BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Tuberkulosis 1.1. Pengertian Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit parenkim paru (Brunner & Suddarth, 2002). Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain (Santa, dkk, 2009). Menurut Depkes (2007) Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. 1.2. Etiologi Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab dari TB paru. kuman ini bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang memiliki konsentrasi tinggi seperti paru-paru. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tertidur lama) selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002). Universitas Sumatera Utara 1.3. Diagnostik TB Paru Gejala utama penderita TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Depkes, 2007). 1.4. Cara Penularan dan Resiko Penularan TB Paru Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Universitas Sumatera Utara Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Faktor yang kemungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negative menjadi positif (Depkes, 2007). 1.5. Penemuan penderita TB Paru Kegiatan penemuan penderita terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita. Penemuan penderita merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan penderita TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka penderita dilakukan di unit pelayanan kesehatan didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, Universitas Sumatera Utara untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita TB. Pemeriksaan terhadap kontak penderita TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif (Depkes,2007). 1.6. Pengobatan TB Paru Tujuan Pengobatan TB paru yaitu untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Jenis OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan Streptomisin (S). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan, Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat, bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu, sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama, tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. 1.6.1. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: Universitas Sumatera Utara • Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. • Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. • Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) • Kategori Anak: 2HRZ/4HR Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan penderita. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu penderita. Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan penderita yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Tabel 2.1. Paduan OAT Katagori I Rumus 2HRZE/ 4H3R3 Indikasi • Penderita baru TB paru BTA positif. • Penderita TB paru BTA negatif foto toraks positif • Penderita TB ekstra paru Tahap intensif Selama 2 bulan, frekuensi 1 kali sehari menelan obat, jumlah 60 kali menelan obat Tahap lanjutan Selama 4 bulan, frekuensi 3 kali seminggu, jumlah 54 kali menelan obat. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. (Lanjutan) II Anak 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3 • Penderita kambuh (relaps) • Penderita gagal • Penderita dengan pengobatan setelah putus berobat (default) 2RHZ/ 4RH Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak. Selama 2 bulan pertama frekuensi 1 kali sehari, jumlah 60 kali menelan obat. Satu bulan berikutnya selama 1 bulan, 1 kali sehari, jumlah 30 kali menelan obat. Selama 2 bulan setiap hari Selama 5 bulan, 3kali seminggu, jumlah total 66 kali menelan obat. Selama 4 bulan setiap hari Paduan OAT Sisipan (HRZE), Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan (Depkes, 2007). 1.6.2. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan: sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah (Transfer Out), default (lalai)/ Drop Out Universitas Sumatera Utara dan gagal. Sembuh yaitu penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya. Pengobatan Lengkap adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. Meninggal adalah penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. Pindah adalah penderita yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. Default (Putus berobat) adalah penderita yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Gagal adalah penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 2. Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, puskesmas menjalankan beberapa program pokok salah satunya adalah program pemberantasan penyakit menular (P2M) seperti program penanggulangan TB Paru yang dilakukan dengan strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Muninjaya, 2004; Depkes, 2007). Universitas Sumatera Utara 2.1. Strategi DOTS Fokus utama DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes, 2007). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu: a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana. b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin. e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan. Komponen pertama yaitu komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana. Komitmen ini dimulai dengan keputusan pemerintah untuk menjadikan tuberkulosis sebagai prioritas utama dalam program kesehatan dan adanya dukungan dana dari jajaran pemerintahan atau pengambil keputusan Universitas Sumatera Utara terhadap penanggulangan TB Paru atau dukungan dana operasional. Satu hal penting lain adalah penempatan program penanggulangan TB Paru dalam reformasi sektor kesehatan secara umum, setidaknya meliputi dua hal penting, yaitu memperkuat dan memberdayakan kegiatan dan kemampuan pengambilan keputusan di tingkat kabupaten serta peningkatan cost effectiveness dan efisiensi dalam pemberian pelayanan kesehatan. Program penanggulangan TB Paru harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi sektor kesehatan. Komponen kedua yaitu penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Utamanya dilakukan pada mereka yang datang ke fasilitas kesehatan karena keluhan paru dan pernapasan. Pendekatan ini disebut sebagai passive case finding. Hal ini dipilih mengingat secara umum pemeriksaan mikroskopis merupakan cara yang paling cost effective dalam menemukan kasus TB Paru. Dalam hal ini, pada keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksaan radiografi, seperti rontgen dan kultur dapat dilaksanakan pada unit pelayanan kesehatan yang memilikinya. Komponen ketiga yaitu pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Penderita diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, obat yang diberikan harus sesuai standar dan diberikan seyogiyanya secara gratis pada seluruh penderita tuberkulosis yang menular dan yang kambuh. Pengobatan tuberkulosis memakan waktu 6 bulan. Setelah makan obat dua atau tiga bulan tidak jarang keluhan penderita menghilang, ia merasa dirinya telah sehat, dan menghentikan pengobatannya. Karena itu harus ada suatu sistem yang menjamin penderita mau menyelesaikan seluruh masa pengobatannya sampai selesai. Harus Universitas Sumatera Utara ada yang melihat penderita TB Paru menelan obatnya, ini dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, oleh pemuka masyarakat setempat, oleh tetangga penderita atau keluarganya sendiri. Komponen keempat yaitu jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin. Masalah utama dalam hal ini adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah. Untuk ini diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang baik, seperti misalnya jumlah kasus pada setiap kategori pengobatan, kasus yang ditangani dalam waktu yang lalu (untuk forecasting), data akurat stok dimasingmasing gudang yang ada. Komponen kelima yaitu sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru. Setiap penderita TB Paru yang diobati harus mempunyai satu kartu identitas penderita yang kemudian tercatat di catatan TB Paru yang ada di kabupaten. Kemanapun penderita ini pergi dia harus menggunakan kartu yang sama sehingga dapat melanjutkan pengobatan dan tidak sampai tercatat dua kali (Depkes RI, 2007; Aditama, 2002). 2.1.1. Pengawas Minum Obat (PMO) Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh PMO. Untuk menjamin kesembuhan dan keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. Persyaratan untuk menjadi PMO yaitu seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus Universitas Sumatera Utara disegani dan dihormati oleh penderita, seseorang yang tinggal dekat dengan penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela dan bersedia dilatih atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI (Perkumpulan Pemberantasan TB Indonesia), PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. Seorang PMO mempunyai tugas untuk mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan, dan tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban penderita mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan harus memberikan informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada penderita dan keluarganya bahwa TB disebabkan kuman bukan penyakit keturunan atau kutukan, TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur, cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya, cara pemberian pengobatan penderita (tahap intensif dan lanjutan), pentingnya pengawasan supaya penderita berobat secara teratur, kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK (Depkes, 2007). Universitas Sumatera Utara 2.2. Penyuluhan Kesehatan Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkaian dari rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsif-prinsif belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatan (Depkes RI, 2002;Effendy, 1998). Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB Paru. Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media. Penyuluhan langsung dapat dilakukan dengan perorangan atau kelompok. Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media seperti: bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, sedangkan bentuk media massa dapat berupa koran, majalah, radio dan televisi (Depkes RI, 2002). Dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan langsung perorangan dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan PMO. Pada kunjungan pertama ada beberapa informasi Universitas Sumatera Utara penting tentang TB Paru yang dapat disampaikan pada penderita, antara lain: pengertian atau arti TB Paru, penyebab TB Paru, cara penularan TB Paru dan resiko penularan TB Paru, riwayat pengobatan sebelumnya, cara pengobatan TB Paru, pentingnya pengawasan menelan obat. Sedangkan pada kunjungan berikutnya informasi yang dapat disampaikan adalah cara menelan obat, jumlah obat dan frekuensi menelan obat, efek samping dari OAT, pentingnya jadwal pemeriksaan ulang dahak, apa yang dapat terjadi bila pengobatan tidak teratur atau tidak lengkap. Penyuluhan ini selain ditujukan kepada penderita, tetapi juga disampaikan kepada keluarganya. Tujuannya supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh dan bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB Paru. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru sebagai suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan, menjadi suatu penyakit yang berbahaya tapi dapat disembuhkan. Bila penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif (Depkes RI, 2002). 3. Kepuasan 3.1. Pengertian Kepuasan menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah puas; merasa senang; perihal (hal yang bersifat puas, kesenangan, kelegaan dan sebagainya). Kepuasan didefinisikan sebagai penilaian pasca konsumsi, bahwa suatu produk yang dipilih Universitas Sumatera Utara dapat memenuhi atau melebihi harapan konsumen, sehingga mempengaruhi proses pengambilan keputusan untuk pembelian ulang produk yang sama (Sudibyo, 2008). Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya setelah pasien membandingkannya dengan apa yang diharapkannya sedangkan ketidakpuasan pasien timbul karena terjadinya kesenjangan antara harapan pasien dengan kinerja layanan kesehatan yang dirasakannya sewaktu menggunakan layanan kesehatan. Pasien yang mengalami kepuasan terhadap layanan kesehatan yang diselenggarakan cenderung mematuhi nasihat, setia, atau taat terhadap rencana pengobatan yang telah disepakati. Sebaliknya, pasien yang tidak merasakan kepuasan atau kekecewaan sewaktu menggunakan layanan kesehatan cenderung tidak mematuhi rencana pengobatan, tidak mematuhi nasihat, berganti dokter atau pindah ke fasilitas layanan kesehatan lainnya. (Pohan, 2007). 3.2. Faktor –faktor yang mempengaruhi kepuasan Menurut Muninjaya (2004) Kepuasan pengguna jasa pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor : a. Pemahaman pengguna jasa tentang jenis pelayanan yang akan diterimanya. Dalam hal ini, aspek komunikasi memegang peranan penting karena pelayanan kesehatan adalah high personal contact. b. Empati (sikap peduli) yang ditunjukkan oleh petugas kesehatan. Sikap ini akan menyentuh emosi pasien. Faktor ini akan berpengaruh pada tingkat kepatuhan pasien (compliance). Universitas Sumatera Utara c. Biaya (cost). Tingginya biaya pelayanan dapat dianggap sebagai sumber moral hazzard bagi pasien dan keluarganya. Sikap kurang peduli (ignorance) pasien dan keluarga menyebabkan mereka menerima saja jenis perawatan dan tehnologi kedokteran yang ditawarkan oleh petugas kesehatan. Akibatnya, biaya perawatn menjadi mahal. Informasi terbatas yang dimiliki oleh pihak klien dan keluarganya tentang perawatan yang diterima dapat menjadi sumber keluhan klien. Sistem asuransi kesehatan dapat mengatasi masalah biaya kesehatan. d. Penampilan fisik meliputi kerapian petugas, kondisi kebersihan dan kenyamanan ruangan (tangibility). e. Jaminan keamanan yang ditunjukkan oleh petugas kesehatan (assurance). Ketepatan jadwal pemeriksaan dan kunjungan dokter juga termasuk pada faktor ini. f. Keandalan dan keterampilan (reliability) petugas kesehatan dalam memberikan perawatan. g. Kecepatan petugas memberikan tanggapan terhadap keluhan klien (responsiveness). Pohan (2007) menyatakan ada beberapa aspek yang mempengaruhi kepuasan pasien yaitu kesembuhan, kebersihan, informasi yang lengkap tentang penyakit, memberi jawaban yang dimengerti, memberi kesempatan untuk bertanya, ketersediaan obat, privasi atau keleluasaan pribadi dalam kamar periksa, waktu tunggu, kesinambungan layanan oleh petugas yang sama, tersedianya toilet, biaya layanan kesehatan, dan tersedianya tempat duduk di ruang tunggu. Universitas Sumatera Utara 3.3. Klasifikasi kepuasan Menurut Gerson (2004), untuk mengetahui tingkat kepuasan pelanggan dapat diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan sebagai berikut : a) Sangat Memuaskan Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan pasien yang menggambarkan pelayanan kesehatan sepenuhnya atau sebagian besar sesuai kebutuhan atau keinginan pasien, seperti sangat bersih (untuk prasarana), sangat ramah (untuk hubungan dengan dokter atau perawat), atau sangat cepat (untuk proses administrasi), yang seluruhnya menggambarkan tingkat kualitas pelayanan yang paling tinggi. b) Memuaskan Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan pasien, yang menggambarkan pelayanan kesehatan tidak sepenuhnya atau sebagian sesuai kebutuhan atau keinginan seperti tidak terlalu bersih (untuk sarana), agak kurang cepat (proses administrasi), atau kurang ramah, yang seluruhnya ini menggambarkan tingkat kualitas yang kategori sedang. c) Tidak Memuaskan Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan pasien rendah, yang menggambarkan pelayanan kesehatan tidak sesuai kebutuhan atau keinginan seperti tidak terlalu bersih (untuk sarana), agak lambat (untuk proses administrasi), atau tidak ramah d) Sangat Tidak Memuaskan Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan pasien yang rendah, menggambarkan pelayanan kesehatan tidak sesuai kebutuhan atau Universitas Sumatera Utara keinginan seperti tidak bersih (untuk sarana), lambat (untuk proses administrasi), dan tidak ramah. Seluruh hal ini menggambarkan tingkat kualitas yang kategori paling rendah. Universitas Sumatera Utara