Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Penelitian Kebutuhan energi khususnya bagi Indonesia semakin meningkat bahkan cenderung mengalami krisis. Saat ini telah dilakukan berbagai terobosan untuk mencari sumber energi alternatif guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebagai salah satu sumber pembangkit tenaga listrik memiliki peranan yang sangat penting dalam menyediakan energi listrik. Oleh karena itu setiap komponen yang terdapat dalam mesin pembangkit listrik harus mendapatkan perawatan dan pemeliharaan guna menghindari hal – hal yang tidak diinginkan seperti macetnya generator, rusaknya turbin, yang dapat menyebabkan pembangkit berhenti beroperasi dan akan mengganggu ketersediaan pasokan aliran listrik. Bagi masyarakat dan perusahaan yang memperoleh sumber energi listriknya dari PLTA, adanya gangguan pasokan aliran listrik tersebut dapat menimbulkan kerugian akibat berhentinya beroperasi mesin produksi yang berarti akan ada kerugian baik materi maupun waktu produksi. Salah satu komponen yang vital pada PLTA adalah runner turbin yang berfungsi untuk menggerakkan generator pembangkit listrik pada PLTA, karena runner pada turbin selalu kontak dengan air maka peluang untuk terjadinya korosi sangat besar. Masalah kualitas air pada PLTA menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan proses terjadinya korosi pada runner turbin, hal ini terutama pada air yang kontak langsung dengan runner turbin mengandung ion-ion agresif korosi yang dapat menjadi pemicu terjadinya korosi seperti ion klorida, ion sulfida dan sebagainya. Menurut Macdonald dkk. dalam Rahmouni dkk. (2005) menyatakan bahwa dalam medium klorida kehadiran ion sulfida akan mempercepat laju korosi campuran logam Cu-Ni. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Gudas dan Hack dalam Rahmouni dkk. (2005) yang menyatakan bahwa campuran logam Cu-10Ni memiliki ketahanan korosi yang sangat baik pada medium air laut tanpa kehadiran ion sulfida tetapi ketika ion sulfida 0,01 ppm ditambahkan dalam medium air laut, laju korosi pada campuran logam Cu-10Ni menunjukkan hasil yang sangat signifikan. Fakta yang lain juga ditunjukkan pada logam Cu dan campurannya dimana pada logam kuningan (campuran logam Cu dan Zn) yang mengandung lebih dari 15% seng adalah adanya peluruhan seng (dezincification) sebagai akibat adanya pengaruh lingkungan yang mengandung sulfida yang tinggi. Proses hilangnya seng biasanya dipercepat oleh tingginya temperatur dan naiknya kandungan klorida (Trethewey, 1991). Berdasarkan kenyataan tersebut di atas dan berdasarkan laporan hasil pemantauan kualitas air waduk Saguling pada bulan Agustus 2006 (lampiran A), peluang terjadinya korosi pada runner turbin di PLTA Saguling sangat besar mengingat kualitas air yang digunakan untuk menggerakkan runner turbin mengandung ion sulfida sebagai H2S. Selain masalah kualitas air pada PLTA yang dapat menjadi pemicu terjadinya korosi pada runner turbin, adanya pengaruh suhu juga turut berperan dalam meningkatkan laju korosi yang terjadi pada logam dan campurannya. Hal tersebut diungkapkan oleh Takasaki dan Yamada (2007) yang melaporkan bahwa laju korosi pada baja karbon meningkat dalam konsentrasi anion agresif (ion klorida, Cl- dan ion sulfat, SO42-) yang proporsional seiring dengan meningkatnya temperatur. Pada konsentrasi anion dan temperatur yang rendah, laju korosi juga akan rendah demikian pula sebaliknya jika konsentrasi anion dan temperaturnya tinggi maka laju korosi suatu logam juga akan semakin tinggi. Pencegahan korosi merupakan salah satu aspek penting dalam pemeliharaan material ataupun komponen unit produksi yang terbuat dari logam agar dapat berfungsi dengan baik seoptimal mungkin. Usaha pemeliharaan dari serangan korosi sebagai upaya memaksimalkan waktu pakai turbin dapat dilakukan dengan penggunaan inhibitor korosi yang ditambahkan kedalam lingkungan air yang berkontak dengan turbin tersebut. Inhibitor korosi yang digunakan selain harus mampu mencegah dan menanggulangi korosi yang terjadi pada turbin juga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Dalam hal ini inhibitor yang biasa digunakan adalah inhibitor organik yang diharapkan akan lebih ramah lingkungan karena dapat didegradasi oleh lingkungan secara alami. I.2 Metoda, Hipotesis dan Ruang Lingkup Penelitian Ada beberapa langkah yang dilakukan dalam upaya mengetahui jenis korosi, laju korosi dan inhibitor yang cocok untuk diterapkan pada runner turbin, salah satu teknik yang bisa dilakukan adalah dengan teknik spektroskopi impedansi elektrokimia (Electrochemical Impedance Spectroscopy, EIS). Dengan teknik ini yang dapat dilihat adalah bagaimana hubungan antara laju korosi dengan efektifitas suatu inhibitor yang digunakan karena adanya inhibitor akan memungkinkan terbentuknya lapisan pada permukaan material uji yang dapat menghambat polarisasinya. Dengan terbentuknya selaput inhibitor di permukaan logam yang dapat bertindak sebagai lapisan isolator listrik, maka hambatan polarisasi tersebut akan meningkat disertai dengan penurunan kapasitansi lapisan rangkap listrik. Maka, melalui pengukuran EIS, kinerja inhibitor pada korosi material uji dapat dievaluasi daya inhibisinya berdasarkan pada nilai hambatan (impedansi) listrik tersebut. Selain itu, keuntungan yang diperoleh dengan metoda EIS adalah waktu pengukuran yang relatif singkat dengan hasil pengukuran yang akurat jika dibandingkan dengan metoda penentuan laju korosi dengan cara pengurangan berat sampel (corrosion wheel test) karena metoda ini dilakukan secara manual dan membutuhkan waktu analisa yang cukup lama. Untuk dapat melihat kerusakan permukaan material uji yang diduga mengalami korosi dapat dianalisa menggunakan pindaian mikroskopi elektron (Scanning Electron Microscopy, SEM). Hal ini dilakukan karena proses korosi dimulai pada permukaan yang kemudian dapat menjalar ke bagian fasa ruah material uji. Dengan demikian metoda ini bermanfaat untuk melihat tingkat kerusakan akibat korosi dan keberhasilan penggunaan inhibitor dalam melindungi material uji. Dalam upaya melindungi permukaan material uji dari serangan korosi maka pada penelitian ini akan digunakan inhibitor benzotriazol (BTAH) yang memiliki kinerja sangat baik sebagai inhibitor korosi logam Cu dan campurannya. Akan tetapi inhibitor benzotriazol hanya cocok digunakan sebagai inhibitor korosi pada sistem yang terisolasi dari lingkungan mahluk hidup karena memiliki toksisitas yang tinggi (Ismail, 2007). Sebagai inhibitor pembanding digunakan inhibitor sistein (Cys) yang merupakan senyawa organik yang ramah lingkungan dan memiliki sifat tidak beracun. Dengan latar belakang permasalahan di atas dapat dihipotesiskan bahwa : 1. Terjadi korosi sebaran pada logam Cu-37Zn sebagai pengaruh suhu, ion klorida dan ion sulfida. 2. Inhibitor korosi diharapkan dapat membentuk lapisan molekuler pada permukaan logam Cu-37Zn yang dapat menghambat terjadinya korosi pada runner turbin. I.3 Tujuan Penelitian Berkaitan dengan latar belakang permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui jenis dan laju korosi yang terjadi pada material runner turbin di lingkungan larutan tiruan yang paling korosif di PLTA Saguling. b. Memilih inhibitor korosi yang memiliki potensi untuk menurunkan laju korosi pada runner turbin (inhibitor efektif, efisien dan lebih ramah lingkungan). Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai proses korosi pada logam Cu-37Zn yang digunakan sebagai material runner turbin dan faktor-faktor yang berpengaruh baik terhadap laju korosi maupun terhadap inhibisinya.