ABSTRAK Kekerasan dengan mengatasnamakan agama beberapa dekade tarakhir ini terus meningkat. Bukan hanya konflik yang melibatkan antar pemeluk agama saja, tapi juga terjadi pada internal umat beragama yang ada di Indonesia. Pengakuan akan kebenaran mutlak (truth claim) dalam mendakwahkan agama, atau klaim sepihak terhadap pendapatnya yang paling benar, dengan menganggap yang lain salah, dalam menafsirkan teks suci agama merupakan benih-benih yang setiap saat bisa menjadi pemicu meletusnya konflik. Kesadaran akan kebangsaan, termasuk adanya realitas pluralitas, yang dibingkai NKRI berdasar Pancasila terus mengalami degradasi ditengah-tengah masyarakat sehingga tidak mampu lagi menjadi pilar pemersatu. Kondisi yang ada tersebut seharusnya menjadi perhatian serius oleh semua pihak dalam rangka mengurangi benturan-benturan yang terjadi ditengah masyarakat karena adanya perbedaan nilai atau norma yang ada. Sedikit orang yang memperhatikan masalah ini adalah salah satunya, K.H. Abdurrahman Wahid. Sebagai mantan ketua PBNU dan mantan Presiden, Gusdur dikenal sebagai pelindung kaum minoritas, sebagai bagian implementasinya dalam menjaga nilai pluralisme. Pada saat yang sama Gusdur menolak bentuk dakwah yang menggunakan kekarasan atas nama agama. Maka menarik untuk mengetahui apa pendapat Gusdur tentang dakwah dan pluralisme. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun metode dalam menganalisis data dengan analisis deskriptif, yaitu suatu metode yang membahas permasalahan dengan memaparkan temuan data dari subjek penelitian untuk mendapatkan kesimpulan dengan berdasarkan kajian teori yang telah dilakukan sebelumnya. Tehnik pengumpulan datanya adalah dengan penelitian kepustakaan, yaitu dengan mencari bahan-bahan dalam bentuk buku, artikel lepas atau pencarian data dengan menggunakan media internet. Bagi Gusdur dakwah yang paling baik adalah dengan pendekatan budaya atau dakwah kultural. Seorang yang berdakwah tidak harus dilakukan secara formal, yaitu seorang da’i tidak harus menyelipkan ayat al-Quran atau Hadist Nabi. Dan yang paling penting bagi seorang da’i adalah meminimalisir penengakan amr ma’ruh nahi munkar dengan cara paksaan atau kekerasan. Pada sisi lain upaya untuk menjaga pluralisme bagi Gusdur adalah suatu kewajiban konstitusi dalam melindungi setiap hak-hak warga negara. Bagi Gusdur Perjuangan menyebarkan nilai-nilai pluralisme merupakan perintah agama, sebagai suatu realitas Ilahi dalam menciptakan mahluknya yang berbeda-beda. Dakwah adalah upaya seorang da’i untuk mengajak dan menawarkan manusia ke jalan kebaikan sesuai prinsip-prinsip Islam. Bagi praktisi dakwah hal yang paling mendasar bagaimana cara mengemas atau metode yang digunakan untuk berdakwah. Dalam hal ini Gusdur lebih mengedepankan dakwah kultural, yaitu suatu metode dakwah dengan menggunakan pendekatan kebudayaankebudayaan lokal, sekaligus menolak bentuk dakwah dengan tindakan kekerasan. Dengan demikian pemeliharaan terhadap nilai pluralisme sebagai bagian dari warisan budaya tetap terjaga. i KATA PENGANTAR Bisimillahirrahmaanirrahiim Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya. Akhirnya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Dakwah dan Pluralisme: Studi Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid” dengan baik. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan serta tauladan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Selanjutnya, dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit halangan dan rintangan yang penulis hadapi. Dan tidak sedikit pula peran serta dari berbagai pihak dalam membantu penyelesaian skripsi ini. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak. Drs. Wahidin Saputra, M.Ag, pembimbing skripsi sekaligus ketua jurusan dan Ibu Umi Musyarofah, MA, sebagai Sekertaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Segenap dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan bekal ilmu kepada penulis. 4. Segenap staf Perpustakaan FDK, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam hal administrasi, peminjaman buku-buku/referensi, sehingga penulisan skripsi ini selesai. ii 5. Bapak H. Sunardi dan Hj. Surni, orang tua penulis yang telah memberikan segalanya sehingga penulis berhasil menyelesaikan studi ini. 6. Kakak-kakak dan adikku yang telah memberikan banyak dukungannya sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini. 7. Teman-teman “éRSOUS” (Lembaga Kajian Agama dan Sosial), yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terimakasih banyak selalu memberikan motivasi dan mendoakan saya. 8. Teman-teman IRMUSKU (Ikatan Remaja Muslim Kumelun), terimakasih atas dukungannya dalam memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. 9. Teman-teman yang tergabung dalam ALASKA (Alumni al-Muayyad Surakarta), Alip, syaiful, Imam, Iqoh dan lainnya yang tidak hentihentinya mengejek, menekan secara psikis kepada penulis dengan satu tujuan yang mulia, supaya penulis terus semangat dalam menyusun skripsi. 10. Teman-temanku “KPI 2002” terutama kelas D, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, banyak suka duka telah kita lalui bersama, semoga apa yang telah kita lakukan dalam menempuh studi tercatat sebagai amal ibadah. Akhirnya penulis ucapkan terimakasih atas segala bantuan yang telah diberikan, semoga amal ibadah mereka diterima oleh Allah SWT. Amiin. Jakarta, 18 Juni 2009 Penulis iii DAFTAR ISI ABSTRAK...................................................................................................... i KATA PENGANTAR.................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................. iv BAB 1 BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1 B. Perumusan Masalah ................................................................... 10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................... 10 D. Metodologi Penelitian................................................................ 11 E. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 12 F. Sistematika Penulisan ................................................................. 13 TINJAUAN TEORITIS A. Pemikiran .................................................................................. 15 B. Dakwah .................................................................................... 20 1. Pengertian............................................................................. 20 2. Unsur-Unsur Dakwah ........................................................... 26 3. Media Dakwah...................................................................... 42 4. Tujuan Dakwah..................................................................... 44 5. Strategi Dakwah Merespon Problematika Ummat ................. 45 6. Dakwah Kultural Walisanga.................................................. 51 7. Fenomena Dakwah Kontemporer .......................................... 57 iv BAB III BAB IV B. Pluralisme ................................................................................ 60 1. Pengertian............................................................................. 60 2. Pluralisme dalam al-Quran.................................................... 67 3. Praktik Pluralisme pada Masa Nabi....................................... 75 4. Konsep Kebangsaan.............................................................. 79 5. Indonesia, diantara Pluralisme dan Fundamentalisme............ 84 BIOGRAFI K.H. ABDURRAHMAN WAHID A. Latar Belakang Keluarga............................................................ 89 B. Pendidikan ................................................................................. 92 C. Perjalan Karir............................................................................. 99 D. Gusdur, Presiden Pasca Reformasi ............................................. 102 E. Pelindung Kaum Minoritas......................................................... 105 PLURALISME dan DAKWAH MENURUT K.H. ABDURRAHMAN WAHID BAB V A. Dakwah Menurut K.H. Abdurrahman Wahid ............................. 110 B.Pluralisme Menurut K.H. Abdurrahman Wahid........................... 119 PENUTUP A. Kesimpulan................................................................................ 137 B. Saran.......................................................................................... 139 v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aksi kekerasan atas nama agama beberapa tahun terakhir sering terjadi di Indonesia. Negara yang di dalamnya terdiri dari berbagai pemeluk agama yang berbeda, suku-suku dengan ribuan bahasa daerahnya dan bentangan pulau dari Sabang sampai Merauke membuat Indonesia tersusun dari sebuah realitas yang sejatinya adalah masyarakat plural1. Namun sayangnya negeri yang dulu tersohor masyarakatnya santun terhadap siapapun dan terbuka sekaligus toleran terhadap setiap perbedaan, dalam sekejap seakan musnah begitu saja. Rentetan kerusuhan masal tak terhitung jumlahnya. Kalau kita klasifikasikan ada tiga periode yang semuanya berkesinambungan. Pertama, periode pra reformasi. Pada periode ini terjadi aksi kerusuhan yang melibatkan kaum pribumi dan non pribumi dalam hal ini etnis China. Kalau mau merunut di mulai dari peristiwa pembakaran puluhan gereja dan sekolah-sekolah Kristen di Situbondo pada 10 Oktober 1996. Kemudian masih pada tahun yang sama, pada tanggal 26 Desember terjadi kasus Tasikmalaya. Kali ini vihara, klenteng, 1 Yudi latif menyebut bahwa masyarakat plural Indonesia adalah sebuah masyarakat plural par execeleency. Bukan hanya plural dalam arti kelompok-kelompok tapi juga plural dalam tradisi-tradisi agama besar.(The Wahid Institut) Sedangkan Reza A.A Wattimena menyebut bisa disebut masyarakat plural atau majemuk jika memenuhi satu dari dua definisi. Pertama,masyarakat yang terdiri dari komunitas etnis yang berbeda-beda, komunitas tersebut hidup terpisah dan masing-masing memiliki moralitasnya sendiri. Kedua,masyarakat yang hidup dalam komunitas yang sama namun dipisahkan satu sama lain oleh pasar. (www.averroes.or.id) vi sejumlah gereja serta beberapa faisilitas umum di rusak massa. Hal yang sama juga terjadi pada 23 mei 1997 kali ini Rengas Dengklok menjadi lahan pembakaran tempat- tempat ibadah. Dari ke tiga kerusuhan tersebut beberapa pengamat melihat adanya faktor kesenjangan sosial antara pribumi dan non pribumi dalam hal ini etnis China. Sementara Gusdur dalam komentarnya menyatakan bahwa kerusuhan yang terjadi pada waktu itu bukanlah berdasar motif agama, melainkan soal ekonomi politik.2 Lebih lanjut Gusdur menduga bahwa ada semacam ketidak-puasan yang dirasakan masyarakat kecil karena melihat kesenjangan sosial di sertai marginalisasi ekonomi dan politik. Situasi semacam ini kemudian di manfaatkan kalangan elit politik di Jakarta sebagai suatu alat untuk memuluskan jalan menuju kedudukan tertentu. Meski demikian kerusuhan-kerusuhan tersebut membenturkan pemeluk agama Islam sebagai mayoritas dan Kristen serta Tionghoa pada kelompok minoritas. Periode selanjutnya pada saat terjadinya gerakan reformasi pada Mei 1998. Gerakan yang di pelopori mahasiswa ini menuntut Soeharto turun dari kekuasan tertinggi di negeri ini. Celaknya gerakan yang sejatinya adalah gerakan politik itu jauh dari yang apa yang di perkirakan sebelumnya. Sebelum Soeharto turun terjadi huru-hara yang sangat hebat di Jakarta dan beberapa daerah lain. Di Jakarta perusakan dan penjarahan terhadap super market, gedung perkantoran dan tokotoko yang di identifikasi milik kaum bermata sipit begitu menakutkan. Pemerkosaan dan pembantaian juga lebih banyak terjadi kepada keturunan 2 Abd. Moqsith Ghazali, Prakarsa perdamaian, Tashwirul Afkar, Jakarta, 2007 . hal.3 vii Tionghoa yang menjadi korbannya. Akan sangat lazim kita jumpai pada waktu itu di depan toko-toko dan rumah warga memasang tulisan ‘Pro reformasi atau pribumi’ sebagai antisipasi terhadap tindakan penyerangan.3 Priode pasca reformasi menjadi priode panjang dari daftar kekerasan yang terjadi di negeri ini. Pada priode ini terdapat aksi kekerasan serta kerusuhan masal dengan motif yang berbeda serta melibatkan isu yang lebih komplek. Pertentangan antara Muslim dan Kristen seperti penutupan 23 gereja di Bandung, Cimahi dan Garut yang berlangsung sejak akhir 2002 sampai kasus terakhir penutupan Gereja Kristen Pasundan Dayeuhkolot di bandung pada 22 Agustus 2005 lalu.4 kerusuhan yang bersifat etnisitas juga memperburuk priode ini. Pada tahun 1999 terjadi kasus pertikaian antara Madura, melayu, Bugis dan Dayak di Sambas Kalimantan Barat. Kemudian, pada tahun 2001 letupan kembali muncul yang melibatkan suku Dayak dan Madura kali ini di daerah Sampit Kalimantan Tengah. Berdasarkan catatan KOMNAS HAM korban jatuh mencapai sekitar 400 jiwa dan ratusan rumah di bakar dan di rusak.5 Terakhir kekerasan dengan mengatasnamakan agama Islam yang di identifikasi sebagai kelompok fundamentalisme Islam atau Islam garis keras.6 Tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ini variatif, dari aksi bom bunuh 3 Kerusuhan Mei 1998 ( Di akses dari Wikipedia Indonesia pada 31 juli 2008) Penutupan tersebut dilakukan oleh kelompok yang mengaku sebagai Barisan Anti Pemurtadan (BAP) dan Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) yang terdiri dari berbagai elemen organisasi masyarakat yang berlabel agama diantaranya adalah Front Pembela Islam (FPI) selengkapnya lihat di www.tempointeraktif.com diakses pada kamis 31 juli 2008 5 www.liputan6.com /2001/03 di akses pada 24 Juli 2008 6 Terminologi Fundamentalisme sesungguhnya lahir dari tradisi barat menunjuk pada gerakan protestan Amerika pada abad kembilan belas masehi. Gerakan ini memiliki prototipe penafsiran Injil dan seluruh teks agama secara literal dan menolak cara penakwilan atas teks, demikian pendapat Agung primamorista. Namun perkembangan selanjutnya setelah peristiwa 11 september 2001 kata ini lebih sering ditunjukan kepada kelompok Islam berhalauan keras. Lihat Fundamentalisme pada www.mediaisnet.com 4 viii diri, penutupan tempat ibadah non muslim. Selain itu ciri dari kelompok ini juga terkesan keras dengan orang-orang sesama muslim yang berbeda pendapat dalam menafsirkan sebuah teks suci. Aksi pengeboman Bali I 12 Oktober 2002 menjadi semacam di mulainya oprasi para teroris di Indonesia dalam melakukan aksinya. Setelah itu di susul berbagai aksi bom bunuh diri yang terjadi di JW Marriot, kedutaan Australia, bom Bali II dan lain sebagainya. Aksi teroris yang terjadi di Indonesia tidak bisa di pisahkan dari peledakan menara kembar WTC dan Pentagon. Simbol kekuatan ekonomi kapitalis Amerika sekaligus simbol pertahanan negara super power hancur dalam sebuah serangan bunuh diri oleh para teroris dengan menabrakan pesawat non komersil. Kecenderungan yang paing mutakhir justru lebih menghawatirkan karena pertentangan bukan hanya antara pemeluk agama tapi sudah menyentuh sesama muslim. Pertentangan biasanya dipicu atas tafsir teks suci serta perbedaan cara pandang dalam menyelesaikan masalah. Menganggap pendapatnya yang paling benar dan yang lain salah dengan di tambah unsur pemaksaan kehendak dengan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Kelompok dengan karakter demikian dapat kita jumpai seperti HTI ( Hizbut Tahrir Indonesia), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam). Adapun kelompok yang disebut terakhir akan sangat mudah kita ingat karena aksi-aksi kebrutalannya yang tidak mempedulikan hukum yang berlaku. Setidaknya setiap memasuki bulan suci Ramadhan semacam ritual tahunan yang wajib hukumya. FPI melakukan sweping ke tempat hiburan malam serta memaksa tutup pedagang makanan yang berjualan pada siang hari karena dianggap tidak menghormati orang yang sedang berpuasa. ix Kemudian kasus penyerangan FPI terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang memperingati hari lahir pancasila tanggal satu Juli baru-baru ini semakin mempertegas watak fundamentalis yang tidak kenal kata kompromi. Peristiwa Monas di picu silang pendapat mengenai keberadaan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia berubah menjadi penyerangan secara brutal tepat di tengah jantung simbol kebanggaan Jakarta. Tragedi itu sendiri mengakibatkan 74 orang luka-luka dan beberapa diantaranya mendapat perawatan cukup serius di rumah sakit. 7 Peristiwa yang mendapat liputan luas dari media massa dan perhatian masyarakat karena diantara korban berjatuhan kebetulan terdapat tokoh terkenal seperti Prof. Syafi’I Anwar. Fakta-fakta di atas merupakan tragedi kemanusian yang sangat memilukan di negeri ini. Negeri yang di bangun atas dasar pluralitas ini mengalami gangguan yang membahayakan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi landasan kita untuk hidup berdampingan seakan tidak mampu membendung arus perpecahan dalam masyarakat. Pada sisi lain keadaan demikian justru menjadi paradoks. Pertama Indonesia yang di huni mayoritas beragama muslim akan dianggap sebagai golongan penindas terhadap kaum minoritas agama lain. Padahal Islam sebagai agama sangat menghargai adanya perbedaan. Bahkan dalam Al Quran, Allah telah menjelaskan mengenai kondisi dunia yang di tinggali manusia. 7 Diakses pada 27 Juli 2008 dari www.kompas.com/2008/06 x Artinya: “Wahai manusia, kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan kami ciptakan kamu dalam bentuk suku dan bangsa supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kamu. Sungguh Allah Mahatahu dan Maha waspada.” (Q. S. Al-Hujurat [49]: 13). Doktrin otentik yang demikian jelas sayangya jarang di jadikan sebagai landasan untuk menerima kenyataan bahwa kita di ciptakan dari beragam bentuk fisik yang mendiami bentangan wiayah bumi yang luas dengan melahirkan perbeadaan-perbedaan. Pembacaan terhadap konflik bernuansa agama sebenarnya dapat di lacak asal-usulnya. Indonesia semenjak kelahirannya dipenuhi perdebatan sangat sengit mengenai dasar negara. Maka tidak heran setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan banyak pemberontakan-pemberontakan pada beberapa dekade berdirinya republik ini. Pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo, PRRI/PERMESTA pimpinan Alex Kawilarang, Kahar Muzakar di Sulawesi kemudian Ibnu Hajar di Kalsel serta Daud Beureuh di Aceh.8 Perdebatan apakah Indonesia sebagai negara sekuler atau negara Islam masih terus mewarnai perjalan panjang bangsa hingga saat ini. Ada sebagian kelompok kecil Muslim Indonesia masih belum menerima sepenuhnya terhadap kosensus dasar negara Pancasila dengan UUD 1945. Hingga sekarang perjuangan untuk menegakkan negara Islam 8 Gusdur dalam pengantar, Al Quran Kitab Toleransi, Fitrah, Jakarta 2007, Cet.Pertama xi setidaknya masih menjadi bagian utama cita-cita beberapa kelompok organisasi Islam. Apa yang dilakukan beberapa kelompok organisasi yang mengatasnamakan Islam di atas di dasari atas keyakinan bahwa salah satu kewajiban sebagai seorang muslim ialah berdakwah. Melalui keyakinan dasar ini sebagian muslim menganggap bahwa Dakwah Islamiyah harus sampai kepada siapapun dan dilakukan sampai kapanpun. Dari sini bisa dipetakan garis atau corak dakwah yang di usung dari organisasi individu yang ada. Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf , dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahlu Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Diantara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah fasik” .(Ali Imron:110) Hadist Nabi yang menjelaskan tentang perintah berdakwah,“Sampaikalah dari padaku walau satu ayat”. Inilah dasar kewajiban sebagai seorang muslim dalam berdakwah. Meskipun dalam pengetahuannya yang terbatas, namun bagi seorang muslim bukan berarti dia bisa lepas dari kewajiban tersebut. Sebagaimana kristen yang terkenal dengan istilah misionaris. Dakwah juga merupakan suatu cara atau jalan menyebarkan ajaran Islam kepada seluruh umat xii manusia. Namun sayangnya dalam upaya untuk mengajak kepada jalan kebaikan terkadang beberapa kelompok Islam mengabaikan cara-cara damai dan santun. Dalam ceramah-ceramah agama seringkali kita mendengar da’i atau muballigh yang mengutip ayat, “Sesungguhnya agama yang diridlai Allah adalah Islam.”Q. S. Ali Imran [3]: 19. Ayat ini ditafsiri bahwa Islamlah agama yang paling benar, sementara agama di luar Islam adalah salah, kafir. Untuk itu mereka harus diislamkan dan seandainya tidak bersedia mau tidak mau diperangi. Materi ini dilengkapi dengan ayat lain, “Tidak akan ridha orang Yahudi dan Nasrani sampai kamu mengikuti agama mereka”. Q. S. Al-Baqarah [2]: 120. Dalam ayat ini jelas Yahudi dan Nasrani dikesankan tidak memberi toleransi terhadap umat Islam untuk memeluk agamanya sampai mereka mengikuti agama keduanya. Membicarakan perkembangan pluralisme di Indonesia tentu tidak bisa di lepaskan dari seorang tokoh KH. Abdurrahman Wahid yang akrab dengan panggilan Gusdur. Pembelaannya yang konsisten terhadap kaum minoritas tertindas menjadi perhatian dan perjuangannya selama ini. Meski banyak pihak yang menjulukinya sebagai tokoh kontroversial namun itu tidak mengurangi sedikitput akan nilai kebenaran yang ia yakini. Perjuangannya dalam menanamkan nilai pluralisme di Indonesia menjadi istimewa dan mendapat perhatian banyak pihak lantaran Gusdur merupakan mantan ketua PBNU. Organisasi Islam terbesar Indonesia yang didirikan ulamaulama pesantren sebagai basis dari Islam tardisional. Apalagi Gusdur sendiri adalah cucu pendiri NU KH.Hasyim Asyari, modal terbesarnya untuk diakui sebagai kyai tradisional dengan kredibilitasnya yang tinggi dalam ilmu-ilmu xiii agama. Tentu saja kita tidak mengesampingkan tokoh-tokoh lain semacam Cak Nur atau Syafi’i Ma’arif serta beberapa tokoh lainnya. Minoritas etnis China yang selama pemerintahan ORBA terkibiri hakhaknya sebagai warga negara seakan mendapat kebebasannya setelah Gusdur naik menjadi presiden. Belum lagi permintaan maaf Gusdur atas kesalahan sejarah yang dipelopori warga NU ketika terjadi pembantaian massal terhadap orangorang yang dianggap bagian dari komunis. Disaat orang-orang masih khawatir akan kembalinya komunis, gusdur ketika menjabat sebagai presiden justru mengusulkan agar tap MPRS no.XXV tahun 1966 tentang larangan penyebaran ajaran komunis dicabut. Semua yang dilakukan adalah bagian upayanya untuk melakukan rekonsiliasi sesama anak bangsa. Dengan memahami dan menyakini betul bahwa setiap tumpah darah indonesia di dalam kedudukan hukum sama sederajat. Menjadi menarik seorang kyai yang tumbuh dalam lingkungan tradisional memiliki garis perjuangan yang egaliter sekaligus sikap toleran yang sangat tinggi terhadap segala perbedaan. Kalau kebanyakan da’i masih berkutat untuk terus mempromosikan kebencian dan kecurigaan yang tinggi terhadap perbedaan agama. Maka Gusdur hadir dengan memberi warna yang lain, dalam memandang perbedaan justru sebagai pilar kekuatan kita sebagai bangsa yang besar. Dengan memandang sangat penting atas usaha gusdur dalam membumikan nilai pluralisme di dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai bagian dari upaya membangaun kesadaran bahwa sesungguhnya perbedaan itu adalah rahmat yang di karuniakan Allah dalam mewujudkan kehidupan yang damai. Maka mau tidak xiv mau dakwah dalam konteks kekinian juga harus mempertimbangkan cara-cara yang simpatik. Dengan kesadaran bahwa dakwah adalah sebagai bagian dalam menawarkan jalan hidup dari berbagai jalan yang ada dan berbeda-beda. Dari pandangan di atas penulis mengaggap penting untuk melakukan penelitian terhadap gagasan Gusdur tentang dakwah dan pluralisme sekaligus mengangkatnya sebagai judul skripsi “Dakwah dan Pluralisme: Studi Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid”. B. Rumusan Masalah Membahas seorang tokoh seperti Gusdur terkait aktifitasnya dalam memperjuangkan nilai pluralisme tentu Dalam penelitian ini peneliti dapat merumuskan masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimana Dakwah dalam pemikiran KH. Abudurrahman Wahid? 2. Bagaimana Pluralisme dalam pemikiran KH. Abudurrahman Wahid? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1 Tujuan Penelitian Berdasarkan fokus permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana Dakwah menurut pemikiran KH. Abudurrahman Wahid. 2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Pluralisme menurut pemikiran KH. Abdurrahman Wahid. 2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Akademis xv Kajian pemikiran Gusdur dakwah dan pluralisme masih sangat minim sekali. Dan penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan dan keilmuan Islam. b. Kegunaan praktis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan menarik minat bagi para teorisi dan dan praktisi dan pemikir tentang dakwah dan pluralisme dalam mengkomunikasikan nilai-nilai persamaan derajat, keadilan dan kesetaraan bagi setiap warga negara. D. Metodologi Penelitian Dalam menyelesaikan penelitian ini peneliti menggunakan analisis deskriptif, yaitu suatu metode yang membahas permasalahan dengan cara memaparkan atau menguraikan terlebih dahulu dengan pokok permasalahan secara teoritis untuk kemudian menganalsisnya dalam rangka mendapatkan suatu kesimpulan yang tepat. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini peneliti menggunakan library research atau penelitian kepustakaan yakni dengan mencari bahan-bahan yang perlu dipersiapkan dalam penelitian di antaranya dokumendokumen, buku-buku sumber, majalah surat kabar. Sumber tersebut harus relevan dengan pokok masalah yang akan dibahas. Sumber yang akan digunakan adalah sumber primer misalnya dalam mengutip hadits, sumber yang digunakan dalam kitab hadits riwayat yang bersangkutan, bukan dari riwayat atau kitab lain. Dan juga sumber sekunder yakni sumber penunjang yang berkaitan dengan pokok bahasan atau tema. xvi Selain menggunakan library research dalam pengumpulan data yang dibutuhkan. Digunakan juga tehnik wawancara langsung dengan subjek penelitian ini, yaitu Gusdur. Namun karena berbagai hal terutama kesibukan Gusdur yang sulit untuk ditemui maka dengan sangat terpaksa wawancara secara langsung tidak dapat terpenuhi. Mengenai tehnik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”, terbitan UIN Press, Jakarta tahun 2004. E. Tinjauan Pustaka Ada beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa UIN Jakarta dengan mengambil Gusdur sebagai subjek penelitiannya. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Ayi Manduh pada tahun 1998 dengan judul skripsi “Prespektif Strategi Dakwah Islam dalam Pluralitas Bangsa”. Meskipun secara substansi relatif sama dengan isu yang diambil oleh penulis, namun penekanannya berbeda. Terutama pada sisi terminlogi “Pluralitas dan Pluralisme”. Isu pluralitas yang diambil oleh saudara Ayih Manduh terbilang tidak mendapat reaksi penolakan yang berarti dari pada terminologi pluralisme. Isu pluralisme menjadi lebih menarik disebabkan oleh fatwa yang dikeluarkan MUI terkait keharaman faham tersebut karena dianggap menyamaratakan agama-agama. Pada tahun 2004 terdapat penelitian yang berkaitan dengan Gusdur, namun semuanya mengangkat isu politik di tubuh NU dan PKB. Skripsi yang ditulis Kodariyah dengan mengambil judul “Peran Politik Gusdur dalam PKB” dan skripsi yang ditulis oleh Isye Aisiyah, “ Abdurraham Wahid dan NU: Studi xvii tentang Percaturan Politik ditubuh NU dibawah Kepemimpinan Abdurrahman Wahid.” Yang semuanya membahas politik sebagai isu dalam penelitian tersebut. Kemudian pada tahun 2000 Saudara M. Alamsyah Ja’far menulis sama persis dengan isu yang diangkat penulis yaitu dakwah dan pluralisme, namun berbeda subyek penelitiannya yaitu Djohan Efendi. Dengan melihat belum ada yang menyentuh Aktifitas Gusdur dari sisi dakwah dan pluralisme maka penulis tertarik untuk mengangkat judul “Dakwah dan Pluralisme Studi Pemikiran Abdurrahman Wahid. F. Sistematika Penulisan Penelitian ini mengikuti sistematika sebagai berikut: BAB I : Merupakan Pendahuluan yang berisi Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II : Membahas tentang Dakwah dan Pluralisme. Didalamnya akan dibahas teori yang berkaitan dengan studi dakwah dan pluralisme; Pengertian, Dasar hukumnya, metode dan contoh pelaksanaan. BAB III : Akan membahas Sekilas Tentang KH. Abdurahman Wahid dan perjuangannya dalam menyebarkan pluralisme dalam dakwahnya. Didalamnya mencakup; Biografi; Latar Belakang Keluarga, Pendidikan, dan Karir. BAB IV : Merupakan pembahasan tentang dakwah dan Pluralisme menurut KH. Abdurahman Wahid. Di dalamnya akan membahas tentang xviii Pluralisme menurut pemikiran KH. Abudurrahman Wahid dan Dakwah menurut pemikiran KH. Abudurrahman Wahid BAB V: Merupakan Penutup yang mencakup Simpulan dan Saransaran. xix BAB II Tinjauan Teori A. Konsep Pemikiran Jika menilik peristiwa-peristiwa besar yang terjadi sepanjang sejarah kemanusiaan, maka tidak dapat dinafikan peran intelektualitas didalamnya. Salah satu contohnya adalah Revolusi Perancis tahun1784. Menurut Prof. Roustan, Revolusi Perancis terjadi karena dipengaruhi pemikiran kaum enlightenment yang bergerak ditengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami kesulitan materi. Kondisi inilah yang mempersatukan orang perancis untuk bergerak secara nasional untuk menggerakan terjadinya revolusi di Negara itu.9 Berfikir merupakan aktifitas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Selama kesadaran terjadi, selama itu pula aktifitas berfikir berlangsung. Objek pemikiranpun sangat luas, hal itu akibat dari terus berkembangnya dimensi kemanusiaan yang ditandai capaian-capaian dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis industrial. Disini letak tantangan bagi umat Islam dalam merespon semua perkembangan pemikiran yang ada. Meski sangat problematis mengenai sejauh mana batasan hubungan antara proses berfikir ijtihadi dengan ketundukan pada teks-teks yang bersifat kalam Ilahi dan hadist Nabi. Pada satu sisi al-Quran banyak memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya, namun pada saat yang sama, bagi sebagian umat muslim berpendapat, bila tidak dikontrol akal bisa menjadi lebih “maju” tidak terkendali dan melampaui dari apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. 9 Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran (Bandung: Gema Insani Pers, 1997) h. 13 xx Pada masa Nabi Muhammad perkembangan pemikiran umat Islam pada waktu itu mungkin tidak mengalami masalah yang berarti. Karena semua persoalan yang menimpa umat Islam dikembalikan pada jawaban wahyu yang diberikan Allah atau jawaban yang datang dari keputusan Nabi sendiri. Ini bukan berarti proses berfikir pada waktu itu tidak ada, dikisahkan, dalam pertempuran tertentu Nabi Muhammad menerima masukan dari sahabatnya dalam hal penggunaan strategi perang. Perkembangan menarik selanjutnya pada masa khalifah kedua, Umar ibnu khatab. Dia dikenal sebagai khalifah yang paling kreatif dalam berfikir. Pemikiran dan kreatifitas Syaidina Umar memberi kesan kuat bahwa sekalipun beriman teguh, ia tidak sekedar bersifat dogmatis belaka.10 Kepeloporan Khalifah kedua tersebut bisa nampak ketika Dia menggagas adanya Jizyah atau pajak bagi kaum non muslim dan menyarankan adanya sholat tarawih yang dilakukan secara jamaah. Semua keputusan itu dilakukan dari hasil proses pemikirannya. Setelah itu polarisasi pemikiran terus berkembang dan tidak dapat dibendung. Itu ditandai dengan lahirnya berbagai madzab dalam berteologi maupun dalam bidang fikih. Melihat perkembangan pemikiran Islam yang pesat itu, yang dimuali pada zaman Nabi hingga masa kini, Lodrop stoddart, secara sangat baik melukiskan dalam bukunya The New World of Islam: Berkembangnya Islam barangkali satu peristiwa yang sangat menakjubkan dalam sejarah manusia. Dalam tempo seabad saja, dari gurun tandus dan suku bangsa yang terbelakang, Islam tersebar hampir menggenangi separoh dunia; menghancurkan kerajaan-kerajaan besar, memusnahkan beberapa agama besar yang telah dianut berbilang zaman 10 Suadi Puro, Moh. Arkoun: Tantang Islam dan Modernitas, (Jakarta:Paramadina, 1998) h.34 xxi dan abad. Mengadakan revolusi berpikir dalam bangsa-bangsa, dan sekaligus membina suatu dunia baru, dunia Islam.11 Dalam kamus umum Bahasa Indonesia kata “pikir” mempunyai arti, (1) akal budi, ingatan, angan-angan: dan (2) kata dalam hati, pendapat (pertimbangan). Sedangkan kata “berpikir” diartikan mengguanakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, menimbang-nimbang dalam ingatan. Adapaun “memikirkan” artinya daya upaya untuk menyelesaikan masalah sesuatu dengan menggunakan akal budi. Pemikiran adalah cara atau hasil pikir. Karena kata “pikir” berasal dari bahasa arab fikr atau tafkir (dari fakkarayufakkiru), yang artinya memfungsikan akal dalam suatu masalah untuk mendapatkan pemencahannya.12 Secara terminologi banyak ahli mendefinisikan pemikiran secara berbeda. Robert Woodwort, sebagaimana dikutip Muhammad Imarah, mengartikan pemikiran adalah suatu upaya mental yang dilakukan manusia untuk menemukan kesimpulan berdasarkan pada premise-premise.13 Toha Jabir Alwi 1989 mengatakan bahwa dalam Al-Quran, kata fikr tidak disebut dalam bentuk isim (kata benda), tetapi dalam bentuk fiil (kata kerja) yakni fiil madhi (telah terjadi) dan fiil mudhore (sedang dan akan terjadi : kontinu) serta dalam sighoh mukhatab (bentuk orang kedua) dan ghaib (orang ketiga). Misalnya fakara, tatafakkarun. Dalam bahasa arab, fi’il senantiasa menunjukkan atau mengandung adanya dua hakikat yakni perbuatan itu sendiri dan pelakunya, 11 L. Stoddart, The New World of Islam (Dunia Baru Islam), (Jakarta: Panitia Penerbit, 1996)h. 11 12 13 Abu Azmi Azizah, Berbagai Berpikir Islami, (Solo: Era Intermedia,2001), h.34 Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam versus Barat, (Jakarta: Robbani Pers, 1998) h. xi xxii sehingga dalam kata fakkara tersebut ada fikr (perbuatan berfikir) dan ada mufakkir (pemikirnya). Disamping itu, kegiatan berfikir termasuk yang memerlukan objek yang difikirkan.14 Muhammad Imarah (1994) mengatakan bahwa “pemikiran” secara termonologis adalah pendayagunaan pemikir terhadap sesuatu dan sejumlah aktivitas otak, berupa berfikir berkehendak, dan perasaan yang bentuk paling tingginya adalah kegiatan menganalisis, menyusun dan mengkoordinasi. Dari berbagai pendapat yang ada, maka pemikiran adalah suatu metode, cara atau hasil dari pendayagunaan akal dan budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu dalam merespon berbagai masalah atau merumuskan konsepsi-konsepsi tentang kehidupan manusia. Manusia terlahir didunia telah dilenghapi dengan berbagai unsur yang sekaligus merupakan potensi yang sangat penting bagi diri dan kehidupannya. Secara garis besar, manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Manusia telah dibekali dengan berbagai potensi, berupa indra, akal fikiran, dan hati. Potensi yang lain adalah kejahatan dan taqwa yang Allah ilhamkan kepadanya. Dengan indranya, seseorang dapat mengetahui atau menangkap sesuatu fenomena, atau peristiwa yang ada disekitarnya. Termasuk didalamnya makhluk hidup, khususnya manusia itu sendiri dengan segala tingkah laku dan kompleksitasnya. Apa saja yang ditangkap indra, secara otomatis akan diproses atau atau di transformasikan ke otak sebagai input. Otak memproduksi input itu dalam ingatan, mengimajinasikan, membandingkan, 14 menyeleksi, Toha Jabir alwani, Krisi Pemikiran Modern Diagnosis dan Resep Pengobatan , (LKPS,1986) xxiii dan mengombinasikan dalam bentuk yang baru, dengan proses seperti itu secara terusmenerus, akan diperoleh suatu pendapat teori, hukum-hukum atau ilmu pengetahuan untuk yang dapat dimanfaatkan memecahkan problem kehidupannya. Oleh karena itu, berfikir sesungguhnya suatu kebutuhan insani yang tak terelakkan untuk tumbuh dan berkembang, sekaligus merupakan kebutuhan akan aktualisasi fitrahnya. Tegasnya, manusia tidak dapat lepas dari berfikir seberapapun intensitas dan kuantitasnya. Manusia diberikan kelebihan dari makhluk-makhluk yang Allah telah ciptakan, yaitu akal. Maka sesuai dengan potensi yang dimiliki manusia, dijadikan sebagai suatu anugerah yang besar dan harus di manfaatkan dan diaktualisasikan secara benar. Ada makna yang tersurat dan tersirat dari alam dan al-Quran, disinilah manusia dianjurkan untuk merenungkan tanda-tanda kebesarannya, baik berupa ayat-ayat dan melalui perantara alam semesta ini dalam bentuk yang konkrit. Dengan demikian, bagaimana manusia berfikir mengaplikasikannya dalam bentuk dakwah, yaitu menyeru kepada jalan kebenaran yang telah diperintahkan Allah SWT, dan meninggalkan apa yang menjadi larangan-NYA. Dakwah merupakan satu bagian yang pasti ada dalam kehidupan setiap muslimin, dalam ajaran Islam dakwah merupakan suatu kewajiban yang dibebankan agama kepada pemeluknya. Dengan demikian, dakwah bukanlah semata-mata timbul dari pribumi/ golongan, walaupun aktivitas ini di khususkan pada satu golongan/ individu (Thaifah) yang melaksanakannya. Islam sendiri adalah sebagai nama xxiv sebuah agama disebut juga sebagai “dakwah”. Artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif dalam melakukan dakwah bahkan bisa dikatakan bahwa mundurnya Islam sangat bergantung pada kegiatan dakwah yang dilakukannya. B. Teori Dakwah 1. Pengertian Dakwah Secara etimologi, dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti: ajakan, seruan, panggilan, undangan. Bentuk perkataan tersebut dalam bahasa Arab disebut Mashdar; sedangkan kata kerja atau fi'il-nya berarti memanggil, menyeru atau mengajak.15 Dalam bahasa Indonesia kata “mengajak” tidak mengandung unsur paksaan atau kewajiban mengikuti ajakan itu. Seperti seseorang mengajak temannya untuk mengantarnya ke pasar. Maka, jawaban terhadap ajakan itu ada dua pilihan yaitu mau memenuhi ajakan itu atau menolak ajakan itu. Secara terminologi dakwah memiliki arti yang berbeda tergantung dari sudut mana para ahli ilmu dakwah memberikan defenisi dakwah itu sendiri. Menurut Syekh Ali Mahfudz, dakwah adalah mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang berbuat jelek dan tercela agar mereka mendapat kebaikan dunia dan akhirat. 16 15 16 Pendapat ini juga selaras dengan pendapat Al Ghazali bahwa amar Achmad Mubarok, 1999. Psikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Firdaus, h.10. Ibid h. 7 xxv ma’ruf adalah inti dari gerakan dakwah dan penggerak dalam dinamika masyarakat Islam. Menurut H.M Arifin, dakwah adalah kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebaginya yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam usaha mempengaruhi orang lain secara individual atau kelompok supaya timbul dalam dirinya suatu pengetahuan, kesadaran, sikap penghayatan serta pengalaman ajaran agama sebagai pesan (massage) yang disampaikan kepada mereka, tanpa unsur paksaan. 17 Muhammad Natsir mendefinisikan dakwah sebagai: "Usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan manusia dan seluruh umat konsepsi Islam tentang pandangan dan tujuan hidup di dunia ini, yang meliputi amar ma'ruf dan nahi mungkar, dengan pelbagai media dan cara yang diperbolehkan dan membimbing perikehidupan perorangan, perikehidupan berumah tangga (usrah), perikehidupan bermasyarakat dan perikehidupan bernegara".18 Quraish Shihab memberikan defenisi, dakwah adalah seruan atau ajakan menuju pada keinsyafan atau usaha untuk mengubah situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun terhadap masyarakat. 19 Menurut Farid Ma’ruf Noor, dakwah adalah usaha mengubah keadaan negatif kepada keadaan positif. Memperjuangkan yang ma’ruf, atas yang munkar, memenangkan yang hak atas yang batil. 20 17 H.M Arifin, Psikologi Dakwah (Jakarta: Bulan Bintang) h.54 18 M. Natsir, Fungsi Dakwah dalam Rangka Pembangunan, Prasaran pada Seminar Dakwah Islam oleh Majelis Ulama Jawa Barat di Tasikmalaya, 4—7 Mei 1968. 19 Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1998) cet ke-17 h. 194 xxvi Secara sosiologis, konsep dakwah bisa dilihat sebagai tiga tingkatan: 21 Pertama, dakwah yang hanya bersifat tabligh, retorika, yakni hanya menyampaikan pesan Islam kepada masyarakat manusia. Contoh dakwah dalam pengertian ini, adalah dakwah yang dilakukan para mubaligh yang aktif melakukan aktivitas dakwah menyeru kepada Islam, tetapi tidak mempunyai konsep yang jelas tentang masyarakat Islam pasca dakwah. Kedua, dakwah yang berwujud usaha menanamkan nilai-nilai Islam ke tengah masyarakat. Dakwah dalam pengertian ini sudah bersifat esensial dan membutuhkan pemikiran yang serius dan mendalam, karena pekerjaan menanamkan nilai-nilai (misalnya nilai kejujuran, nilai keadilan, nilai persaudaraan, nilai kasih sayang) membutuhkan dukungan sistem. Dakwah pada tingkatan ini mengharuskan da'i mampu melakukan dialog antara budaya mampu mendorong terjadinya sosialisasi, implementasi, dan akulturasi pewarisan budaya Islam dari satu generasi ke generasi berikutnya. Efektivitas dakwah terukur dari rentangan dan intensitas atau perubahan perilaku masyarakat yang mampu ditimbulkannya, dan pada tingkatan ini dakwah adalah perubahan sosial atau bersifat kultural. Contoh dakwah dalam pengertian ini, adalah dakwah para wali songo yang memilih jalan akulturasi budaya. Dakwah model ini sangat membekas, tetapi menimbulkan banyak bias kebudayaan dan akidah pada masyarakat mad'u. 20 Farid ma’ruf Noor, Dinamika dan Akhlak Dakwah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981) cet ke 1 h.28 21 Ibid h.12 xxvii Ketiga, membentuk masyarakat Islam, mencakup masyarakat lingkungan, masyarakat bangsa hingga masyarakat internasional. Pada tahap ini, dakwah membutuhkan sistem jaringan. Pada tingkatan ini, dakwah merupakan usaha membangun dan mewujudkan sistem Islam dalam semua segi kehidupan (iqamat al-majhaj al-Ilahiy li hayat al-basyariyyah). Pada tingkatan ini seorang da'i memandang Islam sebagai sistem hidup yang kaffah, dan ketika itu tidak ada lagi pemisahan antara agama dan negara. Dakwah dalam pengertian ini disebut "dakwah gerakan", seperti yang dilakukan Ikhwanul Muslimin di Mesir atau Syi'ah di Iran. Dakwah ini sangat menggairahkan, tetapi sering menimbulkan konflik di tengah masyarakat mad'u. Dari berbagai pendapat di atas setidaknya ada beberapa poin penting yang menjadi garapan dakwah. Pertama bahwa dakwah adalah kewajiban setiap pribadi muslim yang baligh untuk menyampaikan ajaran agama Islam. Tentu saja mengenai kewajiban untuk melakukan dakwah tersebut, sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya masing-masing dari setiap muslim pada setiap level dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini penting diungkapkan karena sebagain besar masyarakat Muslim menganggap bahwa kewajiban dakwah hanya dibebankan kepada juru dakwah yang lebih spesifik adalah para mubaligh. Padahal lingkup kewajiban dakwah juga dibebankan kepada semua muslim dengan setiap keahlian dalam bidangnya masing-masing. Kewajiban itu juga tidak mengenal kedudukan seorang muslim dalam strata sosialnya dalam masyarakat. Aktifitas dakwah merupakan upaya untuk merubah suatu keadaan dari yang buruk menjadi baik atau yang sudah baik menjadi lebih baik atau dalam xxviii bahasa yang lebih dikenal adalah amr ma’ruf wa nahi munkar. Namun persoalan baik dan buruk ini sering tidak sama ukurannya bagi setiap orang. Sehingga tentu saja untuk melihat ukurannya adalah kalam Tuhan dan Sunnah Nabi yang menjadi titik tolaknya. Namun persoalan juga akan muncul kemudian ketika setiap orang dengan latar historis sosial dan pengetahuan serta pengalaman berbeda maka akan terjadi perbedaan pula dalam menangkap pesan Tuhan dan sunnah Nabi. Maka hal yang baik adalah dilandasi dengan cara yang ikhlas dan penuh kesabaran dalam menghadapi benturan nilai-nilai tersebut. Kemudian untuk melaksanakan kewajiban amr ma’ruf wa nahi munkar tersebut haruslah ditempuh dengan cara yang efektif, persuasif dan lebih bearadab. Bahwa kewajiban untuk menyeru atau mengajak kebaikan juga harus dibarengi dengan cara yang baik pula. Bukan dengan cara-cara yang mengandung unsur paksaan, intimidasi, provokasi. Maka mutlak dibutuhkan ahlakul karimah sebagai pengawal dalam setiap aktifitas dakwah. Selanjutnya, banyak yang sering melupakan bahwa sesungguhnya hakikat dakwah adalah sebuah proses terus menerus yang tidak pernah berhenti. Karena memang finalisasinya tetap di tangan Allah. Sehebat apapun seorang da’i dapat mempengaruhi orang lain, disertai jalan atau cara yang beragam namun perubahan yang dikehendaki ternyata tidak atau sekurangnya belum menuai hasil. Maka semuanya diserahkan kepada Allah. Karena dakwah adalah sebuah proses untuk merubah suatu keadaan dalam masyarakat, maka memerlukan perjuangan panjang dengan membutuhkan waktu yang lama. Upaya untuk mempercepat tujuan dakwah yang dikehendaki justru menumbuhkan sikap pemaksaan dan cara-cara xxix kekerasan terhadap sasaran dakwah. Mengenai hal ini Allah telah memberi peringatan kepada kaum muslim; Artinya: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orangorang yang tidak mempergunakan akalnya. (QS: Yunus[10]:99-100) Qurais Shihab berpendapat ayat di atas mengisyaratkan bahwa manusia diberi kebebasan percaya atau tidak. Ayat tersebut menceritakan kaum Nabi Yunus yang pada awalanya membangkang namun kemudian bertaubat untuk beriman kepada Allah atas kehendak sendiri. Namun Kebebasan yang dimaksud bukanlah bersumber dari kekuatan manusia, tapi semuanya karena anugerah Allah. Pada ayat tersebut juga terdapat pertanyaan kepada Nabi Muhammad yang diajukan Allah, “Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” Pertanyaan itu mengandung pengertian bahwa apa yang dilakukan Nabi Muhammad dengan kesungguhannya dalam berdakwah sehingga mendekati tahap pemaksaan kepada diri Nabi maupun kaumnya. Padahal pada ayat selanjutnya Allah menegaskan bahwa semua manusia diciptakan dengan kemampuan akal untuk dapat memilih jalan baik atau xxx buruk. Jika manusia menggunakan akalnya secara benar, maka Allah memberikan izin manusia untuk beriman.22 Dengan demikian sangat jelas sekali rambu-rambu bagi juru dakwah dalam melaksanakan misinya. Kewajiban da’i hanyalah sebatas menyampaikan ajaran Allah dan bukan kewajiban merubah semua umat manusia untuk beriman. Adapun perubahan yang terjadi adalah kehendak Allah melalui hidayah kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Penekanan yang demikian harus menjadi perhatian para da’i sebagai bahan pertimbangan dalam tindakannya tidak melampaui batas dari apa yang diperintahkan Allah SWT. 2. Unsur Unsur Dakwah a. Subyek Dakwah Subyek dakwah adalah pelaku atau juru dakwah, atau bisa disebut juga dengan da’i atau mubaligh . Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap muslim yang mukhalaf (orang yang sudah terbebani hukum) secara otomatis berperan sebagi subyek dakwah (da’i) yang mempunyai kewajiban untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada seluruh umat manusia. Berkaitan dengan kewajiban setiap individu untuk menyampaikan dakwah Islamiyah, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya (kekuasaan), jika tidak sanggup maka ubahlah dengan lisan (nasehat) jika tidak sanggup maka ubahlah dengan hatinya dan itulah serenah-rendahnya iman.” (HR. Muslim) 22 Qurais Shihab. Tafsir Al-misbah h.164-165 xxxi Hendaknya seorang subyek dakwah harus mempunyai kemampuankemampuan yang dapat mendukung keberhasilan dakwah. Adapun kemampuankemampuan yang dapat dimiliki oleh subyek dakwah yaitu:23 1) Memiliki pemahaman agama Islam secara tepat dan benar. 2) Memiliki pemahaman hakekat gerakan/tujuan akwah. 3) Memiliki akhalak karimah. 4) Mengetahui perkembangan pengetahuan yang relatif luas. 5) Mencintai mad’u dengan tulus. 6) Mengenal kondisi dengan baik. Selain kemampuan-kemampuan yang telah dituliskan di atas, dalam buku Prinsip-Prinsip Metode Dakwah dituliskan juga bahwa kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki seorang subyek dakwah adalah:24 1) Kemampuan berkomunikasi 2) Kemampuan menguasai diri 3) Kemampuan berpsikologi 4) Kemampuan pengetahuan pendidikan 5) Kemampuan dibidang umum 6) Kemampuan dibidang umum al-Quran 7) Kemampuan dibidang ilmu agama secara umum. 23 Abdul Munir Mulkhan, Idilogi Gerakan Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1996) cet ke-1 h. 237-239 24 Slamet Muhaimain Abda, Prinsip-Prinsip Metode Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1996) cet ke 1 h xxxii Idealnya memang beberapa kemampuan tersebut haruslah di penuhi bagi setiap da’i dalam melakukan misinya. Namun tentunya hal itu bukanlah syarat mutlak yang harus dipenuhi. Upaya untuk membuat rumit atau memperberat syarat justru akan menghambat sekaligus membatasi untuk menggerakan semua komponen muslim untuk ikut serta dalam menyampaikan ajaran Islam. Tentu semua berpulang pada kapasitas dan kemampuan sesuai level yang berbeda dari setiap muslim itu sendiri. b. Obyek Dakwah Objek dakwah atau mad’u adalah orang yang dikenai sasaran dakwah. Al Gazali menyebutkan beberapa bentuk sasaran dakwah dilihat dari segi psikologi25, yaitu: 1) Dilihat dari sosiologis, meliputi masyarakat terasing, pedesaan, pinggiran, kota dan masyarakat kota besar. 2) Menyangkut golongan dilihat dari struktur kelembagaan berupa kelompok masyarakat dari kalangan pemerintah dan keluarga biasa. 3) Kelompok masyarakat dilihat dari segi tingkat usia berupa golongan anak-anak, remaja dan dewasa. 4) Kelompok masyarakat dari dilihat dari segi sosio kultural berupa golongan priyayi, santri dan abangan. 5) Kelompok masarakat dilihat dari segi occupational (profesi dan pekerjaan berupa petani, nelayan, pedagang seniman, dan lain lain). 25 Bahri Gazali, Dakwah Komunkaif, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997) cet ke 1 h. 11- 12 xxxiii 6) Kelompok masyarakat dari dilihat dari tingkat hidup sosio ekonominya berupa golongan orang kaya, menengah dan miskin. 7) Sasaran dakwah yang berhubungan dengan golongan masyarakat yang dilihat dari segi khusus berupa golongan tuna wisma, tuna karya, tuna susila, narapidana, dan lain-lain. Melihat berbagai macam latar sosial dari mad’u yang berbeda juga sangat penting dalam upaya untuk melakukan dakwah secara efektif. Karena hal ini akan berkaitan dengan langkah selanjutunya menentukan metode dan media apa bagaimana menyusun strategi, yang tepat untuk digunakan dalam berdakwah. Membuat dakwah mencapai hasil yang gemilang tentu dibutuhkan perencaan yang matang sekaligus di dukung infrastruktur yang baik sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik pula oleh mad’u. c. Metode Dakwah Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata yaitu “meta” (melalui) dan “hodos” (jalan, cara). Dengan demikian kita dapat artikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman methodica artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata methodos artinya jalan yang dalam bahasa Arab disebut Thariq. Apabila kita artikan secara bebas metode adalah cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran mencapai suatu maksud. 26 26 H. Harjani Hefni Lc. MA. et al, Metode Dakwah , (Jakarta: Rahmat Semesta, 2003) Cet ke-1, h. 7 xxxiv Toto Tasmara berpendapat bahwa metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan seseorang da’i (komunikator) kepada mad’u untuk mencapai sutu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang.27 Hal ini mengandung arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpu pada pandangan Human Oriented mendapatkan penghargaan yang mulia atas diri manusia. Keberhasilan dakwah tentu tidak bisa terlepas bagaimana seorang da’i dalam memilih metode sesuai kebutuhan dari objek dakwah. Dengan metode yang digunakan ini nantinya seorang da’i dapat melakukan pendekatan kepada madu’ secara lebih sempurna. Dengan demikian materi dakwah yang disampaiakan seorang da’i akan lebih mudah diterima oleh objek dakwah. Secara umum metode dakwah yang diajarka Al-Quran ada tiga cara dengan mengacu pada Firman Allah yaitu: Artinya: ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang orang yang diberi petunjuk (an-Nahl 125) Menurut Al-Qurtubi Ayat diatas turun di mekkah atau termasuk ayat makiyah. Asbabun nuzul dari ayat tersebut adalah ketika terjadi genjatan senjata dengan pihak Quraisy. Saat itu Tuhan menurunkan firman-Nya agar Nabi 27 Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gema Media Pratama, 1997) cet ke-1 h.7 xxxv mengajak orang-orang Quraisy kejalan Allah dengan cara yang lemah-lembut tanpa pertumpahan darah dan kekerasan. Al-Qurtuby menambahkan metode dakwah yang demikian hendaknya dikembangkan dan harus menjadi pedoman Umat Islam hingga akhir zaman.28 Sesuai keterangan ayat diatas metode dakwah ada tiga, yaitu : bi alhikmah; mau’idzotil hasanah; dan mujadalah billati hiya ahsan menunjukan bahwa bentuk-bentuk metode dakwah meliputi tiga cakupan yaitu: 1) Bi al-hikmah (kebijaksanaan), Yaitu dengan secara bijaksana, akal budi, yang lapang dan hati yang bersih menarik perhatian orang pada agama, atau kepada kepercayaan terhadap Tuhan. 2) Mauizatul Hasanah, yaitu pengajaran yang baik, atau pesan-pesan yang baik, yang disampaikan dengan nasehat. 3) mujadalah billati hiya ahsan , yaitu bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Kalau telah terpaksa timbul pembantahan atau pertukaran pikiran atau mengarah pada polemik. Ayat ini menyuruh agar hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat dihindarkan lagi, pilihlah jalan yang sebaik baiknya.29 Metode dakwah bi al-hikmah atau secara mudahnya diartikan dengan kebijaksanaan adalah dalil-dalil argumentatif yang digunakan untuk menjelaskan kebenaran kitab suci dan sekaligus menghilangkan keraguan. Sementara Imam alZamakhsyari, menafsirkan kata al-hikmah dengan pendapat yang arif dan 28 29 Zuhairi Misrawi, “Al-Quran Kitab Toleransi”, (Jakarta: Fitrah, 2007) h.259 Prof. DR. Hamka, Tafsir al Azhar, juz XIII-XVI, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas 1983) h.321 xxxvi argumentatif. Senada dengan al-Zamakhsyari, Imam al-Razi berpendapat bahwa argumentasi dan eksplanasi menjadi penting dalam dakwah karena dua alasan, yaitu dalam rangka mengukuhkan pemahaman para pendengar, serta untuk mendebat dan mengalahkan pendapat lawan. Dalam hal ini, hikmah berfungsi sebagai dalil atau bukti yang dapat membentuk keyakinan terhadap suatu hal. Menurut Ibnu Rusyd, bahwa hikmah adalah karib syariat, bahkan saudara sesusuan.30 Dakwah dengan modal hikmah maka peradaban Islam menjadi salah satu peradaban Islam yang adiluhung. Kekuatan Islam tidak ditentukan oleh otot, yang berarti dengan tindakan kekerasan. Kekuatan Islam ditandai dengan pemikiranpemikiran kreatif untuk menjawab kemusykilan di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian Umat Islam membutuhkan peradaban akal budi untuk dapat melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif dan inovatif. Maka sudah selayaknya metode dakwah dengan metode bi al-hikmah perlu dikembangkan secara terus menerus. Upaya ini dilakukan sebagai upaya untuk membendung gerakan dakwah yang lebih mementingkan aspek kekerasan dan saling fitanah kepada kelompok Islam lainnya. Terwujudnya penilaian “orang lain” terhadap Islam sebagai agama dan Muslim sebagai pemeluknya sangat bergantung bagaimana cara menyampaikan nilai-nilai Islam yang sangat luhur itu. 30 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, (Jakarta: Fitrah, 2007), h.260 xxxvii Firman Allah dalam al-Quran: Artinya: “Allah menganugrahkan al hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran”. (QS: al-baqoroh: 269) Kedua, Mauizatul Hasanah atau menasehati dengan baik. Bila yang pertama menekankan aspek akal budi, maka tahap selanjutnya terletak pada metode penyampaian. Metode ini menjadi semacam ujung tombak dalam keberhasilan dakwah. Karena suatu pesan atau materi dakwah dapat diterima oleh mad’u sangat bergantung oleh kreatifitas sang da’i bagaimana cara menyampaikannya. Dengan itu maka dibutuhkan sebuah komunikasi yang lebih persuasif untuk bisa mengajak mad’u mau mengapresiasi apa yang disampaikan seorang da’i. Imam al-Zamakhsyari berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Mauizatul Hasanah adalah menyampaikan nasehat atau pesan dengan tujuan memberikan manfaat kepada mereka. Pendapat yang demikian sangat cocok dikembangkan sebagai metode dakwah di Indonesia. Karena Ini terkait gejala yang menyedihkan ketika para da’i justru lebih mengarah pada upaya tindakan provokatif yang membakar emosi mad’u untuk berbuat anarkis kepada kelompokkelompok tertentu. Entah itu ditujukan kepada internal umat Islam sendiri yang saling bersebrangan atau kepada umat beragama lain. Ungkapan-ungkapan xxxviii seperti; sesat, bid’ah atau bahkan mengkafirkan sesama muslim seringkali menghiasi mimbar tabligh. Padahal ada etika dakwah yang sangat populer dalam tradisi Islam, menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik dan mengajak orang lain untuk tidak melakukan kemungkaran dengan cara yang tidak mungkar.31 Ketiga, mujadalah billati hiya ahsan , yaitu bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik atau debat yang kontrukstif. Tradisi perdebatan atau saling membantah adalah tradisi yang diwariskan oleh Islam. Malahan tradisi debat di internal Umat Islam sendiri merupakan pemandangan yang pada zamannya telah mematangkan pemikiran keislaman. Sejauh perdebatan itu disertai prinsip saling menghargai dan bermartabat maka hal itu akan sangat menguntungkan terhadap proses kemajuan Islam. Pemandangan semacam itu sekarang seakan sulit ditemukan di berbagai ajang diskusi, seminar atau forum-forum lainnya. Yang terjadi saat ini terutama forum diskusi dengan menghadirkan kelompok Islam yang saling berbeda pendapat atau dengan umat beragama lain, seringkali disertai dengan caci maki, pelecehan dan tuduhan yang tidak berdasar kepada lawan bicaranya. Belum lagi pekikan takbir sebagai tanda dukungan dari audience terhadap pembicara dan sekaligus upaya melemahkan mental lawan bicara, seakan sesuatu yang lumrah kita saksikan. Pemandangan itu sungguh bukanlah termasuk dari konsep mujadalah billati hiya ahsan yang sangat menghargai lawan bicara. Kenyataan diatas tentulah sangat jauh dari apa yang ditegaskan oleh Imam al-Zamakhsyari tentang makna dari mujadalah billati hiya ahsan yaitu memilih 31 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, (Jakarta: Fitrah, 2007), h. 262 xxxix cara terbaik dalam berdebat. Ciri dari debat tersebut adalah dengan mengapresiasi pendapat orang lain. Disertai dengan kata-kata yang lemah lembut dan tidak menggunakan kata-kata yang tidak pantas, terutama kata-kata yang bisa memancing tindak kekerasan.32 Firman Allah dalam al-Quran: Artinya: Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri".(QS: al-Ankabuut: 46) Selain ketiga bentuk metode dakwah diatas ada bebrapa metode yang juga sering digunakan oleh para da’i. Sebagaimana yang diungkapkan Asmuni Syukir bahwa dalam pelaksanaan dakwah dikenal beberapa bentuk metode dakwah yang lain seperti: 1) Metode ceramah (retorika) Ceramah adalah tekhnik atau metode dakwah yang banyak diwarnai oleh ciri karakteristik bicara. Seorang da’i/mubaligh pada suatu aktifitas dakwah/ceramah dapat pula bersifat propaganda, kamapanye, berpidato, khutbah, sambutan, mengajar, dan sebaginya. Metode ceramah ini sebagai metode konvensional yang masih banyak kita 32 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, (Jakarta: Fitrah, 2007), h.263 xl jumpai di tengah-tengah masyarakat kita. Dari sisi gearakan awal dalam berdakwah memang metode ini sangat efektif. Namun jika metode tidak diikuti langkah selanjutnya dengan metode yang lain maka akan terjadi kesia-siaan. 2) Metode Tanya Jawab. Metode tanya jawab adalah penyampaian materi dakwah dengan cara mendorong sasarannya (obyek dakwah) untuk menyampaikan suatu masalah yang dirasa belum dimengerti oleh mubaligh atau da’inya, sebagai penjawabnya. Metode ini sangat dibutuhkan bagi mad’u karena permasalahan yang silih berganti muncul dalam masyarakat begitu baragam. 3) Debat (mujadalah) Mujadalah selain sinonim dari dakwah dapat juga sebagi salah satu metode dakwah yaitu: mempertahankan pendapat dan idiologinya itu diakui, kebenaran dan kehebatannya oleh musuh (orang lain). 4) Percakapan Antar Pribadi Percakapan antar pribadi atau individual conference adalah percakapan bebas antar seorang da’i/mubaligh dengan individuindividu sebagi sasaran dakwahnya. 5) Metode Demonstarasi Berdakwah dengan memperlihatkan suatu contoh baik berupa benda, peristiwa, perbuatan dan sebaginya. Dapat dinamakan bahwa seorang da’i yang bersangkutan mengunakan metode demonstrasi. xli 6) Metode Rasulullah SAW. Nabi Muhammad seorang da’i yang dipilih oleh Allah SWT dalam menyampaikan Islam melalui beberapa metode: Dakwah dibawah tanah (sembunyi-sembunyi/keluarga terdekat), dakwah secara terangterangan, politik pemerintahan, tekhnik informasi surat-menyurat, peperangan. 7) Pendidikan Agama Pendidikan pengajaran dapat pula dijadikan sebagai metode dakwah guna membina generasi muslim. Pendidikan ini seharusnya menjadi metode yang sangat efektif dalam menyampaiakan pesan-pesan agama. Karena di institusi semacam inilah norma-norma agama akan sangat mudah 8) Mengunjungi Rumah Metode dakwah yang dirasa efektif juga dilaksanakan dalam rangka mengembangkan maupun membina umat Islam ialah metode dakwah dengan cara mengunjungi rumah obyek dakwah atau disebut dengan metode silaturahmi atau home visit.33 Selain pendekatan al-hikmah, maw'izhah hasanah, dan mujadalah dan pendekatan beberapa pendekatan diatas, al-Quran juga memperkenalkan istilah yang dapat dipandang sebagai bahasa dakwah, yaitu (1) qawlan layyina, (2) qawlan baligha, (3) qawlan maysura, (4) qawlan karîma, dan (5) qawlan sadîda. 33 Asmunmi Syukir, Dasar Dasar Strategi Dakwahj Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1983) h. 164 xlii Penjelasan dari kelima pendekatan atau bahasa dakwah tersebut akan dijabarkan secara rinci di bawah ini.34 1). Qaulan Layyinâ (Perkataan yang Lemah Lembut) Al-Quran mengintrodusir istilah qaulan layyina, seperti yang disebutkan dalam Surat Thaha ayat 43-44 di bawah ini. Artinya: "Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kaya-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". Ayat ini berada dalam rangkaian kisah Nabi Musa (dan Harun) dengan Fir'aun. Berhadapan dengan penguasa yang tiran, al-Quran mengajarkan agar dakwah kepada mereka haruslah bersifat sejuk dan lemah lembut, tidak kasar, dan menantang. Perkataan yang kasar kepada penguasa tiran dapat memancing respons yang lebih keras dalam waktu yang spontan, sehingga menghilangkan peluang untuk berdialog atau berkomunikasi antara kedua belah pihak. Psikologi penguasa yang sewenang-wenang ialah, jika diusik pikiran dan perasaannya oleh orang lain, maka ia akan segera bereaksi dengan keras sejak komunikasi yang pertama . Jadi, dakwah yang lembut adalah dakwah yang dirasakan oleh mad’u sebagai sentuhan yang halus, tanpa mengusik atau menyentuk kepekaan 34 Achmad Mubarok, 1999. Psikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka Firdaus, h.132-146. Kelima pendekatan dakwah di atas, dapat dilihat juga pada buku Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Quran, Op.Cit., h.251-260. xliii perasaannya sehingga tidak menimbulkan gangguan pikiran dan perasaan. Dengan sentuhan yang halus itu, orang kasar pun dibuat sulit untuk mendemonstrasikan kekasarannya. 2). Qaulan Balîghâ (Perkataan yang Membekas pada Jiwa) Al-Quran memberikan tuntunan, bahwa redaksi seruan dakwah berbedabeda tekanannya, tergantung siapa mad'unya. Surat al-Nisa ayat 63 di bawah ini mengintrodusir istilah qaulan baligha yang dapat diterjemahkan dengan "perkataan yang membekas pada jiwa". Artinya: "Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka". Ayat tersebut di atas berkenaan dengan orang munafik yang di hadapan Nabi berpura-pura baik, tapi di belakang, mereka menentang dakwah Nabi. Kalimat dakwah yang persuasif bagi orang munafiq adalah kalimat yang tajam, pedas, tetapi benar, baik bahasa maupun substansinya. Dengan qaulan baligha, sekurang-kurangnya orang munafiq dibuat tak berkutik di depan da'i, meskipun di belakang hari mereka bekerja keras mencari celah yang dapat digunakan untuk menyerang da'i. Pengertian lain dari qaulan baligha adalah suatu perkataan yang membuat lawan bicaranya terpaksa harus mempersepsi perkataan itu sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pembicara, sehingga tidak ada celah untuk mempersepsi lain. xliv 3). Qaulan Maysûrâ (Perkataan yang Ringan) Istilah qaulan maysura tersebut dalam Surat al-Isra ayat 28: Artinya: "Dan jika kamu berpaling daari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas". Kalimat maysura berasal dari kata yasr, yang artinya mudah. Qaulan Maysura adalah lawan dari qaulan ma'sura, perkataan yang sulit. Sebagai suatu proses komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, yang ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku dan tidak bersayap. Dakwah dengan qaulan maisura artinya pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir panjang. Pesan dakwah model ini tidak memerlukan dalil naqli maupun argumen-argumen logika yang rumit. 4). Qaulan Karîmâ (Perkataan yang Mulia) Kalimat qaulan karima dalam al-Quran terdapat dalam ayat yang mengajarkan etika pergaulan manusia kepada kedua orang tuanya yang sudah tua, seperti yang disebutkan dalam surat al-Isra ayat 23: Artinya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya xlv sampau berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua perkataan "ah", dan janganlah kamu membantah mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulai". Dalam perspektif dakwah, maka term qaulan karima diperlukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia lanjut, atau dalam masyarakat kota barangkali adalah kelompok pensiun. Seorang da'i dalam berhubungan dengan lapisan mad'u yang sudah masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap orang tua sendiri, yakni hormat dan tidak berkata keras dan kasar kepadanya. Kata karima yang artinya penuh kebajikan (katsir al-khair) jika dihubungkan dengan qaulan berarti sahlan wa layyinan yakni perkataan yang mudah dan lembut. Berdakwah kepada orang yang berusia lanjut, haruslah dengan perkataan yang musah dipahami dan disampaikan dengan retorika yang halus dan lembut. 5). Qaulan Sadîdâ (Perkataan yang Benar) Term Qaulan Sadida merupakan persyaratan umum suatu pesan dakwah agar dakwahnya persuasif. Ditujukan kepada siapa pun, pesan dakwah haruslah dengan perkataan yang benar. Terma qaulan sadida disebut dua kali dalam alQuran, yaitu dalam Surat an-Nisa ayat 9 dan surat al-Ahzab ayat 70. Yang pertama berkaitan dengan hukum waris, dan yang kedua berhubungan dengan pesan dakwah. xlvi Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar". Perintah untuk berkata benar didahului oleh perintah bertaqwa, dan Allah berjanji bahwa berkata benar yang dilandasi oleh ketakwaan itu akan mengantar pada perbaikan amal dan ampunan dari dosa. Seorang da'i yang konsisten dengan pesan kebenaran dan didukung oleh integritas pribadinya yang mulia, dijamin oleh al-Quran bahwa dakwahnya bukan hanya membangun orang lain tetapi juga membangun dirinya, yakni meningkatkan integritas dirinya. 3. Media Dakwah Bila dilihat dari asal katanya, media berasal dari bahasa Latin yaitu median yang berarti alat perantara. Sedangkan pengertian istilah media berarti segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu.35 Sedangkan media dakwah berarti segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah ini dapat berupa barang (material, orang, tempat, kondisi tertentu dan sebaginya). Menurut Hamzah Yakub media dakwah ditinjau dari bentuk penyampaian dapat dijelaskan menjadi lima yaitu: a) Lisan, dakwah dengan metode ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah bimbingan penyuluhan dan sebagainya. 35 Ibid 178 xlvii b) Tulisan, dakwah yang dilakukan dengan perantara tulisan seperti buku, majalah, surat kabat (Koran), surat menyurat (koresponden), spanduk dan sebaginya. c) Lukisan. Seperti gambar, karikatur, kaligrafi dan sebaginya. d) Audio visual yaitu alat dakwah yang merangsang alat indra pendengaran atau penglihatan atau kedua-duanya. Seperti televisi, radio, film, slide, OHP, interenet dan lain sebaginya. e) Akhlak. Yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam dapat dinikmati serta didengarkan oleh mad’u.36 Dari beberapa pendapat diatas, penulis berkesimpulan bahwa media dan cara yang digunakan untuk berdakwah hakikatnya adalah agar tercapai sebuah misi dakwah kepada mad’u dan dapat diterima dengan penuh ikhlas sehingga dapat tercapai sebuah misi dakwah yang sudah ditentuakan oleh para da’i. Dalam buku Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Asmuni Syukir berpendapat bahwa ada beberapa media yang dapat dijadikan sebagai media dakwah, antara lain: a) Lembaga-lembaga pendidikan formal b) Lingkungan keluarga c) Organisasi-organisasi Islam d) Hari-hari besar Islam e) Media massa (radio, televisi, buku, surat kabar, majalah, dan lain-lain) f) Seni budaya (musik, drama, sastra, wayang kulit, dan lain-lain). 37 36 Hamzah Yakub, Publisistik Islam Tekhnik Dakwah Islam Dan Lidersif, (Bandung: CV Diponogoro 1986) h.4 xlviii 4. Tujuan Dakwah Bila dipahami pengertian dakwah yang sudah dikemukakan sebelumnya, sebenarnya secara eksplisit sudah tergambarkan apa yang menjadi tujuan dakwah. Tujuan pokoknya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat dan menjadi rahmat bagi alam semesta. Tujuan pokok ini juga terperinci sebagi berikut: a. Mengajak umat manusia yang sudah memeluk agama Islam agar selalu meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. b. Membina mental kegamaan bagi kaum yang masih mualaf (baru masuk Islam) c. Mengajak manusia yang belum beriman agar beriman kepada Allah SWT. d. Mendidik anak-anak (generasi Islam) agar tidak menyimpang dari fitrahnya.38 Menurut Toha Yahya Umar, dakwah Islam bertujuan untuk menyebarkan benih “hidayah” yang pokoknya dilakukan dengan cara meluaskan I’tikad (Aqidah) meneruskan amal shaleh, membersihkan jiwa, mengokohkan kepribadian, mengokohkan persaudaraan dan menolak syubhat agama. 39 Dengan demikian semakin jelas, pada perinsipnya ajaran dakwah bertujuan membimbing umat manusia kepada sesuatu yang bermanfat dan menunjukan bagaimana cara meraih kebahagian, hanya bisa tercapai dengan cara 37 Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1983) h. 38 Ibid, h.58 39 Toha Yahya Umar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Widjaya,1992), cet ke-5, H. 10 179 xlix menumbuhkan benih-benih hidayah, mensucikan jiwa, menjalankan perintah Tuhan, dan memelihara diri dari sesuatu yang dilarang dari ajaran agama Islam. 5. Strategi Dakwah dalam Merespon Problematika Umat. Untuk mengatasi berbagai persoalan umat yang begitu kompleks, institusi dakwah tidak cukup hanya dengan dengan melakukan program dakwah konvensional, sporadis, dan reaktif, tetapi harus bersifat profesional, strategis, dan pro-aktif. Menghadapi sasaran dakwah (madu) yang semakin kritis dan tantangan dunia global yang makin kompleks dewasa ini, maka diperlukan strategi dakwah yang mantap, sehingga aktivitas dakwah yang dilakukan dapat bersaing di tengah bursa informasi yang semakin kompetitif. Ada beberapa rancangan dakwah yang dapat dilakukan untuk menjawab permasalahan dewasa ini, yaitu: 40 a. Memfokuskan aktivitas dakwah untuk mengentaskan kemiskinan umat. b. Menyiapkan elit strategis Muslim untuk disuplai ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. c. Membuat peta sosial umat sebagai informasi awal bagi pengembangan dakwah d. Mengintregasikan wawasan etika, estetika, logika, dan budaya dalam berbagai perencanaan dakwah e. Mendirikan pusat-pusat studi dan informasi umat secara lebih propesional dan berorientasi pada kemajuan iptek 40 Kontowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta: Salahudin Press, 1985), hlm. 120.juga Syahrin Harahap, Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm.143-145. l f. Menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan: ekonomi, kesehatan dan kebudayaan umat Islam. Karenanya, sistem manajemen kemasjidan perlu ditingkatkan g. Menjadikan sebagai pelopor yang propertis, humanis, dan transpormatif. Karenanya perlu dirumuskan pendekatan-pendekatan dakwah yang progresif dan inklusif. Dakwah Islam tidak boleh hanya dijadikan sebagai objek dan alat legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata bersifat ekonomispragmatis berdasarkan kepentingan sesaat para penguasa. Untuk merencanakan strategi dakwah yang mumpuni, maka diperlukan pembenahan secara internal terhadap beberapa unsur yang terlibat dalam proses dakwah. Unsur-unsur tersebut adalah Dai/juru dakwah (aktivis dakwah) materi dakwah, metode dakwah, dan alat atau media dakwah. Pembenaran strategis terhadap unsur tersebut dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Peningkatan sumber daya muballigh/Da’i (SDM) Untuk mencapai tujuan dakwah secara maksimal, maka perlu dukungan oleh para juru dakwah yang handal. Keandalan tersebut meliputi kualitas yang seharusnya dimiliki oleh seorang juru dakwah yang sesuai dengan tujuan dewasa ini. Aktivitas dakwah dipandang sebagai kegiatan yang diperlukan keahlian. Mengingat suatu keahlian memerlukan penguasaan pengetahuan, maka para aktivis dakwah (Dai/muballigh) harus memiliki kualifikasi dan persyaratan li akademik dan empirik dalam melaksanakan kewajiban dakwah.41 Di era modern ini, juru dakwah perlu memiliki dua kompetensi dalam melaksanakan dakwah, yaitu : kompetensi substantif dan kompetensi metodologis. Kompetensi substantif meliputi penguasaan seorang juru dakwah terhadap ajaran-ajaran Islam secara tepat dan benar. Kompetensi metodologis meliputi kemampuan juru dakwah dalam mensosialisasikan ajara-ajaran Islam kepada sasaran dakwah (mad’u).42 b. Pemanfaatan Teknologi Modern sebagai Media Dakwah Salah satu sasaran yang efektif untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam adalah alat-alat teknologi modern di bidang informasi dan komunikasi. Kemajuan di bidang informasi dan telekomunikasi harus dimanfaatkan oleh aktivis dakwah sebagai media dalam melakukan dakwah Islam, sebab dengan cara demikian ajaran agama Islam dapat diterima dalam waktu yang relatif singkat oleh sasaran dakwah dalam skala luas. Dalam hal ini, lembaga-lembaga dakwah masih banyak yang belum dapat memanfaatkan akses teknologi-informasi secara maksimal, begitu juga dengan penyediaan dakwah modern, misal TV. Hingga kini masih menjadi impian. Oleh karena itu, lembaga dakwah perlu membangun sinergis antar kekuatan guna merealisasikannya dalam rangka mengimbangi laju informasi dan meredam program-program TV yang tidak mendidik dan cenderung merusak tatanan masyarakat. c. Pengembangan Metode Dakwah Fardhiyah. 41 4 Asep Muhyidin, Dakwah dalam Perspektif al-Quran: Studi Kritis atas Visi, Misi dan Wawasan, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 34. 42 Abdul Munir Mulkhan, Ideologi Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir dan Azhar Basyir, (Yogyakarta: Sipress, 1996), hlm. 237. lii Untuk menjawab tantangan dunia global, maka perlu dikembangkan metode dakwah fardhiyah, yaitu metode dakwah yang menjadikan pribadi dan keluarga sebagai sendi utama dalam aktivitas dakwah. Dalam usaha membentuk masyarakat yang dicirikan oleh Islam harus berawal dari pembinaan pribadi dan keluarga yang Islami, sebab lingkungan keluarga merupakan elemen sosial yang amat strategis dan memberi corak paling dominan bagi pengembangan masyarakat secara luas. Pembinaan pribadi dan keluarga yang Islami ini dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu: pertama, peningkatan fungsi orang tua (ibu dan bapak) sebagai tauladan dalam rumah tangga; kedua, perlunya dibentuk lembaga konsultan keluarga sakinah (KKS) dan klinik rohani Islam (KRI) dalam setiap komunitas Muslim. Untuk pelaksanaan KKS dan KRI ini diperlukan tenaga penyuluh dan counselor Islam yang handal baik secara teoritis maupun secara praktis.43 Di sinilah peran lembaga dakwah untuk membina dan mendorong agar anggotanya mengembangkan dakwah fardiyah sehingga masing-masing keluarga dapat terpantau dan terkendali, sekaligus menjadi benteng kontrol sosial. d. Penerapan Dakwah Kultural Dakwah kultural adalah dakwah Islam dengan pendekatan kultural, yaitu: pertama, dakwah yang bersifat akomodatif terhadap nilai budaya tertentu secara inovatif dan kreatif tanpa menghilangkan aspek substansial keagamaan; kedua, menekankan pentingnya kearifan dalam memahami kebudayaan komunitas 43 Mohammad Noer, “Dakwah untuk Umat,” Makalah dalam Workshop Program Studi Sejenis Ditjen Pendidikan Islam Depag RI, 2007, hlm. 5. liii tertentu sebagai sasaran dakwah. Jadi, dakwah kultural adalah dakwah yang bersifat buttom-up dengan melakukan pemberdayaan kehidupan beragama berdasarkan nilai-nilai spesifik yang dimiliki oleh sasaran dakwah. Lawan dari dakwah kultural adalah dakwan struktural, yaitu dakwah yang menjadikan kekuasaan, birokrasi, kekuatan politik sebagai alat untuk memperjuangkan Islam. Karenanya dakwah struktural lebih bersifat top-down. Secara sunnatullah, setiap komunitas manusia, etnis, dan daerah memiliki kehasan dalam budaya. Masing-masing memiliki corak tersendiri dan menjadi kebanggaan komunitas bersangkutan. Dalam melakukan dakwah Islam corak budaya yang dimiliki oleh komunitas tertentu dapat dijadikan sebagai media dakwah yang ampuh dengan mengambil nilai kebaikannya dan menolak kemungkaran yang terkandung dalamnya. Perbedaan penghayatan dan pengamalan agama selalu dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: karakteristik individu, umur, lingkungan sosial, dan lingkungan alam. Kelahiran mazhab dalam Islam pun turut dipengaruhi oleh faktor alam dan geografis. Karena itu, akan selalu ada perbedaan cara beragama antar orang desa dan kota, petani dengan nelayan, masyarakat agraris dan masyarakat industri, dan sebagainya. Perbedaanperbedaan itu perlu dimengerti oleh para aktivis dakwah supaya dakwah Islam yang dilakukan dapat menyeseuaikan diri dengan kondisi objektif manusia yang dihadapi dan kecendrungan dinamika kehidupan mutakhir. Dalam melakukan dakwah kultural, para aktivis dakwah harus menawarkan pemikiran dan aplikasi syariat Islam yang kaffah dan kreatif. Materimateri dakwah perlu disistematiskan dalam suatu rancangan sillabi dakwah liv berdasarkan kecendrungan dan kebutuhan madu. Para aktivis dakwah tidak boleh langsung menghakimi jamaah berdasarkan persepsinya sendiri, tanpa mempertimbangkan apa sesungguhnya yang sedang mereka alami. Karena itu materi dakwah kultural tidak semata-mata bersifat fiqh sentries, melainkan juga materi-materi dakwah yang aktual dan bernilai praktis bagi kehidupan umat dewasa ini. Kaedah formal ketentuan-ketentuan syariah yang selama ini merupakan tema utama pengajian dan khutbah harus diimbangi dengan uraian mengenai hakikat, substansi, dan pesan moral yang terkandung dalam ketentuan syariah dan fiqh tersebut. Seiring dengan pergeseran ini, maka tema-tema dakwah pun yang muncul kepermukaan adalah masalah-masalah yang menyangkut lingkungan hidup, polusi udara, perubahan iklim, pemanasan global, etika bisnis dan kewiraswastaan dan, bio-teknologi dan cloning, HAM, demokrasi, supremasi hukum, etika politik, kesenjangan sosial ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan, budaya dan teknologi informasi, gender, dan tema-tema kontemporer lainnya. Keharusan untuk medesain ulang tema-tema dakwah ini merupaka tuntunan modernisasi spiritualitas Islam yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sebab, problema yang muncul di zaman modern jauh lebih kompleks dan memerlukan respon yang lebih beragam dan akomodatif.44 Di sinilah lembaga dakwah secara sistematis memberikan respon-proaktif bukan reaktif yang sporadis. Sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh umat secara konkrit. 44 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 14. lv 6. Dakwah Kultural Walisanga Islam-Indonesia dibawa oleh para kaum sufi yang berdagang ke wilayah Indonesia sekitar abad 14 M (8 H). Para pedagang tersebut berasal dari kawasan India, Yaman, Persia, dan Mesir. Sebagian dari mereka yang pada akhirnya melahirkan sosok-sosok dai tangguh yang tergabung dalam Wali Songo yang mendakwahkan ajaran Islam di beberapa belahan wilayah Indonesia. Dalam prakteknya, mereka menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Indonesia dengan memperhatikan kondisi sosio-kultural yang ada. Karena ajaran agama sebelumnya (Hindu dan Budha) sudah mendarahdaging dalam aktifitas keseharian mereka, maka metode dakwah yang diterapkan pun menyesuaikan dengan kultur yang ada.45 Secara perlahan-lahan, metode persuasif yang dikembangkan dengan sangat cantik, bisa diterima oleh masyarakat. Bahkan tidak jarang, para Walisongo ini mengadopsi tradisi dan adat-istiadat Hindu dan Budha dan selanjutnya diakselerasikan dengan ajaran Islam. Dengan begitu maka masyarakat akan dengan mudah menerima kehadiran Islam. Cara ini ternyata ampuh. Dengan sangat mengejutkan, banyak sekali masyarakat Indonesia yang berbondongbondong memeluk agama Islam. 46 Ketika para penjajah menduduki wilayah Indonesia sekitar 350 tahun, keadaan berubah. Meskipun tidak sedikit anggota masyarakat yang bisa diperalat 45 Fadlolan Musyaffa, MA. Budaya dan Media Dakwah, Selasa, 17 Juli 2007 http://www.numesir.org/cetak.php?id=43 lvi oleh mereka, namun sebagian besar dari mereka memilih untuk tidak melakukan kompromi dengan penjajah. Terutama bagi mereka yang notabene baru mengenal Islam, tidak ada tempat pelarian bagi mereka kecuali melarikan diri ke daerahdaerah terpencil yang sekiranya tidak terendus oleh para penjajah. Bahkan tidak jarang mereka yang melarikan diri ke gua-gua dan daerah pegunungan untuk menenangkan diri dan terus memperdalam keislaman mereka. Mereka telah antipati dan berkomitmen untuk tidak melakukan kompromi dalam bentuk apapun dengan penjajah. Secara garis besar, ajaran yang dikembangkan Walisongo di tengah masyarakat merupakan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Meskipun demikian, aliran ini bukanlah satu-satunya aliran yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Ada aliran lain, misalnya Salafiyah. Ia mempunyai jumlah pengikut yang cukup signifikan dan secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap para penjajah. Di sisi lain, mereka juga melakukan perlawanan ideologi menentang aliran Syafi'iyah dan Maturidiyah yang telah lebih dulu berkembang di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh perbedaan ajaran yang dijadikan mainstream oleh masingmasing kelompok yang ada. Pembelajaran tentang kehidupan harmonis ditengah mejemuknya masyarakat Indonesia telah diajarkan oleh Walisanga. Keberhasilan dakwah yang diraih dalam waktu relatif singkat itu menjadi menarik untuk dikaji. Petama, keberhasilan Walisanga dalam “mengislamkan” sebagian masyarakat jawa justru ditengah-tengah keberadaan kerajaan Hindu, Majapahit. Meskipun harus diakui lvii pula bahwa Majapahit pada waktu itu pada masa kemundurannya. Kedua, kegemilngan itu justru tidak didukung dengan kekuatan militer sebagaimana ekspansi yang terjadi di Spanyol, Andalusia dan cordova. Metode dakwah yang dilakukan oleh Walisanga adalah dengan mengambil budaya lokal sebagai medianya. Maka tidak heran akan mudah dijumpai bentuk “perkawinan” antara nilai universal Islam dengan budaya lokal di tanah jawa. Bentuk akulturasi semacam itu ternyata justru mengantarkan Walisanga meraih tujuan dakwah yang diharapkan. Kesenian wayang yang dahulu adalah cerita tentang kisah Hindu Mahabarata dan Ramayana kemudian di modifikasi dengan memasukan unsurunsur ajaran Islam. Pertama yang dilakukan adalah merubah bentuk wayang yang sebelumnya berupa ukiran kayu yang mirip mahluk hidup kemudian diganti dengan kulit sapi agar kemiripannya jauh berkurang. Ini dilakukan karena dalam ajaran Islam ada larangan untuk mengambar atau membuat patung yang mirip dengan mahluk hidup. Kedua, memasukan nilai Islam kedalam unsur cerita dalam pewayangan. Caranya dengan mempersonifikasikan atau memanusiakan tokohtokoh "pandawa Lima" seperti: Puntadewa atau Samiaji sebagai saudara tua (anak sulung) dari pandawa karena kalimat syahadat adalah rukun Islam yang pertama. Didalam cerita wayang, sifat-sifat Puntadewa sebagai raja (Syahadat bagaikan rajanya rukun Islam) yang memiliki sikap "berbudi bawa leksana, berbudi luhur dan penuh kewibawaan. Seorang raja yang arif bijaksana, adil dalam ucapan dan perbuatan lviii (al-adlu), sebagai pengejawantahan dari kalimat syahadat yang selamanya mengilhami kearifan dan keadilan. Puntadewa memimpin keempat saudaranya dalam suka duka dan penuh kasih saying. Demikian pula dalam rukun Islam kalimat Syahadat adalah rajanya, karena biarpun seseorang menjalankan rukun Islam yang kedua, ketiga, keempat,dan kelima namun tidak menjalankan rukun Islam yang pertama maka seluruh amalnya akan sia-sia. Terlebih orang akan menyebutnya sebagai seorang yang munafik (hipokrit). Prabu Puntadewa tidak pernah mati selama ia memiliki azimat "Kalimosodo" (kalimat syahadat atau syahadatain), senantiasa unggul dalam setiap perjuangan dan selalu ikhlas dan menyayangi rakyatnya. Bima atau Werkudara dipersonofikasikan sebagai rukun Islam yang kedua yaitu Shalat lima waktu. Dalam kisah pewayangan bima terkenal sebagai penegak pandawa. Ia hanya bisa berdiri saja, karena memang tidak bisa duduk, konon menurut ki Dalang tidurpun Bima dengan berdiri. Seperti halnya hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya: "Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menjalankanya maka ia menegakkan Islam dan barang siapa yang meninggalkanya maka ia merobohkan Islam". Dalam kehidupanya sehari-hari Bima selalu menggunakan "bahasa ngoko" atau bahasa jawa kasar bail itu kepada Dewa, pendeta, kiayi dan lain-lain. Sebagai lambang rukun Islam yang kedua shalat lima waktu maka shalat berlaku terhadap siapapun, kapanpun dan dimanapun. Arjuna atau Janoko dipersonifikasikan sebagai rukun Islam yang ketiga yaitu Zakat. Dalam cerita pewayangan dia disebut sebagai "lelananging Jagad" lix (lelaki pilihan). Nama Arjuna berasal dari kata "Jun" yang artinya jambangan. Benda ini merupakan symbol jiwa yang bersih. Banyak wanita yang "nandhang gandrung kapirangu lan kapilayu" (tergila-gila) kepadanya. Arjuna memiliki sifat yang sangat lemah lembut, terlebih terhadap kaum wanita dia sangat tidak bisa mengatakan "tidak" (seperti orang Jawa pada umumnya diluar mengatakan tidak padahal batinya mengiyakan). Dengan kehalusan dan kelembutan Arjuna maka ia terlihat lemah dan tidak berdaya, namun sebenarnya dibalik kelemahan dan kehalusanya terdapat kekuatan yang sangat luarbiasa. Terbukti Arjuna selalu unggul didalam setiap pertempuran. Maka demikianlah Zakat sebagai rukun Islam yang ketiga yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim disini juga mengandung arti agar setiap muslim dimanapun berada agar berjuang untuk mendapatkan rizqi dan kekayaan. Setiap orang pasti menginginkan "mas peci raja brana" (harta kekayaan dan lain-lainya). Maka agar harta itu berfungsi sosial dan pembersih maka harus di Zakati supaya suci dan bersih lahir batinya. Nakula dan Sadewa dipersonifikasikan sebagai rukun Islam yang keempat dan kelima yaitu Puasa ramadhan dan haji. Kedua tokoh ini hanya bertemu pada saat-saat tertentu saja. Demikian juga dengan puasa Ramadhan dan haji tidak setiap hari dikerjakan. Hanya dikerjakan dalam waktu tertentu misalnya Puasa setahun sekali pada bulan Ramadhan, dan haji juga setahun sekali pada bulan dzulhijah di mekah al-Mukaromah. Pandawa bukanlah pandawa tanpa si kembar nakula sadewa, meskipun mereka ini lahir dari ibu yang lain, Dewi Madrim yang ikut "labuh geni" (menceburkan diri kedalam api bila suaminya meninggal lx menurut tradisi Hindu) dengan suaminya pandu Dewanata. Memang demikian puasa ramadhan dan haji lahir pada bulan-bulan tertentu (ramadhan dan zulhijah). Penghormatan terhadap budaya lokal juga ditunjukan oleh Sunan Kudus. Peninggalannya sampai sekar daerah jawa tengah masih mengikuti tradsi tersebut dengan cara tidak makan daging sapi. Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.47 Berbagai bukti-bukti diatas, menunjukkan penerimaan walisanga terhadap budaya lokal merupakan satu indikasi pemahaman yang kuat bahwa kepulauan nusantara memiliki keragaman budaya dan agama. Maka Walisanga memperlakukan objek dakwahnya tidak keras terhadap kebudayaan-kebudayaan yang tumbuh dan berkembang bersama agama Budha dan Hindu. Walisanga 47 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, cet. I, 1989), h. 92. lxi justru secara cerdas menjadikan kultur masyarakat yang ada itu sebagai salah satu strategi dakwahnya dalam mendekati objek dakwahnya. Pendekatan yang diambil inilah membuat gerakan dakwah seperti ikut mengalir dalam arus yang ada, tapi terus memberikan warna terhadapnya. Adapaun warna yang dimaksud adalah warna keislaman, dengan tanpa melakukan pembersihan terhadap tardisi lokal. Pendekatan kultur ini pula menjadi babak baru sebagai model dakwah penyebaran Islam yang berhasil secara gemilang tanpa dilakukan dengan kekuatan politik atau militer. Dengan melihat warisan yang begitu baik dari walisanga dalam menyampaikan Islam, maka sudah menjadi keharusan bagi kita untuk melestarikannya. Bukan saja karena keberhasilannya yang gemilang dalam proses Islamisasi, tapi lebih dari itu bagaimana mereka wujudkan itu dengan tetap menghomati budaya yang telah berkembang dalam masyarakat. Inilah seharusnya menjadi teladan bagi penggiat dakwah dalam menyampaikan kebenaran Islam secara cerdas dan bermartabat. 7. Fenomena Dakwah kontemporer Perkembangan dakwah di Indonesia dewasa ini secara umum sulit dinilai apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan oleh praktisi dakwah. Ini terjadi bukan karena berhentinya proses dakwah itu, melainkan sangat sulit untuk menentukan ukuran-ukuran yang tepat sebagai standarisasi keberhasilan dakwah secara menyeluruh. Memang secara sederhana keberhasilan dakwah dikatakan telah berhasil jika tujuan dakwah telah tercapai. Namun kalau yang menjadi lxii ukuran adalah dari segala sisi kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan ekonomi artinya tidak un sich dalam bidang agama maka kiranya masih jauh dirasakan keberhasilannya. Memang harus diakui secara jujur bahwa perkembangan pengajianpengajian atau majelis taklim sekarang ini sedang mengalami ghiroh yang tinggi. Ambil contoh di Jakarta banyak bermunculan pengajian-pengajian seperti Majelis Rosulullah yang di pimpin Habib Mundzir Al-Musawwa atau Nurul Mustofa yang diasuh Habib Hasan bin Ja’far Assegaf. Pada malam minggu akan dijumpai arakarakan para pemuda-pemudi dengan menggunakan motor atau mobil untuk menghadiri tempat-tempat pengajian tersebut. Belum lagi majelis taklim yang biasanya gencar dilakukan para ibu-ibu yang jumlahnya mencapai ribuan. Tentu fenomena itu harus diberi apresiasi yang tinggi apalagi ini terjadi di Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Tidak hanya pengajian yang bersifat tabligh konvensional. Para da’i juga merambah kedunia teleivisi sebagai alat atau media dalam menyampaikan dakwahnya. Ini tentu menarik karena jangkauan media yang tidak hanya bersifat lokal dan temporal namun juga bisa dinikmati mad’u di berbagai daerah. Maka tidak heran kita mengenal tokoh da’i kondang seperti KH. Abdullah Gymnastiar, Ust. Jefry Al-Bukhori, Ust. Mansyur atau Ust. Arifin Ilham yang beberapa tahun terakhir menghiasi layar kaca televisi. Kalau dulu kita kita mengenal Zainuddin MZ maka sekarang ini estafet dakwah di media diteruskan oleh ketiga da’i tersebut. lxiii Malahan trend yang terjadi sekarang muncul da’i karbitan yang namanya di besarkan oleh media sebagai bagian dari kepentingan bisnis semata. Saking populernya da’i tersebut di media televisi tidak jarang para da’i lebih terasa lekat menjadi sebagai selebriti dari pada sebagai penyuluh agama. Inilah yang harus menjadi perhatian para penggiat dakwah agar tetap menjaga jarak dengan media. Tentu kita tidak menginginkan kasus yang terjadi kepada K.H. Abdullah Gymnastiar tidak terulang lagi. Hanya karena kasus poligami yang dilakukannya terjadi aksi boikot sekaligus pemutusan kontrak kerja dengan beberapa stasiun TV. Dalam sekejap pesona kyai dari kota Parahiyangan pun mulai meredup. Selain perkembangan yang cukup menjajikan diatas terdapat pula keprihatinan yang perlu diperhatikan secara serius. Banyak kita jumpai saat ini para da’i lebih sering menabur benih-benih kebencian kepada setiap kelompok yang berbeda, entah itu kepada sesama muslim atau dengan kelompok agama lain. Sebelum reformasi kita tentu dapat memahami jika para mubaligh sering bicara keras bahkan terkesan menantang dan provokatif. Tapi semua itu ditujukan kepada penguasa negeri ini yang saat itu berbuat tidak adil, korup, nepotisme dan melakukan penindasan kepada rakyat. Sekarang, konteksnya bergeser kepada upaya untuk melakukan pemaksaan kehendak kepada kelompok minoritas yang berbeda pandangan, entah itu sesama muslim atau kepada umat baragama lain. Kemudian yang perlu disorot lagi adalah materi-materi khutbah yang di sampaikan para khatib pada sholat jumat, terutama di Jakarta. Apa yang disampaikan para khatib seringkali cenderung provokatif dan berupaya untuk menjelek-jelekkan pihak lain. Perkataan yang kurang pantas seperti hujatan dan lxiv tuduhan juga meluncur dari mulut mereka. Padahal jelas masjid secara etis adalah milik semua golongan Islam. Oleh karenanya pada waktu sholat jumat berlangsung, semua jamaah melepaskan diri dari sekat-sekat organisasi sosial maupun politik ataupun madzahab yang dikutinya. Namun sayangnya perilaku para khatib tidak bisa menghargai perbedaan-perbedaan para jamaahnya yang berafiliasi dengan kelompok tertentu. Hujatan, tuduhan, dan mejelekkkan kepada kelompok maupun tokoh-tokoh tertentu sering dilancarkan para khatib. Selain itu, materi khutbah sekarang ini banyak mengambil isu-isu kontemporer yang masih menjadi perdebatan di dalam masyarakat. Jika kondisi ini terus berlangsung sungguh membahayakan bagi persatuan umat dan keberlangsungan toleransi yang telah terjaga selama ini. Bisa jadi masjid pada saatnya nanti masjid menjadi terkotak-kotak untuk komunitas jamaah terbatas yang sesuai paham yang diusungnya. C. Teori Pluralisme 1. Pengertian Pluralisme dalam bahasa Inggris berasal dari kata plural berarti jamak atau banyak48, secara sederhana dapat dimaknai sebagai sikap yang menyadari adanya kemajemukan masyarakat, baik dari segi etnis, bahasa, agama, gender, maupun bangsa. Bisa pula sebagai sikap sadar terhadap kemajemukan agama- 48 Jhon M. Echol dan Hasan Shadiliy, (ed.), “plur”, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), Cet. Ke-23, h. 435 lxv agama sebagai kenyataan yang tak dapat dielakkan, sesuatu yang hadir di depan mata. 49 Pluralitas dapat diartikan sebagai agama, kebangsaan, pandangan politik, yuridiksi politik, dan pendapat perseorangan, yang kesemuanya berkumpul bersama di dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itu, berbicara mengenai pluralisme di dalam masyarakat Muslim adalah berbicara mengenai kemerdekaan dan demokrasi.50 Dengan alasan kehati-hatian, ada yang membedakan antara kata pluralitas dan pluralisme. Yang pertama sebagai sebuah realitas antropologis, sedangkan yang kedua sebagai pandangan hidup atau sikap hidup.51 Sebagai sebuah realitas antropologis memang tidak bisa di sangkal bahwa kemajemukan yang ada di bumi ini justru menjadi sebuah pertanda akan kekuasaan Allah yang tidak terbatas. Pada posisi ini pluralitas sesungguhnya lebih di terima oleh semua golongan. Namun, perdebatan baru akan muncul ketika membahas pluralisme sebagai pandangan atau sikap hidup. Kelompok pengusung faham ini menganggap bahwa penerimaan sekaligus penyebaran terhadap pluralisme menjadi agenda penting di saat banyak kekerasan terjadi di banyak tempat yang mendasarkan atas nama agama. Namun bagi kelompok yang menolak faham ini berpendapat bahwa penyebaran faham pluralisme adalah sebagai upaya barat untuk melakukan pendangkalan agama karena 49 Bahtiar Effendi dan Hendro Prasetyo (ed.), Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM-IAIN Jakarta, 1998), h.86-87 50 Mohamad Shahrour, diakses pada tanggal 27 Juni 2008 www.mediaisnet.com 51 Komarudin Hidayat lxvi sangat kental terhadap faham relativisme. Apalagi, kelahirannya muncul dari tradisi keagamaan yang terjadi di barat atau ke-kristenan. Kata pluralisme muncul menjadi konsep pertama kali terjadi dalam tradisi kehidupan dunia Barat. Kemunculannya dilatarbelakangi oleh timbulnya gerakan protestantisme yang dipimpin Martin Luther (1546), tokoh yang berusaha melansir pembaharuan keagamaan dalam tubuh gereja lantaran merasa terkungkung dalam hirarki gereja dan kekuasaan politik yang menutup kebebasan berpikir dan ekspresi masyarakatnya. Sejak abad pertengahan (abad ke-5 dan ke-16), muncul sejumlah gerakan pemberontakan terhadap Gereja Katolik Roma dan akhirnya berhasil menyatukan Eropa Kristen. Pada masa itu, perang agama-agama yang dahsyat merebak dan telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, kerajaan, dan berbagai imperium.52 Menurut Richard J. Mouw (1993), pluralisme adalah paham mengenai kemajemukan, dalam pengertian ini pluralisme dapat dikondisikan ketika seseorang memiliki keyakinan bahwa di sana ada sesuatu yang penting, dapat dikatakan bahwa yang bercorak banyak sebagai anugerah.53 Senada dengan itu, John Hick mengatakan: ”Aneka ragam agama merupakan berbagai aliran pengalaman keagamaan yang berbeda di mana masing-masing bermula pada episode yang berbeda dalam sejarah manusia yang kemudian memekarkan kesadaran logis di dalam sebuah ruang kebudayaan.” Di sini Hick hendak menyatakan bahwa agama berbeda karena ia lahir dalam ruang sejarah dan budaya 52 Bahtiar Effendi dan Hendro Prasetyo (ed.), Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM-IAIN Jakarta, 1998), h.86-87 53 Fathimah Usman, Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama, (Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 64 lxvii yang berbeda. Tapi perbedaan itu bertemu pada satu persepsi tentang sebuah hakekat yang misterius. Jhon Hick menyimpulkan bahwa pluralisme agama adalah sesuatu yang rasional karena mampu memberikan penegasan tentang realitas alam yang secara substansial benar, berkembang, tepat, dan jalan bagi penyelamatan masa depan.54 Untuk itu masa depan bangsa kita masih sangat tergantung pada sejauh mana hubungan antar umat beragama tercipta, di tengah pluralitas agama. Karena pluralitas agama sendiri, menurut Harold Coward, sebagaimana dikutip Sukidi, masih merupakan tantangan khusus bagi agamaagama.55 Bila ditelusuri secara mendalam, pemikiran sinkretis yang berupaya menyamakan semua agama, pada dasarnya adalah bentuk pelecehan terhadap agama. Pemikiran sinkretis semacam itu juga pernah dikembangkan oleh kelompok organisasi rahasia Yahudi Free Masonry. Kelompok ini pernah mendirikan perkumpulan teosofi di Indonesia dengan nama Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (Perkumpulan Teosofi Hindia Belanda, yang merupakan cabang dari perkumpulan teosofi yang bermarkas di Adyar, Madras, India (Saidi, 1994: 10-13)56 Penyangkalan sekaligus tuduhan bahwa pluralisme adalah bentuk menyamakan agama dalam segala hal adalah sikap yang jelas-jelas tidak mau tahu sekaligus menutup mata terhadap realitas yang ada. Sebagaimana Adian 54 Ibid, h. 71 Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001) h. 5 56 Adian Husaini “Teologi Pluralis yang Merusak (Kerukunan) Agama” Artikel diakses 55 pada 29 Juni 2008 [email protected] lxviii Husaini mengatakan bahwa Pluralisme adalah bentuk lain dari menyamakan semua agama yang menurutnya merupakan suatu tindakan pelecehan terhadap agama. Bagaimana mungkin suatu usaha untuk memahamai realitas agama yang berbeda dengan tujuan saling mengenal dan menghormati justru disebut sebagai sebagai tindakan pelecehan terhadap agama. Bukankah perbedaan itu justru telah diciptakan oleh yang maha tunggal Allah SWT. Penerimaan terhadap agama-agama tidak lepas dari keterbatasan manusia dari memahami kesempurnaan Tuhan. Perbedaan justru menunjukan betapa kayanya Tuhan. “Tuhan terlalu kaya dan sangat tak terbatas sehingga tradisi suatu agama yang tentu saja memilki keterbatasan, tidak akan menimba secara tuntas kesempurnaan Tuhan.” Kepenuhan Tuhan lebih baik terungkap melalui pluralitas agama dari pada hanya oleh satu agama. Jadi pluralisme agama lebih merupakan pada pengakuan akan keterbatasan manusia dalam menangkap kepenuhan Tuhan. Keterbatasan ini tidak lantas mengurangi otentisitas kebenaran suatu agama dalam peranannya sebagai jalan keselamatan pemeluknya. Agama sejauh sebagai lembaga atau sistim kepercayaan, praktik dan nilai adalah juga fenomena empiris (sosio-sejarawi). Maka agama menyisakan keberatan bila dimutlakan. Dalam setiap agama, terjadi proses intstitusionalisasi konsep dari orientasi personal ke sebuah ideal, lalu abstraksi (WC. Smith. 1962:131) dan konsepsi ideal ke konsep logis kebenaran. Dalam proses penafsiaran itu, terselip berbagai kepentingan. lxix Pewahyuan Tuhan memang mutlak, namun kemampuan manusia menangkap wahyu itu terbatas. Terbatas juga kemampuan menagkap misteri agama lain.57 Sebagaimana dikutip Zuhairi Misrawi dalam bukunya Al-Quran Kitab Toleransi Diana L. Eck pimpinan pluralism project. Harvard University memberikan penjelasan perihal bagaimana sesungguhnya posisi pluralisme. Upaya ini sekaligus untuk menjelaskan dan membantah anggapan bahwa pluralisme sama dengan paham menyamakan agama-agama yang ada. Ada tiga poin yang diuraikan secara baik mengenai pluralisme: Pluaralisme adalah keterlibatan aktif (active engagement) ditengah keragaman dan perbedaan.58 Kedua, pluralisme lebih dari sekedar toleransi. Dalam toleransi akan lahir sebuah kesadaran akan pentingnya menghargai orang lain. Tapi pluralisme ingin melampaui capaian tersebut, yaitu menjadi sebuah upaya memahami yang lain sebagai sebuah pemahaman yang kontrukstif (contructive understanding). Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme. Pluralisme adalah upaya untuk menemukan komitmen bersama diantara pelbagai komitmen (encounter commitmens). Dari ketiga poin tersebut sedikit terjawab apa dan bagaimana sesungguhnya pluralisme itu. Pluralisme bukanlah paham yang menyakini bahwa setiap agama itu sama. Pluralisme adalah paham yang secara jelas mendorong agar keragaman dijadikan sebagai potensi untuk membangun toleransi, kerukunan dan kebersamaan.59 Pluralisme juga bukan relativisme sebagaimana dituduhkan. Karena justru pluralisme menghargai komitmen dan keyakinan dari setiap agama 57 Haryatmoko, “Mencoba Menafsir Pluralisme”, Kompas, (Jakarta), 20 Agusutus 2005 58 Zuhairi Misrawi, “Al-Quran Kitab Toleransi”, (Jakarta: Fitrah, 2007) h.207 Ibid h.208 h.6 59 lxx yang ada. Adapun yang dimaksud membangun kebersamaan hanya sebatas dalam bidang sosial dan bukan akidah. Berbagai pendapat diatas seakan menampik dengan keras apa yang dipahami MUI tentang pluralisme. Dalam fatwanya MUI menyatakan bahwa paham-paham semacam pluralisme hukumnya adalah haram karena lebih mengarah kepada faham relativesme yang ujungnya menyamakan semua ajaran agama yang ada. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa silang pendapat itu terjadi dari sisi terminologis dan ada kecenderungan penolakan tersebut karena lahirnya faham pluralisme berasal dari peradaban barat. Polemik tentang diharamkannya faham pluralisme itu sebenarnya memiliki implikasi yang begitu luas ditengah masyarakat. Tidak hanya terbatas pada upaya untuk membatasi kebebasan berfikir saja tapi lebih dari itu ada upaya-upaya kelompok massa tertentu untuk melakukan upaya intimidasi terhadap kelompok yang memperjuangkan pentingnya pluralisme. Kesemuanya itu ditenggarai dilakukan atas landasan fatwa yang dikeluarkan MUI. Kalau dulu sebelum reformasi pemasungan akal dilakukan oleh penguasa yang sedang berkuasa pada waktu itu, maka kini tindakan pemaksaaan, dan pelarangan kebebasan berfikir justru dilakukan oleh sebuah lembaga agama yang sebenarnya tidak memiliki wewenang karena tidak masuk dalam struktur ketatanegaraan kita. Perihal fatwa yang kini marak dikeluarkan oleh MUI, Khaled Abou elFadl, seorang pakar hukum dari University of California Los Angles (UCLA) berpendapat, Bahwa salah satu kelemahan fatwa tentang persoalan kekinian adalah hilangnya ketelitian, kesungguhan, kemenyeluruhan dan kejujuran dalam lxxi membedah sebuah persoalan. Akibatnya, yang muncul bukanlah pandanganpandangan yang otoritatif. Mereka sebenarnya bukan berbicara tentang Tuhan, akan tetapi berbicara “atas nama Tuhan”.60 Akhirnya pluralisme melampaui fundamentalimse yang berkutat pada setiap agama. Agama yang pada mulanya hanya berkutat pada dimensi hukum (heretical imperative) menuju dimensi pelayanan yang dilakukan secara sukarela (Voulentary imperative). Semua agama mempunyai potensi untuk melakukan halhal yang berkaitan dengan dimensi kemanusiaan. Baik Islam Maupun Kristen sama-sama memiliki potensi untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan dimensi kemanusiaan.61 2. Pluralisme Dalam Al-Quran Kehancuran menara kembar WTC yang menjadi simbol kekuatan ekonomi Amerika Serikat menandai kambali terkoreksinya hubungan antara barat (Kristen) dengan timur (Islam). Peristiwa yang dikenal September kelabu itu seakan membuka mata semua pihak teutama para agamawan. Ada sesuatu yang salah dalam mengartikan agama jika memang pengeboman yang di maksud sebagai bagian dari perintah agama. Apalagi muncul dugaan kuat para pelaku yang melakukan peledakan itu diidentifikasi sebagai fundamentalisme muslim pimpinan Osama bin laden yang tidak puas atas kebijakan USA diberbagai Negara Muslim terutama kasus Timur- Tengah. Meskipun sampai kini belum ada pelaku yang diadili atas peristiwa itu, Bush telah meniup sangkakala perang terhadap teroris. Maka terjadilah aksi balas dendam sebagai bagian dari operasi teroris 60 61 Ibid h.211 Ibid h.209 lxxii dengan menginfasi negara berdaulat Irak dan Afganistan yang dianggap sebagai sarang dan berkembangnya teroris. Akibat buruk yang di terima umat Islam dari peristiwa itu berkembangnya stigma bahwa islam adalah agama teroris yang intolerar terhadap setiap perbedaan. Agama yang sama sekali tidak sejalan dengan pencapaian barat atau tradisi barat saat ini. Bahkan, berbagai pihak menuduh Islam tidak sejalan dengan nilai-nilai universal yang dikampanyekan PBB terkait persoalan HAM. Stigma tidak adil tersebut lantas dibarengi dengan penyerangan negeri berpenduduk muslim dalam hal ini Irak dan Afganistan. Bukan berhasil melemahkan aksi-aksi brutal dari fundamentalisme Islam, namun yang terjadi aksi terorisme justru menyebar ke berbagai Negara dengan target-target orang-orang atau fasilitas yang dimiliki Amerika dan sekutunya. Indonesia , negeri yang sesungguhnya jauh dari wilayah konflik juga terkena imbas dari teror trans nasional itu. Yang paling mengejutkan tentu bom bunuh diri Bali satu dengan memakan korban ratusan orang kemudian dilanjutkan bom bali dua, peledakan JW Marriot, kedutaan Australia dan beberapa tempat lain juga tidak luput dari ancaman. Pada saat yang sama peristiwa tersebut justru mensahihkan tesis Samuel P. Huntington mengenai adanya clash of civilizations. Dalam pandangannya, Huntington menyebutkan, antara Barat dan Islam sesungguhnya tidak ada persoalan. Barat hanya mempersoalkan Islam ekstrimis. Tapi satu hal yang menurutnya tidak bisa diabaikan adalah hubungan antara Kristen dan Islam. Ia mengutip sejarah sejak abad pertengahan sampai pada akhir kekuasaan dinasti lxxiii Ottoman perihal relasi yang kurang baik antara Islam dan Kristen. Keduanya telah mengklaim sebagai agama universal, yang mana setiap manusia dapat dipengaruhi untuk memilih agama diantara keduanya. Runtuhnya komunis Soviet juga menyebabkan lahirnya anggapan bahwa tantangan berikutnya bagi Barat adalah Islam. Salah satu alasannya adalah karena antara Barat dan Islam sama-sama memilki spirit untuk saling mengungguli.62 Bahkan sebagai respon seriusnya terhadap peristiwa 11 September tersebut, seorang orientalis Robert Spencer berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan Osamah bin Laden justru telah mengamalkan ajarannya dengan benar dan bukan membajak agamanya sebagaimana diyakini banyak orang. Karena apa yang dilakukannya juga terdapat dalam perintah al-Quran dan Hadist. Lebih lanjut Spencer menyakini semua aspek agama Islam dari sejak doktrin, tradisi, sejarah hingga isu-isu kontemporer dia kritik. Melalui pertanyaannya seperti: Apakah Islam agama damai? Apakah Islam sesuai demokrasi? Apakah Islam agama toleran? Apakah Islam melindungi perempuan? Dan apakah ilmu pengetahuan dapat berkembang dibawah Islam? Semua pertanyaan itu dijawab dengan sangat menyakinkan: Tidak!63 Sudah barang tentu kesimpulan yang demikian terasa tergesa-gesa. Karena pertama, bahwa faktanya sejauh ini peristiwa 11 September belum diketahui pasti siapa pelaku sesungguhnya. Adapun penyebutan Osamah sebagai dalang dibalik peristiwa itupun tidak disertai bukti-bukti nyata. Kedua, sebagaimana umat Nasrani, Muslim juga tidak boleh dilihat pada satu realitas 62 Ibid h. 489 Robert Spencer, Islam ditelanjangi. Penerjemah Mun’im A. Sirry ( Jakarta: Paramadina, 2003) h.viii 63 lxxiv tunggal yang monolitik yang kemudian menafikan fakta bahwa sebagian besar umat Islam adalah moderat, inklusif sekaligus terbuka terhadap perbedaan. Untuk membuktikan bagaimana Islam menerima perbedaan sebagai suatu realiatas yang tak terbantahkan al-Qu’ran sesungguhnya telah menjelaskan dengan secara baik. Pluralisme atau kemajemukan merupakan kehendak Tuhan (sunatullah).64 Hal ini sesuai ayat 13 dalam surat Al-Hujurat yang menyatakan: Artinya: “Wahai manusia, kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan kami ciptakan kamu dalam bentuk suku dan bangsa supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kamu. Sungguh Allah Mahatahu dan Maha waspada.” (Q. S. Al-Hujurat [49]: 13). Dalam ayat ini Allah terang menegaskan bahwa Ia telah berkehendak untuk menciptakan manusia beragam, tidak tunggal. Keberagaman itu tidak lain dan tidak bukan ditujukan untuk saling mengenal, saling dialog dan saling bekerja sama. Karena dengan saling mengenal, dialog dan kerjasama, keselarasan akan tercipta dan keharmonisan akan lestari di muka bumi ini. Sejak awal sesungguhnya Islam telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana bersikap terhadap setiap perbedaan. Inilah yang menjadi pondasi bagi umat Islam dalam membangun relasi dengan umat beragama lain. Bahwa perbedaan adalah garis 64 Ibid, h. 4 lxxv takdir Allah sehingga setiap umat muslim wajib untuk menerima garis itu sebagai upaya untuk saling mengenal diantara sesama ciptaan-Nya. Sesungguhnya jika mau merujuk ayat diatas tidak mungkin ada sikap-sikap atau anggapan bahwa umat Isl fundamentalisme adalah ajaran Al-Quran itu sendiri. Namun juga tidak bisa di sangkal pula, jika anggapan itu muncul karena memang faktanya sebagaian kaum fundamentalisme ekstrimis dalam melakukan aksi terornya sering kali membajak al-Quran dan hadist sebagai dasar pembenarannya. Penegasan surat al-Hujarat ayat 13 tersebut, merupakan bukti betapa alQuran telah memberikan informasi awal yang penting untuk diketahui umat manusia perihal adanya perbedaan. Ini senada dengan keyakinan Gamal al-Banna bahwa sesungguhnya al-Quran merupakan refrensi paling otentik bagi pluralisme. Dengan kata lain, bahwa al-Quran adalah pondasi bagi pluralisme dalam Islam.65 Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa al-Quran tidak pernah menghendaki manusia menjadi umat satu yang diatur oleh satu konfersi atau satu gagasan. Pendapat ini membuktikan fakta sejarah yang berlangsung dalam tradisi Islam tentang perbedaan pendapat adalah suatu hal yang biasa. Dalam tradisi Ilmu Fikih jelas sekali gambaran perbedaan tersebut, yaitu dengan lahirnya banyak madzhab dalam Islam. Belum lagi sepeninggal Nabi telah terjadi perpecahan diantara Umat Islam yang membentuk firkah sendiri dengan ragam teologis yang ditawarkan. Bahkan hal ini telah diperingatkan oleh Nabi sendiri bahwa suatu hari nanti Umat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. 65 Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam al-Quran, (Jakarta, Menara,2006)h.13 lxxvi Namun sayangnya ajaran agung tentang kemanusiaan yang jelas ini seakan belum mampu untuk menundukkan pikiran dan prilaku kelompok-kelompok yang mengingkari realitas pluralitas. Dari sinilah sebenarnya pikiran subur kelompok garis keras atau kelompok literalis dengan meminggirkan realitas yang ada. Mereka seringkali tidak mau tahu bagaimana kondisi sosial dalam ruang dan waktu dapat selalu berubah. Untuk lingkup agama ada dua komitmen yang harus dipegang untuk melakukan semua itu. Pertama adalah toleransi, dan kedua adalah pluralisme.66 Karena itu Allah dalam ayat lain lebih spesifik menekankan dua komitmen ini. Umat Islam dituntut untuk terbuka akan keimanan orang di luar Islam. Agama menjadi sebuah pilihan bebas tanpa paksaan. Allah berfirman: Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah[2]:256) Pada surat lain Allah menegaskan: 66 Alwi Sihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung, Mizan, 1997) h. 41 lxxvii Artinya: “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS AlKafirun[109]: 6). Betapa Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap perbedaan agama yang ada. Itu menjadi bagi Bahkan keseriusan Al-Quran dalam mengakomodasi perbedaan agama ditujukan dengan jaminan Allah kepada orang beriman, orang nasrani dan shabi’in yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir serta melakukan amal kebaikan akan diganjar pula dengan pahala sesuai amalnya. Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan diberi petunjuk, orang nasrani, shabi’in, yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh, maka bagi mereka pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada ketakutan serta kekhawatiran atas mereka.” (QS AlBaqarah[2]:62) Dalam kitab Ashbab al-Nuzul, Imam al-Wahidi menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut, bahwa suatu hari Salaman al-Farisi mendatangi Raasulullah SAW menceritakan penduduk al-dayr, yang mana mereka melakukan sembahyang, puasa, dan bersaksi tentang kenabian Muhammad SAW. Lalu Rasulallah berkata kepada Salman, “Mereka adalah penduduk neraka”. Tapi kemudian Allah menegur Rosulullah dengan teurunnya ayat tersebut. lxxviii Pembuktian akan kebebasan manusia dalam memilih untuk beriman atau tidak beriman juga ditegaskan Allah dalam al-Quran. Ayat ini sekaligus menyangkal pendapat bahwa Islam tidak bisa menerima keberadaan agama lain dalam kehidupan di dunia. Artinya: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah engkau memaksa semua manusia supaya mereka menjadi orang-orang mukmin semuanya, padahal tidak ada satu jiwa pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kekotoran jkepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnay.” (QS Al-Yunus[10]:99-100) Bukti nyata perihal pluralisme ini sekaligus di tegaskan dalam ayat di atas seandainya Allah menginginkan maka akan diciptakan-Nya satu umat saja. Namun demikan Allah tidak menghendaki yang demikian itu terjadi. Yang dikehendaki-Nya adalah mahluk ciptaannya disuruh untuk berlomba-lomba melakukan amal kebaikan. Kondisi persaiangan untuk meraih yang terbaik akan terjadi jika terdapat perbedan-perbedaan manusia terdapat di dalamnya. 3. Praktek Pluralisme Nabi Muhammad SAW. Salah satu basis keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW. adalah menjunjung tinggi sisi kemanusia Hampir seluruh wilayah jazirah arab waktu itu dapat menerima ajaran Nabi Muhammad. Keberhasilan tersebut karena Nabi Muhammad SAW. sangat mengerti betul tugas kerasulannya sebagaimana yang diperinthakan Allah: lxxix Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (A-Anbiya’[21]:107 Bila dicermati ayat tersebut adalah penjabaran dari basmalah. Karena Allah adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sudah semestinya bila Rosulullah SAW membawa misi kasih sayang bagi seluruh semesta alam. Inilah landasan Nabi dalam dakwahnya yang menekankan aspek kasih sayang dan bukan dengan hawa nafsu yang dipenuhi kebencian dan amarah terhadap umatnya. Banyak sekali contoh kehidupan Nabi dalam bersikap terhadap orang-orang yang membencinya dan melakukan penghinaan terhadap diri Nabi Muhammad. Semua itu tentu dilakukan atas dasar ahlak mulia yang tertanam didalamnya. Maka tidak heran ketika masih usia muda Nabi Muhammad SAW sudah mendapat pengakuan dari masyarakatnya dengan memberikannya gelar Al-Amin, orang yang dipercaya. Kejujuran dan keadilan itu pula membuat Siti Khadijah, seorang saudagar kaya, memberikan kepercayaan kepada Nabi Muhammad untuk melakukan perdagangan. Maka sangat wajar pada usia mudanya, Nabi Muhammad, sebelum masa kenabiannya, sangat dihormati oleh pembesarpembesar Quraisy karena kejujuran dan kesantunan prilakunya. Dari praktek Nabi Muhammad SAW kita juga bisa melihat bagaimana toleransi terhadap umat lain ditegakkan. Misalnya pada tahun 628 Nabi Muhammad SAW menurut A. Zahoor dan Z. Haq -sebagaimana disebutkan oleh lxxx Robert Spencer- memberikan piagam prevelise kepada biarawan Kristen dari Biara Santo Catherine. Dalam piagam itu, Nabi berkata kepada umat Kristen, “Sesungguhnya aku, hamba penolong, dan pengikut-pengikutku berusaha untuk membela mereka, karena orang-orang Kristen merupakan wargaku; dan demi Allah! Aku akan berjuang untuk melawan setiap sesuatu yang dapat mengganggu mereka. Tidak ada pemaksaan terhadap mereka.” Di samping itu Nabi juga melarang merusak dan menghancurkan rumah ibadah mereka. Gereja-gereja harus dihormati. Mereka juga tidak boleh dihalang-halangi untuk memperbaiki gerejagereja mereka atau kesucian perjanjian mereka. Dr. Zahoor dan Haq menegaskan bahwa “Piagam yang memberikan hak-hak istimewa ini telah dihormati dan diterapkan secara jujur oleh kaum muslim sepanjang berabad-abad di seluruh negeri yang dikuasai.67 Sejarah telah mencatat bagaimana Nabi Muhammad sangat menghoramti umat nasrani. Itu ditunjukkan ketika kanjeng Nabi Muhammad memerintahkan para sahabat beliau untuk melakukan shalat jenazah untuk Raja Najasyi (Negus) dari Abesinia yang beragama kristen. Hal ini karena Raja Negus telah berjasa besar melindungi Nabi dari penganiayaan para kaum musyrik mekkah. Pertanyaan keheranan para sahabat dijawab dengan firman Allah QS Al Maidah/5:82 yang menegaskan bahwa sedekat-dekat ummat manusia dalam rasa cintanya kepada kaum muslim ialah mereka yang berkata, ”Kami adalah orang-orang nasrani”68 67 Robert Spencer, Islam Ditelanjangi, Penerjemah Mun’im Sirry, (Jakarta: Paramadina, 2003) h. 226-228 68 Artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http://paramadina.wordpress.com/2007/02/25/contoh-pluralisme-jaman-nabi/ lxxxi Teladan Nabi juga tidak berhenti dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan sosial agama. Nabi selain mengemban tugas sebagai seorang Rosul beliau juga sebagai seorang “presiden” madinatul munawaroh. Disinilah letak kenegarawanan yang diperlihatkan Nabi Muhammad SAW dengan menekankan komitmen bersama untuk hidup dalam bangunan satu bangsa, maka dibuatlah Piagam Madinah. Konvensi ini adalah sebuah perjanjian yang mengikat satu sama lain terhadap semua unsur dalam masyarakat untuk membangun bersama warga negara yang baru terbentuk. Dan disebut-sebut Piagam Madinah adalah konstitusi pertama yang lahir dengan menjamin hak warganya untuk saling bersatu dan membantu, sekaligus memberikan kebebasan dalam melaksanakan ajaran agama yang diyakininya. Dengan prinsip-prinsip Piagam Madinah sebagai ”konstitusi negara”, Nabi Muhammad memberikan kebebasan sipil kepada orang-orang Kristen dari Najran yang mendiami Madinah, yaitu menjamin hak hidup mereka, hak milik dan agama mereka, di mana mereka mempunyai kebebasan penuh untuk mengamalkan agama yang mereka yakini.69 Warga negara dapat mengambil contoh kesetiaan dan ketaatan terhadap konstitusi dari sejarah Rasulullah Muhammad yang pernah membuat Piagam Madinah. Para ahli menyebut piagam tersebut sebagai konstitusi pertama di dunia yang ditandatangani oleh 13 suku bersama Muhammad. Setiap muslim saat itu harus tunduk pada piagam, selain tentu saja kepada al-Quran dan 69 M. Fuad Nasar, “Nabi Muhammad SAW Membangun Konsep Umat,”artikel diakses pada 13 Maret 2009 dari http://bimasislam.depag.go.id/?mod=article&op=detail&klik=1&id=258 lxxxii Sunnah Nabi. Bahkan pernah terdapat salah satu suku muslim yang melanggar Piagam Madinah, (suku Qutaibah), dan mendapat hukuman dari Rasulullah. Ketika Romawi yang beragama Kristen mengalami kekalahan dari Persia yang menyembah api (614 M), Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslim merasa sedih, dan Al-Quran turun menghibur mereka dengan menyatakan bahwa dalam jangka waktu tidak lebih dari sembilan tahun, Romawi akan menang, dan ketika itu kaum Mukmin akan bergembira:70 Dalam hal ini al-Quran telah menbadikan kisahnya: Artinya:"Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang) dan di hari (kemenangan bangsa rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang" (QS Al-Rum [30]: 1-5). 4. Konsep Kebangsaan Salah satu bentuk perwujudan politik modern adalah lahirnya konsep kebangsaan. Perwujudan dalam konsep tersebut adalah bersatunya semua unsur 70 Qurais Shihab, Wawasan al-Quran, Artikel diakses pada15 Mei 2009 dari http://media.isnet.org/ lxxxiii yang ada untuk melepaskan identitas primordial kesukuan dan agama kedalam ikatan baru untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam sebuah negara kebangsaan (nation state). Dengan itu maka semua warga negara diberi hak dan kewajiban yang sama dalam memperoleh perlindungan dari negara. Pertama kali paham kebangsaan dperkenalkan kepada umat Islam oleh Napoleon pada saat ekspedisinya ke Mesir. Seperti telah diketahui, setelah Revolusi 1789, Perancis menjadi salah satu negara besar yang berusaha melebarkan sayapnya. Mesir yang ketika itu dikuasai oleh para Mamluk dan berada di bawah naungan kekhalifahan Utsmani, merupakan salah satu wilayah yang diincarnya. Walaupun penguasa-penguasa Mesir itu beragama Islam, tetapi mereka berasal dari keturunan orang-orang Turki. Napoleon mempergunakan sisi ini untuk memisahkan orang-orang Mesir dan menjauhkan mereka dari penguasa dengan menyatakan bahwa orang-orang Mamluk adalah orang asing yang tinggal di Mesir. Dalam maklumatnya, Napoleon memperkenalkan istilah Al-Ummat Al-Mishriyah, sehingga ketika itu istilah baru ini mendampingi istilah yang selama ini telah amat dikenal, yaitu Al-Ummah Al-Islamiyah.71 "Kebangsaan" terbentuk dari kata "bangsa" yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai "kesatuan orang-orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya, 71 serta berpemerintahan sendiri." Quraish Shihab, Kebangsaan, artikel diakses pada 11 Mei 2008 dari http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Kebangsaan3.html lxxxiv Sedangkan kebangsaan diartikan sebagai "ciri-ciri yang menandai golongan bangsa."72 Bangsa adalah suatu kelompok manusia yang dianggap memiliki identitas bersama, dan mempunyai kesamaan bahasa, agama, ideologi, budaya, dan sejarah. Mereka umumnya dianggap memiliki asal-usul keturunan yang sama. Konsep bahwa semua manusia dibagi menjadi kelompok-kelompok bangsa ini merupakan salah satu doktrin paling berpengaruh dalam sejarah. Doktrin ini merupakan doktrin etika dan filsafat, dan merupakan awal dari ideologi nasionalisme.73 Berbangsa, yakni rasa persatuan kesatuan yang lahir secara alamiah oleh kebersamaan sosial yang tumbuh dari kesamaan kebudayaan, sejarah, aspirasi perjuangan masa lampau, dan kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini, serta kesamaan dalam merumuskan cita cita bersama untuk waktu yang akan datang. 74 Kendati paham kebangsaan saat ini menjadi model dapat mempersatukan masyarakat pada sebuah negara. Namun bagi sebagian umat Islam masih mempertanyakan keabsahan konsep kebangsaan, apakah tidak bertentangan dengan terminologi ummatan wahadiah yang terkandung di dalam al-Quran. Bagi sebagian ummat Islam konsep kebangsaan adalah upaya untuk memecah belah 72 Quraish Shihab, Kebangsaan, artikel diakses pada 11 Mei 2008 dari http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Kebangsaan3.html 73 Artikel diakses pada 16 Agustus 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bangsa 74 Peranan Wawasan Kebangsaan Dalam Pembangunan, Artikel diakses pada 19 Mei 2009 dari http://www.tangerangkota.go.id/?tab=berita&tab2=20&hal=2&id=344 lxxxv ummat Islam. Sehingga sangat penting mencari pembenaran dalam nash tentang konsep kebangsaan yang saat ini telah berkembang. Tidak dapat disangkal bahwa Al-Quran memerintahkan persatuan dan kesatuan. Sebagaimana secara jelas pula Kitab suci ini menyatakan bahwa "Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu" (QS Al-Anbiya' [2l]: 92, dan Al-Mu'minun [23]: 52). Inilah yang kemudian berkembang perdebatan para pemikir megenai kata umat yang satu. Bagi Qurais Shihab kata umat adalah menunjukan pada umat Islam saja. Namun bukan berarti harus ada penyatuan umat Islam dalam satu wadah kenegaraan. Hal ini bisa ditunjukkan pada Piagam Madinah (Kitabun Nabi) yang diprakarsai oleh Rasulullah Saw. ketika beliau baru tiba di Madinah yang berisi ketentuan/kesepakatan yang mengikat masyarakat Madinah justru mengelompokkan anggotanya pada suku-suku tertentu, dan masing-masing dinamai ummat. Kemudian, mereka yang berbeda agama itu bersepakat menjalin persatuan ketika membela kota Madinah dari serangan musuh.75 Maka sungguh tidak ada larangan atas persatuan yang berdasarkan perbedaan suku dan agama dalam satu wadah kebangsaan. Ini dibuktikan dengan tidak dilarangnya umat Islam untuk berbuat adil kepada umat lain asal mereka tidak memerangi agama dan mengusir umat Islam. Tegasnya bentuk kerjasama dalam membangun bangsa bukanlah hal terlarang. “Allah tidak melarang kamu 75 Quraish Shihab, Kebangsaan, artikel diakses pada 11 Mei 2008 dari http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Kebangsaan3.html lxxxvi berbuat baik, dan memberi sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orangorang yang memerangi kamu karena agama, mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain mengusirmu”. (QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9). Melihat dasar-dasar diatas, Indonesia sebagai negara yang tersusun dari berbagai ras dan suku, yang kemudian mengikatkan diri untuk menjadi bagian Bangsa Indonesia yang terikat pada perjanjian dalam Pancasila dan UUD 1945. Keterikatan itu harus diwujudkan pada ketundukan semua warga negara terhadap perundangan yang berlaku. Bersama-sama pula dalam mempertahankan keberadaan kedaulatan negara sebagai bagian dari bentuk cinta tanah air. Dengan paham kebangsaan sebagai salah satu asas negara, maka orang Islam, orang Kristen, orang Jawa, orang Batak, orang keturunan Tionghoa, semuanya memiliki perasaan atau kehendak yang sama sebagai satu bangsa Indonesia. Rasa kebangsaan dengan demikian mampu menjadi wahana titik temu (common denominator) keberagaman latar belakang warga negara Indonesia. Dengan kebangsaan, maka kemajemukan bukan menjadi kutukan yang menyeret kita ke dalam perpecahan, tapi justru menjadi faktor yang memperkaya kesatuan atau rasa memiliki (sense of belonging) kita sebagai warga negara Indonesia. Dengan kata lain: kemajemukan justru menjadi anugerah.76 76 AriaBima. Mengayomi Pluralitas dengan Paham Kebangsaan. Diakses pada 27 Januari 2009 dari http://ariabima.blogspot.com/2009/06/mengayomi-pluralitas-dengan- lxxxvii Pada pidato lahirnya Pancasila Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang konsep negara yang menurutnya dapat mencakup semua untuk semua, “Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan di sini, maupun Saudarasaudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat...Kita hendak mendirikan negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan.. Maka, yang selalu mendengung di dalam jiwa saya, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia”. 5. Indonesia, diantara Pluralisme dan Fundamentalisme Dalam satu dasawarsa terkahir, beberapa tragedi kemanusiaan yang memilukan sekaligus mengkhawatirkan berlangsung silih berganti di Indonesia. Serentetan peristiwa kerusuhan sosial (riots) itu telah membelalakkan mata semua orang tentang apa yang sedang terjadi di negara yang dulunya dikenal damai dan ‘adem ayem’ ini. Tidak hanya eskalasi konflik yang kian bertambah, sifat konflik pun berkembang tidak hanya horizontal tetapi juga vertikal. Banyak orang susah mencari penyebab dari semua ini. Kerumitan mengurai penyebab konflik yang mendadak sontak merebak di hampir semua tempat di tanah air berbuntut pada ketidakmampuan menemukan formula jitu bagi sebuah resolusi paham.html lxxxviii konflik yang manjur. Sesuai dengan bentuk, jenis dan eskalasi konflik yang memang beragam, beragam pula faktor penyebabnya. Penyebab konflik dapat berupa faktor politik, kesenjangan ekonomi, kesenjangan budaya, sentimen etnis dan agama. Hanya saja, faktor ekonomi dan politik sering ditunjuk berperan paling dominan dibanding dua faktor yang disebut terakhir. Kendati acap terlihat di lapangan bahwa konflik yang ada kerap menggunakan simbol-simbol agama misalnya pembakaran dan perusakan tempat-tempat ibadah, penyerangan dan pembunuhan terhadap penganut agama tetentu, namun pertentangan agama dan etnis ternyata hanyalah faktor ikutan saja dari penyebab konflik yang lebih kompleks dengan latar belakang sosial, ekonomi dan politik yang pekat.77 Jika pada mulanya agama tumbuh dan dipeluk oleh sekelompok umat secara relatif homogen, sekarang dengan terjadinya ledakan penduduk, kemajuan alat transformasidan teknologi informasi maka perjumpaan antar berbagai pemeluk agama tidak bisa dielakkan. Senang atau tidak senang, kita telah memasuki realitas sosial yang pluralistik dari segi agama, buadaya, bahasa maupun profesi. Hubungan sosial menjadi riuh rendah. Bagi sebagian orang pluralitas dirasakan semakin indah dan menarik, tapi bagi sebagian yang lain dirasakan malah membingungkan. Di Indonesia, citra tentang keharmonisan antar agama dan etnis tiba-tiba buyar dengan terjadinya sederet peristiwa memilukan berkenaan konflik sosial yang melibatkan simbol agama dan etinis mulai dari 77 Sorprapto, Pluralitas, Konflik dan Kearifan Dakwah, Artikel diakses pada 25 Februari 2009 dari www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Suprapto.doc - lxxxix Ambon, Mataram, Poso, Kalimantan dan beberapa daerah lain di negeri ini.78 Konflik-konflik tersebut telah menelan ribuan korban sia-sia dan trauma mengerikan bagi mereka yang ditinggalkan oleh sanak familinya. Apalagi jika konflik yanga ada itu diselimuti dengan simbol-simbol atau perintah atas nama agama maka akibat dari konfliknya akan lebih besar dan menakutkan. Maka dalam konteks ini tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa agama adalah mesin pembunuh paling menakutkan di dunia ini. Suatu gambaran yang menakutkan tentunya untuk keberlangsungan kita sebagai bangsa yang besar. Jika konflik itu terus terpelihara bukan tidak mungkin Indonesia akan bernasib sama seprti Yugoslafia dan Uni Soviet yang terpecahpecah menjadi negara-negara kecil. Tentu keadaan seperti itu tidak diinginkan semua pihak, bagaimanapun juga luas wilayah yang dimilki Indonesia saat ini, masih ampuh untuk dijadikan senjata psikologis bahwa kita adalah negara besar yang tidak boleh dianggap sebelah mata. Meskipun dari sisi ekonomi dan kekuatan militernya masih jauh dari negara-negara maju. Keuntungan lainnya adalah bahwa Indonesia dengan penduduk Islam terbesar di dunia dapat dijadikan model bagi negara-negara Muslim lainnya dalam hal upaya menampilkan Islam yang penuh warna sekaligus moderat. Kelebihan-kelebihan itu bisa menjadi alat diplomasi yang ampuh sebagai representasi dunia Islam dalam usaha-usaha ikut menciptakan perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan pembukaan UUD 1945. 78 Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi:Doktrin dan Peradaban Islan di Panggung Sejarah,(Jakarta: Paramadina, 2003) h. 137 xc Menguatnya kekerasan yang terjadi dalam masyarakat akhir-akhir ini dengan balutan simbol-simbol agama tentu sebuah kerugian besar bagi toleransi yang sedang terus dijaga di negeri ini. Sebagian pengamat menduga bahwa beberapa peristiwa itu tidak berdiri sendiri melainkan ada agenda besar di dalamnya. Agenda yang dimaksud adalah upaya untuk mengusug kembali citacita lama yaitu menegakkan Negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Mereka mengandaikan bahwa solusi terbaik untuk mengahadpi barat yang sewenangwenang terhadap dunia Islam adalah dibentuknya kembali kesatuan politik Islam dibawah payung khilafah Islamiyah. Inilah yang kemudian menjadi obesesi kaum fundamentalis dengan melakukan aksi kekerasan dengan melakukan penyerangan terhadap objek-obejek Amerika di berbagai negara termasuk didalamnya Indonesia. Peristiwa Bom Bali satu contohnya, pelakunya Imam Samudra, berungkali menyatakan kebencian yang amat mendalam kepada tindakan Amerika, menurutnya sebagai Muslim yang baik ia tidak bisa tinggal diam dengan melihat keadaan orang-orang Palestina yang terus terbunuh dan tergusur dari tanahnya. Sehingga Imam Samudera dengan beberapa kelompoknya melakukan bom bunuh diri di Bali sebagai bagian dari bentuk jihad kepada kaum kafir. Menurut Gusdur, lahirnya kelompok-kelompok garis keras tidak bisa dipisahkan dari dua sebab. Pertama, para penganut garis keras tersebut mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena ketertinggalan umat Islam terhadap kemajuan barat dan penetrasi budayanya dan segala ekses yang timbul karenanya. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampat matrialistik budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan cara-cara kekerasan xci untuk menghadapinya. Kedua, kemunculan kelompok-kelompok Islam keras itu tidak terlepas dari adanya pendangkalan agama dari kalangan umat Islam sendiri, terutamanya dari para kaum mudanya. Hal ini bisa di jumpai banyak dari sebagian besar anggota-anggota mereka yang tergabung di dalamnya adalah mereka yang berlatar belakang pendidikan ilmu-ilmu eksata dan ekonomi. Mereka mencukupkan diri interpretasi keagamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual tanpa di diringi dengan pelbagai penafsiran yang ada, kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap teks-teks yang ada.79 Jika pluralisme itu given, sementara konflik adalah sesuatu yang inhern di dalamnya. Pertanyaan selanjutnya bagaimana mengelola pluralitas dan konflik yang ada sehingga menjadi sebuah energi sosial bagi penciptaan tatanan bangsa yang lebih baik. Jawabannya tentu panjang dengan melibatkan pengkajian seluruh faktor yang ada. Akan tetapi terkait dengan kajian ini (memahami pluralitas), ternyata menjaga kerukunan tidak cukup hanya memahami keanekaragaman yang ada di sekitar kita secara apatis dan pasif. Memahami pluralisme meski melibatkan sikap diri secara pluralis pula. Sebuah sikap penuh empati, jujur dan adil menempatkan kepelbagaian, perbedaan pada tempatnya, yaitu dengan menghomati, memahami dan mengakui eksistensi orang lain, sebagaimana menghormati dan mengakui eksistensi diri sendiri.80 79 K.H. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009) h. xxvi 80 Sorprapto, Pluralitas, Konflik dan Kearifan Dakwah, www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Suprapto.doc - xcii Perjuangan untuk membumikan nilai-nilai pluralisme di Indonesia harus terus diupayakan. Karena sikap toleransi tidak mungkin akan muncul tanpa didahuli kesadaran bahwa manusia pada dasarnya tercipta berbeda dari sisi agama, etnis, budaya serta pamahaman terhadap agama yang tentunya sesuai ilmu dan pengalamnnya. Maka sudah seharusnya pemerintah mengambil peran lebih besar untuk mengkampanyekan nilai-nilai pluralisme. xciii BAB III Biografi K.H. Abdurrahman Wahid A. Latar Belakang Keluarga Abdurrahman Wahid yang dikenal luas saat ini sebetulnya bukanlah nama yang diberikan kedua orang tuanya sejak lahir. Nama pemberian Orang tuanya ketika itu adalah Abdurrahman Addakhil. Secara bahasa, "Addakhil" mempunyai arti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol.81 Sebuah harapan yang begitu tinggi dari orang tuanya dengan nama pilihan yang diberikan untuk buah harti mereka. Bagi seorang Muslim pemberian nama tidak semata untuk identitas pembeda namun lebih dari itu, nama mengandung doa dan harapan yang ditunjukan untuk anakanak mereka. Itulah mungkin yang ada dalam benak Wahid Hasyim untuk kelahiran anak sulungnya. Ia berharap suatu kelak nanti anaknya menjadi pribadi yang sangat penyayang dan sekaligus menjadi seorang penakluk. Namun belakangan kata "Addakhil" tidak popouler, kemudia diganti nama "Wahid", menjadi Abdurrahman Wahid. Kemudian sosok Abdurahman Wahid lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas". 81 Ma’mun Murod Al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gusdur dan Amin Raistentang Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 99 xciv Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940.82 Ada yang menarik perihal tepatnya tanggal lahir Gusdur. Sebenarnya tanggal lahir Gusdur bukanlah tanggal yang secara umum diketahui sekarang. Memamg Gusdur dilahirkan pada hari keempat pada bulan kedelapan. Namun perlu diketahui bahwa tanggal itu menurut penanggalan Islam, yaitu bahwa ia dilahirkan pada bulan sya’ban, bulan kedelapan pada penanggalan itu. Sebenarnya tanggaal 4 Sya’ban adalah tanggal 7 September.83 Gus Dur sudah ditakdirkan lahir dari keturunan "darah biru". Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Sedangkan Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais 'Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligius, dan dua tokoh Bangsa Indonesia. Silsilah dari jalur ayah Gus Dur merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang berkuasa pada abad XVI dan terkenal sebagai salah seorang raja terakhir. Kerajaan Hindu Budha yang besar di Jawa, Kerajaan Majapahit. Lebih penting lagi, tokoh legendaris Jaka Tingkir, putera Brawijaya VI. Dianggap sebagai orang yang memperkenalkan agama Islam di daerah pantai timur laut pulau Jawa. 82 http://www.gusdur.net/indonesia/index.php?option=com_content&task=view&id=23&I temid=63 83 Greg Barton, Biografi Gusdur, (Yogyakarta: LKIS,2003), h.25 xcv Sedangkan puteranya, pangeran Benawa, dikenang sebagai seorang yang pertama kali meninggalkan kerajaan untuk mengajar Sufisme.84 Pada tahun 1949, ketika pertentangan dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya. Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.85 Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab 84 Ibid h.26 85 Diakses pada 27 Januari 2008 dari www.gusdur.net xcvi dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri festival film Indonesia.86 Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir. B.Pendidikan Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy'ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca alQur'an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur'an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang 86 www.gusdur.net xcvii Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.87 Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menhiasi berbgai media massa. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma'sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya. 87 www.gusdur.net xcviii Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul 'The Story of Civilazation'. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin 'What is To Be Done' . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gusdur.88 Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang 88 Diakses pada 17 Januari 2009 dari http://www.gusdur.net/indonesia/index.php?option=com_content&task=view&id=23&Itemid=63 xcix memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktekpraktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajardengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo. Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur c sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki. Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasionalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di universitas. Selama dua tahun terakhir di di Baghdad, Gusdur memfokuskan diri pada riset mengenai sejarah Islam di Indonesia. Maka ia membaca semua sumber dari kaum orientalis dan tulisan-tulisan orang Indonesia yang bekenaan dengan hal tersebut. Ia tidak menduga bahwa perpustakaan Universitas Baghdad ternyata menyediakan sumber informasi yang sangat luas mengenai topik ini. Dengan memanfaatkan sumeber ilmiah yang ada, Gusdur menjadi seorang yang mempunyai otoritas dalam masalah ini.89 89 LIstiyono Santoso, Teologi Politik Gusdur,(Yogyakarta: Ar-Ruz h, 2004), h .78 ci Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya,menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh. Saat di Baghdad pula Gusdur memutuskan masa lajangnya dengan menikahi gadis pujannya Shinta Nuriyah. Namun ada yang berbeda dari prosesi pernikahan Gusdur. Pernikahan tersebut terjadi dimana jarak antara Gusdur dengan calon mempelai wanitanya berjauhan, Gusdur masih sibuk dengan studinya di Irak sementara calon istrinya berada di Indonesia. Akhirnya persoalan ini dapat di selesaikan dengan cara kakeknya, K.H. Bisri Syansuri mewakili Gusdur dalam pernikhab tersebut. Para tamu menjadi heboh ketika melihat seorang kyai berusia delapan puluh satu tahun bersanding dengan seorang pengantin wanita muda usia. Walaupun secara teknis Gusdur dan Nuriyah telah menikah, mereka menganggap perlawinan ini tidak lebih daripada pertunangan. Mereka sepakat akan hidup bersama setelah keduanya menyelesaikan studi mereka.90 90 Barton, h.105 cii Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Gusdur akhirnya kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya. Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik. ciii C.Perjalanan Karir Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M Yang dimotori oleh LP3ES. Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut civ dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap 'menyimpang'-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987. Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-'aqdi yang diketuai K.H. As'ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid. Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 19911999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisai kaum 'elit Islam' tersebut dengan organisasi sektarian. cv Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami. Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma'shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhansentuhan kemanusiaan. cvi Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme. D. Gusdur, Presiden Orde Reformasi Pada tahun 1998 gejolak refomasi yang digalang mahasiswa waktu itu telah berhasil menumbangkan kekuasan Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun. Runtunya Orde Baru ini membuka harapan masyarakat banyak untuk dimulainya kehidupan berbangsa yang lebih demokrtis, bebas dari belenggu kesewenagan penguasa, sekaligus diharapkan mampu membawa kesejahteraan masyarakat. Peralihan kekuasaan yang dipimpin presiden pengganti BJ. Habibie dituntut cepat untuk melaksakan pemilihan umum sebagai upaya untuk memperoleh pemerintahan dengan legitimasi luas dari rakyat. Karena biar bagaimanapun kepemimpinan BJ. Habibie dianggap banyak orang sebagai kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Apalagi sudah umum diketahui Habibie adalah orang kesayangan Soeharto. cvii Dalam kekalutan yang terjadi setelah jatuhnya rezim Soeharto, dapatlah dipahami bahwa pemerintahan dibawah agak lambat dalam mendorong terbentuknya parta politik baru. Sejak tahun 1973, ketika sepuluh parpol diperas menjadi tiga partai politik baru. Kini sejarah akan berbalik arah saat pemerintahan transisi membuka kembali sistim pemilu dengan menyertakan banyak partai. Peristiwa ini akan menjadi ujian sesungguhnya bagi kesungguhan pemerintahan transisi untuk menghantarkan pemilu yang bersih dan jujur jauh dari bayangbayang kecurangan yang dilakukan orde baru. Keadaan yang ada inilah membuat banyak kalangan di akar rumput warga NU mendesak kepada PBNU untuk membuat partai yang dapat membawahi aspirasi politik mereka. Sebagai respon permintaan warga NU tersebut, Gusdur dan reka-rekan sejawatnya di PBNU merencanakan berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Gusdur sendiri secara formal tidak menjadi pemimpin PKB, dan lebih mempercayakan kepada Matori Abdul Djalil sebagai ketua umum partai. Matori sendiri merupakan politisi senior yang telah berkiprah lama di PPP. Lahirnya PKB akhirnya tidak bisa menghindai diri Gusdur untuk mengambil jalur ke dunia politik praktis. Meskipun tetap berusaha untuk menjaga jarak secara institusi dengan PBNU sebagai konskuensi keputusan khittah NU di Situbondo. 91 Pemilu pertama pasca roformasi tahun 1999 telah mengasilkan pemenang utama yaitu PDIP dengan meraih 34 persen suara mengalahkan Golkar yang hanya meraih 22 persen. PKB sendiri hanya meraih 12 persen suara, namun perolehan suara ini lebih banyak dari partai-partai lain yang bermunculan di era 91 Ibid, h. 312 cviii reformasi, seperti partai yang didirikan Amin Rais Partai Amanat Nasional yang hanya memperoleh 7 persen suara pemilih. Bahkan prestasi ini dapat melampaui partai PPP yang notabene partai lawas dengan mendapatkan perolehan suara sebesar 10 persen saja. Dengan dukungan raihan suara pemilih yang relatif kecil ini, keputusan untuk maju menjadi calon presiden belum menjadi suatu tujuan utama bagi Gusdur dan pendukungnya. Namun setelah Amin Rais dengan secara cerdas membuat poros tengah yang berisikan partai-partai Islam atau yang berbasis Islam membuat peluang maju sebagai calon presiden lebih terbuka. Poros tengah sendiri di gagas salahsatunya adalah untuk membuat pilihan lain agar PDIP dan Golkar tidak berhadapan secara langsung. Kekuatan poros tengah secara tidak terduga semakin menguat setelah laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Peluang yang semakin terbuka tersebut membuat poros tengah berhitung sekaligus mengupayakan meraih dukungan dari fraksi Golkar yang pada saat terakhir tetap tidak mengajukan calon presiden. Rupaya semua berjalan sesuai dengan apa yang dinginkan, Golkar memberikan dukungan kepada poros tengah sehingga dengan modal suara cukup tersebut menghantarkan Gusdur menjadi presiden RI. Hari-hari pertama menjadi presiden adalah momen yang bersejarah, paling tidak bagi para pendukungnya, para nahdliyin. Harapan besar bangsa ini bergantung pada begaimana Gusdur mengelola pemerintahannya. Namun yang paling berat baginya adalah untuk mempersatukan berbagai kepentingan partai politik, dan pada saat yang sama tidak melupakan kepentingan rakyat banyak. Jelas sekali ini akan menjadi hambatan besar besar jika Gusdur tidak mampu cix mengakomodasi semua parpol penyokong poros tengah dalam kabinetnya. Kesalahan dan perbedaan pandangan antara parlemen dan presiden dalam menilai suatu kebijakan akan sangat mudah menjadi pemicu keretakan antara parlemen dan eksekutif. Kondisi ini didukung dengan menguatnya posisi parlemen dari sebelumnya. Pada masa ORBA kedudukan parlemen hanya dijadikan alat legitimasi semata atas semua kebijakan yang diambil penguasa. Kondisi berubah pada masa reformasi dimana parlemen memilki peran institusi super body dengan memainkan peranan yang melibihi dari sitim pemerintahan presidensial, yang seharusnya antara eksekutif dan legeslatif tidak bisa saling membubarkan seperti pada sistem parlementer. Realitas politik yang terjadi memang tidak banyak mendukung Gusdur untuk bertahan lama menduduki jabatan nomor satu di negeri ini. Apalagi dukungan partainya, PKB, di parlemen terlalu sedikit untuk bisa berbuat banyak dalam mengamankan jalannya pemerintahan yang dipimpin Gusdur. Maka ketika terjadi kasus Bulloggate dan Bruneigate yang dilakukan orang dekatnya, sekaligus menyeret namaya sendiri sebagai presiden, membuat posisi Gusdur terancam. Meskipun sampai sekarang pun belum ada pembuktian perihal keterlibatan Gusdur dalam kasus yang dituduhkan lawan politiknya di parlemen. Maka melalui sidang Istimewa MPR yang dipimpin Amin Rais mandat Gusdur akhirnya dicabut sebagai presiden Republik Indonesia. cx E. Pelindung Kaum Minoritas Predikat sebagi sosok yang kontrofersial membuat Gusdur justru menjadi orang yang sangat laris untuk dimintai tanggapan pada isu-isu yang muncul dalam masyarakat. Namun, predikat itu tampaknya cukup tepat, bila mengamati sikap dan pemikiran politik Gusdur. Sejak kemunculannya sebagai seorang pemikir sampai kemudian menjadi aktor politik yang cukup mumpuni, tidak salah kiranya jika peran yang berganti-ganti itu membuat pandangannya begitu luas terhadap segala permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Secara faktual asumsi ini tidak bisa dibantah, hanya saja menurut alZastrouw, bila dikaji secara lebih jauh apa yang dilakukan gusdur sebenarnya hal yang wajar dan bisa terjadi dalam proses kehidupan. Jika dikatakan nyeleneh dan kontroversi itu lantaran keberaniannya untuk berbeda dan keluar dari kelaziman. Emha memperkuat kenyataan itu dengan menyebut bahwa bahwa Gusdur sebagai “orang gila” dalam sejarah. Orang gila yang dimaksud Emha Ainun Najib adalah orang menggagas apa yang tidak digagas orang lain, memikirkan apa yang tidak dipikirkan orang lain, dan membayangkan apa yang tidak dibayangkan orang lain. Al-Zastrouw menyatakan bahwa inilah yang menjadi ciri khas Gusdur. Ketika seluruh masyarakat hanyut dalam silent culture (budaya bisu), selepas peristiwa berdarah, 27 juli 1996, ia justru tampil beda dengan memberikan terapi kepada masyarakat manusia melalui sikap dan pandangannya yang selalu berbeda dari kelaziman. Jika dikaji lebih dalam, apa yang dilakukannya bukan sekedar latah, apalagi sekedar mencari perhatian, lebih dari itu, ini adalah kerja culture guna melakukan transformasi sosial. cxi Dalam kasus monitor misalnya, pada saat mayoritas Muslim di negeri ini mengecam angket yang dibuat Tabloid Monitor, Gusdur justru sebaliknya, mengecam tindakan tersebut. Kecaman Gusdur bukan semata-mata membela monitor, namun sikap umat Islam dalam pandangan Gusdur yang sudah kelewat keras. Gusdur menilai, sikap umat Islam justru sudah mengarah pada sikap anti demokrasi, misalnya meminta pencabutan SIUP, termasuk juga upaya melakukan pemboikotan terhadap Harian Kompas dan Gramedia Group. Belum lagi kasus yang membuat geger perihal pernyataannya bahwa Assalamualaikum bisa diganti dengan selamat pagi dan seterusnya. Meskipun dalam klarifikasinya, pergantian salam itu hanya sebatas pada panggilan sehari-hari, tidak sampai pada mengganti ucapan salam pada saat sholat. Ketika terjadi kasus-kasus yang melibatkan banyak nyawa yang melayang, menjelang dan pasca reformasi. Gusdur melontarkan pernyataan bahwa yang terjadi adalah permainan di tingkat elit untuk merusak suasana dalam masyarakat. Bisa jadi apa yang dikatakannya, sebagai upaya agar konflik –konflik yang terjadi ketika itu tidak menyandarkan pada isu-isu etnis atau petentangan agama. Karena jika isu yang berkembang terkait dengan isu SARA maka keadaan akan bertambah kacau dan tidak bisa dikendalikan, dan sangat mungkin akan menambah daftar korban yang lebih banyak lagi, terutama dari kaum minoritas. Paling tidak usaha yang dilakukan atas konflik-konflik tersebut sedikit banyak tidak melebar ke daerah-daerah lain. Sosok Gusdur selama ini secara konsisten membela golongan minoritas yang mendapat perlakuan tidak adil, merupakan sedikit tokoh yang berani di cxii negeri ini untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Meski untuk perjuangannya itu Gusdur mendapat cercaan dan tuduhan-tuduhan sebagai agen Yahudi dan Nasrani. Namun yang pasti keadilan bagi segenap rakyat adalah hal mutlak yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara, dan Gusdur telah melakukan tugasnya sebagai bagian dari bangsa ini. Ahmad Suady dan Ulil Absar dengan secara cermat telah mengidentifikasi arah pijakan Gusdur dalam berpikir. Menurut pengamatannya, ada lima elemen kunci yang dapat disimpulkan dari pemikiran Gusdur. Pertama, pemikirannya progressif dan jauh kedepan. Menurutnya, daripada terlena kepada kejayaan Islam masa lalu, Gusdur lebih senang melihat masa dapat dengan keyakinan bahwa Umat Islam akan mencapai tahapan kejayaan pada masa yang akan datang. Kedua, pemikran Gusdur sebagian besar adalah respon terhadap modernitas, respon dengan penuh percaya diri dan cerdas sembari tetap kritis terhadap kegagalan-kegagalan masyarakat barat modern. Gusdur secara umum bersikap positif terhadap nilai-nilai inti pemikiran liberal pasca pencerahan, walaupun dia juga berpendapat hal ini perlu dikaitkan pada dasar-dasar teistik. Ketiga, dia menegaskan bahwa posisi sekularisme teistik yang ditegaskan dalam pancasila merupakan dasar yang paling mungkin dan terbaik bagi terbentuknya Negara Indonesia modern dengan alasan posisinya non-sektarian. Gusdur menegaskan bahwa ruang paling cocok untuk Islam adalah ruang sipil (civil sphere) bukan ruang politik praktis. Keempat, Gusdur mengartikulasikan pemahaman Islam Liberal dan terbuka yang toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Kelima, pemikran Gusdur mempresentasikan cxiii sintesis cerdas pemikiran Islam tradisional, modernisme Islam dan kesarjanaan Barat modern. Dengan berusaha menghadapi tantangan modernitas baik dengan kejujuran intelektual yang kuat maupun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran utama Islam.92 92 Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdala(ed.), Gila Gusdur : Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKIS, 2000) h. 87 cxiv BAB IV Dakwah dan Pluralisme Menurut K.H. Abdurrahman Wahid A. Dakwah Menurut Gusdur Sebagai Muslim Gusdur sadar betul akan kewajibannya untuk berdakwah. Apalagi gelar Kyai yang terlanjur melekat pada dirinya sebagai simbol pengakuan orang kepada pengetahuannya yang luas sekaligus mendalam tentang ilmu-ilmu Islam. Kyai yang juga pernah menjabat sebagai ketua umum PBNU ini tentu tidak bisa dilepaskan dari dunia dakwah, meskipun dalam bentuknya yang berbeda dari kebanyakan. Perjalanan dan kunjungannya ke perlbagai pesantren-pesantern di daerah untuk menemui warga NU juga merupakan salah satu bentuk tanggung jawabnya sebagai seorang Muslim yang tidak bisa lepas untuk saling menasihati dalam hal kebaikan. Secara berani Gusdur mengungkapkan konsep dalam berdakwah berbeda dari aktifitas dakwah yang banyak kita jumpai. Menurutnya bahwa dakwah tidak harus disampaikan secara formal, artinya dalam berdakwah kita tidak harus mengutip dalil-dalil agama. 93 Sebuah pandangan yang sesungguhnya membuka pintu dakwah agar dapat dilakukan oleh siapa saja. Selama ini aktifitas dakwah 93 Dialog Interaktif dalam Konkow Bareng Gusdur di Radio 68H Jakarta pada 21 Maret 2009 cxv sering dipersepsikan banyak orang hanya dilakukan oleh seorang mubaligh, yaitu seorang Da’i yang menggunakan media dakwahnya melalui mimbar atau tabligh. Sehingga dengan pengertian yang demikian itu membuat dakwah hanya bergerak pada ruang yang sangat sempit sekali. Manurut Gusdur saat ini dakwah masih berwatak penciptaan solidaritas di permukaan. Sekedar melecut manusia agar berakhlak pribadi yang terpuji, mengikuti kerangka ritual yang ditetapkan faham masing-masing, dan menjanjikan hadiah surga atau siksa neraka. Ditambah "acara tetap" berupa ketakutan kepada serangan kebudayaan modern dan sejumlah bahaya lain yang dianggap akan menghancurkan keyakinan agama.94 Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga 94 K.H. Abdrrahman Wahid, “Dakwah Harus Diteliti”, Diakses pada 27 Januari 2009 dari www.gusdur.net cxvi masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan hidup (Worldview, Weltanschauung) paling jelas universalitasnya adalah pandangan keadilan sosial.95 Kesimpulan dari nilai unversalitas Islam diataslah yang terus disuarakan Gusdur dalam mengimplementasikan Islam rahmatan lil alamin. Dengan kelima pilar itu diyakini Islam benar-benar menjadi pengayom bagi semua mahluk di bumi. Maka tidak heran corak dakwah yang dilakukan Gusdur sering bertumpu pada pembelaan atas kesewenangan dan ketidakadilan yang diperoleh kaum minoritas atau individu atau kelompok yang dirugikan. Pada era akhir delapanpuluh Gusdur secara terus-menerus dalam tulisannya mengenalkan sebuah gagasan apa yang di sebut olehnya sebagai pribumisasi Islam. Dalam hal ini Gusdur berpendapat bahwa Islam sebagai ajaran agama yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan kedalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Menurutnya proses Arabisasi atau proses mengidentifikasi dengan budaya Timur Tengah adalah tercerabutnya kita dari akar budaya sendiri. Apalagi budaya yang di impor itu belum tentu bermanfaan bagi kondisi masyarakat Indonesia. 95 K.H. Abdrrahman Wahid.“Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”. Diakses pada 27 Januari 2009 dari http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Universalisme.html cxvii Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, agar budaya itu tidak hilang. Karena itu, inti pribumisasi Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindarkan polarisasi antara agama dan budaya. 96 Dalam hal ini yang di pribumisasikan adalah menifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut keimanan dan peribadatan formalnya, dan yang menjadi agendanya adalah berpikir tentang bagaimana melestarikan agama Islam sebagai budaya, melalui upaya melayani dan mewujudkan kepentingan seluruh bangsa.97 Persis di titik inilah, gagasan pribumisasi Islam dikembangkan lebih lanjut sebagai jawaban atas berkembangnya Islam otentik atau Islam murni. Islam tidak bisa lagi dipandang secara tunggal , melainkan majemuk. Tidak ada lagi anggapan bahwa Islam yang berada di Timur Tengah sebagai Islam murni dan paling benar. Pribumisasi Islam yang dilontarkan Gusdur sesungguhnya mengambil semangat yang telah diajarkan oleh Walisongo dalam dakwahnya yang melintasi kepulaun nusantara beberapa abad lampau. Dalam hal ini Walisongo dianggap mampu dan berhasil memasukan nilai-nilai lokal kedalam Islam yang khas keindonesiaan. Dengan demikian jelas kemana arah pemikiran Gusdur bagaimana strategi dakwah itu harus dijalankan 1. Amar ma’ruf nahi Munkar Keadaan paling fenomenal dan menjadi isu utama dalam dalam relasi kemanusiaan global dewasa ini, muncul dengan motif yang disebut banyak 96 Abdurahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Jakarta, Desantara, 2001), h.111 97 Alfian Muhammad dan Helmi Jacob (ed), Gusdur Bertutur , (Jakarta: Harian proaksi, 2005), h. xxiv cxviii orangsebagai isu agama. Ini hanya karena kekerasan tersebut digerakkan atau dibalut dengan simbol-simbol agama, terma-terma agama, teriakan-teriakan dengan mengutip teks-teks suci agama dan seterusnya. Untuk kasus Indonesia, gejala munculnya kekerasan dengan nuansa keagamaan telah berlangsung cukup lama. Konflik yang dilanjutkan dengan kekerasan juga terjadi secara fenomenal terhadap golongan, aliran keyakinan tertentu atau budaya tertentu. Pendeknya kita menyaksikan secara kasatmata betapa klaim-klaim keagamaan, kayakinankeyakinan sakral atau yang disakralkan, digunakan untuk menjustifikasi kekerasan antar umat manusia. Ini semua berlangsung di tengah-tengah bumi manusia yang justru adalah mahluk yang paling dimuliakan Tuhan. Justru karena dibekali akal, bahkan dalam sebuah negara yang penduduknya ber-Ketuhanan yang Maha Esa, maka manusia menjadi mahluk yang sulit dipahami, ia sangat misterius dan ambigu.98 Hal ini harus diperhatikan agar kekerasan dengan mensandarkan pada terma-terma amar ma’ruf nahi munkar misalnya, perlu adanya kaji ulang. Menurut Gusdur ketiadaan negara Islam tidak berarti kaum muslimin harus hidup secara individual, melainkan mereka harus membuat komunitas masingmasing, dan merumuskan kewajiban-kewajiban kolektif agama yang mereka anut. Dengan kata lain, ber amr ma’ruf nahi munkar dilakukan secara persuasif oleh tiap-tiap muslim. Pada sisi lain terma amar ma’ruf nahi munkar telah dijadikan sebagai legitimasi untuk melakukan pemaksaan, kekerasan dan penyerangan terhadap siapapun yang berbeda. Mereka berdalih memperjuangkan al-ma’ruf 98 dan Husain Muhammad,.”Pluralisme dan Multikulturalisme sebagai masalah dalam pergulatan Tafsir dalam Islam”. Diakses pada 14 Desember 2008 dari www.wahidinstitute.com cxix menolak al-munkar setiap kali melakukan aksi-aksi kekerasan atau mendiskreditkan orang atau pihak lain. Sementara konsep rahmatan lil-’alamin digunakan sebagai dalih formalisasi, memaksa pihak lain meyetujui tafsir mereka, dan menuduh siapa pun yang berbeda atau bahkan menolak tafsir mereka sebagai menolak konsep rahmatan lil-alamin, sebelum dicap murtad atau bahkan kafir. Padahal, sebenarnya semangat dakwah adalah memberi informasi dan mengajak, dan Islam menjamin kebebasan beragama. Disini kita melihat kontradiksi mendasar antara kelompok-kelompok garis keras dengan ajaran Islam yang penuh kasih sayang, toleran, dan terbuka.99 Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling 99 K.H. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009) h. 33 cxx baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.100 Berbagai gambaran di lapangan menunjukkan bahwa merajut tali kerukunan dan toleransi di tengah pluralitas agama memang bukan perkara mudah. Menurut Burhanudin beberapa faktor berikut jelas merupakan ancaman bagi tercapainya toleransi. Pertama, sikap agresif para pemeluk agama dalam mendakwahkan agamanya. Kedua, adanya organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung berorientasi pada peningkatan jumlah anggota secara kuantitatif ketimbang melakukan perbaikan kualitas keimanan para pemeluknya. Ketiga, disparitas ekonomi antar para penganut agama yang berbeda. Guna meminimalisir ancaman seperti ini (terutama ancaman pertama dan kedua), maka mau tidak mau umat Islam, demikian juga umat lain, dituntut untuk menata aktifitas penyebaran atau dakwah agama secara lebih proporsional dan dewasa.101 2. Dakwah Kultural Dakwah telah berjalan sejak lahirnya agama Islam secara alamiah. Karena tuntutan zaman yang makin kompleks, maka membutuhkan teori dakwah yang sistematis dan terencana sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Islam masuk ke wilayah Indonesia dengan sangat halus tanpa melalui proses kekerasan atau diiringi dengan pertumpahan darah. Islam mengalir sesuai dengan kultur 100A. Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992), hlm. 227-229. 101 Sorprapto, Pluralitas, Konflik dan Kearifan Dakwah, Artikel diakses pada 25 Februari 2009 dari www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Suprapto.doc - cxxi masyarakat yang telah mapan dan berbaur dengan budaya setempat yang banyak dijiwai oleh ajaran agama Hindu atau Buda. Islam datang menyapa umat Indonesia dalam bentuknya yang khas sebagai hasil dari elaborasi budaya lokal yang dilakukan oleh tokoh-tokoh muslim yang bijak, yaitu dengan menyematkan identitas positif (keislaman), menanamkan etika dan moral pada adat yang telah berlaku di masyarakat sehingga terjadi perubahan dalam diri masyarakat Indonesia beranjak menuju ajaran yang dibebankan (taklif) oleh Allah kepada setiap muslim (mukallaf) sesuai dengan tuntutan lingkungannya.102 Ada dua cara Umat Islam dalam menghadapi tantangan dari luar. Pertama, pendekatan kultural seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Ada ulama yang memperbolehkan ziarah kubur dan ada yang melarang. Yang memperbolehkan ziarah menjadi NU, serta yang anti menjadi Muhammadiyah. Kedua, dengan pendekatan institusional, kelembagaan. Dalam menentang Barat, mereka biasanya ofensif. Sekarang ditambah lagi, kita menghadapi globalisasi. Ini menambah khawatir mereka. Padahal Islam di Indonesia itu sebetulnya menerima atau menyerap segala budaya. Menurut Gusdur upaya untuk mengenal dunia Islam yang berbeda perlu pendekatan yang beragam. Oleh karenanya Gusdur mengajukan sebuah gagasan tentang pentingnya kajian kawasan dunia Islam. Dengan begitu pendekatan dakwah yang dilakukan pun harus berbeda dari satu kawasan dengan kawasan lainnya. 102 Fadlolan Musyaffa, MA. Budaya dan Media Dakwah. Artikel diakses pada 17 Juli 2008 dari http://www.numesir.org/cetak.php?id=43 cxxii Minimal adanya enam buah kajian kawasan (Area Studies) di dunia Islam studi kawasan masyarakat-masyarakat Islam di kawasan Afrika hitam (Sub-Saharan Communities), masyasrakat-masyarakat Islam di Afrika Utara dan kawasan Arab, masyarakat-masyarakat Islam di TurkiPersia-Afganistan, masyarakat-masyarakat Islam di Asia Selatan (Bangladesh, Nepal, Pakistan, India dan Sri Langka) . masyarakatmasyarakat Islam di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) dan masyarakatmasyarakat Islam di kawasan negara berindustri maju (Advanced Technology Communities).103 Dakwah agama harus digeser dengan menggunakan strategi budaya. Sebab dengan budaya, dakwah akan lebih mudah dicerna oleh masyarakat termasuk kalangan non muslim.104 Pendapat ini menegaskan pendapat Gusdur sendiri, yang menurutnya apa yang dilakukan Walisanga dalam melakukan penyebaran ajaran Islam di Indonesia sangatlah baik dan harus dijadikan contoh.105 Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya 103 Dialog Interaktif dalam Konkow Bareng Gusdur di Radio 68H Jakarta pada 7 Februari 2009 104 Diakses pada 17 Januari 2009 dari www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/06/30/brk%C20060630-79626%2cid.html 105 Dialog Interaktif dalam Konkow Bareng Gusdur di Radio 68H Jakarta pada 21 Februari 2009 cxxiii dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme. 106 Pendekatan dakwah harus ditekankan pada cara pandang terhadap mitra dakwahnya, yaitu manusia seutuhnya. Pendekatan adalah cara-cara yang dilakukan oleh seorang Da’i untuk mencapai suatu tujuan tertentu atas dasar hikmah dan kasih sayang. Dengan demikian pendekatan dan metode dakwah itu berdiri atas landasan yang sangat demokratis dan persuasif. Demokrasi yang dimaksud adalah pada akhirnya seorang Da’i harus menerima keputusan final yang akan dipilih oleh sasaran dakwah. Da’i tidak memiliki wewenang untuk memakasa pada sasaran dakwah agar melakukan hal-hal tertentu yang diajarkan Da’i.107 Dalam kedudukannya sebagai juru dakwah maka seorang Da’i itu hanya benar-benar menyampaikan, menghimbau tetapi tidak boleh memaksa. Ini sesuai apa yang diajarkan al-Quran surat al-Ghosiyah ayat 22 yang artinya: “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas diri mereka.” Ayat ini megukuhkan batasan bagi seorang Da’i yang berkewajiban untuk menyampaikan fakta-fakta kebenaran namun tidak sampai berkewajiban untuk memaksa objek dakwah agar mengikuti apa yang disampaikannya.108 B. Pluralisme Menurut K.H. Abdurrahman Wahid Pertama kali orang mendengar nama Gusdur dapat dipastikan mereka menyebut sosok ini sebagai orang yang penuh dengan kontrofersi. Pernyataanpernyataan yang diungkapkannya seringkali mengejutkan sekaligus membuat 106 Diakses pada 14 Desember 2008 dari www.gusdur.net Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: GAya Media Pratama, 1987) 108 Rosyidi MA, Dakwah Sufistik Kang Jalal, (Jakarata: Paramadina, 2004), h.50 107 cxxiv orang bingung. Belum lagi sikap Gusdur yang dianggap selalu melawan arus dengan pendapat orang banyak tentang suatu isu dalam masyarakat maupun kenegaraan. Semua penilaian itu memang tidak bisa lepas dari kiprah Gusdur selama beberapa dasawarsa belakangan ini. Namun yang pasti semua penilaian miring itu sejauh ini belum dapat mengehentikan Gusdur dalam memperjuangkan nilai-nilai yang ia yakini. Sebagai mantan ketua PBNU dengan membawahi puluhan juta umat tentu kiprahnya selalu disorot oleh banyak kalangan. Jabatan strategis itu pula yang membuat Gusdur semakin dikenal di negeri ini. Satu hal yang membuat Gusdur begitu dipuja sebaian besar warga NU adalah upayanya yang secara terus-menerus untuk mengenalkan dunia pesantren pada tahun 80-an. Pesantren merupakan basis NU yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat pedesaan khusunya di pulau jawa. Islam tradisional yang lebih dikenal untuk menunjuk komunitas warga NU yang pada waktu itu menghadapi serbuan Islam kota dengan melabeli ritualritual yang dilakukan orang NU adalah bentuk-bentuk bid’ah. Hal ini menjadi awal pergulatan Gusdur untuk membela dan menagkis semua tuduhan itu dengan penuh keyakianan atas kesalahan pandangan mereka terhadap NU. Pada kedudukannya itu pula Gusdur memberikan rangsangan dan inspirasi pengembangan intelektual dikalangan kaum muda NU yang dahulu lebih dikenal sebagai golongan yang tertinggal. Dalam bidang pemikiran Gusdur memberikan kontribusi yang begitu besar pada upayanya untuk menjaga kedaulatan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam berbagai kesempatan pidatonya, Gusdur dengan tegas cxxv menyatakan bahwa bentuk negara kesatuan berdasar pancasila adalah bentuk final. Perwujudan pemikrannya itu terlihat bagaiaman Gusdur pada tahun 1984 mendorong NU untuk menerima Pancasila sebagai azas tunggal dan pada saat yang sama mempelopori keluarnya NU dari politik praktis atau yang lebih dikenal dengan gerakan kembali ke khittah NU 1926. Gagasan-gagasan Gusdur juga bisa dilihat dari tulisan-tulisannya. Kita akan menemukan kemampuannya meracik hikmah yang terkandung dalam tradisonalitas dan modernitas, antara spiritualitas dan materialistik, antara penalaran dan wahyu Ilahi. Kemampuan inilah yang mampu membawanya dikenal sebagai seorang pluralis, rasionalis, humanis, liberal tetapi tetap dipandang mewakili kaum tradisonails. Gusdur meyakini sekaligus menunjukan pada dunia bahwa Islam tradisional tidak pernah menjadi sesuatu yang statis, dinamisasi merupakan ekspresi terbaik dari Islam tradisonal yang adaptif dan fleksibel. Bahwa terjadi proses seleksi dimana akan ada yang dipertahankan dan dibuang, diterima dan ditolak telah lama dirumuskan demikian indahnya oleh para kyai dengan istilah “memelihara warisan lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik” (almuhafazhat ‘alal qodim al shalih wa akhdzu biljadid asfoleh).109 1. Pancasila Jangkar Kehidupan Berbangsa Perhatian Gus Dur yang begitu besar terhadap nilai-nilai pluralisme merupakan sebuah keharusan bagi dirinya. Gus Dur sangat yakin arti penting pluralisme bagi perkembangan Indonesia di masa mendatang. Hal ini tentu saja 109 Abdurahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Jakarta, Desantara, 2001), h.xxii cxxvi tidak terlepas dari kondisi Indonesia yang merupakan negara besar dengan bentangan lebih dari tujuh belas ribu pulau-pulau yang berjajar dari sabang sampai merauke. Negara yang luas itulah yang kemudian melahirkan begitu tinggi keragaman masyarakatnya dari segi agama, suku, bahasa, budaya dan lainnya. Keyakinan Gus Dur untuk berjuang menegakkan pluralisme bukanlah hanya semata keinginan dari dirinya. Gus Dur mencoba berusaha sebisamungkin untuk meneruskan apa yang telah menjadi kesepakatan para pendiri bangsa pada masa kemerdekaan yaitu, untuk bersama-sama bersatu sebagai bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesatuan tersebut yang menjadiakan perbedaan-perbedaan di dalamnya dapat terwadahi sebagai sebuah potensi kekayaan negeri ini. Kesemuanya itu mendapat jaminan dasar dan sekaligus perintah konstitusi yang termaktub dalam falsafah negara yakni “Bhinika Tunggal Eka”, berbeda-beda tapi tetap satu. Keputusan bersepakat untuk membentuk negara kebangsaan (nation state) bukanlah hal yang mudah. Tarik ulur tentang konsep kenegaraan terus saja berlangsung terutama dua gerbong besar antara mereka yang nasinolis dan religius Islam. Isu yang selalu menghantui perjalanan bangsa ini adalah desakan pihak tertentu memasukkan kembali tujuh kata dalam pembukaan UUD 1945 atau yang lebih di kenal dengan Piagam Jakarta. Kontrofersi dimulai saat Bung Hatta pada tanggal 18 agustus 1945 setelah mendengar AA Maramis sebagai perwakilan non Muslim menyatakan tidak setuju dengan dimasukannya tujuh kata dalam UUD 1945. Tujuh kata yang dihilangkan adalah “dengan kewajiban menjalankan cxxvii syaria’ah Islam bagi pemeluknya.”110 Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang merupakan kompromi untuk mengakomodasi kelompok Islam akhirnya juga terpaksa dibatalkan.111 Sejak itu, Penghapusan tujuh kata tersebut telah menimbulkan perdebatan berkelanjutan. Selama sidang konstituante 1956-1958, tujuh kata itu dicoba dimasukkan lagi tapi gagal mencapai mayoritas. Dengan demikian inilah fakta yang relevan, yang sampai saat ini tidak pernah dipersoalkan bahkan oleh mereka yang menuntut pemasukan kembali tujuh kata itu, baik yang berorientasi nasionalis maupun religius Islam, sepakat untuk membuat UUD dimana agama Islam tidak diberi status khusus. Ini berarti adalah suatu konsensus mendasar agung bangsa Indonesia tentang prinsip non-diskriminasi dalam agama.112 Penerimaan yang dilakukan secara ikhlas oleh pemimpin-pemimpin Muslim dalam masa-masaa kemerdekaan itu seharusnya menjadi komitmen terus menerus untuk tunduk kepada konstitusi. Kepatuhan terhadap konstitusi juga merupakan implikasi dari kewajiban umat Islam tunduk kepada para pemimpin (ulil amri). Apalagi UUD 1945 didahului oleh Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945, sebagai spirit UUD 1945. Adanya 7 kata yang dihapus dari Piagam Jakarta merupakan proses sejarah yang harus diterima dalam kehidupan bernegara. Bahkan dalam pembentukan Piagam Madinah pun terhadap 110 Alfian Muhammad dan Helmi jacob (ed.), Gusdur Bertutur, (Jakarta: Penerbit Harian Proaksi, 2005), h. 202 111 Salahuddin Wahid. “NU dan Khialafah Islamiyah”. Diakses pada 14 Desember 2008 dari www.nu.or.id 112 Franz Magnis-Suseno, Islam dan Nilai-Nilai Universal, (Jakarta: ICIP, 2008) h. 47 cxxviii penghapusan 7 kata yang tidak disetujui oleh kaum Yahudi. Pada awalnya di bagian awal Piagam Madinah terdapat kata “Bismillahirahmanirrahim” dan di akhir piagam terdapat kata “Muhammad rasulullah”. Kata-kata tersebut tidak disetujui oleh kaum Yahudi sehingga “Bismillahirahmanirrahim” dihilangkan dan di akhir piagam tinggal nama “Muhammad”.113 Sebenarnya konstitusionalisme dalam praktik kehidupan bernegara berdasarkan konstitusi dan mengakui serta melindungi kebhinnekaan telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada masa pemerintahannya di Madinah, telah disusun dan ditandatangani persetujuan atau perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok penduduk kota Madinah untuk bersama-sama membangun struktur kehidupan bersama yang di kemudian hari berkembang menjadi kehidupan kenegaraan dalam pengertian modern sekarang. Naskah persetujuan bersama itulah yang selanjutnya dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah Charter). Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun 113 M. Ali Safaat. “Kesetiaan Warga Negara Terhadap Konstitusi”. diakses pada tanggal 27 Januari 2009 dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=524 , cxxix 622 M. Para ahli menyebut Piagam Madinah tersebut dengan berbagai macam istilah yang berlainan satu sama lain.114 Tercapainya konsensus dalam berbangsa dan bernegara dengan semangat persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh tumpah darah yang menjiwai UUD 1945 merupakan kerelaan hati oleh para pendiri bangsa. Gusdur dalam hal ini begitu apik menjelaskan rentetan peristiwa yang mengilhami semangat persatuan tersebut yang baginya merupakan hasil pengalaman perjalanan sejarah dari masamasa lampau Nusantara. Dengan berpijak pada upaya melestarikan keragaman budaya serta tradisi bangsa untuk berdialog secara berkelanjutan dengan nilai-nilai Islam sebagai seperangakat ajaran agama. Gagasan Negara bangsa ini adalah buah dari pahit getir pengalaman sejarah Nusantara sendiri. Pada satu sisi, sejarah panjang Nusantara yang pernah melahirkan dan mengalami peradaban-peradaban besar Hindu,Budha, dan Islam selama masa kerajaan Sriwijaya, Sailendra, Mataram I, Kediri, Singsari, Majapahit,Demak, Aceh, Makasar, Goa, Mataram II, dan lain-lain telah memperkuat kesadaran tentang signifikansi melestarikan kekayaan dan keragaman budaya serta tradisi bangsa. Sementara pada sisi lain , dialog terus-menerus antara Islam sebagai seperangkat ajaran agama dengan nasionalisme yang berakar kuat dalam pengalaman bangsa Indonesia, telah menegaskan kesadaran bahwa Negara bangsa yang mengakui dan melindungi beragam keyakinan, budaya dan tradisi bangsa Indonesia adalah pilihan tepat bagi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pepatah Mpu Tantular, ajaran dan gerakan Sunan Kalijogo, serta keteladanan lain semacamnya, dengan dapat mengungkapkan kesadaran spiritual yang menjadi landasan kokoh Indonesia modern dan melindunginya dari perpecahan sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945. 115 Perjalanan sejarah di ataslah yang menjiwai perjuangan Gusdur untuk mengupayakan tertanamnya nilai-nilai pluralisme. Meskipun konsekuensinya ia 114 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995), 115 K.H. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009) h. 16 cxxx harus berhadapan dengan kelompok-kelompok Islam radikal yang tidak segansegan melakukan tekanan psikis maupun fisik. Namun sayangnya dalam berbagai kesempatan perlawananya terhadap tekanan itu , Gusdur tidak cukup mendapatkan dukungan. Sebagian orang menganggap itu adalah persoalan Gusdur semata dan bukan menjadi bagian penting untuk membela idiologi negara. Tentu anggapan yang denikian terasa tidak adil dan hanya membebankan semua persoalan hanya kepada Gusdur semata. Padahal sesungguhnya ini adalah tanggung jawab bersama terutama bagi penyelenggara pemerintahan yang mempunyai kewajiban untuk melindungi setiap warga negara dari ancaman hilangnya hak hidup dan berkeyakinan sesuai amant UUD 1945. 2. Islam dan Negara Sejak pemilu pertama pada era reformasi pemerintah memberikan angin segar bagi masyarakat untuk bebas membuat partai politik. Kemudian dibukanya keran demokrasi pada masa reformasi membuat azas tunggal Pancasila yang dahulu diterapkan oleh rezim Soeharto secara bersamaan juga dicabut. Inilah awal polarisasi terkait kebebasan oraganisasi sosial maupun politik dengan berazaskan pada paham-paham yang berbeda dari sebelumnya. Maka munculnya kembali gerakan-gerakan untuk memperjuangkan diberlakukannya kembali Piagam Jakarta atau penegakan Khalifah Islam tidak bisa terelakkan. Konsekuensi yang diperoleh dari sebuah negara demokrasi adalah kebebasan yang diperoleh warganya dalam berserikat dan mengeluarkan pendapat. Peluang tersebut sejauh ini dapat dimanfatkan secara baik oleh mereka yang mengusung terbentuknya negara Islam, baik dari jalur politik atau melalui gerakan dakwah. cxxxi Bagi pengusung terbentuknya negara Islam menganggap bahwa Islam merupakan agama yang sekaligus negara (al-Islam huwa al-din wa al-daulah). Keyakinan ini menancap kuat dalam memori sebagaian Muslim, terutama para pemikir politik Islam. Paradigma ini kerap menggiring umat Islam untuk menampilkan agamanya dalam bentuk formal, yakni dengan menmpakkan wajah literal bangunan politik masa silam.116 Tentu yang menjadi rujukannya adalah negara kota madinah yang dibentuk Kanjeng Nabi Muhammad dan penerusnya Khalifah Empat. Pengalaman itu muncul kembali dari partai-partai politik yang berazaskan Pancasila di era reformasi. Perjuangan yang dilakukan seperti PPP, PBB, PKS dan partai kecil lainnya, dengan menjual isu memperjuangkan kembali Piagam Jakarta atau dalam bentuk lain, semisal syariatisasi perundangan di parlemen. Meskipun belum jelas betul arah perjuangannya, mengingat apa yang menjadi isu jualan partai-partai tersebut seringkali berubah setiap saat. Satu contoh, saat Megawati mencalonkan diri menjadi presiden tahun 1999 PPP serta partai lain yang berasakan Islam menolak pencalonanya, dengan alasan karena Megawati seorang perempuan. Dalil-dalil agama pun menjadi landasan bagi mereka untuk menghancurkan Megawati yang pada intinya bahwa dalam Islam seorang wanita tidak boleh menjadi Imam. Namun anehnya ketika pada tahun 2001 Megawati menjadi presiden menggantikan Gusdur, Hamzah Has sebagai ketua PPP menerima pencalonannya sebagai wakil presidennya Megawati. 116 Khamami Zada dan Arif R. Rafah, Diskursus Politik Islam, (Jakarta:LSIP, 2004) h.23 cxxxii Gusdur begitu jujur mengakui bahwa hubungan antara agama dan negara masih bersifat problematik bagi kaum muslimin, setidak-tidaknya bagi pemimpin gerakan-gerakan Islam. Hal ini adalah warisan sejarah yang tidak dapat dihindari, karenanya harus dipikirkan bagaimana ia diselesaikan. Memang pendidikan terutama perkembangan teknologi, pengetahuan modern maupun kebudayaanmengarahkan kepada semakin kaburnya ‘sekat-sekat’ itu dalam kehidupan. Namun karena semakin besar kehadiran mereka, semakin banyak juga yang ingin melihat, dan tentunya turut berusaha, moralitas kita sehari-hari mengikuti prinsipprinsip Islam, sehingga akan tercapai pola kehidupan yang “Islami”. Hal ini tidak menjadi persoalan, jika dijaga agar tidak “bertabrakan” dengan “pola umum” yang berjalan sekarang. Pengharaman atau pertentangan terhadap pola yang ada itulah yang harus dihindari117 Pendapat Gusdur diatas sangat jelas bahwa ia tidak mempersoalkan sama sekali uasaha-usaha untuk mengakkan moralitas berbasis agama dalam masyarakat. Namun, catatannya adalah tentu saja asalkan usaha-usaha tersebut tidak betentangan kesepakatan moralitas secara umum. Satu contoh, saat Gusdur mengecam tindakan FPI saat melakukan sweping para pedagang makanan saat orang berpuasa dalam bulan Ramadhan. Tindakan sweping itu mungkin benar bagi mereka, tapi harus dilihat juga hak hidup untuk mencari makan bagi orang lain. Inilah salah satu sikap dimana sebagian kecil masyarakat belum bisa menerima hak orang lain, akhirnya hak tersebut saling berbenturan satu sama lain. 117 Abdurrahman Wahid, “Islam, Nasionalis dan Orang Arab”. Artikel diakses pada 27 Januari 2009 dari www.gusdur.net cxxxiii Padahal seharusnya semua persoalan itu dikembalikan pada perundangan yang beralaku di negera ini. Menurut Gusdur, lahirnya kelompok-kelompok garis keras tidak bisa dipisahkan dari dua sebab. Pertama, para penganut garis keras tersebut mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena ketertinggalan umat Islam terhadap kemajuan barat dan penetrasi budayanya dan segala ekses yang timbul karenanya. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampak matrialistik budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan cara-cara kekerasan untuk menghadapinya. Kedua, kemunculan kelompok-kelompok Islam keras itu tidak terlepas dari adanya pendangkalan agama dari kalangan umat Islam sendiri, terutamanya dari para kaum mudanya. Hal ini bisa di jumpai banyak dari sebagian besar anggota-anggota mereka yang tergabung di dalamnya adalah mereka yang berlatar belakang pendidikan ilmu-ilmu eksata dan ekonomi. Mereka mencukupkan diri interpretasi keagamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual tanpa di diringi dengan pelbagai penafsiran yang ada, kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap teks-teks yang ada.118 Menurut Gusdur “Kesempurnaan sistem” Islam sebagai agama, tidak didasarkan pada kekuatan atau wewenang lembaga tertentu, melainkan pada kemampuan akal manusia untuk melakukan perbandingan sendiri-sendiri. Dalam pandangannya, kesadaran pluralistik seperti inilah yang harus dipelihara bukannya dengan mendasarkan pada adanya lembaga tertentu sperti negara.119 118 K.H. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009) h. xxvi 119 K.H. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009) h. 14 cxxxiv Lebih lanjut Gusdur menyatakan bahwa Islam tidak mementingkan bentuk kelembagaan, melainkan fungsi-fungsi lembaga. Karena itu, Islam tidak mengenal konsep tentang negara, melainkan tentang fungsi-fungsi negara. Dengan demikian, sebuah konsep negara bangsa (nation-state) menjadi sama nilainya dengan negara Islam. Sikap ini, tidak berarti Islam memusuhi konsep negara agama, termasuk konsep tentang Negara Islam, melainkan hanya menunjukkan betapa bentuk negara bukanlah sesuatu yang esensial dalam pandangan Islam, karena segala sumber-sumber tekstual (adillah naqliyah) tidak pernah membicarakan bentuk-bentuk negara. Yang selalu dibicarakan adalah berbagai fungsi dari sebuah negara,120 3. Islam dan Pluralisme Bagi sebagian kalangan, kiprah tokoh Nahdlatul Ulama ini sering kali mengundang kontroversi, bahkan rasa tidak simpatik. Namun, di kalangan umatnya warga nahdliyin, kelompok minoritas, dan mereka yang gigih mendorong pluralisme. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur ini adalah simbol kebebasan dan kesetaraan. Bicara apa adanya, blak-blakan, dan tidak jarang membuat kuping pendengarnya panas. Ungkapan-ungkapan lantangnya tak jarang membuat orang terkaget-kaget. Bagi pria yang lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren ini, pluralisme adalah keniscayaan sekaligus berkah dari 120 K.H. Abdurrahman Wahid, “Islam Dan Fungsi Keadilan”. Artikel diakses pada 27 Januari 2009 dari www.gusdur.net cxxxv Tuhan Yang Maha Esa yang tidak akan terhapus di bumi Indonesia sampai kapanpun.121 Hubungan antar umat beragama di Indonesia tampaknya kembali mengalami cobaan dan ujian berat dua tahun terakhir ini. Kalau dilihat dengan cermat tampak bahwa hal itu masih akan berlangsung cukup lama. Memulihkan hubungan semula yang tampak harmonis dan kemudian mengalami keretakan, bukanlah hal yang mudah. Namun, masa depan kita sebagai bangsa banyak bergantung pada kemampuan pemulihan hubungan itu. Kegagalan dalam hal ini dapat mengakibatkan ujung traumatik yang megerikan; terpecah belahnya kita sebagai bangsa.122 Refleksi Gusdur diatas menggambarkan betapa bangsa ini menghadapi cobaan besar. Pluralitas agama, etnis, bahasa dan budaya yang menjadi penyokong terbentuknya bangsa ini menghadapi tantangan, terutama dari kelompok-kelompok yang tidak mau mengakui keragaman. Inilah awal persoalan timbul yang pada gilirannya membuat sebagaian muslim tidak terbuka kepada saudaranya yang muslim dan cenderung berlaku memusuhi mereka. Pengingkaran terhadap pluralitas agama merupakan sikap menutup mata terhadap realitas yang ada. Padahal Allah menjadikan umatnya beragam untuk membedakan antara sang Pencipta dengan apa yang diciptakan, yaitu ketunggalan hanya milk Allah semata. 121 Mohammad Bakir dan M Zaid Wahyudi, “Ketegaran Pluralisme Akar Rumput. Artikel diakses pada 18 januari 2009 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/23/01275173/ketegaran.pluralisme.akar.rumput 122 K.H. Abdurrahman Wahid, Gusdur Menjawab Perubahan Zaman, (Jakarta: PT kompas Media Nusantara, 2002) h.14 cxxxvi Jika pemahaman ini bisa dimengerti oleh kaum muslimin, maka penerimaan terhadap “yang beda” akan berdampak baik untuk terjaganya keragaman dan toleransi agama-agama yang ada di Indonesia. Dalam soal pandangan Islam terhadap kekerasan dan terorisme, sikap Gusdur sangat jelas: mengecam keras dan mengutuk penggunaan kekerasan oleh sejumlah kelompok Islam garis keras. Menurut Gusdur satu-satunya alasan penggunaan kekerasan yang bisa di tolerir dalam Islam adalah jika kaum Muslimin terusir dari tempat tinggal mereka. Pendapat Gusdur tersebut sejalan apa yang telah diperintahkan al-Quran di dalam surat al-Muntahanah ayat 8 disebutkan, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil pada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.” Gusdur dalam berbagai kesempatan sering membacakan ayat tersebut sebagai pembelaanya terhadap nasib komunitas Ahmadiyah atau kelompok minoritas lainnya yang mendapatkan tindakan kekerasan dari kelompok muslim tertentu karena dianggap melecehkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Pluralisme adalah bagian dari Islam sejak dulu. Inti dari Islam kan sebetulnya hanya dua dalam kalimat syahadat, yaitu tentang keesaan Tuhan dan kerasulan Muhammad. Di luar itu, masing-masing saja,123 123 KH. Abdurrahman Wahid, “Pluralisme Bagian dari Islam”. Artikel diakses pada 19 Januari 2009 dari www.gusdur.net cxxxvii Dalam pandangan Gusdur, ajaran Islam senantiasa memiliki jalinan dua hal, yaitu sisi individual dan sisi kolektif atau kemasyarakatan. Gusdur mencontohkan ayat poligami, yang menurutnya bahwa ayat tersebut bukanlah bersifat perintah tapi hanya bersifat kebolehan untuk poligami. Oleh karenanya ayat tersebut besifat individual, karenanya tidak boleh melakukan generalisasi. Kenyataan tersebut juga harus dilihat kepada siapa keadilan itu ditunjukkan? Kalau bagi seorang laki-laki, berapa orang istri pun tetap dianggap adil, namun bagi wanita yang bersangkut paut dengan keadilan secara normal, tentu ia akan menolak poligami.124 Dalil naqli yang menunjuk satu sisi kolektif Gusdur mencontohakan pada ayat, “Wahai manusia, kami umat manusia secara keseluruhan. Dan yang dikehendaki adalah kenyataan yang tidak tertulis yaitu persaudaraan antara sesama manusia.125 Di lihat dari berbagai pengertian seperti diterangkan di atas, jelaslah bahwa ribuan sumber tertulis (dalil Naqli), baik berupa ayat-ayat Kitab Suci Al Qur’an maupun ucapan Nabi Muhammad SAW, akan memiliki peluang-peluang yang sama bagi pendapat-pendapat yang saling berbeda, antara universalitas sebuah pandangan atau partikularitasnya di antara kaum muslimin sendiri. Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa perbedaan pendapat justru sangat dihargai oleh Islam, karena yang tidak diperbolehkan bukanya perbedaan pandangan, melainkan pertentangan dan perpecahan. Kitab suci kita menyatakan: 124 KH. Abdurrahman Wahid, Islam: Pribadi dan Masyarakat, Duta Masyarakat, Sabtu 15/02/2003 125 KH. Abdurrahman Wahid, Islam: Pribadi dan Masyarakat, Duta Masyarakat, Sabtu 15/02/2003 cxxxviii “Berpeganglah kalian kepada tali Allah secara menyeluruh, dan janganlah terpecah-belah/saling bertentangan “(Wa tashimu bi habli Allah Jami’an wala tafarraqu). Ini menunjukan lebih jelas, bahwa perbedaan pendapat itu penting, tetapi pertentangan dan keterpecahbelahan adalah sebuah malapetaka. Dengan demikian, nampak bahwa perbedaan, yang menjadi inti sikap dan pandangan perorangan harus dibedakan dari pertentangan dan keterpecah-belahan, sebagai upaya kolektif dari sebuah totalitas masyarakat.126 Menurut Din Syamsudin, pemikiran Gus Dur sebagai pemikiran yang bersifat substantivistik. Menurutnya, dengan pendekatan substantivistik dalam islamisasi Indonesia membuka ruang bagi terjadinya pribumisasi Islam (domestication of Islam), usaha mewujudkan nilai-nilai universal Islam ke dalam kultur bangsa Indonesia yang beragam. Dalam konteks ini pula kultur Islam harus dipandang hanya sebagai salah satu dari sekian banyak kultur bangsa. Ia hanya bersifat komplementer terhadap kultur Indonesia secara keseluruhan. Dengan pemikiran ini diharapkan masyarakat muslim mempunyai kesadaran kebangsaan, termasuk bahwa negara Indonesia harus dibangun atas dasar kesadaran ini. Implikasi dari implementasi pemikiran Gus Dur ini adalah adanya pluralisme.127 126 KH. Abdurrahman Wahid, Islam: Pribadi dan Masyarakat, Duta Masyarakat, Sabtu 15/02/2003 127 pada 14 Abd. Haris, Abdurrahman Wahid: Telaah Kritis atas Ide Neo-moderrnisme, Diakses November 2008 dari http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-30.html cxxxix Adanya anggapan bahwa pluralisme sama dengan relativisme dibantah oleh Gusdur. Menurutnya al-Quran sering menggunakan bahasa dengan maksud yang berbeda-beda. Ada kalanya dengan tujuan mikro atau makro dan pada saat lain ayat tersebut menunjukkan tujuan mikro dan makro sekaligus. Dalam memahami ayat “lakum diinukum wa liyadin” Gusdur berpandangan bahwa ayat tersebut berlaku secara mikro maupun makro. Dalam hal ini, perintah Allah berlaku baik bagi setiap orang muslim maupun bagi semua orang yang memeluk agama tersebut. Jadi, antara semua agama yang ada di dunia secara makro harus ada sikap saling menghormati, tanpa “kehilangan” keyakinan akan “kebenaran” masing-masing. Suatu hal yang harus diingat dalam hal ini, adalah kenyataan bahwa Islam selalu ‘berbicara’ dalam bahasa yang beragam. Adakalanya secara mikro, dan ada kalanya secara makro dan kadang pula pula ia berbcara secara mikro dan makro. Secara mikro dapat dilihat pada firman Allah di atas, yaitu “Tiap orang pekerja mengerjakan sesuai dengan kecakapan/profesinya”. Namun, ada kalanya ia berbicara secara makro, seperti firman Allah: “Dan barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka amal sholehnya tidak diterima dan ia diakhirat kelak menjadi orang yang merugi “(Wa man yabtaghi ghaira al-Islami diinan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-akhirati mina al-khasirin). Ini adalah sikap makro tiap orang muslim terhadap para pengikut agama lain, karenanya menjadi sikap semua orang muslim terhadap semua orang yang beragama lain. Apakah ini berarti Islam tidak menghargai agama lain? Tidak demikian. Penghargaan itu harus ‘ditunjukkan’ dalam bentuk lain, yaitu penghargaan kepada tiap perbuatan baik (a’mal al khair). Seperti Allah swt berfirman: “Hendaknya ada sebuah kelompok diantara kalian, yang mengajak kepada perbuatan baik” (Waltakun minkum ummatun yad’uuna ila al-khairi). Firman Allah ini jelas berarti penghormatan terhadap tiap perbuatan baik umat manusia, walaupun berbeda keyakinan. Adapun perintah Allah yang harus berlaku secara mikro maupun makro dapat dilihat antara lain pada ayat berikut: “Bagi kalian agama kalian, dan bagiku agamaku” (Lakum diinukum wa liyadiin). Dalam hal ini, perintah Allah berlaku baik bagi setiap orang muslim maupun bagi semua orang yang memeluk agama tersebut. Jadi, antara semua agama yang ada di dunia secara makro harus cxl ada sikap saling menghormati, tanpa “kehilangan” keyakinan akan “kebenaran” masing-masing. Inilah prinsip hubungan antar agama secara makro bagi setiap orang. Nah, kita sendiri sekarang dapat mengaca perbuatan yang kita lakukan, dalam sikap terhadap agama lain. Sudahkah kita memiliki “obyektifitas” (tidak memihak) kepada emosi sendiri? Jika belum, terus terang saja kita belum menjadi muslim yang dikehendaki oleh kitab suci tersebut. Namun, upaya perbaikan itu sendiri dapat dilakukan tiap waktu. Bukankah sebuah pepatah menyatakan, bahwa lebih baik terlambat dari pada tidak pernah sama sekali (better late than never).128 Pada kesempatan dialog interaktif dalam acara Konkow Bareng Gusdur. Seorang penanya dari umat Kristen menanyakan apakah sama konsep ketuhanan Kristen dengan “trinitasnya” yang dalam Islam dikenal dengan perwujudan sifat Allah yang duapluh dan pada asmaul khusna. Menurut Gusdur konsep ketuhanan antara Islam dan Kristen jelas berbeda. Namun demikian itu hak kaum kristen untuk menafsirkan demikian.129 128 Abdurrahman Wahid, Penafsiran Baru Atas Al-Qur’an. Artikel diakses pada 27 Januari 2009 dari www.gusdur.net 129 Dialog Interaktif dalam Konkow Bareng Gusdur di Radio 68H Jakarta pada 11 April 2009 cxli BAB V PPENUTUP A. Kesimpulan Pluralisme pada dasarnya adalah nilai-nilai dan realitas yang telah ada dan terus berkembang secara alamiah yang dikehendaki keberadaannya oleh sang pencipta. Meskipun demikan masih banyak diantara kaum muslim, karena kehatihatiannya yang berlebihan, untuk tidak membuka diri terhadap realitas Ilahi berupa penerimaan terhadap pihak lain yang berbeda dari sisi agama maupun dari status lainnya. Maka apa yang dilakukan Gusdur sebagai motor untuk membumikan nilai-nilai pluralisme di Indonesia adalah didorong oleh suatu kenyataan yang ada dari wahyu ilahi baik di al-Quran maupun tanda-tanda alam lainnya. Meskipun Gusdur tidak secara formal oleh masyarakat luas dikenal sebagai da’i, namun posisinya sebagai mantan ketua PBNU tetap dianggap sebagai ulama yang memiliki integeritas dalam keilmuan, paling tidak pengakuan tersebut dilakukan oleh kaum tradisional NU. Sebagai seorang da’i Gusdur memiki karakter yang berbeda dari da’i pada umumnya, yaitu ia memilih berdakwah lewat budaya atau dakwah kultural yang manfaatnya untuk Bangsa Indonesia. 1. Menurut Gusdur dakwah tidak musti harus disampaikan dengan secara formal, artinya ketika seseorang da’i berdakwah tidak harus menyelipkan ayat-ayat alQuran maupun hadist Nabi. Bagi penggiat dakwah tentu pendapat tersebut terasa cukup aneh, namun sesungguhnya apa yang dilakukan Gusdur adalah cxlii membuka peluang yang sebesar-besarnya kepada setiap muslim. Bahwa dakwah itu bisa dilakukan oleh siapaun asalal dengan tujuan kepada amal sholeh. Inilah salah satu bentuk yang dimaksud Gusdur pribumisasi Islam, dimana nilai-nilai Islam telah mengalami internalisasi dan selanjutnya termanifestasikan pada budaya sehari-hari dalam kehidupan kita. Sehingga secara “diam-diam” Gusdur telah berdakwah kepada siapapun, termasuk non Muslim, dengan strategi budaya atau dakwah kultural termasuk didalamnya jarang menggunakan dalil-dalil agama. Sejauh ini Gusdur berhasil dalam dakwahnya untuk membawa pesan, bahwa Islam adalah agama yang membawa kedamaian kepada seluruh alam. Itu dibuktikan banyaknya penghargaan yang diperolehnya dari organisasi non-muslim atas jasanya yang melindungi kaum minoritas. 2. Perjuangan Gusdur untuk membumikan nilai-nilai pluralisme di Indonesia adalah sebuah keharusan bagi dirinya. Sebagai konsesus yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa yang tertuang dalam Pancasila, Preamblu, UUD 45 serta semboyan negara, “Bihinika Tunggal Eka”, merupakan harga mati yang harus terus dihormati dan dipatuhi oleh generasi-generasi selanjutnya. Maka ketika Gusdur berbicara tentang Islam ia juga harus mandasarkan pada kepentingan yang lebih besar yaitu, kepentingan bangsa dengan tidak terbatas hanya pada umat Islam saja. Keyakinan Gusdur akan kebenaran nilai-nilai pluralisme juga untuk mengingatkan kembali apa yang telah diwahyukan oleh Allah seperti dalam surat al-Baqoroh ayat 256, al-Hujarat ayat 13, al-Kafirun ayat 6, yang kesemuanya menunjuk pada kebebasan bagi umat manusia untuk cxliii memaluk agama sesuai keyakinannya. Selain itu, Perwujudan nilai-nilai pluralisme juga secara jelas dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari. Beliau begitu sabar dan tetap santun dalam menghadapi musuh-musuhnya saat di mekkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Nabi Muhammad SAW juga mencontohkan kehidupan bernegara dengan menggagas Negara kota, yang terbuka untuk saling menghormati keyakinannya masing-masing antara Islam, Yahudi, dan Kristen hidup bersama dibawah naungan Piagam Madinah. Piagam inilah yang juga menjadi model bagi Indonesia untuk tetap mempertahankan keragaman atau pluralisme yang sudah ada sebelum Islam datang sebagai agama mayoritas dikemudian hari sampai sekarang. Dari ketiga dasar itulah yaitu, Firman Allah, Contoh baginda Nabi Muhammad SAW dan kesetiaan pada konstitusi negara, Pancasila dan UUD 1945, membuat Gusdur secara yakin dengan kebenaran langkahnya untuk terus “mendakwahkan pluralisme” sebagai upayanya untuk memperkokoh bangunan toleransi, sebagai perwujudan untuk menuju pada konsep universalitas Islam yang rahmatan lil alamin. B. Saran-Saran Secara umum apa yang telah dilakukan Gusdur dalam mempertahankan nilai pluralisme merupakan nilai positif bagi Indonesia. Ini akan menjadi model yang baik bagi negara-negara lain dalam mengelola perbedaan dengan penuh sikap toleransi. Namun apa yang dilakukan Gusdur sejauh pengamatan penulis ada bebrapa hal yang harus menjadi catatan, diantaranya: cxliv 1. Dengan pilihan dakwahnya untuk menyuarakan perlunya penyadaran akan pentingya nilai-nilai pluralisme pada satu sisi akan menimbulkan kecurigaan pada diri kaum muslim apalagi Pluralisme sebagai paham adalah produk sejarah yang dilahirkan oleh tradisi barat. Sementara mayoritas Umat Islam seringkali menganggap bahwa apa yang datang dari barat lebih banyak buruknya. Sehingga Gusdur sering berbenturan pendapat, yang pada gilirannya ada tuduhan-tuduhan dari orang yang berbeda pendapat dengan Gusdur. Padahal sesungguhnya Gusdur sangat mengerti betul jika simbolsimbol atau terminolgi yang digunakan berasal dari budaya barat pada gilirannya akan mendapat penolakan dari umat Islam. Jalan yang lebih produktif barangkali mencoba untuk “mengindonesiakan” terminologi pluralisme. 2. Kelemahan Gusdur adalah begitu jarangnya mengutip dalil, baik dari al-Quran maupun hadist dalam berbagai kesempatan diskusi yang dilakukannya. Hal ini memang sesuai pendapatnya bahwa berdakwah tidak harus disampaikan secara formal dengan mengutip ayat-ayat atau hadist. Namun faktanya masih banyak umat Islam yang merasa lebih mantap jika ceramah-ceramah itu di selingi dalil-dalil keagamaan. Sehingga apa yang disampaikan Gusdur sulit diyakini kebenarannya oleh kaum muslim atau mad’u. 3. Tanggung jawab untuk menciptakan kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan saling menghormati bukanlan kewajiban Gusdur saja. Namun semua komponen bangsa terutamanya pemerintah perlu terus berperan aktif dalam upaya-upaya tersebut. Karena, keharmonian antara pemeluk agama juga cxlv pendukung utama dalam menciptakan kehidupan bangsa yang aman, sehingga progam-prgam pembangunan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Kemudian bagi pemuka agama marilah kita bersama-sama menyampaikan kebenaran yang kita yakini dengan cara santun sekaligus menghormati adanya perbedaan yang terjadi dalam masyarakat. cxlvi DAFTAR PUSTAKA Abda, Slamet Muhaimain. Prinsip-Prinsip Metode Dakwah. Yogyakarta: Sipress, 1996. al-Banna, Gamal. Doktrin Pluralisme dalam al-Quran. Jakarta, Menara,2006. al-Brebesy, Ma’mun Murod Menyingkap Pemikiran Politik Gusdur dan Amin Raistentang Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999. Ali, A. Mukti. “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda. Jakarta : INIS, 1992. Arifin, H.M. Psikologi Dakwah. Jakarta: Bulan Bintang, 1998 Artikel diakses pada 18 Januari 2009 http://www.gusdur.net/indonesia/index.php?option=com_content&task= view&id=23&Itemid=63 Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam,. Jakarta: Paramadina, 1999. Bakir, Mohammad dan Wahyudi, M Zaid.“Ketegaran Pluralisme Akar Rumput”. Artikel diakses pada 18 Januari 2009 http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/23/01275173/ketegaran.plura lisme.akar.rumput Barton, Greg Biografi Gusdur. Yogyakarta: LKIS,2003. dari www.gusdur.net Di akses dari www.wikipedia.com Indonesia pada 31 juli 2008 Echol, Jhon M. dan Shadiliy, Hasan (ed.). “plur”, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1996. Effendi, Bahtiar dan Prasetyo, Hendro (ed.).Radikalisme Agama. Jakarta: PPIMIAIN Jakarta, 1998 Fadlolan Musyaffa, MA. “Budaya dan Media Dakwah”. Artikel diakses pada 17 Juli 2007 dari http://www.numesir.org/cetak.php?id=43 Fadlolan Musyaffa, MA. “Budaya dan Media Dakwah”. Artikel diakses pada 25 Februari dari http://www.numesir.org/cetak.php?id=43 Gazali, Bahri. Dakwah Komunkaif. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997. cxlvii Ghazali, Abdul Moqsith. Prakarsa perdamaian, , Jakarta: Tashwirul Afkar, 2007. Gusdur dalam pengantar, Al Quran Kitab Toleransi, Jakarta: Fitrah, 2007. Hafidudin, Didin. Dakwah Aktual. Jakarta: Gema Insani Press,1998. Hamka. Tafsir al Azhar, juz XIII-XVI. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas 1983. Harahap, Syahrin. Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Haris, Abd. “Abdurrahman Wahid: Telaah Kritis atas Ide Neo-moderrnisme”. Artikel diakses pada 14 November 2008 dari http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-30.html Haryatmoko, “Mencoba Menafsir Pluralisme”, Kompas, 20 Agusutus 2005 Hefni, H. Harjani et al, Metode Dakwah. Jakarta: Rahmat Semesta, 2003. Hidayat, Komaruddin. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi:Doktrin dan Peradaban Islan di Panggung Sejarah.Jakarta: Paramadina, 2003. http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Universalisme.html http://paramadina.wordpress.com/2007/02/25/contoh-pluralisme-jaman-nabi/ Husaini, Adian “Teologi Pluralis yang Merusak (Kerukunan) Agama” Artikel diakses pada 29 Jun 2008 [email protected] Kontowijoyo. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Salahudin Press, 1985. M. Ali Safaat, “Kesetiaan Warga Negara Terhadap Konstitusi”. diakses pada tanggal 27 Maret 2009 dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=524 Misrawi, Zuhairi. Al-Quran Kitab Toleransi. Jakarta: Fitrah, 2007. Mohamad Shahrour, diakses pada tanggal 27 Juni 2008 www.mediaisnet.com Mubarok, Achmad. Psikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999. Muhammad , Alfian dan jacob, Helmi (ed.), Gusdur Bertutur. Jakarta: Penerbit Harian Proaksi, 2005. 202 cxlviii Muhammad, Husain. “Pluralisme dan Multikulturalisme sebagai masalah dalam pergulatan Tafsir dalam Islam”. Artikel diakses pada 25 Februari 2009 dari www.wahidinstitute.com Muhyidin, Asep. Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi dan Wawasan. Bandung: Pustaka Setia, 2002. Mulkhan, Abdul Munir. Idiologi Gerakan Dakwah.Yogyakarta: Sipress, 1996. Nasar, M. Fuad “Nabi Muhammad SAW Membangun Konsep Umat,”artikel diakses pada 13 Maret 2009 dari http://bimasislam.depag.go.id/?mod=article&op=detail&klik=1&id=258 Noer, Mohammad Dakwah untuk Umat. Makalah dalam Workshop Program Studi Sejenis Ditjen Pendidikan Islam Depag RI, 2007. Noor, Farid ma’ruf . Dinamika dan Akhlak Dakwah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981. Rosyidi. Dakwah Sufistik Kang Jalal. Jakarata: Paramadina, 2004. Santoso, LIstiyono Teologi Politik Gusdur. Yogyakarta: Ar-Ruz h, 2004. Shihab, Qurais. “Wawasan al-Quran”. Artikel diakases pada 15 Mei 2009 dari http://media.isnet.org/ Shihab, Quraish. Membumikan al Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1998. Sihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung, Mizan, 1997. Sorprapto, Pluralitas,” Konflik dan Kearifan Dakwah”. Artikel diakses pada 25 Februari 2009 dari www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Su prapto.doc Spencer, Robert. Islam ditelanjangi. Penerjemah Mun’im A. Sirry. Jakarta: Paramadina, 2003. Suaedy, Ahmad dan Abdala, Ulil Abshar (ed.), Gila Gusdur : Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKIS, 2000. cxlix Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: UI-Press, 1995. Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta: Kompas, 2001. Suseno, Franz Magnis. Islam dan Nilai-Nilai Universal. Jakarta: ICIP, 2008. Syukir, Asmunmi. Dasar Dasar Strategi Dakwahj Islam. Surabaya: Al Ikhlas, 1983. Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah.. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987. Umar, Toha Yahya. Ilmu Dakwah. Jakarta: Widjaya,1992. Usman, Fathimah. Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama. Yogyakarta: LkiS, 2002 Wahid, Abdurahman. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Jakarta, Desantara, 2001. ______________ “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”. Artikel diakses pada 17 Januari 2009 dari ______________. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Jakarta, Desantara, 2001. ______________Ilusi Negara Islam. Jakarta: The Wahid Institute, 2009. ______________“Islam Dan Fungsi Keadilan”. Artikel diakses pada 27 Maret 2009 ______________ “Islam, Nasionalis dan Orang Arab”. Artikel diakses pada 27 Januari 2009 dari www.gusdur.net ______________ “Lagi-Lagi Pribumisasi Islam”. Artikel diakses pada Februari 2009 http://www.fkb dpr.or.id/index.php? 25 ______________ Gusdur Menjawab Perubahan Zaman. Jakarta: PT kompas Media Nusantara, 2002. ______________. Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M, , 1989. cl ______________.” Islam: Pribadi dan Masyarakat,” Duta Masyarakat, Sabtu 15/02/2003 Wahid, Salahuddin. “NU dan Khialafah Islamiyah”. Artikel diakses pada 14 Desember 2008 dari www.nu.or.id www.averroes.or.id www.kompas.com/2008/06 di akses pada 27 Juli 2008 www.liputan6.com /2001/03 di akses pada 24 Juli 2008 www.mediaisnet.com www.tempointeraktif.com diakses pada kamis 31 juli 2008 www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/06/30/brk%C2006063079626%2cid.html Yakub, Hamzah Publisistik Islam Tekhnik Dakwah Islam Dan Lidersif. Bandung: CV Diponogoro 1986. Zada, Khamami dan Rafah, Arif R. Diskursus Politik Islam. Jakarta: LSIP, 200 cli clii