BAB 5 Infrastruktur Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 BAB 5 Infrastruktur Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 Temuan Pokok • • • Investasi Indonesia untuk infrastruktur sangat tidak memadai. Investasi infrastruktur menurun dari 5-6 persen dari PDB sebelum tahun 1997 menjadi kurang dari 1-2 persen dari PDB pada 2000, dan saat ini berada dalam kondisi stabil pada tingkat 3,4 persen dari PDB. Untuk menanggulangi kemunduran investasi masa lalu, sementara pada saat yang sama juga melakukan proyek-proyek besar yang baru untuk memenuhi permintaan yang semakin besar, dan untuk terus mendorong pertumbuhan, akan memerlukan tambahan investasi yang cukup besar (diperkirakan tambahan sekitar 2 persen dari PDB, atau US$6 milyar per tahun), hanya untuk mencapai tingkat pertumbuhan sebelum krisis. Sektor air bersih dan listrik mengalami krisis.Tingkat investasi yang rendah selama satu dekade telah menyebabkan kurangnya kapasitas dan daya listrik serta memburuknya layanan air pipa. Tingkat tarif listrik yang berada di bawah biaya menghambat perluasan jaringan, serta pemeliharaan jaringan yang memadai dan operasi yang lebih efisien terhadap aset yang ada. Tarif listrik yang seragam bersifat regresif dan tidak memberikan insentif untuk menyediakan sambungan kepada konsumen di wilayah Indonesia bagian Timur yang memerlukan biaya lebih tinggi. Layanan air pipa di wilayah perkotaan sangat memerlukan pengaturan tarif baru dan akses terhadap pendanaan, serta menegakkan regulasi yang mencegah pemerintah kabupaten/kota menarik keuntungan saat penyedia air pipa (PDAM) mengalami kerugian. Investasi sektor swasta telah mengalami penurunan tajam sejak 1997, terutama di sektor air bersih, energi, dan transportasi . Sebelum krisis ekonomi, komitmen investasi sektor swasta pada tahun tertentu menunjukkan angka rata-rata sebesar 30 - 40 persen dari pengeluaran pembangunan untuk sektor infrastruktur. Pada 2003 dan 2004, pengeluaran tersebut lebih kecil dari seperempat pengeluaran pemerintah, disamping rendahnya tingkat investasi publik. Sejak tahun 2000, sebagian besar komitmen investasi sektor swasta diserap oleh telekomunikasi (90 persen ). Sangat sulit menarik investor swasta pada sektor yang biasanya didominasi oleh pemerintah atau BUMN. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian hukum, kurangnya strategi pemerintah untuk menjamin investasi dan kewajiban bersyarat, dan isu-isu fundamental dibalik rendahnya harga layanan sosial serta sejumlah alasan politik. Rekomendasi Utama • • • 80 Pemerintah pusat perlu lebih berprakarsa dalam penanganan krisis PDAM. Prioritas yang mendesak adalah menghilangkan hambatan yang ada sekarang terhadap pinjaman jangka panjang PDAM. Langkah pertama dalam proses ini adalah melakukan restrukturisasi pinjaman PDAM. Proses restrukturisasi hutang harus diutamakan untuk PDAM yang paling layak diberi kredit, memberikan insentif kepada PDAM yang lain untuk meningkatkan kelayakan kredit mereka dan memberikan peluang kepada mereka untuk meningkatkan tarif dan memotong biaya dengan menangani kerugian komersial dan kerugian fisik. Strategi nasional untuk meningkatkan akses terhadap kebutuhan sanitasi dan pelistirikan wilayah pedesaan harus dikembangkan. Peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu diklarifikasi dan dikoordinasikan untuk pelaksanaan strategi tersebut. Mekanisme pendanaan public yang memadai, seperti akses pendanaan untuk wilayah pedesaan, seharusnya dipertimbangkan karena dampaknya yang begitu besar dari kurangnya layanan infrastruktur dasar terhadap kesehatan publik secara luas dan keluaran pendidikan. Subsidi listrik dan struktur tarif harus ditinjau lagi. Subsidi listrik mendorong terjadinya konsumsi listrik yang berlebihan dan sangat membantu konsumen tidak miskin ketika akses yang terbatas menguntungkan kelompok menengah keatas. Dalam jangka panjang, tarif harus direvisi dengan kecenderungan meningkat dan struktur tarif harus ditinjau kembali agar mencerminkan biaya sebenarnya untuk menyediakan layanan tersebut. Tingkat tarif yang mencakup 900VA keatas dapat menjadi langkah awal dalam revisi tarif, karena secara ekslusif hanya menguntungkan kelompok menengah keatas. Akan tetapi, rencana jangka panjang yang koheren perlu disusun untuk menyesuaikan harga dengan biaya ekonomi dan memberikan bantuan dengan sasaran rumah tangga pendapatan rendah dan wilayah-wilayah yang miskin. Subsidi harus dialihkan dari konsumsi sambungan, untuk dapat menerapkan pendekatan sektor pelistrikan yang berbeda pada setiap daerah. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 • BAB 5 Infrastruktur Insentif fiskal harus diberikan kepada pemerintah daerah untuk menjamin pemeliharaan jalan yang memadai. Pemerintah daerah, terutama di wilayah-wilayah pedesaan, hanya menggunakan sebagian kecil dari anggaran mereka untuk pemeliharaan jalan. Misalnya, pendanaan bersama antara pemerintah pusat dan daerah untuk investasi jalan dapat dilakukan dengan syarat menjamin pemeliharaan jalan secara memadai dalam wilayah masing-masing daerah. Kinerja Sektor Infrastruktur Investasi infrastruktur per tahun di Indonesia (terdiri dari investasi pemerintah, BUMN maupun sektor swasta) mencapai angka 5 - 6 persen dari PDB sebelum krisis ekonomi tahun 1997. Sejak itu, investasi infrastruktur turun secara dramatis di bawah 2 persen dari PDB pada 2000, dan pada 2004 angka itu masih hanya 3 persen dari PDB (Diagram 5.1). Sementara kelambatan investasi infrastruktur memang diperkirakan akan terjadi segera setelah krisis, ternyata investasi tidak dapat mengikuti kebangkitan ekonomi, apalagi menangani kebutuhan rakyat yang tidak pernah memiliki akses terhadap layanan infrastruktur dasar, seperti air pipa, listrik, jalan. Indonesia kini memiliki beberapa indikator infrastruktur paling buruk di tingkat regional. Diagram 5.1 Investasi infrastruktur , 1994-2004 (% dari PDB) 1/ 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Swasta a/ Pemerintah b/ Publik dan Swasta . Total 99-04 2002 2003 BUMN c/ 2004 Sumber: DepKeu diproses; laporan tahunan BUMN; Database PPI Bank Dunia. Catatan: Rujukan 1/PDB adalah untuk Tahun Fiskal (FY) atau Tahun Kalender (CY) tergantung pada periode database; a/pengeluaran pembangunan terkait Infrastruktur, seluruh tingkat pemerintahan; b/ Investasi sektor swasta diukur sebagai komitmen investasi pada saat kesepakatan penutupan keuangan; c/ Investasi atau pengeluaran modal (Capex). Seri BUMN yang tidak lengkap; Angka untuk 1999-2001 memiliki perkiraan lebih rendah dari kontribusi BUMN. Banyak indikator infrastruktur telah mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir dan posisi Indonesia tertinggal dari negara tetangga. Beban listrik yang besar terjadi di Pulau Java dan Bali, sementara di pulau-pulau besar lainnya mengalami kekurangan listrik yang sangat parah. Jalan raya perkotaan jalan raya sudah terlalu padat dan jalan bebas hambatan yang baru yang diharapkan akan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi masih dalam tahap persiapan. Proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap air pipa sebenarnya sudah mengalami penurunan akibat penutupan sejumlah fasilitas dan karena pertumbuhan penduduk. Indonesia pernah mengungguli Thailand, Taiwan, China, dan Sri Lanka dalam Global Competitiveness Report’s 1996 tentang indeks ‘mutu infrastruktur secara keseluruhan.’ Pada 2002, negara-negara ini telah mampu melampaui Indonesia (Tabel 5.1). Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 81 BAB 5 Infrastruktur Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 Tabel 5.1 Peringkat regional dari akses terhadap layanan infrastruktur Infrastruktur Rasio pelistirikan (%) Akses terhadap fasilitas sanitasi (%) Akses terhadap air bersih (%) Jaringan jalan raya (km per 1.000 orang) Indonesia 53 55 14 1.7 Peringkat Regional 11 of 12 7 of 11 7 of 11 8 of 12 Sumber: Bank Dunia, 2004b. Listrik 70 Permintaan akan listrik telah mengalami pertumbuhan sekitar 6 persen per tahun sejak 2000, tetapi tidak ada pertumbuhan yang sejalan dari kapasitas sistem yang ada.71 Puncak permintaan listrik telah mendekati kapasitas yang ada secara progresif dan penambahan persediaan kini sudah tidak memadai (Tabel 5.2). Beban berat dam pemadaman banyak terjadi, terutama di pulau-pulau luar sistem Jawa-Bali. Pertumbuhan permintaan per tahun diperkirakan 7-9 persen pada dekade yang akan datang. Tabel 5.2 Kapasitas sistem kelistrikan PLN vs. permintaan puncak (pada jam sibuk) Kapasitas Terpasang (MW) PLN (MW) IPP (MW) Kapasitas yang Tersedia (MW) Agregat Puncak Permintaan (MW)72 Margin Cadangan berdasarkan total kapasitas (%) Margin Cadangan berdasarkan kapasitas yang tersedia (%) 2000 2001 2002 2003 2004 23,949 20,762 3,187 21,853 15,320 56.3 42.6 24,246 21,059 3,187 22,077 16,313 48.6 35.3 24,359 21,112 3,247 20,841 17,160 42.0 21.5 24,475 21,206 3,269 22,048 17,949 36.4 22.8 24,920 21,470 3,450 21,494 18,896 31.9 13.7 Sumber: Laporan keuangan tahunan PLN. Pengurangan subsidi BBM telah menyebabkan perubahan cukup besar terhadap kombinasi BBM biaya rendah oleh PLN. Sekitar 27 persen dari produksi listrik PLN menggunakan bahan bakar minyak. Harga minyak dalam negeri meningkat menjadi rata-rata sebesar 29 persen pada Maret 2005 dan 114 persen pada Oktober 2005 (lihat Bab 1). Biaya penggunaan BBM ini cukup tinggi dimana kini sedang dipertimbangkan untuk membiarkan mesin pembangkit tenaga diesel (solar) untuk tidak beroperasi dan menggantinya dengan pembangkit dengan bahan bakar batu bara, karena biaya tambahan modal akan menjadi lebih besar dengan menghemat pemakaian BBM. Sekitar 3,400 MW dari pembangkit yang dirancang untuk menggunakan bahan bakar gas, tetapi dioperasikan dengan bahan bakar solar akibat kesulitan mengamankan pasokan gas. Tingginya biaya pemakaian solar merupakan pendorong utama untuk menangani kesulitan suplai bahan bakar gas. Pengurangan subsidi BBM juga mendorong produsen ‘captive power’ untuk membeli listrik dari PLN, yang akan menyebabkan pertumbuhan permintaan listrik PLN. Para produsen ‘Captive power’ adalah para industri besar dan konsumen usaha yang memiliki generator swasta dengan kapasitas sekitar 14.600 MW, dan menyediakan hampir 30 persen dari listrik yang digunakan. Lebih dari 60 persen dari kapasitas ini menggunakan solar, yang telah menjadi semakin mahal jika dioperasikan setelah pengurangan subsidi BBM. 70 Pengeluaran untuk sub-sektor listrik menunjukkan hampir 90 persen dari total pengeluaran dalam sektor energi. 71 Harus diingat bahwa pada 2006, tambahan kapasitas sebanyak 2.500 MW dilakukan oleh PLN. Akan tetapi, jumlah ini masih belum cukup untuk memenuhi permintaan yang terus tumbuh dan belum cukup pula untuk mengatasi kapasitas kekurangan listrik dalam jangka panjang. 72 Karena data yang rinci mengenai beban puncak tidak tersedia, maka digunakan agregat permintaan puncak. Walaupun hal ini tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya dari berbagai sistem yang ada yang tidak saling berhubungan, cara ini telah mampu memberikan indikasi yang rasional mengenai situasi permintaan dan suplai listrik di Indonesia. 82 Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 BAB 5 Infrastruktur Tabel 5.3 Indikator terpilih untuk listrik Rumah tangga dengan sambungan listrik (%) Kamboja China Indonesia Laos Mongolia Filipina Thailand Vietnam Sumber: Bank Dunia, 2005. 1998 13 97 -30 67 72 82 63 Kerugian transmisi dan distribusi (%) 2003 17 99 55 41 90 79 84 81 1998 20.6 8.1 12.2 22.6 -14.1 8.7 15.6 Rata-rata tarif listrik residensial (nominal US$/kWh) 2003 12.7 7.7 11.7 21.2 22.0 12.4 7.3 13.4 2003 0.09-0.15 0.05-0.08 0.02-0.07 0.04 0.05 0.11 0.06 0.05 Tingkat akses rumah tangga terhadap listrik masih rendah dan perluasan jaringan terhambat oleh kebijakan harga yang berlaku saat ini (Tabel 5.3). Tarif rata-rata untuk penggunaan rumah tangga lebih rendah daripada biaya produksi, sehingga PLN tidak memiliki insentif bisnis untuk meningkatkan sambungan keluarga—setiap sambungan baru meningkatkan jumlah kerugian PLN dan kapasitas yang ada sudah penuh. Karena biaya menjadi lebih tinggi untuk wilayah pedesaan dan wilayah-wilayah terpencil, pengenaan tarif yang seragam dan rendah telah berdampak khusus terhadap tingkat akses listrik di daerah-daerah tersebut. Jalan 73 Efisiensi kota-kota di Indonesia menurun akibat kemacetan lalu lintas. Saat ini, 43 persen dari jaringan jalan raya di Pulau Java, dan sebagian besar di Jakarta, mengalami kemacetan yang menyebabkan waktu perjalanan menjadi lebih lama dan memerlukan biaya lebih tinggi. Kemacetan diperkirakan meningkat menjadi 55 persen pada 2010. Total jaringan jalan raya tumbuh sebesar 12 persen antara tahun 2000 dan 2004. Proporsi jalan aspal mengalami peningkatan sebesar 28 persen sejak 1998. Pada periode yang sama, jumlah kendaraan bermotor untuk per 1.000 orang telah meningkat menjadi 80 persen (Tabel 5.4). Tabel 5.4 Peningkatan kemacetan jalan raya Indikator 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Jalan Aspal (% dari total) 47.3 57.1 57.1 58.9 57.6 58.3 Sepeda Motor (per 1.000 orang) 87.8 89.5 92 100.1 108.5 118.7 2005 % perubahan 1998-2005 -- 60.5 28 133.2 158.2 80 2004 Sumber: CGI Juni 2006, Indonesia: Tinjauan terhadap Sektor Transportasi (Januari 2006): Tinjauan terhadap Temuan Sektor Jalan Raya. Jalan bebas hambatan, termasuk jalan lingkar untuk wilayah pusat perkotaan, akan membantu mengurangi kemacetan dan, dengan memperlancar hubungan antarkota akan mempercepat pertumbuhan. Akan tetapi, sebagian besar jalan bebas hambatan ini baru berada pada tahap perencanaan. Persiapannya sedang berlangsung bagi investasi sektor swasta untuk jalan lingkar luar kota Jakarta, tetapi masalah keuangan untuk investasi ini akan memerlukan pemecahan atas berbagai permasalahan, termasuk proses pembebasan tanah dan kondisi dan tingkat dukungan pemerintah. Rencana untuk membangun jalan raya lintas Pulau Jawa yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya perlu juga memperhatikan isu-isu yang sama. Rencana ini selanjutnya akan menjadi sangat sulit karena perusahaan swasta menerima kontrak sebelum 1998, tetapi saat ini perusahaan tersebut tidak mampu menyediakan dana. Solusi peningkatan transportasi umum diperlukan untuk mengurangi kemacetan di pusat-pusat perkotaan. Di Jakarta, sebuah jalur dibuat khusus untuk busway telah beroperasi pada Januari 2004 dan, sampai Maret 2006, jumlah penumpang tiap hari mencapai 120.000 orang. Masalah kemacetan masih merupakan pemandangan seharihari di tengah kota, sementara pembangunan sistem transportasi cepat massal monorail juga dalam pelaksanaan di Jakarta. 73 Pengeluaran untuk sub-sektor jalan raya sebesar 80 persen dari total anggaran yang digunakan dalam sektor transportasi . Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 83 BAB 5 Infrastruktur Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 Fillipina Indonesia China 0 14 8 57 48 16 15 4 Asia Selatan 22 20 69 Kawasan Timur Tengah & Afrika Utara 40 K amboja 60 Amerika Latin & Karibia 82 58 Sub Sahara Afrika 91 80 Eropa Timur & Asia Tengah 97 Laos 100 Mongolia 120 Thailand Persentasi dari keseluruhan Ruas Jalan Diagram 5.2 Proporsi jalan raya yang diaspal, 2003 Sumber: World Bank, 2005. Mutu jalan nasional Indonesia relatif tinggi, tetapi terlalu banyak jalan daerah pemeliharaannya sangat buruk. Dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini, sebagian besar jalan raya di Indonesia (sekitar 60 persen) sudah diaspal (Diagram 5.2). Sementara proporsi jalan nasional yang dalam keadaan baik mengalami penurunan sejak 2000, masih lebih dari 80 persen. Sebaliknya, mutu rata-rata jalan daerah tidak mengalami perubahan sejak 2002, dan juga tidak memadai dengan perkiraan hanya setengah masih dalam keadaan cukup baik (Tabel 5.5). Beberapa daerah paling miskin di kawasan Indonesian timur, di mana jumlah penduduk dan permintaan terhadap kendaraan masih rendah, masih tidak memiliki akses terhadap jalan. Tabel 5.5 Mutu jalan raya , 2000-06 Panjang (km) Jalan Tol Jalan raya Nasional Jalan raya Provinsi Jalan raya Kabupaten/kota Total Km Jalan raya 649 34,628 37,164 240,946 339,005 Kondisi (% Sangat baik-baik) 2000 2006 87 81 49* 81 63 49 Mutu Permukaan (% diaspal) 100 90 89 52 60.5 Sumber: Rencana Strategis Departemen Pekerjaan Umum, Maret 2005, Statistik Departemen Pekerjaan Umum, CGI Juni 2006, Indonesia: Tinjauan Sektor Transportasi (Januari 2006): Tinjauan Temuan Sektor Jalan Raya. Catatan: * Data untuk kabupaten/kota tahun 2002 karena nilai untuk tahun 2000 tidak konsisten. Air dan Sanitasi Akses terhadap air pipa sangat terbatas dan penyedia air pipa (PDAM) sedang mengalami krisis. Air pipa yang disediakan oleh PDAM merupakan sumber yang paling dapat diandalkan, paling aman dan, dalam jangka panjang merupakan solusi paling murah untuk penyediaan air di wilayah pusat perkotaan, tetapi hanya 31 persen dari penduduk di wilayah perkotaan dan 17 persen dari seluruh jumlah penduduk yang memiliki akses terhadap air pipa. Angka ini sangat rendah berdasarkan standar regional (Tabel 5.6). Kualitas air dan keteraturan persediaannya menurun, dan ketersediaan fasilitas penampungan air sangat terbatas. Kerugian air, baik secara fisik maupun administrasi, berkisar sekitar 50 persen dan terkadang sampai dengan 60 persen dari produksi PDAM. Kecuali ada perubahan kebijakan, dan mengingat kinerja operasional yang buruk serta tidak adanya akses terhadap pendanaan, sebanyak 316 PDAM Indonesia secara perlahan akan merugi dan menghentikan layanannya, sehingga akan semakin mengurangi tingkat akses terhadap air pipa. 84 Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 BAB 5 Infrastruktur Tabel 5.6 Akses terhadap air pipa, 2003 Country Malaysia Philippines Thailand Vietnam Indonesia Cambodia Wilayah perkotaan (%) 95 60 80 51 31 31 Nasional Wilayah pedesaan (%) 64 22 12 1 5 1 Modal Total (%) Ibukota saja (%) 84 44 34 14 17 6 100 58 83 84 51 84 Sumber: UN (2004). ADB (2004). Tekanan politik untuk melakukan perubahan masih sangat lemah karena masyarakat telah mampu mengembangkan strategi penyelesaian. Strategi ini tercermin dalam data resmi bahwa laporan akses terhadap “air yang semakin baik” sebesar 69 persen dari penduduk wilayah pedesaan dan 89 persen dari penduduk wilayah perkotaan. Tetapi strategi penyelesaian masalah air ini melibatkan sektor swasta, dan sering tidak terdaftar, pembuatan sumur yang tidak bisa diandalkan akibat pencemaran air tanah. Di sejumlah daerah, penggalian sumur oleh pihak swasta telah mencapai tingkat yang menyebabkan terjadinya perembesan air laut dan penurunan permukaan tanah. Indonesia mengalami kekurangan fasilitas sanitasi dan sistem pengolahan air limbah. Data resmi menunjukkan bahwa 71 persen dari penduduk wilayah perkotaan dan 38 persen dari penduduk wilayah pedesaan memiliki akses terhadap “sanitasi yang semakin baik”, tetapi data ini termasuk sambungan tangki septik bawah tanah yang cukup banyak yang pada kenyataannya tidak pernah dikuras dan mengalami kebocoran yang akhirnya mencemari lingkungan dan air tanah. Hanya 1,3 persen dari seluruh penduduk tersambung dengan sistem pembuangan limbah —sebuah sistem kecil beroperasi di Jakarta. Kegagalan untuk mengolah air limbah menyebabkan munculnya pencemaran sumber-sumber air, yang selanjutnya meningkatkan biaya untuk memproduksi air bersih dan berkontribusi terhadap prevalensi yang cukup tinggi dari sejumlah penyakit seperti tipus dan penyakit menular lainnya di Indonesia. Pengeluaran Publik untuk Infrastruktur: Komposisi dan Tren Agregat (pemerintah dan swasta ) pengeluaran infrastruktur Indonesia berjumlah sekitar 8,4 persen dari PDB. Investasi infrastruktur per tahun berjumlah sekitar 3,4 persen dari PDB, ditambah pengeluaran operasional dan pemeliharaan menunjukkan angka sebesar 5,0 persen dari PDB (Tabel 5.7). Pengeluaran publik untuk infrastruktur berjumlah 10,1 persen dari pengeluaran nasional pada tahun 2004, persentase yang lebih rendah dari dua tahun sebelumnya (10,4 persen). Pengeluaran untuk infrastruktur mengalami penurunan terutama karena terjadi penurunan terus-menerus pada investasi sektor swasta. Penurunan investasi infrastruktur sejak akhir tahun 1990-an merupakan isu utama yang harus diperhatikan dalam kebijakan infrastruktur. Tingkat investasi infrastruktur masih rendah menurut standar, terutama jika dibandingkan dengan negara seperti China dan Vietnam, yang melakukan investasi sekitar 10 persen dari PDB untuk infrastruktur, atau negara masih berkembang lainnya seperti Laos dan Mongolia, masingmasing yang melakukan investasi sebesar 4 sampai 7 persen dari PDB.74 74 World Bank, 2005. Connecting East Asia: A new framework for infrastruktuce, lampiran data. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 85 BAB 5 Infrastruktur Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 Tabel 5.7 Sekilas tentang pengeluaran infrastruktur Rp triliun (harga konstan 2004) 1. Pengeluaran publik untuk infrastruktur (2 + 3) 2002 2003 2004 174.74 179.48 177.26 Investasi Operasional &Pemeliharaan 2. Anggaran pada seluruh tingkat pemerintahan a/ 2002 2003 2004 Avg. 02-04 8.2 8.3 7.7 8.4 69.59 64.51 62.18 3.3 3.0 2.7 3.4 105.15 114.97 115.08 4.9 5.3 5.0 5.0 39.88 17.40 1.7 2.2 1.8 2.1 0.8 1.0 0.8 1.2 9.70 0.4 0.6 0.4 0.8 36.23 Pemerintah pusat 16.61 47.33 22.74 Investasi b/ 7.88 13.83 Operasional &Pemeliharaan 8.73 8.91 7.70 0.4 0.4 0.3 0.4 19.61 24.59 22.48 0.9 1.1 1.0 0.9 12.43 16.64 14.97 0.6 0.8 0.7 0.7 7.19 7.95 7.51 0.3 0.4 0.3 0.2 110.44 123.65 128.24 5.2 5.7 5.6 5.5 Pemerintah daerah Investasi Operasional &Pemeliharaan 3. BUMN % dari PDB Investasi c/ 21.21 25.54 28.37 1.0 1.2 1.2 1.2 Operasional &Pemeliharaan 89.23 98.11 99.87 4.2 4.5 4.4 4.4 28.45 8.93 9.58 1.3 0.4 0.4 0.7 28.07 8.50 9.14 1.3 0.4 0.4 0.7 174.73 179.48 177.26 8.3 8.3 7.8 8.3 69.58 64.51 62.18 3.3 3.0 2.7 3.3 105.15 114.96 115.08 5.0 5.3 5.1 5.0 4. Sektor swasta Investasi komitmen d/ Total pengeluaran infrastruktur (2 + 3 + 4) Total investasi Total Operasional &Pemeliharaan Sumber: Data DepKeu yang sudah diolah; laporan tahunan perusahaan dan neraca; database PPI Bank Dunia. Catatan: a/ Pengolahan data anggaran pemerintah, seluruh tingkat pemerintahan, b/ Sedikit variasi sehubungan data investasi publik sebelumnya dijelaskan berdasarkan akses terhadap data yang dis-agregat untuk periode 2002-04, yang memungkinkan penentuan kategorisasi lebih rinci dari total pengeluaran untuk investasi dan Operasional &Pemeliharaan, c/ Investasi atau Angka Capex. Jika tidak ada informasi lain yang bisa ditemukan, perbedaan dari tahun ke tahun dalam persediaan modal dianggap sebagai perkiraan Capex, d/ Investasi sektor swasta yang diukur sebagai komitmen investasi pada saat dilakukan persetujuan dan penutupan finansial. Diagram 5.3 Komposisi pengeluaran infrastruktur Sektor Swasta 5% Pemerintah Daerah (Provinsi & Kabupaten/Kota) 10% Investasi 16% Badan Usaha milik Negara 70% Operasional & Pemeliharaan 5% Pemerintah Pusat 14% Sumber: Data dari DepKeu yang sudah diolah; laporan tahunan BUMN; database PPI Bank Dunia. Pengeluaran BUMN berjumlah lebih dari 70 persen dari total pengeluaran infrastruktur. Akan tetapi, pengeluaran BUMN sebagian besar didorong oleh kegiatan operasional dan pemeliharaan, dan lebih rendah untuk investasi (Diagram 5.3). Pengeluaran anggaran publik pemerintah pusat berjumlah sedikit lebih besar daripada pengeluaran pemerintah daerah. Peranan pengeluaran sektor swasta masih sangat terbatas, dengan jumlah hanya 5 persen dari total pengeluaran. Baik investasi sektor publik maupun sektor swasta untuk infrastruktur telah mengalami penurunan relatif terhadap besaran ekonomi (Tabel 5.8). Komitmen investasi sektor swasta di atas 2 persen dari PDB pada pertengahan 1990-an, tetapi turun di bawah 0,5 persen pada 2003 dan 2004. Investasi pemerintah (pusat dan 86 Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 BAB 5 Infrastruktur daerah) berjumlah hampir 3 persen dari PDB pada pertengahan tahun 1990-an, sementara sejak krisis angka-angka tersebut telah menurun antara 1,1 sampai 1,8 persen. Dari 2002 sampai 2005, investasi yang dilakukan oleh BUMN telah meningkat secara perlahan dari 1,0 persen dari PDB menjadi 1,3 persen, tetapi jumlah ini tidak memadai untuk mengatasi penurunan investasi yang dilakukan oleh pemerintah dan sektor swasta. Walaupun investasi pemerintah terus mengalami peningkatan secara absolut sejak 2002, peningkatan ini tidak setara dengan pertumbuhan ekonomi. Selama 2002-04, satu-satunya periode tersedianya data lengkap, total investasi meningkat secara absolut tetapi menurun jika dilihat dari proporsi terhadap PDB dari sekitar 3,5 persen menjadi 2,9 persen. Tabel 5.8 Tren investasi Rp triliun harga konstan(2001) Swasta a/ 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Pemerintah b/ 8.56 26.91 28.12 25.52 6.79 14.78 1.46 9.38 22.16 6.71 7.21 -- 32.59 32.84 29.75 31.41 27.94 20.13 16.49 21.52 18.98 28.67 23.09 -- % dari PDB BUMN c/ Total NA NA NA NA NA 12.61 11.45 10.09 16.75 20.17 22.40 24.84 Swasta a/ Pemerintah b/ BUMN c/ 0.8 2.4 2.3 1.8 0.5 1.2 0.1 0.6 1.3 0.4 0.4 2.9 2.7 2.2 1.9 1.8 1.4 1.1 1.3 1.1 1.7 1.3 -----1.0 0.7 0.6 1.0 1.2 1.2 1.3 -----47.52 29.40 41.00 57.88 55.55 52.71 Total -----3.6 1.9 2.4 3.5 3.2 2.9 Sumber: Data DepKeu yang telah diolah; laporan tahunan BUMN; Database PPI Bank Dunia. Catatan: 1/ Termasuk listrik , gas, telekomunikasi, jalan raya, pelabuhan, bandara, jalur kereta, air pipa, dan sanitasi, pengelolaan sumber air, dan irigasi; a/ Investasi sektor swasta diukur sebagai komitmen investasi pada saat kesepakatan penutupan finansial; b/ Pengeluaran pembangunan terkait infrastruktur, seluruh tingkat pemerintahan; c/ Investasi atau pengeluaran modal (Capex). d/ Data BUMN yang tidak lengkap; data tersedia untuk investasi , infrastruktur BUMN 1999-2001, tetapi tidak semuanya. Sebelum krisis, investasi sektor swasta tersebar di seluruh sektor infrastruktur; dan sejak krisis investasi terkonsentrasi di sektor telekomunikasi (Tabel 5.9). Pada pertengahan sampai dengan akhir tahun 1990-an, investasi sektor swasta mencapai tingkat 2,3 persen dari PDB. Pada tahun 2003 dan 2004 investasi hanya mencapai 0,4 persen dari PDB. Tabel 5.9 Tren investasi sektor swasta* Energi 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Total % of total Air dan sanitasi Transportasi Telekomunikasi 466 5,531 7,851 7,600 1,530 976 0 0 1,933 0 1,084 0 448 0 364 2,931 0 0 377 0 0 0 236 607 0 2,067 0 8,028 0 0 6,045 0 31 2,417 4,143 4,142 1,522 410 3,780 1,312 9,006 16,814 7,998 8,021 26,971 25.0 4,119 3.8 17,015 15.8 59,566 55.3 Total 3,119 10,729 11,993 11,553 4,871 12,784 1,312 9,383 24,792 7,998 9,137 107,671 100.0 Sumber: Database PPI Bank Dunia, Angka-angka tidak termasuk proyek yang dibatalkan. Catatan: Angka saat ini dalam miliar Rupiah, nilai tukar yang digunakan adalah untuk Tahun Kalender (CY) yang bersangkutan, bersumber dari Pemerintah Indonesia , * Investasi sektor swasta yang diukur sebagai komitmen investasi pada saat dilakukan persetujuan dan penutupan finansial. Sejak 2001, pemerintah daerah telah mengambil bagian yang semakin besar dalam pengeluaran pembangunan di sektor infrastruktur, sebagai bagian dari desentralisasi tanggung jawab pemerintah secara Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 87 BAB 5 Infrastruktur Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 umum. Proporsi pengeluaran pemerintah daerah untuk infrastruktur meningkat dari 35 persen pada 2000 menjadi 55 persen pada 2004, dimana pengeluaran pemerintah provinsi berjumlah 20 persen dan pengeluaran pemerintah kabupaten/kota 35 persen (Diagram 5.4). % pengeluaran Infrastruktur dari total pengeluaran pembangunan Diagram 5.4 Dampak pelaksanaan sistem desentralisasi terhadap investasi pemerintah untuk infrastruktur 70 % 60 50 40 30 20 10 0 2000 Pemerintah Pusat 2001 2002 Provinsi 2003 Kabupaten/Kota 2004 Provinsi & Kabupaten/Kota Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD. Dalam total anggaran pembangunan, proporsi desentralisasi investasi bervariasi cukup besar menurut subsektor (Diagram 5.4). Komponen terbesar dari total anggaran pembangunan adalah transportasi, di mana jumlah ini didominasi oleh investasi jalan. Antara 2000 dan 2004, besarnya anggaran pembangunan untuk transportasi meningkat dari 62 persen menjadi 75 persen, dan pengeluaran daerah untuk sektor transportasi ini meningkat dari 56 persen pada 2001 menjadi 64 persen pada 2004. Secara nominal, pengeluaran pembangunan pemerintah daerah untuk transportasi meningkat dari Rp 4,498 miliar menjadi Rp 14,460 miliar selama empat tahun yang sama. Pemerintah pusat memiliki jumlah terbesar dari anggaran pembangunan untuk sumber daya air dan irigasi. Anggaran pembangunan berperan kecil dalam sektor energi dan telekomunikasi, di mana BUMN dan perusahaan swasta merupakan pemain yang lebih penting, tetapi peran yang ada untuk pemerintah dalam kedua sektor ini didominasi oleh pemerintah pusat. Diagram 5.5 Distribusi pengeluaran investasi berdasarkan unit pengeluaran Rp triliun; Harga yang berlaku 25 20 Swasta BUMN Kabupaten/Kota Provinsi Pusat 15 10 5 0 Pengelolaan Sumber Air Irigasi Tr ansportasi Energi Te lekomunikasi Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD Catatan: Pengeluaran BUMD (PDAM) untuk sumber air hanya dapat diperkirakan secara umum. Ahli-ahli industri memperkirakan bahwa angka 0 adalah perkiraan yang valid untuk investasi di sektor ini. Pengeluaran pembangunan pemerintah daerah untuk sektor infrastruktur tidak sepadan dengan tingkat pertumbuhan pendapatan riil mereka. Hal ini sebagian dapat mencerminkan prioritas daerah, dengan sektor pendidikan dan kesehatan yang menempati proporsi peningkatan cukup tinggi untuk pengeluaran pembangunan di 88 Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 BAB 5 Infrastruktur daerah, tetapi mungkin juga kemampuan pemerintah daerah terkendala untuk meningkatkan investasi infrastruktur. Tingkat pengeluaran yang rendah untuk sektor infrastruktur dapat juga mencerminkan penundaan perencanaan, dalam hal ini keseimbangan antara pengeluaran infrastruktur dan pengeluaran untuk kategori lain terus mengalami kemunduran. Akan tetapi, dapat juga terjadi bahwa karena kapasitas atau alasan lain, pemerintah daerah tidak mampu untuk meningkatkan investasi infrastruktur yang diinginkan. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa simpanan anggaran pemerintah daerah di bank telah mengalami akumulasi cukup cepat tidak kurang dari Rp 10 triliun pada Januari 2001 sampai lebih dari Rp 70 triliun (2,6 persen dari PDB) pada April 2006, yang menunjukkan ketidakmampuan atau keengganan pemerintah daerah untuk menggunakan alokasi anggaran mereka secara penuh. Telaah yang lebih rinci diperlukan untuk menentukan mengapa investasi pemerintah daerah di sektor infrastruktur tidak mengikuti percepatan pertambahan penerimaan pemerintah daerah, terutama mengingat mutu dan indikator yang rendah dari investasi yang ada di Indonesia. Tabel 5.10 Pengeluaran publik untuk investasi dan biaya operasional dan pemeliharaan a/Rata-rata 2002-04 Investasi (Rp milyar) Air & Sanitasi 1/ Transportasi (Di luar jalan raya) Jalan raya 2/ Gas alam 3/ Listrik 4/ Telekom 5/ TOTAL 1,131 10,716 15,159 2,641 9,551 13,156 54,817 Operasional & Pemeliharaan (Rp milyar) 9,278 6,539 3,328 1,046 61,025 21,772 102,989 Rasio O&M terhadap Investasi 8.21 0.61 0.22 0.40 6.39 1.66 1.88 Sumber: Angka asli dari laporan tahunan BUMN dan rekening perusahaan. Catatan: a/ Termasuk seluruh tingkat pemerintahan dan BUMN; 1/ dikeluarkan dari pengolahan sumber air untuk dalam anggaran pengeluaran; PDAM untuk pengeluaran di luar; 2/ Jalan tol untuk pengeluaran di luar (BUMN); 3/ PGN; 4/ PLN; angka-angka untuk Operasi & Pemeliharaan termasuk pembayaran subsidi secara eksplisit yang diterima PLN untuk mensubsidi tarif. Subsidi ini merupakan jumlah quasi-jumlah biaya Operasi & Pemeliharaan yang dikeluarkan melalui anggaran pemerintah untuk sektor listrik ; 5/ Indosat dan Telkom. Rasio pengeluaran operasional terhadap investasi di Indonesia menunjukkan bahwa pemeliharaan jalan tidak memadai serta kurangnya investasi untuk sektor air bersih dan listrik (Tabel 5.10). Sektor listrik juga memiliki tingkat rasio yang tinggi untuk biaya operasional investasi, yang menunjukkan investasi yang tidak memadai, tetapi hal ini sebagian besar disebabkan oleh adanya subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam rangka menutup rendahnya pendapatan PLN yang diperlihatkan sebagai biaya operasional. Keseimbangan yang sesuai antara biaya investasi dan operasional sangat bervariasi pada lintas sektoral sesuai dengan intensitas modal dan tingkat pertumbuhan permintaan. Kajian sektor yang lebih rinci dengan standar teknis disarankan untuk menentukan tingkat pengeluaran yang memadai dengan mengingat aset infrastruktur Indonesia dan targets pembangunan. Biaya operasional dan pemeliharaan untuk telekomunikasi dan listrik yang dikeluarkan oleh BUMN sebagai proporsi dari PDB telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Pertumbuhan dalam sektor telekomunikasi merupakan cerminan dari perkembangan pentingnya sektor ini dalam pembangunan ekonomi. Pertumbuhan biaya operasional dan pemeliharaan PLN mungkin juga sebagian mencerminkan tingkat pertumbuhan permintaan sektor ekonomi, tetapi penjelasan kunci terletak pada kenaikan harga BBM pada beberapa tahun terakhir ini, dan subsidi biaya operasional yang diperlukan akibat penurunan pendapatan yang disebabkan oleh pengenaan tarif di bawah biaya produksi. Biaya operasional dan pemeliharaan untuk BUMN yang menyediakan layanan jalan tol, pelabuhan, bandara, dan gas seluruh memiliki proporsi PDB yang stabil dalam beberapa tahun terakhir ini. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 89 BAB 5 Infrastruktur Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 Tabel 5.11 Biaya Operasional dan pemeliharaan BUMN % PDB 1999 Jalan tol (BUMN) Bandara (Angkasa Pura) Pelabuhan laut (Pelindo I-IV) Gas alam (PGN) Listrik (PLN) PT Telkom PT Indosat 2000 2001 2002 2003 2004 2005 0.05 0.05 0.09 0.03 1.94 0.53 0.20 0.04 0.08 0.10 0.03 2.81 0.63 0.26 0.05 0.08 0.10 0.04 2.88 0.74 0.29 0.05 0.08 0.10 0.05 2.63 0.85 0.32 0.05 0.07 1.96 0.03 1.96 0.12 0.11 0.05 2.79 0.90 0.29 Sumber: Angka asli dari laporan tahunan BUMN dan rekening perusahaan. Listrik PLN melakukan investasi sebesar Rp 8,620 milyar pada tahun 2005, sementara biaya operasional dan pemeliharaannya berjumlah Rp 76,024 milyar (Diagram 5.6). Anggaran pemerintah juga telah memberikan berkontribusi terhadap investasi melalui program kelistrikan, dengan rata-rata jumlah Rp 1,903 milyar per tahun selama 2002-04. Total pengeluaran untuk sektor listrik menjadi sekitar 3,2 persen dari PDB. Biaya eksplisit dan implisit dari subsidi pemerintah untuk biaya operasional PLN berkisar sekitar Rp 38 triliun (1,4 persen dari PDB) pada tahun 2005. Pemerintah menyediakan subsidi eksplisit kepada PLN untuk menutupi perbedaan antara tarif yang ditentukan dan biaya sebenarnya untuk memberikan layanan yang berbeda, termasuk pelanggan rumah tangga, industri, dan perdagangan. Pembayaran subsidi eksplisit berjumlah Rp 16.890 miliar (0,6 persen dari PDB) pada 2005, dan subsidi ini bisa mencapai Rp 24,000 miliar pada 2006. Karena subsidi BBM belum seluruhnya dihapuskan, PLN juga memperoleh manfaat dari subsidi implisit terhadap BBM. Subsidi implisit ini diperkirakan berjumlah Rp 20,6 milyar pada tahun 2005. Akhirnya, pemerintah menyediakan subsidi sambungan untuk meningkatkan pelistrikan di wilayah pedesaan. Biaya subsidi ini berjumlah sekitar Rp 500 milyar pada tahun 2005 (Lihat Bab 1 untuk informasi lebih rinci tentang subsidi listrik). Diagram 5.6 Pengeluaran PLN 80,000 3.00 2.50 60,000 2.00 40,000 1.50 1.00 20,000 0.50 0.00 0 1999 2000 Operasional 2001 2002 2003 Investasi 2004 2005 Pemeliharaan 1999 2000 Operasional 2001 2002 Investasi 2003 2004 2005 Pemeliharaan Sumber: Laporan keuangan tahunan PLN. Dalam upaya penciptaan sumber tenaga listrik, beberapa distorsi dan kendala untuk memperluas akses merupakan akibat dari kebijakan harga dan subsidi. Subsidi BBM menyebabkan PLN menggunakan BBM untuk memproduksi listrik, termasuk pembangkit yang dirancang untuk menggunakan bahan bakar gas. Karena kenaikan BBM pada tahun-tahun terakhir ini dan penghapusan subsidi BBM, biaya sebenarnya yang dikeluarkan PLN untuk memberikan layanan telah meningkat dengan cepat. Namun demikian, tarif PLN masih tetap sama dan kini PLN menderita kerugian ekonomi yang cukup besar—kerugian yang ditanggung oleh pemerintah. Untuk masa mendatang, memang dibutuhkan harga eceran listrik untuk mencerminkan biaya untuk mengontrol konsumsi listrik dan untuk meningkatkan tambahan investasi. Tingkat dan struktur harga yang ada sekarang merupakan akibat dari pemberian alokasi subdisi sumber daya yang tidak efisien dan sasaran subsidi yang tidak baik. Sementara itu, tarif seragam yang berlaku saat ini tidak memberikan insentif untuk memperluas sambungan di kawasan Indonesia Timur yang memerlukan biaya tinggi. 90 Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 BAB 5 Infrastruktur Langkah besar untuk menangani kesenjangan investasi dan mengurangi biaya produksi kini sedang ditangani melalui rencana untuk mendorong peningkatan kapasitas pengadaan listrik PLN sampai dengan 10.000MW menggunakan mesin pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batu bara dalam beberapa tahun ke depan. Pada 2006, PLN menaikkan tambahan kapasitas sebesar 2.500 MW pada jaringannya. Di samping itu, rencana perluasan PLN sedang ditinjau untuk menjamin tambahan kapasitas benar-benar dilaksanakan dengan penentuan tahapan secara berhati-hati serta penentuan posisi pembangkit tenaga listrik, bersama dengan transmisi yang bersangkutan dan fasilitas distribusi, harus sesuai dengan kebutuhan pusat-pusat pertumbuhan permintaan. Di samping adanya pembangkit tenaga listrik seperti ini, pemerintah akan berusaha untuk mengurangi beban hutang PLN dengan mengundang investor swasta untuk membangun pembangkit independen agar mereka menjual listrik mereka kepada PLN. Jalan Pada 2004, pengeluaran untuk jalan berjumlah sekitar 1 persen dari PDB, dengan investasi jalan mendekati tingkat sebelum krisis. Investasi yang berjumlah Rp 18,2 triliun (0,8 persen dari PDB), biaya operasional jalan raya sebesar Rp 1,4 triliun (0,06 persen dari PDB) dan biaya pemeliharaan sebesar Rp 2,5 triliun (0,11 persen dari PDB) (Diagram 5.6, Tabel 5.4). Biaya pemeliharaan jalan raya mencerminkan kondisi relatif dari jalan raya nasional, provinsi dan kabupaten/ kota. Pemerintah pusat menggunakan sebesar Rp 32 juta per kilometer untuk biaya pemeliharaan rutin dan reguler, pemerintah provinsi menggunakan sekitar Rp 18 juta per kilometer, dan pemerintah kabupaten/kota menggunakan 75 sebanyak Rp 2,5 juta per kilometer. Pemeliharaan jalan raya dengan tingkat yang lebih tinggi akan lebih mahal untuk dilaksanakan dan mungkin akan memerlukan pemeliharaan yang lebih sering akibat penggunaan yang lebih luas. Kondisi yang lebih buruk dari jalan raya di daerah menunjukkan bahwa pengeluaran untuk pemeliharaan jalan raya di daerah seharusnya ditingkatkan. Mengingat buruknya kondisi jalan raya daerah yang ada sekarang, sepertinya tambahan biaya pemeliharaan akan menghasilkan manfaat pengembalian sosial yang tinggi. Diagram 5.7 Investasi dalam jalan raya per tingkat pemerintah dan sektor swasta Harga Konstan tahun 2000; Rp triliun 16 Pusat Provinsi Kabupaten/kota Nasional 14 12 10 8 6 4 2 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Sumber: Angka-angka mengenai anggaran; laporan tahunan BUMN; database PPI Bank Dunia. Pembangunan jalan bebas hambatan antarkota dan jalan lingkar yang baru untuk kota-kota besar akan membutuhkan peningkatan investasi untuk jalan raya. Konstruksi jalan bebas hambatan trans-Jawa yang menghubungkan Jakarta dengan Surabaya dengan panjang sekitar 870km jalan bebas hambatan yang baru diperkirakan akan menelan biaya sebesar Rp 49 triliun, dimana untuk pembebasan tanah akan memerlukan biaya sebesar Rp 5 triliun. Sebuah sistem jalan bebas hambatan akan diperlukan untuk pulau Sumatera. Pemerintah sedang mengajak sektor swasta untuk bersama-sama memikul beban pendanaan, dan pihak swasta juga selanjutnya akan dapat mengembalikan biaya yang dikeluarkan melalui pengenaan tol. Mengingat besarnya risiko finansial terlibat dalam proyek jalan raya, maka diperlukan persiapan proyek yang sangat hati-hati untuk memaksimalkan dukungan pemerintah terhadap proyek-proyek tersebut. 75 Dihitung menggunakan angka-angka biaya pemeliharaan untuk 2004 dari Tabel 5.12 dan panjang jaringan jalan raya pada 2006 dari Tabel 5.5. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 91 BAB 5 Infrastruktur Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 Tabel 5.12 Biaya operasional dan pemeliharaan jalan raya, 2004 Rp milyar % dari PDB Operasional Pemeliharaan Pemeliharaan Pemeliharaan 450 -- 1,105 609 590 204 2,508 0.020 -- 0.049 0.027 0.026 0.009 0.110 Pemerintah pusat Provinsi Kabupaten/kota BUMN Total 910 1,360 0.040 0.060 Sumber: Angka-angka mengenai anggaran; laporan tahunan BUMN. Konstruksi jalan raya yang dioperasikan sektor swasta untuk jalan lingkar wilayah perkotaan dan jalan bebas hambatan antarkota dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap tingkat pertumbuhan di tahun-tahun yang akan datang, tetapi kesulitan untuk menarik investasi sektor swasta sepertinya akan memperlambat proyek-proyek ini. Pemerintah telah mengembangkan kerangka kerja yang baru untuk investasi sektor swasta dalam infrastruktur untuk menjamin alokasi yang tepat terhadap risiko bagi pemerintah untuk memberikan dukungan terhadap untuk proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan oleh sektor swasta. Pengaturan kelembagaan telah juga dikembangkan untuk mendukung persiapan proyek yang dilakukan secara hati-hati. Namun demikian, pengalaman dan kapasitas yang tidak memadai di pihak pemerintah untuk menyiapkan transaksi sementara pada saat yang bersamaan melakukan perubahan kebijakan dapat semakin menunda proses ini. Air dan Sanitasi Data pengeluaran untuk sektor air bersih dan sanitasi sangat jarang dan tidak dapat diandalkan. Namun demikian, pada dasarnya tidak ada investasi PDAM, dan biaya operasional dan pemeliharaan tidak konsisten dengan mutu layanan. Dengan tarif yang lebih rendah dari biaya sebenarnya, PDAM tidak mampu mendanai investasi yang baru melalui pendapatan mereka sendiri. Dan kebanyakan PDAM tidak cukup memenuhi syarat untuk melakukan pinjaman untuk investasi baru. Pengeluaran pemerintah pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum secara historis merupakan sumber utama investasi baru tetapi, sejak pelaksanaan sistem desentralisasi pada 2001, pemerintah daerah diharapkan untuk memikul tanggung jawab untuk investasi penyediaan air bersih. Pinjaman jangka panjang yang disediakan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB juga merupakan sumber investasi yang penting. Akan tetapi, tidak satu pun dari pinjaman semacam itu disetujui oleh Departemen Keuangan sejak 2000 (Diagram 5.8), yang pada dasarnya telah mengakibatkan tidak adanya investasi PDAM selama kurun waktu enam tahun kebelakang. Diagram 5.8 Jumlah pinjaman kepada PDAM yang disetujui oleh Departemen Keuangan, 1993-2005 36 46 38 59 32 18 ‘93 ‘94 ‘95 ‘96 ‘97 ‘98 11 4 ‘99 ‘00 (nil) ‘01 (nil) ‘02 (nil) ‘03 (nil) ‘04 (nil) ‘05 Sumber: DepKeu. Indonesia telah mencapai kemajuan besar dalam penyediaan layanan tingkat dasar untuk air bersih melalui proyek-proyek pengembangan berbasis masyarakat, terutama di wilayah-wilayah pedesaan, namun solusi ini tidak akan murah atau bahkan tidak efektif untuk wilayah perkotaan. Ada juga sejumlah PDAM daerah terpencil di mana para walikota yang inovatif telah melakukan manajemen yang pro-aktif, dan kemajuan telah dibuat untuk mengurangi kerugian dan meningkatkan layanan. Situasi menyedihkan dari sebagian besar PDAM ini merupakan akibat dari kombinasi berbagai kebijakan yang tidak sesuai. Banyak negara menentukan tarif air di bawah biaya sebenarnya, tetapi rata-rata tarif air untuk keluarga berpendapatan rendah di Indonesia kurang dari setengah tariff air dari penduduk berpendapatan paling rendah di Vietnam (negara yang jauh lebih miskin dari Indonesia), dan jauh berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya. 92 Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 BAB 5 Infrastruktur Hampir setengah dari seluruh PDAM dilaporkan menentukan tarif di bawah biaya operasional dan pemeliharaan. Situasi ini bertambah buruk di Indonesia akibat pengaturan tata kelola perusahaan yang lemah. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah sebagai pemilik PDAM untuk mengumumkan adanya “dividen” bahkan saat mereka sedang menderita kerugian, yang memungkinkan terjadinya pengalihan aliran uang PDAM untuk kepentingan-kepentingan politik lainnya. Kinerja operasional yang buruk di Indonesia semakin diperparah akibat terjadinya fragmentasi yang berlebihan. Banyak PDAM yang bekerja di bawah titik optimal, yang mengakibatkan timbulnya biaya operasional yang berlebihan. Dengan demikian, kemungkinan untuk melakukan mergers (penggabungan) sangat perlu untuk dipertimbangkan. Jalan buntu yang dihadapi PDAM untuk mendapatkan bantuan pinjaman dari donor memerlukan perhatian yang mendesak. Di antara berbagai kriteria yang diperlukan untuk melakukan pinjaman baru bagi PDAM adalah bahwa baik PDAM maupun pemerintah daerah sebagai pemilik PDAM tidak memiliki tunggakan utang dari pinjaman sebelumnya. Sekitar 60 persen dari penduduk di wilayah perkotaan tinggal dalam wilayah di mana pemerintah daerah atau PDAM memiliki utang yang masih tertunggak dan masyarakat ini, pada saat ini, secara efektif terhalang untuk menikmati peningkatan layanan PDAM. Jumlah utang PDAM yang masih tertunggak sangat bervariasi, tetapi sebagian dari hutang ini bisa direstrukturisasi dan dibayar dengan bantuan pinjaman baru. Dengan rencana saat ini untuk melakukan restrukturisasi hutang terbatas kemungkinan akan diperlukan beberapa tahun sebelum investasi baru dapat dimulai. Untuk itu diperlukan adanya rasa kebutuhan yang mendesak untuk melakukan hal ini. Keseimbangan Spasial dan Pemerataan Akses Terdapat kesenjangan yang sangat besar antar provinsi dalam akses infrastruktur. Daerah diluar Jawa dan Bali tertinggal (Tabel 5.13). Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku memiliki peringkat paling rendah dalam hal akses terhadap infrastruktur dalam sektor listrik, air pipa, dan jalan raya. Peningkatan akses terhadap air pipa seharusnya menjadi prioritas, karena akses penduduk desa terhadap air pipa benar-benar sangat rendah. Di Papua hanya tiga persen dari seluruh desa yang memiliki akses terhadap air, sementara data yang sama di Nusa Tenggara, Maluku, dan Sumatera masih berada di bawah 10 persen. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 93 BAB 5 Infrastruktur Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 Tabel 5.13 Akses terhadap infrastruktur: persentase desa dengan akses infrastruktur terpilih Pulau/Provinsi Suplai Listrik Suplai Air Jalan raya Desa dengan Listrik PLN Village dengan Air pipa Desa dengan jalan aspal % Peringkat* % Peringkat* % Peringkat* SUMATRA 66 3 9 4 51 Sumatera Utara 83 3 12 11 49 Nanggroe Aceh Darussalam 73 10 6 25 44 Sumatera Barat 70 15 29 3 78 Riau 60 17 1 33 39 Jambi 56 23 18 6 61 Sumatera Selatan 56 22 8 22 55 Bengkulu 57 20 10 17 68 Lampung 51 28 4 29 45 Kepulauan Bangka Belitung 78 6 2 32 89 Kepulauan Riau 76 7 16 7 49 JAWA/BALI 73 1 12 3 71 DKI Jakarta 99 1 47 2 100 West Java 76 8 9 19 73 Banten 79 5 6 23 57 Jawa Tengah 65 16 11 15 74 D I Yogyakarta 83 2 10 18 79 Jawa Timur 71 12 12 12 67 Bali 75 9 50 1 98 NUSA TENGGARA 32 7 9 5 49 Nusa Tenggara Barat 34 31 12 10 77 Nusa Tenggara Timur 30 33 8 21 40 KALIMANTAN 67 2 12 2 36 Kalimantan Barat 60 18 6 27 33 Kalimantan Tengah 57 19 6 28 18 Kalimantan Selatan 71 13 20 5 57 Kalimantan Timur 80 4 15 8 28 SULAWESI 63 4 14 1 54 Sulawesi Utara 72 11 23 4 71 Sulawesi Tengah 52 27 11 14 57 Sulawesi Selatan 70 14 15 9 55 Sulawesi Tenggara 49 29 10 16 43 Sulawesi Barat 53 25 6 26 29 Gorontalo 46 30 8 20 67 MALUKU 55 5 9 6 40 Maluku 56 21 6 24 39 Maluku Utara 53 24 12 13 42 PAPUA 38 6 3 7 19 Papua 34 32 3 30 18 Irian Jaya Barat 52 26 3 31 21 Sumber: Podes 2005. Catatan:* Peringkat yang dilaporkan untuk pulau dan provinsi berkaitan dengan posisi relative mereka baik dalam gugus kepulauan maupun provinsi. 3 20 22 5 27 13 17 10 21 3 19 1 1 8 15 7 4 12 2 4 6 25 6 28 33 14 30 2 9 16 18 23 29 11 5 26 24 7 32 31 Listrik Subsidi konsumsi listrik yang diberikan dengan menetapkan tarif di bawah biaya menimbulkan dampak regresif, memberikan manfaat paling besar kepada konsumen paling kaya dan memberikan manfaat paling sedikit kepada konsumen paling miskin. Konsumen rumah tangga menyerap sebagian besar subsidi listrik (66 persen dari total subsidi pada 2006), diikuti oleh konsumen industri (29 persen), dan perusahaan (5 persen). Walaupun tarif paling rendah untuk sambungan voltase rendah, yang biasanya digunakan oleh konsumen miskin, konsumen 94 Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 BAB 5 Infrastruktur miskin juga membeli listrik dalam jumlah kecil. Dampak gabungannya adalah konsumen miskin menerima jumlah yang relative kecil dari total subsidi yang diberikan oleh pemerintah dibandingkan dengan konsumen kaya, yang memiliki tingkat konsumsi listrik jauh lebih besar. Pemerintah dapat merancang ulang tarif yang ada sekarang agar dapat memberikan subsidi yang lebih luas kepada konsumen miskin, dan pada saat yang sama memotong total subsidi biaya konsumsi listrik. Dampak regresif dari pemberian subsidi konsumsi listrik semakin meningkat jika mempertimbangkan bahwa setengah penduduk wilayah pedesaan bahkan tidak memiliki akses terhadap listrik, sehingga mereka sama sekali tidak mendapatkan manfaat dari seluruh subsidi yang diberikan. Disparitas yang lebar atas akes terhadap listrik antar dan dalam provinsi (Diagram 5.9) didorong oleh perbedaan biaya di wilayah yang berbeda, tarif yang seragam secara nasional yang tidak memberikan insentif kepada PLN untuk membuat sambungan kepada konsumen di wilayah-wilayah biaya tinggi, dan biaya sambungan yang tinggi yang menghambat keinginan konsumen untuk mendapatkan layanan. Dalam sebuah survey rumah tangga yang tidak memiliki sambungan listrik, 87 persen menyebutkan mahalnya biasa sambungan merupakan alasan utama, dan hanya 4 persen yang menyebutkan biaya bulanan yang mahal. Realokasi sumber daya pemerintah antara konsumsi dan subsidi pemasangan sambungan secara substansial dapat meningkatkan sasaran pengurangan kemiskinan. Diagram 5.9 Variasi persentase keluarga yang memiliki sambungan listrik 100 67.7 Mean Nasiona l 90 80 70 60 50 40 30 20 Papua Maluku Kalimantan NT Java/Bali Prov. Su mat r a Utar a Prov. Nanggr oe A ceh D. Prov. K epulauan R iau Prov. K epulauan Ba ngk a B. Pr ov. R iau Sumatra Prov. Su mat r a Ba r at Prov. Jam bi Prov. B engku lu Prov. Lam pung Prov. Su mat er a Selatan Prov. Ba li Prov. D I Y ogyak ar ta Prov. Ba nten Prov. Ja wa Ba r at Prov. Ja wa T imur Prov. Ja wa T engah Prov. Nusa T enggar a Ba r at Prov. K ali mantan Selatan Prov. Nusa T enggar a T imur Prov. K ali mantan Ba r at Prov. K ali mantan T imur Prov. Su lawesi Utar a Pr ov. K ali mantan T engah Prov. Su lawesi Ba r at Sulawesi Prov. Su lawesi Selatan Prov. Su lawesi T engah Prov. G or ontalo Prov. M aluk u Prov. M aluku Utar a Prov. P apua Prov. P apua Ba r at 0 Prov. Su lawesi T enggar a 10 Aceh Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia, berdasarkan Podes 2005. Catatan: Sampel data untuk wilayah pedesaan kabupaten/kota dari setiap provinsi. Grafik di atas merupakan pemetaan terhadap proporsi keluarga di wilayah pedesaan di tingkat kabupaten/kota yang memiliki sambungan listrik. Setiap garis vertical berwarna merah menunjukkan rentangan data statistic di seluruh kabupaten/kota dalam pada satu provinsi yang sama. Titik-titik yang berwarna kuning pada setiap balok menunjukkan nilai rata-rata provinsi untuk data statistic ini. Jalan Masih terdapat ketidaksetaraan yang begitu besar antar-kabupaten/kota terhadap tingkat dan kualitas akses jalan raya. Indikasi ketidaksetaraan ini dapat dilihat dalam variasinya antar- dan dalam provinsi dalam proporsi desa yang memiliki akses jalan utama (Diagram 5.10). Penyediaan terhadap akses jalan raya sepanjang musim menunjukkan dampak besar terhadap kemiskinan. Investasi di tingkat kabupaten/kota diperlukan untuk memenuhi kebutuhan desa yang tidak memiliki akses terhadap jalan seperti ini. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 95 BAB 5 Infrastruktur Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 Diagram 5.10 Variasi persentase desa yang memiliki jalan aspal sebagai akses jalan utama 100 90 80 70 53% Mean Nasional 60 50 40 30 20 10 Prov. Bali Prov. D I Yogyakarta Prov. Kepulauan Bangka Belitung Prov. Jawa Tengah Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Bengkulu Prov. Jawa Barat Prov. Gorontalo Prov. Sulawesi Utara Prov. Jawa Timur Prov. Sumatra Barat Prov. Sulawesi Tengah Prov. Kalimantan Selatan Prov. Jambi Prov. Sulawesi Selatan Prov. Banten Prov. Sumatra Utara Prov. Sumatera Selatan Prov. Kepulauan Riau Prov. Lampung Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Maluku Utara Prov. Riau Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. Maluku Prov. Sulawesi Barat Prov. Kalimantan Barat Prov. Papua Barat Prov. Kalimantan Timur Prov. Papua Prov. Kalimantan Tengah 0 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia, berdasarkan Podes 2005. Catatan: Sample wilayah pedesaan pada kabupaten/kota untuk setiap provinsi. Kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap 51 persen dari pengeluaran untuk jalan raya, tetapi akses mereka ke penerimaan hanya memiliki hubungan yang kecil dengan tingkat kebutuhan pengeluaran mereka. Sumber penerimaan paling besar sebagian besar pemerintah kabupaten/kota berasal dari dana alokasi umum (DAU), yang didistribusikan berdasarkan pembayaran gaji pegawai negeri, yang menyebabkan daerah yang lebih miskin tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk pembiayaan jalan raya. Dana dekonsentrasi ditargetkan untuk memberikan jaminan alokasi lebih besar kepada kabupaten/kota yang memiliki akses jalan raya yang masih buruk, tetapi transfer bersyarat kepada pemerintah kabupaten/kota (DAK) belum ditargetkan dengan baik Tabel 5.14). Tabel 5.14 Sumber pendanaan untuk jalan raya di wilayah pedesaan di kabupaten/kota Peringkat wilayah pedesaan kabupaten/kota berdasarkan proporsi desa dengan akses jalan raya Pengeluaran Kabupaten/kota (di luar DAK) % DAK Jalan raya % Dekonsentrasi (Transportasi ) 1 (Akses paling rendah thd. Jalan) 1.74 21 0.11 17 2 2.22 27 0.16 25 3 1.80 22 0.18 28 4 1.70 21 0.14 22 5 (Akses paling tinggi thd. Jalan) 0.67 8 0.05 8 Semuanya 8.1 100 0.7 100 Sebagai % total pengeluaran untuk Pengeluaran 77.6 6.3 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari realisasi APBD, data SIKD, DepKeu, dan Podes 2005. Catatan: Angka-angka dalam Rp triliun. 0.56 0.49 0.24 0.33 0.07 1.7 % 33 29 14 20 4 100 16.1 Total 2.41 2.87 2.22 2.17 0.79 10.5 100 Air Akses terhadap air pipa sangat terbatas di seluruh provinsi di Indonesia, tetapi kelompok masyarakat miskin memiliki tingkat yang paling rendah atas akses terhadap air (Diagram 5.11). Lebih dari 80 persen dari rumah tangga dalam kuantil rakyat paling miskin dari total jumlah penduduk sangat bergantung pada air sumur dan dari sumber air alami seperti air hujan, mata air, dan sungai, sementara tingkat keluarga yang menggunakan sumbersumber air ini menurun sampai di bawah 35 persen untuk kuintil kelompok paling kaya. 96 Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 BAB 5 Infrastruktur Diagram 5.11 Distribusi rumah tangga berdasarkan penggunaan air dan kuantil konsumsi 100 % 90 Lain-lain 80 Mata air & Sungai 70 60 Sumur Tadah Hujan 50 Pompa 40 30 Air Kemasan 20 Air Pipa 10 0 1 (Termiskin) 2 3 4 5 (Terkaya) Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas 2005. Kurangnya akses terhadap air pipa relatif sama di setiap provinsi—dan juga merupakan karakteristik kemiskinan (Diagram 5.12). Hanya Bali yang telah mencapai banyak kemajuan dalam penyediaan air pipa, dan bahkan kurang dari setengah jumlah seluruh keluarga telah memiliki akses terhadap air pipa. Secara umum, semua provinsi setidaknya memiliki satu kabupaten/kota yang memiliki kurang dari 10 persen penduduk yang memiliki akses terhadap air pipa. PDAM pada dasarnya tidak memiliki sumber daya untuk meningkatkan sambungan pipa kepada rumah tangga miskin akibat rendahnya pendapatan dari penjualan air. Alasan untuk mempertahankan harga air yang begitu rendah sangatlah lemah mengingat sebagian besar rakyat miskin bahkan tidak memiliki akses terhadap layanan air pipa, dan sebagai akibat tarif yang rendah dimana penyedia layanan (PDAM) yang tidak mapan dari segi finansial tidak mampu memperluas layanan untuk rakyat miskin. Diagram 5.12 Variasi proporsi rumah tangga pada sampel desa yang memiliki akses terhadap air pipa 70 18% Rata-rata Nasional 60 50 40 30 20 10 Prov. Bali Prov. Papua Barat Prov. Kalimantan Timur Prov. Kalimantan Selatan Prov. Sulawesi Utara Prov. Sulawesi Tengah Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. Maluku Prov. Kepulauan Riau Prov. Sumatra Barat Prov. Sulawesi Selatan Prov. Kalimantan Tengah Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Sumatra Utara Prov. Sulawesi Barat Prov. Jawa Tengah Prov. Bengkulu Prov. Maluku Utara Prov. Jawa Timur Prov. Gorontalo Prov. Jambi Prov. Jawa Barat Prov. Banten Prov. D I Yogyakarta Prov. Kalimantan Barat Prov. Papua Prov. Sumatera Selatan Prov. Riau Prov. Lampung Prov. Kepulauan Bangka Belitung 0 Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas 2005. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 97 BAB 5 Infrastruktur Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 Inisiatif Terkini dari Pemerintah Pemerintahan baru, yang terpilih pada November 2004, segera menyadari bahwa kurangnya infrastruktur merupakan salah satu hambatan utama bagi pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan. Perhatian telah banyak dicurahkan untuk menarik investasi sektor swasta dan mendorong investasi swasta setelah terjadi penurunan tajam sejak krisis. Pada bulan Januari 2005, sebuah pertemuan tingkat tinggi Infrastructure Summit diselenggaran, dengan mengundang potensi investasi sektor swasta sebesar US$22,5 milyar dalam 91 proyek . Pemerintah menyampaikan komitmen untuk memfokuskan sumber dayanya untuk menangani proyek-proyek investasi infrastruktur yang tidak memberikan keuntungan secara ekonomi, sambil menciptakan “kemitraan yang baru” dengan sektor swasta untuk mengembangkan proyek-proyek yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Reaksi terhadap komitmen itu sangat mengecewakan: kepercayaan investor masih sangat dipengaruhi oleh negosiasi ulang terhadap proyek-proyek infrastruktur sebelum krisis; kebijakan yang masih berlaku menghambat persiapan proyek dengan pendanaan perbankan; dan proyek-proyek yang ditawarkan tidak disiapkan dengan baik. Akibatnya, tidak satu pun dari ke 91 proyek itu mampu mencapai kesepakatan finansial sampai dengan akhir 2006. Menyadari kendala-kendala tersebut, pemerintah telah berupaya keras untuk mencabut berbagai kebijakan yang menghambat investasi dan mengembangkan kapasitas kelembagaan untuk menyiapkan investasi sektor swasta dan menciptakan iklim investasi yang baik. Pada bulan Februari 2006, pemerintah mengeluarkan “Paket Kebijakan Infrastruktur,” dengan melaporkan 50 keluaran (output) kebijakan (undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan, peninjauan) dicapai selama 2005, dan sebanyak 156 kebijakan yang harus dicapai selama 2006. Tujuan besar dari program ini adalah untuk mendorong persaingan sehat, memberantas praktik-praktik yang diskriminatif yang menghambat partisipasi sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur, serta melakukan definisi ulang terhadap peran pemerintah, termasuk pemisahan pembuatan kebijakan dan tanggung jawab operasional. Kerangka kerja kelambagaan yang baru menunjukkan peningkatan kepemerintahan, tetapi memerlukan waktu untuk mendapatkan hasil. Sebelum krisis, investasi infrastruktur sektor swasta memberikan keuntungan investasi yang tidak proporsional kepada politisi tertentu dan menyebabkan anggaran publik menanggung risiko yang cukup besar dan tidak imbang. Pendekatan yang baru adalah pendekatan yang terbuka dan pelaksanaan tender yang transparan dan kompetitif, dengan persiapan proyek yang lebih berhati-hati, alokasi risiko yang sesuai dan secara keseluruhan membatasi risiko yang harus ditanggung oleh pemerintah. Akan tetapi, setidaknya akan diperlukan sekitar 18 bulan sampai dua tahun sebelum transaksi yang disiapkan dengan baik dapat ditawarkan ke pasaran dan kesepakatan financial tertutup, dan bahkan mungkin lebih lama sebelum proyek-proyek pipa jaringan sektor swasta mulai memberikan kontribusi yang signifikan terhadap investasi infrastruktur sebagai proporsi PDB. Di samping investasi infrastruktur oleh sektor swasta, juga diperlukan untuk mendorong investasi Sektor publik. Sementara prioritas pemerintah pusat telah mendorong peningkatan anggaran nasional yang sedang dialokasikan untuk sektor pendidikan dan kesehatan, lebih banyak lagi yang dapat dilakukan untuk mendukung pengeluaran pemerintah daerah untuk sektor infrastruktur, termasuk pendanaan bersama, target insentif, dan pelatihan untuk mengatasi kurangnya kapasitas 98 Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 BAB 5 Infrastruktur Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi Umum Mobilisasi investasi swasta akan berjalan lambat yang menunjukkan akan perlunya perhatian yang lebih besar terhadap peningkatan investasi sektor publik untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak terhadap infrastruktur di Indonesia. Mengingat besarnya kebutuhan investasi infrastruktur pada tahun-tahun mendatang, maka diharapkan bahwa beban pendanaan seharusnya dipikul bersama dengan sektor swasta. Namun, menarik investasi sektor swasta dalam jumlah besar akan memerlukan persiapan proyek yang lebih baik daripada apa yang telah ditunjukkan oleh pemerintah selama ini. Meyakini bahwa sektor swasta mampu menyiapkan proyek-proyek tersebut, termasuk melaksanakan analisis permintaan, studi kelayakan, studi tentang dampak lingkungan dan sosial bagi pemerintah, merupakan kekeliruan . Mengingat tingkat kesulitan dalam merancang transaksi infrastruktur sektor swasta, sangat masuk akal bagi pemerintah untuk memfokuskan upaya pada persiapan beberapa “model” transaksi di sektor infrastruktur yang berbeda. Sehubungan dengan terbatasnya pengalaman di dalam pemerintah sendiri untuk menyiapkan dan merancang transaksi ini, pemerintah perlu mencari nasihat dari penasihat yang berpengalaman dalam hal pelaksanaan transaksi dan juga perlu menyusun jadwal yang realistis untuk menyiapkan seluruh dokumen penting yang diperlukan. Pengalaman yang diperoleh dari model transaksi ini dapat ditingkatkan untuk mendorong sektor kontribusi sektor swasta dalam investasi infrastruktur. Bahkan di mana mobilisasi investasi sektor swasta dapat dilakukan, dukungan publik yang cukup besar akan diperlukan. Kebanyakan investasi swasta untuk infrastruktur akan memerlukan sejumlah elemen dukungan pemerintah, dalam hal pembebasan tanah, subsidi operasional atau modal, atau jaminan bersyarat. Ketika ada jaminan dari pemerintah, maka akan diperlukan untuk memberikan jaminan penggunaan berbagai sumber daya secara efektif, dan alokasi risiko yang sesuai antara pemerintah dan pengembang swasta. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan pengembang swasta saja untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pemerintah, atau bukanlah peran sektor untuk menentukan target atas dampak sosial yang diharapkan atas perluasan layanan. Proses yang kompetitif dapat dirancang untuk menggali sejumlah informasi dari para pengembang, tetapi hal ini memerlukan rancangan transaksi yang canggih. Mekanisme pendanaan publik yang dirancang secara berhati-hati bagi pemberian layanan yang tidak memiliki daya tarik komersial akan sangat diperlukan. Di samping peningkatan volume investasi infrastruktur, peningkatan efektivitas pengeluaran merupakan isu kunci. Pemerintah memegang peran sangat penting dalam pengembangan dan pengelolaan infrastruktur di Indonesia dan manajemen publik yang lebih baik untuk infrastruktur telah diidentifikasikan sebagai bidang yang memiliki potensi yang begitu besar peningkatan efisiensi secara keseluruhan. Sebuah komite yang beranggotakan sejumlah menteri, Komisi Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) dibentuk pada 2005 dan menjadi pelopor dalam meningkatkan kerangka kerja kebijakan bagi peningkatan investasi dalam sektor ini. Upaya yang lebih besar seharusnya dibuat untuk mengatasi korupsi dalam pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur publik. Kemajuan akan dicapai dalam upaya ekonomi secara luas untuk memperkuat penyelidikan dan penuntutan, melalui lembaga-lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kesepakatan baru tentang kepemerintahan yang telah diterapkan untuk investasi infrastruktur oleh sektor swasta akan membantu menghindarkan beberapa transaksi yang bermasalah yang dilakukan sebelum 1998. Yang masih tersisa adalah kebutuhan untuk mengatasi beberapa risiko spesifik terhadap korupsi yang terlibat dalam investasi publik untuk infrastruktur. Banyak potensi perbaikan dapat dilakukan, termasuk peningkatan fokus risiko terhadap pemeriksaan fisik, transparansi yang lebih besar terhadap proses pengadaan barang dan jasa, pemberian sanksi yang lebih tegas terhadap perusahaan dan oknum yang terbukti bersalah melakukan tindak kejahatan korupsi, serta melakukan revisi terhadap insentif untuk pegawai.76 76 Untuk recent relevant research dan evidence on corruption dalam the Indonesia infrastruktur sektor, Lihat untuk example Ben Olken: Corruption dan the biaya of re-distribusi: Micro-evidence dari Indonesia, Journal of Public Ekonomis 90 (4-5). pp. 853-870, May 2006. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 99 BAB 5 Infrastruktur Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 Listrik Investasi dalam jumlah besar akan diperlukan untuk memenuhi peningkatan permintaan terhadap listrik pada tahun-tahun yang akan datang, dan sepertinya bebannya akan dipikul oleh sektor publik. Perlu diperhatikan bahwa investasi sektor publik ini mengikuti prinsip-prinsip dasar tentang biaya minimal untuk melakukan ekspansi. Keputusan mengenai subsidi BBM mengalami distorsi akibat perbedaan harga BBM untuk kebutuhan ekspor dan kebutuhan dalam negeri. Distorsi ini seharusnya diatasi untuk menentukan harga BBM berdasarkan biaya ekonomi yang sebenarnya. Subsidi listrik yang ada sekarang sangat tidak efisien, yang mendorong konsumsi listrik yang berlebihan dan lebih banyak menguntungkan konsumen kaya daripada rakyat miskin. Ke depan, tarif harus direvisi untuk dinaikkan dan strukturnya harus direvisi untuk mencerminkan biaya sebenarnya untuk menyediakan layanan ini; bantuan pemerintah yang sekarang untuk melakukan kompensasi atas kesenjangan yang terjadi antara kenaikan harga BBM dan tariff listrik PLN yang tidak berubah perlu segera dintinjau. Rencana yang disusun dengan baik untuk melakukan transisi yang lancar diperlukan, karena implikasi politik atas kenaikan harga yang dramatis akan sangat besar dan kenaikan tarif listrik yang begitu cepat sesuai dengan biaya sebenarnya dapat juga mengganggu stabilitas seluruh sendi perekonomian. Subsidi seharusnya lebih diarahkan untuk menurunkan konsumsi yang berlebihan menuju peningkatan jumlah sambungan. Akibat perbedaan biaya yang diderita PLN antara satu daerah dengan daerah lain, pertimbangan juga perlu dilakukan untuk melaksanakan pendekatan kelistrikan yang berbeda berdasarkan kondisi daerah. Jalan Re-evaluasi yang mendasar terhadap pendekatan yang dilakukan sekarang oleh pemerintah terhadap rancangan transaksi jalan tol sangat diperlukan. Perselisihan mengenai bentuk dan tingkat dukungan yang diberikan pemerintah merupakan isu penting yang menghambat pembangunan jalan bebas hambatan yang dilakukan oleh sektor swasta. Pendekatan langsung terhadap isu ini adalah menentukan seluruh parameter proyek— termasuk ketentuan prosedur untuk melakukan pembebasan tanah, kenaikan biaya tol, dan pemberian jaminan terhadap risiko proyek khusus—dengan pengecualian tingkat dukungan pemerintah. Selanjutnya, pemerintah harus memberikan hak konsesi secara kompetitif kepada perusahaan yang memerlukan dukungan yang paling rendah dari pemerintah. Insentif fiskal seharusnya diberikan kepada pemerintah daerah untuk menjamin pemeliharaan yang memadai. Misalnya, pemerintah pusat bisa melakukan pendanaan bersama terhadap investasi jalan raya daerah dengan syarat melakukan pemeliharaan jalan yang memadai untuk jalan di daerah tersebut. Air dan sanitasi Pemerintah pusat perlu menjadi pelopor dalam menangani krisis yang dihadapi oleh PDAM, mengalokasikan sumber daya fiscal yang diperlukan, dan menyediakan insentif fiscal kepada pemerintah daerah untuk mengatasi permasalahan ini. Prioritas yang mendesak adalah menghilangkan hambatan yang menyebabkan PDAM tidak bisa melakukan pinjaman jangka panjang. Langkah pertama dalam process ini adalah melakukan restrukturisasi terhadap tunggakan pinjaman PDAM. Proses restrukturisasi hutang seharusnya memberikan prioritas kepada PDAM yang paling layak menerima kredit dan memberikan insentif kepada PDAM yang lain untuk meningkatkan kemampuan mereka mendapatkan kredit (yaitu dengan menaikkan tarif dan memotong biaya dengan mengatasi kerugian fisik dan kerugian komersial). Tujuan itu seharusnya menghapuskan hambatan untuk mendapatkan pinjaman bagi PDAM dengan predikat kinerja terbaik dalam satu tahun. Langkah berikutnya adalah pemberian persetujuan terhadap pinjaman jangka panjang untuk PDAM. Ke depan, pertimbangan seharusnya diberikan untuk menghapuskan kaitan antara persetujuan pinjaman PDAM dengan isu yang berkaitan dengan penunggakan hutang dari pemerintah daerah selaku pemilik PDAM. Akan tetapi, hasil ini harus dikaitkan dalam rangka peningkatan kinerja perusahaan dengan memisahkan isu keuangan PDAM dengan pemerintah daerah sebagai pemilik PDAM. Saran yang dapat diberikan adalah membentuk sebuah komite yang bertugas untuk membantu Departemen Keuangan untuk melakukan penyelidikan terhadap portfolio PDAM dan negosiasi untuk melakukan restrukturisasi dengan pemerintah daerah yang tertarik untuk itu. 100 Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 BAB 5 Infrastruktur Saat ini pemerintah daerah memikul tanggung jawab yang besar tentang kinerja layanan air bersih dan sanitasi dan kapasitas mereka perlu dibangun untuk mencerminkan hal ini. Pemerintah daerah adalah pemilik PDAM dan bertanggung jawab terhadap rakyat di daerah untuk mendapatkan layanan PDAM yang bermutu. Sejak pelaksanaan desentralisasi, pemerintah daerah memiliki akses terhadap tambahan sumber keuangan untuk infrastruktur, yang seharusnya mampu menyediakan peluang untuk melakukan intervensi mengenai kebijakan tarif yang tidak optimal yang sudah diberlakukan sejak dulu, biaya pemeliharaan dan investasi yang tidak memadai, dan layanan yang semakin buruk. Akan tetapi, berbagai isu yang behubungan dengan perencanaan yang tidak efektif, penyusunan program, dan peningkatan dan pelaksanaan kapasitas perlu ditangani, dan pemerintah pusat dapat memainkan peran penting untuk melakukan koordinasi strategi nasional serta menyediakan insentif bagi pejabat lokal. Pemerintah pusat perlu memberikan sinyal yang lebih kuat mengenai pentingnya layanan penyediaan air dan sanitasi, dan seharusnya mengembangkan sistem insentif fiskal yang memberikan penghargaan kepada pemerintah daerah untuk kemajuan mereformasi PDAM. Sejumlah persediaan dana tingkat pusat yang dihitung berdasarkan kebutuhan PDAM seharusnya disediakan untuk pemerintah daerah dengan syarat mereka harus mampu mencapai kemajuan untuk melakukan perubahan progress. Fokus awal dari rencana insentif ini harus bertujuan untuk meningkatkan posisi keuangan dan kinerja PDAM. Jika kinerja PDAM sudah mengalami peningkatan, fokus pemberian insentif dapat digeser untuk memperluas sambungan untuk rumah tangga. Fokus yang jelas dari skema semacam itu adalah DAK—sistem bersyarat yang telah ada untuk memberikan bantuan tunai kepada pemerintah daerah. Keterkaitan dan hubungan antara pembayaran DAK dan dana dekonsentrasi, yang saat ini merupakan sumber dana yang penting bagi PDAM, perlu untuk diklarifikasi untuk menghindari terjadinya konflik insentif yang disediakan karena pembayaran dari sumber daya yang berbeda yang berasal dari pemerintah pusat. Pada tahun 2005, pemerintah pusat telah memulai alokasi anggaran sebesar Rp 203 miliar untuk penyediaan air bersih, dan jumlah anggaran sebesar Rp 608 miliar untuk tahun 2006. Sumber daya ini hanya diberikan kepada kabupaten/kota yang memenuhi beberapa syarat untuk mendapatkan hak tersebut dan mengalokasikan anggaran tersebut melalui anggaran reguler dari daerah. Proyek DAK ini harus selesai dalam waktu satu tahun, dimana alokasi sektoral tidak dijamin untuk kegiatan lebih dari satu tahun. Untuk mendukung skema ini, pemerintah pusat seharusnya mendorong pengumpulan data PDAM yang benar-benar andal. Pemeriksaan rekening PDAM dan indikator fisik harus disediakan untuk publik di internet untuk menyediakan informasi bagi analisis kebijakan dan meningkatkan tekanan publik untuk memperbaiki kinerja PDAM. Ketepatan waktu untuk menyediakan data ini oleh pemerintah daerah seharusnya merupakan kriteria minimal untuk berpartisipasi dalam skema insentif nasional yang difokuskan pada penyediaan akses terhadap pinjaman jangka panjang dan skema bantuan tunai bersyarat. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 101 BAB 5 Infrastruktur 102 Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007