KEMBALI KEPADA FITRAH (MAKNA MINAL ‘AIDIN WAL FAIZIN) Oleh: Agus Saputera Lebih kurang sebulan lamanya kaum muslimin berjihad untuk meraih kemenangan, yang diakhiri dan ditandai dengan mengumandangkan takbir 1 Syawal sebagai tanda merayakan ‘Idul Fithri. Dikatakan sebagai Jihad al-Akbar atau perang terbesar karena musuh yang dihadapi adalah hawa nafsu dan kecenderungan naluriah yang berada di dalam diri sendiri. Rasulullah saw jauh hari sudah mengingatkan akan terjadinya pertarungan hebat tersebut, yakni ketika kaum muslimin baru saja menyelesaikan Perang Badar. Sabda beliau, “kita baru saja kembali dari perang kecil menuju ke perang besar yaitu melawan hawa nafsu”. Jihad melawan diri sendiri tersebut sedemikian kentaranya ketika sedang menjalankan puasa pada bulan Ramadhan, sehingga dinyatakan dalam hadits Rasulullah saw, “Puasa itu adalah untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasi (menilai) pahala orang yang berpuasa”(H. R. Bukhari Muslim). Puasa adalah amalan yang sangat bersifat individual, karena yang bersangkutan sajalah dan Allah swt yang mengetahui dan mengawasi seseorang sedang berpuasa. Sesuatu yang bersifat individual erat kaitannya dengan mengontrol dan mengendalikan diri. Karena itu orang yang sedang berpuasa pada hakikatnya ia sedang berjihad untuk mengontrol atau mengendalikan diri agar tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa dan merusak pahalanya. Sungguh perjuangan tersebut (berpuasa) adalah sebesar-besar jihad karena melawan musuh dalam diri yang tidak tampak, dibanding melawan musuh di luar diri yang terlihat jelas. Karena musuh dari dalam diri tersebut tidak kelihatan, sehingga kadangkala tidak selamanya kita waspada akan kehadirannya. Adakalanya kita bisa menang melawan nafsu, namun di kali lain kita lengah, lalai, berbuat silap. 1 Oleh sebab itu dikatakan oleh Rasulullah saw bahwa tiap-tiap anak Adam itu pasti berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang salah adalah orang yang bertobat. Karena tidak ada seorangpun di dunia ini yang luput dari kasalahan dan kesilapan baik terhadap Allah swt maupun sesama manusia lain. Ingatlah peristiwa orang-orang yang silap, lalai, tergelincir, namun segera kembali ke pangkal jalan, dengan cepat mengingat kesalahan dan bertobat kepada Allah swt. Mereka tidak saja terdiri dari orang-orang awam tetapi termasuk manusia pilihan dan para nabi, seperti kisah bertobatnya Nabi Adam as, dan kisah sadarnya Nabi Yusuf yang hampir saja tergelincir oleh bisikan setan. Itulah sebabnya kita sangat dianjurkan untuk bertobat, istighfar, meminta ampun setiap hari, setiap saat, sebab Rasulullah saw meminta ampun kepada Allah sampai 70 kali sehari semalam. Kaum muslimin minimal beristighfar tiga kali setiap kali selesai menunaikan sholat fardhu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun (Al-Ghaffur) dan Maha Pemaaf (Al‘Afwu) selagi hamba-hambanya tidak berbuat syirk. Bukankah kita dianjurkan untuk memperbanyak istighfar dan minta maaf di bulan Ramadhan dengan berdo’a kepadaNya: “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbu al-‘afwa fa’fuanni”; “Asyhadu an-la ilaha illallah, astaghfirullah, as’aluka al-jannah, wa a’uzu bika min an-nar”. Kepada sesama manusia kita juga dianjurkan untuk memperbanyak bermaaf-maafan (baik meminta ataupun memberi maaf) terutama setelah menyelesaikan puasa Ramadhan dan di permulaan bulan Syawal, setelah lebih dahulu meminta ampun kepada Allah swt. Kedua hal ini disimbolkan dengan kegiatan sholat ‘Ied al-Fithri berjamaah dan dilanjutkan dengan bersalaman/bermaafan setelah selesai menunaikan sholat dengan bersilaturrahim/berkunjung kepada tetangga, teman sejawat, kaum kerabat, dan sesama saudara muslim. 2 Dengan selesainya ibadah puasa dan datangnya hari raya Idul Fitri dengan berbagai aktifitasnya, terutama bersilaturrahmi dan saling bermaafan, dengan sendirinya menjadikan hari raya Idul Fitri benar-benar mengandung makna fitri yang berarti kesucian. Orang beriman selama menjalankan puasa dengan benar artinya telah menjalani tobat (dosanya diampuni Allah swt) sebagai simbolisasi dimensi vertikal (hablumminallah). Kemudian disusul dengan permintaan maaf kepada sesamanya sebagai simbolisasi dimensi horizontal (hablumminannas). Dimensi horizontal yang sangat kental juga terlihat dari kewajiban membayarkan zakat fitrah atau zakat diri bagi yang menjalankan puasa. Zakat fitrah yaitu zakat penyucian diri sebagai bukti bahwa dia telah bertobat, meminta ampun kepada Allah selama menjalankan puasa. Hadits Rasulullah saw menegaskan bahwa pahala orang yang berpuasa di bulan Ramadhan belum akan diangkat ke langit (diterima) sampai dibayarkan zakat fitrahnya. Tidak hanya dengan puasa, dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menggandengkan perintah menunaikan zakat dengan sholat. Artinya belumlah seseorang itu dinyatakan sempurna keislamannya walaupun ia rajin sholat, sampai ditunaikannya zakat. Begitu penting perintah zakat ini sehingga Khalifah Abu Bakar Sidik bertekad memerangi orang-orang yang shalat, tetapi tidak mau membayar zakat. Hal tersebut cukup sebagai bukti atau penegasan bahwa dalam Islam setiap ibadah (kesalehan ritual) selalu memiliki korelasi positif dengan amal saleh yang berdimensi kemanusiaan (kesalehan sosial). Atau dengan kata lain iman itu harus dibuktikan dengan amal saleh/berakhlak mulia kepada sesama manusia. Rasulullah saw bersabda, “Sesempurnanya iman seseorang adalah yang paling baik akhlaknya (banyak beramal saleh dan berbuat baik). 3 Disamping itu kita juga diwajibkan untuk mengeluarkan zakat harta atau zakat mal sebagai sarana penyucian harta. Dengan demikian, suasana Idul Fitri benar-benar dalam suasana serba fitri, suci lahir dan batin. Beruntunglah barangsiapa di antara kita yang menjalankan ibadah puasa dengan istiqamah, konsisten, dan konsekwen sehingga berhasil mencapai derajat taqwa dan benarbenar kembali kepada fitrah (Idul fithri). Mereka laksana bayi tanpa dosa yang baru dilahirkan oleh ibunya, dan mereka itulah orang-orang yang memenuhi syarat dan berhak merayakan hari kemenangan Idul fithri. Pantaslah dianjurkan untuk saling mengucapkan di perayaan Hari Mulia tersebut: “Ja’alanallahu wa iyyakum minal-‘aidin wal faizin” yang artinya adalah semoga Allah menjadikan kita dan kamu semua dari golongan orang-orang yang kembali kepada fithrah, dan memperoleh kemenangan berupa pengampunan dan ridho dariNya, serta meraih nikmat surga. Di Indonesia lazimnya ucapan tersebut disingkat menjadi minal-‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin. ‘Aidin di sini artinya adalah orang-orang yang kembali kepada fitrah, yakni asal kejadian, atau kesucian, atau agama yang benar. Setelah mengasah, melatih dan mendidik jiwa di bulan Ramadhan, diharapkan setiap muslim dapat kembali ke asal kejadiannya dan menemukan jati dirinya, yaitu kembali suci sebagaimana ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Sedangkan kata al-faiziin diambil dari kata alfaizuun yang berarti orang-orang yang beruntung atau yang meraih kemenangan. Keberuntungan tersebut adalah pengampunan dan keridhaan Allah swt serta kebahagian memperoleh surga. Makna Idul Fitri sebagai kembali ke asal adalah sangat relevan dengan makna yang akan dicapai dalam pelaksanaan ibadah puasa. Puasa merupakan sarana penghapusan dosa, pensucian diri, dengan cara bertobat dan melakukan amal-amal ritual lainnya di bulan 4 Ramadhan. Dengan memahami hakikat ibadah puasa sebagai penghapusan dosa, serta diiringi melaksanakan kewajiban zakat fithrah sebagai proses penyucian diri, kemudian diakhiri dengan merayakan Idul Fithri, maka lengkaplah makna Idul Fithri sebagai kembali kepada fitrah/kesucian. Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang kembali kepada kesucian dan mendapatkan kemenangan serta diterima pula amalnya (puasa), seperti ungkapan yang populer di Indonesia diucapkan ketika berhari raya, yaitu “Minal ‘aaidin wal faaizin”, mohon maaf lahir batin. Yang secara lengkapnya berbunyi “Ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aaidin wal faaizin, kullu ‘aamin wa antum bikhairin”. 5