CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Neuralgia Pascaherpetika
Regina, Lorettha Wijaya
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran/RS Atma Jaya, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Neuralgia pascaherpetika adalah komplikasi tersering herpes zoster; didefinisikan sebagai nyeri yang terus berlangsung selama 3 bulan setelah
lesi herpes zoster sembuh. Komplikasi ini dapat berlangsung terus-menerus selama bertahun-tahun sehingga mengganggu kualitas hidup
pasien. Neuralgia pascaherpetika dapat diprediksi kejadiannya, sehingga dapat dilakukan pencegahan agar nyeri dapat diminimalkan. Neuralgia pascaherpetika termasuk jenis nyeri neuropatik yang bermanifestasi dalam bentuk alodinia, hiperalgesia, maupun nyeri spontan. Faktor
risiko utama neuralgia pascaherpetika antara lain usia tua, lesi kulit yang hebat, nyeri akut yang berat, dan adanya nyeri prodromal pada dermatom sebelum munculnya ruam. Untuk mencegah reaktivasi virus herpes zoster dapat diberikan vaksinasi atau pemberian kombinasi obat
antiviral dan analgetik yang adekuat jika reaktivasi virus telah terjadi. Antikonvulsan, antidepresan trisiklik, atau opioid dapat diberikan sebagai
obat pilihan jika neuralgia pascaherpetika telah terjadi, dan dapat diberikan secara topikal maupun invasif.
Kata kunci: neuralgia pascaherpetika, herpes zoster, reaktivasi, antiviral
ABSTRACT
Postherpetic neuralgia is the most common complication of herpes zoster; defined as pain that persists for 3 months after the lesions heal. These complications
can persist for many years that it influence to the quality of life of patients. Post herpetic neuralgia was predictable, so it can to prevent for minimized of the pain.
Postherpetic neurlagia one of type of neuropathic pain that manifests in the form allodynia, hyperalgesia, and spontaneous pain. The main risk factors of postherpetic neuralgia include older age, severe skin lesions, severe acute pain, and the presence of prodromal pain in the dermatome before the appearance of the
rash. To prevent reactivation of herpes zoster virus can be vaccinated or antiviral drug cocktails and an adequate analgesic if reactivation of the virus has occurred.
Anticonvulsants, tricyclic antidepressants, or opioids may be administered as a drug of choice if postaherpetic neuralgia has occurred, and can be administered
as topically or invasive. Regina, Lorettha Wijaya. Postherpetic Neuralgia.
Key words: postherpetic neuralgia, herpes zoster, reactivation, antiviral
PENDAHULUAN
Neuralgia pascaherpetika didefinisikan sebagai
nyeri yang terus berlangsung selama 3 bulan
setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri
yang terus berlangsung selama 120 hari sejak
timbulnya lesi herpes zoster. Dari data yang ada,
disimpulkan bahwa 10-25% pasien herpes zoster
akan mengalami neuralgia pascaherpetika dan
kebanyakan pada pasien berusia lanjut.1,2
Neuralgia pascaherpetika dapat berlangsung
terus-menerus selama bertahun-tahun dan dapat sangat mengganggu kualitas hidup, antara
lain mengganggu tidur dan kegiatan seharihari sehingga mengganggu produktivitas
pasien. Banyak penelitian menyimpulkan bahwa neuralgia pascaherpetika dapat diprediksi,
sehingga dapat dicegah agar nyeri dapat diminimalkan atau tidak terjadi. Tulisan ini membahas patogenesis neuralgia pascaherpetika,
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadiannya,
cara pencegahan, dan terapi yang tersedia untuk memperbaiki kualitas hidup pasien.
416
CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 416
HERPES ZOSTER
Patofisiologi
Seseorang mengalami herpes zoster karena
reaktivasi virus Varicella zoster yang dorman di
ganglion posterior medula spinalis atau saraf
kranialis yang biasanya disebabkan oleh penurunan sistem imun. Lesi kulit timbul berupa
vesikel yang bergerombol dengan dasar eritema, biasanya berlokasi sesuai dermatom persarafan tempat virus tersebut teraktivasi dan
unilateral. Virus dapat pula menyerang ganglion
anterior sehingga gejalanya berupa gangguan
motorik. Masa aktif penyakitnya berlangsung
selama 2-3 minggu pada orang muda, dan dapat mencapai 6 minggu pada orang tua atau
pasien dengan penurunan sistem imun.1,3
Gambaran Klinis
Beberapa hari sebelum lesi kulit timbul, pasien
biasanya merasa nyeri di lokasi yang terkena.
Lesi kulit dapat juga muncul tanpa didahului
rasa nyeri, atau bahkan tidak disertai rasa nye-
ri. Pada keadaan tertentu dapat juga terjadi
nyeri tanpa lesi kulit di tempat tersebut.3,5
Pada awalnya erupsi berupa papul dan plak
eritem yang dalam beberapa jam akan menjadi vesikel. Vesikel-vesikel baru terus terbentuk selama beberapa hari, biasanya 1-5 hari,
dipengaruhi usia pasien, beratnya penyakit,
dan imunitas pasien. Vesikel baru menandakan aktivitas replikasi virus. Vesikel selanjutnya
dapat berubah menjadi bula, vesikel hemoragik, pustul, krusta, lalu menyembuh.3,5
NEURALGIA PASCAHERPETIKA
Neuralgia pascaherpetika adalah komplikasi
tersering herpes zoster. Kurang dari seperempat pasien masih merasakan nyeri 6 bulan
setelah lesi herpes zoster muncul, bahkan
ada yang masih merasakan nyeri setelah 1
tahun. Pasien mengeluhkan nyeri seperti terbakar atau nyeri tumpul yang terus menerus
dengan atau tanpa nyeri tajam (seperti disayat) paroksismal. Keduanya dapat muncul
CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012
6/8/2012 2:33:37 PM
TINJAUAN PUSTAKA
pusat, sehingga terjadi letupan potensial aksi
spontan, ambang aktivasi saraf yang menurun,
dan peningkatan respon terhadap stimulus.8,9
Mekanisme terjadinya neuralgia pascaherpetika dapat berlainan pada setiap individu
sehingga manifestasi nyeri yang berhubungan
dengan neuralgia pascaherpetika juga berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion dorsalis
menyebabkan respon inflamasi berupa pembengkakan, perdarahan, nekrosis dan kematian
sel neuron. Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal sepanjang saraf menuju ke kulit, menyebabkan inflamasi dan kerusakan saraf
perifer. Kadang-kadang virus menyebar secara
sentripetal ke arah medula spinalis (mengenai
area sensorik dan motorik) serta batang otak.
Hal ini menyebabkan sensitisasi ataupun deaferenisasi elemen saraf perifer dan sentral.1,6
Gambar 1 Lesi kulit pada herpes zoster 4
spontan dan dapat diperberat hanya dengan
sentuhan ringan seperti kontak kulit dengan
pakaian atau seprai atau karena terkena hembusan angin. Aktivitas fisik, perubahan suhu
dan emosi dapat mengeksaserbasi nyeri. Kualitas hidup pasien dapat sangat terpengaruh
sampai mengalami depresi. 6
Pada autopsi pasien dengan neuralgia pascaherpetika, terdapat atrofi kornu dorsalis
medula spinalis ipsilateral, sedangkan pada
pasien pernah menderita herpes zoster yang
tidak mengalami neuralgia pascaherpetika
tidak didapatkan atrofi tersebut. Pada biopsi
kulit, di tempat yang mengalami neuralgia
pascaherpetika terdapat penurunan densitas
persarafan sensorium epidermal dibandingkan dengan sisi kontralateralnya yang tidak
mengalami neuralgia pascaherpetika.1,2
Patofisiologi
Pada keadaan fisiologis, stimulus nosiseptif
diterima oleh 3 macam reseptor saraf, yakni
mekanoseptor, termoreseptor, dan nosisep-
tor polimodal. Mekanoseptor diaktivasi oleh
stimulus mekanis, kemudian ditransmisikan
oleh serabut saraf Aδ dan C, sedangkan termoreseptor diaktivasi oleh stimulus termal
yang kebanyakan ditransmisikan oleh serabut
saraf C. Serabut saraf Aδ dan C merupakan serabut saraf aferen pada akson distal dari neuron sensoris primer. Serabut saraf C sangat
halus, tidak bermyelin, mengalirkan stimulus
secara lambat. Serabut saraf C adalah serabut
saraf polimodal dan mentransmisikan nyeri
tumpul atau seperti terbakar. Serabut saraf
Aδ bermyelin tipis dan mengalirkan stimulus
dengan cepat. Serabut saraf Aδ merespons
sentuhan ringan, suhu, tekanan, serta nyeri
bersifat tajam dan dapat meletupkan potensial aksi sesuai dengan proporsi intensitas stimulus yang diterimanya.7
Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri
neuropatik, yakni nyeri yang disebabkan oleh
kerusakan atau disfungsi primer pada sistem
saraf. Pada nyeri neuropatik terjadi kerusakan
saraf perifer dan perubahan sinyal sistem saraf
Tabel 1 Tipe serabut saraf pada sistem saraf mamalia10
Fiber type
Function
A
α
β
γ
δ
Proprioception, somatic, motor
Touch, pressure
Motor to muscle spindles
Pain, cold, touch
B
Preganglionic autonomic
C
Dorsal root
Sympathetic
Pain, temperature, some mechano-reception
Postganglionic sympathetic
A and B fibers are myelinated ; C fibers are unmyelinated
CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012
CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 417
Fiber
diameter
(um)
Conduction
velocity
(m/s)
Spike
duration
(ms)
Absolute
refractory
period (ms)
12-20
5-12
3-6
2-5
70-120
30-70
15-30
12-30
0.4 – 0.5
0.4 - 1
<3
3-15
1.2
1.2
0.4 – 1.2
0.3 – 1.3
0.5 – 2
0.7 – 2.3
2
2
2
2
Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada
nosiseptor serabut saraf C yang halus dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini menyebabkan
ambang sensoris terhadap suhu menurun,
menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri
seperti terbakar. Selain itu juga terjadi letupan
ektopik dari nosiseptor C yang rusak sehingga timbul alodinia, yakni rasa nyeri akibat
stimulus yang pada keadaan normal tidak
menimbulkan rasa nyeri. Sebagai respon atas
menghilangnya sebagian besar input serabut
saraf C karena kerusakan tersebut, terbentuk
tunas-tunas serabut saraf Aβ yang menerima
rangsang non-noksius mekanoseptor di lapisan superfisial kornu dorsalis medula spinalis.
Pertunasan ini menyebabkan hubungan antara serabut saraf Aβ yang tidak menghantarkan nyeri dengan serabut saraf C, sehingga
stimulus yang tidak menyebabkan nyeri (raba
halus) dipersepsikan sebagai nyeri.1,5,8
Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi
sensitisasi sentral yang menyebabkan terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa alodinia dan hiperalgesia.
Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas
ektopik dari serabut saraf aferen. Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis
adalah glutamat yang berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat
diproduksi oleh serabut saraf aferen primer
di kornu dorsalis. Pada keadaan istirahat glutamat akan mengaktivasi reseptor ionotropik
α-amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksazol propionat (AMPA), reseptor kainat, dan reseptor
metabotropik glutamat (mGluRs), sedangkan
417
6/8/2012 2:33:38 PM
TINJAUAN PUSTAKA
reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium
sehingga mencegah masuknya ion natrium
dan kalsium yang akan terjadi saat glutamat
berikatan dengan reseptor NMDA tersebut.
Aktivasi pascasinap yang berulang akan menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan
depolarisasi membran yang progresif. Hal ini
menyebabkan reseptor NMDA terbebas dari
blok ion magnesium yang selanjutnya menyebabkan influks kation-kation ke dalam sel
dan depolarisasi membran makin progresif.5,9
Neuralgia pascaherpetika juga dapat terjadi akibat proses deaferenisasi, yakni hilangnya serabut
saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar maupun kecil. Lesi pada serabut saraf perifer maupun sentral dapat memacu terjadinya
remodeling dan hipereksitabilitas membran
sel. Lesi yang masih terhubung dengan badan
sel akan membentuk tunas-tunas baru. Tunastunas baru ini ada yang mencapai organ target,
sedangkan yang tidak mencapai organ target
akan membentuk neuroma, di neuroma ini akan
terakumulasi berbagai kanal ion, terutama kanal
ion natrium, molekul-molekul transduser dan
reseptor-reseptor baru, sehingga pada akhirnya
akan menyebabkan terjadinya letupan ektopik,
mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap suhu dan kimia. Letupan ektopik dan
sensitisasi berbagai reseptor akan menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan nyeri yang
diprovokasi. Letupan spontan pada neuron sentral yang terdeaferenisasi akan menyebabkan
terjadinya nyeri konstan pada area tersebut.1,8
Prediksi dan Pencegahan
Kemungkinan menderita neuralgia pascaherpetika dapat diprediksi dari beberapa faktor
Gambar 2 Sensitisasi dan deaferenisasi11
418
CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 418
risiko pasien tersebut. Faktor risiko utama untuk terjadinya neuralgia pascaherpetika antara
lain usia tua, lesi kulit yang hebat, nyeri akut
yang berat, dan nyeri prodromal pada dermatom sebelum munculnya ruam. Kurang lebih
20% pasien berusia lebih dari 50 tahun mengalami nyeri sampai 6 bulan sejak awitan ruam
kulit walaupun telah mendapatkan terapi
antiviral. Pada orangtua terjadi polineuropati
subklinis sehingga hanya dibutuhkan jumlah
virus yang lebih sedikit untuk menyebabkan
neuralgia pascaherpetika dibandingkan pada
pasien muda.1
Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat
diusahakan dengan kombinasi agen antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut
pada pasien herpes zoster. Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi kerusakan saraf
dan nyeri akut. Terapi antiviral harus dimulai
segera setelah diagnosis ditegakkan, dan lebih baik jika dimulai pada tiga atau empat hari
pertama. Terapi antiviral diharapkan dapat
menghentikan replikasi virus, sehingga durasi
penyakit akan lebih singkat, dan menurunkan
kejadian neuralgia pascaherpetika. Antiviral
yang dapat digunakan adalah asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Terapi analgetika
akan mengurangi nyeri yang merupakan faktor risiko utama neuralgia pascaherpetika.5,8
Selain itu, telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster yang direkomendasikan
oleh Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) bagi mereka yang berusia 60 tahun atau
lebih. Dalam penelitian klinis yang melibatkan
ribuan lansia berusia 60 tahun atau lebih, vaksin ini mengurangi risiko herpes zoster sebesar
51% dan risiko neuralgia pascaherpetika sebesar 67%. Efek proteksi vaksin ini dilaporkan dapat mencapai 6 tahun atau bahkan lebih.12
Penatalaksanaan
Terdapat beberapa pilihan untuk penatalaksanaan neuralgia pascaherpetika. Obat yang
sering digunakan adalah antikonvulsan gabapentin dan pregabalin. Gabapentin dan pregabalin bekerja di subunit α2δ yang terdapat
pada kanal kalsium untuk menurunkan influks
kalsium, sehingga menginhibisi keluarnya
neurotransmiter eksitatorik termasuk glutamat
yang merupakan neurotransmiter utama yang
memelihara sensitisasi sentral. Dosis awal gabapentin 300 mg pada hari pertama, 2 x 300
mg pada hari ke dua, 3 x 300 mg pada hari ke
tiga. Titrasi lalu diperlambat sampai mencapai
3 x 600 mg dalam 2 minggu. Dosisnya harus
dibagi 3-4 kali sehari karena waktu paruhnya
pendek. Dosis pregabalin 150-600 mg perhari, dibagi 2 dosis. Gabapentin dan pregabalin akan mengurangi nyeri sehingga akan
memperbaiki tidur, mood, dan kualitas hidup.
Pregabalin sendiri memiliki efek antiansietas.
Kedua obat ini memiliki insiden efek samping
yang rendah, dan biasanya bersifat ringan
sehingga sering disarankan sebagai obat lini
pertama. Efek samping yang dapat dialami
pasien antara lain somnolen, pusing, edema
perifer, dan gangguan keseimbangan.1,6,8
Selain gabapentin dan pregabalin, dapat
juga digunakan antidepresan trisiklik yang
bekerja menginhibisi ambilan kembali norepinefrin dan serotonin, memblok kanal
natrium, kalsium, dan reseptor NMDA. Amitriptilin diindikasikan untuk pasien neuralgia
pascaherpetika yang mengalami insomnia
karena obat ini memiliki efek sedasi. Pemberian antidepresan trisiklik harus lebih hati-hati
pada pasien dengan kelainan jantung karena
dapat menyebabkan takiaritmia dan perpanjangan interval QT, sehingga harus dilakukan
pemeriksaan gelombang EKG dasar sebelum
pengobatan. Selain efek samping pada jantung, obat golongan ini dapat menyebabkan
mulut kering, pusing, peningkatan berat badan, sedasi, konstipasi, retensi urin, impotensi,
dan hipotensi ortostatik. Efek samping dapat
dikurangi dengan memulai terapi dengan dosis rendah, titrasi lambat, dan diberikan pada
malam hari. Dosisnya dapat dimulai dengan
10-20 mg pada malam hari dititrasi sampai 75100 mg/ hari, sekali sehari. Selain amitriptilin,
obat golongan antidepresan trisiklik lain yang
CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012
6/8/2012 2:33:39 PM
TINJAUAN PUSTAKA
dapat digunakan antara lain desipramin dan
nortriptilin.1,6
Opioid hanya diindikasikan pada pasien dengan nyeri sangat berat, sebagai terapi lini ke
dua atau ke tiga. Opioid dapat mengurangi alodinia dan nyeri spontan. Namun obat golongan ini memiliki efek samping konstipasi, mual,
muntah, sedasi, ketergantungan, serta risiko
penyalahgunaan obat dan dapat terjadi toleransi. Sediaan yang dapat diberikan antara lain
oksikodon, morfin (rata-rata 91 mg/hari) atau
metadon (rata-rata 15 mg/hari). Pada penggunaan opioid jangka panjang, diperlukan
pemantauan supresi imunitas serta hipogonadisme yang mungkin terjadi.1,6 Rekomendasi
penggunaan opioid adalah sebagai berikut.
Berikan dosis efektif sekecil mungkin, dimulai
dengan opioid kerja singkat, misalnya 5-10 mg
oksikodon atau 10-15 mg morfin setiap 4 jam.
Jika pasien telah menunjukkan toleransi terhadap terapi inisial ini, konversi terapi ke opioid
kerja panjang. Jika tidak memuaskan, terapi
opioid harus dikurangi secara bertahap sampai
akhirnya berhenti sama sekali untuk menghindari terjadinya withdrawal symptoms.1
Obat lain adalah tramadol yang memiliki efek
agonis pada reseptor μ dan menginhibisi ambilan kembali serotonin dan norepinefrin. Tramadol diberikan dengan dosis 50-100 mg tiap
4 jam, tidak lebih dari 400 mg per hari. Dosis harus dikurangi pada pasien usia lanjut dan pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Efek sampingnya antara lain mual, muntah, konstipasi, retensi
urin, somnolen, nyeri kepala, dan pusing.1
Selain obat oral, dapat juga menggunakan
terapi topikal. Keuntungan pemakaian topikal
Gambar 3 Mekanisme pengobatan neuralgia pascaherpetika11
adalah efek sistemik minimal karena absorpsi
sistemik yang minimal. Terapi topikal misalnya
lidokain patch 5% yang efeknya dapat terlihat
mulai 2-3 minggu setelah pemakaian dimulai. Tiga buah patch dapat digunakan dalam
satu waktu pemberian. Caranya adalah 12
jam digunakan, kemudian dilepaskan selama
12 jam. Lidokain topikal yang dikombinasikan dengan gabapentin terbukti lebih efektif
daripada pemberian 2 agen tersebut secara
terpisah. Krim kapsaisin 0,025 dan 0.075% dapat digunakan 3-4 kali sehari, namun harus
diberitahu kepada pasien bahwa akan terasa
sensasi terbakar pada awal pemakaian.1,6
Selain modalitas terapi oral dan topikal, dapat digunakan juga terapi invasif seperti blok
saraf simpatis, penyuntikan metilprednisolon
intratekal dan epidural, serta stimulasi medula
spinalis.1
SIMPULAN
Neuralgia pascaherpetika adalah komplikasi
tersering herpes zoster yang disebabkan oleh
reaktivasi virus varicella zoster, paling sering
pada pasien usia lanjut. Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni
nyeri yang disebabkan oleh kerusakan atau
disfungsi primer sistem saraf. Mekanisme
terjadinya kerusakan saraf ini dapat melalui
proses sensitisasi saraf perifer, saraf sentral
ataupun proses deaferenisasi serabut saraf.
Kerusakan saraf yang terjadi akan menyebabkan pasien mengalami hiperalgesia, alodinia,
atau nyeri spontan yang konstan.
Neuralgia pascaherpetika mungkin dapat
dicegah dengan terapi optimal fase akut
herpes zoster dengan antiviral dan analgetik
dari berbagai golongan obat, atau dengan
mencegah terjadinya herpes zoster melalui
vaksinasi. Jika neuralgia pascaherpetika telah
terjadi, terapi dapat berupa obat oral dari golongan antikonvulsan, antidepresan trisiklik,
sampai golongan opioid. Dapat juga diberi
terapi topikal, atau bahkan terapi invasif.
REFERENSI
1.
Thakur R, Kent JL, Dworkin RH. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia. in: Fishman SM, Ballantyne JC, Rathmell JP, eds. Bonica’s Management of Pain. 4 ed. Philadelphia: Lippincott
2.
Scadding JW, Koltzenburg M. Painful Peripheral Neuropathies. in: McMahon SB, Koltzenburg M, eds. Wall and Melzack’s Textbook of Pain. 5 ed. Philadelphia: Elsevier, 2006; p. 992-4.
3.
Handoko RP. Penyakit Virus. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006; hal 110-2.
4.
Rash from Herpes Zoster. http://www.drugs.com/cg/herpes-zoster.html. (Cited 2011 Oct 23)
Williams & Wilkins, 2010; p. 348-55.
5.
James DW, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 10 ed. Philadelphia: Elsevier, 2006; p. 367-420.
6.
Cruciani R, Jabati S. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia. Dalam: Johnson RT, Griffin JW, McArthur JC. eds. Current Therapy in Neurologic Disease. Philadelphia: Mosby Inc, 2006; p.
7.
Ropper AH, Samuels MA. Adams and Victor’s Principles of Neurology. Ed. 7. USA: McGraw-Hill Co, 2009; p. 125-6
8.
Meliala L, Suryamiharja A, Wirawan RB, Sadeli HA, Amir D. Nyeri Neuropatik. ed. 2. Yogyakarta: Medikagama Press, 2008; p. 1-75.
9.
Scholz J, Woolf CJ. Mechanisms of Neuropathic Pain. Dalam: Pappagallo M, ed. The Neurological Basis of Pain. USA: McGraw-Hill Companies, 2005; p. 84-5.
83-6.
10. Barret KE, Barman SM, Boitano S, Brooks HL. Ganong’s Review of Medical Physiology. 23 ed.. USA: McGraw-Hill, 2010; p. 89.
11. Clinical Manifestations and Treatment Options for Diabetic Neuropathies: Treatment [internet]. 2007 http://www.medscape.com/viewarticle/565795_4. (Cited 2011 Oct 23).
12. Vaccines and Preventable Diseases: Shingles Vaccination: What You Need to Know [internet]. 10 Januari 2011 http://www.cdc.gov/vaccines/vpd-vac/shingles/vacc-need-know.htm.
Diperbaharui 9 September 2011; (Cited 2011 Oct 23).
CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012
CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 419
419
6/8/2012 2:33:40 PM
Download