Hedging Dan Upaya Sistemik Menjaga Kesehatan

advertisement
Hedging Dan Upaya Sistemik Menjaga Kesehatan Fiskal*
Sabtu, 06 Juli 2013 02:16
Kesehatan fiskal atau yang sering diterjemahkan sebagai fiskal yang kesinambungan (fiscal
sustainability
) adalah salah satu kunci bagi stabilitas makro ekonomi. Salah satu syarat terwujudnya
fiscal sustainability
adalah adanya keseimbangan primer (
primary balance
) yang surplus. Sedangkan keseimbangan primer merupakan selisih antara anggaran
penerimaan dan pengeluaran di luar bunga dan cicilan utang.
Awal Mei lalu, S&P telah mengoreksi outlook utang Indonesia dari positive ke stable (lebih
rendah) dengan tetap mempertahankan
sovereign rating
kita di level BB+ (satu level di bawah
investment grade
). Salah satu alasan S&P menurunkan
outlook
kita adalah adanya masalah fiskal yang berpotensi membahayakan kesehatan fiskal kita.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita memang memiliki masalah dengan kesehatan fiskal kita.
Keseimbangan primer kita telah mulai defisit, suatu kondisi yang harusnya tidak boleh terjadi.
Pada 2011, keseimbangan primer masih surplus Rp8,9 triliun. Namun, pada 2012,
keseimbangan primer kita defisit Rp45,5 triliun. Kondisi inilah yang menyebabkan defisit APBN
2012 tembus di atas 2% terhadap PDB.
Kita tahu bahwa penyebab tingginya defisit keseimbangan primer pada 2012 adalah realisasi
belanja negara yang melonjak, khususnya subsidi energi yang mencapai Rp306,5 triliun (naik
151% dari Rp202,4 triliun di APBN-P 2012). Peningkatan subsidi energi disebabkan
melonjaknya subsidi BBM yang mencapai Rp211,9 triliun atau kelebihan 154,2% dari pagu
Rp137,5 triliun dan subsidi listrik mencapai Rp94,6 triliun atau kelebihan 145,6% dari pagu
Rp65 triliun.
Diperkirakan, di tahun 2013 ini, bila tidak ada pengendalian konsumsi BBM bersubsidi, beban
1/4
Hedging Dan Upaya Sistemik Menjaga Kesehatan Fiskal*
Sabtu, 06 Juli 2013 02:16
subsidi BBM akan mengalami pembengkakan. Dalam APBN 2013, kuota BBM bersubsidi
mencapai 46 juta KL senilai Rp193,8 triliun. Namun, hingga akhir Maret 2013, konsumsi BBM
bersubsidi telah mencapai 10,74 juta KL atau 100,6% dari kuota yang ditetapkan. Nah, kondisi
inilah yang mendorong S&P (juga Moody’s) memberikan “peringatan” kepada pemerintah agar
segera menyelesaikan masalah subsidi BBM ini, karena dinilai berpotensi mengganggu
kesehatan fiskal.
Pemerintah pada Mei 2013 ini mengajukan revisi atas APBN 2013. Revisi diperlukan agar
APBN 2013 menjadi lebih sehat, merealokasi anggaran (termasuk subsidi BBM) ke pos-pos
yang lebih tepat, termasuk melakukan efisiensi belanja di Kementerian/Lembaga. Namun, saya
berpendapat bahwa revisi APBN tersebut belumlah merupakan upaya sistemik untuk
menyehatkan fiskal kita.
Risiko Fiskal dan Hedging
Perlu diketahui bahwa pemerintah sesungguhnya telah mengetahui berbagai risiko fiskal yang
berpotensi mengganggu kesehatan fiskal kita. Di luar asumsi pertumbuhan ekonomi, APBN kita
terpengaruh dengan risiko fiskal yang bersumber dari fluktuasi nilai tukar Rupiah dan harga
minyak mentah. Depresiasi nilai tukar Rupiah memiliki dampak pada semua sisi APBN. Secara
agregat, depresiasi Rupiah akan memberikan efek negatif terhadap APBN. Berdasarkan
analisis sensitivitas, pada APBN 2013, apabila nilai tukar Rupiah rata-rata per tahun
terdepresiasi Rp100 dari yang diasumsikan, maka tambahan defisit pada APBN 2013
diperkirakan berada pada kisaran Rp1,05 triliun hingga Rp1,32 triliun.
Rupiah kita dalam dua tahun terakhir mengalami depresiasi yang cukup siginifikan. Pada 2011,
Rupiah terdepresiasi Rp79/USD dan tahun 2012 sebesar Rp200/USD dibanding asumsi APBN.
Hingga kuartal I 2013 ini, rata-rata nilai tukar Rupiah mencapai Rp9.680/USD, terdepresiasi
Rp380/USD dari asumsi APBN 2013 sebesar Rp9.300/USD.
Sama halnya dengan nilai tukar Rupiah, perubahan harga minyak juga mempengaruhi pada
semua sisi APBN. Namun, sebagai negara net oil importer, terjadinya kenaikan harga minyak
mentah di atas asumsi yang ditetapkan, justru menimbulkan tambahan defisit APBN.
Berdasarkan analisis sensivititas, apabila rata-rata ICP (
Indonesia Crude Price
) lebih tinggi USD1 per barel dari angka yang diasumsikan, maka tambahan defisit pada APBN
2013 diperkirakan berada pada kisaran Rp0,33 triliun hingga Rp0,68 triliun.
2/4
Hedging Dan Upaya Sistemik Menjaga Kesehatan Fiskal*
Sabtu, 06 Juli 2013 02:16
Sayangnya, sejak 2007, ICP hanya sekali berada di bawah asumsi APBN, yaitu pada APBN
2010, itupun selisihnya tipis USD-0,60 per barel. Selebihnya, realisasi ICP selalu di atas asumsi
APBN, yaitu selisih sebesar USD9,70 (2007), USD2,0 (2008), USD0,6 (2009), USD16,5 (2011),
dan USD15,0 (2012). Sementara itu, hingga kuartal I 2013, rata-rata ICP mencapai USD111
per barel, atau USD11 di atas asumsi APBN 2013 sebesar USD100 per barel.
Persoalannya, pemerintah memang telah berhasil mengindentifikasi berbagai risiko yang
berpotensi mengganggu kesehatan fiskal. Sayangnya, dalam hal mitigasi risiko, pemerintah
terlihat masih lemah. Kita sudah mengetahui bahwa Rupiah cenderung melemah. Terlebih lagi,
neraca perdagangan kita kini mengalami defisit. Kita juga mengetahui bahwa ICP trennya
menguat. Pertanyaannya, adakah upaya sistemik dari pemerintah untuk membentengi APBN
kita dari pengaruh negatif yang timbul dari berbagai risiko tersebut?
Di dalam manajemen risiko, ketika kita telah berhasil mengindentifikasi suatu risiko, maka
langkah terpenting selanjutnya adalah mitigasi risikonya. Nilai tukar dan ICP masuk dalam
kategori risiko pasar. Biasanya, upaya mitigasi risiko pasar, salah satunya adalah dengan
melakukan lindung nilai (hedging). Hedging tidak hanya untuk melindungi APBN dari pengaruh
depresiasi nilai tukar Rupiah, tetapi juga terhadap pengaruh pergerakan harga minyak.
Sayangnya, pemerintah belum satupun melakukan hedging terhadap pos-pos APBN yang
berpotensi merugi akibat risiko pasar tersebut. Padahal, dalam skala mikro, kewenangan
pemerintah untuk melakukan
hedgi
ng
sudah diberikan UU. Sebagai contoh, di dalam Pasal 26 UU APBN 2013 ditegaskan bahwa
pemerintah dapat melakukan
hedging
dalam rangka pengendalian risiko pembayaran utang. Kemudian, dalam rangka memberikan
kepastian hukum bagi pemerintah, UU juga telah memberikan jaminan bahwa kewajiban yang
timbul dari transaksi
hedging
tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara. Sayangnya, meski UU APBN telah
memberikan mandat, pemerintah hingga kini belum melakukan
hedging
tersebut.
Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana muatan RAPBN-P(erubahan) 2013 yang diajukan
3/4
Hedging Dan Upaya Sistemik Menjaga Kesehatan Fiskal*
Sabtu, 06 Juli 2013 02:16
pemerintah ke DPR tersebut? Apakah hanya sebatas mengubah asumsi makro ekonomi,
postur APBN, dan kebijakan kenaikan harga BBM plus skema bantuan langsung sementara
masyarakat (BLSM) saja? Bila ternyata hanya sebatas itu hasilnya, saya kira terlalu sayang
pikiran dan tenaga yang telah dikeluarkan pemerintah. Karena, hasil dari revisi APBN tersebut
baru sebatas perubahan teknis, belum menyentuh kebijakan yang sistemik dan strategis.
Mudah-mudahan, dalam pembahasan RAPBN-P 2013 akan berkembang pemikiran baru, baik
dari pemerintah maupun DPR, tentang pentingnya membangun sistem pengamanan fiskal
secara sistemik. Sehingga, klausul hedging dalam skala yang lebih luas bisa muncul dalam UU
APBN-P 2013. Sudah saatnya kita bertindak
out of
the box
. Bila tidak, akan terlalu banyak energi yang kita habiskan, sementara hasilnya tidak sebanding
dengan energi yang kita keluarkan.***
*Analisis ini dimuat oleh Bisnis Indonesia, Senin, 13 Mei 2013
4/4
Download