Tinjauan Yuridis Rencana Pengenanaan Pajak Penghasilan Terhadap Bank Sentral Dalam Amandemen RUU Pajak Penghasilan Oleh: Edi Yusup Toto S, S.H. & Leo Sukatrilaksana, S.E., M.Ec1 I. PENDAHULUAN Perkembangan tugas kelembagaan Bank Indonesia sebagai bank sentral dan dinamika lingkungan yang semakin kompleks, telah mengantar beberapa kali perubahan atas Undang-Undang mengenai Bank Indonesia, yaitu dimulai dengan UU No. 11 Tahun 1953, UU No. 13 Tahun 1968, UU No. 23 Tahun 1999 dan terakhir adalah UU No. 3 Tahun 2004. Salah satu implikasi dari perubahan undang-undang tersebut adalah pada status Bank Indonesia dalam bidang perpajakan yaitu kedudukan Bank Indonesia sebagai Wajib Pajak Badan, dalam arti surplus Bank Indonesia sebagai obyek pajak penghasilan. Wacana mengenai hal tersebut terus menjadi polemik hingga saat ini, dengan berbagai 2 sudut pandang dan kepentingan. Polemik ini semakin mengemuka dengan adanya rencana amandemen Undang-Undang No. 17 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua UU No. 7 tahun 1983 1 2 Kepala Seksi Bagian Pelaksanaan Gaji dan Keuangan Intern (PGKI) & Analis Keuangan Tim Pengendali Keuangan Intern Bank Indonesia Liberty Pandiangan, BI (bukan) Wajib Pajak, Harian Bisnis Indonesia, 14 Juni 2004. tentang Pajak Penghasilan, sebagai salah satu bentuk reformasi di bidang perpajakan. Ruang lingkup Rancangan Undang-Undang (RUU) ini meliputi reformasi pada subyek pajak, obyek pajak dan tarif pajak. Dalam RUU tersebut, surplus Bank Indonesia merupakan obyek pajak penghasilan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk memperoleh perspektif yang lebih luas dan fair dalam menyikapi polemik dimaksud, maka tulisan ini akan memaparkan berbagai pandangan terhadap rencana pengenaan Pajak Penghasilan atas Surplus Bank Indonesia. Sebelumnya akan diuraikan secara sekilas status Bank Indonesia dalam bidang perpajakan menurut undang-undang dan praktek di bank sentral negara lain (best practices) sebagai perbandingan serta pendapat dari lembaga internasional. II. STATUS BANK INDONESIA DALAM BIDANG PERPAJAKAN MENURUT UNDANG-UNDANG Status dan kedudukan Bank Indonesia dalam bidang perpajakan tercermin dari ketentuan yang diatur BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 33 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005 oleh undang-undang Bank Indonesia, yaitu: mengenai 1. UU No. 11 tahun 1953 tanggal 19 Mei 1953 Sesuai Pasal 34 ayat (5) UU No.11 tahun 1953 diatur sebagai berikut: “Dari laba Bank yang telah disahkan demikian pertama-tama dapat disisihkan dahulu suatu jumlah cadangan istimewa, sisa dari laba ini disetor sebanyak dua puluh prosen ke dalam dana cadangan sampai jumlah dana itu menjadi sama besar dengan modal bank. Sisanya jatuh ke dalam tangan Negara”. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa atas laba/surplus Bank Indonesia tidak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) sehingga status Bank Indonesia bukan sebagai Wajib Pajak Badan. Namun demikian apabila surplus tersebut setelah dikurangi cadangan-cadangan sehingga dana cadangan tersebut menjadi sama besar dengan jumlah modal bank maka sisanya diserahkan kepada negara, sehingga Bank Indonesia tetap berperan dalam penerimaan negara. 2. UU No.13 Tahun 1968 tanggal 7 Desember 1968 Berdasarkan Pasal 47 ayat (6) UU No. 13 tahun 1968 ditentukan bahwa Laba Bank yang disahkan dan setelah dikurangi pajak dibagi sebagai berikut : a. dua puluh cadangan perseratus untuk umum, sampai cadangan ini mencapai jumlah yang sama besarnya dengan modal bank; b. dua puluh perseratus cadangan tujuan; untuk c. tujuh setengah perseratus untuk dana kesejahteraan pegawai bank yang penggunaannya dilaksanakan dengan memperhatikan petunjukpetunjuk pemerintah; d. tujuh setengah perseratus untuk jasa produksi bagi pegawai bank, dengan batas sebanyakbanyaknya 3 (tiga) kali gaji sebulan; e. penggunaan laba selebihnya ditetapkan oleh pemerintah. Dengan ketentuan ini maka atas laba/ surplus Bank Indonesia dikenakan pajak penghasilan. 3. UU No. 23 Tahun tanggal 17 Mei 1999 1999 Sesuai Pasal 62 ayat (4) UU No. 23 Tahun 1999 ditentukan bahwa Terhadap surplus Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenakan pajak penghasilan. Pertimbangan bahwa surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan sebagaimana disebutkan dalam penjelasan pasal tersebut, yaitu: ”Ketentuan ayat ini dimaksudkan agar pemenuhan kecukupan modal Bank Indonesia BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 34 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005 sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari kewajiban moneter dapat tercapai. Dalam hal modal Bank Indonesia sudah mencapai 10% (sepuluh per seratus) dari kewajiban moneter, sebagian dari surplus yang diperoleh Bank Indonesia diserahkan kepada negara melalui pemerintah.” Penyerahan surplus kepada pemerintah tersebut dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat berbagi peran dalam proses pembangunan bagi kesejahteraan rakyat, khususnya dalam bentuk penyisihan dana dari sisa surplus Bank Indonesia apabila ada.3 4. UU No. 3 Tahun 2004 tanggal 15 Januari 2004 Sesuai dengan Pasal II ayat 4 UU No. 3 tahun 2004 diatur bahwa ”Sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa atas surplus Bank Indonesia dikenakan pajak penghasilan, maka berdasarkan undang-undang ini surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan.” Dari ketentuan tersebut tampak bahwa tidak dikenakannya pajak atas surplus Bank Indonesia bersifat sementara yaitu sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pengenaan pajak penghasilan atas surplus Bank Indonesia. III. PANDANGAN TERHADAP RENCANA PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS SURPLUS BANK INDONESIA Sebagai tanggapan atas rencana pengenaan pajak penghasilan atas surplus Bank Indonesia, dikemukakan beberapa pandangan sebagai berikut : 1. Bank Indonesia adalah sebagai Lembaga Negara Eksistensi suatu Bank Sentral diakui oleh UUD 1945 yaitu dalam Pasal 23 D4 yang menetapkan bahwa negara memiliki suatu Bank Sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 4 UU No. 3 Tahun 2004 diatur bahwa Bank Indonesia merupakan Bank Sentral Republik Indonesia dan merupakan lembaga negara. Disamping itu dalam penjelasan pasal tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa Bank Indonesia adalah sebagai badan hukum publik yang berwenang menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya. Berdasarkan hal tersebut, dalam rencana pengenaan pajak kepada Bank Indonesia, harus dilihat dari kedudukan Bank Indonesia yaitu sebagai lembaga negara dan badan hukum publik. 3 Dawam Rahardjo, et al, Independensi BI Dalam Kemelut Politik, Cidesindo, Jakarta, 2000, hal. 78. 4 Amandemen keempat UUD 1945 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 35 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005 Dalam konteks keuangan negara, adalah tidak tepat apabila Bank Indonesia sebagai badan hukum publik dikenakan pajak. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Ray M. Sommerfeld, Hershel M. Anderson dan Horace R. Brock: A tax can be defined meaningfully as any non penal yet compulsory transfer of resources from the private to the public sector, levied on the basis of predetermined criteria and without receipt of a specific benefit of equal value, in order to accomplish some of nation’s 5 economic and social objectives Dari hal tersebut di atas terlihat bahwa hakikat pajak adalah merupakan iuran dari sektor swasta ke sektor publik yaitu negara, sehingga apabila Bank Indonesia sebagai badan hukum publik dikenakan pajak, hanya merupakan perpindahan dari kantong yang satu ke kantong yang lain. 2. Tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah merupakan pencerminan dari 5 Ray M. Sommerfeld et al, Introduction to Taxation, New York, Harcourt Brace Janovich, Inc, 1981 hal.1 (Pendapat tersebut dikutip dari buku R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Ind Hill-Co, Jakarta, 1996, hal 1-2). Bandingkan dengan pendapat Prof. Dr. Rochmat Soemitro yaitu pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (Prof. Dr. Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung). kontribusi Bank Indonesia kepada masyarakat Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 ditentukan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai tugas: a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; c. mengatur dan mengawasi bank. Kestabilan rupiah tersebut dapat diukur dari kestabilan harga barang dan jasa di dalam negeri atau inflasi dan kestabilan nilai tukar rupiah. Secara makro, tercapainya stabilitas moneter, inflasi yang rendah, dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan menunjang kesinambungan pembangunan dalam jangka panjang. Secara mikro, stabilitas moneter akan menguntungkan Pemerintah. Suku bunga yang rendah pada kondisi moneter stabil dapat menurunkan beban pengeluaran pemerintah untuk pembayaran bunga hutang dalam negeri. Selain itu, nilai tukar yang stabil dapat mengurangi kewajiban hutang luar negeri Pemerintah. Dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut, diperlukan biaya yang sangat besar dan menjadi tanggungan Bank Indonesia BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 36 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005 sepenuhnya, meskipun di banyak negara (common practices) merupakan beban Pemerintah. Namun demikian Bank Indonesia sebagai lembaga non profit oriented tidak memperhitungkan untung rugi artinya berapapun biaya yang harus ditanggung akan tetap dilaksanakan sepanjang tujuan tersebut dapat tercapai. Tugas ini secara nyata mencerminkan kontribusi Bank Indonesia sebagai lembaga publik kepada masyarakat. Pengenaan pajak terhadap Bank Indonesia dapat mengurangi kemampuan keuangan Bank Indonesia dalam menyerap likuiditas perekonomian dan pada gilirannya dapat mendorong terjadinya inflasi yang tinggi dan nilai tukar Rupiah yang tidak stabil. Hal ini selanjutnya akan menurunkan daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Dari sisi pemerintah, tingginya suku bunga akibat kebijakan moneter yang ketat dalam memerangi inflasi, dapat meningkatkan beban hutang dalam negeri pemerintah. Selain itu, depresiasi nilai tukar rupiah yang terlalu besar mengakibatkan membengkaknya kewajiban hutang luar negeri Pemerintah yang akan menambah beban APBN. 3. Dampak terhadap keuangan Pemerintah. Dalam rangka pelaksanaan tugas pokok sebagai bank sentral, Bank Indonesia memerlukan modal yang cukup agar dapat membiayai kegiatannya secara efektif. Modal dimaksud berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan berupa penjumlahan modal, cadangan tujuan dan cadangan umum serta bagian laba yang belum dibagi. Cadangan tujuan dan cadangan umum tersebut berasal dari sebagian surplus Bank Indonesia. Dengan demikian, pengenaan pajak atas surplus Bank Indonesia akan dapat berpotensi pada tidak terpenuhinya kecukupan modal sehingga berimplikasi pada terganggunya kelancaran tugas Bank Indonesia. Selanjutnya, hal ini pada gilirannya juga akan membebani keuangan Pemerintah. Sesuai Pasal 62 ayat 3 UU No. 3 Tahun 2004, apabila modal BI kurang dari Rp 2 trilyun dan telah dilakukan upaya pengalokasian seluruh surplus BI ke dalam cadangan umum tetapi masih kurang dari batas minimal tersebut maka pemerintah wajib menutup kekurangan modal BI tersebut dan dilaksanakan setelah mendapat persetujuan DPR. Disamping itu, sesuai kesepakatan penyelesaian BLBI, dalam hal rasio modal Bank Indonesia kurang dari 3%, maka Pemerintah wajib membayar charge kepada Bank Indonesia dalam bentuk tunai atau obligasi negara sebesar kekurangan dana yang diperlukan untuk mencapai rasio modal tersebut. Oleh karena itu, pengenaan pajak kepada Bank Indonesia justru tidak memberikan dampak yang positif BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 37 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005 bagi keuangan Pemerintah apabila menyebabkan rasio modal BI kurang dari 3% karena adanya kewajiban pembayaran charge. Pada sisi lain, dengan tidak dikenakannya pajak terhadap Bank Indonesia bukan berarti Bank Indonesia tidak berperan serta dalam menyumbang penerimaan kepada pemerintah, karena sesuai Pasal 62 ayat (4) UU No. 3 Tahun 2004, diatur bahwa seluruh surplus Bank Indonesia akan diserahkan kepada pemerintah setelah diperhitungkan untuk cadangan tujuan dan cadangan umum sampai dengan rasio pemenuhan modal Bank Indonesia ditambah dengan cadangan umum mencapai minimal 10% dari seluruh kewajiban moneter. sehingga akan menurunkan daya beli masyarakat dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat. Dalam kaitan tersebut ada suatu pendapat yang sangat menarik yaitu peranan pajak pada masa kini bukanlah sekedar untuk menghindari defisit anggaran belanja, akan tetapi untuk 7 menghindari inflasi. 4. Praktek di negara lain Sentral Praktek yang lazim dan berlaku di bank sentral negara lain sebagai berikut :8 a. Bank Negara Malaysia (BNM) Dikaitkan dengan landasan filosofis pemungutan pajak, maka pengenaan pajak terhadap surplus Bank Indonesia tidak sesuai dengan Teori Daya Beli yang merupakan salah satu teori yang memberikan dasar pembenaran atau landasan filosofis dalam pemungutan pajak6 Dari aspek teoritis tersebut, dengan pemungutan pajak diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dengan pengenaan pajak kepada Bank Indonesia justru dapat berpotensi untuk mendorong inflasi yang tinggi 6 Teori-teori yang memberikan dasar pembenaran atau landasan filosofis wewenang negara untuk memungut pajak dengan cara yang dapat dipaksakan yaitu teori asuransi, teori kepentingan, teori kewajiban pajak mutlak, teori daya beli dan teori daya pikul (H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, PT.Raja Grafindo, Cetakan ke 4, Jakarta, 2004,hal.36-38 Bank 7 • Laba yang diperoleh BNM tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh Badan). Hal ini didasarkan pada sifat kegiatan BNM yang tidak berorientasi profit. • Pembagian laba kepada pemerintah tetap dilakukan dengan cara membayar dividen kepada pemerintah, yang dihitung berdasarkan laba yang diperoleh dalam tahun berjalan. • Selain itu, pemerintah wajib menutup kekurangan modal yang dihadapi BNM, apabila BNM mengalami defisit yang Ibid. hal.154 8 Makalah Biro PPKI, Antisipasi Pengenaan Pajak Penghasilan Badan Bagi Bank Indonesia (Dalam Perspektif Penyusunan Rancangan UndangUndang Pajak Penghasilan), Biro PPKI, Jakarta, 2004, hal.7-9 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 38 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005 mengakibatkan negatif. modalnya pemerintah sesuai dengan Pasal 1 ayat (4) UU BOE Tahun 1946. • b. Reserve Bank of New Zealand (RBNZ) • • Laba yang diperoleh RBNZ sesuai dengan Secsion 180 RBNZ Act 1989, tidak dikenakan PPh Badan. Hal ini mengingat sifat kegiatan RBNZ tidak berorientasi profit. Laba yang diperoleh RBNZ tersebut digunakan untuk menambah equity (modal) dan disetorkan kepada pemerintah. Sedangkan laba yang berasal dari aktivitas normal Banking Dept merupakan objek PPh Badan (corporate tax). Pajak tersebut dihitung berdasarkan laba yang telah dikurangi bagian yang disetorkan kepada pemerintah. e. De Nederlandsche Bank (DNB) • Laba yang diperoleh DNB tidak dikenakan PPh Badan. • Laba tersebut disetor kepada pemerintah dalam hal jumlah modal telah melebihi jumlah modal disetor dan cadangan umum yang dipersyaratkan oleh undang-undang dengan persetujuan rapat umum pemegang saham. c. Reserve Bank of Australia (RBA) • • Laba yang diperoleh RBA tidak dikenakan PPh Badan karena sifat kegiatan RBA sebagai bank sentral tidak berorientasi profit. f. Deutsche Bundesbank • Sesuai dengan Section 5 No. 2 German law on corporation taxation, Laba yang diperoleh Deutsche Bundesbank dikecualikan dari pajak karena sifat kegiatan Deutsche Bundesbank tidak berorientasi profit. Namun demikian, laba yang diperoleh tetap diserahkan kepada pemerintah. • Dalam hal Deutsche Bundesbank mengalami defisit, pemerintah wajib menutup defisit tersebut. Laba yang diperoleh disetor kepada pemerintah. d. Bank of England (BOE) • • Terdapat dua departemen terpisah yaitu Issue Dept. dan Banking Dept. Seluruh penghasilan bersih BOE dari Issue Dept diserahkan kepada pemerintah. Sebagian laba BOE dari Banking Dept diserahkan kepada BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 39 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005 g. Hongkong Monetary Authority Hongkong Monetary Authority tidak membayar pajak penghasilan badan kepada pemerintah h. Bank of Japan Bank of Japan tidak dikenakan pajak penghasilan badan terhadap surplus yang diperoleh. Surplus yang diperoleh dikembalikan kepada pemerintah. i. Bank of Thailand Bank of Thailand tidak membayar pajak penghasilan terhadap penghasilan yang diperoleh. j. Bank of Canada Bank of Canada tidak membayar pajak terhadap surplus yang diperolehnya. Hal ini karena surplus yang diperoleh bukan merupakan objek PPh badan. Seluruh keuntungan netto setelah dikurangi dengan biaya operasional diserahkan kepada pemerintah federal. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya surplus yang diperoleh bank sentral tidak dikenakan pajak penghasilan karena : 1. Dalam rangka pelaksanaan tugasnya bank sentral tersebut tidak berorientasi pada profit. 2. Bank sentral tersebut akan menyetor sebesar prosentase tertentu atas surplus yang diperoleh kepada pemerintah. 3. Apabila modal Bank sentral mengalami defisit maka pemerintah wajib menutup kekurangan modal dimaksud. 4. Mengecualikan Bank sentral dari pajak penghasilan, secara prinsip tidak akan membuat perbedaan jumlah penerimaan pemerintah. Dengan kata lain, pengecualian yang mengurangi penerimaan pajak di lain pihak akan memperbesar pengalihan surplus bank sentral kepada pemerintah. 5. Pajak penghasilan dapat membahayakan otonomi keuangan bank sentral karena secara tidak sengaja dapat mengalihkan perhatian bank sentral kepada pengelolaan penghasilan daripada mencapai tujuan utamanya. IV. PENUTUP Dalam penyelenggaraan negara yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas, diperlukan keselarasan dari setiap aspek kebijakan, termasuk harmonisasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, kendati dua kebijakan tersebut dilakukan oleh otoritas yang berbeda yaitu BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 40 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005 Departemen Keuangan selaku otoritas fiskal dan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter. Dalam upaya mewujudkan harmonisasi kebijakan tersebut, hendaknya setiap kebijakan diciptakan dengan semangat keberpihakan kepada masyarakat luas. Dengan demikian wacana pengenaan pajak terhadap Bank Indonesia kiranya perlu dicermati secara lebih bijaksana oleh para pengambil keputusan, pengamat bahkan oleh masyarakat luas karena pandangan yang dikemukakan dalam RUU Pajak masih memerlukan keseimbangan dengan kepentingan lain yang cakupannya lebih luas dan mendasar. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 41 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005