KONSTRUKSI PERWAKILAN DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PUSAT PENGKAJIAN KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA KERJASAMA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA DAN UNIVERSITA BRAWIJAYA 2009 ORGANISASI PENELITIAN KONSTRUKSI PERWAKILAN DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA KETUA : TUNGGUL ANSHARI SN.,SH,MH. WAKIL KETUA : AAN EKO WIDIARTO,SH,MH. SEKRETARIS : HERLIN WIJAYATI,SH,MH. ANGGOTA : 1. DR. IBNU TRICAHYO,SH,MH. 2. ARIF ZAINUDIN,SH,MH. 3. Dra. RIZA HARMONOWATI 4. MOHAMAD HAMIDI MASYKUR,SH,M.Kn. 5. M. DAHLAN, SH,M.Hum. 6. EDDY ROESANTO, SH,MH. TENAGA PENDUKUNG : 1. Dra. ENDANG NOVITA TJIPTIANI 2. THONTOWI DJAUHARI NS. 3. TRIYA INDRA RACHMAWAN. KATA PENGANTAR Kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rachmat, taufiq dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan penelitian ” Konstruksi Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Laporan penelitian ini merupakan laporan final dari serangkaian kegiatan yang sudah dilakukan dalam rangka penelitian kerjasama antara Dewan Perwakilan daerah republik Indonesia dengan Fakultas hukum Universitas Brawijaya Malang. Kami sampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan atas terselenggaranya kegiatan penelitian ini, diantaranya : 1. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; 2. Pemerintah Provinsi, DPRD Provinsi dan masyarakat Sumatera Selatan; 3. Pemerintah Provinsi, DPRD Provinsi dan masyarakat Kalimantan Timur; 4. Pemerintah Provinsi, DPRD Provinsi dan masyarakat Maluku Utara; 5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu; Semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat untuk semua pihak, khususnya untuk membangun DPD RI yang lebih baik. Malang, Agustus 2009 Ketua Tim Peneliti Tunggul Anshari SN.,SH,MH. DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ....………………………………………………………………….. 1 I.2. Rumusan Masalah ....………………………………………………………………. 5 I.3. Tujuan Penelitian ..………………………………………………………………... 5 BAB II METODE PENELITIAN II.1. Jenis Penelitian ......................................................................................................... 6 II.2. Jenis dan Sumber Data …………………………………………………………… 6 II.3. Teknik Pengumpulan Data .....…………………………………………………… 7 II.4. Justifikasi Penentuan Responden Penelitian ........................................................ 8 II.5. Teknik Analisis Data …………………………………………………………….. 9 BAB III KAJIAN TEORI III.1. Teori Kedaulatan Rakyat ...................................................................................... 11 III.2. Teori Perwakilan .................................................................................................... 17 III.3. Teori Pemisahan Kekuasaan ................................................................................. 27 BAB IV PEMBAHASAN IV.1. Eksistensi Kelembagaan DPD RI Dalam Struktur Ketatanegaraan ................. 33 IV.2. Revitalisasi Mekanisme Pelaksanaan Fungsi, Tugas, dan wewenang DPD RI 42 IV.3. Revitalisasi Peran DPD RI Dalam Menyerap dan Mengelola atau Mengartikulasikan Aspirasi Masyarakat ............................................................. 61 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan .............................................................................................................. 75 V.2. Saran ........................................................................................................................ 77 DAFTAR PUSTAKA KONSTRUKSI PERWAKILAN DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dewan Perwakilan Daerah adalah lembaga perwakilan baru produk amandemen atau perubahan ketiga atas UUD 1945 yang dihasilkan melalui Pemilu 2004. Setelah bekerja hampir dua tahun, kini DPD RI mengusulkan perubahan kembali atas konstitusi agar bisa berperan lebih produktif dalam kehidupan bangsa. Secara prematur, DPR RI menolak usulan DPD RI. Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) diharapkan menjadi salah satu kamar dari sistem parlemen dua kamar dalam format baru perwakilan politik Indonesia. Jika DPR RI merupakan parlemen yang mewakili penduduk, DPD RI 1 adalah parlemen yang mewakili wilayah atau daerah, dalam hal ini provinsi. Meski merupakan representasi daerah-daerah yang telah dipilih langsung oleh rakyat, keberadaan DPD RI dapat diibaratkan antara "ada dan tiada". Betapa tidak, sebelum lahir sebagai wakil daerah-daerah, peran, fungsi, dan kekuasaan DPD RI telah dibatasi sedemikian rupa oleh UUD NRI 1945 dan UndangUndang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.1 Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Ginandjar Kartasasmita mengingatkan, DPD RI sebagai kamar kedua di samping Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai kamar kesatu tidak dilahirkan seketika. Keberadaan DPD RI tidak terlepas dari sejarah politik dan kekuasaan di negara ini bahwa kedaulatan rakyat mensyaratkan adanya wakil langsung rakyat dan daerah. Perwujudan pemikiran itu berkembang dari periode ke periode. Tahun 1998, gerakan reformasi secara prinsip menemukan bentuknya yang mendasar melalui perubahan makna dan paradigma2. Namun, berkenaan dengan peran DPD RI dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945 yang disepakati melalui kompromikompromi sama sekali jauh dari gagasan tersebut. Konstruksi keindonesiaan pada dasarnya terbangun dari ruh dan elemenelemen daerah yang heterogen baik secara etnik, budaya, maupun alamnya. The founding fathers sangat menyadari power and political exercise harus selalu didasarkan kepada prinsip pengakuan kebhinekaan berbasis daerah tersebut. Arah bernegara harus ditetapkan berdasarkan kedaulatan dan permusyawaratan elemen-elemen bangsa, yang terminologi generiknya adalah Syamsuddin Haris, Dilema DPD dan Restrukturisasi Sistem Perwakilan, http://74.125.153.132/search?q=cache:6XNgRoqO7X4J:els.bappenas.go.id/upload/other/Dilem a%2520DPD%2520dan%2520Restrukturisasi%2520Sistem%2520Perwakilan.htm+%22rekonstruksi+d ewan+perwakilan+daerah%22&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id, 26-06-06, diakses tanggal 27 Mei 2007 2 Konstruksi Keindonesiaan Terbangun Dari Ruh Dan Elemen-Elemen Daerah, www.dpdri.go.id, 18-06-2008, Diakses tanggal 27 Mei 2009. 1 2 demokrasi dan musyawarah. Karena disepakati berbentuk republik maka yang berperan selama proses penentuan arah bernegara adalah para wakil elemen bangsa dari unsur-unsur daerah. Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam menyusun konstitusi menjelang kemerdekaan Indonesia sangat menyadari kebhinekaan itu. Ginandjar mengutip ungkapan Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI yang menyatakan bahwa permusyawaratan rakyat adalah wujud tertinggi kedaulatan rakyat dan kedaulatan rakyat syaratnya adalah adanya wakil langsung rakyat dan daerah. Pemikiran Yamin menggambarkan ruh konstitusi yang sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia serta kaidah bernegara modern bahwa bangunan pemegang kedautalan rakyat memadukan antara wakil rakyat dan wakil daerah. Konstitusi yang diamandemen sangat jelas membaginya, yakni DPR RI dan DPRD mewakili rakyat melalui entitas partai politik serta DPD RI mewakili rakyat melalui entitas daerah atau wilayah. Penataan lembaga perwakilan melalui amandemen konstitusi yang ketiga yang melahirkan DPD RI tidak serta merta jatuh dari langit. Karena, kecuali pengejawantahan ruh yang menjiwai kelahiran UUD 1945, juga merupakan produk sosial-politik sebagai bagian tuntutan gerakan reformasi tahun 1998 setelah pergumulan panjang dalam hubungan pusat dan daerah. Situasi dan kondisi yang terjadi pada waktu itu antara lain, kesatu, sistem sentralisasi penyelenggaraan negara sejak era Orde Lama hingga Orde Baru yang berakumulasi kekecewaan daerah-daerah terhadap pusat, sekaligus mengindikasikan kegagalan pusat mengelola daerahdaerah. Di awal gerakan reformasi, semangat itu diwujudkan dalam sistem desentralisasi dan otonomi yang menjadikan daerah-daerah sebagai aktor sentral. Kedua, persepsi publik terhadap perilaku partai politik kurang sesuai harapan karena sistem sentralisasi kepartaipolitikan yang menyulitkan perjuangan daerah-daerah di pusat dalam proses pengambilan kebijakan di 3 tataran nasional. Ketiga, kelahiran DPD RI merupakan refleksi kritis terhadap pengangkatan anggota fraksi utusan daerah dan utusan golongan Majelis Permusyawaratan Rakyat republik Indonesia (MPR RI) sebelum gerakan reformasi. Keempat, kehadiran DPD RI bermakna bahwa terdapat lembaga perwakilan lintas sekat yang memahami karakteristik daerah, bukan berbasis partai politik tetapi figur-figur yang mewakili seluruh elemen. Karena kebebasan berorganisasi dan berekspresi dijamin konstitusi, kepengurusan daerah partai politik lebih merepresentasikan kepentingan kepengurusan pusat partai politik bersangkutan. Kalau seorang wakil daerah merupakan bagian dari komunitas yang primary group-nya berbasis partai politik, maka ia sangat berpotensi mengabaikan kepentingan daerah yang diwakilinya. Keberadaan DPD RI diharapkan makin memperkuat sistem parlemen dan demokrasi secara umum. Kelahiran DPD RI telah membangkitkan harapan masyarakat di daerah bahwa kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional. Demikian pula, kebijakan di tingkat nasional maupun lokal tidak saling merugikan. DPD RI menjamin bahwa kepentingan di tingkat lokal merupakan bagian yang menyerasi dengan kepentingan di tingkat nasional dan kepentingan di tingkat nasional merupakan bagian yang merangkum kepentingan di tingkat lokal. Kepentingan daerah dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak perlu dipertentangkan. Dalam keterbatasan fungsi, tugas, dan wewenangnya dalam UUD 1945, DPD RI berusaha memenuhi harapan masyarakat daerah dengan sekuat tenaga dan kemampuan. Namun, DPD RI tidak hanya terkendala konstitusi juga undang-undang seperti UU 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Susduk). Terakhir, DPD RI terhalang UU 10/2008 yang bertentangan dengan atau tidak mencerminkan amanat UUD 1945 akibat tidak adanya syarat berdomisili di daerah pemilihan 4 dan tidak menjadi pengurus partai politik sebagaimana telah diwajibkan Pasal 63 dan Pasal 146 UU Pemilu terdahulu (UU 12/2003). Mengingat berbagai problem kelembagaan, politik, dan hukum yang ada pada DPD RI sebagaimana diuraikan di atas maka perlu dilakukan kajian empiris/sosiologis yang mendalam terhadap persepsi masyarakat dalam rangka revitalisasi kelembagaan DPD RI melalui konstruksi perwakilan daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. I.2. Rumusan Masalah Dari pembatasan masalah diatas, maka dapat dirumuskan tiga permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana eksistensi kelembagaan DPD RI dalam struktur ketatanegaraan yang masih belum memiliki kedudukan setara dengan DPR RI dalam pembentukan UU ? 2. Bagaimana revitalisasi mekanisme pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPD RI ? 3. Bagaimana revitalisasi peran DPD RI dalam menyerap dan mengelolah atau mengartikulasikan aspirasi masyarakat ? I.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. menganalisis eksistensi kelembagaan DPD RI dalam struktur ketatanegaraan dan proyeksinya di masa yang akan datang. 2. menemukan upaya revitalisasi mekanisme pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPD RI. 3. menemukan upaya revitalisasi peran DPD RI dalam menyerap dan mengelolah atau mengartikulasikan aspirasi masyarakat. 5 BAB II METODE PENELITIAN II.1. Jenis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis. Penelitian yuridis dilakukan untuk menemukan kerangka yuridis pengaturan kedudukan dan kewenangan DPD RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sedangkan pendekatan sosiologis dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat terhadap DPD RI, menemukan persepsi masyarakat atas pengaruh pelaksanaan kewenangan dan fungsi DPD RI serta memformulasikan pendapat masyarakat untuk mengonstruksikan perwakilan daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. II.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer berupa hasil wawancara tertutup melalui kuisioner. Data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum kedudukan dan kewenangan DPD RI, antara lain : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 6 Bahan hukum sekunder terdiri dari: 1. Literatur-literatur 2. Artikel-artikel yang berasal dari internet dan media cetak Bahan hukum tersier, terdiri dari: 1. Kamus Hukum 2. Kamus Besar Bahasa Indonesia Sumber data sekunder diperoleh dari hasil penelusuran pustaka dan dokumentasi di berbagai lembaga atau instansi. II.3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data. Untuk data sekunder digunakan teknik penelusuran bahan hukum dan dokumentasi hukum dari berbagai sumber kepustakaan di berbagai lembaga/instansi terkait. Sedangkan data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara, pengamatan terlibat (PRA), pendalaman atas kasus-kasus yang dialami langsung oleh responden serta sangat bertautan dengan permasalahan penelitian. Pedoman wawancara dalam pelaksanaan wawancara mendalam hanyalah merupakan penuntun awal untuk membuka percakapan dengan para responden. Pendekatan terpenting dari wawancara mendalam ini diletakkan pada sebuah seni yang mampu mendorong hasrat responden untuk menentukan arah dan isi pembicaraan. Pertanyaan-pertanyaan awal yang bersifat umum dimaksudkan untuk menstimulasi percakapan yang lebih mendalam, genuine (sejati), dan relevan dengan konteks dari mana data itu diperoleh. Oleh karena itu, peneliti sebagai active listener menjadi pendekatan utama selama kegiatan wawancara. Interupsi selama wawancara sejuah mungkin dihindarkan untuk memungkinkan para responden memiliki keleluasaan dalam mengeksplorasi tema-tema yang relevan dalam pandangan mereka. Pertanyaan-pertanyaan sela tambahan dapat saja dilakukan sepanjang itu hanya membuat klarifikasi atau 7 spesifikasi lebih jauh atas pernyataan responden mengenai sesuatu – hal itu pun harus dilakukan secara hari-hati dan efektif. II.4. Justifikasi Penentuan Responden Penelitian Responden penelitian ini ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut : - orang yang mempunyai kompetensi, pengalaman, pengetahuan yang berhubungan dengan keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; - orang yang mengetahui dengan baik situasi daerahnya tanpa berpretensi memasukkan pendapat/pandangan pribadinya atas pelaksanaan tugas dan fungsi DPD RI di daerahnya. Berdasarkan justifikasi tersebut maka sebaran lokasi penelitian dan reponden dalam penelitian ini meliputi: 1. Indonesia Bagian Barat : Provinsi sumatera Selatan Responden : Pemerintah Daerah 1 orang, DPRD 1 orang, Tokoh Masyarakat 2 orang, Tokoh Agama 2 orang, Lembaga Swadaya Masyarakat 1orang, Pengusaha 1 orang, dan Masyarakat Umum (1 laki-laki, dan 1 perempuan). 2. Indonesia Bagian Tengah Responden : Provinsi Kalimantan Timur : Pemerintah Daerah 1 orang, DPRD 1 orang, Tokoh Masyarakat 2 orang, Tokoh Agama 2 orang, Lembaga Swadaya Masyarakat 1orang, Pengusaha 1 orang, dan Masyarakat Umum (1 laki-laki, dan 1 perempuan). 3. Indonesia Bagian Timur Responden : Maluku Utara : Pemerintah Daerah 1 orang, DPRD 1 orang, Tokoh Masyarakat 2 orang, Tokoh Agama 2 8 orang, Lembaga Swadaya Masyarakat 1orang, Pengusaha 1 orang, dan Masyarakat Umum (1 laki-laki, dan 1 perempuan). II.5.Teknik Analisis Data Data primer dianalisis dengan menggunakan teknik analisis diskriptif kualitatif yaitu dengan cara mendeskripsikan seluruh temuan yang terkait dengan kesesuaian pelaksanaan kewenangan dan fungsi DPD dengan harapan masyarakat dan merumuskan konstruksi perwakilan daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan demikian analisis data dilakukan secara induktif berdasarkan tema-tema yang relevan yang dikembangkan dari hasil wawancara tertutup (kuisioner) dengan responden penelitian. Pengembangan kategori dan pengklasifikasian mencerminkan perpektif (word-view) dari para responden dalam mengkonstruksikan data. Perbandingan kategori yang diperoleh dari lapangan terhadap konsep-konsep yang lebih umum sebagaimana tersedia dalam berbagai kepustakaan dilakukan sebagai usaha untuk menempatkan hasil penelitian tentang ihwal dalam percakapan yang lebih teoritis sebagaimana yang berkembang dalam Focus Group Discussion (FGD). Sedangkan, data sekunder yang berupa bahan hukum dianalisis dengan menggunakan analisis isi (content analisys) yaitu dengan cara melakukan telaah kritis terhadap substansi pasal-pasal perundang-undangan maupun isi kebijakan sebagai kerangka yuridis pengaturan kedudukan dan kewenangan DPD. Kemudian juga akan dilakukan analisis yang bersifat kualitatif guna menarik kesimpulan dan rekomendasi kedudukan dan kewenangan DPD. Dalam rangka memperkaya dan mempertajam analisa, dukungan data-data sekunder sangat diperlukan, terutama untuk topik-topik tertentu. Dengan demikian analisa data dalam laporan penelitian ini merupakan kombinasi antara analisa hasil 9 wawancara dengan subyek penelitian dan analisa terhadap data-data sekunder sebagai pendukungnya. . 10 BAB III KAJIAN TEORI III.1. Teori Kedaulatan Rakyat. III.1.1. Kedaulatan. Kedaulatan (sovereignty) merupakan konsep dalam filsafat politik dan hukum kenegaraan, yang didalamnya terkandung konsepsi yang berkaitan dengan ide kekuasaan tertinggi yang dikaitkan dengan negara. Pengertian kedaulatan itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang dalam arti klasiknya berarti pergantian, peralihan atau peredaran (kekuasaan).3 Sedangkan dalam bahasa Inggris, istilah kedaulatan disebut souvereignty yang berasal dari bahas latin superanus. Dalam istilah Jerman dan Belanda serta negara-negara di Eropa lainnya, istilah ini diadopsi dan disesuikan dengan lafal masing-masing bahasa, seperti : suvereneteit, soverainette, sovereigniteit, sovereignty,souvereyn, summa potestas, maiestas, dan lain-lain sebagainya. 4 Yang dalam literaur politik, hukum dan teori kenegaraan pada jaman sekarang diartikan sebagai penguasa dan kekuasaan yang tertinggi. Tokoh yang dianggap sebagai pelopor pertama yang membahas ide kedaulatan ini sebagai konsep kekuasaan tertinggi adalah Jean Bodin (1530-1596). Dalam buku karya monumentalnya yang berjudul Six Livres de la Republique dikatakan bahwa kedaulatan (dalam pandangan klasik) itu tidak dapat dipisahkan dari negara, tanpa kedaulatan apa yang dinamakan negara tidak ada, karena tidak berjiwa, dan 3. Al-Mawrid, A Modern English-Arabic Dictionary, Dar El Ilmi lil Malayen, 1979, hlm. 882 4. Encyclopedia International, hlm. 242 11 diakatakan Bodin5, pertama bahwa kedaulatan itu bersifat mutlak, abadi dan karena itu juga harus bersifat utuh, tunggal dan tidak terbagi-bagi atau terpecah-pecah serta bersifat tertinggi dalam arti tidak terderivasikan dari kekuasaan yang lebih tinggi. Kedua, Kekuasaan berdaulat dalam negara itu berkaitan dengan fungsi legislatif, yaitu negara itu berdaulat dalam membuat hukum atau undang-undang dan atau menghapuskan hukum, dan ketiga, hukum itu sendiri merupakan perintah dari yang berdaulat tersebut yang pada jamannya memang berada di tangan Raja.. Sedangkan konsep kedaulatan menurut Jean Jaques Rosseau6 bersifat kerakyatan dan didasarkan pada kemauan umum (Volunte general) rakyat yang menjelma melalui perundang-undangan. Oleh sebab itu, menurutnya, konsep kedaulatan mempunyai sifat-sifat, yaitu: 1. Kesatuan (unite), bersifat monistis; 2. Bulat dan tak terbagi (indivisibilite); 3. Tak dapat dialihkan (inalienabilite); 4. Tidak dapat berubah (imprescriptibilite) Konsep kedaulatan bersifat kesatuan (unite) dalam arti bahwa semangat rakyat dan kemauan umum rakyat itu adalah satu kesatuan dimana mereka sebagai kesatuan berhak memerintah dan berhak menolak perintah. Karena rakyat adalah satu maka negara adalah satu juga.Karena itu pula, konsep kedaulatan itu bersifat bulat dan tak dapat dipecah-pecah (indivisible). Jika yang berdaulat adalah Raja, maka Rajalah yang merupakan satu-satunya pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara, jika rakyat yang berdaulat, maka rakyat pulalah satu-satunya pemegang kekuasaan 5. Jimly Assiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 122-123. 6. Ibid. hlm. 126-127. 12 tertinggi, bukan yang lain. Akibatnya, kedaulatan tak mungkin diserahkan atau diberikan kepada pihak lain (inalienable). Kedaulatan adalah milik setiap bangsa sebagai kesatuan yang bersifat turun-temurun. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kedaulatan itu tidak dapat berubah-ubah, kedaulatan menrut J.J.Rosseau berada di tangan rakyat dan selamanya tetap berada di tangan rakyat. Namun demikian pengertian-pengertian tersebut diatas, sebenarnya banyak mengandung banyak kelemahan, khususnya apabila dihubungkan dengan realitas perkembangan jaman sekarang.Montesquieu misalnya, yang mempunyai pendapat yang sangat berbeda dari J.J. Rosseau mengenai soal ini. Menurut Montesquieu, kedaulatan yang tidak terpecah-pecah itu mitos belaka. Untuk menjamin demokrasi, kekuasaan negara harus dibagi-bagi dan dipisah-pisahkan ke dalam beberapa fungsi yang saling mengendalikan satu sama lain (checks and balances), dan kekuasaan negara harus dibagi ke dalam tiga fungsi yang disebutnya sebagai Trias Politica , yang terdiri atas kekuasaan legislatif, eksekutif dan judicial. 7 Pandangan Montesquieu ini walaupun dipahami dengan cara yang bermacammacam, sukses penerapannya di beberapa negara, terutama di Amerka Serikat, membuktikan bahwa pembagian dan pemisahan kekuasaan itu merupakan sesuatu yang niscaya di abad modern sekarang ini. Karena itu konsep kedaulatan tidak bisa lagi dimengerti sebagai suatu konsep yang bersifat mutlak dan monistis, tidak terbagibagi atau terpecah-pecah seperti di masa lalu. Dengan keberhasilan Amerika Serikat menerapkan system pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif itu secara 7. Jimly Assiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm.34. 13 relatif selama lebih dari 200 tahun, berarti ajaran Trias politica Montesquieu itu dapat dikatakan dapat diterapkan dengan relative pula. Karena itu konsep kedaulatan dewasa ini haruslah dipahami sebagi konsep kekuasaan tertinggi yang dapat saja dibagi dan dibatasi. Pembatasan kekuasaan itu, betapapun tingginya, harus dapat dilihat sifatnya yang internal yang biasanya ditentukan pengaturannya dalam konstitusi yang pada masa kini biasanya dikaitkan dengan ide konstitusionalisme negara modern. Artinya di tangan siapapun kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu berada, terhadapnya selalu diadakan pembatasan oleh hukum dan konstitusi sebagai produk kesepakatan bersama para pemilik kedaulatan itu semdiri. III.1.2. Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi. Pada jaman modern sekarang ini, hampir semua negara menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi, seperti dikatakan oleh Amos J. Peaslee pada penelitian tahun 1950 ditemukan bahwa dari 83 konstitusi negara-negara yang diteliti, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip demokrasi.8 Memang harus diakui sampai sekarang istilah demokrasi itu sudah menjadi popular yang menunjuk kepada pengertian sistem politik yang diidealkan dimanamana. Sekarang , konsep demokrasi itu dipraktekkan di seluruh dunia secara berbedabeda antara satu negara dengan negara yang lainnya. Setiap negara bahkan menerapkan difinisi dan kriterianya sendiri-sendiri mengenai demokrasi itu, sampaisampai demokrasi itu menjadi ambigious atau paling tidak menjadi ambiguity.9 8. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm.105 9. Ibid. 14 Terlepas dari kritikl-kritik itu, yang jelas, dalam sistem kedaulatan rakyat itu, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dianggap berada di tangan rakyat negara itu sendiri. Jargon yang kemudian dikembangkan sehubungan dengan ini adalah “”kekuasaan itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Pengertian mengenai kekuasaan tertinggi itu sendiri, tidak perlu dipahami lagi bersifat monistis dan mutlak dalam arti tidak terbatas, karena sudah dengan sendirinya kekuasaan tertinggi di tangan rakyat itu dibatasi oleh kesepakatan yang mereka tentukan sendiri secara mersama-sama yang dituangkan dalam rumusan konstitusi yang mereka susun dan mereka sah kan bersama. Ini yang disebut kontrak sosial antar warga masyarakat yang tercermin dalam konstitusi. Konstitusi itulah yang membatasi dan mengatur bagaimana kedaulatan rakyatitu disalurkan, dijalankan dan diselenggarakan dalam kegiatan bernegara dan berpemerintahan sehari-hari. Pada hakekatnya, dalam ide kedaulatan rakyat itu, tetap harus dijamin bahwa rakyatlah yang sesungguhnya pemilik negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif maupun judikatif. Rakyatlah yang berwenang merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukana pengawasan serta penilaian terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan itu. Bahkan lebih jauh lagi, untuk kemanfaatan bagi rakyatlah sesungguhnya segala kegiatan ditujukan dan diperuntukkannya segala manfaat yang didapat dari adanya dan berfungsinya kegiatan bernegara itu. Inilah gagasan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan melalui sistem demokrasi. 15 Walaupun begitu, karena kebutuhan yang bersifat praktis, gagasan demokrasi ini perlu dilakukan melalui prosedur perwakilan. Dari sinilah munculnya ide lembaga perwakilan atau lembaga parlemen dalam sejarah10 Dalam hubungan dengan lingkup kegiatannya, ide kedaulatan rakyat meliputi proses pengambilan keputusan, baik di bidang legislative maupun di bidang eksekutif. Artinya rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk menetapkan berlaku tidaknya suatu ketentuan hukum dan mempunyai otoritas tertinggi untuk menjalankan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan hukum itu. Dengan perkataan lain, rakyat berdaulat, baik dalam perencanaan, penetapan, pelaksanaan maupun evaluasi dan pengawasan terhadap produk hukum yang mengatur proses pengambilan keputusan dalam dinamika penyelenggaraan negara dan pemrintahan yang berkaitan dengan nasib dan masa depan rakyat.11 Atas dasar prinsip demikian itulah, kekuasaan pemerintahan dibagi-bagi ke dalam beberapa fungsi, yang atas pengaruh Montesquieu, terdiri atas fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan judikatif.12 Dalamnegara yang menganut kedaulatan rakyat, pembagian ketiga fungsi itu tidak mengurangi makna bahwa yang sesungguhnya berdaulat adalah rakyat. Semua fungsi kekuasaan itu tunduk pada kemauan rakyat yang disalurkan melalui institusi yang mewakilinya. Di bidang legislatif, rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk menetapkan berlaku tidaknya produk peraturan. Di bidang eksekutif, rakyat mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan atau setidak-tidaknya mengawasi jalannya roda 10. Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1987, hlm79. 11. Miriam Budiardjo, Op.Cit. hlm. 108 12. Baron de Montesquieu, L’Esprit de Lois,1748 16 pemerintahan serta melaksanakan peraturan yang ditetapkannya sendiri. Di bidang judikatif, pada hakekatnya rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk mengambil keputusan akhir dan tertinggi mengenai fungsi judikatif. III.2. Teori Perwakilan. Di setiap negara dan setiap pemerintahan yang modern pada akhirnya akan berbicara tentang rakyat. Dalam proses bernegara rakyat sering dianggap hulu sekaliogus muaranya. Rakyatlah titik sentralnya, dan rakyat disuatu negara adalah pemegang kedaulatan. Manakala kata kedaulatan itu diartikan sebagai “kekuasaan yang tertinggi yang menentukan segala kekuasaan yang ada, atau sering diucapkan orang rakyatlah sumber kekuasaan itu., maka pertanyaan yang muncul adalah kapan kekuasaan nyang tertinggi itu dapat dilihat dan bagaimana caranya rakyat melaksanakan kekuasaan tersebut. Jawaban atas pertanyaan tersebut hanya dapat diberikan setelah mengetahui hubungan orang seorang dengan masyarakat. Kalau kita mencoba untuk melihat kembali pada masa yang lalu, dan memperhatikan sekarang ini tentang hal tersebut, maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah tidak mungkin rakyat memerintah dirinya. Pada masyarakat yang bagaimanapun sifatnya, mulai yang sederhana sampai yang modern, akan terdapaat dua pihak, yaitu pihak yang memerintah dan yang diperintah, pihak pertama yang memerintah selalu berjumlah kecil, dan yang berjumlah banyak adalah pihak yang diperintah. Saat ini, dan pada masa yang akan datang, seperti juga pada masa yang lalu, sekelompok kecil orang tersebut adalah mereka yang mempunyai kelebihan 17 dibandingkan dengan banyak orang. Kelebihan itu pada dewasa ini, mungkin karena faktor pendidikan, dimana mereka itu mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan banyak orang atau karena faktor pekerjaan, dimana mereka itu mempunyai pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan banyak orang13 Dalam proses bernegara sekelompok kecil tersebut adalah waakil-wakil rakyat yang dalam perjalanannya menjadi lembaga perwakilan seperti yang dikenal seperti sekarang ini. Namun timbulnya lembaga perwakilan ini atau dengan sebutan yang bermacam-macam seperti “parlemen” Legislatif”, “Dewan Perwakilan Rakyat atau apapun sebutannya , ternyata lahirnya bukan karena sistem demokrasi itu sendiri, melainkan karena kelicikan sistem feodal, seperti dikatakan oleg A.F Polllard dalam bukunya yang berjudul “ The Evolution of Parliament” yang menyatakan “ Representation was not the off spring of democratic theory, but an incident of the feodal system.14 Di negara-negara barat sampai pada pertengahan abad ke 14, rakyat tidak lebih dari obyek penguasa yang absolut. Sejalan dengan perjuangan manusia untuk diakui sebagai manusia yang mempunyai hak, yang pada awalnya banyak dipengaruhi pemikiran John Locke, pembentukan suatu badan perwakilan semakin menjadi kenyataan. Pada awalnya penentuan siapa yang akan duduk di lembaga perwakilan tersebut dilakukan dengan cara pengangkatan. Sejarah telah mencatat bahwa awalnya, House of Commons yang sering dianggap sebagai parlemen pertama di dunia (Inggris) anggotanya diangkat15 13. David N Olson, The Lagislative Process, A Comparative Aproach, Harper & Raw Publication, New York, 1980,h. 99. 14 Bintan R. Saragih, Op. Cit. hlm. 79. 15 Ivor Jennings, Parliament, Second adition, Cambridge University Press, 1969, hlm.19. 18 Dengan semakin berhasilnya perjuangan untuk mendapatkan jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, maka pada akhirnya , rakyat tidak lagi dianggap sebagai obyek penguasa, tetapi sudah diakui sebagai subyek dalam proses bernegara. Pengakuan rakyat sebagi pemegang kedaulatan kemudian ditempatkan dalam konstitusi. Walaupun diakui secara konstitusional bahwa rakyatlah yang berdaulat, tetapi sekaligus disadari bahwa rakyat tidak mungkin melaksanakan sendiri kedaulatannya, seperti dikatakan oleh Mohammad Hatta : “Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat atau atas nama rakyat di atas dasar permusyawaratan”16 Ketidak mampuan rakyat melaksanakan sendiri kedaulatannya tidak hanya karena jumlahnya yang relatif banyak dan tersebar di wilayah yang relatif cukup luas, ,juga karena tingkat kehidupan yang semakin kompleks.17. Kehidupan yang semakin kompleks itu melahirkan spesialisasi yangt pada gilirannya menuju profesionalisme. Akibatnya orang tidak akan lagi mampu mengerjakan beberapa jenis pekerjaan yang sifatnya berbeda pada waktu yang relatif sama. Orang sudah terbiasa berpendapat, urusan-urusan yang ia pandang bukan bidangnya akan diserahkan pada orang lain untuk mengerjakannya. Demikian pula dalam masalah kenegaraan, rakyat akan menyerahkannya pada ahlinya.18 III.2.1. Fungsi Lembaga Perwakilan. Lembaga perwakilan yang biasa disebur legislative ataupun parlemen, pada umumnya mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu 16. Mohammad Hatta, Kedaulatan Rakyat, Usaha Nasional, Surabaja, 1980, hlm.11. 17 .Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Liberty, Jakarta, 1997, hl. 132. 18. Hanna Fenichel Pettkin, The Concept of Representation, University of California Press, 1980, hlm.169 19 a. Fungsi pengaturan (legislasi); b. Fungsi pengawasan (control); c. Fungsi perwakilan (representasi)19 Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat, kegiatan bernegara, pertama-tama untuk mengatur kehidupan bersama. Karena itu kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau legislatif. Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui parlemen, yaitu , 1. pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara, 2. pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara, dan 3. pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara. Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut yang disebut dengan “undang-undang”, hanya dapat dilakukan atas persetujuan dari rakyat itu sendiri, yaitu melalui perantaraan wakil-wakil mereka di parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat. Oleh karenanya, yang biasa disebut sebagai fungsi pertama lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi legislasi atau pengaturan. Fungsi pengaturan ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat rakyat dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi, sehingga kewenangan ini utamanya hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum dimaksud. Sebab, cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat, maka pengatruran yang 19. Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara jilid II, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 32-44. 20 paling tinggi di bawah Undang-Undang Dasar haruslah dibuat dan ditetapkan oleh parlemen. Pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan rakyat, dan dapat membebani harta kekayaan rakyat serta pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara perlu dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh rakyat sendiri, Jika pengaturan mengenai ketiga hal itu tidak dikontrol sendiri oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen, maka kekuasaan di tangan pemerintah dapat terjerumus ke dalam kecenderungan alamiahnya sendiri untuk menjadi sewenang-wenang. Sedangkan fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling pokok sebenarnya adalah fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga perwakilan tanpa representasi tentu tidak bermakna sama sekali. III.2.2. Sistem Perwakilan. Dalam rangka pelembagaan fungsi representasi itu, dikenal adanya tiga sistem perwakilan yang dipraktekkan di berbagai negara demokrasi, yaitu : a. Sistem perwakilan politik (political representative); b. Sistem perwakilan territorial (territorial representative); c. Sistem perwakilan fungsional (functional representative)20 Apabila seseorang duduk dalam lembaga perwakilan melalui pemilihan umum, maka perwakilannya disebut perwakilan politik (political representation). Apapun tugasnya dalam masyarakat, kalau yang bersngkutang menjadi anggota lembaga perwakilan melalui pemilihan umum tetap disebut perwakilan politik. Umumnya perwakilan semacam ini punya kelemahan karena yang terpilih biasanya adalah orang yang popular karena reputasi politiknya, tetapi belum tentu menguasai bidang-bidang 20. Ibid. hlm.40. 21 teknis pemerintahan, perundang-undangan, ekonomi dan lain-linnya, sedangkan para ahli sulit terpilih melalui perwakilan politik ini, apalagi kalau pemilihan umumnya memakai sistem pemilihan distrik. Di negara maju kelemahan ini kurang terasa, karena tingkat pengetahuan/pendidikan sudah begitu maju dan merata, itulah sebabnya perwakilan politik merupakan pilihan dari negara-negara maju, dan pemilihan umum tetap merupakan cara yang terbaik untuk menyusun keanggotaan parlemen dan membentuk pemerintah. Lain halnya pada negara-negara sedang berkembang, disamping perwakilan politik juga melalui pengangkatan orang-orang tertentu dalam lembaga perwakilan. Pengangkatan orang-orang tersebut di lembaga perwakilan biasanya didasarkan pada fungsi/jabatan atau keahlian orang tersebut dalam masyarakat dan mereka ini disebut golongan fungsional dan perwakilannya disebut perwakilan fungsional (functional representation). Walaupun seorang anggota partai politik, tetapi ia seorang ahli atau tokoh dan duduk dalam lembaga perwakilan berdasarkan pengangkatan, dia tetap disebut golongan fungsional dan perwakilannya disebut perwakilan fungsional. Tidak masuk dalam kategori ini, suatu parlemen dari suatu negara yang dibentuk berdasarkan seluruhnya pengangkatan karena hasil dari suatu perebutan kekuasaan dan penguasanya membentuk parlemen baru menurut penunjukan. Sedangkan apabila di dalam perwakilan fungsional (functional representation) menghasilkan wakil-wakil daerah, seperti anggaota Dewan Perwakilan daerah (DPD) Di Indonesia yang berasal dari tiap-tiap daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. 22 III.2.3. Macam-macam Lembaga Perwakilan. Pada umumnya dikenal ada 2 (dua) macam parlemen, yaitu parlemen dua kamar (bicameral parliament)) dan parlemen satu kamar (unicameral parliament).21 Pemakain macam parlemen dua kamar maupun parlemen satu kamar ini berhubungan dengan dianutnya sistem perwakilan yang dipakai didalam suatu negara, sehingga dianutnya ketiga sistem perwakilan politik, perwakilan fungsional dan perwakilan territorial ini lah yang menentukan bentuk dan struksur pelembagaan sistem perwakilan di setiap negara. Pilihan sistem perwakilan itu selalu tercermin dalam struktur kelembagaan parlemen yang dianut dalam suatu negara. Pada umumnya di setiap negara, dianut salah satu atau paling banyak dua dari ketiga sistem tersebut secara bersamaan. Dalam hal suatu negara menganut salah satu dari ketiga sistem perwakilan, maka pelembagaannya tercermin dalam struktur parlemen satu kamar (unicameral parliament). Sedangkan apabila sistem yang dianut itu mencakup dua fungsi, maka kedua fungsi itu dilembagakan dalam struktur parlemen dua kamar (bicameral parliament). Misalkan Kerajaan Inggris memiliki parlemen dua kamar, yaitu House of Lords dan House of Commons. The House of Lords beranggotakan tokoh-tokoh yang mempunyai cirri sebagai kelompok fungsional, sedangkan The House of Commons beranggotakan mereka yang berasal dari partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum, sehingga disebut sebagai political representatives. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ingris menganut sistem perwakilan fungsionmal dan perwakilan politik yang masing-masing tercermin di lembaga parlemen bikameralnya, yaitu House of Lords dan House of Commons. 21. Ibid., hlm. 41.bandingkan dengan Bintan R. Saragih, Op.Cit, hlm.87. 23 Berbeda dengan Inggris, Amerika Serikat juga memiliki parlemen dua kamar (bicameral parliament), yaitu The Senate,dan The House of representative yang secara bersama-sama disebut sebagai The Congress of the United States of America. The House of Representative mirip dengan The House of Commons di Inggris, yaitu samasama merupakan wakil-wakil partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum, tetapi berbeda dengan The House of Lords di Inggris, Senate Amerika Serikat beranggotakan wakil-wakil rakyat di Negar bagian yang juga dipilih melalui pemilihan umum setempat. Calon anggota Senate tidak diharuskan berasal dari partai politik tertentu, meskipun dapat saja para calon anggota senat itu berasal dari orangorang partai politik. Di Negara Kesatuan Republik Indonesia, peranah dianut ketiga sistem perwakilan sekaligus yaitu sistem perwakilan politik, sistem perwakilan fungsional dan sistem perwakilan territorial, pada waktu berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen, yaitu seperti yang diatur di dalam Pasal2 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 “ Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”. III.2.4. Hubungan Wakil dengan Yang Diwakili. Duduknya seseorang di lembaga perwakilan, baik itu karena pengangkatan ataupun karena penunjukan maupun melalui pemilihan umum, mengakibatkan timbulnya hubungan antara si wakil dengan yang diwakili (rakyat). Ada beberapa teori yang membahas tentang hubungan antara wakil dengan yang diwakili ini, yaitu : 24 a. Teori mandat. Menurut teori ini, wakil dianggap duduk dalam lembaga perwakilan karena mandate dari rakyat sehingg disebut mandataris. Ajaran ini muncul di Perancis pada masa revolusi dan dipelopori oleh Jean Jaques Rosseau dan diperkuat oleh Petion.22 Sesuai dengan perkembangan jaman, maka teori mandat inipun menyesuaikan diri dengan kebutuhan jaman. Pertama kali lahir, teori mandat ini disebut sebagai : b. Mandat Imperatif. Menurut ajaran mandat imperatif ini, wakil dalam bertindak di lembagan perwakilan sesuai dengan ninstruksi yang diberikan oleh yang diwakilinya. Wakil tidak boleh bertindak di luar instruksi tersebut dan apabila ada hal-hal baru yang tidak terdapat dalam instruksi tersebut, maka wakil harus mendapat instruksi baru. Kalau setiap kali ada masalah baru, ini berarti menghambat tugas perwakilana tersebut, maka lahirlah teori mandat baru. c. Mandat Bebas. Teori ini dipelopori antara lain oleh Abbe Sieyes di Perancis dan Block Stone di Inggris. Teori berpendapat bahwa wakil dapat bertindak tanpa tergantung dari instruksi yang diwakilinya. Menurut teori ini, wakil adalah orang-orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya, sehingga wakil dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya atau atas namam rakyat. Teori ini kemudian berkembang lagi. d. Mandat Representative. Dalam teori ini wakil dianggap bergabung dalam suatu lembaga perwakilan (parlemen) . Rakyat memilih dan memberikan mandate kepada lembaga perwakilan, 22. Bintan R. Saragih, Op.Cit., hlm. 82. 25 sehingga wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya, apalagi pertanggungjawabannya, lembaga perwakilan inilah yang bertanggung jawab kepada yang diwakili (rakyat.) Disamping teori mandat seperti tersebut di atas, mengenai hubungan antara wakil dengan yang diwakilinya dibagi menjadi 4(empat) tipe hubungan, seperti yang dikemukakan oleh Gilbert Abcarian23, yaitu : a. Wakil bertindak sebagai “wali” (trustee), Disini wakil bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya; b. Wakil bertindak sebagai “utusan” (delegate). Disini wakil bertindak sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya, dan wakil harus selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya dalam melaksanakan tugasnya; c. Wakil bertindak sebagai “politico”. Disini wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali (trustee) dan adakalanya bertindak sebagai utusan (delegate). Tindakannya tergantung dari issue (materi) yang dibahas; d. Wakil bertindak sebagai “partisan”. Disini wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partai (organisasi) si wakil.. Setelah wakil dipilih oleh pemilihnya (yang diwakilinya) maka lepaslah hubungannya dengan pemilihan tersebut, dan mulailah hubungan dengan partai (organisasi) yang mencalonkannya dalam pemilihan tersebut. Sedang kan A. Hoogerwer24, membagi hubungan antara wakil dengan yang diwakilinya menjadi 5 (lima) model), yaitu : 23. Gilberrt Abcarian and George S. Massanat,Contemporary Political System,Charter Scribner’s and Son, New York, 1970, hlm. 177-178. 26 a. Model delegate (utusan). Disini wakil bertindak sebagai yang diperintah seorang kuasa usaha yang harus menjalankan perintah dari yang diwakilinya; b. Model trustee (wali). Disini wakil bertindak sebagai orang yang diberi kuasa, yang memperoleh kuasa penuh dari yanag diwakilinya, jadi wakil dapat bertindak berdasarkan pendiriannya sendiri; c. Model politicos. Disini wakil kadang-kadang bertindak sebagai delegasi dan kadang-kadang bertindak sebagai kuasa penuh; d. Model Kesatuan. Disini anggota parlemen dilihat sebagai wakil dari seluruh rakyat; e. Model Diversifikasi (penggolongan). Disini anggota parlemen dilihat sebagai wakil dari kelompok territorial, sosial atau politik tertentu. III.3 Teori Pemisahan Kekuasaan. Masalah pembatasan kekuasaan (limitation of power) berkaitan erat dengan pemisahan kekuasaan (sparation of power). Pada umumnya doktrin pemisahan kekuasaan berasal dari tulisan John Locke yang berjudul “Second Treaties of Civil Government (1690) yang berpendapat bahwa kekuasaann untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya, yang menurut John Locke 25memisahkan kekuasaan itu mejadi 3 (tiga) cabang kekuasaan, yaitu : 1. Kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif). 2. Kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif), yang didalamnya meliputi kekuasaan melaksanakan atau mempertahankan undang-undang. 24. Hoogerwer,Politologi (terjemahan), Erlangga, Surabaya, 1985, hlm. 200-201. 25 Mulyosudarmo, seperti yang dikutip oleh Abdul Latif,Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi,Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007, hl. 32. 27 3. Kekuasaan federatif, adalah kekuasaan yang meliputi semua kekuasaan yang tidak termasuk dalam kekuasaan eksekutif dan legislatif, yang meliputi hubungan luar negeri. Kemudian oleh Baron de Montesquieu seorang Perancis yang menulis berdasarkan hasil penelitiannya terhadap sistem mkonstitusi Inggris, pemikiran John Locke itu diteruskannya dengan mengembangkan konsep Trias Politica yang membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekitif dan judikatif26. Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan rujukan doktrin pemisahan kekuasaan (sparation of power) di jaman sesudahnya. Tujuan dari pemisahan kekuasaan ini tidak lain adalah untuk membatasi kekuasaan agar tidak sewenang-wenang dan berujung pada kekuasaan yang korup bahkan tirani.. Hal ini ditegaskan oleh Montesquieu dalam bukunya Esprit des Lois yang diterbitkan tahun 1748, yaitu : “bahwa ketika kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada orang atau badan yang sama, maka tidak akan ada lagi kebebasan, sebab terdapat bahaya bahwa Raja atau badan legislatif yang sama akan memberlakukan undang-undang tirani dan melaksanakannya dengan cara yang tiran..27. Pendapat Montesquieu ini didukung oleh Black Stone dalam karyanya yang berjudul Commentaries on the Laws of England pada tahun 1765 yang menyatakan bahwa “apabila hak untuk membuat dan melaksanakan undang-undang diberikan pada orang atau badan yang sama, maka tidak akan ada lagi kebebasan publik” 28 26. Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negar jilid II,, Op.Cit,hlm. 15 27. C.F. Strong,Konstitusi-konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk konstitusi Dunia,, Nuansa dan Nusa Dunia, Bandung, Juli 2004, hlm. 330. 28. Ibid, hlm. 331. 28 Pandangan Montesquieu yang sangat terkenal yaitu Trias Politica (tiga fungsi kekuasaan negara) meliputi, fungsi legislatif, fungsi eksekutif dan fungsi judical. Dalam teorinya ini Montesquieu mendalilkan bahwa, ketiga cabang kekuasaan itu tidak boleh saling mencampuri, dan harus berdiri sendiri dan secara tegas dipisahkan. Agar berbeda dengan pendahulunya John Locke, beliau dengan latar belakang sebagai hakim, fungsi judicial dipisahkan secara tersendiri, sedangkan fungsi federatif dianggapnya sebagai bagian dari fungsi eksekutif.29 Ajaran Montesquieu ini sangat berpengaruh hingga kini, namun terdapaat antithesis dari pandangan Montesquieu ini seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, yang mentakan : “It is not possible to define boundary lines sparating these function from each other since the distruction between creation and application of law-underlying the dualism of legislative ang eksecutive power (in the broadest sense) has only a relative character”.30 Tidak mungkin menetapkan batas-batas yang memisahkan fungsi-fungsi tersebut satu sama lainnya, sejak adanya perbedaan antara pembentukan dan penerapan hukum yang didasarkan pada dualisme kekuasaan legislatif dan eksekutif (dalam arti luas) dan sifatnya relatif. Pendapat Montesquieu ini ditentang pula oleh Walter Beghot melalui karyanya yang terkenal yang berjudul The English Constitution, yang menyatakan, bahwa “ setidak-tidaknya sebagai suatu fenomena di Inggris, teori pemisahan kekuasaan akhirnya masih belum dapat dipastikan kebenarannya.31 Di dalam perkembangannya ternyata di berbagai negara modern sekarang ini jarang yang memiksahkan teori pemisahan kekuasaan secara murni (material), yang 29. Jimly Assiddiqie, Perkembangan…………,hlm. 34. 30 .Hans Kelsen, seperti yang dikutip oleh Abdul Latif, Op.Cit. hlm.33. 31. C.F. Strong,Op.Cit.,hlm.331. 29 menurut Bagir Manan32, hal itu selain tidak praktis, juga meniadakan sistem pengawasan dan keseimbangan antara cabang kekuasaan yang satu dengan yang lain, serta dapat menimbulkan kesewanang-wenangan menurut atau di dalam lingkungan masing-masing cabang kekuasaan tersebut. Bahkan menurut Jimly Assiddiqie dengan tegas mengemukakan, bahwa konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh Montesquieu ini jelas tidak relevan lagi pada dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut.Kenyataan dewasa menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.33 Walaupun teori pemisahan kekuasaan ini banyak dikritik , namun, teori pemisahan kekuasaan ini telah banyak mempengaruhi orang Amerika pada masa undang-undang dasarnya dirumuskan, sehingga dokumen itu dianggap yang paling banyak mencerminkan Trias Politica dalam konsep aslinya. Akan tetapi sekalipun ketiga kekuasaan sudah dipisahkan satu sama lain sesempurna mungkin, namun para penyusun undang-undang dasar Amerika Serikat masih juga menganggap perlu untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaannya. Maka dari itu dicobalah untuk membendung kecenderungan ini dengan mengadakan suatu sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasai dan mengimbangi 32. Bagir Manan, seperti yang dikutip oleh Abdul Latif, Op. Cit,hlm. 33. 33. Jimly Assiddiqie, Perkembangan…………., Op. Cit. hlm. 36. 30 cabang kekuasaan lain. Juga di negara-negara benua Eropa Barat seperti Jerman dan Belanda, doktrin Trias Politica memainkan peranan yang penting dan terutama telah mempengaruhi perumusan-perumusan mengenai negara hukum klasik dari sarjanasarjana hukum seperti Kant dan Fichte.34 Dalam teori pemisahan kekuasaan nini dapat ditinjau dari dua pendekatan. Pendekatan pertama dari segi fungsinya, yaitu pembatasan kekuasaan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Pendekatan yang kedua, yaitu dari segi tujuannya, agar memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, mengakibatkan terjadinya pergeseran paradigma tentang konsep Trias Politica atau pemisahan kekuasaan ini. Pergeseran tersebut berkaitan pula dengan doktrin pembagian kekuasaan versus pemisahan kekuasaan. Yang dulunya dianut pembagian kekuasaan secara vertical (vertical distribution of power), sekarang dianut pemisahan kekuasaan secara horizontal (horizontal sparation of power).35 Agar tidak terjebak dalam dikotomi pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan, maka akan sangat tepat kalau mempergunakan istilah yang dipergunakan oleh Arthur Mass mengenai division of power. Arthur Mass menggunakan istilah pembagian kekuasaan (division of power) yang terdiri dari capital division of power untuk pengertian yang bersifat horizontal dan territorial division of power untuk pengertian yang bersifata vertical.36 Sparation of power adalah istilah yang dipergunakan untuk pembagian kekuasaan yang bersifat horizontal yang oleh Arthur Mass disebut sebagai capital division of power, yaitu pembagian antar lembaga34. Miriam Budiardjo, Op.Cit.,hlm284-285. 35. Jimly Assiddiqie, Perkembangan…., Op.Cit. hlm. 45-46. 36. Jimly Assiddiqie, Pengantar………., Op.Cit, hlm. 24-25 31 lembaga negara di tingkat pusat, sedangkan territorial division of power , dipergunakan untuk pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal, yaitu hubungan antara pemerintah di tingkat pusat dengan pemerintahan di tingkat daerah. 32 BAB IV PEMBAHASAN IV.1. EKSISTENSI KELEMBAGAAN DPD RI DALAM STRUKSUR KETATA NEGARAAN IV.1.1.Urgensi representasi daerah dalam pembentukan undang-undang. Penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) harus dimulai dari pertanyaan mengapa ketatanegaraan Republik Indonesia perlu memiliki DPD RI, dan dimana kedudukan DPD RI dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Setelah melacak berbagai naskah persiapan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) untuk memahami perdebatan dalam pembentukan konstitusi negara, bentuk negara kesatuan yang dipilih sama sekali tidak pernah bermaksud menjadikan negara yang sentralistik, namun adalah negara kesatuan yang menerapkan politik desentralistik dengan berakar kedaerahan. Berakar kedaerahan memiliki makna bahwa desentralisasi tidak sekedar adanya penyerahan kewenangan dari pemerintah kepada daerah, namun ada alasan yang lebih substansial yaitu untuk menjaga, melindungi, dan menghormati pluralistik atau keanekaragaman daerah. Dalam konstitusi naskah aslinya disebutkan pembentukan daerah dengan mengingati hak asal usul yang bersifat istimewa. Menyuarakan aspirasi daerah memiliki makna menyuarakan keanekaragaman daerah-daerah. Daerah akan memiliki makna hidup berindonesia apabila dalam keputusan nasional terakomodasi kepentingan daerah-daerah. Dalam wadah negara Indonesia yang 33 sangat luas, multikultural, dan kompleks, sangat mustahil dan akan melawan akal sehat bila keputusan nasional bisa adil, dan mensejahterakan rakyat keseluruhan tanpa memerankan representasi daerah secara kuat. Dan makna ini baru bisa diwujudkan kalau sistem ketatanegaraan memiliki mekanisme konstitusional bahwa representasi daerah memiliki kekuatan seimbang (balance) dengan representasi politik. Kebutuhan representasi daerah bukan saja kebutuhan setelah Undang-Undang Dasar di rubah. Kebutuhan representasi daerah sudah dirasakan penting dan tidak bisa diabaikan sejak kesepakatan membentuk negara Indonesia. Adanya representasi daerah menjadi jalan keluar agar Indonesia tetap utuh. Oleh karena itu pada saat kita menjalankan sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) sebagai lembaga negara tertinggi, dominan dan pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya, representasi daerah diwadahi melalui utusan daerah. Intinya MPR RI berkeinginan menjadi penjelmaan rakyat yang didalamnya terdapat representasi politik, utusan golongan dan utusan daerah. Namun dalam praktek ketatanegaraan utusan daerah ini diciptakan lemah, tidak bermakna, dan hanya menjadi simbul keanekaragaman saja. Kini dengan perubahan Undang-Undang Dasar, paradigma bernegara telah berubah kepada pemisahan kekuasaan dengan fungsi check’s & balances antar lembaga negara. Tidak ada lagi lembaga negara yang lebih dominan seperti sistem MPR RI sebelumnya. Kebutuhan representasi daerah diwujudkan dalam DPD RI yang dipilih secara langsung. Seharusnya DPD RI ini melaksanakan fungsi balance’s dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai representasi politik dalam pembentukan undang-undang (bikameral). Meskipun Parlemen bikameral biasanya dihubungkan dengan bentuk negara federal yang memerlukan dua kamar untuk maksud melindungi formula federasi itu 34 sendiri. Namun dalam perkembangannya, bersamaan dengan adanya kecenderungan ke arah desentralisasi kekuasaan dalam negara kesatuan, sistem bikameral juga dipraktekkan di banyak negara kesatuan. IV.1.2.Memperkuat struktur pemerintahan presidensiil sekaligus bikameralism Ciri utama sistem presidensiil adalah memisahkan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Eksekutif relatif independen dari legislatif. Dalam sistem UUD NRI 1945, manifestasi independensi eksekutif dari legislatif diwujudkan melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara langsung dan terpisah antara eksekutif (Presiden RI) dan anggota legislatif (DPR RI dan DPD). Karena ciri ini, Undang-Undang Dasar harus diselaraskan kembali untuk memisahkan fungsi eksekutif menjalankan pemerintahan dan fungsi legislatif sebagai pembentuk undang-undang. Sedangkan fungsi legislatif diselenggarakan secara berimbang dua kamar DPR RI dan DPD RI yang anggotanya telah dipilih secara langsung. Adanya DPD RI akan meningkatkan posisi tawar daerah dalam memperjuangkan aspirasi daerah secara langsung di tingkat pusat. Ini artinya DPD RI disebut sebagai salah satu chamber legislatif, maka secara implisit diakui bahwa parlemen di Indonesia memiliki dua chambers, yaitu DPR RI dan DPD RI. Sistem parlemen yang memiliki dua chambers adalah sistem parlemen bikameral. Sistem pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD NRI 1945 menempatkan seorang Presiden memiliki legitimasi yang kuat untuk menyusun kabinet, para menteri (anggota kabinet) tidak perlu direkrut dari anggota legislatif atau parpol dan tidak lagi kabinet merupakan gambaran perimbangan kekuatan partai di parlemen. Kalau seandainya DPD RI memiliki peran seimbang dengan DPR RI, maka presidensiil dengan 35 multi partai akan mengurangi tekanan partai terhadap Presiden. Ini akan menjadikan legitimasi presiden yang sebenarnya, yaitu tergantung pada rakyat tidak lagi tergantung pada Partai yang tidak selalu mencerminkan kemauan atau aspirasi masyarakat. Dengan demikian urgensi dari menyempumakan sistem presidensiil di Indonesia pada dasarnya adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat. Ide dasar pembentukan DPD RI adalah terakomodasinya kepentingan daerah dalam pembentukan undang-undang. Anggota DPD RI adalah mewakili kepentingan daerah. Namun muncul persoalan DPD RI mewakili daerah secara keseluruhan ataukah setiap anggota DPD RI mewakili daerah tertentu. Karena daerah menurut UUD NRI 1945 itu adalah propinsi, kabupaten, dan kota yang masing-masing berhak mengatur rumah tangga sendiri, maka yang dimaksud mewakili daerah bisa ditafsir setiap daerah baik propinsi, kabupaten, dan kota mempunyai wakil yang sama, misalnya 1 orang. Dengan ketentuan seperti ini setiap anggota DPD RI baru jelas ia mewakili daerah yang mana. Sebaliknya setiap daerah akan jelas siapa yang mewakili kepentingannya. Manfaat lain dengan komposisi keanggotaan seperti ini, akan terdapat perimbangan kursi di MPR RI antara anggota DPR RI dan anggota DPD RI. Perimbangan ini sangat penting karena MPR RI memiliki kewenangan strategis utamanya berupa perubahan Undang-Undang Dasar, dan pemberhentian Presiden. Dengan komposisi anggota DPR RI dan DPD RI yang hampir sama maka terdapat balances antara representasi politik dan daerah. Sebaliknya bila DPD RI dikonstruksi mewakili daerah secara keseluruhan, maka tidak harus setiap daerah memiliki seorang wakil. Bisa saja ditentukan jumlah anggota DPD RI paling banyak 1/3 dari jumlah DPR RI seperti sekarang dengan basis propinsi, namun resiko konstruksi 36 seperti ini jika terjadi perubahan Undang-Undang Dasar atau pemberhentian Presiden akan menjadi dominasi partai yang lebih mengutamakan pertimbangan politik.Karena itu baik mempertimbangkan kepentingan pluralistik kedaerahan maupun perimbangan kekuatan di parlemen, DPD RI harus diperkuat perannya dibidang legislasi, anggaran, dan pengawasan yang sederajat dengan DPR RI. Fungsi legislasi, bahwa setiap undang-undang dibahas dan disetujui bersama DPR RI dan DPD RI. Tidak ada lagi undang-undang tertentu yang pembahasannya melibatkan DPD RI sedangkan undang-undang yang lain tidak melibatkan DPD RI. Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 kalau mau dicermati bahwa DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah memiliki arti yang luas. Sulit mencari contoh undang-undang yang tidak terkait dengan kepentingan dan bersentuhan dengan daerah. Fungsi anggaran, merupakan salah satu fungsi parlemen sebagai instrumen pengawasan dan pengendalian dibidang anggaran melalui undang-undang. Peran DPD RI dalam fungsi anggaran selain sebagaimana tersebut di atas, adalah juga berfungsi melalukan kontrol keadilan keuangan negara antara kepentingan pusat dan kepentingan daerah. Ini nanti akan berimplikasi kepada pemerataan pembangunan disemua daerah, dan mencegah ketimpangan pusat – daerah. Sedangkan fungsi pengawasan, dimiliki DPD RI sederajat dengan DPR RI sebagai konsekwensi DPD RI ikut membahas dan menyetujui setiap rancangan undangundang 37 Untuk memenuhi fungsi DPD RI seperti di atas, melakukan perubahan kembali terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus terus digagas, dengan mengusulkan: a. Pasal 22D UUD NRI 1945 secara keseluruhan dihapuskan, kecuali ayat (4) nya. b. Setelah Pasal 19 ditambahkan BAB baru “KEKUASAAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG”, pasal-pasalnya berbunyi: Pasal 20 (1) Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah memegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk mendapatkan persetujuan bersama. (3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan masa itu. (4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk menjadi undang-undang selama-lamanya 30 hari sejak rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan 38 Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah republik Indonesia itu disampaikan kepada Presiden. (5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah republik Indonesia secara sendiri-sendiri segera mengadakan pemungutan suara. Rancangan undang-undang yang tidak disahkan Presiden menjadi sah sebagai undang-undang hanya bila Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia masing-masing sedikitnya 2/3 anggota menyetujui untuk disahkan sebagai undang-undang. Pasal 20A (1) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwailan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia mempunyai hak angket, dan hak menyatakan pendapat. (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota Dewan 39 Perwakilan Daerah Republik Indonesia mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. (4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan hak Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia serta hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia diatur dalam undang-undang. Pasal 21 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berhak mengajukan rancangan undangundang c. Konsekwensi dari sistem pemisahan kekuasaan yang dianut, maka Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 dihapuskan d. Fungsi Anggaran Pasal 23 (1) tetap (2) Rencana anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan 40 dan belanja negara yang diajukan Presiden, maka terhadap mata anggaran belanja atau pendapatan yang tidak mendapat persetujuan bersama itu, Pemerintah menjalankan mata anggaran belanja atau pendapatan tahun sebelumnya. IV.1.3. Menata peran ideal DPD RI sebelum perubahan UUD. Untuk menuju perubahan UUD NRI 1945 memerlukan waktu dan perjuangan yang panjang. Sebelum dilakukan perubahan UUD NRI 1945, masih ada peluang memperbaiki peran DPD melalui revisi undang-undang Susunan dan kedudukan MPR RI, DPR RI dan DPD RI ( Undang-Undang Susduk), meskipun upaya ini tidak signifikan dalam memperkuat kedudukannya. Problematik yang dihadapi DPD RI sekarang adalah disamping kedudukan dalam UUD NRI 1945 yang lemah, justru diperparah UndangUndang Susduk yang mereduksi peran DPD RI. Oleh sebab itu dengan mengkritisi dan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Susduk yang ada paling tidak bisa dimaksimalkan peran dan fungsinya: Pasal 22D (2) UUD NRI 1945 menghendaki bahwa DPD RI ikut membahas rancangan undang-undang tertentu. Pengertian ikut membahas tidak bisa dibatasi hanya pada tahap pertama sebelum DPR RI membahas dengan pemerintah seperti diatur dalam Undang-Undang Susduk sekarang. Mestinya DPD RI ikut membahas sampai tahap akhir pembahasan dan hal seperti ini yang dikehendaki Undang-Undang Dasar. Menurut UUD NRI 1945, DPD RI hanya tidak ikut dalam proses pengambilan keputusan. Tetapi seluruh tahap pembahasan tidak ada pengecualian. Pasal 22D (2) UUD NRI 1945 menghendaki DPD RI memberi pertimbangan kepada DPR RI atas rancangan undang-undang tertentu. Terhadap pertimbangan yang 41 diberikan DPD RI, DPR RI harus memberikan status apakah pertimbangan itu diakomodasi atau ditolak baik sebagian atau seluruhnya. Status tersebut harus dipublikasikan secara terbuka. Dengan demikian masyarakat bisa melakukan kontrol terhadap kedua lembaga perwakilan ini. Pasal 23F (2) UUD NRI 1945 menghendaki DPD RI memberi pertimbangan kepada DPR RI saat pemilihan anggota BPK RI. Ditolak atau diakomodasinya usulan DPD RI ini harus dipublikasikan secara luas karena DPD RI melaksanakan fungsi konstitusionalnya. Pasal 22D (3) UUD NRI 1945 menghendaki DPD memberi pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR RI sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti. Ketentuan semacam ini berujung DPD RI menjadi komplemen DPR RI. Namun implementasi dari ketentuan ini mestinya secara tegas diatur DPR RI wajib mempertimbangkan dan menindak lanjuti hasil pengawasan DPD RI dan mengumumkan hasilnya secara terbuka. Dengan demikian masyarkat bisa melakukan kontrol terhadap kedua lembaga ini. IV.2. REVITALISASI MEKANISME PELAKSANAAN FUNGSI, TUGAS DAN WEWENANG DPD RI. Kekuasaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) diatur terutama dalam Pasal 22 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Kekuasaan DPD RI lainnya diatur dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 23 F ayat (1). Pasal 22 D ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI 1945 menyatakan sebagai berikut :37 37 Lihat UUD NRI 1945. 42 a. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan pusat dan daerah; b. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; c. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pelaksanaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendiidikan, dan agama serta menyampaikan hasil dari pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti. Berdasarkan fungsi dan wewenang DPD RI tersebut, maka fungsi-fungsi DPD RI dapat disebutkan sebagai berikut :38 a. Fungsi Legislasi. 1) Mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR RI yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 2) ikut membahas pada tingkat I atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 38 Lihat Undang-Undang Susduk; 43 3) Memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama. b. Fungsi Pengawasan Pengawasan pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanjaan negara, pajak, pendidikan, dan agama, berdasarkan laporan yang diterima BPK, aspirasi dan pengaduan masyarakat, keterangan tertulis pemerintah, dan temuan monitoring di lapangan. Hasil pengawasan tersebut disampaikan kepada dewan perwakilan rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.39 c. Fungsi Nominasi Memberikan Pertimbangan kepada DPR RI dalam pemilihan BPK yang dilakukan oleh DPR. Anggota DPD RI sekaligus merupakan anggota MPR RI. maka anggota DPD RI sebagai anggota MPR RI ikut memiliki fungsi dan kewenangan yang dimiliki oleh MPR RI. Tugas dan kewenangan MPR RI adalah: 1) Mengubah dan menetapkan UUD NRI 1945. 2) Memberhentikan presiden dan / dan wakil presiden menurut ketentuan UUD NRI 1945. 3) Melantik presiden dan wakil presiden. 39 Pasal 43 ayat (1), Pasal 44 ayat (1) Pasal 46 ayat (1 & 3) 44 4) Memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan presiden apabila ada kekosongan jabatan wakil presiden. 5) Memilih presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh partai poitik atau gabungan partai politik yang paket presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama kedua pada pemilu kedua, apabila terdapat kekosongan jabatan presiden dan wakil presiden. IV.2.1. kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang IV.2.1.1.Keterbatasan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Suatu lembaga perwakilan dikatakan dua kamar biasanaya apabila kedua kamar itu mempunyai kedudukan, fungsi dan hak yang sama untuk membentuk undang-undang sebagai lembaga legislatif. Akan tetap sistem bekameral yang dianut Indonesia saat ini justru berbeda dengan artian sebenarnya. Seperti yang dikatan pada pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945, secara implisit, kedudukan DPD RI di bawah DPR RI dan presiden. DPD RI dapat mengajukan RUU kepada DPR RI yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan pengolahan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selanjutnya pada pasal 22D ayat (2) juga dinyatakan bahwa DPD RI ikut 45 membahas sejumlah RUU yang diajukan, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.40 Selain itu, dalam pasal 43 UU No 22 tahun 2003 dijelaskan bahwa fungsi legislasi DPD RI hanyalah sebatas turut serta melakukan pembahasan dengan fokus wewenangnya hanya terdapat RUU otonomi daerah, RUU pengolahan sumber daya alam dan ekonomi daerah, RUU pemekaran/pengabungan wilayah, RUU hubungan pusat dan daerah, RUU perimbangan keuangan pusat dan daerah. Disini, selain hanya fokus RUU tersebut di atas, pembahasan yang dilakukan oleh DPD bersama-sama DPR dan pemerintah hanya dalam tingkat pertama yaitu dalam forum penyampaian pandangan dan pendapat.41 jadi dalam pembahasan RUU di atas, DPD RI tidak bisa mengikuti pembahasan dari sejak awal sampai akhir, sampai dilahirkan RUU tersebut menjadi undang-undang. Padahal, sebetulnya semua RUU tersebut sangat strategis bagi kepentingan daerah dimana logika politiknya, DPD RI lah yang seharusnya yang memiliki kewenangan lebih untuk melahirkan undang-undang tersebut. Keterbatasan fungsi legislasi DPD RI juga nampak dalam pasal 44 dan 45 UU no 22 tahun 2003, di mana kewenangan DPD RI dalam memberikan masukan dalam pertimbangan yang berkaitan dengan RUU, APBN, pajak, pendidikan dan agama, selain hanya memberikan masukan saja, juga bentuk masukan itu tidak dibahas 40 Luhat UUD 1945 pasal 22 D ayat (1 & 2) 41 UU susduk, pasal 43 46 dalam satu forum sidang, tapi cukup memberikan masukan kepad DPR RI dalam bentuk tertulis saja.42 Dari kajian fungsi legislatif tersebut, dapat disimpulkan bahwa DPD RI mempunyai keterbatasan fungsi legislasi karena tidak mempunyai kekuasaan untuk membentuk undang-undang dan keberadaannya hanya sebagai “pembantu khusus” DPR RI dan pemerintah, atau dengan kata lain DPD RI hanyalah “weak chamber” di bawah DPR RI dan presiden dalam fungsi legislasi. Sedangkan pendapat dan pikiran para anggota DPD RI tersebut tidak dapat langsung di akses dalam undang-undang. Aspirasi yang ada pada para anggota DPD RI yang dijaring dari penyerapaan aspirasi rakyat/daerah hanya dijadikan bahan pertimbangan DPR RI dan pemerintahan dalam tugasnya melahirkan undangundang. Padahal undang-undang tersebut memiliki kepentingan yang cukup signifikan dan keterkaitan yang erat dengan kepentingan-kepentingan daerah. Secara umum Bagir Manan mengemukakan bahwa memperhatikan ketentuan-ketentuan baru dalam UUD NRI 1945, tidak nampak perwujudan gagasan sistem dua kamar. Kalau dalam UUD 1945 sebelum amandemen hanya ada dua badan perwakilan tingkat pusat yang terpisah, sekarang malahan menjadi tiga badan perwakilan.43 Pertama, walaupun ada perubahan, MPR RI tetap mempunyai anggota dan wewenangan sendiri, di luar wewenag DPR RI dan DPD RI. Kedua, sepintas lalu, DPD RI merupkan lingkungan jabatan yang mandiri, dan memiliki lingkungan wewenang sendiri. Tetapi memperhatikan beberapa ketentuan, DPD 42 43 Ibid, pasal 44 & 45 Bagir manan DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2003,hlm.5 47 RI adalah badan komplementer DPR RI. Ketiga, DPD RI bukan merupakan badan legislatif penuh. DPD RI hanya berwenang mengajukan dan membahas undangundang di bidang tertentu saja yang disebutkan secara anumeratif dalam UUD NRI 1945. Terhadap hal-hal lain, kekuasaan pembentukan undang-undang hanya ada pada DPR RI dan pemerintah. Dengan demikian, rumusan baru UUD NRI 1945 tersebut tidak mencerminkan gagasan mengikutsertakan derah dalam menyelangarakan seluruh praktek dalam pengolahan negara. Hal ini merupakan sesuatu yang ganjil ditinjau dari konsep perwakilan dua kamar. Dalam sistem bikameral murni (pure becameralis atau strong bicameralism), DPR RI dan DPD RI sama-sama mempunyai fungsi setara dan setigkat di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dengan sistem perwakilan bikameral, sebagian atau seluruh rancangan perundangan-undangan (RUU) memerlukan pembahasan dan persetujuan kedua lembaga perwakilan tersebut44 Walaupun sistem bikameral sendiri bervariasi dalam negara federal dan negara kesatuan, tetapi prinsip-prinsip yang dianut relatif sama, yaitu DPR atau lower house bekerja sama konstituen nasional atau federal, sedangkan DPD atau upper house bekerja untuk konstituen daerah atau perwakilan daerah.45 Dalam sistem bikameral murni, DPD atau upper house bisa memveto atau menolak setiap undang-undang yang dihasilkan oleh DPR (lower house) 44 Sirajuddin, dkk, membangun Konstituen Meeting (Mempertemukan Kepentingan daerah dengan Keterbatasan Wewenang DPD) Yappika Jakarta, Kerjasama MCW Malang, 2006, hlm 32 45 Ibid. 48 walaupun veto atau penolakan itu bisa gugur apabila upper house bisa mencapai mayoritas minimum atau maksimum untuk diajukan kembali.46 Melihat ketentuan-ketentuan tentang DPD RI tersebut di atas, jelas bahwa dalam sistem bikameral Indonesia susunan dan kedudukan antara DPR RI dan DPD RI tidak setara. Dimana untuk menentukan susunan dan kedudukan, DPD RI tidak mempunyai kekuasaan. Pasal 20 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap rancangan undang-undang (RUU) dibahas oleh DPR RI dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ini jelas bahwa tugas dan kewenangan dewan perwakilan daerah tidak setara47 IV.2.1.2. Revitalisasi Mekanisme Pelaksanaan Aspirasi Masyarakat Di Bidang Legislasi Telah disebutkan sebelumnya, bahwa pasal 22D ayat (1) UUD 1945 memberikan hak kepada DPD RI untuk mengajukan rancangan undang-undang khusus yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR RI. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana mekanisme atau prosedur artikulasi aspirasi masyarakat dapat ditampung dan ditindak lanjuti di dalam kekuasaan legislasi DPD RI. 46 H.R daeng naja, Dewan Perwakilan Daerah-Bikameral setengah Hati, Media Pressindo, Yogyakarta, 2004, hlm. 32 47 Sirajuddin, dkk,op.cit, hlm 33 49 RUU yang diusulkan oleh DPD RI juga disusun berdasarkan prolegnas yang telah dibuat sebelumnya oleh DPR RI dan pemerintah. Usul tersebut dapat diajukan oleh Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) maupun Panitia Ad Hoc yang merupakan alat kelengkapan DPD RI. Selain kedua alat kelengkapan tersebut, usul pembentukan RUU dapat diajukan ¼ dari jumlah annggota DPD RI kepada Panitia Perancang Undang-Undang yang disertai dengan latar belakang, tujuan dan pokok-pokok pikiran serta daftar nama, nama provinsi, dan tanda tangan pengusul.48 Salah satu tugas Panitia Perancang Undang-Undang adalah merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan usul RUU dan usul pembentukan RUU untuk satu masa keanggotaan DPD RI dan setiap tahun anggaran yang dimulai dengan menginventarisir masukan dari anggota, Panitia Ad Hoc, masyarakat dan daerah untuk ditetapkan menjadi keputusan Panitia Perancang Undang-Undang. Masukan dari masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu anggota DPD RI mendatangi masyarakat basis pemilihnya dalam hal ini di provinsi yang diwakilinya dan menerima masukan dari masyarakat umum yang datang ke DPD RI. Selanjutnya keputusan tersebut disampaikan kepada alat kelengkapan DPR RI yang khusus menangani bidang legislasi atau pemerintah melalui menteri yang tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang peraturan perundang- 48 Lihat Peraturan Tata Tertib DPD-RI pasal 109 50 undangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut Panitia Perancang UndangUndang dapat :49 1. Mengadakan rapat kerja dengan DPR RI, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah propinsi/ kabupaten/ kota, DPRD propinsi/Kabupaten/Kota; 2. Mengadakan rapat dengar pendapat umum, baik atas prakarsa sendiri maupun atas permintaan pihak lain; 3. Mengadakan kunjungan kerja pada masa sidang yang hasilnya dilaporkan dalam rapat Panitia Perancang UU yang bersangkutan dan disampaikan kepada semua alat kelengkapan DPD RI. 4. Mengusulkan kepada pimpinan DPD RI mengenai hal yang dipandang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPD RI. Yang sering dilakukan DPD RI dari ke empat item tersebut biasanya hanya melakukan dua item saja yaitu item pertama, mengadakan rapat kerja dengan DPR RI dan pemerintah baik pusat maupun daerah dan item ke empat yang berupa pengusulan kepada pimpinan DPR RI, sedangkan dua item yang lainnya jarang dilakukan yaitu mengadakan rapat dengar pendapat umum dengan masyarakat dan mengadakan kunjungan kerja pada masa sidang yang hasilnya dilaporkan dalam rapat Panitia Perancang UU yang bersangkutan dan disampaikan kepada semua alat kelengkapan DPD RI. Khusus untuk mengadakan rapat dengar pendapat umum dengan masyarakat memang jarang dilakukan oleh DPD RI dan rapat dengar pendapat umum inilah sebenarnya yang ditunggu oleh masyarakat untuk secara periodik 49 Ibid, pasal 55 51 harus dilakukan oleh DPD dengan cara mengundang tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM dan lain-lain50 Dalam rapat dengar pendapat umum inilah seharusnya banyak dilakukan oleh DPD RI dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat secara luas, tentunya hal ini berkaitan juga dengan dana /anggaran yang dimiliki oleh DPD RI untuk kelancaran dengar pendapat umum ini. Namun secara umum, masyarakat di tiga Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Maluku Utara, merasa bahwa DPD RI tidak atau jarang bersosialisasi langsung kepada masyarakat sehingga masyarakat merasa DPD tidak pernah ada di hati masyarakat51 Disamping masyarakat menuntut DPD mengadakan rapat dengar pendapat umum dengan masyarakat dan mengadakan kunjungan kerja ke daerah-daerah, hal yang dituntut oleh masyarakat adalah diumumkannya atau dibuatkannya laporan tahunan kepada masyarakat tentang apa yanag sudah dilakukan oleh DPD RI dalam melakukan rapat dengar pendapat umum dengan masyarakat dan bagaimana hasil perjuangan DPD RI di dalam memperjuangkan apa yang menjadi keinginan masyarakat tersebut52 Sedangkan dalam Tata Tertib DPR RI Pasal 128 ayat (9) dan Pasal 132 ayat (8) tersirat bahwa DPR RI lah yang berhak menyatakan suatu RUU itu terkait dengan DPD RI atau tidak, sehingga akibatnya aspirasi masyarakat yang telah ditangkap oleh DPD RI dapat terabaikan apabila tidak dikehendaki oleh DPR RI dalam wujud pengajuan RUU. 50 Penelitian di tiga Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Maluku Utara, tanggal 6-12 Agustus 2009 51 Penelitian di tiga Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Maluku Utara, tanggal 6-12 Agustus 2009 52 Ibid. 52 Selain itu, akan muncul lagi permasalahan jika suatu RUU yang berasal dari Presiden RI diajukan oleh DPR RI, sedangkan menurut DPD RI, RUU tersebut merupakan bagian dari kewenangannya untuk ikut membahas. Masalahnya adalah draft RUU tersebut sampai di tangan DPD RI melalui DPR RI ataukah Presiden RI, dan masalah ini akan muncul jika tidak jelas siapa yang berwenang menentukan untuk menyatakan bahwa RUU itu harus atau tidak melibatkan DPD RI dalam prosesnya. Agar aspirasi masyarakat yang sudah diserap oleh DPD RI melalui mekanisme dengar pendapat umum (hearing) ini dapat diteruskan menjadi RUU yang nantinya akan menjadi UU yang mencerminkan keinginan masyarakat, seharusnya pembuatan tata tertib DPRRI yang berkaitan dengan DPD RI harus mendapat persetujuan dulu dari DPD RI, hal ini sesuai dengan Pasal 102 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa “ peraturan tata tertib yang mempunyai keterkaitan dengan pihak lain/suatu lembaga diluar DPR harus mendapat persetujuan dari pihak lain/lembaga yang terkait” Disamping itu dalam Pasal 22D (2) UUD NRI 1945 menghendaki bahwa DPD RI ikut membahas rancangan undang-undang tertentu. Pengertian ikut membahas tidak bisa dibatasi hanya pada tahap pertama sebelum DPR RI membahas dengan pemerintah seperti diatur dalam Undang-Undang Susduk sekarang. Mestinya DPD RI ikut membahas sampai tahap akhir pembahasan dan hal seperti ini yang dikehendaki Undang-Undang Dasar. Menurut UUD NRI 1945, DPD RI hanya tidak ikut dalam proses pengambilan keputusan. Tetapi seluruh tahap pembahasan tidak ada pengecualian. 53 IV.2.1.3. Revitalisasi Mekanisme Pelaksanaan Aspirasi Masyarakat Di Bidang Pengawasan Berdasar Pasal 22 D ayat (3) DPD RI melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan dan agama. Pengawasan tersebut merupakan pengawasan atas pelaksanaan UU, dan hasil pengawasan DPD RI ini disampaikan kepada DPR RI sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Pengawasan yang dilakukan DPD RI dalam hal ini adalah a. Menerima dan membahas hasil-hasil pemeriksaan keuangan Negara yang dilakukan oleh BPK sebagai bahan untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu; b. Meminta secara tertulis kepada pemerintah tentang pelaksanaan UU tertentu; c. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UU tertentu; d. Mengadakan kunjungan kerja ke daerah untuk melakukan monitoring/pemantauan atas pelaksanaan UU tertentu.53 Dengan kewenangan DPD RI yang terbatas ini sesungguhnya, fungsi pengawasan DPD RI menjadi peluang yang besar untuk mengoptimalkan peran DPD RI, DPD RI dalam rangka melakukan pengawasan ini dapat menyerap, 53 Lihat Penjelasan Pasal 46 Ayat (2) UU No. 22 Tahun 2003. 54 menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat dalam pelaksanaan UU tertentu. Dalam bidang pengawasan ini DPD RI dapat sewaktu-waktu menyerap aspirasi masyarakat dari daerah sebanyak-banyaknya unttuk memfasilitasi daerah mengimplementasikan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD RI dalam persoalan ini akan signifikan jika mampu bersinergi dengan masyarakat di daerah. Banyak persoalan yang bergejolak di daerah membutuhkan pendampingan DPD RI dan ini masyarakat umum mengaku jarang mendengar apalagi melihat kiprah yang dilakukan oleh anggota DPD RI. Untuk itu DPD RI perlu memperkuat basis pengetahuan dan ketrampilan baik dalam komunitas politik maupun legislasi, serta memperluas jaringan kerjasama dengan berbagai pihak, misalnya perguruan tinggi, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan lain-lain54 Namun mekanisme artikulasi aspirasi masyarakat yang telah ditampung melalui kunjungan-kunjungan ke daerah maupun laporan masyarakat yang dimasukkan ke DPD ini, ketika diangkat menjadi bahan pengawasan DPD untuk melakukan pengawasan pelaksanaan UU menjadi tidak berarti manakala aturan main yang mengatur tentang tata tertib pengawasan kurang jelas dan kurang tegas. 54 Penelitian di tiga Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Maluku Utara, tanggal 6-12 Agustus 2009 55 Dalam Pasal 150 ayat (1) Peraturan tata Tertib DPD RI dikatakan bahwa “ Dalam hal DPR RI tidak menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD RI, DPD RI meminta penjelasan kepada DPR” Penjelasan dimaksud kemudian diberikan secara tertulis oleh Pimpinan DPR RI sesuai ayat (2) Pasal 150 Peraturan Tata Tertib DPD RI, namun tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana kriteria hasil pengawasan DPD RI tersebut sudah ditindak lanjuti atau belum. Agar aspirasi masyarakat yang sudah ditampung oleh DPD RI bisa ditindak lanjuti dan diwujudkan dalam bentuk peraturan perundangan yang sesuai dengan masyarakat,maka fungsi pengawasan DPD RI ini perlu adanya ketegasan dalam aturan pengawasan tersebut, agar tidak menimbulkan seolah-olah DPR RI adalah lembaga pengawas DPR RI, yang mengawasi setiap pekerjaan DPR RI yang diterima dari DPD RI, seharusnya implementasi dari ketentuan ini secara tegas diatur ”bahwa DPR RI wajib mempertimbangkan dan meindaklanjuti hasil pengawasan DPD RI dan mengumumkan hasilnya secara terbuka. Dengan demikian masyarakat bisa melakukan pengawasan terhadap kedua lembaga perwakilan ini. IV.2.1.4. Revitalisasi Mekanisme Pelaksanaan Aspirasi Masyarakat Di Bidang Nominasi. Yang dimaksud dengan fungsi nominasi DPD RI adalah memberikan Pertimbangan kepada DPR RI dalam pemilihan anggota BPK yang dilakukan oleh DPR. Menurut Pasal 22 UUD NRI 1945 Jis Pasal 45 UU No. 22 Tahun 2003 dan Pasal 140 Peraturan Tata Tertib DPD RI, diterangkan bahwa DPD RI dapat memberikan pertimbangan pemilihan anggota BPK RI secara tertulis kepada Pimpinan DPR RI 56 selambat-lambatnya dalam lima hari. Kata lima hari yang dimaksud dalam pasal itu adalah setelah Pimpinan DPD RI menerima surat dari Pimpinan DPR RI mengenai pencalonan anggota BPK RI. Bagaimana mekanismenya agar aspirasi masyarakat di bidang nominasi ini dapat di jalankan dengan baik. Dalam Tata tertib DPD RI disebutkan bahwa DPD RI akan mengadakan sidang paripurna untuk menyampaikan mengenai calon anggota BPK RI tersebut, kemudian sidang paripurna DPD RI akan menugaskan panitia ad hoc guna menyusun pertimbangan DPD RI, pertimbangan tersebut meliputi pengajuan nama calon, penelitian administrasi, penyampaian visi, misi dan penentuan urutan calon. Mengingat waktu yang dipunyai DPD RI untuk memberikan pertimbangan kepada DPR RI mengenai calon anggota BPK RI terlalu sempit, yaitu lima hari setelah Pimpinan DPD RI mendapatkan surat dari Pimpinan DPR RI, Maka sebaiknya Pimpinan DPD RI begitu menerima surat dari Pimpinan DPR RI langsung membuka kesempatan selama lima hari yang disediakan untuk DPD RI kepada masyarakat untuk memberikan tanggapan tentang calon anggota BPK RI,. Untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi anggota/panitia ad hoc DPD RI. Waktu lima hari yang diberikan oleh DPR RI kepada DPD RI untuk memberikan tanggapan tentang calon anggota BPK ini terasa terlalu singkat dan tidak efektif, sehingga banyak masyarakat yang tidak mengetahuinya kesempatan kesempatan yang diberikan kepadanya55, apalagi waktu lima hari yang dimaksud disini meliputi waktu untuk menjaring masukan dari masyarakat dan sidang paripurna untuk menyampaikan mengenai calon anggota BPK tersebut serta penyusunan panitia ad hoc untuk menyusun 55 Ibid 57 pertimbangan DPD RI yang meliputi pengajuan nama calon, penelitian administrasi, penyampaian visi dan misi dan penentuan urutan calon. Sebaiknya waktu yang efektif dan tepat untuk memberikan pertimbangan calon anggota BPK adalah selama 14 (empat belas hari) atau dua minggu, yaitu satu minggu dipergunakan untuk menjaring masukan dari masyarakat dan satu minggu berikutnya dipergunakan untuk membahas dan memberikan pertimbangan calon anggota BPK. Dalam era teknologi yang begitu canggih, maka waktu lima hari yang diberikan kepada DPD RI untuk memberikan pertimbangan anggota BPK RI menjadi tidak masalah, karena ke depan masyarakat Indonesia, makin lama makin maju dan internet akan menjadi kebutuhan sehari-hari, sehingga tanggapan masyarakat dan aspirasi masyarakat dalam bidang apapun dapat diberikan melalui website dan email yang dipunyai oleh dipunyai oleh DPD RI, sedangkan ditolak atau diakomodasinya usulan pertimbangan DPD RI ini harus dipublikasikan secara luas, karena DPD RI melaksanakan fungsi konstitusionalnya. IV.2.2. Koordinasi Hubungan Eksternal DPD RI dengan Lembaga Negara a. Hubungan DPD RI dengan Presiden. Membangun komunikasi politik bagi DPD RI adalah sesuatu yang penting bagi suatu lembaga negara yang masih baru sebagai upaya politik untuk mengefektifkan kinerja lembaga dan mengembangkan eksistensinya. Langkah komunikasi politik ini harus terus dipelihara intensitasnya terutama komunikasi dengan eksekutif (Presiden) mengenai kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya. 58 Agar komunikasi politik dengan eksekutif ini menjadi baik, maka perlu disepakati adanya koonsultasi secara periodik, misalkan setiap dua atau tiga bulan sekali atau dapat dipercepat sesuai kebutuhan membahas masalah masalah yang mejadi problem pengembangan otonomi daerah, baik ini dilakukan dengan Presiden ,maupun dengan menteri-menteri yang terkait dengan bidangnya. Apabila komunikasi politik dengan eksekutif ini berjalan dengan baik, maka akan terbangun bargaining position yang baik dalam mengembangkan eksistensi lembaga DPD RI. b. Hubungan DPD RI Dengan DPR RI Keberadaan DPD RI sebagai lembaga yang menyalurkan keanekaragaman aspirasi daerah dan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia antara lain untuk membangun sebuah mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balance) antar cabang kekuasaan negara dan dalam lembaga legislatif itu sendiri. Dengan adanya DPD RI ini, maka keterwakilan rakyat yang dianut dalam sistem politik kita menjadi lengkap, dimana disatu sisi ada DPR RI yang merupakan perwakilan seluruh rakyat melalui partai politik, posisinya akan lebih ddiperkuat oleh DPD RI yang merupakan keterwakilan daerah (territorial) Di negara yang mengadopsi sistem parlemen dua kamar, pertemuan antar kamar biasanya dilakukan setahun sekali, dan dilakukan di awal masa sidang. Sedangkan di Indonesia,menurut UU No. 22 Tahun 2003 tenatang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR,DPD dan DPRD, tidak memberikan pengaturan mengenai kewajiban pertemuan antara DPD RI dan DPR RI, namun demikian dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, kedua lembaga ini akan saling bertemu apabila DPD RI mengajukan RUU 59 tertentu, dan atau jika ada pembahasan RUU yang perlu melibatkan DPD RI serta terkait dengan fungsi anggaran dan pengawasan yang berhubungan dengan ruang lingkup kerja masing-masing, walaupun biasanya pertemuan ini bersifat ad hoc dan hanya diwakili oleh komisi tertentu saja. Walaupun Indonesia tidak menganut sistem parlemen dua kamar (bikameral) secara murni, namun bagaimanapun tidak bisa dipungkiri dan sudah menjadi implikasi yang logis bahwa keberadaan DPD RI ini bermitra dengan DPR RI dalam fungsi legislasi, sehingga kedua lembaga negara ini akan selalu berhubungan erat sebagai lembaga perwakilan. c. Hubungan DPR RI dengan Pemerintah Daerah dan DPRD. Sebagai lembaga perwakilan daerah yang mewakili Provinsi, DPD RI mempunyai tugas dan peran yang sangat penting dalam rangka menjembatani berbagai kepentingan yang ada di masyarakat daerah ke tingkat nasional, untuk itu DPD RI dalam melaksanakan fungsinya sebagai wakil daerah sangat memerlukan informasi, data serta masukan rutin tentang isu dan perkembangan masalah-masalah sosial politik dan pembangunan yang aktual di daerah, karena DPD RI tentunya juga perlu mengetahui tentang bagaimana kebijakan-kebijakan nasional berimplikasi terhadap daerah yang diwakilinya. Dengan informasi yang yang cukup dan akurat dari pemerintah daerah dan DPRD masing-masing daerah yang diwakilinya, maka DPD RI akan lebih mudah menjalankan tugasnya sehingga prioritas aspirasi daerah yang diperjuangkan di pemerintah pusat akan mengenai sasaran. Banyak sekali masalah-masalah daerah yang sangat penting untuk dikomunikasikan melalui DPD RI sebagai wakil dari daerah, karena memang DPD RI 60 mempunyai tugas untuk menjembatani berbagai kepentingan yang ada di masyarakat daerah. Walaupun dari sisi lain, karena basis pemilih DPD RI berbeda dengan DPRD dan pemerintah daerah, maka tentunya akan muncul kepentingan yang berbeda-beda diantara ketiga lembaga tersebut. Dalam konteks ini DPD RI tentunya harus bisa menempatkan diri sebagai sebuah lembaga yang memoderasi kepentingan-kepentingan tersebut dan atau menjadi fasilitator lembaga-lembaga politik di daerah. Dalam rangka menjalin hubungan dengan DPRD dan pemerintah daerah inilah, DPD RI perlu membuat kesepakatan-kesepakatan lebih lanjut tentang mekanisme konsultasi daerah, sehingga kesepakatan-kesepakatan yang terjalin dapat ditindak lanjuti dalam bentuk dukungan dan program DPD RI. IV.3. REVITALISASI PERAN DPD RI DALAM MENYERAP DAN MENGELOLA ATAU MENGARTIKULASIKAN ASPIRASI MASYARAKAT. IV.3.1.. Aspirasi dan Peranserta Masyarakat Antara aspirasi masyarakat dan peranserta masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan mengingat segala bentuk peranserta masyarakat pada hakekatnya adalah aspirasi masyarakat. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian peran serta atau partisipasi adalah hal turut serta (pengikutsertaan dalam suatu kegiatan) baik langsung maupun tidak langsung”. Canter sebagaimana dikutip Santosa mendefinisikan peranserta masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat atas suatu masalah-masalah dan kebutuhan. Bentuk kegiatannya meliputi feed forward information (komunikasi dari pemerintah kepada 61 masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas suatu kebijakan)56. Pada dasarnya peranserta masyarakat merupakan insentif moral sebagai alat untuk mempengaruhi lingkup makro yang lebih tinggi di tempat dibuatnya keputusankeputusan yang sangat menetukan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian peranserta tersebut bukanlah sebuah tujuan akhir (participation is an end itself). Hal ini tentunya bertolak belakang dengan asumsi yang berkembang selama ini yang memandang peran serta masyarakat semata-mata sebagai penyampaian informasi (public information), penyuluhan, bahkan hanya sekedar alat public relation agar proyekproyek yang dilakukan pemerintah dapat berjalan lancar dan mendapat legitimasi dari masyarakat. Cormick membedakan peranserta masyarakat ke dalam dua pola, antara lain: 1. Peranserta masyarakat yang bersifat konsultatif Peranserta masyarakat yang bersifat konsultatif ini berarti dalam hubungan antara pihak pejabat pengambil keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan, masyarakat mempunyai hak untuk di dengar pendapatnya dan untuk diberitahu. Keputusan akhir masih tetap berada pada pembuat keputusan. 2. Peranserta masyarakat yang bersifat kemitraan Dalam pola ini, pejabat pembuat keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang realtif sejajar kedudukannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membuat keputusan.57 Berdasarkan sudut kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, Arnstein merumuskan Delapan Tangga Peranserta Masyarakat 56 Aan Eko Widiarto, Garis Politik dan Peruandang-undangan dalam Desentralisasi Pengelolaan Lingkungan Hidup menuju Model Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Berdimensi Peran Serta Masyarakat di Daerah, Skripsi, Malang, 1999, Hal. 40-42 57 Mas Achmad Santosa dan Arimbi BP, Peranserta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, WALHI-YLBHI, Jakarta, 1993, Hal. 1-2 62 (Eight Rangs on the Ladder of Citizen Participation). Kedelapan tangga tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Pengawasan Masyarakat 8 7 Pendelegasian Kekuasaan 6 Kemitraan 5 Peredaman Kemarahan 4 Konsultasi 3 Menyampaikan Informasi 2 Terapi 1 Manipulasi Tingkat Kekuasaan Masyarakat Tingkat Tokenisme Non Peranserta Tangga (1) Manipulasi dan tangga (2) Terapi mempunyai sasaran untuk mendidik dan “mengobati” masyarakat yang berperanserta. Dalam tingkatan ini peranserta tidak ada atau non peranserta. Tangga ketiga, keempat dan kelima menandakan bahwa suatu tingkat peranserta itu berarti mendengarkan dan dipernolehkannya masyarakat untuk berpendapat. Namun demikian pendapat mereka itu tidak mendapatkan jaminan untuk dipertimbangkan oleh pengambil kebijakan sehingga tahap ini disebut tingkat Tokenisme. Tahapan tertinggi adalah tingkat “Kekuasaan Masyarakat”. Dalam tahap ini masyarakat memperoleh pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan kemitraan yang mempunyai kemampuan tawar menawar dengan penguasa dalam tingkatan yang lebih tinggi melalui pendelegasian kekuasaan/wewenang dan pengawasan. Pada tingkatan ketujuh dan kedelapan, masyarakat (non elit) memiliki masyoritas suara dalam proses pengambilan keputusan, bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu obyek kebijaksanaan tertentu. 63 Di dalam the Oxford English Dictionary, peranserta disebut sebagai “the action or fact of partaking, having or forming a part of”. Dalam pengertian ini, peranserta bisa bersifat transitif atau intransitif, bisa pula bermoral atau tak bermoral. Kandungan Pengertian tersebut juga bisa bersifat dipaksa atau bebas, dan bisa pula bersifat manipulatif maupun spontan58. Peranserta transitif apabila ia berorientasi pada tujuan tertentu. Sebaliknya, peranserta bersifat intransitif apabila subyek tertentu berperanserta dengan tanpa tujuan yang jelas. Peranserta memenuhi sisi moral apabila tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan etika. Dalam pengertian ini peranserta mengandung konotasi positif. Begitu pula sebaliknya, jika kegiatan berperanserta ditujukan pada tujuan yang tidak sesuai dengan etika maka ia disebut sebagai tak bermoral. Dalam perspektif yang lain, peranserta juga berkonotasi positif apabila ia dipersepsi sebagai tindakan bebas yang oleh subyek, bukannya terpaksa dilakukannya atas nama peranserta. Akhirnya peranserta juga bisa dibedakan apakah ia bersifat manipulatif atau spontan. Partipasi yang dimanipulasi mengandung pengertian bahwa partisipan tidak merasa dipaksa untuk melakukan sesuatu namun sesungguhnya ia diarahkan untuk berperan serta oleh kekuatan diluar kendalinya. Oleh karena itu, peranserta bentuk ini juga sering disebut sebagai teleguided participation. Sementara itu, Midgley menjelaskan peranserta spontan sebagai “a voluntary and autonomous action on the part of the people to organize and deal with their problems unaided by government or other external agents”59. Pengertian yang diacu oleh Rahnema di atas tentu masih bersifat terlalu umum, sehingga diperlukan definisi yang lebih jelas dan khusus bagi studi administrasi negara. 58 M. Rahnema, Participation, dalam Sachs, W.ed. The Development Dictionary: a Guide to Kowledge as Power, New Jersey:Zed Books, 1992, hal. 116 59 J Midgley, Introduction: Social Development , the State and Participation, dalam Midgley, J.,etal. Community Participation, Social Development and the State, New York:Methuen, 1986, hal 27 64 Bryant & White telah menggambarkan pengertian peranserta yang lebih mendalam pada bidang administrasi pembangunan sebagai peranserta oleh masyarakat atau oleh penerima manfaat proyek dalam pembuatan rancangan dan pelaksanaan proyek. Selanjutnya mereka menguraikan kandungan makna yang tersirat dalam pengertian peranserta ini bahwa ia merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan orang lain, perhatian yang mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan dihasilkan suatu proyek sehubungan dengan kehidupan masyarakat, serta kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak lain terhadap suatu kegiatan. Menurut Bryant & White, semula peranserta hanya didefinisikan secara politis sepenuhnya sebagaimana yang berkembang pada tahun 1950an dan 1960an. Dalam pengertian ini peranserta diartikan sebagai pemungutan suara, keanggotaan dalam partai, kegiatan dalam perkumpulan sukarela, gerakan protes, dan lain sebagainya. Dengan mengutip pendapat Joan Nelson, mereka mengungkap bahwa peranserta politis ini dapat dibagi dalam dua arena, yakni peranserta horisontal dan vertikal. Yang pertama melibatkan masyarakat secara kolektif untuk mempengaruhi keputusan kebijakan. Sementara yang kedua terjadi ketika anggota masyarakat mengembangkan hubungan tertentu dengan kelompok elit dan pejabat yang bermanfaat bagi kedua-belah pihak. Pada tahun 1970an, peranserta mulai dihubungkan dengan proses administratif dengan menambahkan kegiatan peranserta dalam proses implementasi sehingga individu dan kelompok dapat mengejar kepentingan yang bertentangan dan bersaing memperebutkan sumber daya yang langka. Dengan mengutip studi yang dilakukan Uma Lele pada tahun 1975, Bryant & White menulis bahwa peranserta dalam perencanaan dan pelaksanaan program dapat mengembangkan kemandirian yang dibutuhkan oleh anggota masyarakat pedesaan demi akselerasi pembangunan. Selain itu, mereka mengusulkan pula perluasan konsep peranserta yang tidak hanya mencakup proses 65 perencanaan dan pelaksanaan tetapi juga peranserta dalam penerimaan manfaat. Argumen yang disampaikan adalah adanya kemungkinan masyarakat tidak mendapat manfaat dari kontribusi yang diberikannya. Bryant & White mengingatkan pula agar konsep peranserta tidak dipersempit hanya pada aspek penerimaan manfaat belaka karena akan mengubah pengertian umum peranserta. Aspek penerimaan manfaat merupakan pelengkap dari cakupan pada proses perencanaan dan pelaksanaan sehingga membawa manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Selain peranserta dalam perencanaan, implementasi, dan penerimaan manfaat, Griesgraber & Gunter menambahkan aspek yang lain yakni evaluasi dengan mengartikan peranserta sebagai “mechanism for enabling affected people to share in the creation of a project or program, beginning with identification all the way through to implementation and evaluation”.60 Dengan demikian, maka konsep peranserta menjadi sedemikian luas mulai dari aspek perencanaan, implementasi, evaluasi, sampai penerimaan manfaat. Pengertian peranserta di atas tentu sudah lebih mendalam dibandingkan definisi yang diuraikan pertama kali, akan tetapi dari hal tersebut masih belum menunjukkan sentuhan dimensi spasial dari pemahaman terhadap istilah peranserta. Midgley telah membantu mengatasi persoalan ini dengan membedakan konsep peranserta popular dengan peranserta masyarakat. Peranserta popular berkenaan dengan isu yang luas tentang pembangunan sosial dan penciptaan peluang keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial dari suatu bangsa61. Selanjutnya Korten menjelaskan lebih jauh bahwa peranserta jenis ini didesain oleh ahli perencanaan dari pusat dan dijalankan melalui badan pembangunan yang tersentralistis, hierarkis, dan terikat oleh peraturan yang diikuti dengan wewenang yang kecil dari fungsionaris lokal 60 61 Griesgraber&Gunter, eds, Development: New Paradigms and Principles for the Twenty-first Century, East Haven, CT:Pluto Press, 1996, hal 144 Opcit, hal. 23 66 untuk menyesuaikan program dengan kebutuhan atau keinginan lokal. Asumsi yang dipegang adalah pegembangan peranserta pada tingkat nasional bertujuan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan trickle down effect atas manfaat pembangunan. Sementara itu, peranserta masyarakat berkonotasi “the direct involvement of ordinary people in local affairs”. Midgley memperjelas pengertian peranserta masyarakat ini dengan mengacu pada salah satu definisi yang termuat dalam resolusi PBB pada awal tahun 1970an. Definisi tersebut adalah: “the creation of opportunities to enable all members of a community and the larger society to activley contribute to and influence the development process and to share equitably in the fruits of development”. Mengenai batasan apa yang tercakup dalam peranserta masyarakat, Midgley mengungkapkan adanya dua pandangan. Yang pertama berdasar pada United Nations Economic and Social Council resolution 1929. Resolusi ini menyatakan bahwa peranserta membutuhkan keterlibatan orang-orang secara suka rela dan demokratis dalam hal: (a) sumbangsihnya terhadap usaha pembangunan, (b) penerimaan manfaat secara merata, dan (c) pengambilan keputusan yang menyangkut penentuan tujuan, perumusan kebijakan dan perencanaan dan penerapan program pembangunan sosial dan ekonomi. Mengacu pada pandangan ini, peranserta dapat dibedakan menjadi dua hal. Peranserta otentik (authentic participation) yang merujuk pada terpenuhinya ketiga kriteria di atas. Jika tidak seluruh kriteria tersebut dapat dipenuhi maka hal ini akan disebut peranserta semu (pseudo-participation). Tentu peranserta yang ideal adalah peranserta otentik. Namun jenis peranserta ini dianggap terlalu ambisius karena memerlukan perubahan struktur sosial yang nyata dan redistribusi kekuasaan besar-besaran yang tentunya sulit dipenuhi oleh banyak negara berkembang. Oleh karena itu, PBB pada tahun 1981 mengajukan pandangan yang berbeda tentang definisi peranserta masyarakat dengan menekankan pada 67 “autonomy and self-reliance in participation”. Selanjutnya, dibedakan pula berbagai jenis peranserta berdasarkan pandangan ini, yakni: coerced participation yang sangat dikecam, induced participation yang dianggap terbaik kedua, dan spontaneous participation sebagai model ideal peranserta. Midgley kemudian menegaskan bahwa peranserta masyarakat disebut tercapai apabila program yang diinginkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat secara efektif terpelihara oleh mereka setelah semua dukungan eksternal berakhir. Pandangan ini secara praktek dianggap lebih relevan karena mempertimbangkan kapasitas masyarakat dan mengakui adanya kebutuhan akan bantuan eksternal dalam pengembangan peranserta masyarakat. Dengan mempertimbangkan berbagai uraian di atas maka, peranserta masyarakat mencakup peranserta dalam proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan penerimaan manfaat pembangunan dengan mempertimbangkan otonomi dan kemandirian masyarakat. Tampaknya pandangan terakhir ini sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh Sjahrir bahwa : Pengertian peranserta dalam pembangunan bukanlah semata-mata peranserta dalam pelaksanaan program, rencana, dan kebijaksanaan pembangunan, tetapi juga peranserta yang emansipatif. Artinya sedapat mungkin penentuan alokasi sumber-sumber ekonomi semakin mengacu pada motto pembangunan, dari, oleh, dan untuk rakyat62. Dari penjelasan mengenai cakupan makna dari peranserta masyarakat di atas, maka dapat dipahami bahwa peranserta dalam arti luasnya mencakup pula involvement dan empowerment. Peranserta berentang mulai dari pembuatan kebijakan, implementasinya sampai dengan kendali warganegara terhadapnya. Peranserta dapat terjadi bila ada demokrasi. Terjadi perubahan pandangan masyarakat terhadap peranserta. Kini, masyarakat tidak lagi memandang peranserta masyarakat sebagai sebuah kesempatan yang diberikan oleh pemerintah karena kemurahan hatinya. 62 Sjahrir, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, dalam Korten, D.C., & Jahrir, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Penerjemah: A Setiawan Abadi, Jakarta, 1988, hal 320 68 Peranserta lebih dihargai sebagai suatu layanan dasar dan bagian integral dari local governance. Dalam citizen-centred government, peranserta masyarakat merupakan alat bagi good governance.63 Antoft dan Novack juga mengungkapkan berbagai bentuk peranserta (dalam pengertian lebih sempit) yang bisa dilakukan oleh komunitas untuk memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya. Bentuknya bisa berlangsung secara simultan untuk memberikan kesempatan bagi penduduk menikmati akses peranserta yang lebih besar karena tidak semua penduduk pada waktu yang bersamaan, di tempat yang sama, dengan kepentingan yang sama dapat berperanserta secara langsung dan bersamasama. Ada kendala waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya yang membatasi peranserta masyarakat ini. Bentuk-bentuk peranserta tersebut meliputi : electoral participation, lobbying, getting on council agenda, special purpose bodies, dan special purpose participation. IV.3.2. Fungsi Penyerapan Aspirasi Masyarakat oleh DPD RI Sebagai alas artikulasi kepentingan daerah maka penyerapan aspirasi merupakan kegiatan anggota DPD RI yang paling penting. Dalam operasionalisasi pelaksanaannya, penyerapan aspirasi masyarakat ini dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu secara langsung maupun tak langsung. 1. Penyerapan Aspirasi secara Langsung Penyerapan aspirasi secara langsung dilakukan dalam berbagai kegiatan di daerah melalui dialog tatap muka, seminar, atau lokakarya. Kegiatan yang dilakukan pada saat kunjungan kerja baik pada masa sidang maupun ketika 63 Antoft&Novack, Grassroots Democracy: Local Government in the Maritimes, Nova Scotia: Henson College, Dalhousie University, 1998, hal. 81 69 anggota DPD RI memasuki masa reses dengan tujuan untuk menyerap, menghimpun, dan menampung aspirasi masyarakat.64 Aspirasi masyarakat daerah yang diserap kemudian dipilah ke dalam tingkat prioritas persoalan, mulai dari persoalan yang paling urgen, yang harus segera ditindakianjuti melalui mekanisme konstitusional sampai hal-hal yang kurang urgen. Persoalan-persoalan tersebut juga dikategorikan berdasarkan tugas dan wewenang apakah di tingkatan legislatif ataukah eksekutif. Aspirasi masyarakat pada setiap daerah sangat beragam. Dari keberagaman inilah para wakil rakyat bisa melihat kebutuhan-kebutuhan yang sinergis. Sinergisitas ini bukan saja antar daerah, tetapi juga provinsi, dan pusat. Oleh sebab itu keberagaman inilah yang dijadikan pokok penentu sebuah kebijakan. Bagaimanapun, pemerintah pusat tidak boleh menentukan kebijakan-kebijakan yang sama terhadap daerah/provinsi tanpa melihat kebutuhan masyarakat (social needs), kondisi masyarakat (social condition), dan nilai masyarakat (social value). 2. Penyeraan Aspirasi secara Tidak Langsung Penyerapan aspirasi secara tidak langsung dilakukan melalui konsultasi dengan lembaga pemerintahan lokal (DPRD/Pemda). Dalam hal ini, DPD RI menampung aspirasi-aspirasi yang sudah disalurkan ke DPRD/ Pemda. Mekanisme ini sebenarnya bisa dilakukan setiap saat dan tidak perlu menunggu reses ataupun kunjungan kerja. Model penyerapan tak langsung ini di samping bisa, lebih efisien juga bisa menguatkan kemitraan di daerah. 64 Kelompok DPD di MPR RI, Untuk Apa DPD RI, Jakarta, 2007 hal 84-89 70 Dalam kaitannya dengan penyerapan aspirasi ini peran seorang wakil daerah dapat dianalogikan ke dalam tiga bentuk, yaitu sebagai ujung tombak, pembuka kran, dan sebagai jembatan penghubung. Pertama, sebagai ujung tombak, anggota DPD RI dituntut selalu terdepan dalam memperjuangkan kepentingan daerah di Pusat. Akses yang lebih dekat dengan pemerintahan pusat telah mengkondisikan mereka, untuk menjadi ujung-ujung tombak dengan kata lain DPD RI dapat diibaratkan panglima atau komandan perang yang posisinya selalu berada pada garda terdepan pasukan. Kedua, sebagai pembuka kran, anggota DPD RI harus membuka sumbatansumbatan aspirasi daerah. Jika aspirasi tersebut macet di tingkat pemerintahan daerah atau mogok di tingkat propinsi maka katup-katup aspirasi ini harus segera dibuka agar mengalir ke tempat semestinya. Meskipun tindak lanjut atas aspirasi ini mungkin berjalan lambat, tetapi sekurang-kurangnya aspirasi itu tidak mengendap sehingga dapat berpotensi menimbulkan erupsi atau ledakan yang berbahaya di daerah. Ketiga, anggota DPD RI adalah jembatan penghubung antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemerintahan provinsi, serta masyarakat lokal. Jika aspirasi terhadang birokrasi atau ada jurang komunikasi memisahkan antar lembagalembaga tersebut maka DPD RI adalah jembatan yang menghubungkan satu sama lain. Bagaimanapun jalinan kerja sama yang lancar antara berbagai institusi (Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan DPD RI) dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat lokal adalah prasyarat awal dari kesamaan persepsi yang akan menciptakan sebuah sinergi yang nyata. Kegiatan dialog, seminar, atau lokakarya yang dilakukan oleh DPD RI di samping untuk menyerap aspirasi juga dimaksudkan) untuk menyosialisasikan berbagai kegiatan yang telah dilakukan dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh DPD RI serta untuk mendapatkan masukan dari berbagai kalangan masyarakat mengenai efektivitas 71 pelaksanaan tugas dan wewenang DPD R I sekarang dan peran ideal DPD RI di masa yang akan datang; masyarakat dapat memahami peran dan posisi DPD RI dalam peraturan perundang-undangan; dan peningkatan peran DPD RI dalam menjembatani hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang konstruktif dan sinergis. Pemberdayaan DPD RI dan diikuti dengan terbangunnya hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan mendorong sistem bikameral yang kuat di mass yang akan datang, sehingga kepentingan dan aspirasi masyarakat dan daerah dapat terjembatani secara efektif oleh DPD dan mitranya menuju demokrasi dan kesejahteraan yang merata di seluruh daerah dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Diperlukan penguatan peran, tugas, dan kewenangannya terutama untuk memperjuangkan kepentingan daerah dalam rangka perumusan kebijakan nasional. IV.3.3. Proses Penyaluran Aspirasi Setelah wakil daerah melakukan proses penyerapan aspirasi, tentunya realisasi konkrit atau tindaklanjutnya menjadi hal yang penting. Aspirasi-aspirasi yang masuk harus diperhatikan dan diproses pada jalur semestinya. Dalam hal ini ada tahapantahapan yang mesti dilakukan oleh seorang wakil daerah, yaitu antara lain:65 a. menyusun laporan hasil kunjungan kerja dalam bentuk resume aspirasi masyarakat yang telah dipisahkan berdasarkan persoalan masing-masing. b. melakukan identifikasi persoalan-persoalan di masyarakat sehingga menjadi jelas dan spesifik. c. melakukan pemilahan atau kategorisasi berdasarkan tugas, kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif, seperti: 65 Ibid, hal. 89-90 72 1. Persoalan yang menjadi kewenangan DPD RI; 2. Persoalan yang menjadi kewenangan DPRD dan Pemda Provinsi; 3. Persoalan yang menjadi kewenangan DPRD kabupaten/ kota, atau Pemda kabupaten/kota; 4. Persoalan yang di luar kewenangan DPD RI selanjutnya disampaikan melalui mekanisme rapat kerja di daerah yang didasarkan atas Skala prioritas persoalan; Persoalan yang menjadi kewenangan DPD RI kemudian dibawa ke Pusat untuk disusun bersama-sama anggota DPD RI provinsi masing-masing dan dipilah berdasarkan wilayah kerja alat kelengkapan DPD untuk diparipurnakan. Laporan yang disampaikan pada paripurna kemudian disalurkan kepada alat kelengkapan berdasarkan wilayah kerja masingmasing untuk dibahas bersama dengan pemerintah, dalam hal ini menteri terkait. Secara skematis alur penyerapan aspirasi masyarakat oleh DPD RI dapat digambarkan sebagai berikut: 73 DPD RI Fungsi Tugas Kewenangan Tindakan Politis Penyerapan Aspirasi Masyarakat Penyerapan Aspirasi secara Langsung Penyerapan Aspirasi secara Tidak Langsung Kunjungan Kerja di Daerah pada Saat Sidang atau Reses Setiap Saat Seminar, Tatap Muka, Lokakarya, dan forum-forum lainnya Konsultasi dengan Lembaga Pemerintahan Lokal (DPRD/Pemda) yang telah Menerima Aspirasi Masayarakat Untuk Menyerap, Menghimpun, dan Menampung Aspirasi Masyarakat Menyusun Laporan Hasil Kunjungan Kerja Melakukan Identifikasi Persoalan-Persoalan Melakukan Melakukan Pemilahan atau Kategorisasi Kewenangan DPD Sidang Paripurna DPD RI Kewenangan Provinsi Alat Kelengkapan Kewenangan Kab/Kota Bukan Kewenangan DPD Kewenangan DPD DPR RI Pemerintah BPK 74 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan. Setelah dilakukan pembahasan hasil penelitian sebagaimana diuraikan dalam babbab sebelumnya, maka sampailah pada kesimpulan, sebagai berikut : 1. Ide dasar pembentukan DPD RI adalah terakomodasinya kepentingan daerah dalam pembentukan perundang-undangan, sehingga fungsi DPD RI dalam bidang legislasi, pengawasan dan nominasi diselenggarakan secara berimbang dua kamar DPR RI dan DPD RI yang anggotanya dipilih secara langsung. DPD RI akan meningkatkan posisi tawar daerah dalam memperjuangkan aspirasi daerah secara langsung di tingkat pusat, ini artinya DPD RI disebut sebagai salah satu chambers legislatif, maka secara implisit diakui bahwa parlemen di Indonesia memiliki dua chambers. Untuk memenuhi fungsi tersebut harus dilakukan perubahan kembali terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, utamanya pada pasal-pasal 20, pasal 21, pasal 22 dan pasal 23. 2. Untuk membangun sistem checks and balances dalam parlemen bikameral, seharusnya DPD RI mempunyai fungsi dan kewenangan yang sama dengan DPR RI sebagai lembaga legislatif. DPD RI dan DPR RI sama-sama berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang serta saling memiliki hak veto yang dapat membatalkan suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui lembaga lainnya setelah memenuhi persyaratan tertentu. Pembahasan suatu rancangan undang-undang dimulai dari masing-masing lembaga perwakilan, apabila DPR RI sudah menyetujui suatu 75 rancangan undang-undang (di internal DPR RI), selanjutnya DPD RI akan memulainya membahas rancangan undang-undang tersebut di internal DPD RI. Jika suadah sama-sama setuju, dapat dilakukan pembicaraan segitiga DPR RI- DPD RI dan Presiden RI untuk membahas dan mengambil keputusan bersama mengenai rancangan undang-undang menjadi undann-undang. Selain itu perlu pula ditingkatkan fungsi dan kewenangan pengawasan DPD RI agar setara dengan DPR RI sebagai sesama lembaga negara. 3. DPD RI bisa menjadi pintu masuk partipasi masyarakat dalam pembentukan undangundang. Sebagai alas artikulasi kepentingan daerah maka penyerapan aspirasi masyarakat merupakan kegiatan anggota DPD RI yang paling penting, baik yang beruwujud penyerapan aspirasi secara langsung yang berupa dialog tatap muka, seminar atau lokakarya dengan tujuan untuk menyerap, menghimpun dan menampung aspirasi masyarakat, maupun penyerapan aspirasi secara tidak langsung yang dilakukan melalui konsultasi dengan lembaga pemerintahan lokal (DPRD/Pemerintah daerah). Sehingga dengan penyerapan aspirasi ini seorang wakil daerah dapat dianalogkan sebagai ujung tombak dalam arti anggota DPDRI dituntut selalu terdepan dalam mempetrjuangkan kepentingan daerah, sebagai pembuka kran dalam arti anggota DPD RI harus membuka sumbatansumbatan aspirasi daerah, dan sebagai jembatan penghubung antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Hanya patut disayangkan penyerapan aspirasi DPD RI ini hanya melalui satu jalur saja yaitu penyerapan aspirasi tidak langsung, sedangkan penyerapan aspirasi langsung jarang dilakukan, akibatnya di mata masyarakat DPD RI keberadaannya dianggap tidak ada. 76 V.2. Saran-Saran. 1. Hendaknya DPD RI diberikan fungsi dan kewenangan sebagaimana fungsi dan kewenangan yang dimiliki oleh DPR RI, baik dalam bidang legislasi, anggaran maupun pengawasan, dengan cara mengamandemen terhadap Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 19 sampai 23 dan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah; 2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang parlemen bikameral model Indonesia atau gagasan alternatif sistem Trikameral model Indonesia, sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangan antara bikameral murni dan Trikameral. ***** 77 DAFTAR PUSTAKA Aan Eko Widiarto, Garis Politik dan Perundang-undangan dalam desentralisasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Menuju Model Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Berdimensi Peran serta Masyarakat di Daerah, Skripsi, Malang, 1999 Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007. Al Mawrid, A Modern English-Arabic Dictionary, Dar El Ilmi lil Malayan, 1979. Antoft&Novack, Grassroots Democracy: Local Government in the Maritimes, Nova Scotia: Henson Coolage, Delhousie University, 1998. Bagir manan, DPR,DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, Cetakan Pertama, 2003. Baron de Montesquieu, L’Esprit des Lois. Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan Dan Pemilihan Umum Di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1987. C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Nuansa da Nusa Dunia, Bandung, 2004. David N. Olson, The Legislative Process, A Comparative Aproach, Harper & Raw Publication, New York, 1980. Gilbert Abcarian and George S. Massanat, Contemporary Political System, Charter Scribner, New York, 1970. Griesgraber&Gunter, eds, Development: New Paradigms and Principles for the Twenty-first Century, East Haven, CT:Pluto Press, 1996. H.R. Daeng Naja, Dewan Perwakilan Daerah-Bikameral Setengah Hati, Media Pressindo, Yogyakarta, 2004. Hanna Fenichel Pattkin, The Concept of Representation, University of California Press, 1980. Hoogerwer, Politologi (Terjemahan), Erlangga, Surabaya, 1985. Ivor Jennings, Parliament, (Second Edition), Cambridge University Press, 1969. 78 J. Midgley, Introduction: Social Development, the State and Participation, dalam Midgley, J.,etal. Community Participation, Social Development and the State, New York:Methuen, 1986. Jimly Assiddiqie, Pergumulan dan Peran Pemerintah Dalam Sejarah, Studi Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI-Press, Jakarta, 1996. --------------, Kapita Selekta Teori Hukum, Kumpulan Tulisan Tersebar, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. --------------, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. --------------, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. --------------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. Kelompok DPD RI di MPR RI, Untuk Apa DPD RI, Cetakan Ketiga, Kelompok DPD di MPR, Jakarta, 2007. M. Rahnema, Participation, dalam Sachs, W.ed. The Development Dictionary: a Guide to Knowledge as Power, New Jersey: Zed Books, 1992 Mas Achmad Santosa dan Arimbi BP, Peranserta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, WALHI-YLBHI, Jakarta, 1993. Sirajuddin, dkk, Membangun Konstituen Meeting (Mempertemukan Kepentingan daerah dengan Keterbatasan Wewenang DPD), Yapika Jakarta Kerjasama MCW Malang, 2006. Sjahrir, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, dalam Korten, D.C., &Sjahrir, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Penerjemah: A. Setiawan Abadi, Jakarta, 1988 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008. Moh. Hatta, Kedaulatan Rakyat, Usaha Nasional, Surabaya, 1980. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, UIPress, Jakarta, 2000. 79 --------------, Encyclopedia International. Internet : Syamsuddin Haris, Dilema DPD dan Restrukturisasi Sistem Perwakilan, bappenas.go.id, 26-06-06 diakses tanggal 27 Mei 2007. Konstruksi Keindonesiaan Terbangun dari Ruh dan Elemen-Elemen Daerah, www.dpdri.go.id., 18-06-2008, Diakses tanggal 27 Mei 2009. Perundang-undangan : - Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 - Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susuna dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah. - Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah. - Tata Tertib Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. - Tata Tertib Anggota Dewan Perwakilan Rakyat republik Indonesia. ***** 80