PENDAHULUAN Krisis moneter yang melanda perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tingginya risiko perbankan yang mengalami kesulitan keuangan dan penurunan kinerja perbankan nasional. Salah satu penyebab menurunnya kinerja perbankan ialah semakin meningkatnya kredit bermasalah, yang menyebabkan bank harus menyediakan cadangan penghapusan hutang yang cukup besar sehingga mengakibatkan kemampuan bank memberikan kredit menjadi terbatas (Murniati, 2010). Setiap tahun permintaan akan kredit mengalami peningkatan yang mengakibatkan kredit bermasalah menjadi semakin besar sehingga risiko kredit macet saat ini cukup tinggi. Menurut data Bank Indonesia, sampai akhir 2011 jumlah kredit yang dikucurkan perbankan Indonesia mencapai Rp 2.200,094 triliun dan hingga akhir tahun 2011 jumlah kredit macetnya mencapai Rp 33,401 triliun, serta rasio NPL perbankan di akhir 2011 mencapai 1,53% (Wahyu, 2011). Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/1/PBI/2011, penilaian tingkat kesehatan bank salah satunya dengan mencakup penilaian terhadap faktorfaktor Risk Profile. Penilaian faktor profil risiko merupakan penilaian terhadap risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko dalam aktivitas operasional bank. Risiko yang wajib dinilai terdiri atas 8 (delapan) jenis risiko yaitu salah satunya adalah risiko kredit. Risiko Kredit (default risk) adalah resiko akibat ketidakmampuan nasabah debitor mengembalikan pinjaman yang diterimanya dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Risiko Kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas bisnis bank. 1 Pada sebagian besar bank, pemberian kredit merupakan sumber risiko kredit yang terbesar. Selain kredit, bank menghadapi Risiko Kredit dari berbagai instrumen keuangan seperti surat berharga, akseptasi, transaksi antar bank, transaksi pembiayaan perdagangan, transaksi nilai tukar dan derivatif, serta kewajiban komitmen dan kontinjensi. Risiko kredit dapat meningkat karena terkonsentrasinya penyediaan dana, antara lain pada debitur, wilayah geografis, produk, jenis pembiayaan, atau lapangan usaha tertentu. Kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan bank, karena bank tidak mungkin menghindari adanya kredit bermasalah, bank hanya berusaha menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah agar tidak melebihi ketentuan Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan. Bank Indonesia menetapkan bahwa suatu lembaga keuangan termasuk BPR harus mempunyai kinerja NPL (Non Perfoming Loan) yang dikategorikan sehat atau baik apabila bank tersebut mampu menekan rasio kredit bermasalah atau NPL di bawah 5%, jika tidak maka akan berakibat pada peningkatan biaya yang harus dikeluarkan bank untuk memupuk cadangan kerugian yang disebut PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif). Tingginya kredit bermasalah akan membuat bank harus menyediakan cadangan PPAP yang lebih besar pula sehingga kemampuan bank dalam menghasilkan laba akan menurun, untuk itu diperlukan serangkaian kebijakan yang harus dilakukan dalam rangka mengurangi kredit bermasalah (Bastian dan Suhardjono, 2006., dalam Martantia, 2009). 2 Menurut data perkembangan kredit yang diperoleh pada PT. BPR Kridaharta adalah sebagai berikut: Tabel 1.0: Laporan Kualitas Aktiva Produktif & Informasi Lainnya Bulan Desember 2012 (Ribuan Rp.) Keterangan 1. Penempatan pada bank lain 2. Kredit yang diberikan L KL D M Jumlah 4,066,447 0 0 0 4,066,447 0 0 0 0 0 276,203 0 0 0 276,203 10,570,456 438,183 383,025 778,705 12,170,369 14,913,106 438,183 383,025 778,705 16,513,019 4. NPL net (%) - - - - 10.9 5. Rasio KPMM (%) - - - - 16.05 6. Loan to Deposit Ratio / LDR (%) - - - - 75.26 a. Kepada pihak terkait b. Kepada pihak tidak terkait 3. Jumlah aktiva produktif 7. Return on Asset / ROA (%) 2.9 Sumber:http://www.bi.go.id/biweb/Templates/Statistik/New_LaporanBPR.%2bPublikasi%2bBank %2fBank%2fBPR%2bKonvensional%2f&NRCACHEHINT Dari Tabel 1.0 di atas, dilihat dari total aktiva produktif kreditnya dan dengan NPL sebesar 10,9%, penelitian ini terkait dengan NPL yang memiliki implikasi terhadap biaya dan baki debet pinjaman yaitu Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) di PT. BPR Kridaharta. Berdasarkan permasalahan tersebut maka persoalan penelitian ini adalah: 1. Bagaimana proses perhitungan PPAP Wajib Dibentuk di PT. BPR Kridaharta? 3 2. Apakah PT. BPR Kridaharta telah menetapkan PPAP Real dalam laporan keuangan sesuai dengan PPAP Wajib Dibentuk? Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui proses perhitungan PPAP Wajib Dibentuk di PT. BPR Kridaharta apa sudah sesuai dengan standar peraturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2. Untuk mengetahui apakah PT. BPR Kridaharta telah menetapkan PPAP Real dalam laporan keuangan telah sesuai dengan PPAP Wajib Dibentuk. Selain manfaat yang diperoleh dari penelitian ini untuk: 1. BPR yang diteliti Penelitian ini diharapkan sebagai masukan untuk penyempurnaan bagi PT. BPR Kridaharta dalam membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP). 2. Pihak akademis Dapat digunakan sebagai bahan referensi dan untuk menambah pengetahuan tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif pada bank serta dapat sebagai bahan perbandingan bagi yang tertarik sehingga penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut. 4