BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TEORI MEDIS 1. Nifas a. Definisi Nifas atau Puerperium merupakan masa yang dimulai dari 1 jam setelah kelahiran plasenta hingga 42 hari atau 6 minggu setelah itu (Saifuddin, 2011). b. Tahapan Masa Nifas Menurut Sofian (2013) masa nifas dibagi dalam 3 periode: 1) Puerperium dini merupakan kepulihan saat ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan. Dalam agama islam, dianggap telah bersih dan boleh bekerja setelah 40 hari. 2) Puerperium intermediat merupakan pemulihan menyeluruh alatalat genital yang lamanya 6-8 minggu. 3) Puerperium lanjut merupakan waktu yang diperlukan untuk pulih dan kembali sehat sempurna, terutama jika selama hamil atau sewaktu persalinan timbul komplikasi. Waktu untuk mencapai kondisi sehat sempurna dapat berminggu-minggu, bulanan, atau tahunan. c. Perubahan Fisiologis Masa Nifas 1) Vagina dan Ostium Vagina 6 7 Awal masa nifas, vagina dan ostiumnya membentuk saluran yang berdinding halus dan lebar yang ukurannya berkurang secara perlahan namun jarang kembali ke ukuran saat nulipara. Rugae mulai muncul kembali pada minggu ketiga namun tidak semenonjol sebelumnya. Himen tinggal berupa potongan – potongan kecil sisa jaringan, yang membentuk jaringan parut disebut Carunculae myrtiformes. Epitel vagina mulai berpoliferasi pada minggu ke-4 sampai minggu ke-6, biasanya bersamaan dengan kembalinya produksi estrogen ovarium. Laserasi atau peregangan perineum selama pelahiran dapat menyebabkan relaksasi ostium vagina (Cunningham, 2013). 2) Pembuluh Darah Uterus Setelah pelahiran, diameternya berkurang kira- kira ke ukuran sebelum kehamilan. Pada uterus puerperal, pembuluh darah yang membesar menjadi tertutup oleh perubahan hialin, secara perlahan terabsobsi kembali, kemudian digantikan oleh yang lebih kecil. Akan tetapi sedikit sisa – sisa pembuluh darah yang lebih besar tersebut tetap bertahan selama beberapa tahun ( Cunningham, 2013). 3) Lochea Awal masa nifas, peluruhan jaringan desidua menyebabkan timbulnya duh vagina dalam jumlah yang 8 beragam. Duh tersebut dinamakan lochea dan terdiri dari eritrosit, potongan jaringan desidua, sel epitel, dan bakteri (Cunningham, 2013). Menurut Rukiyah, dkk (2010) lochea mempunyai bau amis (anyir), meskipun tidak terlalu menyengat dan volumenya berbeda pada setiap wanita. Lochea juga mengalami perubahan karena proses involusi. Lochea bertahan selama 4 sampai 8 minggu setelah pelahiran, pengeluaran lochea dapat dibagi menjadi lochea rubra, lochea sanguinolenta, serosa dan alba. Perbedaan masing- masing lochea dapat dilihat sebagai berikut : a) Lochea Rubra (Cruenta) Muncul pada hari 1-2 pascapersalinan, berwarna merah mengandung darah dan sisa-sisa selaput ketuban, jaringan dari desidua, verniks caseosa, lanugo dan mekonium. b) Lochea Sanguinolenta Muncul pada hari ke 3-7 pascapersalinan, berwarna merah kuning dan berisi darah lendir. c) Lochea Serosa Muncul pada hari ke 7-14 pascapersalinan, berwarna kecoklatan mengandung lebih banyak serum. Lebih sedikit darah dan banyak serum, juga terdiri dari leokosit dan robekan laserasi plasenta. 9 d) Lochea Alba Lochea berwarna putih kekuningan mengandung leokosit, selaput lendir serviks dan selaput jaringan yang mati, muncul sejak 2-6 minggu pascapersalinan. e) Lochea Purulenta Terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah dan berbau busuk. f) Lochiostatis Lochea yang tidak lancar keluarnya. Umumnya jumlah lochea lebih sedikit bila wanita postpartum dalam posisi berbaring dari pada berdiri. Hal ini terjadi akibat pembuangan bersatu di vagina bagian atas saat wanita dalam posisi berbaring dan kemudian akan mengalir keluar saat berdiri. Total jumlah rata-rata pengeluaran lochea sekitar 240 hingga 270 ml (Rukiyah, dkk., 2010). 4) Perubahan di Serviks dan Segmen Bawah Uterus Selama persalinan, batas serviks bagian luar, yang berhubungan dengan ostium externum biasanya mengalami laserasi terutama di lateral. Pembukaan serviks berkontraksi secara perlahan dan selama beberapa hari setelah persalinan masih sebesar dua jari. Di akhir minggu pertama, pembukaan ini meyempit, serviks menebal dan kanalis endoservikal kembali terbentuk. Ostium externum tidak dapat kembali sempurna ke 10 keadaan sebelum hamil. Bagian tersebut tetap agak lebar dan secara khas, cekungan di kedua sisi pada tempat laserasi menjadi permanen. Perubahan – perubahan ini merupakan karakteristik serviks para. Segmen uterus bagian bawah yang menipis secara nyata mengalami kontraksi dan retraksi, namun tidak sekuat pada corpus uteri ( Cunningham, 2013). Dalam beberapa minggu, segmen bawah diubah dari struktur yang jelas- jelas cukup besar untuk memuat kebanyakan kepala janin cukup bulan menjadi isthmus uteri hampir tidak dapat dilihat yang terletak diantara korpus diatas dan os interna serviks di bawah. Warna serviks merah kehitam-hitaman karena penuh pembuluh darah. Segera setelah bayi dilahirkan, tangan pemeriksa masih dapat dimasukkan 2-3 jari dan setelah 1 minggu hanya 1 jari yang dapat masuk karena hiperplasi dan retraksi serviks dan robekan serviks dapat sembuh (Rukiyah, dkk., 2010). 5) Involusio Uterus Segera setelah pengeluaran plasenta, fundus uteri yang berkontraksi tersebut terletak sedikit di bawah umbilikus. Bagian tersebut sebagian besar terdiri miometrium yang ditutupi oleh serosa dan dilapisi oleh desidua basalis. Dinding posterior dan anterior, dalam jarak yang terdekat, masing – masing 11 tebalnya 4 sampai 5 cm. Segera setelah pascapartum berat uterus menjadi kira-kira 1.000 gram (Cunningham, 2013). Dalam masa nifas, uterus akan berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan uterus ini dalam keseluruhannya disebut involusi. Involusi disebabkan oleh : a. Pengurangan estrogen plasenta. Pengurangan estrogen menghilangkan stimulus ke hipertropi dan hiperplasia uterus. b. Iskemia miometrium Miometrium terus berkontraksi dan beriteraksi setelah kelahiran, mengkontriksi pembuluh darah dan mencapai haemostasis pada sisi plasenta. Iskemia menyebabkan atropi pada serat-serat otot. c. Otolisis miometrium Selama kehamilan, estrogen meningkatkan sel miometrium dan kandungan protein (aktin dan miosin), penurunan estrogen setelah melahirkan menstimulasi enzim proteolitik dan makrofag untuk menurunkan dan mencerna (proses autolisis) kelebihan protein dan sitoplasma intrasel, mengakibatkan pengurangan ukuran sel secara menyeluruh. Jaringan ikat dan lemak biasanya ditelan, dihancurkan dan dicerna oleh jaringan makrofag. 12 (Rukiyah, dkk., 2010). Tinggi fundus uteri dan berat uterus menurut masa involusi terlihat pada tabel berikut : Involusi Bayi lahir Plasenta lahir 1 minggu 2 minggu 6 minggu 8 minggu Tinggi fundus Setinggi pusat Dua jari di bawah pusat Pertengahan pusat-simfisis Tidak teraba diatas simfisis Bertambah kecil Normal Berat uterus 1000 gram 750 gram 500 gram 350 gram 50 gram 30 gram Sumber : Sofian (2013) Penurunan tinggi fundus dapat terjadi secara signifikan pada ibu postpartum hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Ripniatin (2015) bahwa penurunan tinggi fundus dapat terjadi secara signifikan karena pengaruh pemberian jus nanas selama 7 hari dengan setiap hari diberikan jus nanas 2 kali sehari sebanyak 150 gram nanas. Hasilnya tinggi fundus ibu postpartum dengan pemberian jus nanas lebih cepat mengalami penurunan dibandingkan dengan tinggi fundus ibu postpartum tanpa pemberian jus nanas. d. Adaptasi Psikologis Ibu Masa Nifas Menurut Rukiyah, dkk. (2010) ada beberapa tahapan adaptasi psikologis ibu di masa nifas yaitu : 1. Taking On Periode ini disebut periode meniru, pada taking on fantasi wanita tidak hanya meniru tapi sudah membayangkan peran 13 yang dilakukan pada tahap sebelumnya. Pada tahap ini wanita akan meninggalkan perannya pada masa lalu. 2. Taking In Periode ini terjadi pada hari ke 1-2 setelah melahirkan, ibu baru pada umumnya masih pasif dan tergantung, perhatiannya tertuju pada tubuhnya. 3. Taking Hold Periode ini terjadi pada hari ke 2-4 setelah melahirkan, ibu menjadi orang tua yang sukses dengan tanggung jawab terhadap bayinya. Pada masa ini ibu agak sensitif dan tidak mahir dalam melakukan hal – hal tersebut. Cenderung menerima nasihat bidan. 4. Letting Go Periode yang biasanya terjadi setiap ibu pulang ke rumah, pada ibu yang bersalin di klinik dan sangat berpengaruh terhadap waktu dan perhatian yang diberikan oleh keluarganya. Dan depresi pospartum biasanya terjadi pada periode ini. 2. Atonia Uteri a. Definisi Atonia Uteri merupakan kondisi dimana myometrium tidak dapat berkontraksi segera setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 15 detik setelah 14 dilakukan rangsangan taktil (massage) fundus uteri, segera setelah lahirnya plasenta (Nugroho, 2012). b. Etiologi Pada 80 sampai 90 persen kasus perdarahan pascapartum segera disebabkan oleh atonia uteri atau dari pelahiran plasenta yang tidak lengkap (Varney, 2008). Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif merupakan faktor risiko mayor terjadinya atonia uteri, hal ini dapat pula terjadi karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulan akibatnya kontraksi miometrium menjadi lemah (Nugroho, 2012). c. Patofisiologi Perdarahan berat terjadi karena berbagai kombinasi faktor penyebab yang dapat menimbulkan perdarahan. Misal, perdarahan yang disebabkan oleh trauma berat pada vagina disertai kontraksi uterus yang lemah akan menimbulkan koagulopati akibat konsumsi faktor-faktor pembekuan (Hollingworth, 2012). Atonia uteri terjadi jika serabut – serabut otot miometrium gagal untuk berkontraksi dan memendek sehingga dapat menyebabkan perdarahan (Nugroho, 2012). Lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan 2.1 hebat 15 uterus Kelainan uterus Kontraksi uterus terlalu sering Otot uterus kelelahan Overdistensi uterus Otot uterus terlalu lama relaksasi Otot uterus tidak mampu berkontraksi Pembuluh darah uterus ditempat bekas implantasi plasenta tidak terjepit otot uterus Perdarahan Bagan 2.1 : Patofisiologi Atonia Uteri Sumber : Sofian (2013), Nugroho, (2012), Varney (2008) d. Faktor Predisposisi Menurut Sofian (2013) faktor predisposisi terjadinya atonia uteri adalah : 1) Umur (umur yang terlalu muda dan terlalu tua) 2) Paritas : sering dijumpai pada multipara dan grandemultipara 3) Partus lama dan partus terlantar 4) Obstetri operatif dan nerkosa 5) Uterus terlalu regang dan besar, misalnya pada gemeli, hidramnion, atau janin besar 16 6) Kelainan pada uterus, seperti mioma uteri, uterus convelair pada solusio plasenta 7) Faktor sosio ekonomi, yaitu malnutrisi Selain itu Varney (2008) menambahkan faktor predisposisi atonia uteri yang lain, yaitu : 8) Induksi atau stimulasi persalinan 9) Persalinan cepat 10) Riwayat atonia uteri sebelumnya 11) Partus cepat atau memanjang 12) Penggunaan agens relaksan uterus seperti magnesium sulfat e. Keluhan Subyektif Pasien yang mengalami perdarahan lebih dari normal akan mengeluh berkeringat dingin, sesak napas, limbung dan kesadaran mulai menurun selain itu pasien terlihat pucat, tensi < 90 mmHg dan nadi > 100 menit maka harus segera mendapatkan penanganan ( Saifuddin, 2009). f. Prognosis Menurut pendapat para ahli kebidanan modern: “Perdarahan postpartum tidak perlu membawa kematian pada ibu bersalin”. Pendapat tersebut dibenarkan apabila masyarakat sadar akan pentingnya hal tersebut sehingga dalam klinik tersedia banyak darah dan cairan serta fasilitas lainnya (Sofian, 2013). 17 Perdarahan akibat atonia uteri dapat dicegah dengan melakukan tindakan manajemen aktif kala 3 dan identifikasi faktor risiko serta mempersiapkan diri apabila terjadi atonia uteri pada setiap persalinan. Jika telah terjadi atonia uteri dapat dilakukan rehabilitasi pada pasien dengan cara mengawasi hingga hemodinamik stabil dengan penanganan yang sesuai ( Nugroho, 2012). g. Diagnosis Diagnosis ditegakkan apabila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak serta ditemukan tanda dan gejala yang selalu ada yaitu : 1) Uterus tidak berkontraksi dan lembek 2) Perdarahan segera setelah bayi lahir Sedangkan tanda dan gejala yang kadang – kadang ada yaitu shock (Nugroho, 2012). Perbedaan antara perdarahan akibat atonia uteri dan perdarahan dari laserasi traktus genetalis secara tentatif ditentukan oleh faktor risiko predisposisi dan kondisi uterus (Cunningham, 2013), sehingga palpasi uterus, pengukuran tinggi fundus, inspeksi robekan serviks, vagina serta varises penting dilakukan untuk menegakkan diagnosa (Nugroho, 2012). Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu teraba fundus uteri setinggi pusat serta masih ada 18 darah 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam pemberian darah pengganti ( Saifuddin, 2009). h. Pencegahan Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang baik (Sofian, 2013). Disamping itu tindakan penanganan aktif pada persalinan kala III dapat dilakukan untuk menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan postpartum (Nugroho, 2012). Pada banyak perempuan, atonia uteri paling tidak dapat diantisipasi dengan baik jauh sebelum pelahiran. Meskipun faktor risiko diketahui dengan baik, kemampuan untuk mengidentifikasi perempuan mana yang akan mengalami atonia uteri masih terbatas (Cunningham, 2013). Sehingga antisipasi perdarahan pascapartum segera sebagai akibat atonia uteri dapat dicegah dengan pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400 – 600 µg) segera setelah bayi lahir (Saifuddin, 2009). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada bagan pencegahan atonia uteri berikut: 19 ANC Riwayat perdarahan pascapersalinan Predisposisi Anjurkan untuk bersalin di Rumah Sakit Pemeriksaan keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim (uterotonika). Setelah ketuban pecah kepala janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan sewaktu bayi lahir diberikan 1 ampul methergin atau kombinasi dengan 5 satuan sintosinon (= sintometrin intravena) Sumber : (Sofian, 2013) i. Penatalaksanaan dan Pengobatan 1) Penatalaksanaan Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis atau sampai syok berat hipovelemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya (Saifuddin, 2009). 20 Menurut JNPK-KR (2008) penanganan atonia uteri dapat dilakukan oleh bidan yang sesuai dengan wewenang bidan, dapat dilihat di bagan 2.2. Penatalaksanaan selanjutnya setelah bidan melakukan rujukan ke rumah sakit, maka pasien dengan atonia uteri akan mendapatkan penanganan lanjut yaitu : Tampon kasa uterovaginal Pasien di rujuk Uterus lembek dan perdarahan tetap >200ml/jam Tindakan operatif Perdarahan terkontrol Transfusi RAWAT LANJUT DAN OBSERVASI Laparotomi (ligasi arteria uterina) Perdarahan tidak terkontrol Transfusi HISTEREKTOMI Bagan 2.3 : Penatalaksanaan Lanjut Atonia Uteri Di Rumah Sakit Sumber : Nugroho (2012), Saifuddin (2009), Marmi (2012) 21 2) Pengobatan Menurut Sofian (2013) pengobatan pada pasien dengan perdarahan postpartum karena atonia uteri tergantung pada banyaknya perdarahan dan derajat atonia uteri, dibagi dalam 3 tahap : Tahap Tahap I Tahap II Tahap III 3. Tindakan Perdarahan yang tidak begitu banyak dapat diatasi dengan cara pemberian uterotonika, mengurut rahim (massage) dan memasang gurita Perdarahan belum berhenti dan bertambah banyak segera pasang infus dan transfusi, disamping itu juga dapat dilakukan tindakan : a) Perasat (maneuver) Zangemeister b) Perasat (maneuver) Fritch c) Kompresi bimanual d) Kompresi aorta e) Tamponade utero vaginal f) Jepitan arteri uterina dengan cara Henkel Bila upaya tersebut gagal, maka usaha terakhir adalah menghilangkan sumber perdarahan yaitu a) Ligasi arteri hipogastrika b) Histerektomi Nifas dengan Atonia Uteri Masa nifas dimulai dari satu jam lahirnya plasenta hingga 42 hari atau 6 minggu setelah itu (Saifuddin, 2011). Berakhirnya proses persalinan bukan berarti ibu terbebas dari bahaya atau komplikasi, 22 komplikasi yang dapat terjadi pada ibu masa nifas seperti perdarahan postpartum ( Maritalia, 2012). Menurut Varney (2008) 80 sampai 90 persen kasus perdarahan postpartum segera disebabkan oleh atonia uteri yang diakibatkan oleh banyak faktor predisposisi. Pasien dengan perdarahan postpartum harus segera diperiksa tanda-tanda vital, palpasi uterus untuk menegakkan diagnosa, apabila ditemukan palpasi uterus dengan konsistensi lunak maka pasien dapat didiagnosis perdarahan postpartum karena atonia uteri (Hollingworth, 2012). Berdasarkan hasil penelitian Purwanti dan Trisnawati (2015) pada ibu nifas dengan perdarahan karena atonia uteri di RSUD Margono, bahwa ibu nifas dengan umur berisiko (kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun) sebanyak 35,9% dan jarak kehamilan berisiko (jarak kehamilan kurang dari 2 tahun) sebanyak 33,3% memiliki kecenderungan mengalami atonia uteri. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur dan jarak kehamilan terhadap perdarahan karena atonia uteri. Di Kabupaten Pati pada tahun 2011 kematian ibu sebagian besar terjadi pada masa nifas, sebanyak 16 kecamatan dari 21 kecamatan sekitar 40% kematian ibu masa nifas terjadi beberapa jam setelah persalinan. Penyebab kematian yaitu karena komplikasi kehamilan, komplikasi persalinan dan riwayat penyakit sebesar 64,3% sedangkan 35,7% disebabkan oleh variabel yang lain. Kondisi ini mengindikasikan 23 mekanisme pengawasan setelah persalinan oleh tenaga medis yang masih lemah (Aeni, 2013). B. TEORI MANAJEMEN KEBIDANAN 1. Langkah I : Pengumpulan / Penyajian data dasar secara lengkap a. Identitas Pasien Umur yang terlalu muda atau tua serta faktor sosio ekonomi dapat mendukung terjadinya atonia uteri (Sofian, 2013). Berdasarkan hasil penelitian Purwanti S dan Yulianti T (2015) bahwa risiko ibu yang memiliki umur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun lebih besar mengalami perdarahan postpartum karena atonia uteri dibandingkan ibu yang berumur 20-30 tahun. b. Anamnesa (Data Subyektif) 1) Keluhan utama Ibu mengatakan merasa mengeluh berkeringat dingin, sesak napas, limbung dan kesadaran mulai menurun (Saifuddin, 2009). 2) Riwayat Kebidanan Meliputi riwayat obstetric apabila ibu dengan riwayat atonia uteri pada saat persalinan sebelumnya maka memiliki kecenderungan terjadi atonia uteri pada persalinan selanjutnya (Varney, 2008). Ibu dengan riwayat kehamilan grandemultipara dan ibu dengan riwayat penyakit menahun memiliki faktor risiko 24 mengalami perdarahan pascapersalinan karena atonia uteri (Saifuddin, 2009). c. Data Obyektif 1) Status generalis Ibu dengan kesadaran menurun, limbung, sesak nafas serta tekanan darah menurun (<90 mmHg) dan nadi <100/menit kondisi ini terjadi pada pasien yang mengalami perdarahan berat (Saifuddin, 2009). Pasien dengan kondisi perdarahan dapat mengalami tanda – tanda syok (Nugroho, 2012). 2) Pemeriksaan Sistematis Muka terlihat pucat dan ekstremitas teraba dingin merupakan tanda dan gejala pasien yang mengalami perdarahan postpartum (Nugroho, 2012). 3) Pemeriksaan khusus Obstetri a) Inspeksi Pada kasus ibu nifas dengan atonia uteri terlihat pengeluaran darah dari jalan lahirnya masih aktif sebanyak 500 – 1000 cc dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti (Saifuddin, 2009). b) Palpasi Pada pemeriksaan lokalis ditemukan adanya kontraksi uterus yang lembek atau bahkan tidak ada kontraksi, ini 25 merupakan tanda gejala terjadinya perdarahan karena atonia uteri ( Nugroho, 2012) Menurut Saifuddin (2009) diagnosis atonia uteri dapat ditegakkan bila bayi dan plasenta lahir pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat. 4) Pemeriksaan Dalam Untuk menegakkan diagnosa penyebab perdarahan dapat dilakukan tindakan eksplorasi kavum uteri dengan jari atau kuret tumpul besar secara hati-hati hal ini dilakukan untuk memastikan adanya jaringan sisa dalam uterus sehingga dapat menegakkan diagnosa penyebab perdarahan (Hollingworth, 2012). 5) Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan golongan darah pasien perlu dilakukan karena untuk mengantisipasi terjadinya tindakan transfusi pada pasien yang mengalami perdarahan akibat atonia uteri (Varney, 2008). Selain itu pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar haemoglobin di bawah 10g/dl berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk sehingga rentan terjadi penyulit saat persalinan ( Nugroho, 2012). Menurut hasil penelitian Wuryanti (2010) ibu dengan anemia dalam kehamilan 45,4% mengalami perdarahan 26 postpartum karena atonia uteri dan 54,5 % tidak perdarahan. Sedangkan 4,3% ibu bersalin yang tidak mengalami anemia dalam kehamilan mengalami perdarahan postpartum karena atonia uteri dan 95,7% tidak mengalami perdarahan postpartum. Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan Hb dan hematokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan yang terjadi saat persalinan dibandingkan dengan keadaan prapersalinan (Saifuddin, 2009). 2. Langkah II : Interpretasi data dasar a. Diagnosa Kebidanan Diagnosa tersebut ditegakkan berdasarkan data subyektif dan obyektif. Diagnosa dalam studi kasus ini: Ny. X, PXAX, umur X tahun postpartum X jam dengan atonia uteri. b. Masalah Pada kasus atonia uteri, masalah yang dialami ibu biasanya adalah kecemasan karena perdarahan yang banyak dari jalan lahirnya (Sulistyawati, 2009). Selain itu ibu mengalami rasa gelisah, letih, mual, pusing dan haus karena kehilangan darah dalam jumlah yang banyak (>500 ml) (Rukiyah dan Yuliyanti, 2012). Ibu juga mengalami perubahan tingkat kesadaran ditandai dengan ibu menjadi mengantuk (Marmi, dkk.,2011). 27 c. Kebutuhan Untuk mengatasi masalah yang dialami ibu, berikan informasi kepada ibu bahwa ibu mengalami perdarahan setelah persalinan yang disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya yang dialami ibu adalah atonia uteri (Maritalia, 2012). Lakukan tindakan masase uterus untuk memunculkan kontraksi (Medforth, 2011). Berikan suntikan oksitosin, infus RL, pasangkan oksigen, lakukan KBI dan KBE (Rukiyah dan Yulianti, 2012). 3. Langkah III : Identifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial/ Diagnosa Potensial dan Antisipasi Penanganan Diagnosa potensial pada kasus atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan banyak yang mengarah pada terjadinya syok hipovolemik (Nugroho, 2012) Antisipasi penanganan perdarahan karena atonia uteri oleh bidan : a) Melakukan masase uterus (Nugroho, 2012). b) Melakukan rangsangan taktil melalui stimulasi puting susu pada ibu. Karena rangsangan berulang pada puting melalui pelepasan oksitosin menyebabkan peningkatan kontraksi miometrium, hal ini dapat dilakukan oleh keluarga ibu (Rukiyah dkk., 2010) c) Observasi keadaan umum, vital sign, kandung kemih (Saifuddin, 2011). 28 4. Langkah IV : Kebutuhan terhadap Tindakan Segera Tindakan segera pada kasus perdarahan karena atonia uteri yaitu dengan melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi untuk penanganan dan pemberian terapi yaitu : a) Pemberian terapi berupa obat ergometrin 0,2 mg IM dan misoprostol 600-1000 mcg per rectal (JNPK-KR, 2008). b) Pemasangan infuse RL 500 ml + 20 IU oksitosin 40 tpm (Marmi, 2012). c) Melakukan kompresi bimanual interna dan eksterna serta kompresi aorta abdominalis (Saifuddin, 2009). 5. Langkah V : Perencanaan Asuhan yang Menyeluruh Rencana asuhan terhadap pasien perdarahan postpartum karena atonia uteri yaitu : a. Observasi KU, vital sign, PPV dan kontraksi (Saifuddin, 2011) b. Masase fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (Marmi, 2012) c. Kosongkan kandung kemih untuk membantu kontraksi (Saifuddin, 2011). d. Melakukan advice dokter SpOG untuk pemberian terapi dan tindakan penanganan yaitu : 1) Lakukan kompresi bimanual interna (KBI) selama 5 menit (Nugroho, 2012). (lampiran 2) Jika muncul kontraksi uterus, teruskan KBI selama 2 menit (Aminin, 2013). 29 2) Jika kontraksi uterus belum muncul anjurkan keluarga untuk membantu melakukan kompresi bimanual eksterna (Norma D.N dan Dwi S.M, 2013). (lampiran 3) 3) Pemberian obat yaitu pemberian ergometrine 0,2 mg IM atau misoprostol 600-1000 mcg per rectal (tablet 200 mg). Ergometrin tidak untuk ibu hipertensi (Nugroho, 2012). 4) Pemasangan infuse menggunakan jarum 16 atau 18 dan berikan RL 500 cc + 20 IU oksitosin 40 tpm guyur, habiskan 500cc pertama secepat mungkin (Marmi, 2012). 5) Ulangi KBI (JNPK-KR, 2008) 6) Bila perdarahan belum berhenti lakukan transfusi darah dan dapat dilakukan tindakan kompresi aorta abdominalis (Sofian, 2013). (lampiran 4) 7) Apabila tindakan tersebut tidak dapat menghentikan perdarahan maka harus dilakukan tindakan operatif yaitu laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus atau melakukan histerektomi) (Saifuddin, 2009). 6. Langkah VI : Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan Aman Pada langkah implementasi mengenai kasus atonia uteri, dilakukan pelaksanaan dari rencana asuhan menyeluruh yang telah diuraikan pada langkah kelima dilaksanakan secara efisien dan aman. Hal ini dapat dilakukan oleh bidan atau sebagian oleh klien serta anggota tim kesehatan lainnya. Bidan dapat melakukan kolaborasi dengan dokter 30 spesialis obstetri dan ginekologi terhadap penatalaksanaan pasien dan dalam pemberian terapi (Varney, 2008). 7. Langkah VII : Evaluasi Evaluasi dari tindakan yang dilakukan pada asuhan kebidanan ibu nifas dengan atonia uteri meliputi keadaan umum pasien membaik, kesadaran composmentis, vital sign normal, perdarahan sudah berkurang, kontraksi uterus keras dan pasien telah merasa tenang dengan kondisinya yang mulai membaik karena tertangani dengan baik oleh tim medis maupun para medis. FOLLOW UP DATA PERKEMBANGAN KONDISI KLIEN Tujuh langkah Varney disarikan menjadi 4 langkah, yaitu SOAP (Subjektif, Objektif, Analisa dan Penatalaksanaan). SOAP disarikan dari proses pemikiran penatalaksanaan kebidanan sebagai perkembangan catatan kemajuan keadaan klien. S = Subjektif Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien melalui anamnesa sebagai langkah I Varney. O = Objektif Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan umum klien, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa hasil laboratorium yang dirumuskan dalam data fokus untuk mendukung asuhan sebagai langkah I Varney. 31 A = Analisa Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa dan interpretasi data subyektif dan obyektif dalam suatu identifikasi: Diagnosa pada kasus ini adalah: Ny. X, PxAx, umur x tahun, nifas hari ke-x post atonia uteri P = Penatalaksanaan Menggambarkan pendokumentasian dari tindakan dan evaluasi perencanaan. Dalam langkah ini menjelaskan mengenai seluruh perencanaan dan penatalaksanaan yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan segera, tindakan secara komprehensif meliputi penyuluhan, dukungan, kolaborasi, evaluasi dan follow up/rujukan berdasarkan analisa sebagai langkah 3, 4, 5, 6, dan 7 Varney. ( KepMenKes RI no 938 / Menkes / SK / VIII / 2007 )