1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dua kebijakan yang paling dinamis mempengaruhi sejarah perkembangan industri perbankan di Indonesia yaitu deregulasi Paket Juni 1983 dan Paket Oktober 1988 yang intinya memberikan kemudahan dalam mendirikan bank (McLeod, 1999). Dampak dari kedua kebijakan tersebut menyebabkan jumlah Bank meningkat dengan pesat dan tingkat persaingan industri perbankan di Indonesia menjadi semakin bertambah sengit (Alfansi dan Sargeant, 2000). Bulan Oktober 1997 terjadi krisis ekonomi yang membuat hancurnya fondasi sektor perbankan Indonesia (Fane dan McLeod, 2002), diwarnai dengan semakin meningkatnya arus modal ke luar negeri, tajamnya depresiasi rupiah terhadap mata uang asing dan rendahnya indeks kepercayaan konsumen (Alfansi dan Sargeant, 2000). Pemerintah memandang perlu melakukan regulasi perbankan untuk menghindari kemungkinan dampak lebih buruk yang dapat terjadi pada perekonomian akibat kondisi krisis dan tidak sehatnya persaingan perbankan di Indonesia. Kebijakan ini sangat signifikan dampaknya terhadap berkurangnya jumlah bank di Indonesia. Jenis kompetisi pasar perbankan berubah menjadi monopolistik pada seluruh bank umum, bank persero, dan bank devisa, sedangkan jenis persaingan pada bank non-devisa seperti Bank Pembangunan Daerah (BPD), bank campuran dan bank asing menjadi monopoli-oligopoli kolusif (Widyastuti dan Armanto, 2013). 2 Tingkat persaingan pada produk kredit tergolong cukup tinggi, tetapi masih belum dapat dikatagorikan sebagai pasar persaingan sempurna (Lubis, 2012). Transformasi perubahan sifat pasar ini, ditunjukan dengan menurunnya jumlah bank sebanyak 10 bank umum selama 7 tahun terakhir, dari 130 bank pada tahun 2007 menjadi 120 bank pada tahun 2013 (Otoritas Jasa Keuangan, 2013). Penurunan juga diwarnai dengan kegiatan merger sebanyak 35 Bank, dari tahun 2000 sampai dengan 2010 melebur menjadi 14 bank (Lampiran 7). Jumlah bank di Indonesia masih tergolong lebih banyak, dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya di Asia Tenggara tetapi pasar terkonsentrasi pada dominasi beberapa bank besar (Mulyaningsih dan Daly, 2011). Pada kondisi pasar yang bersifat monopolistik, semestinya bank memiliki kekuatan berupa keleluasaan dalam menetapkan harga dengan cara cukup baik (market power) untuk melakukan persaingan, dibandingkan dengan kondisi berada pada persaingan yang sempurna (Armanto, 2013), tetapi kenyataannya bank di Indonesia tidak memiliki kekuatan menggunakan instrumen harga untuk menarik nasabah, karena berhadapan dengan kondisi ketatnya kualitas persaingan yang ditunjukkan dengan besarnya beban promosi, dan risiko kesehatan finansial. Secara kuantitas, bank mengalami penurunan tetapi secara kualitas persaingan mengalami peningkatan. Masing-masing bank melakukan peningkatan kualitas pelayanan (service quality) melalui peningkatan jumlah kantor bank seperti; jumlah kantor cabang dan cabang pembantu, serta kantor kas yang dimiliki masing-masing bank. Total jumlah kantor bank umum meningkat sebesar 8.623 kantor atau sebesar 3 89% dari tahun 2007 sebanyak 9.680 kantor meningkat menjadi 18.303 kantor pada tahun 2013 (Otoritas Jasa Keuangan, 2013) (data lebih lengkap ada pada Lampiran 1). Selain peningkatan jumlah kantor, terjadi pula peningkatan keterlibatan jumlah tenaga kerja, seperti yang terjadi pada tiga besar Bank umum yang paling agresif untuk peningkatan jumlah tenaga kerja dari tahun 2008 sampai dengan 2012 yaitu; BRI sebesar 35.060 tenaga kerja, Bank Mandiri sebesar 8.254, dan BNI sebesar 6.721 (Bursa Efek Indonesia, 2013) (Lampiran 2). Pelayanan bank tidak lagi terkonsentrasi di ibu kota kabupaten, melainkan menyebar hingga ke wilayah kecamatan dan desa, ditambah dengan berbagai program pemasaran yang sangat inovatif dan agresif. Perluasan kantor tidak hanya sebatas fisik tetapi juga non-fisik seperti internet banking atau e-banking, memperbanyak mesin ATM, serta mengadakan kerja sama dengan BPR, perusahaan pembiayaan, Kantor Pos, dan Koperasi Simpan Pinjam. Seperti BPD Bali bekerja sama dengan LPD, Danamon dengan DSP, Bank Mandiri di Bali bekerja sama dengan Bank Sinar, begitu pula Bank Bukopin dengan Swa Mitra. Hampir seluruh strategi ekspansi tersebut untuk meningkatkan kinerja pelayanan agar dapat memberikan pelayanan yang memuaskan selanjutnya diharapkan untuk dapat menarik dan mempertahankan nasabah, karena ketidakpuasan dianggap sebagai alasan utama mengapa pelanggan beralih bank (Manrai & Manrai, 2007). Kajian terhadap perilaku konsumen bank di Indonesia tahun 2014 menunjukkan, walaupun 50% nasabah menggunakan dua bank, tetapi 90% nasabah memilih bank utamanya untuk menyimpan dana terbesarnya (Mars, 2014). Fenomena kepemilikan 4 jumlah rekening dan penetapan bank sebagai bank utama oleh masyarakat konsumen merupakan tantangan menarik bagi bank untuk merebut pelanggan agar memperoleh posisi utama di pikiran pelanggan. Kualitas layanan dan kepuasan, serta daya tarik promosi seperti hadiah-hadiah masih dianggap belum cukup, karena seluruh bank telah melakukan dengan cara yang sangat reaktif sehingga menjadi bersifat generik. Diperlukan faktor lain di luar kepuasan dan kualitas pelayanan untuk dapat memposisikan diri menjadi bank utama. Jauh sebelumnya, Reichheld (1994) telah menyatakan kerberhasilan strategi manajemen yang berbasis loyalitas pelanggan harus menyadari pelanggan yang puas tidak selalu setia. Hasil kajian menunjukkan 85%-90% pelanggan yang puas, hanya 40% pelanggan yang melakukan pembelian ulang (Reichheld,1993). Hubungan antara kepuasan pelanggan dengan perilaku pembelian ulang mulai dipertanyakan (Jones & Sasser, 1995; Stewart, 1997). Hanya dengan cara meningkatkan kepuasan pelanggan tidak akan selalu menghasilkan loyalitas pelanggan yang lebih besar (Dagger, dan David, 2012). Terdapat anggapan bahwa, kepuasan belum cukup sepenuhnya untuk menciptakan loyalitas pelanggan (Story dan Hess, 2006; Pleshco dan Baqir, 2008), terutama ketika pelanggan berhadapan dengan risiko ketidakpastian (Ho et al., 2011). Para ahli menyatakan kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang tidak linier (Agustin dan Singh, 2005; Fullerton dan Taylor, 2002; Mittal dan Kamakura, 2001; Jaiswal dan Niraj, 2011). Loyalitas pelanggan selalu menjadi pertimbangan penting dalam kegiatan pemasaran (Taylor, 2012) tetapi mengandung konsep yang sangat rumit (Maignan 5 dan Forrel, 2001; Sureschcandar et al., 2002). Walaupun rumit, harus tetap diperebutkan karena untuk memperoleh pelanggan baru diperlukan biaya lima kali lebih banyak dibandingkan dengan biaya mempertahankan pelanggan yang telah ada (Peters, 1987; Mittal dan Lassar, 1998). Loyalitas memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja keuangan bank (Keisidou et al., 2013). Industri perbankan di Indonesia membuktikan, loyalitas nasabah mampu mengakibatkan tingkat kerugian pada kredit menjadi lebih rendah (Prihartono et al., 2012). Dampak pentingnya loyalitas, membuat pengembangan model loyalitas dan niat beli pelanggan tidak pernah stagnasi. Loyalitas pelanggan menjadi subjek penelitian tak terhitung jumlahnya selama beberapa dekade (Gonçalves dan Sampaio, 2012). Modelnya dibangun dari berbagai perspektif (misalnya; Lee dan Green, 1991; Tang et al., 2011; Chintagunta dan Lee, 2012; Wang et al., 2012) dan sampai saat ini terus mengalami penyempurnaan dengan mencari dan menambahkan variabel baru agar memiliki kemampuan yang begitu kuat untuk menjelaskannya (Kumar et al., 2013). Kunci penentu loyalitas pelanggan selain kepuasan pelanggan, adalah kualitas pelayanan (Cronin dan Taylor, 1994; Zeithaml et al., 1996; Reichheld dan Sasser, 1990). Tahun 1991 berbagai studi mulai memandang perlu untuk memasukan service value (Bolton dan Drew,1991; Fornell et al., 1996; Patterson dan Spreng 1997; Andreassen, 1998; Chenet et al.,1998; Ennew dan Binks,1999; Zithaml, 1988; Gale, 1994; Chang dan Wildt, 1994; Hartline dan Jones, 1996; Wakefield dan Barnes, 1996; Sirohi et al., 1998; Sweeney et al., 1999; McDougall dan Terrence, 2000). Secara relatif terdapat 4 (empat) variabel penting diadopsi untuk mempengaruhi 6 perilaku pelanggan yaitu; satisfaction, sacrifice, service quality, dan service value (Lampiran 10) yang terjadi sebelum tahun 2000 (Cronin et al., 2000). Era tahun 2000 terjadi perkembangan untuk mempertimbangkan keterlibatan tanggung jawab perusahaan secara sosial yang dikenal dengan istilah corporate social responsbility atau disingkat dengan CSR, walaupun konsepnya telah digulirkan oleh Bowen tahun 1950-an. Perhatian pada CSR bisa disebabkan karena, service value, service quality, dan kepuasan pelanggan (customers satisfaction) dianggap belum cukup untuk mewujudkan loyalitas pelanggan. Hasil kajian menunjukkan, 70% konsumen yang disurvei di Eropa menyatakan bahwa CSR penting bagi mereka untuk memilih produk atau layanan (Valuing the Consumer, 2001), sehingga era tahun 2000-an CSR merupakan faktor baru yang teridentifikasi secara positif mempengaruhi loyalitas pelanggan (Berens et al., 2007; Mohr et al., 2001; Pirch et al., 2007; Salmones et al., 2005; Sen dan Bhattacharya, 2001). Sementara, pada periode sebelumnya menunjukkan pemahaman tentang dampak CSR terhadap kinerja perusahaan masih tergolong terbatas (Luo dan Bhattacharya, 2006), secara murni hanya dipandang sebatas kedermawanan saja. Perkembangan selanjutnya tentang keterlibatan CSR semakin dilirik kemampuannya sebagai instrumen keunggulan bersaing melalui kegiatan investasi secara sosial untuk konteks kompetisi (Porter dan Kramer, 2002, Fombrun dan Shanley, 1990; Sen dan Bhattacharya, 2001; Turban dan Greening, 1997). Popularitasnya tidak hanya menyebar di negara maju, juga menjadi ramai di negaranegara berkembang (Carroll dan Shabana, 2010). Literatur tentang CSR mengalami 7 perberkembangan yang mencakup beberapa disiplin ilmu seperti; manajemen, pemasaran, ekonomi, keuangan, dan akuntansi (Chatjuthamard-Kitsabunnarat et al., 2014). Antusiasme untuk penelitian CSR juga semakin tinggi (Maignan dan Ferrell, 2004), termasuk penelitian tentang reaksi konsumen terhadap CSR (misalnya, Sen dan Bhattacharya 2001; Lichtenstein et al., 2004; Ellen et al., 2006; Becker-Olsen et al., 2006; Vlachos et al., 2009). Perilaku pembelian konsumen semakin mempertimbangkan fungsi sosial perusahaan (Forte dan Lamont, 1988). Perkembangan ini memberikan dampak yang searah dengan peningkatan kesadaran tentang pentingnya peran CSR untuk dunia bisnis dan pengembangan ilmu pengetahuan. Walaupun demikian, masih terdapat keterbatasan tentang pemahaman efek CSR terhadap kinerja perusahaan (Lou dan Bhattacharya, 2006), padahal hampir 50 % perusahaan besar memiliki program yang terkait dengan masalah sosial (Cone Inc., 1999). Keterbatasan pemahaman ini, bahkan bersamaan dengan perkembangan perilaku konsumen yang semakin memandang penting untuk melibatkan sisi tanggung jawab sosial perusahaan sebagai bahan pertimbangannya memperkuat evaluasi untuk keputusan pembelian dan niat beli mereka (Wangner et al., 2009; Assiouras et. al., 2013). Fenomena ini mendorong berbagai pihak melakukan kajian yang lebih intensif untuk melahirkan penjelasan yang lebih meyakinkan tentang hubungan CSR terhadap perilaku pelanggan. Hasil beberapa kajian empiris terdahulu telah membuktikan hubungan signifikan antara CSR dengan perilaku pelanggan terutama loyalitas pelanggan yang 8 dilakukan di berbagai negara pada berbagai perusahaan (Asher, 1991; Smith dan Alcorn, 1991; Brown dan Dacin, 1997; Sen dan Bhattacharya 2001; Mohr dan Webb, 2005; Pickett-Baker dan Ozaki, 2008; Marquina 2010; Chomvilailuk dan Butcher, 2010; Choi dan La, 2013; Roig et al., 2013; Assiouras et al., 2013; Chung et al., 2015; Tingchi Liu et al., 2014; Huang et al.,2014; Mirabi et al.,2014). Kajian lainnya menemukan tidak signifikan (Bravo et al., 2009; Mandhachitara dan Poolthong, 2011). Sebagian besar kajian di negara Barat ditemukan siginifikan, dan kajian di negara Asia yang memiliki orientasi budaya kolektivisme ditemukan tidak signifikan (data lebih lengkap pemetaan hubungan CSR-loyalitas pelanggan pada Lampiran 6). Berdasarkan perbedaan hasil temuan hubungan CSR dengan loyalitas pelanggan tersebut, menjadi awal yang menarik untuk menggali informasi lebih lanjut dengan cara mengidentifikasi faktor -faktor yang menjadi penyebab hubungan CSR dengan loyalitas ditemukan tidak signifikan atau signifikan tetapi kurang optimal (atau berkontribusi kecil) untuk menjelaskan pengaruhnya terhadap membangun loyalitas pelanggan. Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik komponen CSR yang dilibatkan untuk penelitian CSR di negara yang memiliki budaya konteks tinggi di Asia. Hasil pengidentifikasian menunjukkan tidak jauh menyimpang dari pendapat ahli, masih terdapat keterbatasan hasil penelitian CSR yang dilakukan pada budaya konteks tinggi, dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di negaranegara Barat yang relatif bersifat konteks rendah (Salmones et al., 2005). Keterbatasan tersebut juga termasuk untuk melibatkan nilai budaya religius sebagai komponen CSR sehingga menyebabkan terjadinya ketidakseragaman bentuk 9 hubungan CSR dengan loyalitas pelanggan (studi keterbatasan keterlibatan nilai budaya religius sebagai komponen CSR dapat dilihat data pada Lampiran: 4, 5, dan 6). Chomvilailuk dan Butcher (2013), memiliki anggapan yang hampir sama tentang ketidakseragaman respon pelanggan terhadap CSR dapat diakibatkan oleh perbedaan budaya dan negara, hal ini jarang mendapat perhatian untuk diteliti lebih lanjut. Salah satu studi yang menghubungkan religiusitas dengan dukungan konsumen pada CSR dilakukan oleh Ramasamy et al. (2010) tetapi kajian ini tidak mengukur dampaknya terhadap perilaku konsumen dalam menentukan keputusan membeli. Demikian pula kajian empiris Duijn Schouten et al. (2014), Jamalia dan Sdiani (2013), dan Chatjuthamard-Kitsabunnarat et al. (2014) mengkaitkan antara religiusitas dengan CSR tetapi bukan dari sudut pandang konsumen, melainkan pada perspektif pengambil keputusan bisnis. Hal ini menujukkan, daya tarik para peneliti untuk melibatkan dampak CSR berbasis religius terhadap perilaku pelanggan sangat rendah. Agama cenderung dianggap sebagai suatu yang tabu untuk dilibatkan pada penyelidikan di wilayah pemasaran (Hirschman, 1983) padahal sebagian besar orang di planet ini adalah orang-orang religius atau beragama (Kansal dan Singh, 2012). Kecendrungan ini juga terjadi pada pengambil keputusan bisnis yaitu kurangnya minat mereka untuk mempertimbangkan nilai-nilai religius yang terbina pada masyarakat lokal sebagai bentuk investasi CSR. McGuire et al. (2012) membuktikan kecendrungan tersebut melalui temuannya yang menunjukkan hubungan negatif untuk menyertakan nilai-nilai religius masyarakat lokal yang ada di sekitar 10 perusahaan terhadap keputusan investasi pada tanggung jawab sosial perusahaan. Temuan tersebut memberikan sinyal bahwa pengambil keputusan belum mampu mengakomodasi kebutuhan pasar yang ternyata juga dibentuk oleh ciri-ciri religius. Harus disadari, tingkat keyakinan orang terhadap agama telah terbukti mempengaruhi hubungan antara perilaku budaya dan perilaku konsumen (Lindridge, 2005), sehingga agama sebagai elemen yang mempengaruhi budaya memiliki sifat penting pada pasar, semestinya perlu diakui dan diteliti di bidang pemasaran (Mittelstaedt, 2002). Sebagian besar model CSR bersifat deskriptif dan didasarkan pada pengalaman negara-negara barat (Quazi, dan O'Brien, 2000) dibandingkan dengan model CSR negara-negara budaya Timur. Hal ini berarti, penelitian CSR dilihat dari faktor spesifik tertentu yang membentuk budaya dipandang penting untuk dilakukan, mengingat semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa budaya yang berbeda di berbagai negara menyebabkan pemahaman terhadap CSR juga menjadi berbeda (Gao, 2011; Jamali dan Mirshak, 2007:244). CSR memiliki arti yang berbeda di negara yang berbeda (Garriga dan Mele, 2004), sehingga keberhasilan implementasi CSR sangat bersifat situasional, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, maupun kelembagaan (Berniak-Wozny, 2010). Perbedaan antara pasar negara berkembang dan ekonomi negara maju, dalam hal nilai-nilai budaya, sosial, dan norma-norma telah mempengaruhi prioritas yang membentuk landasan filsafat CSR (Jamali dan Mirshak, 2007). Berdasarkan alasan tersebut, sangat mustahil untuk menstandarisasi dimensi CSR kemudian diberlakukan di seluruh dunia. Harus ada upaya kreatif 11 untuk menentukan bagaimana implementasi CSR dapat beradaptasi dengan efektif di masing-masing negara yang memiliki karakteristik budaya yang berbeda. Agama merupakan salah satu dimensi penting dari budaya (Barro & McCleary, 2003). Indonesia merupakan negara yang memiliki ciri budaya kolektivisme atau konteks tinggi, sangat berbeda dengan negara Barat yang individualisme atau berkonteks rendah. Nilai-nilai budaya Indonesia sangat religius. dari Sembilan sepuluh orang di kuat dipengaruhi nilai Indonesia beragama, sehingga mempengaruhi kehidupan politik, budaya, dan ekonomi (Pew Research, 2008) sehingga Indonesia disebut sebagai negara agama karena tingginya jumlah orang yang percaya pada Tuhan (Suryadinata et al., 2003; Hermawan, 2013). Karakteristik Indonesia yang demikian, memerlukan model CSR yang mempertimbangkan untuk mengadopsi sifat budaya lokal yang dilandasi dengan nilai-nilai religius. Pengungkapan program CSR di Indonesia mengalami peningkatan semenjak ditetapkannya Undang-Undang No 40 tahun 2007 (Bursa Efek Indonesia, 20072012), tetapi jumlahnya masih relatif rendah, dan sebagian besar pada program tenaga kerja (Mirfazli, 2008). Khususnya tentang inisiatif CSR oleh sektor perbankan masih didominasi oleh Bank pemerintah yaitu Bank Mandiri, BNI, dan BRI yang menunjukkan angka yang meningkat (Lampiran 3). Anggaran CSR yang semakin berkembang jumlahnya di Indonesia dari tahun ke tahun, menunjukkan pemahaman beberapa perusahaan bahwa CSR bukan hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan peraturan tetapi karena CSR dipandang penting untuk dilakukan. Fenomena ini mendukung hasil kajian empiris yang melaporkan bahwa, perusahaan-perusahaan 12 di Indonesia yang melakukan kegiatan CSR secara sukarela mendapatkan return yang lebih positif dibandingkan dengan perusahaan yang melakukan CSR hanya untuk memenuhi peraturan pemerintah saja (Hendarto dan Purwanto, 2012). Temuan tersebut memperkuat temuan empiris sebelumnya khususnya pada sektor perbankan internasional yang menyatakan, terdapat hubungan positif antara kinerja CSR dan kinerja keuangan bank (Gadioux, 2011). Inisiatif CSR perbankan di Indonesia ditunjukan dengan berbagai variasi. Berdasarkan laporan tahunan tentang CSR oleh 10 bank papan atas di Indonesia, sebagian besar bank mengadopsi program CSR berbasis sosial dengan memprioritaskan bidang pendidikan, menyusul kemudian kegiatan ekonomi terutama membantu ekonomi rakyat melalui sektor produktif seperti pengembangan microfinance, setelah itu orientasi pada pelanggan, dan program kemanusiaan. Program berbasis religius dan lingkungan hidup masih tergolong terbatas dibandingkan dengan program pendidikan. Pemetaan program CSR berdasarkan 10 bank nasional di Indonesia ke dalam dimensi Tri Hita Karana dapat dilihat pada Lampiran 8. Implementasi CSR di Bali tidak didasarkan pada Peraturan Daerah (Perda), karena Perda khusus tentang CSR sampai dengan April 2015 belum ditetapkan pemerintah daerah Bali, tetapi bukan berarti konsep bisnis yang bertanggung jawab secara sosial tidak tumbuh pada etika bisnis di Bali. Nilai-nilai yang terangkum pada konsep Budaya Tri Hita Karana, merupakan aplikasi dari nilai-nilai Hindu di Bali terbukti mapan sejak jaman dahulu dan sampai saat ini masih tetap menjadi kekuatan 13 penting pada budaya Bali hampir disegala dimensi termasuk cara pandang terhadap dunia bisnis. Budaya Bali di pengaruhi oleh nilai religius sudah menerima makna CSR sebagai bagian dari kehidupan bisnis. Salah satu yang membuktikan adalah adanya keyakinan yang sangat kuat terbina beberapa abad pada kehidupan masyarakat di Bali pada umumnya dan kaum pedagang pada khususnya terhadap Dewa yang mengatur kegiatan bisnis di Pura Melanting dan Rambut Sedana. Simbul yang disucikan tersebut menunjukkan kehidupan etika bisnis untuk bertanggung jawab secara sosial telah diakomodasi melalui kehidupan religius, demikian pula sebaliknya bahwa kehidupan religius telah memberikan warna penting untuk etika bisnis sejak jaman dahulu. Fenomena ini menunjukkan, makna CSR bukanlah suatu yang baru pada era moderen ini. Carroll (1999) menyatakan bahwa, seseorang dapat menemukan bukti bahwa konsep CSR telah terjadi berabad-abad yang silam, sedangkan era moderen dimulai pada tahun 1950-an. Pendapat Carroll (1999) ini merupakan pengakuan tentang makna CSR bukanlah suatu yang baru ketika memasuki era modern. CSR dapat terjadi jauh sebelum era moderen terjadi di negara dan daerah manapun termasuk Bali. Budaya yang berorientasi pada kolektivisme lebih menekankan pada hubungan harmoni dan kesesuaian (Triandis et al., 1990). Bali memiliki budaya berorientasi kolektivisme (Houston et al., 2012). Budaya kolektivisme masyarakat Bali sangat kuat dipengaruhi oleh filosofi harmoni Tri Hita Karana yang terdiri atas tiga dimensi harmoni yaitu; religius diakomodasi pada makna parahyangan, ekosistem masuk pada makna palemahan, dan sosial distilahkan dengan pawongan. Dua dimensi 14 terakhir yaitu ekosistem atau lingkungan hidup (palemahan) dan sosial (pawongan), sudah banyak teridentifikasi dilakukan pada berbagai kajian empiris yang membentuk CSR diberbagai negara, tetapi aspek religius (parahyangan) sangat jarang mendapat perhatian dalam etika bisnis negara Barat untuk diadopsi pada pengembangan dimensi CSR sebagai implementasi etika bisnis. Franks dan Spalding (2013) memberikan pernyataan yang sama bahwa, etika bisnis jarang dipasangkan dengan gagasan agama dalam pemikiran Barat Modern. Bahkan agama dan pengaruhnya telah lama dianggap sebagai hal yang tabu untuk penyelidikan di daerah pemasaran (Hirschman, 1983). Begitu pula Lantos (2002) menyebutkan, pada berbagai budaya, sebagian besar yang berkaitan dengan agama dianggap tidak relevan dan mungkin tidak pantas sebagai bagian dari lingkungan kerja, bahkan ditemukan ada upaya yang sengaja untuk mengecualikan ajaran agama untuk keputusan bisnis. Padahal menurut Lantos (2002), wawasan untuk melakukan bisnis dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial dapat diperoleh pada prinsip-prinsip agama. Bahasan ini melahirkan dugaan kinerja model CSR di negara yang memiliki ciri budaya konteks rendah (seperti negara-negara Barat), hanya mewakili dua karakter dimensi yaitu ekologi (hubungan manusia dengan alam) dan hubungan sosial (manusia dengan sesamanya), diduga belum dapat mengakomodasi secara optimal untuk karakteristik CSR konteks Negara di Asia khususnya Indonesia yang memiliki karakteristik budaya religius. Fenomena ini menunjukkan keterbatasan kajian untuk memperhitungkan religius dalam studi CSR. Pernyataan ini sebangun dengan pendapat Jamali dan Sdiani (2013) yang menyatakan sangat terbatas literatur yang 15 membahas tingkat religiusitas dalam kaitannya dengan CSR, padahal menurut Srisuphaolarn (2013), religiusitas merupakan anteseden penting yang harus dipertimbangkan dalam CSR. Berdasarkan fenomena ini mengusulkan, perlu dilakukan kajian tentang kontribusi model CSR yang dilengkapi dengan nilai religius (religious value) untuk memprediksi loyalitas pelanggan di Indonesia. Model CSR ini dikenal dengan model CSR berbasis budaya Tri Hita Karana. Masyarakat secara umum memiliki persepsi bahwa bisnis tidak menaruh terlalu banyak penekanan pada pertimbangan etis dalam operasi mereka (Alam, 1995), tetapi masyarakat konsumen sangat mengharapkan mereka dihargai melalui bisnis yang beretika. Konsumsi bukan hanya tentang fenomena ekonomi, tetapi juga tentang fenomena budaya etis (Ricky, 2007). Hal ini dibuktikan dengan adanya perilaku konsumen yang rela membayar lebih tinggi untuk produk yang beretika (Carvalho et al., 2010; Creyer dan Ross 1997; Trudel dan Cotte, 2009). Sikap pelanggan yang mendukung perusahaan yang demikian karena pelanggan berinteraksi dengan cara menangkap sinyal nilai-nilai terhantar dari perusahaan. Sebagian besar pelanggan memiliki kecenderungan untuk berinteraksi dengan nilai-nilai perusahaan yang dapat mereka identifikasi (Mirabi, 2014), termasuk nilai-nilai etik yang mereka tangkap melalui program tanggung jawab sosial (CSR). Pernyataan ini mengekspresikan makna, tanggung jawab sosial harus memiliki keselarasan untuk membangun persepsi pelanggan yang positif tentang kinerja etika bisnis perusahaan. CSR pada sektor perbankan ditemukan mendukung tindakan etika perusahaan baik dari perspektif internal maupun ekternal perusahaan, sehingga dianggap 16 memiliki kemampuan untuk memainkan peran penting dalam menciptakan loyalitas pelanggan berdasarkan nilai-nilai etika yang khas (Amine et al., 2013). Peranan etika tidak dapat diragukan sebagai salah satu faktor yang menentukan untuk menahan agar pelanggan tidak berpindah (Keaveney, 1995). Pelanggaran terhadap kode etik oleh salah satu pihak, baik oleh pembeli maupun penjual akan merusak hubungan dan menghasilkan pertukaran yang tidak produktif dan tidak efektif (Morgan dan Hunt, 1994). Berbagai pendapat dan temuan ini memberikan petunjuk untuk mendeteksi tingkat kemampuan model CSR berbasis Tri Hita Karana sebagai instrumen penting etika bisnis, diperlukan pengidentifikasian tentang tingkat kemampuannya untuk mendapat dukungan sikap pelanggan yang baik tentang merek perusahaan, untuk membangun loyalitas pelanggan. Berdasarkan alasan tersebut, sikap pelanggan tentang merek perusahaan (brand attitude) diposisikan sebagai mediasi hubungan CSR berbasis Tri Hita Karana dengan loyalitas pelanggan. Sampai saat ini belum ada kajian empiris dilakukan secara sequential exploratory tentang CSR berbasis budaya Tri Hita Karana dari perspektif pelanggan, serta dampaknya terhadap loyalitas pelanggan. Hasil kajian Perez et al. (2013) medeteksi pendekatan yang digunakan untuk menentukan dimensi CSR, penelusuran 102 artikel kajian empiris dan konsep tentang CSR (Lampiran 5), serta 37 referensi yang menawarkan definisi CSR pada jurnal international oleh Dahlsrud (2008) (Lampiran 4), menunjukkan adanya keterbatasan untuk melibatkan nilai religius (religious values) untuk dimensi CSR. Oleh sebab itu, penelitian ini diharapkan 17 dapat mengisi kesenjangan tersebut, dengan cara mengeksplorasi faktor-faktor yang membentuk CSR berbasis religius, sosial, dan ekosistem. Keunikan lainnya tentang kajian ini menawarkan CSR menjadi tiga konstruk yang berbasis Tri Hita Karana, ditunjukan dengan cara memecah CSR menjadi tiga bentuk sesuai dengan sifat dimensi Tri Hita Karana yaitu; CSR berbasis religius, CSR ekosistem, dan CSR sosial. Dua alasan penting mengapa CSR tidak diagregat seperti dilakukan pada sebagian besar studi CSR sebelumnya (Salmones et al., 2005; Hansen et al., 2011; Mirabi, 2014). Pertama, persepsi konsumen tentang CSR (consumer perceived corporate social responsibilty) bersifat disaggregate karena sebagian besar konsumen tidak dapat memahami sepenuhnya tentang konsep menyeluruh dari CSR dan konsumen membedakan berbagai bidang domain CSR dengan cara melampirkan tingkat pentingnya terhadap masing-masing domain CSR tersebut (Öberseder et al., 2014). Kedua, metode disaggregate, memberikan kemudahan untuk melihat hubungan secara spesifik masing-masing konstruk sebagai komponen CSR terhadap loyalitas pelanggan, khususnya tentang konteks CSR berbasis religius, sosial, dan ekosistem. Berdasarkan perspektif bank, hampir seluruh bank di Indonesia melakukan inisiatif CSR berbasis sosial khususnya dalam bidang pendidikan (Lampiran 8). Hanya 4 Bank dari 10 Bank devisa telah menyertakan CSR berbasis religius. Melalui model CSR yang disaggregate ini akan dapat melihat apakah CSR berbasis sosial, lebih dominan kemampuannya untuk berkontribusi terhadap loyalitas pelanggan dibanding dengan CSR ekosistem dan religius. 18 Pertimbangan penting memilih sektor perbankan untuk kajian ini, karena hubungan CSR dengan loyalitas pada sektor perbankan ditemukan tidak signifikan (Mandhachitara dan Poolthong, 2011). Jikapun signifikan tetapi sangat kecil kemampuannya untuk menjelaskan pengaruhnya terhadap loyalitas pelanggan (Jose et al., 2012; Mirabi et al., 2014; Mandhachitara dan Poolthong, 2011), padahal persepsi nasabah terhadap CSR menunjukkan reaksi yang positif (Dusuki dan Dar, 2005; Lemke, 1987; Pomering dan Dolnicar, 2006). Pertimbangan lainnya karena industri perbankan termasuk memiliki karakteristik persaingan yang sangat ketat dan sifat loyalitas pelanggan sangat dinamis. Pertimbangan lebih lanjut, sektor perbankan memiliki manfaat yang sangat strategis untuk pembangunan berkelanjutan, melalui kebijakan produknya yang disalurkan pada kegiatan produktif di negara sedang berkembang. Oleh sebab itu, Bank Dunia mengerahkan meningkatkan tekanan pada bank untuk melaksanakan praktik CSR, karena negara-negara berkembang umumnya tergantung pada bantuan dan pinjaman luar negeri, lebih-lebih semenjak meluasnya kemiskinan, pelanggaran HAM, korupsi, ketidakadilan dan eksploitasi sosial, sehingga CSR merupakan pertimbangan penting kebijakan bank (Dorasamy, 2013). Pemilihan Bali sebagai pusat lokasi penelitian, karena Bali memiliki ciri penting yaitu budaya Tri Hita Karana yang mengakomodsi tiga bentuk dimensi harmoni kehidupan yaitu; religius sangat erat dengan hubungan manusia dengan Tuhan (dalam budaya Tri Hita Karana berkaitan dengan parahyangan), sosial (hubungan antar sesama manusia atau pawongan), dan ekosistem (hubungan manusia dengan alam atau palemahan), sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan model CSR pada kajian 19 ini. Ketiga bentuk dimensi budaya ini diadopsi sebagai basis CSR yang diharapkan mampu menyempurnakan kontruksi model CSR sebelumnya, yang menunjukkan hasil kesenjangan hubungan CSR dengan loyalitas pelanggan. Meskipun para peneliti telah memperdebatkan keuntungan dan kerugian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam pemasaran pada umumnya dan perbankan pada khususnya (Jose et al., 2012), serta berbagai penelitian sebelumnya telah memberikan wawasan penting tentang dimensi CSR, sehingga penelitian lebih lanjut masih perlu dikembangkan. Hal ini dilakukan untuk dapat menemukan gambaran yang lebih lengkap tentang peranan CSR dalam etika bisnis untuk membentuk loyalitas pelanggan, khususnya di negara Asia yang memiliki budaya konteks tinggi. Kajian ini menawarkan pengembangan untuk melakukan rekonstruksi terhadap dua konstruk penting yaitu; pertama konstruk CSR yang akan diimplementasikan di Asia disesuaikan dengan iklim Asia, khususnya untuk Bali, berdasarkan atas karakteristik budaya lokal masyarakat Bali. Nicolopouou (2011) menyebutkan dalam kasus tertentu, CSR dapat dilakukan melalui penerapan program yang bersifat global pada konteks yang bersifat lokal melalui partisipasi aktif dan potensi untuk beradaptasi dari konteks aslinya untuk kondisi lokal dan kekhususannya. Memanfaatkan konteks budaya lokal dapat mendukung dan kemajuan pelaksanaan CSR (Perry, 2012). Kedua, menawarkan untuk mengukur kontribusi model CSR berbasis Tri Hita Karana terhadap sikap pelanggan tentang merek perusahaan yang dilakukan sektor perbankan. 20 Studi pengembangan ini bertujuan melahirkan temuan model CSR berbasis Tri Hita Karana yang dapat dibuktikan atau berkontribusi sebagai penjelas terbentuknya sikap pelanggan pada perusahaan untuk membentuk loyalitas. Sumbangan hasil pengembangan model CSR ini dipandang penting, karena masih terbatas perhatian kajian etika bisnis dan CSR ditinjau dari perspektif konsumen dibandingkan dengan perspektif perusahaan (Mohr et al., 2001; Sen dan Bhattacharya, 2001), terutama berkaitan dengan konteks budaya lokal. Selain tujuan tersebut, hasil kajian ini diharapkan dapat memenuhi keinginan melibatkan karakteristik budaya Indonesia, terutama Bali pada khususnya sebagai pengembangan dimensi CSR yang mempertimbangkan potensi lokal. Hal ini sebangun dengan harapan Wang dan Juslin (2009) tentang implementasi CSR di Asia, bahwa ide menggabungkan konteks budaya ke dalam konsep CSR dapat berkontribusi untuk kepentingan studi CSR di masa depan dan implementasi dalam kegiatan bisnis, sehingga dapat membantu perusahaan-perusahaan untuk mengadopsi CSR melalui kreativitas dan inisiatifnya sendiri. Berdasarkan pemaparan pada latar belakang melahirkan kebutuhan untuk mengembangkan model CSR yang berbasis pada budaya Tri Hita Karana. Oleh sebab itu, model CSR yang dibangun pada kajian ini dikenal dengan model CSR berbasis Tri Hita Karana (disingkat dengan CSR-THK), kemudian diuji kemampuannya untuk membangun dukungan sikap pelanggan sehingga dapat ikut membentuk loyalitas pelanggan. 21 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Masalah penelitian yang teridentifikasi dari fenomena dan kajian terdahulu yang dipaparkan pada latar belakang adalah bagaimanakah bentuk model CSR berbasis Tri Hita Karana yang dapat dibuktikan vailiditas dan reliabilitasnya terhadap sikap pelanggan tentang merek perusahaan (brand attitude) untuk membangun loyalitas. Berdasarkan bentuk masalah penelitian tersebut, maka terdapat dua bentuk pendekatan untuk menjawab masalah penelitian yang terumuskan yaitu; rumusan masalah (1) dan (2) berkaitan dengan bentuk CSR Tri Hita Karana yang digali dengan pendekatan kualitatif, sedangkan rumusan (3) sampai dengan (9) memerlukan pendekatan kuantitatif untuk menjelaskan apakah CSR Tri Hita Karana dapat dibuktikan mampu membangun sikap yang mendukung merek dan selanjutnya melahirkan loyalitas pelanggan. Seluruh rumusan masalah penelitian secara spesifik dijabarkan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah bentuk CSR berbasis Tri Hita Karana? 2) Bagaimanakah nilai religius dapat diadopsi sebagai CSR berbasis Tri Hita Karana? 3) Apakah terdapat pengaruh dan bagaimana pengaruh CSR berbasis parahyangan terhadap loyalitas nasabah? 4) Apakah terdapat pengaruh dan bagaimana pengaruh CSR berbasis pawongan terhadap loyalitas nasabah? 5) Apakah terdapat pengaruh dan bagaimana pengaruh CSR berbasis palemahan terhadap loyalitas nasabah? 22 6) Apakah terdapat pengaruh dan bagaimana pengaruh CSR berbasis parahyangan terhadap sikap nasabah tentang merek bank? 7) Apakah terdapat pengaruh dan bagaimana pengaruh CSR berbasis pawongan terhadap sikap nasabah tentang merek bank? 8) Apakah terdapat pengaruh dan bagaimana pengaruh CSR berbasis palemahan terhadap sikap nasabah tentang merek (brand atittude) bank? 9) Apakah terdapat pengaruh dan bagaimana pengaruh sikap nasabah tentang merek bank (brand atittude) terhadap loyalitas nasabah? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah disebutkan, maka dapat dijabarkan beberapa tujuan untuk dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk menemukan model CSR berbasis Tri Hita Karana 2) Untuk menemukan nilai religius dapat dipakai sebagai CSR berbasis Tri Hita Karana 3) Untuk membuktikan dan menjelaskan pengaruh CSR berbasis parahyangan terhadap loyalitas nasabah. 4) Untuk membuktikan dan menjelaskan pengaruh CSR yang berbasis pawongan terhadap loyalitas nasabah. 5) Untuk membuktikan dan menjelaskan pengaruh CSR berbasis palemahan terhadap loyalitas nasabah. 23 6) Untuk membuktikan dan menjelaskan pengaruh CSR berbasis parahyangan terhadap sikap nasabah tentang merek bank. 7) Untuk membuktikan dan menjelaskan pengaruh CSR berbasis pawongan terhadap sikap nasabah tentang merek bank. 8) Untuk membuktikan dan menjelaskan pengaruh CSR berbasis palemahan terhadap sikap nasabah tentang merek bank. 9) Untuk membuktikan dan menjelaskan pengaruh sikap nasabah tentang merek bank terhadap loyalitas nasabah. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Temuan dan kajian dalam penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat secara akademik untuk pengembangan ilmu pengetahuan, seni dan teknologi, khususnya untuk bidang pemasaran yang berkaitan dengan tangung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) di Provinsi Bali. 2) Temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat membantu pengambil keputusan dan kebijakan baik di tingkat perusahaan atau pemerintah yang berhubungan dengan kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan di Provinsi Bali. 3) Tindak lanjut dari studi ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk melakukan pengembangan studi yang lebih komprehensif berkaitan dengan pengembangan model CSR.