Bab 3 Metode Penelitian Kesulitan yang dihadapi agar paradigma usaha mikro, kecil, menengah (sedang) (UMKM) dan besar berubah, antara lain aspek sejarah usaha, sifat dan karakter pengusaha yang tidak mau menanggung resiko, tidak mau berpikir jauh ke depan dan cenderung berpikir untuk jangka pendek (Indaryani, 2004). Pengusaha bersikap lebih mempercayai apa yang diyakini benar menurut pengalaman masa lalu yang telah memberi keberhasilan. Di samping itu nilai dan norma masyarakat yang agamis (religius), memberikan warna terhadap kebiasaan dalam berusaha yang unik, yaitu kombinasi masyarakat bisnis yang religius dengan prinsip “kerja adalah ibadah”. Kombinasi sikap pebisnis yang agresif dan sikap “pasrah” pada “takdir” Tuhan. Sehingga tidak semua usaha/industri dengan mudah menyesuaikan (coping) dengan kondisi yang terus berubah. Rokok sebagai usaha berbasis pada masyarakat yang memberikan manfaat secara sosial, ekonomi dan budaya. Di satu sisi memiliki sifat sama seperti industri lain misalnya: bordir, jenang, mebel, kerajinan, dan sebagainya dilihat dari skalanya, tetapi industri rokok dituntut untuk selalu berinovasi dalam rangka mempertahankan pasar. Keberlanjutannya tidak hanya dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap persaingan tetapi juga kepatuhan terhadap berbagai peraturan yang bertujuan mengendalikan produk, distribusi dan konsumennya, Peneliti semakin tertarik untuk mengkaji keberadaan rokok. Tetapi karena keterbatasan yang dimiliki, maka fokus kajian hanya pada semakin maraknya rokok “illegal” karena kompleksitas masalah yang dihadapi industri rokok. 45 Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Untuk menjawab persoalan penelitian, dibutuhkan metodologi yang tepat agar dapat mengungkap fenomena yang terjadi. Bogdan dan Taylor (1975: 21-22), mengemukakan penelitian yang dapat digunakan untuk menghasilkan suatu deskripsi tentang ucapan, perilaku, maupun tulisan yang dapat diamati oleh individu atau kelompok dalam suatu setting tertentu dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik sehingga menggunakan pendekatan kualitatif. Miles dan Huberman (1992:1-2), dalam pendekatan kualitatif yang menggunakan data kualitatif dapat mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab-akibat dari lingkup orang setempat bahkan dapat membimbing untuk menemukan kerangka teori baru yang tidak terduga sebelumnya. Untuk mengambarkan realitas sosial yang terjadi maka digunakan studi kasus (Adelman et al. 1979). Adelman, (1977 dalam Hunga, 2005), mendefinisikan studi kasus, sebagai istilah umum untuk mengungkapkan serumpun metode penelitian yang sama-sama memumpun perhatiannya pada penelaahan seputar suatu kejadian. Studi kasus merupakan penelitian tentang status subyek yang berkaitan dengan fase spesifik dari keseluruhan personalitas yang pada akhirnya mampu memberikan gambaran secara detail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, ataupun kasus individu. Dalam penelitian ini disajikan 3 kasus, yaitu kasus pada industri rokok golongan 1, golongan 2, dan golongan 3. Masing-masing kasus merupakan satu kesatuan yang menyangkut rantai produksi dan pemasaran. Paradigma yang digunakan adalah paradigma kritis. Karena peneliti juga memberikan pendapat yang berpihak. Untuk melihat kompleksitas pada industri rokok menggunakan teori New Institusional Economic (NIE) yang bersifat multidisipliner, bukan hanya aspek ekonomi tetapi aspek sosial, dan budaya serta politik kelembagaan. Dalam konsep NIE, aspek sosial, budaya dan politik dapat berpengaruh terhadap keputusan ekonomi. Sehingga NIE adalah konsep yang sesuai untuk melihat apa yang terjadi pada industri rokok. 46 Metode Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Kudus, sebagai salah satu daerah podusen rokok di Indonesia. Memahami suatu fenomena tidak hanya dilakukan melalui teknik wawancara terbuka dengan menyampaikan maksud tujuan sejak awal tetapi juga dilakukan dengan wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi yang menjawab pertanyaan “mengapa”. Wawancara terbuka menggunakan pedoman yang disusun peneliti berdasarkan kebutuhan data untuk deskripsi yang dibuat. Mengumpulkan dokumentasi dari berbagai pihak, dinas terkait dengan perijinan usaha; dokumentasi tentang rokok yang disebut “illegal”, Pengamatan dan observasi dilakukan untuk memperoleh informasi yang terkait dengan proses. Kudus sebagai wilayah penelitian didasarkan atas pertimbangan teknis dan metodologis. Unit pengamatan adalah industri rokok sebagai sistem dalam aktivitas ekonomi. Keduanya tidak dapat dipisahkan tetapi akan saling mengkait dan terintegrasi secara individu pada skala pabrik dan secara makro pada skala industri. Tuntutan kondisi persaingan dan berbagai tekanan yang menyebabkan industri harus fleksibel. Fleksibilitas akan dapat menjamin keberlanjutan industri sebagai pilihan, kalau tidak ingin mati karena “melanggar” peraturan atau bangkrut karena tidak mampu bersaing. Industri rokok sudah berubah menjadi industri yang berbasis jaringan, yang bisa tidak memiliki syarat fisik pabrik dan kepemilikan bukan lagi individual tetapi menjadi industri yang beroperasi menggunakan “power sharing ” atau menjadi “moving industry’. Dari sisi pemerintah industri rokok dipahami sebagai industri yang formal, memiliki berbagai legalitas (ijin usaha, pita cukai, kepastian produksi), bersifat “rutin” dan cenderung memiliki stabilitas kinerja yang terjaga. Sehingga pemerintah membuat golongan pabrik. Perbedaan ini menjadi kendala yang dihadapi dalam penelitian ini khususnya pada proses mengumpulkan data, karena pengertian pabrik dan industri berbeda, metode yang digunakan berbeda dan untuk tujuan yang berbeda juga. Sehingga peneliti memutuskan untuk menggunakan informasi lapangan sebagai basis data yang diolah. 47 Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Penelitian yang dilakukan berdasarkan fenomena yang ada di lapangan, dengan permasalahan yang ditimbulkan karena persaingan antar pabrik dalam industri, industri nasional dan global. Penolakan masyarakat terhadap keberadaan rokok, serta kebijakan pemerintah yang dirasakan semakin menekan oleh pelaku usaha. Unit analisis meliputi interaksi para aktor pada skala individu pabrik dan industri, khususnya pada produksi dan pemasaran yang terintegrasi secara horizontal dan vertikal dengan kebijakan industri hasil tembakau (IHT) rokok. Peran aktor sangat dipengaruhi oleh posisi dalam rantai, sehingga dalam kasus industri besar, menengah, dan kecil, bentuknya sangat berbeda karena sistem yang terbangun berbeda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh jenis, macam, dan jumlah rokok yang diproduksi sesuai dengan kapasitas pabrik dan kuota yang ditetapkan oleh pemerintah karena rokok adalah barang kena cukai sehingga pembatasan tersebut harus dipatuhi. Subyek penelitian, adalah industri rokok yang terdiri dari pabrik-pabrik dalam berbagai skala. Rokok memiliki karakteristik yang berbeda dengan komoditas lain, karena itu kelembagaan industrinya juga berbeda. Kelembagaan dapat muncul secara alami atau dapat dibentuk oleh kebutuhan baik sengaja maupun tidak sengaja. Hal tersebut masuk dalam pertimbangan penentuan kasus, di samping skala industri juga turut berpengaruh terhadap kelembagaan dan interaksinya dengan institusi lain yang mendukung industri rokok atau bahkan yang menyebabkan adanya stigma rokok “ilegal” dan “legal”. Relasi aktor dalam industri formal terbangun dalam suatu sistem yang jelas dan formal, tetapi dalam perkembangan industri rokok yang berbentuk sebagai industri jaringan (network enterprise) relasinya sangat kompleks. Sehingga peneliti harus dapat mengidentifikasi relasi yang dimaksud dengan cermat, karena bisa sangat fleksibel, cair, dan polanya tidak jelas sehingga menimbulkan kekaburan. Sumber informasi dan data terdiri dari pengusaha rokok dalam skala kecil, menengah dan besar, stakeholder industri rokok (industri 48 Metode Penelitian percetakan, pedagang tembakau, dan pemerintah: Pemerintah Kab Kudus (perijinan, pengelola Dana Bagi Hasil Tembakau (DBHCHTrokok), Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Cukai Kudus terkait kebijakan IHT rokok, kebijakan cukai dan peningkatannya, realitas rokok “illegal”dan jumlah penindakan. Focus Group Discussion (FGD) dengan kalangan pengusaha rokok berbagai golongan pada akhirnya membawa penulis untuk mengkaji lebih dalam tentang kebijakan IHT rokok yang mendorong munculnya rokok “illegal”, proses dan sistem kelembagaan produksi dan pemasaran. Pengolahan data dimulai dengan membuat transkrip wawancara, mentransfer dokumentasi suara dan gambar, memformulasikan konsep yang muncul di lapangan, dan menyusun dalam berbagai model tampilan informasi yang lebih mudah dipahami termasuk tabulasi. Data yang terkumpul sangat banyak dibandingkan dengan yang benar benar digunakan. Hal ini merupakan karakteristik informasi yang digunakan dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif. Oleh karena itu analisis dilakukan selama dan secara bersamaan dengan pengumpulan data untuk menghindari data yang lebih banyak lagi dan waktu yang terbuang di lapangan. Validitas data dapat dicapai jika informan dalam kondisi sendiri dan di tempat terpisah, ketika menjawab atau memberikan informasi sama (Miles dan Huberman, 1999). Keyakinan peneliti tentang kebenaran informasi yang diberikan oleh para informan, juga merupakan bentuk validitas dan reliabilitas data dalam pendekatan kualitatif yang bersumber dari realitas sosial yang diamati. Trianggulasi data dilakukan sebagai proses mendapatkan validitas dan reliabilitas data. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data (Milles dan Huberman, 1999 : 20), yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. 49 Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Sajian data adalah proses analisis dalam bentuk matriks hasil penelitian sebagai bahan untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan adalah tahapan yang dilakukan peneliti untuk mencari pola, model, hubungan dan/atau persamaan dari hal-hal yang sering muncul di lapangan. Misalnya istilah rokok polos; rokok putihan; rokok bodong; rokok peteng; aval; jengkok; tembakau setelan; tornette sebutan untuk rokok retur; giling atau linting, bathil. Industri rokok dikaji menggunakan pendekatan rantai dalam jaringan (value chain) baik produksi maupun pemasaran. Pendekatan ini digunakan untuk menemukan makna dan nilai tambah (added value) yang tercipta sebagai dampak dari interaksi para aktor pada industri rokok dengan skala yang berbeda sebagai kasus dalam penelitian ini (pabrik rokok golongan I, II dan III). Penggambaran makna dari realitas tersebut sangat penting untuk mendeskripsikan produk rokok yang memiliki kompleksitas bukan hanya sebagai produk atau barang material (ekonomi), tetapi juga sebagai barang sosial dan budaya, yang diciptakan oleh aktor dan habitusnya, sekaligus sebagai produk politik karena sudah menyangkut kepentingan negara secara nasional dan masyarakat global. Untuk menemukan informan para pengusaha rokok “illegal peneliti menghadapi banyak kendala. Menggunakan metode snow balling, pada awalnya ditemukan pelaku usaha yang tertangkap tangan aparat ketika akan mendistribusikan rokok. Mengkonfirmasi ke Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Kudus, yang membawa peneliti dapat menemukan aktor (pengusaha) dan pelaku lain yang terkait dengan industri rokok sebagai sistem dalam rantai produksi dan pemasaran. Jumlah informan tidak ditentukan, tetapi lebih menekankan pada jumlah informasi yang dibutuhkan. Proses melakukan seleksi informasi untuk menjadi data yang memenuhi persyaratan untuk diolah dilakukan dengan prinsip kehatihatian agar tidak terjebak kepada issue yang tidak menjadi fokus penelitian, mengingat rokok terus menjadi issue banyak kalangan 50 Metode Penelitian sesuai dengan kepentingannya, di kalangan masyarakat antirokok. pro dan Kebijakan yang ada harus diperhatikan perubahannya oleh pengusaha dan rantainya agar dapat menyesuaikan diri dan rokoknya terus dapat terjual. Seringnya kebijakan berubah, menyebabkan pengusaha tidak semua dapat memperhatikan dengan baik. Seringkali pengusaha tidak secara khusus menyusun strategi untuk menghindari risiko atau dampak kebijakan yang diterapkan. Kebijakan yang ditujukan untuk mengendalikan produksi dan distribusi serta konsumsi rokok dianggap menyulitkan pengusaha golongan 3 khususnya. Bagi pengusaha golongan 1 dan 2, kebijakan terintegrasi dalam perencanaan produksi, distribusi dan inovasi yang dilakukan, sehingga lebih antisipatif. Misalnya kenaikan tarif pita cukai yang terjadi setiap tahun, sudah diantisipasi dalam perencanaan tahun sebelumnya atau pada tahun berjalan. Oleh karena itu peneliti terus mengkonfirmasi apa yang terjadi, yang dimaksud dengan perubahan kebijakan dan dampaknya bagi pengusaha dan respon pengusaha, sampai pada formulasi kejadian dalam industri yang terkait dengan “illegalisasi” rokok. Permasalahan yang dihadapi masing-masing pengusaha dapat berbeda dengan masalah yang dihadapi secara kelompok, mengingat keberagaman dan karakteristiknya misalnya menurut definisi Dinas Perindustrian PR tertentu sebagai pengusaha mikro atau kecil tetapi dalam industri rokok mereka semua adalah pengusaha golongan 3. Dalam hal rokok “illegal”, pengusaha golongan 3 cenderung menjadi target dan sasaran utama kebijakan dibanding golongan 2 dan 1, hal ini disebabkan karena banyak rokok “illegal” yang ditemukan oleh aparat adalah rokok produksi golongan 3. Pada penindakan oleh aparat yang ditemukan bersama barang bukti, tidak selalu pemilik usaha, tetapi pegawainya (sopir, karyawan, pemilik mobil sewaan). Demikian juga jika pengawasan dilakukan di tempat produksi, pemilik usaha dapat meloloskan diri di tengah kerumunan masyarakat yang menyaksikan kejadian tersebut. 51 Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Tahap awal sebagai bagian studi pendahuluan yang dilakukan adalah mengikuti kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Cukai Kudus untuk mendapatkan informasi tentang apa itu rokok “illegal”, bagaimana modus dan bagaimana pengalaman kegiatan pengawasan, bagaimana pandangan pemerintah terhadap rokok “illegal’. KPPBC Tipe Madya Cukai Kudus memiliki wilayah eks Karesidenan Pati, yaitu Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Rembang, Kabupaten Blora, ditambah dengan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Grobogan. Sehingga mempelajari fenomena rokok “illegal” tidak dapat dibatasi cakupannya berdasarkan wilayah administrasi. Rokok berkembang dan beroperasi dengan model klaster geografis (Porter, 2002). Aktivitas pengawasan dilakukan pada tempat produksi dan distribusi. Rokok “illegal” seringkali ditemukan di tempat pemberangkatan bus antar kota dan atau antar provinsi, travel agent, dan posisi (produk) dalam perjalanan di jalan raya. Bapak Haji S, 65 tahun (2008) adalah pengusaha yang fenomenal karena pengalamannya dalam memproduksi rokok. Latar belakangnya sebagai orang biasa, yang memiliki visi untuk anak-anak dan keluarganya yang pada awalnya berjuang sebagai penarik becak, tapi pada akhirnya menjadi pengusaha sukses di daerahnya, menjadi panutan dan tempat berguru di lingkungannya sehingga di lingkungan di mana Haji S tinggal menjadi suatu kawasan yang seluruh penduduknya memproduksi rokok yang berhasil. Pada awal tahun 2008, terjadi kebijakan intensifikasi pajak termasuk perubahan peraturan tarif cukai. Peraturan tersebut berlaku efektif pada awal tahun 2008. Dampak kebijakan tersebut dirasakan oleh para pengusaha rokok termasuk Pak Haji S, yang akhirnya membawanya berurusan dengan aparat. Pak Haji S terkena tindakan karena tertangkap tangan memproduksi rokok “polosan” di pabriknya, sehingga saat itu dikenakan sanksi berupa denda sejumlah uang sesuai dengan barang bukti. 52 Metode Penelitian Berperawakan kecil, tinggi 160 cm, ramah, dan dengan bersemangat mulai menceritakan sejarah hidupnya sampai menjadi pengusaha sukses, disegani para tetangga karena termasuk orang yang murah hati, tempat mereka mengadu dan mendapatkan solusi untuk permasalahan yang mereka hadapi. Zaman keemasan rokok dirasakan oleh masyarakat sampai akhir tahun 2007. Sejak awal tahun 2008, kondisinya menjadi berbeda. Saat itu pabrik rokok PB milik bapak Haji S sedang “beristirahat” berproduksi. Berhentinya operasional pabrik PB memang tidak dapat ditetapkan batas waktunya. Hal tersebut disebabkan rasa kecewa terhadap sikap dan tindakan aparat yang dengan semena-mena merampas semua rokok yang ada di pabriknya beserta seluruh alat produksi lainnya. Ketika itu Haji S tidak menduga bahwa aparat akan mengadakan sweeping. Pabrik juga sedang berproduksi, belum selesai dan belum akan didistribusikan. Sejak peristiwa tersebut, maka pak Haji S ingin beristirahat dulu, tidak memproduksi rokok dan selanjutnya diserahkan pengurusan pabrik PB kepada anaknya AZ, yang belum secara khusus mengelola pabrik sendiri seperti kakaknya. Pertemuan pertama peneliti diperkenalkan dengan seluruh keluarga, istri, dan 3 orang anaknya yang masih ada di rumah. Sementara seorang putranya yang diharapkan menjadi penerusnya, AZ tinggal di rumahnya sendiri yang berjarak kurang dari 100 m dari lokasi rumah Bapak Haji S. Posisi terletak di depan rumah Bapak Haji S. Tampak dari kejauhan rumah yang menjulang tinggi, dengan cat berwarna oranye dengan kondisi dan ukuran rumah yang ada di sekelilingnya. Sebuah rumah besar berlantai dua, dengan perkiraan luas bangunan tidak kurang dari 40 x 40 m. Menggunakan ornamen gebyok ukir yang sangat mahal untuk ukuran masyarakat biasa. Dihuni oleh sepasang suami istri yang masih belia dan sedang menunggu kelahiran putra kedua. Di garasi, tampak sebuah mobil Alphard dengan nomor polisi masih baru. AZ adalah putra kebanggaan Haji S. Berstatus mahasiswa Fakultas Hukum sebuah Perguruan Tinggi di Kudus. Dengan perasaan bangga Bapak Haji S menceritakan cita-citanya yang sudah dapat 53 Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya dicapai antara lain, menyekolahkan putra-putrinya ke Perguruan Tinggi. Menurutnya, dengan sekolah tinggi akan mengubah nasib anak-anaknya sehingga tidak mengalami penderitaan seperti dirinya di masa lalu. AZ menyampaikan apa yang dirasakan terkait dengan kondisi usaha ayahnya. Sebetulnya jika ada “pilihan” lain, AZ lebih suka berusaha di bidang lain. Baginya kejayaan rokok sudah berlalu, saat ini banyak kebijakan yang sulit diikuti dan memberatkan pengusaha. Tetapi karena menghargai ayahnya yang telah merintis rokok sampai sedemikian rupa, AZ bertekat untuk melanjutkan usaha tersebut semampunya. AZ bermaksud merintis usaha lainnya, karena stigma rokok “illegal” cukup mengganggu, bukan dari sisi konsumen tetapi dari sisi pemerintah. Bapak Haji S menjadi inspirasi bagi pengusaha rokok di Kabupaten Jepara khususnya. Pada awalnya Bapak S sebagai penarik becak, kemudian menjadi pengusaha rokok yang berhasil. Bapak Haji S dikenal masyarakat sebagai orang yang dermawan dengan kontribusinya dalam pembangunan di lingkungan, seperti jalan, masjid, dan fasilitas umum lainnya. Hampir semua masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya menjadi produsen dan bisnis rokok, itu karena ajaran atau didikan Bapak Haji S. Semula komunitas ini merupakan komunitas produsen petasan yang sangat terkenal di Kabupaten Jepara, bahkan di Jawa Tengah. Hampir seluruh penduduk memilik usaha dan bisnis petasan, sampai petasan akhirnya dilarang karena menimbulkan banyak korban di kalangan masyarakat setempat dan akhirnya masyarakat kehilangan mata pencaharian. Saat itu Bapak Haji S sudah menjadi pengusaha rokok, karena itu Bapak Haji S mengajari siapa saja yang datang dan minta diajari membuat rokok dengan senang hati, sampai masingmasing berhasil menjadi pengusaha rokok dan mengalami kejayaan pada tahun 2001-2007. Bapak Haji S beralasan mengapa hal tersebut dilakukan karena pernah merasakan bagaimana sulitnya perjalanan hidup dalam berusaha untuk meningkatkan derajat keluarganya. 54 Metode Penelitian Walaupun sudah berhasil dan sukses sebagai pengusaha rokok, dua (2) becak kenangan yang dulu pernah menjadi teman seperjuangan Bapak haji S masih terpelihara dan diparkir rapi di halaman rumahnya dengan cat yang baru berwarna kuning. Sampai saat ini, jika ada orang atau tetangga yang pinjam becaknya untuk “narik”, akan dipinjamkan dengan senang hati dan tanpa bayar sewa. Kerelaannya untuk berbagi mengukuhkan Bapak Haji S sebagai sesepuh di desanya, dan keseganan masyarakat terhadap keluarganya. Ketika ditanyakan apakah dengan mengajar berbisnis dan membuat rokok, ia tidak merasa tersaingi nantinya? Semua diserahkan kepada ALLAH, SWT; “karena ALLAH sudah membagi rejeki kepada umatnya secara adil” Perjuangan merintis usaha rokok menjadi pilihan terakhir setelah banyak pekerjaan dicoba Bapak Haji S termasuk menjadi tukang becak. Ketertarikannya untuk berusaha di bidang rokok karena tampak sangat sederhana prosesnya tetapi banyak yang beli. Semua bahan tersedia dan sudah dikenalnya tinggal mengetahui cara meramu tembakau dengan bumbunya dan komposisi cengkih dan saos. Komposisi yang tepat akan menghasilkan aroma dan rasa rokok seperti yang diinginkan. Mengolah tembakau memerlukan ketelitian untuk mengkombinasikan seluruh bahan, bukan hanya kemampuan mencium seluruh bahan tetapi dengan “rasa” ( bhs jawa : hati). Rokok yang dihasilkan bapak Haji S semula hanya dipasarkan di wilayah Kudus, mengingat masih dalam jumlah terbatas 1-2 kg tembakau. Ukuran tembakau yang digunakan menjadi pedoman kebutuhan bahan lainnya. Selanjutnya rokok mulai dibawa ke Pekalongan. Ternyata permintaan semakin banyak, rokoknya disukai masyarakat. Daerah pemasaran diperluas ke wilayah Wonosobo, kemudian terus berkembang sampai tahun 2008 pemasaran telah mencakup luar Pulau Jawa, seperti NTB dan Sumatera. Hampir semua rokok tanpa pita cukai dan dikerjakan di rumah. Usaha terus berkembang menjadi pabrik bernama “PB” yang menggunakan mesin, dan saat itu sedang tidak berproduksi. Selanjutnya operasional perusahaan diserahkan kepada putranya, AZ. Karena AZ belum 55 Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya memiliki usaha seperti kakaknya yang sudah memiliki dua (2) buah pabrik dan beberapa merk rokok. Tentang rokok “illegal”, Bapak Haji S merasa tidak terlalu pusing. Sejak awal rokok yang diproduksi adalah rokok polos atau putihan. Bapak Haji S akan terus membuat rokok tersebut jika pabriknya aktif lagi. Baginya, apa yang dilakukan tidak mengganggu siapapun, masyarakat juga telah banyak dibantu dan perekonomiannya semakin baik dengan membuat rokok seperti dirinya. Kewajiban yang sangat diperhatikan adalah membayar zakat. Shodaqoh juga wajib seperti apa yang disampaikan oleh guru ngajinya. Setelah penindakan pada pabrik PB, pengalaman lainnya ketika terkena tindakan dalam perjalanan mengirim rokok. Beberapa kali terjadi dapat diselesaikan dengan membayar denda. Terakhir, tertangkap kembali dan barang bukti rokok serta kendaraan pick-up yang digunakan langsung ditahan di Polda Jateng. Sampai saat pertemuan tersebut kasusnya belum diselesaikan, mobil belum diambil dan mungkin tidak akan diambil. Keyakinan dan pandangannya tentang rokok putihan menyebabkan sikap bertahan dan merasa tidak melakukan pelanggaran. Bapak Haji S mewakili pengusaha rokok generasi tua yang telah merasakan keuntungan dan kenikmatan yang diberikan oleh rokok pada masa kejayaannya. Suami istri telah menunaikan ibadah Haji pada tahun 2004. Bagaimanapun rokok “putihan” adalah pahlawannya, dan rokok “putihan” tetap menjadi pilihannya untuk diproduksi, sekalipun secara fisik sudah sering sakit dan mulai mengurangi aktivitas di pabrik rokoknya, dan selanjutnya pabrik akan diteruskan anaknya. Dari Haji S, diperoleh informasi tentang apa itu rokok polos; rokok putihan; rokok bodong dan rokok peteng. Persepsi rokok “illegal”, dan alasan untuk terus memproduksinya. Bagaimana sebagai pengusaha menyikapi tekanan yang berasal dari masyarakat yang menolak keberadaan rokok; peraturan pemerintah dan persaingan. Informan utama selanjutnya adalah seorang pemuda, bernama AS berumur 20 tahun (2008). Berstatus sebagai mahasiswa sebuah 56 Metode Penelitian Perguruan Tinggi Negeri di Semarang. AS ditemukan atas informasi KPPBC Kudus seorang pengusaha yang masih belia, memiliki kecerdasan dan potensi besar karena pengalaman dan kepandaiannya. Saat itu (2008) ia sedang menjalani hukuman. Pertemuan dengan AS ini melalui bantuan dari banyak pihak, termasuk petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP), sehingga dapat diatur pertemuan untuk berkenalan dan memperoleh informasi berkaitan dengan pemahaman terhadap tuduhan, motivasi, latar belakang keluarga, dan sejarah usaha, serta cita-cita selanjutnya setelah menjalani hukuman. AS memiliki kepandaian untuk meniru dan membuat berbagai saus dengan aroma sesuai permintaan. AS hanya memerlukan tiga kali menghirup saus rokok untuk bisa dibuat formulanya. Karena kepandaiannya itu, ia bahkan pernah dikontrak oleh perusahaan multinasional. Perusahaan pemesan bukan hanya puas dengan hasilnya, tetapi juga biaya yang ditawarkan sangat murah. Sebagai contoh perhitungan biaya pembuatan saus untuk satu kilo tembakau saat itu oleh perusahaan tersebut sebesar Rp. 50.000,- dan bisa lebih. Tetapi buatan AS, hanya sebesar Rp. 15.000,-. Bukan hanya memiliki keahlian membuat saus rokok saja, namun ia juga memiliki keahlian membuat pita cukai palsu yang sangat mirip dengan aslinya keluaran Departemen Keuangan, lengkap dengan hologram sebagai pengamannya. Permintaan semakin banyak bukan hanya di Pulau Jawa, tetapi juga dari berbagai tempat di luar Pulau Jawa. Itulah yang menyebabkan AS terus melakukan aktivitas yang disebut “illegal” oleh banyak orang, tetapi keuntungannya sangat besar. Ia merasa kegiatan yang dilakukannya itu tidak melanggar, Di rumah AS, masih ada pabrik rokok dan persewaan mobil yang selama ini dioperasikan oleh kakaknya. Selama AS menjalani hukuman penjara, usaha rokok berhenti sementara. Sebenarnya AS menggantikan kakaknya untuk di hukum karena kedapatan membuat rokok polos. AS menggantikan kakaknya untuk menjalani hukuman pidana karena kasihan dengan kakaknya yang masih memiliki anak kecil-kecil. Di Lembaga Pemasyarakatan (LP), AS menjalani pidana selama 1 tahun 1 bulan, tetapi dilaksanakan kurang dari waktu yang 57 Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya seharusnya karena mendapatkan potongan masa hukuman. Potongan masa hukuman diperoleh karena AS berperilaku baik dan santun. Bahkan dengan keahliannya, ibu-ibu petugas disenangkan dengan aktifitasnya membuat berbagai formula untuk perawatan kecantikan. Selain itu, AS juga dipekerjakan di bagian administrasi karena memiliki keahlian komputer yang memadai. Bagi AS, rokok tidak ada yang “illegal” atau “legal”. Karena hanya merupakan sebutan yang dibuat pemerintah untuk rokok yang dianggap melanggar. Bagi AS, pengusaha tidak pernah melanggar karena pemerintah tidak pernah berkontribusi untuk mendirikan apalagi mengembangkan pabrik. Mengapa tiba-tiba memaksa pengusaha untuk membayar pita cukai sebagai kewajiban. Kewajiban yang dibebankan pemerintah dirasakan tidak adil bagi pabrik kecil. Pemerintah hanya menguntungkan pengusaha rokok besar. Dari paparan di atas, ada perbedaan antara pengusaha dan pemerintah terhadap persepsi rokok “illegal”. Rokok “illegal” adalah stigma yang diberikan pemerintah untuk menekan dan menakuti pengusaha. Pengusaha memiliki kepentingan sendiri untuk terus membuat rokok, apakah “legal” atau “illegal”, karena konsumen tidak mempermasalahkan hal tersebut. Oleh karenannya peneliti tertantang untuk mengungkap penyebab perbedaan, dari perspektif “pelaku” atau pemilik usaha, bukan hanya orang kepercayaan dan pegawai yang biasanya ditemukan petugas pada saat penindakan. Tidak ada informasi dari masyarakat yang membantu menemukan pengusaha yang dimaksud. Menurut masyarakat tidak ada pengusaha yang memproduksi rokok “illegal”. Oleh karenanya peneliti melakukan konfirmasi kepada dinas terkait dengan perijinan, institusi pelayanan dan pengawasan bea cukai (KPPBC) tipe madya Kudus yang memiliki potensi dan terkait sebagai penyebab pengusaha, lembaga usaha atau produk rokok dianggap “melanggar” dan disebut sebagai rokok “illegal”. Analisis data dilakukan di lapangan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Hal ini yang membedakan dengan metode 58 Metode Penelitian penelitian kuantitatif-positivistik. Setiap informasi yang diperoleh, dapat diambil kesimpulan sementara sejak awal. Proses analisis menjadi suatu pekerjaan yang berkelanjutan dengan konsep yang ditemukan dan telah dikonfirmasi dengan realitas yang terjadi di lapangan. Analisis data lapangan pada akhirnya harus dapat menghasilkan temuan baru, yang berkontribusi terhadap penyelesaian masalah penelitian yang ditetapkan. Pendekatan kualitatif yang berbasis empiris sangat mungkin menemukan hal-hal baru yang tidak pernah terduga sebelumnya. Misalnya ditemukannya “moving industry” pada industri rokok; dan perubahan model spesialisasi produksi dan pemasaran. Produksi dilakukan secara tersendiri oleh pabrik dan pemasaran dilakukan oleh perusahaan lain. Sehingga rantai produksi rokok dan bisnis rokok telah berubah sedemikian rupa, bersifat fleksibel dan hubungannya bisa sangat informal. Studi pendahuluan sebelumnya telah dilakukan untuk memperoleh pengetahuan awal tentang apa, siapa, dimana dan bagaimana rokok “illegal” untuk membuka wawasan peneliti. Selanjutnya peneliti ke lapangan dengan tidak membawa konsep apapun. Konsep diformulasikan dari realitas yang ditemukan di lapangan. Pada akhirnya formulasi tentang realitas yang disederhanakan akan menjadi sumbangan pengetahuan dan bangunan teori baru. Bagian ini adalah bagian yang paling sulit. Hal ini memberikan pembelajaran berharga untuk berpikir kritis membedakan posisi secara epistemologis dan ontologis terkait dengan rokok “illegal” sebagai realitas dan sebagai bagian dari proses memformulasikan temuan baru. Membangun imajinasi teoritis dari realitas empiris adalah akhir dari tahapan pekerjaan penelitian dan pada akhirnya disusun laporan hasil penelitian dalam bentuk disertasi. 59