Catatan Pinggir IKLIM INVESTASI INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH Asril Sitompul * Beberapa dekade yang lalu, Indonesia telah menikmati masa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang didorong oleh ekspansi besarbesaran di bidang industri manufaktur dan digerakkan oleh investasi yang kuat, akan tetapi krisis finansial yang terjadi tahun 19971998 membuat sistem finansial dan sistem pengelolaan (governance) domestik menjadi lemah, dan menghambat investasi serta pertumbuhan sektor swasta.1 Investasi merupakan faktor penting dalam perekonomian, dan investasi berhubungan erat dengan kepercayaan investor, semakin tinggi tingkat kepercayaan investor semakin tinggi pula minat untuk berinvestasi. Meskipun peringkat utang Indonesia pada awal tahun ini dinaikkan oleh lembaga pemeringkat internasional,2 namun hal tersebut tidak secara otomatis dapat menarik para investor untuk melakukan investasi di Indonesia, masih terdapat berbagai hambatan harus segera * 1 2 3 4 diatasi. Hambatan di bidang hukum, antara lain adalah masalah kepastian hukum, masalah good corporate governance, korupsi yang merajalela,3 dan juga masalah-masalah dalam implementasi otonomi daerah. Adanya peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang jelas dan konsisten sangat penting dalam upaya untuk menarik investor4 dan meningkatkan kepercayaan investor, karena dalam bisnis terdapat suatu adagium:”there should be no surprise in business,” artinya tidak boleh ada keputusan pemerintah yang dikeluarkan secara tiba-tiba dan tidak boleh ada perubahan perundangundangan yang tidak terprediksi oleh pelaku bisnis. Korupsi sangat mempengaruhi kepercayaan investor, masalah korupsi ini telah menjadi sorotan di tingkat internasional, Bank Dunia telah mengambil peran utama sebagai koordinator dalam memerangi korupsi di Sarjana Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakat (S.H), UISU-Medan, Lex Legibus Magister (LL.M), Southern Methodist University-Dallas, Texas-USA, Doktor Ilmu Hukum UNPAD Bandung. Asian Development Bank. “Improving the Investment Climate in Indonesia”. Joint Asian Development Bank-World Bank Report, May 2005. Pada bulan Januari 2011 Moody’s Investor Service menaikkan peringkat surat utang Indonesia dari Ba2 menjadi Ba1, satu peringkat di bawah “investment grade”. Perbaikan peringkat ini karena Moody’s menilai ada perbaikan dari sisi surat utang pemerintah, membaiknya prospek Penanaman Modal Asing (PMA) dan adanya cadangan devisa yang cukup besar. Asian Development Bank. Op.cit., menyatakan: “Macroeconomic instability, economic and regulatory policy uncertainty, and corruption are the most severe business obstacles.” Tidak mengherankan kalau di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, kepastian hukum diletakkan sebagai asas yang pertama dalam penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 1 dunia.5 Di Indonesia pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas utama pemerintah, dan mulai tahun 2003 KPK telah melaksanakan tugasnya, Indonesia juga telah bekerjasama dengan badan-badan dunia seperti OECD, dan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi telah disesuaikan dengan Konvensi PBB,6 namun sampai saat ini korupsi masih merajalela. Perundang-undangan tentang otonomi daerah mengatur pemanfaatan sumber daya alam dan pembagian hasil yang diperoleh dari pemanfaatan sumber daya alam yang ada di daerah,7 namun pedoman penggunaan, supervisi, monitoring, dan evaluasi atas dana bagi hasil, termasuk dana bagi hasil sumber daya alam, tetap berada dalam kewenangan Pemerintah Pusat.8 Demikian pula ketentuan mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang meliputi perhitungan bagian masing-masing daerah atas dana bagi hasil sumber daya alam, yang di atur dalam perundang-undangan dapat pula memicu ketidaksesuaian antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Karena tidak adanya petunjuk pelaksanaan yang jelas, sebagian daerah menyambut era otonomi ini dengan prinsip oportunitas dan dengan tindakan-tindakan yang bersifat sementara. Pemerintahan di beberapa daerah melakukan kegiatan yang agresif sedangkan yang lainnya ada yang tidak berani bertindak, sehingga terjadi kesenjangan antara daerah yang satu dengan yang lainnya.9 Di samping itu, turunnya kredibilitas lembaga penegak hukum, lemahnya penegakan hukum di daerah dan meningkatnya korupsi yang terjadi di daerah juga menjadi hambatan dalam meningkatkan iklim investasi yang baik. Masalah otonomi daerah ini juga menimbulkan kerancuan hukum karena kurangnya kapasitas dan kesadaran di tingkat daerah dan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Meski berbagai upaya telah dilakukan, dan pemerintah pusat telah berupaya untuk memperjelas kewenangan pemerintah daerah dan memberi petunjuk pelaksanaannya, 10 namun hambatanhambatan tersebut belum dapat dihilangkan. Meskipun hambatan-hambatan tersebut merupakan masalah domestik, namun harus diingat bahwa investor yang akan masuk ke Indonesia tentunya telah mempelajari terlebih dahulu tentang Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka terkadang lebih mengenal Indonesia daripada pelaku bisnis Indonesia sendiri. John Perkins mengatakan bahwa: “the more you know about a country before you get there, the easier your job will be”.11 Dengan demikian, untuk dapat menarik investor maka hambatan-hambatan tersebut harus segera dihilangkan. Pemberantasan korupsi, penegakan hukum, peningkatan kepastian hukum, dan harmonisasi pemerintah pusat dan daerah harus segera dilaksanakan. Bertrand de Speville. Overcoming Corruption, the Essentials. (Kuala Lumpur: Research for Social Advancement-REFSA, 2010), hlm. 6. 6 Organisation for Economic Cooperation and Development. OECD Investment Policy Reviews: Indonesia 2010. 7 Pasal 160 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 8 Pasal 163 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 9 USAID. Good Governance Brief. The Role of Local Governments in Promoting Decentralized Economic Governance in Indonesia. February, 2009. 10 Organisation for Economic Cooperation and Development, ibid. 11 John Perkins. Confession of an Economic Hit Man. (San Francisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc, 2004), hlm. 20. 5 2 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] ANAK YANG DILAHIRKAN DILUAR PERKAWINAN (Dihubungkan dengan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan jo Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) Herlien Budiono Abstract Marriage as the foundation of a family have to continue the lineage and family formation. In reality the situation is not always the case. Moral values are very hard applied in public life, even sometimes not put mercy associated with those who do not follow the existing norms in society. Terms such as “illegitimate child” and “illegitimate child” we often hear as well as women who give birth to children is considered a disgrace to his family. Children born outside of lawful marriage to be “less valued” in the eyes of the people who uphold the morals of marriage. In the field of law status of children born outside marriage also distinguished by the children who were born within a legitimate marriage. Determining the position of a child is important to determine the rights and forms of representation. A. Pendahuluan Perkawinan adalah suatu lembaga dan di dalam perkawinan tersebut seorang anak dilahirkan, dipelihara, dan dididik. Perkawinan merupakan dasar untuk melanjutkan keturunan dan pembentukan keluarga. Di dalam kenyataannya keadaan tidaklah selalu demikian. Nilai-nilai moral sangat keras diterapkan di dalam kehidupan bermasyarakat, malahan kadang tidak menaruh belas kasian berkaitan dengan mereka yang tidak mengikuti normanorma yang ada di dalam masyarakat. Istilah seperti “anak haram” dan “anak tidak sah” sering kita dengar serta perempuan yang melahirkan anak-anak tersebut dianggap merupakan aib bagi keluarganya. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menjadi “kurang dihargai” di mata masyarakat yang memegang teguh moral mengenai perkawinan. Di bidang hukum pun kedudukan dari anak-anak yang lahir di luar perkawinan dibedakan dengan anak-anak yang dilahirkan di dalam perkawinan yang sah. 1 Penentuan kedudukan seorang anak penting untuk menentukan hak-hak serta bentuk perwakilannya. B. Lembaga Perkawinan dan Keturunan Stelsel kekerabatan adalah suatu hubungan menyeluruh mendasarkan pada prinsip-prinsip sosial-kebudayaan dan aturan-aturan di mana orang memberi arti mengenai hubungan sanak saudara (famili), perkawinan dan keluarga1. Pada asasnya, perkawinan dipandang sebagai ikatan seumur hidup antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Walaupun di dalam praktek mengalami perubahan pandangan sesuai dengan perubahan nilai-nilai dan moral yang ada di dalam masyarakat, tetapi perkawinan masih dianggap berfungsi sebagai pengatur hubungan seksual di antara suami-istri dan sekaligus penerus keturunan. Hukum keluarga mengatur hubungan antara sesama anggota sanak keluarga, sanak keluarga dengan pihak ketiga dan antara sanak A.E.Henstra, Van afstammingsrecht naar ouderschapsrecht, Boom Juridische Uitgevers 2002, hlm. 3. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 3 keluarga dengan pemerintah. Salah satu fungsi yang penting di dalam hukum keluarga adalah penentuan hubungan yuridis mengenai orangtua, keluarga, dan sanak-keluarga. Peraturan mengenai keturunan adalah bidang hukum yang dengan istilah-istilah umum mendefinisikan apa yang dimaksud dengan orangtua (ouderschap)2, hubungan kebapakan (vaderschap) dan hubungan keibuan (moederschap) serta siapa yang berhak dan berkewajiban untuk menjalankan kekuasaan orangtua3. Menurut Henstra, hukum keluarga merupakan bidang hukum yang sangat statis dibandingkan dengan bidang hukum lainnya4. Anak sebagai generasi penerus turunan menjadi dambaan atau idaman suatu perkawinan dan banyak rumah tangga suami istri. Keturunan (afstamming) adalah hubungan darah antara anak-anak dan orangtuanya. Setiap anak yang dilahirkan dalam suatu atau sebagai akibat perkawinan yang sah adalah anak sah (Pasal 42 UUPerk)5. Undang-undang mengenal anak-anak sah (wettige kinderen), anak-anak tidak sah (onwettige kinderen), anak luar kawin (natuurlijke kinderen). Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat suatu hubungan di luar perkawinan, yakni bapak ibunya (biologis) tidak terikat dalam suatu perkawinan. Selain anak-anak tersebut dikenal pula anak adopsi (anak angkat) yang diatur dengan ketentuan khusus. Hukum keluarga diatur sebagian di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUPerk) dan sebagian lagi masih dimuat di dalam buku kesatu, “Tentang Orang” di dalam Kitab 2 Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd) bagi mereka yang tunduk pada Hukum Perdata Barat dan dan bagi mereka yang tidak tunduk pada hukum perdata barat, berlaku Hukum Adat serta Hukum Islam. C. Perundang-undangan di Bidang Hukum Keluarga Di masa pemerintahan Hindia Belanda dan berdasarkan politik hukum pada masa itu, penggolongan penduduk melalui Indische Staatsregeling (IS)6, dalam Pasal 131 dan kemudian Pasal 163 secara normatif eksplisit mengatur tentang adanya pembagian 3 (tiga) golongan penduduk, yaitu golongan Bumiputera/Pribumi, golongan Eropa dan golongan Timur Asing. Pembedaan golongan tersebut membawa pula pembedaan dalam hukum keperdataan masing-masing golongan tersebut. Berdasarkan Pasal II Undang-Undang Dasar 1945 bagian Aturan Peralihan, maka segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang ini. Melalui Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember 1966, telah ditetapkan penghapusan perbedaan golongan penduduk di Indonesia dengan pertimbangan bahwa demi tercapainya pembinaan kesatuan bangsa Indonesia yang bulat dan homogen, serta adanya perasaan persamaan nasib di antara sesama bangsa Indonesia. Beberapa bagian dari Hukum Perdata (di bidang hukum keluarga) sekarang ini telah diadakan perubahan dan dinyatakan berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia, di antaranya UUPerk dan Undang- 6 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: “Orangtua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, ayah dan/atau ibu angkat”. KUHPerd (BW) mengenal kekuasaan bapak (vaderlijke macht) diatur di dalam Buku Kesatu, Bab Keduabelas, “Tentang Kebapaan dan keturunan anak-anak”. Dengan berlakunya Burgerlijke Kinderwetgeving (S. 1927 – 31 jis 390, 421), maka lembaga kekuasaan orangtua diperkenalkan di Indonesia dan semua ketentuan umum yang menggunakan istilah “de vaderlijke magt” (kekuasaan bapak) harus diartikan dengan “de ouderlijke magt” (kekuasaan orangtua). A.E. Henstra, Van afstammingsrecht naar ouderschapsrecht, Boom Juridische Uitgevers 2002, hlm. 9. Demikian pula Pasal 250 KUHPerd: “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”. Indische Staatsregeling, Wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch-Indie, S. 1855-2 jo.1. 4 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 3 4 5 Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UUAdmKepend) serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPerlind). Berdasarkan ketentuan Pasal 66 UUPerk menyebutkan, bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan undang-undang ini (UUPerk), maka dengan berlakunya UUPerk ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan-peraturan lama7 dan peraturanperaturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undangundang ini, dinyatakan tidak berlaku. Untuk sebagian hukum keluarga yang belum mendapat pengaturan dalam undang-undang khusus (UUPerk), maka KUHPerd masih diberlakukan yaitu bagi golongan Eropa dan Timur Asing Tionghoa, Hukum Adat dan/atau Hukum Islam bagi golongan Bumiputra/ Pribumi. Dengan demikian, walaupun penggolongan penduduk telah dihapuskan oleh Instruksi Presidium Kabinet tersebut, tetapi di dalam prakteknya “penggolongan penduduk” untuk bidang hukum tertentu tidak dapat dihindari. Instruksi Presidium Kabinet tersebut juga menyatakan, bahwa penghapusan golongan penduduk tidak mengurangi berlakunya ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan, warisan dan ketentuan-ketentuan hukum perdata lainnya. Dengan kata lain, dari Pasal 66 UUPerk jo. Instruksi Presidium Kabinet tersebut dapat disimpulkan, bahwa mengenai sebagian ketentuan hukum perdata di bidang hukum keluarga termasuk hukum perkawinan (kecuali telah diatur dalam UUPerk), dan pewarisan masih diberlakukan Hukum Adat, Hukum Islam dan KUHPerd bagi sebagian penduduk Indonesia. 7 8 D. Perundang-undangan di Bidang Pencatatan Sipil Pencatatan Sipil adalah suatu badan yang diselenggarakan oleh pemerintah yang bertugas untuk membukukan selengkap-lengkapnya tentang kepribadian orang, sehingga memberi kepastian terhadap segala kenyataan yang berguna bagi pencatatan jiwa dari setiap orang yang meliputi perkawinan, kelahiran, pengakuan anak, perceraian dan kematian 8. Pencatatan sipil tersebut sekarang dimasukkan di dalam apa yang dikenal sebagai Administrasi Kependudukan yang merupakan rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penertiban dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain ( Pasal 1 angka [1] UUAdmKepend). Sebelum berlakunya UUAdmKepend yang berlaku uniform bagi seluruh penduduk di Indonesia, terdapat bermacam-macam ketentuan pencatatan sipil yang berlaku bagi bermacam-macam golongan penduduk yakni: 1. Peraturan Pencatatan Sipil bagi golongan Eropa: Reglement op het houden der Registers van den Burgelijken Stand voor Europeanen, Stb. 1849 No. 25 jo. Stb. 1946 No. 136; 2. Peraturan Pencatatan Sipil bagi golongan Tionghoa: Reglement op het houden der Registers van den Burgerlijken Stand voor Chineezen (Peraturan tentang Penyelenggaraan Daftar-daftar Catatan Sipil untuk Golongan Tionghoa) Stb. 1917 No. 130 jo.1939 No. 288 terakhir diubah dengan Stb. 1946 no. 137 (Regeling betreffende de inschrijving in de registers van den Burgerlijken Stand van geboorten Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerd), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers Java Minahasa en Amboina (S. 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken (S. 1898 No. 158). C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, Suplemen Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, Cetakan Pertama, Jakarta 2001, hlm. 1. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 5 3. 4. 5. 6. 7. en sterfgevallen (Peraturan Pencatatan dalam Daftar Catatan Sipil Mengenai Kelahiran dan Kematian); Peraturan Pencatatan Sipil bagi golongan Indonesia: Reglement op het houden der Registers van den Burgerlijken Stand voor eenige groepen van de niet tot de onderhoorigen van een Zelfbestuur behorende Indonesische Bevolking van Java en Madoera (Peraturan tentang Penyelenggaraan Daftar-daftar Catatan Sipil untuk Beberapa Golongan Penduduk Indonesia yang Tidak Termasuk dalam Kaula-kaula Daerah Swapraja di Jawa dan Madura, Stb. 1920 No. 751 jo. Stb. 1927 No. 564. Peraturan Pencatatan Sipil bagi golongan Kristen Indonesia: Reglement op het houden der Registers van den Burgerlijke Stand Christen-Indonesiers op Java, Madoera, Minahasa en Amboina Peraturan tentang Penyelenggaraan Daftardaftar Catatan Sipil untuk bangsa Indonesia Kristen di Jawa, Madura, Minahasa dan Ambon), Stb. 1933 No. 75 jo. Stb. 1936 No. 607 terakhir diubah dengan Stb.1939 No. 288. Undang-Undang No. 4 Tahun 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga (LN 1961 No. 15, TLN No. 2154); Penataan Penyelenggaraan Catatan Sipil, Keputusan Presiden RI No. 12 Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelengaraan Catatan Sipil; Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 54 Tahun 1999. Sebenarnya UUAdmKepend adalah undang-undang yang digolongkan pada hukum aministrasi negara, tetapi di dalamnya mengandung substansi yang berkaitan dengan hukum materiil, khususnya yang berkaitan dengan hukum keluarga. 6 E. Kedudukan Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan 1. Anak Sah Keturunan menimbulkan pertalian keluarga. Pertalian keluarga adalah suatu hubungan antara orang-orang yang mempunyai bapak atau ibu yang sama. Pertalian keluarga dapat pula terjadi karena pengakuan, pengesahan atau pengangkatan anak (adopsi). Dari kata “keturunan” berarti adanya hubungan darah dari seseorang karena kelahiran dan menimbulkan hubungan pada derajad pertama. Ada tiga cara seorang anak memperoleh kedudukan sebagai anak sah, karena: a. kelahiran, dengan pengertian bahwa kelahiran anak tersebut harus terjadi sepanjang perkawinan sah; b. pengesahan (wettiging) atau c. adopsi (pengangkatan anak). UUPerk dan Peraturan Pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (PP 9/1975) yang berlaku sekarang merupakan hukum positif kita. Khusus mengenai kedudukan anak di atur dalam Bab IX Pasalpasal 42, 43 dan 44 UUPerk, sedangkan PP 9/ 1975 sama sekali tidak mengatur mengenai kedudukan anak. Ketentuan Pasal 42 UUPerk: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan sah.” Dalam penjelasannya dinyatakan cukup jelas oleh pembuat undang-undang. Pada prinsipnya seorang anak adalah anak sah jika dilahirkan atau dibenihkan dalam suatu perkawinan. Ada kemungkinan yaitu orang-orang tertentu yaitu suami (Pasal 251254 KUHPerd) dan dalam hal tertentu dapat memungkiri keabsahan seorang anak yang lahir dari suatu perkawinan karena: tidak mungkin terjadinya hubungan kelamin dengan ibu dari anak itu antara 300 hari sampai 180 hari sebelum tanggal kelahiran anak; Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] - - - adanya zinah di pihak isteri dan lahirnya anak disembunyikan kepada suami (Pasal 254 KUHPerd); lahirnya anak 300 hari setelah keputusan hakim atas adanya pisah meja dan tempat tidur mempunyai kekuatan hukum (Pasal 254 KUHPerd); atau lahirnya anak sebelum lewat 180 hari setelah pernikahan (Pasal 251 KUHPerd). Penyangkalan terhadap seorang anak dikenal pula di dalam UUPerk, yang diatur di dalam ketentuan Pasal 44 UUPerk: “(1)Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzinah dan anak itu akibat dari pada perzinahan tersebut; (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.” Dalam penjelasannya pun dinyatakan cukup jelas oleh pembuat undang-undang. Menurut hukum Islam, anak sah dilahirkan sekurang-kurangnya enam bulan (177 hari) sejak perkawinan orangtuanya, tidak peduli apakah anak itu lahir sewaktu orangnya masih terikat perkawinan atau sudah berpisah karena meninggalnya si suami atau karena perceraian di masa hidupnya. Dalam hal mana iddah bagi si istri adalah selama masih mengandung anaknya ditambah 40 hari sesudah lahirnya, jika anak itu lahir sebelum genap jangka waktu 177 hari, maka anak itu hanya sah bagi ibunya, demikian Hazairin 9. Bukti keturunan sah seorang anak dapat digunakan: Akta kelahiran yang dibukukan dalam register Kantor Catatan Sipil (Pasal 261 ayat 1 KUHPerd) yang dalam hal tak adanya akta demikian maka, jika anak - anak itu terus-menerus menikmati kedudukan sebagai anak-anak yang sah, kedudukan ini adalah bukti yang cukup (Pasal 261 ayat 2 KUHPerd); Kedudukan sebagai anak sah yang dinikmati anak dapat dibuktikan, dengan peristiwa-peristiwa baik dalam keseluruhannya, maupun masing-masing, memperlihatkan suatu pertalian karena kelahiran, dan karena perkawinan, antara seorang tertentu dan keturunan yang harus dibuktikan, antara lain bahwa: a. Orang itu selalu memakai nama si bapak yang telah menurunkannya; b. Bapak itu selalu memperlakukan dia sebagai anaknya dan telah mengatur pendidikan, pemeliharaan dan penghidupannya; c. Masyarakat selalu mengakui dia sebagai anak si bapak (Pasal 262 KUHPerd). Adopsi tidak dikenal oleh KUHPerd meskipun Code Civil (Perancis) yang merupakan sumber dari Burgerlijk Wetboek (BW Nederland) mengenalnya. Hal tersebut disebabkan karena pada asasnya kesadaran hukum dari rakyat Belanda pada waktu berlakunya BW, anak harus keturunan sah (darah). Baru pada tahun 1956 dengan BW (baru) dikenal adopsi dengan alasan memberikan pemeliharaan kepada anak-anak yang tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya kurang mampu10. Dengan Stb.1997772 di Nederland diundangkan hak keturunan (afstammingsrecht) dan ketentuan mengenai adopsi yang baru11. Di Indonesia dikenal Stb.1917 – 129 yang berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa yang asal mulanya hanya mengenal adopsi anak laki-laki, tetapi sekarang oleh yurisprudensi sudah dibolehkan juga pengangkatan Sebagaimana dikutip oleh Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Persepektif Hukum Perdata Barat, BW, Hukum Islam , dan Hukum Adat, Edisi revisi,Sinar Grafika2002, hlm. 42 10 R. Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, cetakan kesepuluh, Pradnya Paramita, Jakarta 1990, hlm. 21. 11 J.N.E. Plasschaert, Afstamming en naam, Elsevier bedrijfsinformatie bv, ’s-Gravenhage 1999, hlm. 13. 9 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 7 anak perempuan12. Beberapa peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pengangkatan anak adalah sebagai berikut: Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran No. 2 Tahun 1979 Mengenai Pengangkatan anak, Keputusan Menteri Sosial nomor 41/HUK/ KEP/VII/1984, Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Hukum Islam tidak mengenal adopsi (pengangkatan anak), sedangkan hukum adat mengenal pengangkatan anak yang pada umumnya, dengan diangkatnya seorang anak, hubungan hukum dengan keluarganya yang lama tidak terputus, kecuali anara lain menurut hukum adat di Bali, pengangkatan anak sentana. 2. Anak Tidak Sah Anak tidak sah adalah anak yang telah lahir terlebih dahulu sebelum orang tua biologisnya melangsungkan perkawinan atau memang kedua orang tua biologisnya yang masingmasing tidak dalam ikatan perkawinan tidak berniat untuk menikah. Timbul sekarang persoalan, bagaimana kedudukan anak tersebut yang dilahirkan sebelum perkawinan dilangsungkan atau anak tersebut dilahirkan tidak dalam suatu perkawinan yang sah. Pada umumnya anak tidak sah atau anak alam (natuurlijk kind) adalah anak yang lahir atau dibenihkan diluar perkawinan. Mereka dibagi dalam dua golongan: a. anak-anak luar kawin dalam arti luas, yaitu semua anak yang lahir tanpa perka- b. winan orangtuanya; anak luar kawin dalam arti sempit, (yaitu anak alam dalam arti luas), kecuali anakanak zinah (overspelige kinderen) dan anak-anak sumbang (bloedschennige kinderen). Ketentuan Pasal 43 UUPerk berbunyi: “(1) Anak yang di lahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan di atur dalam Peraturan Pemerintah.” Dalam penjelasannya dinyatakan cukup jelas oleh pembuat undang-undang dan dalam hal adanya anak yang dilahirkan di luar perkawinan, UUPerk tidak menjelaskan bagaimana hubungan hukum antara ayah dengan anak luar kawin tersebut. Wiryono Prodjodikoro13 mengatakan, apabila seorang anak dilahirkan seorang istri, tetapi suaminya mempunyai keyakinan bahwa anak yang dilahirkan itu adalah hasil hubungan dengan laki-laki lain (pihak ketiga), maka suami dapat memilih salah satu dari: ia diam saja, tidak menyatakan penyangkalan, maka anak yang dilahirkan itu adalah anak sah dari suami-istri itu; ia dapat memungkiri anak tersebut sebagai anaknya, tetapi harus dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzinah dengan laki-laki lain. Dalam hal memungkiri sahnya seorang anak, segala ketentuan di dalam hukum perkawinan, baik hukum Islam, KUPerd maupun UUPerk memberikan kemungkinan kepada seorang suami untuk memungkiri sahnya seorang anak yang dikandung dan dilahirkan oleh istrinya. 12 Baca lebih lanjut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran No. 2 Tahun 1979 Mengenai Pengangkatan anak, Keputusan Menteri Sosial nomor 41/HUK/ KEP/VII/1984, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. 13 Sebagaimana dikutip Soedharyo Soimin, op.cit., hlm. 42; (Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia, hlm. 32). 8 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Menurut sistem hukum perdata barat, jika adanya anak luar kawin tersebut tidak diakui oleh bapaknya, maka kedudukannya tetap sebagai anak luar kawin. Hukum adat dipelbagai daerah tidak mempunyai pandangan yang sama terhadap anak-anak luar kawin, tetapi pada dasarnya hal itu tercela dan hukum adat mempunyai pelbagai cara untuk mengatasi hal itu. Di antaranya, lembaga kawin paksa (di Sumatra dan Bali), apabila seorang istri melahirkan anak sebagai hubungan gelap dengan seorang lakilaki bukan suaminya, maka si suami menjadi ayah dari anak yang dilahirkan tadi, kecuali apabila suami berdasar alasan-alasan yang dapat diterima oleh masyarakat hukum adat, menolaknya14. Menurut hukum Islam, anak luar kawin tidak dapat diakui maupun disahkan oleh bapaknya (bapak biologisnya). Anak-anak tersebut hanya mempunyai hubungan dengan ibunya15. Bagi mereka yang tidak dilarang melakukan pengakuan anak, diperlukan tindakan hukum tertentu, yakni pengakuan anak sehingga mempunyai hubungan perdata dengan bapaknya. Apabila kemudian bapak ibu anak tersebut ternyata melangsungkan perkawinan mereka dan ingin agar anak tersebut secara yuridis (de jure) menjadi anak sah dalam perkawinan, maka mereka harus melakukan pengesahan anaknya. UUAdmKepend mengatur lebih lanjut mengenai “Pencatatan Pengakuan Anak” (Pasal 49 UUAdmKepend) dan “Pencatatan Pengesahan Anak” (Pasal 50 UUAdmKepend). F. Pengakuan Anak dan Pengesahan Anak Ketentuan pengakuan dan pengesahan anak tidak berlaku bagi mereka yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak dan/ 14 15 16 17 atau pengesahan anak yang lahir di luar hubungan perkawinan yang sah (Pasal 49 ayat (2) dan 50 ayat (2) UUAdmKepend). 1. Pengakuan Anak Pengakuan anak dalam arti formil adalah perbuatan hukum sesuai dengan bentuk yang ditentukan undang-undang yakni tindakan dari seorang laki-laki yang mengakui bahwa seorang anak adalah anaknya16. Pengakuan anak dalam arti materiil adalah suatu tindakan hukum yang mengakui adanya hubungan kebapakan sehingga menimbulkan hubungan keluarga di antara anak dan orang yang mengakui anak tersebut. Pada asasnya menurut hukum, kebapaan mengandung muatan yang bersifat teknis yuridis. Seorang ayah dari seorang anak adalah suami dari ibu anak tersebut. Ia dianggap sebagai “penyebab” atau ayah biologis (verwekker) lahirnya anak tersebut. Demikian halnya dengan pengakuan anak yang bertujuan timbulnya hubungan yuridis antara ayah-anak; antara orang yang mengakui dengan anak yang diakui. Pada suatu pengakuan ada anggapan bahwa orang yang mengakui seorang anak adalah pula ayah biologis dari anak tersebut17. Asumsi bahwa orang yang mengakui seorang anak adalah pula ayah biologisnya terbukti dengan adanya: hak untuk menyangkal hubungan kebapaan (vaderschap); pembatalan suatu pengakuan; penentuan hubungan kebapaan (vaderschap). Undang-undang mengenal tiga bentuk pengakuan anak (Pasal 281 ayat 1 KUHPerd) yaitu dilakukan: pada akta kelahirannya; pada waktu perkawinan berlangsung; dan dapat dilakukan dengan akta otentik. Soedharyo Soimin, op.cit., hlm. 39. Soedharyo Soimin, ibid. C. Asser- J.de Boer, Personen – en familierecht, zestiende druk, Kluwer-Deventer 2002, hlm. 513. J.N.E. Plasschaert, op.cit., hlm. 16. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 9 Ayah dan ibu biologis tidak berniat untuk menikah namun ayah anak tersebut bermaksud untuk mengakui anak yang dilahirkan diluar perkawinan sebagai anaknya sehingga ada hubungan perdata antara ayah dan ibu dengan anak. Pengakuan anak dilakukan pada akta kelahirannya. Pengakuan anak dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil dan dibukukan dalam register kelahiran menurut penanggalannya dan dicatat dalam akta kelahiran anak tersebut (Pasal 281 ayat (2) KUHPerd). Anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan diikuti dengan perkawinan antara bapak dan ibu biologisnya, maka pada saat tersebut mereka dapat mengakui anak tersebut yang menimbulkan hubungan perdata dengan anak tersebut (Pasal 281 ayat (1) KUHPerd). Jika pengakuan anak dilakukan dengan akta otentik lain, maka masing-masing yang berkepentingan berhak menuntut pencatatan pengakuan itu dalam akta kelahiran anak. Pengakuan anak dapat dilakukan sebelum perkawinan atau sepanjang perkawinan yang harus dicatat dalam akta kelahiran anak tersebut. Kelalaian mencatatkan pengakuan itu tidak boleh dipersalahkan kepada anak yang diakui, untuk mempertengkarkan kedudukan yang diperolehnya (Pasal 281 ayat 2 dan ayat 3 KUHPerd). Pengakuan anak demikian pula pengesahan anak jelas dari halhal yang disebutkan di atas, tidak atau belum ada pengaturannya baik di dalam UUPerk maupun PP 9/1975, setidaknya Peraturan Pemerintah yang dijanjikan dalam Pasal 43 ayat (2) UUPerk tersebut belum ada (mengenai pengakuan anak). Keadaan bahwa pengakuan anak harus dilakukan oleh ayah biologisnya kini di Nederland telah berubah dan tidak menjadi soal apakah orang yang mengakui anak tersebut adalah ayah biologisnya18. Pengakuan anak merupakan suatu tindakan hukum dan bukan tindakan yang menyatakan suatu kebenaran (erkenning is een rechtshandeling en geen waarheidshandeling). Alasan yang dikemukakan oleh pembuat undang-undang adalah demi kepentingan anak agar memberikan kehidupan di dalam suatu keluarga, walaupun kadang bukan keluarga dalam arti traditional, sekurangnya memberikan perlindungan yuridis yang layak untuk seorang anak19. Selanjutnya menurut Asser-De Boer, keadaan bahwa pengakuan anak tidak harus ayah biologisnya berubah dengan adanya putusan HR 23 September 1943, NJ 1943. Dimungkinkan bahwa orang yang mengakui menyatakan bahwa ia bukanlah ayah biologis dari anak yang diakuinya tersebut. Pengakuan anak berarti adanya penerimaan hubungan kebapakan (dalam arti formil) sehingga sumber hubungan keluarga timbul bukan karena hubungan biologis tetapi adanya tindakan (hukum) pengakuan tersebut. Pengakuan anak tidak berlaku surut sejak kelahiran anak, tetapi mengakibatkan diantaranya kewajiban pemeliharaan terhadap anak, penggunaan nama bapak, izin perkawinan dan pewarisan. a. Sebelum Berlakunya UUAdmKepend Mengacu pada ketentuan Pasal 66 UUPerk yang menyatakan, bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan sejauh telah diatur dalam UUPerk apabila ada halhal yang belum diatur dalam UUPerk, maka untuk hal-hal tersebut berlaku peraturan perundang-undangan yang lama. Menafsirkan ketentuan Pasal 66 UUPerk pada bagian anak kalimat: “... sejauh telah diatur dalam UndangUndang ini”, dalam arti bahwa apabila ada hal-hal yang belum diatur dalam UUPerk ini, maka untuk hal-hal tersebut berlaku peraturan perundang-undangan yang lama. Dengan demikan, masalah anak atau anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah merupakan hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan, yang ternyata belum diatur dalam 18 C. Asser- J.de Boer, op.cit., hlm. 513. 19 J.N.E. Plasschaert, op.cit., hlm. 13. 10 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] UUPerk. Dengan kata lain, perundangundangan yang lama adalah KUHPerd, Ordonansi, Hukum Adat dan Hukum Islam. Bagi mereka yang tunduk pada KUHPerd dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (OrdIndonKris - Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers Java Minahasa en Amboina (Stb. 1933 No.74 jo. S 1936 No. 607) ternyata ada ketentuan yang mengaturnya, sedangkan Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken (Stb. 1898 No. 158) tidak mengaturnya sama sekali. Ketentuan Pasal 272 KUHPerd menyatakan, bahwa: “Kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zinah, atau dalam sumbang, tiaptiap anak yang diperbuahkan diluar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya, akan menjadi sah, apabila kedua orangtua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketenuan undang-undang atau, apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri.” Mengingat belum adanya Peraturan Presiden tersebut, maka sesuai ketentuan Pasal 66 UUPerk, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang belum diatur dalam UUPerk, apabila ada hal-hal yang belum diatur, berlaku perundangudnangan yang lama. Ketentuan Pasal 281 ayat (1) KUHPerd menyebutkan, bahwa pengakuan anak dapat dilakukan dalam akta kelahiran anak atau pada waktu perkawinan berlangsung, dapat dilakukan dengan akta otentik. Pengakuan anak dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil dan dibukukan dalam register kelahiran menurut hari penanggalannya dan harus dicatat dalam jihat akta kelahiran. Pengaturan lebih lanjut mengenai ayah yang hendak mengakui anaknya harus telah berumur 19 (sembilan belas) tahun dan pengakuan yang dilakukannya bukan akibat adanya paksaan, kekhilafan, tipuan atau bukukan (Pasal 282 ayat (1) KUHPerd). Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Dalam hal suami-istri sebelum atau tatkala berkawin telah melalaikan mengakui anak, maka bagi mereka yang tunduk pada KUHPerd dan OrdIndonKris sudah ada pengaturan mengenai pengakuan dan pengesahan anak luar kawin dengan berpedoman pada Pasal 274 KUHPerd, dan Pasal 47 ayat (3) OrdIndonKris. Pelaksanaannya adalah masih ada kaitannya dengan masalah perbaikan akta kelahiran anak atau akta perkawinan dengan mencantumkan nama dan umur anak yang bersangkutan. Prosedur yang harus ditempuh adalah kedua suami-istri mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang agar memerintahkan kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan akta Pencatatan Sipil yang bersangkutan untuk melakukan perbaikan/penambahan dimaksud dalam akta kelahiran dan akta perkawinan yang dimaksud. Dengan demikian, tidak perlu diserahkan kepada Presiden untuk minta pengesahan (Pasal 274 KUHPerd) atau ditentukan oleh hukum adat (Pasal 47 ayat (3) OrdIndonKris). Pengadilan di dalam memeriksa dan memutuskan permohonan tersebut berpedoman pada ketentuan Pasal 272 dan 274 KUHPerd, Pasal 47 OrdIndonKris dan Pasal-Pasal 49, 50, 51 dan 52 S 1920 No. 751 jo. S. 1927 No. 564 serta Pasal 66 UUPerk. Bagi mereka yang tidak tunduk pada KUHPerd dan OrdIndonKris dapat berpedoman pada KUHPerd dan OrdIndonKris tersebut dengan mengajukan permohonan dari suamiisteri yang dalam hubungan ini apabila Pengadilan Negeri menerima permohonan tersebut cukup bijaksana dalam memeriksa dan memutuskannya agar tidak bertentangan dengan agama yang tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan. Ketentuan Pasal 47 OrdIndonKris berbunyi sebagai berikut: “(1)Bila pada waktu pelaksanaan perkawinan para calon suami/istri itu menerangkan, bahwa mereka adalah ayah dan ibu dari anak yang dilahirkan di 11 luar perkawinan yang setelah perkawinan menempati kedudukan anak yang dilahirkan dari perkawinan maka nama-nama dan umur anak itu dicantumkan dalam akta perkawinannya; (2) Anak yang secara demikian disebut dalam akta perkawinan mempunyai kedudukan sebagai anak yang dilahirkan selama perkawinan; (3) Kedudukan anak/anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang tidak disebutkan dalam akta perkawinan ditentukan oleh hukum adat.”20 Bunyi ketentuan Pasal 272 KUHPerd dan Pasal 47 OrdIndonKris berkaitan dengan kedudukan anak luar kawin pada pokoknya mengandung substansi yang sama. Dalam hal anak yang lahir di luar perkawinan yang namanya tidak dimuat dalam akta perkawinan atau tidak dibuat pernyataan pengakuan karena kedua orangtuanya lalai melaporkan pada waktu perkawinan mereka dilangsungkan, ketentuan Pasal 47 OrdIndonKris menyatakan bahwa hal tersebut akan ditentukan oleh hukum adat. Lain halnya dengan ketentuan Pasal 272 KUHPerd yang tidak menentukan di dalam pasal tersebut apa yang harus dilakukan tetapi ketentuan Pasal 274 KUHPerd memberikan jalan keluar: “Jika kedua orangtua sebelum atau tatkala berkawin telah melalaikan mengakui anak-anak mereka luar kawin, maka kelalaian ini dapat diperbaiki dengan surat pengesahan Presiden, yang mana akan diberikan setelah didengarnya nasihat Mahkamah Agung.” Mahkamah Agung sebelum memberikan nasihatnya harus mendengar dan menyuruh mendengar terlebih dahulu para keluarga sedarah dari pemohon, bahkan harus memerintahkan pula agar supaya permintaan pengesahan itu diumumkan dalam Berita Negara. Akibat pengesahan anak tersebut yakni setelah diperolehnya surat pengesahan Presiden mengakibatkan bahwa terhadap anak itu akan berlaku ketentuan-ketentuan undang-undang yang sama seolah-olah anak itu dilahirkan dalam perkawinan. Bagi mereka yang tunduk pada OrdIndonKris, perbaikan dari akta-akta catatan sipil berlaku ketentuan Pasal 49, 50, 51 dan 52 OrdIndonKris. Bagi mereka yang tidak tunduk pada UUPerk dan OrdIndonKris, dalam hal mencantumkan atau membubuhkan nama dan umur anak/anak-anak yang bersangkutan dalam akta perkawinan, maka prosedur yang dapat ditempuh adalah minta bantuan pada pengadilan negeri yang berwenang agar memerintahkan kepada pegawai pencatat sipil untuk melakukan perbaikan/penambahan dimaksud dalam akta perkawinan dan dalam daftar perkawinan yang bersangkutan, sepanjang agama mereka tidak melarang untuk melakukan pengakuan anak tersebut. b. Setelah Berlakunya UUAdmKepend Ketentuan Pasal 49 ayat (1) UUAdmKepend menyebutkan: “ Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan.” Penjelasan dari pasal tersebut: “Apa yang dimaksud dengan pengakuan anak adalah pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir di luar ikatan 20 Pasal 47 OrdIndonKris: “(1) Indien bij het aangaan van het huwelijk de aanstaande echtgenoten verklaren, dat zij de vader en de moeder zijn van eenig buiten echt geboren kind, dat na het huwelijk den staat van uit een huwelijk geboren kind zal innemen worden de namen en de leeftijd van dat kind in de huwelijksakte opgenomen; (2) Aldus in de huwelijksakte vermelde kinderen hebben den staat van tijdens huwelijk geboren kind; (3) De staat van buiten echt geboren kinderen, niet in de huwelijksakte vermeld, wordt bepaald door het adatrecht.” 12 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] perkawinan sah atas persetujuan ibu kandung anak tersebut.” Bagaimana dan kapan serta prosedur pengakuan anak tidak dijelaskan baik di dalam ketentuan Pasal 49 ayat (1) UUAdmKepend maupun di dalam penjelasannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) UUAdmKepend dengan adanya pengakuan anak maka harus dilakukan perbaikan akta kelahiran yakni Pencatatan Pengakuan Anak yang harus dilaporkan kepada Instansi Pelaksana21 yakni kantor Pencatatan Sipil paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan Ketentuan kewajiban melapor berlaku pula dalam hal adanya pengesahan anak untuk melakukan perbaikan akta kelahiran dengan melaporkan kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan (Pasal 50 ayat (1) UU AdmKepend. Kewajiban melaporkan pengakuan anak tersebut tidak berlaku bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah (Pasal 49 ayat (2) UUAdmKepend). Ada pun ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pengakuan anak dan pengesahan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 50 diatur dalam Peraturan Presiden yang masih belum ada. Dengan demikian, ketentuan perundang-undangan termasuk prosedur yang berlaku sebelum adanya Peraturan Presiden tersebut, adalah ketentuan sebagaimana disebut di sub a di atas. 2. Pengesahan Anak Undang-undang membedakan dua bentuk pengesahan anak, yakni: - karena perkawinan; dengan surat pengesahan. a. Pengesahan karena perkawinan Pengesahan (wettiging) adalah suatu perbuatan hukum serta cara untuk memberikan hak seorang anak sah kepada seorang anak luar kawin yang diakui. Per definisi, anak-anak yang dapat disahkan adalah anak yang diakui sehingga anak-anak zinah dan anak-anak sumbang tidak dapat disahkan (Pasal 272 KUHPerd). Pengesahan anak terjadi dengan adanya perkawinan antara kedua orangtuanya dengan telah diakui terlebih dahulu anak tersebut oleh ayahnya. Dengan demikian pengaakuan anak itu selambat-lambatnya harus dilakukan dalam akta perkawinan orangtuanya. b. Pengesahan dengan Surat Pengesahan Jika suami telah mengakui anaknya, tetapi perkawinan dengan ibu anak tersebut tidak dapat dilaksanakan, karena meninggalnya salah seorang dari mereka, maka dapat dimintakan surat pengesahan dari Presiden oleh salah seorang yang masih hidup atau oleh anak yang bersangkutan sendiri jika orang tua yang masih ada juga telah meninggal dunia. Surat pengesahan dapat juga dimintakan jika suami telah mengetahui kehamilan dari ibu yang mengandung anak tersebut, dan berencana untuk menikah dengannya tetapi telah meninggal sebelum dapat melakukan pengakuan terhadap anak tersebut.22 Menurut G. Delfos dan J.E. Doek, ada kalanya dalam hal tersebut di atas, yaitu dengan meninggalnya ibu dari anak yang hendak disahkan tanpa adanya perkawinan yang telah direncanakan sedangkan ayah anak tersebut belum mengakuinya dan tetap ingin memberikan kedudukan anak sah, dapat ditempuh jalan dengan adopsi oleh ayah anak tersebut dengan istrinya.23 21 Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan (Pasal 1 huruf (7) UUAdmKepend). 22 G. Delfos – J.E.Doek, Vaderschap, Afstamming en adoptie, W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle 1982, hlm. 14. 23 G. Delfos – J.E.Doek, ibid. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 13 Seorang anak luar kawin disahkan apabila oleh suami dari si ibu mengakui baik sebelum atau pada saat perkawinan atau setelah putusnya perkawinan karena meninggalnya seorang di antaranya tidak dapat melangsungkan perkawinan yang telah mereka rencanakan (Pasal 275 KUHPerd). Kelalaian orangtua sebelum atau tatkala menikah telah melalaikan pengakuan anak mereka luar kawin, maka kelalaian ini dapat diperbaiki dengan surat pengesahan presiden, yang mana akan diberikan setelah mendapat nasihat dari Mahkamah Agung (Pasal 274 KUHPerd). Mahkaman Agung memberikan pertimbangannya setelah pula para keluarga terdekat dari orangtua anak yang bersangkutan didengar keterangannya. Permintaan keterangan tersebut sifatnya fakultatif sehingga dengan demikian tergantung sepenuhnya kepada kebijakan dari presiden. G. Delfos dan J.E. Doek24 berpendapat, bahwa pengesahan dengan cara tersebut mengandung sifat menguntungkan tetapi juga terjadi anachronisme di dalam perundangundangan. Surat pengesahan yang dikeluarkan oleh Presiden tersebut tidak dapat diganggu gugat. Sebaiknya semua pengesahan harus didahului dengan pengakuan, sehingga kesalahan yang terjadi pada pengakuan yang dapat berakibat batal atau dibatalkan akan mengakibatkan pengesahan menjadi batal atau dibatalkan. Hal tersebut hanya mungkin jika pengesahan tergantung pada atau didahului dengan pengakuan. Kewajiban melaporkan adanya pengesahan anak tidak berlaku bagi orangtua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan yang lahir di luar hubungan perkawinan yang sah (Pasal 50 ayat (2) UUAdmKepend). G. Akibat Pengakuan dan Pengesahan Anak Sejak kapan berlakunya pengakuan anak? Sejak dicatatkan pada kantor Pencatatan Sipil. Ketentuan Pasal 280 KUHPerd mengatur mengenai akibat dari pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, akan menimbulkan hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya. Ini berarti bahwa baik ayah maupun ibu agar mempunyai hubungan perdata dengan anaknya harus mengakui anak tersebut terlebih dahulu. Dengan berlakunya UUPerk, maka hanya ayahnya saja yang perlu mengakui anaknya agar timbul hubungan perdata dengan anak yang bersangkutan, di antaranya berupa kewajiban pemeliharaan terhadap anak (alimentasi), penggunaan nama bapak, izin perkawinan dan pewarisan. Di bidang pewarisan anak luar kawin terhadap warisan orangtua yang mengakuinya pada asasnya adalah sama dengan anak sah dalam artian mereka mempunyai hak saisine (Pasal 833 KUHPerd), hak heredetatis petitio (Pasal 834 KUHPerd) dan hak untuk menuntut pemecahan warisan (Pasal 1066 KUHPerd). Hak bagian anak luar kawin tidak sama besarnya dengan hak bagian anak sah, lagi pula karena tidak mempunyai hubungan perdata dengan keluarga ayah yang mengakui, maka anak luar kawin tidak akan mewaris dari keluarga ayahnya. Hal tersebut berbeda dengan adanya hubungan perdata anak luar kawin dengan ibu dan keluarga ibunya (Pasal 43 UUPerk). Di bidang hukum keluarga terlihat perbedaannya dengan anak sah, yakni anak luar kawin berada bukan di bawah kekuasaan orang tua tetapi di bawah perwalian. Besarnya hak bagian anak luar kawin di bidang pewarisan aktif yakni hak anak luar kawin selaku ahliwaris tergantung dengan golongan mana ia mewaris. Jika mewaris bersama dengan golongan I, maka anak luar kawin yang diakui mewaris 1/3 bagian dari yang mereka (anak2 luar kawin) sedianya harus mendapat, seandainya mereka (anakanak luar kawin) adalah anak yang sah (Pasal 863 KUHPerd). 24 G. Delfos – J.E.Doek, ibid., hlm. 16. 14 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Pewarisan dengan adanya pengakuan anak yang dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami atas kebahagiaan anak luar kawin, yang sebelum kawin telah diperbuahkan dengan seorang lain daripada istrinya, tak akan membawa kerugian baik bagi isteri itu, maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka. Maksudnya, jika dilakukan pengakuan anak sebelum perkawinan suami dengan istrinya, maka anak luar kawin akan mendapat bagian sesuai dengan yang ditentukan di dalam ketentuan Pasal 862-Pasal 873 KUHPerd. Apabila dilakukan pengakuan anak sepanjang perkawinan, maka anak luar kawin tidak akan mendapat bagian warisan. Jika anak luar kawin mewaris dengan golongan II, maka mereka mewaris ½ dari warisan, sedangkan jika mewaris dengan golongan III dan IV, maka sisa warisan setelah diberikan kepada anak luar kawin, dilakukan kloving yang ½ untuk keluarga sedarah dalam garis ibu dan ½ lainnya untuk keluarga sedarah dalam garis bapak (Pasal 863 KUHPerd). Ada pun pewarisan pasif yakni anak luar kawin selaku pewaris, maka pertama-pertama warisan anak luar kawin adalah untuk sekalian keturunan dan suami atau istrinya (Pasal 870 KUHPerd). Kalau golongan I tidak ada, maka yang mewaris adalah ayah dan atau ibu yang mengakuinya. Jika yang mengakuinya hanya ayah/ibu saja, maka seluruh warisan adalah untuk ayah/ibu yang mengakuinya. Dalam hal golongan I dan pula ayah dan ibu telah tiada, maka dalam hal di dalam warisan anak luar kawin selaku pewaris terdapat barang-barang yang dulu diperoleh dari warisan orangtuanya (orangtua anak luar kawin), dan barang-barang tersebut masih dalam wujud seperti semula, maka keturunan sah dari ayah dan/atau ibu yang mengakui anak luar kawin tersebut berhak menuntut barang tersebut dikembalikan kepada mereka (Pasal 871 KUHPerd). Kekecualian diberikan kalimat terakhir Pasal 871 ayat (1) KUHPerd, yaitu dalam hal barang tersebut telah dijual oleh pewaris, tetapi Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] harganya pada waktu pewaris meninggal belum dibayar lunas, maka keturunan ayah/ ibu yang mengakui anak luar kawin berhak untuk menuntut kepada pembeli agar uang pembayaran harga jual beli diberikan kepada mereka. Sisa warisannya adalah untuk saudara-saudara pewaris laki-laki maupun perempuan atau keturunan sah mereka (saudara sesama anak luar kawin). Dengan demikian, warisan dengan mengesampingkan negara, menjadi hak sekalian keluarga terdekat dari bapak atau ibu yang mengakuinya dengan catatan, kalau kedua orang tua mengakui maka warisan dibagi dua (kloving), ½ bagian untuk keluarga sedarah terdekat dari garis ayah dan ½ bagian lainnya untuk keluarga sedarah terdekat dari garis ibu (Pasal 873 ayat (2) KUHPerd). Untuk masingmasing pancang, pembagian dilakukan menurut peraturan pewarisan menurut ketentuan Bab XII, Bagian 1 dan 2 KUHPerd (vide Pasal 872 ayat (3) KUHPerd). Terakhir, jika tidak ada lagi anggota keluarga yang mempunyai hak waris, maka warisan jatuh kenegara, demikian kesimpulan dari Pasal 873 ayat (2) KUHPerd. Lain halnya bagian hak waris pada pengesahan anak yang dapat dibagi dua: a) Jika kedua orangtuanya menikah; Akibat pengesahan anak baik yang dilakukan pada waktu perkawinan kedua orangtuanya maupun setelah diperolehnya surat pengesahan Presiden mengakibatkan bahwa terhadap anak itu akan berlaku surut sejak kelahiran anak tersebut, ketentuan-ketentuan undang-undang yang sama sebagaimana ia dilahirkan dalam perkawinan yang sah (Pasal 277 KUHPerd). Pengesahan anak dengan menikahnya kedua orangtuanya membawa akibat sebagaimana halnya seorang anak sah yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, maka anak tersebut mendapat bagian warisan dari bapak/ibunya sesuai dengan bagian anak sah menurut undang-undang. Ada pun mengenai kewajiban pemeliharaan terhadap anak, penggunaan nama bapak dan izin perkawinan 15 tidak dibedakan antara anak yang diakui dan anak yang disahkan. b) Jika kedua orangtuanya tidak menikah; Apabila perkawinan orangtuanya tidak dapat dilangsungkan karena salah satu orangtuanya meninggal dunia atau menurut pertimbangan presiden ada keberatan penting perkawinan kedua orangtuanya, maka pengesahan anak dimulai pada tanggal pengesahan. Dengan kata lain, sebelum tanggal pengesahan, anak itu adalah anak luar kawin. Dalam hal pewarisan, pengesahan anak yang orangtuanya tidak menikah tidak dapat merugikan anakanak yang telah lahir sebelumnya dan juga tidak berlaku dalam hal pewarisan bagi keluarga sedarah orangtua itu sepanjang mereka (keluarga sedarah) tidak ikut menyetujui pemberian surat pengesahan itu (Pasal 278 KUHPerd). Dengan cara yang sama, menurut ketentuan-ketentuan yang sama pula, anak-anak yang telah meninggal dunia dan meninggalkan keturunannya boleh juga disahkan, pengesahan mana adalah demi kebahagiaan sekalian keturunan itu (Pasal 279 KUHPerd). Perbedaan pada saat berlakunya pengesahan tersebut di atas menimbulkan pertanyaan mengenai “tidak dapat merugikan anak-anak yang telah lahir sebelumnya”; anak sah siapa? Menurut Asser-Scholten-Wiarda, sebagaimana dikutip oleh Tan Thong Kie25, “yang dimaksudkan dengan anak-anak sah dari yang telah meninggal dan dari (orangtua) yang masih hidup (Men denke hier zowel aan de kinderen van de overledene als aan die van de nog in leven zijnde echtgenoot)”. Sedangkan Pitlo berpendapat lain, anak-anak sah hanyalah dari orangtua yang masih hidup, sebab terhadap orangtua yang sudah meninggal anak itu tetap anak luar nikah. Anak yang disahkan dengan surat pengesahan adalah anak sah hanya dari orangtua yang memperoleh surat pengesahan itu. Bagi mereka yang agamanya melarang baik pengakuan anak (Pasal 49 ayat (2) UUAdmKepend) maupun pengesahan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah (Pasal 50 ayat (2) UUAdmKepend), maka dikecualikan kewajiban melaporkan bagi orangtuanya kepada kantor Pencatatan Sipil. Dengan intepretasi a contrario, maka anak tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UUPerk, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ini berarti, tidak adanya hubungan perdata antara ayah dengan anak sehingga anak tersebut tidak akan mewaris dari bapaknya. Daftar Pustaka C. Asser- J.de Boer, Personen – en familierecht, zestiende druk, Kluwer-Deventer, 2002. C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, Suplemen Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, Cetakan Pertama, Jakarta, 2001. G. Delfos – J.E.Doek, Vaderschap, Afstamming en adoptie, W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle, 1982. J.N.E. Plasschaert, Afstamming en naam, Elsevier bedrijfsinformatie bv, ’sGravenhage, 1999. R. Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, cetakan kesepuluh, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990. Tan Thong Kie, Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2007. 25 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan SerbaSerbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2007, hlm. 27. 16 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] ASPEK PENAGIHAN PAJAK DALAM BISNIS Yenny Yuniawaty Abstract Business activities can’t be separated from the taxation aspects, if the business activity is rising, the state income tax from the that sector will increase. The tax revenue obtained from bussines is through the collection of not only Income but also Value of Goods and Services Tax, Sales Tax on Goods Luxury, Land and Building Tax, Customs Acquisition of Rights to Land and Building Tax and stamp duty Tax. In reality, not all business pay taxes in accordance with taxation legislation, giving rise to delinquent tax debt. To liquify delinquent tax debt, some taxes billing action is necessary. Key words: business, tax debt, tax billing. A. Pendahuluan Aktivitas bisnis berkaitan erat dengan aspek pajak. Apabila aktivitas bisnis berkembang maka penerimaan negara dari sektor pajak akan meningkat. Penerimaan negara dari sektor pajak yang diperoleh dari rakyat, termasuk para pelaku bisnis (pengusaha) adalah melalui pemungutan pajak yang dilakukan berdasarkan Pasal 23A amandemen ke-3 (ketiga) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Pasal 23A amandemen ke-3 (ketiga) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut mengandung pengertian bahwa pemungutan pajak harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari rakyat melalui perwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena dalam pemungutan pajak terdapat peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara yang hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan serta pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Menurut pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: “Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.” Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dikemukakan bahwa: “Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku undangundang yang mengatur mengenai kepabeanan.” Pemungutan pajak di Indonesia menggunakan self assessment system yang 17 memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa: “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Menurut pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: “Badan adalah sekumpulan orang dan/ atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.” Pemberian wewenang kepada Wajib Pajak dalam self assessment system tersebut diimbangi dengan tindakan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak yaitu dengan melakukan penagihan terhadap Wajib Pajak yang belum melunasi utang pajaknya. 18 B. Utang Pajak Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari asas kemandirian yang meupakan salah satu asas pembangunan nasional yang menghendaki agar pembangunan nasional berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepada kepribadian bangsa. Melalui penerimaan dari sektor pajak, negara dapat melaksanakan pembangunan nasional untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Penciptaan kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan nasional negara Indonesia yang tercantum dalam alinea ke-4 (keempat) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Jenis-jenis pajak yang dikenakan dalam aktivitas bisnis adalah: 1. Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan diatur dalam UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-undang tersebut mengatur mengenai pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak dapat dibedakan atas: 1. Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri atas: a. Subjek Pajak orang pribadi, yaitu: Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 2. 1) Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (duabelas) bulan, atau 2) Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia. b. Subjek Pajak badan, yaitu: Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: 1) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan; 2) pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 3) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; 4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. c. Subjek Pajak warisan, yaitu: Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Subjek Pajak luar Negeri yang terdiri atas: a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapanpuluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (duabelas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapanpuluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (duabelas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. Penghasilan merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Subjek pajak tersebut dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Bagian dari Pajak Penghasilan yang sering digunakan dalam aktivitas bisnis adalah Pajak Penghasilan Pasal 21, Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Penghasilan Pasal 23, Pajak Penghasilan Pasal 24, Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang akan diuraikan di bawah ini. a. Pajak Penghasilan Pasal 21 Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran 19 lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk Bentuk Usaha Tetap yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapanpuluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (duabelas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. b. Pajak Penghasilan Pasal 22 Pajak Penghasilan Pasal 22 merupakan pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan yang dipungut oleh: Bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama; badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen; Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan 20 barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah serta kendaraan sangat mewah. c. Pajak Penghasilan Pasal 23 Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan yang terdiri atas: Badan pemerintah; Subjek Pajak badan dalam negeri; Penyelenggara kegiatan; Bentuk Usaha Tetap; Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya; Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari Direktur Jenderal Pajak untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 yang meliputi akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tersebut adalah Camat, pengacara dan konsultan yang melakukan Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] pekerjaan bebas serta orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan. d. Pajak Penghasilan Pasal 24 Pasal 24 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilaan Wajib Pajak dalam negeri. Untuk melaksanakan pengkreditan pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri, fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri dan dokumen pembayaran pajak di luar negeri. e. Pajak Penghasilan Pasal 25 Pasal 25 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur tentang perhitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. f. Pajak Penghasilan Pasal 26 Pasal 26 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri (baik orang pribadi maupun badan) selain Bentuk Usaha Tetap. Pemotongan pajak berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Penghasilan tersebut dilakukan oleh Badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya dan pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26. 2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan syaratsyarat sebagai berikut: - Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak; - Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak berwujud; - Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; - Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. Impor Barang Kena Pajak; Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha dengan syarat-syarat sebagai berikut: - Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak; - Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; - Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 21 Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak; Sedangkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan terhadap: Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok, barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi dan/atau barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status. 3. Pajak Bumi dan Bangunan Kalangan dunia bisnis, khususnya di bidang properti perlu memperhatikan ketentuanketentuan yang mengatur mengenai pengenaan pajak atas bumi dan bangunan untuk menunjang aktivitas bisnisnya. Pajak Bumi dan Bangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Yang menjadi subjek Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/ atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak . Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan/atau bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi 22 yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. 4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Bagi para pelaku bisnis, tanah dan bangunan merupakan aset (kekayaan) yang sangat penting untuk mendukung aktivitas bisnisnya. Pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi beban (biaya) tersendiri sebagai bagian dari aktivitas bisnis. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi: Pemindahan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan hadiah. Pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 5. Bea Meterai Dunia bisnis tidak terlepas dari transaksitransaksi bisnis yang menggunakan berbagai dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihakpihak yang berkepentingan. 1 (satu) dokumen terutang 1 (satu) Bea Meterai. Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen. Dasar hukum pengenaan Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Pihak yang terutang Bea Meterai adalah pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak- pihak yang bersangkutan menentukan lain. Bea Meterai dilunasi dengan menggunakan benda meterai, yaitu meterai tempel. Pajak yang belum dibayar sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku akan menimbulkan utang pajak. Dari segi hukum, utang pajak adalah perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat (tatbestand) yang ditentukan dalam undang-undang, untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk.1 Dengan demikian, utang pajak hanya dapat timbul jika undangundang yang menjadi dasar untuk pemungutan pajak telah ada, selain itu harus dipenuhi syarat-syarat subjektif dan syaratsyarat objektif yang ditentukan oleh undangundang secara bersamaan (simultan). Syarat subjektif menyangkut pihak/ siapa yang dapat dikenakan pajak menurut syarat-syarat yang ditentukan undang-undang sedangkan syarat objektif dipenuhi apabila tatbestand yang disebutkan oleh undang-undang dipenuhi.2 Tatbestand merupakan rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak. Dalam pasal 1 ayat (8) UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa: “Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.” C. Aspek Penagihan Pajak dalam Bisnis Penerimaan negara dari sektor pajak merupakan andalan dalam membiayai pembangunan nasional. Oleh karena itu, terhadap para pelaku bisnis yang belum memenuhi kewajiban pembayaran pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku sehingga menimbulkan tunggakan utang pajak akan dilakukan tindakan penagihan pajak. Penagihan pajak dilakukan berdasarkan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Menurut Pasal 1 ayat (9) UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa: “Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan 1 Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Eresco, Bandung, 1990, hlm. 51. 2 Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Eresco, Bandung, 1991, hlm. 2. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 23 penyanderaan, menjual barang yang telah disita.” Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dikemukakan bahwa: “Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menyatakan bahwa: “Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, jasa penilai dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.” Tindakan penagihan pajak diawali dengan penerbitan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis yang dimaksudkan untuk menegur atau memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya. Apabila setelah dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pahak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, ternyata Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya maka akan diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis. Apabila setelah lewat jangka waktu 21 (duapuluh satu) hari terhitung sejak diterbit- 24 kannya Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis ternyata Wajib Pajak/Penganggung Pajak masih tidak melunasi utang pajaknya maka akan diterbitkan Surat Paksa. Menurut pasal 1 ayat (12) UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa: “Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.” Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dinyatakan bahwa: “Surat Paksa berkepala kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Agar tercapai efektivitas dan efisiensi penagihan pajak yang didasari Surat Paksa, ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa tersebut memberikan kekuatan eksekutorial serta memberi kedudukan hukum yang sama dengan grosse akta yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, Surat Paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding. Surat Paksa diterbitkan apabila: a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis. b. Terhadap Penanggung Pajak telah Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] c. dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Apabila setelah lewat jangka waktu 2x24 (dua kali duapuluh empat) jam terhitung sejak diterbitkannya Surat Paksa ternyata Wajib Pajak/Penanggung Pajak masih tidak melunasi utang pajaknya maka akan dilakukan penyitaan. Menurut pasal 1 ayat (14) UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa: “Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan.” Dalam hal utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh Wajib Pajak/ Penanggung Pajak setelah lewat waktu 14 (empatbelas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, maka akan dilaksanakan pengumuman lelang. Apabila utang pajak yang masih harus dibayar tidak juga dilunasi oleh Wajib Pajak/Penanggung Pajak setelah lewat waktu 14 (empatbelas) hari sejak tanggal pengumuman lelang, maka akan dilakukan penjualan barang sitaan secara lelang. Dalam pasal 1 ayat (17) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dinyatakan bahwa: “Lelang adalah setiap penjualan barang dimuka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan/atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.” Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa mengemukakan bahwa: “Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang belum dibayar dan sisanya untuk membayar utang pajak.” Dalam melaksanakan tindakan penagihan pajak dapat langsung dilakukan penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus tanpa didahului dengan pelaksanaan Surat Paksa. Menurut Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa: “Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.” Dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dinyatakan bahwa: “Penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila: a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya atau berniat untuk itu; b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau 25 memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau e. Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.” Selama dilangsungkannya proses penagihan pajak, terdapat kemungkinan Wajib Pajak/Penanggung Pajak berniat meninggalkan wilayah negara Republik Indonesia. Apabila terjadi demikian maka akan dilakukan tindakan pencegahan. Pasal 1 ayat (20) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa mengemukakan bahwa: “Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa: “Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak sekurangkurangnya sebesar Rp 100.000.000,(seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.” Pasal 31 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menyatakan bahwa: “Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya 26 utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.” Tidak dilunasinya utang pajak dapat terjadi karena Wajib Pajak/Penanggung Pajak menyembunyikan hartanya sehingga tidak cukup harta yang dapat dijadikan jaminan pelunasan utang pajak dan biaya penagihan pajak. Terhadap Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang beritikad tidak baik tersebut dapat dilakukan tindakan penyanderaan. Dalam Pasal 1 ayat (21) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dikemukakan bahwa: “Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.” Menurut Pasal 33 ayat (1) UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa: “Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak sekurangkurangnya sebesar Rp 100.000.000,(seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.” Pasal 35 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menyatakan bahwa: “Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.” Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] D. Penutup Daftar Pustaka Penerimaan negara dari sektor pajak yang diperoleh dari rakyat, termasuk para pelaku bisnis adalah melalui pemungutan pajak yang dilakukan berdasarkan Pasal 23A amandemen ke-3 (ketiga) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang. Penerimaan negara dari sektor pajak tersebut merupakan andalan dalam membiayai pembangunan nasional. Oleh karena itu, terhadap para pelaku bisnis yang belum memenuhi kewajiban pembayaran pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku sehingga menimbulkan tunggakan utang pajak akan dilakukan tindakan penagihan pajak. Menurut pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Tindakan penagihan pajak merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dan untuk menunjang kemandirian pembiayaan pembangunan nasional. Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Eresco, Bandung, 1990. , Asas dan Dasar Perpajakan 2, Eresco, Bandung, 1990. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undangundang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai 1984. 27 LAW, FAITH AND LIBERTY: Christian Jurisprudence and the Western Legal Tradition Augusto Zimmermann Abstract Until recent times the legal systems of Western societies were largely inspired by the religious convictions of individuals who believed in a higher or natural law reflecting enduring principles of justice and morality. This view led to some of the greatest developments in the history of the rule of law. Indeed, jurists such as Blackstone, Coke and Fortescue, who made vast contributions to the development of the rule of law in the West, often drew heavily from a Christian philosophy when expounding and developing what are now well established principles of constitutional law. This article discusses the impact of Christianity on the development of individual rights and the rule of law in Western societies. Introduction A central discussion in Western legal theory is whether a law, in order to be recognised as such, must conform to some permanent or higher standards of justice and morality. Natural law theorists answer this question in the affirmative, arguing for the existence of unwritten principles that are in some sense superior to the positive law of the state. They therefore propound the idea of a natural or divine reason to which every positive law ought to conform. These unwritten precepts they call ‘natural law’. The acceptance of a ‘natural law’ raises a question that has been the source of much debate: If there are laws superior to positive laws, where do these laws originate from and how are they determined? Numerous competing theories have been advanced in order to answer this question. Some have contended that this superior law is based upon ‘objective ethical principles, which are accessible to all 1 2 3 28 humans by virtue of their rational capacities’.1 However, many Western jurists who accept the idea of natural law have attributed its origin to God – in particular, a Christian incarnation of God.2 This article discusses the profound impact of Christianity on the development of Western legal traditions. It is argued that the Christian religion comprises a fundamental aspect of the Western legal tradition of individual rights and government under the law.3 Higher Law Thinking within a Christian Framework With the emergence of Christianity in the first century AD the blending of religious ideals with the ancient Greek notion of natural law led to the refinement and broad acceptance of this legal theory in Western societies. While it is clear that the concept of natural law was first proposed by the ancient Greeks and Romans, and therefore outside its religious framework, the acceptance of natural law owes much to the advent of Christian- Jonathan Crowe, ‘Existentialism and Natural Law’ (2005) 26 Adelaide Law Review 55, 56. See also Michael Moore, ‘Good without God’ in Robert P George (ed), Natural Law, Liberalism, and Morality (Oxford: Oxford University Press, 1996) . See Russell Hittinger, The First Grace: Rediscovering Natural Law in a Post-Christian Age (2003). On the western legal tradition, see Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation of the Western Legal Tradition (1983). Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] ity, which soon after its historical appearance became one of the most profound influences upon the development of the Western legal tradition. As affirmed by Law Professor Patrick Parkinson of the University of Sydney: Indeed, Christianity was to the formation of the western legal tradition as the womb is to human life. The history of western law cannot be understood in isolation from religious influences, for at every level of society, and in every aspect of social and political life, these influences were pervasive.4 Natural law is not a Christian invention although it appears to be justified in the New Testament. For instance, Matthew 22:21 tells of when Christ was questioned by disciples of the Pharisees as to whether or not it was lawful to pay taxes to Caesar. To this, Christ responded: ‘Render unto Caesar the things that are Caesar’s, and to God the things that are God’s’. There, Christ seemed to draw a distinction between the laws of Caesar (temporal laws) and the laws of God (natural laws). Should the two be in contention, the laws of God must prevail.5 Perhaps even more compelling is a passage in St Paul’s Letter to the Romans, when the ‘apostle to the Gentiles’ argues that although the Gentiles (non-Jews) have not received the Ten Commandments they still can do everything which is required by the law, ‘because of the work of the law that is written in their hearts. Their conscience bear witness of this fact, with their thoughts accusing or else excusing them’. (Romans 2:15) This passage features extensively in the works of Christian legal philosophers and is primarily relied upon as a biblical authority for the existence of the natural law.6 4 5 6 7 8 9 In this sense, Irenaeus (c.130-200), an early Christian theologian, contended that the Ten Commandments are no more than a mere reminder of the eternal principles established by God even before Moses had received them.7 This so being, natural law would explain why Old Testament people such as Enoch, Noah and Abraham would have obeyed the law even if there was no written command determined by God (Gen 26:5). Though not receiving God’s ‘positive law’, that is, the Ten Commandments, they kept the law into their hearts by exercising love, justice, mercy and righteousness, apart from the revealed law (Gen 26:5). The law that is revealed in Scripture contains enduring principles that God has already written in our hearts, although our understanding of these principles is effaced as a consequence of our ignorance and spiritual blindness or rebellion. To resolve this serious problem, God committed his law into writing (i.e., biblical revelation) so that the revealed law may now teach us more perfectly what the natural law only teaches us meagrely and obscurely. As such, the Fathers of the Christian Church believed that the natural or divine natural law should always prevail over the positive law.8 For instance, the early theologian Origen (c.185-254) considered that ‘it is reasonable to prefer the Law of Nature, as being God’s law, before the written law which has been laid down by men in contradiction to the Law of God’.9 Thus, Origen concluded: Where the law of nature, that is of God, enjoins precepts contradictory to the written laws, consider whether reason does not compel a man to dismiss the written code and the intention of the lawgivers for from his mind, and to devote himself Patrick Parkinson, Tradition and Change in Australian Law (2nd ed, 2001), 25. See Francis A Shaeffer, A Christian Manifesto (2005), 89-102. See Chester James Antieau, The Higher Laws: Origins of Modern Constitutional Law (1994). Adversus omnes haereses 4. 13-15. Antieau, above n.6, 53. Origen, Contra Celsum, Bk.5, §37 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 29 to the divine Lawgiver and to choose to live according to His word, even if in doing this he must endure dangers and countless troubles and death and shame.10 At the heart of Christian legal philosophy is the idea of God’s perfect law of liberty and justice. Any other aims of temporal laws are, as such, secondary to this conception. As a result, the Bible contains numerous examples of resistance against political tyranny. Exodus 1:17-21, Esther 3:2 and 4:13-16, Daniel 3-1618, and Acts 5:29 are just a few examples. As a result, in 390, St Ambrose (c.337-397), then the bishop of Milan, applied these Christian principles to compel the Roman Emperor Theodosius to publicly repent of his vindictive massacre of seven thousand innocent people. Ambrose strongly believed that ‘a conscientious man must sooner die than obey a command which he knows is wrong’.11 In declaring the supremacy of the Christian law over the Emperor’s arbitrary will, Ambrose turned the absolutist monarch inherited from Roman law into a monarch strictly under the rule of law. St Augustine (354-430) was certainly inspired by these principles when he declared that a ‘law that is unjust is not seen to be law at all’.12 In City of God he contends that a government devoid of justice is no different from a system of organised banditry: ‘For justice being taken away, what are kingdoms but great robberies? For what are robberies them- selves, but little kingdoms?’13 In other words, if positive laws are not perceived as naturally just, then the distinction between the government which enacts these laws and a mere criminal gang in practice disappears. Inspired by Augustine’s teachings, St Thomas Aquinas (1225-1274) later commented that any law that violates the natural law is ‘no longer a law, but a corruption of law’14. Of course, this implies in a natural right of the people to resist political tyranny. As Aquinas put it, If it is a people’s right to provide itself with a king, and if that king tyrannically abuses the royal power, there is no injustice if the community deposes or checks him whom they have raised to the kingship, nor can it be charged with a breach of faith for abandoning a tyrant, even if the people had previously bound themselves to him in perpetuity; because, by not faithfully conducting himself in government as the royal office demands, he has brought it on himself if his subjects renounce their bargain with him.15 Christian Jurisprudence Displayed in the English Common Law The Christian faith was central to the development of the common law since its conception after the 1066 Norman Conquest of England.16 In the first stage of its development, from the thirteenth century to the eighteenth century, the common law rested almost entirely upon 10 11 12 13 14 15 Idem. St Ambrose, Sermon Contra Auxent, 1-2. St Augustine, The City of God, Book I, Part V. Idem, Book III, par.28. 8. St Thomas Aquinas, Summa Theologiae, Ia IIae, q.95. art.2. St Thomas Aquinas, De regimene pricipum 1.6. Inspired by these words, Pope John XXIII wrote in Pacem in Terris (1963): “Since the right to command is required by the moral order and has its source in God, it follows that, if civil authorities pass laws or command anything opposed to the moral order and consequently contrary to the will of God, neither the laws made nor the authorizations granted can be binding on the consciences of the citizens, since God has more right to be obeyed than men”. – Pope John XXIII, Pacem in Terris (1963), parag.51. 16 “The emergence of the English common law system occurred in an age and in a culture steeped in Christian theology, Christian morals, and a Christian understanding of the meaning and value of life. The influence of the Christian world-view was determinative for social institutions as well as individual lives. – Stephen C. Perks, Christianity and Law: An Enquiry into the Influence of Christianity on the development of English Common Law (1993), 11. 30 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] a religious belief that looked to a higher law as the basis for judicial decision. Thus the late Sino-American jurist John Wu commented: ‘While the Roman law was a deathbed convert to Christianity, the common law was a cradle Christian’.17 In medieval England all the most renowned jurists of the land held church office and were versed not only in Roman law but also in canon law. The first of these jurists was Sir Henry de Bracton (1210 – 1268), a judge in Eyre (a representative of the king who rode from county to county holding court sessions) and a Justice of the King’s Bench. Bracton’s exceptional contributions to the common law have earned him the much deserved title of ‘Father of the Common Law’18. In De Legibus et Consuetudinibus Angliae (On the Laws and Customs of England), Bracton defines jurisprudence as ‘the science of the just and unjust’ and the application of law as involving ‘a just sanction ordering virtue and prohibiting its opposite’.19 Bracton also reveals in this seminal book the undeniable Christian underpinnings of the English law: The king himself … ought not to be under man but under God, and under the law, because the law makes the king … [F]or there is no king where will, and not law, wields dominion. That as a vicar of God he [the king] ought to be under the law is clearly shown by the example of Jesus Christ … For although there lay open to God, for the salvation of the human race, many ways and means … He used, not the force of his power, but the counsel of His justice. Thus He was willing to be under the Law, ‘that he might redeem those who were under the Law.’ For He was unwilling to use power, but judgment.20 But it was not just during that specific period of time that the English law has looked into Christian principles as its main source of legitimacy. The same kind of higher law thinking that motivated Bracton in the thirteenth century remained at the heart of the common law over many centuries ahead.21 Indeed, the English Revolution of the seventeenth century was justified mainly on the pretension of restoring the Christian foundations of the ancient rights and liberties of the English people, which had been abrogated in the preceding centuries of Tudor-Stuart absolutism. In England, according to the late Emeritus Professor of English Constitutional Law O. Hood Phillips, Historically the phrase [Rule of Law] was used with reference to a belief in the existence of law possessing higher authority – whether divine or natural – that that of the law promulgated by human rulers which imposed limits on their power. It was probably in this sense that Aristotle expressed the view that “the rule of law is preferable to that of any individual”. Bracton, writing in the thirteenth century, adopted the theory generally held in the Middle Ages that “the King himself ought not be subject to man but subject to God and to the law, because the law makes him king” the same view is also expressed in the Year of the Books of the fourteenth and fifteenth century. Such superior law governed kings as well as subjects and set limits to the prerogative. On that ground Fortescue, in the middle of the fifteenth century, based his argument that there could be no taxation without representation.22 One of the most influential proponents of this sort of higher law thinking was Sir John John C.H. Wu, Fountain of Justice: A Study in the Natural Law (1955), 65. H. Wayne House, The Christian and American Law (1998), 13. Henry de Bracton, On the Laws and Customs of England, Vol. II (1968), 25. Idem. Jeffrey A. Brauch, Is Higher Law Common Law? Readings on the Influence of Christian thought in Anglo-American Law (1999), 34. 22 O.H. Phillips and P. Johnson, O. Hood Phillips’ Constitutional and Administrative Law (1987), 37. 17 18 19 20 21 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 31 Fortescue (1394-1476). As chancellor to King Henry VI, Fortescue believed ‘the Law of Nature sprang from God alone, is subject to his Law alone, and under Him and with Him governs the whole world, whence it comes that all other laws are its servants.’23 Thus he quoted directly from Mark 2:27 to proclaim that the kings of England have been called to govern for the sake of their kingdom, not otherwise.24 According to Fortescue, since ‘liberty is the gift of God to man in His creation [all laws must] favour of liberty at any instance’25. As such, he defined tyranny as any attempt to replace ‘natural liberty’ with a certain condition of servitude that satisfies only the desires of evil authorities. As Fortescue put it: A law is necessarily adjudged cruel if it increases servitude and diminishes freedom, for which human nature always craves. For servitude’, he said, ‘was introduced by men for vicious purposes. But freedom was instilled into human nature by God. Hence freedom taken away from men always desires to return, as is always the case when natural liberty is denied. So he who does not favour liberty is to be deemed impious and cruel.26 In the same line of thinking, a few decades later Christopher St. Germain (1460–1541) undertook a comprehensive analysis of the relationship between the common law and conscience. Published in 1528, St Germain’s Dialogus de fundamentis legum Anglie et de conscientiae endeavour to explain why the author considered ‘inconceivable’ that the English Parliament would ‘recite against the truth’ as revealed in the Gospels.27 According to St Germain, ‘it is not to presume that so many noble principles and their counsel, nor the lords and the nobles of the realm, nor yet the Commons gathered in the said Parliament, would from time to time run into so great offence of conscience as is the breaking of the law of God’.28 The general assumption expressed in these words is that ‘those representing the collective wisdom of the entire realm and Church of England’ would not be so ‘foolish’ as to violate the natural or eternal law of God.29 A similar type of legal reasoning was further developed by Sir Edward Coke (15521632), in the seventeenth century. In 1610, as Lord Chief Justice of the Court of Common Pleas, Coke deeply embedded Christian philosophy into the common law through his celebrated ruling in the Calvin’s Case.30 Through that famous ruling Coke acknowledged (as Aquinas did before him) the natural law as ‘immutable’ and therefore inherent in humankind, having thus been conceived by God even before ‘any judicial or municipal law in the world’ was created.31 This natural law, Coke explained, is that which God at the time of creation of the nature of man infused into his heart, for his preservation and direction; and this is Lex Aeterna, the moral law, called also the Law of Nature. And by this law writ- 23 Sir John Fortescue, De Laudibus Legum Angliae (1949), 56. 24 Fortescue’s idea of kingship was clearly inspired by the following words of St Isidore (560-636): “Kings get their name from ruling (reges a regendo vocati)… and he who does not correct (qui non corrigit ‘who does not bring things into the right way’) does not rule. Thus the name of king is held through doing right, and is forfeited by doing wrong. Whence the… proverb: You shall be king if you do right, and not otherwise”. – Etymologiae 5.21. 25 Fortescue, above n.23, 136-8. 26 Idem, 105. 27 Christopher St Germain, Doctor and Student, quoted from Jeffrey Goldsworthy, The Sovereignty of Parliament: History and Philosophy (1999), 71 28 Christopher St Germain, Treatise concerning the Power of the Clergy and the Laws of the Realm (1534/ 5), quoted from Goldsworthy, 71. 29 Idem. 30 Calvin v Smith, Eng. Rep. 377 [K.B. 1610]. 31 7 Co.1 4b (1610) 32 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] ten with the finger of God in the heart of man, were the people of God a long time governed, before the law was written by Moses, who was the first reporter or writer of the law in the world.32 That Coke relied upon a Christian conception of the natural law to both defend and explain the common law is evident in others of his most celebrated judgments, including the Dr. Bonham’s Case. On this occasion he applied natural law even to justify the invalidity of Acts of Parliament.33 In order to explain why the London College of Physicians was not entitled under the common law to punish Mr Bonham for practising medicine in the city without a professional licence, Coke declared: And it appears in our books, that in many cases the common law will controul acts of Parliament, and sometimes adjudge them to be utterly void; for when an act of Parliament is against common right and reason, or repugnant, or impossible to be performed, the common law will controul it and adjudge such act to be void.34 This judgement is broadly recognised as having laid down the foundations for the modern doctrine of judicial review.35 While the dictum indubitably uncovers one of the most indispensable premises of judicial review over parliamentary legislation, Coke actually was not so much advocating the supremacy of the courts but the sovereignty of a higher law which is binding on both Parliament and the 32 33 34 35 36 37 38 39 40 judiciary.36 Indeed, Coke contended that the source of the English law lied not so much in human power or wisdom, but in the wisdom and righteousness of God. Coke’s opinion was the common understanding amongst the judges and lawyers of England. In 1592, in the Ratcliff’s Case37, the English law is said to rest primarily upon the law of God, whereas in the Herbert’s Case38 the same law is declared in keeping with the ‘perfection of reason’ as manifested by God. Furthermore, in R v Love (1653) Justice Keble pronounced: ‘Whatsoever is not consonant to the law of God, or to right reason which is maintained by scripture, … be it Acts of Parliament, customs, or any judicial acts of the Court, it is not the law of England’.39 Based on this Christian legal tradition, in Third Reports Coke then declares that in knowing the English law one actually knows the mind of God; for the law of England should always be in harmony with the wisdom of God: For as in nature we see the infinite distinction of things proceed from some unity, as many flowers from one root, many rivers from one fountain, many arteries in the body of man from one heart, many veins from one liver, and many sinews from the brain: so without question Lex orta est cum mente divina, and this admirable unity and consent in such diversity of things, proceeds only from God the fountain and founder of all good laws and constitutions.40 Idem. 8 co. Rep. 114. Idem. Christopher Wolfe, The Rise of Modern Judicial Review (1994), 90. In Day v Savadge (1614) Chief Justice Hobart held that ‘even an Act of Parliament, made against natural equity, as to make a man judge in his own case, is void in itself’ (1614) Hob 85. Edward S. Corwin: “While Coke regarded the ordinary courts as peculiarly qualified to interpret and apply the law of reason, he also… recognized the superior claims of the High Court of Parliament as a law declaring body. Indeed,… his last years were especially devoted to asserting the competence of Parliament in this respect”. The Higher Law Background of American Constitutional Law (2008), 49. (1592) 3 Co. Rep. 37 at 40a. (1586) 3 Co. Rep. 11b at 13b. (1653) 5 State Tr 825 at 828. Sir Edward Coke, Third Reports, 3, Cii. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 33 But as it happens Coke deeply angered King James when he stated that even the monarch himself is bound by the law. Coke believed that on matters of law the king is substantially on the same footing as any other subject of his kingdom.41 Because such position was viewed as treasonable by King James, he felt himself compelled to appeal to Lord Bracton in order to remind the king that even the monarchs of England are supposed to be ‘under God and the Law’. According to Lord Denning, one of the most celebrated English judges of the past century, Those words of Bracton quoted by Coke, ‘The King is under no man, save under God and the law’ epitomise in one sentence the great contribution made by the common lawyers to the Constitution of England. They (the common lawyers) insisted that the executive power in the law was under the law. In insisting upon this they were really insisting on the Christian principles (of the common law). If we forget these principles, where shall we finish? You have only to look at the totalitarian systems of government to see what happens. The society is primary, not the person. The citizen exists for the State, not the State for the citizen. The rulers are not under God and the law. They are a law unto themselves. All law, all courts are simply part of the State machine. The freedom of the individual, as we know it, no longer exists. It is against that terrible des- potism, that overwhelming domination of human life that Christianity has protested with all the energy at its command.42 This Christian legal tradition was passionately defended by Sir William Blackstone (1723-1780) in the eighteenth century. In 1753, Blackstone entered history by delivering the first series of lectures on the common law ever presented in an English university. After leaving academia Blackstone published these lectures in the form of Commentaries on the Laws of England (1765-1768). Through the pages of this book the common law received its first comprehensive treatment and exposition.43 Indeed, Commentaries is described as the first accessible, authoritative, and comprehensive guide to the complexities of the common law.44 In Commentaries Blackstone contends that God has established the state as a merely delegated authority, not as an autonomous power above the law. To avoid tyranny, he concluded, no law shall be valid if it contradicts the natural law which maintains and regulates our inalienable rights to life, liberty, and property. Blackstone thus associated the legal protection of these rights with ‘the eternal immutable laws of good and evil, to which the Creator Himself and all His dispensations conforms; and which He has enabled human reason to discover, so far as they are necessary for the conduct of human actions’45. This being the case, Blackstone added: ‘No human laws should be suffered to contradict these 41 Thomas G. Barnes, ‘Introduction to Coke’s Commentary on Littleton’, in A.D. Boyer (ed.), Law, Liberty, and Parliament: Selected Essays on the Writings of Sir Edward Coke (2004), 13. 42 The Rt Hon Sir Alfred (later Lord) Denning, The Changing Law (1986), 117-8. 43 Wilfrid Prest, William Blackstone: Law and Letters in the Eighteenth Century (2008), 292. 44 Albert W. Alschuler writes: “The most notable aspect of the structure of Blackstone’s Commentaries was simply that the book had a structure. The common law had grown in a haphazard fashion through the issuance of royal writs, and the system of civil pleading of Blackstone’s era depended on finding an appropriate write and pleading it. The common law had no more structure than the writ system gave it, and the ad hoc character of English law, evident in such works as Charles Viner’s Abridgment, was the principal reason why Roman law was thought more suitable for university study. Before the appearance of the Commentaries, an author declared: “It has been thought impracticable to bring the laws of England into a method and therefore a prejudice has been taken up against the study of our laws… as if there was no way to attain to the knowledge of them but by a tedious wandering about…”. ‘Rediscovering Blackstone’ (1994) University of Pennsylvania Law Review 1, 8. 45 Idem, 40-1. 34 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] [natural and eternal] laws ... Nay, if any human law should allow or enjoin us to commit it, we are bound to transgress that human law, or else we must offend both the natural and the divine.’46 Blackstone’s theological interpretation of the common law was not unusual but rather mirrored in the American federal courts during its first decades, with most American judges placing their reliance on natural-law theory when adjudicating matters of law. Within this legal context, the concept of natural law (and natural rights) was deeply promoted and advocated by outstanding American jurists such as US Supreme Court Chief Justice John Marshall (1755-1835) and Joseph Story (1779-1845), the first Dane Professor of Law at Harvard University and Associate Justice of the US Supreme Court. Justice Story linked the common law to the rights of conscience, which ‘are given by God, and cannot be encroached upon by human authority, without a criminal disobedience of the precepts of natural, as well as revealed religion.’47 Christian Jurisprudence and the Roots of Western Constitutionalism In the constitutional struggle of parliamentary forces with the Stuarts in seventeenth-century England, the receptive attitude to the Christian religion allowed philosophers such as John Locke (1632-1704) to build upon Coke and Fortescue a legal theory whereby the main justification for the state lies in the legal protection of our basic rights to life, liberty and property. Published in 1690, Locke’s Two Treatises of Government elaborates on a ‘state of nature’ which predates the establishment of the first civil government. In such a state of nature there is no positive law but only a natu- ral law that everyone by reason is able to recognise and uphold. ‘This law of nature’, Locke explained, stands as an eternal rule to all men, legislators as well as others. The rules that they make for other men’s actions must, as well as their own and other men’s actions, must be conformable to the law of nature, i.e. to the will of God of which that is a declaration. And the fundamental law of nature being the preservation of mankind, no sanction can be good or valid against it…48 Locke thereby believed that our most fundamental rights are independent of, and antecedent to, the establishment of the state. As a result, Locke added, the state ‘hath no other end but the preservation of these rights, and therefore can never have a right to destroy, enslave, or designedly to impoverish the subjects’.49 According to him, the state puts itself into a ‘state of war’ against the citizen every time it attempts to undermine his or her rights to life, liberty and property. Being deemed natural and inalienable, these rights set limits on the state and provide grounds for civil resistance against political tyranny should they be violated. Insofar as the state does not fully protect our basic rights it actually ceases to be a legitimate authority and can therefore be dismissed for breach of trust. As Locke put it, The legislative being only a fiduciary power to act for certain ends, there remains still in the people a supreme power to act for certain ends, there remains still in the people a supreme power to remove or alter the legislative, when they find the legislative contrary to the trust reposed in them. For all power given with trust for the attaining an end being limited by that 46 Sir William Blackstone, The Sovereignty of the Law—Selections from Blackstone’s Commentaries on the Laws of England (1973), 27-31 47 Joseph Story, Commentaries on the Constitution of the United States (1833), 1399. 48 John Locke, Second Treatise of Government (1689), Chap.11, Sec. 135. 49 Idem, Chap.13. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 35 end, whenever that end is manifestly neglected or opposed, the trust must necessarily be forfeited, and the power devolved into the hands of those that gave it, who may place it anew where they shall think best for their safety and security.50 Whenever the legislators endeavour to take away and destroy the property of the people [i.e., their rights to life, liberty and property], or to reduce them to slavery under arbitrary power, they put themselves into a state or war with the people, who are thereupon absolved from any further obedience, and are left to the common refuge which God hath provided for all men against force and violence.51 In the American colonies of the eighteenth century, Locke was, after the Bible, ‘the principal authority relied on by the preachers to bolster up their political teachings’.52 The general belief expressed in the American Declaration of Independence (1776) that ‘all men are created equal and are endowed by their Creator with certain unalienable rights’, reveal that those colonists viewed their revolution as wholly justified on these Christian principles of natural law, and further aimed to enshrine these very principles in their new system of constitutional government. That the American Founding Fathers undeniably drew from these Christian principles during the composition of the Declaration is well explained by Professor John Eidsmoe: The Declaration of Independence of 1776 was drafted by a congressional committee consisting of Thomas Jefferson, Benjamin Franklin, Roger Sherman, John Adams, and Robert Livingstone. The Declaration clearly states that the united colonies are entitled to independence by the “Laws of Nature and of Nature’s God.” They further declared that “all men are created equal,” and that they are endowed “by their Creator” with certain inalienable rights. They closed by appealing to the “Supreme Judge of the world for the rectitude of [their] intentions,” declaring their “firm reliance on the protection of Divine Providence,” and pledged their lives, their fortunes, and their sacred honor. The “Creator” God they trusted was more than the impersonal and uninvolved god of the deists; the term providence implies a God who continually provides for the human race. And the reference to the laws of nature and of nature’s God reflects their belief in the law of nature and the revealed law described by Blackstone.53 As can be seen, Christian jurisprudence has played an enormously important role in the foundation of the United States. The view adopted by the American Founding Fathers is that people cannot know the natural moral order (and as such their own individual rights) from their own reasoning, unaided by God’s revelation. There are, of course, those who resist the relationship of law to a supernatural Creator because they fear it might lead to intolerance or even theocracy. They have got this entirely wrong. After all, if we are ‘endowed by their Creator with certain unalienable rights’, then we are also entitled to the legal protection of our basic rights no matter our own personal convictions or whether we have allegiance to any religion at all. Thomas Jefferson, the author of the Declaration of Independence, once asked rhetorically: ‘Can the liberties of a nation be secure when we have removed their only secure 50 51 52 53 Idem. Idem, Chap.19. William Molyneux, Case of Ireland’s being bound by acts of parliament in England stated (1689), 100. House, above n 2, 91; Blackstone’s Commentaries on the Laws of England was a huge success in the Americas – for many, it was their first comprehensive and clear insight into the English legal system and it was this example which many future American lawmakers modelled their laws upon. 36 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] basis, a conviction in the minds of the people that these liberties are a gift of God?’ 54 Despite current assertions to the contrary, constitutionalism in the West is founded upon the premise which puts God, not the state, as the ultimate creator of our basic rights and liberties. As Alexander Hamilton, the principal architect of the American Constitution, put it in 1787: The sacred rights of mankind are not to be rummaged for amongst old parchments or musty records. They are written, as with a sunbeam, in the whole volume of human nature by the hand of divinity itself, and can never be erased or obscured.55 Contemporary Christian Jurisprudence Until the eighteenth century the concept of natural law was deemed superior to any other in the West. After the second half of the nineteenth century, however, the idea of natural law practically disappeared, being obliterated as it was by the so-called ‘scientific’ spirit of the age. The hibernation of the natural law came to an end only after World War II. A legal thinker who changed his mind after the war was Gustav Radbruch (1878-1949), a leading exponent of legal positivism (and moral relativism) during Pre-Nazi Germany. And yet, in the fourth edition of Rechtsphilosophie, which was published posthumously in 1950, Radbruch surprised everyone by arguing that where a positive law is incompatible with universal principles of natural justice ‘to an intolerable degree’, or where such law is designed in a way that violates ‘the equality that is the core of all justice, the people own them no obedience and lawyers, too, must find the courage to deny them the character of law’.56 Radbruch thus applied this understanding to the Nazi legal system, and concluded that its positive commands ‘did not partake of the character of law at all; they were not just wrong law but were no law of any kind’.57 Undoubtedly, one of the most celebrated legal theorists in the West today is John Finnis. He is a self-confessed Roman Catholic who defines law as a set of rules and principles to be directed to the pursuit of the ‘common good’. The law’s main function, Finnis argues, is to assist people ‘to co-ordinate their activities for the objectives and commitments they have chosen’.58 According to Finnis, however, the question of whether or not one can disobey unjust laws cannot be answered in absolute terms. Such answer ‘is highly contingent upon social, political, and cultural variables’.59 One needs as such to consider whether civil disobedience so as to bring about a legal system into disrepute may produce more harm than good.60 Accordingly, any revolutionary uprising against an evil authority can only be justified ‘where there is a manifest, long-standing tyranny which would do great damage to fundamental personal rights and dangerous harm to the common good of the country’.61 Another important Western legal philosopher is J. Budziszewski, a professor in the departments of Government and Philosophy at the University of Texas at Austin. Budziszewski describes natural law as principles that are both right and knowable to everybody by ‘right reason’. And yet, he thinks that reason cannot stand by itself, and that one only comes to entirely know the law through 54 Cited in R.J. Rushdoony, The Politics of Guilt and Pity (Fairfax Thoburn Press, 1978) at 135. 55 Quoted in J.A. Joyce, The New Politics of Human Rights (Macmillan, 1978), p.7. 56 Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie (4th ed, 1950). Quoted from John M. Kelly, A Short History of Western Legal Theory (1991), 419 57 Idem. 58 John Finnis, ‘Is Natural Law Theory Compatible With Limited Government?’, in Robert P. George (ed), Natural Law, Liberalism and Morality (1996), 6. 59 John Finnis, Natural Law and Natural Rights (1980), 362 60 Idem, 36. 61 Pope Paul VI, Popularum Progressio (1967), parag. 31. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 37 divine revelation. Thus he mentions five forms of obtaining such revelation: (1) creation’s testimony to the existence of the true God; (2) ‘the fact that we are made in the image of God’; (3) ‘the facts of our physical and emotional design’; (4) ‘the law of conscience’; (5) ‘the order of causality, which teaches us by liking every sin with consequences (Proverbs 1:31)’62 Budziszewski also explains that, in his opinion, ‘the doctrine of natural law is grounded by the second, third, fourth, and fifth ways of general revelation’. Elsewhere he comments that the first general revelation must be regarded as the most important of all, otherwise the natural law would lose its force if it were not observed as the law of a personal Creator.63 Although it is not so common for Western lawyers in these days to address theological questions,64 Budziszewski is not ashamed of advocating the supremacy of the natural law by directly appealing to the Bible.65 If Budziszewski is correct in his assumption that which is beside Scripture can only be vindicated with the assistance of Scripture, then any argument in favour of the natural law must be an argument which is supported by Scripture. Although accepting the logical consequences of this bold assumption, Budziszewski is quite comfortable with his conclusion, especially because he does not really mean that every argument favouring the natural law needs necessarily be followed by literal scriptural confirmation. What his legal theory implies is rather that when an argument attempts to trace the natural law back to its ultimate foundation, that foundation is that located in Scripture.66 Conclusion The idea of natural law can be traced to the classical philosophy of the ancient Greeks and Romans, through several Christian medieval writers, and down to modern times. Christian theologian-philosophers, such as St Augustine and St Thomas. The history of the natural law illustrates the fundamental importance of Christian philosophy in the development of the Western legal tradition, including its tradition of individual rights and government under the law.67 Indeed, Christian principles of natural law are enshrined in the most significant legal documents in Western constitutional history, including the Magna Carta (1215), the Bill of Rights (1689), and the American Declaration of Independence (1776).68 To ignore this fact results in a diminished understanding of the rule of law and the principles that underpin it in Western societies. IBLIOGRAPHY Antieu, Chester J., The Higher Laws: Origins of Modern Constitutional Law, William S Hien & Co, 1994. Aquinas, Thomas, Summa Theologiae, T&T Clark, 2010. Alschuler, Albert W., ‘Rediscovering Blackstone’ (1994) University of Pennsylvania Law Review 1. Barnes, Thomas G., ‘Introduction to Coke’s Commentary on Littleton’, in A.D. Boyer (ed.), Law, Liberty, and Parliament: Selected Essays on the Writings of Sir Edward Coke, Liberty Fund, 2004. J. Budziszewski, Written on the Heart: The Case for Natural Law (1997), 180-1. Idem, 210. John F. Frame. The Doctrine of the Christian Life (2008), 243. Budziszewski, above n.62, 183-4. Frame, above n.65, 245. On the formation of the western legal tradition, see Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation of the Western Legal Tradition (1983). 68 See Corwin, above n.36 . See also Chester J. Antieau, ‘Natural Rights and the Founding Fathers—the Virginians’ (1960) 17 Washington and Lee Law Review 43. 62 63 64 65 66 67 38 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Berman, Harold J., Law and Revolution: The Formation of the Western Legal Tradition, Harvard University Press, 1983. Blackstone, William, The Sovereignty of the Law: Selections from Blackstone’s Commentaries on the Laws of England, University of Toronto Press 1973 Bracton, Henry, On the Laws and Customs of England, Vol. II, Harvard University Press,1968. Brauch, Jeffrey A., Is Higher Law Common Law? Readings on the Influence of Christian thought in Anglo-American Law, Rothman, 1999. Budziszewski, J., Written on the Heart: The Case for Natural Law, Crossway, 1997. Coke, Edward Coke, Selected Writings, Vols. I, II & III, Liberty Fund, 2003. Corwin, Edward S., The Higher Law Background of American Constitutional Law Liberty Fund, 2008. Denning, Alfred, The Changing Law, Stevens & Sons, 1986. Finnis, John, ‘Is Natural Law Theory Compatible With Limited Government?’ in Robert P. George (ed), Natural Law, Liberalism and Morality, Oxford University Press, 1996. Fortescue, John, De Laudibus Legum Angliae, Cambridge University Press, 1949. Frame, John F., The Doctrine of the Christian Life, R&R Publishing, 2008. George, Robert P., A Preserving Grace: Protestants, Catholics, and Natural Law (1997), 94. George, Robert P., In Defense of Natural Law, Oxford University Press, 1999. Goldsworthy, Jeffrey, The Sovereignty of Parliament: History and Philosophy, Oxford University Press, 1999. Hittinger, Russell, The First Grace: Rediscovering Natural Law in a Post-Christian Age (2003). Kelly, John M., A Short History of Western Legal Theory, Oxford University Press, 1991. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Locke, John, Political Writings, Penguin Books, 1993. Parkinson, Patrick, Tradition and Change in Australian Law, 2nd ed, Thomson, 2001. Perks, Stephen C., Christianity and Law: An Enquiry into the Influence of Christianity on the development of English Common Law, Avant Books, 1993. Phillips, O.H. & Johnson, P., O. Hood Phillips’ Constitutional and Administrative Law, Sweet & Maxwell, 1987. Prest, Wilfrid, William Blackstone: Law and Letters in the Eighteenth Century, Oxford University Press, 2008. Rushdoony R.J., The Politics of Guilt and Pity, Fairfax Thoburn, 1978. St Augustine, The City of God, Hendrickson, 2009. Story, Joseph, Commentaries on the Constitution of the United States, Hilliard, Gray & Co, 1833. Schaeffer, Francis A., A Christian Manifesto, Crossway, 2005. Wolfe, Christopher, The Rise of Modern Judicial Review, Rowman & Littlefield, 1994. Wu, John C.H., Fountain of Justice: A Study in the Natural Law, Shee and Ward, 1955. 39 TRANSAKSI DERIVATIF SEBAGAI PRODUK HUKUM Johannes Ibrahim Kosasih*) Abstrak Transaksi Derivatif merupakan produk perbankan dan keuangan yang menuai berbagai masalah di dalam praktik sehubungan dengan berbagai penyalahgunaan yang dilakukan oleh pelaku transaksi. Sebagai suatu produk, tidak secara keseluruhan transaksi ini merugikan, walaupun dapat dikategorikan sangat berisiko. Dalam praktik keuangan dikatakan “High Risk, High Return”, berarti bila investor berminat terhadap suatu produk dengan nilai “return” yang tinggi, risikonyapun demikian. Tidak secara keseluruhan transaksi derivatif diperkenankan, untuk transaksi yang dikelompokan “structured product” dilarang dikarenakan dapat membahayakan kestabilan Rupiah. Pengaturan transaksi derivatif diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Transaksi Derivatif sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/38/PBI/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif berlandaskan asas kehati-hatian (prudential banking). Pendahuluan Sistem devisa bebas yang diterapkan oleh pemerintah memicu pergerakan nilai Rupiah terhadap berbagai jenis valuta asing dalam pasar keuangan dan perbankan di Indonesia dengan pasar keuangan global, termasuk di dalamnya adalah transaksi derivatif. Transaksi derivatif merupakan kegiatan bisnis yang patut diantisipasi dengan berbagai pengaturan yang ketat dan penuh kehati-hatian sehubungan transaksi derivatif sangat mempengaruhi terhadap kestabilan Rupiah. Berbagai kasus mengenai transaksi derivatif yang mengoyak dunia perbankan dimulai dari kasus Dicky Iskandardinata (Bank Duta), PT Nubika Jaya dengan Standard Chartered Bank, juga kasus yang sama dengan PT Permata Hijau Sawit, PT Victorindo Alam Lestari dan berbagai kasus lainnya yang belum terpublikasikan secara luas. Transaksi yang dilakukan oleh para pihak umumnya berbentuk Callable Ratio forward Currency ( Callable Forward), Target Redemption Forward (Target Forward) dan berbagai bentuk derefikasi produk lainnya dapat berupa Dual Currency Deposit (DCD), Knock Out Forward Weekly Accumulator. Transaksi-transaksi derivatif yang termasuk structured product telah dilarang dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 10/42/ DPD tanggal 27 November 2008 perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank.1 Bank Indonesia selaku otoritas moneter menerbitkan berbagai kebijakan dalam menata transaksi derivatif melalui Peraturan *) Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha. 1 Yang dimaksud dengan structured product Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 10/42/DPD tanggal 27 November 2008 perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank adalah: “Produk yang dikeluarkan oleh bank yang merupakan kombinasi suatu aset dengan derivatif dari mata uang asing terhadap mata uang Rupiah, untuk tujuan mendapatkan tambahan income (return enhancement), yang dapat mendorong pembelian valuta asing terhadap Rupiah dengan tujuan spekulatif, dan dapat menimbulkan ketidakstabilan Rupiah. 40 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] “Hak Untuk membeli atau menjual property; hak ini diberikan dalam pertukaran dengan suatu jumlah uang yang sudah disetujui. Bila hak itu tidak dilaksanakan setelah suatu periode tertentu, opsi itu habis masa berlakunya dan pembeli opsi kehilangan uangnya.” Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Transaksi Derivatif sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/38/PBI/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/ PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif. Pengertian dan Jenis-Jenis Transaksi Derivatif Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/ 2005 tanggal 13 September 2005 tentang Transaksi Derivatif memberi batasan mengenai transaksi derivatif sebagai: “Transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrument, namun tidak termasuk transaksi derivatif kredit.” John Downes dan Jordan Elliot Goodman mendefinisikan Instrumen Derivatif atau turunan adalah:2 “Instrumen keuangan dengan nilai yang didasarkan pada sekuritas lain. Sebagai contoh, suatu opsi adalah instrument turunan karena nilainya diturunkan dari saham, indeks saham, atau futures yang menjaminnya”. Instrumen finansial yang digunakan dalam transaksi derivatif dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Opsi Pengertian opsi dapat dikategorikan secara “umum” dan “sekuritas”. Pengertian Umum dari opsi adalah:3 2 3 a. b. Pengertian opsi dari sekuritas adalah: “Suatu opsi call memberikan hak kepada pembelinya untuk membeli 100 saham dari sekuritas yang menjadi opsi pada suatu harga tetap sebelum suatu tanggal tertentu di masa datang. Biasanya tiga, enam, atau Sembilan bulan. Untuk mendapatkan hak ini pembeli opsi call membayar kepada penjualnya, yang dinamakan writer (penulis), suatu biaya yang dinamakan premi, yang menjadi hangus bila pembeli tidak melaksanakan opsinya sebelum tanggal yang sudah disetujui bersama. Lawan dari opsi call adalah opsi put, yang memberi hak kepada pembelinya untuk menjual suatu jumlah saham tertentu pada suatu harga tertentu dalam periode yang telah ditentukan. Pembeli put mengharapkan harga dari saham yang menjamin put akan jatuh.” Dapat disimpulkan bahwa opsi adalah suatu kontrak di mana salah satu pihak menyetujui untuk membayar sejumlah imbalan kepada pihak lainnya untuk suatu “hak” untuk membeli atau menjual sesuatu kepada pihak lainnya. 2. Swap John Downes dan Jordan Elliot Goodman mendefinisikan “swap” dengan: “Mempertukarkan satu sekuritas dengan sekuritas lain. Barter dapat dilaksanakan untuk mengubah jatuh tempo obligasi John Downes dan Jordan Elliot Goodman. Kamus Istilah Keuangan dan Investasi. Jakarta: Elex Media Komputindo, 1991, hlm. 137. Ibid., hlm. 382-383. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 41 portepel atau mutu emisi suatu portepel saham atau obligasi, atau karena tujuan investasi sudah berubah. Investor yang menderita kerugian obligasi portepel seringkali membarterkannya dengan obligasi berhasil serahan lebih tinggi, agar mampu menambah pendapatan atas portepel mereka dan merealisasi kerugian pajak.” Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/36/ PBI/2005 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai memberikan beberapa definisi yaitu Transaksi Swap, Transaksi Swap Beli Bank, Lindung Nilai dan Transaksi Swap Lindung Nilai sebagaimana diuraikan di bawah ini:4 “Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui pembelian/ penjualan tunai (spot) dengan penjualan/ pembelian kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan bank yang sama dan pada tingkat premi atau diskon dan kurs yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.” “Transaksi Swap Beli Bank adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui penjualan tunai (spot) dengan pembelian kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan Bank Indonesia dan pada tingkat premi atau diskon dan kurs pada tanggal transaksi dilakukan.” “Lindung Nilai adalah cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi harga di pasar keuangan.” “Transaksi Swap Lindung Nilai adalah transaksi swap beli Bank dalam valuta asing terhadap Rupiah, dalam rangka lindung nilai yang dilakukan antara Bank dengan Bank Indonesia.” 4 5 42 “Underlyng Transaksi Swap Lindung Nilai (disebut juga Underlyng Transaksi) adalah transaksi swap yang dilakukan antara Bank dengan nasabahnya yang selanjutnya akan ditransaksikan ke Bank Indonesia melalui Transaksi Swap Lindung Nilai “ 3. Forward John Downes dan Jordan Elliot Goodman mendefinisikan “forward contract (kontrak di muka)“ dan Forward Exchange Transaction (transaksi valuta asing di muka) dengan:5 “Pembelian atau penjualan suatu jumlah tertentu dari suatu komoditas, sekuritas pemerintah, valuta asing, atau instrumen keuangan lain pada harga yang berlaku sekarang atau harga tunai, dengan penyerahan dan penyelesaian pada suatu tanggal nanti yang telah ditentukan. Karena itu suatu kontrak yang telah diselesaikan, berlawanan dengan kontrak opsi yang pemiliknya masih mempunyai pilihan untuk menyelesaikan atau tidak menyelesaikan suatu kontrak dimuka dapat menjadi pelindung untuk suatu futures contract.” “pembelian atau penjualan valuta asing pada nilai tukar yang ditetapkan sekarang tetapi dengan pembayaran dan penyerahan pada suatu saat yang telah ditentukan. Kebanyakan kontrak valuta asing di muka mempunyai jatuh tempo satu, tiga, atau enam bulan, walaupun kontrak dalam mata uang penting biasanya dapat diatur untuk diserahkan pada setiap tanggal yang telah ditentukan sampai satu tahun, bahkan terkadang sampai tiga tahun.” Lihat Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/36/PBI/2005 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai, Pasal 1 butir (2), (3), (4), (5), (6). John Downes dan Jordan Elliot Goodman. Op.cit., hlm. 207. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 4. Dual Currency Deposit (DCD)6 Dual Currency Deposit (DCD) merupakan deposito jangka pendek yang di dalamnya terdapat kemungkinan terjadi konversi antara valuta asing dengan mata uang Rupiah, yang bunganya dihubungkan dengan pergerakan kurs dari dua mata uang tersebut. Pada saat jatuh tempo, nasabah akan menerima pokok dan bunga dalam mata uang penempatan deposito atau dalam mata uang pasangannya, tergantung mana yang lebih lemah dibandingkan dengan kurs konversi yang disetujui. Contoh: Kurs spot Mata uang yang diterima Junlah yang diterima Skenario 1: jika kurs spot < Strike: 11.000 10.000 USD IDR 1 miliar + (IDR 1 miliar*15%*30/360)= IDR 1.0125 miliar/12.000= USD 101,250 5. Callable Forward Callable Forward adalah instrument investasi yang dilakukan nasabah dengan melakukan kombinasi transaksi forward dan option. Misalnya menggabungkan long forward and short call option, dengan harapan untuk memperoleh harga yang lebih baik dari harga pasar. Contoh (1): a. Nasabah melakukan kontrak forward dan option selama 3 bulan dengan Bank, dengan total 12 (dua belas) kontrak option, sejak 1 Desember 2008 sampai dengan 16 Februari 2009, dengan rincian sebagai berikut: 1) Volume: USD 5.000.000 (lima juta US dollar) 2) Kurs spot rate: 12.000. 3) Nasabah melakukan kontrak forward 3 bulan dengan cara melakukan: 6 Buy call option: strike price = 12.300 (Weekly exercise) • Sell put option: strike price = 12.300 (Weekly exercise) b. Akibat dari pembelian valuta asing yang dilakukan melalui transaksi callable forward ini, nasabah memperoleh keuntungan transaksi sebesar Rp 19.500.000.000,00 (Sembilan belas miliar lima ratus juta Rupiah) atau sekitar USD 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu US dollar), dari yang seharusnya hanya Rp • Skenario 2: jika kurs spot >_ Strike: 11.000 12.000 IDR IDR 1 miliar + (IDR 1 miliar *15%*30/360)= IDR 1.0125 miliar 3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta Rupiah) atau ekuivalen USD 270.000 (dua ratus tujuh puluh ribu US dollar),dengan rincian: 1) Rupiah terus mengalami pelemahan, di mana spot price pada tanggal 16 Februari 2009 mencapai Rp 13.000,- (tiga belas ribu Rupiah) per USD. 2) Pada saat kurs lemah, yang terjadi adalah: · Nasabah akan meng-exercise call option nya sehingga nasabah dapat membeli di harga Rp.12.300,00 namun membiarkan put option-nya worthless, sehingga nasabah menjual pada harga pasar. · Kurs konversi yang digunakan Lihat lebih lanjut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 10/42/DPD tanggal 27 November 2008 perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank, perihal kegiatan spekulatif dalam kelompok “structured product”. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 43 juga dapat berbeda-beda tergantung kesepakatan nasabah dan Bank. Produk derivatif dalam butir (4) dan (5) di atas dapat dikategorikan sebagai bentuk Fixing Expiry date Spot Onshore Strike Volume Nasabah buy to bank (jt Rp) Nasabah sell to market (jt Rp) Profit/ loss (jt Rp) 1 2 3 4 …. 12 1 Des 8 Des 15 Des 22 Des …. 16 Feb 12,000 12,100 12,500 12,500 ….. 13,000 12,300 12,300 12,300 12,300 ….. 12,300 USD 5 juta USD 5 juta USD 5 juta USD 5 juta ….. USD 5 juta 61,500 61,500 61,500 61,500 ….. 61,500 60.000 60,500 62,500 62,750 ….. 65,000 TOTAL (1,500) (1,000) 1,000 1,250 ….. 3,500 19,500 Contoh (2) : a. Nasabah PT X akan menerima export proceed dalam US Dollar, dan bermaksud untuk menjual US Dollar tersebut secara mingguan dalam 1 (satu) tahun ke depan (total kontrak sebanyak 52 kontrak), melalui transaksi callable forward dengan harapan memperoleh rate yang lebih baik dari market rate, dengan rincian sebagai berikut: · Deal rate : 1 Desember 2008. · Tenor : 1 tahun, jatuh tempo 1 Desember 2009. · Spot rate : 12.000. · Callable forward rate 1 year: 13.000 = strike price. b. Dalam transaksi callable forward, PT X melakukan “sell call” dengan nominal USD 1.000.000 (satu juta US Dollar), dan melakukan “buy put” dengan nominal USD 1.000.000 (satu juta US Dollar). kegiatan yang dilarang dalam kelompok “structured product”. Perjanjian Sebagai Dasar Transaksi Derivatif Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/ 2005 tanggal 13 September 2005 tentang Transaksi Derivatif menjelaskan bahwa transaksi derivatif harus didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran. Hal ini berarti untuk timbulnya hubungan hukum diantara para pihak ketentuan dalam hukum perjanjian (Buku III KUHPerdata) sebagai rujukannya. Pasal 1320 KUHPerdata menerangkan untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. “Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal”. Fixing Expiry date Spot Onshore Strike Nominal Transaksi 1 2 3 4 5 … dst 1 Des 8 Des 15 Des 22 Des 29 Des … dst 12,000 12,100 12,500 12,550 12,600 … dst 13,000 13,000 13,000 13,000 13,000 … dst USD 1 juta USD 1 juta USD 1 juta USD 1 juta USD 1 juta … dst 44 PT X buy to market (jt Rp) 12,000 12,100 12,500 12,550 12,600 … dst PT X sell to Bank (jt Rp) 13,000 13,000 13,000 13,000 13,000 … dst Profit/ loss (jt Rp) 1,000 900 500 450 400 … dst Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Mengkaji unsur-unsur keabsahan suatu perjanjian Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Transaksi Derivatif memberikan berbagai rambu-rambu yang harus ditaati oleh para pihak di dalam hubungan hukum ini. Kesepakatan yang terjadi harus berdasarkan kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri, sehingga apabila Bank dalam tindakannya melakukan transaksi derivatif untuk kepentingan nasabah7 di dalam Pasal 4 ayat (1) harus dipenuhi, yaitu: “Bank wajib memberikan penjelasan secara lengkap kepada nasabah yang akan melakukan Transaksi Derivatif.“ Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa: “Penjelasan secara lengkap kepada nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi penjelasan atas: a. risiko kredit (credit risk); b. risiko penyelesaian (settlement risk); c. risiko pasar (market risk); d. adanya kemungkinan saldo Margin Deposit dapat menjadi nihil bahkan negatif sehingga Bank dapat meminta nasabah untuk menambah Margin Deposit apabila nasabah akan melanjutkan atau menutup transaksi Margin Trading.” Apabila pihak Bank memenuhi ketentuan dimaksud maka kesepakatan telah tercapai diantara para pihak dan tidak terjadi sesuatu yang menghalangi kesepakatan tersebut.8 Kecakapan dalam mengikatkan diri bagi kedua belah pihak di dalam Transaksi Derivatif ditentukan bahwa Bank yang dalam 7 8 9 melaksanakan kegiatan ini adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia. Suatu hal tertentu merupakan objek dari Transaksi Derivatif sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 4 ayat (4) wajib mencakup paling sedikit adalah: a. Pagu transaksi derivatif; b. Base currency yang digunakan; c. Jenis valuta atau instrumen yang dipertukarkan; d. Penyelesaian transaksi derivatif (settlement risk); e. Pembukuan laba atau rugi Transaksi Derivatif yang dilakukan; f. Pencatatan atas posisi laba atau rugi; g. Metode atau cara transaksi derivatif; h. Besarnya komisi; i. Penggunaan kurs konversi; j. Advis dan konfirmasi transaksi derivatif; k. Kerahasiaan; dan l. Domisili dan hukum yang berlaku. Sedangkan khusus untuk kontrak transaksi Margin Trading , selain mencakup materi di atas, juga wajib memuat hal-hal sebagai berikut: a. Jumlah Margin Trading; b. Maintenance Margin yang ditentukan; dan c. Hak dan kewajiban nasabah. Substansi kontrak dimaksud dalam pelaksanaannya harus dicetak dalam huruf yang besar sehingga memudahkan untuk dibaca.9 Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Transaksi Derivatif, menjelaskan bahwa transaksi derivatif dapat dilakukan baik untuk kepentingan bank sendiri maupun untuk kepentingan nasabah. Lihat Pasal 1321 KUHPerdata: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa: (1) Pelaku usah dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 45 Suatu sebab yang halal. Transaksi Derivatif tidak dapat bertentangan dengan model transaksi structured product, hal ini dihindari karena dapat memicu pergerakan valuta asing terhadap Rupiah yang tidak terkendali sehingga dapat mengakibatkan ketidak stabilan Rupiah. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/ 2005 tanggal 13 September 2005 tentang Transaksi Derivatif merupakan kaidah hukum memaksa (dwingenrecht) sehingga wajib untuk ditaati oleh para pihak. Posisi Para Pihak dalam Transaksi Derivatif Keseimbangan dalam suatu perjanjian dapat diterapkan dalam Transaksi Derivatif apabila pihak Bank dalam melakukan transaksi untuk kepentingan nasabahan melakukan hal-hal di bawah ini: 1. Memberikan penjelasan tentang risiko dalam transaksi derivatif seperti misalnya: a. risiko kredit (credit risk)10; b. risiko penyelesaian (settlement risk)11; c. risiko pasar (market risk)12; 2. Bank memfasilitasi dan tidak menawarkan terhadap nasabahnya kegiatan yang bersifat spekulatif, dengan underlying a. menyetakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli kosumen; c. menyatakanbahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengaur perihal pembktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. menyatkan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dlarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. 10 Risiko kredit merupakan risiko yang paling signifikan dari semua risiko yang menyebabkan kerugian potensial. Risiko kredit adalah risiko yang terjadi karena kegagalan debitur, yang menyebabkan tak terpenuhinya kewajiban untuk membayar hutang. Secara garis besar, risiko kredit dapat dibagi menjadi 3 (tiga): risiko default, risiko exposure, dan risiko recovery. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas Bank, antara lain: pemberian kredit, transaksi derivatif, perdagangan instrumen keuangan, serta aktivitas Bank yang lain, termasuk yang tercatat dalam banking book maupun trading book. 11 Lihat lebih lanjut. www.bi.go.id, sistem pembayaran mengemukakan pentingnya risiko penyelesaian: “Bank sentral di seantero jagad ini sangat peduli akan risiko atas penyelesaian dari nilai tukar valas. Kepedulian ini begitu kuat mencuat karena gaung dari eksposur yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang melakukan penyelesaian atas nilai tukar. Selain itu juga karena potensi terjadinya persoalan sistemik yang dapat membawa kegagalan atas single trading conterparty. Dan sebagai hasilnya, sebuah kesepakatan yang memadai dari rencana kerja telah diputus guna mengembangkan kerangka kerja yang memperbaiki pengukuran dan pengelola serta dimana mungkin dapat memangkas risiko. Agar supaya kepedulian ini bisa tersebar di wilaya Asia Timur dan Pasifik, anggota dari EMEAP Working Group on Payment and Settlement System menyepakati untuk melakukan sebuah studi kebiasaan yang berlaku dalam penyelesaian nilai tukar di bank komersial dalam wilayah yuridiksi mereka. 12 Risiko Pasar (market risk) adalah suatu risiko yang timbul karena menurunnya nilai suatu investasi karena pergerakan pada faktor-faktor pasar. Empat faktor standar risiko pasar adalah risiko modal, risiko suku bunga, risiko mata uang, dan risiko komoditas. 46 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 3. 4. diantaranya berupa: a. Kegiatan impor barang dan jasa; b. Pembayaran jasa seperti: 1) Biaya sekolah di luar negeri; 2) Biaya berobat ke luar negeri; 3) Biaya perjalanan luar negeri untuk keperluan haji, perjalanan ibadah/ wisata rohani, atau wisata lainnya; 4) Pembayaran atas penggunaan jasa konsultan luar negeri; 5) Pembayaran yang terkait dengan penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia; c. Pembayaran utang dalam valuta asing; d. Pembayaran atas pembelian asset di luar negeri; e. Kegiatan usaha pedagang valuta asing non bank yang memiliki ijin; f. Kegiatan untuk usaha travel agent; g. Penempatan pada simpanan dalam valuta asing. Bank menyampaikan terhadap nasabahnya cara perhitungan di dalam transaksi derivatif yang disebut dengan mark to market. Perhitungan ini didasarkan atas kurs pasar yang telah disepakati pada setiap akhir hari kerja secara konsisten bagi posisi terbuka untuk menentukan kerugian dan keuntungan.13 Mengakomodasikan secara jelas hak dan kewajiban kedua belah pihak di dalam perjanjian derivatif. Manajemen Risiko Operasional Bank Transaksi di dalam praktik perbankan tidak luput dari risiko, apakah risiko tersebut kecil atau besar dan bagaimana para pihak yang terlibat dalam transaksi dimaksud untuk mengantisipasinya. Risiko didefinisikan sebagai peluang terjadi bad outcome (hasil yang buruk), dan besarnya peluang dapat diestimasikan. Selain itu dalam setiap tindakan terdapat Risk event (kejadian risiko) yang diuraikan sebagai potensi terjadinya suatu peristiwa yang menciptakan kerugian (hasil buruk). Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum mengatur agar masing-masing Bank menerapkan Manajemen Risiko14 sebagai upaya meningkatkan efektivitas prudential banking. Konsep Manajemen Risiko yang terintegrasi, diharapkan mampu memberikan suatu sort and quick report kepada Board of Director guna mengetahui risk exposure yang dihadapi Bank secara keseluruhan. Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum yang dapat diterapkan bagi transaksi derivatif dan harus dipenuhi oleh para pihak mencakup berbagai risiko yang harus diantisipasi terdiri atas: Risiko Kredit15, Risiko Pasar16, Risiko Likuiditas17, Risiko Operasional18, Risiko Hukum19, Risiko Reputasi20, Risiko Strategik21, Risiko Kepatuhan22. 13 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Transaksi Derivatif, menjelaskan bahwa posisi terbuka (open position) adalah posisi valuta dasar (base currency) transaksi derivatif yang masih terbuka. 14 Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum menjelaskan pengertian Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari kegiatan usaha Bank. 15 Risiko Kredit adalah Risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya. 16 Risiko Pasar adalah Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh Bank, yang dapat merugikan Bank. Variabel pasar dalam huruf ini adalah suku bunga dan nilai tukar. 17 Risiko Likuiditas adalah Risiko yang antara lain disebabkan Bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh waktu. 18 Risiko Operasional adalah Risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 47 Menurut penulis, Manajemen Risiko Bank merupakan suatu alat atau metoda bagi Manajemen, untuk mengetahui seluruh jenis risiko dari Bank yang dikelolanya, sehingga dapat dilakukan pemantauan, agar Bank tidak menderita kerugian karena unexpected loss23. Penutup Transaksi derivatif merupakan bentuk perjanjian yang lahir di dalam praktik perbankan. Transaksi derivatif berkembang seiring dengan pesatnya pertumbuhan pasar keuangan global dan memberi peluang bagi para pihak untuk berspekulasi untuk meraup keuntungan. Bank Indonesia mengantisipasi usaha spekulatif baik dari perorangan/nasabah maupun lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Transaksi Derivatif juncto Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/6/ 2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Daftar Pustaka Agasha Mugasha. Good Faith Obligation in Commercial Contract. International Bussiness Lawyer, September, 1999. Jack Beatson dan Daniel Friedman. Good Faith and Fault in Contract Law. Oxford: Clarendon Press, 1995. J. Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian II. Bandung: Citra Aditya Bakti:1995. Henry Campbell Black’s. Black’s Law Dictionary. Sixth Edition. St. Paul Minn: West Publishing Co, 1990. Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Edisi Revisi. Jakarta: Pradnya Paramita, 1995. Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/ 2005 tanggal 13 September 2005 tentang Transaksi Derivatif sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/38/PBI/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/31/ PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/ DPD tanggal 27 November 2008 perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank. 19 Risiko Hukum adalah Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna. 20 Risiko Reputasi adalah Risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha Bank atau persepsi negatif terhadap Bank. 21 Risiko Strategik adalah Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi Bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya Bank terhadap perubahan eksternal. 22 Risiko Kepatuhan adalah Risiko yang disebabkan Bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Pengelolaan Risiko Kepatuhan dilakukan melalui penerapan sistem pengendalian intern secara konsisten. 23 Risk loss (risiko kerugian) adalah kerugian yang terjadi sebagai dampak langsung atau tidak langsung dari kejadian risiko. Kerugian tersebut dapat bersifat finansial atau non-finansial. 48 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] PENERAPAN RASIO KECUKUPAN MODAL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN DAYA SAING BISNIS PERBANKAN PADA PERSAINGAN GLOBAL Hassanain Haykal Abstrak Bank sebagai lembaga intermediasi dalam menjalankan kegiatannya tidak terlepas dari berbagai risiko. Risiko yang dihadapi bank dalam upaya meningkatkan perekonomian masyarakat meliputi risiko kredit, pasar, likuiditas, operasional, hukum, reputasi, strategik dan kepatuhan. Salah satu risiko yang cukup signifikan dalam kaitannya dengan ekspansi kegiatan usaha bank, adalah risiko likuiditas, di mana risiko likuiditas tidak dapat dipisahkan dari aspek permodalan bank. Pada prinsipnya, permodalan merupakan penunjang operasional bank, di samping sarana protektif guna meminimalisir risiko yang terjadi akibat adanya transaksi bank yang semakin kompleks. Untuk itu, Bank Indonesia selaku pengawas bank memberlakukan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang dinyatakan dalam rasio modal dibagi Aktiva Tertimbang Menurut Rasio (ATMR). Rasio ini dikenal dengan istilah CAR (Capital Adequacy Ratio), yang berarti rasio kecukupan modal. Penerapan CAR (Capital Adequacy Ratio) di Indonesia, diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, yang ditujukan kepada semua bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvesional di Indonesia, perihal tingkat kesehatan bank umum. Pada persaingan bisnis perbankan yang semakin kompetitif, khususnya dalam kerangka globalisasi peran CAR (Capital Adequacy Ratio) menjadi sangat penting dan krusial, mengingat tidak terpenuhinya prosentase kecukupan modal yang dimiliki oleh suatu bank, akan berakibat gagalnya bank dalam meminimalisir kerugian yang ada. Tidak terantisipasinya kerugian yang terjadi, dapat menimbulkan ekses yang cukup ekstrim, yaitu bank mengalami kebangkrutan. Pada era globalisasi peranan bank akan semakin menonjol, mengingat melalui jasa perbankan, akan memperluas akses perdagangan mulitinasional tanpa batas (borderless), sehingga alur barang dan jasa dapat bergerak dengan cepat dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, dalam memaksimalkan peranannya, bank memerlukan dukungan permodalan yang cukup. Peningkatan permodalan merupakan hal yang wajib dilakukan dalam persaingan bisnis perbankan yang kompetitif, karena untuk dapat bersaing, suatu bank memerlukan berbagai ekspansi, baik dalam lingkup pendanaan maupun perkreditan, hal tersebut tentunya akan memiliki risiko yang cukup besar. Maka guna mengantisipasi meluasnya kerugian yang terjadi bank wajib memenuhi rasio kecukupan modal yang telah ditentukan. *** Bank as a financial intermediary in carrying out its activities can not be separated from risk sharing. Risks faced by banks in an effort to improve the community’s economy include credit risk, market, liquidity, operational, legal, reputation, strategic and compliance. One of the significant risks in relation to the expansion of banking activities, is the liquidity risk, in which liquidity risk can not be separated from aspects of bank capital. In principle, capital is the bank’s operational support, in addition to protect facilities in order to minimize risks that occur due to an Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 49 increased complex banking transactions. To that end, Bank Indonesia as bank supervisors impose Capital Adequacy Ratio (CAR) is expressed in the divided capital Ratio Weighted Assets (RWA). This ratio is known as the CAR (Capital Adequacy Ratio), which means the capital adequacy ratio. Application of CAR (Capital Adequacy Ratio) in Indonesia, Bank Indonesia Regulation No. 6/10/ PBI/2004 dated 12 April 2004 on the Rating System for Commercial Banks and Bank Indonesia Circular Letter Number 6/23/DPNP May 31, 2004, addressed to all commercial banks conducting business in a conventional in Indonesia, regarding the soundness of commercial banks. In the competition of an increasingly competitive banking business, particularly within the framework of globalization, the CAR (Capital Adequacy Ratio) becomes very important and crucial, given the non-fulfillment of the percentage of capital adequacy that being owned by a bank, a bank failure will result in minimizing the losses there. Can’t anticipated the losses that occur, may lead to excesses that extreme condition that we used to say the bank went bankrupt. In the era of globalization the role of banks will be more prominent, given through banking services, will expand trade access multiple national without borders (borderless), so that the flow of goods and services can move quickly and be able to encourage economic growth. However, in maximizing its role, the bank requires that sufficient capital support. The increase of capital is a must do in a competitive banking business competition, because to be competitive, some banks require a variety of expansions, either within the scope of financing and credit, it certainly will have a big enough risk. So in order to anticipate the widespread losses banks are required to meet the capital adequacy ratio has been determined. A. Pendahuluan Industri perbankan memiliki peran yang strategis dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Secara empirik, hal ini dapat dilihat dari peran bank dalam menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit. Guna mendukung peran dan fungsi bank tersebut, perlu dikembangkan berbagai kebijakan simultan agar perbankan secara berkesinambungan dapat terus menopang laju perekonomian dan mampu menunjang berbagai aktivitas maupun kegiatan ekonomi masyarakat. Perbankan yang mampu menjadi penopang laju perekonomian adalah perbankan yang secara mendasar memiliki fondasi yang kokoh, visi misi yang jelas dan sistem pengelolaan yang baik. Di samping itu, aspek permodalan menjadi unsur yang cukup penting dalam mendukung akselerasi dan kinerja suatu bank, khususnya dalam meminimalisir kerugian yang 50 terjadi akibat berbagai transaksi perbankan yang semakin berkembang dan kompleks. Aspek permodalan merupakan elemen yang wajib dipenuhi dan terus dikembangkan oleh para pelaku bisnis bank, mengingat pesat atau tidaknya perkembangan suatu bank tergantung pada kemampuan modal yang tersedia. Di samping itu, sebagai lembaga keuangan yang memiliki fungsi intermediasi, bank harus mampu menjaga likuiditas maupun solvabilitas. Bank yang memegang status solvent akan memiliki risiko kerugian yang minim dibandingkan dengan bank yang berstatus insolvent. Berdasarkan hal tersebut, maka Bank Indonesia selaku pengawas perbankan memberikan ketentuan yang berkaitan dengan modal minimum yang harus tersedia bagi bank umum, agar perbankan mampu menyerap/ meminimalisir kerugian, sehingga terhindar dari kebangkrutan. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] B. Pengaturan Rasio Kecukupan Modal dalam Sistem Perbankan di Indonesia Kesehatan atau kondisi keuangan merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola (manajemen) Bank, masyarakat pengguna jasa Bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan Bank, dan pihak lainnya. Kondisi Bank tersebut dapat digunakan oleh pihak-pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja Bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko. Perkembangan industri perbankan, terutama produk dan jasa yang semakin kompleks dan beragam akan meningkatkan eksposur risiko yang dihadapi Bank. Perubahan eksposur risiko Bank dan penerapan manajemen risiko akan mempengaruhi profil risiko Bank yang selanjutnya berakibat pada kondisi Bank secara keseluruhan. Bank yang tidak tanggap dalam menghadapi perubahan eksposur kredit yang terus meningkat, terlebih tanpa dukungan kecukupan modal akan mengakibatkan ekses yang buruk bagi kelangsungan hidup bank bersangkutan. Untuk itu, Bank Indonesia yang bertugas mengawasi dan mengatur bank, mengeluarkan peraturan berupa sistem CAMELS, yang terdiri atas permodalan (capital), kualitas aset (asset quality), manajemen (management), rentablitas (earning), likuiditas (liquidity) dan sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk), yang tertuang di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, dengan menyebutkan: Pasal 3: “Penilaian tingkat Kesehatan Bank mencakup penilaian terhadap faktor-faktor sebagai berikut: a. permodalan (capital); b. kualitas aset (asset quality); c. manajemen (management); Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] d. rentablitas (earning); e. likuiditas (liquidity); dan f. sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk).” Pasal 4: “Penilaian terhadap faktor permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf (a) meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kecukupan, komposisi dan proyeksi (tren ke depan) permodalan serta kemampuan permodalan bank dalam meng-cover asset bermasalah; b. kemampuan bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari keuntungan, rencana permodalan bank untuk mendukung pertumbuhan usaha, akses kepada sumber permodalan, dan kinerja keuangan pemegang saham untuk menngkatkan permodalan bank.” Penjelasan Pasal 3 huruf (a): “Penilaian permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan modal bank untuk mengcover eksposur risiko saat ini dan mengantisipasi eksposur risiko di masa datang.” Selain Peraturan Bank Indonesia di atas, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/23/ DPNP tanggal 31 mei 2004, yang ditujukan kepada semua bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvesional di Indonesia, perihal tingkat kesehatan bank umum, mengenai penilaian tingkat kesehatan bank CAMELS dalam hal faktor permodalan (capital), memberikan menjelaskan: “Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor permodalan antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kecukupan pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) terhadap ketentuan yang berlaku; b. komposisi permodalan; 51 c. tren ke depan/proyeksi KPMM; d. aktiva produktif yang diklasifikasikan dibanding dengan modal bank; e. kemampuan bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari keuntungan (laba ditahan); f. rencana permodalan bank untuk mendukung pertumbuhan usaha; g. akses kepada suber permodalan; dan h. kinerja keuangan pemegang saham untuk meningkatkan permodalan bank.” Dalam penilian tingkat kesehatan permodalan bank, digunakan tolok ukur CAR atau Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM). CAR atau yang dikenal dengan Capital Adequacy Ratio adalah rasio atau perbandingan antara modal bank dengan Aktiva Tertimbang Menurut Rasio (ATMR).1 CAR menjadi pedoman bagi bank dalam melakukan ekspansi kredit, di mana semakin besar kuantitas kredit yang disalurkan, maka semakin besar pula prosentase kecukupan modal yang harus dipenuhi oleh bank bersangkutan. Bank Indonesia dengan berpedoman pada standar BIS (Bank for International Sattlement) menetapkan bahwa bank dinyatakan sehat apabila memiliki CAR minimal 8%. Berdasarkan rambu tersebut, bank yang memiliki CAR di bawah 8% tidak diperkenankan memberikan kredit baru, kecuali bagi kredit lama yang dilunasi. 1 2 52 C. Peranan Rasio Kecukupan Modal dalam Upaya Peningkatan Bisnis Perbankan yang Kompetitif Peran permodalan dalam upaya meminimalisir tingginya kerugian bank akibat transaksi yang semakin kompleks telah menjadi perhatian berbagai bank di seluruh dunia. Untuk itu, Basel Komite2 dalam perkembangannya telah mengubah aturan main permodalan bank yang berlaku saat ini. Komite Basel dalam pernyataannya akan menentukan minimum rasio kecukupan modal menjadi 7%. Dalam pelaksanaannya, kebijakan tersebut memiliki tenggat waktu sampai dengan 10 tahun mendatang. Kebijakan ini sudah pasti akan mendorong sektor perbankan untuk meningkatkan proporsi modal yang harus dimiliki oleh sebuah bank. Peraturan “Basel III” merupakan sebuah peraturan yang dibuat guna mengatasi kondisi ketidakpastian yang terjadi pada fundamental global saat ini. Belum lagi ditambah oleh resiko yang ditimbulkan dari dampak krisis kredit yang terjadi 2 (dua) tahun yang dikhawatirkan akan terulang pada waktuwaktu mendatang. Komite Basel menilai bahwa rasio kecukupan modal yang aman akan memberikan sebuah kondisi yang dapat mencegah kerawanan di sektor kredit. Peraturan “Basel III” tersebut merupakan penyempurnaan dari peraturan “Basel II” yang diberlakukan sebelumnya mulai 1988. Dimana pada “Basel II” level rasio kecukupan modal minimum sebesar 8%, dengan fokus utama kepada perhitungan permodalan berbasis resiko. Metode penyempurnaan juga terjadi dibandingkan dengan “Basel I” dimana pada “Basel II” menggunakan penghitungan risk sensitive capital allocation. Dengan proporsi tingkat modal inti atau Tier 1 mini- Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) adalah aktiva neraca (on balance sheet) dan aktiva administratif (off balance sheet) yang telah dibobot sesuai tingkat bobot risiko yang telah ditentukan. Basel komite adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh bank sentral dari negara-negara G-10. Komite Basel merumuskan standar dan pedoman pengawasan umum dan merekomendasikan praktik terbaik dalam pengawasan perbankan dengan harapan bahwa harapan bahwa negara-negara anggotanya serta negara-negara lain akan mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi tersebut ke dalam sistem nasional masing-masing. Tujuan komite ini adalah untuk mendorong konvergensi menuju pendekatan dan standar bersama dalam sektor perbankan. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] mum sebesar 4%. Oleh karena itu, dalam peraturan “Basel III” saat ini, sisi penghitungan risiko kredit dengan ditekankan bagi bankbank untuk dapat memiliki kecukupan modal agar aman dari risiko kredit yang dapat meningkatkan kerawanan terhadap krisis kredit. Maka dari itu, level core tier 1 untuk “Basel III” kali ini ditingkatkan sebesar minimal 4,5%.3 Ketentuan mengenai CAR (Capital Adequacy Ratio) yang termuat dalam Basel III pada dasarnya penting untuk diratifikasi oleh negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia. Hal ini bertujuan agar praktik perbankan di Indonesia dapat dilaksanakan sesuai dengan standar dan pedoman pengawasan umum yang direkomendasikan oleh Basel Komite tersebut, dengan harapan perbankan Indonesia mampu bersaing di kancah global. Basel Komite secara komprehensif telah meneliti rasio kecukupan modal yang wajib diterapkan oleh bank-bank yang ingin berkompetitif dalam persaingan bisnis bank, mengingat pada era globalisasi kompleksitas maupun risiko, serta yang akan dihadapi oleh perbankan akan semakin besar Modal memiliki peran yang sangat penting dalam keselamatan dan kesehatan bank individu dan perbankan. Untuk itu penerapan CAR di peta bisnis perbankan Indonesia dalam kerangkan menghadapi kompetisi global pada dasarnya berperan dalam menyerap kerugian yang tidak terduga atau risiko. Apabila terdapat risiko yang lebih tinggi, maka diperlukan dukungan permodalan yang kuat, serta rasio kecukupan modal sesuai dengan batas minimum yang telah telah ditetapkan. Pada dasarnya, penerapan CAR (Capital Adequacy Ratio) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Manajemen Risiko Bank. Berdasarkan ketentuan manajemen risiko, bahwa bank yang memiliki ukuran dan kom3 4 pleksitas usaha yang tinggi wajib menerapkan manajemen risiko, di mana manajemen risiko mencakup:4 1) pengawasan aktif dewan Komisaris dan Direksi; 2) kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit; 3) kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan 4) sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Hal terpenting dari kebijakan manajemen risiko, yang berkaitan dengan CAR (Capital Adequacy Ratio) yaitu mengenai kebijakan. Kebijakan yang sesuai prosedur disertai pengendalian yang baik akan mampu meminimalisir risiko kerugian yang ada. Di samping itu, dengan kebijakan yang berlandaskan manajemen risiko, akan meampu menetapkan risiko yang terkait dengan produk dan jasa transaksi perbankan. D. Kesimpulan CAR (Capital Adequacy Ratio) sebagai aspek penting dalam pengelolaan bisnis bank, merupakan hal yang wajib dipenuhi dan dipatuhi oleh setiap pengelola (manajemen), guna meningkatkan kinerja dan operasional dalam rangka menghadapi persaingan global. Tidak terpenuhinya CAR (Capital Adequacy Ratio) akan berdampak buruk pada likuiditas dan solvabilitas bank bersangkutan. Untuk itu, guna meminimalisir risiko yang ada, maka bank harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan, agar mampu menjelma menjadi bank yang sehat, likuid dan solvent. Kondisi bank yang solvent, akan mampu bersaing di kancah bisnis perbankan, baik nasional maupun internasional, mengingat bank www.vibiznews.com Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 53 dengan status solvent akan mampu meminimalisir berbagai risiko akibat ekspansi berbagi produk perbankan yang dilakukan guna menarik konsumen sebanyak mungkin. Guna mengakomodir ketentuan CAR (Capital Adequacy Ratio) dalam Basel III, maka Bank Indonesia selaku pengawas moneter, hendaknya melakukan harmonisasi terhadap berbagai ketentuan yang berlaku bagi perbankan, yaitu dengan menerbitkan berbagai peraturan yang memiliki relevansi dengan persaingan bisnis perbankan di tingkat global. Daftar Pustaka Dahlan Siamat. Manajemen Lembaga Keuangan, Kebijakan Moneter dan Perbankan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005. Permani Gandapraja. Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal. Credit Management Handbook (Teori, Konsep, Prosedur dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir dan Nasabah). Jakarta: RajaGrafindo Persada. Z. Dunil. Bank Auditing – Risk Based Audit (Dalam Pemeriksaan Perkreditan Bank Umum). Jakarta: Indeks, 2005. Peraturan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/ 2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. 54 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOU CUSTOMER PRINCIPLE) DALAM TRANSAKSI BISNIS Daniel Hendrawan Abstract Capital market is one from the finance house that influence at the present. By the presence of the capital market, the society can posses the capital to develop his own company. The development of the capital market itself attached to the technological development and globalization. At which to the technological development that keep develop thrive trigger the capital market globalization. Globalization mean the share transaction can be done wherever, whenever, and whoever including supranational. Today the capital market is one of the effective place or media to commit a crime. The matter is caused by the rashness of transaction in the capital market. The rashness cause the customer who do not have a good faith will do anything to commit a crime. The tool to prevent the crimein the capital market is know your customer principle. The provision for know your customer principle is Chief of capital market and finance house supervisor verdict number KEP- 476/BL/2009 on know your customer principle by the finance service on the capital market. A. Definisi Prinsip Mengenal Nasabah Berdasarkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP- 476/BL/2009 tentang Prinsip Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa Keuangan di Bidang Pasar Modal Pasal 1 Huruf (k): “Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal, untuk mengetahui latar belakang dan identitas Nasabah, memantau rekening Efek dan transaksi Nasabah, serta melaporkan transaksi keuangan mencurigakan, dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang, termasuk transaksi keuangan yang terkait dengan Pendanaan Kegiatan Terorisme.“ Berdasarkan pengertian prinsip mengenal nasabah pada Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Keuangan, terdapat unsur-unsur yaitu: a. Mengetahui latar belakang dan identitas nasabah; Mengetahui latar belakang dan identitas nasabah ini dilakukan dengan cara legal due diligence. Dalam due diligence ini diperiksa mengenai latar belakang nasabah secara keseluruhan. Legal due diligence ini dilakukan oleh konsultan hukum. b. Memantau rekening efek dan transaksi nasabah; Pemantauan rekening efek dan transaksi nasabah ini harus dilakukan kerja sama antara konsultan keuangan (akuntan) dan juga konsultan hukum. Peran dari konsultan keuangan adalah memeriksa rekening efek dan transaksi keuangan. Transaksi keuangan dari para nasabah dipantau arus masuk den keluarnya (in and out flow). Apakah transaksi di atas terdapat hal-hal mencurigakan. Mencurigakan bila terdapat transaksi yang terindikasi 55 melakukan kecurangan atau kejahatan. Kejahatan yang dimaksud dapat berupa kejahatan money laundering, insider trading, atau juga terorisme. Dalam hal ini konsultan hukum bertugas memeriksa transaksi-transaksi yang mencurigakan tersebut apakah memenuhi unsur-unsur pidana atau tidak. Apakah transaksitransaksi tersebut akan atau dapat menjadi sebuah tindak kejahatan baik secara langsung atau tidak langsung. Dalam Prinsip mengenal nasabah ini, penulis juga menganalogikan prinsip mengenal nasabah dalam pasar modal dengan prinsip mengenal nasabah pada bank. Ada pun pertimbangan penulis menanalogikan antara pelaksanaan yang dilakukan di bank dan pasar modal adalah sebagai berikut: a. Bank dan pasar modal keduanya merupakan lembaga keuangan yang sangat berisiko digunakan sebagai media dalam berbagai tindak kejahatan. b. Fungsi dari bank dan pasar modal sebagai lembaga keuangan yang menghimpun dana dalam masyarakat, sehingga baik pelaku bisnis yang berada di lembaga keuangan bank dan pasar modal keduanya berupaya untuk melakukan pertumbuhan bisnis dengan berbagai upaya yang tidak memberatkan atau memberikan kenyamanan bagi pihak nasabahnya. c. Modus kejahatan baik yang dilakukan di bank maupun di pasar modal umumnya karakteristik kejahatan tersebut hampir serupa. d. Terdapat pengaturan untuk transaksi baik di bank maupun pasar modal harus menerapkan prinsip mengenal nasabah untuk mengetahui profil dari nasabah tersebut e. Terdapat adanya sanksi baik bank maupun pasar modal yang tidak taat 1 56 terhadap ketentuan yang mengatur tentang prinsip mengenal nasabah. Menurut Munir Fuady, prinsip mengenal nasabah didefinisikan sebagai prinsip yang diterapkan oleh bank untuk mengetahui secara mendalam identitas nasabah dan memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk kegiatan pelaporan pada transaksi yang mencurigakan. Penerapan prinsip mengenal nasabah ini meliputi baik nasabah bank biasa (face to face customer), maupun nasabah tanpa berhadapan (non face to face customer), seperti nasabah yang melakukan transaksi melalui telepon, surat menyurat, elektronic banking. Prinsip mengenal nasabah merupakan prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. Sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan untuk melakukan penyesuaian terhadap standar internasional sebagaimana direkomendasikan oleh Bank of International Settlement, Basel Comitee, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan tentang prinsip mengenal nasabah (know your customer principle).1 Dalam memantau transaksi yang mencurigakan ini dan juga berdasarkan amanat dalam Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP- 476/BL/2009 tentang Prinsip Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa Keuangan di Bidang Pasar modal, maka dibutuhkanlah prinsip mengenal nasabah pada pasar modal. Hal ini disebabkan terjadinya tindak pidana yang sama dalam bank dan pasar modal yang sama-sama merupakan lembaga keuangan. Lembaga yang membuat peraturan dalam pasar modal adalah badan pengawas pasar modal. Penulis memberikan penafsiran analogi dari rekomendasi Comitee on Banking Regulation Supervisory Practises tentang Tarsisius Murwaji. “Sistem Pengawas Perbankan: Studi Kasus Pembobolan Bank BNI”. Bandung: Jurnal Hukum Litigasi. 2004. hlm. 53. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] prinsip-prinsip pedoman dalam menghadapi permasalahan pencucian uang dengan kegiatan yang hampir serupa dengan kegiatan di pasar modal sebagai berikut:2 a. Semua bank sebaiknya menciptakan prosedur yang efektif dalam memperoleh identitas yang benar atas nasabah baru. Dalam hal ini kegiatan di pasar modal juga sebaiknya membuat prosedur yang lebih ketat dalam proses jual beli saham. Bapepam harus mengetahui emiten dan juga investor yang melakukan transaksi jual beli efek. b. Manajemen bank sebaiknya menjamin bahwa kegiatan bisnis yang dilakukannya didasarkan pada standar etika tinggi dan semua peraturan perundang-undangan yang mengatur transaksi keuangan benarbenar dilaksanakan. Penulis berpendapat, pialang atau broker dan juga pedagang efek wajib untuk menjamin bahwa kegiatan bisnis yang mereka laksanakan didasarkan pada itikad baik dengan etika yang tinggi, sehingga semua peraturan perundangundangan dilaksanakan dengan baik c. Bank-bank bekerja secara penuh dengan pihak yang berwenang dalam bidang penegakan hukum, sampai batas-batas maksimal yang diijinkan oleh ketentuanketentuan kerahasiaan nasabah yang ada pada masing-masing negara. Penulis berpendapat pialang atau broker dan juga pedagang efek bekerja sama dengan konsultan keuangan dan konsultan hukum dan juga pihak-pihak yang berwenang untuk mengetahui emiten dan juga investor yang membeli efek sampai dengan batas maksimal melakukan penegakan hukum terhadap seluruh tindak pidana yang terjadi dan akan terjadi dan juga menjaga kerahasiaan emiten dan 2 3 d. juga pedagang efek sampai pada batas yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Bank-bank sebaiknya mempunyai kebijakan yang konsisten dalam hal pelaporan dan mengkomunikasikan kebijakan tersebut ke seluruh karyawannya yaitu dengan melakukan pelatihan staff, pengembangan prosedur spesifik dalam mengidentifikasikan nasabah, penyimpangan internal dan pengembangan prosedur audit internal. Penulis berpendapat pialang atau broker dan juga pedagang efek bekerja sama dengan konsultan keuangan dan konsultan hukum melakukan audit dalam hal ini mengenai identitas nasabah dan juga transaksi keuangan yang dilakukan oleh investor dan emiten terhadap investor dan emiten. Prinsip mengenal nasabah merupakan sarana yang paling efektif bagi perbankan untuk menanggulangi kejahatan pencucian uang. Demikian juga dengan kegiatan di pasar modal yang berdampak terhadap penilaian masayarakat, nasabah atau mitra transaksi bank terhadap bank yang bersangkutan, yaitu risiko operasional (operasional risk), risiko hukum (legal risk), risiko konsentrasi (consentration risk), dan risiko reputasi (reputation risk).3 Risiko operasional (operational risk) merupakan risiko di mana Pialang atau broker dan juga pedagang efek tidak dapat melakukan operasionalnya secara normal, misalnya karena ada kesalahan dan penyalahgunaan wewenang, ketidakpastian terhadap ketentuan, kelemahan struktur pengendalian intern, prosedur yang tidak memadai, gangguan sistem informasi manajemen dan komunikasi, gangguan sistem pembayaran transaksi jual beli efek. Kebanyakan risiko operasional dalam kaitannya dengan prinsip mengenal Ibid., hlm. 53. N.H.T. Siahaan. Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Jakarta: CV Muliasari, 2002, hlm. 74. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 57 nasabah terkait dengan kelemahankelemahan dalam implementasi programprogram pialang atau broker dan juga pedagang efek, prosedur pengawasan yang tidak efektif, dan tidak dilaksanakannya due diligence oleh bank tersebut. Persepsi masyarakat bahwa Pialang atau broker dan juga pedagang efek tidak mampu mengelola dengan efektif risiko operasionalnya dapat mengganggu atau dapat berakibat buruk terhadap bisnis pialang atau broker dan juga pedagang efek tersebut. Risiko reputasi (reputation risk) merupakan suatu risiko yang menimbulkan menurunnya atau hilangnya reputasi Pialang atau broker dan juga pedagang efek di mata publik atau pemerintah. Pialang atau broker dan juga pedagang efek sangat rentan terhadap risiko reputasi, oleh karena Pialang atau broker dan juga pedagang efek dapat dengan mudah menjadi media bagi atau menjadi korban dari kegiatan illegal yang dilakukan emiten atau investor tersebut. Risiko hukum (legal risk) terjadi karena Pialang atau broker dan juga pedagang efek kurang memperhatikan aspek-aspek yuridis dari perjanjian atau hal-hal yang beraspek kontraktual. Pialang atau broker dan juga pedagang efek dapat menjadi sasaran gugatan sebagai akibat tidak dipatuhinya prinsip mengenal nasabah yang diwajibkan, misalnya dijatuhi denda, harus bertanggung jawab secara pidana, dan dijatuhi berbagai sanksi yang dijatuhkan oleh Bapepam. Risiko konsentrasi (consentration risk) terjadi karena Pialang atau broker dan juga pedagang efek menerima dana-dana dari pihak ketiga dalam jumlah besar yang terkonsentrasi pada beberapa emiten atau investor. Pada sisi liabilities pada neraca keuangan Pialang atau broker dan juga pedagang efek, risiko konsentrasi terkait erat dengan risiko yang berupa penjualan atau pembelian efek secara seketika sehingga berpotensi menjadi 4 58 transaksi yang mencurigakan. Terjadinya funding risk besar sekali kemungkinannya, dalam hal pialang atau broker dan juga pedagang efek tersebut pialang atau broker dan juga pedagang efek kecil dan kurang aktif di bursa efek dibanding pialang atau broker dan juga pedagang efek besar. Untuk dapat menganalisis konsentrasi jual beli efek yang besar, hendaknya pialang atau broker dan juga pedagang efek paham mengenai karakteristik dari emiten dan perusahaan yang melakukan proses jual beli, termasuk tidak hanya identitas dari nasabah-nasabah tersebut, tetapi juga sampai sejauh mana kegiatan nasabahnasabah tersebut yang terkait dengan nasabah-nasabah lainnya. B. Latar Belakang Adanya Prinsip Mengenal Nasabah pada Pasar Modal Seperti halnya dengan usaha bank, kegiatan pasar modalpun menjadi salah satu tempat yang digunakan sebagai instrumen untuk melakukan tindak pidana pencucian uang. Kegiatan pasar modal yang berkembang pesat memiliki risiko yang semakin besar. Bank sebagai lembaga keuangan dalam menjalankan usahanya menghadapi berbagai risiko. Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi, dewasa ini sektor perbankan telah menjadi sarana yang paling efektif untuk kegiatan pencucian uang (money laundering). Hal ini dikarenakan sektor perbankan banyak menawarkan jasa-jasa dan instrument dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul dana.4 Pesatnya pertumbuhan perbankan di Indonesia dewasa ini, memacu bank untuk beroperasi dalam iklim usaha yang begitu kompetitif. Ketatnya persaingan di bidang perbankan membuat pengelola usaha bank berupaya secara maksimal agar setiap Achil Ridwan. “Kewajiban Pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan”. Makalah, 2005, hlm. 1. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] kegiatan dilakukan secara efisien dan efektif, sehingga tidak dapat dihindarkan adanya pemakaian alat-alat elektronik seperti Automatic Teller Machine (ATM), Electronic Fund Transfer (EFT), dan internet banking. Adanya fasilitas perbankan modern tersebut mengakibatkan usaha bank menghadapi risiko yang sangat tinggi.5 Penggunaan jasa wire transfer yang juga sering disebut sebagai Electronic Fund Transfer (EFT) atau cyber payment yang merupakan salah satu jasa yang diberikan oleh perbankan elektronik yang memungkinkan pembayaran transfer berlangsung dengan mobilitas tinggi dan mengoptimalkan jaringan perbankan internasional (International Offshore Banking Centers) merupakan cara yang paling efektif untuk memindahkan dana ilegal dengan cepat dan tidak mudah dilacak oleh jangkauan hukum.6 Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan untuk bertransaksi di dalam pasar modal menjadi celah bagi para pelaku tindak pidana untuk menjalankan aksi kejahatan. Melalui scripless trading atau perdagang elektronik (tanpa warkat), terjadilah tindak pidana pencucian uang apabila nasabah yang melakukan transaksi tidak dilakukan legal due diligence. Sehingga terdapat peningkatan tindak pidana di bidang transaksi dalam pasar modal, contohnya adalah tindak pidana pencucian uang. Oleh karenanya diterapkan prinsip mengenal nasabah yang sebelumnya diterapkan pada bank, diterapkan juga terhadap pada pasar modal untuk mencegah kejahatan dalam pasar modal. C. Data yang Diperlukan dalam Rangka Mengenal Nasabah Dalam Rangka menegakan prinsip mengenal nasabah, bank di Indonesia atau lembaga 5 6 7 8 keuangan lainnya dalam hal ini adalah pasar modal diwajibkan untuk memperoleh data tertentu. Apabila data tersebut tidak diberikan oleh nasabah, maka bank atau pihak-pihak yang berhubungan dengan pasar modal dilarang berhubungan dengan nasabah yang bersangkutan. Data yang diperlukan dan halhal yang dilakukan oleh bank dalam rangka mengenal nasabah tersebut adalah: 7 a. “Data informatif; b. Dokumen pendukung terhadap data informatif; c. Jika telah menggunakan media elektronik, melakukan pertemuan tatap muka sekurang-kurangnya pada saat pembukaan rekening; d. Jika diperlukan, melakukan wawancara dengan nasabahuntuk meneliti keabsahan dan kebenaran dokumen.” Untuk Kegiatan dari pihak-pihak yang berhubungan dengan pasar modal sehubungan dengan prinsip mengenal nasabah harus memenuhi persyaratan sama halnya dengan kegiatan perbankan, penulis menekankan, untuk kegiatan pasar modal diperlukan pembukaan rekening efek. Mengenai data normatif yang diperlukan dan wajib diketahui oleh bank harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen pendukungnya. Di samping itu, bank wajib pula meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas calon nasabah. Hal ini serupa juga dengan prinsip mengenal nasabah pada pasar modal, data informatif tersebut adalah: 8 a. “Identitas calon nasabah; b. Maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan calon nasabah dengan bank; c. Informasi lain yang memungkinkan bank untuk mengetahui profil calon nasabah; d. Identitas pihak lain dalam hal calon Leden Marpaung. Kejahatan Terhadap Perbankan. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993, hlm. 44. Yenti Ganarsih. “Konsep Kriminalisasi Terhadap Pencucian Uang”. Makalah, 2005. Munir Fuady. Hukum Perbankan Modern Buku Kedua. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 210. Ibid. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 59 nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain.” Bank dalam pengertian poin C di atas adalah Bapepam. Di sini Bapepam sebagai lembaga pengawas dalam pasar modal berhak dan memiliki kewenangan untuk mengetahui setiap phak yang melakukan transaksi dan juga pihak-pihak yang berhubungan dengan pasar modal. Sementara yang dimaksud dengan dokumen pendukung adalah:9 a. “Bagi nasabah perorangan: 1) Nama 2) Alamat tinggal tetap 3) Tempat dan tanggal lahir 4) Kewarganegaraan 5) Pekerjaan 6) Specimen tanda tangan 7) Sumber dana 8) Tujuan penggunaan dana b. Bagi nasabah perusahaan: 1) Akta pendirian/anggaran dasar 2) Akta perubahan 3) Izin usaha dan izin-izin lainnya 4) Nama, kuasa dan specimen tanda tangan pihak-pihak yang ditunjuk untuk bertindak untuk dan atas nama perusahaan 5) Sumber dana 6) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 7) Laporan keuangan 8) Deskripsi kegiatan usaha 9) Struktur manajemen usaha 10) Dokumen pengurus yang berwenang mewakili perusahaan.” D. Nasabah sebagai Perantara/Kuasa Diperlukan perhatian khusus juka ternyata nasabah hanyalah merupakan perantara atau kuasa dari pihak lain (beneficial owner). Beberapa ketentuan yang berlaku bagi nasabah tersebut adalah sebagai berikut: 9 60 a. b. bank wajib memperoleh data dan informasi tentang identitas nasabah perantara bank wajib pula memperoleh bukti atas pihak beneficial owner berupa: 1) Sumber dana 2) Tujuan penggunaan dana 3) Bukti pemberian kuasa kepada calon nasabah 4) Pernyataan dari calon nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap kebenaran identitas maupun sumber dana dari pihak beneficial owner. Bank dalam pengertian di atas dianalogikan Bapepam. Di sini Bapepam sebagai lembaga pengawas dalam pasar modal berhak dan memiliki kewenangan untuk mengetahui setiap phak yang melakukan transaksi dan juga pihak-pihak yang berhubungan dengan pasar modal. E. Pemantauan Rekening Nasabah Dalam rangka melaksanakan program kenal nasabah ini, bank (Bapepam) harus mempunyai sistem yang baik terhadap pemantauan rekening nasabah. Dalam hal ini bank wajib melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Melakukan up grade data sehingga sesuai dengan keadaan saat terakhir; b. Menatausahakan dokumen nasabah selama lima tahun sejak nasabah menutup rekeningnya; c. Memiliki sistem informasi mengenai karakteristik transaksi nasabah; d. Memelihara profil nasabah, yang sekurang-kurangnya meliputi: 1) Bidang usaha atau pekerjaan 2) Penghasilan 3) Rekening lain yang dimiliki 4) Aktivitas transaksi yang normal 5) Tujuan pembukaan rekening Ibid. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] F. Metode Pelaporan Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia mengenai kebijakan dan prosedur mengenai program kenal nasabah di banknya itu. Di samping itu, bank wajib pula melaporkan kepada Bank Indonesia apabila terjadi transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction) dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah diketahui oleh bank sesuai format yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia. Dalam hal pasar modal maka Bapepam melakukan pelaporan kepada Bursa efek agar dilakukan pembekuan aktifitas transaksi dari nasabah yang memiliki transaksi yang mencurigakan. Berbagai bentuk pelaporan yang harus dilakukan adalah: a. Pelaporan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf b Peraturan Nomor V.D.10 Lampiran Keputusan ini paling lambat pada tanggal 30 Juni 2010. b. Pelaporan tentang pengkinian data terhadap Nasabah sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf h Peraturan Nomor V.D.10. G. Sanksi-sanksi Bagi bank yang lalai dalam melakukan tugasnya dalam rangka program kenal nasabah akan dikenakan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998. Selain itu, tentunya apabila cukup bukti bahwa telah terjadi kejahatan money laundering, si pelakunya dapat diproses pidana sesuai aturan yang berlaku. Sementara dalam Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP- 476/BL/2009 tentang Prinsip Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa Keuangan di Bidang Pasar Modal tidak diatur mengenai sanksi apabila pedagang efek atau perantara pedagang efek tidak menjalankan prinsip mengenal nasabah sehingga penulis Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] berpendapat dikenakan sama seperti bank dikenakan sanksi administrasi. Sanksi administrasi pada bank adalah: a. Pencabutan izin; b. denda uang; c. teguran tertulis; d. penurunan tingkat kesehatan bank; e. larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring; f. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan; g. pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; h. pencantuman anggota, pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang Perbankan. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP476/BL/2009 tentang Prinsip Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa Keuangan di Bidang Pasar Modal mengatur tentang indentifikasi calon nasabah sebagai berikut: 1. “Sebelum Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal menerima suatu Pihak menjadi Nasabah yang berinvestasi di Pasar Modal, baik melalui atau tanpa melalui pembukaan rekening Efek, Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal wajib melakukan pertemuan langsung (face to face) dengan calon Nasabah dan meminta informasi mengenai: a. latar belakang dan identitas calon Nasabah; b. maksud dan tujuan pembukaan rekening Efek calon Nasabah; c. informasi lain yang memungkinkan Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah; dan 61 2. 3. 62 d. identitas Pihak lain (beneficial owner), dalam hal calon Nasabah bertindak untuk dan atas nama Pihak lain (beneficial owner). Informasi mengenai calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf a harus dapat dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukung. Informasi dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada huruf b bagi: a. Calon Nasabah perorangan, sekurang-kurangnya terdiri dari: 1) latar belakang dan identitas Nasabah yang memuat: (1) nama; (2) jenis kelamin; (3) alamat atau tempat tinggal sesuai KTP dan nomor telepon; (4) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada); (5) tempat dan tanggal lahir; (6) status perkawinan; dan (7) kewarganegaraan; 2) keterangan mengenai pekerjaan; (1) alamat tempat kerja dan nomor telepon; (2) specimen tanda tangan; (3) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Nasabah yang diwajibkan memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (4) keterangan mengenai sumber dana; (5) rata-rata penghasilan; (6) maksud dan tujuan investasi; (7) nama bank Nasabah dan nomor rekening Nasabah di bank; dan (8) informasi dan dokumen lain yang memungkinkan Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah. b. Calon Nasabah perusahaan, badan hukum, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisir, sekurang-kurangnya terdiri dari: 1) nama, alamat, dan nomor telepon perusahaan, badan hukum, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisir; 2) bentuk badan usaha atau badan hukum; 3) akta pendirian atau anggaran dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku berikut perubahannya yang terakhir; 4) tempat dan tanggal pendirian perusahaan, badan hukum, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisir; 5) izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang; 6) surat keterangan domisili; 7) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Nasabah yang diwajibkan memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 8) laporan keuangan terkini atau deskripsi kegiatan usaha; 9) struktur manajemen atau kepengurusan; 10) struktur kepemilikan untuk perusahaan atau struktur pendiri untuk yayasan, asosiasi, atau kelompok yang terorganisir; 11) dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan, badan hukum, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisir; 12) dokumen atau informasi mengenai pengendali akhir dari perusahaan, badan hukum, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisir; 13) nama, specimen tanda tangan dari penerima kuasa, dan surat kuasa dari pejabat yang Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 4. berwenang kepada penerima kuasa guna bertindak untuk dan atas nama perusahaan, badan hukum, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisir dalam berinvestasi di Pasar Modal, termasuk memberikan instruksi sehubungan dengan rekening Efek Nasabah; 14) keterangan mengenai sumber dana; 15) maksud dan tujuan investasi; 16) nama bank Nasabah dan nomor rekening Nasabah di bank; dan 17) informasi dan dokumen lain yang memungkinkan Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah. c. Calon Nasabah berupa lembaga pemerintah atau lembaga internasional sekurang-kurangnya berupa nama, alamat kedudukan lembaga atau perwakilan, specimen tanda tangan dari Pihak-Pihak yang ditunjuk atau berwenang mewakili lembaga tersebut dan surat penunjukan atau kuasa dari Pihak yang berwenang. d. Dalam hal calon Nasabah bertindak untuk dan atas nama Pihak lain (beneficial owner) untuk membuka rekening Efek, Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal wajib memperoleh dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada angka 1), angka 2), dan angka 3) terkait Pihak lain (beneficial owner) dimaksud dan hubungan hukum, penugasan, serta kewenangan bertindak untuk dan atas nama Pihak lain (beneficial owner) dimaksud. Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas informasi dan dokumen pendukung mengenai calon Nasabah Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 5. (customer due diligence) dengan melakukan hal-hal antara lain: a. meneliti kebenaran informasi dan dokumen dan mengidentifikasi adanya kemungkinan hal-hal yang tidak wajar atau mencurigakan; b. dalam hal terdapat keraguan atas informasi dan dokumen yang diterima, Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal wajib memastikan kebenaran identitas, informasi, dan dokumen calon Nasabah, antara lain dengan cara: 1) melakukan wawancara dengan calon Nasabah untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen; 2) meminta dokumen identitas lain yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang; 3) melakukan konfirmasi mengenai kebenaran mengenai kewenangan Pihak yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama Pihak lain (beneficial owner), jika calon Nasabah bertindak sebagai kuasa dari atau mewakili Pihak lain (beneficial owner); c. melakukan pemeriksaan silang untuk memastikan adanya konsistensi dari berbagai informasi yang disampaikan oleh calon Nasabah; dan d. melakukan penelaahan mengenai pengendali calon Nasabah. Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal wajib melakukan verifikasi yang lebih ketat (enhanced due diligence) terhadap calon Nasabah dan pengendali calon Nasabah yang dianggap dan/atau diklasifikasikan mempunyai risiko tinggi terhadap praktik pencucian uang dan/ atau risiko tinggi terkait dengan Pendanaan Kegiatan Terorisme. Tingkat risiko tersebut dapat dilihat dari: a. latar belakang atau profil calon Nasa- 63 6. 7. 64 bah dan pengendali calon Nasabah yang termasuk Orang yang Populer Secara Politis (politically exposed person) atau Nasabah yang Berisiko Tinggi (high risk customer); b. bidang usaha calon Nasabah yang termasuk Usaha yang Berisiko Tinggi (high risk business); c. negara atau teritori asal calon Nasabah, domisili calon Nasabah, atau dilakukannya transaksi yang termasuk Negara yang Berisiko Tinggi (high risk countries); dan/atau d. pihak-pihak yang tercantum dalam daftar nama-nama teroris; sebagaimana tercantum dalam daftar yang dimuat dalam Lampiran 1 Peraturan ini. Verifikasi yang lebih ketat (enhanced due diligence) terhadap calon Nasabah dan pengendali calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf e dilakukan antara lain dengan cara sebagai berikut: a. verifikasi terhadap informasi dan dokumen calon Nasabah dan pengendali calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak hanya berdasarkan informasi dan dokumen yang diberikan oleh calon Nasabah tersebut, namun didasarkan pada kebenaran informasi dan dokumen, kebenaran sumber informasi dan dokumen, dan jenis informasi dan dokumen yang terkait; dan b. verifikasi hubungan bisnis yang dilakukan oleh calon Nasabah dimaksud dengan Pihak ketiga. Dalam hal calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf c butir 4) merupakan Penyedia Jasa Keuangan lain di bidang Pasar Modal di dalam negeri, maka Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal cukup menerima pernyataan tertulis bahwa Penyedia Jasa Keuangan lain di bidang Pasar Modal di dalam 8. 9. negeri tersebut telah memperoleh serta melakukan verifikasi dan identifikasi atas dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada huruf c dan bersedia memberikan informasi dan salinan dokumen pendukung Nasabah jika dibutuhkan oleh Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal. Dalam hal calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf c butir 4) merupakan Penyedia Jasa Keuangan lain di bidang Pasar Modal di luar negeri yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang sekurang-kurangnya setara dengan Peraturan ini, maka Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal cukup menerima pernyataan tertulis bahwa Penyedia Jasa Keuangan lain di bidang Pasar Modal di luar negeri tersebut telah memperoleh dokumen pendukung Pihak lain dan telah melakukan verifikasi dan identifikasi atas dokumen dimaksud dan bersedia memberikan informasi dan salinan dokumen pendukung Nasabah jika dibutuhkan oleh Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal. Jika Prinsip Mengenal Nasabah di negara Penyedia Jasa Keuangan lain di bidang Pasar Modal luar negeri tersebut tidak setara dengan peraturan ini, maka Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah berdasarkan peraturan ini. Persetujuan pembukaan rekening Efek atau hubungan usaha dapat diberikan setelah meyakini kebenaran identitas dan kelengkapan dokumen calon Nasabah serta mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat memungkinkan Nasabah melakukan kegiatan pencucian uang dan/ atau Pendanaan Kegiatan Terorisme, antara lain catatan, dokumen, daftar, informasi mengenai pelanggaran dan/atau kejahatan. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 10. Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal dilarang untuk membuka atau memelihara rekening Efek anonim atau rekening Efek yang menggunakan nama fiktif. 11. Pembukaan rekening Efek atau hubungan usaha dengan calon Nasabah yang dianggap dan/atau diklasifikasikan mempunyai risiko tinggi sebagaimana dimaksud pada huruf e wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari anggota direksi atau manajemen senior Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal. “ Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 65 BANK ASING MENGHAMBAT PERTUMBUHAN UMKM INDONESIA Ocktavianus Hartono Abstract Bank is a business enterprise which aims to raise funds from public and channel them back to the community. Along with era development also demands from governments for each bank to strengthening its banking structure, which one of them is; every bank is required to increase the ownership of its capital up to 10 billion. To obtain additional capital, many of them sell their shares to foreigners. This is become an issue because foreign ownership turns out to hamper economic growth in Indonesia, especially the activities of the Micro, Small and Medium Enterprises. This study deals which is better done by government, whether in advance of economic growth or strengthen the banking structure operating in Indonesia. Key words: bank, micro small medium enterprise, foreign banks, economic growth. A. Pendahuluan Bank adalah suatu badan usaha yang kegiatannya adalah mengumpulkan dana dari masyarakat yang memiliki dana berlebih dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit kepada masyarakat yang kekurangan dana. Seiring dengan berkembangnya perekonomian, kegiatan perbankan berkembang bukan hanya sekedar mengumpulkan dana dan menyalurkannya kembali ke masyarakat, tetapi bank juga memberikan jasa-jasa lainnya seperti jasa pengiriman uang, jasa penagihan surat-surat berharga, jasa letter of credit, jasa bank garansi sampai dengan jasa kartu kredit. Dengan berkembangnya dunia perbankan ini, penulis berpendapat bahwa kegiatan perbankan dan kegiatan perekonomian saat ini memiliki keterkaitan yang sangat erat, dimana maju mundurnya suatu perbankan dan perekonomian suatu negara merupakan dua unsur yang saling terkait. Kegiatan perbankan yang awalnya hanya sebagai alat bantu kegiatan ekonomi telah berubah menjadi bagian dalam sistem pereko- 66 nomian itu sendiri. Penulis berpendapat bahwa semakin maju suatu negara, maka semakin besar peranan perbankan dalam suatu negara, hal ini dikarenakan kegiatan perbankan semakin dibutuhkan baik oleh pemerintah, maupun masyarakat dalam melaksanankan kegiatan perekonomian. Dengan semakin besarnya kegiatan perekonomian di suatu masyarakat, maka untuk melayani kebutuhan masyarakat ekonomi dalam melaksanakan kegiatan perekonomian, maka bank harus melakukan perluasan usaha seperti hal-hal yang disebutkan di atas. Untuk memperluas kegiatan usahanya ini, maka bank-bank yang beroperasi saat ini harus memutar otaknya untuk menambah modal bank guna memperluas bidang pelayanannya, penambahan modal ini, selain diperlukan untuk memperluas bidang pelayanannya, penambahan modal juga diperlukan bank untuk memenuhi syarat yang ditentukan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Central yang mensyaratkan bahwa modal minimal sebuah bank adalah Rp 100 Miliar pada akhir tahun Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 2010 agar bank tersebut dapat tetap beroperasi tanpa kegiatan yang dibatasi. Karena Bank Indonesia menyatakan bahwa bank yang pada akhir tahun 2010 memiliki modal kurang dari Rp 100 Milliar boleh untuk tetap dapat melaksanaan kegiatannya, namun kegiatannya dibatasi dan bank tersebut dikategorikan sebagai bank BKT (Bank Dalam Kegiatan Terbatas). Keadaan inilah yang membuat bank-bank yang ada di Indonesia saling berlomba-lomba mengumpulkan modal untuk memenuhi standar minimal yang disyaratkan oleh Bank Indonesia. Cara-cara yang dilakukan oleh bank yang kekurangan dana antara lain merger, akuisisi bahkan menjual bank nya kepada pihak asing. Yang menjadi masalah dalam hal penambahan modal bank sampai 100 miliar ini adalah semakin banyaknya bank yang dimiliki oleh asing, karena bank-bank yang ada saat ini kesulitan untuk mendapatkan dana yang dapat dijadikan modal sesuai dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, sehingga mereka menjual saham mereka kepada pihak asing yang memang tidak kesulitan dalam hal pendanaan. Keadaan ini (pemilikian bankbank yang ada oleh asing) ternyata memiliki dampak yang kurang baik bagi perkembangan UMKM di Indonesia. Di mana dengan semakin banyaknya bank asing di Indonesia, ternyata menyebabkan suku bunga kredit menjadi tinggi sehingga para pelaku usaha UMKM kesulitan. Hal ini secara tidak langsung ternyata menurunkan kegiatan usaha UMKM. Keberadaan bank asing di Indonesia secara tidak langsung ternyata menghambat perkembangan UMKM di Indonesia karena orientasi Bank Asing adalah mengambil untung yang sebesar-besarnya dengan tujuan pay back period 1 segera kembali dengan cepat. Keadaan bunga kredit sektor usaha mikro yang cenderung tinggi akan menim1 bulkan keengganan para pelaku usaha mikro mengajukan kredit kepada bank. B. Usaha Mikro Kecil Menengah Usaha Mikro Kecil Menengah adalah suatu usaha di mana modal yang berputar atau modal yang dimiliki tidak terlalu besar. Menurut Keputusan Menteri Keuangan No 316/ KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, dan UU No. 20 Tahun 2008 suatu usaha dikategorikan Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah sebagai berikut: Usaha Mikro (UMI), adalah entitas usaha yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. Sementara itu, Usaha Menengah (UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan. Kegiatan UMKM memang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia karena banyak dari mereka yang tidak memiliki modal berlebih. Bidang-bidang usaha UMKM juga sangat beragam seperti makanan-minuman, perikanan, ritel, transportasi, perikana, jasa, pertanian, dan lain-lain. Selain itu, banyak kegiatan usaha UMKM ini mencerminkan kekhasan dari daerah masing-masing, contohnya: 1. Pengrajin perak di Yogyakarta, 2. Penghasil dodol di Garut, 3. Pengrajin ukiran kayu Jepara di Jepara, 4. Pengrajin batik di Solo atau Pekalongan, dan masih banyak lagi. UMKM yang hampir dimiliki di setiap daerah di Indonesia, ternyata memiliki jumlah Payback periode dalam penganggaran modal mengacu pada periode waktu yang diperlukan untuk pengembalian investasi untuk “membayar” jumlah investasi asli. Sebagai contoh, sebuah investasi sebesar $ 1000 yang kembali $ 500 per tahun akan memiliki masa pengembalian dua tahun. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 67 populasi yang sangat besar dimana populasinya saat ini berjumlah sekitar 51,26 juta unit usaha bahkan menyumbang PDB 2009 cukup signifikan sebesar 53 % hal ini sesuai dengan yang dikatakan Sandi dalam dalam sambutannya pada acara Rapat Koordinasi Nasional UMKM yang diselenggarakan Kadin Indonesia, di JCC, Senayan Jakarta pada bulan September 2010 yang lalu.2 “UMKM adalah Sebuah sektor usaha yang populasinya lebih 2 kali lipat dari Malaysia. Sektor usaha yang selalu menyelamatkan bangsa,” ujar Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang UMKM dan Koperasi Sandiaga Uno, dalam membuka sambutannya pada acara Rapat Koordinasi Nasional UMKM yang diselenggarakan Kadin Indonesia,di JCC, Senayan, Jakarta, Jumat (3/9/2010). Sandi juga menyebutkan sektor UMKM di Indonesia mempunyai jumlah yang sangat signifikan. Populasinya yang berjumlah sekitar 51,26 juta unit usaha adalah 99 persen dari seluruh unit usaha yang ada di tanah air. “Artinya, sebenarnya yang menggerakkan ekonomi bangsa ini adalah UMKM,” ujarnya. Sandi juga menambahkan bahwa sumbang sektor UMKM terhadap PDB 2009 sangat signifikan, yaitu sebesar 53 persen. Dengan membaca dari pernyataan Sandi, maka apabila UMKM ini dikelola dengan baik dan dibantu oleh pemerintah dengan cara mempermudah mereka untuk mendapatkan modal usaha dan bantuan lainnya maka akan sangat membantu kemajuan perekonomian Indonesia. Sudah terbukti sampai sekarang, tanpa bantuan yang cukup dari pemerintah saja, walaupun dengan modal yang tidak begitu besar, ternyata UMKM mempunyai peran yang cukup penting dalam perkembangan perekonomian. Selain membantu pemerintah dalam membuka lapangan peker2 3 4 68 jaan yang cukup besar, hasil-hasil kerajinan dari para pelaku usaha UMKM ini juga banyak yang diekspor sehingga sangat membantu pemerintah dalam mendapatkan devisa negara. Dengan bantuan dari pemerintah, diharapkan UMKM yang ada semakin berkembang dan semakin besar dengan berkembangnya UMKM yang ada maka hal ini akan membantu perkembangan perekonomian Indonesia, hal ini sesuai dengan target Kadin Indonesia bidang UMKM yaitu:3 Melalui Rakornas ini, Kadin Indonesia Bidang UMKM dan Koperasi mempunyai target yang ingin dicapai, yaitu: 1. UMKM mampu meningkatkan volume turnover sebesar 15 persen per unit UMKM 2. UMKM mampu untuk go international. 3. Mempermudah akses kredit bagi UMKM, bukan hanya suku bunga rendah. Akses kredit harus didampingi dengan capacity building4, seperti alih teknologi dan peningkatan SDM. 4. Mempermudah perizinan legalitas usaha, dan sejenisnya. Izin diperlukan untuk banyak hal seperti akses ke perbankan, ekpor barang, impor bahan baku, monitoring dan sebagainya. Target dari Kadin Indonesia ini dapat dicapai apabila pemerintah turut campur dalam usaha mengembangkan UMKM yang ada saat ini. Baik dalam memberikan pelatihan mengenai manajemen usaha dan manajemen keuangan dan pelatihan lainnya. Namun yang terpenting adalah dengan mempermudah pelaku usaha UMKM untuk mendapatkan modal untuk memperluas usahanya. http://www.detikfinance.com/read/2010/09/03/113700/1434253/4/sandiaga-uno-jumlah-umkm-ri-2-kalilipat-malaysia Ibid. Capacity building adalah kemampuan membangun. Dalam hal ini adalah kemampuan membangun suatu usaha seperti penggunaan teknologi maupun manajemen perusahaan. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Walaupun selama ini UMKM dianggap mempunyai ketahanan kuat atas segala krisis yang ada, dan mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga stabilitas perekonomian Indonesia, maka kita dapat membayangkan betapa kuatnya perekonomian Indonesia apabila UMKM yang ada ini mengalami kemajuan dalam usahanya. Sebaliknya, apabila UMKM ini tidak dibantu perkembangannya, maka dikhwatirkan UMKM ini malah akan menjadi bumerang yang akan menghambat pertumbuhan perekonomian karena kegiatan UMKM ini ternyata memiliki permasalahan umum yang sangat pelik dan problematik antara lain:5 kurangnya permodalan untuk mengembangkan usahanya, kesulitan dalam pemasaran, daya saing lemah di tengah persaingan usaha yang ketat dan kesulitan bahan baku. Selain itu, kurang teknis produksi dan keahlian, keterampilan manajerial kurang, kurang pengetahuan manajemen keuangan, serta iklim usaha yang kurang kondusif (perizinan, dan aturan/perundangan). Keadaan seperti ini akan menghambat UMKM dalam memperbesar usahanya, karena itu pemerintah harus turun tangan untuk membantu UMKM ini dalam proses pengembangan usahanya. Salah satu cara nya adalah dengan mempermudah perizinan usaha, memberikan penyuluhan mengenai manajerial usaha maupun manajerial keuangan secara gratis kepada para pelaku usaha UMKM, selain itu yang terpenting adalah mempermudah pelaku usaha UMKM dalam mendapatkan modal tambahan untuk mengembangkan usaha mereka. Sampai saat ini baru 9% UMKM saja yang sudah disentuh oleh perbankan. Hal ini sesuai dengan statistik dari Deputi Bidang Pembiayaan Kementrian dan UKM:6 5 6 Menurut statistik dari Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM, sektor mikro hanya sekitar 9% yang sudah dilayani perbankan nasional dan umum. Akses mereka ke bank perkreditan rakyat (BPR) bahkan baru mencapai 3%. Usaha mikro bahkan kerap tidak mampu memenuhi persyaratan lembaga keuangan seperti syarat administratif dan kolateral. “Akibatnya, mereka sering didatangi para tengkulak dengan bunga yang sangat besar.” Dengan mengacu pada statistik dari Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian UKM maka kita bisa melihat betapa kurangnya bantuan pemerintah terhadap UMKM khususnya dalam bidang permodalan. Saat ini walaupun bank-bank telah mencoba untuk menjangkau para pelaku usaha UMKM, ternyata para pelaku usaha UMKM mendapatkan masalah yang baru yaitu kredit yang ada saat ini memiliki bunga kredit yang masih tinggi. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya suku bunga kredit ini adalah keberadaan bank asing maupun bank nasional swasta yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh asing. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya membantu pelaku UMKM dengan menurunkan suku bunga kredit sehingga pelaku usaha UMKM tidak segan untuk meminjam modal kepada bank. C. Bank Bank adalah badan usaha yang kegiatannya mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang membutuhkan. Sedangkan pengertian bank menurut UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 jo UU No 10 Tahun 1998 adalah: Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat http://bataviase.co.id/node/297281 http://usaha-umkm.blog.com/ Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 69 dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan melihat definisi di atas, kita dapat melihat bahwa perbankan mempunyai peran yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara, karena perbankan berperan sebagai jembatan penghubung yang menghubungan antara masyarakat yang kekurangan dana dengan masyarakat yang kelebihan dana. Dengan adanya jembatan penghubung ini, maka masyarakat yang melakukan usaha khususnya dalam Kelompok Usaha Mikro Kecil Menengah (KUKM) yang ingin mengembangkan usahanya, namun kekurangan dana maka akan lebih terbantu dengan adanya bank yang mempermudah mereka mendapatkan dana untuk membantu dalam segi permodalan. Selain sebagai jembatan penghubung, bank juga mempunyai fungsi yang lain yang sangat menunjang kegiatan perekonomian, antara lain:7 1. Penciptaan uang Uang yang diciptakan bank umum adalah uang giral, yaitu alat pembayaran lewat mekanisme pemindahbukuan (kliring). 2. Mendukung Kelancaran Mekanisme Pembayaran Fungsi lain dari bank umum yang juga sangat penting adalah mendukung kelancaran mekanisme pembayaran. Hal ini dimungkinkan karena salah satu jasa yang ditawarkan bank umum adalah jasajasa yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran. Beberapa jasa yang amat dikenal adalah kliring, transfer uang, penerimaan setoransetoran, pemberian fasilitas pembayaran dengan tunai, kredit, fasilitas-fasilitas pembayaran yang mudah dan nyaman, seperti kartu plastik dan sistem pembayaran elektronik. 7 70 3. 4. 5. Penghimpunan Dana Simpanan Masyarakat Dana yang paling banyak dihimpun oleh bank umum adalah dana simpanan. Di Indonesia dana simpanan terdiri atas giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Kemampuan bank umum menghimpun dana jauh lebih besar dibandingkan dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya. Dana-dana simpanan yang berhasil dihimpun akan disalurkan kepada pihakpihak yang membutuhkan, utamanya melalui penyaluran kredit. Mendukung Kelancaran Transaksi Internasional Bank umum juga sangat dibutuhkan untuk memudahkan dan atau memperlancar transaksi internasional, baik transaksi barang/jasa maupun transaksi modal. Kesulitan-kesulitan transaksi antara dua pihak yang berbeda negara selalu muncul karena perbedaan geografis, jarak, budaya dan sistem moneter masingmasing negara. Kehadiran bank umum yang beroperasi dalam skala internasional akan memudahkan penyelesaian transaksi-transaksi tersebut. Dengan adanya bank umum, kepentingan pihakpihak yang melakukan transaksi internasional dapat ditangani dengan lebih mudah, cepat, dan murah. Penyimpanan Barang-Barang Berharga Penyimpanan barang-barang berharga adalah satu satu jasa yang paling awal yang ditawarkan oleh bank umum. Masyarakat dapat menyimpan barangbarang berharga yang dimilikinya seperti perhiasan, uang, dan ijazah dalam kotakkotak yang sengaja disediakan oleh bank untuk disewa (safety box atau safe deposit box). Perkembangan ekonomi yang semakin pesat menyebabkan bank memper- http://putracenter.net/2009/09/23/definisi-fungsi-dan-peranan-bank-umum-dalam-perekonomian/ Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 6. luas jasa pelayanan dengan menyimpan sekuritas atau surat-surat berharga. Pemberian Jasa-Jasa Lainnya Di Indonesia pemberian jasa-jasa lainnya oleh bank umum juga semakin banyak dan luas. Saat ini kita sudah dapat membayar listrik, telepon membeli pulsa telepon seluler, mengirim uang melalui atm, membayar gaji pegawai dengan menggunakan jasa-jasa bank. Berdasarkan UU Pokok Perbankan No. 7 Tahun 1992 dan ditegaskan lagi dengan keluarnya Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1998 maka Bank-bank yang beroperasi di Indonesia dapat dibagi atau diklasifikasikan sebagai berikut: Dari segi fungsi kegiatan maka bank dibagi menjadi: 1. Bank Umum Adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Begitu pula dengan wilayah operasinya dapat dilakukan diseluruh wilayah Indonesia, bahkan ke luar negeri (cabang). Bank umum sering disebut bank komersil (commercial bank). 2. Bank Perkreditan Rakyat Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Dalam kegiatannya, BPR tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Artinya jasa-jasa perbankan yang ditawarkan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan atau jasa bank umum. Sedangkan dari segi kepemilikannya, Kasmir dalam bukunya, Dasar-Dasar 8 Perbankan, membagi bank-bank ini menjadi:8 1. Bank Milik Pemerintah Merupakan bank yang akte pendirian maupun modal bank ini sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, sehingga seluruh keuntungan bank ini dimiliki oleh pemerintah pula. Contoh bank-bank milik pemerintah Indonesia: · Bank Negara Indonesia 46 (BNI) · Bank Rakyat Indonesia (BRI) · Bank Tabungan Negara (BTN) · Bank Mandiri Kemudian Bank pemerintah Daerah (BDP) terdapat di daerah tingkat I dan tingkat II masing-masing propinsi. Modal BDP sepenunya dimiliki oleh Pemda masing-masing tingkatan. Contoh BDP yang ada adalah: · BDP DKI Jakarta · BDP Jawa Barat · BDP Jawa Tengah · BDP DI.Yogyakarta · Dll. 2. Bank Milik Swasta Nasional Merupakan bank yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh swasta nasional. Kemudian akte pendiriannya pun didirikan oleh swasta, begitu pula dengan pembagian keuntungannya untuk keuntungan swasta pula. Contoh bank milik swasta nasional antara lain: · Bank Bumi Putra · Bank Centra Asia · Bank Danamon · Bank Internasional Indonesia · Bank Lippo · Dll. 3. Bank Milik Koperasi Merupakan bank yang kepemilikan saham-sahamnya dimiliki oleh perusahaan yang berbadan hukum koperasi. Contoh bank jenis ini adalah Bank Umum Koperasi Indonesia (BUKOPIN). Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 19-22. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 71 4. 5. Bank Milik Asing Bank jenis ini merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik milik swasta asing atau pemerintah asing. kepemilikannya pun jelas dimiliki oleh piak asing (luar negeri). Contoh dari bank jenis ini adalah: · ABN AMRO bank · American Express Bank · Bank of America · Bank of Tokyo · Bangkok Bank · Dll Bank Milik Campuran Kepemilikan saham bank campuran dimiliki oleh pihak asing dan pihak swasta nasional. Kepemilikan sahamnya secara mayoritas dipegang oleh warganegara Indonesia. contoh bank campuran antara lain: · Bank Finconesia · Bank Merincorp · Bank Sakura Swadarma · Ing Bank · Inter Pacifik Bank · Dll Fungsi penting perbankan dalam pembangunan ekonomi sebenarnya sudah disadari oleh pemerintah dan pemerintah Indonesia sebenarnya sudah melakukan usaha-usaha yang bertujuan mengembangkan kegiatan perbankan di Indonesia seperti: 1. Pacto 88 dimana tujuan dari pacto 88 adalah membuka jalan bagi perbankan dalam menghimpun dana masyarakat dengan memberi kemudahan mendirikan bank, membuka cabang dan memperluas instrumen pengerahan dana masyarakat. 2. Deregulasi perbankan tahun 1980 yag memberikan kebebasan kepada bankbank untuk menetapkan tingkat bungan tabungan, deposito maupun kredit yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 3. 4. 1983 yang mempunyai tujuan untuk membangun sistem perbankan yang sehat, kuat dan tangguh. Undang-Undang No. 7 Tahun 199 tentang perbankan yang diubah oleh Undang-Undang No 10 Tahun 1998 yang memiliki kebijakan yang memberikan banyak keluwesan dalam pemilikan dan pengurusan bank. Diluncurkannya Arsitektur Perbankan Indonesia yang memiliki tujuan memperkuat perbankan di Indonesia seperti yang tercantum dalam website Bank Indonesia mengenai Arsitektur Perbankan Indonesia.9 Tujuan dari Arsitektur Perbankan Indonesia menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutihan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan. Cara memperkuat struktur perbankan ini adalah salah satunya dengan menambah permodalan bank-bank yang beroperasi di Indonesia. mengenai cara dan rencana kerja pemerintah dalam memperkuat struktur perbankan kita dapat melihat tujuan Arsitektur Perbankan Indonesia ini dengan melihat dari kebijakan Bank Indonesia antara lain:10 Program ini bertujuan untuk memperkuat permodalan bank umum (konvensional dan syariah) dalam rangka meningkatkan kemampuan bank mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi informasi, maupun meningkatkan skala usahanya guna mendukung peningkatan kapasitas pertumbuhan kredit perbankan. Implementasi program penguatan permodalan bank dilaksanakan secara bertahap. Upaya peningkatan modal bankbank tersebut dapat dilakukan dengan membuat business plan yang memuat target waktu, cara dan tahap pencapaian. 9 http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Arsitektur+Perbankan+Indonesia/Struktur+Perbankan/ 10 Ibid. 72 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Cara pencapaiannya melalui: Penambahan modal baru baik dari shareholder lama maupun investor baru; Merger dengan bank (atau beberapa bank) lain untuk mencapai persyaratan modal minimum baru; Penerbitan saham baru atau secondary offering di pasar modal; Penerbitan subordinated loan.11 1. 2. 3. 4. Dalam waktu sepuluh sampai limabelas tahun ke depan program peningkatan permodalan tersebut diharapkan akan mengarah pada terciptanya struktur perbankan yang lebih optimal, yaitu terdapatnya: • 2 sampai 3 bank yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal di atas Rp50 triliun; • 3 sampai 5 bank nasional yang memiliki cakupan usaha yang sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun; • 30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank. Bank- • bank tersebut memiliki modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun; Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp100 miliar. Secara keseluruhan, struktur perbankan Indonesia dalam kurun waktu sepuluh sampai limabelas tahun ke depan diharapkan akan terbentuk sebagaimana digambarkan sebagai berikut: Permodalan Rp triliun Bank Internasional 50 Bank Nasional 10 Bank dengan fokus: Daerah Korporasi Ritel Lainnya 0,1 BPR Bank dengan kegiatan usaha terbatas Tahapan Program Penguatan Struktur Perbankan Nasional No. Kegiatan (Pilar I) 1 Memperkuat permodalan Bank a. Meningkatkan persyaratan modal inti minimum bagi bank umum konvensional maupun syariah (termasuk BPD) menjadi Rp80 miliar b. Meningkatkan persyaratan modal inti minimum bagi bank umum konvensional maupun syariah (termasuk BPD) menjadi Rp100 miliar c. Mempertahankan persyaratan modal disetor minimum Rp3 triliun untukpendirian bank umum konvensional sampai dengan 1 Januari d. Menetapkan persyaratan modal disetor minimum Rp1 triliun untuk pendirian bank umum syariah Periode Pelaksanaan 2007 2010 2004-2010 2005 11 Subordinad loan adalah utang subordinasi (juga dikenal sebagai pinjaman subordinasi, obligasi subordinasi, surat utang subordinasi atau utang SMP) yaitu utang yang menempati peringkat setelah hutang lain harus jatuh ke kurator atau perusahaan ditutup. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 73 e. Menetapkan persyaratan modal sebesar Rp500 miliar bagi bank umum syariah yang berasal dari spin off Unit Usaha Syariah. f. Mempercepat batas waktu pemenuhan persyaratan minimum modal disetor BPR yang semula tahun 2010 menjadi tahun 2008 2 3 Memperkuat daya saing dan kelembagaan BPR dan BPRS. a. Meningkatkan linkage program antara bank umum dengan BPR b. Implementasi program aliansi strategis lembaga keuangan syariah denganBPRS melalui kemitraan strategis dalam rangka pengembangan UMKM c. Mendorong pendirian BPR dan BPRS di luar Pulau Jawa dan Bali d. Mempermudah pembukaan kantor cabang BPR dan BPRS bagi yang telah memenuhi persyaratan e. Memfasilitasi pembentukan fasilitas jasa bersama untuk BPR dan BPRS (termasuk Lembaga APEX) Meningkatkan akses kredit dan pembiayaan UMKM a. Memfasilitasi pembentukan dan monitoring skim penjaminan kredit danpembiayaan b. Mendorong perbankan untuk meningkatkan pembiayaan kepada UMKM khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan di daerah perdesaan c. Meningkatkan akses pembiayaan syariah bagi UMKM dengan pengembangan skema jaminan bagi pembiayaan syariah d. Mendorong bank-bank syariah untuk meningkatkan porsi pembiayaan berbasis bagi hasil Dengan melihat kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia terutama dalam perbankan, maka kita dapat melihat bahwa pemerintah memang sudah menyadari pentingnya kemajuan perbankan bagi kemajuan perekonomian di suatu negara. Hal ini terlihat dengan kebijakan yang mempermudah mendirikan bank dan membuka cabang. Selain menyadari bahwa perbankan sangat penting bagi perekonomian Indonesia, pemerintah juga sadar bahwa banyak bank yang beroperasi di Indonesia tidak menjamin kemajuan perekonomian. Kegiatan perbankan yang sehatlah yang mampu mendorong kemajuan perekonomian Indonesia oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia yang bertujuan memperkuat struktur perbankan yang ada. Namun salah satu kebijakan dari Arsitektur Perbankan Indonesia yaitu mengenai kebijakan penambahan modal bagi bank-bank di Indonesia ternyata malah menjadi salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan usaha UMKM. 74 2006 2008 2007 2007 2006-2007 2004-2006 2006-2007 2004-2007 2004-2009 2010 2010 D. Pembahasan Dari pembahasan di atas, kita mengetahui bahwa UMKM merupakan kegiatan usaha masyarakat yang bermodal kecil. Namun usaha yang memiliki modal kecil ini ternyata malah menjadi salah satu faktor penting yang menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. UMKM menjadi salah satu faktor yang menjaga stabilitas perekonomian Indonesia karena jumlah UMKM di Indonesia yang sangat besar, diperkirakan populasi UMKM telah mencapai angka sekitar 51 juta unit usaha. Kegiatan UMKM ini menyebar di segala aspek usaha, mulai dari makanan sampai kerajinan tangan. Walaupun memiliki modal yang tidak begitu besar, UMKM terbukti cukup kuat menahan krisis yang ada. Hal yang disayangkan adalah, kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap perkembangan UMKM. Apabila tanpa bantuan yang maksimal dari pemerintah seperti saat ini, UMKM telah menjadi faktor penting dalam menjaga stabilitas perekonomian negara, bisa kita bayangkan betapa kuatnya Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] perekonomian Negara ini. Dengan potensi yang cukup besar ini, sangat disayangkan, apabila pemerintah tidak memanfaatkan keadaan ini. Pemerintah seakan-akan sudah cukup puas dengan kinerja UMKM saat ini karena sudah membantu pemerintah dalam perekonomian. Pemerintah seharusnya melihat lebih jauh ke depan mengenai apa yang dapat mereka capai apabila UMKM yang ada dimanfaatkan secara lebih lagi. Kita dapat mengatakan bahwa potensi yang ada saat ini belum dimanfaatkan oleh pemerintah karena sampai saat ini hanya 9% UMKM yang sudah dibantu oleh bank dalam hal perbankan. Bantuan dalam hal modal merupakan salah satu faktor yang harus pemerintah bantu apabila pemerintah ingin UMKM yang ada saat ini dapat mengembangkan usahanya karena tanpa bantuan modal yang cukup, para pelaku usaha UMKM akan sangat kesulitan untuk mengembangkan usahanya. Walaupun saat ini bank-bank asing ataupun bank nasional yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh asing memang telah mulai masuk ke dalam pembiayaan kredit bagi UMKM, namun yang menjadi masalah adalah bunga kredit yang masih tinggi. Hal ini terjadi karena bank-bank asing dan bank nasional yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh asing memiliki tujuan bukan untuk membantu para pelaku usaha UMKM, tetapi hanya berusaha mendapatkan keuntungan yang besar atas bantuan modal (kredit) yang mereka berikan. Hal ini terjadi karena memang masih sangat dimungkinkan pengambilan keuntungan besar oleh pihak asing karena tingkat Net interest margin (NIM) di Indonesia untuk kredit modal kerja masih tinggi berkisar sekitar 16%. Pemerintah seharusnya membantu para pelaku usaha UMKM ini mengembangkan usahanya, minimal, membantu mereka mendapatkan modal usaha dengan bunga kredit yang rendah. Memang saat ini pemerintah telah sedikit berusaha untuk melakukan penurunan suku bunga kredit, namun langkahlangkah yang dilakukan pemerintah ini seperti masih setengah-setengah. Contohya pemerintah memang menurunkan BI rate sampai level 6,5%. Namun untuk instrumen yang lain seperti ORI dan SUN tetap dikeluarkan pemerintah dengan imbalan bunga yang tinggi. Karena langkah pemerintah yang setengasetengah inilah penurunan BI rate ini direspons lambat oleh bank-bank asing maupun bank nasional. Selain itu faktor lain yang menyebabkan bank asing dan bank swasta nasional yang sebagian sahamnya dimiliki oleh asing tidak menurunkan suku bunga kreditnya karena ada beberapa faktor lain seperti:12 Di Indonesia penurunan suku bunga kredit dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal. Pengaruh dari kondisi internal meliputi likuiditas, biaya dana, overhead cost, non perorming loan (NPL), dan margin. Sementara dari sisi eksternal, penurunan suku bunga masih terhambat oleh faktor kompetitor, risiko pasar dan perekonomian. Dari sisi supply, bank menilai risiko kredit masih sangat tinggi… Di satu sisi, bank juga harus menghadapi meningkatnya biaya dana akibat harus bersaing dengan pemerintah yang menerbitkan ORI dan SUN. Bank menjadi tidak efisien. Untuk menggenjot profitnya, bank lalu mengandalkan margin dari suku bunga. Jadi kita dapat melihat bahwa sulit turunnya suku bunga kredit memang dipengaruhi oleh berbagai faktor baik itu dari internal bank maupun dari eksternal seperti saingan dengan bank lain ataupun dengan pemerintah dengan terbitnya ORI dan SUN. Namun, penulis berpendapat bahwa faktor pemilikan bank oleh asing memiliki pengaruh yang cukup signi- 12 Apriyani Kurniasih. “Sulitnya Menurunkan Suku Bunga Perbankan”. Info Bank. September. 2009. hlm. 34. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 75 fikan. Hal ini dikarenakan jumlah bank asing yang sangat besar saat ini. Ricky Sutanto, Chaiman ASEAN Economic dan Trade Center dalam info bank mengatakan bahwa pemilikan bank oleh asing di Indonesia sudah berkisar sampai 50%. Selain itu, dalam rapor laporan pelaksanaan GCG 44, dikatakan bahwa sampai saat ini sudah lebih dari 60 bank di Indonesia yang dimiliki oleh asing atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh asing. Dengan semakin banyaknya bank yang dimiliki oleh asing, maka keinginan pemerintah untuk menurunkan suku bunga kredit akan sulit, karena saham-saham dimiliki oleh asing yang notabene hanya bermotif menimbun profit. Himbauan pemerintah untuk menurunkan suku bunga kredit menurut penulis tidak akan terlalu didengar karena pemilik asing tidak akan peduli mengenai keadaan perekonomian negara kita. Yang mereka pedulikan hanyalah seberapa besar keuntungan yang bisa mereka dapatkan atas modal yang telah mereka setorkan. Karena itu penulis berpendapat bahwa pemilikan bank oleh pihak asing akan menghambat pertumbuhan perekonomian karena penyaluran modal usaha bagi pelaku UMKM ternyata malah memberatkan mereka dari segi bunga kredit yang harus mereka bayarkan. Dengan melihat tingginya bunga yang harus pelaku UMKM bayarkan, hal ini malah akan mengecilkan niat mereka untuk meminjam modal kepada bank karena khawatir akan biaya bunga yang harus mereka bayarkan. Dengan melihat kondisi ini, penulis berharap agar pemerintah segera menindaklanjuti keadaan ini. Tujuan pemerintah dalam Arsitektur Perbankan Indonesia yang ingin memperkuat perbankan secara struktural salah satunya dengan penambahan modal hingga 100 milliar pada tahun 2010 kurang begitu berhasil apabila kita melihat dari sisi pengembangan usaha UMKM. Hal ini diakibatkan kesulitan bank-bank nasional yang ada untuk mendapatkan dana tambahan, sehingga banyak dari mereka yang menjual saham76 sahamnya kepada pihak lain terutama pihak asing, selain itu pemilikan bank atau saham bank oleh asing sulit dibendung karena dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1999 yang mengizinkan pihak asing memiliki saham hingga 99% di bank lokal maka pihak asing dapat dengan leluasa memiliki saham di bank-bank nasional yang ada saat ini. Dengan keadaan dimana mulai banyak bank-bank yang dimiliki oleh asing ternyata malah berdampak negatif terhadap perkembangan UMKM di Indonesia. Karena itu pemerintah seharusnya mengkaji kembali langkah yang telah diambil saat ini, yaitu mengenai pemilikan bank oleh asing baik itu sepenuhnya bank yang dimiliki asing maupun bank nasional yang sebagian besar sahamnya dimiliki asing. Kebijakan pemerintah untuk menguatkan struktur perbankan salah satunya dengan mewajibkan bank untuk memiliki modal sampai dengan 100 miliar pada akhir 2010 ini dan juga dikeluarkannya PP No. 21 Tahun 1999 ternyata malah menjadi bumerang, dimana dengan kebijakan ini, bank-bank lokal bukan berusaha sendiri untuk menambah modal mereka namun malah menjual sahamsaham mereka kepada asing, sehingga semakin banyak bank yang beroperasi di Indonesia saat ini dimiliki oleh asing. Akibatnya dengan semakin banyaknya bank asing yang notabene hanya menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya atas modal yang telah mereka setorkan maka hal ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi (dalam hal ini kita melihat dari sudut pandang berkembangnya UMKM yang ternyata memiliki peran yang sangat besar terhadap stabilitas ekonomi). Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa pemilikan bank oleh asing akan menghambat pertumbuhan perekonomian Indonesia, karena bank-bank asing tidak akan terlalu peduli mengenai pertumbuhan perekonomian Indonesia. yang mereka perdulikan adalah berapa besar keuntungan yang bisa mereka dapatkan atas Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] modal yang telah mereka setorkan. Dengan tujuan untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya ini, maka bank-bank asing akan menerapkan bunga yang cukup tinggi atas kredit modal usaha yang mereka berikan kepada UMKM. Bunga kredit yang tinggi, akan mengecilkan niat para pelaku UMKM untuk meminjam modal kepada bank. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 77 PERLINDUNGAN PATEN TERHADAP EXTENSIBLE MARKUP LANGUAGE YANG DIGUNAKAN DALAM PAKET PROGRAM KOMPUTER OLEH PIHAK LAIN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 16 TAHUN 1997 TENTANG RATIFIKASI PATENT TREATY COOPERATION Christian Andersen Abstract In incremental technology industries like computer software, where new developments necessarily build upon existing technologies and innovation occurs through small improvements rather than real breakthroughs, a lot of inventors trying to give their innovation with law protection, even now patent not only protect computer software but also its algorithm for example Extensible Markup Language Patents(XML) registered with 5,787,449 in United States which recently has been a well-known case in US court between i4i versus Microsoft. PCT has open the opportunities the patent protection for computer software in Indonesia including XML feature, and it gives somehow a “software patents paradox” dilemma when patent keep growing bigger and the stronger patent protection effecting the social communal reduction that has been known in Indonesia. Speaking in radically, patent leads us to individualistic way of life. While on the other hand the fact that Patent gives more protection for the patent holder as the rewards for their work to create some invention with its temporarily monopolistic even though not giving benefits to the society and in general for the developing countries like Indonesia. Final word , Patent protection for software and its algorithm isn’t there as long as it hasn’t registered in regional patent protection PCT, so XML featured software is free to be sold. Key Words: Software patents; XML. A. Latar Belakang Bidang teknologi telah menjadi pokok penting kemajuan suatu bangsa dalam persaingan baik secara ekonomi maupun dominasi secara politik. Berbagai penemuan suatu teknologi juga dapat menjadi penentu efektivitas suatu kegiatan ekonomi. Berdasarkan sejarah seperti perkembangan industri di negara Eropa meliputi pemanfaatan mesin menggantikan tenaga manusia dan sebagainya mendorong para pengembang atau inventor dari suatu karya intelektual yang pada mulanya banyak 1 78 berasal dari negara-negara industri yang telah maju mengharapkan adanya perlindungan atas ciptaannya, maka dunia internasional mengadakan suatu pertemuan yang kemudian menghasilkan Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention) pada tanggal 20 Maret 1883 di Paris, Prancis. Paris Convention ini telah mengalami beberapa perubahan dan terakhir di Stockholm tahun 1979 dan pada tahun 2002 telah beranggotakan 163 (seratus enam puluh tiga) negara.1 Paris Convention pada prinsipnya mengatur Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 30. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] perlindungan hak milik perindustrian yang meliputi paten (inventions or patens), model dan rancang bangun (utility models), desain industri (industrial designs), merek dagang (trademarks), nama dagang (trade names), dan persaingan curang (unfair competition).2 Komputer hakikatnya terdiri dari perangkat keras (yaitu komponen fisik dari perangkat komputer) dan perangkat lunak (yang dikenal sebagai program komputer). Perkembangan perangkat keras lazimnya dilindungi melalui desain tata letak sirkuit terpadu, desain industri, dan paten. Sementara perangkat lunak hingga saat ini ada yang menjadi objek perlindungan hak cipta ada pula yang paten. Penerapan perlindungan Paten tersebut dalam perangkat lunak sebenarnya menurut esensinya ketika teknologi tersebut dapat di terapkan dalam proses industri. Proses industri mensyaratkan adanya suatu formula atau patokan yang dapat di duplikasi dengan mudah.3 Program komputer (software atau biasa disebut perangkat lunak) saat ini di dunia internasional dan Indonesia pada khususnya telah diakui sebagai sebuah asset yang sangat bernilai bagi perusahaan atau individu yang menciptakan atau memilikinya. Kemajuan teknologi informasi saat ini termasuk di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat pesat terutama dalam pengembangan program komputer. Perlindungan hak atas Program Komputer secara umum merupakan ruang lingkup Hak Kekayaan Intelektual (untuk selanjutnya disebut sebagai HKI), seperti dalam pengertian ruang lingkup HKI yang dikemukakan David 2 3 4 5 6 7 Bainbridge4: “The subject matter of intellectual property is very wide and includes literary and artistic works, films, computer programs, invention, design and marks used by traders for their goods or services.” Hal itu tetap melahirkan pro dan kontra misalnya ada pendapat bahwa Program Komputer itu perlu dilindungi Hak Cipta dan ada pendapat justru kepada Hak Paten khusus mengenai formulasi rancangan suatu program, dimana hal tersebut menyangkut bahwa pada kenyataanya Program Komputer mengalami perkembangan dalam aspek pendistribusian, tujuan penggunaan dan tujuan dilakukannya duplikasi. Dari aspek hukum, program komputer telah dianggap sebagai salah satu jenis benda/properti seperti benda-benda berwujud lainnya. Oleh karenanya program komputer yang “dimiliki” oleh seseorang tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan tanpa ijin dari pemiliknya. Pada istilah program komputer dikenal pula suatu metadata yang merupakan data dari sebuah data, maksudnya metadata merupakan basis dari suatu data, misalnya dalam data teks, metadatanya merupakan keterangan mengenai nama, ruas, panjang field, dan tipe field-nya seperti karakter maupun tanggal pembuatan.5 Hukum Nasional Negara Indonesia memberikan perlindungan kepada Program Komputer melalui hukum kekayaan intelektual,6 dalam hal ini, Hak Cipta berupaya memberikan definisi atas Program Komputer, 7 yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Ibid., hlm. 30. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul, Minn, West publishing Co., USA, 1991, hlm. 778. David I. Bainbridge, Intellectual Property, Fourth Edition, Financial Times Management, London, United Kingdom, 1999, hlm. 3. Terdapat pada bagian pengertian metadata, id.wikipedia.org/wiki/metadata Istilah Hak Kekayaan Intelektual, tanpa kata “Atas” atau disingkat HKI resmi dipakai berdasarkan Keputusan Menteri dan Perundang-undangan Republik Indonesia No.M.03.PR.07.10 Tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Surat No. 24/M/PAN/1/2000. Muhammad Aulia Adnan, Panduan Pengembang Public License di Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2001, hlm. 4. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 79 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (untuk selanjutnya disebut sebagai UU Hak Cipta) dan disebutkan dalam Pasal 1 Angka 8 UndangUndang tersebut, bahwa: “Program Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi- instruksi tersebut.” Pengertian Program Komputer pada pasal tersebut, dapat diartikan bahwa Program Komputer adalah terdiri atas suatu “Kode” yang kemudian membentuk suatu aplikasi tertentu, atau dikatakan bahwa kode tersebut menjadi unsur utama dalam pembentukan suatu Program Komputer. Sebenarnya tidak semua yang dikategorikan Program Komputer dapat langsung digunakan oleh user (pengguna), ada yang hanya sekedar formula kode khusus yang seperti rumusan atau resep untuk diaplikasikan ke dalam program komputer yang kelak akan digunakan user. Komposisi formula kode komputer tersebut untuk kelak dijadikan program komputer yang dilepas ke pasaran itulah yang sangat identik dengan paten, kaitannya hakikat paten itu sendiri sebagai dari formula tersebut. Perlindungan Program Komputer yang dimaksud dalam hak cipta mengenai pemberian lisensi. Sementara perlindungan Paten adalah perlindungan dari unsur dasar formulasi kode yang menjadi rancangan dibuatnya suatu program sehingga seseorang tidak berhak untuk membuat sebuah karya yang cara bekerjanya sama dengan sebuah ide yang dipatenkan dari program tersebut. Hal 8 80 tersebut melalui Pasal 7 angka 1 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten mengenai perlindungan langkah-langkah di bidang ilmu pengetahuan yang dapat diterapkan di produksi industri. Contoh dari paten dari formula kode tersebut algoritma yang ditemukan pada tahun di tahun 700 oleh misalnya adalah Pagerank yang dipatenkan oleh Google.8 Pagerank dipatenkan pada kantor paten Amerika Serikat. Artinya pihak lain di Amerika Serikat tidak dapat membuat sebuah karya berdasarkan algoritma Pagerank, kecuali jika ada perjanjian dengan Google. Microsoft yaitu salah satu developer/ pengembang berbagai program komputer terbesar di dunia pada umumnya menjual produknya ke publik dengan mekanisme lisensi. Artinya, Microsoft memberi hak kepada seseorang yang membeli Windows untuk memakai program komputer tersebut. Orang tersebut tidak diperkenankan untuk membuat salinan Windows untuk kemudian dijual kembali, karena hak tersebut tidak diberikan oleh Microsoft. Walaupun demikian seseorang tersebut berhak untuk membuat salinan jika salinan tersebut digunakan untuk keperluan sendiri, misalnya untuk keperluan backup. Sebagai contoh adalah lisensi GPL yang umum digunakan pada program komputer Open Source. GPL memberikan hak kepada orang lain untuk menggunakan sebuah ciptaan asalkan modifikasi atau produk derivasi dari ciptaan tersebut memiliki lisensi yang sama. Akibatnya hukum paten pada industri program komputer sangat merugikan perusahaan-perusahaan kecil yang cenderung tidak memiliki paten. Ada juga perusahaan kecil yang menyalahgunakan hal ini. Misalnya Eolas yang mematenkan teknologi plug-in pada web browser. Untuk kasus ini, Microsoft tidak dapat mengharapkan imbal balik Eolas, karena Eolas sama sekali tidak membutuhkan paten yang dimiliki oleh Algoritma adalah rancangan kode alur berpikir untuk kelak diolah sebagai program komputer. http:// en.wikipedia.org/wiki/algorithm Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Microsoft. Eolas bahkan sama sekali tidak memiliki produk atau layanan, satu-satunya hal yang dimiliki Eolas hanyalah paten tersebut.9 Perbedaan ruang lingkup tiap-tiap negara dalam melindungi program komputer suatu komputer, berdampak cukup besar seperti terhadap definisi program komputer yang dapat dilindungi misalnya dalam paten yang seperti diketahui berbeda dengan Hak Cipta, sebab Paten melindungi fungsi dan tujuan dari suatu program komputer sementara fungsi dan tujuan dari program komputer tidak dapat didaftarkan kepada Hak Cipta. Walaupun terdapat perbedaan pandangan tiap-tiap negara khususnya yang tergabung dalam WIPO, tiap negara bekerja sama melindungi segala hak kekayaan intelektual yang umum dikenal sebagai asas “national treatment “. Hal tersebut sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997 tentang Ratifikasi Patent Cooperation Treaty sesama anggota WIPO. Patent Cooperation Treaty itu dilatarbelakangi untuk efisiensi pendaftaran paten di beberapa negara yang dapat dilakukan hanya dengan satu pendaftaran dan satu bahasa. Perlindungan paten tersebut misalnya untuk wilayah eropa seorang dapat mendapatkan perlindungan multiple patent di 36 negara di eropa.10 Polemik perbedaan konsep perlindungan atas suatu program komputer khususnya mengenai formula algoritma yang menjadi titik tolak penelitian ini, ketika suatu program komputer baik yang berlisensi bebas maupun tidak dianggap telah melanggar suatu paten di negara anggota WIPO dan bahkan kasus terakhir pada tahun ini yaitu 2010 yang dialami oleh Microsoft ketika produk program komputernya yaitu “Microsoft office 2003 dan office 2007”, Microsoft didakwa melanggar hukum paten di negara Amerika tahun 1998 (No. 5,787,449) tentang metode untuk membaca XML.11 XML itu sendiri merupakan suatu perangkat alat yang dapat mengkonfigurasi informasi dalam suatu data yang memungkinkan pengguna untuk menyesuaikan format dari dokumen word-processing agar dapat dibaca di berbagai program lain yang sejenis. Seperti dalam slogan iklan mereka “Membuat dan mengedit konten XML dalam Microsoft Word” agar siapa pun dapat mengedit dan bekerja dengan XML. Hakim juga memerintahkan Microsoft untuk membayar denda sebesar lebih dari $290 juta kepada i4i. Kemampuan untuk membaca dan menulis dokumen XML merupakan fitur yang tertanam di Microsoft Word 2003 dan 2007. XML tersebut diklaim sangat mirip dengan program untuk proses data elektronik yang sebelumnya telah dipatenkan i4i pada tahun 1998 melalui US Patent Nomor 5,787,499. Paten tersendiri merupakan bentuk perlindungan khusus terhadap suatu perkembangan teknologi berupa inovasi yang tidak pernah ada sebelumnya hal mengenai program komputer sebagai Paten sebenarnya tidak secara eksplisit dinyatakan dalam hukum di Amerika Serikat, kutipannya antara lain: “section 101 of title 35, united states code, Whoever invents or discover any new and usful process, machine, manufacture, or composition of matter, or any new useful improvement thereof, may obtain a patent therefor, subcet to the conditions and requirements of this title.” Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa sebenarnya proses, manufaktur, bahkan mesin tidak relevan dengan Paten. Sejauh itu juga pengaturan Paten di negara Indonesia seperti pada pengertian pada Pasal 1 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten 9 Eolas-wikipedia, the free encyclopedia, www.en.wikipedia.org/wiki/eolas 10 Terdapat pengertian umum tentang paten pada http://id.wikipedia.org/wiki/Paten 11 Dapat dibaca pada: www.digitaltrends.com/computing/microsoft-denied-re-hearing-on-i4i-infringementcase/ Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 81 (untuk selanjutnya disebut sebagai UU Paten) yaitu: “invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.” Hingga saat ini di Indonesia masih beredar office yang menyertakan fitur XML tersebut baik yang resmi maupun yang bajakan. Hal tersebut membuat peneliti tertarik bagaimana sikap negara Indonesia dalam menyikapi hal ini, bagaimana hukum paten yang berlaku di negara ini memberikan perlindungan bagi program komputer yang dianggap melanggar paten di negara lain untuk beredar di negara Indonesia. B. Identifikasi Masalah Permasalahan mengenai pelaksanaan pengadaan barang dan jasa bagi pemerintah dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, sehingga permasalahannya pun menjadi kompleks, oleh karena itu penulis membatasi permasalahan yang penulis teliti dalam identifikasi masalah: 1. Apakah extensible markup language dapat menjadi objek yang dilindungi oleh paten berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten di Negara Indonesia? 2. Bagaimana keberadaan program komputer dengan fitur extensible markup language yang telah melanggar paten di Amerika Serikat kaitannya dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997 di Indonesia? C. Kerangka Pemikiran Pembaharuan sistem hukum nasional di bidang HKI merupakan langkah strategis. Hal ini sejalan dengan kebutuhan akan adanya pengaturan yang jelas dan pasti di bidang perdagangan dan perindustrian pada umumnya, dan di bidang HKI pada khususnya. Satu hal yang terpenting dalam rangka menghadapi era globalisasi.12 Perkembangan IPTEK mencakup juga mengenai program komputer sebagai salah satu objek perlindungan hukum seperti halnya hak kebendaan lainnya yang harus mendapatkan perlindungan hukum sehingga memberi kepastian bagi masyarakat untuk mendukung pengembangan IPTEK di Indonesia. Abdul Kadir Muhammad berpendapat bahwa Hak Kekayaan Intelektual meliputi: 1) hak milik hasil pemikirian pada pemiliknya, bersifat tetap dan eksklusif; dan 2) hak yang diperoleh pihak lain atas izin dari pemilik, bersifat sementara.13 Permasalahan HKI khususnya mengenai program komputer, merupakan permasalahan yang terus berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perdagangan internasional. Pada awal perkembangannya permasalahan tersebut dapat sangat sederhana seperti misalnya penuntutan atau pemberian kepada seseorang yang berhak menjadi pemilik dari suatu hasil karya bila bahan bakunya dari pihak lain. Permasalahan pun makin majemuk dan kompleks dengan terjadinya revolusi industri di Inggris dan Perancis.14 Dalam konteks perkembangan komputer, terdapat perkembangan baik di bidang perangkat keras (yaitu kompoten fisik dari perangkat komputer) maupun perangkat lunak (yang dikenal sebagai program kom- 12 Paingot Rambe Manalu, Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Hukum Nasional Kususnya Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2000, hlm. 27. 13 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 1. 14 Muhamad Djumhana dan Djubaedilah, “Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 7. 82 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] puter). Perkembangan perangkat keras lazimnya dilindungi melalui desain tata letak sirkuit terpadu, desain industri, dan paten. Sementara perangkat lunak hingga saat ini ada yang menjadi objek perlindungan hak cipta ada pula yang paten. Penerapan perlindungan Paten tersebut dalam perangkat lunak sebenarnya menurut lingkup esensinya ketika teknologi tersebut dapat diterapkan dalam proses industri. Proses industri mensyaratkan adanya suatu formula atau patokan yang dapat diduplikasi dengan mudah. Perkembangan komputer dapat juga dikatakan salah satu perkembangan teknologi, kaitannya dengan penggunaan teknologi ini terdapat suatu istilah yang dikenal dengan nama hak paten. Hak paten adalah suatu hak khusus yang dimiliki oleh seorang penemu atau orang lain yang diberi hak oleh penemu untuk melaksanakan sendiri suatu penemuan atau memberi izin kepada orang lain untuk melaksanakan penemuan itu. Secara umum, Program Komputer Bebas dan Program Komputer Tidak Bebas (Proprietary) sebagaimana disebutkan tadi adalah dilindungi Hak Cipta karena dalam UU Hak Cipta disebutkan “Program Komputer” sebagai objek perlindungan Hak Cipta tanpa ada pengkategorian tertentu. Jika melihat konteks perlindungan Hak Cipta atas Program Komputer ini secara garis besar, bahwa setiap penggunaan, perbanyakan/dupilikasi dan mengumumkan Program Komputer harus mendapatkan izin dari pemegang Hak Cipta atas Program Komputer tersebut. Dalam Paten hak khusus diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada orang lain untuk menggunakannya. Penemuan tersebut harus memiliki unsur kebaruan. Pasal 27 angka (1) TRIPs telah menjelaskan subjek paten dapat diterapkan pada penemuan apa pun, baik produk maupun Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] proses pembuatan di bidang teknologi, memenuhi unsur baru, dan terdapat langkah-langkah yang dapat diterapkan pada kegiatan industri. Hal tersebut diformulasikan pula pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 jo Pasal 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang paten, yang memperluas pemberian perlindungan paten untuk semua jenis penemuan di bidang ilmu pengetahuan. Sementara hal hal yang tidak dapat diberi hak paten antara lain: 1. Penemuan tentang proses atau hasil produksi penemuan dan pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum atau kesusilaan. 2. Penemuan tentang metode pemeriksaan, perawatan pengobatan dan pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan hewan, tetapi tidak menjangkau produk manapun yang digunakan atau berkaitan dengan metode tersebut. 3. Penemuan tentang teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika. D. Pembahasan 1. Bagaimana Extensible Markup Language Dapat Menjadi Objek yang Dilindungi oleh Paten Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten di Negara Indonesia Indonesia sebagai salah satu anggota penandatangan kesepakatan WTO dituntut untuk menyesuaikan peraturan hukum di bidang HKI dengan persetujuan TRIPs dan berbagai konvensi internasional yang menjadi rujukan, seperti Bern Convention, Roma Convention, Paris Convention, dan konvensi-konvensi lain di bawah WIPO. Peraturan perundangundangan yang mencakup bidang paten demikian dengan adanya UU Paten. Walaupun hingga saat ini software pada umumnya termasuk objek perlindungan hak cipta di 83 Negara Indonesia, namun problematika yang terjadi ketika terdapat suatu objek perlindungan paten di Negara lain yang telah dinyatakan melanggar, masih beredar di Negara Indonesia. Hal khusus seperti kondisi format data XML yang didaftarkan di US Paten dan dilanggar pula oleh subjek hukum di Negara tersebut asalnya jelas berdampak pada Negara Indonesia yang mengimpor banyak sekali software khususnya Microsoft Office adalah paten yang didaftarkan unsur asing dalam XML sangat kentara dan meminjam penafsiran elemen Hukum Perdata Internasional, titik taut yang terdapat dalam XML tidak lain adalah: 1. XML merupakan suatu format data yang ditemukan dan didaftarkan di US. 2. Paten atas XML dilanggar di Negara US. 3. Akibat hukum ditariknya seluruh software yang dilengkapi fitur XML merupakan sanksi yang telah dijatuhkan oleh Negara Bagian Texas. 4. Terdapat kekosongan hukum perlindungan terhadap XML walaupun berkaitan erat dengan software, namun bukanlah suatu software yang dimaksud dalam UU Hak Cipta yang terdapat di Indonesia. 5. Penjelasan atas Pasal 11 Ayat 3 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam hal tidak ada pilihan hukum, penetapan hukum yang berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata internasional yang akan ditetapkan sebagai hukum yang berlaku pada kontrak tersebut. Dalam paten yang terpenting dan di mana pun seluruh dunia prinsip first to file menjadi titik tolak perlindungan paten negara terhadap suatu penemuan. Berbeda dengan hak cipta. Begitu pentingnya informasi yang diperoleh sehingga diperlukan perlakuan khusus terhadapnya. Tahap searching sebagai kunci untuk mendefinisikan kebutuhan secara tepat memerlukan pengetahuan teknis yang memadai. Selanjutnya, informasi yang diperoleh juga perlu disimpan dengan baik sehingga mudah diperoleh kembali jika dibutuhkan di masa berikutnya. Jika perlu, buat database sendiri yang menunjang proses usaha. Hukum Paten terhadap software tidak cocok diterapkan pada kondisi ekonomi dan pembangunan teknologi di Indonesia, Undang-Undang Paten Nomor 14/2001 sangat jelas menunjukan bahwa isi dari pasal-pasal tersebut tidak banyak memberikan keuntungan bagi warganegara Indonesia melainkan bagi penemu yang berasal dari negara maju di luar Indonesia. Data dari Kantor Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual menunjukkan bahwa 91,43% dari paten standar yang didaftarkan di Indonesia berasal dari asing.15 Pertentangan adanya adopsi perlindungan paten di Indonesia telah ada sejak perumusan Undang-Undang Paten pertama kali pada tahun 1989 oleh Aberson Marle Sihalolo (anggota dewan perwakilan rakyat) dan Kayatmo sebagai deputi LIPI, keduanya berpendapat bahwa Undang-Undang Paten tidak dibutuhkan di Indonesia untuk tujuan merangsang perkembangan penemuan di bidang teknologi, sebaliknya justru lebih menguntungkan bagi investor asing.16 Sejauh ini sangat sulit menemukan keuntungan yang jelas dengan memiliki perlindungan paten terhadap XML di Indonesia, terutama pusat pengembangan software yang berada di Amerika Serikat, adanya UU Paten tetap sulit untuk membantu transfer teknologi kepada pengembang software di Indonesia sebab perusahaan asing tersebut hanya memberikan eksploitasi teknologi yang relatif rendah 15 Statistik yang ditampilkan pada situs http://www.dgip.go.id 16 Ditinjau dari Segi Inovasi, UU Hak Paten Belum Perlu (From the Innovation Side, the Patent Act is not Necessary)”, KOMPAS (23 June 1989) at 6 “UU Paten Bisa Memberi Jaminan Para Investor” (The Patent Act can Give Security to Investors), KOMPAS (19 June 1989). 84 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] kepada negara seperti Indonesia, misalnya pembuatan perangkat yang sederhana dan hanya membutuhkan kemampuan sederhana serta tenaga kerja yang rendah, bukan rangkaian rumit atau rumusan XML yang teknologi yang ditransfer ke negara berkembang seperti Indonesia hanya bersifat sederhana untuk sekedar duplikasi masal. Klaim yang diajukan i4i terhadap XML mengandung langkah inventif. Sesuai peraturan di Indonesia, selain hal yang menjadi dasar pertimbangan bahwa sesungguhnya walaupun klaim yang diajukan oleh i4i mengandung langkah inventif. Berdasarkan Pasal Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 disebutkan bahwa: 1. Suatu paten diberikan untuk Invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam Industri. 2. Selain itu suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya. 3. Penilaian bahwa suatu Invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat Permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan Permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas. XML oleh karenanya dapat didaftarkan melalui paten di Indonesia walaupun software induknya sudah terlindungi oleh perlindungan Hak Cipta. Sebab XML bukanlah software melainkan format data, yang dapat diaplikasikan untuk kegiatan industri perbanyakan software secara massal. Penemu yang dapat mendaftarkan XML di negara Indonesia adalah yang terlebih dahulu mendaftarkan “first to file” walaupun telah diketahui paten i4i telah didaftarkan US Patent sebelumnya namun perlu ditelaah bahwa paten bersifat nasional kecuali telah melalui pendaftaran PCT sesuai Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1996. Sehingga baik i4i maupun Microsoft dapat mendaftarkan paten atas XML, terlebih lagi Microsoft telah menjadi subjek hukum di Indonesia sementara i4i sejauh ini belum memiliki licensor atau dengan kata lain bukan subjek hukum di negara Indonesia. Algoritma yang serupa dengan XML membuat kedudukan XML tak dapat dilindungi melalui hukum paten di negara Indonesia, hanya ada satu cara melalui Permintaan Paten Internasional dan Penelusuran Internasional agar perlindungan antara lain: 1. “Paten nasional” adalah paten yang diberikan oleh suatu Badan Nasional; 2. “Paten regional” adalah paten yang diberikan oleh suatu Badan Nasional atau Badan Antar-pemerintah yang mempunyai kekuasaan; 3. Untuk memberikan paten yang berlaku pada lebih dari satu negara. “Paten regional” merupakan hal yang baru dan berbeda dengan perlindungan paten yang bersifat nasional pada mulanya. Sehingga dimungkinkan suatu inovasi dilindungi tidak sebatas satu negara melainkan beberapa negara. Pada Pasal 3 PCT menjelaskan kembali ruang lingkup perlindungan paten yang dapat menjadi luas melebihi batas Negara melalui Permintaan Paten Internasional dengan permintaan paten internasional. 2. Bagaimana Keberadaan Program Komputer dengan Fitur Extensible Markup Language yang Telah Melanggar Paten di Amerika Serikat Kaitannya dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997 di Indonesia Patent Cooperation Treaty merupakan traktat internasional kerja sama paten yang bertujuan untuk melaksanakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perlindungan hukum 85 terhadap setiap invensi, memberikan proteksi dari invensi yang diinginkan dilindungi oleh suatu negara, akses bagi publik atas informasi teknis invensi baru dan dalam rangka mempercepat pembangunan ekonomi dari negaranegara berkembang. Dalam hal ini Pasal 109 UU Paten membenarkan adanya permohonan paten berdasarkan atas traktat kerja sama Paten (PCT). PCT dikelola oleh Biro Internasional WIPO, dimana dengan sekali aplikasi paten internasional melalui salah satu anggota PCT untuk mendapatkan perlindungan di beberapa bahkan seluruh negara anggota PCT yang berarti dengan aplikasi paten internasional berpengaruh pada pendaftaran reguler terhadap paten nasional di setiap negara yang dituju dengan tetap memenuhi persyaratan pendaftaran di negara setempat termasuk pembiayaannya. Dalam hal ini permohonan paten baik pendaftar paten terdahulu di Amerika yaitu i4i dan Microsoft sama sama berhak untuk mendaftarkan perlindungan paten secara Internasional sehingga dalam hal paten telah diberikan maka dapat memperoleh perlindungan terkait dengan hasil invensinya di berbagai negara anggota PCT namun sebelumnya harus terlebih dahulu dilakukan pendaftaran pada fase nasional. Untuk mendaftarkan paten di negara PCT i4i telah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam Traktat Kerjasama paten (PCT). Dalam Internasional Search Report dari PCT tersebut disebutkan bahwa klaim invensi tidak bertentangan dengan langkah kebaruan mengingat klaim hanya berkesesuaian dengan 3 dokumen yang tidak berkaitan secara khusus melainkan hanya berisi gambaran teknik secara umum saja. Selain itu kalim yang diajukan i4i juga telah diberikan paten oleh otoritas paten Amerika Serikat. Sehingga berangkat dari semua itu, i4i seharusnya segera mendaftarkan paten melalui PCT dan sangat mempertimbangkan paten yang telah diberikan oleh negara lain sebab bisa terjadi sebaliknya ketika Microsoft sebagai subjek 86 hukum yang berada di negara Indonesia secara hukum dapat mendaftarkan perlindungan paten sebab paten hanya berlaku nasional jika belum didaftarkan secara internasional melalui PCT. Hal terbukanya kemungkinan pendaftaran paten PCT oleh masing-masing pihak bahwa memang benar berdasarkan konvensi Paris (The Paris Convention For The Protection of Industrial Property) setiap Negara harus memberikan perlindungan serta memperlakukan hak milik industri warga negara lain seperti memperlakukan warga negaranya sendiri namun pada prinsip yang lain dalam konvensi tersebut, negara-negara anggota tidak wajib untuk memberikan paten pada warga negara lainnya. Selain itu walaupun seandainya invensi XML telah didaftarkan secara internasional melalui PCT, maka i4i harus pula memenuhi persyaratan pendaftaran pada fase nasional untuk memperoleh perlindungan di Indonesia. Dengan demikian Microsoft tidak terikat atas pendaftaran internasional yang dilakukan i4i di Indonesia dan dapat saja dilakukan pemeriksaan substantif menarik seluruh produk software-nya yang menggunakan fitur XML yang masih beredar di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa sebelum adanya invensi yang dilakukan oleh Microsoft , XML yang diajukan telah lebih dahulu diterapkan oleh pihak lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa invensi yang diajukan tidak memiliki langkah inventif. Jika telah didaftarkannya di negara Indonesia atau telah melalui pendaftaran secara internasional (PCT). Unsur kebaruan (Novelty) Berdasarkan Pasal 3 UndangUndang No. 14 Tahun 2001 disebutkan bahwa: 1. Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya. 2. Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah teknologi yang telah Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum: a. Tanggal Penerimaan; atau b. Tanggal prioritas. c. Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal daripada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan. E. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat membuat kesimpulan: 1. Extensible Markup Language tidak dapat dikualifikasikan sebagai objek yang dilindungi Undang-Undang Paten di Indonesia, berdasarkan Pasal 7c yang menyatakan algoritma yang dapat dikualifikasikan sebagai teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika tidak dapat didaftarkan melalui paten, satu-satunya perlindungan bagi XML untuk dilindungi secara tidak langsung oleh Paten yaitu melalui Traktat Kerjasama Paten berdasarkan Kepres Nomor 16 Tahun 1996 dimana dapat didaftarkannya paten untuk perlindungan regional sesama negara anggota WIPO. 2. Indonesia tidak dapat memberlakukan putusan tentang pelanggaran paten yang telah terjadi di Amerika Serikat berdasarkan US-Title 35 tentang Paten, sebagaimana keberlakuan paten sebatas negara terkecuali jika XML telah didaftarkan melalui PCT tersebut dimungkinkan Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] adanya perlindungan paten terhadap XML. Dengan mempertimbangkan hak prioritas yang dibatasi keberlakuan surut pada saat pendaftaran paten tersebut didaftarkan pertama kali minimal di satu negara lain di luar Indonesia. Daftar Pustaka Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Bandung, 2005. Black, Henry Campbell., Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul, Minn, West Publishing Co., USA, 1991. Bainbridge, David I., Intellectual Property, Fourth Edition, Financial Times Management, London, United Kingdom, 1999. Muhammad Aulia Adnan, Panduan Pengembang Public License di Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2001. Paingot Rambe Manalu, Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Hukum Nasional Kususnya Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2000. 87 PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM TANAH INDONESIA Stella Bong Abstrak Tujuan dibuatnya paper ini adalah menyoroti pluralisme hukum di Indonesia khususnya di Hukum Pertanahan. Dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1980, kemudian Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti menjadi Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, jelas pemerintah ingin melakukan unifikasi dalam bidang hukum pertanahan dengan menyatakan sertifikat sebagai satu-satunya bukti kepemilikan atas tanah. Dalam praktiknya ternyata unifikasi tersebut gagal karena masyarakat mempunyai pendapat sendiri soal bukti kepemilikan atas tanah, yaitu masih diakuinya Letter C sebagai bukti kepemilikan. Memang agak aneh bahwa setelah berlakunya UUPA sejak tahun 1960 sampai saat ini, ternyata tidak bisa menghapus keberadaan dari Letter C yang sampai sekarang masih tetap ada. Dari hasil wawancara dan pengumpulan data-data dari Badan Pertanahan Nasional diketahui bahwa pada waktu akan membuat sertifikat untuk tanah milik adat, si pemohon tetap haruslah melampirkan salinan Letter C dari Kelurahan sebagai bukti kepemilikan atas tanah. Dan karena BPN tidak mempunyai data-data mengenai tanah adat, maka si pemohonlah yang diwajibkan untuk membuktikan bahwa tanah itu benar miliknya. BPN hanya berfungsi sebagai petugas/ badan yang menerima dan memproses permohonan yang tidak bertugas memeriksa kebenaran dari berkas-berkas permohonan yang diajukan. Pihak kelurahan sebagai pihak yang mengeluarkan salinan Letter C juga menolak jika dimintai pertanggungan jawab atas kebenaran salinan yang diterbitkannya. Petugas kelurahan beranggapan bahwa tugas mereka hanya sekedar memberikan konfirmasi soal Letter C yang bukunya memang disimpan di kelurahan dan tidak berwenang memeriksa apakah benar si pemohon adalah pemilik Letter C tersebut. Sampai saat ini tidak ada petunjuk resmi dari pemerintah kepada petugas kelurahan tentang pelayanan kepada masyarakat mengenai Letter C ini, semuanya dijalankan menurut kebiasaan yang sudah dilakukan selama puluhan tahun. Karena itu petugas kelurahan pun merasa tidak punya kewajiban untuk memperbaruhi catatan di buku Letter C dan hanya sekedar mencatat perubahan atau peralihan hak jika mendapat laporan dari masyarakat saja. Fakta lain menunjukkan bahwa Letter C bisa diperjualbelikan layaknya sertifikat, selain itu pemegang sertifikat tidak pernah bisa aman dari gugatan yang diajukan oleh pemegang sertifikat terkait dengan keabsahan atau prosedur penerbitan sertifikat yang bersangkutan. Akibatnya masyarakat sampai kepada kesimpulan bahwa tidak ada bedanya Letter C dengan sertifikat sebagai bukti kepemilikan atas tanah. Karena adanya dualisme ini akhirnya membuat masyarakat melakukan forum shopping, dari 2 (dua) bukti kepemilikan Letter C dan sertifikat tersebut mereka memilih memberlakukan mana yang menguntungkan buat mereka. Bahkan jika timbul sengketa yang berkaitan dengan tanah, mereka juga bisa melakukan shooping forum memilih pengadilan mana yang dianggap bisa menyelesaikan sengketa dan menguntungkan mereka sebagai penggugat tentunya. 88 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Cita-cita unifikasi Hukum Pertanahan yang ingin dicapai oleh Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 jelas telah gagal, pluralisme tidak bisa dihilangkan sebab dalam praktiknya birokrasi di Badan Pertanahan Nasional maupun di kelurahan justru melanggengkan pluralisme ini melalui aturan-atauran pendaftaran tanah. Akibatnya, masyarakat mengembangkan aturannya sendiri dengan memilih-milih hukum dan forum yang menurut mereka bisa membuat mereka mencapai tujuannya. I. Latar Belakang Yang akan dikupas dalam tulisan ini tentang mengapa masyarakat Indonesia bisa sampai memiliki perbedaan pendapat tentang bukti kepemilikan atas tanah, yaitu Letter C dan Sertifikat. Dualisme dalam Hukum Tanah ini merupakan gejala yang tidak ada habishabisnya, dan tulisan ini menyoroti mengapa dualisme ini bisa terjadi padahal baik UndangUndang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sudah secara tegas menyatakan bahwa bukti kepemilikan tanah secara formal yang diakui adalah sertifikat. Kalau Letter C bukan bukti kepemilikan atas tanah, maka tentunya timbul pertanyaan mengapa sampai saat ini Letter C masih diakui sebagai bukti kepemilikan? Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tengah berupaya melakukan unifikasi hukum yang salah satunya diwujudkan dengan dibuatnya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang bertujuan menciptakan hukum sebagai sarana pembangunan. Namun cita-cita unifikasi ini terbentur keberagaman yang menjadi fakta dalam masyarakat di Indonesia, hal ini diakibatkan oleh faktor sejarah yang menyebabkan berlakunya Hukum Adat, Hukum Belanda, dan Hukum Agama di Indonesia pada saat yang bersamaan. Kemampuan untuk melakukan unifikasi hukum sangat tergantung peran pemerintah, Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] namun ternyata pemerintah tidak pernah bisa mengatur semuanya sendiri, harus ada peran juga dari masyarakatnya. Masyarakat sendiri jelas tidak bisa begitu saja menerima apa yang diatur oleh negara karena masyarakat juga bisa menolak jika dirasakan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Dengan sudah adanya aturan, tidak berarti secara otomatis unifikasi bisa dilakukan karena faktanya pluralisme tidak bisa dihapuskan dalam praktik pertanahan. Dualisme hukum ini jelas memunculkan kebingungan di masyarakat. Apa yang dapat dijadikan sebagai bukti kepemilikan atas tanah, apakah dengan Letter C atau Sertifikat? Karena faktanya baik tanah yang sudah bersertifikat maupun yang hanya berbentuk Letter C, keduanya bisa diperjualbelikan. Masih adanya dualisme hukum tentang bukti kepemilikan tanah ini jelas menunjukkan sangat sulitnya melakukan unifikasi hukum tanah yang menjadi tujuan dibentuknya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Salah satu alasan kegagalan unifikasi ternyata karena proses pendaftaran tanah untuk pertama kali justru melanggengkan pluralisme ini. Birokrasi pada Badan Pertanahan Nasioanal tetap meminta dilampirkannya Letter C sebagai bukti awal kepemilikan atas tanah milik adat. Selain itu, pihak Badan Pertanahan Nasional maupun kelurahan/kecamatan memiliki cara pandang yang berbeda tentang peranan mereka dalam proses pendaftaran tanah dan sejauh mana mereka bertanggung jawab atas kebenaran data-data pemegang Letter C dan sertifikat. 89 Jika pluralisme ini dibiarkan terus menerus maka jelas membingungkan, dan berangkat dari pluralisme ini, masyarakat juga menciptakan aturan sendiri misalnya dengan apa yang disebut oleh Keebet von Benda Beckmann sebagai “shopping forum” dan “forum shoppings” yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau, yaitu suatu tindakan untuk memilih hukum dan pengadilan/forum mana yang menurut mereka yang lebih menguntungkan untuk diterapkan dan digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sedang mereka hadapi. Hal ini akibat dari berlakunya berbagai sistem hukum yang berbeda pada lingkungan yang sama telah membuat yurisdiksi pengadilan menjadi tumpang tindih. Data yang dipakai oleh penulis dalam menyusun tulisan ini adalah dengan melakukan pengamatan, wawancara, studi kepustakaan dan juga sebagian berangkat dari pengalaman pribadi penulis sebagai seorang advokat yang sempat menangani beberapa perkara yang menyangkut kepemilikan atas tanah. Dan untuk menjelaskan apakah itu pluralisme hukum dan bagaimana dipakai dalam membahas dualisme bukti pemilikan atas tanah dan bagaimana pluralisme telah membuat masyarakat melakukan “Shooping Forum” dan “Forum Shopping”, akan penulis kemukakan lebih lanjut. II. Pluralisme Hukum, Forum Shopping dan Shopping Forums Dari zaman penjajahan sudah dilakukan legal transplant hukum tanah Belanda yang diberlakukan di Indonesia sehingga pemberlakuan ini memunculkan adanya dualisme hukum di Indonesia terkait dengan adanya penggolongan penduduk dan masih adanya tanah-tanah milik adat di Indonesia. Legal Pluralisme adalah hal yang biasa di berbagai negara apalagi jika negara itu pernah dijajah oleh negara lain, secara otomatis akan timbul berbagai sistem hukum yang pernah diber- 90 lakukan dalam negara tersebut oleh negara penjajah. Sehingga pada saat yang bersamaan berlakunya berbagai sistem hukum. Menurut Brian Z. Tamanaha: “A State of ‘legal Pluralisme’: then, exits wherenever more than one kind of ‘law’ is recognized through the social practices of a group in a given social arena, which is a relatively common situasion.” Jadi legal pluralisme ada jika berlaku lebih dari satu jenis hukum yang dikenal mela lui praktik-praktik sosial dari suatu kelompok sosial atau arena tertentu dalam situasi yang relatif sama. Pluralisme dalam hukum tanah di Indonesia adalah berlakunya Letter C dan sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah atas tanahtanah yang dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat. Yang dimaksud sebagai sertifikat berdasarkan Pasal 32 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah: “Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.” Kemudian ayat 2 menyebutkan pula: “Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.” Jadi selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, maka data yang tercantum pada sertifikat akan dianggap benar. Dan apabila sertifikat telah dimiliki selama 5 (lima) tahun dan dikuasai oleh pihak yang mempunyai tanda bukti hak sertifikat dan diperoleh dengan itikad baik selama 5 (lima) tahun maka pihak yang merasa berhak tidak dapat menggugat hak atas tanah dan apabila ada kesalahan dalam pendaftaran dapat diberikan ganti rugi oleh pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan Letter C atau bisa juga disebut sebagai Girik, Pepetuk jika dilihat dari sejarahnya dapat diceritakan sebagai berikut: sebelum berlakunya UndangUndang Pokok Agraria Tahun 1960, pada masa Hindia Belanda, selain pendaftaran tanah-tanah Hak Barat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, dijumpai juga kegiatan pendaftaran tanah dengan tujuan lain, yaitu bagi kepentingan negara sendiri untuk keperluan pemungutan pajak tanah sehingga kegiatannya disebut “kadaster fiscal” atau “fiscal cadastre”. Jadi sebelum berlakunya UUPA ada tiga macam pemungutan pajak tanah, yaitu: 1. Untuk tanah-tanah Hak Barat: Verponding Eropa; 2. Untuk tanah-tanah hak milik adat yang ada di wilayah Gemeente: Verponding Indonesia; dan 3. Untuk tanah-tanah hak milik adat luar wilayah Gemeente: Landrente atau Pajak Bumi. Dasar penentuan objek pajaknya ditentukan berdasarkan status tanahnya apakah tanah hak Barat atau tanah hak milik adat. Untuk wajib pajaknya adalah pemegang hak/ pemiliknya. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Landrente atau Pajak Bumi hanya dikenakan di Jawa dan Madura (S. 1927-163 jo. 1931168), Bali dan Lombok (S. 1922-812), Sulawesi (S.1927-179), Daerah Hulu Sungai Kalimantan (S.1923-484), (S. 1925-193, S. 1932-102) dan Bima (1926), Dompu dan Anggar (1927) serta Sumbawa (1929). Sedangkan Verponding Indonesia dipungut berdasarkan S. 1923-425 jo S. 1931168. Pengenaan pajak dilakukan dengan penerbitan surat pengenaan pajak atas nama pemilik tanah, yang di kalangan rakyat dikenal dengan sebutan: Petuk pajak, Pipil, Girik, Petok, Letter C, dan lain-lainnya. Karena pajak dikenakan pada yang memiliki tanahnya, petuk pajak yang fungsinya sebagai surat pengenaan dan tanda pembayaran pajak, di kalangan rakyat dianggap dan diperlakukan sebagai tanda bukti pemilikan tanah yang bersangkutan. Pengenaan dan penerimaan pembayaran pajaknya oleh pemerintah pun oleh rakyat diartikan sebagai pengakuan hak pembayar pajak atas tanah yang bersangkutan oleh pemerintah. Jadi sebenarnya jelas bahwa pada awalnya Letter C pada awalnya hanya merupakan bukti pembayaran pajak dan bukanlah bukti kepemilikan atas tanah. Setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, maka Letter C sudah tidak dikeluarkan lagi, dan sejak saat itu catatan Letter C yang ada dikantor Kadaster diserahkan kepada Kelurahan atau Kecamatan dimana Letter C itu terletak. Maka sejak tahun 1961 tidak ada lagi pengenaan Verponding Eropa, Verponding Indonesia dan Pajak Bumi. Ketiga pajak tanah tersebut pada tahun 1961 diganti dengan pungutan baru dengan nama Iuran Pembangunan Daerah, disingkat IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah). IPEDA pun kemudian diganti dengan pajak baru, yang diberi nama Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) (Undang-undang No. 12 tahun 1985) (LN 1985-68, Penjelasannya dalam TLN 3312). 91 Dalam praktiknya, sampai saat ini ternyata Letter C oleh sebagian masyarakat tetap diakui sebagai bukti kepemilikan dan dapat dijualbelikan layaknya sertifikat tanah. Adanya pluralisme ini merupakan gejala yang berkembang dalam masyarakat dan jika terus dibiarkan maka suatu hari nanti masyarakat dapat melakukan forum shopping dan juga shopping forums sebagaimana yang diceritakan oleh Keebet von Benda Beckmann dalam masyarakat Minangkabau karena berlakunya hukum adat, hukum peninggalan Belanda, dan hukum agama secara bersamaan. Karena pluralisme tersebut, untuk menyelesaikan suatu sengketa, masyarakat Minangkabau dapat melakukan memilih hukum dan pengadilan yang dianggapnya paling menguntungkan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Dalam bukunya, The Broken Stairways to Consensus, Village Justice and State Courts in Minangkabau, Keebet von Benda-Beckmann menggambarkannya sebagai berikut: “A variety of institution can deal with disputes in Minangkabau. Some derive their legitimation from adat, the indigenous Minangkabau system of normative rules and usages, other from the national-formerly colonial legal system. The fields of jurisdiction of these institution overlap. Minangkabau disputants there for can choose between several institution. In analogy to private international law, it called as ‘forum shopping’ there because the disputants have a choice between different institution and they base their choice on what they hope the outcome of the dispute will be. Besides forum shooping disputants, there also ‘shopping forums’ engaged in trying to acquire and manipulate disputes from which they expect to gain political advantage, or fend off disputes which they fear will threaten their interest.” 92 Untuk menjelaskan mengapa cita-cita unifikasi hukum pertanahan yang dicitacitakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria tidak sepenuhnya berhasil dilaksanakan karena masih adanya pluralisme hukum pertanahan khususnya tentang bukti kepemilikan tanah dan bagaimana pada akhirnya pluralisme hukum justru membuat masyarakat melakukan “forum shopping” dan “shopping forums” akan dijelaskan pada bagian ketiga dari tulisan ini. III. Pluralisme Hukum dalam Hukum Tanah Indonesia Setelah tahun 1945, sebagai peninggalan penjajah, di Indonesia berlaku lebih dari satu hukum tanah. Di bidang hukum agraria berlaku hukum agraria Barat dan hukum agraria adat. Keadaan ini tentu menimbulkan kesulitan dalam praktik hukum pertanahan. Karena itu, dirasakan perlunya mengadakan penyatuan sistem hukum pertanahan (unifikasi). Dan ini terwujud sejak diundangkannya UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) pada 24 September 1960. UUPA menetapkan hak–hak atas tanah yang diakui (yaitu Pasal 16) dan juga ketentuan penting konversi (penyesuaian) hak atas tanah yang lama menjadi hak-hak atas tanah menurut UUPA. Seiring dengan tujuan itu, untuk menciptakan kepastian hukum pertanahan diadakan kegiatan Pendaftaran Tanah (Pasal 19 UUPA). Hasil akhir dari kegiatan pendaftaran itu adalah pembukuan hak atas tanah dan pemberian tanda bukti hak atas tanah (Pasal 19 ayat 2 UUPA). Jelas sekali Pasal 19 ayat 2 UUPA menentukan: Pemberian surat tanda bukti hak (sertifikat), yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Ini sesuai pula dengan Penjelasan atas UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA Bab IV alinea 2 yang menyebutkan pendaftaran tanah yang bersifat rechts-kadaster, artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Jadi warga, baik perorangan maupun institusi, dijamin kepemilikan tanahnya, apabila memiliki sertifikat hak atas tanah. Bagaimana dengan girik Letter C tanah? Girik adalah bukti pembayaran pajak atas tanah, sebelum berlakunya PP 10 Tahun 1961, umumnya di daerah pedesaan dan di kalangan warga pribumi. Oleh karenanya sejak tahun 1961, Letter C sudah tidak dikeluarkan lagi. Menurut hukum pertanahan, pemegang girik (yang asli) diakui oleh hukum sebagai bukti kepemilikan dalam rangka pembuatan sertifikat hak atas tanah (Pasal 24 Penjelasan atas PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Dari pengertian ini jelas jika terjadi sengketa kepemilikan antara girik dan sertifikat tanah atas bidang tanah yang sama, maka pemilik sertifikat hak atas tanah haruslah diakui kepemilikannya sampai dibuktikan sebaliknya. Jadi menurut hukum, pihak yang beritikad baik, dalam hal ini pemilik sertifikat hak atas tanah harus diakui kepemilikannya. Kalaupun ada pihak lain yang merasa berhak pula atas tanah tersebut, ia harus membuktikan (Pasal 20 Penjelasan atas UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA). Tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan diundangkannya UndangUndang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah mewujudkan unifikasi di bidang pertanahan. Caranya adalah dengan menyatakan sertifikat sebagai satu-satunya bukti kepemilikan yang diakui oleh negara. Sebagai negara yang sedang berkembang, pemerintah melihat bahwa dengan dibuatnya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 jelas akan mendorong percepatan pembangunan mengingat tanah merupakan salah satu faktor pembangunan yang vital. Sehingga dengan adanya UndangUndang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] diharapkan menjadi sarana untuk mendorong percepatan pembangunan. Namun ternyata setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, di samping sertifikat, masih ada sebagian masyarakat yang tetap mengakui Letter C sebagai bukti kepemilikan atas tanah walaupun secara jelas yang diakui sebagai bukti kepemilikan adalah sertifikat. Letter C oleh Pengadilan sebenarnya tidak diterima sebagai tanda bukti pemilikan tanah yang dikenakan pajak, dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Februari 1960 nomor 34/K/ Sip/1960, bahwa: “Surat petuk pajak bumi bukan merupakan suatu bukti mutlak, bahwa sawah sengketa adalah milik orang yang namanya tercantum dalam petuk pajak bumi tersebut, akan tetapi petuk itu hanya merupakan suatu tanda siapakah yang harus membayar pajak dari sawah yang bersangkutan.” Setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 mulai tanggal 24 September 1960 tidak ada lagi tanah-tanah Hak Barat dan tanah-tanah hak milik adat. Lembaganya sudah tidak ada lagi, sedang hak-hak yang ada pun telah dikonversi oleh Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 menjadi salah satu hak yang baru. Sehubungan dengan itu mulai tahun 1961 tidak ada lagi tanah yang menurut ketentuannya dapat dikenakan Verponding Eropa, Verponding Indonesia dan Landrente atau Pajak Bumi. Maka sejak tahun 1961 tidak ada lagi pengenaan Verponding Eropa, Verponding Indonesia dan Pajak Bumi. Ketiga pajak tanah tersebut pada tahun 1961 diganti dengan pungutan baru dengan nama Iuran Pembangunan Daerah, disingkat IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah). IPEDA ini pun kemudian diganti dengan pajak baru, yang diberi nama Pajak Bumi dan Bangunan, disingkat PBB (Undang-undang 93 No. 12 tahun 1985) (LN 1985-68, Penjelasannya dalam TLN 3312). Berbeda dengan ketiga pajak yang digantinya, pengenaan IPEDA dan PBB tidak dihubungkan dengan status tanah yang bersangkutan, biarpun tanah tetap disebut “objek pajak” (Pasal 2). Bahwa status tanah dan hubungan hukum wajib pajak dengan tanah yang menjadi objek pajak tidak lagi merupakan faktor penentu pengenaan pajaknya, dapat diketahui dari ketentuan Pasal 4 ayat (1): “Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai sesuatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.” Karena itu maka setiap orang atau badan yang memperoleh manfaat dari suatu bidang tanah bisa menjadi subjek pajak PBB, bukan hanya mereka yang menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam pengenaan IPEDA dan PBB juga diterbitkan surat pengenaan pajak, yang dalam pemungutan PBB disebut Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT). Tetapi karena pengenaannya tidak didasarkan pada adanya hubungan hukum dengan tanah yang merupakan objek pajak, SPPT, demikian juga petuk IPEDA tidak bisa dipakai sebagai petunjuk bahwa pemegang petuk/SPPT sebagai wajib-pajak mempunyai hak atas tanah tersebut. Seorang okupan ilegal pun bisa menjadi pemegang petuk IPEDA/SPPT PBB. Lagi pula dalam SPPT tidak disebutkan status hukum tanahnya. Okupan ilegal tanah negara pun bisa menjadi subjek pajak PBB. Karena itu maka dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut ditegaskan bahwa: “Tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.” Pernyataan tersebut dimuat juga pada SPPT. 94 Jadi jelas dalam hukum positif, Letter C bukanlah bukti pemilikan hak, hanya merupakan suatu petunjuk oleh karenanya harus ditopang dengan bukti-bukti lain baik tulisan maupun kesaksian. Karena itu lokasi tanah Letter C tidak jelas dalam rangka pendaftaran penegasan konversi harus diukur oleh pihak yang berwenang yaitu Kantor Pertanahan setempat. Jika Letter C bukan bukti kepemilikan atas tanah, maka tentunya timbul pertanyaan mengapa sampai saat ini Letter C masih diakui sebagai bukti kepemilikan? Dan bagaimana cita-cita unifikasi hukum pertanahan tidak mampu menghapuskan pluralisme hukum di bidang pertanahan? Berhasil atau tidaknya unifikasi hukum sangat tergantung pada pemerintah tapi ternyata pemerintah tidak mampu mengatur semuanya sendiri, harus ada partisipasi dari masyarakatnya juga. Jika masyarakat menolak suatu peraturan, maka walaupun sudah diberlakukan, aturan tersebut tetap tidak secara otomatis akan diikuti oleh masyarakat. Jadi seharusnya dengan sudah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 maka satu-satunya bukti kepemilikan tanah adalah sertifikat, tapi nyatanya dalam praktik pendaftaran tanah justru membuat pluralisme hukum pertanahan masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Proses unifikasi hukum pertanahan dimulai dengan proses pendaftaran tanah/memohon penerbitan sertifikat. Ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa: Pembuktian Hak Lama 1. Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hakhak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 2. tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadis, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. (dalam bagian penjelasannya, alat-alat bukti tertulis yang dimaksud di atas salah satunya adalah petuk Pajak Bumi/ Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961). Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh Pemohon pendaftaran dan pendahulupendahulunya dengan syarat: a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun pengumuman sebagai dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya. Tata pembuktian hak lama yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 itu kemudian dalam praktiknya dilaksanakan dengan cara seperti berikut. Untuk setiap orang yang akan mendaftarkan tanah hak milik adat diwajibkan untuk membeli berkas/formulir pengakuan hak1 seharga Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) yang di dalamnya berisi beberapa formulir yang harus diisi dan atau dilengkapi oleh pemohon 1 sertifikat. Formulir berisi surat-surat keterangan antara lain: 1. Surat Pernyataan dari Pemohon sebagai pemilik dari tanah milik adat dengan menyebutkan Nomor Persil dan Kohir, dan pernyataan bahwa si pemohon menjamin bahwa posisi letak bidang tanah tersebut adalah benar sebagaimana yang ditunjukkan kepada petugas Kantor Pertanahan Kota Bandung pada saat pelaksanaan pengukuran dan pemeriksaan lapangan. Dan apabila di kemudian hari ternyata posisi atau letak tanah tersebut tidak benar atau terbukti terjadi kesalahan penunjukan lokasi/letak maka si pemohon yang bertanggung jawab secara Perdata dan Pidana. 2. Surat Pernyataan Penguasaan Fisik yang diketahui oleh Kepala Kelurahan dan dikuatkan 2 (dua) orang Saksi, yang isinya menyatakan bahwa si pemohon menjamin tanah milik adat yang dimohonkan sertifikatnya tersebut adalah benar dikuasai oleh pemohon, tidak dalam sengketa, dijaminkan, dan belum bersertifikat. Si pemohon juga harus menyatakan kesediaan untuk menanggung segala risiko untuk dituntut secara perdata dan pidana apabila pernyataan yang dibuatnya ini tidak benar. 3. Surat Keterangan Kepala Kelurahan (berdasarkan PP No. 24/1997 Pasal 61) yang intinya berisikan keterangan dari Kepala Desa tempat di mana tanah yang dimohonkan sertifikatnya itu terletak bahwa tanah milik adat dengan Nomor Persil dan kohir tersebut adalah benar dikuasai oleh Pemohon dan sebelumnya telah dikuasai oleh pemilik-pemilik terdahulu selama 20 tahun tanpa ada sengketa. Surat Keterangan Kepala Kelurahan ini dikuatkan dengan 2 (dua) orang yang membenarkan kepemilikan dari si pemohon. Formulir Pengakuan Hak dijual di Koperasi Badan Pertanahan Nasional Kota Bandung. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 95 Selain Formulir yang harus diisi tersebut di atas, si pemohon sertifikat juga harus melampirkan: • Fotocopy KTP Pemohon • Bukti tertulis yang dipunyai antara lain Akta, Segel, Girik dan lainnya yang dibuat sebelum tahun 1960. Dari persyaratan untuk memohonkan sertifikat tersebut di atas jelas bahwa proses pendaftaran tanah untuk pertama kalinya justru melestarikan dualisme hukum tentang bukti kepemilikan tanah. Walaupun secara jelas-jelas menyatakan bahwa Letter C bukan bukti kepemilikan atas tanah tapi nyatanya pada waktu akan memohonkan sertifikat, masyarakat tetap diharuskan menunjukkan bukti Letter C yang dimilikinya, yang juga dikuatkan oleh Lurah2. Jika si pemohon sama sekali tidak mempunyai bukti Letter C maka pembukuan hak dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut yang dikuatkan dengan saksi. Jadi seorang okupan ilegal bisa diakui negara sebagai pemilik tanah asal dia sudah menguasai tanah selama 20 (dua) puluh tahun berturut-turut tanpa dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/ kelurahan yang bersangkutan. Tanpa adanya Letter C dan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik jelas permohonan sertifikat tidak dapat diproses. Sesuai dengan persyaratan yang diminta oleh Badan Pertanahan Nasional tersebut, maka Notaris yang mendapat kuasa dari pemohon untuk mengurus permohonan sertifikat juga meminta si pemohon melampirkan salinan Letter C yang diberikan oleh Lurah dan juga melampirkan surat pengakuan penguasaan fisik. Si Notaris sendiri sebenarnya mengetahui bahwa Letter C bukanlah bukti kepemilikan tapi tanpa adanya salinan Letter C tersebut maka permohonan yang diajukan 2 96 tidak akan diproses oleh BPN. Negara dalam praktik pendaftaran tanah untuk yang pertama kali jelas telah mengakomodasi Letter C sebagai bukti kepemilikan, ditambah dengan fakta bahwa Letter C bisa diperjualbelikan, maka hal ini semakin menguatkan opini masyarakat bahwa Letter C adalah bukti kepemilikan, dan cara kerja birokrasi ini jelas telah menggagalkan cita-cita unifikasi karena selama negara masih mensyaratkan harus dilampirkannya Letter C sebagai bukti permulaan kepemilikan tanah maka selama itu pulalah Letter C masih tetap akan ada, buktinya sampai saat ini masih banyak tanah milik adat yang belum disertifikatkan. Disyaratkan oleh BPN juga bahwa Letter C atau Girik yang harus dilampirkan pada saat memohonkan sertifikat haruslah Letter C yang dibuat sebelum tahun 1960 (tertulis dalam map formulir pengakuan hak) karena sejak berlakunya UUPA maka sejak tahun 1961, Letter C sudah tidak diterbitkan lagi. Tapi ternyata semua Letter C yang terdapat di kecamatan/ kelurahan tidak mencantumkan tahun pembuatannya. Jadi tidak bisa dipastikan apakah dibuat sebelum atau sesudah tahun 1960, dan biasanya hal ini tidak diperhatikan oleh petugas dari BPN yang menerima formulir pendaftaran. Biasanya hanya diperiksa apakah ada melampirkan Letter C atau tidak, tapi tahunnya tidak pernah diperiksa lagi. Masalah selanjutnya adalah bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai daya jangkau yang terbatas, dan biasanya hanya ada 1 (satu) di Kotamadya dan 1 (satu) di Kabupaten yang membawahi beberapa kabupaten. Dan karena susah diakses dan begitu banyak surat-surat yang harus disiapkan untuk memproses pendaftaran tanah maka banyak masyarakat merasa malas untuk mensertifikatkan tanah milik adat yang dimilikinya. Lagi pula jika dengan Letter C saja, tanah sudah bisa diperjualbelikan, untuk apa disertifikatkan? Hasil wawancara dengan Notaris tanggal 11 November 2008. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Umumnya BPN juga bersifat pasif, dimana hanya menerima permohonan tanpa memeriksa kebenaran dari identitas pemohon dan kebenaran dari surat-surat yang diajukan oleh pemohon3. Karena untuk tanah-tanah milik adat, BPN tidak punya data-datanya maka hanya mengandalkan surat-surat yang diajukan oleh pemohon dan juga surat keterangan dari lurah yang menjelaskan soal Persil dan Kohir juga soal penguasaan si pemohon. Karena itu dalam setiap formulir yang diisi oleh si pemohon terdapat keterangan bahwa si pemohon harus mempertanggungjawabkan keterangannya secara perdata dan pidana. Negara dalam hal ini diwakilkan kepada Badan Pertanahan Nasional menerbitkan sertifikat sebagai bukti kepemilikan tetapi Negara menolak atau tidak bertanggungjawab pada pembuktikan keabsahan dari surat-surat yang menjadi dasar penerbitan sertifikat. Buktinya si pemohon yang harus bertanggung jawab atas semua surat keterangan yang diserahkan pada saat memohonkan sertifikat. Setelah semua persyaratan permohonan sertifikat dipenuhi maka BPN akan membentuk 2 (dua) kelompok kerja yaitu Panitia A dan Petugas Ukur untuk menindaklanjutinya. Pertama dimulai dengan dilakukan pengukuran dan penetapan batas-batas tanah yang dihadiri oleh pemohon, pemilik tanah yang berbatasan dan petugas dari kelurahan. Tapi biasanya petugas dari kelurahan jarang yang hadir, tanpa diketahui alasannya. Setelah proses pengukuran selesai, hasilnya diserahkan kepada Panitia A yang nantinya akan membawa hasil pengukuran ke Kelurahan untuk mendapatkan tanda tangan dari Lurah sekaligus mencocokkan data yang diterima dari pemohon dengan data tanah yang ada di Kelurahan tersebut. Jadi tugas Lurah hanya sebatas mengetahui bahwa telah dilakukan 3 4 pengukuran tapi karena tidak hadir pada saat pengukuran, maka Lurah pun sebenarnya tidak mengetahui apakah luas dan batas-batas tanah yang diukur itu sudah sesuai dengan data yang tercantum dalam buku Letter C di Kelurahan. Catatan soal ada atau tidak adanya Letter C hanya dapat diketahui dari catatan Letter C yang ada di kelurahan atau kecamatan dimana tanah tersebut terletak. Letter C yang terdapat di Kelurahan tersebut merupakan limpahan/salinan dari buku Kadaster yang dulunya dikelola oleh Kantor Kadaster yang sudah dihapus pada tahun 1961 sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria 4. Buku Letter C yang terdapat di Kelurahan sudah banyak yang tidak terbaca karena menurut ceritanya diserahkan sejak tahun 1961 tapi sebenarnya tidak ada yang tahu persis berapa tuanya buku tersebut. Karena bentuknya yang sudah rapuh, maka ada sebagian petugas kelurahan yang mempunyai inisiatif memfotokopi buku tersebut sehingga jika ada catatan peralihan maka dicatat di buku baru hasil fotokopi tersebut. Sejak saat itu sampai saat ini belum ada juklak maupun juknis yang diterbitkan oleh Pemerintah yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya petugas kelurahan memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait dengan Letter C tersebut. Selama ini yang dijalankan adalah mengikuti cara-cara lama, dimana petugas kelurahan hanya bersifat pasif menunggu laporan dari masyarakat, jadi hanya terbatas menerima konfirmasi saja. Kalau ada peralihan atas tanah Letter C, baik itu jual beli, hibah atau yang lainnya, tidak ada bedanya bagi petugas kelurahan karena petugas kelurahan hanya menerima konfirmasi dari masyarakat yang meminta mencatatkan perubahan tersebut pada buku Letter C. Begitu juga dengan Surat Penguasaan Fisik selama 20 tahun yang dibuat oleh si Hasil wawancara dengan petugas Badan Pertanahan Kota Bandung tanggal 10 November 2008. Hasil wawancara dengan petugas Kecamatan Sukajadi Bandung tanggal 13 November 2008. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 97 pemohon, memang di dalamnya ada tanda tangan dari Lurah, tapi itu pun hanya sebatas bahwa si lurah mengetahui bahwa si pemohon membuat surat tersebut bukan berarti membenarkan bahwa si pemohon memang telah menguasai tanah tersebut selama 20 tahun. Letter C biasanya berisi catatan nomor Persil (tanah) dan nomor Kohir (wajib Pajak). Dan karena salinan Letter C itu dibuat sebelum tahun 1960 maka biasanya orang-orang yang namanya tercantum dalam Letter C itu sudah meninggal dunia semua. Yang kemudian muncul ke kantor kelurahan adalah orangorang yang mengaku sebagai ahli waris dari orang yang namanya tercantum dalam Letter C. Pengakuan sebagai ahli waris ini didasarkan pada Surat Keterangan Ahli Waris yang diterbitkan oleh Walikota Bandung atau Bupati Bandung. Dan sekali lagi karena petugas kelurahan tidak punya kewajiban untuk memeriksa apakah si pemohon adalah benar ahli waris atau bukan, maka petugas kelurahan tetap akan memberikan salinan Letter C kepada si pemohon walaupun sebenarnya nama si pemohon berbeda dengan nama orang yang tercantum dalam Letter C. Seorang petugas kelurahan juga tidak diwajibkan memeriksa kebenaran dari peralihan hak yang dilaporkan oleh warganya tersebut, bahkan sebenarnya si petugas kelurahan juga tidak pernah tahu apakah semua data-data yang tercantum di dalam Letter C itu benar atau tidak5. Petugas kelurahan juga tidak mengetahui apakah tanah-tanah tersebut sudah bersertifikat atau belum karena kalaupun tanah tersebut sudah bersertifikat, tidak ada catatannya dalam Letter C tersebut. Adanya ‘mall’ administrasi ini memang diakui oleh petugas kelurahan dapat merugikan pihak ketiga khususnya pemegang sertifikat tanah. Karena bisa saja atas tanah Letter C yang diterbitkan sertifikatnya itu dapat dibuat sertifikat lagi. Masalahnya karena tanah Letter 5 6 98 C yang sudah diterbitkan sertifikat itu tidak dicatatkan di kelurahan, sehingga bisa saja si pemilik Letter C kembali meminta salinan Letter C dan memulai lagi proses pendaftaran tanah lagi. Akibatnya sering timbul ada dua atau lebih sertifikat yang diterbitkan secara tumpang tindih di atas tanah yang sama. Ada pertanyaan dari petugas kelurahan juga soal masih digunakannya Letter C oleh BPN sebagai bukti awal untuk mendaftarkan tanah. Letter C itu jelas dibuatnya sebelum tahun 1960 jadi sudah lebih dari 40 tahun yang lalu, kalau dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1967 KUH Perdata yang menyebutkan: Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjuk kepada daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk. Tentunya timbul pertanyaan apakah Letter C tersebut masih layak untuk di pertahankan sebagai bukti awal kepemilikan tanah? Seorang petugas kelurahan juga merasakan ketidaknyamanan dengan tidak jelasnya tugas dan fungsinya sebagai petugas yang memberikan pelayanan soal catatan Letter C. Jika tetap berlangsung seperti sekarang dimana petugas kelurahan hanya bertugas tidak lebih dari orang yang mencatatkan peralihan di Letter tanpa bisa memeriksa kebenaran si pemohon hak maka jelas tidak ada gunanya. Buktinya letter C saat ini telah banyak dimanfaatkan untuk merugikan pemilik sertifikat sebagaimana dipaparkan di atas. Karena tidak diberi tugas untuk memeriksa kebenaran si pemohon maka semuanya digantungkan pada itikad baik si pemohon saja.6 Hasil wawancara dengan petugas Kecamatan Sukajadi Bandung tanggal 13 November 2008. Hasil wawancara dengan petugas Kecamatan Sukajadi Bandung tanggal 13 November 2008. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Karena hanya sekedar mendapat limpahan, maka sebenarnya bukan menjadi tugas dari lurah/camat untuk memelihara catatan dalam buku Letter C tersebut. Petugas kelurahan jelas merasa tidak punya kewajiban untuk memperbaharui buku Letter C tersebut. Jadi jelas diperbaharui atau tidaknya catatan Letter C yang terdapat di kelurahan/kecamatan semata-mata digantungkan pada keaktifan dan kemauan lurah dan camat yang bersangkutan. Telah disebutkan di atas bahwa akibat adanya ‘mall’ administrasi bisa timbul atas tanah milik adat yang sama bisa diterbitkan sampai 2 (dua) kali secara tumpang tindih, dan atas peristiwa ini biasanya BPN melepaskan tanggung jawab dengan alasan bahwa BPN hanya menerima permohonan sertifikat tetapi tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa kebenaran dari bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon. Karena dalam formulir-formulir yang diisi oleh pemohon pada waktu memohon penerbitan sertifikat sudah dicantumkan bahwa si pemohon yang harus bertanggung jawab atas kebenaran isi dari formulir-formulir tersebut. Sama halnya dengan BPN, petugas Kelurahan juga menolak bertanggung jawab atas beban pembuktian dan hanya memposisikan diri sebagai pihak menerima koordinasi. Fakta ini menunjukkan bahwa Pemohon yang harus memikul pembuktian, dan hal ini tentunya tidak memberikan perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yaitu orangorang yang membeli tanah dari si pemohon sertifikat dimana walaupun tanah yang dibelinya adalah tanah bersertifikat tapi tetap saja tidak aman karena setiap waktu mungkin saja digugat oleh orang yang memiliki Letter C. Jika ini terjadi, maka sebagai pemegang sertifikat yang terakhir ini jelas membeli tanah sudah dalam keadaan bersertifikat yang kepemilikan mungkin berpindah tangan berulang kali, jadi sangat suili dan hampir tidak mungkin bisa diketahui bagaimaan proses awal pada waktu si pemohon mengajuakn permohonan pendaftaran tanah. Dan jika sertifikat tersebut Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] sudah diterbitkan berpuluh tahun silam dan ternyata si pemohon telah meninggal dunia, si pemohon jelas tidak bisa dimimtai pertanggungjawaban. Walaupun sertifikat telah dinyatakan oleh negara sebagai bukti kepemilikan tanah tapi nyatanya pemerintah sendiri tidak mau menjamin kebenaran isi sertifikat yang diterbitkannya. Si pemilik tanah yang sudah bersertifikat tidak akan bisa kebal dari gugatangugatan yang diajukan oleh orang ketiga yang juga mengaku sebagai pemilik tanah dengan hanya bermodalkan salinan Letter C dari kelurahan. Dalam Pasal 32 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa jika suatu sertifikat sudah diterbitkan selama 5 (lima) tahun dan tidak ada yang mempermasalahkan maka selanjutnya sertifikat tersebut tidak bisa diganggu gugat, kecuali bisa dibuktikan sebaliknya yaitu bahwa memang terdapat ketidakbenaran dalam proses penerbitannya. Intinya, pemegang sertifikat juga tidak aman, buktinya tetap bisa digugat, apalagi ditambah fakta bahwa Pengadilan di Indonesia tidak pernah menolak menerima gugatan yang diajukan. Kalau begitu apa bedanya pemegang sertifikat dengan pemegang Letter C? Jika dikaitkan dengan Pluralisme hukum maka terlihat jelas bahwa antara praktik dengan hukum negara telah diberlakukan secara bersamaan karena ternyata birokrasi telah mengembangkan prosedur yang justru memunculkan pluralisme hukum yang sangat bertentangan dengan cita-cita unifikasi hukum. Jadi jelas munculnya pluralisme hukum dalam hukum pertanahan, khususnya yang keberlakuan Letter C dan sertifikat sebagai bukti kepemilikan adalah karena tidak jelasnya tugas si petugas kelurahan/kecamatan dan juga karena BPN dan UndangUndang masih mensyaratkan adanya Letter C sebagai bukti awal untuk memohonkan penerbitan sertifikat tanah. 99 Baik Sertifikat maupun Letter C sebagai bukti kepemilikan ternyata dua-duanya bisa diperjualbelikan, untuk Letter C bisa dilakukan hanya dengan membuat surat jual beli di atas kertas segel atau pengikatan jual beli yang kemudian peralihannya dicatatkan dalam buku Letter C di Kelurahan, jadi jelas caranya gampang dan mudah dijangkau oleh masyarakat biasa. Sedangkan untuk tanah-tanah yang bersertifikat, jual belinya harus dilakukan didepan PPAT dan harus dicatatkan di buku tanah yang ada di BPN. Karena Letter C bisa dijual belikan maka tidak salah jika masyarakat pada akhirnya timbul anggapan bahwa Letter C juga merupakan bukti kepemilikan atas tanah. Dalam praktik di lapangan selama bertahun-tahun, bukti transaksi berupa surat girik atau Letter C telah masuk dalam lalu lintas jual-beli tanah. Padahal sudah jelas Girik atau Letter C bukan merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah, melainkan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan dan repotnya lagi jual-beli girik ini bisa dilakukan di bawah tangan. Transaksi seperti ini menjadi bermasalah jika seseorang yang telah menjual tanah dengan surat Letter C lalu membuat lagi salinan Letter C untuk dijual ke pihak lain. Apalagi masyarakat mudah membuat salinan surat girik, mereka cukup meminta salinan surat Letter C dari Kantor Kelurahan dengan berbekal surat kehilangan dari kepolisian. Kenyataan bahwa Letter C/Girik dapat diperjualbelikan secara bebas seperti layaknya sertifikat tanah jelas telah menimbulkan beberapa sengketa, contohnya sengketa tanah di Meruya. Sengketa ini dimulai pada tahun 1972. Waktu itu, Haji Djuhri bin Haji Geni, Yahya bin Haji Geni, dan Muhammad Yatim Tugono membeli tanah-tanah girik dari warga Meruya Udik, yang kini menjadi Kelurahan Meruya Selatan seluas 78 hektar dan kemudian dijual kepada PT Portanigra. Selanjutnya PT Portanigra menuduh tiga mandor itu belakangan membuat girik palsu 100 dan menjual lagi tanah tersebut ke beberapa pihak. Pada 1986, Djuhri divonis hukuman setahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Yahya, yang memilih banding, menyerah di pengadilan tinggi. Ia menerima vonis hakim setahun penjara. Ada pun Tugono menjalani hukuman setelah permohonan kasasinya ditolak Mahkamah Agung pada 1989. Berbekal putusan pidana itu, PT Portanigra kemudian menggugat perdata ketiga mandor tersebut pada 1996. Pada 2001, Mahkamah Agung memenangkan PT Portanigra dan dinyatakan sebagai pemilik tanah seluas 78 hektar yang terbagi dalam 311 girik di Meruya Selatan dengan berdasarkan putusan perkara pidana dan bukti jual-beli. Pada saat dilakukan eksekusi itu, ternyata diatas lahan 78 hektar itu sudah lahir 6.500 sertifikat resmi yang diatasnya berdiri aneka perumahan, dari yang sederhana hingga mewah, seperti Taman Kebon Jeruk (Intercont), Real Estate Meruya Resident, perumahan DPR, perumahan karyawan Kantor Wali Kota Jakarta Barat, kaveling BRI, perumahan Unilever, universitas dan rumah sakit. Perkara Meruya ini jelas menunjukkan bahwa adalah dualisme bukti kepemilikan tanah di Indonesia telah menciptakan ketidakpastian hukum dan merugikan pihak ketiga. Jika pluralisme hukum tanah ini terus dibiarkan maka pada akhirnya akan membuat masyarakat melakukan “forum shooping” dan “shopping forums” yang terjadi di masyarakat Minangkabau sebagai mana yang digambarkan oleh Keebet von Benda Beckmann. Pada saat ini masyarakat di Indonesia jelas sudah melakukan “forum shopping” dimana pada saat tanah yang akan diperjualbelikan adalah tanah milik adat yang belum ada sertifikatnya maka mereka akan memilih menggunakan Letter C sebagai bukti kepemilikan, sedangkan untuk tanah-tanah yang sudah bersertifikat maka yang digunakan sebagai bukti kepemilikan atas sengketa adalah sertifikat tanah. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Sampai saat ini tidak ada satu pun aturan yang melarang transaksi jual beli tanah dengan menggunakan bukti Letter C, karena itu tidaklah heran jika banyak masyarakat yang walaupun sadar bahwa sertifikat adalah bukti kepemilikan yang diakui oleh negara, tetap saja menggunakan Letter C sebagai bukti kepemilikan karena memang dibutuhkan pada saat transaksi tanah milik adat yang belum bersertifikat. Selain melakukan “forum shopping”, ternyata untuk memyelesaikan sengketa kepemilikan tanah juga melakukan “shopping forums” untuk menentukan forum/pengadilan mana yang dianggap paling cocok dan menguntungkan bagi di Penggugat, dan faktanya si Penggugat memang bisa melakukan pilihan apakah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau ke Pengadilan Negeri. Pilihan yang dibuat oleh si Penggugat digantungkan pada apa sebenarnya akan digugat, apakah: 1. keabsahan penerbitan sertifikat, gugatan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena sertifikat termasuk beschiking/keputusan tata usaha negara bersifat konkret, individual dan final yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara; atau 2. kepemilikan atas tanah, gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri. Perlu diperhatikan bahwa syarat untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara adalah jika si Penggugat mengetahui tentang penerbitan sertifikat yang digugat itu dalam waktu kurang dari waktu 90 (sembilan puluh) hari. Jadi jika diketahui lebih dari jangka waktu tersebut maka si Penggugat akan memilih mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri bukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Pilihan-pilihan ini dapat diambil oleh si Penggugat dengan mempertimbangkan keuntungan yang mungkin didapatnya apakah Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] lebih menguntungkan menggugat keabsahan atau kepemilikan tanah. Namun biasanya jika si Penggugat mengetahui soal adanya penerbitan sertifikat dalam waktu kurang dari 90 (sembilan puluh) hari maka si Penggugat akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam praktiknya, setelah ada putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara, barulah ditempuh gugatan kepemilikan di Pengadilan Negeri Bandung. Jika putusan Pengadilan Tata Usaha Negara mengabulkan gugatan si Penggugat dan membatalkan sertifikat, ada pendapat yang mengatakan bahwa karena yang dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha negara hanyalah bukti kepemilikan atas tanah yaitu sertifikat dan bukan kepemilikan/hak atas tanahnya, maka untuk menentukan siapa pemilik sesungguhnya atas tanah objek sengketa maka harus diajukan gugatan tersendiri di Pengadilan Negeri. Namun jika ternyata gugatan si Penggugat dinyatakan ditolak atau tidak dapat diterima oleh Pengadilan Tata Usaha Negara maka hal tersebut tidak menghalangi si Penggugat untuk mengajukan gugatan kepemilikan di Pengadilan Negeri. Adanya Shopping Forums ini dapat dilihat dari sengketa tanah GASIBU di Bandung yang terjadi pada tahun 2008, dimana atas objek tanah yang sama telah diajukan 2 (dua) kali gugatan, yaitu satu di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung dan satu di Pengadilan Negeri Bandung. Pertama, ada perorangan yang mengaku sebagai ahli waris dari Dirdja alias Patinggi dengan bukti Girik telah mengaku sebagai pemilik lahan kawasan seluas 6 hektar yang kini dipakai sebagai Lapangan Gasibu, telah menggugat penerbitan sertifikat atas tanah tersebut yang saat ini dikuasai oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Dalam gugatannya, si Penggugat telah meminta Pengadilan membatalkan penerbitan sertifikat atas tanah tersebut. Saat ini perkara tersebut berada dalam pemeriksaan tingkat kasasi. 101 Kedua, atas tanah yang sama muncul ada sekelompok orang (42 orang) yang juga mengaku sebagai ahli waris keluarga Dirdja alias Patinggi, telah mengajukan gugatan perdata tentang kepemilikan tanah di Pengadilan Negeri Bandung. Si Penggugat mengklaim memiliki segepok surat tanah milik adat warisan berupa girik persil tahun 19221925, yang menerangkan status sah kepemilikan tanah itu sebagai milik keluarga Dirdja, Pasir Kaliki, Desa Balubur, Distrik Ujung Berung. Selain itu, ada gambar ukur tanah atas nama Dirdja yang dibuat 12 Oktober 1925. Dalam gugatannya, keluarga Patinggi meminta hakim mengesahkan surat tanah warisan dan menyatakan tanah itu menjadi hak milik keluarga Dirdja alias Patinggi. Selain menuntut status kepemilikan, para ahli waris menuntut ganti rugi material Rp 6 miliar secara tanggung renteng dan immaterial Rp 6 miliar. Munculnya 2 (dua) gugatan di Pengadilan yang berbeda atas tanah/objek yang sama jelas menunjukkan bahwa masyarakat dapat memilih forum yang akan digunakannya untuk mencapai tujuannya. Jelas munculnya aktivitas “forum shopping” dan “shopping forums” ini merupakan akibat langsung dari berlakunya pluralisme dalam hukum tanah di Indonesia. Fakta ini juga menunjukkan bahwa unifikasi hukum tanah yang dicita-citakan oleh Negara dengan membuat UUPA No. 5 Tahun 1980 ternyata tidak sepenuhnya bisa terlaksana karena pada praktiknya baik orang kelurahan/kecamatan maupun petugas Badan Pertanahan Nasional jelas telah mengembangkan aturan mainnya sendiri. Dan ini memang tidak memberikan kepastian hukum bagi pemegang sertifikat karena setiap saat bisa saja digugat oleh pemegang Letter C karena menggangap ada kesalahan dalam pembuatan sertifikat. 102 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] PENDAFTARAN TANAH GIRIK MENJADI TANAH HAK MILIK DENGAN BUKTI SERTIFIKAT BESERTA PERMASALAHAN HUKUMNYA Gita Atika Wirawan Abstract In Indonesia, the provision of land can be seen in the Law no. 5/1960 on Basic Regulation of Agrarian Affairs (commonltly known as UUPA) and PP 10 of 1961 jo. PP 24 of 1997 on Land Registration. Land is a very complicated problem in human life, that because the soil has important meaning for human life. In line with the development of the age and size of the population growth rate in Indonesia, which has increased every year, that affect land and cause the need for land is increasing as well. Meanwhile, the legal problems that occur in the process of land registration Girik, namely boundary disputes between neighbors on either side, some land will be registered Girik which are covered by the road widening plan, Girik that overlap, false Girik letter, the letter does not match Girik with a history of land disputes heirs. If in the process of land registration was still no issues like those mentioned above, the process of land registration will be suspended until the problem is completed. Completion can be done in consultation, mediation in the National Land Agency (BPN), or file a lawsuit to court. The process of land registration was intended to obtain a proof of ownership of land rights recognized by the UUPA, ie certificate, which is evidence of ownership rights to the land of the strongest and fullest. In addition, in order to achieve justice and provide legal certainty for holders of these certificates, and for the sake of national land administration martinet. A. Latar Belakang Di Indonesia, ketentuan yang mengatur mengenai pertanahan dapat ditemukan di dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Tanah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia di mana saja ia berada, apa pun status atau jabatannya. Artinya, tanah merupakan kebutuhan hidup pokok bagi manusia. Oleh karena itu, masalah pertanahan adalah masalah yang sangat signifikan di dalam kehidupan manusia. Bukti kepemilikan hak-hak atas tanah tersebut dapat berwujud girik, ketitir, pipil, petuk, atau Letter C. Bukti kepemilikan tersebut dapat pula berwujud sertifikat, dimana sertifikat mempunyai kekuatan pembuktian yang lebih kuat daripada girik. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Ada pun, yang dimaksud dengan girik dapat dilihat dalam yurisprudensi, yaitu sebagai berikut: 1. Putusan Pengadilan Tinggi tanggal 3 Juni 1972 No. 178/1971/Perd/PTB yang dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Juli 1973 No. 393 K/ Sip./1973 menentukan bahwa, “… suratsurat ketitir tidak merupakan bukti yang menguatkan adanya Hak Milik, tetapi hanya dinilai sebagai tanda pembayaran pajak saja”; 2. Putusan Mahkamah Agung tanggal 3 Februari 1960 No. 34/K/Sip./1960 menyatakan bahwa: “... surat petuk pajak bumi adalah bukan merupakan suatu tanda bukti mutlak bahwa sawah sengketa adalah milik 103 orang yang namanya tercantum dalam petuk pajak bumi tersebut, akan tetapi petuk itu hanya merupakan suatu tanda siapakah yang harus membayar pajak dari sawah yang bersangkutan.” Menurut Pasal 1 angka 20 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan, yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Selanjutnya, Pasal 20 UUPA menyatakan bahwa: (1) Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6; (2) Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak Milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang tanah Hak Milik yang dimilikinya tersebut, yang hampir sama dengan kewenangan Negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya.1 Menurut Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan, dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian, serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang 1 2 3 tanah yang sudah ada haknya serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Dalam Penjelasan Pasal 19 UUPA dikatakan bahwa pendaftaran tanah akan diselenggarakan dengan cara yang sederhana dan mudah dimengerti, serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan. Ketentuan ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah untuk melaksanakan pembenahan dan perbaikan di bidang pendaftaran tanah, terutama hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan tanah-tanah adat, dimana pendaftaran tanah masih menggunakan alat bukti pembayaran pajak masa lalu, seperti girik, petuk, pipil, atau ketitir sebagai alas hak.2 Pada memori Penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa Pasal 19 UUPA ditujukan kepada Pemerintah, agar melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan menjamin kepastian hukum yang bersifat rechtscadaster. Kemudian, sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA, perlu adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pendaftaran tanah itu. Atas dasar perintah tersebut, maka Pemerintah menerbitkan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Namun, dalam kenyataannya pelaksanaan pendaftaran tanah yang diselenggarakan menurut ketentuan PP No. 10 Tahun 1961 tidak memuaskan sehingga akhirnya Pemerintah mengganti PP No. 10 Tahun 1961 dengan PP No. 24 Tahun 1997. Kelihatanlah bahwa PP No. 10 Tahun 1961 tersebut belum dapat meyakinkan rakyat melakukan pendaftaran tanah melalui jalur yang benar, yaitu melalui prosedur yang dibuat oleh instansi keagrarian.3 Dasar pergantian PP No. 10 Tahun 1961 ini dapat dilihat dalam Penjelasan PP No. 24 Tahun 1997 pada bagian umumnya, yang Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana, 2004, hlm. 30. AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997) Dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 37 Tahun 1998), Bandung: CV. Mandar Maju, 2009, hlm. 3. Ibid., hlm. 1-4. 104 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] menyebutkan bahwa, “Dalam kenyataannya, pendaftaran tanah yang diselenggarakan berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 tersebut selama lebih dari 35 tahun belum cukup memberikan hasil yang memuaskan. Dari sekitar 55 juta bidang tanah hak yang memenuhi syarat untuk didaftar, baru lebih kurang 16,3 juta bidang yang sudah didaftar. Dalam pada itu, melalui pewarisan, pemisahan, dan pemberian-pemberian hak baru, jumlah bidang tanah yang memenuhi syarat untuk didaftar untuk selama Pembangunan Jangka Panjang Kedua diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 75 juta. Hal-hal yang merupakan kendala dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, di samping kekurangan anggaran, alat, dan tenaga adalah keadaan objektif tanah-tanahnya sendiri, yang selain jumlahnya besar dan tersebar di wilayah yang luas, sebagian besar penguasaannya tidak didukung oleh alat-alat pembuktian yang mudah diperoleh dan dapat dipercaya kebenarannya. Selain itu, ketentuan hukum untuk dasar pelaksanaannya dirasakan belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran dalam waktu singkat dengan hasil yang lebih memuaskan. Sehubungan dengan itu, maka dalam rangka meningkatkan dukungan yang lebih baik pada pembangunan nasional dengan memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan, dipandang perlu untuk mengadakan penyempurnaan pada ketentuan yang mengatur pendaftaran tanah, yang pada kenyataannya tersebar pada banyak peraturan perundangan-undangan.” Perlu diketahui bahwa dalam PP No. 24 Tahun 1997 yang menyempurnakan PP No. 10 Tahun 1961, tetap dipertahankan tujuan dan sistem yang digunakan, yang pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam UUPA, yaitu bahwa pendaftaran tanah yang diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian 4 5 hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c dan Pasal 23 ayat (2) UUPA.4 Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa dasar hukum pelaksanaan pendaftaran tanah di samping UUPA, juga adalah PP No. 24 Tahun 1997 yang merupakan penyempurnaan dari PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. B. Asas-asas Pendaftaran Tanah Asas merupakan fundamen yang mendasari terjadinya sesuatu dan merupakan dasar dari suatu kegiatan, hal ini berlaku pula pada pendaftaran tanah. Oleh karena itu, dalam pendaftaran tanah ini terdapat asas yang harus menjadi patokan dasar dalam melakukan pendaftaran tanah.5 Menurut Pasal 2 PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir, dan terbuka. Ada pun maksud dari asas-asas tersebut dapat dilihat di dalam Penjelasan Pasal 2 PP No. 24 Tahun 1997. Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri. Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukkan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2008, hlm. 82-83. Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 164. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 105 khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus dapat terjangkau oleh para pihak yang memerlukan. Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukan keadaan yang mutakhir. Untuk itu, perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pula asas terbuka.6 C. Tujuan Pendaftaran Tanah Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia dibebankan kepada Pemerintah yang oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bertujuan tunggal, yaitu untuk menjamin kepastian hukum. Menurut Penjelasan dari UUPA, pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah merupakan kewajiban dari Pemerintah bertujuan menjamin kepastian hukum yang bersifat rechts cadaster.7 Begitu juga dengan tujuan pendaftaran tanah, yang semula menurut Pasal 19 ayat (1) UUPA hanya bertujuan tunggal semata-mata untuk menjamin kepastian hukum, maka berdasarkan Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 6 7 dikembangkan tujuan pendaftaran tanah yang juga meliputi: 1. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertifikat sebagai surat tanda buktinya (Pasal 4 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997). Inilah yang merupakan tujuan utama pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA. Jadi, memperoleh sertifikat, bukan sekedar fasilitas, melainkan hak pemegang hak atas tanah, yang dijamin undang-undang; 2. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar; 3. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan dimana setiap bidang tanah termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas tanah wajib didaftar. D. Sistem Pendaftaran Tanah Persoalan penyelenggaraan pendaftaran tanah mengenai tanah-tanah Indonesia baru mendapat penyelesaian secara prinsipil dengan diundangnya UUPA, yang menetapkan Pasal 19 ayat (1) sebagai dasar pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia. Menurut Pasal 19 ayat (1) UUPA, pelaksana dari kegiatan pendaftaran tanah tersebut Menurut Meray Hendrik Mezak, asas terbuka merupakan konsekuensi dari penerapan asas keterbukaan pada hukum kebendaan dimana setiap peralihan kebendaan terbuka untuk dapat diakses oleh publik. Demikian juga terhadap pendaftaran tanah harus diumumkan pada khalayak (Meray Hendrik Mezak, “Pendaftaran Tanah sebagai Tertib Administrasi Pertanahan dan Jaminan Kepastian Hukum Terhadap Pemegang Hak-hak atas Tanah”, Law Review, Vol. VI, No. 2, November, 2006, hlm. 70). Rechts kadaster artinya untuk kepentingan pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan haknya apa dan siapa pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti, perpajakan (Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung: CV. Mandar Maju, 2008, hlm. 167). 106 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] diinstruksikan kepada Pemerintah, artinya perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan dari kegiatan pendaftaran tanah tersebut semuanya dilakukan oleh Pemerintah, yang kemudian dikenal dengan istilah pendaftaran tanah sistematik. Dalam UUPA, masih dimungkinkan pelaksanaan pendaftaran tanah atas inisiatif dan biaya dari pemegang hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 23, yang dikenal kemudian dengan pendaftaran tanah sporadik.8 Keberadaan PP No. 24 Tahun 1997 ini memberikan nuansa yang sangat berbeda dengan PP No. 10 Tahun 1961.PP No. 24 Tahun 1997 berusaha memberikan kepastian hukum terhadap pemilik atau yang menguasai tanah untuk melakukan pendaftaran tanah. Hal ini terlihat dengan adanya sistem pendaftaran secara sporadis dan sistem pendaftaran secara sistematik. Dalam pendaftaran tanah yang dilakukan dengan cara sporadis, pemilik tanah yang aktif untuk melakukan pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah sistematik dilakukan desa demi desa secara menyeluruh atas inisiatif Pemerintah, sedangkan pendaftaran tanah sporadis dilakukan berdasarkan permintaan masyarakat yang bersifat individual dan insidentil.9 Pendaftaran tanah secara sistematik merupakan pendaftaran tanah yang melibatkan Pemerintah (Badan Pertanahan Nasional) sebagai pelaksana dibantu oleh sebuah panitia independen. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 8 PP No. 24 Tahun 1997.10 E. Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah Secara garis besar, dikenal 2 (dua) sistem publikasi, yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif. Sistem publikasi yang digunakan UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997 adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif.11 Sistem publikasi yang digunakan dalam PP No. 24 Tahun 1997 tetap seperti dalam pendaftaran tanah menurut PP No. 10 Tahun 1961, yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan suratsurat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c dan Pasal 23 ayat (2) UUPA. Bukan sistem publikasi negatif yang murni. Sistem publikasi yang negatif murni tidak akan menggunakan sistem pendaftaran hak. Juga tidak akan ada pernyataan seperti dalam pasal-pasal UUPA tersebut, bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat.12 E. Proses Pendaftaran Tanah Prosedur untuk memperoleh sertifikat tanah diawali dengan: 1. Para pemilik tanah atau para pemegang hak atas tanah mengisi blanko permohonan sertifikat tanah untuk Hak Milik; 2. Surat keterangan kepala desa/lurah mengenai pemilikannya; 3. Penyerahan surat bukti pemilikannya, biasanya berupa surat segel aslinya atau akta Notaris; 4. Melampirkan gambar situasi tanah yang mau disertifikatkan; 5. Mengisi blanko permohonan pengukuran; 6. Mengisi blanko Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT). Ibid., hlm. 81-82. Laporan Penelitian, “Pola Penguasaan Tanah Masyarakat Tradisional dan Problema Pendaftaran Tanah”, Vol. II, Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Atma Jaya bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional, 1998, hlm. 319. 10 Supriadi, op.cit., hlm. 169. 11 Boedi Harsono, op.cit., hlm. 80-82. 12 Ibid., hlm. 477. 8 9 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 107 Keenam macam surat tersebut di atas disatukan ke dalam satu berkas, dimasukkan ke dalam satu map yang baru dengan ditulis pada muka map tersebut nama si pemohon sertifikat tanah, berada di desa atau kelurahan apa, kecamatan atau wilayah apa, kabupaten atau kotamadya apa, dan provinsi apa. Kemudian, si pemohon menyerahkan map yang berisikan berkas permohonan sertifikat tanah itu kepada Kantor Agraria Kabupaten atau Kotamadya setempat di bagian Seksi Pendaftaran Tanah. Dari Seksi Pendaftaran Tanah ini, si pemohon harus menerima Surat Bukti Tanda Terima berkas permohonan sertifikat tanah yang dibubuhi tanda tangan si penerima berkas dan dengan cap Kantor Agraria, serta tanggal dan tahun penerimaan berkas.13 Selanjutnya, si pemohon menyerahkan biaya pendaftaran tanah. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan data fisik, yang meliputi penetapan dan pemasangan tanda batas, pengukuran, dan pemetaan oleh petugas yang ditunjuk, serta dilakukan pula penelitian data yuridis bidang tanah dimaksud. Apabila buktibukti tertulis tidak lengkap, maka penelitian dilanjutkan oleh Panitia A, yang bertugas: 1. Meneliti data yuridis bidang tanah yang tidak dilengkapi dengan alat bukti tertulis mengenai pemilikan tanah secara lengkap; 2. Melakukan pemeriksaan lapangan untuk menentukan kebenaran alat bukti yang diajukan oleh pemohon; 3. Mencatat sanggahan atau keberatan dan hasil penyelesaiannya; 4. Membuat kesimpulan mengenai data yuridis bidang tanah yang bersangkutan. Daftar data yuridis dan data fisik bidang tanah dan peta bidang tanah yang bersangkutan diumumkan di Kantor Pertanahan dan Kantor Desa/Kelurahan, serta di Kantor Kecamatan letak tanah selama 60 (enam puluh) hari berturut-turut, maksudnya untuk memberi kesempatan kepada anggotaanggota masyarakat guna mengajukan keberatan-keberatan tentang akan diterbitkannya sertifikat tanah atas nama pemohon. Setelah jangka waktu pengumuman berakhir dan tidak ada yang mengajukan keberatan terhadap isi pengumuman, maka data fisik dan data yuridis yang diumumkan tersebut disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam suatu berita acara. Selanjutnya, dilakukan pendaftaran pembukuan hak atas tanah yang bersangkutan, lalu menerbitkan Sertifikat Hak Milik tanah dimaksud atas nama pemohon, dan pemohon sudah boleh mengambilnya di Seksi Pendaftaran Tanah.14 Apabila ada anggota masyarakat yang merasa keberatan atas pensertifikatan tanah tersebut, maka ditempuh cara-cara sebagai berikut:15 1. yang merasa keberatan tersebut mengajukan secara tertulis kepada Sub Direktorat Agraria cq Seksi Pendaftaran Tanah tentang sebab-sebab keberatan; 2. Kepala Sub Direktorat Agraria cq Seksi Pendaftaran Tanah mengadakan penilaian sementara mengenai dasar-dasar keberatan itu, apakah masalahnya menyangkut: a. pemilikannya; b. pembebanannya; c. lain-lain masalah adat setempat. 3. dalam waktu 7 (tujuh) hari, Seksi Pendaftaran Tanah menyampaikan adanya keberatan tersebut kepada pemohon dengan mempersilakan mereka menyelesaikan keberatan-keberatan tersebut; 4. apabila mereka tidak dapat menyelesaikan masalahnya, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari, pemohon secara tertulis 13 Bachsan Mustafa, Hukum Agraria dalam Perspektif, Bandung: Remadja Karya CV, 1988, hlm. 52-53. 14 Boedi Harsono, “Tata Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Bekas Milik Adat”, Jurnal Renvoi, Jembatan Informasi Rekan, Vol. 16, No. 4, September 2004, hlm. 43. 15 Bachsan Mustafa, op.cit., hlm. 53-54. 108 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 5. 6. mengajukan bantahan-bantahannya mengenai keberatan-keberatan tersebut; apabila Sub Direktorat Agraria cq Seksi Pendaftaran Tanah tidak sanggup atau tidak berhasil turut menyelesaikan masalah tersebut, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari memberitahukan adanya bantahanbantahan atas keberatan-keberatan, sehingga dalam waktu 2 (dua) bulan setelah adanya penerimaan dari pemohon, dapat melanjutkan penyelesaian masalahnya kepada Pengadilan Negeri setempat atau instansi yang sederajat; apabila dalam waktu 2 (dua) bulan, orang yang merasa keberatan itu tidak mengajukan masalahnya kepada Pengadilan, maka Sub Direktorat Agraria cq Seksi Pendaftaran Tanah dapat menerbitkan sertifikat tanahnya atas nama pemohon, setelah memberikan peringatan sebanyak 3 (tiga) kali. Penangguhan lainnya dapat dipertimbangkan jika ada pemberitahuan dari Kepala Direktorat Agraria atau Departemen Dalam Negeri. F. Permasalahan Hukum dalam Pendaftaran Tanah Girik menjadi Tanah Hak Milik dengan Bukti Sertifikat Seringkali, di dalam proses pendaftaran tanah girik menjadi tanah Hak Milik dengan bukti sertifikat timbul masalah-masalah, yaitu misalnya kasus manipulasi administrasi, kejahatan fisik, seperti penipuan atau penyerobotan, sampai mencuatnya istilah “mafia” tanah. Faktor penyebabnya adalah ketidaktahuan masyarakat tentang hak dan status kepemilikan tanah.Padahal, UUPA sudah mengatur aneka ragam hak-hak atas tanah. Ada beberapa modus manipulasi girik menjadi sertifikat, yaitu sebagai berikut:16 1. bekerja sama dengan Lurah menerbitkan kembali girik yang sebelumnya dijual. 2. Semua data sama, kecuali nama Lurah dan tanggal penerbitan. Dari sini diproses menjadi sertifikat; mengaku giriknya hilang dan meminta polisi menerbitkan surat keterangan kehilangan girik. Berbekal surat keterangan ini meminta Lurah menerbitkan girik baru. Dari sini diproses menjadi sertifikat. Masalah-masalah lain dalam proses pendaftaran tanah girik menjadi tanah Hak Milik dengan bukti sertifikat dikatakan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat, yaitu: 1. girik atas nama A, tetapi yang menempati adalah B. Masalah timbul pada saat A ingin mendaftarkan tanah girik tersebut untuk menjadi tanah bersertifikat dengan berbekal girik yang dipegangnya. Padahal, yang menempati tanah tersebut adalah B. Apabila terjadi hal demikian, maka proses pendaftaran tanah girik menjadi tanah Hak Milik dengan bukti sertifikat akan dihentikan sementara sampai semuanya jelas, siapakah yang sebenarnya berhak atas tanah tersebut; 2. girik asli sudah tidak ada, A hanya mempunyai fotocopy dari girik asli. Pada saat pengumuman untuk proses penerbitan sertifikat ternyata ada yang mengklaim bahwa ia mempunyai girik yang asli. Hal ini juga dapat menyebabkan proses pendaftaran tanah dihentikan sementara, sampai diketahui siapa sebenarnya yang berhak atas tanah tersebut. Hambatan lain dikatakan oleh Kepala Sub Bidang Penerangan dan Penyuluhan Masyarakat, Badan Pertanahan Nasional, yaitu sebagai berikut: 1. Ahli waris belum terbagi. Masalahnya apabila salah satu ahli waris tidak setuju 16 http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2007/05/28/HK/mbm.20070528.HK124028.id.html, (ditelusuri 1 November 2010). Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 109 2. 3. dengan pendaftaran tanah tersebut, maka proses tidak dapat dilanjutkan, sampai semua ahli waris setuju; Belum ada persetujuan batas tetangga sebelah menyebelah. Dalam hal ini, apabila tetangga sebelah menyebelah belum memberikan persetujuan mengenai batas-batas tanah di antara tanahtanah mereka, maka proses penerbitan sertifikat akan dihentikan, sampai tetangga sebelah menyebelah memberikan persetujuannya, dimana persetujuan tersebut akan dituangkan dalam bentuk tanda tangan di dalam Surat Ukur; Sebagian tanah girik yang dimaksudkan untuk didaftarkan termasuk rencana untuk pelebaran jalan. Jika ada rencana untuk pelebaran jalan, dimana menggunakan sebagian tanah warga, maka warga tersebut akan mendapatkan ganti rugi dari Pemerintah. Selama para pihak (warga dan Pemerintah) sepakat mengenai besarnya ganti rugi tersebut, maka proses pendaftaran tanah girik dapat berjalan sesuai dengan alurnya sampai penerbitan sertifikat. Namun, apabila belum terjadi kesepakatan mengenai ganti rugi yang harus diberikan Pemerintah kepada warga, maka proses penerbitan sertifikat belum dapat dilakukan sampai adanya kesepakatan antara para pihak. Selanjutnya, menurut seorang Notaris dan PPAT di Jakarta, masalah yang biasanya terjadi dalam proses pendaftaran tanah girik, yaitu sebagai berikut: 1. Girik tumpang tindih, maksudnya adalah suatu tanah mempunyai girik dalam jumlah yang lebih dari 2 (dua), sehingga proses pendaftaran tanah girik tersebut belum dapat dilanjutkan ke proses penerbitan sertifikat, karena belum jelas siapa yang berhak atas tanah girik tersebut; 2. Sengketa batas, seperti misalnya batas antara tetangga sebelah menyebelah; 110 3. 4. 5. Surat girik palsu; Surat girik tidak sesuai dengan riwayat tanah (catatan di Kantor Desa); Sengketa ahli waris, seperti misalnya ahli waris berebut tanah girik. Setiap masalah yang terjadi, pasti ada cara penyelesaiannya. Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam proses pendaftaran tanah girik menjadi tanah Hak Milik dengan bukti sertifikat seperti yang telah dijabarkan di atas, dapat diselesaikan oleh para pihak sendiri dengan cara musyawarah untuk mufakat. Apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak dan permasalahan yang timbul telah diselesaikan secara damai, maka proses penerbitan sertifikat dapat dilakukan, dan kemudian diberikan kepada pihak yang berhak atas sertifikat tersebut. Bahkan, menurut Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat, permasalahan yang timbul antara para pihak dapat diselesaikan melalui jalur mediasi di BPN. Namun, apabila secara musyawarah untuk mufakat ataupun mediasi tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang ada, maka pihak yang merasa dirugikan dapat meminta bantuan kepada pihak yang berwenang untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul, dalam hal ini berarti dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan letak tanah yang bersangkutan. Semakin lama semakin banyak kasus tanah yang akan meresahkan masyarakat. Oleh karena itu, menurut penulis, perlulah tanah-tanah girik diproses untuk menjadi tanah bersertifikat, agar tercipta kepastian hukum dan timbul perlindungan terhadap orang yang namanya telah tercantum dalam sertifikat tersebut, karena jelas di dalam beberapa yurisprudensi dinyatakan bahwa girik bukanlah alat bukti kepemilikan hak atas tanah. Selain itu, alasan lain agar proses pendaftaran tanah girik menjadi sertifikat dilakukan adalah demi tertibnya administrasi pertanahan. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] G. Kesimpulan Pendaftaran tanah di Indonesia adalah pendaftaran tanah dengan sistem negatif yang bertendensi positif dengan tujuan memberikan jaminan kepada masyarakat akan kepastian hak dan kepastian hukum atas tanah. Adanya kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah diharapkan akan mengurangi sengketasengketa tanah yang timbul. Permasalahan-permasalahan hukum yang timbul dalam proses pendaftaran tanah girik menjadi tanah Hak Milik dengan bukti sertifikat, misalnya seperti girik yang tumpang tindih, surat girik palsu, belum ada persetujuan batas dari tetangga sebelah-menyebelah, adanya sengketa ahli waris, ataupun sebagian tanah yang dimaksudkan untuk didaftarkan tersebut termasuk dalam rencana pelebaran jalan. Oleh karena adanya permasalahanpermasalahan hukum seperti yang telah disebutkan di atas, maka proses penerbitan sertifikat tidak dapat dilanjutkan sampai permasalahan yang ada selesai ditangani oleh para pihak. Adapun cara penyelesaian untuk permasalahan-permasalahan hukum yang timbul tersebut adalah musyawarah untuk mufakat, atau mediasi di BPN, ataupun dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan apabila jalur perdamaian antara para pihak tidak berhasil ditempuh. Renvoi. Jembatan Informasi Rekan. Vol. 16, No. 4, September 2004. Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukkan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008. http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/ 2007/05/28/HK/mbm.20070528. HK124028.id.html, 1 November 2010. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. Hakhak Atas Tanah. Jakarta: Kencana, 2004. Laporan Penelitian. Pola Penguasaan Tanah Masyarakat Tradisional dan Problema Pendaftaran Tanah. Vol. II. Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Atma Jaya bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional, 1998. Meray Hendrik Mezak. “Pendaftaran Tanah Sebagai Tertib Administrasi Pertanahan dan Jaminan Kepastian Hukum Terhadap Pemegang Hak-hak Atas Tanah”. Law Review. Vol. VI. No. 2, November, 2006. Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah. Bandung: CV. Mandar Maju, 2008. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (LN Tahun 1997 No. 59; TLN No. 3696). Supriadi. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN Tahun 1960 No. 104; TLN No. 2043). Daftar Pustaka A.P. Parlindungan. Pendaftaran Tanah di Indonesia (berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997) dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 37 Tahun 1998). Bandung: CV. Mandar Maju, 2009. Bachsan Mustafa. Hukum Agraria dalam Perspektif. Bandung: Remadja Karya CV, 1988. Boedi Harsono. “Tata Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Bekas Milik Adat”. Jurnal Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 111 MITIGASI RISIKO KREDIT DALAM PENYALURAN KREDIT PERBANKAN Ricardo Siregar Abstact Bank as a financial institution that is trusted fully by people in collecting and distributing money in the form of credit, should take care of these activity especially in distributing credit. This activity not always going well. Although bank has distributed credit selectively and prudentially but often faces credit risk like customer can’t pay on time as contract. This can’t be avoid but can be minimized by credit risk mitigation, since credit in performing loan. By this, bank could manage credit risk well. Keywords: credit risk, credit distributing, credit risk mitigation. A. Pendahuluan Kegiatan Bank adalah menghimpun dana dari masyarakat, kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Hubungan antara nasabah dan bank adalah suatu hubungan kenasabahan bank yang kompleks. Hubungan ini didasarkan pada hukum dan kepercayaan.1 Berdasarkan kepercayaan dari masyarakat, bank memobilisasi dana tersebut untuk ditempatkan di bank dan menyalurkannya kembali dalam bentuk utang atau kredit dan memberikan jasa-jasa perbankan.2 Dalam pelaksanaan penyaluran kredit tersebut, tidak selalu berjalan mulus. Walaupun bank telah berusaha menyalurkan kredit secara selektif, sering dihadapkan dengan risiko kredit yaitu ketidakmampuan debitur untuk mengembalikan kredit tepat pada waktunya seperti yang telah diperjanjikan. Risiko tersebut sulit dihindari, namun 1 2 3 4 diharapkan dapat diminimalisir dengan upaya mitigasi risiko kredit jauh-jauh hari sejak kredit dicairkan. B. Manajemen Kredit dalam Perbankan Permasalahan utama dalam menunjang kesehatan bank adalah portofolio dan pertumbuhan kredit yang seimbang dan sehat.3 Meningkatnya kredit bermasalah secara kuantitas adakalanya disebabkan oleh memburuknya dunia usaha. Ekspansi kredit yang gencar dan mencapai target yang telah direncanakan akan menghasilkan pendapatan bagi bank, sebaliknya kredit bermasalah akan merusak pertumbuhan kredit dan kesehatan bank. Dalam manajemen bank, sangatlah penting mengelola loanable funds4, di mana sumber-sumber dana yang ada sebagian besar dialokasikan dalam bentuk kredit. Dari alokasi Johannes Ibrahim (1). “Konsumen dan Bank (Kajian Interdisipliner Hukum dan Ekonomi)”. Bandung: Jurnal Manajemen Maranatha, Volume 1, Nopember 2001, hlm. 57. Herlien Budiono. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007, hlm. 142. Johannes Ibrahim (2). “Perspektif Manajemen dan Hukum dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah (Non Performing Loan)”. Jakarta: Universitas Tarumanagara, Era Hukum Nomor 2/TH.13/Januari 2006, hlm. 134. Kesiapan atas penyediaan dana bank yang diperuntukan bagi penyaluran kredit bank. 112 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] kredit tersebut, bank akan memperoleh pendapatan beupa bunga atas kredit yang dibayarkan oleh debitur kepada bank. Jika bank tidak mampu menyalurkan kredit sedangkan dana yang terhimpun dari simpanan banyak terjadi dana yang menganggur (idle money) dan hal ini dapat menyebabkan bank tersebut merugi. Pengelolaan kredit harus dilakukan dengan sebaik-baiknya mulai dari perencanaan jumlah kredit, penentuan suku bunga, prosedur pemberian kredit, analisis pemberian kredit sampai kepada pengendalian kredit macet. Kegiatan pengelolaan kredit dikenal dengan istilah manajemen kredit. Dapat disimpulkan bahwa manajemen kredit pada dasarnya merupakan suatu proses yang terintegrasi antara sumber-sumber dana, alokasi dana yang dapat dijadikan kredit dengan perencanaan, pengorganisasian, pemberian, administrasi dan pengamanan kredit.5 Dengan demikian, manajemen kredit selayaknya dipahami oleh kalangan perbankan, karena: “Manajemen kredit memegang peran utama dalam mengelola sejak kredit dicairkan hingga kredit dilunasi.”6 C. Manajemen Risiko Kredit Dalam penyaluran kredit perbankan, kemungkinan munculnya kredit bermasalah sulit dihindari, dan hal tersebut merupakan risiko dalam penyaluran kredit. Oleh karena itu, bank sepatutnya memahami manajemen risiko. Manajemen Risiko, dapat dijabarkan sebagai berikut: 5 6 7 8 9 “Manajemen Risiko adalah proses pengukuran atau penilaian risiko serta pengembangan strategi pengelolaannya. Strategi yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan risiko kepada pihak lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu. Manajemen risiko traditional terfokus pada risiko-risiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal (seperti bencana alam atau kebakaran, kematian, serta tuntutan hukum). Manajemen risiko keuangan, di sisi lain, terfokus pada risiko yang dapat dikelola dengan menggunakan intrumeninstrumen keuangan.” 7 Manajemen risiko merupakan hal yang patut dikedepankan dalam pengelolaan bisnis keuangan mengingat kerugian atau kesalahan dalam menggunakan berbagai instrumen keuangan berdampak terhadap perekonomian secara keseluruhan, baik disadari atau tidak.8 Dalam menerapkan manajemen risiko di sektor perbankan, terdapat 3 (tiga) hal, yaitu:9 1. Manajemen risiko bank umum diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Pengertian manajemen risiko berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/ 8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum adalah: “Manajemen risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, Muchdarsyah Sinungan. Strategi Manajemen Bank. Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 73. Johannes Ibrahim (2), op.cit., hlm. 134. Johannes Ibrahim dan Hassanain Haykal. “Fenomena Suprime Mortgage dan Kebijakan Pembiayaan Sekunder Perumahan di Indonesia: Wacana dan Dilema yang Patut Diantisipasi”. Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, Volume 27 Nomor 3 Tahun 2008, hlm. 9. Hassanain Haykal. “Sistem Grameen Bank dalam Upaya Meningkatkan Pangsa Pasar Wanita”. Bandung: Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha, Dialogia Iuridica, Volume 1, November 2009, hlm. 85. Johannes Ibrahim dan Hassanain Haykal. op.cit., hlm. 9-11. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 113 Risiko dalam pengelolaan bank umum sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut mencakup risiko kredit, risiko pasar, risiko suku bunga, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan risiko kepatuhan.10 memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank.” Pengertian risiko dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut adalah: “Risiko adalah potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian bank.” Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia tersebut, menyebutkan bahwa: “Penerapan manajemen risiko mencakup pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan kinit; kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko dan system pengendalian intern yang menyeluruh; dan sistem pengendalian intern yang menyeluruh.” 2. Penerapan Good Corporate Governance. Corporate governance adalah seperangkat aturan yang dijadikan acuan manajemen perusahaan dalam mengelola perusahaan secara baik, benar, dan penuh integritas, serta membina hubungan dengan para stakeholders, guna mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan yang telah ditetapkan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.11 10 Risiko kredit adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) memenuhi kewajibannya. Risiko Pasar adalah risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiki oleh bank. Yang dimaksud variabel pasar adalah suku bunga dan nilai tukar, termasuk deviasi dari kedua jenis risiko pasar tersebut. Risiko sukubunga adalah potensi kerugian yang timbul akibat pergerakan suku bunga di pasar yang berlawanan dengan posisi atau transaksi bank yang mengandung risiko suku bunga. Risiko nilai tukar adalah risiko kerugian akibat pergerakan yang berlawanan dari nilai tukar pada bank memiliki potensi terbuka. Risiko likuiditas adalah risiko yang antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh waktu. Risiko operasional adalah risiko yang antara lain disebabkan ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Risiko reputasi adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Risiko hukum adalah risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis, yang antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung, atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna. Risiko strategik adalah risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang rensponsif. Risiko kepatuhan merupakan risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku. 11 Secara umum, prinsip-prinsip dasar yang harus diterapkan dalam rangka Good Corporate Governance adalah: a. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab masing-masing organ-organ perusahaan yang diangkat setelah melalui fit and proper test, sehingga pengelolaan perusahaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien; b. Kemandirian (independency), yaitu suatu keadaan, perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun, terutama pemegang saham mayoritas, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsipprinsip korporasi yang sehat; c. Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan terhadap proses pengambilan keputusan, dan penyampaian informasi mengenai segala aspek perusahaan terutama yang berkaitan dengan kepentingan stakeholders dan publik secara benar dan tepat waktu; 114 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance pada Bank Umum dalam mengupayakan tata kelola yang baik dalam bisnis keuangan bank. Yang dimaksud dengan Good Corporate Governance dalam pengelolaan bank adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (rensponsibility), indenpendensi (indenpendency), dan kewajiban (fairness). Penerapan prinsip Good Corporate Governance merupakan kewajiban yang dipersyaratkan dan diimplementasikan dalam bentuk: a. “Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi; b. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern bank; c. Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal; d. Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern; e. Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar; f. Rencana strategis bank; g. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan bank.”12 3. Prinsip kehati-hatian (prudential banking). Prudential Regulation dalam hukum perbankan dikategorikan sebagai “a seamless web” yang bertujuan untuk mencapai suatu sistem perbankan yang sehat dan efisien. Prudential Regulation merupakan aturan main yang merupakan kerangka hukum, sosial dan politik. Dalam konsep prudential regulation ukuran moral sangat ditentukan oleh akibat tindakan yang dilakukan oleh pelaku bisnis bank dalam mengelola bisnisnya untuk mencapai suatu bank yang sehat, efisien, tangguh bersaing dan dapat berperan mendukung pembangunan ekonomi nasional. Black’s Law Dictionary memberikan uraian tentang “prudence” dan sebagai berikut: “Carefulness, precaution, attentiveness, and good judgment, as applied to action or of care reconduct. That degree of care required by the exigencies or circumstances under which it is to be exercised. This term, in the language of the law, is commonly associated with care and diligence and constrasted with negligence.” d. Pertanggungjawaban (rensponsibility), yaitu perwujudan kewajiban organ perusahaan untuk melaporkan kesesuaian pengelolaan peruhaan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan keberhasilan maupun kegagalannya dalam pencapaian visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan yang telah ditetapkan; dan e. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Prinsip-prinsip dasar tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit antara lain dengan melakukan pemisahan tanggung jawab dan kewenangan yang disertai dengan mekanisme kerja sama antara organ-organ perusahaan, melakukan pengawasan ketika organ-organ tersebut melaksanakan tugasnya untuk menghindari adanya benturan kepentingan atau tekanan, melakukan sistem pengendalian intern dan eksternal yang kuat, dan pengungkapan informasi material mengenai perusahaan melalui media yang dapat diakses dengan mudah oleh pihak-pihak yang berkepentingan, serta menetapkan visi, misi, tujuan, dan strategi secara jelas sehingga kinerja perusahaan maupun kontribusi masingmasing individu dapat dinilai secara objektif. 12 Lihat Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance pada Bank Umum. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 115 Teori keutamaan moral yang dikemukakan oleh Adam Smith membahas “prudence” sebagai:13 “Keadaan batin yang waspada, jeli dan sangat hati-hati, selalu penuh perhatian terhadap konsekuensi-konsekuensi yang paling jauh dari setiap tindakan, untuk memperoleh kebaikan yang paling besar dan untuk menghindari kejahatan yang paling besar.” Keutamaan ini menyangkut kewajiban untuk mempertahankan hidup pribadi. Orang yang memiliki keutamaan ini selalu berhati-hati dan waspada terhadap dirinya, kepentingan dan hidupnya. Bagi Smith, keutamaan ini tidak hanya memungkinkan manusia untuk memperhatikan kepentingannya untuk masa kini, melainkan juga waspada terhadap kehidupannya di masa yang akan datang. Ia peduli akan konsekuensi-konsekuensi jangka panjang dari tindakannya. Bahkan demi masa depannya rela untuk mengorbankan kepentingannya pada masa sekarang. Demikian pula, demi kepentingannya ia peduli akan kepentingan orang lain. Bank yang selalu memperhatikan prudential regulations, akan peduli terhadap konsekuensi dan tindakan jangka panjangnya, baik untuk kepentingan bank yang dikelolanya dan sitem perbankan secara keseluruhan.14 Prinsip kehati-hatian telah diakomodir dalam ketentuan normatif, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Pasal 2 berbunyi: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehatihatian”. D. Kajian Atas Mitigasi Risiko Kredit dalam Penyaluran Kredit Perbankan Sebagai lembaga yang bertugas menghimpun dana masyarakat, bank akan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit. Dalam penyaluran kredit, bank harus berhati-hati agar kredit yang disalurkan tersebut dapat dikembalikan oleh debitur dengan tepat waktu. Dalam proses awal penyaluran kredit, bank akan melakukan penilaian atas permohonan kredit. Maksud penilaian terhadap pemohonan kredit tersebut adalah: “Untuk meletakan kepercayaan dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari bila kredit ternyata disetujui untuk diberikan.”15 Maksud dari pengenalan adanya kemungkinan timbulnya risiko kredit adalah untuk mengetahui lebih dini bahaya yang mungkin terjadi dan mengetahui upaya-upaya yang harus dilakukan dan dipersiapkan oleh manajemen untuk terlindungi dari risiko tersebut, untuk mengetahui faktor-faktor produksi yang paling rentan terhadap risiko, mengetahui kebijaksanaan-kebijaksanaan perkreditan yang diambil manajemen untuk mengantisipasi akibat negatif dari risiko tersebut, di dalam perencanaan kredit diarahkan memilih bidang-bidang usaha yang memiliki tingkat risiko yang rendah dan sebagai alat penetapan 13 Sonny Keraf. Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 107; menjelaskan terdapat tiga keutamaan pokok dalam moral, yaitu beneficence (berbuat baik bagi orang lain), prudence dan keadilan. Beneficence merupakan keutamaan moral yang berkaitan dengan tindakan yang tertuju kepada orang lain. Prudence merupakan keutamaan moral yang berkaitan dengan tindakan. 14 Johannes Ibrahim (3). Hubungan Kontraktual dalam Kontrak Bisnis, Korelasi Antara Ranah Hukum Privat dan Hukum Publik. Bandung: Universitas Pasundan, Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, Volume 8, Nomor 1, 2007, hlm. 95. 15 Johannes Ibrahim (4). Kartu Kredit (Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan). Bandung: Refika Aditama, 2004, hlm. 16. 116 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] suku bunga kredit, dimana unsur risiko tersebut merupakan komponen biaya yang harus ditambahkan kepada perhitungan suku bunga kredit.16 Dalam upaya mitigasi risiko kredit, bank akan dihadapkan dengan prinsip yang sangat lazim dikenal dalam proses penyaluran kredit, yaitu prinsip 5C: 1. Character atau Watak. Diharapkan bank mampu mengetahui watak calon debitur dalam proses penyaluran kredit. Dalam praktik, Bank Indonesia telah memberi kemudahan kepada bank untuk memperoleh informasi dari fasilitas Bank Indonesia berupa “Sistem Informasi Debitur” (SID) yang dapat diakses oleh semua Bank Umum berupa informasi pinjaman apa saja dan atau di bank mana saja yang sedang dan atau telah lunas dinikmati oleh debitur berikut informasi kolektibilitas pinjamannya apakah lancar atau tidak. Hal ini akan mempermudah bank untuk menentukan bagaimana karakter calon debitur tersebut. Dapat terjadi, seorang calon debitur mengajukan permohonan kredit bank, hanya untuk melunasi hutang-hutangnya yang macet di bank-bank lain. 2. Capital atau modal. Bank selayaknya mengetahui porsi permodalan yang dimiliki oleh calon debitur agar mengetahui kemapanan calon debitur dalam menjalankan usahanya. 3. Capacity atau kemampuan calon debitur untuk membayar kembali kredit yang akan diterimanya. Dalam praktik perbankan, menentukan debitur akan mampu atau tidak melakukan pembayaran akan dihitung berdasarkan Repayment Capacity (RPC), yaitu berdasarkan presentase tertentu dari penghasilan bersih debitur akan diketahui berapa perkiraan kemampuan maksimal debitur 4. 5. dalam membayar tagihan bank. Apabila debitur mempunyai hutang-hutang lainnya, akan diperhitungkan sebagai faktor pengurang dari kemampuan debitur untuk membayar tagihannya tersebut. Hal seperti ini patut diperhitungkan oleh bank dalam memutuskan untuk menyetujui atau tidak permohonan kredit tersebut. Condition of economic atau kondisi ekonomi. Jika usaha debitur cenderung labil terhadap kondisi ekonomi makro, akan sangat berpengaruh terhadap kesanggupan membayarnya. Misalnya, masalah pemasaran yang meliputi perkiraan permintaan, daya beli masyarakat, luas pasar, persaingan, dan barang substitusi. Masalah proses produksi yang berkaitan dengan perkembangan teknologi, ketersediaan bahan baku, keberadaan pasar modal dan pasar uang, perubahan suku bunga. Collateral atau jaminan. Sebagai alat pengamanan terhadap kemungkinan tidak mampunya debitur untuk melunasi kewajibannya. E. Peranan Jaminan dalam Mitigasi Risiko Kredit Jaminan merupakan sarana kepastian bagi kreditur sebagai alternatif terakhir untuk kepastian kreditur dalam menarik kembali dana yang telah disalurkan dalam bentuk kredit, dalam hal debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk mengembalikan dana tersebut tepat pada waktu yang telah diperjanjikan. Sehingga dengan penyerahan jaminan oleh debitur kepada kreditur diharapkan mampu meminimalisir risiko kredit. Sebagai langkah antisipatif dalam menarik kembali dana yang telah disalurkan kepada 16 Teguh Pudjo Muljono. Aplikasi Management Audit dalam Industri Perbankan. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta – Fakultas Ekonomi UGM, 1999, hlm. 248. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 117 debitur, jaminan hendaknya dipertimbangkan dua faktor, yaitu: 1) “Secured, artinya jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan. Jika di kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur, maka bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi. 2) Marketable, artinya jaminan tersebut bila hendak dieksekusi, dapat segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur.”17 Dengan mempertimbangkan kedua faktor diatas , jaminan yang diterima oleh pihak bank dapat meminimalisir risiko dalam penyaluran kredit. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memberi perlindungan bagi kreditur yang dirumuskan dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata, berbunyi: “Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan.” Pasal 1132 KUHPerdata, berbunyi: “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua benda yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecil piutang masing-masing, kecuali di antara para berpiutang itu ada alasanalasan yang sah untuk didahulukan.” Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata merupakan jaminan secara umum atas jaminan yang lahir dari undang-undang. Undang- undang memberikan perlindungan bagi semua kreditur dalam kedudukan yang sama atau berlaku asas paritas creditorum, di mana pembayaran atau pelunasan hutang bepada kreditur dilakukan secara berimbang (pondsponds gewijs). Para kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren yang bersaing dalam pemenuhan piutangnya, kecuali apabila ada yang memberikan kedudukan preferen (droit de preference) 18 kepada kreditur tersebut. Hak untuk didahulukan bagi seorang kreditur terhadap kreditur-kreditur lainnya timbul dari hak istimewa, Gadai dan Hipotik. Pasal 1133 KUHPerdata: “Hal untuk didahulukan di antara orangorang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari Gadai dan dari Hipotik ....” Pasal 1134 KUHPerdata: “Hak istimewa ialah hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya.” Hak untuk didahulukan bagi seorang kreditur dikarenakan kedudukan yang berimbang tidak memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian kreditnya. Kreditur tidak mengetahui akan adanya krediturkreditur lainnya yang kemungkinan muncul di kemudian hari. Makin banyak kreditur dari debitur yang bersangkutan, akan semakin kecil peluang bagi kreditur terhadap kemungkinan pengembalian kredit jika debitur berada dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar hutang-hutangnya). 17 Johannes Ibrahim (5). Cross Default dan Cross Collateral (Dalam Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah). Bandung: Refika Aditama, 2004, hlm. 71. 18 Sri Soedewi Masychun Sofwan. Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty, 1981, hlm. 32. 118 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan tidak menjelaskan tentang kedudukan dari para kreditur. Ketentuanketentuan yang mengatur tentang jaminan kredit tercantum dalam: Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyebutkan bahwa: “Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.” Dalam penjelasan Pasal 8 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan berbunyi: “Kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitur. Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan, bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.” Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyebutkan bahwa: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan sesuai dengan yang diperjanjikan; Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.” Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan berbunyi: “Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama 119 terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha nasabah debitur. Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lainlain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Bank wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan. Di samping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau berisiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.” 1) 2) Berdasarkan hal-hal tersebut: “Jaminan utama di dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah adalah keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Sehubungan dalam pemberian kredit yang menjadi prioritas adalah keyakinan atas kemampuan debitur, maka bank di dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah harus menganalisis kredit secara seksama dengan mempertimbangkan faktor-faktor: watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari debitur. 3) 4) 5) 6) Agunan hanya sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian kredit yang berkaitan dengan persoalan lingkungan hidup adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau berisiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan. AMDAL dipersyaratkan sehubungan dengan kian maraknya kerusakan lingkungan akibat pemberian kredit yang lebih tertuju kepada laba semata-mata dan tidak memperhatikan kerusakan lingkungan hidup. Agunan merupakan solusi terakhir bagi bank, jika debitur tidak dapat menyelesaikan kredit yang diperolehnya berdasarkan kelayakan usaha atau terjadi sebab-sebab lainnya di luar yang diperhitungkan, baik yang disebabkan kondisi perkenomian secara makro atau kesalahan manajemen perusahaan. Terdapat hak jaminan yang bersifat umum dan hak jaminan yang bersifat khusus. Yang dimaksud dengan hak jaminan yang bersifat umum adalah hak-hak yang dimiliki oleh masing-masing kreditur yang tidak saling mendahului atau bersifat sebanding di antara mereka (konkuren). Sedangkan hak jaminan yang bersifat khusus berupa hak yang dimiliki oleh seorang kreditur yang mendahului kreditur-kreditur lainnya karena ia berkedudukan sebagai kreditur privilege (hak preferent).”19 19 Johannes Ibrahim (6). Panduan Memiliki Rumah dengan Fasilitas KPR. Bandung: Jendela Mas Pustaka, 2009, hlm. 67-68. 120 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Menurut penulis, penyerahan collateral atau jaminan oleh debitur kepada bank selaku kreditur akan memberi dampak psikis pada debitur untuk sungguh-sungguh dan taat dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya hingga kredit dinyatakan lunas. F. Pembinaan, Bimbingan dan Pengawasan Bank (Kreditur) kepada Debitur Dana yang telah disalurkan oleh Bank kepada debitur dalam bentuk kredit akan dialokasikan debitur untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan tujuan penggunaan kredit saat debitur memohon kredit bank. Walaupun demikian, menurut penulis selayaknya bank melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan kepada debitur sejak awal kredit telah dicairkan yaitu dengan memantau kredit yang telah dicairkan tersebut apakah telah sesuai dengan tujuan awal penggunaan kredit saat kredit diajukan sehingga bank akan mampu melakukan upaya-upaya antisipatif sedini mungkin menyelamatkan kredit bank dalam hal debitur mengalami kendala untuk memenuhi prestasinya. Dengan demikian, walaupun kredit yang telah disalurkan dalam kondisi lancar, bank selayaknya membina, membimbing dan mengawasi kredit tersebut sebagai upaya mitigasi risiko kredit. Dengan megawasi, membimbing dan membina kredit lancar tersebut, dengan gerak cepat bank akan segera mengetahui kendala yang dihadapi dalam perjalanan kredit lancar tersebut bahkan bank akan mampu memprediksi akibat yang akan timbul di kemudian hari. Dalam proses pembinaan, bimbingan dan pengawasan tersebut, bank selayaknya menguasai pengetahuan yang cukup mengenai usaha yang dibiayai agar mampu membina, membimbing dan mengawasi serta memberi saran dan solusi agar debitur terlepas dari ketidakmampuan memenuhi prestasinya kepada bank sehingga memberi dampak positif bagi pihak bank yaitu Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] kredit tersebut dapat diselamatkan dan bank tidak akan merugi. G. Penutup Dalam penyaluran kredit perbankan, bank diharapkan mampu untuk mengantisipasi jauh-jauh hari atas risiko kredit yaitu ketidakmampuan debitur untuk memenuhi prestasinya, antara lain dengan memperhatikan prinsip yang lazim digunakan dalam proses penyaluran kredit perbankan yaitu prinsip 5C (character, capital, capacity, condition of economic, collateral) serta memberikan pembinaan, bimbingan dan pengawasan atas penggunaan kredit oleh debitur. Menurut penulis, walaupun kredit yang disalurkan dalam kondisi lancar, tidak berarti bank akan terlena merasa kredit tersebut telah aman dan sehat, tetapi sejak dini tindakan antisipatif sudah sepatutnya dilaksanakan untuk menghindari akibat-akibat di luar dugaan yang akan merugikan pihak bank di kemudian hari, yaitu dengan melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan oleh pihak bank selaku kreditur kepada debitur. Daftar Pustaka A. Sonny Keraf. Etika Bisnis (Tuntutan dan Relevansinya). Yogyakarta: Kanisius, 1998. . Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius, 1996. Black’s. Black’s Law Dictionary, Sixth Edition. St. Paul Minn: West Publishing Co, 1990. Herlien Budiono. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007 Johannes Ibrahim. Cross Default dan Cross Collateral (Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah). Bandung: Refika Aditama, 2004. . Kartu Kredit (Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan). Bandung: Refika Aditama, 2004. 121 . Panduan Memiliki Rumah dengan Fasilitas KPR. Bandung: Jendela Mas Pustaka, 2009. . Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank. Bandung: Utomo, 2003. Muchdarsyah Sinungan. Strategi Manajemen Bank. Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Sri Soedewi Masychun Sofwan. Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty, 1981. Teguh Pudjo Muljono. Aplikasi Management Audit dalam Industri Perbankan. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta – Fakultas Ekonomi UGM, 1999. . “Perspektif Manajemen dan Hukum dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah (Non Performing Loan)”. Jakarta: Majalah Era Hukum No.2/TH 13/ Januari 2006. . “Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking) dalam Prosedur Penyaluran Kredit Perbankan”. Bandung: Jurnal Ilmu Hukum Litigasi Volume 6 Nomor 3 Oktober 2005. dan Hassanain Haykal. “Fenomena Subprime Mortgage dan Kebijakan Pembiayaan Sekunder di Indonesia: Wacana dan Dilema yang Patut Diantisipasi”. Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis Volume 27 Nomor 3 Tahun 2008. Peraturan-perundangan: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Internet: http://www.bi.go.id Lain-lain: Hassanain Haykal. “Sistem Grameen Bank dalam Upaya Meningkatkan Pangsa Pasar Wanita”. Bandung: Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha, Dialogia Iuridica, Volume 1, November 2009. Johannes Ibrahim. “Konsumen dan Bank (Kajian Interdisipliner Hukum dan Ekonomi)”. Bandung: Jurnal Manajemen Maranatha, Volume 1, Nopember 2001. . “Kontrak dalam Perspektif Multi Disipliner”. Jakarta: Universitas Katolik Atmajaya, Gloria Juris, Volume 6, Nomor 2, 2006. 122 Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] Petunjuk bagi Penulis 1. Naskah belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik dengan spasi rangkap pada kertas kuarto (A4), panjang 15-20 halaman dan diserahkan dalam bentuk naskah (hard copy) dan CD (soft copy). 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau asing dengan standar penggunaan bahasa Indonesia atau asing yang baik dan benar. 3. Artikel yang dimuat dalam jurnal ini meliputi tulisan tentang hukum atau disipilin lain yang terkait baik sebagai hasil penelitian atau artikel ilmiah konseptual. 4. Artikel hasil penelitian/tesis/disertasi disajikan dengan sistematika sebagai berikut: a. Judul b. Nama pengarang c. Abstrak, berisi pemadatan dan tujuan tulisan, metode penelitian dan hasil pembahasan (50-100 kata) d. Kata-kata kunci e. Pendahuluan, berisi latar belakang dan rumusan masalah, tujuan penelitian. f. metode penelitian. g. Pembahasan h. Kesimpulan yang didalamnya termasuk saran i. Daftar pustaka 5. Artikel ilmiah konseptual disajikan dengan sistematika sebagai berikut: a. Judul b. Nama pengarang c. Abstrak, berisi pemadatan dan tujuan tulisan, metode penelitian dan hasil pembahasan (50-100 kata) d. Kata-kata kunci e. Pendahuluan, berisi latar belakang dan rumusan masalah f. Pembahasan g. Kesimpulan yang didalamnya termasuk saran h. Daftar pustaka 6. Setiap kutipan haru menyebutkan sumbernya secara lengkap dan ditulis dengan system foot note dengan pedoman sebagai berikut: a. Lindawaty Suherman Sewu. Franchise Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi. Bandung: 2004, hlm.29. b. Johannes Ibrahim. “Konsep Pemikiran Komprehensif Bagi Pemeriksaan Secara Hukum Aset Kredit Bank Beku Operasi (BBO) dan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU)”. Artikel dalam Era Hukum No.4 Tahun V/ 1999, hlm.288. c. Johannes Ibrahim. “Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking) dan Pranata Hukum Jaminan Dalam Upaya Pembiayaan Apartemen” Makalah pada Seminar Nasional 2009 . Bandung: Universitas Kristen Maranatha, Jurusan Teknik Sipil, 2009, hlm.184. 7. Daftar pustaka disajikan mengikuti tata cara seperti contoh di bawah ini (diurut secara alfabetis dan kronologis. a. Lindawaty Suherman Sewu. Franchise Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi. Bandung: 2004. b. Johannes Ibrahim. “Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking) dan Pranata Hukum Jaminan Dalam Upaya Pembiayaan Apartemen” Makalah pada Seminar Nasional 2009. Bandung: Universitas Kristen Maranatha, Jurusan Teknik Sipil, 2009. 8. Melampirkan biodata penulis secukupnya dan foto copy bukti diri. 9. Artikel yang tidak dimuat dikirimkan kembali kepada pengirimnya apabila disertai dengan perangko balasan yang cukup dan alamat yang jelas. 10. Artikel yang dimuat tidak dipungut biaya dan tidak mendapatkan honor penulisan, hanya memperoleh 3 (tiga) eksemplar jurnal “Dialogia Iuridika”. Dialogia Iuridica [November 2010, Vol. 2 No. 1] 123