Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di Jemaat

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya
yang menghubungkan dan mengikat anggota masyarakat satu dengan yang lain. Tradisitradisi atau budaya tersebut tidak saja menunjukkan adanya relasi horizontal dengan
sesama manusia, tetapi juga menunjukkan adanya hubungan atau keterikatan dengan
penguasa tertinggi atau pribadi yang Ilahi yang disembah dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu tradisi atau budaya dimaksud adalah pemberian, pertukaran atau
pembelian, yang seringkali tidak didasari oleh motif keuntungan secara ekonomi atau
bisnis, tetapi lebih kepada kepentingan non materi, misalnya kehormatan, kesejahteraan
dan keselamatan. Salah satu budaya pertukaran atau pembelian sebagaimana disebutkan
di atas, dijumpai dalam adat istiadat masyarakat di Pulau Timor, tradisi pertukaran ini
juga bukan berupa pertukaran atau pembelian benda atau barang-barang, tetapi
berhubungan dengan manusia, dalam hal ini anak-anak. Tradisi ini dikenal dengan nama
penjualan anak.
Istilah penjualan anak yang dimaksud bukanlah untuk suatu kepentingan ekonomi
melainkan istilah ini menunjuk pada sebuah ritual yang dipercaya bertujuan mencapai
sesuatu yang hendak diinginkan. Tradisi penjualan anak ini telah ada sejak lama dan
masih tetap dipelihara oleh masyarakat di pulau Timor hingga saat ini. Masyarakat masih
sangat percaya dengan tradisi ini karena adanya kepercayaan bahwa dengan melakukan
atau menjalankan tradisi tersebut maka apa yang sedang terjadi dalam kehidupan dapat
hilang.
Kepercayaan masyarakat pulau Timor dalam tradisi ini adalah apabila sebuah
keluarga memiliki seorang anak yang wajahnya mirip dengan salah satu orang tuanya
maka anak akan sering mengalami sakit dan memiliki watak yang bertentangan dengan
salah satu orang tuanya yang wajahnya mirip dengan anak itu. Oleh karena itu, untuk
menghindari hal tersebut maka kepercayaan masyarakat adalah anak tersebut haruslah
dijual. Dalam hal ini, apabila telah ada kesepakatan anak ini hendak dijual, maka jauh hari
sebelum tradisi dijalankan, akan diadakan pembicaraan yang membahas siapa yang
hendak membeli anak tersebut dan berapa harga atau nominal uang yang akan dipakai
dalam pembelian tersebut. Dalam hal ini, pihak yang akan membeli anak tersebut
biasanya hanya dari dalam anggota keluarga saja, baik dari keluarga ayah ataupun ibu,
tidak ditentukan yang terpenting dalam hal ini adalah tradisi tersebut dapat dijalankan.
Demikian juga mengenai nominal uang yang akan dipakai, jumlahnya tidak harus selalu
besar, berapapun nominalnya bergantung dari hasil kesepakatan bersama.
Dalam tradisi jual anak ini, masyarakat rela menempuh berbagai macam ritual demi
mencapai apa yang diinginkan, dimana dalam tradisi ini ada beberapa hal yang harus
dilakukan sebelum tradisi dijalankan. Dalam berlangsungnya tradisi, selalu diawali
dengan doa, dilanjutkan pada tahap penjualan, dimana anak tersebut diletakkan diatas alat
penampi beras (niru), kemudian diserahkan pada pembeli. Pembeli akan menerima sang
anak dan juga memberikan uang sebagai simbol bahwa anak tersebut telah dibeli.
Dalam hal ini, orang yang membeli anak tersebut dapat dikatakan sebagai orang tua
angkat. Makna orang tua bukan hanya sekedar simbol seperti uang yang dipakai sebagai
simbol anak tersebut telah dibeli, tetapi sebagai orang tua angkat yang juga memiliki
tanggung jawab yang sama seperti orang tua kandung anak tersebut. Tidak menjadi
sebuahtuntutan bahwa setelah penjualan, anak tersebut harus tinggal bersama orang tua
angkatnya, melainkan bisa tinggal bersama orang tua kandungnya.
Marcel Mauss dalam bukunya mengatakan bahwa setiap pemberian adalah bagian
dari sistem tukar menukar yang saling mengimbangi, dimana kehormatan si pemberi dan
si penerima terlibat di dalamnya.1 . Oleh karena itu, dengan melakukan tradisi ini telah
memberikan suatu kehormatan bagi si pembeli yakni sebagai orang tua angkat dan juga
kehormatan sebagai si penjual.Selain itu dalam tradisi ini, terdapat beberapa benda yang
digunakan sebagai simbol atau penunjang berlangsungnya tradisi tersebut antara lain niru
dan uang. Benda-benda tersebut tentunya memiliki arti atau makna tersendiri yang
berkaitan erat dengan tradisi penjualan anak.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya tentang simbol dari bendabenda tertentu, dalam tradisi penjualan anak, makna dari benda-benda tersebut dapat
dikatakan sebagai alat untuk mencapai jalan keluar dari suatu masalah, dalam hal ini jalan
keluar dari sakit yang dialami oleh seorang anak. Mircea Eliadedalam bukunya yang
berjudul Beelden en Symbolen mengatakan bahwa simbol mengungkapkan aspek-aspek
terdalam dari kenyataan yang tidak terjangkau oleh alat pengenalan lain.2
Tradisi
penjualan anak juga adalah sebuah mitos yang dipercayai oleh masyarakat dengan
keyakinan bahwa ketika tradisi ini dilakukan maka anak akan terbebas dari sakit
penyakit yang dialami. Mendukung hal ini, Van Peursen menyatakan bahwa mitos
menyadarkan manusia akan adanya kekuatan-kekuatan ajaib.3
Dalam tradisi jual anak terjadi sistem pertukaran dimana ketika anak tersebut
diberikan pada orang tua angkat maka ada sejumlah uang yang diberikan kepada orang
tua kandung anak tersebut. Meskipun nominal uang tidak sebanding dengan nilai sang
anak namun pemberian uang disini bermakna kewajiban memberi dan menerima untuk
mencapai suatu ikatan sosial.4 Ikatan sosial dalam peristiwa penjualan anak di sini
1
Marcel Mauss, Pemberian : Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno, (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1992), 1
Dr. Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan ( Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 2000), 82
Ibid, 81
4
Marcel Mauss, Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1992), 16
2
3
mengandung arti bahwa orang yang membeli anak secara tidak langsung telah menjadi
bagian dari keluarga anak tersebut.
Dalam tradisi penjualan anak di pulau Timor, tersirat adanya relasi dengan iman
Kristen, karena nominal uang yang dipakai pada saat tradisi dilaksanakan dijadikan
sebagai nazar. Hal ini dilakukan dengan harapan Tuhan ikut memberkati tradisi yang
telah dijalankan sehingga apa yang diinginkan dapat tercapai. Oleh karena itu, dengan
adanya unsur iman Kristen dalam tradisi ini nampaknya terdapat suatu kontradiksi,
dimana masyarakat mempercayai adanya Tuhan namun di sisi lain masyarakat masih
tetap percaya bahwa apa yang diinginkan dapat tercapai melalui ritual-ritual tertentu.
Terlihat bahwa ada pencampuran tradisi yang dilatarbelakangi oleh kepercayaan nenek
moyang dengan pemahaman iman Kristen.
Tradisi ini masih dijumpai dalam kehidupan berjemaat di Timor, di kalangan jemaatjemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Banyak di antara anggota jemaat GMIT
tetap menjalankan tradisi penjualan anak karena masih memegang teguh adat istiadat
yang berlaku dalam masyarakat.
Latar belakang pemikiran di atas mendorong penulis untuk melakukan penelitian
dengan judul :
BUDAYA “PENJUALAN ANAK” DI PULAU TIMOR
(KAJIAN SOSIO-TEOLOGIS TERHADAP TRADISI PENJUALAN ANAK
DI JEMAAT GEREJA MASEHI INJILI DI TIMOR (GMIT)
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang di angkat
adalah :
1. Bagaimana tradisi penjualan anak di Pulau Timor dilakukan ?
2. Bagaimana pandangan iman Kristen mengenai tradisi penjualan anak di Pulau
Timor ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah :
1. Mendeskripsikan makna tradisi penjualan anak di Timor
2. Mendeskripsikan pandangan Iman Kristen mengenai tradisi penjualan anak di
Pulau Timor
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka manfaat yang dapat
diperoleh dari peneliltian ini antara lain :
1. Secara teoritis maksud dari penulisan ini adalah untuk menyumbangkan teoriteori pengetahuan masyarakat tentang kebudayaan (tradisi) dan adat istiadat
setempat sehingga kebudayaan yang membangun dapat terus terjaga dan
dilestarikan dan kebudayaan yang tidak relevan dengan nilai-nilai kebenaran,
dapat diperbarui.
2. Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, penelitian yang penulis
angkat ini sangat berhubungan dengan mata kuliah Agama dan Kebudayaan.
Diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran bahwa tidak semua kebudayaan dapat dipertahankan dan
dijalankan oleh suatu masyarakat. Karena kebudayaan atau tradisi memiliki
suatu dampak yang positif dan negatif yang juga akan berdampak pada iman,
jika tradisi dan kebudayaan tersebut diadopsi.
3. Secara praktis bagi keluarga-keluarga Kristen, dapat memberi pemahaman
tentang budaya dan tradisi yang masih dipraktikkan dalam kehidupan
berjemaat, dan bagi keluarga-keluarga yang telah melakukan tradisi yang
tidak relevan dengan kebenaran iman Kristen, dapat mematahkan atau
membaharui tradisi tersebut.
E. Definisi Operasional
1.
Pengertian Istilah “Pertukaran”
Pertukaran
dari
kata
dasar
tukar
artinya
perbuatan
bertukar
atau
mempertukarkan, pergantian, peralihan. Sedangkan bertukar artinya (1) beroleh
sesuatu dengan memberikan sesuatu, bergantian memberi sesuatu diganti dengan
sesuatu yang lain, seperti seorang memberikan sesuatu kepada seorang yang lain
yang memberikan sesuatu sebagai gantinya, (2) berubah dari atau menjadi yang lain,
(3) berpindah5.
Longman Dictionary mendefinisikan istilah ‘pertukaran’ atau ‘exchange’ sebagai
“memberi dan menerimasebagai imbalan(sesuatujenis yang sama ataunilai yang
sama) memberi”, atau “to give and receive in return” (something the same type or
equal value).6
5
Tim Redaksi Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1495.
6
Longman Dictionary of English Language and Culture, (England : Pearson Education Limited, 2005), 437.
Soekanto mendefinisikan pertukaran atau exchange sebagai, “memberikan sesuatu
karena menerima sesuatu dari pihak lain (pertukaran)”7.
2.
Pengertian Istilah “Anak”
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan anak sebagai keturunan, anak
juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu, anak pada
hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan tertentu dan
mempunyai potensi untuk menjadi dewasa8.
3.
Pengertian Istilah “Penjualan Anak”
Dalam tulisan ini, istilah “Penjualan Anak” tidak mengandung arti jual-beli
dalam istilah ekonomi untuk memperoleh keuntungan bisnis, atau tidak didasari oleh
alasan dan tujuan memperdagangkan untuk memperoleh uang atau keuntungan
materi. Penjualan anak dalam tulisan ini lebih dimaksudkan sebagai menyerahkan
anak kepada pihak tertentu untuk tujuan kesejahteraan atau keselamatan sang anak.
F. Metodologi Penelitian
1.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif.
Metode deskriptif adalah metode yang diartikan sebagai usaha untuk
mengungkapkan masalah atau keadaan dan memberikan gambaran secara subjek
tentang keadaan yang sebenarnya dari obyek yang diteliti9.
7
Prof.Dr.Soerjono Soekanto, SH.MA. Kamus Sosiologi, (Jakarta: CV Rajawali, 1983), 108.
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (cet-2; Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 30-31.
H. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1990), 131
8
9
2.
Teknik Pengumpulan Data
2.1. Wawancara atau Interview
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan jalan komunikasi atau
melalui percakapan dengan seseorang yang dianggap mengetahui banyak informasi
yang diperlukan10. Dalam melakukan penelitian ini, wawancara akan dilakukan
dengan pendeta, majelis, tokoh adat dan juga tokoh jemaat selaku orang tua yang
melakukan tradisi penjualan anak. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk dapat
memperoleh data secara langsung dari responden.
2.2. Studi Kepustakaan
Teknik ini dilakukan untuk mengumpulkan data atau bahan melalui studi
kepustakaan dari berbagai buku atau dokumen lainnya. Selain itu, kepustakaan ini
dapat bermanfaat pula untuk menyusun landasan teoritis yang akan menjadi tolak
ukur dalam menganalisa data penelitian lapangan guna menjawab persoalan pada
rumusan masalah penelitian.
2.3. Pengamatan
Teknik ini dimaksudkan untuk memperoleh langsung data mengenai proses
tradisi penjualan anak. Dalam pengamatan,
penulis secara aktif dan langsung
terlibat dalam kegiatan proses penjualan anak yang dianggap perlu untuk diamati,
agar perhatian penelitian disentralkan pada pokok permasalahan yang diangkat dan
juga untuk mempertajam masalah yang akan diteliti.
3.
Partisipan
Partisipan yang dimaksud adalah orang yang diwawancarai untuk
mendapatkan informasi tentang topik yang diteliti, antara laintokoh adat atau orang
yang memahami adat-istiadat di pulau Timor, khususnya tradisi penjualan anak dan
10
Samuel Patty, Metodologi Penelitian Sosial (Salatiga: Fakultas Teologi-UKSW, 2000), 35.
orang tua atau keluarga yang telah menjalankan tradisi penjualan anak . Data
partisipan akan dipaparkan lebih detail dalam Bab III.
4.
Tehnik Analisa Data
Dalam menganalisa hasil penelitian, penulis melakukan analisa
secara
induktif. Poerwandari berpendapat bahwa dikatakan induktif karena peneliti tidak
memaksa diri untuk hanya membatasi penelitian pada upaya menerima atau
menolak dugaan-dugaannya, melainkan mencoba memahami situasi sesuai dengan
bagaimana situasi tersebut menampilkan diri 11.
G. Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan Penulisan
D.
Manfaat Penulisan
E.
Definisi Operasional
F.
Metodologi Penelitian
G.
Sistematika Penulisan
BAB IIKERANGKA TEORITIS
A.
Teori Pertukaran
B.
Unsur Teologis dalam Budaya Pertukaran.
C.
PandanganTentang Makna Anak
BAB III DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
A.
DeskripsiTempat Penelitian
11
Kristi Poerwandari,Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.(Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana
Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia, 2009),45.
B.
Hasil Penelitian Tradisi Penjualan Anak di Pulau Timor
BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN
Analisa dari Hasil Penelitian Tradisi Penjualan Anak di Pulau Timor
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
Download