layout jan 2010 - b

advertisement
Persepsi Mengenai Pacaran
dan Tingkat Religiusitas
dengan Perilaku Free Sex Remaja
Oleh: Zainul Miftah, S.Pd. M.Si *)
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini dalam
keadaaan anomie, yaitu sistem sosial dimana tidak ada
petunjuk atau pedoman tingkah laku- Kebiasaankebiasaan dan aturan-aturan yang biasa berlaku tiba-tiba
tidak beriaku lagi. Akibatnya terjadi individualisme,
dimana individu-individu bertindak hanya menurut
kepentingannya masing-masing dan tidak memperhatikan
norma-norma.
Keadaan anomie ini tentu tidak hanya berlaku terhadap anggota masyarakat dewasa, melainkan juga terhadap generasi muda- Salah satu bukti tentang adanya
kondisi anomie di kalangan generasi muda adalah dalam
segi kehidupan seksual, yaitu terjadinya pergaulan bebas.
Norma-nonna masyarakat dan nonna-nonna agama
seharusnya mampu mempengaruhi perilaku seseorang sehingga menjadi fiher terhadap terjadinya perilaku-perilaku
negatif, termasuk perilaku seks bebas, namun dalam realitasnya teknologi komunikasi dan globalisasi telah menyebabkan masuknya bermacam-macam norma dan nilainilai baru yang berasal dari budaya luar. Dengan kata lain
norma masyarakat dan norma agama kita telah tergeser
oleh norma dan nilai-nilai baru dari budaya luar yang memicu terjadinya perilaku seks bebas.
Faktor-faktor yang mendorong remaja melakukan
hubungan seks di luar nikah, adalah: Pertama, karena mispersepsi terhadap makna pacaran yang mengangggap
bahwa hubungan seks adalah bentuk penyaluran kasih
sayang. Kedua, karena kehidupan iman yang rapuh.
Kehidupan beragama yang baik dan benar ditandai dengan pengertian, pemahaman dan ketaatan dalam menjalankan ajaran-ajaran agama dengan baik tanpa dipengaruhi oleh situasi kondisi apapun. Ketiga, masa remaja
terjadi kematangan biologis. Seorang remaja sudah dapat
melakukan fungsi reproduksi sebagaimana layaknya orang dewasa sebab fungsi organ seksualnya telah bekerja
secara normal. Hal ini membawa konsekuensi bahwa seorang remaja akan mudah terpengaruh oleh stimulan yang
merangsang gairah seksuahiya, misalnya dengan melihat
film porno, cerita cabul, dan gambar-gambar erotis. Kematangan biologis yang tidak disertai dengan kemampuan
mengendalikan diri cenderung berakibat negative, yakni
terjadi hubungan seksual pranikah di masa pacaran. Sebaliknya kematangan biologis yang disertai dengan kemampuan mengendalikan diri akan membawa kebahagiaan
remaja di masa depannya sebab ia tidak akan melakukan
hubungan seksual pranikah.
Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi siswa mengenai
pacaran maka akan semakin tinggi pula perilaku free sex
dan sebaliknya semakin rendah persepsi pacarannya ma-
32
MPA 293 / Februari 2011
ka akan semakin rendah pula perilaku free sex-nya sementara dari landasan teori yang dipakai dalam penelitian
ini menjelaskan bahwa salah satu penyebab perilaku free
sex adalah karena misspersepsi terhadap acaran sehingga
dari situ menunjukkan suatu perbedaan antara landasan
teori yang dipakai dengan hasil penelitian. Hal ini dapat
terjadi karena pertama, secara teori seringkali diungkapkan
bahwa sikap merupakan predisposisi (penentu) yang
memunculkan adanya perilaku yang sesuai dengan sikapnya. Sikap tumbuh, diawali dari pengetahuan yang dipersepsikan sebagai suatu hal yang baik (positif) maupun
tidak baik (negatif), kemudian diinternalisasikan ke dalam
dirinya. Dari apa yang diketahui tersebut akan mempengaruhi pada perilakunya. Kalau apa yang dipersepsikan
tersebut bersifat positif, maka seseorang cendenmg berperilaku sesuai dengan persepsinya. Kalau ia mempersepsikan secara negatif, maka ia pun cenderung menghindari atau tidak melakukan hal itu dalam perilakunya.
Namun seringkali dalam keliidupan realitasnya, ada
banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku
seseorang, misalnya Lingkungan sosial, situasi atau kesempatan. Sehingga apa yang diketahui seringkali tidak
konsisten dengan apa yang muncul dalam perilakunya.
Mungkin seseorang memiliki sikap positif terhadap sesuatu hal, tetapi dalam kenyataannya perilakunya tidak
sesuai atau bertentangan dengan sikap tersebut. Kedua,
teori yang diambil tersebut adalah dari Paul dan White
yang bersumber dari luar negeri sementara remaja di Indonesia mempunyai pemahaman dan penilaian tersendiri
mengenai pacaran, kalau melihat dari teori yang dipakai
menunjukkan bahwa pacaran itu mempunyai rungsi yang
normatif, yaitu meliputi fungsi rekreatif, sumber status,
prestasi, sosialisasi, bergaul secara akrab dan terbuka,
penyesuaian normatif, sharing, pengembangan identitas,
dan pemilihan calon pasangan hidup. Sementara pada
remaja Indonesia pemahaman pacaran itu lebih pada konotasi negatif yang lebih menganggap bahwa pacaran
itu identik dengan perilaku yang tidak bisa terlepas dari
aktivitas yang mengarah pada free sex sehingga teori
tersebut kurang tepat ketika diterapkan di Indonesia, sebagaimana survey yang dilakukan oleh DETEKSI (JawaPos)
pada bulan Mei 2003 terhadap 1522 remaja di Jakarta dan
Surabaya yang menunjukkan hasil bahwa pacar merupakan obyek utama untuk melampiaskan gejolak seksual
kaum remaja, engan rata-rata 88, remaja memilih pacamya
untuk diajak bersenggama di luar nikah.
Sementara menurut Gunarsa (2004) pacaran itu dapat
dibenarkan ketika memenuhi tiga faktor. Pertama, faktor
umur, makin lanjut usia remaja diharapkan mereka juga
lebih memperlihatkan kematangan. Taraf kematangan ini
perlu supaya mereka dapat mempertimbangkan dengan
baik sifat dan tingkat pacaran dalam hubungannya dengan
batas-batas kesopanan. Kedua, faktor sifat pacaran, yaitu
pacaran yang aktivitasnya positif, seperti belajar kelompok. Ketiga, faktor tingkat pacaran yang terkontrol karena
ketika makin dekat dengan pacar, makin besar kemungkinan persentuhan yang dapat menimbulkan rangsangan
seksual. Jadi pacaran disini hanya dibenarkan ketika memenuhi faktor-faktor tersebut agar terhindar dari perilaku
free sex. Sehingga dari situ menunjukkan hasil yang berbeda dengan realitas di remaja di modesia.
Dari hasil skala perilaku free sex dapat diketahui
bahwa subyek yang di teliti pada sebuah SMK masih
tergolong mempunyai tingkat perilaku free sex yang
rendah, yaitu sebanyak 43.4 remaja termasuk kategori
sedang; 29.5 kategori rendah dan 10.1 kategori sangat
rendah, sementara hanya terdapat 16.3 remaja yang
termasuk kategori tingggi dan 0.7 kategori sangat tinggi,
artinya dalam upaya penanganan perilaku free sex remaja
diperlukan upaya preventif dalam memberikan pemahaman yang tepat agar remaja yang secara umum ini masih
berada pada tingkat perilaku free sex yang rendah ini tidak
semakin terjerumus pada perilaku free sex yang lebih jauh,
kemudian juga tidak mengabaikan perlunya sesegera
mungkin dapat memberikan penanganan dalam mengarahkan dan menyadarkan remaja yang mempunyai
tingkat perilaku free sex yang tinggi walaupun yang termasuk kategori ini tidak lebih dari 17. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada label berikut:
Jumlah
Skor
156-192
132-156
108-132
84-108
48-84
Kategori
Jumlah Subyek
Prosentase
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
SangatRendah
1
21
56
38
13
0.7 %
16.3 %
43.4 %
29.5 %
10.1 %
Hasil yang dapat diungkap selanjutnya yaitu faktor
religiusitas berpengaruh negatif terhadap perilaku free
sex seseorang, artinya semakin tinggi religiusitas seseorang maka akan semakin rendah perilaku free sex-nya dan
sebaliknya semakin rendah religiusitas seseorang maka
akan semakin tinggi perilaku free sex-nya.
Dari situ menunjukkan bahwa pemahaman dan
pengamalan nilai-nilai serta ajaran-ajaran agama yang
sudah terintemalisasi dalam kehidupan remaja ternyata
berkorelasi signifikan dengan perilaku free sex. Agama
dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem
nilai yang memuat norma tertentu dan secara umum
menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan beiperuaku
agar sejalan sdengan keyakinan agama yang dianutnya.
Pengaruh sistem nilai dalam agama terhadap kehidupan
yang telah diintemalisasi sebagai nilai pribadi dirasakan
oleh individu sebagai prinsip yang menjadi pedoman hidup. Nilai dalam realitasnya memiliki pengaruh dalam
mengatur pola perilaku, pola berpudr dan pola berskap.
Ketika religiusitas seseorang baik maka ia akan mempunyai keimanan dan ketaqwaan yang kuat pula dalam mengendalikan keinginan-keinginan yang bertentangan dengan norma-norma agama. Dengan religiusitas yang baik,
remaja mempunyai pengendali, sehingga tindakan yang
Pemahaman dan pengamalan nilainilai serta ajaran-ajaran agama yang
sudah terintemalisasi dalam
kehidupan remaja ternyata
berkorelasi signifikan dengan
perilaku free sex. Agama dalam
kehidupan individu berfungsi sebagai
suatu sistem nilai yang memuat norma
tertentu dan secara umum menjadi
kerangka acuan dalam bersikap dan
berprilaku agar sejalan sdengan
keyakinan agama yang dianutnya.
dilakukannya selalu mengacu kepada ajaran-ajaran agama
yang pemah diterimanya- Sesuai dengan pendapat Syukur
(1989) bahwa religiusitas dapat memotivasi perilaku seseorang untuk menjaga kesusilaan dan fata tertib masyarakat, manusia termotivasi untuk hidup religius karena
menganggap bahwa keyakinan religius diwujudkan dalam
kehidupan beragama akan berperan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa religiusitas
memberikan sumbangan efektif sebesar 8.18 terhadap
perilaku free sex. Sumbangan efektif yang relatif kecil tersebut disebabkan masih adanya faktor-faktor lain yang
mempengaruhi perilaku free sex sebesar 91.82. Faktorfaktor tersebut dapat berasal dari faktor internal dan eksternal. Perwujudan dorongan seks dalam bentuk perilaku
seksual dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari
kondisi personal individu yakni berupa faktor kepribadian
dan faktor situasional.
Beberapa saran yang diperlu diperhatikan adalah:
Pertama, kepada pihak orang tua, guru dan pemerintah
agar memperhatikan dalam membimbing dan mengarahkan
remaja dengan memberikan pandangan yang benar mengenai persepsi pacaran dan meningkatkan pemahaman
dan pengamalan agama agar terhindar dari perilaku free
sex. Oleh karena itu penelitian ini bisa dijadikan bahan
acuan perilaku free sex yang rendah ditunjukkan oleh
tingkat religiusitas yang tinggi.
Kedua, kepada generasi muda agar menetapkan
tujuan dan arah hidup yang jelas, belajar lebih mengenali
diri sendiri, meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya
dengan mengisi kegiatan yang bermanfaat. Serta bergaul
dengan teman secara benar sehingga dapat terhindar dari
terjerumus pada perilaku free sex. Ketiga, kepada para
siswa agar selain belajar juga Harus ambil bagian dalam
kegiatan-kegiatan yang positif dan kreatif dalam rangka
menyalurkan energi yang berlebih sehingga tidak mengarah pada penyaluran dorongan biologis secara langsung, misalnya dengan kegiatan keolahragaan, pecinta
alam dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat mengembangkan potensi dan bakat masing-masing. z
*) Guru Bimbingan Konseling MTsN
Kota Probolinggo
MPA 293 / Februari 2011
33
Download