61 Fenomena Corporate Social Responsibility dan UU Perseroan Terbatas Defia Nurbatin Email: [email protected] STIE INDOCAKTI Jl. Besar Ijen No. 90-92 Malang, Jawa Timur Abstrak: Tujuan penelitian ini untuk pengungkapan informasi corporate social responsibility sebelum dan sesudah diberlakukannya UU Perseroan Terbatas No 40 tahun 2007 dengan objek penelitian perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Pemilihan objek penelitian yang memenuhi kriteria pemilihan sampel sebanyak 21 perusahaan. Penelitian ini menggunakan event window selama 7 tahun yaitu 3 tahun sebelum dan 3 tahun sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007. Pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri laporan tahunan perusahaan dan sebagai panduan digunakan check list atau daftar pertanyaan-pertanyaan yang berisi item-item pengungkapan pertanggungjawaban sosial berdasarkan pedoman GRI. Hasil dari penghitungan check list, dianalisa menggunakan analisa trend dan analisa perbandingan untuk mengetahui perbandingan luas pengungkapan sebelum dan sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa perusahaan manufaktur di Indonesia telah sejak lama mengenal konsep CSR dan dalam menjalakan bisnisnya juga mengaplikasikan konsep CSR itu sendiri. Berdasarkan fenomena tersebut, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, tetapi perusahaan harus berpijak pada triple bottom line. Kata kunci: Corporate Social Responsibility, Undang-Undang Perseroan Terbatas Pendahuluan Pasar bebas membawa para pengusaha dan elemen bisnis saling berlomba untuk bekerja efisien dan produktif dengan cara yang paling memungkinkan untuk memperoleh keuntungan finansial. Aktifitas bisnis ini akan mendorong para pengusaha untuk mencapai tujuan-tujuan jangka pendeknya saja, yaitu memenangkan persaingan, memperoleh keuntungan finansial sebesar-besarnya dan menimbun kekayaan untuk memperbesar usahanya. Safithri (2008) menyatakan bahwa tujuan perusahaan hanyalah menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemegang sahamnya. Jika perusahaan memberikan sebagian keuntungannya bagi masyarakat dan lingkungan, maka perusahaan telah menyalahi kodratnya. Apapun cara akan dipakai perusahaan untuk mencari laba setinggitingginya. Tanggung jawab sosial hanya ada pada individu dan tidak melekat pada perusahaan sebab tanggung jawab perusahaan adalah menghasilkan keuntungan yang sebesarbesarnya bagi pemegang saham. Pemahaman tersebut akan memicu perilaku perusahaan untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, eksploitasi tenaga kerja dan keserakahan. Perilaku perusahaan yang hanya berorientasi pada keuntungan finansial, akan mengganggu sustainability development (pembangunan berkelanjutan) kehidupan yang akan datang. Sustainability development (pembangunan berkelanjutan) merupakan pembangunan yang menyelaraskan antara pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Pada perkembangannya, pembangunan berkelanjutan dikenal sebagai pendekatan esensial untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan tanpa menghabiskan sumber daya alam dan kultural atau menurunkan kondisi lingkungan (World Commission on Environment and Development, 1987 dalam Poerwanto, 2010:37). Para manajer perusahaan sebagai manusia dan sebagai manajer sekaligus, mempunyai tanggung jawab dan kewajiban 62 moral kepada banyak orang dan pihak lain yang berkaitan dengan kegiatan dan operasi bisnis perusahaan yang dipimpinnya. Para manajer perusahaan mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral untuk memperhatikan hak dan kepentingan karyawan, konsumen, pemasok, penyalur, masyarakat setempat, dan seterusnya. Pemikiran pembangunan berkelanjutan telah mendorong banyak pihak untuk meningkatkan kesadaran akan keselamatan bumi dari kerusakan. Banyak perusahaan swasta kini mengembangkan apa yang disebut Corporate Social Responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan). Wacana CSR ini sudah menjadi trend global. Banyak perusahaan telah menggeser paradigma sempit yang menyatakan bahwa orientasi seluruh kegiatan perusahaan hanyalah profit (laba), dimana aktivitas apapun harus dinilai dari sudut pandang menambah keuntungan finansial secara langsung atau tidak. Bisnis modern memandang keuntungan tidak hanya diukur dari aspek finansial saja tetapi lebih luas, yaitu mencakup citra organisasi, aspek social seperti memberi kesempatan kerja dan mitra. Dengan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses produksi berarti perusahaan telah membangun konstruksi sosial untuk meredam gejolak seperti pengangguran atau ketimpangan yang seandainya hal itu terjadi akan memerlukan biaya yang sangat besar. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tidak sekadar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukannya, melainkan juga menuntut perusahaan untuk bertanggung jawab secara sosial, karena selain terdapat ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat di sekitarnya, kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan dampak negatif, misalnya eksploitasi sumber daya alam dan rusaknya lingkungan di sekitar operasi perusahaan. CSR merupakan sebuah konsep yang menyatakan bahwa perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu corporate value (nilai perusahaan) yang direfleksikan dalam kondisi financial (keuangan) saja, tetapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya selain keuangan juga ada sosial dan lingkungan. Global Compact Initiative (2002 dalam Nughroho, 2007) menyebut pemahaman ini dengan profit, people, planet (3P), yaitu tujuan bisnis tidak hanya mencari profit (laba), tetapi juga menyejahterakan people (orang), dan menjamin keberlanjutan hidup planet (bumi) ini. CSR menekankan perlunya sebuah perusahaan untuk membangun hubungan harmonis dengan masyarakat di sekitarnya. Karena perusahaan tidak bisa hidup, beroperasi dan memperoleh keuntungan tanpa bantuan pihak lain. CSR menuntut perusahaan harus mempertimbangkan semua kepentingan berbagai pihak yang terkena pengaruh dari tindakannya. Acuan pertimbangan para manajer dalam mengambil keputusan dan tindakan bukan semata-mata para pemegang saham saja, melainkan juga pihak lain manapun yang terkena pengaruhnya. Menurut Rakhiemah dan Agustia (2009) perusahaan dapat memperoleh banyak manfaat dari praktek dan pengungkapan CSR apabila dipraktekkan dengan sungguh-sungguh, diantaranya: dapat mempererat komunikasi dengan stakeholders, meluruskan visi, misi, dan prinsip perusahaan terkait dengan praktek dan aktivitas bisnis internal perusahaan, mendorong perbaikan perusahaan secara berkesinambungan sebagai wujud manajemen risiko dan untuk melindungi reputasi, serta untuk meraih competitive advantage (keuntungan kompetitif) dalam hal modal, tenaga kerja, supplier, dan pangsa pasar. Survei yang dilakukan di beberapa negara, termasuk di Indonesia tentang perhatian pelanggan terhadap isu lingkungan cukup tinggi. Mereka akan memilih produk yang memenuhi standar yang ditetapkan, bahkan mereka bersedia membayar lebih mahal jika produk yang dikonsumsinya memiliki kepedulian terhadap tanggung jawab sosial. Pada tahun 2004 di Inggris nilai konsumsi masyarakat yang keputusannya didasarkan atas pertimbangan faktor etika sosial perusahaan tak kurang dari 44 miliar dollar AS. Survei yang dilakukan The 63 Millenium Poll on Corporate Social Responsibility terhadap konsumen di 23 negara menyebutkan bahwa dua pertiga dari 25.000 konsumen yang disurvei menyebut tanggung jawab sosial perusahaan sebagai faktor penting keputusan konsumsi mereka (Budi, 2008:29). Para pelaku usaha juga menyakini bahwa program CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan perusahaan di masa yang akan datang. Artinya, CSR tidak lagi dilihat sebagai pusat biaya melainkan sebagai pusat laba di masa mendatang. Karena melalui hubungan yang harmonis dan citra yang baik, maka akan terjadi timbal balik dimana masyarakat juga akan ikut menjaga eksistensi perusahaan. Dalam prakteknya di lapangan, pemerintah terus memikirkan untuk mengatur praktek dan bentuk CSR yang dilakukan oleh perusahaan. Sehingga semua permasalahan yang menyangkut praktek CSR, dapat diselesaikan secara hukum. Pada awalnya dalam hukum perseroan terbatas, pelaksanaan CSR di Indonesia masih bersifat sukarela sehingga sangat bergantung pada pimpinan puncak perusahaan. Artinya, kebijakan CSR tidak selalu dijamin selaras dengan visi dan misi perusahaan. Jika pemimpin perusahaan memiliki kesadaran moral yang tinggi maka perusahaan tersebut menerapkan kebijakan CSR yang benar, namun jika sebaliknya maka kebijakan CSR hanyalah sekedar promosi. Hampir empat dekade, konflik tanah, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, kemiskinan dan gangguan kesehatan dengan mudah dijumpai pada kawasan-kawasan eksploitasi sumber daya alam, khususnya pertambangan skala besar. Hal itu terjadi dikarenakan kesalahan paradigma perusahaan mengenai CSR, ditambah dengan regulasi yang lemah sehingga prakteknya di lapangan menjadi tidak terkontrol. UU No 1 tahun 1995 sebagai payung hukum perseroan belum mengatur CSR. Pada tanggal 16 Agustus 2007, pemerintah mengeluarkan produk hukum baru sebagai pengganti dari hukum perseroan terbatas selama ini yaitu UU No 40 tahun 2007 yang menggantikan UU No 1 tahun 1995. Dalam UU No 40 tahun 2007 pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya. Disebutkan juga di pasal 74 bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam, bahkan disertai dengan sanksi bagi perusahaan yang tidak melakukannya. Pemerintah berharap, dengan dikeluarkannya UU No 40 tahun 2007 perusahaan-perusahaan di Indonesia yang selama ini belum melakukan CSR sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada masyarakat, mulai melakukan CSR. Perusahaan-perusahaan yang telah melakukan CSR, supaya terus meningkatkan praktek CSR yang lebih baik lagi. Dengan demikian perusahaan ikut menjaga pembangunan berkelanjutan di Indonesia khususnya di daerah-daerah sekitar perusahaan. Penelitian ini mengacu pada penelitian Kusumadilaga (2010), Nurlela dan Islahuddin (2008). Kusumadilaga (2010) menguji apakah terdapat perbedaan luas pengungkapan CSR dalam laporan tahunan perusahaan yang diteliti, sebelum dan sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007. Hasilnya, terdapat perbedaan luas pengungkapan CSR dalam laporan tahunan perusahaan yang ditelliti, sebelum dan sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007. Safithri (2008) meneliti tentang analisis hukum terhadap pengaturan CSR pada UU No 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa upaya perusahaan dalam meningkatkan peranannya dalam pembangunan kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan membutuhkan sinerji kemitraan antara perusahaan, pemerintah dan komunitas atau masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengungkapan informasi CSR sebelum dan sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas yang menggantikan UU No 1 tahun 1995. Penelitian ini pernah dilakukan oleh kusumadilaga (2010), 64 namun penelitian yang dilakukan hanya uji beda setahun sebelum dan setahun sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Penelitian ini tidak lagi melakukan uji beda, namun untuk membandingkan informasi CSR sebelum dan sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 digunakan analisis trend dan analisis perbandingan. Untuk mengukur luas pengungkapan informasi CSR di dalam penelitian ini digunakan pedoman Global Reporting Initiative (GRI). Alasan digunakannya pedoman GRI di dalam penelitian ini karena pengungkapan yang terdapat di dalam GRI bersifat internasional dan bisa digunakan untuk berbagai macam sektor dan ukuran perusahaan. Global Reporting Initiative (GRI) adalah sebuah jaringan berbasis organisasi yang telah mempelopori perkembangan dunia, paling banyak menggunakan kerangka laporan keberlanjutan dan berkomitmen untuk terusmenerus melakukan perbaikan dan penerapan di seluruh dunia. Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah yang dapat diangkat yaitu menguraikan perbandingan informasi pengungkapan CSR sebelum dan sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah membandingkan informasi pengungkapan CSR sebelum dan sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 perseroan terbatas. Landasan Teori Teori Stakeholder Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya. Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut. Tanggung jawab sosial perusahaan seharusnya melampaui tindakan memaksimalkan laba untuk kepentingan shareholder, namun lebih luas lagi bahwa kesejahteraan yang dapat diciptakan oleh perusahaan sebetulnya tidak terbatas kepada kepentingan pemegang saham, tetapi juga untuk kepentingan stakeholder, yaitu semua pihak yang mempunyai keterkaitan atau klaim terhadap perusahaan (Untung, 2008 dalam Waryanti, 2009). Mereka adalah pemasok, pelanggan, pemerintah, masyarakat lokal, investor, karyawan, kelompok politik, dan asosiasi perdagangan. Seperti halnya pemegang saham yang mempunyai hak terhadap tindakantindakan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan, stakeholder juga mempunyai hak terhadap perusahaan (Waryanti, 2009). Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu power stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber tersebut. Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan. Ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara-cara yang memuaskan keinginan stakeholder (Ghozali dan Chariri, 2007 dalam Kusumadilaga, 2010). Corporate Social Responsibility (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan. Ferrel, Hirt, dan Linda (2006, dalam Poerwanto, 2010:20) mendefinisikan tanggung jawab sosial sebagai kewajiban para pelaku bisnis untuk memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif pada masyarakat. Pertanggungjawaban sosial 65 perusahaan adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum (Darwin, 2004 dalam Anggraini, 2006). Menurut Susanto (2003:8), pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dalam prakteknya dapat diklasifikasikan menjadi 3 bentuk, yaitu terdiri dari: a. Bentuk tanggung jawab sosial yang dilaksanakan perusahaan yaitu sebagai bentuk reaksi sosial. Dimana tanggung jawab tersebut merupakan suatu kesadaran bagi perusahaan dalam melakukan tanggung jawab sosialnya dan memiliki arti yang sangat penting. b. Tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan yaitu lebih bersifat sebagai kewajiban sosial. Dalam hal ini tanggung jawab sosial perusahaan merupakan salah satu bentuk kewajiban yang telah diatur oleh pemerintah, sehingga tanggung jawab sosial perusahaan lebih terkesan memaksa. c. Tanggung jawab sosial terlihat dari perusahaan yang telah berpotensi melaksanakan respon sosial. Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan ini terdiri dari adanya kerjasama yang baik antara pihak perusahaan dan lingkungan masyarakat dalam memberikan tanggung jawabnya terhadap kepentingan masyarakat dan perusahaan sendiri. Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan Pengungkapan ada yang bersifat mandatory yaitu pengungkapan informasi wajib dilakukan oleh perusahaan yang didasarkan pada peraturan atau standar tertentu dan ada yang bersifatvoluntary yang merupakan pengungkapan informasi melebihi persyaratan minimum dari peraturan yang berlaku. Setiap unit atau pelaku ekonomi selain berusaha untuk kepentingan pemegang saham dan mengkonsentrasikan diri pada pencapaian laba juga mempunyai tanggung jawab sosial, dan hal itu perlu diungkapkan dalam laporan tahunan. Standar CSR yang Digunakan Penelitian ini dalam mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan pelaporan sosial perusahaan berdasarkan pedoman GRI. GRI adalah sebuah jaringan berbasis organisasi yang telah mempelopori perkembangan dunia, paling banyak menggunakan kerangka laporan keberlanjutan dan berkomitmen untuk terusmenerus melakukan perbaikan dan penerapan di seluruh dunia. Daftar pengungkapan sosial yang berdasarkan pedoman GRI juga pernah digunakan oleh Dahli dan Siregar (2008). Penelitian ini menggunakan 3 indikator pengungkapan yaitu: ekonomi, lingkungan, sosial (tenaga kerja, hak asasi manusia, sosial dan produk). Indikator-indikator yang terdapat di dalam GRI yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Economic Performance Indicator (Indikator Kinerja Ekonomi). 2. Environment Performance Indicator (Indikator Kinerja Lingkungan). 3. Social Performance Indicator (Indikator Kinerja Sosial). CSR sebelum Diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Perwujudan CSR sebenarnya telah dilakukan dunia usaha sejak dahulu dengan sebutan seperti kegiatan bakti sosial atau bantuan sosial. Pada awalnya pelaksanaan CSR di Indonesia bersifat sukarela sehingga sangat bergantung pada pimpinan puncak perusahaan. Artinya, kebijakan CSR tidak selalu dijamin selaras dengan visi dan misi perusahaan. Jika pemimpin perusahaan memiliki kesadaran moral yang tinggi maka perusahaan tersebut menerapkan kebijakan CSR yang benar. Sebaliknya, jika orientasi pimpinannya hanya berdasarkan pada kepentingan kepuasan pemegang saham serta pencapaian prestasi pribadi maka kebijakan CSR hanya selalu sekedar iklan belaka. Sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang dan lemahnya penegakan hukum telah menjadikan Indonesia 66 sebagai negara ideal bagi perusahaan yang memang memperlakukan CSR sebagai iklan belaka. Hal yang penting bagi perusahaan model ini hanyalah laporan tahunan yang baik dan lengkap dengan tampilan aktivitas sosial serta dana program pembangunan yang telah direalisasi. Padahal program CSR sangat penting sebagai kewajiban untuk bertanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisi kehidupan umat manusia di masa mendatang. Pada tahap selanjutnya UU No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sudah menerapkan konsep tanggung jawab sosial perusahaan dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan sebelum terbitnya UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Tinjauan dalam Undang-undang tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam Pasal 2 jo Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 19 tahun 2003 telah mengatur penerapan CSR. Bahkan untuk peraturan pelaksanaannya telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan keuangan negara. Adapun bentuk penerapan tanggung jawab sosial perusahaan BUMN seperti yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara BUMN tersebut adalah dalam bentuk program kemitraan dan program bina lingkungan (PKBL) bersumber dari penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua persen). Besaran dana tersebut ditetapkan oleh Menteri untuk Perum dan RUPS untuk Persero dan dalam kondisi tertentu dapat ditetapkan lain dengan persetujuan Menteri atau RUPS. Dana program kemitraan diberikan dalam bentuk pinjaman untuk membiayai modal kerja, pinjaman khusus untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha mitra binaan, beban pembinaan untuk membiayai pendidikan, pelatihan, pemasaran, promosi dan lain-lain yang menyangkut peningkatan produtivitas mitra binaan. Sedangkan ruang lingkup bantuan program bina lingkungan BUMN berupa antara lain bantuan korban bencana alam, bantuan pendidikan dan atau pelatihan, bantuan peningkatan kesehatan, bantuan pengembangan prasarana dan atau sarana umum, bantuan sarana ibadah, bantuan pelestarian alam serta tata cara atau mekanisme penyaluran, kriteria untuk menjadi mitra binaan BUMN dan pelaporan telah diatur dalam peraturan ini. Peraturan perundangan yang juga telah mengatur tentang tanggung jawab sosial yaitu UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dalam Pasal 15 butir b jo Pasal 17 jo Pasal 34 ditegaskan dan diamanatkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya setempat. Selain itu, di bidang lingkungan hidup juga sudah terdapat peraturan perundang-undangan yang memiliki konsep pembangunan berkelanjutan sebagai pemikiran dasar konsep CSR yaitu UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hak atas lingkungan hidup merupakan salah satu hak asasi manusia yang diakui oleh PBB. Sebenarnya hak ini telah diatur dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV jo Pasal 33 ayat (3), yang saat ini disamakan sebagai hak atas lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Hal ini juga didukung oleh UU Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 5 ayat (1) dimana pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Terbukti dengan masih banyaknya kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup akibat proses pembangunan dan kegiatan perusahaan yang merupakan kerugian bagi lapisan masyarakat dan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan diaturnya hak atas lingkungan dalam perundang-undangan nasional maka sebagai konsekuensinya adalah hak tersebut 67 memberikan kepada yang mempunyai tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya akan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum oleh pengadilan dan perangkat lainnya. CSR sesudah Diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pada tahun 2007 dimana UU No 40 yang diberlakukan oleh pemerintah untuk menggantikan UU No 1 tahun 1995 tentang perseroan terbatas, merupakan titik awal dimana tanggung jawab sosial perusahaan tidak lagi bersifat sukarela tetapi sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan adalah mengenai bagaiamana memperlakukan para stakeholder perusahaan secara etis atau dengan cara yang bertanggung jawab. Artinya perusahaan memperlakukan stakeholder dengan cara yang dianggap dan diterima oleh lingkungan masyarakat sosial, karena tanpa didukung oleh komunitas dan masyarakat setempat, eksistensi sebuah perusahaan tidak dapat bertahan lama. UU No 40 tahun 2007 pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya. Setelah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007, CSR tidak lagi hanya sekedar kedermawanan yang kebijakannya tergantung pada pimpinan perusahaan, namun sebuah komitmen perusahaan untuk menjaga dan berperan serta dalam pembangunan berkelanjutan sehingga generasi yang akan datang tetap dapat mempertahankan kehidupannya. Mencermati UU N0 40 tahun 2007, pasal 74 mengandung enam unsur yaitu kewajiban bagi, perseroan yang bergerak di bidang pengelolaan atau berkaitan dengan sumber daya alam (SDA), dianggarkan sebagai biaya, dilakukan dengan memperhatikan aspek kepatutan dan kewajaran, bagi pelanggarnya dikenai sanksi serta, pengaturan lebih jauh akan dituangkan dalam satu peraturan pemerintah. Hal-hal inilah yang perlu mendapat perhatian dalam ketentuan CSR pada UU perseroan terbatas.Setelah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas tentunya kualitas pengungkapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan akan sangat berbeda dengan sebelum diberlakukannya UU No 40 tahun 2007. Dengan adanya UU yang mengatur praktek CSR, maka akan terjadi peningkatan baik dari segi kualitas dalam pengungkapannya maupun kuantitasnya. Semakin baik CSR yang dilakukan oleh perusahaan, itu berarti semakin baik pula kehidupan masyarakat dan seluruh stakeholder perusahaan. Tujuan utama dari CSR adalah untuk menciptakan standar kehidupan yang semakin tinggi, disamping mempertahankan keuntungan perusahaan, bagi khalayak baik di dalam ataupun di luar perusahaan. Metode Analisis Data Analisis Trend Pada penelitian ini analisis trend dilakukan untuk melihat kecenderungan atau tendensi posisi luas pengungkapan CSR sebelum dan sesudah diberlakukannya UU No 40 Tahun 2007. Untuk melihat pergerakan kecenderungan atau tendensi posisi, maka hasil dari penghitungan setiap indikator CSR berdasarkan pedoman GRI dikonversikan ke bentuk grafik. Penghitungan analisis trend dalam penelitian ini menggunakan bantuan program Minitab versi 13.2. Analisis Perbandingan Analisis perbandingan digunakan untuk mengukur dan membandingkan pengungkapan CSR sebelum dan sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh diberlakukannya UU No 40 Tahun 2007 terhadap praktek CSR oleh perusahaan di Indonesia. Jika luas pengungkapan CSR dengan indikator ekonomi, lingkungan dan sosial sesudah diberlakukannya UU No 40 lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum diberlakukannya UU No 40, maka keputusan pemerintah untuk mengatur CSR dalam UU berhasil mendorong perusahaan 68 untuk mengubah pandangannya bahwa CSR tidak lagi bersifat sukarela akan tetapi menjadi sebuah komitmen perusahaan. Hasil dan Pembahasan Kecenderungan atau trend luas pengungkapan CSR dengan indikator ekonomi sebelum diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 yaitu pada tahun 2004-2006 terus mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak lama perusahaan telah mengenal konsep ekonomi CSR, sehingga meskipun belum adanya UU yang secara khusus mengatur tentang CSR, perusahaan telah menerapkan konsep ekonomi CSR. Indikator ekonomi memberikan gambaran mengenai aliran modal antar para pemangku kepentingan dan dampak ekonomi perusahaan terhadap masyarakat. Indikator kinerja ekonomi bertujuan untuk mengukur hasil ekonomi akibat aktivitas perusahaan dan pengaruhnya terhadap para pemangku kepentingan. Informasi atas kinerja ekonomi perusahaan sangat bermanfaat untuk dapat memahami perusahaan dan keberlanjutannya. Kecenderungan atau trend luas pengungkapan CSR dengan indikator lingkungan sebelum diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 yaitu pada tahun 2004-2006 terus mengalami peningkatan. Indikator lingkungan memberikan gambaran mengenai usaha-usaha yang dilakukan oleh perusahaan dalam menggunakan atau memanfaatkan sumber daya alam untuk memproduksi barang dan jasa secara efektif dan efisien atau tanpa merusak sumber daya alam yang ada, sehingga tidak mengganggu keseimbangan kehidupan yang akan datang. Kecenderungan atau trend luas pengungkapan CSR dengan indikator sosial sebelum diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 yaitu pada tahun 2004-2006 terus mengalami peningkatan. Indikator sosial memberikan gambaran mengenai bagaimana perusahaan menganggap dan memperlakukan tenaga kerjanya, bagaimana perusahaan memberikan pelatihan dan seminar-seminar yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerjanya untuk meningkatkan kualitas SDM yang mereka miliki dan menunjang karir mereka di perusahaan, jaminan keselamatan kerja dan peningkatan kesejahteraan kehidupan tenaga kerjanya terutama kesejahteraan atau tunjangan yang diberikan setelah habis masa kerja (pensiun). Kecenderungan atau trend luas pengungkapan CSR sebelum diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 yaitu pada tahun 20042006 yang terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak sebelum UU No 40 tahun 2007 diberlakukan pemerintah, perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia telah mengenal konsep CSR. Sebelum UU No 40 tahun 2007 diberlakukan, konsep CSR di Indonesia lebih dikenal dengan konsep philanthropic (pemberian bantuan) atau bakti sosial perusahaan kepada masyarakat. Perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia telah mengenal konsep CSR yang telah menjadi trend dunia dan menjadi konsep yang baru dalam dunia bisnis modern, sejak lama bahkan sejak sebelum adanya UU di Indonesia yang mengatur praktek CSR. Bisnis modern memandang keuntungan tidak hanya diukur dari aspek finansial saja tetapi lebih luas, yaitu mencakup citra organisasi, aspek sosial seperti memberi kesempatan kerja dan mitra, dengan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses produksi berarti perusahaan telah membangun konstruksi sosial untuk meredam gejolak seperti pengangguran atau ketimpangan yang seandainya hal itu terjadi akan memerlukan biaya yang sangat besar. Kecenderungan atau trend luas pengungkapan CSR dengan indikator ekonomi sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 yaitu pada tahun 2008-2010 yang terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008-2010, sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007, keadaan ekonomi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Dunia bisnis terus mengalami perkembangan sehingga persaingan usaha juga semakin meningkat. Meningkatnya kinerja ekonomi berdampak pada peningkatan kesejahteraan perusahaan. Peningkatan kinerja ekonomi perusahaan, jika tanpa diimbangi dengan kontribusi yang diberikan kepada masyarakat, akan menimbulkan kesenjangan 69 ekonomi. Oleh karena itu perusahaan perlu dan terus meningkatkan komitmennya untuk melakukan tanggung jawab sosial dengan indikator ekonomi. Kecenderungan atau trend luas pengungkapan CSR dengan indikator lingkungan sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 yaitu pada tahun 2008-2010 terus mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki kepedulian akan pelestarian lingkungan dan terus meningkatkan kontribusinya terhadap pelestarian lingkungan. Pada tahun 2008-2010 dimana kegiatan ekonomi perusahaan terus mengalami peningkatan, sumber daya alam yang dipakai sebagai bahan produksi juga akan semakin meningkat. Perusahaan menyadari bahwa lingkungan merupakan faktor yang menunjang dan mendukung proses produksi perusahaan. Terlebih dengan isu global yang terjadi saat ini, dimana dunia sedang mengalami perubahan iklim yang cukup parah dikarenakan kerusakan alam yang terjadi. Perubahan iklim yang terjadi sering mengakibatkan bencana alam. Jika hal ini tidak segera ditangani dengan baik, sustainability development bumi ini akan terganggu. Menjaga dan melestarikan lingkungan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, namun juga menjadi tanggung jawab perusahaan dan masyarakat. Kecenderungan atau trend luas pengungkapan CSR dengan indikator sosial sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 yaitu pada tahun 2008-2010 terus mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan terus meningkatkan kepeduliannya terhadap sosial masyarakat. Faktor sosial merupakan faktor penunjang keberadaan dan keberlangsungan perusahaan. Kepedulian perusahaan terhadap masyarakat akan memberikan dampak yang baik bagi peningkatan kesejahteraan kehidupan sosial masyarakat dan secara tidak langsung akan meningkatkan keuntungan perusahaan. Kehidupan sosial masyarakat yang lebih baik akan meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat. Meningkatnya daya beli masyarakat, mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsinya. Jika konsumsi masyarakat meningkat, itu berarti barang-barang hasil produksi perusahaan akan mengalami peningkatan penjualan dan dengan demikian meningkatkan keuntungan perusahaan. Kecenderungan atau trend luas pengungkapan CSR sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 yaitu pada tahun 20082010 terus mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa praktek dan pengungkapan CSR pada perusahaanperusahaan manufaktur di Indonesia terus mengalami peningkatan secara kualitas maupun kuantitas. Peningkatan secara kuantitas berarti perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia semakin mampu untuk melakukan praktek CSR yang lebih baik lagi. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah mengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah goldenrules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan, dengan begitu perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat (Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam Nurlela dan Islahuddin, 2008). Perbandingan pengungkapan CSR sebelum dan sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007. Trend atau kecenderungan luas pengungkapan CSR terus mengalami peningkatan sejak sebelum diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 hingga sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia telah sejak lama mengenal konsep CSR. Konsep CSR yang telah menjadi trend global lahir akibat pemikiran pembangunan berkelanjutan yang peduli akan keselamatan bumi dari kerusakan. Konsep yang menyatakan 70 bahwa orientasi perusahaan hanyalah profit (laba), dimana aktivitas apapun harus dinilai dari sudut pandang menambah keuntungan financial secara langsung atau tidak, sudah tidak dapat lagi diterima. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tidak sekadar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukannya, melainkan juga menuntut perusahaan untuk bertanggung jawab secara sosial. Karena, selain terdapat ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat di sekitarnya, kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan dampak negatif, misalnya eksploitasi sumber daya alam dan rusaknya lingkungan di sekitar operasi perusahaan. Alasan inilah yang mendorong perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia untuk melakukan CSR sejak lama bahkan sebelum adanya UU No 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas yang telah mengatur CSR. CSR menuntut perusahaan harus mempertimbangkan semua kepentingan berbagai pihak yang terkena pengaruh dari tindakannya. Acuan pertimbangan para manajer dalam mengambil keputusan dan tindakan bukan semata-mata para pemegang saham saja, melainkan juga pihak lain manapun yang terkena pengaruhnya. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan hasil analisis yang telah dikemukakan sebelumnya, hasil dari temuan peneliti maka dapat disimpulkan bahwa UU No 40 tahun 2007 yang diberlakukan pemerintah pada bulan Agustus untuk menggantikan UU No 1 tahun 1995 tentang perseroan terbatas tidak memiliki dampak yang cukup besar bagi pelaksanaan CSR di Indonesia. Perbandingan luas pengungkapan CSR dengan indikator ekonomi, lingkungan dan sosial sebelum dan sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 menunjukkan trend atau kecenderungan yang terus meningkat dari sebelum diberlakukannya UU No 40 tahun 2007 hingga sesudah diberlakukannya UU No 40 tahun 2007. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia telah sejak lama mengenal konsep CSR. Perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia telah sejak lama menjalankan bisnisnya sesuai dengan konsep CSR dimana perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, tetapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Konsep triple bottom lines menekankan pada tujuan bisnis tidak hanya mencari keuntungan, namun juga menyejahterakan stakeholder-nya dan menjamin keberlanjutan bumi ini dari kerusakan yang terjadi sekarang ini. Para pelaku usaha meyakini bahwa program CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan perusahaan di masa yang akan datang. CSR bukan lagi dilihat sebagai pusat biaya melainkan sebagai pusat laba di masa mendatang. Keterbatasan Penelitian 1. Penilaian CSR menggunakan variabel dummy berkisar antara 0 dan 1, sehingga penelitian ini tidak memberikan kerincian informasi atas kualitas informasi keuangan dan non keuangan di masing-masing perusahaan. 2. Terdapatnya unsur subyektifitas dalam menentukan indeks pengungkapan, karena tidak adanya standar baku yang dapat dijadikan acuan, sehingga penentuan indeks untuk indikator GRI dapat berbeda antara setiap peneliti. Saran a. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menggunakan indeks pengukuran dengan bobot angka, misalnya skala 1-5. b. Penelitian selanjutnya diharapkan melibatkan pihak lain seperti lembaga penilai lingkungan yang lebih memiliki otoritas dan berkompeten dibidang CSR khususnya untuk pengungkapan lingkungan sebagai bahan pemeriksaan kembali. 71 Daftar Pustaka Anggraini, Retno. 2006. Pengungkapan Informasi Sosial dan faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang Terdaftar di BEJ). Simposium Nasional Akuntansi 9. Padang. Budi, hendrik. 2008. Corporate Social Responsibility. Sinar Grafika: Jakarta. Dahlia, Lely dan Veronica, Sylvia. 2008. Pengaruh Corporate Responsibility terhadap Kinerja Perusahaan (Studi Empiris pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Indonesia pada Tahun 2005 dan 2006). Simposium Nasional Akuntansi XI. Pontianak. _________.Indikator GRI (revisi 2006). http://www.globalreporting.org (Online), diakses 16 Juni 2011. Nugroho, Yanuar. Dilema Tanggung Jawab Korporasi : Kumpulan Tulisan. http://www.unisosdem.org (Online), diakses tanggal 10 juni 2011. Nurlela, Rika dan Islahudin. 2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi SNA XI. Pontianak. Poerwanto. 2010. Corporate Social Responsibility, Menjinakkan Gejolak Sosial di Era Pornografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rakhiemah, A. N. dan Agustia, D. 2009. Pengaruh Kinerja Lingkungan terhadap Corporate Social Responsibility (CSR) Disclosure dan Kinerja Finansial Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang. Safithri, Ika. 2008. Analisis Hukum Terhadap Pengaturan Corporate Social Responsibility Pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Tesis, Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara. Susanto, A.B. 2003. Mengembangkan Corporate Social Responsibility di Indonesia. Jurnal Reformasi Ekonomi. Waryanti, 2009. Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sosial Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia. Skripsi tidak diterbitkan, Semarang : Fakultas Akuntansi UNDIP. Social