View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI DAN METODOLOGI
DALAM PENELITIAN ILMU SEJARAH
Oleh
Prof. Dr A. Rasyid Asba, MA
GURU BESAR ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS HASANUDDIN
Makassar, Desember 2009
PERKEMBANGAN DAN HISTORIOGRAFI DAN METODOLOGI
DALAM PENELITIAN ILMU SEJARAH
Prof. Dr. A. Rasyid Asba MA1
1.Pengantar
Pada umumnya orang mengartikan "sejarah" sebagai perubahan, tetapi bukan
sekedar dalam pengertian "change", namun yang dimaksud sesungguhnya adalah
"development". Antara "change" dan "development" terdapat perbedaan yang besar.
Sejarah sebagai "change" saja bisa bersifat siklis, seperti umumnya terdapat dalam
masyarakat tradisional. Dalam masyarakat tradisional sejarah diartikan sebagai
berulang-ulangnya struktur sosial-budaya tradisional dari saat ke saat, sehingga
nampak seolah-olah masyarakat yang bersangkutan tidak mengenal perubahan baru.
Dlam masyarakat modern pun kini muncul dengan subur wawasan sejarah yang siklis
itu karena orang merasa khawatir dengan perubahan-perubahan yang sangat cepat di
masa kini sehingga seolah-olah masyarakat kehilangan pegangan. Masa lampau,
dalam hal terakhir itu, lalu dijadikan model untuk masa kini, atau dengan kata lain,
keinginan untuk mewujudkan masa lampau di masa kini.
"Change" dalam pengertian "development" adalah unsur budaya modern.
Masyarakat modern yang mengalami perubahan yang terus-menerus tidak lagi
mengarahkan pandangan ke masa lampau tetapi ke masa depan dan meninggalkan
wawasan sejarah siklis. Perubahan-perubahan sosial-ekonomi yang dahsyat yang
diakibatkan oleh munculnya kapitalisme, industrialisasi dan negara-bangsa,
menyebabkan orang menjadi sangat sadar bahwa perubahan adalah kenyataan yang
tidak bisa dihindari dan masa depan tidak bisa lagi merupakan sekedar pengulangan
dari masa lalu.
Dalam pengertian sejarah tidak saja diartikan sebagai "development", tetapi
diyakini pula bahwa perubahan itu disebabkan oleh manusia, atau manusialah yang
membuat sejarahnya sendiri. Ini merupakan pandangan yang muncul dalam masa
Enlightenment di abad ke-18. Inilah yang sesungguhnya merupakan wawasan yang
melahirkan ilmu sejarah dalam abad ke-19. Bersamaan dengan itu sejarah dalam hal
ini dilihat sebagai sejarah universal, karena yang dipentingkan adalah faktor-faktor
yang universal, seperti kapitalisme, industrialisasi, negara-bangsa, dan lainnya
menjadi penting di sini.
Perkembangan ilmu sejarah sejak itu hingga tahun-tahun 1970-an telah
melahirkan empat metodologi sejarah sosial berbeda-beda (Lloyed 1993: 66-88).
Pertama adalah historiografi aliran empiris-positifis yang dalam tahun-tahun 1950-an
dihidupkan kembali oleh Carl Hempel (Hempel 1942). Kedua adalah aliran yang
melihat individu saja sebagai faktor utama perubahan sosial yang bersifat
1
Makalah ini di samapaikan dalam Kuliah Umum di hadapan Civitas Akademika Universitas Sultan
Hairun Ternate 2009
internasional dengan hermeneutika sebagai metodologinya (Collingwood 1956; Dray
1986). Ketiga adalah aliran struktural dari Prancis dikenal sebagai "aliran Annales"
yang deterministis (Bloch 1989; Braudel 1979; Burke 1990: 1264). Keempat
tergolong struktural juga, tetapi lebih dikenal sebagai metodologi fungsional atau
struktural sistematis yang bertumpu pada "grand theory" dari Talcott Parsons dan
Neil Smelser (Lloyed, loc.cit.).
2. Tolak Ukur Arah Historiografi Indonesia
Arah baru historiografi Indonesia sejak tahun 1980 an mengalami
perkembangan yang pesat. Tema-tema mulai bergeser dari sejarah-orang besar
ke sejarah orang-orang kecil atau rakyat biasa. Disertasi Sartono Kartodirdjo
mengenai pemberontakan Banten tahun 1888 dengan perspektif Indonesia sentris
memang mendapat perubahan yang besar khususnya pendekatan dan sumbersumber yang digunakan, juga telah memperoleh banyak pengikut, terutama para
muridnya di Universitas Gajahmada dan para sejarawan Indonesia yang dididik di
Belanda dalam program kerjasama Indonesia Belanda.
Perkembangan historiografi tersebut jika dicermati ia
tumbuh secara
linea, namun tidak stagnan apalagi gagal, akan tetapi bolehlah kalau kita lihat
sebagai bahasa
pesimis,lamban bila dibandingkan dengan kemajuaan
perkembangan teori dan metodologi ilmu-ilmu sosial lainnya. Ada berbagai
alasan yang mungkin bisa memperkuat bahwa historiografi Indonesia tumbuh
mengalami kemajuaan. Sejak tahun 1980-an telah muncul sejarah pedesaan
dengan berbagai tema seperti gerakan petani, gerakan misianis, peranan para
bekel, Tanam Paksa, studi berbagai komoditi pertanian seperti kopra, lada,
tembakau , kopi, untuk meyebut beberapa di antaranya cukup memberikan
variasi dan diversifikasi yang kaya mengenai sejarah pedesaan Indonesia, Jawa
dan Luar jawa. Walaupun demikian , yang dipilih cenderung periodesasi
kolonial dengan penggunaan sumber-sumber Belanda yang cukup dominan
Kecenderungan menjadikan pedesaan sebagai obyek penelitian juga
dilakukan oleh para Indonesianis baik yang ada di Belanda, Australia, Amerika
dan Jepang. Apakah dalam rangka memberikan respon terhadap teori
involusinya Geertz mengenai petani Jawa ataupun reaksi terhadap pendekatan
yang lebih sosiologis dari Jan .Breman mengenai desa-desa di Jawa. Yang jelas
tema-tema seperti kehidupan masyarakat petani di perkebunan tebu oleh oleh
Robert Elson, kaitan pemetaan geografis Jawa , lingkungan, dengan produksi
pertanian dan penduduk oleh van der Eng, konjuntur produksi tanaman pokok,
perkembangan demografi ekonomi pedesaan , diversifikasi ekonomi pedesaan
Jawa oleh Boomgaard, kaitan antara kemunculan elite dengan komersialisasi
pertanian kopi di Sumatra barat oleh Elizabeth Graves, kontrol dan mobilisasi
petani masa pendudukan Jepang oleh aiko Kurasawa, Buruh pertambangan di
Sulawesi Selatan pada pendudukan Jepang oleh A. Rasyid`Asba patut diakui
sebagai arah baru yang kaya dalam perkembangan historiografi Indonesia di Era
sejak tahun 1980 an hingga sekarang. Apa yang harus dicatat dalam penulisan
mereka tidak belakunya involusi bagi seluruh petani Jawa, dan melumpuhkan
generalisasi yang dibuat sosiologi Belanda mengenai masayarakat pedesaan Jawa
yang tertutup dan statis sebelum kedatangan pemerintah Kolonial Belanda.
Tema-tema lain seperti Sejarah intelektual Islam dan perubahan sosial
oleh Taufik Abdullah di Sumatra barat tahun 1930 an, juga menandai
diversifikasi historiografi Indonesia di era tahun 1970 an. Pengikutnya kalu boleh
dikatakan demikian sebagian besar juga telah melakukan berbagai studi
perkembangan intelektual Islam di berbagai daerah. Disertasi Azzumardi Azra
mengenai hubungan tokoh-tokoh gerakan modernis Islam di Sumatra barat
dengan dunia Arab. Dan gerakan modernis Islam di Palembang oleh Jeroan Peter
( Belanda) misalnya cukup memberikan pengayaan mengenai tema sejarah
Intelektual Islam Indonesia.
Dipeopori oleh A.B. Lapian sejarah maritim mulai di kembangkan.
Sejarah mengenai bajak laut, raja laut dan seterusnya, kini sudah mengalami
pergeseran yang lebih variatif dari sudut permasalahan dan wilayah. Studi
tentang bajak laut kini sudah mulai mengcakup kawasan Asia Tenggara dengan
diterbitkannya in South East Asia oleh Institut Asia Tenggara di Singapura..
Tema-tema juga mengalami variasi , Misalnya tema organisasi produksi nelayan
di Jawa oleh Masyhuri, di Pekalongan oleh Pudjo Semedi dan kelompok
sejarawan Makassar dan Semarang yang meneliti mengenai berbagai pelabuhan.
Seperti perdagngan Pelabuhan Makassar oleh Edward Poelinggmang, Ekspor
Kopra dan . Buruh pelabuhan Makassar oleh . Rasyid Asba, pelabuhan Cilacap
oleh Susanto Zuhdi dan kelompok Sejarawan dari Universitas Diponegoro
Semarang ( Singgih, Agus Supriyono, Endang Susilowati dan Indrianto) telah dan
sedang mempelajari peranan laut Jawa, pelabuhan Semarang , Banjarmasin dan
Surabaya 2
Tema-tema lain seperti
sejarah perburuhan baik buruh disektor
pertambangan, perkebunan, buruh perkotaan dan buruh perusahaan-perusahaan
lain. Studi tentang gender untuk menyebut beberapa di antaranya mulai
dikembangkan di Indonesia Misalnya proyek penelitian Urban Workers: Change
and Continuity in Indonesia (1930-1965) yang sedang proses penyelesaiaan akhir
kerjasama dengan Nederlands Intituut voor Oorlog Documentatatie ( NIOD)
Belanda. Fokus perhatian tidak hanya para buruh di sektor formal, akan tetapi
juga pada orang-orang yang bekerja di sektor informal seperti pembantu rumah
tangga dan tukang becak ( Ratna Saptari dan Erwiza 2005). Sayangnya dalam
paper yang terbatas ini penulis tidak akan memetakan seluruh perkembangan
historiografi Indonesia muktahir secara rinci berdasarkan tema-tema periodesasi,
pendekatan yang digunakan serta sumber-sumber yang dipakai.
2
Uraian lebih mendalam tentang Sejarah Lisan dalam Historiografi Indonesia dapat dilihat dalam
makalah Erwiza Erman, Worskhop Sejarah Lisan Jepang di Makassar, Pusat Kajian Multikultural dan
Pengembangan Regional Unhas. tahun 2006
Persolan kemudian tidak hanya masalah bagaimana memperoleh
sumber informasi baik tertulis maupun lisan akan tetapi juga terletak pada
bagaimana merumuskan pertanyaan-pertanyaan. Nampaknya pertanyaanpertanyaan yang diajukan terhadap sumber informasi atau terhadap karya-karya
sejarah yang sudah diterbitkan masih konvensional. Persolan mengembangkan
historigrafi dalam merumuskan pertanyan-pertanyaan juga berhubungan dengan
persoalan pendekatan atau metodologis. Pertanyaan-pertanyaan baru akan bisa
muncul jika para sejarawan juga berdialog dengan ilmuan sosial yang lain.
Sayangnya kondisi seperti itu jarang terjadi di kalangan sejarawan, dialog antar
disiplin kurang berkembang. Di dalam komunitas Ilmuan Belanda yang lebih
luas-khususnya ilmuan sosial- tetap ada pikiran bahwa sejarah terdiri dari
pekerjaan meluruskan fakta, sejenis pekerjaan jurutulis tinggkat tinggi. Kini
Indonesia
diskusi mengenai “ meluruskan sejarah” sedang berkembang.
Khusunya sejak jatuhnya rezim Orde Baru dan bermulanya era reformasi.
Meluruskan sejarah terutama dari kelompok yang kalah dan dirugikan pada
masa peralihan politik Orde lama ke Orde Baru, kini sedang berlangsung oleh
kelompok tersebut dan juga menjadi debat-debat di kalangan sejarawan
prefesional sendiri yang ikut sebagai juru tulis tingkat tinggi dan tidak terlepas
dari problem meluruskan fakta atau semacam pekerjaan jurutulis tinggakt tinggi3
.
3. Postmodernism dan Penulisan Sejarah Indonesia
Krisis dalam ilmu sejarah yang juga terdapat dalam ilmu-ilmu lainnya itu,
nampaknya akan berkelanjutan dalam masa mendatang terutama karena globalisasi
yang akan menjadi ciri utama masa datang itu. Doktrin postmodernisme yang
menekankan relativitas budaya itu menyebabkan keabsahan ilmu sebagai wacana
yang menampilkan kebenaran mengenai kenyataan nampaknya akan makin terancam.
Istilah postmodernisme pertama kali dimunculkan oleh Jean-Francois
Lyotard. Roland Barthes adalah seorang ahli filsafat ilmu yang pernah membahas
postmodernisme dalam historiografi. Postmodernisme sesungguhnya muncul sebagai
reaksi atas "common-sense thinking" dalam kritik sastra. Kritik itu pada awalnya
ditujukan pada wacana-wacana moralistik yang menganggap pandangannya sendiri
sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat dibantah tanpa dikenakan sangsi. Kritik
postmodernisme itu kemudian berkembang menjadi kritik terhadap pandangan
universalisme yang terkandung dalam suatu sistem budaya.
Doktrin postmodernisme bersumber pada teori linguistik dari Ferdinand
Saussure yang berpendapat, bahwa bahasa hanyalah "signifier" (petunjuk) pada
"signified" (yang ditunjuk). Kata, dalam teori tersebut, tidak mengacu pada kebenaran
atau realitas, tetapi hanya pada suatu "konsep"." Kata-kata dengan demikian
samasekali tidak mengacu pada realitas, dan arti kata-kata baru terungkap dalam
3
Ibid, hal. Hal, 5
hubungan-hubungannya dengan kata-kata lain dalam bahasa yang bersangkutan.
Berkaitan dengan teori itu postmodernisme beranggapan bahwa semua wacana,
seperti dikatakan Jean-Francoise Lyotard, hanyalah "language game", dan sebab itu
kebenaran atau obyektifitas (realitas) tidak terungkap di dalamnya. Dalam ilmu
sejarah itu berarti bahwa historiografi hanyalah permainan kata-kata, "language
game". Para sejarawan yang terpengaruh oleh doktrin tersebut, seperti Hayden White
umpamanya, berkeyakinan bahwa dalam historiografi tidak bisa dibedakan antara
fiksi dan kenyataan. Bahkan bagi para sejarawan yang tergolong dalam "New
Historicisme", tidak ada perbedaan hakiki antara historiografi dan teks biasa
C. Morris beranggapan bahwa postmodernisme dalam wacana ilmiah dan
fiktif dalah sama yang membedakan hanyalah bahasa yang digunakan" (Morris: 1997:
5,6). Aliran postmodernisme meihat bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan
hanyalah suatu cara untuk melegitimasi kedudukan seorang pakar. Itlah sebabanya
kebenaran ilmiah lebih banyak ditentukan oleh ideologi yang dominan pada saat
tertentu.
Ada dua buah sanggahan mengenai postmoderisme dalam ilmu sejarah, yang
pertama khusus menyangkut .pendekatan empiris dalam ilmu sejarah dan yang kedua
menyangkut pendekatan strukturis. Yang pertama berasal dari seorang ahli filsafat
ilmu, yaitu C. Behan Mc. Cullagh, dan yang kedua berasal dari seorang ahli sejarah
ekonomi, yaitu C. Lloyed. Mc Cullagh, seorang ahli filsafat ilmu, memperlihatkan
pengaruh post-modernisme dalam ilmu sejarah ada tiga aspek yang dipertanyakan
keraguannya, pertama metode sejarah yang digunakan ahli sejarah; kedua pengaruh
budaya yang memepenagaruhi ahli sejarah, dan yang ketiga penggunaan bahasa
yang dipakai oleh ahli sejarah tidak sesuai dengan fakta4 .
C. Behan Mc.Cullagh mengkritisi pendekatan empiris-naratif dalam ilmu
sejarah khususnya istilah "correspondence theory of truth" yang selalu dibanggakan.
Ahli sejarah empiris naratif melihat suatu peristiwa, biografi atau struktur sosial,
mengacu pada kebenaran yang obyektif (realitas). Pada hal konsep tersebut tidaklah
sama.Itulah sebabnya McCullagh menggantikan correspondence theory of truth atau
teori korespondensi dengan teori korelasi ("correlation theory of truth"). Teori
korespondensi mengandung pendapat bahwa apa yang diungkapkan dalam
historiografi empiris itu sama benar dengan kenyataan, sedangkan teori korelasi lebih
hati-hati dan mengatakan bahwa apa yang diungkapkan dalam histioriografl empiris
itu tidak sama benar dengan kenyataan, tetapi ada kaitan (korelasi) dengan kenyataan.
Berdasarkan teori korelasi mengenai kebenaran sejarah itu, Mc.Cullan
membantah pandangan dalam doktrin postmodernisme, dan mencoba membuktikan
melalui penelitian historiografis, bahwa para ahli sejarah, khususnya yang
menggunakan pendekatan naratifisme, dapat mengungkapkan kebenaran (realitas)
berdasarkan sumber sejarah (dokumen, arsip, kesaksian lisan) karena memiliki caracara tertentu (metode sejarah) untuk menilai teks atau dokumen, dan cara-cara
tertentu untuk menjelaskannya (diskripsi atau analisis). Bahkan cara yang digunakan
4
C. Behan McCullagh (1998). The Truth of History. London-New York: Routledge, 1998
ahli sejarah untuk membuat inferensi (inference) atau menarik kesimpulan dari
dokumen bisa obyektif, karena pada dasarnya tindakan-tindakan manusia di masa
lampau dialami juga oleh manusia masa kini.
McCullagh bisa menerima pendapat postmodernisme bahwa para ahli sejarah
terikat pada kondisi budaya mereka. Namun hal itu tidak harus menghasilkan
relativisme budaya dalam historiografi. Ahli sejarah selalu menjelaskan fakta sejarah
melalui generalisasi yang bersifat diskriptif, interpretatif ataupun melalui teori-teori
kausalitas tertentu. Generaliasi-generaliasi dan teori-teori itu senantiasa bisa diubahubah agar lebih mencerminkan realitas.
Dengan demikian metode sejarah dan historiografi bisa juga menjamin bahwa
apa yang disampaikan melalui bahasa dalam bentuk naratif itu bukan sekedar
"language game" tetapi memiliki kaitan (korelasi) dengan kenyataan. Kemampuan
akademik para ahli sejarah itulah yang menjamin bahwa historiografi tidak
terjerumus dalam relativisme budaya, dan tetap memiliki kadar realitas yang cukup
tinggi.
4. Pendekatan Strukturistik dalam Ilmu sejarah
Sejumlah ahli sejarah mencoba mengatasi serangan dari postmodernisme itu
dengan upaya menegakkan kembali teori korespondensi dalam ilmu sejarah.
Kelompok tersebut berupaya untuk mencari cara-cara yang bisa menjamin realitas
sepenuhnya dalam ilmu sejarah, bukan sekedar kaitan atau korelasi saja. Kelompok
tersebut menamakan dirinya alitan "strukturis". Sesungguhnya aliran strukturis tidak
sama dengan aliran struktural yang bersumber pada aliran An'nals dari Prancis yang
diilhami oleh oleh Talcot Parson.
Aliran sejarah strukturis samasekali meninggalkan pendekatan empiris dalam
ilmu sejarah dengan menekankan teori-teori sosiologi tertentu, khususnya konsepkonsep "emergency" dan "agency". Pendekatan ini mengacu pada cara kerja
("structure of reasoning") dalam ilmu-ilmu alam, tetapi disesuaikan dengan ilmu
sejarah dimana data hanya dapat diperoleh dari sumber sejarah.
Dikatakan mirip dengan ilmu-ilmu alam karena pertama-tama realitas yang
dicari bukan keseluruhan realitas (yang hanya diketahui oleh Tuhan), tetapi hanya apa
yang dinamakan "causal factors" atau "causal mechanism" yang tidak kasat mata
(unobservable). Seperti halnya dalam alam, fenomena dapat disaksikan oleh panca
indra manusia (observable), tetapi sebab-sebab terjadinya fenomena itu tidak kasat
mata (unobeservable). Di dunia ini benda-benda jatuh ke bawah (fenomena,
observable), tetapi causal mechanism-nya, yaitu grafitas, tidak kasat mata
(unobservable); suara dari radio dapat didengar, atau gambar pada televisi dapat
dilihat, tetapi medan magnetik yang menyebabkannya tidak dapat ditangkap
oleh pancaindra (unobservable).
Demikian pula pendekatan strukturis bertujuan menampilkan realitas dalam
bentuk causal factors yang tidak tertangkap oleh pancaindra. Fenomena-fenomena
seperti pemberontakan, revolusi, perubahan sosial, dsb. dapat ditangkap melalui
pancaindra, karena terkandung dalam sumber sejarah yang dapat dibaca dan
dipelajari. Tetapi sebab-musababnya tidak muncul secara empiris dalam sumber
sejarah, karena tersembunyi dalam struktur sosial yang unobservable itu. Secara
teoritis terdapat interaksi antara manusia (individu atau kelompok) dan struktur sosial
dimana mereka' berasal. Maka untuk menampilkan causal factor yang unobservable
itu seorang sejarawan yang mendapat datanya dari sumber sejarah harus
menggunakannya untuk menganalisa struktur sosial agar dapat menampilkan
interaksi antara manusia yang konkrit (observable) dan struktur sosial yang tidak
kasat mata itu (unobservable).
Pengertian struktur sosial yang unobservable dalam pendekatan ini berasal
dari sosiologi realis. Struktur sosial bukanlah kumpulan manusia yang kongkret
(agregasi), tetapi suatu unit yang memiliki ciri-ciri umum yang bersifat "emergence"
berupa peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi, dan pemikiran (mentalite). Tetapi
berbeda dengan sosiologi pada umumnya, menurut pendekatan strukturis, perubahan
sosial tidak disebabkan oleh struktur sosial lainnya (kriminalitas yang meningkat
disebabkan pengangguran yang meningkat), tetapi perubahan struktural justru
disebabkan tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau
kolektfitas) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, interaksi berdasarkan
pemikiran tertentu. Pendekatan strukturis bertujuan menjelaskan perubahan dari
masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang modern.
Pemikiran, pandangan, wawasan manusia kongkret yang menjadi anggota
suatu kelompok sosial tertentu, seperti juga dikemukakan dalam pendekatan empiris,
terkandung dalam sumber sejarah, yang -dalam pendekatan strukturis disebut sebagai
"expressed intentions". Causal factors yang diperoleh melalui analisa teoretis atas
sumber sejarah itu dapat diuji kembali kebenarannya pada "expressed intentions" lain.
Dengan demikian, seperti halnya dalam ilmu-ilmu alam, teori-teori sejarah memiliki
kemampuan prediksi.
Sebab-musabab dalam metodologi strukturis itu memiliki ciri-ciri universal
yang dapat dirumuskan dalam bentuk wacana. Namun hakekat ilmu sejarah sebagai
"ilmu yang mempelajari manusia dalam waktu", menyebabkan para ahli sejarah
menyadari betul bahwa unsur perubahan senantiasa menentukan penjelasannya
tentang peristiwa-peristiwa. Sebab itu perbedaan-perbedaan waktu dan tempat juga
membatasi rumusan causal factors. Inilah perbedaan lainnya antara ilmu sejarah dan
ilmu-ilmu alam.
Contoh-contoh dari pendekatan strukturis ini bisa kita temukan
umpamanya dalam karya-karya dari Max Weber dan Norbert Elias (sosiolog),
Mandelbaum dan Le Roy Ladurie (ahli sejarah) Cliffort Geertz (antropolog),
dan masih banyak lagi 5.
.
5
Christopher Lloyed (1993). The Structures
of
History. London: Basil Blackwell, 1993
Kalau dibandingkan antara kedua pendekatan tersebut di atas (empiris dan
strukturis), maka dapat dikatakan, bahwa di Indonesia pendekatan empiris lebih
menonjol dibandingkan dengan pendekatan strukturis. Hasil historiografi empiris
sesungguhnya bisa dibedakan antara karya-karya sejarah yang diskriptlf dan yang
analitik. Di Indonesia diskripsi atau interpretasi terutama digunakan oleh para penulis
sejarah yang "amatir" (bukan profesional) dan hasilnya bisa kita saksikan dalam tokotoko buku, baik yang menggunakan peristiwa sebagai unit, atau hidup manusia
maupun struktur sosial. Banyak sekali karya-karya jenis ini yang berupa biografi atau
otobiografi yang bermunculan dalam tahun-tahun yang lalu. Diantaranya ada yang
dapat dikatakan cukup baik, seperti karya A.M. Nasution, baik yang unit diskripsinya
adalah suatu peristiwa, atau hidup manusia (otobiografi), maupun struktur sosial
(perang kemerdekaan).
Kita dapat mengajukan keberatan-keberatan metodologis mengenai karyakarya tersebut di atas. Antara lain mengenai sumber sejarahnya yang tidak selalu jelas
atau dikemukakan secara gamblang, atau kesaksian lisan yang tidak menggunakan
cara-cara oral history yang baik. Selain itu tentunya kebenaran fakta sering harus
diragukan, bahkan tidak lengkapnya uraian mengenai suatu peristiwa atau struktur
sosial menyebabkan terjadinya distorsi dan sebab itu tidak memenuhi persyaratan
teori kebenaran sejarah.
Kalangan akademisi, terutama Prof. Sartono dari UGM dan mereka yang
dipromisikannya sebagai doktor, bisa digolongkan sebagai ahli sejarah profesional
yang menggunakan analisis dalam penelitiannya, baik untuk menjelaskan suatu
peristiwa, kehidupan manusia, ataupun struktur sosial. Para pelopor dalam
pendekatan ini (yang oleh Sartono dinamakan pendekatan multi-dimensional) lebih
banyak tertarik pada peristiwa-peristiwa yang digolongkan sebagai "collective
action". Dalam perkembangan lanjut perubahan sosial juga menarik perhatian
mereka, salah satu contohnya adalah disertasi mengenai menak Sunda. Tetapi
terutama para ahli sejarah ekonomi yang karya-karyanya bermunculan sejak awal
1990-an menaruh perhatian pada perubahan sosial, cq perubahan ekonomi.
Beberapa kajian yang ada lebih mengfokuskan pada masalah perdagangan
di Indonesia Timur. Di antaranya dapat disebutkan Anthony Reid ( 1983), Sutherland
( 1987; 1989), Edward, L. Poelinggomang (1991).6 Kajian sejarah yang
menempatkan ekonomi kepulauan sebagai determinisme geografi dalam membentuk
jaringan perdagangan antar pulau dan antar laut hampir tidak ada. Belakangan ini,
. Anthony Reid, “ The Rise of Makassar”, dalam : Rima (Vol. 17,1983), hal . 117; H. A.
Sutherland, “ Eastern Emporium and Company Town: Trade and Society in Eighteenth- Century
Makassar” dalam Frank Broeze,ed. Brides of the Sea: Port Cities of Asia From the 16 tth17th
Centuries ( Kensington: New South Wales University Press, 1989) , hal 98.; Edward Lamberthus
Poelinggomang, Proteksi dan Perdagangan Bebas Kajian Tentang Perdagangan Makassar pada
Abad ke-19. Academisch Proefschrift Vrije Universiteit. Amsterdam 1991.
6
Cristiaan Geraad Heersink (1995) 7melakukan penelitian terhadap peranan pulau
Selayar sebagai wilayah ekonomi periphery dari pusat., namun kajian-kajian mereka
masih merupakan tahap-tahap pendahuluan. Sejauh ini , kajian-kajian yang ada pada
umumnya berkaitan dengan masalah-masalah perdagangan yang dihubungkan
dengan kebesaran kerajaan Gowa (Makassar) sebagai kekuatan kerajaan Maritim
pada abad ke- 17 atau sebagai kajian ekonomi yang menempatkan kerajaan sebagai
ujung tombak dalam perdagangan dan pelayaran.
Kajian-kajian
ini terelalu
hiporbolistik dan mengabaikan letak geografis Makassar sebagai pelabuhan
transito antar pulau dalam jalur perdagangan antara Asia, Eropa, dan Australia.
Berbagai kajian lain membahas saratnya dinamika politik Makassar setelah
kemerdekaan, misalnya kajian Barbara Sillars Harvey (1984), C. Van Dijk (1983),
Audrey R. Kahin (1990), R.Z. Leirissa (1991), dan Anhar Gonggong (1992) 8.
Dengan demikian perdagangan di Makassar penting jika peristiwa itu dibahas
tanpa mengabaikan struktur dan konjuntur. Tradisi penulisan ini sering disebut
paradigma aliran Braudelian. Ia menjelaskan bahwa dalam kurun waktu tertentu
terdapat paling kurang tiga jenis fakta, yaitu
pertama, peristiwa ( event), kedua,
konjungtur ( conjoncture)
dan ketiga struktur (structure). 9
Suatu penelitian ilmiah memiliki peranan yang sangat penting dalam mencari
kebenaran dan merupakan sebuah pemikiran kritis. Penelitian dalam ilmu-ilmu
budaya, sama halnya dengan penelitian pada umumnya merupakan suatu proses yang
terus menerus yang dilakukan secara kritis dan terorganisasi untuk melakukan
analisa, memberikan penjelasan dan interpretasi terhadap fenomena sosial yang
mempunyai hubungan yang kait-mengkait.
Peneliti ilmu sosial walaupun berpijak pada metode ilmiah, tetapi beberapa
ciri khas yang ada di dalam masing-masing bidang ilmu, menyebabkan si peneliti
dituntut memiliki ketrampilan yang khas pula dan harus didukung oleh kerangka teori
dan analitik yang berbeda dalam menganalisa interaksi antar fenomena disebabkan
kompleksnya fenomena-fenomena yang diteliti. Masalah-masalah sosial yang mudah
berubah dan sulit diukur mengakibatkan kurangnya kemampuan melakukan prediksi,
tidak se-eksak prediksi dalam ilmu alam.
Penggunaan metode kuantitatif yang telah baku dan lazim dipakai dalam
penelitian ilmu-ilmu alam ternyata tidak cukup mampu mengungkapkan dan
Cristiaan Gerard Heersink, The Green Gold of Selayar: A Socio –Economic History of an
Indonesian Coconut Island, c. 1600-1950: Perpectives from a Periphery. Academisch Proefschrift,
Vrije Universiteit.1995
7
8
. HJ.S. Harvey, Permesta Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta: Grafiti Pers, 1984; C. Van Dijk,
Darul Islam Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Grafiti Pers, 1983; Audrey R. Kahin. Pergolakan
Daerah pada Awal Kemerdekaan, Jakarta: Grafiti Pers.1990.; R. Z. Leirissa. PRRI - Permesta
Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, Jakarta: Grafiti Pers, 1991; Anhar Gonggong.
Abdul Qahhar Mudzakkar Dari Patriot Hingga Pemberontak, Jakarta: Grasindo, 1992.
9
. Christopher Lloyd. The Structures of History. Balckwell: Cambridge University Press. 1993. hal
21 -27.
mendeskripsikan fenomena-fenomena sosial yang ada dalam masyarakat karena
variabel-variabelnya sulit untuk diukur.
Bidang ilmu humaniora yang mencakup bidang hukum, antropologi, sastra,
linguistik, filsafat, sejarah, merupakan bidang ilmu yang “kurang cocok” bila dipakai
pendekatan kuantitatif.
Oleh karena itu akhir-akhir ini dengan perkembangan teori-teori sosial yang
lebih menekankan dan melebihkan unsur makna dalam ”human action” dan
“interaction” sebagai determinan utama eksistensi kehidupan bermasyarakat,
berkembang teori-teori yang berparadigma baru dengan konsekuensi metodologinya
yang hendak lebih mengkaji aksi-aksi individu dengan makna-makna simbolik yang
direfleksikannya akan lebih kualitatif daripada kuantitatif.
Menurut kaum interaksionis ini, realita kehidupan itu, sesungguhnya hanya
eksis dalam alam makna yang simbolik sehingga sulit ditangkap lewat pengamatan
dan pengukuran begitu saja dari luar melalui beberapa indikator yang cuma tampak di
permukaan, melainkan realita sosial hanya mungkin “dipahami serta ditangkap” lewat
pengalaman dan penghayatan-penghayatan internal para subyek pelaku yang
berpartisipasi dalam interaksi setempat.
Metode kuantitatif yang merupakan metode klasik dan konvensional yang
semula efektif terbukti untuk meneliti fenomena alam yang kemudian dipinjam oleh
ilmu-ilmu sosial ternyata tidak banyak membantu. mengungkapkan pola-pola dalam
tatanan perilaku dan kehidupan manusia serta kurang mampu mengungkapkan nilai,
ide, makna dan keyakinan yang “individualized” dan studi-studi sosial yang kian
banyak bersifat lintas-kultural. Hal tersebut mengingat pula metode kuantitatif yang
“theory testing” untuk meneliti dan memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan
pada tingkat analisis yang makro sebagai realitas empiris.
Bidang ilmu humaniora yang hendak meneliti tatanan perilaku dan kehidupan
manusia yang merupakan makna aksi individu dan interaksi-interaksi antara individu,
dianjurkan dan untuk banyak dicoba menggunakan metode kualitatif yang paradigma
teoritik dan rancangan metodologiknya amat berbeda dengan metode kuantitatif.
Mengingat kehidupan manusia saat ini sudah semakin demokratik dan “people
centered”, maka metode kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia
dalam kasus-kasus terbatas namun mendalam dan menyeluruh dan juga
dikembangkan untuk mengungkapkan gejala-gejala kehidupan masyarakat seperti apa
yang terpersepsi oleh warga-warga masyarakat itu sendiri dan dari kondisi mereka
yang tak tercampuri oleh pengamat peneliti. Selain dari itu metode kualitatif tidak
menganjurkan dikembangkannya perspektif konseptual dari sudut amatan para
peneliti.
Humaniora adalah bidang ilmu yang memiliki objek manusia sebagai human
being dalam masyarakat yang mencakup disiplin-disiplin ilmu antara lain Hukum,
Politik, Antropologi, Sosiologi, Perilaku Kesehatan, Linguistik, Sastra, Filologi, Seni,
Pendidikan, Sejarah, dan Filsafat. Dengan demikian yang diteliti adalah hal-hal yang
lebih menekankan pada aspek budaya manusia sebagai bagian dari masyarakat. Oleh
karena itu cakupan kajian ilmu-ilmu humaniora adalah tentang ekspresi dan
aktualisasi yang terwujud dalam perilaku, sikap, orientasi, nilai, norma, tata makna,
pandangan hidup, spiritualitas, etika dan estetika. Dengan demikian tema-tema
penelitian yang dapat dikernbangkan di bidang ini antara lain berkisar tentang
perubahan sosial, dampak sosial pembangunan, kontinuitas dan perubahan dalam
masyarakat, etos kerja, dan respons masyarakat terhadap berbagai perubahan, dan
sebagainya.
Mengingat bahwa
pembangunan Indonesia dimaksudkan untuk
menyejahterakan seluruh bangsa Indonesia lahir-batin, jasmani-rohani, maka perlu
kita sadad bahwa pembangunan secara fisik semata belum memberikan arti yang
memadai. Pembangunan di bidang-bidang yang lebih menekankan pada aspek
kejiwaan, nilai, moral, masih amat dibutuhkan dalam upaya pembangunan dan
pelestarian hasil-hasilnya. Seyogianya ilmu-ilmu humaniora diberi kesempatan untuk
berkembang secara wajar sehagaimana ilmu-ilmu yang lain.
5 Historisisme Fukuyama Posmodernisme
Sejarah bagi para ahli sejarah, adalah, seperti dikatakan Marc Bloch, suatu
studi tentang manusia dalam konteks waktu, "the study of man in time" (Bloch 1989).
Ini berarti bahwa unsur perubahan (waktu) menjadi unsur yang dominan dalam
bidang studi ini. Melalui pendekatan interdisipliner, yang menampilkan interface
antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial, perubahan menjadi dimensi yang penting
dalam struktur sosial. Namun belum tentu setiap orang mengartikan sejarah seperti
itu. Dalam kenyataan sering terjadi bahwa perubahan justru dihindari, bahkan
perubahan dikhawatirkan. Hal ini terutama terjadi karena kalangan tertentu dalam
masyarakat melihat perubahan sebagai suatu ancaman akan identitas dan kelanjutan
negara dan bangsa. Orang lalu mencari akar-akarnya dalam masa lampau untuk
menegakkan konsensus yang dilihat dapat hancur oleh perubahan. Orientasi kemasa
lampau untuk mendapatkan pegangan untuk masa kini dan masa datang itu adalah
suatu "pernyataan bahwa sejarah telah berakhir"
Orientasi intelektual yang mencari pegangan di masa lampau ini sangat jelas
dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sebabnya terutama karena kita sebagai
bangsa yang merdeka senantiasa berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik dan
ekonomi global yang tidak dapat kita kendalikan. Ada perasaan hanyut dalam arus
global itu dan jangkar untuk menstabilkan keadaan hanyalah masa lampau yang
diharapkan bisa menjamin konsensus dan kemapanan. Pandangan sejarah yang sering
dinamakan “Historisme” itu mengabaikan samasekali sejarah sebagai perubahan, dan
dengan demikian menutup mata bagi kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik
yang bisa diupayakan untuk masa datang.
Pandangan masyarakat mengenai sejarah seperti dikatakan di atas pernah
terdapat juga di dunia Barat, bahkan kini tidak jarang muncul dikalangan konservatif.
Sejarah dalam pandangan itu dianggap bisa mengungkapkan ajaran-ajaran moral
untuk mempertahankan keutuhan masyarakat di masa sekarang dan masa datang. Ini
sama saja dengan mengatakan bahwa yang diinginkan adalah masa lampau sebagai
mitos, bukan sejarah sebagai perubahan. Keinginan yang kuat dari berbagai kalangan
masyarakat itu menimbulkan suatu tuntutan untuk "menciptakan" sejarah (invention
of history), bukan rekonstruksi sejarah. Desakan ini melahirkan suatu jenis
historiografi yang dapat dikatakan sebagai penulisan sejarah sesuai dengan tuntutan
zaman, bukan sejarah sesuai dengan tuntutan ilmu sejarah.
Dalam sejarah Indonesia pandangan historisisme itu juga pernah dan masih
dominan. Salah satu sumbernya adalah pandangan sejarah dari Ir. Sukarno yang
dirumuskannya dalam masa pergerakan nasional. Baginya masa kini (masa
penjajahan) adalah masa penderitaan dibandingkan dengan zaman-zaman
sebelumnya, dan masa datang adalah "revival" dari masa lampau yang dikatakan
penuh kearifan itu. Sedikit-banyaknya, pandangan sejarah ini pernah juga dominan
bahkan sampai masa Orde Baru, dimana masa datang, atau sasaran yang dituju,
adalah "masyarakat adil dan makmur",
Bahkan gagasan untuk menghidupkan kembali "nilai-nilai 45" tergolong dalam
wawasan historisisme.
Dalam konteks inilah harus kita lihat maksud dan tujuan dari Kongres
Sejarah (ketika itu disebut Seminar Sejarah) yang pertama kali diselenggarakan
bangsa Indonesia pada tahun 1957 di Yogyakarta. Masalah itu terutama muncul
dalam perdebatan antara Mohammad Yamin dan Sudjatmoko mengenai filsafat
sejarah. Mohammad Yamin yang dikenal sebagai orang yang banyak menulis sejarah
itu, mengartikan falsafat sejarah sebagai falsafah sejarah nasional. Pada pihak lain,
Sudjatmoko mengingatkan bahwa filsafat sejarah pada dasarnya adalah suatu
wawasan tentang perjalanan hidup umat manusia sebagai keseluruhan. Disini jelas
nampak bahwa Yamin bertolak dari historisisme yang mengandalkan masa lampau
sebagai sumber ajaran moral bag! kelanjutan bangsa Indonesia, sedangkan
Sudjatmoko melihat sejarah sebagai suatu perubahan yang mencakup seluruh umat
manusia yang berlangsung tidak berkesudahan.
Harus diakui bahwa pandangan Yamin tersebut lebih banyak diterima
masyarakat.
Buku-buku
sejarah
untuk kepentingan
berbagai
tingkat
pendidikan disusun dengan wawasan historisisme tersebut. Masa lampau Indonesia,
yang dikenal dengan kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit, dilihat
sebagai zaman keemasan, zaman yang penuh kemakmuran dan keadilan. Kemudian
muncul penjajahan sejak abad ke-17 yang hanya membawa penderitaan dan
kesengsaraan, sedangkan pergerakan nasional dan kemerdekaan bangsa Indonesia
dilihat sebagai upaya menghidupkan kembali kejayaan masa lampau itu.
Salah satu sebab mengapa pandangan historisisme itu demikian dominan
dalam masyarakat Indonesia, menurut pendapat saya, adalah kurangnya ahli sejarah
yang dibentuk secara akademik. Buku-buku sejarah yang ditulis untuk keperluan
pendidikan maupun untuk umum, sejak tahun-tahun 1950-an adalah hasil pekerjaan
para amatiran, guru-guru sekolah, kaum ideolog seperti Yamin, dan sebagainya. Ahli
sejarah yang akademik dan profesional sesungguhnya masih dapat dihitung dengan
jari; bahkan baru pada tahun 1966 muncul seorang ahli sejarah yang bergelar Doktor
dalam Ilmu Sejarah (Sartono Kartodirdjo). Pendidikan ahli sejarah akademik lama
sekali terhambat, baik oleh kendala politik maupun kendala ekonomi. Baru sejak
tahun-tahun 1970-an muncul beberapa ahli sejarah yang bergelar doktor sebagai hasil
pendidikan di luar atau di dalam negeri. Namun demikian buku pelajaran sejarah
untuk kepentingan dunia pendidikan yang memadai sampai kini pun belum tersedia.
Toko-toko buku lebih banyak menawarkan buku-buku sejarah yang ditulis oleh
kalangan awam yang dengan sendirinya tidak bisa meninggalkan tradisi historisisme
dalam berbagai bentuk.
Maka tidaklah mengherankan kalau historisisme juga masih tetap menjadi
pandangan sejarah yang dominan di kalangan kelas menengah Indonesia. Pandangan
sejarah yang menginginkan pelajaran-pelajaran moral dari masa lampau untuk
legitimasi politik masa kini itu dengan sendirinya menghambat perkembangan
demokrasi. Sejarah dalam pandangan ini berguna untuk menciptakan rasa stabilitas
dan kesadaran adanya kontinuitas dengan masa lampau. Historiografi yang
berlandaskan wawasan historisisme yang membangkitkan masa lampau sebagai jalan
keluar dari segala permasalahan itu, menghambat pandangan ke masa depan,
menghambat kemungkinan yang lebih baik yang dapat diupayakan. Wawasan itu
meniadakan penggunaan pikiran atau ratio dalam menghadapi permasalahanpermasalahan karena jawaban selalu telah tersedia yaitu masa lampau. Wawasan
yang menutup pandangan ke depan dan peranan ratio dalam kehidupan itu juga
berimplikasi pada demokrasi. Demokrasi tidak dimungkinkan karena jawaban selalu
bersifat sterio tipe yaitu konsensus melalui mekanisme paternalisme politik.
Sesungguhnya hambatan bagi pengembangan demokrasi tidak saja
disebabkan maraknya pandangan sejarah yang siklis dalam bentuk historisisme
tersebut di atas. Pandangan sejarah yang progresif pun sesungguhnya dapat menjadi
hambatan bagi terwujudnya demokrasi. Progresivisme sesungguhnya adalah buah
intelektual modern yang lahir bersamaan dengan lahirnya ilmu pengetahuan di abad
ke-17. Berbeda dengan historisisme, progresivisme mengandung pandangan sejarah
ke depan, ke masa datang. Wawasan ini mendukung ideologi liberal di Barat, yang
bersama ideologi konservatisme dan Marxisme, adalah produk perkembangan
pasca Revolusi Francis.
Liberalisme, sebagai ideologi, yang muncul di Barat itu terutama menekankan
perubahan, pandangan ke masa depan, dan menghadang konservatisme yang
melahirkan historisisme di abad ke-19. Perubahan dalam wawasan liberal adalah
"normal change", perubahan yang wajar yang terjadi secara alamiah. Wawasan inilah
yang ditolak oleh Marxisme yang menyusul. Sekalipun Marxisme juga menekankan
perubahan, tetapi bukan "normal change", karena bagi Marxisme perubahan hanya
dapat terjadi melalui revolusi. Perbedaan yang lebih lanjut tentang dua pandangan
tentang perubahan tersebut tidak akan diperpanjang di sini. Cukuplah dikatakan,
bahwa kedua pandangan itu melahirkan dua wawasan sejarah yang berbeda, dua
wawasan tentang perubahan yang bertolak belakang.
Namun perlu dikemukakan bahwa kedua pandangan sejarah tersebut di atas
yang banyak dianut dalam masyarakat, mengandung hambatan-hambatan pula bagi
terwujudnya demokrasi. Mengenai Marxisme hambatannya terletak pada
wawasannya mengenai perubahan atau sejarah yang mengandalkan konflik abadi
dalam suatu masyarakat. Seperti di katakan oleh Imannuel Walerstein, dari tiga
semboyan Revolusi Francis, yaitu "Liberte, Egalite, Fraternite", hanya dua yang
pertama bisa terwujud (Walerstein 1991: 21, 22). Kemerdekaan kini menjadi suatu
kenyataan politik diseluruh dunia; dan sekalipun persamaan hak masih merupakan
impian yang belum terwujud di berbagai belahan bumi ini, berbagai bentuk "welfare
state" di Amerika Serikat dan dunia Barat menunjukkan bahwa hal itu bisa
diwujudkan. Namun "fraternite", persaudaraan, solidaritas sosial, sangat sulit dicapai.
Padahal, menurut Walerstein pula, hanya dengan terciptanya solidaritas sosial-lah
kedua gagasan tersebut di atas bisa langgeng
Liberalisme dalam pandangan sejarah yang digunakan kelompok elite tertentu
dalam masyarakat untuk kepentingan politik juga bisa menjadi hambatan bagi
pengembangan demokrasi, seperti yang dikemukakan oleh Francis Fukuyama
mengenai "berakhirnya sejarah" (Fukuyama 1992). Apa yang dilakukan Fukuyama
adalah menilai kembali filsafat Hegel tentang dialektika sejarah. Dalam pandangan
Fukuyama dialektika tersebut adalah pertarungan antara penguasa dan rakyat
sepanjang sejarah untuk memperoleh kekuasaan. Pergantian kekuasaan selalu
didahului oleh persaingan yang keras dengan menggunakan senjata. Namun Revolusi
Francis, termasuk "revolusi-revolusi Atlantik" lainnya, menurut Fukuyama,
mengakhiri pertarungan itu karena> permasalahan kekuasaan dapat diselesaikan
melalui parlemen dan demokrasi. Melalui demokrasi manusia tidak perlu lagi
menyelesaikan perbedaan politik melalui pertarungan dimana salah satu pihak harus
hancur total agar pihak lain dapat berkuasa.
Dengan demikian sejak "revolusi-revolusi Atlantik" tersebut dialektika
kekuasaan, telah berakhir. Dengan kata lain sejarah telah berakhir, dan apa yang
terjadi selanjutnya hanyalah pengulangan dari masa lampau. Perubahan sebagai unsur
utama pandangan sejarah liberal, dengan demikian pula, samasekali dihilangkan.
Masa depan sekedar pengulangan dari masa kini, karena idealisme manusia untuk
hidup tenteram telah tercapai.
Pandangan Fukuyama sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan pandangan
historisisme. Kesadaran sejarah, kesadaran bahwa perubahan adalah bagian dari
hidup manusia, menurut Fukuyama, tidak diperlukan lagi. Masa depan hanya
kelanjutan dari masa kini. Makna politik dari pandangan sejarah itu adalah, bahwa di
masa kini tidak ada ideologi alternatif selain kapitalisme liberal. Jadi dengan
berakhirnya sejarah, maka satu-satu pilihan adalah liberalisme. Pandangan sejarah
yang dirumuskan Fukuyama itu merupakan pembatasan radikal dari pandangan
liberalisme dalam sejarah yang menekankan perubahan terus-menerus dan masa
datang yang terbuka bagi berbagai kemungkinan yang lebih baik.
Keberatan utama atas gagasan "end of history" yang dikemukakan Fukuyama
itu adalah, bahwa "the end of history" mengandung pengertian bahwa untuk
selanjutnya manusia tidak bisa mencapai pemahaman yang lebih tinggi mengenai
dirinya dan nasibnya. Dalam konteks Indonesia pandangan sejarah yang
dikemukakan Fukuyama, nampaknya, tidak relevan. Kalau pandangan itu diterima,
maka bagi bangsa Indonesia tidak terbuka kemungkinan lagi untuk memikirkan
perjalanan hidupnya, masa depannya, kecuali dalam konteks liberalisme dan
kapitalisme. Pandangan yang pesimistis seperti itu jelas akan menghambat upaya
untuk membangun demokrasi di Indonesia.
Pandangan lain yang juga "membunuh sejarah" adalah pandangan masyarakat
tentang masa lampau yang dipengaruhi oleh apa yang dinamakan postmodernisme
(McCullagh 1998). Relativisme budaya yang dikumandangkan dalam
postmodernisme itu pada dasarnya menolak wawasan sejarah sebagai perubahan.
Dalam pemikiran ini, manusia bukan lagi penggerak sejarah, seperti umpamanya
dikemukakan oleh Foucault. Lebih dari itu pandangan ini menolak adanya pandangan
sejarah yang universal, dan menekankan sejarah-sejarah lokal atau "little histories"
yang mencakup lokalitas yang sempit. Pandangan sejarah itu bahkan menolak
obyektifitas sebagai sesuatu yang dapat dicapai dalam ilmu sejarah, bahkan dalam
setiap cabang ilmu lainnya (termasuk ilmu-ilmu alam). Relativisms budaya membuat
setiap "small narrative" mengandung arti dan kebenarannya masing-masing sehingga
subyektifisme menjadi ciri utamanya. Dengan demikian dalam pandangan sejarah
yang dipengaruhi oleh postmo, perubahan sebagai suatu bagian integral dari
kehidupan manusia, terutama manusia modern, diingkari itu. Pandangan ini juga
melecehkan kemampuan manusia sebagai makhluk yang bisa menentukan nasibnya
sendiri. Pandangan sejarah bernuansa postmo adalah pandangan sejarah yang pesimis
pula.
Masyarakat yang dipengaruhi oleh salah satu pandangan sejarah tersebut di
atas dengan sendirinya tidak merasa adanya kebutuhan untuk menegakkan demokrasi.
Baik historisisme, Fukuyama, maupun postmo, menampilkan sejarah sebagai sesuatu
yang tidak berkelanjutan. Sejarah sebagai perubahan digantikan dengan pandangan
mengenai sejarah sebagai pengulangan saja. Faktor manusia sebagai penggerak
sejarah digantikan dengan determinisme masa si lam. Dalam konteks Indonesia
dimana demokrasi masih harus diperjuangkan karena tidak pernah diberlakukan
dengan semestinya sepanjang sejarah kebangsaan, pandangan-pandangan seperti itu
harus ditinggalkan. Untuk dapat membina suatu sistem politik yang demokratis,
antara lain, masyarakat harus memiliki suatu pandangan sejarah yang optimis.
Sejarah sebagai perubahan yang dilaksanakan oleh manusia sendiri harus menjadi
patokan umum dalam masyarakat. Masyarakat harus yakin bahwa masa depan yang
lebih baik dapat diperjuangkan manusia.
6. Sejarah Lisan Arah Baru Dalam Penelitian sejarah
Sejak tahun 1948, Allan Nevins dari Columbia University mengembangkan
metode sejarah lisan dalam menulis sejarah khususnya pria kulit putih di Amerika
Serikat. Sejak itu sejarah lisan telah mengalami perkembangan luar biasa. Metode
sejarah lisan secara pasti mulai berubah di kalangan sejarawan baik di Amerika
Serikat maupun di Eropa, khususnya dari penulisan sejarah konvensional yang
menekankan pada elite kekuasaan beralih ke masalah-masalah sosial dan ekonomi.
Kajian -kajian tersebut berorientasi pada penulisan sejarah dari bawah atau biasa di
sebut “history from below”.
Sejarah lisan merupakan rekaman rekaman tip tentang sisa-sisa yang
disampaikan oleh narator dari pengetahuan tingkat pertama. Melalui wawancara
yang sebelumnya dirancang, informasi dirangkum dalam pertanyaan dan jawaban
oleh petugas wawancara sejarah lisan. Petugas harus memiliki pengetahuan latar
belakang tentang subyek dan keahlian sosial dalam memahami bagaimana
memisahkan pengisahnya. Sejarah lisan bukan merupakan rekaman tip dari pidato
atau peristiwa sosial lain, meskipun ini hendaknya merupakan bagian lain dari
program pengumpulan informasi oleh masyarakat sejarawan.
Wawancara sejarah lisan berbeda dengan wawancara jurnalistik atau
penelitian sejarah khusus di mana informasi digunakan di masa depan oleh sejumlah
besar peneliti; karena itu jangkauannya hendaknya lebih luas daripada apa yang
dicakup bagi penggunaan khusus atau segera.
Definisi tentang sejarah lisan sebagai gerakan modern dalam melestarikan sejarah
antara lain:
1. Perekaman dan pelestarian, sering dengan sarana mekanis, dari kisah pribadi
saksi mata
2. Rekonstruksi masa lalu melalui ingatan informan dan sisa-sisa ucapan
3. Pembuktian sumber tertulis melalui wawancara terencana dengan informan
yang sangat memahami “ketika berbicara mengenai rekaman”.
Penggunaan masing-masing unsur dalam definisi kerja yang sangat sederhana ini
menghasilkan definisi berikut ini: sejarah lisan : perekaman dan pelestarian
wawancara terencana degnan orang-orang terpilih yang mampu mengisahkan
memori yang dikumpulkan dan karenanya membantuk rekonstruksi masa lalu.
Definisi ini bisa berbeda-beda, tetapi selalu ada unsur konstan; wawancara
sejarah, merekam memori manusia, fokus pada masa lalu untuk menangkap suara
manusia, dan tujuan yang diterima dalam melengkapi informasi tertulis dengan
dokumen atau sumber lisan. Penerimaan sejarah lisan secara populer tidak segera
terjadi; namun ketika terjadi, publik yang terikat padanya seperti Betty Crocker
menemukan resep baru bagai puding pisang. Hanya sedikit orang yang menunjukkan
minat kuat pada mulanya terhadap rencana arsiparis untuk mengumpulkan rekaman
dan transkrip sejarah lisan, tetapi publik menyukai sejarah lisan itu muncul dalam
bentuk lain. Seperti pada tahun 1970-an awal, Louis “Studs” Terkel, seorang
pembawa acara temu wicara TV-radio di Chicago, telah menyusun dan menerbitkan
Hard Times: An Oral History of the Great Depression yang terkenal . Dengan
menggunakan bakat dan popularitasnya sebagai petugas wawancara, Terkel
menyajikan kutipan wawancara yang penuh editan dengan pembicaraan Amerika
biasa dan besar yang membahas tentang pengalaman hidup empat dekade
sebelumnya..
Wawancara Stud Terkel yang diterbitkan terjual dengan baik, bersama dengan
karya sejarawan profesional T. Harry William Huey Long, yang sebenarnya
mendahului Hard Times dicetak tetapi memperoleh ketenaran luas lewat
pengakuannya sebagai pemenang Pulitzer terbaik tahun 1970 dalam biografi. Dengan
didasarkan pada wawancara hampir 300 sejarah lisan, Huey Long memuaskan
keinginan jutaan orang Amerika tentang kehidupan dan karir politik dari raja ikan
Louisiana yang penuh legenda. Edisi panjang dan kaku dari Huey Long, kajian
selama 14 tahun oleh seorang penulis yang juga dikenal karena tulisannya tentang
perang saudara, merangsang tumbuhnya popularitas sejarah lisan. Williams
menunjukkan potensinya sebagai sarana penelitian dan warna anekdot yang
ditambahkan pada sejarah narasi. Para ilmuwan menyukai pendekatan sejarawan
Universitas Negeri Louisiana bagi sejarah lisan daripada Terkel, tetapi kedua penulis
itu memiliki pengaruh yang kuat atas pergerakan sejarah lisan selama tahun 1970-an
dan menyebabkan banyak orang Amerika bertanya-tanya apa yang bisa dicapai oleh
mereka dan tip perekam terbarunya dengan gaya yang sama.
Bantuan lebih lanjut bagi sejarah lisan pada saat yang sama muncul dalam
banyak buku lain. Setidaknya adalah karya Theodore Rosengarten All God’s
Dangers; The Life of Nate Shaw (1974). Sebagai penerima Anugerah Buku Nasional,
karya Rosengarten memusatkan perhatian pada kehidupan lama dari petani negro
Alabama dan menunjukkan efektivitas metodologi wawancara sejarah lisan dan
kekuatan sejarah naratif saksi pertama. Buku-buku seperti kajian Nate Shaw
meningkatkan jumlah literatur tentang sejarah orang Negro Amerika dan menyukai
metode dominan untuk mengumpulkan sumber baru oleh penulis.
Sejarah lisan meraih hasil lebih jauh ketika hasil dari pesan visual dalam
film yang diproduksi bagi televisi dan miniseri yang sebagian didasarkan pada prinsip
dan data sejarah lisan. The Autobiography of Miss Jane Pittman, sebuah produksi
ABC-TV yang disesuaikan dari novel oleh Ernest J. Gaines, pertama dipentaskan di
ruangan hidup oleh para penonton pada tahun 1974. Sebagai kisah dramatis yang
hidup dari kehidupan wanita negro Louisiana berumur 110 tahun dari perbudakan
sampai pergerakan hak asasi tahun 1960-an, film ini mencakup adegan seorang
Amerika yang sangat bersemangat membongkar memorinya ketika dia duduk bagi
wawancara sejarah.
Arsiparis dan pustakawan di kalangan non-pemerintah telah menemui
pelajaran serupa yang sebelumnya dipelajari oleh arsiparis federal. Mereka
menyatakan, wawancara sejarah lisan sering mengarah pada penemuan naskahnaskah pribadi, carikan kertas, koleksi foto, dan data-data lain dengan potensi sejarah
yang besar. Melalui Masyarakat Arsiparis Amerika, para manager naskah profesional
dan laporan lain telah mengembangkan kelompok diskusi formal untuk menggali
dampak-dampak sejarah lisan bagi karyanya dan telah mendorong penerbitan artikel
tentang subyek ini dalam The American Archivist, suatu majalah yang dicurahkan
pada profesi arsip. Banyak museum telah juga mensponsori aktivitas sejarah lisan
bagi bidang subyek khusus lainnya.
Sejarah ekonomi memperoleh keuntungan dari penampilan sejarah lisan
dalam organisasi niaga dan tenaga kerja. Perusahaan dagang, besar dan kecil, menjadi
sasaran penelitian, beberapa disponsori oleh uiveng lain dilaksanakan di kalangan
pengusaha sendiri. Beberapa dari industri terbesar di AS telah mendukung proyek
sejarah lisan intern selama lebih dari satu dekade. Sejarawan buruh terdapat di antara
para pengguna yang paling bersemangat dari wawancara sejarah lisan. Mereka
menduga bahwa sejarah lisan membantu pendekatan “bottom-up” bagi penulisan
kembali sejarah dengan pertimbangan bagi kehidupan orang yang biasanya
meninggalkan sisa-sisa bagi ilmuwan masa mendatang. Generasi mendatang
memiliki setumpuk koleksi memori lisan dari para anggota serikat yang dominan dan
lapisan bawah di sejumlah kelompok buruh – pekerja baja, penambang batubara, dan
pekerja garmen, misalnya. Program arsip buruh utama dengan komponen sejarah
lisan telah menjadi garis depan gerakan itu.
Pertanyaan yang sering muncul adalah
bagimana perkembangan
historiografi sejarah lisan di Indonesia . Proyek sejarah lisan baru dikembangkan
di bawah koordinasi Arsip Nasional Indonesia pada tahun 1970 an, mengikuti
perkembangan di negara-negara Eropa dan Amerika. Fokus perhatian sejarah
lisan tersebut lebih masih berkisar pada kelompok elite, bekas menteri , para
pemimpin partai politik, militer dan para pemimpin PRRI/ Permesta. Selain itu
periode pendudukan Jepang pada tahun 1980 an lupuk juga menjadi perhatian
tetapi sangat terbatas karena hanya berkisar pada tokoh-tokoh pergerakan yang
seirama dengan heroisme dalam mempertahan RI, masyarakat kecil, koflikkonflik sosial sebagai dampak pilkada, kelompok buruh, petani hampir tidak
terekam bagaimana mereka mewakili kelompoknya dalam mmbicarakan realitas
zaman..
.
Simpulan
Dalam dekade terakhir ini sejumlah ahli sejarah berupaya meningkatkan
kemampuan ilmu sejarah untuk mencapai kadar obyektifitas yang lebih tinggi.
Perkembangan "realisme filosofis" dalam falsafah ilmu (philosophy of science) membuka
jalan bagi suatu peninjauan kembali atas dasar-dasar metodologi sejarah sosial yang
berkembang sejak munculnya Revolusi Annales pada fese ke dua abad ke-20. Pendekatan
struktural Annales Schoolnya itu menjadi landasan dari sejarah-sejarah sosial kini dianggap
kurang memadai karena tidak menampilkan unsur individu sebagai penentu perjalanan
sejarah sosial. Suatu pendekatan baru kini telah muncul dengan istilah "metodologi
strukturis". Metodologi strukturis kembali menampilkan peran sosial individu dalam
menentukan perjalanan sejarah, sekalipun landasan-landasan dari sejarah sosial yang telah
diterima oleh para ahli sejarah tetap dipertahankan.
Arah historiografi Indonesia sejak tahun 1980 an mengalami
perkembangan yang pesat. Tema-tema mulai bergeser dari sejarah-orang besar ke
sejarah orang-orang kecil atau rakyat biasa. Disertasi Sartono Kartodirdjo
mengenai pemberontakan Banten tahun 1988 dengan perspektif Indonesia sentris,
memang mendapat perubahan yang besar khususnya pendekatan dan sumbersumber yang digunakan, juga telah memperoleh banyak pengikut, terutama para
muridnya di Universitas Gajahmada dan para sejarawan Indonesia yang dididik di
Belanda dalam program kerjasama Indonesia Belanda.
Penggunaan sejarah lisan nampaknya berjalan sejajar dengan perkembangan
historiografi Indonesia dan historiografi Sejarah Lisan . Walaupun demikian caracara di dalam mana sejarawan menggunakan sumber lisan , membaca memeori
yang sampai kepadanya masih menjadi problematika. Sikap kritis dan
menempatkan obyek (memori) dalam konteks yang lebih luas semestinya
dipertimbangkan , agar sejarawan tidak terporosok ke dalam detil-detil yang tak
bermakna dan bisa membuat gambaran historis yang komprehensip.
Salah satu pendekatan baru yang dimaksud adalah kelompok Subaltern
history pada awalnya dikembangkan oleh sejarawan India di penghujung tahun
1980 an. Melalui fusi pendekatan sejarah dan antropologi, di sebut juga sebagai
sejarah alternatif. Dia muncul sebagai reaksi terhadap sejarah nasional India yang
satandarnya neo imperialis. Ada sebelas jilid buku sejarah Subaltern yang telah
diterbitkan. Terlepas dari kritik yang diajukan terhadap pendekatan ini. Yang jelas
bahwa pengaruh sejarah Subaltern juga sudah meluas ke Amerika latin. Menurut
hemat saya apa esensi yang kita harus ubah jika kita akan mengikuti kelompok
tersebut yaitu mengjejaki perubahan-perubahan metode, asumsi dan proposisi
dalam historiografi Indonesia ke depan adalah bagaimana mendefenisikan
masalah-masalah dan kemungkinan sejarah harus dilihat sebagai total history
seperti yang sudah lama didengun-dengunkan oleh aliran Annales School.
Daftar Pustaka
Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol , Studi tentang Perubahan Sosial di
Pedesaan
Jawa 1942-1945, Jakarta: Gramedia, 1993
Angkersmit. Refleksi Tentang Sejarah . Pendapat-Pendapat Modern tentang Fisafat
Sejarah. Terj. Jakarta: Penerbit Gramedia. 1987
Anderson, Benedict R.O G. Some Aspects of Indonesian Politics Under the
Japanese Occupatins and Resistence 1944-1946. Cornel University Press,
1972.
A. Portelli, The Death of Luigi Trastulli and Other Stories: Form and Meaning in
Oral History. Albany: State university of New York Press. 1991
Bambang Purwanto & Asvi Warman Adam. Menggugat Historiografi Indonesia..
Yogyakarta. Ombak.2005.
Bambang Purwanto., Gagalnya Historiografi Indonesia Sentris ?! Yogyakarta:
Ombak. 2006.
Peter Buke . The French Historical Revolution. The Annales School 1929-1989.
London. Polity Press. 1990
Bruin R. De. Japanese Propaganda in Indie, de Stam van Nippon dalam Bericht van
de Twede Wereld Oorlog, Amsterdam: Uitge Verij Amsterdam Boek B.V.
1970.
C. Behan McCullagh (1998).
The Truth of History.
London-New York:
Routledge, 1998
Christopher Lloyed (1993). The Structures
of
History. London: Basil
Blackwell, 1993
Departemen of Commersce U S. Japanese Military Administration in Indonesia ,
office of Technical Services, 1963
Departemen Penerangan RI. Propinsi Sulawesi , Makassar 1953
Djawa Seinendan, Jakarta, Djawa Goensikanboe, 2603 (1943)
E.R. Wolf, Europe and the People Wihout History. Berkley/ los Angeles/ London
University of California Press, 1982
Heather A. Sutherland, Writing Indonesia History in the Netherlands: Rethinking
the Past, dalam BKI, 150-IV (1994)
James Fenress and Chris Wickham, Social Memory: New Perpectives on the Past,
Cambridge, Massachusetts: Blacwell Publishers, 1992
J.R. Chaniago ed. Di bawah Pendudukan Jepang, Jakarta: ARNA. RI.1985
Joanne Rapport, The Politics of Memori: Native Historical Interpretation in the
Colombian Andes, Durham dan london: Duke University Press. 1998.
Luissa Passerini, Fascism in Popular Memory: The Cultural Experience of the Turin
Working Class, Cambridge: Cambridge University Press, 1987
______Work Ideologi and Jonsensus under Italian Fascism, dalam Robert Perks and
Alistair Thomson, The Oral History Reader, London and New York :
Routledge, 1998:
M. Frish. A. Shared Authrity: Essays on the Craft and Meaning of Oral and Public
History. Albany, State University of New York Press 1990. P. 188. Lihat pula
A. Thompson dkk. The memory and history debates: Some International
Perspective dala Oral History, 1994 vol 22 no 22
Pedoman Pembangoenan Asia Timur Raya, Jakarta Dai Nippon Gunseibu, 2604
(1944)
Peringatan Enam Bulan Pemerintahan Bala Tentara dai Nippon. Djakarta Oesaha
Baroe “ Panjar” 2602 (1942)
Peter Buke . The
French Historical Revolution. The Annales School 1929-1989.
London. Polity Press. 1990
Robert Perks and Alistair Thompson, The Oral History Reader, London and New
York: Rout ledge, 1998
Sendjinkoen, Penoentoen Bagi Balatentara Dai Nippon, Jakarta: Percetakan Asia
raya ( Dai Nippon Gunseibu) 2602 (1942)
The Making of The English Working Class, London: Pelican Books. Penguin, 1963
BIODATA
Prof Dr. A. Rasyid Asba lahir di Sinjai, Sulawesi Selatan pada tanggal 31 Desember 1966. Guru Besar Ilmu
Sejarah Universitas Hasanuddin (UNHAS). Ketua Program Studi Ilmu Sejarah Pascasarjana ini menyelesaikan
program S1 pada Jurusan ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin (1989), Menyelesaikan Program Magister di
Universitas Indonesia (1997), Mengikuti Program penelilitian yang disponsori oleh Ford Fondation untuk studi
literatur Sejarah Maritim ke Negegeri Belanda (2002). Menyelesaikan Program Doktor pada Kajian Sejarah
Ekonomi Politik di Universitas Indonesia pada tahun 2003. Di bidang penelitian di almamaternya juga sebagai
direktur Pusat Kajian Multikultural dan Pengembangan Regiaonal Univ Hasanuddin. Karya tulis yang
dihasilkan antara lain: Perlawanan Rakyat Tellu Limpoe Terhadap Imperialisme Belanda; Kajian Pemberontakan
di daerah Pedalam Kerajaan Bugis pada abad ke-19; Pola Perdagangan Kopra Makassar ; Makassar Sebagai
Bandar Perdagangan Jalur Sutra ; Pulau Sitombak Sastra Daerah Ambon; Perdagangan di Makassar Pada masa
Akhir Kolonial Belanda 1896-1958 Kapitalisasi dan Kompetisi Perdagangan Dunia (2002) ; Ekspansi dan
Kontraksi Ekspor Kopra Makassar, 1883-1958. Disertasi UI-(2003) ; Pemanfaatan Potensi Alam dan Masyarakat
Bajo Dalam Pembinaan Wisata Bahari di pesisir Teluk Bone Some Note Emergence Relationship Between
Macassar and Portuguese; Konflik Buruh di Makassar 1930-1965, The Japanese Occupation in South Sulawesi
The first study of Indonesian Oral History This paper presented in International Conference on Documentation
and Area Studies in Asia and North Africa by The Centre for Documentation and Area Tran cultural Studies of
The Tokyo University of Foreign Studies 16th-17th December 2006; Katalog Sejarah Lisan Jepang Sulawesi
Selatan ( Tokyo University of Foreign Studies, 2007): Kopra Makassar Perebutan Pusat dan Daerah Kajian
Sejarah Ekonomi Politik Regional di Indonesia ( Yayasan Obor, 2007); Pancana Bandar Niaga Bugis Melayu
(2007). Makassar copra as a Triggar of Struggling for power between Central and lokal Government: A Historical
Study of Reginal Political Economy in Indonesia paper was presented International Conference Asia-Pacific
Economic and Business History , e , Melbourne University, 13-15 February , 2008 Selain aktivitasnya sebagai
pengajar juga aktif berbagai kegiatan antara lain: Staf Ahli Lembaga Pusat Pengkajian Hukum dan Strategi
Nasional Jakarta . Ketua Manajemen Revolusi Agro Sulawesi Selatan, Anggota Dewan Research Balitbanda
Propinsi Sulawesi selatan Tahun 2004 anggota Tim Reviewer Direktorat pembinaan Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat Ditjen Dikti Depdiknas Tahun 2004- 2007; Anggota Tim Pemandu LKMM
Direktorat Kemahasiswan dan Kelembagaan Ditjen Dikti. Depdiknas. Tahun 2007-Sekarang.
email: [email protected]
Hp 081310301354
:0411-494158
Download