Daya Saing Kota - Institut Teknologi Sepuluh Nopember

advertisement
Seminar Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya ,29 Oktober 2009
“Menuju Penataan Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan, Berdaya saing, dan Berotonomi”
ISBN No. xxxxxxxxxxx
Daya Saing Kota-Kota Besar di Indonesia
Eko Budi Santoso 1*
Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota – FTSP
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya*
Email : [email protected]
Abstrak
Kota-kota besar di Indonesia mempunyai peran strategis dalam pembangunan wilayah sebagai simpul
jasa, koleksi dan distribusi, yang mempunyai hubungan ke belakang dengan kota-kota kecil dan
hinterlandnya dan juga hubungan ke depan dengan kota-kota besar lainnya. Salah satu kinerja perkotaan
diukur dari kemampuan daya saing kota yang dibentuk oleh faktor-faktor utama (input) dan kinerja
perekonomian (output). Faktor-faktor utama pembentuk daya saing terdiri dari 5 indikator utama, yaitu (1)
lingkungan usaha produktif, (2) perekonomian daerah, (3) ketenagakerjaan dan sumberdaya manusia, (4)
infrastruktur, sumberdaya alam dan lingkungan, (5) perbankan dan lembaga keuangan. Sedangkan kinerja
perekonomian (output) mencakup produktivitas tenaga kerja, tingkat kesempatan kerja, dan PDRB per
kapita. Dalam pembahasan ini akan dilakukan pemetaan terhadap 24 kota besar di Indonesia diluar DKI
Jakarta, yang mempunyai jumlah penduduk kurang lebih 500.000 jiwa ke atas. Daya saing kota dilakukan
dengan penentuan peringkat berdasarkan faktor-faktor utama tersebut. Pemetaan daya saing kota
dilakukan dengan mengelompokkan kota-kota besar berdasarkan kinerja indikator input dan indikator
output. Hasil pengelompokkan tersebut diperoleh tingkat efisiensi kota dalam mencapai daya saing kota
yang tinggi. Kota besar yang mempunyai daya saing dan tingkat efisiensi tinggi dalam hubungannya
kinerja indikator input dan indikator output adalah Kota Batam dan Kota Balikpapan.
Kata Kunci: Daya Saing Kota, Indikator Kinerja Perkotaan
1.
Pendahuluan
Kota-kota
besar
di
Indonesia
mempunyai
peran
strategis
dalam
pembangunan wilayah sebagai simpul jasa,
koleksi dan distribusi, yang mempunyai
hubungan ke belakang dengan kota-kota
kecil dan hinterlandnya dan juga hubungan
ke depan dengan kota-kota besar lainnya.
Meskipun sumber daya alam yang tersedia
di perkotaan terbatas, namun kota sebagai
pusat produksi barang dan jasa mampu
memberikan layanan yang kompetitif. Kota
juga sebagai pasar yang potensial untuk
melayani kebutuhan penduduknya dengan
daya beli yang cukup tinggi, disamping
kemampuannya mendistribusikan barang
dan jasa ke wilayah lain.
Kota-kota dengan status sebagai
daerah otonom mempunyai tuntutan yang
lebih besar dalam membangun daerahnya.
Agar kota dapat tumbuh dan berkembang
secara berkelanjutan maka kota harus
mampu bersaing dalam penyediaan layanan
yang lebih baik dibandingkan dengan kota
atau daerah lainnya. Kota-kota yang tidak
berdaya saing lambat laun akan mengalami
penurunan pertumbuhan daerahnya.
Menurut Begg (1999), kapasitas kota
untuk bersaing dibentuk oleh hubungan
yang saling mempengaruhi antara atribut
kota,
seperti
lokasi,
kekuatan
dan
kelemahan perusahaan serta pelaku
ekonomi aktif didalamnya. Sehingga banyak
faktor yang harus dipertimbangkan dalam
mengukur daya saing kota agar mampu
memberikan penilaian yang obyektif dan
berimbang.
2.
Konsep Teoritis Daya Saing Daerah
Daya saing daerah menjadi salah
satu isu utama dalam pembangunan
daerah. Konsep daya saing umumnya
dikaitkan
dengan
kemampuan
suatu
perusahaan, kota, daerah, wilayah atau
Negara dalam mempertahankan atau
meningkatkan keunggulan kompetitif secara
berkelanjutan (Porter, 2000). Salah satu
pendekatan
yang
digunakan
untuk
memperjelas konsep daya saing daerah
adalah berdasarkan definisi European
Commision (1999), yang mendefinisikan
sebagai
berikut:
”Kemampuan
untuk
memproduksi barang dan jasa yang sesuai
dengan kebutuhan pasar internasional,
diiringi oleh kemampuan mempertahankan
Seminar Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya ,29 Oktober 2009
“Menuju Penataan Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan, Berdaya saing, dan Berotonomi”
ISBN No. xxxxxxxxxxx
pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan,
lebih umumnya adalah kemampuan wilayah
untuk
menciptakan
pendapatan
dan
kesempatan kerja yang relatif tinggi yang
terlihat pada daya saing eksternal”
(European
Commision,
1999
dalam
Gardiner, 2003).
Gardiner,
Martin,
Tyler
(2004)
membuat model piramida daya saing
regional
dengan
mencari
hubungan
beberapa faktor utama yang dapat
membangun daya saing regional, yaitu
mencakup faktor-faktor input, output dan
outcome. Konsep ini diaplikasikan PPSK
Bank Indonesia – LP3E FE Unpad (2008)
dalam Pemetaan Daya Saing Ekonomi
Daerah
pada
434
Kabupaten/Kota.
kemampuan daya saing kota yang dibentuk
oleh faktor-faktor utama (input) dan kinerja
perekonomian (output). Faktor-faktor utama
pembentuk daya saing terdiri dari 5 indikator
utama, yaitu (1) lingkungan usaha produktif,
(2) perekonomian daerah, (3) ketenagakerjaan dan sumberdaya manusia, (4)
infrastruktur,
sumberdaya
alam
dan
lingkungan, (5) perbankan dan lembaga
keuangan. Kinerja perekonomian (output)
mencakup produktivitas tenaga
kerja,
tingkat kesempatan kerja, dan PDRB per
kapita. Sedangkan target outcome dari daya
saing daerah adalah pertumbuhan yang
berkelanjutan, sebagaimana terlihat dalam
gambar 1.
penyelidikan
perkembangan
wilayah
(Yunus, 2005). Menurut Situmorang, tipologi
kota ditentukan berdasarkan besaran
penduduk kota, dan fungsi kota dalam
wilayah dengan keberadaan prasarana
wilayah dan ekonomi wilayah (Soegijoko, et
al, 2005). Ukuran kota besar dalam hal ini
ditentukan berdasarkan status otonomi,
jumlah penduduk minimal 500.000 jiwa atau
mendekati jumlah ini, dan juga dilihat
peranannya dalam pengembangan wilayah,
seperti fungsinya sebagai pusat kegiatan
dalam skala provinsi. Berdasarkan data
kependudukan tahun 2007 terdapat 24 kota
besar yang mempunyai jumlah penduduk
minimal mendekati 500.000 jiwa, dan
dengan perkecualian DKI Jakarta tidak
dimasukkan dalam pembahasan ini. Dari
jumlah tersebut, ada 9 kota yang termasuk
dalam kategori kota metropolitan karena
jumlah penduduknya lebih dari 1 juta jiwa.
Kota-kota besar yang terdapat dalam
gambar 2, terdapat 16 kota yang fungsinya
sebagai pusat pelayanan skala provinsi
(ibukota provinsi), dan 8 kota bukan sebagai
ibukota provinsi. Berdasarkan sebaran kotakota besar, terdapat 10 kota besar berada di
Pulau Jawa dan 14 kota besar berada di
luar Pulau Jawa. Wilayah Jabodetabek di
luar DKI Jakarta, mempunyai 4 kota besar
yaitu Kota Bogor, Kota Depok, Kota
Tangerang dan Kota Bekasi.
Jumlah Penduduk Kota-Kota Besar di Indonesia Tahun 2007
Manado
451,172
Surakarta
458,465
Jambi
476,365
Pontianak
492,990
Yogyakarta
521,499
Balikpapan
542,263
Denpasar
577,674
Samarinda
588,135
Banjarmasin
627,245
Kota
Bogor
750,250
Pekanbaru
779,899
Malang
782,110
Bandar Lampung
790,895
Padang
819,740
Batam
899,944
Makassar
1,179,023
Palembang
1,369,239
Depok
1,374,522
Semarang
1,419,478
Tangerang
Sumber: PPSK Bank Indonesia – LP3E FE Unpad
(2008)
Gambar 1. Piramida Daya Saing Daerah
1,508,414
Bekasi
1,845,005
Medan
2,083,156
Bandung
2,510,982
Surabaya
2,884,455
-
3.
Ukuran Kota Besar Berdasarkan
Penduduk
Klasifikasi kota berdasarkan jumlah
penduduk menjadi hal yang jamak dalam
penentuan hirarki kota di Indonesia untuk
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
3,500,000
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Sumber: diolah dari data BPS masing-masing kota
Gambar 2. Jumlah Penduduk Kota Besar Tahun
2007
Seminar Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya ,29 Oktober 2009
“Menuju Penataan Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan, Berdaya saing, dan Berotonomi”
ISBN No. xxxxxxxxxxx
4.
Daya Saing Kota-Kota Besar
Penentuan daya saing kota-kota
besar di Indonesia menggunakan data
sekunder yang merupakan data cross
section tahun 2007, yang diperoleh dari
hasil penelitian PPSK Bank Indonesia dan
LP3E FE Unpad (2008). Kinerja perkotaan
dilihat
dari
peringkat
daya
saing
keseluruhan, dan secara parsial dari
indikator input maupun outputnya.
4.1
Peringkat Daya Saing Kota-Kota
Berdasarkan hasil pemetaan daya
saing daerah di Indonesia, menempatkan
Kota Surabaya, Kota Batam, dan Kota
Balikpapan sebagai tiga kota besar yang
mempunyai peringkat teratas. Sedangkan
tiga kota besar yang berada pada peringkat
bawah adalah Kota Bogor, Kota Jambi, dan
Kota Bandar Lampung. Kota Surabaya
sebagai
kota
metropolitan
mampu
menempatkan posisinya pada peringkat 13
dari 434 kabupaten/kota yang dipetakan
kemampuan daya saingnya.
Tabel 1: Peringkat Daya Saing Kota Menurut
Besaran Kota
Kategori Kota Besar Ranking < rata2
Penduduk > 1 juta
8
Penduduk < 1 juta
8
Jumlah
16
Daya Saing Kota Berdasarkan
Indikator Input dan Output
Pembentukan daya saing kota
ditentukan berdasarkan faktor utama input
dan output. Hasil pemetaan daya saing kota
menunjukkan bahwa sebagian besar kotakota besar mempunyai peringkat daya saing
indikator input lebih baik dibandingkan
peringkat indikator output. Hanya ada 6 kota
besar yang mempunyai peringkat indikator
output lebih baik dibandingkan indikator
input, seperti terlihat pada gambar 4 di
bawah ini.
PERINGKAT DAYA SAING KOTA-KOTA TAHUN 2007
55.3
48.8
AVERAGE
Surabaya
6
20
26
26
Batam, 14
27
23
Samarinda
Medan, 23
Samarinda, 27
Semarang, 34
Padang, 35
41
34
45
27
Semarang
Bandung, 22
60
23
34
21
Medan
Tangerang, 20
33
22
16
Bandung
Balikpapan, 16
Padang
35
33
37
Yogyakarta
38
29
Kota-Kota
Yogyakarta, 38
49
46
42
Palembang
Palembang, 49
50
57
43
Makassar
Makassar, 50
52
Denpasar
Denpasar, 52
Pontianak, 54
61
46
39
55
Malang
Malang, 46
84
35
16
12
Tangerang
Surabaya, 13
54
42
71
Bekasi, 55
55
Bekasi
Pekanbaru, 75
118
32
Pontianak
Surakarta, 69
137
31
69
Surakarta
75
78
72
Pekanbaru
Depok, 107
Bandar Lampung,
109
Jambi, 114
102
52
Manado, 78
Banjarmasin, 89
85.6
13
18
14
Batam
AVERAGE, 55.3
Manado
62
Banjarmasin
63
78
113
89
Bogor, 139
20
40
60
80
100
120
140
160
Peringkat Daya Saing
Sumber: diolah dari data PPSK Bank Indonesia – LP3E
FE Unpad (2008)
Gambar 3. Peringkat Daya Saing Kota Besar
Dilihat dari rata-rata peringkat daya
saing kota besar berada pada posisi
peringkat ke-55. Ada 16 kota besar yang
mempunyai peringkat daya saing kota lebih
tinggi dibanding rata-rata peringkat kota
besar, atau 67 persen kota-kota besar
menunjukkan peringkat daya saing yang
baik. Sedangkan 8 kota besar lainnya
mempunyai daya saing yang peringkatnya
lebih rendah.
142
107
Depok
0
Jumlah
9
15
24
4.2
Balikpapan
Peringkat Daya Saing Kota-Kota
Ranking > rata2
1
7
8
291
56
109
Bandar Lampung
90
114
Jambi
94
143
148
139
Bogor
254
86
0
50
Daya Saing Indikator Input
100
150
200
Daya Saing Indikator Output
250
300
350
Daya Saing Daerah
Sumber: diolah dari data PPSK Bank Indonesia – LP3E
FE Unpad (2008)
Gambar 4. Daya Saing Kota Berdasarkan
Indikator Input dan Output
Kota Batam berada pada peringkat
atas dalam daya saing kota, namun
mempunyai peringkat daya saing indikator
input yang lebih baik dibanding indikator
outputnya. Salah satu indikator output yang
mempengaruhi peringkat daya saing Kota
Seminar Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya ,29 Oktober 2009
“Menuju Penataan Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan, Berdaya saing, dan Berotonomi”
ISBN No. xxxxxxxxxxx
Kuadran III: merupakan kota besar yang
mempunyai
karakteristik
kinerja
indikator input dan outputnya lebih
rendah dibandingkan kinerja rata-rata
input dan output. Ada sebelas kota
besar yang masuk dalam klasifikasi ini,
yaitu Bogor, Depok, Bandar Lampung,
Palembang, Makassar, Pekanbaru,
Banjarmasin, Pontianak, Jambi, Manado
dan Surakarta.
Kuadran IV: merupakan kelompok kota
besar yang mempunyai kinerja indikator
outputnya unggul diatas kinerja rata-rata
output kota besar, namun kinerja
indikator inputnya masih rendah. Kota
besar yang masuk dalam kelompok ini
adalah Malang dan Samarinda.
-
-
Pemetaan Daya Saing Kota Menurut Indikator Input dan Output
4.5
Batam
4.0
3.5
Balikpapan
3.0
Indikator Output
Batam adalah tingkat kesempatan kerja
yang berada pada peringkat 176, artinya
kemampuan daerah dalam menciptakan
kesempatan kerja ternyata tidak sebanding
dengan tingginya pencari kerja.
Kota Depok yang berada pada
peringkat bawah dalam daya saing kota,
terlihat terbebani oleh daya saing indikator
output yang peringkatnya rendah. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa indikator output,
yaitu produktivitas tenaga kerja peringkat
268, PDRB per kapita peringkat 304, dan
tingkat kesempatan kerja 349. Peran Kota
Depok sebagai penyangga DKI Jakarta dan
kawasan hunian, menunjukkan orientasi
aktivitas ekonomi masih kepada DKI
Jakarta.
Kota Bogor yang bersama Kota
Depok berada pada Wilayah Jabodetabek
yang mempunyai produktivitas ekonomi
tinggi, ternyata berada pada peringkat
bawah dalam daya saing kota. Rendahnya
daya saing kota diakibatkan rendahnya
indikator
output,
yang
terlihat
dari
produktivitas tenaga kerja diperingkat 203,
PDRB per kapita peringkat 266, dan tingkat
kesempatan kerja peringkat 424. Jumlah
penciptaan lapangan kerja tidak sebanding
dengan jumlah pencari kerja.
2.5
Surabaya
Samarinda
2.0
Tangerang
4.3
Pemetaan Daya Saing Kota Besar
Menurut Indikator Input-Output
Pemetaan daya saing kota besar
dilakukan dengan menentukan klasifikasi
kota berdasarkan kinerja indikator input dan
indikator output. Semakin baik kinerja
indikator-indikator tersebut, maka semakin
tinggi pula daya saing kota. Daya saing kota
dapat diklasifikasikan menjadi 4 kuadran
dengan pembagian sebagai berikut:
- Kuadran I: merupakan kota besar yang
mempunyai daya saing tinggi dengan
didukung karakteristik unggul dari
kinerja indikator input dan outputnya.
Kota-kota
yang
termasuk
dalam
klasifikasi ini adalah Batam, Balikpapan,
Tangerang, Surabaya, Medan dan
Padang.
- Kuadran II: merupakan kota besar yang
mempunyai
daya
saing
dengan
karakteristik kinerja indikator inputnya
lebih baik dibandingkan kinerja rata-rata,
namun kinerja indikator outputnya masih
dibawah kinerja rata-rata. Kota besar
yang masuk dalam klasifikasi ini adalah
Bandung, Bekasi, Semarang, Denpasar
dan Yogyakarta.
Padang
Malang
Pontianak
1.0
1.5
Medan
AVERAGE
1.5
2.0
Makassar
Manado
2.5
3.0
3.5
Semarang
Palembang
Yogyakarta
Bandung
Pekanbaru
Surakarta
1.0
Denpasar
Bekasi
Bandar Lampung
Jambi
Banjarmasin
Bogor
Depok
0.5
Indikator Input
Sumber: diolah dari data PPSK Bank Indonesia – LP3E
FE Unpad (2008)
Gambar 5. Pemetaan Daya Saing Kota Menurut
Indikator Input dan Output
4.4
Tingkat Efisiensi
Untuk mencapai daya saing kota
pada tingkatan tertentu diperlukan dukungan
dan kombinasi dari indikator input dan
selanjutnya menghasilkan besaran output
tertentu. Tingkat efisiensi dalam pengukuran
daya saing kota ditentukan berdasarkan
besaran indikator output dibagi dengan
besaran indikator inputnya. Tingkat efisiensi
rata-rata pada kota-kota besar yang diteliti
masih menunjukkan hasil dibawah angka 1,
dan hanya ada 6 kota besar yang
mempunyai angka lebih tinggi, yaitu Batam,
Balikpapan, Samarinda, Menado, Pontianak
dan Malang. Sedangkan Kota Padang,
Tangerang, dan Palembang meskipun
Seminar Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya ,29 Oktober 2009
“Menuju Penataan Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan, Berdaya saing, dan Berotonomi”
ISBN No. xxxxxxxxxxx
tingkat efisiensi masih di bawah angka 1,
tetapi masih mempunyai tingkat efisiensi
yang cukup baik karena masih berada di
atas tingkat efisiensi rata-rata.
Sedangkan kota-kota lainnya belum
efisien
dalam
melakukan
proses
transformasi dari indikator input menjadi
indikator output untuk mencapai tingkat
daya saing tertentu. Sebagai contoh kota
Surabaya dan Medan meskipun mempunyai
tingkat daya saing yang tinggi dan masuk
dalam kelompok kuadran I, tetapi output
yang dihasilkan masih lebih rendah
dibanding dengan input yang tersedia.
Tingkat Efisiensi Kota Berdasarkan Indikator Output dan Input
0.888
AVERAGE
1.671
1.484
1.287
Samarinda
1.077
Malang
0.893
Palembang
2.051
1.861
1.532
1.367
0.853
1.266
1.080
Pekanbaru
0.841
Makassar
1.514
1.273
0.762
1.139
0.868
Bandar Lampung
0.750
Jambi
0.851
1.134
0.750
Medan
2.158
1.618
0.718
Semarang
1.941
1.394
0.702
Surabaya
3.490
2.449
0.686
Surakarta
0.981
1.430
0.677
Yogyakarta
1.250
0.646
Banjarmasin
0.000
1.672
1.621
0.907
Tangerang
Depok
1.418
1.528
0.970
Padang
Bekasi
2.028
1.114
1.286
1.432
Pontianak
Bandung
1.576
3.431
1.179
1.056
1.244
Manado
Bogor
4.137
1.947
1.762
Balikpapan
Denpasar
2.388
1.732
Batam
0.559
0.654
1.846
1.344
0.868
1.169
0.529
1.779
0.941
0.489
2.557
1.251
0.481
1.829
0.880
0.424
0.601
0.500
1.000
1.418
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
Tingkat Efisiensi
OUTPUT
INPUT
EFISIENSI
Sumber: diolah dari data PPSK Bank Indonesia – LP3E
FE Unpad (2008)
Gambar 6. Tingkat Efisiensi dalam Pencapaian
Daya Saing Kota
Bila tingkat efisiensi daya saing kota
dikaitkan dengan kuadran-kuadran hasil dari
pemetaan daya saing kota didapatkan hasil
sebagai berikut:
- Kuadran I: kota-kota yang mempunyai
tingkat efisiensi daya saing tinggi adalah
-
-
-
5
kota Batam, Balikpapan, Padang dan
Tangerang.
Kuadran II: tidak ada satupun kota-kota
pada kuadran ini masuk dalam kategori
tingkat efisiensi daya saing tinggi.
Kuadran III: kota-kota yang mempunyai
tingkat efisiensi daya saing tinggi adalah
kota
Manado,
Pontianak,
dan
Palembang.
Kuadran IV: kota-kota yang mempunyai
tingkat efisiensi daya saing tinggi adalah
kota Malang dan Samarinda.
Implikasi
Daya
Saing
Kota
Terhadap Pengembangan Kota
Kompetisi antar kota besar dalam
memberikan layanan terbaik dalam berbagai
sektor mendorong terjadinya perubahan
daya saing kota secara dinamis. Menurut
Situmorang, isu kunci untuk memahami
pengelolaan perkotaan saat ini adalah tidak
optimalnya kota-kota berfungsi sebagai
pusat pertumbuhan kegiatan di wilayah
nasional, regional maupun provinsi untuk
menjadi mesin pendorong pengembangan
wilayah sekitarnya (Soegijoko, et al, 2005).
Strategi Pembangunan Perkotaan II (NUDSII) lebih lanjut memberikan arahan spasial
bagi kebijakan nasional pembangunan
perkotaan seperti:
- Pengembangan ekonomi perkotaan,
- Pengembangan infrastruktur perkotaan,
- Pengelolaan lingkungan perkotaan,
- Keterkaitan perkotaan dan perdesaan,
- Kebijakan pengembangan SDM, dan
- Kelembagaan pemerintah kota.
Strategi tersebut sejalan dengan
upaya memperkuat daya saing kota
sebagaimana konsep piramida daya saing
daerah. Pembangunan kota yang berdaya
saing dilakukan dengan meningkatkan
kinerja indikator input pembentuk daya saing
kota sesuai dengan fungsi dan besaran
kota. Pemetaan daya saing kota pada 24
kota metropolitan/besar terdapat 22 kota
yang mempunyai fungsi sebagai PKN (pusat
kegiatan nasional), dan hanya 2 kota yang
berfungsi sebagai PKW (pusat kegiatan
wilayah), yaitu Kota Bogor dan Kota Malang.
Beberapa upaya yang dilakukan
untuk memperkuat daya saing kota dalam
rangka mendukung fungsi kota sebagai PKN
adalah:
- Kuadran I: Peningkatan efisiensi dalam
pengelolaan kota bagi Kota Surabaya
dan Kota Medan, dengan tetap
mempertahan kinerja daya saing kota,
Seminar Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya ,29 Oktober 2009
“Menuju Penataan Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan, Berdaya saing, dan Berotonomi”
ISBN No. xxxxxxxxxxx
khususnya
dalam
mengantisipasi
penurunan sektor industri pengolahan,
- Kuadran II: Kota Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Denpasar dan Bekasi
sebagai PKN mempunyai faktor-faktor
input utama yang berdaya saing, namun
masih memerlukan proses transformasi
yang lebih baik lagi agar terjadi
peningkatan indikator output, khususnya
bagi kota-kota yang sektor industri
pengolahan kurang berdaya saing perlu
didorong berkembangnya industri kreatif
secara luas.
- Kuadran III: kota-kota yang berfungsi
sebagai PKN masih kurang berdaya
saing akibat keterbatasan faktor-faktor
input pembentuk daya saing kota,
sehingga diperlukan upaya peningkatan
faktor-faktor input dan diiringi dengan
peningkatan efisiensi, meskipun kota
Pontianak, Palembang dan Manado
sudah mempunyai tingkat efisiensi yang
cukup baik.
- Kuadran IV: Kota Samarinda dan
Malang sudah menunjukkan daya saing
kota yang tinggi dan didukung tingkat
efisiensinya yang tinggi pula. Agar daya
saing kota dapat ditingkatkan lagi maka
kota-kota ini perlu meningkatkan
kapasitas faktor-faktor inputnya.
Strategi pengembangan kota melalui
pendekatan daya saing kota ini dapat
menjadi pendukung pencapaian strategi
yang dikembangkan oleh NUDS-II.
6.
Kesimpulan
Pendekatan pengembangan kota
melalui penguatan daya saing kota menjadi
salah satu strategi kota untuk mampu
berkompetisi dengan kota-kota lainnya.
Penentuan peringkat dan pemetaan daya
saing kota akan membantu kota-kota besar
dalam menentukan arah pembangunannya
ke depan. Kota-kota dapat secara obyektif
mengetahui kekuatan dan kelemahannya
baik berdasarkan indikator input maupun
outputnya. Karena peringkat daya saing
yang disusun bersifat dinamis, maka kotakota harus senantiasa berupaya untuk
meningkatkan posisinya secara terus
menerus.
Pendekatan daya saing kota dapat
disinergikan dengan strategi pengembangan
kota yang ada, seperti NUDS-II, mengingat
tujuan pembangunan kota tidak hanya
terbatas memperkuat faktor-faktor internal,
tetapi juga dapat memainkan peran dalam
konteks yang lebih luas, seperti PKN dan
PKW, yang diharapkan mampu mendorong
pertumbuhan wilayah. Kota-kota yang
berdaya saing akan mampu berperan
membangun keterkaitan dengan kota/
wilayah lainnya sesuai dengan besaran dan
fungsi kotanya.
7.
Pustaka
Begg, I. (1999). Cities and Competitiveness.
Urban Studies. Vol. 36, No. 5-6, hal. 795
– 809.
Gardiner,
Bend
(2003).
Regional
Competitiveness Indicators for Europe –
Audit, Database Construction and
Analysis. Regional Studies Association
International Conference. Pisa. 12-15
April.
Gardiner, B., R. Martin, and P. Tyler (2004).
Competitiveness,
Productivity,
and
Economic Growth across the European
Regions. Cambridge: University of
Cambridge.
Porter, M.E. (2000). Location, Competition,
and Economic Development: Local
Clusters in Global Economy. Economic
Development Quarterly. Vol. 14 No. 1,
February 2000, hal. 15 – 34.
PPSK Bank Indonesia dan LP3E FE Unpad
(2008). Profil dan Pemetaan Daya Saing
Ekonomi Daerah Kabupaten/Kota di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Soegijoko, B.T.S., G.C. Napitupulu, W.
Mulyana, ed (2005). Bunga Rampai
Pembangunan
Kota
Indonesia:
Pengalaman Pembangunan Perkotaan
di Indonesia. Buku II. Jakarta: YSS –
URDI.
Yunus, H.S. (2005). Klasifikasi Kota.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Seminar Nasional Perencanaan Wilayah dan Kota ITS, Surabaya ,29 Oktober 2009
“Menuju Penataan Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan, Berdaya saing, dan Berotonomi”
ISBN No. xxxxxxxxxxx
Download