Persepsi Mengenai Pacaran dan Tingkat Religiusitas dengan Perilaku Free Sex Remaja Oleh: Zainul Miftah, S.Pd. M.Si *) Kondisi masyarakat Indonesia saat ini dalam keadaaan anomie, yaitu sistem sosial dimana tidak ada petunjuk atau pedoman tingkah laku- Kebiasaankebiasaan dan aturan-aturan yang biasa berlaku tiba-tiba tidak beriaku lagi. Akibatnya terjadi individualisme, dimana individu-individu bertindak hanya menurut kepentingannya masing-masing dan tidak memperhatikan norma-norma. Keadaan anomie ini tentu tidak hanya berlaku terhadap anggota masyarakat dewasa, melainkan juga terhadap generasi muda- Salah satu bukti tentang adanya kondisi anomie di kalangan generasi muda adalah dalam segi kehidupan seksual, yaitu terjadinya pergaulan bebas. Norma-nonna masyarakat dan nonna-nonna agama seharusnya mampu mempengaruhi perilaku seseorang sehingga menjadi fiher terhadap terjadinya perilaku-perilaku negatif, termasuk perilaku seks bebas, namun dalam realitasnya teknologi komunikasi dan globalisasi telah menyebabkan masuknya bermacam-macam norma dan nilainilai baru yang berasal dari budaya luar. Dengan kata lain norma masyarakat dan norma agama kita telah tergeser oleh norma dan nilai-nilai baru dari budaya luar yang memicu terjadinya perilaku seks bebas. Faktor-faktor yang mendorong remaja melakukan hubungan seks di luar nikah, adalah: Pertama, karena mispersepsi terhadap makna pacaran yang mengangggap bahwa hubungan seks adalah bentuk penyaluran kasih sayang. Kedua, karena kehidupan iman yang rapuh. Kehidupan beragama yang baik dan benar ditandai dengan pengertian, pemahaman dan ketaatan dalam menjalankan ajaran-ajaran agama dengan baik tanpa dipengaruhi oleh situasi kondisi apapun. Ketiga, masa remaja terjadi kematangan biologis. Seorang remaja sudah dapat melakukan fungsi reproduksi sebagaimana layaknya orang dewasa sebab fungsi organ seksualnya telah bekerja secara normal. Hal ini membawa konsekuensi bahwa seorang remaja akan mudah terpengaruh oleh stimulan yang merangsang gairah seksuahiya, misalnya dengan melihat film porno, cerita cabul, dan gambar-gambar erotis. Kematangan biologis yang tidak disertai dengan kemampuan mengendalikan diri cenderung berakibat negative, yakni terjadi hubungan seksual pranikah di masa pacaran. Sebaliknya kematangan biologis yang disertai dengan kemampuan mengendalikan diri akan membawa kebahagiaan remaja di masa depannya sebab ia tidak akan melakukan hubungan seksual pranikah. Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi siswa mengenai pacaran maka akan semakin tinggi pula perilaku free sex dan sebaliknya semakin rendah persepsi pacarannya ma- 32 MPA 293 / Februari 2011 ka akan semakin rendah pula perilaku free sex-nya sementara dari landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini menjelaskan bahwa salah satu penyebab perilaku free sex adalah karena misspersepsi terhadap acaran sehingga dari situ menunjukkan suatu perbedaan antara landasan teori yang dipakai dengan hasil penelitian. Hal ini dapat terjadi karena pertama, secara teori seringkali diungkapkan bahwa sikap merupakan predisposisi (penentu) yang memunculkan adanya perilaku yang sesuai dengan sikapnya. Sikap tumbuh, diawali dari pengetahuan yang dipersepsikan sebagai suatu hal yang baik (positif) maupun tidak baik (negatif), kemudian diinternalisasikan ke dalam dirinya. Dari apa yang diketahui tersebut akan mempengaruhi pada perilakunya. Kalau apa yang dipersepsikan tersebut bersifat positif, maka seseorang cendenmg berperilaku sesuai dengan persepsinya. Kalau ia mempersepsikan secara negatif, maka ia pun cenderung menghindari atau tidak melakukan hal itu dalam perilakunya. Namun seringkali dalam keliidupan realitasnya, ada banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku seseorang, misalnya Lingkungan sosial, situasi atau kesempatan. Sehingga apa yang diketahui seringkali tidak konsisten dengan apa yang muncul dalam perilakunya. Mungkin seseorang memiliki sikap positif terhadap sesuatu hal, tetapi dalam kenyataannya perilakunya tidak sesuai atau bertentangan dengan sikap tersebut. Kedua, teori yang diambil tersebut adalah dari Paul dan White yang bersumber dari luar negeri sementara remaja di Indonesia mempunyai pemahaman dan penilaian tersendiri mengenai pacaran, kalau melihat dari teori yang dipakai menunjukkan bahwa pacaran itu mempunyai rungsi yang normatif, yaitu meliputi fungsi rekreatif, sumber status, prestasi, sosialisasi, bergaul secara akrab dan terbuka, penyesuaian normatif, sharing, pengembangan identitas, dan pemilihan calon pasangan hidup. Sementara pada remaja Indonesia pemahaman pacaran itu lebih pada konotasi negatif yang lebih menganggap bahwa pacaran itu identik dengan perilaku yang tidak bisa terlepas dari aktivitas yang mengarah pada free sex sehingga teori tersebut kurang tepat ketika diterapkan di Indonesia, sebagaimana survey yang dilakukan oleh DETEKSI (JawaPos) pada bulan Mei 2003 terhadap 1522 remaja di Jakarta dan Surabaya yang menunjukkan hasil bahwa pacar merupakan obyek utama untuk melampiaskan gejolak seksual kaum remaja, engan rata-rata 88, remaja memilih pacamya untuk diajak bersenggama di luar nikah. Sementara menurut Gunarsa (2004) pacaran itu dapat dibenarkan ketika memenuhi tiga faktor. Pertama, faktor umur, makin lanjut usia remaja diharapkan mereka juga lebih memperlihatkan kematangan. Taraf kematangan ini perlu supaya mereka dapat mempertimbangkan dengan baik sifat dan tingkat pacaran dalam hubungannya dengan batas-batas kesopanan. Kedua, faktor sifat pacaran, yaitu pacaran yang aktivitasnya positif, seperti belajar kelompok. Ketiga, faktor tingkat pacaran yang terkontrol karena ketika makin dekat dengan pacar, makin besar kemungkinan persentuhan yang dapat menimbulkan rangsangan seksual. Jadi pacaran disini hanya dibenarkan ketika memenuhi faktor-faktor tersebut agar terhindar dari perilaku free sex. Sehingga dari situ menunjukkan hasil yang berbeda dengan realitas di remaja di modesia. Dari hasil skala perilaku free sex dapat diketahui bahwa subyek yang di teliti pada sebuah SMK masih tergolong mempunyai tingkat perilaku free sex yang rendah, yaitu sebanyak 43.4 remaja termasuk kategori sedang; 29.5 kategori rendah dan 10.1 kategori sangat rendah, sementara hanya terdapat 16.3 remaja yang termasuk kategori tingggi dan 0.7 kategori sangat tinggi, artinya dalam upaya penanganan perilaku free sex remaja diperlukan upaya preventif dalam memberikan pemahaman yang tepat agar remaja yang secara umum ini masih berada pada tingkat perilaku free sex yang rendah ini tidak semakin terjerumus pada perilaku free sex yang lebih jauh, kemudian juga tidak mengabaikan perlunya sesegera mungkin dapat memberikan penanganan dalam mengarahkan dan menyadarkan remaja yang mempunyai tingkat perilaku free sex yang tinggi walaupun yang termasuk kategori ini tidak lebih dari 17. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada label berikut: Jumlah Skor 156-192 132-156 108-132 84-108 48-84 Kategori Jumlah Subyek Prosentase Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah SangatRendah 1 21 56 38 13 0.7 % 16.3 % 43.4 % 29.5 % 10.1 % Hasil yang dapat diungkap selanjutnya yaitu faktor religiusitas berpengaruh negatif terhadap perilaku free sex seseorang, artinya semakin tinggi religiusitas seseorang maka akan semakin rendah perilaku free sex-nya dan sebaliknya semakin rendah religiusitas seseorang maka akan semakin tinggi perilaku free sex-nya. Dari situ menunjukkan bahwa pemahaman dan pengamalan nilai-nilai serta ajaran-ajaran agama yang sudah terintemalisasi dalam kehidupan remaja ternyata berkorelasi signifikan dengan perilaku free sex. Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma tertentu dan secara umum menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan beiperuaku agar sejalan sdengan keyakinan agama yang dianutnya. Pengaruh sistem nilai dalam agama terhadap kehidupan yang telah diintemalisasi sebagai nilai pribadi dirasakan oleh individu sebagai prinsip yang menjadi pedoman hidup. Nilai dalam realitasnya memiliki pengaruh dalam mengatur pola perilaku, pola berpudr dan pola berskap. Ketika religiusitas seseorang baik maka ia akan mempunyai keimanan dan ketaqwaan yang kuat pula dalam mengendalikan keinginan-keinginan yang bertentangan dengan norma-norma agama. Dengan religiusitas yang baik, remaja mempunyai pengendali, sehingga tindakan yang Pemahaman dan pengamalan nilainilai serta ajaran-ajaran agama yang sudah terintemalisasi dalam kehidupan remaja ternyata berkorelasi signifikan dengan perilaku free sex. Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma tertentu dan secara umum menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan berprilaku agar sejalan sdengan keyakinan agama yang dianutnya. dilakukannya selalu mengacu kepada ajaran-ajaran agama yang pemah diterimanya- Sesuai dengan pendapat Syukur (1989) bahwa religiusitas dapat memotivasi perilaku seseorang untuk menjaga kesusilaan dan fata tertib masyarakat, manusia termotivasi untuk hidup religius karena menganggap bahwa keyakinan religius diwujudkan dalam kehidupan beragama akan berperan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Hasil analisis data menunjukkan bahwa religiusitas memberikan sumbangan efektif sebesar 8.18 terhadap perilaku free sex. Sumbangan efektif yang relatif kecil tersebut disebabkan masih adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku free sex sebesar 91.82. Faktorfaktor tersebut dapat berasal dari faktor internal dan eksternal. Perwujudan dorongan seks dalam bentuk perilaku seksual dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari kondisi personal individu yakni berupa faktor kepribadian dan faktor situasional. Beberapa saran yang diperlu diperhatikan adalah: Pertama, kepada pihak orang tua, guru dan pemerintah agar memperhatikan dalam membimbing dan mengarahkan remaja dengan memberikan pandangan yang benar mengenai persepsi pacaran dan meningkatkan pemahaman dan pengamalan agama agar terhindar dari perilaku free sex. Oleh karena itu penelitian ini bisa dijadikan bahan acuan perilaku free sex yang rendah ditunjukkan oleh tingkat religiusitas yang tinggi. Kedua, kepada generasi muda agar menetapkan tujuan dan arah hidup yang jelas, belajar lebih mengenali diri sendiri, meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya dengan mengisi kegiatan yang bermanfaat. Serta bergaul dengan teman secara benar sehingga dapat terhindar dari terjerumus pada perilaku free sex. Ketiga, kepada para siswa agar selain belajar juga Harus ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan yang positif dan kreatif dalam rangka menyalurkan energi yang berlebih sehingga tidak mengarah pada penyaluran dorongan biologis secara langsung, misalnya dengan kegiatan keolahragaan, pecinta alam dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat mengembangkan potensi dan bakat masing-masing. z *) Guru Bimbingan Konseling MTsN Kota Probolinggo MPA 293 / Februari 2011 33