PENGARUH INFLASI, NILAI TUKAR RUPIAH DAN JUMLAH PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP) TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi Disusun Oleh: DWI NURAENI NIM: 107082000567 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Dwi Nuraeni NIM : 107082000567 Fakultas : Ekonomi dan Bisnis Jurusan : Akuntansi Dengan ini menyatakan bahwa dalam penulisan skripsi ini, saya : 1. tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan mempertanggungjawabkan 2. tidak melakukan plagiat terhadap naskah karya orang lain 3. tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli atau tanpa ijin pemilik karya 4. tidak melakukan pemanipulasian dan pemalsuan data 5. mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas karya ini Jikalau di kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah melalui pembuktian yang dapat dipertanggung-jawabkan, ternyata memang ditemukan bahwa saya telah melanggar pernyataan di atas, maka saya siap untuk dikenai sanksi berdasarkan aturan yang berlaku di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Ciputat, 11 Mei 2011 Yang Menyatakan, (Dwi Nuraeni) 107082000567 iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama : Dwi Nuraeni Tempat & Tgl. Lahir : Jakarta, 20 Agustus 1989 Alamat Jl. Yudistira Blok Y4 No.34 Reni Jaya : Pamulang-Tangerang Selatan Telepon : 085695578792 E-Mail : [email protected] PENDIDIKAN FORMAL 1. TK. Ikhlasul Amin lulus Tahun 1995 2. SDN Pondok Petir 01 lulus Tahun 2001 3. SLTPN 1 Pamulang lulus Tahun 2004 4. SMAN 1 Ciputat lulus Tahun 2007 5. Strata 1 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akuntansi Konsentrasi Pajak LATAR BELAKANG KELUARGA 1. Ayah : Masruri 2. Tempat & Tgl. Lahir : Tegal, 20 November 1963 3. Ibu : Ranti 4. Tempat & Tgl. Lahir : Ponorogo, 23 Mei 1964 5. Anak Ke Dari : Anak Ke Tiga Dari Tiga Saudara PENGALAMAN BEKERJA 1. Kuliah Kerja Sosial Bebas Terkendali (KKS-BT) di Koperasi Perguruan Muhammadiyah Setiabudi Pamulang pada Juli 2010 2. Magang di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Pasar Rebo pada Juli 2011 v THE EFFECT OF INFLATION, EXCHANGE RATE AND THE AMOUNT OF TAXABLE ENTREPRENEURS TOWARDS VALUE ADDED TAX (VAT) REVENUE By: Dwi Nuraeni Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta This research aims to determine the effect of inflation, exchange rate and the amount of taxable entrepreneurs towards Value Added Tax (VAT) revenue either partially or simultaneously. The sample in this study is to cover all of Indonesia during the period 2002 until 2009. The sample used was eighty five and analyzing data for hypothesis testing is done by multiple regression. The results showed that inflation, exchange rate and the amount of the taxable entrepreneurs significant effect on VAT revenue. Similarly, the partial effect on alpha 5% showed similar results. Furthermore, based on adjusted r square can be seen that the effect of inflation, exchange rate and the amount of the taxable entrepreneurs can be explained by 88.5%. Keywords: VAT revenue, inflation, exchange rate, the amount of the taxable entrepreneurs vi PENGARUH INFLASI, NILAI TUKAR RUPIAH DAN JUMLAH PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP) TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) Oleh: Dwi Nuraeni Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) baik secara parsial atau simultan. Sampel dalam penelitian ini adalah mencakup seluruh wilayah Indonesia selama periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2009. Sampel yang digunakan berjumlah delapan puluh lima dan penganalisaan data untuk pengujian hipotesis dilakukan dengan regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PPN. Demikian juga dengan pengaruh secara parsial pada alpha 5% menunjukkan hasil yang sama. Selanjutnya berdasarkan adjusted r square dapat diketahui bahwa pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat dijelaskan sebesar 88,5%. Kata kunci: penerimaan PPN, inflasi, nilai tukar rupiah, jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) vii KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb Alhamdulillahi Robbil’Alamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan limapahan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul PENGARUH INFLASI, NILAI TUKAR RUPIAH DAN JUMLAH PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP) TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) dengan lancar. Shalawat serta salam terlimpahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW, yang telah memberikan ajaran Islam yang telah terbukti kebenarannya dan terus terbukti kebenarannya. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat-syarat meraih gelar Sarjana Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama proses pembuatan skripsi ini, berbagai hambatan dan kesulitan telah penulis hadapi. Berkat petunjuk dan hidayah dari Allah SWT, doa kedua orang tua, dukungan, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada: 1. Allah S.W.T atas rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Kedua orang tua tercinta, yang telah memberikan semangat serta doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis dan selalu memberikan rasa cinta, perhatian, kasih sayang, motivasi dan membantu secara moral dan materil serta selalu mengiringi penulis melalui doa restu. 3. Kedua kakakku Ida dan Fitri, Bude, Pade dan Sepupu-sepupu terimakasih atas doa, dukungan dan kasih sayangnya. viii 4. Bapak Dr. Yahya Hamja, MM selaku dosen Pembimbing I, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, waktu dan ilmunya dalam penulisan skripsi ini. 5. Ibu Yessy Fitri, SE,. Ak,. M.Si selaku SEKJUR Akuntansi dan dosen Pembimbing II, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, waktu dan ilmunya dalam penulisan skripsi ini. 6. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku DEKAN Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Ibu Rahmawati, SE., MM selaku KAJUR Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta. 8. Seluruh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan segenap ilmu dan pengalamannya. 9. Seluruh Staf dan Karyawan Universitas Islam Negeri yang telah memberikan bantuan kepada penulis. 10. Ibu Fairly pada Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Humas serta Bapak Novi pada Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak atas data-data skripsi yang telah diberikan. 11. Senior Kak Senja Nuansari atas semua dukungan dan bantuannya. 12. Kawan-kawanku akuntansi khususnya kelas akuntansi B yaitu Lita, Culi, Endang, Dian, Tami, Iis, Winda, Indri, Rahay, Jabar, Dewi, Wina, Icha, Amel, Koi, Anik, Ani, NEROX dan anak cowonya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 13. Rekan-rekan seperjuangan konsentrasi Akuntansi Perpajakan, Audit dan Akuntansi Manajemen angkatan 2007 yang telah memberikan dukungannya selama ini kepada penulis. 14. Teman-teman seperjuangan ujian kompre (Lita, Leni, Chintya dan Ocha) dan teman-teman seperjuangan sidang (Lita, Leni dan Michiko). 15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan penulis satu persatu atas bantuan dan penyusunan skripsi ini. ix Meskipun penulis telah berusaha dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menyempurnakan skripsi ini, namun penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya dengan segala keterbatasan yang dimiliki, maka penulis ingin mempersembahkan skripsi ini kepada semua pihak yang menaruh perhatian bagi perkembangan dunia pendidikan khususnya bidang penelitian di Indonesia dengan harapan agar bermanfaat bagi kita semua. Amin. Wasalamualaikum wr,wb. Jakarta, 11 Mei 2011 (Dwi Nuraeni) 107082000567 x DAFTAR ISI Lembar Pengesahan……………………………………………….. i Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif………………………. ii Lembar Pengesahan Ujian Skripsi………………………………. iii Surat Pernyataan…………………………………………………. iv Daftar Riwayat Hidup……………………………………………. v Abstract…………………………………………………………….. vi Abstrak……………………………………………………………. vii Kata Pengantar……………………………………………………. viii Daftar Isi……………………………………………………........... xi Daftar Tabel……………………………………………………….. xiv Daftar Gambar…………………………………………………….. xv Daftar Lampiran………………………………………………….. xvi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian…………………………........... 1 B. Rumusan Masalah……….....……………………............. 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………............. 9 1. Tujuan Penelitian……………………………................ 9 2. Manfaat Penelitian………………………………........... 9 BAB II LANDASAN TEORI A. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)………..…………........... 11 1. Sejarah PPN……………………………………………. 11 2. Definisi PPN……………………………………............ 12 3. Dasar Hukum PPN……………..………………............ 12 4. Karakteristik PPN……………………………………… 13 5. Barang dan Jasa Kena Pajak (BKP) (JKP)……………. 14 6. Objek PPN………………………………………............ 21 7. Subjek PPN………………………………………........... 22 8. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)…………………............. 23 9. Saat dan Tempat Terutang Pajak……………………… 25 xi 10. Tarif PPN…………….……………................................ 26 11. Cara dan Metode Penghitungan PPN…………............. 27 12. Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan…...…............ 27 13. Faktur Pajak……………………………………………. 30 14. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) PPN………… 32 B. Inflasi………………………………………………............. 33 1. Definisi Inflasi……………………….………….............. 33 2. Macam-Macam Inflasi………………………………….. 34 3. Laju Inflasi………………………………………............ 35 4. Efek Buruk inflasi……………..……………….............. 36 5. Kebijakan Mengatasi Inflasi…………………….. .......... 38 C. Nilai Tukar Rupiah…………………………………......... 38 1. Definisi Nilai Tukar Rupiah……..………..……........... 38 2. Pemintaan dan Penawaran Terhadap Valuta Asing…. 39 3. Sistem Nilai Tukar……………………………………... 40 4. Macam-Macam Kurs……………………………. ........ 41 5. Cara Menghitung Kurs………………………….. ........ 42 6. Dampak dan Pengendalian Fluktuasi Rupiah……….. 43 D. Pengusaha Kena Pajak (PKP)………………………........ 45 1. Definisi PKP…………………………………….......... 45 2. Pengukuhan PKP………………………………... ....... 46 3. Pencabutan Pengukuhan Sebagai PKP………………. 46 4. Kewajiban PKP……………………….…………. ....... 48 5. Pengecualian Kewajiban PKP…….…………….. ....... 48 6. Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pajak……………...... 49 E. Penelitian Terdahulu……………………………….. ....... 50 F. Keterkaitan Antar Variabel………..………………. ....... 52 G. Kerangka Pemikiran ………….……………………........ 56 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian…………………………........ 58 B. Metode Penentuan Sampel….….…………………......... 58 xii C. Metode Pengumpulan Data………………………… ....... 59 D. Metode Analisis……………………………................... 59 1. Uji Asumsi Klasik....................................................... 60 a. Uji Normalitas Data.................................................. 60 b. Uji Multikolonieritas................................................ 60 c. Uji Heteroskedastisitas...................................... ....... 61 d. Uji Autokorelasi………………………………........ 61 2. Uji Hipotesis.................................................................. 61 a. Uji Koefisien Determinasi (R2)................................. 62 b. Uji Statistik t………………………………….. ........ 63 c. Uji Statistik F……………………………................. 63 E. Operasional Variabel Penelitian.………………….......... 64 1. Variabel Independen………….…………………......... 64 2. Variabel Dependen…………….…………………........ 66 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian……………….. ........ 67 1. Deskripsi Objek Penelitian……………..……….......... 67 2. Deskripsi Sampel Penelitian…………………….. ........ 68 B. Analisis dan Pembahasan………………………….......... 68 1. Hasil Uji Asumsi Klasik........................................ ......... 68 a. Hasil Uji Normalitas Data........................................... 68 b. Hasil Uji Multikolonieritas......................................... 70 c. Hasil Uji Heteroskedastisitas...................................... 71 d. Hasil Uji Autokorelasi………………………………. 72 2. Hasil Uji Hipotesis......................................................... 72 a. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2).......................... 72 b. Hasil Uji Statistik t………………………….............. 73 c. Hasil Uji Statistik F……………................................. 79 BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan…………………………………………......... 81 B. Implikasi…………………………………………….......... 82 xiii C. Keterbatasan…………………………………………........ 84 D. Saran…………………………………………………........ 85 Daftar Pustaka……..…………………….…………………........ 88 Lampiran…………………………………………………………. 91 xiv DAFTAR TABEL Nomor Keterangan Halaman 2.1 Penelitian Terdahulu………………………………….. 50 4.1 Hasil Uji Multikolonieritas…………………………… 70 4.2 Hasil Uji Koefisien Determinasi……………………… 72 4.3 Hasil Uji t……………………………………………… 74 4.4 Hasil Uji F…………………………………………….. 80 xv DAFTAR GAMBAR Nomor Keterangan Halaman 2.1 Skema Kerangka Pemikiran…………………………… 57 4.1 Grafik Histogram………………………………………. 69 4.2 Grafik Normal Probability Plot………………………… 69 4.3 Grafik Scatterplot………………………………………. 71 xvi DAFTAR LAMPIRAN Keterangan Halaman Lampiran 1 Surat Izin Penelitian…………………………… 91 Lampiran 2 Surat Pemberian Izin Penelitian………………. 92 Lampiran 3 Data Penelitian………………………………… 93 Lampiran 4 Output Analisis Regresi………………………. 96 Lampiran 5 t Tabel…………………………………………. 99 Lampiran 6 F Tabel………………………………………… 102 xvii Titik Persentase Distribusi t (df = 1 – 40) Pr 0.25 0.50 0.20 0.10 0.050 0.02 0.010 0.002 1 1.00000 3.07768 6.31375 12.70620 31.82052 63.65674 318.30884 2 0.81650 1.88562 2.91999 4.30265 6.96456 9.92484 22.32712 3 0.76489 1.63774 2.35336 3.18245 4.54070 5.84091 10.21453 4 0.74070 1.53321 2.13185 2.77645 3.74695 4.60409 7.17318 5 0.72669 1.47588 2.01505 2.57058 3.36493 4.03214 5.89343 6 0.71756 1.43976 1.94318 2.44691 3.14267 3.70743 5.20763 7 0.71114 1.41492 1.89458 2.36462 2.99795 3.49948 4.78529 8 0.70639 1.39682 1.85955 2.30600 2.89646 3.35539 4.50079 9 0.70272 1.38303 1.83311 2.26216 2.82144 3.24984 4.29681 10 0.69981 1.37218 1.81246 2.22814 2.76377 3.16927 4.14370 11 0.69745 1.36343 1.79588 2.20099 2.71808 3.10581 4.02470 12 0.69548 1.35622 1.78229 2.17881 2.68100 3.05454 3.92963 13 0.69383 1.35017 1.77093 2.16037 2.65031 3.01228 3.85198 14 0.69242 1.34503 1.76131 2.14479 2.62449 2.97684 3.78739 15 0.69120 1.34061 1.75305 2.13145 2.60248 2.94671 3.73283 16 0.69013 1.33676 1.74588 2.11991 2.58349 2.92078 3.68615 17 0.68920 1.33338 1.73961 2.10982 2.56693 2.89823 3.64577 18 0.68836 1.33039 1.73406 2.10092 2.55238 2.87844 3.61048 19 0.68762 1.32773 1.72913 2.09302 2.53948 2.86093 3.57940 20 0.68695 1.32534 1.72472 2.08596 2.52798 2.84534 3.55181 21 0.68635 1.32319 1.72074 2.07961 2.51765 2.83136 3.52715 22 0.68581 1.32124 1.71714 2.07387 2.50832 2.81876 3.50499 23 0.68531 1.31946 1.71387 2.06866 2.49987 2.80734 3.48496 24 0.68485 1.31784 1.71088 2.06390 2.49216 2.79694 3.46678 25 0.68443 1.31635 1.70814 2.05954 2.48511 2.78744 3.45019 26 0.68404 1.31497 1.70562 2.05553 2.47863 2.77871 3.43500 27 0.68368 1.31370 1.70329 2.05183 2.47266 2.77068 3.42103 28 0.68335 1.31253 1.70113 2.04841 2.46714 2.76326 3.40816 29 0.68304 1.31143 1.69913 2.04523 2.46202 2.75639 3.39624 30 0.68276 1.31042 1.69726 2.04227 2.45726 2.75000 3.38518 31 0.68249 1.30946 1.69552 2.03951 2.45282 2.74404 3.37490 32 0.68223 1.30857 1.69389 2.03693 2.44868 2.73848 3.36531 33 0.68200 1.30774 1.69236 2.03452 2.44479 2.73328 3.35634 34 0.68177 1.30695 1.69092 2.03224 2.44115 2.72839 3.34793 35 0.68156 1.30621 1.68957 2.03011 2.43772 2.72381 3.34005 36 0.68137 1.30551 1.68830 2.02809 2.43449 2.71948 3.33262 37 0.68118 1.30485 1.68709 2.02619 2.43145 2.71541 3.32563 38 0.68100 1.30423 1.68595 2.02439 2.42857 2.71156 3.31903 39 0.68083 1.30364 1.68488 2.02269 2.42584 2.70791 3.31279 40 0.68067 1.30308 1.68385 2.02108 2.42326 2.70446 3.30688 df 0.10 0.05 0.025 0.01 0.005 0.001 Catatan: Probabilita yang lebih kecil yang ditunjukkan pada judul tiap kolom adalah luas daerah dalam satu ujung, sedangkan probabilitas yang lebih besar adalah luas daerah dalam kedua ujung Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com), 2010 Page 1 Titik Persentase Distribusi t (df = 41 – 80) Pr 0.25 0.50 0.20 0.10 0.050 0.02 0.010 0.002 41 0.68052 1.30254 1.68288 2.01954 2.42080 2.70118 3.30127 42 0.68038 1.30204 1.68195 2.01808 2.41847 2.69807 3.29595 43 0.68024 1.30155 1.68107 2.01669 2.41625 2.69510 3.29089 44 0.68011 1.30109 1.68023 2.01537 2.41413 2.69228 3.28607 45 0.67998 1.30065 1.67943 2.01410 2.41212 2.68959 3.28148 46 0.67986 1.30023 1.67866 2.01290 2.41019 2.68701 3.27710 47 0.67975 1.29982 1.67793 2.01174 2.40835 2.68456 3.27291 48 0.67964 1.29944 1.67722 2.01063 2.40658 2.68220 3.26891 49 0.67953 1.29907 1.67655 2.00958 2.40489 2.67995 3.26508 50 0.67943 1.29871 1.67591 2.00856 2.40327 2.67779 3.26141 51 0.67933 1.29837 1.67528 2.00758 2.40172 2.67572 3.25789 52 0.67924 1.29805 1.67469 2.00665 2.40022 2.67373 3.25451 53 0.67915 1.29773 1.67412 2.00575 2.39879 2.67182 3.25127 54 0.67906 1.29743 1.67356 2.00488 2.39741 2.66998 3.24815 55 0.67898 1.29713 1.67303 2.00404 2.39608 2.66822 3.24515 56 0.67890 1.29685 1.67252 2.00324 2.39480 2.66651 3.24226 57 0.67882 1.29658 1.67203 2.00247 2.39357 2.66487 3.23948 58 0.67874 1.29632 1.67155 2.00172 2.39238 2.66329 3.23680 59 0.67867 1.29607 1.67109 2.00100 2.39123 2.66176 3.23421 60 0.67860 1.29582 1.67065 2.00030 2.39012 2.66028 3.23171 61 0.67853 1.29558 1.67022 1.99962 2.38905 2.65886 3.22930 62 0.67847 1.29536 1.66980 1.99897 2.38801 2.65748 3.22696 63 0.67840 1.29513 1.66940 1.99834 2.38701 2.65615 3.22471 64 0.67834 1.29492 1.66901 1.99773 2.38604 2.65485 3.22253 65 0.67828 1.29471 1.66864 1.99714 2.38510 2.65360 3.22041 66 0.67823 1.29451 1.66827 1.99656 2.38419 2.65239 3.21837 67 0.67817 1.29432 1.66792 1.99601 2.38330 2.65122 3.21639 68 0.67811 1.29413 1.66757 1.99547 2.38245 2.65008 3.21446 69 0.67806 1.29394 1.66724 1.99495 2.38161 2.64898 3.21260 70 0.67801 1.29376 1.66691 1.99444 2.38081 2.64790 3.21079 71 0.67796 1.29359 1.66660 1.99394 2.38002 2.64686 3.20903 72 0.67791 1.29342 1.66629 1.99346 2.37926 2.64585 3.20733 73 0.67787 1.29326 1.66600 1.99300 2.37852 2.64487 3.20567 74 0.67782 1.29310 1.66571 1.99254 2.37780 2.64391 3.20406 75 0.67778 1.29294 1.66543 1.99210 2.37710 2.64298 3.20249 76 0.67773 1.29279 1.66515 1.99167 2.37642 2.64208 3.20096 77 0.67769 1.29264 1.66488 1.99125 2.37576 2.64120 3.19948 78 0.67765 1.29250 1.66462 1.99085 2.37511 2.64034 3.19804 79 0.67761 1.29236 1.66437 1.99045 2.37448 2.63950 3.19663 80 0.67757 1.29222 1.66412 1.99006 2.37387 2.63869 3.19526 df 0.10 0.05 0.025 0.01 0.005 0.001 Catatan: Probabilita yang lebih kecil yang ditunjukkan pada judul tiap kolom adalah luas daerah dalam satu ujung, sedangkan probabilitas yang lebih besar adalah luas daerah dalam kedua ujung Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com), 2010 Page 2 Titik Persentase Distribusi t (df = 81 –120) Pr 0.25 0.50 0.20 0.10 0.050 0.02 0.010 0.002 81 0.67753 1.29209 1.66388 1.98969 2.37327 2.63790 3.19392 82 0.67749 1.29196 1.66365 1.98932 2.37269 2.63712 3.19262 83 0.67746 1.29183 1.66342 1.98896 2.37212 2.63637 3.19135 84 0.67742 1.29171 1.66320 1.98861 2.37156 2.63563 3.19011 85 0.67739 1.29159 1.66298 1.98827 2.37102 2.63491 3.18890 86 0.67735 1.29147 1.66277 1.98793 2.37049 2.63421 3.18772 87 0.67732 1.29136 1.66256 1.98761 2.36998 2.63353 3.18657 88 0.67729 1.29125 1.66235 1.98729 2.36947 2.63286 3.18544 89 0.67726 1.29114 1.66216 1.98698 2.36898 2.63220 3.18434 90 0.67723 1.29103 1.66196 1.98667 2.36850 2.63157 3.18327 91 0.67720 1.29092 1.66177 1.98638 2.36803 2.63094 3.18222 92 0.67717 1.29082 1.66159 1.98609 2.36757 2.63033 3.18119 93 0.67714 1.29072 1.66140 1.98580 2.36712 2.62973 3.18019 94 0.67711 1.29062 1.66123 1.98552 2.36667 2.62915 3.17921 95 0.67708 1.29053 1.66105 1.98525 2.36624 2.62858 3.17825 96 0.67705 1.29043 1.66088 1.98498 2.36582 2.62802 3.17731 97 0.67703 1.29034 1.66071 1.98472 2.36541 2.62747 3.17639 98 0.67700 1.29025 1.66055 1.98447 2.36500 2.62693 3.17549 99 0.67698 1.29016 1.66039 1.98422 2.36461 2.62641 3.17460 100 0.67695 1.29007 1.66023 1.98397 2.36422 2.62589 3.17374 101 0.67693 1.28999 1.66008 1.98373 2.36384 2.62539 3.17289 102 0.67690 1.28991 1.65993 1.98350 2.36346 2.62489 3.17206 103 0.67688 1.28982 1.65978 1.98326 2.36310 2.62441 3.17125 104 0.67686 1.28974 1.65964 1.98304 2.36274 2.62393 3.17045 105 0.67683 1.28967 1.65950 1.98282 2.36239 2.62347 3.16967 106 0.67681 1.28959 1.65936 1.98260 2.36204 2.62301 3.16890 107 0.67679 1.28951 1.65922 1.98238 2.36170 2.62256 3.16815 108 0.67677 1.28944 1.65909 1.98217 2.36137 2.62212 3.16741 109 0.67675 1.28937 1.65895 1.98197 2.36105 2.62169 3.16669 110 0.67673 1.28930 1.65882 1.98177 2.36073 2.62126 3.16598 111 0.67671 1.28922 1.65870 1.98157 2.36041 2.62085 3.16528 112 0.67669 1.28916 1.65857 1.98137 2.36010 2.62044 3.16460 113 0.67667 1.28909 1.65845 1.98118 2.35980 2.62004 3.16392 114 0.67665 1.28902 1.65833 1.98099 2.35950 2.61964 3.16326 115 0.67663 1.28896 1.65821 1.98081 2.35921 2.61926 3.16262 116 0.67661 1.28889 1.65810 1.98063 2.35892 2.61888 3.16198 117 0.67659 1.28883 1.65798 1.98045 2.35864 2.61850 3.16135 118 0.67657 1.28877 1.65787 1.98027 2.35837 2.61814 3.16074 119 0.67656 1.28871 1.65776 1.98010 2.35809 2.61778 3.16013 120 0.67654 1.28865 1.65765 1.97993 2.35782 2.61742 3.15954 df 0.10 0.05 0.025 0.01 0.005 0.001 Catatan: Probabilita yang lebih kecil yang ditunjukkan pada judul tiap kolom adalah luas daerah dalam satu ujung, sedangkan probabilitas yang lebih besar adalah luas daerah dalam kedua ujung Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com), 2010 Page 3 Titik Persentase Distribusi t (df = 121 –160) Pr 0.25 0.50 0.20 0.10 0.050 0.02 0.010 0.002 121 0.67652 1.28859 1.65754 1.97976 2.35756 2.61707 3.15895 122 0.67651 1.28853 1.65744 1.97960 2.35730 2.61673 3.15838 123 0.67649 1.28847 1.65734 1.97944 2.35705 2.61639 3.15781 124 0.67647 1.28842 1.65723 1.97928 2.35680 2.61606 3.15726 125 0.67646 1.28836 1.65714 1.97912 2.35655 2.61573 3.15671 126 0.67644 1.28831 1.65704 1.97897 2.35631 2.61541 3.15617 127 0.67643 1.28825 1.65694 1.97882 2.35607 2.61510 3.15565 128 0.67641 1.28820 1.65685 1.97867 2.35583 2.61478 3.15512 129 0.67640 1.28815 1.65675 1.97852 2.35560 2.61448 3.15461 130 0.67638 1.28810 1.65666 1.97838 2.35537 2.61418 3.15411 131 0.67637 1.28805 1.65657 1.97824 2.35515 2.61388 3.15361 132 0.67635 1.28800 1.65648 1.97810 2.35493 2.61359 3.15312 133 0.67634 1.28795 1.65639 1.97796 2.35471 2.61330 3.15264 134 0.67633 1.28790 1.65630 1.97783 2.35450 2.61302 3.15217 135 0.67631 1.28785 1.65622 1.97769 2.35429 2.61274 3.15170 136 0.67630 1.28781 1.65613 1.97756 2.35408 2.61246 3.15124 137 0.67628 1.28776 1.65605 1.97743 2.35387 2.61219 3.15079 138 0.67627 1.28772 1.65597 1.97730 2.35367 2.61193 3.15034 139 0.67626 1.28767 1.65589 1.97718 2.35347 2.61166 3.14990 140 0.67625 1.28763 1.65581 1.97705 2.35328 2.61140 3.14947 141 0.67623 1.28758 1.65573 1.97693 2.35309 2.61115 3.14904 142 0.67622 1.28754 1.65566 1.97681 2.35289 2.61090 3.14862 143 0.67621 1.28750 1.65558 1.97669 2.35271 2.61065 3.14820 144 0.67620 1.28746 1.65550 1.97658 2.35252 2.61040 3.14779 145 0.67619 1.28742 1.65543 1.97646 2.35234 2.61016 3.14739 146 0.67617 1.28738 1.65536 1.97635 2.35216 2.60992 3.14699 147 0.67616 1.28734 1.65529 1.97623 2.35198 2.60969 3.14660 148 0.67615 1.28730 1.65521 1.97612 2.35181 2.60946 3.14621 149 0.67614 1.28726 1.65514 1.97601 2.35163 2.60923 3.14583 150 0.67613 1.28722 1.65508 1.97591 2.35146 2.60900 3.14545 151 0.67612 1.28718 1.65501 1.97580 2.35130 2.60878 3.14508 152 0.67611 1.28715 1.65494 1.97569 2.35113 2.60856 3.14471 153 0.67610 1.28711 1.65487 1.97559 2.35097 2.60834 3.14435 154 0.67609 1.28707 1.65481 1.97549 2.35081 2.60813 3.14400 155 0.67608 1.28704 1.65474 1.97539 2.35065 2.60792 3.14364 156 0.67607 1.28700 1.65468 1.97529 2.35049 2.60771 3.14330 157 0.67606 1.28697 1.65462 1.97519 2.35033 2.60751 3.14295 158 0.67605 1.28693 1.65455 1.97509 2.35018 2.60730 3.14261 159 0.67604 1.28690 1.65449 1.97500 2.35003 2.60710 3.14228 160 0.67603 1.28687 1.65443 1.97490 2.34988 2.60691 3.14195 df 0.10 0.05 0.025 0.01 0.005 0.001 Catatan: Probabilita yang lebih kecil yang ditunjukkan pada judul tiap kolom adalah luas daerah dalam satu ujung, sedangkan probabilitas yang lebih besar adalah luas daerah dalam kedua ujung Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com), 2010 Page 4 Titik Persentase Distribusi t (df = 161 –200) Pr 0.25 0.50 0.20 0.10 0.050 0.02 0.010 0.002 161 0.67602 1.28683 1.65437 1.97481 2.34973 2.60671 3.14162 162 0.67601 1.28680 1.65431 1.97472 2.34959 2.60652 3.14130 163 0.67600 1.28677 1.65426 1.97462 2.34944 2.60633 3.14098 164 0.67599 1.28673 1.65420 1.97453 2.34930 2.60614 3.14067 165 0.67598 1.28670 1.65414 1.97445 2.34916 2.60595 3.14036 166 0.67597 1.28667 1.65408 1.97436 2.34902 2.60577 3.14005 167 0.67596 1.28664 1.65403 1.97427 2.34888 2.60559 3.13975 168 0.67595 1.28661 1.65397 1.97419 2.34875 2.60541 3.13945 169 0.67594 1.28658 1.65392 1.97410 2.34862 2.60523 3.13915 170 0.67594 1.28655 1.65387 1.97402 2.34848 2.60506 3.13886 171 0.67593 1.28652 1.65381 1.97393 2.34835 2.60489 3.13857 172 0.67592 1.28649 1.65376 1.97385 2.34822 2.60471 3.13829 173 0.67591 1.28646 1.65371 1.97377 2.34810 2.60455 3.13801 174 0.67590 1.28644 1.65366 1.97369 2.34797 2.60438 3.13773 175 0.67589 1.28641 1.65361 1.97361 2.34784 2.60421 3.13745 176 0.67589 1.28638 1.65356 1.97353 2.34772 2.60405 3.13718 177 0.67588 1.28635 1.65351 1.97346 2.34760 2.60389 3.13691 178 0.67587 1.28633 1.65346 1.97338 2.34748 2.60373 3.13665 179 0.67586 1.28630 1.65341 1.97331 2.34736 2.60357 3.13638 180 0.67586 1.28627 1.65336 1.97323 2.34724 2.60342 3.13612 181 0.67585 1.28625 1.65332 1.97316 2.34713 2.60326 3.13587 182 0.67584 1.28622 1.65327 1.97308 2.34701 2.60311 3.13561 183 0.67583 1.28619 1.65322 1.97301 2.34690 2.60296 3.13536 184 0.67583 1.28617 1.65318 1.97294 2.34678 2.60281 3.13511 185 0.67582 1.28614 1.65313 1.97287 2.34667 2.60267 3.13487 186 0.67581 1.28612 1.65309 1.97280 2.34656 2.60252 3.13463 187 0.67580 1.28610 1.65304 1.97273 2.34645 2.60238 3.13438 188 0.67580 1.28607 1.65300 1.97266 2.34635 2.60223 3.13415 189 0.67579 1.28605 1.65296 1.97260 2.34624 2.60209 3.13391 190 0.67578 1.28602 1.65291 1.97253 2.34613 2.60195 3.13368 191 0.67578 1.28600 1.65287 1.97246 2.34603 2.60181 3.13345 192 0.67577 1.28598 1.65283 1.97240 2.34593 2.60168 3.13322 193 0.67576 1.28595 1.65279 1.97233 2.34582 2.60154 3.13299 194 0.67576 1.28593 1.65275 1.97227 2.34572 2.60141 3.13277 195 0.67575 1.28591 1.65271 1.97220 2.34562 2.60128 3.13255 196 0.67574 1.28589 1.65267 1.97214 2.34552 2.60115 3.13233 197 0.67574 1.28586 1.65263 1.97208 2.34543 2.60102 3.13212 198 0.67573 1.28584 1.65259 1.97202 2.34533 2.60089 3.13190 199 0.67572 1.28582 1.65255 1.97196 2.34523 2.60076 3.13169 200 0.67572 1.28580 1.65251 1.97190 2.34514 2.60063 3.13148 df 0.10 0.05 0.025 0.01 0.005 0.001 Catatan: Probabilita yang lebih kecil yang ditunjukkan pada judul tiap kolom adalah luas daerah dalam satu ujung, sedangkan probabilitas yang lebih besar adalah luas daerah dalam kedua ujung Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com), 2010 Page 5 Titik Persentase Distribusi F untuk Probabilita = 0,05 df untuk pembilang (N1) df untuk penyebut (N2) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 1 161 199 216 225 230 234 237 239 241 242 243 244 245 245 246 2 18.51 19.00 19.16 19.25 19.30 19.33 19.35 19.37 19.38 19.40 19.40 19.41 19.42 19.42 19.43 3 10.13 9.55 9.28 9.12 9.01 8.94 8.89 8.85 8.81 8.79 8.76 8.74 8.73 8.71 8.70 4 7.71 6.94 6.59 6.39 6.26 6.16 6.09 6.04 6.00 5.96 5.94 5.91 5.89 5.87 5.86 5 6.61 5.79 5.41 5.19 5.05 4.95 4.88 4.82 4.77 4.74 4.70 4.68 4.66 4.64 4.62 6 5.99 5.14 4.76 4.53 4.39 4.28 4.21 4.15 4.10 4.06 4.03 4.00 3.98 3.96 3.94 7 5.59 4.74 4.35 4.12 3.97 3.87 3.79 3.73 3.68 3.64 3.60 3.57 3.55 3.53 3.51 8 5.32 4.46 4.07 3.84 3.69 3.58 3.50 3.44 3.39 3.35 3.31 3.28 3.26 3.24 3.22 9 5.12 4.26 3.86 3.63 3.48 3.37 3.29 3.23 3.18 3.14 3.10 3.07 3.05 3.03 3.01 10 4.96 4.10 3.71 3.48 3.33 3.22 3.14 3.07 3.02 2.98 2.94 2.91 2.89 2.86 2.85 11 4.84 3.98 3.59 3.36 3.20 3.09 3.01 2.95 2.90 2.85 2.82 2.79 2.76 2.74 2.72 12 4.75 3.89 3.49 3.26 3.11 3.00 2.91 2.85 2.80 2.75 2.72 2.69 2.66 2.64 2.62 13 4.67 3.81 3.41 3.18 3.03 2.92 2.83 2.77 2.71 2.67 2.63 2.60 2.58 2.55 2.53 14 4.60 3.74 3.34 3.11 2.96 2.85 2.76 2.70 2.65 2.60 2.57 2.53 2.51 2.48 2.46 15 4.54 3.68 3.29 3.06 2.90 2.79 2.71 2.64 2.59 2.54 2.51 2.48 2.45 2.42 2.40 16 4.49 3.63 3.24 3.01 2.85 2.74 2.66 2.59 2.54 2.49 2.46 2.42 2.40 2.37 2.35 17 4.45 3.59 3.20 2.96 2.81 2.70 2.61 2.55 2.49 2.45 2.41 2.38 2.35 2.33 2.31 18 4.41 3.55 3.16 2.93 2.77 2.66 2.58 2.51 2.46 2.41 2.37 2.34 2.31 2.29 2.27 19 4.38 3.52 3.13 2.90 2.74 2.63 2.54 2.48 2.42 2.38 2.34 2.31 2.28 2.26 2.23 20 4.35 3.49 3.10 2.87 2.71 2.60 2.51 2.45 2.39 2.35 2.31 2.28 2.25 2.22 2.20 21 4.32 3.47 3.07 2.84 2.68 2.57 2.49 2.42 2.37 2.32 2.28 2.25 2.22 2.20 2.18 22 4.30 3.44 3.05 2.82 2.66 2.55 2.46 2.40 2.34 2.30 2.26 2.23 2.20 2.17 2.15 23 4.28 3.42 3.03 2.80 2.64 2.53 2.44 2.37 2.32 2.27 2.24 2.20 2.18 2.15 2.13 24 4.26 3.40 3.01 2.78 2.62 2.51 2.42 2.36 2.30 2.25 2.22 2.18 2.15 2.13 2.11 25 4.24 3.39 2.99 2.76 2.60 2.49 2.40 2.34 2.28 2.24 2.20 2.16 2.14 2.11 2.09 26 4.23 3.37 2.98 2.74 2.59 2.47 2.39 2.32 2.27 2.22 2.18 2.15 2.12 2.09 2.07 27 4.21 3.35 2.96 2.73 2.57 2.46 2.37 2.31 2.25 2.20 2.17 2.13 2.10 2.08 2.06 28 4.20 3.34 2.95 2.71 2.56 2.45 2.36 2.29 2.24 2.19 2.15 2.12 2.09 2.06 2.04 29 4.18 3.33 2.93 2.70 2.55 2.43 2.35 2.28 2.22 2.18 2.14 2.10 2.08 2.05 2.03 30 4.17 3.32 2.92 2.69 2.53 2.42 2.33 2.27 2.21 2.16 2.13 2.09 2.06 2.04 2.01 31 4.16 3.30 2.91 2.68 2.52 2.41 2.32 2.25 2.20 2.15 2.11 2.08 2.05 2.03 2.00 32 4.15 3.29 2.90 2.67 2.51 2.40 2.31 2.24 2.19 2.14 2.10 2.07 2.04 2.01 1.99 33 4.14 3.28 2.89 2.66 2.50 2.39 2.30 2.23 2.18 2.13 2.09 2.06 2.03 2.00 1.98 34 4.13 3.28 2.88 2.65 2.49 2.38 2.29 2.23 2.17 2.12 2.08 2.05 2.02 1.99 1.97 35 4.12 3.27 2.87 2.64 2.49 2.37 2.29 2.22 2.16 2.11 2.07 2.04 2.01 1.99 1.96 36 4.11 3.26 2.87 2.63 2.48 2.36 2.28 2.21 2.15 2.11 2.07 2.03 2.00 1.98 1.95 37 4.11 3.25 2.86 2.63 2.47 2.36 2.27 2.20 2.14 2.10 2.06 2.02 2.00 1.97 1.95 38 4.10 3.24 2.85 2.62 2.46 2.35 2.26 2.19 2.14 2.09 2.05 2.02 1.99 1.96 1.94 39 4.09 3.24 2.85 2.61 2.46 2.34 2.26 2.19 2.13 2.08 2.04 2.01 1.98 1.95 1.93 40 4.08 3.23 2.84 2.61 2.45 2.34 2.25 2.18 2.12 2.08 2.04 2.00 1.97 1.95 1.92 41 4.08 3.23 2.83 2.60 2.44 2.33 2.24 2.17 2.12 2.07 2.03 2.00 1.97 1.94 1.92 42 4.07 3.22 2.83 2.59 2.44 2.32 2.24 2.17 2.11 2.06 2.03 1.99 1.96 1.94 1.91 43 4.07 3.21 2.82 2.59 2.43 2.32 2.23 2.16 2.11 2.06 2.02 1.99 1.96 1.93 1.91 44 4.06 3.21 2.82 2.58 2.43 2.31 2.23 2.16 2.10 2.05 2.01 1.98 1.95 1.92 1.90 45 4.06 3.20 2.81 2.58 2.42 2.31 2.22 2.15 2.10 2.05 2.01 1.97 1.94 1.92 1.89 Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com). 2010 Page 1 Titik Persentase Distribusi F untuk Probabilita = 0,05 df untuk pembilang (N1) df untuk penyebut (N2) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 46 4.05 3.20 2.81 2.57 2.42 2.30 2.22 2.15 2.09 2.04 2.00 1.97 1.94 1.91 1.89 47 4.05 3.20 2.80 2.57 2.41 2.30 2.21 2.14 2.09 2.04 2.00 1.96 1.93 1.91 1.88 48 4.04 3.19 2.80 2.57 2.41 2.29 2.21 2.14 2.08 2.03 1.99 1.96 1.93 1.90 1.88 49 4.04 3.19 2.79 2.56 2.40 2.29 2.20 2.13 2.08 2.03 1.99 1.96 1.93 1.90 1.88 50 4.03 3.18 2.79 2.56 2.40 2.29 2.20 2.13 2.07 2.03 1.99 1.95 1.92 1.89 1.87 51 4.03 3.18 2.79 2.55 2.40 2.28 2.20 2.13 2.07 2.02 1.98 1.95 1.92 1.89 1.87 52 4.03 3.18 2.78 2.55 2.39 2.28 2.19 2.12 2.07 2.02 1.98 1.94 1.91 1.89 1.86 53 4.02 3.17 2.78 2.55 2.39 2.28 2.19 2.12 2.06 2.01 1.97 1.94 1.91 1.88 1.86 54 4.02 3.17 2.78 2.54 2.39 2.27 2.18 2.12 2.06 2.01 1.97 1.94 1.91 1.88 1.86 55 4.02 3.16 2.77 2.54 2.38 2.27 2.18 2.11 2.06 2.01 1.97 1.93 1.90 1.88 1.85 56 4.01 3.16 2.77 2.54 2.38 2.27 2.18 2.11 2.05 2.00 1.96 1.93 1.90 1.87 1.85 57 4.01 3.16 2.77 2.53 2.38 2.26 2.18 2.11 2.05 2.00 1.96 1.93 1.90 1.87 1.85 58 4.01 3.16 2.76 2.53 2.37 2.26 2.17 2.10 2.05 2.00 1.96 1.92 1.89 1.87 1.84 59 4.00 3.15 2.76 2.53 2.37 2.26 2.17 2.10 2.04 2.00 1.96 1.92 1.89 1.86 1.84 60 4.00 3.15 2.76 2.53 2.37 2.25 2.17 2.10 2.04 1.99 1.95 1.92 1.89 1.86 1.84 61 4.00 3.15 2.76 2.52 2.37 2.25 2.16 2.09 2.04 1.99 1.95 1.91 1.88 1.86 1.83 62 4.00 3.15 2.75 2.52 2.36 2.25 2.16 2.09 2.03 1.99 1.95 1.91 1.88 1.85 1.83 63 3.99 3.14 2.75 2.52 2.36 2.25 2.16 2.09 2.03 1.98 1.94 1.91 1.88 1.85 1.83 64 3.99 3.14 2.75 2.52 2.36 2.24 2.16 2.09 2.03 1.98 1.94 1.91 1.88 1.85 1.83 65 3.99 3.14 2.75 2.51 2.36 2.24 2.15 2.08 2.03 1.98 1.94 1.90 1.87 1.85 1.82 66 3.99 3.14 2.74 2.51 2.35 2.24 2.15 2.08 2.03 1.98 1.94 1.90 1.87 1.84 1.82 67 3.98 3.13 2.74 2.51 2.35 2.24 2.15 2.08 2.02 1.98 1.93 1.90 1.87 1.84 1.82 68 3.98 3.13 2.74 2.51 2.35 2.24 2.15 2.08 2.02 1.97 1.93 1.90 1.87 1.84 1.82 69 3.98 3.13 2.74 2.50 2.35 2.23 2.15 2.08 2.02 1.97 1.93 1.90 1.86 1.84 1.81 70 3.98 3.13 2.74 2.50 2.35 2.23 2.14 2.07 2.02 1.97 1.93 1.89 1.86 1.84 1.81 71 3.98 3.13 2.73 2.50 2.34 2.23 2.14 2.07 2.01 1.97 1.93 1.89 1.86 1.83 1.81 72 3.97 3.12 2.73 2.50 2.34 2.23 2.14 2.07 2.01 1.96 1.92 1.89 1.86 1.83 1.81 73 3.97 3.12 2.73 2.50 2.34 2.23 2.14 2.07 2.01 1.96 1.92 1.89 1.86 1.83 1.81 74 3.97 3.12 2.73 2.50 2.34 2.22 2.14 2.07 2.01 1.96 1.92 1.89 1.85 1.83 1.80 75 3.97 3.12 2.73 2.49 2.34 2.22 2.13 2.06 2.01 1.96 1.92 1.88 1.85 1.83 1.80 76 3.97 3.12 2.72 2.49 2.33 2.22 2.13 2.06 2.01 1.96 1.92 1.88 1.85 1.82 1.80 77 3.97 3.12 2.72 2.49 2.33 2.22 2.13 2.06 2.00 1.96 1.92 1.88 1.85 1.82 1.80 78 3.96 3.11 2.72 2.49 2.33 2.22 2.13 2.06 2.00 1.95 1.91 1.88 1.85 1.82 1.80 79 3.96 3.11 2.72 2.49 2.33 2.22 2.13 2.06 2.00 1.95 1.91 1.88 1.85 1.82 1.79 80 3.96 3.11 2.72 2.49 2.33 2.21 2.13 2.06 2.00 1.95 1.91 1.88 1.84 1.82 1.79 81 3.96 3.11 2.72 2.48 2.33 2.21 2.12 2.05 2.00 1.95 1.91 1.87 1.84 1.82 1.79 82 3.96 3.11 2.72 2.48 2.33 2.21 2.12 2.05 2.00 1.95 1.91 1.87 1.84 1.81 1.79 83 3.96 3.11 2.71 2.48 2.32 2.21 2.12 2.05 1.99 1.95 1.91 1.87 1.84 1.81 1.79 84 3.95 3.11 2.71 2.48 2.32 2.21 2.12 2.05 1.99 1.95 1.90 1.87 1.84 1.81 1.79 85 3.95 3.10 2.71 2.48 2.32 2.21 2.12 2.05 1.99 1.94 1.90 1.87 1.84 1.81 1.79 86 3.95 3.10 2.71 2.48 2.32 2.21 2.12 2.05 1.99 1.94 1.90 1.87 1.84 1.81 1.78 87 3.95 3.10 2.71 2.48 2.32 2.20 2.12 2.05 1.99 1.94 1.90 1.87 1.83 1.81 1.78 88 3.95 3.10 2.71 2.48 2.32 2.20 2.12 2.05 1.99 1.94 1.90 1.86 1.83 1.81 1.78 89 3.95 3.10 2.71 2.47 2.32 2.20 2.11 2.04 1.99 1.94 1.90 1.86 1.83 1.80 1.78 90 3.95 3.10 2.71 2.47 2.32 2.20 2.11 2.04 1.99 1.94 1.90 1.86 1.83 1.80 1.78 Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com). 2010 Page 2 Titik Persentase Distribusi F untuk Probabilita = 0,05 df untuk pembilang (N1) df untuk penyebut (N2) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 91 3.95 3.10 2.70 2.47 2.31 2.20 2.11 2.04 1.98 1.94 1.90 1.86 1.83 1.80 1.78 92 3.94 3.10 2.70 2.47 2.31 2.20 2.11 2.04 1.98 1.94 1.89 1.86 1.83 1.80 1.78 93 3.94 3.09 2.70 2.47 2.31 2.20 2.11 2.04 1.98 1.93 1.89 1.86 1.83 1.80 1.78 94 3.94 3.09 2.70 2.47 2.31 2.20 2.11 2.04 1.98 1.93 1.89 1.86 1.83 1.80 1.77 95 3.94 3.09 2.70 2.47 2.31 2.20 2.11 2.04 1.98 1.93 1.89 1.86 1.82 1.80 1.77 96 3.94 3.09 2.70 2.47 2.31 2.19 2.11 2.04 1.98 1.93 1.89 1.85 1.82 1.80 1.77 97 3.94 3.09 2.70 2.47 2.31 2.19 2.11 2.04 1.98 1.93 1.89 1.85 1.82 1.80 1.77 98 3.94 3.09 2.70 2.46 2.31 2.19 2.10 2.03 1.98 1.93 1.89 1.85 1.82 1.79 1.77 99 3.94 3.09 2.70 2.46 2.31 2.19 2.10 2.03 1.98 1.93 1.89 1.85 1.82 1.79 1.77 100 3.94 3.09 2.70 2.46 2.31 2.19 2.10 2.03 1.97 1.93 1.89 1.85 1.82 1.79 1.77 101 3.94 3.09 2.69 2.46 2.30 2.19 2.10 2.03 1.97 1.93 1.88 1.85 1.82 1.79 1.77 102 3.93 3.09 2.69 2.46 2.30 2.19 2.10 2.03 1.97 1.92 1.88 1.85 1.82 1.79 1.77 103 3.93 3.08 2.69 2.46 2.30 2.19 2.10 2.03 1.97 1.92 1.88 1.85 1.82 1.79 1.76 104 3.93 3.08 2.69 2.46 2.30 2.19 2.10 2.03 1.97 1.92 1.88 1.85 1.82 1.79 1.76 105 3.93 3.08 2.69 2.46 2.30 2.19 2.10 2.03 1.97 1.92 1.88 1.85 1.81 1.79 1.76 106 3.93 3.08 2.69 2.46 2.30 2.19 2.10 2.03 1.97 1.92 1.88 1.84 1.81 1.79 1.76 107 3.93 3.08 2.69 2.46 2.30 2.18 2.10 2.03 1.97 1.92 1.88 1.84 1.81 1.79 1.76 108 3.93 3.08 2.69 2.46 2.30 2.18 2.10 2.03 1.97 1.92 1.88 1.84 1.81 1.78 1.76 109 3.93 3.08 2.69 2.45 2.30 2.18 2.09 2.02 1.97 1.92 1.88 1.84 1.81 1.78 1.76 110 3.93 3.08 2.69 2.45 2.30 2.18 2.09 2.02 1.97 1.92 1.88 1.84 1.81 1.78 1.76 111 3.93 3.08 2.69 2.45 2.30 2.18 2.09 2.02 1.97 1.92 1.88 1.84 1.81 1.78 1.76 112 3.93 3.08 2.69 2.45 2.30 2.18 2.09 2.02 1.96 1.92 1.88 1.84 1.81 1.78 1.76 113 3.93 3.08 2.68 2.45 2.29 2.18 2.09 2.02 1.96 1.92 1.87 1.84 1.81 1.78 1.76 114 3.92 3.08 2.68 2.45 2.29 2.18 2.09 2.02 1.96 1.91 1.87 1.84 1.81 1.78 1.75 115 3.92 3.08 2.68 2.45 2.29 2.18 2.09 2.02 1.96 1.91 1.87 1.84 1.81 1.78 1.75 116 3.92 3.07 2.68 2.45 2.29 2.18 2.09 2.02 1.96 1.91 1.87 1.84 1.81 1.78 1.75 117 3.92 3.07 2.68 2.45 2.29 2.18 2.09 2.02 1.96 1.91 1.87 1.84 1.80 1.78 1.75 118 3.92 3.07 2.68 2.45 2.29 2.18 2.09 2.02 1.96 1.91 1.87 1.84 1.80 1.78 1.75 119 3.92 3.07 2.68 2.45 2.29 2.18 2.09 2.02 1.96 1.91 1.87 1.83 1.80 1.78 1.75 120 3.92 3.07 2.68 2.45 2.29 2.18 2.09 2.02 1.96 1.91 1.87 1.83 1.80 1.78 1.75 121 3.92 3.07 2.68 2.45 2.29 2.17 2.09 2.02 1.96 1.91 1.87 1.83 1.80 1.77 1.75 122 3.92 3.07 2.68 2.45 2.29 2.17 2.09 2.02 1.96 1.91 1.87 1.83 1.80 1.77 1.75 123 3.92 3.07 2.68 2.45 2.29 2.17 2.08 2.01 1.96 1.91 1.87 1.83 1.80 1.77 1.75 124 3.92 3.07 2.68 2.44 2.29 2.17 2.08 2.01 1.96 1.91 1.87 1.83 1.80 1.77 1.75 125 3.92 3.07 2.68 2.44 2.29 2.17 2.08 2.01 1.96 1.91 1.87 1.83 1.80 1.77 1.75 126 3.92 3.07 2.68 2.44 2.29 2.17 2.08 2.01 1.95 1.91 1.87 1.83 1.80 1.77 1.75 127 3.92 3.07 2.68 2.44 2.29 2.17 2.08 2.01 1.95 1.91 1.86 1.83 1.80 1.77 1.75 128 3.92 3.07 2.68 2.44 2.29 2.17 2.08 2.01 1.95 1.91 1.86 1.83 1.80 1.77 1.75 129 3.91 3.07 2.67 2.44 2.28 2.17 2.08 2.01 1.95 1.90 1.86 1.83 1.80 1.77 1.74 130 3.91 3.07 2.67 2.44 2.28 2.17 2.08 2.01 1.95 1.90 1.86 1.83 1.80 1.77 1.74 131 3.91 3.07 2.67 2.44 2.28 2.17 2.08 2.01 1.95 1.90 1.86 1.83 1.80 1.77 1.74 132 3.91 3.06 2.67 2.44 2.28 2.17 2.08 2.01 1.95 1.90 1.86 1.83 1.79 1.77 1.74 133 3.91 3.06 2.67 2.44 2.28 2.17 2.08 2.01 1.95 1.90 1.86 1.83 1.79 1.77 1.74 134 3.91 3.06 2.67 2.44 2.28 2.17 2.08 2.01 1.95 1.90 1.86 1.83 1.79 1.77 1.74 135 3.91 3.06 2.67 2.44 2.28 2.17 2.08 2.01 1.95 1.90 1.86 1.82 1.79 1.77 1.74 Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com). 2010 Page 3 Titik Persentase Distribusi F untuk Probabilita = 0,05 df untuk pembilang (N1) df untuk penyebut (N2) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 136 3.91 3.06 2.67 2.44 2.28 2.17 2.08 2.01 1.95 1.90 1.86 1.82 1.79 1.77 1.74 137 3.91 3.06 2.67 2.44 2.28 2.17 2.08 2.01 1.95 1.90 1.86 1.82 1.79 1.76 1.74 138 3.91 3.06 2.67 2.44 2.28 2.16 2.08 2.01 1.95 1.90 1.86 1.82 1.79 1.76 1.74 139 3.91 3.06 2.67 2.44 2.28 2.16 2.08 2.01 1.95 1.90 1.86 1.82 1.79 1.76 1.74 140 3.91 3.06 2.67 2.44 2.28 2.16 2.08 2.01 1.95 1.90 1.86 1.82 1.79 1.76 1.74 141 3.91 3.06 2.67 2.44 2.28 2.16 2.08 2.00 1.95 1.90 1.86 1.82 1.79 1.76 1.74 142 3.91 3.06 2.67 2.44 2.28 2.16 2.07 2.00 1.95 1.90 1.86 1.82 1.79 1.76 1.74 143 3.91 3.06 2.67 2.43 2.28 2.16 2.07 2.00 1.95 1.90 1.86 1.82 1.79 1.76 1.74 144 3.91 3.06 2.67 2.43 2.28 2.16 2.07 2.00 1.95 1.90 1.86 1.82 1.79 1.76 1.74 145 3.91 3.06 2.67 2.43 2.28 2.16 2.07 2.00 1.94 1.90 1.86 1.82 1.79 1.76 1.74 146 3.91 3.06 2.67 2.43 2.28 2.16 2.07 2.00 1.94 1.90 1.85 1.82 1.79 1.76 1.74 147 3.91 3.06 2.67 2.43 2.28 2.16 2.07 2.00 1.94 1.90 1.85 1.82 1.79 1.76 1.73 148 3.91 3.06 2.67 2.43 2.28 2.16 2.07 2.00 1.94 1.90 1.85 1.82 1.79 1.76 1.73 149 3.90 3.06 2.67 2.43 2.27 2.16 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.82 1.79 1.76 1.73 150 3.90 3.06 2.66 2.43 2.27 2.16 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.82 1.79 1.76 1.73 151 3.90 3.06 2.66 2.43 2.27 2.16 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.82 1.79 1.76 1.73 152 3.90 3.06 2.66 2.43 2.27 2.16 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.82 1.79 1.76 1.73 153 3.90 3.06 2.66 2.43 2.27 2.16 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.82 1.78 1.76 1.73 154 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.16 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.82 1.78 1.76 1.73 155 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.16 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.82 1.78 1.76 1.73 156 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.16 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.76 1.73 157 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.16 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.76 1.73 158 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.16 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.75 1.73 159 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.16 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.75 1.73 160 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.16 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.75 1.73 161 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.16 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.75 1.73 162 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.15 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.75 1.73 163 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.15 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.75 1.73 164 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.15 2.07 2.00 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.75 1.73 165 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.15 2.07 1.99 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.75 1.73 166 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.15 2.07 1.99 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.75 1.73 167 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.15 2.06 1.99 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.75 1.73 168 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.15 2.06 1.99 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.75 1.73 169 3.90 3.05 2.66 2.43 2.27 2.15 2.06 1.99 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.75 1.73 170 3.90 3.05 2.66 2.42 2.27 2.15 2.06 1.99 1.94 1.89 1.85 1.81 1.78 1.75 1.73 171 3.90 3.05 2.66 2.42 2.27 2.15 2.06 1.99 1.93 1.89 1.85 1.81 1.78 1.75 1.73 172 3.90 3.05 2.66 2.42 2.27 2.15 2.06 1.99 1.93 1.89 1.84 1.81 1.78 1.75 1.72 173 3.90 3.05 2.66 2.42 2.27 2.15 2.06 1.99 1.93 1.89 1.84 1.81 1.78 1.75 1.72 174 3.90 3.05 2.66 2.42 2.27 2.15 2.06 1.99 1.93 1.89 1.84 1.81 1.78 1.75 1.72 175 3.90 3.05 2.66 2.42 2.27 2.15 2.06 1.99 1.93 1.89 1.84 1.81 1.78 1.75 1.72 176 3.89 3.05 2.66 2.42 2.27 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.81 1.78 1.75 1.72 177 3.89 3.05 2.66 2.42 2.27 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.81 1.78 1.75 1.72 178 3.89 3.05 2.66 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.81 1.78 1.75 1.72 179 3.89 3.05 2.66 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.81 1.78 1.75 1.72 180 3.89 3.05 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.81 1.77 1.75 1.72 Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com). 2010 Page 4 Titik Persentase Distribusi F untuk Probabilita = 0,05 df untuk pembilang (N1) df untuk penyebut (N2) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 181 3.89 3.05 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.81 1.77 1.75 1.72 182 3.89 3.05 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.81 1.77 1.75 1.72 183 3.89 3.05 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.81 1.77 1.75 1.72 184 3.89 3.05 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.81 1.77 1.75 1.72 185 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.75 1.72 186 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.75 1.72 187 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 188 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 189 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 190 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 191 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 192 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 193 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 194 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 195 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 196 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.15 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 197 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.14 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 198 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.14 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 199 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.14 2.06 1.99 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 200 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.14 2.06 1.98 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 201 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.14 2.06 1.98 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 202 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.14 2.06 1.98 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 203 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.14 2.05 1.98 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 204 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.14 2.05 1.98 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 205 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.14 2.05 1.98 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 206 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.14 2.05 1.98 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.72 207 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.14 2.05 1.98 1.93 1.88 1.84 1.80 1.77 1.74 1.71 208 3.89 3.04 2.65 2.42 2.26 2.14 2.05 1.98 1.93 1.88 1.83 1.80 1.77 1.74 1.71 209 3.89 3.04 2.65 2.41 2.26 2.14 2.05 1.98 1.92 1.88 1.83 1.80 1.77 1.74 1.71 210 3.89 3.04 2.65 2.41 2.26 2.14 2.05 1.98 1.92 1.88 1.83 1.80 1.77 1.74 1.71 211 3.89 3.04 2.65 2.41 2.26 2.14 2.05 1.98 1.92 1.88 1.83 1.80 1.77 1.74 1.71 212 3.89 3.04 2.65 2.41 2.26 2.14 2.05 1.98 1.92 1.88 1.83 1.80 1.77 1.74 1.71 213 3.89 3.04 2.65 2.41 2.26 2.14 2.05 1.98 1.92 1.88 1.83 1.80 1.77 1.74 1.71 214 3.89 3.04 2.65 2.41 2.26 2.14 2.05 1.98 1.92 1.88 1.83 1.80 1.77 1.74 1.71 215 3.89 3.04 2.65 2.41 2.26 2.14 2.05 1.98 1.92 1.87 1.83 1.80 1.77 1.74 1.71 216 3.88 3.04 2.65 2.41 2.26 2.14 2.05 1.98 1.92 1.87 1.83 1.80 1.77 1.74 1.71 217 3.88 3.04 2.65 2.41 2.26 2.14 2.05 1.98 1.92 1.87 1.83 1.80 1.77 1.74 1.71 218 3.88 3.04 2.65 2.41 2.26 2.14 2.05 1.98 1.92 1.87 1.83 1.80 1.77 1.74 1.71 219 3.88 3.04 2.65 2.41 2.26 2.14 2.05 1.98 1.92 1.87 1.83 1.80 1.77 1.74 1.71 220 3.88 3.04 2.65 2.41 2.26 2.14 2.05 1.98 1.92 1.87 1.83 1.80 1.76 1.74 1.71 221 3.88 3.04 2.65 2.41 2.25 2.14 2.05 1.98 1.92 1.87 1.83 1.80 1.76 1.74 1.71 222 3.88 3.04 2.65 2.41 2.25 2.14 2.05 1.98 1.92 1.87 1.83 1.80 1.76 1.74 1.71 223 3.88 3.04 2.65 2.41 2.25 2.14 2.05 1.98 1.92 1.87 1.83 1.80 1.76 1.74 1.71 224 3.88 3.04 2.64 2.41 2.25 2.14 2.05 1.98 1.92 1.87 1.83 1.80 1.76 1.74 1.71 225 3.88 3.04 2.64 2.41 2.25 2.14 2.05 1.98 1.92 1.87 1.83 1.80 1.76 1.74 1.71 Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com). 2010 Page 5 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara besar yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan lautan yang membentang luas sebagai penghubungnya. Wilayah Indonesia didiami oleh lebih dari 237 juta penduduk dari berbagai suku bangsa, agama dan budaya yang tersebar seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke. Jumlah penduduk yang besar ini, pemerintah selalu berusaha untuk terus meningkatkan pembangunan dan pemerataannya di segala bidang agar terwujud kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk mewujudkan pelaksanaan dan pemerataan pembangunan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan diperlukan anggaran yang memadai untuk menunjangnya. Anggaran tersebut berasal dari sumber-sumber penerimaan negara yang dikelompokkan menjadi penerimaan dari sektor pajak, kekayaan alam, Bea dan Cukai, retribusi, iuran, sumbangan, laba dari Badan Usaha Milik Negara dan sumber-sumber lainnya (Suandy, 2009:2). Diantara sumber-sumber penerimaan negara tersebut, penerimaan dari sektor 1 pajak merupakan sumber penerimaan negara terbesar, seperti yang terdapat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2009 yang dibuat oleh pemerintah. Berdasarkan APBN, penerimaan negara berasal dari penerimaan dalam negeri (terdiri dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak) dan hibah. Penerimaan dalam triliun rupiah dari sektor pajak adalah sebesar RP. 725,8, dari sektor penerimaan negara bukan pajak adalah sebesar RP. 258,9 dan dari hibah adalah sebesar RP. 0,9. Penerimaan dari sektor pajak merupakan sumber penerimaan negara yang senantiasa dapat diperbaharui sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung secara cepat di dalam masyarakat melalui pembaharuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selain itu, pajak juga merupakan sumber yang memberikan kesadaran masyarakat untuk berperan dalam pembangunan negara. Pemerintah terus berupaya untuk mendapatkan pajak sebesar-besarnya dengan cara intensifikasi, ekstensifikasi pajak ataupun dengan penyempurnaan peraturan, teknis kemudahan dan kesederhanaan dalam pembayaran atau pemungutan pajak. Penerimaan perpajakan dalam APBN adalah sumber penerimaan terbesar negara dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah sumber penerimaan pajak terbesar kedua setelah Pajak Penghasilan (PPh). Menurut UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPn BM, PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat disetiap jalur produksi dan distribusi. PPN merupakan pengganti Pajak Penjualan karena dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan 2 masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor dan pemerataan pembebanan pajak. Pajak Penjualan memiliki beberapa kelemahan, seperti adanya pajak berganda, bermacam-macam tarif dengan sembilan macam tarif yang menimbulkan kesulitan pelaksanaannya, tidak mendorong ekspor dan belum dapat mengatasi penyelundupan. Di sisi lain, PPN memiliki kelebihan, seperti menghilangkan pajak berganda, menggunakan tarif tunggal yang memudahkan pelaksanaannya, netral dalam persaingan dalam negeri, netral dalam perdagangan internasional, netral dalam pola konsumsi dan dapat mendorong ekspor (Mardiasmo, 2008:273). Mengingat begitu besar dan pentingnya penerimaan perpajakan dalam membiayai pembangunan, maka diperlukan upaya untuk menjaga dan meningkatkannya melalui faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kebijakan dibidang perpajakan dan faktor eksternal meliputi perkembangan ekonomi makro, seperti pengaruh variabel ekonomi makro yang terdapat dalam penelitian ini berupa inflasi dan nilai tukar rupiah. Karena fluktuasi ekonomi dapat mempengaruhi kestabilan penerimaan pajak (Wahyudi dkk., 2009:221). Faktor internal yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam rangka mencapai target penerimaan pajak yang setiap tahun meningkat dalam APBN, langkah normatif yang diambil adalah melakukan intensifikasi pajak dan ekstensifikasi pajak. Kedua jenis kebijakan tersebut dalam pelaksanaanya saling mendukung untuk meningkatkan sumber penerimaan dari berbagai jenis 3 pajak yang salah satunya adalah PPN (Manurung et, al., 2001). Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001, intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek dan subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi pajak, sedangkan ekstensifikasi pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi DJP. Pelaksanaan ekstensifikasi pajak yang bertujuan untuk meningkatkan sumber penerimaan PPN seperti melalui kenaikan jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) terdaftar. Menurut UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (5), PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya. Menurut Djuanda dan Lubis (2006:31), PKP berkewajiban untuk memiliki Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP), memungut PPN dan PPn BM yang terutang, menyetor PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan PPN yang terutang dan melaporkan perhitungan PPN dan PPn BM yang terutang. Fluktuasi ekonomi yang pernah terjadi di Indonesia seperti krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008 menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian dunia secara drastis. Krisis tersebut dikarenakan adanya krisis likuiditas yang terjadi di Amerika Serikat memberikan dampak pada perekonomian global termasuk Indonesia. Akibat yang dirasakan oleh 4 Indonesia dari krisis finansial global tersebut adalah pada tahun 2008 inflasi meningkat tajam menjadi 11,06% yang sebelumnya tahun 2007 hanya sebesar 6,59% (Badan Pusat Statistik, 2008). Pada 24 November 2008, nilai tukar rupiah melonjak sebesar Rp. 12.462,00/ 1 US$ (Bank Indonesia, 2009). Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Penurunan pertumbuhan ekonomi akan ditranmisikan ke dalam turunnya penerimaan pajak (Departemen Keuangan, 2009:5). Sasaran pembangunan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka memperluas lapangan pekerjaan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Sasaran pertumbuhan ekonomi yang diharapkan adalah pertumbuhan yang berkualitas, yaitu pertumbuhan yang dapat mendistribusikan pendapatan dan lapangan pekerjaan, sedangkan percepatan perluasan lapangan pekerjaan diarahkan kepada peningkatan pertumbuhan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Mengenai penanggulangan kemiskinan, fokus sasaran adalah bagaimana meningkatkan pendapatan secara merata dan memberikan akses yang lebih luas bagi rakyat untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, air bersih dan kebutuhan dasar lainnya. Sasaran pembangunan ekonomi yang dapat terwujud akan membantu pemerintah dalam merealisasikan target penerimaan perpajakan. Untuk mendukung upaya pencapaian sasaran pembangunan ekonomi, terdapat 5 indikator ekonomi makro yang harus dijaga seperti yang terdapat dalam penelitian, yaitu stabilitas indikator ekonomi inflasi dan nilai tukar rupiah (Departemen Keuangan, 2008:1-3). Indikator ekonomi yang pertama adalah inflasi, inflasi merupakan kenaikan tingkat harga keseluruhan (Case dan Fair, 2004:58). Salah satu fenomena yang dialami oleh perekonomian berbagai negara termasuk Indonesia adalah pengaruh inflasi, terutama untuk tingkat inflasi yang tinggi. Inflasi mempengaruhi seluruh variabel makro ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, ekspor/impor, penabungan, tingkat bunga, investasi, distribusi pendapatan dan penerimaan pajak (Nersiwad, 2002). Menurut Sukirno (2004:354), kebijakan pemerintah untuk mengatasi inflasi, berupa: kebijakan fiskal dengan menambah pajak dan mengurangi pengeluaran pemerintah, kebijakan moneter dengan mengurangi, menaikkan suku bunga dan membatasi kredit serta dasar segi penawaran dengan melakukan langkah-langkah yang dapat mengurangi biaya produksi dan menstabilkan harga, seperti mengurangi pajak impor dan pajak ke atas bahan mentah, melakukan penetapan harga, menggalakkan pertambahan produksi dan menggalakkan perkembangan teknologi. Indikator ekonomi yang kedua adalah nilai tukar rupiah, menurut Murni (2006:244), nilai tukar (exchange rate) atau disebut juga kurs valuta asing (foreign exchange rate) adalah jumlah uang domestik yang dibutuhkan untuk memperoleh satu unit mata uang asing. Ketika nilai tukar rupiah melemah akan mengakibatkan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat akan 6 mengalami kenaikan. Kenaikan harga barang dan jasa akan mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat secara umum. Hal tersebut akan secara langsung mempengaruhi penerimaan PPN karena PPN merupakan pajak atas konsumsi. Menurut Edalmen (2000), ditinjau dari segi lalu lintas moneter internasional, fluktuasi kurs rupiah dapat mempersulit pembayaran hutang luar negeri beserta bunganya, khususnya hutang yang telah jatuh tempo. Fluktuasi kurs rupiah juga berdampak terhadap kelangsungan APBN pada tahun berjalan. Keadaan tersebut akan menyulitkan dalam menyusun perencanaan dan program pembangunan, terutama karena sukar meramalkan nilai kurs valuta asing yang harus ditetapkan pada waktu periode perencanaan. Upaya pengendalian fluktuasi rupiah, pemerintah sebaiknya memperhatikan berbagai faktor yang teridentifikasi kiranya alasan kuat juga datang dari faktor non ekonomi, yaitu faktor politik, keamanan dan tegaknya hukum yang telah memberikan bobot tersendiri dalam melemahkan nilai tukar rupiah ini. Oleh karena itu, tidak ada salahnya pemerintah juga memusatkan perhatian pada terciptanya iklim politik, situasi keamanan dan penegakan hukum yang lebih kondusif (Edalmen, 2000). Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Salawati (2008), dengan judul “Analisis Pengaruh Inflasi dan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Penerimaan PPN”. Penelitian dengan menggunakan statistik regresi linear berganda dan data diolah dengan menggunakan program statistik SPSS. Hasil penelitian adalah inflasi dan nilai tukar rupiah berpengaruh terhadap penerimaan PPN 7 sebesar 27,4%. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Salawati adalah: 1. Variabel Independen Variabel independen pada penelitian sebelumnya adalah inflasi dan nilai tukar rupiah, sedangkan variabel independen dalam penelitian ini adalah inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP. 2. Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian sebelumnya, yaitu Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Jakarta Selatan yang terdiri dari 13 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama, sedangkan objek penelitian dalam penelitian ini adalah Kantor Pusat DJP yang memiliki unit kerja vertikal di daerah meliputi 31 Kanwil DJP seluruh Indonesia. 3. Periode Penelitian Periode penelitian pada penelitian sebelumnya adalah tahun 2005 sampai dengan 2007 atau selama tiga tahun, sedangkan periode penelitian dalam penelitian ini adalah tahun 2002 sampai dengan 2009 atau selama delapan tahun. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin menganalisis pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui penelitian yang berjudul “Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar Rupiah dan Jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) Terhadap Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)”. 8 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN? 2. Apakah nilai tukar rupiah berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN? 3. Apakah jumlah PKP berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN? 4. Apakah inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap penerimaan PPN? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk menganalisis pengaruh inflasi terhadap penerimaan PPN. b. Untuk menganalisis pengaruh nilai tukar rupiah terhadap penerimaan PPN. c. Untuk menganalisis pengaruh jumlah PKP terhadap penerimaan PPN. d. Untuk menganalisis pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP terhadap penerimaan PPN. 2. Manfaat Penelitian a. Bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi DJP dalam membuat dan pelaksanaan kebijakan untuk pencapaian realisasi 9 dan peningkatan penerimaan PPN serta memberikan bukti empiris mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan PPN. b. Bagi Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan dan melaksanakan pemerintahan untuk senantiasa menjaga variabel ekonomi makro seperti inflasi dan nilai tukar rupiah yang dapat mempengaruhi penerimaan PPN dan sasaran pembangunan ekonomi. c. Bagi Dunia Akademik Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi, pengetahuan dan wawasan bagi dunia akademik berkaitan dengan pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP terhadap penerimaan PPN. d. Bagi Peneliti berikutnya Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian tentang pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP terhadap penerimaan PPN. e. Bagi Penulis Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan aplikasi ilmu serta pengalaman tentang pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP terhadap penerimaan PPN. 10 BAB II LANDASAN TEORI A. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1. Sejarah PPN Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 1 April 1985 untuk menggantikan Pajak Penjualan (PPn). Hal ini dituangkan dalam UU Nomor 8 Tahun 1983. Kelebihan pengenaan PPN sesuai UU Nomor 8 Tahun 1983 (yang merupakan hasil reformasi perpajakan tahun 1983) dibandingkan dengan PPn (yang dipungut berdasarkan UU Pajak Penjualan tahun 1951), yaitu: a. Mekanisme pemungutan PPn tahun 1951 dalam pelaksanaannya menimbulkan dampak kumulatif (pajak berganda). Hal ini mendorong Wajib Pajak untuk melakukan penghindaran pajak atau penyelundupan pajak sehingga tidak netral terhadap perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional. Dalam UU PPN yang baru terdapat mekanisme pengkreditan untuk menghindari adanya pengenaan pajak berganda (cascade effect). b. Sistem tarif sederhana. UU PPn tahun 1951 diberlakukan Sembilan jenis tarif, sedangkan sejak UU PPN 1983 diberlakukan hanya mengenal satu jenis tarif sehingga memudahkan pelaksanaan dan pengawasannya. 11 c. Menciptakan persaingan yang sehat karena atas impor dikenakan pajak dalam jumlah yang sama dengan jumlah pajak yang dikenakan atas produksi di dalam negeri pada tingkat harga yang sama, sementara untuk ekspor dikenakan pajak dengan tarif 0%. Sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi dan politik yang berlangsung secara cepat, peraturan perpajakan senantiasa diperbarui secara terus-menerus agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat (Resmi, 2009:1-2). 2. Definisi PPN Menurut UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPn BM, PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. PPN adalah pajak atas konsumsi berarti bukan pajak atas kegiatan bisnis. Sasaran pengenaan PPN bukan para pengusaha (PKP) melainkan para konsumen (Sukardji, 2003). Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa PPN adalah suatu jenis pajak tidak langsung yang dikenakan atas setiap pengeluaran yang dimaksudkan untuk konsumsi. 3. Dasar Hukum PPN Dasar hukum bagi PPN adalah UU Nomor 8 Tahun 1983. Kemudian diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1994 dan diubah kembali dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 serta terakhir diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2009. 12 4. Karakteristik PPN Menurut Resmi (2009:2-3), PPN sebagai pengganti PPn di Indonesia memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh PPn, yaitu: a. Pajak Tidak Langsung Secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain. Tanggung jawab pembayaran pajak yang terutang berada pada pihak yang menyerahkan barang atau jasa, sedangkan pihak yang menanggung beban pajak berada pada penanggung pajak (pihak yang memikul beban pajak). b. Pajak Objektif Timbulnya kewajiban membayar pajak sangat ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak dipertimbangkan. c. Multistage Tax PPN dikenakan secara bertahap pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi (dari pabrikan sampai ke peritel). d. Nonkumulatif PPN tidak bersifat kumulatif (nonkumulatif) meskipun memiliki karateristik multistage tax karena PPN mengenal adanya mekanisme pengkreditan Pajak Masukan. Oleh karena itu, PPN yang dibayar bukan unsur dari harga pokok barang dan jasa. e. Tarif Tunggal PPN di Indonesia hanya mengenal satu jenis tarif (single tariff), yaitu 10% untuk penyerahan dalam negeri dan 0% untuk ekspor BKP. 13 f. Credit Method/Invoice Method/Indirect Substraction Method Metode ini mengandung pengertian bahwa pajak yang terutang diperoleh dari hasil pengurangan pajak yang dipungut atau dikenakan pada saat penyerahan barang atau jasa yang disebut Pajak Keluaran (output tax) dengan pajak yang dibayar pada saat pembelian barang atau penerimaan jasa yang disebut Pajak Masukan (input tax). g. Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri Atas impor BKP dikenakan PPN, sedangkan atas ekspor BKP tidak dikenakan PPN. Prinsip ini menggunakan prinsip tempat tujuan (destination principle), yaitu pajak dikenakan di tempat barang atau jasa akan dikonsumsi. h. Consumption type Value Added Tax (VAT) PPN di Indonesia, Pajak Masukan atas pembelian dan pemeliharaan barang modal dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut atas penyerahan BKP dan/atau JKP. 5. Barang dan Jasa Kena Pajak (BKP) (JKP) Menurut Mardiasmo (2008:274-276), Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk 14 menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN Tahun 1984 dan perubahannya. Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan BKP dan JKP, sehingga dikenakan PPN, kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 tidak dikenakan PPN, yaitu: a. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN. 1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi: (a) Minyak mentah (crude oil); (b) Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat; (c) Panas bumi; (d) Asbes,batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat, talk, tanah serap, tanah diatome, tanah liat, tawas, tras, yarosif, zeolit, basal dan tarkkit; (e) Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara; 15 (f) Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak dan bijih bauksit. 2) Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibuthkan oleh rakyat banyak meliputi: (a) Beras; (b) Gabah; (c) Jagung; (d) Sagu; (e) Kedelai; (f) Garam, baik yang beryoduim maupun yang tidak beryodium; (g) Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain dan/atau direbus; (h) Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan atau dikemas; (i) Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya dan/atau dikemas atau tidak dikemas; (j) Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses cuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, digrading dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan 16 (k) Sayur-sayuran, sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah. 3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga atau katering. 4) Uang, emas batangan dan surat berharga. b. Jenis jasa yang tidak kena PPN. 1) Jasa pelayanan kesehatan media, meliputi: (a) Jasa dokter umum, dokter spesialis dan dokter gigi; (b) Jasa dokter hewan; (c) Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, aahli gigi, ahli gizi dan ahli fisioterapi; (d) Jasa kebidanan dan dukun bayi; (e) Jasa paramedic dan perawat; (f) Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium, kesehatan dan sanatorium; (g) Jasa psikolog dan psikiater; dan (h)Jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal. 17 2) Jasa pelayanan sosial, meliputi: (a) Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo; (b) Jasa pemadam kebakaran; (c) Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan; (d) Jasa lembaga rehabilitasi; (e) Jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan (f) Jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial. 3) Jasa pengiriman surat dengan perangko, meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel. 4) Jasa keuangan, meliputi: (a) Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu; (b) Jasa menempatkan dana, meminjam dana atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya; (c) Jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah berupa: Sewa guna usaha dengan hak opsi; Anjak piutang; 18 Usaha kartu kredit; dan/atau Pembiayaan konsumen; (d) Jasa penyalur pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan (e) Jasa peminjaman. 5) Jasa asuransi, merupakan jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa dan reasuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian dan konsultasi asuransi. 6) Jasa keagamaan, meliputi: (a) Jasa pelayanan rumah ibadah; (b) Jasa pemberian khotbah atau dakwah; (c) Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan (d) Jasa lainnya di bidang keagamaan. 7) Jasa pendidikan, meliputi: (a)Jasa penyelenggaraan penyelenggaraan pendidikan pendidikan sekolah, umum, seperti pendidikan jasa kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan professional;dan (b) Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah. 19 8) Jasa kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan. 9) Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, meliputi jasa penyiaran radio atau televise baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial. 10) Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri. 11) Jasa tenaga kerja, meliputi: (a) Jasa tenaga kerja; (b) Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan (c) Jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja. 12) Jasa perhotelan, meliputi: (a) Jasa penyewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan (b) Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan dihotel, rumah penginapan, motel, losmen dan hostel. 13) Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang 20 dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk. 14) Jasa penyediaan tempat parker yang dilakukan oleh pemilik tempat parker dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parker dengan dipungut bayaran. 15) Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logan atau koin yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. 16) Jasa pengiriman uang dengan wesel pos. 17) Jasa boga atau katering. 6. Objek PPN Menurut Resmi (2009:6-8), Objek Pajak dalam PPN dikenakan atas: a. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; b. Impor BKP; c. Penyerahan JKP yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha; d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud (hak paten, hak cipta, merek dagang, waralaba) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean (jasa konsultan asing yang membeikan jasa manajemen, jasa teknik dan jasa lainnya) di dalam Daerah Pabean; 21 f. Ekspor BKP oleh PKP; g. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, baik yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain; dan h. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Masukan yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan. 7. Subjek PPN Menurut Resmi (2009:5-6), Subjek Pajak dalam PPN terdiri atas: a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN, tidak termasuk pengusaha kecil. b. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Pengusaha kecil adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/ atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp.600.000.000,00 setahun. c. Orang pribadi atau badan yang memafaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean. d. Orang pribadi atau badan yang melakukan pembangunan rumahnya sendiri dengan persyaratan tertentu. e. Pemungut pajak yang ditunjuk oleh pemerintah. 22 Pemungut pajak yang ditunjuk oleh pemerintah terdiri atas Kantor Perbendaharaan Negara, Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah, termasuk Bendahara Proyek. 8. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Menurut Resmi (2009:25-27), untuk menghitung besarnya PPN yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP), berupa: harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor dan nilai lain. a. Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU ini (UU PPN 1984) dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. b. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP, tidak termasuk PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. c. Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undang Pabean untuk impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut UU PPN. d. Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. 23 e. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan. Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut: 1) Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor; 2) Untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor; 3) Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata; 4) Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film; 5) Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran; 6) Untuk BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang maasih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar; 7) Untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan; 8) Untuk penyerahan BKP melalui juru lelang adalah harga lelang; 9) Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah10% dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau 24 10) Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. 9. Saat dan Tempat Terutang Pajak Menurut Resmi (2009:20-21), pajak terutang pada saat: a. Penyerahan BKP atau JKP; b. Impor BKP; c. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; d. Ekspor BKP; e. Pembayaran, dalam hal pembayaran diterima terlebih dahulu; f. Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Menurut Resmi (2009:23-24), tempat terutangnya PPN ditetapkan sebagai berikut: a. Atas penyerahan BKP dan/atau JKP, tempat terutangnya pajak adalah di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai PKP. Apabila PKP mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut 25 merupakan tempat terutangnya pajak dan PKP dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. b. Atas impor BKP, tempat terutangnya pajak adalah di tempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean. c. Atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean, tempat terutangnya pajak adalah di tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan dalam hal orang pribadi atau badan tersebut bukan sebagai Wajib Pajak atau di tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak. d. Atas kegiatan membangun sendiri oleh PKP atau bukan PKP yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, tempat terutangnya pajak adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. e. Atas ekspor BKP, baik atas permohonan tertulis dari PKP maupun secara jabatan, tempat terutangnya pajak adalah tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. 10. Tarif PPN Tarif PPN menurut UU PPN Nomor 49 Tahun 2009 Pasal 7 adalah: a. Tarif PPN adalah sebesar 10% (sepuluh persen). b. Tarif PPN adalah sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas: 1) ekspor BKP Berwujud; 2) ekspor BKP Tidak Berwujud; 3) ekspor JKP 26 c. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Cara dan Metode Penghitungan PPN Berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPn BM Pasal 8A ayat (1), PPN yang terhutang dihitung dengan cara tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 (tarif PPN) dengan DPP. Menurut UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPn BM Pasal 9 ayat (2), Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. a. Bagi PKP yang berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan (Pasal 9 ayat (2a)). b. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP (Pasal 9 ayat (3)). c. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya (Pasal 9 ayat (4)). 12. Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan Menurut Mardiasmo (2008:274), Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan/atau 27 penerimaan JKP dan/atau pemanfaatn BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dan/atau impor BKP. Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, atau ekspor BKP. Menurut Resmi (2009:40), Pajak Masukan dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran jika dipenuhi ketentuan berikut ini: a. PKP Penjual menerbitkan Faktur Pajak Standar. Faktur Pajak Sederhana yang diterima oleh pembeli tentu saja tidak dapat digunakan sebagai dasar pengkreditan Pajak Masukan sehingga merugikan pembeli . b. Faktur Pajak Standar diisi dengan lengkap dan tidak cacat. Faktur Pajak Standar yang tidak lengkap dan cacat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Sederhana. c. Pajak Masukan dengan Faktur Pajak Standar dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama. Apabila dalam masa suatu Masa Pajak belum ada Pajak Keluaran, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. d. Pajak Masukan dengan Faktur Pajak Standar yang belum dikreditkan pada Masa Pajak yang sama dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. 28 e. Setelah batas akhir pengkreditan Pajak Masukan terlampaui, maka Faktur Pajak Standar tidak dapat lagi dikreditkan dan kesempatan mengkreditkan dapat dilakukan lagi jika PKP melakukan pembetulan SPT Masa PPN. Menurut Mardiasmo (2008:297), Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk: a. Perolehan BKP dan/atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP; b. Perolehan BKP dan/atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor, sedan, jeep, station wagon, van dan kombi. d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP; e. Perolehan BKP dan/atau JKP yang buktinya pungutan pajaknya berupa Faktur Pajak Sederhana; f. Perolehan BKP dan/atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan; g. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP diluar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan; h. Perolehan BKP dan/atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penertiban ketetapan pajak; 29 i. Perolehan BKP dan/atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan didalam SPT massa PPN yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; j. Berkenaan dengan: 1) Penyerahan kendaraan bermotor bekas; 2) Penyerahan jasa yang dilakukan oleh pengusaha biro perjalanan atau biro pariwisata; 3) Jasa pengiriman paket; 4) Jasa anjak piutang; 5) Kegiatan membangun sendiri. 13. Faktur Pajak Menurut Resmi (2009:45-66), Faktur Pajak adalah bukti pungutan PPN yang dibuat oleh PKP karena melakukan penyerahan BKP/JKP atau dibuat oleh Direktorat Bea dan Cukai karena impor BKP. Faktur Pajak memiliki fungsi sebagai berikut: a. Sebagai bukti pungut PPN yang dibuat oleh PKP atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, baik karena penyerahan BKP atau JKP maupun impor BKP. b. Sebagai bukti pembayaran PPN yang telah dilakukan oleh pembeli BKP atau penerimaan JKP kepada PKP atau Direktorat Bea dan Cukai. c. Sebagai sarana pengawasan adminstrasi terhadap kewajiban perpajakan. 30 Faktur Pajak dibedakan menjadi Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Sederhana dan Faktur Pajak Gabungan. a. Faktur Pajak Standar harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau JKP yang paling sedikit memuat: 1) nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan BKP/JKP; 2) nama, alamat dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP; 3) jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian dan potongan harga; 4) PPN yang dipungut; 5) PPn BM yang dipungut; 6) kode, nomor seri dan tanggalpembuatan Faktur Pajak; serta 7) nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. Faktur penjualan yang memuat keterangan dan yang pengisiannya sesuai dengan ketentuan ini dapat disebut dengan Faktur Pajak Standar. b. PKP dapat menerbitkan Faktur Pajak Sederhana. Faktur Pajak Sederhana dibuat dalam hal PKP melakukan: 1) penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan secara langsung kepadakonsumen akhir; 2) penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli dan/atau penerima JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap. 31 Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tanda bukti penyerahan atau tanda bukti pembayaran sebagai Faktur Pajak Sederhana yang paling sedikit memuat informasi tentang: 1) nama, alamat dan NPWP yang menyerahkan BKP/JKP; 2) jenis dan kuantum; 3) jumlah harga jual atau penggantian yang sudah termasuk pajak atau besarnya pajak dicantumkan secara terpisah; 4) tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana. c. PKP diwajibkan membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan BKP atau setiap penyerahan JKP. Namun, untuk meringankan beban administrasi, kepada PKP diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak yang meliputi semua Penyerahan BKP/JKP yang terjadi selama satu bulan takwin kepada pembeli yang sama atau penerima JKP yang sama. Faktur Pajak yang demikian disebut dengan Faktur Pajak Gabungan. 14. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) PPN Surat Pemberitahuan Masa merupakan laporan bulanan yang dapat disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak, mengenai perhitungan: a. Pajak Masukan berdasarkan realisasi pembelian BKP atau realisasi penerimaan JKP. b. Pajak Keluaran berdasarkan realisasi pengeluaran BKP/JKP. c. Penyetoran pajak atau kompensasi. Bagi Pengusaha Kena Pajak penyampaian SPT 32 a. PKP wajib melaporkan perhitungan pajak tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak (Kantor Pelayanan Pajak). b. Dilakukan paling lambat tanggal 20 setelah akhir Masa Pajak. c. Menggunakan formulir SPT Masa. d. Keterangan dan dokumen yang dicantumkan dan/atau dilampirkan pada SPT Masa ditetapkan oleh Menteri Keuangan. e. SPT dianggap tidak dimasukkan jika tidak atau tidak sepenuhnya melakukan ketentuan UU PPN 1984 (Mardiasmo, 2008:303-304). PPN dan PPn BM yang dipungut oleh PKP, batas waktu pembayaran tanggal 15 bulan berikut dan batas waktu pelaporan tanggal 20 bulan berikut. PPN dan PPn BM yang dipungut oleh bendahara, batas waktu pembayaran tanggal 7 bulan berikut dan batas waktu pelaporan tanggal 14 bulan berikut. PPN dan PPn BM yang dipungut oleh non bendahara, batas waktu pembayaran tanggal 15 bulan berikut dan batas waktu pelaporan tanggal 20 bulan berikut. B. Inflasi 1. Definisi Inflasi Menurut Sukirno (2004:27), inflasi adalah kenaikan harga-harga umum yang berlaku dalam suatu perekonomian dari suatu periode ke periode lainnya, sedangkan tingkat inflasi adalah persentasi kenaikan harga-harga pada suatu tahun tertentu berbanding dengan tahun sebelumnya. Inflasi adalah kenaikan tingkat harga keseluruhan (Case dan Fair, 2004:58). Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan 33 bahwa inflasi adalah suatu keadaan yang mengakibatkan naiknya harga secara umum atau proses menurunnya nilai uang secara kontinu. 2. Macam-Macam inflasi Menurut Pratomo (2006:107-110), macam-macam inflasi digolongkan berdasarkan atas parah-tidaknya inflasi, sebab musabab inflasi dan asal dari inflasi. a. Penggolongan inflasi didasarkan atas parah-tidaknya inflasi sebagai berikut: 1) Inflasi ringan, yaitu di bawah 10% per tahun; 2) Inflasi sedang, yaitu 10%-30% per tahun; 3) Inflasi berat, yaitu 30%-100% per tahun; dan 4) Hiperinflasi, yaitu di atas 100% per tahun. Indonesia pernah mengalami hiperinflasi pada tahun 1960-an yang mencapai 650%. Indonesia pernah pula mengalami inflasi berat, yaitu mencapai 60% pada tahun 1998. Di tahun 1999 inflasi sedikit melemah, yaitu mencapai 20%. b. Penggolongan inflasi didasarkan atas sebab musabab inflasi sebagai berikut: 1) Inflasi yang timbul akibat kenaikan permintaan masyarakat (demand pull inflation). 2) Inflasi yang timbul akibat kenaikan ongkos produksi (cost push inflation). 34 Perbedaan dari demand pull inflation dan cost push inflation, yaitu pertama pada demand pull inflation terjadi kenaikan output, sedangkan pada cost push inflation yang terjadi adalah penurunan output. Kedua pada demand pull inflation, kenaikan harga barang mendahului kenaikan harga bahan-bahan input (material), sedangkan pada cost push inflation yang terjadi adalah kenaikan harga barang input yang mendahului kenaikan harga barang output. c. Penggolongan inflasi didasarkan atas asal dari inflasi sebagai berikut: 1) Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation). Inflasi yang berasal dari dalam negeri adalah inflasi yang berasal dari dalam negeri itu sendiri, seperti defisit keuangan negara yang dibiayai (ditutupi) dengan pencetakan uang baru atau pengenaan pajak oleh pemerintah. 2) Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation). Inflasi yang berasal dari luar negeri adalah inflasi yang terjadi akibat pengaruh kenaikan harga barang-barang dari luar negeri, misalnya kenaikan harga barang-barang material (input) dari luar negeri. 3. Laju Inflasi Menurut Murni (2006:41), laju inflasi adalah laju tingkat harga umum dari tahun ke tahun dan biasanya diikuti degan kenaikan harga pada tahun tertentu dari tahun sebelumnya. Laju atau tingkat inflasi dapat dihitung dengan rumus berikut: 35 Laju inflasi = IHKt – IHK (t-1) x 100% IHK (t-1) Keterangan: IHKt = Indeks Harga Konsumen tahun x IHK (t-1) = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya Indeks Harga Konsumen (IHK) atau (consumer price index-CPI) mengukur biaya sekelompok barang dan jasa di pasar. Harga tersebut berupa harga-harga makanan, pakaian, pemukiman, transportasi, kesehatan, pendidikan dan komoditas lainnya yang akan dibeli konsumen untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Sekian banyak komoditas yang diperhitungkan dapat digolongkan pada empat golongan, yaitu sandang, pangan, papan dan keperluan barang jasa lain. 4. Efek buruk inflasi Menurut Sukirno (2004:338-339), efek buruk inflasi berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi dan kemakmuran masyarakat. a. Inflasi dan perkembangan ekonomi, inflasi yang tinggi tingkatnya tidak akan menggalakkan perkembangan ekonomi. Biaya yang terus menerus naik menguntungkan, menyebabkan maka kegiatan pemilik modal produktif biasanya sangat tidak lebih suka menggunakan uangnya untuk tujuan spekulasi. Tujuan ini antara lain dicapai dengan membeli harta-harta tetap seperti tanah, rumah dan bangunan. Oleh karena pengusaha lebih suka menjalankan kegiatan investasi yang bersifat seperti ini, investasi produktif akan berkurang 36 dan tingkat kegiatan ekonomi menurun. Sebagai akibatnya lebih banyak pengangguran akan wujud. Kenaikan harga-harga menimbulkan efek yang buruk pula ke atas perdagangan. Kenaikan harga menyebabkan barang-barang negara itu tidak dapat bersaing di pasaran internasional, maka ekspor akan menurun. Sebaliknya, harga-harga produksi dalam negeri yang semakin tinggi sebagai akibat inflasi menyebabkan barang-barang impor menjadi relatif lebih murah, maka lebih banyak impor akan dilakukan. Ekspor yang menurun dan diikuti pula oleh impor yang bertambah menyebabkan ketidakseimbangan dalam aliran mata uang asing. Kedudukan neraca pembayaran akan memburuk. b. Inflasi dan kemakmuran masyarakat: 1) Inflasi akan menurunkan pendapatan riil orang-orang yang berpendapatan tetap. Pada umumnya kenaikan upah tidaklah secepat kenaikan harga-harga, maka inflasi akan menurunkan upah riil individu-individu yang berpendapatan tetap. 2) Inflasi akan mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang. Sebagian kekayaan masyarakat disimpan dalam bentuk uang. Simpanan di bank, simpanan tunai dan simpanan dalam institusiinstitusi keuangan lain merupakan simpanan keuangan. Nilai riilnya akan menurun apabila inflasi berlaku. 3) Memperburuk pembagian kekayaan. Telah ditunjukkan bahwa penerima pendapatan tetap akan menghadapi kemerosotan dalam 37 nilai riil pendapatannya dan pemilik kekayaan bersifat keuangan mengalami penurunan dalam nilai riil kekayaannya. Tetapi pemilik harta-harta tetap (tanah dan rumah) dapat mempertahankan atau menambah nilai riil kekayaannya. 5. Kebijakan Mengatasi inflasi Menurut Sukirno (2004:354), kebijakan pemerintah untuk mengatasi inflasi, berupa: kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan dasar segi penawaran. a. Kebijakan fiskal, yaitu dengan menambah pajak dan mengurangi pengeluaran pemerintah. b. Kebijakan moneter, yaitu dengan mengurangi, menaikkan suku bunga dan membatasi kredit. c. Dasar segi penawaran, yaitu dengan melakukan langkah-langkah yang dapat mengurangi biaya produksi dan menstabilkan harga, seperti mengurangi pajak impor dan pajak ke atas bahan mentah, melakukan penetapan harga, menggalakkan pertambahan produksi dan menggalakkan perkembangan teknologi. C. Nilai Tukar Rupiah 1. Definisi Nilai Tukar Rupiah Menurut Murni (2006:244), nilai tukar (exchange rate) atau disebut juga kurs valuta asing (foreign exchange rate) adalah jumlah uang domestik yang dibutuhkan untuk memperoleh satu unit mata uang asing. Menurut Sukirno (2004:397), kurs valuta asing didefinisikan sebagai 38 jumlah uang domestik yang dibutuhkan, yaitu banyaknya rupiah yang dibutuhkan untuk memperoleh satu unit mata uang asing. Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai tukar rupiah adalah rasio pertukaran antara sejumlah mata uang domestik (rupiah) dengan satu unit mata uang asing. 2. Pemintaan dan Penawaran Terhadap Valuta Asing Pemintaan terhadap valuta asing timbul bila penduduk suatu negara membutuhkan barang dan jasa yang diproduksi oleh negara lain. Pemintaan terhadap valuta asing meningkat bila impor meningkat. Faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan terhadap valuta asing terutama sebagai berikut: a. harga mata uang asing tersebut (nilai tukarnya); b. tingkat pendapatan; c. tingkat bunga relatif; d. selera; e. ekspektasi; dan f. kebijakan pemerintah. Penawaran terhadap valuta asing meningkat bila negara lain mengimpor barang dan jasa atau ekspor meningkat. Penawaran terhadap valuta asing juga meningkat bila arus masuk modal (capital inflow) lebih besar daripada arus keluar modal (capital outflow) (Rahardja dan Manurung, 2004:85-86). 39 Satu mata uang diperdagangkan dengan yang lainnya di dalam pasar atau bursa valuta asing, maka berlakulah pedoman bahwa menginginkan (permintaan) rupiah sama saja dengan kesediaan untuk menawarkan (penawaran) valuta asing. Di sisi lain, menjajakan (penawaran) rupiah mengandung arti keinginan (permintaan) akan valuta asing (Lipsey et, al., 1993:380). Menurut Todaro dan Smith (2006:167), devaluasi terhadap mata uang suatu negara adalah penetapan nilai tukar yang lebih rendah bagi mata uang tersebut terhadap valuta-valuta asing secara mendadak lewat keputusan pemerintah. Depresiasi adalah penurunan daya beli mata uang domestik secara bertahap di pasar luar negeri relatif dibandingkan jika di pasar domestik. Apresiasi adalah peningkatan daya beli mata uang domestik secara bertahap. 3. Sistem Nilai Tukar Di antara sekian sistem moneter internasional yang utama, ada dua ekstrim yang bisa dibedakan, yaitu nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan nilai tukar fleksibel (free floating exchange rate) adalah sebagai berikut: a. Nilai tukar tetap (fixed exchange rate) adalah sistem di mana nilai tukar bersifat tetap pada nominal tertentu. Dalam sistem nilai tukar tetap, Bank Sentral setiap negara melakukan intervensi pada bursa valuta asing untuk mencegah penyimpangan nilai tukar dari nominal yang telah ditetapkan. 40 b. Nilai tukar fleksibel atau nilai tukar mengambang (free floating exchange rate) adalah sistem nilai tukar yang berfluktuasi dengan bebas dan ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar tanpa adanya campur tangan pemerintah. Dalam sistem nilai tukar fleksibel, permintaan dan penawaran menentukan nilai tukar tanpa adanya campur tangan pemerintah dalam bentuk apapun. Di antara kedua sistem tersebut, terdapat beberapa sistem campuran, yaitu sistem patok yang masih bisa diubah (adjustable peg system) dan sistem mengambang terkendali (managed floating exchange rate): a. Sistem patok yang masih bisa diubah (adjustable peg system), pemerintah menentukan dan berusaha mempertahankan nilai pari dari nilai tukarnya, namun mereka menyadari bahwa keadaan dapat berkembang sehingga mereka dapat mengubah nilai pari tersebut. b. Sistem mengambang terkendali (managed floating exchange rate), Bank Sentral berusaha berperan sebagai stabilisator atas nilai tukar, namun tidak menetapkan nilai parinya (Lipsey et, al., 1993:396-401). 4. Macam-Macam Kurs Menurut Paryan (2009), beberapa kurs yang dikenal dalam praktek, berupa: kurs realisasi, kurs Bank Indonesia (BI) dan kurs Menteri Keuangan. a. Kurs realisasi adalah kurs yang sebenarnya terjadi pada saat perusahaan merupiahkan mata uang asing atau pada waktu perusahaan membeli mata uang asing dengan rupiah. 41 b. Kurs BI adalah kurs yang berlaku di Bank Indonesia dan biasanya dipakai untuk mencatat utang piutang serta transaksi dalam mata uang asing. Kurs BI terdiri dari kurs jual dan kurs beli. Dalam rangka melakukan pencatatan, kurs yang dipakai adalah kurs tengah BI, yaitu kurs rata-rata antara kurs jual dengan kurs beli. c. Kurs Menteri Keuangan adalah kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Kurs ini ditetapkan untuk tujuan tertentu seperti pelunasan pajak. Kurs ini semula dikeluarkan setiap triwulanan namun demikian sejak 1 Oktober 1997 dikeluarkan setiap minggu. Kurs Menteri Keuangan adalah kurs yang digunakan dalam penelitian ini. 5. Cara Menghitung Kurs Menurut Mankiw (2007: 128-135), kurs nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat di mana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Rumus untuk menghitung kurs riil terdiri dari kurs riil untuk barang tunggal dan kurs riil untuk kelompok barang yang lebih luas: a. Kurs riil untuk barang tunggal Kurs Riil = Kurs Nominal x Harga Barang Domestik Harga Barang Luar Negeri b. Kurs riil untuk kelompok barang yang lebih luas € = e x (P/P*) 42 c. Kurs Nominal e = € x (P*/P) Keterangan: € = Kurs Riil e = Kurs Nominal P/P* = Rasio Tingkat Harga P = Tingkat Harga Luar Negeri (Dollar) P* = Tingkat Harga Domestik 6. Dampak dan Pengendalian Fluktuasi Rupiah Menurut Edalmen (2000), banyak dampak yang timbul dari fluktuasi nilai tukar rupiah dalam perekonomian Indonesia yang sangat terbuka. Fluktuasi nilai tukar rupiah ini berkaitan erat dengan nilai valuta asing yang diukur dengan mata uang rupiah, antara lain sebagai berikut: a. Ditinjau dari segi lalu lintas moneter internasional, fluktuasi kurs rupiah akan dapat mempersulit pembayaran hutang luar negeri berserta bunganya, khususnya hutang yang telah jatuh tempo. Hal ini terjadi karena dengan kurs rupiah yang makin melemah, maka perlu dana rupiah yang jumlahnya lebih besar untuk pembayarannya. b. Fluktuasi kurs rupiah yang begitu besar dapat pula menyebabkan berkurangnya daya tarik investor asing untuk menanamkan modal di dalam negeri, sehingga lalu lintas modal netto akan cenderung mengalami difisit. 43 c. Fluktuasi kurs rupiah berdampak terhadap kelangsungan APBN pada tahun yang sedang berjalan. Keadaan tersebut akan menyulitkan dalam menyusun perencanaan dan program pembangunan, terutama karena sukar meramalkan nilai kurs valuta asing yang harus ditetapkan pada waktu periode perencanaan. d. Fluktuasi kurs rupiah juga akan dapat mempengaruhi kondisi moneter di dalam negeri. Nilai rupiah yang melemah jika dapat meningkatkan ekspor pada akhirnya akan dapat mempengaruhi supply uang di dalam negeri. Sebaliknya ada kecenderungan meningkatnya pengeluaran untuk impor yang berarti meningkatkan pemakaian valuta asing dan berakibat menipisnya cadangan devisa. Sekarang ini masih sering terjadi perbedaan pendapat diantara para pejabat pemerintah tentang penyebab sebenarnya fluktuasi rupiah. Memperhatikan berbagai faktor yang teridentifikasi kiranya alasan kuat juga datang dari faktor non ekonomi, yaitu faktor politik, keamanan dan tegaknya hukum yang telah memberikan bobot tersendiri dalam melemahkan nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, tidak ada salahnya pemerintah juga memusatkan perhatian pada terciptanya iklim politik, situasi keamanan dan penegakan hukum yang lebih kondusif. Peningkatan koordinasi untuk menyamakan persepsi tentang bagaimana negara ke depan serta menghindari berbagai pernyataan yang dapat menimbulkan kontroversi dan ketidakpastian diharapkan mampu untuk meredam gejolak fluktuasi mata uang rupiah. 44 D. Pengusaha Kena Pajak (PKP) 1. Definisi PKP Berdasarkan UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (4), pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Menurut Mardiasmo (2008:278), PKP adalah pengusaha sebagaimana dimaksud seperti di atas yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN 1984, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Berdasarkan UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (5), PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya. Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa PKP adalah pengusaha yang telah menjadi Wajib Pajak sehingga telah memiliki hak dan kewajiban perpajakan dan kegiatan usahanya adalah melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP kepada pihak manapun. 45 2. Pengukuhan PKP UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 2 ayat (2) berbunyi “Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP)”, UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 2 ayat (4) dan (4a) berbunyi “Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya”. “Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektof sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama lima tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak”. 3. Pencabutan Pengukuhan Sebagai PKP Menurut Waluyo (2009:59-60), pengukuhan sebagai PKP dicabut dilakukan sebagai berikut: a. Bila Wajib Pajak (WP) pindah alamat ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lain, bubar atau tidak memenuhi syarat sebagai PKP 46 lagi, maka terhadap WP tersebut dilakukan pencabutan pengukuhan sebagai PKP. b. Pencabutan pengukuhan PKP dilakukan dengan cara mengisi Formulir Pemutakhiran Data WP yang pengisiannya dilakukan oleh: 1) WP atau kuasanya yang sah dengan melampirkan Surat Kuasa; 2) Petugas Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan dalam hal: (a) WP meninggal dunia tanpa meninggalkan warisan, berdasarkan Surat Keterangan Kematian atau fotokopi akta atau fotokopi laporan kematian WP; (b) WP Bentuk Usaha Tetap yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai Bentuk Usaha Tetap dan WP Orang Pribadi yang tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat digolongkan sebagai WP berdasarkan hasil pemeriksaan Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan. c. Bila WP pidah tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lain atau berubahnya status perusahaan yang mengakibatkan Kantor Pelayanan Pajak yang mengelolanya berubah,penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan PKP dilakukan sebagai berikut: 1) WP mengajukan Surat Pemberitahuan Pindah ke Kantor Palayanan Pajak lama atau langsung ke Kantor Palayanan Pajak baru tanpa disyaratkan harus mengisi Formulir Pemutakhiran Data WP; 47 2) Surat Pemberitahuan Pindah sebagaimana dimaksud pada di atas harus memuat data sekurang-kurangnya mengenai nama, NPWP, Nomor Register dan alamat baru WP di tempat yang dituju, yang diperlukan oleh Kantor Palayanan Pajak lama untuk menerbitkan Surat Perpindahan WP dan/atau Surat Pencabutan Pengukuhan sebagai PKP untuk dikirimkan ke Kantor Palayanan Pajak baru; 3) Berdasarkan Surat Perpindahan WP dan/atau Surat Pencabutan Pengukuhan sebagai PKP, Kantor Palayanan Pajak baru akan menerbitkan Kartu Pendaftaran, Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, Surat Pengukuhan PKP dan Surat Pemberitahuan telah terdaftar di Kantor Palayanan Pajak baru. 4. Kewajiban PKP Menurut Djuanda dan Lubis (2006:31), PKP berkewajiban untuk: a. Memiliki Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP). b. Memungut PPN dan PPn BM yang terutang. c. Menyetor PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, serta menyetorkan PPN yang terutang. d. Melaporkan perhitungan PPN dan PPn BM yang terutang. 5. Pengecualian Kewajiban PKP Menurut Mardiasmo (2008:278), pengusaha yang dikecualikan dari kewajiban sebagai PKP adalah: 48 a. Pengusaha Kecil, yaitu pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00. Pengusaha Kecil dibebaskan dari kewajiban mengenakan atau memungut PPN atas penyerahan BKP/JKP, sehingga tidak perlu melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP, maka UU PPN & PPn BM berlaku sepenuhnya bagi Pengusaha Kecil tersebut. b. Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan/atau jasa yang tidak dikenakan PPN. 6. Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pajak Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001, dalam rangka meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan mengoptimalkan penerimaan pajak, perlu dengan pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi PPh Pasal 25, PPh Pasal 21 dan PPN. Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi DJP. Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak. Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak, meliputi: 49 a. Pemberian NPWP dilokasi usaha, termasuk pengukuhan sebagai PKP, terhadap orang pribadi pengusaha tertentu yang mempunyai lokasi usaha di sentra perdagangan/ perbelanjaan/ pertokoan/ perkantoran/ mal/ plaza/ kawasan industry/ sentra ekonomi lainnya. b. Pemberian NPWP dan/atau pengukuhan sebagai PKP terhadap WP Badan yang berdasarkan data yang dimiliki atau diperoleh ternyata belum terdaftar sebagai WP dan/atau PKP baik di domisili atau lokasi. E. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai penerimaan PPN dan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP telah banyak dilakukan, seperti yang ditunjukkan dalam tabel 2.1. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Peneliti (Tahun) Salawati (2008) Muhammad Zilal Hamzah dan Willy Suyowibow o (2005) Judul Persamaan Penelitian Analisis 1. Variabel: Pengaruh Inflasi (X), Inflasi dan Nilai Tukar Nilai Tukar Rupiah (X), Rupian Penerimaan Terhadap PPN (Y) Penerimaan 2. Metodologi PPN pada penelitian: Kanwil DJP Regresi Jakarta Selatan Linear Berganda Pengaruh Kurs, 1. Variabel: IHSG dan SBI Kurs (X) dan Terhadap Penerimaan Penerimaan Pajak (Y) Negara Sektor Perpajakan Perbedaan 1. Objek Penelitian: Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan 2. Periode penelitian: 2005-2007 1. Metodologi penelitian: Analisis Jalur 2. Periode penelitian: 1995-2004 Hasil Penelitian Inflasi dan Nilai Tukar Rupiah berpengaruh terhadap penerimaan PPN sebesar 27,4% Kurs dan SBI menunjukkan hasil yang signifikan namun IHSG tidak signifikan terhadap penerimaan pajak Bersambung ke halaman berikutnya 50 Tabel 2.1 (Lanjutan) Peneliti (Tahun) Saepudin (2008) Judul Persamaan Penelitian Analisis 1. Variabel: Faktor-Faktor Inflasi (X), yang Jumlah PKP Mempengaru (X) dan hi Pajak Penerimaan Pertambahan PPN (Y) Nilai (PPN) di 2. Metodologi Sumatera penelitian: Utara Regresi Linear Berganda Alberto La Relazione 1. Variabel: Locarno Tra Gettito Inflasi (X) dan Tributario E dan Alessandra Quadro Penerimaan Staderini Macroeconom Pajak (2008) ico In Italia 2. Metodologi penelitian: Analisis Regresi Eddi Dampak 1. Variabel: Wahyudi Fluktuasi Inflasi (X), dkk. (2009) Ekonomi Nilai Tukar Terhadap Rupiah (X) Penerimaan dan Pajak penerimaan PPN (Y) Rifki Aditya (2009) Analisis Determinan Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai dari Wilayah Provinsi Sumatera Selatan 3. Variabel: Inflasi (X), Jumlah PKP (X) dan Penerimaan PPN (Y) 4. Metodologi penelitian: Analisis regresi Ordinary Least Square Hasil Penelitian 1. Objek Jumlah PKP, penelitian: inflasi dan Kanwil DJP pertumbuhan Sumut I dan II ekonomi secara 2. Periode simultan penelitian: 2000- berpengaruh 2007 signifikan terhadap penerimaan PPN. 1. Objek Penerimaan Penelitian: pajak di Negara Italia pengaruhi oleh 2. Periode suku bunga, penelitian: tahun harga minyak, 1978-2006 output gap dan inflasi. Perbedaan 1. Model penelitian: Structural Vector Autoregression (S-VAR) dengan Vector Error Correction Model (VECM) 2. Periode penelitian: 1993-2007 3. Objek Penelitian: KPP di Sumatera Selatan 4. Periode penelitian: 20012008 Konsumsi minyak, harga minyak, inflasi, jumlah uang beredar, nilai tukar rupiah dan tingkat hunian hotel berpengaruh terhadap penerimaan PPh dan PPN. Pertumbuhan ekonomi dan inflasi berkorelasi negatif sedangkan Jumlah PKP berkorelasi positif terhadap penerimaan PPN. Bersambung ke halaman berikutnya 51 Tabel 2.1 (Lanjutan) Peneliti (Tahun) Terence D. Agbeyegbe et, al., (2006) Judul Persamaan Penelitian Trade 1. Variabel: Liberalization Kurs, Inflasi , exchange dan rate changes Penerimaan and tax Pajak revenue in Sub-Sahara Africa Perbedaan 1. Metodologi penelitian: Generalized Method of Moment Regression 2. Periode penelitian: 1980-1996 Hasil Penelitian Liberalisasi perdagangan tidak berpengaruh kuat terhadap penerimaan pajak agregat, apresiasi mata uang dan inflasi yang lebih tinggi menunjukkan penurunan penerimaan pajak. Sumber: Diolah dari berbagai referensi F. Keterkaitan Antar Variabel 1. Pengaruh Inflasi Terhadap Penerimaan PPN Salah satu kendala yang banyak dialami oleh berbagai negara dalam perekonomian adalah masalah inflasi, terlebih jika yang terjadi tingkat inflasi tinggi. Inflasi mempengaruhi seluruh variabel makro ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, ekspor/impor, penabungan, tingkat bunga, investasi, distribusi pendapatan dan penerimaan pajak (Nersiwad, 2002). Tingkat inflasi berpengaruh terhadap daya konsumsi masyarakat, dimana konsumsi itu berpengaruh terhadap penerimaan PPN. Semakin tinggi konsumsi maka semakin tinggi pula penerimaan PPN karena PPN adalah pajak atas konsumsi. Tingkat inflasi akan mempengaruhi harga BKP dan/ JKP, dimana dasar pengenaan PPN merupakan harga perolehan dari BKP dan/ JKP. Tarif yang dikenakan terhadap PPN adalah sepadan, yaitu 10% dari harga perolehan. Hal tersebut membuat inflasi berpengaruh terhadap penerimaan 52 PPN, sebagai contoh harga sebuah barang „Y‟ sebelum terjadi inflasi sebesar Rp. 1.000.000 yang mana dikenakan PPN sebesar Rp. 100.000. Periode berikutnya dengan inflasi yang meningkat harga barang „Y‟ naik menjadi Rp 1.100.000 dan dikenakan PPN menjadi sebesar Rp 110.000. Penelitian yang dilakukan oleh Salawati (2008) menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PPN. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi dkk. (2009) serta Locarno dan Staderini (2008) juga menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Berdasarkan uraian tersebut, maka diekspektasikan tingkat inflasi berpengaruh terhadap penerimaan PPN, untuk itu penulis membuat hipotesis sebagai berikut: Ha1: Inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN. 2. Pengaruh Nilai Tukar Rupiah Terhadap Penerimaan PPN Sasaran pembangunan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Penurunan pertumbuhan ekonomi akan ditranmisikan ke dalam turunnya penerimaan pajak. Upaya untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan ekonomi adalah dengan menjaga stabilitas indikator-indikator ekonomi makro yang salah satu diantaranya adalah indikator ekonomi makro nilai tukar rupiah (Departemen Keuangan, 2008:1-3). Nilai tukar rupiah yang melemah terhadap mata uang asing atau terjadi depresiasi akan mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Hal tersebut akan mempengaruhi daya beli 53 masyarakat dikarenakan harga barang dan jasa mengalami kenaikan sementara tingkat pendapatan masyarakat yang cenderung konstan atau tetap. Daya beli atau konsumsi masyarakat yang dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah pada akhirnya akan mempengaruhi penerimaan PPN karena PPN adalah pajak atas konsumsi. Penelitian yang dilakukan oleh Salawati (2008) menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PPN. Penelitian yang dilakukan oleh Hamzah dan Suryowibowo (2005) serta Agbeyegbe et, al., (2006) juga menunjukkan bahwa kurs berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Berdasarkan uraian tersebut, maka diekspektasikan nilai tukar rupiah berpengaruh terhadap penerimaan PPN, untuk itu penulis membuat hipotesis sebagai berikut: Ha2: Nilai tukar rupiah berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN. 3. Pengaruh Jumlah PKP Terhadap Penerimaan PPN Upaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam rangka mencapai target penerimaan pajak yang setiap tahun meningkat dalam APBN adalah dengan melakukan intensifikasi pajak dan ekstensifikasi pajak. Intensifikasi antara lain dengan menguji kepatuhan Wajib Pajak, misalnya melalui pemeriksaan pajak. Ekstensifikasi ditempuh dengan memperluas basis pengenaan pajak, seperti kenaikan jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) terdaftar. 54 Pelaksanaan program ekstensifikasi pajak akan menimbulkan penambahan subjek kewajiban perpajakan baru, yakni PKP terdaftar. Tingkat kepatuhan dari PKP yang telah terdaftar maupun yang baru terdaftar melalui pelaksanaan program ekstensifikasi diharapkan meningkat, sehingga penerimaan perpajakan juga akan meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh Saepudin (2008) dan Aditya (2009) menunjukkan bahwa jumlah PKP berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PPN. Berdasarkan uraian tersebut, maka diekspektasikan jumlah PKP berpengaruh terhadap penerimaan PPN, untuk itu penulis membuat hipotesis sebagai berikut: Ha3: Jumlah PKP berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN. 4. Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar Rupiah dan Jumlah PKP Terhadap Penerimaan PPN Upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak khususnya PPN yang merupakan sumber penerimaan pajak terbesar kedua setelah Pajak Penghasilan (PPh) dalam APBN dapat dilakukan melalui faktor internal maupun eskternal. Faktor internal meliputi kebijakan dibidang perpajakan dan faktor eksternal meliputi perkembangan ekonomi makro, seperti pengaruh variabel ekonomi makro yang terdapat dalam penelitian ini berupa inflasi dan nilai tukar rupiah. Karena fluktuasi ekonomi dapat mempengaruhi kestabilan penerimaan pajak (Wahyudi dkk., 2009). 55 Upaya internal yang diambil oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam rangka mencapai target penerimaan pajak yang setiap tahun meningkat dalam APBN adalah melakukan intensifikasi pajak dan ekstensifikasi pajak. Intensifikasi antara lain dengan menguji kepatuhan Wajib Pajak, misalnya melalui pemeriksaan pajak, sedangkan ekstensifikasi pajak ditempuh dengan memperluas basis pengenaan pajak, misalnya melalui kenaikan jumlah PKP terdaftar (Manurung et, al., 2001). Upaya eksternal yang dilakukan pemerintah adalah dengan menjaga indikator ekonomi makro diantaranya stabilitas inflasi dan nilai tukar rupiah. Inflasi dan nilai tukar rupiah yang berfluktuatif akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi akan ditransmisikan ke dalam penerimaan perpajakan. Berdasarkan uraian di atas mengenai inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP yang masing-masing diekspektasikan berpengaruh terhadap penerimaan PPN, maka dapat diekspektasikan inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP secara bersama-sama berpengaruh terhadap penerimaan PPN, untuk itu penulis membuat hipotesis sebagai berikut: Ha4: Inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap penerimaan PPN. G. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran untuk memudahkan dalam melakukan analisis, maka penulis menggambarkan kerangka pemikiran seperti pada Gambar 2.1 berikut: 56 Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar Rupiah dan Jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) Terhadap Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Inflasi (X1) Salawati (2008), Saepudin (2008), Wahyudi dkk., (2009) Agbeyegbe et, al., (2006), Aditya (2009), Locarno dan Staderini (2008) Penerimaan PPN (Y) Wahyudi dkk., (2009), Salawati (2008), Aditya (2009), Saepudin (2008) Nilai Tukar Rupiah (X2) Salawati (2008), Wahyudi dkk., (2009), Hamzah dan Suryowibowo (2005) Jumlah PKP (X3) Aditya (2009), Saepudin (2008) Uji Model Regresi Uji Asumsi Klasik: 1. Uji Normalitas 2. Uji Multikolonieritas 3. Uji Heteroskedastisitas 4. Uji Autokorelasi Uji Regresi Berganda Uji F Uji t Adjusted R2 Interpretasi Kesimpulan Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran 57 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kausalitas, karena tujuan penelitian ini adalah meneliti hubungan sebab akibat antara dua variabel, yaitu variabel independen (inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP) terhadap variabel dependen (penerimaan PPN). Penelitian ini dilakukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (Kanpus DJP) yang beralamat di Jl. Jenderal Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta. Penulis dalam penelitian ini melakukan penelitian berupa studi time series dimana data yang digunakan berupa data rentetan waktu (Indriantoro, 2002:96). Periode penelitian adalah dari Januari 2002 sampai dengan Desember 2009 atau selama delapan tahun. B. Metode Penentuan Sampel Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah semua populasi dijadikan sebagai sampel. Oleh karena penelitian yang dilakukan berupa studi time series selama delapan tahun dengan unit data bulanan, maka jumlah sampel adalah 96 buah. Namun diantara sampel terdapat 11 sampel yang outlier, yakni terdapat sampel yang terjadi deflasi sehingga total sampel yang digunakan menjadi berjumlah 85 buah. Outlier (Gozali, 2009), adalah kasus atau data yang memiliki karakteristik unik yang terlihat sangat berbeda jauh 58 dari observasi lainnya dan muncul dalam bentuk nilai ekstrim baik untuk sebuah variabel tunggal atau untuk variabel kombinasi. C. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain) (Indriantoro dan Supomo, 2002:147). Ada dua jenis data yang digunakan, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif diambil dari buku, jurnal, majalah, penelitian terdahulu dan situs internet yang berhubungan dengan penelitian ini. Data kuantitatif berupa data angka-angka yang terdapat pada data inflasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui situs www.bps.go.id, data nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan diperoleh melalui situs www.ortax.org dan dengan mendatangi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh data jumlah PKP terdaftar yang terdiri dari WP PKP Badan dan Orang Pribadi serta realisasi penerimaan PPN. Periode data yang digunakan adalah dari Januari 2002 sampai dengan Desember 2009. D. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan metode data kuantitatif dengan menggunakan analisis statistik melalui pendekatan regresi berganda, yaitu suatu analisis yang mengukur pengaruh antarvariabel yang melibatkan lebih dari satu variabel independen terhadap variabel dependen (Sunyoto, 2009:9). Analisis data dilakukan dengan bantuan aplikasi komputer, yaitu program SPSS. 59 1. Uji Asumsi Klasik a. Uji Normalitas Data Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak, yaitu dengan analisis grafik dan uji statistik. Uji normalitas ini dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik. Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi mengikuti asumsi normalitas, sedangkan jika data menyebar jauh dari diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis diagonal, grafik histogramnya tidak menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas (Ghozali, 2009:147). b. Uji Multikolonieritas Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen. Multikolonieritas dapat dilihat dari nilai tolerance dan lawannya variance inflation factor (VIF). Tolerance mengukur variabilitas variabel independen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Nilai cut off yang umum dipakai untuk 60 menunjukkan adanya multikolonieritas adalah nilai Tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10 (Ghozali, 2009). c. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut Heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang Homoskedastisitas atau tidak terjadi Heteroskedastisitas (Ghozali, 2009). d. Uji Autokorelasi Menurut Santoso (2002), bertujuan untuk menguji apakah sebuah regresi linear ada korelasi antara kesalahan penganggu pada periode t dan kesalahan penganggu pada periode t-1. Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada problem autokorelasi. Model regresi yang baik adalah yang bebas dari problem tersebut. Salah satu cara yang digunakan untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji Durbin Watson (D-W). Dimana jika angka D-W di bawah -2 ada angka autokorelai positif, angka D-W antara -2 sampai +2 tidak ada autokorelasi dan angka D-W di atas +2 ada autokorelasi negatif (Sunyoto, 2009:91-92). 2. Uji Hipotesis Metode analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah metode analisis regresi linear berganda, yaitu suatu analisis yang mengukur 61 pengaruh antarvariabel yang melibatkan lebih dari satu variabel independen terhadap variabel dependen (Sunyoto, 2009:9). Adapun rumus regresi linear berganda sebagai berikut: Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 +e Keterangan: Y = Variabel Dependen (Penerimaan PPN) α = Konstanta β = Koefisien X1 = Variabel Independen (Inflasi) X2 = Variabel Independen (Nilai Tukar Rupiah) X3 = Variabel Independen (Jumlah PKP) e = Error a. Uji Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model regresi dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2009:87). 62 b. Uji Statistik t Menurut Ghozali (2009: 88), uji statistik t digunakan untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel independen secara individual terhadap variabel dependen. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh masing-masing variabel dependen digunakan tingkat signifikansi 5 % (α) = 0,05. Jika probability t lebih besar dari 0,05 maka tidak ada pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen (koefisien regresi tidak signifikan), sedangkan jika nilai probability t lebih kecil dari 0,05 maka terdapat pengaruh variabel dependen (koefisien signifikan). c. Uji Statistik F Ghozali (2009:88), uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen atau bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen/terikat. Untuk mengetahui apakah variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen maka digunakan tingkat signifikansi sebesar 0,05, jika nilai probability F lebih besar dari 0,05, maka model regresi tidak dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen dengan kata lain variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel dependen. 63 E. Operasional Variabel Penelitian 1. Variabel Independen (X) Variabel independen atau variabel bebas adalah tipe variabel menjelaskan atau mempengaruhi variabel lain (Indriantoro dan Supomo, 2002:63). Variabel independen dalam penelitian ini adalah: a. Inflasi yang dilambangkan dengan X1 Inflasi adalah kenaikan tingkat harga keseluruhan (Case dan Fair, 2004:58). Menurut Murni (2006:41), laju inflasi adalah laju tingkat harga umum dari tahun ke tahun dan biasanya diikuti degan kenaikan harga pada tahun tertentu dari tahun sebelumnya. Indeks Harga Konsumen (IHK) atau (consumer price index-CPI) mengukur biaya sekelompok barang dan jasa di pasar. Laju atau tingkat inflasi dapat dihitung dengan rumus berikut: Laju inflasi = IHKt – IHK (t-1) x 100% IHK (t-1) Keterangan: IHKt = Indeks Harga Konsumen tahun x IHK (t-1) = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya b. Nilai Tukar Rupiah yang dilambangkan dengan X2 Menurut Murni (2006:244), nilai tukar (exchange rate) atau disebut juga kurs valuta asing (foreign exchange rate) adalah jumlah uang domestik yang dibutuhkan untuk memperoleh satu unit mata uang asing. Menurut Mankiw (2007: 128-135), kurs nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan kurs riil adalah 64 harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Rumus untuk menghitung kurs riil terdiri dari kurs riil untuk barang tunggal dan kurs riil untuk kelompok barang yang lebih luas: 1) Kurs riil untuk barang tunggal Kurs Riil = Kurs Nominal x Harga Barang Domestik Harga Barang Luar Negeri 2) Kurs riil untuk kelompok barang yang lebih luas € = e x (P/P*) 3) Kurs Nominal e = € x (P*/P) Keterangan: € = Kurs Riil e = Kurs Nominal P/P* = Rasio Tingkat Harga P = Tingkat Harga Luar Negeri (Dollar) P* = Tingkat Harga Domestik c. Jumlah PKP yang dilambangkan dengan X3 Berdasarkan UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (5), PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya. Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak (WP PKP) terdiri dari WP PKP Badan dan Orang Pribadi. 65 2. Variabel Dependen (Y) Variabel dependen atau variabel terikat adalah tipe variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel independen (Indriantoro dan Supomo, 2002:63). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah penerimaan PPN yang dilambangkan dengan Y. Menurut UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPn BM, PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. PPN yang terutang dihitung dengan cara: PPN yang terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 66 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Deskripsi Objek Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terdiri dari PKP Badan dan PKP Orang Pribadi yang terdaftar dari tahun 2002 sampai 2009 di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP). PKP dipilih karena merupakan pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya. PKP juga memiliki kewajiban antara lain memungut, menyetor dan melaporkan PPN yang terutang. Pemilihan DJP sebagai populasi dalam penelitian ini adalah dengan alasan bahwa DJP sebuah direktorat jenderal di bawah Kementerian Keuangan Indonesia yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Struktur organisasi Kantor Pusat DJP berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan PMK 131/PMK.01/2006 terdiri dari 1 Sekretariat, 12 Direktorat dan 1 Pusat yang dipimpin oleh pejabat eselon II. Unit kerja vertikal di daerah meliputi Kantor Wilayah (Kanwil) DJP, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP). Saat ini terdapat 31 Kantor Wilayah DJP di seluruh Indonesia yang dipimpin pejabat eselon II a (www. wikipedia.com). Berdasarkan 67 struktur organisasi dari Kantor Pusat DJP yang mencakup seluruh Indonesia, maka penelitian ini menganalisis mengenai penerimaan PPN secara nasional. 2. Deskripsi Sampel Penelitian Pemilihan sampel dari populasi, yaitu semua populasi dijadikan sebagai sampel penelitian. Dikarenakan WP PKP terdiri dari WP PKP Orang Pribadi dan Badan dan peneliti menggunakan sampel populasi, maka sampel yang dipilih dari populasi WP PKP yang terdaftar di Kantor Pusat DJP adalah WP PKP Orang Pribadi dan Badan. Data sampel adalah data bulanan dalam rentang waktu tahun 2002 sampai 2009 dengan jumlah sampel adalah 96 buah. Namun terdapat 11 sampel yang outlier, sehingga total sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 85 buah. B. Analisis dan Pembahasan 1. Hasil Uji Asumsi Klasik a. Hasil Uji Normalitas Data Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, variabel dependen dan variabel independen atau keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal. Uji normalitas data dilakukan dengan melihat grafik histogram dan grafik Normal Probability Plot. 68 Sumber: Data sekunder yang diolah Gambar 4.1 Hasil Uji Normalitas Menggunakan Grafik Histogram Sumber: Data sekunder yang diolah Gambar 4.2 Grafik Normal Probability Plot Berdasarkan tampilan grafik histogram dan grafik Normal Probability Plot dapat diketahui bahwa grafik histogram memberikan 69 pola distribusi yang normal (tidak terjadi kemencengan), demikian juga pada grafik Normal Probability Plot terlihat bahwa titik-titik data berada di sekitar garis diagonal dan bergerak mengikuti arah garis diagonal, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini sudah memenuhi asumsi normalitas. b. Hasil Uji Multikolonieritas Tabel 4.1 Hasil Uji Multikolonieritas Coefficients a Collinearity Statistics Model Tolerance 1Inflasi VIF .962 1.039 Kurs_Rupiah .715 1.398 Jumlah_PKP .725 1.380 a. Dependent Variable: Penerimaan_PPN Sumber: Data sekunder yang diolah Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independennya (multikolonieritas). Dari tabel 4.1 dapat diketahui bahwa tidak ada variabel independen yang memiliki nilai TOL kurang dari 0,1. Demikian pula dengan nilai VIF, tidak ada variabel independen yang memiliki nilai VIF lebih dari 10. Jadi dapat disimpulkan bahwa model regresi dalam penelitian ini bebas dari multikolonieritas. 70 c. Hasil Uji Heteroskedastisitas Sumber: Data sekunder yang diolah Gambar 4.3 Hasil Uji Heteroskedasitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Gambar 4.3 menunjukkan bahwa titik-titik data menyebar secara acak dan tidak membentuk suatu pola baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y, dengan demikian dapat dikatakan bahwa model regresi dalam penelitian ini tidak terjadi heteroskedastisitas. 71 d. Hasil Uji Autokorelasi Menurut Santoso (2002), uji autokorelasi merupakan pengujian asumsi dalam regresi dimana variabel dependen tidak berkorelasi dengan dirinya sendiri, artinya bahwa nilai variabel dependen tidak berhubungan dengan nilai variabel itu sendiri, baik nilai periode sebelumnya atau nilai periode sesudahnya. Berdasarkan ketentuan uji autokorelasi dimana nilai DW berada di antara -2 dan +2 atau 2<DW<+2 tidak terjadi autokorelasi, dengan diketahui nilai D-W sebesar 1,214 dari tabel 4.2, maka dapat disimpulkan tidak terdapat autokorelasi dalam model regresi. 2. Hasil Uji Hipotesis a. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) Uji koefisien determinasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Tabel 4.2 Hasil Uji Koefisien Determinasi b Model Summary Model 1 R .943 R Square a Adjusted R Std. Error of the Square Estimate .889 .885 1810327.617 Durbin-Watson 1.214 a. Predictors: (Constant), Jumlah_PKP, Inflasi, Kurs_Rupiah b. Dependent Variable: Penerimaan_PPN Sumber: Data sekunder yang diolah 72 Hasil output SPSS pada tabel 4.2, R menunjukkan korelasi berganda, yaitu korelasi antara dua atau lebih variabel independen terhadap variabel dependen. Nilai R berkisar antara 0 sampai 1, jika nilainya mendekati 1 maka hubungan semakin erat dan jika nialinya mendekati 0 maka hubungan semakin lemah. Nilai R sebesar 0,943 menunjukkan bahwa hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen adalah kuat atau erat. Uji koefisien determinasi (Adjusted R Square) menunjukkan seberapa besar variabel independen (inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP) dapat menjelaskan variabel dependen (Penerimaan PPN). Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai koefisien Adjusted R Square sebesar 0,885 atau sebesar 88,5%. Hal ini menunjukkan 88,5% variabel dependen (penerimaan PPN) dapat dijelaskan oleh variabel independen (inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP), sedangkan sisanya (100%-88,5%=11,5%) dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain diluar model. b. Hasil Uji Statistik t Uji statistik t digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh masing-masing variabel independen secara individual terhadap variabel dependen yang diuji pada tingkat signifikansi 0,05. 73 Tabel 4.3 Hasil Uji t a Coefficients Standardized Unstandardized Coefficients Model B 1(Constant) Std. Error -5.685E6 2.809E6 414480.201 199869.126 Kurs_Rupiah -1182.829 Jumlah_PKP 55.690 Inflasi Coefficients Beta t Sig. -2.024 .046 .078 2.074 .041 348.435 -.148 -3.395 .001 2.388 1.013 23.323 .000 a. Dependent Variable: Penerimaan_PPN Sumber : Data sekunder yang diolah Hasil perhitungan koefisien regresi memperlihatkan nilai koefisien konstanta adalah sebesar -5,685E6. Koefisien nilai inflasi adalah sebesar 414.480,201 dengan tingkat signifikan sebesar 0,041. Koefisien nilai tukar rupiah adalah sebesar -1.182,829 dengan tingkat signifikan sebesar 0,001. Koefisien nilai jumlah PKP adalah sebesar 55,690 dengan tingkat signifikan sebesar 0,000. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa semua variabel independen yang dimasukkan ke dalam model regresi adalah signifikan karena semuanya tidak melebihi 0,05 (5%) dan tingkat keyakinan sebesar 95%. Berdasarkan tabel 4.3 maka dapat diperoleh model persamaan regresi sebagai berikut: Y = -5,685E6 + 414.480,201 X1 - 1.182,829 X2 + 55,690 X3 + e 74 Keterangan: Y = Variabel Dependen (Penerimaan PPN) α = Konstanta β = Koefisien X1 = Variabel Independen (Inflasi) X2 = Variabel Independen (Nilai Tukar Rupiah) X3 = Variabel Independen (Jumlah PKP) e = Error Nilai koefisien konstanta adalah sebesar -5,685E6 atau 5.685.000 menunjukkan bahwa jika variabel independen yaitu inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) bersifat konstan, maka penerimaan PPN akan bernilai negatif atau mengalami penurunan sebesar Rp. 5.685.000,00. Nilai koefisien inflasi positif sebesar 414.480,201 menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan tingkat inflasi sebesar 1%, maka penerimaan PPN akan meningkat sebesar Rp 414.480.201.000. Sebaliknya jika terjadi penurunan tingkat inflasi sebesar 1%, maka penerimaan PPN akan menurun sebesar Rp 414.480.201.000. Nilai koefisien nilai tukar rupiah negatif sebesar 1.182,829 menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar rupiah sebesar Rp.1 atau terjadi depresiasi, maka akan mengurangi penerimaan PPN sebesar Rp. 1.182.829.000. Sebaliknya jika terjadi penurunan nilai tukar rupiah sebesar Rp. 1 atau terjadi apresiasi, maka penerimaan PPN akan meningkat sebesar Rp 1.182.829.000. Nilai 75 koefisien jumlah PKP positif sebesar 55,690 menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan jumlah PKP sebanyak 1, maka penerimaan PPN akan meningkat sebesar Rp. 55.690.000. Sebaliknya jika terjadi penurunan jumlah PKP sebanyak 1, maka penerimaan PPN akan menurun sebesar Rp. 55.690.000. Hasil Uji Hipotesis 1: Pengaruh inflasi terhadap penerimaan PPN Hasil uji t pada tabel 4.3 di atas, didapat t hitung untuk variabel inflasi sebesar 2,074 dengan tingkat signifikan sebesar 0,041 (lebih kecil dari 0,05). Nilai t tabel sebesar sebesar 1,98896, sehingga dapat diketahui bahwa t hitung lebih besar dari t tabel (2,074>1,98896). Oleh karena tingkat signifikansi di bawah 0,05 dan t hitung lebih besar dari t tabel, maka dapat disimpulkan bahwa variabel inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN sehingga hipotesis Ha1 diterima. Hasil ini mendukung dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa inflasi terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN yang dilakukan oleh Salawati (2008). Hal ini dikarenakan jika terjadi kenaikan tingkat inflasi akan mempengaruhi harga jual barang dan jasa dimana harga jual barang dan jasa merupakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN. Terjadinya kenaikan tingkat inflasi akan mengakibatkan harga jual barang dan jasa juga akan meningkat yang berarti (DPP) PPN juga meningkat. Meningkatnya (DPP) PPN akan berpengaruh langsung terhadap 76 besarnya penerimaan PPN yang juga akan meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi dkk. (2009) serta Locarno dan Staderini (2008) juga menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Hasil Uji Hipotesis 2: Pengaruh nilai tukar rupiah terhadap penerimaan PPN Hasil uji t pada tabel 4.3 di atas, didapat t hitung untuk variabel nilai tukar rupiah sebesar -3,395 dengan tingkat signifikan sebesar 0,001 (lebih kecil dari 0,05). Nilai t tabel sebesar sebesar 1,98896, sehingga dapat diketahui bahwa t hitung lebih besar dari t tabel (3,395>1,98896). Oleh karena tingkat signifikansi di bawah 0,05 dan t hitung lebih besar dari t tabel, maka dapat disimpulkan bahwa variabel nilai tukar rupiah berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN sehingga hipotesis Ha2 diterima. Hasil ini mendukung dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa nilai tukar rupiah terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN yang dilakukan oleh Salawati (2008). Hal ini dikarenakan 70% bahan baku produksi Indonesia yang masih mengandalkan impor, jika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah akan mengakibatkan lebih banyak jumlah rupiah yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan satu dollar. Oleh karena lebih banyak rupiah yang dibutuhkan untuk mendapatkan satu dollar, maka harga bahan baku produksi impor yang harus dibayar oleh Indonesia akan 77 menjadi lebih mahal yang secara otomatis akan meningkatkan jual barang dan jasa di masyarakat. Harga jual barang dan jasa yang mengalami peningkatan di masyarakat akan berpengaruh terhadap penurunan daya konsumsi masyarakat yang akan berpengaruh pula terhadap penurunan penerimaan PPN karena PPN merupakan pajak atas konsumsi barang dan jasa. Penelitian yang dilakukan oleh Hamzah dan Suryowibowo (2005) serta Agbeyegbe et, al., (2006) juga menunjukkan bahwa kurs berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Hasil Uji Hipotesis 3: Pengaruh jumlah PKP terhadap penerimaan PPN Hasil uji t pada tabel 4.3 di atas, didapat t hitung untuk variabel jumlah PKP sebesar 23,323 dengan tingkat signifikan sebesar 0,000 (lebih kecil dari 0,05). Nilai t tabel sebesar sebesar 1,98896, sehingga dapat diketahui bahwa t hitung lebih besar dari t tabel (23,323>1,98896). Oleh karena tingkat signifikansi di bawah 0,05 dan t hitung lebih besar dari t tabel, maka dapat disimpulkan bahwa variabel jumlah PKP berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN sehingga hipotesis Ha3 diterima. Hasil ini mendukung dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa jumlah PKP terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN yang dilakukan oleh Saepudin (2008) dan Aditya (2009). Hal ini dikarenakan PKP merupakan Wajib Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ Jasa Kena Pajak yang 78 dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya. Penambahan jumlah PKP dapat ditempuh oleh DJP dengan cara melakukan ekstensifikasi pajak berdasarkan data-data internal maupun eksternal, sehingga jika terdapat PKP yang tidak melaporkan kegiatan usahanya dapat diterbitkan pengukuhan secara jabatan. Di mana terdapat atau bertambahnya jumlah PKP maka disitu terdapat penyerahan barang dan jasa yang dikenai pajak yang merupakan sebagai objek PPN. Semakin besar jumlah PKP maka akan semakin besar objek PPN yang berarti akan semakin besar pula penerimaan PPN. Penerimaan PPN juga dapat ditingkatkan oleh DJP melalui pelaksanaan intensifikasi pajak, yaitu dengan menguji kepatuhan PKP yang sudah terdaftar maupun dari hasil ekstensifikasi agar PKP tidak hanya terdaftar tetapi juga melaksanakan hak dan kewajibannya. c. Hasil Uji Statistik F Uji statistik F digunakan untuk mengetahui pengaruh semua variabel independen yang dimasukkan dalam model regresi secara bersama-sama terhadap variabel dependen yang diuji pada tingkat signifikan 0,05. Hasil uji F dari pengujian statistik regresi berganda disajikan pada tabel 4.4. 79 Tabel 4.4 Hasil Uji F b ANOVA Model 1 Sum of Squares df Mean Square Regression 2.131E15 3 7.102E14 Residual 2.655E14 81 3.277E12 Total 2.396E15 84 F 216.698 Sig. .000 a a. Predictors: (Constant), Jumlah_PKP, Inflasi, Kurs_Rupiah Sumber: Data sekunder yang diolah. Hasil uji F pada tabel 4.4 di atas, didapat F hitung sebesar 216,698 dengan tingkat signifikan sebesar 0,000 (lebih kecil dari 0,05). Nilai F tabel sebesar sebesar 2,72, sehingga dapat diketahui bahwa F hitung lebih besar dari F tabel (216,698 >2,72). Oleh karena tingkat signifikansi di bawah 0,05 dan F hitung lebih besar dari F tabel, maka dapat disimpulkan bahwa variabel inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap penerimaan PPN sehingga hipotesis Ha4 diterima. Variabel independen inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap penerimaan PPN karena penerimaan pajak ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kebijakan dibidang perpajakan, seperti pelaksanaan ekstensifikasi pajak yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak termasuk pula PKP. Faktor eksternal meliputi perkembangan ekonomi makro, seperti stabilitas indikator ekonomi makro inflasi dan nilai tukar rupiah. 80 BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP terhadap penerimaan PPN yang terdaftar di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada tahun 2002 sampai dengan 2009. Hasil pengujian yang dilakukan terhadap 85 sampel diperoleh sebagai berikut: 1. Inflasi berpengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan PPN. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Salawati (2008). Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi dkk. (2009) serta Locarno dan Staderini (2008) juga menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh terhadap penerimaan pajak. 2. Nilai tukar rupiah berpengaruh negatif secara signifikan terhadap penerimaan PPN. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Salawati (2008). Penelitian yang dilakukan oleh Hamzah dan Suryowibowo (2005) serta Agbeyegbe et, al., (2006) juga menunjukkan bahwa kurs berpengaruh terhadap penerimaan pajak. 3. Jumlah PKP berpengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan PPN. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Saepudin (2008) dan Aditya (2009) yang menyatakan bahwa jumlah PKP berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN. 81 B. Implikasi Model teoritis yang dikembangkan dan diuji dalam penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pemahaman kita tentang pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP terhadap penerimaan PPN yang terdaftar di Kantor Pusat DJP. Hasil penelitian ini memiliki beberapa implikasi penting bagi pemerintah dan instansi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). 1. Inflasi berpengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan PPN dikarenakan jika terjadi kenaikan tingkat inflasi akan mempengaruhi harga jual barang dan jasa dimana harga jual barang dan jasa merupakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN. Terjadinya kenaikan tingkat inflasi akan mengakibatkan harga jual barang dan jasa juga akan meningkat yang berarti DPP PPN juga meningkat. Meningkatnya DPP PPN akan berpengaruh langsung terhadap besarnya penerimaan PPN yang juga akan meningkat. Peningkatan penerimaan PPN yang dikarenakan meningkatnya tingkat inflasi dapat terjadi jika tingkat inflasi masih tergolong rendah, yaitu sebesar 0-10% per tahun. Tingkat inflasi yang masuk kategori berat (30-100% per tahun) atau mungkin terjadi hiperinflasi (>100% per tahun) justru akan merusak perekonomian. Indonesia pernah mengalami hiperinflasi pada tahun 1960-an yang mencapai 650% dan pernah pula mengalami inflasi berat, yaitu mencapai 60% pada tahun 1998. Tingkat inflasi yang melambungnya tinggi dapat harga-harga merusak barang perekonomian hingga sulit dengan cara terjangkau oleh 82 masyarakat yang cenderung memiliki pendapatan tetap. Dalam keadaan yang demikian, tingkat kemakmuran masyarakatpun mengalami penurunan yang juga akan berpengaruh pada penurunan penerimaan pajak khususnya PPN yang dikarenakan menurunnya tingkat konsumsi masyarakat secara umum. Fluktuasi tingkat inflasi juga dapat mempengaruhi pencapaian sasaran pembangunan ekonomi yang diarahkan pada pertumbuhan ekonomi, yang mana pertumbuhan ekonomi ditransmisikan ke dalam penerimaan pajak. Tingkat inflasi yang stabil dan relatif rendah dapat mendukung pencapaian sasaran pembangunan ekonomi. 2. Nilai tukar rupiah berpengaruh negatif secara signifikan terhadap penerimaan PPN. Hal ini dikarenakan 70% bahan baku produksi Indonesia yang masih mengandalkan impor, jika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah akan mengakibatkan lebih banyak jumlah rupiah yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan satu dollar. Oleh karena lebih banyak rupiah yang dibutuhkan untuk mendapatkan satu dollar, maka harga bahan baku produksi impor yang harus dibayar oleh Indonesia akan menjadi lebih mahal yang secara otomatis akan meningkatkan jual barang dan jasa di masyarakat. Harga jual barang dan jasa yang mengalami peningkatan di masyarakat akan berpengaruh terhadap penurunan daya konsumsi masyarakat yang akan berpengaruh pula terhadap penurunan penerimaan PPN karena PPN merupakan pajak atas konsumsi barang dan jasa. Fluktuasi nilai tukar rupiah juga dapat mempengaruhi pencapaian sasaran 83 pembangunan ekonomi yang diarahkan pada pertumbuhan ekonomi, yang mana pertumbuhan ekonomi ditransmisikan ke dalam penerimaan pajak. Nilai tukar rupiah yang stabil dan cenderung menguat terhadap mata uang asing dapat mendukung pencapaian sasaran pembangunan ekonomi. 3. Jumlah PKP berpengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan PPN. PKP merupakan Wajib Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya. Penambahan jumlah PKP dapat ditempuh oleh DJP dengan cara melakukan ekstensifikasi pajak berdasarkan data-data internal maupun eksternal, sehingga jika terdapat PKP yang tidak melaporkan kegiatan usahanya dapat diterbitkan pengukuhan secara jabatan. Di mana terdapat atau bertambahnya jumlah PKP maka disitu terdapat penyerahan barang dan jasa yang dikenai pajak yang merupakan sebagai objek PPN. Semakin besar jumlah PKP maka akan semakin besar objek PPN yang berarti akan semakin besar pula penerimaan PPN. Penerimaan PPN juga dapat ditingkatkan oleh DJP melalui pelaksanaan intensifikasi pajak, yaitu dengan menguji kepatuhan PKP yang sudah terdaftar maupun dari hasil ekstensifikasi agar PKP tidak hanya terdaftar tetapi juga melaksanakan hak dan kewajibannya dengan melakukan pemeriksaan . C. Keterbatasan Dalam penulisan ini, peneliti menyadari bahwa banyak terdapat keterbatasan sehingga menjadi kekurangan bagi penelitian ini. Keterbatasan 84 yang ada bukan semata-mata karena kesengajaan, bahan banyak sekali terdapat keterbatasan yang tidak disengaja. Dimana keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini yaitu antara lain: 1. Periode penelitian ini sebelumnya dari tahun 1993-2007 atau selama 15 tahun, tetapi karena ketersediaan data perpajakan yang kurang memadai, maka peneliti melakukan penelitian pada tahun 2002 sampai dengan 2009 atau selama 8 tahun. 2. Sampel dalam penelitian ini sebelumnya 180 buah, tetapi periode penelitian hanya 8 tahun dengan unit data bulanan dan terdapat 11 data yang outlier, maka sampel dalam penelitian ini hanya 85 buah. D. Saran Berdasarkan implikasi yang telah dikemukakan di atas, terdapat beberapa saran dari peneliti untuk pihak yang terkait, seperti pemerintah dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam pembuatan maupun pelaksanaan kebijakan yang telah dibuat, antara lain sebagai berikut: 1. Tingkat inflasi yang masih taraf aman untuk perekonomian dan juga tidak mengganggu atau mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak adalah pada tingkat yang masih rendah, yaitu 0-10% per tahun. Namun jika sudah terjadi tingkat inflasi yang berat atau bahkan hiperinflasi akan dapat merusak perekonomian dan juga dapat mempengaruhi tingkat penerimaan pajak yang mengalami penurunan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk selalu menjaga tingkat inflasi pada tingkat yang relatif 85 masih rendah. Upaya pemerintah dalam menjaga tingkat inflasi yang dapat dilakukan melalui kebijakan fiskal, yaitu dengan mengatur penerimaan dan pengeluaran pemerintah, menaikkan tarif pajak dan mengadakan pinjaman pemerintah. Upaya pemerintah dalam menjaga tingkat inflasi dapat pula dilakukan dengan kebijakan moneter melalui Bank Indonesia, yaitu dengan politik diskonto terhadap bank umum, politik pasar terbuka, menaikkan cash ratio dan kebijakan pemberian kredit. 2. Terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah akan menaikkan harga-harga barang dan jasa yang akan dapat menurunkan daya beli masyarakat sehingga akan berpengaruh pada penerimaan PPN karena PPN merupakan pajak atas konsumsi. Untuk menjaga nilai tukar rupiah agar relatif menguat terhadap mata uang asing dan tidak berfluktuatif, pemerintah diharapkan mampu membuat kebijakan yang tepat dan mampu menjaga faktor-faktor dari non ekonomi yang memberikan bobot tersendiri dalam melemahkan nilai tukar rupiah. Faktor dari non ekonomi tersebut seperti terciptanya suatu iklim politik, kondisi keamanan dan tegaknya hukum yang lebih kondusif sehingga tidak terjadi pergelokan dan ketidakpastian di dalam masyarakat. 3. Semakin banyak jumlah PKP berarti semakin banyak penyerahan atas barang dan jasa yang dikenakan pajak yang merupakan objek PPN. Meningkatnya objek PPN akan meningkatkan pula penerimaan PPN. Oleh karena itu Direktorat Jenderal Pajak sudah seharusnya melakukan optimalisasi pelaksanaan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak yang 86 bertujuan untuk peningkatan jumlah PKP juga untuk meningkatkan kepatuhan PKP yang telah terdaftar maupun dari hasil ekstensifikasi dengan melakukan pemeriksaan. Selain pengoptimalan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, Direktorat Jenderal Pajak juga perlu mempertimbangkan untuk merubah ketentuan peraturan pemeriksaan pajak yang hanya terfokus pada PKP yang melaporkan SPT Lebih Bayar dengan memperluas objek pemeriksaan juga pada PKP yang melaporkan SPT Nihil dan SPT Kurang Bayar. Hal tersebut akan dapat menghindari dampak negatif terhadap penerimaan PPN karena PKP akan berusaha menghindari pajak dengan melaporkan SPT Nihil atau SPT Kurang Bayar. 87 DAFTAR PUSTAKA Agbeyegbe, Terence D. et. all. “Trade Liberalization, exchange rate change and tax revenue in Sub-Saharan African”. Journal of Asian Economics, 2006. Anonim. “Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Indonesia”. Artikel diakses pada tanggal 9 Desember 2010 dari www. wikipedia.com. Anonim. “Inflasi 2005-2010”. Data diakses pada tanggal 6 Desember 2010 dari www.bps.go.id. Anonim. “Kurs Kementerian Keuangan”. Data diakses pada tanggal 6 Desember 2010 dari www.ortax.org. Carare, Alina dan Danninger Stephan. “Inflation Smoothing and the Modest Effect of VAT in Germany”. International Monetary Fund Working Paper, 2008. Case, Karl E dan Fair, Ray C. “Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro”. Edisi Kelima, PT Indeks, Jakarta, 2004. Departemen Keuangan. “Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2008”. Diakses pada tanggal 6 Desember 2010 dari http://www.fiskal.depkeu.go.id/pdf. “Mengatasi Dampak Krisis Global Melalui Program Stimulus Fiskal APBN 2009”. Diakses pada tanggal 6 Desember 2010 dari http://www.fiskal.depkeu.go.id/pdf. Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Humas. “Pajak Pertambahan Nilai”. Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, 2009. . “Buku Panduan Hak dan Kewajiban”. Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, 2009. Djuanda, Gustian dan Lubis, Irwansyah. “Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan atas Barang Mewah”. Gramedia, Jakarta, 2006. Edalmen.”Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah: Faktor Penyebab, Dampak dan Upaya Pengendaliannya”. Jurnal Ekonomi Fakultas Ekonomi Untar Vol. 01, 2000. Ghozali, Imam. “Aplikasi Multivariate dengan Program SPSS”. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2009. 88 Hamid, Abdul. “Buku Panduan Penulisan Skripsi”. FEB UIN Press, Jakarta, 2010. Hamzah, Muhammad Zilal dan Suyowobowo, Willy. “Pengaruh Kurs, IHSG dan Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Penerimaan Negara Sektor Pajak”. http://jurnal.pdii.lipi.go.id, 2005 Indriantoro, Nur dan Supomo, Bambang. “ Metodologi Penelitian Bisnis: Untuk Akuntansi dan Manajemen”. BPFE, Yogyakarta, 2002. Lipsey, Richard G. et. all. “Pengantar Makroekonomi”. Edisi Kedelapan, PT. Gelora Aksara Pratama, Jakarta, 1993. Locarno, Alberto dan Staderini, Alessandra. “La Relazione Tra Gettito Tributario E Quadro Macroeconomico in Italia”. No. 694, 2008. Mankiw, N. Gregory. “Makroekonomi”. Edisi Keenam, Erlangga, Jakarta, 2007. Manurung, Romulus, et. all. “Analisis Peluang dan Kendala Peningkatan Penerimaan PPN Dalam APBN, Studi Kasus: KPP”. Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan Vol. 5 No. 2, 2001. Mardiasmo. “Perpajakan”. Edisi Revisi 2008, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2008. Murni, Asfia. “Ekonomika Makro”. PT Refika Aditama, Jakarta, 2006. Nersiwad. “Pengaruh Inflasi Terhadap Nilai Riil Penerimaan Pajak Negara: Pendekatan Elastisitas dan Tax Collection Lags di Indonesia”. Jurnal Analisa Kebijakan Vol. 1 No. 1, Februari 2002. Paryan. “Pelatihan Perpajakan Brevet A&B Modul Pajak Penghasilan Badan”. Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan, Jakarta, 2009. Pratomo, Wahyu Ario. “Teori Ekonomi Makro”. Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006. Priyatno, Duwi. “5 Jam Belajar Olah Data Dengan SPSS 17”. Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2009. Rahardja, Prathama dan Manurung, Mandala. “Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar”. Edisi Kedua, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. Resmi, Siti. “Perpajakan Teori dan Kasus”. Buku 2 Edisi Kelima, Salemba Empat, Jakarta, 2009. 89 Salawati. “Analisis Pengaruh Inflasi dan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Penerimaan PPN pada Kanwil DJP Jakarta Selatan”. UIN, Jakarta, 2008. Saepudin. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Sumatera Utara”. USU, Medan, 2008. Santoso, Singgih. “SPSS Statistik Parametrik”. Gramedia, Jakarta, 2002. Suandy, Early. “Hukum Pajak”. Edisi Keempat, Salemba Empat, Jakarta, 2009. Sukardji, Untung. “Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai”. Jurnal Perpajakan Indonesia vol. 2 no. 7, 2003. Sukirno, Sadono. “Teori Pengantar Makro Ekonomi”. Edisi Ketiga, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004. Sunyoto, Danang. “Analisis Regresi dan Uji Hipotesis”. Media Pressindo, Jakarta, 2009. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001 tentang Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak. Todaro, Michael P. dan Smith, Stephen C. “Pembangunan Ekonomi”. Edisi Kesembilan Jilid 2, Erlangga, Jakarta, 2006. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Wahyudi, Eddi. dkk. “Dampak Fluktuasi Ekonomi Terhadap Penerimaan Pajak”. Jurnal Ekonomi IPB Vol. 6 No. 1, 2009. Waluyo. “Perpajakan Indonesia”. Buku 2 Edisi Kedelapan, Salemba Empat, Jakarta, 2009. 90 Variables Entered/Removed Model 1 Variables Variables Entered Removed b Method Jumlah_PKP, Inflasi, . Enter a Kurs_Rupiah a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Penerimaan_PPN b Model Summary Model R 1 .943 R Square a Adjusted R Std. Error of the Square Estimate .889 .885 Durbin-Watson 1810327.617 1.214 a. Predictors: (Constant), Jumlah_PKP, Inflasi, Kurs_Rupiah b. Dependent Variable: Penerimaan_PPN b ANOVA Model 1 Sum of Squares df Mean Square F Regression 2.131E15 3 7.102E14 Residual 2.655E14 81 3.277E12 Total 2.396E15 84 Sig. 216.698 .000 a a. Predictors: (Constant), Jumlah_PKP, Inflasi, Kurs_Rupiah b. Dependent Variable: Penerimaan_PPN Coefficients a Standardized Unstandardized Coefficients Model 1 B (Constant) Std. Error -5.685E6 2.809E6 414480.201 199869.126 Kurs_Rupiah -1182.829 Jumlah_PKP 55.690 Inflasi Coefficients Beta Collinearity Statistics t Sig. Tolerance VIF -2.024 .046 .078 2.074 .041 .962 1.039 348.435 -.148 -3.395 .001 .715 1.398 2.388 1.013 23.323 .000 .725 1.380 a. Dependent Variable: Penerimaan_PPN 96 a Residuals Statistics Minimum Predicted Value Std. Predicted Value Standard Error of Predicted Value Adjusted Predicted Value Residual Std. Residual Stud. Residual Deleted Residual Stud. Deleted Residual Mahal. Distance Cook's Distance Centered Leverage Value Maximum Mean Std. Deviation N 42084.45 -1.856 1.95E7 2.006 9.39E6 .000 5036225.075 1.000 85 85 2.010E5 1.569E6 3.508E5 177618.921 85 -8.80E4 -3.489E6 -1.927 -1.945 -3.842E6 -1.980 .047 .000 .001 1.92E7 5.657E6 3.125 3.164 5.800E6 3.359 62.115 .846 .739 9.42E6 .000 .000 -.007 -3.529E4 -.002 2.965 .020 .035 5055713.423 1777706.429 .982 1.007 1894586.667 1.026 7.090 .092 .084 85 85 85 85 85 85 85 85 85 a. Dependent Variable: Penerimaan_PPN 97 98 Data Penelitian No. Inflasi 1 1.99 2 1.50 3 0.80 4 0.36 5 0.82 6 0.29 7 0.53 8 0.54 9 1.85 10 1.20 11 0.80 12 0.20 13 0.15 14 0.21 15 0.09 16 0.03 17 0.94 18 0.36 19 0.55 20 1.01 21 0.94 22 0.57 23 0.36 24 0.97 25 0.88 26 0.48 27 0.39 28 0.09 29 0.02 30 0.56 31 0.89 32 1.04 33 1.43 34 1.91 35 0.34 36 0.21 37 0.50 Kurs Rupiah 10325.61 10243.75 9193.23 8676.23 8776 8898.55 8885.27 9059.45 9111.77 8907.26 8892.26 8857.71 8838.07 8509.97 8189.43 8221.19 8455.42 8444.87 8386.48 8473.63 8483.32 8378.13 8505.65 8580.87 8787.97 9279.73 9065.48 9162 9174.03 9088.61 9012.47 9106.03 9244.55 9321.77 9499.73 9516.65 9578.63 Jumlah PKP 307341 310583 319447 322305 325585 328895 331907 334933 337396 338951 342731 346109 352812 355916 358879 361960 364748 367731 370626 372621 375302 379049 385841 389009 392007 395126 397679 400351 403017 405617 407528 412555 415678 421879 425111 428163 431344 93 Penerimaan PPN*) 866764 24141 29140 50130 47784 53950 68565 79348 136161 1649829 4480456 1882418 3502989 3917115 4973534 4894563 4647385 4876981 6110351 5473364 8304838 8459317 5993312 6255444 5778771 7336015 6292234 6824024 6987633 7743561 6643180 10479699 7973569 7454301 7507881 7848390 8205425 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 0.78 0.55 0.69 8.70 1.31 1.36 0.58 0.03 0.05 0.37 0.45 0.45 0.33 0.38 0.86 0.34 1.21 1.04 0.62 0.24 0.10 0.23 0.72 0.75 0.80 0.79 0.18 1.10 1.77 0.65 0.95 0.57 1.41 2.46 1.37 0.51 0.97 0.45 0.12 0.21 0.22 9770.39 9860.65 10290.03 10152.97 10019.03 9589.74 9292.89 9209.08 9006.75 8902.89 9349.51 9202.68 9096.78 9122.53 9203.03 9134.15 9112.97 9063.17 9070.38 9158.57 8912.33 8904.00 9047.37 9303.78 9367.93 9104.92 9195.23 9346.98 9427.97 9254.74 9145.94 9196.36 9253.99 9308.99 9184.79 9139.60 9299.22 9608.37 11264.78 11680.30 11958.01 434246 437556 440663 443419 445228 452062 455985 460076 463655 467674 471927 475339 478731 482219 484604 487803 491016 496169 501181 506212 515793 519497 523403 527208 530596 532723 536036 544241 548995 554282 558844 564625 569217 575682 579864 583565 586922 589755 593331 606667 611747 94 8339014 9257162 10188641 9649809 8700051 8676629 8797050 9537545 8872060 9498411 9602981 10076502 10828312 11148727 10106191 11546240 16399525 9521312 8265069 10068161 10859840 10600718 11780783 13111695 12818380 12095181 14325853 19680446 13544463 13053189 14085951 14692438 15646002 17592350 17836309 17616808 18524062 16379997 16389655 12893745 14394912 79 0.04 10516.98 80 0.11 10206.77 81 0.45 10201.53 82 0.56 9962.75 83 1.05 9952.37 84 0.19 9525.34 85 0.33 9458.73 *) Dalam Jutaan Rupiah 621350 626540 630992 634935 638256 642419 650574 95 14152372 15311854 16046689 15313951 15167619 17347564 23877135 Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 Trade liberalization, exchange rate changes, and tax revenue in Sub-Saharan Africa Terence D. Agbeyegbe a,*, Janet Stotsky b,*, Asegedech WoldeMariam b a Department of Economics, Hunter College and The Graduate Center, City University of NY, NY, United States b International Monetary Fund, Washington DC, United States Received 19 May 2005; received in revised form 31 August 2005; accepted 2 September 2005 Abstract Empirical evidence on the relationship between trade liberalization, exchange rates, and tax revenue is mixed. This paper examines these linkages anew, using a methodology similar to that of Adam et al. [, Adam, C., Bevan, D., & Chambas, G. (2001), Exchange rate regimes and revenue performance in Sub-Saharan Africa, Journal of Development Economics, 64, 173–213]. Using a panel of 22 countries in Sub-Saharan Africa, over 1980–1996, we perform Generalized Method of Moment regressions to test this relationship. We find evidence that the relationship between trade liberalization and tax revenue is sensitive to the measure used to proxy trade liberalization, but that, in general, trade liberalization is not strongly linked to aggregate tax revenue or its components—though with one measure, it is linked to higher income tax revenue. Currency appreciation and higher inflation show some linkage to lower tax revenues or its components. These results are consistent with previous findings, and support the notion that trade liberalization accompanied by appropriate macroeconomic policies can be carried out in a way that preserves overall revenue yield. # 2006 Elsevier Inc. All rights reserved. JEL classification: F4; H2; H87; O24 Keywords: Trade liberalization; Exchange rates; Tax revenue; Sub-Saharan Africa 1. Introduction Trade liberalization has frequently been the centerpiece of an economic development strategy in Sub-Saharan Africa. Trade liberalization often entails a reduction and unification of tariffs and relaxation of quantitative barriers, and may be accompanied or supported by currency * Corresponding authors. E-mail addresses: [email protected] (T.D. Agbeyegbe), [email protected] (J. Stotsky). 1049-0078/$ – see front matter # 2006 Elsevier Inc. All rights reserved. doi:10.1016/j.asieco.2005.09.003 262 T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 devaluation and domestic tax reform. On devising a program of liberalization, policymakers are often hindered in forecasting tax revenues because of the uncertainty regarding the effects of trade liberalization and exchange rate changes on fiscal outcomes. The relationship between trade liberalization, the exchange rate, and tax revenue is therefore an issue of great practical importance. This paper examines this relationship in Sub-Saharan Africa. We probe the following questions in this paper: 1. What is the relationship between trade liberalization and tax revenues? Does increased trade liberalization lead to a reduction in tax revenues through its effect on taxes from international trade or other taxes, controlling for accompanying macroeconomic changes? 2. Is the relationship sensitive to the index of liberalization adopted? Is the relationship sensitive to the econometric specification adopted? 3. What is the relationship between exchange rate changes and tax revenues? Does devaluation or currency depreciation increase or decrease tax revenue? 4. Are there any differences between the CFA franc (the currency used by a group of countries in West and Central Africa) and non-CFA franc countries in the revenue response of different types of taxes to trade liberalization changes? There are two strands of work that this paper draws upon: one examining the relationship between trade liberalization and tax revenue and the other examining the relationship between exchange rate changes and inflation and tax revenue (or fiscal outcomes, more generally). Since trade liberalization is often accompanied by currency devaluation (and higher inflation), a thorough empirical investigation should consider the simultaneous relationship between trade liberalization and changes in macroeconomic variables and revenues.1 Section 2 outlines some theoretical considerations and reviews previous empirical work in this area. Section 3 describes the data and empirical methodology. Section 4 presents the results. Section 5 concludes. Appendix A describes the data set. 2. Theoretical considerations and review of empirical work Trade liberalization is mainly thought to be linked to tax revenue through its effect on international trade tax revenue, though the precise relationship depends on several variables, including the nature of trade liberalization and the response of imports and exports to liberalization. Often the first step in trade liberalization is the replacement of quantitative barriers with import duties. This could result in higher trade tax revenue depending on the level of duties that are set and the change in the value of imports in response to the liberalization measures. Trade liberalization ultimately leads to the reduction of import duties, and thus would be likely to be linked to reduced international trade tax revenue (Ebrill, Stotsky, & Gropp, 1999 discuss these issues). The relationship between trade liberalization and tax revenue, including domestic revenue, is also uncertain and depends on a number of factors, including the structure of the tax system and administrative capabilities (Ebrill et al., 1999; Keen & Ligthart, 2002). Often trade liberalization is accompanied by the introduction of a value-added tax (VAT) or other significant domestic tax policy changes. 1 Warcziarg and Welch (2003), Greenaway, Morgan, and Wright (2002), Rodriguez and Rodrik (2001), and Frankel and Romer (1999) examine the relationship between economic integration and growth. T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 263 Macroeconomic changes also have an influence on tax revenue. Tanzi (1989) presents several wide-ranging hypotheses of the relationship between various macroeconomic variables, including inflation and exchange rates, and tax revenue. He observes that there is often an inverse relationship between a country’s tax revenue and the real level of its official exchange rate.2 He argues that overvaluation has a direct effect by suppressing import and export bases measured in domestic currency terms. This reduces collections of international trade taxes and sales and excise taxes, which are usually levied on domestic and imported consumption. Overvaluation also has indirect effects by reducing the incentive to produce goods for export, encouraging capital flight and currency substitution, weakening the balance of payments, encouraging black markets, and encouraging trade restrictions. He concludes that even in heavily indebted countries, where it is generally assumed that devaluation weakens the fiscal balance through its effect on debt service, higher revenues may offset increases in debt service so that the overall effect of devaluation is largely an empirical question.3 Countries collect taxes in different ways. It is therefore not possible to generalize about the effect of changes in trade liberalization and the surrounding macroeconomic environment on tax revenues without examining the structure of the different components of revenues and the importance of each different component in the total. In addition, components of tax revenues interact in ways that may either reinforce or offset any changes in one on the other. Taxes constitute the largest share of revenues for most Sub-Saharan countries, with the main exception being those that rely heavily on natural resource production, where non-tax revenue may be dominant. Tax systems encompass a wide variety of taxes, which can be divided into three general categories: taxes on income and profits, taxes on goods and services, and international trade taxes. Corporate and personal income taxes are generally the main components of the taxes on income and profits, though sometimes there may be a separate capital gains tax. General sales taxes and excises are the main components of taxes on goods and services. General sales taxes take the form in most countries of a VAT but may also take the form of turnover-type or retail sales taxes. Table 1 shows the distribution of revenue collections for Sub-Saharan Africa in recent years. Import duties are still a significant source of revenues in Sub-Saharan African countries, though trade liberalization in the region is leading to a reduced reliance on these taxes. Taxes on goods and services are a growing share of revenues, especially with the introduction of VAT in many of the countries in the past few decades, and a reform of excise taxes in many countries as well. Income tax revenues also constitute a significant share of revenues, and are split between corporate and personal income tax revenues. Income tax revenues in Africa mainly come from the formal sector and from workers in the formal sector, including a large proportion from state-owned entities or just a few major enterprises and their workers (including civil servants). 2.1. International trade taxes Sub-Saharan countries still rely heavily on import duties to fund the public sector. Although trade liberalization is now an important component of reform in this region, the expansion of the 2 Other studies, including Reisen (1990) and Seade (1990), formulate hypotheses on similar issues. Bevan (1995), Feltenstein (1992), and Tokarick (1995) investigate the effect of exchange rate changes on the fiscal balance in an applied general equilibrium framework with application to specific countries. 3 264 T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 Table 1 Comparative structure of tax revenue in sub-Saharan Africa countries, 1980–1996a (in percent of GDP) Average 1980–1985 1986–1990 1991–1993 1994–1996 1980–1996 CFA and non-CFA countries Total revenue Tax revenue Taxes on income, profits, capital gains Domestic taxes on goods and services Taxes on international trade Non-tax revenue 17.39 15.37 4.20 4.64 5.49 1.69 16.70 14.98 4.02 4.24 5.71 1.84 16.80 14.95 4.02 5.73 5.10 1.80 18.60 16.83 4.64 5.27 6.10 1.61 16.92 15.05 4.06 4.61 5.44 1.68 CFA countries Total revenue Tax revenue Taxes on income, profits, capital gains Domestic taxes on goods and services Taxes on international trade Non-tax revenue 18.3 16.0 3.9 3.8 6.4 1.9 18.5 16.3 4.0 3.5 6.2 2.6 11.4 8.5 2.3 – – 2.8 19.1 18.3 3.4 3.7 10.1 0.8 17.9 15.7 3.8 3.7 6.4 1.8 Non-CFA countries Total revenue Tax revenue Taxes on income, profits, capital gains Domestic taxes on goods and services Taxes on international trade Non-tax revenue 16.9 15.1 4.4 5.1 5.0 1.6 16.2 14.5 4.0 4.5 5.5 1.6 17.3 15.6 4.2 5.7 5.1 1.7 18.5 16.4 5.0 5.7 5.0 1.8 16.4 14.7 4.2 5.1 4.9 1.6 Sources: IMF, Government Finance Statistics, International Financial Statistics and World Economic Outlook. a For each revenue classification, only countries for which data are available are included in the calculation. tax base and improvements in enforcement have not yet led to a heavily diminished importance of these taxes in overall revenues, except in a few countries. Import duties are usually ad valorem levies on import value; similarly, taxes on exports are usually ad valorem levies on exports. However, in some cases these taxes are levied on a specific (or unit) basis or in some more complex form, especially export levies. The effect of trade liberalization on trade tax revenues depends on several factors, including the structure of liberalization. As noted, the replacement of quantitative restrictions with tariffs can raise revenues. The effect of tariff reductions depends on how the level and coverage of tariffs changes. With unchanged import values, a reduction in tariffs reduces revenues from trade taxes and can also be accompanied by reductions in revenues from excises and VATs levied on imports (at least at the importation stage). A change in relative prices would, however, typically induce changes in the level and composition of imports and exports. The revenue outcome thus depends also on the price elasticity of demand for imports and the price elasticity of supply of import substitutes. If imports are sufficiently price elastic, there may be a revenue gain. Since trade liberalization often entails a disproportionate reduction of the highest tariffs, applied to goods that are mainly elastic in demand, the response in terms of higher imports may be sufficient to outweigh the revenue losses from a lower rate of tariff. The elasticity of supply of import substitutes is also relevant. The lower this elasticity, the smaller the reduction in output for a given reduction in price (of imports and the domestic good, in a competitive market), and hence the smaller the increase in import values. Since elasticities vary over the range of prices, the starting point for tariff changes is also relevant. T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 265 If protectionist motives are dominant or administration poor, tariffs may be above their revenue-maximizing levels.4 Changes in the exchange rate translate directly into changes in domestic collections from imports and exports. For a given level of imports or exports, a more depreciated real exchange rate would increase the base of trade taxes in domestic currency terms, which would in turn increase trade tax collections.5 To the extent that a real depreciation leads to a lower level of imports, this would offset to some extent the higher collections induced by higher domestic currency values. If aggregate elasticities of import demand were inelastic in the short run, then the valuation effect would likely dominate, leading to an overall increase in revenues from imports. A real depreciation would also tend to increase exports, which would lead to an increase in revenues as both the valuation and volume effect would support each other. In general, however, the tax effects on imports would dominate those on exports, since export taxes are insignificant in most countries today. In the short term, imports are also likely to adjust more quickly than exports to a change in the value of the currency, reinforcing the importance of changes in import collections initially. Although on an aggregate basis, aggregate import demand is likely to be relatively inelastic in most developing countries, import taxes apply to a wide range of goods, some of which are elastic in demand, especially consumer or finished goods. These goods also tend to face the highest tax rates. Real depreciation of the exchange rate is likely to lead to a shift in composition toward more price inelastic and less heavily taxed goods, including domestic substitutes, adding to the factors that contribute to lower revenues. 2.2. Taxes on goods and services In most developing countries, including those in Sub-Saharan Africa, taxes on goods and services (also referred to as indirect taxes) are a significant source of revenues (Ebrill, Keen, Bodin, & Summers, 2001). A large proportion of tax collections from taxes on goods and services are derived from imports (at least initially with these goods then marked up and resold in retail markets). In some countries, collections derived from imports are one-half or more of total collections from these taxes.6 Trade liberalization affects taxes on goods and services mainly through changes in the base of imports subject to these taxes. By international convention, in most countries, tariffs apply to import value (sometimes inclusive or exclusive of stamp duties), excise taxes are then levied on the base inclusive of tariffs (and stamp duties), and broad-based taxes, such as the VAT, are levied on the base inclusive of tariffs and excises.7 As noted, trade liberalization that reduces tariffs would lead to a fall in the base because tariffs constitute an element of the tax base of taxes on goods and services. However, the value of imports may rise, offsetting this reduction owing to the tariff change. In addition, revenues may decline because of a decline in the output of import substituting goods. Typically the administrative efficiency of collection for taxes on goods and services is lower than for imports, which creates room for additional 4 Ebrill et al. (1999) (pp. 4–6) and Khattry and Mohan Rao (2002) discuss these issues at more length. If the real exchange rate were unchanged, then there would likely be little change in the share of import tax collections in GDP. 6 Ebrill et al. (2001) report the share of VAT revenue derived from imports for 22 developing countries. More than 50% of the VAT revenue comes at importation stage in most of the sample countries. (The highest in the sample is 70%.) 7 Practices vary, however. For instance, in some Commonwealth nations, excises apply only to domestic goods and they are not part of the base for broad-based sales taxes. 5 266 T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 uncertainty in the effect of tariff reductions on taxes on goods and services. In the long term, however, if economic growth increases because of trade liberalization, the tax base is likely to expand. A real depreciation of the currency would lead to an increase in excise tax and VAT or sales tax collections from imports. But whether collections rise relative to GDP depends on the economic incidence of the taxes. It is typically assumed, and this assumption is supported by empirical evidence, that the burden of taxes on goods and services is largely shifted to consumers through price adjustments. Typically there is a relatively rapid pass-through of exchange rate depreciation to goods’ prices, thereby increasing the relative price of imported goods (or good using imported inputs). Hence tax revenues would change in proportion to the change in the final price. Again, however, there would be an offsetting demand effect induced by higher prices, and the size of elasticities would indicate whether revenue would increase or decrease overall. Exports are typically freed of excise tax liability (through suspension or rebating) and VAT liability (through zero rating). A real depreciation of the exchange rate would tend to increase exports at the expense of domestic consumption, tending to depress revenues and offsetting the increases from the revaluation effect, in contrast to international trade taxes. The overall outcome would depend on the relative size of the revaluation effect compared to the change in trade volumes. The smaller the elasticity of supply of exports, the more likely it is that the revaluation effect would dominate. Sometimes excise taxes are levied on a specific (or per unit) basis rather than on an ad valorem basis. Changes in exchange rate values that affect import value do not then automatically translate into changes in revenues. Specific charges may often apply to important excisable commodities, such as alcohol, tobacco, and petroleum. Therefore, as a practical matter, real depreciation of the currency may lead to a decline in excise tax collections, unless excises levied on a specific basis are adjusted to reflect changed prices of goods. 2.3. Taxes on income and profits and capital gains Despite their low per capita income, many Sub-Saharan Africa countries rely on income taxes to contribute roughly one-third of overall revenues. These income taxes usually reflect in their basic structure and legal form the income tax put in place by the previous colonial power (the United Kingdom in Anglophone Africa, France in Francophone Africa, and Portugal in Lusophone Africa). However, over time, most countries have made substantial modifications to the tax. Although the number of companies and workers from which income tax is derived tends to be rather small, reflecting the limited enforcement capacities, the revenue importance of this tax source should not be ignored. Corporate income tax revenues are usually derived from just a few major producers, such as beverage producers and telecommunications. Personal income tax revenues are often derived mainly from public sector employees and employees of the largest enterprises, though comprehensive income taxation is the norm in most Sub-Saharan African countries. Trade liberalization would mainly have an effect on income and profits taxes in the short run through changes in profitability of imported goods and import substitute producers in the short run and in the longer run on economic growth. In contrast to taxes on goods and services, if reductions in tariffs lead to lower prices for imports, they should lead to higher profit margins and hence higher income and profits taxes. In the long run, however, trade liberalization should have the same effect as for taxes on goods and services by increasing economic growth and the tax base. T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 267 Changes in exchange rates would have relatively little direct effect on personal income tax or corporate income tax collections. The principal direct influence would be through changes in tax liabilities resulting from required revaluation of foreign denominated assets and liabilities. Changes in inflation (or other macroeconomic variables) that result from changes in the exchange rate do, however, have important effects on income tax liabilities. 2.3.1. Personal income tax Personal income taxes in Sub-Saharan Africa are mainly global in nature, with several countries having adopted these global taxes in recent years to replace older forms of schedular taxation. However, in a few countries, especially in Francophone Africa, schedular income taxes are still the norm. Regardless of the form of personal income taxation, most revenues from this tax come from formal sector workers, and another component may be interest from bank deposits. Capital income and self-employment income generally constitute a relatively small proportion of personal income tax revenues, owing in part to the low level of capital income generated domestically and the difficulties in enforcement with the self-employed, who in Africa, constitute a large proportion of workers in the service sector, subsistence agricultural sector, and retail sector. Higher inflation could increase tax burdens under the personal income tax. There are several avenues by which higher inflation could affect tax liabilities. Most personal income tax systems are structured with progressive marginal tax rates. As a result, taxpayers who receive only nominal increases in wages to offset higher inflation still tend to be pushed into higher tax brackets because of progressive marginal tax rates (a phenomenon known as ‘‘bracket creep’’). In inflationary environments, with unchanged rate schedules and brackets, personal income tax collections tend to rise. Some personal income taxes are designed to adjust the brackets to inflation, which eliminates bracket creep and the inflationary increase in tax liabilities. Some countries do not build it in to the tax but make frequent adjustments, instead. Real exchange rate depreciation has potentially an important indirect effect on personal income tax collections if brackets are adjusted for inflation. Real exchange rate depreciation is likely to lead to a decline in real wages and thus a decline in personal income tax collections from wages, as taxpayers are shifted into lower tax brackets. There are thus two offsetting effects—if brackets are not adjusted for inflation, nominal increases in income imply taxpayers are shifted into higher brackets while if brackets are adjusted for inflation, declining real wages implies taxpayers are shifted into lower brackets, and the overall outcome depends on how brackets are adjusted in response to inflation and how real wages adjust. If real wages fall sufficiently and brackets are adjusted, personal income tax collections could fall. If real wages fall to a more limited extent and brackets are not adjusted fully in real terms, bracket creep could still imply that personal income tax collections rise. Bracket creep is likely to be more pervasive in personal income taxes characterized by many brackets and highly graduated marginal tax rate structures, and no institutional feature that requires automatic adjustment of brackets, as in some countries where brackets are indexed to a price or wage index. With few brackets and little graduation in marginal tax rates, bracket creep is not likely to be significant. In this case, the effects of real wage changes are likely to dominate. Higher inflation also alters the value of other components of the income tax fixed in nominal terms, such as credits, deductions, and exemptions. Any figures fixed in nominal terms lose value with higher inflation. If these components are not fixed in nominal terms but are instead set as a certain percentage of income or of some type of expenditure, then their value adjusts along with inflation to the extent that income or expenditure adjusts. Erosion of nominal credits and the like would raise tax liabilities, reinforcing the effect of bracket creep. 268 T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 Overall, it is hard to say a priori the effect of real exchange rate depreciation and higher inflation on income taxes. If the real wages drop significantly, the effect is likely to lower personal income tax liabilities. The tax treatment of individual proprietors, who pay under the personal income tax, raises another set of issues, but these issues are similar to those facing corporate taxpayers, discussed below. Capital income may rise as a result of real depreciation of the exchange rate, though the extent to which personal income tax collections rise would depend on the extent to which capital income is captured under the personal income tax. In many countries, capital income is scarcely taxed under the personal income tax. Most often, some tax may be withheld or due on interest payments. But often interest on bank deposits and government debt is exempt and corporate bond and equity markets are not well developed, so withholding on interest payments yields relatively little in revenues. It is rare for capital gains to be part of the personal income tax base in developing countries given the great difficulties in administering capital gains taxes and the desire on the part of many countries to encourage the development of nascent financial markets. However, many African income taxes do cover this component of income, in principle, even if enforcement is generally weak. Most industrialized countries do tax this component of income, which may be substantial. Payments to foreigners of capital income of various types may be taxed, often through some form of withholding, though tax treaties frequently eliminate tax on payments abroad and enforcement tends to be weak compared to collections on wages. It is therefore unlikely that any shift in the composition of income toward capital income as a result of real depreciation of the exchange rate would do much to bolster personal income tax collections. 2.3.2. Corporate income tax Corporate income taxes in Sub-Saharan Africa are usually similar to their counterparts in industrialized and other developing countries. However, enforcement tends to be weak. As with personal income tax, most of the effect of currency depreciation on corporate profits tax liabilities occurs through the effects of higher inflation on income statements. Higher inflation has several effects on corporate income. Higher inflation would erode the value of depreciation allowances since these are usually set on the basis of historical cost rather than replacement cost. Inventory cost deductions may also lose value in an inflationary environment though in part this depends on the inventory method that is used. A common method, based on the principle of first-in, first-out, results in inventory cost deductions at historical value, which in an inflationary environment leads to an overstatement of profits. The last-in, first-out principle is less likely to lead to an overstatement of profits unless inventories are substantially run down. On the other hand, higher inflation would raise nominal interest rates, largely in step with inflation. This increase in nominal interest rates reflects preservation of the capital value or in essence a partial payment of principal. As a result, corporations would be able to deduct not only the true interest component but also a component reflecting repayment of principal, tending to understate true profits, and hence lowering corporate profit tax liabilities. Changes in the real exchange rate have several direct effects on corporate income. A decline in the real exchange rate would raise the relative cost of imported goods used by corporations as inputs into production and this increase in cost would tend to lower profitability. Exporters might, on the other hand, benefit, offsetting higher input costs through stronger sales. A final somewhat complicated issue is the effect that foreign exchange revaluation has on overall corporate income. When revaluation of foreign denominated assets and liabilities is undertaken, changes in nominal exchange rates would affect corporate tax liability even in the T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 269 absence of changes in real exchange rates. For instance, if the currency depreciates foreign denominated assets and liabilities would rise in domestic currency terms. Assets would generate income and liabilities losses. Tax systems differ in how they treat these foreign exchange gains and losses, or even when they require enterprises to declare them and allowable offsets. Hence there is no summary way of stating the overall impact on corporate income and hence taxes. 2.3.3. Econometric approaches Various econometric approaches have been used to investigate these issues. One approach examines the relationship between economic variables and tax revenues, relying largely on crosssectional (and more recently, panel) data. These studies relate the variation in the share of tax revenue in GDP (usually central government revenue only) to differences in the level of development, the structure of the economy, quality of governance indicators, indices of trade liberalization, and macroeconomic variables.8 Previous tax effort studies have found that the income level, agriculture share, and other economic structure variables, and the share of international trade in GDP (which is sometimes used as an index of trade liberalization and referred to as the degree of openness), among others, are often statistically significant in explaining the cross-country variation in the revenue ratio.9 While existing studies have identified important determinants of the revenue ratio, these variables do not fully explain the cross-country variation in the ratio. There appears to be a large country-specific component to the tax share, as evidenced by persistence in the tax shares over time. In order to capture the influence of macroeconomic developments, it is desirable to have a time series of data and to model explicitly both the persistence in tax shares over time and reasons that these tax shares might change. A simple panel analysis, either with fixed or random effects, is generally not sufficient to fully investigate the lag structures inherent in macroeconomic variables. With a sufficiently long time series of data, it is possible to separate the shorter term and longer term effects of macroeconomic variables, though this is generally not feasible with only a short time series. In addition, in a model using macro variables, there are likely to be some endogenous explanatory variables. Using a panel of 27 countries from Africa, Asia and the Western Hemisphere, covering the period 1980–1992 and a panel of 105 countries, spanning 1980–1995, Ebrill et al. (1999) examine two complementary models of the determinants of import and international trade tax revenue. Using a fixed-effects and an instrumental regression framework they conclude that tariff reforms do not necessarily lead to lower trade tax revenue. They find that, in both models, depreciation of the exchange rate is significantly linked to higher trade tax revenues, confirming Tanzi’s hypothesis, but contrasting with Ghura (1998), which did not find a significant relation. Khattry and Mohan Rao (2002) also examine this issue, using a panel of 80 developing and industrialized countries, covering the period 1970–1998. Employing a fixed-effects regression framework, they find that trade liberalization is negatively correlated with total tax revenue and international trade tax revenue, but they find no significant link between the exchange rate and international trade tax revenue. They also find that countries are in general already below their measured revenue-maximizing tariff rate, suggesting that tariff reductions would reduce international trade tax revenues. 8 See, for example, Tait, Gratz, and Eichengreen (1979). More recent studies include Stotsky and WoldeMariam (1997), and Ghura (1998). 9 Stotsky and WoldeMariam (1997) provides a summary of the significant variables in the existing studies. 270 T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 Adam, Bevan, and Chambas (2001) examine the relationship between tax revenue, exchange rates, and trade openness in Sub-Saharan Africa, using a difference General Method of Moments (GMM) dynamic panel estimation. Their model adds to this literature in positing both a more general econometric specification (though the time series is too short to fully capture the timerelated dynamics) and two variables for the exchange rate, one that reflects the equilibrium exchange rate and the other reflecting the degree of misalignment of the exchange rate.10 Though trade liberalization is not a focus of their work, they proxy trade liberalization through an openness variable. They conclude that openness raises overall tax revenue in CFA franc countries while it has little effect in non-CFA franc countries, though the disaggregated revenue outcome suggest that it raises trade tax revenue and lowers goods and services tax revenue. They also find that depreciation and removal of real exchange rate disequilibrium lowers tax yield in CFA countries while it has the opposite effect in non-CFA countries. Their results vary by component of tax revenue. For income taxes, the exchange rate has no effect in non-CFA countries while depreciation has a strongly positive effect in CFA countries, though it weakens over time. Movement toward equilibrium in the exchange rate has a negative effect on income taxes. For trade taxes, depreciation of the exchange rate is linked to higher revenue, though the precise effect differs across CFA and non-CFA countries. For goods and services taxes, real exchange rate depreciation and movement of misalignment in a more depreciated direction tend to increase goods and services taxes in non-CFA countries but to decrease the tax yield in CFA countries. Overall, they conclude that the poor revenue performance in the CFA countries in that period reflected mainly differences in environmental and structural factors and to different responses to changes in the equilibrium real exchange rate, but that misalignment of the exchange rate also played a role. 3. Data and methodology This section explains our empirical methodology and the data set. The basic approach is taken from Adam et al. (2001), with some modifications. One of the main difficulties in formulating the estimation is constructing a good proxy measure for the degree of liberalization. A number of previous studies have attempted or have developed indicators of openness or trade restrictiveness and measures that summarize the overall stance of a country’s trade and exchange rate regime. The appropriateness of these indicators depends on several factors and is discussed in Appendix I of IMF (1998) and references therein. IMF (1998) develops a trade restrictiveness index that is based on a 10-point scale that combines measurements of the restrictiveness of tariffs and non-tariff barriers; however, this measure is not publicly available and also suffers from several defects. There are several different ways that the degree of trade liberalization has been measured in the literature. One method relies on a traditional measure of openness, defined as international trade as a share of GDP. Ebrill et al. (1999) and Adam et al. (2001) employ this variable. A higher ratio is taken to indicate greater trade liberalization. In addition to this traditional measure of openness, the collected tariff rate, measured by the ratio of import duties to the value of imports, is another alternative. With this measure, a decline in the index is taken to indicate greater trade liberalization. Ebrill et al. (1999) also employ this measure. The appropriateness of this measure 10 Adam et al. (2001) construct the misalignment variable by estimating an equation for the long run or equilibrium exchange rate and then calculate deviations from this exchange rate as the degree of misalignment. See their study for details (pp. 190–191). T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 271 is discussed in that paper.11 A third possibility is the ratio of international trade taxes to international trade, which includes the export component of taxes and trade. This measure is used by Khattry and Mohan Rao (2002). However, this measure is less likely to be accurate as a measure of trade liberalization since changes in exports are less closely linked to trade liberalization than changes in imports. An alternative approach makes use of episodes of trade liberalization, as in Ebrill et al. (1999). However, the difficulty in constructing a sufficient panel data set and the judgment involved in determining what constitutes an episode of trade liberalization limit the use of this approach to a data set where trade liberalization episodes can be clearly identified. Even then, an episodic approach cannot account for the degree to which trade liberalization has succeeded, and the evidence shows that in many cases, measures adopted as part of a trade liberalization program are not necessarily implemented (Ebrill et al., 1999, case studies). In this study, we use the first two measures as proxies for trade liberalization. The data set is that used by Adam et al. (2001) augmented by additional variables for the collected tariff and real effective exchange rates. A detailed description of their data is provided in their paper.12,13 The sample period is 1980–1996. Some plots, using simple year country averages for each variable, are useful to examine. Figs. 1 and 2 show the pattern of the relationship between each major component of tax revenue and the two proxy indicators of trade liberalization. For the first measure of trade liberalization, there does not emerge any clear pattern to the data. For the second measure, there appears to be a positive correlation between overall tax revenues and taxes on international trade and trade liberalization, suggesting that higher effective tax rates (or a less liberal environment) is linked to higher revenues. Fig. 3 shows the pattern of the relationship between each major component of tax revenue and the real effective exchange rate. Again, although no clear pattern emerges, for overall tax revenues and taxes on international trade, there appears to be a positive relation between increases in the exchange rate (appreciation) and higher revenues. Figs. 4–6 show the regional dimension, with the top figures showing CFA countries and the bottom non-CFA countries. The figures indicate a positive correlation between the two trade liberalization measures for CFA countries and none for the non-CFA countries. Fig. 5, showing the relationship between trade liberalization measured as openness and the real effective exchange rate, illustrates quite clearly for the CFA countries the effect of the devaluation in 1994, as there is a sharp break in the data at that point. The pattern while comparing the CFA and non-CFA countries is quite strikingly different with the CFA generally showing a positive correlation and the non-CFA a negative one. Fig. 6, showing the relationship between trade liberalization measured as the collected tariff, shows a rather a somewhat similar pattern for the CFA countries, though without as sharp a break following the devaluation, and no clear correlation for the non-CFA countries. Altogether, these simple plots suggest that no clear and unambiguous patterns emerge for key variables. 11 Although not focused on revenue issues, several studies of the relationship between trade liberalization and growth in developing countries report results suggesting that problems of misspecification and the variation in the measures of liberalization are in part responsible for inconclusive results relating to the link between trade liberalization and growth. 12 We would like to thank Professor Christopher Adam for providing us with the data. The collected tariff and real effective exchange rate variables are derived from unpublished IMF African Department data and the IMF’s financial statistics database. 13 Although this paper does not provide an explicit theoretical model to underlie the empirical analysis, the theoretical model outlined in Adam et al. (2001) can form such a basis. 272 T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 Fig. 1. Sub-Saharan Africa countries: comparative structure of tax revenue and trade liberalization 1, 1980–1996 (1) (in percent of GDP). Sources: IMF, Government Finance Statistics, International Financial Statistics, and World Economic Outlook. (1) Variables are averages over the observations for each year. (2) Trade liberalization 1 is defined as international trade as a share of GDP. T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 273 Fig. 2. Sub-Saharan Africa countries: comparative structure of tax revenue and trade liberalization 2, 1980–1996 (1) (in percent of GDP). Sources: IMF, Government Finance Statistics, International Financial Statistics, and World Economic Outlook. (1) Variables are averages over the observations for each year. (2) Trade liberalization 2 is measured by the ratio of import duties to the value of imports in percent. 274 T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 Fig. 3. Sub-Saharan Africa countries: comparative structure of tax revenue and real effective exchange rate 1980–1996 (1) (in percent of GDP). Sources: IMF, Government Finance Statistics, International Financial Statistics, and World Economic Outlook. (1) Variables are averages over the observations for each year. (2) Index 1995 = 100. An increase reflects an appreciation of the real effective exchange rate. Turning to the regression analysis, we estimate a dynamic panel model specification using a GMM estimator. We use the revenue-to-GDP ratios from various tax categories as dependent variables. They include (all as a share of GDP): total tax revenue, taxes on income and profits, taxes on goods and services, and international trade taxes. We exclude some smaller categories of revenues, such as property taxes and payroll taxes. T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 275 Fig. 4. Sub-Saharan Africa countries: trade liberalization 1 and 2 by region, 1980–1996 (1) (in percent). Sources: IMF, Government Finance Statistics, International Financial Statistics, and World Economic Outlook. (1) Variables are averages over the observations for each year. (2) Trade liberalization 1 is defined as international trade as a share of GDP. (3) Trade liberalization 2 is measured by the ratio of import duties to the value of imports in percent. We use the same general approach as in the previous tax effort literature and adopt independent variables similar to these studies as control variables in our analysis. These variables are: an index of trade liberalization (keeping in mind that an increase in the first measure and a decrease in the second measure indicates greater trade liberalization), real GDP per capita, the size of the agricultural sector, the size of the industrial (including mining) sector, net transfer of aid, government consumption, the inflation rate, the terms of trade, and (deviating from Adam et al.) the real effective exchange rate (measured as an index relative to 1995, where an increase in the index value represents appreciation). In the tax effort literature, GDP per capita is included to capture the level of development. Higher income countries tend to have a more monetized economy and better tax administration, so GDP per capita is expected to have a positive relationship with the tax revenue to GDP ratio, and domestic tax components, and a more ambiguous relationship with trade tax revenue. 276 T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 Fig. 5. Sub-Saharan Africa countries: real effective exchange rate and trade liberalization 1 by region, 1980–1996 (1) (in percent). Sources: IMF, Government Finance Statistics, International Financial Statistics, and World Economic Outlook. (1) Variables are averages over the observations for each year. (2) Trade liberalization 1 is defined as international trade as a share of GDP. (3) Index 1995 = 100. An increase reflects an appreciation of the real effective exchange rate. Variables reflecting the share of different industries in the economy capture the differences in the ability to tax components of the economy. Typically, agricultural activities are difficult to tax, especially in low income countries, where most agricultural activities are organized on a smallscale basis. Hence the share of agriculture is used as an explanatory variable to control for the difficulty in collecting taxes from this sector. Many studies have found a negative relationship between the share of agriculture and the total tax revenue ratio, even after controlling for per capita income, though a positive relationship might be found in Sub-Saharan African because agricultural exports are sometimes a good tax handle. The industrial share has also been used as T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 277 Fig. 6. Sub-Saharan Africa countries: trade liberalization 2 and real effective exchange rate by region, 1980–1996 (1) (in percent). Sources: IMF, Government Finance Statistics, International Financial Statistics, and World Economic Outlook. (1) Variables are averages over the observations for each year. (2) Trade liberalization 2 is measured by the ratio of import duties to the value of imports in percent. (3) Index 1995 = 100. An increase reflects an appreciation of the real effective exchange rate. an explanatory variable and may in low income countries proxy for mining share. It might be expected to have a positive relationship with total tax revenue, though for this group of African countries, there has been a high association between mineral resources and civil conflict, so a negative relationship is also possible, given that we do not capture the effect of civil conflict on revenues with any explicit variable (only country and time effects). As noted, trade liberalization has an ambiguous effect on revenues, including its components. In addition to the control variables taken from the tax effort literature, we include macroeconomic and fiscal policy variables: the real effective exchange rate, inflation, the terms of trade, net transfers of aid, and government consumption. Also as noted, the effect of exchange rate changes on revenues is uncertain a priori. With regard to the other control variables, the effect on revenues is also likely to be ambiguous. A strengthening of the terms of trade, measured as the export price index divided by the import price index, suggests that export industries would 278 T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 be more profitable and hence generate higher income tax revenues and possibly taxes related to imports used as inputs. However, since exports are zero-rated, might imply a reduction of VAT. A weakening of the terms of trade might imply the opposite. Hence the overall outcome is uncertain. Similarly, the relationship between net transfers of aid and revenues are uncertain. There is some evidence that aid reduces tax effort, but these results are not uniform and might depend on the purposes of aid, requirements for counterpart funds and other factors. With regard to government consumption, it might be expected that government consumption would be positively correlated with revenues, or some components of it, but in a fully specified model of government decisionmaking, these fiscal policy variables would both be endogenously determined. Using the panel data set, we postulate a first-order dynamic panel model of the following form: TAXREVi;t ¼ a1 TAXREVi;t1 þ a2 logðGDPÞi;t þ a3 AGRIi;t þ a4 INDi;t þ a5 logðGCÞi;t þ a6 logðNAIDÞi;t þ a7 logðTOTÞi;t þ a8 logðEXCHANGEÞi;t þ a9 ðINFLATIONÞi;t þ a10 logðOPENÞi;t þ a11 logðOPENÞ ðCFAÞi;t þ ui þ g t þ ei;t where TAXREV is the tax revenue variable, GDP, the real GDP per capita, AGRI, the share of agriculture in GDP, IND, the share of industrial (mining) activities in GDP, GC, the real government consumption share in GDP, NAID, net transfers of aid, TOT, the terms of trade, EXCHANGE, the real effective exchange rate, INFLATION, the inflation, OPEN, the index of trade liberalization, CFA, a dummy for CFA franc countries, ui an unobserved country effect, gt an unobserved time effect, and ei,t is an unobserved random error term, where i represents the ith country and t represents the tth time period. We control for the bias that is due to including a lagged dependent variable and the possible endogeneity of several of the explanatory variables. In particular, we hypothesize that in an equation to determine revenue share, any government variables, such as a spending variable or the trade liberalization measure, are likely to be endogenous, as well as any macro-variables that might be affected critically by fiscal policy. Hence we treat per capita income, inflation, government consumption, and the trade liberalization variables as endogenous. To control for this endogeneity, we use a generalized method of moments (GMM) framework. The particular approach we adopt is based on the GMM estimators for the AR(1) panel data model and is due to Holtz-Eakin, Newey, and Rosen (1988), Arellano and Bond (1991), and Arellano and Bover (1995), who build on the fundamental work of Hansen (1982). Specifically, the method involves transforming the above equation to remove the unobserved country effects and then estimating the resulting equation by instrumental variables.14 Arellano and Bond (1991) derived a GMM estimator for the coefficients of such an equation based on first differences, using lagged levels of the dependent variables and the predetermined variables (‘‘internal instruments’’), and, second, taking differences of the strictly exogenous explanatory variables. The approach assumes that there is no second-order autocorrelation in the first-differenced 14 The method of transformation of the data matrix can be in levels, first differences, orthogonal deviations, combinations of first differences (or orthogonal deviations) and levels, or in deviations from individual means. See Arellano and Honoré (2000) for details. T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 279 idiosyncratic errors. Tests for autocorrelation and Sargan test of over-identifying restrictions are conducted to determine the appropriateness of the specification. This paper conducts an instrumental GMM estimation based on an orthogonal deviation transformation as opposed to first differencing. The orthogonal deviation transformation of Arellano and Bover (1995) expresses each observation as the deviation from the average of future observations in the sample for the same unit (country) and it weights each deviation to standardize the variance. The advantage of this transformation is that it has the desirable property of guaranteeing that the transformed errors will be serially uncorrelated and homoskedastic, whenever the original errors are serially uncorrelated and homoskedastic. As noted by Arellano and Honoré (2000), the orthogonal deviation transformation is equivalent first, to applying a first difference transformation to get rid of fixed effects and second, to using generalized least squares to eliminate first degree autocorrelation resulting from first-differencing. 4. Empirical results Tables 2–3 present regression results for the full sample period and the full sample of countries, to examine the determinants of total tax revenue, international trade taxes, taxes on goods and services, and income and profit taxes, under the assumption that revenue behavior can be pooled across exchange rate regimes (although we allow for the differential effect of openness and country specific effects).15 Appendix A indicates which countries are included in the sample. Results are reported both for the specification where trade liberalization is measured as the share of external trade in GDP (the first measure), and where trade liberalization is measured as the collected tariff (the second measure).16,17 To control for the possible endogeneity of several of the explanatory variables, we use previous observations of the explanatory and lagged dependent variables as instruments in the orthogonal deviation regression.18 Our results are for one-step GMM estimators, with heteroskedasticity-consistent asymptotic standard error reported. We also report results for first- and second-order serial correlation and the Sargan specification test.19 In the regressions generally, the assumption of serially uncorrelated errors is appropriate. Furthermore, the null hypothesis of the validity of the moment conditions cannot be rejected. Note that the tests for first- and second-order serial correlation are based on estimates of the 15 It has been suggested that the effect of our chosen explanatory variables on tax revenues may not be stable over time. While this might indeed be the case, our general conclusion that specification issues and different measures of trade liberalization lead to contrasting results is not affected by sub-sample analysis. Thus we have not reported the result of such analysis. 16 Empirical results herein were obtained by implementing the DPD package Version 1.2 of Doornik, Arellano, and Bond (2001) which is a class of procedures in the programming language of Ox. 17 The results for the trade liberalization measure using the ratio of international trade revenues to international trade in percent are only different in a few respects from the results for the second measure. Since this measure is viewed as less accurate a proxy, we do not present the results. They are, however, available from the authors. 18 In addition to the lagged dependent variables, per capita income, inflation, government consumption, and openness are treated as potentially endogenous. For instruments we use their values dated at time t 2. The choice of instruments is not routine when the number of countries is small relative to the number of time periods. Soto (2003) discusses some issues associated with the choice of instruments. 19 The Sargan test is designed to test the overall validity of all the instruments, employed to estimate the model, by analyzing the sample analog of the moment conditions. It attempts to answer the question, given that a subset of instrumental variables is valid and exactly identifies the coefficients, are the extra instrumental variables valid? Failure to reject the null should be interpreted as favoring the specified model. 280 T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 Table 2 Revenue equations: GMM estimation 1980–1996 (full sample orthogonal deviation transformation) Dependent variable Total taxes as a share of GDP Income taxes as a share of GDP (1) (3) (2) Lag_dv Lgdp Agri Ind Lgc Lnaid Ltot Lexchange Inflation Lib_index1 Lib_index1cfa Lib_index2 Lib_index2cfa 0.563 0.007 0.137 0.214 0.019 0.036 0.029 0.011 0.023 0.001 0.042 [5.02] [0.33] [2.58] [3.21] [2.28] [1.21] [2.19] [0.62] [4.11] [0.11] [1.38] (m1) (m2) Sargan 3.528 [0.00] 0.861 [0.39] 63.28 [0.90] 0.538 0.002 0.036 0.133 0.012 0.017 0.003 0.030 0.020 [5.79] [0.12] [0.42] [1.66] [1.01] [0.52] [0.19] [2.07] [4.88] 0.738 0.017 0.057 0.018 0.003 0.008 0.002 0.008 0.004 0.000 0.016 (4) [5.59] [1.08] [1.71] [0.54] [0.77] [0.46] [0.40] [0.84] [1.02] [0.03] [1.33] 0.010 [0.92] 0.026 [0.92] 3.481 [0.00] 0.841 [0.40] 69.40 [0.77] 0.632 0.027 0.054 0.054 0.005 0.000 0.002 0.007 0.003 [5.35] [1.96] [2.05] [1.29] [0.93] [0.01] [0.26] [0.76] [0.96] 0.012 [1.94] 0.024 [1.34] 3.074 [0.00] 0.871 [0.38] 100.70 [0.05] 2.702 [0.01] 0.525 [0.60] 104.3 [0.03] Notes: Year dummies are included in all specifications. Equations estimated with one-step heteroscedastic standard errors. Robust t-ratios in parentheses. m1 and m2 are tests for first-order and second-order serial correlation in the first differenced residuals, asymptotically distributed as N(0, 1) under the null of no serial correlation, with p-value in parentheses. Sargan is a test of the over-identifying restrictions, asymptotically distributed as a x2 under the null of instrument validity, with p-value in parentheses. Definitions of the variables and the country list are provided in Appendix A. residuals in first differences even though we have estimators obtained using orthogonal deviations. Orthogonal deviations can induce serial correlation in the transformed error term, if the original error term is serially uncorrelated but heteroskedastic. The regression results in columns headed (1) and (2) in Table 2 present the outcome of examining the determinants of total tax revenue shares for our two different measures of trade liberalization. With respect to total tax revenue, the first thing to note is that the coefficient on the lagged dependent variable is positive and significant in the regressions for both measures of trade liberalization, suggesting that there is a partial adjustment over time in tax revenue. Using the first measure of trade liberalization, although per capita income is not significant, agricultural share, industrial share, government consumption, and the terms of trade all exert a positive effect on total tax revenue, and inflation exerts a negative effect. The positive effect of agricultural share may be explained by the influence of exports in providing a tax handle, as noted earlier. The real exchange rate and the trade liberalization measures are not, however, significant. Using the second measure, we find a somewhat different pattern of results. Industrial share is positive and marginally significant. The real exchange rate and inflation are both negative and significant, suggesting that real exchange rate appreciation and higher inflation depress revenues, consistent with Tanzi’s hypotheses. The regression results in columns headed (3) and (4) in Table 2 present the results for income taxes for the two measures of trade liberalization. We observe again a positive and significant effect of the lagged dependent variable. Using the first measure of trade liberalization, T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 281 Table 3 Revenue equations: GMM estimation 1980–1996 (full sample orthogonal deviation transformation) Dependent variable International trade taxes as a share of GDP Taxes on goods and services as a share of GDP (5) (7) (6) Lag_dv Lgdp Agri Ind Lgc Lnaid Ltot Lexchange Inflation Lib_index1 Lib_index1cfa Lib_index2 Lib_index2cfa 0.472 0.050 0.127 0.045 0.015 0.004 0.008 0.029 0.012 0.002 0.027 [4.40] [3.23] [1.98] [0.80] [1.87] [0.12] [1.05] [3.75] [2.21] [0.23] [1.17] (m1) (m2) Sargan 3.442 [0.00] 0.858 [0.39] 64.23 [0.89] 0.463 0.043 0.057 0.059 0.010 0.013 0.002 0.034 0.006 [3.73] [2.81] [0.83] [0.80] [0.81] [0.32] [0.12] [3.24] [1.17] 0.765 0.004 0.001 0.114 0.008 0.002 0.015 0.009 0.006 0.004 0.018 (8) [7.98] [0.18] [0.01] [2.31] [1.88] [0.11] [1.88] [0.66] [2.14] [0.59] [1.27] [9.14] [0.34] [0.88] [2.85] [1.25] [0.26] [2.15] [1.33] [3.98] 0.010 [1.25] 0.008 [0.42] 0.010 [1.12] 0.011 [0.43] 3.022 [0.00] 0.674 [0.50] 78.47 [0.50] 0.727 0.007 0.045 0.137 0.006 0.005 0.018 0.011 0.011 2.774 [0.01] 0.051 [0.96] 69.02 [0.78] 2.838 [0.01] 0.195 [0.85] 84.85 [0.31] Notes: Year dummies are included in all specifications. Equations estimated with one-step heteroscedastic standard errors. Robust t-ratios in parentheses. m1 and m2 are tests for first-order and second-order serial correlation in the first differenced residuals, asymptotically distributed as N(0, 1) under the null of no serial correlation, with p-value in parentheses. Sargan is a test of the over-identifying restrictions, asymptotically distributed as a x2 under the null of instrument validity, with p-value in parentheses. Definitions of the variables and the country list are provided in Appendix A. agricultural share is negatively linked to income tax revenues, and no other variables are significant. Using the second measure, we find a positive effect of per capita income and a negative effect of agricultural share. Neither the exchange rate or inflation variables are significant. For the second measure of trade liberalization, the coefficient is negative and significant, which suggests that a higher value of the collected tariff (which we interpret as less liberalization) is linked to lower revenues, so trade liberalization appears beneficial for income tax revenues. The regression results in columns headed (5) and (6) in Table 3 present the results for international trade taxes. The coefficient on the lagged dependent variable is positive and significant. For the first measure of trade liberalization, per capita income, the real exchange rate, and inflation are negatively linked to trade taxes. Agricultural share and government consumption are positively linked. Using the second measure of trade liberalization, per capita income and the real exchange rate are negatively linked to trade revenues. Interestingly, trade liberalization is not significantly linked to trade revenues, using either measure. The regression results in columns headed (7) and (8) in Table 3 present the results for taxes on goods and services. The effect of the lagged tax share is positive and significant. For the first measure of trade liberalization, the industrial share, government consumption, and terms of trade are positive and significant, while inflation is negative and significant. The real exchange rate and trade liberalization variables are not significant. For the second measure, the industrial share and terms of trade are positive and significant, and inflation is negative and significant. Neither the exchange rate or trade liberalization measures are significant. 282 T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 Overall, these results suggest that there is strong persistence over time in total tax revenues and all components of revenues. Some evidence is found that trade liberalization has a positive effect on income tax revenue but otherwise is not strongly linked to total tax revenue or its components. The results are not uniform across the specifications, and no significant difference between CFA and non-CFA countries is found. The sensitivity of the results to the measure of trade liberalization suggests the need for careful consideration of the best way to proxy this variable. Some evidence is found of a negative link of real exchange rate appreciation to overall tax revenues and to trade tax revenues. For the second measure of liberalization, with the exception of income taxes and trade taxes, inflation is negatively linked to revenues. These results suggest that trade liberalization accompanied by an appropriate monetary and exchange rate policy does not have a significant effect on overall tax revenue though some effect on income tax revenue. Appreciation of the exchange rate and increases in inflation generally speaking lead to lower overall tax revenue, though the results vary by component of taxes. These results show some consistency with the results of both Adam et al. and Khattry and Mohan Rao, though in neither case are the results uniformly consistent. These results also show consistency with Ebrill et al. in the main finding on trade liberalization. 5. Conclusion This paper has investigated the relationship between the tax revenue-to-GDP ratio, trade liberalization, and changes in the exchange rate using a panel data set of Sub-Saharan countries. Our results suggest that trade liberalization, accompanied by appropriately supportive monetary policies, may preserve tax yield. This result has important implications for countries that have been reluctant to undertake trade liberalization for fear of the revenue consequences. Acknowledgments We would like to thank Randy Filer, Timothy Goodspeed, Kwabena Gyimah-Brempong, Sergio Leite, Winston Moore, Peter Pedroni, Emil Sunley and an anonymous referee for helpful comments on the paper. We would also like to thank Beulah David and Joaquin Salas Orono for help in preparing the paper. We are also grateful to participants at the Economic Commission for Africa (ECA) ad hoc Expert Group Meeting on Maintaining the Government Fiscal Base in the Context of a Trade Liberalization Regime, held in Addis Ababa, Ethiopia, September 2003, for useful suggestions. This paper should not be reported as representing the views of the IMF. The views expressed are those of the authors and do not necessarily reflect the views of the IMF or IMF policy. Appendix A. Data definitions Lag_dv Lgdp Agri Ind Lgc Lib_index1 Lib_index2 lag of dependent variable (log) real per capita income agricultural share in GDP industry (including mining) share in GDP (log) government consumption as a share of GDP (log) openness: international trade as a share of GDP (log) openness: ratio of import duties to value of imports T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 Lnaid Inflation Ltot Lexchange 283 (log) net transfers of aid annual inflation (log) terms of trade (log) real effective exchange rate, 1995 = 100. Increase indicates appreciation The country classification is as follows: CFA and non-CFA. (1) Non-CFA Burundi; The Gambia; Ghana; Kenya; Madagascar; Mauritania; Malawi; Mauritius; Rwanda; Sierra Leone; Tanzania; Uganda; Zambia; and Zimbabwe. (2) CFA Benin; Burkina Faso; Central African Republic; Cote d’Ivoire; Mali; Niger; Senegal; and Togo. Adam et al. (2001) excluded from the sample two categories of countries: first, countries whose tax base is dominated by natural resources and second, countries for which there were insufficient or dubious data over the sample period. See Adam et al. (2001) for details. References Adam, C., Bevan, D., & Chambas, G. (2001). Exchange rate regimes and revenue performance in sub-Saharan Africa. Journal of Development Economics, 64, 173–213. Arellano, M., & Bond, S. (1991). Some tests of specification for panel data: Monte Carlo evidence and an application to employment equations. Review of Economic Studies, 58, 277–297. Arellano, M., & Bover, O. (1995). Another look at the instrumental variable estimation of error-components models. Journal of Econometrics, 68, 29–51. Arellano, M., & Honoré B. (2000). Panel Data Models: Some Recent Developments, CEMFI Working Paper 0016. Available via the internet at: http://www.cemfi.es. Bevan, D. (1995). Fiscal Implications of Trade Liberalization, IMF Working Paper 95/50. Washington: International Monetary Fund. Doornik, J., Arellano, M., & Bond S. (2001). Panel Data Estimation Using DPD for Ox. Available via the internet at: http://www.nuff.ox.ac.uk/users/doornik. Ebrill, L., Keen, M., Bodin, J.-P., & Summers, V. (2001). The modern VAT. Washington: International Monetary Fund. Ebrill, L., Stotsky J., & Gropp, R. (1999). Revenue Implications of Trade Liberalization, IMF Occasional Paper 99/80. Washington: International Monetary Fund. Feltenstein, A. (1992). Tax Policy and Trade Liberalization: An Application to Mexico, IMF Working Paper 92/108. Washington: International Monetary Fund. Frankel, J. A., & Romer, D. (1999). Does trade cause growth? American Economic Review, 89(3), 379–399. Ghura (1998). Tax Revenue in Sub-Saharan Africa: Effects of Economic Policies and Corruption, IMF Working Paper 98/ 135. Washington: International Monetary Fund. Greenaway, D., Morgan, W., & Wright, P. (2002). Trade liberalization and growth in developing countries. Journal of Development Economics, 67, 229–244. Hansen, L. P. (1982). Large sample properties of generalized method of moment estimators. Econometrica, 50, 1029– 1054. Holtz-Eakin, D., Newey, W., & Rosen, H. S. (1988). Estimating vector auto-regressions with panel data. Econometrica, 56, 1371–1396. International Monetary Fund. (1998). Trade liberalization in IMF-supported programs prepared by a staff team led by Robert Sharer. Washington: International Monetary Fund. Keen, M., & Ligthart, J. E. (2002). Coordinating tariff reduction and domestic tax reform. Journal of International Economics, 56, 489–507. Khattry, B., & Mohan Rao, J. (2002). Fiscal faux pas? An analysis of the revenue implications of trade liberalization. World Development, 30(8), 1431–1444. 284 T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284 Reisen, H. (1990). Interaction between the exchange rate and the public budget in major debtor developing countries. In Vito Tanzi (Ed.), Fiscal policy in open developing economies (pp. 82–93). Washington: International Monetary Fund. Rodriguez, F., & Rodrik, D. (2001). Trade policy and economic growth: A skeptics guide to the cross-national evidence. In B. S. Bernanke, & K. Rogoff (Eds.), NBER macroeconomics annual 2000 (pp. 261–325). Cambridge, MA: MIT Press. Seade, J. (1990). Tax revenue implications of exchange rate adjustment. In V. Tanzi (Ed.), Fiscal policy in open developing economies (pp. 54–65). Washington: International Monetary Fund. Soto, M. (2003). Taxing capital flows: An empirical comparative analysis. Journal of Development Economics, 72, 203– 221. Stotsky, J. G., & WoldeMariam A. (1997). Tax Effort in Sub-Saharan Africa, IMF Working Paper 97/107. Washington: International Monetary Fund. Tait, A. , Gratz, W. L. M., & Eichengreen, B. J. (1979). International comparisons of taxation for selected developing countries, 1972–1976. International Monetary Fund Staff Papers, 26, 123–156. Tanzi, V. (1989). The impact of macroeconomic policies on the level of taxation and the fiscal balance in developing countries. International Monetary Fund Staff Papers, 36, 633–656. Tokarick, S. (1995). External shocks, the real exchange rate, and tax policy. International Monetary Fund Staff Papers, 42, 49–79. Warcziarg, R., & Welch, K. H. (2003). Trade Liberalization and Growth: New Evidence, NBER Working Paper No. 10152, December. Temi di discussione (Working papers) La relazione tra gettito tributario e quadro macroeconomico in Italia Numero Dicembre 2008 di Alberto Locarno e Alessandra Staderini 694 La serie “Temi di discussione” intende promuovere la circolazione, in versione provvisoria, di lavori prodotti all’interno della Banca d’Italia o presentati da economisti esterni nel corso di seminari presso l’Istituto, al fine di suscitare commenti critici e suggerimenti. I lavori pubblicati nella serie riflettono esclusivamente le opinioni degli autori e non impegnano la responsabilità dell’Istituto. Comitato di redazione: Patrizio Pagano, Alfonso Rosolia, Ugo Albertazzi, Claudia Biancotti, Giulio Nicoletti, Paolo Pinotti, Enrico Sette, Marco Taboga, Pietro Tommasino, Fabrizio Venditti. Segreteria: Roberto Marano, Nicoletta Olivanti. LA RELAZIONE TRA GETTITO TRIBUTARIO E QUADRO MACROECONOMICO IN ITALIA di Alberto Locarno e Alessandra Staderini Sommario Questo lavoro analizza l'andamento delle entrate tributarie in Italia nel periodo 1978-2006, studiando la relazione tra la dinamica del gettito e l'evoluzione del quadro macroeconomico. Le serie del gettito effettivo vengono corrette per gli interventi discrezionali, trasformate in aliquote implicite e scomposte in componenti strutturali. Sulla parte di trend è condotta un'analisi di regressione, che mette in evidenza come alla dinamica del gettito concorrano, oltre alle variabili più comunemente utilizzate nei modelli di previsione, una pluralità di fattori: alcuni - i tassi di interesse, il prezzo del petrolio, l'output gap, l'in azione hanno un effetto diretto sulle aliquote implicite; altri - la quota dei pro tti di banche e imprese quotate, il peso dei consumi energetici sul totale della spesa, gli acquisti di beni durevoli in uenzano indirettamente l'incidenza del prelievo, perché comportano spostamenti delle basi imponibili tra settori caratterizzati da diverse possibilità di evasione. Classi cazione JEL: C22, E62, H2. Parole chiave: strutturali. Entrate tributarie, misure discrezionali, scomposizione in componenti Indice 1. Introduzione . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3 2. Correzione per gli interventi discrezionali . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5 2.1 I dati . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5 2.2 Gli interventi discrezionali negli anni dal 1978 al 2006 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6 3. Correzione per i fattori erratici e ciclici . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10 3.1 I modelli strutturali a componenti non osservabili . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10 3.2 Selezione del modello e risultati . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12 4. Aliquote implicite: uno strumento per analizzare l'elasticità . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13 5. Analisi econometrica . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17 6. Conclusioni . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21 Appendice 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24 Appendice 2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26 Riferimenti bibliogra ci . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34 Banca d'Italia, Servizio Studi di congiuntura e politica monetaria Banca d'Italia, Servizio Studi di struttura economica e nanziaria 1. Introduzione1 Per valutare la solidità delle nanze pubbliche di un paese è sempre più diffuso il ricorso a indicatori di bilancio corretti per gli effetti del ciclo economico. Stime comparabili tra paesi di tali effetti sono, in particolare, regolarmente pubblicate da oltre un decennio dalla Commissione europea, dal FMI e dall'OCSE.2 Nelle metodologie più utilizzate, la correzione per gli effetti del ciclo viene apportata essenzialmente alle entrate, ipotizzando una relazione stabile tra la dinamica dei tributi e il quadro macroeconomico, che può essere adeguatamente riprodotta da un numero limitato di variabili. Le metodologie si differenziano tra quelle che si basano su un'elasticità aggregata del complesso delle entrate rispetto al PIL, con l'ipotesi implicita che modi che nella composizione del PIL non abbiano un impatto signi cativo, e quelle che invece utilizzano elasticità distinte per le principali categorie di entrate, ciascuna rispetto alle principali variabili macroeconomiche che de niscono la composizione del prodotto (consumi, retribuzioni lorde, risultato di gestione). In connessione con il manifestarsi in molti paesi di entrate inattese nel biennio 2006-07, alcuni studi di natura empirica hanno messo in evidenza i limiti delle suddette ipotesi, facendo emergere come l'adozione di modelli troppo sempli cati possa condurre a errori di previsione nel breve termine e a una non corretta valutazione della stance di politica di bilancio.3 In particolare è stata sottoposta a veri ca l'ipotesi di elasticità costante del gettito alle principali basi imponibili macroeconomiche, con il ricorso a modelli econometrici che distinguono tra breve e lungo periodo, ed è stato affrontato l'aspetto della adeguata rappresentazione del quadro macroeconomico, arricchendo la lista delle variabili che spiegano la dinamica del 1 Gli autori desiderano ringraziare Giampaolo Arachi, Sandro Momigliano, Geremia Palomba e due anonimi referee per gli utili suggerimenti. Un ringraziamento va anche a Claudio De Vincenzi, Giuseppe Pisauro e Ruggero Paladini per aver letto e commentato una precedente versione del lavoro. 2 Queste metodologie sono descritte per la Commissione europea, per l'OCSE e per la BCE rispettivamente in European Commission (1995), Giorno et al. (1995), Bouthevillain et al. (2001). Con riferimento all'Italia si veda anche Momigliano e Staderini (1999), Ginebri et al. (2005). 3 Questi contributi si rifanno a un lone della letteratura teorica che viene solitamente fatto risalire a Groves e Kahn (1952), con contributi importanti di Fox e Campbell (1984), Sobel e Holcombe (1996). 4 gettito con l'introduzione, ad esempio, di quelle rappresentative dell'andamento dei mercati immobiliare e azionario.4 Questo lavoro si inserisce nel dibattito con un'analisi approfondita della dinamica del gettito tributario in Italia negli ultimi trenta anni, differenziandosi dalla letteratura più recente per la metodologia econometrica utilizzata, che si basa su tecniche di ltraggio ed equazioni statiche anziché su modelli a correzione dell'errore. Le serie delle entrate tributarie sono state preliminarmente sottoposte a due tipi di aggiustamenti. In primo luogo, le serie storiche sono state corrette per escludere gli effetti delle modi che normative attuate nel periodo; a tal ne sono state ricostruite le principali misure introdotte dal 1978 a oggi, fornendo un quadro degli effetti nanziari della politica tributaria in Italia che, per la durata e l'analiticità della ricostruzione a livello di singole imposte, non ha precedenti in letteratura.5 In secondo luogo, è stato applicato alle serie un ltro statistico, con la nalità di eliminare la componente ciclica e i fattori erratici. L'analisi econometrica delle serie così corrette è stata effettuata sulle corrispondenti aliquote implicite, ossia sul rapporto tra il gettito e la variabile macroeconomica che meglio approssima la relativa base imponibile. Il lavoro è così strutturato. Nel paragrafo successivo vengono brevemente descritti i dati utilizzati e vengono richiamati i principali provvedimenti di politica tributaria, di natura tanto transitoria quanto permanente; la metodologia utilizzata per correggere le serie è descritta nell'Appendice 1. Nel terzo paragrafo viene condotta l'analisi statistica delle serie storiche; la descrizione della metodologia adottata viene riportata nell'Appendice 2. Nel quarto paragrafo 4 Wolswijk (2007) e Swiston et al. (2007) si sono focalizzati sull'analisi dell'elasticità di breve periodo, ed hanno veri cato come essa risulti maggiore di quella di lungo periodo nelle fasi espansive del ciclo. Si veda Morris e Schuknecht (2007) e Martinez Montagay et al. (2007) per l'introduzione di nuove variabili. Un utile riferimento è anche Commissione europea (2008). 5 Anche in Marino et al. (2008) vengono ricostruiti gli interventi discrezionali di politica tributaria, ma limitatamente al periodo 1998-2006. L'operazione viene fatta nell'ambito di una metodologia sviluppata per l'analisi strutturale dei conti pubblici, nella quale la dinamica dei ussi del bilancio pubblico viene scomposta in componenti attribuibili a misure discrezionali e in componenti dovute al ciclo economico (Kremer et al., 2006). Rispetto a tale metodologia, questo lavoro si differenzia per l'individuazione della componente ciclica, mentre utilizza una tecnica analoga per quanti care gli interventi discrezionali; in questo ultimo caso i risultati sono coerenti anche se non coincidono, perché nei due lavori si fa riferimento ad aggregati di entrate tributarie diverse (quelle della contabilità economica del SEC95 in Marino et al.; quelle di cassa del bilancio dello Stato - con Irpef e Ires di competenza - in questo studio). 5 vengono commentati i trend delle aliquote implicite corrette. Nel quinto paragrafo vengono riportati e commentati i risultati dell'analisi econometrica. 2. Correzione per gli interventi discrezionali 2.1 I dati Oggetto dell'analisi sono le entrate tributarie contabilizzate nel bilancio di cassa dello Stato (incassi di bilancio), a cui sono state aggiunte le imposte locali introdotte con la riforma del 1998 (IRAP e addizionali all'Irpef; Fig. 1). Questo aggregato rappresenta circa l'85 per cento delle entrate tributarie riferibili alle Amministrazioni pubbliche.6 L'uso dei dati di cassa del bilancio dello Stato consente di calcolare, anche per le imprese, le imposte di competenza, che vengono ricostruite aggiungendo agli acconti versati nell'anno il saldo corrisposto in quello successivo.7 Il ricorso alle imposte di competenza facilita l'analisi delle relazioni tra il gettito tributario e le variabili macroeconomiche usate come proxy della base imponibile. L'analisi è condotta su quattro imposte distinte: 1) l'Irpef versata (con ritenuta alla fonte) dai lavoratori dipendenti; 2) l'Irpef versata in autotassazione; 3) l'Irpeg-Ires (Ires nel prosieguo del lavoro);8 4) l'IVA. La scelta di questi tributi è stata determinata dalla loro rilevanza in termini quantitativi nel caso delle ritenute Irpef e dell'IVA (che rappresentano circa il 50 per cento rispettivamente delle imposte dirette e delle imposte indirette), o dalla elevata variabilità in termini di incidenza nel caso delle imposte versate in autotassazione, che si riferiscono principalmente alla tassazione dei risultati di esercizio delle imprese. Sono state inoltre analizzate le serie relative al totale delle imposte dirette (Irpef e addizionali, Ires, Ilor, imposte sostitutive sui rendimenti delle attività nanziarie, imposte 6 La quota è stata calcolata tenendo conto delle differenze contabili esistenti tra gli incassi del bilancio dello Stato e le entrate tributarie del conto economico delle Amministrazioni pubbliche. Per maggiori dettagli sulla de nizione di entrate tributarie adottata nel lavoro si rimanda all'Appendice 1. 7 I dati sulle entrate tributarie di cassa contabilizzate nel bilancio dello Stato sono tradizionalmente pubblicati dalla Banca d'Italia (dati mensili aggregati nel supplemento di Finanza pubblica al Bollettino statistico; dati annuali disaggregati per singolo tributo nella Relazione annuale). Esistono altri due tipi di dati sulle entrate tributarie: a) quelli sottostanti al conto economico delle Amministrazioni pubbliche (elaborati secondo i criteri contabili del SEC95), b) quelli relativi ai cosiddetti accertamenti del bilancio dello Stato (espressi in termini di competenza giuridica). I primi sono pubblicati dall'Istat per il periodo 1980-2007; per questi dati, il tipo di dettaglio reso disponibile non consente di ricostruire la competenza economica delle imposte sul reddito delle imprese, cosa invece possibile con le statistiche pubblicate dal Ministero dell'Economia e delle nanze, che però presentano discontinuità nelle serie storiche e non possono essere utilizzate in stime econometriche. 8 L'Ires, l'imposta sul reddito delle società, era denominata Irpeg prima della riforma del 2004. 6 dirette minori) e delle indirette (IVA, altre imposte sugli affari, imposte su produzione e consumo, imposta sui tabacchi, IRAP). Ciascuna delle due componenti rappresenta circa il 50 per cento del totale delle entrate tributarie. 2.2 Gli interventi discrezionali negli anni dal 1978 al 2006 Le serie del gettito tributario sono corrette per gli interventi discrezionali. La metodologia utilizzata, che consiste nell'aggiungere al gettito effettivo di ogni anno l'effetto cumulato degli interventi adottati da allora no al 2006, consente di correggere le serie per i salti di livello dovuti all'introduzione di nuove norme. L'entità dei singoli interventi è riportata nella tavola 1. Questa metodologia non consente, invece, di correggere per quelle modi che che alterano la reattività dell'imposta alla base imponibile (come nel caso degli interventi che modi cano il grado di progressività dell'Irpef, con riferimento ai quali si riesce a correggere solo per gli effetti di gettito nel primo anno di applicazione) o che dipendono da modi che nel comportamento dei contribuenti (come il grado di adesione alle norme tributarie). Per la quanti cazione degli effetti delle misure sono stati presi dove possibili i dati di consuntivo (per le imposte straordinarie); dove si è ricorso alle stime ex-ante si è avuto cura di veri care che esse fossero in linea con i commenti ex post ripresi in pubblicazioni dell'epoca9 (per una ricostruzione dettagliata della metodologia utilizzata si rimanda all'Appendice 1). Nel periodo analizzato (1978-2006) il sistema tributario italiano è stato oggetto di modi che continue, che hanno in uenzato fortemente la dinamica delle entrate. La ricostruzione degli interventi discrezionali ha messo in evidenza l'esistenza di diverse fasi nella politica tributaria. Negli anni ottanta prevalevano gli interventi sulle imposte indirette. In una prima fase venivano coinvolte l'IVA, in connessione con il processo di convergenza delle aliquote stabilito in ambito europeo, e le accise sull'energia (forme di prelievo commisurate alle quantità), quale reazione alle oscillazioni del prezzo del petrolio e all'elevata in azione. In una seconda fase, che inizia nel 1987, gli interventi di politica tributaria venivano esplicitamente indirizzati a spostare il carico scale sull'imposizione indiretta:10 da un lato, con un innalzamento delle aliquote delle principali imposte (accise sugli oli minerali, elettricità, metano, tasse sugli 9 Si fa riferimento in particolare alle pubblicazioni della Banca d'Italia (Relazione annuale e Bollettino economico). Informazioni riguardanti gli anni ottanta sono state tratte anche da Morcaldo (2005). 10 Si veda Banca d'Italia, Relazione sull'anno 1987. 7 affari) e, dall'altro, con un alleggerimento del carico dell'imposta personale (ristrutturazione di scaglioni e aliquote nel 1989, introduzione nel 1990 di un meccanismo di correzione automatica del drenaggio scale). Nel periodo 1988-1990, l'aumento delle aliquote delle imposte indirette forniva un gettito aggiuntivo dell'ordine dello 0,8 per cento del PIL all'anno.11 Sul nire degli anni ottanta iniziava l'azione di riequilibrio delle nanze pubbliche, che si rafforzava nella prima metà degli anni novanta, caratterizzandosi per signi cativi interventi di inasprimento del prelievo.12 Nel biennio 1992-93 ritornavano prevalenti gli interventi sulle imposte dirette. Le modi che permanenti riguardavano in particolare il prelievo sulle imprese e sul lavoro autonomo, mentre il comparto delle imposte indirette veniva interessato da un processo di razionalizzazione e sempli cazione, che portava alla soppressione prima di alcune accise minori (nel 1993) e poi di alcune voci della tassa sulle concessioni governative (nel biennio 1994-95). Il contributo fornito alla crescita del gettito dagli inasprimenti permanenti si attenuava a metà degli anni novanta, per poi venire meno sul nire del decennio: una volta garantito l'ingresso nell'unione monetaria, la politica tributaria poteva perseguire obiettivi di razionalizzazione del sistema e di maggiore neutralità nell'imposizione. Ne erano esempi l'introduzione della DIT (dal 1997),13 la riforma dell'IRAP14 e quella della tassazione delle attività nanziarie, queste ultime due in vigore dal 1998. Le misure in campo tributario risultavano coerenti con la più generale intonazione della politica di bilancio, che ri etteva la convinzione dei policy maker di un risanamento delle nanze pubbliche oramai compiuto.15 11 Occorre ricordare che in quegli anni le aliquote delle accise sui prodotti petroliferi erano oggetto di continue modi che, di cui non è facile trovare sempre traccia; a solo titolo di esempio, si ricorda che nel 1991 il governo modi cava per sei volte (tre in aumento e tre in diminuzione) l'aliquota dell'imposta di fabbricazione sulla benzina. 12 Per un approfondimento del dibattito dell'epoca, si vedano Ceriani et al. (1992) e Morcaldo (2005). 13 Sulla riforma degli anni 1997-98 si rimanda a Staderini (2001). 14 L'introduzione dell'IRAP non era stata motivata con la necessità di ottenere gettito aggiuntivo: la sua creazione, in sostituzione di alcuni tributi e della componente degli oneri sociali destinata a nanziare il sistema sanitario, era stata presentata come neutrale rispetto al gettito aggregato. Nell'immediato la riforma comportava una riduzione di gettito, quanti cato nell'anno 1998 in circa 4 decimi di punto percentuale di PIL. Nel lavoro la correzione per le misure discrezionali non ha riguardato questa riforma. 15 Sulle politiche di risanamento delle nanze pubbliche negli anni novanta si vedano Spaventa e Chiorazzo (2000), Degni et al. (2001), Balassone et al. (2002), Franco (2006). 8 Questa consapevolezza, insieme all'esigenza di una politica di bilancio espansiva per contrastare il forte rallentamento dell'economia italiana, portava all'avvio di una fase di sgravi scali in favore di famiglie e imprese, in linea con quanto avveniva negli altri paesi europei.16 In favore delle famiglie, gli sgravi venivano concessi attraverso modi che permanenti all'imposta personale e riguardavano inizialmente l'aumento delle detrazioni e modi che marginali alle aliquote e, a partire dal 2003, la struttura dell'imposta.17 Le imprese bene ciavano principalmente della riduzione dell'aliquota dell'Ires, che scendeva gradualmente dal 37 per cento del 2000 al 33 del 2004.18 Nel 2005 venivano di nuovo varate misure di inasprimento del prelievo,19 che riguardavano in particolare le imprese.20 Nel complesso del periodo 2000-05 venivano concessi sgravi stimabili in circa lo 0,4 per cento del PIL all'anno. Nell'arco temporale considerato, sono state frequentemente introdotte misure con nalità di contrasto all'elusione e all'evasione. Gli effetti attesi in termini di maggiori entrate da questo tipo di intervento non sono stati inclusi nella ricostruzione delle misure discrezionali effettuata in questo lavoro, per la dif coltà di valutare anche ex-post l'adeguatezza delle stime quantitative elaborate ex-ante. Negli ultimi anni un contributo alla crescita del gettito è stato fornito dall'introduzione e dal potenziamento degli studi di settore, introdotti con una legge del 1993, applicati a partire dal 199821 e oggetto di una revisione negli anni 2005-06. Il contributo alla crescita delle 16 Per una rassegna delle politiche scali adottate dai paesi dell'area dell'euro dopo la creazione della moneta unica, si veda Balassone et al. (2003). 17 Per una descrizione e una valutazione degli effetti delle modi che all'Irpef negli anni 2000-05 si rimanda a Marino et al. (2007) e Marino e Staderini (2006). 18 Per una ricostruzione degli interventi di politica tributaria in favore delle imprese, si rimanda a Monacelli et al. (2001) e Gennari et al. (2005). 19 Nel luglio del 2005 il Consiglio della UE rilevava nei confronti dell'Italia l'esistenza di una situazione di disavanzo eccessivo e stabiliva un termine di sei mesi per l'adozione di misure volte a riportare l'indebitamento netto entro il limite del 3 per cento del PIL nel 2007. 20 L'anno 2005 veniva interessato dall'entrata in vigore di sgravi scali in favore delle famiglie (il cosiddetto "secondo modulo" della riforma dell'imposta personale) e da aumenti della base imponibile dell'Ires. Questi ultimi, varati con la manovra per il 2006, emergevano per la prima volta in occasione del saldo delle imposte versato dalle imprese nel 2006, ma per le modalità con cui sono ricostruite le imposte sulle imprese in questo lavoro (che includono nelle imposte di competenza dell'anno t il saldo versato nell'anno t+1) nei nostri dati emergono già nel 2005. 21 Tra il 1998 e il 2000 entravano in vigore oltre il 50 per cento degli studi, riguardanti il 75 per cento 9 entrate fornito dagli studi di settore sembra trovare conferma nella dinamica del gettito sia dell'Irpef versata in autotassazione, sia dell'IVA: la prima registra una crescita sostenuta negli anni 1999-2000;22 la seconda nel 1999, 2000 e 2006. L'ef cacia degli studi di settore sembra venire meno negli anni successivi alle revisioni: l'esperienza suggerisce come i contribuenti, dopo aver adeguato al rialzo i loro imponibili, sviluppino maggiori capacità di utilizzare tali strumento per eludere l'imposta.23 Riassumendo, le modi che permanenti al sistema tributario, da meramente episodiche no alla metà degli anni ottanta, divenivano in seguito parte integrante del risanamento dei conti pubblici, dando luogo a consistenti inasprimenti del prelievo soprattutto nella prima metà degli anni novanta. Negli anni 2001-05 gli interventi venivano indirizzati a ridurre la pressione scale. Dal 2005 riprendevano le misure di innalzamento del prelievo, contestualmente agli ultimi sgravi Irpef. Il ricorso a misure di natura temporanea si è intensi cato negli anni novanta, in connessione con il rafforzamento del processo di consolidamento delle nanze pubbliche. Dal 1992, in particolare, gli introiti di natura temporanea hanno rappresentano una costante della politica tributaria italiana. Negli anni 1992-2006 tali introiti sono risultati pari in media allo 0,8 per cento del PIL all'anno.24 Tra le misure di natura temporanea un posto di rilievo è stato rappresentato dai condoni: nel periodo oggetto della nostra analisi sono stati introdotti 4 condoni di carattere generale con effetti di gettito rilevanti negli anni 1983-84, 1992–93, 1995-96, 2003-04.25 della platea dei contribuenti interessati. Per una ricostruzione dell'introduzione degli studi di settore nel nostro ordinamento si veda Longobardi (2001). 22 Si veda su questo argomento Abritta et al. (2003). 23 Si veda a questo proposito Santoro (2006). 24 In questo lavoro sono considerati interventi una tantum: 1) le imposte straordinarie il cui gettito è rinvenibile in appositi capitoli di bilancio; 2) gli incrementi di gettito una tantum relativi ai tributi permanenti, solo se di importo rilevante (per la dif coltà di enucleare quelli di importo modesto all'interno del gettito dei capitoli corrispondenti ai tributi permanenti). Nel lavoro non sono, invece, considerati: 1) gli incrementi di gettito straordinari (cosiddetti "automatismi dell'autotassazione") che si realizzano il primo anno di introduzione di un provvedimento di modi ca del reddito d'impresa (esclusi nel lavoro perchè non rilevanti a causa delle modalità di ricostruzione in termini di competenza delle imposte versate dalle imprese); 2) le agevolazioni temporanee in favore delle imprese. 25 Per una rassegna della teoria economica dei condoni e per una stima degli effetti sul gettito complessivo del ricorso ai condoni si veda Bernasconi e La Pecorella (2006). 10 3. Correzione per i fattori erratici e ciclici 3.1 I modelli strutturali a componenti non osservabili Per identi care il trend del gettito dei principali tributi si è ricorsi alla tecnica di scomposizione delle serie storiche in componenti strutturali. Questo approccio, illustrata diffusamente da Harvey,26 permette di identi care gli elementi costitutivi di una serie storica - il trend, il ciclo, la stagionalità e il ”rumore”, cioè la parte puramente erratica legata alle uttuazioni a frequenze elevate - e di individuarne gli andamenti di medio-lungo periodo. Il modello utilizzato in questo lavoro è il seguente: (1) dove yt = t costituisce il trend della serie, t t + t + "t il ciclo e "t il termine di errore idiosincratico. Per t si assume che (2) t t dove t e t = = t 1 + + 1+ t 1 t t t sono innovazioni indipendenti, a media zero e varianza costante, pari, rispettivamente, a 2 e 2 . Il trend è rappresentato da un processo integrato del secondo ordine, di tipo random walk with drift, in cui il livello e la pendenza sono variabili casuali. Per modellare invece la componente ciclica, si fa ricorso alla funzione trigonometrica coseno e a perturbazioni stocastiche, che generano uttuazioni erratiche attorno a un andamento oscillatorio altrimenti deterministico (cfr. Appendice 2). Questa rappresentazione è denominata local linear trend; casi particolari si ottengono imponendo restrizioni sulla volatilità di t, t o t. Poiché sia la componente ciclica sia quella di trend sono processi markoviani, il modello possiede una rappresentazione nello spazio degli stati; se gli errori hanno una distribuzione gaussiana, tramite il ltro di Kalman e la scomposizione dell'errore di previsione è possibile calcolare la funzione di verosimiglianza del modello e stimare il valore degli iperparametri 26 Il testo di riferimento principale è Harvey (1989), che contiene un'ampia esposizione dei fondamenti teorici e dell'evoluzione storica dei modelli di scomposizione in componenti strutturali. Rispetto a modelli con componenti strutturali deterministiche o basati su tecniche di ltraggio ad hoc (come ad esempio la procedura di previsione di Holt-Winters), questa tecnica consente di ottenere stime di massima verosimiglianza dei parametri del modello e previsioni formulate in termini di intervalli di con denza; inoltre, la speci cazione può essere selezionata sulla base dell'evidenza empirica, anziché semplicemente postulata. 11 incogniti.27 La selezione del modello che garantisce la miglior interpolazione dei dati viene fatta analizzando le proprietà dei residui (cfr. Appendice 2). Nel trentennio considerato in questo lavoro, le proprietà statistiche di alcune delle serie del gettito tributario sono stata alterate da provvedimenti che hanno modi cato le modalità di riscossione e la struttura del prelievo. Questo è avvenuto in maniera rilevante in 3 casi: (i) nel 1993, in occasione dell'abolizione del prelievo alla dogana dell'IVA sulle importazioni dai paesi dell'UE; (ii) nel 1996, quando sono cambiate le modalità di tassazione dei rendimenti obbligazionari; (iii) nel 1998, quando è entrata in vigore la riforma che ha portato all'introduzione dell'IRAP. In questi casi, poiché non è stato possibile correggere direttamente i dati relativi al gettito, il modello base è stato modi cato introducendo le cosiddette intervention dummies.28 L'analisi preliminare dei dati ha inoltre evidenziato la presenza di osservazioni anomale nella serie delle ritenute sui redditi da lavoro dipendente (nel 1998) e in quella dell'Irpef versata in autotassazione dagli autonomi (nel 1992).29 La scomposizione in componenti strutturali è stata quindi effettuata non sulla serie osservata yt , ma sul residuo yt dt , dove dt rappresenta la variabile (o il vettore di variabili) di comodo e il suo coef ciente. 27 I parametri di un modello local linear trend sono # f " ; ; ; ! ; ; c g. " ; e sono, rispettivamente, le varianze del noise e delle innovazioni al livello e alla pendenza del trend, mentre ! ; e c sono i parametri che si riferiscono alla componente ciclica t (vedi Appendice 2). Essi sono in genere chiamati iperparametri per distinguerli dalle componenti del vettore degli stati che possono essere interpretati come parametri variabili. 28 Vengono chiamate intervention variables o intervention dummies le variabili di comodo usate per tener conto di variazioni - sia temporanee, sia permanenti - nel processo generatore dei dati. La prima modi ca ha interessato la speci cazione del modello per le imposte indirette e per l'IVA ed è stata colta per mezzo di una dummy uguale a 1 nel 1993 e a zero in tutti gli altri periodi, mentre la seconda ha riguardato l'Irpeg/Ires e ha comportato l'introduzione di una variabile di comodo a scalino, pari a zero no al 1996, a 0,5 l'anno dopo e a 1 successivamente. La riforma scale del 1998, che ha comportato una redistribuzione del gettito dai contributi sociali e dalle imposte dirette a quelle indirette, è stata modellata per mezzo di due variabili di comodo: la prima, nulla no al 1997, ha consentito di cogliere l'abolizione dell'Ilor e l'introduzione dell'IRAP; la seconda - pari a 1 nel 1999 e 2000, a 2 nel 2001 e 2002 e a 3 successivamente - ha permesso di approssimare l'andamento crescente delle addizionali Irpef, il cui gettito è aumentato nel tempo in maniera graduale. Introdotte per la prima volta nel 1999, le entrate generate dalle addizionali Irpef rimangono intorno ai 2,5 miliardi nel 1999-2000; salgono a circa 5 miliardi nel 2001-02; arrivano agli attuali 8 miliardi circa dal 2003. 29 Il dato anomalo del 1998 deriva da forti ritardi nella contabilizzazione in bilancio delle ritenute sui redditi da lavoro dipendente che hanno fatto slittare parte degli incassi del 1998 all'anno successivo; si ricorda che in questo lavoro, relativamente a questa componente, il gettito di ciascun anno è ricostruito sottraendo il dato del mese di gennaio e aggiungendo quello del mese di gennaio dell'anno successivo (si veda l'Appendice 1). L'outlier del 1992 è invece da ricondurre al peso straordinario delle misure di inasprimento del prelievo adottate nell'anno, la cui entità può risultare sottostimata nel lavoro, per la dif coltà di tener conto di tutti i provvedimenti presi anche nel corso dell'anno. 12 3.2 Selezione del modello e risultati La selezione del modello di scomposizione che meglio si adatta ai dati è stata fatta mettendo a confronto 4 speci cazioni: il modello generale; quello in cui la pendenza del trend è non stocastica ( 2 & senza componente ciclica ( = 0); quello in cui il livello di 2 = 2 t è sso ( 2 = 0); quello = 0). Una prima scrematura viene fatta eliminando i modelli i cui residui risultano non gaussiani o serialmente correlati; quindi si arriva alla scelta nale selezionando la speci cazione che presenta il minor numero di parametri e il miglior adattamento ai dati, quest'ultimo misurato per mezzo dell'errore standard e del coef ciente di determinazione (cfr. Appendice 2).30 L'analisi è stata effettuata sulle sei componenti del prelievo e per tre de nizioni di gettito: quello effettivo riportato nel bilancio dello Stato, quello al netto delle imposte una tantum, quello corretto per il complesso delle misure discrezionali sia una tantum, sia permanenti. Per ciascuna variabile è stata considerata sia la trasformata logaritmica, sia l'aliquota implicita, ottenuta rapportando il gettito alla variabile macroeconomica che meglio approssima la base imponibile. La proxy selezionata è stata il PIL per le imposte dirette; i consumi nominali per l'IVA e le imposte indirette; il monte salari per le ritenute Irpef sul lavoro dipendente; il risultato lordo di gestione del settore privato per l'Ires e l'Irpef versata in autotassazione. Come già più volte ricordato, per le variabili utilizzate al numeratore le imposte sono state ricostruite in termini di competenza economica; si ottengono in questo modo delle aliquote implicite che rappresentano l'incidenza del prelievo sulla base imponibile. Sono stati stimati quindi 36 modelli.31 I risultati sono riportati nelle tavole 2a-2c e 3a-3c. Relativamente alle aliquote implicite delle serie corrette per gli interventi discrezionali, su cui si è incentrata l'analisi che segue, i risultati delle stime mettono in evidenza che32 : (i) quando le entrate tributarie sono espresse in rapporto alla base imponibile, non esiste una speci cazione che domina nettamente sulle altre e le differenze di goodness-of- t tra i modelli si riducono rispetto a quanto emerge nel caso delle serie espresse in scala logaritmica. 30 In nessun dei casi analizzati in questo lavoro si è veri cato che le due statistiche fornissero indicazioni diverse. 31 La scomposizione in componenti strutturali delle serie del gettito tributario è stata condotta con il software Stamp inserito nella versione 2.20 di GiveWin. 32 Per una descrizione dei risultati delle altre stime si rimanda all'Appendice 2. 13 La speci cazione più frequentemente selezionata è quella che assume una pendenza nonstocastica, ma in circa la metà dei casi il modello non ristretto o quello smooth trend sembrano garantire risultati migliori. Pur nell'impossibilità di tracciare linee di demarcazione precise, i risultati ottenuti suggeriscono che un modello con = 0 appare più appropriato per serie che - come le aliquote - uttuano attorno a un livello medio costante, mentre una pendenza variabile nel tempo ( 6= 0) si adatta meglio a variabili che - come il logaritmo del gettito dei tributi - crescono stabilmente. (ii) la componente ciclica, pur spiegando una parte ridotta della volatilità delle serie tributarie, non può essere omessa dalla scomposizione, pena un forte peggioramento del tting. Nelle variabili espresse in rapporto alla base imponibile, il peso ridotto della componente ciclica è giusti cato dal fatto che le uttuazioni del numeratore e del denominatore si elidono reciprocamente, riducendo notevolmente il contributo alla varianza totale delle onde di periodo compreso tra i 2 e gli 8 anni. Una volta individuata la speci cazione migliore, le serie sono state depurate dalle componenti cicliche e irregolari.33 4. Aliquote implicite: uno strumento per analizzare l'elasticità L'aliquota implicita è un utile strumento di analisi che consente di mettere in relazione con maggior chiarezza l'andamento del gettito e l'evoluzione dell'economia. Anche limitandosi all'analisi gra ca, emerge come le aliquote implicite siano in grado di offrire un quadro dell'evoluzione delle entrate più completo rispetto a quello rinvenibile dall'analisi del gettito effettivo. Quest'ultimo farebbe, ad esempio, emergere una marcata decelerazione del gettito a partire dalla metà degli anni ottanta, che si acuisce negli anni 2001-05 e che, in ne, si traduce in un'accelerazione a partire dal 2006 (Fig 2a e, per la componente di trend, 3a). Correggendo il gettito per le misure discrezionali, si attenua la stagnazione degli anni 2001-05 (connessa con le misure di sgravio scale adottate nei primi anni del 2000 e, in misura minore, dei crediti d'imposta maturati nell'ambito del risparmio gestito nel 2001); permane, tuttavia, il 33 Con riferimento alle imposte dirette, si evidenzia a partire dal 1998 una divaricazione tra andamento effettivo e trend in tutte le tre de nizioni di gettito; essa dipende dalla riforma scale del 1998, di cui si è tenuto conto nella stima del trend per mezzo di dummies, diversamente da quanto fatto per gli altri interventi di natura permanente. Un andamento simmetrico, ma di segno opposto, si nota nel caso delle imposte indirette: negli ultimi 9 anni la componente strutturale si mantiene stabilmente al di sotto del gettito effettivo, poiché essa non incorpora i maggiori introiti legati all'IRAP. 14 rallentamento registrato dalla metà degli anni ottanta, che risente dell'evoluzione del contesto economico (Figg. 2b,2c e, per la componente di trend, 3b,3c). Nel corso dell'ultimo quarto di secolo, infatti, la dinamica dei prezzi e il potenziale di crescita dell'economia italiana si sono ridotti in misura considerevole: mentre nella prima metà degli anni '80 il PIL nominale aumentava a tassi superiori al 10 per cento annuo, nel periodo 2001-06 il prodotto è cresciuto in media del 3,6 per cento. Rapportando il gettito a una variabile macroeconomica correlata con la base imponibile, il quadro cambia completamente (Figg. 2d, 2e, 2f) e diventa di più immediata lettura con l'estrazione del trend (Figg. 3d, 3e, 3f). In particolare, tenendo conto dell'evoluzione del contesto economico, non emerge un rallentamento nelle potenzialità di produrre gettito del sistema tributario, mentre risulta evidente come l'incidenza del prelievo sia in ascesa da alcuni anni e abbia raggiunto livelli storicamente elevati.34 Di particolare rilievo è l'analisi del prelievo strutturale (la componente di trend delle serie corrette per le misure discrezionali temporanee e permanenti), che fornisce indicazioni sull'elasticità del gettito alla sua base imponibile: aliquote costanti nel tempo corrispondono all'ipotesi di elasticità unitaria rispetto alla base imponibile (PIL, consumi, retribuzioni, risultato lordo di gestione), come viene assunto nei modelli più comunemente utilizzati per correggere le entrate tributarie per gli effetti del ciclo economico.35 L'analisi gra ca del trend dell'aliquota implicita (Fig. 3f) mette in evidenza come essa presenti, invece, ampie uttuazioni. L'Irpef sulle ritenute da lavoro dipendente mostra un trend in continua ascesa in tutto il periodo campionario, in connessione con la sua struttura progressiva dell'imposta, che si accentua nei periodi di in azione elevata, perchè gli interventi di restituzione del drenaggio scale sono stati nella maggior parte dei casi parziali. L'andamento tendenziale dell'aliquota, tuttavia, non cresce in modo monotono, suggerendo un'elasticità non solo superiore a uno, ma anche variabile nel tempo, in connessione con gli interventi sulla struttura impositiva che ne 34 Come ricordato anche nella nota 33, occorre ribadire che lo scostamento che emerge tra trend e serie dell'aliquota implicita nella gura 3f a partire dal 1998 dipende dalla riforma del 1998 (introduzione dell'IRAP tra le indirette, delle addizionali all'Irpef tra le dirette a contestuale abolizione dell'Ilor). 35 In generale, poiché l'aliquota implicita è de nita come rapporto tra gettito E e base imponibile B, vale ln E la relazione: d ln = d ln E d ln B. Per l'elasticità si ha invece che: = dd ln B : Ne consegue quindi che un aumento (diminuzione) dell'aliquota implicita equivale a un incremento (riduzione) dell'elasticità. 15 hanno modi cato il grado di progressività (tavola 4). Vale la pena ribadire che la metodologia utilizzata in questo lavoro per correggere per le misure discrezionali è in grado di cogliere solo l'impatto sul gettito nell'anno in cui l'intervento è adottato e non corregge per le modi che nel grado di progressività dell'imposta.36 Per le imposte dirette sulle imprese (Irpef versata in autotassazione e Ires) il trend dell'aliquota implicita mostra maggiori uttuazioni, anche per la dif coltà di individuare una variabile macroeconomica suf cientemente vicina alla base imponibile. Entrambe le imposte mostrano negli ultimi anni un trend ascendente, che nel caso dell'Irpef in autotassazione comincia dalla ne degli anni novanta, mentre per l'Ires è più recente.37 Nel primo caso l'aumento dell'aliquota potrebbe essere posto in connessione con l'introduzione degli studi di settore. Nel caso dell'aumento dell'incidenza dell'Ires sul risultato lordo di gestione, è interessante osservare come questo fenomeno sia stato riscontrato anche in altre economie avanzate: analisi comparate sulla scalità a carico delle imprese nei principali paesi OCSE hanno messo in evidenza come alla riduzione delle aliquote legali, indotta dalla competizione scale, non abbia fatto riscontro una riduzione del gettito, che anzi in media è aumentato.38 Analisi empiriche hanno messo in evidenza come l'aumento del gettito sia da porre in connessione con l'andamento del prezzo delle attività reali e nanziarie39 e con l'aumento della quota dei pro tti sul PIL, legato in particolare alla crescita relativamente più elevata della redditività del settore del credito e delle assicurazioni.40 Per il totale delle imposte dirette, l'andamento ascendente dell'aliquota implicita sembra guidato principalmente da quello delle ritenute Irpef sui redditi da lavoro dipendente, anche se con una maggiore variabilità connessa alla presenza delle imposte versate in autotassazione e al complesso delle imposte sostitutive sui rendimenti delle attività nanziarie. Quest'ultima 36 Si veda la tavola 4 per una rassegna degli interventi di modi ca dell'Irpef effettuati con la nalità di restituzione del drenaggio scale e per il calcolo di un indicatore del grado di progressività della struttura impositiva in ciascun anno. Il grado di progressività dell'Irpef è stato ricostruito come media semplice degli indici di Liability Progression (LP) calcolati per una scala di redditi assunti costanti in valore reale. 37 Per una ri essione approfondita sullo stato dell'arte della tassazione delle società in Italia si veda Ceriani (2006). 38 A questo proposito si veda Devereux e Sorenson (2006). 39 Si veda a questo proposito Morris e Schuknecht (2007). 40 Quest'ultima tesi è sostenuta da Devereux e Klemm (2004), con particolare riferimento al caso del Regno Unito. 16 componente, che ha rappresentato quasi il 10 per cento del gettito tributario no al 1996, per poi scendere intorno al 4 per cento, è caratterizzata da estrema variabilità in connessione con la dinamica dei tassi di interessi e con le innumerevoli modi che alle aliquote e alle modalità di versamento testimoniate dalla ricostruzione riportata nella tavola 4 (colonne 6 e 7). Il totale delle imposte dirette è cresciuto molto no alla ne degli anni ottanta, risentendo principalmente dell'interazione tra gli elevati tassi di in azione e la struttura progressiva dell'imposta personale; essa ha bene ciato anche dell'entrata in vigore di nuove e più ef caci modalità di riscossione dei tributi (ritenute alla fonte, autoliquidazione, acconti). Negli anni novanta, invece, l'aliquota scende in alcuni anni e la componente di trend si stabilizza. Questa tendenza si inverte decisamente a partire dalla ne degli anni novanta e l'aliquota si riporta sui livelli massimi registrati nel trentennio. Tra le imposte indirette, il trend dell'aliquota implicita dell'IVA è in forte crescita dal 1999, dopo una caduta di quasi due punti tra l'inizio degli anni ottanta e la ne degli anni novanta. La dinamica dell'aliquota implicita potrebbe ri ettere modi che nella composizione dei consumi tra beni caratterizzati da diverse aliquote e diverse possibilità di evasione. Per il totale delle imposte indirette, la dinamica di medio-lungo termine dell'aliquota implicita mostra come, in assenza di interventi discrezionali, il gettito sarebbe cresciuto no al 1997 a un ritmo notevolmente inferiore a quello dei consumi nominali, ri ettendo la presenza in questo aggregato di imposte sulla quantità (accise sui prodotti energetici, tariffe delle principali imposte sugli affari). Nella ricostruzione degli interventi discrezionali si è tenuto conto anche degli interventi disposti su queste imposte, per adeguarne il gettito alla dinamica dei prezzi. A conferma del ruolo giocato dalle imposte in somma ssa nella caduta dell'aliquota implicita, si osserva come la discesa dell'aliquota implicita riguardi, infatti, solo in minima parte l'IVA (l'aliquota implicita dell'IVA scende tra il 1980 e il 1997 di meno di 2 punti percentuali, contro gli oltre 7 punti del totale delle imposte indirette). Anche per le imposte indirette l'incidenza del prelievo torna a salire a partire dalla ne degli anni novanta. Le uttuazioni della componente di trend dell'aliquota implicita indicano che l'ipotesi di costanza dell'elasticità del gettito rispetto alla variabile macroeconomica usata come proxy della base imponibile è molto forte; segnala, inoltre, come alla dinamica del gettito concorrano altre variabili, oltre a quelle utilizzate al denominatore delle aliquote implicite e di cui si tiene solitamente conto nei modelli di previsione e nelle tecniche di depurazione del bilancio dagli 17 effetti del ciclo economico. Il resto dell'analisi è stata dedicata allo studio di queste ulteriori variabili. L'analisi della componente strutturale dell'aliquota delle imposte totali (somma di dirette e indirette), depurate delle misure discrezionali, fornisce un quadro d'assieme interessante. Emergono 3 sottoperiodi, caratterizzati da dinamiche differenti (Fig. 4): 1) un primo periodo, che è durato per tutti gli anni ottanta, in cui il sistema tributario ha prodotto un gettito che è cresciuto stabilmente a un tasso superiore al prodotto; hanno sospinto la crescita gli elevati tassi di in azione del periodo; 2) un secondo periodo, corrispondente al decennio successivo, in cui l'incidenza della tassazione sarebbe diminuita in assenza di interventi discrezionali, soprattutto per la presenza di imposte sulla quantità (come le accise e le imposte sugli affari) che, per il fatto di essere ssate in termini nominali, richiedono interventi discrezionali semplicemente per preservarne il valore reale; 3) un terzo periodo, che parte dalla ne degli anni novanta, in cui si è invertita la tendenza del decennio precedente e l'incidenza del prelievo è tornata ad aumentare. Se nei dati sul gettito effettivo la ripresa emerge con forza solo nel 2006, il trend della serie corretta per gli interventi discrezionali segnala come l'aumento del prelievo rispetto al PIL inizi intorno al 2000; esso non è emerso tuttavia immediatamente nei dati sul gettito effettivo, per gli effetti degli sgravi scali concessi nello stesso periodo e per il venir meno di parte del gettito dell'imposta sostitutiva sui redditi da capitale, connesso ai crediti d'imposta maturati dai fondi comuni nel 2001. 5. Analisi econometrica L'analisi sin qui svolta ha messo in evidenza come l'incidenza del prelievo sulla base imponibile macroeconomica non sia costante nel tempo, neppure dopo aver corretto le serie per le misure discrezionali e per i fattori erratici e ciclici. Per spiegare la varianza delle aliquote implicite, sono state effettuate alcune regressioni, una per ciascuna delle sei componenti del gettito; la variabile dipendente è rappresentata dal trend dell'aliquota implicita.41 L'approccio adottato nella scelta dei regressori è stato di tipo euristico: invece di privilegiare una 41 Per veri ca, le stesse regressioni sono state stimate anche sulle aliquote effettive, con risultati (tavola 5b) analoghi a quelli ottenuti usando come variabile endogena la sola componente di trend (tavola 5a). Fanno eccezione le equazioni relative alle imposte dirette e indirette, in cui la signi catività delle variabili esplicative si riduce sensibilmente. 18 speci cazione coerente con un modello teorico, si è preferito selezionare le variabili più adatte a cogliere mutamenti nell'incidenza del prelievo. Nel complesso, le equazioni stimate sono soddisfacenti in termini di goodness-of- t e forniscono risultati la cui interpretazione economica appare convincente (tavola 5a). L'incidenza sul monte salari delle ritenute Irpef, la componente del prelievo con una crescita tendenzialmente superiore alla base imponibile, è risultata fortemente correlata con una variabile che rappresenta l'interazione tra l'in azione e la struttura progressiva dell'imposta: questa variabile coglie gli effetti del drenaggio scale, che sono rilevanti anche nella serie del gettito corretto per gli interventi discrezionali.42 La rilevanza di questo regressore è un ulteriore dimostrazione del fatto che i provvedimenti di restituzione del drenaggio scale sono stati nella maggior parte dei casi solo parziali, come emerge anche dalla tavola 4. L'aliquota implicita mostra una correlazione signi cativa anche con la quota delle pensioni sul monte salari: il risultato non è sorprendente, in quanto le pensioni sono una componente della base imponibile legale cui si applicano le ritenute Irpef, ma non sono incluse nel denominatore dell'aliquota. Tra i regressori compare anche un indicatore del grado di disuguaglianza nella distribuzione dei redditi dichiarati, che acquista rilevanza per effetto della struttura progressiva dell'imposizione.43 Nella speci cazione del modello ha trovato collocazione anche una dummy relativa al 1983, anno interessato da un'importante riforma della struttura impositiva, i cui effetti sul gettito solo in parte sono colti dalle correzione per gli interventi discrezionali. Le imposte sul reddito delle imprese sono risultate più dif cili da modellare, in parte risentendo delle maggiori divergenze tra la base imponibile effettiva e la proxy macroeconomica utilizzata per il calcolo dell'aliquota implicita. L'incidenza sul risultato lordo di gestione dell'Irpef versata in autotassazione conferma la correlazione positiva anche di 42 Il grado di progressività fornisce indicazioni sulla reattività del gettito alla base imponibile. Nel periodo considerato in questo lavoro, le riforme dell'imposta sul reddito, modi cando la struttura delle aliquote e delle deduzioni, hanno inciso sul grado di progressività dell'imposta. Come più volte ricordato, la correzione per le misure discrezionali è stata in grado di cogliere solo gli effetti in termini di gettito nel primo anno di applicazione (ossia l'effetto stimato al livello di reddito-base imponibile pre-riforma), non anche quello cosiddetto addizionale che incide sulla reattività dell'imposta alla base imponibile, che si manifesta negli anni successivi. 43 Come indicatore di disuguaglianza è stata utilizzata la quota del reddito dichiarato dal cinque per cento della popolazione con redditi più elevati. I calcoli sono stati effettuati no al 2004 sulla base dei dati relativi alle dichiarazioni dei redditi raccolti dal Ministero dell'Economia e delle Finanze (cfr. Brandolini 2007); per il periodo successivo sono state usate nostre stime. 19 questa imposta con l'in azione e il grado di progressività dell'imposta. Non risulta invece signi cativa, e per questo esclusa dal modello de nitivo, la disuguaglianza nella distribuzione dei redditi. Contribuisce, in ne, a spiegare la varianza di questa componente dell'Irpef, con segno negativo, il gettito dei condoni e delle imposte sostitutive una tantum, come ad esempio l'imposta sulle rivalutazione dei cespiti aziendali; il gettito di queste imposte non è incluso nell'aggregato al numeratore dell'aliquota, perché eliminato nella correzione per le misure una tantum. Questa variabile potrebbe cogliere, oltre a un impatto negativo sul grado di adesione dei contribuenti all'obbligazione tributaria, gli effetti dei possibili vincoli di liquidità indotti dai versamenti straordinari legati a condoni e sanatorie; la variabile è risultata signi cativa per l'Irpef versata in autotassazione, ma non per l'Ires, suggerendo come per le imprese di minori dimensioni, il pagamento delle imposte offra maggiori margini di manovra e di evasione, che rendono il gettito più correlato a fattori di tipo istituzionale, come il pagamento di condoni, piuttosto che al ciclo economico. Una misura dell'output-gap del settore privato, esclusa perchè non signi cativa dall'equazione dell'Irpef versata in autotassazione, ha invece trovato spazio in quella dell'Ires, che si conferma essere la componente del prelievo più reattiva al ciclo economico.44 L'incidenza del prelievo risente inoltre di come si distribuisce la base imponibile tra settori produttivi e soggetti d'imposta caratterizzati da diverse possibilità di evasione. Sono stati considerati tre comparti: quello delle imprese quotate, quello delle banche e quello della grande distribuzione. Quest'ultima45 non è risultata signi cativa, presumibilmente per la dif coltà di individuare una proxy adeguata per un arco temporale così ampio. Rivestono invece un ruolo importante nella spiegazione delle aliquote implicite la redditività delle banche, espressa dal ROE, e quella delle imprese quotate, rappresentata dai dividendi distribuiti. I risultati mettono in evidenza, in ne, una correlazione negativa con il prezzo del petrolio, variabile che potrebbe essere rappresentativa sia dei costi energetici delle imprese, 44 La variabile endogena è la componente di trend dell'aliquota implicita e quindi, in linea di principio, dovrebbe essere già depurata dalle uttuazioni cicliche. Questo in realtà non accade sempre, in quanto una misura di output-gap - derivata dalla dinamica dell'accumulazione di capitale nel settore privato - contribuisce a migliorare il tting dell'equazione relativa all'Ires. Il risultato non è sorprendente, visto che la stima del ciclo ottenuta dalla scomposizione in componenti strutturali si basa su criteri statistici e non economici. 45 Come regressore è stata utilizzata la quota dei lavoratori dipendenti sul totale degli occupati (somma di autonomi e dipendenti) nel settore del commercio. 20 sia di shock negativi subiti dal sistema economico in connessione con il rialzo del prezzo del petrolio.46 L'equazione del totale delle imposte dirette appare sostanzialmente coerente con quella delle sue tre principali componenti. Trovano infatti conferma la rilevanza dell'in azione, combinata con il grado di progressività dell'imposta, e il grado di disuguaglianza nella distribuzione dei redditi, per i loro effetti sul gettito delle ritenute Irpef sui redditi da lavoro dipendente. Si conferma l'importanza dei condoni, per gli effetti negativi riscontrati sul gettito dell'Irpef in autotassazione, e quella della redditività delle banche, correlata alla dinamica dell'Ires. In aggiunta alle variabili già utilizzate nelle regressioni delle tre componenti analizzate, trova spazio, con segno positivo, anche una variabile rappresentativa dei tassi di interesse di mercato, per i suoi effetti sull'imposta sostitutiva sui redditi delle attività nanziarie. Passando alle imposte indirette, l'equazione dell'IVA segnala come l'incidenza sui consumi del gettito sia signi cativamente e positivamente correlata agli investimenti delle Amministrazioni pubbliche, che rappresentano una componente della base imponibile IVA esclusa dal denominatore dell'aliquota implicita.47 Emerge inoltre una correlazione positiva e signi cativa con l'output-gap del settore privato. Nella individuazione dei regressori, si è ipotizzato che l'aliquota implicita dell'IVA possa essere in uenzata da modi che nella composizione dei consumi tra comparti caratterizzati da diverse possibilità di evasione, come ad esempio la grande distribuzione, i beni durevoli, i beni energetici. Soltanto per questo ultimo fattore è stato possibile reperire una variabile in grado di cogliere adeguatamente il fenomeno: la correlazione positiva con il prezzo del petrolio in questa equazione può infatti essere interpretato come un cambiamento nella composizione dei consumi verso prodotti quelli energetici - meno soggetti a fenomeni di evasione.48 46 Tra le variabili esogene era stato inizialmente incluso un indice dei prezzi delle azioni, per cogliere gli effetti dei guadagni in conto capitale, ma la variabile non è risultata signi cativa, in coerenza con quanto riscontrato per l'Italia anche da Morris e Schuknecht (2007). 47 Per una ricostruzione della base imponibile dell'IVA si vedano Convenevole e Pisani (2003) e Marigliani (2007). 48 L'effetto meccanico di aumento del gettito dovuto al rialzo del prezzo del petrolio non dovrebbe comportare variazioni nell'aliquota implicita, in quanto in uenzerebbe tanto il numeratore, quanto il denominatore. 21 Per il totale delle indirette, la varianza dell'endogena è spiegata da due variabili che sono risultate signi cative nell'equazione relativa al gettito dell'IVA (che rappresenta oltre il 50 per cento delle imposte indirette): (i) gli investimenti delle Amministrazioni pubbliche, (ii) il prezzo del petrolio. Hanno trovato spazio anche altre due variabili, che sia pure potenzialmente correlate con l'IVA, risultano signi cative solo in questa equazione, dove la loro rilevanza risulta ampli cata probabilmente per il fatto che in uenzano anche il gettito di altre imposte indirette. Si tratta, in particolare, della quota della spesa in beni durevoli sul totale dei consumi delle famiglie e dei consumi intermedi delle Amministrazioni pubbliche. Anche il coef ciente dell'in azione, che appare con il segno negativo, risulta signi cativamente diverso da zero, in connessione con il fatto che in periodi di elevata in azione perde peso il gettito delle accise. La dinamica delle aliquote implicite risente anche di modi che nel grado di adesione spontanea dei contribuenti agli obblighi tributari (tax compliance). Per tenere conto di questo fattore, nelle sei equazioni era stata inizialmente inserita una variabile rappresentativa del grado di aderenza dei redditi Irpef dichiarati ai corrispondenti redditi di contabilità nazionale;49 nelle stime nali questa variabile è stata omessa, in parte perché non esogena, in parte perché inutilizzabile per una spiegazione non tautologica della dinamica dell'incidenza del prelievo tributario. Diversamente da quanto riscontrato in altri paesi, il prezzo delle abitazioni sembra non avere in uenza sulla dinamica del gettito tributario. 6. Conclusioni Questo lavoro analizza l'evoluzione del gettito tributario in Italia nel trentennio che parte dal 1978 e arriva al 2006. Le serie del gettito sono state preliminarmente depurate sia dalle misure discrezionali (ricostruite per l'intero periodo campionario a livello di singolo tributo), sia dai fattori erratici e ciclici. Le serie corrette sono state rapportate a una proxy macroeconomica della base imponibile legale, ottenendo aliquote implicite dalle quali è stata estratta la componente di trend. 49 La variabile è costruita adottando una versione sempli cata del metodo proposto da Visco (1984). Si tratta dell'unico indicatore disponibile su un orizzonte temporale pluridecennale del grado di evasione-erosione, che presenta però il limite di non consentire una distinzione tra le due componenti. 22 I dati sul gettito effettivo farebbero emergere una marcata decelerazione del gettito a partire dalla metà degli anni ottanta, che si acuisce negli anni 2001-05. Correggendo per le misure discrezionali, la stagnazione degli anni 2001-05 si attenua; eliminando le componenti cicliche ed erratiche dalle aliquote implicite, la decelerazione del gettito dalla metà degli anni ottanta viene meno ed emerge come l'incidenza del prelievo sia in ascesa dall'inizio del decennio e abbia raggiunto livelli storicamente elevati. Ulteriori indicazioni sull'elasticità del gettito alla base imponibile sono fornite dall'analisi di regressione condotta sul trend delle aliquote implicite. Le principali conclusioni sono le seguenti: 1) Le serie delle entrate tributarie, una volta corrette per le misure discrezionali e per le componenti erratiche, crescono in linea con la base imponibile, ma risentono anche dell'in uenza di altri fattori: alcuni di questi misurano gli scostamenti tra la base imponibile legale e la proxy macroeconomica utilizzata nella de nizione delle aliquote implicite, contribuendo a ridurre gli errori di misurazione; altri colgono modi che nella struttura dell'economia italiana che in uenzano l'incidenza dell'imposta. 2) Il gettito accelera rispetto alla base imponibile in presenza di un aumento di: in azione (in connessione con il drenaggio scale); quota dei pro tti delle banche, volume dei dividendi distribuiti dalle società quotate, frazione di spesa delle famiglie destinata all'acquisto di beni durevoli o energetici (fattori che segnalano uno spostamento nella composizione del valore aggiunto verso settori con minori possibilità di evasione); tassi di interesse nominali (per il ruolo dell'imposizione sostitutiva sugli interessi); grado di disuguaglianza nella distribuzione dei redditi (a causa della struttura progressiva dell'imposta sul reddito). 3) L'analisi mostra una differenza di comportamento tra società di capitali da un lato (soggette all'Ires) e piccole imprese e lavoratori autonomi dall'altro (che pagano prevalentemente l'Irpef). Relativamente alle prime, l'evidenza empirica indica che l'imposta sui pro tti delle società è la componente del prelievo più reattiva agli andamenti economici: essa cresce, infatti, a un tasso superiore (inferiore) alla base imponibile nelle fasi espansive (recessive) del ciclo economico; inoltre, l'incidenza del prelievo è correlata negativamente alla dinamica del prezzo del petrolio. Con riferimento alle seconde, i risultati dell'analisi mostrano che il gettito dell'imposta dipende più da fattori di tipo istituzionale, come gli studi di settore o il pagamento di condoni, che dalle condizioni cicliche dell'economia. 4) La veri ca empirica ha pertanto messo in evidenza come le serie delle entrate tributarie, una 23 volta corrette per le misure discrezionali e per i fattori erratici, vengano spiegate ef cacemente da modelli che, pur assumendo elasticità costanti rispetto alla base imponibile, tengono conto anche di altre variabili. L'analisi tenderebbe a ricondurre il fenomeno della variabilità delle elasticità scali, su cui la letteratura empirica ha recentemente posto l'accento, all'omissione di variabili che esercitano un'in uenza non trascurabile sulle capacità di gettito del sistema tributario. Appendice 1 Costruzione della serie delle entrate tributarie In questo lavoro è stato analizzato il gettito delle entrate tributarie contabilizzate nel bilancio di cassa dello Stato (cosiddetti incassi di bilancio) con l'aggiunta delle imposte locali introdotte con la riforma del 1998 (IRAP, addizionali regionale e comunale all'Irpef). In questo ultimo caso, trattandosi di imposte riscosse centralmente, i dati sono desumibili dai conti correnti della Tesoreria centrale dello Stato intestati agli enti decentrati destinatari del gettito. I dati sono lordi di rimborsi e compensazioni. L'aggregato analizzato comprende il gettito dell'Ilor no al 1997 e, a partire dal 1998, quello delle suddette imposte locali. L'aggregato presenta pertanto una discontinuità nel 1998 per effetto della riforma; si è preferito trattare tale discontinuità con apposite variabili di comodo nelle analisi econometriche piuttosto che correggere le serie, trattandosi di imposte quantitativamente importanti, possibili errori di misurazione avrebbero avuto effetti rilevanti. Tra le imposte indirette non sono invece stati considerati i proventi del Lotto e delle Lotterie che nel bilancio dello Stato sono riportati al lordo delle vincite corrisposte (classi cate tra le uscite). I proventi lordi del lotto e delle lotterie rappresentano un'entrata per lo Stato con una dinamica per sua natura aleatoria. In questo lavoro, relativamente alle principali imposte dirette (Ires e Irpef, sia per la parte prelevata attraverso le ritenute sui redditi dei lavoratori dipendenti, sia per quella versata in autotassazione), è stato ricostruito il gettito di competenza economica, ottenuto per ciascun anno sommando agli acconti versati nel corso dell'anno, il saldo versato nell'anno successivo (a gennaio relativamente alle ritenute Irpef, nell'estate per l'Ires e l'autotassazione Irpef). L'accisa sugli oli minerali è stata reintegrata della quota che, a partire dal 1996, viene devoluta alle Regioni. La correzione delle serie per tenere conto degli interventi discrezionali è avvenuta aggiungendo in ciascun anno, al dato del gettito (già comprendente gli effetti delle modi che introdotte nell'anno stesso) gli effetti cumulati delle modi che intercorse tra l'anno osservato e il 2006. Gli effetti delle manovre sono stati portati indietro nel tempo utilizzando come tasso di sconto, il tasso di incremento del gettito dell'imposta alla quale i provvedimenti si riferivano (al netto di effetti una tantum), in maniera da non alterare la dinamica dell'imposta se non 25 nell'anno di introduzione della modi ca; un esempio può essere utile a chiarire la metodologia: il dato relativo all'Irpeg del 1993 è stato corretto aggiungendo, al dato del gettito effettivo dell'anno, gli effetti dei provvedimenti in materia di Irpeg introdotti negli anni successivi che hanno portato alla struttura del 2006 scontati ogni anno con il tasso di incremento annuale dell'Irpeg (al netto di eventuali effetti una tantum). La correzione per gli interventi di natura temporanea ha riguardato invece solo gli anni interessati da tali provvedimenti. L'entità delle correzioni sono riportate nella tavola 1. Appendice 2 Modelli strutturali di serie storiche Il modello base utilizzato in questo lavoro è quello descritto nel paragrafo 3 ed è denominato local linear trend. In questo modello il trend deterministico t = + t viene generalizzato supponendo che intercetta e pendenza siano processi stocastici di tipo random walk.50 Casi particolari si veri cano quando la varianza dell'innovazione al livello o all'inclinazione di t sono pari a zero: quando del trend risulta essere costante e stocastico; quando invece 2 t = 0 (local level with drift), la pendenza 2 diventa la somma di un trend deterministico e di uno = 0 (smooth trend), t si riduce a un processo integrato del secondo ordine, con una inclinazione che varia lentamente nel tempo.51 La componente ciclica, t, è modellata combinando funzioni trigonometriche deterministiche e perturbazioni stocastiche, in modo tale da generare in ogni periodo impulsi oscillatori che tendono a smorzarsi nel tempo. t è rappresentato da un processo vettoriale autoregressivo del primo ordine: t t t = cos sin c c sin cos c t 1 c t 1 + !t !t è una variabile di comodo che serve esclusivamente a determinare il pro lo temporale di è il coef ciente di attenuazione dell'ampiezza ciclica; c t; misura la frequenza; ! t e ! t sono gli shock che aggiungono erraticità all'andamento oscillatorio indotto dalle funzioni seno e coseno.52 Af nché il modello sia identi cabile, è necessario assumere che Et 1 (! t j ! t ) = 0 50 Se si assume che t = t 1 + t e t = t 1 + t , il trend lineare può essere anche scritto nel modo seguente: t = t 1 + t + t t + t 1 : Per rendere meno erratico l'andamento della serie, il termine t t viene eliminato e in tal modo si ottiene un'espressione identica a quella utilizzata per t nel paragrafo 3. 51 Quando t P 0 + 0t + j=1 = 0, il trend è pari alla somma di una funzione lineare in t e di un random walk: t = j tP1 P 2 = 0, allora t = 0 + 0 t + j . Quando invece l . La presenza di due radici unitarie 2 j=1 l=1 riduce l'erraticità della componente stocastica del trend, mentre il ritardo di un periodo nell'indice temporale dell'innovazione l lo rende predeterminato. 52 Per comprendere l'equazione di transizione di t è opportuno partire dalla funzione trigonometrica cos t+ sin t, che descrive un moto oscillatorio di frequenza, ampiezza e fase costanti. Se (i) si eliminano le componenti stocastiche, (ii) si pone = 0 e (iii) si usano come condizioni iniziali 0 = e 0 = , l'equazione vettoriale indicata nel testo ha come prima componente la funzione deterministica t = cos t + sin t. Quando 0 < < 1, l'equazione diventa t = t [ cos t + sin t] : L'aggiunta dei termini di errore ! t e ! t consente di introdurre erraticità nella componente ciclica e di evitare che essa si azzeri progressivamente, quando il fattore di attenuazione assume valori inferiori all'unità. 27 per qualsiasi valore di j oppure che Et 1 (! t ) = Et 1 (! t ) = 2 !: in genere si ipotizza che entrambe le condizioni siano soddisfatte, riducendo così il numero degli iperparametri del modello. Poiché sia la componente ciclica sia quella di trend sono processi markoviani, il modello possiede una rappresentazione nello spazio degli stati; l'equazione di transizione è: 2 t 6 6 4 t t t 3 7 7 5 | {z } t 2 1 6 0 6 = 4 0 0 | 1 1 0 0 0 0 0 0 cos c sin sin c cos {z T mentre quella di misurazione è: c c 3 2 7 6 7 6 5 4 } | 2 t 6 t 6 1 0 1 0 {z } 4 t yt = | Z t | {z t dove t T t = t !t !t t t T t t t 1 3 2 t 7 6 t 7 6 5 t 1 + 4 !t !t t 1 {z } | {z t 1 t 1 3 7 7 5 t + "t = Z t 3 7 7 5 =T t 1 + t } + "t } rappresenta il vettore delle variabili di stato e t = quello delle innovazioni. Per ragioni di identi cabilità e parsimonia, T t t in genere si ipotizza che la matrice di varianze e covarianze E = Q sia diagonale. Quando gli errori hanno una distribuzione gaussiana, il ltro di Kalman consente di calcolare la funzione di verosimiglianza e stimare il valore degli iperparametri del modello. Indicando con tjt 1 e con Ptjt 1 la stima della media e della varianza del vettore degli stati condizionata all'informazione disponibile at tempo t dall'espressione Z t 1, l'errore di previsione vt yt ytjt 1 è dato + "t , la cui varianza è pari a Ft = ZPtjt 1 Z T + Q. La tjt 1 funzione di verosimiglianza logaritmica è data quindi dall'espressione ln L (#) = dove # 2 "; 2 ; 2 ; 2 !; ; c T ln 2 2 1X ln jFt j 2 t=1 T 1 X vt2 2 t=1 Ft T indica il vettore dei parametri. In genere, è conveniente riparametrizzare il modello prima di procedere alla massimizzazione della funzione di verosimiglianza, riscalando le varianze delle componenti strutturali con quella della componente di noise dell'equazione di misurazione. Il vettore dei parametri da stimare diventa 28 #c fq ; q ; q! ; ; c g, 2 i 2 " dove qi , con i = f ; ; !g, e presenta quindi un elemento in meno. Una volta stimato il vettore #c , la varianza dell'errore dell'equazione di misurazione si T P v bt2 ottiene dalla formula: b2" = T 1 d . Fb t=d t La ricerca del modello che garantisce la miglior interpolazione dei dati viene fatta analizzando le proprietà dei residui e la goodness-of- t, quest'ultima misurata con due indicatori: (i) lo scostamento quadratico medio di "t e (ii) il coef ciente di determinazione, calcolato sulle differenze prime. L'R2 del modello è pari a 1 q P 1 (b vt v)2 rappresenta l'errore standard della regressione, e T d delle osservazioni necessarie a inizializzare il ltro di Kalman. P (T d)b2 ( = yt T P t=1 2 y) , dove b vbt e d è il numero La diagnostica del modello viene effettuata veri cando se l'errore di previsione vt è normale, omoschedastico e serialmente incorrelato. 1) Per veri care se le innovazioni sono gaussiane, si usa il test proposto da Bowman e Shenton: l'ipotesi di normalità è accettata se le osservazioni si distribuiscono in modo uniforme attorno alla media e se il peso delle code è ridotto. La statistica di Bowman e Shenton è de nita dall'espressione seguente: N= dove s = pm3 2 e k = m3 m4 m22 ( , con ml = (k 3)2 s2 + 6=T 24=T 1 T T P (b vt ) )l (per l = 2; 3; 4). s e k, che stimano t=d rispettivamente l'asimmetria e la curtosi della distribuzione degli errori, si distribuiscono asintoticamente come delle normali, la prima con media nulla e varianza 6=T , la seconda con momento primo pari a 3 e momento secondo uguale a 24=T . La statistica N di Bowman e Shenton converge asintoticamente a una 2 con due gradi di libertà e consente di ri utare l'ipotesi di normalità se una delle due condizioni - simmetria o curtosi - non è soddisfatta. 2) Per veri care se i residui sono omoschedastici, si suddivide il campione in tre parti e si confronta la varianza empirica degli errori nel periodo iniziale e in quello nale. La statistica usata è: H (h) = T P e2t t=T h+1 d+1+h P e2t t=d+1 dove et = bt pv Ft rappresenta l'errore standardizzato, d sono le osservazioni necessarie per 29 inizializzare il ltro di Kalman (pari al numero di radici unitarie usate per modellare la componente di trend) e h = T d ; 3 H (h) si distribuisce come una F con h; h gradi di libertà e il test è a due code: l'ipotesi di omoschedasticità viene ri utata per valori troppo alti o troppo bassi della statistica H (h). 3) L'assenza di correlazione seriale è sottoposta a veri ca per mezzo della statistica Q di BoxLjung Q (P; f ) = T (T + 2) P X j=1 rj2 T j che usa i coef cienti di autocorrelazione no all'ordine P . La statistica si distribuisce come una 2 con un numero di gradi di libertà pari a P meno il numero degli iperparametri stimati.53 4) Una volta stimato il modello, è possibile ricostruire le serie delle innovazioni che generano le componenti strutturali; queste, denominate residui ausiliari, possono essere utilizzate per sottoporre a veri ca statistica il modello. Per individuare le osservazioni anomale (outliers) o i cambiamenti di regime (structural breaks), si usano in genere i residui smoothed54 standardizzati: un valore (positivo o negativo) elevato del termine di errore dell'equazione di misurazione segnala la presenza di un outlier, mentre valori anomali nelle innovazioni delle variabili di stato indicano un cambiamento di regime, ovvero una modi ca permanente nel livello o nella pendenza della serie. Un problema che complica l'uso dei residui ausiliari è che essi risultano serialmente correlati, anche quando nel modello teorico le corrispondenti componenti stocastiche non lo sono. Particolarmente dif cile è l'individuazione di structural breaks nella pendenza del trend, poiché le stime presentano una elevata correlazione seriale positiva e questo fa sì che un eventuale cambiamento di regime in uenzi non uno, ma più valori contigui di bt . Una procedura formale per individuare outliers e structural breaks è quella di veri care se la distribuzione empirica dei residui ausiliari è gaussiana; se l'ipotesi di normalità viene ri utata, l'analisi gra ca dei residui consente di localizzare il periodo in cui si è 53 Nel caso di uno modello local linear trend, i parametri stimati sono 5: le tre varianze relative qi , i = f ; ; !g, e i due coef cienti c e della componente ciclica. Il pacchetto statistico Stamp modi ca automaticamente il parametro P in modo tale che i gradi di libertà della statistica di Box-Ljung siano gli stessi a prescindere dal modello adottato. 2 i 2 " 54 Esistono due tecniche per ricostruire le (innovazioni delle) variabili di stato. Nel primo, le stime al tempo t vengono condizionate alle sole osservazioni che si riferiscono a periodi precedenti, vale a dire E ( t jyt 1 ; yt 2; :::; y1 ); nel secondo, esse utilizzano l'intero campione, ovvero E ( t jyT ; yT 1; :::; y1 ), dove T rappresenta sia la numerosità campionaria, sia l'indice temporale dell'osservazione più recente. I residui ottenuti nel primo modo vengono denominati ltered; quelli stimati sulla basa dell'informazione contenuta nell'intero campione sono chiamati invece smoothed. 30 veri cato il cambiamento di regime o è apparsa un'osservazione anomala. Harvey e Koopmans (1992) indicano quali sono i fattori di correzione da applicare ai momenti campionari dei residui ausiliari per tenere conto della correlazione seriale delle stime e per garantire che la distribuzione asintotica delle statistiche usate nei test di curtosi e normalità sia effettivamente una 2 . Poiché si può dimostrare che per i momenti campionari dal secondo al quarto ordine vale la proprietà che p dove l = 2; 3; 4 e (l) = 1 P T ml ! N l ; l! (l) 2l , il test di curtosi diventa l 55 = 1 K= (k 3)2 24 (4) =T e quello di normalità si modi ca in s2 (k 3)2 N= + 6 (3) =T 24 (4) =T La scelta del modello La scelta del modello ottimale per ciascuna delle 6 serie tributarie è effettuata confrontando 4 speci cazioni alternative. Partendo dalla formulazione più generale, in cui tutte le componenti - ciclo, livello e pendenza del trend - sono stocastiche, si sottopone a veri ca l'ipotesi che alcuni degli shock possano essere di tipo degenere. Le speci cazione messe a confronto sono: (1) il modello generale; (2) quello in cui la pendenza del trend è non stocastica ( 2 & = 0); (3) quello in cui il livello di quello senza componente ciclica ( 2 = 2 t è sso ( 2 = 0); (4) = 0).56 Il criterio di selezione si basa sulla massimizzazione della goodness-of- t e sulla minimizzazione del numero dei parametri da stimare. La precisione del modello viene misurata dall'errore standard e dal coef ciente di determinazione. I confronti diretti tra speci cazioni alternative, per decidere se le componenti 55 Il valore di (l) = 1 P l può essere calcolato analiticamente solo nei modelli più semplici. In generale = 1 è necessario fare ricorso ad algoritmi di tipo numerico. Koopman (1993) contiene una descrizione di alcune delle procedure di calcolo più diffuse. 56 Il modello con pendenza non-stocastica ( 2& = 0) viene usualmente indicato con il nome local level with drift; quello in cui il livello è sso ( 2 = 0) è invece denominato smooth trend. 31 strutturali sono di tipo deterministico o stocastico, sono invece dif cili da effettuare, perché in genere comportano che uno o più coef cienti del modello non siano punti interni dello spazio parametrico, violando una delle condizioni di regolarità necessarie af nché lo stimatore di massima verosimiglianza converga a una distribuzione normale e i test di massima verosimiglianza si distribuiscano asintoticamente come delle 2 . I test dei moltiplicatori di Lagrange, che non risentono di questo inconveniente, hanno però una scarsa potenza, in quanto non tengono conto del fatto che l'ipotesi alternativa è unidirezionale. Per i confronti tra modelli esiste una classe di test che è (localmente) invariante e ottima, ma essa si basa su una distribuzione non standard (Cramer-von Mises) e richiede tabulazioni ad-hoc. Come si è detto nel pagrafo 3.1, in alcuni casi la speci cazione del modello è stata modi cata aggiungendo variabili di comodo. In presenza di intervention dummies, il modello di scomposizione diventa il seguente: yt = t + t + dt + " t dove dt rappresenta il vettore di variabili di comodo. Quando le serie sono espresse in logaritmi, la correzione risulta proporzionale al gettito dell'imposta; quando sono messe in relazione con la base imponibile, essa è proporzionale a quest'ultima. La rappresentazione nello spazio degli stati di un modello con intervention dummies ha come equazione di transizione 2 6 6 6 6 4 t t t t t 3 2 7 6 7 6 7=6 7 6 5 4 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 cos sin 0 c c 0 0 sin cos 0 c c 0 0 0 0 1 e come equazione di misurazione yt = 76 76 76 76 54 2 2 "; 2 2 t 3 7 7 6 7 6 t 7 7 + 6 !t 7 7 7 6 5 4 !t 5 0 t 1 t 1 t 1 t 1 7 7 7 + "t 7 5 t t t t ; 3 t 1 3 t 6 6 6 6 4 1 0 1 0 dt Il vettore dei parametri incogniti diventa # 32 2 ; 2 !; ; c; . Iterando il ltro di Kalman si ottengono il valore e la varianza degli errori di previsione: nell'ipotesi che essi 32 siano distribuiti normalmente, è possibile costruire la funzione di verosimiglianza e stimare il vettore di parametri #. L'analisi è stata effettuata sulle sei componenti del prelievo e per tutte le tre de nizioni (gettito effettivo, gettito al netto delle imposte una tantum, gettito corretto); per ciascuna variabile è stata considerata sia la trasformata logaritmica, sia l'aliquota implicita, arrivando quindi a un totale di 36 modelli stimati. Le tavole dalla 1a alla 1c presentano i risultati della stima per le sei voci di entrata. La 1a si riferisce alle serie del gettito effettivo; la 1b a quelle corrette per le una tantum; la 1c alle serie aggiustate anche per gli interventi discrezionali. In aggiunta a quanto già detto nel paragrafo 3.2, dalle tavole 1a-1c risultano evidenti i seguenti risultati: (i) quando le serie sono espresse in scala logaritmica, la speci cazione che garantisce il miglior tting è quella in cui = 0 (smooth trend) e il trend è un processo integrato del secondo ordine. Unica eccezione è la serie delle imposte indirette calcolate al netto delle misure discrezionali, in cui è il modello senza restrizioni a minimizzare lo standard error della regressione e a massimizzare l'Rd2 . Il modello smooth trend ben si adatta a processi il cui tasso di crescita si modi ca lentamente nel tempo e quindi non è sorprendente che questa speci cazione colga, meglio di altre, l'effetto sul gettito tributario del lento processo di disin azione e del graduale rallentamento del tasso di crescita dell'attività produttiva, fenomeni che hanno interessato l'economia italiana nell'ultimo quarto di secolo; (ii) i residui di stima risultano essere, nella maggior parte dei casi, normali e non autocorrelati. Le proprietà statistiche degli errori sembrano deteriorarsi quando le serie vengono depurate dalle misure una tantum e da quelle permanenti: due volte l'evidenza empirica mostra sintomi di correlazione seriale (imposte indirette e ritenute alla fonte sui redditi da lavoro dipendente) e due volte indica non normalità dei residui (IVA e ritenute alla fonte sui redditi da lavoro dipendente). Dato il numero di modelli stimati, la frequenza dei casi in cui l'ipotesi di nullità è ri utata è in linea con la dimensione (ovvero con l'errore del primo tipo) dei test; (iii) il valore del coef ciente di determinazione Rd2 è mediamente più elevato per le serie logaritmiche, mentre per quelle espresse in rapporto alla base imponibile è talvolta modesto, in particolare per IVA e Irpeg. La cosa non è sorprendente dato che le variabili che presentano un trend risultano in genere più facili da modellare. 33 Per ciascuno dei modelli prescelti, il residuo dell'equazione di misurazione e le innovazioni smoothed al livello e alla pendenza della componente di trend sono stati analizzati per individuare outliers o cambiamenti di regime. Le tavole 2a e 2b contengono i risultati dei test di normalità e curtosi condotti sui 36 modelli selezionati; le statistiche sono corrette per tener conto dell'autocorrelazione seriale presente nelle innovazioni delle componenti strutturali del modello. L'evidenza empirica risulta ampiamente favorevole e conferma che i modelli stimati sono correttamente speci cati. Per nessuna serie è possibile riscontrare salti anomali nel livello o nella pendenza della componente di trend e solo per il gettito dell'Irpef versata dai lavoratori autonomi c'è evidenza della presenza di un outlier, che però non crea problemi nell'identi cazione e nella stima della componente strutturale del gettito. Riferimenti bibliogra ci Abritta, L., D. Ballanti, R. Convenevole, C. Equizzi, e S. Pisani (2003), "Gli effetti dell'applicazione degli studi di settore nel biennio 1998-99", Agenzia delle Entrate, Documento di lavoro n. 2003/5. Balassone F., D. Franco e A. Staderini (2003), "Tax poliy in EMY: a preliminary Assessment", Tax Policy, Banca d'Italia, Roma. Balassone F., D. Franco e S. Momigliano e D. Monacelli (2002), "Italy: Fiscal Consolidation and its Legacy", in Banca d'Italia, The Impact of Fiscal Policy, Roma. Banca d'Italia, Bollettino Economico, Riquadro dedicato alla manovra di bilancio dell'anno, vari anni. Banca d'Italia, Relazione annuale, Sezione Finanza pubblica, vari anni. Bernasconi, M. e F. La Pecorella (2006), “I condoni nel sistema tributario italiano”, in Guerra e Zanardi (a cura di) (2006), La nanza pubblica italiana, Rapporto 2006, Bologna, Il Mulino. Bouthevillain, C., P. Cour-Thimann, G. Van Den Dool , P. Hernandez de Cos, G. Langenus, M. Mohr, S. Momigliano e M. Tujula (2001), "Cyclically adjusted Balances: an alternative Approach", ECB Working Paper, n. 77. Brandolini, A. (2007), "Income Inequality and Poverty in Italy: a statistical Compendium", Mimeo. Ceriani, V. (2006), Audizione del rappresentante della Banca d'Italia, presso la Commissione consultiva sull'imposizione scale delle società, Roma 12 settembre 2006. Ceriani V. F. Frasca e D. Monacelli (1992), “Il sistema tributario e il disavanzo pubblico: problemi e prospettive”, in Il Disavanzo pubblico in Italia: natura strutturale e politiche di rientro, Il Mulino. Commissione europea (2008), Public nance in EMU. Convenevole, R. e S. Pisani (2003), "Le basi imponibili IVA. Un'analisi del periodo 19822001", Agenzia delle entrate, Documento di lavoro, n. 2003/1. Degni, M., N. Emiliani, F. Gastaldi, G. Salvemini, C. Virno (2001), "Il riequilibrio della nanza pubblica negli anni novanta", Studi e Note Economiche, Quaderni, n. 7. Devereux, M. P. e A. Klemm (2004), “Why has the Corporate Tax raised so much Revenue?”, Fiscal Studies, 25. Devereux, M. P. e P. B. Sorenson (2006), “The Corporate Income Tax: international Trends and Options for fundamental Reform”, European Economy Economic papers, presentato 35 al Workshop on corporation income tax competition and coordination in the European Union, tenutosi a Bruxelles il 25 settembre 2006. European Commission (1995), "The Commission Services Method for cyclical Adjustment of Government Budget Balance", Technical Note, European Economiy, 6. Fox, W. F e C. Campbell (1984), "Stability of the State Sales Tax Income Elasticity", National Tax Journal, 37, 2. Franco, D. (2006), “La nanza pubblica italiana: alcuni elementi di ri essione”, in Brosio, G. e G. Muraro (2006) Il nanziamento del settore pubblico, Milano, Franco Angeli. Gennari, E. , G. Maurizi e A. Staderini (2005), "Estimating the Reactivity of Investment to Tax Changes: the Case of Italy in the Ninethies", Politica Economica, 2005, n. 3. Ginebri, S., B. Maggi e M. Turco (2005), "The automatic Reaction of the Italian Government Budget to Fundamentals: an econometric Analyses", Applied Economics, 2005, 37. Giorno, C., P. Richardson, D. Roseveare e P. Van Den Noord (1995), Estimating potential Output, Output Gaps and structural Balances", OECD Economics Department Working Paper, 152. Groves, H,.M. e C. H. Kahn (1952), "The Stability of State and Local Tax Yields", American Economic Review, 52, 1. Harvey, A.C. (1989), Forecasting, Structural Time Series Models and the Kalman Filter, Cambridge University Press, Cambridge. Harvey, A.C. e S.J. Koopman (1992), “Diagnostic Checking of Unobserved-Components Time Series Models”, Journal of Business and Economic Statistics, vol.10 no.4. Koopman, S.J. (1993), Disturbance smoother for state space models, Biometrika, vol.80. Kremer, I., C. R. Braz, T. Brosen, G. Langenus, S. Momigliano, S. Spolander (2006), "A disaggregated framework for the analysis of structural developments in public nances", ECB Working Paper n. 579. Longobardi, E. (2001), “Vent'anni dopo ovvero la lunga marcia degli studi di settore”, Il Fisco, n. 34. Marigliani, M. e S. Pisani (2007), "Le basi imponibili IVA. Aspetti generali e principali risultati per il periodo 1980-2004", Agenzia delle Entrate, Documento di lavoro 2007/7. Marino, M.R., G. Messina e A. Staderini (2007), “Gli effetti redistributivi della riforma dell'imposta sul reddito degli anni 2003-2005”, in Povertà e lavoro, Ravati G., (ed), Carocci, Roma. Marino M.R., S. Momigliano e P. Rizza (2008), "I conti pubblici nel decennio 1998-2007: fattori temporanei, tendenze di medio periodo, misure discrezionali", Banca d'Italia, Questioni di Economia e Finanza (occasional paper), n. 15. 36 Marino, M.R.e A. Staderini (2006), “The Personal Income Tax in Italy: what Legacy from the 2003-05 Reform?” presentato al Convegno Assessing the impact of tax reforms organizzato dal Banco de Espana, 28 Settembre 2006, Madrid. Martinez-Montgay, L. A. Masa Lasierra e J. Yaniz Igal (2007), "Asset Booms and Tax Receipts: the Case of Spain, 1995-2206", DG ECFIN. Momigliano, S. e A. Staderini (1999), "A new Method of Assessing the Structural Budget Balance: Results for the Years 1995-2000", Banca d'Italia, Indicators of structural budget balance, Roma. Monacelli, D., A. Staderini e S. Zotteri (2001), "Il contributo alla crescita della tassazione dei redditi da capitale: un'analisi del caso italiano", in Bordignon, M. e D. Da Empoli (ed), Politica scale, essibilità dei mercati e crescita, Franco Angeli, Milano. Morcaldo, G. (2005), Una politica economica per la crescita, Milano, Franco Angeli. Morris, R. e L. Schuknecht (2007), "Structural Balances and Revenue Windfalls", ECB Working paper series, n. 737, March 2007. Santoro, A. (2006), “Evasione e studi di settore. Quali risultati? Quali prospettive?”, in Guerra e Zanardi (a cura di) (2006), La nanza pubblica italiana, Rapporto 2006, Bologna il Mulino. Sobel, R. S e R. G. Holcombe (1996), "Measuring the Growth and Variability of Tax Bases over the Business Cycle", National Tax Journal, 49, 4. Spaventa, L. e V. Chiorazzo (2000), Astuzia o virtù? Come accadde che l'Italia fu ammessa all'Unione Monetaria, Roma, Donzelli. Staderini, A. (2001), "Tax Reforms to in uence Corporate Financial Policy: the Case of the Italian Business Tax Reform of 1997-98", Temi di Discussione della Banca d'Italia, n. 423. Swiston, A., M. Muhleisen e K. Mathai (2007), "US Revenue Surprises: are happy Days here to stay?", IMF Working Paper, WP/07/143. Visco, V. (1984), "Disfunzioni e iniquità dell'Irpef e possibili alternative:un'analisi del funzionamento dell'imposta sul reddito in Italia nel periodo 1977-83", Gerelli, E. e R. Valiani (ed), La crisi dell'imposizione progressiva sul reddito, Franco Angeli. Wolswijk, G. (2007), “Short and Long Run Tax Elasticità. The case of Netherlands.” ECB Working paper series, n. 763, June 2007. Tavola 1 - Effetti delle misure discrezionali (valori a prezzi correnti; in miliardi di euro) Misure con effetti temporanei 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Misure con effetti permanenti Totale di cui riguardanti imposte permanenti Totale Dirette (1) Ritenute Irpef lavoro dip. Irpef in autotassazione (1) Irpeg/Ires (1) Totale Indirette (2) IVA 0,3 0,0 0,0 0,0 2,5 4,3 1,2 0,5 0,3 0,1 2,3 0,9 0,2 4,4 15,3 7,8 4,7 10,0 8,1 14,3 7,8 1,6 1,0 9,3 9,3 17,3 19,5 2,2 8,9 0,2 0,0 0,0 0,0 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,9 0,0 0,0 1,3 0,0 0,0 1,3 0,7 1,8 3,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,1 0,0 2,4 0,2 0,0 0,0 0,0 -0,1 -1,2 1,8 1,8 -2,0 0,0 0,5 -2,3 -0,4 -0,1 8,4 -1,2 0,9 1,0 1,1 0,0 7,4 0,0 -8,8 -5,9 -2,5 -8,4 0,7 -2,1 4,7 0,0 0,0 0,0 0,0 -0,5 -1,9 0,0 0,0 -2,2 0,0 -0,6 -3,1 -1,0 -0,2 3,7 0,0 0,0 0,0 -0,5 0,0 3,0 0,0 -5,4 -1,9 -1,3 -4,3 0,0 -4,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 -0,5 0,0 0,8 -0,3 0,0 0,0 0,2 0,0 0,6 3,5 0,0 0,0 0,5 0,3 0,0 1,9 0,0 -3,4 -1,0 -1,0 -2,1 0,8 -0,9 1,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,5 0,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,8 0,0 0,3 1,2 0,5 0,9 0,5 1,4 0,0 1,5 0,0 0,0 -0,8 0,0 -1,7 0,0 2,8 3,0 0,6 0,4 0,4 0,4 1,5 5,4 0,5 0,8 3,2 1,3 4,3 4,6 5,1 5,4 1,8 0,6 1,3 4,5 1,9 0,7 3,6 0,0 -0,7 -0,4 0,0 0,2 0,0 1,6 0,0 0,2 0,0 0,3 0,3 0,4 2,5 0,0 0,4 0,5 0,5 2,3 2,1 0,0 0,3 0,0 1,1 0,6 1,9 0,0 0,4 3,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Fonte: per le misure permanenti e per quelle temporanee riguardanti le imposte permanenti elaborazioni su informazioni tratte dalle note tecniche di accompagnamento delle manovre (cfr. Bollettino economico Banca d'Italia, vari anni) incrociate con valutazioni ex post tratte da Relazione Banca d'Italia (vari anni) e Morcaldo (2005). Per le imposte di natura temporanea Rendiconto generale dello Stato. (1) Relativamente all'Irpef versata in autotassazione e all'Irpeg gli effetti sono stati ricostruiti coerentemente con la metodologia utilizzata in questo lavoro che ricostruisce l'imposta di competenza sommando per ciascuno anno agli acconti dell'anno il saldo versato nell'anno successivo. (2) Non include gli effetti delle misure su lotto e lotterie perché non incluse nell'aggregato di entrate analizzato in questo lavoro. Tavola 2a - Selezione del modello con miglior adattamento ai dati (serie ufficiali del bilancio dello stato) serie in scala logaritmica σ R 2 d Q serie in rapporto alla base imponibile Norm σ R2 d Q Norm Imposte dirette LLTM 0.051 0.770 10.354 2.394 0.006 0.577 12.260 2.985 σ ς =0 0.077 0.417 8.701 0.088 0.006 0.614 4.931 3.628 σ η =0 0.051 0.770 6.249 2.394 0.006 0.577 5.998 2.985 σ ω =σ ω* =0 0.059 0.693 6.727 0.970 0.006 0.530 6.320 0.787 LLTM 0.042 0.650 4.782 0.413 0.006 0.392 5.621 0.173 σ ς =0 0.063 0.199 4.806 1.681 0.006 0.392 3.186 0.173 σ η =0 0.042 0.650 4.156 0.413 0.006 0.449 3.303 0.078 σ ω =σ ω* =0 0.047 0.549 4.445 0.478 0.006 0.392 2.427 0.173 LLTM 0.043 0.819 6.717 0.826 0.007 0.582 8.222 1.273 σ ς =0 0.087 0.270 8.684 2.261 0.006 0.601 8.129 2.199 σ η =0 0.043 0.819 5.636 0.826 0.007 0.522 6.914 1.384 σ ω =σ ω* =0 0.047 0.787 4.963 2.711 0.007 0.503 3.969 2.274 LLTM 0.089 0.439 4.194 3.461 0.003 0.398 4.516 0.198 σ ς =0 0.108 0.171 6.109 1.117 0.003 0.292 7.809 0.096 σ η =0 0.086 0.475 2.986 2.343 0.003 0.380 5.123 0.341 σ ω =σ ω* =0 0.089 0.439 2.795 3.461 0.003 0.285 5.583 0.116 LLTM 0.081 0.533 7.366 1.542 0.002 0.518 6.033 0.529 σ ς =0 0.089 0.438 6.949 0.341 0.002 0.518 4.654 0.529 σ η =0 0.080 0.546 5.073 1.505 0.002 0.518 4.654 0.529 σ ω =σ ω* =0 0.095 0.366 6.091 1.625 0.003 0.169 7.471 0.855 Imposte indirette Ritenute (lav. dip.) Irpef (lav. autonomi) Irpeg/Ires IVA LLTM 0.048 0.568 6.563 3.746 0.003 0.230 3.692 4.780 σ ς =0 0.072 0.049 4.496 4.397 0.003 0.230 3.246 4.780 σ η =0 0.046 0.611 4.634 4.563 0.004 0.025 1.879 4.922 σ ω =σ ω* =0 0.054 0.455 2.310 0.925 0.004 0.029 3.760 2.291 Per ciascuna delle 6 voci di entrata vengono stimati 4 modelli strutturali univariati e viene evidenziato in rosso quello che garantisce il miglior adattamento ai dati. Nella prima sezione la variabile endogena è espressa in forma logaritmica; nella seconda è messa in rapporto a una proxy macroeconomica della base imponibile. Le equazioni in entrambi i casi sono stimate sul periodo 1978-2006. LLTM indica il modello local linear trend senza restrizioni; σς=0 indica quello in cui la pendenza è costante; ση=0 si riferisce al caso in cui il trend è un processo I(2); la restrizione σω=σω*=0 elima il ciclo dalla scomposizione della serie. Per valutare le proprietà statistiche di ciascun modello vengono considerate 4 statistiche: lo standard error della regressione; il coefficiente di determinazione; il test di autocorrelazione di Box-Ljung; il test di Doornik e Hansen di normalità. I test di autocorrelazione e normalità si distribuiscono asintoticamente come χ2 con 6 e 2 gradi di libertà; per α=.05 i rispettivi valori critici sono 12.6 e 5.99. Tavola 2b - Selezione del modello con miglior adattamento ai dati (serie corrette per tener conto degli sfasamenti temporali, delle imposte abolite e delle una-tantum ) serie in scala logaritmica σ R 2 d Q serie in rapporto alla base imponibile Norm σ R2 d Q Norm Imposte dirette LLTM 0.049 0.752 7.055 1.667 0.005 0.444 6.200 0.314 σ ς =0 0.075 0.403 5.729 0.189 0.005 0.506 5.510 0.216 σ η =0 0.049 0.752 6.805 1.667 0.005 0.444 5.943 0.314 σ ω =σ ω* =0 0.056 0.674 8.732 3.357 0.006 0.317 10.453 0.637 LLTM 0.039 0.675 8.762 1.623 0.005 0.624 5.559 2.158 σ ς =0 0.065 0.089 7.189 1.380 0.006 0.469 2.421 0.191 σ η =0 0.039 0.675 6.637 1.623 0.005 0.489 2.567 0.118 σ ω =σ ω* =0 0.044 0.589 5.387 0.717 0.006 0.469 2.159 0.191 LLTM 0.043 0.820 6.819 0.729 0.007 0.586 7.772 1.246 σ ς =0 0.094 0.157 9.707 6.648 0.006 0.604 7.550 2.479 σ η =0 0.043 0.820 5.588 0.729 0.007 0.526 6.274 1.297 σ ω =σ ω* =0 0.047 0.790 4.980 2.827 0.007 0.511 3.736 2.487 LLTM 0.089 0.439 4.194 3.461 0.003 0.398 4.516 0.198 σ ς =0 0.108 0.171 6.109 1.117 0.003 0.292 7.809 0.096 σ η =0 0.086 0.475 2.986 2.343 0.003 0.380 5.123 0.341 σ ω =σ ω* =0 0.089 0.439 2.795 3.461 0.003 0.285 5.583 0.116 LLTM 0.083 0.524 6.074 1.832 0.002 0.548 6.258 0.543 σ ς =0 0.092 0.406 6.942 0.360 0.002 0.548 5.278 0.543 σ η =0 0.082 0.528 4.482 1.450 0.002 0.548 5.278 0.543 σ ω =σ ω* =0 0.092 0.409 4.800 2.615 0.003 0.258 7.389 1.335 IVA LLTM σ ς =0 0.049 0.560 5.378 5.132 0.004 0.185 5.118 3.596 0.066 0.199 6.902 7.217 0.004 0.030 5.279 1.292 σ η =0 0.049 0.560 5.737 5.133 0.004 0.012 4.260 1.681 σ ω =σ ω* =0 0.056 0.419 4.635 2.261 0.004 0.030 5.061 1.292 Imposte indirette Ritenute (lav. dip.) Irpef (lav. autonomi) Irpeg/Ires Per ciascuna delle 6 voci di entrata vengono stimati 4 modelli strutturali univariati e viene evidenziato in rosso quello che garantisce il miglior adattamento ai dati. Nella prima sezione la variabile endogena è espressa in forma logaritmica; nella seconda è messa in rapporto a una proxy macroeconomica della base imponibile. Le equazioni in entrambi i casi sono stimate sul periodo 1978-2006. LLTM indica il modello local linear trend senza restrizioni; σς=0 indica quello in cui la pendenza è costante; ση=0 si riferisce al caso in cui il trend è un processo I(2); la restrizione σω=σω*=0 elima il ciclo dalla scomposizione della serie. Per valutare le proprietà statistiche di ciascun modello vengono considerate 4 statistiche: lo standard error della regressione; il coefficiente di determinazione; il test di autocorrelazione di Box-Ljung; il test di Doornik e Hansen di normalità. I test di autocorrelazione e normalità si distribuiscono asintoticamente come χ2 con 6 e 2 gradi di libertà; per α=.05 i rispettivi valori critici sono 12.6 e 5.99. Tavola 2c - Selezione del modello con miglior adattamento ai dati (serie corrette per tener conto delle imposte temporanee e delle misure discrezionali ) serie in scala logaritmica σ R 2 d Q serie in rapporto alla base imponibile Norm σ R2 d Q Norm Imposte dirette LLTM 0.055 0.708 8.381 0.511 0.005 0.536 7.725 0.702 σ ς =0 0.076 0.443 10.827 1.252 0.005 0.536 6.692 0.702 σ η =0 0.055 0.708 7.876 0.511 0.006 0.453 7.314 1.311 σ ω =σ ω* =0 0.066 0.581 5.986 1.634 0.006 0.392 5.796 0.878 LLTM 0.034 0.664 10.169 0.388 0.005 0.539 16.199 0.553 σ ς =0 0.051 0.256 10.221 0.588 0.006 0.421 9.369 0.555 σ η =0 0.036 0.634 8.073 0.581 0.005 0.539 13.878 0.553 σ ω =σ ω* =0 0.036 0.632 8.022 0.551 0.006 0.440 9.426 0.724 LLTM 0.058 0.693 10.436 0.951 0.007 0.421 17.719 10.334 σ ς =0 0.088 0.305 7.701 1.892 0.007 0.471 13.608 8.799 σ η =0 0.058 0.693 9.415 1.444 0.007 0.433 10.320 5.335 σ ω =σ ω* =0 0.065 0.624 4.786 0.527 0.008 0.348 9.815 14.274 LLTM 0.089 0.439 4.194 3.461 0.002 0.586 9.514 8.857 σ ς =0 0.108 0.171 6.109 1.117 0.002 0.586 9.278 8.857 σ η =0 0.086 0.475 2.986 2.343 0.002 0.588 7.771 3.512 σ ω =σ ω* =0 0.089 0.439 2.795 3.461 0.002 0.477 7.118 9.499 LLTM 0.083 0.524 6.074 0.183 0.003 0.172 4.902 3.620 σ ς =0 0.092 0.406 6.942 0.360 0.003 0.172 4.661 3.620 σ η =0 0.082 0.528 4.482 1.450 0.003 0.171 3.468 1.111 σ ω =σ ω* =0 0.092 0.409 4.800 2.615 0.003 0.172 3.213 3.620 Imposte indirette Ritenute (lav. dip.) Irpef (lav. autonomi) Irpeg/Ires IVA LLTM 0.048 0.501 6.336 1.002 0.004 0.188 5.045 6.106 σ ς =0 0.065 0.090 2.401 12.449 0.004 0.028 3.252 3.827 σ η =0 0.048 0.501 5.333 1.002 0.004 0.188 5.034 6.106 σ ω =σ ω* =0 0.052 0.415 2.384 2.892 0.004 0.022 2.736 3.757 Per ciascuna delle 6 voci di entrata vengono stimati 4 modelli strutturali univariati e viene evidenziato in rosso quello che garantisce il miglior adattamento ai dati. Nella prima sezione la variabile endogena è espressa in forma logaritmica; nella seconda è messa in rapporto a una proxy macroeconomica della base imponibile. Le equazioni in entrambi i casi sono stimate sul periodo 1978-2006. LLTM indica il modello local linear trend senza restrizioni; σς=0 indica quello in cui la pendenza è costante; ση=0 si riferisce al caso in cui il trend è un processo I(2); la restrizione σω=σω*=0 elima il ciclo dalla scomposizione della serie. Per valutare le proprietà statistiche di ciascun modello vengono considerate 4 statistiche: lo standard error della regressione; il coefficiente di determinazione; il test di autocorrelazione di Box-Ljung; il test di Doornik e Hansen di normalità. I test di autocorrelazione e normalità si distribuiscono asintoticamente come χ2 con 6 e 2 gradi di libertà; per α=.05 i rispettivi valori critici sono 12.6 e 5.99. Tavola 3a - Residui ausiliari e cambiamenti di regime (serie in scala logaritmica) εt ηt ζt N K N K N K gettito effettivo 0.554 0.545 ● ● 0.401 0.351 gettito al netto delle una-tantum 0.021 0.002 ● ● 1.727 0.537 gettito al netto delle misure permanenti 0.474 0.043 ● ● 1.900 0.765 gettito effettivo 0.569 0.281 ● ● 0.507 0.003 gettito al netto delle una-tantum 0.851 0.313 ● ● 0.673 0.361 gettito al netto delle misure permanenti 0.504 0.453 0.928 0.037 0.613 0.577 Imposte dirette Imposte indirette Ritenute (lav. dip.) gettito effettivo 0.965 0.857 ● ● 0.824 0.335 gettito al netto delle una-tantum 0.896 0.779 ● ● 0.833 0.321 gettito al netto delle misure permanenti 0.716 0.065 ● ● 2.109 0.149 gettito effettivo 0.922 0.814 4.288 0.941 1.856 0.034 gettito al netto delle una-tantum 0.922 0.814 4.288 0.941 1.856 0.034 gettito al netto delle misure permanenti 0.922 0.814 4.288 0.941 1.856 0.034 gettito effettivo 1.048 1.043 ● ● 0.762 0.759 gettito al netto delle una-tantum 0.540 0.539 ● ● 0.861 0.827 gettito al netto delle misure permanenti 0.540 0.539 ● ● 0.861 0.827 gettito effettivo 0.029 0.022 ● ● 0.735 0.563 gettito al netto delle una-tantum 0.291 0.063 ● ● 0.679 0.423 gettito al netto delle misure permanenti 0.792 0.223 ● ● 0.765 0.651 Irpef (lav. autonomi) Irpeg/Ires IVA La tabella presenta i valori del test di normalità (N) e curtosi (K) applicati ai residui ausiliari ottenuti scomponendo le serie storiche del gettito tributarie in componenti strutturali. Le prime due colonne contengono i risultati relativi alla componente idiosincratica, mentre le successive quattro si riferiscono allo shock al livello e, rispettivamente, alla pendenza della componente di trend . Le equazioni sono stimate sul periodo 1978-2006 e, tranne i casi di ritenute e Irpef, includono intervention dummy per modellare i cambiamenti di regime. I test di curtosi e normalità (nella versione proposta da Bowman e Shenton) si distribuiscono asintoticamente come χ2 con 1 e 2 gradi di libertà; per α=.05 i rispettivi valori critici sono 3.84 e 5.99, mentre per α=.01 sono 6.63 e 9.21. I valori evidenziati in rosso con una e due stellette indicano i casi in cui il test rigetta l'ipotesi di nullità a livelli di significatività del 5 e, rispettivamente, 1 per cento. Tavola 3b - Residui ausiliari e cambiamenti di regime (serie in rapporto alla base imponibile) εt ηt ζt N K N K N K gettito effettivo 0.738 0.505 1.287 0.043 ● ● gettito al netto delle una-tantum 0.349 0.268 0.065 0.029 ● ● gettito al netto delle misure permanenti 2.964 0.500 0.197 0.097 ● ● gettito effettivo 0.968 0.637 ● ● 0.464 0.414 gettito al netto delle una-tantum 1.128 0.985 ● ● 0.774 0.704 gettito al netto delle misure permanenti 0.349 0.202 ● ● 0.775 0.607 Imposte dirette Imposte indirette Ritenute (lav. dip.) gettito effettivo 0.555 0.550 4.062 1.258 ● ● gettito al netto delle una-tantum 0.462 0.443 4.181 1.394 ● ● gettito al netto delle misure permanenti 0.915 0.190 3.589 3.501 ● ● gettito effettivo 1.473 0.328 1.131 1.076 0.364 0.331 gettito al netto delle una-tantum 1.473 1.131 1.076 0.364 0.331 1.674 1.522 Irpef (lav. autonomi) gettito al netto delle misure permanenti 13.839 0.328 ** 11.28 ** ● ● Irpeg/Ires gettito effettivo 1.236 0.302 0.046 0.003 ● ● gettito al netto delle una-tantum 0.408 0.238 0.061 0.035 ● ● gettito al netto delle misure permanenti 0.270 0.121 0.333 0.063 ● ● gettito effettivo 0.189 0.135 3.634 1.247 ● ● gettito al netto delle una-tantum 0.506 0.106 0.954 0.583 gettito al netto delle misure permanenti 0.651 0.237 IVA ● ● 1.710 1.580 2.162 0.840 La tabella presenta i valori del test di normalità (N) e curtosi (K) applicati ai residui ausiliari ottenuti scomponendo le serie storiche del gettito tributarie in componenti strutturali. Le prime due colonne contengono i risultati relativi alla componente idiosincratica, mentre le successive quattro si riferiscono allo shock al livello e, rispettivamente, alla pendenza della componente di trend . Le equazioni sono stimate sul periodo 1978-2006 e, tranne i casi di ritenute e Irpef, includono intervention dummy per modellare i cambiamenti di regime. I test di curtosi e normalità (nella versione proposta da Bowman e Shenton) si distribuiscono asintoticamente come χ2 con 1 e 2 gradi di libertà; per α=.05 i rispettivi valori critici sono 3.84 e 5.99, mentre per α = .01 sono 6.63 e 9.21. I valori evidenziati in rosso con una e due stellette indicano i casi in cui il test rigetta l'ipotesi di nullità a livelli di significatività del 5 e, rispettivamente, 1 per cento. Tavola 4 -Interventi sull'Irpef e sulle imposte sostitutive sui rendimenti delle attività finanziarie Imposte sostitutive rendimenti attività finanziarie Irpef Aumento detrazioni carichi familiari 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 (3) 1990 (4) 1991 (4) 1992 (5) 1993 (6) 1994 1995 (7) 1996 (7) 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 (7) 2004 2005 (8) 2006 si si si si si si si si si si si si Aumento detrazioni per tipo di reddito si si si si si si si si si si si si si si si si si si si si si si si si si si no si si Aumento selettivo alcune detrazioni si si si si Modifica aliquote e scaglioni Indicatore di progressività (1) Modifica aliquota Modifica versamenti (8) no no no no no riforma struttura (2) no no riforma struttura (2) no no riforma struttura (2) si si riforma struttura (2) no no no no no riforma struttura (2) no si riforma struttura (2) no riforma struttura (2) no riforma struttura (2) no 1,9 1,9 1,9 1,9 1,8 1,6 1,9 1,8 1,7 1,7 1,6 1,6 1,7 1,7 1,8 1,7 1,7 1,7 1,6 1,6 1,6 1,6 1,7 1,7 1,7 2,1 2,1 2,0 2,0 si no no si si si no no si no si no no no no no no si si no si no no no no no no no no si no si no si no si no si no si no no si no si no no si si no no no no no no no no no Fonte: Relazione Banca d’Italia - Appendice - Principali provvedimenti in materia economica (vari anni) (1) E’ calcolato come media semplice degli indicatori locali di progressività (LP) calcolati per livelli puntuali di reddito di una scala dei redditi assunta costante in termini reali; non è ponderato per la distribuzione dei redditi. (2) Questi anni sono interessati da una riforma che ha riguardato sia le detrazioni sia la curva delle aliquote. (3) Nel 1989 viene emanato il Dl 69/1989 che stabilisce l'adeguamento automatico degli scaglioni, delle detrazioni e dei limiti di reddito per poterne fruire negli anni in cui l'inflazione supera il 2%; entra in vigore per la prima volta nel 1990. (4) Gli anni 1990 e 1991 sono gli unici due anni in cui il meccanismo automatico di revisione sia delle detrazioni (e dei livelli di redditi per fruirne) sia dei limiti degli scaglioni ha trovato integrale applicazione. (5) La riforma del 1992 è l'unica introdotta con la finalità di aumentare il gettito; viene stabilita a fine 1992 e prelevata già sui redditi dello stesso anno in occasione del conguaglio di fine anno. (6) Viene stabilito che a partire dal 1993 il meccanismo automatico di indicizzazione all'inflazione del DL 69/89 si applica solo alle detrazioni e ai livelli di reddito per poterne fruire. Già nel 1993 la norma viene applicata solo parzialmente. (7) In questi anni la legge finanziaria deroga esplicitamente al dettato del DL 69/89 stabilendo di destinare le risorse previste per la restituzione del drenaggio fiscale per aumentare le detrazioni per famiglie numerose con redditi bassi. (8)L'imposta sostitutiva sugli interessi dei depositi bancari viene versata dalle banche in due acconti durante l'anno di competenza e un saldo nell'anno successivo. La misura di questi acconti ha subito moltissime modifiche negli anni Tavola 5a - Stima del trend delle aliquote implicite corrette Variabile dipendente Totale Dirette Costante -0,002 (-0,118) Ritenute Irpef in Irpef lavoro autotassazione dip. -0,067 (-3,062) -0,002 (-0,604) Misura dell'output gap (settore privato) Prezzo del petrolio ROE delle banche italiane Tasso di interesse -0,000 (-6,5426) -0,132 (-2,015) 0,115 (5,260) 0,000 (3,811) 0,146 (8,980) -0,052 (-13,247) 0,011 (5,595) 0,011 (5,597) 0,0152 (11,816) 0,031 (11,513) 0,012 (6,629) 0,405 (4,709) 1,309 (8,973) -0,092 (-4,294) Investimenti della PA 0,329 (5,030) 0,962 (3,565) 0,21 (2,247) Consumi PA/consumi privati e pubblici Quota consumi beni durevoli Dummy anno 1983 0,249 (7,714) 0,017 (2,938) Dummy anno 1979 NOTE: Stime OLS. In parentesi t-ratio. 0,039 (6,452) 0,077 (3,189) 0,180 (4,129) Quota pensioni su base Irpef R2 test di autocorrelazione IVA 0,076 (4,670) Grado di progressività dell'Irpef Quota di reddito dal 5% più ricco Totale Indirette -0,047 (-1,803) Dividendi società quotate Inflazione per grado di progressività Irpef 0,033 (-22,611) 0,049 (2,009) 0,005 (8,589) Inflazione Condoni e imposte una tantum Irpeg/Ires 0,009 (3,242) 0,98 0,58 0,989 0,04 0,82 0,10 0,808 0,11 0,98 0,09 0,90 0,16 Tavola 5b - Stima delle aliquote implicite corrette Variabile dipendente Costante Ritenute Irpef lavoro dipendente Irpef versata in autotassazione -0,079 (-2,461) -0,004 (-0,846) Misura dell'output gap (settore privato) Inflazione Condoni e imposte una tantum 0,035 (3,610) 0,051 (1,312) -0,000 (-6,756) 0,016 (7,831) 0,044 (3,009) 0,584 (14,857) Dividendi società quotate 0,029 (7,429) Grado di progressività dell'Irpef Quota pensioni su base Irpef 0,031 (24,068) 0,052 (2,323) -0,024 (-0,603) ROE delle banche italiane Quota di reddito dal 5% più ricco IVA 0,005 (6,036) Prezzo del petrolio Inflazione per grado di progressività Irpef Irpeg/Ires 0,013 (4,703) 1,276 (5,959) -0,075 (-2,380) Investimenti della PA Dummy anno 1983 0,256 (4,958) 0,022 (2,539) Dummy anno 1979 R2 Indice di autocorrelazione NOTE: Stime OLS. In parentesi t-ratio. 0,005 (1,190) 0,98 0,21 0,710 0,007 0,94 0,14 0,78 0,10 Fig.1 - Gettito tributario, misure una tantum e permanenti nel periodo 1978-2006 27.5 Gettito tributario misure una tantum 1.5 condoni tributari 25.0 1.0 22.5 20.0 effettivo depurato delle una tantum depurato delle misure una tantum e permanenti 17.5 1980 1.0 1990 2000 Misure permanenti: imposte dirette inasprimenti del prelievo 0.5 0.5 1980 150 1990 2000 Misure permanenti: imposte indirette sgravi inasprimenti del prelievo 100 0.0 50 -0.5 0 1980 1990 2000 1980 1990 2000 sgravi Fig.2a: Gettito tributario effettivo nel periodo 1978-2006 imposte dirette imposte indirette 12 12 11 11 10 11 10 9 10 1980 10 Irpef: ritenute sul lavoro dipendente 2000 1980 Irpef: autotassazione 2000 1980 Irpeg/Ires 2000 IVA 10 11 9 9 10 8 8 7 1980 2000 9 1980 2000 NB: le serie sono rappresentate in scala logaritmica. 1980 2000 Fig.2b: Gettito tributario depurato delle misure una tantum nel periodo 1978-2006 imposte dirette imposte indirette 12 12 11 11 10 11 10 9 10 1980 10 Irpef: ritenute sul lavoro dipendente 2000 1980 Irpef: autotassazione 2000 1980 Irpeg/Ires 2000 IVA 10 11 9 9 10 8 8 7 1980 2000 9 1980 2000 NB: le serie sono rappresentate in scala logaritmica. 1980 2000 Fig.2c: Gettito tributario depurato delle misure permanenti nel periodo 1978-2006 imposte dirette 12.0 12 imposte indirette Irpef: ritenute sul lavoro dipendente 11 11.5 11 10 11.0 10.5 10 9 10.0 1980 10 2000 1980 Irpef: autotassazione 2000 1980 Irpeg/Ires 2000 IVA 10 11 9 9 8 10 8 7 1980 2000 1980 2000 NB: le serie sono rappresentate in scala logaritmica. 1980 2000 Fig.2d: Gettito tributario effettivo nel periodo 1978-2006 imposte indirette su consumi imposte dirette su PIL 0.150 0.25 Irpef: ritenute (lav. dip.) su monte salari 0.225 0.20 0.125 0.200 0.15 0.100 0.175 0.10 1980 2000 1980 2000 1980 2000 0.06 Irpef: autotassazione su RLG 0.040 Irpeg/Ires su RLG 0.13 IVA su consumi 0.05 0.12 0.04 0.11 0.035 0.03 0.030 0.10 0.02 1980 2000 0.09 1980 2000 1980 2000 NB: le serie sono espresse in rapporto a variabili macroeconomiche usate come proxy della base imponibile. Fig.2e: Gettito tributario depurato delle misure una tantum nel periodo 1978-2006 imposte dirette su PIL 0.14 imposte indirette su consumi 0.25 Irpef: ritenute (lav. dip) su monte salari 0.225 0.20 0.12 0.200 0.15 0.10 0.175 0.10 0.08 1980 2000 1980 2000 1980 2000 0.06 Irpef: autotassazione su RLG 0.040 Irpeg/Ires su RLG 0.13 IVA su consumi 0.05 0.12 0.04 0.11 0.035 0.03 0.030 0.10 0.02 1980 2000 0.09 1980 2000 1980 NB: le serie sono espresse in rapporto a variabili macroeconomiche usate come proxy della base imponibile. 2000 Fig.2f: Gettito tributario depurato delle misure permanenti nel periodo 1978-2006 0.14 0.275 imposte dirette su PIL 0.12 0.25 imposte indirette su consumi Irpef: ritenute (lav. dip.) su monte salari 0.20 0.250 0.15 0.10 0.225 0.10 0.08 0.200 1980 0.035 2000 1980 Irpef: autotassazione su RLG 2000 Irpeg/Ires su RLG 1980 0.130 2000 IVA su consumi 0.05 0.125 0.030 0.120 0.04 0.025 0.115 0.03 0.110 0.020 1980 2000 1980 2000 1980 2000 NB: le serie sono espresse in rapporto a variabili macroeconomiche usate come proxy della base imponibile. Fig.3a: Gettito tributario e componente di trend ritenute 12 12 trend 11 11 11 imposte dirette 10 10 trend 9 10 imposte indirette 1980 2000 1980 trend 2000 1980 2000 10 10 Irpeg/Ires trend 11 9 9 10 8 Irpef IVA trend trend 8 7 1980 2000 9 1980 2000 NB: le serie sono rappresentate in scala logaritmica. 1980 2000 Fig.3b: Gettito tributario depurato delle misure una tantum e componente di trend imposte dirette trend 12 12 11 11 imposte indirette trend 11 10 ritenute 10 9 10 1980 2000 trend 1980 2000 1980 2000 10 10 Irpeg/Ires trend 11 9 9 10 Irpef trend 8 IVA trend 8 7 1980 2000 9 1980 2000 1980 NB: le serie, rappresentate in scala logaritmica, sono depurate delle una tantum 2000 Fig.3c: Gettito tributario depurato delle misure una tantum e permanenti e componente di trend imposte dirette 12.0 trend imposte indirette trend 12 11 11.5 11 10 11.0 ritenute 10.5 10 trend 9 10.0 1980 2000 1980 10 10 Irpeg/Ires 2000 1980 2000 trend 11 9 9 8 Irpef 10 trend IVA trend 8 7 1980 2000 1980 2000 NB: le serie sono rappresentate in scala logaritmica 1980 2000 Fig.3d: Gettito tributario effettivo e componente di trend 0.175 imposte dirette trend trend + dummies 0.225 0.25 imposte indirette trend trend + dummies 0.150 0.20 0.200 0.125 0.15 0.175 ritenute 0.100 trend 0.10 1980 2000 1980 2000 1980 2000 0.06 0.13 0.040 Irpef trend 0.05 0.12 0.04 0.035 Irpeg/Ires trend trend+dummies 0.11 0.03 0.030 0.10 0.02 1980 2000 0.09 1980 2000 IVA 1980 NB: le serie sono espresse in rapporto a variabili macroeconomiche usate come proxy della base imponibile trend 2000 Fig.3e: Gettito tributario depurato delle misure una tantum e componente di trend 0.175 0.150 0.225 imposte dirette trend trend+dummies 0.25 imposte indirette trend trend+dummies 0.20 0.200 0.125 0.15 0.175 0.100 ritenute trend 0.10 1980 Irpef 2000 1980 2000 2000 0.06 trend 0.040 0.05 0.13 Irepg/Ires trend trend+dummies 0.12 0.04 0.11 0.035 0.030 1980 1980 2000 0.03 0.10 0.02 0.09 1980 2000 IVA 1980 NB: le serie sono rappresentate in rapporto a una proxy della base imponibile trend 2000 Fig.3f: Gettito tributario depurato delle misure una tantum e permanenti e componente di trend 0.275 0.150 0.25 imposte dirette trend trend+dummies imposte indirette trend trend+dummies 0.250 ritenute 0.20 trend 0.125 0.15 0.225 0.100 0.10 0.200 0.075 1980 2000 1980 0.035 0.030 Irpeg/Ires 2000 trend trend+dummies 1980 0.13 IVA 0.05 Irpef trend trend+dummies 2000 0.04 trend 0.12 0.025 0.03 0.11 0.020 1980 2000 1980 1990 2000 1980 NB: le serie sono espresse in rapporto a variabili macroeconomiche usate come proxy della base imponibile 1990 2000 Fig.4: Entrate tributarie "corrette" e gettito strutturale (in percentuale del PIL) 27.5 27.0 gettito tributario trend + intervention dummies trend 26.5 26.0 25.5 25.0 24.5 24.0 23.5 1980 1985 1990 1995 2000 NB: le serie sono corrette per le misure una tantum e gli interventi discrezionali. 2005 ELENCO DEI PIÙ RECENTI “TEMI DI DISCUSSIONE” (*) N. 670 – Credit risk and business cycle over different regimes, di Juri Marcucci e Mario Quagliariello (Giugno 2008). N. 671 – Cyclical asymmetry in fiscal variables, di Fabrizio Balassone, Maura Francese e Stefania Zotteri (Giugno 2008). N. 672 – Labour market for teachers: Demographic characteristics and allocative mechanisms, di Gianna Barbieri, Piero Cipollone e Paolo Sestito (Giugno 2008). N. 673 – Output growth volatility and remittances, di Matteo Bugamelli e Francesco Paternò (Giugno 2008). N. 674 – Agglomeration within and between regions: Two econometric based indicators, di Valter Di Giacinto e Marcello Pagnini (Giugno 2008). N. 675 – Service regulation and growth: Evidence from OECD countries, di Guglielmo Barone e Federico Cingano (Giugno 2008). N. 676 – Has globalisation changed the Phillips curve? Firm-level evidence on the effect of activity on prices, di Eugenio Gaiotti (Giugno 2008). N. 677 – Forecasting inflation and tracking monetary policy in the euro area: Does national information help? di Riccardo Cristadoro, Fabrizio Venditti e Giuseppe Saporito (Giugno 2008). N. 678 – Monetary policy effects: New evidence from the Italian flow of funds, di Riccardo Bonci e Francesco Columba (Giugno 2008). N. 679 – Does the expansion of higher education increase the equality of educational opportunities? Evidence from Italy, di Massimiliano Bratti, Daniele Checchi e Guido de Blasio (Giugno 2008). N. 680 – Family succession and firm performance: Evidence from Italian family firms, di Marco Cucculelli e Giacinto Micucci (Giugno 2008). N. 681 – Short-term interest rate futures as monetary policy forecasts, di Giuseppe Ferrero e Andrea Nobili (Giugno 2008). N. 682 – Vertical specialisation in Europe: Evidence from the import content of exports, di Emanuele Breda, Rita Cappariello e Roberta Zizza (Agosto 2008). N. 683 – A likelihood-based analysis for relaxing the exclusion restriction in randomized experiments with imperfect compliance, di Andrea Mercatanti (Agosto 2008). N. 684 – Balancing work and family in Italy: New mothers' employment decisions after childbirth, di Piero Casadio, Martina Lo Conte e Andrea Neri (Agosto 2008). N. 685 – Temporal aggregation of univariate and multivariate time series models: A survey, di Andrea Silvestrini e David Veredas (Agosto 2008). N. 686 – Exploring agent-based methods for the analysis of payment systems: A crisis model for StarLogo TNG, di Luca Arciero, Claudia Biancotti, Leandro D'Aurizio e Claudio Impenna (Agosto 2008). N. 687 – The labor market impact of immigration in Western Germany in the 1990's, di Francesco D'Amuri, Gianmarco I. P. Ottaviano e Giovanni Peri (Agosto 2008). N. 688 – Agglomeration and growth: the effects of commuting costs, di Antonio Accetturo (Settembre 2008). N. 689 – A beta based framework for (lower) bond risk premia, di Stefano Nobili e Gerardo Palazzo (Settembre 2008). N. 690 – Nonlinearities in the dynamics of the euro area demand for M1, di Alessandro Calza e Andrea Zaghini (Settembre 2008). N. 691 – Educational choices and the selection process before and after compulsory schooling, di Sauro Mocetti (Settembre 2008). N. 692 – Investors’ risk attitude and risky behavior: a Bayesian approach with imperfect information, di Stefano Iezzi (Settembre 2008). N. 693 – Competing influence, di Enrico Sette (Settembre 2008). (*) I “Temi” possono essere richiesti a: Banca d’Italia – Servizio Studi di struttura economica e finanziaria – Divisione Biblioteca e Archivio storico – Via Nazionale, 91 – 00184 Roma – (fax 0039 06 47922059). Essi sono disponibili sul sito Internet www.bancaditalia.it. PUBBLICAZIONE ESTERNA DI LAVORI APPARSI NEI "TEMI" 2006 F. BUSETTI, Tests of seasonal integration and cointegration in multivariate unobserved component models, Journal of Applied Econometrics, Vol. 21, 4, pp. 419-438, TD No. 476 (giugno 2003). C. BIANCOTTI, A polarization of inequality? The distribution of national Gini coefficients 1970-1996, Journal of Economic Inequality, Vol. 4, 1, pp. 1-32, TD No. 487 (marzo 2004). L. CANNARI e S. CHIRI, La bilancia dei pagamenti di parte corrente Nord-Sud (1998-2000), in L. Cannari, F. Panetta (a cura di), Il sistema finanziario e il Mezzogiorno: squilibri strutturali e divari finanziari, Bari, Cacucci, TD No. 490 (marzo 2004). M. BOFONDI e G. GOBBI, Information barriers to entry into credit markets, Review of Finance, Vol. 10, 1, pp. 39-67, TD No. 509 (luglio 2004). W. FUCHS e LIPPI F., Monetary union with voluntary participation, Review of Economic Studies, Vol. 73, pp. 437-457 TD No. 512 (luglio 2004). E. GAIOTTI e A. SECCHI, Is there a cost channel of monetary transmission? An investigation into the pricing behaviour of 2000 firms, Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 38, 8, pp. 2013-2038 TD No. 525 (dicembre 2004). A. BRANDOLINI, P. CIPOLLONE e E. VIVIANO, Does the ILO definition capture all unemployment?, Journal of the European Economic Association, Vol. 4, 1, pp. 153-179, TD No. 529 (dicembre 2004). A. BRANDOLINI, L. CANNARI, G. D’ALESSIO e I. FAIELLA, Household wealth distribution in Italy in the 1990s, in E. N. Wolff (a cura di) International Perspectives on Household Wealth, Cheltenham, Edward Elgar, TD No. 530 (dicembre 2004). P. DEL GIOVANE e R. SABBATINI, Perceived and measured inflation after the launch of the Euro: Explaining the gap in Italy, Giornale degli economisti e annali di economia, Vol. 65, 2, pp. 155192, TD No. 532 (dicembre 2004). M. CARUSO, Monetary policy impulses, local output and the transmission mechanism, Giornale degli economisti e annali di economia, Vol. 65, 1, pp. 1-30, TD No. 537 (dicembre 2004). L. GUISO e M. PAIELLA, The role of risk aversion in predicting individual behavior, In P. A. Chiappori e C. Gollier (a cura di) Competitive Failures in Insurance Markets: Theory and Policy Implications, Monaco, CESifo, TD No. 546 (febbraio 2005). G. M. TOMAT, Prices product differentiation and quality measurement: A comparison between hedonic and matched model methods, Research in Economics, Vol. 60, 1, pp. 54-68, TD No. 547 (febbraio 2005). L. GUISO, M. PAIELLA e I. VISCO, Do capital gains affect consumption? Estimates of wealth effects from Italian household's behavior, in L. Klein (a cura di), Long Run Growth and Short Run Stabilization: Essays in Memory of Albert Ando (1929-2002), Cheltenham, Elgar, TD No. 555 (giugno 2005). F. BUSETTI, S. FABIANI e A. HARVEY, Convergence of prices and rates of inflation, Oxford Bulletin of Economics and Statistics, Vol. 68, 1, pp. 863-878, TD No. 575 (febbraio 2006). M. CARUSO, Stock market fluctuations and money demand in Italy, 1913 - 2003, Economic Notes, Vol. 35, 1, pp. 1-47, TD No. 576 (febbraio 2006). S. IRANZO, F. SCHIVARDI e E. TOSETTI, Skill dispersion and productivity: An analysis with matched data, CEPR Discussion Paper, 5539, TD No. 577 (febbraio 2006). R. BRONZINI e G. DE BLASIO, Evaluating the impact of investment incentives: The case of Italy’s Law 488/92. Journal of Urban Economics, Vol. 60, 2, pp. 327-349, TD No. 582 (marzo 2006). R. BRONZINI e G. DE BLASIO, Una valutazione degli incentivi pubblici agli investimenti, Rivista Italiana degli Economisti, Vol. 11, 3, pp. 331-362, TD No. 582 (marzo 2006). A. DI CESARE, Do market-based indicators anticipate rating agencies? Evidence for international banks, Economic Notes, Vol. 35, pp. 121-150, TD No. 593 (maggio 2006). R. GOLINELLI e S. MOMIGLIANO, Real-time determinants of fiscal policies in the euro area, Journal of Policy Modeling, Vol. 28, 9, pp. 943-964, TD No. 609 (dicembre 2006). 2007 S. SIVIERO e D. TERLIZZESE, Macroeconomic forecasting: Debunking a few old wives’ tales, Journal of Business Cycle Measurement and Analysis , v. 3, 3, pp. 287-316, TD No. 395 (febbraio 2001). S. MAGRI, Italian households' debt: The participation to the debt market and the size of the loan, Empirical Economics, v. 33, 3, pp. 401-426, TD No. 454 (ottobre 2002). L. CASOLARO. e G. GOBBI, Information technology and productivity changes in the banking industry, Economic Notes, Vol. 36, 1, pp. 43-76, TD No. 489 (marzo 2004). G. FERRERO, Monetary policy, learning and the speed of convergence, Journal of Economic Dynamics and Control, v. 31, 9, pp. 3006-3041, TD No. 499 (giugno 2004). M. PAIELLA, Does wealth affect consumption? Evidence for Italy, Journal of Macroeconomics, Vol. 29, 1, pp. 189-205, TD No. 510 (luglio 2004). F. LIPPI. e S. NERI, Information variables for monetary policy in a small structural model of the euro area, Journal of Monetary Economics, Vol. 54, 4, pp. 1256-1270, TD No. 511 (luglio 2004). A. ANZUINI e A. LEVY, Monetary policy shocks in the new EU members: A VAR approach, Applied Economics, Vol. 39, 9, pp. 1147-1161, TD No. 514 (luglio 2004). D. JR. MARCHETTI e F. Nucci, Pricing behavior and the response of hours to productivity shocks, Journal of Money Credit and Banking, v. 39, 7, pp. 1587-1611, TD No. 524 (dicembre 2004). R. BRONZINI, FDI Inflows, agglomeration and host country firms' size: Evidence from Italy, Regional Studies, Vol. 41, 7, pp. 963-978, TD No. 526 (dicembre 2004). L. MONTEFORTE, Aggregation bias in macro models: Does it matter for the euro area?, Economic Modelling, 24, pp. 236-261, TD No. 534 (dicembre 2004). A. NOBILI, Assessing the predictive power of financial spreads in the euro area: does parameters instability matter?, Empirical Economics, Vol. 31, 1, pp. 177-195, TD No. 544 (febbraio 2005). A. DALMAZZO e G. DE BLASIO, Production and consumption externalities of human capital: An empirical study for Italy, Journal of Population Economics, Journal of Population Economics, Vol. 20, 2, pp. 359-382, TD No. 554 (giugno 2005). M. BUGAMELLI e R. TEDESCHI, Le strategie di prezzo delle imprese esportatrici italiane, Politica Economica, v. 23, 3, pp. 321-350, TD No. 563 (novembre 2005). L. GAMBACORTA e S. IANNOTTI, Are there asymmetries in the response of bank interest rates to monetary shocks?, Applied Economics, v. 39, 19, pp. 2503-2517, TD No. 566 (novembre 2005). P. ANGELINI e F. LIPPI, Did prices really soar after the euro cash changeover? Evidence from ATM withdrawals, International Journal of Central Banking,, Vol. 3, 4, pp. 1-22, TD No. 581 (marzo 2006). A. LOCARNO, Imperfect knowledge, adaptive learning and the bias against activist monetary policies, International Journal of Central Banking, v. 3, 3, pp. 47-85, TD No. 590 (maggio 2006). F. LOTTI e J. MARCUCCI, Revisiting the empirical evidence on firms' money demand, Journal of Economics and Business, Vol. 59, 1, pp. 51-73, TD No. 595 (maggio 2006). P. CIPOLLONE e A. ROSOLIA, Social interactions in high school: Lessons from an earthquake, American Economic Review, Vol. 97, 3, pp. 948-965, TD No. 596 (settembre 2006). L. DEDOLA e S. NERI, What does a technology shock do? A VAR analysis with model-based sign restrictions, Journal of Monetary Economics, Vol. 54, 2, pp. 512-549, TD No. 607 (dicembre 2006). A. BRANDOLINI, Measurement of income distribution in supranational entities: The case of the European Union, in S. P. Jenkins e J. Micklewright (eds.), Inequality and Poverty Re-examined, Oxford, Oxford University Press, TD No. 623 (aprile 2007). M. PAIELLA, The foregone gains of incomplete portfolios, Review of Financial Studies, Vol. 20, 5, pp. 1623-1646, TD No. 625 (aprile 2007). K. BEHRENS, A. R. LAMORGESE, G.I.P. OTTAVIANO e T. TABUCHI, Changes in transport and non transport costs: local vs. global impacts in a spatial network, Regional Science and Urban Economics, Vol. 37, 6, pp. 625-648, TD No. 628 (aprile 2007). G. ASCARI e T. ROPELE, Optimal monetary policy under low trend inflation, Journal of Monetary Economics, v. 54, 8, pp. 2568-2583, TD No. 647 (novembre 2007). R. GIORDANO, S. MOMIGLIANO, S. NERI e R. PEROTTI, The Effects of Fiscal Policy in Italy: Evidence from a VAR Model, European Journal of Political Economy, Vol. 23, 3, pp. 707-733, TD No. 656 (dicembre 2007). G. BARBIERI, P. CIPOLLONE and P. SESTITO, Labour market for teachers: demographic characteristics and allocative mechanisms, Giornale degli economisti e annali di economia, v. 66, 3, pp. 335-373, TD No. 672 (June 2008). E. BREDA, R. CAPPARIELLO e R. ZIZZA, Vertical specialisation in Europe: evidence from the import content of exports, Rivista di politica economica, numero monografico, TD No. 682 (agosto 2008). 2008 P. ANGELINI, Liquidity and announcement effects in the euro area, Giornale degli Economisti e Annali di Economia, v. 67, 1, pp. 1-20, TD No. 451 (ottobre 2002). F. SCHIVARDI e R. TORRINI, Identifying the effects of firing restrictions through size-contingent Differences in regulation, Labour Economics, v. 15, 3, pp. 482-511, TD No. 504 (giugno 2004). C. BIANCOTTI, G. D'ALESSIO e A. NERI, Measurement errors in the Bank of Italy’s survey of household income and wealth, Review of Income and Wealth, v. 54, 3, pp. 466-493, TD No. 520 (ottobre 2004). S. MOMIGLIANO, J. HENRY e P. HERNÁNDEZ DE COS, The impact of government budget on prices: Evidence from macroeconometric models, Journal of Policy Modelling, v. 30, 1, pp. 123-143 TD No. 523 (ottobre 2004). L. GAMBACORTA, How do banks set interest rates?, European Economic Review, v. 52, 5, pp. 792-819, TD No. 542 (febbraio 2005). P. ANGELINI e A. GENERALE, On the evolution of firm size distributions, American Economic Review, v. 98, 1, pp. 426-438, TD No. 549 (giugno 2005). S. DI ADDARIO e E. PATACCHINI, Wages and the city. Evidence from Italy, v.15, 5, pp. 1040-1061, Labour Economics, TD No. 570 (gennaio 2006). S. FEDERICO e G. A. MINERVA, Outward FDI and local employment growth in Italy, Review of World Economics, v. 144, 2 , pp. 295-324, TD No. 613 (febbraio 2007). F. BUSETTI e A. HARVEY, Testing for trend, Econometric Theory, v. 24, 1, pp. 72-87, TD No. 614 (febbraio 2007). V. CESTARI, P. DEL GIOVANE and C. ROSSI-ARNAUD, Memory for Prices and the Euro Cash Changeover: An Analysis for Cinema Prices in Italy, In P. Del Giovane e R. Sabbatini (eds.), The Euro Inflation and Consumers’ Perceptions. Lessons from Italy, Berlin-Heidelberg, Springer, TD No. 619 (febbraio 2007). J. SOUSA e A. ZAGHINI, Monetary Policy Shocks in the Euro Area and Global Liquidity Spillovers, International Journal of Finance and Economics, v.13, 3, pp. 205-218, TD No. 629 (giugno 2007). M. DEL GATTO, GIANMARCO I. P. OTTAVIANO e M. PAGNINI, Openness to trade and industry cost dispersion: Evidence from a panel of Italian firms, Journal of Regional Science, v. 48, 1, pp. 97129, TD No. 635 (giugno 2007). P. DEL GIOVANE, S. FABIANI e R. SABATINI, What’s behind “inflation perceptions”? A survey-based analysis of Italian consumers, in P. Del Giovane e R. Sabbatini (eds.), The Euro Inflation and Consumers’ Perceptions. Lessons from Italy, Berlin-Heidelberg, Springer, TD No. 655 (gennaio 2008). B. BORTOLOTTI, e P. PINOTTI, Delayed privatization, Public Choice, v. 136, 3-4, pp. 331-351, TD No. 663 (aprile 2008). R. BONCI e F. COLUMBA, Monetary policy effects: New evidence from the Italian flow of funds, Applied Economics, v. 40, 21, pp. 2803-2818, TD No. 678 (giugno 2008). M. CUCCULELLI, e G. MICUCCI, Family Succession and firm performance: evidence from Italian family firms, Journal of Corporate Finance, v. 14, 1, pp. 17-31, TD No. 680 (giugno 2008). FORTHCOMING P. ANGELINI, P. DEL GIOVANE, S. SIVIERO e D. TERLIZZESE, Monetary policy in a monetary union: What role for regional information?, International Journal of Central Banking, TD No. 457 (dicembre 2002). L. MONTEFORTE e S. SIVIERO, The Economic Consequences of Euro Area Modelling Shortcuts, Applied Economics, TD No. 458 (dicembre 2002). L. GUISO e M. PAIELLA,, Risk aversion, wealth and background risk, Journal of the European Economic Association, TD No. 483 (settembre 2003). R. FELICI e M. PAGNINI, Distance, bank heterogeneity and entry in local banking markets, The Journal of Industrial Economics, TD No. 557 (giugno 2005). M. BUGAMELLI e A. ROSOLIA, Produttività e concorrenza estera, Rivista di politica economica, TD No. 578 (febbraio 2006). M. PERICOLI e M. TABOGA, Canonical term-structure models with observable factors and the dynamics of bond risk premia, Journal of Money, Credit and Banking, TD No. 580 (febbraio 2006). E. VIVIANO, Entry regulations and labour market outcomes. Evidence from the Italian retail trade sector., Labour Economics, TD No. 594 (maggio 2006). R. BRONZINI e P. PISELLI, Determinants of long-run regional productivity with geographical spillovers: the role of R&D, human capital and public infrastructure, Regional Science and Urban Economics, TD No. 597 (setttembre 2006). U. ALBERTAZZI e L. GAMBACORTA, Bank profitability and the business cycle, Journal of Financial Stability, TD No. 601 (settembre 2006). M. BUGAMELLI, Prezzi delle esportazioni, qualità dei prodotti e caratteristiche di impresa: analisi su un campione di imprese italiane, Economia e Politica Industriale, TD No. 634 (giugno 2007). A. CIARLONE, P. PISELLI e G. TREBESCHI, Emerging Markets' Spreads and Global Financial Conditions, Journal of International Financial Markets, Institutions & Money, TD No. 637 (giugno 2007). S. MAGRI, The financing of small innovative firms: The Italian case, Economics of Innovation and New Technology, TD No. 640 (settembre 2007). L. FORNI, L. MONTEFORTE e L. SESSA, The general equilibrium effects of fiscal policy: Estimates for the euro area, Journal of Public Economics, TD No. 652 (novembre 2007). L. ARCIERO, C. BIANCOTTI, L. D'AURIZIO e C. IMPENNA, Exploring agent-based methods for the analysis of payment systems: A crisis model for StarLogo TNG, Journal of Artificial Societies and Social Simulation, TD No. 686 (agosto 2008). WP/08/175 Inflation Smoothing and the Modest Effect of VAT in Germany Alina Carare and Stephan Danninger © 2008 International Monetary Fund WP/08/175 IMF Working Paper European Department Inflation Smoothing and the Modest Effect of VAT in Germany Prepared by Alina Carare and Stephan Danninger Authorized for distribution by Ashoka Mody July 2008 Abstract This Working Paper should not be reported as representing the views of the IMF. The views expressed in this Working Paper are those of the author(s) and do not necessarily represent those of the IMF or IMF policy. Working Papers describe research in progress by the author(s) and are published to elicit comments and to further debate. Increases in German core inflation following the 2007 VAT hike were smaller than expected, leading to speculation about delayed inflationary effects. This paper argues to the contrary that price increases in advance of the VAT hike explain the small increase upon implementation. We find that core inflation rose by 0.36 percentage point in the run up and by a further 0.40 percentage point at the time of the VAT hike. Cumulatively, the tax hike contributed to two thirds of the increase in core inflation in 2006-07 at an estimated passthrough of 73 percent. Most of the increase in 2006 was of general nature, while about one sixth can be attributed to durable goods and items with low degree of competition. JEL Classification Numbers: E31 Keywords: Inflation, VAT Author’s E-Mail Address: [email protected];[email protected] 2 Contents Page I. Introduction......................................................................................................................3 II. Stylized Facts and Rationale for Inflation Smoothing.....................................................4 III. Empirical Analysis...........................................................................................................9 IV. Conclusions....................................................................................................................17 References................................................................................................................................18 Appendix..................................................................................................................................19 I. Data ................................................................................................................................19 II. Method ...........................................................................................................................19 III. Calculating The Effect on Core Inflation.......................................................................20 3 I. Introduction Germany’s 3 percentage point increase in the value-added tax (VAT) rate in January 2007 was one of the largest such hikes in industrial countries. The size of the increase and the long announcement period—about 13 months—heightened uncertainty about its likely impact on inflation. The rate hike took also place amidst a nascent economic recovery, rapid gains in employment, and rising oil and food prices. Taken together these developments raised the specter of compounding inflationary pressures with lasting consequences for price stability, yet the actual increase was much lower than feared. Understanding the inflationary effects of Germany’s VAT hike is also of interest from an international perspective. Because many advanced economies have experienced eroding direct tax bases as labor and capital have become more mobile (e.g. EU Commission 2006), many governments are considering a shift towards higher indirect taxation. Understanding the macroeconomic implications of such a move is hence key to assessing the success of this strategy. Most studies, which have addressed this question, could not draw information from actual experiences and hence relied on the analysis of expectations or known behavior (Bundesbank, 2006, Royal Bank of Scotland, 2006) or focused on effect on headline inflation (Bundesbank, 2008), which was overlaid by ongoing food and energy-price developments. Increases of core inflationin Germany in 2007 turned out to be more modest than expected, but some observers remained concerned throughout 2007 that the inflationary effects could have been delayed (e.g. Bundesbank, 2007, May bulletin, p. 54). We argue to the contrary. The effects of the VAT rate increase were largely complete soon after implementation, because price increases were phased in already during 2006 in anticipation of the VAT hike. We call this effect “inflation smoothing”. As consumers brought purchases forward to avoid the higher expected prices in 2007, suppliers were able to increase prices incrementally to take advantage of the greater demand. This was especially the case for durable goods. Because of this anticipatory behavior, prices rose more gradually than anticipated. This also explains why core inflation in 2007 after January did not rise by as much as anticipated. Overall, we find that the pass-through of higher VAT rates to consumers was rather limited. However producers of items where demand was captive, such as durable goods, were able to take advantage of consumption shifting. We have reached these conclusions by using the following empirical strategy. We explore whether the inflation dynamics among CPI items liable to the VAT hike differs from the dynamics of non-VAT items prior and post implementation. The paper argues that any systematic inflationary discrepancies between these two items, which cannot be accounted by several key factors, such as shifts in demand, time-specific and seasonal effects, administrative or policy one-off effects are likely due to the announcement of the VAT hike. Similarly, any systematic difference at the time of implementation and post implementation provides information about the pass-through or lagged price increases. 4 A key feature of this study is a focus on core inflation. The interest in using core rather than headline inflation is twofold. First, VAT is primarily affecting core inflation, as it is not applied to a vast majority of food prices, and some energy prices. Second, at least in Germany, core inflation remains a good indicator of underlying inflation (see text chart below) and hence serves well in gauging changes in inflation expectations. Earlier studies on the inflation effect of VAT or other sales tax changes focused on selective price increases and tax shifting in advanced economies (Katz and Rosen 1985; Stern 1987; and Besley 1989). A more recent study focused on the asymmetric price responses to VAT changes in France (Carbonnier, 2007). Therefore little is known about inflation effects during the announcement period. Our study presents a simple, systematic way of looking at the announcement effects of a large VAT hike. Theoretical models of inflation (Mankiw and Reiss, 2002) and imperfect competition pinned down the intuition, while the results are consistent with the empirical findings from price setting literature and other recent findings of the effect of VAT on inflation in Germany (Royal Bank of Scotland, 2006, Bundebsank, 2008). Our empirical results explains well the stylized facts, and are robust to different specification and estimation methods. The paper is structured as follow. Section II discusses inflation and demand developments around the time of the VAT hike and outlines the plan of our empirical analysis. Section III calculates the rise in core inflation due to the VAT increase, identifying the timing of the increase and the products that experienced higher-than-average price increases. Section IV concludes. II. Stylized Facts and Rationale for Inflation Smoothing The 2007 VAT hike offers a unique opportunity to analyze price setting behavior in the context of a large known price shock. The stylized facts presented below show that a significant part of the inflation effect may have occurred in the period prior to the hike. This is surprising, but consistent with the notion that the inflation effects were muted, because price effects may have been spread out over a longer period of time. The reasons for price increases in advance of the hike are discussed below. They could either be related to the observed pattern of consumption shifting in an environment of limited competition or they may be explained by price setting behavior in the context of an anticipated and known price shock. Stylized facts The VAT hike was announced in December 2005 and ratified by Parliament in mid 2007. The tax hike was to affect all items liable to the standard rate of 16 percent and hence did not affect items under the reduced rate such as basic food or books and entertainment. At a full and immediate pass-through the VAT rate increase would have implied a 2.6 percentage point jump in prices of the affected items. With three-fifths of the items in the consumer price index (CPI) basket affected (the VAT items), the full impact on the consumer price index would have been 1.4 percentage points (Bundesbank, 2006). However not all 5 producers were expected to pass on the VAT increase fully to consumers, so that the actual effect was assumed to be smaller (Royal Bank of Scotland, 2006). Ex post, the following developments transpired: • Core inflation rose steadily in 2006 and then jumped in January 2007. Throughout 2007, a further rise occurred in April due to administrative increases in education costs. Importantly, once this special effect is taken into account, core inflation in the second half of 2007 declined significantly, pointing to a base effect related to price increases in the second half of 2006. Throughout the year though, trends in headline inflation overshadowed these more subtle trends. The large increase oil and food prices worldwide in September 2007 dominated inflation trends, but is unrelated to the VAT hike. 4.0 HICP Inflation Rates Germany (Annual Percent Change) 3.5 3.0 Overall 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 Core without energy and food 0.0 Jan-08 Jan-07 Jan-06 Jan-05 Jan-04 Jan-03 Jan-02 Jan-01 Jan-00 Jan-99 Jan-98 Another key stylized fact relates to German specific price developments in 2006. A comparison of German and euro area wide inflation data shows that German prices in 2006 rose more rapidly than prices of a comparable basket of goods and services, especially so for VAT items. Price Increase Comparison: Germany and Euro Area (excl. Germany) Inflation of VAT and Non-VAT Core Items (Percent; excluding tobbaco, energy, fruit, vegetables, education, and package holidays) 3.50 Germany Euro Area (Excl. Germany) 3.00 VAT Jan-08 Sep-07 Jan-07 May-07 Sep-06 -0.50 May-06 -0.50 Jan-06 0.00 Jan-08 0.00 Sep-07 0.50 May-07 0.50 Jan-07 1.00 Sep-06 1.00 May-06 1.50 Jan-06 1.50 May-05 2.00 Sep-05 2.00 Sep-05 2.50 Non-VAT 2.50 May-05 3.00 Jan-05 3.50 Jan-05 • Jan-97 Jan-96 -0.5 6 • Developments in inflation were mirrored by developments on the demand side. German households engaged in intertemporal consumption shifting by bringing purchases forward. Consumption increased 2.2 percent in the last quarter of 2006 over the same period of the previous year. This increase was the strongest in December and more pronounced for cars and other durables than for other goods and services. As a result consumption contracted by 0.5 percent in the first quarter of 2007 (both figures in annualized terms). 12 3.0 2.5 2.0 Aggregate Consumption Growth Rate (year on year; seasonally adjusted) Selected Items Consumption Growth Rate (year on year) 9 6 1.5 3 1.0 0 0.5 Furniture, household equipment -3 0.0 Cars and transportation -6 -0.5 Series5 Restaurants and hotels 2007q2 2007q1 2006q4 2006q3 2006q2 2007q2 2007q1 2006q4 2006q3 2006q2 2006q1 2006q1 -9 -1.0 Taken together the above stylized facts suggest a link between change in core inflation in 2006 and the anticipated VAT rate increase. However, a recovering economy could have also contributed to the increase in prices 2006: • Throughout 2006 and 2007 the output gap closed or moved into positive territory and was accompanied by strong employment growth. Output grew faster than in the euro area and was mainly driven by domestic investment activity and gains in net export. • Another potential explanation could have been a special 2006 World Cup effect, which may have given a boost to service sector demand and potentially affected price increases. Both hypotheses will be explored in the empirical section. However before turning to the econometric analysis, we first present the incentives for price smoothing. Rationale for inflation smoothing The long announcement period of the VAT hike offers different reasons why inflation increased prior to the actual implementation of the rate change. Rather than deriving and testing a specific model, this section lays out two different rationales, which are later tested. Staggered price setting due to sticky information. In this model firms continuously update their information sets regarding aggregate demand conditions and competitors’ prices. Since not all firms adjust their prices every period, because gathering information and altering 7 prices is costly, price adjustments are staggered (Mankiw and Reis, 2002). 1 As a result the announcement of the VAT hike could lead to larger than otherwise planned increases— especially if intervals between price adjustments are large—since this minimizes the chances that prices are misaligned in the period after the VAT hike implementation. If this motive dominates for a large number of firms, CPI inflation should increase before the tax hike. However, the opposite could also occur: if firms can change prices frequently, a postponement of price increases until implementation may be optimal. Hence in this sticky information model, announcement matters for the path of output and inflation, and the announcement may create different incentives for price adjustment, and an inflation smoothing path. 2 Moreover, in this model vigorous economic activity is positively correlated with rising inflation. Hence, it is important to test both these hypotheses and see how much of the 2006 price increase is due to the VAT announcement, rather than to the output gap closing. Recent empirical research on price setting behavior gives some indications that price setting is sluggish, as this staggered price model would require. Dhyne and others (2005) find that the frequency of price changes in Germany is among the lowest across for all five types of products studied, among ten Euro area countries (Austria, Belgium, Germany, Spain, Finland, France, Italy, Luxembourg, Netherlands, Portugal). Price changes in Germany last two years, and are ten percent on average. However, as there is also evidence that the frequency of price changes is variable, and increases due to major economic events, one needs to study another rationale for inflation smoothing besides staggered price setting which leads to sluggish prices. For example, price changes increased considerably before the introduction of the euro currency, and in the run up to the 2007 VAT hike. As the frequency of price changes increased differently for goods (in the second half of 2006), than for services (in January 2007, Bundesbank, 2007), one needs to test also for imperfect competition and consumption shifting. 3 1 Firms also care about the overall price level and, therefore, need to consider what information other firms have. Even an informed firm will not adjust its price much to the change in aggregate demand until many other firms have also learned of it. 2 Every firm sets its price every period, but firms gather information and recompute optimal prices slowly over time. In each period, a fraction of firms obtains new information about the state of the economy and computes a new path of optimal prices. Other firms continue to set prices based on old plans and outdated information. Information arrival is assumed to be analogous to the adjustment assumption in Calvo (1983): each firm has the same probability of being one of the firms updating their pricing plans, regardless of how long it has been since its last update. Therefore the price xt set by a firm at time t is a weighted average of current and expected future values of the target price p* which can be summarized as: xt = α*Σj∞ βj Et pt+j* where α and βt are functions of the exogenous adjustment probability and a discount factor. If therefore the expected future target prices rises due to an exogenous shock—such as the announcement of a VAT hike, firms who have the opportunity to adjust prices before its actual implementation will already adjust towards the new target price in order to minimize the expected difference between the new future target price and the actual price, in order to avoid a too low a price after the VAT is implemented. Hence firms increase the prices when an opportunity arrives, and a fraction of firms will change prices each period, leading to an inflation smoothing effect. 3 This rise in frequency of price increases in goods associated with the VAT hike was about eight percent in the second half of 2006, and ten percent in January 2007, compared to below five percent for the period 2003-2005. (continued…) 8 Imperfect competition and consumption smoothing. During the announcement phase, firms may be able to take advantage of intertemporal consumption shifting by consumers. This requires that competition is limited and suppliers face a downward sloping demand curve. The reason is as follows: since consumers anticipate that part of any tax increase will be passed on to them, the announcement of the VAT hike will generate a temporary shift in demand. 4 This rise in demand allows firm to extract a higher rents via higher prices. These effects should be larger the lower the competitive conditions and the larger the shift in demand (e.g. durable goods versus perishable goods). Figure 1. Monopolistic Pricing and the Effect of Consumption Shifting Durable good: j pj** pi** p* MRj MRi Demand shift Before announcement Figure 1 illustrates this conjecture. Assume p* depicts the price of a consumer good prior to the announcement of the VAT hike. Assume further that the demand curve for an individual firm is downward sloping since is supplied under monopolistic competition. The announcement of the VAT hike leads to consumption smoothing and hence shifts the demand curve for item i out during the announcement period. The new equilibrium price for this commodity rises to pi** as firms charge the higher monopolistic price. Using the same argument, the price increase during the announcement period is larger for items which experience larger demand shifts, such as less frequently purchased durable goods j—as Price decreases occurred more often as well; an increase of seven percent in the frequency of price decreases was observed in January 2007. 4 The intertemporal effect of a change in VAT can be illustrated by the Euler equation which shows that if in the future the VAT rate is higher, the household will bring forward spending by choosing a higher value for consumption today: ⎡ u ( C ,1 − N ) (1 + τ tC ) Pt ⎤ t +1 ⎥ =1 β Rt Et ⎢ C t +1 C ⎢⎣ uC ( Ct ,1 − N t ) (1 + τ t +1 ) Pt +1 ⎥⎦ 9 depicted by the new equilibrium price pj**—or in environment with less competition which would be reflected by a steeper demand curve (not shown). On the other hand, in an environment of high competition, advanced price increases may be small and the passthrough to consumers more limited (Carbonnier, 2007). 5 Both explanations provide a rationale for inflation smoothing. The sticky information model of staggered price setting assumes that firms can change prices only infrequently. Hence high costs of altering prices may lead to some smoothing of the price effect. The second explanation on the other hand relies on the interaction of consumption shifting and elastic individual demand curves. Both these explanations are plausible and are explored by testing for differentiated price effects with respect to the degree of competition and the size of the demand shock III. Empirical Analysis This section explores whether the inflation dynamics among CPI items liable to the VAT hike differs from non-VAT items prior and post implementation. The paper argues that any systematic inflationary discrepancies between these two groups of CPI items prior to 2007, which cannot be accounted by standard explanatory factors, are due to the announcement of the VAT hike. Similarly, differences in inflation rates between VAT and non-VAT items at the time of implementation and post implementation provide information about the passthrough and delayed price increases. Empirical strategy and data To test the above hypotheses we develop a monthly panel of annual inflation rates for twodigit items of the harmonized consumer price index (HICP) in Germany covering the period 2005m1 to 2008m1. 6 The empirical specification models the inflation rate for commodity i of the HICP basket at time t. The annual inflation rate for an commodity item, p& ti , is estimated both as a static and a dynamic panel (with lagged inflation pt-1,i): pt,i = f(pt-1,i , Xit,,Yi,, Zt GΣj,) controlling for three types of effects: time varying item specific effects (Xi such as euro are wide inflation trends), individual and time fixed effects (Yi, Zt: such as aggregate demand pressures). The hypothesis of a VAT announcement effect is estimated by including a group 5 Carbonnier (2007) showed that in a closed oligopoly the benefits of a VAT decrease—e.g. effects of France 1987 VAT cut for the primary automobile market—are only partly passed on to consumers (less than fifty percent), with the producers enjoying the rest. He also shows that under competitive condition, such as in the household repairs services market, the 1999 VAT decrease was passed through to consumers by seventy seven percent. Most of these pass through happened primarily in the first two months of the tax reform. 6 As of January 1st 2008 HICP data have been rebased to 2005=100, and back calculated only for a few years. 10 specific effect GΣj, which aim to capture the tax policy announcement effects on items liable to the VAT hike (Σj). Two digit level data were chosen because they allow sufficient differentiation in inflation dynamics price setting behavior across items. At the same time they are sufficiently aggregated to facilitate the estimation of effects on aggregate core inflation. Table A1 in the appendix lists all 53 commodity items with their respective HICP weights and whether they are considered durable and affected by the VAT hike. The values for the latter measure vary between 0 and 1 depending on the share of goods within a specific commodity item, which are affected by the VAT hike. Since the study focuses on core inflation the two energy related items 19 and 32 were dropped from the analysis. Furthermore, given their high volatility seasonal goods (fruit, vegetable, package holidays), and tobacco were dropped leaving a total of 45 items with a weight of 80 percent of the overall HICP. An important objective of our study is to trace out the effects of the VAT hike on aggregate core inflation. This is done by estimating different inflation trends for VAT items and nonVAT items. Since individual item-inflation rates are aggregated into the HICP index based on individual weights, the estimation approach needs to be cognizant of the aggregation method. Hence, in order to arrive at an aggregate measure the empirical model estimates weighted inflation rates. By weighing the inflation rates of each individual item by its weight in the HICP basket, an average VAT group effect is estimated which avoids being driven by inflation trends of items with small weights. 7 The rationale for this approach and the definition of the dependent variable are discussed in the appendix. We use the following general control variables in our model: • Euro area wide inflation effects. To control for regional inflation trends, item by item inflation rates were computed for the euro area excluding Germany. This was achieved by aggregating country level 2-digit HICP data to a synthetic aggregate index. The empirical specification includes euro area specific inflation variables for each HICP item separately and hence measures for each item price effect emanating from the euro area. • Time trend. This variable controls for common economy wide inflation pressures as reflected in the buoyancy of the German economy beginning in 2005 as German growth began to exceed Euro area trends. The final specifications presented in this paper include a linear trend with an increasing value for each month of the sample. Other specifications (trend squared) were explored, but were not statistically significant. • Monthly time dummies and idiosyncratic shocks. To allow for seasonal and time specific effects dummy variables for each month were introduced. In addition all 7 This can be exemplified through a simple example. 11 specifications include control variables for two specific effects: administrative price changes for education services in April of 2007 and medical services in January 2006. Since we are primarily interested in the inflation experiences resulting from the VAT hike we introduce the following specific variables. • VAT effects. We allow for inflation rates to vary across VAT and non VAT items. We use several dummies to differentiate between the announcement effect (VAT 06 trend), the actual implementation (VAT 07 implementation), and any other post implementation effect (VAT 07 trend). In addition, the fixed effect and GMM models test for timeinvariant differences in inflation rates. 8 The VAT 2006 trend tests whether price increases accelerated towards the end of the announcement period reflecting the fact that demand shifting was likely to occur at the end of the year, as theory would suggest. 9 • Durable goods. As a measure for a large demand shifting component during the run-up period of the VAT hike, a dummy variable for durable goods was added in the year 2006 (see appendix for definition). • Price setting power. A key challenge for developing such a measure is that items in the CPI basket cannot directly be linked to sectoral measures of competitiveness. To circumvent this problem we relied on the observed price setting behavior during the eurocurrency adoption in January of 2002. At this time all prices had to be converted from DM to euros offering an opportunity to exploit price setting power. As Bundesbank (2007) shows this transition led to a significant variation of positive and negative price adjustments (Figure 2). We surmise that large positive increases signal price setting power and hence the absence of competitive conditions. 10 Our measure of the competition is the rate of the inflation rate increase between December 2001 and January 2002 for price movements which were above the 75th percentile of price increases. 8 VAT 06 trend takes a value of one for VAT items in January 2006, and then increases monthly by one until December 2006. VAT 07 implementation takes the value of one for VAT items in January 2007 only—the month in which the rate increases came into force—. VAT 07 trend takes a value of one for VAT items in January 2007 and increases monthly by one until December 2007. 9 There is no a priori reason to use a VAT trend variable for the announcement period 2006. Rather the choice of using a trend was the based on the goodness of fit among alternative empirical specifications. 10 A currency conversion should not lead to a change in prices, because, as Hoffman and Kurz-Kim (2006) note, because otherwise prices are costly to change (the menu-cost hypothesis). Therefore, we surmise that large positive increases during that period signal price setting power. 12 Figure 2. Germany. Frequenycy of price changes in Germany Euro currency introduction Source : Bundesbank Baseline results The first two columns of table 1 present the results from a fixed effects model estimating annual inflation rates at the 2 digit level. All models include a trend variable, monthly time dummies, euro area inflation trends for all 45 items, and dummies for two item specific administrative price changes (education and health care services as discussed above). The time trend has a positive and significant effect and hence provides evidence in support of a general acceleration of inflation, possibly picking up the closing output gap and a gradual tightening of the labor market. Of main interest are, however, the estimated group differences between VAT and non-VAT items. The main assumption underlying the various VAT dummies is that each individual items has been assigned to one of two groups depending on whether is liable to the VAT hike or not. The estimation yields the following findings: • The VAT 06 trend variable has a positive and significant effect throughout all specifications. This implies that in addition to a general acceleration of inflation, the inflation rate increased more strongly among VAT items (after controlling for item specific, time specific, and euro area wide effects). We interpret this result as evidence for an anticipatory inflation smoothing effect. • The VAT 07 implementation dummy shows a strong and positive effect and measures the impact of the VAT hike on inflation upon implementation. In specification (2) of table 1 we estimate the hypothesis whether the VAT led to a delayed pass-through to consumers. This is done by estimating the difference in inflation rates between VAT and non-VAT items through the inclusion of a VAT-trend variable for the year 2007. The model firmly rejects this hypothesis and hence offers no support for a post implementation effect. 13 Residual tests for autocorrelation indicated evidence of serial correlation of residuals. We therefore proceeded to estimate a dynamic panel specification. The results based on GMM estimation are reported in columns (3) and (4) of table 1. We find that inflation is highly persistent but the main results pertaining to the VAT effect remain unchanged. The VAT trend variable for 2006 remains significant and there is no evidence of a delayed increase of prices after the VAT hike implementation. To summarize, we find evidence that inflation is low in Germany, it grew more rapidly than in the Euro area for VAT items from 2005 until end-2007, particularly due to the VAT (its implementation and of the announcement effect, what we call inflation smoothing. Table 1. Determinants of German Core Inflation: discrepancies between VAT and non-VAT items Dependent variable: HICP-weighted inflation rate of 45 two-digit items of the index; sample January 2005 - January 2008 ______________________________________________________________________________________________ (1) (2) (3) (4) ______________________________________________________________________________________________ Constant 0.001 0.001 -0.010 -0.010 (-0.14) (-0.11) (-3.48)** (-3.39)** Lagged HICP weighted inflation 0.76 (17.70)** 0.77 (17.80)** Euro area 1/ Item-by-item Trend Y Y Y Y 0.001 (2.50)* 0.001 (2.47)* -0.00003 (-0.21) -0.0001 (-0.52) VAT 06 trend 0.001 (2.92)** 0.001 (2.92)** 0.001 (2.09)* 0.001 (2.07)* VAT 07 implementation 0.020 (6.73)** 0.020 (5.28)** 0.010 (1.8) 0.003 (0.80) VAT effect dummies VAT 07 trend -0.0002 (-0.36) VAT Dummy 0.0004 (0.7) 0.020 (4.93)** 0.020 (4.91)** ______________________________________________________________________________________________ Estimation 2/ FE FE GMM GMM Monthly dummies Y Y Y Y Price shocks 3/ Y Y Y Y VAT dummy Y Y Test for no residual Rej. Rej. Not Rej. Not Rej. autocorrelation R-squared 0.68 0.68 0.68 Obs. 1665 1665 1665 1665 Number of groups 45 45 45 45 ______________________________________________________________________________________________ Absolute value of z statistics in parentheses. * significant at 5 percent; ** significant at 1 percent. 1/ Excluding Germany, 2/ FE=fixed effects, GMM=generalized method of moments, 3/ Education fees in April 2007 and medical services in January 2006. 14 Exploring the inflation smoothing hypothesis To more firmly establish the of the announcement effect and to refine our explanation, we test several other specifications by exploring other reasons why the inflation rate of VAT items increased faster than that of non-VAT items. The main results are presented in Table 2. In a first step we address the question whether prices could have increased in 2006 as a result of a World Cup related demand effect. We introduce a World Cup 06 dummy variable to control for higher inflation in May and June of 2006. The results in column (1) show no measurable effect on inflation. We also test a second dummy variable, column (2), measuring for hikes in restaurant and hotels items during that period. This variable picks up significant prices increased during the 2006 World Cup, but its effect does not explain away the positive effect of the 2006 VAT trend variable, which remains significant. In the next three models we provide indirect tests of our hypothesis that inflation in 2006 was influenced by a captured demand effect. We have done so as follows: • By adding a dummy variable for durable goods in 2006 in specification (3) we estimate whether price increases in this group of items were more pronounced. We find a positive and statistically significant effect, which supports the claim that price increases in 2006 were concentrated in items which experienced larger increases in demand. Further test showed that the price increases were concentrated at year-end (not shown). • We also test separately whether inflation increases among VAT items were related to a supplier’s price setting power. Column (3) of Table 2 shows the results from including our measure of high price setting power derived from the 2002 euro currency introduction. 11 Its effect on inflation is positive and significant. The remaining two specifications show results from including all three variables (a general VAT 2006 trend, durability and price setting power) using fixed effects and a dynamic panel estimator. All variables remain positive and significant in the fixed effects model (col 5). We also performed a dynamic panel estimation. In this specification only the VAT trend variable has a statistically significant effect. The high standard errors of the other two variables indicated the presence of multicollinearity. We therefore tested for the joint significance of all three variables and obtained a χ2 = 8.5 rejecting the null of no effect with a p value of 3 percent. The qualitative results of our specification can therefore be summarized as follows: we find evidence of an acceleration of the inflation rate in all VAT items in 2006, of jump increase in January 2007, but no empirical support of delayed price increases throughout 2007. Focusing on the 2006 effect we find that among VAT items inflation accelerated faster among durables and items in less competitive markets, indicating that rent extraction may have been a 11 This dummy takes a value of one for the items where the rate of the inflation increase between December 2001 and January 2002 was more than the median price increase. 15 motive. In a next step we explore the quantitative implications of these findings on aggregate core inflation in Germany. Table 2. Determinants of German Core Inflation: Inflation Smoothing, VAT and other German specific shocks Dependent variable: HICP-weighted inflation rate of 45 two-digit items of the index; sample January 2005 - January 2008 ___________________________________________________________________________________________________________ (1) (2) (3) (4) (5) (6) ___________________________________________________________________________________________________________ Constant 0.010 0.000 0.001 -0.001 -0.001 -0.01 (-0.14)* (-0.04) (-0.20) (-0.22) (-0.23) (-3.47)** 0.76 (17.4)** ΔPt-1 Euro area 1/ Item-by-item Trend Y 0.001 (2.50)** Y Y Y Y Y 0.001 (2.50)* 0.001 (3.21)** 0.001 (3.19)** 0.001 (2.50)* 0.020 (1.46) 0.020 (1.60) 0.020 (1.59) 0.020 (1.57) 0.020 (17.9)** 0.001 (2.14)* 0.0005 (1.79)* 0.010 (2.19)* 0.002 (1.43) 0.020 (3.05)** 0.020 (2.88)** 0.003 (1.09) 0.020 (6.28)** 0.020 (6.76)** 0.005 (1.80)* World Cup 06 Month dummy 0.000 (-0.43) Restaurant/ Hotel dummy (during W-cup) VAT effect and other dummies 2/ VAT 06 trend 0.001 (2.92) ** 0.001 (2.87)** Durable goods 0.010 (2.34)* Price setting power VAT 07 implementation 0.020 (6.73)** 0.020 (6.73)** 0.020 (6.41)** ___________________________________________________________________________________________________________ Estimation 3/ FE FE FE FE FE GMM Monthly dummies Y Y Y Y Y Y Price shocks 4/ Y Y Y Y Y Y Test for no residual Rej. Rej. Rej. Rej. Rej Not Rej. autocorrelation R-squared 0.68 0.68 0.68 0.68 0.68 … Obs. 1665 1665 1665 1665 1665 1665 Number of groups 45 45 45 45 45 45 ___________________________________________________________________________________________________________ Absolute value of z statistics in parentheses. * significant at 5 percent; ** significant at 1 percent. 1/ Excluding Germany, 2/ A test for the hypothesis that the parameters estimates of the three variables VAT 06 trend, durable goods, and price setting power in specification (5) are jointly zero produces a chi-square statistics: Chi^2(3) = 8.545 with a p-value of 0.0360 rejecting the null hypothesis of no-significance. 3/ FE=fixed effects, 4/ Education fees in April 2007 and medical services in January 2006. 16 Aggregate inflation effects The estimated coefficients in Table 2 column 5 12 can now be used to decompose the observed increase in aggregate inflation in VAT related and other effects. As mentioned above we excluded other factors, such as energy and food price inflation from the analysis. Since we are exclusively interested in the effect of the acceleration of VAT items versus nonVAT items we first need to determine how the estimated parameters of the VAT-groupdummies can be translated into an impact measure on the aggregate HICP core inflation rate. A first step in this process is obtaining an interpretation of the units of the estimated parameters associated with the VAT-dummies in Tables 1 and 2. Since these parameters are associated with the group of VAT items, they measure the average inflation effect of these items. As appendix 1 explains, since we weighed each item’s inflation rate by its weight in the HICP basket, the estimated coefficient measures the weighted average effect of all included VAT items on core inflation. Therefore in order to arrive at a measure for the impact on aggregate CPI, the coefficients from Tables 1 and 2 need to be multiplied by the number of VAT items. 13 Once we have obtained these estimates we can then compute the predicted inflation path with and without the VAT effects related to the tax hike. Using the parameters in column 5 of table 2 we obtain the following results: Table I-3. Decomposition of Core Inflation as Predicted by the Model1 2006 2 Annual average 2007 3 Annual average Actual increase 0.35 1.00 Total model VAT Durables Price setting power General increase Non–VAT Residual 0.41 0.36 0.03 0.03 0.30 0.05 -0.06 0.73 0.40 … … … 0.33 0.27 Memorandum item: Inflation pass-through 0.24 0.49 1 Based on coefficients of specification (5) in Table 2. 2 Difference in core inflation between December 2006 and January 2006. Difference in core inflation between December 2007 and January 2007. 3 • The model accounts for a significant share of the actual aggregate increase in core inflation in 2006 and 2007. 12 Best fit specification. 13 A simulation exercise confirming this interpretation is available upon request by the authors. 17 • The model predicts an increase in core inflation due to VAT items of a total of 0.76 percentage point in 2006 and 2007, with 0.36 percentage points in 2006 and 0.40 percentage point in 2007 concentrated upfront at the time of implementation (January 2007). • In 2006 core inflation is estimated to have increased by 0.41 percentage point in 2006, and by 0.73 percentage points in 2007, for a total of 1.15 percentage points. Two thirds of the predicted increase in core inflation was VAT related. • Among VAT items, durable goods and items in markets with imperfect competition accounted for a 0.06 percentage point of the increase in core inflation in 2006.That is one sixth of the estimated VAT drive increase (0.36 percentage point) in 2006. These findings translate into an estimated cumulative pass-through rate of the VAT hike to core inflation of 73 percent.14 Knowing the timing of the increase, this pass-through rate can be broken down further, to an average 24 percent in 2006 and 49 percent in 2007 (primarily January). Our estimates hence imply that although core inflation appeared to not have increased by much in January 2007, the pass-through of the VAT hike was still substantial when VAT related price increases in 2006 are taken into account. This inflation smoothing effect may also explain why there was little further increases among VAT items in the aftermath of the tax rate hike. IV. Conclusion Increases in core inflation following the 2007 VAT hike were smaller than expected, initially constituting a puzzle and leading to speculation about delayed inflationary effects. This paper explored the extent of the inflation increase generated by the anticipation of the VAT increases (inflation smoothing), and its explanations. An increase in inflation in VAT items contributed 0.36 percentage point to core inflation in anticipation of the actual implementation, and a further 0.73 percentage point increase upon its implementation in 2007. As consumer demand increased in 2006, producers were able to raise their prices, more so in durable goods. Accordingly, the extent of the increase in January 2007 was more muted (0.4). Cumulatively, the VAT effect was equivalent to a passthrough of 73 percent. The results of the paper have a few interesting implications. First, the inflationary profile of a large tax hike is likely affected by the length of the announcement period. Price adjustment in advance of the VAT hike help smooth the inflation profile and thereby can avoid large spikes which create risks of triggering second round effects. The incentives for inflation smoothing also appear to be linked to the degree of intertemporal consumption shifting with items experiencing larger demand increases being affected more. Understanding these channels is important since several countries have expressed intention to increase indirect taxation. 14 The passthrough computation takes account of the fact that our sample excludes many non-VAT items. 18 References Besley, Timothy J. and Harvey S. Rosen, 1999 “Sales Taxes and Prices: An Empirical Analysis”, National Tax Journal 52(2) p. 157-78. Bundesbank, 2008, “Price and volume effects of VAT increase on 1 January 2007 - April 2008,” in Monthly Report, April, pp. 29-46. Bundesbank, 2007, “Price effects of the recent increase in VAT – initial results of an individual price analysis,” in May Monthly Report, pp. 52-3. Bundesbank, 2006, “Increase in VAT and Possible Anticipatory Effects,” in May Monthly Report, pp. 48-9. Carbonnier, Clement, 2007, “Who Pays Sales Taxes? Evidence from French VAT reforms, 1987-1999,” Journal of Public Economics Vol. 91 (June), pp. 1219-29. Dhyne, Emmanuel and others, 2005, “Price Setting In The Euro Area: Some Stylized Facts From Individual Consumer Price Data,” European Central Bank working paper no. 524. EU Commission, 2006, “Communications on a comprehensive strategy to promote tax coordination in the EU”, IP/06/1827, Brussels. Hoffmann, Johannes, and Jeong Ryeol Kurz-Kim, 2006, “Consumer Price Adjustment Under the Microscope: Germany in a Period of Low Inflation,” ECB Working Paper No. 652 (Frankfurt: European Central Bank). Katz, Michael L. and Harvey S. Rosen, 1985, “Tax Analysis in an Oligopoly Model”, Public Finance Quarterly, 13(1), pp. 3-19. Mankiw, Gregory, and Ricardo Reis, 2002 “Sticky Information Versus Sticky Prices: A Proposal to Replace the New Keynesian Phillips Curve,” Quarterly Journal of Economics No. 117 Vol. 4 (November) pp. 1295-328. Royal Bank of Scotland, 2006 “Results of RBS/Bloomberg Survey on German VAT hike”, Euro Area Economics Prices and Costs Analysis Series, December. Available via internet: www.rbs.com/content/media_centre/press_releases/2006/december/downloads/vat_re sults.pdf Stern N., 1987, “The effects of taxation price control and government contracts in oligopoly and monopolistic competition”, Journal of Public Economics 32 (1987), pp. 133–158. 19 Appendix I. Data All 53 commodity items with the respective HICP-weights are used. Since the study focuses on core inflation, the two energy-related items, 19 and 32, were dropped from the analysis, even though they are subject to VAT increases. Furthermore, given their high volatility, seasonal goods (fruit, vegetable, and package holidays), and tobacco were dropped from the analysis, leaving a total of 45 items with a total HICP weight of 80 percent. Include table each group inflation. II. Method We estimated inflation in VAT items relative to non-VAT items. Therefore, the difference between the inflation rates in VAT and non-VAT items would give us exactly the role played by the VAT in raising certain prices, since we assume that inflationary trends due to common shocks, or common cyclical conditions to those in the euro area. 15 In fact, we trace inflation in any individual item over time and relative to items not exposed to the VAT hike: during the announcement period, the implementation and post-implementation, after controlling for time dummies, and commodity-specific items (goods are durables, or sold in a competitive market). The data used for the empirical analysis are from the monthly HICP at the two-digit level. We use random-effect models, which fit the data better than fixed-effects model. Moreover, intuition will imply different price increases per item, depending on the market, and type of goods. The annual inflation rate for any commodity item p& ti , in the German CPI is p& ti = α1 + α 2 p& it, Euro + α 3t Vatit + Σ jα jt Z tj where p& ti —the dependent variable, the inflation rate of the item —is computed as p& it = wi ( Pi t − 1) ; Pit is the index of item i at time t, wi is the weight in the aggregate HICP t −12 Pi index. 16 • α2 controls for general price increases due to common shocks or common cyclical conditions, as in the euro area during this period; • α3 measures the effect of the VAT and is elaborated in various ways, to control for timing (see main text); and • αj measures the effect of control variables and is elaborated in various ways, to control for different commodities issues (see main text). 15 In the euro area, inflation of VAT and non-VAT items moved similarly in this period, and the difference in inflation rates among these items was relatively constant. In Germany, however, we observe the rate of inflation of VAT items accelerated during 2006 only. 16 Since we are interested in the impact of the VAT hike on the aggregate HICP inflation rate, we use weighted inflation rates. 20 III. Calculating The Effect on Core Inflation We calculate the model-predicted inflation rate, and to obtain the values in Table 3 we go through the following steps: a. We take the actual value for each variable described above, in each month, and we multiply it, by its estimated coefficient presented in Table 2, specification (5), and by the number of the items in this group (VAT and non-VAT). 17 b. We sum these components to obtain predicted inflation rates for each month (annual rates). c. To calculate the 2006 overall effect, we take the difference between the predicted values of the core inflation rate between the months of December and January 2006. The 2007 overall effect was calculated in the same manner. d. To calculate the 2007 implementation effect, we take the difference between the average predicted core inflation rates of the first three months of 2007 and the last three months of 2006. 18 e. To calculate the contributions of the VAT items to the 2006 overall effect, or to the 2007 implementation effect, we follow steps c and d, respectively, but only for the VAT items in core inflation. 17 By multiplying the group average effect by the total number of items, we obtain the aggregate inflation effect of the VAT items as a group. The aggregate HICP core inflation rate is defined as the weighted sum of all individual items. A coefficient attached to a dummy variable captures the group effect of a subset of items scaled by their weight in the aggregate core index. 18 If one takes the differences between the January 2007 and December 2006 rates the results are similar. 21 Table A1. HICP commodity items, weights, and classification. Weight 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 cp011 Food cp0111 Bread and cereals cp0112 Meat cp0113 Fish and seafood cp0114 Milk, cheese and eggs cp0115 Oils and fats cp0116 Fruit cp0117 Vegetables cp0118 Sugar, jam, honey, chocolate and confectionery cp0119 Food products n.e.c. cp012 Non-alcoholic beverages cp021 Alcoholic beverages cp022 Tobacco cp031 Clothing cp032 Footwear including repair cp041 Actual rentals for housing cp043 Maintenance and repair of the dwelling cp044 Water supply and miscellaneous services relating to the dwelling cp045 Electricity, gas and other fuels cp051 Furniture and furnishings, carpets and other floor coverings cp052 Household textiles cp053 Household appliances cp054 Glassware, tableware and household utensils cp055 Tools and equipment for house and garden cp056 Goods and services for routine household maintenance cp061 Medical products, appliances and equipment cp062 Out-patient services cp063 Hospital services cp071 Purchase of vehicles cp072 Operation of personal transport equipment cp0721 Spares parts and accessories for personal transport equipment cp0722 Fuels and lubricants for personal transport equipment cp0723 Maintenance and repair of personal transport equipment cp0724 Other services in respect of personal transport equipment cp073 Transport services cp081 Postal services cp082 Telephone and telefax equipment cp083 Telephone and telefax services cp091 Audio-visual, photographic and information processing equipment cp092 Other major durables for recreation and culture cp093 Other recreational items and equipment, gardens and pets cp094 Recreational and cultural services cp095 Newspapers, books and stationery cp096 Package holidays cp10 Education cp111 Catering services cp112 Accommodation services cp121 Personal care cp123 Personal effects n.e.c. cp124 Social protection cp125 Insurance cp126 Financial services n.e.c. cp127 Other services n.e.c. 99.6 19.2 25.3 3.5 15.7 3.0 9.8 10.3 8.6 4.3 13.8 18.5 32.2 45.7 10.7 108.2 12.6 36.5 66.9 36.7 5.0 11.1 5.4 6.0 8.6 21.2 17.3 7.7 41.2 91.6 5.8 44.0 27.9 13.9 23.7 3.0 1.0 20.4 15.8 1.8 19.8 26.8 22.1 26.5 7.8 41.8 12.8 21.3 9.2 12.8 28.1 4.6 4.5 1000.0 Durable VAT 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 0.6 0.5 0.5 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 0.8 0.4 0.0 0.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 0.3 0.3 1.0 0.9 1.0 0.8 0.4 0.0 0.0 1.0 0.0 0.9 0.5 0.8 0.5 0.0 1.0 1.0 0.5 Source: Author’s calculations. The core index excludes items 1, 7,8 13, 19, 30, 32, and 44. Price setting power 1 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 2 Dampak Fluktuasi Ekonomi terxadap Penerimaan Pajak Eddi Wahyudi Program Doktor Managemen dan Bisnis IPB Bunasor Sanim Institut Pertanian Bogor Hermanto Siregar Institut Pertanian Bogor Nunung Nuryartono Institut Pertanian Bogor Abstract: The purpose of this research is to analyse how Jar the economic shock injluense to the tax revenue performance applied to Income and Value Added Tax during periodfrom Januanj 1993 to December 2007. The Vector Error Correction Model and Cholesky Decomposition are used to identifi the orthogonal shocks. The impulse responsefunctioi~and variance decomposition analysis, are used to analyzed the pass-through effect from Tax Early Warning System (TEWSJindicators to the tax revenue performace (Income and Value Added Tar) ns reference series. From the llECM analysis result through Income Tax modeling series, it is known that there are 3 indicators having a complete pass-through degrees more thnn one (complete pass through), there are hotel occupancy rate, money supply nndfuel consumption. Meanwhile through the Valtre Added Tax, all indicators show the incomplete pass through degree.. Overally the entire research result explains that Indonesia economic condition until he year of2007 is still in the smnll open economy status and identically to New Keynes theory. The conclusion is consistent with previous resenrch about the Indonesia business cycle and consistent with the initial assumption applied. Keywords: Business cycle, reference series, Income tax (PPh), value ndded tax (PPN), shock, early warning system (EWS), tax revenue, time series, Composite Lending Indicntor (CLI), Tax Early Warning System (TEWS),pass-thorugh. Pengaruh shock terhadap stabilitas perekonomian merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati. Pengendalian perekonomian terhadap dampak guncangan ekstemal maupun internal tersebut menjadi sangat penting untuk dipelajari lebih mendalam terlebih setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 yang mengakibatkan kerusakan struktural perekonomian di beberapa negara. Shock akan menyebabkan fluktuasi ekoAlamat Korespondensi: Eddi W a h y u d i , Program Pertanian Bogor (IPB) Doktor (5-3) Institut nomi yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan output terhadap tren berupa kontraksi atau ekspansi ekonomi yang kemudian akan membentuk sebuah pola siklus naik turun disebut dengan business cycle. Aktifitas nalk turunnya perekonomian tersebut terekam dalam agregat ekonomi yang tertransmisi ke kinerja penerimaan negara yang di Indonesia tercermin dalam APBN. Salah satu komponen penting di sisi penerimaan dalam APBN tentunya adalah sektor pajak. Dalam 3 tahun terakhir struktur penerimaan APBN 60-70% dibiayai dari sektor perpajakan. Mengingat unsur strategis penerimaan pajak tersebut, maka aksele- rasi realisasi peningkatan penerimaan pajak setiap tahun sangat diharapkan dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Untuk mendorong pertumbuhnn pendapatan negara dalam rangka mewuruakan kemandirian keuangan bangsa dalam membiayai pembangunan melalui optimalisasi penggalian dana yang bersumber dari dalam negeri, maka pemerintah pcrlu menpusun berbagai kebijakan fiskal, baik di bidang perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak. Untuk mendukung fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara (bugedtair) tersebut maka pemerintah telah menempuh langkah-langkah reformasi intemal kebijakan di bidang perpajakan yang telah dimulai sejak tahun 1983 dengan melakukan perubahan sistem perpajakan dari oficial assessment menjadi sistem self assessment. Dalam perkembangannya pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak selalu memperbaharui diri sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan melalui reformasi yang berkesinambungan. Pemerintah berharap melalui reformasi tersebut rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) akan semakin meningkat melebilti akselerasi peningkatan pengeluaran. Atas dasar pertimbangan tersebut maka turbulensi lingkungan harus dapat dideteksi secara dini oleh organisasi agar dampak guncangannya dapat diantisipasi secara cermat melalui serangkaian kebijakan tertentu. Deteksi dini melalui peramalan siklus perekonomian tersebut sangat penting bagi pemerintah dalam rangka perencanaan dan formulasi kebijakan. Dalam ha1 ini model siklus bisnis ini diperlukan mengingat pengelolaan penerimaan negara sangat rentan akibat guncangan (shock) yang ditimbulkan oleh turbulensi lingkungan. Namun demikian rnelalui model tersebut belum dapat diketahui secara detail seberapa besar pengamh perubahan fluktuasi variabel ekonomi terhadap penerimaan pajak, sehingga diperlukan analisis lanjutan untuk lebih mendalami seberapa besar pengaruhnya. Dengan demikian penelitian ini perlu dilakukan agar dampak shock terhadap fluktuasi siklus bisnis dan kinerja penerimaan pajak dapat dideteksi dengan baik bagi pengelolaan kebijakan pajak di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh fluktuasi ekonomi (pass through) dari masing-masing variabel penyusun Tax Early Warning System (TEWS) yang telah disusun sebelumnya menggunakan metode siklus bisnis terhadap kinerja penerimaan pajak serta merumuskan kebijakan strategis untuk mengantisipasi turbulensi lingkungan berdampak terhadap kesetabilan penerimaan pajak. Bentuk goncangan ekonomi dalam perkembangan teori siklus bisnis dapat dijelaskan dalam tiga teori. Menurut Siregar (2002) teori siklus bisnis yang paling populer adalah Red Business Cycle (RBC) dan New Keynes (NK). Teori RBC menyatakan bahwa shock pada permintaan (khususnya dalam bentuk nominal) berdampak dalam menentukan fluktuasi makro-ekonomi serta perubahan regime dan teknologi merupakan suatu ha1 yang menarik untuk dibicarakan, sedangkan teori NK rnenyatakan sebaliknya. Di antara kedua teori RBC dan NK tersebut, terdapat teori Monetary Business Cycle (MBC), yang menekankan pentingnya shock pada permintaan, khususnya uang, tetapi hanya untuk jangka pendek. Masing-masing teori menjelaskan karakter shock yang berbeda-beda, namun pada intinya fluktuasi perekonomian dipengaruhi oleh berbagai pergerakan faktor eksternal maupun internal yang dapat direpresentasikan ke dalam tiga indikator penting. Salah satu isu sentral dalam pembahasan sistem perekonomian intemasional dengan keterbukaan sistem perdagangan adalah dampak guncangan terhadap stabili- small open economy. Pengaruh guncangan struktural dari variabel ekstemal sebagai contoh nilai tukar akan menyebabkan perubahan harga domestik yang sering disebut d d g a n exchange rate pass trough eflect. Dalam kerangka analisa siklus bisnis besamya pengaruh dari setiap variabel tidak dapat diketahui secara jelas hanya arahnya saja, sehingga diperlukan analisis lain u n t u k mengetahui seberapa besar ~ e n g a r u hperubahan variabel i n d e p e n d e n mempengaruhi pergerakan dependennya. Sahminan (2005) d a n Batiz (1994) mendefinisikan pass through effect sebagai perubahan harga sebagai akibat perubahan satu persen dari k u r s domestik terhadap k u r s asing. Fenomena pass through eflect ini dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu completely pass-through jika derajatnya sama dengan 1, incomplete pass-through jika derajatnya 0 sampai 1 d a n zero pass-through jika derajatnya sam a dengan nol. Secara umum pola guncangan ekon o m i dapat dijelaskan melalui jalur guncangan harga. Dimana guncangan harga dapat dimulai dari guncangan terhadap konsumsi m i n y a k atau gas (supply shock) akan m e m p e n g a m h i harga m i n y a k atau gas dunia. Guncangan harga tersebut tentunya yang akan m e m p e n g a r u h i inflasi setiap negara d a n akan m e n g g a n g g u pendatapan perusahaan yang tentunya akan menurunk a n ekspektasi investor pasar modal yang tercermin melalui perubahan indeks. G u n cangan harga m i n y a k tersebut oleh bank sentral akan direspon dengan strategi intervensi m e n g g u n a k a n instrumen s u k u bunga. Sedangkan e f e k dari perubahan s u k u bunga akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar d i pasar. Ketiga e f e k tersebut akan mempengaruhi nilai tukar disuatu negara [ H y d e r dan Syah, 2004). E f e k transmisi dari perubahan kurs tersebut akan m e m p e n g a r u h i bahan selanjutnya akan m e m p e n g a r u h i biaya produksi apabila pemsahaan m e n g g u n a k a n bah a n berkomposisi i m p o r sehingga berpengar u h pada output. Perubahan output/omzet perusahaan tentunya akan berpengaruh pad a penerimaan pajak penghasilan yang dibayarkan k e negara. Sehingga harga yang diterima k o n s u m e n akhir akan terpengaruh oleh seluruh perubahan variabel sebelumn y a d a n tentunya penerimaan pajak akan terpengaruh. Transmisi pengaruh guncangan struktural terhadap perubahan penerim a a n pajak dapat dilihat pada gambar berik u t ini. Gambar 1 Transmisi e f e k shock terhadap Penerimaan pajak di Indonesia U n t u k menganalisis pengaruh tersebut m a k a dalam tahap penelitian ini akan digunakan model Structurnl Vector Autoregression ( S - V A R ) yang akan dikombinasikan dengan model Vector Error Correction Model (VECM). Model S - V A R m e r u p a k a n m o d e l pengembangan dari V A R dimana m o d e l S - V A R mem a s u k k a n sejumlah restriksi yang diidentifikasi berdasarkan teori ekonomi. Model yang dibangun u n t u k menguji pengaruh shock ter- m. 0 . . . . . . . . . . . . . +~:r hadap reference series ini mengacu pada pols , q, = E ~ . ~ ( ~ ~ ,+) 4+2 t~. ~~~~S++,t.~:t .CEP 1: ~+ r n q t . ~ ~(5) Exchange Rate Pass Trough (ERPT) yang dikembangkan oleh Hyder d a n Syah (2004) dengan modifikasi tertentu. Penelitian ini akan menitikberatkan pada bagi'an terakhir dari sistem manajemen moderen yaitu pengendalian (controlling), dengan menggunakan pengalaman historis d a n kemudian membentuk sebuah model untuk melihat prilaku dari pengalaman tersebut. Dengan demikian akan dihasilkan model pendugaan dari prilaku masing-masing variabel penyusun T E W S yang telah di- Dimana np,": harga minyak/gas d i negara i USCPI. . bentuk sebelumnya u n t u k prediksi keadaan pada saat t, nit . m d e k s harga k c n s u m e n masa mendatang. di U S pada saat t, rit : s u k u bunga d i negara i pada saat t, M.it : jumlah uang yang beredar METODE (M2) d i negara i pada saat t, ei: : nilai tukar di Meskipun pendekatan siklus bisnis da- negara i pada saat t, Qimp.it: nilai impor/ ekspat memprediksi titik belok (turning point) por d i negara i pada saat t, xTP': indeks hardari sebuah siklus n a m u n demikian tidak ga barang impor d i negara i pada saat t, dapat digunakan u n t u k m e n g u k u r seberapa y&DP : jumlah output (GDP) d i negara i pada besar pengaruh dari setiap variabel penyuCPI , . s u n indeks tersebut. U n t u k itu perlu dilaku- saat t, nil . m d e k s harga konsumen d i negakan kombinasi dengan pendekatan ekonometrik untuk mengetahui proporsi (besaran) dari masing-masing variabel. U n t u k menganalisis . pengaruh tersebut maka dalam tahap . penelitian ini akan digunakan model Vector Error Correction Model (VECM). Model yang dibangun u n t u k menguji pengaruh shock terhadap series acuan adalah merupakan modifikasi dari pola yang dikembangkan oleh Hyder-Syah (2004), Kiptui te.al (2005) dan Fickry-Achsani (2008). Spesifikasi model VECM pada penelitian ini mengacu pada model Sato eta1 (2005) dengan konsep m o d el small open economy. Secara matematis pengembangan model Hyder d a n Syah (2004) dapat dituliskan sebagai berikut: ra i pada saat t, 2: : jumlah penerimaan pajak d i negara i pada saat t, El_,(np,") : lag harga minyaklgas berdasarkan n periode sebelumnya d i negara i, El_,( n y ) : lag indeks harga konsumen di U S berdasarkan n periode sebelumnya d i negara i, El_,(rit) : lag- suku bunga - berdasarkan n periode sebelumnya d i negara i, E,_,(M,,) : lag jumlah uang beredar berdasarkan n periode sebelumnya d i negara i, El_,,( e , ) : lag perubahan nilai tukar berdasarkan n periode sebelumt ) : nilai eksnya d i negara i, E t - n ( Q i , ~ p , ilag porfimpor berdasarkan n ~ e r i o d esebelumnya d i negara i, E l _ ,( n T P i ): lag indeks harga barang impor berdasarkan n periode seGDP . belurnnya d i negara i, E l _ ,( y , ) . lag jumlah output berdasarkan n ~ e r i o d esebelumnya d i negara i, E l _ ,( n r ) : lag indeks harga konsumen berdasarkan n periode sebelum- 5% nya di negara i, El+,(z;) : lag jumlah penerimaan pajak berdasarkan n periode sebelumnya di negara i, E& : guncangan harga USCPI minyak/gas (supply shock), sit .. guncan- gan indeks harga konsumen di US, &? cangan suku bunga, beredar, E:, : gun- : guncangan uang :guncangan perubahan nilai tu- &: kar, s p : guncangan nilai imporlekspor, .. guncangan out- GDP : guncangan WPI, sit E ": put (GDP), s y : guncangan CPI, E~~: guncangan penerimaan pajak (PPhIPPN), i : ne. gara, t : periode waktu, n : panjang lag. Berdasarkan model Sato eta1 (2005), maka model restriksi yang akan diterapkan dalam identifikasi guncangan struktural akibat perubahan variabel independen yang teIah diidentifikasi oleh signal TEWS dilakukan melalui cholesky decomposition dari analisis Forcasting Error Variance Decomposition (FEVD) untuk kemudian dihitung derajad pnss-trough dari masing-masing komponen tersebut melalui analisis impuls respon (IR). Persamaan cholesky decomposition dapat dituliskan sebagai berikut ini. T - [ I 0 0 0 0 <I I, il il I, i1LC i 1 0 il ,I O n li 0 0 ,I I, ,I i 0 il o I , , : I b I I 1, b.., ; h , , I , : t l 1 I , b , h /,l.,L.:b.,h;, ,: {b', h": I" I I>$; I>*' I,.< h , , , I , I , 1 3 , : " I ,, n " " " n n " I, il 0 U I1 il ,., i b I,," I . h i, O 0 I , 8 0 0 I,". I,"* 1 0 I , I Dimana bij adalah elemen dari mahiks B, el adalah residual (error term) dari orthogonal shock, & adalah cholesky restriction dan E: adalah orthogonal shocks vector. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan dengan rentang waktu antara bulan Januari 1993 sampai de- nzaf - Desember 2007. Sumber data primer dan sekunder diperoleh berasal dari dari: Data penerimaan pajak nasional diperoleh dari database ware house Direktorat Jenderal Pajak dan Diijen Perbendaharaan, Data makro ekonomi dalam negeri diperoleh dari website Bank Indonesia, Indikator Ekonorni Indonesia, SEKI (Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia) dan CEIC, Data perdagangan diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS), Depertemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan dan Bank Indonesia, Data ekonomi intemasional diperoleh dari website International Monetary Funds (IMF), Word Bank, National Beurau Economic Research (NBER), Beurau Labour Statistics (BLS), Federal Reserve (The Fed), Yahoo Finance, Google Finance dan CEIC. HASIL Hasil uji statistik Augmented Dickey Fuller (ADF) null hypothesis terhadap indikator penyusun TEWS dan kedua reference series yaitu PPh dan PPN menunjukan adanya gejala mengandung unit root dalam level tidak dapat ditolak. Gejala tersebut dapat dilihat dari nilai hasil uji Likelihood ratio yang didasarkan pada kriteria Schwarz Bayesian Criterion (SBC), Akaike Information Criterion (AIC) dan Hannan Quinn Criterion (HQC), dimana nilai yang dihasilkan lebih kecil jika dibandingkan dari nilai kritis McKinnon untuk DF dan ADF tabel dengan tingkat kepercayaan 95% serta jumlah sampel N = 180 yaitu sebesar -2.88 untuk intercept tanpa tren dan -3.44 untuk intercept dengan tren linier. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terhadap data time series tersebut dapat dikatakan mengandung unsur unit root atau tidak stasioner, jika analisis tetap langsung menggunakan data ini maka akan dite- hap pengujian akan dilanjutkan terhadap turunan pertama (first difference) atau terhadap turunan kedua (second difference). Hasil pengujian unit root dapat dillhat dalam tabel lampiran'l dan 2. Untuk variabel penyusun TEWS dengan series acuan PPh pengujian unit root hanya sampai Is'difference, sedangkan untuk series acuan PPN pengujian unit root sampai pada tahap 2nd difference. Tahap selanjutnya adalah dilakukan melakukan pengujian ordo potimal dari VAR. Pengujian ini bertujuan untuk menetapkan ordo optimal kointegrasi jangka panjang dengan menggunakan parameter Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwam Bayesian Criterion (SBC) melalui analisa Likelihood Ratio (LR-test). Dari hasil pengujian ordo optimal VAR maka panjang lag yang tepat dari model PPh adalah 6 dan model PPN adalah 4. Hal ini dapat dilihat dari uji statistik LR yang dimulai dari nilai p tertinggi sampai lebih kecil dari nilai nyatanya. Ordo optimum VAR adalah jumlah lag sebelum mencapai nilai p pertama kali. Dengan menggunakan model VAR 6 untuk PPh dan model VAR 4 untuk PPN, maka ordo kointegrasi VAR nya adalah 5 unhtk PPh dan 3 untuk PPN (ordo VAR kointegrasi adalah ordo VAR dikurangi 1). Hasil pengujian ordo optimal VAR dapat dilihat dalam lampiran 3 dan 4. Tahap selanjutnya adalah pengujian apakah tejadi kointegrasi di dalam model. Uji kointegrasi masih dilakukan dengan menggunakan LR-test yang didasarkan pada Trace of the Stochastic Mntvix. Uji ini pada umumnya dilakukan dengan tidak memberikan restriksi intercept (Johansen, 1992). Berdasarkan analisis Trace of the Stochastic Matrix, hipotesis null hasil uji LR tren polinomial menunjukkan bahwa model mengandung unrestricted tren dan restricted intercept trend tidak dapat ditolak dengan tingkat kepercayaan 95% maka rank kointegrasi ber- pulkan bahwa rank kointe~rasi untuk PPh " yang disarankan adalah 6. Sedangkan untuk PPN berdasarkan analisis Trace of the Stochastic Matrix, hipotesis null hasil uji LR hen polinomial menunjukkan bahwa model mengandung unrestricted fren dan restricted intercept trend tidak dapat ditolak dengan tingkat kepercayaan 95% maka rank kointegrasi berada pada saat r r 6, sehingga dapat disimpulkan bahwa rank kointegrasi untuk PPN yang disarankan adalah 7. Hasil pengujian rank kointegrasi dapat diliiat dalam Iampiran 5 dan 6. Hasil estimasi VECM akan digunakan untuk-memperoleh residual yang nantinya aka11 digmakan untuk analisis VAR. Estimasi VECM tersebut dilakukan menggunakan aplikasi Microfit 4.0 (Pesaran, 1997).Hasil VECM tidak untuk memperoleh persamaan jangka panjang sehingga restriksi model S-VAR hanya digunakan berdasarkan contemporaneous restriction yang selanjutnya akan digmakan sebagai hasil antara untuk ~nemperolehresidual yang akan digunakan untuk analisis impuls respon (IR) untuk menilai respon dinamik reference series sehubungan dengan adanya shock dari setiap variabel CLI TEWS d m menentukan besarnya derajad pass tuo@ dari setiap CLI indikator. Kehasil VECM juga akan dimudian untuk forecast error variance decomposition (FEVD). Analisis ini dilakukan untuk mengevaluasi peran yang dimainkan oleh beberapa indikator penyusun CLI dalam menjelaskan variabilitas pola gerakan reference series. PEMBAHASAN Damp& - rerubahan Leading Index terhadap Reference Series Dampak fluktuasi variabel penyusun leading indicator dihitung menggunakan metode derajat pass-trough yang dalam penelitian ini mengacu pada model Hyder-Shah (2006) dan Fickry-Achsani (2008). ~ o e h s i e n pass-trough dihitung berdasarkan kumulatif impuls respon dari setiap shock yang dihasilkan oleh masing-masing lending indicator terhadap reference series dalam ha1 ini PPh dan PPN serta kumulatif impuls respon dari reference series terhadap reference series dalam ha1 ini PPh dan PPN. Periode yang digunakan adalah selama 60 horizon waktu. Penentuan horizon waktu sepanjang 60 periode didasarkan pada pemahaman bahwa selama waktu tersebut diharapkan fluktuasi penerimaan pajak sudah mencapai titik kesetabilan atau keseimbangan nilai yang baru, ha1 ini dapai diindikasikan dari garis mendatar yang dapat dilihat dalam grafik impuls respon. Tabel 1 (OILCon) sebesar 1.304 artinya perubahan konsumsi minyak sebesar 1%akan berdampak pada peningkatan PPh sebesar 1.304%, dengan demikian dapat dikatakan bahwa dampak struktural dari guncangan ketiga variabel tersebut sangat signifikan mempengaruhi fluktuasi perubahan penerimaan pajak sektor PPh. Sedangkan untuk indikator lainnya memiliki derajat pnss-trough kurang dari satu yang mengindikasikan adanya incomplete pnss-trough. Selanjunya dapat dilihat bahwa derajat pass-trough yang mengalami incomplete pnsstrough mempegaruhi PPh berturut-turut adalah jumlah uang beredar (M2) sebesar 0.579 persen, kurs Rupiah terhadap Yen Je- Derajat pass-trough lending indicntor terhadap series acuan Variabel Konsumsi Minyak Harga minyak Harga gas Inflasi Amerika Serikat Inflasi Indonesia Singapore Inler Bank OJjered Rate 3m Physical currency+denianddeposU Ml+lime deposil Kurs Rupiah thd. Yen Jepang Kurs Rupiah thd. Yen USD Wholesale Price Index Producer Price Index Impor Ekspor GDP semice sector GDP lransport G. communication sector Tingkat hunian hotel Peiode sliodi 30 bulan 25 bulan 21 bulan 55 bulan 33 bulan 22 bulan 29 bulan 27 bulan 34 bulan 25 bulan 48 bulan 26 bulan 28 bulan 37 bulan 39 bulan 59 bulan 48 bulan Pass lrough efefct Derajad Tipr 1.304 Conrplefc -0.436 Incontplele -0.013 bmrmplele -0.117 Inconiplete -0.008 Incomplete 0.015 lnconrplete 1.096 Complete -0.579 Inconzplele -0.536 Incomplete 0.173 Inconiplele -0.059 Inomplete 0.037 lncnmplete 0.076 Incontplete 0.369 Incon~plele -0.441 bcomplele -0.444 lnconiplele 1.180 Coniplete Dampak thd. penerimaan Pajak PPh PPN +0.306% up - 0.332% dawn - 0.332% down - 0.040% down - 0.650% down +0.010% up +0.218% up - 0.1% dawn - 0.164% dawn +0.133% up slnble slable slnble slable slable slable +0.268% up Dari tabel di bawah ini untuk series pang (IDRIJPY) sebesar -0.536 persen, harga acuan PPh dapat dilihat bahwa ada 3 indika- minyak Indonesia (OILPr) sebesar -0.436 tor yang memiliki derajat pnss-trough lebih persen, kurs Rupiah terhadap USD (IDRI besar dari satu yaitu tingkat hunian hotel USD) sebesar 0.173 persen dan inflasi US (HOR) sebesar 1.180 artinya perubahan ting- (USINFL) sebesar -0.117 persen. Untuk derakat hunian hotel sebesar 1% akan berdam- jat pass-troug11 lainnya yang juga mengalami pak pada peningkatan PPh sebesar 1.1876, incomplete pass-trough mempegaruhi PPN jumlah uang beredar (MI) sebesar 1.096 ar- adalah nilai impor (IMP) sebesar 0.076 pertinya perubahan jumlah uang beredar sebe- sen dan kurs Rupiah terhadap Yen Jepang sar 1% akan berdampak pada peningkatan (IDRIJPY)sebesar 0.067 persen. Analisis Zmpuls Respon Analisis impuls respon dilakukan untuk melihat dampak perubahan masing-masing variabel penyusun TEWS terhadap series acuan pada beberapa periode w a k t u k e depan. Dengan kata lain setelah t e j a d i shock pada masing-masing lending indicator maka dampak slzock ini akan ditransmisikan k e penerimaan pajak melalui jalur tertentu pada saat atau periode dengan jangka waktu tertentu setelah tejadinya shock tersebut. Besamya respon penerimaan pajak terhadap shock yang diakibatkan oleh leading indicator dapat dinyatakan dalam ukuran standar deviasi. Respon dinamik variabel penyusun TEWS terhadap penerimaan pajak dianalisis menggunakan Orthogonalized Imptds Respon Analysis yang terdapat dalam aplikasi Microfit 4.0 (Pesaran, 1997). Dari hasil analisis IR diketahui bahwa transmisi fluktuasi penerimaan pajak dipengaruhi oleh beberapa indikator seperti dijelaskan berikut h i . Respoil Penerimaan Pajak terhadap Fluktuasi Konsumsi Minyak, Harga Minyak dan Gas Kenaikan harga minyak yang disebabk a n oleh penurunan supply produksi dunia dimana permintaanldemand cenderung tetap dan bahkan selalu akan mengalami peningkatan akan menyebabkan tejadinya inflasi. Inflasi yang terjadi d i sini adalah akibat dari adanya dorongan biaya yang disebut supply shock infZation. Seperti diketahui bahwa 70% bahan baku produk Indonesia masih diimpar. Peningkatan harga akan menyebabkan bergesemya kurva agregat penawaran k e kiri sehingga menyebabkan inflasi yang disebut cost-push inflation (Shapiro, 1978). om J B"lan*e Gambar 2 Respon dinamik PPh terhadap OILCon. Respon dinamik perubahan konsumsi minyak terhadap penerimaan pajak sektor PPh berdampak sangat signifikan, ha1 ini ditunjukkan dengan niIai derajat pass trough sebesar 1.304. Artinya peningkatanJpenurunan konsumsi minyak sebesar satu persen akan mengakibatkan kenaikan/penurunan penerimaan PPh sebesar 1.304 persen. Efek perubahan konsumsi m i n y a k terhadap PPh terbesar terjadi pada bulan kedua sebesar 0.8% kemudian berfluktuasi maksimal 0.5% sampai bulan k e 17. Kemudian akan menur u n dan kembali stabil pada bulan k e 30 dengan kenaikan penerimaan pajak sebesar 0.306% dibandingkan nilai semula. Fluktuasi harga minyak dan gas (OILPr d a n GASPr) terhadap penerimaan pajak sektor PPh d a n PPN merupakan proses incomplete pass trough dengan derajat pass trough sebesar -0.436 (OILPr) dan -0.013 (GASPr). Artinya kenaikan/penurunan harga minyak sebesar satu persen akan mengakibatkan penurunankenaikan penerimaan PPh sebesar -0.436 persen. Sedangkan kenaikanlpenurunan h a r p minyak sebesar satu persen hanya akan mengakibatkan penurunankenaikan penerimaan PPN sebesar 0.013 persen. Efek perubahan harga minyak terhadap PPh terbesar t e j a d i pada bulan pertama sampai k e tiga sebesar -0.726% kem u d i a n berfluktuasi maksimal 0.452% sampai bulan k e 17. Kemudian akan menurun dan kembali stabil pada bulan k e 25 dengan penurunan penerimaan PPh sebesar -0.332% dibandingkan nilai semula. m Sedangkan respon dinamik penerima~ fluktuasi i k a s i Indoan pajak P P terhadap nesia juga termasuk dalam katagori incomeplete pass trough dimana derajad pass trough bemilai sangat rendah yaitu sebesar -0.008, ,. artinya peningkatan/penurunan inflasi indoGambar 3 Respon dinamik PPN terhadap nesia sebesar satu persen akan mengakibatOILPr dan GASPr. kan penurunanjsenaikan penerimaan PPh sebesar -0.008 persen. Kemudian efek peruNamun demikian efek perubahan har- bahan inflasi Indonesia terhadap PPh terbega gas terhadap PPN tidak terlalu besar sar terjadi pada bulan kedua dan ketiga seyang terjadi pada bulan pertama sampai ke besar -0.459%. Stabilisasi akan tercapai pada tujuh yaitu sebesar -0.04%. Kestabilan akan bulan ke 33 dengan penurunan penerimaan kembali terjadi pada bulan k e 21 dengan pajak sebesar -0.65% dibandingkan nilai sekondisi penerimaan penerimaan PPN yang mula. Peningkatan inflasi pada dasamya cenderung kembali pada posisi semula, ha1 akan mendorong bank sentral untuk meini mungkin disebabkan karena konsumsi naikkan suku bunga acuan (Flamini, 2005; gas belum sebesar konsumsi minyak. Ito et.al, 2005). Meningkatnya inflasi AS akan direspon oleh kebijakan moneter the Respon Penetimaan Pajak terhadap Fluk- Fed dengan jalan menaikkan suku bunga. tuasi Inflasi US, Inflasi Indonesia, dan Suku Naiknya suku bunga AS akan menyebabkan Bunga pula meningkatnya suku bunga domestik, Respon dinamik penerimaan pajak ha1 ini direspon untuk menghindari terjadisektor PPh terhadap fluktuasi inflasi US n y a c n r q trnde dimana akan terjadi capital termasuk katagori incomplete pass trough di- outflow akibat perbedaan suku bunga yang mana derajad pass trough sebesar -0.117, me- signifikan. Peningkatan suku bunga AS dan ngindikasikan peningkatan/penurunan in- domestik ini akan menyebabkan agregat flasi US sebesar satu persen akan mengaki- mengalami penurunan, sehingga menyebabbatkan penurunanjsenaikan penerimaan kan GDP m e n ~ a l a m ikontraksi. Akibatnya PPh sebesar -0.117 persen. Efek perubahan penerimaan pajak juga akan mengalami peinflasi US terhadap PPh terbesar terjadi nurunan. Pada umumnya perubahan suku pada bulan kedua sebesar -0.429% kemudi- bunga akan menyebabkan pula perubahan an berfluktuasi maksimal -0.273% sampai nilai tukar yang kemudian akan berimbas bulan ke 19. Stabilisasi akan tercapai pada pada perubahan nilai ekspor dan impor. bulan ke 55 dengan penurunan penerimaan pajak sebesar -0.1% dibandingkan nilai semula. Gambar 4 Respon dinamik P P terhadap ~ USINFL dan INAINFL Gambar 5 Respon dinamik PPN terhadap suku bunga (SIBOR3m) Disamping itu peningkatan suku bunga pada umurnnya akan menyebabkan penurunan permintaan uang, n a m u n demikian jika dilihat dari data yang ada faktanya ternyata sebaliknya. Hal ini disebabkan karena meningkatnya nilai tukar temyata memperbesar terjadinya defisit anggaran. Defisit anggaran yang membesar tersebut mendorong Bank Indonesia menambah supply uang beredar dengan melakukan pencetakan uang baru. Respon Penerimaan Pajak terhadap Fluktuasi Jumlak Uang Beredar (MI-M2) dan Suku Bunga Respon penerimaan pajak terhadap permintaan jumlah uang beredar dapat dilihat dalam gambar berikut ini. Respon PPh terhadap guncangan MI akan menyebabkan kenaikan penerimaan pajak sebesar 0.218% pada bulan k e 29 setelah titik keseimbangan baru tercapai. Fluktuasi jumah uang beredar terbesar terjadi pada bulan pertama sampai ke tiga dengan fluktuasi m a k s i m u m sebesar 0.43%, kemudian m e n u r u n sampai sekitar 0.1-0.3%. Perubahan jumlah uang berdar akan menyebabkan PDB menalami penurunan. Turunnya PDB disebabkan oleh nilai tukar yang terdepresiasi ketika terjadi guncangan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya penurunan suku bunga domestik akan menyebabkan permintaan uang meningkat dan pada u m u m y a akan diikuti oleh depresiasi nilai kurs karena akan terjadi capital outflow. Gambar 6 Respon dinamik PPh terhadap jumlah uang beredar Nilai Impor dan Eskpor Pengaruh fluktuasi nilai tukar rupiah (IDR/JPY d a n I D R N S D ) terhadap penerirnaan pajak dari sektor PPh sebesar 1 standar deviasi dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 7 Respon dinamik PPh terhadap Kurs IDROPY d a n IDR/USD Fluktuasi nilai tukar rupiah (IDR/JPY dan IDRTUSD) terhadap penerimaan pajak sektor PPh merupakan incomplete pass trough dengan derajat pass trough sebesar -0.536 (IDR/JPY) dan 0.173 (IDRlUSD). Artinya apresiasi/depresiasi nilai tukar IDROPY sebesar satu persen akan mengakibatkan kenaikanlpenurunan penerimaan PPh sebesar 0.536 persen. Sedangkan apresiasildepresiasi nilai tukar IDRWSD sebesar satu persen akan mengakibatkan penurunan/kenaikan penerimaan PPh sebesar 0.173 persen. Efek perubahan kurs IDROPY terhadap PPh terbesar terjadi pada bulan pertama sampai k e tiga sebesar -0.575% kemudian berfluktuasi maksimal 0.339% sampai bulan k e 23. Kem u d i a n akan m e n u r u n d a n kembali stabil pada bulan k e 30 dengan dengan penurunan sebesar 0.165% dibandingkan nilai semula. Efek perubahan kurs IDRTUSD terhadap PPh terbesar terjadi pada bulan pertama sampai k e lima sebesar -0.495% kemudian berfluktuasi maksimal0.363% sampai bulan k e 23. Kemudian akan m e n u r u n d m kembali stabil pada bulan k e 25 dengan dengan kenaikan sebesar 0.124% dibandingkan nilai semula. Posisi penting kurs valuta asing da- lam perdagangan intemasional mengakibatkan berbagai konsep yang berkaitan dengan kurs valuta asing mengalami perkembangan dalam upaya mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kurs valuta asing (Flemming, 1962; Dornbusch, 1976). Fluktuasi WPI dan PPI terhadap penerimaan pajak sektor PPh merupakan incomeplete pass trough dengan derajat pass trough sebesar -0.059 (WPI) dan 0.037 (PPI).Artinya kenaikan/penumnan WPI sebesar satu persen akan mengakibatkan penurunanlkenaikan penerimaan PPh sebesar 0.059 persen. Sedangkan kenaikan/penurunan PPI sebesar satu persen akan mengakibatkan kenaikanl penurunan penerimaan PPh sebesar 0.037 persen. Efek perubahan WPI terhadap PPh terbesar terjadi pada bulan keenam sampai ke sembilan sebesar -0.25% kemudian kembaliapada keseimbangan semula pada bulan ke 48. Gambar 8 Respon dinamik PPh terhadap WPI dan PPI Sedangkan efek perubahan PPI terhadap PPh terbesar terjadi pada bulan kedua sampai ke enam yaitu sebesar 0.603% kemudim kembali pada keseimbangan semula pada bulan ke 26. Pengaruh fluktuasi WPI akan berpengaruh lebik lama dibandingkan PPI. PPI didefinisikan sebagai kenaikan harga pada level produsen, sehingga wajar bila pengaruh WPI akan lebih lama dibandingkan PPI. Keseluruhan fluktuasi output perusahaan akan mempengaruhi kinerja keuntungan yang dihasilkan melalui realisasi revenue - tiap h l a n sehingga kinerja penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) yang dibayarkan sebagai angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan dan PPh Pasal 29 pada akhir tahun juga akan terpengaruh. Sedangkan pajak-pajak impor meliputi PPN impor (lo%),PPh Pasal 22 impor (2.5-7.5%) dan PPN Barang Mewah impor (PPN BM Impor) atas transaksi barang masuk ke Indonesia akan tercermin dari pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas konsumsi barang kena pajak (BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP) yang dilakukan oleh perusahaan. Gambar 9 Respon dinamik PPN terhadap Impor dan Eskpor Fluktuasi nilai impor terhadap penerimaan pajak sektor PPN merupakan inconzeplete pass trough dengan derajat pass trough tidak terlalu besar yaitu sebesar 0.076. Artinya kenaikanlpenurunan nilai impor sebesar satu persen akan mengakibatkan kenaikanl penurunan penerimaan PPN sebesar 0.076 persen. Efek perubahan nilai impor terhadap PPN terbesar terjadi pada bulan kelima sebesar -0.045% kemudian kembali pada keseimbangan semula pada bulan ke 28 dengan kenaikan penerimaan PPN hanya sebesar 0.00035%. Disamping itu peranan ekspor terhadap penerimaan pajak sebenamya hampir tidak dirasakan, karena pada umumnya barang-barang yang diekspor dikenakan tarif pajak 0% sehingga dari gambar 9 terlihat bahwa peranan ekspor tidak memberikan gejolak signifikan terhadap penerimaan PPN. Fluktuasi nilai ekspor terhadap penerimaan pajak sektor PPN sendiri merupakan incomplete pass trough dengan derajat pass trough sebesar 0.369. Fluktuasi Output (GDP) Menurut pendekatan produksi, Produk Domestik Bruto (PDB) adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu setahun. Kesempatan kerja dalam perekonomian akan menentukan tingkat kegiatan ekonomi dan tingkat produksi atau pendapatan nasional yang dihasilkan. Pengaruh guncangan output terutama di sektor jasa terhadap penerimaan pajak sektor PPN (gambar 10) pada bulan pertama sampai ke tiga akan menurunkan penerimaan pajak sebesar -0.04%. Hal ini menunjukkan adanya lag antara sumber guncangan dengan pengaruh yang tejadi. Dalam jangka panjang penerimaan pajak akan kembali pada keseimbangan semula setelah 39 bulan. dilihat pada gambar berikut ini. Efek fluktuasi tingkat hunian hotel (HOR) terhadap penerimaan pajak sektor PPh merupakan salah satu yang terbesar dengan derajat pass trough sebesar 1.180. Artinya perubahan tingkat hunian hotel sebesar satu persen akan mengakibatkan kenaikan penerimaan PPh sebesar 1.180 persen. Efek perubahan tingkat hunian hotel terhadap PPh pada bulan pertama sampai ke tiga sebesar 0.4% kemudian berfluktuasi maksimal 0.564% sampai bulan ke lima. Kemudian akan menurun dan berfluktuasi pada range sekitar 0.198% sampai dengan 0.302% setelah itu akan kembali stabil sampai bulan ke 48 (tahun ke empat) dengan kenaikan 1.180% dibandingkan nilai semula. Gambar 11 Respon dinamik PPh terhadap tingkat hunian hotel (HOR) Gambar 10 Respon dinamik PPN terhadap GDP-SERV dan GDP-TC Sedangkan pengamh guncangan PDB di sektor telekomunikasi dan transportasi terhadap penerimaan pajak sektor PPN (gambar 15) terjadi pada bulan bulan pertama sampai ke tiga akan menaikkan penerimaan pajak sebesar 0.034%. Dalam jangka panjang penerimaan pajak akan kembali pada keseimbangan semula setelah 59 bulan. Fluktuasi Tingkat Hunian Hotel Pengaruh guncangan tingkat hunian hotel (HOR) terhadap penerimaan pajak da- Peningkatan tingkat hunian hotel merupakan indikasi awal bahwa telah tejadi peningkatan aktifitas bisnis. Dimana peningkatan aktifitas bisnis akan berdampak pada slklus bisnis dan pengingkatan penerimaan pajak dari segala sektor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meningkatnya tingkat hunian hotel maka akan mengindikasikan pada meningkatnya revenue perusahaan, ha1 ini dapat dilihat dari peningkatan setoran corporate tax melalui angsuran bulanan PPh pasal25 dan PPh pasal29 yaitu jumlah setoran yang terhutang pada akhir tahun. Jika dilihat dari GDP sektor perda- 'I uang beredar d a n nilai tukar. Strategi pengendalian dalam rangka pengamanan penerimaan pajak didasarkan pada sinyal yang diberikan oleh T E W S . Dalam tatanan agreStrategi Pengamanan Penerimaan Pajak Dari s u d u t pandang ekonomi, pajak gat nasional dalam ha1 ini Departemen Keadalah salah satu primadona penerimaan uangan Republik Indonesia bertindak sebanegara yang paling potensial. Bahkan, saat gai pengendali fiskal tidak dapat berdiri ini sektor pajak m e m b e r i k a n kontribusi sendiri diperlukan koordinasi yang haryang terbesar dalam A P B N . Hal ini m e n u n - m o n i s dengan pihak lain yaitu Bank jukkan b a h w a betapa pentingnya pajak bagi Indonesia sebagai pengendali sistem negara karena pajak m e r u p a k a n sumber da- moneter. Hal ini perlu dilakukan karena n a yang diperuntukkan bagi pembiayaan berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa pengeluaran negara/pemerintah. U n t u k m e - salah satu penyebab fluktuasi ekonomi lakukan sinkronisasi kebijakan sehubungan adalah nilai tukar, dimana penjaga stabilitas dengan pengaruh turbulensi lingkungan nilai tukar berada dalam jangkauan bidang yang mempengaruhi keseimbangan APBN tugas Bank Indonesia. Sedangkan hampir melalui m e k a n i s m e manajemen pengenda- semua variabel p e n y u s u n T E W S berada di lian penerimaan pajak secara e f e k t i f berda- luar kendali Direktorat Jenderal Pajak (DJP). sarkan identifikasi T E W S indikator m a k a Sehingga dalam ha1 ini posisi DJP b u k a n perlu dilakukan manajemen penyelarasan. merupakan kendali kebijakan dalam level Manajemen sendiri m e n u r u t Stoner (1999) agregat makro. adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan d a n pengawasan, usaha-usaha para anggota organisasi d a n penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar tercapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan melalui strategi-stretgi tertentu. Strategi yang dimaksud d i sini adalah suatu k u m p u l a n perilaku d a n seperangkat tindakan yang d i b u t u h k a n u n t u k mencapai sasaran dengan cara-cara yang sistematis, efektif, d a n efisien sesuai dengan sinyal-sinyal fluktuasi yang telah diidentifikasi melalui TEWS. Sasaran atau target yang akan di- Gambar 11 Strategi Pengamanan Penerim a a n Pajak Berdasarkan sinyal catat itu sendiri m e m b e r i k a n pengertian tendari T E W S tang sesuatu yang dituju atau sesuatu yang hendak dicapai. Pencapaian sasaran perpaPengendalian kelima variabel tersebut jakan h a r m memperhatikan k e d u a belah sisi baik dari sisi fiskus sebagai pelaksana pe- berada d i d u a institusi yang berbeda. Penm u n g u t a n pajak d a n sisi Wajib Pajak selaku gendali k o n s u m s i m i n y a k , harga m i n y a k d a n inflasi merupakan d o m a i n dari Departepembayar pajak. Dari tabel 1 di atas dapat dilihat bah- m e n Keuangan sedangkan pengendalian w a paling tidak terdapat lima variabel pen- jumlah uang beredar d a n nilai tukar meruting u n t u k dikendalikan yaitu konsumsi mi- pakan bidang tugas Bank Indonesia. Dengan nyak, harga minyak, inflasi dalam negeri, demikian strategi yang akan diterapkan oleh gangan, hotel d a n restoran yang selalu mengalami peningkatan tiap tahun. olaan makro ekonomi melainkan lebih beisifat strategi antisipatif dalam ha1 manajemen pengamanan penerimaan negara. Manajemen antisipatif yang dilakukan oleh DJP merupakan proses yang melibatkan fungsifungsi seperti yang telah dijelaskan terdahulu dalam tinjauan pustaka yaitu berupa analisa, perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organizing), pengarahan (Actuating), dan pengawasan (Controling) dengan tujuan untuk menghasilkan kepuasan bagi semua pihak. DJP adalah salah satu bagian organisasi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan manajemen pengamanan penerimaan negara di Departemen Keuangan Republik Indonesia memiliki peran sentral dalam mengelola penerimaan pajak melalui proses manajemen seperti telah dijelaskan di atas. DJP bertugas merencanakan sistem pengamanan penerimaan negara untuk mencapai sasaran strategik organisasi secara keseluruhan. Departemen Keuangan secara periodik memantau dan mengevaluasi hasil pelaksanaan rencana pengamanan penerimaan yang dilakukan oleh DJP sebagai bahan kajian dalam membuat evaluasi pencapaian sasaran strategik organisasi. Dari ha1 tersebut terllhat bahwa manajemen antisipatif yang dilakukan DJP memiliki peranan yang penting dalam pencapaian sasaran organisasi induk dalam ha1 ini Departemen Keuangan. Oleh karena itu DJP harus memilki kemampuan untuk memantau dan mengendalikan pelaksanaan rencana dalam rangka pengamanan penerimaan pajak. Menurut Hermawan Kartajaya (1998), pada suatu organisasi baik pemerintah maupun swasta, akan terjadi suatu proses manajemen yang melibatkan value (V),strategy (S) dan tactic (T) dalam suatu siklus tertutup dan timbal b a l k Ketiganya mempunyai peran berbeda dalam sebuah organisasi dan saling mempengaruhi. Jika dianalogkan de- tang bagaimana cara organisasi dapat merebut mind share, dalam ha1 ini DJP perlu menentukan posisi wajib pajak yang akan dijadikan sebagai target utama, menengah dan bawah. Sedangkan tactic tentang bagaimana organisasi merebut market share dalam ha1 ini organisasi DJP perlu menangkap seluruh sektor ekonomi yang memberikan manfaat perpajakan tinggi untuk meningkatkan penerimaan negara dan value adalah tentang bagaimana organisasi merebut heart share dalam ha1 ini DJP perlu membentuk citra positif di masyarakat melalui pelayanan prima sehingga kesadaran dalam membayar pajak menjadi suatu kebutuhan bukan merupakan sebuah beban. Ketiga unsur tersebut merupakan suatu ha1 yang sangat penting bagi organisasi manapun karena secara bersama-sarna unsur-unsur ini akan membentuk grand design dari sebuah organisasi. KESIMPULAN Secara keseluruhan tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh fluktuasi ekonomi (pass through) terhadap kinerja penerimaan pajak serta merumuskan kebijakan strategis untuk mengantisipasi turbulensi lingkungan berdampak terhadap kesetabilan penerimaan pajak. Dari hasil analisis VECM terhadap series acuan PPh diketahui bahwa terdapat 3 indikator yang memiliki derajat pass-trough lebih besar dari satu (complete pass trough) yaitu tingkat hunian hotel, jumlah uang beredar dan konsurnsi minyak. Sedangkan terhadap PPN seluruh indikator menunjukkan gejala incomplete pass trough. Secara keseluruhan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia sampai dengan tahun 2007 masih dalam status small open economy dan ha1 ini sesuai dengan teori New Keynes. Hasil kesimpulan ini temyata juga sejalan dengan beberapa penelitian tentang siklus bisnis In- ..,?.y.L:. donesia terdahulu dan juga konsisten dengan asumsi awal yang diterapkan. Paling tidak terdapat lima variabel penting untuk dikendalikan yaitu konsumsi minyak, harga minyak, inflasi dalam negeri, uang beredar dan nilai tukar. Strategi pengendalian dalam rangka pengamanan penerimaan pajak didasarkan pada sinyal yang diberikan. Dalam tatanan agregat nasional dalam ha1 ini Departemen Keuangan Republik Indonesia bertindak sebagai pengendali fiskal tidak dapat berdiri sendiri diperlukan koordinasi yang harmonis dengan pihak lain yaitu Bank Jndonesia sebagai pengendali sistem moneter. Sedangkan hampir semua variabel penyusun TEWS berada di luar kendali Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sehingga dalam ha1 ini posisi DJP bukan merupakan kendali kebijakan dalam level agregat makro. Dengan demikian strategi yang akan diterapkan oleh DJP juga bukan merupakan strategi pengelolaan makro ekonomi melainkan lebih bersifat strategi antisipatif dalam ha1 manajemen pengamanan penerimaan negara. Manajemen antisipatif yang dilakukan oleh DJP merupakan proses yang melibatkan fungsi-hgsi seperti yang dijelaskan di atas yaitu berupa analisa, perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organizing), pengarahan (Actuating), dan pengawasan (Controling) dengan tujuan untuk menghasilkan kepuasan bagi semua pihak. Disamping itu penyelarasan antara kebijakan yang diterapkan untuk stabilisasi penerimaan harus pula dapat menciptakan pengaruh yang kondusif terhadap dunia usaha, sehingga perlu diterapkan strategi tertentu dalam sistem perpajakan. Strategi yang dimaksud di sini adalah suatu kumpulan perilaku dan seperangkat tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran dengan cara-cara yang sistematis, efektif, dan efisien sesuai dengan sinyal-sinyal fluktuasi yang telah diidentifikasi melalui TEWS dan pola kerangka kerja manajemen antisipatif berupa Strategy, Value dan Tactic. Seluruh usaha tersebut tidak lain adalah untuk menciptakan harmonisasi hubungan antara fiskus dan wajib pajak sehingga visi serta misi DJP dapat terwujud dengan baik melalui pencapaian indikator kesuksesan berupa peningkatan tax ratio, peningkatan jumlah WP OP, penurunan jumlah WP non filer dan meningkatnya image positif DJP dapat tejadi secara optimal. DAFTAR RUJUKAN Achsani Noer Azam, Nababan Herry Frenky. 2006. Dampak Perubahan Kurs (Pass Trough Effect) Terhadap Tujuh KeIompok Indeks Hnrga Konsumen Indonesia. Paper Institut Pertanian Bogor, Batiz, Fransisco Rivera dan Luis R. Batiz. 1994. Internationtll Finance and Open Economy, M~ncroecononzics. New York: McMillan Publishing Co.. Dornbusch, R. 1976. "Expectations and exchange rate dynamics". Journal of Political Economy 84, pp.1161-1176, Flamini Alessandro. 2005. Inflation Targeting and Exchange Rate Pass-through. Graduate Institute of International Studies Flemming, JM. 1962. "Domestic Financial Policies Under Fixed and Under Floating Exchange Rates". Anzerican Economic Review, Val. 90, pp. 369-379, Hyder Zulfiqar, Shah Sardar. 2004. Exchange Rate Pnss-Through to Domestic Prices in Pakistnn. Working Papers. State Bank of Pakistan Ito Takatoshi, Sasaki Yuri N, Sato Kiyotaka. 2005. Pass-Through of Exchange Rnte Changes and Macroeconomic Shocks to Donzestic Inflation in East Asian Countries, RIETI Discussion Paper Series 05E-020 Johansen, S. 1992. "Statistical Analysis of Cointegration Vectors". journal of Eco- 254, Kartajaya, H. 1998. Marketing Plus 2000 : Siasat Memenangkan Persaingan Global. Jakarta: Gramedia Pustaka Media Kiptui Moses, Ndolo Daniel, Kaminchia Sheila Kaminchia. 2005. Exchange Rate Pass-Through: To What Extent Do Exchange Rate Fluctuations Affect Import Prices and Inflation i n Kenya?. Working Paper No 1Central Bank of Kenya, McCarthy Jonathan. 2006. PASS-THROUGH of Exchange Rates and Import Prices to Domestic Inflation in Some Industrialized Economices, Macroeconomic and Monetary Studies Function. Federal Reserve Bank of New York Nugraha Fickry Widya, Achsani Noer Azam. 2008. Efek Perubahan (PASSTHROUGH EFFECT) Kurs Terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK) di Asenan5, Jepang dun Korea Selatan, Working Paper No. ll/A/III/2008, Department of Economics Faculty of Economics and Management Bogor Agriculture University, Working with Microfit 4.0: Interactive Econometric Analysis (Windows Version), Oxford University Press, Sahminan. 2005. Exchange Rate Pass-Through into Import Price i n Major Southeast Asian Countries. Paper dipresentasikan pada Seminar Akademik 2005, Kerjasama Bank Indonesia dengan FE Universitas Indonesia, Hotel Borobudur-Jakarta. Sato. K, T. Ito, YN, Sasaki. 2005. Pass trough of exchange rate changes and macroeconomics shock to domestic inflation i n east asian countries, RIETI discussion paper series 05-E-202 Japan Shapiro, E. 1978. Macroeconomic Analysis. Fourth Edition. New York, United States: Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Siregar Hermanto. 2002. Empirical Evaluntion of Rival Theories of the Business Cycle: Applications of Structural V A R Models to New Zealand Economy, Phd. Thesis, Lincoln University, Canterbury, Stoner, James. A.F. 1993. Manajemen. Jakarta