PARITAS DAN KELAINAN LETAK DENGAN KEJADIAN KETUBAN PECAH DINI Ery Kartika Sari*, Henny Juaria* *Akademi Kebidanan Griya Husada, Jl. Dukuh Pakis Baru II no.110 Surabaya Email : [email protected] ABSTRAK Pendahuluan: Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban inpartu yaitu bila pembukaan pada primipara kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm, tanpa memperhatikan usia gestasi. Penyebab KPD diantaranya paritas dan kelainan letak akibat dari kelemahan intrinsik uterus sehingga menyebabkan ketuban pecah. Dampak dari KPD adalah infeksi maternal dan neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, dan deformitas janin. Di Puskesmas Balongsari Surabaya dari tahun 2010-2012 kejadian KPD rata-rata 12 % dibandingkan dengan harapan kejadian ketuban pecah dini menurut Saifudin, A.B (2010) (8-10 %) dan Depkes (2010) (6-10 %). Tujuan penelitian yaitu diketahuinya hubungan antara paritas dan kelainan letak dengan kejadian KPD di Puskesmas Balongsari Surabaya tahun 2013. Metode: Penelitian ini menggunakan analitik observasional, jenis cross sectional dengan data sekunder. Populasi penelitian sejumlah 252 ibu bersalin dan besar sampel 117 orang yang dipilih secara Systematic Random Sampling. Hasil penelitian dibuat tabel frekuensi, tabulasi silang dan dianalisis menggunakan uji Chi-Square dengan = 0,05. Hasil: Hasil penelitian didapatkan paritas ibu bersalin mayoritas multipara 62,39 %, kelainan letak 17,95 %. Kejadian KPD dengan paritas multipara, grandemultipara 31,17 % dan dikarenakan kelainan letak 42,86 %. Hasil uji Chi-Square didapatkan bahwa pada paritas dan kelainan letak janin χ2 hitung > χ2 tabel yang artinya Ho ditolak. Ada hubungan antara paritas dan kelainan letak dengan kejadian KPD. Diskusi: Peran petugas kesehatan yaitu mendeteksi kelainan letak sedini mungkin, memperbaiki status gizi ibu hamil, membatasi jumlah kelahiran. Kata Kunci : Paritas, Kelainan Letak, KPD PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) pada tahun 2008, memperkirakan kematian maternal lebih dari 300-400 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini disebabkan oleh perdarahan 28%, eklampsia 12%, abortus 13%, sepsis 15%, partus lama 18%, dan penyebab lainnya 2% (Rachmaningtyas, A., 2013). Upaya untuk memperbaiki kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak telah menjadi prioritas utama dari pemerintah, bahkan sebelum Millenium Development Goal's 2015 ditetapkan. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator utama derajat kesehatan suatu negara. AKI dan AKB juga mengindikasikan kemampuan dan kualitas pelayanan kesehatan, kapasitas pelayanan kesehatan, kualitas pendidikan dan pengetahuan masyarakat, kualitas kesehatan lingkungan, sosial budaya serta hambatan dalam memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan (Depkes, 2010). Saat ini status kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, ditandai dengan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), dan angka kematian bayi (AKB). Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 didapatkan data Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup, mengalami penurunan jika dibandingkan dengan Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2002 yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Data AKI tersebut membuat Indonesia mulai optimis bahwa target Millenium Development Goal’s (MDG’s) untuk Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup dapat tercapai. Namun optimisme tersebut menjadi kecemasan setelah melihat hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) tercatat mengalami kenaikan yang signifikan yaitu sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup (Sindonews, 2013). Sedangkan untuk Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia walaupun masih jauh dari angka target MDGs yaitu Angka Kematian Bayi (AKB) tahun 2015 sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup tetapi tercatat mengalami penurunan yaitu dari sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2002) menjadi sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2007), dan terakhir menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2012) (Maulana, 2013). Pada tahun 2010 Angka Kematian Ibu (AKI) di Provinsi Jawa Timur sebesar 83,2/100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2011 sebesar 104,3/100.000 kelahiran hidup. Adapun faktor penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan 40-60 %, preeklamsi 20-30 %, infeksi 20-30 %. Salah satu penyebab infeksi adalah kejadian ketuban pecah dini yang tidak segera mendapatkan penanganan (Depkes, 2010). Ketuban pecah dini atau spontaneous /early/premature rupture of the membrane (PROM) adalah pecahnya ketuban inpartu yaitu bila pembukaan pada primipara kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm, tanpa memperhatikan usia gestasi. KPD dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu, sedangkan KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan (Nugroho, T., 2012). Menurut Saifudin, A.B (2010) pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia yang terjadi dalam kolagen matriks ekstra seluler amnion, korion, dan apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan produksi mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormon yang merangsang aktivitas “matrix degrading enzym”. Ketuban pecah dini (KPD) merupakan penyebab yang paling sering pada saat mendekati persalinan. Angka insidensi ketuban pecah dini pada tahun 2010 berkisar antara 6-10 % dari semua kelahiran. Angka kejadian KPD yang paling banyak terjadi ada kehamilan cukup bulan yaitu 95 %, sedangkan pada kehamilan prematur terjadi sedikit 34 % (Depkes, 2010). Menurut Oxorn. H (2010) insiden KPD terjadi sekitar 10 %-12 % dari semua kehamilan. Sedangkan insiden KPD menurut Varney. H, Kriebs. J.M dan Gegor. C.L (2007) sekitar 2,7 %-17 %, bergantung pada lama periode laten yang digunakan untuk menegakkan diagnosis. Menurut Saifudin, A.B (2010) dalam keadaan normal 8-10 % perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini. Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1 % kehamilan. Berdasarkan data Puskesmas Balongsari Surabaya pada Register Persalinan Puskesmas Balongsari Surabaya, tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa kejadian KPD cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2010 sampai 2012. Dari tahun 2010 sampai 2011 terjadi peningkatan (7,1 %), sedangkan dari tahun 2011 sampai 2012 terjadi peningkatan (2,7 %). Jadi rerata kejadian KPD (12 %). Hal ini relatif lebih tinggi dari keadaan normal perempuan hamil aterm yang mengalami ketuban pecah dini menurut Saifudin, A.B (2010) yaitu 8-10 %. Menurut Morgan. G dan Hamilton. C (2009) kemungkinan yang menjadi faktor penyebab terjadinya KPD adalah usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat dari pada ibu muda, paritas, infeksi, kelainan letak janin, inkompetensi serviks, riwayat KPD sebelumnya sebanyak 2 kali atau lebih, dan merokok selama kehamilan. Nugroho. T (2012) menambahkan faktor penyebab terjadinya KPD adalah tekanan intrauterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus: misalnya hidramnion, gemelli), trauma yang menyebabkan tekanan intrauterin (intra amniotik) mendadak misalnya hubungan seksual, keadaan sosial ekonomi, faktor golongan darah, faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu dan defisiensi gizi dari tembaga atau asam askorbat (vitamin C). Sedangkan Manuaba, I.B.G (2010) menambahkan status pekerjaan yang memerlukan aktifitas fisik yang berlebihan dapat memberikan tekanan pada rahim dan merangsang rahim berkontraksi sehingga dapat menyebabkan KPD. Nugroho. T (2012) KPD merupakan komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan kurang bulan, dan mempunyai kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada bayi yang kurang bulan. Pengelolaan KPD pada kehamilan kurang dari 34 minggu sangat kompleks, bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya prematuritas dan RDS (Respiration Dystress Syndrome). KPD merupakan masalah penting dalam bidang kesehatan yang berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi korioamnionitis sampai sepsis, serta menyebabkan infeksi pada ibu yang menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi (Saifudin, A.B., 2010). Manuaba, I.B.G (2010) menambahkan, KPD kemungkinan besar menimbulkan kompresi tali pusat. Semua ibu hamil dengan KPD sebaiknya di evaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis. Pengelolaan Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan masalah dalam kebidanan. Pengelolaan yang optimal dan baku masih belum ada selalu berubah. KPD sering kali menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi, terutama kematian perinatal yang cukup tinggi. Kematian perinatal yang cukup tinggi ini antara lain disebabkan karena kematian akibat kurang bulan, dan kejadian infeksi yang meningkat karena partus tak maju, partus lama, dan partus buatan yang sering dijumpai pada pengelolaan kasus KPD terutama pada pengelolaan konservatif (Varney. H, Kriebs. J.M dan Gegor C.L., 2007). Upaya dari tenaga kesehatan untuk menekan kejadian ketuban pecah dini yaitu dengan melakukan penatalaksanaaan sesuai dengan prosedur dan tindakan segera dalam pengelolaan kasus ketuban pecah dini. Sebagai bidan tentunya juga harus melaksanakan penatalaksanaan sesuai dengan kewenangan dan mendeteksi ketuban pecah dini sedini mungkin. METODE Penelitian ini menggunakan desain Cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin di Puskesmas Surabaya Tahun 2013 yang berjumlah 252 ibu bersalin. Besar sampel adalah 117 orang yang diambil dengan tehnik “systematic random sampling” Variabel penelitian adalah paritas, kelainan letak, dan kejadian ketuban pecah dini. Data dikumpulkan dari data sekunder (buku register persalinan) di Puskesmas Balongsari Surabaya. Selanjutnya data dianalisis menggunakan uji Chi-Square, dimana skla ordinal direduksi menjadi skala nominal. HASIL Paritas Ibu Bersalin Tabel 1 Frekuensi Paritas Ibu Bersalin di Puskesmas Balongsari Surabaya Tahun 2013 Paritas Frekuensi Persentase (%) Primipara 40 34,19 Multipara 73 62,39 Grandemultipara 4 3,42 Jumlah 117 100 Berdasarkan Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa mayoritas paritas ibu bersalin di Puskesmas Balongsari Surabaya tahun 2013 multipara (62,39 %). Kelainan Letak Tabel 2 Frekuensi Kelainan Letak di Puskesmas Balongsari Surabaya Tahun 2013 Kelainan Frekuensi Persentase letak (%) Ya 21 17,95 Tidak 96 82,05 Jumlah 117 100 Berdasarkan Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa frekuensi kelainan letak di Puskesmas Balongsari Surabaya tahun 2013 (17,95 %) Kejadian KPD Tabel 3 Frekuensi Kejadian KPD Ibu Bersalin di Puskesmas Balongsari Surabaya Tahun 2013 KPD Frekuens Persentase i ( % ) Ya 29 24,79 Tidak 88 75,21 Jumla 117 100 h Berdasarkan Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa frekuensi kejadian KPD di Puskesmas Balongsari Surabaya tahun 2013 (24,79 %). Analisa Data Menggunakan Tabulasi Silang Tabel 4 Tabulasi Silang antara Paritas Ibu Bersalin dengan Kejadian KPD di Puskesmas Balongsari Surabaya Tahun 2013 Berdasarkan Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa kejadian KPD di Puskesmas Balongsari Surabaya tahun 2013 lebih banyak terjadi pada paritas multipara, grandemultipara (31,17 %), dibandingkan primipara (12,5 %), sedangkan yang tidak mengalami KPD lebih banyak terjadi pada primipara (87,5 %). Tabel 5 Tabulasi Silang antara antara Kelainan Letak dengan Kejadian KPD di Puskesmas Balongsari Surabaya Tahun 2013 Berdasarkan Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa kejadian KPD di Puskesmas Balongsari Surabaya tahun 2013 lebih banyak terjadi karena kelainan letak (42,86 %), dibandingkan dengan yang disebabkan bukan kelainan letak (20,83 %), sedangkan yang tidak mengalami KPD meskipun mengalami kelainan letak (57,14 %). Uji Chi-Square Tabel 6 Uji Chi-Square antara Paritas Ibu Bersalin dengan Kejadian KPD di Puskesmas Balongsari Surabaya Tahun 2013 Dari hasil penghitungan dan analisa data didapatkan bahwa χ2 hitung (4,91) > χ2 tabel (3,84), maka H0 ditolak dan H1 diterima berarti ada hubungan antara paritas ibu bersalin dengan kejadian KPD di Puskesmas Balongsari Surabaya Tahun 2013. Tabel 7 Uji Chi-Square Hubungan antara Kelainan Letak dengan Kejadian KPD di Puskesmas Balongsari Surabaya Tahun 2013 Dari penghitungan dan analisa didapatkan bahwa χ2 hitung (4,50) > χ2 tabel (3,84), maka H0 ditolak dan H1 diterima berarti ada hubungan antara kelainan letak dengan kejadian KPD di Puskesmas Balongsari Surabaya Tahun 2013. PEMBAHASAN Ketuban pecah dini merupakan pecahnya ketuban saat inpartu dengan pembukaan pada primipara kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm, tanpa memandang usia gestasi. Ketuban pecah dini lebih banyak terjadi pada kehamilan aterm dibandingkan dengan kehamilan prematur. Adapun penyebab KPD ini belum diketahui secara pasti namun kemungkinan besar disebabkan oleh faktor paritas, dan kelainan letak (Nugroho, T., 2012). Berdasarkan Tabel 5.5 dapat disimpulkan bahwa kejadian KPD di Puskesmas Balongsari Surabaya tahun 2013 lebih banyak terjadi pada paritas multipara, grandemultipara (31,17 %). Menurut Morgan. G dan Hamilton. C (2009) bahwa pada multipara, grandemultipara kejadian KPD semakin besar hal ini bukan disebabkan oleh peningkatan aktivitas uterus melainkan dari kelemahan intrinsik uterus yang disebabkan oleh trauma sebelumnya pada serviks khususnya pada tindakan riwayat persalinan pervaginam, dilatasi serviks, kuretase. Keadaan ini dibuktikan dengan adanya dilatasi serviks tanpa rasa nyeri dalam trimester II atau awal trimester III kehamilan yang disertai dengan prolapsus membran amnion lewat serviks dan penonjolan membran tersebut dalam vagina, peristiwa ini diikuti oleh pecahnya ketuban dan selanjutnya ekspulsi janin immatur sehingga kemungkinan janin akan meninggal. Selain itu susunan serviks pada multipara, grandemultipara lebih banyak serabut saraf daripada jaringan ikat dibandingkan serviks normal. Rusaknya jaringan serviks tersebut maka kemungkinan otot dasar dari uterus meregang. Proses peregangan terjadi secara mekanis yang merangsang beberapa faktor di selaput ketuban seperti prostaglandin E 2 dan interleukin-8. Selain itu peregangan juga merangsang aktivitas MMP-1 pada membran. Interleukin-8 yang diproduksi dari sel amnion dan korionik bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang aktifitas kolegenase. Hal-hal tersebut akan menyebabkan terganggunya keseimbangan proses sintesis dan degradasi matriks ektraseluler yang akhirnya menyebabkan pecahnya selaput ketuban. Aktivitas kehamilan multipel, pengaruh hormon dan infeksi dapat berperan sebagian. Peningkatan paritas juga menyebabkan berkurangnya kelenturan leher rahim sehingga dapat terjadi pembukaan dini pada serviks. Pembukaan serviks yang prematur terkait dengan terjadinya perubahan-perubahan seperti penurunan jumlah jaringan kolagen dan terganggunya struktur kolagen, serta peningkatan aktivitas kolagenolitik. Degradasi kolagen tersebut terutama disebabkan oleh matriks metaloproteinase (MMP). MMP merupakan suatu grup enzim yang dapat memecah komponen-komponen matriks ektraseluler. Enzim tersebut diproduksi dalam selaput ketuban. MMP-1 dan MMP-8 berperan pada pembelahan triple helix dari kolagen fibril (tipe I dan III), dan selanjutnya didegradasi oleh MMP-2 dan MMP-9 yang juga memecah kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga diproduksi penghambat metaloproteinase atau tissue inhibitor metalloproteinase (TIMP). TIMP-1 menghambat aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan TIMP-2 menghambat aktivitas MMP-2. TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang sama dengan TIMP-1. Keutuhan dari selaput ketuban tetap terjaga selama masa kehamilan oleh karena aktivitas MMP yang rendah dan konsentrasi TIMP yang relatif lebih tinggi. Ketidakseimbangan kedua enzim tersebut dapat menyebabkan degradasi patologis pada selaput ketuban. Aktivitas kolagenase diketahui meningkat pada kehamilan aterm dengan ketuban pecah dini. Sedangkan pada preterm didapatkan kadar protease yang meningkat terutama MMP-9 serta kadar TIMP-1 yang rendah. Cunningham, F. G et al. (2005) menambahkan bagian terendah janin belum masuk PAP juga berpengaruh. Hal ini disebabkan pada primipara bagian terendah janin turun ke rongga panggul masuk ke PAP pada akhir minggu 36 kehamilan, sedangkan pada multipara terjadi saat mulainya persalinan. Sehingga pada multipara tidak ada bagian terendah janin yang menutup PAP, yang dapat mengurangi terhadap membran bagian bawah. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestari. I (2008) bahwa paritas lebih dari 3 bermakna sebagai faktor risiko yang mempengaruhi kejadian KPD. Demikian juga hasil penelitian (Gumilang, A., 2013) yang menyatakan bahwa ibu yang mengalami kejadian KPD paritas multipara (52,38 %). Hasil penelitian ini juga didukung dengan penelitian Nurhanifah (2012) yang menyatakan bahwa ibu yang mengalami kejadian KPD dengan paritas multipara (75,68 %). Sedangkan kejadian KPD di Puskesmas Balongsari Surabaya tahun 2013 yang terjadi pada paritas primipara (12,5 %). Hal ini disebabkan ibu primipara saat menjalani kehamilannya yang pertama kalinya mengalami berbagai perubahan fisik maupun psikis yang dapat menjadi suatu stresor, karena kehamilan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Di samping itu pengalaman ibu yang masih terbatas kadang membuat ibu hamil dengan mudah mempercayai informasi yang tidak sesuai kesehatan dan berbagai nilainilai budaya yang dianut oleh ibu, yang akhirnya berdampak terhadap ibu dan atau janinnya. Menurut Nugroho. T (2012) kemungkinan terdapat faktor lain yang menyebabkan KPD pada paritas primipara yaitu infeksi, pekerjaan, trauma, kelainan letak, kehamilan ganda, hidramnion. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gumilang. A (2013) yang menyatakan bahwa ibu yang mengalami kejadian KPD dengan paritas primipara (27,66 %). Hasil penelitian ini juga didukung dengan penelitian Nurhanifah (2012) yang menyatakan bahwa ibu yang mengalami kejadian KPD dengan paritas primipara (24,32 %). Hasil ini didukung dengan Uji Chi-Square didapatkan bahwa χ2 hitung > χ2 tabel yaitu (4,91) > (3,84) maka H0 ditolak dan H1 diterima sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara paritas ibu bersalin dengan kejadian KPD. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah kelahiran maka semakin tinggi pula risiko terjadinya KPD. Menurut Gumilang. A (2013) terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan kejadian ketuban pecah dini. Hasil penelitian ini juga didukung dengan penelitian Nurhanifah (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan kejadian KPD. Selain paritas, kelainan letak merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kejadian KPD. Berdasarkan Tabel 5.6 dapat disimpulkan bahwa kejadian KPD di Puskesmas Balongsari Surabaya tahun 2013 lebih banyak terjadi karena kelainan letak (42,86 %). Hal ini sesuai dengan Saifudin, A.B (2010) bahwa insiden kelainan letak 3-5 % dari keseluruhan kehamilan tunggal dengan umur kehamilan cukup bulan. Menurut Nugroho. T (2012) salah satu faktor penyebab KPD adalah kelainan letak. Hal ini dikarenakan posisi janin dalam rahim yang tidak sesuai dengan jalan lahir, misalnya letak sungsang dan letak lintang sehingga menyebabkan tidak ada bagian terendah anak yang menutupi PAP, yang dapat mengurangi tekanan terhadap membran bagian bawah. Pada letak lintang, ketuban dapat mengalami ruptur segera setelah awal kontraksi karena seluruh kekuatan kontraksi ditranmisikan secara langsung pada cairan di depannya. Sejalan dengan Fraser, D.M dan Cooper, M.A eds (2009), bahwa setiap kelainan letak, sering dihubungkan dengan awalnya pecah ketuban oleh karena terjadi penekanan membran yang tidak merata pada kantung yang meliputi cairan ketuban, hal ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi. Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin terhadap ruang dalam uterus. Pada kehamilan < 32 minggu, jumlah air ketuban relatif lebih banyak sehingga memungkinkan janin bergerak dengan leluasa, dan demikian janin dapat menempatkan diri dalam letak sungsang/letak lintang. Pada kehamilan trimester terakhir janin tumbuh dengan cepat dan jumlah air ketuban relatif berkurang. Karena bokong dengan kedua tungkai yang terlipat lebih besar daripada kepala maka bokong dipaksa untuk menempati ruang yang lebih luas di fundus uteri, sedangkan kepala berada di dalam ruangan yang lebih kecil di segmen bawah rahim. Letak sungsang dapat memungkinkan ketegangan rahim meningkat, sedangkan pada letak lintang bagian terendah adalah bahu sehingga tidak dapat menutupi pintu atas panggul yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah, maupun pembukaan serviks. Pembukaan menjadi lebih lama, kemungkinan infeksi lebih besar (Morgan. G dan Hamilton, C., 2009). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhanifah (2012) menyatakan bahwa ibu yang mengalami kejadian KPD dengan kelainan letak (38,46 %). Hasil penelitian ini juga didukung dengan penelitian Lestari. I (2008) yang menyatakan bahwa ibu yang mengalami kejadian KPD dengan malpresentasi (75 %). Sedangkan kejadian KPD di Puskesmas Balongsari Surabaya tahun 2013 yang disebabkan bukan kelainan letak (20,83 %). Hal ini dapat terjadi dikarenakan aktivitas ibu yang terlalu berat saat hamil sehingga iu terlalu lelah bekerja baik berdiri maupun berjalan. Aktivitas tersebut akan meningkatkan gaya gravitasi dari kepala yang merupakan bagian keras janin. Faktor lain seperti infeksi, trauma, dan jatuh juga dapat menyebabkan kejadian KPD disebabkan kelainan letak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhanifah (2012) menyatakan bahwa ibu yang mengalami kejadian KPD disebabkan bukan kelainan letak (8,16 %). Hasil penelitian ini juda didukung dengan penelitian Lestari (2008) yang menyatakan bahwa ibu yang mengalami kejadian KPD dengan yang tidak mengalami malpresentasi (25 %). Hasil ini didukung dengan Uji Chi-Square didapatkan bahwa χ2 hitung > χ2 tabel yaitu 4,50 > 3,84, maka H0 ditolak dan H1 diterima sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara kelainan letak dengan kejadian ketuban pecah dini. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kelainan letak maka semakin tinggi pula risiko terjadinya ketuban pecah dini. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhanifah (2012) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kelainan letak dengan kejadian KPD. Hasil penelitian ini juda didukung dengan penelitian Lestari. I (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara malpresentasi dengan kejadian KPD. Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal dan neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden seksio sesaria, atau gagalnya persalinan normal (Saifudin, A.B., 2010). Sebagai tenaga kesehatan, upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kejadian KPD dan segala dampak yang mungkin terjadi tidak hanya dilakukan pada saat persalinan tetapi sejak kehamilan dengan melakukan pemeriksaan antenatal secara teratur di tempat pelayanan kesehatan sehingga dapat mendeteksi sedini mungkin faktor-faktor penyebab KPD dan segala komplikasi yang mungkin terjadi. Dalam melakukan pemeriksaan antenatal harus sesuai dengan standar. Dengan pemeriksaan kehamilan secara teratur dapat terdeteksi adanya kelainan letak melalui pemeriksaan abdomen maupun USG. Selain itu merencanakan dan membatasi jumlah kehamilan dengan metode kontrasepsi sehubungan dengan peningkatan paritas, mengonsumsi makanan bergizi seimbang sesuai dengan kebutuhan ibu hamil, menjaga kebersihan terutama jalan lahir, aktif dalan kegiatan kelas ibu hamil maupun senam hamil. Keseluruhan aspek seperti yang diuraikan tersebut merupakan indikator paritas dan kelainan letak yang telah terbukti mempunyai hubungannya dengan kejadian KPD, dimana semakin meningkatnya paritas dan kelainan letak akan berkontribusi juga dengan peningkatan kejadian KPD. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa masih banyak faktor yang dapat menyebabkan KPD. Kondisi ini tentu harus mendapat perhatian khusus dari bidan selaku ujung tombak dari pelayanan terhadap ibu dan anak, mengingat risiko yang dapat terjadi pada baik pada ibu dan atau janin jika ibu mengalami KPD. Upaya dari tenaga kesehatan untuk menekan kejadian ketuban pecah dini yaitu dengan melakukan penatalaksanaaan sesuai dengan prosedur dan tindakan segera dalam pengelolaan kasus ketuban pecah dini. Sebagai bidan tentunya juga harus melaksanakan penatalaksanaan sesuai dengan kewenangan dan mendeteksi ketuban pecah dini sedini mungkin sehingga dapat memastikan keadaan kesehatan ibu dan kesejahteraan janin. SIMPULAN Terdapat pengaruh paritas terhadap angka kejadian KPD karena semakin tinggi paritas mempengaruhi kerusakan serviks selama kelahiran sebelumnya. Hal ini menyebabkan terjadinya pembukaan dini pada serviks dan mengakibatkan ketuban pecah dini. Kelainan letak juga mempengaruhi kejadian ketuban pecah dini. Posisi janin dalam uterus yang tidak sesuai dengan jalan lahirmenyebabkan tidak ada bagian terendah anak yang menutupi PAP, yang dapat mengurangi tekanan terhadap membran bagian bawah. SARAN Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal dan neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden seksio sesaria, atau gagalnya persalinan normal. Maka dari itu, untuk mengurangi dan atau mencegah kejadian KPD para ibu hamil diharapkan diharapkan memeriksakan kehamilannya secara teratur minimal sesuai dengan standar yaitu 1 kali pada kehamilan trimester I, 1 kali pada kehamilan trimester II dan 2 kali pada kehamilan trimester III untuk mendeteksi sedini mungkin bila ada penyulit dalam kehamilan dan melakukan pemeriksaan kehamilan terutama pada Trimester III. Begitupun, bagi petugas kesehatan diharapkan perlu mengadakan upaya untuk mewujudkan kesehatan bagi ibu hamil yaitu melalui KIE tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan sesuai standar (K4), dengan prioritas utama ibu hamil multipara, grandemultipara,ibu hamil yang mengalami kelainan letak, faktorfaktor lain penyebab KPD. DAFTAR PUSTAKA Bobak, Lowdermilk dan Jensen., 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC. Budijanto. D dan Prajoga., 2005. Metodologi Penelitian. Surabaya : Dua Tujuh. Cunningham, F.G et al., 2005. Obstetri Williams, Ed. 21, Vol. 1. Jakarta : EGC. Departemen Kesehatan. Profil Kesehatan Jawa Timur 2010. www.dinkesjatim.go.id, Diakses tanggal 08 April 2013 pukul 18.45 WIB. Fraser, D.M dan Cooper, M.A eds., 2009. Buku Ajar Bidan Myles, Ed. 14. Jakarta : EGC. Gumilang, A., 2013. Hubungan antara Usia, Paritas, dan Riwayat Ketuban Pecah Dini dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini di RSUD Bangil Pasuruan. Skripsi. Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya. Hidayat, A.A.A., 2010. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika. Lailiyana, Laila. A, Daiyah. I dan Susanti, A., 2011. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Persalinan. Jakarta : EGC. Lestari. I., 2013. Hubungan antara Malpresentasi dan Paritas dengan kejadian Ketuban Pecah Dini di RSUD dr. Soegiri Lamongan. Skripsi. Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya. Manuaba, I.B.G., 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit kandungan, dan KB Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC. Maulana, 2013. www.unpad.ac.id, Diakses tanggal 08 April 2013 pukul 18.45 WIB. Mochtar, R., 2011. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologis/Obstetri Patologis. Jakarta : EGC. Morgan. G. dan Hamilton, C., 2009. Obstetri & Ginekologi : Panduan Praktik. Jakarta : EGC. Notoatmodjo, S., 2010. Ilmu Perilaku, Teori dan aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Nugroho, T., 2012. Obstetri dan Ginekologi untuk Kebidanan dan Keperawatan. Yogyakarta : Nuha Medika. Nurhanifah, 2012. Hubungan antara Usia, Paritas, dan Kelainan Letak dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini di RSIA Nyai Ageng Pinatih Gresik. Skripsi. Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya. Nursalam, 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Ed. 2. Jakarta : Salemba Medika. Oxorn, H., 2010. Ilmu Kebidanan : Patofisiologi & Fisiologi Persalinan. Yogyakarta : ANDI. Rachmaningtyas, A., 2013. www.jpnn.com, Diakses tanggal 08 April 2013 pukul 19.00 WIB. Rohani, Saswita. R dan Marisah., 2011. Asuhan Kebidanan pada Masa Persalinan. Jakarta : Salemba Medika. Saifudin, A.B., 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo. Saifudin, A.B., 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo. Saifudin, A.B., 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo. Sastrawinata, S., 2004. Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi. Jakarta : EGC. Sindonews, 2013. http://nasional.sindonews.com, Diakses tanggal 08 April 2013 pukul 18.45 WIB. Sulistyawati, A,. 2011. Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin. Jakarta : Salemba Medika. Varney. H, Kriebs. J.M dan Gegor C.L., 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Ed. 4 Vol. I. Jakarta: EGC.