SISTEM AGROFORESTRI SEBAGAI ALTERNATIF HADAPI PERGESERAN MUSIM GUNA PENCAPAIAN KEAMANAN PANGAN MTh. Sri Budiastuti Postgraduate Program of Environmental Study Surakarta Sebelas Maret University Abstrak Pergeseran musim dirasakan sangat mengganggu kegiatan budidaya tanaman mengingat musim hujan telah bergeser dan dengan periode hujan yang lebih panjang ataupun lebih pendek daripada biasanya. Hal tersebut menyebabkan pola adaptasi tanaman terhadap kondisi iklim mikro menjadi terganggu. Kondisi demikian mempengaruhi kontinyuitas ketersediaan kebutuhan primer khususnya pangan terlebih bila mengingat bahwa lahan-lahan produktif semakin terbatas karena alih fungsi dan akhirnya mengancam keamanan pangan. Alternatif solusi yang tepat untuk mengatasinya adalah dengan meningkatkan potensi lahan-lahan marginal di lahan atasan (upland) melalui teknologi budidaya tanaman berbasis kearifan lokal dalam arti mempertahankan keberadaan pohon sebagai penyelamat sumberdaya air dan memasukkan unsur tanaman budidaya sebagai pendukung ketersediaan pangan. Sistem budidaya tanaman berbasis pohon demikian disebut sistem agroforestri yang berupa perpaduan antara pohon dan tanaman semusim pada suatu kawasan lahan dan seringkali menyertakan ternak sebagai penghasil pupuk organik. Kata kunci: Agroforestri, Pergeseran musim, Keamanan pangan Pendahuluan Beberapa tahun terakhir ini Pemerintah Indonesia disibukkan dengan usaha untuk menyediakan kebutuhan pangan melalui program-program intensiikasi pertanian dan pelarangan alih fungsi lahan dari pertanian ke bukan pertanian. Hal ini dilakukan mengingat produksi pertanian khususnya tanaman pangan, secara kuantitas belum dapat memenuhi kebutuhan pangan seluruh lapisan masyarakat. Kondisi demikian dipicu oleh peristiwa anomali cuaca yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan dan seringkali menurunkan rerata hasil tanaman secara signiikan. Selain itu, laju pertumbuhan penduduk khususnya di Jawa Tengah yang mencapai 0,94% per tahun dengan jumlah penduduk sekitar 32 juta jiwa (BPS, 2011) turut serta menambah beban pemerintah dalam menjamin keamanan pangan. Peluang untuk meningkatkan ketersediaan pangan didekati dengan upaya peningkatan potensi lahan-lahan marginal seperti lahan tadah hujan (lahan kering) yang masih relatif luas (Radjagukguk, 2006). Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2006) melaporkan bahwa luas lahan kritis di Jawa Tengah mencapai hampir 950 ribu hektar dan E-mail: [email protected] Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013 1 Sistem Agroforestri Sebagai Alternatif Hadapi Pergeseran Musim Mth. Sri Budiastuti tersebar di beberapa wilayah termasuk di kabupaten Kudus. Pemikiran ekstra perlu dilakukan untuk mengurangi keterbatasan yang dimiliki lahan marginal dengan masukan teknologi berbasis lingkungan dalam arti memadukan faktor isik-hayati-dan sosial dalam pelaksanaan budidaya tanaman. Harapan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan sekaligus pemeliharaan sumberdaya alam dan lingkungan memerlukan upaya perencanaan pembangunan berwawasan lingkungan. Secara umum pembangunan demikian bertumpu pada aktiitas manusia yang memahami konsep “membangun selaras alam” dalam arti memanfatkan lahan dengan tidak melebihi daya dukung. Pendekatan terpadu antar komponen lahan menjadi dasar penetapan langkah pengelolaan yang spesiik lokasi (site speciication) sehingga azas manfaat dan azas perlindungan lingkungan berjalan beriringan (Haridjaja, 2008). Beberapa aktiitas pemanfaatan lahan yang telah mempertimbangkan kedua azas tersebut adalah lahan pekarangan, talun, hutan buatan (perpaduan pohon dan tanaman pertanian) dan yang lebih dikenal dengan Sistem Agroforestri. Pelaksanaan sistem agroforestri diawali dengan mempelajari kendala dan kelebihan sistem ini sebagai sistem pertanaman yang memadukan tanaman semusim dan tahunan secara serentak pada sebidang tanah sehingga pemilihan jenis tanaman semusim yang diusahakan sebaiknya adalah tanaman-tanaman yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap naungan. Hal ini tidaklah mudah, karena seringkali tanaman yang dianggap mampu beradaptasi kehadirannya tidak disukai petani setempat dalam arti dianggap kurang menguntungkan secara ekonomi. Demikian pula dengan penataan pohon ataupun penentuan jenis pohon sebaiknya dipilih yang berpotensi meningkatkan resapan air melalui peran sistem tajuk sebagai mediator pengendali energi kinetik butir-butir air hujan dan 2 sistem perakaran sebagai pendukung aliran air ke dalam tanah. Secara tidak langsung, pohon memiliki peran melindungi dan menjaga tanah dari kekuatan aliran permukaan dan erosi. Dengan demikian hendaknya dicari solusi tepat untuk memadukan kepentingan ekonomi dan lingkungan secara sinergi. TINJAUAN PERILAKU AIR HUJAN DALAM SISTEM AGROFORESTRI Seperti diketahui bersama bahwa dalam sistem agroforestri melibatkan beberapa jenis tanaman dari berbagai kenampakan morfologi mulai dari bentuk tajuk, tingkat ketinggian, dan kondisi percabangan yang ketiganya berpengaruh pada tingkat pelapisan tajuk (canopy stratiication) dalam sistem tersebut. Semakin besar tingkat variasi tanaman dalam sistem agroforestri akan menciptakan tingkat stratiikasi tajuk yang semakin tinggi pula. Hal itu menentukan perjalanan air hujan dari segi kecepatan jatuh butir air hujan mencapai permukaan tanah. Tingkat stratiikasi tajuk yang tinggi tentu saja akan mengurangi kecepatan butir air hujan karena terhambat oleh lapisan tajuk tanaman tinggi (pohon) maupun tanaman rendah (tanaman pangan, empon-empon, rerumputan dan lain-lain) sehingga kekuatan butir air hujan tersebut menjadi rendah saat tiba di permukaan tanah. Disamping kondisi tingkat pelapisan tajuk, hendaknya dipertimbangkan juga kondisi isiograi lahan yaitu tingkat kemiringan sebagai penentu kecepatan aliran air permukaan. Seperti halnya di Kawasan Muria dengan kemiringan lahan berkisar antara 15-25% dan bahkan di beberapa tempat dengan kemiringan relatif curam, sangat rentan terhadap erosi dan longsor. Ironisnya, kawasan ini secara intensif digunakan untuk budidaya tanaman tanpa memperhatikan aspek konservasi tanah dan air sehingga menjadi semakin kritis. Keterbatasan luas lahan garapan memaksa petani setempat bergerak ke la- Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013 Sistem Agroforestri Sebagai Alternatif Hadapi Pergeseran Musim han kritis dan karena itu strategi yang tepat dan sederhana perlu dikembangkan guna memperbaiki kerusakan lahan dan menghindari kerusakan yang lebih parah. Perilaku air hujan mengikuti hukum gravitasi bumi, dan lapisan tajuk tanaman yang tertinggi dalam sistem agroforestri menjadi benda pertama yang tersentuh oleh air hujan. Penelitian tentang perilaku air hujan pada beberapa arsitektur tajuk pohon (Budiastuti, 2007; 2009) menyatakan bahwa gerakan butir air hujan berkorelasi erat dengan celah-celah yang terbentuk dalam sistem tajuk, makin lebar celah yang terbentuk makin cepat gerakan air hujan ke permukaan tanah dan dalam hal ini tajuk berperan sebagai mediator (pengatur perilaku air hujan). Banyak atau sedikitnya celah-celah tajuk pohon ditentukan oleh sistem percabangan, dan sebagai contoh adalah tajuk Jati, dengan daun lebar berbentuk hati (cordate) berkedudukan pada cabang-cabang yang berjarak relatif jauh (Gambar 1). Mth. Sri Budiastuti tan jatuh atau kekuatan energi kinetik air hujan hendaknya menjadi salah satu kriteria pemilihan jenis pohon dalam sistem agroforestri di lahan miring (bergelombang). Namun demikian apabila suatu kawasan telah ditumbuhi dengan jenis pohon tertentu yang dianggap berperan relatif kecil sebagai mediator, maka sebaiknya dipilih tanaman semusim dengan tajuk relatif rapat seperti kacang-kacangan sebagai penahan hembasan air hujan. Tinjauan perilaku air hujan mengarahkan penulis pada hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih (kegiatan awal) atau mengurangi kelemahan pohon (sesuai kondisi saat kegiatan dilakukan) agar tercapai makna perlindungan kawasan lahan kritis, yakni, pertama pohon yang sesuai dengan iklim mikro setempat, kedua pohon dengan tajuk berlapis yang mengendalikan kekuatan tetesan air hujan dan ketiga sistem perakaran yang berperan sebagai penguat tebing dan pemegang tanah lapisan atas. Dengan demikian ke- A Gambar 1. Sistem perakaran (A), percabangan (B) dan tajuk Jati (Tectona grandis L) (C) (Foto: Budiastuti, 2007) menyebabkan terbentuknya celah-celah tajuk yang cukup banyak, sehingga dapat dipastikan apabila air hujan menerpa tajuk Jati maka fungsi tajuk sebagai mediator sangatlah kecil. Sistem Agroforestri pada lahan-lahan dengan kemiringan tertentu sebaiknya mempertimbangkan fungsi mediator yang diperankan oleh tajuk pohon. Sistem tajuk pohon yang mampu mengurangi kecepa- C tiga pertimbangan tersebut menjadi acuan penting untuk melindungi kawasan lahan kritis ditinjau dari fungsi hidrologi. Selain itu, pemilihan jenis pohon melibatkan pula pertimbangan faktor ekonomi, dan akan lebih tepat kiranya apabila faktor ekonomi menjadi bahan pertimbangan yang keempat. Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013 3 Sistem Agroforestri Sebagai Alternatif Hadapi Pergeseran Musim Mth. Sri Budiastuti Kendala-Kendala Dalam Sistem Agroforestri Kendala utama dalam sistem agroforestri adalah kompetisi air, unsur hara dan cahaya antara pohon dan tanaman semusim atau tanaman budidaya. Kompetisi air dan unsur hara relatif lebih mudah diatasi dari pada kompetisi cahaya. Selama air tersedia dan sesuai dengan kebutuhan tanaman maka selama itu pula hambatan pertumbuhan bagi tanaman budidaya relatif rendah. Namun demikian usaha menjaga keberadaan air pada musim kering sangat diperlukan dan cara yang termudah adalah dengan memilih pohon dengan sistem perakaran yang berkembang secara vertikal (bersifat sebagai jangkar) dan berperan sebagai penguat struktur tanah ke arah dalam (Hairiah et al., 2006). Sebagai contoh adalah pohon jambu mete, pohon ini memiliki sistem perakaran dalam dan dapat dipertimbangkan sebagai tanaman yang mampu menjadi jaring penyelamat air dan hara, sehingga pada musim keringpun kondisi tanah relatif lembab. Kompetisi cahaya menjadi kendala utama atau dapat dikatakan merupakan pengaruh negatif pohon yang utama bagi pertumbuhan tanaman semusim atau sela. Cahaya hampir sepenuhnya tergantung pada kondisi alam sehingga tidak dapat secara bebas petani melakukan rekayasa (Sitompul dan Guritno, 1995). Bila cahaya berlebih (hal yang sangat jarang terjadi pada tanaman pangan di Indonesia) kemungkinan masih dapat dikurangi dengan menggunakan naungan, namun bila kurang hampir sangat sulit untuk meningkatkannya, terutama untuk budidaya tanaman dalam skala luas. Pengaruh negatif pohon dapat dikurangi antara lain dengan pemangkasan pohon secara teratur, memilih pohon bertajuk tidak melebar, mengatur jarak tanam pohon, menanam tanaman tahan naungan atau memilih pohon yang berakar dalam (Purnomo, 2007). Penutup Teknik budidaya tanaman di lahan marginal dan bergelombang seperti di kawasan Muria ditekankan pada aspek keseimbangan ekosistem yang mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan secara menyeluruh dan terpadu. Secara konkrit adalah pertama, menentukan jenis pohon yang seyogyanya merupakan penghasil buah atau biji dalam waktu relatif pendek B Gambar 2. Tajuk (A) dan sistem perakaran Jambu mete (Anacardium occidentale) (B) (Foto: Budiastuti, 2010) A 4 Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013 Sistem Agroforestri Sebagai Alternatif Hadapi Pergeseran Musim dengan nilai ekonomi tinggi seperti petai, dan bukan penghasil kayu. Kedua, menentukan jenis pohon penghasil seresah yang sekaligus sebagai penyedia pupuk hijau atau penyedia unsur N seperti jenis lamtoro, gliricidae dan lain-lain. Ketiga, membudidayakan tanaman semusim yang dipanen dengan cara dipetik dan bukan dibongkar seperti kedelai, dan keempat, menerapkan prinsip budidaya ramah lingkungan dengan pemanfaatan pupuk kandang dan atau pupuk hayati secara teratur. Daftar Pustaka Budiastuti. 2007. Bentuk dan Kepadatan Tajuk Pohon pada Hutan Produksi: Pola Percabangan dan Tipe Daun Sebagai Pengendali Aliran Air Hujan. Agrivita 29 (2): 162-173 Budiastuti, Sumani. 2009. Peran Pohon Dalam Perlindungan Kawasan Konservasi Das Bengawan Solo: Model Kepadatan Tajuk Sebagai Deteksi Awal Pencegahan Kerusakan Permukaan Tanah. Agrivita (Edisi Khusus): 45-52 Hairiah, K., Widianto, Suprayogo, D., Lestari, N.D., Kurniasari, V., Santosa, A., Verbist, B., and Van Noordwijk., M. 2006. Root Effects on Slope Stability in Sumberjaya, Lampung (Indonesia). Paper to be presented in ‘International Symposium toward Mth. Sri Budiastuti Sustainable Livelihood and Ecosystem in Mountanious Regions’ Chiang Mai, 7-9 March 2006. Pp. 12. Haridjaja, O. 2008. Pentingnya Konservasi Sumberdaya Lahan. h. 17-32. . Penyelamatan Tanah, Air dan Lingkungan. (Eds. Sitanala, A dan E. Rustiadi). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Purnomo, D. 2007. Pidato Pengukuhan Guru Besar: Kebutuhan Pangan, Ketersediaan Lahan Pertanian dan Potensi Tanaman Pangan. UNS Press. Radjagukguk, B. 2006. Sumberdaya Tanah dan Pengelolaannya Secara Berkelanjutan. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. (Eds: Krisnamurthi et al.) Penerbit Buku Kompas. Jakarta Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Potensi Tanaman Pangan di Bali Seminar Komponen Teknologi Budidaya Tanaman Pangan di Propinsi Bali. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Malang. 42-52. Statistik Kehutanan Indonesia. 2007. Luas dan Penyebaran Lahan Kritis Sampai Dengan Tahun 2006. Departemen Kehutanan, Republik Indonesia Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013 5