BAB 2 LANDASAN TEORI

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Perilaku Konsumen
Menurut Schiffman, Kanuk (2010:6), yang diterjemahkan oleh Zoelkifli Kasip,
studi perilaku konsumen terpusat pada cara individu mengambil keputusan untuk
memanfaatkan sumber daya mereka yang tersedia (waktu, uang, usaha) guna membeli
barang-barang yang berhubungan dengan konsumsi. Hal ini mencakup apa yang mereka
beli, mengapa mereka membeli, kapan mereka membeli, dimana mereka membeli,
seberapa sering mereka membeli, dan seberapa sering mereka menggunakannya.
Disamping mempelajari pemakaian konsumen dan evaluasi pasca-pembelian produk
yang mereka beli, para peneliti konsumen juga tertarik untuk mengetahui cara individu
membuang produk yang dulu pernah baru.
Jadi penulis berpendapat bahwa perilaku konsumen membahas tentang tindakan
dan perilaku konsumen mulai dari tahap kesadaran akan kebutuhan sampai kepada
evaluasi setelah pembelian. Para peneliti konsumen ingin mengetahui konsumen mana
yang membeli produk dari suatu merk. Fitur apa yang mereka cari? Jenis fasilitas apa
dan untuk alasan apa? Berapa besar kemungkinan mereka untuk mengganti yang lama
jika model baru dengan fitur tambahan tersedia? Jawaban semua pertanyaan ini dapat
memberikan masukan kepada pemasar untuk strategi promosi, modifikasi desain, dan
penambahan fitur.
12
13
Setelah konsumen menggunakan produk tersebut, apakah mereka menyimpan,
membuangnya atau menghadiahkan, menjual, menyewakan, atau meminjamkannya
kepada orang lain. Jawaban pertanyaan tersebut penting bagi para pemasar, karena
mereka harus menyesuaikan produk mereka dengan kekerapan konsumen membeli
penggantinya.
2.2
Learning
Neal, Quester, Hawkins (2004:266) stated that “learning may occur in either a
high-involvement or a low-involvement situation. A high-involvement learning situation
is one in which the consumer is motivated to learn or process the material. For example,
an individual reading Choice magazine prior to purchasing a dishwasher is probably
highly motivated to learn about the various brands. A low-involvement learning
situation is one in which the consumer has little or no motivation to learn or process the
material. For example, a consumer whose television program is interrupted by a
commercial for a product he or she does not currently use has little motivation to learn
the material presented. Much, if not most, consumer learning occurs in a relatively lowinvolvement context. Unfortunately, we do not have a complete understanding of lowinvolvement learning as most of the research that has been conducted occurs in
relatively high-involvement laboratory situations.”
Pembelajaran dapat terjadi dalam situasi dengan keikutsertaan tinggi maupun
rendah. Situasi pembelajaran dengan keikutsertaan tinggi adalah sebuah keadaan yang
14
mana konsumen termotivasi untuk mempelajari atau memproses materi yang disajikan.
Sebagai contoh, seseorang yang ingin membeli sebuah mesin pencuci piring, ketika
membaca majalah Choice yang memuat informasi tentang peralatan rumah tangga,
mungkin akan lebih termotivasi untuk mempelajari merk-merk mesin pencuci piring
yang tersedia. Situasi pembelajaran dengan keikutsertaan rendah adalah sebuah keadaan
yang mana konsumen memiliki sedikit motivasi atau tidak memiliki motivasi untuk
mempelajari atau memproses materi yang disajikan. Contohnya ketika seorang
konsumen yang tengah menonton sebuah program televisi menerima terpaan iklan
sebuah produk yang mana konsumen tersebut tidak konsumsi pada kurun waktu yang
bersangkutan, maka ia akan kurang termotivasi untuk mempelajari informasi yang
disajikan. Banyak pembelajaran konsumen terjadi dalam konteks keikutsertaan yang
rendah. Sayangnya, pemahaman yang lengkap akan pembelajaran dengan tingkat
keikutsertaan yang rendah kurang tersedia karena kebanyakan penelitian umumnya
dilakukan pada situasi-situasi yang dirancang dengan tingkat keikutsertaan yang tinggi.
“Involvement is a function of the interaction between the individual, the stimulus
and the situation. For example, a consumer who is not interested in clothing may merely
glance at most advertisements for clothing. However, a clothing advertisement that
features a celebrity whom the consumer admires may cause him or her to examine the
advertisement in some detail (high involvement) and to pay significant attention to the
celebrity’s clothing. Similarly, consumers who ignore most clothing advertising may
become much more involved with this type of information if they face the need to buy
15
new clothes. In addition, the way in which a communication should be structured differs
depending on the level of involvement the audience is expected to have.”
Keikutsertaan adalah sebuah fungsi dari interaksi antara individu, stimulus dan
situasi. Misalnya seorang konsumen yang tidak tertarik untuk membeli pakaian akan
jarang melirik iklan-iklan yang menawarkan pakaian. Namun, sebuah iklan pakaian
yang memperlihatkan seorang selebriti yang konsumen tersebut kagumi akan
mendorongnya untuk melihat detil iklan (tingkat keikutsertaan yang tinggi) dan ia pun
akan memberikan perhatian pada apa yang dikenakan sang selebriti. Hal yang sama
mungkin akan terjadi apabila konsumen-konsumen yang tidak memperdulikan hampir
semua iklan-iklan tentang pakaian berubah menjadi tertarik untuk mempelajari informasi
terkait pakaian ketika mereka sedang memiliki kebutuhan untuk membeli baju-baju
baru. Sebagai tambahan, cara sebuah komunikasi seharusnya terstruktur berbeda
tergantung dari tingkat keikutsertaan yang diharapkan dimiliki oleh audiens.
Gambar 2.1 Learning theories in high- and low-involvement situations
Classical
Conditioning
Highinvolvement
learning
situation
Operant
Conditioning
Iconic rote
Cognitive
Vicarious/
Cognitive
modelling
Reasoning
Commonly used
Occasionally used
Lowinvolvement
learning
situation
16
Figure above shows the two general situations and the five specific learning
theories. The level of involvement is the main determinant of how material is learned.
The solid lines in the figure indicate that operant or instrumental conditioning, vicarious
learning/ modelling and reasoning tend to be used as learning strategies in highinvolvement situations. Classical conditioning, iconic rote learning and vicarious/
modelling learning tend to occur in low-involvement situations. Each of these specific
theories is described below. The dotted lines in the figure indicate that consumers
occasionally use these types of learning.
Bagan diatas memperlihatkan dua situasi umum dan lima teori pembelajaran
yang spesifik. Tingkat keikutsertaan merupakan faktor utama yang menunjukkan cara
materi dipelajari. Garis-garis yang utuh dalam bagan ini mengindikasikan bahwa
operant (instrumental) conditioning, vicarious learning/ modelling dan reasoning
cenderung digunakan sebagai strategi pembelajaran dalam tingkat keikutsertaan yang
tinggi. Classical conditioning, iconic rote learning dan vicarious/ modelling learning
cenderung digunakan sebagai strategi pembelajaran dalam tingkat keikutsertaan yang
rendah. Setiap teori yang spesifik ini akan dijelaskan kemudian. Garis putus-putus dalam
bagan
ini
mengindikasikan
bahwa
konsumen
terkadang
menggunakan
jenis
pembelajaran tersebut.
Berdasarkan definisi diatas, pembelajaran terjadi di dalam suatu interaksi yang
menyangkut keikutsertaan konsumen baik secara aktif maupun pasif. Gambar diatas
menjelaskan bahwa operant conditioning dan reasoning lebih sering dilakukan dalam
situasi dengan keikutsertaan konsumen secara aktif, sedangkan classical conditioning
17
dan iconic rote learning lebih sering dilakukan dalam situasi dengan keikutsertaan
konsumen secara pasif. Vicarious learning/ modelling dapat dilakukan dalam situasi
dengan keikutsertaan konsumen baik secara aktif maupun pasif.
2.3
Behavioral Learning
Schiffman et al. (2010:212) yang diterjemahkan oleh Zoelkifli Kasip,
menyatakan teori pembelajaran perilaku kadang-kadang disebut sebagai teori stimulustanggapan karena didasarkan pada pemikiran bahwa tanggapan yang nyata terhadap
stimuli eksternal tertentu memberi pertanda bahwa pembelajaran telah terjadi. Jika
seseorang bertindak (memberikan tanggapan) dengan cara yang dapat diramalkan
terhadap stimulus yang dikenal, ia dikatakan telah “belajar”. Teori perilaku tidak begitu
banyak hubungannya dengan proses pembelajaran seperti halnya pada masukan dan
hasil pembelajaran; yaitu pada stimuli yang dipilih para konsumen dari lingkungan dan
perilaku yang nyata yang dihasilkan. Dua teori perilaku yang banyak mempunyai
hubungan dengan pemasaran adalah pengkondisian klasik dan pengkondisian
instrumental (operant).
2.3.1
Classical Conditioning
According to Neal et al. (2004:267-268), “classical conditioning is the
process of using an established relationship between a stimulus and a response
to bring about the learning of the same response to a different stimulus.” Figure
below overleaf illustrates this type of learning.
18
Classical conditioning adalah proses menggunakan hubungan yang sudah
terbangun antara sebuah stimulus dan sebuah tanggapan untuk menghasilkan
pembelajaran dari tanggapan yang sama kepada stimulus yang berbeda. Bagan
dibawah menggambarkan jenis pembelajaran ini.
Gambar 2.2 Consumer learning through classical conditioning
UCS
UCR
(popular music)
(positive emotion)
CS
CR
(brand of beer)
(positive emotion)
UCS = unconditioned stimulus
UCR = unconditioned response
CS = conditioned stimulus
CR = conditioned response
Hearing popular music (unconditioned stimulus) elicits a positive
emotion (unconditioned response) in many individuals. If this music is
consistently paired with a particular brand of beer or other product (conditioned
stimulus), the brand itself will come to elicit the same positive emotion
(conditioned response).
19
Mendengarkan musik populer (unconditioned stimulus) menghasilkan
emosi positif (unconditioned response) kepada banyak orang. Jika musik ini
secara konsisten dipasangkan dengan sebuah merk spesifik dari bir atau produk
lain (conditioned stimulus), merk itu sendiri akan menghasilkan emosi positif
yang sama (conditioned response).
Classical conditioning merupakan salah satu cara bagi pemasar untuk
senantiasa memberikan pembelajaran bagi konsumen dengan mengaitkan
penerapan unconditioned stimulus dengan conditioned stimulus. Hasil dari
conditioned response merupakan pengaruh conditioned stimulus yang berulang
kali, sehingga menghasilkan pengaruh yang sama seperti unconditioned
response.
2.3.2
Aplikasi Strategis Classical Conditioning
Schiffman et al. (2010:184-188) yang diterjemahkan oleh Zoelkifli Kasip,
menyatakan tiga konsep pokok yang berasal dari pengkondisian klasik adalah:
pengulangan, generalisasi stimulus, dan diskriminasi stimulus. Setiap konsep ini
penting bagi aplikasi perilaku konsumen yang strategis.
Pengulangan meningkatkan kekuatan asosiasi antara stimulus yang
dikondisikan dan stimulus yang tidak dikondisikan dan memperlambat proses
melupakannya, tetapi riset mengemukakan bahwa ada batas jumlah pengulangan
yang akan membantu ingatan. Walaupun pembelajaran yang berlebihan (yaitu,
pengulangan yang melebihi yang diperlukan untuk belajar) membantu ingatan,
20
pada satu titik orang dapat merasa jemu dengan banyaknya paparan, dan
perhatian maupun ingatan akan menurun. Akibat ini, yang dikenal dengan
kebosanan terhadap iklan, dapat dikurangi dengan mengubah pesan iklan.
Beberapa pemasar menghindari kebosanan dengan memakai strategi variasi
kosmetik (dengan menggunakan latar belakang yang berbeda, tipe cetak yang
berbeda, juru bicara iklan yang berbeda) sambil mengulang tema iklan yang
sama.
Keefektifan pengulangan tergantung pada banyaknya iklan yang bersaing
yang terpapar konsumen. Semakin tinggi tingkat persaingan iklan, semakin besar
kemungkinan terjadinya gangguan, yang akan menyebabkan para konsumen
melupakan pembelajaran sebelumnya yang dihasilkan oleh pengulangan.
Generalisasi stimulus menjelaskan alasan berbagai produk tiruan sukses
di pasar. Para konsumen mengacaukan produk-produk tersebut dengan produk
asli yang telah mereka lihat diiklankan. Hal ini juga menjelaskan mengapa
pabrikan yang mempunyai merk sendiri berusaha membuat kemasan mereka
serupa betul dengan merk yang memimpin secara nasional. Mereka
mengharapkan agar para konsumen mengacaukan kemasan mereka dengan merk
yang utama dan membeli merk mereka daripada merk yang utama. Beberapa
merk begitu berharga sehingga produk-produk yang dikemas atau didistribusikan
dengan cara yang sama dapat menyebabkan hilangnya berjuta-juta penjualan.
Dari teori diatas, penulis berpendapat bahwa konsep stimulus
generalization diterapkan oleh para pemasar pada perluasan lini, bentuk, dan
21
golongan produk. Dalam memperluas lini produknya, pemasar menambahkan
berbagai produk yang berkaitan ke merk yang sudah mapan, karena mengetahui
bahwa produk baru lebih berkemungkinan untuk diterima jika dihubungkan
dengan merk yang sudah dikenal dan dipercayai. Sebaliknya, akan jauh lebih
sulit mengembangkan merk yang sama sekali baru.
Pemakaian merk gabungan (family branding) – praktik pemasaran
seluruh lini produk perusahaan dibawah satu merk yang sama – merupakan
strategi
lain
yang
memanfaatkan
kemampuan
konsumen
untuk
menggeneralisasikan asosiasi merk yang sesuai dari satu produk ke produk
berikutnya.
Menurut penulis, family branding diterapkan dengan membawa semua
produk ke dalam satu merk yang sama. Hal ini memudahkan pembelajaran
konsumen untuk mengingat produk-produk yang dikeluarkan suatu merk.
Diskriminasi stimulus adalah lawan dari generalisasi stimulus dan
menghasilkan pilihan stimulus yang khusus di antara stimuli yang serupa.
Kemampuan konsumen untuk melakukan pembedaan di antara stimuli yang
serupa merupakan dasar bagi strategi pengaturan posisi, yang berusaha
membangun citra yang khas produk tertentu ke dalam pikiran konsumen. Dalam
masyarakat kita dimana komunikasi terjadi berlebihan, kunci diskriminasi
stimulus adalah pengaturan posisi yang efektif, keunggulan bersaing yang utama.
Citra – atau posisi – suatu produk atau jasa yang tertanam dalam pikiran
konsumen merupakan hal yang sangat penting bagi kesuksesannya. Jika seorang
22
pemasar mentargetkan konsumen dengan suatu program komunikasi yang kuat
dan menitikberatkan pada cara-cara yang khas dimana produknya dapat
memenuhi kebutuhan konsumen, sebenarnya mereka ingin agar konsumen dapat
membedakan produknya di antara berbagai produk yang bersaing di rak. Tidak
seperti peniru yang mengharapkan konsumen akan menggeneralisasikan persepsi
mereka dan menghubungkan karakteristik khusus produk pemimpin di pasar
dengan produknya sendiri, pemimpin pasar mengingini konsumen membedakan
di antara stimuli yang serupa. Para pemasar yang besar terus menerus waspada
terhadap kemiripan merk toko, dan mereka segera mengajukan gugatan terhadap
para pedagang ritel yang mereka yakini menggerogoti penjualan mereka. Mereka
ingin produk mereka diakui dapat memenuhi kebutuhan para konsumen secara
unik. Berbagai sikap yang menguntungkan yang ditimbulkan oleh pengaturan
posisi dan diskriminasi stimulus yang efektif biasanya bertahan cukup lama
untuk mempengaruhi perilaku membeli di masa yang akan datang.
Menurut penulis, konsep stimulus discrimination digunakan pemasar agar
produk mereka memiliki ciri khasnya tersendiri dan hal tersebut mempengaruhi
brand positioning yang mereka tempuh. Pemasar ingin produk mereka menonjol
di pasaran, sehingga dapat dibedakan dengan produk lainnya yang memiliki
kegunaan yang sama.
2.3.3
Instrumental (Operant) Conditioning
According to Neal et al. (2004:268-269), “instrumental (operant)
conditioning differs from classical conditioning primarily in terms of the role
23
and timing of reinforcement. Reinforcement plays a much larger role in operant
conditioning than it does in classical conditioning. Since no automatic stimulus–
response relationship is involved, the subject must first be induced to engage in
the desired behavior. Then this behavior must be reinforced. The sequence of
events involved in operant conditioning is different from that associated with
classical conditioning. For operant conditioning, trial precedes liking. The
reverse is often true for classical conditioning.”
Instrumental
(operant)
conditioning
berbeda
dengan
classical
conditioning dalam hal peran dan waktu untuk penguatan (reinforcement).
Penguatan memainkan peran yang lebih besar dalam operant conditioning
daripada dalam classical conditioning. Karena hubungan stimulus dan tanggapan
tidak secara langsung terlibat, subyek harus terlebih dahulu diajak untuk
melakukan tindakan yang diinginkan. Urutan kejadian dalam operant
conditioning berbeda dengan yang dihubungkan dengan classical conditioning.
Dalam operant conditioning, masa pencobaan menghasilkan kesukaan.
Kebalikannya yang kadang benar sesuai dengan classical conditioning.
Many consumers would try a free sample (desired response). To the
extent that the taste is indeed pleasant (reinforcement), the probability of
continued consumption will be increased. This is shown in the figure below.
Banyak konsumen mau mencoba sampel gratis (tanggapan yang
diinginkan). Sampai pada tahap bahwa manfaat dari produk ternyata memuaskan
24
(penguatan), kemungkinan konsumsi yang berkelanjutan akan meningkat. Hal ini
ditunjukkan dalam bagan dibawah ini.
Gambar 2.3 Consumer learning by operant or instrumental conditioning
Desired response
(consumption)
Stimulus
Reinforcement
(pleasant taste)
(free sample)
Increases probability of
response to stimulus
This type of conditioning often involves the actual usage of the product.
Therefore, a lot of marketing strategy is aimed at securing an initial trial. Free
samples (at home or in retail outlet), special price discounts on new products
and contests all represent rewards offered to consumers for trying a particular
product or brand. If they try the brand under these conditions and like it
(reinforcement), they are likely to take the next step and purchase it in the future.
The process of encouraging partial responses, leading to the final desired
response, is known as shaping. This process is illustrated in the figure below.
Jenis pengkondisian ini kadang melibatkan penggunaan produk. Maka
dari itu, banyak strategi pemasaran ditujukan untuk mengamankan pencobaan
awal. Sampel gratis (di rumah atau gerai ritel), diskon harga spesial pada produkproduk baru dan kontes, semua merepresentasikan hadiah yang ditawarkan
25
kepada konsumen untuk mencoba produk atau merk spesifik. Jika mereka
mencoba produk atau merk tersebut dalam kondisi yang telah ditetapkan dan
menyukainya (penguatan), mereka cenderung akan beralih ke tahap selanjutnya
dan membeli produk atau merk tersebut di kemudian hari. Proses meyakinkan
sebagian tanggapan, mencapai tanggapan akhir yang diinginkan, dikenal dengan
istilah pembentukan sikap. Prosesnya digambarkan dalam bagan dibawah ini.
Gambar 2.4 An example of shaping process
Consuming a
free sample that
was sent to your
home
Purchasing a second
packet using the discount
coupon that accompanied
the free sample
Repurchasing the
product at full
price
While reinforcement increases the likelihood of behavior such as
purchase being repeated, a negative consequence (punishment) has exactly the
opposite effect. Therefore, the purchase of a brand that does not function
properly greatly reduces the chances of future purchases of that brand. This
underscores the critical importance of consistent product quality.
Bila penguatan kembali meningkatkan perilaku seperti pembelian ulang,
konsekuensi negatif seperti hukuman (punishment) memiliki pengaruh yang
berbalik. Maka dari itu, pembelian produk dari suatu merk yang tidak berfungsi
secara baik mengurangi kesempatan produk tersebut untuk dibeli pada masa
mendatang. Hal ini menekankan betapa pentingnya konsistensi kualitas produk.
Instrumental
conditioning
menekankan
penggunaan
penguatan
(reinforcement) dalam mempengaruhi keinginan calon konsumen mengkonsumsi
26
produk yang ditawarkan. Penguatan memiliki peran penting dalam memprediksi
prospek dari produk yang ditawarkan berdasarkan antusiasme calon konsumen
untuk mencobanya. Sampel produk yang kurang diminati menurunkan potensi
produk dari suatu merk untuk dapat dikonsumsi secara keseluruhan.
2.3.4
Aplikasi Strategis Instrumental Conditioning
Schiffman et al. (2010:192-193), yang diterjemahkan oleh Zoelkifli
Kasip, menyatakan bahwa para pemasar secara efektif menggunakan berbagai
konsep pembelajaran instrumental konsumen ketika mereka memberikan
penguatan positif dengan menjamin kepuasan konsumen terhadap produk, jasa,
dan keseluruhan pengalaman membeli.
Tujuan semua usaha pemasaran haruslah untuk memaksimumkan
kepuasan pelanggan. Para pemasar harus pasti memberikan produk yang sebaik
mungkin untuk uang yang dibayarkan dan menghindari memperbesar harapan
konsumen terhadap kinerja produk yang melebihi apa yang dapat diberikan
produk tersebut. Selain dari pengalaman menggunakan produk itu sendiri, para
konsumen dapat menerima penguatan dari unsur-unsur lain dalam situasi
pembelian, seperti lingkungan dimana transaksi atau pelayanan terjadi, perhatian
dan pelayanan yang diberikan para karyawan, dan sikap ramah tamah yang
diberikan.
Kebanyakan program untuk para pembeli didasarkan pada usaha
meningkatkan penguatan yang positif dan mendorong agar mereka terus menjadi
27
pelanggan tetap. Semakin banyak konsumen menggunakan jasa, semakin besar
ganjaran yang diberikan.
Para pemasar menemukan bahwa kualitas produk harus terus konsisten
dan kepuasan pada pelanggan harus diberikan pada setiap pemakaian agar
perilaku konsumen yang diingini terus dipertahankan. Tetapi, mereka juga
menemukan bahwa beberapa ganjaran non-produk tidak harus diberikan setiap
kali pembelian terjadi transaksi; bahkan ganjaran yang sekali-kali diberikan
mendatangkan
penguatan
dan
mendorong
timbulnya
keinginan
untuk
berlangganan.
Jadi penulis berpendapat bahwa meskipun keuntungan penggunaan
produk yang didapat konsumen tidak terlalu baik, bila mereka dimanjakan
dengan pelayanan yang memuaskan, maka mereka pun berpotensi ingin kembali
menggunakan produk yang bersangkutan. Program pemasaran tidak hanya
memberikan fokus pada peningkatan mutu dan kepuasan pelanggan secara terus
menerus, tetapi akan lebih efektif apabila dilakukan sekali-kali demi
meningkatkan transaksi.
2.4
Cognitive Learning
Neal et al. (2004:270-271) stated that “cognitive learning encompasses all the
mental activities of humans as they work to solve problems or cope with situations. It
involves learning ideas, concepts, attitudes and facts that contribute to the ability to
28
reason, solve problems and learn relationships without direct experience or
reinforcement. Cognitive learning can range from very simple information acquisition to
complex, creative problem solutions.” Three types of cognitive learning are important to
marketers.
Cognitive learning mencakup semua aktivitas mental dari manusia dalam
menyelesaikan masalah atau menangani situasi. Hal ini mencakup pembelajaran ide,
konsep, sikap dan fakta yang berkontribusi pada kemampuan untuk mencari alasan,
menyelesaikan masalah dan mempelajari hubungan tanpa pengalaman langsung atau
penguatan kembali. Cognitive learning dapat mencakup mulai dari meraih informasi
sederhana sampai menyelesaikan masalah yang rumit, kreatif. Tiga jenis cognitive
learning ini sangat berguna bagi pemasar.
2.4.1
Iconic rote learning
Iconic rote learning involves learning the association between two or
more concepts in the absence of conditioning. A substantial amount of lowinvolvement learning involves iconic rote learning. Numerous repetitions of a
simple message may result in the essence of the message being learned, probably
at a weak level, as a result of the consumer scanning the environment. Through
iconic rote learning, consumers may form beliefs about the characteristics or
attributes of products without being aware of the source of the information.
When the need arises, a purchase based on those beliefs may be made.
29
Iconic rote learning melibatkan pembelajaran asosiasi dua atau lebih
konsep dalam ketidakhadiran pengkondisian. Beberapa pembelajaran dengan
keikutsertaan tinggi melibatkan iconic rote learning. Pengulangan sebuah pesan
sederhana dalam tingkat yang lemah, sebagai hasil dari pengamatan konsumen
terhadap lingkungannya. Melalui iconic rote learning, konsumen dapat
membentuk kepercayaan tentang karakteristik atau atribut dari produk tanpa
menyadari sumber dari informasi tersebut. Saat kebutuhan muncul, pembelian
berdasarkan kepercayaan tersebut dapat terjadi.
Penulis berpendapat bahwa iconic rote learning dipelajari konsumen
melalui pengulangan pesan tanpa memikirkan sumber pesan tersebut. Karena
pesan tersebut sudah sering diulang, konsumen akhirnya mengaitkan atribut
tertentu terhadap produk yang bersangkutan.
2.4.2
Vicarious learning/ modelling
Vicarious learning or modelling is another important way in which
consumers learn. With this form of learning, it is not necessary for consumers to
experience a reward or punishment directly in order to learn. Instead, they can
observe the outcomes of others’ behavior and adjust their own accordingly. Also,
consumers can anticipate the outcome of various courses of action through
imagery created in advertisements. This type of learning is common in both lowand high-involvement situations. In a high-involvement situation such as buying
a new outfit shortly after getting a job, a person may deliberately observe the
clothing worn by others at work or by role models from other environments,
30
including those shown in advertisements. A substantial amount of modelling also
occurs in low-involvement situations. Throughout life, people observes others
using products or services and behaving in a variety of situations. Most of the
time they pay limited attention to these behaviors. However, over time, they learn
that certain behaviors (and products) are appropriate on some situations while
others are not. Marketers use vicarious learning by ‘allowing’ consumers to
view the results of others who use the product or service and the benefits or
rewards they obtain by using advertisements that show consumers receiving
rewards for using a product. The potential consumer can imagine similar results
if he or she uses the product. Therefore, marketers need to understand how the
usage situation and group influence can also play a role in consumer learning.
Vicarious learning atau modelling adalah pembelajaran konsumen lain
yang tidak kalah penting. Dengan pembelajaran ini, tidak terlalu penting bagi
konsumen untuk mengalami ganjaran atau hukuman secara langsung untuk
belajar. Mereka dapat mengamati hasil dari perilaku orang lain dan
menyesuaikannya dengan perilaku mereka sendiri. Konsumen juga dapat
mengantisipasi hasil dari berbagai tindakan melalui gambar yang dibentuk dalam
iklan.
Pembelajaran ini biasanya terjadi dalam situasi dengan keikutsertaan
yang rendah dan tinggi. Dalam situasi keikutsertaan yang tinggi misalnya
membeli baju baru setelah mendapatkan sebuah pekerjaan, seseorang mungkin
mengamati pakaian yang dipakai orang lain di tempat kerja atau dari lingkungan
31
sekitar, termasuk yang ditampilkan dalam iklan-iklan. Modelling juga terjadi
dalam situasi dengan keikutsertaan yang rendah. Orang-orang mengamati orang
lain dalam menggunakan produk atau jasa dan berperilaku dalam situasi yang
berbeda-beda. Mereka sering tidak memperhatikan perilaku-perilaku tersebut.
Walaupun itu, akhirnya mereka belajar bahwa perilaku dan produk tertentu
sesuai dengan beberapa situasi, sedangkan perilaku yang lain ternyata tidak.
Pemasar menggunakan vicarious learning dengan memperbolehkan konsumen
melihat hasil penggunaan produk atau jasa dari orang lain dan keuntungan atau
hadiah yang diterima dengan menggunakan iklan untuk menunjukkan konsumen
memperoleh hadiah atas penggunaan produk tersebut. Calon konsumen dapat
membayangkan hasil yang sama jika ia menggunakan produk itu. Maka dari itu,
pemasar perlu memahami penggunaan situasi dan pengaruh kelompok dapat
memainkan peran dalam pembelajaran konsumen.
Menurut
penulis,
vicarious
learning/
modelling
menekankan
penerapannya pada pemberian gambaran pada konsumen akan hasil akhir setelah
menggunakan suatu produk. Pemasar memanfaatkan situasi keikutsertaan
konsumen baik secara aktif maupun pasif dalam memasarkan produk dan
merknya.
2.4.3
Reasoning
Reasoning represents the most complex form of cognitive learning. In this
process the individual engages in creative thinking to restructure and recombine
existing information as well as new information to form new associations and
32
concepts. Information from a credible source that contradicts our existing beliefs
will often trigger reasoning.
Reasoning merupakan sebuah bentuk yang paling kompleks dari
cognitive learning. Dalam proses ini seseorang melakukan pemikiran kreatif
untuk mengatur dan menggabungkan ulang informasi yang telah ada dan juga
informasi baru untuk membentuk hubungan dan konsep yang baru. Informasi
dari sumber terpercaya yang mana tidak sesuai dengan yang telah ada sering
menimbulkan reasoning.
Jadi penulis berpendapat bahwa reasoning menekankan pembelajaran
konsumen terhadap pemikiran-pemikiran faktual dan informatif, sehingga dapat
diwujudkan melalui pemberian informasi produk lewat media cetak dan
elektronik
tentang
keunggulan-keunggulan
yang
akan
menguntungkan
konsumen. Konsumen akan menghubungkan pemikirannya dengan informasi
yang didapatkan.
2.5
Loyalitas Konsumen
Schiffman et al. (2010:509) described “the figure below presents a model of
customer loyalty. Note that there are both behavioral and attitudinal dimensions to the
notion of customer loyalty.”
Bagan dibawah ini memperlihatkan sebuah model dari loyalitas konsumen.
Dalam proses mencapai loyalitas konsumen, terdapat dimensi behavioral dan attitudinal.
33
Gambar 2.5 A model of customer loyalty
ACT OF PURCHASE
Behavioral
dimensions of
customer loyalty
CUSTOMER SATISFACTION
CUSTOMER TRUST
Attitudinal
dimensions of
customer loyalty
CUSTOMER COMMITMENT
CUSTOMER LOYALTY
According to Schiffman et al. (2010:234-236), “brand loyalty is the ultimate
desired outcome of consumer learning. Marketers agree that brand loyalty consists of
both attitudes and actual behaviors toward a brand and that both must be measured.
Attitudinal measures are concerned with consumers’ overall feelings about the product
and the brand, and their purchase intentions. Behavioral measures are based on
observable, factual behaviors regarding the brand, such as quantity purchased,
purchased frequency and repeated buying. Behavioral scientists who favor the theory of
instrumental conditioning believe that brand loyalty results from an initial product trial
that is reinforced through satisfaction, leading to repeat purchase. Cognitive
researchers, on the other hand, emphasize the role of mental processes in building
brand loyalty. They believe that consumers engage in extensive problem-solving
behavior involving brand and attribute comparisons, leading to a strong brand
preference and repeat purchase behavior. Therefore, brand loyalty is the synergy among
34
such attitudinal components as perceived product superiority, customer satisfaction, and
the purchase behavior itself.”
Loyalitas merk adalah hasil utama yang diinginkan dari pembelajaran konsumen.
Pemasar setuju bahwa loyalitas merk terdiri dari sikap dan perilaku terhadap suatu merk
dan kedua hal tersebut harus diukur. Pengukuran attitudinal menekankan pada
keseluruhan perasaan konsumen tentang produk dan merk, dan keinginan mereka untuk
membeli. Pengukuran behavioral menekankan pada perilaku yang dapat diamati dan
faktual tentang suatu merk, seperti jumlah produk yang dibeli, frekuensi transaksi dan
pembelian ulang. Peneliti behavioral yang mendukung pengkondisian instrumental
percaya bahwa loyalitas merk dihasilkan dari pencobaan produk awal yang dikuatkan
ulang lewat kepuasan, yang akan menghasilkan transaksi berulang. Di lain pihak,
peneliti kognitif lebih mendukung peran proses mental dalam membangun loyalitas
merk. Mereka percaya bahwa konsumen yang melakukan perilaku pemecahan masalah
termasuk perbandingan merk dan atribut, akan menghantarkan konsumen kepada
penentuan pilihan merk yang kuat dan perilaku pembelian berulang. Maka dari itu,
loyalitas merk adalah sinergi dari komponen-komponen attitudinal seperti dominasi
produk, kepuasan konsumen dan perilaku pembelian itu sendiri.
Penulis menyimpulkan bahwa loyalitas konsumen adalah loyalitas merk itu
sendiri. Loyalitas merk dapat diukur melalui dimensi berdasarkan perilaku (behavioral)
dan dimensi berdasarkan sikap (attitudinal). Dimensi behavioral ditunjukkan melalui
jumlah produk yang dibeli konsumen dan intensitas pembelian ulang. Pemasar biasanya
membiarkan konsumen mencoba suatu produk secara singkat untuk menguji kualitas
35
dimensi behavioral. Dimensi attitudinal ditunjukkan melalui keseluruhan perasaan dan
emosi konsumen terkait suatu produk dan merk serta keinginan mereka untuk
melakukan transaksi. Pemasar melakukan terpaan informasi kepada konsumen secara
intensif untuk mempengaruhi pengambilan keputusan mereka dalam memilih merk dan
tingkat kepuasan yang didapatkan setelah mengkonsumsi.
An integrated conceptual framework views consumer loyalty as the function of
three groups of factors: (1) personal degree of risk aversion or variety seeking; (2) the
brand’s reputation and availability of substitute brands; and (3) social group influences
and peers’ recommendations. These influences produce four types of loyalty: (1) no
loyalty – no purchase at all and no cognitive attachment to the brand; (2) covetous
loyalty – no purchase but strong attachment and predisposition toward the brand that
was developed from the person’s social environment; (3) inertia loyalty – purchasing
the brand because of habit and convenience but without any emotional attachment to the
brand; and (4) premium loyalty – high attachment to the brand and high repeat
purchase. This framework also reflects a correlation among consumer involvement and
the cognitive and behavioral dimensions of brand loyalty.
Jadi dalam struktur konseptual terintegrasi, yang mana loyalitas konsumen
dilihat melalui faktor kecenderungan konsumen untuk mengganti merk, reputasi merk
dan ketersediaan produk alternatif dari merk yang berbeda, serta pengaruh kelompok
sosial dan lingkungan, akhirnya membentuk empat jenis loyalitas konsumen, yaitu:
1. Tidak ada loyalitas, yang mana tidak ada pembelian dan kedekatan kognitif
terhadap suatu merk.
36
2. Loyalitas covetous, yang mana tidak ada pembelian namun terdapat kedekatan
yang kuat terhadap merk yang didasarkan pengaruh lingkungan.
3. Loyalitas inertia, yang mana terdapat transaksi namun disebabkan karena
kebiasaan dan kenyamanan, tanpa ada kedekatan emosional terhadap merk.
4. Loyalitas premium, yang mana terdapat pembelian berulang kali dan kedekatan
emosional yang tinggi terhadap merk.
According to Roy, Tewari, Tewari (2009:4), “keeping the above discussions in
the backdrop, the current work can be seen as formalizing the switching process by
which knowledge about the previously bought products enters into the consumers’
choice-decision. This involves a consideration of forward-looking behavior of both
consumers and firms and the interaction among all these forward-looking market
players, establishing an explanation for how firms create and exploit brand loyalty.
Here comes the role of acceptance line of learning of the brand-switching model.
Alternatively, a consumer, after the trial of a brand, may find it to have a weak
valuation. In such a case, she/ he may choose to buy a competitor’s brand, knowing fully
well that the valuation of that previously unused brand may be more uncertain. In fact,
whether a firm becomes better or worse off from having greater initial demand is
dependent on the skewness of the prior distribution of valuations.”
Penulis menyimpulkan bahwa berdasarkan pengetahuan tentang produk yang
dipelajari konsumen itulah, keputusan pembelian dibuat. Apabila konsumen melakukan
evaluasi atas pembelian produk tersebut dan memilih untuk setia terhadap suatu merk,
saat itulah perusahaan mulai membangun dan mengeksploitasi loyalitas konsumen
37
terhadap merknya. Di lain pihak, apabila konsumen beralih ke merk lain, hal itu
mungkin didasarkan atas evaluasi produk yang kurang memiliki nilai bagi konsumen.
Chong (2008:1) stated that “the theory of reasoned action is applied to
reconceptualize brand loyalty. According to the theory of reasoned action, the
antecedents of purchase behaviour are attitudes towards the purchase and subjective
norm. If the antecedents of purchase behaviour are integrated to predict and measure
brand loyalty, the prediction and measurement of brand loyalty will be more stable over
time and accurate. When attitude, subjective norm and purchase behaviour are all
consistent and favourable, the maximum level of unit brand loyalty will be realized.”
Penulis berpendapat bahwa sikap, norma subyektif, dan perilaku pembelian
menjadi faktor-faktor alasan yang mempengaruhi tingkat loyalitas konsumen terhadap
suatu merk. Bila semua faktor tersebut cenderung konsisten dan memilih merk tersebut
dalam tindakan, tentunya tingkat loyalitas merk akan meningkat dengan maksimal.
Schiffman et al. (2010:92-94) stated that “the most common applications of
brand loyalty are frequency award programs where marketers offer rewards and special
benefits to buyers who purchase their offerings consistently. Many marketers apply their
knowledge of the characteristics of their brand-loyal consumers in targeting other
buyers with similar attributes. Other marketers target consumers who show no brand
loyalty (“brand switchers”) in the belief that they represent greater market potential
than consumers who are brand loyal.”
A recent study demonstrated that when shopping and evaluating prices and
discounts, switchers seek to obtain bargains and are also concerned about paying
38
higher prices than usual for products. Also, another key consumer segment – consumer
innovators – often a prime target for new products – tend not to be brand loyal.
Menurut penulis, strategi pemasaran yang menekankan peningkatan frekuensi
pembelian untuk mencapai loyalitas konsumen pada masa sekarang lebih ditujukan
kepada konsumen yang berpotensi lebih mudah berganti-ganti merk atau produk. Hal ini
dilakukan agar pemasar dapat mempengaruhi keputusan pembelian mereka, yang
akhirnya memperluas segmen pasar merk atau produk tersebut.
Increasingly, marketers realize that their relationships with customers are
complex and multidimensional. A recent study examined seven aspects of customer’s
relationships. Another study investigates the factors that consumers of two national
retail chains sought from their relationships with the retailers. The research discovered
that customers seek both personal connections (emotion, sense of loyalty) and functional
features (wide variety of products, carrying the product the customer seeks). Customers
who had solid personal and functional ties to the store were more likely to remain loyal
and recommend the store to others. Yet another study explored the relational benefits
that banking customers seek from financial firms. The result indicated that there three
types of sought benefits: (1) special treatment (eg., priority treatment in queues and
faster service, better interest rates), (2) confidence benefits (eg., clear and reasonable
services, work done well and correctly), and (3) social benefits (eg., the staff and
employees knowing the customer by name).
Penulis menyimpulkan bahwa konsumen mencari hubungan secara pribadi dan
manfaat fungsional dari suatu merk atau produk. Hubungan pribadi adalah dalam bentuk
39
keikutsertaan emosi dan rasa memiliki terhadap suatu merk, sedangkan manfaat
fungsional adalah dalam bentuk kesesuaian manfaat produk dan banyaknya variasi jenis
produk dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Adapun tiga jenis keuntungan yang
diminta konsumen adalah:
1. perlakuan khusus, seperti pelayanan yang cepat, harga yang kompetitif.
2. keuntungan keyakinan, seperti pelayanan yang jelas, berkualitas, dan tepat
guna.
3. keuntungan sosial, seperti pengetahuan atau informasi tentang klien yang
diingat oleh staf dan karyawan.
2.6
Kerangka Pemikiran
Behavioral Learning
Cognitive Learning
Variabel X1
Variabel X2
-
Classical conditioning
-
Iconic rote learning
-
Operant (Instrumental)
conditioning
-
Vicarious learning/ modelling
-
Reasoning
T-3
T-1
T-2
Loyalitas Konsumen
Variabel Y
-
Behavioral dimension
-
Attitudinal dimension
Download