Bab 2

advertisement
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Pengertian Bank Syariah
Bank Syariah dalam istilah internasional dikenal sebagai Islamic Banking
atau juga disebut dengan istilah interest-free banking. Istilah Islamic Banking
tidak dapat dilepaskan dari asal-usul sistem perbankan syariah itu sendiri. Bank
Syariah dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok ekonomi dan prakrisi
perbankan muslim yang mengakomodasi dari berbagai pihak yang menginginkan
tersediannya jasa transaksi keuangan yang sejalan dengan moral dan prinsipprinsip Islam seperti melarang riba, kegiatan maisir (spekulasi) dan gharar
(tipuan) (MS Antonio, 2001).
Pengertian Bank Syariah menurut Undang-undang No.21 tahun 2008 pasal
1 ayat 7 ialah sebagai berikut:
“Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum
Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah”.
Bank Syariah merupakan badan usaha yang melakukan kegiatan usahanya
menghimpun
dana
dari
masyarakat
dalam
bentuk
simpanan
dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan atau bentuk
lainnya berdasarkan prinsip syariah dan berasaskan pada kemitraan, keadilan,
transparansi dan universal (Dendawijaya, 2008). Bank Syariah memiliki peran
14
strategis dalam menjalankan
kegiatannya sesuai dengan prinsip syariah, hal
tersebut sesuai dengan pendapat Rachmadi Usman (2002), yang mengatakan
bahwa Bank Syariah merupakan badan usaha yang berfungsi sebagai penghimpun
dana dari masyarakat dan penyalur dana kepada masyarakat, yang sistem dan
mekanisme kegiatan usahanya berdasarkan hukum islam sebagaimana yang diatur
dalam Al Quran dan Al Hadits.
Bank Syariah dalam melakukan kegiatannya menurut UU No 21 tahun
2008
pasal 3, memiliki tujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan dan pemerataan
kesejahteraan rakyat. Menurut Sudarsono (2014), Bank Syariah memiliki tujuan
untuk memenuhi profit dengan cara bagi hasil antar pemilik dana atau bank
(shahibul maal) dengan pengelola dana atau nasabah (mudharib) yang sesuai
kesepakatan bersama.
Bank Syariah dengan beragam skema transaksi yang dimiliki dalam
kegiatannya setidaknya memiliki beberapa fungsi (Rizal, 2014) yaitu Fungsi
Manajer Investasi, Fungsi Investor, Fungsi Sosial dan Fungsi Jasa Keuangan.
Menurut Macmud dan Rukmana (2010) Bank Syariah dalam menjalankan
fungsinya mempunyai peran sebagai lembaga perantara (intermediary) antara
satuan-satuan kelompok masyarakat atau unit-unit ekonomi yang mengalami
kelebihan dana (surplus unit) dengan unit-unit lain yang mengalami kekurangan
dana (defisit unit). Melalui Bank Syariah kelebihan dana-dana tersebut akan
disalurkan kepada pihak-pihak yang memerlukan dan memberikan manfaat
kepada kedua belah pihak.
15
Bank Syariah berdasarkan fungsi dan tujuan di atas memiliki peran yang
signifikan dalam memajukan perekonomian suatu negara. Akan tetapi Bank
Syariah dalam melakukan operasionalnya dapat mengalami penurunan kinerja dan
dapat menyebabkan gangguan kepada para pelaku usaha dalam menjalankan
usahanya dan bahkan menyebabkan kegagalan dalam melakukan kewajiban
terhadap perbankan dan menyebabkan non performing financing. Faktor-faktor
yang menyebabkan non performing financing disebabkan oleh faktor eksternal dan
internal perbankan, faktor eksternal antara lain perubahan tingkat inflasi dan nilai
kurs (Siamat, 2005; Arifin, 2003), dan faktor internal kebijakan pembiayaan
(Rasio Return Profit Loss Sharing berbanding return financing)
yang
dikembangkan untuk melihat sejauh mana keseriusan bank dalam mencegah moral
hazard yang menyebabkan non performing financing (Hart dan Moore, 1998;
Rajesh dan Tarik, 2000).
2.2
Pengertian Inflasi
“ Inflasi adalah suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam suatu
perekonomian” (sukirno, 2002: 15). Frederick dan Wesley (2003) mengatakan
Inflasi sebagai kenaikan harga umum secara terus menerus dari suatu
perekonomian, inflasi akan mempengaruhi kegiatan ekonomi baik secara makro
maupun mikro termasuk kegiatan investasi. Inflasi juga menyebabkan penurunan
daya beli masyarakat yang berakibat pada penurunan penjualan. Penurunan
penjualan yang terjadi dapat menurunkan return perusahaan. Penurunan return
yang terjadi akan mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam membayar
angsuran pembiayaan sehingga meningkatkan non performing financing (Martono
16
dan Harjito, 2008).
Dari paparan di atas inflasi merupakan suatu kejadian ekonomi yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat luas secara menyeluruh. Pengaruh yang
diakibatkan oleh inflasi menyebabkan menurunnya kemampuan daya beli
masyarakat, karena inflasi menyebabkan menurunnya penurunan nilai uang yang
digunakan oleh masyarakat dalam kegiatan sehari-hari. Penurunan mata uang yang
disebabkan oleh inflasi menyebabkan menurunnya harta kekayaan masyarakat dan
mempengaruhi masyarakat dalam melakukan kewajiban terhadap Perbankan.
Jenis-jenis Inflasi berdasarkan tingkat / laju Inflasi menurut Murni (2009)
antara lain Inflasi Merayap (Creeping Inflation), Inflasi Ganas (Galloping
Inflation), Inflasi Tinggi (Hyper Inflation). Inflasi berdasarkan sumber atau
penyebabnya menurut Samuelson dan Nordhaus (2004) yaitu Demand pull
Inflation, Cost Push Inflation. Dampak yang ditimbukan dari adanya inflasi yaitu
menurunya tingkat kesejahteraan rakyat, memperburuk distribusi pendapatan,
menurunnya minat menabung dan menurunnya nilai uang dibanding pada saat
meminjam. Sehingga pengaruh perubahan inflasi terhadap non performing
financing adalah menurunnya pendapatan riil masyarakat dan menyebabkan
menurunnya kemampuan masyarakat dalam membayar kewajibannya (Rahadja dan
Manurung, 2004)
Sarwono dan Warjiyo (1998) mengatakan bahwa inflasi merupakan suatu
proses kenaikan harga-harga dalam suatu perekonomian yang dapat mempengaruhi
kemampuan masyarakat dalam membayar kewajiban terhadap perbankan.
Sehingga hal ini perlu dilakukan pengendalian Inflasi atau kebijakan moneter untuk
17
mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan
inflasi dari sisi penawaran sepenuhnya berada diluar pengendalian Bank Indonesia,
pengendalian inflasi tersebut akan mempengaruhi perekonomian melalui empat
jalur transmisi yaitu jalur suku bunga, jalur nilai tukar, jalur harga aset dan jalur
kredit.
Rumus perhitungan inflasi (Samuelson dan Nordhaus, 2004: 383) sebagai
berikut :
Tingkat Inflasi (tahun t) =
Tingkat harga(tahun t) − tingkat harga (tahun t − 1)
X 100
Tingkat harga (t − 1)
Faktor eksternal selain inflasi yang menyebabkan non performing financing pada
Bank Umum Syariah di Indonesia adalah nilai kurs, hal ini terlihat jika nilai rupiah
meningkat dibandingkan dengan valuta asing maka akan mengganggu usaha
nasabah yang menggunakan bahan baku impor sehingga mempersulit mereka untuk
mengembalikan pembiayaan yang telah diberikan oleh bank dan dapat
menyebabkan meningkatnya persentasi rasio non performing financing perbankan
syariah (Wikutama, 2010).
2.3
Pengertian Kurs
Pengertian Kurs menurut Eng, Lees dan Mauer (1995: 84) adalah: “Any asset
or financial claim denominated in a foreign currency.” Sedangkan menurut FASB
No.52, valuta asing dapat didefinisikan sebagai: “Acurrency other than an entity’s
functional currency”. Kurs merupakan pertukaran mata uang suatu negara terhadap
negara lainnya. Setiap negara memiliki mata uang yang berbeda dari negara lain,
dan setiap negara memiliki nilai mata uang yang berbeda-beda jika dibandingkan
dengan mata uang negara lain. Kurs mata uang asing menjadi salah satu faktor
18
eksternal perbankan, karena dalam kegiatannya, bank memberikan jasa jual beli
valuta asing. Dalam situasi normal, memperdagangkan valuta asing pada dasarnya
sangat menguntungkan karena transaksi menghasilkan selisih kurs (Loen, 2008)
Kurs (exchange rate) dua negara adalah “harga dari mata uang yang
digunakan oleh penduduk tersebut untuk saling melakukan perdagangan satu sama
lain” (Mankiw, 2007: 123). Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004), kurs adalah
“harga satuan mata uang dalam satuan mata uang lain”. Nilai tukar valuta asing
ditentukan dalam pasar valuta asing yaitu pasar tempat berbagai mata uang
diperdagangkan.
Jenis-jenis Kurs menurut Mankiw (2007) antara lain Kurs Tetap (Fixed
Exchange Rate), Kurs Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange
Rate), Kurs Mengambang Bebas (Free Floating Rate). Pergerakan Kurs
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu (Karim, 2008), faktor fundamental, faktor
teknis dan sentiment pasar. Perubahan kurs juga akan sangat berpengaruh pada
kelancaran usaha nasabah. Jika nilai rupiah jatuh dibandingkan dengan valuta asin
dan jika usaha tersebut dijalankan menggunakan bahan impor, maka akan
menyebabkan usaha nasabah menurun dan dapat meningkatkan rasio non
performing financing.
Rumus perhitungan kurs (Frederick, 2010) sebagai berikut:
Kurs t =
Kurs t – Kurs t-1
Kurs t-1
X
100%
19
Selain faktor eksternal inflasi dan kurs yang telah dijelaskan di atas, rasio return
profit loss sharing berbanding return financing (PLS) merupakan faktor internal
yang juga dapat menyebabkan non performing financing, hal ini dikarenakan
pembiayaan profit loss sharing memiliki risiko tinggi dan menyebabkan bank
menghadapi risiko terjadinya moral hazard dan adverse selection yang akan
menyebabkan risiko semakin tinggi dan menyebabkan non performing financing
(Ihsan dan Haryanto, 2011).
2.4
Pengertian Rasio Return Profit Loss Sharing berbanding Return
Financing
Profit sharing menurut etimologi Indonesa adalah bagi keuntungan. Dalam
kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah merupakan
perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan
lebih besar dari biaya total (Muhammad, 2005). Istilah profit sharing yang
didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan. Sistem profit loss
sharing dalam pelaksanaanya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara
pemodal (investor) dan pengelola dana (entrepreneur) dalam menjalankan kegiatan
usaha ekonomi, dimana diantara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam
usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua belah pihak sesuai
nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami
kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing (Nasution dan
Wiliasih, 2007).
20
Pembiayaan Profit Loss Sharing secara umum dalam perbankan syariah
terdiri dari Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah dan Musaqah (MS Antonio,
2001). Akan tetapi dalam perbankan syariah pembiayaan profit loss sharing yang
paling ideal dalam perbankan syariah terdiri dari pembiayaan Mudharabah dan
Musyarakah. Pembiayaan profit loss sharing menjadi pembeda yang nyata antara
bank syariah dan bank konvensional. Pembiayaan profit loss sharing memiliki
risiko yang sangat tinggi, hal ini dikarenakan dalam kontrak keuntungan yang
diperoleh oleh shohibul maal (bank) relatif tidak pasti, bahkan perbankan syariah
harus siap ikut menanggung kerugian. Tidak adanya ketentuan jaminan dalam
pembiayaan profit loss sharing menyebabkan bank menghadapi risiko yang sangat
tinggi terutama terjadinya moral hazard dan adverse selection karena adanya
informasi yang asimetri (Rajesh dan Tarik, 2000).
Hart dan Moore (1998), mengatakan dalam penelitiannya bahwa pembiayaan
profit loss sharing lebih sering tidak diikuti dengan kepastian pengawasan
operasional dan pengawasan cash flow secara baik, sehingga rasio Return Profit
Loss Sharing yang mencerminkan kebijakan jenis pembiayaan Bank Syariah seperti
moral hazard, hukum dan volatility retun mengandung resiko yang tinggi . Jenis
pembiayaan profit loss sharing terdiri pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah.
Perhitungan rasio return profit loss sharing berbanding return financing adalah
sebagai berikut (Khan dan Ahmed, 2001) :
21
RR =
𝑅𝑃𝑙𝑠
𝑅𝐹
Keterangan
RR
RPls
RF
2.5
:
:
:
Rasio Return Profit Loss Sharing
Retun Pembiayaan Profit Loss Sharing
Return Financing
Pengertian Non Performing Financing (NPF)
Non performing financing merupakan pembiayaan yang telah disalurkan oleh
bank dan nasabah tidak dapat melakukan pembayaran atau melakukan angsuran
sesuai dengan akad pembiayaan (Ismail, 2010), risiko pembiayaan muncul jika
bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok atau bunga dari pembiayaan
yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukan (MS.Antonio, 2001). Menurut
Dendawijaya (2008) kategori pembiayaan non performing financing antara lain
yang kolektibilitasnya masuk dalam kriteria pembiayaan kurang lancar,
pembiayaan diragukan dan pembiayaan macet.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006
tentang Penilaian Kualitas Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan syariah pasal 9 ayat (2), bahwa kualitas aktiva produktif dalam
pembiayaan dibagi dalam 5 golongan yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang
lancar, diragukan, macet (Hermansyah, 2008). Menurut Ihsan (2010), non
performing financing merupakan rasio antara pembiayaan yang bermasalah dengan
total pembiayaan yang disalurkan oleh Bank Syariah.
Bank Syariah sangat memperhatikan risiko ini, mengingat sebagian besar
kegiatan dari perbankan adalah pemberian pembiayaan sebagai bisnis utamanya.
non
performing
financing merupakan kontribusi utama yang menyebabkan
22
kondisi perbankan memburuk, karena nilai kerugian yang ditimbulkan sangat besar
sehingga mengurangi modal bank secara cepat. Perhitungan non performing
financing menurut Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006
Rasio NPF
= Pembiayaan Kolektibilitas (KL,D,M) x 100%
Total Pembiayaan
Besarnya rasio non performing financing yang diperbolehkan Bank
Indonesia maksimal 5%. Jika melebihi angka 5% maka akan mempengaruhi
penilaian tingkat kesehatan bank yang bersangkutan (Suhardjono, 2003). Non
performing financing yang dialami oleh perbankan jika tidak segera diambil
langkah penanggulanagan, maka akan menimbulkan ketidakpastian pada nasabah
yang bersangkutan dan memungkinkan terjadinya rush (Soebagia, 2005)
2.6
Kerangka Pemikiran
a)
Pengaruh Inflasi terhadap Non Performing Financing
Inflasi adalah “kenaikan dalam tingkat harga rata-rata dan harga adalah
tingkat dimana uang diperlukan untuk mendapatkan barang dan jasa” (Mankiw,
2006:75). Inflasi secara umum merupakan naiknya harga barang dan jasa akibat
jumlah uang (permintaan) yang lebih banyak dibandingkan jumlah barang atau jasa
yang tersedia (penawaran), sebagai akibat dari inflasi adalah menurunnya nilai
uang. Inflasi akan mempengaruhi kegiatan ekonomi secara makro maupun mikro
termasuk kegiatan investasi. Inflasi juga menyebabkan penurunan daya beli
masyarakat yang berakibat pada penurunan penjualan. Penurunan penjualan yang
terjadi dapat menurunkan return perusahaan. Penurunan return yang terjadi akan
mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam membayar angsuran pembiaayan.
Pembayaran angsuran yang semakin tidak tepat menimbulkan kualitas pembiayaan
23
semakin buruk bahkan terjadi pembiayaan macet sehingga meningkatkan presentasi
non performing financing semakin tinggi (Indrawan, 2011).
Inflasi yang mengalami fluktuasi yang terus menerus dapat mempengaruhi
non performing financing dan menyebabkan menurunnya pendapatan riil
masyarakat sehingga standar hidup dan kemampuan masyarakat mengalami
penurunan. Sebelum inflasi terjadi masyarakat masih sanggup dalam melakukan
kewajiban angsuran terhadap perbankan, tetapi setelah inflasi mengalami fluktuasi
yang terus menerus, dimana harga-harga mengalami peningkatan yang cukup
signifikan, sedangkan penghasilan masyarakat tidak mengalami peningkatan,
sehingga dengan kenaikan inflasi tersebut maka kemampuan masyarakat dalam
membayar kewajibannya terhadap perbankan mengalami pelemahan dan bahkan
menjadi macet dikarenakan penghasilan masyarakat tersebut sudah digunakan
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga akibat harga-harga meningkat .
Menurut penelitian Rahmawulan (2008), inflasi berpengaruh positif
signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi inflasi dimana terjadi
kenaikan harga secara terus-menerus, daya beli masyarakat menurun karena nilai
uang tergerus inflasi. Hal ini menyebabkan turunnya penjualan dan kondisi dunia
usaha melemah. Kondisi tersebut menyebabkan nasabah perbankan syariah
mengalami kesulitan untuk mengembalikan pembiayaannya, sehingga rasio
pembiayaan macet mengalami peningkatan. Penelitian yang dilakukan oleh
Lindiawati (2007), mengatakan bahwa Inflasi memiliki pengaruh atau dampak
yang kecil serta hubungan searah atau positif. Sedangkan Penelitian yang dilakukan
oleh Ihsan dan Haryanto (2004), menyatakan bahwa inflasi tidak berpengaruh
24
signifikan terhadapap non performing financing. Berdasarkan uraian di atas
hipotesis dalam penelitian ini yaitu :
Inflasi berpengaruh signifikan terhadap rasio non performing financing Pada
Bank Umum Syariah di Indonesia periode Tahun 2005-2015
b)
Pengaruh Kurs terhadap Non Performing Financing
Kurs adalah “perbandingan nilai mata uang suatu negara dengan mata uang
negara lainnya” (Sukirno, 2004: 397). Menurut Samuelson dan Nordhaus (2008)
kurs merupakan nilai tukar sejumlah rupiah yang diperlukan untuk membeli satu
US dollar, nilai tukar tersebut ditentukan oleh kekuatan dan penawaran pasar atau
istilah lainnya adalah mekanisme pasar. Tingkat kurs mata uang domestik sangat
terkait dengan pembiayaan bermasalah, mengingat depresiasi mata uang domestik
dapat menyebabkan meningkatnya pembiayaan impor yang dapat meningkatkan
biaya produksi. Dengan demikian kurs merupakan faktor penting yang berpengaruh
terhadap usaha nasabah sehingga harus dikendalikan untuk menghindari terjadinya
fluktuasi dalam pembiayaan bermasalah. (Kuncoro, 2008).
Perubahan kurs mata uang sangat berpengaruh pada kelancaran usaha
nasabah. Jika nilai rupiah jatuh dibandingkan dengan kurs dollar, serta jika usaha
tersebut dijalankan menggunakan bahan baku impor, maka usaha nasabah akan
mengalami kesulitan karena selisih kurs lebih yang harus dibayarkan dan dapat
meningkatkan rasio non performing financing. Wikutama (2010), mengatakan
bahwa pengaruh kurs dengan non performing financing, dapat dilihat dari kurs mata
uang rupiah terhadap mata uang asing. Jika nilai rupiah meningkat dibandingkan
25
dengan valuta asing maka akan mengganggu usaha nasabah yang menggunakan
bahan baku impor sehingga mempersulit mereka untuk mengembalikan
pembiayaan yang telah diberikan oleh bank dan dapat menyebabkan meningkatnya
persentasi rasio non performing financing perbankan syariah.
Penelitian yang dilakukan oleh ZD Poetry dan YD Sanrego (2001),
mengatakan bahwa kurs berpengaruh negatif signifikan dimana ketika terjadi
kenaikan tingkat kurs rupiah (terdepresiasi) terhadap dolar menjadikan produk
dalam negeri menjadi lebih kompetitif karena harga barang dan jasa dalam negeri
menjadi lebih rendah dari pada harga pada negara lain. Harga barang dan jasa
dalam negeri yang relatif rendah akan meningkatkan permintaan luar negeri akan
barang dan jasa dalam negeri. Penjualan dalam negeri akan meningkat dan kondisi
keuangan masyarakatpun membaik. Dengan demikian kenaikan kurs akan
membantu nasabah dalam mengembalikan pembiayaannya. Berdasarkan uraian di
atas hipotesis yang diajukan mengenai pengaruh kurs dengan non performing
financing dalam penelitian ini yaitu :
Kurs berpengaruh signifikan terhadap rasio non performing financing
Pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode Tahun 2005-2015.
c)
Pengaruh Rasio Return Profit Loss Sharing berbanding Return
Financing terhadap Non Performing Financing
Alchian dan Demsetz (1972), dalam penelitiannya menyatakan bahwa profit
loss sharing merupakan
“based on two major modes of financing, namely
Mudaraba and Musharaka, is desirable in an Islamic context wherein reward-
26
sharing is related to risk-sharing between transacting parties”. Khan dan Ahmed
(2001), mengatakan bahwa Pembiayaan dalam bank syariah berdasarkan persepsi
bank, menempatkan bahwa pembiayaan profit loss sharing pada posisi pembiayaan
paling berisiko dibandingkan pembiayaan lainnya karena terdiri dari pembiayaan
mudharabah dan musyarakah.
Pembiayaan yang termasuk profit loss sharing terdiri dari mudharabah dan
musyarakah, pembiayaan ini menjdai pembeda yang sangat jelas antara sistem
syariah dan sistem bank konvensional, akan tetapi pembiayaan profit loss sharing
memiliki risiko yang sangat tinggi, hal ini dikarenakan dalam akad pembiayaan
profit loss sharing keuntungan yang diperoleh oleh bank relatif tidak pasti, bahkan
harus siap ikut menanggung kerugian. (Ihsan dan Haryanto, 2014). Nasution dan
Wiliasih (2007) mengembangkan variabel rasio return profit loss sharing
berbanding return financing. Variabel ini dikembangkan sebagai instrumen untuk
melihat sejauh mana keseriusan bank dalam mencegah terjadinya moral hazard dan
adverse selection. Variabel ini mencerminkan tingkat kehati-hatian perbankan
syariah dalam menyalurkan pembiayaan. Pembiayaan profit loss sharing memiliki
risiko yang paling besar dibandingkan dengan pembiayaan lain, sehingga apabila
pembiayaan ini tidak dilakukan penanganan yang serius, maka dapat menyebabkan
kegagalan kewajiban dari nasabah dan rasio non performing financing perbankan
syariah meningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh Ihsan dan Haryanto (2004), mengatakan
bahwa rasio return profit loss sharing berbanding return financing tidak
berpengaruh signifikan terhadap non performing financing, hal ini menunjukan
27
bahwa bank syariah telah mampu menjaga kualitas pembiayaan profit loss sharing.
Hasil penelitian Khan dan Ahmed (2001), mengenai tingkat risiko model-model
pembiayaan dalam bank syariah menempatkan model pembiayaan profit loss
sharing pada posisi pembiayaan paling berisiko dibandingkan model-model
pembiayaan lainnya. Berdasarkan uraian di atas hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini yaitu :
Rasio return profit loss sharing berbanding return financing
berpengaruh signifikan terhadap rasio non performing financing Pada
Bank Umum Syariah di Indonesia periode Tahun 2005-2015
Berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian terdahulu, maka pengaruh
inflasi, kurs dan rasio return profit loss sharing berbanding return financing pada
Bank Umum Syariah di Indonesia dapat dijelaskan dalam kerangka pemikiran
sebagai berikut :
Inflasi
Kurs
Non Performing
Financing
Rasio Return Profit
Loss Sharing
berbanding Return
Financing
Grafik 2.1
Model Pengaruh Inflasi, Kurs dan Rasio return profit loss sharing berbanding
return financing pada Bank Umum Syariah di Indonesia (diolah)
28
d)
Ikhtisar Hipotesis
Hipotesis didefinisikan sebagai “ hubungan yang diperkirakan secara logis
di antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang
dapat diuji” (Sekaran, 2006). Berdasarkan paparan yang telah dirumuskan di atas,
maka ikhtisar hipotesis yang akan di uji kebenarannya adalah :
1.
H0 :
Inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap rasio non performing
financing Pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode Tahun
2004-2015.
H1:
Inflasi berpengaruh signifikan
terhadap rasio non performing
financing Pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode Tahun
2004-2015.
2.
H0 :
Kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap rasio non performing
financing Pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode Tahun
2004-2015.
H2:
Kurs berpengaruh signifikan terhadap rasio non performing
financing Pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode Tahun
2004-2015.
3.
H0 :
Rasio return profit loss sharing berbanding return financing tidak
berpengaruh signifikan terhadap rasio non performing financing
Pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode Tahun 2005-2015.
29
H3:
Rasio return profit loss Sharing berbanding return financing
berpengaruh signifikan terhadap rasio non performing financing
Pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode Tahun 2005-2015.
4.
H0 :
Inflasi, kurs dan rasio return profit loss sharing berbanding return
financing secara simultan tidak berpengaruh signifikan terhadap
rasio non performing financing Pada Bank Umum Syariah di
Indonesia periode Tahun 2005-2015.
H4:
Inflasi, kurs dan rasio return profit loss sharing berbanding return
financing secara simultan berpengaruh signifikan terhadap rasio non
performing financing Pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode
Tahun 2005-2015.
Download