Penambahan kinetin dan cap terhadap multiplikasi tanaman

advertisement
TIJAUA PUSTAKA
Botani dan Deskripsi Tanaman Ubi Kayu (Mannihot esculenta Crantz.)
Varietas Adira 2 dan Adira 4
Ubi kayu atau singkong (Manihot esculenta Crantz.) berasal dari Brazil,
Amerika Selatan, menyebar ke Asia pada awal abad ke-17 dibawa oleh pedagang
Spanyol dari Meksiko ke Filipina. Kemudian menyebar ke Asia Tenggara,
termasuk Indonesia. Ubi kayu merupakan makanan pokok di beberapa negara
Afrika. Selain sebagai bahan makanan, ubi kayu juga dapat digunakan sebagai
bahan baku industri dan pakan ternak (Widianta dan Deva, 2008).
Ubi kayu merupakan tanaman yang mudah ditanam, dapat tumbuh di
berbagai lingkungan agroklimat tropis. Secara umum tanaman ini tidak menuntut
iklim yang spesifik untuk pertumbuhannya. Namun demikian ubi kayu akan
tumbuh baik pada curah hujan 750−1 000 mm/tahun, suhu 25ºC−28ºC, dan pH
tanah 4.5−8 (LIPTAN BIP Irian Jaya, 1995).
Ubi kayu termasuk dalam famili Euphorbiaceae yang mempunyai 7 200 spesies,
beberapa di antaranya mempunyai nilai komersial, seperti karet (Hevea
brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan Jatropha curcas), umbi-umbian
(Manihot spp.), dan tanaman hias (Euphorbia spp.). Klasifikasi tanaman ubi kayu
sebagai berikut (Prihandana, et al., 2007):
Kelas
: Dicotyledoneae
Sub kelas
: Arhichlamydeae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Sub family
: Manihotae
Genus
: Manihot
Spesies
: Manihot esculenta Crantz.
Varietas ubi kayu sudah tersebar luas dan dibudidayakan oleh masyarakat
pada masa sekarang ini. Varietas tersebut merupakan varietas lokal maupun
varietas unggulan nasional. Varietas unggul ubi kayu yang saat ini banyak ditanam
di kalangan masyarakat diantaranya adalah: Adira 1, Adira 2, Adira 4, Darul
Hidayah, Malang 1, Malang 2, Malang 4, Malang 6, UJ-3, dan UJ-5 (Purwono
dan Purnamawati, 2007).
6
Ubi kayu varietas Adira 2 dan Adira 4 memiliki beberapa perbedaan mulai
dari hal rataan hasil hingga kadar HCN (Tabel 2). Ubi kayu varietas Adira 4
memiliki rataan hasil lebih tinggi (35 ton/ha) dibandingkan varietas Adira 2
(22 ton/ha). Kadar HCN ubi kayu varietas Adira 2 lebih tinggi (124 mg/kg)
dibandingkan ubi kayu varietas Adira 4 (68 mg/kg). Kadar HCN kedua varietas
tersebut tergolong tinggi (> 50 mg/kg) sehingga tidak layak untuk dikonsumsi
langsung. Menurut Lingga et al. (1986) kadar HCN untuk ubi kayu yang layak
dikonsumsi langsung yaitu ≤ 50 mg/kg umbi. Ubi kayu varietas Adira 2 dan
Adira 4 ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan tepung tapioka dan
bahan baku bioetanol.
Tabel 2. Deskripsi Ubi Kayu Varietas Adira 2 dan Adira 4
Keterangan
Varietas
Adira 2
Adira 4
1978
1986
Rataan hasil
22 ton/ha umbi basah
35 ton/ha umbi basah
Umur panen
8-12 bulan
10.5-11.5 bulan
Tinggi batang
2-3 m
1.5-2.0 meter
Warna daging
umbi
putih
putih
agak pahit
agak pahit
Kadar tepung
41%
18-22 %
Kadar protein
0.7 % (basah)
0.8-1.0 % (basah)
124 mg/kg
68 mg/kg
agak tahan tungau merah
(Tetranicus bimaculatus)
cukup tahan tungau merah
(Tetranicus bimaculatus)
tahan penyakit layu
(Pseudomonas
solanacearum)
tahan terhadap Pseudomonas
solanacearum dan
Xanthomonas manihotis
Tahun pelepasan
Rasa
Kadar HCN
Ketahanan
terhadap hama
Ketahanan
terhadap penyakit
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2000) dan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (2007)
7
Perbanyakan Ubi Kayu
Tanaman ubi kayu secara umum diperbanyak dengan menggunakan stek
batang sebagai bibit. Bibit ubi kayu tidak mempunyai masa dormansi sehingga
petani biasanya menggunakan stek dari batang tanaman tanpa melalui
penyimpanan atau langsung ditanam kembali setelah panen. Hal seperti ini
biasanya dilakukan di daerah beriklim basah. Di daerah beriklim kering, ubi kayu
umumnya dipanen pada musim kemarau dan bibitnya ditanam kembali pada
musim hujan. Dengan demikian, bibit perlu disimpan terlebih dahulu 3-4 bulan
sampai musim hujan tiba (Effendi, 2002).
Penggunaan stek batang sebagai bahan tanam mempunyai beberapa
kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihannya diantaranya adalah stek batang
mudah diperoleh dan harganya relatif murah, sedangkan kekurangan adalah
ketersediaannya yang tidak selalu mencukupi saat dibutuhkan setiap saat dan
sulitnya mengidentifikasi kejelasan varietas dari stek batang yang diperoleh
(Effendi, 2002).
Seiring dengan meningkatnya permintaan bibit ubi kayu, perbanyakan yang
dilakukan secara konvensional saja tidak cukup. Kultur jaringan adalah salah satu
teknik yang bisa dipilih untuk produksi bibit ubi kayu dalam skala besar dengan
sifat tanaman yang sama dengan induknya atau sedikit terjadi penyimpangan
secara genetik (Tim Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, 1991).
Kultur Jaringan Tanaman
Kultur jaringan tanaman merupakan sejumlah teknik untuk menumbuhkan
organ, jaringan dan sel tanaman (Wetter dan Constabel, 1991). Gunawan (1992)
menambahkan bahwa kultur jaringan adalah suatu teknik untuk mengisolasi
bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, kelompok sel, jaringan dan organ,
yang ditumbuhkan dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh. Teknik ini memiliki
beberapa keunggulan, antara lain dapat menghasilkan tanaman dengan jumlah
yang banyak dan sama persis dengan induknya, waktu yang relatif singkat,
8
menghasilkan bibit berkualitas baik dan bebas penyakit terutama virus serta
memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik (Wattimena, et al., 2011).
Prinsip dasar kultur jaringan adalah teori totipotensi. Totipotensi merupakan
potensi suatu sel untuk dapat tumbuh menjadi tanaman lengkap dan dewasa bila
ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai, karena dalam tiap sel terkandung
rangkaian gen yang lengkap (Wetherell, 1982). Keberhasilan dari teknik kultur
jaringan ini antara lain dipengaruhi oleh bagian organ tanaman yang diperlukan,
cara sterilisasi, komposisi media tumbuh yang dipakai dan keadaan lingkungan.
Eksplan
Eksplan adalah potongan dari jaringan atau organ suatu tanaman untuk
tujuan perbanyakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan perbanyakan
dengan eksplan adalah genotipe eksplan, ukuran eksplan, jaringan asal eksplan
dan umur fisiologi eksplan (Conger, 1980). Wetherell (1982) menambahkan
bahwa untuk keberhasilan perbanyakan secara in vitro sebaiknya tanaman yang
dijadikan sebagai sumber eksplan merupakan tanaman yang sehat dan tumbuh
kuat serta menggunakan jaringan yang muda dan ukuran eksplan yang cukup
besar.
Media
Menurut Paul (1972) media merupakan faktor penting untuk mengkulturkan
sel dan jaringan. Selanjutnya Thomas dan Davey (1975) menambahkan bahwa
pertumbuhan dan morfologi suatu jaringan berhubungan dengan komposisi media
kultur, taraf konsentrasi hormon pertumbuhan, eksplan yang digunakan serta
spesies tanaman tersebut.
Media yang digunakan disesuaikan dengan jenis tanaman yang digunakan
serta tujuan akhir yang diharapkan dari eksplan yang ditumbuhkan secara in vitro
(Chawla, 2002). Salah satu media yang sering digunakan adalah media MS
(Murashige and Skoog). Komposisi media MS dibuat untuk kultur kalus
tembakau, tetapi komposisi MS ini pada umumnya mendukung kultur jaringan
tanaman lain (Gunawan, 1992).
9
Media lain yang banyak digunakan diantaranya adalah media KC (Knudson
C), VW (Vacin dan Went), Gamborg (B5), dan WPM (Wood Plant Media). Media
KC dan VW sangat baik digunakan untuk perkecambahan biji anggrek (Chawla,
2002). Media B5 umumnya digunakan untuk menumbuhkan jaringan kedelai dan
menumbuhkan sel bermacam-macam varietas tanaman. Media WPM digunakan
terutama untuk tanaman berkayu (Wetter dan Constabel, 1991).
Organogenesis
Menurut Wetter dan Constabel (1991) organogenesis merupakan proses
induksi pembentukan sel, jaringan, atau kalus menjadi tunas dan tanaman
sempurna. Proses ini diawali oleh hormon pertumbuhan. Benzyladenin dan
sitokinin lainnya, baik sendiri maupun dalam kombinasi dengan asam
naftalenasetat atau asam indolasetat dapat menyebabkan diferensiasi dan
pembentukan tunas. Pembentukan akar dapat terjadi serentak atau dapat diinduksi
sesudahnya. Menurut Zulkarnain (2009), organogenesis berkaitan dengan proses
bagaimana tunas dan akar adventif berkembang dari masa kalus.
Pembentukan organ dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Pembentukan organ secara langsung dapat melalui bagian jaringan seperti daun,
batang, akar, dan potongan umbi atau biji yang akan membentuk tunas adventif.
Pembentukan organ secara tidak langsung, eksplan akan tumbuh menjadi kalus
meristematik terlebih dahulu sebelum membentuk tunas (Lestari, 2008).
Kultur Mata Tunas (Single ode Culture) dan Multiplikasi
Kultur mata tunas merupakan salah satu teknik in vitro yang digunakan
untuk perbanyakan tanaman dengan merangsang munculnya tunas-tunas aksilar
dari mata tunas yang dikulturkan. Eksplan yang digunakan dalam kultur mata
tunas dapat berasal dari tunas lateral, tunas samping atau bagian dari batang yang
mengandung satu atau lebih mata tunas (mengandung satu atau lebih buku).
Dikenal dua teknik kultur mata tunas yaitu (1) eksplan yang mengandung mata
tunas lebih dari satu ditanam secara horisontal di atas medium padat (teknik in
10
vitro layering) dan (2) tiap buku yang mengandung satu mata tunas dipotongpotong dan ditanam secara terpisah dalam tiap-tiap botol kultur (Luri, 2009).
Multiplikasi tunas merupakan salah satu metode yang dapat dilakukan
dalam perbanyakan tanaman secara in vitro. Multiplikasi tunas dapat diinduksi
dari mata tunas aksilar ataupun dari benih yang ditanam pada media yang
mengandung sitokinin. Tunas aksilar atau tunas adventif akan tumbuh dan
selanjutnya di subkultur. Tahapan dalam perbanyakan melalui multiplikasi tunas
secara langsung diawali dengan tahap inisiasi yang dilanjutkan dengan tahap
multiplikasi tunas. Pada kedua tahap tersebut dapat terjadi pada media yang sama
tanpa melalui pemindahan ke media baru. Tahap selanjutnya adalah pengakaran
tunas adventif yang telah dihasilkan untuk mendapatkan planlet. Perbanyakan
melalui multiplikasi tunas merupakan metode yang banyak digunakan dalam
perbanyakan tanaman secara in vitro karena selain cepat juga memiliki peluang
yang kecil untuk terjadinya penyimpangan secara genetik (Wiendi et al., 1991).
Subkultur adalah pemindahan kultur ke media yang baru, baik yang sama
maupun berbeda komposisi kimianya. Subkultur merupakan kebutuhan untuk
memperbanyak tanaman dan mempertahankan kultur (George dan Sherrington,
1984). Frekuensi subkultur sangat penting, jika terlambat dapat menyebabkan
deteriorasi dan lambat untuk memperbaiki pertumbuhannya. Subkultur mungkin
diperlukan setelah dua sampai empat minggu dan kondisi kultur in vitro harus
disesuaikan dengan pertumbuhan yang semakin memanjang. Subkultur berulang
dilakukan
untuk
memperoleh jumlah
tanaman
yang
meningkat
secara
eksponensial melalui multiplikasi yang cepat (Hartmann dan Kester, 1983).
Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik yang disintesis di salah
satu bagian tanaman dan dipindahkan ke bagian lain dan pada konsentrasi yang
sangat rendah mampu menimbulkan suatu respon fisiologis, biokimia, dan
morfologis (Salisbury dan Ross, 1995). Menurut Abidin (1982), ZPT ini
merupakan bahan organik (bukan hara) yang dalam jumlah kecil dapat
meningkatkan, menghambat, atau memodifikasi proses biologi tanaman. Zat yang
11
dihasilkan secara alami oleh tanaman disebut dengan hormon tanaman atau
fitohormon. Menurut Dewi (2008) hormon tanaman adalah senyawa-senyawa
organik tanaman yang dalam konsentrasi yang rendah mempengaruhi prosesproses fisiologis seperti pertumbuhan, diferensiasi, dan perkembangan tanaman.
Proses-proses lain seperti pengenalan tanaman, pembukaan stomata, translokasi
dan serapan hara dipengaruhi oleh hormon tanaman.
Sitokinin
Sitokinin merupakan nama kelompok hormon tumbuh yang sangat penting
sebagai pemacu pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan
(Santoso, 2003). Menurut Wetherell (1982) sitokinin mempunyai dua peran yang
penting untuk propagasi secara in vitro, yaitu merupakan perangsang pembelahan
sel dalam jaringan pada eksplan dan merangsang pertumbuhan tunas. Namun
demikian, kadar sitokinin yang optimal untuk pertumbuhan tunas dapat
menghambat pertumbuhan dan pembentukan akar. Oleh sebab itu, penggunaan
sitokinin harus mempertimbangkan cara pemakaian dan pemanfaatannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Guohua (1998) menunjukkan bahwa penggunaan
berbagai konsentrasi sitokinin (BAP, kinetin, dan
thidiazuron) mampu
menginduksi organogenesis tunas ubi kayu.
Tiga jenis sitokinin sintetik yang terkenal diantaranya adalah BAP (6benzylaminopurine), kinetin (6-furfurylaminopurine), dan BPA {(6 bensylamino)9-(2-tetrahydro-pyranyl)-9H-purine)} (Harjadi, 2009).Sitokinin BAP merupakan
jenis sitokinin yang paling umum digunakan dalam teknik in vitro. BAP adalah
salah satu sitokinin sintesis yang mempunyai peran fisiologis untuk mendorong
pembelahan sel, sehingga penambahan BAP ke dalam media dapat merangsang
pembentukan tunas majemuk (Lizawati et al., 2009).
Kinetin (6-furfurylaminopurine) merupakan suatu turunan dari basa adenine
yang berfungsi meningkatkan pembelahan sel (cytokinesis) (Wattimena, 1988 dan
Dwijoseputro, 1980). Menurut Wetherell (1982) kinetin bersifat memacu
pertumbuhan tunas lateral yang biasanya tidak terlihat nyata akibat pengaruh dari
tunas apikal pucuk. Hal inilah yang selanjutnya menjadi dasar fisiologi dalam
12
upaya meningkatkan jumlah cabang lateral, yang seperti diketahui sangat penting
artinya bagi pembiakan secara in vitro. Struktur kimia kinetin disajikan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Kimia Kinetin
Calcium Pantothenate (CaP)
Calcium pantothenate (CaP) merupakan suatu senyawa nitrogen organik
yang mengandung kalsium. Menurut Roca et al. (1979), penambahan
2 ppm CaP pada media dasar MS + 0.2 ppm GA3 mampu meregenerasikan tunas
in vitro kentang melalui kultur multi-meristem dan mampu mempertahankan
vigoritas planlet selama proses transportasi. Sharma and Singh (1995)
menambahkan bahwa penambahan 2 ppm CaP pada media MS + 1 ppm BAP +
0.2 ppm GA3 mampu menginduksi proliferasi tunas jahe. Penggunaan CaP pada
kultur in vitro dimaksudkan untuk meningkatkan ketegaran dan kesegaran tunas
yang terbentuk. Struktur kimia CaP disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Kimia Calcium Pantothenate (CaP)
13
Kultur Jaringan Ubi Kayu
Penelitian perbaikan tanaman melalui teknik kultur jaringan ubi kayu telah
banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan mencakup penelitian tentang
pembentukan tunas baru (multiplikasi tunas) dan pembentukan kalus embriogenik
(Raemakers et al., 1995; Guohua, 1998; Sudarmonowati et al., 2002; Onuoch dan
Onwubiku, 2007). Penelitian perbaikan tanaman ubi kayu di Afrika dan negara
Amerika Latin difokuskan terhadap perbaikan genotipe atau varietas yang tahan
terhadap hama dan penyakit. Sedangkan untuk Indonesia, perbaikan sifat
dilakukan melalui peningkatan nutrisi pada umbi seperti jenis protein tertentu,
komponen lain seperti fosfor dan rasio antara amilosa dan amilopektin
(Sudarmonowati et al., 2002).
Penelitian Sudarmonowati et al. (2002) terhadap beberapa genotipe lokal
dan varietas unggul ubi kayu menyatakan bahwa pembentukan tunas tertinggi
diperoleh ketika dikulturkan pada media MS + 2 ppm BAP untuk genotipe
Mentega (3.19 tunas), sedangkan untuk varietas Adira 4 terbentuk 1.45 tunas pada
media yang sama. Pengkulturan beberapa genotipe lokal dan varietas unggul ubi
kayu pada media MS + 2 ppm IBA tidak berpengaruh nyata terhadap peubah
jumlah akar jika dibandingkan dengan pengkulturan di media MS0.
Penelitian yang dilakuan oleh Fauzi (2010) menunjukkan bahwa media
dasar MS merupakan media yang paling efektif untuk multiplikasi tunas ubi kayu.
Jumlah tunas terbanyak yang mampu dihasilkan media dasar MS yaitu sebanyak
1.26 tunas per eksplan. Penambahan BAP (0−3 ppm) tidak berpengaruh nyata
terhadap beberapa peubah pada eksplan Adira 2, namun berpengaruh nyata pada
peubah jumlah akar. Penggandaan tunas terbaik diperoleh dari penambahan
1.5 ppm BAP yaitu sebanyak 1.16 tunas per eksplan.
Download