BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tindak pidana yang telah menjadi bahaya laten bagi bangsa
kita adalah korupsi. Korupsi yang terjadi dewasa ini memang sudah sangat
membahayakan bagi keberlangsungan kehidupan bernegara kita. Tindak pidana
korupsi telah membuat noda hitam di lembaran sejarah bangsa kita. Bagaimana
tidak, data yang dikeluarkan oleh Transparency International (TI) mengenai
Corruption Perception Index ( CPI ). CPI direpresentasikan dalam bentuk bobot
skor/angka (score) dengan rentang 0-100. Skor 0 berarti negara dipersepsikan
sangat korup, sementara skor 100 berarti dipersepsikan sangat bersih dari korupsi.
Pada tahun 2013, skor CPI Indonesia adalah sebesar 32, dengan skor ini Indonesia
menempati urutan 114 dari 177 negara yang diukur.1 Hal tersebut menunjukkan
tingginya tingkat korupsi yang terjadi di Indonesia.
Kerugian negara yang diakibatkan oleh kasus korupsi juga tidak dapat
dipandang kecil. Data yang diperoleh dari Indonesian Corruption Watch ( ICW )
menunjukkan kerugian negara pada tahun 2013 saja berjumlah Rp 7,3 triliun
dengan adanya 560 kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum dengan
jumlah tersangka 1271 orang. Pada tahun 2012 sebenarnya kerugian negara yang
1
Transparency International Indonesia, Corruption preception index ( CPI ) 2013,
http://www.ti.or.id/index.php/publication/2013/12/03/ corruption-perception-index-2013, diakses
pada tanggal 3 Mei 2014 pukul 13.28 wib.
2
ditimbulkan dari kasus tindak pidana korupsi menurun jumlahnya akan tetapi
untuk jumlah kasus dan penetapan tersangkanya mengalami kenaikan.2
Kenyataannya tidak hanya tingkat korupsi maupun jumlah kerugian yang
ditimbulkannya
saja
yang
sudah
mengkhawatirkan
namun
upaya
pemberantasannya pun sudah semakin sulit dikarenakan perkembangan tindak
pidana korupsi sendiri yang semakin kompleks. Awalnya para pelaku tindak
pidana korupsi masih melakukan korupsi secara konvensional, yakni dengan
menggelapkan uang negara untuk kemudian disimpan dalam rekening pribadi
ataupun dipergunakan secara langsung. Dalam perkembangannya, pelaku tindak
pidana korupsi mulai melakukan upaya-upaya untuk mengamankan diri dari para
penegak hukum. Salah satu yang sering kita jumpai adalah dengan melakukan
pencucian uang. Upaya tersebut dilakukan oleh koruptor untuk menghilangkan
jejak agar tidak mudah diketahui oleh aparat penegak hukum.
Sejarah mencatat betapa usaha yang dilakukan untuk memberantas tindak
pidana korupsi sudah berulang kali dilakukan. Korupsi semula belum dirumuskan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri bahkan istilah korupsi pun belum dikenal pada
waktu itu. Meskipun dalam KUHP tidak dijumpai istilah korupsi namun telah
dijumpai beberapa pasal yang dapat ditangkap esensinya sebagai rumusan tindak
pidana korupsi.3 Seiring berjalannya waktu peraturan menenai korupsi dalam
KUHP tersebut sudah dirasa kurang efektif sehingga banyak pelaku penye2
Indonesian Corruption Watch ( ICW),Tren Pemberantasan Korupsi 2013, http://www.antikorupsi
.org/id/content/trenpem- berantasan-korupsi-2013 , diakses pada tanggal 3 Mei 2014 pukul 13.40
wib.
3
Elwi Danil, 2011, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hlm.26.
3
lewengan keuangan dan perekonomian negara tidak dapat dijerat dengan pasal
yang berada dalam KUHP lagi. Menanggapi hal tersebut maka dibuatlah
Peraturan Nomor PRT/ PM-06/ 1957 oleh Kepala Staf Angkatan Darat, selaku
penguasa militer pada waktu itu. Pada bagian konsiderannya tergambar kebutuhan
yang mendesak untuk melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Peraturan tersebut dapat dianggap sebagai cikal bakal peraturan mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.4
Seiring berjalannya waktu, pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia terus mengalami perkembangan. Hal tersebut terlihat dari terus adanya
penyesuaian baru peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi itu
sendiri. Sampai pada saat penulisan hukum ini dibuat, peraturan perundangundangan yang berlaku untuk mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana
korupsi adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain adanya perkembangan peraturan perundang-undangannya, usaha
yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi tindak pidana korupsi yang lain
adalah dengan membentuk suatu lembaga negara baru yang fokus menangani
kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, yakni dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi ( untuk selanjutnya disebut KPK ).
Pembentukan KPK merupakan amanat Pasal 43 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal
tersebut dinyatakan bahwa selambatnya dua tahun sejak Undang-Undang Nomor
4
Ibid, hlm. 28-29
4
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berlaku, maka
haruslah segera dibentuk KPK. Menindaklanjuti amanat tersebut pada tahun 2002
pemerintah membentuk KPK dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut menjadikan
KPK memiliki wewenang khusus untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi
di Indonesia.5
Dalam menjalankan wewenangnya, KPK sangat didukung oleh
masyarakat, karena masyarakat sendiri sudah muak dengan keberadaan koruptor
di tengah-tengah wakilnya dalam pemerintahan. Terlebih, banyak tokoh elit
politik negeri kita yang akhirnya terjerembab dalam lubang hitam pusaran kasus
korupsi.
Hal
tersebut
mengakibatkan
kesabarannya
dengan
mengemukakan
banyak
orang
mulai
pendapat-pendapat
kehilangan
baru
bagi
pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satu pendapat dari Teten Masduki,
sebagai koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) adalah mengadakan
hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya milyaran rupiah6
dengan menimbang kesengsaraan rakyat kecil yang secara langsung maupun tidak
langsung terpengaruh dari kasus korupsi oleh wakilnya dalam pemerintahan
tersebut. Walaupun pada kenyataan sanksi hukuman mati telah tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
5
6
Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Hukum Online, Hukuman Mati Bagi Koruptor Perlukah?,
http://www.hukumonline.
com/berita/baca/hol7486/hukuman-mati-bagi-koruptor-perlukah.html, diakses pada tanggal 15
November 2014 pukul 15.50
5
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun sebatas hanya bila
dilakukan dalam keadaan tertentu saja7.
Selanjutnya, masyarakat kembali mengemukakan gagasan sebagai upaya
pencegahan tindak pidana korupsi. Salah satunya yang akhir-akhir ini menyeruak
di permukaan, adalah gagasan untuk memiskinkan Koruptor.8 Gagasan yang tidak
mengada-ada sebenarnya, jika kita melihat kerugian negara yang ditimbulkan oleh
kasus korupsi memang tidak bisa dikatakan kecil. Di sisi lain pada akhirnya
masyarakatlah yang menanggung beban dari terjadinya tindak pidana korupsi.
Perlu dicermati kembali bahwa sebenarnya wacana tersebut sudah dapat
diterapkan dan dapat dilakukan sekarang. Dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi telah dicantumkan sanksi pidana denda yang dapat
menjerat pelaku korupsi. Selain adanya ancaman pidana denda dalam setiap
rumusan pasalnya terdakwa juga masih dapat dijatuhi hukuman pembayaran uang
pengganti.
Pembayaran uang pengganti berkedudukan sebagai pidana tambahan
sesuai dengan pengaturan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal tersebut telah
7
Lihat pasal 2 dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
mengenai pengertian “keadaan tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan
pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap
dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan
moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi
8
Sindonews, Gerakan Memiskinkan Koruptor, http://nasional.sindonews .com/read/750508/18
/gerakan-memiskinkan-koruptor1371436210.html, diakses pada tanggal 13 Januari 2015 pukul
11.06
6
ditentukan bahwa besaran uang pengganti jumlahnya adalah sebanyak-banyaknya
sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Ketentuan lanjutan mengenai pembayaran uang pengganti dinyatakan
dalam Pasal 18
ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembayaran uang pengganti oleh
terpidana telah ditentukan bahwa paling lama satu bulan setelah putusan yang
inkracht, maka terpidana harus segera melunasinya sedangkan bila terpidana tidak
dapat melunasi pembayaran uang pengganti yang telah ditentukan, maka harta
benda terpidana dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti tersebut.
Keberadaan pidana tambahan pembayaran uang pengganti tersebut pada
dasarnya merupakan terobosan yang bagus bagi upaya penyelamatan uang negara,
namun keberadaannya sebagai pidana tambahan tidak dapat dijauhkan dari
permasalahan. Dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa pidana
tambahan “dapat” dijatuhkan kepada terdakwa yang artinya keberadaan dari
pidana tambahan tersebut hanyalah bersifat fakultatif bukanlah imperatif,
sehingga sesuai asasnya Hakim tidak diwajibkan untuk menjatuhkan pidana
tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
Selain pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat ditemukan juga
ancaman pidana denda dalam seluruh rumusan tindak pidana yang diaturnya, baik
7
secara kumulatif maupun secara kumulatif alternatif yakni sejumlah 12 ( dua belas
) pasal ( Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
11, Pasal 12, Pasal 12A, dan Pasal 12B ). Selain itu terdapat juga ancaman pidana
denda yang bersifat kumulatif-alternatif bagi tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi, yakni Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24.
Besaran ancaman pidana denda yang tercantum pun tidak bisa
digolongkan kecil. Nominal pidana denda dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi bagi perseorangan saja yang terendah sudah mencapai Rp.
50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah ) dan ancaman pidana denda tertinggi bagi
perseorangan mencapai Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah ), sedangkan
bagi korporasi diancam pidana denda dengan ketentuan pidana denda maksimum
ditambah dengan 1/3 (sepertiga), maka ancaman pidana denda yang paling tinggi
bagi korporasi dapat mencapai Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah )
ditambah dengan 1/3 (sepertiga).
Ketentuan
pidana
denda
tersebut
bila
diterapkan
tentu
dapat
menimbulkan pengurangan asset yang dimiliki oleh terpidana korupsi. Alasannya
adalah terpidana selain dapat dihukum untuk membayarkan uang pengganti atas
harta benda hasil korupsinya, terpidana juga masih diancam dengan pidana denda
yang tergolong tinggi. Apabila dilihat kembali maka sebenarnya hal tersebut
sudah mengarah ke usaha memiskinkan para koruptor.
Selain itu adanya ancaman pidana denda yang tinggi dalam pengaturan
pemberantasan
tindak
pidana
korupsi
sendiri
ditujukan
untuk
lebih
8
mengefektifkan pencegahan maupun pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal
tersebut sesuai dengan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Syaiful Bakhri memberikan pendapat bahwa penggunaan pidana denda
dalam perundang-undangan pidana diluar KUHP maupun pada ketentuan pidana
yang bersifat administratif pada dasarnya telah mengalami perkembangan.
Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa pidana denda tidak hanya digemari
oleh legislator untuk mengatur masyarakat yang adil dan makmur, namun juga
merupakan bentuk percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lebih
luasnya adalah sebagai salah satu upaya untuk mencapai tujuan nasional, yakni
salah satu tujuan dari politik hukum pidana untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat.9
Catatan yang perlu diperhatikan lebih lanjut mengenai pidana denda
dalam rumusan tindak pidana korupsi adalah mengenai pelaksanaan eksekusi dari
putusan penjatuhan pidana denda tersebut, apakah sudah dapat terbayarkan
kepada negara atau justru menjadi pidana yang tidak dapat tereksekusi. Terlebih
bila melihat ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tidak
dapat
ditemukan
pengaturan
mengenai
pidana
pengganti
dari
ketidakmampuan terpidana korupsi untuk membayar pidana denda yang
dijatuhkan kepadanya.
9
Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Total Media, Yogyakarta,
hlm.144-145
9
Menjawab pertanyaan tersebut sesuai dengan asasnya, apabila suatu
peraturan tidak mengatur secara khusus maka pengaturannya akan kembali pada
pengaturan secara umum. Bila dilihat dari pengaturan umumnya, tentu saja berarti
kembali seperti yang diatur dalam KUHP. Dalam perumusan Pasal 30 ayat (2)
KUHP pengaturan mengenai pidana denda yang tidak terbayar akan diganti
dengan pidana kurungan, sedangkan ketentuan mengenai jangka waktu pidana
kurungan pengganti denda terdapat di Pasal 30 ayat (4) KUHP. Dalam
perhitungan tersebut untuk ½ (setengah) rupiah pidana denda akan diganti dengan
satu hari pidana kurungan pengganti denda.
Walaupun sampai sekarang besaran tersebut telah mengalami beberapa
penyesuaian. Penyesuaian pertama adalah terbitnya Perpu Nomor 18 Tahun 1960
tentang perubahan jumlah hukuman denda dalam kitab undang-undang hukum
pidana dan dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum
tanggal 17 agustus 1945 besaran pidana denda dilipat gandakan sebesar 15 (lima
belas) kali. Penyesuaian berikutnya adalah dengan diterbitkannya Perma RI
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda Dalam KUHP. Penyesuaian tersebut diatur dalam Pasal 3 yang
melipatgandakan pidana denda menjadi 1000 (seribu) kali kecuali untuk pasal 303
ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 303 bis ayat (1) dan ayat (2) KUHP tentang
perjudian yang telah mendapat perubahan nominal berdasarkan Pasal 2 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Setelah terdapat
beberapa perubahan tersebut tetap saja besarannya masih terlalu kecil dan tidak
sebanding dengan ancaman pidana denda yang diatur diluar KUHP. Selain itu
10
penyesuain oleh Perma RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP tersebut pada dasarnya
tidak berlaku umum karena hanya mengikat dalam lembaga Mahkamah Agung
saja.
Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa keberadaan pidana denda
juga memiliki peranan dalam kasus tindak pidana korupsi. Pidana denda
merupakan pidana yang dapat dikumulatifkan dengan pidana penjara dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga keberadaan pidana
denda dan pidana penjara tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sarana untuk
mewujudkan tujuan pemidaaan dengan memberikan penjeraan pada pelakunya
maupun masyarakat luas agar tidak melakukan hal yang sam namun tidak serta
merta ketika peraturan mengenai ancaman pidana denda telah dicantumkan dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lantas tidak menimbulkan
permasalahan. Untuk penerapan dan juga pelaksanaannya sendiri masih ditemui
beberapa persoalan. Oleh karena alasan tersebut, penulis mengajukan penelitian
mengenai “ Pelaksanaan Pidana Denda dalam Tindak Pidana Korupsi”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat
dirumuskan pokok permasalahannya sebagai berikut:
11
1. Bagaimana pelaksanaan putusan pengadilan yang telah inkracht
berupa pidana denda dalam tindak pidana korupsi?
2. Bagaimana penentuan jangka waktu pidana kurungan pengganti denda
dalam tindak pidana korupsi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini terdiri dari:
1. Tujuan Subyektif
Untuk memperoleh data dan bahan-bahan yang berguna dalam
penyusunan penulisan hukum sebagai prasyarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
2. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
inkracht berupa pidana denda dalam tindak pidana korupsi.
b. Untuk mengetahui penentuan jangka waktu pidana kurungan
pengganti denda dalam tindak pidana korupsi.
D. Keaslian Penelitian
Untuk mengetahui keaslian penelitian, penulis telah melakukan
penelusuran yang dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, dapat diketahui bahwa terdapat tiga penulisan hukum yang menyinggung
mengenai pelaksanaan pidana dalam tindak pidana korupsi, maupun menyinggung
mengenai pelaksanaan pidana denda yakni sebagai berikut:
12
1. Penulisan hukum yang disusun oleh Zukhruf Irfan I, mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2008 dengan
judul “Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti
dalam Tindak Pidana Korupsi”.
Berdasarkan pengamatan penulis terhadap penulisan hukum
tersebut, terdapat perbedaan dengan penulisan hukum yang akan
dibuat oleh penulis, baik dari segi perumusan masalah, tujuan
penelitian, maupun cakupan pembahasannya. Pada penulisan hukum
tersebut terdapat beberapa perbedaan, yakni penulisan hukum tersebut
membahas mengenai penjatuhan pidana tambahan berupa pembayaran
uang pengganti dalam tindak pidana korupsi, sementara yang penulis
teliti lingkupnya adalah mengenai penjatuhan pidana denda dalam
tindak pidana korupsi.
2. Penulisan hukum yang disusun oleh Adityawati Triastuti, mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2010 dengan
judul “ Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti
dalam Tindak Pidana Korupsi sebagai Upaya Pengembalian Kerugian
Keuangan negara”
Berdasarkan pengamatan penulis terhadap penulisan hukum
tersebut, terdapat perbedaan dengan penulisan hukum yang akan
dibuat oleh penulis, baik dari segi perumusan masalah, tujuan
penelitian, maupun cakupan pembahasannya. Pada penulisan hukum
tersebut terdapat beberapa perbedaan, yakni penulisan hukum tersebut
13
membahas mengenai Pelaksanaan pidana tambahan pembayaran uang
pengganti dalam tindak pidana korupsi beserta dengan hambatanhambatan dalam pengeksekusiannya sedangkan yang akan penulis
teliti adalah mengenai pelaksanaan pidana denda dalam tindak pidana
korupsi beserta dengan penentuan pidana kurungan pengganti
dendanya.
3. Penulisan hukum untuk Tesis yang disusun oleh Muh Asrianto Zainal,
mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada pada
tahun 2007 dengan judul “ Penerapan Sanksi Pidana Denda Terhadap
Pelaku Kejahatan Narkotika dan Psikotropika”
Berdasarkan pengamatan penulis terhadap penulisan Tesis
tersebut, terdapat perbedaan dengan penulisan hukum yang akan
dibuat oleh penulis, baik dari segi perumusan masalah, tujuan
penelitian, maupun cakupan pembahasannya. Pada penulisan hukum
tersebut terdapat beberapa perbedaan, yakni penulisan tesis tersebut
membahas mengenai pelaksanaan pidana denda dalam tindak pidana
narkotika dan psikotropika, terlebih yang dibahas adalah mengenai
dasar-dasar pertimbangan hakim dalam pemberian sanksi pidana
dendanya sedangkan yang akan penulis teliti adalah mengenai
pelaksanaan pidana denda dalam tindak pidana korupsi beserta dengan
penentuan pidana kurungan pengganti dendanya.
Dari ketiga judul diatas dapat dilihat dan dibandingkan dengan penulisan
hukum yang penulis susun terdapat perbedaan yang signifikan terhadap pokok
14
permasalahan yang dibahas. Penulisan hukum yang penulis susun dengan judul
“Pelaksanaan Pidana Denda dalam Tindak Pidana Korupsi” belum pernah
dilakukan dalam pendekatan terhadap permasalahan yang sama, sehingga dengan
demikian penelitian ini asli adanya karena telah memenuhi atau sesuai dengan
asas-asas keilmuan yaitu mengandung aspek kejujuran, rasional, objektif dan
terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan, kritik dan saran yang membangun
dan konstruktif.
E. Manfaat Penelitian
Penulis berkeyakinan bahwa akan banyak manfaat dan kegunaan yang
bisa diperoleh melalui penelitian ini. Adapun kegunaan yang dapat diharapkan
dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Penulis
Penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam menambah pengetahuan penulis terhadap seluk beluk pelaksanaan pidana denda dalam
tindak pidana korupsi, serta meningkatkan sikap kritis penulis atas
segala sesuatu yang terjadi di masyarakat.
2. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pemerintah dan/atau pembentuk undang-undang, aparat kejaksaan, dan
aparat pengadilan khususnya Hakim, dalam rangka untuk lebih
memberi perhatian terhadap pelaksanaan pidana denda dalam tindak
pidana korupsi.
15
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
masyarakat sebagai pihak yang merasakan langsung segala permasalahan yang diteliti, terlebih masyarakat luas yang mau tidak mau
menjadi korban dari adanya tindak pidana korupsi tersebut.
4. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini akan semakin memperkaya informasi dan
wawasan pemikiran khususnya dalam mempelajari pelaksanaan
pidana denda dalam tindak pidana korupsi.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan hukum ini akan terbagi dalam lima bab, yang mana diantara
bab yang satu dengan bab yang lain saling terkait. Serta agar penulisan hukum ini
dapat terarah dan sistematis maka diperlukan sistematika penulisan hukum
sebagai berikut, yaitu :
BAB I. PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai apa yang akan
menjadi landasan pemikiran dalam penulisan hukum yang dituangkan
dalam latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat
penelitian.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan uraian hasil kajian pustaka atau penelusuran
literatur yang membahas tentang Pengertian hukum pidana, Pengertian
tindak pidana, Pengertian korupsi, Macam-macam korupsi, Perumusan
16
tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan, Sejarah
pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia, Sifat khusus tindak pidana
korupsi, Relevansi pidana denda terhadap tujuan pemidanaan, Kedudukan
pidana denda sebagai salah satu pidana pokok, Jenis sanksi dalam tindak
pidana korupsi.
BAB III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan metode penelitian yang digunakan penulis
berupa jenis penelitian, bahan penelitian, lokasi dan subyek penelitian,
cara dan alat pengumpulan data, dan analisis data.
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis menganalisa data yang diperoleh mengenai
bagaimana implementasi pelaksanaan pidana denda dalam tindak pidana
korupsi, dan juga mengenai subsider hukuman bagi pidana denda dalam
tindak pidana korupsi yang tidak dapat tereksekusi.
BAB V. PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari seluruh penulisan, yang berisi
kesimpulan dan disertai beberapa saran yang dapat dijadikan masukan
yang berarti.
Download