Jurnal (isi).pmd - Universitas Kristen Maranatha

advertisement
Catatan Pinggir
IKLIM INVESTASI INDONESIA
DI ERA OTONOMI DAERAH
Asril Sitompul *
Beberapa dekade yang lalu, Indonesia telah
menikmati masa pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, yang didorong oleh ekspansi besarbesaran di bidang industri manufaktur dan
digerakkan oleh investasi yang kuat, akan
tetapi krisis finansial yang terjadi tahun 19971998 membuat sistem finansial dan sistem
pengelolaan (governance) domestik menjadi
lemah, dan menghambat investasi serta pertumbuhan sektor swasta.1
Investasi merupakan faktor penting dalam
perekonomian, dan investasi berhubungan
erat dengan kepercayaan investor, semakin
tinggi tingkat kepercayaan investor semakin
tinggi pula minat untuk berinvestasi. Meskipun
peringkat utang Indonesia pada awal tahun
ini dinaikkan oleh lembaga pemeringkat
internasional,2 namun hal tersebut tidak secara
otomatis dapat menarik para investor untuk
melakukan investasi di Indonesia, masih
terdapat berbagai hambatan harus segera
*
1
2
3
4
diatasi. Hambatan di bidang hukum, antara
lain adalah masalah kepastian hukum, masalah good corporate governance, korupsi yang
merajalela,3 dan juga masalah-masalah dalam
implementasi otonomi daerah.
Adanya peraturan perundang-undangan
dan kebijakan pemerintah yang jelas dan
konsisten sangat penting dalam upaya untuk
menarik investor4 dan meningkatkan kepercayaan investor, karena dalam bisnis terdapat
suatu adagium:”there should be no surprise in
business,” artinya tidak boleh ada keputusan
pemerintah yang dikeluarkan secara tiba-tiba
dan tidak boleh ada perubahan perundangundangan yang tidak terprediksi oleh pelaku
bisnis.
Korupsi sangat mempengaruhi kepercayaan investor, masalah korupsi ini telah
menjadi sorotan di tingkat internasional, Bank
Dunia telah mengambil peran utama sebagai
koordinator dalam memerangi korupsi di
Sarjana Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakat (S.H), UISU-Medan, Lex Legibus Magister (LL.M),
Southern Methodist University-Dallas, Texas-USA, Doktor Ilmu Hukum UNPAD Bandung.
Asian Development Bank. “Improving the Investment Climate in Indonesia”. Joint Asian Development
Bank-World Bank Report, May 2005.
Pada bulan Januari 2011 Moody’s Investor Service menaikkan peringkat surat utang Indonesia dari Ba2
menjadi Ba1, satu peringkat di bawah “investment grade”. Perbaikan peringkat ini karena Moody’s
menilai ada perbaikan dari sisi surat utang pemerintah, membaiknya prospek Penanaman Modal Asing
(PMA) dan adanya cadangan devisa yang cukup besar.
Asian Development Bank. Op.cit., menyatakan: “Macroeconomic instability, economic and regulatory policy uncertainty, and corruption are the most severe business obstacles.”
Tidak mengherankan kalau di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal,
kepastian hukum diletakkan sebagai asas yang pertama dalam penyelenggaraan penanaman modal di
Indonesia.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
1
dunia.5 Di Indonesia pemberantasan korupsi
telah menjadi prioritas utama pemerintah, dan
mulai tahun 2003 KPK telah melaksanakan
tugasnya, Indonesia juga telah bekerjasama
dengan badan-badan dunia seperti OECD, dan
perundang-undangan tentang pemberantasan
korupsi telah disesuaikan dengan Konvensi
PBB,6 namun sampai saat ini korupsi masih
merajalela.
Perundang-undangan tentang otonomi
daerah mengatur pemanfaatan sumber daya
alam dan pembagian hasil yang diperoleh dari
pemanfaatan sumber daya alam yang ada di
daerah,7 namun pedoman penggunaan,
supervisi, monitoring, dan evaluasi atas dana
bagi hasil, termasuk dana bagi hasil sumber
daya alam, tetap berada dalam kewenangan
Pemerintah Pusat.8 Demikian pula ketentuan
mengenai perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah, yang meliputi
perhitungan bagian masing-masing daerah
atas dana bagi hasil sumber daya alam, yang
di atur dalam perundang-undangan dapat pula
memicu ketidaksesuaian antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah. Karena tidak
adanya petunjuk pelaksanaan yang jelas,
sebagian daerah menyambut era otonomi ini
dengan prinsip oportunitas dan dengan
tindakan-tindakan yang bersifat sementara.
Pemerintahan di beberapa daerah melakukan
kegiatan yang agresif sedangkan yang lainnya
ada yang tidak berani bertindak, sehingga
terjadi kesenjangan antara daerah yang satu
dengan yang lainnya.9 Di samping itu, turunnya kredibilitas lembaga penegak hukum,
lemahnya penegakan hukum di daerah dan
meningkatnya korupsi yang terjadi di daerah
juga menjadi hambatan dalam meningkatkan
iklim investasi yang baik. Masalah otonomi
daerah ini juga menimbulkan kerancuan
hukum karena kurangnya kapasitas dan
kesadaran di tingkat daerah dan kurangnya
koordinasi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Meski berbagai upaya
telah dilakukan, dan pemerintah pusat telah
berupaya untuk memperjelas kewenangan
pemerintah daerah dan memberi petunjuk
pelaksanaannya, 10 namun hambatanhambatan tersebut belum dapat dihilangkan.
Meskipun hambatan-hambatan tersebut
merupakan masalah domestik, namun harus
diingat bahwa investor yang akan masuk ke
Indonesia tentunya telah mempelajari terlebih
dahulu tentang Indonesia, sehingga dapat
dikatakan bahwa mereka terkadang lebih
mengenal Indonesia daripada pelaku bisnis
Indonesia sendiri. John Perkins mengatakan
bahwa: “the more you know about a country
before you get there, the easier your job will
be”.11
Dengan demikian, untuk dapat menarik
investor maka hambatan-hambatan tersebut
harus segera dihilangkan. Pemberantasan
korupsi, penegakan hukum, peningkatan
kepastian hukum, dan harmonisasi pemerintah
pusat dan daerah harus segera dilaksanakan.
Bertrand de Speville. Overcoming Corruption, the Essentials. (Kuala Lumpur: Research for Social Advancement-REFSA, 2010), hlm. 6.
6 Organisation for Economic Cooperation and Development. OECD Investment Policy Reviews: Indonesia 2010.
7 Pasal 160 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
8 Pasal 163 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
9 USAID. Good Governance Brief. The Role of Local Governments in Promoting Decentralized Economic Governance in Indonesia. February, 2009.
10 Organisation for Economic Cooperation and Development, ibid.
11 John Perkins. Confession of an Economic Hit Man. (San Francisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc,
2004), hlm. 20.
5
2
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
ANAK YANG DILAHIRKAN DILUAR PERKAWINAN
(Dihubungkan dengan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan jo Undang-Undang RI Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak)
Herlien Budiono
Abstract
Marriage as the foundation of a family have to continue the lineage and family formation. In
reality the situation is not always the case. Moral values are very hard applied in public life, even
sometimes not put mercy associated with those who do not follow the existing norms in society.
Terms such as “illegitimate child” and “illegitimate child” we often hear as well as women who
give birth to children is considered a disgrace to his family. Children born outside of lawful marriage to be “less valued” in the eyes of the people who uphold the morals of marriage. In the field
of law status of children born outside marriage also distinguished by the children who were born
within a legitimate marriage. Determining the position of a child is important to determine the
rights and forms of representation.
A. Pendahuluan
Perkawinan adalah suatu lembaga dan di
dalam perkawinan tersebut seorang anak
dilahirkan, dipelihara, dan dididik. Perkawinan
merupakan dasar untuk melanjutkan keturunan dan pembentukan keluarga. Di dalam
kenyataannya keadaan tidaklah selalu demikian. Nilai-nilai moral sangat keras diterapkan
di dalam kehidupan bermasyarakat, malahan
kadang tidak menaruh belas kasian berkaitan
dengan mereka yang tidak mengikuti normanorma yang ada di dalam masyarakat. Istilah
seperti “anak haram” dan “anak tidak sah”
sering kita dengar serta perempuan yang
melahirkan anak-anak tersebut dianggap
merupakan aib bagi keluarganya. Anak yang
lahir di luar perkawinan yang sah menjadi
“kurang dihargai” di mata masyarakat yang
memegang teguh moral mengenai perkawinan. Di bidang hukum pun kedudukan dari
anak-anak yang lahir di luar perkawinan
dibedakan dengan anak-anak yang dilahirkan
di dalam perkawinan yang sah.
1
Penentuan kedudukan seorang anak
penting untuk menentukan hak-hak serta
bentuk perwakilannya.
B. Lembaga Perkawinan dan
Keturunan
Stelsel kekerabatan adalah suatu hubungan
menyeluruh mendasarkan pada prinsip-prinsip
sosial-kebudayaan dan aturan-aturan di mana
orang memberi arti mengenai hubungan sanak
saudara (famili), perkawinan dan keluarga1.
Pada asasnya, perkawinan dipandang sebagai
ikatan seumur hidup antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan. Walaupun di
dalam praktek mengalami perubahan pandangan sesuai dengan perubahan nilai-nilai
dan moral yang ada di dalam masyarakat,
tetapi perkawinan masih dianggap berfungsi
sebagai pengatur hubungan seksual di antara
suami-istri dan sekaligus penerus keturunan.
Hukum keluarga mengatur hubungan
antara sesama anggota sanak keluarga, sanak
keluarga dengan pihak ketiga dan antara sanak
A.E.Henstra, Van afstammingsrecht naar ouderschapsrecht, Boom Juridische Uitgevers 2002, hlm. 3.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
3
keluarga dengan pemerintah. Salah satu fungsi
yang penting di dalam hukum keluarga adalah
penentuan hubungan yuridis mengenai
orangtua, keluarga, dan sanak-keluarga. Peraturan mengenai keturunan adalah bidang
hukum yang dengan istilah-istilah umum
mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
orangtua (ouderschap)2, hubungan kebapakan
(vaderschap) dan hubungan keibuan (moederschap) serta siapa yang berhak dan berkewajiban untuk menjalankan kekuasaan orangtua3.
Menurut Henstra, hukum keluarga merupakan bidang hukum yang sangat statis dibandingkan dengan bidang hukum lainnya4.
Anak sebagai generasi penerus turunan
menjadi dambaan atau idaman suatu perkawinan dan banyak rumah tangga suami istri.
Keturunan (afstamming) adalah hubungan
darah antara anak-anak dan orangtuanya.
Setiap anak yang dilahirkan dalam suatu atau
sebagai akibat perkawinan yang sah adalah
anak sah (Pasal 42 UUPerk)5. Undang-undang
mengenal anak-anak sah (wettige kinderen),
anak-anak tidak sah (onwettige kinderen),
anak luar kawin (natuurlijke kinderen). Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah
adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat
suatu hubungan di luar perkawinan, yakni
bapak ibunya (biologis) tidak terikat dalam
suatu perkawinan. Selain anak-anak tersebut
dikenal pula anak adopsi (anak angkat) yang
diatur dengan ketentuan khusus.
Hukum keluarga diatur sebagian di dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUPerk)
dan sebagian lagi masih dimuat di dalam buku
kesatu, “Tentang Orang” di dalam Kitab
2
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd)
bagi mereka yang tunduk pada Hukum
Perdata Barat dan dan bagi mereka yang tidak
tunduk pada hukum perdata barat, berlaku
Hukum Adat serta Hukum Islam.
C. Perundang-undangan di Bidang
Hukum Keluarga
Di masa pemerintahan Hindia Belanda dan
berdasarkan politik hukum pada masa itu,
penggolongan penduduk melalui Indische
Staatsregeling (IS)6, dalam Pasal 131 dan
kemudian Pasal 163 secara normatif eksplisit
mengatur tentang adanya pembagian 3 (tiga)
golongan penduduk, yaitu golongan Bumiputera/Pribumi, golongan Eropa dan golongan
Timur Asing. Pembedaan golongan tersebut
membawa pula pembedaan dalam hukum
keperdataan masing-masing golongan tersebut. Berdasarkan Pasal II Undang-Undang
Dasar 1945 bagian Aturan Peralihan, maka
segala badan negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang ini.
Melalui Instruksi Presidium Kabinet
Nomor 31/U/IN/12/1966 tanggal 27
Desember 1966, telah ditetapkan penghapusan perbedaan golongan penduduk di
Indonesia dengan pertimbangan bahwa demi
tercapainya pembinaan kesatuan bangsa
Indonesia yang bulat dan homogen, serta
adanya perasaan persamaan nasib di antara
sesama bangsa Indonesia. Beberapa bagian
dari Hukum Perdata (di bidang hukum keluarga) sekarang ini telah diadakan perubahan dan
dinyatakan berlaku bagi semua Warga Negara
Indonesia, di antaranya UUPerk dan Undang-
6
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: “Orangtua adalah
ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, ayah dan/atau ibu angkat”.
KUHPerd (BW) mengenal kekuasaan bapak (vaderlijke macht) diatur di dalam Buku Kesatu, Bab
Keduabelas, “Tentang Kebapaan dan keturunan anak-anak”. Dengan berlakunya Burgerlijke
Kinderwetgeving (S. 1927 – 31 jis 390, 421), maka lembaga kekuasaan orangtua diperkenalkan di
Indonesia dan semua ketentuan umum yang menggunakan istilah “de vaderlijke magt” (kekuasaan
bapak) harus diartikan dengan “de ouderlijke magt” (kekuasaan orangtua).
A.E. Henstra, Van afstammingsrecht naar ouderschapsrecht, Boom Juridische Uitgevers 2002, hlm. 9.
Demikian pula Pasal 250 KUHPerd: “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”.
Indische Staatsregeling, Wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch-Indie, S. 1855-2 jo.1.
4
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
3
4
5
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan
(UUAdmKepend) serta Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (UUPerlind).
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 UUPerk
menyebutkan, bahwa untuk perkawinan dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan undang-undang ini
(UUPerk), maka dengan berlakunya UUPerk
ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
peraturan-peraturan lama7 dan peraturanperaturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam undangundang ini, dinyatakan tidak berlaku. Untuk
sebagian hukum keluarga yang belum
mendapat pengaturan dalam undang-undang
khusus (UUPerk), maka KUHPerd masih
diberlakukan yaitu bagi golongan Eropa dan
Timur Asing Tionghoa, Hukum Adat dan/atau
Hukum Islam bagi golongan Bumiputra/
Pribumi. Dengan demikian, walaupun penggolongan penduduk telah dihapuskan oleh
Instruksi Presidium Kabinet tersebut, tetapi di
dalam prakteknya “penggolongan penduduk”
untuk bidang hukum tertentu tidak dapat
dihindari.
Instruksi Presidium Kabinet tersebut juga
menyatakan, bahwa penghapusan golongan
penduduk tidak mengurangi berlakunya
ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan,
warisan dan ketentuan-ketentuan hukum
perdata lainnya. Dengan kata lain, dari Pasal
66 UUPerk jo. Instruksi Presidium Kabinet
tersebut dapat disimpulkan, bahwa mengenai
sebagian ketentuan hukum perdata di bidang
hukum keluarga termasuk hukum perkawinan
(kecuali telah diatur dalam UUPerk), dan
pewarisan masih diberlakukan Hukum Adat,
Hukum Islam dan KUHPerd bagi sebagian
penduduk Indonesia.
7
8
D. Perundang-undangan di Bidang
Pencatatan Sipil
Pencatatan Sipil adalah suatu badan yang
diselenggarakan oleh pemerintah yang bertugas untuk membukukan selengkap-lengkapnya
tentang kepribadian orang, sehingga memberi
kepastian terhadap segala kenyataan yang
berguna bagi pencatatan jiwa dari setiap orang yang meliputi perkawinan, kelahiran,
pengakuan anak, perceraian dan kematian 8.
Pencatatan sipil tersebut sekarang
dimasukkan di dalam apa yang dikenal
sebagai Administrasi Kependudukan yang
merupakan rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penertiban dokumen dan
Data Kependudukan melalui Pendaftaran
penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan
informasi Administrasi Kependudukan serta
pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan
publik dan pembangunan sektor lain ( Pasal 1
angka [1] UUAdmKepend).
Sebelum berlakunya UUAdmKepend
yang berlaku uniform bagi seluruh penduduk
di Indonesia, terdapat bermacam-macam
ketentuan pencatatan sipil yang berlaku bagi
bermacam-macam golongan penduduk yakni:
1. Peraturan Pencatatan Sipil bagi golongan
Eropa: Reglement op het houden der Registers van den Burgelijken Stand voor
Europeanen, Stb. 1849 No. 25 jo. Stb.
1946 No. 136;
2. Peraturan Pencatatan Sipil bagi golongan
Tionghoa: Reglement op het houden der
Registers van den Burgerlijken Stand voor
Chineezen (Peraturan tentang Penyelenggaraan Daftar-daftar Catatan Sipil
untuk Golongan Tionghoa) Stb. 1917 No.
130 jo.1939 No. 288 terakhir diubah
dengan Stb. 1946 no. 137 (Regeling
betreffende de inschrijving in de registers
van den Burgerlijken Stand van geboorten
Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerd), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks
Ordonnantie Christen Indonesiers Java Minahasa en Amboina (S. 1933 No.74), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken (S. 1898 No. 158).
C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, Suplemen Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Pradnya
Paramita, Cetakan Pertama, Jakarta 2001, hlm. 1.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
5
3.
4.
5.
6.
7.
en sterfgevallen (Peraturan Pencatatan
dalam Daftar Catatan Sipil Mengenai
Kelahiran dan Kematian);
Peraturan Pencatatan Sipil bagi golongan
Indonesia: Reglement op het houden der
Registers van den Burgerlijken Stand voor
eenige groepen van de niet tot de
onderhoorigen van een Zelfbestuur
behorende Indonesische Bevolking van
Java en Madoera (Peraturan tentang
Penyelenggaraan Daftar-daftar Catatan
Sipil untuk Beberapa Golongan Penduduk
Indonesia yang Tidak Termasuk dalam
Kaula-kaula Daerah Swapraja di Jawa
dan Madura, Stb. 1920 No. 751 jo. Stb.
1927 No. 564.
Peraturan Pencatatan Sipil bagi golongan
Kristen Indonesia: Reglement op het
houden der Registers van den Burgerlijke
Stand Christen-Indonesiers op Java,
Madoera, Minahasa en Amboina Peraturan tentang Penyelenggaraan Daftardaftar Catatan Sipil untuk bangsa Indonesia Kristen di Jawa, Madura, Minahasa dan
Ambon), Stb. 1933 No. 75 jo. Stb. 1936
No. 607 terakhir diubah dengan Stb.1939
No. 288.
Undang-Undang No. 4 Tahun 1961
tentang Perubahan atau Penambahan
Nama Keluarga (LN 1961 No. 15, TLN
No. 2154);
Penataan Penyelenggaraan Catatan Sipil,
Keputusan Presiden RI No. 12 Tahun 1983
tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelengaraan Catatan Sipil;
Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran
Penduduk, Keputusan Menteri Dalam
Negeri No. 54 Tahun 1999.
Sebenarnya UUAdmKepend adalah
undang-undang yang digolongkan pada
hukum aministrasi negara, tetapi di dalamnya
mengandung substansi yang berkaitan dengan
hukum materiil, khususnya yang berkaitan
dengan hukum keluarga.
6
E. Kedudukan Anak Menurut
Peraturan Perundang-undangan
1. Anak Sah
Keturunan menimbulkan pertalian keluarga.
Pertalian keluarga adalah suatu hubungan
antara orang-orang yang mempunyai bapak
atau ibu yang sama. Pertalian keluarga dapat
pula terjadi karena pengakuan, pengesahan
atau pengangkatan anak (adopsi). Dari kata
“keturunan” berarti adanya hubungan darah
dari seseorang karena kelahiran dan menimbulkan hubungan pada derajad pertama.
Ada tiga cara seorang anak memperoleh
kedudukan sebagai anak sah, karena:
a. kelahiran, dengan pengertian bahwa
kelahiran anak tersebut harus terjadi
sepanjang perkawinan sah;
b. pengesahan (wettiging) atau
c. adopsi (pengangkatan anak).
UUPerk dan Peraturan Pelaksanaannya
yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 (PP 9/1975) yang berlaku sekarang merupakan hukum positif kita. Khusus mengenai
kedudukan anak di atur dalam Bab IX Pasalpasal 42, 43 dan 44 UUPerk, sedangkan PP 9/
1975 sama sekali tidak mengatur mengenai
kedudukan anak.
Ketentuan Pasal 42 UUPerk:
“Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan sah.”
Dalam penjelasannya dinyatakan cukup
jelas oleh pembuat undang-undang.
Pada prinsipnya seorang anak adalah
anak sah jika dilahirkan atau dibenihkan dalam
suatu perkawinan. Ada kemungkinan yaitu
orang-orang tertentu yaitu suami (Pasal 251254 KUHPerd) dan dalam hal tertentu dapat
memungkiri keabsahan seorang anak yang
lahir dari suatu perkawinan karena:
tidak mungkin terjadinya hubungan
kelamin dengan ibu dari anak itu antara
300 hari sampai 180 hari sebelum tanggal
kelahiran anak;
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
-
-
-
adanya zinah di pihak isteri dan lahirnya
anak disembunyikan kepada suami (Pasal
254 KUHPerd);
lahirnya anak 300 hari setelah keputusan
hakim atas adanya pisah meja dan tempat
tidur mempunyai kekuatan hukum (Pasal
254 KUHPerd); atau
lahirnya anak sebelum lewat 180 hari
setelah pernikahan (Pasal 251 KUHPerd).
Penyangkalan terhadap seorang anak
dikenal pula di dalam UUPerk, yang diatur di
dalam ketentuan Pasal 44 UUPerk:
“(1)Seorang suami dapat menyangkal
sahnya anak yang dilahirkan oleh
istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzinah
dan anak itu akibat dari pada perzinahan tersebut;
(2) Pengadilan memberikan keputusan
tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.”
Dalam penjelasannya pun dinyatakan
cukup jelas oleh pembuat undang-undang.
Menurut hukum Islam, anak sah dilahirkan sekurang-kurangnya enam bulan (177
hari) sejak perkawinan orangtuanya, tidak
peduli apakah anak itu lahir sewaktu orangnya
masih terikat perkawinan atau sudah berpisah
karena meninggalnya si suami atau karena
perceraian di masa hidupnya. Dalam hal mana
iddah bagi si istri adalah selama masih
mengandung anaknya ditambah 40 hari
sesudah lahirnya, jika anak itu lahir sebelum
genap jangka waktu 177 hari, maka anak itu
hanya sah bagi ibunya, demikian Hazairin 9.
Bukti keturunan sah seorang anak dapat
digunakan:
Akta kelahiran yang dibukukan dalam
register Kantor Catatan Sipil (Pasal 261
ayat 1 KUHPerd) yang dalam hal tak
adanya akta demikian maka, jika anak
-
anak itu terus-menerus menikmati kedudukan sebagai anak-anak yang sah,
kedudukan ini adalah bukti yang cukup
(Pasal 261 ayat 2 KUHPerd);
Kedudukan sebagai anak sah yang dinikmati anak dapat dibuktikan, dengan
peristiwa-peristiwa baik dalam keseluruhannya, maupun masing-masing, memperlihatkan suatu pertalian karena kelahiran,
dan karena perkawinan, antara seorang
tertentu dan keturunan yang harus dibuktikan, antara lain bahwa:
a. Orang itu selalu memakai nama si
bapak yang telah menurunkannya;
b. Bapak itu selalu memperlakukan dia
sebagai anaknya dan telah mengatur
pendidikan, pemeliharaan dan penghidupannya;
c. Masyarakat selalu mengakui dia
sebagai anak si bapak (Pasal 262
KUHPerd).
Adopsi tidak dikenal oleh KUHPerd
meskipun Code Civil (Perancis) yang merupakan sumber dari Burgerlijk Wetboek (BW
Nederland) mengenalnya. Hal tersebut
disebabkan karena pada asasnya kesadaran
hukum dari rakyat Belanda pada waktu
berlakunya BW, anak harus keturunan sah
(darah). Baru pada tahun 1956 dengan BW
(baru) dikenal adopsi dengan alasan memberikan pemeliharaan kepada anak-anak
yang tidak mempunyai orang tua atau orang
tuanya kurang mampu10. Dengan Stb.1997772 di Nederland diundangkan hak keturunan
(afstammingsrecht) dan ketentuan mengenai
adopsi yang baru11.
Di Indonesia dikenal Stb.1917 – 129 yang
berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa
yang asal mulanya hanya mengenal adopsi
anak laki-laki, tetapi sekarang oleh yurisprudensi sudah dibolehkan juga pengangkatan
Sebagaimana dikutip oleh Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Persepektif Hukum Perdata
Barat, BW, Hukum Islam , dan Hukum Adat, Edisi revisi,Sinar Grafika2002, hlm. 42
10 R. Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, cetakan kesepuluh, Pradnya Paramita, Jakarta 1990, hlm. 21.
11 J.N.E. Plasschaert, Afstamming en naam, Elsevier bedrijfsinformatie bv, ’s-Gravenhage 1999, hlm. 13.
9
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
7
anak perempuan12. Beberapa peraturan
perundang-undangan berkaitan dengan
pengangkatan anak adalah sebagai berikut:
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6
Tahun 1983 tentang Penyempurnaan
Surat Edaran No. 2 Tahun 1979 Mengenai
Pengangkatan anak,
Keputusan Menteri Sosial nomor 41/HUK/
KEP/VII/1984,
Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak,
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak.
Hukum Islam tidak mengenal adopsi
(pengangkatan anak), sedangkan hukum adat
mengenal pengangkatan anak yang pada
umumnya, dengan diangkatnya seorang anak,
hubungan hukum dengan keluarganya yang
lama tidak terputus, kecuali anara lain menurut
hukum adat di Bali, pengangkatan anak
sentana.
2. Anak Tidak Sah
Anak tidak sah adalah anak yang telah lahir
terlebih dahulu sebelum orang tua biologisnya
melangsungkan perkawinan atau memang
kedua orang tua biologisnya yang masingmasing tidak dalam ikatan perkawinan tidak
berniat untuk menikah. Timbul sekarang persoalan, bagaimana kedudukan anak tersebut
yang dilahirkan sebelum perkawinan dilangsungkan atau anak tersebut dilahirkan tidak
dalam suatu perkawinan yang sah.
Pada umumnya anak tidak sah atau anak
alam (natuurlijk kind) adalah anak yang lahir
atau dibenihkan diluar perkawinan. Mereka
dibagi dalam dua golongan:
a. anak-anak luar kawin dalam arti luas,
yaitu semua anak yang lahir tanpa perka-
b.
winan orangtuanya;
anak luar kawin dalam arti sempit, (yaitu
anak alam dalam arti luas), kecuali anakanak zinah (overspelige kinderen) dan
anak-anak sumbang (bloedschennige
kinderen).
Ketentuan Pasal 43 UUPerk berbunyi:
“(1) Anak yang di lahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1)
diatas selanjutnya akan di atur dalam
Peraturan Pemerintah.”
Dalam penjelasannya dinyatakan cukup
jelas oleh pembuat undang-undang dan dalam
hal adanya anak yang dilahirkan di luar perkawinan, UUPerk tidak menjelaskan bagaimana
hubungan hukum antara ayah dengan anak
luar kawin tersebut.
Wiryono Prodjodikoro13 mengatakan,
apabila seorang anak dilahirkan seorang istri,
tetapi suaminya mempunyai keyakinan
bahwa anak yang dilahirkan itu adalah hasil
hubungan dengan laki-laki lain (pihak ketiga),
maka suami dapat memilih salah satu dari:
ia diam saja, tidak menyatakan penyangkalan, maka anak yang dilahirkan itu
adalah anak sah dari suami-istri itu;
ia dapat memungkiri anak tersebut
sebagai anaknya, tetapi harus dapat
membuktikan bahwa istrinya telah
berzinah dengan laki-laki lain.
Dalam hal memungkiri sahnya seorang
anak, segala ketentuan di dalam hukum
perkawinan, baik hukum Islam, KUPerd
maupun UUPerk memberikan kemungkinan
kepada seorang suami untuk memungkiri
sahnya seorang anak yang dikandung dan
dilahirkan oleh istrinya.
12 Baca lebih lanjut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat
Edaran No. 2 Tahun 1979 Mengenai Pengangkatan anak, Keputusan Menteri Sosial nomor 41/HUK/
KEP/VII/1984, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
13 Sebagaimana dikutip Soedharyo Soimin, op.cit., hlm. 42; (Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di
Indonesia, hlm. 32).
8
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Menurut sistem hukum perdata barat, jika
adanya anak luar kawin tersebut tidak diakui
oleh bapaknya, maka kedudukannya tetap
sebagai anak luar kawin.
Hukum adat dipelbagai daerah tidak
mempunyai pandangan yang sama terhadap
anak-anak luar kawin, tetapi pada dasarnya
hal itu tercela dan hukum adat mempunyai
pelbagai cara untuk mengatasi hal itu. Di
antaranya, lembaga kawin paksa (di Sumatra
dan Bali), apabila seorang istri melahirkan anak
sebagai hubungan gelap dengan seorang lakilaki bukan suaminya, maka si suami menjadi
ayah dari anak yang dilahirkan tadi, kecuali
apabila suami berdasar alasan-alasan yang
dapat diterima oleh masyarakat hukum adat,
menolaknya14. Menurut hukum Islam, anak
luar kawin tidak dapat diakui maupun
disahkan oleh bapaknya (bapak biologisnya).
Anak-anak tersebut hanya mempunyai
hubungan dengan ibunya15.
Bagi mereka yang tidak dilarang melakukan pengakuan anak, diperlukan tindakan
hukum tertentu, yakni pengakuan anak
sehingga mempunyai hubungan perdata
dengan bapaknya. Apabila kemudian bapak
ibu anak tersebut ternyata melangsungkan
perkawinan mereka dan ingin agar anak
tersebut secara yuridis (de jure) menjadi anak
sah dalam perkawinan, maka mereka harus
melakukan pengesahan anaknya.
UUAdmKepend mengatur lebih lanjut
mengenai “Pencatatan Pengakuan Anak”
(Pasal 49 UUAdmKepend) dan “Pencatatan
Pengesahan Anak” (Pasal 50 UUAdmKepend).
F. Pengakuan Anak dan Pengesahan
Anak
Ketentuan pengakuan dan pengesahan anak
tidak berlaku bagi mereka yang agamanya
tidak membenarkan pengakuan anak dan/
14
15
16
17
atau pengesahan anak yang lahir di luar
hubungan perkawinan yang sah (Pasal 49 ayat
(2) dan 50 ayat (2) UUAdmKepend).
1. Pengakuan Anak
Pengakuan anak dalam arti formil adalah
perbuatan hukum sesuai dengan bentuk yang
ditentukan undang-undang yakni tindakan dari
seorang laki-laki yang mengakui bahwa
seorang anak adalah anaknya16. Pengakuan
anak dalam arti materiil adalah suatu tindakan
hukum yang mengakui adanya hubungan
kebapakan sehingga menimbulkan hubungan
keluarga di antara anak dan orang yang
mengakui anak tersebut.
Pada asasnya menurut hukum, kebapaan
mengandung muatan yang bersifat teknis
yuridis. Seorang ayah dari seorang anak
adalah suami dari ibu anak tersebut. Ia
dianggap sebagai “penyebab” atau ayah
biologis (verwekker) lahirnya anak tersebut.
Demikian halnya dengan pengakuan anak
yang bertujuan timbulnya hubungan yuridis
antara ayah-anak; antara orang yang mengakui dengan anak yang diakui. Pada suatu
pengakuan ada anggapan bahwa orang yang
mengakui seorang anak adalah pula ayah
biologis dari anak tersebut17.
Asumsi bahwa orang yang mengakui
seorang anak adalah pula ayah biologisnya
terbukti dengan adanya:
hak untuk menyangkal hubungan
kebapaan (vaderschap);
pembatalan suatu pengakuan;
penentuan hubungan kebapaan
(vaderschap).
Undang-undang mengenal tiga bentuk
pengakuan anak (Pasal 281 ayat 1 KUHPerd)
yaitu dilakukan:
pada akta kelahirannya;
pada waktu perkawinan berlangsung; dan
dapat dilakukan dengan akta otentik.
Soedharyo Soimin, op.cit., hlm. 39.
Soedharyo Soimin, ibid.
C. Asser- J.de Boer, Personen – en familierecht, zestiende druk, Kluwer-Deventer 2002, hlm. 513.
J.N.E. Plasschaert, op.cit., hlm. 16.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
9
Ayah dan ibu biologis tidak berniat untuk
menikah namun ayah anak tersebut bermaksud untuk mengakui anak yang dilahirkan
diluar perkawinan sebagai anaknya sehingga
ada hubungan perdata antara ayah dan ibu
dengan anak. Pengakuan anak dilakukan
pada akta kelahirannya. Pengakuan anak
dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat
oleh pegawai catatan sipil dan dibukukan
dalam register kelahiran menurut penanggalannya dan dicatat dalam akta kelahiran
anak tersebut (Pasal 281 ayat (2) KUHPerd).
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
dan diikuti dengan perkawinan antara bapak
dan ibu biologisnya, maka pada saat tersebut
mereka dapat mengakui anak tersebut yang
menimbulkan hubungan perdata dengan anak
tersebut (Pasal 281 ayat (1) KUHPerd).
Jika pengakuan anak dilakukan dengan
akta otentik lain, maka masing-masing yang
berkepentingan berhak menuntut pencatatan
pengakuan itu dalam akta kelahiran anak.
Pengakuan anak dapat dilakukan sebelum perkawinan atau sepanjang perkawinan
yang harus dicatat dalam akta kelahiran anak
tersebut. Kelalaian mencatatkan pengakuan
itu tidak boleh dipersalahkan kepada anak
yang diakui, untuk mempertengkarkan kedudukan yang diperolehnya (Pasal 281 ayat 2
dan ayat 3 KUHPerd). Pengakuan anak
demikian pula pengesahan anak jelas dari halhal yang disebutkan di atas, tidak atau belum
ada pengaturannya baik di dalam UUPerk
maupun PP 9/1975, setidaknya Peraturan
Pemerintah yang dijanjikan dalam Pasal 43
ayat (2) UUPerk tersebut belum ada (mengenai
pengakuan anak).
Keadaan bahwa pengakuan anak harus
dilakukan oleh ayah biologisnya kini di
Nederland telah berubah dan tidak menjadi soal
apakah orang yang mengakui anak tersebut
adalah ayah biologisnya18. Pengakuan anak
merupakan suatu tindakan hukum dan bukan
tindakan yang menyatakan suatu kebenaran
(erkenning is een rechtshandeling en geen
waarheidshandeling). Alasan yang dikemukakan oleh pembuat undang-undang adalah
demi kepentingan anak agar memberikan
kehidupan di dalam suatu keluarga, walaupun
kadang bukan keluarga dalam arti traditional,
sekurangnya memberikan perlindungan yuridis
yang layak untuk seorang anak19.
Selanjutnya menurut Asser-De Boer,
keadaan bahwa pengakuan anak tidak harus
ayah biologisnya berubah dengan adanya
putusan HR 23 September 1943, NJ 1943.
Dimungkinkan bahwa orang yang mengakui
menyatakan bahwa ia bukanlah ayah biologis
dari anak yang diakuinya tersebut. Pengakuan
anak berarti adanya penerimaan hubungan
kebapakan (dalam arti formil) sehingga sumber
hubungan keluarga timbul bukan karena
hubungan biologis tetapi adanya tindakan
(hukum) pengakuan tersebut. Pengakuan
anak tidak berlaku surut sejak kelahiran anak,
tetapi mengakibatkan diantaranya kewajiban
pemeliharaan terhadap anak, penggunaan
nama bapak, izin perkawinan dan pewarisan.
a. Sebelum Berlakunya UUAdmKepend
Mengacu pada ketentuan Pasal 66 UUPerk
yang menyatakan, bahwa segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan sejauh
telah diatur dalam UUPerk apabila ada halhal yang belum diatur dalam UUPerk, maka
untuk hal-hal tersebut berlaku peraturan
perundang-undangan yang lama. Menafsirkan
ketentuan Pasal 66 UUPerk pada bagian anak
kalimat: “... sejauh telah diatur dalam UndangUndang ini”, dalam arti bahwa apabila ada
hal-hal yang belum diatur dalam UUPerk ini,
maka untuk hal-hal tersebut berlaku peraturan
perundang-undangan yang lama. Dengan
demikan, masalah anak atau anak-anak yang
dilahirkan di luar perkawinan adalah merupakan hal-hal yang berhubungan dengan
perkawinan, yang ternyata belum diatur dalam
18 C. Asser- J.de Boer, op.cit., hlm. 513.
19 J.N.E. Plasschaert, op.cit., hlm. 13.
10
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
UUPerk. Dengan kata lain, perundangundangan yang lama adalah KUHPerd,
Ordonansi, Hukum Adat dan Hukum Islam.
Bagi mereka yang tunduk pada KUHPerd
dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
(OrdIndonKris - Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers Java Minahasa en Amboina
(Stb. 1933 No.74 jo. S 1936 No. 607) ternyata
ada ketentuan yang mengaturnya, sedangkan
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op
de Gemengde Huwelijken (Stb. 1898 No. 158)
tidak mengaturnya sama sekali.
Ketentuan Pasal 272 KUHPerd menyatakan, bahwa:
“Kecuali anak-anak yang dibenihkan
dalam zinah, atau dalam sumbang, tiaptiap anak yang diperbuahkan diluar
perkawinan, dengan kemudian kawinnya
bapak dan ibunya, akan menjadi sah,
apabila kedua orangtua itu sebelum
kawin telah mengakuinya menurut
ketentuan-ketenuan undang-undang atau,
apabila pengakuan itu dilakukan dalam
akta perkawinan sendiri.”
Mengingat belum adanya Peraturan
Presiden tersebut, maka sesuai ketentuan Pasal
66 UUPerk, maka segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang belum
diatur dalam UUPerk, apabila ada hal-hal
yang belum diatur, berlaku perundangudnangan yang lama. Ketentuan Pasal 281
ayat (1) KUHPerd menyebutkan, bahwa
pengakuan anak dapat dilakukan dalam akta
kelahiran anak atau pada waktu perkawinan
berlangsung, dapat dilakukan dengan akta
otentik. Pengakuan anak dapat juga dilakukan
dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan
sipil dan dibukukan dalam register kelahiran
menurut hari penanggalannya dan harus
dicatat dalam jihat akta kelahiran.
Pengaturan lebih lanjut mengenai ayah
yang hendak mengakui anaknya harus telah
berumur 19 (sembilan belas) tahun dan pengakuan yang dilakukannya bukan akibat adanya
paksaan, kekhilafan, tipuan atau bukukan
(Pasal 282 ayat (1) KUHPerd).
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Dalam hal suami-istri sebelum atau
tatkala berkawin telah melalaikan mengakui
anak, maka bagi mereka yang tunduk pada
KUHPerd dan OrdIndonKris sudah ada
pengaturan mengenai pengakuan dan pengesahan anak luar kawin dengan berpedoman
pada Pasal 274 KUHPerd, dan Pasal 47 ayat
(3) OrdIndonKris. Pelaksanaannya adalah
masih ada kaitannya dengan masalah
perbaikan akta kelahiran anak atau akta
perkawinan dengan mencantumkan nama
dan umur anak yang bersangkutan. Prosedur
yang harus ditempuh adalah kedua suami-istri
mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Negeri yang berwenang agar memerintahkan
kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan
akta Pencatatan Sipil yang bersangkutan untuk
melakukan perbaikan/penambahan dimaksud
dalam akta kelahiran dan akta perkawinan
yang dimaksud.
Dengan demikian, tidak perlu diserahkan
kepada Presiden untuk minta pengesahan
(Pasal 274 KUHPerd) atau ditentukan oleh
hukum adat (Pasal 47 ayat (3) OrdIndonKris).
Pengadilan di dalam memeriksa dan memutuskan permohonan tersebut berpedoman
pada ketentuan Pasal 272 dan 274 KUHPerd,
Pasal 47 OrdIndonKris dan Pasal-Pasal 49, 50,
51 dan 52 S 1920 No. 751 jo. S. 1927 No. 564
serta Pasal 66 UUPerk.
Bagi mereka yang tidak tunduk pada
KUHPerd dan OrdIndonKris dapat berpedoman pada KUHPerd dan OrdIndonKris tersebut
dengan mengajukan permohonan dari suamiisteri yang dalam hubungan ini apabila Pengadilan Negeri menerima permohonan tersebut
cukup bijaksana dalam memeriksa dan
memutuskannya agar tidak bertentangan
dengan agama yang tidak membenarkan
pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan.
Ketentuan Pasal 47 OrdIndonKris berbunyi
sebagai berikut:
“(1)Bila pada waktu pelaksanaan perkawinan para calon suami/istri itu menerangkan, bahwa mereka adalah ayah
dan ibu dari anak yang dilahirkan di
11
luar perkawinan yang setelah perkawinan menempati kedudukan anak
yang dilahirkan dari perkawinan
maka nama-nama dan umur anak itu
dicantumkan dalam akta perkawinannya;
(2) Anak yang secara demikian disebut
dalam akta perkawinan mempunyai
kedudukan sebagai anak yang dilahirkan selama perkawinan;
(3) Kedudukan anak/anak-anak yang
dilahirkan di luar perkawinan yang
tidak disebutkan dalam akta perkawinan ditentukan oleh hukum adat.”20
Bunyi ketentuan Pasal 272 KUHPerd dan
Pasal 47 OrdIndonKris berkaitan dengan
kedudukan anak luar kawin pada pokoknya
mengandung substansi yang sama.
Dalam hal anak yang lahir di luar perkawinan yang namanya tidak dimuat dalam akta
perkawinan atau tidak dibuat pernyataan
pengakuan karena kedua orangtuanya lalai
melaporkan pada waktu perkawinan mereka
dilangsungkan, ketentuan Pasal 47 OrdIndonKris menyatakan bahwa hal tersebut akan
ditentukan oleh hukum adat.
Lain halnya dengan ketentuan Pasal 272
KUHPerd yang tidak menentukan di dalam
pasal tersebut apa yang harus dilakukan tetapi
ketentuan Pasal 274 KUHPerd memberikan
jalan keluar:
“Jika kedua orangtua sebelum atau tatkala
berkawin telah melalaikan mengakui
anak-anak mereka luar kawin, maka
kelalaian ini dapat diperbaiki dengan
surat pengesahan Presiden, yang mana
akan diberikan setelah didengarnya
nasihat Mahkamah Agung.”
Mahkamah Agung sebelum memberikan
nasihatnya harus mendengar dan menyuruh
mendengar terlebih dahulu para keluarga
sedarah dari pemohon, bahkan harus memerintahkan pula agar supaya permintaan
pengesahan itu diumumkan dalam Berita
Negara. Akibat pengesahan anak tersebut
yakni setelah diperolehnya surat pengesahan
Presiden mengakibatkan bahwa terhadap
anak itu akan berlaku ketentuan-ketentuan
undang-undang yang sama seolah-olah anak
itu dilahirkan dalam perkawinan.
Bagi mereka yang tunduk pada
OrdIndonKris, perbaikan dari akta-akta catatan
sipil berlaku ketentuan Pasal 49, 50, 51 dan
52 OrdIndonKris.
Bagi mereka yang tidak tunduk pada
UUPerk dan OrdIndonKris, dalam hal
mencantumkan atau membubuhkan nama
dan umur anak/anak-anak yang bersangkutan
dalam akta perkawinan, maka prosedur yang
dapat ditempuh adalah minta bantuan pada
pengadilan negeri yang berwenang agar
memerintahkan kepada pegawai pencatat sipil
untuk melakukan perbaikan/penambahan
dimaksud dalam akta perkawinan dan dalam
daftar perkawinan yang bersangkutan,
sepanjang agama mereka tidak melarang
untuk melakukan pengakuan anak tersebut.
b. Setelah Berlakunya UUAdmKepend
Ketentuan Pasal 49 ayat (1) UUAdmKepend
menyebutkan:
“ Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh
orang tua pada Pelaksana paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat
Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui
oleh ibu dari anak yang bersangkutan.”
Penjelasan dari pasal tersebut:
“Apa yang dimaksud dengan pengakuan
anak adalah pengakuan seorang ayah
terhadap anaknya yang lahir di luar ikatan
20 Pasal 47 OrdIndonKris: “(1) Indien bij het aangaan van het huwelijk de aanstaande echtgenoten verklaren,
dat zij de vader en de moeder zijn van eenig buiten echt geboren kind, dat na het huwelijk den staat
van uit een huwelijk geboren kind zal innemen worden de namen en de leeftijd van dat kind in de
huwelijksakte opgenomen; (2) Aldus in de huwelijksakte vermelde kinderen hebben den staat van
tijdens huwelijk geboren kind; (3) De staat van buiten echt geboren kinderen, niet in de huwelijksakte
vermeld, wordt bepaald door het adatrecht.”
12
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
perkawinan sah atas persetujuan ibu
kandung anak tersebut.”
Bagaimana dan kapan serta prosedur
pengakuan anak tidak dijelaskan baik di dalam
ketentuan Pasal 49 ayat (1) UUAdmKepend
maupun di dalam penjelasannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1)
UUAdmKepend dengan adanya pengakuan
anak maka harus dilakukan perbaikan akta
kelahiran yakni Pencatatan Pengakuan Anak
yang harus dilaporkan kepada Instansi
Pelaksana21 yakni kantor Pencatatan Sipil
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
surat Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui
oleh ibu dari anak yang bersangkutan Ketentuan kewajiban melapor berlaku pula dalam
hal adanya pengesahan anak untuk melakukan perbaikan akta kelahiran dengan melaporkan kepada Instansi Pelaksana paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari
anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan
(Pasal 50 ayat (1) UU AdmKepend. Kewajiban
melaporkan pengakuan anak tersebut tidak
berlaku bagi orang tua yang agamanya tidak
membenarkan pengakuan yang lahir diluar
hubungan perkawinan yang sah (Pasal 49 ayat
(2) UUAdmKepend).
Ada pun ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tata cara pencatatan pengakuan anak dan pengesahan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 50
diatur dalam Peraturan Presiden yang masih
belum ada. Dengan demikian, ketentuan
perundang-undangan termasuk prosedur yang
berlaku sebelum adanya Peraturan Presiden
tersebut, adalah ketentuan sebagaimana
disebut di sub a di atas.
2. Pengesahan Anak
Undang-undang membedakan dua bentuk
pengesahan anak, yakni:
-
karena perkawinan;
dengan surat pengesahan.
a. Pengesahan karena perkawinan
Pengesahan (wettiging) adalah suatu perbuatan
hukum serta cara untuk memberikan hak
seorang anak sah kepada seorang anak luar
kawin yang diakui. Per definisi, anak-anak
yang dapat disahkan adalah anak yang diakui
sehingga anak-anak zinah dan anak-anak
sumbang tidak dapat disahkan (Pasal 272
KUHPerd). Pengesahan anak terjadi dengan
adanya perkawinan antara kedua orangtuanya
dengan telah diakui terlebih dahulu anak
tersebut oleh ayahnya. Dengan demikian pengaakuan anak itu selambat-lambatnya harus dilakukan dalam akta perkawinan orangtuanya.
b. Pengesahan dengan Surat Pengesahan
Jika suami telah mengakui anaknya, tetapi
perkawinan dengan ibu anak tersebut tidak
dapat dilaksanakan, karena meninggalnya
salah seorang dari mereka, maka dapat dimintakan surat pengesahan dari Presiden oleh
salah seorang yang masih hidup atau oleh anak
yang bersangkutan sendiri jika orang tua yang
masih ada juga telah meninggal dunia.
Surat pengesahan dapat juga dimintakan
jika suami telah mengetahui kehamilan dari
ibu yang mengandung anak tersebut, dan
berencana untuk menikah dengannya tetapi
telah meninggal sebelum dapat melakukan
pengakuan terhadap anak tersebut.22
Menurut G. Delfos dan J.E. Doek, ada
kalanya dalam hal tersebut di atas, yaitu
dengan meninggalnya ibu dari anak yang
hendak disahkan tanpa adanya perkawinan
yang telah direncanakan sedangkan ayah
anak tersebut belum mengakuinya dan tetap
ingin memberikan kedudukan anak sah, dapat
ditempuh jalan dengan adopsi oleh ayah anak
tersebut dengan istrinya.23
21 Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang
melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan (Pasal 1 huruf (7) UUAdmKepend).
22 G. Delfos – J.E.Doek, Vaderschap, Afstamming en adoptie, W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle 1982, hlm. 14.
23 G. Delfos – J.E.Doek, ibid.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
13
Seorang anak luar kawin disahkan
apabila oleh suami dari si ibu mengakui baik
sebelum atau pada saat perkawinan atau
setelah putusnya perkawinan karena meninggalnya seorang di antaranya tidak dapat
melangsungkan perkawinan yang telah
mereka rencanakan (Pasal 275 KUHPerd).
Kelalaian orangtua sebelum atau tatkala
menikah telah melalaikan pengakuan anak
mereka luar kawin, maka kelalaian ini dapat
diperbaiki dengan surat pengesahan presiden,
yang mana akan diberikan setelah mendapat
nasihat dari Mahkamah Agung (Pasal 274
KUHPerd). Mahkaman Agung memberikan
pertimbangannya setelah pula para keluarga
terdekat dari orangtua anak yang bersangkutan didengar keterangannya. Permintaan
keterangan tersebut sifatnya fakultatif sehingga
dengan demikian tergantung sepenuhnya
kepada kebijakan dari presiden.
G. Delfos dan J.E. Doek24 berpendapat,
bahwa pengesahan dengan cara tersebut
mengandung sifat menguntungkan tetapi juga
terjadi anachronisme di dalam perundangundangan. Surat pengesahan yang dikeluarkan oleh Presiden tersebut tidak dapat diganggu gugat. Sebaiknya semua pengesahan harus
didahului dengan pengakuan, sehingga kesalahan yang terjadi pada pengakuan yang dapat
berakibat batal atau dibatalkan akan mengakibatkan pengesahan menjadi batal atau
dibatalkan. Hal tersebut hanya mungkin jika
pengesahan tergantung pada atau didahului
dengan pengakuan.
Kewajiban melaporkan adanya pengesahan anak tidak berlaku bagi orangtua yang
agamanya tidak membenarkan pengakuan
yang lahir di luar hubungan perkawinan yang
sah (Pasal 50 ayat (2) UUAdmKepend).
G. Akibat Pengakuan dan Pengesahan
Anak
Sejak kapan berlakunya pengakuan anak?
Sejak dicatatkan pada kantor Pencatatan Sipil.
Ketentuan Pasal 280 KUHPerd mengatur
mengenai akibat dari pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, akan
menimbulkan hubungan perdata antara si anak
dan bapak atau ibunya. Ini berarti bahwa baik
ayah maupun ibu agar mempunyai hubungan
perdata dengan anaknya harus mengakui anak
tersebut terlebih dahulu. Dengan berlakunya
UUPerk, maka hanya ayahnya saja yang perlu
mengakui anaknya agar timbul hubungan
perdata dengan anak yang bersangkutan, di
antaranya berupa kewajiban pemeliharaan
terhadap anak (alimentasi), penggunaan nama
bapak, izin perkawinan dan pewarisan.
Di bidang pewarisan anak luar kawin
terhadap warisan orangtua yang mengakuinya
pada asasnya adalah sama dengan anak sah
dalam artian mereka mempunyai hak saisine
(Pasal 833 KUHPerd), hak heredetatis petitio
(Pasal 834 KUHPerd) dan hak untuk menuntut
pemecahan warisan (Pasal 1066 KUHPerd).
Hak bagian anak luar kawin tidak sama besarnya dengan hak bagian anak sah, lagi pula
karena tidak mempunyai hubungan perdata
dengan keluarga ayah yang mengakui, maka
anak luar kawin tidak akan mewaris dari
keluarga ayahnya. Hal tersebut berbeda
dengan adanya hubungan perdata anak luar
kawin dengan ibu dan keluarga ibunya (Pasal
43 UUPerk).
Di bidang hukum keluarga terlihat perbedaannya dengan anak sah, yakni anak luar
kawin berada bukan di bawah kekuasaan
orang tua tetapi di bawah perwalian.
Besarnya hak bagian anak luar kawin di
bidang pewarisan aktif yakni hak anak luar
kawin selaku ahliwaris tergantung dengan
golongan mana ia mewaris. Jika mewaris
bersama dengan golongan I, maka anak luar
kawin yang diakui mewaris 1/3 bagian dari
yang mereka (anak2 luar kawin) sedianya
harus mendapat, seandainya mereka (anakanak luar kawin) adalah anak yang sah (Pasal
863 KUHPerd).
24 G. Delfos – J.E.Doek, ibid., hlm. 16.
14
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Pewarisan dengan adanya pengakuan
anak yang dilakukan sepanjang perkawinan
oleh suami atas kebahagiaan anak luar kawin,
yang sebelum kawin telah diperbuahkan
dengan seorang lain daripada istrinya, tak
akan membawa kerugian baik bagi isteri itu,
maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan mereka. Maksudnya, jika dilakukan pengakuan anak sebelum perkawinan
suami dengan istrinya, maka anak luar kawin
akan mendapat bagian sesuai dengan yang
ditentukan di dalam ketentuan Pasal 862-Pasal
873 KUHPerd. Apabila dilakukan pengakuan
anak sepanjang perkawinan, maka anak luar
kawin tidak akan mendapat bagian warisan.
Jika anak luar kawin mewaris dengan
golongan II, maka mereka mewaris ½ dari
warisan, sedangkan jika mewaris dengan
golongan III dan IV, maka sisa warisan setelah
diberikan kepada anak luar kawin, dilakukan
kloving yang ½ untuk keluarga sedarah dalam
garis ibu dan ½ lainnya untuk keluarga sedarah
dalam garis bapak (Pasal 863 KUHPerd).
Ada pun pewarisan pasif yakni anak luar
kawin selaku pewaris, maka pertama-pertama
warisan anak luar kawin adalah untuk sekalian keturunan dan suami atau istrinya (Pasal
870 KUHPerd). Kalau golongan I tidak ada,
maka yang mewaris adalah ayah dan atau ibu
yang mengakuinya. Jika yang mengakuinya
hanya ayah/ibu saja, maka seluruh warisan
adalah untuk ayah/ibu yang mengakuinya.
Dalam hal golongan I dan pula ayah dan
ibu telah tiada, maka dalam hal di dalam
warisan anak luar kawin selaku pewaris
terdapat barang-barang yang dulu diperoleh
dari warisan orangtuanya (orangtua anak luar
kawin), dan barang-barang tersebut masih
dalam wujud seperti semula, maka keturunan
sah dari ayah dan/atau ibu yang mengakui
anak luar kawin tersebut berhak menuntut
barang tersebut dikembalikan kepada mereka
(Pasal 871 KUHPerd).
Kekecualian diberikan kalimat terakhir
Pasal 871 ayat (1) KUHPerd, yaitu dalam hal
barang tersebut telah dijual oleh pewaris, tetapi
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
harganya pada waktu pewaris meninggal
belum dibayar lunas, maka keturunan ayah/
ibu yang mengakui anak luar kawin berhak
untuk menuntut kepada pembeli agar uang
pembayaran harga jual beli diberikan kepada
mereka. Sisa warisannya adalah untuk
saudara-saudara pewaris laki-laki maupun
perempuan atau keturunan sah mereka
(saudara sesama anak luar kawin).
Dengan demikian, warisan dengan mengesampingkan negara, menjadi hak sekalian
keluarga terdekat dari bapak atau ibu yang
mengakuinya dengan catatan, kalau kedua orang tua mengakui maka warisan dibagi dua
(kloving), ½ bagian untuk keluarga sedarah
terdekat dari garis ayah dan ½ bagian lainnya
untuk keluarga sedarah terdekat dari garis ibu
(Pasal 873 ayat (2) KUHPerd). Untuk masingmasing pancang, pembagian dilakukan menurut
peraturan pewarisan menurut ketentuan Bab
XII, Bagian 1 dan 2 KUHPerd (vide Pasal 872
ayat (3) KUHPerd). Terakhir, jika tidak ada lagi
anggota keluarga yang mempunyai hak waris,
maka warisan jatuh kenegara, demikian
kesimpulan dari Pasal 873 ayat (2) KUHPerd.
Lain halnya bagian hak waris pada pengesahan anak yang dapat dibagi dua:
a) Jika kedua orangtuanya menikah; Akibat
pengesahan anak baik yang dilakukan pada
waktu perkawinan kedua orangtuanya
maupun setelah diperolehnya surat pengesahan Presiden mengakibatkan bahwa terhadap anak itu akan berlaku surut sejak kelahiran anak tersebut, ketentuan-ketentuan
undang-undang yang sama sebagaimana ia
dilahirkan dalam perkawinan yang sah (Pasal
277 KUHPerd).
Pengesahan anak dengan menikahnya
kedua orangtuanya membawa akibat
sebagaimana halnya seorang anak sah yang
dilahirkan dari perkawinan yang sah, maka
anak tersebut mendapat bagian warisan dari
bapak/ibunya sesuai dengan bagian anak sah
menurut undang-undang. Ada pun mengenai
kewajiban pemeliharaan terhadap anak,
penggunaan nama bapak dan izin perkawinan
15
tidak dibedakan antara anak yang diakui dan
anak yang disahkan.
b) Jika kedua orangtuanya tidak menikah;
Apabila perkawinan orangtuanya tidak dapat
dilangsungkan karena salah satu orangtuanya
meninggal dunia atau menurut pertimbangan
presiden ada keberatan penting perkawinan
kedua orangtuanya, maka pengesahan anak
dimulai pada tanggal pengesahan. Dengan
kata lain, sebelum tanggal pengesahan, anak
itu adalah anak luar kawin. Dalam hal pewarisan, pengesahan anak yang orangtuanya
tidak menikah tidak dapat merugikan anakanak yang telah lahir sebelumnya dan juga
tidak berlaku dalam hal pewarisan bagi
keluarga sedarah orangtua itu sepanjang
mereka (keluarga sedarah) tidak ikut menyetujui pemberian surat pengesahan itu (Pasal
278 KUHPerd). Dengan cara yang sama,
menurut ketentuan-ketentuan yang sama
pula, anak-anak yang telah meninggal dunia
dan meninggalkan keturunannya boleh juga
disahkan, pengesahan mana adalah demi
kebahagiaan sekalian keturunan itu (Pasal 279
KUHPerd). Perbedaan pada saat berlakunya
pengesahan tersebut di atas menimbulkan
pertanyaan mengenai “tidak dapat merugikan
anak-anak yang telah lahir sebelumnya”; anak
sah siapa?
Menurut Asser-Scholten-Wiarda, sebagaimana dikutip oleh Tan Thong Kie25, “yang
dimaksudkan dengan anak-anak sah dari yang
telah meninggal dan dari (orangtua) yang
masih hidup (Men denke hier zowel aan de
kinderen van de overledene als aan die van
de nog in leven zijnde echtgenoot)”.
Sedangkan Pitlo berpendapat lain, anak-anak
sah hanyalah dari orangtua yang masih hidup,
sebab terhadap orangtua yang sudah meninggal anak itu tetap anak luar nikah. Anak yang
disahkan dengan surat pengesahan adalah
anak sah hanya dari orangtua yang memperoleh surat pengesahan itu.
Bagi mereka yang agamanya melarang
baik pengakuan anak (Pasal 49 ayat (2)
UUAdmKepend) maupun pengesahan anak
yang lahir diluar hubungan perkawinan yang
sah (Pasal 50 ayat (2) UUAdmKepend), maka
dikecualikan kewajiban melaporkan bagi
orangtuanya kepada kantor Pencatatan Sipil.
Dengan intepretasi a contrario, maka anak
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 43 ayat
(1) UUPerk, hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Ini berarti, tidak adanya hubungan perdata
antara ayah dengan anak sehingga anak
tersebut tidak akan mewaris dari bapaknya.
Daftar Pustaka
C. Asser- J.de Boer, Personen – en familierecht,
zestiende druk, Kluwer-Deventer, 2002.
C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, Suplemen
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
PT Pradnya Paramita, Cetakan Pertama,
Jakarta, 2001.
G. Delfos – J.E.Doek, Vaderschap,
Afstamming en adoptie, W.E.J.Tjeenk
Willink, Zwolle, 1982.
J.N.E. Plasschaert, Afstamming en naam,
Elsevier bedrijfsinformatie bv, ’sGravenhage, 1999.
R. Subekti, Perbandingan Hukum Perdata,
cetakan kesepuluh, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1990.
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Beberapa Mata
Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek
Notaris, PT Ichtiar Baru van Hoeve,
Jakarta, 2007.
25 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan SerbaSerbi Praktek Notaris, PT Ichtiar
Baru van Hoeve, Jakarta, 2007, hlm. 27.
16
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
ASPEK PENAGIHAN PAJAK DALAM BISNIS
Yenny Yuniawaty
Abstract
Business activities can’t be separated from the taxation aspects, if the business activity is rising,
the state income tax from the that sector will increase. The tax revenue obtained from bussines is
through the collection of not only Income but also Value of Goods and Services Tax, Sales Tax on
Goods
Luxury, Land and Building Tax, Customs Acquisition of Rights to Land and Building Tax and
stamp duty Tax.
In reality, not all business pay taxes in accordance with taxation legislation, giving rise to delinquent tax debt. To liquify delinquent tax debt, some taxes billing action is necessary.
Key words: business, tax debt, tax billing.
A. Pendahuluan
Aktivitas bisnis berkaitan erat dengan aspek
pajak. Apabila aktivitas bisnis berkembang
maka penerimaan negara dari sektor pajak
akan meningkat. Penerimaan negara dari
sektor pajak yang diperoleh dari rakyat,
termasuk para pelaku bisnis (pengusaha)
adalah melalui pemungutan pajak yang
dilakukan berdasarkan Pasal 23A amandemen ke-3 (ketiga) Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa:
“Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang.”
Pasal 23A amandemen ke-3 (ketiga)
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut
mengandung pengertian bahwa pemungutan
pajak harus mendapat persetujuan terlebih
dahulu dari rakyat melalui perwakilannya di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena
dalam pemungutan pajak terdapat peralihan
kekayaan dari rakyat kepada negara yang
hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat
dalam bentuk pembangunan serta pelayanan
yang diberikan oleh pemerintah.
Menurut pasal 1 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan:
“Pengusaha adalah orang pribadi atau
badan dalam bentuk apa pun yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan barang
tidak berwujud dari luar daerah pabean,
melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.”
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan
Ketiga Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984 dikemukakan bahwa:
“Daerah Pabean adalah wilayah
Republik Indonesia yang meliputi wilayah
darat, perairan dan ruang udara di atasnya
serta tempat-tempat tertentu di Zona
Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen
yang di dalamnya berlaku undangundang yang mengatur mengenai
kepabeanan.”
Pemungutan pajak di Indonesia menggunakan self assessment system yang
17
memberi wewenang kepada Wajib Pajak
untuk menentukan sendiri besarnya pajak
yang terutang. Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan
bahwa:
“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau
badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.”
Menurut pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan:
“Badan adalah sekumpulan orang dan/
atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.”
Pemberian wewenang kepada Wajib
Pajak dalam self assessment system tersebut
diimbangi dengan tindakan pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak yaitu dengan melakukan penagihan terhadap Wajib Pajak yang belum melunasi utang pajaknya.
18
B. Utang Pajak
Pemungutan pajak merupakan perwujudan
dari asas kemandirian yang meupakan salah
satu asas pembangunan nasional yang menghendaki agar pembangunan nasional berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan
dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepada
kepribadian bangsa. Melalui penerimaan dari
sektor pajak, negara dapat melaksanakan
pembangunan nasional untuk menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Penciptaan kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu
tujuan nasional negara Indonesia yang tercantum dalam alinea ke-4 (keempat) Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Jenis-jenis pajak yang dikenakan dalam
aktivitas bisnis adalah:
1. Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan diatur dalam UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-undang tersebut mengatur
mengenai pengenaan Pajak Penghasilan
terhadap subjek pajak berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak. Subjek pajak dapat
dibedakan atas:
1. Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri
atas:
a. Subjek Pajak orang pribadi, yaitu:
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
2.
1) Orang pribadi yang bertempat
tinggal atau berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari (tidak harus
berturut-turut) dalam jangka waktu
12 (duabelas) bulan, atau
2) Orang pribadi yang dalam suatu
tahun pajak berada di Indonesia
dan mempunyai niat bertempat
tinggal di Indonesia.
b. Subjek Pajak badan, yaitu:
Badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang
memenuhi kriteria:
1) pembentukannya berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan;
2) pembiayaannya bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara
atau
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
3) penerimaannya dimasukkan
dalam anggaran Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah;
4) pembukuannya diperiksa oleh
aparat pengawasan fungsional
negara.
c. Subjek Pajak warisan, yaitu:
Warisan yang belum dibagi sebagai
satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
Subjek Pajak luar Negeri yang terdiri
atas:
a. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapanpuluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12
(duabelas) bulan dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia;
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
b. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapanpuluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12
(duabelas) bulan dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia.
Penghasilan merupakan setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apa pun. Subjek pajak tersebut dikenakan
pajak apabila menerima atau memperoleh
penghasilan. Dalam Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, subjek pajak yang
menerima atau memperoleh penghasilan
disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenakan
pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya selama satu tahun pajak atau
dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan
dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban
pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam
tahun pajak. Bagian dari Pajak Penghasilan
yang sering digunakan dalam aktivitas bisnis
adalah Pajak Penghasilan Pasal 21, Pajak
Penghasilan Pasal 22, Pajak Penghasilan Pasal
23, Pajak Penghasilan Pasal 24, Pajak
Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan
Pasal 26 yang akan diuraikan di bawah ini.
a. Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak yang
dikenakan terhadap penghasilan berupa gaji,
upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran
19
lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri. Pemotong
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Wajib
Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan,
termasuk Bentuk Usaha Tetap yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan
pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan. Bentuk Usaha Tetap adalah
bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapanpuluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (duabelas) bulan dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia.
b. Pajak Penghasilan Pasal 22
Pajak Penghasilan Pasal 22 merupakan
pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan yang dipungut oleh:
Bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya
berkenaan dengan pembayaran atas
penyerahan barang, termasuk juga dalam
pengertian bendahara adalah pemegang
kas dan pejabat lain yang menjalankan
fungsi yang sama;
badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain, seperti kegiatan
usaha produksi barang tertentu antara lain
otomotif dan semen;
Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan
20
barang yang tergolong sangat mewah.
Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak
badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi
kriteria tertentu sebagai barang yang
tergolong sangat mewah baik dilihat dari
jenis barangnya maupun harganya,
seperti kapal pesiar, rumah sangat
mewah, apartemen dan kondominium
sangat mewah serta kendaraan sangat
mewah.
c. Pajak Penghasilan Pasal 23
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan
Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal,
penyerahan jasa atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap
atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23
adalah pihak-pihak yang membayarkan
penghasilan yang terdiri atas:
Badan pemerintah;
Subjek Pajak badan dalam negeri;
Penyelenggara kegiatan;
Bentuk Usaha Tetap;
Perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya;
Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam
negeri yang telah mendapat penunjukkan
dari Direktur Jenderal Pajak untuk
memotong Pajak Penghasilan Pasal 23
yang meliputi akuntan, arsitek, dokter,
notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) kecuali Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) tersebut adalah Camat,
pengacara dan konsultan yang melakukan
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
pekerjaan bebas serta orang pribadi yang
menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
d. Pajak Penghasilan Pasal 24
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan mengatur tentang
perhitungan besarnya pajak atas penghasilan
yang dibayar atau terutang di luar negeri yang
dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan
yang terutang atas seluruh penghasilaan Wajib
Pajak dalam negeri. Untuk melaksanakan
pengkreditan pajak yang terutang atau dibayar
di luar negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal
Pajak dengan melampirkan Laporan
Keuangan dari penghasilan yang berasal dari
luar negeri, fotokopi Surat Pemberitahuan
Pajak yang disampaikan di luar negeri dan
dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
e. Pajak Penghasilan Pasal 25
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan mengatur tentang
perhitungan besarnya angsuran bulanan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam
tahun berjalan.
f. Pajak Penghasilan Pasal 26
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan mengatur tentang
pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak luar negeri (baik orang pribadi
maupun badan) selain Bentuk Usaha Tetap.
Pemotongan pajak berdasarkan Pasal 26
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Penghasilan tersebut dilakukan oleh Badan
pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap,
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
dan pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong
Pajak Penghasilan Pasal 26.
2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984.
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:

Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak dengan syaratsyarat sebagai berikut:
- Barang berwujud yang diserahkan
merupakan Barang Kena Pajak;
- Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak
tidak berwujud;
- Penyerahan dilakukan di dalam
Daerah Pabean;
- Penyerahan dilakukan dalam rangka
kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Impor Barang Kena Pajak;

Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
- Jasa yang diserahkan merupakan Jasa
Kena Pajak;
- Penyerahan dilakukan di dalam
Daerah Pabean;
- Penyerahan dilakukan dalam rangka
kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;

Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
21



Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh
Pengusaha Kena Pajak;
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha
Kena Pajak;
Sedangkan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dikenakan terhadap:

Penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang dilakukan oleh
pengusaha yang menghasilkan barang
tersebut di dalam Daerah Pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan

Impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah.
Yang dimaksud dengan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah adalah barang
yang bukan merupakan barang kebutuhan
pokok, barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, barang yang pada umumnya
dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi dan/atau barang yang dikonsumsi untuk
menunjukkan status.
3. Pajak Bumi dan Bangunan
Kalangan dunia bisnis, khususnya di bidang
properti perlu memperhatikan ketentuanketentuan yang mengatur mengenai pengenaan pajak atas bumi dan bangunan untuk
menunjang aktivitas bisnisnya.
Pajak Bumi dan Bangunan diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan. Yang menjadi subjek Pajak Bumi
dan Bangunan adalah orang atau badan yang
secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi,
dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/
atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek pajak
yang dikenakan kewajiban membayar pajak
menjadi Wajib Pajak . Objek Pajak Bumi dan
Bangunan adalah bumi dan/atau bangunan.
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi
22
yang ada di bawahnya. Permukaan bumi
meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut
wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan
Bagi para pelaku bisnis, tanah dan bangunan
merupakan aset (kekayaan) yang sangat
penting untuk mendukung aktivitas bisnisnya.
Pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas
tanah dan bangunan tersebut adalah Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
menjadi beban (biaya) tersendiri sebagai
bagian dari aktivitas bisnis.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
Yang menjadi subjek pajak adalah orang
pribadi atau badan yang memperoleh hak atas
tanah dan/atau bangunan. Subjek pajak yang
dikenakan kewajiban membayar pajak
menjadi Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan. Objek Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan. Perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan meliputi:
Pemindahan hak karena jual beli, tukar
menukar, hibah, hibah wasiat, waris,
pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya, pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan, penunjukan
pembeli dalam lelang, pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, penggabungan
usaha, peleburan usaha, pemekaran
usaha dan hadiah.
Pemberian hak baru karena kelanjutan
pelepasan hak dan di luar pelepasan hak.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
5. Bea Meterai
Dunia bisnis tidak terlepas dari transaksitransaksi bisnis yang menggunakan berbagai
dokumen. Dokumen adalah kertas yang
berisikan tulisan yang mengandung arti dan
maksud tentang perbuatan, keadaan atau
kenyataan bagi seseorang dan/atau pihakpihak yang berkepentingan. 1 (satu) dokumen
terutang 1 (satu) Bea Meterai. Bea Meterai
adalah pajak yang dikenakan atas dokumen.
Dasar hukum pengenaan Bea Meterai adalah
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985
tentang Bea Meterai. Pihak yang terutang Bea
Meterai adalah pihak yang mendapat manfaat
dari dokumen, kecuali pihak atau pihak- pihak
yang bersangkutan menentukan lain. Bea
Meterai dilunasi dengan menggunakan benda
meterai, yaitu meterai tempel.
Pajak yang belum dibayar sebagaimana
mestinya sesuai dengan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku akan
menimbulkan utang pajak. Dari segi hukum,
utang pajak adalah perikatan yang timbul
karena undang-undang yang mewajibkan
seseorang yang memenuhi syarat (tatbestand)
yang ditentukan dalam undang-undang, untuk
membayar suatu jumlah tertentu kepada
negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan
dengan tidak mendapat imbalan yang secara
langsung dapat ditunjuk.1 Dengan demikian,
utang pajak hanya dapat timbul jika undangundang yang menjadi dasar untuk pemungutan pajak telah ada, selain itu harus
dipenuhi syarat-syarat subjektif dan syaratsyarat objektif yang ditentukan oleh undangundang secara bersamaan (simultan). Syarat
subjektif menyangkut pihak/ siapa yang dapat
dikenakan pajak menurut syarat-syarat yang
ditentukan undang-undang sedangkan syarat
objektif dipenuhi apabila tatbestand yang
disebutkan oleh undang-undang dipenuhi.2
Tatbestand merupakan rangkaian dari
keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan
peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan
utang pajak. Dalam pasal 1 ayat (8) UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa:
“Utang pajak adalah pajak yang masih
harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan
yang tercantum dalam surat ketetapan
pajak atau surat sejenisnya berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.”
C. Aspek Penagihan Pajak
dalam Bisnis
Penerimaan negara dari sektor pajak merupakan andalan dalam membiayai pembangunan
nasional. Oleh karena itu, terhadap para
pelaku bisnis yang belum memenuhi kewajiban pembayaran pajak sebagaimana
mestinya sesuai dengan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku sehingga
menimbulkan tunggakan utang pajak akan
dilakukan tindakan penagihan pajak. Penagihan pajak dilakukan berdasarkan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa. Menurut Pasal 1 ayat (9) UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa:
“Penagihan pajak adalah serangkaian
tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan
pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan
seketika dan sekaligus, memberitahukan
Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan
1 Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Eresco, Bandung, 1990, hlm. 51.
2 Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Eresco, Bandung, 1991, hlm. 2.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
23
penyanderaan, menjual barang yang telah
disita.”
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
dikemukakan bahwa:
“Penanggung Pajak adalah orang pribadi
atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan.”
Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
menyatakan bahwa:
“Biaya Penagihan Pajak adalah biaya
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman
Lelang, Pembatalan Lelang, jasa penilai
dan biaya lainnya sehubungan dengan
penagihan pajak.”
Tindakan penagihan pajak diawali
dengan penerbitan Surat Teguran atau Surat
Peringatan atau surat lain yang sejenis yang
dimaksudkan untuk menegur atau memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang
pajaknya. Apabila setelah dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pahak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding atau Putusan Peninjauan
Kembali yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah, ternyata Wajib
Pajak/Penanggung Pajak tidak melunasi utang
pajaknya maka akan diterbitkan Surat Teguran
atau Surat Peringatan atau surat lain yang
sejenis. Apabila setelah lewat jangka waktu
21 (duapuluh satu) hari terhitung sejak diterbit-
24
kannya Surat Teguran atau Surat Peringatan
atau surat lain yang sejenis ternyata Wajib
Pajak/Penganggung Pajak masih tidak melunasi utang pajaknya maka akan diterbitkan
Surat Paksa. Menurut pasal 1 ayat (12) UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa:
“Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan
pajak.”
Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
dinyatakan bahwa:
“Surat Paksa berkepala kata-kata “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai
kekuatan eksekutorial dan kedudukan
hukum yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.”
Agar tercapai efektivitas dan efisiensi
penagihan pajak yang didasari Surat Paksa,
ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
tersebut memberikan kekuatan eksekutorial
serta memberi kedudukan hukum yang sama
dengan grosse akta yaitu putusan pengadilan
perdata yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Dengan demikian, Surat Paksa
langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan
putusan pengadilan lagi dan tidak dapat
diajukan banding. Surat Paksa diterbitkan
apabila:
a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang
pajak dan kepadanya telah diterbitkan
Surat Teguran atau Surat Peringatan atau
surat lain yang sejenis.
b. Terhadap Penanggung Pajak telah
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
c.
dilaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus; atau
Penanggung Pajak tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau
penundaan pembayaran pajak.
Apabila setelah lewat jangka waktu 2x24
(dua kali duapuluh empat) jam terhitung sejak
diterbitkannya Surat Paksa ternyata Wajib
Pajak/Penanggung Pajak masih tidak melunasi
utang pajaknya maka akan dilakukan
penyitaan. Menurut pasal 1 ayat (14) UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa:
“Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak
untuk menguasai barang Penanggung
Pajak, guna dijadikan jaminan untuk
melunasi utang pajak menurut peraturan
perundang-undangan.”
Dalam hal utang pajak yang masih harus
dibayar tidak dilunasi oleh Wajib Pajak/
Penanggung Pajak setelah lewat waktu 14
(empatbelas) hari sejak tanggal pelaksanaan
penyitaan, maka akan dilaksanakan pengumuman lelang. Apabila utang pajak yang
masih harus dibayar tidak juga dilunasi oleh
Wajib Pajak/Penanggung Pajak setelah lewat
waktu 14 (empatbelas) hari sejak tanggal
pengumuman lelang, maka akan dilakukan
penjualan barang sitaan secara lelang. Dalam
pasal 1 ayat (17) Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dinyatakan bahwa:
“Lelang adalah setiap penjualan barang
dimuka umum dengan cara penawaran
harga secara lisan dan/atau tertulis
melalui usaha pengumpulan peminat atau
calon pembeli.”
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
mengemukakan bahwa:
“Hasil lelang dipergunakan terlebih
dahulu untuk membayar biaya penagihan
pajak yang belum dibayar dan sisanya
untuk membayar utang pajak.”
Dalam melaksanakan tindakan penagihan pajak dapat langsung dilakukan
penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika
dan Sekaligus tanpa didahului dengan pelaksanaan Surat Paksa. Menurut Pasal 1 ayat (11)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa:
“Penagihan Seketika dan Sekaligus
adalah tindakan penagihan pajak yang
dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada
Penanggung Pajak tanpa menunggu
tanggal jatuh tempo pembayaran yang
meliputi seluruh utang pajak dari semua
jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun
Pajak.”
Dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dinyatakan bahwa:
“Penagihan seketika dan sekaligus
dilakukan apabila:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya atau berniat untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang
dikuasai dalam rangka menghentikan
atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan
badan usaha atau menggabungkan
atau memekarkan usaha, atau
25
memindahtangankan perusahaan
yang dimiliki atau yang dikuasainya,
atau melakukan perubahan bentuk
lainnya;
d. Badan usaha akan dibubarkan oleh
negara; atau
e. Terjadi penyitaan atas barang
Penanggung Pajak oleh pihak ketiga
atau terdapat tanda-tanda kepailitan.”
Selama dilangsungkannya proses penagihan pajak, terdapat kemungkinan Wajib
Pajak/Penanggung Pajak berniat meninggalkan wilayah negara Republik Indonesia.
Apabila terjadi demikian maka akan dilakukan tindakan pencegahan. Pasal 1 ayat (20)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa mengemukakan
bahwa:
“Pencegahan adalah larangan yang
bersifat sementara terhadap Penanggung
Pajak tertentu untuk keluar dari Negara
Republik Indonesia berdasarkan alasan
tertentu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”
Menurut Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa:
“Pencegahan hanya dapat dilakukan
terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak sekurangkurangnya sebesar Rp 100.000.000,(seratus juta rupiah) dan diragukan itikad
baiknya dalam melunasi utang pajak.”
Pasal 31 Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
menyatakan bahwa:
“Pencegahan terhadap Penanggung
Pajak tidak mengakibatkan hapusnya
26
utang pajak dan terhentinya pelaksanaan
penagihan pajak.”
Tidak dilunasinya utang pajak dapat
terjadi karena Wajib Pajak/Penanggung Pajak
menyembunyikan hartanya sehingga tidak
cukup harta yang dapat dijadikan jaminan
pelunasan utang pajak dan biaya penagihan
pajak. Terhadap Wajib Pajak/Penanggung
Pajak yang beritikad tidak baik tersebut dapat
dilakukan tindakan penyanderaan. Dalam
Pasal 1 ayat (21) Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dikemukakan
bahwa:
“Penyanderaan adalah pengekangan
sementara waktu kebebasan Penanggung
Pajak dengan menempatkannya di
tempat tertentu.”
Menurut Pasal 33 ayat (1) UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa:
“Penyanderaan hanya dapat dilakukan
terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak sekurangkurangnya sebesar Rp 100.000.000,(seratus juta rupiah) dan diragukan itikad
baiknya dalam melunasi utang pajak.”
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menyatakan
bahwa:
“Penyanderaan terhadap Penanggung
Pajak tidak mengakibatkan hapusnya
utang pajak dan terhentinya pelaksanaan
penagihan pajak.”
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
D. Penutup
Daftar Pustaka
Penerimaan negara dari sektor pajak yang
diperoleh dari rakyat, termasuk para pelaku
bisnis adalah melalui pemungutan pajak yang
dilakukan berdasarkan Pasal 23A amandemen ke-3 (ketiga) Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undangundang.
Penerimaan negara dari sektor pajak
tersebut merupakan andalan dalam membiayai pembangunan nasional. Oleh karena
itu, terhadap para pelaku bisnis yang belum
memenuhi kewajiban pembayaran pajak
sebagaimana mestinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku sehingga menimbulkan
tunggakan utang pajak akan dilakukan
tindakan penagihan pajak. Menurut pasal 1
ayat (9) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2000 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa penagihan
pajak adalah serangkaian tindakan agar
Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak dengan menegur atau
memperingatkan, melaksanakan penagihan
seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat
Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Tindakan penagihan pajak merupakan upaya
yang dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya dan untuk menunjang kemandirian pembiayaan pembangunan
nasional.
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar
Perpajakan 1, Eresco, Bandung, 1990.
, Asas dan Dasar Perpajakan 2,
Eresco, Bandung, 1990.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985
tentang Bea Meterai.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga atas Undangundang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
tentang Perubahan Ketiga UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
27
LAW, FAITH AND LIBERTY:
Christian Jurisprudence and the Western Legal Tradition
Augusto Zimmermann
Abstract
Until recent times the legal systems of Western societies were largely inspired by the religious
convictions of individuals who believed in a higher or natural law reflecting enduring principles
of justice and morality. This view led to some of the greatest developments in the history of the
rule of law. Indeed, jurists such as Blackstone, Coke and Fortescue, who made vast contributions
to the development of the rule of law in the West, often drew heavily from a Christian philosophy
when expounding and developing what are now well established principles of constitutional
law. This article discusses the impact of Christianity on the development of individual rights and
the rule of law in Western societies.
Introduction
A central discussion in Western legal theory
is whether a law, in order to be recognised as
such, must conform to some permanent or
higher standards of justice and morality. Natural law theorists answer this question in the
affirmative, arguing for the existence of unwritten principles that are in some sense superior
to the positive law of the state. They therefore
propound the idea of a natural or divine reason to which every positive law ought to conform. These unwritten precepts they call ‘natural law’.
The acceptance of a ‘natural law’ raises
a question that has been the source of much
debate: If there are laws superior to positive
laws, where do these laws originate from and
how are they determined? Numerous competing theories have been advanced in order to
answer this question. Some have contended
that this superior law is based upon ‘objective
ethical principles, which are accessible to all
1
2
3
28
humans by virtue of their rational capacities’.1
However, many Western jurists who accept
the idea of natural law have attributed its origin to God – in particular, a Christian incarnation of God.2 This article discusses the profound impact of Christianity on the development of Western legal traditions. It is argued
that the Christian religion comprises a fundamental aspect of the Western legal tradition of
individual rights and government under the
law.3
Higher Law Thinking within a Christian
Framework With the emergence of Christianity in the first century AD the blending of religious ideals with the ancient Greek notion of
natural law led to the refinement and broad
acceptance of this legal theory in Western
societies. While it is clear that the concept of
natural law was first proposed by the ancient
Greeks and Romans, and therefore outside its
religious framework, the acceptance of natural law owes much to the advent of Christian-
Jonathan Crowe, ‘Existentialism and Natural Law’ (2005) 26 Adelaide Law Review 55, 56. See also
Michael Moore, ‘Good without God’ in Robert P George (ed), Natural Law, Liberalism, and Morality
(Oxford: Oxford University Press, 1996) .
See Russell Hittinger, The First Grace: Rediscovering Natural Law in a Post-Christian Age (2003).
On the western legal tradition, see Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation of the
Western Legal Tradition (1983).
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
ity, which soon after its historical appearance
became one of the most profound influences
upon the development of the Western legal
tradition. As affirmed by Law Professor Patrick
Parkinson of the University of Sydney:
Indeed, Christianity was to the formation
of the western legal tradition as the womb
is to human life. The history of western
law cannot be understood in isolation from
religious influences, for at every level of
society, and in every aspect of social and
political life, these influences were pervasive.4
Natural law is not a Christian invention
although it appears to be justified in the New
Testament. For instance, Matthew 22:21 tells
of when Christ was questioned by disciples of
the Pharisees as to whether or not it was lawful to pay taxes to Caesar. To this, Christ responded: ‘Render unto Caesar the things that
are Caesar’s, and to God the things that are
God’s’. There, Christ seemed to draw a distinction between the laws of Caesar (temporal
laws) and the laws of God (natural laws).
Should the two be in contention, the laws of
God must prevail.5
Perhaps even more compelling is a passage in St Paul’s Letter to the Romans, when
the ‘apostle to the Gentiles’ argues that although the Gentiles (non-Jews) have not received the Ten Commandments they still can
do everything which is required by the law,
‘because of the work of the law that is written
in their hearts. Their conscience bear witness
of this fact, with their thoughts accusing or else
excusing them’. (Romans 2:15) This passage
features extensively in the works of Christian
legal philosophers and is primarily relied upon
as a biblical authority for the existence of the
natural law.6
4
5
6
7
8
9
In this sense, Irenaeus (c.130-200), an
early Christian theologian, contended that the
Ten Commandments are no more than a mere
reminder of the eternal principles established
by God even before Moses had received
them.7 This so being, natural law would explain why Old Testament people such as
Enoch, Noah and Abraham would have
obeyed the law even if there was no written
command determined by God (Gen 26:5).
Though not receiving God’s ‘positive law’, that
is, the Ten Commandments, they kept the law
into their hearts by exercising love, justice,
mercy and righteousness, apart from the revealed law (Gen 26:5).
The law that is revealed in Scripture contains enduring principles that God has already
written in our hearts, although our understanding of these principles is effaced as a consequence of our ignorance and spiritual blindness or rebellion. To resolve this serious problem, God committed his law into writing (i.e.,
biblical revelation) so that the revealed law
may now teach us more perfectly what the
natural law only teaches us meagrely and
obscurely. As such, the Fathers of the Christian Church believed that the natural or divine
natural law should always prevail over the
positive law.8 For instance, the early theologian Origen (c.185-254) considered that ‘it is
reasonable to prefer the Law of Nature, as
being God’s law, before the written law which
has been laid down by men in contradiction
to the Law of God’.9 Thus, Origen concluded:
Where the law of nature, that is of God,
enjoins precepts contradictory to the written laws, consider whether reason does
not compel a man to dismiss the written
code and the intention of the lawgivers
for from his mind, and to devote himself
Patrick Parkinson, Tradition and Change in Australian Law (2nd ed, 2001), 25.
See Francis A Shaeffer, A Christian Manifesto (2005), 89-102.
See Chester James Antieau, The Higher Laws: Origins of Modern Constitutional Law (1994).
Adversus omnes haereses 4. 13-15.
Antieau, above n.6, 53.
Origen, Contra Celsum, Bk.5, §37
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
29
to the divine Lawgiver and to choose to
live according to His word, even if in doing this he must endure dangers and countless troubles and death and shame.10
At the heart of Christian legal philosophy
is the idea of God’s perfect law of liberty and
justice. Any other aims of temporal laws are,
as such, secondary to this conception. As a
result, the Bible contains numerous examples
of resistance against political tyranny. Exodus
1:17-21, Esther 3:2 and 4:13-16, Daniel 3-1618, and Acts 5:29 are just a few examples. As
a result, in 390, St Ambrose (c.337-397), then
the bishop of Milan, applied these Christian
principles to compel the Roman Emperor
Theodosius to publicly repent of his vindictive
massacre of seven thousand innocent people.
Ambrose strongly believed that ‘a conscientious man must sooner die than obey a command which he knows is wrong’.11 In declaring the supremacy of the Christian law over
the Emperor’s arbitrary will, Ambrose turned
the absolutist monarch inherited from Roman
law into a monarch strictly under the rule of
law.
St Augustine (354-430) was certainly inspired by these principles when he declared
that a ‘law that is unjust is not seen to be law
at all’.12 In City of God he contends that a government devoid of justice is no different from
a system of organised banditry: ‘For justice
being taken away, what are kingdoms but
great robberies? For what are robberies them-
selves, but little kingdoms?’13 In other words,
if positive laws are not perceived as naturally
just, then the distinction between the government which enacts these laws and a mere
criminal gang in practice disappears. Inspired
by Augustine’s teachings, St Thomas Aquinas
(1225-1274) later commented that any law that
violates the natural law is ‘no longer a law,
but a corruption of law’14. Of course, this implies in a natural right of the people to resist
political tyranny. As Aquinas put it,
If it is a people’s right to provide itself with
a king, and if that king tyrannically abuses
the royal power, there is no injustice if
the community deposes or checks him
whom they have raised to the kingship,
nor can it be charged with a breach of
faith for abandoning a tyrant, even if the
people had previously bound themselves
to him in perpetuity; because, by not faithfully conducting himself in government as
the royal office demands, he has brought
it on himself if his subjects renounce their
bargain with him.15
Christian Jurisprudence Displayed
in the English Common Law
The Christian faith was central to the development of the common law since its conception
after the 1066 Norman Conquest of England.16
In the first stage of its development, from the
thirteenth century to the eighteenth century,
the common law rested almost entirely upon
10
11
12
13
14
15
Idem.
St Ambrose, Sermon Contra Auxent, 1-2.
St Augustine, The City of God, Book I, Part V.
Idem, Book III, par.28. 8.
St Thomas Aquinas, Summa Theologiae, Ia IIae, q.95. art.2.
St Thomas Aquinas, De regimene pricipum 1.6. Inspired by these words, Pope John XXIII wrote in
Pacem in Terris (1963): “Since the right to command is required by the moral order and has its source in
God, it follows that, if civil authorities pass laws or command anything opposed to the moral order and
consequently contrary to the will of God, neither the laws made nor the authorizations granted can be
binding on the consciences of the citizens, since God has more right to be obeyed than men”. – Pope
John XXIII, Pacem in Terris (1963), parag.51.
16 “The emergence of the English common law system occurred in an age and in a culture steeped in
Christian theology, Christian morals, and a Christian understanding of the meaning and value of life.
The influence of the Christian world-view was determinative for social institutions as well as individual
lives. – Stephen C. Perks, Christianity and Law: An Enquiry into the Influence of Christianity on the
development of English Common Law (1993), 11.
30
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
a religious belief that looked to a higher law
as the basis for judicial decision. Thus the late
Sino-American jurist John Wu commented:
‘While the Roman law was a deathbed convert to Christianity, the common law was a
cradle Christian’.17
In medieval England all the most renowned jurists of the land held church office
and were versed not only in Roman law but
also in canon law. The first of these jurists was
Sir Henry de Bracton (1210 – 1268), a judge
in Eyre (a representative of the king who rode
from county to county holding court sessions)
and a Justice of the King’s Bench. Bracton’s
exceptional contributions to the common law
have earned him the much deserved title of
‘Father of the Common Law’18. In De Legibus
et Consuetudinibus Angliae (On the Laws and
Customs of England), Bracton defines jurisprudence as ‘the science of the just and unjust’
and the application of law as involving ‘a just
sanction ordering virtue and prohibiting its
opposite’.19 Bracton also reveals in this seminal book the undeniable Christian underpinnings of the English law:
The king himself … ought not to be under
man but under God, and under the law,
because the law makes the king … [F]or
there is no king where will, and not law,
wields dominion. That as a vicar of God
he [the king] ought to be under the law is
clearly shown by the example of Jesus
Christ … For although there lay open to
God, for the salvation of the human race,
many ways and means … He used, not
the force of his power, but the counsel of
His justice. Thus He was willing to be under the Law, ‘that he might redeem those
who were under the Law.’ For He was
unwilling to use power, but judgment.20
But it was not just during that specific period of time that the English law has looked
into Christian principles as its main source of
legitimacy. The same kind of higher law thinking that motivated Bracton in the thirteenth
century remained at the heart of the common
law over many centuries ahead.21 Indeed, the
English Revolution of the seventeenth century
was justified mainly on the pretension of restoring the Christian foundations of the ancient
rights and liberties of the English people, which
had been abrogated in the preceding centuries of Tudor-Stuart absolutism. In England, according to the late Emeritus Professor of English Constitutional Law O. Hood Phillips,
Historically the phrase [Rule of Law] was
used with reference to a belief in the existence of law possessing higher authority –
whether divine or natural – that that of the
law promulgated by human rulers which
imposed limits on their power. It was probably in this sense that Aristotle expressed
the view that “the rule of law is preferable
to that of any individual”. Bracton, writing
in the thirteenth century, adopted the
theory generally held in the Middle Ages
that “the King himself ought not be subject
to man but subject to God and to the law,
because the law makes him king” the
same view is also expressed in the Year of
the Books of the fourteenth and fifteenth
century. Such superior law governed kings
as well as subjects and set limits to the prerogative. On that ground Fortescue, in the
middle of the fifteenth century, based his
argument that there could be no taxation
without representation.22
One of the most influential proponents of
this sort of higher law thinking was Sir John
John C.H. Wu, Fountain of Justice: A Study in the Natural Law (1955), 65.
H. Wayne House, The Christian and American Law (1998), 13.
Henry de Bracton, On the Laws and Customs of England, Vol. II (1968), 25.
Idem.
Jeffrey A. Brauch, Is Higher Law Common Law? Readings on the Influence of Christian thought in
Anglo-American Law (1999), 34.
22 O.H. Phillips and P. Johnson, O. Hood Phillips’ Constitutional and Administrative Law (1987), 37.
17
18
19
20
21
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
31
Fortescue (1394-1476). As chancellor to King
Henry VI, Fortescue believed ‘the Law of
Nature sprang from God alone, is subject to
his Law alone, and under Him and with Him
governs the whole world, whence it comes
that all other laws are its servants.’23 Thus he
quoted directly from Mark 2:27 to proclaim that
the kings of England have been called to govern for the sake of their kingdom, not otherwise.24 According to Fortescue, since ‘liberty
is the gift of God to man in His creation [all
laws must] favour of liberty at any instance’25.
As such, he defined tyranny as any attempt to
replace ‘natural liberty’ with a certain condition of servitude that satisfies only the desires
of evil authorities. As Fortescue put it:
A law is necessarily adjudged cruel if it
increases servitude and diminishes freedom, for which human nature always
craves. For servitude’, he said, ‘was introduced by men for vicious purposes. But
freedom was instilled into human nature
by God. Hence freedom taken away
from men always desires to return, as is
always the case when natural liberty is
denied. So he who does not favour liberty is to be deemed impious and cruel.26
In the same line of thinking, a few decades
later Christopher St. Germain (1460–1541)
undertook a comprehensive analysis of the
relationship between the common law and
conscience. Published in 1528, St Germain’s
Dialogus de fundamentis legum Anglie et de
conscientiae endeavour to explain why the
author considered ‘inconceivable’ that the
English Parliament would ‘recite against the
truth’ as revealed in the Gospels.27 According
to St Germain, ‘it is not to presume that so many
noble principles and their counsel, nor the lords
and the nobles of the realm, nor yet the Commons gathered in the said Parliament, would
from time to time run into so great offence of
conscience as is the breaking of the law of
God’.28 The general assumption expressed in
these words is that ‘those representing the collective wisdom of the entire realm and Church
of England’ would not be so ‘foolish’ as to violate the natural or eternal law of God.29
A similar type of legal reasoning was further developed by Sir Edward Coke (15521632), in the seventeenth century. In 1610, as
Lord Chief Justice of the Court of Common
Pleas, Coke deeply embedded Christian philosophy into the common law through his celebrated ruling in the Calvin’s Case.30 Through
that famous ruling Coke acknowledged (as
Aquinas did before him) the natural law as ‘immutable’ and therefore inherent in humankind,
having thus been conceived by God even
before ‘any judicial or municipal law in the
world’ was created.31 This natural law, Coke
explained,
is that which God at the time of creation
of the nature of man infused into his heart,
for his preservation and direction; and this
is Lex Aeterna, the moral law, called also
the Law of Nature. And by this law writ-
23 Sir John Fortescue, De Laudibus Legum Angliae (1949), 56.
24 Fortescue’s idea of kingship was clearly inspired by the following words of St Isidore (560-636): “Kings
get their name from ruling (reges a regendo vocati)… and he who does not correct (qui non corrigit
‘who does not bring things into the right way’) does not rule. Thus the name of king is held through doing
right, and is forfeited by doing wrong. Whence the… proverb: You shall be king if you do right, and not
otherwise”. – Etymologiae 5.21.
25 Fortescue, above n.23, 136-8.
26 Idem, 105.
27 Christopher St Germain, Doctor and Student, quoted from Jeffrey Goldsworthy, The Sovereignty of
Parliament: History and Philosophy (1999), 71
28 Christopher St Germain, Treatise concerning the Power of the Clergy and the Laws of the Realm (1534/
5), quoted from Goldsworthy, 71.
29 Idem.
30 Calvin v Smith, Eng. Rep. 377 [K.B. 1610].
31 7 Co.1 4b (1610)
32
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
ten with the finger of God in the heart of
man, were the people of God a long time
governed, before the law was written by
Moses, who was the first reporter or writer
of the law in the world.32
That Coke relied upon a Christian conception of the natural law to both defend and
explain the common law is evident in others
of his most celebrated judgments, including the
Dr. Bonham’s Case. On this occasion he applied natural law even to justify the invalidity
of Acts of Parliament.33 In order to explain why
the London College of Physicians was not entitled under the common law to punish Mr
Bonham for practising medicine in the city
without a professional licence, Coke declared:
And it appears in our books, that in many
cases the common law will controul acts
of Parliament, and sometimes adjudge
them to be utterly void; for when an act of
Parliament is against common right and
reason, or repugnant, or impossible to be
performed, the common law will controul
it and adjudge such act to be void.34
This judgement is broadly recognised as
having laid down the foundations for the modern doctrine of judicial review.35 While the
dictum indubitably uncovers one of the most
indispensable premises of judicial review over
parliamentary legislation, Coke actually was
not so much advocating the supremacy of the
courts but the sovereignty of a higher law
which is binding on both Parliament and the
32
33
34
35
36
37
38
39
40
judiciary.36 Indeed, Coke contended that the
source of the English law lied not so much in
human power or wisdom, but in the wisdom
and righteousness of God.
Coke’s opinion was the common understanding amongst the judges and lawyers of
England. In 1592, in the Ratcliff’s Case37, the
English law is said to rest primarily upon the
law of God, whereas in the Herbert’s Case38
the same law is declared in keeping with the
‘perfection of reason’ as manifested by God.
Furthermore, in R v Love (1653) Justice Keble
pronounced: ‘Whatsoever is not consonant to
the law of God, or to right reason which is
maintained by scripture, … be it Acts of Parliament, customs, or any judicial acts of the
Court, it is not the law of England’.39 Based on
this Christian legal tradition, in Third Reports
Coke then declares that in knowing the English law one actually knows the mind of God;
for the law of England should always be in
harmony with the wisdom of God:
For as in nature we see the infinite distinction of things proceed from some unity,
as many flowers from one root, many rivers from one fountain, many arteries in the
body of man from one heart, many veins
from one liver, and many sinews from the
brain: so without question Lex orta est cum
mente divina, and this admirable unity
and consent in such diversity of things,
proceeds only from God the fountain and
founder of all good laws and constitutions.40
Idem.
8 co. Rep. 114.
Idem.
Christopher Wolfe, The Rise of Modern Judicial Review (1994), 90. In Day v Savadge (1614) Chief
Justice Hobart held that ‘even an Act of Parliament, made against natural equity, as to make a man
judge in his own case, is void in itself’ (1614) Hob 85.
Edward S. Corwin: “While Coke regarded the ordinary courts as peculiarly qualified to interpret and
apply the law of reason, he also… recognized the superior claims of the High Court of Parliament as a
law declaring body. Indeed,… his last years were especially devoted to asserting the competence of
Parliament in this respect”. The Higher Law Background of American Constitutional Law (2008), 49.
(1592) 3 Co. Rep. 37 at 40a.
(1586) 3 Co. Rep. 11b at 13b.
(1653) 5 State Tr 825 at 828.
Sir Edward Coke, Third Reports, 3, Cii.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
33
But as it happens Coke deeply angered
King James when he stated that even the monarch himself is bound by the law. Coke believed that on matters of law the king is substantially on the same footing as any other subject of his kingdom.41 Because such position
was viewed as treasonable by King James, he
felt himself compelled to appeal to Lord
Bracton in order to remind the king that even
the monarchs of England are supposed to be
‘under God and the Law’. According to Lord
Denning, one of the most celebrated English
judges of the past century,
Those words of Bracton quoted by Coke,
‘The King is under no man, save under
God and the law’ epitomise in one sentence the great contribution made by the
common lawyers to the Constitution of
England. They (the common lawyers) insisted that the executive power in the law
was under the law. In insisting upon this
they were really insisting on the Christian
principles (of the common law). If we forget these principles, where shall we finish? You have only to look at the totalitarian systems of government to see what
happens. The society is primary, not the
person. The citizen exists for the State, not
the State for the citizen. The rulers are not
under God and the law. They are a law
unto themselves. All law, all courts are
simply part of the State machine. The freedom of the individual, as we know it, no
longer exists. It is against that terrible des-
potism, that overwhelming domination of
human life that Christianity has protested
with all the energy at its command.42
This Christian legal tradition was passionately defended by Sir William Blackstone
(1723-1780) in the eighteenth century. In 1753,
Blackstone entered history by delivering the
first series of lectures on the common law ever
presented in an English university. After leaving academia Blackstone published these lectures in the form of Commentaries on the Laws
of England (1765-1768). Through the pages of
this book the common law received its first
comprehensive treatment and exposition.43
Indeed, Commentaries is described as the first
accessible, authoritative, and comprehensive
guide to the complexities of the common law.44
In Commentaries Blackstone contends
that God has established the state as a merely
delegated authority, not as an autonomous
power above the law. To avoid tyranny, he
concluded, no law shall be valid if it contradicts the natural law which maintains and
regulates our inalienable rights to life, liberty,
and property. Blackstone thus associated the
legal protection of these rights with ‘the eternal immutable laws of good and evil, to which
the Creator Himself and all His dispensations
conforms; and which He has enabled human
reason to discover, so far as they are necessary for the conduct of human actions’45. This
being the case, Blackstone added: ‘No human
laws should be suffered to contradict these
41 Thomas G. Barnes, ‘Introduction to Coke’s Commentary on Littleton’, in A.D. Boyer (ed.), Law, Liberty,
and Parliament: Selected Essays on the Writings of Sir Edward Coke (2004), 13.
42 The Rt Hon Sir Alfred (later Lord) Denning, The Changing Law (1986), 117-8.
43 Wilfrid Prest, William Blackstone: Law and Letters in the Eighteenth Century (2008), 292.
44 Albert W. Alschuler writes: “The most notable aspect of the structure of Blackstone’s Commentaries
was simply that the book had a structure. The common law had grown in a haphazard fashion through
the issuance of royal writs, and the system of civil pleading of Blackstone’s era depended on finding an
appropriate write and pleading it. The common law had no more structure than the writ system gave it,
and the ad hoc character of English law, evident in such works as Charles Viner’s Abridgment, was the
principal reason why Roman law was thought more suitable for university study. Before the appearance
of the Commentaries, an author declared: “It has been thought impracticable to bring the laws of
England into a method and therefore a prejudice has been taken up against the study of our laws… as
if there was no way to attain to the knowledge of them but by a tedious wandering about…”. ‘Rediscovering Blackstone’ (1994) University of Pennsylvania Law Review 1, 8.
45 Idem, 40-1.
34
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
[natural and eternal] laws ... Nay, if any human law should allow or enjoin us to commit
it, we are bound to transgress that human law,
or else we must offend both the natural and
the divine.’46
Blackstone’s theological interpretation of
the common law was not unusual but rather
mirrored in the American federal courts during its first decades, with most American
judges placing their reliance on natural-law
theory when adjudicating matters of law.
Within this legal context, the concept of natural law (and natural rights) was deeply promoted and advocated by outstanding American jurists such as US Supreme Court Chief
Justice John Marshall (1755-1835) and Joseph
Story (1779-1845), the first Dane Professor of
Law at Harvard University and Associate Justice of the US Supreme Court. Justice Story
linked the common law to the rights of conscience, which ‘are given by God, and cannot be encroached upon by human authority,
without a criminal disobedience of the precepts
of natural, as well as revealed religion.’47
Christian Jurisprudence and the Roots
of Western Constitutionalism
In the constitutional struggle of parliamentary
forces with the Stuarts in seventeenth-century
England, the receptive attitude to the Christian religion allowed philosophers such as John
Locke (1632-1704) to build upon Coke and
Fortescue a legal theory whereby the main
justification for the state lies in the legal protection of our basic rights to life, liberty and
property. Published in 1690, Locke’s Two Treatises of Government elaborates on a ‘state of
nature’ which predates the establishment of
the first civil government. In such a state of
nature there is no positive law but only a natu-
ral law that everyone by reason is able to
recognise and uphold. ‘This law of nature’,
Locke explained,
stands as an eternal rule to all men, legislators as well as others. The rules that they
make for other men’s actions must, as well
as their own and other men’s actions, must
be conformable to the law of nature, i.e.
to the will of God of which that is a declaration. And the fundamental law of nature
being the preservation of mankind, no
sanction can be good or valid against
it…48
Locke thereby believed that our most fundamental rights are independent of, and antecedent to, the establishment of the state. As a
result, Locke added, the state ‘hath no other
end but the preservation of these rights, and
therefore can never have a right to destroy,
enslave, or designedly to impoverish the subjects’.49 According to him, the state puts itself
into a ‘state of war’ against the citizen every
time it attempts to undermine his or her rights
to life, liberty and property. Being deemed
natural and inalienable, these rights set limits
on the state and provide grounds for civil resistance against political tyranny should they
be violated. Insofar as the state does not fully
protect our basic rights it actually ceases to be
a legitimate authority and can therefore be
dismissed for breach of trust. As Locke put it,
The legislative being only a fiduciary
power to act for certain ends, there remains still in the people a supreme power
to act for certain ends, there remains still
in the people a supreme power to remove
or alter the legislative, when they find the
legislative contrary to the trust reposed in
them. For all power given with trust for
the attaining an end being limited by that
46 Sir William Blackstone, The Sovereignty of the Law—Selections from Blackstone’s Commentaries on
the Laws of England (1973), 27-31
47 Joseph Story, Commentaries on the Constitution of the United States (1833), 1399.
48 John Locke, Second Treatise of Government (1689), Chap.11, Sec. 135.
49 Idem, Chap.13.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
35
end, whenever that end is manifestly neglected or opposed, the trust must necessarily be forfeited, and the power devolved
into the hands of those that gave it, who
may place it anew where they shall think
best for their safety and security.50
Whenever the legislators endeavour to
take away and destroy the property of the
people [i.e., their rights to life, liberty and property], or to reduce them to slavery under arbitrary power, they put themselves into a state
or war with the people, who are thereupon
absolved from any further obedience, and are
left to the common refuge which God hath
provided for all men against force and violence.51
In the American colonies of the eighteenth
century, Locke was, after the Bible, ‘the principal authority relied on by the preachers to
bolster up their political teachings’.52 The general belief expressed in the American Declaration of Independence (1776) that ‘all men are
created equal and are endowed by their Creator with certain unalienable rights’, reveal that
those colonists viewed their revolution as
wholly justified on these Christian principles
of natural law, and further aimed to enshrine
these very principles in their new system of
constitutional government. That the American
Founding Fathers undeniably drew from these
Christian principles during the composition of
the Declaration is well explained by Professor John Eidsmoe:
The Declaration of Independence of 1776
was drafted by a congressional committee consisting of Thomas Jefferson, Benjamin Franklin, Roger Sherman, John
Adams, and Robert Livingstone. The Declaration clearly states that the united colonies are entitled to independence by the
“Laws of Nature and of Nature’s God.”
They further declared that “all men are
created equal,” and that they are endowed “by their Creator” with certain inalienable rights. They closed by appealing to the “Supreme Judge of the world
for the rectitude of [their] intentions,” declaring their “firm reliance on the protection of Divine Providence,” and pledged
their lives, their fortunes, and their sacred
honor. The “Creator” God they trusted
was more than the impersonal and
uninvolved god of the deists; the term
providence implies a God who continually provides for the human race. And the
reference to the laws of nature and of
nature’s God reflects their belief in the law
of nature and the revealed law described
by Blackstone.53
As can be seen, Christian jurisprudence
has played an enormously important role in
the foundation of the United States. The view
adopted by the American Founding Fathers is
that people cannot know the natural moral
order (and as such their own individual rights)
from their own reasoning, unaided by God’s
revelation. There are, of course, those who
resist the relationship of law to a supernatural
Creator because they fear it might lead to intolerance or even theocracy. They have got
this entirely wrong. After all, if we are ‘endowed by their Creator with certain unalienable rights’, then we are also entitled to the
legal protection of our basic rights no matter
our own personal convictions or whether we
have allegiance to any religion at all.
Thomas Jefferson, the author of the Declaration of Independence, once asked rhetorically: ‘Can the liberties of a nation be secure
when we have removed their only secure
50
51
52
53
Idem.
Idem, Chap.19.
William Molyneux, Case of Ireland’s being bound by acts of parliament in England stated (1689), 100.
House, above n 2, 91; Blackstone’s Commentaries on the Laws of England was a huge success in the
Americas – for many, it was their first comprehensive and clear insight into the English legal system
and it was this example which many future American lawmakers modelled their laws upon.
36
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
basis, a conviction in the minds of the people
that these liberties are a gift of God?’ 54 Despite
current assertions to the contrary, constitutionalism in the West is founded upon the premise
which puts God, not the state, as the ultimate
creator of our basic rights and liberties. As
Alexander Hamilton, the principal architect of
the American Constitution, put it in 1787:
The sacred rights of mankind are not to
be rummaged for amongst old parchments
or musty records. They are written, as with
a sunbeam, in the whole volume of human nature by the hand of divinity itself,
and can never be erased or obscured.55
Contemporary Christian Jurisprudence
Until the eighteenth century the concept of
natural law was deemed superior to any other
in the West. After the second half of the nineteenth century, however, the idea of natural
law practically disappeared, being obliterated
as it was by the so-called ‘scientific’ spirit of
the age. The hibernation of the natural law
came to an end only after World War II. A
legal thinker who changed his mind after the
war was Gustav Radbruch (1878-1949), a leading exponent of legal positivism (and moral
relativism) during Pre-Nazi Germany. And yet,
in the fourth edition of Rechtsphilosophie,
which was published posthumously in 1950,
Radbruch surprised everyone by arguing that
where a positive law is incompatible with universal principles of natural justice ‘to an intolerable degree’, or where such law is designed
in a way that violates ‘the equality that is the
core of all justice, the people own them no
obedience and lawyers, too, must find the
courage to deny them the character of law’.56
Radbruch thus applied this understanding to
the Nazi legal system, and concluded that its
positive commands ‘did not partake of the
character of law at all; they were not just wrong
law but were no law of any kind’.57
Undoubtedly, one of the most celebrated
legal theorists in the West today is John Finnis.
He is a self-confessed Roman Catholic who
defines law as a set of rules and principles to
be directed to the pursuit of the ‘common good’.
The law’s main function, Finnis argues, is to
assist people ‘to co-ordinate their activities for
the objectives and commitments they have
chosen’.58 According to Finnis, however, the
question of whether or not one can disobey
unjust laws cannot be answered in absolute
terms. Such answer ‘is highly contingent upon
social, political, and cultural variables’.59 One
needs as such to consider whether civil disobedience so as to bring about a legal system
into disrepute may produce more harm than
good.60 Accordingly, any revolutionary uprising against an evil authority can only be justified ‘where there is a manifest, long-standing
tyranny which would do great damage to fundamental personal rights and dangerous harm
to the common good of the country’.61
Another important Western legal philosopher is J. Budziszewski, a professor in the
departments of Government and Philosophy
at the University of Texas at Austin.
Budziszewski describes natural law as principles that are both right and knowable to everybody by ‘right reason’. And yet, he thinks
that reason cannot stand by itself, and that one
only comes to entirely know the law through
54 Cited in R.J. Rushdoony, The Politics of Guilt and Pity (Fairfax Thoburn Press, 1978) at 135.
55 Quoted in J.A. Joyce, The New Politics of Human Rights (Macmillan, 1978), p.7.
56 Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie (4th ed, 1950). Quoted from John M. Kelly, A Short History of
Western Legal Theory (1991), 419
57 Idem.
58 John Finnis, ‘Is Natural Law Theory Compatible With Limited Government?’, in Robert P. George (ed),
Natural Law, Liberalism and Morality (1996), 6.
59 John Finnis, Natural Law and Natural Rights (1980), 362
60 Idem, 36.
61 Pope Paul VI, Popularum Progressio (1967), parag. 31.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
37
divine revelation. Thus he mentions five forms
of obtaining such revelation: (1) creation’s testimony to the existence of the true God; (2)
‘the fact that we are made in the image of God’;
(3) ‘the facts of our physical and emotional
design’; (4) ‘the law of conscience’; (5) ‘the
order of causality, which teaches us by liking
every sin with consequences (Proverbs 1:31)’62
Budziszewski also explains that, in his
opinion, ‘the doctrine of natural law is grounded
by the second, third, fourth, and fifth ways of
general revelation’. Elsewhere he comments
that the first general revelation must be regarded as the most important of all, otherwise
the natural law would lose its force if it were
not observed as the law of a personal Creator.63
Although it is not so common for Western lawyers in these days to address theological questions,64 Budziszewski is not ashamed of advocating the supremacy of the natural law by
directly appealing to the Bible.65
If Budziszewski is correct in his assumption that which is beside Scripture can only be
vindicated with the assistance of Scripture, then
any argument in favour of the natural law must
be an argument which is supported by Scripture. Although accepting the logical consequences of this bold assumption, Budziszewski
is quite comfortable with his conclusion, especially because he does not really mean that
every argument favouring the natural law
needs necessarily be followed by literal scriptural confirmation. What his legal theory implies is rather that when an argument attempts
to trace the natural law back to its ultimate
foundation, that foundation is that located in
Scripture.66
Conclusion
The idea of natural law can be traced to the
classical philosophy of the ancient Greeks and
Romans, through several Christian medieval
writers, and down to modern times. Christian
theologian-philosophers, such as St Augustine
and St Thomas.
The history of the natural law illustrates
the fundamental importance of Christian philosophy in the development of the Western
legal tradition, including its tradition of individual rights and government under the law.67
Indeed, Christian principles of natural law are
enshrined in the most significant legal documents in Western constitutional history, including the Magna Carta (1215), the Bill of Rights
(1689), and the American Declaration of Independence (1776).68 To ignore this fact results in a diminished understanding of the rule
of law and the principles that underpin it in
Western societies.
IBLIOGRAPHY
Antieu, Chester J., The Higher Laws: Origins
of Modern Constitutional Law, William S
Hien & Co, 1994.
Aquinas, Thomas, Summa Theologiae, T&T
Clark, 2010.
Alschuler, Albert W., ‘Rediscovering
Blackstone’ (1994) University of Pennsylvania Law Review 1.
Barnes, Thomas G., ‘Introduction to Coke’s
Commentary on Littleton’, in A.D. Boyer
(ed.), Law, Liberty, and Parliament: Selected Essays on the Writings of Sir Edward Coke, Liberty Fund, 2004.
J. Budziszewski, Written on the Heart: The Case for Natural Law (1997), 180-1.
Idem, 210.
John F. Frame. The Doctrine of the Christian Life (2008), 243.
Budziszewski, above n.62, 183-4.
Frame, above n.65, 245.
On the formation of the western legal tradition, see Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation of the Western Legal Tradition (1983).
68 See Corwin, above n.36 . See also Chester J. Antieau, ‘Natural Rights and the Founding Fathers—the
Virginians’ (1960) 17 Washington and Lee Law Review 43.
62
63
64
65
66
67
38
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Berman, Harold J., Law and Revolution: The
Formation of the Western Legal Tradition,
Harvard University Press, 1983.
Blackstone, William, The Sovereignty of the
Law: Selections from Blackstone’s Commentaries on the Laws of England, University of Toronto Press 1973
Bracton, Henry, On the Laws and Customs of
England, Vol. II, Harvard University
Press,1968.
Brauch, Jeffrey A., Is Higher Law Common
Law? Readings on the Influence of Christian thought in Anglo-American Law,
Rothman, 1999.
Budziszewski, J., Written on the Heart: The
Case for Natural Law, Crossway, 1997.
Coke, Edward Coke, Selected Writings, Vols.
I, II & III, Liberty Fund, 2003.
Corwin, Edward S., The Higher Law Background of American Constitutional Law
Liberty Fund, 2008.
Denning, Alfred, The Changing Law, Stevens
& Sons, 1986.
Finnis, John, ‘Is Natural Law Theory Compatible With Limited Government?’ in Robert
P. George (ed), Natural Law, Liberalism
and Morality, Oxford University Press,
1996.
Fortescue, John, De Laudibus Legum Angliae,
Cambridge University Press, 1949.
Frame, John F., The Doctrine of the Christian
Life, R&R Publishing, 2008.
George, Robert P., A Preserving Grace: Protestants, Catholics, and Natural Law (1997),
94.
George, Robert P., In Defense of Natural Law,
Oxford University Press, 1999.
Goldsworthy, Jeffrey, The Sovereignty of Parliament: History and Philosophy, Oxford
University Press, 1999.
Hittinger, Russell, The First Grace: Rediscovering Natural Law in a Post-Christian Age
(2003).
Kelly, John M., A Short History of Western
Legal Theory, Oxford University Press,
1991.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Locke, John, Political Writings, Penguin Books,
1993.
Parkinson, Patrick, Tradition and Change in
Australian Law, 2nd ed, Thomson, 2001.
Perks, Stephen C., Christianity and Law: An
Enquiry into the Influence of Christianity
on the development of English Common
Law, Avant Books, 1993.
Phillips, O.H. & Johnson, P., O. Hood Phillips’
Constitutional and Administrative Law,
Sweet & Maxwell, 1987.
Prest, Wilfrid, William Blackstone: Law and
Letters in the Eighteenth Century, Oxford
University Press, 2008.
Rushdoony R.J., The Politics of Guilt and Pity,
Fairfax Thoburn, 1978.
St Augustine, The City of God, Hendrickson,
2009.
Story, Joseph, Commentaries on the Constitution of the United States, Hilliard, Gray &
Co, 1833.
Schaeffer, Francis A., A Christian Manifesto,
Crossway, 2005.
Wolfe, Christopher, The Rise of Modern Judicial Review, Rowman & Littlefield, 1994.
Wu, John C.H., Fountain of Justice: A Study in
the Natural Law, Shee and Ward, 1955.
39
TRANSAKSI DERIVATIF SEBAGAI PRODUK HUKUM
Johannes Ibrahim Kosasih*)
Abstrak
Transaksi Derivatif merupakan produk perbankan dan keuangan yang menuai berbagai masalah
di dalam praktik sehubungan dengan berbagai penyalahgunaan yang dilakukan oleh pelaku
transaksi. Sebagai suatu produk, tidak secara keseluruhan transaksi ini merugikan, walaupun
dapat dikategorikan sangat berisiko. Dalam praktik keuangan dikatakan “High Risk, High Return”, berarti bila investor berminat terhadap suatu produk dengan nilai “return” yang tinggi,
risikonyapun demikian. Tidak secara keseluruhan transaksi derivatif diperkenankan, untuk
transaksi yang dikelompokan “structured product” dilarang dikarenakan dapat membahayakan
kestabilan Rupiah.
Pengaturan transaksi derivatif diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/2005 tanggal
13 September 2005 tentang Transaksi Derivatif sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor: 10/38/PBI/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif berlandaskan asas
kehati-hatian (prudential banking).
Pendahuluan
Sistem devisa bebas yang diterapkan oleh
pemerintah memicu pergerakan nilai Rupiah
terhadap berbagai jenis valuta asing dalam
pasar keuangan dan perbankan di Indonesia
dengan pasar keuangan global, termasuk di
dalamnya adalah transaksi derivatif. Transaksi
derivatif merupakan kegiatan bisnis yang patut
diantisipasi dengan berbagai pengaturan yang
ketat dan penuh kehati-hatian sehubungan
transaksi derivatif sangat mempengaruhi
terhadap kestabilan Rupiah.
Berbagai kasus mengenai transaksi
derivatif yang mengoyak dunia perbankan
dimulai dari kasus Dicky Iskandardinata (Bank
Duta), PT Nubika Jaya dengan Standard Chartered Bank, juga kasus yang sama dengan PT
Permata Hijau Sawit, PT Victorindo Alam
Lestari dan berbagai kasus lainnya yang belum
terpublikasikan secara luas. Transaksi yang
dilakukan oleh para pihak umumnya berbentuk Callable Ratio forward Currency ( Callable
Forward), Target Redemption Forward (Target
Forward) dan berbagai bentuk derefikasi
produk lainnya dapat berupa Dual Currency
Deposit (DCD), Knock Out Forward Weekly
Accumulator.
Transaksi-transaksi derivatif yang termasuk structured product telah dilarang dalam
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 10/42/
DPD tanggal 27 November 2008 perihal
Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah
kepada Bank.1
Bank Indonesia selaku otoritas moneter
menerbitkan berbagai kebijakan dalam
menata transaksi derivatif melalui Peraturan
*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha.
1 Yang dimaksud dengan structured product Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 10/42/DPD tanggal 27
November 2008 perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank adalah: “Produk yang
dikeluarkan oleh bank yang merupakan kombinasi suatu aset dengan derivatif dari mata uang asing
terhadap mata uang Rupiah, untuk tujuan mendapatkan tambahan income (return enhancement), yang
dapat mendorong pembelian valuta asing terhadap Rupiah dengan tujuan spekulatif, dan dapat menimbulkan ketidakstabilan Rupiah.
40
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
“Hak Untuk membeli atau menjual property; hak ini diberikan dalam pertukaran
dengan suatu jumlah uang yang sudah
disetujui. Bila hak itu tidak dilaksanakan
setelah suatu periode tertentu, opsi itu
habis masa berlakunya dan pembeli opsi
kehilangan uangnya.”
Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/2005 tanggal
13 September 2005 tentang Transaksi Derivatif sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/38/PBI/2008
tanggal 16 Desember 2008 tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/
PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif.
Pengertian dan
Jenis-Jenis Transaksi Derivatif
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/
2005 tanggal 13 September 2005 tentang
Transaksi Derivatif memberi batasan mengenai transaksi derivatif sebagai:
“Transaksi yang didasari oleh suatu
kontrak atau perjanjian pembayaran yang
nilainya merupakan turunan dari nilai
instrumen yang mendasari seperti suku
bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan
indeks, baik yang diikuti dengan
pergerakan atau tanpa pergerakan dana
atau instrument, namun tidak termasuk
transaksi derivatif kredit.”
John Downes dan Jordan Elliot Goodman
mendefinisikan Instrumen Derivatif atau
turunan adalah:2
“Instrumen keuangan dengan nilai yang
didasarkan pada sekuritas lain. Sebagai
contoh, suatu opsi adalah instrument
turunan karena nilainya diturunkan dari
saham, indeks saham, atau futures yang
menjaminnya”.
Instrumen finansial yang digunakan
dalam transaksi derivatif dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Opsi
Pengertian opsi dapat dikategorikan secara
“umum” dan “sekuritas”. Pengertian Umum
dari opsi adalah:3
2
3
a.
b.
Pengertian opsi dari sekuritas adalah:
“Suatu opsi call memberikan hak kepada
pembelinya untuk membeli 100 saham
dari sekuritas yang menjadi opsi pada
suatu harga tetap sebelum suatu tanggal
tertentu di masa datang. Biasanya tiga,
enam, atau Sembilan bulan. Untuk mendapatkan hak ini pembeli opsi call membayar kepada penjualnya, yang dinamakan writer (penulis), suatu biaya yang
dinamakan premi, yang menjadi hangus
bila pembeli tidak melaksanakan opsinya
sebelum tanggal yang sudah disetujui
bersama.
Lawan dari opsi call adalah opsi put, yang
memberi hak kepada pembelinya untuk
menjual suatu jumlah saham tertentu pada
suatu harga tertentu dalam periode yang
telah ditentukan. Pembeli put mengharapkan harga dari saham yang menjamin put
akan jatuh.”
Dapat disimpulkan bahwa opsi adalah
suatu kontrak di mana salah satu pihak menyetujui untuk membayar sejumlah imbalan
kepada pihak lainnya untuk suatu “hak” untuk
membeli atau menjual sesuatu kepada pihak
lainnya.
2. Swap
John Downes dan Jordan Elliot Goodman
mendefinisikan “swap” dengan:
“Mempertukarkan satu sekuritas dengan
sekuritas lain. Barter dapat dilaksanakan
untuk mengubah jatuh tempo obligasi
John Downes dan Jordan Elliot Goodman. Kamus Istilah Keuangan dan Investasi. Jakarta: Elex Media
Komputindo, 1991, hlm. 137.
Ibid., hlm. 382-383.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
41
portepel atau mutu emisi suatu portepel
saham atau obligasi, atau karena tujuan
investasi sudah berubah. Investor yang
menderita kerugian obligasi portepel
seringkali membarterkannya dengan
obligasi berhasil serahan lebih tinggi, agar
mampu menambah pendapatan atas
portepel mereka dan merealisasi kerugian
pajak.”
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/36/
PBI/2005 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai
memberikan beberapa definisi yaitu Transaksi
Swap, Transaksi Swap Beli Bank, Lindung
Nilai dan Transaksi Swap Lindung Nilai
sebagaimana diuraikan di bawah ini:4
“Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui pembelian/
penjualan tunai (spot) dengan penjualan/
pembelian kembali secara berjangka
yang dilakukan secara simultan dengan
bank yang sama dan pada tingkat premi
atau diskon dan kurs yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi
dilakukan.”
“Transaksi Swap Beli Bank adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui
penjualan tunai (spot) dengan pembelian
kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan Bank
Indonesia dan pada tingkat premi atau
diskon dan kurs pada tanggal transaksi
dilakukan.”
“Lindung Nilai adalah cara atau teknik
untuk mengurangi risiko yang timbul
maupun yang diperkirakan akan timbul
akibat adanya fluktuasi harga di pasar
keuangan.”
“Transaksi Swap Lindung Nilai adalah
transaksi swap beli Bank dalam valuta
asing terhadap Rupiah, dalam rangka
lindung nilai yang dilakukan antara Bank
dengan Bank Indonesia.”
4
5
42
“Underlyng Transaksi Swap Lindung Nilai
(disebut juga Underlyng Transaksi) adalah
transaksi swap yang dilakukan antara
Bank dengan nasabahnya yang
selanjutnya akan ditransaksikan ke Bank
Indonesia melalui Transaksi Swap
Lindung Nilai “
3. Forward
John Downes dan Jordan Elliot Goodman
mendefinisikan “forward contract (kontrak di
muka)“ dan Forward Exchange Transaction
(transaksi valuta asing di muka) dengan:5
“Pembelian atau penjualan suatu jumlah
tertentu dari suatu komoditas, sekuritas
pemerintah, valuta asing, atau instrumen
keuangan lain pada harga yang berlaku
sekarang atau harga tunai, dengan penyerahan dan penyelesaian pada suatu
tanggal nanti yang telah ditentukan.
Karena itu suatu kontrak yang telah
diselesaikan, berlawanan dengan kontrak
opsi yang pemiliknya masih mempunyai
pilihan untuk menyelesaikan atau tidak
menyelesaikan suatu kontrak dimuka
dapat menjadi pelindung untuk suatu
futures contract.”
“pembelian atau penjualan valuta asing
pada nilai tukar yang ditetapkan sekarang
tetapi dengan pembayaran dan penyerahan pada suatu saat yang telah ditentukan. Kebanyakan kontrak valuta asing
di muka mempunyai jatuh tempo satu,
tiga, atau enam bulan, walaupun kontrak
dalam mata uang penting biasanya dapat
diatur untuk diserahkan pada setiap
tanggal yang telah ditentukan sampai satu
tahun, bahkan terkadang sampai tiga
tahun.”
Lihat Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/36/PBI/2005 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai, Pasal 1
butir (2), (3), (4), (5), (6).
John Downes dan Jordan Elliot Goodman. Op.cit., hlm. 207.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
4. Dual Currency Deposit (DCD)6
Dual Currency Deposit (DCD) merupakan
deposito jangka pendek yang di dalamnya
terdapat kemungkinan terjadi konversi antara
valuta asing dengan mata uang Rupiah, yang
bunganya dihubungkan dengan pergerakan
kurs dari dua mata uang tersebut. Pada saat
jatuh tempo, nasabah akan menerima pokok
dan bunga dalam mata uang penempatan
deposito atau dalam mata uang pasangannya,
tergantung mana yang lebih lemah dibandingkan dengan kurs konversi yang disetujui.
Contoh:
Kurs spot
Mata uang yang diterima
Junlah yang diterima
Skenario 1: jika kurs spot <
Strike: 11.000
10.000
USD
IDR 1 miliar + (IDR 1
miliar*15%*30/360)= IDR
1.0125 miliar/12.000= USD
101,250
5. Callable Forward
Callable Forward adalah instrument investasi
yang dilakukan nasabah dengan melakukan
kombinasi transaksi forward dan option. Misalnya menggabungkan long forward and short
call option, dengan harapan untuk memperoleh harga yang lebih baik dari harga pasar.
Contoh (1):
a. Nasabah melakukan kontrak forward
dan option selama 3 bulan dengan Bank,
dengan total 12 (dua belas) kontrak option, sejak 1 Desember 2008 sampai
dengan 16 Februari 2009, dengan rincian
sebagai berikut:
1) Volume: USD 5.000.000 (lima juta
US dollar)
2) Kurs spot rate: 12.000.
3) Nasabah melakukan kontrak forward
3 bulan dengan cara melakukan:
6
Buy call option: strike price =
12.300 (Weekly exercise)
•
Sell put option: strike price =
12.300 (Weekly exercise)
b. Akibat dari pembelian valuta asing
yang dilakukan melalui transaksi
callable forward ini, nasabah memperoleh keuntungan transaksi sebesar
Rp 19.500.000.000,00 (Sembilan
belas miliar lima ratus juta Rupiah)
atau sekitar USD 1.500.000 (satu juta
lima ratus ribu US dollar), dari yang
seharusnya
hanya
Rp
•
Skenario 2: jika kurs spot >_
Strike: 11.000
12.000
IDR
IDR 1 miliar + (IDR 1 miliar
*15%*30/360)= IDR 1.0125
miliar
3.500.000.000,00 (tiga miliar lima
ratus juta Rupiah) atau ekuivalen USD
270.000 (dua ratus tujuh puluh ribu US
dollar),dengan rincian:
1) Rupiah terus mengalami pelemahan, di mana spot price pada
tanggal 16 Februari 2009 mencapai Rp 13.000,- (tiga belas ribu
Rupiah) per USD.
2) Pada saat kurs lemah, yang terjadi
adalah:
· Nasabah akan meng-exercise
call option nya sehingga
nasabah dapat membeli di
harga Rp.12.300,00 namun
membiarkan put option-nya
worthless, sehingga nasabah
menjual pada harga pasar.
· Kurs konversi yang digunakan
Lihat lebih lanjut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 10/42/DPD tanggal 27 November 2008 perihal
Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank, perihal kegiatan spekulatif dalam kelompok
“structured product”.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
43
juga dapat berbeda-beda
tergantung kesepakatan
nasabah dan Bank.
Produk derivatif dalam butir (4) dan (5) di
atas dapat dikategorikan sebagai bentuk
Fixing
Expiry
date
Spot
Onshore
Strike
Volume
Nasabah
buy to bank
(jt Rp)
Nasabah sell
to market
(jt Rp)
Profit/
loss
(jt Rp)
1
2
3
4
….
12
1 Des
8 Des
15 Des
22 Des
….
16 Feb
12,000
12,100
12,500
12,500
…..
13,000
12,300
12,300
12,300
12,300
…..
12,300
USD 5 juta
USD 5 juta
USD 5 juta
USD 5 juta
…..
USD 5 juta
61,500
61,500
61,500
61,500
…..
61,500
60.000
60,500
62,500
62,750
…..
65,000
TOTAL
(1,500)
(1,000)
1,000
1,250
…..
3,500
19,500
Contoh (2) :
a. Nasabah PT X akan menerima export
proceed dalam US Dollar, dan
bermaksud untuk menjual US Dollar
tersebut secara mingguan dalam 1
(satu) tahun ke depan (total kontrak
sebanyak 52 kontrak), melalui
transaksi callable forward dengan
harapan memperoleh rate yang lebih
baik dari market rate, dengan rincian
sebagai berikut:
· Deal rate : 1 Desember 2008.
· Tenor
: 1 tahun, jatuh tempo
1 Desember 2009.
· Spot rate : 12.000.
· Callable forward rate 1 year:
13.000 = strike price.
b. Dalam transaksi callable forward, PT
X melakukan “sell call” dengan
nominal USD 1.000.000 (satu juta US
Dollar), dan melakukan “buy put”
dengan nominal USD 1.000.000 (satu
juta US Dollar).
kegiatan yang dilarang dalam kelompok
“structured product”.
Perjanjian Sebagai Dasar
Transaksi Derivatif
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/
2005 tanggal 13 September 2005 tentang
Transaksi Derivatif menjelaskan bahwa
transaksi derivatif harus didasari oleh suatu
kontrak atau perjanjian pembayaran. Hal ini
berarti untuk timbulnya hubungan hukum
diantara para pihak ketentuan dalam hukum
perjanjian (Buku III KUHPerdata) sebagai
rujukannya.
Pasal 1320 KUHPerdata menerangkan
untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
1. “Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal”.
Fixing
Expiry
date
Spot
Onshore
Strike
Nominal
Transaksi
1
2
3
4
5
… dst
1 Des
8 Des
15 Des
22 Des
29 Des
… dst
12,000
12,100
12,500
12,550
12,600
… dst
13,000
13,000
13,000
13,000
13,000
… dst
USD 1 juta
USD 1 juta
USD 1 juta
USD 1 juta
USD 1 juta
… dst
44
PT X buy to
market
(jt Rp)
12,000
12,100
12,500
12,550
12,600
… dst
PT X sell to
Bank
(jt Rp)
13,000
13,000
13,000
13,000
13,000
… dst
Profit/
loss
(jt Rp)
1,000
900
500
450
400
… dst
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Mengkaji unsur-unsur keabsahan suatu
perjanjian Peraturan Bank Indonesia Nomor:
7/31/PBI/2005 tanggal 13 September 2005
tentang Transaksi Derivatif memberikan
berbagai rambu-rambu yang harus ditaati oleh
para pihak di dalam hubungan hukum ini.
Kesepakatan yang terjadi harus berdasarkan kehendak para pihak untuk saling
mengikatkan diri, sehingga apabila Bank
dalam tindakannya melakukan transaksi
derivatif untuk kepentingan nasabah7 di dalam
Pasal 4 ayat (1) harus dipenuhi, yaitu:
“Bank wajib memberikan penjelasan
secara lengkap kepada nasabah yang
akan melakukan Transaksi Derivatif.“
Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa:
“Penjelasan secara lengkap kepada
nasabah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) antara lain meliputi penjelasan
atas:
a. risiko kredit (credit risk);
b. risiko penyelesaian (settlement risk);
c. risiko pasar (market risk);
d. adanya kemungkinan saldo Margin
Deposit dapat menjadi nihil bahkan
negatif sehingga Bank dapat meminta
nasabah untuk menambah Margin
Deposit apabila nasabah akan
melanjutkan atau menutup transaksi
Margin Trading.”
Apabila pihak Bank memenuhi ketentuan
dimaksud maka kesepakatan telah tercapai
diantara para pihak dan tidak terjadi sesuatu
yang menghalangi kesepakatan tersebut.8
Kecakapan dalam mengikatkan diri bagi
kedua belah pihak di dalam Transaksi Derivatif ditentukan bahwa Bank yang dalam
7
8
9
melaksanakan kegiatan ini adalah Bank
Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 termasuk kantor cabang bank asing di
Indonesia.
Suatu hal tertentu merupakan objek dari
Transaksi Derivatif sebagaimana disyaratkan
dalam Pasal 4 ayat (4) wajib mencakup paling
sedikit adalah:
a. Pagu transaksi derivatif;
b. Base currency yang digunakan;
c. Jenis valuta atau instrumen yang
dipertukarkan;
d. Penyelesaian transaksi derivatif (settlement risk);
e. Pembukuan laba atau rugi Transaksi
Derivatif yang dilakukan;
f. Pencatatan atas posisi laba atau rugi;
g. Metode atau cara transaksi derivatif;
h. Besarnya komisi;
i. Penggunaan kurs konversi;
j. Advis dan konfirmasi transaksi derivatif;
k. Kerahasiaan; dan
l. Domisili dan hukum yang berlaku.
Sedangkan khusus untuk kontrak
transaksi Margin Trading , selain mencakup
materi di atas, juga wajib memuat hal-hal
sebagai berikut:
a. Jumlah Margin Trading;
b. Maintenance Margin yang ditentukan;
dan
c. Hak dan kewajiban nasabah.
Substansi kontrak dimaksud dalam
pelaksanaannya harus dicetak dalam huruf
yang besar sehingga memudahkan untuk
dibaca.9
Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Transaksi
Derivatif, menjelaskan bahwa transaksi derivatif dapat dilakukan baik untuk kepentingan bank sendiri
maupun untuk kepentingan nasabah.
Lihat Pasal 1321 KUHPerdata: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan,
atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”
Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa:
(1) Pelaku usah dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
45
Suatu sebab yang halal. Transaksi Derivatif tidak dapat bertentangan dengan model
transaksi structured product, hal ini dihindari
karena dapat memicu pergerakan valuta asing
terhadap Rupiah yang tidak terkendali sehingga dapat mengakibatkan ketidak stabilan Rupiah.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/
2005 tanggal 13 September 2005 tentang
Transaksi Derivatif merupakan kaidah hukum
memaksa (dwingenrecht) sehingga wajib
untuk ditaati oleh para pihak.
Posisi Para Pihak
dalam Transaksi Derivatif
Keseimbangan dalam suatu perjanjian dapat
diterapkan dalam Transaksi Derivatif apabila
pihak Bank dalam melakukan transaksi untuk
kepentingan nasabahan melakukan hal-hal di
bawah ini:
1. Memberikan penjelasan tentang risiko
dalam transaksi derivatif seperti misalnya:
a. risiko kredit (credit risk)10;
b. risiko penyelesaian (settlement risk)11;
c. risiko pasar (market risk)12;
2. Bank memfasilitasi dan tidak menawarkan terhadap nasabahnya kegiatan yang
bersifat spekulatif, dengan underlying
a. menyetakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
kosumen;
c. menyatakanbahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan
atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengaur perihal pembktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli
oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. menyatkan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
(2) Pelaku usaha dlarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau
tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi
hukum.
10 Risiko kredit merupakan risiko yang paling signifikan dari semua risiko yang menyebabkan kerugian
potensial. Risiko kredit adalah risiko yang terjadi karena kegagalan debitur, yang menyebabkan tak
terpenuhinya kewajiban untuk membayar hutang. Secara garis besar, risiko kredit dapat dibagi menjadi
3 (tiga): risiko default, risiko exposure, dan risiko recovery. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai
aktivitas Bank, antara lain: pemberian kredit, transaksi derivatif, perdagangan instrumen keuangan,
serta aktivitas Bank yang lain, termasuk yang tercatat dalam banking book maupun trading book.
11 Lihat lebih lanjut. www.bi.go.id, sistem pembayaran mengemukakan pentingnya risiko penyelesaian:
“Bank sentral di seantero jagad ini sangat peduli akan risiko atas penyelesaian dari nilai tukar valas.
Kepedulian ini begitu kuat mencuat karena gaung dari eksposur yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
yang melakukan penyelesaian atas nilai tukar. Selain itu juga karena potensi terjadinya persoalan
sistemik yang dapat membawa kegagalan atas single trading conterparty. Dan sebagai hasilnya, sebuah
kesepakatan yang memadai dari rencana kerja telah diputus guna mengembangkan kerangka kerja
yang memperbaiki pengukuran dan pengelola serta dimana mungkin dapat memangkas risiko. Agar
supaya kepedulian ini bisa tersebar di wilaya Asia Timur dan Pasifik, anggota dari EMEAP Working
Group on Payment and Settlement System menyepakati untuk melakukan sebuah studi kebiasaan
yang berlaku dalam penyelesaian nilai tukar di bank komersial dalam wilayah yuridiksi mereka.
12 Risiko Pasar (market risk) adalah suatu risiko yang timbul karena menurunnya nilai suatu investasi
karena pergerakan pada faktor-faktor pasar. Empat faktor standar risiko pasar adalah risiko modal,
risiko suku bunga, risiko mata uang, dan risiko komoditas.
46
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
3.
4.
diantaranya berupa:
a. Kegiatan impor barang dan jasa;
b. Pembayaran jasa seperti:
1) Biaya sekolah di luar negeri;
2) Biaya berobat ke luar negeri;
3) Biaya perjalanan luar negeri untuk
keperluan haji, perjalanan ibadah/
wisata rohani, atau wisata lainnya;
4) Pembayaran atas penggunaan
jasa konsultan luar negeri;
5) Pembayaran yang terkait dengan
penggunaan tenaga kerja asing di
Indonesia;
c. Pembayaran utang dalam valuta
asing;
d. Pembayaran atas pembelian asset di
luar negeri;
e. Kegiatan usaha pedagang valuta
asing non bank yang memiliki ijin;
f. Kegiatan untuk usaha travel agent;
g. Penempatan pada simpanan dalam
valuta asing.
Bank menyampaikan terhadap nasabahnya cara perhitungan di dalam transaksi
derivatif yang disebut dengan mark to
market. Perhitungan ini didasarkan atas
kurs pasar yang telah disepakati pada
setiap akhir hari kerja secara konsisten
bagi posisi terbuka untuk menentukan
kerugian dan keuntungan.13
Mengakomodasikan secara jelas hak dan
kewajiban kedua belah pihak di dalam
perjanjian derivatif.
Manajemen Risiko Operasional Bank
Transaksi di dalam praktik perbankan tidak
luput dari risiko, apakah risiko tersebut kecil
atau besar dan bagaimana para pihak yang
terlibat dalam transaksi dimaksud untuk
mengantisipasinya.
Risiko didefinisikan sebagai peluang
terjadi bad outcome (hasil yang buruk), dan
besarnya peluang dapat diestimasikan. Selain
itu dalam setiap tindakan terdapat Risk event
(kejadian risiko) yang diuraikan sebagai
potensi terjadinya suatu peristiwa yang
menciptakan kerugian (hasil buruk).
Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum mengatur agar masing-masing
Bank menerapkan Manajemen Risiko14 sebagai
upaya meningkatkan efektivitas prudential
banking. Konsep Manajemen Risiko yang
terintegrasi, diharapkan mampu memberikan
suatu sort and quick report kepada Board of
Director guna mengetahui risk exposure yang
dihadapi Bank secara keseluruhan.
Beberapa ketentuan dalam Peraturan
Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum yang dapat diterapkan bagi transaksi
derivatif dan harus dipenuhi oleh para pihak
mencakup berbagai risiko yang harus diantisipasi terdiri atas: Risiko Kredit15, Risiko Pasar16,
Risiko Likuiditas17, Risiko Operasional18, Risiko
Hukum19, Risiko Reputasi20, Risiko Strategik21,
Risiko Kepatuhan22.
13 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Transaksi Derivatif,
menjelaskan bahwa posisi terbuka (open position) adalah posisi valuta dasar (base currency) transaksi
derivatif yang masih terbuka.
14 Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
menjelaskan pengertian Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang
digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari
kegiatan usaha Bank.
15 Risiko Kredit adalah Risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya.
16 Risiko Pasar adalah Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement)
dari portofolio yang dimiliki oleh Bank, yang dapat merugikan Bank. Variabel pasar dalam huruf ini
adalah suku bunga dan nilai tukar.
17 Risiko Likuiditas adalah Risiko yang antara lain disebabkan Bank tidak mampu memenuhi kewajiban
yang telah jatuh waktu.
18 Risiko Operasional adalah Risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan dan atau tidak
berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal
yang mempengaruhi operasional Bank.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
47
Menurut penulis, Manajemen Risiko Bank
merupakan suatu alat atau metoda bagi Manajemen, untuk mengetahui seluruh jenis risiko
dari Bank yang dikelolanya, sehingga dapat
dilakukan pemantauan, agar Bank tidak
menderita kerugian karena unexpected loss23.
Penutup
Transaksi derivatif merupakan bentuk perjanjian yang lahir di dalam praktik perbankan.
Transaksi derivatif berkembang seiring dengan
pesatnya pertumbuhan pasar keuangan global dan memberi peluang bagi para pihak
untuk berspekulasi untuk meraup keuntungan.
Bank Indonesia mengantisipasi usaha spekulatif baik dari perorangan/nasabah maupun
lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 7/31/PBI/2005 tanggal 13
September 2005 tentang Transaksi Derivatif
juncto Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/6/
2005 tentang Transparansi Informasi Produk
Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Daftar Pustaka
Agasha Mugasha. Good Faith Obligation in
Commercial Contract. International
Bussiness Lawyer, September, 1999.
Jack Beatson dan Daniel Friedman. Good Faith
and Fault in Contract Law. Oxford:
Clarendon Press, 1995.
J. Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan yang
Lahir dari Perjanjian II. Bandung: Citra
Aditya Bakti:1995.
Henry Campbell Black’s. Black’s Law Dictionary. Sixth Edition. St. Paul Minn: West
Publishing Co, 1990.
Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Edisi Revisi.
Jakarta: Pradnya Paramita, 1995.
Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko
Bagi Bank Umum.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/
2005 tanggal 13 September 2005 tentang
Transaksi Derivatif sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/38/PBI/2008 tanggal 16
Desember 2008 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/
PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/2005
tentang Transparansi Informasi Produk
Bank dan Penggunaan Data Pribadi
Nasabah.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/
DPD tanggal 27 November 2008 perihal
Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah
kepada Bank.
19 Risiko Hukum adalah Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek
yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang
mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan
agunan yang tidak sempurna.
20 Risiko Reputasi adalah Risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan
kegiatan usaha Bank atau persepsi negatif terhadap Bank.
21 Risiko Strategik adalah Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi
Bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya Bank
terhadap perubahan eksternal.
22 Risiko Kepatuhan adalah Risiko yang disebabkan Bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan
peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Pengelolaan Risiko Kepatuhan
dilakukan melalui penerapan sistem pengendalian intern secara konsisten.
23 Risk loss (risiko kerugian) adalah kerugian yang terjadi sebagai dampak langsung atau tidak langsung
dari kejadian risiko. Kerugian tersebut dapat bersifat finansial atau non-finansial.
48
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
PENERAPAN RASIO KECUKUPAN MODAL SEBAGAI UPAYA
PENINGKATAN DAYA SAING BISNIS PERBANKAN
PADA PERSAINGAN GLOBAL
Hassanain Haykal
Abstrak
Bank sebagai lembaga intermediasi dalam menjalankan kegiatannya tidak terlepas dari berbagai
risiko. Risiko yang dihadapi bank dalam upaya meningkatkan perekonomian masyarakat meliputi
risiko kredit, pasar, likuiditas, operasional, hukum, reputasi, strategik dan kepatuhan. Salah satu
risiko yang cukup signifikan dalam kaitannya dengan ekspansi kegiatan usaha bank, adalah
risiko likuiditas, di mana risiko likuiditas tidak dapat dipisahkan dari aspek permodalan bank.
Pada prinsipnya, permodalan merupakan penunjang operasional bank, di samping sarana protektif
guna meminimalisir risiko yang terjadi akibat adanya transaksi bank yang semakin kompleks.
Untuk itu, Bank Indonesia selaku pengawas bank memberlakukan Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) yang dinyatakan dalam rasio modal dibagi Aktiva Tertimbang Menurut Rasio
(ATMR). Rasio ini dikenal dengan istilah CAR (Capital Adequacy Ratio), yang berarti rasio
kecukupan modal.
Penerapan CAR (Capital Adequacy Ratio) di Indonesia, diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, yang ditujukan
kepada semua bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvesional di Indonesia,
perihal tingkat kesehatan bank umum. Pada persaingan bisnis perbankan yang semakin kompetitif,
khususnya dalam kerangka globalisasi peran CAR (Capital Adequacy Ratio) menjadi sangat
penting dan krusial, mengingat tidak terpenuhinya prosentase kecukupan modal yang dimiliki
oleh suatu bank, akan berakibat gagalnya bank dalam meminimalisir kerugian yang ada. Tidak
terantisipasinya kerugian yang terjadi, dapat menimbulkan ekses yang cukup ekstrim, yaitu bank
mengalami kebangkrutan.
Pada era globalisasi peranan bank akan semakin menonjol, mengingat melalui jasa perbankan,
akan memperluas akses perdagangan mulitinasional tanpa batas (borderless), sehingga alur barang
dan jasa dapat bergerak dengan cepat dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun
demikian, dalam memaksimalkan peranannya, bank memerlukan dukungan permodalan yang
cukup. Peningkatan permodalan merupakan hal yang wajib dilakukan dalam persaingan bisnis
perbankan yang kompetitif, karena untuk dapat bersaing, suatu bank memerlukan berbagai
ekspansi, baik dalam lingkup pendanaan maupun perkreditan, hal tersebut tentunya akan memiliki
risiko yang cukup besar. Maka guna mengantisipasi meluasnya kerugian yang terjadi bank wajib
memenuhi rasio kecukupan modal yang telah ditentukan.
***
Bank as a financial intermediary in carrying out its activities can not be separated from risk
sharing. Risks faced by banks in an effort to improve the community’s economy include credit
risk, market, liquidity, operational, legal, reputation, strategic and compliance. One of the significant risks in relation to the expansion of banking activities, is the liquidity risk, in which liquidity
risk can not be separated from aspects of bank capital. In principle, capital is the bank’s operational support, in addition to protect facilities in order to minimize risks that occur due to an
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
49
increased complex banking transactions. To that end, Bank Indonesia as bank supervisors impose Capital Adequacy Ratio (CAR) is expressed in the divided capital Ratio Weighted Assets
(RWA). This ratio is known as the CAR (Capital Adequacy Ratio), which means the capital adequacy ratio.
Application of CAR (Capital Adequacy Ratio) in Indonesia, Bank Indonesia Regulation No. 6/10/
PBI/2004 dated 12 April 2004 on the Rating System for Commercial Banks and Bank Indonesia
Circular Letter Number 6/23/DPNP May 31, 2004, addressed to all commercial banks conducting business in a conventional in Indonesia, regarding the soundness of commercial banks. In the
competition of an increasingly competitive banking business, particularly within the framework
of globalization, the CAR (Capital Adequacy Ratio) becomes very important and crucial, given
the non-fulfillment of the percentage of capital adequacy that being owned by a bank, a bank
failure will result in minimizing the losses there. Can’t anticipated the losses that occur, may lead
to excesses that extreme condition that we used to say the bank went bankrupt.
In the era of globalization the role of banks will be more prominent, given through banking
services, will expand trade access multiple national without borders (borderless), so that the flow
of goods and services can move quickly and be able to encourage economic growth. However,
in maximizing its role, the bank requires that sufficient capital support. The increase of capital is
a must do in a competitive banking business competition, because to be competitive, some banks
require a variety of expansions, either within the scope of financing and credit, it certainly will
have a big enough risk. So in order to anticipate the widespread losses banks are required to
meet the capital adequacy ratio has been determined.
A. Pendahuluan
Industri perbankan memiliki peran yang
strategis dalam meningkatkan perekonomian
masyarakat. Secara empirik, hal ini dapat
dilihat dari peran bank dalam menghimpun
dana dari masyarakat dan menyalurkannya
kembali dalam bentuk kredit. Guna mendukung peran dan fungsi bank tersebut, perlu
dikembangkan berbagai kebijakan simultan
agar perbankan secara berkesinambungan
dapat terus menopang laju perekonomian dan
mampu menunjang berbagai aktivitas maupun
kegiatan ekonomi masyarakat.
Perbankan yang mampu menjadi penopang laju perekonomian adalah perbankan
yang secara mendasar memiliki fondasi yang
kokoh, visi misi yang jelas dan sistem pengelolaan yang baik. Di samping itu, aspek permodalan menjadi unsur yang cukup penting dalam
mendukung akselerasi dan kinerja suatu bank,
khususnya dalam meminimalisir kerugian yang
50
terjadi akibat berbagai transaksi perbankan
yang semakin berkembang dan kompleks.
Aspek permodalan merupakan elemen
yang wajib dipenuhi dan terus dikembangkan
oleh para pelaku bisnis bank, mengingat pesat
atau tidaknya perkembangan suatu bank
tergantung pada kemampuan modal yang
tersedia. Di samping itu, sebagai lembaga
keuangan yang memiliki fungsi intermediasi,
bank harus mampu menjaga likuiditas maupun
solvabilitas. Bank yang memegang status
solvent akan memiliki risiko kerugian yang
minim dibandingkan dengan bank yang
berstatus insolvent.
Berdasarkan hal tersebut, maka Bank
Indonesia selaku pengawas perbankan memberikan ketentuan yang berkaitan dengan
modal minimum yang harus tersedia bagi bank
umum, agar perbankan mampu menyerap/
meminimalisir kerugian, sehingga terhindar
dari kebangkrutan.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
B. Pengaturan Rasio Kecukupan
Modal dalam Sistem Perbankan
di Indonesia
Kesehatan atau kondisi keuangan merupakan
kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola (manajemen) Bank, masyarakat
pengguna jasa Bank, Bank Indonesia selaku
otoritas pengawasan Bank, dan pihak lainnya.
Kondisi Bank tersebut dapat digunakan oleh
pihak-pihak tersebut untuk mengevaluasi
kinerja Bank dalam menerapkan prinsip
kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan
yang berlaku dan manajemen risiko.
Perkembangan industri perbankan,
terutama produk dan jasa yang semakin
kompleks dan beragam akan meningkatkan
eksposur risiko yang dihadapi Bank. Perubahan eksposur risiko Bank dan penerapan
manajemen risiko akan mempengaruhi profil
risiko Bank yang selanjutnya berakibat pada
kondisi Bank secara keseluruhan. Bank yang
tidak tanggap dalam menghadapi perubahan
eksposur kredit yang terus meningkat, terlebih
tanpa dukungan kecukupan modal akan
mengakibatkan ekses yang buruk bagi kelangsungan hidup bank bersangkutan. Untuk itu,
Bank Indonesia yang bertugas mengawasi dan
mengatur bank, mengeluarkan peraturan
berupa sistem CAMELS, yang terdiri atas
permodalan (capital), kualitas aset (asset quality), manajemen (management), rentablitas
(earning), likuiditas (liquidity) dan sensitivitas
terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk),
yang tertuang di dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12
April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum, dengan menyebutkan:
Pasal 3:
“Penilaian tingkat Kesehatan Bank mencakup penilaian terhadap faktor-faktor
sebagai berikut:
a. permodalan (capital);
b. kualitas aset (asset quality);
c. manajemen (management);
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
d. rentablitas (earning);
e. likuiditas (liquidity); dan
f. sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk).”
Pasal 4:
“Penilaian terhadap faktor permodalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf (a) meliputi penilaian terhadap
komponen-komponen sebagai berikut:
a. kecukupan, komposisi dan proyeksi
(tren ke depan) permodalan serta
kemampuan permodalan bank dalam
meng-cover asset bermasalah;
b. kemampuan bank memelihara
kebutuhan penambahan modal yang
berasal dari keuntungan, rencana
permodalan bank untuk mendukung
pertumbuhan usaha, akses kepada
sumber permodalan, dan kinerja
keuangan pemegang saham untuk
menngkatkan permodalan bank.”
Penjelasan Pasal 3 huruf (a):
“Penilaian permodalan merupakan
penilaian terhadap kecukupan modal
bank untuk mengcover eksposur risiko
saat ini dan mengantisipasi eksposur risiko
di masa datang.”
Selain Peraturan Bank Indonesia di atas,
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/23/
DPNP tanggal 31 mei 2004, yang ditujukan
kepada semua bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvesional
di Indonesia, perihal tingkat kesehatan bank
umum, mengenai penilaian tingkat kesehatan
bank CAMELS dalam hal faktor permodalan
(capital), memberikan menjelaskan:
“Penilaian pendekatan kuantitatif dan
kualitatif faktor permodalan antara lain
dilakukan melalui penilaian terhadap
komponen-komponen sebagai berikut:
a. kecukupan pemenuhan Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
terhadap ketentuan yang berlaku;
b. komposisi permodalan;
51
c. tren ke depan/proyeksi KPMM;
d. aktiva produktif yang diklasifikasikan
dibanding dengan modal bank;
e. kemampuan bank memelihara
kebutuhan penambahan modal yang
berasal dari keuntungan (laba
ditahan);
f. rencana permodalan bank untuk
mendukung pertumbuhan usaha;
g. akses kepada suber permodalan; dan
h. kinerja keuangan pemegang saham
untuk meningkatkan permodalan
bank.”
Dalam penilian tingkat kesehatan permodalan bank, digunakan tolok ukur CAR atau
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM). CAR atau yang dikenal dengan Capital Adequacy Ratio adalah rasio atau perbandingan antara modal bank dengan Aktiva
Tertimbang Menurut Rasio (ATMR).1 CAR
menjadi pedoman bagi bank dalam melakukan ekspansi kredit, di mana semakin besar
kuantitas kredit yang disalurkan, maka semakin besar pula prosentase kecukupan modal
yang harus dipenuhi oleh bank bersangkutan.
Bank Indonesia dengan berpedoman
pada standar BIS (Bank for International
Sattlement) menetapkan bahwa bank dinyatakan sehat apabila memiliki CAR minimal 8%.
Berdasarkan rambu tersebut, bank yang
memiliki CAR di bawah 8% tidak diperkenankan memberikan kredit baru, kecuali bagi
kredit lama yang dilunasi.
1
2
52
C. Peranan Rasio Kecukupan Modal
dalam Upaya Peningkatan Bisnis
Perbankan yang Kompetitif
Peran permodalan dalam upaya meminimalisir
tingginya kerugian bank akibat transaksi yang
semakin kompleks telah menjadi perhatian
berbagai bank di seluruh dunia. Untuk itu,
Basel Komite2 dalam perkembangannya telah
mengubah aturan main permodalan bank yang
berlaku saat ini. Komite Basel dalam pernyataannya akan menentukan minimum rasio
kecukupan modal menjadi 7%. Dalam
pelaksanaannya, kebijakan tersebut memiliki
tenggat waktu sampai dengan 10 tahun
mendatang. Kebijakan ini sudah pasti akan
mendorong sektor perbankan untuk meningkatkan proporsi modal yang harus dimiliki oleh
sebuah bank. Peraturan “Basel III” merupakan
sebuah peraturan yang dibuat guna mengatasi
kondisi ketidakpastian yang terjadi pada fundamental global saat ini. Belum lagi ditambah
oleh resiko yang ditimbulkan dari dampak
krisis kredit yang terjadi 2 (dua) tahun yang
dikhawatirkan akan terulang pada waktuwaktu mendatang. Komite Basel menilai
bahwa rasio kecukupan modal yang aman
akan memberikan sebuah kondisi yang dapat
mencegah kerawanan di sektor kredit.
Peraturan “Basel III” tersebut merupakan
penyempurnaan dari peraturan “Basel II” yang
diberlakukan sebelumnya mulai 1988.
Dimana pada “Basel II” level rasio kecukupan
modal minimum sebesar 8%, dengan fokus
utama kepada perhitungan permodalan
berbasis resiko. Metode penyempurnaan juga
terjadi dibandingkan dengan “Basel I” dimana
pada “Basel II” menggunakan penghitungan
risk sensitive capital allocation. Dengan
proporsi tingkat modal inti atau Tier 1 mini-
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) adalah aktiva neraca (on balance sheet) dan aktiva administratif (off balance sheet) yang telah dibobot sesuai tingkat bobot risiko yang telah ditentukan.
Basel komite adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh bank sentral dari negara-negara G-10. Komite
Basel merumuskan standar dan pedoman pengawasan umum dan merekomendasikan praktik terbaik
dalam pengawasan perbankan dengan harapan bahwa harapan bahwa negara-negara anggotanya serta
negara-negara lain akan mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi tersebut ke dalam sistem
nasional masing-masing. Tujuan komite ini adalah untuk mendorong konvergensi menuju pendekatan
dan standar bersama dalam sektor perbankan.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
mum sebesar 4%. Oleh karena itu, dalam
peraturan “Basel III” saat ini, sisi penghitungan
risiko kredit dengan ditekankan bagi bankbank untuk dapat memiliki kecukupan modal
agar aman dari risiko kredit yang dapat
meningkatkan kerawanan terhadap krisis
kredit. Maka dari itu, level core tier 1 untuk
“Basel III” kali ini ditingkatkan sebesar minimal 4,5%.3
Ketentuan mengenai CAR (Capital Adequacy Ratio) yang termuat dalam Basel III
pada dasarnya penting untuk diratifikasi oleh
negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia. Hal ini bertujuan agar praktik perbankan
di Indonesia dapat dilaksanakan sesuai dengan
standar dan pedoman pengawasan umum
yang direkomendasikan oleh Basel Komite
tersebut, dengan harapan perbankan Indonesia mampu bersaing di kancah global. Basel
Komite secara komprehensif telah meneliti
rasio kecukupan modal yang wajib diterapkan
oleh bank-bank yang ingin berkompetitif
dalam persaingan bisnis bank, mengingat pada
era globalisasi kompleksitas maupun risiko,
serta yang akan dihadapi oleh perbankan
akan semakin besar
Modal memiliki peran yang sangat
penting dalam keselamatan dan kesehatan
bank individu dan perbankan. Untuk itu
penerapan CAR di peta bisnis perbankan Indonesia dalam kerangkan menghadapi
kompetisi global pada dasarnya berperan
dalam menyerap kerugian yang tidak terduga
atau risiko. Apabila terdapat risiko yang lebih
tinggi, maka diperlukan dukungan permodalan yang kuat, serta rasio kecukupan modal
sesuai dengan batas minimum yang telah telah
ditetapkan.
Pada dasarnya, penerapan CAR (Capital
Adequacy Ratio) merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Manajemen Risiko Bank.
Berdasarkan ketentuan manajemen risiko,
bahwa bank yang memiliki ukuran dan kom3
4
pleksitas usaha yang tinggi wajib menerapkan
manajemen risiko, di mana manajemen risiko
mencakup:4
1) pengawasan aktif dewan Komisaris dan
Direksi;
2) kecukupan kebijakan, prosedur dan
penetapan limit;
3) kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian
risiko serta sistem informasi manajemen
risiko; dan
4) sistem pengendalian intern yang
menyeluruh.
Hal terpenting dari kebijakan manajemen
risiko, yang berkaitan dengan CAR (Capital
Adequacy Ratio) yaitu mengenai kebijakan.
Kebijakan yang sesuai prosedur disertai
pengendalian yang baik akan mampu meminimalisir risiko kerugian yang ada. Di samping
itu, dengan kebijakan yang berlandaskan
manajemen risiko, akan meampu menetapkan
risiko yang terkait dengan produk dan jasa
transaksi perbankan.
D. Kesimpulan
CAR (Capital Adequacy Ratio) sebagai aspek
penting dalam pengelolaan bisnis bank, merupakan hal yang wajib dipenuhi dan dipatuhi
oleh setiap pengelola (manajemen), guna
meningkatkan kinerja dan operasional dalam
rangka menghadapi persaingan global. Tidak
terpenuhinya CAR (Capital Adequacy Ratio)
akan berdampak buruk pada likuiditas dan
solvabilitas bank bersangkutan. Untuk itu,
guna meminimalisir risiko yang ada, maka
bank harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai pengawas
perbankan, agar mampu menjelma menjadi
bank yang sehat, likuid dan solvent. Kondisi
bank yang solvent, akan mampu bersaing di
kancah bisnis perbankan, baik nasional
maupun internasional, mengingat bank
www.vibiznews.com
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
53
dengan status solvent akan mampu meminimalisir berbagai risiko akibat ekspansi
berbagi produk perbankan yang dilakukan
guna menarik konsumen sebanyak mungkin.
Guna mengakomodir ketentuan CAR
(Capital Adequacy Ratio) dalam Basel III, maka
Bank Indonesia selaku pengawas moneter,
hendaknya melakukan harmonisasi terhadap
berbagai ketentuan yang berlaku bagi
perbankan, yaitu dengan menerbitkan
berbagai peraturan yang memiliki relevansi
dengan persaingan bisnis perbankan di tingkat
global.
Daftar Pustaka
Dahlan Siamat. Manajemen Lembaga
Keuangan, Kebijakan Moneter dan
Perbankan. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
2005.
Permani Gandapraja. Dasar dan Prinsip
Pengawasan Bank. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004.
Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal.
Credit Management Handbook (Teori,
Konsep, Prosedur dan Aplikasi Panduan
Praktis Mahasiswa, Bankir dan Nasabah).
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Z. Dunil. Bank Auditing – Risk Based Audit
(Dalam Pemeriksaan Perkreditan Bank
Umum). Jakarta: Indeks, 2005.
Peraturan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/
2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko
Bagi Bank Umum.
54
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
PRINSIP MENGENAL NASABAH
(KNOW YOU CUSTOMER PRINCIPLE) DALAM TRANSAKSI BISNIS
Daniel Hendrawan
Abstract
Capital market is one from the finance house that influence at the present. By the presence of the
capital market, the society can posses the capital to develop his own company. The development of the capital market itself attached to the technological development and globalization. At
which to the technological development that keep develop thrive trigger the capital market
globalization. Globalization mean the share transaction can be done wherever, whenever, and
whoever including supranational. Today the capital market is one of the effective place or media
to commit a crime. The matter is caused by the rashness of transaction in the capital market. The
rashness cause the customer who do not have a good faith will do anything to commit a crime.
The tool to prevent the crimein the capital market is know your customer principle. The provision
for know your customer principle is Chief of capital market and finance house supervisor verdict
number KEP- 476/BL/2009 on know your customer principle by the finance service on the capital
market.
A. Definisi Prinsip Mengenal Nasabah
Berdasarkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor KEP- 476/BL/2009 tentang Prinsip
Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa
Keuangan di Bidang Pasar Modal Pasal 1 Huruf
(k):
“Prinsip Mengenal Nasabah adalah
prinsip yang diterapkan Penyedia Jasa
Keuangan di bidang Pasar Modal, untuk
mengetahui latar belakang dan identitas
Nasabah, memantau rekening Efek dan
transaksi Nasabah, serta melaporkan
transaksi keuangan mencurigakan, dan
transaksi keuangan yang dilakukan
secara tunai sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan
tindak pidana pencucian uang, termasuk
transaksi keuangan yang terkait dengan
Pendanaan Kegiatan Terorisme.“
Berdasarkan pengertian prinsip mengenal
nasabah pada Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Keuangan, terdapat unsur-unsur yaitu:
a. Mengetahui latar belakang dan identitas
nasabah;
Mengetahui latar belakang dan identitas
nasabah ini dilakukan dengan cara legal
due diligence. Dalam due diligence ini
diperiksa mengenai latar belakang
nasabah secara keseluruhan. Legal due
diligence ini dilakukan oleh konsultan
hukum.
b. Memantau rekening efek dan transaksi
nasabah;
Pemantauan rekening efek dan transaksi
nasabah ini harus dilakukan kerja sama
antara konsultan keuangan (akuntan) dan
juga konsultan hukum. Peran dari konsultan keuangan adalah memeriksa rekening
efek dan transaksi keuangan. Transaksi
keuangan dari para nasabah dipantau arus
masuk den keluarnya (in and out flow).
Apakah transaksi di atas terdapat hal-hal
mencurigakan. Mencurigakan bila
terdapat transaksi yang terindikasi
55
melakukan kecurangan atau kejahatan.
Kejahatan yang dimaksud dapat berupa
kejahatan money laundering, insider trading, atau juga terorisme. Dalam hal ini
konsultan hukum bertugas memeriksa
transaksi-transaksi yang mencurigakan
tersebut apakah memenuhi unsur-unsur
pidana atau tidak. Apakah transaksitransaksi tersebut akan atau dapat menjadi
sebuah tindak kejahatan baik secara
langsung atau tidak langsung.
Dalam Prinsip mengenal nasabah ini,
penulis juga menganalogikan prinsip mengenal nasabah dalam pasar modal dengan prinsip
mengenal nasabah pada bank. Ada pun
pertimbangan penulis menanalogikan antara
pelaksanaan yang dilakukan di bank dan pasar
modal adalah sebagai berikut:
a. Bank dan pasar modal keduanya merupakan lembaga keuangan yang sangat
berisiko digunakan sebagai media dalam
berbagai tindak kejahatan.
b. Fungsi dari bank dan pasar modal sebagai
lembaga keuangan yang menghimpun
dana dalam masyarakat, sehingga baik
pelaku bisnis yang berada di lembaga
keuangan bank dan pasar modal keduanya berupaya untuk melakukan pertumbuhan bisnis dengan berbagai upaya yang
tidak memberatkan atau memberikan
kenyamanan bagi pihak nasabahnya.
c. Modus kejahatan baik yang dilakukan di
bank maupun di pasar modal umumnya
karakteristik kejahatan tersebut hampir
serupa.
d. Terdapat pengaturan untuk transaksi baik
di bank maupun pasar modal harus
menerapkan prinsip mengenal nasabah
untuk mengetahui profil dari nasabah
tersebut
e. Terdapat adanya sanksi baik bank
maupun pasar modal yang tidak taat
1
56
terhadap ketentuan yang mengatur
tentang prinsip mengenal nasabah.
Menurut Munir Fuady, prinsip mengenal
nasabah didefinisikan sebagai prinsip yang
diterapkan oleh bank untuk mengetahui
secara mendalam identitas nasabah dan
memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk kegiatan pelaporan pada transaksi yang
mencurigakan. Penerapan prinsip mengenal
nasabah ini meliputi baik nasabah bank biasa
(face to face customer), maupun nasabah
tanpa berhadapan (non face to face customer),
seperti nasabah yang melakukan transaksi
melalui telepon, surat menyurat, elektronic
banking.
Prinsip mengenal nasabah merupakan
prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan
transaksi nasabah termasuk pelaporan
transaksi yang mencurigakan. Sejalan dengan
tuntutan dan kebutuhan untuk melakukan
penyesuaian terhadap standar internasional
sebagaimana direkomendasikan oleh Bank of
International Settlement, Basel Comitee, Bank
Indonesia mengeluarkan peraturan tentang
prinsip mengenal nasabah (know your customer principle).1 Dalam memantau transaksi
yang mencurigakan ini dan juga berdasarkan
amanat dalam Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor KEP- 476/BL/2009 tentang
Prinsip Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa
Keuangan di Bidang Pasar modal, maka
dibutuhkanlah prinsip mengenal nasabah pada
pasar modal. Hal ini disebabkan terjadinya
tindak pidana yang sama dalam bank dan pasar
modal yang sama-sama merupakan lembaga
keuangan. Lembaga yang membuat peraturan
dalam pasar modal adalah badan pengawas
pasar modal. Penulis memberikan penafsiran
analogi dari rekomendasi Comitee on Banking Regulation Supervisory Practises tentang
Tarsisius Murwaji. “Sistem Pengawas Perbankan: Studi Kasus Pembobolan Bank BNI”. Bandung: Jurnal
Hukum Litigasi. 2004. hlm. 53.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
prinsip-prinsip pedoman dalam menghadapi
permasalahan pencucian uang dengan
kegiatan yang hampir serupa dengan kegiatan
di pasar modal sebagai berikut:2
a. Semua bank sebaiknya menciptakan
prosedur yang efektif dalam memperoleh
identitas yang benar atas nasabah baru.
Dalam hal ini kegiatan di pasar modal
juga sebaiknya membuat prosedur yang
lebih ketat dalam proses jual beli saham.
Bapepam harus mengetahui emiten dan
juga investor yang melakukan transaksi
jual beli efek.
b. Manajemen bank sebaiknya menjamin
bahwa kegiatan bisnis yang dilakukannya
didasarkan pada standar etika tinggi dan
semua peraturan perundang-undangan
yang mengatur transaksi keuangan benarbenar dilaksanakan.
Penulis berpendapat, pialang atau broker
dan juga pedagang efek wajib untuk
menjamin bahwa kegiatan bisnis yang
mereka laksanakan didasarkan pada
itikad baik dengan etika yang tinggi,
sehingga semua peraturan perundangundangan dilaksanakan dengan baik
c. Bank-bank bekerja secara penuh dengan
pihak yang berwenang dalam bidang
penegakan hukum, sampai batas-batas
maksimal yang diijinkan oleh ketentuanketentuan kerahasiaan nasabah yang ada
pada masing-masing negara.
Penulis berpendapat pialang atau broker
dan juga pedagang efek bekerja sama
dengan konsultan keuangan dan konsultan hukum dan juga pihak-pihak yang
berwenang untuk mengetahui emiten dan
juga investor yang membeli efek sampai
dengan batas maksimal melakukan penegakan hukum terhadap seluruh tindak
pidana yang terjadi dan akan terjadi dan
juga menjaga kerahasiaan emiten dan
2
3
d.
juga pedagang efek sampai pada batas
yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.
Bank-bank sebaiknya mempunyai kebijakan yang konsisten dalam hal pelaporan
dan mengkomunikasikan kebijakan
tersebut ke seluruh karyawannya yaitu
dengan melakukan pelatihan staff,
pengembangan prosedur spesifik dalam
mengidentifikasikan nasabah, penyimpangan internal dan pengembangan
prosedur audit internal.
Penulis berpendapat pialang atau broker
dan juga pedagang efek bekerja sama
dengan konsultan keuangan dan konsultan hukum melakukan audit dalam hal
ini mengenai identitas nasabah dan juga
transaksi keuangan yang dilakukan oleh
investor dan emiten terhadap investor dan
emiten.
Prinsip mengenal nasabah merupakan
sarana yang paling efektif bagi perbankan
untuk menanggulangi kejahatan pencucian
uang. Demikian juga dengan kegiatan di pasar
modal yang berdampak terhadap penilaian
masayarakat, nasabah atau mitra transaksi
bank terhadap bank yang bersangkutan, yaitu
risiko operasional (operasional risk), risiko
hukum (legal risk), risiko konsentrasi (consentration risk), dan risiko reputasi (reputation
risk).3
Risiko operasional (operational risk) merupakan risiko di mana Pialang atau broker dan
juga pedagang efek tidak dapat melakukan
operasionalnya secara normal, misalnya
karena ada kesalahan dan penyalahgunaan
wewenang, ketidakpastian terhadap ketentuan, kelemahan struktur pengendalian intern,
prosedur yang tidak memadai, gangguan
sistem informasi manajemen dan komunikasi,
gangguan sistem pembayaran transaksi jual
beli efek. Kebanyakan risiko operasional
dalam kaitannya dengan prinsip mengenal
Ibid., hlm. 53.
N.H.T. Siahaan. Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Jakarta: CV Muliasari, 2002, hlm. 74.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
57
nasabah terkait dengan kelemahankelemahan dalam implementasi programprogram pialang atau broker dan juga
pedagang efek, prosedur pengawasan yang
tidak efektif, dan tidak dilaksanakannya due
diligence oleh bank tersebut. Persepsi masyarakat bahwa Pialang atau broker dan juga
pedagang efek tidak mampu mengelola
dengan efektif risiko operasionalnya dapat
mengganggu atau dapat berakibat buruk
terhadap bisnis pialang atau broker dan juga
pedagang efek tersebut.
Risiko reputasi (reputation risk) merupakan suatu risiko yang menimbulkan menurunnya atau hilangnya reputasi Pialang atau
broker dan juga pedagang efek di mata publik
atau pemerintah. Pialang atau broker dan juga
pedagang efek sangat rentan terhadap risiko
reputasi, oleh karena Pialang atau broker dan
juga pedagang efek dapat dengan mudah
menjadi media bagi atau menjadi korban dari
kegiatan illegal yang dilakukan emiten atau
investor tersebut.
Risiko hukum (legal risk) terjadi karena
Pialang atau broker dan juga pedagang efek
kurang memperhatikan aspek-aspek yuridis
dari perjanjian atau hal-hal yang beraspek
kontraktual. Pialang atau broker dan juga
pedagang efek dapat menjadi sasaran gugatan
sebagai akibat tidak dipatuhinya prinsip
mengenal nasabah yang diwajibkan, misalnya
dijatuhi denda, harus bertanggung jawab
secara pidana, dan dijatuhi berbagai sanksi
yang dijatuhkan oleh Bapepam.
Risiko konsentrasi (consentration risk)
terjadi karena Pialang atau broker dan juga
pedagang efek menerima dana-dana dari
pihak ketiga dalam jumlah besar yang terkonsentrasi pada beberapa emiten atau investor.
Pada sisi liabilities pada neraca keuangan
Pialang atau broker dan juga pedagang efek,
risiko konsentrasi terkait erat dengan risiko
yang berupa penjualan atau pembelian efek
secara seketika sehingga berpotensi menjadi
4
58
transaksi yang mencurigakan. Terjadinya
funding risk besar sekali kemungkinannya,
dalam hal pialang atau broker dan juga
pedagang efek tersebut pialang atau broker
dan juga pedagang efek kecil dan kurang aktif
di bursa efek dibanding pialang atau broker
dan juga pedagang efek besar. Untuk dapat
menganalisis konsentrasi jual beli efek yang
besar, hendaknya pialang atau broker dan juga
pedagang efek paham mengenai karakteristik
dari emiten dan perusahaan yang melakukan
proses jual beli, termasuk tidak hanya identitas
dari nasabah-nasabah tersebut, tetapi juga
sampai sejauh mana kegiatan nasabahnasabah tersebut yang terkait dengan
nasabah-nasabah lainnya.
B. Latar Belakang Adanya Prinsip
Mengenal Nasabah pada Pasar
Modal
Seperti halnya dengan usaha bank, kegiatan
pasar modalpun menjadi salah satu tempat
yang digunakan sebagai instrumen untuk
melakukan tindak pidana pencucian uang.
Kegiatan pasar modal yang berkembang pesat
memiliki risiko yang semakin besar.
Bank sebagai lembaga keuangan dalam
menjalankan usahanya menghadapi berbagai
risiko. Sejalan dengan perkembangan
teknologi dan globalisasi, dewasa ini sektor
perbankan telah menjadi sarana yang paling
efektif untuk kegiatan pencucian uang (money
laundering). Hal ini dikarenakan sektor
perbankan banyak menawarkan jasa-jasa
dan instrument dalam lalu lintas keuangan
yang dapat digunakan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul dana.4
Pesatnya pertumbuhan perbankan di
Indonesia dewasa ini, memacu bank untuk
beroperasi dalam iklim usaha yang begitu
kompetitif. Ketatnya persaingan di bidang
perbankan membuat pengelola usaha bank
berupaya secara maksimal agar setiap
Achil Ridwan. “Kewajiban Pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan”. Makalah, 2005, hlm. 1.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
kegiatan dilakukan secara efisien dan efektif,
sehingga tidak dapat dihindarkan adanya
pemakaian alat-alat elektronik seperti Automatic Teller Machine (ATM), Electronic Fund
Transfer (EFT), dan internet banking. Adanya
fasilitas perbankan modern tersebut mengakibatkan usaha bank menghadapi risiko yang
sangat tinggi.5
Penggunaan jasa wire transfer yang juga
sering disebut sebagai Electronic Fund Transfer (EFT) atau cyber payment yang merupakan
salah satu jasa yang diberikan oleh perbankan
elektronik yang memungkinkan pembayaran
transfer berlangsung dengan mobilitas tinggi
dan mengoptimalkan jaringan perbankan
internasional (International Offshore Banking
Centers) merupakan cara yang paling efektif
untuk memindahkan dana ilegal dengan cepat
dan tidak mudah dilacak oleh jangkauan
hukum.6
Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan untuk bertransaksi di dalam pasar modal
menjadi celah bagi para pelaku tindak pidana
untuk menjalankan aksi kejahatan. Melalui
scripless trading atau perdagang elektronik
(tanpa warkat), terjadilah tindak pidana
pencucian uang apabila nasabah yang melakukan transaksi tidak dilakukan legal due diligence. Sehingga terdapat peningkatan tindak
pidana di bidang transaksi dalam pasar modal,
contohnya adalah tindak pidana pencucian
uang. Oleh karenanya diterapkan prinsip
mengenal nasabah yang sebelumnya diterapkan pada bank, diterapkan juga terhadap pada
pasar modal untuk mencegah kejahatan
dalam pasar modal.
C. Data yang Diperlukan dalam
Rangka Mengenal Nasabah
Dalam Rangka menegakan prinsip mengenal
nasabah, bank di Indonesia atau lembaga
5
6
7
8
keuangan lainnya dalam hal ini adalah pasar
modal diwajibkan untuk memperoleh data
tertentu. Apabila data tersebut tidak diberikan
oleh nasabah, maka bank atau pihak-pihak
yang berhubungan dengan pasar modal
dilarang berhubungan dengan nasabah yang
bersangkutan. Data yang diperlukan dan halhal yang dilakukan oleh bank dalam rangka
mengenal nasabah tersebut adalah: 7
a. “Data informatif;
b. Dokumen pendukung terhadap data
informatif;
c. Jika telah menggunakan media elektronik, melakukan pertemuan tatap muka
sekurang-kurangnya pada saat pembukaan rekening;
d. Jika diperlukan, melakukan wawancara
dengan nasabahuntuk meneliti keabsahan
dan kebenaran dokumen.”
Untuk Kegiatan dari pihak-pihak yang
berhubungan dengan pasar modal sehubungan
dengan prinsip mengenal nasabah harus
memenuhi persyaratan sama halnya dengan
kegiatan perbankan, penulis menekankan,
untuk kegiatan pasar modal diperlukan
pembukaan rekening efek.
Mengenai data normatif yang diperlukan
dan wajib diketahui oleh bank harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen pendukungnya. Di samping itu, bank wajib pula
meneliti kebenaran dokumen pendukung
identitas calon nasabah. Hal ini serupa juga
dengan prinsip mengenal nasabah pada pasar
modal, data informatif tersebut adalah: 8
a. “Identitas calon nasabah;
b. Maksud dan tujuan hubungan usaha yang
akan dilakukan calon nasabah dengan
bank;
c. Informasi lain yang memungkinkan bank
untuk mengetahui profil calon nasabah;
d. Identitas pihak lain dalam hal calon
Leden Marpaung. Kejahatan Terhadap Perbankan. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993, hlm. 44.
Yenti Ganarsih. “Konsep Kriminalisasi Terhadap Pencucian Uang”. Makalah, 2005.
Munir Fuady. Hukum Perbankan Modern Buku Kedua. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 210.
Ibid.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
59
nasabah bertindak untuk dan atas nama
pihak lain.”
Bank dalam pengertian poin C di atas
adalah Bapepam. Di sini Bapepam sebagai
lembaga pengawas dalam pasar modal
berhak dan memiliki kewenangan untuk
mengetahui setiap phak yang melakukan
transaksi dan juga pihak-pihak yang berhubungan dengan pasar modal.
Sementara yang dimaksud dengan
dokumen pendukung adalah:9
a. “Bagi nasabah perorangan:
1) Nama
2) Alamat tinggal tetap
3) Tempat dan tanggal lahir
4) Kewarganegaraan
5) Pekerjaan
6) Specimen tanda tangan
7) Sumber dana
8) Tujuan penggunaan dana
b. Bagi nasabah perusahaan:
1) Akta pendirian/anggaran dasar
2) Akta perubahan
3) Izin usaha dan izin-izin lainnya
4) Nama, kuasa dan specimen tanda
tangan pihak-pihak yang ditunjuk
untuk bertindak untuk dan atas nama
perusahaan
5) Sumber dana
6) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
7) Laporan keuangan
8) Deskripsi kegiatan usaha
9) Struktur manajemen usaha
10) Dokumen pengurus yang berwenang
mewakili perusahaan.”
D. Nasabah sebagai Perantara/Kuasa
Diperlukan perhatian khusus juka ternyata
nasabah hanyalah merupakan perantara atau
kuasa dari pihak lain (beneficial owner).
Beberapa ketentuan yang berlaku bagi
nasabah tersebut adalah sebagai berikut:
9
60
a.
b.
bank wajib memperoleh data dan informasi tentang identitas nasabah perantara
bank wajib pula memperoleh bukti atas
pihak beneficial owner berupa:
1) Sumber dana
2) Tujuan penggunaan dana
3) Bukti pemberian kuasa kepada calon
nasabah
4) Pernyataan dari calon nasabah
bahwa telah dilakukan penelitian
terhadap kebenaran identitas maupun
sumber dana dari pihak beneficial
owner.
Bank dalam pengertian di atas dianalogikan Bapepam. Di sini Bapepam sebagai
lembaga pengawas dalam pasar modal
berhak dan memiliki kewenangan untuk
mengetahui setiap phak yang melakukan
transaksi dan juga pihak-pihak yang
berhubungan dengan pasar modal.
E. Pemantauan Rekening Nasabah
Dalam rangka melaksanakan program kenal
nasabah ini, bank (Bapepam) harus mempunyai sistem yang baik terhadap pemantauan
rekening nasabah. Dalam hal ini bank wajib
melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Melakukan up grade data sehingga sesuai
dengan keadaan saat terakhir;
b. Menatausahakan dokumen nasabah
selama lima tahun sejak nasabah
menutup rekeningnya;
c. Memiliki sistem informasi mengenai
karakteristik transaksi nasabah;
d. Memelihara profil nasabah, yang
sekurang-kurangnya meliputi:
1) Bidang usaha atau pekerjaan
2) Penghasilan
3) Rekening lain yang dimiliki
4) Aktivitas transaksi yang normal
5) Tujuan pembukaan rekening
Ibid.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
F. Metode Pelaporan
Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia mengenai kebijakan dan prosedur
mengenai program kenal nasabah di banknya
itu. Di samping itu, bank wajib pula melaporkan kepada Bank Indonesia apabila terjadi
transaksi yang mencurigakan (suspicious
transaction) dalam waktu selambat-lambatnya
tujuh hari kerja setelah diketahui oleh bank
sesuai format yang telah ditentukan oleh Bank
Indonesia. Dalam hal pasar modal maka
Bapepam melakukan pelaporan kepada
Bursa efek agar dilakukan pembekuan aktifitas
transaksi dari nasabah yang memiliki transaksi
yang mencurigakan. Berbagai bentuk pelaporan yang harus dilakukan adalah:
a. Pelaporan tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah yang telah disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam angka 3 huruf b
Peraturan Nomor V.D.10 Lampiran
Keputusan ini paling lambat pada tanggal
30 Juni 2010.
b. Pelaporan tentang pengkinian data
terhadap Nasabah sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf c, huruf d, huruf
g, dan huruf h Peraturan Nomor V.D.10.
G. Sanksi-sanksi
Bagi bank yang lalai dalam melakukan tugasnya dalam rangka program kenal nasabah
akan dikenakan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang
Perbankan Nomor 10 Tahun 1998. Selain itu,
tentunya apabila cukup bukti bahwa telah
terjadi kejahatan money laundering, si pelakunya dapat diproses pidana sesuai aturan yang
berlaku. Sementara dalam Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor KEP- 476/BL/2009 tentang
Prinsip Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa
Keuangan di Bidang Pasar Modal tidak diatur
mengenai sanksi apabila pedagang efek atau
perantara pedagang efek tidak menjalankan
prinsip mengenal nasabah sehingga penulis
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
berpendapat dikenakan sama seperti bank
dikenakan sanksi administrasi. Sanksi administrasi pada bank adalah:
a. Pencabutan izin;
b. denda uang;
c. teguran tertulis;
d. penurunan tingkat kesehatan bank;
e. larangan untuk turut serta dalam kegiatan
kliring;
f. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik
untuk kantor cabang tertentu maupun
untuk bank secara keseluruhan;
g. pemberhentian pengurus bank dan
selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai Rapat
Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota Koperasi mengangkat pengganti
yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia;
h. pencantuman anggota, pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar
orang tercela di bidang Perbankan.
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP476/BL/2009 tentang Prinsip Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa Keuangan di Bidang
Pasar Modal mengatur tentang indentifikasi
calon nasabah sebagai berikut:
1. “Sebelum Penyedia Jasa Keuangan di
bidang Pasar Modal menerima suatu
Pihak menjadi Nasabah yang berinvestasi
di Pasar Modal, baik melalui atau tanpa
melalui pembukaan rekening Efek,
Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar
Modal wajib melakukan pertemuan langsung (face to face) dengan calon Nasabah
dan meminta informasi mengenai:
a. latar belakang dan identitas calon
Nasabah;
b. maksud dan tujuan pembukaan
rekening Efek calon Nasabah;
c. informasi lain yang memungkinkan
Penyedia Jasa Keuangan di bidang
Pasar Modal untuk dapat mengetahui
profil calon Nasabah; dan
61
2.
3.
62
d. identitas Pihak lain (beneficial
owner), dalam hal calon Nasabah
bertindak untuk dan atas nama Pihak
lain (beneficial owner).
Informasi mengenai calon Nasabah
sebagaimana dimaksud pada huruf a
harus dapat dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukung.
Informasi dan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada huruf b bagi:
a. Calon Nasabah perorangan,
sekurang-kurangnya terdiri dari:
1) latar belakang dan identitas
Nasabah yang memuat:
(1) nama;
(2) jenis kelamin;
(3) alamat atau tempat tinggal
sesuai KTP dan nomor telepon;
(4) alamat tempat tinggal terkini
dan nomor telepon (jika ada);
(5) tempat dan tanggal lahir;
(6) status perkawinan; dan
(7) kewarganegaraan;
2) keterangan mengenai pekerjaan;
(1) alamat tempat kerja dan
nomor telepon;
(2) specimen tanda tangan;
(3) Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) bagi Nasabah yang
diwajibkan memiliki NPWP
sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
(4) keterangan mengenai sumber
dana;
(5) rata-rata penghasilan;
(6) maksud dan tujuan investasi;
(7) nama bank Nasabah dan
nomor rekening Nasabah di
bank; dan
(8) informasi dan dokumen lain
yang memungkinkan Penyedia Jasa Keuangan di bidang
Pasar Modal untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah.
b. Calon Nasabah perusahaan, badan
hukum, usaha bersama, asosiasi, atau
kelompok yang terorganisir,
sekurang-kurangnya terdiri dari:
1) nama, alamat, dan nomor telepon
perusahaan, badan hukum,
usaha bersama, asosiasi, atau
kelompok yang terorganisir;
2) bentuk badan usaha atau badan
hukum;
3) akta pendirian atau anggaran
dasar sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku berikut perubahannya yang
terakhir;
4) tempat dan tanggal pendirian
perusahaan, badan hukum,
usaha bersama, asosiasi, atau
kelompok yang terorganisir;
5) izin usaha atau izin lainnya dari
instansi yang berwenang;
6) surat keterangan domisili;
7) Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) bagi Nasabah yang
diwajibkan memiliki NPWP
sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
8) laporan keuangan terkini atau
deskripsi kegiatan usaha;
9) struktur manajemen atau
kepengurusan;
10) struktur kepemilikan untuk perusahaan atau struktur pendiri untuk
yayasan, asosiasi, atau kelompok
yang terorganisir;
11) dokumen identitas pengurus
yang berwenang mewakili
perusahaan, badan hukum,
usaha bersama, asosiasi, atau
kelompok yang terorganisir;
12) dokumen atau informasi mengenai pengendali akhir dari perusahaan, badan hukum, usaha
bersama, asosiasi, atau kelompok
yang terorganisir;
13) nama, specimen tanda tangan
dari penerima kuasa, dan surat
kuasa dari pejabat yang
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
4.
berwenang kepada penerima
kuasa guna bertindak untuk dan
atas nama perusahaan, badan
hukum, usaha bersama, asosiasi,
atau kelompok yang terorganisir
dalam berinvestasi di Pasar
Modal, termasuk memberikan
instruksi sehubungan dengan
rekening Efek Nasabah;
14) keterangan mengenai sumber
dana;
15) maksud dan tujuan investasi;
16) nama bank Nasabah dan nomor
rekening Nasabah di bank; dan
17) informasi dan dokumen lain yang
memungkinkan Penyedia Jasa
Keuangan di bidang Pasar Modal
untuk dapat mengetahui profil
calon Nasabah.
c. Calon Nasabah berupa lembaga
pemerintah atau lembaga internasional sekurang-kurangnya berupa
nama, alamat kedudukan lembaga
atau perwakilan, specimen tanda
tangan dari Pihak-Pihak yang ditunjuk
atau berwenang mewakili lembaga
tersebut dan surat penunjukan atau
kuasa dari Pihak yang berwenang.
d. Dalam hal calon Nasabah bertindak
untuk dan atas nama Pihak lain
(beneficial owner) untuk membuka
rekening Efek, Penyedia Jasa
Keuangan di bidang Pasar Modal
wajib memperoleh dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
angka 1), angka 2), dan angka 3)
terkait Pihak lain (beneficial owner)
dimaksud dan hubungan hukum,
penugasan, serta kewenangan bertindak untuk dan atas nama Pihak lain
(beneficial owner) dimaksud.
Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar
Modal wajib melakukan identifikasi dan
verifikasi atas informasi dan dokumen
pendukung mengenai calon Nasabah
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
5.
(customer due diligence) dengan
melakukan hal-hal antara lain:
a. meneliti kebenaran informasi dan
dokumen dan mengidentifikasi adanya kemungkinan hal-hal yang tidak
wajar atau mencurigakan;
b. dalam hal terdapat keraguan atas
informasi dan dokumen yang diterima, Penyedia Jasa Keuangan di
bidang Pasar Modal wajib memastikan kebenaran identitas, informasi,
dan dokumen calon Nasabah, antara
lain dengan cara:
1) melakukan wawancara dengan
calon Nasabah untuk meneliti dan
meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen;
2) meminta dokumen identitas lain
yang dikeluarkan oleh pihak yang
berwenang;
3) melakukan konfirmasi mengenai
kebenaran mengenai kewenangan Pihak yang mewakili atau
bertindak untuk dan atas nama
Pihak lain (beneficial owner), jika
calon Nasabah bertindak sebagai
kuasa dari atau mewakili Pihak
lain (beneficial owner);
c. melakukan pemeriksaan silang untuk
memastikan adanya konsistensi dari
berbagai informasi yang disampaikan
oleh calon Nasabah; dan
d. melakukan penelaahan mengenai
pengendali calon Nasabah.
Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar
Modal wajib melakukan verifikasi yang
lebih ketat (enhanced due diligence)
terhadap calon Nasabah dan pengendali
calon Nasabah yang dianggap dan/atau
diklasifikasikan mempunyai risiko tinggi
terhadap praktik pencucian uang dan/
atau risiko tinggi terkait dengan Pendanaan Kegiatan Terorisme. Tingkat risiko
tersebut dapat dilihat dari:
a. latar belakang atau profil calon Nasa-
63
6.
7.
64
bah dan pengendali calon Nasabah
yang termasuk Orang yang Populer
Secara Politis (politically exposed
person) atau Nasabah yang Berisiko
Tinggi (high risk customer);
b. bidang usaha calon Nasabah yang
termasuk Usaha yang Berisiko Tinggi
(high risk business);
c. negara atau teritori asal calon Nasabah, domisili calon Nasabah, atau
dilakukannya transaksi yang termasuk Negara yang Berisiko Tinggi (high
risk countries); dan/atau
d. pihak-pihak yang tercantum dalam
daftar nama-nama teroris;
sebagaimana tercantum dalam daftar
yang dimuat dalam Lampiran 1 Peraturan
ini.
Verifikasi yang lebih ketat (enhanced due
diligence) terhadap calon Nasabah dan
pengendali calon Nasabah sebagaimana
dimaksud pada huruf e dilakukan antara
lain dengan cara sebagai berikut:
a. verifikasi terhadap informasi dan
dokumen calon Nasabah dan
pengendali calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak
hanya berdasarkan informasi dan
dokumen yang diberikan oleh calon
Nasabah tersebut, namun didasarkan
pada kebenaran informasi dan dokumen, kebenaran sumber informasi
dan dokumen, dan jenis informasi
dan dokumen yang terkait; dan
b. verifikasi hubungan bisnis yang dilakukan oleh calon Nasabah dimaksud
dengan Pihak ketiga.
Dalam hal calon Nasabah sebagaimana
dimaksud pada huruf c butir 4) merupakan
Penyedia Jasa Keuangan lain di bidang
Pasar Modal di dalam negeri, maka
Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar
Modal cukup menerima pernyataan
tertulis bahwa Penyedia Jasa Keuangan
lain di bidang Pasar Modal di dalam
8.
9.
negeri tersebut telah memperoleh serta
melakukan verifikasi dan identifikasi atas
dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada huruf c dan bersedia
memberikan informasi dan salinan
dokumen pendukung Nasabah jika
dibutuhkan oleh Penyedia Jasa Keuangan
di bidang Pasar Modal.
Dalam hal calon Nasabah sebagaimana
dimaksud pada huruf c butir 4) merupakan
Penyedia Jasa Keuangan lain di bidang
Pasar Modal di luar negeri yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang
sekurang-kurangnya setara dengan
Peraturan ini, maka Penyedia Jasa
Keuangan di bidang Pasar Modal cukup
menerima pernyataan tertulis bahwa
Penyedia Jasa Keuangan lain di bidang
Pasar Modal di luar negeri tersebut telah
memperoleh dokumen pendukung Pihak
lain dan telah melakukan verifikasi dan
identifikasi atas dokumen dimaksud dan
bersedia memberikan informasi dan
salinan dokumen pendukung Nasabah
jika dibutuhkan oleh Penyedia Jasa
Keuangan di bidang Pasar Modal. Jika
Prinsip Mengenal Nasabah di negara
Penyedia Jasa Keuangan lain di bidang
Pasar Modal luar negeri tersebut tidak
setara dengan peraturan ini, maka
Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar
Modal wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah berdasarkan peraturan ini.
Persetujuan pembukaan rekening Efek
atau hubungan usaha dapat diberikan
setelah meyakini kebenaran identitas dan
kelengkapan dokumen calon Nasabah
serta mempertimbangkan faktor-faktor
yang dapat memungkinkan Nasabah
melakukan kegiatan pencucian uang dan/
atau Pendanaan Kegiatan Terorisme,
antara lain catatan, dokumen, daftar,
informasi mengenai pelanggaran dan/atau
kejahatan.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
10. Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar
Modal dilarang untuk membuka atau
memelihara rekening Efek anonim atau
rekening Efek yang menggunakan nama
fiktif.
11. Pembukaan rekening Efek atau hubungan
usaha dengan calon Nasabah yang
dianggap dan/atau diklasifikasikan
mempunyai risiko tinggi sebagaimana
dimaksud pada huruf e wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari
anggota direksi atau manajemen senior
Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar
Modal. “
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
65
BANK ASING
MENGHAMBAT PERTUMBUHAN UMKM INDONESIA
Ocktavianus Hartono
Abstract
Bank is a business enterprise which aims to raise funds from public and channel them back to the
community. Along with era development also demands from governments for each bank to
strengthening its banking structure, which one of them is; every bank is required to increase the
ownership of its capital up to 10 billion.
To obtain additional capital, many of them sell their shares to foreigners. This is become an issue
because foreign ownership turns out to hamper economic growth in Indonesia, especially the
activities of the Micro, Small and Medium Enterprises. This study deals which is better done by
government, whether in advance of economic growth or strengthen the banking structure operating in Indonesia.
Key words: bank, micro small medium enterprise, foreign banks, economic growth.
A. Pendahuluan
Bank adalah suatu badan usaha yang kegiatannya adalah mengumpulkan dana dari
masyarakat yang memiliki dana berlebih dan
menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit
kepada masyarakat yang kekurangan dana.
Seiring dengan berkembangnya perekonomian, kegiatan perbankan berkembang bukan
hanya sekedar mengumpulkan dana dan
menyalurkannya kembali ke masyarakat,
tetapi bank juga memberikan jasa-jasa lainnya
seperti jasa pengiriman uang, jasa penagihan
surat-surat berharga, jasa letter of credit, jasa
bank garansi sampai dengan jasa kartu kredit.
Dengan berkembangnya dunia perbankan ini,
penulis berpendapat bahwa kegiatan perbankan dan kegiatan perekonomian saat ini
memiliki keterkaitan yang sangat erat, dimana
maju mundurnya suatu perbankan dan perekonomian suatu negara merupakan dua unsur
yang saling terkait.
Kegiatan perbankan yang awalnya hanya
sebagai alat bantu kegiatan ekonomi telah
berubah menjadi bagian dalam sistem pereko-
66
nomian itu sendiri. Penulis berpendapat bahwa
semakin maju suatu negara, maka semakin
besar peranan perbankan dalam suatu negara,
hal ini dikarenakan kegiatan perbankan semakin dibutuhkan baik oleh pemerintah, maupun
masyarakat dalam melaksanankan kegiatan
perekonomian.
Dengan semakin besarnya kegiatan perekonomian di suatu masyarakat, maka untuk
melayani kebutuhan masyarakat ekonomi
dalam melaksanakan kegiatan perekonomian,
maka bank harus melakukan perluasan usaha
seperti hal-hal yang disebutkan di atas. Untuk
memperluas kegiatan usahanya ini, maka
bank-bank yang beroperasi saat ini harus
memutar otaknya untuk menambah modal
bank guna memperluas bidang pelayanannya,
penambahan modal ini, selain diperlukan
untuk memperluas bidang pelayanannya,
penambahan modal juga diperlukan bank
untuk memenuhi syarat yang ditentukan oleh
Bank Indonesia sebagai Bank Central yang
mensyaratkan bahwa modal minimal sebuah
bank adalah Rp 100 Miliar pada akhir tahun
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
2010 agar bank tersebut dapat tetap beroperasi
tanpa kegiatan yang dibatasi. Karena Bank
Indonesia menyatakan bahwa bank yang
pada akhir tahun 2010 memiliki modal kurang
dari Rp 100 Milliar boleh untuk tetap dapat
melaksanaan kegiatannya, namun kegiatannya dibatasi dan bank tersebut dikategorikan sebagai bank BKT (Bank Dalam
Kegiatan Terbatas). Keadaan inilah yang
membuat bank-bank yang ada di Indonesia
saling berlomba-lomba mengumpulkan modal
untuk memenuhi standar minimal yang
disyaratkan oleh Bank Indonesia. Cara-cara
yang dilakukan oleh bank yang kekurangan
dana antara lain merger, akuisisi bahkan
menjual bank nya kepada pihak asing. Yang
menjadi masalah dalam hal penambahan
modal bank sampai 100 miliar ini adalah
semakin banyaknya bank yang dimiliki oleh
asing, karena bank-bank yang ada saat ini
kesulitan untuk mendapatkan dana yang
dapat dijadikan modal sesuai dengan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, sehingga
mereka menjual saham mereka kepada pihak
asing yang memang tidak kesulitan dalam hal
pendanaan. Keadaan ini (pemilikian bankbank yang ada oleh asing) ternyata memiliki
dampak yang kurang baik bagi perkembangan
UMKM di Indonesia. Di mana dengan semakin
banyaknya bank asing di Indonesia, ternyata
menyebabkan suku bunga kredit menjadi
tinggi sehingga para pelaku usaha UMKM
kesulitan. Hal ini secara tidak langsung
ternyata menurunkan kegiatan usaha UMKM.
Keberadaan bank asing di Indonesia
secara tidak langsung ternyata menghambat
perkembangan UMKM di Indonesia karena
orientasi Bank Asing adalah mengambil
untung yang sebesar-besarnya dengan tujuan
pay back period 1 segera kembali dengan
cepat. Keadaan bunga kredit sektor usaha
mikro yang cenderung tinggi akan menim1
bulkan keengganan para pelaku usaha mikro
mengajukan kredit kepada bank.
B. Usaha Mikro Kecil Menengah
Usaha Mikro Kecil Menengah adalah suatu
usaha di mana modal yang berputar atau modal
yang dimiliki tidak terlalu besar. Menurut
Keputusan Menteri Keuangan No 316/
KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, dan UU
No. 20 Tahun 2008 suatu usaha dikategorikan
Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah sebagai berikut:
Usaha Mikro (UMI), adalah entitas usaha
yang mempunyai memiliki kekayaan
bersih paling banyak Rp 200.000.000,
tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha, dan memiliki penjualan
tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000.
Sementara itu, Usaha Menengah (UM)
merupakan entitas usaha milik warga
negara Indonesia yang memiliki
kekayaan bersih lebih besar dari Rp
200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000, tidak
termasuk tanah dan bangunan.
Kegiatan UMKM memang banyak
dilakukan oleh masyarakat Indonesia karena
banyak dari mereka yang tidak memiliki modal
berlebih. Bidang-bidang usaha UMKM juga
sangat beragam seperti makanan-minuman,
perikanan, ritel, transportasi, perikana, jasa,
pertanian, dan lain-lain. Selain itu, banyak
kegiatan usaha UMKM ini mencerminkan
kekhasan dari daerah masing-masing,
contohnya:
1. Pengrajin perak di Yogyakarta,
2. Penghasil dodol di Garut,
3. Pengrajin ukiran kayu Jepara di Jepara,
4. Pengrajin batik di Solo atau Pekalongan,
dan masih banyak lagi.
UMKM yang hampir dimiliki di setiap
daerah di Indonesia, ternyata memiliki jumlah
Payback periode dalam penganggaran modal mengacu pada periode waktu yang diperlukan untuk
pengembalian investasi untuk “membayar” jumlah investasi asli. Sebagai contoh, sebuah investasi
sebesar $ 1000 yang kembali $ 500 per tahun akan memiliki masa pengembalian dua tahun.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
67
populasi yang sangat besar dimana populasinya saat ini berjumlah sekitar 51,26 juta unit
usaha bahkan menyumbang PDB 2009 cukup
signifikan sebesar 53 % hal ini sesuai dengan
yang dikatakan Sandi dalam dalam sambutannya pada acara Rapat Koordinasi Nasional
UMKM yang diselenggarakan Kadin Indonesia, di JCC, Senayan Jakarta pada bulan September 2010 yang lalu.2
“UMKM adalah Sebuah sektor usaha
yang populasinya lebih 2 kali lipat dari Malaysia. Sektor usaha yang selalu menyelamatkan bangsa,” ujar Wakil Ketua Kadin
Indonesia Bidang UMKM dan Koperasi
Sandiaga Uno, dalam membuka sambutannya
pada acara Rapat Koordinasi Nasional UMKM
yang diselenggarakan Kadin Indonesia,di JCC,
Senayan, Jakarta, Jumat (3/9/2010).
Sandi juga menyebutkan sektor UMKM
di Indonesia mempunyai jumlah yang sangat
signifikan. Populasinya yang berjumlah sekitar
51,26 juta unit usaha adalah 99 persen dari
seluruh unit usaha yang ada di tanah air.
“Artinya, sebenarnya yang menggerakkan ekonomi bangsa ini adalah UMKM,”
ujarnya. Sandi juga menambahkan bahwa
sumbang sektor UMKM terhadap PDB 2009
sangat signifikan, yaitu sebesar 53 persen.
Dengan membaca dari pernyataan Sandi,
maka apabila UMKM ini dikelola dengan baik
dan dibantu oleh pemerintah dengan cara
mempermudah mereka untuk mendapatkan
modal usaha dan bantuan lainnya maka akan
sangat membantu kemajuan perekonomian
Indonesia. Sudah terbukti sampai sekarang,
tanpa bantuan yang cukup dari pemerintah
saja, walaupun dengan modal yang tidak
begitu besar, ternyata UMKM mempunyai
peran yang cukup penting dalam perkembangan perekonomian. Selain membantu
pemerintah dalam membuka lapangan peker2
3
4
68
jaan yang cukup besar, hasil-hasil kerajinan
dari para pelaku usaha UMKM ini juga banyak
yang diekspor sehingga sangat membantu
pemerintah dalam mendapatkan devisa
negara.
Dengan bantuan dari pemerintah, diharapkan UMKM yang ada semakin berkembang dan semakin besar dengan berkembangnya UMKM yang ada maka hal ini akan
membantu perkembangan perekonomian
Indonesia, hal ini sesuai dengan target Kadin
Indonesia bidang UMKM yaitu:3
Melalui Rakornas ini, Kadin Indonesia
Bidang UMKM dan Koperasi mempunyai
target yang ingin dicapai, yaitu:
1. UMKM mampu meningkatkan volume turnover sebesar 15 persen per
unit UMKM
2. UMKM mampu untuk go international.
3. Mempermudah akses kredit bagi
UMKM, bukan hanya suku bunga
rendah. Akses kredit harus didampingi dengan capacity building4,
seperti alih teknologi dan peningkatan SDM.
4. Mempermudah perizinan legalitas
usaha, dan sejenisnya. Izin diperlukan untuk banyak hal seperti akses
ke perbankan, ekpor barang, impor
bahan baku, monitoring dan
sebagainya.
Target dari Kadin Indonesia ini dapat
dicapai apabila pemerintah turut campur
dalam usaha mengembangkan UMKM yang
ada saat ini. Baik dalam memberikan pelatihan
mengenai manajemen usaha dan manajemen
keuangan dan pelatihan lainnya. Namun yang
terpenting adalah dengan mempermudah
pelaku usaha UMKM untuk mendapatkan
modal untuk memperluas usahanya.
http://www.detikfinance.com/read/2010/09/03/113700/1434253/4/sandiaga-uno-jumlah-umkm-ri-2-kalilipat-malaysia
Ibid.
Capacity building adalah kemampuan membangun. Dalam hal ini adalah kemampuan membangun
suatu usaha seperti penggunaan teknologi maupun manajemen perusahaan.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Walaupun selama ini UMKM dianggap
mempunyai ketahanan kuat atas segala krisis
yang ada, dan mempunyai peran yang sangat
penting dalam menjaga stabilitas perekonomian Indonesia, maka kita dapat membayangkan betapa kuatnya perekonomian
Indonesia apabila UMKM yang ada ini
mengalami kemajuan dalam usahanya.
Sebaliknya, apabila UMKM ini tidak dibantu
perkembangannya, maka dikhwatirkan
UMKM ini malah akan menjadi bumerang
yang akan menghambat pertumbuhan perekonomian karena kegiatan UMKM ini ternyata
memiliki permasalahan umum yang sangat
pelik dan problematik antara lain:5
kurangnya permodalan untuk mengembangkan usahanya, kesulitan dalam
pemasaran, daya saing lemah di tengah
persaingan usaha yang ketat dan kesulitan bahan baku. Selain itu, kurang teknis
produksi dan keahlian, keterampilan
manajerial kurang, kurang pengetahuan
manajemen keuangan, serta iklim usaha
yang kurang kondusif (perizinan, dan
aturan/perundangan).
Keadaan seperti ini akan menghambat
UMKM dalam memperbesar usahanya,
karena itu pemerintah harus turun tangan
untuk membantu UMKM ini dalam proses
pengembangan usahanya. Salah satu cara nya
adalah dengan mempermudah perizinan
usaha, memberikan penyuluhan mengenai
manajerial usaha maupun manajerial
keuangan secara gratis kepada para pelaku
usaha UMKM, selain itu yang terpenting
adalah mempermudah pelaku usaha UMKM
dalam mendapatkan modal tambahan untuk
mengembangkan usaha mereka. Sampai saat
ini baru 9% UMKM saja yang sudah disentuh
oleh perbankan. Hal ini sesuai dengan statistik
dari Deputi Bidang Pembiayaan Kementrian
dan UKM:6
5
6
Menurut statistik dari Deputi Bidang
Pembiayaan Kementerian Koperasi dan
UKM, sektor mikro hanya sekitar 9% yang
sudah dilayani perbankan nasional dan
umum. Akses mereka ke bank perkreditan
rakyat (BPR) bahkan baru mencapai 3%.
Usaha mikro bahkan kerap tidak mampu
memenuhi persyaratan lembaga keuangan seperti syarat administratif dan
kolateral. “Akibatnya, mereka sering
didatangi para tengkulak dengan bunga
yang sangat besar.”
Dengan mengacu pada statistik dari
Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian
UKM maka kita bisa melihat betapa kurangnya
bantuan pemerintah terhadap UMKM khususnya dalam bidang permodalan. Saat ini
walaupun bank-bank telah mencoba untuk
menjangkau para pelaku usaha UMKM,
ternyata para pelaku usaha UMKM mendapatkan masalah yang baru yaitu kredit yang
ada saat ini memiliki bunga kredit yang masih
tinggi. Salah satu faktor yang menyebabkan
tingginya suku bunga kredit ini adalah keberadaan bank asing maupun bank nasional
swasta yang sebagian besar sahamnya dimiliki
oleh asing. Oleh karena itu, pemerintah
seharusnya membantu pelaku UMKM dengan
menurunkan suku bunga kredit sehingga
pelaku usaha UMKM tidak segan untuk
meminjam modal kepada bank.
C. Bank
Bank adalah badan usaha yang kegiatannya
mengumpulkan dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat
yang membutuhkan. Sedangkan pengertian
bank menurut UU Perbankan No. 7 Tahun
1992 jo UU No 10 Tahun 1998 adalah:
Badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat
http://bataviase.co.id/node/297281
http://usaha-umkm.blog.com/
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
69
dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.
Dengan melihat definisi di atas, kita dapat
melihat bahwa perbankan mempunyai peran
yang sangat penting dalam perekonomian
suatu negara, karena perbankan berperan
sebagai jembatan penghubung yang menghubungan antara masyarakat yang kekurangan dana dengan masyarakat yang kelebihan dana. Dengan adanya jembatan penghubung ini, maka masyarakat yang melakukan usaha khususnya dalam Kelompok Usaha
Mikro Kecil Menengah (KUKM) yang ingin
mengembangkan usahanya, namun kekurangan dana maka akan lebih terbantu dengan
adanya bank yang mempermudah mereka
mendapatkan dana untuk membantu dalam
segi permodalan. Selain sebagai jembatan
penghubung, bank juga mempunyai fungsi
yang lain yang sangat menunjang kegiatan
perekonomian, antara lain:7
1. Penciptaan uang
Uang yang diciptakan bank umum
adalah uang giral, yaitu alat pembayaran
lewat mekanisme pemindahbukuan
(kliring).
2. Mendukung Kelancaran Mekanisme
Pembayaran
Fungsi lain dari bank umum yang juga
sangat penting adalah mendukung kelancaran mekanisme pembayaran. Hal ini
dimungkinkan karena salah satu jasa
yang ditawarkan bank umum adalah jasajasa yang berkaitan dengan mekanisme
pembayaran.
Beberapa jasa yang amat dikenal adalah
kliring, transfer uang, penerimaan setoransetoran, pemberian fasilitas pembayaran
dengan tunai, kredit, fasilitas-fasilitas
pembayaran yang mudah dan nyaman,
seperti kartu plastik dan sistem pembayaran elektronik.
7
70
3.
4.
5.
Penghimpunan Dana Simpanan
Masyarakat
Dana yang paling banyak dihimpun oleh
bank umum adalah dana simpanan. Di
Indonesia dana simpanan terdiri atas giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito,
tabungan dan atau bentuk lainnya yang
dapat dipersamakan dengan itu. Kemampuan bank umum menghimpun dana jauh
lebih besar dibandingkan dengan
lembaga-lembaga keuangan lainnya.
Dana-dana simpanan yang berhasil
dihimpun akan disalurkan kepada pihakpihak yang membutuhkan, utamanya
melalui penyaluran kredit.
Mendukung Kelancaran Transaksi
Internasional
Bank umum juga sangat dibutuhkan untuk
memudahkan dan atau memperlancar
transaksi internasional, baik transaksi
barang/jasa maupun transaksi modal.
Kesulitan-kesulitan transaksi antara dua
pihak yang berbeda negara selalu muncul
karena perbedaan geografis, jarak,
budaya dan sistem moneter masingmasing negara. Kehadiran bank umum
yang beroperasi dalam skala internasional akan memudahkan penyelesaian
transaksi-transaksi tersebut. Dengan
adanya bank umum, kepentingan pihakpihak yang melakukan transaksi internasional dapat ditangani dengan lebih
mudah, cepat, dan murah.
Penyimpanan Barang-Barang Berharga
Penyimpanan barang-barang berharga
adalah satu satu jasa yang paling awal
yang ditawarkan oleh bank umum.
Masyarakat dapat menyimpan barangbarang berharga yang dimilikinya seperti
perhiasan, uang, dan ijazah dalam kotakkotak yang sengaja disediakan oleh bank
untuk disewa (safety box atau safe deposit
box). Perkembangan ekonomi yang semakin pesat menyebabkan bank memper-
http://putracenter.net/2009/09/23/definisi-fungsi-dan-peranan-bank-umum-dalam-perekonomian/
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
6.
luas jasa pelayanan dengan menyimpan
sekuritas atau surat-surat berharga.
Pemberian Jasa-Jasa Lainnya
Di Indonesia pemberian jasa-jasa lainnya
oleh bank umum juga semakin banyak
dan luas. Saat ini kita sudah dapat
membayar listrik, telepon membeli pulsa
telepon seluler, mengirim uang melalui
atm, membayar gaji pegawai dengan
menggunakan jasa-jasa bank.
Berdasarkan UU Pokok Perbankan No.
7 Tahun 1992 dan ditegaskan lagi dengan
keluarnya Undang-Undang RI No. 10 Tahun
1998 maka Bank-bank yang beroperasi di
Indonesia dapat dibagi atau diklasifikasikan
sebagai berikut:
Dari segi fungsi kegiatan maka bank
dibagi menjadi:
1. Bank Umum
Adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan
atau berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa
yang diberikan adalah umum, dalam arti
dapat memberikan seluruh jasa
perbankan yang ada. Begitu pula dengan
wilayah operasinya dapat dilakukan
diseluruh wilayah Indonesia, bahkan ke
luar negeri (cabang). Bank umum sering
disebut bank komersil (commercial bank).
2. Bank Perkreditan Rakyat
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank
yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional atau berdasarkan
prinsip syariah. Dalam kegiatannya, BPR
tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Artinya jasa-jasa perbankan
yang ditawarkan BPR jauh lebih sempit
jika dibandingkan dengan kegiatan atau
jasa bank umum.
Sedangkan dari segi kepemilikannya,
Kasmir dalam bukunya, Dasar-Dasar
8
Perbankan, membagi bank-bank ini menjadi:8
1. Bank Milik Pemerintah
Merupakan bank yang akte pendirian
maupun modal bank ini sepenuhnya
dimiliki oleh Pemerintah Indonesia,
sehingga seluruh keuntungan bank ini
dimiliki oleh pemerintah pula. Contoh
bank-bank milik pemerintah Indonesia:
· Bank Negara Indonesia 46 (BNI)
· Bank Rakyat Indonesia (BRI)
· Bank Tabungan Negara (BTN)
· Bank Mandiri
Kemudian Bank pemerintah Daerah
(BDP) terdapat di daerah tingkat I dan
tingkat II masing-masing propinsi. Modal
BDP sepenunya dimiliki oleh Pemda
masing-masing tingkatan. Contoh BDP
yang ada adalah:
· BDP DKI Jakarta
· BDP Jawa Barat
· BDP Jawa Tengah
· BDP DI.Yogyakarta
· Dll.
2. Bank Milik Swasta Nasional
Merupakan bank yang seluruh atau
sebagian besar sahamnya dimiliki oleh
swasta nasional. Kemudian akte pendiriannya pun didirikan oleh swasta, begitu
pula dengan pembagian keuntungannya
untuk keuntungan swasta pula. Contoh
bank milik swasta nasional antara lain:
· Bank Bumi Putra
· Bank Centra Asia
· Bank Danamon
· Bank Internasional Indonesia
· Bank Lippo
· Dll.
3. Bank Milik Koperasi
Merupakan bank yang kepemilikan
saham-sahamnya dimiliki oleh perusahaan yang berbadan hukum koperasi.
Contoh bank jenis ini adalah Bank Umum
Koperasi Indonesia (BUKOPIN).
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 19-22.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
71
4.
5.
Bank Milik Asing
Bank jenis ini merupakan cabang dari
bank yang ada di luar negeri, baik milik
swasta asing atau pemerintah asing.
kepemilikannya pun jelas dimiliki oleh
piak asing (luar negeri). Contoh dari bank
jenis ini adalah:
· ABN AMRO bank
· American Express Bank
· Bank of America
· Bank of Tokyo
· Bangkok Bank
· Dll
Bank Milik Campuran
Kepemilikan saham bank campuran
dimiliki oleh pihak asing dan pihak swasta
nasional. Kepemilikan sahamnya secara
mayoritas dipegang oleh warganegara
Indonesia. contoh bank campuran antara
lain:
· Bank Finconesia
· Bank Merincorp
· Bank Sakura Swadarma
· Ing Bank
· Inter Pacifik Bank
· Dll
Fungsi penting perbankan dalam pembangunan ekonomi sebenarnya sudah disadari
oleh pemerintah dan pemerintah Indonesia
sebenarnya sudah melakukan usaha-usaha
yang bertujuan mengembangkan kegiatan
perbankan di Indonesia seperti:
1. Pacto 88 dimana tujuan dari pacto 88
adalah membuka jalan bagi perbankan
dalam menghimpun dana masyarakat
dengan memberi kemudahan mendirikan
bank, membuka cabang dan memperluas
instrumen pengerahan dana masyarakat.
2. Deregulasi perbankan tahun 1980 yag
memberikan kebebasan kepada bankbank untuk menetapkan tingkat bungan
tabungan, deposito maupun kredit yang
dilakukan Bank Indonesia pada tahun
3.
4.
1983 yang mempunyai tujuan untuk
membangun sistem perbankan yang
sehat, kuat dan tangguh.
Undang-Undang No. 7 Tahun 199
tentang perbankan yang diubah oleh
Undang-Undang No 10 Tahun 1998 yang
memiliki kebijakan yang memberikan
banyak keluwesan dalam pemilikan dan
pengurusan bank.
Diluncurkannya Arsitektur Perbankan
Indonesia yang memiliki tujuan memperkuat perbankan di Indonesia seperti yang
tercantum dalam website Bank Indonesia mengenai Arsitektur Perbankan Indonesia.9
Tujuan dari Arsitektur Perbankan Indonesia menciptakan struktur perbankan
domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutihan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional
yang berkesinambungan.
Cara memperkuat struktur perbankan ini
adalah salah satunya dengan menambah
permodalan bank-bank yang beroperasi di
Indonesia. mengenai cara dan rencana kerja
pemerintah dalam memperkuat struktur
perbankan kita dapat melihat tujuan Arsitektur
Perbankan Indonesia ini dengan melihat dari
kebijakan Bank Indonesia antara lain:10
Program ini bertujuan untuk memperkuat
permodalan bank umum (konvensional
dan syariah) dalam rangka meningkatkan
kemampuan bank mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi
informasi, maupun meningkatkan skala
usahanya guna mendukung peningkatan
kapasitas pertumbuhan kredit perbankan.
Implementasi program penguatan permodalan bank dilaksanakan secara bertahap. Upaya peningkatan modal bankbank tersebut dapat dilakukan dengan
membuat business plan yang memuat target waktu, cara dan tahap pencapaian.
9 http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Arsitektur+Perbankan+Indonesia/Struktur+Perbankan/
10 Ibid.
72
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Cara pencapaiannya melalui:
Penambahan modal baru baik dari shareholder lama maupun investor baru;
Merger dengan bank (atau beberapa bank)
lain untuk mencapai persyaratan modal
minimum baru;
Penerbitan saham baru atau secondary
offering di pasar modal;
Penerbitan subordinated loan.11
1.
2.
3.
4.
Dalam waktu sepuluh sampai limabelas
tahun ke depan program peningkatan
permodalan tersebut diharapkan akan
mengarah pada terciptanya struktur perbankan
yang lebih optimal, yaitu terdapatnya:
• 2 sampai 3 bank yang mengarah kepada
bank internasional dengan kapasitas dan
kemampuan untuk beroperasi di wilayah
internasional serta memiliki modal di atas
Rp50 triliun;
• 3 sampai 5 bank nasional yang memiliki
cakupan usaha yang sangat luas dan
beroperasi secara nasional serta memiliki
modal antara Rp10 triliun sampai dengan
Rp50 triliun;
• 30 sampai 50 bank yang kegiatan
usahanya terfokus pada segmen usaha
tertentu sesuai dengan kapabilitas dan
kompetensi masing-masing bank. Bank-
•
bank tersebut memiliki modal antara
Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun;
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank
dengan kegiatan usaha terbatas yang
memiliki modal di bawah Rp100 miliar.
Secara keseluruhan, struktur perbankan
Indonesia dalam kurun waktu sepuluh sampai
limabelas tahun ke depan diharapkan akan
terbentuk sebagaimana digambarkan sebagai
berikut:
Permodalan
Rp triliun
Bank
Internasional
50
Bank
Nasional
10
Bank dengan fokus:
Daerah Korporasi
Ritel Lainnya
0,1
BPR
Bank dengan
kegiatan usaha
terbatas
Tahapan Program Penguatan Struktur Perbankan Nasional
No.
Kegiatan (Pilar I)
1
Memperkuat permodalan Bank
a. Meningkatkan persyaratan modal inti minimum bagi bank umum
konvensional maupun syariah (termasuk BPD) menjadi Rp80 miliar
b. Meningkatkan persyaratan modal inti minimum bagi bank umum
konvensional maupun syariah (termasuk BPD) menjadi Rp100 miliar
c. Mempertahankan persyaratan modal disetor minimum Rp3 triliun
untukpendirian bank umum konvensional sampai dengan 1 Januari
d. Menetapkan persyaratan modal disetor minimum Rp1 triliun untuk
pendirian bank umum syariah
Periode
Pelaksanaan
2007
2010
2004-2010
2005
11 Subordinad loan adalah utang subordinasi (juga dikenal sebagai pinjaman subordinasi, obligasi
subordinasi, surat utang subordinasi atau utang SMP) yaitu utang yang menempati peringkat setelah
hutang lain harus jatuh ke kurator atau perusahaan ditutup.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
73
e. Menetapkan persyaratan modal sebesar Rp500 miliar bagi bank umum
syariah yang berasal dari spin off Unit Usaha Syariah.
f. Mempercepat batas waktu pemenuhan persyaratan minimum modal
disetor BPR yang semula tahun 2010 menjadi tahun 2008
2
3
Memperkuat daya saing dan kelembagaan BPR dan BPRS.
a. Meningkatkan linkage program antara bank umum dengan BPR
b. Implementasi program aliansi strategis lembaga keuangan syariah
denganBPRS melalui kemitraan strategis dalam rangka pengembangan
UMKM
c. Mendorong pendirian BPR dan BPRS di luar Pulau Jawa dan Bali
d. Mempermudah pembukaan kantor cabang BPR dan BPRS bagi yang
telah memenuhi persyaratan
e. Memfasilitasi pembentukan fasilitas jasa bersama untuk BPR dan BPRS
(termasuk Lembaga APEX)
Meningkatkan akses kredit dan pembiayaan UMKM
a. Memfasilitasi pembentukan dan monitoring skim penjaminan kredit
danpembiayaan
b. Mendorong perbankan untuk meningkatkan pembiayaan kepada
UMKM khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan
di daerah perdesaan
c. Meningkatkan akses pembiayaan syariah bagi UMKM dengan
pengembangan skema jaminan bagi pembiayaan syariah
d. Mendorong bank-bank syariah untuk meningkatkan porsi pembiayaan
berbasis bagi hasil
Dengan melihat kebijakan-kebijakan
yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia
terutama dalam perbankan, maka kita dapat
melihat bahwa pemerintah memang sudah
menyadari pentingnya kemajuan perbankan
bagi kemajuan perekonomian di suatu negara.
Hal ini terlihat dengan kebijakan yang mempermudah mendirikan bank dan membuka
cabang. Selain menyadari bahwa perbankan
sangat penting bagi perekonomian Indonesia,
pemerintah juga sadar bahwa banyak bank
yang beroperasi di Indonesia tidak menjamin
kemajuan perekonomian. Kegiatan perbankan
yang sehatlah yang mampu mendorong kemajuan perekonomian Indonesia oleh karena itu
pemerintah mengeluarkan kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia yang bertujuan memperkuat struktur perbankan yang ada. Namun
salah satu kebijakan dari Arsitektur Perbankan
Indonesia yaitu mengenai kebijakan penambahan modal bagi bank-bank di Indonesia
ternyata malah menjadi salah satu faktor yang
menghambat pertumbuhan usaha UMKM.
74
2006
2008
2007
2007
2006-2007
2004-2006
2006-2007
2004-2007
2004-2009
2010
2010
D. Pembahasan
Dari pembahasan di atas, kita mengetahui
bahwa UMKM merupakan kegiatan usaha
masyarakat yang bermodal kecil. Namun
usaha yang memiliki modal kecil ini ternyata
malah menjadi salah satu faktor penting yang
menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.
UMKM menjadi salah satu faktor yang menjaga stabilitas perekonomian Indonesia karena
jumlah UMKM di Indonesia yang sangat besar,
diperkirakan populasi UMKM telah mencapai
angka sekitar 51 juta unit usaha. Kegiatan
UMKM ini menyebar di segala aspek usaha,
mulai dari makanan sampai kerajinan tangan.
Walaupun memiliki modal yang tidak begitu
besar, UMKM terbukti cukup kuat menahan
krisis yang ada. Hal yang disayangkan adalah,
kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap
perkembangan UMKM. Apabila tanpa bantuan yang maksimal dari pemerintah seperti
saat ini, UMKM telah menjadi faktor penting
dalam menjaga stabilitas perekonomian
negara, bisa kita bayangkan betapa kuatnya
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
perekonomian Negara ini. Dengan potensi
yang cukup besar ini, sangat disayangkan,
apabila pemerintah tidak memanfaatkan
keadaan ini. Pemerintah seakan-akan sudah
cukup puas dengan kinerja UMKM saat ini
karena sudah membantu pemerintah dalam
perekonomian. Pemerintah seharusnya melihat lebih jauh ke depan mengenai apa yang
dapat mereka capai apabila UMKM yang ada
dimanfaatkan secara lebih lagi. Kita dapat
mengatakan bahwa potensi yang ada saat ini
belum dimanfaatkan oleh pemerintah karena
sampai saat ini hanya 9% UMKM yang sudah
dibantu oleh bank dalam hal perbankan. Bantuan dalam hal modal merupakan salah satu
faktor yang harus pemerintah bantu apabila
pemerintah ingin UMKM yang ada saat ini
dapat mengembangkan usahanya karena
tanpa bantuan modal yang cukup, para pelaku
usaha UMKM akan sangat kesulitan untuk
mengembangkan usahanya. Walaupun saat
ini bank-bank asing ataupun bank nasional
yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh
asing memang telah mulai masuk ke dalam
pembiayaan kredit bagi UMKM, namun yang
menjadi masalah adalah bunga kredit yang
masih tinggi. Hal ini terjadi karena bank-bank
asing dan bank nasional yang sebagian besar
sahamnya dimiliki oleh asing memiliki tujuan
bukan untuk membantu para pelaku usaha
UMKM, tetapi hanya berusaha mendapatkan
keuntungan yang besar atas bantuan modal
(kredit) yang mereka berikan. Hal ini terjadi
karena memang masih sangat dimungkinkan
pengambilan keuntungan besar oleh pihak
asing karena tingkat Net interest margin (NIM)
di Indonesia untuk kredit modal kerja masih
tinggi berkisar sekitar 16%.
Pemerintah seharusnya membantu para
pelaku usaha UMKM ini mengembangkan
usahanya, minimal, membantu mereka mendapatkan modal usaha dengan bunga kredit
yang rendah. Memang saat ini pemerintah
telah sedikit berusaha untuk melakukan penurunan suku bunga kredit, namun langkahlangkah yang dilakukan pemerintah ini seperti
masih setengah-setengah. Contohya pemerintah memang menurunkan BI rate sampai
level 6,5%. Namun untuk instrumen yang lain
seperti ORI dan SUN tetap dikeluarkan pemerintah dengan imbalan bunga yang tinggi.
Karena langkah pemerintah yang setengasetengah inilah penurunan BI rate ini direspons
lambat oleh bank-bank asing maupun bank
nasional.
Selain itu faktor lain yang menyebabkan
bank asing dan bank swasta nasional yang
sebagian sahamnya dimiliki oleh asing tidak
menurunkan suku bunga kreditnya karena ada
beberapa faktor lain seperti:12
Di Indonesia penurunan suku bunga
kredit dipengaruhi oleh kondisi internal
dan eksternal. Pengaruh dari kondisi internal meliputi likuiditas, biaya dana,
overhead cost, non perorming loan (NPL),
dan margin. Sementara dari sisi eksternal,
penurunan suku bunga masih terhambat
oleh faktor kompetitor, risiko pasar dan
perekonomian.
Dari sisi supply, bank menilai risiko kredit
masih sangat tinggi…
Di satu sisi, bank juga harus menghadapi
meningkatnya biaya dana akibat harus
bersaing dengan pemerintah yang menerbitkan ORI dan SUN. Bank menjadi tidak
efisien. Untuk menggenjot profitnya, bank
lalu mengandalkan margin dari suku
bunga.
Jadi kita dapat melihat bahwa sulit turunnya suku bunga kredit memang dipengaruhi
oleh berbagai faktor baik itu dari internal bank
maupun dari eksternal seperti saingan dengan
bank lain ataupun dengan pemerintah dengan
terbitnya ORI dan SUN. Namun, penulis berpendapat bahwa faktor pemilikan bank oleh
asing memiliki pengaruh yang cukup signi-
12 Apriyani Kurniasih. “Sulitnya Menurunkan Suku Bunga Perbankan”. Info Bank. September. 2009. hlm.
34.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
75
fikan. Hal ini dikarenakan jumlah bank asing
yang sangat besar saat ini. Ricky Sutanto,
Chaiman ASEAN Economic dan Trade Center dalam info bank mengatakan bahwa pemilikan bank oleh asing di Indonesia sudah
berkisar sampai 50%. Selain itu, dalam rapor
laporan pelaksanaan GCG 44, dikatakan
bahwa sampai saat ini sudah lebih dari 60
bank di Indonesia yang dimiliki oleh asing
atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh
asing. Dengan semakin banyaknya bank yang
dimiliki oleh asing, maka keinginan pemerintah untuk menurunkan suku bunga kredit
akan sulit, karena saham-saham dimiliki oleh
asing yang notabene hanya bermotif menimbun profit. Himbauan pemerintah untuk menurunkan suku bunga kredit menurut penulis
tidak akan terlalu didengar karena pemilik
asing tidak akan peduli mengenai keadaan
perekonomian negara kita. Yang mereka
pedulikan hanyalah seberapa besar keuntungan yang bisa mereka dapatkan atas modal
yang telah mereka setorkan. Karena itu penulis
berpendapat bahwa pemilikan bank oleh
pihak asing akan menghambat pertumbuhan
perekonomian karena penyaluran modal
usaha bagi pelaku UMKM ternyata malah
memberatkan mereka dari segi bunga kredit
yang harus mereka bayarkan. Dengan melihat tingginya bunga yang harus pelaku UMKM
bayarkan, hal ini malah akan mengecilkan niat
mereka untuk meminjam modal kepada bank
karena khawatir akan biaya bunga yang harus
mereka bayarkan.
Dengan melihat kondisi ini, penulis berharap agar pemerintah segera menindaklanjuti
keadaan ini. Tujuan pemerintah dalam
Arsitektur Perbankan Indonesia yang ingin
memperkuat perbankan secara struktural
salah satunya dengan penambahan modal
hingga 100 milliar pada tahun 2010 kurang
begitu berhasil apabila kita melihat dari sisi
pengembangan usaha UMKM. Hal ini diakibatkan kesulitan bank-bank nasional yang ada
untuk mendapatkan dana tambahan, sehingga banyak dari mereka yang menjual saham76
sahamnya kepada pihak lain terutama pihak
asing, selain itu pemilikan bank atau saham
bank oleh asing sulit dibendung karena dengan
keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
21 Tahun 1999 yang mengizinkan pihak asing
memiliki saham hingga 99% di bank lokal
maka pihak asing dapat dengan leluasa memiliki saham di bank-bank nasional yang ada
saat ini. Dengan keadaan dimana mulai
banyak bank-bank yang dimiliki oleh asing
ternyata malah berdampak negatif terhadap
perkembangan UMKM di Indonesia. Karena
itu pemerintah seharusnya mengkaji kembali
langkah yang telah diambil saat ini, yaitu
mengenai pemilikan bank oleh asing baik itu
sepenuhnya bank yang dimiliki asing maupun
bank nasional yang sebagian besar sahamnya
dimiliki asing. Kebijakan pemerintah untuk
menguatkan struktur perbankan salah satunya
dengan mewajibkan bank untuk memiliki
modal sampai dengan 100 miliar pada akhir
2010 ini dan juga dikeluarkannya PP No. 21
Tahun 1999 ternyata malah menjadi bumerang, dimana dengan kebijakan ini, bank-bank
lokal bukan berusaha sendiri untuk menambah
modal mereka namun malah menjual sahamsaham mereka kepada asing, sehingga
semakin banyak bank yang beroperasi di
Indonesia saat ini dimiliki oleh asing. Akibatnya dengan semakin banyaknya bank asing
yang notabene hanya menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya atas modal
yang telah mereka setorkan maka hal ini akan
menghambat pertumbuhan ekonomi (dalam
hal ini kita melihat dari sudut pandang berkembangnya UMKM yang ternyata memiliki
peran yang sangat besar terhadap stabilitas
ekonomi).
Berdasarkan pembahasan di atas, maka
penulis berkesimpulan bahwa pemilikan bank
oleh asing akan menghambat pertumbuhan
perekonomian Indonesia, karena bank-bank
asing tidak akan terlalu peduli mengenai
pertumbuhan perekonomian Indonesia. yang
mereka perdulikan adalah berapa besar
keuntungan yang bisa mereka dapatkan atas
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
modal yang telah mereka setorkan. Dengan
tujuan untuk mengambil keuntungan yang
sebesar-besarnya ini, maka bank-bank asing
akan menerapkan bunga yang cukup tinggi
atas kredit modal usaha yang mereka berikan
kepada UMKM. Bunga kredit yang tinggi, akan
mengecilkan niat para pelaku UMKM untuk
meminjam modal kepada bank.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
77
PERLINDUNGAN PATEN TERHADAP EXTENSIBLE MARKUP
LANGUAGE YANG DIGUNAKAN DALAM PAKET PROGRAM
KOMPUTER OLEH PIHAK LAIN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DAN KEPUTUSAN
PRESIDEN NOMOR 16 TAHUN 1997 TENTANG RATIFIKASI
PATENT TREATY COOPERATION
Christian Andersen
Abstract
In incremental technology industries like computer software, where new developments necessarily build upon existing technologies and innovation occurs through small improvements rather
than real breakthroughs, a lot of inventors trying to give their innovation with law protection,
even now patent not only protect computer software but also its algorithm for example Extensible
Markup Language Patents(XML) registered with 5,787,449 in United States which recently has
been a well-known case in US court between i4i versus Microsoft.
PCT has open the opportunities the patent protection for computer software in Indonesia including XML feature, and it gives somehow a “software patents paradox” dilemma when patent keep
growing bigger and the stronger patent protection effecting the social communal reduction that
has been known in Indonesia. Speaking in radically, patent leads us to individualistic way of life.
While on the other hand the fact that Patent gives more protection for the patent holder as the
rewards for their work to create some invention with its temporarily monopolistic even though
not giving benefits to the society and in general for the developing countries like Indonesia. Final
word , Patent protection for software and its algorithm isn’t there as long as it hasn’t registered in
regional patent protection PCT, so XML featured software is free to be sold.
Key Words: Software patents; XML.
A. Latar Belakang
Bidang teknologi telah menjadi pokok penting
kemajuan suatu bangsa dalam persaingan baik
secara ekonomi maupun dominasi secara
politik. Berbagai penemuan suatu teknologi
juga dapat menjadi penentu efektivitas suatu
kegiatan ekonomi. Berdasarkan sejarah
seperti perkembangan industri di negara Eropa
meliputi pemanfaatan mesin menggantikan
tenaga manusia dan sebagainya mendorong
para pengembang atau inventor dari suatu
karya intelektual yang pada mulanya banyak
1
78
berasal dari negara-negara industri yang telah
maju mengharapkan adanya perlindungan
atas ciptaannya, maka dunia internasional
mengadakan suatu pertemuan yang kemudian
menghasilkan Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention)
pada tanggal 20 Maret 1883 di Paris, Prancis.
Paris Convention ini telah mengalami beberapa perubahan dan terakhir di Stockholm
tahun 1979 dan pada tahun 2002 telah beranggotakan 163 (seratus enam puluh tiga) negara.1
Paris Convention pada prinsipnya mengatur
Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 30.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
perlindungan hak milik perindustrian yang
meliputi paten (inventions or patens), model
dan rancang bangun (utility models), desain
industri (industrial designs), merek dagang
(trademarks), nama dagang (trade names), dan
persaingan curang (unfair competition).2
Komputer hakikatnya terdiri dari perangkat keras (yaitu komponen fisik dari perangkat
komputer) dan perangkat lunak (yang dikenal
sebagai program komputer). Perkembangan
perangkat keras lazimnya dilindungi melalui
desain tata letak sirkuit terpadu, desain
industri, dan paten. Sementara perangkat lunak
hingga saat ini ada yang menjadi objek perlindungan hak cipta ada pula yang paten.
Penerapan perlindungan Paten tersebut dalam
perangkat lunak sebenarnya menurut esensinya ketika teknologi tersebut dapat di terapkan
dalam proses industri. Proses industri mensyaratkan adanya suatu formula atau patokan
yang dapat di duplikasi dengan mudah.3
Program komputer (software atau biasa
disebut perangkat lunak) saat ini di dunia internasional dan Indonesia pada khususnya telah
diakui sebagai sebuah asset yang sangat
bernilai bagi perusahaan atau individu yang
menciptakan atau memilikinya. Kemajuan
teknologi informasi saat ini termasuk di
Indonesia mengalami peningkatan yang
sangat pesat terutama dalam pengembangan
program komputer.
Perlindungan hak atas Program Komputer
secara umum merupakan ruang lingkup Hak
Kekayaan Intelektual (untuk selanjutnya
disebut sebagai HKI), seperti dalam pengertian
ruang lingkup HKI yang dikemukakan David
2
3
4
5
6
7
Bainbridge4:
“The subject matter of intellectual property is very wide and includes literary and
artistic works, films, computer programs,
invention, design and marks used by traders for their goods or services.”
Hal itu tetap melahirkan pro dan kontra
misalnya ada pendapat bahwa Program
Komputer itu perlu dilindungi Hak Cipta dan
ada pendapat justru kepada Hak Paten khusus
mengenai formulasi rancangan suatu program,
dimana hal tersebut menyangkut bahwa pada
kenyataanya Program Komputer mengalami
perkembangan dalam aspek pendistribusian,
tujuan penggunaan dan tujuan dilakukannya
duplikasi. Dari aspek hukum, program komputer telah dianggap sebagai salah satu jenis
benda/properti seperti benda-benda berwujud
lainnya. Oleh karenanya program komputer
yang “dimiliki” oleh seseorang tidak dapat
digunakan atau dimanfaatkan tanpa ijin dari
pemiliknya.
Pada istilah program komputer dikenal
pula suatu metadata yang merupakan data
dari sebuah data, maksudnya metadata merupakan basis dari suatu data, misalnya dalam
data teks, metadatanya merupakan keterangan mengenai nama, ruas, panjang field,
dan tipe field-nya seperti karakter maupun
tanggal pembuatan.5
Hukum Nasional Negara Indonesia memberikan perlindungan kepada Program Komputer melalui hukum kekayaan intelektual,6
dalam hal ini, Hak Cipta berupaya memberikan definisi atas Program Komputer, 7 yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 19
Ibid., hlm. 30.
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul, Minn, West publishing Co.,
USA, 1991, hlm. 778.
David I. Bainbridge, Intellectual Property, Fourth Edition, Financial Times Management, London,
United Kingdom, 1999, hlm. 3.
Terdapat pada bagian pengertian metadata, id.wikipedia.org/wiki/metadata
Istilah Hak Kekayaan Intelektual, tanpa kata “Atas” atau disingkat HKI resmi dipakai berdasarkan
Keputusan Menteri dan Perundang-undangan Republik Indonesia No.M.03.PR.07.10 Tahun 2000 dan
Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Surat No. 24/M/PAN/1/2000.
Muhammad Aulia Adnan, Panduan Pengembang Public License di Indonesia, Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi, 2001, hlm. 4.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
79
Tahun 2002 tentang Hak Cipta (untuk selanjutnya disebut sebagai UU Hak Cipta) dan
disebutkan dalam Pasal 1 Angka 8 UndangUndang tersebut, bahwa:
“Program Komputer adalah sekumpulan
instruksi yang diwujudkan dalam bentuk
bahasa, kode, skema, ataupun bentuk
lain, yang apabila digabungkan dengan
media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer
bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi
khusus atau untuk mencapai hasil yang
khusus, termasuk persiapan dalam
merancang instruksi- instruksi tersebut.”
Pengertian Program Komputer pada pasal
tersebut, dapat diartikan bahwa Program
Komputer adalah terdiri atas suatu “Kode” yang
kemudian membentuk suatu aplikasi tertentu,
atau dikatakan bahwa kode tersebut menjadi
unsur utama dalam pembentukan suatu
Program Komputer.
Sebenarnya tidak semua yang dikategorikan Program Komputer dapat langsung
digunakan oleh user (pengguna), ada yang
hanya sekedar formula kode khusus yang
seperti rumusan atau resep untuk diaplikasikan ke dalam program komputer yang kelak
akan digunakan user. Komposisi formula kode
komputer tersebut untuk kelak dijadikan program komputer yang dilepas ke pasaran itulah
yang sangat identik dengan paten, kaitannya
hakikat paten itu sendiri sebagai dari formula
tersebut.
Perlindungan Program Komputer yang
dimaksud dalam hak cipta mengenai pemberian lisensi. Sementara perlindungan Paten
adalah perlindungan dari unsur dasar formulasi
kode yang menjadi rancangan dibuatnya
suatu program sehingga seseorang tidak
berhak untuk membuat sebuah karya yang
cara bekerjanya sama dengan sebuah ide
yang dipatenkan dari program tersebut. Hal
8
80
tersebut melalui Pasal 7 angka 1 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
mengenai perlindungan langkah-langkah di
bidang ilmu pengetahuan yang dapat diterapkan di produksi industri. Contoh dari paten dari
formula kode tersebut algoritma yang ditemukan pada tahun di tahun 700 oleh misalnya
adalah Pagerank yang dipatenkan oleh
Google.8 Pagerank dipatenkan pada kantor
paten Amerika Serikat. Artinya pihak lain di
Amerika Serikat tidak dapat membuat sebuah
karya berdasarkan algoritma Pagerank,
kecuali jika ada perjanjian dengan Google.
Microsoft yaitu salah satu developer/
pengembang berbagai program komputer
terbesar di dunia pada umumnya menjual
produknya ke publik dengan mekanisme
lisensi. Artinya, Microsoft memberi hak
kepada seseorang yang membeli Windows
untuk memakai program komputer tersebut.
Orang tersebut tidak diperkenankan untuk
membuat salinan Windows untuk kemudian
dijual kembali, karena hak tersebut tidak
diberikan oleh Microsoft. Walaupun demikian
seseorang tersebut berhak untuk membuat
salinan jika salinan tersebut digunakan untuk
keperluan sendiri, misalnya untuk keperluan
backup. Sebagai contoh adalah lisensi GPL
yang umum digunakan pada program komputer Open Source. GPL memberikan hak
kepada orang lain untuk menggunakan
sebuah ciptaan asalkan modifikasi atau produk
derivasi dari ciptaan tersebut memiliki lisensi
yang sama. Akibatnya hukum paten pada
industri program komputer sangat merugikan
perusahaan-perusahaan kecil yang cenderung tidak memiliki paten. Ada juga perusahaan kecil yang menyalahgunakan hal ini.
Misalnya Eolas yang mematenkan teknologi
plug-in pada web browser. Untuk kasus ini,
Microsoft tidak dapat mengharapkan imbal
balik Eolas, karena Eolas sama sekali tidak
membutuhkan paten yang dimiliki oleh
Algoritma adalah rancangan kode alur berpikir untuk kelak diolah sebagai program komputer. http://
en.wikipedia.org/wiki/algorithm
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Microsoft. Eolas bahkan sama sekali tidak
memiliki produk atau layanan, satu-satunya
hal yang dimiliki Eolas hanyalah paten
tersebut.9
Perbedaan ruang lingkup tiap-tiap negara
dalam melindungi program komputer suatu
komputer, berdampak cukup besar seperti
terhadap definisi program komputer yang
dapat dilindungi misalnya dalam paten yang
seperti diketahui berbeda dengan Hak Cipta,
sebab Paten melindungi fungsi dan tujuan dari
suatu program komputer sementara fungsi dan
tujuan dari program komputer tidak dapat
didaftarkan kepada Hak Cipta. Walaupun
terdapat perbedaan pandangan tiap-tiap
negara khususnya yang tergabung dalam
WIPO, tiap negara bekerja sama melindungi
segala hak kekayaan intelektual yang umum
dikenal sebagai asas “national treatment “. Hal
tersebut sejalan dengan Keputusan Presiden
Nomor 16 Tahun 1997 tentang Ratifikasi Patent
Cooperation Treaty sesama anggota WIPO.
Patent Cooperation Treaty itu dilatarbelakangi
untuk efisiensi pendaftaran paten di beberapa
negara yang dapat dilakukan hanya dengan
satu pendaftaran dan satu bahasa. Perlindungan paten tersebut misalnya untuk wilayah
eropa seorang dapat mendapatkan perlindungan multiple patent di 36 negara di eropa.10
Polemik perbedaan konsep perlindungan
atas suatu program komputer khususnya
mengenai formula algoritma yang menjadi titik
tolak penelitian ini, ketika suatu program
komputer baik yang berlisensi bebas maupun
tidak dianggap telah melanggar suatu paten
di negara anggota WIPO dan bahkan kasus
terakhir pada tahun ini yaitu 2010 yang dialami
oleh Microsoft ketika produk program komputernya yaitu “Microsoft office 2003 dan office
2007”, Microsoft didakwa melanggar hukum
paten di negara Amerika tahun 1998 (No.
5,787,449) tentang metode untuk membaca
XML.11
XML itu sendiri merupakan suatu perangkat alat yang dapat mengkonfigurasi informasi
dalam suatu data yang memungkinkan
pengguna untuk menyesuaikan format dari
dokumen word-processing agar dapat dibaca
di berbagai program lain yang sejenis. Seperti
dalam slogan iklan mereka “Membuat dan
mengedit konten XML dalam Microsoft Word”
agar siapa pun dapat mengedit dan bekerja
dengan XML. Hakim juga memerintahkan
Microsoft untuk membayar denda sebesar
lebih dari $290 juta kepada i4i. Kemampuan
untuk membaca dan menulis dokumen XML
merupakan fitur yang tertanam di Microsoft
Word 2003 dan 2007. XML tersebut diklaim
sangat mirip dengan program untuk proses
data elektronik yang sebelumnya telah dipatenkan i4i pada tahun 1998 melalui US Patent
Nomor 5,787,499.
Paten tersendiri merupakan bentuk perlindungan khusus terhadap suatu perkembangan
teknologi berupa inovasi yang tidak pernah
ada sebelumnya hal mengenai program komputer sebagai Paten sebenarnya tidak secara
eksplisit dinyatakan dalam hukum di Amerika
Serikat, kutipannya antara lain:
“section 101 of title 35, united states code,
Whoever invents or discover any new
and usful process, machine, manufacture,
or composition of matter, or any new useful improvement thereof, may obtain a
patent therefor, subcet to the conditions
and requirements of this title.”
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa
sebenarnya proses, manufaktur, bahkan mesin
tidak relevan dengan Paten. Sejauh itu juga
pengaturan Paten di negara Indonesia seperti
pada pengertian pada Pasal 1 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
9 Eolas-wikipedia, the free encyclopedia, www.en.wikipedia.org/wiki/eolas
10 Terdapat pengertian umum tentang paten pada http://id.wikipedia.org/wiki/Paten
11 Dapat dibaca pada: www.digitaltrends.com/computing/microsoft-denied-re-hearing-on-i4i-infringementcase/
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
81
(untuk selanjutnya disebut sebagai UU Paten)
yaitu: “invensi adalah ide inventor yang
dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses atau
penyempurnaan dan pengembangan produk
atau proses.”
Hingga saat ini di Indonesia masih beredar
office yang menyertakan fitur XML tersebut
baik yang resmi maupun yang bajakan. Hal
tersebut membuat peneliti tertarik bagaimana
sikap negara Indonesia dalam menyikapi hal
ini, bagaimana hukum paten yang berlaku di
negara ini memberikan perlindungan bagi program komputer yang dianggap melanggar
paten di negara lain untuk beredar di negara
Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan mengenai pelaksanaan pengadaan barang dan jasa bagi pemerintah dapat
ditinjau dari berbagai sudut pandang, sehingga
permasalahannya pun menjadi kompleks,
oleh karena itu penulis membatasi permasalahan yang penulis teliti dalam identifikasi
masalah:
1. Apakah extensible markup language
dapat menjadi objek yang dilindungi oleh
paten berdasarkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten di
Negara Indonesia?
2. Bagaimana keberadaan program komputer dengan fitur extensible markup language yang telah melanggar paten di
Amerika Serikat kaitannya dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997 di
Indonesia?
C. Kerangka Pemikiran
Pembaharuan sistem hukum nasional di bidang
HKI merupakan langkah strategis. Hal ini
sejalan dengan kebutuhan akan adanya
pengaturan yang jelas dan pasti di bidang
perdagangan dan perindustrian pada umumnya, dan di bidang HKI pada khususnya. Satu
hal yang terpenting dalam rangka menghadapi
era globalisasi.12
Perkembangan IPTEK mencakup juga
mengenai program komputer sebagai salah
satu objek perlindungan hukum seperti halnya
hak kebendaan lainnya yang harus mendapatkan perlindungan hukum sehingga memberi kepastian bagi masyarakat untuk mendukung pengembangan IPTEK di Indonesia.
Abdul Kadir Muhammad berpendapat bahwa
Hak Kekayaan Intelektual meliputi: 1) hak
milik hasil pemikirian pada pemiliknya, bersifat tetap dan eksklusif; dan 2) hak yang
diperoleh pihak lain atas izin dari pemilik,
bersifat sementara.13
Permasalahan HKI khususnya mengenai
program komputer, merupakan permasalahan
yang terus berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
perdagangan internasional. Pada awal perkembangannya permasalahan tersebut dapat
sangat sederhana seperti misalnya penuntutan
atau pemberian kepada seseorang yang
berhak menjadi pemilik dari suatu hasil karya
bila bahan bakunya dari pihak lain. Permasalahan pun makin majemuk dan kompleks
dengan terjadinya revolusi industri di Inggris
dan Perancis.14
Dalam konteks perkembangan komputer,
terdapat perkembangan baik di bidang
perangkat keras (yaitu kompoten fisik dari
perangkat komputer) maupun perangkat
lunak (yang dikenal sebagai program kom-
12 Paingot Rambe Manalu, Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Hukum Nasional Kususnya Hukum
Hak atas Kekayaan Intelektual, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2000, hlm. 27.
13 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2001, hlm. 1.
14 Muhamad Djumhana dan Djubaedilah, “Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 7.
82
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
puter). Perkembangan perangkat keras
lazimnya dilindungi melalui desain tata letak
sirkuit terpadu, desain industri, dan paten.
Sementara perangkat lunak hingga saat ini
ada yang menjadi objek perlindungan hak
cipta ada pula yang paten. Penerapan perlindungan Paten tersebut dalam perangkat lunak
sebenarnya menurut lingkup esensinya ketika
teknologi tersebut dapat diterapkan dalam
proses industri. Proses industri mensyaratkan
adanya suatu formula atau patokan yang dapat
diduplikasi dengan mudah.
Perkembangan komputer dapat juga
dikatakan salah satu perkembangan teknologi,
kaitannya dengan penggunaan teknologi ini
terdapat suatu istilah yang dikenal dengan
nama hak paten. Hak paten adalah suatu hak
khusus yang dimiliki oleh seorang penemu
atau orang lain yang diberi hak oleh penemu
untuk melaksanakan sendiri suatu penemuan
atau memberi izin kepada orang lain untuk
melaksanakan penemuan itu.
Secara umum, Program Komputer Bebas
dan Program Komputer Tidak Bebas (Proprietary) sebagaimana disebutkan tadi adalah
dilindungi Hak Cipta karena dalam UU Hak
Cipta disebutkan “Program Komputer” sebagai
objek perlindungan Hak Cipta tanpa ada
pengkategorian tertentu. Jika melihat konteks
perlindungan Hak Cipta atas Program
Komputer ini secara garis besar, bahwa setiap
penggunaan, perbanyakan/dupilikasi dan
mengumumkan Program Komputer harus
mendapatkan izin dari pemegang Hak Cipta
atas Program Komputer tersebut.
Dalam Paten hak khusus diberikan
negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, untuk selama waktu
tertentu melaksanakan sendiri penemuannya
tersebut atau memberikan persetujuannya
kepada orang lain untuk menggunakannya.
Penemuan tersebut harus memiliki unsur
kebaruan.
Pasal 27 angka (1) TRIPs telah menjelaskan subjek paten dapat diterapkan pada
penemuan apa pun, baik produk maupun
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
proses pembuatan di bidang teknologi, memenuhi unsur baru, dan terdapat langkah-langkah
yang dapat diterapkan pada kegiatan industri.
Hal tersebut diformulasikan pula pada Pasal 7
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 jo
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2001 tentang paten, yang memperluas pemberian perlindungan paten untuk semua jenis
penemuan di bidang ilmu pengetahuan.
Sementara hal hal yang tidak dapat diberi
hak paten antara lain:
1. Penemuan tentang proses atau hasil
produksi penemuan dan pelaksanaannya
bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku,
ketertiban umum atau kesusilaan.
2. Penemuan tentang metode pemeriksaan,
perawatan pengobatan dan pembedahan
yang diterapkan terhadap manusia dan
hewan, tetapi tidak menjangkau produk
manapun yang digunakan atau berkaitan
dengan metode tersebut.
3. Penemuan tentang teori dan metode di
bidang ilmu pengetahuan dan matematika.
D. Pembahasan
1. Bagaimana Extensible Markup
Language Dapat Menjadi Objek yang
Dilindungi oleh Paten Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2001 Tentang Paten di Negara
Indonesia
Indonesia sebagai salah satu anggota penandatangan kesepakatan WTO dituntut untuk
menyesuaikan peraturan hukum di bidang HKI
dengan persetujuan TRIPs dan berbagai konvensi internasional yang menjadi rujukan,
seperti Bern Convention, Roma Convention,
Paris Convention, dan konvensi-konvensi lain
di bawah WIPO. Peraturan perundangundangan yang mencakup bidang paten demikian dengan adanya UU Paten. Walaupun
hingga saat ini software pada umumnya
termasuk objek perlindungan hak cipta di
83
Negara Indonesia, namun problematika yang
terjadi ketika terdapat suatu objek perlindungan paten di Negara lain yang telah
dinyatakan melanggar, masih beredar di
Negara Indonesia.
Hal khusus seperti kondisi format data
XML yang didaftarkan di US Paten dan dilanggar pula oleh subjek hukum di Negara tersebut
asalnya jelas berdampak pada Negara Indonesia yang mengimpor banyak sekali software
khususnya Microsoft Office adalah paten yang
didaftarkan unsur asing dalam XML sangat
kentara dan meminjam penafsiran elemen
Hukum Perdata Internasional, titik taut yang
terdapat dalam XML tidak lain adalah:
1. XML merupakan suatu format data yang
ditemukan dan didaftarkan di US.
2. Paten atas XML dilanggar di Negara US.
3. Akibat hukum ditariknya seluruh software
yang dilengkapi fitur XML merupakan
sanksi yang telah dijatuhkan oleh Negara
Bagian Texas.
4. Terdapat kekosongan hukum perlindungan terhadap XML walaupun
berkaitan erat dengan software, namun
bukanlah suatu software yang dimaksud
dalam UU Hak Cipta yang terdapat di
Indonesia.
5. Penjelasan atas Pasal 11 Ayat 3 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dalam
hal tidak ada pilihan hukum, penetapan
hukum yang berlaku berdasarkan prinsip
atau asas hukum perdata internasional
yang akan ditetapkan sebagai hukum
yang berlaku pada kontrak tersebut.
Dalam paten yang terpenting dan di mana
pun seluruh dunia prinsip first to file
menjadi titik tolak perlindungan paten
negara terhadap suatu penemuan.
Berbeda dengan hak cipta.
Begitu pentingnya informasi yang diperoleh sehingga diperlukan perlakuan khusus
terhadapnya. Tahap searching sebagai kunci
untuk mendefinisikan kebutuhan secara tepat
memerlukan pengetahuan teknis yang memadai. Selanjutnya, informasi yang diperoleh
juga perlu disimpan dengan baik sehingga
mudah diperoleh kembali jika dibutuhkan di
masa berikutnya. Jika perlu, buat database
sendiri yang menunjang proses usaha.
Hukum Paten terhadap software tidak
cocok diterapkan pada kondisi ekonomi dan
pembangunan teknologi di Indonesia,
Undang-Undang Paten Nomor 14/2001 sangat
jelas menunjukan bahwa isi dari pasal-pasal
tersebut tidak banyak memberikan keuntungan bagi warganegara Indonesia melainkan
bagi penemu yang berasal dari negara maju
di luar Indonesia. Data dari Kantor Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual menunjukkan
bahwa 91,43% dari paten standar yang didaftarkan di Indonesia berasal dari asing.15
Pertentangan adanya adopsi perlindungan
paten di Indonesia telah ada sejak perumusan
Undang-Undang Paten pertama kali pada
tahun 1989 oleh Aberson Marle Sihalolo
(anggota dewan perwakilan rakyat) dan
Kayatmo sebagai deputi LIPI, keduanya
berpendapat bahwa Undang-Undang Paten
tidak dibutuhkan di Indonesia untuk tujuan
merangsang perkembangan penemuan di
bidang teknologi, sebaliknya justru lebih
menguntungkan bagi investor asing.16 Sejauh
ini sangat sulit menemukan keuntungan yang
jelas dengan memiliki perlindungan paten
terhadap XML di Indonesia, terutama pusat
pengembangan software yang berada di
Amerika Serikat, adanya UU Paten tetap sulit
untuk membantu transfer teknologi kepada
pengembang software di Indonesia sebab
perusahaan asing tersebut hanya memberikan
eksploitasi teknologi yang relatif rendah
15 Statistik yang ditampilkan pada situs http://www.dgip.go.id
16 Ditinjau dari Segi Inovasi, UU Hak Paten Belum Perlu (From the Innovation Side, the Patent Act is not
Necessary)”, KOMPAS (23 June 1989) at 6 “UU Paten Bisa Memberi Jaminan Para Investor” (The
Patent Act can Give Security to Investors), KOMPAS (19 June 1989).
84
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
kepada negara seperti Indonesia, misalnya
pembuatan perangkat yang sederhana dan
hanya membutuhkan kemampuan sederhana
serta tenaga kerja yang rendah, bukan rangkaian rumit atau rumusan XML yang teknologi
yang ditransfer ke negara berkembang seperti
Indonesia hanya bersifat sederhana untuk
sekedar duplikasi masal.
Klaim yang diajukan i4i terhadap XML
mengandung langkah inventif. Sesuai peraturan di Indonesia, selain hal yang menjadi
dasar pertimbangan bahwa sesungguhnya
walaupun klaim yang diajukan oleh i4i
mengandung langkah inventif. Berdasarkan
Pasal Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
disebutkan bahwa:
1. Suatu paten diberikan untuk Invensi yang
baru dan mengandung langkah inventif
serta dapat diterapkan dalam Industri.
2. Selain itu suatu Invensi mengandung
langkah inventif jika Invensi tersebut bagi
seseorang yang mempunyai keahlian
tertentu di bidang teknik merupakan hal
yang tidak dapat diduga sebelumnya.
3. Penilaian bahwa suatu Invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat
Permohonan diajukan atau yang telah ada
pada saat diajukan Permohonan pertama
dalam hal Permohonan itu diajukan
dengan Hak Prioritas.
XML oleh karenanya dapat didaftarkan
melalui paten di Indonesia walaupun software
induknya sudah terlindungi oleh perlindungan
Hak Cipta. Sebab XML bukanlah software
melainkan format data, yang dapat diaplikasikan untuk kegiatan industri perbanyakan
software secara massal. Penemu yang dapat
mendaftarkan XML di negara Indonesia adalah
yang terlebih dahulu mendaftarkan “first to file”
walaupun telah diketahui paten i4i telah
didaftarkan US Patent sebelumnya namun
perlu ditelaah bahwa paten bersifat nasional
kecuali telah melalui pendaftaran PCT sesuai
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1996.
Sehingga baik i4i maupun Microsoft dapat
mendaftarkan paten atas XML, terlebih lagi
Microsoft telah menjadi subjek hukum di
Indonesia sementara i4i sejauh ini belum
memiliki licensor atau dengan kata lain bukan
subjek hukum di negara Indonesia.
Algoritma yang serupa dengan XML membuat kedudukan XML tak dapat dilindungi
melalui hukum paten di negara Indonesia,
hanya ada satu cara melalui Permintaan Paten
Internasional dan Penelusuran Internasional
agar perlindungan antara lain:
1. “Paten nasional” adalah paten yang
diberikan oleh suatu Badan Nasional;
2. “Paten regional” adalah paten yang
diberikan oleh suatu Badan Nasional atau
Badan Antar-pemerintah yang mempunyai kekuasaan;
3. Untuk memberikan paten yang berlaku
pada lebih dari satu negara.
“Paten regional” merupakan hal yang
baru dan berbeda dengan perlindungan paten
yang bersifat nasional pada mulanya. Sehingga dimungkinkan suatu inovasi dilindungi
tidak sebatas satu negara melainkan beberapa
negara.
Pada Pasal 3 PCT menjelaskan kembali
ruang lingkup perlindungan paten yang dapat
menjadi luas melebihi batas Negara melalui
Permintaan Paten Internasional dengan permintaan paten internasional.
2. Bagaimana Keberadaan Program
Komputer dengan Fitur Extensible
Markup Language yang Telah
Melanggar Paten di Amerika Serikat
Kaitannya dengan Keputusan
Presiden Nomor 16 Tahun 1997 di
Indonesia
Patent Cooperation Treaty merupakan traktat
internasional kerja sama paten yang bertujuan
untuk melaksanakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perlindungan hukum
85
terhadap setiap invensi, memberikan proteksi
dari invensi yang diinginkan dilindungi oleh
suatu negara, akses bagi publik atas informasi
teknis invensi baru dan dalam rangka mempercepat pembangunan ekonomi dari negaranegara berkembang. Dalam hal ini Pasal 109
UU Paten membenarkan adanya permohonan
paten berdasarkan atas traktat kerja sama
Paten (PCT). PCT dikelola oleh Biro Internasional WIPO, dimana dengan sekali aplikasi
paten internasional melalui salah satu anggota
PCT untuk mendapatkan perlindungan di
beberapa bahkan seluruh negara anggota PCT
yang berarti dengan aplikasi paten internasional berpengaruh pada pendaftaran reguler
terhadap paten nasional di setiap negara yang
dituju dengan tetap memenuhi persyaratan
pendaftaran di negara setempat termasuk
pembiayaannya.
Dalam hal ini permohonan paten baik
pendaftar paten terdahulu di Amerika yaitu i4i
dan Microsoft sama sama berhak untuk mendaftarkan perlindungan paten secara Internasional sehingga dalam hal paten telah
diberikan maka dapat memperoleh perlindungan terkait dengan hasil invensinya di
berbagai negara anggota PCT namun sebelumnya harus terlebih dahulu dilakukan pendaftaran pada fase nasional.
Untuk mendaftarkan paten di negara PCT
i4i telah sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan dalam Traktat Kerjasama paten
(PCT). Dalam Internasional Search Report dari
PCT tersebut disebutkan bahwa klaim invensi
tidak bertentangan dengan langkah kebaruan
mengingat klaim hanya berkesesuaian dengan
3 dokumen yang tidak berkaitan secara
khusus melainkan hanya berisi gambaran
teknik secara umum saja. Selain itu kalim yang
diajukan i4i juga telah diberikan paten oleh
otoritas paten Amerika Serikat. Sehingga
berangkat dari semua itu, i4i seharusnya
segera mendaftarkan paten melalui PCT dan
sangat mempertimbangkan paten yang telah
diberikan oleh negara lain sebab bisa terjadi
sebaliknya ketika Microsoft sebagai subjek
86
hukum yang berada di negara Indonesia
secara hukum dapat mendaftarkan perlindungan paten sebab paten hanya berlaku
nasional jika belum didaftarkan secara
internasional melalui PCT.
Hal terbukanya kemungkinan pendaftaran paten PCT oleh masing-masing pihak
bahwa memang benar berdasarkan konvensi
Paris (The Paris Convention For The Protection of Industrial Property) setiap Negara harus
memberikan perlindungan serta memperlakukan hak milik industri warga negara lain
seperti memperlakukan warga negaranya
sendiri namun pada prinsip yang lain dalam
konvensi tersebut, negara-negara anggota
tidak wajib untuk memberikan paten pada
warga negara lainnya. Selain itu walaupun
seandainya invensi XML telah didaftarkan
secara internasional melalui PCT, maka i4i
harus pula memenuhi persyaratan pendaftaran
pada fase nasional untuk memperoleh perlindungan di Indonesia. Dengan demikian
Microsoft tidak terikat atas pendaftaran
internasional yang dilakukan i4i di Indonesia
dan dapat saja dilakukan pemeriksaan substantif menarik seluruh produk software-nya
yang menggunakan fitur XML yang masih
beredar di Indonesia.
Dapat dikatakan bahwa sebelum adanya
invensi yang dilakukan oleh Microsoft , XML
yang diajukan telah lebih dahulu diterapkan
oleh pihak lain. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa invensi yang diajukan tidak memiliki
langkah inventif. Jika telah didaftarkannya di
negara Indonesia atau telah melalui pendaftaran secara internasional (PCT). Unsur kebaruan (Novelty) Berdasarkan Pasal 3 UndangUndang No. 14 Tahun 2001 disebutkan
bahwa:
1. Suatu Invensi dianggap baru jika pada
Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut
tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.
2. Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah teknologi yang telah
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
diumumkan di Indonesia atau di luar
Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan
atau melalui peragaan, atau dengan cara
lain yang memungkinkan seorang ahli
untuk melaksanakan Invensi tersebut
sebelum:
a. Tanggal Penerimaan; atau
b. Tanggal prioritas.
c. Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia
yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal daripada Tanggal
Penerimaan atau tanggal prioritas
Permohonan.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat
membuat kesimpulan:
1. Extensible Markup Language tidak dapat
dikualifikasikan sebagai objek yang
dilindungi Undang-Undang Paten di
Indonesia, berdasarkan Pasal 7c yang
menyatakan algoritma yang dapat dikualifikasikan sebagai teori dan metode di
bidang ilmu pengetahuan dan matematika
tidak dapat didaftarkan melalui paten,
satu-satunya perlindungan bagi XML
untuk dilindungi secara tidak langsung
oleh Paten yaitu melalui Traktat Kerjasama Paten berdasarkan Kepres Nomor
16 Tahun 1996 dimana dapat didaftarkannya paten untuk perlindungan
regional sesama negara anggota WIPO.
2. Indonesia tidak dapat memberlakukan
putusan tentang pelanggaran paten yang
telah terjadi di Amerika Serikat berdasarkan US-Title 35 tentang Paten, sebagaimana keberlakuan paten sebatas negara
terkecuali jika XML telah didaftarkan
melalui PCT tersebut dimungkinkan
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
adanya perlindungan paten terhadap
XML. Dengan mempertimbangkan hak
prioritas yang dibatasi keberlakuan surut
pada saat pendaftaran paten tersebut
didaftarkan pertama kali minimal di satu
negara lain di luar Indonesia.
Daftar Pustaka
Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum
Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan
Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Bandung,
2005.
Black, Henry Campbell., Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul, Minn, West
Publishing Co., USA, 1991.
Bainbridge, David I., Intellectual Property,
Fourth Edition, Financial Times Management, London, United Kingdom, 1999.
Muhammad Aulia Adnan, Panduan
Pengembang Public License di Indonesia,
Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, 2001.
Paingot Rambe Manalu, Pengaruh Globalisasi
Ekonomi Terhadap Hukum Nasional
Kususnya Hukum Hak atas Kekayaan
Intelektual, Novindo Pustaka Mandiri,
Jakarta, 2000.
87
PLURALISME HUKUM
DALAM HUKUM TANAH INDONESIA
Stella Bong
Abstrak
Tujuan dibuatnya paper ini adalah menyoroti pluralisme hukum di Indonesia khususnya di Hukum
Pertanahan. Dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1980,
kemudian Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti menjadi Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, jelas pemerintah ingin melakukan
unifikasi dalam bidang hukum pertanahan dengan menyatakan sertifikat sebagai satu-satunya
bukti kepemilikan atas tanah.
Dalam praktiknya ternyata unifikasi tersebut gagal karena masyarakat mempunyai pendapat
sendiri soal bukti kepemilikan atas tanah, yaitu masih diakuinya Letter C sebagai bukti
kepemilikan. Memang agak aneh bahwa setelah berlakunya UUPA sejak tahun 1960 sampai
saat ini, ternyata tidak bisa menghapus keberadaan dari Letter C yang sampai sekarang masih
tetap ada.
Dari hasil wawancara dan pengumpulan data-data dari Badan Pertanahan Nasional diketahui
bahwa pada waktu akan membuat sertifikat untuk tanah milik adat, si pemohon tetap haruslah
melampirkan salinan Letter C dari Kelurahan sebagai bukti kepemilikan atas tanah. Dan karena
BPN tidak mempunyai data-data mengenai tanah adat, maka si pemohonlah yang diwajibkan
untuk membuktikan bahwa tanah itu benar miliknya. BPN hanya berfungsi sebagai petugas/
badan yang menerima dan memproses permohonan yang tidak bertugas memeriksa kebenaran
dari berkas-berkas permohonan yang diajukan.
Pihak kelurahan sebagai pihak yang mengeluarkan salinan Letter C juga menolak jika dimintai
pertanggungan jawab atas kebenaran salinan yang diterbitkannya. Petugas kelurahan
beranggapan bahwa tugas mereka hanya sekedar memberikan konfirmasi soal Letter C yang
bukunya memang disimpan di kelurahan dan tidak berwenang memeriksa apakah benar si
pemohon adalah pemilik Letter C tersebut. Sampai saat ini tidak ada petunjuk resmi dari
pemerintah kepada petugas kelurahan tentang pelayanan kepada masyarakat mengenai Letter
C ini, semuanya dijalankan menurut kebiasaan yang sudah dilakukan selama puluhan tahun.
Karena itu petugas kelurahan pun merasa tidak punya kewajiban untuk memperbaruhi catatan
di buku Letter C dan hanya sekedar mencatat perubahan atau peralihan hak jika mendapat
laporan dari masyarakat saja.
Fakta lain menunjukkan bahwa Letter C bisa diperjualbelikan layaknya sertifikat, selain itu
pemegang sertifikat tidak pernah bisa aman dari gugatan yang diajukan oleh pemegang sertifikat
terkait dengan keabsahan atau prosedur penerbitan sertifikat yang bersangkutan. Akibatnya
masyarakat sampai kepada kesimpulan bahwa tidak ada bedanya Letter C dengan sertifikat
sebagai bukti kepemilikan atas tanah.
Karena adanya dualisme ini akhirnya membuat masyarakat melakukan forum shopping, dari 2
(dua) bukti kepemilikan Letter C dan sertifikat tersebut mereka memilih memberlakukan mana
yang menguntungkan buat mereka. Bahkan jika timbul sengketa yang berkaitan dengan tanah,
mereka juga bisa melakukan shooping forum memilih pengadilan mana yang dianggap bisa
menyelesaikan sengketa dan menguntungkan mereka sebagai penggugat tentunya.
88
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Cita-cita unifikasi Hukum Pertanahan yang ingin dicapai oleh Undang-Undang Pokok Agraria
No. 5 Tahun 1960 jelas telah gagal, pluralisme tidak bisa dihilangkan sebab dalam praktiknya
birokrasi di Badan Pertanahan Nasional maupun di kelurahan justru melanggengkan pluralisme
ini melalui aturan-atauran pendaftaran tanah. Akibatnya, masyarakat mengembangkan aturannya
sendiri dengan memilih-milih hukum dan forum yang menurut mereka bisa membuat mereka
mencapai tujuannya.
I. Latar Belakang
Yang akan dikupas dalam tulisan ini tentang
mengapa masyarakat Indonesia bisa sampai
memiliki perbedaan pendapat tentang bukti
kepemilikan atas tanah, yaitu Letter C dan
Sertifikat. Dualisme dalam Hukum Tanah ini
merupakan gejala yang tidak ada habishabisnya, dan tulisan ini menyoroti mengapa
dualisme ini bisa terjadi padahal baik UndangUndang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960,
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah yang telah diganti
dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah sudah secara
tegas menyatakan bahwa bukti kepemilikan
tanah secara formal yang diakui adalah
sertifikat.
Kalau Letter C bukan bukti kepemilikan
atas tanah, maka tentunya timbul pertanyaan
mengapa sampai saat ini Letter C masih diakui
sebagai bukti kepemilikan?
Indonesia sebagai negara yang sedang
berkembang tengah berupaya melakukan
unifikasi hukum yang salah satunya diwujudkan dengan dibuatnya Undang-Undang Pokok
Agraria No. 5 Tahun 1960 yang bertujuan
menciptakan hukum sebagai sarana pembangunan. Namun cita-cita unifikasi ini
terbentur keberagaman yang menjadi fakta
dalam masyarakat di Indonesia, hal ini
diakibatkan oleh faktor sejarah yang menyebabkan berlakunya Hukum Adat, Hukum
Belanda, dan Hukum Agama di Indonesia
pada saat yang bersamaan.
Kemampuan untuk melakukan unifikasi
hukum sangat tergantung peran pemerintah,
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
namun ternyata pemerintah tidak pernah bisa
mengatur semuanya sendiri, harus ada peran
juga dari masyarakatnya. Masyarakat sendiri
jelas tidak bisa begitu saja menerima apa yang
diatur oleh negara karena masyarakat juga
bisa menolak jika dirasakan tidak sesuai
dengan aspirasi masyarakat. Dengan sudah
adanya aturan, tidak berarti secara otomatis
unifikasi bisa dilakukan karena faktanya
pluralisme tidak bisa dihapuskan dalam praktik
pertanahan.
Dualisme hukum ini jelas memunculkan
kebingungan di masyarakat. Apa yang dapat
dijadikan sebagai bukti kepemilikan atas
tanah, apakah dengan Letter C atau Sertifikat?
Karena faktanya baik tanah yang sudah
bersertifikat maupun yang hanya berbentuk
Letter C, keduanya bisa diperjualbelikan.
Masih adanya dualisme hukum tentang bukti
kepemilikan tanah ini jelas menunjukkan
sangat sulitnya melakukan unifikasi hukum
tanah yang menjadi tujuan dibentuknya
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun
1960. Salah satu alasan kegagalan unifikasi
ternyata karena proses pendaftaran tanah
untuk pertama kali justru melanggengkan
pluralisme ini. Birokrasi pada Badan Pertanahan Nasioanal tetap meminta dilampirkannya Letter C sebagai bukti awal kepemilikan atas tanah milik adat. Selain itu, pihak
Badan Pertanahan Nasional maupun
kelurahan/kecamatan memiliki cara pandang
yang berbeda tentang peranan mereka dalam
proses pendaftaran tanah dan sejauh mana
mereka bertanggung jawab atas kebenaran
data-data pemegang Letter C dan sertifikat.
89
Jika pluralisme ini dibiarkan terus menerus
maka jelas membingungkan, dan berangkat
dari pluralisme ini, masyarakat juga menciptakan aturan sendiri misalnya dengan apa yang
disebut oleh Keebet von Benda Beckmann
sebagai “shopping forum” dan “forum
shoppings” yang dilakukan oleh masyarakat
Minangkabau, yaitu suatu tindakan untuk
memilih hukum dan pengadilan/forum mana
yang menurut mereka yang lebih menguntungkan untuk diterapkan dan digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang sedang mereka
hadapi. Hal ini akibat dari berlakunya
berbagai sistem hukum yang berbeda pada
lingkungan yang sama telah membuat
yurisdiksi pengadilan menjadi tumpang tindih.
Data yang dipakai oleh penulis dalam
menyusun tulisan ini adalah dengan melakukan pengamatan, wawancara, studi kepustakaan dan juga sebagian berangkat dari
pengalaman pribadi penulis sebagai seorang
advokat yang sempat menangani beberapa
perkara yang menyangkut kepemilikan atas
tanah.
Dan untuk menjelaskan apakah itu pluralisme hukum dan bagaimana dipakai dalam
membahas dualisme bukti pemilikan atas tanah
dan bagaimana pluralisme telah membuat
masyarakat melakukan “Shooping Forum”
dan “Forum Shopping”, akan penulis
kemukakan lebih lanjut.
II. Pluralisme Hukum, Forum
Shopping dan Shopping Forums
Dari zaman penjajahan sudah dilakukan legal
transplant hukum tanah Belanda yang
diberlakukan di Indonesia sehingga pemberlakuan ini memunculkan adanya dualisme
hukum di Indonesia terkait dengan adanya
penggolongan penduduk dan masih adanya
tanah-tanah milik adat di Indonesia. Legal
Pluralisme adalah hal yang biasa di berbagai
negara apalagi jika negara itu pernah dijajah
oleh negara lain, secara otomatis akan timbul
berbagai sistem hukum yang pernah diber-
90
lakukan dalam negara tersebut oleh negara
penjajah. Sehingga pada saat yang bersamaan
berlakunya berbagai sistem hukum.
Menurut Brian Z. Tamanaha:
“A State of ‘legal Pluralisme’: then, exits
wherenever more than one kind of ‘law’
is recognized through the social practices
of a group in a given social arena, which
is a relatively common situasion.”
Jadi legal pluralisme ada jika berlaku
lebih dari satu jenis hukum yang dikenal mela
lui praktik-praktik sosial dari suatu kelompok
sosial atau arena tertentu dalam situasi yang
relatif sama.
Pluralisme dalam hukum tanah di Indonesia adalah berlakunya Letter C dan sertifikat
sebagai bukti kepemilikan tanah atas tanahtanah yang dimiliki atau dikuasai oleh
masyarakat.
Yang dimaksud sebagai sertifikat
berdasarkan Pasal 32 ayat 1 Peraturan
Pemerintah No. 24/1997 tentang Pendaftaran
Tanah adalah:
“Sertifikat merupakan surat tanda bukti
hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat mengenai data fisik dan data
yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut
sesuai dengan data yang ada dalam surat
ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.”
Kemudian ayat 2 menyebutkan pula:
“Dalam hal suatu bidang tanah sudah
diterbitkan sertifikat secara sah atas nama
orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan
secara nyata menguasainya, maka pihak
lain yang merasa mempunyai hak atas
tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu
5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan
secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
bersangkutan ataupun tidak mengajukan
gugatan ke pengadilan mengenai
penguasaan tanah atau penerbitan
sertifikat tersebut.”
Jadi selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, maka data yang tercantum pada
sertifikat akan dianggap benar. Dan apabila
sertifikat telah dimiliki selama 5 (lima) tahun
dan dikuasai oleh pihak yang mempunyai
tanda bukti hak sertifikat dan diperoleh dengan
itikad baik selama 5 (lima) tahun maka pihak
yang merasa berhak tidak dapat menggugat
hak atas tanah dan apabila ada kesalahan
dalam pendaftaran dapat diberikan ganti rugi
oleh pemerintah.
Sedangkan yang dimaksud dengan Letter
C atau bisa juga disebut sebagai Girik, Pepetuk
jika dilihat dari sejarahnya dapat diceritakan
sebagai berikut: sebelum berlakunya UndangUndang Pokok Agraria Tahun 1960, pada
masa Hindia Belanda, selain pendaftaran
tanah-tanah Hak Barat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang
pertanahan, dijumpai juga kegiatan pendaftaran tanah dengan tujuan lain, yaitu bagi
kepentingan negara sendiri untuk keperluan
pemungutan pajak tanah sehingga kegiatannya disebut “kadaster fiscal” atau “fiscal cadastre”.
Jadi sebelum berlakunya UUPA ada tiga
macam pemungutan pajak tanah, yaitu:
1. Untuk tanah-tanah Hak Barat: Verponding Eropa;
2. Untuk tanah-tanah hak milik adat yang
ada di wilayah Gemeente: Verponding
Indonesia; dan
3. Untuk tanah-tanah hak milik adat luar
wilayah Gemeente: Landrente atau Pajak
Bumi.
Dasar penentuan objek pajaknya ditentukan berdasarkan status tanahnya apakah tanah
hak Barat atau tanah hak milik adat. Untuk
wajib pajaknya adalah pemegang hak/
pemiliknya.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Landrente atau Pajak Bumi hanya dikenakan di Jawa dan Madura (S. 1927-163 jo. 1931168), Bali dan Lombok (S. 1922-812), Sulawesi
(S.1927-179), Daerah Hulu Sungai Kalimantan
(S.1923-484), (S. 1925-193, S. 1932-102) dan
Bima (1926), Dompu dan Anggar (1927) serta
Sumbawa (1929).
Sedangkan Verponding Indonesia
dipungut berdasarkan S. 1923-425 jo S. 1931168. Pengenaan pajak dilakukan dengan
penerbitan surat pengenaan pajak atas nama
pemilik tanah, yang di kalangan rakyat dikenal dengan sebutan: Petuk pajak, Pipil, Girik,
Petok, Letter C, dan lain-lainnya. Karena pajak
dikenakan pada yang memiliki tanahnya,
petuk pajak yang fungsinya sebagai surat
pengenaan dan tanda pembayaran pajak, di
kalangan rakyat dianggap dan diperlakukan
sebagai tanda bukti pemilikan tanah yang
bersangkutan. Pengenaan dan penerimaan
pembayaran pajaknya oleh pemerintah pun
oleh rakyat diartikan sebagai pengakuan hak
pembayar pajak atas tanah yang bersangkutan
oleh pemerintah.
Jadi sebenarnya jelas bahwa pada awalnya Letter C pada awalnya hanya merupakan
bukti pembayaran pajak dan bukanlah bukti
kepemilikan atas tanah.
Setelah berlakunya Undang-Undang
Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, maka Letter
C sudah tidak dikeluarkan lagi, dan sejak saat
itu catatan Letter C yang ada dikantor Kadaster
diserahkan kepada Kelurahan atau Kecamatan dimana Letter C itu terletak. Maka sejak
tahun 1961 tidak ada lagi pengenaan Verponding Eropa, Verponding Indonesia dan Pajak
Bumi. Ketiga pajak tanah tersebut pada tahun
1961 diganti dengan pungutan baru dengan
nama Iuran Pembangunan Daerah, disingkat
IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah).
IPEDA pun kemudian diganti dengan
pajak baru, yang diberi nama Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) (Undang-undang No. 12 tahun
1985) (LN 1985-68, Penjelasannya dalam TLN
3312).
91
Dalam praktiknya, sampai saat ini ternyata Letter C oleh sebagian masyarakat tetap
diakui sebagai bukti kepemilikan dan dapat
dijualbelikan layaknya sertifikat tanah. Adanya pluralisme ini merupakan gejala yang
berkembang dalam masyarakat dan jika terus
dibiarkan maka suatu hari nanti masyarakat
dapat melakukan forum shopping dan juga
shopping forums sebagaimana yang diceritakan oleh Keebet von Benda Beckmann dalam
masyarakat Minangkabau karena berlakunya
hukum adat, hukum peninggalan Belanda, dan
hukum agama secara bersamaan. Karena
pluralisme tersebut, untuk menyelesaikan
suatu sengketa, masyarakat Minangkabau
dapat melakukan memilih hukum dan pengadilan yang dianggapnya paling menguntungkan untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Dalam bukunya, The Broken
Stairways to Consensus, Village Justice and
State Courts in Minangkabau, Keebet von
Benda-Beckmann menggambarkannya
sebagai berikut:
“A variety of institution can deal with disputes in Minangkabau. Some derive their
legitimation from adat, the indigenous
Minangkabau system of normative rules
and usages, other from the national-formerly colonial legal system.
The fields of jurisdiction of these institution overlap. Minangkabau disputants
there for can choose between several institution. In analogy to private international
law, it called as ‘forum shopping’ there
because the disputants have a choice
between different institution and they base
their choice on what they hope the outcome of the dispute will be.
Besides forum shooping disputants, there
also ‘shopping forums’ engaged in trying
to acquire and manipulate disputes from
which they expect to gain political advantage, or fend off disputes which they
fear will threaten their interest.”
92
Untuk menjelaskan mengapa cita-cita
unifikasi hukum pertanahan yang dicitacitakan dalam Undang-Undang Pokok
Agraria tidak sepenuhnya berhasil dilaksanakan karena masih adanya pluralisme hukum
pertanahan khususnya tentang bukti kepemilikan tanah dan bagaimana pada akhirnya
pluralisme hukum justru membuat masyarakat
melakukan “forum shopping” dan “shopping
forums” akan dijelaskan pada bagian ketiga
dari tulisan ini.
III. Pluralisme Hukum
dalam Hukum Tanah Indonesia
Setelah tahun 1945, sebagai peninggalan
penjajah, di Indonesia berlaku lebih dari satu
hukum tanah. Di bidang hukum agraria berlaku hukum agraria Barat dan hukum agraria
adat. Keadaan ini tentu menimbulkan kesulitan
dalam praktik hukum pertanahan. Karena itu,
dirasakan perlunya mengadakan penyatuan
sistem hukum pertanahan (unifikasi).
Dan ini terwujud sejak diundangkannya
UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) pada 24 September 1960. UUPA menetapkan hak–hak
atas tanah yang diakui (yaitu Pasal 16) dan
juga ketentuan penting konversi (penyesuaian)
hak atas tanah yang lama menjadi hak-hak
atas tanah menurut UUPA.
Seiring dengan tujuan itu, untuk menciptakan kepastian hukum pertanahan diadakan
kegiatan Pendaftaran Tanah (Pasal 19 UUPA).
Hasil akhir dari kegiatan pendaftaran itu
adalah pembukuan hak atas tanah dan pemberian tanda bukti hak atas tanah (Pasal 19
ayat 2 UUPA).
Jelas sekali Pasal 19 ayat 2 UUPA menentukan: Pemberian surat tanda bukti hak (sertifikat), yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat. Ini sesuai pula dengan Penjelasan
atas UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA Bab
IV alinea 2 yang menyebutkan pendaftaran
tanah yang bersifat rechts-kadaster, artinya
yang bertujuan menjamin kepastian hukum.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Jadi warga, baik perorangan maupun
institusi, dijamin kepemilikan tanahnya,
apabila memiliki sertifikat hak atas tanah.
Bagaimana dengan girik Letter C tanah?
Girik adalah bukti pembayaran pajak atas
tanah, sebelum berlakunya PP 10 Tahun 1961,
umumnya di daerah pedesaan dan di
kalangan warga pribumi.
Oleh karenanya sejak tahun 1961, Letter
C sudah tidak dikeluarkan lagi. Menurut
hukum pertanahan, pemegang girik (yang asli)
diakui oleh hukum sebagai bukti kepemilikan
dalam rangka pembuatan sertifikat hak atas
tanah (Pasal 24 Penjelasan atas PP No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Dari pengertian ini jelas jika terjadi sengketa kepemilikan antara girik dan sertifikat
tanah atas bidang tanah yang sama, maka
pemilik sertifikat hak atas tanah haruslah
diakui kepemilikannya sampai dibuktikan
sebaliknya. Jadi menurut hukum, pihak yang
beritikad baik, dalam hal ini pemilik sertifikat
hak atas tanah harus diakui kepemilikannya.
Kalaupun ada pihak lain yang merasa berhak
pula atas tanah tersebut, ia harus membuktikan
(Pasal 20 Penjelasan atas UU No. 5 Tahun
1960 tentang UUPA).
Tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan diundangkannya UndangUndang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 jo.
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang
telah diganti dengan Peraturan Pemerintah No.
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
adalah mewujudkan unifikasi di bidang
pertanahan. Caranya adalah dengan menyatakan sertifikat sebagai satu-satunya bukti kepemilikan yang diakui oleh negara.
Sebagai negara yang sedang berkembang, pemerintah melihat bahwa dengan
dibuatnya Undang-Undang Pokok Agraria
No. 5 Tahun 1960 jelas akan mendorong percepatan pembangunan mengingat tanah
merupakan salah satu faktor pembangunan
yang vital. Sehingga dengan adanya UndangUndang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
diharapkan menjadi sarana untuk mendorong
percepatan pembangunan.
Namun ternyata setelah berlakunya
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun
1960, di samping sertifikat, masih ada sebagian
masyarakat yang tetap mengakui Letter C
sebagai bukti kepemilikan atas tanah walaupun secara jelas yang diakui sebagai bukti
kepemilikan adalah sertifikat. Letter C oleh
Pengadilan sebenarnya tidak diterima sebagai
tanda bukti pemilikan tanah yang dikenakan
pajak, dinyatakan dalam Putusan Mahkamah
Agung tanggal 10 Februari 1960 nomor 34/K/
Sip/1960, bahwa:
“Surat petuk pajak bumi bukan merupakan suatu bukti mutlak, bahwa sawah
sengketa adalah milik orang yang namanya tercantum dalam petuk pajak bumi
tersebut, akan tetapi petuk itu hanya
merupakan suatu tanda siapakah yang
harus membayar pajak dari sawah yang
bersangkutan.”
Setelah berlakunya Undang-Undang
Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 mulai tanggal
24 September 1960 tidak ada lagi tanah-tanah
Hak Barat dan tanah-tanah hak milik adat.
Lembaganya sudah tidak ada lagi, sedang
hak-hak yang ada pun telah dikonversi oleh
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun
1960 menjadi salah satu hak yang baru.
Sehubungan dengan itu mulai tahun 1961 tidak
ada lagi tanah yang menurut ketentuannya
dapat dikenakan Verponding Eropa, Verponding Indonesia dan Landrente atau Pajak
Bumi. Maka sejak tahun 1961 tidak ada lagi
pengenaan Verponding Eropa, Verponding
Indonesia dan Pajak Bumi. Ketiga pajak tanah
tersebut pada tahun 1961 diganti dengan
pungutan baru dengan nama Iuran Pembangunan Daerah, disingkat IPEDA (Iuran
Pembangunan Daerah).
IPEDA ini pun kemudian diganti dengan
pajak baru, yang diberi nama Pajak Bumi dan
Bangunan, disingkat PBB (Undang-undang
93
No. 12 tahun 1985) (LN 1985-68, Penjelasannya dalam TLN 3312).
Berbeda dengan ketiga pajak yang
digantinya, pengenaan IPEDA dan PBB tidak
dihubungkan dengan status tanah yang
bersangkutan, biarpun tanah tetap disebut
“objek pajak” (Pasal 2). Bahwa status tanah
dan hubungan hukum wajib pajak dengan
tanah yang menjadi objek pajak tidak lagi
merupakan faktor penentu pengenaan pajaknya, dapat diketahui dari ketentuan Pasal 4
ayat (1):
“Yang menjadi subjek pajak adalah orang
atau badan yang secara nyata mempunyai sesuatu hak atas bumi, dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.”
Karena itu maka setiap orang atau badan
yang memperoleh manfaat dari suatu bidang
tanah bisa menjadi subjek pajak PBB, bukan
hanya mereka yang menjadi pemegang hak
atas tanah yang bersangkutan.
Dalam pengenaan IPEDA dan PBB juga
diterbitkan surat pengenaan pajak, yang
dalam pemungutan PBB disebut Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT). Tetapi
karena pengenaannya tidak didasarkan pada
adanya hubungan hukum dengan tanah yang
merupakan objek pajak, SPPT, demikian juga
petuk IPEDA tidak bisa dipakai sebagai petunjuk bahwa pemegang petuk/SPPT sebagai
wajib-pajak mempunyai hak atas tanah
tersebut. Seorang okupan ilegal pun bisa
menjadi pemegang petuk IPEDA/SPPT PBB.
Lagi pula dalam SPPT tidak disebutkan status
hukum tanahnya. Okupan ilegal tanah negara
pun bisa menjadi subjek pajak PBB.
Karena itu maka dalam penjelasan Pasal
4 ayat (1) tersebut ditegaskan bahwa:
“Tanda pembayaran/pelunasan pajak
bukan merupakan bukti pemilikan hak.”
Pernyataan tersebut dimuat juga pada
SPPT.
94
Jadi jelas dalam hukum positif, Letter C
bukanlah bukti pemilikan hak, hanya merupakan suatu petunjuk oleh karenanya harus
ditopang dengan bukti-bukti lain baik tulisan
maupun kesaksian. Karena itu lokasi tanah
Letter C tidak jelas dalam rangka pendaftaran
penegasan konversi harus diukur oleh pihak
yang berwenang yaitu Kantor Pertanahan
setempat.
Jika Letter C bukan bukti kepemilikan atas
tanah, maka tentunya timbul pertanyaan
mengapa sampai saat ini Letter C masih diakui
sebagai bukti kepemilikan? Dan bagaimana
cita-cita unifikasi hukum pertanahan tidak
mampu menghapuskan pluralisme hukum di
bidang pertanahan?
Berhasil atau tidaknya unifikasi hukum
sangat tergantung pada pemerintah tapi
ternyata pemerintah tidak mampu mengatur
semuanya sendiri, harus ada partisipasi dari
masyarakatnya juga. Jika masyarakat menolak
suatu peraturan, maka walaupun sudah
diberlakukan, aturan tersebut tetap tidak
secara otomatis akan diikuti oleh masyarakat.
Jadi seharusnya dengan sudah berlakunya
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun
1960 maka satu-satunya bukti kepemilikan
tanah adalah sertifikat, tapi nyatanya dalam
praktik pendaftaran tanah justru membuat
pluralisme hukum pertanahan masih tetap
dipertahankan sampai sekarang.
Proses unifikasi hukum pertanahan dimulai dengan proses pendaftaran tanah/memohon penerbitan sertifikat. Ketentuan Pasal 24
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun
1960 disebutkan bahwa:
Pembuktian Hak Lama
1. Untuk keperluan pendaftaran hak, hak
atas tanah yang berasal dari konversi hakhak lama dibuktikan dengan alat-alat
bukti mengenai adanya hak tersebut
berupa bukti-bukti tertulis, keterangan
saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh
Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
2.
tanah secara sistematik atau oleh Kepala
Kantor Pertanahan dalam pendaftaran
tanah secara sporadis, dianggap cukup
untuk mendaftar hak, pemegang hak dan
hak-hak pihak lain yang membebaninya.
(dalam bagian penjelasannya, alat-alat
bukti tertulis yang dimaksud di atas salah
satunya adalah petuk Pajak Bumi/
Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961).
Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia
secara lengkap alat-alat pembuktian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik tanah
yang bersangkutan selama 20 (dua puluh)
tahun atau lebih secara berturut-turut oleh
Pemohon pendaftaran dan pendahulupendahulunya dengan syarat:
a. penguasaan tersebut dilakukan
dengan itikad baik dan secara
terbuka oleh yang bersangkutan
sebagai yang berhak atas tanah serta
diperkuat oleh kesaksian orang yang
dapat dipercaya;
b. penguasaan tersebut baik sebelum
maupun pengumuman sebagai
dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum
adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
Tata pembuktian hak lama yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 itu kemudian dalam praktiknya dilaksanakan dengan cara seperti berikut. Untuk
setiap orang yang akan mendaftarkan tanah
hak milik adat diwajibkan untuk membeli
berkas/formulir pengakuan hak1 seharga Rp
10.000,- (sepuluh ribu rupiah) yang di
dalamnya berisi beberapa formulir yang harus
diisi dan atau dilengkapi oleh pemohon
1
sertifikat. Formulir berisi surat-surat keterangan
antara lain:
1. Surat Pernyataan dari Pemohon sebagai
pemilik dari tanah milik adat dengan
menyebutkan Nomor Persil dan Kohir,
dan pernyataan bahwa si pemohon menjamin bahwa posisi letak bidang tanah
tersebut adalah benar sebagaimana yang
ditunjukkan kepada petugas Kantor
Pertanahan Kota Bandung pada saat
pelaksanaan pengukuran dan pemeriksaan lapangan. Dan apabila di kemudian
hari ternyata posisi atau letak tanah
tersebut tidak benar atau terbukti terjadi
kesalahan penunjukan lokasi/letak maka
si pemohon yang bertanggung jawab
secara Perdata dan Pidana.
2. Surat Pernyataan Penguasaan Fisik yang
diketahui oleh Kepala Kelurahan dan
dikuatkan 2 (dua) orang Saksi, yang isinya
menyatakan bahwa si pemohon menjamin tanah milik adat yang dimohonkan
sertifikatnya tersebut adalah benar
dikuasai oleh pemohon, tidak dalam
sengketa, dijaminkan, dan belum bersertifikat. Si pemohon juga harus menyatakan kesediaan untuk menanggung
segala risiko untuk dituntut secara perdata
dan pidana apabila pernyataan yang
dibuatnya ini tidak benar.
3. Surat Keterangan Kepala Kelurahan
(berdasarkan PP No. 24/1997 Pasal 61)
yang intinya berisikan keterangan dari
Kepala Desa tempat di mana tanah yang
dimohonkan sertifikatnya itu terletak
bahwa tanah milik adat dengan Nomor
Persil dan kohir tersebut adalah benar
dikuasai oleh Pemohon dan sebelumnya
telah dikuasai oleh pemilik-pemilik
terdahulu selama 20 tahun tanpa ada
sengketa. Surat Keterangan Kepala
Kelurahan ini dikuatkan dengan 2 (dua)
orang yang membenarkan kepemilikan
dari si pemohon.
Formulir Pengakuan Hak dijual di Koperasi Badan Pertanahan Nasional Kota Bandung.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
95
Selain Formulir yang harus diisi tersebut
di atas, si pemohon sertifikat juga harus
melampirkan:
• Fotocopy KTP Pemohon
• Bukti tertulis yang dipunyai antara lain
Akta, Segel, Girik dan lainnya yang dibuat
sebelum tahun 1960.
Dari persyaratan untuk memohonkan
sertifikat tersebut di atas jelas bahwa proses
pendaftaran tanah untuk pertama kalinya
justru melestarikan dualisme hukum tentang
bukti kepemilikan tanah.
Walaupun secara jelas-jelas menyatakan
bahwa Letter C bukan bukti kepemilikan atas
tanah tapi nyatanya pada waktu akan memohonkan sertifikat, masyarakat tetap diharuskan
menunjukkan bukti Letter C yang dimilikinya,
yang juga dikuatkan oleh Lurah2. Jika si
pemohon sama sekali tidak mempunyai bukti
Letter C maka pembukuan hak dilakukan
berdasarkan kenyataan penguasaan fisik
tanah yang bersangkutan selama 20 (dua
puluh) tahun secara berturut-turut yang dikuatkan dengan saksi. Jadi seorang okupan ilegal
bisa diakui negara sebagai pemilik tanah asal
dia sudah menguasai tanah selama 20 (dua)
puluh tahun berturut-turut tanpa dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/
kelurahan yang bersangkutan.
Tanpa adanya Letter C dan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik jelas permohonan
sertifikat tidak dapat diproses.
Sesuai dengan persyaratan yang diminta
oleh Badan Pertanahan Nasional tersebut,
maka Notaris yang mendapat kuasa dari pemohon untuk mengurus permohonan sertifikat
juga meminta si pemohon melampirkan
salinan Letter C yang diberikan oleh Lurah dan
juga melampirkan surat pengakuan penguasaan fisik. Si Notaris sendiri sebenarnya
mengetahui bahwa Letter C bukanlah bukti
kepemilikan tapi tanpa adanya salinan Letter
C tersebut maka permohonan yang diajukan
2
96
tidak akan diproses oleh BPN.
Negara dalam praktik pendaftaran tanah
untuk yang pertama kali jelas telah mengakomodasi Letter C sebagai bukti kepemilikan,
ditambah dengan fakta bahwa Letter C bisa
diperjualbelikan, maka hal ini semakin
menguatkan opini masyarakat bahwa Letter
C adalah bukti kepemilikan, dan cara kerja
birokrasi ini jelas telah menggagalkan cita-cita
unifikasi karena selama negara masih mensyaratkan harus dilampirkannya Letter C sebagai
bukti permulaan kepemilikan tanah maka
selama itu pulalah Letter C masih tetap akan
ada, buktinya sampai saat ini masih banyak
tanah milik adat yang belum disertifikatkan.
Disyaratkan oleh BPN juga bahwa Letter
C atau Girik yang harus dilampirkan pada saat
memohonkan sertifikat haruslah Letter C yang
dibuat sebelum tahun 1960 (tertulis dalam map
formulir pengakuan hak) karena sejak berlakunya UUPA maka sejak tahun 1961, Letter C
sudah tidak diterbitkan lagi. Tapi ternyata
semua Letter C yang terdapat di kecamatan/
kelurahan tidak mencantumkan tahun
pembuatannya. Jadi tidak bisa dipastikan
apakah dibuat sebelum atau sesudah tahun
1960, dan biasanya hal ini tidak diperhatikan
oleh petugas dari BPN yang menerima formulir pendaftaran. Biasanya hanya diperiksa
apakah ada melampirkan Letter C atau tidak,
tapi tahunnya tidak pernah diperiksa lagi.
Masalah selanjutnya adalah bahwa
Badan Pertanahan Nasional mempunyai daya
jangkau yang terbatas, dan biasanya hanya
ada 1 (satu) di Kotamadya dan 1 (satu) di
Kabupaten yang membawahi beberapa kabupaten. Dan karena susah diakses dan begitu
banyak surat-surat yang harus disiapkan untuk
memproses pendaftaran tanah maka banyak
masyarakat merasa malas untuk mensertifikatkan tanah milik adat yang dimilikinya.
Lagi pula jika dengan Letter C saja, tanah
sudah bisa diperjualbelikan, untuk apa disertifikatkan?
Hasil wawancara dengan Notaris tanggal 11 November 2008.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Umumnya BPN juga bersifat pasif,
dimana hanya menerima permohonan tanpa
memeriksa kebenaran dari identitas pemohon
dan kebenaran dari surat-surat yang diajukan
oleh pemohon3. Karena untuk tanah-tanah
milik adat, BPN tidak punya data-datanya
maka hanya mengandalkan surat-surat yang
diajukan oleh pemohon dan juga surat keterangan dari lurah yang menjelaskan soal
Persil dan Kohir juga soal penguasaan si
pemohon. Karena itu dalam setiap formulir
yang diisi oleh si pemohon terdapat keterangan bahwa si pemohon harus mempertanggungjawabkan keterangannya secara
perdata dan pidana.
Negara dalam hal ini diwakilkan kepada
Badan Pertanahan Nasional menerbitkan
sertifikat sebagai bukti kepemilikan tetapi
Negara menolak atau tidak bertanggungjawab pada pembuktikan keabsahan dari
surat-surat yang menjadi dasar penerbitan
sertifikat. Buktinya si pemohon yang harus
bertanggung jawab atas semua surat keterangan yang diserahkan pada saat memohonkan sertifikat.
Setelah semua persyaratan permohonan
sertifikat dipenuhi maka BPN akan membentuk
2 (dua) kelompok kerja yaitu Panitia A dan
Petugas Ukur untuk menindaklanjutinya.
Pertama dimulai dengan dilakukan pengukuran dan penetapan batas-batas tanah yang
dihadiri oleh pemohon, pemilik tanah yang
berbatasan dan petugas dari kelurahan. Tapi
biasanya petugas dari kelurahan jarang yang
hadir, tanpa diketahui alasannya. Setelah
proses pengukuran selesai, hasilnya diserahkan kepada Panitia A yang nantinya akan
membawa hasil pengukuran ke Kelurahan
untuk mendapatkan tanda tangan dari Lurah
sekaligus mencocokkan data yang diterima
dari pemohon dengan data tanah yang ada di
Kelurahan tersebut. Jadi tugas Lurah hanya
sebatas mengetahui bahwa telah dilakukan
3
4
pengukuran tapi karena tidak hadir pada saat
pengukuran, maka Lurah pun sebenarnya
tidak mengetahui apakah luas dan batas-batas
tanah yang diukur itu sudah sesuai dengan
data yang tercantum dalam buku Letter C di
Kelurahan.
Catatan soal ada atau tidak adanya Letter
C hanya dapat diketahui dari catatan Letter
C yang ada di kelurahan atau kecamatan
dimana tanah tersebut terletak. Letter C yang
terdapat di Kelurahan tersebut merupakan
limpahan/salinan dari buku Kadaster yang
dulunya dikelola oleh Kantor Kadaster yang
sudah dihapus pada tahun 1961 sejak
berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria 4.
Buku Letter C yang terdapat di Kelurahan
sudah banyak yang tidak terbaca karena
menurut ceritanya diserahkan sejak tahun
1961 tapi sebenarnya tidak ada yang tahu
persis berapa tuanya buku tersebut. Karena
bentuknya yang sudah rapuh, maka ada
sebagian petugas kelurahan yang mempunyai
inisiatif memfotokopi buku tersebut sehingga
jika ada catatan peralihan maka dicatat di
buku baru hasil fotokopi tersebut.
Sejak saat itu sampai saat ini belum ada
juklak maupun juknis yang diterbitkan oleh
Pemerintah yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya petugas kelurahan memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait
dengan Letter C tersebut. Selama ini yang
dijalankan adalah mengikuti cara-cara lama,
dimana petugas kelurahan hanya bersifat pasif
menunggu laporan dari masyarakat, jadi hanya
terbatas menerima konfirmasi saja. Kalau ada
peralihan atas tanah Letter C, baik itu jual beli,
hibah atau yang lainnya, tidak ada bedanya
bagi petugas kelurahan karena petugas kelurahan hanya menerima konfirmasi dari masyarakat yang meminta mencatatkan perubahan
tersebut pada buku Letter C.
Begitu juga dengan Surat Penguasaan
Fisik selama 20 tahun yang dibuat oleh si
Hasil wawancara dengan petugas Badan Pertanahan Kota Bandung tanggal 10 November 2008.
Hasil wawancara dengan petugas Kecamatan Sukajadi Bandung tanggal 13 November 2008.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
97
pemohon, memang di dalamnya ada tanda
tangan dari Lurah, tapi itu pun hanya sebatas
bahwa si lurah mengetahui bahwa si pemohon
membuat surat tersebut bukan berarti membenarkan bahwa si pemohon memang telah
menguasai tanah tersebut selama 20 tahun.
Letter C biasanya berisi catatan nomor
Persil (tanah) dan nomor Kohir (wajib Pajak).
Dan karena salinan Letter C itu dibuat sebelum
tahun 1960 maka biasanya orang-orang yang
namanya tercantum dalam Letter C itu sudah
meninggal dunia semua. Yang kemudian
muncul ke kantor kelurahan adalah orangorang yang mengaku sebagai ahli waris dari
orang yang namanya tercantum dalam Letter
C. Pengakuan sebagai ahli waris ini didasarkan pada Surat Keterangan Ahli Waris yang
diterbitkan oleh Walikota Bandung atau Bupati
Bandung. Dan sekali lagi karena petugas kelurahan tidak punya kewajiban untuk memeriksa apakah si pemohon adalah benar ahli
waris atau bukan, maka petugas kelurahan
tetap akan memberikan salinan Letter C
kepada si pemohon walaupun sebenarnya
nama si pemohon berbeda dengan nama
orang yang tercantum dalam Letter C.
Seorang petugas kelurahan juga tidak
diwajibkan memeriksa kebenaran dari peralihan hak yang dilaporkan oleh warganya
tersebut, bahkan sebenarnya si petugas kelurahan juga tidak pernah tahu apakah semua
data-data yang tercantum di dalam Letter C
itu benar atau tidak5. Petugas kelurahan juga
tidak mengetahui apakah tanah-tanah tersebut
sudah bersertifikat atau belum karena kalaupun tanah tersebut sudah bersertifikat, tidak
ada catatannya dalam Letter C tersebut.
Adanya ‘mall’ administrasi ini memang
diakui oleh petugas kelurahan dapat merugikan pihak ketiga khususnya pemegang sertifikat tanah. Karena bisa saja atas tanah Letter
C yang diterbitkan sertifikatnya itu dapat dibuat
sertifikat lagi. Masalahnya karena tanah Letter
5
6
98
C yang sudah diterbitkan sertifikat itu tidak
dicatatkan di kelurahan, sehingga bisa saja si
pemilik Letter C kembali meminta salinan
Letter C dan memulai lagi proses pendaftaran
tanah lagi. Akibatnya sering timbul ada dua
atau lebih sertifikat yang diterbitkan secara
tumpang tindih di atas tanah yang sama.
Ada pertanyaan dari petugas kelurahan
juga soal masih digunakannya Letter C oleh
BPN sebagai bukti awal untuk mendaftarkan
tanah. Letter C itu jelas dibuatnya sebelum
tahun 1960 jadi sudah lebih dari 40 tahun yang
lalu, kalau dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 1967 KUH Perdata yang menyebutkan:
Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat
perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan
lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan
siapa yang menunjuk kepada daluwarsa itu
tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak,
lagi pula tak dapatlah dimajukan terhadapnya
sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada
itikadnya yang buruk.
Tentunya timbul pertanyaan apakah Letter
C tersebut masih layak untuk di pertahankan
sebagai bukti awal kepemilikan tanah?
Seorang petugas kelurahan juga merasakan ketidaknyamanan dengan tidak jelasnya
tugas dan fungsinya sebagai petugas yang
memberikan pelayanan soal catatan Letter C.
Jika tetap berlangsung seperti sekarang
dimana petugas kelurahan hanya bertugas
tidak lebih dari orang yang mencatatkan
peralihan di Letter tanpa bisa memeriksa
kebenaran si pemohon hak maka jelas tidak
ada gunanya. Buktinya letter C saat ini telah
banyak dimanfaatkan untuk merugikan pemilik sertifikat sebagaimana dipaparkan di atas.
Karena tidak diberi tugas untuk memeriksa
kebenaran si pemohon maka semuanya
digantungkan pada itikad baik si pemohon
saja.6
Hasil wawancara dengan petugas Kecamatan Sukajadi Bandung tanggal 13 November 2008.
Hasil wawancara dengan petugas Kecamatan Sukajadi Bandung tanggal 13 November 2008.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Karena hanya sekedar mendapat limpahan, maka sebenarnya bukan menjadi tugas
dari lurah/camat untuk memelihara catatan
dalam buku Letter C tersebut. Petugas kelurahan jelas merasa tidak punya kewajiban
untuk memperbaharui buku Letter C tersebut.
Jadi jelas diperbaharui atau tidaknya catatan
Letter C yang terdapat di kelurahan/kecamatan
semata-mata digantungkan pada keaktifan
dan kemauan lurah dan camat yang bersangkutan.
Telah disebutkan di atas bahwa akibat
adanya ‘mall’ administrasi bisa timbul atas
tanah milik adat yang sama bisa diterbitkan
sampai 2 (dua) kali secara tumpang tindih, dan
atas peristiwa ini biasanya BPN melepaskan
tanggung jawab dengan alasan bahwa BPN
hanya menerima permohonan sertifikat tetapi
tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa kebenaran dari bukti-bukti yang diajukan
oleh pemohon. Karena dalam formulir-formulir
yang diisi oleh pemohon pada waktu memohon penerbitan sertifikat sudah dicantumkan
bahwa si pemohon yang harus bertanggung
jawab atas kebenaran isi dari formulir-formulir
tersebut. Sama halnya dengan BPN, petugas
Kelurahan juga menolak bertanggung jawab
atas beban pembuktian dan hanya memposisikan diri sebagai pihak menerima koordinasi.
Fakta ini menunjukkan bahwa Pemohon
yang harus memikul pembuktian, dan hal ini
tentunya tidak memberikan perlindungan
hukum terhadap pihak ketiga yaitu orangorang yang membeli tanah dari si pemohon
sertifikat dimana walaupun tanah yang dibelinya adalah tanah bersertifikat tapi tetap saja
tidak aman karena setiap waktu mungkin saja
digugat oleh orang yang memiliki Letter C.
Jika ini terjadi, maka sebagai pemegang sertifikat yang terakhir ini jelas membeli tanah
sudah dalam keadaan bersertifikat yang kepemilikan mungkin berpindah tangan berulang
kali, jadi sangat suili dan hampir tidak mungkin
bisa diketahui bagaimaan proses awal pada
waktu si pemohon mengajuakn permohonan
pendaftaran tanah. Dan jika sertifikat tersebut
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
sudah diterbitkan berpuluh tahun silam dan
ternyata si pemohon telah meninggal dunia,
si pemohon jelas tidak bisa dimimtai pertanggungjawaban.
Walaupun sertifikat telah dinyatakan oleh
negara sebagai bukti kepemilikan tanah tapi
nyatanya pemerintah sendiri tidak mau menjamin kebenaran isi sertifikat yang diterbitkannya. Si pemilik tanah yang sudah bersertifikat tidak akan bisa kebal dari gugatangugatan yang diajukan oleh orang ketiga yang
juga mengaku sebagai pemilik tanah dengan
hanya bermodalkan salinan Letter C dari
kelurahan.
Dalam Pasal 32 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah disebutkan bahwa jika suatu sertifikat
sudah diterbitkan selama 5 (lima) tahun dan
tidak ada yang mempermasalahkan maka
selanjutnya sertifikat tersebut tidak bisa
diganggu gugat, kecuali bisa dibuktikan
sebaliknya yaitu bahwa memang terdapat
ketidakbenaran dalam proses penerbitannya.
Intinya, pemegang sertifikat juga tidak aman,
buktinya tetap bisa digugat, apalagi ditambah
fakta bahwa Pengadilan di Indonesia tidak
pernah menolak menerima gugatan yang
diajukan. Kalau begitu apa bedanya pemegang sertifikat dengan pemegang Letter C?
Jika dikaitkan dengan Pluralisme hukum
maka terlihat jelas bahwa antara praktik
dengan hukum negara telah diberlakukan
secara bersamaan karena ternyata birokrasi
telah mengembangkan prosedur yang justru
memunculkan pluralisme hukum yang sangat
bertentangan dengan cita-cita unifikasi
hukum. Jadi jelas munculnya pluralisme
hukum dalam hukum pertanahan, khususnya
yang keberlakuan Letter C dan sertifikat sebagai bukti kepemilikan adalah karena tidak
jelasnya tugas si petugas kelurahan/kecamatan dan juga karena BPN dan UndangUndang masih mensyaratkan adanya Letter
C sebagai bukti awal untuk memohonkan
penerbitan sertifikat tanah.
99
Baik Sertifikat maupun Letter C sebagai
bukti kepemilikan ternyata dua-duanya bisa
diperjualbelikan, untuk Letter C bisa dilakukan
hanya dengan membuat surat jual beli di atas
kertas segel atau pengikatan jual beli yang
kemudian peralihannya dicatatkan dalam
buku Letter C di Kelurahan, jadi jelas caranya
gampang dan mudah dijangkau oleh masyarakat biasa. Sedangkan untuk tanah-tanah
yang bersertifikat, jual belinya harus dilakukan
didepan PPAT dan harus dicatatkan di buku
tanah yang ada di BPN. Karena Letter C bisa
dijual belikan maka tidak salah jika masyarakat pada akhirnya timbul anggapan bahwa
Letter C juga merupakan bukti kepemilikan
atas tanah.
Dalam praktik di lapangan selama
bertahun-tahun, bukti transaksi berupa surat
girik atau Letter C telah masuk dalam lalu
lintas jual-beli tanah. Padahal sudah jelas Girik
atau Letter C bukan merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah, melainkan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan dan repotnya lagi jual-beli girik ini bisa dilakukan di
bawah tangan. Transaksi seperti ini menjadi
bermasalah jika seseorang yang telah menjual
tanah dengan surat Letter C lalu membuat lagi
salinan Letter C untuk dijual ke pihak lain.
Apalagi masyarakat mudah membuat salinan
surat girik, mereka cukup meminta salinan
surat Letter C dari Kantor Kelurahan dengan
berbekal surat kehilangan dari kepolisian.
Kenyataan bahwa Letter C/Girik dapat
diperjualbelikan secara bebas seperti layaknya sertifikat tanah jelas telah menimbulkan
beberapa sengketa, contohnya sengketa tanah
di Meruya. Sengketa ini dimulai pada tahun
1972. Waktu itu, Haji Djuhri bin Haji Geni,
Yahya bin Haji Geni, dan Muhammad Yatim
Tugono membeli tanah-tanah girik dari warga
Meruya Udik, yang kini menjadi Kelurahan
Meruya Selatan seluas 78 hektar dan kemudian dijual kepada PT Portanigra.
Selanjutnya PT Portanigra menuduh tiga
mandor itu belakangan membuat girik palsu
100
dan menjual lagi tanah tersebut ke beberapa
pihak. Pada 1986, Djuhri divonis hukuman
setahun penjara oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Barat. Yahya, yang memilih banding,
menyerah di pengadilan tinggi. Ia menerima
vonis hakim setahun penjara. Ada pun Tugono
menjalani hukuman setelah permohonan
kasasinya ditolak Mahkamah Agung pada
1989. Berbekal putusan pidana itu, PT
Portanigra kemudian menggugat perdata
ketiga mandor tersebut pada 1996. Pada 2001,
Mahkamah Agung memenangkan PT
Portanigra dan dinyatakan sebagai pemilik
tanah seluas 78 hektar yang terbagi dalam 311
girik di Meruya Selatan dengan berdasarkan
putusan perkara pidana dan bukti jual-beli.
Pada saat dilakukan eksekusi itu, ternyata
diatas lahan 78 hektar itu sudah lahir 6.500
sertifikat resmi yang diatasnya berdiri aneka
perumahan, dari yang sederhana hingga
mewah, seperti Taman Kebon Jeruk (Intercont),
Real Estate Meruya Resident, perumahan DPR,
perumahan karyawan Kantor Wali Kota
Jakarta Barat, kaveling BRI, perumahan
Unilever, universitas dan rumah sakit.
Perkara Meruya ini jelas menunjukkan
bahwa adalah dualisme bukti kepemilikan
tanah di Indonesia telah menciptakan ketidakpastian hukum dan merugikan pihak ketiga.
Jika pluralisme hukum tanah ini terus
dibiarkan maka pada akhirnya akan membuat
masyarakat melakukan “forum shooping” dan
“shopping forums” yang terjadi di masyarakat
Minangkabau sebagai mana yang digambarkan oleh Keebet von Benda Beckmann.
Pada saat ini masyarakat di Indonesia
jelas sudah melakukan “forum shopping”
dimana pada saat tanah yang akan diperjualbelikan adalah tanah milik adat yang belum
ada sertifikatnya maka mereka akan memilih
menggunakan Letter C sebagai bukti kepemilikan, sedangkan untuk tanah-tanah yang
sudah bersertifikat maka yang digunakan
sebagai bukti kepemilikan atas sengketa
adalah sertifikat tanah.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Sampai saat ini tidak ada satu pun aturan
yang melarang transaksi jual beli tanah dengan
menggunakan bukti Letter C, karena itu
tidaklah heran jika banyak masyarakat yang
walaupun sadar bahwa sertifikat adalah bukti
kepemilikan yang diakui oleh negara, tetap
saja menggunakan Letter C sebagai bukti
kepemilikan karena memang dibutuhkan pada
saat transaksi tanah milik adat yang belum
bersertifikat.
Selain melakukan “forum shopping”,
ternyata untuk memyelesaikan sengketa kepemilikan tanah juga melakukan “shopping forums” untuk menentukan forum/pengadilan
mana yang dianggap paling cocok dan
menguntungkan bagi di Penggugat, dan
faktanya si Penggugat memang bisa melakukan pilihan apakah mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara atau ke
Pengadilan Negeri.
Pilihan yang dibuat oleh si Penggugat
digantungkan pada apa sebenarnya akan
digugat, apakah:
1. keabsahan penerbitan sertifikat, gugatan
diajukan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara karena sertifikat termasuk
beschiking/keputusan tata usaha negara
bersifat konkret, individual dan final yang
diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan
sebagai Pejabat Tata Usaha Negara; atau
2. kepemilikan atas tanah, gugatan diajukan
ke Pengadilan Negeri.
Perlu diperhatikan bahwa syarat untuk
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara adalah jika si Penggugat
mengetahui tentang penerbitan sertifikat yang
digugat itu dalam waktu kurang dari waktu
90 (sembilan puluh) hari. Jadi jika diketahui
lebih dari jangka waktu tersebut maka si Penggugat akan memilih mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri bukan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Pilihan-pilihan ini dapat diambil oleh si
Penggugat dengan mempertimbangkan
keuntungan yang mungkin didapatnya apakah
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
lebih menguntungkan menggugat keabsahan
atau kepemilikan tanah. Namun biasanya jika
si Penggugat mengetahui soal adanya penerbitan sertifikat dalam waktu kurang dari 90
(sembilan puluh) hari maka si Penggugat akan
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Dalam praktiknya, setelah ada putusan
dari Pengadilan Tata Usaha Negara, barulah
ditempuh gugatan kepemilikan di Pengadilan
Negeri Bandung. Jika putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara mengabulkan gugatan si
Penggugat dan membatalkan sertifikat, ada
pendapat yang mengatakan bahwa karena
yang dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha
negara hanyalah bukti kepemilikan atas tanah
yaitu sertifikat dan bukan kepemilikan/hak
atas tanahnya, maka untuk menentukan siapa
pemilik sesungguhnya atas tanah objek sengketa maka harus diajukan gugatan tersendiri
di Pengadilan Negeri. Namun jika ternyata
gugatan si Penggugat dinyatakan ditolak atau
tidak dapat diterima oleh Pengadilan Tata
Usaha Negara maka hal tersebut tidak
menghalangi si Penggugat untuk mengajukan
gugatan kepemilikan di Pengadilan Negeri.
Adanya Shopping Forums ini dapat dilihat
dari sengketa tanah GASIBU di Bandung yang
terjadi pada tahun 2008, dimana atas objek
tanah yang sama telah diajukan 2 (dua) kali
gugatan, yaitu satu di Pengadilan Tata Usaha
Negara Bandung dan satu di Pengadilan
Negeri Bandung.
Pertama, ada perorangan yang mengaku
sebagai ahli waris dari Dirdja alias Patinggi
dengan bukti Girik telah mengaku sebagai
pemilik lahan kawasan seluas 6 hektar yang
kini dipakai sebagai Lapangan Gasibu, telah
menggugat penerbitan sertifikat atas tanah
tersebut yang saat ini dikuasai oleh Pemerintah
Propinsi Jawa Barat. Dalam gugatannya, si
Penggugat telah meminta Pengadilan membatalkan penerbitan sertifikat atas tanah
tersebut. Saat ini perkara tersebut berada
dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
101
Kedua, atas tanah yang sama muncul ada
sekelompok orang (42 orang) yang juga
mengaku sebagai ahli waris keluarga Dirdja
alias Patinggi, telah mengajukan gugatan
perdata tentang kepemilikan tanah di
Pengadilan Negeri Bandung. Si Penggugat
mengklaim memiliki segepok surat tanah milik
adat warisan berupa girik persil tahun 19221925, yang menerangkan status sah kepemilikan tanah itu sebagai milik keluarga
Dirdja, Pasir Kaliki, Desa Balubur, Distrik
Ujung Berung. Selain itu, ada gambar ukur
tanah atas nama Dirdja yang dibuat 12
Oktober 1925. Dalam gugatannya, keluarga
Patinggi meminta hakim mengesahkan surat
tanah warisan dan menyatakan tanah itu
menjadi hak milik keluarga Dirdja alias
Patinggi. Selain menuntut status kepemilikan,
para ahli waris menuntut ganti rugi material
Rp 6 miliar secara tanggung renteng dan immaterial Rp 6 miliar.
Munculnya 2 (dua) gugatan di Pengadilan
yang berbeda atas tanah/objek yang sama
jelas menunjukkan bahwa masyarakat dapat
memilih forum yang akan digunakannya untuk
mencapai tujuannya.
Jelas munculnya aktivitas “forum shopping” dan “shopping forums” ini merupakan
akibat langsung dari berlakunya pluralisme
dalam hukum tanah di Indonesia. Fakta ini
juga menunjukkan bahwa unifikasi hukum
tanah yang dicita-citakan oleh Negara dengan
membuat UUPA No. 5 Tahun 1980 ternyata
tidak sepenuhnya bisa terlaksana karena pada
praktiknya baik orang kelurahan/kecamatan
maupun petugas Badan Pertanahan Nasional
jelas telah mengembangkan aturan mainnya
sendiri. Dan ini memang tidak memberikan
kepastian hukum bagi pemegang sertifikat
karena setiap saat bisa saja digugat oleh pemegang Letter C karena menggangap ada
kesalahan dalam pembuatan sertifikat.
102
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
PENDAFTARAN TANAH GIRIK
MENJADI TANAH HAK MILIK DENGAN BUKTI SERTIFIKAT
BESERTA PERMASALAHAN HUKUMNYA
Gita Atika Wirawan
Abstract
In Indonesia, the provision of land can be seen in the Law no. 5/1960 on Basic Regulation of
Agrarian Affairs (commonltly known as UUPA) and PP 10 of 1961 jo. PP 24 of 1997 on Land
Registration. Land is a very complicated problem in human life, that because the soil has important meaning for human life. In line with the development of the age and size of the population
growth rate in Indonesia, which has increased every year, that affect land and cause the need for
land is increasing as well. Meanwhile, the legal problems that occur in the process of land registration Girik, namely boundary disputes between neighbors on either side, some land will be
registered Girik which are covered by the road widening plan, Girik that overlap, false Girik
letter, the letter does not match Girik with a history of land disputes heirs. If in the process of land
registration was still no issues like those mentioned above, the process of land registration will be
suspended until the problem is completed. Completion can be done in consultation, mediation in
the National Land Agency (BPN), or file a lawsuit to court. The process of land registration was
intended to obtain a proof of ownership of land rights recognized by the UUPA, ie certificate,
which is evidence of ownership rights to the land of the strongest and fullest. In addition, in order
to achieve justice and provide legal certainty for holders of these certificates, and for the sake of
national land administration martinet.
A. Latar Belakang
Di Indonesia, ketentuan yang mengatur
mengenai pertanahan dapat ditemukan di
dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Tanah
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia di mana saja ia
berada, apa pun status atau jabatannya.
Artinya, tanah merupakan kebutuhan hidup
pokok bagi manusia. Oleh karena itu, masalah
pertanahan adalah masalah yang sangat
signifikan di dalam kehidupan manusia.
Bukti kepemilikan hak-hak atas tanah
tersebut dapat berwujud girik, ketitir, pipil,
petuk, atau Letter C. Bukti kepemilikan
tersebut dapat pula berwujud sertifikat, dimana
sertifikat mempunyai kekuatan pembuktian
yang lebih kuat daripada girik.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Ada pun, yang dimaksud dengan girik
dapat dilihat dalam yurisprudensi, yaitu
sebagai berikut:
1. Putusan Pengadilan Tinggi tanggal 3 Juni
1972 No. 178/1971/Perd/PTB yang
dikuatkan oleh Putusan Mahkamah
Agung tanggal 11 Juli 1973 No. 393 K/
Sip./1973 menentukan bahwa, “… suratsurat ketitir tidak merupakan bukti yang
menguatkan adanya Hak Milik, tetapi
hanya dinilai sebagai tanda pembayaran
pajak saja”;
2. Putusan Mahkamah Agung tanggal 3
Februari 1960 No. 34/K/Sip./1960
menyatakan bahwa:
“... surat petuk pajak bumi adalah bukan
merupakan suatu tanda bukti mutlak
bahwa sawah sengketa adalah milik
103
orang yang namanya tercantum dalam
petuk pajak bumi tersebut, akan tetapi
petuk itu hanya merupakan suatu tanda
siapakah yang harus membayar pajak dari
sawah yang bersangkutan.”
Menurut Pasal 1 angka 20 PP No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf
c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan
rumah susun, dan hak tanggungan, yang
masing-masing sudah dibukukan dalam buku
tanah yang bersangkutan.
Selanjutnya, Pasal 20 UUPA menyatakan
bahwa:
(1) Hak Milik adalah hak turun-temurun,
terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat
ketentuan dalam Pasal 6;
(2) Hak Milik dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain.
Hak Milik merupakan hak yang paling
kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan
kembali suatu hak lain di atas bidang tanah
Hak Milik yang dimilikinya tersebut, yang
hampir sama dengan kewenangan Negara
(sebagai penguasa) untuk memberikan hak
atas tanah kepada warganya.1
Menurut Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun
1997, pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan, dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian, serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis,
dalam bentuk peta dan daftar, mengenai
bidang-bidang tanah, termasuk pemberian
surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang
1
2
3
tanah yang sudah ada haknya serta hak-hak
tertentu yang membebaninya.
Dalam Penjelasan Pasal 19 UUPA dikatakan bahwa pendaftaran tanah akan diselenggarakan dengan cara yang sederhana dan
mudah dimengerti, serta dijalankan oleh
rakyat yang bersangkutan. Ketentuan ini perlu
mendapat perhatian dari pemerintah untuk
melaksanakan pembenahan dan perbaikan di
bidang pendaftaran tanah, terutama hal-hal
yang berkaitan dengan pelayanan tanah-tanah
adat, dimana pendaftaran tanah masih menggunakan alat bukti pembayaran pajak masa
lalu, seperti girik, petuk, pipil, atau ketitir
sebagai alas hak.2
Pada memori Penjelasan dari UUPA
dinyatakan bahwa Pasal 19 UUPA ditujukan
kepada Pemerintah, agar melaksanakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Indonesia yang bertujuan menjamin kepastian
hukum yang bersifat rechtscadaster.
Kemudian, sesuai dengan ketentuan Pasal
19 ayat (1) UUPA, perlu adanya Peraturan
Pemerintah yang mengatur tentang pendaftaran tanah itu. Atas dasar perintah tersebut,
maka Pemerintah menerbitkan PP No. 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
Namun, dalam kenyataannya pelaksanaan pendaftaran tanah yang diselenggarakan
menurut ketentuan PP No. 10 Tahun 1961
tidak memuaskan sehingga akhirnya Pemerintah mengganti PP No. 10 Tahun 1961
dengan PP No. 24 Tahun 1997. Kelihatanlah
bahwa PP No. 10 Tahun 1961 tersebut belum
dapat meyakinkan rakyat melakukan pendaftaran tanah melalui jalur yang benar, yaitu
melalui prosedur yang dibuat oleh instansi
keagrarian.3
Dasar pergantian PP No. 10 Tahun 1961
ini dapat dilihat dalam Penjelasan PP No. 24
Tahun 1997 pada bagian umumnya, yang
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana, 2004, hlm. 30.
AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997) Dilengkapi
dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 37 Tahun 1998), Bandung: CV. Mandar
Maju, 2009, hlm. 3.
Ibid., hlm. 1-4.
104
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
menyebutkan bahwa, “Dalam kenyataannya,
pendaftaran tanah yang diselenggarakan
berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 tersebut
selama lebih dari 35 tahun belum cukup memberikan hasil yang memuaskan. Dari sekitar
55 juta bidang tanah hak yang memenuhi
syarat untuk didaftar, baru lebih kurang 16,3
juta bidang yang sudah didaftar. Dalam pada
itu, melalui pewarisan, pemisahan, dan
pemberian-pemberian hak baru, jumlah
bidang tanah yang memenuhi syarat untuk
didaftar untuk selama Pembangunan Jangka
Panjang Kedua diperkirakan akan meningkat
menjadi sekitar 75 juta. Hal-hal yang merupakan kendala dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, di samping kekurangan anggaran,
alat, dan tenaga adalah keadaan objektif
tanah-tanahnya sendiri, yang selain jumlahnya
besar dan tersebar di wilayah yang luas, sebagian besar penguasaannya tidak didukung
oleh alat-alat pembuktian yang mudah diperoleh dan dapat dipercaya kebenarannya. Selain
itu, ketentuan hukum untuk dasar pelaksanaannya dirasakan belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya
pendaftaran dalam waktu singkat dengan hasil
yang lebih memuaskan. Sehubungan dengan
itu, maka dalam rangka meningkatkan
dukungan yang lebih baik pada pembangunan
nasional dengan memberikan kepastian
hukum di bidang pertanahan, dipandang perlu
untuk mengadakan penyempurnaan pada
ketentuan yang mengatur pendaftaran tanah,
yang pada kenyataannya tersebar pada
banyak peraturan perundangan-undangan.”
Perlu diketahui bahwa dalam PP No. 24
Tahun 1997 yang menyempurnakan PP No.
10 Tahun 1961, tetap dipertahankan tujuan dan
sistem yang digunakan, yang pada hakikatnya
sudah ditetapkan dalam UUPA, yaitu bahwa
pendaftaran tanah yang diselenggarakan
dalam rangka memberikan jaminan kepastian
4
5
hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem
publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang
mengandung unsur positif, karena akan
menghasilkan surat-surat bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat,
seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat
(2) huruf c dan Pasal 23 ayat (2) UUPA.4
Dari uraian di atas, dapat diketahui
bahwa dasar hukum pelaksanaan pendaftaran
tanah di samping UUPA, juga adalah PP No.
24 Tahun 1997 yang merupakan penyempurnaan dari PP No. 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah.
B. Asas-asas Pendaftaran Tanah
Asas merupakan fundamen yang mendasari
terjadinya sesuatu dan merupakan dasar dari
suatu kegiatan, hal ini berlaku pula pada
pendaftaran tanah. Oleh karena itu, dalam
pendaftaran tanah ini terdapat asas yang harus
menjadi patokan dasar dalam melakukan
pendaftaran tanah.5
Menurut Pasal 2 PP No. 24 Tahun 1997,
pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan
asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir,
dan terbuka. Ada pun maksud dari asas-asas
tersebut dapat dilihat di dalam Penjelasan
Pasal 2 PP No. 24 Tahun 1997.
Asas sederhana dalam pendaftaran tanah
dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan
pokoknya maupun prosedurnya dengan
mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama para pemegang hak
atas tanah.
Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu
diselenggarakan secara teliti dan cermat,
sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan
kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran
tanah itu sendiri.
Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan,
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukkan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi,
dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2008, hlm. 82-83.
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 164.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
105
khususnya dengan memperhatikan kebutuhan
dan kemampuan golongan ekonomi lemah.
Pelayanan yang diberikan dalam rangka
penyelenggaraan pendaftaran tanah harus
dapat terjangkau oleh para pihak yang
memerlukan.
Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan
yang memadai dalam pelaksanaannya dan
kesinambungan dalam pemeliharaan datanya.
Data yang tersedia harus menunjukan keadaan yang mutakhir. Untuk itu, perlu diikuti
kewajiban mendaftar dan pencatatan
perubahan-perubahan yang terjadi di
kemudian hari.
Asas mutakhir menuntut dipeliharanya
data pendaftaran tanah secara terus-menerus
dan berkesinambungan, sehingga data yang
tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai
dengan keadaan nyata di lapangan dan
masyarakat dapat memperoleh keterangan
mengenai data yang benar setiap saat. Untuk
itulah diberlakukan pula asas terbuka.6
C. Tujuan Pendaftaran Tanah
Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di
seluruh Indonesia dibebankan kepada Pemerintah yang oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bertujuan tunggal, yaitu untuk menjamin
kepastian hukum. Menurut Penjelasan dari
UUPA, pelaksanaan kegiatan pendaftaran
tanah merupakan kewajiban dari Pemerintah
bertujuan menjamin kepastian hukum yang
bersifat rechts cadaster.7
Begitu juga dengan tujuan pendaftaran
tanah, yang semula menurut Pasal 19 ayat (1)
UUPA hanya bertujuan tunggal semata-mata
untuk menjamin kepastian hukum, maka
berdasarkan Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997
6
7
dikembangkan tujuan pendaftaran tanah yang
juga meliputi:
1. untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas tanah dan hak-hak lain yang
terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang
hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada
pemegang haknya diberikan sertifikat
sebagai surat tanda buktinya (Pasal 4 ayat
(1) PP No. 24 Tahun 1997).
Inilah yang merupakan tujuan utama
pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh Pasal 19
UUPA. Jadi, memperoleh sertifikat, bukan
sekedar fasilitas, melainkan hak pemegang hak atas tanah, yang dijamin
undang-undang;
2. untuk menyediakan informasi kepada
pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai
bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar;
3. untuk terselenggaranya tertib administrasi
pertanahan dimana setiap bidang tanah
termasuk peralihan, pembebanan, dan
hapusnya hak atas tanah wajib didaftar.
D. Sistem Pendaftaran Tanah
Persoalan penyelenggaraan pendaftaran
tanah mengenai tanah-tanah Indonesia baru
mendapat penyelesaian secara prinsipil
dengan diundangnya UUPA, yang menetapkan Pasal 19 ayat (1) sebagai dasar pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia.
Menurut Pasal 19 ayat (1) UUPA, pelaksana dari kegiatan pendaftaran tanah tersebut
Menurut Meray Hendrik Mezak, asas terbuka merupakan konsekuensi dari penerapan asas keterbukaan
pada hukum kebendaan dimana setiap peralihan kebendaan terbuka untuk dapat diakses oleh publik.
Demikian juga terhadap pendaftaran tanah harus diumumkan pada khalayak (Meray Hendrik Mezak,
“Pendaftaran Tanah sebagai Tertib Administrasi Pertanahan dan Jaminan Kepastian Hukum Terhadap
Pemegang Hak-hak atas Tanah”, Law Review, Vol. VI, No. 2, November, 2006, hlm. 70).
Rechts kadaster artinya untuk kepentingan pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan
haknya apa dan siapa pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti, perpajakan (Mhd. Yamin
Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung: CV. Mandar Maju, 2008, hlm. 167).
106
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
diinstruksikan kepada Pemerintah, artinya
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan dari kegiatan pendaftaran
tanah tersebut semuanya dilakukan oleh
Pemerintah, yang kemudian dikenal dengan
istilah pendaftaran tanah sistematik.
Dalam UUPA, masih dimungkinkan
pelaksanaan pendaftaran tanah atas inisiatif
dan biaya dari pemegang hak atas tanah
sebagaimana diatur dalam Pasal 23, yang
dikenal kemudian dengan pendaftaran tanah
sporadik.8
Keberadaan PP No. 24 Tahun 1997 ini
memberikan nuansa yang sangat berbeda
dengan PP No. 10 Tahun 1961.PP No. 24
Tahun 1997 berusaha memberikan kepastian
hukum terhadap pemilik atau yang menguasai
tanah untuk melakukan pendaftaran tanah.
Hal ini terlihat dengan adanya sistem pendaftaran secara sporadis dan sistem pendaftaran
secara sistematik. Dalam pendaftaran tanah
yang dilakukan dengan cara sporadis, pemilik
tanah yang aktif untuk melakukan pendaftaran
tanah.
Pendaftaran tanah sistematik dilakukan
desa demi desa secara menyeluruh atas inisiatif Pemerintah, sedangkan pendaftaran tanah
sporadis dilakukan berdasarkan permintaan
masyarakat yang bersifat individual dan insidentil.9
Pendaftaran tanah secara sistematik
merupakan pendaftaran tanah yang melibatkan Pemerintah (Badan Pertanahan Nasional) sebagai pelaksana dibantu oleh sebuah
panitia independen. Hal ini sesuai ketentuan
dalam Pasal 8 PP No. 24 Tahun 1997.10
E. Sistem Publikasi
Pendaftaran Tanah
Secara garis besar, dikenal 2 (dua) sistem
publikasi, yaitu sistem publikasi positif dan
sistem publikasi negatif. Sistem publikasi yang
digunakan UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997
adalah sistem negatif yang mengandung unsur
positif.11
Sistem publikasi yang digunakan dalam PP
No. 24 Tahun 1997 tetap seperti dalam
pendaftaran tanah menurut PP No. 10 Tahun
1961, yaitu sistem negatif yang mengandung
unsur positif, karena akan menghasilkan suratsurat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat, seperti dinyatakan
dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c dan Pasal 23
ayat (2) UUPA. Bukan sistem publikasi negatif
yang murni. Sistem publikasi yang negatif murni
tidak akan menggunakan sistem pendaftaran
hak. Juga tidak akan ada pernyataan seperti
dalam pasal-pasal UUPA tersebut, bahwa
sertifikat merupakan alat bukti yang kuat.12
E. Proses Pendaftaran Tanah
Prosedur untuk memperoleh sertifikat tanah
diawali dengan:
1. Para pemilik tanah atau para pemegang
hak atas tanah mengisi blanko permohonan sertifikat tanah untuk Hak Milik;
2. Surat keterangan kepala desa/lurah
mengenai pemilikannya;
3. Penyerahan surat bukti pemilikannya,
biasanya berupa surat segel aslinya atau
akta Notaris;
4. Melampirkan gambar situasi tanah yang
mau disertifikatkan;
5. Mengisi blanko permohonan pengukuran;
6. Mengisi blanko Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT).
Ibid., hlm. 81-82.
Laporan Penelitian, “Pola Penguasaan Tanah Masyarakat Tradisional dan Problema Pendaftaran Tanah”,
Vol. II, Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Atma Jaya bekerja sama dengan Badan Pertanahan
Nasional, 1998, hlm. 319.
10 Supriadi, op.cit., hlm. 169.
11 Boedi Harsono, op.cit., hlm. 80-82.
12 Ibid., hlm. 477.
8
9
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
107
Keenam macam surat tersebut di atas
disatukan ke dalam satu berkas, dimasukkan
ke dalam satu map yang baru dengan ditulis
pada muka map tersebut nama si pemohon
sertifikat tanah, berada di desa atau kelurahan
apa, kecamatan atau wilayah apa, kabupaten
atau kotamadya apa, dan provinsi apa.
Kemudian, si pemohon menyerahkan
map yang berisikan berkas permohonan
sertifikat tanah itu kepada Kantor Agraria
Kabupaten atau Kotamadya setempat di bagian
Seksi Pendaftaran Tanah. Dari Seksi Pendaftaran Tanah ini, si pemohon harus menerima
Surat Bukti Tanda Terima berkas permohonan
sertifikat tanah yang dibubuhi tanda tangan si
penerima berkas dan dengan cap Kantor
Agraria, serta tanggal dan tahun penerimaan
berkas.13
Selanjutnya, si pemohon menyerahkan
biaya pendaftaran tanah. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan data fisik, yang meliputi
penetapan dan pemasangan tanda batas,
pengukuran, dan pemetaan oleh petugas yang
ditunjuk, serta dilakukan pula penelitian data
yuridis bidang tanah dimaksud. Apabila buktibukti tertulis tidak lengkap, maka penelitian
dilanjutkan oleh Panitia A, yang bertugas:
1. Meneliti data yuridis bidang tanah yang
tidak dilengkapi dengan alat bukti tertulis
mengenai pemilikan tanah secara
lengkap;
2. Melakukan pemeriksaan lapangan untuk
menentukan kebenaran alat bukti yang
diajukan oleh pemohon;
3. Mencatat sanggahan atau keberatan dan
hasil penyelesaiannya;
4. Membuat kesimpulan mengenai data
yuridis bidang tanah yang bersangkutan.
Daftar data yuridis dan data fisik bidang
tanah dan peta bidang tanah yang bersangkutan diumumkan di Kantor Pertanahan dan
Kantor Desa/Kelurahan, serta di Kantor
Kecamatan letak tanah selama 60 (enam
puluh) hari berturut-turut, maksudnya untuk
memberi kesempatan kepada anggotaanggota masyarakat guna mengajukan
keberatan-keberatan tentang akan diterbitkannya sertifikat tanah atas nama pemohon.
Setelah jangka waktu pengumuman
berakhir dan tidak ada yang mengajukan
keberatan terhadap isi pengumuman, maka
data fisik dan data yuridis yang diumumkan
tersebut disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam suatu berita acara. Selanjutnya,
dilakukan pendaftaran pembukuan hak atas
tanah yang bersangkutan, lalu menerbitkan
Sertifikat Hak Milik tanah dimaksud atas nama
pemohon, dan pemohon sudah boleh
mengambilnya di Seksi Pendaftaran Tanah.14
Apabila ada anggota masyarakat yang
merasa keberatan atas pensertifikatan tanah
tersebut, maka ditempuh cara-cara sebagai
berikut:15
1. yang merasa keberatan tersebut mengajukan secara tertulis kepada Sub Direktorat Agraria cq Seksi Pendaftaran Tanah
tentang sebab-sebab keberatan;
2. Kepala Sub Direktorat Agraria cq Seksi
Pendaftaran Tanah mengadakan penilaian sementara mengenai dasar-dasar
keberatan itu, apakah masalahnya
menyangkut:
a. pemilikannya;
b. pembebanannya;
c. lain-lain masalah adat setempat.
3. dalam waktu 7 (tujuh) hari, Seksi Pendaftaran Tanah menyampaikan adanya
keberatan tersebut kepada pemohon
dengan mempersilakan mereka menyelesaikan keberatan-keberatan tersebut;
4. apabila mereka tidak dapat menyelesaikan masalahnya, maka dalam waktu
7 (tujuh) hari, pemohon secara tertulis
13 Bachsan Mustafa, Hukum Agraria dalam Perspektif, Bandung: Remadja Karya CV, 1988, hlm. 52-53.
14 Boedi Harsono, “Tata Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Bekas Milik Adat”, Jurnal Renvoi, Jembatan
Informasi Rekan, Vol. 16, No. 4, September 2004, hlm. 43.
15 Bachsan Mustafa, op.cit., hlm. 53-54.
108
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
5.
6.
mengajukan bantahan-bantahannya
mengenai keberatan-keberatan tersebut;
apabila Sub Direktorat Agraria cq Seksi
Pendaftaran Tanah tidak sanggup atau
tidak berhasil turut menyelesaikan masalah tersebut, maka dalam waktu 7 (tujuh)
hari memberitahukan adanya bantahanbantahan atas keberatan-keberatan,
sehingga dalam waktu 2 (dua) bulan
setelah adanya penerimaan dari pemohon, dapat melanjutkan penyelesaian
masalahnya kepada Pengadilan Negeri
setempat atau instansi yang sederajat;
apabila dalam waktu 2 (dua) bulan, orang
yang merasa keberatan itu tidak mengajukan masalahnya kepada Pengadilan,
maka Sub Direktorat Agraria cq Seksi
Pendaftaran Tanah dapat menerbitkan
sertifikat tanahnya atas nama pemohon,
setelah memberikan peringatan sebanyak
3 (tiga) kali. Penangguhan lainnya dapat
dipertimbangkan jika ada pemberitahuan
dari Kepala Direktorat Agraria atau
Departemen Dalam Negeri.
F. Permasalahan Hukum dalam
Pendaftaran Tanah Girik menjadi
Tanah Hak Milik dengan Bukti
Sertifikat
Seringkali, di dalam proses pendaftaran tanah
girik menjadi tanah Hak Milik dengan bukti
sertifikat timbul masalah-masalah, yaitu
misalnya kasus manipulasi administrasi, kejahatan fisik, seperti penipuan atau penyerobotan, sampai mencuatnya istilah “mafia”
tanah. Faktor penyebabnya adalah ketidaktahuan masyarakat tentang hak dan status
kepemilikan tanah.Padahal, UUPA sudah
mengatur aneka ragam hak-hak atas tanah.
Ada beberapa modus manipulasi girik
menjadi sertifikat, yaitu sebagai berikut:16
1. bekerja sama dengan Lurah menerbitkan
kembali girik yang sebelumnya dijual.
2.
Semua data sama, kecuali nama Lurah
dan tanggal penerbitan. Dari sini diproses
menjadi sertifikat;
mengaku giriknya hilang dan meminta
polisi menerbitkan surat keterangan
kehilangan girik. Berbekal surat keterangan ini meminta Lurah menerbitkan
girik baru. Dari sini diproses menjadi
sertifikat.
Masalah-masalah lain dalam proses
pendaftaran tanah girik menjadi tanah Hak
Milik dengan bukti sertifikat dikatakan oleh
Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi
Jakarta Pusat, yaitu:
1. girik atas nama A, tetapi yang menempati
adalah B. Masalah timbul pada saat A
ingin mendaftarkan tanah girik tersebut
untuk menjadi tanah bersertifikat dengan
berbekal girik yang dipegangnya.
Padahal, yang menempati tanah tersebut
adalah B. Apabila terjadi hal demikian,
maka proses pendaftaran tanah girik
menjadi tanah Hak Milik dengan bukti
sertifikat akan dihentikan sementara
sampai semuanya jelas, siapakah yang
sebenarnya berhak atas tanah tersebut;
2. girik asli sudah tidak ada, A hanya
mempunyai fotocopy dari girik asli. Pada
saat pengumuman untuk proses penerbitan sertifikat ternyata ada yang mengklaim bahwa ia mempunyai girik yang
asli. Hal ini juga dapat menyebabkan
proses pendaftaran tanah dihentikan
sementara, sampai diketahui siapa
sebenarnya yang berhak atas tanah
tersebut.
Hambatan lain dikatakan oleh Kepala Sub
Bidang Penerangan dan Penyuluhan Masyarakat, Badan Pertanahan Nasional, yaitu
sebagai berikut:
1. Ahli waris belum terbagi. Masalahnya
apabila salah satu ahli waris tidak setuju
16 http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2007/05/28/HK/mbm.20070528.HK124028.id.html,
(ditelusuri 1 November 2010).
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
109
2.
3.
dengan pendaftaran tanah tersebut, maka
proses tidak dapat dilanjutkan, sampai
semua ahli waris setuju;
Belum ada persetujuan batas tetangga
sebelah menyebelah. Dalam hal ini,
apabila tetangga sebelah menyebelah
belum memberikan persetujuan mengenai batas-batas tanah di antara tanahtanah mereka, maka proses penerbitan
sertifikat akan dihentikan, sampai tetangga sebelah menyebelah memberikan persetujuannya, dimana persetujuan tersebut
akan dituangkan dalam bentuk tanda
tangan di dalam Surat Ukur;
Sebagian tanah girik yang dimaksudkan
untuk didaftarkan termasuk rencana
untuk pelebaran jalan. Jika ada rencana
untuk pelebaran jalan, dimana menggunakan sebagian tanah warga, maka
warga tersebut akan mendapatkan ganti
rugi dari Pemerintah. Selama para pihak
(warga dan Pemerintah) sepakat mengenai besarnya ganti rugi tersebut, maka
proses pendaftaran tanah girik dapat
berjalan sesuai dengan alurnya sampai
penerbitan sertifikat. Namun, apabila
belum terjadi kesepakatan mengenai
ganti rugi yang harus diberikan Pemerintah kepada warga, maka proses penerbitan sertifikat belum dapat dilakukan
sampai adanya kesepakatan antara para
pihak.
Selanjutnya, menurut seorang Notaris dan
PPAT di Jakarta, masalah yang biasanya terjadi
dalam proses pendaftaran tanah girik, yaitu
sebagai berikut:
1. Girik tumpang tindih, maksudnya adalah
suatu tanah mempunyai girik dalam
jumlah yang lebih dari 2 (dua), sehingga
proses pendaftaran tanah girik tersebut
belum dapat dilanjutkan ke proses penerbitan sertifikat, karena belum jelas siapa
yang berhak atas tanah girik tersebut;
2. Sengketa batas, seperti misalnya batas
antara tetangga sebelah menyebelah;
110
3.
4.
5.
Surat girik palsu;
Surat girik tidak sesuai dengan riwayat
tanah (catatan di Kantor Desa);
Sengketa ahli waris, seperti misalnya ahli
waris berebut tanah girik.
Setiap masalah yang terjadi, pasti ada cara
penyelesaiannya. Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam proses pendaftaran
tanah girik menjadi tanah Hak Milik dengan
bukti sertifikat seperti yang telah dijabarkan
di atas, dapat diselesaikan oleh para pihak
sendiri dengan cara musyawarah untuk mufakat. Apabila telah terjadi kesepakatan antara
para pihak dan permasalahan yang timbul
telah diselesaikan secara damai, maka proses
penerbitan sertifikat dapat dilakukan, dan
kemudian diberikan kepada pihak yang
berhak atas sertifikat tersebut. Bahkan, menurut Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi
Jakarta Pusat, permasalahan yang timbul
antara para pihak dapat diselesaikan melalui
jalur mediasi di BPN.
Namun, apabila secara musyawarah
untuk mufakat ataupun mediasi tidak dapat
menyelesaikan permasalahan yang ada, maka
pihak yang merasa dirugikan dapat meminta
bantuan kepada pihak yang berwenang untuk
menyelesaikan permasalahan yang timbul,
dalam hal ini berarti dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan letak tanah yang
bersangkutan.
Semakin lama semakin banyak kasus
tanah yang akan meresahkan masyarakat.
Oleh karena itu, menurut penulis, perlulah
tanah-tanah girik diproses untuk menjadi tanah
bersertifikat, agar tercipta kepastian hukum
dan timbul perlindungan terhadap orang yang
namanya telah tercantum dalam sertifikat
tersebut, karena jelas di dalam beberapa yurisprudensi dinyatakan bahwa girik bukanlah alat
bukti kepemilikan hak atas tanah. Selain itu,
alasan lain agar proses pendaftaran tanah girik
menjadi sertifikat dilakukan adalah demi
tertibnya administrasi pertanahan.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
G. Kesimpulan
Pendaftaran tanah di Indonesia adalah pendaftaran tanah dengan sistem negatif yang bertendensi positif dengan tujuan memberikan jaminan kepada masyarakat akan kepastian hak
dan kepastian hukum atas tanah. Adanya
kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah
diharapkan akan mengurangi sengketasengketa tanah yang timbul.
Permasalahan-permasalahan hukum
yang timbul dalam proses pendaftaran tanah
girik menjadi tanah Hak Milik dengan bukti
sertifikat, misalnya seperti girik yang tumpang
tindih, surat girik palsu, belum ada persetujuan
batas dari tetangga sebelah-menyebelah,
adanya sengketa ahli waris, ataupun sebagian
tanah yang dimaksudkan untuk didaftarkan
tersebut termasuk dalam rencana pelebaran
jalan. Oleh karena adanya permasalahanpermasalahan hukum seperti yang telah
disebutkan di atas, maka proses penerbitan
sertifikat tidak dapat dilanjutkan sampai
permasalahan yang ada selesai ditangani oleh
para pihak.
Adapun cara penyelesaian untuk
permasalahan-permasalahan hukum yang
timbul tersebut adalah musyawarah untuk
mufakat, atau mediasi di BPN, ataupun dengan
mengajukan gugatan ke Pengadilan oleh
pihak yang merasa dirugikan apabila jalur
perdamaian antara para pihak tidak berhasil
ditempuh.
Renvoi. Jembatan Informasi Rekan. Vol.
16, No. 4, September 2004.
Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia,
Sejarah Pembentukkan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya.
Jakarta: Djambatan, 2008.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/
2007/05/28/HK/mbm.20070528.
HK124028.id.html, 1 November 2010.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. Hakhak Atas Tanah. Jakarta: Kencana, 2004.
Laporan Penelitian. Pola Penguasaan Tanah
Masyarakat Tradisional dan Problema
Pendaftaran Tanah. Vol. II. Jakarta: Pusat
Kajian Pembangunan Masyarakat Atma
Jaya bekerja sama dengan Badan
Pertanahan Nasional, 1998.
Meray Hendrik Mezak. “Pendaftaran Tanah
Sebagai Tertib Administrasi Pertanahan
dan Jaminan Kepastian Hukum Terhadap
Pemegang Hak-hak Atas Tanah”. Law
Review. Vol. VI. No. 2, November, 2006.
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis.
Hukum Pendaftaran Tanah. Bandung: CV.
Mandar Maju, 2008.
PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah (LN Tahun 1997 No. 59; TLN No.
3696).
Supriadi. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN Tahun
1960 No. 104; TLN No. 2043).
Daftar Pustaka
A.P. Parlindungan. Pendaftaran Tanah di Indonesia (berdasarkan PP No. 24 Tahun
1997) dilengkapi dengan Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP
No. 37 Tahun 1998). Bandung: CV.
Mandar Maju, 2009.
Bachsan Mustafa. Hukum Agraria dalam
Perspektif. Bandung: Remadja Karya CV,
1988.
Boedi Harsono. “Tata Cara Memperoleh
Sertifikat Tanah Bekas Milik Adat”. Jurnal
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
111
MITIGASI RISIKO KREDIT
DALAM PENYALURAN KREDIT PERBANKAN
Ricardo Siregar
Abstact
Bank as a financial institution that is trusted fully by people in collecting and distributing money in
the form of credit, should take care of these activity especially in distributing credit. This activity
not always going well. Although bank has distributed credit selectively and prudentially but
often faces credit risk like customer can’t pay on time as contract. This can’t be avoid but can be
minimized by credit risk mitigation, since credit in performing loan. By this, bank could manage
credit risk well.
Keywords: credit risk, credit distributing, credit risk mitigation.
A. Pendahuluan
Kegiatan Bank adalah menghimpun dana dari
masyarakat, kemudian menyalurkannya
kembali kepada masyarakat dalam bentuk
kredit. Hubungan antara nasabah dan bank
adalah suatu hubungan kenasabahan bank
yang kompleks. Hubungan ini didasarkan
pada hukum dan kepercayaan.1 Berdasarkan
kepercayaan dari masyarakat, bank memobilisasi dana tersebut untuk ditempatkan di bank
dan menyalurkannya kembali dalam bentuk
utang atau kredit dan memberikan jasa-jasa
perbankan.2 Dalam pelaksanaan penyaluran
kredit tersebut, tidak selalu berjalan mulus.
Walaupun bank telah berusaha menyalurkan
kredit secara selektif, sering dihadapkan
dengan risiko kredit yaitu ketidakmampuan
debitur untuk mengembalikan kredit tepat
pada waktunya seperti yang telah diperjanjikan. Risiko tersebut sulit dihindari, namun
1
2
3
4
diharapkan dapat diminimalisir dengan upaya
mitigasi risiko kredit jauh-jauh hari sejak kredit
dicairkan.
B. Manajemen Kredit dalam
Perbankan
Permasalahan utama dalam menunjang kesehatan bank adalah portofolio dan pertumbuhan
kredit yang seimbang dan sehat.3 Meningkatnya kredit bermasalah secara kuantitas
adakalanya disebabkan oleh memburuknya
dunia usaha. Ekspansi kredit yang gencar dan
mencapai target yang telah direncanakan
akan menghasilkan pendapatan bagi bank,
sebaliknya kredit bermasalah akan merusak
pertumbuhan kredit dan kesehatan bank.
Dalam manajemen bank, sangatlah
penting mengelola loanable funds4, di mana
sumber-sumber dana yang ada sebagian besar
dialokasikan dalam bentuk kredit. Dari alokasi
Johannes Ibrahim (1). “Konsumen dan Bank (Kajian Interdisipliner Hukum dan Ekonomi)”. Bandung:
Jurnal Manajemen Maranatha, Volume 1, Nopember 2001, hlm. 57.
Herlien Budiono. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007, hlm. 142.
Johannes Ibrahim (2). “Perspektif Manajemen dan Hukum dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah (Non
Performing Loan)”. Jakarta: Universitas Tarumanagara, Era Hukum Nomor 2/TH.13/Januari 2006, hlm.
134.
Kesiapan atas penyediaan dana bank yang diperuntukan bagi penyaluran kredit bank.
112
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
kredit tersebut, bank akan memperoleh pendapatan beupa bunga atas kredit yang
dibayarkan oleh debitur kepada bank.
Jika bank tidak mampu menyalurkan
kredit sedangkan dana yang terhimpun dari
simpanan banyak terjadi dana yang menganggur (idle money) dan hal ini dapat menyebabkan bank tersebut merugi.
Pengelolaan kredit harus dilakukan
dengan sebaik-baiknya mulai dari perencanaan jumlah kredit, penentuan suku bunga,
prosedur pemberian kredit, analisis pemberian
kredit sampai kepada pengendalian kredit
macet. Kegiatan pengelolaan kredit dikenal
dengan istilah manajemen kredit.
Dapat disimpulkan bahwa manajemen
kredit pada dasarnya merupakan suatu proses
yang terintegrasi antara sumber-sumber dana,
alokasi dana yang dapat dijadikan kredit
dengan perencanaan, pengorganisasian, pemberian, administrasi dan pengamanan kredit.5
Dengan demikian, manajemen kredit
selayaknya dipahami oleh kalangan perbankan, karena:
“Manajemen kredit memegang peran
utama dalam mengelola sejak kredit
dicairkan hingga kredit dilunasi.”6
C. Manajemen Risiko Kredit
Dalam penyaluran kredit perbankan, kemungkinan munculnya kredit bermasalah sulit
dihindari, dan hal tersebut merupakan risiko
dalam penyaluran kredit. Oleh karena itu,
bank sepatutnya memahami manajemen
risiko.
Manajemen Risiko, dapat dijabarkan
sebagai berikut:
5
6
7
8
9
“Manajemen Risiko adalah proses pengukuran atau penilaian risiko serta pengembangan strategi pengelolaannya. Strategi
yang dapat diambil antara lain adalah
memindahkan risiko kepada pihak lain,
menghindari risiko, mengurangi efek
negatif risiko, dan menampung sebagian
atau semua konsekuensi risiko tertentu.
Manajemen risiko traditional terfokus
pada risiko-risiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal (seperti bencana alam
atau kebakaran, kematian, serta tuntutan
hukum). Manajemen risiko keuangan, di
sisi lain, terfokus pada risiko yang dapat
dikelola dengan menggunakan intrumeninstrumen keuangan.” 7
Manajemen risiko merupakan hal yang
patut dikedepankan dalam pengelolaan bisnis
keuangan mengingat kerugian atau kesalahan
dalam menggunakan berbagai instrumen
keuangan berdampak terhadap perekonomian
secara keseluruhan, baik disadari atau tidak.8
Dalam menerapkan manajemen risiko di
sektor perbankan, terdapat 3 (tiga) hal, yaitu:9
1. Manajemen risiko bank umum diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum.
Pengertian manajemen risiko berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/
8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum adalah:
“Manajemen risiko adalah serangkaian
prosedur dan metodologi yang digunakan
untuk mengidentifikasi, mengukur,
Muchdarsyah Sinungan. Strategi Manajemen Bank. Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 73.
Johannes Ibrahim (2), op.cit., hlm. 134.
Johannes Ibrahim dan Hassanain Haykal. “Fenomena Suprime Mortgage dan Kebijakan Pembiayaan
Sekunder Perumahan di Indonesia: Wacana dan Dilema yang Patut Diantisipasi”. Jakarta: Jurnal Hukum
Bisnis, Volume 27 Nomor 3 Tahun 2008, hlm. 9.
Hassanain Haykal. “Sistem Grameen Bank dalam Upaya Meningkatkan Pangsa Pasar Wanita”. Bandung:
Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha, Dialogia Iuridica, Volume 1, November 2009, hlm.
85.
Johannes Ibrahim dan Hassanain Haykal. op.cit., hlm. 9-11.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
113
Risiko dalam pengelolaan bank umum
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Bank Indonesia tersebut mencakup
risiko kredit, risiko pasar, risiko suku
bunga, risiko likuiditas, risiko operasional,
risiko hukum, risiko reputasi, risiko
strategik, dan risiko kepatuhan.10
memantau dan mengendalikan risiko
yang timbul dari kegiatan usaha bank.”
Pengertian risiko dalam Peraturan Bank
Indonesia tersebut adalah:
“Risiko adalah potensi terjadinya suatu
peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian bank.”
Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia tersebut, menyebutkan bahwa:
“Penerapan manajemen risiko mencakup
pengawasan aktif Dewan Komisaris dan
Direksi; kecukupan kebijakan, prosedur,
dan penetapan kinit; kecukupan proses
identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian risiko serta sistem informasi
manajemen risiko dan system pengendalian intern yang menyeluruh; dan sistem
pengendalian intern yang menyeluruh.”
2.
Penerapan Good Corporate Governance.
Corporate governance adalah seperangkat aturan yang dijadikan acuan manajemen perusahaan dalam mengelola
perusahaan secara baik, benar, dan
penuh integritas, serta membina
hubungan dengan para stakeholders,
guna mewujudkan visi, misi, tujuan, dan
sasaran perusahaan yang telah ditetapkan, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang.11
10 Risiko kredit adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) memenuhi
kewajibannya.
Risiko Pasar adalah risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang
dimiki oleh bank. Yang dimaksud variabel pasar adalah suku bunga dan nilai tukar, termasuk deviasi
dari kedua jenis risiko pasar tersebut.
Risiko sukubunga adalah potensi kerugian yang timbul akibat pergerakan suku bunga di pasar yang
berlawanan dengan posisi atau transaksi bank yang mengandung risiko suku bunga.
Risiko nilai tukar adalah risiko kerugian akibat pergerakan yang berlawanan dari nilai tukar pada bank
memiliki potensi terbuka.
Risiko likuiditas adalah risiko yang antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban
yang telah jatuh waktu.
Risiko operasional adalah risiko yang antara lain disebabkan ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya
proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi
operasional bank.
Risiko reputasi adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait
dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank.
Risiko hukum adalah risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis, yang antara lain
disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung, atau
kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang
tidak sempurna.
Risiko strategik adalah risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi
bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang rensponsif.
Risiko kepatuhan merupakan risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan
peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
11 Secara umum, prinsip-prinsip dasar yang harus diterapkan dalam rangka Good Corporate Governance
adalah:
a. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab
masing-masing organ-organ perusahaan yang diangkat setelah melalui fit and proper test, sehingga
pengelolaan perusahaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien;
b. Kemandirian (independency), yaitu suatu keadaan, perusahaan dikelola secara profesional tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun, terutama pemegang saham
mayoritas, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsipprinsip korporasi yang sehat;
c. Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan terhadap proses pengambilan keputusan, dan penyampaian informasi mengenai segala aspek perusahaan terutama yang berkaitan dengan kepentingan
stakeholders dan publik secara benar dan tepat waktu;
114
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Bank Indonesia menerbitkan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006
Tanggal 30 Januari 2006 tentang
Pelaksanaan Good Corporate Governance pada Bank Umum dalam mengupayakan tata kelola yang baik dalam
bisnis keuangan bank. Yang dimaksud
dengan Good Corporate Governance
dalam pengelolaan bank adalah suatu
tata kelola bank yang menerapkan
prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability),
pertanggungjawaban (rensponsibility),
indenpendensi (indenpendency), dan
kewajiban (fairness).
Penerapan prinsip Good Corporate Governance merupakan kewajiban yang
dipersyaratkan dan diimplementasikan
dalam bentuk:
a. “Pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab Dewan Komisaris dan Direksi;
b. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas
komite-komite dan satuan kerja yang
menjalankan fungsi pengendalian
intern bank;
c. Penerapan fungsi kepatuhan, auditor
internal dan auditor eksternal;
d. Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern;
e. Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;
f. Rencana strategis bank;
g. Transparansi kondisi keuangan dan
non keuangan bank.”12
3.
Prinsip kehati-hatian (prudential banking).
Prudential Regulation dalam hukum
perbankan dikategorikan sebagai “a
seamless web” yang bertujuan untuk
mencapai suatu sistem perbankan yang
sehat dan efisien. Prudential Regulation
merupakan aturan main yang merupakan
kerangka hukum, sosial dan politik.
Dalam konsep prudential regulation
ukuran moral sangat ditentukan oleh
akibat tindakan yang dilakukan oleh
pelaku bisnis bank dalam mengelola
bisnisnya untuk mencapai suatu bank
yang sehat, efisien, tangguh bersaing dan
dapat berperan mendukung pembangunan ekonomi nasional.
Black’s Law Dictionary memberikan
uraian tentang “prudence” dan sebagai
berikut:
“Carefulness, precaution, attentiveness,
and good judgment, as applied to action
or of care reconduct. That degree of care
required by the exigencies or circumstances under which it is to be exercised.
This term, in the language of the law, is
commonly associated with care and diligence and constrasted with negligence.”
d. Pertanggungjawaban (rensponsibility), yaitu perwujudan kewajiban organ perusahaan untuk melaporkan kesesuaian pengelolaan peruhaan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
keberhasilan maupun kegagalannya dalam pencapaian visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan
yang telah ditetapkan; dan
e. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang
timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Prinsip-prinsip dasar tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit antara lain dengan melakukan
pemisahan tanggung jawab dan kewenangan yang disertai dengan mekanisme kerja sama antara
organ-organ perusahaan, melakukan pengawasan ketika organ-organ tersebut melaksanakan tugasnya
untuk menghindari adanya benturan kepentingan atau tekanan, melakukan sistem pengendalian
intern dan eksternal yang kuat, dan pengungkapan informasi material mengenai perusahaan melalui
media yang dapat diakses dengan mudah oleh pihak-pihak yang berkepentingan, serta menetapkan
visi, misi, tujuan, dan strategi secara jelas sehingga kinerja perusahaan maupun kontribusi masingmasing individu dapat dinilai secara objektif.
12 Lihat Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tanggal 30 Januari 2006
tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance pada Bank Umum.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
115
Teori keutamaan moral yang dikemukakan oleh Adam Smith membahas “prudence” sebagai:13
“Keadaan batin yang waspada, jeli dan
sangat hati-hati, selalu penuh perhatian
terhadap konsekuensi-konsekuensi yang
paling jauh dari setiap tindakan, untuk
memperoleh kebaikan yang paling besar
dan untuk menghindari kejahatan yang
paling besar.”
Keutamaan ini menyangkut kewajiban
untuk mempertahankan hidup pribadi.
Orang yang memiliki keutamaan ini
selalu berhati-hati dan waspada terhadap
dirinya, kepentingan dan hidupnya. Bagi
Smith, keutamaan ini tidak hanya
memungkinkan manusia untuk memperhatikan kepentingannya untuk masa kini,
melainkan juga waspada terhadap kehidupannya di masa yang akan datang. Ia
peduli akan konsekuensi-konsekuensi
jangka panjang dari tindakannya.
Bahkan demi masa depannya rela untuk
mengorbankan kepentingannya pada
masa sekarang. Demikian pula, demi
kepentingannya ia peduli akan kepentingan orang lain.
Bank yang selalu memperhatikan prudential regulations, akan peduli terhadap
konsekuensi dan tindakan jangka panjangnya, baik untuk kepentingan bank
yang dikelolanya dan sitem perbankan
secara keseluruhan.14
Prinsip kehati-hatian telah diakomodir
dalam ketentuan normatif, sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Pasal 2 berbunyi:
“Perbankan Indonesia dalam melakukan
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan menggunakan prinsip kehatihatian”.
D. Kajian Atas Mitigasi Risiko Kredit
dalam Penyaluran Kredit
Perbankan
Sebagai lembaga yang bertugas menghimpun
dana masyarakat, bank akan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit. Dalam
penyaluran kredit, bank harus berhati-hati agar
kredit yang disalurkan tersebut dapat dikembalikan oleh debitur dengan tepat waktu.
Dalam proses awal penyaluran kredit, bank
akan melakukan penilaian atas permohonan
kredit. Maksud penilaian terhadap pemohonan
kredit tersebut adalah:
“Untuk meletakan kepercayaan dan
untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan di kemudian hari bila kredit
ternyata disetujui untuk diberikan.”15
Maksud dari pengenalan adanya
kemungkinan timbulnya risiko kredit adalah
untuk mengetahui lebih dini bahaya yang
mungkin terjadi dan mengetahui upaya-upaya
yang harus dilakukan dan dipersiapkan oleh
manajemen untuk terlindungi dari risiko tersebut, untuk mengetahui faktor-faktor produksi
yang paling rentan terhadap risiko, mengetahui kebijaksanaan-kebijaksanaan perkreditan yang diambil manajemen untuk mengantisipasi akibat negatif dari risiko tersebut, di
dalam perencanaan kredit diarahkan memilih
bidang-bidang usaha yang memiliki tingkat
risiko yang rendah dan sebagai alat penetapan
13 Sonny Keraf. Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 107;
menjelaskan terdapat tiga keutamaan pokok dalam moral, yaitu beneficence (berbuat baik bagi orang
lain), prudence dan keadilan. Beneficence merupakan keutamaan moral yang berkaitan dengan tindakan
yang tertuju kepada orang lain. Prudence merupakan keutamaan moral yang berkaitan dengan tindakan.
14 Johannes Ibrahim (3). Hubungan Kontraktual dalam Kontrak Bisnis, Korelasi Antara Ranah Hukum
Privat dan Hukum Publik. Bandung: Universitas Pasundan, Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, Volume 8,
Nomor 1, 2007, hlm. 95.
15 Johannes Ibrahim (4). Kartu Kredit (Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan). Bandung: Refika Aditama,
2004, hlm. 16.
116
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
suku bunga kredit, dimana unsur risiko tersebut
merupakan komponen biaya yang harus
ditambahkan kepada perhitungan suku bunga
kredit.16
Dalam upaya mitigasi risiko kredit, bank
akan dihadapkan dengan prinsip yang sangat
lazim dikenal dalam proses penyaluran kredit,
yaitu prinsip 5C:
1. Character atau Watak. Diharapkan bank
mampu mengetahui watak calon debitur
dalam proses penyaluran kredit. Dalam
praktik, Bank Indonesia telah memberi
kemudahan kepada bank untuk memperoleh informasi dari fasilitas Bank Indonesia berupa “Sistem Informasi Debitur”
(SID) yang dapat diakses oleh semua
Bank Umum berupa informasi pinjaman
apa saja dan atau di bank mana saja yang
sedang dan atau telah lunas dinikmati
oleh debitur berikut informasi kolektibilitas pinjamannya apakah lancar atau
tidak. Hal ini akan mempermudah bank
untuk menentukan bagaimana karakter
calon debitur tersebut. Dapat terjadi,
seorang calon debitur mengajukan permohonan kredit bank, hanya untuk
melunasi hutang-hutangnya yang macet
di bank-bank lain.
2. Capital atau modal. Bank selayaknya
mengetahui porsi permodalan yang
dimiliki oleh calon debitur agar mengetahui kemapanan calon debitur dalam
menjalankan usahanya.
3. Capacity atau kemampuan calon debitur
untuk membayar kembali kredit yang
akan diterimanya. Dalam praktik
perbankan, menentukan debitur akan
mampu atau tidak melakukan pembayaran akan dihitung berdasarkan Repayment Capacity (RPC), yaitu berdasarkan
presentase tertentu dari penghasilan
bersih debitur akan diketahui berapa
perkiraan kemampuan maksimal debitur
4.
5.
dalam membayar tagihan bank. Apabila
debitur mempunyai hutang-hutang
lainnya, akan diperhitungkan sebagai
faktor pengurang dari kemampuan debitur
untuk membayar tagihannya tersebut.
Hal seperti ini patut diperhitungkan oleh
bank dalam memutuskan untuk menyetujui atau tidak permohonan kredit
tersebut.
Condition of economic atau kondisi
ekonomi. Jika usaha debitur cenderung
labil terhadap kondisi ekonomi makro,
akan sangat berpengaruh terhadap
kesanggupan membayarnya. Misalnya,
masalah pemasaran yang meliputi perkiraan permintaan, daya beli masyarakat,
luas pasar, persaingan, dan barang
substitusi. Masalah proses produksi yang
berkaitan dengan perkembangan teknologi, ketersediaan bahan baku, keberadaan pasar modal dan pasar uang, perubahan suku bunga.
Collateral atau jaminan. Sebagai alat
pengamanan terhadap kemungkinan
tidak mampunya debitur untuk melunasi
kewajibannya.
E. Peranan Jaminan dalam Mitigasi
Risiko Kredit
Jaminan merupakan sarana kepastian bagi
kreditur sebagai alternatif terakhir untuk
kepastian kreditur dalam menarik kembali
dana yang telah disalurkan dalam bentuk
kredit, dalam hal debitur tidak mampu
memenuhi kewajibannya untuk mengembalikan dana tersebut tepat pada waktu yang
telah diperjanjikan. Sehingga dengan penyerahan jaminan oleh debitur kepada kreditur
diharapkan mampu meminimalisir risiko
kredit.
Sebagai langkah antisipatif dalam menarik kembali dana yang telah disalurkan kepada
16 Teguh Pudjo Muljono. Aplikasi Management Audit dalam Industri Perbankan. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta – Fakultas Ekonomi UGM, 1999, hlm. 248.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
117
debitur, jaminan hendaknya dipertimbangkan
dua faktor, yaitu:
1) “Secured, artinya jaminan kredit dapat
diadakan pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan
perundang-undangan. Jika di kemudian
hari terjadi wanprestasi dari debitur, maka
bank memiliki kekuatan yuridis untuk
melakukan tindakan eksekusi.
2) Marketable, artinya jaminan tersebut bila
hendak dieksekusi, dapat segera dijual
atau diuangkan untuk melunasi seluruh
kewajiban debitur.”17
Dengan mempertimbangkan kedua faktor
diatas , jaminan yang diterima oleh pihak bank
dapat meminimalisir risiko dalam penyaluran
kredit.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) memberi perlindungan bagi
kreditur yang dirumuskan dalam Pasal 1131
dan 1132 KUHPerdata.
Pasal 1131 KUHPerdata, berbunyi:
“Segala kebendaan si berhutang, baik
yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun
yang baru akan ada di kemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan.”
Pasal 1132 KUHPerdata, berbunyi:
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua benda yang
mengutangkan padanya; pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar
kecil piutang masing-masing, kecuali di
antara para berpiutang itu ada alasanalasan yang sah untuk didahulukan.”
Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata merupakan jaminan secara umum atas jaminan
yang lahir dari undang-undang. Undang-
undang memberikan perlindungan bagi
semua kreditur dalam kedudukan yang sama
atau berlaku asas paritas creditorum, di mana
pembayaran atau pelunasan hutang bepada
kreditur dilakukan secara berimbang (pondsponds gewijs). Para kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren yang bersaing dalam pemenuhan piutangnya, kecuali
apabila ada yang memberikan kedudukan
preferen (droit de preference) 18 kepada
kreditur tersebut. Hak untuk didahulukan bagi
seorang kreditur terhadap kreditur-kreditur
lainnya timbul dari hak istimewa, Gadai dan
Hipotik.
Pasal 1133 KUHPerdata:
“Hal untuk didahulukan di antara orangorang berpiutang terbit dari hak istimewa,
dari Gadai dan dari Hipotik ....”
Pasal 1134 KUHPerdata:
“Hak istimewa ialah hak yang oleh
undang-undang diberikan kepada seorang
berpiutang sehingga tingkatnya lebih
tinggi daripada orang berpiutang lainnya,
semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi
daripada hak istimewa, kecuali dalam
hal-hal di mana oleh undang-undang
ditentukan sebaliknya.”
Hak untuk didahulukan bagi seorang
kreditur dikarenakan kedudukan yang berimbang tidak memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian kreditnya. Kreditur
tidak mengetahui akan adanya krediturkreditur lainnya yang kemungkinan muncul
di kemudian hari. Makin banyak kreditur dari
debitur yang bersangkutan, akan semakin
kecil peluang bagi kreditur terhadap kemungkinan pengembalian kredit jika debitur berada
dalam keadaan insolven (tidak mampu
membayar hutang-hutangnya).
17 Johannes Ibrahim (5). Cross Default dan Cross Collateral (Dalam Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah).
Bandung: Refika Aditama, 2004, hlm. 71.
18 Sri Soedewi Masychun Sofwan. Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty, 1981, hlm. 32.
118
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan dan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan tidak menjelaskan tentang
kedudukan dari para kreditur. Ketentuanketentuan yang mengatur tentang jaminan
kredit tercantum dalam:
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 Tentang Perbankan menyebutkan
bahwa:
“Dalam memberikan kredit, Bank Umum
wajib mempunyai keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur
untuk melunasi hutangnya sesuai dengan
yang diperjanjikan.”
Dalam penjelasan Pasal 8 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan berbunyi:
“Kredit yang diberikan oleh bank
mengandung risiko, sehingga dalam
pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.
Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan
atas kemampuan dan kesanggupan
debitur untuk melunasi hutangnya sesuai
dengan yang diperjanjikan merupakan
faktor yang harus diperhatikan oleh bank.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut,
sebelum memberikan kredit, bank harus
melakukan penilaian yang seksama
terhadap watak, kemampuan, modal,
agunan dan prospek usaha debitur.
Mengingat bahwa agunan menjadi salah
satu unsur jaminan pemberian kredit,
maka apabila berdasarkan unsur-unsur
lain telah dapat diperoleh keyakinan atas
kemampuan debitur mengembalikan
hutangnya, agunan dapat hanya berupa
barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.
Tanah yang kepemilikannya didasarkan
pada hukum adat yaitu tanah yang bukti
kepemilikannya berupa girik, petuk, dan
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
lain-lain yang sejenis dapat digunakan
sebagai agunan, bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak
berkaitan langsung dengan objek yang
dibiayai, yang lazim dikenal dengan
agunan tambahan.”
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan menyebutkan bahwa:
“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, Bank
Umum wajib mempunyai keyakinan
berdasarkan analisis yang mendalam atas
itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan sesuai dengan yang diperjanjikan;
Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah,
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
Bank Indonesia.”
Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan berbunyi:
“Kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip Syariah yang diberikan oleh bank
mengandung risiko, sehingga dalam
pelaksanaannya harus memperhatikan
asas-asas perkreditan atau pembiayaan
berdasarkan prinsip Syariah yang sehat.
Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip Syariah dalam arti
keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor yang harus
diperhatikan oleh bank.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut,
sebelum memberikan kredit, bank harus
melakukan penilaian yang seksama
119
terhadap watak, kemampuan, modal,
agunan, dan prospek usaha nasabah
debitur.
Mengingat bahwa agunan sebagai salah
satu unsur pemberian kredit, maka apabila
berdasarkan unsur-unsur lain telah diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah
debitur mengembalikan utangnya,
agunan dapat hanya berupa barang,
proyek atau hak tagih yang dibiayai
dengan kredit yang bersangkutan. Tanah
yang kepemilikannya didasarkan pada
hukum adat yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lainlain yang sejenis dapat digunakan sebagai
agunan. Bank wajib meminta agunan
berupa barang yang tidak berkaitan
langsung dengan obyek yang dibiayai,
yang lazim dikenal dengan agunan
tambahan. Di samping itu, bank dalam
memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip Syariah harus pula
memperhatikan hasil Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi
perusahaan yang berskala besar dan atau
berisiko tinggi agar proyek yang dibiayai
tetap menjaga kelestarian lingkungan.”
1)
2)
Berdasarkan hal-hal tersebut:
“Jaminan utama di dalam pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip Syariah adalah keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan nasabah
debitur untuk melunasi kewajibannya
sesuai dengan yang diperjanjikan.
Sehubungan dalam pemberian kredit
yang menjadi prioritas adalah keyakinan
atas kemampuan debitur, maka bank di
dalam pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip Syariah harus menganalisis kredit secara seksama dengan
mempertimbangkan faktor-faktor: watak,
kemampuan, modal, agunan, dan
prospek usaha dari debitur.
3)
4)
5)
6)
Agunan hanya sebagai salah satu unsur
pemberian kredit, maka apabila
berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat
diperoleh keyakinan atas kemampuan
debitur mengembalikan utangnya,
agunan dapat hanya berupa barang,
proyek atau hak tagih yang dibiayai
dengan kredit yang bersangkutan.
Salah satu faktor yang harus diperhatikan
dalam pemberian kredit yang berkaitan
dengan persoalan lingkungan hidup
adalah Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan
yang berskala besar dan atau berisiko
tinggi agar proyek yang dibiayai tetap
menjaga kelestarian lingkungan.
AMDAL dipersyaratkan sehubungan
dengan kian maraknya kerusakan
lingkungan akibat pemberian kredit yang
lebih tertuju kepada laba semata-mata
dan tidak memperhatikan kerusakan
lingkungan hidup.
Agunan merupakan solusi terakhir bagi
bank, jika debitur tidak dapat menyelesaikan kredit yang diperolehnya berdasarkan kelayakan usaha atau terjadi
sebab-sebab lainnya di luar yang diperhitungkan, baik yang disebabkan kondisi
perkenomian secara makro atau kesalahan manajemen perusahaan.
Terdapat hak jaminan yang bersifat umum
dan hak jaminan yang bersifat khusus.
Yang dimaksud dengan hak jaminan yang
bersifat umum adalah hak-hak yang
dimiliki oleh masing-masing kreditur yang
tidak saling mendahului atau bersifat
sebanding di antara mereka (konkuren).
Sedangkan hak jaminan yang bersifat
khusus berupa hak yang dimiliki oleh
seorang kreditur yang mendahului
kreditur-kreditur lainnya karena ia
berkedudukan sebagai kreditur privilege
(hak preferent).”19
19 Johannes Ibrahim (6). Panduan Memiliki Rumah dengan Fasilitas KPR. Bandung: Jendela Mas Pustaka,
2009, hlm. 67-68.
120
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Menurut penulis, penyerahan collateral
atau jaminan oleh debitur kepada bank selaku
kreditur akan memberi dampak psikis pada
debitur untuk sungguh-sungguh dan taat dalam
melaksanakan kewajiban-kewajibannya
hingga kredit dinyatakan lunas.
F. Pembinaan, Bimbingan dan
Pengawasan Bank (Kreditur)
kepada Debitur
Dana yang telah disalurkan oleh Bank kepada
debitur dalam bentuk kredit akan dialokasikan
debitur untuk memenuhi kebutuhannya sesuai
dengan tujuan penggunaan kredit saat debitur
memohon kredit bank. Walaupun demikian,
menurut penulis selayaknya bank melakukan
pembinaan, bimbingan dan pengawasan
kepada debitur sejak awal kredit telah dicairkan yaitu dengan memantau kredit yang telah
dicairkan tersebut apakah telah sesuai dengan
tujuan awal penggunaan kredit saat kredit
diajukan sehingga bank akan mampu melakukan upaya-upaya antisipatif sedini mungkin
menyelamatkan kredit bank dalam hal debitur
mengalami kendala untuk memenuhi prestasinya. Dengan demikian, walaupun kredit
yang telah disalurkan dalam kondisi lancar,
bank selayaknya membina, membimbing dan
mengawasi kredit tersebut sebagai upaya
mitigasi risiko kredit. Dengan megawasi,
membimbing dan membina kredit lancar
tersebut, dengan gerak cepat bank akan segera
mengetahui kendala yang dihadapi dalam
perjalanan kredit lancar tersebut bahkan bank
akan mampu memprediksi akibat yang akan
timbul di kemudian hari. Dalam proses pembinaan, bimbingan dan pengawasan tersebut,
bank selayaknya menguasai pengetahuan
yang cukup mengenai usaha yang dibiayai
agar mampu membina, membimbing dan
mengawasi serta memberi saran dan solusi
agar debitur terlepas dari ketidakmampuan
memenuhi prestasinya kepada bank sehingga
memberi dampak positif bagi pihak bank yaitu
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
kredit tersebut dapat diselamatkan dan bank
tidak akan merugi.
G. Penutup
Dalam penyaluran kredit perbankan, bank
diharapkan mampu untuk mengantisipasi
jauh-jauh hari atas risiko kredit yaitu ketidakmampuan debitur untuk memenuhi prestasinya, antara lain dengan memperhatikan
prinsip yang lazim digunakan dalam proses
penyaluran kredit perbankan yaitu prinsip 5C
(character, capital, capacity, condition of economic, collateral) serta memberikan pembinaan, bimbingan dan pengawasan atas penggunaan kredit oleh debitur. Menurut penulis,
walaupun kredit yang disalurkan dalam
kondisi lancar, tidak berarti bank akan terlena
merasa kredit tersebut telah aman dan sehat,
tetapi sejak dini tindakan antisipatif sudah
sepatutnya dilaksanakan untuk menghindari
akibat-akibat di luar dugaan yang akan merugikan pihak bank di kemudian hari, yaitu
dengan melakukan pembinaan, bimbingan
dan pengawasan oleh pihak bank selaku
kreditur kepada debitur.
Daftar Pustaka
A. Sonny Keraf. Etika Bisnis (Tuntutan dan
Relevansinya). Yogyakarta: Kanisius,
1998.
. Pasar Bebas, Keadilan dan Peran
Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Black’s. Black’s Law Dictionary, Sixth Edition.
St. Paul Minn: West Publishing Co, 1990.
Herlien Budiono. Kumpulan Tulisan Hukum
Perdata di Bidang Kenotariatan.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007
Johannes Ibrahim. Cross Default dan Cross
Collateral (Sebagai Upaya Penyelesaian
Kredit Bermasalah). Bandung: Refika
Aditama, 2004.
. Kartu Kredit (Dilematis Antara
Kontrak dan Kejahatan). Bandung: Refika
Aditama, 2004.
121
. Panduan Memiliki Rumah dengan
Fasilitas KPR. Bandung: Jendela Mas
Pustaka, 2009.
. Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam Perjanjian Kredit Bank. Bandung:
Utomo, 2003.
Muchdarsyah Sinungan. Strategi Manajemen
Bank. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Sri Soedewi Masychun Sofwan. Hukum
Benda. Yogyakarta: Liberty, 1981.
Teguh Pudjo Muljono. Aplikasi Management
Audit dalam Industri Perbankan.
Yogyakarta: BPFE Yogyakarta – Fakultas
Ekonomi UGM, 1999.
. “Perspektif Manajemen dan
Hukum dalam Penyelesaian Kredit
Bermasalah (Non Performing Loan)”.
Jakarta: Majalah Era Hukum No.2/TH 13/
Januari 2006.
. “Prinsip Kehati-hatian (Prudential
Banking) dalam Prosedur Penyaluran
Kredit Perbankan”. Bandung: Jurnal Ilmu
Hukum Litigasi Volume 6 Nomor 3
Oktober 2005.
dan Hassanain Haykal. “Fenomena Subprime Mortgage dan Kebijakan
Pembiayaan Sekunder di Indonesia:
Wacana dan Dilema yang Patut
Diantisipasi”. Jakarta: Jurnal Hukum
Bisnis Volume 27 Nomor 3 Tahun 2008.
Peraturan-perundangan:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Internet:
http://www.bi.go.id
Lain-lain:
Hassanain Haykal. “Sistem Grameen Bank
dalam Upaya Meningkatkan Pangsa
Pasar Wanita”. Bandung: Fakultas Hukum
Universitas Kristen Maranatha, Dialogia
Iuridica, Volume 1, November 2009.
Johannes Ibrahim. “Konsumen dan Bank
(Kajian Interdisipliner Hukum dan
Ekonomi)”. Bandung: Jurnal Manajemen
Maranatha, Volume 1, Nopember 2001.
. “Kontrak dalam Perspektif Multi
Disipliner”. Jakarta: Universitas Katolik
Atmajaya, Gloria Juris, Volume 6, Nomor
2, 2006.
122
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
Petunjuk bagi Penulis
1.
Naskah belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik dengan spasi rangkap
pada kertas kuarto (A4), panjang 15-20 halaman dan diserahkan dalam bentuk naskah (hard
copy) dan CD (soft copy).
2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau asing dengan standar penggunaan bahasa Indonesia atau asing yang baik dan benar.
3. Artikel yang dimuat dalam jurnal ini meliputi tulisan tentang hukum atau disipilin lain yang
terkait baik sebagai hasil penelitian atau artikel ilmiah konseptual.
4. Artikel hasil penelitian/tesis/disertasi disajikan dengan sistematika sebagai berikut:
a. Judul
b. Nama pengarang
c. Abstrak, berisi pemadatan dan tujuan tulisan, metode penelitian dan hasil pembahasan
(50-100 kata)
d. Kata-kata kunci
e. Pendahuluan, berisi latar belakang dan rumusan masalah, tujuan penelitian.
f. metode penelitian.
g. Pembahasan
h. Kesimpulan yang didalamnya termasuk saran
i. Daftar pustaka
5. Artikel ilmiah konseptual disajikan dengan sistematika sebagai berikut:
a. Judul
b. Nama pengarang
c. Abstrak, berisi pemadatan dan tujuan tulisan, metode penelitian dan hasil pembahasan
(50-100 kata)
d. Kata-kata kunci
e. Pendahuluan, berisi latar belakang dan rumusan masalah
f. Pembahasan
g. Kesimpulan yang didalamnya termasuk saran
h. Daftar pustaka
6. Setiap kutipan haru menyebutkan sumbernya secara lengkap dan ditulis dengan system foot
note dengan pedoman sebagai berikut:
a. Lindawaty Suherman Sewu. Franchise Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum
dan Ekonomi. Bandung: 2004, hlm.29.
b. Johannes Ibrahim. “Konsep Pemikiran Komprehensif Bagi Pemeriksaan Secara Hukum
Aset Kredit Bank Beku Operasi (BBO) dan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU)”. Artikel
dalam Era Hukum No.4 Tahun V/ 1999, hlm.288.
c. Johannes Ibrahim. “Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking) dan Pranata Hukum Jaminan
Dalam Upaya Pembiayaan Apartemen” Makalah pada Seminar Nasional 2009 . Bandung:
Universitas Kristen Maranatha, Jurusan Teknik Sipil, 2009, hlm.184.
7. Daftar pustaka disajikan mengikuti tata cara seperti contoh di bawah ini (diurut secara
alfabetis dan kronologis.
a. Lindawaty Suherman Sewu. Franchise Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum
dan Ekonomi. Bandung: 2004.
b. Johannes Ibrahim. “Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking) dan Pranata Hukum Jaminan
Dalam Upaya Pembiayaan Apartemen” Makalah pada Seminar Nasional 2009. Bandung:
Universitas Kristen Maranatha, Jurusan Teknik Sipil, 2009.
8. Melampirkan biodata penulis secukupnya dan foto copy bukti diri.
9. Artikel yang tidak dimuat dikirimkan kembali kepada pengirimnya apabila disertai dengan
perangko balasan yang cukup dan alamat yang jelas.
10. Artikel yang dimuat tidak dipungut biaya dan tidak mendapatkan honor penulisan, hanya
memperoleh 3 (tiga) eksemplar jurnal “Dialogia Iuridika”.
Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1]
123
Download