung
Kalisat Kabupaten Jember.
Tabel 5.5: Distribusi Frekuensi Sikap Anak SD
Tentang
Konsumsi Jajanan Setelah
Mendapat Penyuluhan di SDN V Ajung
Kalisat Kabupaten Jember pada Tahun
2015
Sikap Sesudah
Mendapat
Penyuluhan
Jumlah
Persentase
Positif
35
67.3%
Negatif
17
32.7%
Jumlah
52
100%
Sumber : Data Sekunder 2015
Berdasarkan tabel 5.5 sebagian
besar sikap anak SD tentang konsumsi
jajanan setelah mendapat penyuluhan
positif sejumlah 40 orang (63.73%) dan
negatif sejumlah 17 orang (32.7%).
j. Distribusi Silang Penyuluhan tentang
Jajanan Sehat terhadap Sikap Anak SD
Kelas IV dan V dalam Konsumsi
jajanan di SDN V Ajung Kalisat
Kabupaten Jember.
Tabel 5.6 : Distribusi frekuensi Penyuluhan
tentang Jajanan Sehat terhadap Sikap Anak
SD Kelas IV dan V dalam Konsumsi
jajanan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten
Jember pada Tahun 2015
Sebelum
Mendapat
Penyuluhan
Positif
Negatif
Jumlah
Sesudah mendapat penyuluhan
Positif
%
Negatif
%
25
10
35
48.08
19.23
67.31
0
17
17
0
32.7
32.7
∑
%
25
27
52
48.08
51.92
100
Sumber : Data Sekunder 2015
Berdasarkan tabel 5.6 menunjukkan
bahwa sikap sebelum mendapatkan
penyuluhan sebagian besar negatif
sejumlah 27 orang (51.9%) dan positif
sejumlah 25 orang (48.1%). Sementara
sikap setelah mendapatkan penyuluhan
sebagian besar positif sejumlah 40 orang
(63.73%) dan negatif sejumlah 17 orang
(32.7%). Berdasarkan data di atas dapat
diketahui bahwa terdapat peningkatan
sikap Anak SD Kelas IV dan V dalam
konsumsi jajanan setelah mendapatkan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
PEMBAHASAN
Sikap
Berdasarkan
hasil
penelitian
diketahui bahwa sebagian besar sikap
anak SD tentang
konsumsi jajanan
sebelum mendapat penyuluhan yaitu
negatif (51.9%). Terbentuknya sikap
siswa SD kelas IV dan V dalam konsumsi
jajanan berada pada kategori negatif tidak
berdiri sendiri, terdapat beberapa hal yang
diduga berkaitan dengan sikap negatif
tersebut.
Menurut
Azwar
(2000)
mengemukakan beberapa faktor yang
mempengaruhi
pembentukan
sikap
seseorang yaitu pengalaman pribadi,
kebudayaan, orang lain yang dianggap
penting, media massa, institusi atau
lembaga pendidikan dan lembaga agama,
serta faktor emosi dalam diri individu.
KESIMPULAN
1. Sikap anak SD tentang konsumsi
jajanan sebelum mendapat penyuluhan
sebagian besar negatif 48.08%.
2. Sedangkan sikap anak SD tentang
konsumsi jajanan setelah mendapat
penyuluhan sebagian besar positif
67.31%.
3. Berdasarkan
hasil
perhitungan
menggunakan
uji
wilcoxon
menunjukkan
adanya
perbedaan
pemberian penyuluhan tentang Jajanan
Sehat terhadap Sikap Anak SD Kelas
188
IV dan V dalam Konsumsi jajanan di
SDN V Ajung Kalisat Kabupaten
Jember
SARAN
1. Bagi Institusi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan
kepada pihak
sekolah dalam melakukan pemantauan
terhadap penjual makanan jajanan di
lingkungan sekolah.
2. Bagi Responden
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan
pengetahuan
kepada
responden akan pentingnya pengetahuan
dan sikap untuk memperbaiki perilaku
dalam memilih jajanan sehat.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan mampu
menambah pengetahuan dan sebagai
pengalaman dalam merealisasikan teori
yang telah didapat dibangku kuliah,
khususnya
mengenai
pengaruh
penyuluhan kesehatan terhadap sikap anak
SD dalam konsumsi jajanan di SDN V
Ajung Kalisat Kabupaten Jember.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan penelitian ini dapat
dijadikan acuan penelitian sejenis dengan
perbaikan pada tempat dan waktu yang
mendukung
terhadap
pelaksanaan
penyuluhan dan menggunakan alat peraga
yang lebih efektif, sehingga hasil lebih
maksimal, serta menggunakan alat ukur
kuesioner yang telah diuji coba.
5. Keterbatasn Penelitian
Pada
penelitian
ini
metode
pemberian
penyuluhan
dengan
menggunakan metode ceramah sehingga
memungkinkan
kurang
begitu
bersemangat dalam kegiatan penyuluhan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2007). Prosedur Penelitian
suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Azwar. (2010). Perilaku dan Cara
Pengukurannya. Jakarta: Salemba
Medika.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
BPOM. (2004). Persyaratan Penggunaan
Bahan
Tambahan
Pangan
Pemanis Buatan dalam Produk
Pangan.
http://www.pom.go.id:
Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
BPOM. (2006). Bahan Berbahaya Yang
Dilarang
Untuk
Pangan.
http://www.pom.go.id:
Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
Depkes.
(2008). Pedoman Umum
Pengelolaan Posyandu. Jakarta:
Departeman Kesehatan Repiblik
Indonesia.
Depkes. (2009). PHBS di Rumah Tangga.
Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.
Friedman.
(2010).
Buku
Ajar
Keperawatan Keluarga Riset,
Teori, dan Praktek, Edisi kelima.
Jakarta.: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Hardywinoto.
(2005).
Panduan
Gerontologi
Tinjauan
dari
Berbagai
Aspek:
Menjaga
Keseimbangan Kualitas Hidup
Para Lanjut Usia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hidayat, A. A. (2014). Metodelogi
Penelitian Kebidanan dan Teknik
Analisis Data. Jakarta: Salemba
Medika.
Hurlock. (2002). Perkembangan Anak.
Jakarta: Erlangga.
Iswaranti, F. d. (2004). Amankah
Makanan Jajanan Anak Sekolah di
Indonesia.
http://www.gizi.net:
diakses tanggal 20 Maret 2012.
Kominfojatim. (2013). BPOM: 22 persen
Jajanan Anak Sekolah Berbahaya.
http://kominfo.jatimprov.go.id/wat
ch/35146: diakses tanggal 25
Maret 2015.
Kusmiyati. (2014). Jajanan Anak Sekolah
Masih Jadi Perhatian di 2014.
http://health.liputan6.com/read/795
798/jajanan-anak-sekolah-masihjadi-perhatian-di-2014: di akses
tanggal 23 Maret 2015 .
189
Maulana, H. D. (2009). Promosi
Kesehatan. Jakarta: EGC.
Notoatmodjo. (2010). Metode penelitian
Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Notoatmodjo. (2010). Promosi Kesehatan
dan Ilmu Perilaku . Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Nursalam. (2011). Konsep & Penerapan
Metode
Penelitian
Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Pertiwi, D. (2003). Kebiasaan Jajan dan
Preferensi terhadap Makanan
Jajanan Tradisional pada Anak
SD . Fakultas Pertanian Institut
Pertanian.
Pertiwi, H. W. (2013). faktor-Faktor yang
berhubungan dengan Frekuensi
Kehadiran
Lanjut
Usia
di
Posyandu Lansia . Bidan Prada :
Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 4
No. 1 Edisi Juni 2013.
Pondokibu. (2012). Bahaya Makanan
Jajanan
di
Sekitas
Kita.
http://pondokibu.com/2862/bahaya
-makanan-jajanan-di-sekitar-kita/:
diakses tanggal 26 Maret 2015.
Purwati, M. E. (2004). Aspek Gizi dan
Keamanan Pangan Makanan
Jajajnan Di Bursa Kue Subuh
Pasar Senenn. Jakarta : Media
Gizi & Keluarga.
Sawertini, K. (2007). Pangan jajanan
anak
Sekolah.
http://www.pom.go.id.:
dikases
tanggal 20 Maret 2012.
Sibagariang, E. E. (2010). Buku Saku
Metode Penelitian. Jakarta: CV.
Trans Info Media.
Soetjiningsih. (2007). Tumbuh Kembang
Remaja dan Permasalahannya.
Jakarta: Sagung Seto.
Suci, E. S. (2014). Gambaran Perilaku
Jajan Murid Sekolah Dasar di
Jakarta,
Vol
1.
Jakarta:
Psikobuana.
Sugiyono.
(2009).
Statistik
Non
Parametrik. Jakarta: CV. Alfabeta.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Supariasa. (2002). Penilaian Status Gizi.
Jakarta: EGC.
Utomo, T. (2008). Mencegah &
Mengatasi Krisis Anak. Jakarta:
Grasindo.
190
MENGUKUR KUALITAS KINERJA PELAYANAN PUBLIK (PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL) DENGAN SURVEY KEPUASAN PASIEN
Moh. Wildan,1 Hary Yuswadi,2 Puji Wahono,3 Zarah Puspitaningtyas 4
1
Kandidat Doktor Ilmu Administrasi FISIP Universitas Jember
2,3,4
Dosen Pasca Sarjana FISIP Universitas Jember
ABSTRACT
One effort to increase the quality of public services, as mandated in the Law of the
Republic of Indonesia number 25 year 2000 concerning the National Development
Program (PROPENAS), needs to be amonged community satisfaction index as a
benchmark to assess the level of quality of service. This paper intend to describe and
analyze some models and theories of public service performance measurement that related
to the implementation of the National Health Insurance program (JKN) held by BPJS-of
Health. Health care quality is measured from the aspect of community/patient satisfaction
survey. Then linked with efforts to increase patient loyalty towards the implementation of
the program JKN. The implications of this paper is expected to formulate an instrument
and indicators valid, reliable and comprehensive to measure the quality of health services
JKN program. Optimal patient satisfaction is expected to make loyal patients to use health
services with JKN program and recommend to others to follow JKN program.
Keywords: Quality Performance, Public Service, JKN Program, Patient Loyalty.
PENDAHULUAN
Salah
satu
upaya
untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik,
khususnya kebijakan publik pemerintah
tentang program pelayanan kesehatan
bagi
peserta
JKN
sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 25 tahun
2000 tentang Program Pembangunan
Nasional (PROPENAS), perlu dilakukan
evaluasi terhadap kualitas pelayanan
kesehatan program JKN dengan
melakukan survey kepuasan pasien atau
masyarakat. Untuk itu perlu disusun
indeks kepuasan masyarakat sebagai
tolok ukur untuk menilai tingkat kualitas
pelayanan. Di samping itu, data indeks
kepuasan masyarakat akan dapat
menjadi bahan penilaian terhadap
kualitas pelayanan yang masih perlu
perbaikan dan menjadi pendorong setiap
unit penyelenggara pelayanan untuk
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
meningkatkan kualitas pelayanannya.
Untuk
mengukur
indeks
kepuasan pasien/masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan program JKN perlu
disusun suatu instrumen yang dapat
mengukur kualitas pelayanan kesehatan
yang valid, reliabel dan komprehensif.
Kualitas pelayanan kesehatan
yang baik dapat dilihat dari tingkat
kepuasan pasien yang tinggi, dan
kepuasan pasien yang tinggi akan
membuat pasien loyal terhadap institusi
pelayanan kesehatan (Caruana, 2002).
Dengan tersedianya data indeks
kepuasan pasien secara periodik, dapat
diperoleh manfaat sebagai berikut:
1. Diketahui kinerja penyelenggaraan
pelayanan yang telah dilaksanakan
oleh unit pelayanan kesehatan secara
periodik;
2. Sebagai bahan penetapan kebijakan
yang perlu diambil dan upaya yang
191
perlu dilakukan;
3. Diketahui indeks kepuasan pasien
secara menyeluruh terhadap hasil
pelaksanaan pelayanan kesehatan
pada lingkup pratama dan rujukan;
4. Memacu persaingan positif, antar unit
penyelenggara pelayanan kesehatan
pada lingkup pemerintah pusat dan
daerah dan swasta yang bekerjasama
dengan
BPJS
dalam
upaya
peningkatan kinerja pelayanan.
KAJIAN PUSTAKA DAN
PEMBAHASAN
Kebijakan Publik dan Kinerja
Pelayanan Publik
Dunn (2003:7) mengungkapkan
bahwa kebijakan publik merupakan
sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang
menggunakan berbagai metode kebijakan
publik
dengan
argumen
untuk
menghasilkan
dan
memindahkan
informasi yang relevan dengan kebijakan,
sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat
politik dalam rangka memecahkan
masalah kebijakan.
Surbakti (2010:246) menyatakan
bahwa ciri khas kebijakan publik
(keputusan politik pada umumnya)
sebagai produk tindakan pemerintah ialah
sifatnya yang mengikat, dalam arti
pelaksanaannya
ditegakkan
dengan
kewenangan memaksakan secara fisik
yang dimonopoli oleh pemerintah.
Terdapat
empat
tipe
kebijakan
umum/publik, yaitu: 1) Kebijakan
Regulatif,
terjadi apabila kebijakan
mengandung
paksaan
dan
akan
diterapkan secara langsung terhadap
individu.
Biasanya
dibuat
untuk
mencegah agar individu tidak melakukan
suatu tindakan yang tak diperbolehkan,
seperti undang-undang hukum pidana,
undang-undang antimonopoli, kompetisi
yang tak sehat, dan berbagai ketentuan
yang menyangkut keselamatan umum; 2)
Kebijakan Redistributif, ditandai dengan
adanya paksaan secara langsung kepada
warga negara, tetapi penerapannya
melalui lingkungan. Pengenaan pajak
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
secara progresif kepada sejumlah orang
yang termasuk kategori wajib pajak untuk
memberikan manfaat kepada orang lain
melalui berbagai program pemerintah
merupakan inti kebijakan redistributive;
3) Kebijakan Distributif,
ditandai
dengan pengenaan paksaan secara tidak
langsung (kemungkinan pengenaan fisik
sangat jauh), tetapi kebijakan itu
diterapkan secara langsung kepada
individu. Dalam pengertian yang lebih
konkret, kebijakan distributif berarti
penggunanan anggaran belanja negara
atau daerah untuk memberikan manfaat
secara langsung kepada individu, seperti
pendidikan dasar yang bebas biaya,
subsidi energi bahan bakar minyak,
fasilitas jalan raya, dan pelayanan
kesehatan; dan 4) Kebijakan Konstituen,
yang ditandai dengan kemungkinan
pengenaan paksaan fisik yang sangat
jauh, dan penerapan kebijakan itu secara
tidak langsung melalui lingkungan. Tipe
ini merupakan kategori sisa (residual
category) yang mencakup tipe-tipe lain
yang tidak dapat dimasukkan ke dalam
ketiga tipe sebelumnya. Kebijakan ini
mencakup dua lingkup bidang garapan,
yaitu urusan keamanan nasional dan luar
negeri, dan berbagai dinas pelayanan
administrasi.
Berdasarkan
teori
yang
dikemukakan Bromley (1989), kebijakan
publik memiliki tiga tingkatan yang
berbeda berdasarkan hirarki kebijakan,
yaitu: policy level, organizational level,
dan operational level. Dalam suatu
negara
demokratis
policy
level
diperankan oleh lembaga yudikatif dan
legislatif, sedang organizational level
diperankan oleh lembaga eksekutif.
Selanjutnya
operational
level
dilaksanakan oleh satuan pelaksana
seperti kedinasan, kelembagaan atau
kementerian. Pada masing-masing level,
kebijakan publik diwujudkan dalam
bentuk institutional arrangement atau
peraturan perundangan yang disesuaikan
dengan tingkat hierarkinya. Sementara
pattern interaction adalah pola interaksi
192
antara pelaksana kebijakan paling bawah
(street
level
bureaucrat)
dengan
kelompok sasaran (target group)
kebijakan yang menunjukkan pola
pelaksanaan kebijakan yang menentukan
dampak (outcome) dari kebijakan
tersebut. Hasil suatu kebijakan dalam
kurun waktu tertentu yang ditetapkan
akan ditinjau kembali (assesment) untuk
menjadi umpan balik (feedback) bagi
semua level kebijakan yang diharapkan
terjadi
sebuah
perbaikkan
atau
peningkatan kebijakan.
Tachjan (2006:19) menyimpulkan
bahwa pada garis besarnya siklus
kebijakan publik terdiri dari tiga kegiatan
pokok, yaitu: 1) perumusan kebijakan, 2)
implementasi
kebijakan
serta,
3)
pengawasan dan penilaian (hasil)
pelaksanaan kebijakan. Jadi, efektivitas
suatu kebijakan publik sangat ditentukan
oleh proses kebijakan yang terdiri dari
formulasi, implementasi serta evaluasi.
Ketiga aktivitas pokok proses kebijakan
tersebut mempunyai hubungan kausalitas
serta berpola ciclical atau bersiklus
secara terus-menerus sampai suatu
masalah publik atau tujuan tertentu
tercapai.
Implementasi
kebijakan
merupakan tahap yang krusial dalam
proses kebijakan publik. Suatu kebijakan
atau program harus diimplementasikan
agar mempunyai dampak atau tujuan
yang diinginkan. Implementasi kebijakan
dipandang dalam pengertian luas
merupakan alat administrasi publik
dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik
serta sumber daya diorganisasikan secara
bersama-sama
untuk
menjalankan
kebijakan guna meraih dampak atau
tujuan yang diinginkan. Van Meter &
Van Horn (1975) mendefinisikan
implementasi kebijakan publik sebagai:
”Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
organisasi publik yang diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan dalam keputusan-keputusan
sebelumnya.
Tindakan-tindakan
ini
mencakup usaha-usaha untuk mengubah
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
keputusan-keputusan menjadi tindakantindakan operasional dalam kurun waktu
tertentu
maupun
dalam
rangka
melanjutkan usah-usaha untuk mencapai
perubahan-perubahan besar dan kecil
yang
ditetapkan
oleh
keputusankeputusan kebijakan”.
Untuk dapat mengkaji dengan
baik suatu implementasi kebijakan publik
perlu diketahui variabel atau faktor-faktor
penentunya. Untuk menggambarkan
secara jelas variabel atau faktor-faktor
yang berpengaruh penting terhadap
implementasi kebijakan publik serta guna
penyederhanaan pemahaman, maka akan
digunakan model-model implementasi
kebijakan.
Edwards
III
(1980)
berpendapat dalam model implementasi
kebijakannya
bahwa
keberhasilan
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh
faktor-faktor
sebagai
berikut:
1)
Bureaucraitic
structure
(struktur
birokrasi), 2) resouces (sumber daya), 3)
disposisition (sikap pelaksana) dan 4)
communication (komunikasi).
Program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN)
Kebijakan publik pemerintah
Indonesia tentang Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) merupakan bagian dari
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Sistem Jaminan Sosial Nasional ini
diselenggarakan melalui mekanisme
Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat
wajib (mandatory) berdasarkan UndangUndang nomor 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
Tujuannya adalah agar semua penduduk
Indonesia terlindungi dalam sistem
asuransi kesehatan, sehingga mereka
dapat
memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan masyarakat yang layak.
Jaminan Kesehatan Nasional
mengacu pada prinsip-prinsip Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yaitu:
(1) Prinsip kegotong-royongan; (2)
Prinsip nirlaba; (3) Prinsip keterbukaan,
kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan
efektivitas; (4) Prinsip portabilitas; (5)
193
Prinsip kepesertaan bersifat wajib; (6)
Prinsip dana amanat; (7) Prinsip hasil
pengelolaan Dana Jaminan Sosial
(Kemenkes, 2013).
Peserta JKN adalah setiap orang,
termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang
telah membayar iuran. Peserta JKN
meliputi:
1) Peserta penerima bantuan iuran (PBI)
jaminan kesehatan dari pemerintan,
meliputi orang yang tergolong fakir
miskin dan orang tidak mampu,
2) Peserta bukan PBI adalah peserta yang
tidak tergolong fakir miskin dan orang
tidak mampu yang terdiri atas:
(1)
Pekerja penerima upah dan
anggota keluarganya, yaitu: a)
Pegawai Negeri Sipil; b) Anggota
TNI; c) Anggota Polri; d) Pejabat
Negara; e) Pegawai pemerintah
non pegawai negeri; f) Pegawai
swasta; dan g) Pekerja yang tidak
termasuk huruf a sampai dengan
huruf f yang menerima upah.
(2) Pekerja bukan penerima upah dan
anggota keluarganya, yaitu: a)
Pekerja di luar hubungan kerja
atau pekerja mandiri dan; b)
Pekerja yang tidak termasuk
huruf a yang bukan penerima
upah; c) Pekerja sebagaimana
dimaksud huruf a dan huruf b,
termasuk warga negara asing
yang bekerja di Indonesia paling
singkat 6 (enam) bulan.
3) Bukan pekerja dan anggota
keluarganya terdiri atas: a) Investor; b)
Pemberi Kerja; c) Penerima Pensiun;
d) Veteran; e) Perintis Kemerdekaan;
dan f) Bukan Pekerja yang tidak
termasuk huruf a sampai dengan huruf
e yang mampu membayar Iuran.
4) Penerima pensiun terdiri atas: a) PNS
yang berhenti dengan hak pensiun; b)
Anggota TNI dan Anggota Polri yang
berhenti dengan hak pensiun; c)
Pejabat Negara yang berhenti dengan
hak pensiun; d) Penerima Pensiun
selain huruf a, huruf b, dan huruf c;
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
dan e) Janda, duda, atau anak yatim
piatu
dari
penerima
pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf a
sampai dengan huruf d yang mendapat
hak pension (Kemenkes, 2013).
Anggota keluarga bagi pekerja
penerima upah meliputi: a. Istri atau
suami yang sah dari peserta; b. Anak
kandung, anak tiri dan/atau anak
angkat yang sah dari peserta, dengan
kriteria: 1) tidak atau belum pernah
menikah atau tidak mempunyai
penghasilan sendiri; dan 2) belum
berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau
belum berusia 25 (dua puluh lima)
tahun yang masih melanjutkan
pendidikan formal. Sedangkan peserta
bukan PBI JKN dapat juga
mengikutsertakan anggota keluarga
yang lain.
5) WNI di luar negeri; Jaminan kesehatan
bagi pekerja WNI yang bekerja di luar
negeri diatur dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan
tersendiri.
Hak dan kewajiban peserta JKN
adalah: 1) Setiap peserta yang telah
terdaftar pada BPJS Kesehatan berhak
mendapatkan a) identitas peserta dan b)
manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas
kesehatan yang bekerja sama dengan
BPJS Kesehatan; 2) Setiap peserta yang
telah terdaftar pada BPJS Kesehatan
berkewajiban untuk: a. membayar iuran
dan b. melaporkan data kepesertaannya
kepada
BPJS
Kesehatan
dengan
menunjukkan identitas peserta pada saat
pindah domisili dan atau pindah kerja.
Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional
berlaku selama yang bersangkutan
membayar iuran sesuai dengan kelompok
peserta, dan status kepesertaan akan
hilang bila peserta tidak membayar iuran
atau meninggal dunia.
Jaminan Kesehatan Nasional
diberlakukan secara bertahap, yaitu tahap
pertama mulai 1 Januari 2014,
kepesertaannya paling sedikit meliputi:
PBI
jaminan
kesehatan;
anggota
TNI/PNS di lingkungan Kementerian
194
Pertahanan dan anggota keluarganya;
anggota Polri/PNS di lingkungan Polri
dan anggota keluarganya; peserta
asuransi kesehatan PT Askes (Persero)
beserta anggota keluarganya, serta
peserta jaminan pemeliharaan kesehatan
Jamsostek dan anggota keluarganya.
Selanjutnya tahap kedua meliputi seluruh
penduduk yang belum masuk sebagai
peserta BPJS Kesehatan paling lambat
pada tanggal 1 Januari 2019 (Kemenkes,
2013).
Iuran
Jaminan
Kesehatan
Nasional adalah sejumlah uang yang
dibayarkan secara teratur oleh peserta,
pemberi kerja, dan/atau pemerintah untuk
program Jaminan Kesehatan (pasal 16,
Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan
Kesehatan). Mekanisme pembayaran
iuran yaitu : 1) Bagi peserta PBI, iuran
dibayar oleh pemerintah, bagi peserta
pekerja penerima upah, iurannya dibayar
oleh pemberi kerja dan pekerja, bagi
peserta pekerja bukan penerima upah dan
peserta bukan pekerja iuran dibayar oleh
peserta yang bersangkutan; 2) Besarnya
iuran jaminan kesehatan nasional
ditetapkan melalui peraturan presiden
dan di tinjau ulang secara berkala sesuai
dengan perkembangan sosial, ekonomi,
dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Setiap peserta wajib membayar iuran
yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dari upah (untuk pekerja
penerima upah) atau suatu jumlah
nominal.
Jenis pelayanan JKN ada 2 (dua)
jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh
peserta JKN, yaitu berupa pelayanan
kesehatan
(manfaat
medis)
serta
akomodasi dan ambulans (manfaat non
medis). Sedangkan prosedur pelayanan:
peserta yang memerlukan pelayanan
kesehatan
pertama-tama
harus
memperoleh pelayanan kesehatan pada
fasilitas kesehatan tingkat pertama. Bila
peserta memerlukan pelayanan kesehatan
tingkat lanjutan, maka hal itu harus
dilakukan melalui rujukan oleh fasilitas
kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
keadaan kegawat daruratan medis proses
kredensialing dan rekredensialing
Kualitas Kinerja Pelayanan Publik
dan Pengukurannya
Martin
&
Kettner
(1996)
mengemukakan
bahwa,
ada
dua
pendekatan dasar yang biasa dipakai
untuk mengukur kualitas layanan publik.
Pertama, pendekatan pengukuran dari
kualitas kinerja provider (the outputs with
quality dimensions approach), Kedua, pendekatan
kepuasan klien/masyarakat (the client satisfaction
approach). Kedua pendekatan tersebut
dibedakan oleh perbedaan fokus dan
sumber data. Pendekatan pertama fokus
pada program dan kinerja penyedia
layanan yang datanya diperoleh dari laporan
kegiatan instansi pemerintah, pengamatan
dan wawancara dengan tokoh kunci
penyedia layanan. Sedangkan pendekatan
kedua melihat kualitas pelayanan pada
hasil (result), pengaruh (effects),
dampak (impact) dan manfaat (benefit) yang
diperoleh pengguna layanan. Sumber data untuk
pendekatan ini
biasanya dilakukan
dengan survei kepuasan masyarakat
pemanfaat layanan publik (client
satisfactionn survey).
Jika pemerintah Indonesia ingin
meningkatkan
kualitas
pelayanan
publik,
maka
pemerintah
harus
menempuh beberapa langkah. Pertama,
memonitor persepsi masyarakat tentang kualitas
pelayanan yang telah
mereka terima.
Kedua, mengidentifikasi penyebab
kegagalan pelayanan. Ketiga, berusaha
mengambil langkah perbaikan.
Pengukuran Kualitas Kinerja Pelayanan Kesehatan (Program JKN) dengan
Survey Kepuasan Pasien
Adikoesoemo (1997) menjelaskan
bahwa kualitas atau mutu dibidang
institusi
kesehatan
adalah
mutu
pelayanan terhadap pasien. Kualitas
pelayanan kesehatan yang baik antara
lain pasien mendapat layanan yang cepat,
diagnosa dan terapi yang tepat,
195
keramahtamahan yang cukup, pelayanan
apotik yang cepat dan biaya yang
terjangkau.
Kualitas
pelayanan
kesehatan
merupakan produk akhir dari interaksi
antara berbagai komponen atau aspek
pada
fasilitas
kesehatan
yang
memberikan
pelayanan
kesehatan.
Menurut Jacobalis (1989) dalam hal mutu
layanan tidak lepas dari tiga hal, yaitu:
indikator, kriteria dan standar. Indikator
yang dapat digunakan dalam jasa
pelayanan kesehatan yaitu: a) Indikator
klinis,
merupakan
petunjuk
dari
penampilan (performance) profesi (antara
lain: angka infeksi nosokomial, kematian
karena operasi, reaksi obat dan
sebagainya). b) Indikator efisiensi dan
efektivitas: untuk dapat melihat apakah
sumber daya telah digunakan secara
efisien, misalnya: waktu tunggu pasien,
lama hari rawat, lama tempat tidur
kosong, penggunaan dan sebagainya. c)
Indikator keamanan dan keselamatan
pasien: lebih banyak terjadi karena
kurang telitinya asuhan keperawatan
pasien, misalnya: pasien diberi obat
salah, pasien jatuh dari tempat tidur dan
sebagainya. d) Indikator kepuasan pasien:
misalnya: jumlah keluhan pasien, hasil
survei kepuasan, berita di koran.
Variabel input dalam proses
mewujudkan mutu pelayanan kesehatan
adalah: a) Faktor manusia, yaitu pemberi
jasa manusia langsung baik administrator
maupun profesional. b) Faktor sarana dan
prasarana, yaitu bangunan dan peralatan
rumah sakit. c) Faktor manajemen, yaitu
prosedur pelayanan yang dipergunakan di
rumah sakit.
Sementara Parasuraman, Zeithmal
dan Berry (1998) mengidentifikasi lima
kelompok dimensi yang digunakan untuk
mengevaluasi kepuasan pelanggan yang
berhubungan dengan kualitas pelayanan.
dalam bidang jasa yaitu :
a. Bukti langsung/dapat diraba/sarana
fisik (tangible), meliputi fasilitas fisik,
perlengkapan, pegawai dan sarana
komunikasi
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
b. Keandalan pelayanan (reliability),
yaitu
kemampuan
memberikan
pelayanan yang dijanjikan dengan
tepat, akuran dan terpercaya
c. Ketanggapan
pelayanan
(respon
siveness), yaitu kemauan untuk
membantu pelanggan dan memberikan
jasa pelayanan dengan tanggap dan
cepat.
d. Jaminan/keyakinan (assurance), yang
mencakup pengetahuan dan kesopanan
dari petugas serta kemampuan untuk
menimbulkan
kepercayaan
dan
keyakinan.
e. Empati (emphaty), meliputi perbuatan
atau sikap untuk memberkan perhatian
secara pribadi kepada pelanggan,
komunikatif
serta
memahami
kebutuhan pelanggan.
Kelima dimensi untuk mengukur
kualitas
pelayanan jasa tersebut
dinamakan Metode Servqual (Service
Quality). Metode servqual dalam
pengukuran kepuasan dilakukan terhadap
dua aspek yaitu pengukuran untuk
menilai harapan yang diinginkan.
Pelayanan dibidang kesehatan yang
didalamnya termasuk pelayanan kepada
pasien program JKN termasuk pelayanan
jasa yang sifatnya multidimensi, sehingga
penggunaan metode Servqual (Service
Quality) untuk mengukur kualitas
pelayanan sangatlah relevan. Hal ini
dikarenakan bahwa suatu pelayanan
kesehatan yang bermutu pasti mejadi
harapan semua pasien, dan apabila
harapannya tersebut terpenuhi akan
menyebabkan kepuasan pasien. Namun
kelima dimensi menurut Parasuraman
dkk (1998) belumlah cukup sebagai
instrumen untuk mengukur kepuasan
pasien. Dibidang kesehatan ada aspek
lain yang sangat mempengaruhi kepuasan
pasien yaitu aspek komunikasi, yang
dikenal dengan komunikasi terapeutik.
Komunikasi
Terapeutik
Dimensi
Pengukuran
Pelayanan Kesehatan
sebagai
Kualitas
196
Komunikasi
adalah
faktor
penunjang dalam menerapkan service
excellence, oleh karena itu sangat
diperlukan proses, model dan cara
penerapannya dalam pekerjaan bidang
pelayanan jasa. Berdasarkan sarana dan
operasionalnya
komunikasi
dapat
diklasifikasikan
sebagai:
Pertama,
komunikasi verbal, yaitu komunikasi
yang dilaksanakan dalam dua cara, yaitu
Personal Communication (komunikasi
langsung/tatap muka) dan Non Personal
Communication
(komunikasi
yang
dilaksanakan melalui media yang
menyiarkan tanpa ada kontak atau umpan
balik secara personal/komunikasi melalui
media massa). Kedua, komunikasi non
verbal, yaitu bahasa isyarat, sehingga
tanpa mengucapkan kata-kata, lawan
bicara dapat mengetahui maksud dan arti
dari bahasa isyarat ini. Formula dalam
berkomunikasi non verbal yang positif
yaitu The Soften Formula, yang meliput:
a) smile, selalu tersenyum, dengan
senyuman khas, b) open posture, selalu
bersikap terbuka, c) forward lean, badan
sedikit
condong
kedepan,
d)
territory/space, memiliki wawasan luas
dan menguasai pekerjaan yang menjadi
bidangnya, e) eye contact, cara menatap
lawan berkomunikasi, f) nodding head,
anggukan kepala, Ketiga, komunikasi
melalui telepon, yaitu pembicaraan yang
mengandalkan
kepekaan
telinga
pendengar terhadap suara pembicara. Dua
bagian penting dalam pembicaraan
melalui telepon, yaitu: a) verbal message,
yaitu penerima telepon akan menerima
suara dari penyampai telepon terhadap isi
berita yang disampaikan. b) non verbal
message, dimana tutur bahasa yang
melekat pada isi berita.
Mutu pelayanan kesehatan salah
satunya dipengaruhi oleh baik buruknya
tenaga kesehatan dalam melakukan
komunikasi terapeutik (Harmini, 2008).
Bahkan disebutkan oleh Lois (2005)
bahwa komunikasi terapeutik merupakan
salah satu aspek paling penting dalam
pelayanan keperawatan. Kompetensi
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
tenaga kesehatan biasanya dinilai dari
kemampuan
mereka
dalam
berkomunikasi. Kepuasan pasien akan
meningkat jika perawat dan tenaga
keehatan mampu melakukan komunikasi
yang baik dan peningkatan kepuasan
pasien memiliki nilai positif bagi proses
perawatan dirinya. Faktor kunci dalam
penilaian pelayanan kesehatan di mata
pasien adalah komunikasi yang dilakukan
oleh perawat (Potter & Perry, 2005).
Potter
&
Perry
(2005),
menyatakan
bahwa
komunikasi
terapeutik adalah komunikasi yang
dilakukan secara sadar oleh tenaga
kesehatan (dokter, perawat, bidan) untuk
kesembuhan pasien. Hubungan antara
pasien dengan tenaga kesehatan yang
terapeutik merupakan pengalaman belajar
bersama sekaligus perbaikan emosi
pasien. Komunikasi terapeutik harus
berjalan secara efektif antara pasien
dengan tenaga kesehatan sehingga saling
menghargai satu sama lainnya (Stuart &
Sundeen, 1979). Komunikasi terapeutik
merupakan
respon
spesifik
yang
mendorong ekspresi perasaan dan ide,
serta menyampaikan penerimaan dan
penghargaan.
Beberapa teknik komunikasi
terapeutik menurut (Sheldon, 2009)
antara lain:
1) Mendengarkan
dengan
penuh
perhatian
Dalam hal ini tenaga kesehatan
berusaha mengerti pasien dengan cara
mendengarkan apa yang disampaikan
pasien. Satu-satunya orang yang dapat
menceritakan kepada tenaga kesehatan
tentang perasaan, pikiran dan persepsi
pasien adalah pasien sendiri. Sikap yang
dibutuhkan untuk menjadi pendengar
yang baik adalah pandangan saat
berbicara, tidak menyilangkan kaki dan
tangan, hindari tindakan yang tidak perlu,
anggukkan
kepala
jika
pasien
membicarakan hal-hal yang penting atau
memerlukan umpan balik, condongkan
tubuh ke arah lawan bicara.
197
Mendengar ada dua macam: a)
Mendengar
pasif,
yaitu
kegiatan
mendengar dengan kegiatan non verbal
untuk pasien, misalnya dengan kontak
mata, menganggukkan kepala dan juga
keikut sertaan secara verbal. b)
Mendengar
aktif,
yaitu
kegiatan
mendengar
yang
menyediakan
pengetahuan bahwa kita tahu perasaan
orang lain dan mengerti mengapa dia
merasakan hal tersebut.
2) Menunjukkan penerimaan
Menerima
bukan
berarti
menyetujui, menerima berarti bersedia
untuk mendengarkan orang lain tanpa
menunjukkan keraguan atau ketidak
setujuan. Tenaga kesehatan harus
waspada terhadap ekspresi wajah dan
gerakan tubuh yang menyatakan tidak
setuju, seperti mengerutkan kening atau
menggeleng yang menyatakan tidak
percaya. Sikap tenaga kesehatan yang
menyatakan
penerimaan
yaitu
mendengarkan
tanpa
memutus
pembicaraan, memberikan umpan balik
verbal yang menyatakan pengertian,
memastikan bahwa isyarat non verbal
sesuai dengan komunikasi verbal,
menghindari
perdebatan,
ekspresi
keraguan atau usaha untuk mengubah
pikiran pasien.
3) Menanyakan
pertanyaan
yang
berkaitan
Tujuan tenaga kesehatan bertanya
adalah untuk mendapatkan informasi
yang spesifik mengenai apa yang
disampaikan pasien. Oleh karena itu,
pertanyaan sebaiknya dikaitkan dengan
topik yang dibicarakan dan gunakan katakata yang sesuai dengan konteks sosial
budaya pasien.
4) Pertanyaan terbuka (open ended
question)
Pertanyaan
yang
tidak
memerlukan
jawaban
”ya”
dan
”mungkin”,
tetapi
pertanyaan
memerlukan jawaban yang luas, sehingga
pasien dapat mengemukakan masalahnya,
perasaannya dengan kata-kata sendiri,
atau dapat memberikan informasi yang
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
diperlukan. Contoh: ”coba ibu ceritakan
apa yang biasanya dilakukan bila ibu
sakit perut?”
5) Mengulang ucapan pasien dengan
menggunakan kata-kata sendiri
Melalui pengulangan kembali
kata-kata pasien, tenaga kesehatan
memberikan umpan balik bahwa ia
mengerti pesan pasien dan berharap
komunikasi dilanjutkan. Contoh, pasien
mengatakan: ”saya tidak dapat tidur,
sepanjang malam saya terjaga”. Tenaga
kesehatan, menggunakan kata sendiri:
”saudara mengalami kesulitan untuk tidur
...”.
6) Mengklarifikasi
Klarifikasi terjadi saat tenaga
kesehatan ingin menjelaskan dalam katakata, ide atau pikiran (secara mutlak
maupun tegas) yang tidak jelas dikatakan
oleh pasien. Tujuan dari teknik ini adalah
untuk menyamakan pengertian.
7) Memfokuskan
Metode ini bertujuan untuk
membatasi bahan pembicaraan, sehingga
percakapan menjadi lebih spesifik dan
dimengerti. Hal yang perlu diperhatikan
dalam menggunakan metode ini adalah
usahakan
untuk
tidak
memutus
pembicaraan
ketika
pasien
menyampaikan masalah penting.
8) Menyatakan hasil observasi
Tenaga
kesehatan
harus
memberikan umpan balik kepada pasien
dengan menyatakan hasil pengamatannya
sehingga pasien dapat mengetahui apakah
pesannya diterima dengan benar atau
tidak. Dalam hal ini tenaga kesehatan
menguraikan kesan yang ditimbulkan
oleh isyarat non verbal pasien. Teknik ini
seringkali
membuat
pasien
berkomunikasi lebih jelas tanpa tenaga
kesehatan harus bertanya, memfokuskan
dan mengklarifikasi pesan. Observasi
dilakukan sedemikian rupa, sehingga
pasien tidak menjadi malu atau marah.
9) Diam (memelihara ketenangan)
Diam
akan
memberikan
kesempatan kepada tenaga kesehatan dan
pasien untuk mengorganisir pikirannya.
198
Penggunaan metode ini memerlukan
10) Menyimpulkan.
ketrampilan dan ketepatan waktu, jika
Menyimpulkan adalah meringkas
tidak akan menimbulkan perasaan tidak
ide utama, pokok fikiran utama yang
enak. Diam memungkinkan pasien untuk
telah didiskusikan.
berkomunikasi dengan dirinya sendiri,
Dimensi dan indikator untuk
mengorganisir pikiran dan memproses
mengukur kualitas pelayanan
model
informasi. Diam sangat berguna terutama
(servqual) oleh Parasuraman, Zeithmal &
pada saat pasien harus mengambil
Berry (1998) dapat dikembangkan
keputusan. Diam tidak dapat dilakukan
dengan aspek komunikasi terapiutik
dalam waktu yang lama, karena akan
(Sheldon, 2009) yang dapat dipergunakan
mengakibatkan pasien menjadi khawatir.
untuk mengukur kualitas pelayanan
Diam di sini juga menunjukkan kesediaan
kesehatan program JKN sebagaimana
seseorang untuk menanti orang lain agar
pada tabel berikut :
punya kesempatan berpikir meskipun
begitu, diam yang tidak tepat dapat
menyebabkan orang lain merasa cemas.
Tabel 1. Dimensi Mengukur Kualitas Pelayanan Kesehatan dengan Surve Kepuasan
Pasien
Aspek /
No
Dimensi
1
Tangibles
2
Reliability
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
3
Responsiveness
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
4
Assurance
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
5
Empathy
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Indikator
Kelengkapan alat medis dalam jumlah cukup
Peralatan dan perlengkapan untuk pelayanan pasien yang modern
Kelengkapan alat dan sarana ruang tunggu
Tata letak ruang kantor / ruang perawatan
Jalur antrian pasien termonitor dan praktis.
Keakuratan informasi yang diberikan petugas kesehatan tentang
penyakit yang diderita pasien
Keakuratan catatan / dokumentasi medis yang dibuat petugas Rumah
Sakit
Proses dan prosedur penyelesaian tindakan medis yang sistematis
Perlakuan petugas Rumah Sakit terhadap pasien tidak diskriminatif.
Kecepatan dan kecekatan tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan)
dalam menyelesaikan tindakan medis
Kemampuan tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan) memahami
kebutuhan pasien
Kecepatan dan ketanggapan Rumah Sakit dalam menghadapi masalah
yang timbul pada pasien
Sistem penyerahan resep dan atau obat cepat dan sistematis
Waktu pelayanan Rumah Sakit yang fleksibel dan siap 24 jam.
Keamanan dan kenyamanan pasien selama di RS
Keamanan dan kerahasiaan data pribadi pasien yang tersimpan dalam
dokumen RS
Rumah Sakit menyediakan pelayanan yang menjamin kerahasiaan antar
pasien.
Citra (image) Rumah sakit di masyarakat
Ketelitian tenaga kesehatan saat melayani pasien.
Tenaga kesehatan (dokter, paramedis dan tenaga penunjang)
mempunyai sikap dan perilaku yang baik
Tegur sapa dan tutur kata tenaga kesehatan (dokter, paramedis dan
tenaga penunjang) menyenangkan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
199
ï‚·
ï‚·
6
Comunikasi
ï‚·
Terapeutik
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Tenaga kesehatan mudah dihubungi bila pasien membutuhkan
pertolongan atau tindakan
Tenaga kesehatan (dokter, paramedis dan tenaga penunjang) memahami
kebutuhan khusus pasien.
Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) mendengarkan keluhan
pasien dengan penuh perhatian
Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) menunjukkan sikap
menerima untuk berkomunikasi
Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) bertanya dengan pertanyaan
terbuka (open ended question)
Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) mengulang ucapan pasien
dengan menggunakan kata-kata sendiri untuk klarifikasi.
Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) memfokuskan komunikasi
dan mengklarifikasi setiap jawaban pasien
Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) menyampaikan hasil
observasi kondisi pasien
Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) memberi kesempatan “diam”
(memelihara ketenangan) saat berkomunikasi
Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) menyimpulkan hasil
komunikasi
Sumber: Parasuraman, et al. (1998) & Sheldon, (2009) dikembangkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Kepuasan terhadap Jasa Pelayanan
Kesehatan
Krowinski & Steibcr (1996)
mengungkapkan faktor yang paling
mempengaruhi kepuasan pasien. Faktorfaktor tersebut adalah :
a. Pelayanan Medis
Walaupun frekuensi pertemuan
antara dokter dan pasien lebih sedikit jika
dibandingkan pertemuan perawat dengan
pasien, tetapi pelayanan medis sama
pentingnya
dengan
pelayanan
keperawatan dalam memenuhi kepusan
pasien. Pasien pada saat datang untuk
berobat mengharapkan mereka akan
sembuh dari penyakitnya, pelayanan
medis yang berkualitas akan membuat
pasien lebih merasa puas. Untuk itu para
tenaga medis di tempat pelayanan
kesehatan
diharapkan
mempunyai
keterampilan dan pengetahuan sesuai
dengan standar terapi yang telah
ditetapkan juga etika kedokteran (Wilson,
1995 dalam Wijono, 2000).
b. Pelayanan keperawatan
Pelayanan keperawatan mempunyai
peran yang sangat besar dalam
menentukan kepuasan pasien, karena
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
hampir sebagian besar waktu pasien
selama di tempat pelayanan kesehatan
akan dilayani oleh perawat terutama
pasien rawat inap. Oleh karena itu semua
proses dan rangkaian kegiatan pada
praktek keperawatan yang diberikan
kepada pasien pada berbagai tatanan
pelayanan kesehatan yang menggunakan
pendekatan proses keperawatan harus
berpedoman pada standar prosedur
operasional keperawatan, juga dilandasi
oleh etika dan etiket keperawatan dalam
lingkup wewenang dan tanggung jawab
perawat tersebut.
c. Situasi lingkungan
Lingkungan tempat pasien berada
akan
atau
romah
sakit
sangat
mempengaruhi kepuasan pasien. Dalam
hal ini lingkungan dapat dibagi menjadi
lingkungan di dalam ruangan dan
lingkungan di luar ruangan. Lingkungan
yang baik akan menimbulkan rasa aman
bagi pasien yang akan menghasilkan
kepuasan bagi pasien tersebut (Krowinski
&, Steibcr, 1996).
d. Pelayanan Makanan
Pelayanan
makanan
walaupun
terlihat sederhana, sebenarnya merupakan
salah satu faktor yang sangat penting
200
dalam memberikan pelayanan kepada
pasien. Makanan merupakan salah satu
faktor penunjang dalam menjaga dan
memulihkan kesehatan pasien, dan lebih
dari itu cita rasa yang diberikan harus
bisa membangkitkan selera makan dan
nilai gizi yang terkandung dalam
makanan tersebut untuk itu para ahli
ditempat pelayanan kesehatan harus
mempunyai keterampilan, pengetahuan
dan
tanggung
jawab
profesional
(Krowinski &, Steibcr, 1996).
e. Pelayanan Administrasi
Pada saat pasien akan masuk dan
meninggalkan
tempat
pelayanan
kesehatan, pasien akan dihadapkan
dengan prosedur administrasi. Personal
yang menangani bagian administrasi
harus terampil dan profesional dimulai
dari registrasi pasien saat akan masuk,
petugas administrasi harus memberikan
semua penjelasan tentang tarif pelayanan,
cepat dan efisien dalam memproses
registrasi, begitu juga saat akan keluar,
pasien akan mendapat penjelasan tentang
tagihan yang diterimanya. Proses yang
cepat dan efisien pada saat akan keluar,
akurasi dari tagihan yang diberikan dan
mampu menjawab semua pertanyaan
yang berhubungan dengan administrasi.
(Krowinski &, Steibcr, 1996).
f. Ketersediaan Sarana
Ketersediaan
sarana
adalah
kecukupan dan kelengkapan sarana yang
ada di tempat seseorang berada/tinggal,
dimana alat tersebut dapat digunakan
sewkatu-waktu. Namun sarana yang
tersedia pada suatu unit pelayanan
kesehatan sebaiknya sangat berhubungan
sekali dengan akan kebutuhan pasien
dalam
keseharian
selama
proses
perawatan
dan
pengobatannya.
Sebagaimana yang dikemukakan Azwar
(1996),
untuk
dapat
menjamin
terselenggaranya pelayanan kesehatan
yang bermutu, maka dari pihak
penyelenggara yang harus dipenuhi
adalah standar persyaratan minimal yang
dalam hal ini adalah sebagai berikut:
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
standar masukan, standar lingkungan dan
standar proses.
PENUTUP
Sebagai
salah
satu
upaya
meningkatkan kualitas pelayanan publik,
perlu dilakukan evaluasi terhadap kualitas
pelayanan kesehatan program JKN
dengan melakukan survey kepuasan
pasien atau masyarakat. Mutu pelayanan
kesehatan salah satunya dipengaruhi oleh
baik buruknya tenaga kesehatan dalam
melakukan
komunikasi
terapeutik.
Kepuasan pasien akan meningkat jika
tenaga kesehatan mampu melakukan
komunikasi yang baik dan peningkatan
kepuasan pasien memiliki nilai positif
bagi proses perawatan dirinya. Faktor
kunci
dalam
penilaian
pelayanan
kesehatan di mata pasien adalah
komunikasi yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan.
Dimensi tangible, reliability,
responsiveness, assurance dan empaty dan
komunikasi terapeutik sangat berperan
sebagai indikator dalam pengukuran
kualitas pelayanan kesehatan. Kualitas
pelayanan kesehatan memberikan suatu
dorongan
kepada
pasien
untuk
menjalinikatan hubungan yang kuat
dengan institusi pelayanan kesehatan.
Dengan demikian institusi pelayanan
kesehatan dapat meningkatkan kepuasan
pasien dimana institusi pelayanan
kesehatan memaksimumkan pengalaman
yang menyenangkan dan meminimumkan
bahkan meniadakan pengalaman pasien
yang kurang menyenangkan. Pada
gilirannya kualitas pelayanan kesehatan
akan menciptakan kepuasan pasien dan
dapat menciptakan kesetiaan atau
loyalitas pasien kepada institusi pelayanan
yang memberikan kualitas memuaskan.
REFERENSI
Adikoesoemo,
S.
1997.Manajemen
Rumah Sakit. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan : 46-48.
Azwar, A. 1996. Menjaga Mutu
201
Pelayanan Kesehatan, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
Bromley, D.W. 1989. Economic Interest
and Institutions; The Conceptual
Fundations of Public Policy. Oxford.
Blackwill.
Caruana, A. 2002. “Service Loyalty: The
Effects of Service Quality and the
Mediating Role of Customer
Satisfaction”, European Journal of
Marketing, page 811-828.
Dunn, W.N. 2003. Pengantar Analisis
Kebijakan
Publik.
Yogyakarta;
Gadjah Mada University Press.
Edwards III, G.C. 1980. Implementing
Public Policy. Washington DC;
Congressional Quarterly Press.
Grindle, M.S. 1980. Politics and
Implementation in The Third World.
New Jersey: Princeton University
Press.
Harmini. 2008. Hubungan Penerapan
Komunikasi Terapeutik dengan
Kepuasan
Mutu
Pelayanan
Perawatan di Ruang Rawat Inap RS
PKU Muhammadiyah Surakarta.
Jurnal
Profesi
(Online).
http://www.isjd
.pdii.lipi.go.id
(diakses tanggal 2 April 2014)
Jacobalis,
1989. Menjaga Mutu
Pelayanan Rumah Sakit, Citra
Windu Satria, Jakarta.
Kemenkes
(2013). Buku Pegangan
Sosialisasi
Jaminan
Kesehatan
Nasional (JKN) dalam Sistem
Jaminan Sosial Nasional, Jakarta:
Kemenkes & JKN.
Krowinski & Steibcr, 1996. Measuring
and Managing Patient- Satisfaction.
USA
American
Hospital
Associations.
Lois, W. 2005. Foundations of Nursing.
Second Ed. New York: Thomson
Delmar
Martin & Ketter 1996. Measuring the
Performance of Human Service
Program. New Dehhi:
Sage
Publication.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Muninjaya, G.A.A. 2004. Manajemen
Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC: 220-234.
Parasuraman, A., V.A. Zeithaml & L.L.
Berry. 1998. “SERVQUAL: Review,
Critique Research Agenda”, Journal
of Marketing, page 111-124.
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan. Edisi 4.
Volume 1. Jakarta: EGC
Sheldon, L.K. 2009. Communication for
Nursing; Talking With Patients.
Second Edition. St Louis Ma;
Sannders/Elsever
Stuart, G.W. & Sundeen S.J. 1979.
Principles
and
Practice
of
Psychiatric Nursing. CV Mosby
Company. USA.
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu
Politik. Jakarta: Grasindo.
Tachjan, H.N. 2006. Kebijakan Publik
Untuk
Pemimpin
Berwawasan
Internasional. Yogyakarta: Balairung
& co.
Terry,
G.
1964.
Principle
of
Management. Illionis; Richard D.
Irwin Inc. Homeword.
Undang-Undang nomor 25 tahun 2000
tentang Program Pembangunan
Nasional.
Van Meter, Donald & C. Van Horn.
1975. The Policy Implementation
Process A Conceptual Framework.
Administration and Society. 64.
Varcoralis, E.M. & Halter M.J. 1990.
Essential of Psychiatric Mental
Health Nursing; a Communication
Approach to Evidance Based Care.
St Louis Ma; Sannders/Elsever
Wijono, D, 2000. Manajemen Mutu
Pelayanan Kesehatan, Airlangga
University Press, Surabaya.
202
IMPLEMENTASI STRATEGI PEMBELAJARAN SHEMAP DALAM
MENINGKATKAN POLA PIKIR KRITIS DAN KREATIF PADA MAHASISWA
S1 KEPERAWATAN DI STIKES dr. SOEBANDI TAHUN 2015
Andi Eka Pranata *, Deny Prasetyanto **
*, ** Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember
ABSTRAK
Metode SHEMAP merupakan metode pembelajaran yang dikembangkan dari konsep
HOTS (Higher Order-Thinking Skills) yang menitikberatkan pada pola berpikir analitik
maka peserta didik dituntut untuk melakukan analisis dan mengeksplorasi gagasan menurut
peta pikir yang dibuatnya secara independen. Desain penelitian ini menggunakan quasi
eksperiment dengan pendekatan non equivalent control group design. Populasi dalam
penelitian ini sebanyak 100 mahasiswa semester IV Prodi S1 Keperawatan STIKES dr.
Soebandi Jember. Penghitungan sampel dalam penelitian ini menggunakan Rumus Slovin.
Dari perhitungan sampel di atas didapatkan sampel dalam penelitian ini adalah 80
mahasiswa semester IV Prodi S1 Keperawatan STIKES dr. Soebandi yang terbagi menjadi
2 kelompok, yaitu 40 mahasiswa untuk kelompok intervensi dan 40 mahasiswa untuk
kelompok kontrol. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah cluster
sampling, waktu pengambilan data penelitian mulai bulan Juli – Agustus 2015. Perubahan
Peningkatan pola pikir kreatif pada kelompok kontrol sebesar 77%, dan peningkatan pola
pikir kreatif pada kelompok intervensi setelah dilakukan implementasi metode SHEMAP
sebesar 95%. Dari hasil uji analisis uji t test independent dengan nilai p = 0,000 (derajat α
= 0,05), sehingga p < α (0,000 < 0,05). Hal ini mengartikan bahwa Ho ditolak atau ada
pengaruh metode pembelajaran SHEMAP terhadap peningkatan pola pikir kreatif.
Kata kunci : SHEMAP, Berfikir Kritis, Berfikir Kreatif
LATAR BELAKANG
Tahun 2015 merupakan tahun yang
sangat berarti bagi dunia kesehatan
khususnya keperawatan. Hal ini tidak
terlepas dengan globalisasi profesi perawat
yang
menjadi
salah
satu
faktor
implementatif dari bursa perdagangan
bebas internasional. Pembenahan dan
penataan bidang keperawatan terus
dilakukan guna meningkatkan elektabilitas
profesi perawat di Indonesia. Tuntuan
kompetensi yang komprehensif dari
seorang perawat pun secara terus menerus
mengalami
perkembangan.
Tuntutan
tersebut tidak lepas dari pentingnya
kompetensi sebagai indikator kecakapan
seorang perawat.
Sesuai dengan scope perawat
ditegaskan bahwa lingkup kompetensi
perawat
terletak
pada
kemampuan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
memberikan asuhan keperawatan secara
profesional dan holistik. Saat ini
perkembangan bidang keperawatan sangat
luar biasa. Pergeseran paradigma layanan
keperawatan mengakibatkan peningkatan
kapasitas perawat, sehingga memberikan
peluang yang besar untuk mengembangkan
independensi profesi. Namun, aspek yang
penting kita pahami bahwa kepuasan user
atau customer sebagai pengguna jasa
keperawatan menjadi indikator capaian
kompetensi
seorang
perawat.
Sifat
pelayanan keperawatan yang berorientasi
pada quality assurance itulah yang
menuntut perawat untuk kompetensi secara
kognitif, psikomotor dan afektif. Keutuhan
tiga kompetensi itulah yang akan menjamin
pelayanan keperawatan secara profesional
dan holistik, sehingga kepuasan pasien
sebagai customer akan meningkat sebagai
203
jaminan kesejahteraan kesehatan (Asmadi,
2008; Harrington, 2005).
Berdasarkan analisis yang dilakukan
pada mahasiswa semester II Prodi Ilmu
Keperawatan STIKES dr. Soebandi dengan
menggunakan metode oral analysis
diketahui bahwa 8 dari 10 mahasiswa
mengalami kesulitan saat mendeskripsikan
secara mendalam fisiologi tubuh manusia.
Kesulitan yang dialami mahasiswa tidak
lepas dari pola belajar yang bersifat sekedar
membaca dan menghafal, sehingga tidak
ada analisis mendalam untuk memecahkan
sebuah masalah. Fenomena belajar seperti
ini jika ditindaklanjuti dengan benar maka
akan menurunkan prestasi belajar dan
tentunya menurunkan kompetensi lulusan
keperawatan (Studi Pendahuluan, 2015).
Berdasarkan
penelitian
Supardi
(2012) bahwa ada pengaruh positif berpikir
kreatif terhadap prestasi hasil belajar.
Rosana (2014) dalam penelitiannya juga
menjelaskan bahwa siswa yang memiliki
kemampuan berpikir kritis tinggi cenderung
memiliki prestasi belajar yang baik pula
dan sebaliknya. Pola pikir kritis akan
memberikan daya analisa yang kuat ketika
siswa
mempelajari
sebuah
konsep,
sedangkan pola pikir kreatif akan
menumbuhkan pola inovasi dan kreasi baru
ketika siswa mendalami sebuah konsep.
Kedua pola pikir ini akan membentuk peta
pikir yang dinamis dengan optimalisasi
kemampuan dan potensi diri.
Saat ini banyak sekali pengembangan
metode-metode
pembelajaran
untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis
dan kreatif, salah satunya adalah metode
SHEMAP (spekulasi, hipotesis, ekspansi,
modifikasi, analogi, prediksi). Metode ini
merupakan pengembangan dari metode
HOTS (higherorder-thinking skills) yang
mengedepankan pola pikir analitik. Siswa
akan dituntut untuk belajar dengan pola
pikir analisa mendalam, sehingga temuantemuan ilmiah akan bersifat realistik dan
logis. Hal ini sangat dibutuhkan dalam
dunia keperawatan ketika akan melakukan
pengambilan keputusan saat memberikan
pelayanan keperawatan (decision making in
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
nursing). Melalui metode ini nantinya
diharapkan kemampuan berpikir analisis
lulusan keperawatan akan maksimal,
sehingga mampu memberikan pelayanan
keperawatan
dengan
profesional
(Hassoubah, 2004).
Merujuk pada berbagai gambaran
faktual yang terjadi selama proses
pembelajaran dan perkembangan metode
pembelajaran yang sangat pesat, maka
peneliti ingin melakukan penelitian lebih
lanjut tentang implementasi strategi
pembelajaran
SHEMAP
dalam
meningkatkan pola pikir kritis dan kreatif
pada mahasiswa S1 Keperawatan di
STIKES dr. Soebandi Tahun 2015.
Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi pola pikir kritis dan
kreatif mahasiswa S1 Keperawatan
STIKES dr. Soebandi sebelum
diimplementasikan metode SHEMAP;
b. Mengidentifikasi pola pikir kritis dan
kreatif mahasiswa S1 Keperawatan
STIKES
dr.
Soebandi
setelah
diimplementasikan metode SHEMAP;
c. Menganalisis perbedaan pola pikir
kritis dan kreatif mahasiswa S1
Keperawatan STIKES dr. Soebandi
antara
sebelum
dan
sesudah
diimplementasikan metode SHEMAP.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan
adalah
quasi
eksperiment
dengan
pendekatan non equivalent control group
design. Menurut Sugiyono (2010), quasi
eksperiment adalah suatu desain penelitian
yang memiliki kelompok kontrol, namun
tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk
mengontrol variabel-variabel luar yang
mempengaruhi pelaksanaan eksperimen.
Desain quasi eksperiment ini dilakukan
untuk
mengatasi
kesulitan
dalam
menentukan kelompok kontrol dalam
sebuah
penelitian.
Sedangkan
non
equivalent control group design adalah
sebuah pendekatan penelitian yang
dilakukan dengan metode pembentukan
kelompok intervensi dan kelompok kontrol,
namun tidak dilakukan randomisasi.
204
populasi merupakan keseluruhan subjek
penelitian. Populasi dalam penelitian ini
sebanyak 100 mahasiswa semester IV Prodi
S1 Keperawatan STIKES dr. Soebandi
Jember. Penghitungan sampel dalam
penelitian ini menggunakan Rumus Slovin.
Dari perhitungan sampel di atas didapatkan
sampel dalam penelitian ini adalah 80
mahasiswa semester IV Prodi S1
Keperawatan STIKES dr. Soebandi yang
terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu 40
mahasiswa untuk kelompok intervensi dan
40 mahasiswa untuk kelompok kontrol.
Teknik sampling yang digunakan dalam
penelitian ini adalah cluster sampling.
HASIL PENELITIAN
Dari hasil tabulasi data pola pikir
kritis kelompok kontrol antara penilaian
awal (pre test) dengan penilaian akhir (post
test) didapatkan perubahan pola pikir kritis
sebagai berikut.
c. Mean output pola pikir kritis kelompok
kontrol antara penilaian awal (pre test)
dan penilaian akhir (post test) adalah ,700. Hal ini menunjukkan adanya
perbedaan pola pikir antara pre test dan
post test;
d. Derajat korelasi (correlation) adalah
0,768 dengan nilai Sig = 0,000 (dengan
nilai α = 0,05), sehingga nilai Sig < α
(0,000 < 0,05);
e. Nilai t hitung = -1,754 dengan t tabel =
2,02, sehingga t hitung < t tabel (1,754 < 2,02);
f. Nilai p = 0,087 dengan derajat α =
0,05, sehingga nilai p > α (0,087 >
0,05).
Berdasarkan hasil uji analisis t test
paired di atas, dapat disimpulkan bahwa
Ho diterima (tidak ada perbedaan antara
pola pikir kritis kelompok kontrol antara
penilaian awal (pre test) dengan penilaian
akhir (post test)). Hal ini ditunjukkan
dengan nilai t hitung < t tabel (-1,754 <
2,02) dan nilai p > α (0,087 > 0,05).
Dari hasil tabulasi pola pikir kritis
kelompok intervensi antara sebelum
dilakukan implementasi metode SHEMAP
dengan sesudah dilakukan implementasi
metode SHEMAP didapatkan perubahan
pola pikir kritis sebagai berikut:
Gambar 5.13 Perubahan Pola Pikir Kritis
Kelompok Kontrol pada Penilaian Akhir di
Prodi Ilmu Keperawatan STIKES dr.
Soebandi Tahun 2015
Berdasarkan gambar 5.13 diketahui
bahwa sebagian besar responden kelompok
kontrol memiliki peningkatan pola pikir
kritis pada penilaian akhir, yaitu sebesar
65% (26 orang). Dari hasil uji analisis t-test
of related dengan derajat α = 0,05
didapatkan data sebagai berikut:
a. Rata-rata pola pikir kritis kelompok
kontrol pada awal penilaian (pre test)
adalah 39,02;
b. Rata-rata pola pikir kritis kelompok
kontrol pada akhir penilaian (post test)
adalah 39,72;
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Gambar 5.14 Perubahan Pola Pikir Kritis
Kelompok Intervensi Setelah Dilakukan
Implementasi Metode SHEMAP di Prodi
Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi
Tahun 2015
Berdasarkan gambar 5.14 di atas,
diketahui bahwa sebagian besar responden
kelompok intervensi setelah dilakukan
implementasi metode SHEMAP memiliki
peningkatan pola pikir kritis, yaitu
205
sebanyak 90% (36 orang). Dari hasil uji t
test related of dengan derajat α = 0,05
didapatkan data sebagai berikut:
a. Rata-rata pola pikir kritis kelompok
intervensi
sebelum
dilakukan
implementasi metode SHEMAP adalah
39,80;
b. Rata-rata pola pikir kritis kelompok
intervensi
setelah
dilakukan
implementasi metode SHEMAP adalah
48,00;
c. Mean output pola pikir kritis kelompok
intervensi antara sebelum dan sesudah
dilaksanakan implementasi metode
SHEMAP adalah -8,200. Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan pola
pikir kritis antara sebelum dengan
sesudah
dilakukan
implementasi
metode SHEMAP;
d. Derajat korelasi (correlation) adalah
0,203 dengan nilai Sig = 0,208 (nilai α
= 0,05), sehingga nilai Sig > α (0,208 >
0,05);
e. Nilai t hitung adalah -9,946 dengan
nilai t tabel adalah 2,02, sehingga nilai
t hitung < t tabel (-9,946 < 2,02);
f. Nilai p = 0,000 dengan derajat α =
0,05, sehingga p < α (0,000 < 0,05).
Berdasarkan hasil uji t test paired di
atas, dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak
(ada perbedaan pola pikir kritis kelompok
intervensi antara sebelum dengan sesudah
dilakukan implementasi metode SHEMAP).
Hal ini ditunjukkan dari nilai p < α (0,000 <
0,05) dan nilai t hitung < t tabel (-9,946 <
2,02). Namun, derajat korelasinya rendah
yaitu 0,203 dan nilai Sig > α (0,208 >
0,05).
Berdasarkan hasil tabulasi pola kritis
antara kelompok kontrol dengan kelompok
intervensi pada penilaian akhir (post test),
didapatkan perbedaan skor pola pikir kritis
sebagai berikut:
Tabel 5.11 Perbedaan Pola Pikir Kritis
antara
Kelompok
Kontrol
dengan
Kelompok Intervensi pada Penilaian Akhir
(Post Test) di Prodi Ilmu Keperawatan
STIKES dr. Soebandi Tahun 2015
No.
Skor Pola Pikir
No.
Respond
en
Kritis
1
Kontr
ol
42
Interven
si
51
2
39
50
3
37
44
4
34
5
45
6
Respond
en
Kritis
21
Kontr
ol
45
Interven
si
54
22
43
53
23
41
54
44
24
37
52
46
25
45
49
35
45
26
34
51
7
41
44
27
34
50
8
42
45
28
44
50
9
39
48
29
41
39
10
34
52
30
38
49
11
33
51
31
41
50
12
44
33
32
46
52
13
40
37
33
41
50
14
41
47
34
41
46
15
42
51
35
44
47
16
43
53
36
37
51
17
33
43
37
33
49
18
42
34
38
39
54
19
41
50
39
39
49
20
39
52
40
40
51
Berdasarkan dari hasil uji analisis t
test independent didapatkan data sebagai
berikut:
a. Nilai p adalah 0,000 dengan derajat α =
0,05, sehingga p < α (0,000 < 0,05);
b. Nilai t hitung -8,228 dengan nilai t
tabel 1,990, sehingga t hitung < t tabel
(-8,228 < 1,990);
c. Nilai mean difference yaitu sebesar 8,275, maka diartikan bahwa rata-rata
pola pikir kritis pada kelompok kontrol
lebih rendah daripada rata-rata pola
pikir kritis pada kelompok intervensi
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaaan pola pikir kritis
yang signifikan antara kelompok kontrol
dengan kelompok intervensi pada penilaian
akhir (post test) yang ditunjukkan oleh p <
α (0,000 < 0,05) dan t hitung < t tabel (8,228 < 1,990).
Dari hasil tabulasi pola pikir kreatif
kelompok kontrol antara penilaian awal
(pre test) dengan penilaian akhir (post test),
didapatkan perubahan pola pikir kreatif
sebagai berikut:
Skor Pola Pikir
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
206
Gambar 5.15 Perubahan Pola Pikir Kreatif
Kelompok Kontrol pada Penilaian Akhir
(Post Test) di Prodi Ilmu Keperawatan
STIKES dr. Soebandi Tahun 2015
Berdasarkan gambar 5.15 di atas,
diketahui bahwa sebagian besar responden
kelompok kontrol pada akhir penilaian
(post test) memiliki peningkatan pola pikir
kreatif, yaitu sebesar 77% (31 orang). Dari
hasil uji analisis t test related of dengan
derajat α = 0,05 didapatkan data sebagai
berikut:
a. Rata-rata pola pikir kreatif kelompok
kontrol pada penilaian awal (pre test)
adalah 24,98;
b. Rata-rata pola pikir kreatif kelompok
kontrol pada penilaian akhir (post test)
adalah 26,15;
c. Nilai mean output pola pikir kreatif
kelompok kontrol antara penilaian
awal (pre test) dengan penilaian akhir
(post test) adalah -1,175. Hal ini
menunjukkan
bahwa
terdapat
perbedaan antara pola pikir kreatif
kelompok kontrol antara penilaian
awal (pre test) dengan penilaian akhir
(post test);
d. Derajat korelasi (correlation) adalah
0,923 dengan nilai Sig = 0,000 (derajat
α = 0,05), sehingga nilai Sig < α (0,000
< 0,05);
e. Nilai t hitung adalah -4,556 dengan
nilai t tabel 2,02, sehingga nilai t
hitung < t tabel (-4,556 < 2,02);
f. Nilai p = 0,000 dengan derajat α =
0,05, sehingga p < α (0,000 < 0,05).
Berdasarkan hasil uji analisis t test
paired di atas dapat disimpulkan bahwa Ho
ditolak (ada perbedaan pola pikir kreatif
kelompok kontrol antara penilaian awal
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
(pre test) dengan penilaian akhir (post test).
Hal ini ditunjukkan dengan nilai t hitung <
t tabel dengan gradasi negatif (-4,556 <
2,02) dan nilai p < α (0,000 < 0,05), serta
memiliki derajat korelasi yang signifikan
yaitu 0,923 dan nilai Sig < α (0,000 <
0,05).
Dari hasil tabulasi data pola pikir
kreatif kelompok intervensi antara sebelum
dengan sesudah implementasi metode
SHEMAP, didapatkan perubahan pola pikir
kreatif sebagai berikut:
Gambar 5.16 Perubahan Pola Pikir Kreatif
Kelompok Intervensi Sesudah Dilakukan
Implementasi Metode SHEMAP di Prodi
Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi
Tahun 2015
Berdasarkan gambar 5.16 di atas,
diketahui bahwa sebagian responden
kelompok intervensi memiliki peningkatan
pola pikir kreatif setelah dilakukan
implementasi metode SHEMAP, yaitu
sebesar 95% (38 orang). Dari hasil uji
analisis t test related of dengan derajat α =
0,05 didapatkan data sebagai berikut:
a. Rata-rata pola pikir kreatif kelompok
intervensi
sebelum
dilakukan
implementasi metode SHEMAP adalah
24,55;
b. Rata-rata pola pikir kreatif kelompok
intervensi
sesudah
dilakukan
implementasi metode SHEMAP adalah
32,60;
c. Nilai mean output pola pikir kreatif
kelompok kontrol antara sebelum
dengan sesudah implementasi metode
SHEMAP adalah -8,050. Hal ini
menunjukkan ada perbedaan pola pikir
kreatif kelompok intervensi antara
sebelum dengan sesudah dilakukan
implementasi metode SHEMAP;
207
d. Derajat korelasi (correlation) adalah
0,460 dengan nilai Sig = 0,003 (nilai α
= 0,05), sehingga nilai Sig < α (0,003 <
0,05);
e. Nilai t hitung = -15,299 dengan nilai t
tabel = 2,02, sehingga nilai t hitung < t
tabel (-15,299 < 2,02) dengan derajat
negatif;
f. Nilai p value = 0,000 dengan derajat α
= 0,05, sehingga p < α (0,000 < 0,05).
Berdasarkan dari hasil uji analisis t
test paired di atas dapat disimpulkan bahwa
Ho ditolak (ada perbedaan pola pikir kreatif
kelompok intervensi antara sebelum dengan
sesudah implementasi metode SHEMAP).
Hal ini ditunjukkan dengan nilai t hitung <
t tabel (-15,299 < 2,02) dan nilai p < α
(0,000 < 0,05).
Dari hasil tabulasi data pada
perbedaan pola pikir kreatif antara
kelompok kontrol dengan kelompok
intervensi pada penilaian akhir (post test),
didapatkan skor perbedaan pola pikir
kreatif sebagai berikut:
Berdasarkan hasil uji t test
independen didapatkan data sebagai
berikut:
a. Nilai p = 0,000 dengan derajat α =
0,05, sehingga nilai p < α (0,000 <
0,05);
b. Nilai t hitung = -7,563 dengan nilai t
tabel = 1,990, sehingga nilai t hitung <
nilai t tabel (-7,563 < 1,990);
c. Nilai mean difference adalah -6,450.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai ratarata pola pikir kreatif kelompok
kontrol lebih rendah dibandingkan
dengan nilai rata-rata pola pikir kreatif
kelompok intervensi.
Dari hasil uji analisis t test
independen di atas, dapat disimpulkan
bahwa Ho ditolak yaitu ada perbedaan pola
pikir kreatif yang signifikan antara
kelompok kontrol dengan kelompok
intervensi pada penilaian akhir (post test).
Hal ini ini ditunjukkan dengan nilai p < α
(0,000 < 0,05).
Tabel 5.14 Perbedaan Pola Pikir Kreatif
antara
Kelompok
Kontrol
dengan
Kelompok Intervensi pada Penilaian Akhir
(Post Test) di Prodi Ilmu Keperawatan
STIKES dr. Soebandi Tahun 2015
PEMBAHASAN
Dari perbandingan skor pola pikir
kritis antara kelompok kontrol dengan
kelompok intervensi didapatkan persamaan
karakteristik, yaitu sama-sama berada
dalam jenjang pola pikir kritis yang baik.
Sedangkan rentang rata-rata skor pola pikir
kritis antara kelompok kontrol dengan
kelompok intervensi tidak berbeda jauh,
hanya berbeda 0,77.
Berdasarkan kajian fakta dan teori di
atas bisa disimpulkan bahwa berpikir kritis
memiliki peranan yang sangat penting
dalam proses belajar. Proses belajar yang
merupakan aktivitas berpikir secara terpadu
baik kognitif, psikomotorik dan afektif
akan terselenggara dengan baik jika
dilakukan melalui proses berpikir analisis,
yang mendalam dan sistematis. Pola
berpikir seperti ini akan membentuk sebuah
peta pikir (maps of thinking), sehingga akan
memudahkan dalam proses pemahaman
sebuah kajian ilmiah. Melalui berpikir
kritis, individu akan dibiasakan untuk
berpikir secara rasional, logika dan relevan
dengan apa yang terjadi. Hal ini membuat
No.
Respond
en
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Skor Pola Pikir
Kreatif
Kontr
Interven
ol
si
23
39
31
32
18
34
26
36
34
27
34
33
30
35
32
22
21
33
33
28
30
23
28
32
26
35
22
30
28
33
25
32
26
30
29
34
32
28
26
31
No.
Respond
en
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Skor Pola Pikir
Kreatif
Kontr
Interven
ol
si
22
36
25
34
25
31
25
34
28
36
20
37
26
33
20
34
26
32
24
35
24
29
32
35
27
34
25
31
24
31
21
34
28
35
22
34
27
37
21
35
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
208
sebuah pola berpikir yang ilmiah bukan
fiktif. Landasan berpikir ini sangat penting
dalam proses belajar karena belajar
merupakan sebuah aktifitas ilmiah,
sehingga harus dilakukan dengan metode
yang ilmiah untuk menghasilkan sebuah
output yang dijamin keilmiahannya. Oleh
karena itu, berpikir kritis merupakan pola
berpikir analitik yang melatih seseorang
untuk
bisa
mengambil
keputusan/
kesimpulan secara cepat dan tepat dalam
suasana yang ilmiah.
Dari fakta maupun kajian teori dan
temuan hasil penelitian di atas dapat
disimpulkan bahwa keterampilan berpikir
kreatif sangat dibutuhkan dalam proses
belajar. Kemampuan berpikir kreatif akan
membuat sebuah kemudahan bagi individu
dalam memahami dan menghasilkan
berbagai ide/ gagasan yang inovatif.
Fleksibilitas dalam berpikir akan membuat
paparan seorang individu terhadap sebuah
bahan kajian akan lebih mudah dimengerti
oleh orang lain, sehingga komunikasi yang
disampaikan cenderung lebih efektif.
Kondisi tersebut sangat cocok bagi profesi
keperawatan, dimana seorang perawat
dituntut untuk cepat dan tepat dalam
melakukan pengambilan keputusan klinis
terhadap pasien. Oleh karena itu,
keterampilan berpikir kreatif harus lebih
diasah lagi dalam proses pembelajaran
sebagai
cara
untuk
membentuk
keterampilan berpikir yang persisten bagi
seorang perawat nantinya.
Dari hasil perbandingan antara pola
pikir kritis kelompok kontrol dengan
kelompok intervensi pada penilaian akhir
dimana pada kelompok kontrol tidak
dilakukan implementasi metode SHEMAP
dan pada kelompok intervensi dilakukan
implementasi metode SHEMAP, maka
terdapat perbedaan skor rata-rata pola pikir
kritis yang sangat signifikan antara kedua
kelompok penelitian tersebut, yaitu sebesar
8,28. Hal ini juga ditunjukkan pada
perbedaan jenjang pola pikir kritis
kelompok kontrol yang berada dalam
jenjang baik, sedangkan kelompok
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
intervensi berada dalam jenjang sangat
baik.
Dari uraian fakta maupu teori di atas
dapat disimpulkan bahwa keterampilan
berpikir kreatif merupakan salah satu
output dari berpikir kritis. Inovasi dalam
berpikir akan membuat pola pemahaman
terhadap sebuah kajian akan lebih mudah
dan sederhana, sehingga akan lebih mudah
diterima dengan orang lain. Kendala yang
utama
dalam
mengembangkan
keterampilan berpikir kreatif adalah
rendahnya rasa percaya diri dan motivasi,
sehingga individu cenderung menjadi
pesimis dan tidak mau mengeksplorasi
kemampuan dirinya. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan inovasi dalam berpikir perlu
dilakukan sebuah pendekatan yang berbasis
pada fleksibilitas berpikir, salah satunya
adalah metode SHEMAP yang merupakan
metode HOTS (Higher Ordered Thinking
Skills).
Berbeda dengan kelompok kontrol,
pada
kelompok
intervensi
terlihat
perbedaan
yang
sangat
signifikan.
Berdasarkan gambar 5.14 diketahui bahwa
pada akhir penilaian (sesudah dilakukan
implementasi
metode
SHEMAP),
responden kelompok intervensi yang
mengalami peningkatan jenjang pola pikir
kritis adalah sebanyak 90% (36 orang), dan
turun sebanyak 10% (4 orang). Terdapat
perbedaan skor pola pikir kritis yang
signifikan antara sebelum dengan sesudah
implementasi metode SHEMAP, yaitu
sebesar 8,200. Hal ini menunjukkan bahwa
mayoritas responden kelompok intervensi
mengalami peningkatan jenjang pola pikir
kritis yang signifikan setelah dilakukan
implementasi
metode
SHEMAP.
Berdasarkan hasil uji analisis t test paired
dengan derajat α = 0,05 didapatkan nilai p
= 0,000, sehingga nilai p < α (0,000 <
0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan pola pikir kiritis kelompok
intervensi antara sebelum dengan sesudah
implementasi metode SHEMAP.
SIMPULAN
209
Kesimpulan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Rata-rata pola pikir kritis responden
sebelum
dilakukan
implementasi
metode SHEMAP adalah baik dengan
sebaran nilai rata-rata 39,03 untuk
kelompok kontrol dan rata-rata 39,80
untuk kelompok intervensi;
2. Rata-rata pola pikir kreatif responden
sebelum
dilakukan
implementasi
metode SHEMAP adalah cukup dengan
sebaran nilai rata-rata 24,97 untuk
kelompok kontrol dan rata-rata 24,55
untuk kelompok intervensi;
3. Rata-rata pola pikir kritis responden
setelah dilakukan implementasi metode
SHEMAP
(kelompok
intervensi)
adalah sangat baik dengan nilai ratarata 48,00 dan selisih rata-rata nilai
dengan kelompok kontrol (tidak
mendapat perlakuan metode SHEMAP)
sebesar 8,28 dengan nilai rata-rata
kelompok intervensi lebih besar
dibandingkan nilai rata-rata kelompok
kontrol;
4. Rata-rata pola pikir kreatif responden
setelah dilakukan implementasi metode
SHEMAP
(kelompok
intervensi)
adalah baik (80%) dan sangat baik
(15%) dengan nilai rata-rata 32,60 dan
selisih rata-rata nilai dengan kelompok
kontrol (tidak mendapat perlakuan
metode SHEMAP) sebesar 6,45 dengan
nilai rata-rata kelompok intervensi
lebih besar dibandingkan nilai rata-rata
kelompok kontrol;
5. Metode
pembelajaran
SHEMAP
mampu meningkatkan pola pikir kritis
yang ditunjukkan dari hasil uji t test
independent dengan nilai p = 0,000
(derajat α = 0,05), sehingga p < α
(0,000 < 0,05). Hal ini mengartikan
bahwa Ho ditolak atau ada pengaruh
metode
pembelajaran
SHEMAP
terhadap peningkatan pola pikir kritis;
6. Metode
pembelajaran
SHEMAP
mampu meningkatkan pola pikir
kreatif yang ditunjukkan dari hasil uji t
test independent dengan nilai p = 0,000
(derajat α = 0,05), sehingga p < α
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
(0,000 < 0,05). Hal ini mengartikan
bahwa Ho ditolak atau ada pengaruh
metode
pembelajaran
SHEMAP
terhadap peningkatan pola pikir kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Aggarwal JC. (2009). Essentials of
Educational Psychology Second
Edition. New Delhi: Vikas
Publishing House Pvt Ltd.
Ahuna KH et all. (2014). A New Era of
Critical Thinking in Professional
Programs. Teaching & Learning
Journal Volume 7 Issue 3.
Maryville University.
Alghafri AS, Ismail HN. (2014). The
Effects of Integrating Creative and
Critical Thinking on Schools
Students Thinking. International
Journal of Science and Humanity
Volume 4 Number 6. Penang:
Universiti Sains Malaysia.
Arikunto S. (2006). Prosedur Penelitian
Edisi Revisi V. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Binh NG. (2013). Creativity and
Innovation
in
Education.
Munchen: Herbetz Utz GmbH.
Boone
LE,
Kurtz
DL.
(2006).
Contemporary Business Edisi 11.
Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Brookfield SD. (2012).Teaching for
Critical Thinking. San Fransisco:
John Wiley & Sons.
Brookhart SM. (2010). How to Assess
Higher-Order Thinking Skills in
Your Classroom. Alexandria:
ASCD.
Budgen R. (2009). Critical Thinking for
Students: Learn The Skills of
Critical Assessment and Effective
Argument. Oxford: How To
Books.
Coon D. (2014). Psychology: Modules for
Active
Learning.
Australia:
Wadsorth.
Coon D, Mitterer JO. (2013). Introduction
to Psychology: Gateways to Mind
and
Behaviour.
Belmont:
Wadsmorth Cengage Learning.
210
Cottrell S. (2011). Critical Thinking Skills,
Developing Effective Analysis and
Argument. New York: Palgrave
Macmillan.
DeLaune SC, Ladner PK. (2011).
Fundamentals
of
Nursing,
Standards & Practice Fourth
Edition. New York: Delmar.
Douglas
J,
Ransom
B.
(2013).
Understanding Building Failures
4th Edition. Oxon: Taylor and
Francis.
Elder L, Paul R. (2013). 30 Days to Better
Thinking and Better Living
Through Critical Thinking: A
Guide for Improving Every Aspect
of Your Life. New Jersey: Pearson
Education Inc.
Fuad N, Ahmad G. (2009). Integrated
Human Resources Development.
Jakarta: PT Grasindo.
Gambrill E. (2012). Critical Thinking in
Clinical Practice Third Edition.
New Jersey: John Wiley & Sons.
Hacieminoglu E. (2014). Proceding: Use of
Pre-Service
Science
Teacher
Creativity in Elementary Science
Classrooms.
Padova:
Libreriauniversitaria.
Han Q. (2014). The Effects of Working
Memory on User’s Performance in
Creative Drawing. Department of
Informatics and Media: Uppsala
University.
Harrrington JM, Gill FS. (2005). Buku Saku
Kesehatan Kerja Edisi 3. Jakarta:
EGC.
Harris B. (2014). Creating A Classroom
Culture That Supports The
Common Core. Oxon: Routledge.
Hassoubah ZI. (2004). Developing Creative
and Critical Thinking Skill (Cara
Berpikir Kreatif dan Kritis).
Bandung: Nuansa.
Isbell RT, Raines SC. (2013). Creativity
and The Arts with Young Children.
Australia: Wadsworth Cengage
Learning.
Jansen MP, Stauffacher MZ. (2006).
Advanced Practice Nursing: Cor
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Concept for Proffesional Role
Development. New York: Springer
Pub.
Johnson EB. (2007). Contextual Teaching
& Learning, Menjadikan Kegiatan
Belajar Mengajar Mengasyikkan
dan Bermakna. Bandung: Penerbit
MLC.
Krishnaswamy KN et all. (2006).
Management
Research
Methodology:
Integratic
of
Principles
,
Methods
ans
Technique. New Delhi: Pearson
Education.
Leddy and Peppers. (2014). Conceptual
Bases of Professional Nursing.
Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins.
Linton. (2012). Introduction to Medical
Surgical Nursing 5th Edition.
Missouri: Elsevier Saunders.
McCall J. (2013). The Principal’s Edge.
Oxon: Taylor & Francis.
McGregor D. (2007). Developing Thinking;
Developing Learning: A Guide to
Thinking Skills in Education. New
York: Open University Press.
MacGregor MG. (2013). Building Everyday
Leadership. Minneapolis: Free
Spirit Publishing Inc.
Mason M. (2008). Critical Thinking and
Learning. Oxford: Blackwell
Publishing.
Masters K. (2014). Role Development in
Professional Nursing Practice.
Burlington: Jones & Bartlett
Learning.
Marek T et all. (2014). Human Factors of A
Global Society. Boca Raton:
Taylor & Francis Group.
Mustaji.
(2011).
Pengembangan
Kemampuan Berpikir Kritis dan
Kreatif dalam Pembelajaran.
Surabaya: Program Studi TP FIP
Universitas Negeri Surabaya
Nelson R. (2012). Self-Improvement Guide:
How to Adopt Creative Thinking.
Hillsborough: Lulu Press.
Nopryadi W, Mahyuddiun, Kadir A.
(2012).
Pengaruh
Kepuasan
211
Pasien
Terhadap
Minat
Menggunakan Jasa Pelayanan
Keperawatan di Rumah Sakit
Umum Daerah Ruteng Manggarai
NTT. Makassar: STIKES Nani
Hasanuddin Makassar.
O’Lynn CE. (2013). A Man’s Guide to A
Nursing Career. New York:
Springer Publishing Company.
Ogle D, Klemp RM, McBride B. (2007).
Building Literacy in Social
Studies: Strategies for Improving
Comprehension
and
Critical
Thinking. Alexandria: Association
for Supervision and Curriculum
Development.
Prasad SS, Rao DB. (2009). Creative
Thinking of School Students. New
Delhi: Discovery Pub House.
Purwaningsih
A.
(2005).
Skripsi:
Pembelajaran
Kimia
Berpendekatan
SETS
untuk
Meningkatkan
Kemampuan
Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa
Kelas X SMA Muhammadiyah I
Semarang Tahun Pelajaran 2004/
2005. Semarang: Jurusan Kimia
FMIPA
Universitas
Negeri
Semarang.
Ramlawati, Ahmar DS, Masri M. (2014).
Proceeding of The 1st Academic
Symposium
on
Integrating
Knowledge. Ibnu Sina Institutes
for Fundamental Science Studies:
Universiti Teknologi Malaysia.
Rosana LN. (2014). Riset: Pengaruh
Metode
Pembelajaran
dan
Kemampuan
Berpikir
Kritis
terhadap Hasil Belajar Sejarah
Siswa. Jurnal Pendidikan Sejarah
Volume 3 No. 1. Jakarta: Program
Pascasarjana Universitas Negeri
Jakarta.
Rudinow J, Barry VE.(2008). Invitation to
Critical
Thinking.
Belmont:
Thompson.
Setiawan I. (2012). Agribisnis Kreatif.
Depok: Penebar Swadaya.
Sharma RN, Sharma RK. (2006). Advanced
Educational Psychology. New
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
Delhi: Atlantic Publishers &
Distributors.
Sulistyani. (2010). Prosiding: Pendekatan
Induktif dalam Pembelajaran
Kimia Beracuan Konstruktivisme
untuk
Membentuk
Pemikiran
Kritis, Kreatif dan Berkarakter.
Yogyakarta:
Jurusan
Kimia
FMIPA
Universitas
Negeri
Yogyakarta.
Supardi. (2012). Riset: Peran Berpikir
Kreatif
dalam
Proses
Pembelajaran Matematika. Jurnal
Formatif
2
(3).
Jakarta:
Universitas Indraprasta PGRI.
Suqri MN, Aufi AS. (2015). Information
Seeking
Behaviour
and
Technology Adoption: Theories
and Trends. Hershey: IGI Global.
Taleff MJ. (2006). Critical Thinking for
Addiction Professionals. New
York: Springer Pub. Co.
Templar R. (2013). Building Better
Relationships-Proven Strategies to
Make The Most of Your Personal
Connections (Collection). New
Jersey: Pearson Education Inc.
Tomporowski PD et all. (2015). Enhancing
Children’s
Cognition
with
Physical
Activity
Games.
Champaign: Human Kinetics.
Wang V. (2014). Handbook of Research on
Education and Technology in a
Changing Society. United State of
America: IGI Global.
Wisdom S, Leavitt L. (2015). Handbook of
Research on Advancing Critical
Thinking in Higher Education.
Hershey: IGI Global.
Yildirim B et all. (2011). Critical Thinking
in Nursing Process and Education.
International
Journal
of
Humanities and Social Science
Volume 1 Nomor 13. Turkey:
Adnan
Menderes
University
Aydin.
Zulfikar,
Budiantara
IN.
(2014).
Manajemen
Riset
dengan
Pendekatan Komputasi Statistika.
Yogyakarta: Penerbit Deepublish.
212
PANDUAN UNTUK MENULIS NASKAH
Jurnal hanya menerima naskah asli yang belum diterbitkan di dalam maupun di luar
negeri. Naskah dapat berupa hasil penelitian, konsep-konsep pemikiran inovatif hasil
tinjauan pustaka yang bermanfaat untuk menunjang kemajuan ilmu, pendidikan dan
praktik ilmu kesehatran secara profesional. Naskah ditulis dalam bahasa indonesia atau
bahasa inggris dalam bentuk narasi dengan gaya bahasa yang efekfif dan akademis.
Naskah hasil penelitian hendaknya disusun menurut sistematika sebagai berikut :
1. Judul, menggambarkan isi pokok tulisan secara ringkas dan jelas, ditulis dalam bahasa
indonesia dan bahasa inggris. Penulis diharapkan mencantumkan judul ringkas dengan
susunan 40 karakter/ketukan beserta nama penulis utama yang akan dituliskan sebagai
judul pelari (running title).
2. Nama penulis, tanpa gelar disertai catatan kaki tentang instansi tempat penulis
bekerja. Jumlah penulis yang tertera dalam artikel minimal 2 orang, maksimal 4 orang.
3. Alamat, berupa instansi tempat penulis bekerja dilengkapi dengan alamat pos lengkap
dan alamat email (untuk penulis korespondensi)
4. Abstrak, ditulis dalam bahasa inggris, minimal 100 kata dan merupakan intisari
seluruh tulisan, meliputi : masalah, tujuan, metode, hasil dan simpulan (IMRAD:
Introduction, Method, Result, Analysis, Discussion). Abstrak ditulis dengan kalimat
penuh. Dibawah abstrak disertakan 3-5 kata-kata kunci (key words).
5. Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah serta tujuan
penelitian dan harapan untuk waktu yang akan datang. Panjang tidak akan lebih dari 2
halaman ketik.
6. Bahan dan metode, berisi penjelasan tentang bahan-bahan dan alat yang digunakan,
waktu, tempat, tehnik dan rancangan percobaan. Metode harus dijelaskan selengkap
mungkin agar peneliti lain dapat melakukan uji coba ulang. Acuan (kepustakaan)
diberikan pada metode yang kurang jelas.
7. Hasil, dikemukakan dengan jelas dalam bentuk narasi dan data yang dimasukkan
berkaitan dengan tujuan penelitian, bila perlu disertai dengan ilustrasi (lukisan,
gambar, grafik, diagram), tabel atau foto yang mendukung data, sederhana dan tidak
terlalu besar. Hasil yang telah dijelaskan dengan tabel atau ilustrasi tidak perlu
dijelaskan panjang lebar dalam teks.
8. Pembahasan, minimal 800 kata yang menerangkan arti hasil penelitian yang meliputi
: fakta, teori, dan opini.
9. Simpulan, berupa kesimpulan hasil penelitian dalam bentuk narasi yang mengacu
pada tujuan penelitian.
10. Kepustakaan, referensi yang ditulis dalam teks harus diikuti nama penulis dan tahun
penerbitan. Referensi yang digunakan 80% diantaranya diantaranya adalah artikelartikel ilmiah yang berasal dari jurnal. Kepustakaan disusun menurut Harvard System
sebagai berikut :
a. Jurnal : Nursalam, Haryanto, & I Ketut Dira, 2006, “The Effect Of Kegel
Management Of Urine Elimination Problems For Elderly”. Folia Medika
Indonesiana, Vol. 42 No. 2 Hal. : 102-106
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
213
11.
12.
13.
14.
b. Buku : Smelzer & Suzane C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner And Suddart. Edisi 8. EGC; Jakarta
c. Tesis/desertasi : Yuwanto. Mahmud Ady, 2009. Pengaruh Masasse Plexus Sacralis
Terhadap Penurunan Tingkat Nyeri Pasien Posr Partum Normal Di Ruang Nifas
RSD dr. Soebandi Jember. Skripsi tidak diterbitkan. Jember: Universitas Jember
d. Website : snowdon, CT, 1997. Significance Of Animal Behaviour Research,
http://www.csun.edu/~vcpsy00h/valueofa.htm., Diakses tanggal 15 desemder 2009,
Jam 18.30 WIB
Persamaan matematis, dikemukakan dengan jelas. Angka desimal ditandai dengan
koma untuk bahasa indonesia dan titik untuk bahasa inggris.
Tabel, diberi nomor dan diacu berurutan dalam teks, judul harap dijelaskan pada
catatan kaki. Garis-garis vertikal maupun horisontal dalam tabel dibuat seminimal
mungkin untuk memudahkan penglihatan (tanpa garis bantu).
Ilustrasi, dapat berupoa lukisan, gambar, grafik, atau diagram diberi nomor dan diacu
berurutan pada teks. Keterangan diberikan dengan singkat dan jelas dibawah ilustrasi
(tidak didalam ilustrasinya). Pada ilustrasi atau foto dibuat tanpa menggunakan
border.
Foto hitam putih/berwarna, harus kontras, tajam, jelas dan sebaiknya diambil dalam
format JPEG, atau format digitl lain yang bisa diedit.
Naskah yang dikirim ke redaksi hendaknya diketik dalam CD, disertai cetakan
sebanyak 2 eksemplar pada kertas HVS dengan program microsoft office word, ukuran A4
(210x279 mm) dengan jarak 1 spasi, font 12 pts, jenis huruf Times New Roman, panjang
tulisan berkisar antara 15-20 halaman (1 kolom) atau 5-8 halaman (2 kolom), batas kertas 3
cm dari tepi kiri, 2,5 cm dari tepi bawah, kanan dan atas. Pengiriman file juga dapat
dilakukan sebagai attachment e-mail ke alamat : [email protected].
Naskah akan diedit oleh dewan redaksi tanpa mengubah isinya unttuk disesuaikan
dengan format penulisan yang telah ditetapkan oleh Jurnal dr. Soebandi. Naskah yang telah
diterima beserta semua ilustrasi yang menyertainya menjadi milik sah penerbit. Semua
data, pendapat atau pertanyaan yang terdapat pada naskah merupakan tanggung jawab dari
penulis. Penerbit, dewan redaksi dan seluruh staf Jurnal dr. Soebandi tidak bertanggung
jawab atau tidak bersedia menerima kesulitan maupun masalah apapun sehubungan dengan
plagiatisme, konsekuensi dari ketidakakuratan, kesalahan data, pendapat maupun
pertanyaan tersebut.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
214
Contoh outline artikel (2 kolom) sebagai berikut
JUDUL
Nama Pengarang/Peneliti
Alamat Pengarang/Peneliti
ABSTRACT
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
PENDAHULUAN
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
PEMBAHASAN
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
BAHAN DAN METODE
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
KESIMPULAN
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
HASIL
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxx (lihat tabel 1.1)
Tabel 1.1 xxxxxxxxxxxxxxxxx
No. Pengetahuan Sikap Tindakan
Resp
(%)
(%)
(%)
1
25
30
45
2
40
25
70
dst
Total
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxx (lihat gambar 1.1)
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Gambar 1.1 xxxxxxx
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2
215
Download