BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Agama adalah kekuatan yang mengikat manusia secara individual sekaligus menjadi perekat sosial dalam masyarakat. Setiap agama tunduk pada kebenaran yang menjadi landasan etika dan moral. Ketika agama telah melembaga dan tampil sebagai realitas sosial yang konkret dengan kepentingan institusional sendiri, maka munculah masalah sehubungan dengan kepentingan institusional itu. Terlebih ketika kelompok ini harus hadir bersama-sama dengan kelompok yang lain dalam ikatan bermasyarakat yang lebih luas.1 Tentunya pandangan setiap agama masing-masing berbeda, baik kepada setiap individu maupun pada kelompok yang lain. Apa yang terjadi jika kekuatan - kekuatan ini bertemu? Menutup diri, saling adu kekuatan atau memadukan kekuatan untuk melawan musuh bersama? Salah satu masalah yang cukup sering diperdebatkan umat manusia saat ini adalah pluralitas. Berbeda dengan yang terjadi di masa lalu, pluralitas sekarang ini bersifat aktif. Sekarang agama-agama saling bertemu, berhadap-hadapan, dan berdampingan. Siapa yang tidak memperdulikan realitas ini akan tergilas.2 Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pluralitas agama menjadi tantangan serius bagi setiap umat beragama pada saat ini. 1 Eka Darmaputera, “Agama, Masyarakat dan Negara dalam kerangka Merawat dan Berbagi kehidupan”, dalam J.B. Banawiratma, dan kawan- kawan. Merawat dan berbagi kehidupan, Yokyakarta, 1994, hal. 167- 180. 2 Th. Sumartana, Theologia Religionum, dalam tim Balitbang PGI, Jakarta BPK Gunung Mulia, hal 19 1 Pluralitas agama menjadi tantangan bagi kehidupan beragama, karena secara partikular agama - agama hidup dan berkembang dalam konteksnya yang homogen. Konteks itu menjadikan agama mempunyai kesadaran diri sebagai “anak tunggal” dan hidup terisolasi dari umat yang lain. Akibatnya, agama - agama mempunyai bentuk yang dominan dan tidak toleran terhadap keberadaan agama lain, termasuk di dalamnya menyangkut kebenaran agama. Pluralitas pada gilirannya menempatkan agama - agama dalam apa yang disebut “ plural shock” atau “Cognitive dissonance” yaitu suatu kebingungan yang mendekati kekacauan yang terjadi di dalam diri penganutnya.3 Hal ini disebabkan karena para pemeluk agama dipaksa untuk menghadapi kontra dalam dirinya. Apa yang semula diyakini sebagai yang sunguh benar dan taken for granted, kini diperhadapkan dengan sikap yang sama dalam agama yang berbeda. Ternyata umat yang lain juga mempunyai kepercayaan, klaim, dan keyakinan yang utuh. Agama Islam hadir di Indonesia bukan sebagai satu - satunya sistem religi. Dia bertemu dengan agama Hindu, Budha, yang sudah ada sebelumnya, juga dengan agama Kristen, sesudah Islam.4 Agama besar (jumlah penganutnya) di dunia yang berasal dari Asia dan berkembang di seluruh dunia, tumbuh dan berkembang di Indonesia. 3 Martin L. Sinaga, “ Meretas Jalan Teologi Agama – Agama di Indonesia”, dalam Tim Balitbang PGI, hal. 3 4 Menurut data Pusat Statistik 2004, 201.241. 999 penduduk Indonesia, 177.528.772 Kristen 17.954.977, Hindu 3.651.939, Budha 1,694.682. Sementara Kekristenan merupakan mayoritas penduduk (sekitar 1,9 miliar pada tahun 1998), Islam, yang terus berkembang, menduduki tempat kedua dengan 1,2 miliar pemuluk. Lihat Pengantar Teologi Agama – Agama, Paul F. Knitter, Yogyakarta, Kanisius, hal 7 2 Sementara itu, ada juga kemajemukan dalam setiap agama. Dalam Islam misalnya, kita menemukan Islam liberal, fundamental, konservatif, begitu juga dalam agama Kristen kita juga bisa menemukan Protestan, Katolik, Pentekosta, Injili, Adventis, dan lain sebagainya. Penulis menyebutnya pluralitas - interen. Pluralitas interen ini bukan hanya bersifat liturgis, tetapi juga menyangkut pandangan pandangan teologi. Dalam bingkai pluralitas agama di Indonesia, tampaknya umat Islam yang fundamental dan tradisional kurang bisa searah, paling tidak cara pandang terhadap agama yang lain, belum lagi konsep – konsep teologi dan aktualisasi misi. Perjumpaan agama Islam dengan agama lain di Indonesia merupakan sebuah pergumulan klasik yang tidak akan pernah hilang. Perjumpaan ini telah melalui berbagai dinamika dalam kehidupan bersama sampai sekarang ini. Kadang - kadang nampak harmonis namun lebih sering terjebak dalam berbagai ketegangan. Pada satu saat kita mendengar atau terlibat dalam aksi solidaritas yang melibatkan pemimpin dan penganut agama lain. Namun pada kesempatan lain kita mendengar atau terlibat dalam ketegangan dengan penganut agama lain. Ketegangan itu bisa terjadi mulai dari pertentangan dua orang yang berbeda agama yang berada dalam satu tempat atau institusi yang sama, sampai peperangan antar dua kelompok yang mengatasnamakan agama. Dalam hal ini kita dapat melihat adanya respon yang dilematis terhadap agama lain. Kadang - kadang eksistensi agama lain dipandang sebagai suatu hal yang mengancam sehingga tidak jarang mengakibatkan terjadinya pergesekan antar umat 3 beragama seperti pengerusakan rumah ibadah baik itu Mesjid, Gereja, Vihara, Klenteng dan juga tersingkirnya agama - agama suku yang ada di Indonesia.5 Pada sisi lain konflik agama di Indonesia tidak lepas dari berbagai ketegangan dan permasalahan, bahkan sering menimbulkan kekacauan dan konflik di tengah kehidupan bermasyarakat. Salah satu indikatornya sehingga hal ini dapat terjadi karena belum di “bereskannya” persoalan teologi di tengah – tengah pluralitas agama. Salah satu indikasi sehingga berkembangnya klaim teologi yang bersifat ekslusif di tengah kehidupan masyarakat yang sangat majemuk di Indonesia. Klaim eksklusif menyebabkan tidak terciptanya hubungan yang harmonis untuk membangun kerjasama dengan orang lain dalam mencapai satu tujuan bersama di tengah – tengah masyarakat yang sangat majemuk. Klaim teologi yang ekslusif 6 di tengah masyarakat sering menimbulkan kekacauan dan adanya saling mencurigai terhadap sesama penganut umat beragama.7 Agama sering dikaitkan dengan kekerasan. Agama menjadi landasan ideologi dan pembenaran simbol kekerasan. Ketika terjadi konflik, karena masalah seperti ekonomi, pendidikan, politik atau ketidakadilan, tetapi agama bukannya mendamaikan atau meredakan ketegangan, tetapi sebaliknya malah sering menjadi 5 Menurut Cornelis Lay bahwa kebebasan beragama menurut hukum Indonesia ditafsirkan sebagai suatu kewajiban untuk menjadi anggota salah satu dari lima agama resmi. Peraturan ini berlaku bagi penganut agama lama atau agama suku, seperti suku Dayak di Kalimantan, dimana kebanyakan dari mereka berpindah agama menajadi Kristen. Pengantar Diskusi panel “Kekerasan Atas Nama Agama di Indonesia: Proyeksi Ke Depan”, diselenggarakan oleh BEM Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana. Yogyakarta, 26 Agustus 2006. Hal 6. 6 Teologi eksklusif mewakili pandangan dominan umat Kristen yang memandang umat bergama lainnya tidak mengenal atau tidak tertarik kepada Kristus/kristus bertentangan dengan agama – agama. Lihat Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, BPK Gunung Mulia, 2004, Hlm. 37. 7 Ibid. P 79-80. 4 alasan atau sarana untuk mengobarkan permusuhan dan digunakan sebagai alat pembenaran kekerasan. Houtart mengatakan kekerasan sering dilakukan dengan tujuan untuk menghentikan dan menghancurkan ketidakadilan dan kejahatan yang terjadi sehingga peran agama sangat kuat sebagai yang memberi legitimasi doktrinal.8 Agama dapat memberikan sebuah opini tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik, serta bagaimana seharusnya umat bertindak dalam hidupnya karena hal ini dilihat sebagai panggilan teologis. Pemaknaan panggilan dan tanggung jawab keberagamaan inilah yang mendasari tindakan penganut agama tersebut. Sebuah realitas sosial dianggap sebagai norma – norma suci yang mengikat perilaku apabila norma itu disakralkan dan diyakini dari Tuhan sehingga tugas tersebut merupakan tugas mulia.9 Hal ini menjadi tantangan pluralisme pada masa sekarang ini, karena bagaimanapun bahwa sebuah rumusan yang disakralkan dalam setiap agama sering berbeda dan ada kecenderungan semuanya dimaknai sebagai bagian dari panggilan keberagamaan yang memiliki legitimasi sebagai pesan ilahi. Perjumpaan agama-agama sering tidak menghasilkan kerja sama yang baik, akan tetapi jatuh pada konflik dan perselisihan. Pluralisme agama sebagai kenyataan akhirnya menjadi daerah konflik yang berpotensi merendahkan kemanusiaan. Hal ini 8 Bandingkan. Pendapat Francois Houtart tentang kekerasan dan perang atas nama agama yang telah menjadikan banyak konflik kemanusiaan. Dukungan moral yang diberikan pada perjuangan kaum tertindas kadang memang dilakukan dengan praktek kekerasan, namum tidak harus demikian, karena hal itu akan memunculkan konflik yang lebih parah lagi. (Francois Houtart, “ Kultus Kekerasan atas Nama agama: Sebuah Panorama” dalam Agama Sebagai Sumber Kekerasan?, ed Wim Beuken, KarlJosef Kuschel, et al, Yokyakarta, Pustaka Pelajar, 2003, hal, xxiv. 9 Imam Suprayogo dan Tabroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003,hal. 16 5 menambah tantangan pluralisme dewasa ini, karena pluralisme bukan saja adanya pengakuan akan kenyataan kemajemukan, namun bagaimana menciptakan adanya keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Seseorang hanya dapat dikatakan menyandang sifat pluralisme apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan dimanapun ia berada.10 Di satu sisi agama diharapkan dapat memberikan jawaban atas berbagai persoalan manusia, namun di sisi lain konflik antar agama menyebabkan banyak hal yang menyangkut kemanusiaan menjadi diabaikan.11 Di Indonesia ada begitu banyak alasan mengapa pluralisme menjadi topik yang cukup hangat untuk diangkat oleh kalangan JIL. Salah satunya adalah pandangan dari Ulil Absar Abdala selaku koordinator JIL. Menurut Ulil Absar Abdala, keyakinan dan praktek ke - Islam-an yang dianut oleh orang - orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” dan formalitas. Sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok penyerahan diri kepada Yang Maha Benar. Ada periode dimana umat beragama menganggap, “ baju” bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini.12 Perbedaan sebenarnya merupakan gejala alamiah bahkan adanya perbedaan bisa dikatakan sebagai kehendak Tuhan.13 Dilihat dari segi etnis, budaya, bahasa, 10 Alwi Shibab, Islam Inklusif; Bandung; Mizan,1997;hal.41 Atang, Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung, Rosdakarya, 2003,hal.6 12 Abdala, Ulil, Absar, Islam Liberal & Fundamental Sebuah pertarungan Wacana, Jaringan Islam Liberal, Teater Utan Kayu, hal. 5 13 Lihat QS 11 : 118 yang terjemahannya: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang – orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. 11 6 suku dan agama, Indonesia memang merupakan bangsa yang majemuk. Dimana sekarang kita hidup dalam suatu dunia baru, sehingga pembatasan-pembatasan geografis, politik, agama dan ideologi semakin mendapatkan tantangan dari penghuninya. Secara khusus, hidup kita semakin kurang dibentuk oleh kekayaan tradisi agama kita sendiri. Hakekat dunia baru kita dan potensi pengerusakan atasnya, menyadarkan kita bahwa keberlangsungan hidup antar manusia terkait satu sama lain14. Kemajemukan ini ibarat pisau bermata dua, bisa membawa berkah dan juga bisa membawa bencana. Kapan kemajemukan bisa membawa berkah dan kapan kemajemukan bisa membawa bencana amat tergantung pada cara bangsa Indonesia menyikapi kemajemukan itu. Mengingat mayoritas (lebih 85%) penduduk Indonesia adalah Muslim, maka sikap dan cara pandang umat Islam terhadap kemajemukan menjadi sangat penting karena akan memiliki dampak yang signifikan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.15 Ketika umat Islam memandang kemajemukan sebagai sesuatu yang positif maka pandangan itu akan memberikan kontribusi yang penting bagi terwujudnya kemajemukan yang bisa membawa rahmat. Sebaliknya, bila umat Islam memandang kemajemukan sebagai suatu yang negatif, maka pandangan itu berpotensi menyulut 14 Soetapa, Djaka, Pluralisme Agama Dalam Persfektif Kristen, Disampaikan dalam seminar Pluralisme Agama oleh Sinoda Gereja Kristen Pasundan, tanggal 24 Oktober 2008 di Bandung, hal, 3 15 Nurrohman, Disampaikan dalam seminar tentang Pluralisme Dalam Persfektif Islam yang diselenggarakan oleh Gereja Kristen Pasundan pada tanggal 25 Oktober 2008 di ruang Agape RS. Immanuel, Jl. Kopo No. 161 Bandung, hal 1 7 konflik. Dalam konteks ini, amat penting bila cara pandang yang positif terhadap kemajemukan terus dipromosikan di kalangan umat Islam. Dewasa ini ada gejala munculnya konservatisme dalam agama yang dibarengi dengan sikap intoleran. Di Indonesia ketidaksiapan untuk hidup berdampingan secara damai antar umat beragama tampak dari adanya penyerangan atau pengerusakan oleh sekelompok umat beragama terhadap kelompok lain. Secara jujur harus diakui bahwa sikap itu masih ada di kalangan umat Islam.16 Survey yang diselenggarakan sejak tahun 2001 sampai Maret 2006 oleh PPIM terhadap 1200 Muslim yang tersebar di 30 provinsi (dari 33 provinsi yang ada) menunjukkan bahwa 1,3 % umat Islam Indonesia mengakui menggunakan kekerasan dalam menghadapi orang yang dinilai memiliki keyakinan menyimpang atau bertentangan dengan keyakinan. Lebih dari 40% Muslim siap berperang guna membela keyakinan mereka. O,1% dari mereka mengaku terlibat dalam pengerusakan gereja yang dibangun tanpa izin resmi dan 1,3% dari mereka juga melakukan “ intimidasi” terhadap mereka yang dinilai telah menghina Islam.17 Survey ini juga menemukan bahwa 43,5% responden siap mengobarkan perang terhadap kelompok non-Muslim yang dinilai menjadi ancaman. Dan 40 % dari responden siap menggunakan kekerasan terhadap mereka yang melakukan penghinaan terhadap Islam. Sementara 14,7% siap menghancurkan gereja yang 16 Nurrohman, Disampaikan dalam seminar tentang Pluralisme Dalam Persfektif Islam yang diselenggarakan oleh Gereja Kristen Pasundan pada tanggal 25 Oktober 2008 di ruang Agape RS. Immanuel, Jl. Kopo No. 161 Bandung, hal, 1 17 Ibid, hal. 1 8 didirikan tanpa izin resmi. Survey itu juga mengungkapkan bahwa antara 30 sampai 58% responden menentang atau keberatan dipilihnya presiden dari non-Muslim.18 Di Jawa Barat, survei yang dilakukan oleh Malindo Institute mulai dari bulan Mei sampai Juli 2008, terhadap jumlah pimpinan pesantren di lima kabupaten/kota yakni Indramayu, Cirebon, Kuningan, Majalengka dan Ciamis memperlihatkan bahwa masih ada pimpinan pesantren yang menyetujui dan menganggap bom bunuh diri untuk menghancurkan kepentingan Barat khususnya Amerika Serikat sebagai jihad. Angkanya cukup tinggi yakni 16%. Sebanyak 39% pimpinan pesantren yang memandang Osama bin Laden sebagai pejuang atau mujahidin. Meskipun jumlahnya tidak begitu signifikan (3%), masih ada juga pimpinan pesantren yang memberi dukungan terhadap apa yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan–kawan (pelaku bom Bali pertama). Mereka menilai apa yang dilakukan oleh Amrozi, Imam Samudra, Abu Dujana dan lain – lain adalah bentuk jihad yang diperlukan masa kini. Sebanyak 90% pimpinan pesantren setuju bila aliran yang menyimpang ditutup atau dibubarkan secara paksa. Sebanyak 85% pimpinan pesantren menyetujui agar aliran Ahmadiah dibubarkan. Potensi konflik antara Muslim dan non – Muslim juga cukup tinggi. Banyak pimpinan pesantren (33%) yang berpandangan bahwa umat Islam pada dasarnya tidak mungkin menjalin perdamaian abadi dengan umat non – Muslim atau kafir. Banyak pimpinan pesantren (75%) yang setuju bahwa gereja atau tempat ibadah umat Kristen/Khatolik yang dibangun tanpa izin harus dihacurkan 18 Ibid, hal. 2. 9 atau ditutup.19 Banyak pimpinan pesantren (81%) yang tidak membolehkan umat Islam mengucapkan selamat natal kepada umat Kristiani. Kondisi semacam ini menunjukkan bahwa pluralisme sebagai paham yang meyakini perlunya saling menghormati antar umat yang berasal dari berbagai agama, ras, etnis atau golongan di Indonesia masih perlu terus dipromosikan melalui berbagai cara. Dalam konstelasi sosial politik seperti itu JIL muncul dan secara terbuka menyatakan diri sebagai Islam liberal yakni sebuah bentuk protes dan perlawanan terhadap Islam ortodoks yang muncul dalam wajah fundamentalis, sebagaimana yang dikatakan oleh Luthfi.20 Sikap fundamentalis dan konservatif itu telah menggiring mereka menjadi militan, pro-kekerasan, dan bahkan menggunakan istilah jihad sebagai dalil serangan kepada lawan - lawan mereka sehingga mereka bersikap tidak toleran terhadap terhadap pandangan dan keyakianan yang berbeda. Dalam Majalah Gatra, Ulil Absar Abdala secara gamblang menyebutkan beberapa nama kelompok Islam yang dikatakannya mempunyai “pemikiran revivalis” yakni FPI (Front Pembela Islam), Laskar Jihad yang lebih kuat, dan jaringan Partai 19 Menurut Cornelis Lay, sejak berdirinya RI hingga November 2001 tercatat 858 gereja di rusak, baik secara total atau mengalami kerusakan berat, serta dilarang atau ditutup oleh aparat negara. Selama masa pemerintahan Presiden Suekarno yang berlangsung 21 tahun, hanya dua buah gereja yang dirusak. Sedangkan pada masa pemerintahan sueharto yang berlangsung selama 32 tahun, ada 456 gereja yang dirusak, dalam 17 bulan pemerintahan Habibie ada 156 gereja yang dirusak dalam 4 Bulan masa pemerintahan Megawati Suekarnoputri ada 12 gereja yang dirusak. Dalam angka tersebut termasuk pengerusakan di daerah konflik Maluku, Poso, yang sejak awal tahun 1999 sebanyak 192 gereja dan 28 mesjid di rusak. Pengantar Diskusi panel “Kekerasan Atas Nama Agama di Indonesia: Proyeksi Ke Depan”, diselenggarakan oleh BEM Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana. Yogyakarta, 26 Agustus 2006. Hal. 6. 20 Assyaukanie, Luthfi, Wajah Liberal Islam Di Indonesia: “Agenda Masa Depan Islam Liberal”Diskusi On-Line, Jaringan Islam Liberal, Teater Utan Kayu, 2002, hal. 202-203, Lihat juga “Perlawanan Islam Liberal” dalam Majalah Gatra, 1 Desember 2001,hal.29 10 keadilan (PK) yang lebih mengakar.21 Begitu kuatnya dominasi Islam fundamental ini mempengaruhi wacana publik, bahkan JIL melihat adanya kecenderungan yang mengarah terhambatnya proses demokrasi dan tatanan ko-eksistensi antar kelompok agama di Indonesia, Luthfi lebih menyukai penggunaan istilah “perlawanan dan pemberontakan” terhadap dominasi Islam ortodoks ketimbang istilah “mengimbangi” seperti yang dipakai oleh Hamid Basyaid, sebagaimana diartikannya dari kata liberal. Seperti dikatakannya, berbeda dengan Farid Esack, seorang intelektual Muslim Afrika selatan yang kurang suka penggunaan istilah liberal sebab berkonotasi perlawanan dan pemberontakan, baginya istilah itu justru sangat tepat karena” memang ada sesuatu yang dilawan dan alasan untuk memberontak”. Untuk itu ia juga menampik temannya, Uni Zulfiani Lubis, yang mengusulkan penggunaan kata “Islam” saja tanpa embel - embel dalam sebuah diskusi “on line” yang membahas nama gerakan mereka. Perlawanan yang dilakukan bukanlah dengan kekerasan atau mengunakan pedang, akan tetapi justru sebaliknya, dengan mulai mengampanyekan gagasangagasan keagamaan yang pluralis dan humanis.22 Dengan demikian, Islam Liberal di Indonesia yang kini telah terwujud dalam diri JIL, sebagaimana yang diungkapkan oleh Luhtfi adalah sebuah gerakan reformasi yang berusaha memperbaiki kehidupan umat Islam, baik itu menyangkut pemahaman keagamaan maupun persoalan– 21 22 Lihat “ Kampanye Baru Mengangkat Tabu” dalam Majalah Gatra, 1 Desember 2001, hal.29 Ibid, hal. 203 11 persoalan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.23 Meskipun pada awalnya ia muncul sebagai fenomena internal Islam dalam konteks dominasi Islam fundamentalis dan konservatif, nyatanya ia memiliki implikasi luas yaitu melampaui sekat agama, golongan, dan ideologi. Dan yang terpenting adalah bagaimana JIL, peduli terhadap masalah - masalah sosial-politik di Indonesia yang berkaitan dengan civil sosiety, demokrasi, dan pluralisme. Hal inilah yang mendorong penulis mengangkat masalah ini dengan dasar pemikiran bahwa munculnya berbagai gejolak menyangkut hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan alam, mendesak setiap agama untuk menyadari kemajemukan agama sebagai sebuah tantangan sekaligus juga peluang untuk memberi makna terhadap hidup bersama. Dalam hal ini penulis lebih menitikberatkan pada sikap - sikap yang berkembang di kalangan umat Islam khususnya JIL dalam menyikapi kepelbagaian agama. Maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 23 Ibid, hal. 203 12 1.2. Rumusan Masalah • Apa itu JIL, dan bagaimana hubungan korelasionalnya antara Islam liberal yang ada di Timur tengah juga Islam liberal yang ada di Indonesia? • Bagimana pemahaman JIL terhadap pluralisme agama? • Apa implikasinya bagi kehidupan umat beragama di Indonesia, khususnya dalam konteks hubungan Islam dan Kristen? 1.3. • Tujuan Penulisan Untuk mengetahui apa itu sebenarnya JIL, juga bagaimana hubungan korelasionalnya antara Islam liberal yang ada di timur Tengah dan juga JIL yang ada di Indonesia. • Untuk mengetahui pemahaman JIL terhadap pluralisme agama. • Untuk mengembangkan dialog antar umat beragama dalam konteks keberagamaan di Indonesia, khususnya Islam dan Kristen. 1.4. Hipotesa Hipotesa terhadap masalah ini adalah: • JIL merupakan sebuah jaringan Islami yang tidak bersikap konservatif dan fundamentalis atau eksklusif, melainkan sebuah jaringan Islami yang bersikap terbuka, toleran, akomodatif terhadap berbagai perkembangan zaman, baik itu dari segi perkembangan teologis maupun dari keberbagaian/kemajemukan 13 yang ada sebagai wujud dialogis yang bersifat terbuka terhadap dampak modernisasi dan juga globalisasi. • Konsep JIL dapat dijadikan sebagai wacana alternatif ke-Islam-an dalam menjembatani kehidupan antar umat beragama, khususnya Islam dan Kristen dalam konteks Indonesia. 1.5. Judul Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan memberikan judul : Sebuah Tinjauan Teologis Mengenai Pluralisme Menurut Jaringan Islam Liberal dan Kemungkinan Terciptanya Sebuah Dialog Islam-Kristen di Indonesia 1.6. Metode Penelitian Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode wawancara dan pustaka. Penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan, baik itu data primer maupun data sekunder di lapangan. Data primer terdiri dari karya-karya yang ditulis oleh intelektual Islam liberal, berupa buletin, laporan media masa yang sudah diterbitkan, serta hasil studi lapangan yang telah dilakukan, khususnya terhadap gerakan Islam liberal 14 1.7. Bab I Sistematika Penulisan : Pendahuluan Bagian ini akan menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, hipotesa, judul, metode penelitian, dan sistematika penulisan Bab II : Sejarah Lahir Perkembangan Islam Liberal Bagian ini menguraikan sejarah lahirnya Islam Liberal di Timur Tengah, sejarah perkembangn JIL dan kitab suci dalm pandangan JIL Bab III : Pandangan JIL Terhadap Pluralisme Bagian ini menguraikan pandangan JIL terhadp pluralisme dan pluralitas beragama serta adanya pro dan kontra atas pandangan JIL ini. Bab IV : Pengakuan Pluralisme membuka Jalan Dialog Islam-Kristen di Indonesia Bagian ini menguraikan adanya wacana dan dialog Islam Kristen di Indonesia serta refleksi teologis Bab V : Kesimpulan dan Penutup Bagian ini berisi jawaban atas rumusan masalah yang penulis angkat serta penutup. 15