JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 i Jurnal Kesehatan dr. Soebandi Vol. 3 No. 2, April – September 2015 Terbit 2 kali setahun pada bulan April dan Oktober. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kajian analisis-kritis di bidang ilmu kesehatan. Susunan Redaksi Jurnal Kesehatan dr. Soebandi No. SK : 878/U.K/X/2013 Pelindung Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dr. Soebandi Jember Penasehat Ketua Lembaga Pengembangan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Penyunting Ketua Ns. Khofi Hadidi, S.Kep. Sekretaris Diana Octania, SH Bendahara Ns. Lailil Fatkuriyah, S.Kep. Penelaah Ahli DR. Ah. Yusuf, S.Kp., M. Kes. (PPNI Jawa Timur) Penyunting pelaksana Andi Eka Pranata., S.Kep., M. Kes. Fitria Jannatul Laili, S.Keb., Bd Ns. Firdha Novitasari, S.Kep., MM. Ns. Zidni Nuris Yuhbaba, S.Kep., MM. Dinar Perbawati, SST. Ai Nurjannah, SST. Dana dan Usaha Kustin, SKM., MM. Mussia, SST., MM. Marketing Drs. H. M. Fanani, MM. Ns. Akhmad Efrizal Amrullah, S.Kep., M. Si. Herlidian Putri, S.ST., M.Kes Zaida Mauludiyah, S.Keb., Bd. Alamat Penyunting : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dr. Soebandi Jember, JL. dr. Soebandi No. 99 Jember. Telp (0331) 483536. Fax. (0331) 483536. Email : [email protected]. Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik sesuai dengan format seperti tercantum pada petunjuk dibagian belakang jurnal ini. Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 ii Jurnal Kesehatan dr. Soebandi Vol. 3 No. 2, April – September 2015 DAFTAR ISI ( CONTENT) HALAMAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Remaja Sebelum Dan Sesudah Penerimaan Penyuluhan Kesehatan Tentang Kebutuhan Seksual Di SMA Muhammadiyah 3 Jember Hendra Dwi Cahyono………………………………………………......................................... Hubungan Pengetahuan Tentang Hipertensi Dengan Perilaku Lansia Dalam Pencegahan Hipertensi Di Posyandu Lansia Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember Brahmantio Chrisna Tobias................................................................................. Penurunan Tingkat Kecemasan Mahasiswa Dengan Pemberian Terapi Musik Di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dr. Soebandi Jember Tirta Vira Cakti Yudha …………………………………………………………............................. Hubungan Teknik Menyusui Dengan Terjadinya Lecet Puting Susu Pada Ibu Nifas Di Wilayah Kerja Puskesmas Pembantu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember Rizka Yuliatul H……………………………………………………………………………………………….. Gambaran Kenaikan Berat-Badan Ibu Akseptor KB Suntik 3 Bulan Di Puskesmas Pembantu Kebonsari Kabupaten Jember Nanik Fitriyah…………………………………………………………………………………………………. Hubung an Dukungan Kel uarg a Dengan Kunjungan Lansia Ke Posyandu Lansia Di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember Nur Fadilah……………………………………………………………………………………………………… P e n g a r u h P e n y u l u h a n T e n t a n g J a j a n a n Sehat Terhadap Sikap Anak SD Kelas IV Dan V Dalam Konsumsi Jajanan Di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember 2015 Anwarah Andriani…………………………………………………………………………………………... Mengukur Kualitas Kinerja Pelayanan Publik (Program Jaminan Kesehatan Nasional) Dengan Survey Kepuasan Pasien Moh. Wildan………………………………………………………………………………………………….. Pengaruh Metode SHEMAP Terhadap Peningkatan Pola Pikir Kritis Dan Kreatif Pada Mahasiswa S1 Keperawatan Di STIKES dr. Soebandi Jember Andi Eka Pranata……………………………………………………………………………………………. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 134-143 144-148 149-155 156-162 163-167 168-181 182-190 191-202 203-212 iii PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA SEBELUM DAN SESUDAH PENERIMAAN PENYULUHAN KESEHATAN TENTANG KEBUTUHAN SEKSUAL DI SMA MUHAMMADIYAH 3 JEMBER Hendra Dwi Cahyono*, Ni Made Armawati**, Lailil Fatkuriyah*** *, **Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember **Poltekkes Kemenkes Malang ABSTRACT Adolescent is a period of transition between childhood and adult stages. Physical changes that occur in adolescence led to the emergence of sexual interest and curiosity is high on sexuality. The purpose of this study was to determine differences in the level of knowledge and attitudes about adolescent sexual counseling before and after the acceptance of sexual needs in SMA Muhammadiyah Jember 3. This type of research used in this study was Quasi Experiment (quasi-experimental) with the design of one-group pre-test post-test design, where the level of students' knowledge and attitudes regarding sexual needs were measured before and after treatment are given in the form of health education / counseling. The population in this study is a Class XI student at SMA Muhammadiyah Jember totaled 3 152 people consisting of grade social studies and language. The sample size in this study was 60 with a sampling technique used was purposive sampling. Research before giving counseling to determine the level of knowledge about the category (88.3%), sufficient (11.7%). Negative attitudes (85%), positive (15%). After the provision of information to determine the level of knowledge both categories (3.3%), adequate (55%), and less (41.7%). Negative attitudes (60%), positive (40%). Based on the Wilcoxon test were analyzed using SPSS obtained significance value (Asymp. Sig) between the level of knowledge before and after the extension of 0000> 0.05, meaning that there is a significant difference between the level of knowledge before (pretest) and after (posttest) was given counseling. The conclusion of this study is there are different levels of knowledge and attitudes of adolescents before and after receipt of counseling in IPS-grade students at SMA Muhammadiyah Jember 3. Keywords: Extension, level of knowledge, attitude. PENDAHULUAN Seksual merupakan bagian integral dari kehidupan manusia terutama remaja. Remaja merupakan masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda-beda tergantung faktor sosial dan budaya. Ciri-cirinya adalah alat reproduksi mulai berfungsi, libido mulai muncul, intelegensi mencapai puncak perkembangannya, emosi sangat labil, kesetiakawanan yang kuat terhadap teman sebaya dan belum menikah. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Kondisi yang belum menikah menyebabkan remaja secara sosial budaya termasuk agama dianggap belum berhak atas informasi dan edukasi apalagi pelayanan medis untuk kesehatan reproduksi. Terjerumusnya remaja ke dalam dunia hubungan sosial yang luas maka mereka tidak saja harus mulai adaptasi dengan norma perilaku sosial tetapi juga sekaligus dihadapkan dengan munculnya perasaan dan keinginan seksual (Subakhti, 2009). 134 Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada remaja merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja Kematangan seksual pada usia remaja menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan yang tinggi tentang seksualitas. Rasa ingin tahu dan mencoba yang kuat seringkali membuat remaja terjerumus dalam tingkah laku yang merugikan dirinya, seperti menonton VCD porno, majalah-majalah yang memberikan gambar gambar dan cerita yang vulgar, serta akses internet yang sering disalahgunakan menjadi sarana untuk menyebarkan informasi ke arah pornografi. Berbagai dampak dari media elektronik atau media cetak dengan mudah dapat diamati, dilihat, atau dibaca oleh remaja (Santrock, 2007). Perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Fauziah (2007) berpendapat bahwa perilaku seksual adalah segala bentuk kegiatan dan aktivitas yang dapat menyalurkan dorongan seksual remaja dalam hubungannya dengan lawan jenis dan dilakukan remaja sebelum menikah. Sementara menurut Vener dan Stewart (Thornburg, 2002) perilaku seksual itu dimulai dari saling berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, necking, petting tahap ringan hingga berat dan kemudian melakukan senggama. Kecenderungan perilaku seksual pra nikah di kalangan remaja semakin banyak terjadi, tercermin dari perilaku seks di kalangan remaja. World Health Organization (WHO) memperkirakan dengan rata-rata 100% seluruh remaja yang ada di dunia, diperkirakan 47% nya telah terlibat dalam perilaku seks bebas. Suatu penelitian yang pernah dilakukan BKKBN (Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional) menyatakan bahwa perilaku seksual remaja belakangan ini memang mencemaskan. Persentase remaja laki-laki yang melakukan hubungan seksual adalah 4,9% dan perempuan yang pernah melakukan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 hubungan seksual sebelum menikah sebesar 24%. Remaja di Jakarta yang pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah ada sebanyak 42% (Badan Kesehatan Keluarga Berencana Negara, 2008). Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 yang dilakukan oleh remaja usia 15-19 tahun baik putra maupun putri menunjukkan bahwa tidak sedikit yang sudah pernah melakukan hubungan seksual. Dari data terhadap 10.833 remaja putra dan 9.344 remaja putri berusia 1519 tahun, didapatkan bahwa remaja putra yang sudah berpacaran sebanyak 72%, pernah berciuman sebanyak 92%, pernah meraba-raba pasangan sebanyak 62% dan pernah melakukan hubungan seksual sebanyak 10,2%. Sedangkan remaja putri yang sudah berpacaran sebanyak 77%, pernah berciuman sebanyak 92%, pernah meraba-raba pasangan sebanyak 62% dan pernah melakukan hubungan seksual sebanyak 6,3%. Hasil survei yang dilakukan terhadap 8084 remaja usia 15-24 tahun pada 4 propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa Timur, dan Lampung menunjukkan 46,2% remaja menganggap bahwa perempuan tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks. Kesalahan persepsi ini sebagian besar diyakini oleh remaja laki laki sebesar 49,7% dan 42,3% oleh remaja putri. Selain itu juga dari hasil survei yang sama menunjukkan bahwa 51% remaja mengira bahwa risiko tertular HIV hanya bila berhubungan seks dengan pekerja seks komersial dan hanya 19,2% yang menyadari peningkatan risiko tertular penyakit seksual bila memiliki lebih dari satu pasangan (Darwisyah, 2000). Angka ini juga sangat berkaitan dengan tingginya jumlah angka penderita HIV/AIDS (Human Irnmunodeviciency Virus/Aquared Immuno Deficiency Virus) yang terus menerus meningkat setiap tahunnya. Terbukti pada tahun 2002 jumlah 135 penderita diperkirakan 90.000 hingga 160.000an kasus. Angka ini semakin meningkat ditahun 2006, antara 169.000 hingga 216.000, data akhir di bulan September menjukan angka 6.987 dengan kasus baru (Kartono, 2008). Studi pendahuluan yang telah dilakukan di SMA Muhammadiyah 3 Jember pada 21 siswa. Menunjukkan sebanyak 9 siswi (42.9%) mengatakan mereka sudah mengetahui tentang seksualitas dari media masa seperti majalah wanita, tetapi mereka mengaku pengetahuan yang didapatkan masih kurang lengkap karena pembahasaanya tidak mendetail. Sementara 11 (57.1%) siswa lainnya tidak mengetahui masalah yang berkaitan dengan seksualitas. Pengetahuan mereka sebatas pada persoalan menstruasi yang normal dialami oleh siswi atau mimpi basah bagi siswa. Sementara sikap siswa terhadap seksual diketahui bahwa 4 siswa menolak atau tidak setuju dengan hubungan seksual sebelum menikah, 12 siswa setuju dengan berciuman dan berpegangan tangan selama pacaran, 5 siswa sangat setuju dengan hubungan seksual selama pacaran atau sebelum menikah. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru di SMA Muhammadiyah Jember, pendidikan tentang seksualitas remaja belum sepenuhnya diberikan kepada siswa-siswi. Pendidikan seksualitas diberikan melalui mata pelajaran Biologi yang hanya membahas mengenai hewan, tumbuh-tumbuhan dan susunan anatomi organ reproduksi manusia serta fungsinya. Tetapi, dalam mata pelajaran tersebut tidak membahas tentang remaja dan permasalahan seksualitas. Belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang seksualitas secara lengkap, sehingga timbul perasaan cemas, takut, dan binggung berkaitan dengan seksualitas. Banyaknya persoalan mengenai penyimpangan seks pada remaja berangkat dari pemahaman yang keliru mengenai seksualitas sehingga JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 menjadikan mereka mencoba untuk bereksperimen mengenai masalah seks tanpa menyadari bahaya yang timbul dari perbuatannya, dan ketika permasalahan yang ditimbulkan oleh perilaku seksnya mulai bermunculan, remaja takut untuk mengutarakan permasalahan tersebut kepada orang tua. Remaja lebih senang menyimpan dan memilih jalannya sendiri tanpa berani mengungkapkan kepada orang tua. Hal ini disebabkan karena ketertutupan orang tua terhadap anak terutama masalah seks yang dianggap tabu untuk dibicarakan serta kurang terbukanya anak terhadap orang tua karena anak merasa takut untuk bertanya (Amrillah, 2008). Keterbatasan akses dan informasi mengenai seksualitas bagi remaja di Indonesia bisa dipahami karena masyarakat umumnya masih menganggap seksualitas sebagai sesuatu yang tabu dan tidak untuk dibicarakan secara terbuka. Orang tua biasanya enggan untuk memberikan penjelasan masalah-masalah seksualitas dan reproduksi kepada remajanya, dan anak pun cenderung malu bertanya secara terbuka kepada orang tuanya. Selain itu, beragam mitos tentang seksualitas juga menjadi masalah tersendiri bagi remaja. Seperti berhubungan seksual dengan pacar merupakan bukti cinta, dan melakukan hubungan seksual dengan senggama terputus berarti aman dari kehamilan Informasi yang salah tentang seks dapat mengakibatkan pengetahuan dan persepsi seseorang mengenai seluk beluk seks itu sendiri menjadi salah. Hal ini menjadi salah satu indikator meningkatnya perilaku seks bebas di kalangan remaja. Pengetahuan yang setengah-setengah justru lebih berbahaya dibandingkan tidak tahu sama sekali, kendati dalam hal ini ketidaktahuan bukan berarti tidak berbahaya. Pengetahuan tentang proses reproduksi yang didapat dari sekolah misalnya dari pelajaran biologi, juga kurang komprehensif atau sepotong-sepotong 136 saja, bahkan campur aduk dengan pengetahuan popular atau mitos-mitos yang diperolehnya dari teman-teman sebaya, sumber-sumber lain seperti media massa, buku pornografis, atau bahkan blue movies. Tenaga kesehatan menpunyai peranan penting serta dapat bekerja sama dengan pihak sekolah dalam menyumbangkan pengetahuan serta memberikan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dikalangan remaja, namun bukan pendidikan seks secara vulgar, melainkan pendidikan seperti; tentang organ reproduksi, bahaya akibat pergaulan bebas, seperti penyakit menular seksual dan sebagainya. Dengan demikian, diharapkan para remaja ini bisa terhindar dari percobaan untuk melakukan seks bebas (Gemari, 2001). Informasi yang benar dan jelas mengenai kesehatan reproduksi, kegiatan penyuluhan dilakukan untuk memberikan informasi. Penyuluhan kesehatan yaitu kegiatan pendidikan kesehatan yang dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan dapat melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan (Santosa dkk, 2005). Penyampaian informasi dengan penyuluhan yang benar dan jelas diharapkan dapat membantu remaja untuk memahami betapa pentingnya masalah seksualitas. Bertambahnya informasi sebagai pengetahuan bagi remaja diharapkan dapat membentuk suatu sikap yang baru. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang baru pada subjek dapat menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahuinya itu. Sikap remaja terhadap seksualitas dipengaruhi oleh informasi atau pengetahuan. Pengetahuan terhadap objek dapat dipersepsikan sebagai hal yang positif maupun hal yang negatif. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang memadai, akan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 dipersepsikan ke dalam sikap yang positif terhadap kesehatan reproduksi Selain itu, 35 penelitian yang dilakukan di negara maju dan berkembang menyimpulkan bahwa pendidikan kesehatan seksual berbasis sekolah tidak menyebabkan bertambahnya kegiatan seksual remaja. Bahkan sebaliknya berdampak pada penundaan kegiatan seks (Danuwisastra, 2003). Menurut Ajun (2001) semakin remaja mendapat bekal pengetahuan tentang seksualitas, maka akan semakin berhati-hati dalam perilakunya, serta akan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan menyangkut seksualitasnya. Selain itu, WHO menekankan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi kepada remaja muda (younger adolescents), yaitu kelompok usia 10 hingga 14 tahun. Usia ini merupakan masa emas untuk terbentuknya landasan yang kuat tentang kesehatan reproduksi, sehingga dapat mempersiapkan mereka untuk mengambil keputusan seksual yang lebih aman dan bijaksana dalam hidupnya Bertitik tolak pada uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang perbedaan tingkat pengetahuan dan sikap remaja tentang kebutuhan seksual sebelum dan sesuadah mendapatkan penyuluhan di SMA Muhammadiyah 3 Jember. Upaya yang dilakukan adalah pemberian informasi atau pesan kesehatan berupa penyuluhan kesehatan untuk memberikan atau meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang kesehatan agar memudahkan terjadinya perilaku sehat. Sehingga mempunyai kemampuan mengenal masalah kesehatan dirinya, keluarga, dan kelompoknya dalam meningkatkan kesehatannya. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi Experiment (eksperimen semu) dengan rancangan one-group pre-test post-test design (rancangan pra-pasca test dalam satu kelompok), dimana tingkat 137 pengetahuan dan sikap siswa mengenai menggunakan purposive sampling kesehatan diukur sebelum dan setelah melalui pendekatan rumus Slovin sebesar diberikan perlakuan berupa pendidikan 60 orang. Instrumen penelitian kesehatan/penyuluhan. menggunakan kuesioner dan analisis data Populasi dalam penelitian ini adalah menggunakan uji wilcoxon. siswa Kelas XI di SMA Muhammadiyah 3 Jember berjumlah 152 orang yang terdiri dari kelas IPS dan Bahasa. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan HASIL Hasil penelitian akan dipaparkan sebagai berikut. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Remaja Sebelum Penerimaan Penyuluhan No 1 2 Tingkat Pengetahuan Cukup Kurang Jumlah Frekuensi 7 53 60 Prosentase (%) 11.7 88.3 100 Sumber : Data primer diolah tahun 2014 Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden penyuluhan berada pada kategori kurang yaitu 53 orang (88.3%). sebelum Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Remaja Sesudah Penerimaan Penyuluhan No 1 2 3 Tingkat Pengetahuan Baik Cukup Kurang Jumlah Frekuensi 2 33 25 60 Prosentase (%) 3.3 55.0 41.7 100 Sumber : Data primer diolah tahun 2014 Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden penyuluhan berada pada kategori cukup yaitu 33 orang (55%). sesudah Tabel 3. Distribusi Frekuensi pemberian ASI ekslusif pada ibu yang diberikan konseling di Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember No 1 Konseling Konseling Eksklusif ∑ % 20 74.07 Tidak Eksklusif ∑ % 7 25.93 Jumlah ∑ % 27 100 Sumber : Data primer diolah tahun 2014 Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa ibu yang mendapatkan konseling sebagian besar memberikan ASI secara Eksklusif pada bayi selama 24 jam yaitu (74.04%). Tabel 4 Distribusi Silang Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Kebutuhan Seksual Pada Siswa di SMA Muhammadiyah 3 Jember Sebelum dan Sesudah Penerimaan Penyuluhan No Penyuluhan Pengetahuan 1 Baik 2 Cukup 3 Kurang Jumlah JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Sebelum ∑ % 0 0 7 11.7 53 88.3 60 100 Sesudah ∑ % 2 3.3 33 55.0 25 41.7 60 100 138 Sumber : Data primer diolah tahun 2014 Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa terdapat peningkatan tingkat pengetahuan remaja setelah menerima penyuluhan tentang kebutuhan seksual. Berdasarkan uji Wilcoxon yang dianalisis dengan menggunakan SPSS diperoleh nilai signifikansi (Asymp. Sig) antara tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan sebesar 0.000 < 0.05, artinya ada perbedaan tingkat pengetahuan yang bermakna antara sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) diberi penyuluhan. Tabel 5 Distribusi Frekuensi Sikap Remaja Sebelum Penerimaan Penyuluhan No Sikap 1 Positif 2 Negatif Jumlah Frekuensi 9 51 60 Prosentase (%) 15.0 85.0 100 Sumber : Data primer diolah tahun 2014 Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa sikap responden sebelum penyuluhan adalah negatif yaitu 51 orang (85%). Tabel 6. Distribusi Frekuensi Sikap Remaja Sesudah Penerimaan Penyuluhan No Sikap Frekuensi Prosentase (%) 1 Positif 36 60.0 2 Negatif 24 40.0 Jumlah 60 100 Sumber : Data primer diolah tahun 2014 Tabel 6 dapat diketahui bahwa sikap responden sesudah penyuluhan adalah positif yaitu 36 orang (60%). Tabel 7 Distribusi Silang Sikap Remaja Tentang Kebutuhan Seksual Pada Siswa di SMA Muhammadiyah 3 Jember Sebelum dan Sesudah Penerimaan Penyuluhan No Penyuluhan Sebelum Sesudah Sikap ∑ % ∑ % 1 Positif 9 15.0 36 60.0 2 Negatif 51 85.0 24 40.0 Jumlah 60 100 60 100 Sumber : Data primer diolah tahun 2014 Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa terdapat peningkatan sikap remaja setelah mendapatkan penyuluhan tentang kebutuhan seksual. Hasil penelitian menunjukkan jika sikap remaj sebelum merima penyuluhan sebagian besar adalah negatif dan setelah menerima penyuluhan sebagian besar adalah positif. Berdasarkan uji Wilcoxon yang dianalisis dengan menggunakan SPSS diperoleh nilai signifikansi (Asymp. Sig) antara sikap sebelum dan sesudah penyuluhan sebesar 0.000 < 0.05, artinya adanya JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 perbedaan sikap yang bermakna antara sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) diberi penyuluhan PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebelum penyuluhan tentang kebutuhan seksual diketahui berada pada kategori kurang yaitu (88.3%). Beberapa hal yang mendasari tingkat pengetahuan siswa kelas IPS dan Bahasa berada pada kategori kurang. Seperti usia, pendidikan. Usia 139 menunjukkan pengalaman hidup seseorang. Selain itu usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Menurut Notoatmodjo (2007) umur mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah umur akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik. Siswa kelas IPS dan Bahasa dominan masih berusia <20 tahun sehingga masih belum memiliki tingkat kematangan dan berpikir. Menurut Hurlock (2008), Usia 21-40 tahun dinamakan dewasa awal dimana kemampuan mental mencapai puncaknya dalam usia 20 tahun untuk mempelajari dan menyesuaikan diri pada situasisituasi baru seperti pada misalnya mengingat hal hal yang pernah dipelajari, penalaran analogis dan berfikir kreatif. Selain usia rendahnya pengetahuan dimungkinkan karena materi pelajaran yang diterima jarang yang bersentuhan dengan persoalan seksual. Sehingga informasi yang diperoleh siswa sangatlah minim tentang seksual. Materi pelajaran merupakan satu-satunya sumber informasi yang berada di SMA Muhammadiyah 3 Jember, meski terdapat mading (majalah dinding) tidak pernah sama sekali membahas mengenai seksual. Pihak sekolah tidak pernah mendatangkan petugas kesehatan untuk memberikan informasi kesehatan kepada siswa, sehingga informasi yang diperoleh siswa kelas IPS dan Bahasa sangat terbatas, selain itu persoalan seksual bagi sebagian siswa masih dianggap tabu dan tidak bisa diperbincangkan dengan bebas atau umum. Akibatnya siswa akan berperilaku tertutup. Keadaan ini pada gilirannya akan mempengaruhi akses atau jumlah informasi siswa. Semakin banyak jumlah informasi yang diterima siswa JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 memungkinkan akan berdampak pada tingkat pengetahuan yang dimiliki. Berdasarkan hasil penelitian setelah siswa mendapatkan penyuluhan mengenai kebutuhan seksual diperoleh hasil bahwa tingkat pengetahuan siswa kelas IPS kategori cukup (55%). Angka ini menjelaskan jika dengan pemberian penyuluhan mengenai kebutuhan seksual akan turut serta berdampak pada jumlah informasi yang diterima siswa. Penyuluhan merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi mengenai kebutuhan seksual. Pada kegiatan penyuluhan siswa diberikan informasi yang tidak diketahui sebelumnya, semakin banyak informasi yang diperoleh dalam kegiatan penyuluhan maka memungkinkan akan semakin baik pula tingkat pengetahuan yang dimiliki. Menurut Santosa dkk, (2005) Penyuluhan kesehatan yaitu kegiatan pendidikan kesehatan yang dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan dapat melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. Kegiatan penyuluhan dalam penelitian ini dilakukan dengan memberikan sejumlah informasi yang berkaitan dengan kebutuhan seksual remaja. Penyampaian informasi dengan penyuluhan yang benar dan jelas diharapkan dapat membantu remaja untuk memahami betapa pentingnya masalah kebutuhan seksual. Pada kegiatan penyuluhan terdapat transfer informasi yang disampaikan dari penyuluh kepada peserta dalam hal ini adalah sisw kelas IPS, semakin banyak jumlah informasi yang diterima maka memungkinkan akan semakin banyak pula pengetahuan yang diserap oleh siswa tentang kebutuhan seksual. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa skor rata-rata pengetahuan siswa kelas IPS dan Bahasa sebelum mendapatkan penyuluhan 45.07 dan setelah mendapatkan penyuluhan 140 menjadi 57.13, pemberian penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan siswa sebesar 21.11%. uji statistic menunjukkan jika nilai signifikansi (Asymp. Sig) antara tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan sebesar 0.000 < 0.05, artinya ada perbedaan tingkat pengetahuan yang bermakna antara sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) diberi penyuluhan. Hal ini menjelaskan bahwa penyuluhan merupakan salah satu cara yang berperan penting dalam meningkatkan pengetahuan siswa. Semakin sering kegiatan penyuluhan yang dilakukan akan akan berdampak besar pula pada tingkat pengetahuan siswa. Menurut Depkes (2005) Penyuluhan kesehatan adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui tekhnik praktek belajar atau instruksi dengan tujuan mengubah atau mempengaruhi perilaku manusia secara individu, kelompok maupun masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat. Fungsi penyuluhan adalah sebagai penghubung yang menjabarkan proses penyampaian ilmu pengetahuan dari sumbernya kepada masyarakat yang membutuhkannya. Informasi yang diperoleh dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa dengan adanya penyuluhan akan turut serta memberikan dampak terhadap peningkatan pengetahuan seseorang. Hal ini disebabkan karena dalam kegiatan penyuluhan terdapat transfer informasi. Semakin banyak informasi yang diperoleh maka akan semakin baik pula pengetahuan yang dimilikinya. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Machfoedz, Suryani, Sutrisno, & Santosa, (2005) yang menyatakan bahwa Agar para remaja dapat memperoleh informasi JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 yang benar dan jelas mengenai kesehatan reproduksi, kegiatan penyuluhan dilakukan untuk memberikan informasi. Penyuluhan kesehatan yaitu kegiatan pendidikan kesehatan yang dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan dapat melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. Hasil penelitian serupa juga dilakukan oleh Kustriyani (2009) tentang perbedaan pengetahuan dan sikap siswi sebelum dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan tentang keputihan DI SMU Negeri 4 Semarang. Peningkatan jumlah responden yang memiliki pengetahuan tinggi sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan sebesar 70,2% dengan p value 0,000, dan terdapat peningkatan jumlah responden yang memiliki sikap baik sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan yaitu sebanyak 26,3% dengan p value 0,000. Rachma Wardani (2010) meneiliti tentang Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja Perempuan SMP Muhammadiyah 7 Surakarta. Hasil p<0.001 menunjukkan bahwa variabelvariabel dalam penelitian ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pengetahuan remaja SMP tentang kesehatan reproduksi, rata-rata mendapatkan 1.6 poin lebih tinggi daripada remaja yang tidak disuluh (b=1.6; CI 95% 0.7 s.d. 2.5; a=4.2; R2 = 41.1%). Pemberian penyuluhan mengenai kebutuhan seksual pada remaja terbukti secara statistik dapat meningkatkan pengetahuannnya. Pada kegiatan penyuluhan siswa mendapatkan sejumlah informasi yang tidak diketahui sebelumnya oleh siswa berkaitan dengan kebutuhan seksual. Semakin banyak informasi yang diperoleh siswa mengenai kebutuhan seksual maka semakin banyak pula sesuatu yang diketahui oleh siswa. 141 Jumlah informasi ini pada gilirannya akan berdampak pada tingkat pengetahuan yang dimiliki siswa. Berdasarkan hasil penelilitian diketahui bahwa sikap siswa kelas IPS sebelum dilakukan kegiatan penyuluhan sebagian besar adalah negatif yaitu 51 orang (85%). Terbentuk sikap siswa kelas IPS berada pada kategori negatif tidak berdiri sendiri, terdapat beberapa hal yang diduga berkaitan dengan sikap siswa kelas IPS yang negatif. Menurut Azwar (2000) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap seseorang yaitu pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu. Sikap siswa kelas IPS dan Bahasa dominan negatif salah satunya karena tingkat pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan seseorang akan menjadi dasar atau pertimbangan dalam memberikan respon terhadap seseuatu. Respon tersebut akan bernilai positif jika didukung dengan tingkat pengetahuan yang baik. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang baru pada subjek dapat menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahuinya itu. Sikap yang didasari dengan pengetahuan yang baik cenderung akan positif jika dibandingkan dengan sikap yang didsari oleh pengetahuan yang kurang. Selain pengetahuan, sikap terbentuk dari interakasi sosial. Menurut Azwar, (2000) Pembentukan sikap seseorang pada dasarnya disebabkan oleh adanya interaksi sosial, dalam interaksi sosial, terjadi pertukaran informasi antar individu dan hubungan yang saling mempengaruhi. Hubungan yang timbal balik inilah yang membentuk pola sikap terhadap objek yang dihadapinya. Kegiatan interaksi yang dilakukan antara siswa di SMA Muhammadiyah dimungkinkan tidak interaktif untuk JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 persoalan seksual. Siswa cenderung tertutup dan menilai persoalan kebutuhan seksual merupakan sesuatu yang privasi dan tidak untuk konsumsi publik, sehingga sedikit yang membicarakan persoalan ini antar sesama siswa. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh skor rata-rata 85.25 sebelum penyuluhan, dan 102.18 setelah penyuluhan. Kegiatan penyuluhan meningkatkan sikap responden sebesar 16.57%. Realitas ini menunjukkan jika pemberian informasi kepada siswa kelas IPS dan Bahasa dalam bentuk penyuluhan membantu siswa dalam memahami kebutuhan seksual yang benar dan tepat. Pengetahuan atau informasi yang diterima siswa akan membetuk dalam menentukan sikap mengikuti atau menolaknya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh dr. Boyke pada remaja menunjukkan bahwa sebelum mengikuti seminar, mereka rata-rata menyetujui hubungan seksual pranikah. Tapi sesudah seminar 90% peserta menyatakan tidak setuju dengan hubungan seksual pranikah (Pratiwi, 2004). Selain itu, 35 penelitian yang dilakukan di negara maju dan berkembang menyimpulkan bahwa pendidikan kesehatan seksual berbasis sekolah tidak menyebabkan bertambahnya kegiatan seksual remaja. Bahkan sebaliknya berdampak pada penundaan kegiatan seks (Danuwisastra, 2003). Menurut Wahyudi (2000) kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dengan remaja dapat memperkuat munculnya perilaku yang menyimpang. Sebagian siswa menilai persoalan kebutuhan seksual bukanlah konsumsi umum dan tidak layak untuk dikomunikasikan dengan orang lain, akibatnya mereka akan mencari informasi sendiri dari berbagai sumber seperti internet dan sebaginya. Menurut Azwar (2011), berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai 142 pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan individu. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. Kurangnya atau belum pernah mendapatkan informasi sebelumnya juga menyebabkan penilaian yang berbeda terhadap sikap individu. Hasil penelitian Iriani dkk (2011) meneliti tentang perbedaan sikap terhadap hubungan seks pranikah antara remaja yang diberi penyuluhan dan yang tidak diberi penyuluhan kesehatan reproduksi remaja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan sikap terhadap pranikah seksual di kalangan remaja dengan kesehatan reproduksi intervensi dan remaja tanpa intervensi kesehatan reproduksi. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bhwa tingkat pengetahuan remaja tentang kebutuhan seksual pada remaja di SMA Muhammadiyah 3 Jember sebelum penyuluhan adalah kurang (88.3%), tingkat pengetahuan remaja tentang kebutuhan seksual pada remaja di SMA Muhammadiyah 3 Jember sesudah penyuluhan adalah cukup (55%), terdapat perbedaan tingkat pengetahuan remaja tentang kebutuhan seksual sebelum dan sesudah penyuluhan dengan nilai signifikansi (Asymp. Sig) sebesar 0.000 < 0.05. Sikap remaja tentang kebutuhan seksual pada remaja di SMA Muhammadiyah 3 Jember sebelum penyuluhan sebagain besar adalah negatif (85%), sikap remaja tentang kebutuhan seksual pada remaja di SMA Muhammadiyah 3 Jember sesudah JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 penyuluhan adalah positif (60%). Terdapat perbedaan sikap remaja tentang kebutuhan seksual sebelum dan sesudah penyuluhan dengan nilai signifikansi (Asymp. Sig) sebesar 0.000 < 0.05. DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. (2003). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Azwar, Saifuddin. (2005). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fitri Fauziah & Julianty Widuri. (2007). Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak, edisi ke-11 jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga Surbakti, E.B. (2009). Kenalilah Anak Remaja Anda. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta Thornburg D H. (2002). Development in Adolenscence. Second Edition, California: Brook Cole Publishing Co. 143 HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG HIPERTENSI DENGAN PERILAKU LANSIA DALAM PENCEGAHAN HIPERTENSI DI POSYANDU LANSIA DESA TEGAL WANGI KECAMATAN UMBULSARI KABUPATEN JEMBER Oleh Brahmantio Chrisna Tobias*, Kiswati, Said Mardijanto**, Akhmad Efrizal Amrullah*** *, **, *** Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember ABSTRAK Hipertensi menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius, karena jika tidak terkendali akan berkembang dan menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang diperkirakan sekitar 80% pada tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Penelitian ini adalah penelitian korelational dengan pendekatan cross sectional yaitu peneliti dapat mencari, menjelaskan hubungan dan menguji antara 2 variabel yaitu tingkat pengetahuan tentang hipertensi dengan perilaku pencegahan hipertensi. Populasi dalam penelitian ini adalah 34 responden, sementara sampel sebesar 31 responden. Tehnik sampling yang digunakan adalah simple random sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden (51,6%) mempunyai pengetahuan kurang dan sebagian kecil (12,9%) lansia berpengetahuan baik. Sementara perilaku pencegahan hipertensi sebagian besar (54,84%) responden berperilaku cukup dan sebagian kecil (16,13%) lansia berperilaku baik. Berdasarkan analisis data diketahui bahwa ada hubungan antara pengetahuan tentang hipertensi dengan perilaku lansia dalam pencegahan hipertensi. Simpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara pengetahuan tentang hipertensi dengan perilaku lansia dalam pencegahan hipertensi Di Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember. Pemberian informasi oleh petugas kesehatan mengenai hipertensi akan memiliki peran besar dalam menurunkan terjadinya hipertensi. Hal ini diasumsikan bahwa perilaku seseorang merupakan manifestasi dari segala yang diketahuinya. Kata kunci : Tingkat Pengetahuan, Perilaku Pencegahan Hipertensi PENDAHULUAN Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah diastolik > 90 mmHg. Hipertensi merupakan kelainan yang sulit diketahui oleh tubuh kita sendiri (Mansjoer, 2001:49). Kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang diperkirakan sekitar 80% pada tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini. Di Indonesia banyaknya penderita hipertensi diperkirakan 15 juta orang tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi penderita hipertensi di Indonesia cukup tinggi yaitu 7% sampai 22%. Berdasarkan hasil survey penderita yang berujung pada penyakit jantung 75%, stroke 15%, dan gagal ginjal 10%. Penelitian juga menunjukkan prevalensi hipertensi juga meningkat dengan bertambahnya usia. Dari berbagai penelitian epidemiologis 144 yang dilakukan di Indonesia menunjukkan 1,8%-28,6% penduduk yang berusia di atas 20 tahun adalah penderita hipertensi Diprovinsi Jawa Timur tahun 2010, tercatat penderita hipertensi sebanyak 12,41% dari 38.026.550 jumlah penduduk Jawa Timur (Utami, 2013:17). Sedangkan menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Jember tahun 2013 tercatat prevalensi lansia hipertensi meningkat sampai 30%, pada umur setelah 69 tahun (Dinkes Jember, 2013). Lansia dengan hipertensi sangat beresiko mengalami berbagai macam komplikasi. Komplikasi yang paling mungkin timbul dari hipertensi yang diderita oleh lansia adalah penyakit jantung dan stroke (pecah pembuluh darah serebral). Apabila pembuluh darah otak menyempit, maka aliran darah ke otak akan terganggu dan sel-sel otak akan mengalami kematian (Soeparman & Waspadji, 2001). Upaya untuk mengatasi atau mengurangi resiko terjadinya komplikasi pada lansia dengan hipertensi, terdapat empat cara yang dapat dilakukan oleh lansia dengan hipertensi untuk mengurangi atau mencegah terjadinya komplikasi, yaitu pengaturan diet, modifikasi pola hidup atau gaya hidup, manajemen stres, dan kontrol kesehatan (Hart et al, 2010). Menurut Yundini, (2006) beberapa faktor yang menyebabkan hipertensi yaitu kurangnya aktivitas fisik, berat badan lebih, gangguan dari perubahan hormonal serta faktor genetika, serta kurangnya pengetahuan penderita hipertensi dan keluarga tentang pencegahan, penanganan dan perawatan dengan baik dan benar. Salah satu cara untuk menanggulangi masalah kesehatan adalah dengan pencegahan terjadinya hipertensi bagi masyarakat secara umum dan pencegahan kekambuhan pada penderita hipertensi pada khususnya. Pencegahan hipertensi perlu dilakukan oleh semua penderita JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 hipertensi agar tidak terjadi peningkatan tekanan darah yang lebih parah. Tetapi sayangnya tidak semua penderita hipertensi dapat melakukan pencegahan terhadap penyakitnya. Hal ini disebabkan karena tingkat pengetahuan penderita hipertensi tentang pencegahan kekambuhan penyakitnya tidaklah sama. Tingkat Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2010:139). Berdasarkan data jumlah kasus hipertensi di Posyandu Lansia Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember dari tahun ke tahun mengalami peningkatan; pada tahun 2010 tercatat 10 lansia (33%), pada tahun 2011 tercatat 12 lansia (40%), pada tahun 2012 tercatat 15 lansia (50%), pada tahun 2013 tercatat 18 lansia (60%), dan 2014 tercatat 22 lansia (73,3%), dari total keseluruhan lansia yang aktif mengikuti kegiatan di posyandu lansia sebanyak 34 orang. (Data Posyandu Lansia Tegal Wangi, 2014). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan posyandu lansia Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember pada bulan Februari 2015 dari 10 responden didapatkan 5 (50%) lansia dengan pengetahuan tentang hipertensi masih kurang, 3 (30%) lansia dengan pengetahuan cukup dan 2 (20%) lansia dengan pengetahuan baik. Berdasarkan wawancara sebagian besar lansia mempunyai perilaku kebiasaan mengkonsumsi garam dalam jumlah yang berlebihan, menggunakan penyedap masakan dalam jumlah banyak. Sebagian besar lansia tidak bekerja dan tempat berobat biasanya pergi ke puskesmas pembantu Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember. 145 METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian korelationaldengan pendekatan cross sectionalyaitu peneliti dapat mencari, menjelaskan hubungan dan menguji antara 2 variabel yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel hanya satu kali pada satu saat (Notoatmodjo, 2010:37). Pada penelitian ini populasi yang digunakan adalah seluruh anggota Posyandu Lansia di Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember yang aktif mengikuti kegiatan posyandu lansia sebanyak 34 orang. Besar sampel yang digunakan adalah sejumlah 31 lansia, dengan pengambilan sampling simple random sampling. Unit analisis yang digunakan adalah Spearman rank. HASIL PENELITIAN a. Demorafi Responden Tabel 1 Distribusi Frekuensi Umur Responden di Posyandu Lansia Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember Umur 45 – 59 Tahun 60 – 74 Tahun 75 – 90 Tahun Jumlah Tabel Frekuensi 1 19 11 31 Persentase 3,2% 61,3% 35,5% 100 2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden di Posyandu Lansia Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan Jumlah Frekuensi 9 22 31 Persentase 29% 71% 100 Tabel 3 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden di Posyandu Lansia Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember Pendidikan Tidak Sekolah SD/SR SMP SMU Frekuensi Persentase 16 10 1 4 51,6% 32,3% 3,2% 12,9% JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 D3 S1 Jumlah 0 0 31 0% 0% 100 Tabel 4 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Responden di Posyandu Lansia Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember Pekerjaan Tidak Bekerja Buruh Tani Pedagang Pensiunan PNS Jumlah Frekuensi 22 6 2 1 30 Persentase 71,0% 19,4% 6,5% 3,2% 100 Tabel 5 Distribusi Frekuensi Sumber Informasi yang Diperoleh Responden tentang Hipertensi di Posyandu Lansia Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember Sumber Informasi Teman/Saudara Tenaga Kesehatan Posyandu Lansia Media massa/Elektronik Jumlah Frekuensi 4 18 9 Persentase 12,9% 58,1% 29,0% - - 31 100 b. Data Khusus Tabel 6 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Lansia tentang Hipertensi di Posyandu Lansia Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember Pengetahuan Baik Cukup Kurang Jumlah Frekuensi 4 11 16 31 Persentase 12,9% 35,5% 51,6% 100 Tabel 7 Distribusi Frekuensi Perilaku Lansia dalam Pencegahan Hipertensi di Posyandu Lansia Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember Perilaku Pencegahan Hipertensi Baik Cukup Frekuensi Persentase 5 17 16,13% 54,84% 146 Kurang Jumlah 9 31 29,03% 100 Tabel 8 Tabel Silang Pengetahuan Lansia tentang Hipertensi dengan Perilaku Lansia dalam Pencegahan Hipertensi di Posyandu Lansia Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember. Pengeta huan Baik Cukup Kurang Jumlah Baik F % 4 12.9 0 0 1 3.2 5 16.1 Perilaku Lansia Cukup Kurang F % F % 0 0 0 0 10 32.3 1 3.2 7 22.6 8 25.8 17 54.8 9 29.0 ∑ % F 4 12.9 11 35.5 16 51.6 31 100 Berdasarkan hasil uji data dengan menggunakan analisis Spearman Rank (Rho) dengan jumlah sampel 31 orang didapatkan p-value 0,000, pada taraf signifikan p α (alpha)0,05 sehingga Hipotesanol (Ho) ditolak dan Hipotesis alternatif (Ha) diterima. Hal ini berarti adanya hubungan pengetahuan lansia tentang hipertensi dengan perilaku lansia dalam pencegahan hipertensi di Posyandu Lansia Desa Tegal Wangi Kecamatan Umbulsari Kabupaten Jember. Menurut Notoadmodjo, (2002) mengungkaplan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Menurut Simanungkalit (2011), perilaku seseorang atau masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan ditentukan oleh pengetahuan. Menurut Sarwono, (2004) perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan Hasil penelitian serupa dilakukan oleh Salinding dk, (2012) yang memberikan hasil bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan perilaku pencegahan stroke pada pasien hipertensi di Rumah Sakit Umum Daerah Lakipadada Kabupaten Tana Toraja. Hasil penelitian ini berbeda dengan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 penelitian yang dilakukan oleh Musthofa (2013) menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku penderita hipertensi dalam pencegahan stroke. KESIMPULAN Ada hubungan antara pengetahuan tentang hipertensi dengan perilaku lansia dalam pencegahan hipertensi. SARAN Mengingat masalah hipertensi pada lansia cukup komplek dan melibatkan berbagai pihak terkait serta hasil penelitian ini belum sempurna, maka agar tercapai kesempurnaan penelitian ini dan untuk mengoptimalkan pencegahan hipertensi di Posyandu Lansia Desa Tegal Wangi, diperlukan penelitian lebih lanjut dengan melengkapi data-data yang lebih akurat dengan mengambil populasi yang lebih luas. Pada pola makan diharapkan lansia untuk menghindari konsumsi garam dapat mengurangi resiko penyakit hipertensi. Disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk menambahkan atau mengkaji variabel lain yang mempengaruhi perilaku pencegahan hipertensi pada lansia seperti petugas kesehatan, dukungan keluarga, budaya, genetik dan sebaginya. DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi (edisi 2). Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta Arikunto, S. (2007). Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Azwar. (2010). Perilaku dan Cara Pengukurannya. Jakarta: Salemba Medika. BPOM. (2004). Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. http://www.pom.go.id: Badan Pengawas Obat dan Makanan. 147 BPOM. (2006). Bahan Berbahaya Yang Dilarang Untuk Pangan. http://www.pom.go.id: Badan Pengawas Obat dan Makanan. Depkes. (2008). Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta: Departeman Kesehatan Repiblik Indonesia. Depkes. (2009). PHBS di Rumah Tangga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Friedman. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset, Teori, dan Praktek, Edisi kelima. Jakarta.: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hardywinoto. (2005). Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai Aspek: Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup Para Lanjut Usia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hidayat, A. A. (2014). Metodelogi Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Hurlock. (2002). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga. Iswaranti, F. d. (2004). Amankah Makanan Jajanan Anak Sekolah di Indonesia. http://www.gizi.net: diakses tanggal 20 Maret 2012. Kominfojatim. (2013). BPOM: 22 persen Jajanan Anak Sekolah Berbahaya. http://kominfo.jatimprov.go.id/wa tch/35146: diakses tanggal 25 Maret 2015. Kusmiyati. (2014). Jajanan Anak Sekolah Masih Jadi Perhatian di 2014. http://health.liputan6.com/read/79 5798/jajanan-anak-sekolahmasih-jadi-perhatian-di-2014: di akses tanggal 23 Maret 2015 . Maulana, H. D. (2009). Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC. Notoatmodjo. (2010). Metode penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Notoatmodjo. (2010). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku . Jakarta: PT. Rineka Cipta. Nursalam. (2011). Konsep & Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Pertiwi, D. (2003). Kebiasaan Jajan dan Preferensi terhadap Makanan Jajanan Tradisional pada Anak SD . Fakultas Pertanian Institut Pertanian. Pertiwi, H. W. (2013). faktor-Faktor yang berhubungan dengan Frekuensi Kehadiran Lanjut Usia di Posyandu Lansia . Bidan Prada : Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 4 No. 1 Edisi Juni 2013. Pondokibu. (2012). Bahaya Makanan Jajanan di Sekitas Kita. http://pondokibu.com/2862/bahay a-makanan-jajanan-di-sekitarkita/: diakses tanggal 26 Maret 2015. Purwati, M. E. (2004). Aspek Gizi dan Keamanan Pangan Makanan Jajajnan Di Bursa Kue Subuh Pasar Senenn. Jakarta : Media Gizi & Keluarga. Sawertini, K. (2007). Pangan jajanan anak Sekolah. http://www.pom.go.id.: dikases tanggal 20 Maret 2012. Sibagariang, E. E. (2010). Buku Saku Metode Penelitian. Jakarta: CV. Trans Info Media. Soetjiningsih. (2007). Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto. Suci, E. S. (2014). Gambaran Perilaku Jajan Murid Sekolah Dasar di Jakarta, Vol 1. Jakarta: Psikobuana. Sugiyono. (2009). Statistik Non Parametrik. Jakarta: CV. Alfabeta. Utomo, T. (2008). Mencegah & Mengatasi Krisis Anak. Jakarta: Grasindo. 148 PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN MAHASISWA DENGAN PEMBERIAN TERAPI MUSIK DI SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER Tirta Vira Cakti Yudha*, Kiswati**, Khofi Hadidi*** *, *** Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember ** Poltekkes Kemenkes Malang ABSTRAK Penyebab kecemasan karena beban skripsi dan kekurangmampuan mengatur waktu menyelesaikannya serta semester pendek. Prevalansi kecemasan dunia mencapai 20%, kecemasan di Indonesia berkisar 2-5% (Pietra, 2001). Angka kecemasan di STIKES dr. Soebandi Jember sebanyak 17 mahasiswa pada semester delapan. Tujuan penelitian adalah mengetahui keefektifan penurunan tingkat kecemasan mahasiswa dengan pemberian terapi musik di STIKES dr. Soebandi Jember. Jenis penelitian quasy eksperiment dengan rancangan one group pre-test and post-test treatment design. Sampel penelitian sebanyak 17 mahasiswa STIKES dr. Soebandi Jember Prodi S1 keperawatan semester delapan menggunakan tekhnik total sampling dengan kriteria inklusi bersedia menjadi responden dan dapat dilakukan pengukuran tingkat kecemasan. Analisis menggunakan wilcoxon match pairs test dengan p < 0,05. Hasil penelitian sebelum dilakukan terapi musik adalah kecemasan sedang sebanyak 11 mahasiswa (68,75%), dan kecemasan ringan sebanyak 5 mahasiswa (31,25%). Tingkat kecemasan setelah dilakukan terapi musik adalah tingkat kecemasan ringan sebanyak 8 mahasiswa (50%), kecemasan sedang 5 mahasiswa (31,25%) dan terdapat mahasiswa yang tidak mengalami kecemasan sebanyak 3 mahasiswa (18,75%), rata-rata penurunan kecemasan 3,06. Hasil uji wilcoxon didapatkan nilai p=0,007, yang berarti ada perbedaan tingkat kecemasan pada mahasiswa yang menyusun tugas akhir sebelum dan setelah diberikan terapi musik. Koping menanggulangi kecemasan dengan mendengarkan musik. Secara psikologis musik membuat rileks dengan musik sedatif. Untuk itu musik efektif digunakan sebagai terapi mengurangi kecemasan. Kata kunci : tingkat kecemasan, terapi musik LATAR BELAKANG Kecemasan pada mahasiswa biasanya merupakan kecemasan karena frustasi yang menggangu kemampuan individu untuk mencapai tujuannya dengan berbagai tanggungan, kecemasan juga mempengaruhi hasil belajar, karena kecemasan menghasilkan distorsi dan menggangu belajar dengan menurunkan kemampuan memusatkan perhatian, menurunkan daya ingat, menggangu kemampuan menghubungkan beberapa hal (Kaplan dan Saddock, 2005). Pada studi pendahuluan melalui observasi dan wawancara terhadap mahasiswa semester JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 delapan tentang kecemasan yang dihadapi saat menyusun skripsi didapatkan bahwa semua mahasiswa menyatakan cemas misalnya: tampak raut muka muram, kehilangan kepercayaan pada orang lain, mendiamkan orang lain, menarik diri dan penurunan konsentrasi. Hal ini muncul karena dari dalam diri mahasiswa sendiri berupa kekurangmampuan mengatur waktu belajar karena banyaknya kegiatan yang harus diselesaikan, dan penyebab dari luar berupa kegiatan atau tugas perkuliahan yang harus diselesaikan dengan baik dan tepat waktu, misalnya: semester pendek, dan riset sebagai tugas 149 akhir. Hasil wawancara dengan dosen keperawatan diidentifikasi banyak mahasiswa mengalami permasalahan kecemasan. Permasalahan yang dialami adalah gejala kecemasan yang diakibatkan dari beban skripsi. Kenyataan ini dirasa cukup serius dan perlu diberikan penanganan secara tepat. Mengingat hal ini penting sekali, karena apabila dibiarkan terus-menerus maka akan menggangu kelancaran pembelajaran, proses skripsi dan kelulusan mahasiswa pada akhirnya. Prevalansi penderita kecemasan sebanyak 20% dari populasi di dunia (Gail, 2002), dan sebanyak 47,7% remaja sering merasa cemas (Haryadi, 2007). Angka kecemasan di Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat berkisar antara 2-5% dari populasi umum atau 7-16% dari semua penderita gangguan jiwa (Pietra, 2001). Hasil penelitian Susanti dan Rohmah (2011) pemberian terapi musik pada 115 siswa SMA Negeri 5 Yogyakarta kelas XI jurusan ilmu pengetahuan sosial yang mengalami kecemasan saat pelajaran matematika, bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan matematika yang signifikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. Siswa yang belajar matematika dengan mendengarkan musik klasik mengalami penurunan skor kecemasan matematika. Hasil penelitian terdapat selisih rerata sebesar 49,5 dan pada kelompok kontrol sebesar 43,5. Hasil penelitian Prayogi (2009) pemberian terapi musik pada pasien preoperasi di bangsal bedah RSD. Balung Jember, bahwa dari 30 pasien yang akan menjalani operasi mengalami kecemasan, kemudian diberikan terapi musik dengan mendengarkan lagu klasik. Hasil penelitian diperoleh tingkat kecemasan pasien preoperasi sebelum dilakukan terapi musik adalah cemas sedang sebanyak 21 orang (70%), dan sesudah dilakukan terapi musik adalah cemas ringan sebanyak 20 orang (66,7%). Angka kecemasan di STIKES dr. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Soebandi Jember sebanyak 17 mahasiswa. Penyebab kecemasan ditimbulkan karena bahaya dalam diri sendiri yaitu stimulus internal atau juga bahaya dari luar yang bersangkutan (Salan, 1997 dalam Prayogi, 2009). Berdasarkan konsep psikoneuroimunologi, kecemasan merupakan stressor yang bisa menurunkan imun tubuh, hal ini terjadi melalui serangkaian aksi yang diperantarai oleh HPA-Axis (Hipotalamus-Pituatry-Adrenal), kecemasan akan merangsang hipotalamus untuk meningkatkan produksi CRF (Corticotropin Releasing Factor) sehingga merangsang hormon pituitary anterior untuk meningkatkan produksi ACTH (Adrenocorticotrofic hormone). ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk meningkatkan sekresi kortisol, yang akan menekan sistem imun tubuh (Sholeh, 2005; Gayton & Hall, 1997). Seseorang yang memiliki kecenderungan tingkat kecemasan yang tinggi biasanya memiliki keyakinan diri rendah. Akibatnya seseorang akan selalu ragu dalam bertindak. Tingkat cemas sedang dan berat menimbulkan perilaku menyerang, biasanya digunakan untuk mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan, perilaku menarik diri baik secara fisik maupun psikologi untuk memudahkan seseorang dari sumber stres dan perilaku kompromi cara ini digunakan untuk mengubah cara seseorang mengoperasikan, mengganti tujuan atau mengorbankan aspek kebutuhan personal seseorang, tetapi bila berlangsung pada tingkat tidak sadar dan melibatkan penipuan diri dan distorsi realitas, maka dapat merupakan respon maladaftif terhadap cemas. Penanganan masalah kecemasan secara farmakologi ataupun non farmakologi digunakan untuk mengurangi atau menurunkan kecemasan. Strategi koping yang dilakukan mahasiswa untuk menanggulangi kecemasan dengan bermain game on line, 150 bermain alat musik, mendengarkan musik. Data yang ditemukan penulis bahwa, mendengarkan musik adalah cara yang dilakukan oleh sebagian besar mahasiswa dalam mengatasi kecemasannya. Salah satunya dengan cara non farmakologi yaitu seperti latihan fisik/olahraga, terapi musik, pijat/masage ataupun secara spiritiual. Metode musik merupakan salah satu cara relaksasi yang paling banyak digunakan untuk mengatasi kecemasan. Secara keseluruhan musik berpengaruh secara fisik maupun psikologis. Secara psikologis musik membuat seseorang menjadi rileks, mengurangi kecemasan, menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa gembira dan sedih, dan membantu serta melepaskan rasa sakit (Djohan, 2006). METODE PENELITIAN Jenis penelitian adalah quasy eksperiment, tanpa menggunakan kelompok kontrol. Rancangan penelitian ini menggunakan one group pre-test and post-test treatment design. Tujuan penelitian membandingkan tingkat kecemasan sebelum diberikan perlakuan dan setelah diberikan perlakuan. Alat pengumpil data dengan menggunakan Instrumen Hamilton Anxiety Rating Scale, kuesioner berisi 13 gejala kecemasan: perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecedasan, perasaan depresi, gejala somatik/fisik (otot), gejala somatik/fisik (sensorik), gejala kardiovaskuler, gejala respiratori, gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala autonom, dan 1 kategori tingkah laku (sikap) pada wawancara. Jumlah skor 056 dengan penilaian: 1) tidak ada gejala sama sekali= 0; 2) satu gejala dari pilihan yang ada= 1; 3) separuh dari gejala yang ada= 2; 4)lebih dari separuh dari gejala yang ada= 3; 5) semua gejala ada= 4. Kategori kecemasan meliputi: 1) <14 (tidak ada kecemasan); 2) 14-20 (kecemasan ringan); 3) 21–27 (kecemasan sedang); 4) 28–41 (kecemasan berat) 5) 42–56 (kecemasan berat sekali). Pengisian lembar kuisioner membutuhkan waktu 10 menit. Instrumen terapi musik menggunakan Tehnik terapi diadopsi dari buku terapi musik karangan Djohan, berisi jenis musik dengan genre pop dengan waktu terapi 30 menit. Terdapat tiga tahapan yaitu tahap orientasi, tahap kerja, tahap terminasi. Penelitian ini menggunakan uji wilcoxon matched pairs test dengan tingkat kemaknaan p < 0,05 untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel yang berkolerasi bila datanya berbentuk ordinal. HASIL PENELITIAN Data Umum Data umum a. Umur 1. 17-25 tahun 2. 26-35 tahun Total b. Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Total JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Frekuens i Persentas e (%) 14 2 16 87,5 12,5 100 12 4 16 75 25 100 Data umum mengenai karakteristik responden yang terdiri dari umur mahasiswa dan jenis kelamin mahasiswa dapat dilihat pada tabel 5.1 Tabel 5.1 Karakteristik Umum Responden Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Di STIKES dr. Soebandi Jember Periode April-Mei 2014 Sumber : Data Primer 2014 Tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebagian besar umur responden berada dalam usia 17-25 tahun sebanyak 14 mahasiswa (87,5%), sedangkan usia 26-35 tahun sebanyak 2 mahasiswa (12,5%). Sebagian besar jenis kelamin responden adalah laki-laki sebanyak 12 mahasiswa (75%), sedangkan perempuan sebanyak 4 mahasiswi (25%). 151 Distribusi usia dan jenis kelamin dengan tingkat kecemasan mahasiswa di STIKES dr. Soebandi Jember Data umum Tidak ada kecemasan f % 17-25 26-35 0 0 0 0 Total 0 0 Laki-laki Perempuan 0 0 0 0 1 6,25 3 0 0 5 31,25 11 Total Kecemasan ringan f % Tabel 5.2 Distribusi Usia dan Jenis Kelamin Dengan Tingkat Kecemasan Mahasiswa Di STIKES dr. Soebandi Jember Periode April-Mei 2014 5 0 5 Kecemasan sedang f % Kecemasa n berat f % Kecemasan berat sekali f % Total 56,25 12,5 0 0 0 0 0 0 0 0 87,5 12,5 11 68,75 0 0 0 0 100 8 0 0 0 0 75 0 0 0 0 25 0 0 0 0 100 31,25 0 31,25 4 9 2 25 50 18,75 68,75 Sumber : Data Primer 2014 Hasil tabel 5.2 menunjukkan bahwa sebagian besar usia 17-25 tahun mengalami kecemasan sedang sebanyak 9 mahasiswa (56,25%). Sedangkan sebagian kecil pada usia 26-35 mengalami kecemasan sedang yaitu sebanyak 2 mahasiswa (12,5%). Dari data jenis kelamin menunjukkan bahwa sebagian besar responden laki-laki memiliki tingkat kecemasan sedang yaitu sebanyak 8 mahasiswa (50%). Sedangkan mahasiswa yang berjenis kelamin perempuan sebagian besar memiliki tingkat kecemasan sedang sebanyak 3 mahasiswa (18,75%). Data Khusus Tingkat Kecemasan Mahasiswa Sebelum Terapi Musik Tabel 5.3 Tingkat Kecemasan Mahasiswa Sebelum Terapi Musik Di STIKES dr. Soebandi Jember Periode April-Mei 2014 Tingkat Kecemasan Tidak cemas Cemas ringan Cemas sedang Cemas berat Cemas berat sekali Total Frekuensi 3 8 5 0 0 Persenta se (%) 18,75 50 31,25 0 0 16 100 JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Sumber : Data Primer 2014 Tabel 5.3 menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat kecemasan mahasiswa adalah tingkat kecemasan sedang yaitu sebanyak 11 mahasiswa (68,75%). Sedangkan sebagian kecil memiliki tingkat kecemasan ringan sebanyak 5 mahasiswa (31,25%). Tingkat Kecemasan Mahasiswa Sesudah Diberikan Terapi Musik Tabel 5.4 Tingkat Kecemasan Mahasiswa Sesudah Terapi Musik Di STIKES dr. Soebandi Jember Periode April-Mei 2014 Tingkat Kecemasan Frekuensi Tidak cemas Cemas ringan Cemas sedang Cemas berat Cemas berat sekali 0 5 11 0 0 Persen tase (%) 0 31,25 68,75 0 0 Total 16 100 Sumber : Data Primer 2014 Tabel 5.4 menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat kecemasan mahasiswa setelah dilakukan terapi musik adalah tingkat kecemasan ringan yaitu sebanyak 152 8 mahasiswa (50%), dan sebagian kecil adalah mahasiswa yang tidak memiliki kecemasan setelah diberikan terapi musik sebanyak 3 mahasiswa (18,75%). Perbedaan Tingkat Kecemasan Mahasiswa Sebelum Dan Sesudah Diberikan Terapi Musik Tabel 5.5 Hasil Uji Wilcoxon Perbedaan Tingkat Kecemasan Mahasiswa Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Musik di Stikes Dr. Soebandi Periode April-Mei 2014 Nilai Z Sign (2-tailed) Sebelum Sesudah -2,714ª 0,007 Sumber : Data Primer 2014 Pada tabel 5.5 didapatkan nilai Z uji= -2,714ª dan nilai Wilcoxon yaitu 0,007. Karena p<0,05, maka Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecemasan mahasiswa sebelum dan sesudah diberikan terapi musik. PEMBAHASAN Tingkat kecemasan yang dialami mahasiswa sebelum diberikan terapi musik pada penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kecemasan sedang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kecemasan ringan. Hal ini dikarenakan mahasiswa belum siap dalam menyusun skripsi, dan masih ada beban pikiran dalam melaksanakan semester pendek sehingga mereka mengalami kecemasan. Hasil penelitian pada hubungan usia dengan tingkat kecemasan mahasiswa didapatkan hasil bahwa usia 17-25 tahun mengalami kecemasan ringan sebanyak 5 mahasiswa (31,25%) dan kecemasan sedang sebanyak 9 mahasiswa (56,25%). Sedangkan pada usia 26-35 mengalami kecemasan sedang yaitu sebanyak 2 mahasiswa (12,5%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usia 17-25 JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 tahun memiliki jumlah responden yang paling banyak mengalami kecemasan yaitu 14 mahasiswa. Hal ini sesuai dengan teori bahwa umur yang lebih muda akan mengalami tingkat kecemasan yang lebih tinggi daripada yang berusia lebih tua (Soewardi, 2009). Kecemasan pada usia remaja akhir terjadi karena berbagai hal, misalnya dukungan emosional yang kurang pada usia ini. Seperti yang kita ketahui bahwa pada fase dan kondisi ini, mahasiswa membutuhkan dukungan emosional dan mekanisme koping yang tepat untuk mengurangi kecemasannya. Hasil penelitian pada hubungan jenis kelamin dengan tingkat kecemasan mahasiswa didapatkan hasil bahwa jenis kelamin laki-laki 50% memiliki tingkat kecemasan sedang yaitu sebanyak 8 mahasiswa dan kecemasan ringan sebanyak 4 mahasiswa (12,5%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin laki-laki memiliki jumlah responden yang paling banyak mengalami kecemasan. Menurut hasil wawancara hal ini bisa terjadi karena mahasiswa laki-laki lebih serius dalam menanggapi mata kuliah di semester delapan ini dan menginginkannya cepat selesai sehingga tidak bisa bersikap santai hingga akhirnya lebih merasa terbeban. Dari hasil penelitian pada tingkat kecemasan mahasiswa setelah diberikan terapi musik terdapat persentase yang cukup besar pada kategori cemas ringan sebanyak 8 mahasiswa (50%), kecemasan sedang terdapat 5 mahasiswa (31,25%) dan mahasiswa yang tidak mengalami kecemasan sebanyak 3 mahasiswa (18,75%). Hal tersebut mengindikasikan bahwa responden membutuhkan dukungan dan mekanisme koping yang tepat dalam menghadapi skripsi khususnya saat para mahasiswa mengalami kecemasan. Hal ini menunjukkan penurunan tingkat kecemasan yang sebelum diberikan terapi musik paling banyak adalah cemas tingkat sedang turun menjadi tingkat 153 ringan, rata-rata penurunan tingkat kecemasan 3,06 setelah dilakukan terapi musik. Hal ini sesuai dengan teori bahwa musik dapat mengurangi ketegagan otot, meningkatkan endofrin, Mengatur hormon yang bisa menurunkan stress dan kecemasan (Yuanitasari 2008). Musik juga dapat merangsang sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis yang akan mempengaruhi kontraksi dan relaksasi organ-organ. Relaksasi dapat merangsang hipotalamus sehingga timbul ketenangan. Sebagai ejector dari rasa rileks dan ketenangan yang timbul, akan mengeluarkan Gamma Amino Butyric Acid (GABA), enkhephalin, dan beta endorphin. Zat tersebut dapat menimbulkan efek analgesia (Ganong, 2002). Sehubungan dengan persentase kecemasan ringan pada responden yang dinilai cukup besar, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar mahasiswa masih mengalami kondisi cemas. Namun mahasiswa dapat mengurangi atau bahkan tidak mengalami kondisi cemas apabila selalu mendapat dukungan emosional, dan menggunakan mekanisme koping yang tepat dalam mengatasi kecemasan salah satunya dengan terapi musik. Berdasarkan uji wilcoxon didapatkan tingkat signifikansi (p) sebesar 0,007. Menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan mahasiswa sebelum dan sesudah diberikan terapi musik di STIKES dr. Soebandi Jember. Hasil tersebut dibuktikan dengan tingkat kecemasan yang dialami oleh responden ketika sebelum diberikan terapi musik lebih tinggi dibandingkan dengan cemas yang dialami sesudah diberikan terapi musik. Artinya terdapat penurunan tingkat kecemasan yang sangat bermakna pada responden. Hampir seluruh responden dengan cemas sedang mengalami penurunan kecemasan ketingkat yang lebih rendah yaitu tingkat cemas ringan, bahkan terdapat mahasiswa JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 yang mengalami penurunan ke tingkat tidak mengalami kecemasan. Pernyataan tersebut mendukung tinjauan teori bahwa terapi musik dapat digunakan untuk mengatur hormon yang bisa menurunkan stress dan kecemasan (Yuanitasari, 2008). Cara kerja musik dapat mempengaruhi kondisi psikologis pasien adalah musik dari korteks auditorius yang terdapat pada korteks serebri, jaras berlanjut ke sistem limbik, melalui korteks limbik. Korteks yang mengelilingi srtuktur subkortikal limbik ini berfungsi sebagai zona transisional yang dilewati sinyal yang dijalarkan dari sisi korteks ke dalam sistem limbik dan juga kearah berlawanan. Dari korteks limbik, impuls pendengaran dilanjutkan ke hipotalamus yang merupakan pengaturan fungsi endokrin tubuh seperti halnya banyak aspek perilaku emosional, jaras pendengaran diteruskan ke formatio retikularis sebagai penyalur impuls menuju serat saraf otonom. Serat saraf tersebut mempunyai dua sistem saraf yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis (Prayogi 2009). Kedua sistem ini mempengaruhi kontraksi dan relaksasi organ. Relaksasi dapat merangsang hipotalamus sehingga timbul ketenangan. Sebagai ejector dari rasa rileks dan ketenangan yang timbul, akan mengeluarkan Gamma Amino Butyric Acid (GABA), enkhephalin, dan beta endorphin. Zat tersebut dapat menimbulkan efek analgesia (Prayogi 2009). Musik dapat meningkatkan suatu respon seperti endorphin, yang dapat mempengaruhi suasana hati yang dapat menurunkan kecemasan pasien. Dalam penataan praktek, musik dapat membantu pasien untuk rileks sebelum dan selama prosedur pemicu kecemasan, perawatan dan terapi yang berhubungan dengan kecemasan (Prayogi 2009). KESIMPULAN Tingkat kecemasan mahasiswa sebelum diberikan terapi musik di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dr. Soebandi Jember 154 sebagian besar adalah tingkat kecemasan sedang. 1. Tingkat kecemasan mahasiswa setelah diberikan terapi musik di sekolah tinggi ilmu kesehatan dr. Soebandi Jember sebagian besar adalah tingkat kecemasan ringan. 2. Terdapat perbedaan antara tingkat kecemasan mahasiswa sebelum dan sesudah diberikan terapi musik di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dr. Soebandi Jember. DAFTAR PUSTAKA Bandiyah, S dan Lukaningsih, Z. 2011. Psikologi Kesehatan. Yogyakarta: Muha Medika. Bassano, M. 2009. Terapi Musik dan Warna. Yogyakarta: Rumpun. Bisepta, P. 2009. Perbedaan Tingkat Kecemasan Pada Pasien Preoperasi Sebelum Dan Sesudah Diberikan Terapi Musik Di Bangsal Bedah Rsd. Balung Jember. Skripsi. Jember: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Negeri Jember. Carpenito, L. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC. Djohan. 2006. Terapi Musik Teori dan Aplikasi.Yogyakarta: Galangpress. Ganong, WF. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Guyton, AC & Hall, JE. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Hadidi, K. 2011. Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Perkembangan Anak Usia Prasekolah Di Tk Aba Kalisat Kabupaten Jember. Skripsi. Jember: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Negeri Jember. Hawari, D. 2013. Manajemen Stres Cemas Dan Depresi. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Maslim, R. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Nuh Jaya Muttaqin, M. 2008. Seni Musik Klasik. Jakarta: DEPDIKNAS. Notoatmodjo, S. 2012. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Pieter, H. & Lubis, N. 2012. Pengantar Psikologi Dalam Keperawatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Potter, A. P & Perry G. A. 2005. Buku ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan praktik edisi 4. Jakarta : EGC. Rasyid, F. 2010. Cerdaskan Anakmu Dengan Musik. Yogyakarta: DIVApress. Setiawan, A dan Saryono. Metode Penelitian Kebidanan. Yogyakarta: Muha Medika. Stuart, G W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: EGC. Sugiono. 2013. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Wilkinson, J. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC. Yuanita, L. 2008. Terapi Musik untuk Anak Balita. Yogyakarta: Cemerlang Publising. Rohmah, F. Efektivitas Musik Klasik Dalam Menurunkan kecemasan Matematika (Math Anxiety)Pada Siswa Kelas XI. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan. Bersumber dari: http://faridahainur.wordpress.com (diakses 9 maret 2014). 155 HUBUNGAN TEKNIK MENYUSUI DENGAN TERJADINYA LECET PUTING SUSU PADA IBU NIFAS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEMBANTU DESA TAMANSARI KECAMATAN MUMBULSARI KABUPATEN JEMBER Rizka Yuliatul H*, Kiswati**, Siti Mudawamah*** *, *** Progam Studi DIII Kebidanan STIKES dr. Soebandi Jember **Poltekkes Kemenkes Malang ABSTRAK Menyusui adalah proses memberikan makanan pada bayi dengan menggunakan air susu ibu langsung dari payudara ibu. Menurut WHO (2009) terdapat 35,6% ibu gagal menyusui bayinya dan 20% diantaranya adalah ibu –ibu di Negara berkembang, sementara itu berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 dijelaskan bahwa 67,5% ibu yang gagal memberikan ASI ekslusif kepada bayinya.Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui adanya hubungan teknik menyusui dengan terjadinya lecet puting susu pada ibu nifas di Wilayah Kerja Pustu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember. Jenis penelitian adalah analitik. Populasi dalam penelitian ini adalah berjumlah 57 orang. Besar sampel yang digunakan 50 orang dengan teknik sampling adalah purposive sampling. Data dianalis menggunakan komputer dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16.0 for Windows. Hasil penelitian diperoleh sebagain besar tehnik menyusui ibu nifas adalah salah adalah 27 (54%), mengalami kejadian lecet 25 (50%). Berdasarkan analisis data diperoleh nilai x2 hitung (13.607) > x2 tabel (3.481), dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 < 0.05, sehingga pada penelitian ini hipotesis diterima. Simpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara teknik menyusui dengan terjadinya lecet puting susu pada ibu nifas di Pustu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember tahun 2014 dengan kekuatan hubungan kategori cukup berarti atau sedang. Petugas kesehatan senantias memberikan penyuluhan tentang tehnik menyusui untuk mengurangi resiko terjadinya lecet. Kata kunci : Tehnik menyusui, kejadian lecet puting susu PENDAHULUAN Menyusui adalah proses memberikan makanan pada bayi dengan menggunakan air susu ibu langsung dari payudara ibu (Depkes, 2006). Air susu ibu (ASI) memiliki semua nutrisi yang dibutuhkan bayi. Air susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik bayi pada awal usia kehidupan, hal ini tidak hanya karena ASI mengandung cukup zat gizi tetapi karena ASI mengandung zat imunologik yang melindumgi bayi dari infeksi praktek menyusui dinegara berkembang telah berhasil menyelamatkan sekitar 1,5 juta bayi pertahun (Amirudin, 2006). ASI juga JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 memberikan keuntungan dalam melindungi bayi terhadap penyakit seperti diare, pneumonia, diabetes dan kanker. Dengan menghisap ASI, bayi menjadi lebih dekat dengan ibu, membantunya merasa aman dan dilindungi (Thompson, 2008). Meskipun menyusui dan ASI sangat bermanfaat, namun belum terlaksana sepenuhnya, diperkirakan 85% ibu-ibu di dunia tidak memberikan ASI secara optimal. Menurut WHO (2009) terdapat 35,6% ibu gagal menyusui bayinya dan 20% diantaranya adalah ibu –ibu di Negara berkembang, sementara itu berdasarkan data dari Riset Kesehatan 156 Dasar (Riskesdas) tahun 2010 dijelaskan bahwa 67,5% ibu yang gagal memberikan ASI ekslusif kepada bayinya. Masalah yang tersering dalam post partum adalah Puting susu nyeri / lecet, sekitar 57% dari ibu yang post partum dilaporkan pernah menderita kelecetan pada putingnya. Kebanyakan Puting nyeri atau lecet disebabkan oleh kesalahan dalam teknik post partum yaitu bayi tidak menyusu sampai kekalang payudara. (Soetjningsih, 1997). Sering kali kegagalan post partum disebabkan karena kesalahan memposisikan dan melekatkan bayi (Suradi, 2008). Berdasarkan survei UNICEF, ibu yang menyusui bayinya dengan ASI eksklusif 38%, di Amerika sekitar 75%, jumlah di Indonesia yaitu sekitar 7,8%, sedangkan di Jawa Timur wilayah perkotaan 4 12%, sedangkan dipedesaan 4 – 25%. Sedangkan di wilayah Jember persentase 66.37% ibu yang menyusui bayinya dengan ASI eksklusif. Teknik menyusui yang baik dan benar adalah apabila areola sedapat mungkin semuanya masuk ke dalam mulut bayi, tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan pada ibu yang kalang payudaranya besar. Untuk ini, maka sudah cukup bila rahang bayi supaya menekan tempat penampungan air susu (sinus laktiferus) yang terletak dipuncak areola di belakang puting susu. Teknik salah, yaitu apabila bayi menghisap pada puting saja, karena bayi hanya dapat menghisap susu sedikit dan pihak ibu akan timbul lecet-lecet pada puting susu (Kristiyanasari, 2009). Pada sebagian ibu yang tidak paham bagaimana teknik menyusui yang benar dapat menjadi masalah dalam menyusui. Adapun masalah dalam menyusui adalah puting susu lecet, payudara bengkak, abses payudara (mastitis) (Sulystyawati, 2009). Teknik menyusui yang tidak benar dapat mengakibatkan puting susu menjadi lecet, ASI tidak keluar optimal sehingga mempengaruhi produksi ASI selanjutnya atau bayi enggan menyusu. Untuk itu, JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 seorang ibu butuh seseorang yang dapat membimbingnya dalam merawat bayi termasuk dalam menyusui. Orang yang dapat membantunya adalah orang yang berpengaruh besar dalam kehidupannya atau yang disegani, seperti suami, keluarga/kerabat terdekat dan perlu dibina kelompok pendukung ASI di lingkungan masyarakat yang dapat menjadi saranap endukung ibu agar dapat menyusui bayinya dengan baik dan di bantu oleh tenaga kesehatan, serta diperlukan pengetahuan mengenai teknikteknik yang benar (Mansjoer, 2001 : 323). Dalam menyusui usahakan sebagian besar areola dapat masuk kemulut bayi, sehingga puting susu berada dibawah langit-langit da nlidah bayi akan menekan ASI keluar dari tempat penampungan ASI yang terletak di bawah areola (Kristiyansari, 2009 : 44). Oleh karena itu, apabila ibu hamil kurang mengetahui tentang teknik menyusui yang benar, maka akan timbul masalah seperti puting susu lecet, payudara bengkak, air susu tersumbat. Sebagaimana dilaporkan pada tahun 2013 dari 118 ibu menyusui di Desa Tamansari kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember yang pernah menderita kelecetan pada putingnya ada 43 (36.44%) orang, dan pada tahun 2014 dari bulan januari – juni dari 57 ibu menyusui terdapat 8 (14.04%) ibu menyusui yang pernah menderita kelecetan pada putingnya. Berdasarkan data yang sudah di peroleh maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan hubungan teknik menyusui dengan terjadinya lecet puting susu pada ibu nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Pembantu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember. METODE PENELITIAN Jenis penelitian adalah usaha merencanakan dan menentukan segala kemungkinan dan perlengkapan yang diperlukan dalam suatu penelitian (Moleong, 2002). 157 Rancangan penelitian yang digunakan adalah korelasi dengan pendekatan retrospektif. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah teknik menyusui, variabel terikat adalah terjadinya lecet puting susu pada ibu nifas. Populasi adalah semua ibu nifas yang memiliki bayi hidup di Puskesmas Pembantu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember berjumlah 57 orang. Sampel penelitian dalam penelitian ini adalah ibu nifas yang memiliki bayi dengan kriteria sebagai berikut: a) Ibu nifas yang menyusui b) Ibu nifas yang mengalami lecet puting susu c) Ibu nifas yang belum megalami lecet pada puting susu d) Bersedia menjadi responden penelitian dan menandatangani inform consent. Teknik sampling yang digunakan adalah sampel kuota. Sampling kuota adalah teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah kuota yang diinginkan (Sugiyono, 2011). Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus Slovin yaitu sebesar 50. Ibu Nifas di Pustu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember tahun 2014 Persentase No Pendidikan Frek (%) 1 Dasar 33 66.0 2 Menengah 16 32.0 3 Tinggi 1 2.0 Jumlah 50 100 Sumber : Data primer diolah tahun 2014 Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa pendidikan ibu nifas adalah SD 3 (6%), SMP 30 (60%), SMA 16 (32%), dan Perguruan Tinggi 1 (2%). HASIL PENELITIAN A. Data Umum B. Data Khusus Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Tehnik Menyusui Ibu Nifas di Pustu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember tahun 2014 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Usia Ibu Nifas di Pustu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember tahun 2014 No Usia Frek Persentase (%) 1 18-24 Th 12 24.0 2 25-31 Th 28 56.0 3 32- 38 Th 10 20.0 Jumlah 50 100 Sumber : Data primer diolah tahun 2014 Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa usia ibu nifas adalah 18-24 Tahun 12 (24%), 24-30 Tahun 28 (56%), dan 32- 38 Tahun 10 (20%). Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pendidikan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Ibu Nifas di Pustu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember tahun 2014 Persentase No Pekerjaan Frek (%) 1 PNS 1 2.0 2 Buruh 14 28.0 3 Petani 6 12.0 Wiraswasta 4 21 42.0 5 IRT 8 16.0 Jumlah 50 100 Sumber : Data primer diolah tahun 2014 Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa pekerjaan ibu nifas adalah PNS 1 (2%), Buruh 14 (28%), Petani 6 (12%, wiraswasta 21 (42%), dan IRT 8 (16%) Tehnik Menyusui 1 Benar 2 Salah Jumlah No Frek 23 27 50 Pers (%) 46.0 54.0 100 Sumber : Data primer diolah tahun 2014 Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa tehnik menyusui ibu nifas benar 23 (46%), dan salah 27 (54%). Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Kejadian Lecet Ibu Nifas di Pustu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember tahun 2014 158 Kejadian Lecet 1 Lecet 2 Tidak Lecet Jumlah No Frek Pers (%) 25 25 50 50.0 50.0 100 Sumber : Data primer diolah tahun 2014 Berdasarkan gambar 5.1 dapat diketahui 25 (50%) ibu nifas mengalami kejadian lecet dan 25 (50%) ibu nifas tidak mengalami lecet pada puting susu Tabel 5.5 Diagram lingkaran Tehnik Menyusui Ibu Nifas dengan Kejadian Lecet pada Puting Susu di Pustu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember tahun 2014 Kejadian lecet Tehnik menyusui Lecet ∑ Lecet % Tidak Lecet ∑ Tidak Lecet % Jumlah ∑ Berdasarkan gambar 5.1 dapat diketahui bahwa dari 25 ibu nifas yang mengalami lecet pada puting susu sebesar 40% karena tehnik menyusuinya salah dan 10% karena tehnik menyusuinya benar. Sementara ibu nifas yang tidak mengalami lecet pada puting susu berjumlah 25 orang diantara 36% karena tehnik menyusuinya benar dan 14% salah dalam menyusui. Berdasarkan uji chi square data diperoleh hasil bahwa nilai x2 hitung (13.607) > x2 tabel (3.481), signifikansi sebesar 0.000 < 0.05, nilai koifisien kongtingensi sebesar 0.463. PEMBAHASAN Menyusui adalah proses memberikan makanan pada bayi dengan menggunakan air susu ibu langsung dari payudara ibu. Tehnik menyusui adalah cara memberikan ASI kepada bayi dengan perlekatan dan posisi ibu dan bayi dengan benar. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tehnik menyusui ibu nifas JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 adalah salah adalah 27 (54%). Teknik menyusui yang salah. Teknik menyusui yang baik dan benar adalah apabila areola sedapat mungkin semuanya masuk ke dalam mulut bayi, tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan pada ibu yang areolanya besar. Untuk ini, maka sudah cukup bila rahang bayi supaya menekan tempat penampungan air susu (sinus laktiferus) yang terletak dipuncak areola di belakang puting susu. Teknik salah, yaitu apabila bayi menghisap pada puting saja, karena bayi hanya dapat menghisap susu sedikit dan pihak ibu akan timbul lecet-lecet pada puting susu (Kristiyansari, 2009 : 44). Responden yang dapat melakukan teknik menyusui yang benar didasarkan pada taraf pendidikan dan pengetahuan yang baik. Perilaku ibu dalam menyusui sangat erat kaitannya dengan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut seperti usia, pendidikan, dan pekerjaan. Berdasarkan usia diperoleh hasil bahwa usia nifas adalah 25-31 Tahun 28 (56%). Menurut Notoatmodjo (2007) yang mengatakan bahwa usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik, akan tetapi pada umur-umur tertentu bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahu. Usia menunjukkan pengalaman hidup seseorang, semakin tua usia seseorang memungkinkan akan semakin banyak pengalaman hidup yang diperoleh. Pengalaman-pengalamn tersebut yang nantinya akan menjadi dasar bagi ibu nifas dalam berperilaku. Selain usia, perilaku menyusui juga erat kaitannya dengan pendidikan seseorang. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian pendidikan ibu nifas adalah SMP 30 (60%). SMP termasuk kategori pendidikan dasar. 159 Dalam pendidikan terdapat transfer informasi, semakin banyak informasi yang diperoleh makan akan semakin baik pula pengatahuan ibu. Pengetahuan ini yang pada gilirannya akan mendasari ibu dalam berperilaku. Seseorang cenderung berperilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya. Faktor terakhir adalah pekerjaan. Pekerjaan merupakan pengorbanan waktu untuk memperoleh hasil berupa materi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian pekerjaan ibu nifas adalah wiraswasta 21 (42%). Ibu yang bekerja cenderung memiliki waktu yang sedikit untuk meningkatkan pengetahuannya sebab sebagian besar waktu ibu digunakan untuk bekerja. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 50% responden mengalami lecet puting susu dan 50% yang tidak mengalami lecet puting susu. Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Kristiyansari, (2009) Ibu yang mengalami lecet puting susu disebabkan karena teknik menyusui yang salah, tapi dapat juga disebabkan oleh thrush (candidates) atau dermatitis. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa sebagian besar areola dapat masuk ke mulut bayi, sehingga puting susu berada dibawah langit-langit dan lidah bayi akan menekan ASI keluar dari tempat penampungan ASI yang terletak dibawah areola. Apabila bayi hanya menghisap pada puting saja, maka akan mengakibatkan puting lecet. Kejadian lecet pada puting susu tidak hanya disebabkan karena tehnik menyusui yang salah, karena perawatan payudara dan daya isap bayi turut serta menyebabkan kejadian lecet pada puting susu. Menyusui secara rutin sesuai dengan kebutuhan bisa mambantu mengurangi pengerasan, tetapi jika bayi sudah menyusui dengan baik dan sudah mencapai berat badan ideal, ibu mungkin harus melakukan sesuatu untuk mengurangi tekanan pada payudara. Sebagi contoh, merendam kain dalam air JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 hangat dan kemudian di tempelkan pada payudara atau mandi dengan air hangat sebelum menyuusi bayi. Mungkin ibu juga bisa mengeluarkan sejumlah kecil ASI sebelum menyusui, baik secara manual atau dengan menggunakan pompa payudara. Untuk pengerasan yang parah, gunakan kompres dingin atau es kemasan ketika tidak sedang menyusui untuk mengurangi rasa tidak nyaman dan mengurangi pembengkakan. Selain perawatan payudara tehnik menyusui yang salah juga berperan besar terjadinya lecet pada puting susu. Tehnik menyusui yang benar yaitu sebelum menyusui, keluarkan ASI dan oleskan di sekitar areola. Ini sebagai desinfektan dan menjaga kelebaban puting susu, Letakkan bayi menghadap perut ibu/payudara, Pegang payudara dengan ibu jari di atas dan jari yang lain di bawah, jangan menekan puting susu (hanya areolanya saja), Merangsang bayi agar membuka mulut dengan cara menyentuh sisi mulut bayi dengan puting susu, Setelah bayi membuka mulut dengan cepat masukkan payudara ke dalam mulut bayi, dan usahakan semua areola masuk kedalam mulut bayi. Setelah bayi mulai menghisap tidak perlu menyangga payudara lagi. Selain itu, responden yang mengalami lecet puting susu, mungkin karena sebelumnya responden tidak pernah mendapatkan informasi tentang masalah-masalah dalam menyusui, sehingga responden mengalami masalah tersebut. Sedangkan responden yang tidak mengalami lecet puting susu, hal ini mungkin disebabkan karena responden pernah melihat pengalaman dari teman atau saudaranya atau bahkan dari petugas kesehatan yang memberikan informasi dalam bentuk penyuluhan. Terjadinya lecet puting susu pada responden dilatarbelakangi oleh pengalaman dan informasi yang pernah didapatkannya. Lingkungan memberikan pengaruh pertama bagi seseorang, dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang 160 baik juga dan juga hal-hal yang buruk tergantung pada pada sifat kelompoknya. Maka dari itu responden harus memiliki kemampuan untuk mengolah informasi yang diberikan oleh petugas kesehatan melalui penyuluhan-penyuluhan masalah menyusui. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa bahwa dari 25 ibu nifas yang mengalami lecet pada puting susu sebesar 40% karena tehnik menyusuinya salah dan 10% karena tehnik menyusuinya benar. Sementara ibu nifas yang tidak mengalami lecet pada puting susu berjumlah 25 orang diantara 36% karena tehnik menyusuinya benar dan 14% salah dalam menyusui. Berdasarkan uji analisa data diperoleh hasil bahwa nilai x2 hitung (13.607) > x2 tabel (3.481), dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 < 0.05, sehingga pada penelitian ini hipotesis diterima, artinya ada hubungan antara teknik menyusui dengan terjadinya lecet puting susu pada ibu nifas di Pustu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember tahun 2014. Sementara berdasarkan nilai koifisien kongtingensi sebesar 0.463, artinya keeratan hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang teknik menyusui dengan terjadinya lecet puting susu pada ibu nifas berada pada kategori cukup berarti atau sedang. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Kristiyansari (2009) bahwa sebagian besar areola mamme harus sedapat mungkin masuk ke mulut bayi, sehingga puting susu berada dibawah langit-langit dan lidah bayi akan menekan ASI keluar dari tempat penampungan ASI yang terletak dibawah areola. Apabila bayi hanya menghisap pada puting saja, maka akan mengakibatkan lecet puting susu. Teknik menyusui yang tidak benar dapat mengakibatkan puting susu menjadi lecet, ASI tidak keluar optimal sehingga mempengaruhi produksi ASI selanjutnya atau bayi enggan menyusu. Upaya yang dapat dilakukan untuk JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 meningkatkan pelaksanaan teknik menyusui yang baik adalah dengan pemberian pendidikan/ penyuluhan kesehatan yang dilakukan oleh peneliti dan petugas kesehatan terutama tentang teknik menyusui yang benar dan masalah yang terjadi jika teknik menyusui ibu nifas kurang. Agar ibu nifas juga lebih memperhatikan masalah dalam menyusui, dan dimana mereka akhirnya akan berupaya untuk dapat melaksanakan teknik menyusui yang baik. Keadaan diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan teknik menyusui yang salah dapat mengakibatkan terjadinya lecet puting susu atau masalah lain dalam menyusui, tetapi lecet puting susu dapat juga disebabkan oleh perawatan payudara yang salah misalnya membasuh payudara terutama puting susu dengan menggunakan sabun, thrush (candidates), dan dermatitis. KESIMPULAN Tehnik menyusui ibu nifas di di Pustu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember sebagian besar adalah salah adalah 27 (54%). Kejadian lecet pada ibu nifas di Pustu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember 50% adalah lecet. Berdasarkan uji analisa data diperoleh hasil bahwa nilai x2 hitung (13.607) > x2 tabel (3.481), dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 < 0.05, sehingga pada penelitian ini hipotesis diterima, artinya ada hubungan antara teknik menyusui dengan terjadinya lecet puting susu pada ibu nifas di Pustu Desa Tamansari Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember tahun 2014 dengan keratan hubungan berada pada kategori cukup berarti atau sedang. DAFTAR PUSTAKA Amiruddin, R. 2006. Susu Formula Menghambat Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi 6-11 Bulan. Di 161 ambil Tanggal 5 Oktober 2010. http://www.artikeilmiah.com.html Asih, Rianti. 2010. Gambaran Pemberian ASI Eksklusif pada Balita di Posyandu Sehat Sejahtera Desa Tanggungharjo Lamongan. Diakses tanggal 14 Juli 2014. Dari: http://www.jptunair.com/45html. Bobak, dkk. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC. Danuatmaja, Bonny. 2003. 40 Hari Pasca Persalinan, Masalah dan Solusinya. Cetakan I. Jakarta : Puspa Swara. Djamaludin, dkk, 2010. Panduan Pintar Merawat Bayi dan Balita. Wahyu Media. Jakarta Depkes RI, 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan. Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta Depkes RI.2006. Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta Hanyow, 2008. ASI Eksklusif Terjemahan, New Jersey Khasanah, Nur. 2011. ASI atau Susu Formula ya ?. Jogjakarta : FlashBook. Kristiyansari, W., 2009. ASI:Menyusui dan Sadari. Yogyakarta: Nuha Medika. Mansjoer, Arief. 2001, Kapita Selekta Kedokteran 1, Buku Kedokteran ,. EGC, Jakarta Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan, Jakarta: CV. Trans Info. Moleong, Lexy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. remaja Rosdakarya Mochtar, Rustam. 2008 .Sinopsis obstetri : obstetri operatif, obstetri sosial, jilid. 2. Jakarta: EGC Nana Syaodih S. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya Notoatmodjo, Soekidjo . 2005. Metode penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ikmu Perilaku. Jakarta:. Rineka Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika Roesli, Utami.2001. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif. Jakarta: PT Elex Komputindo. Siregar, Charles. JP., 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Cetakan. I, Jakarta. Penerbit EGC, Soetjiningsih. 1997. ASI Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: EGC. Soetjiningsih, 2003. ASI Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: EGC Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta Sulistyawati, Ari. 2009. Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas, Yogyakarta: Andi Suradi & Kristina (Ed). 2004. Manajemen Laktasi Cetakan ke 2. Jakarta: Program Manajemen Laktasi Perkumpulan Perinatologi Indonesia Wadsworth, Thomson et al, 2005.. Nutrition through the life cycle. 2nd edition. USA Winkjosastro, 2002. Ilmu Kandungan, Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirorahardjo Cara Merawat Payudara Bagi Ibu Menyusui. Diakses pada tanggal 12 September 2014 dari www. http://pondokibu.com/caramerawat-payudara-bagi-ibumenyusui.html 162 GAMBARAN KENAIKAN BERAT-BADAN IBU AKSEPTOR KB SUNTIK 3 BULAN DI PUSKESMAS PEMBANTU KEBONSARI KABUPATEN JEMBER Nanik Fitriyah*, Mussia**, Nur Riska Rahmawati*** *, **, *** Progam Studi DIII Kebidanan STIKES dr. Soebandi Jember ABSTRACT One of the side effects of the three-monthly injective contraceptive device is the increase on the acceptor’s body weight. The DMPA injective contraceptive device may stimulate the control center of hypothalamus appetite that causes a person to eat more than usual portion which allows her to gain weight. The constant increase will cause overweight or obesity which, in turn, causing several chronic diseases like Diabetes Mellitus, hypertension, stroke and cardiac attack. This research is designed as a descriptivequantitative one. Results ofthe research reveal that the average increase of body weight is 4,5 kilograms;while the value of the median of body weight increase is 55 kilograms; and the modus of the body weight increase is 5 kilograms. The conclusion of this research states that body weight increase is stimulated by a raise on progesterone hormone incurred in the three-monthly injective contraceptive device, altough there are several other factors to contribute to one’s body weight increase like physical activities and food intake, respectively. Key word: body weight, injective contraceptive PENDAHULUAN Program KB bukan saja untuk mengatur kelahiran tetapi mempunyai konstribusi terhadap penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Tingginya AKI disebabkan oleh terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering, dan terlalu banyak melahirkan, untuk mencegah empat terlalu tersebut, pemerintah menganjurkan kepada Pasangan Usia Subur (PUS) untuk menggunakan kontrasepsi.Kontrasepsi yang paling populer di Indonesia adalah kontrasepsi suntik jenis Depo Medroksi Progesteron Asetat (DMPA) karena memiliki angka kegagalan yang rendah (0,7%), dan tidak berpengaruh pada hubungan suami istri. Worl Health Organization (WHO) mengatakan bahwa jumlah pengguna kontrasepsi suntik yaitu sebanyak 4.000.000 orang. Menurut Departemen Kesehatan 2011, menunjukkan bahwa JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 prevalensi pengguna kontrasepsi di indonesia 75,96%, alat atau cara kontrasepsi yang dominan dipakai adalah suntik (46,47%), pil (25,81%), IUD (11,28%), implant (8,82%), MOW (3,49%), MOP (0,71%), dan kondom (2,96%). Hasil survey BKKBN Propinsi Jawa Timur bulan Desember 2010 diketahui sebanyak 955,336 seluruh akseptor, presentase metode KB yang digunakan meliputi KB suntik (56,50%), pil (24,00%), AKDR (8,50%), implant (5,40%), kondom (3,90%), MOW (1,40%), dan MOP (0,40%). Pemakaian alat kontrasepsi aktif di Jember pada tahun 2012 adalah KB Suntik sebesar (50,38%), Pil (31,81%), IUD (11,04%), Implant (4,90%), MOW (1,13%), MOP (0,13%), Kondom (0,60%). (DINKES Kab. Jember, 2012). 163 Berdasar kan data dari Dinas Kesehatan Kota Jember di Kecamatan Sumbersari Puskesmas Gladak pakem pada tahun 2012 menduduki angka tertinggi dalam pemakaian alat kontrasepsi suntik yaitu sebesar 76,36%. (DINKES Kab. Jember, 2012). Dari data yang diperoleh dari Puskesmas Gladak Pakem pada tahun 2013 akseptor KB suntik di daerah Kebonsari Kecamatan Sumbersari sebanyak 3319 akseptor, sedangkan pada tahun 2014 di Puskesmas Pembantu (januari – agustus) sebanyak 112 akseptor. Kontrasepsi suntik 3 bulan dapat menyebabkan kenaikan berat badan. Kenaikan berat badan yang terus menerus akan menyebabkan kegemukan atau obesitas yang dapat memicu timbulnya beberapa penyakit kronis diantaranya Diabetes Melitus, hipertensi, stroke dan serangan jantung. Kontrasepsi suntik DMPA dapat merangsang pusat pengendali nafsu makan hipotalamus sehingga menyebabkan akseptor makan lebih banyak dari biasanya dan berdampak pada kenaikan berat badan. Umumnya pertambahan Berat-badan tidak terlalu besar, bervariasi antara kurang dari 1-5 kg pada tahun pertama. Meskipun begitu, tidak semua akseptor mengalami kenaikan berat- badan secara berlebih, tergantung reaksi tubuh akseptor tersebut terhadap metabolisme progesteron. (Hanafi, 2002 : Hal: 171). Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai Gambaran Kenaikan Berat-Badan Ibu Akseptor KB Suntik 3 Bulan di Puskesmas Pembantu Kebonsari. METODELOGI PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian kuantitatif, sesuai dengan namanya, penelitian kuantitatif banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan terhadap hasilnya. Demikian juga pemahaman JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 akan simpulan penelitian akan lebih baik apabila juga disertai dengan tabel, grafik, bagan, gambar atau tampilan lain. (Arikunto : 2010). HASIL 1. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasakan Pekerjaan di Puskesmas Pembantu Kebonsari Kabupaten Jember pada Tahun 2014. No Pekerjaan 1. Di dalam ruangan Di luar ruangan Jumlah 2. Frekue nsi 44 Persenta se (%) 83 9 17 53 100 Sumber: Data Primer Tahun 2014. Berdasarkan tabel 4.2 tersebut dapat diketahui jumlah responden berdasarkan pekerjaan di dalam ruangan sebanyak 44 (83%), dan yang berdasarkan pekerjaan di luar ruangan sebanyak 9 responden (17%). 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Kebiasaan Pola makan Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Pola makan di Puskesmas Pembantu Kebonsari Kabupaten Jember pada Tahun 2014. No 1. 2. 3. 4. Kebiasaan pola makan 1X/hari 2X/hari 3X/hari >3X/hari Jumlah Frekuensi 0 0 49 4 53 Persen tase(%) 0 0 92.4 7.5 100 Sumber: Data Primer. Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui kebiasaan pola makan responden untuk 1X/hari sebanyak 0 (0%), 2X/hari sebanyak 0 (0%), 3X/hari 49 (92.4%), untuk responden yang pola makan nya >3X/hari sebanyak 4 (7.5%). 164 3. Karakteristik responden berdasarkan kebiasaan camilan Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Makan Camilan di Puskesmas Pembantu Kebonsari Kabupaten Jember pada Tahun 2014. No 1. 2. Kebiasaan camilan Ada Tidak ada Jumlah Frekuensi 53 0 53 Persent ase (%) 100 0 100 Sumber: Data Primer Tahun 2014 Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui rata-rata responden mempunyai kebiasaan memakan camilan sebanyak 53 responden (100%), yang tidak mengkonsumsi camilan sebanyak 0 responden (0%). 4. Karakteristik responden berdasarkan kebiasaan olahraga Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Olahraga di Puskesmas Pembantu Kebonsari Kabupaten Jember pada tahun 2014. No Olahraga 1. 2. Iya Tidak pernah Jumlah Frekuensi 3 50 Persentase (%) 2 94.3 53 100 Sumber: Data Primer Tahun 2014 Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui responden yang mempunyai kebiasaan olahraga sebanyak 3 responden (2%), yang tidak pernah olahraga sebanyak 50 responden (94.3%). 5. Karakteristik responden berdasarkan kenaikan berat-badan di Puskesmas Pembantu Kebonsari Kabupaten Jember pada Tahun 2014. Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan rata-rata Kenaikan Beratbadan pada Akseptor KB Suntik 3 bulan di Puskesmas Pembantu Kebonsari Kabupaten Jember pada Tahun 2014. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 No. Kenaikan 1. 2. 3. 4. 5. 3kg 4kg 5kg 6kg 7kg Jumlah Frekuensi 6 19 25 1 2 53 Persenta se (%) 11.3 35.8 47.1 1.8 3.7 100 Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 4.6 tersebut dapat diketahui rata-rata kenaikan beratbadan untuk kenaikan berat-badan 3 kg sebanyak 6 responden, untuk kenaikan berat-badan 4 kg sebanyak 19 responden, untuk kenaikan berat-badan 5 kg sebanyak 25 responden, untuk kenaikan berat badan 6 kg sebanyak 1 responden dan untuk kenaikan berat-badan 7 kg sebanyak 2 responden. Dihitung suntikan ke-8 dikurangi Berat-badan sebelum di suntik pertama kali. PEMBAHASAN A. Gambaran Penggunaan KB DMPA Terhadap Kenaikan Berat-badan Berdasarkan hasil penelitian tentang gambaran kenaikan berat-badan akseptor KB suntik 3 bulan di Puskesmas Pembantu Kebonsari Kabupaten Jember menunjukkan terjadinya kenaikan beratbadan rata-rata 4,5 kg dan nilai beratbadan yang sering muncul adalah 5 kg sebanyak 25 responden (47.1%). Suntik 3 bulan adalah alat kontrasepsi yang berisi DMPA ( Depo medroxy progesteron asetate) suntik DMPA juga berisi hormon progesteron dimana hormon progesteron dapat mempermudah perubahan karbohidrat dan gula menjadi lemak, sehingga lemak dibawah kulit bertambah, selain itu hormon progesteron juga menyebabkan nafsu makan bertambah dan dan menurunkan aktifitas fisik, akibatnya pemakaian suntikan dapat menyebabkan 165 berat-badan bertambah (Koes irianto 2012). Dalam penggunaan jangka panjang DMPA (hingga dua tahun) turut memicu terjadinya peningkatan berat badan, kanker, kekeringan pada vagina, gangguan emosi, dan jerawat karena penggunaan hormonal yang lama dapat mengacaukan keseimbangan hormon estrogen dan progesteron dalam tubuh sehingga mengakibatkan terjadi perubahan sel yang normal (Saifuddin, 2006). Kenaikan berat-badan selain dipicu oleh hormon progesteron ditambah lagi disebabkan oleh faktor eksternal yaitu aktifitas fisik dan nutrisi. Menurut Hartanto (2004) periode usia istri 20-35 tahun ini merupakan periode usia paling baik untuk melahirkan, dengan jumlah anak 2 orang dan jarak antara kelahiran adalah 2-4 tahun. Pada masa usia ini perempuan sedang ada pada masa puncak kesuburan pada masa puncak ini perempuan akan lebih peka dan sensitif dan pada usia subur ini perempuan akan mengalami peningkatan berat-badan. Pada usia ini juga sangat cocok bagi wanita untuk hamil dan melahirkan karena organ reproduksinya yang masih berfungsi dengan baik. Pada usia ini diperlukan jenis kontrasepsi yang mempunyai efektivitas cukup tinggi, reversibilitas cukup tinggi karena peserta masih mengharapkan punya anak lagi, dapat dipakai 2-4 tahun yaitu sesuai dengan jarak kehamilan anak yang direncanakan. Diperkuat dengan hasil penelitian pada tabel 4.1 yang dilakukan terhadap akseptor KB DMPA didapatkan hasil pada penambahan berat-badan terjadi pada usia 20-35 tahun. Pemilihan KB DMPA adalah pilihan rasional dibandingkan dengan KB lainnya selain cocok untuk usia ini, KB DMPA cukup ekonomis sehingga dapat terjangkau disemua lapisan masyarakat. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa pada usia lebih dari 30 tahun, dengan jumlah 2 anak JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 lebih memilih KB DMPA dibandingkan dengan jenis KB lainnya. Pekerjaan dan aktifitas olahraga sangat erat kaitannya dengan penambahan berat-badan pada table 4.2 dan 4.5 hasil penelitian pada akseptor KB DMPA di Puskesmas Pembantu Kebonsari Kabupaten Jember sebanyak 83% akseptor memiliki pekerjaan di dalam ruangan dan pada tabel 4.5 akseptor 94.3% tidak mempunyai kebiasaan olahraga sehingga mengakibatkan peningkatan lemak tubuh dan metabolisme yang dicerna akan lebih lambat, metabolisme yang lambat juga dapat meningkatkan berat badan karena perempuan mempunyai otot tubuh yang lebih kecil dari laki-laki, otot membakar kalori lebih banyak dari jaringan tubuh yang lain sehingga metabolisme pada perempuan jauh lebih lambat daripada laki-laki. Hal ini akan menyebabkan perempuan akan lebih mudah gemuk jika dibanding dengan laki-laki. Kurangnya aktivitas fisik karena orang yang beraktivitas aktif akan membakar kalori lebih banyak dari pada yang beramalsmalasan dan faktor psikologis. Pada beberapa orang emosi mempengaruhi kebiasaan makan, bahkan ada orang yang tiba-tiba ingin makan banyak saat sedang emosi (Narudin, 2008). Hasil pengamatan pada pada tabel 4.3 yang dilakukan terhadap 53 akseptor KB DMPA di dapatkan akseptor mengalami kenaikan berat-badan dipicu karena akseptor makan lebih banyak. Dan hasil pengamatan pada tabel 4.4 akseptor 100% mengkonsumsi camilan (makanan ringan). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa KB DMPA hanya resiko terjadinya kenaikan berat badan meningkat. Dari teori yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa kenaikan berat- badan dipicu oleh peningkatan hormon progesteron yang dapat merangsang pusat pengendali nafsu makan dihipotalamus sehingga menyebabkan akseptor makan lebih 166 banyak dari biasanya dan berdampak pada kenaikan berat badan. Hormon progesteron mempermudah perubahan karbohidrat dan gula menjadi lemak,sehingga lemak dibawah kulit bertambah. Kenaikan Berat-badan juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi: genetik, regulasi termis, dan metabolisme sedangkan pada faktor eksternal meliputi: aktifitas fisik dan asupan makanan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Pembantu Kebonsari Kabupaten Jember, dapat disimpulkan bahwa rata-rata kenaikan berat-badan adalah 4.5 kg, nilai median disusun menurut besar kecilnya nilai, maka didapatkan hasilnya adalah 55 kg dan nilai kenaikan berat-badan yang paling tinggi pada kelompok adalah 5 kg sebanyak 25 responden. SARAN 1. Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan dapat dijadikan sebagai data awal untuk penelitian tentang gambaran kenaikan berat-badan ibu akseptor KB suntik 3 bulan. 2. Bagi Tenaga Kesehatan Diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya bidan dalam memberikan konseling tentang efek samping KB DMPA sehingga tidak ada kekhawatiran dari akseptor KB tersebut. 3. Bagi masyarakat Diharapkan ibu akseptor KB DMPA menanyakan kepada petugas kesehatan mengenai efek samping KB DMPA sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang benar mengenai efek samping kontrasepsi KB DMPA. Arikunto S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Handayani, S. (2010). Pelayanan Keluarga Berencana. Sewon Bantul Yogyakarta: Pustaka Rihama. Hartanto, Hanafi, dr., (2003). Keluarga Berencana dan kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hastono, Sutanto Priyo. (2011). Statistik Kesehatan. Jakarta: PT Rajawali Pers. Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Kebidanan Dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Irianto, K (2012). Keluarga Berencana Untuk Paramedis dan Nonmedis, Margahayu Permai Bandung: CV Yrama Widya. Manuaba, Ida Bagus. (1998). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Notoatmodjo, Soekidjo.( 2005). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. (2009). Konsep dan penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: salemba Medika. Sabri, L. (2010). Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers. Saifuddin, Abdul Bari. (2001) Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Saifuddin, Abdul bari (2013) Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Tridasa Printer. Winkjosastro, Hanifa.(2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo. DAFTAR PUSTAKA JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 167 HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KUNJUNGAN LANSIA KE POSYANDU LANSIA DI POSYANDU BUGENVIL 50 DESA GUGUT KABUPATEN JEMBER Nur Fadilah*, Syaiful Bachri**, Sutrisno, Irwina Angelia*** *, *** Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember **Poltekkees Kemenkes Malang ABSTRAK Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari harapan hidup penduduknya. Usia lanjut merupakan suatu periode dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa hubungan dukungan keluarga dengan kunjungan lansia ke posyandu lansia di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi (correlation study). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia pada posyandu Bugenvil 50 di Desa Gugut Kabupaten Jember sejumlah 210 orang. Jumlah sampel sebesar 68 orang, sampling yang digunakan adalah simple random sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan keluarga adalah baik sebanyak 39 orang (57.4%), tidak baik 29 orang (42.6%), dan keaktifan kunjungan lansia pada posyandu adalah tidak aktif sebanyak 38 orang (55.9%), aktif 30 orang (44.1%). Berdasarkan uji chi square diperoleh hasil x2 hitung (11.257) > x2 tabel (3.48) dengan n nilai p value (0,001) < a (0,05). Hal ini berarti bahwa Ha diterima yaitu ada Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kunjungan Lansia ke Posyandu Lansia di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember. Simpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan yang positif dukungan keluarga dengan kunjungan lansia ke posyandu lansia di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember Kata kunci : Dukungan Keluarga, Keaktifan Kunjungan Lansia PENDAHULUAN Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari harapan hidup penduduknya. Berdasarkan data hasil sensus penduduk tahun 2010, menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia (lansia) usia 60 tahun ke atas meningkat secara signifikan. Lansia merupakan seseorang yang sudah berumur di atas 60 tahun. Usia lanjut merupakan suatu periode dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh (Papalia dkk, 2007). Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dari kehidupan dan merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu. Proses alami ditandai dengan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri / mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Contantinides, 1994 dalam Nugroho, 2008). Secara umum, populasi penduduk lansia 60 tahun ke atas pada saat ini di negara-negara dunia diprediksikan akan mengalami peningkatan. Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan jumlah warga berusia lanjut yang tertinggi di dunia, yaitu 414%, hanya dalam waktu 35 tahun (19902025), sedangkan di tahun 2020 diperkirakan jumlah penduduk lanjut 168 usia akan mencapai 25,5 juta jiwa (Soerjono, 2006). Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014 diperkirakan sebesar 23,9 juta jiwa, usia harapan hidupnya 67,4 tahun. Jumlah penduduk lansia pada tahun 1990 sekitar 6,6% dari jumlah penduduk, diperkirakan pada tahun 2020 akan mencapai 11% (Kemenkes, 2014). Wahyuningsih (2011), menyatakan bahwa lima provinsi dengan jumlah lansia paling banyak di Indonesia, yaitu: Di Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan Jawa Barat. Provinsi Jawa Timur menempati peringkat kedua terbanyak setelah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan persentasi lansia yaitu 9,36 persen dari keseluruhan penduduk (Wahyuningsih, 2011). Kabupaten Jember adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki jumlah lansia terbanyak kedua setelah Kabupaten Malang (Yunita, 2010). Berdasarkan data di Kabupaten Jember jumlah lansia adalah 128.485 jiwa yang tersebar dalam 31 kecamatan (Dinas Kesehatan Jember, 2011). Data Badan Pusat Statistik (2010) menunjukkan bahwa pada sensus penduduk tahun 2000 di Kabupaten Jember didapatkan data jumlah lansia dengan rentang usia 55-64 tahun sebesar 5.469 orang dan lansia dengan usia >65 tahun sebesar 3.682 jiwa. Meningkatnya jumlah lansia membutuhkan penanganan yang serius karena secara alamiah lansia itu mengalami kemunduran baik dari fisik, biologis, maupun mentalnya. Hal ini tidak terlepas dari masalah ekonomi, sosial dan budaya sehingga perlu adanya peran serta dan dukungan dari keluarga dalam penanganannya. Menurunnya fungsi berbagai organ, lansia menjadi rentan terhadap penyakit yang bersifat akut atau kronis. Ada kecenderungan terjadi penyakit degeneratif dan penyakit metabolik, (Nugroho, 2008). Dampak Penurunan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 kemandirian adalah lansia akan lebih rentan terhadap serangan penyakit (Hardywinoto, 2005). Kondisi seperti ini jika tidak segera diatasi akan memperburuk keadaan lansia sehingga di perlukan dukungan keluarga (Watson, 2003). Menurut Menkes (2012) masalah yang sering ditemui pada lansia dalam kehidupan sehari-hari yaitu penyakit jantung koroner (32 %), hipertensi (31,7%), arthritis (30,3%), cedera (7,5%) (Riskesdas, 2007). Posyandu merupakan suatu forum komunikasi, alih tehnologi dan pelayanan kesehatan oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai stategis untuk pengembangan sumber daya manusia, khususnya lanjut usia. Posyandu bertujuan untuk meningkatakan derajat kesehatan dan mutu kehidupan untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyakat sesuai dengan keberadaannya dalam strata kemasyarakatan (Depkes RI, 2008). Pelaksanaan kegiatan posyandu merupakan salah satu usaha pendekatan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan primer, semakin tinggi masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan, semakin meningkatkan derajat kesehatan di masyarakat. Salah satu keberhasilan dalam rangka pelaksanaan posyandu adalah memperbaiki atau meningkatkan derajat kesehatan di masyarakat (Sarwono, 2009). Meski kegiatan posyandu penting untuk menjaga kesehatan lansia namun pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Berdasarkan data diketahui bahwa di Kabupaten Jember terdapat 49 Puskesmas yang tersebar dalam 31 kecamatan (Dinkes Jember, 2013). Berdasarkan data tersebut Rambipuji merupakan salah satu kecamatan yang memiliki angka lansia cukup tinggi. Berdasarkan data dari Puskesmas Rambipuji tahun 2014 jumlah lansia terbanyak yaitu terdapat di Desa Gugut 169 dengan jumlah 440 orang yang terbagi dalam 3 posyandu lansia Posyandu Bugenvile 47 sejumlah 40 (44%), Posyandu Bugenvile 48 sejumlah 80 (58%),dan Posyandu Bugenvile 50 sejumlah 120 (57%). Dari ke tiga posyandu tersebut menjelaskan bahwa Posyandu Bugenvile 50 memiliki tingkat aktifitas kunjungan posyandu lansia paling rendah. Berdasarkan data yang diperoleh dari Posyandu Lansia Desa Gugut pada tahun 2014 kunjungan lansia pada setia bulannya rata-rata mencapai 17.64% hal ini berarti kunjungan lansia berada pada kategori tidak aktif. Perilaku kunjungan yang tidak aktif sedikit akan berdampak pada status kesehatan lansia. Terdapat beberpa faktor yang mempengaruhi aktifitas kunjungan lansia dalam melakukan kunjungan ke Posyandu lansia, salah satunya adalah dukungan keluarga. Menurut Ismawati (2010) menjelaskan bahwa kegiatan posyandu lansia tidak terlepas dari faktorfaktor yang mempengaruhi antara lain pengetahuan, pendidikan, usia, sarana prasarana, jangkauan pelayanan, dan dukungan keluarga Keluarga merupakan satu-satunya tempat yang sangat penting untuk memberikan dukungan, pelayanan serta kenyamanan bagi lansia (Depkes RI: 2003). Menurut Kusumoputro dan Sidiarto (2004) bahwa setelah seseorang memasuki masa lansia, maka dukungan sosial dari orang lain menjadi sangat berharga dan akan menambah ketentraman hidupnya. Namun demikian dengan adanya dukungan sosial tidaklah berarti bahwa setelah memasuki masa lansia. Seorang lansia hanya tinggal duduk, diam, tenang, dan berdiam diri saja. Untuk menjaga kesehatan baik fisik maupun kejiwaannya lansia justru harus tetap melakukan aktivitas-aktivitas yang berguna bagi kehidupannya. Lansia tidak boleh duduk diam, enak dan semua dilayani oleh orang lain. Hal ini justru akan mendatangkan berbagai JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 penyakit dan penderitaan, sehingga bisa menyebabkan para lansia tersebut cepat meninggal, (Azizah, 2011) Dukungan keluarga terbagi atas 4 jenis yaitu; dukungan emosional, dukungan yang diberikan keluarga dalam bentuk perhatian, kasih sayang pada lansia. Dukungan penghargaan yaitu dukungan yang diberikan keluarga dalam bentuk menghargai, mendengarkan, dan berbicara pada lansia. Dukungan informasi yaitu dukungan yang diberikan keluarga dalam bentuk pemberian informasi terkait tentang kesehatan pada lansia. Dukungan instrumental yaitu dukungan yang diberikan keluarga dalam bentuk bantuan tenaga, waktu, dan biaya untuk mengontrol kesehatan lansia. Dukungan tersebut bertujuan agar lansia tetap dapat menjalankan kegiatan sehariharinya. Keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya (Maryam et al, 2012). Keluarga merupakan sistem pendukung utama pemberi pelayanan langsung pada setiap keadaan (sehat sakit) anggota keluarga. Dukungan keluarga merupakan sesuatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan mencintainya (Setiadi, 2008). Dukungan keluarga memiliki peran besar dalam meningkatkan keaktifan lansia dalam melakukan kunjungan pada posyandu lansia. Keluarga dapat membantu lansia dengan memberikan penjelasan, informasi kesehatan, melakukan pendampingan, menyediakan waktu dan sebagainya sebagai penunjang pada kegaitan posyandu lansia. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 15 Juni 2015 di Posyandu Bongenvil 50 di Desa Gugut pada 5 lansia yang aktif datang ke posyandu dan 5 yang tidak aktif ke 170 posyandu lansia. Dilakukan wawancara dengan pertanyaan yang berkaitan dengan dukungan keluarga pada lansia untuk datang ke posyandu diperoleh informasi sebagai berikut; pada pertanyaan berkaitan dengan keluarga memberikan informasi untuk mengikuti kegiatan posyandu lansia diperoleh hasil bahwa dari 5 lansia aktif sebanyak 4 (80%) mendapatkan informasi dan sebanyak 1 (20%) tidak mendapatkan informasi dari keluarga, sementara dari 5 lansia yang tidak aktif melakukan kegiatan posyandu lansia sebanyak 2 (40%) mendapatkan informasi dan sebnayk 3 (60%) tidak mendapatkan informasi dari keluarga. Pada pertanyaan berkaitan dengan keluarga menyediakan semua kebutuhan untuk mengikuti kegiatan posyandu lansia diperoleh dari 5 lansia yang aktif sebanyak 3 (60%) disediakan kebutuhannya oleh keluarga, dan 2 (40%) tidak disediakan kebutuhannya oleh keluarga. Sementara pada 5 lansia yang tidak aktif diperoleh hasil sebanyak 1 (20%) disediakan kebutuhannya, dan 4 (80%) tidak disediakan kebutuhannya. Pada pertanyaan berkaitan dengan keluarga mengingatkan jadwal dilaksanakannya posyandu lansia diperoleh dari 5 lansia yang aktif sebanyak 4 (80%) diingatkan oleh keluarga, dan 1 (20%) tidak diingatkan oleh keluarga. Sementara pada 5 lansia yang tidak aktif diperoleh hasil sebanyak 3 (60%) diingatkan oleh keluarga, dan 2 (40%) tidak diingatkan oleh keluarga. Pada pertanyaan berkaitan dengan keluarga bersedia menemani sampai selesai pada kegiatan posyandu diperoleh dari 5 lansia yang aktif sebanyak 3 (60%) bersedia menemani sampai selesai, dan 2 (40%) tidak bersedia menemani sampai selesai. Sementara pada 5 lansia yang tidak aktif diperoleh hasil sebanyak 2 (40%) bersedia menemani sampai selesai, dan 3 (60%) tidak bersedia menemani sampai selesai. Realitas ini memberikan pemahaman bahwa dukungan keluarga JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 sangat berperan penting dalam meningkatkan antifitas kunjungan lansia ke Posyandu. Hal ini berdasarkan pada fakta bahwa lansia perlu pendampingan dalam melakukan kunjungan, lansia juga memerlukan informasi atau jadwal sehingga dengan mudah lansia bisa mengetahui jadwal kunjungan ke posyandu. Keadaan inilah yang seharusnya perlu untuk ditingkatkan dari keluarga dengan memberikan informasi, melakukan pendampingan dan sebagainya. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang hubungan dukungan keluarga dengan kunjungan lansia ke Posyandu Lansia di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember. TINJAUAN PUSTAKA Dukungan Menurut Sarafino (2008), mengatakan bahwa dukungan adalah suatu bentuk kenyamanan, perhatian, penghargaan, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang yang berarti, baik secara perorangan maupun kelompok. Dukungan dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari suami istri atau dukungan dari saudara kandung; atau dukungan sosial keluarga eksternal - dukungan sosial eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial keluarga). Sebuah jaringan sosial keluarga secara sederhana adalah jaringan kerja sosial keluarga inti. Keluarga Menurut Duvall dalam Mubarok, (2009), keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga. Menurut Friedman (2010) karakteristik keluarga antara lain: 171 a. Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi b. Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu sama lain c. Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran sosial: suami, istri, anak, kakak dan adik d. Mempunyai tujuan: menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anggota. Dalam menjalankan tugasnya maka keluarga juga mempunyai berbagai macam fungsi, menurut Mubarok (2009) diantaranya: a. Fungsi biologis 1. Meneruskan keturunan 2. Memelihara dan membesarkan anak 3. Memenuhi kebutuhan gizi keluarga 4. Memelihara dan merawat anggota keluarga b. Fungsi psikologis 1. Memberikan kasih sayang dan rasa aman 2. Memberikan perhatian di antara anggota keluarga 3. Membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga 4. Memberikan identitas keluarga c. Fungsi sosialisasi 1. Membina sosialisasi pada anak 2. Membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak 3. Meneruskan nilai-nilai budaya keluarga d. Fungsi ekonomi 1. Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga 2. Pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga 3. Menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga di JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 masa yang akan datang (pendidikan, jaminan hari tua) e. Fungsi pendidikan 1. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya 2. Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa 3. Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya. Dukungan Keluarga Dukungan merupakan salah satu faktor penguat (reinforcing factor) yang dapat mempengaruhi seseorang dalam berperilaku (Notoatmodjo, 2010). Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman, 2010). Friedman (2010) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa jenis dukungan yaitu : a. Dukungan informasional Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. b. Dukungan penilaian Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian. c. Dukungan instrumental 172 Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan. d. Dukungan emosional Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. Friedman (2010), ada bukti kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalamanpengalaman perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak dari keluarga yang besar. Selain itu, dukungan yang diberikan orangtua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia. Ibu yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya dan juga lebih egosentris dibandingkan ibu-ibu yang lebih tua. Lansia Manusia usia lanjut merupakan seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial yang nantinya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan. Lanjut usia merupakan orang yang sudah memasuki tahap dewasa akhir dengan usia sekitar 60 tahun ke atas (Depkes, Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu, 2008). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Bustan (2007) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : a. Usia pertengahan (middle age) 45 – 59 tahun, b. Lanjut usia (elderly) 60 – 74 tahun, c. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun d. Dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Posyandu lansia Pos Pelayanan Terpadu Lanjut Usia merupakan suatu forum komunikasi, alih tehnologi dan pelayanan kesehatan oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai stategis untuk pengembangan sumber daya manusia, khususnya Lanjut Usia. Posyandu ini untuk masyarakat usia lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan Posyandu lansia merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui pelayanan kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya melalui program Puskesmas dengan melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat dan organisasi sosial dalam penyelenggaraannya (Depkes, Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu, 2008). Faktor–faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan yang berkaitan dengan kehadiran lansia di Posyandu Lansia adalah: 1. Pendidikan Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi 173 2. 3. 4. 5. diselenggarakan dengan sistem terbuka. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010) Pekerjaan sekarang Bagi lansia yang bukan pegawai negeri atau karyawan swasta, misalnya wiraswastawan, pedagang, ulama, guru, swasta dan lain-lain pikiran akan pensiun mungkin tidak terlintas, mereka umumnya mengurangi kegiataanya setelah lansia dn semakin tua tugas-tugas tersebut secara berangsur berkurang sampai suatu saat secara rela dan tulus menghentikan kegiatannya. Kalau mereka masih mau melakukan kegiataan umumnya sebatas untuk beramal tau seolah-olah menjadi kegiataan hobby. Keyakinan Keyakinan adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Karena keyakinan merupakan suatu sikap, maka keyakinan seseorang tidak selalu benar atau, keyakinan semata bukanlah jaminan kebenaran. Dukungan keluarga Dukungan tersebut berupa dorongan, motivasi, empati, ataupun bantuan yang dapat membuat individu yang lainnya merasa lebih tenang dan aman. Dukungan didapatkan dari keluarga yang terdiri dari keluarga, orang tua, ataupun keluarga dekat lainnya. Dukungan keluarga dapat JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 mendatangkan rasa senang, rasa aman, rasa puas, rasa nyaman dan membuat orang yang bersangkutan merasa mendapat dukungan emosional yang akan mempengaruhi kesejahteraan jiwa manusia. Dukungan keluarga berkaitan dengan pembentukan keseimbangan mental dan kepuasan psikologis. Suhendro B. Kar dalam Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa dukungan sosial dari masyarakat sekitar akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku terhadap kesehatan, demikian juga dengan lajut usia, mereka memerlukan dukungan dari keluarga untuk berkunjung ke pelayanan kesehatan atau Posyandu. Dukungan keluarga dapat diwujudkan dalam bentuk menghormati dan menghargai orang tua, mengajaknya dalam acara keluarga, serta memeriksakan kesehatannya. 6. Kader Posyandu Masyarakat akan memanfaatkan pelayanan tergantung pada penilaian tentang pelayanan tersebut. Jika pelayanan kurang baik atau kurang berkualitas, maka kecenderungan untuk tidak memanfaatkannyapun akan semakin besar. Persepsi tentang pelayanan selalu dikaitkan dengan kepuasan dan harapan pengguna layanan. Konsumen mengatakan mutu pelayanan baik jika harapan dan keinginan sesuai dengan pengalaman yang diterimanya. 7. Ketersediaan fasilitas kesehatan Ketersediaan fasilitas pelayanan terhadap lanjut usia yang terbatas di tingkat masyarakat, peleyanan tingkat dasar, pelayanan tingkat I dan tingkat II, sering menimbulkan permasalahan bagi para lanjut usia. Demikian pula, lembaga kesehatan masyarakat dan organisasi sosial dan kemasyarakatan lainnya yang menaruh minat pada permasalahan ini terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan para lanjut usia tak dapat diberi pelayanan sedini 174 mungkin, sehingga persoalnnya menjadi berat pada saat diberikan pelayanan (Hardywinoto, 2005). 8. Lingkungan masyarakat Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosiopsikologis, termasuk didalamnya adalah belajar (Hardywinoto, 2005). 9. Kebijakan pemerintah Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat menyatakan pemerintah telah merumuskan kebijakan, program dan kegiataan bagi para lanjut usia.Tujuan bahwa program usia lanjut adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia agar tetap sehat, mandiri dan berdaya guna sehingga tidak menjadi beban begi dirinya sendiri, keluarga naupun masyarakat. Aspek-aspek yang dikembangkan adalah dengan memperlambat proses menua (degeneratif). Bagi mereka yang merasa tua perlu dipulihkan (rehabilitatif) agar tetap mampu mengerjakan kehidupan sehari-hari secara mandiri (Pertiwi H. W., 2013) Hipotesis Hipotesa merupakan suatu pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau harus ditolak berdasarkan fakta atau data empiris yang telah dikumpulkan dalam penelitian (Hidayat, 2014). Jenis hipotesa sesuai pendapat Hidayat, (2014) sebagai berikut: 1. Hipotesis Nol (Ho) Hipotesis nol (H0) adalah hipotesis yang menyatakan hubungan yang definitif dan tepat diantara dua variabel. Secara umum hipotesis nol diungkapkan sebagai tidak terdapatnya hubungan yang signifikan. 2. Hipotesis alternatif (H1) JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Hipotesis alternatif (H1) adalah hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara dua variabel. Pada umumnya, simpulan uji statistik yang digunakan jika nilai hitung lebih besar dari nilai kritis. Hipotesis pada penelitian ini adalah: H1 : Ada hubungan dukungan keluarga dengan kunjungan lansia ke posyandu lansia di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember. METODE PENELITIAN Desain penelitian merupakan rancangan yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian korelasi (correlation study) yaitu peneliti dapat mencari, menjelaskan hubungan dan menguji antara 2 variabel. Dengan pendekatan dilakukan secara cross sectional yaitu menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel hanya satu kali pada satu saat (Nursalam, 2011). Pada penelitian ini populasi yang akan diambil adalah lansia pada posyandu Bugenvil 50 di Desa Gugut Kabupaten Jember sejumlah 210 orang. Besar sampel ditentukan dengan rumus Slovin berjumlah 68 orang. Pengambilan subyek penelitian dilakukan secara acak dengan teknik undian (lottery technique). Caranya dengan membuat daftar nama dari seluruh populasi yang ada kemudian dibuat nomer 1-210 dan diundi sebanyak 68 kali. Nama yang keluar akan diambil sebagai sampel. Alat ukur yang digunakan adalah Kuesioner. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. uji korelasi yang digunakan adalah uji Chi Square. HASIL PENELITIAN Data Umum 175 a. Karakteristik Umur Lansia Berdasarkan 5.1: Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember No Umur Jumlah Persentase 1 45-59 tahun 20 29.4 2 60-74 tahun 34 50.0 3 75-90 tahun 13 19.1 4 >90 tahun 1 1.5 Jumlah 68 100% Sumber : Data Primer 2015 Tabel 5.3: Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember No 1 Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP Tabel Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa umur responden sebagian besar umur 60-74 tahun sejumlah 34 orang (50%). Usia ini termasuk kategori lanjut usia/elderly. Pada masa ini lansia lebih senang mempertahankan pendapatnya dari pada mendengarkan pendapat orang lain. Lansia pada usia ini masih bisa melakukan kegiatan secara mandiri termasuk datang ke posyandu, berbeda dengan usia yang lebih tua cenderung didampingi oleh keluarga karena tidak bisa melakukan kegiatan secara mandiri. b. Karakteristik Lansia Berdasarkan Jenis Kelamin 5.2: Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember No Jenis Kelamin Jumlah Persentase 1 Laki-laki 16 23.5 2 Perempuan 52 76.5 Jumlah 68 100% Sumber : Data Primer 2015 2 3 Jumlah JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 32 29 7 68 Persentase 47.1 42.6 10.3 100% Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa pendidikan responden sebagian besar adalah tidak sekolah sejumlah 32 orang (47.1%). Jenjang pendidikan ini berkaitan dengan kemampuan lansia dalam membaca dan menulis. Lansia yang pernah sekolah cenderung bisa membaca dan menulis. Data Khusus a. Identifikasi Dukungan Informasi Keluarga di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember Tabel Tabel Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa jenis kelamin responden sebagian besar perempuan sejumlah 52 orang (76.5%). Perempuan lebih banyak yang berkunjungan ke lansia disebabkan karena memang populasi lansia perempuan lebih banyak, selain itu kesempatan yang dimiliki lebih banyak perempuan sebab lansia perempuan sudah jarang yang bekerja, mereka lebih sering dirumah menemani keluarga yang lain. c. Karakteristik Lansia Berdasarkan Pendidikan Jumlah 5.4: Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga Responden berdasarkan Dukungan Informasional di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember No Kategori 1 Baik 2 Tidak Baik Jumlah Jumlah 38 30 68 Persentase 55.9 44.1 100% Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan tabel 5.4 diketahui sebagian besar dukungan informasional adalah baik sebanyak 38 orang (55.9%). Hal ini menjelaskan bahwa keluarga telah memberikan saran dan informasi berkaitan dengan pentingnya kunjungan posyandu bagi lansia. b. Identifikasi Dukungan Penilaian Keluarga di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember Tabel 5.5: Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga Responden berdasarkan Dukungan Penilaian di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember 176 No Kategori 1 Baik 2 Tidak Baik Jumlah Jumlah 42 26 68 Persentase 61.8 38.2 100% Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa sebagian besar Dukungan Penilaian adalah baik sebanyak 42 orang (61.8%). Hal ini menjelaskan bahwa keluarga telah memberikan bentuk perhatian dan sopport/dukungan yang berkaitan dengan kesehatan lansia untuk selalu berkunjung ke posyandu lansia. c. Identifikasi Dukungan Instrumental Keluarga di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember Tabel 5.6: Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga Responden berdasarkan Dukungan Instrumental di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember No Kategori 1 Baik 2 Tidak Baik Jumlah Jumlah 40 28 68 Persentase 58.8 41.2 100% Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa sebagian besar Dukungan Instrumental adalah baik sebanyak 40 orang (58.8%). Hal ini menjelaskan bahwa keluarga telah menyiapkan segala kebutuhan lansia baik dari makanan, biaya dan transportasi. d. Identifikasi Dukungan Emosional Keluarga di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember Tabel 5.7: Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga Responden berdasarkan Dukungan Emosional di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember No Kategori 1 Baik 2 Tidak Baik Jumlah Jumlah 45 23 68 Persentase 66.2 33.8 100% Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa sebagian besar dukungan keluarga adalah baik sebanyak 45 orang (66.2%). Hal ini menjelaskan bahwa keluarga JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 sering meluangkan waktu untuk mendengarkan permasalahan yang dihadapi lansia. e. Identifikasi Dukungan Keluarga di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember Tabel 5.8: Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember No Kategori 1 Baik 2 Tidak Baik Jumlah Jumlah 39 29 68 Persentase 57.4 42.6 100% Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa sebagian besar dukungan keluarga adalah baik sebanyak 39 orang (57.4%). Hal ini menjelaskan bahwa keluarga telah menjalani perannya dalam memberikan dukungan kepada keluarga baik dukungan informasional, penilaian, intrumental dan emosional. f. Identifikasi Kunjungan Lansia ke posyandu lansia di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember Tabel 5.9: Distribusi Frekuensi Kunjungan Lansia Responden di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember No Kategori 1 Aktif 2 Tidak Aktif Jumlah Jumlah 30 38 68 Persentase 44.1 55.9 100% Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa sebagian besar keaktifan kunjungan lansia pada posyandu adalah tidak aktif sebanyak 38 orang (55.9%). Hal ini menjelaskan bahwa tingkat kehadiran lansia dalam kunjungan posyandu lansia kurang dari 8 kehadiran. g. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kunjungan Lansia Ke Posyandu lansia di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember. 177 Tabel 5.10 : Tabulasi Silang Dukungan Keluarga dengan Kunjungan Lansia Ke Posyandu lansia di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember Tahun 2015 Dukungan Keluarga Baik Tidak Baik Jumlah Kunjungan Lansia Aktif Tidak Aktif 24 15 6 23 30 38 ∑ 39 29 68 Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan tabel 5.10 menunjukkan bahwa sebanyak 30 lansia yang aktif melakukan kunjungan lansia cenderung terjadi pada lansia yang memperoleh dukungan baik dari keluarga, sementara lansia yang tidak aktif sebanyak 38 cenderung terjadi pada lansia yang memperolah dukungan tidak baik. Hasil pengujian dengan uji chi square diperoleh hasil x2 hitung (11.257) > x2 tabel (3.48) dengan n nilai p value (0,001) < a (0,05). Ini berarti bahwa Ha diterima yaitu ada Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kunjungan Lansia ke Posyandu Lansia di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 30 lansia yang aktif melakukan kunjungan lansia cenderung terjadi pada lansia yang memperoleh dukungan baik dari keluarga, sementara lansia yang tidak aktif sebanyak 38 cenderung terjadi pada lansia yang memperolah dukungan tidak baik. Berdasarkan hasil pengujian dengan uji chi square diperoleh hasil x2 2 hitung (11.257) > x tabel (3.48) dengan n nilai p value (0,001) < a (0,05). Ini berarti bahwa Ha diterima yaitu ada Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kunjungan Lansia ke Posyandu Lansia di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember Keaktifan lansia dalam mengikuti Posyandu lansia sangat dipengaruhi oleh JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 dukungan keluarga itu sendiri. keluarga diharapkan dapat memberikan motivasi pada lansia dalam mempertahankan kesehatanya (Maryam, 2008). Dukungan keluarga mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan lansia, karena merasa memperoleh dukungan keluarga, secara emosional karena merasa diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya dan perilaku suatu kegiatan atau aktifitas yang dapat diamati maupun tidak. (Rahayu, 2008). Keluarga merupakan tempat bernaung dan berlindung bagi para lansia, oleh karena itu keluarga diharapkan dapat memberikan dukungannya terhadap lansia, karena dukungan keluarga merupakan salah satu unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah dalam hal ini masalah kesehatanya. Apabila ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk menghadapi masalah yang terjadi akan meningkat (Stuart dan Sundeen, 1995 dalam Tamher dan Noorkhasiani, 2009). Peneliti menganalisa bahwa pada orang lanjut usia (lansia) banyak dari organ tubuh yang mulai mengalami proses degenerasi atau menua serta berbagai macam penyakit kronis yang mulai mengghinggapi mereka. Maka perlu peran dari anggota keluarga dalam memberikan dukungan. Dukungan sosial merupakan informasi verbal maupun non verbal, saran, bantuan yang nyata yang diberikan oleh orang-orang yang dekat dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya, atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah laku penerimanya. Peneliti menganalisa bahwa keluarga menghendaki lansia tinggal bersama agar dapat dirawat oleh keluarga, hal ini memberi manfaat bagi kedua belah pihak sehingga lansia dapat merasakan kedamaian berada di tengah-tengah keluarga. Sedangkan 178 keluarga dapat memetik manfaat kepuasan batin dalam memberikan pengabdian, balas budi dan membahagiakan orang tua. Cara ini sesuai dengan agama, maupun budaya yang mengikat mereka. Permasalahan bagi lansia adalah permasalahan kesehatan, oleh karena itu peran keluarga sangat diperlukan sebagai bentuk dukungan bagi lansia terutama dalam memeriksakan kesehatan secara rutin ke Posyandu Lansia. KESIMPULAN 1. Identifikasi dukungan informasi keluarga di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember sebagian besar dukungan informasional adalah baik sebanyak 38 orang (55.9%) 2. Identifikasi dukungan penilaian keluarga di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember sebagian besar Dukungan Penilaian adalah baik sebanyak 42 orang (61.8%) 3. Identifikasi dukungan instrumental keluarga di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember sebagian besar Dukungan Instrumental adalah baik sebanyak 40 orang (58.8%) 4. Identifikasi dukungan Emosional keluarga di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember bahwa sebagian besar dukungan keluarga adalah baik sebanyak 45 orang (66.2%) 5. Identifikasi dukungan keluarga di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember bahwa sebagian besar dukungan keluarga adalah baik sebanyak 39 orang (57.4%) 6. Identifikasi kunjungan lansia ke posyandu lansia di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember sebagian besar keaktifan kunjungan lansia pada posyandu adalah tidak aktif sebanyak 38 orang (55.9%) JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 7. Ada hubungan yang positif dukungan keluarga dengan kunjungan lansia ke posyandu lansia di Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Kabupaten Jember SARAN 1. Bagi Posyandu Bugenvil 50 Desa Gugut Mengingat kunjungan lansia banyak yang tidak aktif maka diharapkan kader posyandu semakin kreatif dalam meningkatkan partisipasi kunjungan lansia seperti melakukan kunjungan door to door ke rumah lansia agar ikatan emosional terbangun antara lansia dengan kader. 2. Bagi Institusi Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember Institusi sebagai pencetak sumber daya manusia diharapkan dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa berbasis pada kebutuhan masyarakat, hal ini diharapkan agar nantinya ilmu yang diperoleh lansung bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat 3. Bagi Peneliti Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menambahkan variabel lain yang tidak dikaji dalam penelitian ini seperti jarak tempu dan sebagainya 4. Bagi Responden/Lansia Lansia semakin aktif dalam melakukan kunjungan mengingat lansia mengalami banyak kemunduran fisik sehingga kesehatan perlu diperhatikan salah satunya dengan melakukan kunjungan ke posyandu 5. Bagi Profesi Meningkatkan upaya pelayanan kesehatan agar lansia dapat termotivasi dalam meakukan kunjungan ke posyandu, hal ini bisa dilakukan dengan memudahkan lansia dalam menerima pelayanan kesehatan di posyandu, atau bisa dilakukan dengan pelayanan kesehatan keliling bagi lansia DAFTAR PUSTAKA Azizah. (2011). Keperawatan Lanjut Usia.Yogyakarta: Graha Ilmu 179 Bandiyah, S. (2009). Lanjut Usia Dan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika. Bart, Smet. (2004). Psikologi kesehatan. Jakarta: PT. Grasindo. BPS Kabupaten Jember.(2010). Kabupaten Jember Dalam Angka Tahun 2009. Kabupaten Jember: Badan Pusat Statistik Bustan, M.N. (2007). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Rineka Cipta Dinkes Jember, (2013). Profil Kesehatan Kabupaten Jember Tahun 2012. Jember Depkes RI, (2003). Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta. Departemen Kesehatan R.I. (2005). Rencana Strategi Departemen Kesehatan. Jakarta: Depkes. RI. Depkes. (2008). Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta: Departeman Kesehatan Repiblik Indonesia. Friedman. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset, Teori, dan Praktek, Edisi kelima. Jakarta.: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hardywinoto. (2005). Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai Aspek: Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup Para Lanjut Usia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hidayat, A. A. (2014). Metodelogi Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Ismawati, S. (2010). Posyandu Dan Desa Siaga . Yogyakarta: Nuha Medika. Kusumoputro, S & Sidiarto, L. D. (2004). Mengenal Awal Pikun Alzheimer. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, (2012). Profil Kesehatan Indonesia.2010 Jakarta JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2011 [Diakses pada 12 Januari 2015]. Available from URL: HIPERLINKhttp://www.depkes.go. id/downloads/PROFIL_DATA_KE SEHATAN_INDONESIA.pdf Kemenkes. (2014). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Buletin Jendela, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Maryam, et all, (2012). Mengenal Usia Lanjut Dan Perawatannya, Jakarta: Salemba Medika Mubarok, d. (2009). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Salemba Medika. Notoatmodjo. (2010). Metode penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Nugroho, W. (2008). Perawatan Lanjut Usia. Jakarta: EGC. Nursalam. (2011). Konsep & Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Orford, Jim. (1992). Community Psychology Theory and Prachce. England: John Willey and sons Papalia, D. E. dkk. (2007). Adult Development and Aging (3rded.). New York: Mc. Prawirohardjo, Sarwono. (2009). Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka Pertiwi, H. W. (2013). faktor-Faktor yang berhubungan dengan Frekuensi Kehadiran Lanjut Usia di Posyandu Lansia . Bidan Prada : Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 4 No. 1 Edisi Juni 2013. Rahayu, Juniati Kohar, Eva Rahayu. (2008). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Melalui Interaksi Sosial, Upaya Penyediaan Transportasi, Finansial, Dan Dukungan Dalam Menyiapkan Makanan Dengan Respon Kehilangan Pada Lansia 180 Di Desa Pekaja, kalibagor Kabupaten Banyumas, diakses dari http://jurnalonline.unsoed.ac.id/ind ex.php/keperawatan/article/view/24 9/100, tanggal 5 maret 2015 Riset Kesehatan Dasar. (2007). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Sarafino, E. (2008). Healt Psychology : Biopsychosocial Interactions. Fifth Edition. USA : John Wiley & Son Schaffer, S. Graf 2000. Pencegahan . Jakarta: EGC. Sarwono, S. (2009). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Press. Setiadi, (2008), Keperawatan Keluarga, Jakarta: EGC Soekanto, Soerjono. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo. Persada Sugiyono. (2009). Statistik Non Parametrik. Jakarta: CV. Alfabeta. Suparyanto. (2011). Konsep Dukungan http://drsuparyanto.com/2011/05/konsep dukungan.html: diakses tanggal 20 April 2015. Tamher, S. & Noorkasiani. (2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan. Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Veilel, Hans of. & Urs Baumann. (1992). The many meaning of social support. In : Meaning and Measurement of Social Support. Hans of Veilel & Urs Baumann. Eds. New York : Hemisphere Publish Corp Wahjudi, Nugroho. (2008). Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Jakarta: EGC Wahyuningsih, Merry. (2011). Ini Dia 5 Provinsi dengan Jumlah Lansia Paling Banyak. Diakses pada 15 Maret 2015 dari http://health.detik.com/read/2011/1 2/06/170435/1784303/763/ini-dia- JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 5-provinsi-dengan-jumlah-lansiapaling-banyak Watson, Roger. (2003). Perawatan Pada Lansia. Jakarta : EGC Wijayanti, R. (2010). Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Respon Sosial pada Lansia di Desa Sokaraja Lor Kecamatan Sokaraja. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5, No.1, Maret 2010: diakses tanggal 15 April 2015 Yunita, Nalindra Prima. (2010). Pusat Pelayanan Lanjut Usia di Jember. Tugas Akhir. Surabaya: Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional Veteran 181 P E NG A RU H PE N Y U L U H A N T E N T A NG J AJ ANA N SEHAT TERHADAP SIKAP ANAK SD KELAS IV DAN V DALAM KONSUMSI JAJANAN DI SDN V AJUNG KALISAT KABUPATEN JEMBER 2015 Anwarah Andriani*, Moh. Wildan**, Said Mardijanto***, Lailil Fatkuriyah**** *, ***, **** Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember **Poltekkes Kemenkes Malang ABSTRAK Makanan jajanan sekolah saat ini perlu menjadi perhatian masyarakat, khususnya orang tua, pendidik, dan pengelola sekolah. Makanan dan jajanan sekolah sangat beresiko terhadap cemaran biologis atau kimiawi yang banyak menganggu kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian ini adalah penelitian pra-eksperimen one group pretest - post test yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyuluhan tentang jajanan sehat terhadap sikap anak SD dalam konsumsi jajanan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember. Populasi dalam penelitian ini adalah 60 responden dengan sampel sebesar 52 responden. Teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap anak SD dalam konsumsi jajanan sebelum mendapat penyuluhan yaitu negatif sejumlah 27 orang (51.9%) setelah mendapat penyuluhan positif sejumlah 40 orang (63.73%). Berdasarkan uji Wilcoxon yang dianalisis dengan menggunakan SPSS diperoleh nilai signifikansi (Asymp. Sig) antara sikap sebelum dan sesudah penyuluhan sebesar 0.008 < 0.05, artinya ho ditolak dan ha diterima, sehingga ada Pengaruh Penyuluhan tentang Jajanan Sehat terhadap Sikap Anak SD Kelas IV dan V dalam Konsumsi Jajanan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember. Simpulan dari penelitian ini adalah pemberian penyuluhan terbukti efektif merubah sikap siswa terhadap konsumsi jajanan sehat, sehingga semakin sering pemberian informasi/penyuluhan maka akan semakin baik sikap yang terbentuk. Mengingat pentingnya penyuluhan terhadap konsumsi jajanan maka upaya untuk meningkatkan pemberian informasi oleh pihak sekolah kepada siswa SD sangatlah penting agar resiko penyakit dapat dikurangi. Kata kunci : Sikap, Penyuluhan, Jajanan Sehat PENDAHULUAN Makanan jajanan sekolah saat ini perlu menjadi perhatian masyarakat, khususnya orang tua, pendidik, dan pengelola sekolah. Makanan dan jajanan sekolah sangat beresiko terhadap cemaran biologis atau kimiawi yang banyak menganggu kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan banyaknya makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya di pasaran, kantinkantin sekolah, dan penjaja makanan di sekitar sekolah merupakan agen penting yang bisa membuat siswa mengkonsumsi JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 makanan tidak sehat (Iswaranti, 2004). Ketidaktahuan tentang bahan makanan dapat menyebabkan pemilihan makanan yang salah. Survei oleh BPOM tahun 2014 ditargetkan 10 persen sekolah dari total 180.000 SD dan MI yang akan dilakukan pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yaitu 8.000 sekolah SD/MI terkait PJAS sudah dapat memenuhi syarat seperti tidak ada bahan berbahaya, tidak ada bahan tambahan pangan, bebas dari kontaminasi logam berat dan higienis (Kusmiyati, 2014). 182 Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Surabaya, selama kejadian tahun 2012 ditemukan 22 persen JPAS yang masih berbahaya. Sebanyak 78 persen sisanya diyakini BPOM sudah cukup aman untuk dikonsumsi dari target BPOM Surabaya pada 2012 hanya 70 persen PJAS aman konsumsi (Kominfojatim, 2013). Berdasarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kabupaten Jember tahun 2015, masih menemukan adanya jajanan anak di sekolah yang mengandung bahan tidak aman untuk kesehatan, tercatat hampir 90% jajanan anak sekolah mengandung bahan berbahaya seperti boraks, formalin, dan zat pewarna (BPOM Surabaya, 2015). Di Indonesia, kejadian luar biasa karena pangan yang kerap terjadi adalah keracunan makanan. Menurut data BPOM, pada tahun 2013 jumlah korban keracunan pangan Indonesia mencapai 25.268 orang. Dari 80% kasus keracunan yang terjadi pada anak sekolah, 35%-nya dialami anak sekolah dasar. Bahaya makanan jajanan sekolah dan makanan umum lainnya bisa muncul untuk jangka pendek, bisa juga pada jangka panjang. Pada jangka pendek, terjadi keracunan makanan sebab tercemar mikroorganisme, parasit, atau bahan racun kimiawi (pestisida). Muntah dan diare sehabis mengonsumsi jajanan paling sering ditemukan. Bahaya jangka panjang jajanan yang tidak menyehatkan apabila bahan tambahan dalam makanan dan minuman bersifat pemantik kanker, selain kemungkinan gangguan kesehatan lainnya (Pondokibu, 2012). Untuk mengatasi masalah makanan, masyarakat khususnya anak sekolah usia (6-12 tahun anak perlu memperoleh bekal pengetahuan tentang makanan. Memiliki pengetahuan tentang makanan tidak berarti seseorang mau mengubah kebiasaan mengkonsumsi makanan. Mereka mungkin mengerti tentang protein, karbohidrat, vitamin, mineral dan zat gizi lainnya yang diperlukan untuk kebutuhan, tetapi tidak pernah JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 mengaplikasikan pengetahuan tersebut didalam kehidupan sehari-hari (Suci, 2014). Berdasarkan studi pendahuluan yamg di lakukan pada bulan maret di SDN V Kalisat terhadap 10 anak kelas IV di dapatkan hasil sikap 6 (60%) sikap negatif dan 4 (40%) di dapatkan sikap positif tentang makanan jajanan sehat. Dan dari 10 anak ada beberapa anak mengatakan sakit perut 2 anak setelah jajan tetapi anak tersebut tidak menganggap itu sebagai sebuah masalah. Menurut Notoatmodjo (2010) perilaku kesehatan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan, kepercayaan, sikap, orang penting sebagai referensi, sumber daya dan kebudayaaan. Pengetahuan merupakan faktor dominan yang sangat penting untuk terbentuknya sikap dan perilaku seseorang. Penerimaan sikap dan perilaku didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Penelitian Purtiantini (2010) yang dilakukan di SDIT Muhammadiyah Al Kautsar Gumpang Kartasura didapatkan Hasil penelitian diketahui tingkat pengetahuan anak tentang pemilihan makanan jajanan sebagian besar mempunyai tingkat pengetahuan baik yaitu 96,6%. Sikap anak tentang pemilihan makanan jajanan sebagian besar mempunyai sikap mendukung sebanyak 60,3%. Perilaku anak dalam memilih makanan sebagian besar mempunyai perilaku baik sebanyak 43,1% dan yang mempunyai perilaku tidak baik sebanyak 56,9%. Salah satu metode perubahan sikap yang bisa dilakukan dengan memberikan penyuluhan. Penyuluhan merupakan peran penting dalam memberi pengetahuan atau menanamkan suatu konsep. Penyuluhan ini mengubah domain pengetahuan dan sikap, sehingga pada akhirnya seseorang dapat melakukan tindakan perubahan dengan benar (Notoatmodjo, 2010). 183 Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Adakah Pengaruh Penyuluhan tentang Jajanan Sehat terhadap Sikap Anak SD Kelas IV dan V dalam Konsumsi jajanan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember? TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Perilaku manusia pada hakekatnya adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Sugiyono, 2009). Menurun Lawrence Green dalam Notoatmodjo 2010, perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni: 1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor) Faktor-faktor ini mencakup: pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi. Ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk perilaku kesehatan, misalnya: pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat periksa hamil. 2. Faktor-faktor pemungkin (enambling factors) Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misal: air bersih, tempat pembuangan sampah,ketersediaan makanan bergizi termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 poliklinik posyandu, polindes, dokter atau bidan praktek swasta dan sebagainya. 3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma),tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan, termasuk juga disini undangundang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Sikap Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan “pre-disposisi” tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka (Notoatmodjo, 2010). Menurut Azwar (2010), sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi social yang dialami oleh individu. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai obyek yang dihadapi. Faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap manusia antara lain: a. Pengalaman pribadi Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman lebih mendalam dan lebih lama membekas. b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting Pada umumnya, individu cenderung untuk memilih sikap yang searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Pada masa anak - anak dan remaja, orang 184 tua biasanya menjadi figur yang paling berarti bagi anak. Interaksi antara anak dan orang tua merupakan determinan utama sikap anak. Sikap orang tua dan sikap anak cenderung untuk selalu sama. Namun, apabila dibandingkan dengan pengaruh teman sebaya maka pengaruh sikap orang tua jarang sekali menang. c. Pengaruh kebudayaan Kebudayaan dimana individu hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap. d. Media Massa Mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Media massa membawa pesanpesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama Kedua lembaga tersebut meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. f. Media Massa Dalam pemberitaan surat kabar mauoun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyektif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya. Penyuluhan Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan kesehatan yang dilakukan dengan cara menyebarluaskan pesan dan menanamkan keyakinan. Dengan demikian, masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan dapat melakukan anjuran yang berhubungan dengan kesehatan (Maulana, 2009). Menurut Notoatmodjo (2007), metode penyuluhan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tercapainya suatu hasil penyuluhan secara optimal. Metode yang dikemukakan antara lain : JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 a. Metode penyuluhan perorangan (individual) Dalam penyuluhan kesehatan metode ini digunakan untuk membina perilaku baru atau seseorang yang telah mulai tertarik pada suatu perubahan perilaku atau inovasi. Dasar digunakan pendekatan individual ini karena setiap orang mempunyai masalah atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan penerimaan atau perilaku baru tersebut. Bentuk dari pendekatan ini antara lain : 1. Bimbingan dan penyuluhan Dengan cara ini kontak antara klien dengan petugas lebih intensif. Setiap masalah yang dihadapi oleh klien dapat dikoreksi dan dibantu penyelesaiannya. Akhirnya klien akan dengan sukarela, berdasarkan kesadaran dan penuh pengertian akan menerima perilaku tersebut. 2. Wawancara Cara ini sebenarnya merupakan bagian dari bimbingan dan penyuluhan. Wawancara antara petugas kesehatan dengan klien untuk menggali informasi mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, ia tertarik atau belum menerima perubahan, untuk mempengaruhi apakah perilaku yang sudah atau akan diadopsi itu mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat, apabila belum maka perlu penyuluhan yang lebih mendalam lagi. b. Metode penyuluhan kelompok Dalam memilih metode penyuluhan kelompok harus mengingat besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk kelompok yang besar, metodenya akan berbeda dengan kelompok kecil. Efektifitas suatu metode akan tergantung pula pada besarnya sasaran penyuluhan. Metode ini mencakup : 1. Kelompok besar, yaitu apabila peserta penyuluhan lebih dari 15 orang. Metode yang baik untuk kelompok ini adalah ceramah dan seminar a) Ceramah 185 Metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah. Halhal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan metode ceramah adalah : 1) Persiapan Ceramah yang berhasil apabila penceramah itu sendiri menguasai materi apa yang akan diceramahkan, untuk itu penceramah harus mempersiapkan diri. Mempelajari materi dengan sistematika yang baik. Lebih baik lagi kalau disusun dalam diagram atau skema dan mempersiapkan alat-alat bantu pengajaran. 2) Pelaksanaan Kunci keberhasilan pelaksanaan ceramah adalah apabila penceramah dapat menguasai sasaran Untuk dapat menguasai sasaran penceramah dapat menunjukkan sikap dan penampilan yang meyakinkan. Tidak boleh bersikap raguragu dan gelisah. Suara hendaknya cukup keras dan jelas. Pandangan harus tertuju ke seluruh peserta. Berdiri di depan/dipertengahan, seyoganya tidak duduk dan menggunakan alat bantu lihat semaksimal mungkin. b) Seminar Metode ini hanya cocok untuk sasaran kelompok besar deng pendidikan menengah ke atas. Seminar adalah suatu penyajian dari seseorang ahli atau beberapa orang ahli tentang suatu topik yang dianggap penting dan dianggap hangat di masyarakat. 2. Kelompok kecil, yaitu apabila peserta penyuluhan kurang dari 15 orang. Metode yang cocok untuk kelompok ini adalah diskusi kelompok, curah pendapat, bola salju, memainkan peranan, permainan simulasi. c. Metode penyuluhan massa Dalam metode ini penyampaian informasi ditujukan kepada masyarakat yang sifatnya massa atau publik. Oleh karena sasaran bersifat umum dalam arti tidak membedakan golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status ekonomi, tingkat pendidikan dan sebagainya, maka pesan kesehatan yang akan disampaikan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh massa tersebut. Pada umumnya bentuk pendekatan masa ini tidak langsung, biasanya menggunakan media massa. Beberapa contoh dari metode ini adalah ceramah umum, pidato melalui media massa, simulasi, dialog antara pasien dan petugas kesehatan, sinetron, tulisan dimajalah atau koran, bill board yang dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster dan sebagainya. Jajanan Sehat Makanan jajanan merupakan makanan dan minuman yang dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut. Konsumsi makanan jajanan yang tidak sehat dapat mengakibatkan penurunan status gizi dan meningkatnya angka kesakitan pada anak sekolah. Jajan atau panganan merupakan suatu kebiasaan yang di dapat dari hasil belajar, yang artinya masih bisa dimodifikasi. Kegiatan jajan bagi anak merupakan pengalaman yang menyenangkan. Jajan pada anak terkadang suatu bentuk perlawanan terhadap orangtua atau sebagai "lambang pergaulan" bersama teman-teman sebayanya, atau untuk "membeli" pertemanan. Kebiasaan jajan pada anak bisa berpengaruh terhadap gizi buruk. Jajan yaitu membeli sesuatu yang tersedia di kantin, restoran, warung atau penjajan/penjual keilling berupa makanan atau minuman jadi tanpa memasaknya kembali dan langsung, merupakan santapan sewaktu-waktu diluar jam makan (Purwati, 2004). Jenis makanan jajanan dibagi menjacli 4 kelompok, yaitu: a. Makanan utama, seperti rames, nasi pecel, bakso, mie ayam, dan sebagainya. b. Snack atau penganan seperti permen, ciki-ciki, cilok ,sosis dan sebagainya. 186 c. Golongan minuman seperti cendol, es krim, es teler, es buah, es teh, es sirup dan sebagainya. d. Buah-buahan segar (Kusmiyati, 2014) Hipotesis Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau harus ditolak berdasarkan fakta atau data empiris yang telah dikumpulkan dalam penelitian (Notoatmodjo, 2010). Hipotesi pada penelitian ini adalah : Ha : Ada Pengaruh Penyuluhan tentang Jajanan Sehat terhadap Sikap Anak SD Kelas IV dan V dalam Konsumsi Jajanan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember. Ho : Tidak ada Pengaruh Penyuluhan tentang Jajanan Sehat terhadap Sikap Anak SD Kelas IV dan V dalam Konsumsi Jajanan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember. METODE PENELITIAN Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian praeksperimen one group pretest - post test. Rancangan ini tidak ada kelompok pembanding (kontrol), tetapi paling tidak sudah dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan peneliti dapat menguji perubahan–perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (dalam hal ini penyuluhan). Pada penelitian ini populasi yang akan diambil adalah seluruh siswa kelas IV dan V SDN V Ajung Kalisat sebanyak 60 orang. Besar sampel sebanyak 52 orang. Pada penelitian ini pengambilan sampling dengan menggunakan simple random sampling yaitu pengambilan sampel dengan cara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi (Notoatmodjo, 2010). Unit analisis yang digunakan adalah Uji statistik Wilcoxon HASIL PENELITIAN JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Data Umum d. Identifikasi Umur Responden Tabel 5.2: Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember 2015. Umur Jumlah Persentase 12 tahun 30 57,7% 13 tahun 20 38,5% 14 tahun 2 3,8% Jumlah 52 100% Sumber : Data Sekunder 2015 Berdasarkan tabel 5.2 umur responden sebagian besar umur 12 tahun sejumlah 30 orang (57,7%). e. Identifikasi Jenis Kelamin Responden Tabel 5.3: Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember 2015. Jenis Kelamin Jumlah Persentase Laki- Laki 22 42,3% Perempuan 30 57,7% Jumlah 52 100% Sumber : Data Sekunder 2015 Berdasarkan tabel responden sebagian besar sejumlah 30 orang (57,7%). 5.3 umur perempuan Data Khusus h. Identifikasi sikap anak SD tentang konsumsi jajanan sebelum mendapat penyuluhan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember. Tabel 5.4: Distribusi Frekuensi Sikap Anak SD tentang Konsumsi Jajanan Sebelum Mendapat Penyuluhan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember pada Tahun 2015 Sikap Sebelum Mendapat Penyuluhan Jumlah Persentase Positif 25 48.1% Negatif 27 51.9% Jumlah 52 100% Sumber : Data Sekunder 2015 Berdasarkan tabel 5.4 sebagian besar sikap anak SD tentang konsumsi 187 jajanan sebelum mendapat penyuluhan yaitu negatif sejumlah 27 orang (51.9%) dan positif sejumlah 25 orang (48.1%). i. Identifikasi sikap anak SD tentang konsumsi jajanan setelah mendapat penyuluhan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember. penyuluhan. Hasil penelitian menunjukkan jika sikap anak SD Kelas IV dan V dalam konsumsi jajanan sebelum menerima penyuluhan sebagian besar adalah negatif dan setelah menerima penyuluhan sebagian besar adalah positif. Berdasarkan uji Wilcoxon yang dianalisis dengan menggunakan SPSS diperoleh nilai signifikansi (Asymp. Sig) antara sikap sebelum dan sesudah penyuluhan sebesar 0.008 < 0.05, artinya ho ditolak dan ha diterima, sehingga ada Pengaruh Penyuluhan tentang Jajanan Sehat terhadap Sikap Anak SD Kelas IV dan V dalam Konsumsi Jajanan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember. Tabel 5.5: Distribusi Frekuensi Sikap Anak SD Tentang Konsumsi Jajanan Setelah Mendapat Penyuluhan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember pada Tahun 2015 Sikap Sesudah Mendapat Penyuluhan Jumlah Persentase Positif 35 67.3% Negatif 17 32.7% Jumlah 52 100% Sumber : Data Sekunder 2015 Berdasarkan tabel 5.5 sebagian besar sikap anak SD tentang konsumsi jajanan setelah mendapat penyuluhan positif sejumlah 40 orang (63.73%) dan negatif sejumlah 17 orang (32.7%). j. Distribusi Silang Penyuluhan tentang Jajanan Sehat terhadap Sikap Anak SD Kelas IV dan V dalam Konsumsi jajanan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember. Tabel 5.6 : Distribusi frekuensi Penyuluhan tentang Jajanan Sehat terhadap Sikap Anak SD Kelas IV dan V dalam Konsumsi jajanan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember pada Tahun 2015 Sebelum Mendapat Penyuluhan Positif Negatif Jumlah Sesudah mendapat penyuluhan Positif % Negatif % 25 10 35 48.08 19.23 67.31 0 17 17 0 32.7 32.7 ∑ % 25 27 52 48.08 51.92 100 Sumber : Data Sekunder 2015 Berdasarkan tabel 5.6 menunjukkan bahwa sikap sebelum mendapatkan penyuluhan sebagian besar negatif sejumlah 27 orang (51.9%) dan positif sejumlah 25 orang (48.1%). Sementara sikap setelah mendapatkan penyuluhan sebagian besar positif sejumlah 40 orang (63.73%) dan negatif sejumlah 17 orang (32.7%). Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa terdapat peningkatan sikap Anak SD Kelas IV dan V dalam konsumsi jajanan setelah mendapatkan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 PEMBAHASAN Sikap Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar sikap anak SD tentang konsumsi jajanan sebelum mendapat penyuluhan yaitu negatif (51.9%). Terbentuknya sikap siswa SD kelas IV dan V dalam konsumsi jajanan berada pada kategori negatif tidak berdiri sendiri, terdapat beberapa hal yang diduga berkaitan dengan sikap negatif tersebut. Menurut Azwar (2000) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap seseorang yaitu pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu. KESIMPULAN 1. Sikap anak SD tentang konsumsi jajanan sebelum mendapat penyuluhan sebagian besar negatif 48.08%. 2. Sedangkan sikap anak SD tentang konsumsi jajanan setelah mendapat penyuluhan sebagian besar positif 67.31%. 3. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan uji wilcoxon menunjukkan adanya perbedaan pemberian penyuluhan tentang Jajanan Sehat terhadap Sikap Anak SD Kelas 188 IV dan V dalam Konsumsi jajanan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember SARAN 1. Bagi Institusi Sekolah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak sekolah dalam melakukan pemantauan terhadap penjual makanan jajanan di lingkungan sekolah. 2. Bagi Responden Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada responden akan pentingnya pengetahuan dan sikap untuk memperbaiki perilaku dalam memilih jajanan sehat. 3. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan sebagai pengalaman dalam merealisasikan teori yang telah didapat dibangku kuliah, khususnya mengenai pengaruh penyuluhan kesehatan terhadap sikap anak SD dalam konsumsi jajanan di SDN V Ajung Kalisat Kabupaten Jember. 4. Bagi peneliti selanjutnya Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan acuan penelitian sejenis dengan perbaikan pada tempat dan waktu yang mendukung terhadap pelaksanaan penyuluhan dan menggunakan alat peraga yang lebih efektif, sehingga hasil lebih maksimal, serta menggunakan alat ukur kuesioner yang telah diuji coba. 5. Keterbatasn Penelitian Pada penelitian ini metode pemberian penyuluhan dengan menggunakan metode ceramah sehingga memungkinkan kurang begitu bersemangat dalam kegiatan penyuluhan. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2007). Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Azwar. (2010). Perilaku dan Cara Pengukurannya. Jakarta: Salemba Medika. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 BPOM. (2004). Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. http://www.pom.go.id: Badan Pengawas Obat dan Makanan. BPOM. (2006). Bahan Berbahaya Yang Dilarang Untuk Pangan. http://www.pom.go.id: Badan Pengawas Obat dan Makanan. Depkes. (2008). Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta: Departeman Kesehatan Repiblik Indonesia. Depkes. (2009). PHBS di Rumah Tangga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Friedman. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset, Teori, dan Praktek, Edisi kelima. Jakarta.: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hardywinoto. (2005). Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai Aspek: Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup Para Lanjut Usia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hidayat, A. A. (2014). Metodelogi Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Hurlock. (2002). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga. Iswaranti, F. d. (2004). Amankah Makanan Jajanan Anak Sekolah di Indonesia. http://www.gizi.net: diakses tanggal 20 Maret 2012. Kominfojatim. (2013). BPOM: 22 persen Jajanan Anak Sekolah Berbahaya. http://kominfo.jatimprov.go.id/wat ch/35146: diakses tanggal 25 Maret 2015. Kusmiyati. (2014). Jajanan Anak Sekolah Masih Jadi Perhatian di 2014. http://health.liputan6.com/read/795 798/jajanan-anak-sekolah-masihjadi-perhatian-di-2014: di akses tanggal 23 Maret 2015 . 189 Maulana, H. D. (2009). Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC. Notoatmodjo. (2010). Metode penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Notoatmodjo. (2010). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku . Jakarta: PT. Rineka Cipta. Nursalam. (2011). Konsep & Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Pertiwi, D. (2003). Kebiasaan Jajan dan Preferensi terhadap Makanan Jajanan Tradisional pada Anak SD . Fakultas Pertanian Institut Pertanian. Pertiwi, H. W. (2013). faktor-Faktor yang berhubungan dengan Frekuensi Kehadiran Lanjut Usia di Posyandu Lansia . Bidan Prada : Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 4 No. 1 Edisi Juni 2013. Pondokibu. (2012). Bahaya Makanan Jajanan di Sekitas Kita. http://pondokibu.com/2862/bahaya -makanan-jajanan-di-sekitar-kita/: diakses tanggal 26 Maret 2015. Purwati, M. E. (2004). Aspek Gizi dan Keamanan Pangan Makanan Jajajnan Di Bursa Kue Subuh Pasar Senenn. Jakarta : Media Gizi & Keluarga. Sawertini, K. (2007). Pangan jajanan anak Sekolah. http://www.pom.go.id.: dikases tanggal 20 Maret 2012. Sibagariang, E. E. (2010). Buku Saku Metode Penelitian. Jakarta: CV. Trans Info Media. Soetjiningsih. (2007). Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto. Suci, E. S. (2014). Gambaran Perilaku Jajan Murid Sekolah Dasar di Jakarta, Vol 1. Jakarta: Psikobuana. Sugiyono. (2009). Statistik Non Parametrik. Jakarta: CV. Alfabeta. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Supariasa. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Utomo, T. (2008). Mencegah & Mengatasi Krisis Anak. Jakarta: Grasindo. 190 MENGUKUR KUALITAS KINERJA PELAYANAN PUBLIK (PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL) DENGAN SURVEY KEPUASAN PASIEN Moh. Wildan,1 Hary Yuswadi,2 Puji Wahono,3 Zarah Puspitaningtyas 4 1 Kandidat Doktor Ilmu Administrasi FISIP Universitas Jember 2,3,4 Dosen Pasca Sarjana FISIP Universitas Jember ABSTRACT One effort to increase the quality of public services, as mandated in the Law of the Republic of Indonesia number 25 year 2000 concerning the National Development Program (PROPENAS), needs to be amonged community satisfaction index as a benchmark to assess the level of quality of service. This paper intend to describe and analyze some models and theories of public service performance measurement that related to the implementation of the National Health Insurance program (JKN) held by BPJS-of Health. Health care quality is measured from the aspect of community/patient satisfaction survey. Then linked with efforts to increase patient loyalty towards the implementation of the program JKN. The implications of this paper is expected to formulate an instrument and indicators valid, reliable and comprehensive to measure the quality of health services JKN program. Optimal patient satisfaction is expected to make loyal patients to use health services with JKN program and recommend to others to follow JKN program. Keywords: Quality Performance, Public Service, JKN Program, Patient Loyalty. PENDAHULUAN Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, khususnya kebijakan publik pemerintah tentang program pelayanan kesehatan bagi peserta JKN sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), perlu dilakukan evaluasi terhadap kualitas pelayanan kesehatan program JKN dengan melakukan survey kepuasan pasien atau masyarakat. Untuk itu perlu disusun indeks kepuasan masyarakat sebagai tolok ukur untuk menilai tingkat kualitas pelayanan. Di samping itu, data indeks kepuasan masyarakat akan dapat menjadi bahan penilaian terhadap kualitas pelayanan yang masih perlu perbaikan dan menjadi pendorong setiap unit penyelenggara pelayanan untuk JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 meningkatkan kualitas pelayanannya. Untuk mengukur indeks kepuasan pasien/masyarakat terhadap pelayanan kesehatan program JKN perlu disusun suatu instrumen yang dapat mengukur kualitas pelayanan kesehatan yang valid, reliabel dan komprehensif. Kualitas pelayanan kesehatan yang baik dapat dilihat dari tingkat kepuasan pasien yang tinggi, dan kepuasan pasien yang tinggi akan membuat pasien loyal terhadap institusi pelayanan kesehatan (Caruana, 2002). Dengan tersedianya data indeks kepuasan pasien secara periodik, dapat diperoleh manfaat sebagai berikut: 1. Diketahui kinerja penyelenggaraan pelayanan yang telah dilaksanakan oleh unit pelayanan kesehatan secara periodik; 2. Sebagai bahan penetapan kebijakan yang perlu diambil dan upaya yang 191 perlu dilakukan; 3. Diketahui indeks kepuasan pasien secara menyeluruh terhadap hasil pelaksanaan pelayanan kesehatan pada lingkup pratama dan rujukan; 4. Memacu persaingan positif, antar unit penyelenggara pelayanan kesehatan pada lingkup pemerintah pusat dan daerah dan swasta yang bekerjasama dengan BPJS dalam upaya peningkatan kinerja pelayanan. KAJIAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN Kebijakan Publik dan Kinerja Pelayanan Publik Dunn (2003:7) mengungkapkan bahwa kebijakan publik merupakan sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode kebijakan publik dengan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan. Surbakti (2010:246) menyatakan bahwa ciri khas kebijakan publik (keputusan politik pada umumnya) sebagai produk tindakan pemerintah ialah sifatnya yang mengikat, dalam arti pelaksanaannya ditegakkan dengan kewenangan memaksakan secara fisik yang dimonopoli oleh pemerintah. Terdapat empat tipe kebijakan umum/publik, yaitu: 1) Kebijakan Regulatif, terjadi apabila kebijakan mengandung paksaan dan akan diterapkan secara langsung terhadap individu. Biasanya dibuat untuk mencegah agar individu tidak melakukan suatu tindakan yang tak diperbolehkan, seperti undang-undang hukum pidana, undang-undang antimonopoli, kompetisi yang tak sehat, dan berbagai ketentuan yang menyangkut keselamatan umum; 2) Kebijakan Redistributif, ditandai dengan adanya paksaan secara langsung kepada warga negara, tetapi penerapannya melalui lingkungan. Pengenaan pajak JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 secara progresif kepada sejumlah orang yang termasuk kategori wajib pajak untuk memberikan manfaat kepada orang lain melalui berbagai program pemerintah merupakan inti kebijakan redistributive; 3) Kebijakan Distributif, ditandai dengan pengenaan paksaan secara tidak langsung (kemungkinan pengenaan fisik sangat jauh), tetapi kebijakan itu diterapkan secara langsung kepada individu. Dalam pengertian yang lebih konkret, kebijakan distributif berarti penggunanan anggaran belanja negara atau daerah untuk memberikan manfaat secara langsung kepada individu, seperti pendidikan dasar yang bebas biaya, subsidi energi bahan bakar minyak, fasilitas jalan raya, dan pelayanan kesehatan; dan 4) Kebijakan Konstituen, yang ditandai dengan kemungkinan pengenaan paksaan fisik yang sangat jauh, dan penerapan kebijakan itu secara tidak langsung melalui lingkungan. Tipe ini merupakan kategori sisa (residual category) yang mencakup tipe-tipe lain yang tidak dapat dimasukkan ke dalam ketiga tipe sebelumnya. Kebijakan ini mencakup dua lingkup bidang garapan, yaitu urusan keamanan nasional dan luar negeri, dan berbagai dinas pelayanan administrasi. Berdasarkan teori yang dikemukakan Bromley (1989), kebijakan publik memiliki tiga tingkatan yang berbeda berdasarkan hirarki kebijakan, yaitu: policy level, organizational level, dan operational level. Dalam suatu negara demokratis policy level diperankan oleh lembaga yudikatif dan legislatif, sedang organizational level diperankan oleh lembaga eksekutif. Selanjutnya operational level dilaksanakan oleh satuan pelaksana seperti kedinasan, kelembagaan atau kementerian. Pada masing-masing level, kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarkinya. Sementara pattern interaction adalah pola interaksi 192 antara pelaksana kebijakan paling bawah (street level bureaucrat) dengan kelompok sasaran (target group) kebijakan yang menunjukkan pola pelaksanaan kebijakan yang menentukan dampak (outcome) dari kebijakan tersebut. Hasil suatu kebijakan dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan terjadi sebuah perbaikkan atau peningkatan kebijakan. Tachjan (2006:19) menyimpulkan bahwa pada garis besarnya siklus kebijakan publik terdiri dari tiga kegiatan pokok, yaitu: 1) perumusan kebijakan, 2) implementasi kebijakan serta, 3) pengawasan dan penilaian (hasil) pelaksanaan kebijakan. Jadi, efektivitas suatu kebijakan publik sangat ditentukan oleh proses kebijakan yang terdiri dari formulasi, implementasi serta evaluasi. Ketiga aktivitas pokok proses kebijakan tersebut mempunyai hubungan kausalitas serta berpola ciclical atau bersiklus secara terus-menerus sampai suatu masalah publik atau tujuan tertentu tercapai. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Van Meter & Van Horn (1975) mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai: ”Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 keputusan-keputusan menjadi tindakantindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usah-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusankeputusan kebijakan”. Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel atau faktor-faktor penentunya. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik serta guna penyederhanaan pemahaman, maka akan digunakan model-model implementasi kebijakan. Edwards III (1980) berpendapat dalam model implementasi kebijakannya bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1) Bureaucraitic structure (struktur birokrasi), 2) resouces (sumber daya), 3) disposisition (sikap pelaksana) dan 4) communication (komunikasi). Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Kebijakan publik pemerintah Indonesia tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan UndangUndang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi kesehatan, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak. Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yaitu: (1) Prinsip kegotong-royongan; (2) Prinsip nirlaba; (3) Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas; (4) Prinsip portabilitas; (5) 193 Prinsip kepesertaan bersifat wajib; (6) Prinsip dana amanat; (7) Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial (Kemenkes, 2013). Peserta JKN adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Peserta JKN meliputi: 1) Peserta penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan dari pemerintan, meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu, 2) Peserta bukan PBI adalah peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas: (1) Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu: a) Pegawai Negeri Sipil; b) Anggota TNI; c) Anggota Polri; d) Pejabat Negara; e) Pegawai pemerintah non pegawai negeri; f) Pegawai swasta; dan g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang menerima upah. (2) Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu: a) Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri dan; b) Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima upah; c) Pekerja sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan. 3) Bukan pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas: a) Investor; b) Pemberi Kerja; c) Penerima Pensiun; d) Veteran; e) Perintis Kemerdekaan; dan f) Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e yang mampu membayar Iuran. 4) Penerima pensiun terdiri atas: a) PNS yang berhenti dengan hak pensiun; b) Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun; c) Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun; d) Penerima Pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c; JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 dan e) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d yang mendapat hak pension (Kemenkes, 2013). Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi: a. Istri atau suami yang sah dari peserta; b. Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari peserta, dengan kriteria: 1) tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan 2) belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal. Sedangkan peserta bukan PBI JKN dapat juga mengikutsertakan anggota keluarga yang lain. 5) WNI di luar negeri; Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar negeri diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri. Hak dan kewajiban peserta JKN adalah: 1) Setiap peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berhak mendapatkan a) identitas peserta dan b) manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan; 2) Setiap peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berkewajiban untuk: a. membayar iuran dan b. melaporkan data kepesertaannya kepada BPJS Kesehatan dengan menunjukkan identitas peserta pada saat pindah domisili dan atau pindah kerja. Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional berlaku selama yang bersangkutan membayar iuran sesuai dengan kelompok peserta, dan status kepesertaan akan hilang bila peserta tidak membayar iuran atau meninggal dunia. Jaminan Kesehatan Nasional diberlakukan secara bertahap, yaitu tahap pertama mulai 1 Januari 2014, kepesertaannya paling sedikit meliputi: PBI jaminan kesehatan; anggota TNI/PNS di lingkungan Kementerian 194 Pertahanan dan anggota keluarganya; anggota Polri/PNS di lingkungan Polri dan anggota keluarganya; peserta asuransi kesehatan PT Askes (Persero) beserta anggota keluarganya, serta peserta jaminan pemeliharaan kesehatan Jamsostek dan anggota keluarganya. Selanjutnya tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai peserta BPJS Kesehatan paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019 (Kemenkes, 2013). Iuran Jaminan Kesehatan Nasional adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan). Mekanisme pembayaran iuran yaitu : 1) Bagi peserta PBI, iuran dibayar oleh pemerintah, bagi peserta pekerja penerima upah, iurannya dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja, bagi peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja iuran dibayar oleh peserta yang bersangkutan; 2) Besarnya iuran jaminan kesehatan nasional ditetapkan melalui peraturan presiden dan di tinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal. Jenis pelayanan JKN ada 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh peserta JKN, yaitu berupa pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta akomodasi dan ambulans (manfaat non medis). Sedangkan prosedur pelayanan: peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus memperoleh pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama. Bila peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, maka hal itu harus dilakukan melalui rujukan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 keadaan kegawat daruratan medis proses kredensialing dan rekredensialing Kualitas Kinerja Pelayanan Publik dan Pengukurannya Martin & Kettner (1996) mengemukakan bahwa, ada dua pendekatan dasar yang biasa dipakai untuk mengukur kualitas layanan publik. Pertama, pendekatan pengukuran dari kualitas kinerja provider (the outputs with quality dimensions approach), Kedua, pendekatan kepuasan klien/masyarakat (the client satisfaction approach). Kedua pendekatan tersebut dibedakan oleh perbedaan fokus dan sumber data. Pendekatan pertama fokus pada program dan kinerja penyedia layanan yang datanya diperoleh dari laporan kegiatan instansi pemerintah, pengamatan dan wawancara dengan tokoh kunci penyedia layanan. Sedangkan pendekatan kedua melihat kualitas pelayanan pada hasil (result), pengaruh (effects), dampak (impact) dan manfaat (benefit) yang diperoleh pengguna layanan. Sumber data untuk pendekatan ini biasanya dilakukan dengan survei kepuasan masyarakat pemanfaat layanan publik (client satisfactionn survey). Jika pemerintah Indonesia ingin meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka pemerintah harus menempuh beberapa langkah. Pertama, memonitor persepsi masyarakat tentang kualitas pelayanan yang telah mereka terima. Kedua, mengidentifikasi penyebab kegagalan pelayanan. Ketiga, berusaha mengambil langkah perbaikan. Pengukuran Kualitas Kinerja Pelayanan Kesehatan (Program JKN) dengan Survey Kepuasan Pasien Adikoesoemo (1997) menjelaskan bahwa kualitas atau mutu dibidang institusi kesehatan adalah mutu pelayanan terhadap pasien. Kualitas pelayanan kesehatan yang baik antara lain pasien mendapat layanan yang cepat, diagnosa dan terapi yang tepat, 195 keramahtamahan yang cukup, pelayanan apotik yang cepat dan biaya yang terjangkau. Kualitas pelayanan kesehatan merupakan produk akhir dari interaksi antara berbagai komponen atau aspek pada fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan. Menurut Jacobalis (1989) dalam hal mutu layanan tidak lepas dari tiga hal, yaitu: indikator, kriteria dan standar. Indikator yang dapat digunakan dalam jasa pelayanan kesehatan yaitu: a) Indikator klinis, merupakan petunjuk dari penampilan (performance) profesi (antara lain: angka infeksi nosokomial, kematian karena operasi, reaksi obat dan sebagainya). b) Indikator efisiensi dan efektivitas: untuk dapat melihat apakah sumber daya telah digunakan secara efisien, misalnya: waktu tunggu pasien, lama hari rawat, lama tempat tidur kosong, penggunaan dan sebagainya. c) Indikator keamanan dan keselamatan pasien: lebih banyak terjadi karena kurang telitinya asuhan keperawatan pasien, misalnya: pasien diberi obat salah, pasien jatuh dari tempat tidur dan sebagainya. d) Indikator kepuasan pasien: misalnya: jumlah keluhan pasien, hasil survei kepuasan, berita di koran. Variabel input dalam proses mewujudkan mutu pelayanan kesehatan adalah: a) Faktor manusia, yaitu pemberi jasa manusia langsung baik administrator maupun profesional. b) Faktor sarana dan prasarana, yaitu bangunan dan peralatan rumah sakit. c) Faktor manajemen, yaitu prosedur pelayanan yang dipergunakan di rumah sakit. Sementara Parasuraman, Zeithmal dan Berry (1998) mengidentifikasi lima kelompok dimensi yang digunakan untuk mengevaluasi kepuasan pelanggan yang berhubungan dengan kualitas pelayanan. dalam bidang jasa yaitu : a. Bukti langsung/dapat diraba/sarana fisik (tangible), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 b. Keandalan pelayanan (reliability), yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat, akuran dan terpercaya c. Ketanggapan pelayanan (respon siveness), yaitu kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa pelayanan dengan tanggap dan cepat. d. Jaminan/keyakinan (assurance), yang mencakup pengetahuan dan kesopanan dari petugas serta kemampuan untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan. e. Empati (emphaty), meliputi perbuatan atau sikap untuk memberkan perhatian secara pribadi kepada pelanggan, komunikatif serta memahami kebutuhan pelanggan. Kelima dimensi untuk mengukur kualitas pelayanan jasa tersebut dinamakan Metode Servqual (Service Quality). Metode servqual dalam pengukuran kepuasan dilakukan terhadap dua aspek yaitu pengukuran untuk menilai harapan yang diinginkan. Pelayanan dibidang kesehatan yang didalamnya termasuk pelayanan kepada pasien program JKN termasuk pelayanan jasa yang sifatnya multidimensi, sehingga penggunaan metode Servqual (Service Quality) untuk mengukur kualitas pelayanan sangatlah relevan. Hal ini dikarenakan bahwa suatu pelayanan kesehatan yang bermutu pasti mejadi harapan semua pasien, dan apabila harapannya tersebut terpenuhi akan menyebabkan kepuasan pasien. Namun kelima dimensi menurut Parasuraman dkk (1998) belumlah cukup sebagai instrumen untuk mengukur kepuasan pasien. Dibidang kesehatan ada aspek lain yang sangat mempengaruhi kepuasan pasien yaitu aspek komunikasi, yang dikenal dengan komunikasi terapeutik. Komunikasi Terapeutik Dimensi Pengukuran Pelayanan Kesehatan sebagai Kualitas 196 Komunikasi adalah faktor penunjang dalam menerapkan service excellence, oleh karena itu sangat diperlukan proses, model dan cara penerapannya dalam pekerjaan bidang pelayanan jasa. Berdasarkan sarana dan operasionalnya komunikasi dapat diklasifikasikan sebagai: Pertama, komunikasi verbal, yaitu komunikasi yang dilaksanakan dalam dua cara, yaitu Personal Communication (komunikasi langsung/tatap muka) dan Non Personal Communication (komunikasi yang dilaksanakan melalui media yang menyiarkan tanpa ada kontak atau umpan balik secara personal/komunikasi melalui media massa). Kedua, komunikasi non verbal, yaitu bahasa isyarat, sehingga tanpa mengucapkan kata-kata, lawan bicara dapat mengetahui maksud dan arti dari bahasa isyarat ini. Formula dalam berkomunikasi non verbal yang positif yaitu The Soften Formula, yang meliput: a) smile, selalu tersenyum, dengan senyuman khas, b) open posture, selalu bersikap terbuka, c) forward lean, badan sedikit condong kedepan, d) territory/space, memiliki wawasan luas dan menguasai pekerjaan yang menjadi bidangnya, e) eye contact, cara menatap lawan berkomunikasi, f) nodding head, anggukan kepala, Ketiga, komunikasi melalui telepon, yaitu pembicaraan yang mengandalkan kepekaan telinga pendengar terhadap suara pembicara. Dua bagian penting dalam pembicaraan melalui telepon, yaitu: a) verbal message, yaitu penerima telepon akan menerima suara dari penyampai telepon terhadap isi berita yang disampaikan. b) non verbal message, dimana tutur bahasa yang melekat pada isi berita. Mutu pelayanan kesehatan salah satunya dipengaruhi oleh baik buruknya tenaga kesehatan dalam melakukan komunikasi terapeutik (Harmini, 2008). Bahkan disebutkan oleh Lois (2005) bahwa komunikasi terapeutik merupakan salah satu aspek paling penting dalam pelayanan keperawatan. Kompetensi JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 tenaga kesehatan biasanya dinilai dari kemampuan mereka dalam berkomunikasi. Kepuasan pasien akan meningkat jika perawat dan tenaga keehatan mampu melakukan komunikasi yang baik dan peningkatan kepuasan pasien memiliki nilai positif bagi proses perawatan dirinya. Faktor kunci dalam penilaian pelayanan kesehatan di mata pasien adalah komunikasi yang dilakukan oleh perawat (Potter & Perry, 2005). Potter & Perry (2005), menyatakan bahwa komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan secara sadar oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan) untuk kesembuhan pasien. Hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan yang terapeutik merupakan pengalaman belajar bersama sekaligus perbaikan emosi pasien. Komunikasi terapeutik harus berjalan secara efektif antara pasien dengan tenaga kesehatan sehingga saling menghargai satu sama lainnya (Stuart & Sundeen, 1979). Komunikasi terapeutik merupakan respon spesifik yang mendorong ekspresi perasaan dan ide, serta menyampaikan penerimaan dan penghargaan. Beberapa teknik komunikasi terapeutik menurut (Sheldon, 2009) antara lain: 1) Mendengarkan dengan penuh perhatian Dalam hal ini tenaga kesehatan berusaha mengerti pasien dengan cara mendengarkan apa yang disampaikan pasien. Satu-satunya orang yang dapat menceritakan kepada tenaga kesehatan tentang perasaan, pikiran dan persepsi pasien adalah pasien sendiri. Sikap yang dibutuhkan untuk menjadi pendengar yang baik adalah pandangan saat berbicara, tidak menyilangkan kaki dan tangan, hindari tindakan yang tidak perlu, anggukkan kepala jika pasien membicarakan hal-hal yang penting atau memerlukan umpan balik, condongkan tubuh ke arah lawan bicara. 197 Mendengar ada dua macam: a) Mendengar pasif, yaitu kegiatan mendengar dengan kegiatan non verbal untuk pasien, misalnya dengan kontak mata, menganggukkan kepala dan juga keikut sertaan secara verbal. b) Mendengar aktif, yaitu kegiatan mendengar yang menyediakan pengetahuan bahwa kita tahu perasaan orang lain dan mengerti mengapa dia merasakan hal tersebut. 2) Menunjukkan penerimaan Menerima bukan berarti menyetujui, menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau ketidak setujuan. Tenaga kesehatan harus waspada terhadap ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang menyatakan tidak setuju, seperti mengerutkan kening atau menggeleng yang menyatakan tidak percaya. Sikap tenaga kesehatan yang menyatakan penerimaan yaitu mendengarkan tanpa memutus pembicaraan, memberikan umpan balik verbal yang menyatakan pengertian, memastikan bahwa isyarat non verbal sesuai dengan komunikasi verbal, menghindari perdebatan, ekspresi keraguan atau usaha untuk mengubah pikiran pasien. 3) Menanyakan pertanyaan yang berkaitan Tujuan tenaga kesehatan bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai apa yang disampaikan pasien. Oleh karena itu, pertanyaan sebaiknya dikaitkan dengan topik yang dibicarakan dan gunakan katakata yang sesuai dengan konteks sosial budaya pasien. 4) Pertanyaan terbuka (open ended question) Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban ”ya” dan ”mungkin”, tetapi pertanyaan memerlukan jawaban yang luas, sehingga pasien dapat mengemukakan masalahnya, perasaannya dengan kata-kata sendiri, atau dapat memberikan informasi yang JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 diperlukan. Contoh: ”coba ibu ceritakan apa yang biasanya dilakukan bila ibu sakit perut?” 5) Mengulang ucapan pasien dengan menggunakan kata-kata sendiri Melalui pengulangan kembali kata-kata pasien, tenaga kesehatan memberikan umpan balik bahwa ia mengerti pesan pasien dan berharap komunikasi dilanjutkan. Contoh, pasien mengatakan: ”saya tidak dapat tidur, sepanjang malam saya terjaga”. Tenaga kesehatan, menggunakan kata sendiri: ”saudara mengalami kesulitan untuk tidur ...”. 6) Mengklarifikasi Klarifikasi terjadi saat tenaga kesehatan ingin menjelaskan dalam katakata, ide atau pikiran (secara mutlak maupun tegas) yang tidak jelas dikatakan oleh pasien. Tujuan dari teknik ini adalah untuk menyamakan pengertian. 7) Memfokuskan Metode ini bertujuan untuk membatasi bahan pembicaraan, sehingga percakapan menjadi lebih spesifik dan dimengerti. Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan metode ini adalah usahakan untuk tidak memutus pembicaraan ketika pasien menyampaikan masalah penting. 8) Menyatakan hasil observasi Tenaga kesehatan harus memberikan umpan balik kepada pasien dengan menyatakan hasil pengamatannya sehingga pasien dapat mengetahui apakah pesannya diterima dengan benar atau tidak. Dalam hal ini tenaga kesehatan menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat non verbal pasien. Teknik ini seringkali membuat pasien berkomunikasi lebih jelas tanpa tenaga kesehatan harus bertanya, memfokuskan dan mengklarifikasi pesan. Observasi dilakukan sedemikian rupa, sehingga pasien tidak menjadi malu atau marah. 9) Diam (memelihara ketenangan) Diam akan memberikan kesempatan kepada tenaga kesehatan dan pasien untuk mengorganisir pikirannya. 198 Penggunaan metode ini memerlukan 10) Menyimpulkan. ketrampilan dan ketepatan waktu, jika Menyimpulkan adalah meringkas tidak akan menimbulkan perasaan tidak ide utama, pokok fikiran utama yang enak. Diam memungkinkan pasien untuk telah didiskusikan. berkomunikasi dengan dirinya sendiri, Dimensi dan indikator untuk mengorganisir pikiran dan memproses mengukur kualitas pelayanan model informasi. Diam sangat berguna terutama (servqual) oleh Parasuraman, Zeithmal & pada saat pasien harus mengambil Berry (1998) dapat dikembangkan keputusan. Diam tidak dapat dilakukan dengan aspek komunikasi terapiutik dalam waktu yang lama, karena akan (Sheldon, 2009) yang dapat dipergunakan mengakibatkan pasien menjadi khawatir. untuk mengukur kualitas pelayanan Diam di sini juga menunjukkan kesediaan kesehatan program JKN sebagaimana seseorang untuk menanti orang lain agar pada tabel berikut : punya kesempatan berpikir meskipun begitu, diam yang tidak tepat dapat menyebabkan orang lain merasa cemas. Tabel 1. Dimensi Mengukur Kualitas Pelayanan Kesehatan dengan Surve Kepuasan Pasien Aspek / No Dimensi 1 Tangibles 2 Reliability ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· 3 Responsiveness ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· 4 Assurance ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· 5 Empathy ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Indikator Kelengkapan alat medis dalam jumlah cukup Peralatan dan perlengkapan untuk pelayanan pasien yang modern Kelengkapan alat dan sarana ruang tunggu Tata letak ruang kantor / ruang perawatan Jalur antrian pasien termonitor dan praktis. Keakuratan informasi yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit yang diderita pasien Keakuratan catatan / dokumentasi medis yang dibuat petugas Rumah Sakit Proses dan prosedur penyelesaian tindakan medis yang sistematis Perlakuan petugas Rumah Sakit terhadap pasien tidak diskriminatif. Kecepatan dan kecekatan tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan) dalam menyelesaikan tindakan medis Kemampuan tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan) memahami kebutuhan pasien Kecepatan dan ketanggapan Rumah Sakit dalam menghadapi masalah yang timbul pada pasien Sistem penyerahan resep dan atau obat cepat dan sistematis Waktu pelayanan Rumah Sakit yang fleksibel dan siap 24 jam. Keamanan dan kenyamanan pasien selama di RS Keamanan dan kerahasiaan data pribadi pasien yang tersimpan dalam dokumen RS Rumah Sakit menyediakan pelayanan yang menjamin kerahasiaan antar pasien. Citra (image) Rumah sakit di masyarakat Ketelitian tenaga kesehatan saat melayani pasien. Tenaga kesehatan (dokter, paramedis dan tenaga penunjang) mempunyai sikap dan perilaku yang baik Tegur sapa dan tutur kata tenaga kesehatan (dokter, paramedis dan tenaga penunjang) menyenangkan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 199 ï‚· ï‚· 6 Comunikasi ï‚· Terapeutik ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Tenaga kesehatan mudah dihubungi bila pasien membutuhkan pertolongan atau tindakan Tenaga kesehatan (dokter, paramedis dan tenaga penunjang) memahami kebutuhan khusus pasien. Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) mendengarkan keluhan pasien dengan penuh perhatian Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) menunjukkan sikap menerima untuk berkomunikasi Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) bertanya dengan pertanyaan terbuka (open ended question) Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) mengulang ucapan pasien dengan menggunakan kata-kata sendiri untuk klarifikasi. Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) memfokuskan komunikasi dan mengklarifikasi setiap jawaban pasien Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) menyampaikan hasil observasi kondisi pasien Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) memberi kesempatan “diam” (memelihara ketenangan) saat berkomunikasi Tenaga Kesehatan (dokter, perawat, bidan) menyimpulkan hasil komunikasi Sumber: Parasuraman, et al. (1998) & Sheldon, (2009) dikembangkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepuasan terhadap Jasa Pelayanan Kesehatan Krowinski & Steibcr (1996) mengungkapkan faktor yang paling mempengaruhi kepuasan pasien. Faktorfaktor tersebut adalah : a. Pelayanan Medis Walaupun frekuensi pertemuan antara dokter dan pasien lebih sedikit jika dibandingkan pertemuan perawat dengan pasien, tetapi pelayanan medis sama pentingnya dengan pelayanan keperawatan dalam memenuhi kepusan pasien. Pasien pada saat datang untuk berobat mengharapkan mereka akan sembuh dari penyakitnya, pelayanan medis yang berkualitas akan membuat pasien lebih merasa puas. Untuk itu para tenaga medis di tempat pelayanan kesehatan diharapkan mempunyai keterampilan dan pengetahuan sesuai dengan standar terapi yang telah ditetapkan juga etika kedokteran (Wilson, 1995 dalam Wijono, 2000). b. Pelayanan keperawatan Pelayanan keperawatan mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan kepuasan pasien, karena JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 hampir sebagian besar waktu pasien selama di tempat pelayanan kesehatan akan dilayani oleh perawat terutama pasien rawat inap. Oleh karena itu semua proses dan rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang diberikan kepada pasien pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan yang menggunakan pendekatan proses keperawatan harus berpedoman pada standar prosedur operasional keperawatan, juga dilandasi oleh etika dan etiket keperawatan dalam lingkup wewenang dan tanggung jawab perawat tersebut. c. Situasi lingkungan Lingkungan tempat pasien berada akan atau romah sakit sangat mempengaruhi kepuasan pasien. Dalam hal ini lingkungan dapat dibagi menjadi lingkungan di dalam ruangan dan lingkungan di luar ruangan. Lingkungan yang baik akan menimbulkan rasa aman bagi pasien yang akan menghasilkan kepuasan bagi pasien tersebut (Krowinski &, Steibcr, 1996). d. Pelayanan Makanan Pelayanan makanan walaupun terlihat sederhana, sebenarnya merupakan salah satu faktor yang sangat penting 200 dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Makanan merupakan salah satu faktor penunjang dalam menjaga dan memulihkan kesehatan pasien, dan lebih dari itu cita rasa yang diberikan harus bisa membangkitkan selera makan dan nilai gizi yang terkandung dalam makanan tersebut untuk itu para ahli ditempat pelayanan kesehatan harus mempunyai keterampilan, pengetahuan dan tanggung jawab profesional (Krowinski &, Steibcr, 1996). e. Pelayanan Administrasi Pada saat pasien akan masuk dan meninggalkan tempat pelayanan kesehatan, pasien akan dihadapkan dengan prosedur administrasi. Personal yang menangani bagian administrasi harus terampil dan profesional dimulai dari registrasi pasien saat akan masuk, petugas administrasi harus memberikan semua penjelasan tentang tarif pelayanan, cepat dan efisien dalam memproses registrasi, begitu juga saat akan keluar, pasien akan mendapat penjelasan tentang tagihan yang diterimanya. Proses yang cepat dan efisien pada saat akan keluar, akurasi dari tagihan yang diberikan dan mampu menjawab semua pertanyaan yang berhubungan dengan administrasi. (Krowinski &, Steibcr, 1996). f. Ketersediaan Sarana Ketersediaan sarana adalah kecukupan dan kelengkapan sarana yang ada di tempat seseorang berada/tinggal, dimana alat tersebut dapat digunakan sewkatu-waktu. Namun sarana yang tersedia pada suatu unit pelayanan kesehatan sebaiknya sangat berhubungan sekali dengan akan kebutuhan pasien dalam keseharian selama proses perawatan dan pengobatannya. Sebagaimana yang dikemukakan Azwar (1996), untuk dapat menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu, maka dari pihak penyelenggara yang harus dipenuhi adalah standar persyaratan minimal yang dalam hal ini adalah sebagai berikut: JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 standar masukan, standar lingkungan dan standar proses. PENUTUP Sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, perlu dilakukan evaluasi terhadap kualitas pelayanan kesehatan program JKN dengan melakukan survey kepuasan pasien atau masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan salah satunya dipengaruhi oleh baik buruknya tenaga kesehatan dalam melakukan komunikasi terapeutik. Kepuasan pasien akan meningkat jika tenaga kesehatan mampu melakukan komunikasi yang baik dan peningkatan kepuasan pasien memiliki nilai positif bagi proses perawatan dirinya. Faktor kunci dalam penilaian pelayanan kesehatan di mata pasien adalah komunikasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Dimensi tangible, reliability, responsiveness, assurance dan empaty dan komunikasi terapeutik sangat berperan sebagai indikator dalam pengukuran kualitas pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan kesehatan memberikan suatu dorongan kepada pasien untuk menjalinikatan hubungan yang kuat dengan institusi pelayanan kesehatan. Dengan demikian institusi pelayanan kesehatan dapat meningkatkan kepuasan pasien dimana institusi pelayanan kesehatan memaksimumkan pengalaman yang menyenangkan dan meminimumkan bahkan meniadakan pengalaman pasien yang kurang menyenangkan. Pada gilirannya kualitas pelayanan kesehatan akan menciptakan kepuasan pasien dan dapat menciptakan kesetiaan atau loyalitas pasien kepada institusi pelayanan yang memberikan kualitas memuaskan. REFERENSI Adikoesoemo, S. 1997.Manajemen Rumah Sakit. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan : 46-48. Azwar, A. 1996. Menjaga Mutu 201 Pelayanan Kesehatan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Bromley, D.W. 1989. Economic Interest and Institutions; The Conceptual Fundations of Public Policy. Oxford. Blackwill. Caruana, A. 2002. “Service Loyalty: The Effects of Service Quality and the Mediating Role of Customer Satisfaction”, European Journal of Marketing, page 811-828. Dunn, W.N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press. Edwards III, G.C. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC; Congressional Quarterly Press. Grindle, M.S. 1980. Politics and Implementation in The Third World. New Jersey: Princeton University Press. Harmini. 2008. Hubungan Penerapan Komunikasi Terapeutik dengan Kepuasan Mutu Pelayanan Perawatan di Ruang Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Surakarta. Jurnal Profesi (Online). http://www.isjd .pdii.lipi.go.id (diakses tanggal 2 April 2014) Jacobalis, 1989. Menjaga Mutu Pelayanan Rumah Sakit, Citra Windu Satria, Jakarta. Kemenkes (2013). Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional, Jakarta: Kemenkes & JKN. Krowinski & Steibcr, 1996. Measuring and Managing Patient- Satisfaction. USA American Hospital Associations. Lois, W. 2005. Foundations of Nursing. Second Ed. New York: Thomson Delmar Martin & Ketter 1996. Measuring the Performance of Human Service Program. New Dehhi: Sage Publication. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Muninjaya, G.A.A. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC: 220-234. Parasuraman, A., V.A. Zeithaml & L.L. Berry. 1998. “SERVQUAL: Review, Critique Research Agenda”, Journal of Marketing, page 111-124. Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi 4. Volume 1. Jakarta: EGC Sheldon, L.K. 2009. Communication for Nursing; Talking With Patients. Second Edition. St Louis Ma; Sannders/Elsever Stuart, G.W. & Sundeen S.J. 1979. Principles and Practice of Psychiatric Nursing. CV Mosby Company. USA. Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. Tachjan, H.N. 2006. Kebijakan Publik Untuk Pemimpin Berwawasan Internasional. Yogyakarta: Balairung & co. Terry, G. 1964. Principle of Management. Illionis; Richard D. Irwin Inc. Homeword. Undang-Undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional. Van Meter, Donald & C. Van Horn. 1975. The Policy Implementation Process A Conceptual Framework. Administration and Society. 64. Varcoralis, E.M. & Halter M.J. 1990. Essential of Psychiatric Mental Health Nursing; a Communication Approach to Evidance Based Care. St Louis Ma; Sannders/Elsever Wijono, D, 2000. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Airlangga University Press, Surabaya. 202 IMPLEMENTASI STRATEGI PEMBELAJARAN SHEMAP DALAM MENINGKATKAN POLA PIKIR KRITIS DAN KREATIF PADA MAHASISWA S1 KEPERAWATAN DI STIKES dr. SOEBANDI TAHUN 2015 Andi Eka Pranata *, Deny Prasetyanto ** *, ** Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember ABSTRAK Metode SHEMAP merupakan metode pembelajaran yang dikembangkan dari konsep HOTS (Higher Order-Thinking Skills) yang menitikberatkan pada pola berpikir analitik maka peserta didik dituntut untuk melakukan analisis dan mengeksplorasi gagasan menurut peta pikir yang dibuatnya secara independen. Desain penelitian ini menggunakan quasi eksperiment dengan pendekatan non equivalent control group design. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 100 mahasiswa semester IV Prodi S1 Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember. Penghitungan sampel dalam penelitian ini menggunakan Rumus Slovin. Dari perhitungan sampel di atas didapatkan sampel dalam penelitian ini adalah 80 mahasiswa semester IV Prodi S1 Keperawatan STIKES dr. Soebandi yang terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu 40 mahasiswa untuk kelompok intervensi dan 40 mahasiswa untuk kelompok kontrol. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah cluster sampling, waktu pengambilan data penelitian mulai bulan Juli – Agustus 2015. Perubahan Peningkatan pola pikir kreatif pada kelompok kontrol sebesar 77%, dan peningkatan pola pikir kreatif pada kelompok intervensi setelah dilakukan implementasi metode SHEMAP sebesar 95%. Dari hasil uji analisis uji t test independent dengan nilai p = 0,000 (derajat α = 0,05), sehingga p < α (0,000 < 0,05). Hal ini mengartikan bahwa Ho ditolak atau ada pengaruh metode pembelajaran SHEMAP terhadap peningkatan pola pikir kreatif. Kata kunci : SHEMAP, Berfikir Kritis, Berfikir Kreatif LATAR BELAKANG Tahun 2015 merupakan tahun yang sangat berarti bagi dunia kesehatan khususnya keperawatan. Hal ini tidak terlepas dengan globalisasi profesi perawat yang menjadi salah satu faktor implementatif dari bursa perdagangan bebas internasional. Pembenahan dan penataan bidang keperawatan terus dilakukan guna meningkatkan elektabilitas profesi perawat di Indonesia. Tuntuan kompetensi yang komprehensif dari seorang perawat pun secara terus menerus mengalami perkembangan. Tuntutan tersebut tidak lepas dari pentingnya kompetensi sebagai indikator kecakapan seorang perawat. Sesuai dengan scope perawat ditegaskan bahwa lingkup kompetensi perawat terletak pada kemampuan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 memberikan asuhan keperawatan secara profesional dan holistik. Saat ini perkembangan bidang keperawatan sangat luar biasa. Pergeseran paradigma layanan keperawatan mengakibatkan peningkatan kapasitas perawat, sehingga memberikan peluang yang besar untuk mengembangkan independensi profesi. Namun, aspek yang penting kita pahami bahwa kepuasan user atau customer sebagai pengguna jasa keperawatan menjadi indikator capaian kompetensi seorang perawat. Sifat pelayanan keperawatan yang berorientasi pada quality assurance itulah yang menuntut perawat untuk kompetensi secara kognitif, psikomotor dan afektif. Keutuhan tiga kompetensi itulah yang akan menjamin pelayanan keperawatan secara profesional dan holistik, sehingga kepuasan pasien sebagai customer akan meningkat sebagai 203 jaminan kesejahteraan kesehatan (Asmadi, 2008; Harrington, 2005). Berdasarkan analisis yang dilakukan pada mahasiswa semester II Prodi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi dengan menggunakan metode oral analysis diketahui bahwa 8 dari 10 mahasiswa mengalami kesulitan saat mendeskripsikan secara mendalam fisiologi tubuh manusia. Kesulitan yang dialami mahasiswa tidak lepas dari pola belajar yang bersifat sekedar membaca dan menghafal, sehingga tidak ada analisis mendalam untuk memecahkan sebuah masalah. Fenomena belajar seperti ini jika ditindaklanjuti dengan benar maka akan menurunkan prestasi belajar dan tentunya menurunkan kompetensi lulusan keperawatan (Studi Pendahuluan, 2015). Berdasarkan penelitian Supardi (2012) bahwa ada pengaruh positif berpikir kreatif terhadap prestasi hasil belajar. Rosana (2014) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi cenderung memiliki prestasi belajar yang baik pula dan sebaliknya. Pola pikir kritis akan memberikan daya analisa yang kuat ketika siswa mempelajari sebuah konsep, sedangkan pola pikir kreatif akan menumbuhkan pola inovasi dan kreasi baru ketika siswa mendalami sebuah konsep. Kedua pola pikir ini akan membentuk peta pikir yang dinamis dengan optimalisasi kemampuan dan potensi diri. Saat ini banyak sekali pengembangan metode-metode pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, salah satunya adalah metode SHEMAP (spekulasi, hipotesis, ekspansi, modifikasi, analogi, prediksi). Metode ini merupakan pengembangan dari metode HOTS (higherorder-thinking skills) yang mengedepankan pola pikir analitik. Siswa akan dituntut untuk belajar dengan pola pikir analisa mendalam, sehingga temuantemuan ilmiah akan bersifat realistik dan logis. Hal ini sangat dibutuhkan dalam dunia keperawatan ketika akan melakukan pengambilan keputusan saat memberikan pelayanan keperawatan (decision making in JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 nursing). Melalui metode ini nantinya diharapkan kemampuan berpikir analisis lulusan keperawatan akan maksimal, sehingga mampu memberikan pelayanan keperawatan dengan profesional (Hassoubah, 2004). Merujuk pada berbagai gambaran faktual yang terjadi selama proses pembelajaran dan perkembangan metode pembelajaran yang sangat pesat, maka peneliti ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang implementasi strategi pembelajaran SHEMAP dalam meningkatkan pola pikir kritis dan kreatif pada mahasiswa S1 Keperawatan di STIKES dr. Soebandi Tahun 2015. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi pola pikir kritis dan kreatif mahasiswa S1 Keperawatan STIKES dr. Soebandi sebelum diimplementasikan metode SHEMAP; b. Mengidentifikasi pola pikir kritis dan kreatif mahasiswa S1 Keperawatan STIKES dr. Soebandi setelah diimplementasikan metode SHEMAP; c. Menganalisis perbedaan pola pikir kritis dan kreatif mahasiswa S1 Keperawatan STIKES dr. Soebandi antara sebelum dan sesudah diimplementasikan metode SHEMAP. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah quasi eksperiment dengan pendekatan non equivalent control group design. Menurut Sugiyono (2010), quasi eksperiment adalah suatu desain penelitian yang memiliki kelompok kontrol, namun tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen. Desain quasi eksperiment ini dilakukan untuk mengatasi kesulitan dalam menentukan kelompok kontrol dalam sebuah penelitian. Sedangkan non equivalent control group design adalah sebuah pendekatan penelitian yang dilakukan dengan metode pembentukan kelompok intervensi dan kelompok kontrol, namun tidak dilakukan randomisasi. 204 populasi merupakan keseluruhan subjek penelitian. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 100 mahasiswa semester IV Prodi S1 Keperawatan STIKES dr. Soebandi Jember. Penghitungan sampel dalam penelitian ini menggunakan Rumus Slovin. Dari perhitungan sampel di atas didapatkan sampel dalam penelitian ini adalah 80 mahasiswa semester IV Prodi S1 Keperawatan STIKES dr. Soebandi yang terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu 40 mahasiswa untuk kelompok intervensi dan 40 mahasiswa untuk kelompok kontrol. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah cluster sampling. HASIL PENELITIAN Dari hasil tabulasi data pola pikir kritis kelompok kontrol antara penilaian awal (pre test) dengan penilaian akhir (post test) didapatkan perubahan pola pikir kritis sebagai berikut. c. Mean output pola pikir kritis kelompok kontrol antara penilaian awal (pre test) dan penilaian akhir (post test) adalah ,700. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pola pikir antara pre test dan post test; d. Derajat korelasi (correlation) adalah 0,768 dengan nilai Sig = 0,000 (dengan nilai α = 0,05), sehingga nilai Sig < α (0,000 < 0,05); e. Nilai t hitung = -1,754 dengan t tabel = 2,02, sehingga t hitung < t tabel (1,754 < 2,02); f. Nilai p = 0,087 dengan derajat α = 0,05, sehingga nilai p > α (0,087 > 0,05). Berdasarkan hasil uji analisis t test paired di atas, dapat disimpulkan bahwa Ho diterima (tidak ada perbedaan antara pola pikir kritis kelompok kontrol antara penilaian awal (pre test) dengan penilaian akhir (post test)). Hal ini ditunjukkan dengan nilai t hitung < t tabel (-1,754 < 2,02) dan nilai p > α (0,087 > 0,05). Dari hasil tabulasi pola pikir kritis kelompok intervensi antara sebelum dilakukan implementasi metode SHEMAP dengan sesudah dilakukan implementasi metode SHEMAP didapatkan perubahan pola pikir kritis sebagai berikut: Gambar 5.13 Perubahan Pola Pikir Kritis Kelompok Kontrol pada Penilaian Akhir di Prodi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Tahun 2015 Berdasarkan gambar 5.13 diketahui bahwa sebagian besar responden kelompok kontrol memiliki peningkatan pola pikir kritis pada penilaian akhir, yaitu sebesar 65% (26 orang). Dari hasil uji analisis t-test of related dengan derajat α = 0,05 didapatkan data sebagai berikut: a. Rata-rata pola pikir kritis kelompok kontrol pada awal penilaian (pre test) adalah 39,02; b. Rata-rata pola pikir kritis kelompok kontrol pada akhir penilaian (post test) adalah 39,72; JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Gambar 5.14 Perubahan Pola Pikir Kritis Kelompok Intervensi Setelah Dilakukan Implementasi Metode SHEMAP di Prodi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Tahun 2015 Berdasarkan gambar 5.14 di atas, diketahui bahwa sebagian besar responden kelompok intervensi setelah dilakukan implementasi metode SHEMAP memiliki peningkatan pola pikir kritis, yaitu 205 sebanyak 90% (36 orang). Dari hasil uji t test related of dengan derajat α = 0,05 didapatkan data sebagai berikut: a. Rata-rata pola pikir kritis kelompok intervensi sebelum dilakukan implementasi metode SHEMAP adalah 39,80; b. Rata-rata pola pikir kritis kelompok intervensi setelah dilakukan implementasi metode SHEMAP adalah 48,00; c. Mean output pola pikir kritis kelompok intervensi antara sebelum dan sesudah dilaksanakan implementasi metode SHEMAP adalah -8,200. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pola pikir kritis antara sebelum dengan sesudah dilakukan implementasi metode SHEMAP; d. Derajat korelasi (correlation) adalah 0,203 dengan nilai Sig = 0,208 (nilai α = 0,05), sehingga nilai Sig > α (0,208 > 0,05); e. Nilai t hitung adalah -9,946 dengan nilai t tabel adalah 2,02, sehingga nilai t hitung < t tabel (-9,946 < 2,02); f. Nilai p = 0,000 dengan derajat α = 0,05, sehingga p < α (0,000 < 0,05). Berdasarkan hasil uji t test paired di atas, dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak (ada perbedaan pola pikir kritis kelompok intervensi antara sebelum dengan sesudah dilakukan implementasi metode SHEMAP). Hal ini ditunjukkan dari nilai p < α (0,000 < 0,05) dan nilai t hitung < t tabel (-9,946 < 2,02). Namun, derajat korelasinya rendah yaitu 0,203 dan nilai Sig > α (0,208 > 0,05). Berdasarkan hasil tabulasi pola kritis antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi pada penilaian akhir (post test), didapatkan perbedaan skor pola pikir kritis sebagai berikut: Tabel 5.11 Perbedaan Pola Pikir Kritis antara Kelompok Kontrol dengan Kelompok Intervensi pada Penilaian Akhir (Post Test) di Prodi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Tahun 2015 No. Skor Pola Pikir No. Respond en Kritis 1 Kontr ol 42 Interven si 51 2 39 50 3 37 44 4 34 5 45 6 Respond en Kritis 21 Kontr ol 45 Interven si 54 22 43 53 23 41 54 44 24 37 52 46 25 45 49 35 45 26 34 51 7 41 44 27 34 50 8 42 45 28 44 50 9 39 48 29 41 39 10 34 52 30 38 49 11 33 51 31 41 50 12 44 33 32 46 52 13 40 37 33 41 50 14 41 47 34 41 46 15 42 51 35 44 47 16 43 53 36 37 51 17 33 43 37 33 49 18 42 34 38 39 54 19 41 50 39 39 49 20 39 52 40 40 51 Berdasarkan dari hasil uji analisis t test independent didapatkan data sebagai berikut: a. Nilai p adalah 0,000 dengan derajat α = 0,05, sehingga p < α (0,000 < 0,05); b. Nilai t hitung -8,228 dengan nilai t tabel 1,990, sehingga t hitung < t tabel (-8,228 < 1,990); c. Nilai mean difference yaitu sebesar 8,275, maka diartikan bahwa rata-rata pola pikir kritis pada kelompok kontrol lebih rendah daripada rata-rata pola pikir kritis pada kelompok intervensi Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaaan pola pikir kritis yang signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi pada penilaian akhir (post test) yang ditunjukkan oleh p < α (0,000 < 0,05) dan t hitung < t tabel (8,228 < 1,990). Dari hasil tabulasi pola pikir kreatif kelompok kontrol antara penilaian awal (pre test) dengan penilaian akhir (post test), didapatkan perubahan pola pikir kreatif sebagai berikut: Skor Pola Pikir JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 206 Gambar 5.15 Perubahan Pola Pikir Kreatif Kelompok Kontrol pada Penilaian Akhir (Post Test) di Prodi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Tahun 2015 Berdasarkan gambar 5.15 di atas, diketahui bahwa sebagian besar responden kelompok kontrol pada akhir penilaian (post test) memiliki peningkatan pola pikir kreatif, yaitu sebesar 77% (31 orang). Dari hasil uji analisis t test related of dengan derajat α = 0,05 didapatkan data sebagai berikut: a. Rata-rata pola pikir kreatif kelompok kontrol pada penilaian awal (pre test) adalah 24,98; b. Rata-rata pola pikir kreatif kelompok kontrol pada penilaian akhir (post test) adalah 26,15; c. Nilai mean output pola pikir kreatif kelompok kontrol antara penilaian awal (pre test) dengan penilaian akhir (post test) adalah -1,175. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara pola pikir kreatif kelompok kontrol antara penilaian awal (pre test) dengan penilaian akhir (post test); d. Derajat korelasi (correlation) adalah 0,923 dengan nilai Sig = 0,000 (derajat α = 0,05), sehingga nilai Sig < α (0,000 < 0,05); e. Nilai t hitung adalah -4,556 dengan nilai t tabel 2,02, sehingga nilai t hitung < t tabel (-4,556 < 2,02); f. Nilai p = 0,000 dengan derajat α = 0,05, sehingga p < α (0,000 < 0,05). Berdasarkan hasil uji analisis t test paired di atas dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak (ada perbedaan pola pikir kreatif kelompok kontrol antara penilaian awal JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 (pre test) dengan penilaian akhir (post test). Hal ini ditunjukkan dengan nilai t hitung < t tabel dengan gradasi negatif (-4,556 < 2,02) dan nilai p < α (0,000 < 0,05), serta memiliki derajat korelasi yang signifikan yaitu 0,923 dan nilai Sig < α (0,000 < 0,05). Dari hasil tabulasi data pola pikir kreatif kelompok intervensi antara sebelum dengan sesudah implementasi metode SHEMAP, didapatkan perubahan pola pikir kreatif sebagai berikut: Gambar 5.16 Perubahan Pola Pikir Kreatif Kelompok Intervensi Sesudah Dilakukan Implementasi Metode SHEMAP di Prodi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Tahun 2015 Berdasarkan gambar 5.16 di atas, diketahui bahwa sebagian responden kelompok intervensi memiliki peningkatan pola pikir kreatif setelah dilakukan implementasi metode SHEMAP, yaitu sebesar 95% (38 orang). Dari hasil uji analisis t test related of dengan derajat α = 0,05 didapatkan data sebagai berikut: a. Rata-rata pola pikir kreatif kelompok intervensi sebelum dilakukan implementasi metode SHEMAP adalah 24,55; b. Rata-rata pola pikir kreatif kelompok intervensi sesudah dilakukan implementasi metode SHEMAP adalah 32,60; c. Nilai mean output pola pikir kreatif kelompok kontrol antara sebelum dengan sesudah implementasi metode SHEMAP adalah -8,050. Hal ini menunjukkan ada perbedaan pola pikir kreatif kelompok intervensi antara sebelum dengan sesudah dilakukan implementasi metode SHEMAP; 207 d. Derajat korelasi (correlation) adalah 0,460 dengan nilai Sig = 0,003 (nilai α = 0,05), sehingga nilai Sig < α (0,003 < 0,05); e. Nilai t hitung = -15,299 dengan nilai t tabel = 2,02, sehingga nilai t hitung < t tabel (-15,299 < 2,02) dengan derajat negatif; f. Nilai p value = 0,000 dengan derajat α = 0,05, sehingga p < α (0,000 < 0,05). Berdasarkan dari hasil uji analisis t test paired di atas dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak (ada perbedaan pola pikir kreatif kelompok intervensi antara sebelum dengan sesudah implementasi metode SHEMAP). Hal ini ditunjukkan dengan nilai t hitung < t tabel (-15,299 < 2,02) dan nilai p < α (0,000 < 0,05). Dari hasil tabulasi data pada perbedaan pola pikir kreatif antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi pada penilaian akhir (post test), didapatkan skor perbedaan pola pikir kreatif sebagai berikut: Berdasarkan hasil uji t test independen didapatkan data sebagai berikut: a. Nilai p = 0,000 dengan derajat α = 0,05, sehingga nilai p < α (0,000 < 0,05); b. Nilai t hitung = -7,563 dengan nilai t tabel = 1,990, sehingga nilai t hitung < nilai t tabel (-7,563 < 1,990); c. Nilai mean difference adalah -6,450. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ratarata pola pikir kreatif kelompok kontrol lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata pola pikir kreatif kelompok intervensi. Dari hasil uji analisis t test independen di atas, dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak yaitu ada perbedaan pola pikir kreatif yang signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi pada penilaian akhir (post test). Hal ini ini ditunjukkan dengan nilai p < α (0,000 < 0,05). Tabel 5.14 Perbedaan Pola Pikir Kreatif antara Kelompok Kontrol dengan Kelompok Intervensi pada Penilaian Akhir (Post Test) di Prodi Ilmu Keperawatan STIKES dr. Soebandi Tahun 2015 PEMBAHASAN Dari perbandingan skor pola pikir kritis antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi didapatkan persamaan karakteristik, yaitu sama-sama berada dalam jenjang pola pikir kritis yang baik. Sedangkan rentang rata-rata skor pola pikir kritis antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi tidak berbeda jauh, hanya berbeda 0,77. Berdasarkan kajian fakta dan teori di atas bisa disimpulkan bahwa berpikir kritis memiliki peranan yang sangat penting dalam proses belajar. Proses belajar yang merupakan aktivitas berpikir secara terpadu baik kognitif, psikomotorik dan afektif akan terselenggara dengan baik jika dilakukan melalui proses berpikir analisis, yang mendalam dan sistematis. Pola berpikir seperti ini akan membentuk sebuah peta pikir (maps of thinking), sehingga akan memudahkan dalam proses pemahaman sebuah kajian ilmiah. Melalui berpikir kritis, individu akan dibiasakan untuk berpikir secara rasional, logika dan relevan dengan apa yang terjadi. Hal ini membuat No. Respond en 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Skor Pola Pikir Kreatif Kontr Interven ol si 23 39 31 32 18 34 26 36 34 27 34 33 30 35 32 22 21 33 33 28 30 23 28 32 26 35 22 30 28 33 25 32 26 30 29 34 32 28 26 31 No. Respond en 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 Skor Pola Pikir Kreatif Kontr Interven ol si 22 36 25 34 25 31 25 34 28 36 20 37 26 33 20 34 26 32 24 35 24 29 32 35 27 34 25 31 24 31 21 34 28 35 22 34 27 37 21 35 JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 208 sebuah pola berpikir yang ilmiah bukan fiktif. Landasan berpikir ini sangat penting dalam proses belajar karena belajar merupakan sebuah aktifitas ilmiah, sehingga harus dilakukan dengan metode yang ilmiah untuk menghasilkan sebuah output yang dijamin keilmiahannya. Oleh karena itu, berpikir kritis merupakan pola berpikir analitik yang melatih seseorang untuk bisa mengambil keputusan/ kesimpulan secara cepat dan tepat dalam suasana yang ilmiah. Dari fakta maupun kajian teori dan temuan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan berpikir kreatif sangat dibutuhkan dalam proses belajar. Kemampuan berpikir kreatif akan membuat sebuah kemudahan bagi individu dalam memahami dan menghasilkan berbagai ide/ gagasan yang inovatif. Fleksibilitas dalam berpikir akan membuat paparan seorang individu terhadap sebuah bahan kajian akan lebih mudah dimengerti oleh orang lain, sehingga komunikasi yang disampaikan cenderung lebih efektif. Kondisi tersebut sangat cocok bagi profesi keperawatan, dimana seorang perawat dituntut untuk cepat dan tepat dalam melakukan pengambilan keputusan klinis terhadap pasien. Oleh karena itu, keterampilan berpikir kreatif harus lebih diasah lagi dalam proses pembelajaran sebagai cara untuk membentuk keterampilan berpikir yang persisten bagi seorang perawat nantinya. Dari hasil perbandingan antara pola pikir kritis kelompok kontrol dengan kelompok intervensi pada penilaian akhir dimana pada kelompok kontrol tidak dilakukan implementasi metode SHEMAP dan pada kelompok intervensi dilakukan implementasi metode SHEMAP, maka terdapat perbedaan skor rata-rata pola pikir kritis yang sangat signifikan antara kedua kelompok penelitian tersebut, yaitu sebesar 8,28. Hal ini juga ditunjukkan pada perbedaan jenjang pola pikir kritis kelompok kontrol yang berada dalam jenjang baik, sedangkan kelompok JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 intervensi berada dalam jenjang sangat baik. Dari uraian fakta maupu teori di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan berpikir kreatif merupakan salah satu output dari berpikir kritis. Inovasi dalam berpikir akan membuat pola pemahaman terhadap sebuah kajian akan lebih mudah dan sederhana, sehingga akan lebih mudah diterima dengan orang lain. Kendala yang utama dalam mengembangkan keterampilan berpikir kreatif adalah rendahnya rasa percaya diri dan motivasi, sehingga individu cenderung menjadi pesimis dan tidak mau mengeksplorasi kemampuan dirinya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan inovasi dalam berpikir perlu dilakukan sebuah pendekatan yang berbasis pada fleksibilitas berpikir, salah satunya adalah metode SHEMAP yang merupakan metode HOTS (Higher Ordered Thinking Skills). Berbeda dengan kelompok kontrol, pada kelompok intervensi terlihat perbedaan yang sangat signifikan. Berdasarkan gambar 5.14 diketahui bahwa pada akhir penilaian (sesudah dilakukan implementasi metode SHEMAP), responden kelompok intervensi yang mengalami peningkatan jenjang pola pikir kritis adalah sebanyak 90% (36 orang), dan turun sebanyak 10% (4 orang). Terdapat perbedaan skor pola pikir kritis yang signifikan antara sebelum dengan sesudah implementasi metode SHEMAP, yaitu sebesar 8,200. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden kelompok intervensi mengalami peningkatan jenjang pola pikir kritis yang signifikan setelah dilakukan implementasi metode SHEMAP. Berdasarkan hasil uji analisis t test paired dengan derajat α = 0,05 didapatkan nilai p = 0,000, sehingga nilai p < α (0,000 < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola pikir kiritis kelompok intervensi antara sebelum dengan sesudah implementasi metode SHEMAP. SIMPULAN 209 Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Rata-rata pola pikir kritis responden sebelum dilakukan implementasi metode SHEMAP adalah baik dengan sebaran nilai rata-rata 39,03 untuk kelompok kontrol dan rata-rata 39,80 untuk kelompok intervensi; 2. Rata-rata pola pikir kreatif responden sebelum dilakukan implementasi metode SHEMAP adalah cukup dengan sebaran nilai rata-rata 24,97 untuk kelompok kontrol dan rata-rata 24,55 untuk kelompok intervensi; 3. Rata-rata pola pikir kritis responden setelah dilakukan implementasi metode SHEMAP (kelompok intervensi) adalah sangat baik dengan nilai ratarata 48,00 dan selisih rata-rata nilai dengan kelompok kontrol (tidak mendapat perlakuan metode SHEMAP) sebesar 8,28 dengan nilai rata-rata kelompok intervensi lebih besar dibandingkan nilai rata-rata kelompok kontrol; 4. Rata-rata pola pikir kreatif responden setelah dilakukan implementasi metode SHEMAP (kelompok intervensi) adalah baik (80%) dan sangat baik (15%) dengan nilai rata-rata 32,60 dan selisih rata-rata nilai dengan kelompok kontrol (tidak mendapat perlakuan metode SHEMAP) sebesar 6,45 dengan nilai rata-rata kelompok intervensi lebih besar dibandingkan nilai rata-rata kelompok kontrol; 5. Metode pembelajaran SHEMAP mampu meningkatkan pola pikir kritis yang ditunjukkan dari hasil uji t test independent dengan nilai p = 0,000 (derajat α = 0,05), sehingga p < α (0,000 < 0,05). Hal ini mengartikan bahwa Ho ditolak atau ada pengaruh metode pembelajaran SHEMAP terhadap peningkatan pola pikir kritis; 6. Metode pembelajaran SHEMAP mampu meningkatkan pola pikir kreatif yang ditunjukkan dari hasil uji t test independent dengan nilai p = 0,000 (derajat α = 0,05), sehingga p < α JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 (0,000 < 0,05). Hal ini mengartikan bahwa Ho ditolak atau ada pengaruh metode pembelajaran SHEMAP terhadap peningkatan pola pikir kreatif. DAFTAR PUSTAKA Aggarwal JC. (2009). Essentials of Educational Psychology Second Edition. New Delhi: Vikas Publishing House Pvt Ltd. Ahuna KH et all. (2014). A New Era of Critical Thinking in Professional Programs. Teaching & Learning Journal Volume 7 Issue 3. Maryville University. Alghafri AS, Ismail HN. (2014). The Effects of Integrating Creative and Critical Thinking on Schools Students Thinking. International Journal of Science and Humanity Volume 4 Number 6. Penang: Universiti Sains Malaysia. Arikunto S. (2006). Prosedur Penelitian Edisi Revisi V. Jakarta: PT Rineka Cipta. Binh NG. (2013). Creativity and Innovation in Education. Munchen: Herbetz Utz GmbH. Boone LE, Kurtz DL. (2006). Contemporary Business Edisi 11. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Brookfield SD. (2012).Teaching for Critical Thinking. San Fransisco: John Wiley & Sons. Brookhart SM. (2010). How to Assess Higher-Order Thinking Skills in Your Classroom. Alexandria: ASCD. Budgen R. (2009). Critical Thinking for Students: Learn The Skills of Critical Assessment and Effective Argument. Oxford: How To Books. Coon D. (2014). Psychology: Modules for Active Learning. Australia: Wadsorth. Coon D, Mitterer JO. (2013). Introduction to Psychology: Gateways to Mind and Behaviour. Belmont: Wadsmorth Cengage Learning. 210 Cottrell S. (2011). Critical Thinking Skills, Developing Effective Analysis and Argument. New York: Palgrave Macmillan. DeLaune SC, Ladner PK. (2011). Fundamentals of Nursing, Standards & Practice Fourth Edition. New York: Delmar. Douglas J, Ransom B. (2013). Understanding Building Failures 4th Edition. Oxon: Taylor and Francis. Elder L, Paul R. (2013). 30 Days to Better Thinking and Better Living Through Critical Thinking: A Guide for Improving Every Aspect of Your Life. New Jersey: Pearson Education Inc. Fuad N, Ahmad G. (2009). Integrated Human Resources Development. Jakarta: PT Grasindo. Gambrill E. (2012). Critical Thinking in Clinical Practice Third Edition. New Jersey: John Wiley & Sons. Hacieminoglu E. (2014). Proceding: Use of Pre-Service Science Teacher Creativity in Elementary Science Classrooms. Padova: Libreriauniversitaria. Han Q. (2014). The Effects of Working Memory on User’s Performance in Creative Drawing. Department of Informatics and Media: Uppsala University. Harrrington JM, Gill FS. (2005). Buku Saku Kesehatan Kerja Edisi 3. Jakarta: EGC. Harris B. (2014). Creating A Classroom Culture That Supports The Common Core. Oxon: Routledge. Hassoubah ZI. (2004). Developing Creative and Critical Thinking Skill (Cara Berpikir Kreatif dan Kritis). Bandung: Nuansa. Isbell RT, Raines SC. (2013). Creativity and The Arts with Young Children. Australia: Wadsworth Cengage Learning. Jansen MP, Stauffacher MZ. (2006). Advanced Practice Nursing: Cor JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Concept for Proffesional Role Development. New York: Springer Pub. Johnson EB. (2007). Contextual Teaching & Learning, Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: Penerbit MLC. Krishnaswamy KN et all. (2006). Management Research Methodology: Integratic of Principles , Methods ans Technique. New Delhi: Pearson Education. Leddy and Peppers. (2014). Conceptual Bases of Professional Nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Linton. (2012). Introduction to Medical Surgical Nursing 5th Edition. Missouri: Elsevier Saunders. McCall J. (2013). The Principal’s Edge. Oxon: Taylor & Francis. McGregor D. (2007). Developing Thinking; Developing Learning: A Guide to Thinking Skills in Education. New York: Open University Press. MacGregor MG. (2013). Building Everyday Leadership. Minneapolis: Free Spirit Publishing Inc. Mason M. (2008). Critical Thinking and Learning. Oxford: Blackwell Publishing. Masters K. (2014). Role Development in Professional Nursing Practice. Burlington: Jones & Bartlett Learning. Marek T et all. (2014). Human Factors of A Global Society. Boca Raton: Taylor & Francis Group. Mustaji. (2011). Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran. Surabaya: Program Studi TP FIP Universitas Negeri Surabaya Nelson R. (2012). Self-Improvement Guide: How to Adopt Creative Thinking. Hillsborough: Lulu Press. Nopryadi W, Mahyuddiun, Kadir A. (2012). Pengaruh Kepuasan 211 Pasien Terhadap Minat Menggunakan Jasa Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Ruteng Manggarai NTT. Makassar: STIKES Nani Hasanuddin Makassar. O’Lynn CE. (2013). A Man’s Guide to A Nursing Career. New York: Springer Publishing Company. Ogle D, Klemp RM, McBride B. (2007). Building Literacy in Social Studies: Strategies for Improving Comprehension and Critical Thinking. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development. Prasad SS, Rao DB. (2009). Creative Thinking of School Students. New Delhi: Discovery Pub House. Purwaningsih A. (2005). Skripsi: Pembelajaran Kimia Berpendekatan SETS untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa Kelas X SMA Muhammadiyah I Semarang Tahun Pelajaran 2004/ 2005. Semarang: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang. Ramlawati, Ahmar DS, Masri M. (2014). Proceeding of The 1st Academic Symposium on Integrating Knowledge. Ibnu Sina Institutes for Fundamental Science Studies: Universiti Teknologi Malaysia. Rosana LN. (2014). Riset: Pengaruh Metode Pembelajaran dan Kemampuan Berpikir Kritis terhadap Hasil Belajar Sejarah Siswa. Jurnal Pendidikan Sejarah Volume 3 No. 1. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Rudinow J, Barry VE.(2008). Invitation to Critical Thinking. Belmont: Thompson. Setiawan I. (2012). Agribisnis Kreatif. Depok: Penebar Swadaya. Sharma RN, Sharma RK. (2006). Advanced Educational Psychology. New JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 Delhi: Atlantic Publishers & Distributors. Sulistyani. (2010). Prosiding: Pendekatan Induktif dalam Pembelajaran Kimia Beracuan Konstruktivisme untuk Membentuk Pemikiran Kritis, Kreatif dan Berkarakter. Yogyakarta: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Supardi. (2012). Riset: Peran Berpikir Kreatif dalam Proses Pembelajaran Matematika. Jurnal Formatif 2 (3). Jakarta: Universitas Indraprasta PGRI. Suqri MN, Aufi AS. (2015). Information Seeking Behaviour and Technology Adoption: Theories and Trends. Hershey: IGI Global. Taleff MJ. (2006). Critical Thinking for Addiction Professionals. New York: Springer Pub. Co. Templar R. (2013). Building Better Relationships-Proven Strategies to Make The Most of Your Personal Connections (Collection). New Jersey: Pearson Education Inc. Tomporowski PD et all. (2015). Enhancing Children’s Cognition with Physical Activity Games. Champaign: Human Kinetics. Wang V. (2014). Handbook of Research on Education and Technology in a Changing Society. United State of America: IGI Global. Wisdom S, Leavitt L. (2015). Handbook of Research on Advancing Critical Thinking in Higher Education. Hershey: IGI Global. Yildirim B et all. (2011). Critical Thinking in Nursing Process and Education. International Journal of Humanities and Social Science Volume 1 Nomor 13. Turkey: Adnan Menderes University Aydin. Zulfikar, Budiantara IN. (2014). Manajemen Riset dengan Pendekatan Komputasi Statistika. Yogyakarta: Penerbit Deepublish. 212 PANDUAN UNTUK MENULIS NASKAH Jurnal hanya menerima naskah asli yang belum diterbitkan di dalam maupun di luar negeri. Naskah dapat berupa hasil penelitian, konsep-konsep pemikiran inovatif hasil tinjauan pustaka yang bermanfaat untuk menunjang kemajuan ilmu, pendidikan dan praktik ilmu kesehatran secara profesional. Naskah ditulis dalam bahasa indonesia atau bahasa inggris dalam bentuk narasi dengan gaya bahasa yang efekfif dan akademis. Naskah hasil penelitian hendaknya disusun menurut sistematika sebagai berikut : 1. Judul, menggambarkan isi pokok tulisan secara ringkas dan jelas, ditulis dalam bahasa indonesia dan bahasa inggris. Penulis diharapkan mencantumkan judul ringkas dengan susunan 40 karakter/ketukan beserta nama penulis utama yang akan dituliskan sebagai judul pelari (running title). 2. Nama penulis, tanpa gelar disertai catatan kaki tentang instansi tempat penulis bekerja. Jumlah penulis yang tertera dalam artikel minimal 2 orang, maksimal 4 orang. 3. Alamat, berupa instansi tempat penulis bekerja dilengkapi dengan alamat pos lengkap dan alamat email (untuk penulis korespondensi) 4. Abstrak, ditulis dalam bahasa inggris, minimal 100 kata dan merupakan intisari seluruh tulisan, meliputi : masalah, tujuan, metode, hasil dan simpulan (IMRAD: Introduction, Method, Result, Analysis, Discussion). Abstrak ditulis dengan kalimat penuh. Dibawah abstrak disertakan 3-5 kata-kata kunci (key words). 5. Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah serta tujuan penelitian dan harapan untuk waktu yang akan datang. Panjang tidak akan lebih dari 2 halaman ketik. 6. Bahan dan metode, berisi penjelasan tentang bahan-bahan dan alat yang digunakan, waktu, tempat, tehnik dan rancangan percobaan. Metode harus dijelaskan selengkap mungkin agar peneliti lain dapat melakukan uji coba ulang. Acuan (kepustakaan) diberikan pada metode yang kurang jelas. 7. Hasil, dikemukakan dengan jelas dalam bentuk narasi dan data yang dimasukkan berkaitan dengan tujuan penelitian, bila perlu disertai dengan ilustrasi (lukisan, gambar, grafik, diagram), tabel atau foto yang mendukung data, sederhana dan tidak terlalu besar. Hasil yang telah dijelaskan dengan tabel atau ilustrasi tidak perlu dijelaskan panjang lebar dalam teks. 8. Pembahasan, minimal 800 kata yang menerangkan arti hasil penelitian yang meliputi : fakta, teori, dan opini. 9. Simpulan, berupa kesimpulan hasil penelitian dalam bentuk narasi yang mengacu pada tujuan penelitian. 10. Kepustakaan, referensi yang ditulis dalam teks harus diikuti nama penulis dan tahun penerbitan. Referensi yang digunakan 80% diantaranya diantaranya adalah artikelartikel ilmiah yang berasal dari jurnal. Kepustakaan disusun menurut Harvard System sebagai berikut : a. Jurnal : Nursalam, Haryanto, & I Ketut Dira, 2006, “The Effect Of Kegel Management Of Urine Elimination Problems For Elderly”. Folia Medika Indonesiana, Vol. 42 No. 2 Hal. : 102-106 JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 213 11. 12. 13. 14. b. Buku : Smelzer & Suzane C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner And Suddart. Edisi 8. EGC; Jakarta c. Tesis/desertasi : Yuwanto. Mahmud Ady, 2009. Pengaruh Masasse Plexus Sacralis Terhadap Penurunan Tingkat Nyeri Pasien Posr Partum Normal Di Ruang Nifas RSD dr. Soebandi Jember. Skripsi tidak diterbitkan. Jember: Universitas Jember d. Website : snowdon, CT, 1997. Significance Of Animal Behaviour Research, http://www.csun.edu/~vcpsy00h/valueofa.htm., Diakses tanggal 15 desemder 2009, Jam 18.30 WIB Persamaan matematis, dikemukakan dengan jelas. Angka desimal ditandai dengan koma untuk bahasa indonesia dan titik untuk bahasa inggris. Tabel, diberi nomor dan diacu berurutan dalam teks, judul harap dijelaskan pada catatan kaki. Garis-garis vertikal maupun horisontal dalam tabel dibuat seminimal mungkin untuk memudahkan penglihatan (tanpa garis bantu). Ilustrasi, dapat berupoa lukisan, gambar, grafik, atau diagram diberi nomor dan diacu berurutan pada teks. Keterangan diberikan dengan singkat dan jelas dibawah ilustrasi (tidak didalam ilustrasinya). Pada ilustrasi atau foto dibuat tanpa menggunakan border. Foto hitam putih/berwarna, harus kontras, tajam, jelas dan sebaiknya diambil dalam format JPEG, atau format digitl lain yang bisa diedit. Naskah yang dikirim ke redaksi hendaknya diketik dalam CD, disertai cetakan sebanyak 2 eksemplar pada kertas HVS dengan program microsoft office word, ukuran A4 (210x279 mm) dengan jarak 1 spasi, font 12 pts, jenis huruf Times New Roman, panjang tulisan berkisar antara 15-20 halaman (1 kolom) atau 5-8 halaman (2 kolom), batas kertas 3 cm dari tepi kiri, 2,5 cm dari tepi bawah, kanan dan atas. Pengiriman file juga dapat dilakukan sebagai attachment e-mail ke alamat : [email protected]. Naskah akan diedit oleh dewan redaksi tanpa mengubah isinya unttuk disesuaikan dengan format penulisan yang telah ditetapkan oleh Jurnal dr. Soebandi. Naskah yang telah diterima beserta semua ilustrasi yang menyertainya menjadi milik sah penerbit. Semua data, pendapat atau pertanyaan yang terdapat pada naskah merupakan tanggung jawab dari penulis. Penerbit, dewan redaksi dan seluruh staf Jurnal dr. Soebandi tidak bertanggung jawab atau tidak bersedia menerima kesulitan maupun masalah apapun sehubungan dengan plagiatisme, konsekuensi dari ketidakakuratan, kesalahan data, pendapat maupun pertanyaan tersebut. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 214 Contoh outline artikel (2 kolom) sebagai berikut JUDUL Nama Pengarang/Peneliti Alamat Pengarang/Peneliti ABSTRACT Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx PENDAHULUAN Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx PEMBAHASAN Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx BAHAN DAN METODE Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx KESIMPULAN Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx HASIL Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxx (lihat tabel 1.1) Tabel 1.1 xxxxxxxxxxxxxxxxx No. Pengetahuan Sikap Tindakan Resp (%) (%) (%) 1 25 30 45 2 40 25 70 dst Total Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxx (lihat gambar 1.1) Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx Gambar 1.1 xxxxxxx JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 3 No. 2 215