PENGARUH INFLASI, NILAI TUKAR RUPIAH DAN JUMLAH

advertisement
PENGARUH INFLASI, NILAI TUKAR RUPIAH DAN JUMLAH
PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP) TERHADAP PENERIMAAN
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Disusun Oleh:
DWI NURAENI
NIM: 107082000567
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
KEASLIAN KARYA ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Dwi Nuraeni
NIM
: 107082000567
Fakultas
: Ekonomi dan Bisnis
Jurusan
: Akuntansi
Dengan ini menyatakan bahwa dalam penulisan skripsi ini, saya :
1. tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan
mempertanggungjawabkan
2. tidak melakukan plagiat terhadap naskah karya orang lain
3. tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli
atau tanpa ijin pemilik karya
4. tidak melakukan pemanipulasian dan pemalsuan data
5. mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas karya
ini
Jikalau di kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah
melalui pembuktian yang dapat dipertanggung-jawabkan, ternyata memang
ditemukan bahwa saya telah melanggar pernyataan di atas, maka saya siap untuk
dikenai sanksi berdasarkan aturan yang berlaku di Fakultas Ekonomi dan Bisnis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Ciputat, 11 Mei 2011
Yang Menyatakan,
(Dwi Nuraeni)
107082000567
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama
:
Dwi Nuraeni
Tempat & Tgl. Lahir :
Jakarta, 20 Agustus 1989
Alamat
Jl. Yudistira Blok Y4 No.34 Reni Jaya
:
Pamulang-Tangerang Selatan
Telepon
:
085695578792
E-Mail
:
[email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
1. TK. Ikhlasul Amin lulus Tahun 1995
2. SDN Pondok Petir 01 lulus Tahun 2001
3. SLTPN 1 Pamulang lulus Tahun 2004
4. SMAN 1 Ciputat lulus Tahun 2007
5. Strata 1 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akuntansi Konsentrasi Pajak
LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah
:
Masruri
2. Tempat & Tgl. Lahir
:
Tegal, 20 November 1963
3. Ibu
:
Ranti
4. Tempat & Tgl. Lahir
:
Ponorogo, 23 Mei 1964
5. Anak Ke Dari
:
Anak Ke Tiga Dari Tiga Saudara
PENGALAMAN BEKERJA
1.
Kuliah Kerja Sosial Bebas Terkendali (KKS-BT) di Koperasi Perguruan
Muhammadiyah Setiabudi Pamulang pada Juli 2010
2.
Magang di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Pasar Rebo pada
Juli 2011
v
THE EFFECT OF INFLATION, EXCHANGE RATE AND THE AMOUNT
OF TAXABLE ENTREPRENEURS TOWARDS VALUE ADDED TAX (VAT)
REVENUE
By:
Dwi Nuraeni
Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta
This research aims to determine the effect of inflation, exchange rate and the
amount of taxable entrepreneurs towards Value Added Tax (VAT) revenue either
partially or simultaneously. The sample in this study is to cover all of Indonesia
during the period 2002 until 2009. The sample used was eighty five and analyzing
data for hypothesis testing is done by multiple regression.
The results showed that inflation, exchange rate and the amount of the taxable
entrepreneurs significant effect on VAT revenue. Similarly, the partial effect on
alpha 5% showed similar results. Furthermore, based on adjusted r square can be
seen that the effect of inflation, exchange rate and the amount of the taxable
entrepreneurs can be explained by 88.5%.
Keywords: VAT revenue, inflation, exchange rate, the amount of the taxable
entrepreneurs
vi
PENGARUH INFLASI, NILAI TUKAR RUPIAH DAN JUMLAH
PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP) TERHADAP PENERIMAAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
Oleh:
Dwi Nuraeni
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah
dan jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) terhadap penerimaan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) baik secara parsial atau simultan. Sampel dalam
penelitian ini adalah mencakup seluruh wilayah Indonesia selama periode tahun
2002 sampai dengan tahun 2009. Sampel yang digunakan berjumlah delapan
puluh lima dan penganalisaan data untuk pengujian hipotesis dilakukan dengan
regresi berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah
Pengusaha Kena Pajak (PKP) berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PPN.
Demikian juga dengan pengaruh secara parsial pada alpha 5% menunjukkan hasil
yang sama. Selanjutnya berdasarkan adjusted r square dapat diketahui bahwa
pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP)
dapat dijelaskan sebesar 88,5%.
Kata kunci: penerimaan PPN, inflasi, nilai tukar rupiah, jumlah Pengusaha Kena
Pajak (PKP)
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi Robbil’Alamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan atas
kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan limapahan karunia-Nya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
PENGARUH
INFLASI,
NILAI
TUKAR
RUPIAH
DAN
JUMLAH
PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP) TERHADAP PENERIMAAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI (PPN) dengan lancar. Shalawat serta salam
terlimpahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW, yang telah
memberikan ajaran Islam yang telah terbukti kebenarannya dan terus terbukti
kebenarannya.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat-syarat meraih
gelar Sarjana Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama proses pembuatan skripsi ini, berbagai
hambatan dan kesulitan telah penulis hadapi. Berkat petunjuk dan hidayah dari
Allah SWT, doa kedua orang tua, dukungan, bimbingan serta bantuan dari
berbagai pihak, sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan
lancar.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:
1.
Allah S.W.T atas rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
2.
Kedua orang tua tercinta, yang telah memberikan semangat serta doa yang
tiada henti-hentinya kepada penulis dan selalu memberikan rasa cinta,
perhatian, kasih sayang, motivasi dan membantu secara moral dan materil
serta selalu mengiringi penulis melalui doa restu.
3.
Kedua kakakku Ida dan Fitri, Bude, Pade dan Sepupu-sepupu terimakasih
atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.
viii
4.
Bapak Dr. Yahya Hamja, MM selaku dosen Pembimbing I, yang telah
memberikan pengarahan, bimbingan, waktu dan ilmunya dalam penulisan
skripsi ini.
5.
Ibu Yessy Fitri, SE,. Ak,. M.Si selaku SEKJUR Akuntansi dan dosen
Pembimbing II, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, waktu dan
ilmunya dalam penulisan skripsi ini.
6.
Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku DEKAN Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
7.
Ibu Rahmawati, SE., MM selaku KAJUR Akuntansi Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
8.
Seluruh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan segenap ilmu dan pengalamannya.
9.
Seluruh Staf dan Karyawan Universitas Islam Negeri yang telah memberikan
bantuan kepada penulis.
10. Ibu Fairly pada Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Humas serta Bapak
Novi pada Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak atas data-data skripsi yang telah diberikan.
11. Senior Kak Senja Nuansari atas semua dukungan dan bantuannya.
12. Kawan-kawanku akuntansi khususnya kelas akuntansi B yaitu Lita, Culi,
Endang, Dian, Tami, Iis, Winda, Indri, Rahay, Jabar, Dewi, Wina, Icha,
Amel, Koi, Anik, Ani, NEROX dan anak cowonya yang tidak bisa disebutkan
satu per satu.
13. Rekan-rekan seperjuangan konsentrasi Akuntansi Perpajakan, Audit dan
Akuntansi Manajemen angkatan 2007 yang telah memberikan dukungannya
selama ini kepada penulis.
14. Teman-teman seperjuangan ujian kompre (Lita, Leni, Chintya dan Ocha) dan
teman-teman seperjuangan sidang (Lita, Leni dan Michiko).
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan penulis satu persatu atas bantuan
dan penyusunan skripsi ini.
ix
Meskipun penulis telah berusaha dengan segenap kemampuan yang dimiliki
untuk menyempurnakan skripsi ini, namun penulis menyadari masih banyak
terdapat kekurangan dalam penulisan ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak.
Akhirnya dengan segala keterbatasan yang dimiliki, maka penulis ingin
mempersembahkan skripsi ini kepada semua pihak yang menaruh perhatian bagi
perkembangan dunia pendidikan khususnya bidang penelitian di Indonesia dengan
harapan agar bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Wasalamualaikum wr,wb.
Jakarta, 11 Mei 2011
(Dwi Nuraeni)
107082000567
x
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan………………………………………………..
i
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif……………………….
ii
Lembar Pengesahan Ujian Skripsi……………………………….
iii
Surat Pernyataan………………………………………………….
iv
Daftar Riwayat Hidup…………………………………………….
v
Abstract……………………………………………………………..
vi
Abstrak…………………………………………………………….
vii
Kata Pengantar…………………………………………………….
viii
Daftar Isi……………………………………………………...........
xi
Daftar Tabel………………………………………………………..
xiv
Daftar Gambar……………………………………………………..
xv
Daftar Lampiran…………………………………………………..
xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian…………………………...........
1
B. Rumusan Masalah……….....…………………….............
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………….............
9
1. Tujuan Penelitian……………………………................
9
2. Manfaat Penelitian………………………………...........
9
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)………..…………...........
11
1. Sejarah PPN…………………………………………….
11
2. Definisi PPN……………………………………............
12
3. Dasar Hukum PPN……………..………………............
12
4. Karakteristik PPN………………………………………
13
5. Barang dan Jasa Kena Pajak (BKP) (JKP)…………….
14
6. Objek PPN………………………………………............
21
7. Subjek PPN………………………………………...........
22
8. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)………………….............
23
9. Saat dan Tempat Terutang Pajak………………………
25
xi
10. Tarif PPN…………….……………................................
26
11. Cara dan Metode Penghitungan PPN………….............
27
12. Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan…...…............
27
13. Faktur Pajak…………………………………………….
30
14. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) PPN…………
32
B. Inflasi……………………………………………….............
33
1. Definisi Inflasi……………………….…………..............
33
2. Macam-Macam Inflasi…………………………………..
34
3. Laju Inflasi………………………………………............
35
4. Efek Buruk inflasi……………..………………..............
36
5. Kebijakan Mengatasi Inflasi…………………….. ..........
38
C. Nilai Tukar Rupiah………………………………….........
38
1. Definisi Nilai Tukar Rupiah……..………..……...........
38
2. Pemintaan dan Penawaran Terhadap Valuta Asing….
39
3. Sistem Nilai Tukar……………………………………...
40
4. Macam-Macam Kurs……………………………. ........
41
5. Cara Menghitung Kurs………………………….. ........
42
6. Dampak dan Pengendalian Fluktuasi Rupiah………..
43
D. Pengusaha Kena Pajak (PKP)………………………........
45
1. Definisi PKP……………………………………..........
45
2. Pengukuhan PKP………………………………... .......
46
3. Pencabutan Pengukuhan Sebagai PKP……………….
46
4. Kewajiban PKP……………………….…………. .......
48
5. Pengecualian Kewajiban PKP…….…………….. .......
48
6. Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pajak……………......
49
E. Penelitian Terdahulu……………………………….. .......
50
F. Keterkaitan Antar Variabel………..………………. .......
52
G. Kerangka Pemikiran ………….……………………........
56
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian…………………………........
58
B. Metode Penentuan Sampel….….………………….........
58
xii
C. Metode Pengumpulan Data………………………… .......
59
D. Metode Analisis……………………………...................
59
1. Uji Asumsi Klasik.......................................................
60
a. Uji Normalitas Data..................................................
60
b. Uji Multikolonieritas................................................
60
c. Uji Heteroskedastisitas...................................... .......
61
d. Uji Autokorelasi………………………………........
61
2. Uji Hipotesis..................................................................
61
a. Uji Koefisien Determinasi (R2).................................
62
b. Uji Statistik t………………………………….. ........
63
c. Uji Statistik F…………………………….................
63
E. Operasional Variabel Penelitian.…………………..........
64
1. Variabel Independen………….………………….........
64
2. Variabel Dependen…………….…………………........
66
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian……………….. ........
67
1. Deskripsi Objek Penelitian……………..………..........
67
2. Deskripsi Sampel Penelitian…………………….. ........
68
B. Analisis dan Pembahasan…………………………..........
68
1. Hasil Uji Asumsi Klasik........................................ .........
68
a. Hasil Uji Normalitas Data...........................................
68
b. Hasil Uji Multikolonieritas.........................................
70
c. Hasil Uji Heteroskedastisitas......................................
71
d. Hasil Uji Autokorelasi……………………………….
72
2. Hasil Uji Hipotesis.........................................................
72
a. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)..........................
72
b. Hasil Uji Statistik t…………………………..............
73
c. Hasil Uji Statistik F…………….................................
79
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan………………………………………….........
81
B. Implikasi……………………………………………..........
82
xiii
C. Keterbatasan…………………………………………........
84
D. Saran…………………………………………………........
85
Daftar Pustaka……..…………………….…………………........
88
Lampiran………………………………………………………….
91
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor
Keterangan
Halaman
2.1
Penelitian Terdahulu…………………………………..
50
4.1
Hasil Uji Multikolonieritas……………………………
70
4.2
Hasil Uji Koefisien Determinasi………………………
72
4.3
Hasil Uji t………………………………………………
74
4.4
Hasil Uji F……………………………………………..
80
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Keterangan
Halaman
2.1
Skema Kerangka Pemikiran……………………………
57
4.1
Grafik Histogram……………………………………….
69
4.2
Grafik Normal Probability Plot…………………………
69
4.3
Grafik Scatterplot……………………………………….
71
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Keterangan
Halaman
Lampiran 1
Surat Izin Penelitian……………………………
91
Lampiran 2
Surat Pemberian Izin Penelitian……………….
92
Lampiran 3
Data Penelitian…………………………………
93
Lampiran 4
Output Analisis Regresi……………………….
96
Lampiran 5
t Tabel………………………………………….
99
Lampiran 6
F Tabel…………………………………………
102
xvii
Titik Persentase Distribusi t (df = 1 – 40)
Pr
0.25
0.50
0.20
0.10
0.050
0.02
0.010
0.002
1
1.00000
3.07768
6.31375
12.70620
31.82052
63.65674
318.30884
2
0.81650
1.88562
2.91999
4.30265
6.96456
9.92484
22.32712
3
0.76489
1.63774
2.35336
3.18245
4.54070
5.84091
10.21453
4
0.74070
1.53321
2.13185
2.77645
3.74695
4.60409
7.17318
5
0.72669
1.47588
2.01505
2.57058
3.36493
4.03214
5.89343
6
0.71756
1.43976
1.94318
2.44691
3.14267
3.70743
5.20763
7
0.71114
1.41492
1.89458
2.36462
2.99795
3.49948
4.78529
8
0.70639
1.39682
1.85955
2.30600
2.89646
3.35539
4.50079
9
0.70272
1.38303
1.83311
2.26216
2.82144
3.24984
4.29681
10
0.69981
1.37218
1.81246
2.22814
2.76377
3.16927
4.14370
11
0.69745
1.36343
1.79588
2.20099
2.71808
3.10581
4.02470
12
0.69548
1.35622
1.78229
2.17881
2.68100
3.05454
3.92963
13
0.69383
1.35017
1.77093
2.16037
2.65031
3.01228
3.85198
14
0.69242
1.34503
1.76131
2.14479
2.62449
2.97684
3.78739
15
0.69120
1.34061
1.75305
2.13145
2.60248
2.94671
3.73283
16
0.69013
1.33676
1.74588
2.11991
2.58349
2.92078
3.68615
17
0.68920
1.33338
1.73961
2.10982
2.56693
2.89823
3.64577
18
0.68836
1.33039
1.73406
2.10092
2.55238
2.87844
3.61048
19
0.68762
1.32773
1.72913
2.09302
2.53948
2.86093
3.57940
20
0.68695
1.32534
1.72472
2.08596
2.52798
2.84534
3.55181
21
0.68635
1.32319
1.72074
2.07961
2.51765
2.83136
3.52715
22
0.68581
1.32124
1.71714
2.07387
2.50832
2.81876
3.50499
23
0.68531
1.31946
1.71387
2.06866
2.49987
2.80734
3.48496
24
0.68485
1.31784
1.71088
2.06390
2.49216
2.79694
3.46678
25
0.68443
1.31635
1.70814
2.05954
2.48511
2.78744
3.45019
26
0.68404
1.31497
1.70562
2.05553
2.47863
2.77871
3.43500
27
0.68368
1.31370
1.70329
2.05183
2.47266
2.77068
3.42103
28
0.68335
1.31253
1.70113
2.04841
2.46714
2.76326
3.40816
29
0.68304
1.31143
1.69913
2.04523
2.46202
2.75639
3.39624
30
0.68276
1.31042
1.69726
2.04227
2.45726
2.75000
3.38518
31
0.68249
1.30946
1.69552
2.03951
2.45282
2.74404
3.37490
32
0.68223
1.30857
1.69389
2.03693
2.44868
2.73848
3.36531
33
0.68200
1.30774
1.69236
2.03452
2.44479
2.73328
3.35634
34
0.68177
1.30695
1.69092
2.03224
2.44115
2.72839
3.34793
35
0.68156
1.30621
1.68957
2.03011
2.43772
2.72381
3.34005
36
0.68137
1.30551
1.68830
2.02809
2.43449
2.71948
3.33262
37
0.68118
1.30485
1.68709
2.02619
2.43145
2.71541
3.32563
38
0.68100
1.30423
1.68595
2.02439
2.42857
2.71156
3.31903
39
0.68083
1.30364
1.68488
2.02269
2.42584
2.70791
3.31279
40
0.68067
1.30308
1.68385
2.02108
2.42326
2.70446
3.30688
df
0.10
0.05
0.025
0.01
0.005
0.001
Catatan: Probabilita yang lebih kecil yang ditunjukkan pada judul tiap kolom adalah luas daerah
dalam satu ujung, sedangkan probabilitas yang lebih besar adalah luas daerah dalam
kedua ujung
Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com), 2010
Page 1
Titik Persentase Distribusi t (df = 41 – 80)
Pr
0.25
0.50
0.20
0.10
0.050
0.02
0.010
0.002
41
0.68052
1.30254
1.68288
2.01954
2.42080
2.70118
3.30127
42
0.68038
1.30204
1.68195
2.01808
2.41847
2.69807
3.29595
43
0.68024
1.30155
1.68107
2.01669
2.41625
2.69510
3.29089
44
0.68011
1.30109
1.68023
2.01537
2.41413
2.69228
3.28607
45
0.67998
1.30065
1.67943
2.01410
2.41212
2.68959
3.28148
46
0.67986
1.30023
1.67866
2.01290
2.41019
2.68701
3.27710
47
0.67975
1.29982
1.67793
2.01174
2.40835
2.68456
3.27291
48
0.67964
1.29944
1.67722
2.01063
2.40658
2.68220
3.26891
49
0.67953
1.29907
1.67655
2.00958
2.40489
2.67995
3.26508
50
0.67943
1.29871
1.67591
2.00856
2.40327
2.67779
3.26141
51
0.67933
1.29837
1.67528
2.00758
2.40172
2.67572
3.25789
52
0.67924
1.29805
1.67469
2.00665
2.40022
2.67373
3.25451
53
0.67915
1.29773
1.67412
2.00575
2.39879
2.67182
3.25127
54
0.67906
1.29743
1.67356
2.00488
2.39741
2.66998
3.24815
55
0.67898
1.29713
1.67303
2.00404
2.39608
2.66822
3.24515
56
0.67890
1.29685
1.67252
2.00324
2.39480
2.66651
3.24226
57
0.67882
1.29658
1.67203
2.00247
2.39357
2.66487
3.23948
58
0.67874
1.29632
1.67155
2.00172
2.39238
2.66329
3.23680
59
0.67867
1.29607
1.67109
2.00100
2.39123
2.66176
3.23421
60
0.67860
1.29582
1.67065
2.00030
2.39012
2.66028
3.23171
61
0.67853
1.29558
1.67022
1.99962
2.38905
2.65886
3.22930
62
0.67847
1.29536
1.66980
1.99897
2.38801
2.65748
3.22696
63
0.67840
1.29513
1.66940
1.99834
2.38701
2.65615
3.22471
64
0.67834
1.29492
1.66901
1.99773
2.38604
2.65485
3.22253
65
0.67828
1.29471
1.66864
1.99714
2.38510
2.65360
3.22041
66
0.67823
1.29451
1.66827
1.99656
2.38419
2.65239
3.21837
67
0.67817
1.29432
1.66792
1.99601
2.38330
2.65122
3.21639
68
0.67811
1.29413
1.66757
1.99547
2.38245
2.65008
3.21446
69
0.67806
1.29394
1.66724
1.99495
2.38161
2.64898
3.21260
70
0.67801
1.29376
1.66691
1.99444
2.38081
2.64790
3.21079
71
0.67796
1.29359
1.66660
1.99394
2.38002
2.64686
3.20903
72
0.67791
1.29342
1.66629
1.99346
2.37926
2.64585
3.20733
73
0.67787
1.29326
1.66600
1.99300
2.37852
2.64487
3.20567
74
0.67782
1.29310
1.66571
1.99254
2.37780
2.64391
3.20406
75
0.67778
1.29294
1.66543
1.99210
2.37710
2.64298
3.20249
76
0.67773
1.29279
1.66515
1.99167
2.37642
2.64208
3.20096
77
0.67769
1.29264
1.66488
1.99125
2.37576
2.64120
3.19948
78
0.67765
1.29250
1.66462
1.99085
2.37511
2.64034
3.19804
79
0.67761
1.29236
1.66437
1.99045
2.37448
2.63950
3.19663
80
0.67757
1.29222
1.66412
1.99006
2.37387
2.63869
3.19526
df
0.10
0.05
0.025
0.01
0.005
0.001
Catatan: Probabilita yang lebih kecil yang ditunjukkan pada judul tiap kolom adalah luas daerah
dalam satu ujung, sedangkan probabilitas yang lebih besar adalah luas daerah dalam
kedua ujung
Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com), 2010
Page 2
Titik Persentase Distribusi t (df = 81 –120)
Pr
0.25
0.50
0.20
0.10
0.050
0.02
0.010
0.002
81
0.67753
1.29209
1.66388
1.98969
2.37327
2.63790
3.19392
82
0.67749
1.29196
1.66365
1.98932
2.37269
2.63712
3.19262
83
0.67746
1.29183
1.66342
1.98896
2.37212
2.63637
3.19135
84
0.67742
1.29171
1.66320
1.98861
2.37156
2.63563
3.19011
85
0.67739
1.29159
1.66298
1.98827
2.37102
2.63491
3.18890
86
0.67735
1.29147
1.66277
1.98793
2.37049
2.63421
3.18772
87
0.67732
1.29136
1.66256
1.98761
2.36998
2.63353
3.18657
88
0.67729
1.29125
1.66235
1.98729
2.36947
2.63286
3.18544
89
0.67726
1.29114
1.66216
1.98698
2.36898
2.63220
3.18434
90
0.67723
1.29103
1.66196
1.98667
2.36850
2.63157
3.18327
91
0.67720
1.29092
1.66177
1.98638
2.36803
2.63094
3.18222
92
0.67717
1.29082
1.66159
1.98609
2.36757
2.63033
3.18119
93
0.67714
1.29072
1.66140
1.98580
2.36712
2.62973
3.18019
94
0.67711
1.29062
1.66123
1.98552
2.36667
2.62915
3.17921
95
0.67708
1.29053
1.66105
1.98525
2.36624
2.62858
3.17825
96
0.67705
1.29043
1.66088
1.98498
2.36582
2.62802
3.17731
97
0.67703
1.29034
1.66071
1.98472
2.36541
2.62747
3.17639
98
0.67700
1.29025
1.66055
1.98447
2.36500
2.62693
3.17549
99
0.67698
1.29016
1.66039
1.98422
2.36461
2.62641
3.17460
100
0.67695
1.29007
1.66023
1.98397
2.36422
2.62589
3.17374
101
0.67693
1.28999
1.66008
1.98373
2.36384
2.62539
3.17289
102
0.67690
1.28991
1.65993
1.98350
2.36346
2.62489
3.17206
103
0.67688
1.28982
1.65978
1.98326
2.36310
2.62441
3.17125
104
0.67686
1.28974
1.65964
1.98304
2.36274
2.62393
3.17045
105
0.67683
1.28967
1.65950
1.98282
2.36239
2.62347
3.16967
106
0.67681
1.28959
1.65936
1.98260
2.36204
2.62301
3.16890
107
0.67679
1.28951
1.65922
1.98238
2.36170
2.62256
3.16815
108
0.67677
1.28944
1.65909
1.98217
2.36137
2.62212
3.16741
109
0.67675
1.28937
1.65895
1.98197
2.36105
2.62169
3.16669
110
0.67673
1.28930
1.65882
1.98177
2.36073
2.62126
3.16598
111
0.67671
1.28922
1.65870
1.98157
2.36041
2.62085
3.16528
112
0.67669
1.28916
1.65857
1.98137
2.36010
2.62044
3.16460
113
0.67667
1.28909
1.65845
1.98118
2.35980
2.62004
3.16392
114
0.67665
1.28902
1.65833
1.98099
2.35950
2.61964
3.16326
115
0.67663
1.28896
1.65821
1.98081
2.35921
2.61926
3.16262
116
0.67661
1.28889
1.65810
1.98063
2.35892
2.61888
3.16198
117
0.67659
1.28883
1.65798
1.98045
2.35864
2.61850
3.16135
118
0.67657
1.28877
1.65787
1.98027
2.35837
2.61814
3.16074
119
0.67656
1.28871
1.65776
1.98010
2.35809
2.61778
3.16013
120
0.67654
1.28865
1.65765
1.97993
2.35782
2.61742
3.15954
df
0.10
0.05
0.025
0.01
0.005
0.001
Catatan: Probabilita yang lebih kecil yang ditunjukkan pada judul tiap kolom adalah luas daerah
dalam satu ujung, sedangkan probabilitas yang lebih besar adalah luas daerah dalam
kedua ujung
Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com), 2010
Page 3
Titik Persentase Distribusi t (df = 121 –160)
Pr
0.25
0.50
0.20
0.10
0.050
0.02
0.010
0.002
121
0.67652
1.28859
1.65754
1.97976
2.35756
2.61707
3.15895
122
0.67651
1.28853
1.65744
1.97960
2.35730
2.61673
3.15838
123
0.67649
1.28847
1.65734
1.97944
2.35705
2.61639
3.15781
124
0.67647
1.28842
1.65723
1.97928
2.35680
2.61606
3.15726
125
0.67646
1.28836
1.65714
1.97912
2.35655
2.61573
3.15671
126
0.67644
1.28831
1.65704
1.97897
2.35631
2.61541
3.15617
127
0.67643
1.28825
1.65694
1.97882
2.35607
2.61510
3.15565
128
0.67641
1.28820
1.65685
1.97867
2.35583
2.61478
3.15512
129
0.67640
1.28815
1.65675
1.97852
2.35560
2.61448
3.15461
130
0.67638
1.28810
1.65666
1.97838
2.35537
2.61418
3.15411
131
0.67637
1.28805
1.65657
1.97824
2.35515
2.61388
3.15361
132
0.67635
1.28800
1.65648
1.97810
2.35493
2.61359
3.15312
133
0.67634
1.28795
1.65639
1.97796
2.35471
2.61330
3.15264
134
0.67633
1.28790
1.65630
1.97783
2.35450
2.61302
3.15217
135
0.67631
1.28785
1.65622
1.97769
2.35429
2.61274
3.15170
136
0.67630
1.28781
1.65613
1.97756
2.35408
2.61246
3.15124
137
0.67628
1.28776
1.65605
1.97743
2.35387
2.61219
3.15079
138
0.67627
1.28772
1.65597
1.97730
2.35367
2.61193
3.15034
139
0.67626
1.28767
1.65589
1.97718
2.35347
2.61166
3.14990
140
0.67625
1.28763
1.65581
1.97705
2.35328
2.61140
3.14947
141
0.67623
1.28758
1.65573
1.97693
2.35309
2.61115
3.14904
142
0.67622
1.28754
1.65566
1.97681
2.35289
2.61090
3.14862
143
0.67621
1.28750
1.65558
1.97669
2.35271
2.61065
3.14820
144
0.67620
1.28746
1.65550
1.97658
2.35252
2.61040
3.14779
145
0.67619
1.28742
1.65543
1.97646
2.35234
2.61016
3.14739
146
0.67617
1.28738
1.65536
1.97635
2.35216
2.60992
3.14699
147
0.67616
1.28734
1.65529
1.97623
2.35198
2.60969
3.14660
148
0.67615
1.28730
1.65521
1.97612
2.35181
2.60946
3.14621
149
0.67614
1.28726
1.65514
1.97601
2.35163
2.60923
3.14583
150
0.67613
1.28722
1.65508
1.97591
2.35146
2.60900
3.14545
151
0.67612
1.28718
1.65501
1.97580
2.35130
2.60878
3.14508
152
0.67611
1.28715
1.65494
1.97569
2.35113
2.60856
3.14471
153
0.67610
1.28711
1.65487
1.97559
2.35097
2.60834
3.14435
154
0.67609
1.28707
1.65481
1.97549
2.35081
2.60813
3.14400
155
0.67608
1.28704
1.65474
1.97539
2.35065
2.60792
3.14364
156
0.67607
1.28700
1.65468
1.97529
2.35049
2.60771
3.14330
157
0.67606
1.28697
1.65462
1.97519
2.35033
2.60751
3.14295
158
0.67605
1.28693
1.65455
1.97509
2.35018
2.60730
3.14261
159
0.67604
1.28690
1.65449
1.97500
2.35003
2.60710
3.14228
160
0.67603
1.28687
1.65443
1.97490
2.34988
2.60691
3.14195
df
0.10
0.05
0.025
0.01
0.005
0.001
Catatan: Probabilita yang lebih kecil yang ditunjukkan pada judul tiap kolom adalah luas daerah
dalam satu ujung, sedangkan probabilitas yang lebih besar adalah luas daerah dalam
kedua ujung
Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com), 2010
Page 4
Titik Persentase Distribusi t (df = 161 –200)
Pr
0.25
0.50
0.20
0.10
0.050
0.02
0.010
0.002
161
0.67602
1.28683
1.65437
1.97481
2.34973
2.60671
3.14162
162
0.67601
1.28680
1.65431
1.97472
2.34959
2.60652
3.14130
163
0.67600
1.28677
1.65426
1.97462
2.34944
2.60633
3.14098
164
0.67599
1.28673
1.65420
1.97453
2.34930
2.60614
3.14067
165
0.67598
1.28670
1.65414
1.97445
2.34916
2.60595
3.14036
166
0.67597
1.28667
1.65408
1.97436
2.34902
2.60577
3.14005
167
0.67596
1.28664
1.65403
1.97427
2.34888
2.60559
3.13975
168
0.67595
1.28661
1.65397
1.97419
2.34875
2.60541
3.13945
169
0.67594
1.28658
1.65392
1.97410
2.34862
2.60523
3.13915
170
0.67594
1.28655
1.65387
1.97402
2.34848
2.60506
3.13886
171
0.67593
1.28652
1.65381
1.97393
2.34835
2.60489
3.13857
172
0.67592
1.28649
1.65376
1.97385
2.34822
2.60471
3.13829
173
0.67591
1.28646
1.65371
1.97377
2.34810
2.60455
3.13801
174
0.67590
1.28644
1.65366
1.97369
2.34797
2.60438
3.13773
175
0.67589
1.28641
1.65361
1.97361
2.34784
2.60421
3.13745
176
0.67589
1.28638
1.65356
1.97353
2.34772
2.60405
3.13718
177
0.67588
1.28635
1.65351
1.97346
2.34760
2.60389
3.13691
178
0.67587
1.28633
1.65346
1.97338
2.34748
2.60373
3.13665
179
0.67586
1.28630
1.65341
1.97331
2.34736
2.60357
3.13638
180
0.67586
1.28627
1.65336
1.97323
2.34724
2.60342
3.13612
181
0.67585
1.28625
1.65332
1.97316
2.34713
2.60326
3.13587
182
0.67584
1.28622
1.65327
1.97308
2.34701
2.60311
3.13561
183
0.67583
1.28619
1.65322
1.97301
2.34690
2.60296
3.13536
184
0.67583
1.28617
1.65318
1.97294
2.34678
2.60281
3.13511
185
0.67582
1.28614
1.65313
1.97287
2.34667
2.60267
3.13487
186
0.67581
1.28612
1.65309
1.97280
2.34656
2.60252
3.13463
187
0.67580
1.28610
1.65304
1.97273
2.34645
2.60238
3.13438
188
0.67580
1.28607
1.65300
1.97266
2.34635
2.60223
3.13415
189
0.67579
1.28605
1.65296
1.97260
2.34624
2.60209
3.13391
190
0.67578
1.28602
1.65291
1.97253
2.34613
2.60195
3.13368
191
0.67578
1.28600
1.65287
1.97246
2.34603
2.60181
3.13345
192
0.67577
1.28598
1.65283
1.97240
2.34593
2.60168
3.13322
193
0.67576
1.28595
1.65279
1.97233
2.34582
2.60154
3.13299
194
0.67576
1.28593
1.65275
1.97227
2.34572
2.60141
3.13277
195
0.67575
1.28591
1.65271
1.97220
2.34562
2.60128
3.13255
196
0.67574
1.28589
1.65267
1.97214
2.34552
2.60115
3.13233
197
0.67574
1.28586
1.65263
1.97208
2.34543
2.60102
3.13212
198
0.67573
1.28584
1.65259
1.97202
2.34533
2.60089
3.13190
199
0.67572
1.28582
1.65255
1.97196
2.34523
2.60076
3.13169
200
0.67572
1.28580
1.65251
1.97190
2.34514
2.60063
3.13148
df
0.10
0.05
0.025
0.01
0.005
0.001
Catatan: Probabilita yang lebih kecil yang ditunjukkan pada judul tiap kolom adalah luas daerah
dalam satu ujung, sedangkan probabilitas yang lebih besar adalah luas daerah dalam
kedua ujung
Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com), 2010
Page 5
Titik Persentase Distribusi F untuk Probabilita = 0,05
df untuk pembilang (N1)
df untuk
penyebut
(N2)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
1
161
199
216
225
230
234
237
239
241
242
243
244
245
245
246
2
18.51
19.00
19.16
19.25
19.30
19.33
19.35
19.37
19.38
19.40
19.40
19.41
19.42
19.42
19.43
3
10.13
9.55
9.28
9.12
9.01
8.94
8.89
8.85
8.81
8.79
8.76
8.74
8.73
8.71
8.70
4
7.71
6.94
6.59
6.39
6.26
6.16
6.09
6.04
6.00
5.96
5.94
5.91
5.89
5.87
5.86
5
6.61
5.79
5.41
5.19
5.05
4.95
4.88
4.82
4.77
4.74
4.70
4.68
4.66
4.64
4.62
6
5.99
5.14
4.76
4.53
4.39
4.28
4.21
4.15
4.10
4.06
4.03
4.00
3.98
3.96
3.94
7
5.59
4.74
4.35
4.12
3.97
3.87
3.79
3.73
3.68
3.64
3.60
3.57
3.55
3.53
3.51
8
5.32
4.46
4.07
3.84
3.69
3.58
3.50
3.44
3.39
3.35
3.31
3.28
3.26
3.24
3.22
9
5.12
4.26
3.86
3.63
3.48
3.37
3.29
3.23
3.18
3.14
3.10
3.07
3.05
3.03
3.01
10
4.96
4.10
3.71
3.48
3.33
3.22
3.14
3.07
3.02
2.98
2.94
2.91
2.89
2.86
2.85
11
4.84
3.98
3.59
3.36
3.20
3.09
3.01
2.95
2.90
2.85
2.82
2.79
2.76
2.74
2.72
12
4.75
3.89
3.49
3.26
3.11
3.00
2.91
2.85
2.80
2.75
2.72
2.69
2.66
2.64
2.62
13
4.67
3.81
3.41
3.18
3.03
2.92
2.83
2.77
2.71
2.67
2.63
2.60
2.58
2.55
2.53
14
4.60
3.74
3.34
3.11
2.96
2.85
2.76
2.70
2.65
2.60
2.57
2.53
2.51
2.48
2.46
15
4.54
3.68
3.29
3.06
2.90
2.79
2.71
2.64
2.59
2.54
2.51
2.48
2.45
2.42
2.40
16
4.49
3.63
3.24
3.01
2.85
2.74
2.66
2.59
2.54
2.49
2.46
2.42
2.40
2.37
2.35
17
4.45
3.59
3.20
2.96
2.81
2.70
2.61
2.55
2.49
2.45
2.41
2.38
2.35
2.33
2.31
18
4.41
3.55
3.16
2.93
2.77
2.66
2.58
2.51
2.46
2.41
2.37
2.34
2.31
2.29
2.27
19
4.38
3.52
3.13
2.90
2.74
2.63
2.54
2.48
2.42
2.38
2.34
2.31
2.28
2.26
2.23
20
4.35
3.49
3.10
2.87
2.71
2.60
2.51
2.45
2.39
2.35
2.31
2.28
2.25
2.22
2.20
21
4.32
3.47
3.07
2.84
2.68
2.57
2.49
2.42
2.37
2.32
2.28
2.25
2.22
2.20
2.18
22
4.30
3.44
3.05
2.82
2.66
2.55
2.46
2.40
2.34
2.30
2.26
2.23
2.20
2.17
2.15
23
4.28
3.42
3.03
2.80
2.64
2.53
2.44
2.37
2.32
2.27
2.24
2.20
2.18
2.15
2.13
24
4.26
3.40
3.01
2.78
2.62
2.51
2.42
2.36
2.30
2.25
2.22
2.18
2.15
2.13
2.11
25
4.24
3.39
2.99
2.76
2.60
2.49
2.40
2.34
2.28
2.24
2.20
2.16
2.14
2.11
2.09
26
4.23
3.37
2.98
2.74
2.59
2.47
2.39
2.32
2.27
2.22
2.18
2.15
2.12
2.09
2.07
27
4.21
3.35
2.96
2.73
2.57
2.46
2.37
2.31
2.25
2.20
2.17
2.13
2.10
2.08
2.06
28
4.20
3.34
2.95
2.71
2.56
2.45
2.36
2.29
2.24
2.19
2.15
2.12
2.09
2.06
2.04
29
4.18
3.33
2.93
2.70
2.55
2.43
2.35
2.28
2.22
2.18
2.14
2.10
2.08
2.05
2.03
30
4.17
3.32
2.92
2.69
2.53
2.42
2.33
2.27
2.21
2.16
2.13
2.09
2.06
2.04
2.01
31
4.16
3.30
2.91
2.68
2.52
2.41
2.32
2.25
2.20
2.15
2.11
2.08
2.05
2.03
2.00
32
4.15
3.29
2.90
2.67
2.51
2.40
2.31
2.24
2.19
2.14
2.10
2.07
2.04
2.01
1.99
33
4.14
3.28
2.89
2.66
2.50
2.39
2.30
2.23
2.18
2.13
2.09
2.06
2.03
2.00
1.98
34
4.13
3.28
2.88
2.65
2.49
2.38
2.29
2.23
2.17
2.12
2.08
2.05
2.02
1.99
1.97
35
4.12
3.27
2.87
2.64
2.49
2.37
2.29
2.22
2.16
2.11
2.07
2.04
2.01
1.99
1.96
36
4.11
3.26
2.87
2.63
2.48
2.36
2.28
2.21
2.15
2.11
2.07
2.03
2.00
1.98
1.95
37
4.11
3.25
2.86
2.63
2.47
2.36
2.27
2.20
2.14
2.10
2.06
2.02
2.00
1.97
1.95
38
4.10
3.24
2.85
2.62
2.46
2.35
2.26
2.19
2.14
2.09
2.05
2.02
1.99
1.96
1.94
39
4.09
3.24
2.85
2.61
2.46
2.34
2.26
2.19
2.13
2.08
2.04
2.01
1.98
1.95
1.93
40
4.08
3.23
2.84
2.61
2.45
2.34
2.25
2.18
2.12
2.08
2.04
2.00
1.97
1.95
1.92
41
4.08
3.23
2.83
2.60
2.44
2.33
2.24
2.17
2.12
2.07
2.03
2.00
1.97
1.94
1.92
42
4.07
3.22
2.83
2.59
2.44
2.32
2.24
2.17
2.11
2.06
2.03
1.99
1.96
1.94
1.91
43
4.07
3.21
2.82
2.59
2.43
2.32
2.23
2.16
2.11
2.06
2.02
1.99
1.96
1.93
1.91
44
4.06
3.21
2.82
2.58
2.43
2.31
2.23
2.16
2.10
2.05
2.01
1.98
1.95
1.92
1.90
45
4.06
3.20
2.81
2.58
2.42
2.31
2.22
2.15
2.10
2.05
2.01
1.97
1.94
1.92
1.89
Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com). 2010
Page 1
Titik Persentase Distribusi F untuk Probabilita = 0,05
df untuk pembilang (N1)
df untuk
penyebut
(N2)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
46
4.05
3.20
2.81
2.57
2.42
2.30
2.22
2.15
2.09
2.04
2.00
1.97
1.94
1.91
1.89
47
4.05
3.20
2.80
2.57
2.41
2.30
2.21
2.14
2.09
2.04
2.00
1.96
1.93
1.91
1.88
48
4.04
3.19
2.80
2.57
2.41
2.29
2.21
2.14
2.08
2.03
1.99
1.96
1.93
1.90
1.88
49
4.04
3.19
2.79
2.56
2.40
2.29
2.20
2.13
2.08
2.03
1.99
1.96
1.93
1.90
1.88
50
4.03
3.18
2.79
2.56
2.40
2.29
2.20
2.13
2.07
2.03
1.99
1.95
1.92
1.89
1.87
51
4.03
3.18
2.79
2.55
2.40
2.28
2.20
2.13
2.07
2.02
1.98
1.95
1.92
1.89
1.87
52
4.03
3.18
2.78
2.55
2.39
2.28
2.19
2.12
2.07
2.02
1.98
1.94
1.91
1.89
1.86
53
4.02
3.17
2.78
2.55
2.39
2.28
2.19
2.12
2.06
2.01
1.97
1.94
1.91
1.88
1.86
54
4.02
3.17
2.78
2.54
2.39
2.27
2.18
2.12
2.06
2.01
1.97
1.94
1.91
1.88
1.86
55
4.02
3.16
2.77
2.54
2.38
2.27
2.18
2.11
2.06
2.01
1.97
1.93
1.90
1.88
1.85
56
4.01
3.16
2.77
2.54
2.38
2.27
2.18
2.11
2.05
2.00
1.96
1.93
1.90
1.87
1.85
57
4.01
3.16
2.77
2.53
2.38
2.26
2.18
2.11
2.05
2.00
1.96
1.93
1.90
1.87
1.85
58
4.01
3.16
2.76
2.53
2.37
2.26
2.17
2.10
2.05
2.00
1.96
1.92
1.89
1.87
1.84
59
4.00
3.15
2.76
2.53
2.37
2.26
2.17
2.10
2.04
2.00
1.96
1.92
1.89
1.86
1.84
60
4.00
3.15
2.76
2.53
2.37
2.25
2.17
2.10
2.04
1.99
1.95
1.92
1.89
1.86
1.84
61
4.00
3.15
2.76
2.52
2.37
2.25
2.16
2.09
2.04
1.99
1.95
1.91
1.88
1.86
1.83
62
4.00
3.15
2.75
2.52
2.36
2.25
2.16
2.09
2.03
1.99
1.95
1.91
1.88
1.85
1.83
63
3.99
3.14
2.75
2.52
2.36
2.25
2.16
2.09
2.03
1.98
1.94
1.91
1.88
1.85
1.83
64
3.99
3.14
2.75
2.52
2.36
2.24
2.16
2.09
2.03
1.98
1.94
1.91
1.88
1.85
1.83
65
3.99
3.14
2.75
2.51
2.36
2.24
2.15
2.08
2.03
1.98
1.94
1.90
1.87
1.85
1.82
66
3.99
3.14
2.74
2.51
2.35
2.24
2.15
2.08
2.03
1.98
1.94
1.90
1.87
1.84
1.82
67
3.98
3.13
2.74
2.51
2.35
2.24
2.15
2.08
2.02
1.98
1.93
1.90
1.87
1.84
1.82
68
3.98
3.13
2.74
2.51
2.35
2.24
2.15
2.08
2.02
1.97
1.93
1.90
1.87
1.84
1.82
69
3.98
3.13
2.74
2.50
2.35
2.23
2.15
2.08
2.02
1.97
1.93
1.90
1.86
1.84
1.81
70
3.98
3.13
2.74
2.50
2.35
2.23
2.14
2.07
2.02
1.97
1.93
1.89
1.86
1.84
1.81
71
3.98
3.13
2.73
2.50
2.34
2.23
2.14
2.07
2.01
1.97
1.93
1.89
1.86
1.83
1.81
72
3.97
3.12
2.73
2.50
2.34
2.23
2.14
2.07
2.01
1.96
1.92
1.89
1.86
1.83
1.81
73
3.97
3.12
2.73
2.50
2.34
2.23
2.14
2.07
2.01
1.96
1.92
1.89
1.86
1.83
1.81
74
3.97
3.12
2.73
2.50
2.34
2.22
2.14
2.07
2.01
1.96
1.92
1.89
1.85
1.83
1.80
75
3.97
3.12
2.73
2.49
2.34
2.22
2.13
2.06
2.01
1.96
1.92
1.88
1.85
1.83
1.80
76
3.97
3.12
2.72
2.49
2.33
2.22
2.13
2.06
2.01
1.96
1.92
1.88
1.85
1.82
1.80
77
3.97
3.12
2.72
2.49
2.33
2.22
2.13
2.06
2.00
1.96
1.92
1.88
1.85
1.82
1.80
78
3.96
3.11
2.72
2.49
2.33
2.22
2.13
2.06
2.00
1.95
1.91
1.88
1.85
1.82
1.80
79
3.96
3.11
2.72
2.49
2.33
2.22
2.13
2.06
2.00
1.95
1.91
1.88
1.85
1.82
1.79
80
3.96
3.11
2.72
2.49
2.33
2.21
2.13
2.06
2.00
1.95
1.91
1.88
1.84
1.82
1.79
81
3.96
3.11
2.72
2.48
2.33
2.21
2.12
2.05
2.00
1.95
1.91
1.87
1.84
1.82
1.79
82
3.96
3.11
2.72
2.48
2.33
2.21
2.12
2.05
2.00
1.95
1.91
1.87
1.84
1.81
1.79
83
3.96
3.11
2.71
2.48
2.32
2.21
2.12
2.05
1.99
1.95
1.91
1.87
1.84
1.81
1.79
84
3.95
3.11
2.71
2.48
2.32
2.21
2.12
2.05
1.99
1.95
1.90
1.87
1.84
1.81
1.79
85
3.95
3.10
2.71
2.48
2.32
2.21
2.12
2.05
1.99
1.94
1.90
1.87
1.84
1.81
1.79
86
3.95
3.10
2.71
2.48
2.32
2.21
2.12
2.05
1.99
1.94
1.90
1.87
1.84
1.81
1.78
87
3.95
3.10
2.71
2.48
2.32
2.20
2.12
2.05
1.99
1.94
1.90
1.87
1.83
1.81
1.78
88
3.95
3.10
2.71
2.48
2.32
2.20
2.12
2.05
1.99
1.94
1.90
1.86
1.83
1.81
1.78
89
3.95
3.10
2.71
2.47
2.32
2.20
2.11
2.04
1.99
1.94
1.90
1.86
1.83
1.80
1.78
90
3.95
3.10
2.71
2.47
2.32
2.20
2.11
2.04
1.99
1.94
1.90
1.86
1.83
1.80
1.78
Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com). 2010
Page 2
Titik Persentase Distribusi F untuk Probabilita = 0,05
df untuk pembilang (N1)
df untuk
penyebut
(N2)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
91
3.95
3.10
2.70
2.47
2.31
2.20
2.11
2.04
1.98
1.94
1.90
1.86
1.83
1.80
1.78
92
3.94
3.10
2.70
2.47
2.31
2.20
2.11
2.04
1.98
1.94
1.89
1.86
1.83
1.80
1.78
93
3.94
3.09
2.70
2.47
2.31
2.20
2.11
2.04
1.98
1.93
1.89
1.86
1.83
1.80
1.78
94
3.94
3.09
2.70
2.47
2.31
2.20
2.11
2.04
1.98
1.93
1.89
1.86
1.83
1.80
1.77
95
3.94
3.09
2.70
2.47
2.31
2.20
2.11
2.04
1.98
1.93
1.89
1.86
1.82
1.80
1.77
96
3.94
3.09
2.70
2.47
2.31
2.19
2.11
2.04
1.98
1.93
1.89
1.85
1.82
1.80
1.77
97
3.94
3.09
2.70
2.47
2.31
2.19
2.11
2.04
1.98
1.93
1.89
1.85
1.82
1.80
1.77
98
3.94
3.09
2.70
2.46
2.31
2.19
2.10
2.03
1.98
1.93
1.89
1.85
1.82
1.79
1.77
99
3.94
3.09
2.70
2.46
2.31
2.19
2.10
2.03
1.98
1.93
1.89
1.85
1.82
1.79
1.77
100
3.94
3.09
2.70
2.46
2.31
2.19
2.10
2.03
1.97
1.93
1.89
1.85
1.82
1.79
1.77
101
3.94
3.09
2.69
2.46
2.30
2.19
2.10
2.03
1.97
1.93
1.88
1.85
1.82
1.79
1.77
102
3.93
3.09
2.69
2.46
2.30
2.19
2.10
2.03
1.97
1.92
1.88
1.85
1.82
1.79
1.77
103
3.93
3.08
2.69
2.46
2.30
2.19
2.10
2.03
1.97
1.92
1.88
1.85
1.82
1.79
1.76
104
3.93
3.08
2.69
2.46
2.30
2.19
2.10
2.03
1.97
1.92
1.88
1.85
1.82
1.79
1.76
105
3.93
3.08
2.69
2.46
2.30
2.19
2.10
2.03
1.97
1.92
1.88
1.85
1.81
1.79
1.76
106
3.93
3.08
2.69
2.46
2.30
2.19
2.10
2.03
1.97
1.92
1.88
1.84
1.81
1.79
1.76
107
3.93
3.08
2.69
2.46
2.30
2.18
2.10
2.03
1.97
1.92
1.88
1.84
1.81
1.79
1.76
108
3.93
3.08
2.69
2.46
2.30
2.18
2.10
2.03
1.97
1.92
1.88
1.84
1.81
1.78
1.76
109
3.93
3.08
2.69
2.45
2.30
2.18
2.09
2.02
1.97
1.92
1.88
1.84
1.81
1.78
1.76
110
3.93
3.08
2.69
2.45
2.30
2.18
2.09
2.02
1.97
1.92
1.88
1.84
1.81
1.78
1.76
111
3.93
3.08
2.69
2.45
2.30
2.18
2.09
2.02
1.97
1.92
1.88
1.84
1.81
1.78
1.76
112
3.93
3.08
2.69
2.45
2.30
2.18
2.09
2.02
1.96
1.92
1.88
1.84
1.81
1.78
1.76
113
3.93
3.08
2.68
2.45
2.29
2.18
2.09
2.02
1.96
1.92
1.87
1.84
1.81
1.78
1.76
114
3.92
3.08
2.68
2.45
2.29
2.18
2.09
2.02
1.96
1.91
1.87
1.84
1.81
1.78
1.75
115
3.92
3.08
2.68
2.45
2.29
2.18
2.09
2.02
1.96
1.91
1.87
1.84
1.81
1.78
1.75
116
3.92
3.07
2.68
2.45
2.29
2.18
2.09
2.02
1.96
1.91
1.87
1.84
1.81
1.78
1.75
117
3.92
3.07
2.68
2.45
2.29
2.18
2.09
2.02
1.96
1.91
1.87
1.84
1.80
1.78
1.75
118
3.92
3.07
2.68
2.45
2.29
2.18
2.09
2.02
1.96
1.91
1.87
1.84
1.80
1.78
1.75
119
3.92
3.07
2.68
2.45
2.29
2.18
2.09
2.02
1.96
1.91
1.87
1.83
1.80
1.78
1.75
120
3.92
3.07
2.68
2.45
2.29
2.18
2.09
2.02
1.96
1.91
1.87
1.83
1.80
1.78
1.75
121
3.92
3.07
2.68
2.45
2.29
2.17
2.09
2.02
1.96
1.91
1.87
1.83
1.80
1.77
1.75
122
3.92
3.07
2.68
2.45
2.29
2.17
2.09
2.02
1.96
1.91
1.87
1.83
1.80
1.77
1.75
123
3.92
3.07
2.68
2.45
2.29
2.17
2.08
2.01
1.96
1.91
1.87
1.83
1.80
1.77
1.75
124
3.92
3.07
2.68
2.44
2.29
2.17
2.08
2.01
1.96
1.91
1.87
1.83
1.80
1.77
1.75
125
3.92
3.07
2.68
2.44
2.29
2.17
2.08
2.01
1.96
1.91
1.87
1.83
1.80
1.77
1.75
126
3.92
3.07
2.68
2.44
2.29
2.17
2.08
2.01
1.95
1.91
1.87
1.83
1.80
1.77
1.75
127
3.92
3.07
2.68
2.44
2.29
2.17
2.08
2.01
1.95
1.91
1.86
1.83
1.80
1.77
1.75
128
3.92
3.07
2.68
2.44
2.29
2.17
2.08
2.01
1.95
1.91
1.86
1.83
1.80
1.77
1.75
129
3.91
3.07
2.67
2.44
2.28
2.17
2.08
2.01
1.95
1.90
1.86
1.83
1.80
1.77
1.74
130
3.91
3.07
2.67
2.44
2.28
2.17
2.08
2.01
1.95
1.90
1.86
1.83
1.80
1.77
1.74
131
3.91
3.07
2.67
2.44
2.28
2.17
2.08
2.01
1.95
1.90
1.86
1.83
1.80
1.77
1.74
132
3.91
3.06
2.67
2.44
2.28
2.17
2.08
2.01
1.95
1.90
1.86
1.83
1.79
1.77
1.74
133
3.91
3.06
2.67
2.44
2.28
2.17
2.08
2.01
1.95
1.90
1.86
1.83
1.79
1.77
1.74
134
3.91
3.06
2.67
2.44
2.28
2.17
2.08
2.01
1.95
1.90
1.86
1.83
1.79
1.77
1.74
135
3.91
3.06
2.67
2.44
2.28
2.17
2.08
2.01
1.95
1.90
1.86
1.82
1.79
1.77
1.74
Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com). 2010
Page 3
Titik Persentase Distribusi F untuk Probabilita = 0,05
df untuk pembilang (N1)
df untuk
penyebut
(N2)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
136
3.91
3.06
2.67
2.44
2.28
2.17
2.08
2.01
1.95
1.90
1.86
1.82
1.79
1.77
1.74
137
3.91
3.06
2.67
2.44
2.28
2.17
2.08
2.01
1.95
1.90
1.86
1.82
1.79
1.76
1.74
138
3.91
3.06
2.67
2.44
2.28
2.16
2.08
2.01
1.95
1.90
1.86
1.82
1.79
1.76
1.74
139
3.91
3.06
2.67
2.44
2.28
2.16
2.08
2.01
1.95
1.90
1.86
1.82
1.79
1.76
1.74
140
3.91
3.06
2.67
2.44
2.28
2.16
2.08
2.01
1.95
1.90
1.86
1.82
1.79
1.76
1.74
141
3.91
3.06
2.67
2.44
2.28
2.16
2.08
2.00
1.95
1.90
1.86
1.82
1.79
1.76
1.74
142
3.91
3.06
2.67
2.44
2.28
2.16
2.07
2.00
1.95
1.90
1.86
1.82
1.79
1.76
1.74
143
3.91
3.06
2.67
2.43
2.28
2.16
2.07
2.00
1.95
1.90
1.86
1.82
1.79
1.76
1.74
144
3.91
3.06
2.67
2.43
2.28
2.16
2.07
2.00
1.95
1.90
1.86
1.82
1.79
1.76
1.74
145
3.91
3.06
2.67
2.43
2.28
2.16
2.07
2.00
1.94
1.90
1.86
1.82
1.79
1.76
1.74
146
3.91
3.06
2.67
2.43
2.28
2.16
2.07
2.00
1.94
1.90
1.85
1.82
1.79
1.76
1.74
147
3.91
3.06
2.67
2.43
2.28
2.16
2.07
2.00
1.94
1.90
1.85
1.82
1.79
1.76
1.73
148
3.91
3.06
2.67
2.43
2.28
2.16
2.07
2.00
1.94
1.90
1.85
1.82
1.79
1.76
1.73
149
3.90
3.06
2.67
2.43
2.27
2.16
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.82
1.79
1.76
1.73
150
3.90
3.06
2.66
2.43
2.27
2.16
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.82
1.79
1.76
1.73
151
3.90
3.06
2.66
2.43
2.27
2.16
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.82
1.79
1.76
1.73
152
3.90
3.06
2.66
2.43
2.27
2.16
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.82
1.79
1.76
1.73
153
3.90
3.06
2.66
2.43
2.27
2.16
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.82
1.78
1.76
1.73
154
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.16
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.82
1.78
1.76
1.73
155
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.16
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.82
1.78
1.76
1.73
156
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.16
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.76
1.73
157
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.16
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.76
1.73
158
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.16
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.75
1.73
159
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.16
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.75
1.73
160
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.16
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.75
1.73
161
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.16
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.75
1.73
162
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.15
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.75
1.73
163
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.15
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.75
1.73
164
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.15
2.07
2.00
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.75
1.73
165
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.15
2.07
1.99
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.75
1.73
166
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.15
2.07
1.99
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.75
1.73
167
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.15
2.06
1.99
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.75
1.73
168
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.15
2.06
1.99
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.75
1.73
169
3.90
3.05
2.66
2.43
2.27
2.15
2.06
1.99
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.75
1.73
170
3.90
3.05
2.66
2.42
2.27
2.15
2.06
1.99
1.94
1.89
1.85
1.81
1.78
1.75
1.73
171
3.90
3.05
2.66
2.42
2.27
2.15
2.06
1.99
1.93
1.89
1.85
1.81
1.78
1.75
1.73
172
3.90
3.05
2.66
2.42
2.27
2.15
2.06
1.99
1.93
1.89
1.84
1.81
1.78
1.75
1.72
173
3.90
3.05
2.66
2.42
2.27
2.15
2.06
1.99
1.93
1.89
1.84
1.81
1.78
1.75
1.72
174
3.90
3.05
2.66
2.42
2.27
2.15
2.06
1.99
1.93
1.89
1.84
1.81
1.78
1.75
1.72
175
3.90
3.05
2.66
2.42
2.27
2.15
2.06
1.99
1.93
1.89
1.84
1.81
1.78
1.75
1.72
176
3.89
3.05
2.66
2.42
2.27
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.81
1.78
1.75
1.72
177
3.89
3.05
2.66
2.42
2.27
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.81
1.78
1.75
1.72
178
3.89
3.05
2.66
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.81
1.78
1.75
1.72
179
3.89
3.05
2.66
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.81
1.78
1.75
1.72
180
3.89
3.05
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.81
1.77
1.75
1.72
Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com). 2010
Page 4
Titik Persentase Distribusi F untuk Probabilita = 0,05
df untuk pembilang (N1)
df untuk
penyebut
(N2)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
181
3.89
3.05
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.81
1.77
1.75
1.72
182
3.89
3.05
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.81
1.77
1.75
1.72
183
3.89
3.05
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.81
1.77
1.75
1.72
184
3.89
3.05
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.81
1.77
1.75
1.72
185
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.75
1.72
186
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.75
1.72
187
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
188
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
189
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
190
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
191
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
192
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
193
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
194
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
195
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
196
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.15
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
197
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.14
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
198
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.14
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
199
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.14
2.06
1.99
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
200
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.14
2.06
1.98
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
201
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.14
2.06
1.98
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
202
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.14
2.06
1.98
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
203
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.14
2.05
1.98
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
204
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.14
2.05
1.98
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
205
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.14
2.05
1.98
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
206
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.14
2.05
1.98
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.72
207
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.14
2.05
1.98
1.93
1.88
1.84
1.80
1.77
1.74
1.71
208
3.89
3.04
2.65
2.42
2.26
2.14
2.05
1.98
1.93
1.88
1.83
1.80
1.77
1.74
1.71
209
3.89
3.04
2.65
2.41
2.26
2.14
2.05
1.98
1.92
1.88
1.83
1.80
1.77
1.74
1.71
210
3.89
3.04
2.65
2.41
2.26
2.14
2.05
1.98
1.92
1.88
1.83
1.80
1.77
1.74
1.71
211
3.89
3.04
2.65
2.41
2.26
2.14
2.05
1.98
1.92
1.88
1.83
1.80
1.77
1.74
1.71
212
3.89
3.04
2.65
2.41
2.26
2.14
2.05
1.98
1.92
1.88
1.83
1.80
1.77
1.74
1.71
213
3.89
3.04
2.65
2.41
2.26
2.14
2.05
1.98
1.92
1.88
1.83
1.80
1.77
1.74
1.71
214
3.89
3.04
2.65
2.41
2.26
2.14
2.05
1.98
1.92
1.88
1.83
1.80
1.77
1.74
1.71
215
3.89
3.04
2.65
2.41
2.26
2.14
2.05
1.98
1.92
1.87
1.83
1.80
1.77
1.74
1.71
216
3.88
3.04
2.65
2.41
2.26
2.14
2.05
1.98
1.92
1.87
1.83
1.80
1.77
1.74
1.71
217
3.88
3.04
2.65
2.41
2.26
2.14
2.05
1.98
1.92
1.87
1.83
1.80
1.77
1.74
1.71
218
3.88
3.04
2.65
2.41
2.26
2.14
2.05
1.98
1.92
1.87
1.83
1.80
1.77
1.74
1.71
219
3.88
3.04
2.65
2.41
2.26
2.14
2.05
1.98
1.92
1.87
1.83
1.80
1.77
1.74
1.71
220
3.88
3.04
2.65
2.41
2.26
2.14
2.05
1.98
1.92
1.87
1.83
1.80
1.76
1.74
1.71
221
3.88
3.04
2.65
2.41
2.25
2.14
2.05
1.98
1.92
1.87
1.83
1.80
1.76
1.74
1.71
222
3.88
3.04
2.65
2.41
2.25
2.14
2.05
1.98
1.92
1.87
1.83
1.80
1.76
1.74
1.71
223
3.88
3.04
2.65
2.41
2.25
2.14
2.05
1.98
1.92
1.87
1.83
1.80
1.76
1.74
1.71
224
3.88
3.04
2.64
2.41
2.25
2.14
2.05
1.98
1.92
1.87
1.83
1.80
1.76
1.74
1.71
225
3.88
3.04
2.64
2.41
2.25
2.14
2.05
1.98
1.92
1.87
1.83
1.80
1.76
1.74
1.71
Diproduksi oleh: Junaidi (http://junaidichaniago.wordpress.com). 2010
Page 5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara besar yang
terdiri dari beribu-ribu pulau dan lautan yang membentang luas sebagai
penghubungnya. Wilayah Indonesia didiami oleh lebih dari 237 juta penduduk
dari berbagai suku bangsa, agama dan budaya yang tersebar seluruh daerah
dari Sabang sampai Merauke. Jumlah penduduk yang besar ini, pemerintah
selalu berusaha untuk terus meningkatkan pembangunan dan pemerataannya
di segala bidang agar terwujud kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
Indonesia yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3)
yang menyatakan bahwa bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Untuk mewujudkan pelaksanaan dan pemerataan pembangunan yang
berlangsung terus menerus dan berkesinambungan diperlukan anggaran yang
memadai untuk menunjangnya. Anggaran tersebut berasal dari sumber-sumber
penerimaan negara yang dikelompokkan menjadi penerimaan dari sektor
pajak, kekayaan alam, Bea dan Cukai, retribusi, iuran, sumbangan, laba dari
Badan Usaha Milik Negara dan sumber-sumber lainnya (Suandy, 2009:2).
Diantara sumber-sumber penerimaan negara tersebut, penerimaan dari sektor
1
pajak merupakan sumber penerimaan negara terbesar, seperti yang terdapat
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2009 yang
dibuat oleh pemerintah. Berdasarkan APBN, penerimaan negara berasal dari
penerimaan dalam negeri (terdiri dari penerimaan perpajakan dan penerimaan
negara bukan pajak) dan hibah. Penerimaan dalam triliun rupiah dari sektor
pajak adalah sebesar RP. 725,8, dari sektor penerimaan negara bukan pajak
adalah sebesar RP. 258,9 dan dari hibah adalah sebesar RP. 0,9.
Penerimaan dari sektor pajak merupakan sumber penerimaan negara yang
senantiasa dapat diperbaharui sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi
dan politik yang berlangsung secara cepat di dalam masyarakat melalui
pembaharuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selain itu, pajak
juga merupakan sumber yang memberikan kesadaran masyarakat untuk
berperan dalam pembangunan negara. Pemerintah terus berupaya untuk
mendapatkan pajak sebesar-besarnya dengan cara intensifikasi, ekstensifikasi
pajak ataupun dengan penyempurnaan peraturan, teknis kemudahan dan
kesederhanaan dalam pembayaran atau pemungutan pajak.
Penerimaan perpajakan dalam APBN adalah sumber penerimaan terbesar
negara dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah sumber penerimaan pajak
terbesar kedua setelah Pajak Penghasilan (PPh). Menurut UU Nomor 42
Tahun 2009 tentang PPN dan PPn BM, PPN adalah pajak atas konsumsi
barang dan jasa di dalam Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat
disetiap jalur produksi dan distribusi. PPN merupakan pengganti Pajak
Penjualan karena dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan
2
masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain
untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor dan pemerataan
pembebanan pajak. Pajak Penjualan memiliki beberapa kelemahan, seperti
adanya pajak berganda, bermacam-macam tarif dengan sembilan macam tarif
yang menimbulkan kesulitan pelaksanaannya, tidak mendorong ekspor dan
belum dapat mengatasi penyelundupan. Di sisi lain, PPN memiliki kelebihan,
seperti menghilangkan pajak berganda, menggunakan tarif tunggal yang
memudahkan pelaksanaannya, netral dalam persaingan dalam negeri, netral
dalam perdagangan internasional, netral dalam pola konsumsi dan dapat
mendorong ekspor (Mardiasmo, 2008:273).
Mengingat begitu besar dan pentingnya penerimaan perpajakan dalam
membiayai pembangunan, maka diperlukan upaya untuk menjaga dan
meningkatkannya melalui faktor internal dan eksternal. Faktor internal
meliputi kebijakan dibidang perpajakan dan faktor eksternal meliputi
perkembangan ekonomi makro, seperti pengaruh variabel ekonomi makro
yang terdapat dalam penelitian ini berupa inflasi dan nilai tukar rupiah. Karena
fluktuasi ekonomi dapat mempengaruhi kestabilan penerimaan pajak
(Wahyudi dkk., 2009:221).
Faktor internal yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam
rangka mencapai target penerimaan pajak yang setiap tahun meningkat dalam
APBN, langkah normatif yang diambil adalah melakukan intensifikasi pajak
dan ekstensifikasi pajak. Kedua jenis kebijakan tersebut dalam pelaksanaanya
saling mendukung untuk meningkatkan sumber penerimaan dari berbagai jenis
3
pajak yang salah satunya adalah PPN (Manurung et, al., 2001). Berdasarkan
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001, intensifikasi pajak adalah
kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek dan subjek
pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP dan dari hasil
pelaksanaan ekstensifikasi pajak, sedangkan
ekstensifikasi pajak adalah
kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan
perluasan objek pajak dalam administrasi DJP.
Pelaksanaan ekstensifikasi pajak yang bertujuan untuk meningkatkan
sumber penerimaan PPN seperti melalui kenaikan jumlah Pengusaha Kena
Pajak (PKP) terdaftar. Menurut UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat
(5), PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau
penyerahan JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan
perubahannya. Menurut Djuanda dan Lubis (2006:31), PKP berkewajiban
untuk memiliki Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP),
memungut PPN dan PPn BM yang terutang, menyetor PPN yang masih harus
dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan serta menyetorkan PPN yang terutang dan melaporkan
perhitungan PPN dan PPn BM yang terutang.
Fluktuasi ekonomi yang pernah terjadi di Indonesia seperti krisis finansial
global yang terjadi pada tahun 2008 menyebabkan menurunnya kinerja
perekonomian dunia secara drastis. Krisis tersebut dikarenakan adanya krisis
likuiditas yang terjadi di Amerika Serikat memberikan dampak pada
perekonomian global termasuk Indonesia.
Akibat yang dirasakan oleh
4
Indonesia dari krisis finansial global tersebut adalah pada tahun 2008 inflasi
meningkat tajam menjadi 11,06% yang sebelumnya tahun 2007 hanya sebesar
6,59% (Badan Pusat Statistik, 2008). Pada 24 November 2008, nilai tukar
rupiah melonjak sebesar Rp. 12.462,00/ 1 US$ (Bank Indonesia, 2009).
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume
perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak
pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan
kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia.
Penurunan pertumbuhan ekonomi akan ditranmisikan ke dalam turunnya
penerimaan pajak (Departemen Keuangan, 2009:5).
Sasaran pembangunan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah diarahkan
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka memperluas lapangan
pekerjaan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Sasaran pertumbuhan ekonomi
yang diharapkan adalah pertumbuhan yang berkualitas, yaitu pertumbuhan
yang dapat mendistribusikan pendapatan dan lapangan pekerjaan, sedangkan
percepatan perluasan lapangan pekerjaan diarahkan kepada peningkatan
pertumbuhan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Mengenai
penanggulangan kemiskinan, fokus sasaran adalah bagaimana meningkatkan
pendapatan secara merata dan memberikan akses yang lebih luas bagi rakyat
untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, air bersih dan kebutuhan dasar
lainnya. Sasaran pembangunan ekonomi yang dapat terwujud akan membantu
pemerintah dalam merealisasikan target penerimaan perpajakan. Untuk
mendukung upaya pencapaian sasaran pembangunan ekonomi, terdapat
5
indikator ekonomi makro yang harus dijaga seperti yang terdapat dalam
penelitian, yaitu stabilitas indikator ekonomi inflasi dan nilai tukar rupiah
(Departemen Keuangan, 2008:1-3).
Indikator ekonomi yang pertama adalah inflasi, inflasi merupakan
kenaikan tingkat harga keseluruhan (Case dan Fair, 2004:58). Salah satu
fenomena yang dialami oleh perekonomian berbagai negara termasuk
Indonesia adalah pengaruh inflasi, terutama untuk tingkat inflasi yang tinggi.
Inflasi mempengaruhi seluruh variabel makro ekonomi, seperti pertumbuhan
ekonomi, ekspor/impor, penabungan, tingkat bunga, investasi, distribusi
pendapatan dan penerimaan pajak (Nersiwad, 2002).
Menurut Sukirno (2004:354), kebijakan pemerintah untuk mengatasi
inflasi, berupa: kebijakan fiskal dengan menambah pajak dan mengurangi
pengeluaran pemerintah, kebijakan moneter dengan mengurangi, menaikkan
suku bunga dan membatasi kredit serta dasar segi penawaran dengan
melakukan langkah-langkah yang dapat mengurangi biaya produksi dan
menstabilkan harga, seperti mengurangi pajak impor dan pajak ke atas bahan
mentah, melakukan penetapan harga, menggalakkan pertambahan produksi
dan menggalakkan perkembangan teknologi.
Indikator ekonomi yang kedua adalah nilai tukar rupiah, menurut Murni
(2006:244), nilai tukar (exchange rate) atau disebut juga kurs valuta asing
(foreign exchange rate) adalah jumlah uang domestik yang dibutuhkan untuk
memperoleh satu unit mata uang asing. Ketika nilai tukar rupiah melemah
akan mengakibatkan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat akan
6
mengalami kenaikan. Kenaikan harga barang dan jasa akan mempengaruhi
tingkat konsumsi masyarakat secara umum. Hal tersebut akan secara langsung
mempengaruhi penerimaan PPN karena PPN merupakan pajak atas konsumsi.
Menurut Edalmen (2000), ditinjau dari segi lalu lintas moneter internasional,
fluktuasi kurs rupiah dapat mempersulit pembayaran hutang luar negeri
beserta bunganya, khususnya hutang yang telah jatuh tempo. Fluktuasi kurs
rupiah juga berdampak terhadap kelangsungan APBN pada tahun berjalan.
Keadaan tersebut akan menyulitkan dalam menyusun perencanaan dan
program pembangunan, terutama karena sukar meramalkan nilai kurs valuta
asing yang harus ditetapkan pada waktu periode perencanaan.
Upaya
pengendalian
fluktuasi
rupiah,
pemerintah
sebaiknya
memperhatikan berbagai faktor yang teridentifikasi kiranya alasan kuat juga
datang dari faktor non ekonomi, yaitu faktor politik, keamanan dan tegaknya
hukum yang telah memberikan bobot tersendiri dalam melemahkan nilai tukar
rupiah ini. Oleh karena itu, tidak ada salahnya pemerintah juga memusatkan
perhatian pada terciptanya iklim politik, situasi keamanan dan penegakan
hukum yang lebih kondusif (Edalmen, 2000).
Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Salawati (2008), dengan
judul “Analisis Pengaruh Inflasi dan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Penerimaan
PPN”. Penelitian dengan menggunakan statistik regresi linear berganda dan
data diolah dengan menggunakan program statistik SPSS. Hasil penelitian
adalah inflasi dan nilai tukar rupiah berpengaruh terhadap penerimaan PPN
7
sebesar 27,4%. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Salawati adalah:
1. Variabel Independen
Variabel independen pada penelitian sebelumnya adalah inflasi dan
nilai tukar rupiah, sedangkan variabel independen dalam penelitian ini
adalah inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP.
2. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian sebelumnya, yaitu Kantor Wilayah
(Kanwil) DJP Jakarta Selatan yang terdiri dari 13 Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) Pratama, sedangkan objek penelitian dalam penelitian ini adalah
Kantor Pusat DJP yang memiliki unit kerja vertikal di daerah meliputi 31
Kanwil DJP seluruh Indonesia.
3. Periode Penelitian
Periode penelitian pada penelitian sebelumnya adalah tahun 2005
sampai dengan 2007 atau selama tiga tahun, sedangkan periode penelitian
dalam penelitian ini adalah tahun 2002 sampai dengan 2009 atau selama
delapan tahun.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin menganalisis pengaruh
inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) terhadap
penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui penelitian yang berjudul
“Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar Rupiah dan Jumlah Pengusaha Kena
Pajak (PKP) Terhadap Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)”.
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas, maka penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN?
2. Apakah nilai tukar rupiah berpengaruh secara signifikan terhadap
penerimaan PPN?
3. Apakah jumlah PKP berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan
PPN?
4. Apakah inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP berpengaruh secara
simultan dan signifikan terhadap penerimaan PPN?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk menganalisis pengaruh inflasi terhadap penerimaan PPN.
b. Untuk menganalisis pengaruh nilai tukar rupiah terhadap penerimaan
PPN.
c. Untuk menganalisis pengaruh jumlah PKP terhadap penerimaan PPN.
d. Untuk menganalisis pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah
PKP terhadap penerimaan PPN.
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi DJP
dalam membuat dan pelaksanaan kebijakan untuk pencapaian realisasi
9
dan peningkatan penerimaan PPN serta memberikan bukti empiris
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan PPN.
b. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
pemerintah
dalam
membuat
kebijakan
dan
melaksanakan
pemerintahan untuk senantiasa menjaga variabel ekonomi makro
seperti inflasi dan nilai tukar rupiah yang dapat mempengaruhi
penerimaan PPN dan sasaran pembangunan ekonomi.
c. Bagi Dunia Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi, pengetahuan
dan wawasan bagi dunia akademik berkaitan dengan pengaruh inflasi,
nilai tukar rupiah dan jumlah PKP terhadap penerimaan PPN.
d. Bagi Peneliti berikutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi
peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian tentang pengaruh
inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP terhadap penerimaan PPN.
e. Bagi Penulis
Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan aplikasi ilmu serta
pengalaman tentang pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah
PKP terhadap penerimaan PPN.
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
1. Sejarah PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia
sejak 1 April 1985 untuk menggantikan Pajak Penjualan (PPn). Hal ini
dituangkan dalam UU Nomor 8 Tahun 1983. Kelebihan pengenaan PPN
sesuai UU Nomor 8 Tahun 1983 (yang merupakan hasil reformasi
perpajakan tahun 1983) dibandingkan dengan PPn (yang dipungut
berdasarkan UU Pajak Penjualan tahun 1951), yaitu:
a. Mekanisme pemungutan PPn tahun 1951 dalam pelaksanaannya
menimbulkan dampak kumulatif (pajak berganda). Hal ini mendorong
Wajib Pajak untuk melakukan penghindaran pajak atau penyelundupan
pajak sehingga tidak netral terhadap perdagangan dalam negeri
maupun perdagangan internasional. Dalam UU PPN yang baru
terdapat
mekanisme
pengkreditan
untuk
menghindari
adanya
pengenaan pajak berganda (cascade effect).
b. Sistem tarif sederhana. UU PPn tahun 1951 diberlakukan Sembilan
jenis tarif, sedangkan sejak UU PPN 1983 diberlakukan hanya
mengenal satu jenis tarif sehingga memudahkan pelaksanaan dan
pengawasannya.
11
c. Menciptakan persaingan yang sehat karena atas impor dikenakan pajak
dalam jumlah yang sama dengan jumlah pajak yang dikenakan atas
produksi di dalam negeri pada tingkat harga yang sama, sementara
untuk ekspor dikenakan pajak dengan tarif 0%.
Sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi dan politik yang
berlangsung secara cepat, peraturan perpajakan senantiasa diperbarui
secara terus-menerus agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan
yang ada dalam masyarakat (Resmi, 2009:1-2).
2. Definisi PPN
Menurut UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPn BM, PPN
adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang
dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. PPN
adalah pajak atas konsumsi berarti bukan pajak atas kegiatan bisnis.
Sasaran pengenaan PPN bukan para pengusaha (PKP) melainkan para
konsumen (Sukardji, 2003). Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa PPN adalah suatu jenis pajak tidak langsung
yang dikenakan atas setiap pengeluaran yang dimaksudkan untuk
konsumsi.
3. Dasar Hukum PPN
Dasar hukum bagi PPN adalah UU Nomor 8 Tahun 1983. Kemudian
diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1994 dan diubah kembali dengan UU
Nomor 18 Tahun 2000 serta terakhir diubah dengan UU Nomor 42 Tahun
2009.
12
4. Karakteristik PPN
Menurut Resmi (2009:2-3), PPN sebagai pengganti PPn di Indonesia
memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh PPn, yaitu:
a. Pajak Tidak Langsung
Secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain.
Tanggung jawab pembayaran pajak yang terutang berada pada pihak
yang menyerahkan
barang atau
jasa,
sedangkan
pihak
yang
menanggung beban pajak berada pada penanggung pajak (pihak yang
memikul beban pajak).
b. Pajak Objektif
Timbulnya kewajiban membayar pajak sangat ditentukan oleh adanya
objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak dipertimbangkan.
c. Multistage Tax
PPN dikenakan secara bertahap pada setiap mata rantai jalur produksi
dan distribusi (dari pabrikan sampai ke peritel).
d. Nonkumulatif
PPN tidak bersifat kumulatif (nonkumulatif) meskipun memiliki
karateristik multistage tax karena PPN mengenal adanya mekanisme
pengkreditan Pajak Masukan. Oleh karena itu, PPN yang dibayar bukan
unsur dari harga pokok barang dan jasa.
e. Tarif Tunggal
PPN di Indonesia hanya mengenal satu jenis tarif (single tariff), yaitu
10% untuk penyerahan dalam negeri dan 0% untuk ekspor BKP.
13
f. Credit Method/Invoice Method/Indirect Substraction Method
Metode ini mengandung pengertian bahwa pajak yang terutang
diperoleh dari hasil pengurangan pajak yang dipungut atau dikenakan
pada saat penyerahan barang atau jasa yang disebut Pajak Keluaran
(output tax) dengan pajak yang dibayar pada saat pembelian barang atau
penerimaan jasa yang disebut Pajak Masukan (input tax).
g. Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri
Atas impor BKP dikenakan PPN, sedangkan atas ekspor BKP tidak
dikenakan PPN. Prinsip ini menggunakan prinsip tempat tujuan
(destination principle), yaitu pajak dikenakan di tempat barang atau jasa
akan dikonsumsi.
h. Consumption type Value Added Tax (VAT)
PPN di Indonesia, Pajak Masukan atas pembelian dan pemeliharaan
barang modal dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut
atas penyerahan BKP dan/atau JKP.
5. Barang dan Jasa Kena Pajak (BKP) (JKP)
Menurut Mardiasmo (2008:274-276), Barang Kena Pajak (BKP)
adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud
yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah
setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau
hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk
14
menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN
Tahun 1984 dan perubahannya.
Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan BKP dan JKP,
sehingga dikenakan PPN, kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 4A UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 tidak
dikenakan PPN, yaitu:
a. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN.
1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya meliputi:
(a) Minyak mentah (crude oil);
(b) Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap
dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
(c) Panas bumi;
(d) Asbes,batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu
apung, batu granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit,
mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir
kuarsa, perlit, fosfat, talk, tanah serap, tanah diatome, tanah
liat, tawas, tras, yarosif, zeolit, basal dan tarkkit;
(e) Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara;
15
(f) Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel,
bijih perak dan bijih bauksit.
2) Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibuthkan oleh rakyat
banyak meliputi:
(a) Beras;
(b) Gabah;
(c) Jagung;
(d) Sagu;
(e) Kedelai;
(f) Garam, baik yang beryoduim maupun yang tidak beryodium;
(g) Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah
melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan,
dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur,
diasamkan, diawetkan dengan cara lain dan/atau direbus;
(h) Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang
dibersihkan, diasinkan atau dikemas;
(i) Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses
didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan
gula atau bahan lainnya dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
(j) Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang
telah melalui proses cuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris,
digrading dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
16
(k) Sayur-sayuran, sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan
dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar
yang dicacah.
3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah
makan, warung dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman
baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan
dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa
boga atau katering.
4) Uang, emas batangan dan surat berharga.
b. Jenis jasa yang tidak kena PPN.
1) Jasa pelayanan kesehatan media, meliputi:
(a) Jasa dokter umum, dokter spesialis dan dokter gigi;
(b) Jasa dokter hewan;
(c) Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, aahli gigi, ahli gizi dan ahli
fisioterapi;
(d) Jasa kebidanan dan dukun bayi;
(e) Jasa paramedic dan perawat;
(f) Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium,
kesehatan dan sanatorium;
(g) Jasa psikolog dan psikiater; dan
(h)Jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh
paranormal.
17
2) Jasa pelayanan sosial, meliputi:
(a) Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
(b) Jasa pemadam kebakaran;
(c) Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
(d) Jasa lembaga rehabilitasi;
(e) Jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk
krematorium; dan
(f) Jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.
3) Jasa pengiriman surat dengan perangko, meliputi jasa pengiriman
surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara
lain pengganti perangko tempel.
4) Jasa keuangan, meliputi:
(a) Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lain
yang dipersamakan dengan itu;
(b) Jasa menempatkan dana, meminjam dana atau meminjamkan
dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana
telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana
lainnya;
(c) Jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah berupa:

Sewa guna usaha dengan hak opsi;

Anjak piutang;
18

Usaha kartu kredit; dan/atau

Pembiayaan konsumen;
(d) Jasa penyalur pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai
syariah dan fidusia; dan
(e) Jasa peminjaman.
5) Jasa asuransi, merupakan jasa pertanggungan yang meliputi asuransi
kerugian, asuransi jiwa dan reasuransi yang dilakukan oleh
perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk
jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian dan
konsultasi asuransi.
6) Jasa keagamaan, meliputi:
(a) Jasa pelayanan rumah ibadah;
(b) Jasa pemberian khotbah atau dakwah;
(c) Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
(d) Jasa lainnya di bidang keagamaan.
7) Jasa pendidikan, meliputi:
(a)Jasa
penyelenggaraan
penyelenggaraan
pendidikan
pendidikan
sekolah,
umum,
seperti
pendidikan
jasa
kejuruan,
pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan
keagamaan,
pendidikan
akademik
dan
pendidikan
professional;dan
(b) Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
19
8) Jasa kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan
oleh pekerja seni dan hiburan.
9) Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, meliputi jasa penyiaran
radio atau televise baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau
swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang
bertujuan komersial.
10) Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara
dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa
angkutan udara luar negeri.
11) Jasa tenaga kerja, meliputi:
(a) Jasa tenaga kerja;
(b) Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia
tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari
tenaga kerja tersebut; dan
(c) Jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja.
12) Jasa perhotelan, meliputi:
(a) Jasa penyewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, hostel serta fasilitas yang terkait
dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
(b) Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan
dihotel, rumah penginapan, motel, losmen dan hostel.
13) Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa
yang
20
dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti pemberian Izin
Mendirikan
Bangunan
(IMB),
pemberian
Izin
Usaha
Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dan
pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
14) Jasa penyediaan tempat parker yang dilakukan oleh pemilik
tempat parker dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat
parker dengan dipungut bayaran.
15) Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logan atau koin
yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.
16) Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
17) Jasa boga atau katering.
6. Objek PPN
Menurut Resmi (2009:6-8), Objek Pajak dalam PPN dikenakan atas:
a. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
b. Impor BKP;
c. Penyerahan JKP yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh
Pengusaha;
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud (hak paten, hak cipta, merek dagang,
waralaba) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean (jasa konsultan asing yang
membeikan jasa manajemen, jasa teknik dan jasa lainnya) di dalam
Daerah Pabean;
21
f. Ekspor BKP oleh PKP;
g. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, baik yang
hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain; dan
h. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva
tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Masukan yang
dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan.
7. Subjek PPN
Menurut Resmi (2009:5-6), Subjek Pajak dalam PPN terdiri atas:
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-undang PPN, tidak termasuk pengusaha kecil.
b. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP
dan/atau penyerahan JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/ atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp.600.000.000,00 setahun.
c. Orang pribadi atau badan yang memafaatkan BKP tidak berwujud
dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean.
d. Orang pribadi atau badan yang melakukan pembangunan rumahnya
sendiri dengan persyaratan tertentu.
e. Pemungut pajak yang ditunjuk oleh pemerintah.
22
Pemungut pajak yang ditunjuk oleh pemerintah terdiri atas Kantor
Perbendaharaan Negara, Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah,
termasuk Bendahara Proyek.
8. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Menurut Resmi (2009:25-27), untuk menghitung besarnya PPN yang
terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP), berupa: harga jual,
penggantian, nilai impor, nilai ekspor dan nilai lain.
a. Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP,
tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU ini (UU PPN 1984)
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
b. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan
JKP, tidak termasuk PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.
c. Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan
bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak
berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undang Pabean
untuk impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut UU PPN.
d. Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
23
e. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar
Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan. Nilai lain yang
ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut:
1) Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau
penggantian setelah dikurangi laba kotor;
2) Untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah harga jual
atau penggantian setelah dikurangi laba kotor;
3)
Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah
perkiraan harga jual rata-rata;
4) Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per
judul film;
5) Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual
eceran;
6) Untuk BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan yang maasih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar;
7)
Untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan BKP antar cabang adalah harga pokok
penjualan atau harga perolehan;
8) Untuk penyerahan BKP melalui juru lelang adalah harga lelang;
9) Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah10% dari jumlah
yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
24
10) Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata
adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya
ditagih.
9. Saat dan Tempat Terutang Pajak
Menurut Resmi (2009:20-21), pajak terutang pada saat:
a. Penyerahan BKP atau JKP;
b. Impor BKP;
c. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean;
d. Ekspor BKP;
e. Pembayaran, dalam hal pembayaran diterima terlebih dahulu;
f. Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat
terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan
atau
terjadi
perubahan
ketentuan
yang
dapat
menimbulkan
ketidakadilan.
Menurut Resmi (2009:23-24), tempat terutangnya PPN ditetapkan
sebagai berikut:
a. Atas penyerahan BKP dan/atau JKP, tempat terutangnya pajak adalah
di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha
dilakukan, yaitu di tempat pengusaha dikukuhkan atau seharusnya
dikukuhkan sebagai PKP.
Apabila PKP mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar
tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut
25
merupakan tempat terutangnya pajak dan PKP dimaksud wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
b. Atas impor BKP, tempat terutangnya pajak adalah di tempat BKP
dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
c. Atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah
Pabean, tempat terutangnya pajak adalah di tempat tinggal orang
pribadi atau tempat kedudukan badan dalam hal orang pribadi atau
badan tersebut bukan sebagai Wajib Pajak atau di tempat orang pribadi
atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak.
d. Atas kegiatan membangun sendiri oleh PKP atau bukan PKP yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, tempat
terutangnya pajak adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.
e. Atas ekspor BKP, baik atas permohonan tertulis dari PKP maupun
secara jabatan, tempat terutangnya pajak adalah tempat lain yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
10. Tarif PPN
Tarif PPN menurut UU PPN Nomor 49 Tahun 2009 Pasal 7 adalah:
a. Tarif PPN adalah sebesar 10% (sepuluh persen).
b. Tarif PPN adalah sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
1) ekspor BKP Berwujud;
2) ekspor BKP Tidak Berwujud;
3) ekspor JKP
26
c. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi
paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas
persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
11. Cara dan Metode Penghitungan PPN
Berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPn BM
Pasal 8A ayat (1), PPN yang terhutang dihitung dengan cara tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 (tarif PPN) dengan DPP. Menurut
UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPn BM Pasal 9 ayat (2),
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak
Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
a. Bagi PKP yang berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan
yang terutang, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang
modal dapat dikreditkan (Pasal 9 ayat (2a)).
b. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada
Pajak Masukan, selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh
PKP (Pasal 9 ayat (3)).
c. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan
kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya
(Pasal 9 ayat (4)).
12. Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan
Menurut Mardiasmo (2008:274), Pajak Masukan adalah PPN yang
seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan/atau
27
penerimaan JKP dan/atau pemanfaatn BKP tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean
dan/atau impor BKP. Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib
dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP,
atau ekspor BKP.
Menurut Resmi (2009:40), Pajak Masukan dapat dikreditkan terhadap
Pajak Keluaran jika dipenuhi ketentuan berikut ini:
a. PKP Penjual menerbitkan Faktur Pajak Standar. Faktur Pajak
Sederhana yang diterima oleh pembeli tentu saja tidak dapat digunakan
sebagai dasar pengkreditan Pajak Masukan sehingga merugikan
pembeli .
b. Faktur Pajak Standar diisi dengan lengkap dan tidak cacat. Faktur
Pajak Standar yang tidak lengkap dan cacat diperlakukan sebagai
Faktur Pajak Sederhana.
c. Pajak Masukan dengan Faktur Pajak Standar dapat dikreditkan
terhadap Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama. Apabila dalam
masa suatu Masa Pajak belum ada Pajak Keluaran, maka Pajak
Masukan tetap dapat dikreditkan.
d. Pajak Masukan dengan Faktur Pajak Standar yang belum dikreditkan
pada Masa Pajak yang sama dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya
Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai
biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
28
e. Setelah batas akhir pengkreditan Pajak Masukan terlampaui, maka
Faktur Pajak Standar tidak dapat lagi dikreditkan dan kesempatan
mengkreditkan dapat dilakukan lagi jika PKP melakukan pembetulan
SPT Masa PPN.
Menurut Mardiasmo (2008:297), Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan adalah Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk:
a. Perolehan BKP dan/atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
PKP;
b. Perolehan BKP dan/atau JKP yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha;
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor, sedan, jeep, station
wagon, van dan kombi.
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean
sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP;
e. Perolehan BKP dan/atau JKP yang buktinya pungutan pajaknya berupa
Faktur Pajak Sederhana;
f. Perolehan BKP dan/atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan;
g. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP diluar Daerah
Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan yang telah
ditetapkan;
h. Perolehan BKP dan/atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan
penertiban ketetapan pajak;
29
i. Perolehan BKP dan/atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan
didalam SPT massa PPN yang ditemukan pada waktu dilakukan
pemeriksaan;
j. Berkenaan dengan:
1) Penyerahan kendaraan bermotor bekas;
2) Penyerahan jasa yang dilakukan oleh pengusaha biro perjalanan
atau biro pariwisata;
3) Jasa pengiriman paket;
4) Jasa anjak piutang;
5) Kegiatan membangun sendiri.
13. Faktur Pajak
Menurut Resmi (2009:45-66), Faktur Pajak adalah bukti pungutan
PPN yang dibuat oleh PKP karena melakukan penyerahan BKP/JKP atau
dibuat oleh Direktorat Bea dan Cukai karena impor BKP. Faktur Pajak
memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Sebagai bukti pungut PPN yang dibuat oleh PKP atau Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, baik karena penyerahan BKP atau JKP
maupun impor BKP.
b. Sebagai bukti pembayaran PPN yang telah dilakukan oleh pembeli
BKP atau penerimaan JKP kepada PKP atau Direktorat Bea dan Cukai.
c. Sebagai
sarana
pengawasan
adminstrasi
terhadap
kewajiban
perpajakan.
30
Faktur Pajak dibedakan menjadi Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak
Sederhana dan Faktur Pajak Gabungan.
a. Faktur Pajak Standar harus mencantumkan keterangan tentang
penyerahan BKP atau JKP yang paling sedikit memuat:
1) nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang
menyerahkan BKP/JKP;
2) nama, alamat dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
3) jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian dan
potongan harga;
4) PPN yang dipungut;
5) PPn BM yang dipungut;
6) kode, nomor seri dan tanggalpembuatan Faktur Pajak; serta
7) nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani
Faktur Pajak.
Faktur penjualan yang memuat keterangan dan yang pengisiannya
sesuai dengan ketentuan ini dapat disebut dengan Faktur Pajak
Standar.
b. PKP dapat menerbitkan Faktur Pajak Sederhana. Faktur Pajak
Sederhana dibuat dalam hal PKP melakukan:
1) penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan secara langsung
kepadakonsumen akhir;
2) penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli dan/atau penerima
JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap.
31
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tanda bukti penyerahan atau
tanda bukti pembayaran sebagai Faktur Pajak Sederhana yang paling
sedikit memuat informasi tentang:
1) nama, alamat dan NPWP yang menyerahkan BKP/JKP;
2) jenis dan kuantum;
3) jumlah harga jual atau penggantian yang sudah termasuk pajak atau
besarnya pajak dicantumkan secara terpisah;
4) tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.
c. PKP diwajibkan membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan BKP
atau setiap penyerahan JKP. Namun, untuk meringankan beban
administrasi, kepada PKP diperkenankan untuk membuat satu Faktur
Pajak yang meliputi semua Penyerahan BKP/JKP yang terjadi selama
satu bulan takwin kepada pembeli yang sama atau penerima JKP yang
sama. Faktur Pajak yang demikian disebut dengan Faktur Pajak
Gabungan.
14. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) PPN
Surat Pemberitahuan Masa merupakan laporan bulanan yang dapat
disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak, mengenai perhitungan:
a. Pajak Masukan berdasarkan realisasi pembelian BKP atau realisasi
penerimaan JKP.
b. Pajak Keluaran berdasarkan realisasi pengeluaran BKP/JKP.
c. Penyetoran pajak atau kompensasi.
Bagi Pengusaha Kena Pajak penyampaian SPT
32
a. PKP wajib melaporkan perhitungan pajak tersebut kepada Direktorat
Jenderal Pajak (Kantor Pelayanan Pajak).
b. Dilakukan paling lambat tanggal 20 setelah akhir Masa Pajak.
c. Menggunakan formulir SPT Masa.
d. Keterangan dan dokumen yang dicantumkan dan/atau dilampirkan
pada SPT Masa ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
e. SPT dianggap tidak dimasukkan jika tidak atau tidak sepenuhnya
melakukan ketentuan UU PPN 1984 (Mardiasmo, 2008:303-304).
PPN dan PPn BM yang dipungut oleh PKP, batas waktu pembayaran
tanggal 15 bulan berikut dan batas waktu pelaporan tanggal 20 bulan
berikut. PPN dan PPn BM yang dipungut oleh bendahara, batas waktu
pembayaran tanggal 7 bulan berikut dan batas waktu pelaporan tanggal 14
bulan berikut. PPN dan PPn BM yang dipungut oleh non bendahara, batas
waktu pembayaran tanggal 15 bulan berikut dan batas waktu pelaporan
tanggal 20 bulan berikut.
B. Inflasi
1. Definisi Inflasi
Menurut Sukirno (2004:27), inflasi adalah kenaikan harga-harga
umum yang berlaku dalam suatu perekonomian dari suatu periode ke
periode lainnya, sedangkan tingkat inflasi adalah persentasi kenaikan
harga-harga pada suatu tahun tertentu berbanding dengan tahun
sebelumnya. Inflasi adalah kenaikan tingkat harga keseluruhan (Case dan
Fair, 2004:58). Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan
33
bahwa inflasi adalah suatu keadaan yang mengakibatkan naiknya harga
secara umum atau proses menurunnya nilai uang secara kontinu.
2. Macam-Macam inflasi
Menurut Pratomo (2006:107-110), macam-macam inflasi digolongkan
berdasarkan atas parah-tidaknya inflasi, sebab musabab inflasi dan asal
dari inflasi.
a. Penggolongan inflasi didasarkan atas parah-tidaknya inflasi sebagai
berikut:
1) Inflasi ringan, yaitu di bawah 10% per tahun;
2) Inflasi sedang, yaitu 10%-30% per tahun;
3) Inflasi berat, yaitu 30%-100% per tahun; dan
4) Hiperinflasi, yaitu di atas 100% per tahun.
Indonesia pernah mengalami hiperinflasi pada tahun 1960-an yang
mencapai 650%. Indonesia pernah pula mengalami inflasi berat,
yaitu mencapai 60% pada tahun 1998. Di tahun 1999 inflasi sedikit
melemah, yaitu mencapai 20%.
b. Penggolongan inflasi didasarkan atas sebab musabab inflasi sebagai
berikut:
1) Inflasi yang timbul akibat kenaikan permintaan masyarakat
(demand pull inflation).
2) Inflasi yang timbul akibat kenaikan ongkos produksi (cost push
inflation).
34
Perbedaan dari demand pull inflation dan cost push inflation, yaitu
pertama pada demand pull inflation terjadi kenaikan output,
sedangkan pada cost push inflation yang terjadi adalah penurunan
output. Kedua pada demand pull inflation, kenaikan harga barang
mendahului
kenaikan
harga
bahan-bahan
input
(material),
sedangkan pada cost push inflation yang terjadi adalah kenaikan
harga barang input yang mendahului kenaikan harga barang output.
c. Penggolongan inflasi didasarkan atas asal dari inflasi sebagai berikut:
1) Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation).
Inflasi yang berasal dari dalam negeri adalah inflasi yang berasal
dari dalam negeri itu sendiri, seperti defisit keuangan negara yang
dibiayai (ditutupi) dengan pencetakan uang baru atau pengenaan
pajak oleh pemerintah.
2) Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).
Inflasi yang berasal dari luar negeri adalah inflasi yang terjadi
akibat pengaruh kenaikan harga barang-barang dari luar negeri,
misalnya kenaikan harga barang-barang material (input) dari luar
negeri.
3. Laju Inflasi
Menurut Murni (2006:41), laju inflasi adalah laju tingkat harga umum
dari tahun ke tahun dan biasanya diikuti degan kenaikan harga pada tahun
tertentu dari tahun sebelumnya. Laju atau tingkat inflasi dapat dihitung
dengan rumus berikut:
35
Laju inflasi = IHKt – IHK (t-1) x 100%
IHK (t-1)
Keterangan:
IHKt
= Indeks Harga Konsumen tahun x
IHK (t-1) = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya
Indeks Harga Konsumen (IHK) atau (consumer price index-CPI)
mengukur biaya sekelompok barang dan jasa di pasar. Harga tersebut
berupa
harga-harga
makanan,
pakaian,
pemukiman,
transportasi,
kesehatan, pendidikan dan komoditas lainnya yang akan dibeli konsumen
untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Sekian banyak komoditas yang
diperhitungkan dapat digolongkan pada empat golongan, yaitu sandang,
pangan, papan dan keperluan barang jasa lain.
4. Efek buruk inflasi
Menurut Sukirno (2004:338-339), efek buruk inflasi berpengaruh
terhadap perkembangan ekonomi dan kemakmuran masyarakat.
a. Inflasi dan perkembangan ekonomi, inflasi yang tinggi tingkatnya
tidak akan menggalakkan perkembangan ekonomi. Biaya yang terus
menerus
naik
menguntungkan,
menyebabkan
maka
kegiatan
pemilik
modal
produktif
biasanya
sangat
tidak
lebih
suka
menggunakan uangnya untuk tujuan spekulasi. Tujuan ini antara lain
dicapai dengan membeli harta-harta tetap seperti tanah, rumah dan
bangunan. Oleh karena pengusaha lebih suka menjalankan kegiatan
investasi yang bersifat seperti ini, investasi produktif akan berkurang
36
dan tingkat kegiatan ekonomi menurun. Sebagai akibatnya lebih
banyak pengangguran akan wujud.
Kenaikan harga-harga menimbulkan efek yang buruk pula ke atas
perdagangan. Kenaikan harga menyebabkan barang-barang negara itu
tidak dapat bersaing di pasaran internasional, maka ekspor akan
menurun. Sebaliknya, harga-harga produksi dalam negeri yang
semakin tinggi sebagai akibat inflasi menyebabkan barang-barang
impor menjadi relatif lebih murah, maka lebih banyak impor akan
dilakukan. Ekspor yang menurun dan diikuti pula oleh impor yang
bertambah menyebabkan ketidakseimbangan dalam aliran mata uang
asing. Kedudukan neraca pembayaran akan memburuk.
b. Inflasi dan kemakmuran masyarakat:
1) Inflasi akan menurunkan pendapatan riil orang-orang yang
berpendapatan tetap. Pada umumnya kenaikan upah tidaklah
secepat kenaikan harga-harga, maka inflasi akan menurunkan upah
riil individu-individu yang berpendapatan tetap.
2) Inflasi akan mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang.
Sebagian kekayaan masyarakat disimpan dalam bentuk uang.
Simpanan di bank, simpanan tunai dan simpanan dalam institusiinstitusi keuangan lain merupakan simpanan keuangan. Nilai
riilnya akan menurun apabila inflasi berlaku.
3) Memperburuk pembagian kekayaan. Telah ditunjukkan bahwa
penerima pendapatan tetap akan menghadapi kemerosotan dalam
37
nilai riil pendapatannya dan pemilik kekayaan bersifat keuangan
mengalami penurunan dalam nilai riil kekayaannya. Tetapi pemilik
harta-harta tetap (tanah dan rumah) dapat mempertahankan atau
menambah nilai riil kekayaannya.
5. Kebijakan Mengatasi inflasi
Menurut Sukirno (2004:354), kebijakan pemerintah untuk mengatasi
inflasi, berupa: kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan dasar segi
penawaran.
a. Kebijakan fiskal, yaitu dengan menambah pajak dan mengurangi
pengeluaran pemerintah.
b. Kebijakan moneter, yaitu dengan mengurangi, menaikkan suku bunga
dan membatasi kredit.
c. Dasar segi penawaran, yaitu dengan melakukan langkah-langkah yang
dapat mengurangi biaya produksi dan menstabilkan harga, seperti
mengurangi pajak impor dan pajak ke atas bahan mentah, melakukan
penetapan
harga,
menggalakkan
pertambahan
produksi
dan
menggalakkan perkembangan teknologi.
C. Nilai Tukar Rupiah
1. Definisi Nilai Tukar Rupiah
Menurut Murni (2006:244), nilai tukar (exchange rate) atau disebut
juga kurs valuta asing (foreign exchange rate) adalah jumlah uang
domestik yang dibutuhkan untuk memperoleh satu unit mata uang asing.
Menurut Sukirno (2004:397), kurs valuta asing didefinisikan sebagai
38
jumlah uang domestik yang dibutuhkan, yaitu banyaknya rupiah yang
dibutuhkan untuk memperoleh satu unit mata uang asing. Berdasarkan
definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai tukar rupiah
adalah rasio pertukaran antara sejumlah mata uang domestik (rupiah)
dengan satu unit mata uang asing.
2. Pemintaan dan Penawaran Terhadap Valuta Asing
Pemintaan terhadap valuta asing timbul bila penduduk suatu negara
membutuhkan barang dan jasa yang diproduksi oleh negara lain.
Pemintaan terhadap valuta asing meningkat bila impor meningkat. Faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan terhadap valuta asing terutama
sebagai berikut:
a. harga mata uang asing tersebut (nilai tukarnya);
b. tingkat pendapatan;
c. tingkat bunga relatif;
d. selera;
e. ekspektasi; dan
f. kebijakan pemerintah.
Penawaran terhadap valuta asing meningkat bila negara lain
mengimpor barang dan jasa atau ekspor meningkat. Penawaran terhadap
valuta asing juga meningkat bila arus masuk modal (capital inflow) lebih
besar daripada arus keluar modal (capital outflow) (Rahardja dan
Manurung, 2004:85-86).
39
Satu mata uang diperdagangkan dengan yang lainnya di dalam pasar
atau bursa valuta asing, maka berlakulah pedoman bahwa menginginkan
(permintaan) rupiah sama saja dengan kesediaan untuk menawarkan
(penawaran) valuta asing. Di sisi lain, menjajakan (penawaran) rupiah
mengandung arti keinginan (permintaan) akan valuta asing (Lipsey et, al.,
1993:380).
Menurut Todaro dan Smith (2006:167), devaluasi terhadap mata uang
suatu negara adalah penetapan nilai tukar yang lebih rendah bagi mata
uang tersebut terhadap valuta-valuta asing secara mendadak lewat
keputusan pemerintah. Depresiasi adalah penurunan daya beli mata uang
domestik secara bertahap di pasar luar negeri relatif dibandingkan jika di
pasar domestik. Apresiasi adalah peningkatan daya beli mata uang
domestik secara bertahap.
3. Sistem Nilai Tukar
Di antara sekian sistem moneter internasional yang utama, ada dua
ekstrim yang bisa dibedakan, yaitu nilai tukar tetap (fixed exchange rate)
dan nilai tukar fleksibel (free floating exchange rate) adalah sebagai
berikut:
a. Nilai tukar tetap (fixed exchange rate) adalah sistem di mana nilai
tukar bersifat tetap pada nominal tertentu. Dalam sistem nilai tukar
tetap, Bank Sentral setiap negara melakukan intervensi pada bursa
valuta asing untuk mencegah penyimpangan nilai tukar dari nominal
yang telah ditetapkan.
40
b. Nilai tukar fleksibel atau nilai tukar mengambang (free floating
exchange rate) adalah sistem nilai tukar yang berfluktuasi dengan
bebas dan ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar tanpa
adanya campur tangan pemerintah. Dalam sistem nilai tukar fleksibel,
permintaan dan penawaran menentukan nilai tukar tanpa adanya
campur tangan pemerintah dalam bentuk apapun.
Di antara kedua sistem tersebut, terdapat beberapa sistem campuran,
yaitu sistem patok yang masih bisa diubah (adjustable peg system) dan
sistem mengambang terkendali (managed floating exchange rate):
a. Sistem patok yang masih bisa diubah (adjustable peg system),
pemerintah menentukan dan berusaha mempertahankan nilai pari dari
nilai tukarnya, namun mereka menyadari bahwa keadaan dapat
berkembang sehingga mereka dapat mengubah nilai pari tersebut.
b. Sistem mengambang terkendali (managed floating exchange rate),
Bank Sentral berusaha berperan sebagai stabilisator atas nilai tukar,
namun tidak menetapkan nilai parinya (Lipsey et, al., 1993:396-401).
4. Macam-Macam Kurs
Menurut Paryan (2009), beberapa kurs yang dikenal dalam praktek,
berupa: kurs realisasi, kurs Bank Indonesia (BI) dan kurs Menteri
Keuangan.
a. Kurs realisasi adalah kurs yang sebenarnya terjadi pada saat
perusahaan merupiahkan mata uang asing atau pada waktu perusahaan
membeli mata uang asing dengan rupiah.
41
b. Kurs BI adalah kurs yang berlaku di Bank Indonesia dan biasanya
dipakai untuk mencatat utang piutang serta transaksi dalam mata uang
asing. Kurs BI terdiri dari kurs jual dan kurs beli. Dalam rangka
melakukan pencatatan, kurs yang dipakai adalah kurs tengah BI, yaitu
kurs rata-rata antara kurs jual dengan kurs beli.
c. Kurs Menteri Keuangan adalah kurs yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan. Kurs ini ditetapkan untuk tujuan tertentu seperti pelunasan
pajak. Kurs ini semula dikeluarkan setiap triwulanan namun demikian
sejak 1 Oktober 1997 dikeluarkan setiap minggu. Kurs Menteri
Keuangan adalah kurs yang digunakan dalam penelitian ini.
5. Cara Menghitung Kurs
Menurut Mankiw (2007: 128-135), kurs nominal adalah harga relatif
dari mata uang dua negara, sedangkan kurs riil adalah harga relatif dari
barang-barang diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat di mana
kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk
barang-barang dari negara lain. Rumus untuk menghitung kurs riil terdiri
dari kurs riil untuk barang tunggal dan kurs riil untuk kelompok barang
yang lebih luas:
a. Kurs riil untuk barang tunggal
Kurs Riil = Kurs Nominal x Harga Barang Domestik
Harga Barang Luar Negeri
b. Kurs riil untuk kelompok barang yang lebih luas
€ = e x (P/P*)
42
c. Kurs Nominal
e = € x (P*/P)
Keterangan:
€
= Kurs Riil
e
= Kurs Nominal
P/P* = Rasio Tingkat Harga
P
= Tingkat Harga Luar Negeri (Dollar)
P*
= Tingkat Harga Domestik
6. Dampak dan Pengendalian Fluktuasi Rupiah
Menurut Edalmen (2000), banyak dampak yang timbul dari fluktuasi
nilai tukar rupiah dalam perekonomian Indonesia yang sangat terbuka.
Fluktuasi nilai tukar rupiah ini berkaitan erat dengan nilai valuta asing
yang diukur dengan mata uang rupiah, antara lain sebagai berikut:
a. Ditinjau dari segi lalu lintas moneter internasional, fluktuasi kurs
rupiah akan dapat mempersulit pembayaran hutang luar negeri berserta
bunganya, khususnya hutang yang telah jatuh tempo. Hal ini terjadi
karena dengan kurs rupiah yang makin melemah, maka perlu dana
rupiah yang jumlahnya lebih besar untuk pembayarannya.
b. Fluktuasi kurs rupiah yang begitu besar dapat pula menyebabkan
berkurangnya daya tarik investor asing untuk menanamkan modal di
dalam negeri, sehingga lalu lintas modal netto akan cenderung
mengalami difisit.
43
c. Fluktuasi kurs rupiah berdampak terhadap kelangsungan APBN pada
tahun yang sedang berjalan. Keadaan tersebut akan menyulitkan dalam
menyusun perencanaan dan program pembangunan, terutama karena
sukar meramalkan nilai kurs valuta asing yang harus ditetapkan pada
waktu periode perencanaan.
d. Fluktuasi kurs rupiah juga akan dapat mempengaruhi kondisi moneter
di dalam negeri. Nilai rupiah yang melemah jika dapat meningkatkan
ekspor pada akhirnya akan dapat mempengaruhi supply uang di dalam
negeri. Sebaliknya ada kecenderungan meningkatnya pengeluaran
untuk impor yang berarti meningkatkan pemakaian valuta asing dan
berakibat menipisnya cadangan devisa.
Sekarang ini masih sering terjadi perbedaan pendapat diantara para
pejabat pemerintah tentang penyebab sebenarnya fluktuasi rupiah.
Memperhatikan berbagai faktor yang teridentifikasi kiranya alasan kuat
juga datang dari faktor non ekonomi, yaitu faktor politik, keamanan dan
tegaknya hukum yang telah memberikan bobot tersendiri dalam
melemahkan nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, tidak ada salahnya
pemerintah juga memusatkan perhatian pada terciptanya iklim politik,
situasi keamanan dan penegakan hukum yang lebih kondusif. Peningkatan
koordinasi untuk menyamakan persepsi tentang bagaimana negara ke
depan serta menghindari berbagai pernyataan yang dapat menimbulkan
kontroversi dan ketidakpastian diharapkan mampu untuk meredam gejolak
fluktuasi mata uang rupiah.
44
D. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
1. Definisi PKP
Berdasarkan UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (4),
pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor
barang,
mengekspor
barang,
melakukan
usaha
perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan
usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar
Daerah Pabean. Menurut Mardiasmo (2008:278), PKP adalah pengusaha
sebagaimana dimaksud seperti di atas yang melakukan penyerahan BKP
dan/atau penyerahan JKP yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN
1984, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih
untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Berdasarkan UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (5), PKP
adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan
JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa PKP
adalah pengusaha yang telah menjadi Wajib Pajak sehingga telah memiliki
hak dan kewajiban perpajakan dan kegiatan usahanya adalah melakukan
penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP kepada pihak manapun.
45
2. Pengukuhan PKP
UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 2 ayat (2) berbunyi “Setiap
Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN
1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP)”,
UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 2 ayat (4) dan (4a) berbunyi
“Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak
atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya”.
“Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok
Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara
jabatan dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif
dan objektof sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, paling lama lima tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok
Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak”.
3. Pencabutan Pengukuhan Sebagai PKP
Menurut Waluyo (2009:59-60), pengukuhan sebagai PKP dicabut
dilakukan sebagai berikut:
a. Bila Wajib Pajak (WP) pindah alamat ke wilayah kerja Kantor
Pelayanan Pajak lain, bubar atau tidak memenuhi syarat sebagai PKP
46
lagi, maka terhadap WP tersebut dilakukan pencabutan pengukuhan
sebagai PKP.
b. Pencabutan pengukuhan PKP dilakukan dengan cara mengisi Formulir
Pemutakhiran Data WP yang pengisiannya dilakukan oleh:
1) WP atau kuasanya yang sah dengan melampirkan Surat Kuasa;
2) Petugas Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan dalam hal:
(a) WP meninggal dunia tanpa meninggalkan warisan, berdasarkan
Surat Keterangan Kematian atau fotokopi akta atau fotokopi
laporan kematian WP;
(b) WP Bentuk Usaha Tetap yang karena sesuatu hal kehilangan
statusnya sebagai Bentuk Usaha Tetap dan WP Orang Pribadi
yang tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat digolongkan
sebagai WP berdasarkan hasil pemeriksaan Kantor Pelayanan
Pajak yang bersangkutan.
c. Bila WP pidah tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat
kegiatan usaha ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lain atau
berubahnya status perusahaan yang mengakibatkan Kantor Pelayanan
Pajak yang mengelolanya berubah,penghapusan Nomor Pokok Wajib
Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan PKP dilakukan sebagai
berikut:
1) WP mengajukan Surat Pemberitahuan Pindah ke Kantor Palayanan
Pajak lama atau langsung ke Kantor Palayanan Pajak baru tanpa
disyaratkan harus mengisi Formulir Pemutakhiran Data WP;
47
2) Surat Pemberitahuan Pindah sebagaimana dimaksud pada di atas
harus memuat data sekurang-kurangnya mengenai nama, NPWP,
Nomor Register dan alamat baru WP di tempat yang dituju, yang
diperlukan oleh Kantor Palayanan Pajak lama untuk menerbitkan
Surat Perpindahan WP dan/atau Surat Pencabutan Pengukuhan
sebagai PKP untuk dikirimkan ke Kantor Palayanan Pajak baru;
3) Berdasarkan Surat Perpindahan WP dan/atau Surat Pencabutan
Pengukuhan sebagai PKP, Kantor Palayanan Pajak baru akan
menerbitkan Kartu Pendaftaran, Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak,
Surat Pengukuhan PKP dan Surat Pemberitahuan telah terdaftar di
Kantor Palayanan Pajak baru.
4. Kewajiban PKP
Menurut Djuanda dan Lubis (2006:31), PKP berkewajiban untuk:
a. Memiliki Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).
b. Memungut PPN dan PPn BM yang terutang.
c. Menyetor PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran
lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, serta
menyetorkan PPN yang terutang.
d. Melaporkan perhitungan PPN dan PPn BM yang terutang.
5. Pengecualian Kewajiban PKP
Menurut Mardiasmo (2008:278), pengusaha yang dikecualikan dari
kewajiban sebagai PKP adalah:
48
a. Pengusaha Kecil, yaitu pengusaha yang selama satu tahun buku
melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran
bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00.
Pengusaha Kecil dibebaskan dari kewajiban mengenakan atau
memungut PPN atas penyerahan BKP/JKP, sehingga tidak perlu
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali apabila
Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP, maka UU
PPN & PPn BM berlaku sepenuhnya bagi Pengusaha Kecil tersebut.
b. Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan/atau jasa yang
tidak dikenakan PPN.
6. Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pajak
Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001, dalam
rangka meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan mengoptimalkan
penerimaan pajak, perlu dengan pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak
dan intensifikasi PPh Pasal 25, PPh Pasal 21 dan PPN. Ekstensifikasi
Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah
Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi DJP.
Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan
pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar
dalam administrasi DJP dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib
Pajak.
Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan
intensifikasi pajak, meliputi:
49
a. Pemberian NPWP dilokasi usaha, termasuk pengukuhan sebagai PKP,
terhadap orang pribadi pengusaha tertentu yang mempunyai lokasi
usaha di sentra perdagangan/ perbelanjaan/ pertokoan/ perkantoran/
mal/ plaza/ kawasan industry/ sentra ekonomi lainnya.
b. Pemberian NPWP dan/atau pengukuhan sebagai PKP terhadap WP
Badan yang berdasarkan data yang dimiliki atau diperoleh ternyata
belum terdaftar sebagai WP dan/atau PKP baik di domisili atau lokasi.
E. Penelitian Terdahulu
Penelitian
mengenai
penerimaan
PPN
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya seperti inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP telah
banyak dilakukan, seperti yang ditunjukkan dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Peneliti
(Tahun)
Salawati
(2008)
Muhammad
Zilal
Hamzah dan
Willy
Suyowibow
o (2005)
Judul
Persamaan
Penelitian
Analisis
1. Variabel:
Pengaruh
Inflasi (X),
Inflasi dan
Nilai Tukar
Nilai Tukar
Rupiah (X),
Rupian
Penerimaan
Terhadap
PPN (Y)
Penerimaan
2. Metodologi
PPN pada
penelitian:
Kanwil DJP
Regresi
Jakarta Selatan
Linear
Berganda
Pengaruh Kurs, 1. Variabel:
IHSG dan SBI
Kurs (X) dan
Terhadap
Penerimaan
Penerimaan
Pajak (Y)
Negara Sektor
Perpajakan
Perbedaan
1. Objek
Penelitian:
Kantor
Wilayah DJP
Jakarta Selatan
2. Periode
penelitian:
2005-2007
1. Metodologi
penelitian:
Analisis Jalur
2. Periode
penelitian:
1995-2004
Hasil
Penelitian
Inflasi dan Nilai
Tukar Rupiah
berpengaruh
terhadap
penerimaan PPN
sebesar 27,4%
Kurs dan SBI
menunjukkan
hasil yang
signifikan
namun IHSG
tidak signifikan
terhadap
penerimaan
pajak
Bersambung ke halaman berikutnya
50
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Peneliti
(Tahun)
Saepudin
(2008)
Judul
Persamaan
Penelitian
Analisis
1. Variabel:
Faktor-Faktor
Inflasi (X),
yang
Jumlah PKP
Mempengaru
(X) dan
hi Pajak
Penerimaan
Pertambahan
PPN (Y)
Nilai (PPN) di 2. Metodologi
Sumatera
penelitian:
Utara
Regresi Linear
Berganda
Alberto
La Relazione 1. Variabel:
Locarno
Tra
Gettito Inflasi (X)
dan
Tributario E dan
Alessandra Quadro
Penerimaan
Staderini
Macroeconom Pajak
(2008)
ico In Italia
2. Metodologi
penelitian:
Analisis
Regresi
Eddi
Dampak
1. Variabel:
Wahyudi
Fluktuasi
Inflasi (X),
dkk. (2009) Ekonomi
Nilai Tukar
Terhadap
Rupiah (X)
Penerimaan
dan
Pajak
penerimaan
PPN (Y)
Rifki
Aditya
(2009)
Analisis
Determinan
Penerimaan
Pajak
Pertambahan
Nilai dari
Wilayah
Provinsi
Sumatera
Selatan
3. Variabel:
Inflasi (X),
Jumlah PKP
(X) dan
Penerimaan
PPN (Y)
4. Metodologi
penelitian:
Analisis
regresi
Ordinary
Least Square
Hasil
Penelitian
1. Objek
Jumlah PKP,
penelitian:
inflasi dan
Kanwil DJP
pertumbuhan
Sumut I dan II
ekonomi secara
2. Periode
simultan
penelitian: 2000- berpengaruh
2007
signifikan
terhadap
penerimaan
PPN.
1. Objek
Penerimaan
Penelitian:
pajak di
Negara Italia
pengaruhi oleh
2. Periode
suku bunga,
penelitian: tahun harga minyak,
1978-2006
output gap dan
inflasi.
Perbedaan
1. Model
penelitian:
Structural
Vector
Autoregression
(S-VAR) dengan
Vector Error
Correction
Model (VECM)
2. Periode
penelitian:
1993-2007
3. Objek
Penelitian: KPP
di Sumatera
Selatan
4. Periode
penelitian: 20012008
Konsumsi
minyak, harga
minyak, inflasi,
jumlah uang
beredar, nilai
tukar rupiah dan
tingkat hunian
hotel
berpengaruh
terhadap
penerimaan PPh
dan PPN.
Pertumbuhan
ekonomi dan
inflasi
berkorelasi
negatif
sedangkan
Jumlah PKP
berkorelasi
positif terhadap
penerimaan
PPN.
Bersambung ke halaman berikutnya
51
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Peneliti
(Tahun)
Terence D.
Agbeyegbe
et, al.,
(2006)
Judul
Persamaan
Penelitian
Trade
1. Variabel:
Liberalization Kurs, Inflasi
, exchange
dan
rate changes
Penerimaan
and tax
Pajak
revenue in
Sub-Sahara
Africa
Perbedaan
1. Metodologi
penelitian:
Generalized
Method of
Moment
Regression
2. Periode
penelitian:
1980-1996
Hasil
Penelitian
Liberalisasi
perdagangan tidak
berpengaruh kuat
terhadap
penerimaan pajak
agregat, apresiasi
mata uang dan
inflasi yang lebih
tinggi
menunjukkan
penurunan
penerimaan pajak.
Sumber: Diolah dari berbagai referensi
F. Keterkaitan Antar Variabel
1. Pengaruh Inflasi Terhadap Penerimaan PPN
Salah satu kendala yang banyak dialami oleh berbagai negara dalam
perekonomian adalah masalah inflasi, terlebih jika yang terjadi tingkat
inflasi
tinggi. Inflasi mempengaruhi seluruh variabel makro ekonomi,
seperti pertumbuhan ekonomi, ekspor/impor, penabungan, tingkat bunga,
investasi, distribusi pendapatan dan penerimaan pajak (Nersiwad, 2002).
Tingkat inflasi berpengaruh terhadap daya konsumsi masyarakat, dimana
konsumsi itu berpengaruh terhadap penerimaan PPN. Semakin tinggi
konsumsi maka semakin tinggi pula penerimaan PPN karena PPN adalah
pajak atas konsumsi.
Tingkat inflasi akan mempengaruhi harga BKP dan/ JKP, dimana
dasar pengenaan PPN merupakan harga perolehan dari BKP dan/ JKP.
Tarif yang dikenakan terhadap PPN adalah sepadan, yaitu 10% dari harga
perolehan. Hal tersebut membuat inflasi berpengaruh terhadap penerimaan
52
PPN, sebagai contoh harga sebuah barang „Y‟ sebelum terjadi inflasi
sebesar Rp. 1.000.000 yang mana dikenakan PPN sebesar Rp. 100.000.
Periode berikutnya dengan inflasi yang meningkat harga barang „Y‟ naik
menjadi Rp 1.100.000 dan dikenakan PPN menjadi sebesar Rp 110.000.
Penelitian yang dilakukan oleh Salawati (2008) menunjukkan bahwa
inflasi berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PPN. Penelitian yang
dilakukan oleh Wahyudi dkk. (2009) serta Locarno dan Staderini (2008)
juga menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh terhadap penerimaan pajak.
Berdasarkan uraian tersebut, maka diekspektasikan tingkat inflasi
berpengaruh terhadap penerimaan PPN, untuk itu penulis membuat
hipotesis sebagai berikut:
Ha1: Inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN.
2. Pengaruh Nilai Tukar Rupiah Terhadap Penerimaan PPN
Sasaran pembangunan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah diarahkan
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Penurunan pertumbuhan
ekonomi akan ditranmisikan ke dalam turunnya penerimaan pajak. Upaya
untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan ekonomi adalah
dengan menjaga stabilitas indikator-indikator ekonomi makro yang salah
satu diantaranya adalah indikator ekonomi makro nilai tukar rupiah
(Departemen Keuangan, 2008:1-3).
Nilai tukar rupiah yang melemah terhadap mata uang asing atau terjadi
depresiasi akan mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa yang
dikonsumsi masyarakat. Hal tersebut akan mempengaruhi daya beli
53
masyarakat dikarenakan harga barang dan jasa mengalami kenaikan
sementara tingkat pendapatan masyarakat yang cenderung konstan atau
tetap. Daya beli atau konsumsi masyarakat yang dipengaruhi oleh nilai
tukar rupiah pada akhirnya akan mempengaruhi penerimaan PPN karena
PPN adalah pajak atas konsumsi.
Penelitian yang dilakukan oleh Salawati (2008) menunjukkan bahwa
nilai tukar rupiah berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PPN.
Penelitian yang dilakukan oleh Hamzah dan Suryowibowo (2005) serta
Agbeyegbe et, al., (2006) juga menunjukkan bahwa kurs berpengaruh
terhadap
penerimaan
pajak.
Berdasarkan
uraian
tersebut,
maka
diekspektasikan nilai tukar rupiah berpengaruh terhadap penerimaan PPN,
untuk itu penulis membuat hipotesis sebagai berikut:
Ha2: Nilai tukar rupiah berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan
PPN.
3. Pengaruh Jumlah PKP Terhadap Penerimaan PPN
Upaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam rangka mencapai target
penerimaan pajak yang setiap tahun meningkat dalam APBN adalah
dengan
melakukan
intensifikasi
pajak
dan
ekstensifikasi
pajak.
Intensifikasi antara lain dengan menguji kepatuhan Wajib Pajak, misalnya
melalui pemeriksaan pajak. Ekstensifikasi ditempuh dengan memperluas
basis pengenaan pajak, seperti kenaikan jumlah Pengusaha Kena Pajak
(PKP) terdaftar.
54
Pelaksanaan
program
ekstensifikasi
pajak
akan
menimbulkan
penambahan subjek kewajiban perpajakan baru, yakni PKP terdaftar.
Tingkat kepatuhan dari PKP yang telah terdaftar maupun yang baru
terdaftar
melalui
pelaksanaan
program
ekstensifikasi
diharapkan
meningkat, sehingga penerimaan perpajakan juga akan meningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh Saepudin (2008) dan Aditya (2009)
menunjukkan bahwa jumlah PKP berpengaruh signifikan terhadap
penerimaan PPN. Berdasarkan uraian tersebut, maka diekspektasikan
jumlah PKP berpengaruh terhadap penerimaan PPN, untuk itu penulis
membuat hipotesis sebagai berikut:
Ha3: Jumlah PKP berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan
PPN.
4. Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar Rupiah dan Jumlah PKP Terhadap
Penerimaan PPN
Upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak khususnya PPN yang
merupakan sumber penerimaan pajak terbesar kedua setelah Pajak
Penghasilan (PPh) dalam APBN dapat dilakukan melalui faktor internal
maupun eskternal. Faktor internal meliputi kebijakan dibidang perpajakan
dan faktor eksternal meliputi perkembangan ekonomi makro, seperti
pengaruh variabel ekonomi makro yang terdapat dalam penelitian ini
berupa inflasi dan nilai tukar rupiah. Karena fluktuasi ekonomi dapat
mempengaruhi kestabilan penerimaan pajak (Wahyudi dkk., 2009).
55
Upaya internal yang diambil oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
dalam rangka mencapai target penerimaan pajak yang setiap tahun
meningkat dalam APBN adalah melakukan intensifikasi pajak dan
ekstensifikasi pajak. Intensifikasi antara lain dengan menguji kepatuhan
Wajib
Pajak,
misalnya
melalui
pemeriksaan
pajak,
sedangkan
ekstensifikasi pajak ditempuh dengan memperluas basis pengenaan pajak,
misalnya melalui kenaikan jumlah PKP terdaftar (Manurung et, al., 2001).
Upaya eksternal yang dilakukan pemerintah adalah dengan menjaga
indikator ekonomi makro diantaranya stabilitas inflasi dan nilai tukar
rupiah.
Inflasi
dan
nilai
tukar
rupiah
yang berfluktuatif
akan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi
akan ditransmisikan ke dalam penerimaan perpajakan.
Berdasarkan uraian di atas mengenai inflasi, nilai tukar rupiah dan
jumlah PKP yang masing-masing diekspektasikan berpengaruh terhadap
penerimaan PPN, maka dapat diekspektasikan inflasi, nilai tukar rupiah
dan jumlah PKP secara bersama-sama berpengaruh terhadap penerimaan
PPN, untuk itu penulis membuat hipotesis sebagai berikut:
Ha4: Inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP berpengaruh secara
simultan dan signifikan terhadap penerimaan PPN.
G. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran untuk memudahkan dalam melakukan analisis, maka
penulis menggambarkan kerangka pemikiran seperti pada Gambar 2.1 berikut:
56
Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar Rupiah dan Jumlah Pengusaha Kena Pajak
(PKP) Terhadap Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Inflasi (X1)
Salawati (2008), Saepudin
(2008), Wahyudi dkk., (2009)
Agbeyegbe et, al., (2006), Aditya
(2009), Locarno dan Staderini
(2008)
Penerimaan PPN (Y)
Wahyudi dkk., (2009),
Salawati (2008), Aditya
(2009), Saepudin (2008)
Nilai Tukar Rupiah (X2)
Salawati (2008), Wahyudi dkk.,
(2009), Hamzah dan
Suryowibowo (2005)
Jumlah PKP (X3)
Aditya (2009), Saepudin (2008)
Uji Model Regresi
Uji Asumsi Klasik:
1. Uji Normalitas
2. Uji Multikolonieritas
3. Uji Heteroskedastisitas
4. Uji Autokorelasi
Uji Regresi Berganda
Uji F
Uji t
Adjusted R2
Interpretasi
Kesimpulan
Gambar 2.1
Skema Kerangka Pemikiran
57
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kausalitas, karena tujuan penelitian ini
adalah meneliti hubungan sebab akibat antara dua variabel, yaitu variabel
independen (inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP) terhadap variabel
dependen (penerimaan PPN). Penelitian ini dilakukan di Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak (Kanpus DJP) yang beralamat di Jl. Jenderal Gatot
Subroto No. 40-42 Jakarta.
Penulis dalam penelitian ini melakukan penelitian berupa studi time series
dimana data yang digunakan berupa data rentetan waktu (Indriantoro,
2002:96). Periode penelitian adalah dari Januari 2002 sampai dengan
Desember 2009 atau selama delapan tahun.
B. Metode Penentuan Sampel
Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah semua populasi
dijadikan sebagai sampel. Oleh karena penelitian yang dilakukan berupa studi
time series selama delapan tahun dengan unit data bulanan, maka jumlah
sampel adalah 96 buah. Namun diantara sampel terdapat 11 sampel yang
outlier, yakni terdapat sampel yang terjadi deflasi sehingga total sampel yang
digunakan menjadi berjumlah 85 buah. Outlier (Gozali, 2009), adalah kasus
atau data yang memiliki karakteristik unik yang terlihat sangat berbeda jauh
58
dari observasi lainnya dan muncul dalam bentuk nilai ekstrim baik untuk
sebuah variabel tunggal atau untuk variabel kombinasi.
C. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara
tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain)
(Indriantoro dan Supomo, 2002:147). Ada dua jenis data yang digunakan,
yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif diambil dari buku,
jurnal, majalah, penelitian terdahulu dan situs internet yang berhubungan
dengan penelitian ini. Data kuantitatif berupa data angka-angka yang terdapat
pada data inflasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui situs
www.bps.go.id, data nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika yang
dikeluarkan oleh Menteri Keuangan diperoleh melalui situs www.ortax.org
dan dengan mendatangi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak untuk
memperoleh data jumlah PKP terdaftar yang terdiri dari WP PKP Badan dan
Orang Pribadi serta realisasi penerimaan PPN. Periode data yang digunakan
adalah dari Januari 2002 sampai dengan Desember 2009.
D. Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan metode data kuantitatif dengan menggunakan
analisis statistik melalui pendekatan regresi berganda, yaitu suatu analisis
yang mengukur pengaruh antarvariabel yang melibatkan lebih dari satu
variabel independen terhadap variabel dependen (Sunyoto, 2009:9). Analisis
data dilakukan dengan bantuan aplikasi komputer, yaitu program SPSS.
59
1. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas Data
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Ada dua
cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak,
yaitu dengan analisis grafik dan uji statistik. Uji normalitas ini dengan
melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik. Jika
data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis
diagonal, grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal,
maka model regresi mengikuti asumsi normalitas, sedangkan jika data
menyebar jauh dari diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis
diagonal, grafik histogramnya tidak menunjukkan pola distribusi
normal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas
(Ghozali, 2009:147).
b. Uji Multikolonieritas
Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel
independen. Multikolonieritas dapat dilihat dari nilai tolerance dan
lawannya variance inflation factor (VIF). Tolerance mengukur
variabilitas variabel independen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh
variabel independen lainnya. Nilai cut off yang umum dipakai untuk
60
menunjukkan adanya multikolonieritas adalah nilai Tolerance < 0,10
atau sama dengan nilai VIF > 10 (Ghozali, 2009).
c. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke
pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke
pengamatan lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas dan jika
berbeda disebut Heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah
yang Homoskedastisitas atau tidak terjadi Heteroskedastisitas (Ghozali,
2009).
d. Uji Autokorelasi
Menurut Santoso (2002), bertujuan untuk menguji apakah sebuah
regresi linear ada korelasi antara kesalahan penganggu pada periode t
dan kesalahan penganggu pada periode t-1. Jika terjadi korelasi maka
dinamakan ada problem autokorelasi. Model regresi yang baik adalah
yang bebas dari problem tersebut. Salah satu cara yang digunakan untuk
mendeteksi autokorelasi adalah uji Durbin Watson (D-W). Dimana jika
angka D-W di bawah -2 ada angka autokorelai positif, angka D-W
antara -2 sampai +2 tidak ada autokorelasi dan angka D-W di atas +2
ada autokorelasi negatif (Sunyoto, 2009:91-92).
2. Uji Hipotesis
Metode analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah metode
analisis regresi linear berganda, yaitu suatu analisis yang mengukur
61
pengaruh antarvariabel yang melibatkan lebih dari satu variabel independen
terhadap variabel dependen (Sunyoto, 2009:9). Adapun rumus regresi linear
berganda sebagai berikut:
Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 +e
Keterangan:
Y = Variabel Dependen (Penerimaan PPN)
α = Konstanta
β = Koefisien
X1 = Variabel Independen (Inflasi)
X2 = Variabel Independen (Nilai Tukar Rupiah)
X3 = Variabel Independen (Jumlah PKP)
e = Error
a. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur seberapa jauh
kemampuan model regresi dalam menerangkan variasi variabel
dependen. Nilai koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai
R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam
menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang
mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan
hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi
variabel dependen (Ghozali, 2009:87).
62
b. Uji Statistik t
Menurut Ghozali
(2009: 88), uji statistik t digunakan untuk
mengetahui hubungan masing-masing variabel independen secara
individual terhadap variabel dependen. Untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh
masing-masing
variabel
dependen
digunakan
tingkat
signifikansi 5 % (α) = 0,05. Jika probability t lebih besar dari 0,05 maka
tidak ada pengaruh dari variabel independen terhadap variabel
dependen (koefisien regresi tidak signifikan), sedangkan jika nilai
probability t lebih kecil dari 0,05 maka terdapat pengaruh variabel
dependen (koefisien signifikan).
c. Uji Statistik F
Ghozali (2009:88), uji statistik F pada dasarnya menunjukkan
apakah semua variabel independen atau bebas yang dimasukkan dalam
model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel
dependen/terikat. Untuk mengetahui apakah variabel independen secara
bersama-sama mempengaruhi variabel dependen maka digunakan
tingkat signifikansi sebesar 0,05, jika nilai probability F lebih besar dari
0,05, maka model regresi tidak dapat digunakan untuk memprediksi
variabel dependen dengan kata lain variabel independen secara
bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel dependen.
63
E. Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel Independen (X)
Variabel independen atau variabel bebas adalah tipe variabel
menjelaskan atau mempengaruhi variabel lain (Indriantoro dan Supomo,
2002:63). Variabel independen dalam penelitian ini adalah:
a. Inflasi yang dilambangkan dengan X1
Inflasi adalah kenaikan tingkat harga keseluruhan (Case dan Fair,
2004:58). Menurut Murni (2006:41), laju inflasi adalah laju tingkat
harga umum dari tahun ke tahun dan biasanya diikuti degan kenaikan
harga pada tahun tertentu dari tahun sebelumnya. Indeks Harga
Konsumen (IHK) atau (consumer price index-CPI) mengukur biaya
sekelompok barang dan jasa di pasar. Laju atau tingkat inflasi dapat
dihitung dengan rumus berikut:
Laju inflasi = IHKt – IHK (t-1) x 100%
IHK (t-1)
Keterangan:
IHKt
= Indeks Harga Konsumen tahun x
IHK (t-1) = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya
b. Nilai Tukar Rupiah yang dilambangkan dengan X2
Menurut Murni (2006:244), nilai tukar (exchange rate) atau
disebut juga kurs valuta asing (foreign exchange rate) adalah jumlah
uang domestik yang dibutuhkan untuk memperoleh satu unit mata
uang asing. Menurut Mankiw (2007: 128-135), kurs nominal adalah
harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan kurs riil adalah
64
harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Rumus untuk
menghitung kurs riil terdiri dari kurs riil untuk barang tunggal dan kurs
riil untuk kelompok barang yang lebih luas:
1) Kurs riil untuk barang tunggal
Kurs Riil = Kurs Nominal x Harga Barang Domestik
Harga Barang Luar Negeri
2) Kurs riil untuk kelompok barang yang lebih luas
€ = e x (P/P*)
3) Kurs Nominal
e = € x (P*/P)
Keterangan:
€
= Kurs Riil
e
= Kurs Nominal
P/P*
= Rasio Tingkat Harga
P
= Tingkat Harga Luar Negeri (Dollar)
P*
= Tingkat Harga Domestik
c. Jumlah PKP yang dilambangkan dengan X3
Berdasarkan UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (5),
PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau
JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya.
Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak (WP PKP) terdiri dari WP PKP
Badan dan Orang Pribadi.
65
2. Variabel Dependen (Y)
Variabel dependen atau variabel terikat adalah tipe variabel yang
dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel independen (Indriantoro dan
Supomo, 2002:63). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah
penerimaan PPN yang dilambangkan dengan Y.
Menurut UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPn BM, PPN
adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang
dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. PPN
yang terutang dihitung dengan cara:
PPN yang terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
66
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Deskripsi Objek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Pengusaha Kena
Pajak (PKP) yang terdiri dari PKP Badan dan PKP Orang Pribadi yang
terdaftar dari tahun 2002 sampai 2009 di Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Pajak (DJP). PKP dipilih karena merupakan pengusaha yang melakukan
penyerahan BKP dan/atau JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN
1984 dan perubahannya. PKP juga memiliki kewajiban antara lain
memungut, menyetor dan melaporkan PPN yang terutang.
Pemilihan DJP sebagai populasi dalam penelitian ini adalah dengan
alasan bahwa DJP sebuah direktorat jenderal di bawah Kementerian
Keuangan
Indonesia
yang
mempunyai
tugas
merumuskan
serta
melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan.
Struktur organisasi Kantor Pusat DJP berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan PMK 131/PMK.01/2006 terdiri dari 1 Sekretariat, 12 Direktorat
dan 1 Pusat yang dipimpin oleh pejabat eselon II. Unit kerja vertikal di
daerah meliputi Kantor Wilayah (Kanwil) DJP, Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan
(KP2KP). Saat ini terdapat 31 Kantor Wilayah DJP di seluruh Indonesia
yang dipimpin pejabat eselon II a (www. wikipedia.com). Berdasarkan
67
struktur organisasi dari Kantor Pusat DJP yang mencakup seluruh
Indonesia, maka penelitian ini menganalisis mengenai penerimaan PPN
secara nasional.
2. Deskripsi Sampel Penelitian
Pemilihan sampel dari populasi, yaitu semua populasi dijadikan
sebagai sampel penelitian. Dikarenakan WP PKP terdiri dari WP PKP
Orang Pribadi dan Badan dan peneliti menggunakan sampel populasi,
maka sampel yang dipilih dari populasi WP PKP yang terdaftar di Kantor
Pusat DJP adalah WP PKP Orang Pribadi dan Badan. Data sampel adalah
data bulanan dalam rentang waktu tahun 2002 sampai 2009 dengan jumlah
sampel adalah 96 buah. Namun terdapat 11 sampel yang outlier, sehingga
total sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 85 buah.
B. Analisis dan Pembahasan
1. Hasil Uji Asumsi Klasik
a. Hasil Uji Normalitas Data
Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah
model regresi, variabel dependen dan variabel independen atau
keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang
baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal. Uji
normalitas data dilakukan dengan melihat grafik histogram dan grafik
Normal Probability Plot.
68
Sumber: Data sekunder yang diolah
Gambar 4.1
Hasil Uji Normalitas Menggunakan Grafik Histogram
Sumber: Data sekunder yang diolah
Gambar 4.2
Grafik Normal Probability Plot
Berdasarkan tampilan grafik histogram dan grafik Normal
Probability Plot dapat diketahui bahwa grafik histogram memberikan
69
pola distribusi yang normal (tidak terjadi kemencengan), demikian
juga pada grafik Normal Probability Plot terlihat bahwa titik-titik data
berada di sekitar garis diagonal dan bergerak mengikuti arah garis
diagonal, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data dalam
penelitian ini sudah memenuhi asumsi normalitas.
b. Hasil Uji Multikolonieritas
Tabel 4.1
Hasil Uji Multikolonieritas
Coefficients
a
Collinearity Statistics
Model
Tolerance
1Inflasi
VIF
.962
1.039
Kurs_Rupiah
.715
1.398
Jumlah_PKP
.725
1.380
a. Dependent Variable: Penerimaan_PPN
Sumber: Data sekunder yang diolah
Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel
independennya (multikolonieritas). Dari tabel 4.1 dapat diketahui
bahwa tidak ada variabel independen yang memiliki nilai TOL kurang
dari 0,1. Demikian pula dengan nilai VIF, tidak ada variabel
independen yang memiliki nilai VIF lebih dari 10. Jadi dapat
disimpulkan bahwa model regresi dalam penelitian ini bebas dari
multikolonieritas.
70
c. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Sumber: Data sekunder yang diolah
Gambar 4.3
Hasil Uji Heteroskedasitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam
model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu
pengamatan ke pengamatan lain. Jika varians dari residual satu
pengamatan ke pengamatan lain tetap disebut homoskedastisitas dan
jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik
adalah homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas.
Gambar 4.3 menunjukkan bahwa titik-titik data menyebar secara
acak dan tidak membentuk suatu pola baik di atas maupun di bawah
angka 0 pada sumbu Y, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
model regresi dalam penelitian ini tidak terjadi heteroskedastisitas.
71
d. Hasil Uji Autokorelasi
Menurut Santoso (2002), uji autokorelasi merupakan pengujian
asumsi dalam regresi dimana variabel dependen tidak berkorelasi
dengan dirinya sendiri, artinya bahwa nilai variabel dependen tidak
berhubungan dengan nilai variabel itu sendiri, baik nilai periode
sebelumnya atau nilai periode sesudahnya. Berdasarkan ketentuan uji
autokorelasi dimana nilai DW berada di antara -2 dan +2 atau 2<DW<+2 tidak terjadi autokorelasi, dengan diketahui nilai D-W
sebesar 1,214 dari tabel 4.2, maka dapat disimpulkan tidak terdapat
autokorelasi dalam model regresi.
2. Hasil Uji Hipotesis
a. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)
Uji koefisien determinasi dilakukan untuk mengetahui seberapa
besar kemampuan variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel
independen.
Tabel 4.2
Hasil Uji Koefisien Determinasi
b
Model Summary
Model
1
R
.943
R Square
a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.889
.885
1810327.617
Durbin-Watson
1.214
a. Predictors: (Constant), Jumlah_PKP, Inflasi, Kurs_Rupiah
b. Dependent Variable: Penerimaan_PPN
Sumber: Data sekunder yang diolah
72
Hasil output SPSS pada tabel 4.2, R menunjukkan korelasi
berganda, yaitu korelasi antara dua atau lebih variabel independen
terhadap variabel dependen. Nilai R berkisar antara 0 sampai 1, jika
nilainya mendekati 1 maka hubungan semakin erat dan jika nialinya
mendekati 0 maka hubungan semakin lemah. Nilai R sebesar 0,943
menunjukkan bahwa hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen adalah kuat atau erat. Uji koefisien determinasi
(Adjusted R Square) menunjukkan seberapa besar variabel independen
(inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP) dapat menjelaskan variabel
dependen (Penerimaan PPN). Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai
koefisien Adjusted R Square sebesar 0,885 atau sebesar 88,5%. Hal ini
menunjukkan 88,5% variabel dependen (penerimaan PPN) dapat
dijelaskan oleh variabel independen (inflasi, nilai tukar rupiah dan
jumlah PKP), sedangkan sisanya (100%-88,5%=11,5%) dijelaskan
oleh sebab-sebab yang lain diluar model.
b. Hasil Uji Statistik t
Uji statistik t digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
pengaruh masing-masing variabel independen secara individual
terhadap variabel dependen yang diuji pada tingkat signifikansi 0,05.
73
Tabel 4.3
Hasil Uji t
a
Coefficients
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
B
1(Constant)
Std. Error
-5.685E6
2.809E6
414480.201
199869.126
Kurs_Rupiah
-1182.829
Jumlah_PKP
55.690
Inflasi
Coefficients
Beta
t
Sig.
-2.024
.046
.078
2.074
.041
348.435
-.148
-3.395
.001
2.388
1.013
23.323
.000
a. Dependent Variable: Penerimaan_PPN
Sumber : Data sekunder yang diolah
Hasil perhitungan koefisien regresi memperlihatkan nilai koefisien
konstanta adalah sebesar -5,685E6. Koefisien nilai inflasi adalah
sebesar 414.480,201 dengan tingkat signifikan sebesar 0,041.
Koefisien nilai tukar rupiah adalah sebesar -1.182,829 dengan tingkat
signifikan sebesar 0,001. Koefisien nilai jumlah PKP adalah sebesar
55,690 dengan tingkat signifikan sebesar 0,000. Berdasarkan hal
tersebut dapat diketahui bahwa semua variabel independen yang
dimasukkan ke dalam model regresi adalah signifikan karena
semuanya tidak melebihi 0,05 (5%) dan tingkat keyakinan sebesar
95%.
Berdasarkan tabel 4.3 maka dapat diperoleh model persamaan
regresi sebagai berikut:
Y = -5,685E6 + 414.480,201 X1 - 1.182,829 X2 + 55,690 X3 + e
74
Keterangan:
Y = Variabel Dependen (Penerimaan PPN)
α = Konstanta
β = Koefisien
X1 = Variabel Independen (Inflasi)
X2 = Variabel Independen (Nilai Tukar Rupiah)
X3 = Variabel Independen (Jumlah PKP)
e = Error
Nilai koefisien konstanta adalah sebesar -5,685E6 atau 5.685.000
menunjukkan bahwa jika variabel independen yaitu inflasi, nilai tukar
rupiah dan jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) bersifat konstan,
maka penerimaan PPN akan bernilai negatif atau mengalami
penurunan sebesar Rp. 5.685.000,00. Nilai koefisien inflasi positif
sebesar 414.480,201 menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan tingkat
inflasi sebesar 1%, maka penerimaan PPN akan meningkat sebesar Rp
414.480.201.000. Sebaliknya jika terjadi penurunan tingkat inflasi
sebesar 1%, maka penerimaan PPN akan menurun sebesar Rp
414.480.201.000. Nilai koefisien nilai tukar rupiah negatif sebesar 1.182,829 menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan nilai tukar rupiah
sebesar Rp.1 atau terjadi depresiasi, maka akan mengurangi
penerimaan PPN sebesar Rp. 1.182.829.000. Sebaliknya jika terjadi
penurunan nilai tukar rupiah sebesar Rp. 1 atau terjadi apresiasi, maka
penerimaan PPN akan meningkat sebesar Rp 1.182.829.000. Nilai
75
koefisien jumlah PKP positif sebesar 55,690 menunjukkan bahwa jika
terjadi kenaikan jumlah PKP sebanyak 1, maka penerimaan PPN akan
meningkat sebesar Rp. 55.690.000. Sebaliknya jika terjadi penurunan
jumlah PKP sebanyak 1, maka penerimaan PPN akan menurun sebesar
Rp. 55.690.000.
Hasil Uji Hipotesis 1: Pengaruh inflasi terhadap penerimaan PPN
Hasil uji t pada tabel 4.3 di atas, didapat t hitung untuk variabel
inflasi sebesar 2,074 dengan tingkat signifikan sebesar 0,041 (lebih
kecil dari 0,05). Nilai t tabel sebesar sebesar 1,98896, sehingga dapat
diketahui bahwa t hitung lebih besar dari t tabel (2,074>1,98896). Oleh
karena tingkat signifikansi di bawah 0,05 dan t hitung lebih besar dari t
tabel, maka dapat disimpulkan bahwa variabel inflasi berpengaruh
secara signifikan terhadap penerimaan PPN sehingga hipotesis Ha1
diterima.
Hasil ini mendukung dengan penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa inflasi terbukti berpengaruh secara signifikan
terhadap penerimaan PPN yang dilakukan oleh Salawati (2008). Hal
ini
dikarenakan
jika
terjadi
kenaikan
tingkat
inflasi
akan
mempengaruhi harga jual barang dan jasa dimana harga jual barang
dan jasa merupakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN. Terjadinya
kenaikan tingkat inflasi akan mengakibatkan harga jual barang dan jasa
juga akan meningkat yang berarti (DPP) PPN juga meningkat.
Meningkatnya (DPP) PPN akan berpengaruh langsung terhadap
76
besarnya penerimaan PPN yang juga akan meningkat. Penelitian yang
dilakukan oleh Wahyudi dkk. (2009) serta Locarno dan Staderini
(2008) juga menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh terhadap
penerimaan pajak.
Hasil Uji Hipotesis 2: Pengaruh nilai tukar rupiah terhadap
penerimaan PPN
Hasil uji t pada tabel 4.3 di atas, didapat t hitung untuk variabel
nilai tukar rupiah sebesar -3,395 dengan tingkat signifikan sebesar
0,001 (lebih kecil dari 0,05). Nilai t tabel sebesar sebesar 1,98896,
sehingga dapat diketahui bahwa t hitung lebih besar dari t tabel
(3,395>1,98896). Oleh karena tingkat signifikansi di bawah 0,05 dan t
hitung lebih besar dari t tabel, maka dapat disimpulkan bahwa variabel
nilai tukar rupiah berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan
PPN sehingga hipotesis Ha2 diterima.
Hasil ini mendukung dengan penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa nilai tukar rupiah terbukti berpengaruh secara
signifikan terhadap penerimaan PPN yang dilakukan oleh Salawati
(2008). Hal ini dikarenakan 70% bahan baku produksi Indonesia yang
masih mengandalkan impor, jika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah
akan mengakibatkan lebih banyak jumlah rupiah yang harus
dikeluarkan untuk mendapatkan satu dollar. Oleh karena lebih banyak
rupiah yang dibutuhkan untuk mendapatkan satu dollar, maka harga
bahan baku produksi impor yang harus dibayar oleh Indonesia akan
77
menjadi lebih mahal yang secara otomatis akan meningkatkan jual
barang dan jasa di masyarakat. Harga jual barang dan jasa yang
mengalami peningkatan di masyarakat akan berpengaruh terhadap
penurunan daya konsumsi masyarakat yang akan berpengaruh pula
terhadap penurunan penerimaan PPN karena PPN merupakan pajak
atas konsumsi barang dan jasa. Penelitian yang dilakukan oleh Hamzah
dan Suryowibowo (2005) serta Agbeyegbe et, al., (2006) juga
menunjukkan bahwa kurs berpengaruh terhadap penerimaan pajak.
Hasil Uji Hipotesis 3: Pengaruh jumlah PKP terhadap penerimaan
PPN
Hasil uji t pada tabel 4.3 di atas, didapat t hitung untuk variabel
jumlah PKP sebesar 23,323 dengan tingkat signifikan sebesar 0,000
(lebih kecil dari 0,05). Nilai t tabel sebesar sebesar 1,98896, sehingga
dapat
diketahui
bahwa
t
hitung
lebih
besar
dari
t
tabel
(23,323>1,98896). Oleh karena tingkat signifikansi di bawah 0,05 dan
t hitung lebih besar dari t tabel, maka dapat disimpulkan
bahwa
variabel jumlah PKP berpengaruh secara signifikan terhadap
penerimaan PPN sehingga hipotesis Ha3 diterima.
Hasil ini mendukung dengan penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa jumlah PKP terbukti berpengaruh secara signifikan
terhadap penerimaan PPN yang dilakukan oleh Saepudin (2008) dan
Aditya (2009). Hal ini dikarenakan PKP merupakan Wajib Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ Jasa Kena Pajak yang
78
dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya.
Penambahan jumlah PKP dapat ditempuh oleh DJP dengan cara
melakukan ekstensifikasi pajak berdasarkan data-data internal maupun
eksternal, sehingga jika terdapat PKP yang tidak melaporkan kegiatan
usahanya dapat diterbitkan pengukuhan secara jabatan. Di mana
terdapat atau bertambahnya jumlah PKP maka disitu terdapat
penyerahan barang dan jasa yang dikenai pajak yang merupakan
sebagai objek PPN. Semakin besar jumlah PKP maka akan semakin
besar objek PPN yang berarti akan semakin besar pula penerimaan
PPN. Penerimaan PPN juga dapat ditingkatkan oleh DJP melalui
pelaksanaan intensifikasi pajak, yaitu dengan menguji kepatuhan PKP
yang sudah terdaftar maupun dari hasil ekstensifikasi agar PKP tidak
hanya terdaftar tetapi juga melaksanakan hak dan kewajibannya.
c. Hasil Uji Statistik F
Uji statistik F digunakan untuk mengetahui pengaruh semua
variabel independen yang dimasukkan dalam model regresi secara
bersama-sama terhadap variabel dependen yang diuji pada tingkat
signifikan 0,05. Hasil uji F dari pengujian statistik regresi berganda
disajikan pada tabel 4.4.
79
Tabel 4.4
Hasil Uji F
b
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
2.131E15
3
7.102E14
Residual
2.655E14
81
3.277E12
Total
2.396E15
84
F
216.698
Sig.
.000
a
a. Predictors: (Constant), Jumlah_PKP, Inflasi, Kurs_Rupiah
Sumber: Data sekunder yang diolah.
Hasil uji F pada tabel 4.4 di atas, didapat F hitung sebesar 216,698
dengan tingkat signifikan sebesar 0,000 (lebih kecil dari 0,05). Nilai F
tabel sebesar sebesar 2,72, sehingga dapat diketahui bahwa F hitung
lebih besar dari F tabel (216,698 >2,72). Oleh karena tingkat
signifikansi di bawah 0,05 dan F hitung lebih besar dari F tabel, maka
dapat disimpulkan
bahwa variabel inflasi, nilai tukar rupiah dan
jumlah PKP berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap
penerimaan PPN sehingga hipotesis Ha4 diterima.
Variabel independen inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP
berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap penerimaan PPN
karena penerimaan pajak ditentukan oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal meliputi kebijakan dibidang perpajakan, seperti
pelaksanaan ekstensifikasi pajak yang berkaitan dengan penambahan
jumlah Wajib Pajak termasuk pula PKP. Faktor eksternal meliputi
perkembangan ekonomi makro, seperti stabilitas indikator ekonomi
makro inflasi dan nilai tukar rupiah.
80
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh inflasi, nilai tukar
rupiah dan jumlah PKP terhadap penerimaan PPN yang terdaftar di Kantor
Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada tahun 2002 sampai dengan 2009.
Hasil pengujian yang dilakukan terhadap 85 sampel diperoleh sebagai berikut:
1.
Inflasi berpengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan PPN.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh
Salawati (2008). Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi dkk. (2009)
serta Locarno dan Staderini (2008) juga menunjukkan bahwa inflasi
berpengaruh terhadap penerimaan pajak.
2.
Nilai tukar rupiah berpengaruh negatif secara signifikan terhadap
penerimaan PPN. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang
dilakukan oleh Salawati (2008). Penelitian yang dilakukan oleh Hamzah
dan Suryowibowo (2005) serta Agbeyegbe et, al., (2006) juga
menunjukkan bahwa kurs berpengaruh terhadap penerimaan pajak.
3.
Jumlah PKP berpengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan
PPN. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan
oleh Saepudin (2008) dan Aditya (2009) yang menyatakan bahwa jumlah
PKP berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPN.
81
B. Implikasi
Model teoritis yang dikembangkan dan diuji dalam penelitian ini
diharapkan memberikan kontribusi bagi pemahaman kita tentang pengaruh
inflasi, nilai tukar rupiah dan jumlah PKP terhadap penerimaan PPN yang
terdaftar di Kantor Pusat DJP. Hasil penelitian ini memiliki beberapa
implikasi penting bagi pemerintah dan instansi Direktorat Jenderal Pajak
(DJP).
1. Inflasi berpengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan PPN
dikarenakan jika terjadi kenaikan tingkat inflasi akan mempengaruhi harga
jual barang dan jasa dimana harga jual barang dan jasa merupakan Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) PPN. Terjadinya kenaikan tingkat inflasi akan
mengakibatkan harga jual barang dan jasa juga akan meningkat yang
berarti DPP PPN juga meningkat. Meningkatnya DPP PPN akan
berpengaruh langsung terhadap besarnya penerimaan PPN yang juga akan
meningkat. Peningkatan penerimaan PPN yang dikarenakan meningkatnya
tingkat inflasi dapat terjadi jika tingkat inflasi masih tergolong rendah,
yaitu sebesar 0-10% per tahun. Tingkat inflasi yang masuk kategori berat
(30-100% per tahun) atau mungkin terjadi hiperinflasi (>100% per tahun)
justru akan merusak perekonomian. Indonesia pernah mengalami
hiperinflasi pada tahun 1960-an yang mencapai 650% dan pernah pula
mengalami inflasi berat, yaitu mencapai 60% pada tahun 1998. Tingkat
inflasi
yang
melambungnya
tinggi
dapat
harga-harga
merusak
barang
perekonomian
hingga
sulit
dengan
cara
terjangkau
oleh
82
masyarakat yang cenderung memiliki pendapatan tetap. Dalam keadaan
yang
demikian,
tingkat
kemakmuran
masyarakatpun
mengalami
penurunan yang juga akan berpengaruh pada penurunan penerimaan pajak
khususnya PPN yang dikarenakan menurunnya tingkat konsumsi
masyarakat
secara
umum.
Fluktuasi
tingkat
inflasi
juga
dapat
mempengaruhi pencapaian sasaran pembangunan ekonomi yang diarahkan
pada
pertumbuhan
ekonomi,
yang
mana
pertumbuhan
ekonomi
ditransmisikan ke dalam penerimaan pajak. Tingkat inflasi yang stabil dan
relatif rendah dapat mendukung pencapaian sasaran pembangunan
ekonomi.
2. Nilai tukar rupiah berpengaruh negatif secara signifikan terhadap
penerimaan PPN. Hal ini dikarenakan 70% bahan baku produksi Indonesia
yang masih mengandalkan impor, jika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah
akan mengakibatkan lebih banyak jumlah rupiah yang harus dikeluarkan
untuk mendapatkan satu dollar. Oleh karena lebih banyak rupiah yang
dibutuhkan untuk mendapatkan satu dollar, maka harga bahan baku
produksi impor yang harus dibayar oleh Indonesia akan menjadi lebih
mahal yang secara otomatis akan meningkatkan jual barang dan jasa di
masyarakat. Harga jual barang dan jasa yang mengalami peningkatan di
masyarakat akan berpengaruh terhadap penurunan daya konsumsi
masyarakat yang akan berpengaruh pula terhadap penurunan penerimaan
PPN karena PPN merupakan pajak atas konsumsi barang dan jasa.
Fluktuasi nilai tukar rupiah juga dapat mempengaruhi pencapaian sasaran
83
pembangunan ekonomi yang diarahkan pada pertumbuhan ekonomi, yang
mana pertumbuhan ekonomi ditransmisikan ke dalam penerimaan pajak.
Nilai tukar rupiah yang stabil dan cenderung menguat terhadap mata uang
asing dapat mendukung pencapaian sasaran pembangunan ekonomi.
3. Jumlah PKP berpengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan
PPN. PKP merupakan Wajib Pajak yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/ Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN
1984 dan perubahannya. Penambahan jumlah PKP dapat ditempuh oleh
DJP dengan cara melakukan ekstensifikasi pajak berdasarkan data-data
internal maupun eksternal, sehingga jika terdapat PKP yang tidak
melaporkan kegiatan usahanya dapat diterbitkan pengukuhan secara
jabatan. Di mana terdapat atau bertambahnya jumlah PKP maka disitu
terdapat penyerahan barang dan jasa yang dikenai pajak yang merupakan
sebagai objek PPN. Semakin besar jumlah PKP maka akan semakin besar
objek PPN yang berarti akan semakin besar pula penerimaan PPN.
Penerimaan PPN juga dapat ditingkatkan oleh DJP melalui pelaksanaan
intensifikasi pajak, yaitu dengan menguji kepatuhan PKP yang sudah
terdaftar maupun dari hasil ekstensifikasi agar PKP tidak hanya terdaftar
tetapi juga melaksanakan hak dan kewajibannya dengan melakukan
pemeriksaan .
C. Keterbatasan
Dalam penulisan ini, peneliti
menyadari
bahwa banyak terdapat
keterbatasan sehingga menjadi kekurangan bagi penelitian ini. Keterbatasan
84
yang ada bukan semata-mata karena kesengajaan, bahan banyak sekali terdapat
keterbatasan yang tidak disengaja. Dimana keterbatasan-keterbatasan dalam
penelitian ini yaitu antara lain:
1.
Periode penelitian ini sebelumnya dari tahun 1993-2007 atau selama 15
tahun, tetapi karena ketersediaan data perpajakan yang kurang memadai,
maka peneliti melakukan penelitian pada tahun 2002 sampai dengan 2009
atau selama 8 tahun.
2.
Sampel dalam penelitian ini sebelumnya 180 buah, tetapi periode
penelitian hanya 8 tahun dengan unit data bulanan dan terdapat 11 data
yang outlier, maka sampel dalam penelitian ini hanya 85 buah.
D. Saran
Berdasarkan implikasi yang telah dikemukakan di atas, terdapat beberapa
saran dari peneliti untuk pihak yang terkait, seperti pemerintah dan Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam
pembuatan maupun pelaksanaan kebijakan yang telah dibuat, antara lain
sebagai berikut:
1. Tingkat inflasi yang masih taraf aman untuk perekonomian dan juga tidak
mengganggu atau mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak adalah
pada tingkat yang masih rendah, yaitu 0-10% per tahun. Namun jika sudah
terjadi tingkat inflasi yang berat atau bahkan hiperinflasi akan dapat
merusak perekonomian dan juga dapat mempengaruhi tingkat penerimaan
pajak yang mengalami penurunan. Oleh karena itu, penting bagi
pemerintah untuk selalu menjaga tingkat inflasi pada tingkat yang relatif
85
masih rendah. Upaya pemerintah dalam menjaga tingkat inflasi yang dapat
dilakukan melalui kebijakan fiskal, yaitu dengan mengatur penerimaan dan
pengeluaran pemerintah, menaikkan tarif pajak dan mengadakan pinjaman
pemerintah. Upaya pemerintah dalam menjaga tingkat inflasi dapat pula
dilakukan dengan kebijakan moneter melalui Bank Indonesia, yaitu
dengan politik diskonto terhadap bank umum, politik pasar terbuka,
menaikkan cash ratio dan kebijakan pemberian kredit.
2. Terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah akan menaikkan harga-harga
barang dan jasa yang akan dapat menurunkan daya beli masyarakat
sehingga akan berpengaruh pada penerimaan PPN karena PPN merupakan
pajak atas konsumsi. Untuk menjaga nilai tukar rupiah agar relatif
menguat terhadap mata uang asing dan tidak berfluktuatif, pemerintah
diharapkan mampu membuat kebijakan yang tepat dan mampu menjaga
faktor-faktor dari non ekonomi yang memberikan bobot tersendiri dalam
melemahkan nilai tukar rupiah. Faktor dari non ekonomi tersebut seperti
terciptanya suatu iklim politik, kondisi keamanan dan tegaknya hukum
yang lebih kondusif sehingga tidak terjadi pergelokan dan ketidakpastian
di dalam masyarakat.
3. Semakin banyak jumlah PKP berarti semakin banyak penyerahan atas
barang dan jasa yang dikenakan pajak yang merupakan objek PPN.
Meningkatnya objek PPN akan meningkatkan pula penerimaan PPN. Oleh
karena itu Direktorat Jenderal Pajak sudah seharusnya melakukan
optimalisasi pelaksanaan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak yang
86
bertujuan untuk peningkatan jumlah PKP juga untuk meningkatkan
kepatuhan PKP yang telah terdaftar maupun dari hasil ekstensifikasi
dengan melakukan pemeriksaan. Selain pengoptimalan ekstensifikasi dan
intensifikasi
pajak,
Direktorat
Jenderal
Pajak
juga
perlu
mempertimbangkan untuk merubah ketentuan peraturan pemeriksaan
pajak yang hanya terfokus pada PKP yang melaporkan SPT Lebih Bayar
dengan memperluas objek pemeriksaan juga pada PKP yang melaporkan
SPT Nihil dan SPT Kurang Bayar. Hal tersebut akan dapat menghindari
dampak negatif terhadap penerimaan PPN karena PKP akan berusaha
menghindari pajak dengan melaporkan SPT Nihil atau SPT Kurang Bayar.
87
DAFTAR PUSTAKA
Agbeyegbe, Terence D. et. all. “Trade Liberalization, exchange rate change and
tax revenue in Sub-Saharan African”. Journal of Asian Economics, 2006.
Anonim. “Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Indonesia”. Artikel
diakses pada tanggal 9 Desember 2010 dari www. wikipedia.com.
Anonim. “Inflasi 2005-2010”. Data diakses pada tanggal 6 Desember 2010 dari
www.bps.go.id.
Anonim. “Kurs Kementerian Keuangan”. Data diakses pada tanggal 6 Desember
2010 dari www.ortax.org.
Carare, Alina dan Danninger Stephan. “Inflation Smoothing and the Modest Effect
of VAT in Germany”. International Monetary Fund Working Paper, 2008.
Case, Karl E dan Fair, Ray C. “Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro”. Edisi Kelima,
PT Indeks, Jakarta, 2004.
Departemen Keuangan. “Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan
Fiskal Tahun 2008”. Diakses pada tanggal 6 Desember 2010 dari
http://www.fiskal.depkeu.go.id/pdf.
“Mengatasi Dampak Krisis Global Melalui Program Stimulus Fiskal
APBN 2009”. Diakses pada tanggal 6 Desember 2010 dari
http://www.fiskal.depkeu.go.id/pdf.
Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Humas. “Pajak Pertambahan Nilai”.
Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, 2009.
. “Buku Panduan Hak dan Kewajiban”. Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta,
2009.
Djuanda, Gustian dan Lubis, Irwansyah. “Pajak Pertambahan Nilai & Pajak
Penjualan atas Barang Mewah”. Gramedia, Jakarta, 2006.
Edalmen.”Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah: Faktor Penyebab, Dampak dan Upaya
Pengendaliannya”. Jurnal Ekonomi Fakultas Ekonomi Untar Vol. 01,
2000.
Ghozali, Imam. “Aplikasi Multivariate dengan Program SPSS”. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2009.
88
Hamid, Abdul. “Buku Panduan Penulisan Skripsi”. FEB UIN Press, Jakarta,
2010.
Hamzah, Muhammad Zilal dan Suyowobowo, Willy. “Pengaruh Kurs, IHSG dan
Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Penerimaan Negara Sektor Pajak”.
http://jurnal.pdii.lipi.go.id, 2005
Indriantoro, Nur dan Supomo, Bambang. “ Metodologi Penelitian Bisnis: Untuk
Akuntansi dan Manajemen”. BPFE, Yogyakarta, 2002.
Lipsey, Richard G. et. all. “Pengantar Makroekonomi”. Edisi Kedelapan, PT.
Gelora Aksara Pratama, Jakarta, 1993.
Locarno, Alberto dan Staderini, Alessandra. “La Relazione Tra Gettito Tributario
E Quadro Macroeconomico in Italia”. No. 694, 2008.
Mankiw, N. Gregory. “Makroekonomi”. Edisi Keenam, Erlangga, Jakarta, 2007.
Manurung, Romulus, et. all. “Analisis Peluang dan Kendala Peningkatan
Penerimaan PPN Dalam APBN, Studi Kasus: KPP”. Jurnal Kajian
Ekonomi dan Keuangan Vol. 5 No. 2, 2001.
Mardiasmo. “Perpajakan”. Edisi Revisi 2008, Andi Yogyakarta, Yogyakarta,
2008.
Murni, Asfia. “Ekonomika Makro”. PT Refika Aditama, Jakarta, 2006.
Nersiwad. “Pengaruh Inflasi Terhadap Nilai Riil Penerimaan Pajak Negara:
Pendekatan Elastisitas dan Tax Collection Lags di Indonesia”. Jurnal
Analisa Kebijakan Vol. 1 No. 1, Februari 2002.
Paryan. “Pelatihan Perpajakan Brevet A&B Modul Pajak Penghasilan Badan”.
Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan, Jakarta, 2009.
Pratomo, Wahyu Ario. “Teori Ekonomi Makro”. Departemen Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Medan,
2006.
Priyatno, Duwi. “5 Jam Belajar Olah Data Dengan SPSS 17”. Andi Yogyakarta,
Yogyakarta, 2009.
Rahardja, Prathama dan Manurung, Mandala. “Teori Ekonomi Makro Suatu
Pengantar”. Edisi Kedua, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Jakarta, 2004.
Resmi, Siti. “Perpajakan Teori dan Kasus”. Buku 2 Edisi Kelima, Salemba
Empat, Jakarta, 2009.
89
Salawati. “Analisis Pengaruh Inflasi dan Nilai Tukar Rupiah Terhadap
Penerimaan PPN pada Kanwil DJP Jakarta Selatan”. UIN, Jakarta, 2008.
Saepudin. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) di Sumatera Utara”. USU, Medan, 2008.
Santoso, Singgih. “SPSS Statistik Parametrik”. Gramedia, Jakarta, 2002.
Suandy, Early. “Hukum Pajak”. Edisi Keempat, Salemba Empat, Jakarta, 2009.
Sukardji, Untung. “Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai”. Jurnal
Perpajakan Indonesia vol. 2 no. 7, 2003.
Sukirno, Sadono. “Teori Pengantar Makro Ekonomi”. Edisi Ketiga, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
Sunyoto, Danang. “Analisis Regresi dan Uji Hipotesis”. Media Pressindo,
Jakarta, 2009.
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001 tentang Ekstensifikasi dan
Intensifikasi Pajak.
Todaro, Michael P. dan Smith, Stephen C. “Pembangunan Ekonomi”. Edisi
Kesembilan Jilid 2, Erlangga, Jakarta, 2006.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Wahyudi, Eddi. dkk. “Dampak Fluktuasi Ekonomi Terhadap Penerimaan Pajak”.
Jurnal Ekonomi IPB Vol. 6 No. 1, 2009.
Waluyo. “Perpajakan Indonesia”. Buku 2 Edisi Kedelapan, Salemba Empat,
Jakarta, 2009.
90
Variables Entered/Removed
Model
1
Variables
Variables
Entered
Removed
b
Method
Jumlah_PKP,
Inflasi,
. Enter
a
Kurs_Rupiah
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: Penerimaan_PPN
b
Model Summary
Model
R
1
.943
R Square
a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.889
.885
Durbin-Watson
1810327.617
1.214
a. Predictors: (Constant), Jumlah_PKP, Inflasi, Kurs_Rupiah
b. Dependent Variable: Penerimaan_PPN
b
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Regression
2.131E15
3
7.102E14
Residual
2.655E14
81
3.277E12
Total
2.396E15
84
Sig.
216.698
.000
a
a. Predictors: (Constant), Jumlah_PKP, Inflasi, Kurs_Rupiah
b. Dependent Variable: Penerimaan_PPN
Coefficients
a
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
(Constant)
Std. Error
-5.685E6
2.809E6
414480.201
199869.126
Kurs_Rupiah
-1182.829
Jumlah_PKP
55.690
Inflasi
Coefficients
Beta
Collinearity Statistics
t
Sig.
Tolerance
VIF
-2.024
.046
.078
2.074
.041
.962
1.039
348.435
-.148
-3.395
.001
.715
1.398
2.388
1.013
23.323
.000
.725
1.380
a. Dependent Variable: Penerimaan_PPN
96
a
Residuals Statistics
Minimum
Predicted Value
Std. Predicted Value
Standard Error of Predicted
Value
Adjusted Predicted Value
Residual
Std. Residual
Stud. Residual
Deleted Residual
Stud. Deleted Residual
Mahal. Distance
Cook's Distance
Centered Leverage Value
Maximum
Mean
Std. Deviation
N
42084.45
-1.856
1.95E7
2.006
9.39E6
.000
5036225.075
1.000
85
85
2.010E5
1.569E6
3.508E5
177618.921
85
-8.80E4
-3.489E6
-1.927
-1.945
-3.842E6
-1.980
.047
.000
.001
1.92E7
5.657E6
3.125
3.164
5.800E6
3.359
62.115
.846
.739
9.42E6
.000
.000
-.007
-3.529E4
-.002
2.965
.020
.035
5055713.423
1777706.429
.982
1.007
1894586.667
1.026
7.090
.092
.084
85
85
85
85
85
85
85
85
85
a. Dependent Variable: Penerimaan_PPN
97
98
Data Penelitian
No. Inflasi
1
1.99
2
1.50
3
0.80
4
0.36
5
0.82
6
0.29
7
0.53
8
0.54
9
1.85
10
1.20
11
0.80
12
0.20
13
0.15
14
0.21
15
0.09
16
0.03
17
0.94
18
0.36
19
0.55
20
1.01
21
0.94
22
0.57
23
0.36
24
0.97
25
0.88
26
0.48
27
0.39
28
0.09
29
0.02
30
0.56
31
0.89
32
1.04
33
1.43
34
1.91
35
0.34
36
0.21
37
0.50
Kurs
Rupiah
10325.61
10243.75
9193.23
8676.23
8776
8898.55
8885.27
9059.45
9111.77
8907.26
8892.26
8857.71
8838.07
8509.97
8189.43
8221.19
8455.42
8444.87
8386.48
8473.63
8483.32
8378.13
8505.65
8580.87
8787.97
9279.73
9065.48
9162
9174.03
9088.61
9012.47
9106.03
9244.55
9321.77
9499.73
9516.65
9578.63
Jumlah
PKP
307341
310583
319447
322305
325585
328895
331907
334933
337396
338951
342731
346109
352812
355916
358879
361960
364748
367731
370626
372621
375302
379049
385841
389009
392007
395126
397679
400351
403017
405617
407528
412555
415678
421879
425111
428163
431344
93
Penerimaan
PPN*)
866764
24141
29140
50130
47784
53950
68565
79348
136161
1649829
4480456
1882418
3502989
3917115
4973534
4894563
4647385
4876981
6110351
5473364
8304838
8459317
5993312
6255444
5778771
7336015
6292234
6824024
6987633
7743561
6643180
10479699
7973569
7454301
7507881
7848390
8205425
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
0.78
0.55
0.69
8.70
1.31
1.36
0.58
0.03
0.05
0.37
0.45
0.45
0.33
0.38
0.86
0.34
1.21
1.04
0.62
0.24
0.10
0.23
0.72
0.75
0.80
0.79
0.18
1.10
1.77
0.65
0.95
0.57
1.41
2.46
1.37
0.51
0.97
0.45
0.12
0.21
0.22
9770.39
9860.65
10290.03
10152.97
10019.03
9589.74
9292.89
9209.08
9006.75
8902.89
9349.51
9202.68
9096.78
9122.53
9203.03
9134.15
9112.97
9063.17
9070.38
9158.57
8912.33
8904.00
9047.37
9303.78
9367.93
9104.92
9195.23
9346.98
9427.97
9254.74
9145.94
9196.36
9253.99
9308.99
9184.79
9139.60
9299.22
9608.37
11264.78
11680.30
11958.01
434246
437556
440663
443419
445228
452062
455985
460076
463655
467674
471927
475339
478731
482219
484604
487803
491016
496169
501181
506212
515793
519497
523403
527208
530596
532723
536036
544241
548995
554282
558844
564625
569217
575682
579864
583565
586922
589755
593331
606667
611747
94
8339014
9257162
10188641
9649809
8700051
8676629
8797050
9537545
8872060
9498411
9602981
10076502
10828312
11148727
10106191
11546240
16399525
9521312
8265069
10068161
10859840
10600718
11780783
13111695
12818380
12095181
14325853
19680446
13544463
13053189
14085951
14692438
15646002
17592350
17836309
17616808
18524062
16379997
16389655
12893745
14394912
79
0.04
10516.98
80
0.11
10206.77
81
0.45
10201.53
82
0.56
9962.75
83
1.05
9952.37
84
0.19
9525.34
85
0.33
9458.73
*) Dalam Jutaan Rupiah
621350
626540
630992
634935
638256
642419
650574
95
14152372
15311854
16046689
15313951
15167619
17347564
23877135
Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
Trade liberalization, exchange rate changes,
and tax revenue in Sub-Saharan Africa
Terence D. Agbeyegbe a,*, Janet Stotsky b,*,
Asegedech WoldeMariam b
a
Department of Economics, Hunter College and The Graduate Center, City University of NY, NY, United States
b
International Monetary Fund, Washington DC, United States
Received 19 May 2005; received in revised form 31 August 2005; accepted 2 September 2005
Abstract
Empirical evidence on the relationship between trade liberalization, exchange rates, and tax revenue is
mixed. This paper examines these linkages anew, using a methodology similar to that of Adam et al. [, Adam,
C., Bevan, D., & Chambas, G. (2001), Exchange rate regimes and revenue performance in Sub-Saharan Africa,
Journal of Development Economics, 64, 173–213]. Using a panel of 22 countries in Sub-Saharan Africa, over
1980–1996, we perform Generalized Method of Moment regressions to test this relationship. We find evidence
that the relationship between trade liberalization and tax revenue is sensitive to the measure used to proxy trade
liberalization, but that, in general, trade liberalization is not strongly linked to aggregate tax revenue or its
components—though with one measure, it is linked to higher income tax revenue. Currency appreciation and
higher inflation show some linkage to lower tax revenues or its components. These results are consistent with
previous findings, and support the notion that trade liberalization accompanied by appropriate macroeconomic
policies can be carried out in a way that preserves overall revenue yield.
# 2006 Elsevier Inc. All rights reserved.
JEL classification: F4; H2; H87; O24
Keywords: Trade liberalization; Exchange rates; Tax revenue; Sub-Saharan Africa
1. Introduction
Trade liberalization has frequently been the centerpiece of an economic development strategy
in Sub-Saharan Africa. Trade liberalization often entails a reduction and unification of tariffs and
relaxation of quantitative barriers, and may be accompanied or supported by currency
* Corresponding authors.
E-mail addresses: [email protected] (T.D. Agbeyegbe), [email protected] (J. Stotsky).
1049-0078/$ – see front matter # 2006 Elsevier Inc. All rights reserved.
doi:10.1016/j.asieco.2005.09.003
262
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
devaluation and domestic tax reform. On devising a program of liberalization, policymakers are
often hindered in forecasting tax revenues because of the uncertainty regarding the effects of
trade liberalization and exchange rate changes on fiscal outcomes. The relationship between
trade liberalization, the exchange rate, and tax revenue is therefore an issue of great practical
importance. This paper examines this relationship in Sub-Saharan Africa.
We probe the following questions in this paper:
1. What is the relationship between trade liberalization and tax revenues? Does increased trade
liberalization lead to a reduction in tax revenues through its effect on taxes from international
trade or other taxes, controlling for accompanying macroeconomic changes?
2. Is the relationship sensitive to the index of liberalization adopted? Is the relationship sensitive
to the econometric specification adopted?
3. What is the relationship between exchange rate changes and tax revenues? Does devaluation or
currency depreciation increase or decrease tax revenue?
4. Are there any differences between the CFA franc (the currency used by a group of countries in
West and Central Africa) and non-CFA franc countries in the revenue response of different
types of taxes to trade liberalization changes?
There are two strands of work that this paper draws upon: one examining the relationship
between trade liberalization and tax revenue and the other examining the relationship between
exchange rate changes and inflation and tax revenue (or fiscal outcomes, more generally). Since
trade liberalization is often accompanied by currency devaluation (and higher inflation), a
thorough empirical investigation should consider the simultaneous relationship between trade
liberalization and changes in macroeconomic variables and revenues.1
Section 2 outlines some theoretical considerations and reviews previous empirical work in this
area. Section 3 describes the data and empirical methodology. Section 4 presents the results.
Section 5 concludes. Appendix A describes the data set.
2. Theoretical considerations and review of empirical work
Trade liberalization is mainly thought to be linked to tax revenue through its effect on
international trade tax revenue, though the precise relationship depends on several variables,
including the nature of trade liberalization and the response of imports and exports to
liberalization. Often the first step in trade liberalization is the replacement of quantitative barriers
with import duties. This could result in higher trade tax revenue depending on the level of duties
that are set and the change in the value of imports in response to the liberalization measures.
Trade liberalization ultimately leads to the reduction of import duties, and thus would be likely to
be linked to reduced international trade tax revenue (Ebrill, Stotsky, & Gropp, 1999 discuss these
issues). The relationship between trade liberalization and tax revenue, including domestic
revenue, is also uncertain and depends on a number of factors, including the structure of the tax
system and administrative capabilities (Ebrill et al., 1999; Keen & Ligthart, 2002). Often trade
liberalization is accompanied by the introduction of a value-added tax (VAT) or other significant
domestic tax policy changes.
1
Warcziarg and Welch (2003), Greenaway, Morgan, and Wright (2002), Rodriguez and Rodrik (2001), and Frankel and
Romer (1999) examine the relationship between economic integration and growth.
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
263
Macroeconomic changes also have an influence on tax revenue. Tanzi (1989) presents several
wide-ranging hypotheses of the relationship between various macroeconomic variables,
including inflation and exchange rates, and tax revenue. He observes that there is often an
inverse relationship between a country’s tax revenue and the real level of its official exchange
rate.2 He argues that overvaluation has a direct effect by suppressing import and export bases
measured in domestic currency terms. This reduces collections of international trade taxes and
sales and excise taxes, which are usually levied on domestic and imported consumption.
Overvaluation also has indirect effects by reducing the incentive to produce goods for export,
encouraging capital flight and currency substitution, weakening the balance of payments,
encouraging black markets, and encouraging trade restrictions. He concludes that even in
heavily indebted countries, where it is generally assumed that devaluation weakens the fiscal
balance through its effect on debt service, higher revenues may offset increases in debt service so
that the overall effect of devaluation is largely an empirical question.3
Countries collect taxes in different ways. It is therefore not possible to generalize about the
effect of changes in trade liberalization and the surrounding macroeconomic environment on tax
revenues without examining the structure of the different components of revenues and the
importance of each different component in the total. In addition, components of tax revenues
interact in ways that may either reinforce or offset any changes in one on the other.
Taxes constitute the largest share of revenues for most Sub-Saharan countries, with the main
exception being those that rely heavily on natural resource production, where non-tax revenue
may be dominant. Tax systems encompass a wide variety of taxes, which can be divided into three
general categories: taxes on income and profits, taxes on goods and services, and international
trade taxes. Corporate and personal income taxes are generally the main components of the taxes
on income and profits, though sometimes there may be a separate capital gains tax. General sales
taxes and excises are the main components of taxes on goods and services. General sales taxes
take the form in most countries of a VAT but may also take the form of turnover-type or retail
sales taxes.
Table 1 shows the distribution of revenue collections for Sub-Saharan Africa in recent
years. Import duties are still a significant source of revenues in Sub-Saharan African
countries, though trade liberalization in the region is leading to a reduced reliance on these
taxes. Taxes on goods and services are a growing share of revenues, especially with the
introduction of VAT in many of the countries in the past few decades, and a reform of excise
taxes in many countries as well. Income tax revenues also constitute a significant share of
revenues, and are split between corporate and personal income tax revenues. Income tax
revenues in Africa mainly come from the formal sector and from workers in the formal sector,
including a large proportion from state-owned entities or just a few major enterprises and
their workers (including civil servants).
2.1. International trade taxes
Sub-Saharan countries still rely heavily on import duties to fund the public sector. Although
trade liberalization is now an important component of reform in this region, the expansion of the
2
Other studies, including Reisen (1990) and Seade (1990), formulate hypotheses on similar issues.
Bevan (1995), Feltenstein (1992), and Tokarick (1995) investigate the effect of exchange rate changes on the fiscal
balance in an applied general equilibrium framework with application to specific countries.
3
264
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
Table 1
Comparative structure of tax revenue in sub-Saharan Africa countries, 1980–1996a (in percent of GDP)
Average
1980–1985
1986–1990
1991–1993
1994–1996
1980–1996
CFA and non-CFA countries
Total revenue
Tax revenue
Taxes on income, profits, capital gains
Domestic taxes on goods and services
Taxes on international trade
Non-tax revenue
17.39
15.37
4.20
4.64
5.49
1.69
16.70
14.98
4.02
4.24
5.71
1.84
16.80
14.95
4.02
5.73
5.10
1.80
18.60
16.83
4.64
5.27
6.10
1.61
16.92
15.05
4.06
4.61
5.44
1.68
CFA countries
Total revenue
Tax revenue
Taxes on income, profits, capital gains
Domestic taxes on goods and services
Taxes on international trade
Non-tax revenue
18.3
16.0
3.9
3.8
6.4
1.9
18.5
16.3
4.0
3.5
6.2
2.6
11.4
8.5
2.3
–
–
2.8
19.1
18.3
3.4
3.7
10.1
0.8
17.9
15.7
3.8
3.7
6.4
1.8
Non-CFA countries
Total revenue
Tax revenue
Taxes on income, profits, capital gains
Domestic taxes on goods and services
Taxes on international trade
Non-tax revenue
16.9
15.1
4.4
5.1
5.0
1.6
16.2
14.5
4.0
4.5
5.5
1.6
17.3
15.6
4.2
5.7
5.1
1.7
18.5
16.4
5.0
5.7
5.0
1.8
16.4
14.7
4.2
5.1
4.9
1.6
Sources: IMF, Government Finance Statistics, International Financial Statistics and World Economic Outlook.
a
For each revenue classification, only countries for which data are available are included in the calculation.
tax base and improvements in enforcement have not yet led to a heavily diminished importance
of these taxes in overall revenues, except in a few countries.
Import duties are usually ad valorem levies on import value; similarly, taxes on exports are
usually ad valorem levies on exports. However, in some cases these taxes are levied on a specific (or
unit) basis or in some more complex form, especially export levies. The effect of trade liberalization
on trade tax revenues depends on several factors, including the structure of liberalization. As noted,
the replacement of quantitative restrictions with tariffs can raise revenues. The effect of tariff
reductions depends on how the level and coverage of tariffs changes. With unchanged import
values, a reduction in tariffs reduces revenues from trade taxes and can also be accompanied by
reductions in revenues from excises and VATs levied on imports (at least at the importation stage). A
change in relative prices would, however, typically induce changes in the level and composition of
imports and exports. The revenue outcome thus depends also on the price elasticity of demand for
imports and the price elasticity of supply of import substitutes. If imports are sufficiently price
elastic, there may be a revenue gain. Since trade liberalization often entails a disproportionate
reduction of the highest tariffs, applied to goods that are mainly elastic in demand, the response in
terms of higher imports may be sufficient to outweigh the revenue losses from a lower rate of tariff.
The elasticity of supply of import substitutes is also relevant. The lower this elasticity, the smaller
the reduction in output for a given reduction in price (of imports and the domestic good, in a
competitive market), and hence the smaller the increase in import values. Since elasticities vary
over the range of prices, the starting point for tariff changes is also relevant.
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
265
If protectionist motives are dominant or administration poor, tariffs may be above their
revenue-maximizing levels.4 Changes in the exchange rate translate directly into changes in
domestic collections from imports and exports. For a given level of imports or exports, a more
depreciated real exchange rate would increase the base of trade taxes in domestic currency terms,
which would in turn increase trade tax collections.5 To the extent that a real depreciation leads to
a lower level of imports, this would offset to some extent the higher collections induced by higher
domestic currency values. If aggregate elasticities of import demand were inelastic in the short
run, then the valuation effect would likely dominate, leading to an overall increase in revenues
from imports. A real depreciation would also tend to increase exports, which would lead to an
increase in revenues as both the valuation and volume effect would support each other. In general,
however, the tax effects on imports would dominate those on exports, since export taxes are
insignificant in most countries today. In the short term, imports are also likely to adjust more
quickly than exports to a change in the value of the currency, reinforcing the importance of
changes in import collections initially.
Although on an aggregate basis, aggregate import demand is likely to be relatively inelastic in
most developing countries, import taxes apply to a wide range of goods, some of which are elastic
in demand, especially consumer or finished goods. These goods also tend to face the highest tax
rates. Real depreciation of the exchange rate is likely to lead to a shift in composition toward
more price inelastic and less heavily taxed goods, including domestic substitutes, adding to the
factors that contribute to lower revenues.
2.2. Taxes on goods and services
In most developing countries, including those in Sub-Saharan Africa, taxes on goods and
services (also referred to as indirect taxes) are a significant source of revenues (Ebrill, Keen,
Bodin, & Summers, 2001). A large proportion of tax collections from taxes on goods and services
are derived from imports (at least initially with these goods then marked up and resold in retail
markets). In some countries, collections derived from imports are one-half or more of total
collections from these taxes.6
Trade liberalization affects taxes on goods and services mainly through changes in the base
of imports subject to these taxes. By international convention, in most countries, tariffs apply
to import value (sometimes inclusive or exclusive of stamp duties), excise taxes are then
levied on the base inclusive of tariffs (and stamp duties), and broad-based taxes, such as the
VAT, are levied on the base inclusive of tariffs and excises.7 As noted, trade liberalization that
reduces tariffs would lead to a fall in the base because tariffs constitute an element of the tax
base of taxes on goods and services. However, the value of imports may rise, offsetting this
reduction owing to the tariff change. In addition, revenues may decline because of a decline in
the output of import substituting goods. Typically the administrative efficiency of collection
for taxes on goods and services is lower than for imports, which creates room for additional
4
Ebrill et al. (1999) (pp. 4–6) and Khattry and Mohan Rao (2002) discuss these issues at more length.
If the real exchange rate were unchanged, then there would likely be little change in the share of import tax collections
in GDP.
6
Ebrill et al. (2001) report the share of VAT revenue derived from imports for 22 developing countries. More than 50%
of the VAT revenue comes at importation stage in most of the sample countries. (The highest in the sample is 70%.)
7
Practices vary, however. For instance, in some Commonwealth nations, excises apply only to domestic goods and they
are not part of the base for broad-based sales taxes.
5
266
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
uncertainty in the effect of tariff reductions on taxes on goods and services. In the long term,
however, if economic growth increases because of trade liberalization, the tax base is likely to
expand.
A real depreciation of the currency would lead to an increase in excise tax and VAT or sales tax
collections from imports. But whether collections rise relative to GDP depends on the economic
incidence of the taxes. It is typically assumed, and this assumption is supported by empirical
evidence, that the burden of taxes on goods and services is largely shifted to consumers through
price adjustments. Typically there is a relatively rapid pass-through of exchange rate depreciation
to goods’ prices, thereby increasing the relative price of imported goods (or good using imported
inputs). Hence tax revenues would change in proportion to the change in the final price. Again,
however, there would be an offsetting demand effect induced by higher prices, and the size of
elasticities would indicate whether revenue would increase or decrease overall.
Exports are typically freed of excise tax liability (through suspension or rebating) and VAT
liability (through zero rating). A real depreciation of the exchange rate would tend to increase
exports at the expense of domestic consumption, tending to depress revenues and offsetting the
increases from the revaluation effect, in contrast to international trade taxes. The overall outcome
would depend on the relative size of the revaluation effect compared to the change in trade
volumes. The smaller the elasticity of supply of exports, the more likely it is that the revaluation
effect would dominate.
Sometimes excise taxes are levied on a specific (or per unit) basis rather than on an ad valorem
basis. Changes in exchange rate values that affect import value do not then automatically
translate into changes in revenues. Specific charges may often apply to important excisable
commodities, such as alcohol, tobacco, and petroleum. Therefore, as a practical matter, real
depreciation of the currency may lead to a decline in excise tax collections, unless excises levied
on a specific basis are adjusted to reflect changed prices of goods.
2.3. Taxes on income and profits and capital gains
Despite their low per capita income, many Sub-Saharan Africa countries rely on income taxes
to contribute roughly one-third of overall revenues. These income taxes usually reflect in their
basic structure and legal form the income tax put in place by the previous colonial power (the
United Kingdom in Anglophone Africa, France in Francophone Africa, and Portugal in
Lusophone Africa). However, over time, most countries have made substantial modifications to
the tax. Although the number of companies and workers from which income tax is derived tends
to be rather small, reflecting the limited enforcement capacities, the revenue importance of this
tax source should not be ignored. Corporate income tax revenues are usually derived from just a
few major producers, such as beverage producers and telecommunications. Personal income tax
revenues are often derived mainly from public sector employees and employees of the largest
enterprises, though comprehensive income taxation is the norm in most Sub-Saharan African
countries.
Trade liberalization would mainly have an effect on income and profits taxes in the short run
through changes in profitability of imported goods and import substitute producers in the short
run and in the longer run on economic growth. In contrast to taxes on goods and services, if
reductions in tariffs lead to lower prices for imports, they should lead to higher profit margins and
hence higher income and profits taxes. In the long run, however, trade liberalization should have
the same effect as for taxes on goods and services by increasing economic growth and the tax
base.
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
267
Changes in exchange rates would have relatively little direct effect on personal income tax or
corporate income tax collections. The principal direct influence would be through changes in tax
liabilities resulting from required revaluation of foreign denominated assets and liabilities.
Changes in inflation (or other macroeconomic variables) that result from changes in the exchange
rate do, however, have important effects on income tax liabilities.
2.3.1. Personal income tax
Personal income taxes in Sub-Saharan Africa are mainly global in nature, with several countries
having adopted these global taxes in recent years to replace older forms of schedular taxation.
However, in a few countries, especially in Francophone Africa, schedular income taxes are still the
norm. Regardless of the form of personal income taxation, most revenues from this tax come from
formal sector workers, and another component may be interest from bank deposits. Capital income
and self-employment income generally constitute a relatively small proportion of personal income
tax revenues, owing in part to the low level of capital income generated domestically and the
difficulties in enforcement with the self-employed, who in Africa, constitute a large proportion of
workers in the service sector, subsistence agricultural sector, and retail sector.
Higher inflation could increase tax burdens under the personal income tax. There are several
avenues by which higher inflation could affect tax liabilities. Most personal income tax systems
are structured with progressive marginal tax rates. As a result, taxpayers who receive only
nominal increases in wages to offset higher inflation still tend to be pushed into higher tax
brackets because of progressive marginal tax rates (a phenomenon known as ‘‘bracket creep’’). In
inflationary environments, with unchanged rate schedules and brackets, personal income tax
collections tend to rise. Some personal income taxes are designed to adjust the brackets to
inflation, which eliminates bracket creep and the inflationary increase in tax liabilities. Some
countries do not build it in to the tax but make frequent adjustments, instead.
Real exchange rate depreciation has potentially an important indirect effect on personal
income tax collections if brackets are adjusted for inflation. Real exchange rate depreciation is
likely to lead to a decline in real wages and thus a decline in personal income tax collections from
wages, as taxpayers are shifted into lower tax brackets. There are thus two offsetting effects—if
brackets are not adjusted for inflation, nominal increases in income imply taxpayers are shifted
into higher brackets while if brackets are adjusted for inflation, declining real wages implies
taxpayers are shifted into lower brackets, and the overall outcome depends on how brackets are
adjusted in response to inflation and how real wages adjust. If real wages fall sufficiently and
brackets are adjusted, personal income tax collections could fall. If real wages fall to a more
limited extent and brackets are not adjusted fully in real terms, bracket creep could still imply that
personal income tax collections rise.
Bracket creep is likely to be more pervasive in personal income taxes characterized by many
brackets and highly graduated marginal tax rate structures, and no institutional feature that
requires automatic adjustment of brackets, as in some countries where brackets are indexed to a
price or wage index. With few brackets and little graduation in marginal tax rates, bracket creep is
not likely to be significant. In this case, the effects of real wage changes are likely to dominate.
Higher inflation also alters the value of other components of the income tax fixed in nominal
terms, such as credits, deductions, and exemptions. Any figures fixed in nominal terms lose value
with higher inflation. If these components are not fixed in nominal terms but are instead set as a
certain percentage of income or of some type of expenditure, then their value adjusts along with
inflation to the extent that income or expenditure adjusts. Erosion of nominal credits and the like
would raise tax liabilities, reinforcing the effect of bracket creep.
268
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
Overall, it is hard to say a priori the effect of real exchange rate depreciation and higher
inflation on income taxes. If the real wages drop significantly, the effect is likely to lower personal
income tax liabilities. The tax treatment of individual proprietors, who pay under the personal
income tax, raises another set of issues, but these issues are similar to those facing corporate
taxpayers, discussed below.
Capital income may rise as a result of real depreciation of the exchange rate, though the extent
to which personal income tax collections rise would depend on the extent to which capital income
is captured under the personal income tax. In many countries, capital income is scarcely taxed
under the personal income tax. Most often, some tax may be withheld or due on interest
payments. But often interest on bank deposits and government debt is exempt and corporate bond
and equity markets are not well developed, so withholding on interest payments yields relatively
little in revenues.
It is rare for capital gains to be part of the personal income tax base in developing countries
given the great difficulties in administering capital gains taxes and the desire on the part of many
countries to encourage the development of nascent financial markets. However, many African
income taxes do cover this component of income, in principle, even if enforcement is generally
weak. Most industrialized countries do tax this component of income, which may be substantial.
Payments to foreigners of capital income of various types may be taxed, often through some form
of withholding, though tax treaties frequently eliminate tax on payments abroad and enforcement
tends to be weak compared to collections on wages. It is therefore unlikely that any shift in the
composition of income toward capital income as a result of real depreciation of the exchange rate
would do much to bolster personal income tax collections.
2.3.2. Corporate income tax
Corporate income taxes in Sub-Saharan Africa are usually similar to their counterparts in
industrialized and other developing countries. However, enforcement tends to be weak. As with
personal income tax, most of the effect of currency depreciation on corporate profits tax liabilities
occurs through the effects of higher inflation on income statements. Higher inflation has several
effects on corporate income. Higher inflation would erode the value of depreciation allowances
since these are usually set on the basis of historical cost rather than replacement cost. Inventory
cost deductions may also lose value in an inflationary environment though in part this depends on
the inventory method that is used. A common method, based on the principle of first-in, first-out,
results in inventory cost deductions at historical value, which in an inflationary environment leads
to an overstatement of profits. The last-in, first-out principle is less likely to lead to an
overstatement of profits unless inventories are substantially run down. On the other hand, higher
inflation would raise nominal interest rates, largely in step with inflation. This increase in
nominal interest rates reflects preservation of the capital value or in essence a partial payment of
principal. As a result, corporations would be able to deduct not only the true interest component
but also a component reflecting repayment of principal, tending to understate true profits, and
hence lowering corporate profit tax liabilities.
Changes in the real exchange rate have several direct effects on corporate income. A decline in
the real exchange rate would raise the relative cost of imported goods used by corporations as
inputs into production and this increase in cost would tend to lower profitability. Exporters might,
on the other hand, benefit, offsetting higher input costs through stronger sales.
A final somewhat complicated issue is the effect that foreign exchange revaluation has on
overall corporate income. When revaluation of foreign denominated assets and liabilities is
undertaken, changes in nominal exchange rates would affect corporate tax liability even in the
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
269
absence of changes in real exchange rates. For instance, if the currency depreciates foreign
denominated assets and liabilities would rise in domestic currency terms. Assets would generate
income and liabilities losses. Tax systems differ in how they treat these foreign exchange gains
and losses, or even when they require enterprises to declare them and allowable offsets. Hence
there is no summary way of stating the overall impact on corporate income and hence taxes.
2.3.3. Econometric approaches
Various econometric approaches have been used to investigate these issues. One approach
examines the relationship between economic variables and tax revenues, relying largely on crosssectional (and more recently, panel) data. These studies relate the variation in the share of tax
revenue in GDP (usually central government revenue only) to differences in the level of
development, the structure of the economy, quality of governance indicators, indices of trade
liberalization, and macroeconomic variables.8 Previous tax effort studies have found that the
income level, agriculture share, and other economic structure variables, and the share of
international trade in GDP (which is sometimes used as an index of trade liberalization and
referred to as the degree of openness), among others, are often statistically significant in
explaining the cross-country variation in the revenue ratio.9 While existing studies have
identified important determinants of the revenue ratio, these variables do not fully explain the
cross-country variation in the ratio. There appears to be a large country-specific component to the
tax share, as evidenced by persistence in the tax shares over time.
In order to capture the influence of macroeconomic developments, it is desirable to have a
time series of data and to model explicitly both the persistence in tax shares over time and reasons
that these tax shares might change. A simple panel analysis, either with fixed or random effects, is
generally not sufficient to fully investigate the lag structures inherent in macroeconomic
variables. With a sufficiently long time series of data, it is possible to separate the shorter term
and longer term effects of macroeconomic variables, though this is generally not feasible with
only a short time series. In addition, in a model using macro variables, there are likely to be some
endogenous explanatory variables.
Using a panel of 27 countries from Africa, Asia and the Western Hemisphere, covering the
period 1980–1992 and a panel of 105 countries, spanning 1980–1995, Ebrill et al. (1999)
examine two complementary models of the determinants of import and international trade tax
revenue. Using a fixed-effects and an instrumental regression framework they conclude that tariff
reforms do not necessarily lead to lower trade tax revenue. They find that, in both models,
depreciation of the exchange rate is significantly linked to higher trade tax revenues, confirming
Tanzi’s hypothesis, but contrasting with Ghura (1998), which did not find a significant relation.
Khattry and Mohan Rao (2002) also examine this issue, using a panel of 80 developing and
industrialized countries, covering the period 1970–1998. Employing a fixed-effects regression
framework, they find that trade liberalization is negatively correlated with total tax revenue and
international trade tax revenue, but they find no significant link between the exchange rate and
international trade tax revenue. They also find that countries are in general already below their
measured revenue-maximizing tariff rate, suggesting that tariff reductions would reduce
international trade tax revenues.
8
See, for example, Tait, Gratz, and Eichengreen (1979). More recent studies include Stotsky and WoldeMariam (1997),
and Ghura (1998).
9
Stotsky and WoldeMariam (1997) provides a summary of the significant variables in the existing studies.
270
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
Adam, Bevan, and Chambas (2001) examine the relationship between tax revenue, exchange
rates, and trade openness in Sub-Saharan Africa, using a difference General Method of Moments
(GMM) dynamic panel estimation. Their model adds to this literature in positing both a more
general econometric specification (though the time series is too short to fully capture the timerelated dynamics) and two variables for the exchange rate, one that reflects the equilibrium
exchange rate and the other reflecting the degree of misalignment of the exchange rate.10 Though
trade liberalization is not a focus of their work, they proxy trade liberalization through an
openness variable. They conclude that openness raises overall tax revenue in CFA franc countries
while it has little effect in non-CFA franc countries, though the disaggregated revenue outcome
suggest that it raises trade tax revenue and lowers goods and services tax revenue.
They also find that depreciation and removal of real exchange rate disequilibrium lowers tax
yield in CFA countries while it has the opposite effect in non-CFA countries. Their results vary by
component of tax revenue. For income taxes, the exchange rate has no effect in non-CFA countries
while depreciation has a strongly positive effect in CFA countries, though it weakens over time.
Movement toward equilibrium in the exchange rate has a negative effect on income taxes. For trade
taxes, depreciation of the exchange rate is linked to higher revenue, though the precise effect differs
across CFA and non-CFA countries. For goods and services taxes, real exchange rate depreciation
and movement of misalignment in a more depreciated direction tend to increase goods and services
taxes in non-CFA countries but to decrease the tax yield in CFA countries. Overall, they conclude
that the poor revenue performance in the CFA countries in that period reflected mainly differences
in environmental and structural factors and to different responses to changes in the equilibrium real
exchange rate, but that misalignment of the exchange rate also played a role.
3. Data and methodology
This section explains our empirical methodology and the data set. The basic approach is taken
from Adam et al. (2001), with some modifications.
One of the main difficulties in formulating the estimation is constructing a good proxy
measure for the degree of liberalization. A number of previous studies have attempted or have
developed indicators of openness or trade restrictiveness and measures that summarize the
overall stance of a country’s trade and exchange rate regime. The appropriateness of these
indicators depends on several factors and is discussed in Appendix I of IMF (1998) and
references therein. IMF (1998) develops a trade restrictiveness index that is based on a 10-point
scale that combines measurements of the restrictiveness of tariffs and non-tariff barriers;
however, this measure is not publicly available and also suffers from several defects.
There are several different ways that the degree of trade liberalization has been measured in
the literature. One method relies on a traditional measure of openness, defined as international
trade as a share of GDP. Ebrill et al. (1999) and Adam et al. (2001) employ this variable. A higher
ratio is taken to indicate greater trade liberalization. In addition to this traditional measure of
openness, the collected tariff rate, measured by the ratio of import duties to the value of imports,
is another alternative. With this measure, a decline in the index is taken to indicate greater trade
liberalization. Ebrill et al. (1999) also employ this measure. The appropriateness of this measure
10
Adam et al. (2001) construct the misalignment variable by estimating an equation for the long run or equilibrium
exchange rate and then calculate deviations from this exchange rate as the degree of misalignment. See their study for
details (pp. 190–191).
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
271
is discussed in that paper.11 A third possibility is the ratio of international trade taxes to
international trade, which includes the export component of taxes and trade. This measure is used
by Khattry and Mohan Rao (2002). However, this measure is less likely to be accurate as a
measure of trade liberalization since changes in exports are less closely linked to trade
liberalization than changes in imports.
An alternative approach makes use of episodes of trade liberalization, as in Ebrill et al. (1999).
However, the difficulty in constructing a sufficient panel data set and the judgment involved in
determining what constitutes an episode of trade liberalization limit the use of this approach to a
data set where trade liberalization episodes can be clearly identified. Even then, an episodic
approach cannot account for the degree to which trade liberalization has succeeded, and the
evidence shows that in many cases, measures adopted as part of a trade liberalization program are
not necessarily implemented (Ebrill et al., 1999, case studies).
In this study, we use the first two measures as proxies for trade liberalization. The data set is
that used by Adam et al. (2001) augmented by additional variables for the collected tariff and real
effective exchange rates. A detailed description of their data is provided in their paper.12,13 The
sample period is 1980–1996.
Some plots, using simple year country averages for each variable, are useful to examine.
Figs. 1 and 2 show the pattern of the relationship between each major component of tax revenue
and the two proxy indicators of trade liberalization. For the first measure of trade liberalization,
there does not emerge any clear pattern to the data. For the second measure, there appears to be a
positive correlation between overall tax revenues and taxes on international trade and trade
liberalization, suggesting that higher effective tax rates (or a less liberal environment) is linked to
higher revenues. Fig. 3 shows the pattern of the relationship between each major component of
tax revenue and the real effective exchange rate. Again, although no clear pattern emerges, for
overall tax revenues and taxes on international trade, there appears to be a positive relation
between increases in the exchange rate (appreciation) and higher revenues. Figs. 4–6 show the
regional dimension, with the top figures showing CFA countries and the bottom non-CFA
countries. The figures indicate a positive correlation between the two trade liberalization
measures for CFA countries and none for the non-CFA countries. Fig. 5, showing the relationship
between trade liberalization measured as openness and the real effective exchange rate, illustrates
quite clearly for the CFA countries the effect of the devaluation in 1994, as there is a sharp break
in the data at that point. The pattern while comparing the CFA and non-CFA countries is quite
strikingly different with the CFA generally showing a positive correlation and the non-CFA a
negative one. Fig. 6, showing the relationship between trade liberalization measured as the
collected tariff, shows a rather a somewhat similar pattern for the CFA countries, though without
as sharp a break following the devaluation, and no clear correlation for the non-CFA countries.
Altogether, these simple plots suggest that no clear and unambiguous patterns emerge for key
variables.
11
Although not focused on revenue issues, several studies of the relationship between trade liberalization and growth in
developing countries report results suggesting that problems of misspecification and the variation in the measures of
liberalization are in part responsible for inconclusive results relating to the link between trade liberalization and growth.
12
We would like to thank Professor Christopher Adam for providing us with the data. The collected tariff and real
effective exchange rate variables are derived from unpublished IMF African Department data and the IMF’s financial
statistics database.
13
Although this paper does not provide an explicit theoretical model to underlie the empirical analysis, the theoretical
model outlined in Adam et al. (2001) can form such a basis.
272
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
Fig. 1. Sub-Saharan Africa countries: comparative structure of tax revenue and trade liberalization 1, 1980–1996 (1) (in
percent of GDP). Sources: IMF, Government Finance Statistics, International Financial Statistics, and World Economic
Outlook. (1) Variables are averages over the observations for each year. (2) Trade liberalization 1 is defined as
international trade as a share of GDP.
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
273
Fig. 2. Sub-Saharan Africa countries: comparative structure of tax revenue and trade liberalization 2, 1980–1996 (1) (in
percent of GDP). Sources: IMF, Government Finance Statistics, International Financial Statistics, and World Economic
Outlook. (1) Variables are averages over the observations for each year. (2) Trade liberalization 2 is measured by the ratio
of import duties to the value of imports in percent.
274
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
Fig. 3. Sub-Saharan Africa countries: comparative structure of tax revenue and real effective exchange rate 1980–1996
(1) (in percent of GDP). Sources: IMF, Government Finance Statistics, International Financial Statistics, and World
Economic Outlook. (1) Variables are averages over the observations for each year. (2) Index 1995 = 100. An increase
reflects an appreciation of the real effective exchange rate.
Turning to the regression analysis, we estimate a dynamic panel model specification using a
GMM estimator. We use the revenue-to-GDP ratios from various tax categories as dependent
variables. They include (all as a share of GDP): total tax revenue, taxes on income and profits,
taxes on goods and services, and international trade taxes. We exclude some smaller categories of
revenues, such as property taxes and payroll taxes.
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
275
Fig. 4. Sub-Saharan Africa countries: trade liberalization 1 and 2 by region, 1980–1996 (1) (in percent). Sources: IMF,
Government Finance Statistics, International Financial Statistics, and World Economic Outlook. (1) Variables are
averages over the observations for each year. (2) Trade liberalization 1 is defined as international trade as a share of GDP.
(3) Trade liberalization 2 is measured by the ratio of import duties to the value of imports in percent.
We use the same general approach as in the previous tax effort literature and adopt
independent variables similar to these studies as control variables in our analysis. These variables
are: an index of trade liberalization (keeping in mind that an increase in the first measure and a
decrease in the second measure indicates greater trade liberalization), real GDP per capita, the
size of the agricultural sector, the size of the industrial (including mining) sector, net transfer of
aid, government consumption, the inflation rate, the terms of trade, and (deviating from Adam
et al.) the real effective exchange rate (measured as an index relative to 1995, where an increase in
the index value represents appreciation).
In the tax effort literature, GDP per capita is included to capture the level of development.
Higher income countries tend to have a more monetized economy and better tax administration,
so GDP per capita is expected to have a positive relationship with the tax revenue to GDP ratio,
and domestic tax components, and a more ambiguous relationship with trade tax revenue.
276
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
Fig. 5. Sub-Saharan Africa countries: real effective exchange rate and trade liberalization 1 by region, 1980–1996 (1) (in
percent). Sources: IMF, Government Finance Statistics, International Financial Statistics, and World Economic Outlook.
(1) Variables are averages over the observations for each year. (2) Trade liberalization 1 is defined as international trade as
a share of GDP. (3) Index 1995 = 100. An increase reflects an appreciation of the real effective exchange rate.
Variables reflecting the share of different industries in the economy capture the differences in
the ability to tax components of the economy. Typically, agricultural activities are difficult to tax,
especially in low income countries, where most agricultural activities are organized on a smallscale basis. Hence the share of agriculture is used as an explanatory variable to control for the
difficulty in collecting taxes from this sector. Many studies have found a negative relationship
between the share of agriculture and the total tax revenue ratio, even after controlling for per
capita income, though a positive relationship might be found in Sub-Saharan African because
agricultural exports are sometimes a good tax handle. The industrial share has also been used as
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
277
Fig. 6. Sub-Saharan Africa countries: trade liberalization 2 and real effective exchange rate by region, 1980–1996 (1) (in
percent). Sources: IMF, Government Finance Statistics, International Financial Statistics, and World Economic Outlook.
(1) Variables are averages over the observations for each year. (2) Trade liberalization 2 is measured by the ratio of import
duties to the value of imports in percent. (3) Index 1995 = 100. An increase reflects an appreciation of the real effective
exchange rate.
an explanatory variable and may in low income countries proxy for mining share. It might be
expected to have a positive relationship with total tax revenue, though for this group of African
countries, there has been a high association between mineral resources and civil conflict, so a
negative relationship is also possible, given that we do not capture the effect of civil conflict on
revenues with any explicit variable (only country and time effects). As noted, trade liberalization
has an ambiguous effect on revenues, including its components.
In addition to the control variables taken from the tax effort literature, we include
macroeconomic and fiscal policy variables: the real effective exchange rate, inflation, the terms
of trade, net transfers of aid, and government consumption. Also as noted, the effect of exchange
rate changes on revenues is uncertain a priori. With regard to the other control variables, the
effect on revenues is also likely to be ambiguous. A strengthening of the terms of trade, measured
as the export price index divided by the import price index, suggests that export industries would
278
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
be more profitable and hence generate higher income tax revenues and possibly taxes related to
imports used as inputs. However, since exports are zero-rated, might imply a reduction of VAT. A
weakening of the terms of trade might imply the opposite. Hence the overall outcome is uncertain.
Similarly, the relationship between net transfers of aid and revenues are uncertain. There is some
evidence that aid reduces tax effort, but these results are not uniform and might depend on the
purposes of aid, requirements for counterpart funds and other factors. With regard to government
consumption, it might be expected that government consumption would be positively correlated
with revenues, or some components of it, but in a fully specified model of government decisionmaking, these fiscal policy variables would both be endogenously determined.
Using the panel data set, we postulate a first-order dynamic panel model of the following
form:
TAXREVi;t ¼ a1 TAXREVi;t1 þ a2 logðGDPÞi;t þ a3 AGRIi;t þ a4 INDi;t
þ a5 logðGCÞi;t þ a6 logðNAIDÞi;t þ a7 logðTOTÞi;t
þ a8 logðEXCHANGEÞi;t þ a9 ðINFLATIONÞi;t þ a10 logðOPENÞi;t
þ a11 logðOPENÞ ðCFAÞi;t þ ui þ g t þ ei;t
where TAXREV is the tax revenue variable, GDP, the real GDP per capita, AGRI, the share of
agriculture in GDP, IND, the share of industrial (mining) activities in GDP, GC, the real
government consumption share in GDP, NAID, net transfers of aid, TOT, the terms of trade,
EXCHANGE, the real effective exchange rate, INFLATION, the inflation, OPEN, the index of
trade liberalization, CFA, a dummy for CFA franc countries, ui an unobserved country effect, gt
an unobserved time effect, and ei,t is an unobserved random error term, where i represents the ith
country and t represents the tth time period.
We control for the bias that is due to including a lagged dependent variable and the possible
endogeneity of several of the explanatory variables. In particular, we hypothesize that in an
equation to determine revenue share, any government variables, such as a spending variable or
the trade liberalization measure, are likely to be endogenous, as well as any macro-variables that
might be affected critically by fiscal policy. Hence we treat per capita income, inflation,
government consumption, and the trade liberalization variables as endogenous. To control for
this endogeneity, we use a generalized method of moments (GMM) framework. The particular
approach we adopt is based on the GMM estimators for the AR(1) panel data model and is due to
Holtz-Eakin, Newey, and Rosen (1988), Arellano and Bond (1991), and Arellano and Bover
(1995), who build on the fundamental work of Hansen (1982).
Specifically, the method involves transforming the above equation to remove the unobserved
country effects and then estimating the resulting equation by instrumental variables.14 Arellano and
Bond (1991) derived a GMM estimator for the coefficients of such an equation based on first
differences, using lagged levels of the dependent variables and the predetermined variables
(‘‘internal instruments’’), and, second, taking differences of the strictly exogenous explanatory
variables. The approach assumes that there is no second-order autocorrelation in the first-differenced
14
The method of transformation of the data matrix can be in levels, first differences, orthogonal deviations, combinations of first differences (or orthogonal deviations) and levels, or in deviations from individual means. See Arellano and
Honoré (2000) for details.
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
279
idiosyncratic errors. Tests for autocorrelation and Sargan test of over-identifying restrictions are
conducted to determine the appropriateness of the specification.
This paper conducts an instrumental GMM estimation based on an orthogonal deviation
transformation as opposed to first differencing. The orthogonal deviation transformation of
Arellano and Bover (1995) expresses each observation as the deviation from the average of future
observations in the sample for the same unit (country) and it weights each deviation to
standardize the variance. The advantage of this transformation is that it has the desirable property
of guaranteeing that the transformed errors will be serially uncorrelated and homoskedastic,
whenever the original errors are serially uncorrelated and homoskedastic. As noted by Arellano
and Honoré (2000), the orthogonal deviation transformation is equivalent first, to applying a first
difference transformation to get rid of fixed effects and second, to using generalized least squares
to eliminate first degree autocorrelation resulting from first-differencing.
4. Empirical results
Tables 2–3 present regression results for the full sample period and the full sample of
countries, to examine the determinants of total tax revenue, international trade taxes, taxes on
goods and services, and income and profit taxes, under the assumption that revenue behavior can
be pooled across exchange rate regimes (although we allow for the differential effect of openness
and country specific effects).15 Appendix A indicates which countries are included in the sample.
Results are reported both for the specification where trade liberalization is measured as the
share of external trade in GDP (the first measure), and where trade liberalization is measured as
the collected tariff (the second measure).16,17 To control for the possible endogeneity of several of
the explanatory variables, we use previous observations of the explanatory and lagged dependent
variables as instruments in the orthogonal deviation regression.18 Our results are for one-step
GMM estimators, with heteroskedasticity-consistent asymptotic standard error reported. We also
report results for first- and second-order serial correlation and the Sargan specification test.19 In
the regressions generally, the assumption of serially uncorrelated errors is appropriate.
Furthermore, the null hypothesis of the validity of the moment conditions cannot be rejected.
Note that the tests for first- and second-order serial correlation are based on estimates of the
15
It has been suggested that the effect of our chosen explanatory variables on tax revenues may not be stable over time.
While this might indeed be the case, our general conclusion that specification issues and different measures of trade
liberalization lead to contrasting results is not affected by sub-sample analysis. Thus we have not reported the result of
such analysis.
16
Empirical results herein were obtained by implementing the DPD package Version 1.2 of Doornik, Arellano, and
Bond (2001) which is a class of procedures in the programming language of Ox.
17
The results for the trade liberalization measure using the ratio of international trade revenues to international trade in
percent are only different in a few respects from the results for the second measure. Since this measure is viewed as less
accurate a proxy, we do not present the results. They are, however, available from the authors.
18
In addition to the lagged dependent variables, per capita income, inflation, government consumption, and openness
are treated as potentially endogenous. For instruments we use their values dated at time t 2. The choice of instruments is
not routine when the number of countries is small relative to the number of time periods. Soto (2003) discusses some
issues associated with the choice of instruments.
19
The Sargan test is designed to test the overall validity of all the instruments, employed to estimate the model, by
analyzing the sample analog of the moment conditions. It attempts to answer the question, given that a subset of
instrumental variables is valid and exactly identifies the coefficients, are the extra instrumental variables valid? Failure to
reject the null should be interpreted as favoring the specified model.
280
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
Table 2
Revenue equations: GMM estimation 1980–1996 (full sample orthogonal deviation transformation)
Dependent variable
Total taxes as a share of GDP
Income taxes as a share of GDP
(1)
(3)
(2)
Lag_dv
Lgdp
Agri
Ind
Lgc
Lnaid
Ltot
Lexchange
Inflation
Lib_index1
Lib_index1cfa
Lib_index2
Lib_index2cfa
0.563
0.007
0.137
0.214
0.019
0.036
0.029
0.011
0.023
0.001
0.042
[5.02]
[0.33]
[2.58]
[3.21]
[2.28]
[1.21]
[2.19]
[0.62]
[4.11]
[0.11]
[1.38]
(m1)
(m2)
Sargan
3.528 [0.00]
0.861 [0.39]
63.28 [0.90]
0.538
0.002
0.036
0.133
0.012
0.017
0.003
0.030
0.020
[5.79]
[0.12]
[0.42]
[1.66]
[1.01]
[0.52]
[0.19]
[2.07]
[4.88]
0.738
0.017
0.057
0.018
0.003
0.008
0.002
0.008
0.004
0.000
0.016
(4)
[5.59]
[1.08]
[1.71]
[0.54]
[0.77]
[0.46]
[0.40]
[0.84]
[1.02]
[0.03]
[1.33]
0.010 [0.92]
0.026 [0.92]
3.481 [0.00]
0.841 [0.40]
69.40 [0.77]
0.632
0.027
0.054
0.054
0.005
0.000
0.002
0.007
0.003
[5.35]
[1.96]
[2.05]
[1.29]
[0.93]
[0.01]
[0.26]
[0.76]
[0.96]
0.012 [1.94]
0.024 [1.34]
3.074 [0.00]
0.871 [0.38]
100.70 [0.05]
2.702 [0.01]
0.525 [0.60]
104.3 [0.03]
Notes: Year dummies are included in all specifications. Equations estimated with one-step heteroscedastic standard errors.
Robust t-ratios in parentheses. m1 and m2 are tests for first-order and second-order serial correlation in the first differenced
residuals, asymptotically distributed as N(0, 1) under the null of no serial correlation, with p-value in parentheses. Sargan is a
test of the over-identifying restrictions, asymptotically distributed as a x2 under the null of instrument validity, with p-value in
parentheses. Definitions of the variables and the country list are provided in Appendix A.
residuals in first differences even though we have estimators obtained using orthogonal
deviations. Orthogonal deviations can induce serial correlation in the transformed error term, if
the original error term is serially uncorrelated but heteroskedastic.
The regression results in columns headed (1) and (2) in Table 2 present the outcome of
examining the determinants of total tax revenue shares for our two different measures of trade
liberalization. With respect to total tax revenue, the first thing to note is that the coefficient on the
lagged dependent variable is positive and significant in the regressions for both measures of trade
liberalization, suggesting that there is a partial adjustment over time in tax revenue. Using the
first measure of trade liberalization, although per capita income is not significant, agricultural
share, industrial share, government consumption, and the terms of trade all exert a positive effect
on total tax revenue, and inflation exerts a negative effect. The positive effect of agricultural share
may be explained by the influence of exports in providing a tax handle, as noted earlier. The real
exchange rate and the trade liberalization measures are not, however, significant. Using the
second measure, we find a somewhat different pattern of results. Industrial share is positive and
marginally significant. The real exchange rate and inflation are both negative and significant,
suggesting that real exchange rate appreciation and higher inflation depress revenues, consistent
with Tanzi’s hypotheses.
The regression results in columns headed (3) and (4) in Table 2 present the results for income
taxes for the two measures of trade liberalization. We observe again a positive and significant
effect of the lagged dependent variable. Using the first measure of trade liberalization,
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
281
Table 3
Revenue equations: GMM estimation 1980–1996 (full sample orthogonal deviation transformation)
Dependent variable
International trade taxes as a share of GDP
Taxes on goods and services as a share of GDP
(5)
(7)
(6)
Lag_dv
Lgdp
Agri
Ind
Lgc
Lnaid
Ltot
Lexchange
Inflation
Lib_index1
Lib_index1cfa
Lib_index2
Lib_index2cfa
0.472
0.050
0.127
0.045
0.015
0.004
0.008
0.029
0.012
0.002
0.027
[4.40]
[3.23]
[1.98]
[0.80]
[1.87]
[0.12]
[1.05]
[3.75]
[2.21]
[0.23]
[1.17]
(m1)
(m2)
Sargan
3.442 [0.00]
0.858 [0.39]
64.23 [0.89]
0.463
0.043
0.057
0.059
0.010
0.013
0.002
0.034
0.006
[3.73]
[2.81]
[0.83]
[0.80]
[0.81]
[0.32]
[0.12]
[3.24]
[1.17]
0.765
0.004
0.001
0.114
0.008
0.002
0.015
0.009
0.006
0.004
0.018
(8)
[7.98]
[0.18]
[0.01]
[2.31]
[1.88]
[0.11]
[1.88]
[0.66]
[2.14]
[0.59]
[1.27]
[9.14]
[0.34]
[0.88]
[2.85]
[1.25]
[0.26]
[2.15]
[1.33]
[3.98]
0.010 [1.25]
0.008 [0.42]
0.010 [1.12]
0.011 [0.43]
3.022 [0.00]
0.674 [0.50]
78.47 [0.50]
0.727
0.007
0.045
0.137
0.006
0.005
0.018
0.011
0.011
2.774 [0.01]
0.051 [0.96]
69.02 [0.78]
2.838 [0.01]
0.195 [0.85]
84.85 [0.31]
Notes: Year dummies are included in all specifications. Equations estimated with one-step heteroscedastic standard errors.
Robust t-ratios in parentheses. m1 and m2 are tests for first-order and second-order serial correlation in the first differenced
residuals, asymptotically distributed as N(0, 1) under the null of no serial correlation, with p-value in parentheses. Sargan is a
test of the over-identifying restrictions, asymptotically distributed as a x2 under the null of instrument validity, with p-value in
parentheses. Definitions of the variables and the country list are provided in Appendix A.
agricultural share is negatively linked to income tax revenues, and no other variables are
significant. Using the second measure, we find a positive effect of per capita income and a
negative effect of agricultural share. Neither the exchange rate or inflation variables are
significant. For the second measure of trade liberalization, the coefficient is negative and
significant, which suggests that a higher value of the collected tariff (which we interpret as less
liberalization) is linked to lower revenues, so trade liberalization appears beneficial for income
tax revenues.
The regression results in columns headed (5) and (6) in Table 3 present the results for
international trade taxes. The coefficient on the lagged dependent variable is positive and
significant. For the first measure of trade liberalization, per capita income, the real exchange rate,
and inflation are negatively linked to trade taxes. Agricultural share and government
consumption are positively linked. Using the second measure of trade liberalization, per capita
income and the real exchange rate are negatively linked to trade revenues. Interestingly, trade
liberalization is not significantly linked to trade revenues, using either measure.
The regression results in columns headed (7) and (8) in Table 3 present the results for taxes on
goods and services. The effect of the lagged tax share is positive and significant. For the first
measure of trade liberalization, the industrial share, government consumption, and terms of trade
are positive and significant, while inflation is negative and significant. The real exchange rate and
trade liberalization variables are not significant. For the second measure, the industrial share and
terms of trade are positive and significant, and inflation is negative and significant. Neither the
exchange rate or trade liberalization measures are significant.
282
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
Overall, these results suggest that there is strong persistence over time in total tax revenues
and all components of revenues. Some evidence is found that trade liberalization has a positive
effect on income tax revenue but otherwise is not strongly linked to total tax revenue or its
components. The results are not uniform across the specifications, and no significant difference
between CFA and non-CFA countries is found. The sensitivity of the results to the measure of
trade liberalization suggests the need for careful consideration of the best way to proxy this
variable.
Some evidence is found of a negative link of real exchange rate appreciation to overall tax
revenues and to trade tax revenues. For the second measure of liberalization, with the exception
of income taxes and trade taxes, inflation is negatively linked to revenues.
These results suggest that trade liberalization accompanied by an appropriate monetary and
exchange rate policy does not have a significant effect on overall tax revenue though some effect
on income tax revenue. Appreciation of the exchange rate and increases in inflation generally
speaking lead to lower overall tax revenue, though the results vary by component of taxes. These
results show some consistency with the results of both Adam et al. and Khattry and Mohan Rao,
though in neither case are the results uniformly consistent. These results also show consistency
with Ebrill et al. in the main finding on trade liberalization.
5. Conclusion
This paper has investigated the relationship between the tax revenue-to-GDP ratio, trade
liberalization, and changes in the exchange rate using a panel data set of Sub-Saharan countries.
Our results suggest that trade liberalization, accompanied by appropriately supportive monetary
policies, may preserve tax yield. This result has important implications for countries that have
been reluctant to undertake trade liberalization for fear of the revenue consequences.
Acknowledgments
We would like to thank Randy Filer, Timothy Goodspeed, Kwabena Gyimah-Brempong,
Sergio Leite, Winston Moore, Peter Pedroni, Emil Sunley and an anonymous referee for helpful
comments on the paper. We would also like to thank Beulah David and Joaquin Salas Orono for
help in preparing the paper. We are also grateful to participants at the Economic Commission for
Africa (ECA) ad hoc Expert Group Meeting on Maintaining the Government Fiscal Base in the
Context of a Trade Liberalization Regime, held in Addis Ababa, Ethiopia, September 2003, for
useful suggestions. This paper should not be reported as representing the views of the IMF. The
views expressed are those of the authors and do not necessarily reflect the views of the IMF or
IMF policy.
Appendix A. Data definitions
Lag_dv
Lgdp
Agri
Ind
Lgc
Lib_index1
Lib_index2
lag of dependent variable
(log) real per capita income
agricultural share in GDP
industry (including mining) share in GDP
(log) government consumption as a share of GDP
(log) openness: international trade as a share of GDP
(log) openness: ratio of import duties to value of imports
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
Lnaid
Inflation
Ltot
Lexchange
283
(log) net transfers of aid
annual inflation
(log) terms of trade
(log) real effective exchange rate, 1995 = 100. Increase indicates appreciation
The country classification is as follows: CFA and non-CFA.
(1) Non-CFA
Burundi; The Gambia; Ghana; Kenya; Madagascar; Mauritania; Malawi; Mauritius;
Rwanda; Sierra Leone; Tanzania; Uganda; Zambia; and Zimbabwe.
(2) CFA
Benin; Burkina Faso; Central African Republic; Cote d’Ivoire; Mali; Niger; Senegal; and
Togo.
Adam et al. (2001) excluded from the sample two categories of countries: first, countries
whose tax base is dominated by natural resources and second, countries for which there were
insufficient or dubious data over the sample period. See Adam et al. (2001) for details.
References
Adam, C., Bevan, D., & Chambas, G. (2001). Exchange rate regimes and revenue performance in sub-Saharan Africa.
Journal of Development Economics, 64, 173–213.
Arellano, M., & Bond, S. (1991). Some tests of specification for panel data: Monte Carlo evidence and an application to
employment equations. Review of Economic Studies, 58, 277–297.
Arellano, M., & Bover, O. (1995). Another look at the instrumental variable estimation of error-components models.
Journal of Econometrics, 68, 29–51.
Arellano, M., & Honoré B. (2000). Panel Data Models: Some Recent Developments, CEMFI Working Paper 0016.
Available via the internet at: http://www.cemfi.es.
Bevan, D. (1995). Fiscal Implications of Trade Liberalization, IMF Working Paper 95/50. Washington: International
Monetary Fund.
Doornik, J., Arellano, M., & Bond S. (2001). Panel Data Estimation Using DPD for Ox. Available via the internet at:
http://www.nuff.ox.ac.uk/users/doornik.
Ebrill, L., Keen, M., Bodin, J.-P., & Summers, V. (2001). The modern VAT. Washington: International Monetary Fund.
Ebrill, L., Stotsky J., & Gropp, R. (1999). Revenue Implications of Trade Liberalization, IMF Occasional Paper 99/80.
Washington: International Monetary Fund.
Feltenstein, A. (1992). Tax Policy and Trade Liberalization: An Application to Mexico, IMF Working Paper 92/108.
Washington: International Monetary Fund.
Frankel, J. A., & Romer, D. (1999). Does trade cause growth? American Economic Review, 89(3), 379–399.
Ghura (1998). Tax Revenue in Sub-Saharan Africa: Effects of Economic Policies and Corruption, IMF Working Paper 98/
135. Washington: International Monetary Fund.
Greenaway, D., Morgan, W., & Wright, P. (2002). Trade liberalization and growth in developing countries. Journal of
Development Economics, 67, 229–244.
Hansen, L. P. (1982). Large sample properties of generalized method of moment estimators. Econometrica, 50, 1029–
1054.
Holtz-Eakin, D., Newey, W., & Rosen, H. S. (1988). Estimating vector auto-regressions with panel data. Econometrica,
56, 1371–1396.
International Monetary Fund. (1998). Trade liberalization in IMF-supported programs prepared by a staff team led by
Robert Sharer. Washington: International Monetary Fund.
Keen, M., & Ligthart, J. E. (2002). Coordinating tariff reduction and domestic tax reform. Journal of International
Economics, 56, 489–507.
Khattry, B., & Mohan Rao, J. (2002). Fiscal faux pas? An analysis of the revenue implications of trade liberalization.
World Development, 30(8), 1431–1444.
284
T.D. Agbeyegbe et al. / Journal of Asian Economics 17 (2006) 261–284
Reisen, H. (1990). Interaction between the exchange rate and the public budget in major debtor developing countries. In
Vito Tanzi (Ed.), Fiscal policy in open developing economies (pp. 82–93). Washington: International Monetary Fund.
Rodriguez, F., & Rodrik, D. (2001). Trade policy and economic growth: A skeptics guide to the cross-national evidence. In
B. S. Bernanke, & K. Rogoff (Eds.), NBER macroeconomics annual 2000 (pp. 261–325). Cambridge, MA: MIT Press.
Seade, J. (1990). Tax revenue implications of exchange rate adjustment. In V. Tanzi (Ed.), Fiscal policy in open developing
economies (pp. 54–65). Washington: International Monetary Fund.
Soto, M. (2003). Taxing capital flows: An empirical comparative analysis. Journal of Development Economics, 72, 203–
221.
Stotsky, J. G., & WoldeMariam A. (1997). Tax Effort in Sub-Saharan Africa, IMF Working Paper 97/107. Washington:
International Monetary Fund.
Tait, A. , Gratz, W. L. M., & Eichengreen, B. J. (1979). International comparisons of taxation for selected developing
countries, 1972–1976. International Monetary Fund Staff Papers, 26, 123–156.
Tanzi, V. (1989). The impact of macroeconomic policies on the level of taxation and the fiscal balance in developing
countries. International Monetary Fund Staff Papers, 36, 633–656.
Tokarick, S. (1995). External shocks, the real exchange rate, and tax policy. International Monetary Fund Staff Papers, 42,
49–79.
Warcziarg, R., & Welch, K. H. (2003). Trade Liberalization and Growth: New Evidence, NBER Working Paper No.
10152, December.
Temi di discussione
(Working papers)
La relazione tra gettito tributario
e quadro macroeconomico in Italia
Numero
Dicembre 2008
di Alberto Locarno e Alessandra Staderini
694
La serie “Temi di discussione” intende promuovere la circolazione, in versione provvisoria, di lavori prodotti all’interno della Banca d’Italia o presentati da economisti
esterni nel corso di seminari presso l’Istituto, al fine di suscitare commenti critici e
suggerimenti.
I lavori pubblicati nella serie riflettono esclusivamente le opinioni degli autori e non
impegnano la responsabilità dell’Istituto.
Comitato di redazione: Patrizio Pagano, Alfonso Rosolia, Ugo Albertazzi, Claudia
Biancotti, Giulio Nicoletti, Paolo Pinotti, Enrico Sette, Marco Taboga, Pietro
Tommasino, Fabrizio Venditti.
Segreteria: Roberto Marano, Nicoletta Olivanti.
LA RELAZIONE TRA GETTITO TRIBUTARIO E QUADRO MACROECONOMICO
IN ITALIA
di Alberto Locarno e Alessandra Staderini
Sommario
Questo lavoro analizza l'andamento delle entrate tributarie in Italia nel periodo
1978-2006, studiando la relazione tra la dinamica del gettito e l'evoluzione del quadro
macroeconomico. Le serie del gettito effettivo vengono corrette per gli interventi discrezionali,
trasformate in aliquote implicite e scomposte in componenti strutturali. Sulla parte di trend
è condotta un'analisi di regressione, che mette in evidenza come alla dinamica del gettito
concorrano, oltre alle variabili più comunemente utilizzate nei modelli di previsione, una
pluralità di fattori: alcuni - i tassi di interesse, il prezzo del petrolio, l'output gap, l'in azione hanno un effetto diretto sulle aliquote implicite; altri - la quota dei pro tti di banche e imprese
quotate, il peso dei consumi energetici sul totale della spesa, gli acquisti di beni durevoli in uenzano indirettamente l'incidenza del prelievo, perché comportano spostamenti delle basi
imponibili tra settori caratterizzati da diverse possibilità di evasione.
Classi cazione JEL: C22, E62, H2.
Parole chiave:
strutturali.
Entrate tributarie, misure discrezionali, scomposizione in componenti
Indice
1. Introduzione . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
2. Correzione per gli interventi discrezionali . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
2.1 I dati . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
2.2 Gli interventi discrezionali negli anni dal 1978 al 2006 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
3. Correzione per i fattori erratici e ciclici . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
3.1 I modelli strutturali a componenti non osservabili . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
3.2 Selezione del modello e risultati . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
4. Aliquote implicite: uno strumento per analizzare l'elasticità . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
5. Analisi econometrica . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17
6. Conclusioni . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
Appendice 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
Appendice 2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
Riferimenti bibliogra ci . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34
Banca d'Italia, Servizio Studi di congiuntura e politica monetaria
Banca d'Italia, Servizio Studi di struttura economica e nanziaria
1. Introduzione1
Per valutare la solidità delle nanze pubbliche di un paese è sempre più diffuso il ricorso
a indicatori di bilancio corretti per gli effetti del ciclo economico. Stime comparabili tra
paesi di tali effetti sono, in particolare, regolarmente pubblicate da oltre un decennio dalla
Commissione europea, dal FMI e dall'OCSE.2
Nelle metodologie più utilizzate, la correzione per gli effetti del ciclo viene apportata
essenzialmente alle entrate, ipotizzando una relazione stabile tra la dinamica dei tributi e il
quadro macroeconomico, che può essere adeguatamente riprodotta da un numero limitato di
variabili. Le metodologie si differenziano tra quelle che si basano su un'elasticità aggregata
del complesso delle entrate rispetto al PIL, con l'ipotesi implicita che modi che nella
composizione del PIL non abbiano un impatto signi cativo, e quelle che invece utilizzano
elasticità distinte per le principali categorie di entrate, ciascuna rispetto alle principali variabili
macroeconomiche che de niscono la composizione del prodotto (consumi, retribuzioni lorde,
risultato di gestione).
In connessione con il manifestarsi in molti paesi di entrate inattese nel biennio 2006-07,
alcuni studi di natura empirica hanno messo in evidenza i limiti delle suddette ipotesi, facendo
emergere come l'adozione di modelli troppo sempli cati possa condurre a errori di previsione
nel breve termine e a una non corretta valutazione della stance di politica di bilancio.3 In
particolare è stata sottoposta a veri ca l'ipotesi di elasticità costante del gettito alle principali
basi imponibili macroeconomiche, con il ricorso a modelli econometrici che distinguono tra
breve e lungo periodo, ed è stato affrontato l'aspetto della adeguata rappresentazione del
quadro macroeconomico, arricchendo la lista delle variabili che spiegano la dinamica del
1
Gli autori desiderano ringraziare Giampaolo Arachi, Sandro Momigliano, Geremia Palomba e due anonimi referee per gli utili suggerimenti. Un ringraziamento va anche a Claudio De Vincenzi, Giuseppe Pisauro e
Ruggero Paladini per aver letto e commentato una precedente versione del lavoro.
2
Queste metodologie sono descritte per la Commissione europea, per l'OCSE e per la BCE rispettivamente
in European Commission (1995), Giorno et al. (1995), Bouthevillain et al. (2001). Con riferimento all'Italia si
veda anche Momigliano e Staderini (1999), Ginebri et al. (2005).
3
Questi contributi si rifanno a un lone della letteratura teorica che viene solitamente fatto risalire a Groves
e Kahn (1952), con contributi importanti di Fox e Campbell (1984), Sobel e Holcombe (1996).
4
gettito con l'introduzione, ad esempio, di quelle rappresentative dell'andamento dei mercati
immobiliare e azionario.4
Questo lavoro si inserisce nel dibattito con un'analisi approfondita della dinamica del
gettito tributario in Italia negli ultimi trenta anni, differenziandosi dalla letteratura più recente
per la metodologia econometrica utilizzata, che si basa su tecniche di ltraggio ed equazioni
statiche anziché su modelli a correzione dell'errore.
Le serie delle entrate tributarie sono state preliminarmente sottoposte a due tipi di
aggiustamenti. In primo luogo, le serie storiche sono state corrette per escludere gli effetti delle
modi che normative attuate nel periodo; a tal ne sono state ricostruite le principali misure
introdotte dal 1978 a oggi, fornendo un quadro degli effetti nanziari della politica tributaria
in Italia che, per la durata e l'analiticità della ricostruzione a livello di singole imposte, non ha
precedenti in letteratura.5 In secondo luogo, è stato applicato alle serie un ltro statistico, con
la nalità di eliminare la componente ciclica e i fattori erratici.
L'analisi econometrica delle serie così corrette è stata effettuata sulle corrispondenti
aliquote implicite, ossia sul rapporto tra il gettito e la variabile macroeconomica che meglio
approssima la relativa base imponibile.
Il lavoro è così strutturato. Nel paragrafo successivo vengono brevemente descritti i
dati utilizzati e vengono richiamati i principali provvedimenti di politica tributaria, di natura
tanto transitoria quanto permanente; la metodologia utilizzata per correggere le serie è descritta
nell'Appendice 1. Nel terzo paragrafo viene condotta l'analisi statistica delle serie storiche; la
descrizione della metodologia adottata viene riportata nell'Appendice 2. Nel quarto paragrafo
4
Wolswijk (2007) e Swiston et al. (2007) si sono focalizzati sull'analisi dell'elasticità di breve periodo,
ed hanno veri cato come essa risulti maggiore di quella di lungo periodo nelle fasi espansive del ciclo. Si veda
Morris e Schuknecht (2007) e Martinez Montagay et al. (2007) per l'introduzione di nuove variabili. Un utile
riferimento è anche Commissione europea (2008).
5
Anche in Marino et al. (2008) vengono ricostruiti gli interventi discrezionali di politica tributaria, ma
limitatamente al periodo 1998-2006. L'operazione viene fatta nell'ambito di una metodologia sviluppata per
l'analisi strutturale dei conti pubblici, nella quale la dinamica dei ussi del bilancio pubblico viene scomposta in
componenti attribuibili a misure discrezionali e in componenti dovute al ciclo economico (Kremer et al., 2006).
Rispetto a tale metodologia, questo lavoro si differenzia per l'individuazione della componente ciclica, mentre
utilizza una tecnica analoga per quanti care gli interventi discrezionali; in questo ultimo caso i risultati sono
coerenti anche se non coincidono, perché nei due lavori si fa riferimento ad aggregati di entrate tributarie diverse
(quelle della contabilità economica del SEC95 in Marino et al.; quelle di cassa del bilancio dello Stato - con Irpef
e Ires di competenza - in questo studio).
5
vengono commentati i trend delle aliquote implicite corrette. Nel quinto paragrafo vengono
riportati e commentati i risultati dell'analisi econometrica.
2. Correzione per gli interventi discrezionali
2.1 I dati
Oggetto dell'analisi sono le entrate tributarie contabilizzate nel bilancio di cassa dello
Stato (incassi di bilancio), a cui sono state aggiunte le imposte locali introdotte con la riforma
del 1998 (IRAP e addizionali all'Irpef; Fig. 1). Questo aggregato rappresenta circa l'85 per
cento delle entrate tributarie riferibili alle Amministrazioni pubbliche.6 L'uso dei dati di cassa
del bilancio dello Stato consente di calcolare, anche per le imprese, le imposte di competenza,
che vengono ricostruite aggiungendo agli acconti versati nell'anno il saldo corrisposto in
quello successivo.7 Il ricorso alle imposte di competenza facilita l'analisi delle relazioni tra il
gettito tributario e le variabili macroeconomiche usate come proxy della base imponibile.
L'analisi è condotta su quattro imposte distinte: 1) l'Irpef versata (con ritenuta alla fonte)
dai lavoratori dipendenti; 2) l'Irpef versata in autotassazione; 3) l'Irpeg-Ires (Ires nel prosieguo
del lavoro);8 4) l'IVA. La scelta di questi tributi è stata determinata dalla loro rilevanza in
termini quantitativi nel caso delle ritenute Irpef e dell'IVA (che rappresentano circa il 50 per
cento rispettivamente delle imposte dirette e delle imposte indirette), o dalla elevata variabilità
in termini di incidenza nel caso delle imposte versate in autotassazione, che si riferiscono
principalmente alla tassazione dei risultati di esercizio delle imprese.
Sono state inoltre analizzate le serie relative al totale delle imposte dirette (Irpef e
addizionali, Ires, Ilor, imposte sostitutive sui rendimenti delle attività nanziarie, imposte
6
La quota è stata calcolata tenendo conto delle differenze contabili esistenti tra gli incassi del bilancio dello
Stato e le entrate tributarie del conto economico delle Amministrazioni pubbliche. Per maggiori dettagli sulla
de nizione di entrate tributarie adottata nel lavoro si rimanda all'Appendice 1.
7
I dati sulle entrate tributarie di cassa contabilizzate nel bilancio dello Stato sono tradizionalmente pubblicati dalla Banca d'Italia (dati mensili aggregati nel supplemento di Finanza pubblica al Bollettino statistico;
dati annuali disaggregati per singolo tributo nella Relazione annuale). Esistono altri due tipi di dati sulle entrate tributarie: a) quelli sottostanti al conto economico delle Amministrazioni pubbliche (elaborati secondo i
criteri contabili del SEC95), b) quelli relativi ai cosiddetti accertamenti del bilancio dello Stato (espressi in termini di competenza giuridica). I primi sono pubblicati dall'Istat per il periodo 1980-2007; per questi dati, il tipo
di dettaglio reso disponibile non consente di ricostruire la competenza economica delle imposte sul reddito delle
imprese, cosa invece possibile con le statistiche pubblicate dal Ministero dell'Economia e delle nanze, che però
presentano discontinuità nelle serie storiche e non possono essere utilizzate in stime econometriche.
8
L'Ires, l'imposta sul reddito delle società, era denominata Irpeg prima della riforma del 2004.
6
dirette minori) e delle indirette (IVA, altre imposte sugli affari, imposte su produzione e
consumo, imposta sui tabacchi, IRAP). Ciascuna delle due componenti rappresenta circa il
50 per cento del totale delle entrate tributarie.
2.2 Gli interventi discrezionali negli anni dal 1978 al 2006
Le serie del gettito tributario sono corrette per gli interventi discrezionali.
La
metodologia utilizzata, che consiste nell'aggiungere al gettito effettivo di ogni anno l'effetto
cumulato degli interventi adottati da allora no al 2006, consente di correggere le serie per i
salti di livello dovuti all'introduzione di nuove norme. L'entità dei singoli interventi è riportata
nella tavola 1. Questa metodologia non consente, invece, di correggere per quelle modi che
che alterano la reattività dell'imposta alla base imponibile (come nel caso degli interventi che
modi cano il grado di progressività dell'Irpef, con riferimento ai quali si riesce a correggere
solo per gli effetti di gettito nel primo anno di applicazione) o che dipendono da modi che nel
comportamento dei contribuenti (come il grado di adesione alle norme tributarie).
Per la quanti cazione degli effetti delle misure sono stati presi dove possibili i dati di
consuntivo (per le imposte straordinarie); dove si è ricorso alle stime ex-ante si è avuto cura di
veri care che esse fossero in linea con i commenti ex post ripresi in pubblicazioni dell'epoca9
(per una ricostruzione dettagliata della metodologia utilizzata si rimanda all'Appendice 1).
Nel periodo analizzato (1978-2006) il sistema tributario italiano è stato oggetto di
modi che continue, che hanno in uenzato fortemente la dinamica delle entrate.
La
ricostruzione degli interventi discrezionali ha messo in evidenza l'esistenza di diverse fasi
nella politica tributaria.
Negli anni ottanta prevalevano gli interventi sulle imposte indirette. In una prima fase
venivano coinvolte l'IVA, in connessione con il processo di convergenza delle aliquote stabilito
in ambito europeo, e le accise sull'energia (forme di prelievo commisurate alle quantità), quale
reazione alle oscillazioni del prezzo del petrolio e all'elevata in azione. In una seconda fase,
che inizia nel 1987, gli interventi di politica tributaria venivano esplicitamente indirizzati a
spostare il carico scale sull'imposizione indiretta:10 da un lato, con un innalzamento delle
aliquote delle principali imposte (accise sugli oli minerali, elettricità, metano, tasse sugli
9
Si fa riferimento in particolare alle pubblicazioni della Banca d'Italia (Relazione annuale e Bollettino
economico). Informazioni riguardanti gli anni ottanta sono state tratte anche da Morcaldo (2005).
10
Si veda Banca d'Italia, Relazione sull'anno 1987.
7
affari) e, dall'altro, con un alleggerimento del carico dell'imposta personale (ristrutturazione
di scaglioni e aliquote nel 1989, introduzione nel 1990 di un meccanismo di correzione
automatica del drenaggio scale).
Nel periodo 1988-1990, l'aumento delle aliquote delle imposte indirette forniva un
gettito aggiuntivo dell'ordine dello 0,8 per cento del PIL all'anno.11 Sul nire degli anni ottanta
iniziava l'azione di riequilibrio delle nanze pubbliche, che si rafforzava nella prima metà degli
anni novanta, caratterizzandosi per signi cativi interventi di inasprimento del prelievo.12
Nel biennio 1992-93 ritornavano prevalenti gli interventi sulle imposte dirette. Le
modi che permanenti riguardavano in particolare il prelievo sulle imprese e sul lavoro
autonomo, mentre il comparto delle imposte indirette veniva interessato da un processo di
razionalizzazione e sempli cazione, che portava alla soppressione prima di alcune accise
minori (nel 1993) e poi di alcune voci della tassa sulle concessioni governative (nel biennio
1994-95). Il contributo fornito alla crescita del gettito dagli inasprimenti permanenti si
attenuava a metà degli anni novanta, per poi venire meno sul nire del decennio: una volta
garantito l'ingresso nell'unione monetaria, la politica tributaria poteva perseguire obiettivi di
razionalizzazione del sistema e di maggiore neutralità nell'imposizione. Ne erano esempi
l'introduzione della DIT (dal 1997),13 la riforma dell'IRAP14 e quella della tassazione delle
attività nanziarie, queste ultime due in vigore dal 1998. Le misure in campo tributario
risultavano coerenti con la più generale intonazione della politica di bilancio, che ri etteva
la convinzione dei policy maker di un risanamento delle nanze pubbliche oramai compiuto.15
11
Occorre ricordare che in quegli anni le aliquote delle accise sui prodotti petroliferi erano oggetto di continue modi che, di cui non è facile trovare sempre traccia; a solo titolo di esempio, si ricorda che nel 1991 il
governo modi cava per sei volte (tre in aumento e tre in diminuzione) l'aliquota dell'imposta di fabbricazione
sulla benzina.
12
Per un approfondimento del dibattito dell'epoca, si vedano Ceriani et al. (1992) e Morcaldo (2005).
13
Sulla riforma degli anni 1997-98 si rimanda a Staderini (2001).
14
L'introduzione dell'IRAP non era stata motivata con la necessità di ottenere gettito aggiuntivo: la sua
creazione, in sostituzione di alcuni tributi e della componente degli oneri sociali destinata a nanziare il sistema
sanitario, era stata presentata come neutrale rispetto al gettito aggregato. Nell'immediato la riforma comportava
una riduzione di gettito, quanti cato nell'anno 1998 in circa 4 decimi di punto percentuale di PIL. Nel lavoro la
correzione per le misure discrezionali non ha riguardato questa riforma.
15
Sulle politiche di risanamento delle nanze pubbliche negli anni novanta si vedano Spaventa e Chiorazzo
(2000), Degni et al. (2001), Balassone et al. (2002), Franco (2006).
8
Questa consapevolezza, insieme all'esigenza di una politica di bilancio espansiva per
contrastare il forte rallentamento dell'economia italiana, portava all'avvio di una fase di
sgravi
scali in favore di famiglie e imprese, in linea con quanto avveniva negli altri
paesi europei.16 In favore delle famiglie, gli sgravi venivano concessi attraverso modi che
permanenti all'imposta personale e riguardavano inizialmente l'aumento delle detrazioni e
modi che marginali alle aliquote e, a partire dal 2003, la struttura dell'imposta.17
Le
imprese bene ciavano principalmente della riduzione dell'aliquota dell'Ires, che scendeva
gradualmente dal 37 per cento del 2000 al 33 del 2004.18
Nel 2005 venivano di nuovo varate misure di inasprimento del prelievo,19 che
riguardavano in particolare le imprese.20
Nel complesso del periodo 2000-05 venivano
concessi sgravi stimabili in circa lo 0,4 per cento del PIL all'anno.
Nell'arco temporale considerato, sono state frequentemente introdotte misure con
nalità di contrasto all'elusione e all'evasione. Gli effetti attesi in termini di maggiori entrate
da questo tipo di intervento non sono stati inclusi nella ricostruzione delle misure discrezionali
effettuata in questo lavoro, per la dif coltà di valutare anche ex-post l'adeguatezza delle stime
quantitative elaborate ex-ante.
Negli ultimi anni un contributo alla crescita del gettito è stato fornito dall'introduzione
e dal potenziamento degli studi di settore, introdotti con una legge del 1993, applicati a partire
dal 199821 e oggetto di una revisione negli anni 2005-06. Il contributo alla crescita delle
16
Per una rassegna delle politiche scali adottate dai paesi dell'area dell'euro dopo la creazione della moneta
unica, si veda Balassone et al. (2003).
17
Per una descrizione e una valutazione degli effetti delle modi che all'Irpef negli anni 2000-05 si rimanda
a Marino et al. (2007) e Marino e Staderini (2006).
18
Per una ricostruzione degli interventi di politica tributaria in favore delle imprese, si rimanda a Monacelli
et al. (2001) e Gennari et al. (2005).
19
Nel luglio del 2005 il Consiglio della UE rilevava nei confronti dell'Italia l'esistenza di una situazione di
disavanzo eccessivo e stabiliva un termine di sei mesi per l'adozione di misure volte a riportare l'indebitamento
netto entro il limite del 3 per cento del PIL nel 2007.
20
L'anno 2005 veniva interessato dall'entrata in vigore di sgravi scali in favore delle famiglie (il cosiddetto
"secondo modulo" della riforma dell'imposta personale) e da aumenti della base imponibile dell'Ires. Questi
ultimi, varati con la manovra per il 2006, emergevano per la prima volta in occasione del saldo delle imposte
versato dalle imprese nel 2006, ma per le modalità con cui sono ricostruite le imposte sulle imprese in questo
lavoro (che includono nelle imposte di competenza dell'anno t il saldo versato nell'anno t+1) nei nostri dati
emergono già nel 2005.
21
Tra il 1998 e il 2000 entravano in vigore oltre il 50 per cento degli studi, riguardanti il 75 per cento
9
entrate fornito dagli studi di settore sembra trovare conferma nella dinamica del gettito sia
dell'Irpef versata in autotassazione, sia dell'IVA: la prima registra una crescita sostenuta negli
anni 1999-2000;22 la seconda nel 1999, 2000 e 2006. L'ef cacia degli studi di settore sembra
venire meno negli anni successivi alle revisioni: l'esperienza suggerisce come i contribuenti,
dopo aver adeguato al rialzo i loro imponibili, sviluppino maggiori capacità di utilizzare tali
strumento per eludere l'imposta.23
Riassumendo, le modi che permanenti al sistema tributario, da meramente episodiche
no alla metà degli anni ottanta, divenivano in seguito parte integrante del risanamento dei
conti pubblici, dando luogo a consistenti inasprimenti del prelievo soprattutto nella prima metà
degli anni novanta. Negli anni 2001-05 gli interventi venivano indirizzati a ridurre la pressione
scale. Dal 2005 riprendevano le misure di innalzamento del prelievo, contestualmente agli
ultimi sgravi Irpef.
Il ricorso a misure di natura temporanea si è intensi cato negli anni novanta, in
connessione con il rafforzamento del processo di consolidamento delle nanze pubbliche. Dal
1992, in particolare, gli introiti di natura temporanea hanno rappresentano una costante della
politica tributaria italiana. Negli anni 1992-2006 tali introiti sono risultati pari in media allo
0,8 per cento del PIL all'anno.24 Tra le misure di natura temporanea un posto di rilievo è
stato rappresentato dai condoni: nel periodo oggetto della nostra analisi sono stati introdotti
4 condoni di carattere generale con effetti di gettito rilevanti negli anni 1983-84, 1992–93,
1995-96, 2003-04.25
della platea dei contribuenti interessati. Per una ricostruzione dell'introduzione degli studi di settore nel nostro
ordinamento si veda Longobardi (2001).
22
Si veda su questo argomento Abritta et al. (2003).
23
Si veda a questo proposito Santoro (2006).
24
In questo lavoro sono considerati interventi una tantum: 1) le imposte straordinarie il cui gettito è rinvenibile in appositi capitoli di bilancio; 2) gli incrementi di gettito una tantum relativi ai tributi permanenti, solo
se di importo rilevante (per la dif coltà di enucleare quelli di importo modesto all'interno del gettito dei capitoli corrispondenti ai tributi permanenti). Nel lavoro non sono, invece, considerati: 1) gli incrementi di gettito
straordinari (cosiddetti "automatismi dell'autotassazione") che si realizzano il primo anno di introduzione di un
provvedimento di modi ca del reddito d'impresa (esclusi nel lavoro perchè non rilevanti a causa delle modalità
di ricostruzione in termini di competenza delle imposte versate dalle imprese); 2) le agevolazioni temporanee in
favore delle imprese.
25
Per una rassegna della teoria economica dei condoni e per una stima degli effetti sul gettito complessivo
del ricorso ai condoni si veda Bernasconi e La Pecorella (2006).
10
3. Correzione per i fattori erratici e ciclici
3.1 I modelli strutturali a componenti non osservabili
Per identi care il trend del gettito dei principali tributi si è ricorsi alla tecnica di
scomposizione delle serie storiche in componenti strutturali. Questo approccio, illustrata
diffusamente da Harvey,26 permette di identi care gli elementi costitutivi di una serie storica
- il trend, il ciclo, la stagionalità e il ”rumore”, cioè la parte puramente erratica legata alle
uttuazioni a frequenze elevate - e di individuarne gli andamenti di medio-lungo periodo.
Il modello utilizzato in questo lavoro è il seguente:
(1)
dove
yt =
t
costituisce il trend della serie,
t
t
+
t
+ "t
il ciclo e "t il termine di errore idiosincratico. Per
t
si assume che
(2)
t
t
dove
t
e
t
=
=
t 1
+
+
1+
t 1
t
t
t
sono innovazioni indipendenti, a media zero e varianza costante, pari,
rispettivamente, a
2
e
2
. Il trend è rappresentato da un processo integrato del secondo
ordine, di tipo random walk with drift, in cui il livello e la pendenza sono variabili casuali.
Per modellare invece la componente ciclica, si fa ricorso alla funzione trigonometrica
coseno e a perturbazioni stocastiche, che generano
uttuazioni erratiche attorno a un
andamento oscillatorio altrimenti deterministico (cfr. Appendice 2). Questa rappresentazione
è denominata local linear trend; casi particolari si ottengono imponendo restrizioni sulla
volatilità di
t,
t
o
t.
Poiché sia la componente ciclica sia quella di trend sono processi markoviani, il modello
possiede una rappresentazione nello spazio degli stati; se gli errori hanno una distribuzione
gaussiana, tramite il ltro di Kalman e la scomposizione dell'errore di previsione è possibile
calcolare la funzione di verosimiglianza del modello e stimare il valore degli iperparametri
26
Il testo di riferimento principale è Harvey (1989), che contiene un'ampia esposizione dei fondamenti
teorici e dell'evoluzione storica dei modelli di scomposizione in componenti strutturali. Rispetto a modelli con
componenti strutturali deterministiche o basati su tecniche di ltraggio ad hoc (come ad esempio la procedura di
previsione di Holt-Winters), questa tecnica consente di ottenere stime di massima verosimiglianza dei parametri
del modello e previsioni formulate in termini di intervalli di con denza; inoltre, la speci cazione può essere
selezionata sulla base dell'evidenza empirica, anziché semplicemente postulata.
11
incogniti.27 La selezione del modello che garantisce la miglior interpolazione dei dati viene
fatta analizzando le proprietà dei residui (cfr. Appendice 2).
Nel trentennio considerato in questo lavoro, le proprietà statistiche di alcune delle
serie del gettito tributario sono stata alterate da provvedimenti che hanno modi cato le
modalità di riscossione e la struttura del prelievo. Questo è avvenuto in maniera rilevante
in 3 casi: (i) nel 1993, in occasione dell'abolizione del prelievo alla dogana dell'IVA sulle
importazioni dai paesi dell'UE; (ii) nel 1996, quando sono cambiate le modalità di tassazione
dei rendimenti obbligazionari; (iii) nel 1998, quando è entrata in vigore la riforma che ha
portato all'introduzione dell'IRAP. In questi casi, poiché non è stato possibile correggere
direttamente i dati relativi al gettito, il modello base è stato modi cato introducendo le
cosiddette intervention dummies.28 L'analisi preliminare dei dati ha inoltre evidenziato la
presenza di osservazioni anomale nella serie delle ritenute sui redditi da lavoro dipendente
(nel 1998) e in quella dell'Irpef versata in autotassazione dagli autonomi (nel 1992).29 La
scomposizione in componenti strutturali è stata quindi effettuata non sulla serie osservata yt ,
ma sul residuo yt
dt , dove dt rappresenta la variabile (o il vettore di variabili) di comodo e
il suo coef ciente.
27
I parametri di un modello local linear trend sono # f " ; ; ; ! ; ; c g. " ;
e
sono, rispettivamente, le varianze del noise e delle innovazioni al livello e alla pendenza del trend, mentre ! ; e c sono
i parametri che si riferiscono alla componente ciclica t (vedi Appendice 2). Essi sono in genere chiamati iperparametri per distinguerli dalle componenti del vettore degli stati che possono essere interpretati come parametri
variabili.
28
Vengono chiamate intervention variables o intervention dummies le variabili di comodo usate per tener
conto di variazioni - sia temporanee, sia permanenti - nel processo generatore dei dati. La prima modi ca ha
interessato la speci cazione del modello per le imposte indirette e per l'IVA ed è stata colta per mezzo di una
dummy uguale a 1 nel 1993 e a zero in tutti gli altri periodi, mentre la seconda ha riguardato l'Irpeg/Ires e ha
comportato l'introduzione di una variabile di comodo a scalino, pari a zero no al 1996, a 0,5 l'anno dopo e a
1 successivamente. La riforma scale del 1998, che ha comportato una redistribuzione del gettito dai contributi
sociali e dalle imposte dirette a quelle indirette, è stata modellata per mezzo di due variabili di comodo: la prima,
nulla no al 1997, ha consentito di cogliere l'abolizione dell'Ilor e l'introduzione dell'IRAP; la seconda - pari a 1
nel 1999 e 2000, a 2 nel 2001 e 2002 e a 3 successivamente - ha permesso di approssimare l'andamento crescente
delle addizionali Irpef, il cui gettito è aumentato nel tempo in maniera graduale. Introdotte per la prima volta nel
1999, le entrate generate dalle addizionali Irpef rimangono intorno ai 2,5 miliardi nel 1999-2000; salgono a circa
5 miliardi nel 2001-02; arrivano agli attuali 8 miliardi circa dal 2003.
29
Il dato anomalo del 1998 deriva da forti ritardi nella contabilizzazione in bilancio delle ritenute sui redditi
da lavoro dipendente che hanno fatto slittare parte degli incassi del 1998 all'anno successivo; si ricorda che
in questo lavoro, relativamente a questa componente, il gettito di ciascun anno è ricostruito sottraendo il dato
del mese di gennaio e aggiungendo quello del mese di gennaio dell'anno successivo (si veda l'Appendice 1).
L'outlier del 1992 è invece da ricondurre al peso straordinario delle misure di inasprimento del prelievo adottate
nell'anno, la cui entità può risultare sottostimata nel lavoro, per la dif coltà di tener conto di tutti i provvedimenti
presi anche nel corso dell'anno.
12
3.2 Selezione del modello e risultati
La selezione del modello di scomposizione che meglio si adatta ai dati è stata fatta
mettendo a confronto 4 speci cazioni: il modello generale; quello in cui la pendenza del
trend è non stocastica (
2
&
senza componente ciclica (
= 0); quello in cui il livello di
2
=
2
t
è sso (
2
= 0); quello
= 0). Una prima scrematura viene fatta eliminando i
modelli i cui residui risultano non gaussiani o serialmente correlati; quindi si arriva alla scelta
nale selezionando la speci cazione che presenta il minor numero di parametri e il miglior
adattamento ai dati, quest'ultimo misurato per mezzo dell'errore standard e del coef ciente di
determinazione (cfr. Appendice 2).30
L'analisi è stata effettuata sulle sei componenti del prelievo e per tre de nizioni di gettito:
quello effettivo riportato nel bilancio dello Stato, quello al netto delle imposte una tantum,
quello corretto per il complesso delle misure discrezionali sia una tantum, sia permanenti.
Per ciascuna variabile è stata considerata sia la trasformata logaritmica, sia l'aliquota
implicita, ottenuta rapportando il gettito alla variabile macroeconomica che meglio approssima
la base imponibile. La proxy selezionata è stata il PIL per le imposte dirette; i consumi
nominali per l'IVA e le imposte indirette; il monte salari per le ritenute Irpef sul lavoro
dipendente; il risultato lordo di gestione del settore privato per l'Ires e l'Irpef versata in
autotassazione. Come già più volte ricordato, per le variabili utilizzate al numeratore le
imposte sono state ricostruite in termini di competenza economica; si ottengono in questo
modo delle aliquote implicite che rappresentano l'incidenza del prelievo sulla base imponibile.
Sono stati stimati quindi 36 modelli.31 I risultati sono riportati nelle tavole 2a-2c e 3a-3c.
Relativamente alle aliquote implicite delle serie corrette per gli interventi discrezionali,
su cui si è incentrata l'analisi che segue, i risultati delle stime mettono in evidenza che32 :
(i) quando le entrate tributarie sono espresse in rapporto alla base imponibile, non esiste
una speci cazione che domina nettamente sulle altre e le differenze di goodness-of- t tra i
modelli si riducono rispetto a quanto emerge nel caso delle serie espresse in scala logaritmica.
30
In nessun dei casi analizzati in questo lavoro si è veri cato che le due statistiche fornissero indicazioni
diverse.
31
La scomposizione in componenti strutturali delle serie del gettito tributario è stata condotta con il software
Stamp inserito nella versione 2.20 di GiveWin.
32
Per una descrizione dei risultati delle altre stime si rimanda all'Appendice 2.
13
La speci cazione più frequentemente selezionata è quella che assume una pendenza nonstocastica, ma in circa la metà dei casi il modello non ristretto o quello smooth trend sembrano
garantire risultati migliori. Pur nell'impossibilità di tracciare linee di demarcazione precise,
i risultati ottenuti suggeriscono che un modello con
= 0 appare più appropriato per serie
che - come le aliquote - uttuano attorno a un livello medio costante, mentre una pendenza
variabile nel tempo (
6= 0) si adatta meglio a variabili che - come il logaritmo del gettito dei
tributi - crescono stabilmente.
(ii) la componente ciclica, pur spiegando una parte ridotta della volatilità delle serie
tributarie, non può essere omessa dalla scomposizione, pena un forte peggioramento del tting.
Nelle variabili espresse in rapporto alla base imponibile, il peso ridotto della componente
ciclica è giusti cato dal fatto che le uttuazioni del numeratore e del denominatore si elidono
reciprocamente, riducendo notevolmente il contributo alla varianza totale delle onde di periodo
compreso tra i 2 e gli 8 anni.
Una volta individuata la speci cazione migliore, le serie sono state depurate dalle
componenti cicliche e irregolari.33
4. Aliquote implicite: uno strumento per analizzare l'elasticità
L'aliquota implicita è un utile strumento di analisi che consente di mettere in relazione
con maggior chiarezza l'andamento del gettito e l'evoluzione dell'economia.
Anche
limitandosi all'analisi gra ca, emerge come le aliquote implicite siano in grado di offrire un
quadro dell'evoluzione delle entrate più completo rispetto a quello rinvenibile dall'analisi del
gettito effettivo. Quest'ultimo farebbe, ad esempio, emergere una marcata decelerazione del
gettito a partire dalla metà degli anni ottanta, che si acuisce negli anni 2001-05 e che, in ne,
si traduce in un'accelerazione a partire dal 2006 (Fig 2a e, per la componente di trend, 3a).
Correggendo il gettito per le misure discrezionali, si attenua la stagnazione degli anni 2001-05
(connessa con le misure di sgravio scale adottate nei primi anni del 2000 e, in misura minore,
dei crediti d'imposta maturati nell'ambito del risparmio gestito nel 2001); permane, tuttavia, il
33
Con riferimento alle imposte dirette, si evidenzia a partire dal 1998 una divaricazione tra andamento
effettivo e trend in tutte le tre de nizioni di gettito; essa dipende dalla riforma scale del 1998, di cui si è tenuto
conto nella stima del trend per mezzo di dummies, diversamente da quanto fatto per gli altri interventi di natura
permanente. Un andamento simmetrico, ma di segno opposto, si nota nel caso delle imposte indirette: negli
ultimi 9 anni la componente strutturale si mantiene stabilmente al di sotto del gettito effettivo, poiché essa non
incorpora i maggiori introiti legati all'IRAP.
14
rallentamento registrato dalla metà degli anni ottanta, che risente dell'evoluzione del contesto
economico (Figg. 2b,2c e, per la componente di trend, 3b,3c). Nel corso dell'ultimo quarto
di secolo, infatti, la dinamica dei prezzi e il potenziale di crescita dell'economia italiana si
sono ridotti in misura considerevole: mentre nella prima metà degli anni '80 il PIL nominale
aumentava a tassi superiori al 10 per cento annuo, nel periodo 2001-06 il prodotto è cresciuto
in media del 3,6 per cento.
Rapportando il gettito a una variabile macroeconomica correlata con la base imponibile,
il quadro cambia completamente (Figg. 2d, 2e, 2f) e diventa di più immediata lettura con
l'estrazione del trend (Figg. 3d, 3e, 3f). In particolare, tenendo conto dell'evoluzione del
contesto economico, non emerge un rallentamento nelle potenzialità di produrre gettito del
sistema tributario, mentre risulta evidente come l'incidenza del prelievo sia in ascesa da alcuni
anni e abbia raggiunto livelli storicamente elevati.34
Di particolare rilievo è l'analisi del prelievo strutturale (la componente di trend delle
serie corrette per le misure discrezionali temporanee e permanenti), che fornisce indicazioni
sull'elasticità del gettito alla sua base imponibile: aliquote costanti nel tempo corrispondono
all'ipotesi di elasticità unitaria rispetto alla base imponibile (PIL, consumi, retribuzioni,
risultato lordo di gestione), come viene assunto nei modelli più comunemente utilizzati per
correggere le entrate tributarie per gli effetti del ciclo economico.35 L'analisi gra ca del
trend dell'aliquota implicita (Fig. 3f) mette in evidenza come essa presenti, invece, ampie
uttuazioni.
L'Irpef sulle ritenute da lavoro dipendente mostra un trend in continua ascesa in tutto
il periodo campionario, in connessione con la sua struttura progressiva dell'imposta, che si
accentua nei periodi di in azione elevata, perchè gli interventi di restituzione del drenaggio
scale sono stati nella maggior parte dei casi parziali. L'andamento tendenziale dell'aliquota,
tuttavia, non cresce in modo monotono, suggerendo un'elasticità non solo superiore a uno, ma
anche variabile nel tempo, in connessione con gli interventi sulla struttura impositiva che ne
34
Come ricordato anche nella nota 33, occorre ribadire che lo scostamento che emerge tra trend e serie
dell'aliquota implicita nella gura 3f a partire dal 1998 dipende dalla riforma del 1998 (introduzione dell'IRAP
tra le indirette, delle addizionali all'Irpef tra le dirette a contestuale abolizione dell'Ilor).
35
In generale, poiché l'aliquota implicita è de nita come rapporto tra gettito E e base imponibile B, vale
ln E
la relazione: d ln = d ln E d ln B. Per l'elasticità si ha invece che: = dd ln
B : Ne consegue quindi che un
aumento (diminuzione) dell'aliquota implicita equivale a un incremento (riduzione) dell'elasticità.
15
hanno modi cato il grado di progressività (tavola 4). Vale la pena ribadire che la metodologia
utilizzata in questo lavoro per correggere per le misure discrezionali è in grado di cogliere solo
l'impatto sul gettito nell'anno in cui l'intervento è adottato e non corregge per le modi che nel
grado di progressività dell'imposta.36
Per le imposte dirette sulle imprese (Irpef versata in autotassazione e Ires) il trend
dell'aliquota implicita mostra maggiori uttuazioni, anche per la dif coltà di individuare una
variabile macroeconomica suf cientemente vicina alla base imponibile. Entrambe le imposte
mostrano negli ultimi anni un trend ascendente, che nel caso dell'Irpef in autotassazione
comincia dalla ne degli anni novanta, mentre per l'Ires è più recente.37 Nel primo caso
l'aumento dell'aliquota potrebbe essere posto in connessione con l'introduzione degli studi
di settore. Nel caso dell'aumento dell'incidenza dell'Ires sul risultato lordo di gestione, è
interessante osservare come questo fenomeno sia stato riscontrato anche in altre economie
avanzate: analisi comparate sulla scalità a carico delle imprese nei principali paesi OCSE
hanno messo in evidenza come alla riduzione delle aliquote legali, indotta dalla competizione
scale, non abbia fatto riscontro una riduzione del gettito, che anzi in media è aumentato.38
Analisi empiriche hanno messo in evidenza come l'aumento del gettito sia da porre in
connessione con l'andamento del prezzo delle attività reali e nanziarie39 e con l'aumento
della quota dei pro tti sul PIL, legato in particolare alla crescita relativamente più elevata
della redditività del settore del credito e delle assicurazioni.40
Per il totale delle imposte dirette, l'andamento ascendente dell'aliquota implicita sembra
guidato principalmente da quello delle ritenute Irpef sui redditi da lavoro dipendente, anche
se con una maggiore variabilità connessa alla presenza delle imposte versate in autotassazione
e al complesso delle imposte sostitutive sui rendimenti delle attività nanziarie. Quest'ultima
36
Si veda la tavola 4 per una rassegna degli interventi di modi ca dell'Irpef effettuati con la nalità di restituzione del drenaggio scale e per il calcolo di un indicatore del grado di progressività della struttura impositiva in
ciascun anno. Il grado di progressività dell'Irpef è stato ricostruito come media semplice degli indici di Liability
Progression (LP) calcolati per una scala di redditi assunti costanti in valore reale.
37
Per una ri essione approfondita sullo stato dell'arte della tassazione delle società in Italia si veda Ceriani
(2006).
38
A questo proposito si veda Devereux e Sorenson (2006).
39
Si veda a questo proposito Morris e Schuknecht (2007).
40
Quest'ultima tesi è sostenuta da Devereux e Klemm (2004), con particolare riferimento al caso del Regno
Unito.
16
componente, che ha rappresentato quasi il 10 per cento del gettito tributario no al 1996,
per poi scendere intorno al 4 per cento, è caratterizzata da estrema variabilità in connessione
con la dinamica dei tassi di interessi e con le innumerevoli modi che alle aliquote e alle
modalità di versamento testimoniate dalla ricostruzione riportata nella tavola 4 (colonne 6
e 7). Il totale delle imposte dirette è cresciuto molto no alla ne degli anni ottanta, risentendo
principalmente dell'interazione tra gli elevati tassi di in azione e la struttura progressiva
dell'imposta personale; essa ha bene ciato anche dell'entrata in vigore di nuove e più ef caci
modalità di riscossione dei tributi (ritenute alla fonte, autoliquidazione, acconti). Negli anni
novanta, invece, l'aliquota scende in alcuni anni e la componente di trend si stabilizza. Questa
tendenza si inverte decisamente a partire dalla ne degli anni novanta e l'aliquota si riporta sui
livelli massimi registrati nel trentennio.
Tra le imposte indirette, il trend dell'aliquota implicita dell'IVA è in forte crescita dal
1999, dopo una caduta di quasi due punti tra l'inizio degli anni ottanta e la ne degli anni
novanta. La dinamica dell'aliquota implicita potrebbe ri ettere modi che nella composizione
dei consumi tra beni caratterizzati da diverse aliquote e diverse possibilità di evasione.
Per il totale delle imposte indirette, la dinamica di medio-lungo termine dell'aliquota
implicita mostra come, in assenza di interventi discrezionali, il gettito sarebbe cresciuto
no al 1997 a un ritmo notevolmente inferiore a quello dei consumi nominali, ri ettendo la
presenza in questo aggregato di imposte sulla quantità (accise sui prodotti energetici, tariffe
delle principali imposte sugli affari). Nella ricostruzione degli interventi discrezionali si è
tenuto conto anche degli interventi disposti su queste imposte, per adeguarne il gettito alla
dinamica dei prezzi. A conferma del ruolo giocato dalle imposte in somma ssa nella caduta
dell'aliquota implicita, si osserva come la discesa dell'aliquota implicita riguardi, infatti, solo
in minima parte l'IVA (l'aliquota implicita dell'IVA scende tra il 1980 e il 1997 di meno di
2 punti percentuali, contro gli oltre 7 punti del totale delle imposte indirette). Anche per le
imposte indirette l'incidenza del prelievo torna a salire a partire dalla ne degli anni novanta.
Le uttuazioni della componente di trend dell'aliquota implicita indicano che l'ipotesi
di costanza dell'elasticità del gettito rispetto alla variabile macroeconomica usata come proxy
della base imponibile è molto forte; segnala, inoltre, come alla dinamica del gettito concorrano
altre variabili, oltre a quelle utilizzate al denominatore delle aliquote implicite e di cui si tiene
solitamente conto nei modelli di previsione e nelle tecniche di depurazione del bilancio dagli
17
effetti del ciclo economico. Il resto dell'analisi è stata dedicata allo studio di queste ulteriori
variabili.
L'analisi della componente strutturale dell'aliquota delle imposte totali (somma di dirette
e indirette), depurate delle misure discrezionali, fornisce un quadro d'assieme interessante.
Emergono 3 sottoperiodi, caratterizzati da dinamiche differenti (Fig. 4):
1) un primo periodo, che è durato per tutti gli anni ottanta, in cui il sistema tributario ha
prodotto un gettito che è cresciuto stabilmente a un tasso superiore al prodotto; hanno sospinto
la crescita gli elevati tassi di in azione del periodo;
2) un secondo periodo, corrispondente al decennio successivo, in cui l'incidenza della
tassazione sarebbe diminuita in assenza di interventi discrezionali, soprattutto per la presenza
di imposte sulla quantità (come le accise e le imposte sugli affari) che, per il fatto di essere
ssate in termini nominali, richiedono interventi discrezionali semplicemente per preservarne
il valore reale;
3) un terzo periodo, che parte dalla ne degli anni novanta, in cui si è invertita la tendenza
del decennio precedente e l'incidenza del prelievo è tornata ad aumentare. Se nei dati sul
gettito effettivo la ripresa emerge con forza solo nel 2006, il trend della serie corretta per
gli interventi discrezionali segnala come l'aumento del prelievo rispetto al PIL inizi intorno
al 2000; esso non è emerso tuttavia immediatamente nei dati sul gettito effettivo, per gli
effetti degli sgravi scali concessi nello stesso periodo e per il venir meno di parte del gettito
dell'imposta sostitutiva sui redditi da capitale, connesso ai crediti d'imposta maturati dai fondi
comuni nel 2001.
5. Analisi econometrica
L'analisi sin qui svolta ha messo in evidenza come l'incidenza del prelievo sulla base
imponibile macroeconomica non sia costante nel tempo, neppure dopo aver corretto le serie
per le misure discrezionali e per i fattori erratici e ciclici. Per spiegare la varianza delle aliquote
implicite, sono state effettuate alcune regressioni, una per ciascuna delle sei componenti del
gettito; la variabile dipendente è rappresentata dal trend dell'aliquota implicita.41 L'approccio
adottato nella scelta dei regressori è stato di tipo euristico: invece di privilegiare una
41
Per veri ca, le stesse regressioni sono state stimate anche sulle aliquote effettive, con risultati (tavola
5b) analoghi a quelli ottenuti usando come variabile endogena la sola componente di trend (tavola 5a). Fanno
eccezione le equazioni relative alle imposte dirette e indirette, in cui la signi catività delle variabili esplicative si
riduce sensibilmente.
18
speci cazione coerente con un modello teorico, si è preferito selezionare le variabili più
adatte a cogliere mutamenti nell'incidenza del prelievo. Nel complesso, le equazioni stimate
sono soddisfacenti in termini di goodness-of- t e forniscono risultati la cui interpretazione
economica appare convincente (tavola 5a).
L'incidenza sul monte salari delle ritenute Irpef, la componente del prelievo con
una crescita tendenzialmente superiore alla base imponibile, è risultata fortemente correlata
con una variabile che rappresenta l'interazione tra l'in azione e la struttura progressiva
dell'imposta: questa variabile coglie gli effetti del drenaggio
scale, che sono rilevanti
anche nella serie del gettito corretto per gli interventi discrezionali.42 La rilevanza di questo
regressore è un ulteriore dimostrazione del fatto che i provvedimenti di restituzione del
drenaggio scale sono stati nella maggior parte dei casi solo parziali, come emerge anche
dalla tavola 4. L'aliquota implicita mostra una correlazione signi cativa anche con la quota
delle pensioni sul monte salari: il risultato non è sorprendente, in quanto le pensioni sono
una componente della base imponibile legale cui si applicano le ritenute Irpef, ma non sono
incluse nel denominatore dell'aliquota. Tra i regressori compare anche un indicatore del grado
di disuguaglianza nella distribuzione dei redditi dichiarati, che acquista rilevanza per effetto
della struttura progressiva dell'imposizione.43 Nella speci cazione del modello ha trovato
collocazione anche una dummy relativa al 1983, anno interessato da un'importante riforma
della struttura impositiva, i cui effetti sul gettito solo in parte sono colti dalle correzione per
gli interventi discrezionali.
Le imposte sul reddito delle imprese sono risultate più dif cili da modellare, in
parte risentendo delle maggiori divergenze tra la base imponibile effettiva e la proxy
macroeconomica utilizzata per il calcolo dell'aliquota implicita. L'incidenza sul risultato lordo
di gestione dell'Irpef versata in autotassazione conferma la correlazione positiva anche di
42
Il grado di progressività fornisce indicazioni sulla reattività del gettito alla base imponibile. Nel periodo
considerato in questo lavoro, le riforme dell'imposta sul reddito, modi cando la struttura delle aliquote e delle
deduzioni, hanno inciso sul grado di progressività dell'imposta. Come più volte ricordato, la correzione per le
misure discrezionali è stata in grado di cogliere solo gli effetti in termini di gettito nel primo anno di applicazione
(ossia l'effetto stimato al livello di reddito-base imponibile pre-riforma), non anche quello cosiddetto addizionale
che incide sulla reattività dell'imposta alla base imponibile, che si manifesta negli anni successivi.
43
Come indicatore di disuguaglianza è stata utilizzata la quota del reddito dichiarato dal cinque per cento
della popolazione con redditi più elevati. I calcoli sono stati effettuati no al 2004 sulla base dei dati relativi
alle dichiarazioni dei redditi raccolti dal Ministero dell'Economia e delle Finanze (cfr. Brandolini 2007); per il
periodo successivo sono state usate nostre stime.
19
questa imposta con l'in azione e il grado di progressività dell'imposta. Non risulta invece
signi cativa, e per questo esclusa dal modello de nitivo, la disuguaglianza nella distribuzione
dei redditi. Contribuisce, in ne, a spiegare la varianza di questa componente dell'Irpef, con
segno negativo, il gettito dei condoni e delle imposte sostitutive una tantum, come ad esempio
l'imposta sulle rivalutazione dei cespiti aziendali; il gettito di queste imposte non è incluso
nell'aggregato al numeratore dell'aliquota, perché eliminato nella correzione per le misure una
tantum. Questa variabile potrebbe cogliere, oltre a un impatto negativo sul grado di adesione
dei contribuenti all'obbligazione tributaria, gli effetti dei possibili vincoli di liquidità indotti
dai versamenti straordinari legati a condoni e sanatorie; la variabile è risultata signi cativa per
l'Irpef versata in autotassazione, ma non per l'Ires, suggerendo come per le imprese di minori
dimensioni, il pagamento delle imposte offra maggiori margini di manovra e di evasione, che
rendono il gettito più correlato a fattori di tipo istituzionale, come il pagamento di condoni,
piuttosto che al ciclo economico.
Una misura dell'output-gap del settore privato, esclusa perchè non signi cativa
dall'equazione dell'Irpef versata in autotassazione, ha invece trovato spazio in quella dell'Ires,
che si conferma essere la componente del prelievo più reattiva al ciclo economico.44
L'incidenza del prelievo risente inoltre di come si distribuisce la base imponibile tra settori
produttivi e soggetti d'imposta caratterizzati da diverse possibilità di evasione. Sono stati
considerati tre comparti: quello delle imprese quotate, quello delle banche e quello della
grande distribuzione. Quest'ultima45 non è risultata signi cativa, presumibilmente per la
dif coltà di individuare una proxy adeguata per un arco temporale così ampio. Rivestono
invece un ruolo importante nella spiegazione delle aliquote implicite la redditività delle
banche, espressa dal ROE, e quella delle imprese quotate, rappresentata dai dividendi
distribuiti. I risultati mettono in evidenza, in ne, una correlazione negativa con il prezzo del
petrolio, variabile che potrebbe essere rappresentativa sia dei costi energetici delle imprese,
44
La variabile endogena è la componente di trend dell'aliquota implicita e quindi, in linea di principio,
dovrebbe essere già depurata dalle uttuazioni cicliche. Questo in realtà non accade sempre, in quanto una
misura di output-gap - derivata dalla dinamica dell'accumulazione di capitale nel settore privato - contribuisce
a migliorare il tting dell'equazione relativa all'Ires. Il risultato non è sorprendente, visto che la stima del ciclo
ottenuta dalla scomposizione in componenti strutturali si basa su criteri statistici e non economici.
45
Come regressore è stata utilizzata la quota dei lavoratori dipendenti sul totale degli occupati (somma di
autonomi e dipendenti) nel settore del commercio.
20
sia di shock negativi subiti dal sistema economico in connessione con il rialzo del prezzo del
petrolio.46
L'equazione del totale delle imposte dirette appare sostanzialmente coerente con quella
delle sue tre principali componenti. Trovano infatti conferma la rilevanza dell'in azione,
combinata con il grado di progressività dell'imposta, e il grado di disuguaglianza nella
distribuzione dei redditi, per i loro effetti sul gettito delle ritenute Irpef sui redditi da lavoro
dipendente. Si conferma l'importanza dei condoni, per gli effetti negativi riscontrati sul gettito
dell'Irpef in autotassazione, e quella della redditività delle banche, correlata alla dinamica
dell'Ires.
In aggiunta alle variabili già utilizzate nelle regressioni delle tre componenti
analizzate, trova spazio, con segno positivo, anche una variabile rappresentativa dei tassi
di interesse di mercato, per i suoi effetti sull'imposta sostitutiva sui redditi delle attività
nanziarie.
Passando alle imposte indirette, l'equazione dell'IVA segnala come l'incidenza sui
consumi del gettito sia signi cativamente e positivamente correlata agli investimenti delle
Amministrazioni pubbliche, che rappresentano una componente della base imponibile IVA
esclusa dal denominatore dell'aliquota implicita.47 Emerge inoltre una correlazione positiva
e signi cativa con l'output-gap del settore privato. Nella individuazione dei regressori, si
è ipotizzato che l'aliquota implicita dell'IVA possa essere in uenzata da modi che nella
composizione dei consumi tra comparti caratterizzati da diverse possibilità di evasione, come
ad esempio la grande distribuzione, i beni durevoli, i beni energetici. Soltanto per questo
ultimo fattore è stato possibile reperire una variabile in grado di cogliere adeguatamente il
fenomeno: la correlazione positiva con il prezzo del petrolio in questa equazione può infatti
essere interpretato come un cambiamento nella composizione dei consumi verso prodotti quelli energetici - meno soggetti a fenomeni di evasione.48
46
Tra le variabili esogene era stato inizialmente incluso un indice dei prezzi delle azioni, per cogliere gli effetti dei guadagni in conto capitale, ma la variabile non è risultata signi cativa, in coerenza con quanto riscontrato
per l'Italia anche da Morris e Schuknecht (2007).
47
Per una ricostruzione della base imponibile dell'IVA si vedano Convenevole e Pisani (2003) e Marigliani
(2007).
48
L'effetto meccanico di aumento del gettito dovuto al rialzo del prezzo del petrolio non dovrebbe comportare variazioni nell'aliquota implicita, in quanto in uenzerebbe tanto il numeratore, quanto il denominatore.
21
Per il totale delle indirette, la varianza dell'endogena è spiegata da due variabili che sono
risultate signi cative nell'equazione relativa al gettito dell'IVA (che rappresenta oltre il 50
per cento delle imposte indirette): (i) gli investimenti delle Amministrazioni pubbliche, (ii) il
prezzo del petrolio. Hanno trovato spazio anche altre due variabili, che sia pure potenzialmente
correlate con l'IVA, risultano signi cative solo in questa equazione, dove la loro rilevanza
risulta ampli cata probabilmente per il fatto che in uenzano anche il gettito di altre imposte
indirette. Si tratta, in particolare, della quota della spesa in beni durevoli sul totale dei consumi
delle famiglie e dei consumi intermedi delle Amministrazioni pubbliche. Anche il coef ciente
dell'in azione, che appare con il segno negativo, risulta signi cativamente diverso da zero, in
connessione con il fatto che in periodi di elevata in azione perde peso il gettito delle accise.
La dinamica delle aliquote implicite risente anche di modi che nel grado di adesione
spontanea dei contribuenti agli obblighi tributari (tax compliance). Per tenere conto di questo
fattore, nelle sei equazioni era stata inizialmente inserita una variabile rappresentativa del
grado di aderenza dei redditi Irpef dichiarati ai corrispondenti redditi di contabilità nazionale;49
nelle stime nali questa variabile è stata omessa, in parte perché non esogena, in parte perché
inutilizzabile per una spiegazione non tautologica della dinamica dell'incidenza del prelievo
tributario.
Diversamente da quanto riscontrato in altri paesi, il prezzo delle abitazioni sembra non
avere in uenza sulla dinamica del gettito tributario.
6. Conclusioni
Questo lavoro analizza l'evoluzione del gettito tributario in Italia nel trentennio che parte
dal 1978 e arriva al 2006.
Le serie del gettito sono state preliminarmente depurate sia dalle misure discrezionali
(ricostruite per l'intero periodo campionario a livello di singolo tributo), sia dai fattori erratici
e ciclici. Le serie corrette sono state rapportate a una proxy macroeconomica della base
imponibile legale, ottenendo aliquote implicite dalle quali è stata estratta la componente di
trend.
49
La variabile è costruita adottando una versione sempli cata del metodo proposto da Visco (1984). Si tratta
dell'unico indicatore disponibile su un orizzonte temporale pluridecennale del grado di evasione-erosione, che
presenta però il limite di non consentire una distinzione tra le due componenti.
22
I dati sul gettito effettivo farebbero emergere una marcata decelerazione del gettito a
partire dalla metà degli anni ottanta, che si acuisce negli anni 2001-05. Correggendo per le
misure discrezionali, la stagnazione degli anni 2001-05 si attenua; eliminando le componenti
cicliche ed erratiche dalle aliquote implicite, la decelerazione del gettito dalla metà degli
anni ottanta viene meno ed emerge come l'incidenza del prelievo sia in ascesa dall'inizio del
decennio e abbia raggiunto livelli storicamente elevati.
Ulteriori indicazioni sull'elasticità del gettito alla base imponibile sono fornite
dall'analisi di regressione condotta sul trend delle aliquote implicite. Le principali conclusioni
sono le seguenti:
1) Le serie delle entrate tributarie, una volta corrette per le misure discrezionali e per
le componenti erratiche, crescono in linea con la base imponibile, ma risentono anche
dell'in uenza di altri fattori: alcuni di questi misurano gli scostamenti tra la base imponibile
legale e la proxy macroeconomica utilizzata nella de nizione delle aliquote implicite,
contribuendo a ridurre gli errori di misurazione; altri colgono modi che nella struttura
dell'economia italiana che in uenzano l'incidenza dell'imposta.
2) Il gettito accelera rispetto alla base imponibile in presenza di un aumento di: in azione (in
connessione con il drenaggio scale); quota dei pro tti delle banche, volume dei dividendi
distribuiti dalle società quotate, frazione di spesa delle famiglie destinata all'acquisto di beni
durevoli o energetici (fattori che segnalano uno spostamento nella composizione del valore
aggiunto verso settori con minori possibilità di evasione); tassi di interesse nominali (per il
ruolo dell'imposizione sostitutiva sugli interessi); grado di disuguaglianza nella distribuzione
dei redditi (a causa della struttura progressiva dell'imposta sul reddito).
3) L'analisi mostra una differenza di comportamento tra società di capitali da un lato (soggette
all'Ires) e piccole imprese e lavoratori autonomi dall'altro (che pagano prevalentemente
l'Irpef). Relativamente alle prime, l'evidenza empirica indica che l'imposta sui pro tti delle
società è la componente del prelievo più reattiva agli andamenti economici: essa cresce,
infatti, a un tasso superiore (inferiore) alla base imponibile nelle fasi espansive (recessive)
del ciclo economico; inoltre, l'incidenza del prelievo è correlata negativamente alla dinamica
del prezzo del petrolio. Con riferimento alle seconde, i risultati dell'analisi mostrano che il
gettito dell'imposta dipende più da fattori di tipo istituzionale, come gli studi di settore o il
pagamento di condoni, che dalle condizioni cicliche dell'economia.
4) La veri ca empirica ha pertanto messo in evidenza come le serie delle entrate tributarie, una
23
volta corrette per le misure discrezionali e per i fattori erratici, vengano spiegate ef cacemente
da modelli che, pur assumendo elasticità costanti rispetto alla base imponibile, tengono conto
anche di altre variabili. L'analisi tenderebbe a ricondurre il fenomeno della variabilità delle
elasticità scali, su cui la letteratura empirica ha recentemente posto l'accento, all'omissione
di variabili che esercitano un'in uenza non trascurabile sulle capacità di gettito del sistema
tributario.
Appendice 1
Costruzione della serie delle entrate tributarie
In questo lavoro è stato analizzato il gettito delle entrate tributarie contabilizzate nel
bilancio di cassa dello Stato (cosiddetti incassi di bilancio) con l'aggiunta delle imposte locali
introdotte con la riforma del 1998 (IRAP, addizionali regionale e comunale all'Irpef). In
questo ultimo caso, trattandosi di imposte riscosse centralmente, i dati sono desumibili dai
conti correnti della Tesoreria centrale dello Stato intestati agli enti decentrati destinatari del
gettito. I dati sono lordi di rimborsi e compensazioni.
L'aggregato analizzato comprende il gettito dell'Ilor no al 1997 e, a partire dal 1998,
quello delle suddette imposte locali. L'aggregato presenta pertanto una discontinuità nel 1998
per effetto della riforma; si è preferito trattare tale discontinuità con apposite variabili di
comodo nelle analisi econometriche piuttosto che correggere le serie, trattandosi di imposte
quantitativamente importanti, possibili errori di misurazione avrebbero avuto effetti rilevanti.
Tra le imposte indirette non sono invece stati considerati i proventi del Lotto e delle
Lotterie che nel bilancio dello Stato sono riportati al lordo delle vincite corrisposte (classi cate
tra le uscite). I proventi lordi del lotto e delle lotterie rappresentano un'entrata per lo Stato con
una dinamica per sua natura aleatoria.
In questo lavoro, relativamente alle principali imposte dirette (Ires e Irpef, sia per la
parte prelevata attraverso le ritenute sui redditi dei lavoratori dipendenti, sia per quella versata
in autotassazione), è stato ricostruito il gettito di competenza economica, ottenuto per ciascun
anno sommando agli acconti versati nel corso dell'anno, il saldo versato nell'anno successivo
(a gennaio relativamente alle ritenute Irpef, nell'estate per l'Ires e l'autotassazione Irpef).
L'accisa sugli oli minerali è stata reintegrata della quota che, a partire dal 1996, viene devoluta
alle Regioni.
La correzione delle serie per tenere conto degli interventi discrezionali è avvenuta
aggiungendo in ciascun anno, al dato del gettito (già comprendente gli effetti delle modi che
introdotte nell'anno stesso) gli effetti cumulati delle modi che intercorse tra l'anno osservato e
il 2006. Gli effetti delle manovre sono stati portati indietro nel tempo utilizzando come tasso di
sconto, il tasso di incremento del gettito dell'imposta alla quale i provvedimenti si riferivano
(al netto di effetti una tantum), in maniera da non alterare la dinamica dell'imposta se non
25
nell'anno di introduzione della modi ca; un esempio può essere utile a chiarire la metodologia:
il dato relativo all'Irpeg del 1993 è stato corretto aggiungendo, al dato del gettito effettivo
dell'anno, gli effetti dei provvedimenti in materia di Irpeg introdotti negli anni successivi che
hanno portato alla struttura del 2006 scontati ogni anno con il tasso di incremento annuale
dell'Irpeg (al netto di eventuali effetti una tantum). La correzione per gli interventi di natura
temporanea ha riguardato invece solo gli anni interessati da tali provvedimenti. L'entità delle
correzioni sono riportate nella tavola 1.
Appendice 2
Modelli strutturali di serie storiche
Il modello base utilizzato in questo lavoro è quello descritto nel paragrafo 3 ed è
denominato local linear trend. In questo modello il trend deterministico
t
=
+ t
viene generalizzato supponendo che intercetta e pendenza siano processi stocastici di tipo
random walk.50 Casi particolari si veri cano quando la varianza dell'innovazione al livello o
all'inclinazione di
t
sono pari a zero: quando
del trend risulta essere costante e
stocastico; quando invece
2
t
= 0 (local level with drift), la pendenza
2
diventa la somma di un trend deterministico e di uno
= 0 (smooth trend),
t
si riduce a un processo integrato del
secondo ordine, con una inclinazione che varia lentamente nel tempo.51
La componente ciclica,
t,
è modellata combinando funzioni trigonometriche
deterministiche e perturbazioni stocastiche, in modo tale da generare in ogni periodo impulsi
oscillatori che tendono a smorzarsi nel tempo.
t
è rappresentato da un processo vettoriale
autoregressivo del primo ordine:
t
t
t
=
cos
sin
c
c
sin
cos
c
t 1
c
t 1
+
!t
!t
è una variabile di comodo che serve esclusivamente a determinare il pro lo temporale di
è il coef ciente di attenuazione dell'ampiezza ciclica;
c
t;
misura la frequenza; ! t e ! t sono
gli shock che aggiungono erraticità all'andamento oscillatorio indotto dalle funzioni seno e
coseno.52 Af nché il modello sia identi cabile, è necessario assumere che Et
1
(! t j ! t ) = 0
50
Se si assume che t = t 1 + t e t = t 1 + t , il trend lineare può essere anche scritto nel modo
seguente: t = t 1 + t + t t + t 1 : Per rendere meno erratico l'andamento della serie, il termine t t viene
eliminato e in tal modo si ottiene un'espressione identica a quella utilizzata per t nel paragrafo 3.
51
Quando
t
P
0 + 0t +
j=1
= 0, il trend è pari alla somma di una funzione lineare in t e di un random walk: t =
j
tP1 P
2
= 0, allora t = 0 + 0 t +
j . Quando invece
l . La presenza di due radici unitarie
2
j=1 l=1
riduce l'erraticità della componente stocastica del trend, mentre il ritardo di un periodo nell'indice temporale
dell'innovazione l lo rende predeterminato.
52
Per comprendere l'equazione di transizione di t è opportuno partire dalla funzione trigonometrica cos t+
sin t, che descrive un moto oscillatorio di frequenza, ampiezza e fase costanti. Se (i) si eliminano le componenti stocastiche, (ii) si pone = 0 e (iii) si usano come condizioni iniziali 0 = e 0 = , l'equazione
vettoriale indicata nel testo ha come prima componente la funzione deterministica t = cos t + sin t.
Quando 0 < < 1, l'equazione diventa t = t [ cos t + sin t] : L'aggiunta dei termini di errore ! t e ! t
consente di introdurre erraticità nella componente ciclica e di evitare che essa si azzeri progressivamente, quando
il fattore di attenuazione assume valori inferiori all'unità.
27
per qualsiasi valore di j oppure che Et
1
(! t ) = Et
1
(! t ) =
2
!:
in genere si ipotizza che
entrambe le condizioni siano soddisfatte, riducendo così il numero degli iperparametri del
modello.
Poiché sia la componente ciclica sia quella di trend sono processi markoviani, il modello
possiede una rappresentazione nello spazio degli stati; l'equazione di transizione è:
2
t
6
6
4
t
t
t
3
7
7
5
| {z }
t
2
1
6 0
6
= 4 0
0
|
1
1
0
0
0
0
0
0
cos c sin
sin c cos
{z
T
mentre quella di misurazione è:
c
c
3 2
7 6
7 6
5 4
} |
2
t
6 t
6
1 0 1 0
{z
} 4 t
yt = |
Z
t
| {z
t
dove
t
T
t
=
t
!t !t
t
t
T
t
t
t 1
3
2
t
7
6 t
7
6
5
t 1
+ 4 !t
!t
t 1
{z }
| {z
t 1
t 1
3
7
7
5
t
+ "t = Z
t
3
7
7
5 =T
t 1
+
t
}
+ "t
}
rappresenta il vettore delle variabili di stato e
t
=
quello delle innovazioni. Per ragioni di identi cabilità e parsimonia,
T
t t
in genere si ipotizza che la matrice di varianze e covarianze E
= Q sia diagonale.
Quando gli errori hanno una distribuzione gaussiana, il ltro di Kalman consente di calcolare
la funzione di verosimiglianza e stimare il valore degli iperparametri del modello. Indicando
con
tjt 1
e con Ptjt
1
la stima della media e della varianza del vettore degli stati condizionata
all'informazione disponibile at tempo t
dall'espressione Z
t
1, l'errore di previsione vt
yt
ytjt
1
è dato
+ "t , la cui varianza è pari a Ft = ZPtjt 1 Z T + Q. La
tjt 1
funzione di verosimiglianza logaritmica è data quindi dall'espressione
ln L (#) =
dove #
2
";
2
;
2
;
2
!;
;
c
T
ln 2
2
1X
ln jFt j
2 t=1
T
1 X vt2
2 t=1 Ft
T
indica il vettore dei parametri. In genere, è conveniente
riparametrizzare il modello prima di procedere alla massimizzazione della funzione di
verosimiglianza, riscalando le varianze delle componenti strutturali con quella della
componente di noise dell'equazione di misurazione. Il vettore dei parametri da stimare diventa
28
#c
fq ; q ; q! ; ;
c g,
2
i
2
"
dove qi
, con i = f ; ; !g, e presenta quindi un elemento in
meno. Una volta stimato il vettore #c , la varianza dell'errore dell'equazione di misurazione si
T
P
v
bt2
ottiene dalla formula: b2" = T 1 d
.
Fb
t=d
t
La ricerca del modello che garantisce la miglior interpolazione dei dati viene fatta
analizzando le proprietà dei residui e la goodness-of- t, quest'ultima misurata con due
indicatori: (i) lo scostamento quadratico medio di "t e (ii) il coef ciente di determinazione,
calcolato sulle differenze prime. L'R2 del modello è pari a 1
q
P
1
(b
vt v)2 rappresenta l'errore standard della regressione, e
T d
delle osservazioni necessarie a inizializzare il ltro di Kalman.
P
(T d)b2
(
=
yt
T
P
t=1
2
y)
, dove b
vbt e d è il numero
La diagnostica del modello viene effettuata veri cando se l'errore di previsione vt è
normale, omoschedastico e serialmente incorrelato.
1) Per veri care se le innovazioni sono gaussiane, si usa il test proposto da Bowman e Shenton:
l'ipotesi di normalità è accettata se le osservazioni si distribuiscono in modo uniforme attorno
alla media e se il peso delle code è ridotto. La statistica di Bowman e Shenton è de nita
dall'espressione seguente:
N=
dove s = pm3 2 e k =
m3
m4
m22
(
, con ml =
(k 3)2
s2
+
6=T
24=T
1
T
T
P
(b
vt
)
)l (per l = 2; 3; 4). s e k, che stimano
t=d
rispettivamente l'asimmetria e la curtosi della distribuzione degli errori, si distribuiscono
asintoticamente come delle normali, la prima con media nulla e varianza 6=T , la seconda
con momento primo pari a 3 e momento secondo uguale a 24=T . La statistica N di Bowman
e Shenton converge asintoticamente a una
2
con due gradi di libertà e consente di ri utare
l'ipotesi di normalità se una delle due condizioni - simmetria o curtosi - non è soddisfatta.
2) Per veri care se i residui sono omoschedastici, si suddivide il campione in tre parti e si
confronta la varianza empirica degli errori nel periodo iniziale e in quello nale. La statistica
usata è:
H (h) =
T
P
e2t
t=T h+1
d+1+h
P
e2t
t=d+1
dove et =
bt
pv
Ft
rappresenta l'errore standardizzato, d sono le osservazioni necessarie per
29
inizializzare il
ltro di Kalman (pari al numero di radici unitarie usate per modellare la
componente di trend) e h =
T d
;
3
H (h) si distribuisce come una F con h; h gradi di libertà e
il test è a due code: l'ipotesi di omoschedasticità viene ri utata per valori troppo alti o troppo
bassi della statistica H (h).
3) L'assenza di correlazione seriale è sottoposta a veri ca per mezzo della statistica Q di BoxLjung
Q (P; f ) = T (T + 2)
P
X
j=1
rj2
T
j
che usa i coef cienti di autocorrelazione no all'ordine P . La statistica si distribuisce come
una
2
con un numero di gradi di libertà pari a P meno il numero degli iperparametri stimati.53
4) Una volta stimato il modello, è possibile ricostruire le serie delle innovazioni che generano
le componenti strutturali; queste, denominate residui ausiliari, possono essere utilizzate per
sottoporre a veri ca statistica il modello. Per individuare le osservazioni anomale (outliers)
o i cambiamenti di regime (structural breaks), si usano in genere i residui smoothed54
standardizzati: un valore (positivo o negativo) elevato del termine di errore dell'equazione
di misurazione segnala la presenza di un outlier, mentre valori anomali nelle innovazioni delle
variabili di stato indicano un cambiamento di regime, ovvero una modi ca permanente nel
livello o nella pendenza della serie. Un problema che complica l'uso dei residui ausiliari è
che essi risultano serialmente correlati, anche quando nel modello teorico le corrispondenti
componenti stocastiche non lo sono. Particolarmente dif cile è l'individuazione di structural
breaks nella pendenza del trend, poiché le stime presentano una elevata correlazione seriale
positiva e questo fa sì che un eventuale cambiamento di regime in uenzi non uno, ma più
valori contigui di bt . Una procedura formale per individuare outliers e structural breaks è
quella di veri care se la distribuzione empirica dei residui ausiliari è gaussiana; se l'ipotesi di
normalità viene ri utata, l'analisi gra ca dei residui consente di localizzare il periodo in cui si è
53
Nel caso di uno modello local linear trend, i parametri stimati sono 5: le tre varianze relative qi
, i = f ; ; !g, e i due coef cienti c e della componente ciclica. Il pacchetto statistico Stamp modi ca
automaticamente il parametro P in modo tale che i gradi di libertà della statistica di Box-Ljung siano gli stessi a
prescindere dal modello adottato.
2
i
2
"
54
Esistono due tecniche per ricostruire le (innovazioni delle) variabili di stato. Nel primo, le stime al tempo t
vengono condizionate alle sole osservazioni che si riferiscono a periodi precedenti, vale a dire E ( t jyt 1 ; yt 2; :::; y1 );
nel secondo, esse utilizzano l'intero campione, ovvero E ( t jyT ; yT 1; :::; y1 ), dove T rappresenta sia la numerosità campionaria, sia l'indice temporale dell'osservazione più recente. I residui ottenuti nel primo modo
vengono denominati ltered; quelli stimati sulla basa dell'informazione contenuta nell'intero campione sono
chiamati invece smoothed.
30
veri cato il cambiamento di regime o è apparsa un'osservazione anomala. Harvey e Koopmans
(1992) indicano quali sono i fattori di correzione da applicare ai momenti campionari dei
residui ausiliari per tenere conto della correlazione seriale delle stime e per garantire che la
distribuzione asintotica delle statistiche usate nei test di curtosi e normalità sia effettivamente
una
2
. Poiché si può dimostrare che per i momenti campionari dal secondo al quarto ordine
vale la proprietà che
p
dove l = 2; 3; 4 e (l) =
1
P
T ml ! N
l ; l!
(l)
2l
, il test di curtosi diventa
l 55
= 1
K=
(k 3)2
24 (4) =T
e quello di normalità si modi ca in
s2
(k 3)2
N=
+
6 (3) =T
24 (4) =T
La scelta del modello
La scelta del modello ottimale per ciascuna delle 6 serie tributarie è effettuata
confrontando 4 speci cazioni alternative. Partendo dalla formulazione più generale, in cui
tutte le componenti - ciclo, livello e pendenza del trend - sono stocastiche, si sottopone a
veri ca l'ipotesi che alcuni degli shock possano essere di tipo degenere. Le speci cazione
messe a confronto sono: (1) il modello generale; (2) quello in cui la pendenza del trend
è non stocastica (
2
&
= 0); (3) quello in cui il livello di
quello senza componente ciclica (
2
=
2
t
è
sso (
2
= 0); (4)
= 0).56 Il criterio di selezione si basa sulla
massimizzazione della goodness-of- t e sulla minimizzazione del numero dei parametri da
stimare. La precisione del modello viene misurata dall'errore standard e dal coef ciente di
determinazione. I confronti diretti tra speci cazioni alternative, per decidere se le componenti
55
Il valore di (l) =
1
P
l
può essere calcolato analiticamente solo nei modelli più semplici. In generale
= 1
è necessario fare ricorso ad algoritmi di tipo numerico. Koopman (1993) contiene una descrizione di alcune delle
procedure di calcolo più diffuse.
56
Il modello con pendenza non-stocastica ( 2& = 0) viene usualmente indicato con il nome local level with
drift; quello in cui il livello è sso ( 2 = 0) è invece denominato smooth trend.
31
strutturali sono di tipo deterministico o stocastico, sono invece dif cili da effettuare, perché
in genere comportano che uno o più coef cienti del modello non siano punti interni dello
spazio parametrico, violando una delle condizioni di regolarità necessarie af nché lo stimatore
di massima verosimiglianza converga a una distribuzione normale e i test di massima
verosimiglianza si distribuiscano asintoticamente come delle
2
. I test dei moltiplicatori
di Lagrange, che non risentono di questo inconveniente, hanno però una scarsa potenza, in
quanto non tengono conto del fatto che l'ipotesi alternativa è unidirezionale. Per i confronti
tra modelli esiste una classe di test che è (localmente) invariante e ottima, ma essa si basa su
una distribuzione non standard (Cramer-von Mises) e richiede tabulazioni ad-hoc.
Come si è detto nel pagrafo 3.1, in alcuni casi la speci cazione del modello è stata
modi cata aggiungendo variabili di comodo. In presenza di intervention dummies, il modello
di scomposizione diventa il seguente:
yt =
t
+
t
+ dt + " t
dove dt rappresenta il vettore di variabili di comodo. Quando le serie sono espresse in
logaritmi, la correzione risulta proporzionale al gettito dell'imposta; quando sono messe in
relazione con la base imponibile, essa è proporzionale a quest'ultima.
La rappresentazione nello spazio degli stati di un modello con intervention dummies ha
come equazione di transizione
2
6
6
6
6
4
t
t
t
t
t
3
2
7 6
7 6
7=6
7 6
5 4
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
cos
sin
0
c
c
0
0
sin
cos
0
c
c
0
0
0
0
1
e come equazione di misurazione
yt =
76
76
76
76
54
2
2
";
2
2
t
3
7
7 6
7 6 t 7
7 + 6 !t 7
7
7 6
5 4 !t 5
0
t 1
t 1
t 1
t 1
7
7
7 + "t
7
5
t
t
t
t
;
3
t 1
3
t
6
6
6
6
4
1 0 1 0 dt
Il vettore dei parametri incogniti diventa #
32
2
;
2
!;
;
c;
. Iterando il ltro di
Kalman si ottengono il valore e la varianza degli errori di previsione: nell'ipotesi che essi
32
siano distribuiti normalmente, è possibile costruire la funzione di verosimiglianza e stimare il
vettore di parametri #.
L'analisi è stata effettuata sulle sei componenti del prelievo e per tutte le tre de nizioni
(gettito effettivo, gettito al netto delle imposte una tantum, gettito corretto); per ciascuna
variabile è stata considerata sia la trasformata logaritmica, sia l'aliquota implicita, arrivando
quindi a un totale di 36 modelli stimati. Le tavole dalla 1a alla 1c presentano i risultati della
stima per le sei voci di entrata. La 1a si riferisce alle serie del gettito effettivo; la 1b a quelle
corrette per le una tantum; la 1c alle serie aggiustate anche per gli interventi discrezionali. In
aggiunta a quanto già detto nel paragrafo 3.2, dalle tavole 1a-1c risultano evidenti i seguenti
risultati:
(i) quando le serie sono espresse in scala logaritmica, la speci cazione che garantisce
il miglior tting è quella in cui
= 0 (smooth trend) e il trend è un processo integrato del
secondo ordine. Unica eccezione è la serie delle imposte indirette calcolate al netto delle
misure discrezionali, in cui è il modello senza restrizioni a minimizzare lo standard error
della regressione e a massimizzare l'Rd2 . Il modello smooth trend ben si adatta a processi
il cui tasso di crescita si modi ca lentamente nel tempo e quindi non è sorprendente che
questa speci cazione colga, meglio di altre, l'effetto sul gettito tributario del lento processo
di disin azione e del graduale rallentamento del tasso di crescita dell'attività produttiva,
fenomeni che hanno interessato l'economia italiana nell'ultimo quarto di secolo;
(ii) i residui di stima risultano essere, nella maggior parte dei casi, normali e non
autocorrelati. Le proprietà statistiche degli errori sembrano deteriorarsi quando le serie
vengono depurate dalle misure una tantum e da quelle permanenti: due volte l'evidenza
empirica mostra sintomi di correlazione seriale (imposte indirette e ritenute alla fonte sui
redditi da lavoro dipendente) e due volte indica non normalità dei residui (IVA e ritenute alla
fonte sui redditi da lavoro dipendente). Dato il numero di modelli stimati, la frequenza dei casi
in cui l'ipotesi di nullità è ri utata è in linea con la dimensione (ovvero con l'errore del primo
tipo) dei test;
(iii) il valore del coef ciente di determinazione Rd2 è mediamente più elevato per le serie
logaritmiche, mentre per quelle espresse in rapporto alla base imponibile è talvolta modesto,
in particolare per IVA e Irpeg. La cosa non è sorprendente dato che le variabili che presentano
un trend risultano in genere più facili da modellare.
33
Per ciascuno dei modelli prescelti, il residuo dell'equazione di misurazione e le
innovazioni smoothed al livello e alla pendenza della componente di trend sono stati analizzati
per individuare outliers o cambiamenti di regime. Le tavole 2a e 2b contengono i risultati
dei test di normalità e curtosi condotti sui 36 modelli selezionati; le statistiche sono corrette
per tener conto dell'autocorrelazione seriale presente nelle innovazioni delle componenti
strutturali del modello. L'evidenza empirica risulta ampiamente favorevole e conferma che
i modelli stimati sono correttamente speci cati. Per nessuna serie è possibile riscontrare salti
anomali nel livello o nella pendenza della componente di trend e solo per il gettito dell'Irpef
versata dai lavoratori autonomi c'è evidenza della presenza di un outlier, che però non crea
problemi nell'identi cazione e nella stima della componente strutturale del gettito.
Riferimenti bibliogra ci
Abritta, L., D. Ballanti, R. Convenevole, C. Equizzi, e S. Pisani (2003), "Gli effetti
dell'applicazione degli studi di settore nel biennio 1998-99", Agenzia delle Entrate,
Documento di lavoro n. 2003/5.
Balassone F., D. Franco e A. Staderini (2003), "Tax poliy in EMY: a preliminary Assessment",
Tax Policy, Banca d'Italia, Roma.
Balassone F., D. Franco e S. Momigliano e D. Monacelli (2002), "Italy: Fiscal Consolidation
and its Legacy", in Banca d'Italia, The Impact of Fiscal Policy, Roma.
Banca d'Italia, Bollettino Economico, Riquadro dedicato alla manovra di bilancio dell'anno,
vari anni.
Banca d'Italia, Relazione annuale, Sezione Finanza pubblica, vari anni.
Bernasconi, M. e F. La Pecorella (2006), “I condoni nel sistema tributario italiano”, in Guerra
e Zanardi (a cura di) (2006), La nanza pubblica italiana, Rapporto 2006, Bologna, Il
Mulino.
Bouthevillain, C., P. Cour-Thimann, G. Van Den Dool , P. Hernandez de Cos, G. Langenus, M.
Mohr, S. Momigliano e M. Tujula (2001), "Cyclically adjusted Balances: an alternative
Approach", ECB Working Paper, n. 77.
Brandolini, A. (2007), "Income Inequality and Poverty in Italy: a statistical Compendium",
Mimeo.
Ceriani, V. (2006), Audizione del rappresentante della Banca d'Italia, presso la Commissione
consultiva sull'imposizione scale delle società, Roma 12 settembre 2006.
Ceriani V. F. Frasca e D. Monacelli (1992), “Il sistema tributario e il disavanzo pubblico:
problemi e prospettive”, in Il Disavanzo pubblico in Italia: natura strutturale e politiche
di rientro, Il Mulino.
Commissione europea (2008), Public nance in EMU.
Convenevole, R. e S. Pisani (2003), "Le basi imponibili IVA. Un'analisi del periodo 19822001", Agenzia delle entrate, Documento di lavoro, n. 2003/1.
Degni, M., N. Emiliani, F. Gastaldi, G. Salvemini, C. Virno (2001), "Il riequilibrio della
nanza pubblica negli anni novanta", Studi e Note Economiche, Quaderni, n. 7.
Devereux, M. P. e A. Klemm (2004), “Why has the Corporate Tax raised so much Revenue?”,
Fiscal Studies, 25.
Devereux, M. P. e P. B. Sorenson (2006), “The Corporate Income Tax: international Trends
and Options for fundamental Reform”, European Economy Economic papers, presentato
35
al Workshop on corporation income tax competition and coordination in the European
Union, tenutosi a Bruxelles il 25 settembre 2006.
European Commission (1995), "The Commission Services Method for cyclical Adjustment of
Government Budget Balance", Technical Note, European Economiy, 6.
Fox, W. F e C. Campbell (1984), "Stability of the State Sales Tax Income Elasticity", National
Tax Journal, 37, 2.
Franco, D. (2006), “La nanza pubblica italiana: alcuni elementi di ri essione”, in Brosio, G.
e G. Muraro (2006) Il nanziamento del settore pubblico, Milano, Franco Angeli.
Gennari, E. , G. Maurizi e A. Staderini (2005), "Estimating the Reactivity of Investment to Tax
Changes: the Case of Italy in the Ninethies", Politica Economica, 2005, n. 3.
Ginebri, S., B. Maggi e M. Turco (2005), "The automatic Reaction of the Italian Government
Budget to Fundamentals: an econometric Analyses", Applied Economics, 2005, 37.
Giorno, C., P. Richardson, D. Roseveare e P. Van Den Noord (1995), Estimating potential
Output, Output Gaps and structural Balances", OECD Economics Department Working
Paper, 152.
Groves, H,.M. e C. H. Kahn (1952), "The Stability of State and Local Tax Yields", American
Economic Review, 52, 1.
Harvey, A.C. (1989), Forecasting, Structural Time Series Models and the Kalman Filter,
Cambridge University Press, Cambridge.
Harvey, A.C. e S.J. Koopman (1992), “Diagnostic Checking of Unobserved-Components Time
Series Models”, Journal of Business and Economic Statistics, vol.10 no.4.
Koopman, S.J. (1993), Disturbance smoother for state space models, Biometrika, vol.80.
Kremer, I., C. R. Braz, T. Brosen, G. Langenus, S. Momigliano, S. Spolander (2006), "A
disaggregated framework for the analysis of structural developments in public nances",
ECB Working Paper n. 579.
Longobardi, E. (2001), “Vent'anni dopo ovvero la lunga marcia degli studi di settore”, Il Fisco,
n. 34.
Marigliani, M. e S. Pisani (2007), "Le basi imponibili IVA. Aspetti generali e principali
risultati per il periodo 1980-2004", Agenzia delle Entrate, Documento di lavoro 2007/7.
Marino, M.R., G. Messina e A. Staderini (2007), “Gli effetti redistributivi della riforma
dell'imposta sul reddito degli anni 2003-2005”, in Povertà e lavoro, Ravati G., (ed),
Carocci, Roma.
Marino M.R., S. Momigliano e P. Rizza (2008), "I conti pubblici nel decennio 1998-2007:
fattori temporanei, tendenze di medio periodo, misure discrezionali", Banca d'Italia,
Questioni di Economia e Finanza (occasional paper), n. 15.
36
Marino, M.R.e A. Staderini (2006), “The Personal Income Tax in Italy: what Legacy from
the 2003-05 Reform?” presentato al Convegno Assessing the impact of tax reforms
organizzato dal Banco de Espana, 28 Settembre 2006, Madrid.
Martinez-Montgay, L. A. Masa Lasierra e J. Yaniz Igal (2007), "Asset Booms and Tax
Receipts: the Case of Spain, 1995-2206", DG ECFIN.
Momigliano, S. e A. Staderini (1999), "A new Method of Assessing the Structural Budget
Balance: Results for the Years 1995-2000", Banca d'Italia, Indicators of structural
budget balance, Roma.
Monacelli, D., A. Staderini e S. Zotteri (2001), "Il contributo alla crescita della tassazione dei
redditi da capitale: un'analisi del caso italiano", in Bordignon, M. e D. Da Empoli (ed),
Politica scale, essibilità dei mercati e crescita, Franco Angeli, Milano.
Morcaldo, G. (2005), Una politica economica per la crescita, Milano, Franco Angeli.
Morris, R. e L. Schuknecht (2007), "Structural Balances and Revenue Windfalls", ECB
Working paper series, n. 737, March 2007.
Santoro, A. (2006), “Evasione e studi di settore. Quali risultati? Quali prospettive?”, in Guerra
e Zanardi (a cura di) (2006), La nanza pubblica italiana, Rapporto 2006, Bologna il
Mulino.
Sobel, R. S e R. G. Holcombe (1996), "Measuring the Growth and Variability of Tax Bases
over the Business Cycle", National Tax Journal, 49, 4.
Spaventa, L. e V. Chiorazzo (2000), Astuzia o virtù? Come accadde che l'Italia fu ammessa
all'Unione Monetaria, Roma, Donzelli.
Staderini, A. (2001), "Tax Reforms to in uence Corporate Financial Policy: the Case of the
Italian Business Tax Reform of 1997-98", Temi di Discussione della Banca d'Italia, n.
423.
Swiston, A., M. Muhleisen e K. Mathai (2007), "US Revenue Surprises: are happy Days here
to stay?", IMF Working Paper, WP/07/143.
Visco, V. (1984), "Disfunzioni e iniquità dell'Irpef e possibili alternative:un'analisi del
funzionamento dell'imposta sul reddito in Italia nel periodo 1977-83", Gerelli, E. e R.
Valiani (ed), La crisi dell'imposizione progressiva sul reddito, Franco Angeli.
Wolswijk, G. (2007), “Short and Long Run Tax Elasticità. The case of Netherlands.” ECB
Working paper series, n. 763, June 2007.
Tavola 1 - Effetti delle misure discrezionali
(valori a prezzi correnti; in miliardi di euro)
Misure con effetti
temporanei
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Misure con effetti permanenti
Totale
di cui
riguardanti
imposte
permanenti
Totale
Dirette (1)
Ritenute
Irpef lavoro
dip.
Irpef in
autotassazione (1)
Irpeg/Ires (1)
Totale
Indirette (2)
IVA
0,3
0,0
0,0
0,0
2,5
4,3
1,2
0,5
0,3
0,1
2,3
0,9
0,2
4,4
15,3
7,8
4,7
10,0
8,1
14,3
7,8
1,6
1,0
9,3
9,3
17,3
19,5
2,2
8,9
0,2
0,0
0,0
0,0
0,3
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
1,9
0,0
0,0
1,3
0,0
0,0
1,3
0,7
1,8
3,1
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
1,1
0,0
2,4
0,2
0,0
0,0
0,0
-0,1
-1,2
1,8
1,8
-2,0
0,0
0,5
-2,3
-0,4
-0,1
8,4
-1,2
0,9
1,0
1,1
0,0
7,4
0,0
-8,8
-5,9
-2,5
-8,4
0,7
-2,1
4,7
0,0
0,0
0,0
0,0
-0,5
-1,9
0,0
0,0
-2,2
0,0
-0,6
-3,1
-1,0
-0,2
3,7
0,0
0,0
0,0
-0,5
0,0
3,0
0,0
-5,4
-1,9
-1,3
-4,3
0,0
-4,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
-0,5
0,0
0,8
-0,3
0,0
0,0
0,2
0,0
0,6
3,5
0,0
0,0
0,5
0,3
0,0
1,9
0,0
-3,4
-1,0
-1,0
-2,1
0,8
-0,9
1,7
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,5
0,8
0,0
0,0
0,0
0,0
0,8
0,0
0,3
1,2
0,5
0,9
0,5
1,4
0,0
1,5
0,0
0,0
-0,8
0,0
-1,7
0,0
2,8
3,0
0,6
0,4
0,4
0,4
1,5
5,4
0,5
0,8
3,2
1,3
4,3
4,6
5,1
5,4
1,8
0,6
1,3
4,5
1,9
0,7
3,6
0,0
-0,7
-0,4
0,0
0,2
0,0
1,6
0,0
0,2
0,0
0,3
0,3
0,4
2,5
0,0
0,4
0,5
0,5
2,3
2,1
0,0
0,3
0,0
1,1
0,6
1,9
0,0
0,4
3,6
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
Fonte: per le misure permanenti e per quelle temporanee riguardanti le imposte permanenti elaborazioni su informazioni tratte dalle note
tecniche di accompagnamento delle manovre (cfr. Bollettino economico Banca d'Italia, vari anni) incrociate con valutazioni ex post tratte da
Relazione Banca d'Italia (vari anni) e Morcaldo (2005). Per le imposte di natura temporanea Rendiconto generale dello Stato.
(1) Relativamente all'Irpef versata in autotassazione e all'Irpeg gli effetti sono stati ricostruiti coerentemente con la metodologia utilizzata in
questo lavoro che ricostruisce l'imposta di competenza sommando per ciascuno anno agli acconti dell'anno il saldo versato nell'anno
successivo. (2) Non include gli effetti delle misure su lotto e lotterie perché non incluse nell'aggregato di entrate analizzato in questo lavoro.
Tavola 2a - Selezione del modello con miglior adattamento ai dati
(serie ufficiali del bilancio dello stato)
serie in scala logaritmica
σ
R
2
d
Q
serie in rapporto alla base imponibile
Norm
σ
R2 d
Q
Norm
Imposte dirette
LLTM
0.051
0.770
10.354
2.394
0.006
0.577
12.260
2.985
σ ς =0
0.077
0.417
8.701
0.088
0.006
0.614
4.931
3.628
σ η =0
0.051
0.770
6.249
2.394
0.006
0.577
5.998
2.985
σ ω =σ ω* =0
0.059
0.693
6.727
0.970
0.006
0.530
6.320
0.787
LLTM
0.042
0.650
4.782
0.413
0.006
0.392
5.621
0.173
σ ς =0
0.063
0.199
4.806
1.681
0.006
0.392
3.186
0.173
σ η =0
0.042
0.650
4.156
0.413
0.006
0.449
3.303
0.078
σ ω =σ ω* =0
0.047
0.549
4.445
0.478
0.006
0.392
2.427
0.173
LLTM
0.043
0.819
6.717
0.826
0.007
0.582
8.222
1.273
σ ς =0
0.087
0.270
8.684
2.261
0.006
0.601
8.129
2.199
σ η =0
0.043
0.819
5.636
0.826
0.007
0.522
6.914
1.384
σ ω =σ ω* =0
0.047
0.787
4.963
2.711
0.007
0.503
3.969
2.274
LLTM
0.089
0.439
4.194
3.461
0.003
0.398
4.516
0.198
σ ς =0
0.108
0.171
6.109
1.117
0.003
0.292
7.809
0.096
σ η =0
0.086
0.475
2.986
2.343
0.003
0.380
5.123
0.341
σ ω =σ ω* =0
0.089
0.439
2.795
3.461
0.003
0.285
5.583
0.116
LLTM
0.081
0.533
7.366
1.542
0.002
0.518
6.033
0.529
σ ς =0
0.089
0.438
6.949
0.341
0.002
0.518
4.654
0.529
σ η =0
0.080
0.546
5.073
1.505
0.002
0.518
4.654
0.529
σ ω =σ ω* =0
0.095
0.366
6.091
1.625
0.003
0.169
7.471
0.855
Imposte indirette
Ritenute (lav. dip.)
Irpef (lav. autonomi)
Irpeg/Ires
IVA
LLTM
0.048
0.568
6.563
3.746
0.003
0.230
3.692
4.780
σ ς =0
0.072
0.049
4.496
4.397
0.003
0.230
3.246
4.780
σ η =0
0.046
0.611
4.634
4.563
0.004
0.025
1.879
4.922
σ ω =σ ω* =0
0.054
0.455
2.310
0.925
0.004
0.029
3.760
2.291
Per ciascuna delle 6 voci di entrata vengono stimati 4 modelli strutturali univariati e viene evidenziato in rosso quello che
garantisce il miglior adattamento ai dati. Nella prima sezione la variabile endogena è espressa in forma logaritmica; nella
seconda è messa in rapporto a una proxy macroeconomica della base imponibile. Le equazioni in entrambi i casi sono stimate
sul periodo 1978-2006. LLTM indica il modello local linear trend senza restrizioni; σς=0 indica quello in cui la pendenza è
costante; ση=0 si riferisce al caso in cui il trend è un processo I(2); la restrizione σω=σω*=0 elima il ciclo dalla scomposizione
della serie. Per valutare le proprietà statistiche di ciascun modello vengono considerate 4 statistiche: lo standard error della
regressione; il coefficiente di determinazione; il test di autocorrelazione di Box-Ljung; il test di Doornik e Hansen di normalità. I
test di autocorrelazione e normalità si distribuiscono asintoticamente come χ2 con 6 e 2 gradi di libertà; per α=.05 i rispettivi
valori critici sono 12.6 e 5.99.
Tavola 2b - Selezione del modello con miglior adattamento ai dati
(serie corrette per tener conto degli sfasamenti temporali, delle imposte abolite e delle una-tantum )
serie in scala logaritmica
σ
R
2
d
Q
serie in rapporto alla base imponibile
Norm
σ
R2 d
Q
Norm
Imposte dirette
LLTM
0.049
0.752
7.055
1.667
0.005
0.444
6.200
0.314
σ ς =0
0.075
0.403
5.729
0.189
0.005
0.506
5.510
0.216
σ η =0
0.049
0.752
6.805
1.667
0.005
0.444
5.943
0.314
σ ω =σ ω* =0
0.056
0.674
8.732
3.357
0.006
0.317
10.453
0.637
LLTM
0.039
0.675
8.762
1.623
0.005
0.624
5.559
2.158
σ ς =0
0.065
0.089
7.189
1.380
0.006
0.469
2.421
0.191
σ η =0
0.039
0.675
6.637
1.623
0.005
0.489
2.567
0.118
σ ω =σ ω* =0
0.044
0.589
5.387
0.717
0.006
0.469
2.159
0.191
LLTM
0.043
0.820
6.819
0.729
0.007
0.586
7.772
1.246
σ ς =0
0.094
0.157
9.707
6.648
0.006
0.604
7.550
2.479
σ η =0
0.043
0.820
5.588
0.729
0.007
0.526
6.274
1.297
σ ω =σ ω* =0
0.047
0.790
4.980
2.827
0.007
0.511
3.736
2.487
LLTM
0.089
0.439
4.194
3.461
0.003
0.398
4.516
0.198
σ ς =0
0.108
0.171
6.109
1.117
0.003
0.292
7.809
0.096
σ η =0
0.086
0.475
2.986
2.343
0.003
0.380
5.123
0.341
σ ω =σ ω* =0
0.089
0.439
2.795
3.461
0.003
0.285
5.583
0.116
LLTM
0.083
0.524
6.074
1.832
0.002
0.548
6.258
0.543
σ ς =0
0.092
0.406
6.942
0.360
0.002
0.548
5.278
0.543
σ η =0
0.082
0.528
4.482
1.450
0.002
0.548
5.278
0.543
σ ω =σ ω* =0
0.092
0.409
4.800
2.615
0.003
0.258
7.389
1.335
IVA
LLTM
σ ς =0
0.049
0.560
5.378
5.132
0.004
0.185
5.118
3.596
0.066
0.199
6.902
7.217
0.004
0.030
5.279
1.292
σ η =0
0.049
0.560
5.737
5.133
0.004
0.012
4.260
1.681
σ ω =σ ω* =0
0.056
0.419
4.635
2.261
0.004
0.030
5.061
1.292
Imposte indirette
Ritenute (lav. dip.)
Irpef (lav. autonomi)
Irpeg/Ires
Per ciascuna delle 6 voci di entrata vengono stimati 4 modelli strutturali univariati e viene evidenziato in rosso quello che
garantisce il miglior adattamento ai dati. Nella prima sezione la variabile endogena è espressa in forma logaritmica; nella
seconda è messa in rapporto a una proxy macroeconomica della base imponibile. Le equazioni in entrambi i casi sono stimate
sul periodo 1978-2006. LLTM indica il modello local linear trend senza restrizioni; σς=0 indica quello in cui la pendenza è
costante; ση=0 si riferisce al caso in cui il trend è un processo I(2); la restrizione σω=σω*=0 elima il ciclo dalla scomposizione
della serie. Per valutare le proprietà statistiche di ciascun modello vengono considerate 4 statistiche: lo standard error della
regressione; il coefficiente di determinazione; il test di autocorrelazione di Box-Ljung; il test di Doornik e Hansen di normalità. I
test di autocorrelazione e normalità si distribuiscono asintoticamente come χ2 con 6 e 2 gradi di libertà; per α=.05 i rispettivi
valori critici sono 12.6 e 5.99.
Tavola 2c - Selezione del modello con miglior adattamento ai dati
(serie corrette per tener conto delle imposte temporanee e delle misure discrezionali )
serie in scala logaritmica
σ
R
2
d
Q
serie in rapporto alla base imponibile
Norm
σ
R2 d
Q
Norm
Imposte dirette
LLTM
0.055
0.708
8.381
0.511
0.005
0.536
7.725
0.702
σ ς =0
0.076
0.443
10.827
1.252
0.005
0.536
6.692
0.702
σ η =0
0.055
0.708
7.876
0.511
0.006
0.453
7.314
1.311
σ ω =σ ω* =0
0.066
0.581
5.986
1.634
0.006
0.392
5.796
0.878
LLTM
0.034
0.664
10.169
0.388
0.005
0.539
16.199
0.553
σ ς =0
0.051
0.256
10.221
0.588
0.006
0.421
9.369
0.555
σ η =0
0.036
0.634
8.073
0.581
0.005
0.539
13.878
0.553
σ ω =σ ω* =0
0.036
0.632
8.022
0.551
0.006
0.440
9.426
0.724
LLTM
0.058
0.693
10.436
0.951
0.007
0.421
17.719
10.334
σ ς =0
0.088
0.305
7.701
1.892
0.007
0.471
13.608
8.799
σ η =0
0.058
0.693
9.415
1.444
0.007
0.433
10.320
5.335
σ ω =σ ω* =0
0.065
0.624
4.786
0.527
0.008
0.348
9.815
14.274
LLTM
0.089
0.439
4.194
3.461
0.002
0.586
9.514
8.857
σ ς =0
0.108
0.171
6.109
1.117
0.002
0.586
9.278
8.857
σ η =0
0.086
0.475
2.986
2.343
0.002
0.588
7.771
3.512
σ ω =σ ω* =0
0.089
0.439
2.795
3.461
0.002
0.477
7.118
9.499
LLTM
0.083
0.524
6.074
0.183
0.003
0.172
4.902
3.620
σ ς =0
0.092
0.406
6.942
0.360
0.003
0.172
4.661
3.620
σ η =0
0.082
0.528
4.482
1.450
0.003
0.171
3.468
1.111
σ ω =σ ω* =0
0.092
0.409
4.800
2.615
0.003
0.172
3.213
3.620
Imposte indirette
Ritenute (lav. dip.)
Irpef (lav. autonomi)
Irpeg/Ires
IVA
LLTM
0.048
0.501
6.336
1.002
0.004
0.188
5.045
6.106
σ ς =0
0.065
0.090
2.401
12.449
0.004
0.028
3.252
3.827
σ η =0
0.048
0.501
5.333
1.002
0.004
0.188
5.034
6.106
σ ω =σ ω* =0
0.052
0.415
2.384
2.892
0.004
0.022
2.736
3.757
Per ciascuna delle 6 voci di entrata vengono stimati 4 modelli strutturali univariati e viene evidenziato in rosso quello che
garantisce il miglior adattamento ai dati. Nella prima sezione la variabile endogena è espressa in forma logaritmica; nella
seconda è messa in rapporto a una proxy macroeconomica della base imponibile. Le equazioni in entrambi i casi sono stimate
sul periodo 1978-2006. LLTM indica il modello local linear trend senza restrizioni; σς=0 indica quello in cui la pendenza è
costante; ση=0 si riferisce al caso in cui il trend è un processo I(2); la restrizione σω=σω*=0 elima il ciclo dalla scomposizione
della serie. Per valutare le proprietà statistiche di ciascun modello vengono considerate 4 statistiche: lo standard error della
regressione; il coefficiente di determinazione; il test di autocorrelazione di Box-Ljung; il test di Doornik e Hansen di normalità. I
test di autocorrelazione e normalità si distribuiscono asintoticamente come χ2 con 6 e 2 gradi di libertà; per α=.05 i rispettivi
valori critici sono 12.6 e 5.99.
Tavola 3a - Residui ausiliari e cambiamenti di regime
(serie in scala logaritmica)
εt
ηt
ζt
N
K
N
K
N
K
gettito effettivo
0.554
0.545
●
●
0.401
0.351
gettito al netto delle una-tantum
0.021
0.002
●
●
1.727
0.537
gettito al netto delle misure permanenti
0.474
0.043
●
●
1.900
0.765
gettito effettivo
0.569
0.281
●
●
0.507
0.003
gettito al netto delle una-tantum
0.851
0.313
●
●
0.673
0.361
gettito al netto delle misure permanenti
0.504
0.453
0.928
0.037
0.613
0.577
Imposte dirette
Imposte indirette
Ritenute (lav. dip.)
gettito effettivo
0.965
0.857
●
●
0.824
0.335
gettito al netto delle una-tantum
0.896
0.779
●
●
0.833
0.321
gettito al netto delle misure permanenti
0.716
0.065
●
●
2.109
0.149
gettito effettivo
0.922
0.814
4.288
0.941
1.856
0.034
gettito al netto delle una-tantum
0.922
0.814
4.288
0.941
1.856
0.034
gettito al netto delle misure permanenti
0.922
0.814
4.288
0.941
1.856
0.034
gettito effettivo
1.048
1.043
●
●
0.762
0.759
gettito al netto delle una-tantum
0.540
0.539
●
●
0.861
0.827
gettito al netto delle misure permanenti
0.540
0.539
●
●
0.861
0.827
gettito effettivo
0.029
0.022
●
●
0.735
0.563
gettito al netto delle una-tantum
0.291
0.063
●
●
0.679
0.423
gettito al netto delle misure permanenti
0.792
0.223
●
●
0.765
0.651
Irpef (lav. autonomi)
Irpeg/Ires
IVA
La tabella presenta i valori del test di normalità (N) e curtosi (K) applicati ai residui ausiliari ottenuti scomponendo
le serie storiche del gettito tributarie in componenti strutturali. Le prime due colonne contengono i risultati relativi
alla componente idiosincratica, mentre le successive quattro si riferiscono allo shock al livello e, rispettivamente,
alla pendenza della componente di trend . Le equazioni sono stimate sul periodo 1978-2006 e, tranne i casi di
ritenute e Irpef, includono intervention dummy per modellare i cambiamenti di regime. I test di curtosi e normalità
(nella versione proposta da Bowman e Shenton) si distribuiscono asintoticamente come χ2 con 1 e 2 gradi di
libertà; per α=.05 i rispettivi valori critici sono 3.84 e 5.99, mentre per α=.01 sono 6.63 e 9.21. I valori evidenziati
in rosso con una e due stellette indicano i casi in cui il test rigetta l'ipotesi di nullità a livelli di significatività del 5 e,
rispettivamente, 1 per cento.
Tavola 3b - Residui ausiliari e cambiamenti di regime
(serie in rapporto alla base imponibile)
εt
ηt
ζt
N
K
N
K
N
K
gettito effettivo
0.738
0.505
1.287
0.043
●
●
gettito al netto delle una-tantum
0.349
0.268
0.065
0.029
●
●
gettito al netto delle misure permanenti
2.964
0.500
0.197
0.097
●
●
gettito effettivo
0.968
0.637
●
●
0.464
0.414
gettito al netto delle una-tantum
1.128
0.985
●
●
0.774
0.704
gettito al netto delle misure permanenti
0.349
0.202
●
●
0.775
0.607
Imposte dirette
Imposte indirette
Ritenute (lav. dip.)
gettito effettivo
0.555
0.550
4.062
1.258
●
●
gettito al netto delle una-tantum
0.462
0.443
4.181
1.394
●
●
gettito al netto delle misure permanenti
0.915
0.190
3.589
3.501
●
●
gettito effettivo
1.473
0.328
1.131
1.076
0.364
0.331
gettito al netto delle una-tantum
1.473
1.131
1.076
0.364
0.331
1.674
1.522
Irpef (lav. autonomi)
gettito al netto delle misure permanenti
13.839
0.328
**
11.28
**
●
●
Irpeg/Ires
gettito effettivo
1.236
0.302
0.046
0.003
●
●
gettito al netto delle una-tantum
0.408
0.238
0.061
0.035
●
●
gettito al netto delle misure permanenti
0.270
0.121
0.333
0.063
●
●
gettito effettivo
0.189
0.135
3.634
1.247
●
●
gettito al netto delle una-tantum
0.506
0.106
0.954
0.583
gettito al netto delle misure permanenti
0.651
0.237
IVA
●
●
1.710
1.580
2.162
0.840
La tabella presenta i valori del test di normalità (N) e curtosi (K) applicati ai residui ausiliari ottenuti scomponendo
le serie storiche del gettito tributarie in componenti strutturali. Le prime due colonne contengono i risultati relativi
alla componente idiosincratica, mentre le successive quattro si riferiscono allo shock al livello e, rispettivamente,
alla pendenza della componente di trend . Le equazioni sono stimate sul periodo 1978-2006 e, tranne i casi di
ritenute e Irpef, includono intervention dummy per modellare i cambiamenti di regime. I test di curtosi e normalità
(nella versione proposta da Bowman e Shenton) si distribuiscono asintoticamente come χ2 con 1 e 2 gradi di
libertà; per α=.05 i rispettivi valori critici sono 3.84 e 5.99, mentre per α = .01 sono 6.63 e 9.21. I valori evidenziati
in rosso con una e due stellette indicano i casi in cui il test rigetta l'ipotesi di nullità a livelli di significatività del 5 e,
rispettivamente, 1 per cento.
Tavola 4 -Interventi sull'Irpef e sulle imposte sostitutive sui rendimenti delle attività finanziarie
Imposte sostitutive
rendimenti attività finanziarie
Irpef
Aumento
detrazioni
carichi
familiari
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989 (3)
1990 (4)
1991 (4)
1992 (5)
1993 (6)
1994
1995 (7)
1996 (7)
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003 (7)
2004
2005 (8)
2006
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
Aumento
detrazioni
per tipo di
reddito
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
si
no
si
si
Aumento
selettivo
alcune
detrazioni
si
si
si
si
Modifica aliquote e
scaglioni
Indicatore di
progressività
(1)
Modifica
aliquota
Modifica
versamenti (8)
no
no
no
no
no
riforma struttura (2)
no
no
riforma struttura (2)
no
no
riforma struttura (2)
si
si
riforma struttura (2)
no
no
no
no
no
riforma struttura (2)
no
si
riforma struttura (2)
no
riforma struttura (2)
no
riforma struttura (2)
no
1,9
1,9
1,9
1,9
1,8
1,6
1,9
1,8
1,7
1,7
1,6
1,6
1,7
1,7
1,8
1,7
1,7
1,7
1,6
1,6
1,6
1,6
1,7
1,7
1,7
2,1
2,1
2,0
2,0
si
no
no
si
si
si
no
no
si
no
si
no
no
no
no
no
no
si
si
no
si
no
no
no
no
no
no
no
no
si
no
si
no
si
no
si
no
si
no
si
no
no
si
no
si
no
no
si
si
no
no
no
no
no
no
no
no
no
Fonte: Relazione Banca d’Italia - Appendice - Principali provvedimenti in materia economica (vari anni)
(1) E’ calcolato come media semplice degli indicatori locali di progressività (LP) calcolati per livelli puntuali di reddito di una scala dei redditi
assunta costante in termini reali; non è ponderato per la distribuzione dei redditi. (2) Questi anni sono interessati da una riforma che ha
riguardato sia le detrazioni sia la curva delle aliquote. (3) Nel 1989 viene emanato il Dl 69/1989 che stabilisce l'adeguamento automatico degli
scaglioni, delle detrazioni e dei limiti di reddito per poterne fruire negli anni in cui l'inflazione supera il 2%; entra in vigore per la prima volta nel
1990. (4) Gli anni 1990 e 1991 sono gli unici due anni in cui il meccanismo automatico di revisione sia delle detrazioni (e dei livelli di redditi per
fruirne) sia dei limiti degli scaglioni ha trovato integrale applicazione. (5) La riforma del 1992 è l'unica introdotta con la finalità di aumentare il
gettito; viene stabilita a fine 1992 e prelevata già sui redditi dello stesso anno in occasione del conguaglio di fine anno. (6) Viene stabilito che a
partire dal 1993 il meccanismo automatico di indicizzazione all'inflazione del DL 69/89 si applica solo alle detrazioni e ai livelli di reddito per
poterne fruire. Già nel 1993 la norma viene applicata solo parzialmente. (7) In questi anni la legge finanziaria deroga esplicitamente al dettato del
DL 69/89 stabilendo di destinare le risorse previste per la restituzione del drenaggio fiscale per aumentare le detrazioni per famiglie numerose
con redditi bassi. (8)L'imposta sostitutiva sugli interessi dei depositi bancari viene versata dalle banche in due acconti durante l'anno di
competenza e un saldo nell'anno successivo. La misura di questi acconti ha subito moltissime modifiche negli anni
Tavola 5a - Stima del trend delle aliquote implicite corrette
Variabile dipendente
Totale
Dirette
Costante
-0,002
(-0,118)
Ritenute
Irpef in
Irpef lavoro
autotassazione
dip.
-0,067
(-3,062)
-0,002
(-0,604)
Misura dell'output gap (settore privato)
Prezzo del petrolio
ROE delle banche italiane
Tasso di interesse
-0,000
(-6,5426)
-0,132
(-2,015)
0,115
(5,260)
0,000
(3,811)
0,146
(8,980)
-0,052
(-13,247)
0,011
(5,595)
0,011
(5,597)
0,0152
(11,816)
0,031
(11,513)
0,012
(6,629)
0,405
(4,709)
1,309
(8,973)
-0,092
(-4,294)
Investimenti della PA
0,329
(5,030)
0,962
(3,565)
0,21
(2,247)
Consumi PA/consumi privati e pubblici
Quota consumi beni durevoli
Dummy anno 1983
0,249
(7,714)
0,017
(2,938)
Dummy anno 1979
NOTE: Stime OLS. In parentesi t-ratio.
0,039
(6,452)
0,077
(3,189)
0,180
(4,129)
Quota pensioni su base Irpef
R2
test di autocorrelazione
IVA
0,076
(4,670)
Grado di progressività dell'Irpef
Quota di reddito dal 5% più ricco
Totale
Indirette
-0,047
(-1,803)
Dividendi società quotate
Inflazione per grado di progressività
Irpef
0,033
(-22,611)
0,049
(2,009)
0,005
(8,589)
Inflazione
Condoni e imposte una tantum
Irpeg/Ires
0,009
(3,242)
0,98
0,58
0,989
0,04
0,82
0,10
0,808
0,11
0,98
0,09
0,90
0,16
Tavola 5b - Stima delle aliquote implicite corrette
Variabile dipendente
Costante
Ritenute Irpef
lavoro
dipendente
Irpef versata in
autotassazione
-0,079
(-2,461)
-0,004
(-0,846)
Misura dell'output gap (settore privato)
Inflazione
Condoni e imposte una tantum
0,035
(3,610)
0,051
(1,312)
-0,000
(-6,756)
0,016
(7,831)
0,044
(3,009)
0,584
(14,857)
Dividendi società quotate
0,029
(7,429)
Grado di progressività dell'Irpef
Quota pensioni su base Irpef
0,031
(24,068)
0,052
(2,323)
-0,024
(-0,603)
ROE delle banche italiane
Quota di reddito dal 5% più ricco
IVA
0,005
(6,036)
Prezzo del petrolio
Inflazione per grado di progressività Irpef
Irpeg/Ires
0,013
(4,703)
1,276
(5,959)
-0,075
(-2,380)
Investimenti della PA
Dummy anno 1983
0,256
(4,958)
0,022
(2,539)
Dummy anno 1979
R2
Indice di autocorrelazione
NOTE: Stime OLS. In parentesi t-ratio.
0,005
(1,190)
0,98
0,21
0,710
0,007
0,94
0,14
0,78
0,10
Fig.1 - Gettito tributario, misure una tantum e permanenti nel periodo 1978-2006
27.5
Gettito tributario
misure una tantum
1.5
condoni tributari
25.0
1.0
22.5
20.0
effettivo
depurato delle una tantum
depurato delle misure una tantum e permanenti
17.5
1980
1.0
1990
2000
Misure permanenti: imposte dirette
inasprimenti del prelievo
0.5
0.5
1980
150
1990
2000
Misure permanenti: imposte indirette
sgravi
inasprimenti del prelievo
100
0.0
50
-0.5
0
1980
1990
2000
1980
1990
2000
sgravi
Fig.2a: Gettito tributario effettivo nel periodo 1978-2006
imposte dirette
imposte indirette
12
12
11
11
10
11
10
9
10
1980
10
Irpef: ritenute sul lavoro dipendente
2000
1980
Irpef: autotassazione
2000
1980
Irpeg/Ires
2000
IVA
10
11
9
9
10
8
8
7
1980
2000
9
1980
2000
NB: le serie sono rappresentate in scala logaritmica.
1980
2000
Fig.2b: Gettito tributario depurato delle misure una tantum nel periodo 1978-2006
imposte dirette
imposte indirette
12
12
11
11
10
11
10
9
10
1980
10
Irpef: ritenute sul lavoro dipendente
2000
1980
Irpef: autotassazione
2000
1980
Irpeg/Ires
2000
IVA
10
11
9
9
10
8
8
7
1980
2000
9
1980
2000
NB: le serie sono rappresentate in scala logaritmica.
1980
2000
Fig.2c: Gettito tributario depurato delle misure permanenti nel periodo 1978-2006
imposte dirette
12.0
12
imposte indirette
Irpef: ritenute sul lavoro dipendente
11
11.5
11
10
11.0
10.5
10
9
10.0
1980
10
2000
1980
Irpef: autotassazione
2000
1980
Irpeg/Ires
2000
IVA
10
11
9
9
8
10
8
7
1980
2000
1980
2000
NB: le serie sono rappresentate in scala logaritmica.
1980
2000
Fig.2d: Gettito tributario effettivo nel periodo 1978-2006
imposte indirette su consumi
imposte dirette su PIL
0.150
0.25
Irpef: ritenute (lav. dip.) su monte salari
0.225
0.20
0.125
0.200
0.15
0.100
0.175
0.10
1980
2000
1980
2000
1980
2000
0.06
Irpef: autotassazione su RLG
0.040
Irpeg/Ires su RLG
0.13
IVA su consumi
0.05
0.12
0.04
0.11
0.035
0.03
0.030
0.10
0.02
1980
2000
0.09
1980
2000
1980
2000
NB: le serie sono espresse in rapporto a variabili macroeconomiche usate come proxy della base imponibile.
Fig.2e: Gettito tributario depurato delle misure una tantum nel periodo 1978-2006
imposte dirette su PIL
0.14
imposte indirette su consumi
0.25
Irpef: ritenute (lav. dip) su monte salari
0.225
0.20
0.12
0.200
0.15
0.10
0.175
0.10
0.08
1980
2000
1980
2000
1980
2000
0.06
Irpef: autotassazione su RLG
0.040
Irpeg/Ires su RLG
0.13
IVA su consumi
0.05
0.12
0.04
0.11
0.035
0.03
0.030
0.10
0.02
1980
2000
0.09
1980
2000
1980
NB: le serie sono espresse in rapporto a variabili macroeconomiche usate come proxy della base imponibile.
2000
Fig.2f: Gettito tributario depurato delle misure permanenti nel periodo 1978-2006
0.14
0.275
imposte dirette su PIL
0.12
0.25
imposte indirette su consumi
Irpef: ritenute (lav. dip.) su monte salari
0.20
0.250
0.15
0.10
0.225
0.10
0.08
0.200
1980
0.035
2000
1980
Irpef: autotassazione su RLG
2000
Irpeg/Ires su RLG
1980
0.130
2000
IVA su consumi
0.05
0.125
0.030
0.120
0.04
0.025
0.115
0.03
0.110
0.020
1980
2000
1980
2000
1980
2000
NB: le serie sono espresse in rapporto a variabili macroeconomiche usate come proxy della base imponibile.
Fig.3a: Gettito tributario e componente di trend
ritenute
12
12
trend
11
11
11
imposte dirette
10
10
trend
9
10
imposte indirette
1980
2000
1980
trend
2000
1980
2000
10
10
Irpeg/Ires
trend
11
9
9
10
8
Irpef
IVA
trend
trend
8
7
1980
2000
9
1980
2000
NB: le serie sono rappresentate in scala logaritmica.
1980
2000
Fig.3b: Gettito tributario depurato delle misure una tantum e componente di trend
imposte dirette
trend
12
12
11
11
imposte indirette
trend
11
10
ritenute
10
9
10
1980
2000
trend
1980
2000
1980
2000
10
10
Irpeg/Ires
trend
11
9
9
10
Irpef
trend
8
IVA
trend
8
7
1980
2000
9
1980
2000
1980
NB: le serie, rappresentate in scala logaritmica, sono depurate delle una tantum
2000
Fig.3c: Gettito tributario depurato delle misure una tantum e permanenti e componente di trend
imposte dirette
12.0
trend
imposte indirette
trend
12
11
11.5
11
10
11.0
ritenute
10.5
10
trend
9
10.0
1980
2000
1980
10
10
Irpeg/Ires
2000
1980
2000
trend
11
9
9
8
Irpef
10
trend
IVA
trend
8
7
1980
2000
1980
2000
NB: le serie sono rappresentate in scala logaritmica
1980
2000
Fig.3d: Gettito tributario effettivo e componente di trend
0.175
imposte dirette
trend
trend + dummies
0.225
0.25
imposte indirette
trend
trend + dummies
0.150
0.20
0.200
0.125
0.15
0.175
ritenute
0.100
trend
0.10
1980
2000
1980
2000
1980
2000
0.06
0.13
0.040
Irpef
trend
0.05
0.12
0.04
0.035
Irpeg/Ires
trend
trend+dummies
0.11
0.03
0.030
0.10
0.02
1980
2000
0.09
1980
2000
IVA
1980
NB: le serie sono espresse in rapporto a variabili macroeconomiche usate come proxy della base imponibile
trend
2000
Fig.3e: Gettito tributario depurato delle misure una tantum e componente di trend
0.175
0.150
0.225
imposte dirette
trend
trend+dummies
0.25
imposte indirette
trend
trend+dummies
0.20
0.200
0.125
0.15
0.175
0.100
ritenute
trend
0.10
1980
Irpef
2000
1980
2000
2000
0.06
trend
0.040
0.05
0.13
Irepg/Ires
trend
trend+dummies
0.12
0.04
0.11
0.035
0.030
1980
1980
2000
0.03
0.10
0.02
0.09
1980
2000
IVA
1980
NB: le serie sono rappresentate in rapporto a una proxy della base imponibile
trend
2000
Fig.3f: Gettito tributario depurato delle misure una tantum e permanenti e componente di trend
0.275
0.150
0.25
imposte dirette
trend
trend+dummies
imposte indirette
trend
trend+dummies
0.250
ritenute
0.20
trend
0.125
0.15
0.225
0.100
0.10
0.200
0.075
1980
2000
1980
0.035
0.030
Irpeg/Ires
2000
trend
trend+dummies
1980
0.13
IVA
0.05
Irpef
trend
trend+dummies
2000
0.04
trend
0.12
0.025
0.03
0.11
0.020
1980
2000
1980
1990
2000
1980
NB: le serie sono espresse in rapporto a variabili macroeconomiche usate come proxy della base imponibile
1990
2000
Fig.4: Entrate tributarie "corrette" e gettito strutturale
(in percentuale del PIL)
27.5
27.0
gettito tributario
trend + intervention dummies
trend
26.5
26.0
25.5
25.0
24.5
24.0
23.5
1980
1985
1990
1995
2000
NB: le serie sono corrette per le misure una tantum e gli interventi discrezionali.
2005
ELENCO DEI PIÙ RECENTI “TEMI DI DISCUSSIONE” (*)
N. 670 – Credit risk and business cycle over different regimes, di Juri Marcucci e Mario
Quagliariello (Giugno 2008).
N. 671 – Cyclical asymmetry in fiscal variables, di Fabrizio Balassone, Maura Francese e
Stefania Zotteri (Giugno 2008).
N. 672 – Labour market for teachers: Demographic characteristics and allocative
mechanisms, di Gianna Barbieri, Piero Cipollone e Paolo Sestito (Giugno 2008).
N. 673 – Output growth volatility and remittances, di Matteo Bugamelli e Francesco Paternò
(Giugno 2008).
N. 674 – Agglomeration within and between regions: Two econometric based indicators, di
Valter Di Giacinto e Marcello Pagnini (Giugno 2008).
N. 675 – Service regulation and growth: Evidence from OECD countries, di Guglielmo
Barone e Federico Cingano (Giugno 2008).
N. 676 – Has globalisation changed the Phillips curve? Firm-level evidence on the effect of
activity on prices, di Eugenio Gaiotti (Giugno 2008).
N. 677 – Forecasting inflation and tracking monetary policy in the euro area: Does national
information help? di Riccardo Cristadoro, Fabrizio Venditti e Giuseppe Saporito
(Giugno 2008).
N. 678 – Monetary policy effects: New evidence from the Italian flow of funds, di Riccardo
Bonci e Francesco Columba (Giugno 2008).
N. 679 – Does the expansion of higher education increase the equality of educational
opportunities? Evidence from Italy, di Massimiliano Bratti, Daniele Checchi e
Guido de Blasio (Giugno 2008).
N. 680 – Family succession and firm performance: Evidence from Italian family firms, di
Marco Cucculelli e Giacinto Micucci (Giugno 2008).
N. 681 – Short-term interest rate futures as monetary policy forecasts, di Giuseppe Ferrero e
Andrea Nobili (Giugno 2008).
N. 682 – Vertical specialisation in Europe: Evidence from the import content of exports, di
Emanuele Breda, Rita Cappariello e Roberta Zizza (Agosto 2008).
N. 683 – A likelihood-based analysis for relaxing the exclusion restriction in randomized
experiments with imperfect compliance, di Andrea Mercatanti (Agosto 2008).
N. 684 – Balancing work and family in Italy: New mothers' employment decisions after
childbirth, di Piero Casadio, Martina Lo Conte e Andrea Neri (Agosto 2008).
N. 685 – Temporal aggregation of univariate and multivariate time series models: A survey,
di Andrea Silvestrini e David Veredas (Agosto 2008).
N. 686 – Exploring agent-based methods for the analysis of payment systems: A crisis
model for StarLogo TNG, di Luca Arciero, Claudia Biancotti, Leandro D'Aurizio e
Claudio Impenna (Agosto 2008).
N. 687 – The labor market impact of immigration in Western Germany in the 1990's, di
Francesco D'Amuri, Gianmarco I. P. Ottaviano e Giovanni Peri (Agosto 2008).
N. 688 – Agglomeration and growth: the effects of commuting costs, di Antonio Accetturo
(Settembre 2008).
N. 689 – A beta based framework for (lower) bond risk premia, di Stefano Nobili e Gerardo
Palazzo (Settembre 2008).
N. 690 – Nonlinearities in the dynamics of the euro area demand for M1, di Alessandro
Calza e Andrea Zaghini (Settembre 2008).
N. 691 – Educational choices and the selection process before and after compulsory
schooling, di Sauro Mocetti (Settembre 2008).
N. 692 – Investors’ risk attitude and risky behavior: a Bayesian approach with imperfect
information, di Stefano Iezzi (Settembre 2008).
N. 693 – Competing influence, di Enrico Sette (Settembre 2008).
(*) I “Temi” possono essere richiesti a:
Banca d’Italia – Servizio Studi di struttura economica e finanziaria – Divisione Biblioteca e Archivio storico – Via
Nazionale, 91 – 00184 Roma – (fax 0039 06 47922059). Essi sono disponibili sul sito Internet www.bancaditalia.it.
PUBBLICAZIONE ESTERNA DI LAVORI APPARSI NEI "TEMI"
2006
F. BUSETTI, Tests of seasonal integration and cointegration in multivariate unobserved component
models, Journal of Applied Econometrics, Vol. 21, 4, pp. 419-438, TD No. 476 (giugno 2003).
C. BIANCOTTI, A polarization of inequality? The distribution of national Gini coefficients 1970-1996,
Journal of Economic Inequality, Vol. 4, 1, pp. 1-32, TD No. 487 (marzo 2004).
L. CANNARI e S. CHIRI, La bilancia dei pagamenti di parte corrente Nord-Sud (1998-2000), in L. Cannari,
F. Panetta (a cura di), Il sistema finanziario e il Mezzogiorno: squilibri strutturali e divari
finanziari, Bari, Cacucci, TD No. 490 (marzo 2004).
M. BOFONDI e G. GOBBI, Information barriers to entry into credit markets, Review of Finance, Vol. 10, 1,
pp. 39-67, TD No. 509 (luglio 2004).
W. FUCHS e LIPPI F., Monetary union with voluntary participation, Review of Economic Studies, Vol. 73,
pp. 437-457 TD No. 512 (luglio 2004).
E. GAIOTTI e A. SECCHI, Is there a cost channel of monetary transmission? An investigation into the
pricing behaviour of 2000 firms, Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 38, 8, pp. 2013-2038
TD No. 525 (dicembre 2004).
A. BRANDOLINI, P. CIPOLLONE e E. VIVIANO, Does the ILO definition capture all unemployment?, Journal
of the European Economic Association, Vol. 4, 1, pp. 153-179, TD No. 529 (dicembre 2004).
A. BRANDOLINI, L. CANNARI, G. D’ALESSIO e I. FAIELLA, Household wealth distribution in Italy in the
1990s, in E. N. Wolff (a cura di) International Perspectives on Household Wealth, Cheltenham,
Edward Elgar, TD No. 530 (dicembre 2004).
P. DEL GIOVANE e R. SABBATINI, Perceived and measured inflation after the launch of the Euro:
Explaining the gap in Italy, Giornale degli economisti e annali di economia, Vol. 65, 2, pp. 155192, TD No. 532 (dicembre 2004).
M. CARUSO, Monetary policy impulses, local output and the transmission mechanism, Giornale degli
economisti e annali di economia, Vol. 65, 1, pp. 1-30, TD No. 537 (dicembre 2004).
L. GUISO e M. PAIELLA, The role of risk aversion in predicting individual behavior, In P. A. Chiappori e C.
Gollier (a cura di) Competitive Failures in Insurance Markets: Theory and Policy Implications,
Monaco, CESifo, TD No. 546 (febbraio 2005).
G. M. TOMAT, Prices product differentiation and quality measurement: A comparison between hedonic
and matched model methods, Research in Economics, Vol. 60, 1, pp. 54-68, TD No. 547
(febbraio 2005).
L. GUISO, M. PAIELLA e I. VISCO, Do capital gains affect consumption? Estimates of wealth effects from
Italian household's behavior, in L. Klein (a cura di), Long Run Growth and Short Run
Stabilization: Essays in Memory of Albert Ando (1929-2002), Cheltenham, Elgar, TD No. 555
(giugno 2005).
F. BUSETTI, S. FABIANI e A. HARVEY, Convergence of prices and rates of inflation, Oxford Bulletin of
Economics and Statistics, Vol. 68, 1, pp. 863-878, TD No. 575 (febbraio 2006).
M. CARUSO, Stock market fluctuations and money demand in Italy, 1913 - 2003, Economic Notes, Vol. 35,
1, pp. 1-47, TD No. 576 (febbraio 2006).
S. IRANZO, F. SCHIVARDI e E. TOSETTI, Skill dispersion and productivity: An analysis with matched data,
CEPR Discussion Paper, 5539, TD No. 577 (febbraio 2006).
R. BRONZINI e G. DE BLASIO, Evaluating the impact of investment incentives: The case of Italy’s Law
488/92. Journal of Urban Economics, Vol. 60, 2, pp. 327-349, TD No. 582 (marzo 2006).
R. BRONZINI e G. DE BLASIO, Una valutazione degli incentivi pubblici agli investimenti, Rivista Italiana
degli Economisti, Vol. 11, 3, pp. 331-362, TD No. 582 (marzo 2006).
A. DI CESARE, Do market-based indicators anticipate rating agencies? Evidence for international banks,
Economic Notes, Vol. 35, pp. 121-150, TD No. 593 (maggio 2006).
R. GOLINELLI e S. MOMIGLIANO, Real-time determinants of fiscal policies in the euro area, Journal of
Policy Modeling, Vol. 28, 9, pp. 943-964, TD No. 609 (dicembre 2006).
2007
S. SIVIERO e D. TERLIZZESE, Macroeconomic forecasting: Debunking a few old wives’ tales, Journal of
Business Cycle Measurement and Analysis , v. 3, 3, pp. 287-316, TD No. 395 (febbraio 2001).
S. MAGRI, Italian households' debt: The participation to the debt market and the size of the loan,
Empirical Economics, v. 33, 3, pp. 401-426, TD No. 454 (ottobre 2002).
L. CASOLARO. e G. GOBBI, Information technology and productivity changes in the banking industry,
Economic Notes, Vol. 36, 1, pp. 43-76, TD No. 489 (marzo 2004).
G. FERRERO, Monetary policy, learning and the speed of convergence, Journal of Economic Dynamics and
Control, v. 31, 9, pp. 3006-3041, TD No. 499 (giugno 2004).
M. PAIELLA, Does wealth affect consumption? Evidence for Italy, Journal of Macroeconomics, Vol. 29, 1,
pp. 189-205, TD No. 510 (luglio 2004).
F. LIPPI. e S. NERI, Information variables for monetary policy in a small structural model of the euro area,
Journal of Monetary Economics, Vol. 54, 4, pp. 1256-1270, TD No. 511 (luglio 2004).
A. ANZUINI e A. LEVY, Monetary policy shocks in the new EU members: A VAR approach, Applied
Economics, Vol. 39, 9, pp. 1147-1161, TD No. 514 (luglio 2004).
D. JR. MARCHETTI e F. Nucci, Pricing behavior and the response of hours to productivity shocks, Journal
of Money Credit and Banking, v. 39, 7, pp. 1587-1611, TD No. 524 (dicembre 2004).
R. BRONZINI, FDI Inflows, agglomeration and host country firms' size: Evidence from Italy, Regional
Studies, Vol. 41, 7, pp. 963-978, TD No. 526 (dicembre 2004).
L. MONTEFORTE, Aggregation bias in macro models: Does it matter for the euro area?, Economic
Modelling, 24, pp. 236-261, TD No. 534 (dicembre 2004).
A. NOBILI, Assessing the predictive power of financial spreads in the euro area: does parameters
instability matter?, Empirical Economics, Vol. 31, 1, pp. 177-195, TD No. 544 (febbraio 2005).
A. DALMAZZO e G. DE BLASIO, Production and consumption externalities of human capital: An empirical
study for Italy, Journal of Population Economics, Journal of Population Economics, Vol. 20, 2, pp.
359-382, TD No. 554 (giugno 2005).
M. BUGAMELLI e R. TEDESCHI, Le strategie di prezzo delle imprese esportatrici italiane, Politica
Economica, v. 23, 3, pp. 321-350, TD No. 563 (novembre 2005).
L. GAMBACORTA e S. IANNOTTI, Are there asymmetries in the response of bank interest rates to monetary
shocks?, Applied Economics, v. 39, 19, pp. 2503-2517, TD No. 566 (novembre 2005).
P. ANGELINI e F. LIPPI, Did prices really soar after the euro cash changeover? Evidence from ATM
withdrawals, International Journal of Central Banking,, Vol. 3, 4, pp. 1-22, TD No. 581 (marzo 2006).
A. LOCARNO, Imperfect knowledge, adaptive learning and the bias against activist monetary policies,
International Journal of Central Banking, v. 3, 3, pp. 47-85, TD No. 590 (maggio 2006).
F. LOTTI e J. MARCUCCI, Revisiting the empirical evidence on firms' money demand, Journal of Economics
and Business, Vol. 59, 1, pp. 51-73, TD No. 595 (maggio 2006).
P. CIPOLLONE e A. ROSOLIA, Social interactions in high school: Lessons from an earthquake, American
Economic Review, Vol. 97, 3, pp. 948-965, TD No. 596 (settembre 2006).
L. DEDOLA e S. NERI, What does a technology shock do? A VAR analysis with model-based sign restrictions,
Journal of Monetary Economics, Vol. 54, 2, pp. 512-549, TD No. 607 (dicembre 2006).
A. BRANDOLINI, Measurement of income distribution in supranational entities: The case of the European
Union, in S. P. Jenkins e J. Micklewright (eds.), Inequality and Poverty Re-examined, Oxford,
Oxford University Press, TD No. 623 (aprile 2007).
M. PAIELLA, The foregone gains of incomplete portfolios, Review of Financial Studies, Vol. 20, 5, pp.
1623-1646, TD No. 625 (aprile 2007).
K. BEHRENS, A. R. LAMORGESE, G.I.P. OTTAVIANO e T. TABUCHI, Changes in transport and non transport
costs: local vs. global impacts in a spatial network, Regional Science and Urban Economics, Vol.
37, 6, pp. 625-648, TD No. 628 (aprile 2007).
G. ASCARI e T. ROPELE, Optimal monetary policy under low trend inflation, Journal of Monetary
Economics, v. 54, 8, pp. 2568-2583, TD No. 647 (novembre 2007).
R. GIORDANO, S. MOMIGLIANO, S. NERI e R. PEROTTI, The Effects of Fiscal Policy in Italy: Evidence from
a VAR Model, European Journal of Political Economy, Vol. 23, 3, pp. 707-733, TD No. 656
(dicembre 2007).
G. BARBIERI, P. CIPOLLONE and P. SESTITO, Labour market for teachers: demographic characteristics and
allocative mechanisms, Giornale degli economisti e annali di economia, v. 66, 3, pp. 335-373, TD
No. 672 (June 2008).
E. BREDA, R. CAPPARIELLO e R. ZIZZA, Vertical specialisation in Europe: evidence from the import content
of exports, Rivista di politica economica, numero monografico, TD No. 682 (agosto 2008).
2008
P. ANGELINI, Liquidity and announcement effects in the euro area, Giornale degli Economisti e Annali di
Economia, v. 67, 1, pp. 1-20, TD No. 451 (ottobre 2002).
F. SCHIVARDI e R. TORRINI, Identifying the effects of firing restrictions through size-contingent Differences
in regulation, Labour Economics, v. 15, 3, pp. 482-511, TD No. 504 (giugno 2004).
C. BIANCOTTI, G. D'ALESSIO e A. NERI, Measurement errors in the Bank of Italy’s survey of household
income and wealth, Review of Income and Wealth, v. 54, 3, pp. 466-493, TD No. 520 (ottobre
2004).
S. MOMIGLIANO, J. HENRY e P. HERNÁNDEZ DE COS, The impact of government budget on prices:
Evidence from macroeconometric models, Journal of Policy Modelling, v. 30, 1, pp. 123-143 TD No.
523 (ottobre 2004).
L. GAMBACORTA, How do banks set interest rates?, European Economic Review, v. 52, 5, pp. 792-819, TD
No. 542 (febbraio 2005).
P. ANGELINI e A. GENERALE, On the evolution of firm size distributions, American Economic Review, v.
98, 1, pp. 426-438, TD No. 549 (giugno 2005).
S. DI ADDARIO e E. PATACCHINI, Wages and the city. Evidence from Italy, v.15, 5, pp. 1040-1061, Labour
Economics, TD No. 570 (gennaio 2006).
S. FEDERICO e G. A. MINERVA, Outward FDI and local employment growth in Italy, Review of World
Economics, v. 144, 2 , pp. 295-324, TD No. 613 (febbraio 2007).
F. BUSETTI e A. HARVEY, Testing for trend, Econometric Theory, v. 24, 1, pp. 72-87, TD No. 614
(febbraio 2007).
V. CESTARI, P. DEL GIOVANE and C. ROSSI-ARNAUD, Memory for Prices and the Euro Cash Changeover: An
Analysis for Cinema Prices in Italy, In P. Del Giovane e R. Sabbatini (eds.), The Euro Inflation and
Consumers’ Perceptions. Lessons from Italy, Berlin-Heidelberg, Springer, TD No. 619 (febbraio 2007).
J. SOUSA e A. ZAGHINI, Monetary Policy Shocks in the Euro Area and Global Liquidity Spillovers,
International Journal of Finance and Economics, v.13, 3, pp. 205-218, TD No. 629 (giugno 2007).
M. DEL GATTO, GIANMARCO I. P. OTTAVIANO e M. PAGNINI, Openness to trade and industry cost
dispersion: Evidence from a panel of Italian firms, Journal of Regional Science, v. 48, 1, pp. 97129, TD No. 635 (giugno 2007).
P. DEL GIOVANE, S. FABIANI e R. SABATINI, What’s behind “inflation perceptions”? A survey-based
analysis of Italian consumers, in P. Del Giovane e R. Sabbatini (eds.), The Euro Inflation and
Consumers’ Perceptions. Lessons from Italy, Berlin-Heidelberg, Springer, TD No. 655 (gennaio
2008).
B. BORTOLOTTI, e P. PINOTTI, Delayed privatization, Public Choice, v. 136, 3-4, pp. 331-351, TD No. 663
(aprile 2008).
R. BONCI e F. COLUMBA, Monetary policy effects: New evidence from the Italian flow of funds, Applied
Economics, v. 40, 21, pp. 2803-2818, TD No. 678 (giugno 2008).
M. CUCCULELLI, e G. MICUCCI, Family Succession and firm performance: evidence from Italian family
firms, Journal of Corporate Finance, v. 14, 1, pp. 17-31, TD No. 680 (giugno 2008).
FORTHCOMING
P. ANGELINI, P. DEL GIOVANE, S. SIVIERO e D. TERLIZZESE, Monetary policy in a monetary union: What
role for regional information?, International Journal of Central Banking, TD No. 457 (dicembre
2002).
L. MONTEFORTE e S. SIVIERO, The Economic Consequences of Euro Area Modelling Shortcuts, Applied
Economics, TD No. 458 (dicembre 2002).
L. GUISO e M. PAIELLA,, Risk aversion, wealth and background risk, Journal of the European Economic
Association, TD No. 483 (settembre 2003).
R. FELICI e M. PAGNINI, Distance, bank heterogeneity and entry in local banking markets, The Journal of
Industrial Economics, TD No. 557 (giugno 2005).
M. BUGAMELLI e A. ROSOLIA, Produttività e concorrenza estera, Rivista di politica economica, TD No.
578 (febbraio 2006).
M. PERICOLI e M. TABOGA, Canonical term-structure models with observable factors and the dynamics of
bond risk premia, Journal of Money, Credit and Banking, TD No. 580 (febbraio 2006).
E. VIVIANO, Entry regulations and labour market outcomes. Evidence from the Italian retail trade sector.,
Labour Economics, TD No. 594 (maggio 2006).
R. BRONZINI e P. PISELLI, Determinants of long-run regional productivity with geographical spillovers: the
role of R&D, human capital and public infrastructure, Regional Science and Urban Economics,
TD No. 597 (setttembre 2006).
U. ALBERTAZZI e L. GAMBACORTA, Bank profitability and the business cycle, Journal of Financial
Stability, TD No. 601 (settembre 2006).
M. BUGAMELLI, Prezzi delle esportazioni, qualità dei prodotti e caratteristiche di impresa: analisi su un
campione di imprese italiane, Economia e Politica Industriale, TD No. 634 (giugno 2007).
A. CIARLONE, P. PISELLI e G. TREBESCHI, Emerging Markets' Spreads and Global Financial Conditions,
Journal of International Financial Markets, Institutions & Money, TD No. 637 (giugno 2007).
S. MAGRI, The financing of small innovative firms: The Italian case, Economics of Innovation and New
Technology, TD No. 640 (settembre 2007).
L. FORNI, L. MONTEFORTE e L. SESSA, The general equilibrium effects of fiscal policy: Estimates for the
euro area, Journal of Public Economics, TD No. 652 (novembre 2007).
L. ARCIERO, C. BIANCOTTI, L. D'AURIZIO e C. IMPENNA, Exploring agent-based methods for the analysis of
payment systems: A crisis model for StarLogo TNG, Journal of Artificial Societies and Social
Simulation, TD No. 686 (agosto 2008).
WP/08/175
Inflation Smoothing and
the Modest Effect of VAT
in Germany
Alina Carare and Stephan Danninger
© 2008 International Monetary Fund
WP/08/175
IMF Working Paper
European Department
Inflation Smoothing and
the Modest Effect of VAT
in Germany
Prepared by Alina Carare and Stephan Danninger
Authorized for distribution by Ashoka Mody
July 2008
Abstract
This Working Paper should not be reported as representing the views of the IMF.
The views expressed in this Working Paper are those of the author(s) and do not necessarily represent
those of the IMF or IMF policy. Working Papers describe research in progress by the author(s) and are
published to elicit comments and to further debate.
Increases in German core inflation following the 2007 VAT hike were smaller than expected,
leading to speculation about delayed inflationary effects. This paper argues to the contrary
that price increases in advance of the VAT hike explain the small increase upon
implementation. We find that core inflation rose by 0.36 percentage point in the run up and
by a further 0.40 percentage point at the time of the VAT hike. Cumulatively, the tax hike
contributed to two thirds of the increase in core inflation in 2006-07 at an estimated passthrough of 73 percent. Most of the increase in 2006 was of general nature, while about one
sixth can be attributed to durable goods and items with low degree of competition.
JEL Classification Numbers: E31
Keywords: Inflation, VAT
Author’s E-Mail Address: [email protected];[email protected]
2
Contents
Page
I.
Introduction......................................................................................................................3
II.
Stylized Facts and Rationale for Inflation Smoothing.....................................................4
III. Empirical Analysis...........................................................................................................9
IV. Conclusions....................................................................................................................17
References................................................................................................................................18
Appendix..................................................................................................................................19
I.
Data ................................................................................................................................19
II.
Method ...........................................................................................................................19
III. Calculating The Effect on Core Inflation.......................................................................20
3
I. Introduction
Germany’s 3 percentage point increase in the value-added tax (VAT) rate in January 2007
was one of the largest such hikes in industrial countries. The size of the increase and the long
announcement period—about 13 months—heightened uncertainty about its likely impact on
inflation. The rate hike took also place amidst a nascent economic recovery, rapid gains in
employment, and rising oil and food prices. Taken together these developments raised the
specter of compounding inflationary pressures with lasting consequences for price stability,
yet the actual increase was much lower than feared.
Understanding the inflationary effects of Germany’s VAT hike is also of interest from an
international perspective. Because many advanced economies have experienced eroding
direct tax bases as labor and capital have become more mobile (e.g. EU Commission 2006),
many governments are considering a shift towards higher indirect taxation. Understanding
the macroeconomic implications of such a move is hence key to assessing the success of this
strategy. Most studies, which have addressed this question, could not draw information from
actual experiences and hence relied on the analysis of expectations or known behavior
(Bundesbank, 2006, Royal Bank of Scotland, 2006) or focused on effect on headline inflation
(Bundesbank, 2008), which was overlaid by ongoing food and energy-price developments.
Increases of core inflationin Germany in 2007 turned out to be more modest than expected,
but some observers remained concerned throughout 2007 that the inflationary effects could
have been delayed (e.g. Bundesbank, 2007, May bulletin, p. 54). We argue to the contrary.
The effects of the VAT rate increase were largely complete soon after implementation,
because price increases were phased in already during 2006 in anticipation of the VAT hike.
We call this effect “inflation smoothing”. As consumers brought purchases forward to avoid
the higher expected prices in 2007, suppliers were able to increase prices incrementally to
take advantage of the greater demand. This was especially the case for durable goods.
Because of this anticipatory behavior, prices rose more gradually than anticipated. This also
explains why core inflation in 2007 after January did not rise by as much as anticipated.
Overall, we find that the pass-through of higher VAT rates to consumers was rather limited.
However producers of items where demand was captive, such as durable goods, were able to
take advantage of consumption shifting.
We have reached these conclusions by using the following empirical strategy. We explore
whether the inflation dynamics among CPI items liable to the VAT hike differs from the
dynamics of non-VAT items prior and post implementation. The paper argues that any
systematic inflationary discrepancies between these two items, which cannot be accounted by
several key factors, such as shifts in demand, time-specific and seasonal effects,
administrative or policy one-off effects are likely due to the announcement of the VAT hike.
Similarly, any systematic difference at the time of implementation and post implementation
provides information about the pass-through or lagged price increases.
4
A key feature of this study is a focus on core inflation. The interest in using core rather than
headline inflation is twofold. First, VAT is primarily affecting core inflation, as it is not
applied to a vast majority of food prices, and some energy prices. Second, at least in
Germany, core inflation remains a good indicator of underlying inflation (see text chart
below) and hence serves well in gauging changes in inflation expectations.
Earlier studies on the inflation effect of VAT or other sales tax changes focused on selective
price increases and tax shifting in advanced economies (Katz and Rosen 1985; Stern 1987;
and Besley 1989). A more recent study focused on the asymmetric price responses to VAT
changes in France (Carbonnier, 2007). Therefore little is known about inflation effects during
the announcement period. Our study presents a simple, systematic way of looking at the
announcement effects of a large VAT hike. Theoretical models of inflation (Mankiw and
Reiss, 2002) and imperfect competition pinned down the intuition, while the results are
consistent with the empirical findings from price setting literature and other recent findings
of the effect of VAT on inflation in Germany (Royal Bank of Scotland, 2006, Bundebsank,
2008). Our empirical results explains well the stylized facts, and are robust to different
specification and estimation methods.
The paper is structured as follow. Section II discusses inflation and demand developments
around the time of the VAT hike and outlines the plan of our empirical analysis. Section III
calculates the rise in core inflation due to the VAT increase, identifying the timing of the
increase and the products that experienced higher-than-average price increases. Section IV
concludes.
II. Stylized Facts and Rationale for Inflation Smoothing
The 2007 VAT hike offers a unique opportunity to analyze price setting behavior in the
context of a large known price shock. The stylized facts presented below show that a
significant part of the inflation effect may have occurred in the period prior to the hike. This
is surprising, but consistent with the notion that the inflation effects were muted, because
price effects may have been spread out over a longer period of time. The reasons for price
increases in advance of the hike are discussed below. They could either be related to the
observed pattern of consumption shifting in an environment of limited competition or they
may be explained by price setting behavior in the context of an anticipated and known price
shock.
Stylized facts
The VAT hike was announced in December 2005 and ratified by Parliament in mid 2007.
The tax hike was to affect all items liable to the standard rate of 16 percent and hence did not
affect items under the reduced rate such as basic food or books and entertainment. At a full
and immediate pass-through the VAT rate increase would have implied a 2.6 percentage
point jump in prices of the affected items. With three-fifths of the items in the consumer
price index (CPI) basket affected (the VAT items), the full impact on the consumer price
index would have been 1.4 percentage points (Bundesbank, 2006). However not all
5
producers were expected to pass on the VAT increase fully to consumers, so that the actual
effect was assumed to be smaller (Royal Bank of Scotland, 2006).
Ex post, the following developments transpired:
•
Core inflation rose steadily in 2006 and then jumped in January 2007. Throughout
2007, a further rise occurred in April due to administrative increases in education
costs. Importantly, once this special effect is taken into account, core inflation in the
second half of 2007 declined significantly, pointing to a base effect related to price
increases in the second half of 2006. Throughout the year though, trends in headline
inflation overshadowed these more subtle trends. The large increase oil and food
prices worldwide in September 2007 dominated inflation trends, but is unrelated to
the VAT hike.
4.0
HICP Inflation Rates Germany
(Annual Percent Change)
3.5
3.0
Overall
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
Core without energy
and food
0.0
Jan-08
Jan-07
Jan-06
Jan-05
Jan-04
Jan-03
Jan-02
Jan-01
Jan-00
Jan-99
Jan-98
Another key stylized fact relates to German specific price developments in 2006. A
comparison of German and euro area wide inflation data shows that German prices in
2006 rose more rapidly than prices of a comparable basket of goods and services,
especially so for VAT items.
Price Increase Comparison: Germany and Euro Area (excl. Germany)
Inflation of VAT and Non-VAT Core Items
(Percent; excluding tobbaco, energy, fruit, vegetables, education, and package holidays)
3.50
Germany
Euro Area (Excl. Germany)
3.00
VAT
Jan-08
Sep-07
Jan-07
May-07
Sep-06
-0.50
May-06
-0.50
Jan-06
0.00
Jan-08
0.00
Sep-07
0.50
May-07
0.50
Jan-07
1.00
Sep-06
1.00
May-06
1.50
Jan-06
1.50
May-05
2.00
Sep-05
2.00
Sep-05
2.50
Non-VAT
2.50
May-05
3.00
Jan-05
3.50
Jan-05
•
Jan-97
Jan-96
-0.5
6
•
Developments in inflation were mirrored by developments on the demand side.
German households engaged in intertemporal consumption shifting by bringing
purchases forward. Consumption increased 2.2 percent in the last quarter of 2006
over the same period of the previous year. This increase was the strongest in
December and more pronounced for cars and other durables than for other goods and
services. As a result consumption contracted by 0.5 percent in the first quarter of
2007 (both figures in annualized terms).
12
3.0
2.5
2.0
Aggregate Consumption Growth
Rate (year on year; seasonally
adjusted)
Selected Items Consumption Growth
Rate (year on year)
9
6
1.5
3
1.0
0
0.5
Furniture, household equipment
-3
0.0
Cars and transportation
-6
-0.5
Series5
Restaurants and hotels
2007q2
2007q1
2006q4
2006q3
2006q2
2007q2
2007q1
2006q4
2006q3
2006q2
2006q1
2006q1
-9
-1.0
Taken together the above stylized facts suggest a link between change in core inflation in
2006 and the anticipated VAT rate increase. However, a recovering economy could have also
contributed to the increase in prices 2006:
•
Throughout 2006 and 2007 the output gap closed or moved into positive territory and
was accompanied by strong employment growth. Output grew faster than in the euro
area and was mainly driven by domestic investment activity and gains in net export.
•
Another potential explanation could have been a special 2006 World Cup effect,
which may have given a boost to service sector demand and potentially affected price
increases.
Both hypotheses will be explored in the empirical section. However before turning to the
econometric analysis, we first present the incentives for price smoothing.
Rationale for inflation smoothing
The long announcement period of the VAT hike offers different reasons why inflation
increased prior to the actual implementation of the rate change. Rather than deriving and
testing a specific model, this section lays out two different rationales, which are later tested.
Staggered price setting due to sticky information. In this model firms continuously update
their information sets regarding aggregate demand conditions and competitors’ prices. Since
not all firms adjust their prices every period, because gathering information and altering
7
prices is costly, price adjustments are staggered (Mankiw and Reis, 2002). 1 As a result the
announcement of the VAT hike could lead to larger than otherwise planned increases—
especially if intervals between price adjustments are large—since this minimizes the chances
that prices are misaligned in the period after the VAT hike implementation. If this motive
dominates for a large number of firms, CPI inflation should increase before the tax hike.
However, the opposite could also occur: if firms can change prices frequently, a
postponement of price increases until implementation may be optimal. Hence in this sticky
information model, announcement matters for the path of output and inflation, and the
announcement may create different incentives for price adjustment, and an inflation
smoothing path. 2 Moreover, in this model vigorous economic activity is positively correlated
with rising inflation. Hence, it is important to test both these hypotheses and see how much
of the 2006 price increase is due to the VAT announcement, rather than to the output gap
closing.
Recent empirical research on price setting behavior gives some indications that price setting
is sluggish, as this staggered price model would require. Dhyne and others (2005) find that
the frequency of price changes in Germany is among the lowest across for all five types of
products studied, among ten Euro area countries (Austria, Belgium, Germany, Spain,
Finland, France, Italy, Luxembourg, Netherlands, Portugal). Price changes in Germany last
two years, and are ten percent on average. However, as there is also evidence that the
frequency of price changes is variable, and increases due to major economic events, one
needs to study another rationale for inflation smoothing besides staggered price setting which
leads to sluggish prices. For example, price changes increased considerably before the
introduction of the euro currency, and in the run up to the 2007 VAT hike. As the frequency
of price changes increased differently for goods (in the second half of 2006), than for
services (in January 2007, Bundesbank, 2007), one needs to test also for imperfect
competition and consumption shifting. 3
1
Firms also care about the overall price level and, therefore, need to consider what information other firms
have. Even an informed firm will not adjust its price much to the change in aggregate demand until many other
firms have also learned of it.
2
Every firm sets its price every period, but firms gather information and recompute optimal prices slowly over
time. In each period, a fraction of firms obtains new information about the state of the economy and computes a
new path of optimal prices. Other firms continue to set prices based on old plans and outdated information.
Information arrival is assumed to be analogous to the adjustment assumption in Calvo (1983): each firm has the
same probability of being one of the firms updating their pricing plans, regardless of how long it has been since
its last update. Therefore the price xt set by a firm at time t is a weighted average of current and expected future
values of the target price p* which can be summarized as: xt = α*Σj∞ βj Et pt+j* where α and βt are functions of
the exogenous adjustment probability and a discount factor. If therefore the expected future target prices rises
due to an exogenous shock—such as the announcement of a VAT hike, firms who have the opportunity to
adjust prices before its actual implementation will already adjust towards the new target price in order to
minimize the expected difference between the new future target price and the actual price, in order to avoid a
too low a price after the VAT is implemented. Hence firms increase the prices when an opportunity arrives, and
a fraction of firms will change prices each period, leading to an inflation smoothing effect.
3
This rise in frequency of price increases in goods associated with the VAT hike was about eight percent in the
second half of 2006, and ten percent in January 2007, compared to below five percent for the period 2003-2005.
(continued…)
8
Imperfect competition and consumption smoothing. During the announcement phase,
firms may be able to take advantage of intertemporal consumption shifting by consumers.
This requires that competition is limited and suppliers face a downward sloping demand
curve. The reason is as follows: since consumers anticipate that part of any tax increase will
be passed on to them, the announcement of the VAT hike will generate a temporary shift in
demand. 4 This rise in demand allows firm to extract a higher rents via higher prices. These
effects should be larger the lower the competitive conditions and the larger the shift in
demand (e.g. durable goods versus perishable goods).
Figure 1. Monopolistic Pricing and the Effect of Consumption Shifting
Durable
good: j
pj**
pi**
p*
MRj
MRi
Demand
shift
Before announcement
Figure 1 illustrates this conjecture. Assume p* depicts the price of a consumer good prior to
the announcement of the VAT hike. Assume further that the demand curve for an individual
firm is downward sloping since is supplied under monopolistic competition. The
announcement of the VAT hike leads to consumption smoothing and hence shifts the demand
curve for item i out during the announcement period. The new equilibrium price for this
commodity rises to pi** as firms charge the higher monopolistic price. Using the same
argument, the price increase during the announcement period is larger for items which
experience larger demand shifts, such as less frequently purchased durable goods j—as
Price decreases occurred more often as well; an increase of seven percent in the frequency of price decreases
was observed in January 2007.
4
The intertemporal effect of a change in VAT can be illustrated by the Euler equation which shows that if in the
future the VAT rate is higher, the household will bring forward spending by choosing a higher value for
consumption today:
⎡ u ( C ,1 − N ) (1 + τ tC ) Pt ⎤
t +1
⎥ =1
β Rt Et ⎢ C t +1
C
⎢⎣ uC ( Ct ,1 − N t ) (1 + τ t +1 ) Pt +1 ⎥⎦
9
depicted by the new equilibrium price pj**—or in environment with less competition which
would be reflected by a steeper demand curve (not shown). On the other hand, in an
environment of high competition, advanced price increases may be small and the passthrough to consumers more limited (Carbonnier, 2007). 5
Both explanations provide a rationale for inflation smoothing. The sticky information model
of staggered price setting assumes that firms can change prices only infrequently. Hence high
costs of altering prices may lead to some smoothing of the price effect. The second
explanation on the other hand relies on the interaction of consumption shifting and elastic
individual demand curves. Both these explanations are plausible and are explored by testing
for differentiated price effects with respect to the degree of competition and the size of the
demand shock
III. Empirical Analysis
This section explores whether the inflation dynamics among CPI items liable to the VAT
hike differs from non-VAT items prior and post implementation. The paper argues that any
systematic inflationary discrepancies between these two groups of CPI items prior to 2007,
which cannot be accounted by standard explanatory factors, are due to the announcement of
the VAT hike. Similarly, differences in inflation rates between VAT and non-VAT items at
the time of implementation and post implementation provide information about the
passthrough and delayed price increases.
Empirical strategy and data
To test the above hypotheses we develop a monthly panel of annual inflation rates for twodigit items of the harmonized consumer price index (HICP) in Germany covering the period
2005m1 to 2008m1. 6 The empirical specification models the inflation rate for commodity i of
the HICP basket at time t. The annual inflation rate for an commodity item, p& ti , is estimated
both as a static and a dynamic panel (with lagged inflation pt-1,i):
pt,i = f(pt-1,i , Xit,,Yi,, Zt GΣj,)
controlling for three types of effects: time varying item specific effects (Xi such as euro are
wide inflation trends), individual and time fixed effects (Yi, Zt: such as aggregate demand
pressures). The hypothesis of a VAT announcement effect is estimated by including a group
5
Carbonnier (2007) showed that in a closed oligopoly the benefits of a VAT decrease—e.g. effects of France
1987 VAT cut for the primary automobile market—are only partly passed on to consumers (less than fifty
percent), with the producers enjoying the rest. He also shows that under competitive condition, such as in the
household repairs services market, the 1999 VAT decrease was passed through to consumers by seventy seven
percent. Most of these pass through happened primarily in the first two months of the tax reform.
6
As of January 1st 2008 HICP data have been rebased to 2005=100, and back calculated only for a few years.
10
specific effect GΣj, which aim to capture the tax policy announcement effects on items liable
to the VAT hike (Σj).
Two digit level data were chosen because they allow sufficient differentiation in inflation
dynamics price setting behavior across items. At the same time they are sufficiently
aggregated to facilitate the estimation of effects on aggregate core inflation. Table A1 in the
appendix lists all 53 commodity items with their respective HICP weights and whether they
are considered durable and affected by the VAT hike. The values for the latter measure vary
between 0 and 1 depending on the share of goods within a specific commodity item, which
are affected by the VAT hike. Since the study focuses on core inflation the two energy
related items 19 and 32 were dropped from the analysis. Furthermore, given their high
volatility seasonal goods (fruit, vegetable, package holidays), and tobacco were dropped
leaving a total of 45 items with a weight of 80 percent of the overall HICP.
An important objective of our study is to trace out the effects of the VAT hike on aggregate
core inflation. This is done by estimating different inflation trends for VAT items and nonVAT items. Since individual item-inflation rates are aggregated into the HICP index based
on individual weights, the estimation approach needs to be cognizant of the aggregation
method. Hence, in order to arrive at an aggregate measure the empirical model estimates
weighted inflation rates. By weighing the inflation rates of each individual item by its weight
in the HICP basket, an average VAT group effect is estimated which avoids being driven by
inflation trends of items with small weights. 7 The rationale for this approach and the
definition of the dependent variable are discussed in the appendix.
We use the following general control variables in our model:
•
Euro area wide inflation effects. To control for regional inflation trends, item by
item inflation rates were computed for the euro area excluding Germany. This was
achieved by aggregating country level 2-digit HICP data to a synthetic aggregate
index. The empirical specification includes euro area specific inflation variables for
each HICP item separately and hence measures for each item price effect emanating
from the euro area.
•
Time trend. This variable controls for common economy wide inflation pressures as
reflected in the buoyancy of the German economy beginning in 2005 as German
growth began to exceed Euro area trends. The final specifications presented in this
paper include a linear trend with an increasing value for each month of the sample.
Other specifications (trend squared) were explored, but were not statistically
significant.
•
Monthly time dummies and idiosyncratic shocks. To allow for seasonal and time
specific effects dummy variables for each month were introduced. In addition all
7
This can be exemplified through a simple example.
11
specifications include control variables for two specific effects: administrative price
changes for education services in April of 2007 and medical services in January 2006.
Since we are primarily interested in the inflation experiences resulting from the VAT hike we
introduce the following specific variables.
•
VAT effects. We allow for inflation rates to vary across VAT and non VAT items. We
use several dummies to differentiate between the announcement effect (VAT 06 trend),
the actual implementation (VAT 07 implementation), and any other post implementation
effect (VAT 07 trend). In addition, the fixed effect and GMM models test for timeinvariant differences in inflation rates. 8 The VAT 2006 trend tests whether price increases
accelerated towards the end of the announcement period reflecting the fact that demand
shifting was likely to occur at the end of the year, as theory would suggest. 9
•
Durable goods. As a measure for a large demand shifting component during the run-up
period of the VAT hike, a dummy variable for durable goods was added in the year 2006
(see appendix for definition).
•
Price setting power. A key challenge for developing such a measure is that items in the
CPI basket cannot directly be linked to sectoral measures of competitiveness. To
circumvent this problem we relied on the observed price setting behavior during the eurocurrency adoption in January of 2002. At this time all prices had to be converted from
DM to euros offering an opportunity to exploit price setting power. As Bundesbank
(2007) shows this transition led to a significant variation of positive and negative price
adjustments (Figure 2). We surmise that large positive increases signal price setting
power and hence the absence of competitive conditions. 10 Our measure of the competition
is the rate of the inflation rate increase between December 2001 and January 2002 for
price movements which were above the 75th percentile of price increases.
8
VAT 06 trend takes a value of one for VAT items in January 2006, and then increases monthly by one until
December 2006. VAT 07 implementation takes the value of one for VAT items in January 2007 only—the
month in which the rate increases came into force—. VAT 07 trend takes a value of one for VAT items in
January 2007 and increases monthly by one until December 2007.
9
There is no a priori reason to use a VAT trend variable for the announcement period 2006. Rather the choice
of using a trend was the based on the goodness of fit among alternative empirical specifications.
10
A currency conversion should not lead to a change in prices, because, as Hoffman and Kurz-Kim (2006) note,
because otherwise prices are costly to change (the menu-cost hypothesis). Therefore, we surmise that large
positive increases during that period signal price setting power.
12
Figure 2. Germany. Frequenycy of price changes in Germany
Euro currency
introduction
Source : Bundesbank
Baseline results
The first two columns of table 1 present the results from a fixed effects model estimating
annual inflation rates at the 2 digit level. All models include a trend variable, monthly time
dummies, euro area inflation trends for all 45 items, and dummies for two item specific
administrative price changes (education and health care services as discussed above).
The time trend has a positive and significant effect and hence provides evidence in support of
a general acceleration of inflation, possibly picking up the closing output gap and a gradual
tightening of the labor market.
Of main interest are, however, the estimated group differences between VAT and non-VAT
items. The main assumption underlying the various VAT dummies is that each individual
items has been assigned to one of two groups depending on whether is liable to the VAT hike
or not. The estimation yields the following findings:
•
The VAT 06 trend variable has a positive and significant effect throughout all
specifications. This implies that in addition to a general acceleration of inflation, the
inflation rate increased more strongly among VAT items (after controlling for item
specific, time specific, and euro area wide effects). We interpret this result as evidence
for an anticipatory inflation smoothing effect.
•
The VAT 07 implementation dummy shows a strong and positive effect and measures the
impact of the VAT hike on inflation upon implementation.
In specification (2) of table 1 we estimate the hypothesis whether the VAT led to a delayed
pass-through to consumers. This is done by estimating the difference in inflation rates
between VAT and non-VAT items through the inclusion of a VAT-trend variable for the year
2007. The model firmly rejects this hypothesis and hence offers no support for a post
implementation effect.
13
Residual tests for autocorrelation indicated evidence of serial correlation of residuals. We
therefore proceeded to estimate a dynamic panel specification. The results based on GMM
estimation are reported in columns (3) and (4) of table 1. We find that inflation is highly
persistent but the main results pertaining to the VAT effect remain unchanged. The VAT
trend variable for 2006 remains significant and there is no evidence of a delayed increase of
prices after the VAT hike implementation.
To summarize, we find evidence that inflation is low in Germany, it grew more rapidly than
in the Euro area for VAT items from 2005 until end-2007, particularly due to the VAT (its
implementation and of the announcement effect, what we call inflation smoothing.
Table 1. Determinants of German Core Inflation: discrepancies between VAT and non-VAT items
Dependent variable: HICP-weighted inflation rate of 45 two-digit items of the index; sample January 2005 - January 2008
______________________________________________________________________________________________
(1)
(2)
(3)
(4)
______________________________________________________________________________________________
Constant
0.001
0.001
-0.010
-0.010
(-0.14)
(-0.11)
(-3.48)**
(-3.39)**
Lagged HICP
weighted inflation
0.76
(17.70)**
0.77
(17.80)**
Euro area 1/
Item-by-item
Trend
Y
Y
Y
Y
0.001
(2.50)*
0.001
(2.47)*
-0.00003
(-0.21)
-0.0001
(-0.52)
VAT 06 trend
0.001
(2.92)**
0.001
(2.92)**
0.001
(2.09)*
0.001
(2.07)*
VAT 07 implementation
0.020
(6.73)**
0.020
(5.28)**
0.010
(1.8)
0.003
(0.80)
VAT effect dummies
VAT 07 trend
-0.0002
(-0.36)
VAT Dummy
0.0004
(0.7)
0.020
(4.93)**
0.020
(4.91)**
______________________________________________________________________________________________
Estimation 2/
FE
FE
GMM
GMM
Monthly dummies
Y
Y
Y
Y
Price shocks 3/
Y
Y
Y
Y
VAT dummy
Y
Y
Test for no residual
Rej.
Rej.
Not Rej.
Not Rej.
autocorrelation
R-squared
0.68
0.68
0.68
Obs.
1665
1665
1665
1665
Number of groups
45
45
45
45
______________________________________________________________________________________________
Absolute value of z statistics in parentheses. * significant at 5 percent; ** significant at 1 percent.
1/ Excluding Germany,
2/ FE=fixed effects, GMM=generalized method of moments,
3/ Education fees in April 2007 and medical services in January 2006.
14
Exploring the inflation smoothing hypothesis
To more firmly establish the of the announcement effect and to refine our explanation, we
test several other specifications by exploring other reasons why the inflation rate of VAT
items increased faster than that of non-VAT items. The main results are presented in Table 2.
In a first step we address the question whether prices could have increased in 2006 as a result
of a World Cup related demand effect. We introduce a World Cup 06 dummy variable to
control for higher inflation in May and June of 2006. The results in column (1) show no
measurable effect on inflation. We also test a second dummy variable, column (2), measuring
for hikes in restaurant and hotels items during that period. This variable picks up significant
prices increased during the 2006 World Cup, but its effect does not explain away the positive
effect of the 2006 VAT trend variable, which remains significant.
In the next three models we provide indirect tests of our hypothesis that inflation in 2006 was
influenced by a captured demand effect. We have done so as follows:
•
By adding a dummy variable for durable goods in 2006 in specification (3) we estimate
whether price increases in this group of items were more pronounced. We find a positive
and statistically significant effect, which supports the claim that price increases in 2006
were concentrated in items which experienced larger increases in demand. Further test
showed that the price increases were concentrated at year-end (not shown).
•
We also test separately whether inflation increases among VAT items were related to a
supplier’s price setting power. Column (3) of Table 2 shows the results from including
our measure of high price setting power derived from the 2002 euro currency
introduction. 11 Its effect on inflation is positive and significant.
The remaining two specifications show results from including all three variables (a general
VAT 2006 trend, durability and price setting power) using fixed effects and a dynamic panel
estimator. All variables remain positive and significant in the fixed effects model (col 5). We
also performed a dynamic panel estimation. In this specification only the VAT trend variable
has a statistically significant effect. The high standard errors of the other two variables
indicated the presence of multicollinearity. We therefore tested for the joint significance of
all three variables and obtained a χ2 = 8.5 rejecting the null of no effect with a p value of 3
percent.
The qualitative results of our specification can therefore be summarized as follows: we find
evidence of an acceleration of the inflation rate in all VAT items in 2006, of jump increase in
January 2007, but no empirical support of delayed price increases throughout 2007. Focusing
on the 2006 effect we find that among VAT items inflation accelerated faster among durables
and items in less competitive markets, indicating that rent extraction may have been a
11
This dummy takes a value of one for the items where the rate of the inflation increase between December
2001 and January 2002 was more than the median price increase.
15
motive. In a next step we explore the quantitative implications of these findings on aggregate
core inflation in Germany.
Table 2. Determinants of German Core Inflation: Inflation Smoothing, VAT and other German specific shocks
Dependent variable: HICP-weighted inflation rate of 45 two-digit items of the index; sample January 2005 - January 2008
___________________________________________________________________________________________________________
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
___________________________________________________________________________________________________________
Constant
0.010
0.000
0.001
-0.001
-0.001
-0.01
(-0.14)*
(-0.04)
(-0.20)
(-0.22)
(-0.23)
(-3.47)**
0.76
(17.4)**
ΔPt-1
Euro area 1/
Item-by-item
Trend
Y
0.001
(2.50)**
Y
Y
Y
Y
Y
0.001
(2.50)*
0.001
(3.21)**
0.001
(3.19)**
0.001
(2.50)*
0.020
(1.46)
0.020
(1.60)
0.020
(1.59)
0.020
(1.57)
0.020
(17.9)**
0.001
(2.14)*
0.0005
(1.79)*
0.010
(2.19)*
0.002
(1.43)
0.020
(3.05)**
0.020
(2.88)**
0.003
(1.09)
0.020
(6.28)**
0.020
(6.76)**
0.005
(1.80)*
World Cup 06
Month dummy
0.000
(-0.43)
Restaurant/ Hotel dummy
(during W-cup)
VAT effect and other dummies 2/
VAT 06 trend
0.001
(2.92) **
0.001
(2.87)**
Durable goods
0.010
(2.34)*
Price setting power
VAT 07 implementation
0.020
(6.73)**
0.020
(6.73)**
0.020
(6.41)**
___________________________________________________________________________________________________________
Estimation 3/
FE
FE
FE
FE
FE
GMM
Monthly dummies
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Price shocks 4/
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Test for no residual
Rej.
Rej.
Rej.
Rej.
Rej
Not Rej.
autocorrelation
R-squared
0.68
0.68
0.68
0.68
0.68
…
Obs.
1665
1665
1665
1665
1665
1665
Number of groups
45
45
45
45
45
45
___________________________________________________________________________________________________________
Absolute value of z statistics in parentheses. * significant at 5 percent; ** significant at 1 percent.
1/ Excluding Germany,
2/ A test for the hypothesis that the parameters estimates of the three variables VAT 06 trend, durable goods, and price setting power in
specification (5) are jointly zero produces a chi-square statistics: Chi^2(3) = 8.545 with a p-value of 0.0360 rejecting the null hypothesis of
no-significance.
3/ FE=fixed effects, 4/ Education fees in April 2007 and medical services in January 2006.
16
Aggregate inflation effects
The estimated coefficients in Table 2 column 5 12 can now be used to decompose the observed
increase in aggregate inflation in VAT related and other effects. As mentioned above we
excluded other factors, such as energy and food price inflation from the analysis.
Since we are exclusively interested in the effect of the acceleration of VAT items versus nonVAT items we first need to determine how the estimated parameters of the VAT-groupdummies can be translated into an impact measure on the aggregate HICP core inflation rate.
A first step in this process is obtaining an interpretation of the units of the estimated
parameters associated with the VAT-dummies in Tables 1 and 2. Since these parameters are
associated with the group of VAT items, they measure the average inflation effect of these
items. As appendix 1 explains, since we weighed each item’s inflation rate by its weight in
the HICP basket, the estimated coefficient measures the weighted average effect of all
included VAT items on core inflation. Therefore in order to arrive at a measure for the
impact on aggregate CPI, the coefficients from Tables 1 and 2 need to be multiplied by the
number of VAT items. 13 Once we have obtained these estimates we can then compute the
predicted inflation path with and without the VAT effects related to the tax hike. Using the
parameters in column 5 of table 2 we obtain the following results:
Table I-3. Decomposition of Core Inflation as Predicted by the Model1
2006
2
Annual average
2007
3
Annual average
Actual increase
0.35
1.00
Total model
VAT
Durables
Price setting power
General increase
Non–VAT
Residual
0.41
0.36
0.03
0.03
0.30
0.05
-0.06
0.73
0.40
…
…
…
0.33
0.27
Memorandum item:
Inflation pass-through
0.24
0.49
1
Based on coefficients of specification (5) in Table 2.
2
Difference in core inflation between December 2006 and January 2006.
Difference in core inflation between December 2007 and January 2007.
3
•
The model accounts for a significant share of the actual aggregate increase in core
inflation in 2006 and 2007.
12
Best fit specification.
13
A simulation exercise confirming this interpretation is available upon request by the authors.
17
•
The model predicts an increase in core inflation due to VAT items of a total of 0.76
percentage point in 2006 and 2007, with 0.36 percentage points in 2006 and 0.40
percentage point in 2007 concentrated upfront at the time of implementation (January
2007).
•
In 2006 core inflation is estimated to have increased by 0.41 percentage point in
2006, and by 0.73 percentage points in 2007, for a total of 1.15 percentage points.
Two thirds of the predicted increase in core inflation was VAT related.
•
Among VAT items, durable goods and items in markets with imperfect competition
accounted for a 0.06 percentage point of the increase in core inflation in 2006.That is
one sixth of the estimated VAT drive increase (0.36 percentage point) in 2006.
These findings translate into an estimated cumulative pass-through rate of the VAT hike to
core inflation of 73 percent.14 Knowing the timing of the increase, this pass-through rate can
be broken down further, to an average 24 percent in 2006 and 49 percent in 2007 (primarily
January). Our estimates hence imply that although core inflation appeared to not have
increased by much in January 2007, the pass-through of the VAT hike was still substantial
when VAT related price increases in 2006 are taken into account. This inflation smoothing
effect may also explain why there was little further increases among VAT items in the
aftermath of the tax rate hike.
IV. Conclusion
Increases in core inflation following the 2007 VAT hike were smaller than expected, initially
constituting a puzzle and leading to speculation about delayed inflationary effects. This paper
explored the extent of the inflation increase generated by the anticipation of the VAT
increases (inflation smoothing), and its explanations.
An increase in inflation in VAT items contributed 0.36 percentage point to core inflation in
anticipation of the actual implementation, and a further 0.73 percentage point increase upon
its implementation in 2007. As consumer demand increased in 2006, producers were able to
raise their prices, more so in durable goods. Accordingly, the extent of the increase in
January 2007 was more muted (0.4). Cumulatively, the VAT effect was equivalent to a passthrough of 73 percent.
The results of the paper have a few interesting implications. First, the inflationary profile of a
large tax hike is likely affected by the length of the announcement period. Price adjustment in
advance of the VAT hike help smooth the inflation profile and thereby can avoid large spikes
which create risks of triggering second round effects. The incentives for inflation smoothing
also appear to be linked to the degree of intertemporal consumption shifting with items
experiencing larger demand increases being affected more. Understanding these channels is
important since several countries have expressed intention to increase indirect taxation.
14
The passthrough computation takes account of the fact that our sample excludes many non-VAT items.
18
References
Besley, Timothy J. and Harvey S. Rosen, 1999 “Sales Taxes and Prices: An Empirical
Analysis”, National Tax Journal 52(2) p. 157-78.
Bundesbank, 2008, “Price and volume effects of VAT increase on 1 January 2007 - April
2008,” in Monthly Report, April, pp. 29-46.
Bundesbank, 2007, “Price effects of the recent increase in VAT – initial results of an
individual price analysis,” in May Monthly Report, pp. 52-3.
Bundesbank, 2006, “Increase in VAT and Possible Anticipatory Effects,” in May Monthly
Report, pp. 48-9.
Carbonnier, Clement, 2007, “Who Pays Sales Taxes? Evidence from French VAT reforms,
1987-1999,” Journal of Public Economics Vol. 91 (June), pp. 1219-29.
Dhyne, Emmanuel and others, 2005, “Price Setting In The Euro Area: Some Stylized Facts
From Individual Consumer Price Data,” European Central Bank working paper no.
524.
EU Commission, 2006, “Communications on a comprehensive strategy to promote tax coordination in the EU”, IP/06/1827, Brussels.
Hoffmann, Johannes, and Jeong Ryeol Kurz-Kim, 2006, “Consumer Price Adjustment Under
the Microscope: Germany in a Period of Low Inflation,” ECB Working Paper No.
652 (Frankfurt: European Central Bank).
Katz, Michael L. and Harvey S. Rosen, 1985, “Tax Analysis in an Oligopoly Model”, Public
Finance Quarterly, 13(1), pp. 3-19.
Mankiw, Gregory, and Ricardo Reis, 2002 “Sticky Information Versus Sticky Prices: A
Proposal to Replace the New Keynesian Phillips Curve,” Quarterly Journal of
Economics No. 117 Vol. 4 (November) pp. 1295-328.
Royal Bank of Scotland, 2006 “Results of RBS/Bloomberg Survey on German VAT hike”,
Euro Area Economics Prices and Costs Analysis Series, December. Available via
internet:
www.rbs.com/content/media_centre/press_releases/2006/december/downloads/vat_re
sults.pdf
Stern N., 1987, “The effects of taxation price control and government contracts in oligopoly
and monopolistic competition”, Journal of Public Economics 32 (1987), pp. 133–158.
19
Appendix
I. Data
All 53 commodity items with the respective HICP-weights are used. Since the study focuses
on core inflation, the two energy-related items, 19 and 32, were dropped from the analysis,
even though they are subject to VAT increases. Furthermore, given their high volatility,
seasonal goods (fruit, vegetable, and package holidays), and tobacco were dropped from the
analysis, leaving a total of 45 items with a total HICP weight of 80 percent.
Include table each group inflation.
II. Method
We estimated inflation in VAT items relative to non-VAT items. Therefore, the difference
between the inflation rates in VAT and non-VAT items would give us exactly the role played
by the VAT in raising certain prices, since we assume that inflationary trends due to common
shocks, or common cyclical conditions to those in the euro area. 15 In fact, we trace inflation
in any individual item over time and relative to items not exposed to the VAT hike: during
the announcement period, the implementation and post-implementation, after controlling for
time dummies, and commodity-specific items (goods are durables, or sold in a competitive
market). The data used for the empirical analysis are from the monthly HICP at the two-digit
level. We use random-effect models, which fit the data better than fixed-effects model.
Moreover, intuition will imply different price increases per item, depending on the market,
and type of goods.
The annual inflation rate for any commodity item p& ti , in the German CPI is
p& ti = α1 + α 2 p& it, Euro + α 3t Vatit + Σ jα jt Z tj
where p& ti —the dependent variable, the inflation rate of the item —is computed as
p& it = wi (
Pi t
− 1) ; Pit is the index of item i at time t, wi is the weight in the aggregate HICP
t −12
Pi
index. 16
•
α2 controls for general price increases due to common shocks or common cyclical
conditions, as in the euro area during this period;
•
α3 measures the effect of the VAT and is elaborated in various ways, to control for
timing (see main text); and
•
αj measures the effect of control variables and is elaborated in various ways, to
control for different commodities issues (see main text).
15
In the euro area, inflation of VAT and non-VAT items moved similarly in this period, and the difference in
inflation rates among these items was relatively constant. In Germany, however, we observe the rate of inflation
of VAT items accelerated during 2006 only.
16
Since we are interested in the impact of the VAT hike on the aggregate HICP inflation rate, we use weighted
inflation rates.
20
III. Calculating The Effect on Core Inflation
We calculate the model-predicted inflation rate, and to obtain the values in Table 3 we go
through the following steps:
a. We take the actual value for each variable described above, in each month, and we
multiply it, by its estimated coefficient presented in Table 2, specification (5), and
by the number of the items in this group (VAT and non-VAT). 17
b. We sum these components to obtain predicted inflation rates for each month
(annual rates).
c. To calculate the 2006 overall effect, we take the difference between the predicted
values of the core inflation rate between the months of December and January 2006.
The 2007 overall effect was calculated in the same manner.
d. To calculate the 2007 implementation effect, we take the difference between the
average predicted core inflation rates of the first three months of 2007 and the last
three months of 2006. 18
e. To calculate the contributions of the VAT items to the 2006 overall effect, or to the
2007 implementation effect, we follow steps c and d, respectively, but only for the
VAT items in core inflation.
17
By multiplying the group average effect by the total number of items, we obtain the aggregate inflation effect
of the VAT items as a group. The aggregate HICP core inflation rate is defined as the weighted sum of all
individual items. A coefficient attached to a dummy variable captures the group effect of a subset of items
scaled by their weight in the aggregate core index.
18
If one takes the differences between the January 2007 and December 2006 rates the results are similar.
21
Table A1. HICP commodity items, weights, and classification.
Weight
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
cp011 Food
cp0111 Bread and cereals
cp0112 Meat
cp0113 Fish and seafood
cp0114 Milk, cheese and eggs
cp0115 Oils and fats
cp0116 Fruit
cp0117 Vegetables
cp0118 Sugar, jam, honey, chocolate and confectionery
cp0119 Food products n.e.c.
cp012 Non-alcoholic beverages
cp021 Alcoholic beverages
cp022 Tobacco
cp031 Clothing
cp032 Footwear including repair
cp041 Actual rentals for housing
cp043 Maintenance and repair of the dwelling
cp044 Water supply and miscellaneous services relating to the dwelling
cp045 Electricity, gas and other fuels
cp051 Furniture and furnishings, carpets and other floor coverings
cp052 Household textiles
cp053 Household appliances
cp054 Glassware, tableware and household utensils
cp055 Tools and equipment for house and garden
cp056 Goods and services for routine household maintenance
cp061 Medical products, appliances and equipment
cp062 Out-patient services
cp063 Hospital services
cp071 Purchase of vehicles
cp072 Operation of personal transport equipment
cp0721 Spares parts and accessories for personal transport equipment
cp0722 Fuels and lubricants for personal transport equipment
cp0723 Maintenance and repair of personal transport equipment
cp0724 Other services in respect of personal transport equipment
cp073 Transport services
cp081 Postal services
cp082 Telephone and telefax equipment
cp083 Telephone and telefax services
cp091 Audio-visual, photographic and information processing equipment
cp092 Other major durables for recreation and culture
cp093 Other recreational items and equipment, gardens and pets
cp094 Recreational and cultural services
cp095 Newspapers, books and stationery
cp096 Package holidays
cp10 Education
cp111 Catering services
cp112 Accommodation services
cp121 Personal care
cp123 Personal effects n.e.c.
cp124 Social protection
cp125 Insurance
cp126 Financial services n.e.c.
cp127 Other services n.e.c.
99.6
19.2
25.3
3.5
15.7
3.0
9.8
10.3
8.6
4.3
13.8
18.5
32.2
45.7
10.7
108.2
12.6
36.5
66.9
36.7
5.0
11.1
5.4
6.0
8.6
21.2
17.3
7.7
41.2
91.6
5.8
44.0
27.9
13.9
23.7
3.0
1.0
20.4
15.8
1.8
19.8
26.8
22.1
26.5
7.8
41.8
12.8
21.3
9.2
12.8
28.1
4.6
4.5
1000.0
Durable
VAT
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
0.6
0.5
0.5
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
0.8
0.4
0.0
0.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
0.3
0.3
1.0
0.9
1.0
0.8
0.4
0.0
0.0
1.0
0.0
0.9
0.5
0.8
0.5
0.0
1.0
1.0
0.5
Source: Author’s calculations. The core index excludes items 1, 7,8 13, 19, 30, 32, and 44.
Price setting
power
1
0
0
1
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
1
2
Dampak Fluktuasi Ekonomi terxadap Penerimaan Pajak
Eddi Wahyudi
Program Doktor Managemen dan Bisnis IPB
Bunasor Sanim
Institut Pertanian Bogor
Hermanto Siregar
Institut Pertanian Bogor
Nunung Nuryartono
Institut Pertanian Bogor
Abstract: The purpose of this research is to analyse how Jar the economic shock injluense to the tax revenue
performance applied to Income and Value Added Tax during periodfrom Januanj 1993 to December 2007. The
Vector Error Correction Model and Cholesky Decomposition are used to identifi the orthogonal shocks. The
impulse responsefunctioi~and variance decomposition analysis, are used to analyzed the pass-through effect
from Tax Early Warning System (TEWSJindicators to the tax revenue performace (Income and Value Added
Tar) ns reference series. From the llECM analysis result through Income Tax modeling series, it is known that
there are 3 indicators having a complete pass-through degrees more thnn one (complete pass through), there
are hotel occupancy rate, money supply nndfuel consumption. Meanwhile through the Valtre Added Tax, all
indicators show the incomplete pass through degree.. Overally the entire research result explains that
Indonesia economic condition until he year of2007 is still in the smnll open economy status and identically to
New Keynes theory. The conclusion is consistent with previous resenrch about the Indonesia business cycle
and consistent with the initial assumption applied.
Keywords: Business cycle, reference series, Income tax (PPh), value ndded tax (PPN), shock, early warning
system (EWS), tax revenue, time series, Composite Lending Indicntor (CLI), Tax Early Warning
System (TEWS),pass-thorugh.
Pengaruh
shock
terhadap
stabilitas
perekonomian merupakan fenomena yang
menarik untuk dicermati. Pengendalian
perekonomian terhadap dampak guncangan
ekstemal maupun internal tersebut menjadi
sangat penting untuk dipelajari lebih
mendalam terlebih setelah terjadinya krisis
ekonomi tahun 1998 yang mengakibatkan
kerusakan struktural perekonomian di
beberapa negara. Shock akan menyebabkan
fluktuasi ekoAlamat Korespondensi:
Eddi W a h y u d i , Program
Pertanian Bogor (IPB)
Doktor
(5-3) Institut
nomi yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan output terhadap tren berupa
kontraksi atau ekspansi ekonomi yang kemudian akan membentuk sebuah pola siklus naik turun disebut dengan business
cycle. Aktifitas nalk turunnya perekonomian
tersebut terekam dalam agregat ekonomi
yang tertransmisi ke kinerja penerimaan negara yang di Indonesia tercermin dalam
APBN.
Salah satu komponen penting di sisi
penerimaan dalam APBN tentunya adalah
sektor pajak. Dalam 3 tahun terakhir struktur penerimaan APBN 60-70% dibiayai dari
sektor perpajakan. Mengingat unsur strategis penerimaan pajak tersebut, maka aksele-
rasi realisasi peningkatan penerimaan pajak
setiap tahun sangat diharapkan dalam
rangka menunjang pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan. Untuk mendorong pertumbuhnn pendapatan negara dalam rangka
mewuruakan kemandirian keuangan bangsa
dalam membiayai pembangunan melalui
optimalisasi penggalian dana yang bersumber dari dalam negeri, maka pemerintah
pcrlu menpusun berbagai kebijakan fiskal,
baik di bidang perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak.
Untuk mendukung fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara (bugedtair)
tersebut maka pemerintah telah menempuh
langkah-langkah reformasi intemal kebijakan di bidang perpajakan yang telah dimulai sejak tahun 1983 dengan melakukan perubahan sistem perpajakan dari oficial assessment menjadi sistem self assessment. Dalam
perkembangannya pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak selalu memperbaharui diri sesuai dengan perubahan kondisi
lingkungan melalui reformasi yang berkesinambungan. Pemerintah berharap melalui
reformasi tersebut rasio penerimaan pajak
terhadap PDB (tax ratio) akan semakin meningkat melebilti akselerasi peningkatan
pengeluaran.
Atas dasar pertimbangan tersebut maka turbulensi lingkungan harus dapat dideteksi secara dini oleh organisasi agar dampak guncangannya dapat diantisipasi secara
cermat melalui serangkaian kebijakan tertentu. Deteksi dini melalui peramalan siklus
perekonomian tersebut sangat penting bagi
pemerintah dalam rangka perencanaan dan
formulasi kebijakan. Dalam ha1 ini model
siklus bisnis ini diperlukan mengingat
pengelolaan penerimaan negara sangat rentan akibat guncangan (shock) yang ditimbulkan oleh turbulensi lingkungan. Namun demikian rnelalui model tersebut belum dapat
diketahui secara detail seberapa besar pengamh perubahan fluktuasi variabel ekonomi
terhadap penerimaan pajak, sehingga diperlukan analisis lanjutan untuk lebih mendalami seberapa besar pengaruhnya. Dengan
demikian penelitian ini perlu dilakukan agar
dampak shock terhadap fluktuasi siklus bisnis dan kinerja penerimaan pajak dapat dideteksi dengan baik bagi pengelolaan
kebijakan pajak di Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh fluktuasi ekonomi (pass
through) dari masing-masing variabel penyusun Tax Early Warning System (TEWS)
yang telah disusun sebelumnya menggunakan metode siklus bisnis terhadap kinerja
penerimaan pajak serta merumuskan kebijakan strategis untuk mengantisipasi turbulensi lingkungan berdampak terhadap kesetabilan penerimaan pajak.
Bentuk goncangan ekonomi dalam
perkembangan teori siklus bisnis dapat dijelaskan dalam tiga teori. Menurut Siregar
(2002) teori siklus bisnis yang paling populer adalah Red Business Cycle (RBC) dan New
Keynes (NK). Teori RBC menyatakan bahwa
shock pada permintaan (khususnya dalam
bentuk nominal) berdampak dalam menentukan fluktuasi makro-ekonomi serta perubahan regime dan teknologi merupakan suatu ha1 yang menarik untuk dibicarakan, sedangkan teori NK rnenyatakan sebaliknya.
Di antara kedua teori RBC dan NK tersebut,
terdapat teori Monetary Business Cycle
(MBC), yang menekankan pentingnya shock
pada permintaan, khususnya uang, tetapi
hanya untuk jangka pendek. Masing-masing
teori menjelaskan karakter shock yang berbeda-beda, namun pada intinya fluktuasi perekonomian dipengaruhi oleh berbagai pergerakan faktor eksternal maupun internal
yang dapat direpresentasikan ke dalam tiga
indikator penting.
Salah satu isu sentral dalam pembahasan sistem perekonomian intemasional
dengan keterbukaan sistem perdagangan
adalah dampak guncangan terhadap stabili-
small open economy. Pengaruh guncangan
struktural dari variabel ekstemal sebagai
contoh nilai tukar akan menyebabkan perubahan harga domestik yang sering disebut
d d g a n exchange rate pass trough eflect. Dalam
kerangka analisa siklus bisnis besamya pengaruh dari setiap variabel tidak dapat diketahui secara jelas hanya arahnya saja, sehingga diperlukan analisis lain u n t u k
mengetahui seberapa besar ~ e n g a r u hperubahan variabel i n d e p e n d e n mempengaruhi pergerakan dependennya.
Sahminan (2005) d a n Batiz (1994) mendefinisikan pass through effect sebagai perubahan harga sebagai akibat perubahan satu
persen dari k u r s domestik terhadap k u r s asing. Fenomena pass through eflect ini dapat
dibedakan menjadi tiga jenis yaitu completely
pass-through jika derajatnya sama dengan 1,
incomplete pass-through jika derajatnya 0 sampai 1 d a n zero pass-through jika derajatnya sam a dengan nol.
Secara umum pola guncangan ekon o m i dapat dijelaskan melalui jalur guncangan harga. Dimana guncangan harga dapat dimulai dari guncangan terhadap konsumsi m i n y a k atau gas (supply shock) akan
m e m p e n g a m h i harga m i n y a k atau gas dunia. Guncangan harga tersebut tentunya
yang akan m e m p e n g a r u h i inflasi setiap negara d a n akan m e n g g a n g g u pendatapan
perusahaan yang tentunya akan menurunk a n ekspektasi investor pasar modal yang
tercermin melalui perubahan indeks. G u n cangan harga m i n y a k tersebut oleh bank
sentral akan direspon dengan strategi intervensi m e n g g u n a k a n instrumen s u k u bunga.
Sedangkan e f e k dari perubahan s u k u bunga
akan mempengaruhi jumlah uang yang
beredar d i pasar.
Ketiga e f e k tersebut akan mempengaruhi nilai tukar disuatu negara [ H y d e r dan
Syah, 2004). E f e k transmisi dari perubahan
kurs tersebut akan m e m p e n g a r u h i bahan
selanjutnya akan m e m p e n g a r u h i biaya produksi apabila pemsahaan m e n g g u n a k a n bah a n berkomposisi i m p o r sehingga berpengar u h pada output. Perubahan output/omzet
perusahaan tentunya akan berpengaruh pad a penerimaan pajak penghasilan yang dibayarkan k e negara. Sehingga harga yang
diterima k o n s u m e n akhir akan terpengaruh
oleh seluruh perubahan variabel sebelumn y a d a n tentunya penerimaan pajak akan
terpengaruh. Transmisi pengaruh guncangan struktural terhadap perubahan penerim a a n pajak dapat dilihat pada gambar berik u t ini.
Gambar 1
Transmisi e f e k shock terhadap
Penerimaan pajak di Indonesia
U n t u k menganalisis pengaruh tersebut
m a k a dalam tahap penelitian ini akan digunakan model Structurnl Vector Autoregression
( S - V A R ) yang akan dikombinasikan dengan
model Vector Error Correction Model (VECM).
Model S - V A R m e r u p a k a n m o d e l pengembangan dari V A R dimana m o d e l S - V A R mem a s u k k a n sejumlah restriksi yang diidentifikasi berdasarkan teori ekonomi. Model yang
dibangun u n t u k menguji pengaruh shock ter-
m.
0 .
. . . . . . . .
. . . .
+~:r
hadap reference series ini mengacu pada pols , q, = E ~ . ~ ( ~ ~ ,+) 4+2 t~. ~~~~S++,t.~:t
.CEP 1: ~+ r n q t . ~ ~(5)
Exchange Rate Pass Trough (ERPT) yang dikembangkan oleh Hyder d a n Syah (2004)
dengan modifikasi tertentu.
Penelitian ini akan menitikberatkan
pada bagi'an terakhir dari sistem manajemen
moderen yaitu pengendalian (controlling),
dengan menggunakan pengalaman historis
d a n kemudian membentuk sebuah model
untuk melihat prilaku dari pengalaman tersebut. Dengan demikian akan dihasilkan
model pendugaan dari prilaku masing-masing variabel penyusun T E W S yang telah di- Dimana np,": harga minyak/gas d i negara i
USCPI. .
bentuk sebelumnya u n t u k prediksi keadaan pada saat t, nit . m d e k s harga k c n s u m e n
masa mendatang.
di U S pada saat t, rit : s u k u bunga d i negara i
pada saat t, M.it : jumlah uang yang beredar
METODE
(M2) d i negara i pada saat t, ei: : nilai tukar di
Meskipun pendekatan siklus bisnis da- negara i pada saat t, Qimp.it: nilai impor/ ekspat memprediksi titik belok (turning point) por d i negara i pada saat t, xTP': indeks hardari sebuah siklus n a m u n demikian tidak ga barang impor d i negara i pada saat t,
dapat digunakan u n t u k m e n g u k u r seberapa
y&DP : jumlah output (GDP) d i negara i pada
besar pengaruh dari setiap variabel penyuCPI , .
s u n indeks tersebut. U n t u k itu perlu dilaku- saat t, nil . m d e k s harga konsumen d i negakan kombinasi dengan pendekatan ekonometrik untuk mengetahui proporsi (besaran)
dari masing-masing variabel. U n t u k menganalisis .
pengaruh
tersebut maka dalam tahap
.
penelitian ini akan digunakan model Vector
Error Correction Model (VECM). Model yang
dibangun u n t u k menguji pengaruh shock terhadap series acuan adalah merupakan modifikasi dari pola yang dikembangkan oleh
Hyder-Syah (2004), Kiptui te.al (2005) dan
Fickry-Achsani (2008). Spesifikasi model
VECM pada penelitian ini mengacu pada
model Sato eta1 (2005) dengan konsep m o d el small open economy. Secara matematis
pengembangan model Hyder d a n Syah
(2004) dapat dituliskan sebagai berikut:
ra i pada saat t, 2: : jumlah penerimaan pajak d i negara i pada saat t, El_,(np,")
: lag
harga minyaklgas berdasarkan n periode
sebelumnya d i negara i, El_,( n y ) : lag indeks harga konsumen di U S berdasarkan n
periode sebelumnya d i negara i, El_,(rit) :
lag- suku bunga
- berdasarkan n periode sebelumnya d i negara i, E,_,(M,,) : lag jumlah
uang beredar berdasarkan n periode sebelumnya d i negara i, El_,,( e , ) : lag perubahan
nilai tukar berdasarkan n periode sebelumt ) : nilai eksnya d i negara i, E t - n ( Q i , ~ p , ilag
porfimpor berdasarkan n ~ e r i o d esebelumnya d i negara i, E l _ ,( n T P i ): lag indeks harga barang impor berdasarkan n periode seGDP .
belurnnya d i negara i, E l _ ,( y , ) . lag jumlah output berdasarkan n ~ e r i o d esebelumnya d i negara i, E l _ ,( n r ) : lag indeks harga
konsumen berdasarkan n periode sebelum-
5%
nya di negara i, El+,(z;) : lag jumlah penerimaan pajak berdasarkan n periode sebelumnya di negara i, E& : guncangan harga
USCPI
minyak/gas (supply shock), sit
.. guncan-
gan indeks harga konsumen di US,
&?
cangan suku bunga,
beredar,
E:, : gun-
: guncangan
uang
:guncangan perubahan nilai tu-
&:
kar, s p : guncangan nilai imporlekspor,
.. guncangan out-
GDP
: guncangan WPI, sit
E
":
put (GDP), s y : guncangan CPI, E~~: guncangan
penerimaan pajak (PPhIPPN), i : ne.
gara, t : periode waktu, n : panjang lag.
Berdasarkan model Sato eta1 (2005),
maka model restriksi yang akan diterapkan
dalam identifikasi guncangan struktural akibat perubahan variabel independen yang teIah diidentifikasi oleh signal TEWS dilakukan melalui cholesky decomposition dari analisis Forcasting Error Variance Decomposition
(FEVD) untuk kemudian dihitung derajad
pnss-trough dari masing-masing komponen
tersebut melalui analisis impuls respon (IR).
Persamaan cholesky decomposition dapat dituliskan sebagai berikut ini.
T
-
[ I
0
0
0
0
<I
I,
il
il
I,
i1LC
i
1
0
il
,I
O
n
li
0
0
,I
I,
,I
i
0
il
o
I
,
,
: I
b
I
I
1,
b..,
; h , , I , : t l
1
I ,
b ,
h
/,l.,L.:b.,h;,
,:
{b',
h":
I"
I
I>$; I>*'
I,.<
h , ,
,
I ,
I
,
1
3
,
:
"
I
,,
n
" "
"
n
n
"
I,
il
0
U
I1
il
,.,
i
b
I,,"
I .
h
i,
O
0
I ,
8
0
0
I,".
I,"*
1
0
I ,
I
Dimana bij adalah elemen dari mahiks
B, el adalah residual (error term) dari orthogonal shock, & adalah cholesky restriction
dan E: adalah orthogonal shocks vector.
Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data bulanan dengan rentang
waktu antara bulan Januari 1993 sampai de-
nzaf
- Desember 2007. Sumber data primer
dan sekunder diperoleh berasal dari dari:
Data penerimaan pajak nasional diperoleh dari database ware house Direktorat
Jenderal Pajak dan Diijen Perbendaharaan,
Data makro ekonomi dalam negeri diperoleh dari website Bank Indonesia, Indikator Ekonorni Indonesia, SEKI (Statistik
Ekonomi dan Keuangan Indonesia) dan
CEIC,
Data perdagangan diperoleh dari Biro
Pusat Statistik (BPS), Depertemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan
dan Bank Indonesia,
Data ekonomi intemasional diperoleh
dari website International Monetary
Funds (IMF), Word Bank, National Beurau Economic Research (NBER), Beurau
Labour Statistics (BLS), Federal Reserve
(The Fed), Yahoo Finance, Google Finance dan CEIC.
HASIL
Hasil uji statistik Augmented Dickey
Fuller (ADF) null hypothesis terhadap indikator penyusun TEWS dan kedua reference series yaitu PPh dan PPN menunjukan adanya
gejala mengandung unit root dalam level tidak dapat ditolak. Gejala tersebut dapat dilihat dari nilai hasil uji Likelihood ratio yang didasarkan pada kriteria Schwarz Bayesian Criterion (SBC), Akaike Information Criterion
(AIC) dan Hannan Quinn Criterion (HQC),
dimana nilai yang dihasilkan lebih kecil jika
dibandingkan dari nilai kritis McKinnon untuk DF dan ADF tabel dengan tingkat kepercayaan 95% serta jumlah sampel N = 180 yaitu sebesar -2.88 untuk intercept tanpa tren
dan -3.44 untuk intercept dengan tren linier.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa terhadap data time series tersebut dapat dikatakan mengandung unsur unit root
atau tidak stasioner, jika analisis tetap langsung menggunakan data ini maka akan dite-
hap pengujian akan dilanjutkan terhadap turunan pertama (first difference) atau terhadap
turunan kedua (second difference). Hasil pengujian unit root dapat dillhat dalam tabel
lampiran'l dan 2. Untuk variabel penyusun
TEWS dengan series acuan PPh pengujian
unit root hanya sampai Is'difference, sedangkan untuk series acuan PPN pengujian unit
root sampai pada tahap 2nd difference.
Tahap selanjutnya adalah dilakukan
melakukan pengujian ordo potimal dari
VAR. Pengujian ini bertujuan untuk menetapkan ordo optimal kointegrasi jangka
panjang dengan menggunakan parameter
Akaike Information Criterion (AIC) dan
Schwam Bayesian Criterion (SBC) melalui analisa Likelihood Ratio (LR-test). Dari hasil
pengujian ordo optimal VAR maka panjang
lag yang tepat dari model PPh adalah 6 dan
model PPN adalah 4. Hal ini dapat dilihat
dari uji statistik LR yang dimulai dari nilai p
tertinggi sampai lebih kecil dari nilai nyatanya. Ordo optimum VAR adalah jumlah lag
sebelum mencapai nilai p pertama kali. Dengan menggunakan model VAR 6 untuk
PPh dan model VAR 4 untuk PPN, maka ordo kointegrasi VAR nya adalah 5 unhtk PPh
dan 3 untuk PPN (ordo VAR kointegrasi
adalah ordo VAR dikurangi 1). Hasil pengujian ordo optimal VAR dapat dilihat dalam
lampiran 3 dan 4.
Tahap selanjutnya adalah pengujian
apakah tejadi kointegrasi di dalam model.
Uji kointegrasi masih dilakukan dengan
menggunakan LR-test yang didasarkan pada Trace of the Stochastic Mntvix. Uji ini pada
umumnya dilakukan dengan tidak memberikan restriksi intercept (Johansen, 1992).
Berdasarkan analisis Trace of the Stochastic
Matrix, hipotesis null hasil uji LR tren polinomial menunjukkan bahwa model mengandung unrestricted tren dan restricted intercept trend tidak dapat ditolak dengan tingkat
kepercayaan 95% maka rank kointegrasi ber-
pulkan bahwa rank kointe~rasi
untuk PPh
"
yang disarankan adalah 6. Sedangkan untuk
PPN berdasarkan analisis Trace of the Stochastic Matrix, hipotesis null hasil uji LR hen
polinomial menunjukkan bahwa model
mengandung unrestricted fren dan restricted
intercept trend tidak dapat ditolak dengan
tingkat kepercayaan 95% maka rank kointegrasi berada pada saat r r 6, sehingga dapat
disimpulkan bahwa rank kointegrasi untuk
PPN yang disarankan adalah 7. Hasil pengujian rank kointegrasi dapat diliiat dalam
Iampiran 5 dan 6.
Hasil estimasi VECM akan digunakan
untuk-memperoleh residual yang nantinya
aka11 digmakan untuk analisis VAR. Estimasi VECM tersebut dilakukan menggunakan aplikasi Microfit 4.0 (Pesaran, 1997).Hasil VECM tidak untuk memperoleh persamaan jangka panjang sehingga restriksi model S-VAR hanya digunakan berdasarkan
contemporaneous restriction yang selanjutnya
akan digmakan sebagai hasil antara untuk
~nemperolehresidual yang akan digunakan
untuk analisis impuls respon (IR) untuk menilai respon dinamik reference series sehubungan dengan adanya shock dari setiap variabel
CLI TEWS d m menentukan besarnya derajad pass tuo@ dari setiap CLI indikator. Kehasil VECM juga akan dimudian
untuk forecast error variance decomposition (FEVD). Analisis ini dilakukan untuk mengevaluasi peran yang dimainkan
oleh beberapa indikator penyusun CLI dalam menjelaskan variabilitas pola gerakan
reference series.
PEMBAHASAN
Damp&
- rerubahan Leading Index terhadap Reference Series
Dampak fluktuasi variabel penyusun
leading indicator dihitung menggunakan metode derajat pass-trough yang dalam penelitian ini mengacu pada model Hyder-Shah
(2006) dan Fickry-Achsani (2008). ~ o e h s i e n
pass-trough dihitung berdasarkan kumulatif
impuls respon dari setiap shock yang dihasilkan oleh masing-masing lending indicator terhadap reference series dalam ha1 ini PPh dan
PPN serta kumulatif impuls respon dari reference series terhadap reference series dalam ha1
ini PPh dan PPN. Periode yang digunakan
adalah selama 60 horizon waktu. Penentuan
horizon waktu sepanjang 60 periode didasarkan pada pemahaman bahwa selama
waktu tersebut diharapkan fluktuasi penerimaan pajak sudah mencapai titik kesetabilan atau keseimbangan nilai yang baru, ha1
ini dapai diindikasikan dari garis mendatar
yang dapat dilihat dalam grafik impuls respon.
Tabel 1
(OILCon) sebesar 1.304 artinya perubahan
konsumsi minyak sebesar 1%akan berdampak pada peningkatan PPh sebesar 1.304%,
dengan demikian dapat dikatakan bahwa
dampak struktural dari guncangan ketiga
variabel tersebut sangat signifikan mempengaruhi fluktuasi perubahan penerimaan
pajak sektor PPh. Sedangkan untuk indikator lainnya memiliki derajat pnss-trough kurang dari satu yang mengindikasikan adanya incomplete pnss-trough.
Selanjunya dapat dilihat bahwa derajat
pass-trough yang mengalami incomplete pnsstrough mempegaruhi PPh berturut-turut
adalah jumlah uang beredar (M2) sebesar 0.579 persen, kurs Rupiah terhadap Yen Je-
Derajat pass-trough lending indicntor terhadap series acuan
Variabel
Konsumsi Minyak
Harga minyak
Harga gas
Inflasi Amerika Serikat
Inflasi Indonesia
Singapore Inler Bank OJjered Rate 3m
Physical currency+denianddeposU
Ml+lime deposil
Kurs Rupiah thd. Yen Jepang
Kurs Rupiah thd. Yen USD
Wholesale Price Index
Producer Price Index
Impor
Ekspor
GDP semice sector
GDP lransport G. communication sector
Tingkat hunian hotel
Peiode sliodi
30 bulan
25 bulan
21 bulan
55 bulan
33 bulan
22 bulan
29 bulan
27 bulan
34 bulan
25 bulan
48 bulan
26 bulan
28 bulan
37 bulan
39 bulan
59 bulan
48 bulan
Pass lrough efefct
Derajad
Tipr
1.304 Conrplefc
-0.436 Incontplele
-0.013 bmrmplele
-0.117 Inconiplete
-0.008 Incomplete
0.015 lnconrplete
1.096 Complete
-0.579 Inconzplele
-0.536 Incomplete
0.173 Inconiplele
-0.059 Inomplete
0.037 lncnmplete
0.076 Incontplete
0.369 Incon~plele
-0.441 bcomplele
-0.444 lnconiplele
1.180 Coniplete
Dampak thd. penerimaan Pajak
PPh
PPN
+0.306% up
- 0.332% dawn
- 0.332% down
- 0.040% down
- 0.650% down
+0.010% up
+0.218% up
- 0.1% dawn
- 0.164% dawn
+0.133% up
slnble
slable
slnble
slable
slable
slable
+0.268% up
Dari tabel di bawah ini untuk series pang (IDRIJPY) sebesar -0.536 persen, harga
acuan PPh dapat dilihat bahwa ada 3 indika- minyak Indonesia (OILPr) sebesar -0.436
tor yang memiliki derajat pnss-trough lebih persen, kurs Rupiah terhadap USD (IDRI
besar dari satu yaitu tingkat hunian hotel USD) sebesar 0.173 persen dan inflasi US
(HOR) sebesar 1.180 artinya perubahan ting- (USINFL) sebesar -0.117 persen. Untuk derakat hunian hotel sebesar 1% akan berdam- jat pass-troug11 lainnya yang juga mengalami
pak pada peningkatan PPh sebesar 1.1876, incomplete pass-trough mempegaruhi PPN
jumlah uang beredar (MI) sebesar 1.096 ar- adalah nilai impor (IMP) sebesar 0.076 pertinya perubahan jumlah uang beredar sebe- sen dan kurs Rupiah terhadap Yen Jepang
sar 1% akan berdampak pada peningkatan (IDRIJPY)sebesar 0.067 persen.
Analisis Zmpuls Respon
Analisis impuls respon dilakukan untuk
melihat dampak perubahan masing-masing
variabel penyusun TEWS terhadap series
acuan pada beberapa periode w a k t u k e depan. Dengan kata lain setelah t e j a d i shock
pada masing-masing lending indicator maka
dampak slzock ini akan ditransmisikan k e
penerimaan pajak melalui jalur tertentu pada saat atau periode dengan jangka waktu
tertentu setelah tejadinya shock tersebut.
Besamya respon penerimaan pajak terhadap shock yang diakibatkan oleh leading
indicator dapat dinyatakan dalam ukuran
standar deviasi. Respon dinamik variabel
penyusun TEWS terhadap penerimaan pajak
dianalisis menggunakan Orthogonalized Imptds Respon Analysis yang terdapat dalam
aplikasi Microfit 4.0 (Pesaran, 1997). Dari
hasil analisis IR diketahui bahwa transmisi
fluktuasi penerimaan pajak dipengaruhi
oleh beberapa indikator seperti dijelaskan
berikut h i .
Respoil Penerimaan Pajak terhadap Fluktuasi Konsumsi Minyak, Harga Minyak dan
Gas
Kenaikan harga minyak yang disebabk a n oleh penurunan supply produksi dunia
dimana permintaanldemand cenderung tetap
dan bahkan selalu akan mengalami peningkatan akan menyebabkan tejadinya inflasi.
Inflasi yang terjadi d i sini adalah akibat dari
adanya dorongan biaya yang disebut supply
shock infZation. Seperti diketahui bahwa 70%
bahan baku produk Indonesia masih diimpar. Peningkatan harga akan menyebabkan
bergesemya kurva agregat penawaran k e
kiri sehingga menyebabkan inflasi yang disebut cost-push inflation (Shapiro, 1978).
om
J
B"lan*e
Gambar 2
Respon dinamik PPh terhadap
OILCon.
Respon dinamik perubahan konsumsi
minyak terhadap penerimaan pajak sektor
PPh berdampak sangat signifikan, ha1 ini ditunjukkan dengan niIai derajat pass trough
sebesar 1.304. Artinya peningkatanJpenurunan konsumsi minyak sebesar satu persen
akan mengakibatkan kenaikan/penurunan
penerimaan PPh sebesar 1.304 persen. Efek
perubahan konsumsi m i n y a k terhadap PPh
terbesar terjadi pada bulan kedua sebesar
0.8% kemudian berfluktuasi maksimal 0.5%
sampai bulan k e 17. Kemudian akan menur u n dan kembali stabil pada bulan k e 30 dengan kenaikan penerimaan pajak sebesar
0.306% dibandingkan nilai semula.
Fluktuasi harga minyak dan gas
(OILPr d a n GASPr) terhadap penerimaan
pajak sektor PPh d a n PPN merupakan proses incomplete pass trough dengan derajat pass
trough sebesar -0.436 (OILPr) dan -0.013
(GASPr). Artinya kenaikan/penurunan harga minyak sebesar satu persen akan mengakibatkan penurunankenaikan penerimaan
PPh sebesar -0.436 persen. Sedangkan kenaikanlpenurunan h a r p minyak sebesar satu persen hanya akan mengakibatkan penurunankenaikan penerimaan PPN sebesar 0.013 persen. Efek perubahan harga minyak
terhadap PPh terbesar t e j a d i pada bulan
pertama sampai k e tiga sebesar -0.726% kem u d i a n berfluktuasi maksimal 0.452% sampai bulan k e 17. Kemudian akan menurun
dan kembali stabil pada bulan k e 25 dengan
penurunan penerimaan PPh sebesar -0.332%
dibandingkan nilai semula.
m
Sedangkan respon dinamik penerima~
fluktuasi i k a s i Indoan pajak P P terhadap
nesia juga termasuk dalam katagori incomeplete pass trough dimana derajad pass trough
bemilai sangat rendah yaitu sebesar -0.008,
,.
artinya peningkatan/penurunan inflasi indoGambar 3 Respon dinamik PPN terhadap nesia sebesar satu persen akan mengakibatOILPr dan GASPr.
kan penurunanjsenaikan penerimaan PPh
sebesar -0.008 persen. Kemudian efek peruNamun demikian efek perubahan har- bahan inflasi Indonesia terhadap PPh terbega gas terhadap PPN tidak terlalu besar sar terjadi pada bulan kedua dan ketiga seyang terjadi pada bulan pertama sampai ke besar -0.459%. Stabilisasi akan tercapai pada
tujuh yaitu sebesar -0.04%. Kestabilan akan bulan ke 33 dengan penurunan penerimaan
kembali terjadi pada bulan k e 21 dengan pajak sebesar -0.65% dibandingkan nilai sekondisi penerimaan penerimaan PPN yang mula. Peningkatan inflasi pada dasamya
cenderung kembali pada posisi semula, ha1 akan mendorong bank sentral untuk meini mungkin disebabkan karena konsumsi naikkan suku bunga acuan (Flamini, 2005;
gas belum sebesar konsumsi minyak.
Ito et.al, 2005). Meningkatnya inflasi AS
akan direspon oleh kebijakan moneter the
Respon Penetimaan Pajak terhadap Fluk- Fed dengan jalan menaikkan suku bunga.
tuasi Inflasi US, Inflasi Indonesia, dan Suku Naiknya suku bunga AS akan menyebabkan
Bunga
pula meningkatnya suku bunga domestik,
Respon dinamik penerimaan pajak ha1 ini direspon untuk menghindari terjadisektor PPh terhadap fluktuasi inflasi US n y a c n r q trnde dimana akan terjadi capital
termasuk katagori incomplete pass trough di- outflow akibat perbedaan suku bunga yang
mana derajad pass trough sebesar -0.117, me- signifikan. Peningkatan suku bunga AS dan
ngindikasikan peningkatan/penurunan in- domestik ini akan menyebabkan agregat
flasi US sebesar satu persen akan mengaki- mengalami penurunan, sehingga menyebabbatkan penurunanjsenaikan penerimaan kan GDP m e n ~ a l a m ikontraksi. Akibatnya
PPh sebesar -0.117 persen. Efek perubahan penerimaan pajak juga akan mengalami peinflasi US terhadap PPh terbesar terjadi nurunan. Pada umumnya perubahan suku
pada bulan kedua sebesar -0.429% kemudi- bunga akan menyebabkan pula perubahan
an berfluktuasi maksimal -0.273% sampai nilai tukar yang kemudian akan berimbas
bulan ke 19. Stabilisasi akan tercapai pada pada perubahan nilai ekspor dan impor.
bulan ke 55 dengan penurunan penerimaan
pajak sebesar -0.1% dibandingkan nilai semula.
Gambar 4
Respon dinamik P P terhadap
~
USINFL dan INAINFL
Gambar 5
Respon dinamik PPN terhadap
suku bunga (SIBOR3m)
Disamping itu peningkatan suku bunga pada umurnnya akan menyebabkan penurunan permintaan uang, n a m u n demikian
jika dilihat dari data yang ada faktanya ternyata sebaliknya. Hal ini disebabkan karena
meningkatnya nilai tukar temyata memperbesar terjadinya defisit anggaran. Defisit
anggaran yang membesar tersebut mendorong Bank Indonesia menambah supply
uang beredar dengan melakukan pencetakan uang baru.
Respon Penerimaan Pajak terhadap Fluktuasi Jumlak Uang Beredar (MI-M2) dan
Suku Bunga
Respon penerimaan pajak terhadap
permintaan jumlah uang beredar dapat dilihat dalam gambar berikut ini. Respon PPh
terhadap guncangan MI akan menyebabkan
kenaikan penerimaan pajak sebesar 0.218%
pada bulan k e 29 setelah titik keseimbangan
baru tercapai. Fluktuasi jumah uang beredar
terbesar terjadi pada bulan pertama sampai
ke tiga dengan fluktuasi m a k s i m u m sebesar
0.43%, kemudian m e n u r u n sampai sekitar
0.1-0.3%. Perubahan jumlah uang berdar
akan menyebabkan PDB menalami penurunan. Turunnya PDB disebabkan oleh nilai
tukar yang terdepresiasi ketika terjadi guncangan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya
penurunan suku bunga domestik akan menyebabkan permintaan uang meningkat dan
pada u m u m y a akan diikuti oleh depresiasi
nilai kurs karena akan terjadi capital outflow.
Gambar 6
Respon dinamik PPh terhadap
jumlah uang beredar
Nilai Impor dan Eskpor
Pengaruh fluktuasi nilai tukar rupiah
(IDR/JPY d a n I D R N S D ) terhadap penerirnaan pajak dari sektor PPh sebesar 1 standar
deviasi dapat dilihat pada gambar berikut
ini.
Gambar 7
Respon dinamik PPh terhadap
Kurs IDROPY d a n IDR/USD
Fluktuasi nilai tukar rupiah (IDR/JPY
dan IDRTUSD) terhadap penerimaan pajak
sektor PPh merupakan incomplete pass trough
dengan derajat pass trough sebesar -0.536
(IDR/JPY) dan 0.173 (IDRlUSD). Artinya
apresiasi/depresiasi nilai tukar IDROPY sebesar satu persen akan mengakibatkan kenaikanlpenurunan penerimaan PPh sebesar
0.536 persen. Sedangkan apresiasildepresiasi
nilai tukar IDRWSD sebesar satu persen
akan mengakibatkan penurunan/kenaikan
penerimaan PPh sebesar 0.173 persen. Efek
perubahan kurs IDROPY terhadap PPh terbesar terjadi pada bulan pertama sampai k e
tiga sebesar -0.575% kemudian berfluktuasi
maksimal 0.339% sampai bulan k e 23. Kem u d i a n akan m e n u r u n d a n kembali stabil
pada bulan k e 30 dengan dengan penurunan
sebesar 0.165% dibandingkan nilai semula.
Efek perubahan kurs IDRTUSD terhadap PPh terbesar terjadi pada bulan pertama
sampai k e lima sebesar -0.495% kemudian
berfluktuasi maksimal0.363% sampai bulan
k e 23. Kemudian akan m e n u r u n d m kembali stabil pada bulan k e 25 dengan dengan
kenaikan sebesar 0.124% dibandingkan nilai
semula. Posisi penting kurs valuta asing da-
lam perdagangan intemasional mengakibatkan berbagai konsep yang berkaitan dengan
kurs valuta asing mengalami perkembangan
dalam upaya mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kurs valuta asing (Flemming, 1962; Dornbusch, 1976).
Fluktuasi WPI dan PPI terhadap penerimaan pajak sektor PPh merupakan incomeplete pass trough dengan derajat pass trough
sebesar -0.059 (WPI) dan 0.037 (PPI).Artinya
kenaikan/penumnan WPI sebesar satu persen akan mengakibatkan penurunanlkenaikan penerimaan PPh sebesar 0.059 persen. Sedangkan kenaikan/penurunan PPI sebesar
satu persen akan mengakibatkan kenaikanl
penurunan penerimaan PPh sebesar 0.037
persen. Efek perubahan WPI terhadap PPh
terbesar terjadi pada bulan keenam sampai
ke sembilan sebesar -0.25% kemudian kembaliapada keseimbangan semula pada bulan
ke 48.
Gambar 8
Respon dinamik PPh terhadap
WPI dan PPI
Sedangkan efek perubahan PPI terhadap PPh terbesar terjadi pada bulan kedua
sampai ke enam yaitu sebesar 0.603% kemudim kembali pada keseimbangan semula
pada bulan ke 26. Pengaruh fluktuasi WPI
akan berpengaruh lebik lama dibandingkan
PPI. PPI didefinisikan sebagai kenaikan harga pada level produsen, sehingga wajar bila
pengaruh WPI akan lebih lama dibandingkan PPI.
Keseluruhan fluktuasi output perusahaan akan mempengaruhi kinerja keuntungan yang dihasilkan melalui realisasi revenue
-
tiap h l a n sehingga kinerja penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) yang dibayarkan sebagai angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan
dan PPh Pasal 29 pada akhir tahun juga
akan terpengaruh. Sedangkan pajak-pajak
impor meliputi PPN impor (lo%),PPh Pasal
22 impor (2.5-7.5%) dan PPN Barang Mewah
impor (PPN BM Impor) atas transaksi barang masuk ke Indonesia akan tercermin dari pembayaran Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) atas konsumsi barang kena pajak
(BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP) yang
dilakukan oleh perusahaan.
Gambar 9
Respon dinamik PPN terhadap
Impor dan Eskpor
Fluktuasi nilai impor terhadap penerimaan pajak sektor PPN merupakan inconzeplete pass trough dengan derajat pass trough
tidak terlalu besar yaitu sebesar 0.076. Artinya kenaikanlpenurunan nilai impor sebesar
satu persen akan mengakibatkan kenaikanl
penurunan penerimaan PPN sebesar 0.076
persen. Efek perubahan nilai impor terhadap PPN terbesar terjadi pada bulan kelima
sebesar -0.045% kemudian kembali pada keseimbangan semula pada bulan ke 28 dengan kenaikan penerimaan PPN hanya sebesar 0.00035%. Disamping itu peranan ekspor
terhadap penerimaan pajak sebenamya
hampir tidak dirasakan, karena pada
umumnya barang-barang yang diekspor dikenakan tarif pajak 0% sehingga dari gambar 9 terlihat bahwa peranan ekspor tidak
memberikan gejolak signifikan terhadap penerimaan PPN. Fluktuasi nilai ekspor terhadap penerimaan pajak sektor PPN sendiri
merupakan incomplete pass trough dengan
derajat pass trough sebesar 0.369.
Fluktuasi Output (GDP)
Menurut pendekatan produksi, Produk Domestik Bruto (PDB) adalah jumlah
nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan
oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu setahun. Kesempatan kerja dalam perekonomian akan
menentukan tingkat kegiatan ekonomi dan
tingkat
produksi atau pendapatan nasional
yang dihasilkan. Pengaruh guncangan output terutama di sektor jasa terhadap penerimaan pajak sektor PPN (gambar 10) pada
bulan pertama sampai ke tiga akan menurunkan penerimaan pajak sebesar -0.04%.
Hal ini menunjukkan adanya lag antara
sumber guncangan dengan pengaruh yang
tejadi. Dalam jangka panjang penerimaan
pajak akan kembali pada keseimbangan semula setelah 39 bulan.
dilihat pada gambar berikut ini. Efek fluktuasi tingkat hunian hotel (HOR) terhadap
penerimaan pajak sektor PPh merupakan salah satu yang terbesar dengan derajat pass
trough sebesar 1.180. Artinya perubahan
tingkat hunian hotel sebesar satu persen
akan mengakibatkan kenaikan penerimaan
PPh sebesar 1.180 persen. Efek perubahan
tingkat hunian hotel terhadap PPh pada bulan pertama sampai ke tiga sebesar 0.4% kemudian berfluktuasi maksimal 0.564% sampai bulan ke lima. Kemudian akan menurun
dan berfluktuasi pada range sekitar 0.198%
sampai dengan 0.302% setelah itu akan kembali stabil sampai bulan ke 48 (tahun ke empat) dengan kenaikan 1.180% dibandingkan
nilai semula.
Gambar 11 Respon dinamik PPh terhadap
tingkat hunian hotel (HOR)
Gambar 10 Respon dinamik PPN terhadap
GDP-SERV dan GDP-TC
Sedangkan pengamh guncangan PDB
di sektor telekomunikasi dan transportasi
terhadap penerimaan pajak sektor PPN
(gambar 15) terjadi pada bulan bulan pertama sampai ke tiga akan menaikkan penerimaan pajak sebesar 0.034%. Dalam jangka
panjang penerimaan pajak akan kembali pada keseimbangan semula setelah 59 bulan.
Fluktuasi Tingkat Hunian Hotel
Pengaruh guncangan tingkat hunian
hotel (HOR) terhadap penerimaan pajak da-
Peningkatan tingkat hunian hotel merupakan indikasi awal bahwa telah tejadi
peningkatan aktifitas bisnis. Dimana peningkatan aktifitas bisnis akan berdampak
pada slklus bisnis dan pengingkatan penerimaan pajak dari segala sektor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meningkatnya tingkat hunian hotel maka akan mengindikasikan pada meningkatnya revenue perusahaan, ha1 ini dapat dilihat dari peningkatan setoran corporate tax melalui angsuran
bulanan PPh pasal25 dan PPh pasal29 yaitu
jumlah setoran yang terhutang pada akhir
tahun. Jika dilihat dari GDP sektor perda-
'I
uang beredar d a n nilai tukar. Strategi pengendalian dalam rangka pengamanan penerimaan pajak didasarkan pada sinyal yang
diberikan oleh T E W S . Dalam tatanan agreStrategi Pengamanan Penerimaan Pajak
Dari s u d u t pandang ekonomi, pajak gat nasional dalam ha1 ini Departemen Keadalah salah satu primadona penerimaan uangan Republik Indonesia bertindak sebanegara yang paling potensial. Bahkan, saat gai pengendali fiskal tidak dapat berdiri
ini sektor pajak m e m b e r i k a n kontribusi sendiri diperlukan koordinasi yang haryang terbesar dalam A P B N . Hal ini m e n u n - m o n i s dengan pihak lain yaitu Bank
jukkan b a h w a betapa pentingnya pajak bagi Indonesia sebagai pengendali sistem
negara karena pajak m e r u p a k a n sumber da- moneter. Hal ini perlu dilakukan karena
n a yang diperuntukkan bagi pembiayaan berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa
pengeluaran negara/pemerintah. U n t u k m e - salah satu penyebab fluktuasi ekonomi
lakukan sinkronisasi kebijakan sehubungan adalah nilai tukar, dimana penjaga stabilitas
dengan pengaruh turbulensi lingkungan nilai tukar berada dalam jangkauan bidang
yang mempengaruhi keseimbangan APBN tugas Bank Indonesia. Sedangkan hampir
melalui m e k a n i s m e manajemen pengenda- semua variabel p e n y u s u n T E W S berada di
lian penerimaan pajak secara e f e k t i f berda- luar kendali Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
sarkan identifikasi T E W S indikator m a k a Sehingga dalam ha1 ini posisi DJP b u k a n
perlu dilakukan manajemen penyelarasan. merupakan kendali kebijakan dalam level
Manajemen sendiri m e n u r u t Stoner (1999) agregat makro.
adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan d a n pengawasan, usaha-usaha para anggota organisasi d a n penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar
tercapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan melalui strategi-stretgi tertentu.
Strategi yang dimaksud d i sini adalah
suatu k u m p u l a n perilaku d a n seperangkat
tindakan yang d i b u t u h k a n u n t u k mencapai
sasaran dengan cara-cara yang sistematis,
efektif, d a n efisien sesuai dengan sinyal-sinyal fluktuasi yang telah diidentifikasi melalui TEWS. Sasaran atau target yang akan di- Gambar 11 Strategi Pengamanan Penerim a a n Pajak Berdasarkan sinyal
catat itu sendiri m e m b e r i k a n pengertian tendari T E W S
tang sesuatu yang dituju atau sesuatu yang
hendak dicapai. Pencapaian sasaran perpaPengendalian kelima variabel tersebut
jakan h a r m memperhatikan k e d u a belah sisi
baik dari sisi fiskus sebagai pelaksana pe- berada d i d u a institusi yang berbeda. Penm u n g u t a n pajak d a n sisi Wajib Pajak selaku gendali k o n s u m s i m i n y a k , harga m i n y a k
d a n inflasi merupakan d o m a i n dari Departepembayar pajak.
Dari tabel 1 di atas dapat dilihat bah- m e n Keuangan sedangkan pengendalian
w a paling tidak terdapat lima variabel pen- jumlah uang beredar d a n nilai tukar meruting u n t u k dikendalikan yaitu konsumsi mi- pakan bidang tugas Bank Indonesia. Dengan
nyak, harga minyak, inflasi dalam negeri, demikian strategi yang akan diterapkan oleh
gangan, hotel d a n restoran yang selalu
mengalami peningkatan tiap tahun.
olaan makro ekonomi melainkan lebih beisifat strategi antisipatif dalam ha1 manajemen
pengamanan penerimaan negara. Manajemen antisipatif yang dilakukan oleh DJP
merupakan proses yang melibatkan fungsifungsi seperti yang telah dijelaskan terdahulu dalam tinjauan pustaka yaitu berupa
analisa, perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organizing), pengarahan (Actuating),
dan pengawasan (Controling) dengan tujuan
untuk menghasilkan kepuasan bagi semua
pihak.
DJP adalah salah satu bagian organisasi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan manajemen pengamanan penerimaan negara di Departemen Keuangan Republik Indonesia memiliki peran sentral dalam
mengelola penerimaan pajak melalui proses
manajemen seperti telah dijelaskan di atas.
DJP bertugas merencanakan sistem pengamanan penerimaan negara untuk mencapai
sasaran strategik organisasi secara keseluruhan. Departemen Keuangan secara periodik
memantau dan mengevaluasi hasil pelaksanaan rencana pengamanan penerimaan
yang dilakukan oleh DJP sebagai bahan kajian dalam membuat evaluasi pencapaian sasaran strategik organisasi. Dari ha1 tersebut
terllhat bahwa manajemen antisipatif yang
dilakukan DJP memiliki peranan yang penting dalam pencapaian sasaran organisasi
induk dalam ha1 ini Departemen Keuangan.
Oleh karena itu DJP harus memilki kemampuan untuk memantau dan mengendalikan
pelaksanaan rencana dalam rangka pengamanan penerimaan pajak.
Menurut Hermawan Kartajaya (1998),
pada suatu organisasi baik pemerintah maupun swasta, akan terjadi suatu proses manajemen yang melibatkan value (V),strategy (S)
dan tactic (T) dalam suatu siklus tertutup
dan timbal b a l k Ketiganya mempunyai peran berbeda dalam sebuah organisasi dan
saling mempengaruhi. Jika dianalogkan de-
tang bagaimana cara organisasi dapat merebut mind share, dalam ha1 ini DJP perlu menentukan posisi wajib pajak yang akan dijadikan sebagai target utama, menengah dan
bawah. Sedangkan tactic tentang bagaimana
organisasi merebut market share dalam ha1
ini organisasi DJP perlu menangkap seluruh
sektor ekonomi yang memberikan manfaat
perpajakan tinggi untuk meningkatkan penerimaan negara dan value adalah tentang
bagaimana organisasi merebut heart share
dalam ha1 ini DJP perlu membentuk citra
positif di masyarakat melalui pelayanan prima sehingga kesadaran dalam membayar
pajak menjadi suatu kebutuhan bukan merupakan sebuah beban. Ketiga unsur tersebut merupakan suatu ha1 yang sangat penting bagi organisasi manapun karena secara
bersama-sarna unsur-unsur ini akan membentuk grand design dari sebuah organisasi.
KESIMPULAN
Secara keseluruhan tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh fluktuasi ekonomi (pass through) terhadap kinerja penerimaan pajak serta merumuskan kebijakan strategis untuk mengantisipasi turbulensi lingkungan berdampak terhadap kesetabilan penerimaan pajak. Dari hasil analisis VECM terhadap series acuan PPh diketahui bahwa terdapat 3 indikator yang memiliki derajat pass-trough lebih besar dari satu
(complete pass trough) yaitu tingkat hunian
hotel, jumlah uang beredar dan konsurnsi
minyak. Sedangkan terhadap PPN seluruh
indikator menunjukkan gejala incomplete
pass trough.
Secara keseluruhan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia sampai dengan tahun 2007 masih dalam status small open economy dan ha1
ini sesuai dengan teori New Keynes. Hasil
kesimpulan ini temyata juga sejalan dengan
beberapa penelitian tentang siklus bisnis In-
..,?.y.L:.
donesia terdahulu dan juga konsisten dengan asumsi awal yang diterapkan.
Paling tidak terdapat lima variabel
penting untuk dikendalikan yaitu konsumsi
minyak, harga minyak, inflasi dalam negeri,
uang beredar dan nilai tukar. Strategi pengendalian dalam rangka pengamanan penerimaan pajak didasarkan pada sinyal yang
diberikan. Dalam tatanan agregat nasional
dalam ha1 ini Departemen Keuangan Republik Indonesia bertindak sebagai pengendali
fiskal tidak dapat berdiri sendiri diperlukan
koordinasi yang harmonis dengan pihak
lain yaitu Bank Jndonesia sebagai pengendali sistem moneter. Sedangkan hampir semua variabel penyusun TEWS berada di
luar kendali Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Sehingga dalam ha1 ini posisi DJP bukan
merupakan kendali kebijakan dalam level
agregat makro. Dengan demikian strategi
yang akan diterapkan oleh DJP juga bukan
merupakan strategi pengelolaan makro ekonomi melainkan lebih bersifat strategi antisipatif dalam ha1 manajemen pengamanan
penerimaan negara. Manajemen antisipatif
yang dilakukan oleh DJP merupakan proses
yang melibatkan fungsi-hgsi seperti yang
dijelaskan di atas yaitu berupa analisa, perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organizing), pengarahan (Actuating), dan pengawasan (Controling) dengan tujuan untuk
menghasilkan kepuasan bagi semua pihak.
Disamping itu penyelarasan antara kebijakan yang diterapkan untuk stabilisasi
penerimaan harus pula dapat menciptakan
pengaruh yang kondusif terhadap dunia
usaha, sehingga perlu diterapkan strategi
tertentu dalam sistem perpajakan. Strategi
yang dimaksud di sini adalah suatu kumpulan perilaku dan seperangkat tindakan yang
dibutuhkan untuk mencapai sasaran dengan
cara-cara yang sistematis, efektif, dan efisien
sesuai dengan sinyal-sinyal fluktuasi yang
telah diidentifikasi melalui TEWS dan pola
kerangka kerja manajemen antisipatif berupa Strategy, Value dan Tactic.
Seluruh usaha tersebut tidak lain adalah untuk menciptakan harmonisasi hubungan antara fiskus dan wajib pajak sehingga visi serta misi DJP dapat terwujud
dengan baik melalui pencapaian indikator
kesuksesan berupa peningkatan tax ratio, peningkatan jumlah WP OP, penurunan jumlah WP non filer dan meningkatnya image
positif DJP dapat tejadi secara optimal.
DAFTAR RUJUKAN
Achsani Noer Azam, Nababan Herry
Frenky. 2006. Dampak Perubahan Kurs
(Pass Trough Effect) Terhadap Tujuh KeIompok Indeks Hnrga Konsumen Indonesia. Paper Institut Pertanian Bogor,
Batiz, Fransisco Rivera dan Luis R. Batiz.
1994. Internationtll Finance and Open
Economy, M~ncroecononzics. New York:
McMillan Publishing Co..
Dornbusch, R. 1976. "Expectations and exchange rate dynamics". Journal of Political Economy 84, pp.1161-1176,
Flamini Alessandro. 2005. Inflation Targeting
and Exchange Rate Pass-through. Graduate Institute of International Studies
Flemming, JM. 1962. "Domestic Financial
Policies Under Fixed and Under Floating Exchange Rates". Anzerican Economic Review, Val. 90, pp. 369-379,
Hyder Zulfiqar, Shah Sardar. 2004. Exchange
Rate Pnss-Through to Domestic Prices in
Pakistnn. Working Papers. State Bank
of Pakistan
Ito Takatoshi, Sasaki Yuri N, Sato Kiyotaka.
2005. Pass-Through of Exchange Rnte
Changes and Macroeconomic Shocks to
Donzestic Inflation in East Asian Countries, RIETI Discussion Paper Series 05E-020
Johansen, S. 1992. "Statistical Analysis of Cointegration Vectors". journal of Eco-
254,
Kartajaya, H. 1998. Marketing Plus 2000 :
Siasat Memenangkan Persaingan Global.
Jakarta: Gramedia Pustaka Media
Kiptui Moses, Ndolo Daniel, Kaminchia
Sheila Kaminchia. 2005. Exchange Rate
Pass-Through: To What Extent Do
Exchange Rate Fluctuations Affect Import
Prices and Inflation i n Kenya?. Working
Paper No 1Central Bank of Kenya,
McCarthy Jonathan. 2006. PASS-THROUGH
of Exchange Rates and Import Prices to
Domestic Inflation in Some Industrialized
Economices,
Macroeconomic
and
Monetary Studies Function. Federal
Reserve Bank of New York
Nugraha Fickry Widya, Achsani Noer
Azam. 2008. Efek Perubahan (PASSTHROUGH EFFECT) Kurs Terhadap
Indeks Harga Konsumen (IHK) di Asenan5, Jepang dun Korea Selatan, Working
Paper No. ll/A/III/2008, Department
of Economics Faculty of Economics
and Management Bogor Agriculture
University,
Working with Microfit 4.0: Interactive
Econometric Analysis (Windows Version),
Oxford University Press,
Sahminan. 2005. Exchange Rate Pass-Through
into Import Price i n Major Southeast
Asian Countries. Paper dipresentasikan
pada Seminar Akademik 2005,
Kerjasama Bank Indonesia dengan FE
Universitas Indonesia, Hotel Borobudur-Jakarta.
Sato. K, T. Ito, YN, Sasaki. 2005. Pass trough
of
exchange
rate
changes
and
macroeconomics shock
to domestic
inflation i n east asian countries, RIETI
discussion paper series 05-E-202 Japan
Shapiro, E. 1978. Macroeconomic Analysis.
Fourth Edition. New York, United
States: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Siregar Hermanto. 2002. Empirical Evaluntion
of Rival Theories of the Business Cycle:
Applications of Structural V A R Models to
New Zealand Economy, Phd. Thesis,
Lincoln University, Canterbury,
Stoner, James. A.F. 1993. Manajemen. Jakarta
Download