BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sulfur Dioksida Sulfur dioksida adalah gas tak terlihat yang berbau sangat tajam, mempunyai sifat tidak mudah terbakar, tidak mudah meledak, menyerang sistem pernafasan manusia dan dapat membunuh penderita asma. Senyawa ini terdiri dari molekul sederhana SO2. Sulfur menggunakan empat elektron terluarnya untuk membentuk ikatan rangkap dengan oksigen, menyisakan dua elektron yang tidak berpasangan pada sulfur. Bentuk bengkok dari SO2 adalah akibat dari adanya pasangan elektron bebas tersebut. Senyawa ini (SO2) terbentuk dari proses pembakaran (batubara atau diesel), asap dari kegiatan industri, proses metalurgi atau ketika sulfur bubuk bewarna kuning keemasan yang terdapat di batubara atau minyak terbakar. Setelah berjam-jam atau berhari-hari tercampur di udara, sulfur dioksida membentuk partikel sangat halus yang disebut sulfat, yang dapat menembus bagian terdalam dari paru-paru. Sulfat kemudian bereaksi dengan air di awan untuk membentuk asam belerang, yang sering disebut hujan asam. Hujan asam atau penurunan pH air hujan dapat mengakibatkan kerusakan pada bangunan, kendaraan, tumbuh-tumbuhan, juga dapat menyebabkan air danau atau sungai terlalu asam. Akibatnya kehidupan biota air akan terganggu bahkan terancam punah. 5 6 2.2 Sensor Elektrokimia Sensor elektrokimia merupakan peralatan deteksi yang bekerja berdasarkan reaksi antara komponen sensor dengan analit yang dapat berupa gas atau ion, menghasilkan signal elektrik yang setara dengan konsentrasi analit. Prinsip kerja sensor ini didasarkan pada reaksi elektrokimia. Sel elektrokimia yang terdapat di dalam sensor dapat menghasilkan arus elektrik dari energi yang dilepaskan oleh reaksi redoks spontan. Arus inilah yang dideteksi oleh detektor dan diubah menjadi signal analitis. Jenis sensor, prinsip kerjanya serta besaran yang terukurnya ditunjukkan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Jenis-jenis sensor (Romer, 2001) Jenis Sensor Potensiometrik EMF Semikonduktor Pergerakan ion Voltametrik Prinsip Difusi arus Nilai terukur Tegangan Hambatan terbatas Arus sebagai fungsi voltase Amperometrik Difusi arus terbatas pada Arus voltase yang digunakan Sensor elektrokimia yang dikembangkan sebagai sensor gas diantaranya sensor potensiometri dan sensor amperometrik. Sensor amperometrik bekerja berdasarkan pengukuran arus yang dihasilkan dari reaksi elektrokimia yang melibatkan analit. Arus yang dihasilkan nilainya akan sebanding dengan konsentrasi analit. Sedangkan untuk sensor potensiometri bekerja berdasarkan pengukuran potensial tanpa pengukuran arus. Pengukuran potensial dapat 7 digunakan untuk menentukan konsentrasi beberapa komponen dari suatu gas atau larutan analit secara analitik (Leggin, 1999). Sensor amperometrik memiliki kelebihan dari sensor voltametri karena respon arus sebanding dengan konsentrasi analit, sehingga perubahan konsentrasi analit yang kecil pun akan terdeteksi. Adanya keberagaman material yang digunakan untuk mendeteksi gas merupakan kelebihan sensor potensiometrik. Tetapi sensor ini mempunyai kelemahan diantaranya sensitifitasnya yang rendah untuk beberapa sensor gas (terutama yang reaktif). Untuk menutupi kelemahan ini, maka dikembangkan sensor amperometrik. Sensor gas amperometrik memiliki struktur yang sederhana, dapat diandalkan, mudah digunakan serta murah (Miura et al., 1994). Sensor amperometrik dapat mendeteksi oksidasi dan reduksi gas elektroaktif dan mengukurnya dalam bentuk arus elektrik. Sensor ini juga dapat digunakan dalam sistem pengukuran gas oksigen, karbon monoksida, hidrogen sulfida, dan gas beracun lainnya. Sensor elektrokimia untuk mendeteksi gas umumnya terdiri atas elektroda sensing, elektroda counter dan elektroda referen seperti yang ditunjukkan Gambar 2.1. Keterangan Gambar : 1. Elektroda sensing 2. Elektroda referen 3. Elektroda counter Gambar 2.1 Jenis-jenis elektroda pada sensor elektrokimia 8 Pada sensor potensiometri, signal diukur sebagai perbedaan potensial antara elektroda sensing dengan elektroda counter. Potensial elektroda sensing harus berdasarkan pada konsentrasi analit dalam fase gas. Sedangkan elektroda referen diperlukan untuk mendefinisikan potensial referensi. Komponen penting lainnya adalah elektrolit padat atau Solid Ionic Conductor (SIC) (Gelling dan Bouwmeester, 1997). Konduktor ionik padat inilah yang menghantarkan arus yang timbul pada elektroda sensing. Salah satu metode sensor elektrokimia untuk mendeteksi gas adalah sensor elektrokimia berbasis elektrolit padat. Sensor elektrolit padat adalah sensor yang menggunakan lempengan sel elektrolit yang disekat dengan dua elektroda dan biasanya ditambahkan dengan pengatur temperatur. Dengan usianya yang relatif lebih tua dibandingkan dengan metode sensor lainnya, elektrolit padat merupakan sensor kimia yang paling banyak diproduksi dalam dunia sensor komersial dibandingkan dengan jenis sensor lainnya. Sensor elektrokimia dengan elektrolit padatan dapat mengkonversi potensial suatu spesies kimia tertentu yang tidak diketahui menjadi signal elektrik yang terukur mengikuti persamaan Nernst yang menerangkan bahwa bila terdapat gradien konsentrasi kimia melewati suatu elektrolit maka akan terbentuk potensial elektrik : (2.1) Sistem elektrik yang digunakan dalam sensor elektrokimia dengan pemanfaatan elektrolit padat dapat berupa potensiometer atau amperometer. Pada sensor potensiometri yang diukur adalah voltase dari sel, emf (gaya gerak listrik) 9 dari sel galvanik yang merupakan fungsi logaritma dari rasio Px2/Px1 dengan Px1dan Px2 adalah tekanan parsial gas dari komponen aktif pada kedua elektroda (Weppner, 1987). Skema sensor amperometrik untuk gas SO2 ditunjukkan pada Gambar 2.2. Salah satu elektrolit padat yang dapat digunakan untuk sensor gas SO2 adalah [MgZr4(PO4)6]. Gambar 2.2 Skema alat sensor gas SO2 (Wang dan Kumar, 2003) Adapun mekanisme deteksi gas SO2 pada peralatan sensor dimulai dengan oksidasi SO2 menjadi SO3 oleh katalis Pt, kemudian pada peralatan sensor terjadi reaksi sebagai berikut : Anoda : Na2SO4 + MgO(MZP) Mg2+ + Na2O(MZP) + 2e + ½O2 + SO3 Katoda : ½O2 + 2e + Mg2+ MgO(MZP) Total : Na2SO4 Na2O(MZP) + SO3 Besarnya potensial listrik yang terukur sebanding dengan jumlah elektron atau sebanding dengan konsentrasi SO3 (Wang dan Kumar, 2003). 2.3 Elektrolit Padat Elektrolit padat adalah elektrolit yang ion-ionnya tidak berada pada posisi kisi tertentu, tetapi dapat bergerak dengan cukup bebas dalam struktur kristal. Konduktor ionik padat atau Solid Ionic Conductor (SIC) merupakan komponen 10 penting dalam sensor amperometrik (Gellings dan Bouwmeester, 1997). SIC inilah yang menghantarkan arus yang timbul pada working elektrode. Sebagian besar elektrolit padat seperti sodium chloride mempunyai konduktifitas yang sangat rendah. Konduktifitas senyawa ionik ini umumnya sedikit mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan temperatur. Pada temperatur rendah, larutan padat dapat mengalami transisi fasa menjadi polimorf yang memiliki konduktifitas ionik rendah. Sebagai contoh ZrO2, konsentrasi kekosongan anion di atas 600oC cukup besar sehingga zirkonia merupakan konduktor ion oksida bertemperatur tinggi yang baik. Bila padatan ionik tersebut telah melampaui titik lelehnya biasanya konduktifitasnya meningkat tajam. Jadi, untuk senyawa padatan ionik pada umumnya, konduktifitas yang tinggi hanya dicapai dalam kondisi telah terlampauinya titik leleh senyawa tersebut. Namun di antara padatan ionik ada beberapa senyawa yang mempunyai konduktifitas tinggi meskipun pada temperatur jauh di bawah titik lelehnya, senyawa-senyawa inilah yang dikenal sebagai elektrolit padat. Ion-ion pada bahan elektrolit padat dapat bergerak dengan mudah karena adanya ketidakteraturan atau cacat dalam struktur kristal bahan elektrolit padat. Ketidakteraturan posisi atom atau adanya cacat dalam struktur menyebabkan tersedianya posisi kosong pada tempat-tempat tertentu dalam kristal. Posisi yang kosong ini dapat diisi oleh atom lain di sekitarnya dan meninggalkan posisi kosong yang baru, demikian seterusnya sehingga ion dalam kristal tersebut dapat berpindah-pindah. Inilah yang berperan dalam tingginya konduktifitas ionik 11 elektrolit padat. Sifat konduktifitas ionik dari elektrolit padat inilah yang dimanfaatkan penggunaannya sebagai material sensor. Elektrolit padat dapat dikelompokkan dalam berbagai klasifikasi, diantaranya: 1. Klasifikasi menurut temperatur, dimana konduktor ionik mempunyai nilai konduktifitas tertentu pada suatu rentang temperatur. 2. Klasifikasi dengan dasar jenis ion, didasarkan pada mobilitas yang paling tinggi antara kation atau anion. Klasifikasi (2) lebih sering digunakan pada area sensor elektrokimia, sebagian elektrolit padatan anorganik secara signifikan hanya memperlihatkan konduktifitas ioniknya pada temperatur elevasi. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya energi aktifitas sebagai energi minimal yang dibutuhkan untuk menggerakkan ion. Sedangkan beberapa elektrolit polimer mempunyai kelebihan mampu bekerja pada temperatur yang lebih rendah dan telah diteliti secara intensif. Dibandingkan dengan elektrolit larutan, penggunaan elektrolit padatan lebih praktis dan memudahkan dalam rancang ruang bangun sensor dan sangat cocok untuk teknologi pembuatan produk secara mikro, seperti ditunjukkan dalam penggunaan elektrolit padat pada mikrosensor elektrokimia, perangkat peubah energi seperti sel baterai dan fuel-cell, electrochromik display (Klettz, 1979). Banyak jenis elektrolit padat yang dapat diunggulkan sebagai elektrolit padat pada sistem fuel cells seperti: zirkonia (ZrO2), E-alumina, thorium dan lainlainnya. Problem utama elektrolit padat unggulan tersebut adalah dimana 12 temperatur operasinya yang tinggi, seperti untuk zirkonia, temperatur operasi berkisar antara 600-1400°C. Sedangkan untuk thorium oksida (ThO2) temperatur operasinya berkisar antara 1000-1500°C. Bismut oksida sebagai bahan alternatif mampu beroperasi pada temperatur 270-750°C dengan nilai konduktifitas yang sebanding dengan zirkonia. 2.4 Konduktifitas Ionik Hantaran listrik atau disebut juga konduktifitas listrik timbul karena adanya migrasi elektron atau migrasi ion. Konduktifitas elektronik adalah konduktifitas listrik yang disebabkan migrasi elekltron-elektron. Sedangkan konduktifitas ionik adalah konduktifitas listrik yang terjadi karena migrasi ionion. Konduktifitas ionik bergantung pada jenis ion yang bermigrasi dalam material. Jika ion-ion pembawa muatan positif yang bermigrasi maka material tersebut dinamakan konduktor kationik, dan jika ion-ion pembawa muatan negatif yang bergerak maka material tersebut dinamakan konduktor anionik. Migrasi ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga mekanisme yaitu mekanisme kekosongan (vakansi), mekanisme intertisi, dan mekanisme gabungan dari keduanya. Pada konduktor ionik, ionlah yang bergerak membawa muatan. Namun posisi dari ion tersebut dibatasi oleh struktur kristal ionik tertentu. Terdapat dua macam defek/cacat pada kristal yang dapat menambah kemudahan ion untuk bergerak atau berdifusi. Kedua defek/cacat tersebut yaitu cacat schottky dan cacat frenkel seperti pada Gambar 2.3. 13 (a) (b) Gambar 2.3 Cacat Frenkel (a) dan cacat Schottky (b) pada kristal (www.chemistry.ohio-state.edu, 2009) Pada migrasi vakansi ataupun interstisial, ion bergerak melalui daerah kosong yang terdapat pada kristal. Pada migrasi vakansi ion bergerak melalui daerah kosong yang terbentuk oleh adanya pertambahan kation akibat panas, yang kemudian berpasangan dengan vakansi anion menghasilkan cacat schottky. Selain itu, adanya pengotor juga dapat mengakibatkan kristal memiliki cacat schottky. Pada migrasi intertisi, tempat intertisi didefenisiskan sebagai tempat yang selalu kosong pada struktur ideal. Pada struktur sebenarnya, ion dapat menduduki tempat intertisial dengan adanya doping atau penggantian ion dari kisi ke dalam tempat intertisial sebelahnya. Loncatan ini bisa merupakan hanya satu tahapan dalam suatu proses konduksi long-range. Kedua mekanisme tersebut dikategorikan sebagai alokasi loncatan ion. Pada umumnya proses pemindahan ion berlangsung dengan mengikuti mekanisme intertisial (Fray, 1996) Dalam batas tertentu, migrasi ion tidak dapat terjadi dalam kebanyakan padatan yang memiliki ikatan ionik dan ikatan kovalen. Atom-atom cenderung pada kisinya dan hanya dapat berpindah melalui cacat kristal. Dalam hal ini hanya pada temperatur tinggi konduktifitas dapat terjadi karena pada kondisi ini konsentrasi cacat menjadi semakin besar dan atom-atom memiliki cukup energi 14 termal. Kebergantungan konduktifitas ionik terhadap temperatur dinyatakan oleh persamaan Arrhenius : σ = A exp(−E /( RT )) (2.2) dengan E adalah energi aktivasi R adalah konstanta gas T adalah temperatur absolut Dalam material padat, konduktifitas kristal biasanya dinyatakan dalam konduktifitas spesifik (σ). Nilai konduktifitas spesifik diberikan oleh persamaan: σ = Σ ni ei µ i (2.3) dengan ni adalah jumlah pembawa muatan spesi i ei adalah muatan elektron (1,6 x 10-19 C) µi adalah mobilitas ionik Batas nilai konduktifitas spesifik yang digolongkan sebagai suatu jenis material tertentu diberikan dalam Tabel 2.2. Tabel 2.2. Batas Nilai Konduktifitas Spesifik untuk Karakteristik Material Material Kristal ionik Konduksi ionik Konduksi elektronik σ (ohm-1 cm-1) 10-18 – 10-4 Elektrolit padat 10-3 – 10 Elektrolit cair 10-3 – 10 Logam 10 – 105 Semikonduktor 10-5 – 102 Isolator <10-12 15 2.5 Magnesium Zirkonium Posfat (MZP) MZP merupakan akronim dari Magnesium Zirkonium Posfat. MZP pertama kali disintesis oleh Ikeda dkk. (1986) dengan metode reaksi padat-padat. Material awal yang digunakan adalah magnesium karbonat, zirkonium oksida dan ammonium dihidrogen posfat yang dicampurkan dengan komposisi yang berbeda. Campuran tersebut kemudian digerus dalam lumpang alumina kemudian dikalsinasi pada suhu 210oC selama 4 jam dan pada suhu 900oC selama 4 jam. Setelah dikalsinasi campuran dipeletkan dengan tekanan 490 Mpa, kemudian disintering pada suhu 1200oC-1400oC selama 24 jam dalam krus alumina. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sistem dengan perbandingan mol 1:4:6 antara Mg, Zr dan PO4 memiliki porositas dan konduktifitas yang tinggi. Difraktogram sinar-X MZP hasil penelitian Ikeda dkk. ditunjukkan pada Gambar 2.4. Difraktogram tersebut menunjukkan puncak-puncak khas untuk material konduktor ionik berbasis magnesium pada 2θ = 16, 20, 24, 28, 33, 36 dan 46. Gambar 2.4 Difraktogram Sinar-X MgZr4(PO4)6 rujukan pada sintering 1350oC (Ikeda, et al. 1986) 16 MZP merupakan konduktor ion magnesium yang pada awalnya digunakan sebagai material konduktor sensor gas CO2 (Ikeda, et.al, 2003). Struktur kristal MZP sama dengan struktur kristal NaZr2(PO4)3 yaitu rombohedral (Takashi, et.al, 1986). Kesimpulan Takashi didasarkan atas data parameter kisi kristal yang dipaparkan oleh Hong et.al pada tahun 1976. Adapun struktur kristal dari NaZr2(PO4)3 adalah sebagai berikut. Gambar 2.5 Struktur NaZr2(PO4)3 (Goodenough et al., 1976) MZP tersusun oleh oktahedral ZrO6 yang sharing dengan tetrahedral PO4 pada tiap sudut kisi kristal dan dihubungkan ruang interstisial secara 3 dimensi. Ion Mg2+ menempati sisi oktahedral, setiap satu unit oktahedral ZrO6 terhubung dengan empat oktahedral ZrO6. Pada tahun 1988 Kijowski mensintesis MZP dengan metode sol-gel. Selanjutnya pada tahun 2002 Wang dan Kumar membuat sensor gas SO2 berbasis elektrolit padat MZP yang disintesis melalui reaksi padat-padat. Hasilnya menunjukkan respon yang positif atas keberadaan gas SO2. Bahan yang digunakan adalah magnesium oksida, zirconium oksida, dan ammonium dihidrogen posfat yang digerus dengan teknik pencampuran menggunakan aseton. 17 Hasil penelitian Panduwinata (2006) diperoleh data reaksi pembentukan material konduktor ionik pada suhu 1200oC. Namun, spektra XRD yang diperoleh belum memberikan pola difraksi sesuai literatur material konduktor ionik. Pada penelitian selanjutnya, Lestari (2007) melakukan modifikasi pada metode preparasi yang digunakan yaitu dengan menambahkan asam nitrat (asam anorganik) dan memperbaiki kontak antar pereaksi. Dari modifikasi tersebut, diperoleh pola difraksi XRD yang hampir mirip dengan difraksi [MgZr4(PO4)6], akan tetapi pengotor zirkonium masih ada. Oleh karena itu, diperlukan modifikasi lain, salah satunya dengan menambahkan aditif lain guna lebih menghomogenkan zat yang akan diseintesis. Pada penelitian selanjutnya, Nurhaedi (2008) menambahkan aditif asam sitrat (asam organik) menghasilkan material sensor yang cukup stabil dalam struktur, namun kurang baik dalam nilai konduktifitasnya. Gambar 2.6 menunjukkan nilai konduktifitas yang diperoleh dari sintesis MZP dengan aditif asam sitrat melalui metode sol-gel. Gambar 2.6 Grafik nilai konduktifitas MZP dengan variasi aditif asam sitrat 3M pada berbagai suhu 18 2.6 Metode Sol-gel Metode sol-gel adalah metoda yang meliputi transisi sistem dari cairan (sol), menjadi fase padatan (gel). Sol yaitu suatu sistem koloid padatan dengan ukuran partikel 0.1-1 µm yang terdispersi dalam cairan dan gel adalah sistem koloid dimana baik cairan maupun padatan saling terdispersi (dapat pula diartikan sistem padatan yang porinya mengandung cairan) (Ismunandar, 2004). Metode ini biasanya berawal dengan prekursor aktif seperti alkoksida logam. Prekursor menjadi sasaran reaksi hidrolisis dan polimerisasi untuk membentuk suspensi koloid atau sol. Kemudian fasa cair yang terbentuk mengalami kondensasi membentuk gel yang memiliki padatan berukuran makromolekul. Reaksi yang terjadi adalah: M-O-R + H2O → M-OH + R-OH …………………….(hidrolisis) M-OH + HO-M → M-O-M + H2O ……………………(kondensasi air) M-O-R + HO-M → M-O-M + R-OH ………………….(kondensasi alkohol) (dengan M = Si, Zr, Ti) Tahapan-tahapan proses sol-gel secara sederhana meliputi pencampuran larutan logam oksida menjadi sol, gelling (pembentukan gel basah), pemanasan gel basah (suhu 25-100°C) menjadi gel kering atau xerogel, pembentukan material dan terakhir adalah pengeringan. Tahapan proses sol gel dapat dilihat pada Gambar 2.7. 19 Gambar 2.7. Tahapan proses sol gel Metode sol-gel digunakan untuk mengatasi hambatan yang terjadi pada metode padat-padat. Pada metode padat-padat, untuk memperoleh laju reaksi yang baik diperlukan konstanta difusi lebih besar dari 10-12 cm2/s. Karena nilai konstanta difusi yang tinggi baru akan diperoleh pada temperatur yang tinggi pula maka pada metode padat-padat reaksi berlangsung pada temperatur tinggi. Bila reaksi dilakukan pada temperatur lebih rendah maka nilai konstanta difusi dapat diperbesar melalui pengulangan proses penggerusan dan pemanasan. Sintesis dengan metode sol-gel masih menghadapi kendala. Kendala tersebut adalah kurang stabilnya sol yang akan disintesis. Untuk mengatasi kendala tersebut para ilmuwan menggunakan senyawa asam sebagai aditif dalam sintesis, seperti asam format (Ahmad et al., 1995), asam hidroksi (asam sitrat, asam tartarat, asam malat, dan asam laktat) (Shimizu et al., 2000), dan asam oksalat (Zhang et al, 2003). Senyawa asam sebagai aditif tersebut dapat bertindak sebagai pengkhelat dalam pembentukan kompleks yang lebih stabil. Pada penelitian Nurhaedi (2008), larutan asam sitrat merupakan zat aditif yang menghasilkan sol paling stabil karena memiliki gugus –OH yang paling banyak di 20 antara aditif asam yang lain. Disamping itu mempunyai konstanta kestabilan yang paling besar diantara aditif asam yang lain. Pada metode sol-gel, difusi spesies-spesies dalam padatan dapat dipercepat dengan menggunakan prekursor atau memperkecil jarak difusinya dengan meningkatkan pencampuran kation-kationnya. Dengan demikian suhu sintesis yang diperlukan akan turun dan kemungkinan fasa intermediate yang menghasilkan pengotor dapat diperkecil. Selain itu, keuntungan digunakannya metode sol gel adalah produk yang dihasilkan berukuran lebih kecil sehingga luas permukaannya lebih besar.