5 II. TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Mangga Secara taksonomis, mangga termasuk dalam Famili Anarcadiaceae, Ordo Sapindales, Genus Mangifera, dan Spesies Mangifera indica. Famili Anarcadiaceae (mangga-manggaan) terdiri dari sekitar 500 spesies, sedangkan genus Mangifera meliputi 62 spesies (Pracaya, 2011). Arifin (2009) menyatakan bahwa tanaman mangga berkerabat dekat dengan pakel (M. foetida), kweni (M. odorata), dan kemang (M. caesia). Menurut Pracaya (2011), tanaman mangga berasal dari negara India dan menyebar ke wilayah Asia Tenggara pada abad ke-4 dan ke-5 Sebelum Masehi. Penanaman mangga dimulai di Filipina dan Indonesia (sekitar Maluku) pada tahun 1600-an. Bangsa Portugis menyebarkan tanaman mangga ke Barat pada abad ke-18 dan Afrika pada abad ke-19. Keberadaan mangga di Meksiko dilaporkan pada tahun 1779. kemudian mulai ditanam di Florida, Amerika Serikat (1833), Queensland, Australia (1870), dan Italia bagian selatan (1905). Tanaman mangga tumbuh tegak, bercabang banyak, dan bertajuk rindang serta hijau sepanjang tahun. Tinggi tanaman dapat mencapai 10-40 meter dan berumur lebih dari seratus tahun. Buah mangga tergolong buah berdaging dengan bentuk beragam sesuai dengan varietas. Warna buah hijau, kuning, merah atau campuran. Ujung buah melancip ataupun membengkok. Daging buah tebal atau tipis, berserat atau tidak, serta berair ataupun tidak (Pracaya 2011). Setiap varietas mangga mempunyai karakteristik yang berbeda. Contohnya perbandingan buah mangga gedong gincu dan arumanis. Bobot buah mangga arumanis biasanya lebih besar dibandingkan mangga gedong gincu. Namun demikian, aroma mangga gedong gincu lebih harum menyengat dibandingkan dengan mangga arumanis. Pangkal buah mangga gedong gincu berwarna merah keunguan pada saat matang, sedangkan mangga arumanis berwarna hijau kekuningan. Perbedaan lain yang terlihat adalah bentuk buah. Mangga gedong gincu berbentuk bulat. Mangga arumanis berbentuk jorong dengan pucuk meruncing. Karakteristik fisikokimia dan kandungan nutrisi buah mangga berbeda untuk masing-masing varietas. Tabel 1 menunjukkan perbandingan kandungan nutrisi antara mangga gedong, arumanis, dan Indramayu. 6 Tabel 1 Komposisi gizi beberapa jenis mangga per 100 gram Jenis mangga Kandungan Gedong 44 0.7 0.2 11.2 13.0 10.0 0.2 2528 9.0 0.08 87.4 Energi (kal) Protein (g) Lemak (g) Kabohidrat (g) Kalsium (g) Fosfor (g) Besi (mg) Vitamin A (mg) Vitamin C (mg) Vitamin B1 (mg) Air (g) Indramayu 72 0.8 0.2 18.7 13.0 10.0 1.9 447 16.0 0.06 80.2 Arumanis 46 0.4 0.2 11.9 15.0 9.0 0.2 185 6.0 0.08 86.6 Sumber: Satuhu (2004) Karakteristik Mangga Gedong Gincu Broto (2003) menyatakan bahwa mangga gedong gincu ditetapkan sebagai varietas resmi dengan nama mangga gedong berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 28/Kpts/TP.240/1/1995. Tinggi tanaman berkisar antara 9 – 15 meter. Tajuk tanaman berbentuk piramida tumpul. Tanaman mangga gedong bercabang banyak dengan ciri khas permukaan daun sempit. Pucuk daun datar dan dasar daun lancip. Tanaman berbuah banyak dengan produksi rata-rata 100 – 150 kg per pohon. Mangga gedong gincu banyak ditanam di Cirebon, Majalengka, dan Indramayu. Luasan lahan terbesar di Kabupaten Cirebon yaitu 2430 ha, diikuti Kabupaten Majalengka 2228 ha dan Kabupaten Indramayu 1759 ha. Cara budidaya tanaman mangga gedong gincu sama dengan gedong biasa, kecuali waktu pemanenan. Mangga gedong dipanen saat buah mencapai tingkat kematangan 60%, sedangkan mangga gedong gincu dipanen saat buah mencapai kematangan 70%. Pada tingkat kematangan tersebut pangkal buah sudah berwarna kemerahan sehingga dikenal sebagai gedong gincu. Umumnya selisih waktu pemanenan mangga gedong gincu dan gedong biasa adalah 10-15 hari (Supriatna 2005). Menurut Ditjen Hortikultura (2005), indeks kematangan 70% tercapai 95-100 hari sesudah bunga mekar. Selanjutnya warna pangkal buah akan menjadi merah sesuai dengan tingkat kematangan. Pada kematangan 100% bagian ujung dan tengah buah berwarna kuning kemerahan dan pangkal buah berwarna merah. 7 Mangga varietas gedong gincu mempunyai karakteristik yang menarik bagi konsumen. Menurut Pracaya (2007), buah mangga gedong gincu memiliki warna daging merah kekuningan. Bentuk buah gedong agak bulat dengan pangkal agak datar. Tangkai buah kuat dan terletak di tengah buah. Bobot buah 200 – 300 gram. Ukuran buah 8 cm x 7 cm x 6 cm. Permukaan kulit buah halus dan kadangkala berbintik putih kehijauan. Daging buah tebal, berserat halus, manis, berair, dan beraroma keras. Karakteristik aroma harum menyengat menjadi keunggulan mangga gedong gincu dibandingkan dengan mangga lokal lain di Indonesia. Konsumen luar negeri juga tertarik dengan warna kulit buah mangga yang berwarna merah menyala saat matang. b a Gambar 1 Buah mangga gedong gincu pada, (a) indeks kematangan awal (70%), (b) indeks kematangan 80-85%. Hama Tanaman Mangga Beragam organisme pengganggu golongan hama dilaporkan menyerang tanaman mangga di lapangan. Tandon et al. (1976 dalam Kumar 2009) menyatakan terdapat 492 spesies serangga yang menyerang tanaman mangga. Hama utama mangga di lapangan meliputi Sternochetus mangiferae, Noorda albizonalis, dan beberapa spesies lalat buah (Panhwar 2005). Menurut Kalshoven (1981), terdapat 13 genus serangga yang menyerang tanaman mangga di Indonesia, diantaranya: Rastrococcus, Sternochetus, Noorda, Philotroctis, Rhytidodera, dan Orthaga. Sternochetus mangiferae merupakan hama penting mangga yang termasuk dalam Famili Curculionidae. Serangga ini termasuk dalam organisme pengganggu tumbuhan karantina untuk pemasukan mangga dari Hawaii ke Amerika Serikat daratan (Follett dan Gabbard 2000). Stadia dewasa berukuran tubuh 10 mm, berwarna hitam abu-abu, dan mempunyai ciri moncong (snout) yang jelas. Telur diletakkan serangga betina di permukaan buah. Induk memanfaatkan sap yang keluar dari jaringan buah sebagai perekat telur di 8 permukaan buah. Setelah menetas, larva masuk ke biji buah dan melakukan aktivitas makan hingga masa pupasi. Serangga dewasa yang muncul memakan lapisan biji buah. Pengendalian dilakukan dengan aplikasi insektisida sebelum pembungaan ataupun memusnahkan buah bergejala yang jatuh ke tanah (Chin et al. 2010). Philotroctis eutraphera merupakan hama penggerek buah mangga, terutama buah muda. Larva berwarna kemerahan dan berkembang menjadi biru gelap saat menjelang pupasi. Pupa dalam kokon dapat dijumpai di tanah. Ngengat berumur 6 – 7 hari dan betina menghasilkan telur sebanyak 125 – 450 telur di permukaan dan tangkai buah (Kalshoven 1981). Autocharis albizonalis atau Noorda albizonalis yang merupakan hama utama mangga di India. Serangga melewati lima tahap instar larva selama 11-13 hari. Tingkat keparahan tertinggi diakibatkan oleh serangan oleh larva instar kedua atau ketiga. Kerusakan akibat serangan N. albizonalis dilaporkan mencapai 10 – 52% di Benggal Barat, India (Sahoo dan Jha 2009). Di Indonesia, N. albizonalis menyerang berbagai stadia perkembangan buah mangga (Kalshoven 1981). Wereng daun merupakan hama penting yang menyerang daun tanaman mangga. Serangga dewasa dan nimfa memakan jaringan tanaman dengan cara menghisap sap tanaman. Daun terserang menunjukkan gejala distorsi dan mengeriting. Salah satu spesies wereng daun pada pertanaman mangga di Australia adalah Idioscopus nitidulus (Chin et al. 2010), sedangkan di Indonesia banyak dijumpai I. niveoparsus dan I. clypealis (Kalshoven 1981). Kutu putih yang menyerang daun mangga adalah Rastrococcus spinosus. Salah satu ciri khas R. Spinosus adalah rambut berlilin panjang di seluruh tubuhnya. Betina berbentuk pipih, oval, lebar, dan dilapisi lapisan lilin tebal. Kutu putih ini telah dilaporkan di Jawa, Malaysia, Filpina, dan Taiwan. Selain mangga, spesies ini banyak ditemukan di permukaan bawah daun pada jeruk dan kopi. Kutu putih mendapatkan makanan dengan menghisap sap jaringan tanaman (Kalshoven 1981). Orthaga euadrusalis merupakan hama yang memakan daun tanaman mangga. Salah satu ciri khas serangannya adalah keberadaan jaring yang menutup daun dan ranting. Larva berwarna ungu dengan garis lateral hitam. Larva O. euadrusalis mengakibatkan kerusakan serius pada daun dan tunas (Kalshoven 1981). 9 Salah satu hama penggerek batang mangga adalah Rhytidodera simulans. Menurut Kalshoven (1981), serangga ini telah menyebar luas di Asia Tenggara kecuali daerah Nusa Tenggara. Gejala serangan berupa lubang menyerupai terowongan pada cabang yang terserang. Apabila cabang telah terbuka dan terbelah menjadi terowongan yang lebih besar maka umumnya akan ditempati semut. R. simulans juga diketahui menyerang M. odorata, M. foetida, dan Elaeocarpus grandifloris. Selain hama-hama di atas, hama penting lain yang menjadi musuh petani mangga di seluruh dunia adalah lalat buah (Subbab 2.4). Lalat Buah sebagai Hama Biologi dan Morfologi Lalat buah termasuk ke dalam Filum Arthropoda, Klas Insekta, Ordo Diptera, Subordo Brachycera, dan Famili Tephritidae. Lalat buah mengalami metamorfosis sempurna dengan melalui stadia telur, larva, pupa, dan imago. Telur diletakkan secara berkelompok dan dalam waktu 2 hari akan menetas. Menurut Vijaysegaran dan Drew (2006), satu ekor betina B. dorsalis dapat menghasilkan 1200 – 1500 butir telur. Larva lalat buah mengalami tiga tahap perkembangan instar. Larva bernafas dengan spirakel yang terdapat di bagian anterior dan posterior. Khusus larva instar pertama, anterior spirakel belum menunjukkan perkembangan. Lama stadia larva adalah 6 – 9 hari. Setelah itu larva akan berkembang menjadi pupa berbentuk oval dan berwarna cokelat. Pupa umumnya berukuran sekitar 5 mm dan berlangsung sekitar 10 hari. Setelah itu stadia dewasa mudah dikenali karena mempunyai sayap dengan pola unik dan bervariasi. Stadia hidup lalat buah yang berpotensi terbawa dalam lalu lintas buah mangga adalah telur dan larva. Telur lalat buah umumnya berwarna putih atau krem kekuningan. Warna telur semakin gelap seiring umur telur semakin tua. Ukuran dan bentuk telur bemacam-macam sesuai jenis spesies. Ceratitis capitata dan B. tryoni mempunyai telur memanjang dan menyempit secara bertahap, sedangkan Urophora solsitialis mempunyai telur dengan ujung membulat dan meruncing pada ujung lainnya (White dan Elson-Harris 1994). Tubuh larva terdiri dari bagian kepala, thoraks, dan abdomen. Thoraks meliputi 3 segmen, yaitu prothoraks, mesothoraks, dan metathoraks, sedangkan abdomen terdiri dari 8 segmen. Batas antara kepala dan thoraks tidak tampak jelas. Kepala tidak mengalami sklerotisasi. Bagian tubuh larva yang mengalami 10 pengerasan adalah cephalopharyngeal skeleton dimana terdapat mulut kait berwarna hitam atau cokelat (JFTA 1996). Keberadaan larva di dalam buah merupakan penyebab utama penolakan buah ekspor di negara tujuan (Frias et al. 2006). Bentuk dan ukuran larva bervariasi sesuai dengan spesies dan nutrisi dalam makanannya. Sebagian larva cenderung berbentuk silindris dan membulat ataupun menyerupai bentuk terpotong pada kedua ujung tubuh. Larva berwarna krem keputihan, namun dapat juga berwarna lebih gelap sesuai dengan jenis makanannya (White dan Elson-Harris 1994). a b d c Gambar 2 Perkembangan hidup lalat buah: (a) telur, (b) larva, (c) pupa, (d) imago Larva instar pertama berukuran sangat kecil. Cephalopharyngeal skeleton masih kurang tersklerotisasi. Mulut kait berwarna kuning atau lebih gelap. Mulut kait mempunyai 1 atau lebih preapical teeth berukuran besar. Anterior spirakel tampak seperti pori yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop elektron. Pada posterior spirakel hanya terdapat 2 spiracular slit (JFTA 1996; White dan ElsonHarris 1994). Larva instar kedua mempunyai karakteristik hampir sama dengan larva instar ketiga namun berukuran lebih kecil. Larva berwarna krem keputihan atau sesuai makanan dalam saluran pencernaanya. Cephalopharyngeal skeleton menyerupai instar ketiga namun terdapat 1 atau lebih preapical teeth. Anterior dan posterior spirakel telah berkembang dengan baik. Posterior spirakel terdiri 11 dari 3 buah spiracular slit dan dikelilingi oleh rimae yang tersklerotisasi. Terdapat 4 rumpun spiracular hair namun jumlah rambut lebih sedikit dibanding larva instar ketiga (JFTA 1996). Larva instar ketiga merupakan instar dengan periode hidup paling lama di dalam inang. Pada instar tersebut, larva mempunyai sepasang anterior spirakel pada bagian prothoraks dan sepasang posterior spirakel di caudal segment. Posterior spirakel dikelilingi oleh banyak spiracular tubules. Pada sisi ventral caudal segment terdapat anus. Larva instar ketiga mempunyai kemampuan melenting. Umumnya hal ini dilakukan saat larva akan mengalami pupasi (JFTA 1996). Dampak Serangan Lalat buah merupakan masalah utama petani buah di dunia. Dampak serangannya dirasakan dalam pemeliharaan tanaman di lapang maupun dalam upaya ekspor ke negara lain. Kerusakan buah dimulai saat lalat buah betina meletakkan telur di dalam jaringan inang. Larva menyebabkan kerusakan buah secara cepat. Selain itu, kulit buah yang luka dapat menjadi tempat masuk bakteri pembusuk. Pada aspek perdagangan, keberadaan lalat buah menimbulkan kesulitan suatu negara untuk memasarkan produk buah segar ke negara lain (Drew 2001). Serangan lalat buah menimbulkan kehilangan hasil yang bervariasi. Lalat buah dilaporkan menimbulkan kerusakan mangga hingga kisaran 10 – 50% di Benin (Vayssieres et al. 2005). Dhillon et al. (2005) menyatakan kerusakan B. cucurbitae pada tanaman cucurbit mencapai 100% dan pare sebesar 95%. B. dorsalis merupakan hama penting pada tanaman mangga ‘Namdokmai Si Thong’ di Thailand (Varith et al. 2006) dan mengakibatkan kerusakan serius pada jambu (Psidium guajava) dan jambu stroberi (Psidium cattleianum) di Hawaii (Vargas et al. 2007). Beberapa informasi kehilangan hasil tanaman akibat serangan lalat buah di kawasan Asia Pasifik dapat dilihat pada Tabel 2. Pencegahan penyebaran lalat buah melalui lalulintas perdagangan komoditas pertanian telah dilakukan oleh banyak negara. Hal ini dilakukan karena lalat buah mampu hidup dan berkembang dengan cepat di daerah baru di luar sebaran asalnya (Armstrong et al. 2009). Bahkan Siwi et al. (2006) menyatakan bahwa lalat buah eksotik yang telah masuk ke daerah baru dan berhasil berkolonisasi mempunyai daya rusak lebih tinggi dibanding lalat buah 12 lokal. Salah satu contoh adalah kasus masuknya 8 spesies baru lalat buah di California yang mengakibatkan kehilangan hasil sebesar 910 juta dollar AS. Biaya pengendalian akibat masuknya lalat buah eksotik sangat tinggi. Drew (2001) menyatakan program eradikasi B. papayae di North Queensland menelan biaya sebesar 35 juta dollar AS. Eradikasi B. dorsalis dengan male annihilation method di Kepulauan Okinawa, Miyako, dan Yaeyama Jepang juga dilaporkan sangat tinggi, yaitu mencapai 2.575 milyar Yen (OPPPC 2006). Biaya tinggi juga diperlukan untuk pengembangan teknik serangga mandul. Teknik ini telah berhasil dikembangkan untuk pengendalian B. dorsalis di Ogasawara Island dan Kume Island (Jepang), serta C. capitata di Hawaii, California, Meksiko, Nikaragua, Kostarika, Peru, Italia, Spanyol, dan Tunisia (White dan Elson-Harris 1992). Tabel 2 Kehilangan hasil tanaman akibat serangan lalat buah pada beberapa negara Asia Pasifik Negara Malaysia Thailand Vietnam Palau Nauru Vanuatu Tanaman Kehilangan Hasil Lalat Buah Penyebab Belimbing Mangga Cantaloupe Persik Jambu air Pisang Mangga Jambu 100% 65% 94% 65% 76% 80% 95% 95% B. carambolae B. dorsalis B. cucurbitae B. pyrifoliae B. correcta B. dorsalis complex B. dorsalis / B. frauenfeldi B. trilineola Sumber: Drew (2001). Lalat buah mampu berkembang di daerah baru dan menghasilkan kerusakan. Beberapa kasus diantaranya adalah B. philippinensis yang menyebar ke Palau (Vueti dan Leblanc 2002), B. tryoni ke Papua New Guinea (Purea et al. 1997), B. carambolae ke Suriname (Sauers-Mullers 2005), dan B. cucurbitae ke beberapa negara kepulauan di Samudera Hindia (Vayssieres et al. 2008). Lalat buah Anastrepha juga mulai menginvasi daerah Amerika Utara dari Amerika Selatan. Salah satunya A. suspensa yang menyebar ke Florida, Amerika Serikat (Weems et al. 2001). De Meyer et al. (2009) melaporkan bahwa beberapa negara Afrika di kawasan tropis telah terintroduksi B. invadens yang awalnya hanya ditemukan di Kenya. Peningkatan lalulintas perdagangan membuka peluang penyebaran lalat buah ke negara lain. Saat ini Amerika Serikat menghadapi ancaman masuknya 13 lalat buah Anastrepha dari kawasan Amerika Selatan dan Bactrocera dari kawasan Asia. Pada tahun 1999 – 2009 beberapa spesies lalat buah eksotik ditemukan di Florida dan California, diantaranya B. correcta, B. dorsalis, B. latifrons, B. oleae, dan B. zonata. Jepang juga waspada terhadap penyebaran lalat buah melalui komoditas pertanian impor. Iwaizumi (2004 dalam Ebina dan Ohto 2006) melaporkan bahwa otoritas karantina Jepang berhasil mengintersepsi beberapa spesies lalat buah pada komoditas pertanian impor, meliputi B. dorsalis, B. carambolae, B. papayae, B. occipitalis, dan B. philippinensis. Bactrocera dorsalis complex Bactrocera merupakan genus lalat buah dari daerah sekitar khatulistiwa. Sebagian besar lalat buah berasosiasi dengan buah-buahan tropis. Menurut Hardy (1977 dalam Siwi et al. 2006), terdapat 160 genus dalam Tephritidae dan 180 spesies Bactrocera di kawasan Asia. Dari jumlah tersebut terdapat beberapa spesies yang mempunyai kemiripan morfologis yang dikenal dengan Bactrocera dorsalis complex. Spesies dalam kelompok B. dorsalis complex dibedakan berdasarkan karakteristik tertentu, seperti panjang aculeus dan pola warna di bagian thoraks. Menurut Drew (2004), hasil survei di kawasan Asia Tenggara, Papua New Guinea, Australia, dan Pasifik Selatan berhasil mendeskripsikan 80 spesies dalam B. dorsalis complex. Namun demikian, Drew dan Hancock (1994) menyatakan bahwa hanya sebagian kecil spesies dalam B. dorsalis complex yang merugikan secara ekonomi. Beberapa spesies penting dalam B. dorsalis complex, meliputi: B. carambolae, B. caryae, B. dorsalis, B. kandiensis, B. occipitalis, B. papayae, B. philippinensis, dan B. pyrifoliae. Sebagian besar spesies B. dorsalis complex mempunyai daerah sebaran yang terbatas. Namun demikian, B. dorsalis, B. carambolae, B. papayae, dan B. philippinensis dikenal sebagai jenis lalat buah yang mampu menyebar dan menjadi masalah di tempat yang baru. B. dorsalis ditemukan di Hawaii pada tahun 1946 dan menjadi hama penting pada berbagai buah. B. carambolae masuk ke Suriname pada tahun 1975, sedangkan B. philippinensis telah menyebar hingga Palau di Pasifik. Oleh karena itu, upaya eradikasi telah dilakukan untuk mengendalikan lalat buah pendatang dari area lain. Beberapa eradikasi yang berhasil adalah B. dorsalis di Okinawa, Guam, dan Kepulauan Mariana (Drew dan Hancock 1994). 14 Bactrocera carambolae. Spesies ini merupakan salah satu spesies lalat buah yang berpotensi sebagai hama potensial tanaman buah dan hortikultura di Indonesia (Soesilohadi et al. 2003). Spesies lalat buah ini menyerang berbagai macam buah-buahan di daerah tropis dan temperate hangat, terutama pepaya (Carica papaya), mangga (Mangifera indica), dan belimbing (Averrhoa carambola). Tanaman inang lainnya meliputi: kluwih (Artocarpus altilis), jambu air (Syzgium jambos dan S. aqueum), jambu bol (S. malaccense), cabai (Capsicum annuum), jambu biji (Psidium guajava), tomat (Lycopersicon esculentum), nangka (Artocarpus heterophyllus), Terminalia setappa, Solanum ferox, dan Lepisanthes fruticosa (Siwi et al. 2006). B. carambolae termasuk dalam kelompok B. dorsalis complex dan sebelumnya sempat disebut Bactrocera sp. near B. dorsalis. Ciri morfologis sayap adalah pita hitam pada garis costa dan garis anal (anal streak). Pola sayap bagian ujung berbentuk seperti pancing. Skutum berwarna hitam dengan pita kuning di kedua sisi lateral (lateral post sutural vittae). Postpronotal berwarna kuning atau oranye. Pada lalat betina terdapat spot berwarna hitam pada femur tungkai depan, sedangkan abdomen berwarna coklat oranye dengan pola-pola yang jelas (Siwi et al. 2006). Lalat buah betina meletakkan telur di bawah kulit buah. Kemudian larva yang muncul dari telur melakukan aktivitas makan dari dalam buah. Lubang yang dibuat oleh larva dalam jaringan daging buah juga merangsang masuknya cendawan dan bakteri patogen tanaman. Buah yang diserang B. carambolae menunjukkan gejala perubahan warna kulit di sekitar tanda sengatan. Selain itu, buah juga dapat mengalami pembusukan secara cepat. Larva hidup dalam buah sampai instar akhir, kemudian melenting ke tanah untuk pupasi (Siwi et al. 2006). Bactrocera papayae. Spesies ini dikenal juga sebagai B. conformis. B. papayae merupakan spesies yang berkembang luas di kawasan Asia Tenggara, terutama: Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia (Siwi et al. 2006). B. papayae merupakan polifag yang menyerang banyak jenis buah dan sayuran. Inang utama meliputi beberapa tanaman buah tropis, seperti: pisang (Musa x parasidiaca), mangga (Mangifera indica), pepaya (Carica papaya), dan rambutan (Nephelium lappaceum). B. papayae diketahui telah menyerang mangga ‘Kensington’ di Australia (Jacobi dan Giles 1997). Toraks B. papayae mempunyai ciri berwarna hitam dominan pada skutum dan mempunyai rambut supra alar di sisi anterior. Sebagaimana B. carambolae, 15 skutum ditandai dengan pita berwarna kuning di sisi lateral (lateral postsutural vittae). Sayap B.papayae dicirikan dengan pita hitam pada garis costa dan garis anal, serta sel bc tampak jelas. Sedangkan abdomen terbagi dalam ruas-ruas yang jelas dimana terdapat pekten pada tergit ketiga. Selain itu, tergit ketiga juga dicirikan dengan garis melintang. Lalat betina dewasa tidak mempunyai spot hitam femur tungkai depan sebagaimana dijumpai pada B. carambolae dewasa (Siwi et al. 2006). Perlakuan Karantina Tumbuhan Aturan karantina diperlukan untuk pencegahan penyebaran suatu organisme pengganggu tumbuhan. Salah satunya dengan perlakuan terhadap komoditas yang akan dikirim (Jang dan Moffit 1994). Perlakuan karantina bertujuan untuk membunuh, membuang, ataupun mencegah perkembangbiakan organisme tertentu yang tidak dikehendaki pada komoditas pertanian. Perlakuan yang dikembangkan diharapkan mampu mengakibatkan mortalitas yang tinggi pada serangga target. Umumnya yang dipersyaratkan adalah probit 9 atau mortalitas mencapai 99.9968% (Mangan dan Hallmann 1998). Perlakuan karantina tumbuhan terdiri dari perlakuan kimiawi dan fisik. Teknik perlakuan kimiawi yang umum digunakan adalah fumigasi. Pada tahun 1980-an etilen dibromida (EDB) merupakan fumigan paling populer, namun kemudian ditinggalkan karena bersifat karsinogenik (Mangan dan Hallmann 1998). Metil bromida menjadi fumigan paling populer berikutnya karena daya kerja cepat dan berspektrum luas (Fields dan White 2002). Fumigan ini juga efektif untuk nematoda dan patogen tumbuhan. Namun sesuai Protokol Montreal tahun 1997, metil bromida dilarang digunakan karena menyebabkan kerusakan ozon. Loaharanu (1999) menyatakan bahwa negara-negara maju telah menghentikan penggunaan metil bromida sejak 2005, sedangkan negara berkembang dijadualkan tahun 2015. Penggunaan metil bromida untuk selanjutnya hanya diperbolehkan untuk keperluan karantina dan tindakan darurat tertentu. Alternatif pengganti metil bromida mulai dikembangkan sebagai tindakan karantina, baik kimiawi maupun fisik. Menurut Fields dan White (2002), bahan aktif sebagai pengganti metil bromida adalah fosfin. Fosfin merupakan fumigan yang dapat digunakan untuk komoditas yang tidak direkomendasikan difumigasi dengan metil bromida. Komoditas tersebut meliputi benih, produk makanan, serta 16 biji-bijian yang mengandung lemak dan protein tinggi. Barantan (2007) menyatakan bahwa fosfin relatif tidak menimbulkan residu pada komoditas. Bahan kimia lain yang sudah dikembangkan adalah sulfuryl fluoride untuk pengendalian hama kayu (Yu et al. 2010) dan carbonyl sulfide (Fields dan White 2002). Perlakuan non-kimiawi yang dikembangkan sebagai perlakuan karantina meliputi vacuum-steam-vacuum (Fuester et al. 2004), irradiasi (Mitcham 1999), atmosfer terkendali (Hallmann 1994), radio frequency (Tang et al. 2000), perlakuan dingin (Gould dan Hennesey 1997; Wilink et al. 2006) dan perlakuan panas (Shellie dan Mangan 2000; Shellie dan Mangan 1994; Neven 2000; Neven 1998). Perlakuan temperatur dingin merupakan teknik populer sebelum digeser fumigasi. Perlakuan digunakan terhadap buah yang toleran terhadap temperatur kurang dari 2oC, seperti belimbing, jeruk, leci, manggis, apel, dan pir. Awalnya perlakuan ini digunakan untuk disinfestasi C. capitata pada apel pada tahun 1907. Selanjutnya perlakuan dingin telah banyak dikaji untuk beberapa telur serangga gudang, seperti Ephestia cautella, Sitotroga cerealella, Tribolium confusum, Plodia interpunctella, dan Oryzaephilus surinamensis. Perlakuan juga digunakan untuk membunuh stadia telur dan larva Grapholita molesta dan Cydia pomonella. Dalam pengendalian lalat buah, perlakuan dingin 1.1oC selama 20, 12 atau 18 hari digunakan untuk Anastrepha ludens, C. capitata, dan B. tryoni (Armstrong 1994). Perlakuan karantina dengan temperatur tinggi telah dikembangkan pada banyak komoditas. Awalnya panas digunakan untuk mengendalikan serangga gudang. Mahroof (2007) menyatakan bahwa panas untuk mengendalikan hama pertamakali dilakukan oleh Duhamel du Monceau dan Tillet pada tahun 1762 di Perancis bagian barat. Pada masa itu temperatur 69oC selama 3 hari digunakan untuk mengendalikan Sitotroga cerealella pada komoditas biji-bijian. Pada tahun 1835 perlakuan panas digunakan untuk Sitophilus oryzae pada gandum di Amerika Serikat (Fields dan White 2002). Perlakuan panas sebagai tindakan karantina dilakukan pertamakali tahun 1929 untuk mencegah penyebaran C. capitata dari Florida. Selanjutnya tahun 1930-an digunakan untuk mendisinfestasi lalat buah yang menyerang jeruk, alpukat, mangga, dan jambu. Saat ini metode perlakuan panas untuk persyaratan karantina tumbuhan negara tujuan meliputi hot water treatment, force-air treatment atau hot air treatment, dan vapor heat treatment (Shellie dan Mangan 2000; Follett 2004). 17 Metode hot water treatment (HWT) merupakan metode paling tua diantara semua metode perlakuan panas. Prinsipnya mencelupkan komoditas ke dalam air panas pada temperatur dan waktu tertentu. HWT merupakan salah satu persyaratan perlakuan untuk buah-buahan yang masuk ke Amerika Serikat, seperti buah mangga, leci, longan, dan jeruk lemon (APHIS 2011). Metode ini terutama digunakan untuk mencegah penyebaran C. capitata dan Anastrepha spp. dari Amerika Tengah, Karibia, dan Amerika Selatan (Sharp 1988). Selain untuk pengendalian hama, metode HWT juga dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit pascapanen. Perendaman mangga pada air temperatur 53oC selama 3 menit dilaporkan mampu mengendalikan penyakit antraknose (Klein dan Lurie 1992). Namun demikian metode HWT tidak cocok untuk buahbuah tertentu karena dapat merusak buah. Drake et al. (2005) menyebutkan bahwa metode air panas 48 – 55oC hingga 14 menit tidak cocok digunakan untuk buah ceri varietas Bing dan Sweetheart. Perlakuan udara panas merupakan alternatif lain perlakuan karantina. Prinsipnya pemanasan komoditas dengan udara pada temperatur 40-50oC selama waktu tertentu untuk mengendalikan lalat buah. Perlakuan udara panas dapat digunakan untuk mangga, anggur, jeruk, belimbing, dan pepaya. APHIS (2011) mensyaratkan perlakuan ini terhadap jeruk impor asal Meksiko, Hawaii, dan daerah Amerika Serikat yang tidak bebas lalat buah tertentu. Perlakuan jeruk dari Meksiko untuk mendisinfestasi Anastrepha spp. adalah udara panas 44oC selama 100 menit dengan waktu kondisioning 90 menit. Sedangkan jeruk asal Hawaii dengan lalat buah target C. capitata, B. dorsalis, dan B. cucurbitae harus diberi perlakuan 47.2oC selama 5 menit dengan waktu kondisioning 4 jam. Perlakuan udara panas juga mampu menekan penyakit pada buah. Shellie dan Skaria (1998) melaporkan bahwa perlakuan udara panas pada 46oC selama 300 menit dapat menghambat pertumbuhan Penicillium digitatum. Perlakuan Uap Panas Perlakuan uap panas atau Vapor Heat Treatment (VHT) merupakan metode disinfestasi OPT dengan uap basah pada temperatur 43 – 50oC. Armstrong (1994) menyebutkan bahwa panas ditransfer dari udara ke buah dengan kondensasi uap air pada permukaan buah. Pada VHT, peningkatan temperatur secara perlahan lebih diharapkan untuk mencegah kerusakan jaringan buah. Perlakuan uap panas dan udara panas mempunyai prinsip kerja 18 menggunakan udara yang dipanaskan untuk menaikkan temperatur buah yang dapat mematikan serangga target. Perbedaan keduanya terletak pada tingkat kelembaban yang digunakan dimana perlakuan uap panas lebih tinggi dibandingkan perlakuan udara panas (APHIS 2011). Fasilitas perlakuan uap panas dirancang untuk dapat mempertahankan temperatur dan kelembaban tertentu dalam chamber. Temperatur dan kelembaban dikendalikan dengan kendali elektrik temperatur dan kelembaban. Mesin perlakuan uap panas dilengkapi pencatat rekaman temperatur/kelembaban selama perlakuan berlangsung dengan sensor yang dapat diatur posisinya dalam chamber perlakuan. Saat ini perlakuan uap panas banyak diaplikasikan terhadap buah dengan OPT serangga sebagai target. Kelembaban yang tinggi dapat mencegah evaporasi berlebihan pada buah. Uap yang terdistribusi sempurna melalui sirkulasi udara memungkinkan kondisi uap panas yang terkendali dalam chamber perlakuan (JFTA 1996). Penelitian mengenai perlakuan uap panas dilakukan sejak tahun 1910-an untuk membunuh telur dan larva lalat buah. Selanjutnya perlakuan uap panas digunakan pertamakali pada tahun 1929 dalam dunia karantina tumbuhan. Pada masa itu perlakuan dilakukan terhadap buah yang dikirim dari Florida ke daerah lain di Amerika Serikat untuk mencegah penyebaran C. capitata. Pada awalnya standar perlakuan uap panas yang berlaku adalah temperatur 43.3-46oC selama delapan jam. Namun keterbatasan kemampuan peralatan masa itu menyebabkan kesulitan untuk mengendalikan temperatur secara akurat selama perlakuan sehingga terjadi kerusakan pada buah. Beberapa hama yang diuji dengan perlakuan uap panas adalah lalat buah Anastrepha, thrips, pink bollworm, dan cigarette beetle (JFTA 1996). Pada tahun 1960-an teknologi perlakuan uap panas makin berkembang, terutama oleh negara Jepang. VHT juga merupakan salah satu metode perlakuan yang dipersyaratkan bagi ekspor buah ke beberapa negara. Salah satunya persyaratan pepaya varietas Solo (Hawaii) ke Jepang. Jenis perlakuan perlakuan uap panas mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode konvensional lain, diantaranya kerusakan akibat panas pada komoditas pertanian lebih rendah daripada metode perendaman air panas serta periode pemaparan panas dapat lebih singkat daripadaperlakuan panas kering. Selain itu, aplikasi perlakuan uap panas juga dapat mencegah adanya residu bahan kimia pada buah segar yang diberi perlakuan, sehingga aman untuk dikonsumsi. 19 Tabel 3 Perlakuan uap panas untuk memenuhi aturan karantina tumbuhan Komoditas (asal) Negara tujuan Mangga (Filipina) Australia, Amerika Serikat Mangga ‘Kensington’ (Australia) Jepang Pepaya ‘Solo’ (Filipina) Yellow pitaya (Kolombia) Jepang Jeruk (Meksiko) Amerika Serikat Amerika Serikat Jenis perlakuan Temperatur 46oC selama 10 menit untuk target B. cucurbitae, B. philippinensis, dan B. occipitalis Temperatur 47oC selama 15 menit untuk target B. tryoni Temperatur 46oC selama 10 menit untuk target B. cucurbitae. Temperatur 46oC selama 20 menit untuk target C. capitata dan Anastrepha fraterculus. Temperatur 43.3oC selama 6 jam untuk target Anastrepha spp. Sumber: JFTA (1996) dan APHIS (2011) Saat ini fasilitas komersial perlakuan uap panas telah beroperasi di Jepang, Thailand, Filipina, Australia, dan Amerika Serikat (Monck dan Pearce 2007; Hansen et al. 1992). Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain menerapkan aturan perlakuan untuk komoditas buah-buahan yang berasal dari kawasan yang tidak bebas B. dorsalis, B. cucurbitae, dan C. capitata. Salah satu metode yang dipersyaratkan adalah perlakuan uap panas. Sedangkan Australia mengharuskan penerapan perlakuan uap panas 46oC selama 10 menit untuk mendisinfestasi B. cucurbitae, B. occipitalis, dan B. philippinensis. Beberapa contoh perlakuan uap panas sebagai aturan karantina tumbuhan dapat dilihat pada Tabel 3. Perlakuan uap panas dengan kelembaban lebih dari 90% digunakan oleh APHIS-USDA untuk mendisinfestasi mexican fruitfly pada buah clementine, anggur, jeruk, dan mangga. Uap panas juga dilaporkan efektif untuk mendisinfestasi mealybug pada Pisum sativum (Follett et al. 2004) dan thrips pada bunga potong (Hansen et al. 1992). Perlakuan uap panas dimulai dengan periode pemanasan dimana lama waktu yang dibutuhkan tergantung dari jenis komoditas yang diberi perlakuan. Waktu perlakuan berdasarkan temperatur internal dari komoditas telah mencapai temperatur yang diinginkan untuk membunuh serangga target. Selanjutnya perlakuan uap panas biasanya diikuti pendinginan dengan air atau udara (Lurie 1998).