i ABSTRAK Kekerasan dengan mengatasnamakan

advertisement
ABSTRAK
Kekerasan dengan mengatasnamakan agama beberapa dekade tarakhir ini
terus meningkat. Bukan hanya konflik yang melibatkan antar pemeluk agama saja,
tapi juga terjadi pada internal umat beragama yang ada di Indonesia. Pengakuan
akan kebenaran mutlak (truth claim) dalam mendakwahkan agama, atau klaim
sepihak terhadap pendapatnya yang paling benar, dengan menganggap yang lain
salah, dalam menafsirkan teks suci agama merupakan benih-benih yang setiap saat
bisa menjadi pemicu meletusnya konflik. Kesadaran akan kebangsaan, termasuk
adanya realitas pluralitas, yang dibingkai NKRI berdasar Pancasila terus
mengalami degradasi ditengah-tengah masyarakat sehingga tidak mampu lagi
menjadi pilar pemersatu.
Kondisi yang ada tersebut seharusnya menjadi perhatian serius oleh semua
pihak dalam rangka mengurangi benturan-benturan yang terjadi ditengah
masyarakat karena adanya perbedaan nilai atau norma yang ada. Sedikit orang
yang memperhatikan masalah ini adalah salah satunya, K.H. Abdurrahman
Wahid. Sebagai mantan ketua PBNU dan mantan Presiden, Gusdur dikenal
sebagai pelindung kaum minoritas, sebagai bagian implementasinya dalam
menjaga nilai pluralisme. Pada saat yang sama Gusdur menolak bentuk dakwah
yang menggunakan kekarasan atas nama agama. Maka menarik untuk mengetahui
apa pendapat Gusdur tentang dakwah dan pluralisme.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun
metode dalam menganalisis data dengan analisis deskriptif, yaitu suatu metode
yang membahas permasalahan dengan memaparkan temuan data dari subjek
penelitian untuk mendapatkan kesimpulan dengan berdasarkan kajian teori yang
telah dilakukan sebelumnya. Tehnik pengumpulan datanya adalah dengan
penelitian kepustakaan, yaitu dengan mencari bahan-bahan dalam bentuk buku,
artikel lepas atau pencarian data dengan menggunakan media internet.
Bagi Gusdur dakwah yang paling baik adalah dengan pendekatan budaya
atau dakwah kultural. Seorang yang berdakwah tidak harus dilakukan secara
formal, yaitu seorang da’i tidak harus menyelipkan ayat al-Quran atau Hadist
Nabi. Dan yang paling penting bagi seorang da’i adalah meminimalisir
penengakan amr ma’ruh nahi munkar dengan cara paksaan atau kekerasan. Pada
sisi lain upaya untuk menjaga pluralisme bagi Gusdur adalah suatu kewajiban
konstitusi dalam melindungi setiap hak-hak warga negara. Bagi Gusdur
Perjuangan menyebarkan nilai-nilai pluralisme merupakan perintah agama,
sebagai suatu realitas Ilahi dalam menciptakan mahluknya yang berbeda-beda.
Dakwah adalah upaya seorang da’i untuk mengajak dan menawarkan
manusia ke jalan kebaikan sesuai prinsip-prinsip Islam. Bagi praktisi dakwah hal
yang paling mendasar bagaimana cara mengemas atau metode yang digunakan
untuk berdakwah. Dalam hal ini Gusdur lebih mengedepankan dakwah kultural,
yaitu suatu metode dakwah dengan menggunakan pendekatan kebudayaankebudayaan lokal, sekaligus menolak bentuk dakwah dengan tindakan kekerasan.
Dengan demikian pemeliharaan terhadap nilai pluralisme sebagai bagian dari
warisan budaya tetap terjaga.
i
KATA PENGANTAR
Bisimillahirrahmaanirrahiim
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya. Akhirnya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Dakwah dan Pluralisme: Studi Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid”
dengan baik.
Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan serta tauladan kita
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
Selanjutnya, dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit halangan dan
rintangan yang penulis hadapi. Dan tidak sedikit pula peran serta dari berbagai
pihak dalam membantu penyelesaian skripsi ini. Oleh sebab itu penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak. Drs. Wahidin Saputra, M.Ag, pembimbing skripsi sekaligus ketua
jurusan dan Ibu Umi Musyarofah, MA, sebagai Sekertaris Jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Segenap
dosen Fakultas
Dakwah dan
Komunikasi
UIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta yang memberikan bekal ilmu kepada penulis.
4. Segenap staf Perpustakaan FDK, Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam hal administrasi,
peminjaman buku-buku/referensi, sehingga penulisan skripsi ini selesai.
ii
5. Bapak H. Sunardi dan Hj. Surni, orang tua penulis yang telah memberikan
segalanya sehingga penulis berhasil menyelesaikan studi ini.
6. Kakak-kakak dan adikku yang telah memberikan banyak dukungannya
sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman “éRSOUS” (Lembaga Kajian Agama dan Sosial),
yang
tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terimakasih banyak selalu
memberikan motivasi dan mendoakan saya.
8. Teman-teman IRMUSKU (Ikatan Remaja Muslim Kumelun), terimakasih
atas dukungannya dalam memberi semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini.
9. Teman-teman yang tergabung dalam ALASKA (Alumni al-Muayyad
Surakarta), Alip, syaiful, Imam, Iqoh dan lainnya yang tidak hentihentinya mengejek, menekan secara psikis kepada penulis dengan satu
tujuan yang mulia, supaya penulis terus semangat dalam menyusun skripsi.
10. Teman-temanku “KPI 2002” terutama kelas D, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu, banyak suka duka telah kita lalui bersama, semoga
apa yang telah kita lakukan dalam menempuh studi tercatat sebagai amal
ibadah.
Akhirnya penulis ucapkan terimakasih atas segala bantuan yang telah
diberikan, semoga amal ibadah mereka diterima oleh Allah SWT. Amiin.
Jakarta, 18 Juni 2009
Penulis
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK......................................................................................................
i
KATA PENGANTAR....................................................................................
ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
iv
BAB 1
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................
1
B. Perumusan Masalah ...................................................................
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................
10
D. Metodologi Penelitian................................................................
11
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................
12
F. Sistematika Penulisan .................................................................
13
TINJAUAN TEORITIS
A. Pemikiran ..................................................................................
15
B. Dakwah ....................................................................................
20
1. Pengertian.............................................................................
20
2. Unsur-Unsur Dakwah ...........................................................
26
3. Media Dakwah......................................................................
42
4. Tujuan Dakwah.....................................................................
44
5. Strategi Dakwah Merespon Problematika Ummat .................
45
6. Dakwah Kultural Walisanga..................................................
51
7. Fenomena Dakwah Kontemporer ..........................................
57
iv
BAB III
BAB IV
B. Pluralisme ................................................................................
60
1. Pengertian.............................................................................
60
2. Pluralisme dalam al-Quran....................................................
67
3. Praktik Pluralisme pada Masa Nabi.......................................
75
4. Konsep Kebangsaan..............................................................
79
5. Indonesia, diantara Pluralisme dan Fundamentalisme............
84
BIOGRAFI K.H. ABDURRAHMAN WAHID
A. Latar Belakang Keluarga............................................................
89
B. Pendidikan .................................................................................
92
C. Perjalan Karir.............................................................................
99
D. Gusdur, Presiden Pasca Reformasi .............................................
102
E. Pelindung Kaum Minoritas.........................................................
105
PLURALISME dan DAKWAH MENURUT K.H.
ABDURRAHMAN WAHID
BAB V
A. Dakwah Menurut K.H. Abdurrahman Wahid .............................
110
B.Pluralisme Menurut K.H. Abdurrahman Wahid...........................
119
PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................
137
B. Saran..........................................................................................
139
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aksi kekerasan atas nama agama beberapa tahun terakhir sering terjadi di
Indonesia. Negara yang di dalamnya terdiri dari berbagai pemeluk agama yang
berbeda, suku-suku dengan ribuan bahasa daerahnya dan bentangan pulau dari
Sabang sampai Merauke membuat Indonesia tersusun dari sebuah realitas yang
sejatinya adalah masyarakat plural1. Namun sayangnya negeri yang dulu tersohor
masyarakatnya santun terhadap siapapun dan terbuka sekaligus toleran terhadap
setiap perbedaan, dalam sekejap seakan musnah begitu saja.
Rentetan kerusuhan masal tak terhitung jumlahnya. Kalau
kita
klasifikasikan ada tiga periode yang semuanya berkesinambungan. Pertama,
periode pra reformasi. Pada periode ini terjadi aksi kerusuhan yang melibatkan
kaum pribumi dan non pribumi dalam hal ini etnis China. Kalau mau merunut di
mulai dari peristiwa pembakaran puluhan gereja dan sekolah-sekolah Kristen di
Situbondo pada 10 Oktober 1996. Kemudian masih pada tahun yang sama, pada
tanggal 26 Desember terjadi kasus Tasikmalaya. Kali ini vihara, klenteng,
1
Yudi latif menyebut bahwa masyarakat plural Indonesia adalah sebuah masyarakat
plural par execeleency. Bukan hanya plural dalam arti kelompok-kelompok tapi juga plural dalam
tradisi-tradisi agama besar.(The Wahid Institut) Sedangkan Reza A.A Wattimena menyebut bisa
disebut
masyarakat plural atau majemuk jika memenuhi satu dari dua definisi.
Pertama,masyarakat yang terdiri dari komunitas etnis yang berbeda-beda, komunitas tersebut
hidup terpisah dan masing-masing memiliki moralitasnya sendiri. Kedua,masyarakat yang hidup
dalam komunitas yang sama namun dipisahkan satu sama lain oleh pasar. (www.averroes.or.id)
vi
sejumlah gereja serta beberapa faisilitas umum di rusak massa. Hal yang sama
juga terjadi pada 23 mei 1997 kali ini Rengas Dengklok menjadi lahan
pembakaran tempat- tempat ibadah.
Dari ke tiga kerusuhan tersebut beberapa pengamat melihat adanya faktor
kesenjangan sosial antara pribumi dan non pribumi dalam hal ini etnis China.
Sementara Gusdur dalam komentarnya menyatakan bahwa kerusuhan yang terjadi
pada waktu itu bukanlah berdasar motif agama, melainkan soal ekonomi politik.2
Lebih lanjut Gusdur menduga bahwa ada semacam ketidak-puasan yang dirasakan
masyarakat kecil karena melihat kesenjangan sosial di sertai marginalisasi
ekonomi dan politik. Situasi semacam ini kemudian di manfaatkan kalangan elit
politik di Jakarta sebagai suatu alat untuk memuluskan jalan menuju kedudukan
tertentu. Meski demikian kerusuhan-kerusuhan tersebut membenturkan pemeluk
agama Islam sebagai mayoritas dan Kristen serta Tionghoa pada kelompok
minoritas.
Periode selanjutnya pada saat terjadinya gerakan reformasi pada Mei 1998.
Gerakan yang di pelopori mahasiswa ini menuntut Soeharto turun dari kekuasan
tertinggi di negeri ini. Celaknya gerakan yang sejatinya adalah gerakan politik itu
jauh dari yang apa yang di perkirakan sebelumnya. Sebelum Soeharto turun
terjadi huru-hara yang sangat hebat di Jakarta dan beberapa daerah lain. Di Jakarta
perusakan dan penjarahan terhadap super market, gedung perkantoran dan tokotoko yang di identifikasi milik kaum bermata sipit begitu menakutkan.
Pemerkosaan dan pembantaian juga lebih banyak terjadi kepada keturunan
2
Abd. Moqsith Ghazali, Prakarsa perdamaian, Tashwirul Afkar, Jakarta, 2007 . hal.3
vii
Tionghoa yang menjadi korbannya. Akan sangat lazim kita jumpai pada waktu itu
di depan toko-toko dan rumah warga memasang tulisan ‘Pro reformasi atau
pribumi’ sebagai antisipasi terhadap tindakan penyerangan.3
Priode pasca reformasi menjadi priode panjang dari daftar kekerasan yang
terjadi di negeri ini. Pada priode ini terdapat aksi kekerasan serta kerusuhan masal
dengan motif yang berbeda serta melibatkan isu yang lebih komplek. Pertentangan
antara Muslim dan Kristen seperti penutupan 23 gereja di Bandung, Cimahi dan
Garut yang berlangsung sejak akhir 2002 sampai kasus terakhir penutupan Gereja
Kristen Pasundan Dayeuhkolot di bandung pada 22 Agustus 2005 lalu.4
kerusuhan yang bersifat etnisitas juga memperburuk priode ini. Pada tahun
1999 terjadi kasus pertikaian antara Madura, melayu, Bugis dan Dayak di Sambas
Kalimantan Barat. Kemudian, pada tahun 2001 letupan kembali muncul yang
melibatkan suku Dayak dan Madura kali ini di daerah Sampit Kalimantan Tengah.
Berdasarkan catatan KOMNAS HAM korban jatuh mencapai sekitar 400 jiwa dan
ratusan rumah di bakar dan di rusak.5
Terakhir kekerasan dengan mengatasnamakan agama Islam yang di
identifikasi sebagai kelompok fundamentalisme Islam atau Islam garis keras.6
Tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ini variatif, dari aksi bom bunuh
3
Kerusuhan Mei 1998 ( Di akses dari Wikipedia Indonesia pada 31 juli 2008)
Penutupan tersebut dilakukan oleh kelompok yang mengaku sebagai Barisan Anti
Pemurtadan (BAP) dan Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) yang terdiri dari berbagai
elemen organisasi masyarakat yang berlabel agama diantaranya adalah Front Pembela Islam (FPI)
selengkapnya lihat di www.tempointeraktif.com diakses pada kamis 31 juli 2008
5
www.liputan6.com /2001/03 di akses pada 24 Juli 2008
6
Terminologi Fundamentalisme sesungguhnya lahir dari tradisi barat menunjuk pada
gerakan protestan Amerika pada abad kembilan belas masehi. Gerakan ini memiliki prototipe
penafsiran Injil dan seluruh teks agama secara literal dan menolak cara penakwilan atas teks,
demikian pendapat Agung primamorista. Namun perkembangan selanjutnya setelah peristiwa 11
september 2001 kata ini lebih sering ditunjukan kepada kelompok Islam berhalauan keras. Lihat
Fundamentalisme pada www.mediaisnet.com
4
viii
diri, penutupan tempat ibadah non muslim. Selain itu ciri dari kelompok ini juga
terkesan keras dengan orang-orang sesama muslim yang berbeda pendapat dalam
menafsirkan sebuah teks suci. Aksi pengeboman Bali I 12 Oktober 2002 menjadi
semacam di mulainya oprasi para teroris di Indonesia dalam melakukan aksinya.
Setelah itu di susul berbagai aksi bom bunuh diri yang terjadi di JW Marriot,
kedutaan Australia, bom Bali II dan lain sebagainya. Aksi teroris yang terjadi di
Indonesia tidak bisa di pisahkan dari peledakan menara kembar WTC dan
Pentagon.
Simbol kekuatan ekonomi kapitalis Amerika sekaligus simbol
pertahanan negara super power hancur dalam sebuah serangan bunuh diri oleh
para teroris dengan menabrakan pesawat non komersil.
Kecenderungan yang paing mutakhir justru lebih menghawatirkan karena
pertentangan bukan hanya antara pemeluk agama tapi sudah menyentuh sesama
muslim. Pertentangan biasanya dipicu atas tafsir teks suci serta perbedaan cara
pandang dalam menyelesaikan masalah. Menganggap pendapatnya yang paling
benar dan yang lain salah dengan di tambah unsur pemaksaan kehendak dengan
cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Kelompok dengan karakter
demikian dapat kita jumpai seperti HTI ( Hizbut Tahrir Indonesia), MMI (Majelis
Mujahidin Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam). Adapun kelompok yang
disebut terakhir akan sangat mudah kita ingat karena aksi-aksi kebrutalannya yang
tidak mempedulikan hukum yang berlaku. Setidaknya setiap memasuki bulan suci
Ramadhan semacam ritual tahunan yang wajib hukumya. FPI melakukan sweping
ke tempat hiburan malam serta memaksa tutup pedagang makanan yang berjualan
pada siang hari karena dianggap tidak menghormati orang yang sedang berpuasa.
ix
Kemudian kasus penyerangan FPI terhadap massa Aliansi Kebangsaan
untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang
memperingati hari lahir pancasila tanggal
satu Juli baru-baru ini semakin
mempertegas watak fundamentalis yang tidak kenal kata kompromi. Peristiwa
Monas di picu silang pendapat mengenai keberadaan Jemaat Ahmadiyah di
Indonesia berubah menjadi penyerangan secara brutal tepat di tengah jantung
simbol kebanggaan Jakarta. Tragedi itu sendiri mengakibatkan 74 orang luka-luka
dan beberapa diantaranya mendapat perawatan cukup serius di rumah sakit.
7
Peristiwa yang mendapat liputan luas dari media massa dan perhatian masyarakat
karena diantara korban berjatuhan kebetulan terdapat tokoh terkenal seperti Prof.
Syafi’I Anwar.
Fakta-fakta di atas merupakan tragedi kemanusian yang sangat memilukan
di negeri ini. Negeri yang di bangun atas dasar pluralitas ini mengalami gangguan
yang membahayakan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi landasan kita
untuk hidup berdampingan seakan tidak mampu membendung arus perpecahan
dalam masyarakat. Pada sisi lain keadaan demikian justru menjadi paradoks.
Pertama Indonesia yang di huni mayoritas beragama muslim akan dianggap
sebagai golongan penindas terhadap kaum minoritas agama lain. Padahal Islam
sebagai agama sangat menghargai adanya perbedaan. Bahkan dalam Al Quran,
Allah telah menjelaskan mengenai kondisi dunia yang di tinggali manusia.
7
Diakses pada 27 Juli 2008 dari www.kompas.com/2008/06
x
Artinya: “Wahai manusia, kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan
kami ciptakan kamu dalam bentuk suku dan bangsa supaya kalian
saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kamu. Sungguh
Allah Mahatahu dan Maha waspada.” (Q. S. Al-Hujurat [49]: 13).
Doktrin otentik yang demikian jelas sayangya jarang di jadikan sebagai
landasan untuk menerima kenyataan bahwa kita di ciptakan dari beragam bentuk
fisik yang mendiami bentangan wiayah bumi yang luas dengan melahirkan
perbeadaan-perbedaan.
Pembacaan terhadap konflik bernuansa agama sebenarnya dapat di lacak
asal-usulnya. Indonesia semenjak kelahirannya dipenuhi perdebatan sangat sengit
mengenai dasar negara. Maka tidak heran setelah Indonesia menyatakan
kemerdekaan banyak pemberontakan-pemberontakan pada beberapa dekade
berdirinya republik ini.
Pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo,
PRRI/PERMESTA pimpinan Alex Kawilarang, Kahar Muzakar di Sulawesi
kemudian Ibnu Hajar di Kalsel serta Daud Beureuh di Aceh.8 Perdebatan apakah
Indonesia sebagai negara sekuler atau negara Islam masih terus mewarnai perjalan
panjang bangsa hingga saat ini. Ada sebagian kelompok kecil Muslim Indonesia
masih belum menerima sepenuhnya terhadap kosensus dasar negara Pancasila
dengan UUD 1945. Hingga sekarang perjuangan untuk menegakkan negara Islam
8
Gusdur dalam pengantar, Al Quran Kitab Toleransi, Fitrah, Jakarta 2007, Cet.Pertama
xi
setidaknya masih menjadi bagian utama cita-cita beberapa kelompok organisasi
Islam.
Apa
yang
dilakukan
beberapa
kelompok
organisasi
yang
mengatasnamakan Islam di atas di dasari atas keyakinan bahwa salah satu
kewajiban sebagai seorang muslim ialah berdakwah. Melalui keyakinan dasar ini
sebagian muslim menganggap bahwa Dakwah Islamiyah harus sampai kepada
siapapun dan dilakukan sampai kapanpun. Dari sini bisa dipetakan garis atau
corak dakwah yang di usung dari organisasi individu yang ada.
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf , dan mencegah dari yang mungkar dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahlu Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka. Diantara mereka ada yang beriman, namun
kebanyakan mereka adalah fasik” .(Ali Imron:110)
Hadist Nabi yang menjelaskan tentang perintah berdakwah,“Sampaikalah
dari padaku walau satu ayat”. Inilah dasar kewajiban sebagai seorang muslim
dalam berdakwah. Meskipun dalam pengetahuannya yang terbatas, namun bagi
seorang muslim bukan berarti dia bisa lepas dari kewajiban tersebut.
Sebagaimana kristen yang terkenal dengan istilah misionaris. Dakwah juga
merupakan suatu cara atau jalan menyebarkan ajaran Islam kepada seluruh umat
xii
manusia. Namun sayangnya dalam upaya untuk mengajak kepada jalan kebaikan
terkadang beberapa kelompok Islam mengabaikan cara-cara damai dan santun.
Dalam ceramah-ceramah agama seringkali kita mendengar da’i atau
muballigh yang mengutip ayat, “Sesungguhnya agama yang diridlai Allah adalah
Islam.”Q. S. Ali Imran [3]: 19. Ayat ini ditafsiri bahwa Islamlah agama yang
paling benar, sementara agama di luar Islam adalah salah, kafir. Untuk itu mereka
harus diislamkan dan seandainya tidak bersedia mau tidak mau diperangi. Materi
ini dilengkapi dengan ayat lain, “Tidak akan ridha orang Yahudi dan Nasrani
sampai kamu mengikuti agama mereka”. Q. S. Al-Baqarah [2]: 120. Dalam ayat
ini jelas Yahudi dan Nasrani dikesankan tidak memberi toleransi terhadap umat
Islam untuk memeluk agamanya sampai mereka mengikuti agama keduanya.
Membicarakan perkembangan pluralisme di Indonesia tentu tidak bisa di
lepaskan dari seorang tokoh KH. Abdurrahman Wahid yang akrab dengan
panggilan Gusdur. Pembelaannya yang konsisten terhadap kaum minoritas
tertindas menjadi perhatian dan perjuangannya selama ini. Meski banyak pihak
yang menjulukinya sebagai tokoh kontroversial namun itu tidak mengurangi
sedikitput akan nilai kebenaran yang ia yakini.
Perjuangannya dalam menanamkan nilai pluralisme di Indonesia menjadi
istimewa dan mendapat perhatian banyak pihak lantaran Gusdur merupakan
mantan ketua PBNU. Organisasi Islam terbesar Indonesia yang didirikan ulamaulama pesantren sebagai basis dari Islam tardisional. Apalagi Gusdur sendiri
adalah cucu pendiri NU KH.Hasyim Asyari, modal terbesarnya untuk diakui
sebagai kyai tradisional dengan kredibilitasnya yang tinggi dalam ilmu-ilmu
xiii
agama. Tentu saja kita tidak mengesampingkan tokoh-tokoh lain semacam Cak
Nur atau Syafi’i Ma’arif serta beberapa tokoh lainnya.
Minoritas etnis China yang selama pemerintahan ORBA terkibiri hakhaknya sebagai warga negara seakan mendapat kebebasannya setelah Gusdur naik
menjadi presiden. Belum lagi permintaan maaf Gusdur atas kesalahan sejarah
yang dipelopori warga NU ketika terjadi pembantaian massal terhadap orangorang yang dianggap bagian dari komunis. Disaat orang-orang masih khawatir
akan kembalinya komunis, gusdur ketika menjabat sebagai presiden justru
mengusulkan agar tap MPRS no.XXV tahun 1966 tentang larangan penyebaran
ajaran komunis dicabut. Semua yang dilakukan adalah bagian upayanya untuk
melakukan rekonsiliasi sesama anak bangsa. Dengan memahami dan menyakini
betul bahwa setiap tumpah darah indonesia di dalam kedudukan hukum sama
sederajat.
Menjadi menarik seorang kyai yang tumbuh dalam lingkungan tradisional
memiliki garis perjuangan yang egaliter sekaligus sikap toleran yang sangat tinggi
terhadap segala perbedaan. Kalau kebanyakan da’i masih berkutat untuk terus
mempromosikan kebencian dan kecurigaan yang tinggi terhadap perbedaan
agama. Maka Gusdur hadir dengan memberi warna yang lain, dalam memandang
perbedaan justru sebagai pilar kekuatan kita sebagai bangsa yang besar.
Dengan memandang sangat penting atas usaha gusdur dalam membumikan
nilai pluralisme di dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai bagian dari upaya
membangaun kesadaran bahwa sesungguhnya perbedaan itu adalah rahmat yang
di karuniakan Allah dalam mewujudkan kehidupan yang damai. Maka mau tidak
xiv
mau dakwah dalam konteks kekinian juga harus mempertimbangkan cara-cara
yang simpatik. Dengan kesadaran bahwa dakwah adalah sebagai bagian dalam
menawarkan jalan hidup dari berbagai jalan yang ada dan berbeda-beda. Dari
pandangan di atas penulis mengaggap penting untuk melakukan penelitian
terhadap
gagasan
Gusdur
tentang
dakwah
dan
pluralisme
sekaligus
mengangkatnya sebagai judul skripsi “Dakwah dan Pluralisme: Studi
Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid”.
B. Rumusan Masalah
Membahas seorang tokoh seperti Gusdur terkait aktifitasnya dalam memperjuangkan nilai pluralisme tentu
Dalam penelitian ini peneliti dapat merumuskan masalahnya sebagai
berikut:
1. Bagaimana Dakwah dalam pemikiran KH. Abudurrahman Wahid?
2. Bagaimana Pluralisme dalam pemikiran KH. Abudurrahman Wahid?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana Dakwah menurut pemikiran KH.
Abudurrahman Wahid.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Pluralisme menurut pemikiran
KH. Abdurrahman Wahid.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Akademis
xv
Kajian pemikiran Gusdur dakwah dan pluralisme masih sangat minim
sekali. Dan penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan
dan keilmuan Islam.
b. Kegunaan praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan menarik minat
bagi para teorisi dan dan praktisi dan pemikir tentang dakwah dan pluralisme
dalam mengkomunikasikan nilai-nilai persamaan derajat, keadilan dan
kesetaraan bagi setiap warga negara.
D. Metodologi Penelitian
Dalam menyelesaikan penelitian ini peneliti menggunakan analisis
deskriptif, yaitu suatu metode yang membahas permasalahan dengan cara
memaparkan atau menguraikan terlebih dahulu dengan pokok permasalahan
secara teoritis untuk kemudian menganalsisnya dalam rangka mendapatkan suatu
kesimpulan yang tepat.
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini peneliti
menggunakan library research atau penelitian kepustakaan yakni dengan mencari
bahan-bahan yang perlu dipersiapkan dalam penelitian di antaranya dokumendokumen, buku-buku sumber, majalah surat kabar. Sumber tersebut harus relevan
dengan pokok masalah yang akan dibahas. Sumber yang akan digunakan adalah
sumber primer misalnya dalam mengutip hadits, sumber yang digunakan dalam
kitab hadits riwayat yang bersangkutan, bukan dari riwayat atau kitab lain. Dan
juga sumber sekunder yakni sumber penunjang yang berkaitan dengan pokok
bahasan atau tema.
xvi
Selain menggunakan library research dalam pengumpulan data yang
dibutuhkan. Digunakan juga tehnik wawancara langsung dengan subjek penelitian
ini, yaitu Gusdur. Namun karena berbagai hal terutama kesibukan Gusdur yang
sulit untuk ditemui maka dengan sangat terpaksa wawancara secara langsung
tidak dapat terpenuhi.
Mengenai tehnik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta”, terbitan UIN Press, Jakarta tahun 2004.
E. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa UIN Jakarta dengan
mengambil Gusdur sebagai subjek penelitiannya. Pertama, penelitian yang
dilakukan oleh Ayi Manduh pada tahun 1998 dengan judul skripsi “Prespektif
Strategi Dakwah Islam dalam Pluralitas Bangsa”. Meskipun secara substansi
relatif sama dengan isu yang diambil oleh penulis, namun penekanannya berbeda.
Terutama pada sisi terminlogi “Pluralitas dan Pluralisme”. Isu pluralitas yang
diambil oleh saudara Ayih Manduh terbilang tidak mendapat reaksi penolakan
yang berarti dari pada terminologi pluralisme. Isu pluralisme menjadi lebih
menarik disebabkan oleh fatwa yang dikeluarkan MUI terkait keharaman faham
tersebut karena dianggap menyamaratakan agama-agama.
Pada tahun 2004 terdapat penelitian yang berkaitan dengan Gusdur, namun
semuanya mengangkat isu politik di tubuh NU dan PKB. Skripsi yang ditulis
Kodariyah dengan mengambil judul “Peran Politik Gusdur dalam PKB” dan
skripsi yang ditulis oleh Isye Aisiyah, “ Abdurraham Wahid dan NU: Studi
xvii
tentang Percaturan Politik ditubuh NU dibawah Kepemimpinan Abdurrahman
Wahid.” Yang semuanya membahas politik sebagai isu dalam penelitian tersebut.
Kemudian pada tahun 2000 Saudara M. Alamsyah Ja’far menulis sama
persis dengan isu yang diangkat penulis yaitu dakwah dan pluralisme, namun
berbeda subyek penelitiannya yaitu Djohan Efendi. Dengan melihat belum ada
yang menyentuh Aktifitas Gusdur dari sisi dakwah dan pluralisme maka penulis
tertarik untuk mengangkat judul “Dakwah dan Pluralisme Studi Pemikiran
Abdurrahman Wahid.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini mengikuti sistematika sebagai berikut:
BAB I : Merupakan Pendahuluan yang berisi Latar Belakang
Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Membahas tentang Dakwah dan Pluralisme. Didalamnya akan
dibahas teori yang berkaitan dengan studi dakwah dan pluralisme; Pengertian,
Dasar hukumnya, metode dan contoh pelaksanaan.
BAB III : Akan membahas Sekilas Tentang KH. Abdurahman Wahid dan
perjuangannya dalam menyebarkan pluralisme dalam dakwahnya. Didalamnya
mencakup; Biografi; Latar Belakang Keluarga, Pendidikan, dan Karir.
BAB IV : Merupakan pembahasan tentang dakwah dan Pluralisme
menurut KH. Abdurahman Wahid. Di dalamnya akan membahas tentang
xviii
Pluralisme menurut pemikiran KH. Abudurrahman Wahid dan Dakwah menurut
pemikiran KH. Abudurrahman Wahid
BAB V: Merupakan Penutup yang mencakup Simpulan dan Saransaran.
xix
BAB II
Tinjauan Teori
A. Konsep Pemikiran
Jika menilik peristiwa-peristiwa besar yang terjadi sepanjang sejarah
kemanusiaan, maka tidak dapat dinafikan peran intelektualitas didalamnya. Salah
satu contohnya adalah Revolusi Perancis tahun1784. Menurut Prof. Roustan,
Revolusi Perancis terjadi karena dipengaruhi pemikiran kaum enlightenment yang
bergerak ditengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami kesulitan materi.
Kondisi inilah yang mempersatukan orang perancis untuk bergerak secara
nasional untuk menggerakan terjadinya revolusi di Negara itu.9
Berfikir merupakan aktifitas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
manusia. Selama kesadaran terjadi, selama itu pula aktifitas berfikir berlangsung.
Objek pemikiranpun sangat luas, hal itu akibat dari terus berkembangnya dimensi
kemanusiaan yang ditandai capaian-capaian dibidang ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berbasis industrial. Disini letak tantangan bagi umat Islam dalam
merespon semua perkembangan pemikiran yang ada. Meski sangat problematis
mengenai sejauh mana batasan hubungan antara proses berfikir ijtihadi dengan
ketundukan pada teks-teks yang bersifat kalam Ilahi dan hadist Nabi. Pada satu
sisi
al-Quran banyak memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya,
namun pada saat yang sama, bagi sebagian umat muslim berpendapat, bila tidak
dikontrol akal bisa menjadi lebih “maju” tidak terkendali dan melampaui dari apa
yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
9
Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran (Bandung: Gema Insani Pers, 1997)
h. 13
xx
Pada masa Nabi Muhammad perkembangan pemikiran umat Islam pada
waktu itu mungkin tidak mengalami masalah yang berarti. Karena semua
persoalan yang menimpa umat Islam dikembalikan pada jawaban wahyu yang
diberikan Allah atau jawaban yang datang dari keputusan Nabi sendiri. Ini bukan
berarti proses berfikir pada waktu itu tidak ada, dikisahkan, dalam pertempuran
tertentu Nabi Muhammad menerima masukan dari sahabatnya dalam hal
penggunaan strategi perang. Perkembangan menarik selanjutnya pada masa
khalifah kedua, Umar ibnu khatab. Dia dikenal sebagai khalifah yang paling
kreatif dalam berfikir. Pemikiran dan kreatifitas Syaidina Umar memberi kesan
kuat bahwa sekalipun beriman teguh, ia tidak sekedar bersifat dogmatis belaka.10
Kepeloporan Khalifah kedua tersebut bisa nampak ketika Dia menggagas adanya
Jizyah atau pajak bagi kaum non muslim dan menyarankan adanya sholat tarawih
yang dilakukan secara jamaah. Semua keputusan itu dilakukan dari hasil proses
pemikirannya. Setelah itu polarisasi pemikiran terus berkembang dan tidak dapat
dibendung. Itu ditandai dengan lahirnya berbagai madzab dalam berteologi
maupun dalam bidang fikih.
Melihat perkembangan pemikiran Islam yang pesat itu, yang dimuali pada
zaman Nabi hingga masa kini, Lodrop stoddart, secara sangat baik melukiskan
dalam bukunya The New World of Islam:
Berkembangnya Islam barangkali satu peristiwa yang sangat
menakjubkan dalam sejarah manusia. Dalam tempo seabad saja, dari gurun
tandus dan suku bangsa yang terbelakang, Islam tersebar hampir
menggenangi separoh dunia; menghancurkan kerajaan-kerajaan besar,
memusnahkan beberapa agama besar yang telah dianut berbilang zaman
10
Suadi Puro, Moh. Arkoun: Tantang Islam dan Modernitas, (Jakarta:Paramadina, 1998)
h.34
xxi
dan abad. Mengadakan revolusi berpikir dalam bangsa-bangsa, dan
sekaligus membina suatu dunia baru, dunia Islam.11
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia kata “pikir” mempunyai arti, (1)
akal budi,
ingatan, angan-angan: dan (2) kata dalam hati, pendapat
(pertimbangan). Sedangkan kata “berpikir” diartikan mengguanakan akal budi
untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, menimbang-nimbang dalam
ingatan. Adapaun “memikirkan” artinya daya upaya untuk menyelesaikan masalah
sesuatu dengan menggunakan akal budi. Pemikiran adalah cara atau hasil pikir.
Karena kata “pikir” berasal dari bahasa arab fikr atau tafkir (dari fakkarayufakkiru), yang artinya memfungsikan akal dalam suatu masalah untuk
mendapatkan pemencahannya.12
Secara terminologi banyak ahli mendefinisikan pemikiran secara berbeda.
Robert Woodwort, sebagaimana dikutip Muhammad Imarah, mengartikan
pemikiran adalah suatu upaya mental yang dilakukan manusia untuk menemukan
kesimpulan berdasarkan pada premise-premise.13
Toha Jabir Alwi 1989 mengatakan bahwa dalam Al-Quran, kata fikr tidak
disebut dalam bentuk isim (kata benda), tetapi dalam bentuk fiil (kata kerja) yakni
fiil madhi (telah terjadi) dan fiil mudhore (sedang dan akan terjadi : kontinu) serta
dalam sighoh mukhatab (bentuk orang kedua) dan ghaib (orang ketiga). Misalnya
fakara, tatafakkarun. Dalam bahasa arab, fi’il senantiasa menunjukkan atau
mengandung adanya dua hakikat yakni perbuatan itu sendiri dan pelakunya,
11
L. Stoddart, The New World of Islam (Dunia Baru Islam), (Jakarta: Panitia Penerbit,
1996)h. 11
12
13
Abu Azmi Azizah, Berbagai Berpikir Islami, (Solo: Era Intermedia,2001), h.34
Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam versus Barat, (Jakarta: Robbani Pers,
1998) h. xi
xxii
sehingga dalam kata fakkara tersebut ada fikr (perbuatan berfikir) dan ada
mufakkir (pemikirnya). Disamping itu, kegiatan berfikir termasuk yang
memerlukan objek yang difikirkan.14
Muhammad Imarah (1994) mengatakan bahwa “pemikiran” secara
termonologis adalah pendayagunaan pemikir terhadap sesuatu dan sejumlah
aktivitas otak, berupa berfikir berkehendak, dan perasaan yang bentuk paling
tingginya adalah kegiatan menganalisis, menyusun dan mengkoordinasi.
Dari berbagai pendapat yang ada, maka pemikiran adalah suatu metode,
cara atau hasil dari pendayagunaan akal dan budi untuk mempertimbangkan dan
memutuskan sesuatu dalam merespon berbagai masalah atau merumuskan
konsepsi-konsepsi tentang kehidupan manusia.
Manusia terlahir didunia telah dilenghapi dengan berbagai unsur yang
sekaligus merupakan potensi yang sangat penting bagi diri dan kehidupannya.
Secara garis besar, manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Manusia telah dibekali
dengan berbagai potensi, berupa indra, akal fikiran, dan hati. Potensi yang lain
adalah kejahatan dan taqwa yang Allah ilhamkan kepadanya.
Dengan indranya, seseorang dapat mengetahui atau menangkap sesuatu
fenomena, atau peristiwa yang ada disekitarnya. Termasuk didalamnya makhluk
hidup, khususnya manusia itu sendiri dengan segala tingkah laku dan
kompleksitasnya. Apa saja yang ditangkap indra, secara otomatis akan diproses
atau atau di transformasikan ke otak sebagai input. Otak memproduksi input itu
dalam
ingatan,
mengimajinasikan,
membandingkan,
14
menyeleksi,
Toha Jabir alwani, Krisi Pemikiran Modern Diagnosis dan Resep Pengobatan ,
(LKPS,1986)
xxiii
dan
mengombinasikan dalam bentuk yang baru, dengan proses seperti itu secara terusmenerus, akan diperoleh suatu pendapat
teori, hukum-hukum atau ilmu
pengetahuan
untuk
yang
dapat
dimanfaatkan
memecahkan
problem
kehidupannya.
Oleh karena itu, berfikir sesungguhnya suatu kebutuhan insani yang tak
terelakkan untuk tumbuh dan berkembang, sekaligus merupakan kebutuhan akan
aktualisasi fitrahnya. Tegasnya, manusia tidak dapat lepas dari berfikir
seberapapun intensitas dan kuantitasnya.
Manusia diberikan kelebihan dari makhluk-makhluk yang Allah telah
ciptakan, yaitu akal. Maka sesuai dengan potensi yang dimiliki manusia, dijadikan
sebagai suatu anugerah yang besar dan harus di manfaatkan dan diaktualisasikan
secara benar. Ada makna yang tersurat dan tersirat dari alam dan al-Quran,
disinilah manusia dianjurkan untuk merenungkan tanda-tanda kebesarannya, baik
berupa ayat-ayat dan melalui perantara alam semesta ini dalam bentuk yang
konkrit.
Dengan demikian, bagaimana manusia berfikir mengaplikasikannya dalam
bentuk dakwah, yaitu menyeru kepada jalan kebenaran yang telah diperintahkan
Allah SWT, dan meninggalkan apa yang menjadi larangan-NYA. Dakwah
merupakan satu bagian yang pasti ada dalam kehidupan setiap muslimin, dalam
ajaran Islam dakwah merupakan suatu kewajiban yang dibebankan agama kepada
pemeluknya. Dengan demikian, dakwah bukanlah semata-mata timbul dari
pribumi/ golongan, walaupun aktivitas ini di khususkan pada satu golongan/
individu (Thaifah) yang melaksanakannya. Islam sendiri adalah sebagai nama
xxiv
sebuah agama disebut juga sebagai “dakwah”. Artinya agama yang selalu
mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif dalam melakukan dakwah bahkan
bisa dikatakan bahwa mundurnya Islam sangat bergantung pada kegiatan dakwah
yang dilakukannya.
B. Teori Dakwah
1. Pengertian Dakwah
Secara etimologi, dakwah berasal dari bahasa Arab
yang
berarti: ajakan, seruan, panggilan, undangan. Bentuk perkataan tersebut dalam
bahasa Arab disebut Mashdar; sedangkan kata kerja atau fi'il-nya berarti
memanggil, menyeru atau mengajak.15 Dalam bahasa Indonesia kata “mengajak”
tidak mengandung unsur paksaan atau kewajiban mengikuti ajakan itu. Seperti
seseorang mengajak temannya untuk mengantarnya ke pasar. Maka, jawaban
terhadap ajakan itu ada dua pilihan yaitu mau memenuhi ajakan itu atau menolak
ajakan itu.
Secara terminologi dakwah memiliki arti yang berbeda tergantung dari
sudut mana para ahli ilmu dakwah memberikan defenisi dakwah itu sendiri.
Menurut Syekh Ali Mahfudz, dakwah adalah mengajak manusia untuk
mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik
dan melarang berbuat jelek dan tercela agar mereka mendapat kebaikan dunia dan
akhirat.
16
15
16
Pendapat ini juga selaras dengan pendapat Al Ghazali bahwa amar
Achmad Mubarok, 1999. Psikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Firdaus, h.10.
Ibid h. 7
xxv
ma’ruf adalah inti dari gerakan dakwah dan penggerak dalam dinamika
masyarakat Islam.
Menurut H.M Arifin, dakwah adalah kegiatan ajakan baik dalam bentuk
lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebaginya yang dilakukan secara sadar dan
terencana dalam usaha mempengaruhi orang lain secara individual atau kelompok
supaya timbul dalam dirinya suatu pengetahuan, kesadaran, sikap penghayatan
serta pengalaman ajaran agama sebagai pesan (massage) yang disampaikan
kepada mereka, tanpa unsur paksaan. 17
Muhammad Natsir mendefinisikan dakwah sebagai:
"Usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan kepada
perorangan manusia dan seluruh umat konsepsi Islam tentang
pandangan dan tujuan hidup di dunia ini, yang meliputi amar ma'ruf
dan nahi mungkar, dengan pelbagai media dan cara yang
diperbolehkan dan membimbing perikehidupan perorangan,
perikehidupan berumah tangga (usrah), perikehidupan bermasyarakat
dan perikehidupan bernegara".18
Quraish Shihab memberikan defenisi, dakwah adalah seruan atau ajakan
menuju pada keinsyafan atau usaha untuk mengubah situasi yang lebih baik dan
sempurna, baik terhadap pribadi maupun terhadap masyarakat. 19
Menurut Farid Ma’ruf Noor, dakwah adalah usaha mengubah keadaan
negatif kepada keadaan positif. Memperjuangkan yang ma’ruf, atas yang munkar,
memenangkan yang hak atas yang batil. 20
17
H.M Arifin, Psikologi Dakwah (Jakarta: Bulan Bintang) h.54
18
M. Natsir, Fungsi Dakwah dalam Rangka Pembangunan, Prasaran pada Seminar
Dakwah Islam oleh Majelis Ulama Jawa Barat di Tasikmalaya, 4—7 Mei 1968.
19
Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1998) cet ke-17 h. 194
xxvi
Secara sosiologis, konsep dakwah bisa dilihat sebagai tiga tingkatan: 21
Pertama, dakwah
yang hanya bersifat tabligh, retorika,
yakni hanya
menyampaikan pesan Islam kepada masyarakat manusia. Contoh dakwah dalam
pengertian ini, adalah dakwah yang dilakukan para mubaligh yang aktif
melakukan aktivitas dakwah menyeru kepada Islam, tetapi tidak mempunyai
konsep yang jelas tentang masyarakat Islam pasca dakwah.
Kedua, dakwah yang berwujud usaha menanamkan nilai-nilai Islam ke
tengah masyarakat. Dakwah dalam pengertian ini sudah bersifat esensial dan
membutuhkan pemikiran yang serius dan mendalam, karena pekerjaan
menanamkan nilai-nilai (misalnya nilai kejujuran, nilai keadilan,
nilai
persaudaraan, nilai kasih sayang) membutuhkan dukungan sistem. Dakwah pada
tingkatan ini mengharuskan da'i mampu melakukan dialog antara budaya mampu
mendorong terjadinya sosialisasi, implementasi, dan akulturasi pewarisan budaya
Islam dari satu generasi ke generasi berikutnya. Efektivitas dakwah terukur dari
rentangan dan intensitas atau perubahan perilaku masyarakat yang mampu
ditimbulkannya, dan pada tingkatan ini dakwah adalah perubahan sosial atau
bersifat kultural. Contoh dakwah dalam pengertian ini, adalah dakwah para wali
songo yang memilih jalan akulturasi budaya. Dakwah model ini sangat
membekas, tetapi menimbulkan banyak bias kebudayaan dan akidah pada
masyarakat mad'u.
20
Farid ma’ruf Noor, Dinamika dan Akhlak Dakwah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981)
cet ke 1 h.28
21
Ibid h.12
xxvii
Ketiga, membentuk masyarakat Islam, mencakup masyarakat lingkungan,
masyarakat bangsa hingga masyarakat internasional. Pada tahap ini, dakwah
membutuhkan sistem jaringan. Pada tingkatan ini, dakwah merupakan usaha
membangun dan mewujudkan sistem Islam dalam semua segi kehidupan (iqamat
al-majhaj al-Ilahiy li hayat al-basyariyyah). Pada tingkatan ini seorang da'i
memandang Islam sebagai sistem hidup yang kaffah, dan ketika itu tidak ada lagi
pemisahan antara agama dan negara. Dakwah dalam pengertian ini disebut
"dakwah gerakan", seperti yang dilakukan Ikhwanul Muslimin di Mesir atau
Syi'ah di Iran. Dakwah ini sangat menggairahkan, tetapi sering menimbulkan
konflik di tengah masyarakat mad'u.
Dari berbagai pendapat di atas setidaknya ada beberapa poin penting yang
menjadi garapan dakwah. Pertama bahwa dakwah adalah kewajiban setiap pribadi
muslim yang baligh untuk menyampaikan ajaran agama Islam. Tentu saja
mengenai kewajiban untuk melakukan dakwah tersebut, sesuai dengan
kemampuan dan kapasitasnya masing-masing dari setiap muslim pada setiap level
dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini penting diungkapkan karena sebagain
besar masyarakat Muslim menganggap bahwa kewajiban dakwah hanya
dibebankan kepada juru dakwah yang lebih spesifik adalah para mubaligh.
Padahal lingkup kewajiban dakwah juga dibebankan kepada semua muslim
dengan setiap keahlian dalam bidangnya masing-masing. Kewajiban itu juga tidak
mengenal kedudukan seorang muslim dalam strata sosialnya dalam masyarakat.
Aktifitas dakwah merupakan upaya untuk merubah suatu keadaan dari
yang buruk menjadi baik atau yang sudah baik menjadi lebih baik atau dalam
xxviii
bahasa yang lebih dikenal adalah amr ma’ruf wa nahi munkar. Namun persoalan
baik dan buruk ini sering tidak sama ukurannya bagi setiap orang. Sehingga tentu
saja untuk melihat ukurannya adalah kalam Tuhan dan Sunnah Nabi yang menjadi
titik tolaknya. Namun persoalan juga akan muncul kemudian ketika setiap orang
dengan latar historis sosial dan pengetahuan serta pengalaman berbeda maka akan
terjadi perbedaan pula dalam menangkap pesan Tuhan dan sunnah Nabi. Maka hal
yang baik adalah dilandasi dengan cara yang ikhlas dan penuh kesabaran dalam
menghadapi benturan nilai-nilai tersebut.
Kemudian untuk melaksanakan kewajiban amr ma’ruf wa nahi munkar
tersebut haruslah ditempuh dengan cara yang efektif, persuasif dan lebih
bearadab. Bahwa kewajiban untuk menyeru atau mengajak kebaikan juga harus
dibarengi dengan cara yang baik pula. Bukan dengan cara-cara yang mengandung
unsur paksaan, intimidasi, provokasi. Maka mutlak dibutuhkan ahlakul karimah
sebagai pengawal dalam setiap aktifitas dakwah.
Selanjutnya, banyak yang sering melupakan bahwa sesungguhnya hakikat
dakwah adalah sebuah proses terus menerus yang tidak pernah berhenti. Karena
memang finalisasinya tetap di tangan Allah. Sehebat apapun seorang da’i dapat
mempengaruhi orang lain, disertai jalan atau cara yang beragam namun perubahan
yang dikehendaki ternyata tidak atau sekurangnya belum menuai hasil. Maka
semuanya diserahkan kepada Allah. Karena dakwah adalah sebuah proses untuk
merubah suatu keadaan dalam masyarakat, maka memerlukan perjuangan panjang
dengan membutuhkan waktu yang lama. Upaya untuk mempercepat tujuan
dakwah yang dikehendaki justru menumbuhkan sikap pemaksaan dan cara-cara
xxix
kekerasan terhadap sasaran dakwah. Mengenai hal ini Allah telah memberi
peringatan kepada kaum muslim;
Artinya: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang
yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya? Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali
dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orangorang yang tidak mempergunakan akalnya. (QS: Yunus[10]:99-100)
Qurais Shihab berpendapat ayat di atas mengisyaratkan bahwa manusia diberi
kebebasan percaya atau tidak. Ayat tersebut menceritakan kaum Nabi Yunus yang
pada awalanya membangkang namun kemudian bertaubat untuk beriman kepada
Allah atas kehendak sendiri. Namun Kebebasan yang dimaksud bukanlah
bersumber dari kekuatan manusia, tapi semuanya karena anugerah Allah. Pada
ayat tersebut juga terdapat pertanyaan kepada Nabi Muhammad yang diajukan
Allah, “Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya?” Pertanyaan itu mengandung pengertian
bahwa apa yang dilakukan Nabi Muhammad dengan kesungguhannya dalam
berdakwah sehingga mendekati tahap pemaksaan kepada diri Nabi maupun
kaumnya. Padahal pada ayat selanjutnya Allah menegaskan bahwa semua
manusia diciptakan dengan kemampuan akal untuk dapat memilih jalan baik atau
xxx
buruk. Jika manusia menggunakan akalnya secara benar, maka Allah memberikan
izin manusia untuk beriman.22
Dengan demikian sangat jelas sekali rambu-rambu bagi juru dakwah
dalam melaksanakan misinya. Kewajiban da’i hanyalah sebatas menyampaikan
ajaran Allah dan bukan kewajiban merubah semua umat manusia untuk beriman.
Adapun perubahan yang terjadi adalah kehendak Allah melalui hidayah kepada
siapa saja yang Ia kehendaki. Penekanan yang demikian harus menjadi perhatian
para da’i sebagai bahan pertimbangan dalam tindakannya tidak melampaui batas
dari apa yang diperintahkan Allah SWT.
2. Unsur Unsur Dakwah
a. Subyek Dakwah
Subyek dakwah adalah pelaku atau juru dakwah, atau bisa disebut juga
dengan da’i atau mubaligh . Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap muslim
yang mukhalaf (orang yang sudah terbebani hukum) secara otomatis berperan
sebagi subyek dakwah (da’i) yang mempunyai kewajiban untuk menyampaikan
ajaran-ajaran Islam kepada seluruh umat manusia.
Berkaitan dengan kewajiban setiap individu untuk menyampaikan dakwah
Islamiyah, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa diantara kamu yang melihat
kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya (kekuasaan),
jika tidak sanggup maka ubahlah dengan lisan (nasehat) jika tidak sanggup maka
ubahlah dengan hatinya dan itulah serenah-rendahnya iman.” (HR. Muslim)
22
Qurais Shihab. Tafsir Al-misbah h.164-165
xxxi
Hendaknya seorang subyek dakwah harus mempunyai kemampuankemampuan yang dapat mendukung keberhasilan dakwah. Adapun kemampuankemampuan yang dapat dimiliki oleh subyek dakwah yaitu:23
1) Memiliki pemahaman agama Islam secara tepat dan benar.
2) Memiliki pemahaman hakekat gerakan/tujuan akwah.
3) Memiliki akhalak karimah.
4) Mengetahui perkembangan pengetahuan yang relatif luas.
5) Mencintai mad’u dengan tulus.
6) Mengenal kondisi dengan baik.
Selain kemampuan-kemampuan yang telah dituliskan di atas, dalam buku
Prinsip-Prinsip Metode Dakwah dituliskan juga bahwa kemampuan-kemampuan
yang harus dimiliki seorang subyek dakwah adalah:24
1) Kemampuan berkomunikasi
2) Kemampuan menguasai diri
3) Kemampuan berpsikologi
4) Kemampuan pengetahuan pendidikan
5) Kemampuan dibidang umum
6) Kemampuan dibidang umum al-Quran
7) Kemampuan dibidang ilmu agama secara umum.
23
Abdul Munir Mulkhan, Idilogi Gerakan Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1996) cet ke-1
h. 237-239
24
Slamet Muhaimain Abda, Prinsip-Prinsip Metode Dakwah, (Yogyakarta: Sipress,
1996) cet ke 1 h
xxxii
Idealnya memang beberapa kemampuan tersebut haruslah di penuhi bagi
setiap da’i dalam melakukan misinya. Namun tentunya hal itu bukanlah syarat
mutlak yang harus dipenuhi. Upaya untuk membuat rumit atau memperberat
syarat justru akan menghambat sekaligus membatasi untuk menggerakan semua
komponen muslim untuk ikut serta dalam menyampaikan ajaran Islam. Tentu
semua berpulang pada kapasitas dan kemampuan sesuai level yang berbeda dari
setiap muslim itu sendiri.
b. Obyek Dakwah
Objek dakwah atau mad’u adalah orang yang dikenai sasaran dakwah. Al
Gazali menyebutkan beberapa bentuk sasaran dakwah dilihat dari segi psikologi25,
yaitu:
1) Dilihat dari sosiologis, meliputi masyarakat terasing, pedesaan,
pinggiran, kota dan masyarakat kota besar.
2) Menyangkut golongan dilihat dari struktur kelembagaan berupa
kelompok masyarakat dari kalangan pemerintah dan keluarga biasa.
3) Kelompok masyarakat dilihat dari segi tingkat usia berupa golongan
anak-anak, remaja dan dewasa.
4) Kelompok masyarakat dari dilihat dari segi sosio kultural berupa
golongan priyayi, santri dan abangan.
5) Kelompok masarakat dilihat dari segi occupational (profesi dan
pekerjaan berupa petani, nelayan, pedagang seniman, dan lain lain).
25
Bahri Gazali, Dakwah Komunkaif, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997) cet ke 1 h. 11-
12
xxxiii
6) Kelompok masyarakat dari dilihat dari tingkat hidup sosio ekonominya
berupa golongan orang kaya, menengah dan miskin.
7) Sasaran dakwah yang berhubungan dengan golongan masyarakat yang
dilihat dari segi khusus berupa golongan tuna wisma, tuna karya, tuna
susila, narapidana, dan lain-lain.
Melihat berbagai macam latar sosial dari mad’u yang berbeda juga sangat
penting dalam upaya untuk melakukan dakwah secara efektif. Karena hal ini akan
berkaitan
dengan
langkah
selanjutunya
menentukan metode dan media apa
bagaimana
menyusun
strategi,
yang tepat untuk digunakan dalam
berdakwah. Membuat dakwah mencapai hasil yang gemilang tentu dibutuhkan
perencaan yang matang sekaligus di dukung infrastruktur yang baik sehingga
pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik pula oleh mad’u.
c. Metode Dakwah
Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata yaitu “meta” (melalui) dan
“hodos” (jalan, cara). Dengan demikian kita dapat artikan bahwa metode adalah
cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Sumber yang lain
menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman methodica artinya ajaran
tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata methodos artinya
jalan yang dalam bahasa Arab disebut Thariq. Apabila kita artikan secara bebas
metode adalah cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran mencapai
suatu maksud. 26
26
H. Harjani Hefni Lc. MA. et al, Metode Dakwah , (Jakarta: Rahmat Semesta, 2003)
Cet ke-1, h. 7
xxxiv
Toto Tasmara berpendapat bahwa metode dakwah adalah cara-cara
tertentu yang dilakukan seseorang da’i (komunikator) kepada mad’u untuk
mencapai sutu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang.27 Hal ini mengandung
arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpu pada pandangan Human Oriented
mendapatkan penghargaan yang mulia atas diri manusia.
Keberhasilan dakwah tentu tidak bisa terlepas bagaimana seorang da’i
dalam memilih metode sesuai kebutuhan dari objek dakwah. Dengan metode yang
digunakan ini nantinya seorang da’i dapat melakukan pendekatan kepada madu’
secara lebih sempurna. Dengan demikian materi dakwah yang disampaiakan
seorang da’i akan lebih mudah diterima oleh objek dakwah.
Secara umum metode dakwah yang diajarka Al-Quran ada tiga cara
dengan mengacu pada Firman Allah yaitu:
Artinya: ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan cara hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui
orang orang yang diberi petunjuk (an-Nahl 125)
Menurut Al-Qurtubi Ayat diatas turun di mekkah atau termasuk ayat
makiyah. Asbabun nuzul dari ayat tersebut adalah ketika terjadi genjatan senjata
dengan pihak Quraisy. Saat itu Tuhan menurunkan firman-Nya agar Nabi
27
Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gema Media Pratama, 1997) cet ke-1 h.7
xxxv
mengajak orang-orang Quraisy kejalan Allah dengan cara yang lemah-lembut
tanpa pertumpahan darah dan kekerasan. Al-Qurtuby menambahkan metode
dakwah yang demikian hendaknya dikembangkan dan harus menjadi pedoman
Umat Islam hingga akhir zaman.28
Sesuai keterangan ayat diatas metode dakwah ada tiga, yaitu : bi alhikmah; mau’idzotil hasanah; dan mujadalah billati hiya ahsan menunjukan
bahwa bentuk-bentuk metode dakwah meliputi tiga cakupan yaitu:
1) Bi al-hikmah (kebijaksanaan), Yaitu dengan secara bijaksana, akal
budi, yang lapang dan hati yang bersih menarik perhatian orang pada
agama, atau kepada kepercayaan terhadap Tuhan.
2) Mauizatul Hasanah, yaitu pengajaran yang baik, atau pesan-pesan
yang baik, yang disampaikan dengan nasehat.
3)
mujadalah billati hiya ahsan , yaitu bantahlah mereka dengan cara
yang lebih baik. Kalau telah terpaksa timbul pembantahan atau
pertukaran pikiran atau mengarah pada polemik. Ayat ini menyuruh
agar hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat dihindarkan lagi,
pilihlah jalan yang sebaik baiknya.29
Metode dakwah bi al-hikmah atau secara mudahnya diartikan dengan
kebijaksanaan adalah dalil-dalil argumentatif yang digunakan untuk menjelaskan
kebenaran kitab suci dan sekaligus menghilangkan keraguan. Sementara Imam alZamakhsyari, menafsirkan kata al-hikmah dengan pendapat yang arif dan
28
29
Zuhairi Misrawi, “Al-Quran Kitab Toleransi”, (Jakarta: Fitrah, 2007) h.259
Prof. DR. Hamka, Tafsir al Azhar, juz XIII-XVI, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas 1983)
h.321
xxxvi
argumentatif. Senada dengan al-Zamakhsyari, Imam al-Razi berpendapat bahwa
argumentasi dan eksplanasi menjadi penting dalam dakwah karena dua alasan,
yaitu dalam rangka mengukuhkan pemahaman para pendengar, serta untuk
mendebat dan mengalahkan pendapat lawan. Dalam hal ini, hikmah berfungsi
sebagai dalil atau bukti yang dapat membentuk keyakinan terhadap suatu hal.
Menurut Ibnu Rusyd, bahwa hikmah adalah karib syariat, bahkan saudara
sesusuan.30
Dakwah dengan modal hikmah maka peradaban Islam menjadi salah satu
peradaban Islam yang adiluhung. Kekuatan Islam tidak ditentukan oleh otot, yang
berarti dengan tindakan kekerasan. Kekuatan Islam ditandai dengan pemikiranpemikiran kreatif untuk menjawab kemusykilan di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian Umat Islam membutuhkan peradaban akal budi untuk dapat
melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif dan inovatif.
Maka sudah selayaknya metode dakwah dengan metode bi al-hikmah perlu
dikembangkan secara terus menerus. Upaya ini dilakukan sebagai upaya untuk
membendung gerakan dakwah yang lebih mementingkan aspek kekerasan dan
saling fitanah kepada kelompok Islam lainnya. Terwujudnya penilaian “orang
lain” terhadap Islam sebagai agama dan Muslim sebagai pemeluknya sangat
bergantung bagaimana cara menyampaikan nilai-nilai Islam yang sangat luhur itu.
30
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, (Jakarta: Fitrah, 2007), h.260
xxxvii
Firman Allah dalam al-Quran:
Artinya:
“Allah menganugrahkan al hikmah kepada siapa yang Dia
kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia
benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran”.
(QS: al-baqoroh: 269)
Kedua, Mauizatul Hasanah atau menasehati dengan baik. Bila yang
pertama menekankan aspek akal budi, maka tahap selanjutnya terletak pada
metode penyampaian. Metode ini menjadi semacam ujung tombak dalam
keberhasilan dakwah. Karena suatu pesan atau materi dakwah dapat diterima oleh
mad’u
sangat
bergantung
oleh
kreatifitas
sang
da’i
bagaimana
cara
menyampaikannya. Dengan itu maka dibutuhkan sebuah komunikasi yang lebih
persuasif untuk bisa mengajak mad’u mau mengapresiasi apa yang disampaikan
seorang da’i.
Imam al-Zamakhsyari berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
Mauizatul Hasanah adalah menyampaikan nasehat atau pesan dengan tujuan
memberikan manfaat kepada mereka. Pendapat yang demikian sangat cocok
dikembangkan sebagai metode dakwah di Indonesia. Karena Ini terkait gejala
yang menyedihkan ketika para da’i justru lebih mengarah pada upaya tindakan
provokatif yang membakar emosi mad’u untuk berbuat anarkis kepada kelompokkelompok tertentu. Entah itu ditujukan kepada internal umat Islam sendiri yang
saling bersebrangan atau kepada umat beragama lain. Ungkapan-ungkapan
xxxviii
seperti; sesat, bid’ah atau bahkan mengkafirkan sesama muslim seringkali
menghiasi mimbar tabligh. Padahal ada etika dakwah yang sangat populer dalam
tradisi Islam, menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik dan mengajak orang
lain untuk tidak melakukan kemungkaran dengan cara yang tidak mungkar.31
Ketiga, mujadalah billati hiya ahsan , yaitu bantahlah mereka dengan cara
yang lebih baik atau debat yang kontrukstif. Tradisi perdebatan atau saling
membantah adalah tradisi yang diwariskan oleh Islam. Malahan tradisi debat di
internal Umat Islam sendiri merupakan pemandangan yang pada zamannya telah
mematangkan pemikiran keislaman. Sejauh perdebatan itu disertai prinsip saling
menghargai dan bermartabat maka hal itu akan sangat menguntungkan terhadap
proses kemajuan Islam.
Pemandangan semacam itu sekarang seakan sulit ditemukan di berbagai
ajang diskusi, seminar atau forum-forum lainnya. Yang terjadi saat ini terutama
forum diskusi dengan menghadirkan kelompok Islam yang saling berbeda
pendapat atau dengan umat beragama lain, seringkali disertai dengan caci maki,
pelecehan dan tuduhan yang tidak berdasar kepada lawan bicaranya. Belum lagi
pekikan takbir sebagai tanda dukungan dari audience terhadap pembicara dan
sekaligus upaya melemahkan mental lawan bicara, seakan sesuatu yang lumrah
kita saksikan. Pemandangan itu sungguh bukanlah termasuk dari konsep
mujadalah billati hiya ahsan yang sangat menghargai lawan bicara.
Kenyataan diatas tentulah sangat jauh dari apa yang ditegaskan oleh Imam
al-Zamakhsyari tentang makna dari mujadalah billati hiya ahsan yaitu memilih
31
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, (Jakarta: Fitrah, 2007), h. 262
xxxix
cara terbaik dalam berdebat. Ciri dari debat tersebut adalah dengan mengapresiasi
pendapat orang lain. Disertai dengan kata-kata yang lemah lembut dan tidak
menggunakan kata-kata yang tidak pantas, terutama kata-kata yang bisa
memancing tindak kekerasan.32
Firman Allah dalam al-Quran:
Artinya:
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara
mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab)
yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu;
Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya
berserah diri".(QS: al-Ankabuut: 46)
Selain ketiga bentuk metode dakwah diatas ada bebrapa metode yang juga
sering digunakan oleh para da’i. Sebagaimana yang diungkapkan Asmuni Syukir
bahwa dalam pelaksanaan dakwah dikenal beberapa bentuk metode dakwah yang
lain seperti:
1) Metode ceramah (retorika)
Ceramah adalah tekhnik atau metode dakwah yang banyak diwarnai
oleh ciri karakteristik bicara. Seorang da’i/mubaligh pada suatu
aktifitas dakwah/ceramah dapat pula bersifat propaganda, kamapanye,
berpidato, khutbah, sambutan, mengajar, dan sebaginya. Metode
ceramah ini sebagai metode konvensional yang masih banyak kita
32
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, (Jakarta: Fitrah, 2007), h.263
xl
jumpai di tengah-tengah masyarakat kita. Dari sisi gearakan awal
dalam berdakwah memang metode ini sangat efektif. Namun jika
metode tidak diikuti langkah selanjutnya dengan metode yang lain
maka akan terjadi kesia-siaan.
2) Metode Tanya Jawab.
Metode tanya jawab adalah penyampaian materi dakwah dengan cara
mendorong sasarannya (obyek dakwah) untuk menyampaikan suatu
masalah yang dirasa belum dimengerti oleh mubaligh atau da’inya,
sebagai penjawabnya. Metode ini sangat dibutuhkan bagi mad’u
karena permasalahan yang silih berganti muncul dalam masyarakat
begitu baragam.
3) Debat (mujadalah)
Mujadalah selain sinonim dari dakwah dapat juga sebagi salah satu
metode dakwah yaitu: mempertahankan pendapat dan idiologinya itu
diakui, kebenaran dan kehebatannya oleh musuh (orang lain).
4) Percakapan Antar Pribadi
Percakapan
antar
pribadi
atau
individual
conference
adalah
percakapan bebas antar seorang da’i/mubaligh dengan individuindividu sebagi sasaran dakwahnya.
5) Metode Demonstarasi
Berdakwah dengan memperlihatkan suatu contoh baik berupa benda,
peristiwa, perbuatan dan sebaginya. Dapat dinamakan bahwa seorang
da’i yang bersangkutan mengunakan metode demonstrasi.
xli
6) Metode Rasulullah SAW.
Nabi Muhammad seorang da’i yang dipilih oleh Allah SWT dalam
menyampaikan Islam melalui beberapa metode: Dakwah dibawah
tanah (sembunyi-sembunyi/keluarga terdekat), dakwah secara terangterangan, politik pemerintahan, tekhnik informasi surat-menyurat,
peperangan.
7) Pendidikan Agama
Pendidikan pengajaran dapat pula dijadikan sebagai metode dakwah
guna membina generasi muslim. Pendidikan ini seharusnya menjadi
metode yang sangat efektif dalam menyampaiakan pesan-pesan
agama. Karena di institusi semacam inilah norma-norma agama akan
sangat mudah
8) Mengunjungi Rumah
Metode dakwah yang dirasa efektif juga dilaksanakan dalam rangka
mengembangkan maupun membina umat Islam ialah metode dakwah
dengan cara mengunjungi rumah obyek dakwah atau disebut dengan
metode silaturahmi atau home visit.33
Selain pendekatan al-hikmah, maw'izhah hasanah, dan mujadalah dan
pendekatan beberapa pendekatan diatas, al-Quran juga memperkenalkan istilah
yang dapat dipandang sebagai bahasa dakwah, yaitu (1) qawlan layyina, (2)
qawlan baligha, (3) qawlan maysura, (4) qawlan karîma, dan (5) qawlan sadîda.
33
Asmunmi Syukir, Dasar Dasar Strategi Dakwahj Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1983) h.
164
xlii
Penjelasan dari kelima pendekatan atau bahasa dakwah tersebut akan dijabarkan
secara rinci di bawah ini.34
1). Qaulan Layyinâ (Perkataan yang Lemah Lembut)
Al-Quran mengintrodusir istilah qaulan layyina, seperti yang disebutkan
dalam Surat Thaha ayat 43-44 di bawah ini.
Artinya: "Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah
melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan
kaya-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".
Ayat ini berada dalam rangkaian kisah Nabi Musa (dan Harun) dengan
Fir'aun. Berhadapan dengan penguasa yang tiran, al-Quran mengajarkan agar
dakwah kepada mereka haruslah bersifat sejuk dan lemah lembut, tidak kasar, dan
menantang. Perkataan yang kasar kepada penguasa tiran dapat memancing
respons yang lebih keras dalam waktu yang spontan, sehingga menghilangkan
peluang untuk berdialog atau berkomunikasi antara kedua belah pihak. Psikologi
penguasa yang sewenang-wenang ialah, jika diusik pikiran dan perasaannya oleh
orang lain, maka ia akan segera bereaksi dengan keras sejak komunikasi yang
pertama .
Jadi, dakwah yang lembut adalah dakwah yang dirasakan oleh mad’u
sebagai sentuhan yang halus, tanpa mengusik atau menyentuk kepekaan
34
Achmad Mubarok, 1999. Psikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka Firdaus, h.132-146.
Kelima pendekatan dakwah di atas, dapat dilihat juga pada buku Achmad Mubarok, Jiwa dalam
Al-Quran, Op.Cit., h.251-260.
xliii
perasaannya sehingga tidak menimbulkan gangguan pikiran dan perasaan. Dengan
sentuhan yang halus itu, orang kasar pun dibuat sulit untuk mendemonstrasikan
kekasarannya.
2). Qaulan Balîghâ (Perkataan yang Membekas pada Jiwa)
Al-Quran memberikan tuntunan, bahwa redaksi seruan dakwah berbedabeda tekanannya, tergantung siapa mad'unya. Surat al-Nisa ayat 63 di bawah ini
mengintrodusir istilah qaulan baligha yang dapat diterjemahkan dengan
"perkataan yang membekas pada jiwa".
Artinya: "Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada
dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan
berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan
yang berbekas pada jiwa mereka".
Ayat tersebut di atas berkenaan dengan orang munafik yang di hadapan
Nabi berpura-pura baik, tapi di belakang, mereka menentang dakwah Nabi.
Kalimat dakwah yang persuasif bagi orang munafiq adalah kalimat yang tajam,
pedas, tetapi benar, baik bahasa maupun substansinya. Dengan qaulan baligha,
sekurang-kurangnya orang munafiq dibuat tak berkutik di depan da'i, meskipun di
belakang hari mereka bekerja keras mencari celah yang dapat digunakan untuk
menyerang da'i. Pengertian lain dari qaulan baligha adalah suatu perkataan yang
membuat lawan bicaranya terpaksa harus mempersepsi perkataan itu sama dengan
apa yang dimaksudkan oleh pembicara, sehingga tidak ada celah untuk
mempersepsi lain.
xliv
3). Qaulan Maysûrâ (Perkataan yang Ringan)
Istilah qaulan maysura tersebut dalam Surat al-Isra ayat 28:
Artinya: "Dan jika kamu berpaling daari mereka untuk memperoleh rahmat dari
Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka
ucapan yang pantas".
Kalimat maysura berasal dari kata yasr, yang artinya mudah. Qaulan
Maysura adalah lawan dari qaulan ma'sura, perkataan yang sulit. Sebagai suatu
proses komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, yang
ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku dan tidak bersayap. Dakwah dengan
qaulan maisura artinya pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti
dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir panjang. Pesan dakwah
model ini tidak memerlukan dalil naqli maupun argumen-argumen logika yang
rumit.
4). Qaulan Karîmâ (Perkataan yang Mulia)
Kalimat qaulan karima dalam al-Quran terdapat dalam ayat yang
mengajarkan etika pergaulan manusia kepada kedua orang tuanya yang sudah tua,
seperti yang disebutkan dalam surat al-Isra ayat 23:
Artinya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya
xlv
sampau berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada kedua perkataan "ah", dan
janganlah kamu membantah mereka, dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulai".
Dalam perspektif dakwah, maka term qaulan karima diperlukan jika
dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia
lanjut, atau dalam masyarakat kota barangkali adalah kelompok pensiun. Seorang
da'i dalam berhubungan dengan lapisan mad'u yang sudah masuk kategori usia
lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap orang tua sendiri, yakni hormat dan
tidak berkata keras dan kasar kepadanya.
Kata karima yang artinya penuh kebajikan (katsir al-khair) jika
dihubungkan dengan qaulan berarti sahlan wa layyinan yakni perkataan yang
mudah dan lembut. Berdakwah kepada orang yang berusia lanjut, haruslah dengan
perkataan yang musah dipahami dan disampaikan dengan retorika yang halus dan
lembut.
5). Qaulan Sadîdâ (Perkataan yang Benar)
Term Qaulan Sadida merupakan persyaratan umum suatu pesan dakwah
agar dakwahnya persuasif. Ditujukan kepada siapa pun, pesan dakwah haruslah
dengan perkataan yang benar. Terma qaulan sadida disebut dua kali dalam alQuran, yaitu dalam Surat an-Nisa ayat 9 dan surat al-Ahzab ayat 70. Yang
pertama berkaitan dengan hukum waris, dan yang kedua berhubungan dengan
pesan dakwah.
xlvi
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar".
Perintah untuk berkata benar didahului oleh perintah bertaqwa, dan Allah
berjanji bahwa berkata benar yang dilandasi oleh ketakwaan itu akan mengantar
pada perbaikan amal dan ampunan dari dosa. Seorang da'i yang konsisten dengan
pesan kebenaran dan didukung oleh integritas pribadinya yang mulia, dijamin oleh
al-Quran bahwa dakwahnya bukan hanya membangun orang lain tetapi juga
membangun dirinya, yakni meningkatkan integritas dirinya.
3. Media Dakwah
Bila dilihat dari asal katanya, media berasal dari bahasa Latin yaitu median
yang berarti alat perantara. Sedangkan pengertian istilah media berarti segala
sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai sesuatu tujuan
tertentu.35
Sedangkan media dakwah berarti segala sesuatu yang dapat digunakan
sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah
ini dapat berupa barang (material, orang, tempat, kondisi tertentu dan sebaginya).
Menurut Hamzah Yakub media dakwah ditinjau dari bentuk penyampaian
dapat dijelaskan menjadi lima yaitu:
a) Lisan, dakwah dengan metode ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah
bimbingan penyuluhan dan sebagainya.
35
Ibid 178
xlvii
b) Tulisan, dakwah yang dilakukan dengan perantara tulisan seperti buku,
majalah, surat kabat (Koran), surat menyurat (koresponden), spanduk dan
sebaginya.
c) Lukisan. Seperti gambar, karikatur, kaligrafi dan sebaginya.
d) Audio visual yaitu alat dakwah yang merangsang alat indra pendengaran
atau penglihatan atau kedua-duanya. Seperti televisi, radio, film, slide,
OHP, interenet dan lain sebaginya.
e) Akhlak. Yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran
Islam dapat dinikmati serta didengarkan oleh mad’u.36
Dari beberapa pendapat diatas, penulis berkesimpulan bahwa media dan
cara yang digunakan untuk berdakwah hakikatnya adalah agar tercapai sebuah
misi dakwah kepada mad’u dan dapat diterima dengan penuh ikhlas sehingga
dapat tercapai sebuah misi dakwah yang sudah ditentuakan oleh para da’i.
Dalam buku Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Asmuni Syukir
berpendapat bahwa ada beberapa media yang dapat dijadikan sebagai media
dakwah, antara lain:
a) Lembaga-lembaga pendidikan formal
b) Lingkungan keluarga
c) Organisasi-organisasi Islam
d) Hari-hari besar Islam
e) Media massa (radio, televisi, buku, surat kabar, majalah, dan lain-lain)
f) Seni budaya (musik, drama, sastra, wayang kulit, dan lain-lain). 37
36
Hamzah Yakub, Publisistik Islam Tekhnik Dakwah Islam Dan Lidersif, (Bandung: CV
Diponogoro 1986) h.4
xlviii
4. Tujuan Dakwah
Bila dipahami pengertian dakwah yang sudah dikemukakan sebelumnya,
sebenarnya secara eksplisit sudah tergambarkan apa yang menjadi tujuan dakwah.
Tujuan pokoknya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan umat
manusia, baik di dunia maupun di akhirat dan menjadi rahmat bagi alam semesta.
Tujuan pokok ini juga terperinci sebagi berikut:
a. Mengajak umat manusia yang sudah memeluk agama Islam agar selalu
meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT.
b. Membina mental kegamaan bagi kaum yang masih mualaf (baru masuk
Islam)
c. Mengajak manusia yang belum beriman agar beriman kepada Allah SWT.
d. Mendidik anak-anak (generasi Islam) agar tidak menyimpang dari
fitrahnya.38
Menurut Toha Yahya Umar, dakwah Islam bertujuan untuk menyebarkan
benih “hidayah” yang pokoknya dilakukan dengan cara meluaskan I’tikad
(Aqidah)
meneruskan
amal
shaleh,
membersihkan
jiwa,
mengokohkan
kepribadian, mengokohkan persaudaraan dan menolak syubhat agama. 39
Dengan demikian semakin jelas, pada perinsipnya ajaran dakwah
bertujuan membimbing umat manusia kepada sesuatu yang bermanfat dan
menunjukan bagaimana cara meraih kebahagian, hanya bisa tercapai dengan cara
37
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1983) h.
38
Ibid, h.58
39
Toha Yahya Umar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Widjaya,1992), cet ke-5, H. 10
179
xlix
menumbuhkan benih-benih hidayah, mensucikan jiwa, menjalankan perintah
Tuhan, dan memelihara diri dari sesuatu yang dilarang dari ajaran agama Islam.
5. Strategi Dakwah dalam Merespon Problematika Umat.
Untuk mengatasi berbagai persoalan umat yang begitu kompleks, institusi
dakwah tidak cukup hanya dengan dengan melakukan program dakwah
konvensional, sporadis, dan reaktif, tetapi harus bersifat profesional, strategis, dan
pro-aktif. Menghadapi sasaran dakwah (madu) yang semakin kritis dan tantangan
dunia global yang makin kompleks dewasa ini, maka diperlukan strategi dakwah
yang mantap, sehingga aktivitas dakwah yang dilakukan dapat bersaing di tengah
bursa informasi yang semakin kompetitif.
Ada beberapa rancangan dakwah yang dapat dilakukan untuk menjawab
permasalahan dewasa ini, yaitu: 40
a. Memfokuskan aktivitas dakwah untuk mengentaskan kemiskinan umat.
b. Menyiapkan elit strategis Muslim untuk disuplai ke berbagai jalur
kepemimpinan bangsa sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing.
c. Membuat peta sosial umat sebagai informasi awal bagi pengembangan
dakwah
d. Mengintregasikan wawasan etika, estetika, logika, dan budaya dalam berbagai
perencanaan dakwah
e. Mendirikan pusat-pusat studi dan informasi umat secara lebih propesional dan
berorientasi pada kemajuan iptek
40
Kontowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta: Salahudin Press,
1985), hlm. 120.juga Syahrin Harahap, Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm.143-145.
l
f. Menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan: ekonomi, kesehatan dan
kebudayaan umat Islam. Karenanya, sistem manajemen kemasjidan perlu
ditingkatkan
g. Menjadikan sebagai pelopor yang propertis, humanis, dan transpormatif.
Karenanya perlu dirumuskan pendekatan-pendekatan dakwah yang
progresif dan inklusif. Dakwah Islam tidak boleh hanya dijadikan sebagai objek
dan alat legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata bersifat ekonomispragmatis berdasarkan kepentingan sesaat para penguasa. Untuk merencanakan
strategi dakwah yang mumpuni, maka diperlukan pembenahan secara internal
terhadap beberapa unsur yang terlibat dalam proses dakwah. Unsur-unsur tersebut
adalah Dai/juru dakwah (aktivis dakwah) materi dakwah, metode dakwah, dan
alat atau media dakwah. Pembenaran strategis terhadap unsur tersebut dapat
dilakukan melalui langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Peningkatan sumber daya muballigh/Da’i (SDM)
Untuk mencapai tujuan dakwah secara maksimal, maka perlu dukungan
oleh para juru dakwah yang handal. Keandalan tersebut meliputi kualitas yang
seharusnya dimiliki oleh seorang juru dakwah yang sesuai dengan tujuan dewasa
ini. Aktivitas dakwah dipandang sebagai kegiatan yang diperlukan keahlian.
Mengingat suatu keahlian memerlukan penguasaan pengetahuan, maka para
aktivis dakwah (Dai/muballigh) harus memiliki kualifikasi dan persyaratan
li
akademik dan empirik dalam melaksanakan kewajiban dakwah.41 Di era modern
ini, juru dakwah perlu memiliki dua kompetensi dalam melaksanakan dakwah,
yaitu : kompetensi substantif dan kompetensi metodologis. Kompetensi substantif
meliputi penguasaan seorang juru dakwah terhadap ajaran-ajaran Islam secara
tepat dan benar. Kompetensi metodologis meliputi kemampuan juru dakwah
dalam mensosialisasikan ajara-ajaran Islam kepada sasaran dakwah (mad’u).42
b. Pemanfaatan Teknologi Modern sebagai Media Dakwah
Salah satu sasaran yang efektif untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam
adalah alat-alat teknologi modern di bidang informasi dan komunikasi. Kemajuan
di bidang informasi dan telekomunikasi harus dimanfaatkan oleh aktivis dakwah
sebagai media dalam melakukan dakwah Islam, sebab dengan cara demikian
ajaran agama Islam dapat diterima dalam waktu yang relatif singkat oleh sasaran
dakwah dalam skala luas. Dalam hal ini, lembaga-lembaga dakwah masih banyak
yang belum dapat memanfaatkan akses teknologi-informasi secara maksimal,
begitu juga dengan penyediaan dakwah modern, misal TV. Hingga kini masih
menjadi impian. Oleh karena itu, lembaga dakwah perlu membangun sinergis
antar kekuatan guna merealisasikannya dalam rangka mengimbangi laju informasi
dan meredam program-program TV yang tidak mendidik dan cenderung merusak
tatanan masyarakat.
c. Pengembangan Metode Dakwah Fardhiyah.
41
4 Asep Muhyidin, Dakwah dalam Perspektif al-Quran: Studi Kritis atas Visi, Misi dan
Wawasan, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 34.
42
Abdul Munir Mulkhan, Ideologi Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir dan
Azhar Basyir, (Yogyakarta: Sipress, 1996), hlm. 237.
lii
Untuk menjawab tantangan dunia global, maka perlu dikembangkan
metode dakwah fardhiyah, yaitu metode dakwah yang menjadikan pribadi dan
keluarga sebagai sendi utama dalam aktivitas dakwah. Dalam usaha membentuk
masyarakat yang dicirikan oleh Islam harus berawal dari pembinaan pribadi dan
keluarga yang Islami, sebab lingkungan keluarga merupakan elemen sosial yang
amat strategis dan memberi corak paling dominan bagi pengembangan masyarakat
secara luas. Pembinaan pribadi dan keluarga yang Islami ini dapat ditempuh
melalui dua cara, yaitu: pertama, peningkatan fungsi orang tua (ibu dan bapak)
sebagai tauladan dalam rumah tangga; kedua, perlunya dibentuk lembaga
konsultan keluarga sakinah (KKS) dan klinik rohani Islam (KRI) dalam setiap
komunitas Muslim. Untuk pelaksanaan KKS dan KRI ini diperlukan tenaga
penyuluh dan counselor Islam yang handal baik secara teoritis maupun secara
praktis.43 Di sinilah peran lembaga dakwah untuk membina dan mendorong agar
anggotanya mengembangkan dakwah fardiyah sehingga masing-masing keluarga
dapat terpantau dan
terkendali, sekaligus menjadi benteng kontrol sosial.
d. Penerapan Dakwah Kultural
Dakwah kultural adalah dakwah Islam dengan pendekatan kultural, yaitu:
pertama, dakwah yang bersifat akomodatif terhadap nilai budaya tertentu secara
inovatif dan kreatif tanpa menghilangkan aspek substansial keagamaan; kedua,
menekankan pentingnya kearifan dalam memahami kebudayaan komunitas
43
Mohammad Noer, “Dakwah untuk Umat,” Makalah dalam Workshop Program Studi
Sejenis Ditjen Pendidikan Islam Depag RI, 2007, hlm. 5.
liii
tertentu sebagai sasaran dakwah. Jadi, dakwah kultural adalah dakwah yang
bersifat buttom-up dengan melakukan pemberdayaan kehidupan beragama
berdasarkan nilai-nilai spesifik yang dimiliki oleh sasaran dakwah. Lawan dari
dakwah kultural adalah dakwan struktural, yaitu dakwah yang menjadikan
kekuasaan, birokrasi, kekuatan politik sebagai alat untuk memperjuangkan Islam.
Karenanya dakwah struktural lebih bersifat top-down.
Secara sunnatullah, setiap komunitas manusia, etnis, dan daerah memiliki
kehasan dalam budaya. Masing-masing memiliki corak tersendiri dan menjadi
kebanggaan komunitas bersangkutan. Dalam melakukan dakwah Islam corak
budaya yang dimiliki oleh komunitas tertentu dapat dijadikan sebagai media
dakwah yang ampuh dengan mengambil nilai kebaikannya dan menolak
kemungkaran
yang
terkandung dalamnya.
Perbedaan
penghayatan
dan
pengamalan agama selalu dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: karakteristik
individu, umur, lingkungan sosial, dan lingkungan alam. Kelahiran mazhab dalam
Islam pun turut dipengaruhi oleh faktor alam dan geografis. Karena itu, akan
selalu ada perbedaan cara beragama antar orang desa dan kota, petani dengan
nelayan, masyarakat agraris dan masyarakat industri, dan sebagainya. Perbedaanperbedaan itu perlu dimengerti oleh para aktivis dakwah supaya dakwah Islam
yang dilakukan dapat menyeseuaikan diri dengan kondisi objektif manusia yang
dihadapi dan kecendrungan dinamika kehidupan mutakhir.
Dalam
melakukan dakwah kultural, para aktivis dakwah harus
menawarkan pemikiran dan aplikasi syariat Islam yang kaffah dan kreatif. Materimateri dakwah perlu disistematiskan dalam suatu rancangan sillabi dakwah
liv
berdasarkan kecendrungan dan kebutuhan madu. Para aktivis dakwah tidak boleh
langsung
menghakimi
jamaah
berdasarkan
persepsinya
sendiri,
tanpa
mempertimbangkan apa sesungguhnya yang sedang mereka alami. Karena itu
materi dakwah kultural tidak semata-mata bersifat fiqh sentries, melainkan juga
materi-materi dakwah yang aktual dan bernilai praktis bagi kehidupan umat
dewasa ini. Kaedah formal ketentuan-ketentuan syariah yang selama ini
merupakan tema utama pengajian dan khutbah harus diimbangi dengan uraian
mengenai hakikat, substansi, dan pesan moral yang terkandung dalam ketentuan
syariah dan fiqh tersebut. Seiring dengan pergeseran ini, maka tema-tema dakwah
pun yang muncul kepermukaan adalah masalah-masalah yang menyangkut
lingkungan hidup, polusi udara, perubahan iklim, pemanasan global, etika bisnis
dan kewiraswastaan dan, bio-teknologi dan cloning, HAM, demokrasi, supremasi
hukum, etika politik, kesenjangan sosial ekonomi dan pemerataan hasil-hasil
pembangunan, budaya dan teknologi informasi, gender, dan tema-tema
kontemporer lainnya.
Keharusan untuk medesain ulang tema-tema dakwah ini merupaka
tuntunan modernisasi spiritualitas Islam yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Sebab, problema yang muncul di zaman modern jauh lebih kompleks dan
memerlukan respon yang lebih beragam dan akomodatif.44 Di sinilah lembaga
dakwah secara sistematis memberikan respon-proaktif bukan reaktif yang
sporadis. Sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh umat secara konkrit.
44
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1999),
hlm. 14.
lv
6. Dakwah Kultural Walisanga
Islam-Indonesia dibawa oleh para kaum sufi yang berdagang ke wilayah
Indonesia sekitar abad 14 M (8 H). Para pedagang tersebut berasal dari kawasan
India, Yaman, Persia, dan Mesir. Sebagian dari mereka yang pada akhirnya
melahirkan sosok-sosok dai tangguh yang tergabung dalam Wali Songo yang
mendakwahkan ajaran Islam di beberapa belahan wilayah Indonesia. Dalam
prakteknya, mereka menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Indonesia
dengan memperhatikan kondisi sosio-kultural yang ada. Karena ajaran agama
sebelumnya (Hindu dan Budha) sudah mendarahdaging dalam aktifitas keseharian
mereka, maka metode dakwah yang diterapkan pun menyesuaikan dengan kultur
yang ada.45 Secara perlahan-lahan, metode persuasif yang dikembangkan dengan
sangat cantik, bisa diterima oleh masyarakat. Bahkan tidak jarang, para Walisongo
ini mengadopsi tradisi dan adat-istiadat Hindu dan Budha dan selanjutnya
diakselerasikan dengan ajaran Islam. Dengan begitu maka masyarakat akan
dengan mudah menerima kehadiran Islam. Cara ini ternyata ampuh. Dengan
sangat mengejutkan, banyak sekali masyarakat Indonesia yang berbondongbondong memeluk agama Islam. 46
Ketika para penjajah menduduki wilayah Indonesia sekitar 350 tahun,
keadaan berubah. Meskipun tidak sedikit anggota masyarakat yang bisa diperalat
45
Fadlolan Musyaffa, MA. Budaya dan Media Dakwah, Selasa, 17 Juli 2007
http://www.numesir.org/cetak.php?id=43
lvi
oleh mereka, namun sebagian besar dari mereka memilih untuk tidak melakukan
kompromi dengan penjajah. Terutama bagi mereka yang notabene baru mengenal
Islam, tidak ada tempat pelarian bagi mereka kecuali melarikan diri ke daerahdaerah terpencil yang sekiranya tidak terendus oleh para penjajah. Bahkan tidak
jarang mereka yang melarikan diri ke gua-gua dan daerah pegunungan untuk
menenangkan diri dan terus memperdalam keislaman mereka. Mereka telah
antipati dan berkomitmen untuk tidak melakukan kompromi dalam bentuk apapun
dengan penjajah.
Secara garis besar, ajaran yang dikembangkan Walisongo di tengah
masyarakat merupakan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Meskipun demikian,
aliran ini bukanlah satu-satunya aliran yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Ada aliran lain, misalnya Salafiyah. Ia mempunyai jumlah pengikut yang cukup
signifikan dan secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap para
penjajah. Di sisi lain, mereka juga melakukan perlawanan ideologi menentang
aliran Syafi'iyah dan Maturidiyah yang telah lebih dulu berkembang di Indonesia.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan ajaran yang dijadikan mainstream oleh masingmasing kelompok yang ada.
Pembelajaran
tentang
kehidupan
harmonis
ditengah
mejemuknya
masyarakat Indonesia telah diajarkan oleh Walisanga. Keberhasilan dakwah yang
diraih dalam waktu relatif singkat itu menjadi menarik untuk dikaji. Petama,
keberhasilan Walisanga dalam “mengislamkan” sebagian masyarakat jawa justru
ditengah-tengah keberadaan kerajaan Hindu, Majapahit. Meskipun harus diakui
lvii
pula bahwa Majapahit pada waktu itu pada masa kemundurannya. Kedua,
kegemilngan itu justru tidak didukung dengan kekuatan militer sebagaimana
ekspansi yang terjadi di Spanyol, Andalusia dan cordova. Metode dakwah yang
dilakukan oleh Walisanga adalah dengan mengambil budaya lokal sebagai
medianya. Maka tidak heran akan mudah dijumpai bentuk “perkawinan” antara
nilai universal Islam dengan budaya lokal di tanah jawa. Bentuk akulturasi
semacam itu ternyata justru mengantarkan Walisanga meraih tujuan dakwah yang
diharapkan.
Kesenian wayang yang dahulu adalah cerita tentang kisah Hindu
Mahabarata dan Ramayana kemudian di modifikasi dengan memasukan unsurunsur ajaran Islam. Pertama yang dilakukan adalah merubah bentuk wayang yang
sebelumnya berupa ukiran kayu yang mirip mahluk hidup kemudian diganti
dengan kulit sapi agar kemiripannya jauh berkurang. Ini dilakukan karena dalam
ajaran Islam ada larangan untuk mengambar atau membuat patung yang mirip
dengan mahluk hidup. Kedua, memasukan nilai Islam kedalam unsur cerita dalam
pewayangan. Caranya dengan mempersonifikasikan atau memanusiakan tokohtokoh "pandawa Lima" seperti:
Puntadewa atau Samiaji sebagai saudara tua (anak sulung) dari pandawa
karena kalimat syahadat adalah rukun Islam yang pertama. Didalam cerita
wayang, sifat-sifat Puntadewa sebagai raja (Syahadat bagaikan rajanya rukun
Islam) yang memiliki sikap "berbudi bawa leksana, berbudi luhur dan penuh
kewibawaan. Seorang raja yang arif bijaksana, adil dalam ucapan dan perbuatan
lviii
(al-adlu), sebagai pengejawantahan dari kalimat syahadat yang selamanya
mengilhami kearifan dan keadilan. Puntadewa memimpin keempat saudaranya
dalam suka duka dan penuh kasih saying. Demikian pula dalam rukun Islam
kalimat Syahadat adalah rajanya, karena biarpun seseorang menjalankan rukun
Islam yang kedua, ketiga, keempat,dan kelima namun tidak menjalankan rukun
Islam yang pertama maka seluruh amalnya akan sia-sia. Terlebih orang akan
menyebutnya sebagai seorang yang munafik (hipokrit). Prabu Puntadewa tidak
pernah mati selama ia memiliki azimat "Kalimosodo" (kalimat syahadat atau
syahadatain), senantiasa unggul dalam setiap perjuangan dan selalu ikhlas dan
menyayangi rakyatnya.
Bima atau Werkudara dipersonofikasikan sebagai rukun Islam yang
kedua yaitu Shalat lima waktu. Dalam kisah pewayangan bima terkenal sebagai
penegak pandawa. Ia hanya bisa berdiri saja, karena memang tidak bisa duduk,
konon menurut ki Dalang tidurpun Bima dengan berdiri. Seperti halnya hadis
Nabi Muhammad SAW yang artinya: "Shalat adalah tiang agama, barang siapa
yang menjalankanya maka ia menegakkan Islam dan barang siapa yang
meninggalkanya maka ia merobohkan Islam". Dalam kehidupanya sehari-hari
Bima selalu menggunakan "bahasa ngoko" atau bahasa jawa kasar bail itu kepada
Dewa, pendeta, kiayi dan lain-lain. Sebagai lambang rukun Islam yang kedua
shalat lima waktu maka shalat berlaku terhadap siapapun, kapanpun dan
dimanapun.
Arjuna atau Janoko dipersonifikasikan sebagai rukun Islam yang ketiga
yaitu Zakat. Dalam cerita pewayangan dia disebut sebagai "lelananging Jagad"
lix
(lelaki pilihan). Nama Arjuna berasal dari kata "Jun" yang artinya jambangan.
Benda ini merupakan symbol jiwa yang bersih. Banyak wanita yang "nandhang
gandrung kapirangu lan kapilayu" (tergila-gila) kepadanya. Arjuna memiliki sifat
yang sangat lemah lembut, terlebih terhadap kaum wanita dia sangat tidak bisa
mengatakan "tidak" (seperti orang Jawa pada umumnya diluar mengatakan tidak
padahal batinya mengiyakan). Dengan kehalusan dan kelembutan Arjuna maka ia
terlihat lemah dan tidak berdaya, namun sebenarnya dibalik kelemahan dan
kehalusanya terdapat kekuatan yang sangat luarbiasa. Terbukti Arjuna selalu
unggul didalam setiap pertempuran. Maka demikianlah Zakat sebagai rukun Islam
yang ketiga yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim disini juga
mengandung arti agar setiap muslim dimanapun berada agar berjuang untuk
mendapatkan rizqi dan kekayaan. Setiap orang pasti menginginkan "mas peci raja
brana" (harta kekayaan dan lain-lainya). Maka agar harta itu berfungsi sosial dan
pembersih maka harus di Zakati supaya suci dan bersih lahir batinya.
Nakula dan Sadewa dipersonifikasikan sebagai rukun Islam yang keempat
dan kelima yaitu Puasa ramadhan dan haji. Kedua tokoh ini hanya bertemu pada
saat-saat tertentu saja. Demikian juga dengan puasa Ramadhan dan haji tidak
setiap hari dikerjakan. Hanya dikerjakan dalam waktu tertentu misalnya Puasa
setahun sekali pada bulan Ramadhan, dan haji juga setahun sekali pada bulan
dzulhijah di mekah al-Mukaromah. Pandawa bukanlah pandawa tanpa si kembar
nakula sadewa, meskipun mereka ini lahir dari ibu yang lain, Dewi Madrim yang
ikut "labuh geni" (menceburkan diri kedalam api bila suaminya meninggal
lx
menurut tradisi Hindu) dengan suaminya pandu Dewanata. Memang demikian
puasa ramadhan dan haji lahir pada bulan-bulan tertentu (ramadhan dan zulhijah).
Penghormatan terhadap budaya lokal juga ditunjukan oleh Sunan Kudus. Peninggalannya sampai sekar
daerah jawa tengah masih mengikuti tradsi tersebut dengan cara tidak makan
daging sapi.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia
dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak
adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau
atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra
Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga
memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap
keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru
beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya
syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan
mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.47
Berbagai bukti-bukti diatas, menunjukkan penerimaan walisanga terhadap
budaya lokal merupakan satu indikasi pemahaman yang kuat bahwa kepulauan
nusantara
memiliki
keragaman
budaya
dan
agama.
Maka
Walisanga
memperlakukan objek dakwahnya tidak keras terhadap kebudayaan-kebudayaan
yang tumbuh dan berkembang bersama agama Budha dan Hindu. Walisanga
47
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa Depan
(Jakarta: P3M, cet. I, 1989), h. 92.
lxi
justru secara cerdas menjadikan kultur masyarakat yang ada itu sebagai salah satu
strategi dakwahnya dalam mendekati objek dakwahnya. Pendekatan yang diambil
inilah membuat gerakan dakwah seperti ikut mengalir dalam arus yang ada, tapi
terus memberikan warna terhadapnya. Adapaun warna yang dimaksud adalah
warna keislaman, dengan tanpa melakukan pembersihan terhadap tardisi lokal.
Pendekatan kultur ini pula menjadi babak baru sebagai model dakwah penyebaran
Islam yang berhasil secara gemilang tanpa dilakukan dengan kekuatan politik atau
militer.
Dengan melihat warisan yang begitu baik dari walisanga dalam
menyampaikan Islam, maka sudah menjadi keharusan bagi kita untuk
melestarikannya. Bukan saja karena keberhasilannya yang gemilang dalam proses
Islamisasi, tapi lebih dari itu bagaimana mereka wujudkan itu dengan tetap
menghomati budaya yang telah berkembang dalam masyarakat. Inilah seharusnya
menjadi teladan bagi penggiat dakwah dalam menyampaikan kebenaran Islam
secara cerdas dan bermartabat.
7. Fenomena Dakwah kontemporer
Perkembangan dakwah di Indonesia dewasa ini secara umum sulit dinilai
apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan oleh praktisi dakwah. Ini terjadi
bukan karena berhentinya proses dakwah itu, melainkan sangat sulit untuk
menentukan ukuran-ukuran yang tepat sebagai standarisasi keberhasilan dakwah
secara menyeluruh. Memang secara sederhana keberhasilan dakwah dikatakan
telah berhasil jika tujuan dakwah telah tercapai. Namun kalau yang menjadi
lxii
ukuran adalah dari segala sisi kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan
ekonomi artinya tidak un sich dalam bidang agama maka kiranya masih jauh
dirasakan keberhasilannya.
Memang harus diakui secara jujur bahwa perkembangan pengajianpengajian atau majelis taklim sekarang ini sedang mengalami ghiroh yang tinggi.
Ambil contoh di Jakarta banyak bermunculan pengajian-pengajian seperti Majelis
Rosulullah yang di pimpin Habib Mundzir Al-Musawwa atau Nurul Mustofa yang
diasuh Habib Hasan bin Ja’far Assegaf. Pada malam minggu akan dijumpai arakarakan para pemuda-pemudi dengan menggunakan motor atau mobil untuk
menghadiri tempat-tempat pengajian tersebut. Belum lagi majelis taklim yang
biasanya gencar dilakukan para ibu-ibu yang jumlahnya mencapai ribuan. Tentu
fenomena itu harus diberi apresiasi yang tinggi apalagi ini terjadi di Jakarta
sebagai Ibu Kota Negara.
Tidak hanya pengajian yang bersifat tabligh konvensional. Para da’i juga
merambah kedunia teleivisi sebagai alat atau media dalam menyampaikan
dakwahnya. Ini tentu menarik karena jangkauan media yang tidak hanya bersifat
lokal dan temporal namun juga bisa dinikmati mad’u di berbagai daerah. Maka
tidak heran kita mengenal tokoh da’i kondang seperti KH. Abdullah Gymnastiar,
Ust. Jefry Al-Bukhori, Ust. Mansyur atau Ust. Arifin Ilham yang beberapa tahun
terakhir menghiasi layar kaca televisi. Kalau dulu kita kita mengenal Zainuddin
MZ maka sekarang ini estafet dakwah di media diteruskan oleh ketiga da’i
tersebut.
lxiii
Malahan trend yang terjadi sekarang muncul da’i karbitan yang namanya
di besarkan oleh media sebagai bagian dari kepentingan bisnis semata. Saking
populernya da’i tersebut di media televisi tidak jarang para da’i lebih terasa lekat
menjadi sebagai selebriti dari pada sebagai penyuluh agama. Inilah yang harus
menjadi perhatian para penggiat dakwah agar tetap menjaga jarak dengan media.
Tentu kita tidak menginginkan kasus yang terjadi kepada K.H. Abdullah
Gymnastiar tidak terulang lagi. Hanya karena kasus poligami yang dilakukannya
terjadi aksi boikot sekaligus pemutusan kontrak kerja dengan beberapa stasiun
TV. Dalam sekejap pesona kyai dari kota Parahiyangan pun mulai meredup.
Selain perkembangan yang cukup menjajikan diatas terdapat pula
keprihatinan yang perlu diperhatikan secara serius. Banyak kita jumpai saat ini
para da’i lebih sering menabur benih-benih kebencian kepada setiap kelompok
yang berbeda, entah itu kepada sesama muslim atau dengan kelompok agama lain.
Sebelum reformasi kita tentu dapat memahami jika para mubaligh sering bicara
keras bahkan terkesan menantang dan provokatif. Tapi semua itu ditujukan
kepada penguasa negeri ini yang saat itu berbuat tidak adil, korup, nepotisme dan
melakukan penindasan kepada rakyat. Sekarang, konteksnya bergeser kepada
upaya untuk melakukan pemaksaan kehendak kepada kelompok minoritas yang
berbeda pandangan, entah itu sesama muslim atau kepada umat baragama lain.
Kemudian yang perlu disorot lagi adalah materi-materi khutbah yang di
sampaikan para khatib pada sholat jumat, terutama di Jakarta. Apa yang
disampaikan para khatib seringkali cenderung provokatif dan berupaya untuk
menjelek-jelekkan pihak lain. Perkataan yang kurang pantas seperti hujatan dan
lxiv
tuduhan juga meluncur dari mulut mereka. Padahal jelas masjid secara etis adalah
milik semua golongan Islam. Oleh karenanya pada waktu sholat jumat
berlangsung, semua jamaah melepaskan diri dari sekat-sekat organisasi sosial
maupun politik ataupun madzahab yang dikutinya. Namun sayangnya perilaku
para khatib tidak bisa menghargai perbedaan-perbedaan para jamaahnya yang
berafiliasi dengan kelompok tertentu. Hujatan, tuduhan, dan mejelekkkan kepada
kelompok maupun tokoh-tokoh tertentu sering dilancarkan para khatib. Selain itu,
materi khutbah sekarang ini banyak mengambil isu-isu kontemporer yang masih
menjadi perdebatan di dalam masyarakat. Jika kondisi ini terus berlangsung
sungguh membahayakan bagi persatuan umat dan keberlangsungan toleransi yang
telah terjaga selama ini. Bisa jadi masjid pada saatnya nanti masjid menjadi
terkotak-kotak untuk komunitas jamaah terbatas yang sesuai paham yang
diusungnya.
C. Teori Pluralisme
1. Pengertian
Pluralisme dalam bahasa Inggris berasal dari kata plural berarti jamak
atau banyak48, secara sederhana dapat dimaknai sebagai sikap yang menyadari
adanya kemajemukan masyarakat, baik dari segi etnis, bahasa, agama, gender,
maupun bangsa. Bisa pula sebagai sikap sadar terhadap kemajemukan agama-
48
Jhon M. Echol dan Hasan Shadiliy, (ed.), “plur”, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 1996), Cet. Ke-23, h. 435
lxv
agama sebagai kenyataan yang tak dapat dielakkan, sesuatu yang hadir di
depan mata. 49
Pluralitas dapat diartikan sebagai agama, kebangsaan, pandangan
politik, yuridiksi politik, dan pendapat perseorangan, yang kesemuanya
berkumpul bersama di dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itu, berbicara
mengenai pluralisme di dalam masyarakat Muslim adalah berbicara mengenai
kemerdekaan dan demokrasi.50
Dengan alasan kehati-hatian, ada yang membedakan antara kata
pluralitas dan pluralisme. Yang pertama sebagai sebuah realitas antropologis,
sedangkan yang kedua sebagai pandangan hidup atau sikap hidup.51 Sebagai
sebuah realitas antropologis memang tidak bisa di sangkal bahwa
kemajemukan yang ada di bumi ini justru menjadi sebuah pertanda akan
kekuasaan Allah yang tidak terbatas. Pada posisi ini pluralitas sesungguhnya
lebih di terima oleh semua golongan. Namun, perdebatan baru akan muncul
ketika membahas pluralisme sebagai pandangan atau sikap hidup. Kelompok
pengusung faham ini menganggap bahwa penerimaan sekaligus penyebaran
terhadap pluralisme menjadi agenda penting di saat banyak kekerasan terjadi
di banyak tempat yang mendasarkan atas nama agama. Namun bagi kelompok
yang menolak faham ini berpendapat bahwa penyebaran faham pluralisme
adalah sebagai upaya barat untuk melakukan pendangkalan agama karena
49
Bahtiar Effendi dan Hendro Prasetyo (ed.), Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM-IAIN
Jakarta, 1998), h.86-87
50
Mohamad Shahrour, diakses pada tanggal 27 Juni 2008 www.mediaisnet.com
51
Komarudin Hidayat
lxvi
sangat kental terhadap faham relativisme. Apalagi, kelahirannya muncul dari
tradisi keagamaan yang terjadi di barat atau ke-kristenan.
Kata pluralisme muncul menjadi konsep pertama kali terjadi dalam
tradisi kehidupan dunia Barat. Kemunculannya dilatarbelakangi oleh
timbulnya gerakan protestantisme yang dipimpin Martin Luther (1546), tokoh
yang berusaha melansir pembaharuan keagamaan dalam tubuh gereja lantaran
merasa terkungkung dalam hirarki gereja dan kekuasaan politik yang menutup
kebebasan berpikir dan ekspresi masyarakatnya. Sejak abad pertengahan (abad
ke-5 dan ke-16), muncul sejumlah gerakan pemberontakan terhadap Gereja
Katolik Roma dan akhirnya berhasil menyatukan Eropa Kristen. Pada masa
itu, perang agama-agama yang dahsyat merebak dan telah menghancurkan
sendi-sendi kehidupan masyarakat, kerajaan, dan berbagai imperium.52
Menurut Richard J. Mouw (1993), pluralisme adalah paham mengenai
kemajemukan, dalam pengertian ini pluralisme dapat dikondisikan ketika
seseorang memiliki keyakinan bahwa di sana ada sesuatu yang penting, dapat
dikatakan bahwa yang bercorak banyak sebagai anugerah.53 Senada dengan itu,
John Hick mengatakan: ”Aneka ragam agama merupakan berbagai aliran
pengalaman keagamaan yang berbeda di mana masing-masing bermula pada
episode yang berbeda dalam sejarah manusia yang kemudian memekarkan
kesadaran logis di dalam sebuah ruang kebudayaan.” Di sini Hick hendak
menyatakan bahwa agama berbeda karena ia lahir dalam ruang sejarah dan budaya
52
Bahtiar Effendi dan Hendro Prasetyo (ed.), Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM-IAIN
Jakarta, 1998), h.86-87
53
Fathimah Usman, Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama, (Yogyakarta: LkiS,
2002), h. 64
lxvii
yang berbeda. Tapi perbedaan itu bertemu pada satu persepsi tentang sebuah
hakekat yang misterius.
Jhon Hick menyimpulkan bahwa pluralisme agama
adalah sesuatu yang rasional karena mampu memberikan penegasan tentang
realitas alam yang secara substansial benar, berkembang, tepat, dan jalan bagi
penyelamatan masa depan.54 Untuk itu masa depan bangsa kita masih sangat
tergantung pada sejauh mana hubungan antar umat beragama tercipta, di tengah
pluralitas agama. Karena pluralitas agama sendiri, menurut Harold Coward,
sebagaimana dikutip Sukidi, masih merupakan tantangan khusus bagi agamaagama.55
Bila ditelusuri secara mendalam, pemikiran sinkretis yang berupaya
menyamakan semua agama, pada dasarnya adalah bentuk pelecehan terhadap
agama. Pemikiran sinkretis semacam itu juga pernah dikembangkan oleh
kelompok organisasi rahasia Yahudi Free Masonry. Kelompok ini pernah
mendirikan perkumpulan teosofi di Indonesia dengan nama Nederlandsch
Indische Theosofische Vereeniging (Perkumpulan Teosofi Hindia Belanda, yang
merupakan cabang dari perkumpulan teosofi yang bermarkas di Adyar, Madras,
India (Saidi, 1994: 10-13)56
Penyangkalan sekaligus tuduhan bahwa pluralisme adalah bentuk
menyamakan
agama dalam segala hal adalah sikap yang jelas-jelas tidak mau
tahu sekaligus menutup mata terhadap realitas yang ada. Sebagaimana Adian
54
Ibid, h. 71
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001) h. 5
56
Adian Husaini “Teologi Pluralis yang Merusak (Kerukunan) Agama” Artikel diakses
55
pada 29 Juni 2008 [email protected]
lxviii
Husaini mengatakan bahwa Pluralisme adalah bentuk lain dari menyamakan
semua agama yang menurutnya merupakan suatu tindakan pelecehan terhadap
agama. Bagaimana mungkin suatu usaha untuk memahamai realitas agama yang
berbeda dengan tujuan saling mengenal dan menghormati justru disebut sebagai
sebagai tindakan pelecehan terhadap agama. Bukankah perbedaan itu justru telah
diciptakan oleh yang maha tunggal Allah SWT.
Penerimaan terhadap agama-agama tidak lepas dari keterbatasan manusia
dari memahami kesempurnaan Tuhan. Perbedaan justru menunjukan betapa
kayanya Tuhan. “Tuhan terlalu kaya dan sangat tak terbatas sehingga tradisi suatu
agama yang tentu saja memilki keterbatasan, tidak akan menimba secara tuntas
kesempurnaan Tuhan.” Kepenuhan Tuhan lebih baik terungkap melalui pluralitas
agama dari pada hanya oleh satu agama. Jadi pluralisme agama lebih merupakan
pada pengakuan akan keterbatasan manusia dalam menangkap kepenuhan Tuhan.
Keterbatasan ini tidak lantas mengurangi otentisitas kebenaran suatu agama dalam
peranannya sebagai jalan keselamatan pemeluknya. Agama sejauh sebagai
lembaga atau sistim kepercayaan, praktik dan nilai adalah juga fenomena empiris
(sosio-sejarawi). Maka agama menyisakan keberatan bila dimutlakan. Dalam
setiap agama, terjadi proses intstitusionalisasi konsep dari orientasi personal ke
sebuah ideal, lalu abstraksi (WC. Smith. 1962:131) dan konsepsi ideal ke konsep
logis kebenaran. Dalam proses penafsiaran itu, terselip berbagai kepentingan.
lxix
Pewahyuan Tuhan memang mutlak, namun kemampuan manusia menangkap
wahyu itu terbatas. Terbatas juga kemampuan menagkap misteri agama lain.57
Sebagaimana dikutip Zuhairi Misrawi dalam bukunya Al-Quran Kitab
Toleransi Diana L. Eck pimpinan pluralism project. Harvard University
memberikan penjelasan perihal bagaimana sesungguhnya posisi pluralisme.
Upaya ini sekaligus untuk menjelaskan dan membantah anggapan bahwa
pluralisme sama dengan paham menyamakan agama-agama yang ada. Ada tiga
poin yang diuraikan secara baik mengenai pluralisme: Pluaralisme adalah
keterlibatan aktif (active engagement) ditengah keragaman dan perbedaan.58
Kedua, pluralisme lebih dari sekedar toleransi. Dalam toleransi akan lahir sebuah
kesadaran akan pentingnya menghargai orang lain. Tapi pluralisme ingin
melampaui capaian tersebut, yaitu menjadi sebuah upaya memahami yang lain
sebagai sebuah pemahaman yang kontrukstif (contructive understanding). Ketiga,
pluralisme bukanlah relativisme. Pluralisme adalah upaya untuk menemukan
komitmen bersama diantara pelbagai komitmen (encounter commitmens).
Dari ketiga poin tersebut sedikit terjawab apa dan bagaimana
sesungguhnya pluralisme itu. Pluralisme bukanlah paham yang menyakini bahwa
setiap agama itu sama. Pluralisme adalah paham yang secara jelas mendorong
agar keragaman dijadikan sebagai potensi untuk membangun toleransi, kerukunan
dan kebersamaan.59 Pluralisme juga bukan relativisme sebagaimana dituduhkan.
Karena justru pluralisme menghargai komitmen dan keyakinan dari setiap agama
57
Haryatmoko, “Mencoba Menafsir Pluralisme”, Kompas, (Jakarta), 20 Agusutus 2005
58
Zuhairi Misrawi, “Al-Quran Kitab Toleransi”, (Jakarta: Fitrah, 2007) h.207
Ibid h.208
h.6
59
lxx
yang ada. Adapun yang dimaksud membangun kebersamaan hanya sebatas dalam
bidang sosial dan bukan akidah.
Berbagai pendapat diatas seakan menampik dengan keras apa yang
dipahami MUI tentang pluralisme. Dalam fatwanya MUI menyatakan bahwa
paham-paham semacam pluralisme hukumnya adalah haram karena lebih
mengarah kepada faham relativesme yang ujungnya menyamakan semua ajaran
agama yang ada. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa silang pendapat itu terjadi
dari sisi terminologis dan ada kecenderungan penolakan tersebut karena lahirnya
faham pluralisme berasal dari peradaban barat. Polemik tentang diharamkannya
faham pluralisme itu sebenarnya memiliki implikasi yang begitu luas ditengah
masyarakat. Tidak hanya terbatas pada upaya untuk membatasi kebebasan berfikir
saja tapi lebih dari itu ada upaya-upaya kelompok massa tertentu untuk melakukan
upaya
intimidasi terhadap kelompok yang memperjuangkan pentingnya
pluralisme. Kesemuanya itu ditenggarai dilakukan atas landasan fatwa yang
dikeluarkan MUI. Kalau dulu sebelum reformasi pemasungan akal dilakukan oleh
penguasa yang sedang berkuasa pada waktu itu, maka kini tindakan pemaksaaan,
dan pelarangan kebebasan berfikir justru dilakukan oleh sebuah lembaga agama
yang sebenarnya tidak memiliki wewenang karena tidak masuk dalam struktur
ketatanegaraan kita.
Perihal fatwa yang kini marak dikeluarkan oleh MUI, Khaled Abou elFadl, seorang pakar hukum dari University of California Los Angles (UCLA)
berpendapat, Bahwa salah satu kelemahan fatwa tentang persoalan kekinian
adalah hilangnya ketelitian, kesungguhan, kemenyeluruhan dan kejujuran dalam
lxxi
membedah sebuah persoalan. Akibatnya, yang muncul bukanlah pandanganpandangan yang otoritatif. Mereka sebenarnya bukan berbicara tentang Tuhan,
akan tetapi berbicara “atas nama Tuhan”.60
Akhirnya pluralisme melampaui fundamentalimse yang berkutat pada
setiap agama. Agama yang pada mulanya hanya berkutat pada dimensi hukum
(heretical imperative) menuju dimensi pelayanan yang dilakukan secara sukarela
(Voulentary imperative). Semua agama mempunyai potensi untuk melakukan halhal yang berkaitan dengan dimensi kemanusiaan. Baik Islam Maupun Kristen
sama-sama memiliki potensi untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan
dimensi kemanusiaan.61
2. Pluralisme Dalam Al-Quran
Kehancuran menara kembar WTC yang menjadi simbol kekuatan ekonomi
Amerika Serikat menandai kambali terkoreksinya hubungan antara barat (Kristen)
dengan timur (Islam). Peristiwa yang dikenal September kelabu
itu seakan
membuka mata semua pihak teutama para agamawan. Ada sesuatu yang salah
dalam mengartikan agama jika memang pengeboman yang di maksud sebagai
bagian dari perintah agama. Apalagi muncul dugaan kuat para pelaku yang
melakukan peledakan itu diidentifikasi sebagai fundamentalisme muslim
pimpinan Osama bin laden yang tidak puas atas kebijakan USA diberbagai Negara
Muslim terutama kasus Timur- Tengah. Meskipun sampai kini belum ada pelaku
yang diadili atas peristiwa itu, Bush telah meniup sangkakala perang terhadap
teroris. Maka terjadilah aksi balas dendam sebagai bagian dari operasi teroris
60
61
Ibid h.211
Ibid h.209
lxxii
dengan menginfasi negara berdaulat Irak dan Afganistan yang dianggap sebagai
sarang dan berkembangnya teroris.
Akibat buruk yang di terima umat Islam dari peristiwa itu berkembangnya
stigma bahwa islam adalah agama teroris yang intolerar terhadap setiap
perbedaan. Agama yang sama sekali tidak sejalan dengan pencapaian barat atau
tradisi barat saat ini. Bahkan, berbagai pihak menuduh Islam tidak sejalan dengan
nilai-nilai universal yang dikampanyekan PBB terkait persoalan HAM.
Stigma tidak adil tersebut lantas dibarengi dengan penyerangan negeri
berpenduduk muslim dalam hal ini Irak dan Afganistan. Bukan berhasil
melemahkan aksi-aksi brutal dari fundamentalisme Islam, namun yang terjadi aksi
terorisme justru menyebar ke berbagai Negara dengan target-target orang-orang
atau fasilitas yang dimiliki Amerika dan sekutunya. Indonesia , negeri yang
sesungguhnya jauh dari wilayah konflik juga terkena imbas dari teror trans
nasional itu. Yang paling mengejutkan tentu bom bunuh diri Bali satu dengan
memakan korban ratusan orang kemudian dilanjutkan bom bali dua, peledakan
JW Marriot, kedutaan Australia dan beberapa tempat lain juga tidak luput dari
ancaman.
Pada saat yang sama peristiwa tersebut justru mensahihkan tesis Samuel P.
Huntington mengenai adanya clash of civilizations. Dalam pandangannya,
Huntington menyebutkan, antara Barat dan Islam sesungguhnya tidak ada
persoalan. Barat hanya mempersoalkan Islam ekstrimis. Tapi satu hal yang
menurutnya tidak bisa diabaikan adalah hubungan antara Kristen dan Islam. Ia
mengutip sejarah sejak abad pertengahan sampai pada akhir kekuasaan dinasti
lxxiii
Ottoman perihal relasi yang kurang baik antara Islam dan Kristen. Keduanya telah
mengklaim sebagai agama universal, yang mana setiap manusia dapat dipengaruhi
untuk memilih agama diantara keduanya. Runtuhnya komunis Soviet juga
menyebabkan lahirnya anggapan bahwa tantangan berikutnya bagi Barat adalah
Islam. Salah satu alasannya adalah karena antara Barat dan Islam sama-sama
memilki spirit untuk saling mengungguli.62
Bahkan sebagai respon seriusnya terhadap peristiwa 11 September
tersebut, seorang orientalis Robert Spencer berkesimpulan bahwa apa yang
dilakukan Osamah bin Laden justru telah mengamalkan ajarannya dengan benar
dan bukan membajak agamanya sebagaimana diyakini banyak orang. Karena apa
yang dilakukannya juga terdapat dalam perintah al-Quran dan Hadist. Lebih lanjut
Spencer menyakini semua aspek agama Islam dari sejak doktrin, tradisi, sejarah
hingga isu-isu kontemporer dia kritik. Melalui pertanyaannya seperti: Apakah
Islam agama damai? Apakah Islam sesuai demokrasi? Apakah Islam agama
toleran? Apakah Islam melindungi perempuan? Dan apakah ilmu pengetahuan
dapat berkembang dibawah Islam? Semua pertanyaan itu dijawab dengan sangat
menyakinkan: Tidak!63
Sudah barang tentu kesimpulan yang demikian terasa
tergesa-gesa.
Karena pertama, bahwa faktanya sejauh ini peristiwa 11 September belum
diketahui pasti siapa pelaku sesungguhnya. Adapun penyebutan Osamah sebagai
dalang dibalik peristiwa itupun tidak disertai bukti-bukti nyata. Kedua,
sebagaimana umat Nasrani, Muslim juga tidak boleh dilihat pada satu realitas
62
Ibid h. 489
Robert Spencer, Islam ditelanjangi. Penerjemah Mun’im A. Sirry ( Jakarta:
Paramadina, 2003) h.viii
63
lxxiv
tunggal yang monolitik yang kemudian menafikan fakta bahwa sebagian besar
umat Islam adalah moderat, inklusif sekaligus terbuka terhadap perbedaan.
Untuk membuktikan bagaimana Islam menerima perbedaan sebagai suatu
realiatas yang tak terbantahkan al-Qu’ran sesungguhnya telah menjelaskan dengan
secara baik. Pluralisme atau kemajemukan merupakan kehendak Tuhan
(sunatullah).64 Hal ini sesuai ayat 13 dalam surat Al-Hujurat yang menyatakan:
Artinya: “Wahai manusia, kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan
kami ciptakan kamu dalam bentuk suku dan bangsa supaya kalian
saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kamu. Sungguh
Allah Mahatahu dan Maha waspada.” (Q. S. Al-Hujurat [49]: 13).
Dalam ayat ini Allah terang menegaskan bahwa Ia telah berkehendak
untuk menciptakan manusia beragam, tidak tunggal. Keberagaman itu tidak lain
dan tidak bukan ditujukan untuk saling mengenal, saling dialog dan saling bekerja
sama. Karena dengan saling mengenal, dialog dan kerjasama, keselarasan akan
tercipta dan keharmonisan akan lestari di muka bumi ini. Sejak awal
sesungguhnya Islam telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana bersikap
terhadap setiap perbedaan. Inilah yang menjadi pondasi bagi umat Islam dalam
membangun relasi dengan umat beragama lain. Bahwa perbedaan adalah garis
64
Ibid, h. 4
lxxv
takdir Allah sehingga setiap umat muslim wajib untuk menerima garis itu sebagai
upaya untuk saling mengenal diantara sesama ciptaan-Nya.
Sesungguhnya jika mau merujuk ayat diatas tidak mungkin ada sikap-sikap atau anggapan bahwa umat Isl
fundamentalisme adalah ajaran Al-Quran itu sendiri. Namun juga tidak bisa di
sangkal pula, jika anggapan itu muncul karena memang faktanya sebagaian kaum
fundamentalisme ekstrimis dalam melakukan aksi terornya sering kali membajak
al-Quran dan hadist sebagai dasar pembenarannya.
Penegasan surat al-Hujarat ayat 13 tersebut, merupakan bukti betapa alQuran telah memberikan informasi awal yang penting untuk diketahui umat
manusia perihal adanya perbedaan. Ini senada dengan keyakinan Gamal al-Banna
bahwa sesungguhnya al-Quran merupakan refrensi paling otentik bagi pluralisme.
Dengan kata lain, bahwa al-Quran adalah pondasi bagi pluralisme dalam Islam.65
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa al-Quran tidak pernah menghendaki manusia
menjadi umat satu yang diatur oleh satu konfersi atau satu gagasan. Pendapat ini
membuktikan fakta sejarah yang berlangsung dalam tradisi Islam tentang
perbedaan pendapat adalah suatu hal yang biasa. Dalam tradisi Ilmu Fikih jelas
sekali gambaran perbedaan tersebut, yaitu dengan lahirnya banyak madzhab
dalam Islam. Belum lagi sepeninggal Nabi telah terjadi perpecahan diantara Umat
Islam yang membentuk firkah sendiri dengan ragam teologis yang ditawarkan.
Bahkan hal ini telah diperingatkan oleh Nabi sendiri bahwa suatu hari nanti Umat
Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.
65
Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam al-Quran, (Jakarta, Menara,2006)h.13
lxxvi
Namun sayangnya ajaran agung tentang kemanusiaan yang jelas ini seakan
belum mampu untuk menundukkan pikiran dan prilaku kelompok-kelompok yang
mengingkari realitas pluralitas. Dari sinilah sebenarnya pikiran subur kelompok
garis keras atau kelompok literalis dengan meminggirkan realitas yang ada.
Mereka seringkali tidak mau tahu bagaimana kondisi sosial dalam ruang dan
waktu dapat selalu berubah.
Untuk lingkup agama ada dua komitmen yang harus dipegang untuk
melakukan semua itu. Pertama adalah toleransi, dan kedua adalah pluralisme.66
Karena itu Allah dalam ayat lain lebih spesifik menekankan dua komitmen ini.
Umat Islam dituntut untuk terbuka akan keimanan orang di luar Islam. Agama
menjadi sebuah pilihan bebas tanpa paksaan.
Allah berfirman:
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS Al-Baqarah[2]:256)
Pada surat lain Allah menegaskan:
66
Alwi Sihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung, Mizan,
1997) h. 41
lxxvii
Artinya: “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS AlKafirun[109]: 6).
Betapa Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap perbedaan agama yang ada. Itu menjadi bagi
Bahkan keseriusan Al-Quran dalam mengakomodasi perbedaan agama
ditujukan dengan jaminan Allah kepada orang beriman, orang nasrani dan shabi’in
yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir serta melakukan amal
kebaikan akan diganjar pula dengan pahala sesuai amalnya.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan diberi petunjuk, orang
nasrani, shabi’in, yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari
akhir serta beramal saleh, maka bagi mereka pahala di sisi Tuhannya
dan tidak ada ketakutan serta kekhawatiran atas mereka.” (QS AlBaqarah[2]:62)
Dalam kitab Ashbab al-Nuzul, Imam al-Wahidi menjelaskan sebab
turunnya ayat tersebut, bahwa suatu hari Salaman al-Farisi mendatangi
Raasulullah SAW menceritakan penduduk al-dayr, yang mana mereka melakukan
sembahyang, puasa, dan bersaksi tentang kenabian Muhammad SAW. Lalu
Rasulallah berkata kepada Salman, “Mereka adalah penduduk neraka”. Tapi
kemudian Allah menegur Rosulullah dengan teurunnya ayat tersebut.
lxxviii
Pembuktian akan kebebasan manusia dalam memilih untuk beriman atau
tidak beriman juga ditegaskan Allah dalam al-Quran. Ayat ini sekaligus
menyangkal pendapat bahwa Islam tidak bisa menerima keberadaan agama lain
dalam kehidupan di dunia.
Artinya:
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua yang dimuka
bumi seluruhnya. Maka apakah engkau memaksa semua manusia
supaya mereka menjadi orang-orang mukmin semuanya, padahal tidak
ada satu jiwa pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah
menimpakan
kekotoran
jkepada
orang-orang
yang
tidak
mempergunakan akalnay.” (QS Al-Yunus[10]:99-100)
Bukti nyata perihal pluralisme ini sekaligus di tegaskan dalam ayat di atas
seandainya Allah menginginkan maka akan diciptakan-Nya satu umat saja.
Namun demikan Allah tidak menghendaki yang demikian itu terjadi. Yang
dikehendaki-Nya adalah mahluk ciptaannya disuruh untuk berlomba-lomba
melakukan amal kebaikan. Kondisi persaiangan untuk meraih yang terbaik akan
terjadi jika terdapat perbedan-perbedaan manusia terdapat di dalamnya.
3. Praktek Pluralisme Nabi Muhammad SAW.
Salah satu basis keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW. adalah menjunjung tinggi sisi kemanusia
Hampir seluruh wilayah jazirah arab waktu itu dapat menerima ajaran Nabi
Muhammad. Keberhasilan tersebut karena Nabi Muhammad SAW. sangat
mengerti betul tugas kerasulannya sebagaimana yang diperinthakan Allah:
lxxix
Artinya:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.” (A-Anbiya’[21]:107
Bila dicermati ayat tersebut adalah penjabaran dari basmalah. Karena
Allah adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sudah semestinya bila
Rosulullah SAW membawa misi kasih sayang bagi seluruh semesta alam. Inilah
landasan Nabi dalam dakwahnya yang menekankan aspek kasih sayang dan bukan
dengan hawa nafsu yang dipenuhi kebencian dan amarah terhadap umatnya.
Banyak sekali contoh kehidupan Nabi dalam bersikap terhadap orang-orang yang
membencinya dan melakukan penghinaan terhadap diri Nabi Muhammad. Semua
itu tentu dilakukan atas dasar ahlak mulia yang tertanam didalamnya. Maka tidak
heran ketika masih usia muda Nabi Muhammad SAW sudah mendapat pengakuan
dari masyarakatnya dengan memberikannya gelar Al-Amin, orang yang
dipercaya. Kejujuran dan keadilan itu pula membuat Siti Khadijah, seorang
saudagar kaya,
memberikan kepercayaan kepada
Nabi Muhammad untuk
melakukan perdagangan. Maka sangat wajar pada usia mudanya, Nabi
Muhammad, sebelum masa kenabiannya, sangat dihormati oleh pembesarpembesar Quraisy karena kejujuran dan kesantunan prilakunya.
Dari praktek Nabi Muhammad SAW kita juga bisa melihat bagaimana
toleransi terhadap umat lain ditegakkan. Misalnya pada tahun 628 Nabi
Muhammad SAW menurut A. Zahoor dan Z. Haq -sebagaimana disebutkan oleh
lxxx
Robert Spencer- memberikan piagam prevelise kepada biarawan Kristen dari
Biara Santo Catherine. Dalam piagam itu, Nabi berkata kepada umat Kristen,
“Sesungguhnya aku, hamba penolong, dan pengikut-pengikutku berusaha untuk
membela mereka, karena orang-orang Kristen merupakan wargaku; dan demi
Allah! Aku akan berjuang untuk melawan setiap sesuatu yang dapat mengganggu
mereka. Tidak ada pemaksaan terhadap mereka.” Di samping itu Nabi juga
melarang merusak dan menghancurkan rumah ibadah mereka. Gereja-gereja harus
dihormati. Mereka juga tidak boleh dihalang-halangi untuk memperbaiki gerejagereja mereka atau kesucian perjanjian mereka. Dr. Zahoor dan Haq menegaskan
bahwa “Piagam yang memberikan hak-hak istimewa ini telah dihormati dan
diterapkan secara jujur oleh kaum muslim sepanjang berabad-abad di seluruh
negeri yang dikuasai.67
Sejarah telah mencatat bagaimana Nabi Muhammad sangat menghoramti
umat nasrani. Itu ditunjukkan ketika kanjeng Nabi Muhammad memerintahkan
para sahabat beliau untuk melakukan shalat jenazah untuk Raja Najasyi (Negus)
dari Abesinia yang beragama kristen. Hal ini karena Raja Negus telah berjasa
besar melindungi Nabi dari penganiayaan para kaum musyrik mekkah. Pertanyaan
keheranan para sahabat dijawab dengan firman Allah QS Al Maidah/5:82 yang
menegaskan bahwa sedekat-dekat ummat manusia dalam rasa cintanya kepada
kaum muslim ialah mereka yang berkata, ”Kami adalah orang-orang nasrani”68
67
Robert Spencer, Islam Ditelanjangi, Penerjemah Mun’im Sirry, (Jakarta: Paramadina,
2003) h. 226-228
68
Artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari
http://paramadina.wordpress.com/2007/02/25/contoh-pluralisme-jaman-nabi/
lxxxi
Teladan Nabi juga tidak berhenti dalam kehidupan sehari-hari yang
berhubungan dengan sosial agama. Nabi selain mengemban tugas sebagai seorang
Rosul beliau juga sebagai seorang “presiden” madinatul munawaroh. Disinilah
letak kenegarawanan yang diperlihatkan Nabi Muhammad
SAW dengan
menekankan komitmen bersama untuk hidup dalam bangunan satu bangsa, maka
dibuatlah Piagam Madinah. Konvensi ini adalah sebuah perjanjian yang mengikat
satu sama lain terhadap semua unsur dalam masyarakat untuk membangun
bersama warga negara yang baru terbentuk. Dan disebut-sebut Piagam Madinah
adalah konstitusi pertama yang lahir dengan menjamin hak warganya untuk saling
bersatu dan membantu, sekaligus memberikan kebebasan dalam melaksanakan
ajaran agama yang diyakininya.
Dengan prinsip-prinsip Piagam Madinah sebagai ”konstitusi negara”, Nabi
Muhammad memberikan kebebasan sipil kepada orang-orang Kristen dari Najran
yang mendiami Madinah, yaitu menjamin hak hidup mereka, hak milik dan agama
mereka, di mana mereka mempunyai kebebasan penuh untuk mengamalkan
agama yang mereka yakini.69 Warga negara dapat mengambil contoh kesetiaan
dan ketaatan terhadap konstitusi dari sejarah Rasulullah Muhammad yang pernah
membuat Piagam Madinah. Para ahli menyebut piagam tersebut sebagai konstitusi
pertama di dunia yang ditandatangani oleh 13 suku bersama Muhammad. Setiap
muslim saat itu harus tunduk pada piagam, selain tentu saja kepada al-Quran dan
69
M. Fuad Nasar, “Nabi Muhammad SAW Membangun Konsep Umat,”artikel diakses
pada 13 Maret 2009 dari http://bimasislam.depag.go.id/?mod=article&op=detail&klik=1&id=258
lxxxii
Sunnah Nabi. Bahkan pernah terdapat salah satu suku muslim yang melanggar
Piagam Madinah, (suku Qutaibah), dan mendapat hukuman dari Rasulullah.
Ketika Romawi yang beragama Kristen mengalami kekalahan dari Persia
yang menyembah api (614 M), Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslim merasa
sedih, dan Al-Quran turun menghibur mereka dengan menyatakan bahwa dalam
jangka waktu tidak lebih dari sembilan tahun, Romawi akan menang, dan ketika
itu kaum Mukmin akan bergembira:70
Dalam hal ini al-Quran telah menbadikan kisahnya:
Artinya:"Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang
terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam
beberapa tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan sesudah (mereka
menang) dan di hari (kemenangan bangsa rumawi) itu
bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah.
Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dialah Maha
Perkasa lagi Maha Penyayang" (QS Al-Rum [30]: 1-5).
4. Konsep Kebangsaan
Salah satu bentuk perwujudan politik modern adalah lahirnya konsep
kebangsaan. Perwujudan dalam konsep tersebut adalah bersatunya semua unsur
70
Qurais Shihab, Wawasan al-Quran, Artikel diakses pada15 Mei 2009 dari
http://media.isnet.org/
lxxxiii
yang ada untuk melepaskan identitas primordial kesukuan dan agama kedalam
ikatan baru untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam sebuah negara kebangsaan
(nation state). Dengan itu maka semua warga negara diberi hak dan kewajiban
yang sama dalam memperoleh perlindungan dari negara.
Pertama kali paham kebangsaan dperkenalkan kepada umat Islam oleh
Napoleon pada saat ekspedisinya ke Mesir. Seperti telah diketahui, setelah
Revolusi 1789, Perancis menjadi salah satu negara besar yang berusaha
melebarkan sayapnya. Mesir yang ketika itu dikuasai oleh para Mamluk dan
berada di bawah naungan kekhalifahan Utsmani, merupakan salah satu wilayah
yang diincarnya. Walaupun penguasa-penguasa Mesir itu beragama Islam, tetapi
mereka berasal dari keturunan orang-orang Turki. Napoleon mempergunakan
sisi ini untuk memisahkan orang-orang Mesir dan menjauhkan mereka dari
penguasa dengan menyatakan bahwa orang-orang Mamluk adalah orang asing
yang tinggal di Mesir. Dalam maklumatnya, Napoleon memperkenalkan istilah
Al-Ummat Al-Mishriyah, sehingga ketika itu istilah baru ini mendampingi istilah
yang selama ini telah amat dikenal, yaitu Al-Ummah Al-Islamiyah.71
"Kebangsaan" terbentuk dari kata "bangsa" yang dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, diartikan sebagai "kesatuan orang-orang yang bersamaan
asal keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya,
71
serta berpemerintahan sendiri."
Quraish Shihab, Kebangsaan, artikel diakses pada 11 Mei 2008 dari
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Kebangsaan3.html
lxxxiv
Sedangkan kebangsaan diartikan sebagai "ciri-ciri yang menandai golongan
bangsa."72
Bangsa adalah suatu kelompok manusia yang dianggap memiliki identitas
bersama, dan mempunyai kesamaan bahasa, agama, ideologi, budaya, dan sejarah.
Mereka umumnya dianggap memiliki asal-usul keturunan yang sama. Konsep
bahwa semua manusia dibagi menjadi kelompok-kelompok bangsa ini merupakan
salah satu doktrin paling berpengaruh dalam sejarah. Doktrin ini merupakan
doktrin etika dan filsafat, dan merupakan awal dari ideologi nasionalisme.73
Berbangsa, yakni rasa persatuan kesatuan yang lahir secara alamiah oleh
kebersamaan sosial yang tumbuh dari kesamaan kebudayaan, sejarah, aspirasi
perjuangan masa lampau, dan kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah
masa kini, serta kesamaan dalam merumuskan cita cita bersama untuk waktu yang
akan datang. 74
Kendati paham kebangsaan saat ini menjadi model dapat mempersatukan
masyarakat pada sebuah negara. Namun bagi sebagian umat Islam masih
mempertanyakan keabsahan konsep kebangsaan, apakah tidak bertentangan
dengan terminologi ummatan wahadiah yang terkandung di dalam al-Quran. Bagi
sebagian ummat Islam konsep kebangsaan adalah upaya untuk memecah belah
72
Quraish Shihab, Kebangsaan, artikel diakses pada 11 Mei 2008 dari
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Kebangsaan3.html
73
Artikel diakses pada 16 Agustus 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bangsa
74
Peranan Wawasan Kebangsaan Dalam Pembangunan, Artikel diakses pada 19 Mei
2009 dari
http://www.tangerangkota.go.id/?tab=berita&tab2=20&hal=2&id=344
lxxxv
ummat Islam. Sehingga sangat penting mencari pembenaran dalam nash tentang
konsep kebangsaan yang saat ini telah berkembang.
Tidak dapat disangkal bahwa Al-Quran memerintahkan persatuan dan
kesatuan. Sebagaimana secara jelas pula Kitab suci ini menyatakan bahwa
"Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu" (QS Al-Anbiya' [2l]: 92,
dan Al-Mu'minun [23]: 52). Inilah yang kemudian berkembang perdebatan para
pemikir megenai kata umat yang satu. Bagi Qurais Shihab kata umat adalah
menunjukan pada umat Islam saja. Namun bukan berarti harus ada penyatuan
umat Islam dalam satu wadah kenegaraan.
Hal ini bisa ditunjukkan pada Piagam Madinah (Kitabun Nabi) yang
diprakarsai oleh Rasulullah Saw. ketika beliau baru tiba di Madinah yang
berisi ketentuan/kesepakatan
yang mengikat masyarakat Madinah justru
mengelompokkan anggotanya pada suku-suku tertentu, dan masing-masing
dinamai
ummat.
Kemudian,
mereka yang berbeda agama itu bersepakat
menjalin persatuan ketika membela kota Madinah dari serangan musuh.75
Maka sungguh tidak ada larangan atas persatuan yang berdasarkan
perbedaan suku dan agama dalam satu wadah kebangsaan. Ini dibuktikan dengan
tidak dilarangnya umat Islam untuk berbuat adil kepada umat lain asal mereka
tidak memerangi agama dan mengusir umat Islam. Tegasnya bentuk kerjasama
dalam membangun bangsa bukanlah hal terlarang. “Allah tidak melarang kamu
75
Quraish Shihab, Kebangsaan, artikel diakses pada 11 Mei 2008 dari
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Kebangsaan3.html
lxxxvi
berbuat baik, dan memberi sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang
tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orangorang yang memerangi kamu karena agama, mengusir kamu dari negerimu, dan
membantu orang lain mengusirmu”. (QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9).
Melihat dasar-dasar diatas, Indonesia sebagai negara yang tersusun dari
berbagai ras dan suku, yang kemudian mengikatkan diri untuk menjadi bagian
Bangsa Indonesia yang terikat pada perjanjian dalam Pancasila dan UUD 1945.
Keterikatan itu harus diwujudkan pada ketundukan semua warga negara terhadap
perundangan yang berlaku. Bersama-sama pula dalam mempertahankan
keberadaan kedaulatan negara sebagai bagian dari bentuk cinta tanah air.
Dengan paham kebangsaan sebagai salah satu asas negara, maka orang
Islam, orang Kristen, orang Jawa, orang Batak, orang keturunan Tionghoa,
semuanya memiliki perasaan atau kehendak yang sama sebagai satu bangsa
Indonesia. Rasa kebangsaan dengan demikian mampu menjadi wahana titik temu
(common denominator) keberagaman latar belakang warga negara Indonesia.
Dengan kebangsaan, maka kemajemukan bukan menjadi kutukan yang menyeret
kita ke dalam perpecahan, tapi justru menjadi faktor yang memperkaya kesatuan
atau rasa memiliki (sense of belonging) kita sebagai warga negara Indonesia.
Dengan kata lain: kemajemukan justru menjadi anugerah.76
76
AriaBima. Mengayomi Pluralitas dengan Paham Kebangsaan. Diakses pada 27
Januari 2009 dari http://ariabima.blogspot.com/2009/06/mengayomi-pluralitas-dengan-
lxxxvii
Pada pidato lahirnya Pancasila Bung Karno menyampaikan pandangannya
tentang konsep negara yang menurutnya dapat mencakup semua untuk semua,
“Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan di sini, maupun Saudarasaudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat...Kita hendak
mendirikan negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu
golongan.. Maka, yang selalu mendengung di dalam jiwa saya, yang baik
dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan
satu negara kebangsaan Indonesia”.
5. Indonesia, diantara Pluralisme dan Fundamentalisme
Dalam satu dasawarsa
terkahir,
beberapa tragedi kemanusiaan yang
memilukan sekaligus mengkhawatirkan berlangsung silih berganti di Indonesia.
Serentetan peristiwa kerusuhan
sosial (riots) itu telah membelalakkan mata
semua orang tentang apa yang sedang terjadi di negara yang dulunya dikenal
damai dan ‘adem ayem’ ini. Tidak hanya eskalasi konflik yang kian bertambah,
sifat konflik pun berkembang tidak hanya horizontal tetapi juga vertikal. Banyak
orang susah mencari penyebab dari semua ini. Kerumitan mengurai penyebab
konflik yang mendadak sontak merebak di hampir semua tempat di tanah air
berbuntut pada ketidakmampuan menemukan formula jitu bagi sebuah resolusi
paham.html
lxxxviii
konflik yang manjur. Sesuai dengan bentuk, jenis dan eskalasi konflik yang
memang beragam, beragam pula faktor penyebabnya. Penyebab konflik dapat
berupa faktor politik, kesenjangan ekonomi, kesenjangan budaya, sentimen etnis
dan agama. Hanya saja, faktor ekonomi dan politik sering ditunjuk berperan
paling dominan dibanding dua faktor yang disebut terakhir. Kendati acap terlihat
di lapangan bahwa konflik yang ada kerap menggunakan simbol-simbol agama
misalnya pembakaran dan perusakan tempat-tempat ibadah, penyerangan dan
pembunuhan terhadap penganut agama tetentu, namun pertentangan agama dan
etnis ternyata hanyalah faktor ikutan saja dari penyebab konflik yang lebih
kompleks dengan latar belakang sosial, ekonomi dan politik yang pekat.77
Jika pada mulanya agama tumbuh dan dipeluk oleh sekelompok umat
secara relatif homogen, sekarang dengan terjadinya ledakan penduduk, kemajuan
alat transformasidan teknologi informasi maka perjumpaan antar berbagai
pemeluk agama tidak bisa dielakkan. Senang atau tidak senang, kita telah
memasuki realitas sosial yang pluralistik dari segi agama, buadaya, bahasa
maupun profesi. Hubungan sosial menjadi riuh rendah. Bagi sebagian orang
pluralitas dirasakan semakin indah dan menarik, tapi bagi sebagian yang lain
dirasakan malah membingungkan. Di Indonesia, citra tentang keharmonisan antar
agama dan etnis tiba-tiba buyar dengan terjadinya sederet peristiwa memilukan
berkenaan konflik sosial yang melibatkan simbol agama dan etinis mulai dari
77
Sorprapto, Pluralitas, Konflik dan Kearifan Dakwah, Artikel diakses pada
25
Februari
2009
dari
www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Suprapto.doc -
lxxxix
Ambon, Mataram, Poso, Kalimantan dan beberapa daerah lain di negeri ini.78
Konflik-konflik tersebut telah menelan ribuan korban sia-sia dan trauma
mengerikan bagi mereka yang ditinggalkan oleh sanak familinya. Apalagi jika
konflik yanga ada itu diselimuti dengan simbol-simbol atau perintah atas nama
agama maka akibat dari konfliknya akan lebih besar dan menakutkan. Maka
dalam konteks ini tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa agama adalah
mesin pembunuh paling menakutkan di dunia ini.
Suatu gambaran yang menakutkan tentunya untuk keberlangsungan kita
sebagai bangsa yang besar. Jika konflik itu terus terpelihara bukan tidak mungkin
Indonesia akan bernasib sama seprti Yugoslafia dan Uni Soviet yang terpecahpecah menjadi negara-negara kecil. Tentu keadaan seperti itu tidak diinginkan
semua pihak, bagaimanapun juga luas wilayah yang dimilki Indonesia saat ini,
masih ampuh untuk dijadikan senjata psikologis bahwa kita adalah negara besar
yang tidak boleh dianggap sebelah mata. Meskipun dari sisi ekonomi dan
kekuatan militernya masih jauh dari negara-negara maju. Keuntungan lainnya
adalah bahwa Indonesia dengan penduduk Islam terbesar di dunia dapat dijadikan
model bagi negara-negara Muslim lainnya dalam hal upaya menampilkan Islam
yang penuh warna sekaligus moderat. Kelebihan-kelebihan itu bisa menjadi alat
diplomasi yang ampuh sebagai representasi dunia Islam dalam usaha-usaha ikut
menciptakan perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan pembukaan UUD 1945.
78
Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi:Doktrin dan Peradaban Islan
di Panggung Sejarah,(Jakarta: Paramadina, 2003) h. 137
xc
Menguatnya kekerasan yang terjadi dalam masyarakat akhir-akhir ini
dengan balutan simbol-simbol agama tentu sebuah kerugian besar bagi toleransi
yang sedang terus dijaga di negeri ini. Sebagian pengamat menduga bahwa
beberapa peristiwa itu tidak berdiri sendiri melainkan ada agenda besar di
dalamnya. Agenda yang dimaksud adalah upaya untuk mengusug kembali citacita lama yaitu menegakkan Negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Mereka
mengandaikan bahwa solusi terbaik untuk mengahadpi barat yang sewenangwenang terhadap dunia Islam adalah dibentuknya kembali kesatuan politik Islam
dibawah payung khilafah Islamiyah. Inilah yang kemudian menjadi obesesi kaum
fundamentalis dengan melakukan aksi kekerasan dengan melakukan penyerangan
terhadap objek-obejek Amerika di berbagai negara termasuk didalamnya
Indonesia. Peristiwa Bom Bali satu contohnya, pelakunya Imam Samudra,
berungkali menyatakan kebencian yang amat mendalam kepada tindakan
Amerika, menurutnya sebagai Muslim yang baik ia tidak bisa tinggal diam dengan
melihat keadaan orang-orang Palestina yang terus terbunuh dan tergusur dari
tanahnya. Sehingga Imam Samudera dengan beberapa kelompoknya melakukan
bom bunuh diri di Bali sebagai bagian dari bentuk jihad kepada kaum kafir.
Menurut Gusdur, lahirnya kelompok-kelompok garis keras tidak bisa
dipisahkan dari dua sebab. Pertama, para penganut garis keras tersebut
mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena ketertinggalan umat Islam
terhadap kemajuan barat dan penetrasi budayanya dan segala ekses yang timbul
karenanya. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampat
matrialistik budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan cara-cara kekerasan
xci
untuk menghadapinya. Kedua, kemunculan kelompok-kelompok Islam keras itu
tidak terlepas dari adanya pendangkalan agama dari kalangan umat Islam sendiri,
terutamanya dari para kaum mudanya. Hal ini bisa di jumpai banyak dari sebagian
besar anggota-anggota mereka yang tergabung di dalamnya adalah mereka yang
berlatar
belakang
pendidikan
ilmu-ilmu
eksata
dan
ekonomi.
Mereka
mencukupkan diri interpretasi keagamaan yang didasarkan pada pemahaman
secara literal atau tekstual tanpa di diringi dengan pelbagai penafsiran yang ada,
kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap teks-teks yang ada.79
Jika pluralisme itu given, sementara konflik adalah sesuatu yang inhern di
dalamnya. Pertanyaan selanjutnya bagaimana mengelola pluralitas dan konflik
yang ada sehingga menjadi sebuah energi sosial bagi penciptaan tatanan bangsa
yang lebih baik. Jawabannya tentu panjang dengan melibatkan pengkajian seluruh
faktor yang ada. Akan tetapi terkait dengan kajian ini (memahami pluralitas),
ternyata menjaga kerukunan tidak cukup hanya memahami keanekaragaman yang
ada di sekitar kita secara apatis dan pasif. Memahami pluralisme meski melibatkan sikap diri secara pluralis pula. Sebuah sikap penuh empati, jujur dan adil
menempatkan
kepelbagaian,
perbedaan
pada
tempatnya,
yaitu
dengan
menghomati, memahami dan mengakui eksistensi orang lain, sebagaimana
menghormati dan mengakui eksistensi diri sendiri.80
79
K.H. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, (Jakarta: The Wahid Institute,
2009) h. xxvi
80
Sorprapto, Pluralitas, Konflik dan Kearifan Dakwah,
www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Suprapto.doc -
xcii
Perjuangan untuk membumikan nilai-nilai pluralisme di Indonesia harus
terus diupayakan. Karena sikap toleransi tidak mungkin akan muncul tanpa
didahuli kesadaran bahwa manusia pada dasarnya tercipta berbeda dari sisi agama,
etnis, budaya serta pamahaman terhadap agama yang tentunya sesuai ilmu dan
pengalamnnya. Maka sudah seharusnya pemerintah mengambil peran lebih besar
untuk mengkampanyekan nilai-nilai pluralisme.
xciii
BAB III
Biografi K.H. Abdurrahman Wahid
A. Latar Belakang Keluarga
Abdurrahman Wahid yang dikenal luas saat ini sebetulnya bukanlah nama
yang diberikan kedua orang tuanya sejak lahir. Nama pemberian Orang tuanya
ketika itu adalah Abdurrahman
Addakhil. Secara bahasa, "Addakhil"
mempunyai arti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim,
orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan
tonggak kejayaan Islam di Spanyol.81 Sebuah harapan yang begitu tinggi dari
orang tuanya dengan nama pilihan yang diberikan untuk buah harti mereka. Bagi
seorang Muslim pemberian nama tidak semata untuk identitas pembeda namun
lebih dari itu, nama mengandung doa dan harapan yang ditunjukan untuk anakanak mereka. Itulah mungkin yang
ada dalam benak Wahid Hasyim untuk
kelahiran anak sulungnya. Ia berharap suatu kelak nanti anaknya menjadi pribadi
yang sangat penyayang
dan
sekaligus menjadi seorang penakluk. Namun
belakangan kata "Addakhil" tidak popouler, kemudia diganti nama "Wahid",
menjadi Abdurrahman Wahid. Kemudian sosok Abdurahman Wahid
lebih
dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas
pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".
81
Ma’mun Murod Al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gusdur dan Amin
Raistentang Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 99
xciv
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di
Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940.82 Ada yang
menarik perihal tepatnya tanggal lahir Gusdur. Sebenarnya tanggal lahir Gusdur
bukanlah tanggal yang secara umum diketahui sekarang. Memamg Gusdur
dilahirkan pada hari keempat pada bulan kedelapan. Namun perlu diketahui
bahwa tanggal itu menurut penanggalan Islam, yaitu bahwa ia dilahirkan pada
bulan sya’ban, bulan kedelapan pada penanggalan itu. Sebenarnya tanggaal 4
Sya’ban adalah tanggal 7 September.83 Gus Dur sudah ditakdirkan lahir dari
keturunan "darah biru". Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim
Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar
di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Sedangkan Ibundanya,
Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri
Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi
Rais 'Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus
Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligius, dan dua tokoh Bangsa
Indonesia.
Silsilah dari jalur ayah Gus Dur merupakan keturunan Raja Brawijaya VI,
yang berkuasa pada abad XVI dan terkenal sebagai salah seorang raja terakhir.
Kerajaan Hindu Budha yang besar di Jawa, Kerajaan Majapahit. Lebih penting
lagi, tokoh legendaris Jaka Tingkir, putera Brawijaya VI. Dianggap sebagai orang
yang memperkenalkan agama Islam di daerah pantai timur laut pulau Jawa.
82
http://www.gusdur.net/indonesia/index.php?option=com_content&task=view&id=23&I
temid=63
83
Greg Barton, Biografi Gusdur, (Yogyakarta: LKIS,2003), h.25
xcv
Sedangkan puteranya, pangeran Benawa, dikenang sebagai seorang yang pertama
kali meninggalkan kerajaan untuk mengajar Sufisme.84
Pada tahun 1949, ketika pertentangan dengan pemerintahan Belanda telah
berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga
Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah
dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang
profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika
ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi
seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga
mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang
sering mangkal di rumahnya.
Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa
Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh
akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi
bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan
madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan
Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan
tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri
dalam kehidupannya.85
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin
memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung
keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab
84
Ibid h.26
85
Diakses pada 27 Januari 2008 dari www.gusdur.net
xcvi
dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius.
Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita
silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca
negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang
pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur
pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran
lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop.
Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film.
Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua
juri festival film Indonesia.86
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan
Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai
meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak
Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke
Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah
anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
B.Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim
Asy'ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca alQur'an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur'an. Pada saat sang
ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga
mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang
86
www.gusdur.net
xcvii
Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar.
Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan
musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali
persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik
dan mencintai musik klasik.87
Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba
karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari
pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu
menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada
masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menhiasi berbgai media massa.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk
belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah
Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini
meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya
menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur
belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren,
akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang
pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan
rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma'sum Krapyak, siang hari
sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji
Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
87
www.gusdur.net
xcviii
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya
semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk
menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur
menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang
pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William
Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan
Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia,
seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga
melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul 'The Story of
Civilazation'. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk
meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi,
Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC
London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak
Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku
karya Lenin 'What is To Be Done' . Pada saat yang sama, anak yang memasuki
masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales,
dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan
keluasan wawasan Gusdur.88
Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren
Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok
kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang
88
Diakses
pada
17
Januari
2009
dari
http://www.gusdur.net/indonesia/index.php?option=com_content&task=view&id=23&Itemid=63
xcix
memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktekpraktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai
mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat
masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang
membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah
mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam
kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap
dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan
sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajardengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan
rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan
sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia
pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah
kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya
mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia
menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus
Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian
diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali
sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam
Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah
persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran
yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur
c
sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS)
dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di
bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasionalis yang
dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk
mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966
Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam
yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas
Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman
hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur
mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu
yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana
orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca
hampir semua buku yang ada di universitas.
Selama dua tahun terakhir di di Baghdad, Gusdur memfokuskan diri pada
riset mengenai sejarah Islam di Indonesia. Maka ia membaca semua sumber dari
kaum orientalis dan tulisan-tulisan orang Indonesia yang bekenaan dengan hal
tersebut. Ia tidak menduga bahwa perpustakaan Universitas Baghdad ternyata
menyediakan sumber informasi yang sangat luas mengenai topik ini. Dengan
memanfaatkan sumeber ilmiah yang ada, Gusdur menjadi seorang yang
mempunyai otoritas dalam masalah ini.89
89
LIstiyono Santoso, Teologi Politik Gusdur,(Yogyakarta: Ar-Ruz h, 2004), h .78
ci
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam
keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah
tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang
pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur
menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut
mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu.
Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam
Husain sebagai salah satu tokohnya,menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya,
Azis Badri tewas terbunuh.
Saat di Baghdad pula Gusdur memutuskan masa lajangnya dengan
menikahi gadis pujannya Shinta Nuriyah. Namun ada yang berbeda dari prosesi
pernikahan Gusdur. Pernikahan tersebut terjadi dimana jarak antara Gusdur
dengan calon mempelai wanitanya berjauhan, Gusdur masih sibuk dengan
studinya di Irak sementara calon istrinya berada di Indonesia. Akhirnya persoalan
ini dapat di selesaikan dengan cara kakeknya, K.H. Bisri Syansuri mewakili
Gusdur dalam pernikhab tersebut.
Para tamu menjadi heboh ketika melihat
seorang kyai berusia delapan puluh satu tahun bersanding dengan seorang
pengantin wanita muda usia. Walaupun secara teknis Gusdur dan Nuriyah telah
menikah, mereka menganggap perlawinan ini tidak lebih daripada pertunangan.
Mereka sepakat akan hidup bersama setelah keduanya menyelesaikan studi
mereka.90
90
Barton, h.105
cii
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke
Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya
untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw,
Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat
dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi
pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia
menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar
Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup
dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih
kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk
mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam.
Gusdur akhirnya kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang
menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur
berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki
kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya. Meski
demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus
Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan
gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua
promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan
gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari
Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang
kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.
ciii
C.Perjalanan Karir
Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang
dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di
Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia
menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur
mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan
kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai
mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada
masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua
pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk
membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini
Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah
forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri.
Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama
Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan
pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M
Yang dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis
Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai
wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan
yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan
lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut
civ
dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran
keislaman. Karier yang dianggap 'menyimpang'-dalam kapasitasnya sebagai
seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah
ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga
menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall
wa al-'aqdi yang diketuai K.H. As'ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan
ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali
dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan
muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian
dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi
presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh
seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu,
khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang
seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan
oleh K.H. Abdurrahman Wahid.
Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam
pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 19911999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya
kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk
dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya
menolak bahkan menuduh organisai kaum 'elit Islam' tersebut dengan organisasi
sektarian.
cv
Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan
rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan
berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya,
kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman
keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks,
mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan
sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur
yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka,
modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai
dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.
Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren.
Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal,
dan
struktural.
Sementara
pengembaraannya
ke
Timur
Tengah
telah
mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang
konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang
kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir
Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang
humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai
andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari
Tambak Beras, KH. Ali Ma'shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo
telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhansentuhan kemanusiaan.
cvi
Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama,
Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis,
tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang
terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler.
Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak
ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai
sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya
mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya
dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui
batas-batas tradisionalisme.
D. Gusdur, Presiden Orde Reformasi
Pada tahun 1998 gejolak refomasi yang digalang mahasiswa waktu itu
telah berhasil menumbangkan kekuasan Soeharto setelah berkuasa selama 32
tahun. Runtunya Orde Baru ini membuka harapan masyarakat banyak untuk
dimulainya kehidupan berbangsa yang lebih demokrtis, bebas dari belenggu
kesewenagan penguasa, sekaligus diharapkan mampu membawa kesejahteraan
masyarakat. Peralihan kekuasaan yang dipimpin presiden pengganti BJ. Habibie
dituntut cepat untuk melaksakan pemilihan umum sebagai upaya untuk
memperoleh pemerintahan dengan legitimasi luas dari rakyat. Karena biar
bagaimanapun kepemimpinan BJ. Habibie dianggap banyak orang sebagai
kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Apalagi sudah umum diketahui
Habibie adalah orang kesayangan Soeharto.
cvii
Dalam kekalutan yang terjadi setelah jatuhnya rezim Soeharto, dapatlah
dipahami bahwa pemerintahan dibawah agak lambat dalam mendorong
terbentuknya parta politik baru. Sejak tahun 1973, ketika sepuluh parpol diperas
menjadi tiga partai politik baru. Kini sejarah akan berbalik arah saat pemerintahan
transisi membuka kembali sistim pemilu dengan menyertakan banyak partai.
Peristiwa ini akan menjadi ujian sesungguhnya bagi kesungguhan pemerintahan
transisi untuk menghantarkan pemilu yang bersih dan jujur jauh dari bayangbayang kecurangan yang dilakukan orde baru.
Keadaan yang ada inilah membuat banyak kalangan di akar rumput warga
NU mendesak kepada PBNU untuk membuat partai yang dapat membawahi
aspirasi politik mereka. Sebagai respon permintaan warga NU tersebut, Gusdur
dan reka-rekan sejawatnya di PBNU merencanakan berdirinya Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB). Gusdur sendiri secara formal tidak menjadi pemimpin PKB, dan
lebih mempercayakan kepada Matori Abdul Djalil sebagai ketua umum partai.
Matori sendiri merupakan politisi senior yang telah berkiprah lama di PPP.
Lahirnya PKB akhirnya tidak bisa menghindai diri Gusdur untuk mengambil jalur
ke dunia politik praktis. Meskipun tetap berusaha untuk menjaga jarak secara
institusi dengan PBNU sebagai konskuensi keputusan khittah NU di Situbondo. 91
Pemilu pertama pasca roformasi tahun 1999 telah mengasilkan pemenang
utama yaitu PDIP dengan meraih 34 persen suara mengalahkan Golkar yang
hanya meraih 22 persen. PKB sendiri hanya meraih 12 persen suara, namun
perolehan suara ini lebih banyak dari partai-partai lain yang bermunculan di era
91
Ibid, h. 312
cviii
reformasi, seperti partai yang didirikan Amin Rais Partai Amanat Nasional yang
hanya memperoleh 7 persen suara pemilih. Bahkan prestasi ini dapat melampaui
partai PPP yang notabene partai lawas dengan mendapatkan perolehan suara
sebesar 10 persen saja. Dengan dukungan raihan suara pemilih yang relatif kecil
ini, keputusan untuk maju menjadi calon presiden belum menjadi suatu tujuan
utama bagi Gusdur dan pendukungnya. Namun setelah Amin Rais dengan secara
cerdas membuat poros tengah yang berisikan partai-partai Islam atau yang
berbasis Islam membuat peluang maju sebagai calon presiden lebih terbuka. Poros
tengah sendiri di gagas salahsatunya adalah untuk membuat pilihan lain agar PDIP
dan Golkar tidak berhadapan secara langsung. Kekuatan poros tengah secara tidak
terduga semakin menguat setelah laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie
ditolak oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Peluang yang semakin
terbuka tersebut membuat poros tengah berhitung sekaligus mengupayakan
meraih dukungan dari fraksi Golkar yang pada saat terakhir tetap tidak
mengajukan calon presiden. Rupaya semua berjalan sesuai dengan apa yang
dinginkan, Golkar memberikan dukungan kepada poros tengah sehingga dengan
modal suara cukup tersebut menghantarkan Gusdur menjadi presiden RI.
Hari-hari pertama menjadi presiden adalah momen yang bersejarah, paling
tidak bagi para pendukungnya, para nahdliyin. Harapan besar bangsa ini
bergantung pada begaimana Gusdur mengelola pemerintahannya. Namun yang
paling berat baginya adalah untuk mempersatukan berbagai kepentingan partai
politik, dan pada saat yang sama tidak melupakan kepentingan rakyat banyak.
Jelas sekali ini akan menjadi hambatan besar besar jika Gusdur tidak mampu
cix
mengakomodasi semua parpol penyokong poros tengah dalam kabinetnya.
Kesalahan dan perbedaan pandangan antara parlemen dan presiden dalam menilai
suatu kebijakan akan sangat mudah menjadi pemicu keretakan antara parlemen
dan eksekutif. Kondisi ini didukung dengan menguatnya posisi parlemen dari
sebelumnya. Pada masa ORBA kedudukan parlemen hanya dijadikan alat
legitimasi semata atas semua kebijakan yang diambil penguasa. Kondisi berubah
pada masa reformasi dimana parlemen memilki peran institusi super body dengan
memainkan peranan yang melibihi dari sitim pemerintahan presidensial, yang
seharusnya antara eksekutif dan legeslatif tidak bisa saling membubarkan seperti
pada sistem parlementer.
Realitas politik yang terjadi memang tidak banyak mendukung Gusdur
untuk bertahan lama menduduki jabatan nomor satu di negeri ini. Apalagi
dukungan partainya, PKB, di parlemen terlalu sedikit untuk bisa berbuat banyak
dalam mengamankan jalannya pemerintahan yang dipimpin Gusdur. Maka ketika
terjadi kasus Bulloggate dan Bruneigate yang dilakukan orang dekatnya, sekaligus
menyeret namaya sendiri sebagai presiden, membuat posisi Gusdur terancam.
Meskipun sampai sekarang pun belum ada pembuktian perihal keterlibatan
Gusdur dalam kasus yang dituduhkan lawan politiknya di parlemen. Maka melalui
sidang Istimewa MPR yang dipimpin Amin Rais mandat Gusdur akhirnya dicabut
sebagai presiden Republik Indonesia.
cx
E. Pelindung Kaum Minoritas
Predikat sebagi sosok yang kontrofersial membuat Gusdur justru menjadi
orang yang sangat laris untuk dimintai tanggapan pada isu-isu yang muncul dalam
masyarakat. Namun, predikat itu tampaknya cukup tepat, bila mengamati sikap
dan pemikiran politik Gusdur. Sejak kemunculannya sebagai seorang pemikir
sampai kemudian menjadi aktor politik yang cukup mumpuni, tidak salah kiranya
jika peran yang berganti-ganti itu membuat pandangannya begitu luas terhadap
segala permasalahan yang muncul dalam masyarakat.
Secara faktual asumsi ini tidak bisa dibantah, hanya saja menurut alZastrouw, bila dikaji secara lebih jauh apa yang dilakukan gusdur sebenarnya hal
yang wajar dan bisa terjadi dalam proses kehidupan. Jika dikatakan nyeleneh dan
kontroversi itu lantaran keberaniannya untuk berbeda dan keluar dari kelaziman.
Emha memperkuat kenyataan itu dengan menyebut bahwa bahwa Gusdur sebagai
“orang gila” dalam sejarah. Orang gila yang dimaksud Emha Ainun Najib adalah
orang menggagas apa yang tidak digagas orang lain, memikirkan apa yang tidak
dipikirkan orang lain, dan membayangkan apa yang tidak dibayangkan orang lain.
Al-Zastrouw menyatakan bahwa inilah yang menjadi ciri khas Gusdur.
Ketika seluruh masyarakat hanyut dalam silent culture (budaya bisu), selepas
peristiwa berdarah, 27 juli 1996, ia justru tampil beda dengan memberikan terapi
kepada masyarakat manusia melalui sikap dan pandangannya yang selalu berbeda
dari kelaziman. Jika dikaji lebih dalam, apa yang dilakukannya bukan sekedar
latah, apalagi sekedar mencari perhatian, lebih dari itu, ini adalah kerja culture
guna melakukan transformasi sosial.
cxi
Dalam kasus monitor misalnya, pada saat mayoritas Muslim di negeri ini
mengecam angket yang dibuat Tabloid Monitor, Gusdur justru sebaliknya,
mengecam tindakan tersebut. Kecaman Gusdur bukan semata-mata membela
monitor, namun sikap umat Islam dalam pandangan Gusdur yang sudah kelewat
keras. Gusdur menilai, sikap umat Islam justru sudah mengarah pada sikap anti
demokrasi, misalnya meminta pencabutan SIUP, termasuk juga upaya melakukan
pemboikotan terhadap Harian Kompas dan Gramedia Group. Belum lagi kasus
yang membuat geger perihal pernyataannya bahwa Assalamualaikum bisa diganti
dengan selamat pagi dan seterusnya. Meskipun dalam klarifikasinya, pergantian
salam itu hanya sebatas pada panggilan sehari-hari, tidak sampai pada mengganti
ucapan salam pada saat sholat.
Ketika terjadi kasus-kasus yang melibatkan banyak nyawa yang melayang,
menjelang dan pasca reformasi. Gusdur melontarkan pernyataan bahwa yang
terjadi adalah permainan di tingkat elit untuk merusak suasana dalam masyarakat.
Bisa jadi apa yang dikatakannya, sebagai upaya agar konflik –konflik yang terjadi
ketika itu tidak menyandarkan pada isu-isu etnis atau petentangan agama. Karena
jika isu yang berkembang terkait dengan isu SARA maka keadaan akan
bertambah kacau dan tidak bisa dikendalikan, dan sangat mungkin akan
menambah daftar korban yang lebih banyak lagi, terutama dari kaum minoritas.
Paling tidak usaha yang dilakukan atas konflik-konflik tersebut sedikit banyak
tidak melebar ke daerah-daerah lain.
Sosok Gusdur selama ini secara konsisten membela golongan minoritas
yang mendapat perlakuan tidak adil, merupakan sedikit tokoh yang berani di
cxii
negeri ini untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Meski untuk
perjuangannya itu Gusdur mendapat cercaan dan tuduhan-tuduhan sebagai agen
Yahudi dan Nasrani. Namun yang pasti keadilan bagi segenap rakyat adalah hal
mutlak yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara, dan Gusdur telah
melakukan tugasnya sebagai bagian dari bangsa ini.
Ahmad Suady dan Ulil Absar dengan secara cermat telah mengidentifikasi
arah pijakan Gusdur dalam berpikir. Menurut pengamatannya, ada lima elemen
kunci yang dapat disimpulkan dari pemikiran Gusdur. Pertama, pemikirannya
progressif dan jauh kedepan. Menurutnya, daripada terlena kepada kejayaan Islam
masa lalu, Gusdur lebih senang melihat masa dapat dengan keyakinan bahwa
Umat Islam akan mencapai tahapan kejayaan pada masa yang akan datang.
Kedua, pemikran Gusdur sebagian besar adalah respon terhadap modernitas,
respon dengan penuh percaya diri dan cerdas sembari tetap kritis terhadap
kegagalan-kegagalan masyarakat barat modern. Gusdur secara umum bersikap
positif terhadap nilai-nilai inti pemikiran liberal pasca pencerahan, walaupun dia
juga berpendapat hal ini perlu dikaitkan pada dasar-dasar teistik. Ketiga, dia
menegaskan bahwa posisi sekularisme teistik yang ditegaskan dalam pancasila
merupakan dasar yang paling mungkin dan terbaik bagi terbentuknya Negara
Indonesia modern dengan alasan posisinya non-sektarian. Gusdur menegaskan
bahwa ruang paling cocok untuk Islam adalah ruang sipil (civil sphere) bukan
ruang politik praktis. Keempat, Gusdur mengartikulasikan pemahaman Islam
Liberal dan terbuka yang toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk
menjaga harmoni dalam masyarakat. Kelima, pemikran Gusdur mempresentasikan
cxiii
sintesis cerdas pemikiran Islam tradisional, modernisme Islam dan kesarjanaan
Barat modern. Dengan berusaha menghadapi tantangan modernitas baik dengan
kejujuran intelektual yang kuat maupun dengan keimanan yang mendalam
terhadap kebenaran utama Islam.92
92
Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdala(ed.), Gila Gusdur : Wacana Pembaca
Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKIS, 2000) h. 87
cxiv
BAB IV
Dakwah dan Pluralisme Menurut K.H. Abdurrahman Wahid
A. Dakwah Menurut Gusdur
Sebagai Muslim Gusdur sadar betul akan kewajibannya untuk berdakwah.
Apalagi gelar Kyai yang terlanjur melekat pada dirinya sebagai simbol pengakuan
orang kepada pengetahuannya yang luas sekaligus mendalam tentang ilmu-ilmu
Islam. Kyai yang juga pernah menjabat sebagai ketua umum PBNU ini tentu tidak
bisa dilepaskan dari dunia dakwah, meskipun dalam bentuknya yang berbeda dari
kebanyakan. Perjalanan dan kunjungannya ke perlbagai pesantren-pesantern di
daerah untuk menemui warga NU juga merupakan salah satu bentuk tanggung
jawabnya sebagai seorang Muslim yang tidak bisa lepas untuk saling menasihati
dalam hal kebaikan.
Secara berani Gusdur mengungkapkan konsep dalam berdakwah berbeda
dari aktifitas dakwah yang banyak kita jumpai. Menurutnya bahwa dakwah tidak
harus disampaikan secara formal, artinya dalam berdakwah kita tidak harus
mengutip dalil-dalil agama. 93 Sebuah pandangan yang sesungguhnya membuka
pintu dakwah agar dapat dilakukan oleh siapa saja. Selama ini aktifitas dakwah
93
Dialog Interaktif dalam Konkow Bareng Gusdur di Radio 68H Jakarta pada 21 Maret
2009
cxv
sering dipersepsikan banyak orang hanya dilakukan oleh seorang mubaligh, yaitu
seorang Da’i yang menggunakan media dakwahnya melalui mimbar atau tabligh.
Sehingga dengan pengertian yang demikian itu membuat dakwah hanya bergerak
pada ruang yang sangat sempit sekali.
Manurut Gusdur saat ini dakwah masih berwatak penciptaan solidaritas di
permukaan. Sekedar melecut manusia agar berakhlak pribadi yang terpuji,
mengikuti kerangka ritual yang ditetapkan faham masing-masing, dan
menjanjikan hadiah surga atau siksa neraka. Ditambah "acara tetap" berupa
ketakutan kepada serangan kebudayaan modern dan sejumlah bahaya lain yang
dianggap akan menghancurkan keyakinan agama.94
Salah
satu
ajaran
yang
dengan
sempurna
menampilkan
universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama
samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun
sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum
agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan
fisik
warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2)
keselamatan keyakinan agama masing-masing,
tanpa ada paksaan untuk
berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta
benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi.
Jaminan akan keselamatan fisik warga
masyarakat
mengharuskan
adanya
pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga
94
K.H. Abdrrahman Wahid, “Dakwah Harus Diteliti”, Diakses pada 27 Januari 2009
dari www.gusdur.net
cxvi
masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan
kepastian
hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan
persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis
persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti
sebenar-benarnya.
Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan hidup
(Worldview, Weltanschauung) paling jelas universalitasnya adalah pandangan
keadilan sosial.95
Kesimpulan dari nilai unversalitas Islam diataslah yang terus disuarakan
Gusdur dalam mengimplementasikan Islam rahmatan lil alamin. Dengan kelima
pilar itu diyakini Islam benar-benar menjadi pengayom bagi semua mahluk di
bumi. Maka tidak heran corak dakwah yang dilakukan Gusdur sering bertumpu
pada pembelaan atas kesewenangan dan ketidakadilan yang diperoleh kaum
minoritas atau individu atau kelompok yang dirugikan.
Pada era akhir delapanpuluh Gusdur secara terus-menerus dalam
tulisannya mengenalkan sebuah gagasan apa yang di sebut olehnya sebagai
pribumisasi Islam. Dalam hal ini Gusdur berpendapat bahwa Islam sebagai ajaran
agama yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan kedalam kebudayaan
yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing.
Menurutnya proses Arabisasi atau proses mengidentifikasi dengan budaya Timur
Tengah adalah tercerabutnya kita dari akar budaya sendiri. Apalagi budaya yang
di impor itu belum tentu bermanfaan bagi kondisi masyarakat Indonesia.
95
K.H. Abdrrahman Wahid.“Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban
Islam”. Diakses pada 27 Januari 2009 dari
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Universalisme.html
cxvii
Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan
budaya-budaya setempat, agar budaya itu tidak hilang. Karena itu, inti pribumisasi
Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindarkan polarisasi antara agama dan
budaya.
96
Dalam hal ini yang di pribumisasikan adalah menifestasi kehidupan
Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut keimanan dan peribadatan
formalnya, dan yang menjadi agendanya adalah berpikir tentang bagaimana
melestarikan agama Islam sebagai budaya, melalui upaya melayani dan
mewujudkan kepentingan seluruh bangsa.97
Persis di titik inilah, gagasan pribumisasi Islam dikembangkan lebih lanjut
sebagai jawaban atas berkembangnya Islam otentik atau Islam murni. Islam tidak
bisa lagi dipandang secara tunggal , melainkan majemuk. Tidak ada lagi anggapan
bahwa Islam yang berada di Timur Tengah sebagai Islam murni dan paling benar.
Pribumisasi Islam yang dilontarkan Gusdur sesungguhnya mengambil semangat
yang telah diajarkan oleh Walisongo dalam dakwahnya yang melintasi kepulaun
nusantara beberapa abad lampau. Dalam hal ini Walisongo dianggap mampu dan
berhasil memasukan nilai-nilai lokal kedalam Islam yang khas keindonesiaan.
Dengan demikian jelas kemana arah pemikiran Gusdur bagaimana strategi
dakwah itu harus dijalankan
1. Amar ma’ruf nahi Munkar
Keadaan paling fenomenal dan menjadi isu utama dalam dalam relasi
kemanusiaan global dewasa ini, muncul dengan motif yang disebut banyak
96
Abdurahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Jakarta, Desantara,
2001), h.111
97
Alfian Muhammad dan Helmi Jacob (ed), Gusdur Bertutur , (Jakarta: Harian proaksi,
2005), h. xxiv
cxviii
orangsebagai isu agama. Ini hanya karena kekerasan tersebut digerakkan atau
dibalut dengan simbol-simbol agama, terma-terma agama, teriakan-teriakan
dengan mengutip teks-teks suci agama dan seterusnya. Untuk kasus Indonesia,
gejala munculnya kekerasan dengan nuansa keagamaan telah berlangsung cukup
lama. Konflik yang dilanjutkan dengan kekerasan juga terjadi secara fenomenal
terhadap golongan, aliran keyakinan tertentu atau budaya tertentu. Pendeknya
kita menyaksikan secara kasatmata betapa klaim-klaim keagamaan, kayakinankeyakinan sakral atau yang disakralkan, digunakan untuk menjustifikasi kekerasan
antar umat manusia. Ini semua berlangsung di tengah-tengah bumi manusia yang
justru adalah mahluk yang paling dimuliakan Tuhan. Justru karena dibekali akal,
bahkan dalam sebuah negara yang penduduknya ber-Ketuhanan yang Maha Esa,
maka manusia menjadi mahluk yang sulit dipahami, ia sangat misterius dan
ambigu.98 Hal ini harus diperhatikan agar kekerasan dengan mensandarkan pada
terma-terma amar ma’ruf nahi munkar misalnya, perlu adanya kaji ulang.
Menurut Gusdur ketiadaan negara Islam tidak berarti kaum muslimin harus
hidup secara individual, melainkan mereka harus membuat komunitas masingmasing, dan merumuskan kewajiban-kewajiban kolektif agama yang mereka anut.
Dengan kata lain, ber amr ma’ruf nahi munkar dilakukan secara persuasif oleh
tiap-tiap muslim.
Pada sisi lain terma amar ma’ruf nahi munkar telah dijadikan sebagai
legitimasi untuk melakukan pemaksaan, kekerasan dan penyerangan terhadap
siapapun yang berbeda. Mereka berdalih memperjuangkan al-ma’ruf
98
dan
Husain Muhammad,.”Pluralisme dan Multikulturalisme sebagai masalah dalam
pergulatan Tafsir dalam Islam”. Diakses pada 14 Desember 2008 dari www.wahidinstitute.com
cxix
menolak
al-munkar
setiap
kali
melakukan
aksi-aksi
kekerasan
atau
mendiskreditkan orang atau pihak lain. Sementara konsep rahmatan lil-’alamin
digunakan sebagai dalih formalisasi, memaksa pihak lain meyetujui tafsir mereka,
dan menuduh siapa pun yang berbeda atau bahkan menolak tafsir mereka sebagai
menolak konsep rahmatan lil-alamin, sebelum dicap murtad atau bahkan kafir.
Padahal, sebenarnya semangat dakwah adalah memberi informasi dan mengajak,
dan Islam menjamin kebebasan beragama. Disini kita melihat kontradiksi
mendasar antara kelompok-kelompok garis keras dengan ajaran Islam yang penuh
kasih sayang, toleran, dan terbuka.99
Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk
mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu
pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua,
reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam
konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu
agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya
dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran
agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat,
penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang
agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain
agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam
perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling
99
K.H. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, (Jakarta: The Wahid Institute,
2009) h. 33
cxx
baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang
dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan
agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.100
Berbagai gambaran di lapangan menunjukkan bahwa merajut tali kerukunan
dan toleransi di tengah pluralitas agama memang bukan perkara mudah. Menurut
Burhanudin beberapa faktor berikut jelas merupakan ancaman bagi tercapainya
toleransi. Pertama, sikap agresif para pemeluk agama dalam mendakwahkan
agamanya. Kedua, adanya organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung
berorientasi pada peningkatan jumlah anggota secara kuantitatif ketimbang
melakukan perbaikan kualitas keimanan para pemeluknya. Ketiga, disparitas
ekonomi antar para penganut agama yang berbeda. Guna meminimalisir ancaman
seperti ini (terutama ancaman pertama dan kedua), maka mau tidak mau umat
Islam, demikian juga umat lain, dituntut untuk menata aktifitas penyebaran atau
dakwah agama secara lebih proporsional dan dewasa.101
2. Dakwah Kultural
Dakwah telah berjalan sejak lahirnya agama Islam secara alamiah. Karena
tuntutan zaman yang makin kompleks, maka membutuhkan teori dakwah yang
sistematis dan terencana sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Islam masuk ke
wilayah Indonesia dengan sangat halus tanpa melalui proses kekerasan atau
diiringi dengan pertumpahan darah. Islam mengalir sesuai dengan kultur
100A. Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam
Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di
Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992), hlm. 227-229.
101
Sorprapto, Pluralitas, Konflik dan Kearifan Dakwah, Artikel diakses pada
25
Februari
2009
dari
www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Suprapto.doc -
cxxi
masyarakat yang telah mapan dan berbaur dengan budaya setempat yang banyak
dijiwai oleh ajaran agama Hindu atau Buda. Islam datang menyapa umat
Indonesia dalam bentuknya yang khas sebagai hasil dari elaborasi budaya lokal
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh muslim yang bijak, yaitu dengan menyematkan
identitas positif (keislaman), menanamkan etika dan moral pada adat yang telah
berlaku di masyarakat sehingga terjadi perubahan dalam diri masyarakat
Indonesia beranjak menuju ajaran yang dibebankan (taklif) oleh Allah kepada
setiap muslim (mukallaf) sesuai dengan tuntutan lingkungannya.102
Ada dua cara Umat Islam dalam menghadapi tantangan dari luar. Pertama,
pendekatan kultural seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Ada ulama
yang
memperbolehkan
ziarah
kubur
dan
ada
yang
melarang.
Yang
memperbolehkan ziarah menjadi NU, serta yang anti menjadi Muhammadiyah.
Kedua, dengan pendekatan institusional, kelembagaan. Dalam menentang Barat,
mereka biasanya ofensif. Sekarang ditambah lagi, kita menghadapi globalisasi. Ini
menambah khawatir mereka. Padahal Islam di Indonesia itu sebetulnya menerima
atau menyerap segala budaya.
Menurut Gusdur upaya untuk mengenal dunia Islam yang berbeda perlu
pendekatan yang beragam. Oleh karenanya Gusdur mengajukan sebuah gagasan
tentang pentingnya kajian kawasan dunia Islam. Dengan begitu pendekatan
dakwah yang dilakukan pun harus berbeda dari satu kawasan dengan kawasan
lainnya.
102
Fadlolan Musyaffa, MA. Budaya dan Media Dakwah. Artikel diakses pada 17 Juli
2008 dari http://www.numesir.org/cetak.php?id=43
cxxii
Minimal adanya enam buah kajian kawasan (Area Studies) di dunia
Islam studi kawasan masyarakat-masyarakat Islam di kawasan Afrika
hitam (Sub-Saharan Communities), masyasrakat-masyarakat Islam di
Afrika Utara dan kawasan Arab, masyarakat-masyarakat Islam di TurkiPersia-Afganistan, masyarakat-masyarakat Islam di Asia Selatan
(Bangladesh, Nepal, Pakistan, India dan Sri Langka) . masyarakatmasyarakat Islam di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) dan masyarakatmasyarakat Islam di kawasan negara berindustri maju (Advanced
Technology Communities).103
Dakwah agama harus digeser dengan menggunakan strategi budaya. Sebab
dengan budaya, dakwah akan lebih mudah dicerna oleh masyarakat termasuk
kalangan non muslim.104 Pendapat ini menegaskan pendapat Gusdur sendiri, yang
menurutnya apa yang dilakukan Walisanga dalam melakukan penyebaran ajaran
Islam di Indonesia sangatlah baik dan harus dijadikan contoh.105
Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama,
Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis,
tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang
terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler.
Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak
ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai
sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya
mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya
103
Dialog Interaktif dalam Konkow Bareng Gusdur di Radio 68H Jakarta pada 7 Februari
2009
104
Diakses pada 17 Januari 2009 dari
www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/06/30/brk%C20060630-79626%2cid.html
105
Dialog Interaktif dalam Konkow Bareng Gusdur di Radio 68H Jakarta pada 21
Februari 2009
cxxiii
dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui
batas-batas tradisionalisme. 106
Pendekatan dakwah harus ditekankan pada cara pandang terhadap mitra
dakwahnya, yaitu manusia seutuhnya. Pendekatan adalah cara-cara yang
dilakukan oleh seorang Da’i untuk mencapai suatu tujuan tertentu atas dasar
hikmah dan kasih sayang. Dengan demikian pendekatan dan metode dakwah itu
berdiri atas landasan yang sangat demokratis dan persuasif. Demokrasi yang
dimaksud adalah pada akhirnya seorang Da’i harus menerima keputusan final
yang akan dipilih oleh sasaran dakwah. Da’i tidak memiliki wewenang untuk
memakasa pada sasaran dakwah agar melakukan hal-hal tertentu yang diajarkan
Da’i.107
Dalam kedudukannya sebagai juru dakwah maka seorang Da’i itu hanya
benar-benar menyampaikan, menghimbau tetapi tidak boleh memaksa. Ini sesuai
apa yang diajarkan al-Quran surat al-Ghosiyah ayat 22 yang artinya: “Kamu
bukanlah orang yang berkuasa atas diri mereka.” Ayat ini megukuhkan batasan
bagi seorang Da’i yang berkewajiban untuk menyampaikan fakta-fakta kebenaran
namun tidak sampai berkewajiban untuk memaksa objek dakwah agar mengikuti
apa yang disampaikannya.108
B. Pluralisme Menurut K.H. Abdurrahman Wahid
Pertama kali orang mendengar nama Gusdur dapat dipastikan mereka
menyebut sosok ini sebagai orang yang penuh dengan kontrofersi. Pernyataanpernyataan yang diungkapkannya seringkali mengejutkan sekaligus membuat
106
Diakses pada 14 Desember 2008 dari www.gusdur.net
Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: GAya Media Pratama, 1987)
108
Rosyidi MA, Dakwah Sufistik Kang Jalal, (Jakarata: Paramadina, 2004), h.50
107
cxxiv
orang bingung. Belum lagi sikap Gusdur yang dianggap selalu melawan arus
dengan pendapat orang banyak tentang suatu isu dalam masyarakat maupun
kenegaraan. Semua penilaian itu memang tidak bisa lepas dari kiprah Gusdur
selama beberapa dasawarsa belakangan ini. Namun yang pasti semua penilaian
miring itu sejauh ini belum dapat mengehentikan Gusdur dalam memperjuangkan
nilai-nilai yang ia yakini.
Sebagai mantan ketua PBNU dengan membawahi puluhan juta umat tentu
kiprahnya selalu disorot oleh banyak kalangan. Jabatan strategis itu pula yang
membuat Gusdur semakin dikenal di negeri ini. Satu hal yang membuat Gusdur
begitu dipuja sebaian besar warga NU adalah upayanya yang secara terus-menerus
untuk mengenalkan dunia pesantren pada tahun 80-an. Pesantren merupakan basis
NU yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat pedesaan khusunya di
pulau jawa. Islam tradisional yang lebih dikenal untuk menunjuk komunitas warga
NU yang pada waktu itu menghadapi serbuan Islam kota dengan melabeli ritualritual yang dilakukan orang NU adalah bentuk-bentuk bid’ah. Hal ini menjadi
awal pergulatan Gusdur untuk membela dan menagkis semua tuduhan itu dengan
penuh keyakianan atas kesalahan pandangan mereka terhadap NU. Pada
kedudukannya
itu
pula
Gusdur
memberikan
rangsangan dan
inspirasi
pengembangan intelektual dikalangan kaum muda NU yang dahulu lebih dikenal
sebagai golongan yang tertinggal.
Dalam bidang pemikiran Gusdur memberikan kontribusi yang begitu besar
pada upayanya untuk menjaga kedaulatan nasional berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Dalam berbagai kesempatan pidatonya, Gusdur dengan tegas
cxxv
menyatakan bahwa bentuk negara kesatuan berdasar pancasila adalah bentuk
final. Perwujudan pemikrannya itu terlihat bagaiaman Gusdur pada tahun 1984
mendorong NU untuk menerima Pancasila sebagai azas tunggal dan pada saat
yang sama mempelopori keluarnya NU dari politik praktis atau yang lebih dikenal
dengan gerakan kembali ke khittah NU 1926.
Gagasan-gagasan Gusdur juga bisa dilihat dari tulisan-tulisannya. Kita
akan menemukan kemampuannya meracik hikmah yang terkandung dalam
tradisonalitas dan modernitas, antara spiritualitas dan materialistik, antara
penalaran dan wahyu Ilahi. Kemampuan inilah yang mampu membawanya
dikenal sebagai seorang pluralis, rasionalis, humanis, liberal tetapi tetap
dipandang mewakili kaum tradisonails. Gusdur meyakini sekaligus menunjukan
pada dunia bahwa Islam tradisional tidak pernah menjadi sesuatu yang statis,
dinamisasi merupakan ekspresi terbaik dari Islam tradisonal yang adaptif dan
fleksibel. Bahwa terjadi proses seleksi dimana akan ada yang dipertahankan dan
dibuang, diterima dan ditolak telah lama dirumuskan demikian indahnya oleh para
kyai dengan istilah “memelihara warisan lama yang baik dan mengambil hal baru
yang lebih baik” (almuhafazhat ‘alal qodim al shalih wa akhdzu biljadid
asfoleh).109
1. Pancasila Jangkar Kehidupan Berbangsa
Perhatian Gus Dur yang begitu besar terhadap nilai-nilai pluralisme
merupakan sebuah keharusan bagi dirinya. Gus Dur sangat yakin arti penting
pluralisme bagi perkembangan Indonesia di masa mendatang. Hal ini tentu saja
109
Abdurahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Jakarta,
Desantara, 2001), h.xxii
cxxvi
tidak terlepas dari kondisi Indonesia yang merupakan negara besar dengan
bentangan lebih dari tujuh belas ribu pulau-pulau yang berjajar dari sabang sampai
merauke. Negara yang luas itulah yang kemudian melahirkan begitu tinggi
keragaman masyarakatnya dari segi agama, suku, bahasa, budaya dan lainnya.
Keyakinan Gus Dur untuk berjuang menegakkan pluralisme bukanlah hanya
semata keinginan dari dirinya. Gus Dur mencoba berusaha sebisamungkin untuk
meneruskan apa yang telah menjadi kesepakatan para pendiri bangsa pada masa
kemerdekaan yaitu, untuk bersama-sama bersatu sebagai bangsa dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesatuan tersebut yang
menjadiakan perbedaan-perbedaan di dalamnya dapat terwadahi sebagai sebuah
potensi kekayaan negeri ini. Kesemuanya itu mendapat jaminan dasar dan
sekaligus perintah konstitusi yang termaktub dalam falsafah negara yakni
“Bhinika Tunggal Eka”, berbeda-beda tapi tetap satu.
Keputusan bersepakat untuk membentuk negara kebangsaan (nation state)
bukanlah hal yang mudah. Tarik ulur tentang konsep kenegaraan terus saja
berlangsung terutama dua gerbong besar antara mereka yang nasinolis dan
religius Islam. Isu yang selalu menghantui perjalanan bangsa ini adalah desakan
pihak tertentu memasukkan kembali tujuh kata dalam pembukaan UUD 1945 atau
yang lebih di kenal dengan Piagam Jakarta. Kontrofersi dimulai saat Bung Hatta
pada tanggal 18 agustus 1945 setelah mendengar AA Maramis sebagai perwakilan
non Muslim menyatakan tidak setuju dengan dimasukannya tujuh kata dalam
UUD 1945. Tujuh kata yang dihilangkan adalah “dengan kewajiban menjalankan
cxxvii
syaria’ah Islam bagi pemeluknya.”110 Piagam Jakarta 22 Juni 1945
yang
merupakan kompromi untuk mengakomodasi kelompok Islam akhirnya juga
terpaksa dibatalkan.111
Sejak itu, Penghapusan tujuh kata tersebut telah menimbulkan perdebatan
berkelanjutan. Selama sidang konstituante 1956-1958, tujuh kata itu dicoba
dimasukkan lagi tapi gagal mencapai mayoritas. Dengan demikian inilah fakta
yang relevan, yang sampai saat ini tidak pernah dipersoalkan bahkan oleh mereka
yang menuntut pemasukan kembali tujuh kata itu, baik yang berorientasi
nasionalis maupun religius Islam, sepakat untuk membuat UUD dimana agama
Islam tidak diberi status khusus. Ini berarti adalah suatu konsensus mendasar
agung bangsa Indonesia tentang prinsip non-diskriminasi dalam agama.112
Penerimaan yang dilakukan secara ikhlas oleh pemimpin-pemimpin
Muslim dalam masa-masaa kemerdekaan itu seharusnya menjadi komitmen terus
menerus untuk tunduk kepada konstitusi. Kepatuhan terhadap konstitusi juga
merupakan implikasi dari kewajiban umat Islam tunduk kepada para pemimpin
(ulil amri). Apalagi UUD 1945 didahului oleh Piagam Jakarta yang kemudian
menjadi Pembukaan UUD 1945, sebagai spirit UUD 1945. Adanya 7 kata yang
dihapus dari Piagam Jakarta merupakan proses sejarah yang harus diterima dalam
kehidupan bernegara. Bahkan dalam pembentukan Piagam Madinah pun terhadap
110
Alfian Muhammad dan Helmi jacob (ed.), Gusdur Bertutur, (Jakarta: Penerbit Harian
Proaksi, 2005), h. 202
111
Salahuddin Wahid. “NU dan Khialafah Islamiyah”. Diakses pada 14 Desember 2008
dari www.nu.or.id
112
Franz Magnis-Suseno, Islam dan Nilai-Nilai Universal, (Jakarta: ICIP, 2008) h. 47
cxxviii
penghapusan 7 kata yang tidak disetujui oleh kaum Yahudi. Pada awalnya di
bagian awal Piagam Madinah terdapat kata “Bismillahirahmanirrahim” dan di
akhir piagam terdapat kata “Muhammad rasulullah”. Kata-kata tersebut tidak
disetujui oleh kaum Yahudi sehingga “Bismillahirahmanirrahim” dihilangkan dan
di akhir piagam tinggal nama “Muhammad”.113
Sebenarnya
konstitusionalisme
dalam
praktik
kehidupan
bernegara
berdasarkan konstitusi dan mengakui serta melindungi kebhinnekaan telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada masa pemerintahannya di
Madinah, telah disusun dan ditandatangani persetujuan atau perjanjian bersama di
antara kelompok-kelompok penduduk kota Madinah untuk bersama-sama
membangun struktur kehidupan bersama yang di kemudian hari berkembang menjadi kehidupan kenegaraan dalam pengertian modern sekarang. Naskah persetujuan bersama itulah yang selanjutnya dikenal sebagai Piagam Madinah
(Madinah Charter).
Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai piagam tertulis pertama dalam
sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi
dalam arti modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi
Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah
beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun
113
M. Ali Safaat. “Kesetiaan Warga Negara Terhadap Konstitusi”. diakses pada tanggal
27 Januari 2009 dari
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=524 ,
cxxix
622 M. Para ahli menyebut Piagam Madinah tersebut dengan berbagai macam
istilah yang berlainan satu sama lain.114
Tercapainya konsensus dalam berbangsa dan bernegara dengan semangat
persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh tumpah darah yang menjiwai UUD
1945 merupakan kerelaan hati oleh para pendiri bangsa. Gusdur dalam hal ini
begitu apik menjelaskan rentetan peristiwa yang mengilhami semangat persatuan
tersebut yang baginya merupakan hasil pengalaman perjalanan sejarah dari masamasa lampau Nusantara. Dengan berpijak pada upaya melestarikan keragaman
budaya serta tradisi bangsa untuk berdialog secara berkelanjutan dengan nilai-nilai
Islam sebagai seperangakat ajaran agama.
Gagasan Negara bangsa ini adalah buah dari pahit getir
pengalaman sejarah Nusantara sendiri. Pada satu sisi, sejarah panjang
Nusantara yang pernah melahirkan dan mengalami peradaban-peradaban
besar Hindu,Budha, dan Islam selama masa kerajaan Sriwijaya, Sailendra,
Mataram I, Kediri, Singsari, Majapahit,Demak, Aceh, Makasar, Goa,
Mataram II, dan lain-lain telah memperkuat kesadaran tentang signifikansi
melestarikan kekayaan dan keragaman budaya serta tradisi bangsa.
Sementara pada sisi lain , dialog terus-menerus antara Islam sebagai
seperangkat ajaran agama dengan nasionalisme yang berakar kuat dalam
pengalaman bangsa Indonesia, telah menegaskan kesadaran bahwa Negara
bangsa yang mengakui dan melindungi beragam keyakinan, budaya dan
tradisi bangsa Indonesia adalah pilihan tepat bagi bangunan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pepatah Mpu Tantular, ajaran dan gerakan
Sunan Kalijogo, serta keteladanan lain semacamnya, dengan dapat
mengungkapkan kesadaran spiritual yang menjadi landasan kokoh
Indonesia modern dan melindunginya dari perpecahan sejak proklamasi
kemerdekaan pada tahun 1945. 115
Perjalanan sejarah di ataslah yang menjiwai perjuangan Gusdur untuk
mengupayakan tertanamnya nilai-nilai pluralisme. Meskipun konsekuensinya ia
114
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995),
115
K.H. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, (Jakarta: The Wahid Institute,
2009) h. 16
cxxx
harus berhadapan dengan kelompok-kelompok Islam radikal yang tidak segansegan melakukan tekanan psikis maupun fisik. Namun sayangnya dalam berbagai
kesempatan perlawananya terhadap tekanan itu , Gusdur tidak cukup
mendapatkan dukungan.
Sebagian orang menganggap itu adalah persoalan
Gusdur semata dan bukan menjadi bagian penting untuk membela idiologi negara.
Tentu anggapan yang denikian terasa tidak adil dan hanya membebankan semua
persoalan hanya kepada Gusdur semata. Padahal sesungguhnya ini adalah
tanggung jawab bersama terutama bagi penyelenggara pemerintahan yang
mempunyai kewajiban untuk melindungi setiap warga negara dari ancaman
hilangnya hak hidup dan berkeyakinan sesuai amant UUD 1945.
2. Islam dan Negara
Sejak pemilu pertama pada era reformasi pemerintah memberikan angin
segar bagi masyarakat untuk bebas membuat partai politik. Kemudian dibukanya
keran demokrasi pada masa reformasi membuat azas tunggal Pancasila yang
dahulu diterapkan oleh rezim Soeharto secara bersamaan juga dicabut. Inilah awal
polarisasi terkait kebebasan oraganisasi sosial maupun politik dengan berazaskan
pada paham-paham yang berbeda dari sebelumnya. Maka munculnya kembali
gerakan-gerakan untuk memperjuangkan diberlakukannya kembali Piagam
Jakarta atau penegakan Khalifah Islam tidak bisa terelakkan. Konsekuensi yang
diperoleh dari sebuah negara demokrasi adalah kebebasan yang diperoleh
warganya dalam berserikat dan mengeluarkan pendapat. Peluang tersebut sejauh
ini dapat dimanfatkan secara baik oleh mereka yang mengusung terbentuknya
negara Islam, baik dari jalur politik atau melalui gerakan dakwah.
cxxxi
Bagi pengusung terbentuknya negara Islam menganggap bahwa Islam
merupakan agama yang sekaligus negara (al-Islam huwa al-din wa al-daulah).
Keyakinan ini menancap kuat dalam memori sebagaian Muslim, terutama para
pemikir politik Islam. Paradigma ini kerap menggiring umat Islam untuk
menampilkan agamanya dalam bentuk formal, yakni dengan menmpakkan wajah
literal bangunan politik masa silam.116 Tentu yang menjadi rujukannya adalah
negara kota madinah yang dibentuk Kanjeng Nabi Muhammad dan penerusnya
Khalifah Empat.
Pengalaman itu muncul kembali dari partai-partai politik yang berazaskan
Pancasila di era reformasi. Perjuangan yang dilakukan seperti PPP, PBB, PKS dan
partai kecil lainnya, dengan menjual isu memperjuangkan kembali Piagam Jakarta
atau dalam bentuk lain, semisal syariatisasi perundangan di parlemen. Meskipun
belum jelas betul arah perjuangannya, mengingat apa yang menjadi isu jualan
partai-partai tersebut seringkali berubah setiap saat. Satu contoh, saat Megawati
mencalonkan diri menjadi presiden tahun 1999 PPP serta partai lain yang
berasakan Islam menolak pencalonanya, dengan alasan karena Megawati seorang
perempuan. Dalil-dalil agama pun menjadi landasan bagi mereka untuk
menghancurkan Megawati yang pada intinya bahwa dalam Islam seorang wanita
tidak boleh menjadi Imam. Namun anehnya ketika pada tahun 2001 Megawati
menjadi presiden menggantikan Gusdur, Hamzah Has sebagai ketua PPP
menerima pencalonannya sebagai wakil presidennya Megawati.
116
Khamami Zada dan Arif R. Rafah, Diskursus Politik Islam, (Jakarta:LSIP, 2004) h.23
cxxxii
Gusdur begitu jujur mengakui bahwa hubungan antara agama dan negara
masih bersifat problematik bagi kaum muslimin, setidak-tidaknya bagi pemimpin
gerakan-gerakan Islam. Hal ini adalah warisan sejarah yang tidak dapat dihindari,
karenanya harus dipikirkan bagaimana ia diselesaikan. Memang pendidikan terutama perkembangan teknologi, pengetahuan modern maupun kebudayaanmengarahkan kepada semakin kaburnya ‘sekat-sekat’ itu dalam kehidupan.
Namun karena semakin besar kehadiran mereka, semakin banyak juga yang ingin
melihat, dan tentunya turut berusaha, moralitas kita sehari-hari mengikuti prinsipprinsip Islam, sehingga akan tercapai pola kehidupan yang “Islami”. Hal ini tidak
menjadi persoalan, jika dijaga agar tidak “bertabrakan” dengan “pola umum” yang
berjalan sekarang. Pengharaman atau pertentangan terhadap pola yang ada itulah
yang harus dihindari117
Pendapat Gusdur diatas sangat jelas bahwa ia tidak mempersoalkan sama
sekali uasaha-usaha untuk mengakkan moralitas berbasis agama dalam
masyarakat. Namun, catatannya adalah tentu saja asalkan usaha-usaha tersebut
tidak betentangan kesepakatan moralitas secara umum. Satu contoh, saat Gusdur
mengecam tindakan FPI saat melakukan sweping para pedagang makanan saat
orang berpuasa dalam bulan Ramadhan. Tindakan sweping itu mungkin benar
bagi mereka, tapi harus dilihat juga hak hidup untuk mencari makan bagi orang
lain. Inilah salah satu sikap dimana sebagian kecil masyarakat belum bisa
menerima hak orang lain, akhirnya hak tersebut saling berbenturan satu sama lain.
117
Abdurrahman Wahid, “Islam, Nasionalis dan Orang Arab”. Artikel diakses pada
27 Januari 2009 dari www.gusdur.net
cxxxiii
Padahal seharusnya semua persoalan itu dikembalikan pada perundangan yang
beralaku di negera ini.
Menurut Gusdur, lahirnya kelompok-kelompok garis keras tidak bisa
dipisahkan dari dua sebab. Pertama, para penganut garis keras tersebut
mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena ketertinggalan umat Islam
terhadap kemajuan barat dan penetrasi budayanya dan segala ekses yang timbul
karenanya. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampak
matrialistik budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan cara-cara kekerasan
untuk menghadapinya. Kedua, kemunculan kelompok-kelompok Islam keras itu
tidak terlepas dari adanya pendangkalan agama dari kalangan umat Islam sendiri,
terutamanya dari para kaum mudanya. Hal ini bisa di jumpai banyak dari sebagian
besar anggota-anggota mereka yang tergabung di dalamnya adalah mereka yang
berlatar
belakang
pendidikan
ilmu-ilmu
eksata
dan
ekonomi.
Mereka
mencukupkan diri interpretasi keagamaan yang didasarkan pada pemahaman
secara literal atau tekstual tanpa di diringi dengan pelbagai penafsiran yang ada,
kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap teks-teks yang ada.118
Menurut Gusdur “Kesempurnaan sistem” Islam sebagai agama, tidak
didasarkan pada kekuatan atau wewenang lembaga tertentu, melainkan pada
kemampuan akal manusia untuk melakukan perbandingan sendiri-sendiri. Dalam
pandangannya, kesadaran pluralistik seperti inilah yang harus dipelihara bukannya
dengan mendasarkan pada adanya lembaga tertentu sperti negara.119
118
K.H. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, (Jakarta: The Wahid Institute,
2009) h. xxvi
119
K.H. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, (Jakarta: The Wahid Institute,
2009) h. 14
cxxxiv
Lebih lanjut
Gusdur menyatakan bahwa Islam tidak mementingkan
bentuk kelembagaan, melainkan fungsi-fungsi lembaga. Karena itu, Islam tidak
mengenal konsep tentang negara, melainkan tentang fungsi-fungsi negara. Dengan
demikian, sebuah konsep negara bangsa (nation-state) menjadi sama nilainya
dengan negara Islam. Sikap ini, tidak berarti Islam memusuhi konsep negara
agama, termasuk konsep tentang Negara Islam, melainkan hanya menunjukkan
betapa bentuk negara bukanlah sesuatu yang esensial dalam pandangan Islam,
karena
segala
sumber-sumber
tekstual (adillah naqliyah)
tidak
pernah
membicarakan bentuk-bentuk negara. Yang selalu dibicarakan adalah berbagai
fungsi dari sebuah negara,120
3. Islam dan Pluralisme
Bagi sebagian kalangan, kiprah tokoh Nahdlatul Ulama ini sering kali
mengundang kontroversi, bahkan rasa tidak simpatik. Namun, di kalangan
umatnya warga nahdliyin, kelompok minoritas, dan mereka yang gigih
mendorong pluralisme. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur ini
adalah simbol kebebasan dan kesetaraan. Bicara apa adanya, blak-blakan, dan tidak
jarang membuat kuping pendengarnya panas. Ungkapan-ungkapan lantangnya tak
jarang membuat orang terkaget-kaget. Bagi pria yang lahir dan dibesarkan di
lingkungan pesantren ini, pluralisme adalah keniscayaan sekaligus berkah dari
120
K.H. Abdurrahman Wahid, “Islam Dan Fungsi Keadilan”. Artikel diakses pada 27
Januari 2009 dari www.gusdur.net
cxxxv
Tuhan Yang Maha Esa yang tidak akan terhapus di bumi Indonesia sampai
kapanpun.121
Hubungan antar umat beragama di Indonesia tampaknya kembali
mengalami cobaan dan ujian berat dua tahun terakhir ini. Kalau dilihat dengan
cermat tampak bahwa hal itu masih akan berlangsung cukup lama. Memulihkan
hubungan semula yang tampak harmonis dan kemudian mengalami keretakan,
bukanlah hal yang mudah. Namun, masa depan kita sebagai bangsa banyak
bergantung pada kemampuan pemulihan hubungan itu. Kegagalan dalam hal ini
dapat mengakibatkan ujung traumatik yang megerikan; terpecah belahnya kita
sebagai bangsa.122
Refleksi Gusdur diatas menggambarkan betapa bangsa ini menghadapi
cobaan besar. Pluralitas agama, etnis, bahasa dan budaya yang menjadi
penyokong terbentuknya bangsa ini menghadapi tantangan, terutama dari
kelompok-kelompok yang tidak mau mengakui keragaman. Inilah awal persoalan
timbul yang pada gilirannya membuat sebagaian muslim tidak terbuka kepada
saudaranya yang muslim dan cenderung berlaku memusuhi mereka. Pengingkaran
terhadap pluralitas agama merupakan sikap menutup mata terhadap realitas yang
ada. Padahal Allah menjadikan umatnya beragam untuk membedakan antara sang
Pencipta dengan apa yang diciptakan, yaitu ketunggalan hanya milk Allah semata.
121
Mohammad Bakir dan M Zaid Wahyudi, “Ketegaran Pluralisme Akar Rumput. Artikel
diakses
pada
18
januari
2009
dari
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/23/01275173/ketegaran.pluralisme.akar.rumput
122
K.H. Abdurrahman Wahid, Gusdur Menjawab Perubahan Zaman, (Jakarta: PT
kompas Media Nusantara, 2002) h.14
cxxxvi
Jika pemahaman ini bisa dimengerti oleh kaum muslimin, maka penerimaan
terhadap “yang beda” akan berdampak baik untuk terjaganya keragaman dan
toleransi agama-agama yang ada di Indonesia.
Dalam soal pandangan Islam terhadap kekerasan dan terorisme, sikap
Gusdur sangat jelas: mengecam keras dan mengutuk penggunaan kekerasan oleh
sejumlah kelompok Islam garis keras. Menurut Gusdur satu-satunya alasan
penggunaan kekerasan yang bisa di tolerir dalam Islam adalah jika kaum
Muslimin terusir dari tempat tinggal mereka. Pendapat Gusdur tersebut sejalan
apa yang telah diperintahkan al-Quran di dalam surat al-Muntahanah ayat 8
disebutkan, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
pada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu.” Gusdur dalam berbagai kesempatan sering
membacakan ayat tersebut sebagai pembelaanya terhadap nasib komunitas
Ahmadiyah atau kelompok minoritas lainnya yang mendapatkan tindakan
kekerasan dari kelompok muslim tertentu karena dianggap melecehkan ajaran
Islam yang sesungguhnya.
Pluralisme adalah bagian dari Islam sejak dulu. Inti dari Islam kan
sebetulnya hanya dua dalam kalimat syahadat, yaitu tentang keesaan Tuhan dan
kerasulan Muhammad. Di luar itu, masing-masing saja,123
123
KH. Abdurrahman Wahid, “Pluralisme Bagian dari Islam”. Artikel diakses pada 19
Januari 2009 dari www.gusdur.net
cxxxvii
Dalam pandangan Gusdur, ajaran Islam senantiasa memiliki jalinan dua
hal, yaitu sisi individual dan sisi kolektif atau kemasyarakatan. Gusdur
mencontohkan ayat poligami, yang menurutnya bahwa ayat tersebut bukanlah
bersifat perintah tapi hanya bersifat kebolehan untuk poligami. Oleh karenanya
ayat tersebut besifat individual, karenanya tidak boleh melakukan generalisasi.
Kenyataan tersebut juga harus dilihat kepada siapa keadilan itu ditunjukkan?
Kalau bagi seorang laki-laki, berapa orang istri pun tetap dianggap adil, namun
bagi wanita yang bersangkut paut dengan keadilan secara normal, tentu ia akan
menolak poligami.124
Dalil naqli yang menunjuk satu sisi kolektif Gusdur mencontohakan pada ayat, “Wahai manusia, kami
umat manusia secara keseluruhan. Dan yang dikehendaki adalah kenyataan yang
tidak tertulis yaitu persaudaraan antara sesama manusia.125
Di lihat dari berbagai pengertian seperti diterangkan di atas, jelaslah
bahwa ribuan sumber tertulis (dalil Naqli), baik berupa ayat-ayat Kitab Suci Al
Qur’an maupun ucapan Nabi Muhammad SAW, akan memiliki peluang-peluang
yang sama bagi pendapat-pendapat yang saling berbeda, antara universalitas
sebuah pandangan atau partikularitasnya di antara kaum muslimin sendiri. Dengan
demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa perbedaan pendapat justru sangat
dihargai oleh Islam, karena yang tidak diperbolehkan bukanya perbedaan
pandangan, melainkan pertentangan dan perpecahan. Kitab suci kita menyatakan:
124
KH. Abdurrahman Wahid, Islam: Pribadi dan Masyarakat, Duta Masyarakat, Sabtu
15/02/2003
125
KH. Abdurrahman Wahid, Islam: Pribadi dan Masyarakat, Duta Masyarakat, Sabtu
15/02/2003
cxxxviii
“Berpeganglah kalian kepada tali Allah secara menyeluruh, dan janganlah
terpecah-belah/saling bertentangan “(Wa tashimu bi habli Allah Jami’an wala
tafarraqu). Ini menunjukan lebih jelas, bahwa perbedaan pendapat itu penting,
tetapi pertentangan dan keterpecahbelahan adalah sebuah malapetaka. Dengan
demikian, nampak bahwa perbedaan, yang menjadi inti sikap dan pandangan
perorangan harus dibedakan dari pertentangan dan keterpecah-belahan, sebagai
upaya kolektif dari sebuah totalitas masyarakat.126
Menurut Din Syamsudin, pemikiran Gus Dur sebagai pemikiran yang
bersifat substantivistik. Menurutnya, dengan pendekatan substantivistik dalam
islamisasi Indonesia membuka ruang bagi terjadinya pribumisasi Islam
(domestication of Islam), usaha mewujudkan nilai-nilai universal Islam ke dalam
kultur bangsa Indonesia yang beragam. Dalam konteks ini pula kultur Islam harus
dipandang hanya sebagai salah satu dari sekian banyak kultur bangsa. Ia hanya
bersifat komplementer terhadap kultur Indonesia secara keseluruhan. Dengan
pemikiran ini diharapkan masyarakat muslim mempunyai kesadaran kebangsaan,
termasuk bahwa negara Indonesia harus dibangun atas dasar kesadaran ini.
Implikasi dari implementasi pemikiran Gus Dur ini adalah adanya pluralisme.127
126
KH. Abdurrahman Wahid, Islam: Pribadi dan Masyarakat, Duta Masyarakat, Sabtu
15/02/2003
127
pada 14
Abd. Haris, Abdurrahman Wahid: Telaah Kritis atas Ide Neo-moderrnisme, Diakses
November
2008
dari
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-30.html
cxxxix
Adanya anggapan bahwa pluralisme sama dengan relativisme dibantah
oleh Gusdur. Menurutnya al-Quran sering menggunakan bahasa dengan maksud
yang berbeda-beda. Ada kalanya dengan tujuan mikro atau makro dan pada saat
lain ayat tersebut menunjukkan tujuan mikro dan makro sekaligus. Dalam
memahami ayat “lakum diinukum wa liyadin” Gusdur berpandangan bahwa ayat
tersebut berlaku secara mikro maupun makro. Dalam hal ini, perintah Allah
berlaku baik bagi setiap orang muslim maupun bagi semua orang yang memeluk
agama tersebut. Jadi, antara semua agama yang ada di dunia secara makro harus
ada sikap saling menghormati, tanpa “kehilangan” keyakinan akan “kebenaran”
masing-masing.
Suatu hal yang harus diingat dalam hal ini, adalah kenyataan
bahwa Islam selalu ‘berbicara’ dalam bahasa yang beragam. Adakalanya
secara mikro, dan ada kalanya secara makro dan kadang pula pula ia
berbcara secara mikro dan makro. Secara mikro dapat dilihat pada firman
Allah di atas, yaitu “Tiap orang pekerja mengerjakan sesuai dengan
kecakapan/profesinya”. Namun, ada kalanya ia berbicara secara makro,
seperti firman Allah: “Dan barang siapa mengambil selain Islam sebagai
agama, maka amal sholehnya tidak diterima dan ia diakhirat kelak menjadi
orang yang merugi “(Wa man yabtaghi ghaira al-Islami diinan falan
yuqbala minhu wa huwa fi al-akhirati mina al-khasirin). Ini adalah sikap
makro tiap orang muslim terhadap para pengikut agama lain, karenanya
menjadi sikap semua orang muslim terhadap semua orang yang beragama
lain.
Apakah ini berarti Islam tidak menghargai agama lain? Tidak demikian.
Penghargaan itu harus ‘ditunjukkan’ dalam bentuk lain, yaitu penghargaan
kepada tiap perbuatan baik (a’mal al khair). Seperti Allah swt berfirman:
“Hendaknya ada sebuah kelompok diantara kalian, yang mengajak kepada
perbuatan baik” (Waltakun minkum ummatun yad’uuna ila al-khairi).
Firman Allah ini jelas berarti penghormatan terhadap tiap perbuatan baik
umat manusia, walaupun berbeda keyakinan. Adapun perintah Allah yang
harus berlaku secara mikro maupun makro dapat dilihat antara lain pada
ayat berikut: “Bagi kalian agama kalian, dan bagiku agamaku” (Lakum
diinukum wa liyadiin). Dalam hal ini, perintah Allah berlaku baik bagi
setiap orang muslim maupun bagi semua orang yang memeluk agama
tersebut. Jadi, antara semua agama yang ada di dunia secara makro harus
cxl
ada sikap saling menghormati, tanpa “kehilangan” keyakinan akan
“kebenaran” masing-masing. Inilah prinsip hubungan antar agama secara
makro bagi setiap orang. Nah, kita sendiri sekarang dapat mengaca
perbuatan yang kita lakukan, dalam sikap terhadap agama lain. Sudahkah
kita memiliki “obyektifitas” (tidak memihak) kepada emosi sendiri? Jika
belum, terus terang saja kita belum menjadi muslim yang dikehendaki oleh
kitab suci tersebut. Namun, upaya perbaikan itu sendiri dapat dilakukan
tiap waktu. Bukankah sebuah pepatah menyatakan, bahwa lebih baik
terlambat dari pada tidak pernah sama sekali (better late than never).128
Pada kesempatan dialog interaktif dalam acara Konkow Bareng Gusdur.
Seorang penanya dari umat Kristen menanyakan apakah sama konsep ketuhanan
Kristen dengan “trinitasnya” yang dalam Islam dikenal dengan perwujudan sifat
Allah yang duapluh dan pada asmaul khusna. Menurut Gusdur konsep ketuhanan
antara Islam dan Kristen jelas berbeda. Namun demikian itu hak kaum kristen
untuk menafsirkan demikian.129
128
Abdurrahman Wahid, Penafsiran Baru Atas Al-Qur’an. Artikel diakses pada 27
Januari 2009 dari www.gusdur.net
129
Dialog Interaktif dalam Konkow Bareng Gusdur di Radio 68H Jakarta pada 11 April
2009
cxli
BAB V
PPENUTUP
A. Kesimpulan
Pluralisme pada dasarnya adalah nilai-nilai dan realitas yang telah ada dan
terus berkembang secara alamiah yang dikehendaki keberadaannya oleh sang
pencipta. Meskipun demikan masih banyak diantara kaum muslim, karena kehatihatiannya yang berlebihan, untuk tidak membuka diri terhadap realitas Ilahi
berupa penerimaan terhadap pihak lain yang berbeda dari sisi agama maupun dari
status lainnya. Maka apa yang dilakukan Gusdur sebagai motor untuk
membumikan nilai-nilai pluralisme di Indonesia adalah didorong oleh suatu
kenyataan yang ada dari wahyu ilahi baik di al-Quran maupun tanda-tanda alam
lainnya.
Meskipun Gusdur tidak secara formal oleh masyarakat luas dikenal
sebagai da’i, namun posisinya sebagai mantan ketua PBNU tetap dianggap
sebagai ulama yang memiliki integeritas dalam keilmuan, paling tidak pengakuan
tersebut dilakukan oleh kaum tradisional NU. Sebagai seorang da’i Gusdur
memiki karakter yang berbeda dari da’i pada umumnya, yaitu ia memilih
berdakwah lewat budaya atau dakwah kultural yang manfaatnya untuk Bangsa
Indonesia.
1. Menurut Gusdur dakwah tidak musti harus disampaikan dengan secara formal,
artinya ketika seseorang da’i berdakwah tidak harus menyelipkan ayat-ayat alQuran maupun hadist Nabi. Bagi penggiat dakwah tentu pendapat tersebut
terasa cukup aneh, namun sesungguhnya apa yang dilakukan Gusdur adalah
cxlii
membuka peluang yang sebesar-besarnya kepada setiap muslim. Bahwa
dakwah itu bisa dilakukan oleh siapaun asalal dengan tujuan kepada amal
sholeh. Inilah salah satu bentuk yang dimaksud Gusdur pribumisasi Islam,
dimana nilai-nilai Islam telah mengalami internalisasi dan selanjutnya
termanifestasikan pada budaya sehari-hari dalam kehidupan kita. Sehingga
secara “diam-diam” Gusdur telah berdakwah kepada siapapun, termasuk non
Muslim, dengan strategi budaya atau dakwah kultural termasuk didalamnya
jarang menggunakan dalil-dalil agama. Sejauh ini Gusdur berhasil dalam
dakwahnya untuk membawa pesan, bahwa Islam adalah agama yang
membawa kedamaian kepada seluruh alam. Itu dibuktikan banyaknya
penghargaan yang diperolehnya dari organisasi non-muslim atas jasanya yang
melindungi kaum minoritas.
2. Perjuangan Gusdur untuk membumikan nilai-nilai pluralisme di Indonesia
adalah sebuah keharusan bagi dirinya. Sebagai konsesus yang telah disepakati
oleh para pendiri bangsa yang tertuang dalam Pancasila, Preamblu, UUD 45
serta semboyan negara, “Bihinika Tunggal Eka”, merupakan harga mati yang
harus terus dihormati dan dipatuhi oleh generasi-generasi selanjutnya. Maka
ketika Gusdur berbicara tentang Islam ia juga harus mandasarkan pada
kepentingan yang lebih besar yaitu, kepentingan bangsa dengan tidak terbatas
hanya pada umat Islam saja. Keyakinan Gusdur akan kebenaran nilai-nilai
pluralisme juga untuk mengingatkan kembali apa yang telah diwahyukan oleh
Allah seperti dalam surat al-Baqoroh ayat 256, al-Hujarat ayat 13, al-Kafirun
ayat 6, yang kesemuanya menunjuk pada kebebasan bagi umat manusia untuk
cxliii
memaluk agama sesuai keyakinannya. Selain itu,
Perwujudan nilai-nilai
pluralisme juga secara jelas dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW
dalam kehidupan sehari-hari. Beliau begitu sabar dan tetap santun dalam
menghadapi musuh-musuhnya saat di mekkah maupun setelah hijrah ke
Madinah. Nabi Muhammad SAW juga mencontohkan kehidupan bernegara
dengan menggagas Negara kota, yang terbuka untuk saling menghormati
keyakinannya masing-masing antara Islam, Yahudi, dan Kristen hidup
bersama dibawah naungan Piagam Madinah. Piagam inilah yang juga menjadi
model bagi Indonesia untuk tetap mempertahankan keragaman atau pluralisme
yang sudah ada sebelum Islam datang sebagai agama mayoritas dikemudian
hari sampai sekarang. Dari ketiga dasar itulah yaitu, Firman Allah, Contoh
baginda Nabi Muhammad SAW dan kesetiaan pada konstitusi negara,
Pancasila dan UUD 1945, membuat Gusdur secara yakin dengan kebenaran
langkahnya untuk terus “mendakwahkan pluralisme” sebagai upayanya untuk
memperkokoh bangunan toleransi, sebagai perwujudan untuk menuju pada
konsep universalitas Islam yang rahmatan lil alamin.
B. Saran-Saran
Secara umum apa yang telah dilakukan Gusdur dalam mempertahankan
nilai pluralisme merupakan nilai positif bagi Indonesia. Ini akan menjadi model
yang baik bagi negara-negara lain dalam mengelola perbedaan dengan penuh
sikap toleransi. Namun apa yang dilakukan Gusdur sejauh pengamatan penulis
ada bebrapa hal yang harus menjadi catatan, diantaranya:
cxliv
1. Dengan pilihan dakwahnya untuk menyuarakan perlunya penyadaran akan
pentingya nilai-nilai pluralisme pada satu sisi akan menimbulkan kecurigaan
pada diri kaum muslim apalagi Pluralisme sebagai paham adalah produk
sejarah yang dilahirkan oleh tradisi barat. Sementara mayoritas Umat Islam
seringkali menganggap bahwa apa yang datang dari barat lebih banyak
buruknya. Sehingga Gusdur sering berbenturan pendapat, yang pada
gilirannya ada tuduhan-tuduhan dari orang yang berbeda pendapat dengan
Gusdur. Padahal sesungguhnya Gusdur sangat mengerti betul jika simbolsimbol atau terminolgi yang digunakan berasal dari budaya barat pada
gilirannya akan mendapat penolakan dari umat Islam. Jalan yang lebih
produktif barangkali mencoba untuk “mengindonesiakan” terminologi
pluralisme.
2. Kelemahan Gusdur adalah begitu jarangnya mengutip dalil, baik dari al-Quran
maupun hadist dalam berbagai kesempatan diskusi yang dilakukannya. Hal ini
memang sesuai pendapatnya bahwa berdakwah tidak harus disampaikan
secara formal dengan mengutip ayat-ayat atau hadist. Namun faktanya masih
banyak umat Islam yang merasa lebih mantap jika ceramah-ceramah itu di
selingi dalil-dalil keagamaan. Sehingga apa yang disampaikan Gusdur sulit
diyakini kebenarannya oleh kaum muslim atau mad’u.
3. Tanggung jawab untuk menciptakan kehidupan beragama yang penuh dengan
toleransi dan saling menghormati bukanlan kewajiban Gusdur saja. Namun
semua komponen bangsa terutamanya pemerintah perlu terus berperan aktif
dalam upaya-upaya tersebut. Karena, keharmonian antara pemeluk agama juga
cxlv
pendukung utama dalam menciptakan kehidupan bangsa yang aman, sehingga
progam-prgam pembangunan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik.
Kemudian bagi pemuka agama marilah kita bersama-sama menyampaikan
kebenaran yang kita yakini dengan cara santun sekaligus menghormati adanya
perbedaan yang terjadi dalam masyarakat.
cxlvi
DAFTAR PUSTAKA
Abda, Slamet Muhaimain. Prinsip-Prinsip Metode Dakwah. Yogyakarta: Sipress,
1996.
al-Banna, Gamal. Doktrin Pluralisme dalam al-Quran. Jakarta, Menara,2006.
al-Brebesy, Ma’mun Murod Menyingkap Pemikiran Politik Gusdur dan Amin
Raistentang Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Ali, A. Mukti. “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam
Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan
agama di Indonesia dan Belanda. Jakarta : INIS, 1992.
Arifin, H.M. Psikologi Dakwah. Jakarta: Bulan Bintang, 1998
Artikel
diakses
pada
18
Januari
2009
http://www.gusdur.net/indonesia/index.php?option=com_content&task=
view&id=23&Itemid=63
Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam,. Jakarta:
Paramadina, 1999.
Bakir, Mohammad dan Wahyudi, M Zaid.“Ketegaran Pluralisme Akar Rumput”.
Artikel
diakses
pada
18
Januari
2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/23/01275173/ketegaran.plura
lisme.akar.rumput
Barton, Greg Biografi Gusdur. Yogyakarta: LKIS,2003.
dari www.gusdur.net
Di akses dari www.wikipedia.com Indonesia pada 31 juli 2008
Echol, Jhon M. dan Shadiliy, Hasan (ed.). “plur”, Kamus Inggris-Indonesia.
Jakarta: Gramedia, 1996.
Effendi, Bahtiar dan Prasetyo, Hendro (ed.).Radikalisme Agama. Jakarta: PPIMIAIN Jakarta, 1998
Fadlolan Musyaffa, MA. “Budaya dan Media Dakwah”. Artikel diakses pada 17
Juli 2007 dari http://www.numesir.org/cetak.php?id=43
Fadlolan Musyaffa, MA. “Budaya dan Media Dakwah”. Artikel diakses pada 25
Februari dari http://www.numesir.org/cetak.php?id=43
Gazali, Bahri. Dakwah Komunkaif. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997.
cxlvii
Ghazali, Abdul Moqsith. Prakarsa perdamaian, , Jakarta: Tashwirul Afkar, 2007.
Gusdur dalam pengantar, Al Quran Kitab Toleransi, Jakarta: Fitrah, 2007.
Hafidudin, Didin. Dakwah Aktual. Jakarta: Gema Insani Press,1998.
Hamka. Tafsir al Azhar, juz XIII-XVI. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas 1983.
Harahap, Syahrin. Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1999.
Haris, Abd. “Abdurrahman Wahid: Telaah Kritis atas Ide Neo-moderrnisme”.
Artikel
diakses
pada
14
November
2008
dari
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-30.html
Haryatmoko, “Mencoba Menafsir Pluralisme”, Kompas, 20 Agusutus 2005
Hefni, H. Harjani et al, Metode Dakwah. Jakarta: Rahmat Semesta, 2003.
Hidayat, Komaruddin. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi:Doktrin dan Peradaban
Islan di Panggung Sejarah.Jakarta: Paramadina, 2003.
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Universalisme.html
http://paramadina.wordpress.com/2007/02/25/contoh-pluralisme-jaman-nabi/
Husaini, Adian “Teologi Pluralis yang Merusak (Kerukunan) Agama” Artikel
diakses pada 29 Jun 2008 [email protected]
Kontowijoyo. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Salahudin
Press, 1985.
M. Ali Safaat, “Kesetiaan Warga Negara Terhadap Konstitusi”. diakses pada
tanggal
27
Maret
2009
dari
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=524
Misrawi, Zuhairi. Al-Quran Kitab Toleransi. Jakarta: Fitrah, 2007.
Mohamad Shahrour, diakses pada tanggal 27 Juni 2008 www.mediaisnet.com
Mubarok, Achmad. Psikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Muhammad , Alfian dan jacob, Helmi (ed.), Gusdur Bertutur. Jakarta: Penerbit
Harian Proaksi, 2005. 202
cxlviii
Muhammad, Husain. “Pluralisme dan Multikulturalisme sebagai masalah dalam
pergulatan Tafsir dalam Islam”. Artikel diakses pada 25 Februari 2009
dari www.wahidinstitute.com
Muhyidin, Asep. Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi
dan Wawasan. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Mulkhan, Abdul Munir. Idiologi Gerakan Dakwah.Yogyakarta: Sipress, 1996.
Nasar, M. Fuad “Nabi Muhammad SAW Membangun Konsep Umat,”artikel
diakses
pada
13
Maret
2009
dari
http://bimasislam.depag.go.id/?mod=article&op=detail&klik=1&id=258
Noer, Mohammad Dakwah untuk Umat. Makalah dalam Workshop Program
Studi Sejenis Ditjen Pendidikan Islam Depag RI, 2007.
Noor, Farid ma’ruf . Dinamika dan Akhlak Dakwah. Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1981.
Rosyidi. Dakwah Sufistik Kang Jalal. Jakarata: Paramadina, 2004.
Santoso, LIstiyono Teologi Politik Gusdur. Yogyakarta: Ar-Ruz h, 2004.
Shihab, Qurais. “Wawasan al-Quran”. Artikel diakases pada 15 Mei 2009 dari
http://media.isnet.org/
Shihab, Quraish. Membumikan al Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1998.
Sihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung,
Mizan, 1997.
Sorprapto, Pluralitas,” Konflik dan Kearifan Dakwah”. Artikel diakses pada 25
Februari
2009
dari
www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Su
prapto.doc Spencer, Robert. Islam ditelanjangi. Penerjemah Mun’im A. Sirry. Jakarta:
Paramadina, 2003.
Suaedy, Ahmad dan Abdala, Ulil Abshar (ed.), Gila Gusdur : Wacana Pembaca
Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKIS, 2000.
cxlix
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat
Majemuk. Jakarta: UI-Press, 1995.
Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta: Kompas, 2001.
Suseno, Franz Magnis. Islam dan Nilai-Nilai Universal. Jakarta: ICIP, 2008.
Syukir, Asmunmi. Dasar Dasar Strategi Dakwahj Islam. Surabaya: Al Ikhlas,
1983.
Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah.. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987.
Umar, Toha Yahya. Ilmu Dakwah. Jakarta: Widjaya,1992.
Usman, Fathimah. Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama. Yogyakarta:
LkiS, 2002
Wahid,
Abdurahman. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Jakarta,
Desantara, 2001.
______________ “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”.
Artikel diakses pada 17 Januari 2009 dari
______________. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Jakarta,
Desantara, 2001.
______________Ilusi Negara Islam. Jakarta: The Wahid Institute, 2009.
______________“Islam Dan Fungsi Keadilan”. Artikel diakses pada 27 Maret
2009
______________ “Islam, Nasionalis dan Orang Arab”. Artikel diakses pada 27
Januari 2009 dari www.gusdur.net
______________ “Lagi-Lagi Pribumisasi Islam”. Artikel diakses pada
Februari 2009 http://www.fkb dpr.or.id/index.php?
25
______________ Gusdur Menjawab Perubahan Zaman. Jakarta: PT kompas
Media Nusantara, 2002.
______________. Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa
Depan. Jakarta: P3M, , 1989.
cl
______________.” Islam: Pribadi dan Masyarakat,” Duta Masyarakat, Sabtu
15/02/2003
Wahid, Salahuddin. “NU dan Khialafah Islamiyah”. Artikel diakses pada 14
Desember 2008 dari www.nu.or.id
www.averroes.or.id
www.kompas.com/2008/06 di akses pada 27 Juli 2008
www.liputan6.com /2001/03 di akses pada 24 Juli 2008
www.mediaisnet.com
www.tempointeraktif.com diakses pada kamis 31 juli 2008
www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/06/30/brk%C2006063079626%2cid.html
Yakub, Hamzah Publisistik Islam Tekhnik Dakwah Islam Dan Lidersif. Bandung:
CV Diponogoro 1986.
Zada, Khamami dan Rafah, Arif R. Diskursus Politik Islam. Jakarta: LSIP, 200
cli
clii
Download