Karakteristik Morfologi Dasar Laut dan Hubungannya dengan

advertisement
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2017 2(2): 11–20
Karakteristik Morfologi Dasar Laut dan Hubungannya dengan
Ketebalan Sedimen dan Kecepatan Arus
di Selat Flores, Selat Lamakera, Selat Boling, dan Selat Alor
Characteristics of Sea Bottom Morphology and Their Relationships with Sediment Thickness
and Current Speed in the Straits of Flores, Lamakera, Boling, and Alor
Muhammad Hasanudin
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
Email: [email protected]
Submitted 31 May 2016. Reviewed 13 February 2017. Accepted 10 April 2017.
Abstrak
Morfologi dasar laut suatu selat dapat memengaruhi deposit sedimen dan kecepatan arus di selat
tersebut. Selat Flores, Selat Lamakera, Selat Boling, dan Selat Alor menghubungkan Laut Flores dan Laut
Sawu di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi
dasar laut dan hubungannya dengan ketebalan sedimen dan kecepatan arus di selat-selat tersebut. Single
Beam Echosounder dan SubBottom Profiler digunakan untuk mengukur kedalaman perairan dan lapisan
bawah permukaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar laut Selat Flores berbentuk cekungan pada
kedalaman sekitar 250 m, sedangkan dasar laut pada sambungan antara Selat Boling, Selat Lamakera, dan
Selat Alor berupa punggungan yang mengarah ke Laut Flores dan Laut Sawu dengan kedalaman hingga
3.000 m. Ketebalan endapan sedimen di Selat Flores mencapai 50 m, sedangkan di Selat Boling, Selat
Lamakera, dan Selat Alor endapan sedimen tidak tampak. Di Selat Flores yang berciri selat sempit,
kecepatan arus berkisar dari 0,3 hingga 3,8 m/s. Gambaran kondisi bawah permukaan di selat-selat ini dapat
digunakan untuk navigasi pelayaran bagi kapal-kapal yang akan melintasi selat-selat tersebut, khususnya
kapal yang lebih dari 2.000 ton. Morfologi selat yang sempit mengakibatkan massa air di daerah ini memiliki
kecepatan arus yang besar, sehingga proses sedimentasi hanya terjadi di Selat Flores yang dasar lautnya
berbentuk cekungan.
Kata kunci: morfologi dasar laut, ketebalan sedimen, kecepatan arus, Selat Flores, Selat Lamakera, Selat
Boling, Selat Alor.
Abstract
The morphology of the seabed of a strait may affect sedimentary deposits and current speeds in the
strait. The Straits of Flores, Lamakera, Boling, and Alor connect the Flores Sea and Savu Sea in East Nusa
Tenggara Province. This study aimed to determine the characteristics of seabed morphology and its relation
to sediment thickness and current speed in the straits. Single Beam Echosounder and SubBottom Profiler
were used to measure depth of waters and subsurface. The results showed that the seabed of the Flores Strait
was basin-shaped at a depth of about 250 m, while the seabed at the connections between the Straits of
11
Hasanudin
Boling, Lamakera, and Alor was a ridge leading to the Flores Sea and Savu Sea with depths up to 3,000 m.
The thickness of the sedimentary sediments in the Flores Strait reached 50 m, while in the Straits of Boling,
Lamakera, and Alor sedimentary deposits were not visible. In the Flores Strait which was characterized by
narrow strait, the current speed ranged from 0.3 to 3.8 m/s. The descriptions of subsurface conditions in these
straits can be used for navigation of ships that will cross the straits, especially vessels of more than 2,000
tons. The narrow strait morphology causes the mass of water in this region to have a high current speed.
Therefore, the sedimentation occurs only in the Flores Strait due to its basin-shaped seabed.
Keywords: sub-bottom profile, sediment thickness, current speed, Flores Strait, Lamakera Strait, Boling
Strait, Alor Strait.
Pendahuluan
Selat Flores, Selat Lamakera, Selat Boling,
dan Selat Alor adalah selat-selat sempit yang
menghubungkan Laut Flores dan Laut Sawu.
Selat-selat ini diketahui mempunyai kecepatan
arus yang tinggi (Anonim 2011). Selat Flores
merupakan perairan yang relatif tertutup dengan
mulut yang sempit, baik di bagian utara maupun
bagian selatan. Selat Boling dan Selat Lamakera
memiliki mulut yang sempit di bagian utara,
namun melebar ke arah selatan, sedangkan Selat
Alor relatif terbuka dengan mulut yang lebar, baik
di utara maupun selatan. Perbedaan bentuk selatselat tersebut berpengaruh pada morfologi dasar
lautnya, yang berimplikasi pada proses
sedimentasi dan kecepatan arus di perairan ini.
Naudts et al. (2006) menggunakan
Echosounder dan SubBottom Profiler di Laut
Hitam untuk mengetahui pengaruh morfologi
dasar laut pada proses sedimentasi, kondisi
struktur, dan perlapisan bawah permukaan dasar
laut. Hasil penelitian itu bermanfaat untuk
keselamatan pelayaran. Dalam kaitannya dengan
penelitian ini, manfaat yang bisa diambil,
khususnya di perairan Nusa Tenggara Timur
dengan bentuk selat relatif sempit, adalah dalam
pengaturan keluar-masuk kapal. Hasil penelitian
LPEM-FEUI (2010) menyatakan bahwa hanya
kapal barang dengan tonase di bawah 2.000 ton
yang diperbolehkan bersandar di pelabuhanpelabuhan NTT termasuk pelabuhan Larantuka,
kecuali pelabuhan Tenau di Kupang yang dapat
disandari kapal dengan tonase sampai 10.000 ton.
Topografi dasar laut memengaruhi sirkulasi
air laut melalui dua cara, yaitu mengarahkan
sirkulasi aliran air laut dan mencegah perairan
dalam untuk bercampur (Gille et al. 2004).
12
Morfologi dasar laut juga memengaruhi ketebalan
endapan sedimen suatu perairan (Tyllman 2004).
Morfologi dasar laut dengan bentuk cekungan
cenderung memiliki deposit sedimen lebih tebal
bila dibandingkan dengan dasar laut yang
memiliki bentuk datar atau miring.
Perairan Indonesia banyak memiliki aliran
arus laut dengan kecepatan yang tinggi akibat
melewati selat-selat sempit (Ramachandran 2015).
Sebagai contoh, aliran arus yang bergerak di selatselat Kepulauan Sunda Kecil memiliki kecepatan
0,2–3,8 m/s (Wahyono et al. 2012).
Pemetaan batimetri adalah metode yang
dilakukan untuk mengetahui kedalaman laut dan
morfologi dasar lautan, sedangkan pemetaan
subbottom profiler dilakukan untuk mengetahui
struktur bawah permukaan laut seperti ketebalan
sedimen (Hasanudin 2009). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui karakteristik Selat
Flores, Selat Lamakera, Selat Boling, dan Selat
Alor berdasarkan morfologi dasar laut dan kondisi
bawah permukaanya, serta ketebalan sedimen dan
kecepatan arus.
Metodologi
Penelitian mengenai morfologi dasar laut
dan kondisi bawah permukaan laut merupakan
salah satu aspek penelitian yang dilakukan pada
Ekspedisi Lamalera 2011. Ekspedisi Lamalera
dilakukan di perairan Nusa Tenggara Timur, yaitu
di sekitar Pulau Flores, Pulau Adonara, Pulau
Solor, Pulau Lembata, dan Pulau Pantar (Gambar
1). Penelitian ini dilaksanakan pada 20–30 Juli
2011.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2017 2(2): 11–20
Gambar 1. Lokasi survei.
Figure 1. Survey location.
Gambar 2. Lintasan survei batimetri dan subbottom profiler.
Figure 2. Bathimetric and subbottom profiler survey tracks.
Dalam penelitian ini dilakukan akuisisi data
kedalaman dasar laut menggunakan Single beam
echosounder SIMRAD EA 500 dan data lapisan
bawah permukaan menggunakan subbottom
profiler dengan tipe Datasonics CHIRP II CAP
6600. Perekaman data batimetri dan subbottom
profile dilakukan secara simultan dan dilakukan di
sepanjang lintasan survei yang sama (Gambar 2).
Data kedalaman perairan direkam dengan
perangkat lunak Navipac
dan diproses
menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.
Selanjutnya,
untuk
memperoleh
diagram
morfologi
dasar
lautnya
data
diproses
menggunakan perangkat lunak CFLOOR. Data
kondisi bawah permukaan direkam dan diolah
dengan perangkat lunak CHIRP II. Untuk
memperoleh data ketebalan sedimen dilakukan
penarikan horison (lapisan batuan) pada
penampang
seismik
yang
interpretasinya
didasarkan pada kriteria Ringis (1986), yaitu
bahwa semua lapisan batuan memiliki kecepatan
rambat gelombang seismik 1.500 m/s (Hasanudin
2015).
Debit air yang melalui sebuah kanal secara
khusus dipengaruhi oleh luas area dan kecepatan
air yang melaluinya (Pizzi 2010), secara
matematis dinyatakan dengan persamaan berikut:
Q = A V .................................................(1)
dengan Q = Debit (m3/s)
A = Luas penampang (m2)
V = Kecepatan alir (m/s)
13
Hasanudin
Persamaan (1) bisa juga dinyatakan dalam
persamaan
V=
Q
A
...............................................(2)
Dari persamaan (2) terlihat bahwa
kecepatan alir berbanding terbalik dengan luas
penampang. Semakin besar luas penampang maka
kecepatan alir semakin kecil, demikian juga
sebaliknya.
Hasil
Morfologi Dasar Laut
Lintasan perekaman data batimetri dan
subbottom profile diperlihatkan dalam Gambar 2.
Selat Flores yang disebut juga dengan Selat
Larantuka adalah perairan yang berada di antara
Pulau Flores, Pulau Adonara, dan Pulau Solor
(Gambar 1). Karakteristik selat ini relatif tertutup
karena lebar mulutnya, baik yang di sebelah utara
maupun di selatan relatif sempit dengan lebar
mulut di sebelah utara sekitar 0,5 km dan sebelah
selatan sekitar 3 km. Morfologi dasar laut Selat
Flores dari profil kedalaman berorientasi arah
timur laut–barat daya (Gambar 3) dengan bentuk
cekungan. Dasar cekungan berada di tengah Selat
Flores, sedangkan daerah dangkal berada di
mulut-mulut selat. Kedalaman Selat Flores
berkisar 20–250 m dengan bagian terdalam
sebagai dasar cekungan selat ini diperlihatkan
dalam Gambar 3.
Selat Lamakera terletak di antara Pulau
Solor dan Pulau Lembata, sedangkan Selat Boling
terletak di antara Pulau Adonara dan Pulau
Lembata. Kedua selat ini berhubungan langsung.
Karakteristik kedua selat ini secara umum
merupakan selat sempit di bagian utara (3 km) dan
melebar di bagian selatan (11 km). Kedalaman
Selat Lamakera dan Selat Boling berkisar dari 50
hingga 2.200 m (Gambar 4). Kedalaman bagian
14
tengah selat, berkisar 50–250 m, sedangkan
kedalaman lebih dari 500 m berada di tengah
hingga ke selatan Selat Lamakera. Morfologi
sambungan dasar laut antara Selat Boling dan
Selat Lamakera berdasarkan profil kedalaman
mengarah ke timur laut–barat daya (Gambar 5)
dan berbentuk punggungan. Kedalaman dasar laut
di bagian tengah selat relatif dangkal, namun
kedalamannya ke arah Laut Flores dan Laut Sawu
meningkat. Profil dasar bagian selatan Selat
Lamakera yang menghadap langsung ke Laut
Sawu berbentuk lembah dan punggungan dengan
orientasi arah timur laut–barat daya.
Selat Alor secara umum memiliki
karakteristik mulut selat yang relatif lebih lebar,
baik ke arah utara maupun selatan dibandingkan
selat-selat lain dengan lebar mulut selat di sebelah
utara dan selatan masing-masing sekitar 13 km
dan 24 km.
Selat Alor memiliki kedalaman yang
berkisar dari 50 hingga 3.000 m (Gambar 6)
dengan kedalaman rata-rata 300 m. Kedalaman di
daerah-daerah dekat pulau bervariasi antara 50
dan 200 m, sedangkan di bagian utara, berkisar
antara 300 dan 1.000 m, dan di selatan berkisar
antara 300 dan 3.000 m.
Morfologi dasar laut Selat Alor berdasarkan
profil kedalaman berorientasi arah timur laut–
barat daya (Gambar 7) dengan bentuk
punggungan yang relatif dangkal di bagian tengah
selat, namun kedalamannya bertambah ke arah
Laut Flores dan Laut Sawu. Morfologi bagian
selatan selat yang menghadap Laut Sawu
membentuk jajaran lembah dan punggungan
dengan orientasi arah timur laut–barat daya,
utara–selatan
hingga
barat
laut–tenggara,
sedangkan bagian utara yang berhadapan dengan
Laut Flores juga memperlihatkan morfologi
berupa lembah dan punggungan dengan orientasi
arah utara–selatan.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2017 2(2): 11–20
Gambar 3. Profil kedalaman Selat Flores.
Figure 3. Depth profile of Flores Strait.
Gambar 4. Batimetri Selat Lamakera dan Selat Boling.
Figure 4. Bathimetry of Straits of Lamakera and Boling .
Gambar 5. Profil kedalaman Selat Lamakera dan Selat Boling.
Figure 5. Depth profile of Straits of Lamakera and Boling.
15
Hasanudin
Gambar 6. Batimetri Selat Alor.
Figure 6. Bathimetry of Alor Strait.
Gambar 7. Profil kedalaman Selat Alor.
Figure 7. Depth profile of Alor Strait.
Sedimen Bawah Permukaan
Kondisi bawah permukaan Selat Flores
diperlihatkan dalam Gambar 8. Penampang
subbottom profiler menunjukkan bahwa selat ini
memiliki endapan sedimen yang tebal. Garis biru
menunjukkan posisi permukaan dasar laut Selat
Flores, sedangkan garis merah merupakan posisi
lapisan dasar (basement) sebagai dasar lapisanlapisan sedimen yang berada di atasnya.
Ketebalan sedimen adalah jarak antara posisi
permukaan dasar laut (garis biru) dan posisi
lapisan dasar (garis merah). Berdasarkan
penghitungan dengan menggunakan kecepatan
suara 1.500 m/s mengikuti Ringis (1986), maka
ketebalan sedimen maksimum terukur di Selat
Flores adalah sekitar 50 m.
16
Kondisi bawah permukaan Selat Boling,
Selat Lamakera, dan Selat Alor ditampilkan dalam
Gambar 9 dan Gambar 10. Dari kedua gambar ini
terlihat bahwa lapisan sedimen di bawah
permukaan dasar laut tidak ditemukan, sehingga
permukaan dasar lautnya tampak berhimpitan
dengan basement. Keberadaan lapisan-lapisan
yang menyerupai sedimen (multiple) di bawah
basement bukanlah lapisan sedimen nyata. Hal ini
terjadi akibat gelombang suara yang dipancarkan
transduser dipantulkan dua kali. Dari kondisi
tersebut dapat dikatakan bahwa bawah permukaan
Selat Lamakera, Selat Boling, dan Selat Alor
tersusun oleh lapisan batuan keras.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2017 2(2): 11–20
Gambar 8. Profil bawah permukaan Selat Flores.
Figure 8. Subbottom profile of Flores Strait.
Gambar 9. Profil bawah permukaan Selat Boling–Selat Lamakera.
Figure 9. Subbottom profile of Straits of Boling–Lamakera.
17
Hasanudin
Gambar 10. Profil bawah permukaan Selat Alor.
Figure 10. Subbottom profile of Alor Strait.
Pembahasan
Pulau-pulau Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur merupakan hasil pelipatan pada
zaman Miosen, bersamaan dengan pembentukan
geanticline Jawa Selatan (Umbgrove 1949).
Bentuk topografi di Pulau Flores berupa bukit
bergelombang, berelief kasar hingga sangat kasar,
berorientasi arah relatif barat–timur seperti terlihat
di Pulau Flores bagian barat (Hartono 2010).
Kondisi dasar laut bergelombang ini sama dengan
yang ditemukan di Selat Flores, Selat Lamakera,
Selat Boling, dan Selat Alor, yaitu berupa
cekungan dan punggungan.
Selat Flores memiliki lapisan sedimen tebal
hingga mencapai sekitar 50 m. Hal ini terjadi
karena dasar laut Selat Flores berbentuk cekungan
atau lembah yang menyerupai kolam karena
bagian utara–selatan Selat Flores berupa celah
18
sempit dan dangkal. Dengan morfologi demikian,
material sedimen yang lebih berat akan langsung
terendapkan, sedangkan yang lebih ringan akan
diendapkan secara perlahan di daerah cekungan
atau lembah.
Morfologi dasar laut Selat Lamakera, Selat
Boling, dan Selat Alor memiliki bentuk hampir
serupa, yaitu berupa punggungan di bagian
tengah, sehingga perairan menjadi lebih dangkal,
yang kemudian kedalaman terus bertambah ke
arah timur laut dan barat daya. Hal tersebut
menyebabkan material sedimen yang terbawa oleh
arus tidak akan terendapkan di selat-selat ini
akibat faktor kemiringan dasar laut yang
berpengaruh pada gravitasi dan transportasi
material sedimen ke perairan lebih dalam di luar
selat. Kondisi serupa terlihat pula di perairan
Kendari (Hasanudin 2015) yang memiliki
morfologi cekungan atau lembah, dengan
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2017 2(2): 11–20
Tabel 1. Lebar mulut selat-selat di Kepulauan Sunda Kecil.
Table 1. Straits width in Lesser Sunda Islands.
No
1
2
3
4
Strait name
Larantuka (Flores)
Lamakera
Boling
Alor
Width at north (km)
0.5
11
3
13
Width at south (km)
3
9
5
24
Tabel 2. Kisaran kecepatan arus di selat-selat Kepulauan Sunda Kecil (Wahyono et al. 2012)
Table 2. Range of current speed in Lesser Sunda Islands (Wahyono et al. 2012)
No
1
2
3
4
Strait name
Larantuka (Flores)
Boling
Lamakera
Alor
Location
Between Flores and Adonara Islands
Between Adonara and Lembata Islands
Between Solor and Lembata Islands
Between Lembata and Pantar Islands
ketebalan sedimen yang lebih besar dibandingkan
lereng punggungan.
Hasil kajian Helfinalis et al. (2012)
menunjukkan
bahwa
kandungan
padatan
tersuspensi total (TSS) di Selat Flores relatif lebih
tinggi, yaitu berkisar 27,00–27,50 mg/l di
permukaan dan 25,75 mg/l di lapisan termoklin
dibandingkan dengan Selat Lamakera dan Selat
Boling yang berkisar 21,00–23,00 mg/l di
permukaan dan 23,50–26,00 mg/l di lapisan
termoklin, dan di Selat Alor yang hanya berkisar
9,75–22,00 mg/l di permukaan dan 17,75–22,75
mg/l di lapisan termoklin. Hal ini turut
mempercepat pasokan sedimen dan laju
sedimentasi yang mengakibatkan lapisan sedimen
di Selat Flores menjadi tebal, selain morfologi
dasarnya yang berbentuk cekungan dan mulut
selat yang relatif sempit dan dangkal (Gambar 3).
Morfologi dasar merupakan faktor terbesar
yang memengaruhi sirkulasi massa air (Gille et al.
2004). Terdapat banyak lokasi di Indonesia yang
memiliki aliran arus laut yang terkonsentrasi
akibat terhambat topografi; contohnya adalah selat
yang berada di antara pulau-pulau. Keberadaan
konsentrasi inilah yang menyebabkan sirkulasi
massa air di selat-selat yang sempit memiliki
kecepatan arus yang tinggi (Ramachandran 2015).
Lebar mulut selat berpengaruh pada
kecepatan arus laut rata-rata. Tabel 1
menunjukkan bahwa Selat Flores atau Selat
Larantuka memiliki lebar mulut selat tersempit,
yang disusul oleh Selat Boling, Selat Lamakera,
dan Selat Alor. Selat-selat sempit tersebut
mempunyai kecepatan arus yang kencang
Speed range (m/s)
0.3–3.8
0.3–3.6
0.3–3.2
0.3–3.2
(Anonim 2011). Berdasarkan Tabel 2 yang
menunjukkan kisaran kecepatan arus selat-selat di
Kepulauan Sunda Kecil, maka diketahui bahwa
Selat Flores memiliki kisaran kecepatan arus yang
paling tinggi, yaitu dari 0,3 hingga 3,8 m/s.
Kesimpulan
Morfologi dasar laut Selat Flores berupa
cekungan dengan sedimen cukup tebal, yaitu 50 m
dan memiliki kecepatan arus 0,3 hingga 3,8 m/s.
Selat Boling, Selat Lamakera, dan Selat Alor
memiliki
morfologi
dasar
laut
berupa
punggungan, sehingga endapan sedimen tidak
ditemukan dan kecepatan arusnya lebih rendah
dibandingkan Selat Flores. Gambaran kondisi
bawah permukaan di selat-selat ini dapat
digunakan untuk navigasi pelayaran bagi kapalkapal yang akan melintasi selat-selat tersebut
terutama kapal-kapal dengan tonase lebih dari
2.000 ton. Selain itu, berdasarkan kondisi
morfologi dasar laut yang berupa selat-selat
sempit, maka sirkulasi massa air di daerah ini
memiliki arus laut yang kuat. Di perairan Selat
Flores yang berupa cekungan, material sedimen
yang berat akan langsung diendapkan di dasar
perairan, sedangkan material yang ringan akan
terendapkan secara perlahan. Di selat-selat lain
yang berbentuk punggungan, material sedimen
yang terbawa oleh arus tidak akan terendapkan
akibat faktor kemiringan dasar laut dan gravitasi,
sehingga material sedimen terangkut ke perairan
lebih dalam di luar selat-selat tersebut.
19
Hasanudin
Persantunan
Ekspedisi Lamalera merupakan kerja sama
penelitian antara Pusat Penelitian Oseanografi
LIPI dengan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional.
Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu pelaksanaan kegiatan ini secara
teknis maupun nonteknis.
Daftar Pustaka
Anonim. 2011. Wilayah Perairan Indonesia
Simpan Potensi Energi Listrik Dari Arus Laut.
http://www.esdm.go.id/news-archives/323energi-baru-dan-terbarukan/
442-wilayahperairan-indonesia-simpan-potensi-energilistrik-dari-arus-laut.html.
Gille, S. T., E. J. Metzger, dan R. Tokmakian.
2004. Seafloor topography and ocean
circulation. Oceanography 17(1):47–54.
Hartono, H. G. 2010. Penelitian awal gunung api
purba di daerah Manggarai Barat, Flores, Nusa
Tenggara Timur. Indonesia. Jurnal Ilmiah
MTG 3(1):1–14.
Hasanudin, M. 2009. Pemetaan dasar laut dengan
menggunakan multibeam echosounder. Oseana
37(1):19–26.
Hasanudin, M. 2015. Morfologi dasar laut dan
ketebalan sedimen permukaan di Perairan
Kendari. Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia 41(2):205–215.
Helfinalis, Sultan, dan Rubiman. 2012. Padatan
tersuspensi total di Perairan Selat Flores
Boleng Alor dan Selatan Pulau Adonara
Lembata Pantar. Jurnal Ilmu Kelautan
17(3):148–153.
LPEM-FEUI. 2010. Transportation of Goods in
East Nusa Tenggara: Problem and Cost.
Lembaga
Penyelidikan
Ekonomi
dan
Masyarakat - Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia (LPEM-FEUI). Jakarta.
Naudts, L., J. Greinert, Y. Artemov, P. Staelens, J.
Poort, P. van Rensbergen, dan M. de Batist.
2006. Geological and morphological setting of
2778 methane seeps in the Dnepr paleo-delta,
northwestern Black Sea. Marine Geology
227:177–199.
Pizzi, N. G. 2010. Principles and practices of
water supply operation - Basic science
concepts and application, American Water
Work Association. United Stated of America.
Ringis, J. 1986. Seismic Stratigraphy in Very
High Resolution Shallow Marine Seismic
20
Data. IPA
Proceedings
of
the
Joint
ASCOPE/CCOP Workshop I:119–128.
Wahyono, H., M. Firmansyah, B. S. Munir,
Zamrisyaf, dan H. Indrawan. 2012, Matching
Tidal Current Potential with Local Electricity
Conditions at Larantuka-Adonara Island. PT
PLN (Persero) Electric Power Reasearch and
Development
Centre.
http://energyindonesia.com/03dge/0121025kaiyo.pdf,
Ramachandran, R. 2015. Development of Marine
current in Indonesia, Thesis of Graduate school
of frontier sciences. The University of Tokyo.
Tylmann,
W.
2004.
Estimating
recent
sedimentation rates using 210 Pb on the
example of morphologically complex lake
(upper Lake Radunskie, North Poland). Journal
of Geochronometria 23:21–26.
Umbgrove, J. H. F. 1949. Structural history of the
East Indies. Cambridge University Press.
Cambridge.
Download