BAGIAN WARIS ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 SKRIPSI Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Negeri Semarang Oleh: NUNKY ADIN ARDILLA 8150408146 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013 i PERSETUJUAN PEMBIMBING Skripsi dengan judul “Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” oleh Nunky Adin Ardilla, telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada : Hari : Tanggal : Menyetujui, Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2 Baidhowi, S.Ag., M.Ag Dian Latifiani S.H., M.H NIP. 19730712 200801 1 010 NIP. 19800222 200812 2 003 Mengetahui, Pembantu Dekan Bidang Akedemik Drs. Suhadi, S.H, M.Si NIP. 19671116 199309 1 001 ii PENGESAHAN Skripsi dengan judul “Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” oleh Nunky Adin Ardilla, telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada : Hari : Tanggal : Panitia Ujian Ketua, Sekretaris, Drs Sartono Sahlan, MH Drs. Suhadi, SH, Msi NIP.19530825 1982031 003 NIP. 19671116 199309 1 001 Penguji Utama, Tri Andari Dahlan S.H.,M.Kn NIP. 19830604 200812 2 00 3 Penguji 1, Penguji 2, Baidhowi, S.Ag., M.Ag Dian Latifiani S.H., M.H NIP. 19730712 200801 1 010 NIP. 19800222 200812 2 003 iii PERNYATAAN Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi dengan judul “Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Semarang, 12 Maret 2013 Nunky Adin Ardilla NIM. 8150408146 iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani ( Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.) PERSEMBAHAN ALLAH SWT yang senantiasa melindungi dan memberi berkah Ayahanda Edi Salari dan Ibunda Septaria Suciati, beliau adalah orang tua terbaik di dunia yang tak pernah henti-hentinya memberikan dukungan dan doa. Saudara-saudaraku Hening Kasih Sarinastiti, Sasha Nadia Putih dan Adlan Juang Taratih. Almamaterku tercinta. v KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga skripsi dengan judul “Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010”dapat terselesaikan. Sehubungan dengan pelaksanaan penelitian sampai tersusunnya skripsi ini, dengan rasa rendah hati, penulis sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si, Rektor Universitas Negeri Semarang. 2. Drs. Sartono Sahlan, M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. 3. Baidhowi, S.Ag., M.Ag, Dosen Pembimbing 1 yang telah berkenan memberikan bimbingan serta motivasi kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan. 4. Dian Latifiani S.H., M.H, Dosen Pembimbing 2 yang telah berkenan memberikan bimbingan dan semangat kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan. vi 5. Tri Andari Dahlan S.H.,M.Kn, Dosen Penguji Utama pada sidang skripsi penulis. 6. Dr. Indah Sri Utari, S.H M.Hum. Sosok bunda yang telah memberikan petunjuk, motivasi, bantuan, semangat, kasih sayang dengan sabar dan tulus dalam proses yang dijalankan penulis semasa berorganisasi dan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. 7. Dr Muhyidin M.Ag Ketua Fatwa MUI Provinsi Jawa Tengah yang telah berkenan berdiskusi dan membantu memberikan informasi dalam penelitian di MUI Provinsi Jawa Tengah. 8. Bapak Ibu Dosen serta Staf Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang yang telah membantu dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan. 9. Keluargaku tercinta (Bapak Edi Salari, Ibu Septaria Suciati, dan Adikadikku Sari, Puput dan Adlan) atas kasih sayang, do’a, motivasi, dan semangat dalam penyusunan skripsi ini. 10. Keluarga Besar Embah Uti Rodah Tati dan Alm.Eyang Hj.Rubiati (Bude Titik, Bude Tatik, Pakde Gede, Pakde Heri, Pakde Sis,Bude Minuk) 11. Sahabatku angkatan 2008 Denny, Kukuh, Martini, Salomo, Edwin yang selalu memberikan kecerian dan dukungan dalam menyusun skripsi ini kepada penulis. 12. Kakak-kakak angkatan Mas Fajar, Mas Luhur, Mbak Sesar, Bang Doni, Bang Agus,dan Bang Andi. vii 13. Adik-adik di Unit Peradilan Semu Kevin Hutapea, Rudi Hermawan, Julias Bahariq R, Ikhsan, Rizky Muhammad, Zulfa Latuconsina, Oni Mahardika, Dewi Rumapea, San Mauridz, Uminah Hakim, Desran, Maya, Mitha, Yahra dan seluruh teman-teman lain di Unit Peradilan Semu yang selalu memberikan kudungan, bantuan dan motivasi kepada penulis dalam membuat skripsi ini. 14. Kakak sahabat terkasih Fajar Romy Gumilar yang selalu ada dan memberikan bantuan, dukungan, semangat, kasih sayang tanpa henti selama penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. 15. Teman-teman Kos Eresa , Winda, Vivi dan Ari yang membantu dan mendukung penulis selama menyelesaikan skripsi ini. 16. Semua teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2008 yang sudah memberikan informasi maupun masukannya selama penulisan skripsi. 17. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas amal baik Bapak, Ibu dan Saudara. Disadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan guna menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis. Semarang 12 Maret 2013 Penulis viii ABSTRAK Ardilla, Nunky Adin, 2013. Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Skripsi. Bagian Hukum Perdata. Fakultas Hukum. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I, Baedhowi, S.Ag.,M.Ag. Pembimbing II, Dian Latifiani, S.H.,M.H. Kata Kunci: Hukum Waris Islam, Anak Luar Kawin, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 merupakan putusan atas judicial review dari Pasal 43 ayat 1 UUP yang diajukan oleh H Macicha Mochtar. Didalam Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 anak yang dihasilkan diluar perkawinan juga mempunyai hak keperdataan dengan sang ayah biologisnya asalkan bisa dibuktikan dengan ilmu teknologi dan pengetahuan. Di keluarkannya Putusan MK tersebut, membuat penulis tertarik untuk meneliti mengenai Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Permasalahan yang akan dikaji adalah: (1) Pandangan Hukum Islam terhadap bagian waris anak luar nikah sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010 (2) Berapakah bagian waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar nikah sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010. Pendekatan peneliti dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dari Hasil Penelitian dan Pembahasan yang dilakukan oleh Anak Luar Kawin yang dibahas oleh penulis merupakan Anak Luar Kawin Nikah sirri.Nikah sirri merupakan pernikahan yang sah sehingga anak yang dilahirkan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak sah dalam hal saling mewarisi. Terhadap bagian waris anak luar kawin nikah sirri sama dengan anak sah pada umumnya, dimana pembagianya sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam Hukum Waris Islam dan yang ada dalam KHI. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait adalah sebagai berikut : (1) Bagi pemerintah hendaknya lebih cepat dan lebih peduli untuk membuat kepastian tentang kategori anak luar kawin pasca Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010. Agar seluruh masyarakat dan pejabat lain yang terkait dapat bertindak dengan benar. (2) Bagi masyarakat janganlah mendiskriminasikan anak luar kawin, karena pada hakikatnya anak tetaplah anak bagi kedua orang tuanya. ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii HALAMAN PERNYATAAN................................................................................ iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN .......................................................................... v KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi ABSTRAK ........................................................................................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................................................... x DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1 1.2 Pembatasan Masalah ....................................................................................... 6 1.3 Perumusan Masalah ........................................................................................ 6 1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 7 x 1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 7 1.6 Sistematika Skripsi .......................................................................................... 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 10 2.1 Tinjauan Tentang Perkawinan ......................................................................... 10 2.1.1 Pengertian Perkawinan ................................................................................. 10 2.1.2 Syarat dan Rukun Perkawinan ...................................................................... 12 2.1.2.1 Syarat sahnya Perkawinan ......................................................................... 12 2.1.2.1.1 Syarat Umum Perkawinan ....................................................................... 15 2.1.2.1.1 Syarat Khusus Perkawinan ...................................................................... 16 2.1.2.2 Rukun Perkawinan .................................................................................... 16 2.1.2.2.1Calon Suami dan Istri ............................................................................... 17 2.1.2.2.2 Wali Nikah ............................................................................................. 19 2.1.2.2.3 Dua Orang saksi ...................................................................................... 20 2.1.2.2.4 Akad Nikah ............................................................................................ 22 2.2 Tinjauan Anak Luar Kawin .............................................................................. 23 2.2.1 Pengertian Anak Laur Kawin ....................................................................... 23 2.2.2 Kedudukan Anak Luar Kawin ...................................................................... 25 xi 2.2.3 Status Anak Luar Kawin .............................................................................. 29 2.3 Tinjauan Tentang Waris .................................................................................. 33 2.3.1 Pengertian Hukum Waris Islam .................................................................... 33 2.3.2 Syarat-syarat pewarisan ................................................................................ 37 2.3.2.1 Pewaris ...................................................................................................... 37 2.3.2.2 Ahli Waris ................................................................................................. 38 2.3.2.3 Harta Peninggalan ...................................................................................... 40 2.3.3 Asas-asas Pewarisan .................................................................................... 41 2.3.3.1 Asas Ijbari ................................................................................................. 41 2.3.3.2 Asas Bilateral ............................................................................................ 44 2.3.3.3 Asas Individual ......................................................................................... 42 2.3.3.4 Asas Keadilan Berimbang ......................................................................... 42 2.3.3.5 Asas Kewarisan Semata Karena Kematian.................................................. 43 2.3.4 Bagian-bagian Waris dalam Hukum Islam..................................................... 43 2.4 Tinjauan tentang Putusan Judicial Review MK No 46/PUU-VIII/2010 ............ 45 2.4.1 Kedudukan MK berkaitan dengan Judicial Review ........................................ 45 2.4.2 Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 ............................................................. 47 xii BAB 3 METODE PENELITIAN .......................................................................... 53 3.1 Metode Penelitian ........................................................................................... 53 3.2 Sifat Penelitian ................................................................................................ 53 3.4 Pendekatan Penelitian ..................................................................................... 58 3.5 Jenis dan Sumber Data .................................................................................... 54 3.6 Teknik Pengumpulan Data .............................................................................. 55 3.7 Teknik Analisis Data ....................................................................................... 57 BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................................... 59 4.1 Hasil Penelitian ............................................................................................... 59 4.1.1 Pandangan Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 ............... 59 4.1.2 Bagian Waris dalam Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUUVIII/2010 ............................................................................................................... 79 4.2 Pembahasan ................................................................................................... 96 4.1.1 Pandangan Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 ............... xiii 96 4.1.2 Bagian Waris dalam Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUUVIII/2010 ............................................................................................................... 106 BAB 5 PENUTUP ................................................................................................ 119 5.1 Simpulan ......................................................................................................... 119 5.2 Saran ............................................................................................................... 121 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 122 LAMPIRAN .......................................................................................................... 130 xiv DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Bagian Waris Dalam Hukum Islam ........................................................ 44 xv DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian ............................................................................ 131 Lampiran 2 Instrumen Penelitian ........................................................................... 132 Lampiran 4 Putusan Mahkamh Konstitusi No 46 / VIII-PUU/2010 ....................... 133 Lampiran 5 Fatwa MUI No 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya ................................................................. 134 Lampiran 6 SEMA NO 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan .......................................................................................... 135 Lampiran 7 Surat Edaran Pengadilan Tinggi Agama NO W11- A/863/HK.00.8/III/2012 ..................................................................... 136 xvi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan anak menjadi hal yang sangat dibanggakan dan diingin oleh kedua orang tuanya. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak merupakan penyambung keturunan, investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Anak dianggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat hidup, sehingga kelak dapat mengontrol status sosial orang tua. Anak menjadi keistimewaan bagi setiap orang tua, waktu orang tua masih hidup anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Setiap anak kelak akan memikul tanggung jawabnya baik itu tanggung jawabnya secara pribadi maupun tangung jawabnya secara keluarga terhadap orang tuanya dan terhadap keluarganya yang ia bagun kelak. Untuk dapat melakukaan hal tersebut hendaknya anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara normal baik secara jasmani maupun secara rohani. Upaya anak untuk memenuhi segala tanggung jawabnya tentunya tidak lepas dari peran serta kedua orang tua, baik itu ayah maupun ibu. Kewajiban orang tua kepada anak harusnya tidak terbatas pada asal usul dan status si 2 anak, kerena bagaimanapun adanya seorang anak dari akibat yang ditimbulkan oleh orang tuanya. Anak digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu anak sah dan anak luar kawin. Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menjelaskan anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut merupakan anak sah menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam. Kedudukan dan status anak dapat dilihat dari sah atau tidak suatu perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua orang tuanya. Dalam Hukum Nasional dijelaskan bahwa suatu perkawinan sah apabila dicatatkan dilembaga atau instansi yang berwenang mencatatkan nikah. Sedangkan dalam Hukum Islam suatu perkawinan sah apabila sudah memenuhi syarat dan rukun nikah. Pandangan Hukum Islam anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah namun tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama sesuai Hukum Nasional merupakan anak sah. Karena dalam Hukum Islam sendiri sekalipun perkawinan itu disebut Nikah Sirri tetap perkawinan itu sah, karena sudah memenuhi syarat dan rukun nikah. Kedudukan anak luar kawin ditinjau 3 dalam Hukum Islam apakah ada. Sementara itu bagaimana akibat hukum terhadap pembagian waris anak luar kawin berdasarkan uraian yan telah dibahas sebelumnya. Berdasarkan hal yang diuraikan mengenai kedudukan anak luar kawin, masyarakat mulai melakukan upaya-upaya agar anak luar kawin mendapatkan kejelasan hukum. Upaya tersebut salah satunya dilakukan oleh artis Machicha yang mengajukan permohonan judicial review terhadap Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, khususnya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) kepada Mahkamah Konstitusi. Machicha melangsungkan perkawinan dengan Moerdjiono yang hanya dilakukan secara agama atau biasanya disebut Nikah Sirri tanpa adanya pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangakan sesuai penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang sah adalah perkawinan yang dicatatkan. Perkawinan yang tidak dicatatkan ialah perkawinan yang tidak sah dan anak yang dihasilkan atas perkawinan tersebut adalah anak tidak sah atau anak luar kawin. Akibat yang timbul dari itu sesuai Pasal 43 ayat (1) bahwa anak diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya. Pada dasarnya Machicha hanya mengkhawatirkan nasib si anak kelak dimasa depan ketika si ibu sudah meninggal dan hanya ada ayah ataupun keluarga ayahnya. Anak luar kawin tersebut tentunya tidak akan mendapatkan hak keperdataan si ayah atau sering disebut harta warisan / harta peninggalan. 4 Pada tanggal 17 Februari 2012 permohonan Machicha atas judicial review Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) disahkan oleh Mahkamah Konstitusi lewat Putusannya No.46/PUU-VIII/2010. Lewat Putusan tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pasal 43 ayat (1) dan menolak permohonan terhadap Pasal 2 ayat (2). Putusan tersebut menjelaskan bahwa anak luar kawin juga mempunyai hubungan keperdataan dengan sang ayah. Permasalahan yang terjadi apabila sang ayah dari anak luar kawin tersebut meninggal dunia dan meninggalkan anak tersebut dengan ibunya. Apakah anak tersebut dapat mendapatkan hak-haknya sebagai anak dari ayah biologisnya. Hak-hak seorang anak dalam hal ini ialah hak waris mewarisi antara pewaris yaitu si ayah dan si ahli waris ialah anak. Karena bagaimanapun si ayah tersebut tetap behubungan darah dengan si anak dan tetap menjadi ayah biologis si anak. Apakah anak tersebut mendapatkan haknya sebagai anak dari ayah biologisnya atau tidak berhak sama sekali seperti yang sudah tertulis dalam perundang-undangan. Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 hanya menjelaskan anak luar kawin juga mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah, apabila dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tidak menjelaskan mengenai bagian-bagian atau aturan-aturan tentang pembagian warisan antara anak luar kawin dan ayah biologisnya. Hukum Islam tidak mengatur dan menjelaskan tentang pembagian warisan antara pewaris ayah dengan ahli waris anak luar 5 kawin. Oleh sebab itulah terjadi kebinggungan apabila ada kasus tentang pewarisan anak luar kawin dengan ayah biologisnya. Pencerahan terhadap hubungan keperdataan dan kedudukan anak luar kawin kepada sang ayah biologisnya juga diberikan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi ayah harus bertanggung jawab atas anak yang lahir dari hubungan perzinahan. Hal itu sesuai dengan Undang-undang Kewarganegaraan menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM). ( Dalam diskusi publik Akibat Hukum Terhadap Anak Luar Kawin Pasca putusan Mahkamah Konstitusi di Yogyakarta ) Masyarakat tidak sepenuhnya menerima Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010. Fenomena yang terjadi di masyarakat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 ini beragam. Ada sekelompok masyarakat yang merasa diuntungkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 dan ada pula yang merasa bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tidak sesuai dengan kaidah Agama Islam, masyarakat merasa Mahkamah Konstitusi melegalkan anak zina. Padahal anak zina dengan anak luar kawin berbeda, keragaman kedudukan dan status anak luar kawin inilah yang menjadi penentu apakah anak luar kawin dapat meminta dan menerima haknya dari ayah biologisnya. Berdasarkan uraian mengenai polemik dan permasalahan anak luar kawin tersebut, penulis berkeinginan untuk meneliti lebih lanjut tentang “BAGIAN 6 WARIS ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010” 1.2 Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang terjadi pada anak luar kawin, maka permasalahan dibatasi pada kedudukan anak luar kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam dan bagaimana bagian waris anak luar kawin apabila anak luar kawin tersebut masuk dalam ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010. 1.3 Perumusan Masalah Agar permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas dan penulisan penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan maka perlu disusun perumusan maslah yang didasarkan pada uraian latar belakang diatas. Adapun perumusan masalah dalam penelitian hukum ini adalah: 1. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap bagian waris anak luar kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010? 2. Berapakah bagian waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010? 7 1.4 Tujuan Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh penulis agar dapat menyajikan data akurat sehingga dapat memberikan manfaat dan mampu menyelesaikan masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Hukum Islam tentang bagian waris anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 . 2. Untuk mengetahui berapa bagian waris anak luar kawin dalam Hukum Islam pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 . 1.5 Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dapat dari penulisan hukum ini antara lain: 1. Manfaat teoritis Dapat menambah wawasan baik penulis sendiri maupun siapa saja yang membacanya sebagai referensi kepustakaan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui tentang pandangan Hukum Islam mengenai bagian waris anak luar kawin. 8 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat menambah serta memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang kedudukan hukum anak luar kawin sebagai ahli waris dan berapa bagian warisan yang didapat anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menurut Hukum Islam. Memberikan sumbangan pemikiran dalam memecahkan permasalahan yang ada hubungannnya dengan bagian waris anak luar kawin. 1.6 Sistematika Penulisan Skripsi Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, perlu kiranya untuk mengetahui pembagian sistematika penulisan hukum ini. Secara keseluruhan, penulisan hukum ini terbagi atas empat bab yang masing-masing terdiri beberapa sub bab sesuai dengan pembahasan dan sustansi penelitiannya. Adapun sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: Bab 1 : Pendahuluan Dalam bab ini dikemukakan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Bab 2 : Tinjauan Pustaka Bab kedua ini membahas mengenai Kerangka Teoritis dan Kerangka Berfikir. Kerangka teoritis yang mendasari penulisan 9 ini adalah tinjauan tentang perkawinan, tinjauan tentang anak luar kawin, tinjauan tentang warisan dan tinjauan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010. Bab 3 : Metode Penelitian Bab ketiga ini membahas tentang jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan penelitian, jenis dan sumber penelitian, teknik analisis data. Bab 4 : Hasil Penelitian Dan Pembahasan Bab ini merupakan suatu hasil dari penelitian yang dilakukan peneliti mengenai bagian waris anak luar kawin sebagai ahli waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 berdasarkan Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam. Bab 5 : Penutup Bab ini sebagai bagian aKompilasi Hukum Islamr dari penulisan penelitian mengenai simpulan dan saran sebagai suatu masukan maupun perbaikan dari apa saja yang telah didapatkan selama penelitian Daftar Pustaka Lampiran 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan tentang Perkawinan 2.1.1 Pengertian Perkawinan Hukum Islam memberikan pengertian perkawinan yang dalam bahasa Islam disebut pernikahan dengan dua pandangan yaitu yang secara luas maupun yang secara sempit. Pernikahan secara luas sebagai alat pemenuhan kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar guna memperoleh keturunan yang sah dan sebagai fungsi sosial. Sedangkan pernikahan secara sempit seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dalam Pasal 2 bahwa pernikahan merupakan suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pernikahan / perkawinan di langsungkan sebagai tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaadah dan rahmah (tentram, cinta dan kasih sayang) hal ini sesuai yang tertuang dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam. Selain dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian dan istilah pernikahan juga terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dimana Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dewasa dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk 11 keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan / pernikahan barulah ada apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita, dengan demikian perkawinan sama dengan perikatan / Verbindtenis (Hadikusumo, 1990 : 7). Tidak dinamakan perkawinan apabila yang terkait dalam perjanjian itu 2 (dua) orang pria saja ataupun 2 (dua) orang wanita saja, atau dilakukan antara banyak pria dan banyak wanita. Demikian juga tidak merupakan pernikahan apabila sekiranya ikatan lahir batin itu tidak bahagia, atau pernikahan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan (Prodjodikoro, 1974 : 7) . Perkawinan sendiri merupakan salah satu perintah agama khusunya dalam agama Islam dimana perkawinan harus segera dilaksanakaan oleh orang yang sudah mampu untuk melaksanaakan perkawinan. Hal ini sebagai suatu bentuk pengendalian diri dan menjauhakan kita dari maksiat dan perbuataan-perbuatan zina. 2.1.2 Syarat dan Rukun Perkawinan Tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakaan mempunyai syarat dan rukun masing yang harus dipenuhi ataupun dilaksanakaan guna menjadi sahnya suatu perkawinan. Karena kita berada dalam Negara Hukum yang tidak lepas pula dari unsur agama yang sangat kental. Maka keberadaan hukum di dalam agama masing-masing juga ikut serta dalam peraturan nasional. Termasuk 12 dalam peraturan perkawinan dalam Hukum Islam, antara lain mengenai syarat dan rukun perkawinan. 2.1.2.1 Syarat sahnya Perkawinan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Sehingga dapat dikatakan disini syarat materiil perkawinan secara umum diambil dari aturan-aturan agama yang ada di Indonesia, karena masyarakat Indonesia mayoritas agama yang dianut Indonesia ialah Agama Islam tentunya peraturan yang ada dalam Agama Islam memiliki andil besar dalam mempengaruhi penentuan syarat materiil perkawinan dalam Hukum Nasional Indonesia seperti adanya aturan tentang larangan perkawinan, masa tunggu bagi wanita yang bercerai, pembebanan nafkah keluarga, dan lain sebagainya. Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, jika sebuah perkawinan tidak memenuhi syarat materil perkawinan baik itu syarat materil yang telah mendapat penegasan dalam undang-undang maupun yang masih hidup dalam aturan agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya, maka terhadap perkawinan tersebut dapat dilakukan pencegahan perkawinan atau dibatalkan jika telah terlaksana. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 selain menentukan dan mengatur syarat materil perkawinan, juga mengatur syarat formil 13 sebagai syarat yang ditentukan dengan tujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan di Indonesia. Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tersebut sebagai bentuk perlindungan yang diberikan Negara untuk ketertiban perkawinan bagi wargannya. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia bukan hanya didasarkan atas prinsip saling menyukai, tetapi ada syarat-syarat materil dan formil perkawinan yang mesti dipenuhi oleh masing-masing calon mempelai. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka secara legal perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Sah atau tidaknya suatu perkawinan bukan hanya memenuhi rukun serta syarat perkawinan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaannya masing-masing, tetapi perkawinan dikatakan sah jika dicatatkan pada instansi yang berwenang untuk itu. Penguraian Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) apabila dicermati memiliki pengertian yang ambigu. Pertama, dilihat pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan perkawinan sudah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ini berarti bahwa perkawinan antar orang-orang yang beragam Islam sudah sah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya sebagaiman tersebut dianut oleh agamanya (Hasan dan Sumitro, 1997 : 116). Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) di dalam Hukum Perkawinan Islam pencatatan perkawinan bukanlah rukun perkawinan. Agama Islam mengkatagorikan rukun perkawinan (yang menentukan sah atau tidaknya 14 perkawinan) adalah: ijab dan qabul, wali, 2 orang saksi, dan kedua mempelai sebagaimana telah di taqnin dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam. Sehingga dalam hal ini fungsi sebuah Negara yang menjamin penduduknya secara bebas untuk menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya sesuai Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tidak dibenarkan untuk memaksakan sebuah ajaran agama tunduk terhadap aturan hukum nasional. Mazhab syafi’I menyebutkan bahwa perkawinan sah menurut Islam dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana adanya ijab qabul dan dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan Mazhab maliki memberikan pendapat bahwa perkawinan harus terlaksana dengan adanya kedua mempelai laki-laki dan perempuan adanya mahar dengan dilakukannya ijab qabul dan harus dihadiri oleh wali nikah karena tanpa wali perkawinannya tidak sah. Kaitanya tentang sahnya perkawinan sesuai Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam sebutkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan dapat diuraikan menurut Islam dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Untuk ketentuan harus adanya pencatatan, dalam Kompilasi Hukum Islam 15 Pasal 5 ayat (1) diterangkan bahwa untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan tidak membuat perkawinan tersebut menjadi batal atau tidak sah, hanya perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, yang mana kekuatan hukum itu kan menjadi pelindung atas akibat-akibat hukum yang mungkin terjadi atas perkawinan tersebut. Perkawinan yang tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama hal ini sesuai Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi pengajuan itsbat nikah terbatas pada hal-hal tertentu sesuai tertuang dalam Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam. Selain itu dalam Hukum Islam sahnya perkawinan harus memenuhi syarat pernikahan sebagai berikut : 2.1.2.1.1 Syarat Umum Perkawinan Syarat umum suatu pernikahan dikatakan sah apabila perkawinan dilakukan dengan tidak menentang larangan perkawinan yang berbeda agama. Dalam ketentuan Q. II ayat 221, kecuali S. Al Ma’adah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan ahli kitab, dan tidak bertentangan dengan QS. An-Nisa’ ayat (22), ayat (23),dan ayat (24). 16 2.1.2.1.2 Syarat Khusus Perkawinan Syarat Khusus adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Dimana setiap calon pengantin tersebut harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Kedua mempelai harus beragama Islam, aqil, baligh, sehat jasmani dan rohani 2. Harus ada wali nikah (Mazhab Syafi’i) 3. Harus membayar mahar / mas kawin, dari laki-laki kepada perempuan 4. Harus ada dua orang saksi, Islam, dewasa dan adil 5. Adanya ijab dan qobul. 2.1.2.2 Rukun Perkawinan Rukun pernikahan yang dimaksud ialah segala sesuatu yang ditentukan menurut Hukum Islam dan harus dipenuhi pada saat pernikahan dilangsungkan. (Murtiningdyah, 2005: 31) Hal ini dapat diartikan apabila syarat-syarat perkawinannya telah dipenuhi, maka sebelum melangsungkan perkawinan syarat-syarat untuk sahnya harus ada rukunrukun yang perlu dipenuhi. Adapun rukun pernikahan diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam. Pelaksanaan pernikahan harus ada: 17 2.1.2.2.1 Calon Suami dan Istri Calon suami dan calon istri atau dapat juga disebut dengan calon mempelai adalah seorang pria dan seorang wanita yang merupakan hal paling penting sebagai para pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Para calon mempelai harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain : 1. Telah baligh dan memenuhi kecakapan yang sempurna. Pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam memberikan ketentuan sebagai berikut untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974yaitu calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang Perkawinan Berakal sehat dan tidak mengalami gangguan, baik jasmani maupun rohani, artinya para mempelai harus dapat mempertanggungjawabkan dilaksanakaan. apa itu perkawinan yang 18 2. Tidak karena paksaan, artinya harus didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak. Pasal 16 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Persetujuan ini penting agar masing-masing suami dan istri, memasuki gerbang perkawinan dan rumah tangga benar-benar dengan senang hati dan bahagia sehingga dapat melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya secara proposional (Rofiq 2003:74 ) Persetujuan yang dimaksud dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan-tulisan, lisan atau isyarat tetapi juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang tegas sesuai dengan Pasal 16 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW, riwayat dari ibnu Abbas ra “janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan kepada gadis (perawan) dimintai persetujuannya, dan persetujuannya jika dimintai,(gadis itu) diam (Riwayat Muslim)” Sebagai bukti adanya persetujuan antara kedua mempelai, Pegawai Pencatat menanyakan kepada mereka sesuai yang dijelaskan dalam Pasal 17 Kompilasi Hukum Islam . 19 2.1.2.2.2 Wali Nikah Wali nikah dalam perkawinan sangatlah penting dan yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Hal ini disampaikan Mazhab Maliki tentang harus adanya wali, karena wali nikah dalam hukum perkawinan Islam merupakan rukun perkawinan (nikah), sehingga nikah tanpa wali adalah tidak sah sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruquthni, berbunyi “ Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang lain dan jangan pula menikahkan perempuan akan dirinya sendiri ” dan yang diriwayat HR Ahmad, berbunyi “Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua saksi yang adil.” Ketentuan mengenai pentingnya wali dalam melangsungkan pekawinan juga lebih dipertegas dengan ketentuan Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, yang di dalamnya disebutkan bahwa “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.” Kedudukannya yang sangat penting dan menentukan ini maka tidak sembarangan orang dapat menjadi wali nikah. Pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan “bahwa yang bertindak sebagai wali adalah laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yaitu muslim, aqil dan baligh”. 20 2.1.2.2.3 Dua Orang Saksi Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksana akad nikah, karena setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi hal ini sesuai Pasal 24 Kompilasi Hukum Islam. Adanya saksi dalam akad nikah menurut Imam Syafi’i adalah suatu keharusan dalam perkawinan, karena saksi dalam perkawinan sangat diperlukan. Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalan oleh para keluarga dalam garis keturunan yang lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri. Al-Daruqutny meriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali, dan siapa saja wanita yang nikah tanpa wali maka nikahnya batal. Jika dia tidak punya wali, maka penguasa (hakimlah) walinya wanita yang tidak punya wali.” Saksi terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat dan mendengarkan ijab qabul. Tugasnya dalam perkawinan hanya memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu benar-benar dilakukan oleh pihak-pihak yang berkeinginan dan menyatakan tegas tidaknya ijab qabul diucapkan. 21 Dua orang saksi hendaknya laki-laki, tetapi kalau tidak ada, wanitapun diperkenankan hanya berjumlah 4 orang. Dasar hukum perbandingan jumlah itu dilihat dari makna anak kalimat dari Surah (2) Al-Baqarah ayat 228 yang menyatakan : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari aKompilasi Hukum Islamrat. Dan suamisuaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan hal ini sesuai dengan Pasal 26 Kompilasi Hukum Islam. Tujuan lain adanya saksi dalam suatu perkawinan sebagai antisipasi yang mungkin akan terjadi dalam kelangsungan suatu 22 perkawinan nantinya dimana saksi-saksi perkawinan itu bisa menjadi saksi guna menerangkan perkawinan tersebut. 2.1.2.2.4 Akad Nikah (Ijab Qabul) Akad nikah / ijab qabul adalah pernyataan sepakat dan pihak calon suami dan pihak istri untuk mengikatkan diri mereka ke dalam tali perkawinan dengan menggunakan sighat akad nikah, yaitu perkataan atau ucapan-ucapan yang diucapkan oleh calon suami dan calon istri yang terdiri atas ijab dan qabul. Ijab ialah pernyataan penyerahan dari pihak wanita yang biasanya dilakukan oleh wali calon mempelai wanita atau wakilnya dengan maksud bahwa calon mempelai wanita bersedia dinikahkan dengan calon mempelai pria, sedangkan qabul ialah pernyataan penerimaan yang sah atau jawaban pihak calon mempelai pria atas ijab calon mempelai wanita, yang intinya bahwa calon mempelai pria menerima kesediaan calon mempelai wanita menjadi menjadi istrinya yang sah. Memperhatikan ketentuan Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam, tidak membenarkan pelaksanaan ijab qabul jarak jauh melalui sarana telekomunikasi. Ketika calon mempelai berhalangan, Kompilasi Hukum Islam memilih alternatif dengan seorang kuasa. 23 2.2. Tinjauan tentang Anak Luar Kawin 2.2.1 Pengertian Anak Luar Kawin Anak merupakan akibat yang timbul dari suatu perkawinan. Kelahiran seorang anak menjadi symbol keturunan bagi sebuah keluarga. Keturunan (afstamming) ada hubungan darah antara anak-anak dan orangtuanya. Undang-undang mengatur tentang anak-anak sah dan anak-anak tidak sah (wettige en on wettige kinderen). Yang teraKompilasi Hukum Islamr ini juga diberi nama anak luar kawin (natuurlijke kinderen) atau diterjemahkan “anakanak alam” (Kie, 2000 : 18). Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Pengertian di luar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya. (Abdul Manan, 2008: 80) Anak luar kawin dalam Undang-undang sendiri tidak secara spesifik menyebutkan arti ataupun makna anak luar kawin. Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”. 24 Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974tersebut hanya menerangkan tentang hak keperdataan dari anak luar kawin dan tidak menyebutkana bahwa anak luar kawin ini ialah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah atau anak yang dihasilkan / dibenihkan diluar perkawinan yang sah. Kompilasi Hukum Islam juga hanya menyebutkan tentang nasab dari anak luar kawin seperti yang tertera dalam Pasal 100 yang menyebutkan “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya ” Beberapa ulama berpendapat mengenai anak luar kawin, Syafi`iy dan Malik berpendapat “bahwa anak di lahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah maka tidak bisa dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya, juga tidak menjadi mahram dan dengan demikian dia bisa dinikahi ayah tersebut”. Ali bin Abi Thalib menyebutkan “masa mengandung dan menyusui bayi adalah 30 bulan seperti yang tertera di dalam surat Al- Ahqaaf ayat 15, lalu dikaitkan dengan surat al-Baqarah ayat 233 bahwa masa menyusui adalah 2 tahun, ini artinya masa mengandung paling pendek 6 bulan dan masa menyusui paling panjang 2 tahun. ( Tafsir Al-Alusi, Surat al Ahqaaf ayat 15)” (http://www.muslimat-nu.or.id/index.php) Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama, dapat dipahami bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah menurut syara’. 25 Ulama telah sepakat bahwa seorang tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak sah, kalau anak itu dilahirkan kurang dari waktu enam bulan setelah akad perkawinan, sebab menurut mereka tenggang waktu yang sependek-pendeknya yang harus ada antara kelahiran anak dengan perkawinan itu adalah enam bulan. Hal ini dapat diartikan jika ada anak yang lahir tidak mencapai enam bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah. (Ishaq, 2008 : 88) 2.2.2 Kedudukan Anak Luar Kawin Keberadaan anak luar kawin menjadi fenomena tersendiri saat ini, karena keberadaan anak tersebut semakin banyak terjadi. Tidak bisa dipungkiri kelak ini akan menjadi masalah yang sangat besar apabila pemerintah maupun masyarakat sendiri tidak segera mengatasinya. Kemajuan gaya hiduplah yang membuat anak luar kawin menjadi berkembang. Gaya hidup kita yang selalu mengarah kebarat-baratan membuat pola hidup yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi sesuai norma – norma hukum dan agama yang ada. Para muda-mudi yang melakukan seks bebas tanpa peduli pada akibat yang timbul atas perbuatanya tersebut. Kelak yang dirugikan dengan adanya seks bebas adalah perempuan dan apabila seks bebas itu menimbulkan anak maka anak tersebut akan merasa dirugikan atas perbuatan kedua orang tuanya, kemudian anak tersebut akan merasa binggung dengan kedudukannya kelak. 26 Sebagai penduduk Indonesia yang menganut norma-norma pancasila tentunya harus tunduk dengan aturan-aturan yang ada, namun karena penduduk Indonesia mayoritas memeluk Agama Islam tentunya norma-norma dan aturan-aturan yang ada dalam Hukum Islam tidak bisa diabaikan karena tanpa dipungkiri ini sangat berdampak besar dalam menjalankan normanorma yang ada agar sesuai dengan kaidah yang baik. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menggolongkan kedudukan anak menjadi dua yaitu anak sah dan anak luar kawin. Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menyebutkan anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak sah menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang diterangkan “Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut (Abdurahman, 1995 : 137). Kedudukan anak luar kawin menjadi sangat ironis ketika kesalahan atas adanya anak luar kawin hanya ditunjukan pada sang ibu. Karena bagaimanapun lahirnya seorang anak tidak hanya berperan pada sang ibu, seorang ayah sangat berperan dalam hal ini. Sehingga anak luar kawin ialah anak yang dihasilkan dari hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya. (Manan, 2008: 80) 27 Anak luar kawin sering kali mendapat pandangan buruk dan cacian dari masyarakat dengan sebutan anak haram. Kondisi inilah yang memeberikan sebuah ketidakadilan bagi seorang anak, disamping itu seorang anak seolaholah ikut menanggung dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Hal ini tidak sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang berbunyi “setiap anak dilahirkan dalam ke adaan fitrah (sesuai dengan asal kejadian bersih tanpa dosa)”. Kedudukan anak luar kawin baik di dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam berkedudukan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, ia tetap menjadi mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui perkawinan.( Al-Qurthubi, Bidayah al--Mujtahid, juz 2 hal. 34).” Kekuasaan orang tua terhadap anak erat kaitanya dengan bagaimana kedudukan anak tersebut atas orang tuanya. Kekuasaan orang tua ini kelak yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak. Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak luar kawin hanya terbatas pada ibu dan keluarga ibunya saja. Anak luar kawin yang diingkari keberadaanya oleh ayah biologisnya, dengan kekuasaan sang ibu juga dapat membuktikan bahwa asal usul si anak 28 dengan akta kelahiran seperti yang tercantum dalam Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam “(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.(2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. (3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.” Proses pengingkaran anak luar kawin yang dilakukan ayah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan seperti yang terdapat Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam “(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. (2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.” Ayah biologis dapat mengakui anak luar kawin sebagai anaknya sehingga mempunyai hak dan kewajiban terhadap anak luar kawin atas persetujuan sang ibu. Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menyebutkan anak luar kawin ialah anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki 29 sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lainya menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya Guna kepengurusan pengakuan anak luar kawin pemerintah menunjuk Kantor Catatan Sipil sebagai instansi pemerintah yang berwenang, sesuai dengan tugas dan fungsi Kantor Catatan Sipil. Adapun yang dimaksud dengan Catatan Sipil adalah suatu catatan yang menyangkut kedudukan hukum seseorang. Bahwa untuk dapat dijadikan dasar kepastian hukum seseorang maka data atau catatan peristiwa penting seseorang, seperti : perkawinan, perceraian, kelahiran, kematian, pengakuan anak dan pengesahan anak, perlu didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil. Kantor Catatan Sipil adalah suatu lembaga resmi pemerintah yang menangani hal-hal yang berhubungan dengan percatatan sipil, Kantor Catatan Sipil yang sengaja diadakan oleh pemerintah dan bertugas untuk mencatat, mendaftarkan serta membukukan selengkap mungkin setiap peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang. 2.2.3 Status Anak Luar Kawin Mengenai status anak luar kawin, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spiritual adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz V:357). Pemerintah melalui Undang- 30 Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga menjelaskan bahwa status anak luar kawin hanya berhubungan dengan sang ibu namun tidak dipungkiri keberadaan sang ayah biologis apabila dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lain. Setelah uraian mengenai pengertian serta kedudukan anak luar kawin diatas, didapatkan beberapa kesimpulan tentang anak luar kawin, dimana Aniisatul Murtasyidah menyebutkan bahwa anak luar kawin tergolong atas 2 (dua) yaitu Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah dan Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah .( Murtasyidah 2012:20) . 1. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah. Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah (M. Ali Hasan, 1997 : 81). Perbedaan pendapat ini disebabkan karena terjadinya perbedaan ulama dalam mengartikan lafaz fiarsy, dalam hadist nabi : “anak itu bagi pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukum rajam”. Mayoritas ulama mengartikan lafadz 31 firasy menunjukkan kepada perempuan, yang diambilkan ibarat dari tingkah iftirasy (duduk berlutut). Namun ada juga ulama yang mengartikan kepada laki-laki (bapak) ( Jalaluddin al-Mahalli, alQulyuby wa Umarah, , Juz III : 31). 2. Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah. Status anak diluar kawin dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an. Terhadap anak zina tentunya tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memeberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum. Dalam hal mewarisi anak zina tidak dapat mewarisi harta warisan suami dari sang ibu, anak tersebut hanya dapat mewarisi dari sang ayah karena ini berhubungan nasab dengan sang ayah kandungnya. Apabila anak luar kawin itu perempuan maka bapak biologisnya tidak mempunyai hak untuk menjadi wali diperkawinannya. (Amir Syarifuddin, 2002 : 195). Namun berdasarkan pembahasaan yang sebelumnya telah dibahas tentang anak luar kawin, penulis juga merasa perlu adanya satu golongan tentang anak luar kawin yaitu 32 1. Anak yang dibuahi dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah namun tidak dicatatkan dalam Pegawai Pencatat Nikah atau biasanya disebut Nikah Sirri. Karena dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974maupun Kompilasi Hukum Islam mengisyaratkan bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah agar terjamin ketertiban perkawinan dan agar mendapatkan perlindungan hukum terhadap perkawinan tersebut. Namun dalam peratauran tidak dijelaskan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan dalam PPN merupakan perkawinan yang tidak sah. Sehingga disini pencatatan nikah hanya sebagai syarat administratif yang hendaknya harus dilaksanakan. Dalam Islam tidak mengenal Nikah Sirri, karena setiap perkawinan itu sah apabila dilakukan sesuai dengan syarat-syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan ajaran dan kaidah-kaidah norma agama Islam. Apabila perkawinan yang dilakukan itu sah menrut agama tentunya anak yang lahir dalam perkawinan itu sah. Sehingga ukewajiban orang tua kepada anak hendaknya terpenuhi dengan sendirinya. Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 233 : 33 “Para ibu menyususi anaknya dua tahun secara sempurna, bagi yang menginginkan untuk menyempurnakan masa menyusui, dan bagi yang memiliki anak (ayah) wajib untuk menafkahi isteri mereka dan memberikan pakaian secara baik (Q.S. Al-Baqarah ayat [233])” Didasarkan Indonesia merupakan negara hukum dengan begitu banyak agama dan norma-norma yang ada tentunya akan merasa sulit apabila terjadi perbedaan dalam suatu hal, oleh karena itunya dikeluarkanlah undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Perkawinan yang tidak dicatatkan tidak mempunyai kekuatan hukum maka anak yang timbul atas perkawinan tersebut juga tidak mendapatkan kekuatan hukum dari kedua orang tuanya. Kekuatan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Karena tidak berkekuatan hukum maka hak dan kewajiban orang tua dan anak yang semestinya timbul menjadi hilang. Pasal 43 UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menjelaskan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai keperdatan dengan ibunya. Hak dan kewajiban yang harusnya ada antara orang tua dan anak terbatas pada anak dan ibunya saja. 2.3. Tinjauan tentang Hukum Waris 2.3.1 Pengertian Hukum Waris Islam Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan 34 siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masingmasing. Hukum Kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan. Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya bersumber pada beberapa ayat dari firman Allah SWT dalam Al Qur’an terutama surat AnNisa’ (4) ayat 11, 12, 176 dan sunnah Nabi (Ali, 2004:313). An-Nisa’ (4) ayat (11) “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka 35 ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” An-Nisa’ (4) ayat (12) Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya .Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu 36 tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. An-Nisa’ (4) ayat (176) Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)387. Katakanlah : "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu 37 tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Salah satu sabda Nabi dalam Hadis riwayat Muttafaq ‘alaih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Nabi SAW bersabda: Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya)” (Rofiq, 2003: 380) Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban serta tata cara pembagian harta peninggalan dari seseorang yang sudah meninggal (Pewaris) kepada para keluarga dan kerabat-kerabatnya yang ditinggalkan (ahli waris). 2.3.2 Syarat-syarat Pewarisan Terdapat tiga komponen yang sangat pokok dalam melakukan system pewarisan, dimana tanpa adanya tiga komponen tersebut sistem pewarisan tidak dapat terjadi. Tiga Komponen tersebut ialah : 2.3.2.1 Pewaris Pada Pasal 171 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Pewarisan tidak dapat terlaksana tanpa adanya pewaris. Tidak semua orang dapat dikatkan sebagai pewaris salah satu yang penting ialah seorang dikatakan pewaris apabila sudah meninggal. Selain 38 disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh mawaris. 2.3.2.2 Ahli Waris Pasal 171 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam, Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Ahli waris dalam Hukum Islam dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan karena adanya hubungan darah 2. Ahli waris sababiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan karena adanya suatu sebab yaitu perkawinan yang sah dan atau karena memerdekakan hamba (hamba sahaya) (Rofiq, 2003: 383). Dilihat dari bagian yang diterima atau haknya ahli waris dibedakan menjadi tiga yaitu : 1. Ahli waris Ashab al-farud yaitu ahli waris yang telah ditentukan bagian-bagiannya. Misalkan 12, 13 dan lain-lainya. 2. Ahli waris Ashab al-usubah yaitu ahli waris yang ketentuan bagiannya adalah menerima sisa setelah diberikan kepada ashab al-farud, seperti anak laki-laki, ayah, paman dan lain sebagainya. 39 3. Ahli waris Zawi al – arham yaitu orang yang sebenarnya mempunyai hubungan darah dengan pewaris, namun karena dalam ketentuan nas tidak diberi bagian, maka mereka tidak berhak menerima. Kecuali ahli waris tersebut termasuk golongan Ahli waris ashab al-farud dan Ahli waris ashab alusubah. Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan ahli waris terdiri dari beberapa kelompok sebagai berikut : 1. Menurut hubungan darah yakni golongan laki-laki yang terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek dan golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek. 2. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda. Berdasarkan Pasal 174, 181, 182 dan 185 Kompilasi Hukum Islam ,golongan-golongan ahli waris yang telah disebutkan diatas tersebut terdiri atas: 1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara lakilaki, paman, kakek dan suami. 2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan isteri. 40 3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti adalah seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki atau perempuan. 4. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris sesuai Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum tetap dikarenakan : 1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. 2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. 2.3.2.3 Harta Peninggalan Menurut Pasal 171 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam, harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada Pasal 171 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Harta Peninggalan dapat disimpulkan terdiri atas : 41 1. Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan, dimaksudkan ialah benda tersebut dapat berwujud ataupu tidak dan dapat bergerak mauun tidak bergerak. 2. Hak-hak kebendaan ialah hak yang dapat dimiliki terhadap benda tersebut. 3. Hak-hak yang bukan kebendaan, misalkan hak tetangga. Pada aturan umum dalam Pada Bab 1 butir (d) dan (e) Kompilasi Hukum Islam membedakan antara harta peninggalan dengan harta warisan menyebutkan: “Harta Peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh seorang pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meningganya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran uang dan pemberian untuk kerabat.” 2.3.3 Asas-asas Pewarisan Dalm pembangian waris terdapat beberapa asas-asas yang ikut mendukung keberadaannya yaitu : 2.3.3.1 Asas Ijbari Yang dimaksudkan dalam asas ini ialah peralihan harta sesorang yang meninggal dunia kepada ahli warinya berlaku dengan sendirinya tanpa menurut kehendak pewaris ataupun ahli waris (Muhibbin, 2009:23 ). Asas ini mengatur mengenai cara peralihan harta warisan, juga disebut dalam Pasal 187 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan 42 bahwa sisa dari pengeluaran yang dimaksud adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Ketentuan asas ini sesuai dengan surat An.Nissa ayat 7 yang menyatakan sebagai berikut : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian harta peninggalan ibu bapak dan kerabat, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) harta peninggalan ibu bapak dan kerabat, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang ditetapkan” 2.3.3.2 Asas Bilateral Asas Bilateral ialah bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki (Suhrawardi K. Lubis, 2004:60) 2.3.3.3 Asas Individual Setiap ahli waris berhak mendapatkan bagian yang semestinya ia dapatkan tanpa terikat terhadap ahli waris yang lain. (Suhrawardi K. Lubis, 2004:60) 2.3.3.4 Asas Keadilan Berimbang Yang dimaksudkan dalam asas ini ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan yang akan diperlukan dan digunakan. (Suhrawardi K. Lubis, 2004:61) 43 2.3.3.5 Asas Kewarisan Semata Karena Kematian Asas ini menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia tercermin dalam rumusan berbagai istilah yaitu hukum kewarisan, pewaris, ahli waris dan harta peninggalan dalam Pasal 171 pada bab ketentuan umum (Ali, 2004: 322). Tanpa adanya kematian pembagian warisan tidak akan terjadi, walaupun ketika ia hidup dapat memanfaatkan hartanya utuk dapat dibagikan kepada kerabat yang lain. Namun dalam hukum kewarisan Islam antara wasiat dengan kewarisan diuraikan secara terpisah 2.3.4 Bagian-bagian Waris dalam Hukum Islam Harta peninggalan sebagai harta waris terlebih dahulu harus diselesaikan masalah hutang piutang pewaris (yang meninggal) dan biaya pemakaman serta wasiat yang dibolehkan (bila ada). Disamping itu bila si mayit meninggalkan istri (janda) atau suami (duda) dan masih terikat perkawinan perlu dipisahkan lebih dahulu antara harta bawaan dan harta bersama Kerabat yang tidak memperoleh bagian waris dapat memperoleh bagian sebagai hibah (ketika pewaris masih hidup) atau sebagai wasiat wajibah, atau diberi bagian yang tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan sesuai ketentuan Pasal 194 s/d 214 Kompilasi Hukum Islam. Ketika adanya sengketa dalam pembagian waris dapat bersepakat melakukan perdamaian. Pembagian warisannya sesuai dengan tabel yang akan digambarkan sebagai berikut : 44 Tabel 1 Bagian-bagian Warisan Ahli Waris dalam Hukum Islam (Lubis 2006:107 ) 45 2.4. Tinjauan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 2.4.1 Kedudukan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan Judicial Review Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga, pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata Kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa constitutional court, atau pengawasan konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa. Pemikiran Kelsen mendorong Verfassungsgerichtshoft di Austria yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. (Gaffar,2009:4) Janedjri M. Gaffar didalam malakahny yang ditulis di Surakarta pada tanggal 17 Oktober 2009 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, pembentukan Mahkamah Konstitusi didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. 46 Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannyan. Salah satu wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi sesuai yang dijelaksan sebelumnya ialah 47 melakukan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar hal tersebut berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pengujian Undang-undang, diatur dalam Bagian Kesembilan Pasal 50 sampai dengan Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003. Undang-undang disini adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan- kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Pengujian suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah Judicial review. Jika undangundang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan Mahkamah Konsitusi. Melalui kewenangan Judicial review, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. 2.4.2 Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 Putusan No.46/PUU-VIII/2010 ini sebagai hasil dari Judicial review Pasal 2 ayat (2)dan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica Bin H. 48 Mochtar Ibrahim dan anaknya yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono terhadap Moerdiono dimana Moerdiono sebagai seorang suami yang telah beristri menikah kembali dengan istrinya yang kedua bernama Hj. Aisyah Mokhtar secara syari’at Islam dengan tanpa dicatatkan dalam register Akta Nikah, oleh karena itu ia tidak memiliki Buku Kutipan Akta Nikah, dan dari perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad Iqbal Ramdhan Bin Moerdiono. Dasar adanya Judicial review ini ialah pihak dari pemohon merasa hakhak konstitusinya sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan, karena status perkawinannya menjadi tidak sah, demikian juga terhadap anak yang dilahirkannya menjadi tidak sah. Dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undung Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan yang tidak sah berakibat hilangnya status perkawinan antara Moerdiono dengan Hj. Aisyah serta status Muhammad Iqbal Ramdhan sebagai anak Moerdiono. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan “ perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” Pada Pasal 2 ayat (2) menyatakan “tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Perkawinan menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan 49 hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Undang- Undang Dasar RI 1945 Pasal 28 B ayat (1) yang menyatakan “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Pasal 28 B ayat (2) menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dan Pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Atas permohonan Hj. Aisyah serta status Muhammad Iqbal Ramdhan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan bahwa sesuai penjelasan umum angka 4 huruf ( b) UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 , Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sahnya perkawinan, pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan perundang-undangan. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak bertentangan dengan konstitusi . Mahkamah Konstitusi juga berpendapat mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang dikonklusikan dengan anak yang tidak sah. 50 Menurut Mahkamah Konstitusi secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dengan sperma baik melalui hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Maka dari itu tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebutlah sebagai ibunya karena tidak tepat dan tidak adil pula apabila laki-laki yang membuahi sang anak dibebaskan dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 ini mengubah Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, dimana Pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. 51 Sehingga Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and binding). Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Selain itu juga ditentukan putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi . Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Semua pihak termasuk 52 penyelenggara negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi harus patuh dan tunduk terhadap putusan Mahkamah Konstitusi 53 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi (Soekanto 1981:2). Ilmu pengetahuan yang merupakan pengetahuan yang tersusuk secara sistematis dengan penggunaan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah secara kritis, akan berkembang terus atas dasar penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pengasuh-pengasunya. Pemilihan metode yang tepat dalam melakukan penelitian sangat penting bagi penelitian itu. Obyek yang akan diteliti dapat digali dengan dalam dan apa yang menjadi tujuan dari penelitian itu tersampaikan dan tersalurkan dengan baik. Metode pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. (Soekanto 2011:14). 3.2 Sifat Penelitian Dilihat dari sifatnya penelitian terbagi atas tiga yaitu , Penelitian eksploratoris, Penelitian dan Penelitian eksplanotaris. Sedangkan sifat 54 penelitian yang digunakan oleh penulis ialah sifat Penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadan dan gejala-gejala lainya terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru. ( Soekanto 2081:10 ) Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti akan meneliti dan menguji apakah Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 membahas mengenai bagian waris anak yang lahir diluar perkawinan, bagaimana kaitanya dengan Hukum Islam dan fiqh Islam terhadapat kedudukan anak luar kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 untuk saling mewarisi. 3.3 Jenis dan Sumber Data Data terdiri atas dua yaitu data primer dan data skunder (Soekanto 1982:52) Data Primer yaitu sumber data utama yang diperoleh langsung dari sumber pertama melalui penelitian (Soekanto1982:52). Didalam penelitian penulis, data primer dari penulis ialah wawancara yang dilakukan sebagai bahan pelengkap yaitu wawancara yang dilakukan kepada Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng dan Bapak H. Nurmasyah Hakim Pengadilan Agama Semarang. 55 Data sekunder ialah data kepustakaan yang mencakup dokumendokumen resmi, buku-buku, perundang-undangan, putusan dan data yang berhubungan dengan anak luar kawin. Data sekunder atau data yang tertulis yang digunakan dalam penelitian dapat berupa Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010, Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ,Fiqh Islam,Buku-buku, Dokumen dan literatur yang berkaitan Hukum Waris Islam, Hukum Perkawinan, Anak Luar Kawin di Indonesia. 3.4 Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam pengumpulan data terbagi atas pengumpulan data primer dan data skunder. 1. Data Primer Teknik Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara kepada Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng dan Bapak H. Nurmasyah Hakim Pengadilan Agama Semarang. Wawancara Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu (Ashshofa, 2004: 95). Dalam penelitian ini jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara yang berencana (berpatokan) yaitu 56 mewancarai informan yang telah disiapkan sebelumnya, untuk menggali informasi tunggal. 2. Data Skunder Teknik Pengumpulan data skunder dilakukan dengan cara studi kepustakaan menurut Soerjono Soekanto studi kepustakaan adalah studi dokumen yang merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan atas data tertulis dengan mempergunakan “content analysis” atau yang biasa disebut dengan analisis muatan. Dalam hal ini peneliti mencari, membaca, dan mempelajari dari bahan-bahan kepustakaan yang berupa buku-buku, dokumen, dan bahan tulisan lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilaksanakan (Soekanto, 2010:21). Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder. Dalam studi kepustakaan ini dilakukan terhadap bahan-bahan hukum sekunder. Dalam hal ini peneliti memperoleh data kepustakaan dari buku-buku atau literatur mengenai Hukum Waris Islam dan anak Luar kawin, media tulis, yang pada intinya mengenai pada permasalahan yang diteliti yaitu bagian waris anak luar kawin dalam Hukum Islam pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 Peneliti juga menggunakan dokumentasi resmi buku, majalah, jurnal, undang-undang, yurispudensi ataupun kasus-kasus yang berkaitan dengan bagian waris dalam Hukum Islam pada umumnya dan kedudukan 57 anak luar kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010. Selain dengan studi kepustakaan, teknik pengumpulan data skunder juga dilakukan dengan Studi Literatur yang didapat diwebsite. Teknologi informasi ini memungkinkan melakukan pencarian data dan / atau informasi dengan menggunakan internet sebagai media alat pengumpulan data yang cepat dan mudah dilakukan. Metode pencarian dapat berupa metode yang sederhana ataupun metode yang canggih sesuai dengan fasilitas yang disediakan oleh alat pencari tertentu. (Sarwono, 2006:228). 3.5 Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan data (Moleong 2001:103). Penelitian ini berusaha untuk mengerti ataupun memahami gejala yang diteli untuk kemudian mendeskripsikan data-data yang diperoleh selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan sebagaimana telah disinggung diatas. Teknik analisa data yang dipakai oleh penulis ada teknik analisa data kualitatif . Analisa data kualitatif merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah- 58 milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mengintesiskanya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain (moleong 2007:248) 59 BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Pandangan Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010 Anak luar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya. (Abdul Manan, 2008: 80). Pasal 43 ayat (1) dan (2) UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada hanya menyebutkan “(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah” Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, hal ini sesuai dengan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam Sebuhungan dengan itu kemudian keluarlah Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 dikeluarkan pada tanggal 17 February 2012 berdasarkan permohonan uji materiil Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang diajukan oleh Aisyah Mochtar alias Machica mochtar. 60 Machica Mochtar mempertanyakan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Akibat kedua pasal tersebut, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak bisa mendapatkan pengesahan status hukum bagi anaknya Muhammad Iqbal yang merupakan hasil hubungan dari perkawinan sirri. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 yang bersusunkan sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon dan/atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, menyebutkan dan mengabulkan permohonan uji materiil Machica mochtar sebagai berikut : Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” Mahkamah Konstitusi berpendapat tentang Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut 61 “secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan hamil tanpa adanya pertemuan antara ovum dan spermatozoa. Apakah pertemuan itu melalui hubungan seksual, maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Dengan alasan itu, menurut Mahkamah, menjadi tidak adil manakala hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak, dari tanggung jawabnya sebagai bapak dilepaskan dari tanggung jawab begitu saja ”(Jurnal Konstitusi Edisi Mei NO 64 2012-3 ) Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 mengundang kontroversi, ada beberap pihak yang menganggap Putusan Mahkamah Konstitusi itu memberikan jaminan dan perlindungan terhadap anak diluar perkawinan resmi. Padahal sebelumnya, sesuai Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 anak diluar kawin hanya punya hubungan dengan ibu dan keluarga sang ibu. Reaksi yang paling terlihat dari MUI. Sebab keputusan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Jika dibiarkan bisa menimbulkan kegelisahan, kerisauan, bahkan kegoncangan bagi umat Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama 62 yang datang dari berbagai penjuru tanah air. (http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=49 &Itemid=53 ) Drs. Imam Tabroni beliau berpendapat “bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terindikasi memutar balikkan ajaran Islam dan lebih gawat lagi mengubah syariat agama. Padahal dalam Hukum Islam telah secara tegas dijelaskan tentang ketiadaan hubungan keperdataan anak hasil perzinahan dengan lelaki yang menyebab kan kelahirannya” ( Lensa Kasus Edisi Mei 2012 : 17) MUI menafsirkan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka tidak ada perbedaan status antara anak diluar kawin dengan anak yang dilahirkan melalui sebuah perkawinan secara resmi. Sebagaimana diberitakan, MUI Pusat telah mengeluarkan Fatwa No. 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakukan Terhadapnya. Fatwa itu dikeluarkan pada 10 Maret 2012/18 Rabiul A Kompilasi Hukum Islam r 1433 H, ditanda tangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat Prof. Dr. H Hasanuddin AF, MA dan sekretaris Dr. HM Asrorun Ni'an Sholeh, MA. Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng menanggapi tentang anak luar kawin yang dituturkan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut : “anak yang lahir diluar kawin dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu ada tiga macam, yang pertama ialah anak diluar kawin resmi atau biasa 63 disebut kawin sirri, yang kedua ialah anak diluar kawin yang kemudian ketika ibunya masih hamil kemudian dikawini oleh ayah si anak biasa disebut kawin wanita hamil dan yang teraKompilasi Hukum Islam r ialah anak diluar kawin yang tidak pernah sama sekali ada perkawinan atau biasa disebut anak zina. Menurut pandangan MUI apabila kategori pertama anak luar kawin itu merupakan anak bapaknya, karena dalam Hukum Islam kawin sirri itu merupakan kawin yang sah sehingga sama dengan anak sah, kemudian yang yang kedua anak lahir ketika ibunya hamil dikawinin oleh suami yang merupakan bapak biologis anaknya juga merupakan anak yang sah dan yang ketiga anak luar kawin yang tidak pernah dikawini tidak bisa disebut anak sah dan merupakan anak luar kawin” (wawancaranya dikantor MUI Jateng tanggal 13 February 2013 Pukul 13.30) Sedangkan menurut MUI pusat, putusan Mahkamah Konstitusi itu telah melampaui permohonan yang sekadar menghendaki pengakuan keperdataan atas anak dengan bapak hasil perkawinan tetapi tidak dicatatkan pada KUA (Kantor Urusan Agama) menjadi meluas mengenai hubungan keperdataan atas anak hasil hubungan zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Ketua MUI KH Ma'ruf Amin yang menanggapi bahwa : “Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki konsekuensi yang sangat luas termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. Dimana, hal demikian tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. “Akibat nyata putusan Mahkamah Konstitusi , kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah dan terutama hak waris, jelaslah Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menjadikan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan apalagi sekadar 64 pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang sah tersebut.” Ketua Dewan Pimpinan MUI, Ma'ruf Amin mengatakan keputusan Fatwa MUI No 11 Tahun 2012 ini menggunakan Hukum Agama Islam. “anak dari hasil zina, itu dari segi nasabnya tidak bisa dinisbahkan pada orang tuanya . Fatwa MUI ini justru meneguhkan perlindungan terhadap anak. Salah satunya, dengan mewajibkan lelaki yang mengakibatkan kelahiran anak untuk memenuhi kebutuhan anak. Selain itu, fatwa juga melindungi anak dari kerancuan nasab yaitu anak dari dari hasil zina tidak punya hubungan nasab, wali kawin dan waris,.” (Jurnal Nasional, 2012:3) Ketua Mahkamah Konstitusi menanggapi pemberitaan mengenai pendapat MUI dengan menegaskan “bahwa vonis Mahkamah Konstitusi itu justru sebagai langkah untuk menghalangi perzinahan. Dengan putusan itu maka orang yang melakukan perzinahan harus bertanggung jawab karena telah diancam hukuman”. (http://jatim.tribunnews.com/2012/03/28/mahfudmdsoalstatusanaklahirluarka win-mui-dan-Mahkamah Konstitusi bedapendapat diunduh 29/1/12 20.13) Mahfud MD menyebutkan ”Kami menyiapkan ancaman hukuman bagi mereka yang tidak bertanggung jawab. Ini justru menghalangi adanya perzinahan,” (Universitas Islam Majapahit Mojokerto (UNIM) Rabu 28 Maret 2012) 65 Mahfud berpendapat MUI menyamakan hubungan keperdataan dengan nazab. Padahal kata dia, dari sisi hukum, keduanya tidak memiliki hubungan (berbeda).(http://jatim.tribunnews.com/2012/03/28/mahfudmdsoalstatusanaka hirluarkawin-mui-dan-Mahkamah Konstitusi -beda-pendapat diunduh 29/1/12 20.13). Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa orang yang lahir di luar perkawinan itu punya hubungan keperdataan dengan bapaknya. Lalu oleh MUI hubungan keperdataan diartikan hubungan nasab. Lebih jauh Mahfud menjelaskan, hubungan keperdataan yang dimaksud Mahkamah Konstitusi , tidak lantas menyebabkan anak yang lahir dari perzinahan menjadi anak yang punya hubungan nazab. Dengan demikian kata Mahfud, seharusnya MUI tak meributkan keputusan Mahkamah Konstitusi itu. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perkawinan yang sah itu adalah dilakukan menurut agama masing-masing. Sehingga anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak mempunyai hubungan nazab, tapi ada hubungan dalam keperdataan saja dengan bapak biologisnya, itu yang harus diketahui. (http://jatim.tribunnews.com/2012/03/28/mahfudmdsoalstatusanaklahirluarka win-mui-dan-Mahkamah Konstitusi bedapendapat diunduh 29/1/12 20.13). Hubungan keperdataan Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng menuturkan sebagai berikut : “apabila anak luar kawin mempunyai hubungan keperdataan dengan kedua orang tuanya itu sah-sah saja. Dalam konteks hubungan keperdataan selain 66 hubungan waris ya, seperti biaya pendidikan,biaya hidup dan biaya-biaya yang lain. Jangankan kepada anaknya kepada orang lain yang kita tidak kenal saja kita boleh memberikan hak keperdataan misalakan saya memberikan uang untuk biaya pendidikan kepada orang yang tidak saya kenal itu tidak ada masalahkan dan tidak di halangi. Apabila putusan Mahkamah Konstitusi mengkaitakan semua anak luar kawin mempunyai hubungan kepedataan anak luar kawin dengan waris yang dalam hal ini nasab tentu tidak biasa. Karena seperti yang sebelumnya saya jelaskan bahwa anak luar kawin ada tiga macam dan ketiga-tiganya boleh mendapatkan hubungan keperdataan namun untuk hubungan nasab hanya anak luar kawin dalam perkawinan sirri dan anak luar kawin yang kemudian ibunya dikawini oleh bapak biologi si anak yang mendapatkanya”( wawancara tanggal 13 February 2013 Pukul 13.50) Chatib Rasyid ( Ketua Pengadilan Tinggi Semarang ) berpendapat sama dengan Dr Muhyidin M.Ag. Bahwa dari Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 ada beberapa hal yang patut menjadi catatan. Pertama, persoalan status anak yang lahir di luar perkawinan dari kasus Machica itu bermuara pada masalah perkawinan yang tidak tercatat. Kedua, pengembangan analisis selanjutnya adalah seputar anak yang lahir di luar perkawinan, dan anak yang sah dalam perspektif bahasa, Undang-undang dan perspektif kasus posisi dari kasus Machica. Ketiga, menyangkut kewenangan Pengadilan Agama. ( Seminar Status Anak Di Luar Kawin dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang) Menurut Chatib Rasyid Kenyataan yang ada di masyarakat luas, anak Indonesia terdapat tiga (3) macam status kelahirannya, yaitu “Anak yang lahir 67 dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah ;Anak yang lahir di luar perkawinan ;Anak yang lahir tanpa perkawinan (anak hasil zina)”. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 itu tidak berdiri sendiri, sangat berkaitan dengan adanya perkawinan sebagaimana diatur oleh pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Disebut luar perkawinan, karena perkawinan itu dilakukan di luar prosedur pada pasal 2 ayat (2) Tidak bisa "luar perkawinan" itu diartikan sebagai perzinaan, karena perbuatan zina itu dilakukan sama sekali tanpa ada perkawinan, beda sekali antara luar perkawinan dengan tanpa. (Chatib Rasyid (Ketua Pengadilan Tinggi Semarang) berpendapat dalam Seminar Status Anak Di Luar Kawin dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012). Perdebatan antar Mahkamah Konstitusi dengan MUI terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menurut Chatib, yang menjadi ialah terhadap kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” membawa kepada perdebatan panjang. Frasa “di luar perkawinan” sangat berbeda maknanya dengan frasa “tanpa perkawinan”. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaannya tapi tidak tercatat pada KUA atau Kantor Catatan Sipil merupakan anak yang sah secara materiil tapi tidak sah secara formil.Sedangkan anak yang dilahirkan tanpa perkawinan orang tuanya atau anak yang dilahirkan dari hubungan antara lelaki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan merupakan anak yang tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil (anak zina). 68 Pendapat mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi berasal dari asal usul dari kata “anak luar kawin”yang terasa kurang tegas dan terang juga di disampaikan oleh Irma Devita ( Diskusi Hukum online pada tanggal 29 Maret 2012 lalu, bersama dengan bapak Djafar, SH, dan Bapak Dr. H.M. Akil Mochtar S.H.,M.H. (salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi ). (http://irmadevita.com/2012/pengertiananakluarkawindalamputusanMahkama h Konstitusi diunduh 2 November 2012 pukul 22.48 ) Irma Devita menyampaikan bahwa Dr. H.M. Akil Mochtar berpendapat mengenai Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak menyangkal ketentuan-ketentuan hukum agama sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum angka 3, sehingga bagi yang beragama Islam, implementasinya tidak boleh ada yang bertentangan dengan prinsip- prinsip syar’i. Apabila pasal 43 Undang-Undang Perkawinan dihubungkan pasal 42 Undang-Undang Perkawinan tersebut, maka dapat ditarik pengertian bahwa anak luar kawin bukan merupakan anak yang sah. Menurut Akil, “ Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hendaknya tidak dibaca sebagai pembenaran terhadap hubungan diluar kawin dan tidak bertentangan dengan Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 1 Tahun l974. Adapun yang berkaitan dengan kewarisan misalnya, maka hak keperdataannya tidak bisa diwujudkan dalam bentuk konsep waris Islam tapi dalam bentuk lain misalnya dengan konsep wasiyat wajibah . Demikian pula yang berkaitan dengan nafkah/ biaya penghidupan anak, tidak diwujudkan dalam nafkah anak sebagaimana konsep hukum Islam, melainkan dengan bentuk kewajiban 69 lain berupa penghukuman terhadap ayah biologisnya untuk membayar sejumlah uang/ harta guna keperluan biaya hidup anak yang bersangkutan sampai dewasa” (http://irmadevita.com/2012/pengertian-anak-luar-kawin- dalam-putusan-Mahkamah Konstitusi diunduh tanggal 2 November 2012 pukul 22:47) Ketentuan tentang nafkah anak dan waris itu berkaitan dengan nasab, padahal anak luar kawin tidak bisa dinasabkan pada ayah biologisnya. Inilah yang memicu timbulnya protes terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 sebab putusan tersebut mengesankan adanya pertalian nasab antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya. Andai kata dalam putusan tersebut ada penegasan bahwa nasab anak dikembalikan pada hukum agamanya, niscaya tidak menimbulkan kontroversi. (http://irmadevita.com/2012/pengertiananakluarkawindalamputusanMahkama h Konstitusi diunduh tanggal 2 November 2012 pukul 22:47 ) Akil Mochtar menyebutkan dalam pengujian pasal 2 ayat (2) UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Mahkamah Konstitusi berpendapat “pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan. Sahnya perkawinan adalah bila telah dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai; dan (2) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundangundangan. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa perkawinan sirri juga merupakan perkawinan yang sah. Tidak dicatatkannya suatu perkawinan dalam catatan administratif negara, tidak 70 lantas menjadikan perkawinan tersebut tidak sah. (Hukumonline pada tanggal 29 Maret 2012)” Anak yang lahir dalam perkawinan sirri digolongkan pada anak luar kawin. Dengan diakuinya perkawinan yang sesuai dengan ajaran agama masing-masing mempelai namun tidak dicatatkan sebagai suatu perkawinan yang sah maka seharusnya anak yang lahir dari perkawinan tersebut termasuk sebagai anak sah. Namun kenyataannya, anak itu digolongkan sebagai anak luar kawin ujur Irma Devita. Chatib Rasyid berpendapat bahwa “putusan Mahkamah Konstitusi tidak perlu dipertentangkan atau dinyatakan sesuai dengan syari’ah karena secara hakiki tidak ada yang sesuai dan tidak ada yang bertentangan dengan syari’ah”. Sehubungan dengan itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D mengklarifikasi putusan tersebut dengan menyatakan bahwa yang dimaksud majelis dengan frasa “anak di luar perkawinan” bukan anak hasil zina, melainkan anak hasil kawin sirri. Klarifikasi yang dilakukan oleh Mahfud M.D menurut Chatib Rasyid itu sudah benar, karena Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, memberikan putusan atas permohonan Machica yang telah kawin dengan Moerdiono sesuai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat (1), jadi oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengabulkan permohonan Machica yang sudah mekawin dengan Moerdiono. Sangat naif bila diterapkan untuk kasus perzinahan, hal ini sesuai dengan Kaidah Ushul Figh yang mengatakan bahwa “Perintah pada 71 sesuatu maka perintah juga atas sarananya dan bagi sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju” Drs. H Syamsul Anwar.S.H.,M.h ( ketua pengadilan agama kelas 1a majalengka) DRS. Isak Munawar, M.H. ( Hakim pada Pengadilan Agama Kelas I A Majalengka ). Menyebutkan dengan demikian sejalan dengan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam , adalah : “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dapat dikatakan yang termasuk anak yang lahir di luar perkawinan adalah : “(1)Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya.(2) Anak Yang dilahirkan oleh wanita akibat korban perkosaan oleh satu orang pria atau lebih.(3) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dili’an (diingkari) oleh suaminya.(4) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka), disangka suami ternyata bukan. (5) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat perkawinan yang diharaMahkamah Konstitusi an seperti mekawin dengan saudara kandung atau saudara sepesusuan.” Hukum Islam anak Subhat yang apabila diakui oleh Bapak subhatnya, nasabnya dapat dihubungkan kepadanya. Sedangkan angka 1, 2 dan 3 adalah termasuk dalam kelompok anak zina’. (http://badilag.net/artikel/10609nasabanakdiluarperkawinanpaskaputusanmah kamahkonstitusidrshsyamsulanwarshmhdandrsisakmunawarmh164.hmtl&sa= 72 U&ei=eUTUZ6lII7jkgWo9YCoDA&ved=0CAkQFjAB&client=internaludscs e&usg=AFQjCNGwfIcptnaDVIH52Y9kCRMc44Nx-Q diunduh 6 Februari 2013 pukul 22:23) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, tidak serta merta (tidak otomatis) berlaku sebagai bukti, “ Sahnya anak “ sekalipun terhadap dari Muhammad Iqbal Ramadhan sebagai pemohon uji Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 terhadap Undang-undang Dasar 1945, maka untuk menetapkan sahnya anak, harus melalui putusan pengadilan yaitu Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya. (http://badiag.net/data/ATIKEL/MAJALAH2MAKNA%2520ANAK.pdf&sa +U&ei+eUTUZ6lII7jkgWo9YCoDA&ved=0CA4QFjAD&client=internaluds cse&usg=AFQjCNGDptOQyVCPmSZ2_M6LGIS94HwuDQ\ Diunduh tanggal 6 Februari 2013 22:24). Dari uraian-uraian mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 menurut Chatib Rasyid dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut “(1). Yang dimaksud dengan “ Anak yang lahir di luar perkawinan “ adalah anak yang lahir dari perkawinan menurut agama, tetapi tidak tercatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku , dalam arti kata : sah secara matriil tetapi tidak sah secara formil. Tidak termasuk anak yang lahir tanpa perkawinan ( anak zina ), karena anak zina sama sekali tidak tersentuh dengan perkawinan.(2). Untuk melegalkan “ Anak yang lahir diluar perkawinan “ secara hukum adalah dengan terlebih dahulu melakukan pengesahan (isbat kawin) di Pengadilan dan dilanjutkan dengan pengesahan 73 anak di Pengadilan yang sama. Dengan telah adanya pengesahan anak dari Pengadilan maka anak yang lahir diluar perkawinan sudah seutuhnya sama dengan anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah. (3)Anak yang lahir tanpa perkawinan (anak hasil zina) tidak dapat dilegalkan secara hukum, karena disamping tidak ada lembaga pengesahan zina juga perbuatan zina adalah merupakan perbuatan yang melanggar hukum yang tidak layak mendapat legalisasi hukum. (http://badiag.net/data/ATIKEL/MAJALAH2MAKN A%2520ANAK.pdf&sa+U&ei+eUTUZ6lII7jkgWo9 YCoDA&ved=0CA4QFjAD&client=internaludscse &usg=AFQjCNGDptOQyVCPmSZ2_M6LGIS94H wuDQ\ Diunduh tanggal 6 Februari 2013 22:24) Kaitanya dengan hubungan Hukum Islam dengan putusan Mahkamah Konsititusi Dr Muhyidin M.Ag sebagai berikut “Hukum Islam dengan Putusan Mahkamah Konstitusi itu berbeda, artinya dua hal yang tidak bisa dihubungkan, apabila putusan Mahkamah Konstitusi itu menjadi pedoman bagi peraturanperaturan dibawahnya dan diterapkan oleh Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Jadi sebenarnya ada atau tidaknya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap anak luar kawintidak berpengaruh dalam Hukum Islam. Karena didalam Hukum Islam anak luar kawin didalam perkawinan yang sah walaupun tidak dicatatkan kedudukan anaknya sama dengan anak sah. Kecuali anak luar kawin zina,anak zina tidak bisa berubah menjadi anak apapun. Sebenarnyakan dalam kaitanya permohonan Machica Moctar itukan yang dimohonkan adalah dihapusnya pasal pecatatan perkawinan karean Machica Moctar merasa sudah menikah secara sah namun karena adanya pasal pencatatan sehingga kedudukan iqbal yang memang anak sah terganjal.” (wawancaranya Rabu 13 February 2013 pukul 14.00 Wib) 74 Dr Muhyidin M.Ag juga menjelaskan tentang perkawinan yang tidak dicatatkan seperti halnya perkawinan sirri sebagai berikut : “Nikah sirri itu kan sah menurut hukum sebenarnya, karena sudah sesuai dengan syariat Hukum Islam, MUI juga pernah mengeluarkan Fatwa Nikah Dibawah Tangan yang dihasilkan dalam Keputusan Komis B Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Tahun 2006 Tentang Masail Waqi'iyyah Mu'asyirah dimana disebutkan Nikah Di Bawah Tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Perkawinan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan Dibawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.” Diantara pro dan kontra putusan Mahkamah Konstitusi kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edara MA (SEMA) No 7 tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang didalamnya membahas masalah anak luar kawin dan nikah sirri. Didalam bagian Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 03 S/D 05 Mei 2012 . Mahkamah Agung (MA) memerintahkan seluruh hakim di Indonesia melaksanakan putusan Mahkamah soal hak anak di luar kawin. Namun Mahkamah Agung menegaskan, hak tersebut tidak disebut sebagai waris. Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansur, selain didorong putusan Mahkamah Konstitusi , hal ini didasarkan atas Mazhab Hanafiah. Yaitu anak hasil perzinaan berhak mendapat nafkah 75 dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya. Ridwan Mansur mengatakan saat berbincang dengan detikcom, Senin (4/2/2013) pagi “Ini didasarkan pendapat Mazhab Hanafiah, istilahya bukan waris, tetapi menafkahi segala biaya hidup anak sesuai kemampuan ayah biologisnya dan kepatutan”(http://news.detik.com/read/2013/02/04/081755/2160080/10/maper intahkanhakimlaksanakanputusanMahkamahKonstitusisoalhakanakhasilzina? nd771104bcj diunduh tanggal 8 Februari 2013 pukul 4:44). Pendapat Mahkamah Agung ini telah dituangkan oleh Komisi Bidang Peradilan Agama Mahkamah Agung beberapa waktu lalu. Dalam keputusan ini menyatakan anak yang dilahirkan dari hasil hubungan perzinaan berhak mendapatkan nafkah dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya. Menurut Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang status anak luar kawin adalah putusan yang progresif. Ridwan Mansur juga mengatakan : “Kesimpulan Komisi Bidang Peradilan Agama MA sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang secara progresif mengubah pandangan masyarakat bahwa anak luar kawin termasuk anak hasil perzinahan hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya,” Ada beberapa poin pokok dalam SEMA No 7 tahun 2012 yang tertera dalam uraian khusus Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 03 S/D 05 MEI 76 2012.(http://news.detik.com/read/2013/02/04/144843/2160595/10/inikeput usanlengkapma-soal-hak-anak-yang-lahir-diluarperkawinan?nd771104bcj) “Anak yang dilahirkan dari hasil zina sebaiknya untuk memenuhi rasa keadilan dan kepentingan anak serta hak azasi anak. Hal ini menerapkan pendapat mazhab Hanafiah, di mana anak hasil zina berhak mendapat nafkah dari pihak ayah biologisnya dan keluarga ayah biolgisnya. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat oleh pejabat yang berwenang, berhak untuk memperoleh nafkah dan wasiat wajibah dari ayahnya tersebut. Anak yang lahir dalam perkawinan sirri dapat mengajukan permohonan pengesahan anak ke pengadilan agama, karena anak mempunyai hak azasi untuk mengetahui dan memperoleh kepastian siapa orang tuanya” Langkah Mahkamah Agung (MA) mengambil jalan tengah atas kasus ini membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) awalnya gerah dengan putusan Mahkamah Konstitusi soal kedudukan anak di luar perkawinan menjadi tersenyum. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am saat berbincang dengan detikcom, Senin (4/2/2013). Menyampaikan "Keputusan Mahkamah Agung ini tidak mengubah struktur nasab/garis keturunan. Ini keputusan yang sangat bagus," MUI khawatir putusan Mahkamah Konstitusi akan menarik anak zina ke dalam garis keturunan. Namun hal ini ternyata tidak masuk dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 tahun 2012 ini. SEMA tersebut sangat sejalan dengan kaidah Islam. "Esensi Keputusan MA ini adalah menghukum terhadap lelaki hidung belang dan untuk menjamin hak anak tanpa menetapkan status anak dan waris," jelas Asror. 77 Berbeda dengan SEMA No 7 tahun 2012, Dr. Muhyidin M.Ag kurang sependapat, beliau menyampaikan sebagai berikut : “Nikah Sirri itu tidak bisa diitsbatkan kepengadilan agama dan tidak perlu diitsbatkan. Karena nikah sirri itukan perkawinan yang sah menurut hukum Islam. Apabila dilihat dari hukum isla ya tetap sah, kecuali dilihat dari hukum nasional. Namun terbebas dari hal itu, saya merasa bahwa MA lebih berpihak dengan MUI karena dalam SEMA menjadi tengah-tengah antara Mahkamah Konstitusi dengan MUI. Saya berpendapat SEMA ini membatalkan Putusan Mahkamah Konstitusi, karena Pengadilan Agama berpedoman dengan Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi” Karena Nikah Sirri adalah perkawinan yang sah hanya menurut agama Islam dan belum tercatat dalam hukum negara. Apabila diperlukanya pencatatan nikah, maka harus diajukan istbat nikah terlebih dahulu di Pengadilan Agama kemudian diajukan pengakuan / pengesahan anak. Walaupun dalam Islam tidak mengenal adanya pengakuan, namun dengan keluarnya surat edaran dari Pengadilan Tinggi Agama Semarang Nomor: W11-A/863/HK.00.8/III/2012 tertanggal 19 Maret 2012, yang menyatakan Pengadilan Agama dapat menerima Permohonan tentang Pengesahan Anak, sepanjang memenuhi syarat dan mengacu kepada: “UUD 1945 Pasal 28-B ayat (1), yaitu “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan sesuai Hukum Islam, baik tercatat maupun tidak. Jika tidak, bisa melakukan Istbat nikah di Pengadilan Agama. Dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum” 78 Surat Edaran PTA Semarang tersebut terbit karena adanya putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 mengenai status anak luar kawin. Sehingga antara Kompilasi Hukum Islam dengan UndangUndang Perkawinan sangat erat kaitannya. Karenanya anak luar kawin dalam perkawinan sirri mempunyai kedudukan yang sama dengan anak sah maka hak dan kewajiban yang timbulpun sama. Sehingga dapat diartikan bahwa anak luar kawin juga mempunyai bagian waris yang sama dengan anak sah sebagai ahli waris. Namun harus dijukan pengesahan anak terlebih dahulu seperti yang tertuang diuraian sebelumnya. Disimpulakan dalam pembahasan ini bahwa anak luar kawin dalam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 merupakan anak luar kawin yang lahir dalam perkawinan yang sah namun belum dicatatkan seperti yang dianjurkan oleh Undang-Undang Perkawinan. Dalam kaitanya dengan Hukum Islam maka, anak tersebut sama dengan anak yang sah, karena nikah sirri itu merupakan nikah yang sah. Sehingga bagian warisnya sama dengan anak sah pada umumnya. 79 4.1.2 Bagian Waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46 / PUU-VIII/ 2010 Permasalah anak luar kawin tidak hanya sampai pada pengertian dan makna anak luar kawin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 saja, karena dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut membahas tentang hak keperdataan anak luar kawin dengan sang ayah biologi tentunya permasalahan selanjutnya bagaimana hak keperdataan seorang anak luar kawin dari sang ayah didapatkannya . Mahfud MD menyatakan, hubungan perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak berbentuk nasab, waris, dan wali nikah.Hak yang dapat dituntut anak di luar perkawinan yang tidak diatur fiqih, antara lain, berupa hak menuntut pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain. Intinya adalah hak-hak perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah, atau hak perdata apa pun yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip munakahat sesuai fiqih.( Padang Express Kamis, 29/03/2012 12:16 WIB) Menurut Akil Mochtar anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri, seharusnya, termasuk dalam anak sah karena dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi telah diakui bahwa perkawinan yang dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh agama masing-masing pasangan calon mempelai adalah perkawinan yang sah meskipun perkawinan itu tidak dicatat dalam catatan administratif negara. 80 (http://irmadevita.com/2012/perlindungananakluarkawinpascaputusanMahka mah Konstitusi diunduh 29 January 2013 Pukul 15:51) Akan tetapi, dalam prakteknya anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri justru digolongkan kedalam anak luar kawin sehingga si anak tidak memperoleh hak-hak keperdataan sebagaimana mestinya. Anak dalam akta kelahirannya tidak dicantum nama bapaknya sehingga muncul stigma negatif di masyarakat. Ditambah lagi, berkembang praktek di masyarakat bahwa perkawinan sirri merupakan praktek poligami terselubung. Pihak laki-laki, terutama, seringkali menyangkal adanya perkawinan tersebut sehingga hakhak anak yang lahir dalam perkawinan tersebut tidak dipenuhi( http://irmadevita.com/2012/perlindungananakluarkawinpascaputusanMahkam ah Konstitusi diunduh 29 January 2013 Pukul 15:51) Irma Devita menjelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran. Akan tetapi Pengadilan Agama diberikan kewenangan untuk mengeluarkan ketetapan (itsbat) bila tidak ada akta kelahiran dari anak tersebut. Pengadilan memeriksa asal-usul anak dengan mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah, seperti keterangan saksi-saksi, tes DNA, pengakuan ayah (istilhaq), sumpah ibunya dan alat-alat bukti lain yang sah menurut hukum. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Umar Shihab, juga menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi itu. Menurut Umar, putusan ini bisa menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutus sengketa anak. 81 “Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 ini menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutus. Kalau tes DNA-nya bilang itu ayahnya, ya dia harus bertanggung jawab, Anak yang lahir di luar nikah kan ada dua kemungkinan, anak diakui oleh ayahnya atau tidak. Kalau ayahnya mengakui maka tidak menjadi masalah. Kalau tidak mengakui akan dibuktikan ke pengadilan.” Selanjutnya, pembuktian di pengadilanlah yang akan menentukan nasib anak apakah benar anaknya atau tidak, yaitu dengan menggunakan sarana ilmu pengetahuan atau teknologi yang tersedia dan diakui secara hukum. Adapun untuk perkawinan sirri, menurut Umar, tidak ada masalah dalam Islam. Sebab, Nikah Sirri diakui secara sah dalam syariat Islam. Seandainya di belakang hari laki-laki mengelak tidak mengakui perkawianan tersebut maka tinggal dibuktikan di pengadilan. Umar juga menegaskan sebagai berikut “Bedanya kalau anak yang lahir di luar perkawinan dia tidak mendapat hak waris. Tapi kalau lahir dalam perkawinan sirri maka secara agama tetap dapat hak waris, nasab, nafkah, biaya pendidikan dan sebagainya” (Majalah Konstitusi edisi February 2012 halaman 17) Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menjadikan anak luar kawin sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (persona in judicio) dalam perkara kewarisan di pengadilan dan berhak memperoleh harta warisan ayah biologisnya dengan keharusan mampu membuktikan adanya hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. 82 (http://news.detik.com/read/2012/02/20/085328/1846287/103/pengakuanhakk eperdataan-anak-luar-kawin diunduh tanggal 2 November 2012 pukul 22:58) Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, HM Nurul Irfan, berpendapat Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 tersebut memang mengarah ke pembagian harta ayah kepada anak di luar nikah. Tapi, pembagian harta tersebut tidak bisa diimplementasikan sebagai warisan menurut konsep dasar hukum Islam, yaitu anak laki-laki mendapat harta dua kali lipat ketimbang anak perempuan. Hal tersebut dikarenakan warisan menurut konsep dasar Hukum Islam memiliki syarat seperti adanya nasab atau hubungan sah menurut perkawinan. Nasab sendiri adalah keturunan darah atau hubungan-hubungan kekerabatan di dalam Islam melalui perkawinan yang sah. Atau, melalui pengakuan seorang laki-laki bahwa itu anaknya yang diikuti dengan adanya bukti-bukti DNA dan tes darah. Nurul Ifan menyampaikan : Kalau mau disinkronisasi dengan konsep dasar Hukum Islam jangan diberi nama waris. Kalau waris syaratnya harus ada hubungan kekerabatan yang sah. Kalau anak di luar nikah kan tidak sah (menurut hukum). Jadi silakan memperoleh haknya tetapi bukan nama waris, misalnya, hibah, sedekah dan lain-lain. A Mukti Arto menyampaikan dalam diskusi hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon bersama Pejabat Kepaniteraan pada tanggal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon dalam pengubahan Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tersebut, maka kita harus kembali 83 kepada nilai-nilai dasar syariah Islam dan asas-asas umum serta asas-asas hukumnya agar dapat memahami perubahan hukum konkritnya mengenai anak, hubungan darah, dan tanggung jawab ayah. (http://badilag.net/data/ARTIKEL/DISKUSI%20HUKUM.pdf diunduh 6 february 2013 pulul 22:27) A Mukti Arto dalam bahan diskusinya menyebutkan hubungan perdata yang timbul akibat dari adanya hubungan darah ini meliputi hubungan hukum, hak dan kewajiban antara anak dengan ayah dan ibunya yang dapat berupa: (1)hubungan nasab; (2) hubungan mahram; (3) hubungan hak dan kewajiban; (4) hubungan pewarisan (saling mewarisi) yang merupakan pelanjutan hubungan hak dan kewajiban karena nasab ketika mereka sama-sama masih hidup; dan (5) hubungan wali nikah bagi anak perempuan. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD meminta para ulama memahami keputusan Mahkamah Konstitusi terkait kedudukan anak diluar nikah. Dikatakannya, keputusan itu mengandung pengertian setiap anak yang lahir memiliki hubungan keperdataan kepada kedua orang tua.Saat membuka pengajian Konstitusi di PP Tebuireng Jombang yang dihadiri Katib Aam PBNU KH Malik Madany, dan RAis Syuriyah PBNU KH Masdar F Masudi, Mahfud MD mengatakan “jangan samakan antara hubungan nasab dengan hubungan keperdataan. Kalau hubungan perdata artinya anak memiliki hak kepada orang tuanya” 84 (http://www.nu.or.id/a,publicm,dinamics,detailids,44id,37360lang,idc,nasionalt,Mah fud+MD++Bedakan+Hubungan+Keperdataan+dengan+Soal+Nasab.phpx) : Adanya keputusan Mahkamah Konstitusi, dikatakan Mahfud berarti tidak boleh menelantarkan anak walapun yang dihasilkan di luar nikah. Saat ini diakuinya, memang masih ada kesalahpahaman pengertian, terkait keputusan itu, yaitu anak yang lahir diluar nikah memang tidak memiliki nasab. Disampaikan mantan menteri era presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini, sekarang adalah waktunya segera mengisi hukum-hukum terkait hak keperdataan anak yang lahir diluar nikah. MUI seharusnya segera mengatur hal-hal keperdataan atas anak hasil hubungan diluar nikah. Yang menurut Fiqh Muamalah diperbolehkan. Terkait dengan anak yang berada dalam perkawinan sirri Asrorun Ni'am menyatakan "Tinggal minta penetapan dari pengadilan agama (bahwa anak tersebut adalah anak kedua orangtua yang menikah Sirri”. Asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran (Pasal 55 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam). Apabila tidak ada akta kelahiran, maka dapat dimintakan ketetapan hukum (itsbat) kepada Pengadilan Agama (PA). Pengadilan memeriksa asalusul anak berdasarkan alat-alat bukti yang sah, seperti saksi, tes DNA, pengakuan ayah (istilhaq), sumpah ibunya dan/atau alat bukti lainnya. Apabila telah dapat dibuktikan siapa ayah dari anak tersebut, maka PA memberi keputusan dengan menetapkan bahwa anak tersebut adalah anak dari 85 ayahnya dimaksud. Berdasarkan penetapan pengadilan, Kantor Catatan Sipil (KCS) mencatat dalam buku akta kelahiran dan kepada yang bersangkutan diberikan kutipannyaApabila tidak terdapat bukti yang cukup untuk menetapkan siapa ayah dari anak tersebut, maka pengadilan menetapkan bahwa anak tersebut adalah anak ibunya saja.(A. Mukti Bahan diskusi hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon bersama Pejabat Kepaniteraan pada tanggal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon diunduh 6 February 2013 pukul 22:27.) Dalam Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Salah satu sabda Nabi dalam Hadis riwayat Muttafaq ‘alaih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Nabi SAW bersabda: Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya)” (Rofiq, 2003: 380) Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban serta tata cara pembagian harta peninggalan dari seseorang yang sudah meninggal (Pewaris) kepada para keluarga dan kerabat-kerabatnya yang ditinggalkan (ahli waris). 86 Saling mewarisi terjadi antara pewaris dengan ahli warisnya. Proses saling mewarisi tidak sedemikian rupa terjadi dengan sendirinya, ada beberapa sebab-sebab terjadinya saling waris. Ahmad Rofiq dalam bukunya Hukum Islam diIndonesia menyebutkan bahwa sebab saling mewarisi ialah a) Al-Qarabah (pertalian darah) Al-Qarabah (pertalian darah) disini diartikan bahwa sebab saling mewarisi berasal dari hubungan pertalian darah, dimana semua ahli waris yang mempunyai hubungan darah mendapatkan bagianya sesuai dengan dekat jauhnya kekerabatanya. Baik itu laki-laki, perempuan dan anak-anak, bahkan bayi yang masih dalam kandunganpun memiliki hak yang sama dengan orang dewasa. b) Al – Musahrah (hubungan perkawinan) Sebab saling mewarisi Al – Musahrah berasal dari perkawinan yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan, baik menurut hukum agama dan kepercayaan maupun hukum negara yang menyebabkan adanya hubungan saling mewarisi. c) Al – Wala (memerdekakan hamba sahaya) Al – Wala adalah hubungan kewarisan karena seorang memerdekakan hamba sahnya, atau melalui perjanjian tolong- 87 menolong. Laki-laki disebut mu’tiq dan perempuan disebut mu’tiqah. Bagiannya 1/6 dari harta warisan pewaris. Kompilasi Hukum Islam pasal 174 menggolongkan ahli waris terdiri atas : a) Menurut Hubungan Darah - Golongan Laki-laki terdiri ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. - Golongan Perempuan terdiri ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek b) Hubungan Perkawinan, terdiri atas dudu atau janda. Dilihat dari bagian yang diterima atau haknya ahli waris dibedakan menjadi tiga yaitu : 1. Ahli waris ashab al-farud yaitu ahli waris yang telah ditentukan bagian-bagiannya. Misalkan 12, 13 dan lain-lainya. 2. Ahli waris ashab al-usubah yaitu ahli waris yang ketentuan bagiannya adalah menerima sisa setelah diberikan kepada ashab al-farud,seperti anak lakilaki, ayah , paman dan lain sebagainya. 3. Ahli waris Zawi al – arham yaitu orang yang sebenarnya mempunyai hubungan darah dengan si pewaris, namun karena dalam ketentuan nas tidak 88 diberi bagian, maka mereka tidak berhak menerima. Kecuali ahli waris tersebut termasuk golongan Ahli waris ashab al-farud dan Ahli waris ashab alusubah. Untuk mengetahui secara lebih detail ahli waris terdiri atas skema sebagai berikut (lubis, 2004:78) : Skema Ahli Waris 5A 4 3A 3 4A 8A 7A 6A 1A 9A 2A 10 11 10 10 M 5 6 1 8 9 2 14 10A 15 7 89 Keterangan: 1. Nomor dalam kotak adalah nomor ahli waris 2. Nomor Urut 1 sampai dengan 15 (sebelah kanan) adalah golongan laki-laki 3. Nomor urut 1A sampai 10A (sebelah kiri)adalah ahi waris perempuan 4. Tanda panah keatas berarti seterusnya keatas, sedangkan tanda panah kebawah berarti seterusnya kebawah. 5. Garis lurus berarti mempunyai hubungan darah. 6. Garis putus-putus berarti hubungan perkawinan. Keterangan Skema : M = Si Mayat / meninggal / pewaris 1. = Anak laki-laki 2. = Cucu laki-laki dari anak laki-laki. Tanda panah kebawah menunjukan garis keturunan samapai kebawah. Cicit lakilaki, piut laki-laki dst. 3. = Bapak 4. = Kakek. Tanda panah keatas menunjukan seterusnya keatas. Ayahnya kakek, kakeknya kakek jika ada. 5. = Saudara laki-laki kandung si mayat (saudara se ayah dan se ibu) 6. = Saudara laki-laki seayah saja 7. = Saudara seibu saja 90 8. = Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung 9. = Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah 10. = Saudara laki-laki bapak (dari bapak) yang seibu sekalipun yang terjauh. 11. = Saudara laki-laki bapak 12. = Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang seibu sebapak 13. = Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak. 14. = Suami (apabila yang meninggal seorang perempuan) 15. = Laki-laki yang memerdekakan si mayat dari perbudakan 1A. = Anak perempuan (Saudara kandung dari 1) 2A. = Cucu perempuan dari anak laki-laki 3A. = Ibu 4A. = Nenek (Ibu dari Ibu) 5A. = Nenek (Ibu dari Bapak) 6A. = Saudara perempuan yang seibu sebapak kandung 7A. = Saudara perempuan yang sebakap saja 8A. = Saudara perempuan seibu saja 9A. = Istri (apabila yang meninggal suami/ si mayat laki-laki) 10A. = Perempuan yang memerdekakan si mayat dari perbudakan. Saling mewarisi tidak akan terlaksana apabila ahli warisnya memiliki penghalang saling mewarisi. Penghalang saling mewarisi terdiri atas : (Baidhowi, 2010:41 ) 91 1. Pembunuhan Sesuai dengan Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 2. Berbeda Agama Didalam Pasal 171 huruf c menyatakan Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. 3. Perbudakan Budak menjadi penghalang mewarisi, karena status dirinya yang dipandang sebagai tidak cakap melaukan perbuatan hukum. Sebelum menentukan besarnya bagian anak luar kawin sebagai ahli waris maka terlebih dahulu kita mengetahui apakah si anak ini mempunyai penghalang atau apakah anak ini menjadi penghalang bagi ahli waris yang lain. Dalam sistem kewarisan Islam mengenal adanya Hijab atau terhalang memperoleh warisan dipewaris. Hijab dapat dikualifikasikan menjadi 2 yaitu (Lubis, 2004: 86) : 92 1. Hijab Hirman Hijab Hirman yaitu penghalang yang menyebabkan sesorang ahli waris tidak memperoleh sama sekali warisan disebabkan ahli waris yang lain. Misalkan seorang cucu kan terhijab jika si mayat mempunyai anak. Mayat Anak Pr Anak lk Anak Pr Cucu lk/pr Dari skema diatas anak laki-laki merupakanhijab hirman bagi cucu laki-laki atau perempuan, karena adanya anak laki-laki cucu tidak menerima bagian sama sekali. 2. Hijab Nuqsan Adapun Hijab Nuqsan adalah penghalang yang menyebabkan berkurangnya bagian seorang ahli waris. Suami (meninggal) AL AL Istri AP AP 93 Baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan hijab nuqsan bagi si istri, sebab dengan adanya anak, maka bagian yang diperolehnya menjadi berkurang, yaitu dari 1/4 bagian menjadi 1/8 bagian. Dalam bagian ahli waris atas suatu warisan ada yang bagianya sudah ditentukan dan dipertegas didalam Al-Quran seperti dalam skema ahli waris yang diuraikan sebelumnya masih ada lagi kelompok ahli waris yang tidak mempunyai bagian tertentu, dengan kata lain tidak ditegas kan dalam AlQuran maupun As-Sunnah. Ahli waris yang demikian disebut dengan Ashabah (lubis, 2004:98) Ashabah merupakan ahli waris yang menunggu sisa pembagian dari ahli waris yang telah ditentukan bagiannya, dengan keistimewaan ashabah ini ia akan mengambil pengahiban dari harta sisa yang telah dibagikan sebelumnya. Secara umum Ashabah dibagi atas 2 yaitu Ashabah Nasabiyah dan Ashabah Ma’al Ghair. 1. Ashabah Nasabiyah yaitu seorang ahli waris menjadi Ashabah dikarenakan adanya hubungan darah dengan si pewaris. Ashabah Nasabiyah terbagi atas 3 yaitu : a) Ashabah bi Nafsi, yaitu ia menjadi ashabah dengan dirinya sendiri maksudnya disebabkan karena 94 kedudukanya. Adapun ahli waris ini ialah seluruh ahli waris yang laki-laki kecuai suami dan saudara laki-laki seibu. b) Ashabah bil Ghair, menjadi ashabah disebabkan orang lain. Hal ini terjadi pada ahli waris perempuan dimana sebelumnya dia bukan merupakan ashabah, namun dengan adanya ahli waris laki-laki yang sederajat dengannya maka ia menjadi ashabah. c) Ashabah Ma’al Ghair , menjadi ashabah karena mewarisi bersama orang lain. Yang menjadi ahli waris ini ialah saudara seibu sebapak karena mewarisi bersama anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya. 2. Ashabah Sababiyah yaitu menjadi ashabah dikarenakan adanya sesuatu sebab. Sebab yang dimaksud karena adanya kemerdekaan si mayat dari perbudakan. Setelah mengetahui hal-hal yang ada dalam pewarisan sebelum harta peninggalan dibagikan oleh si pewaris, selanjutnya mengetahui porsi setiap ahli waris dalam pewarisan Islam. Namun sebelum dibagikan harta peninggalan sebelum dibagi sebagai harta waris terlebih dahulu harus diselesaikan masalah hutang piutang pewaris (yang meninggal) dan biaya pemakaman serta wasiat yang dibolehkan (bila ada). 95 Disamping itu bila si mayit meninggalkan istri (janda) atau suami (duda) dan masih terikat perkawinan perlu dipisahkan lebih dahulu antara harta bawaan (harta yang dipunyai sebelum menikah) dan harta bersama (harta yang diperoleh setelah perkawinan atau harta gono-gini). Jadi yang menjadi harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhis), pembayaran hutang dan pemberian kerabat (Pasal 171 huruf e KHI ). Setelah semua urusan dari sipewari telah selesai, barulah harta warisan itu dibagikan sesuai dengan porsi ahli waris masing-masing. Dari tabel dijelaksan tentang porsi setiap ahli waris. Anak luar kawin yang dalam hal ini merupakan anak sah, maka kedudukan waris anak luar kawin sama dengan anak sah. Bila anak tersebut perempuan dan hanya seorang saja maka ia akan mendapatkan bagian ½ dari harta warisan, namun ketika anak perempuan tersebut lebih dari 2 maka ia mendapatkan 2/3 bagian dan apabila bersama dengan anak laki-laki maka mendapatkan sisa. Apabila anak tersebut ialah anak laki-laki, maka ia akan mendapatkan seluruh harta warisan setelah dibagikan dengan ahli waris lainya. 96 4.2 Pembahasan 4.2.1 Pandangan Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010 Anak luar kawin didalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa yang dimaksud anak luar kawin ialah anak yang lahir diluar kerkawinan. Namun tidak secara detail disebutkan seperti apa dan bagaimana anak luar kawin tersebut. Di lihat dari perkata, maka ada tiga makna yaitu anak, luar dan kawin. Didalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI) anak mempunyai arti anak n 1 keturunan yg kedua: ini bukan -- nya, melainkan cucunya; 2 manusia yg masih kecil: -- itu baru berumur enam tahun; 3 binatang yg masih kecil: -- ayam itu berciap-ciap mencari induknya; 4 pohon kecil yg tumbuh pd umbi atau rumpun tumbuhtumbuhan yg besar: --pisang; 5 orang yg berasal dr atau dilahirkan di (suatu negeri, daerah, dsb): -Jakarta; -- Medan; 6 orang yg termasuk dl suatu golongan pekerjaan (keluarga dsb): -- kapal; -komidi; 7bagian yg kecil (pd suatu benda): -baju; 8 yg lebih kecil dp yg lain: -- bukit; -- ayam kehilangan induk, pb ribut dan bercerai-berai krn kehilangan tumpuan; -- baik menantu molek, pb mendapat keuntungan yg berlipat ganda; -dipangku dilepaskan, beruk dl rimba disusukan (disusui), pb selalu membereskan (memikirkan) urusan orang lain, sedangkan urusan sendiri diabaikan; -- orang, -- orang juga, pb seseorang yg asing bagi kita akan tetap asing juga; -- sendiri disayangi, -- tiri dibengkengi, pb bagaimanapun adilnya seseorang, kepentingan sendiri juga yg diutamakan; kasihkan -- tangan-tangankan, kasihkan bini tinggal-tinggalkan (sayang di -- dibenci, sayang di negeri ditinggalkan), pb yg disayangi itu 97 hendaknya jangan terlalu dimanjakan; kecil-kecil -kalau sudah besar onak, pb anak itu selagi kecil menyenangkan hati, tetapi kalau sudah besar menyusahkan hati (krn kelakuannya dsb); menggantang -- ayam, pb melakukan pekerjaan yg tidak mungkin atau sia-sia untuk dikerjakan; pecah -- buyung, tempayan ada, pb tidak akan kekurangan perempuan untuk dijadikan istri; rusak -- oleh menantu, pb orang yg kita kasihi merusakkan harta yg kita berikan kepadanya; Kawin mempunyai makna 1 v membentuk keluarga dng lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah: ia -- dng anak kepala kampung; 2 v melakukan hubungan kelamin; berkelamin (untuk hewan); 3 v cakbersetubuh: -- sudah, menikah belum; 4 n perkawinan; sedangkan luar mempunyai makna sebagai berikut : 1 daerah, tempat, dsb yg tidak merupakan bagian dr sesuatu itu sendiri: ia berdiri di -- gedung; lima tahun ia tinggal di -- negeri; 2 bukan dr lingkungan (keluarga, negeri, daerah, dsb) sendiri; asing: meskipun ia orang -- , tetapi sudah spt keluarga sendiri; 3 bagian (sisi, permukaan, dsb) yg tidak di dalam: merk kecap itu tertempel di -- botol; obat -- , obat untuk mengobati bagian luar tubuh (kulit dsb); -- batas melampaui batas; -- bicara tidak masuk dl pembicaraan; tidak terhitung; -- dalam 1lahir batin; 2 bagian luar dan bagian dalam; -dugaan tidak disangka-sangka; -- kepala dng ingatan (tidak perlu ditulis atau melihat tulisan); -negeri negeri luar; negeri asing; -- nikahhubungan laki-laki perempuan yg tidak halal; -ruang berlangsung (terjadi) di ruang terbuka atau dimaksudkan untuk digunakan (dipakai) di ruang terbuka: olahraga --; pakaian --; -- siarketerangan tertentu dr seorang terwawancara kpd wartawan yg mewawancarainya, tidak untuk disiarkan, tetapi hanya untuk pengetahuan si wartawan sbg latar belakang topik yg dijadikan bahan wawancara; 98 nirwarta; me·lu·ar a menonjol ke luar; tersembul (terdorong) ke luar; Apabila dilihat dan digabungkan dari pengertian di Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat ditarik kesimpulan keturunan yang ada buka bagian dari perkawinan atau proses keluarga antara laki-laki dan perempuan. Didalam hal ini, karena pasal yang di Judicial review oleh Mahkamah Kontitusi ialah Pasal 43 ayat (1) dari Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka tentunya perkawinan yang dimaksud untuk anak luar kawin ialah perkawinan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tersebut. Didalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, didalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan bahwa “(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sehingga ketika suatu perkawinan tersebut tidak memenuhi dua unsur dari pasal tersebut, maka dikatakanlah bahwa perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum atau biasanya disebut diluar perkawinan atau masyarakat umum ada yang mengangapnya nikah sirri. Anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010 mempunyai pengertian setiap anak yang lahir didunia ini dengan kedua orang tua yang tidak menikah ataupun yang pernikahannya tidak atau belum dicatatkan di KAU mempunyai hak keperdataan yang sama dimata hukum terhadap kedua orang tuanya terutama terhadap sang ayah. 99 Apabila anak luar kawin yang dimaksudkan dalam penelitian penulis ialah anak yang dihasilkan atau dilahirkan dalam perkawinan yang sah menurut agama namun tidak ataupun belum dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah. Dua hal yang berbeda antara anak luar kawin yang akan penulis uraikan dalam pembahasan penelitian ini dengan anak zina yang seperti telah diuraikan sebelumnya. Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 sebenarnya memberikan perlindungan terhadap nasib-nasib anak yang ditelntarkan oleh sang ayah karena status perkawinan dengan sang ibu tidak jelas. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 anak memiliki hak kepada orang tuany sehingga dapat diatrikan seorang ayah tidak boleh menelantarkan anak walapun yang dihasilkan di luar nikah. Saat ini diakuinya, memang masih ada kesalahpahaman pengertian, terkait keputusan itu, yaitu anak yang lahir diluar nikah memang tidak memiliki nasab, tapi punya hak keperdataan. Hak keperdataan dilihat dari dua suku kata hak dan perdata yang mendapat awalan ke dan akhiran an. Hak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai makna : 1.a benar: mereka telah dapat menilai mana yg -- dan mana yg batil; 2 n milik; kepunyaan:barang-barang ini bukan -- mu; 3 n kewenangan: dng ijazah itu ia mempunyai -- untuk mengajar; 4 n kekuasaan untuk berbuat sesuatu (krn telah ditentukan oleh undangundang, aturan, dsb): semua warga negara yg telah berusia 18 tahun ke atas mempunyai -- untuk memilih dan dipilih dl pemilihan 100 umum; 5 n kekuasaan yg benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu: menantu tidak ada -- atas harta peninggalan mertuanya; 6 n derajat atau martabat: orang Melayu pd waktu itu tidak sama -nya dng orang Eropa; 7 n Huk wewenang menurut hukum; Sedangkan perdata tanpa adanya imbuhan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai pengertian “ 1per·da·ta n Huk sipil (sbg) lawan kriminal atau pidana; -- formal yg mengatur hak, harta benda, dan hubungan antara orang atas dasar logika; --material yg mengatur hak, harta benda, hubungan antarorang atas dasar kebendaan” Apabila digabungkan antara hak dan perdata menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat dikatakan bahwa kepemilikan atas harta benda dan hubungan antar orang. Dengan kata lain hak keperdataan ialah hak yang dimiliki oleh seseorang yang dalam hal ini ialah anak terhadap harta benda atau hubungan yang dalam hal ini ialah kepada orang tuanya. Hal ini disebabkan karena hak keperdataan yang dibahas ialah hak keperdataan yang ada dalam Pasal 43 ayat 1 Undang-undang Perkawinan yang menyebutkan hubungan antara anak dengan orang tuanya. Hak keperdataan seorang anak luar kawin yang dimaksud ialah seperti baiya hidup sang anak, biaya kesehatan, biaya pendidikan dan biaya-biaya yang lain yang tidak berhubungan dengan nasab dan yang tidak tertulis dalam Fiqih Islam. 101 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menjelaskan mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Hak tersebutlah dapat dikatakan sebagai hak keperdataan yang dimiliki oleh orang tua dan anak. Harusnya tanpa melihat dari mana anak itu berasal, orangtua dengan sang anak tentunya tidak bisa dipisahkan. Dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 diterangkan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 jelas terlihat, orang tua wajib mendidik dan memelihara anak-anaknya. Jangankan ada hubungan darah, dengan anak angkat saja kita diwajibkan untuk dipelihara oleh orang tua angkatnya. Seorang anak tidak anak bisa hidup tanpa adanya dua orang tuanya yang membantunya sampai saatnya anak menikah dan dapat hidup sendiri. Selain didalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 di dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan dalam Pasal 298 ayat (2) sebagai berikut : Setiap anak, berapa pun juga umurnya, wajib menghormati dan menghargai orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih di bawah umur.Kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapat mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka itu. 102 Hukum Islam memandang anak luar kawin yang dalam kaitanya dengan anak luar kawin sirri sebenarnya sama atau statusnya sama dengan anak sah. Karena nikah sirri menurut syariat Islam merupakan nikah yang sudah sah dan sudah sesuai dengan rukun dan syarat nikah. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah, perkawinan yang mengikuti prosedur Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974. Anak yang lahir di luar perkawinan, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pengertian ini menunjukkan adanya perkawinan, dan jika dilakukan menurut agama Islam, maka perkawinan yang demikian ”sah” dalam perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Dengan demikian anak tersebut sah dalam kacamata agama, yaitu sah secara materiil, namun karena tidak tercatat baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di Kantor Catatan Sipil (anak hasil kawin sirri, seperti halnya Machica Mochtar dengan Moerdiono), maka tidak sah secara formil. Anak yang lahir tanpa perkawinan, adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara pria dengan wanita tanpa ada ikatan perkawinan Hal ini juga sesuai dengan penjelasan KH.Ma’ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia dimana. KH.Ma’ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia menjelaskan dalam wawancaranya dengan redaksi Redaksi Mimbar Ulama menyebutkan bahwa apabila syarat dan rukun nikah sudah terpenuhi, nikah tersebut sudah disebut nikah yang sah. MUI juga merekomendasikan supaya 103 nikah sirri itu dicatatkan, sehingga tidak ada korban istri maupun anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut terlantar.(mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=199:pe rihalkontroversi-nikah-sirri-&catid=47:materi-konsultasi&Itemid=66 diunduh tanggal 8 february 2013 pukul 5:39 ) Pada dasarnya perkawinan di Indonesia harus dilaksanakan dengan prosedur sesuai dengan pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah yang dimaksud dengan perkawinan yang sesungguhnya menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Jika perkawinan dilakukan hanya mengikuti pasal 2 ayat (1) saja, maka perkawinan itu disebut ”luar perkawinan”. Disamping itu, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Konsep ini sejalan dengan konsep Hukum Islam dan hukum adat pada umumnya. Agama Islam menganut prinsip bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah sehingga tidak ada alasan untuk membeda-bedakan setiap anak yang lahir, termasuk anak luar kawin sekalipun. Dalam hal warisan ataupun saling mewarisi dalam Hukum Islam Allah Swt. Memerintakan agar setiap orang yang beriman mengikuti ketentuanketentuan Allah menyangkut hukum kewarisan sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an dan menjanjikan siksa neraka bagi orang yang 104 melanggar peraturan ini. Dalam Q.S. An-Nisa' ayat (13) dan (14) Allah berfirman: Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barang siapa yang ta'at pada (hukumhukum) Allah dan RasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka (akan) kekal di dalamnya. Dan yang demikian tersebut merupakan kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, serta melanggar ketentuan (hukum-hukum) Allah dan rasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan mereka akan kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang amat menghinakan. Seperti yang telah diterangkan sebelumnya bahwa berdasarkan SEMA No 7 tahun 2012, apabila anak luar kawin ingin mendapatkan hak-haknya dari bapaknya harus terleih dahulu mengajukan permohonan pengesahan anak ke Pengadilan Agama dengan terlebih dahulu melakukan Itsbat perkawinan sirri. Setelah adanya proses itulah kemudian munculah bagian-bagian waris yang didapatkan oleh anak luar kawin nantinya. Penulis berpendapat sesuai dengan Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng yang menuturkan dalam wawancaranya dikantor MUI Jateng tanggal 13 February 2013 Pukul 13.30 menanggapi tentang anak luar kawin Mahkamah Konstitusi sebagai berikut : “anak yang lahir diluar kawin dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu ada tiga macam, yang pertama ialah anak diluar kawin resmi atau biasa disebut kawin sirri, yang kedua ialah anak diluar kawin yang kemudian dikawini oleh suami atau ayah sianak biasa disebut kawin wanita hamil dan yang 105 terakhir ialah anak diluar kawin yang tidak pernah sama sekali ada perkawinan atau biasa disebut anak zina. Menurut pandangan MUI apabila kategori pertama anak luar kawin itu merupakan anak bapaknya, karena dalam Hukum Islam kawin sirri itu merupakan kawin yang sah sehingga sama dengan anak sah, kemudian yang yang kedua anak lahir ketika ibunya hamil dikawinin oleh suami yang merupakan bapak biologis anaknya juga merupakan anak yang sah dan yang ketiga anak luar kawin yang tidak pernah dikawini tidak bisa disebut anak sah dan merupakan anak luar kawin” Menurut penulis dalam skripsi penulis terbatas anak luar kawin menurut Hukum Islam, apabila sesuai dengan macam-macam anak luar kawin yang telah dijelaskan Dr Muhyidin M.Ag. Penulis sepahaman dengan hal tersebut. Karena luar kawin yang dimaksud oleh Mahkamah Kostitusi itu menJudicial review Pasal 43 Undang-undang Perkawinan yang dimana didalam undangundang perkawinan disebutkan dalam pasal sebelumnya yaitu pasal 2 ayat (2) bahwa tiap perkawinan harus dicatatkan supaya mempunyai kekuatan hukum. Karena didalam Hukum Islam tidak mengenal pencatatan, maka anak diluar kawin yang kaitanya dengan anak diluar perkawinan yang tidak dicatatkan atau sering disebut anak nikah sirri merupakan anak sah yang lahir dalam perkawinan yang sah menurut agama. 4.2.2 Bagian Waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010 106 Dr. Muhyidin M.Ag dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis pada hari Rabu tanggal 13 Februari 2013 di kantor MUI Provinsi Jateng menerangkan tentang warisan yang terkait dengan anak luar kawin pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi menurut beliau sebagai berikut : Apabila kaitanya dengan anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, tidak ada sangkut pautnya dengan hukum Islam. Karena Hukum Islam punya aturan tersendiri. Yang harus melihat kemaslahatan umat Islam lainya. Apabila waris anak luar kawin yang lahir dalam perkawinan yang sah walaupun tidak dicatatkan porsi anak tersebut sama kedudukanya dengan anak sah. Namun ketika anak luar kawin itu merupakan anak zina, maka ia tidak akan menerima warisan. Hal ini sesuai dengan Fatwa MUI NO 11 Tahun 2012. Dimana anak zina tidak mempunyai nasab dengan sang ayah. Didalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010 memang tidak sama sekali menyinggung mengenai hak waris anak luar kawin sebagai nasab yang dengan mudah diputuskan. Menurut Dr. Muhyidin M.Ag, MAHKAMAH KONSTITUSI tidak akan mungkin mengubah hubungan nasab dengan seenaknya karena bagaimanapun para hakimnya juga orang Islam, tentunya akan ada rasa takut dengan hal itu. Didalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010 hanya menjelaskan mengenai hak keperdataan dari anak luar kawin tanya mencampur masalah nasabnya. Hak keperdataan yang dimaksud sesuai dengan uraian yang sebelumnya terdiri atas hak mendapatkan biaya hidup, 107 biaya kesehatan dan biaya-biaya lain yang tidak berhubungan dengan nasab si anak kepada si bapak. Seperti yang diutarakan Mahfud MD menyatakan, hubungan keperdataan yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak berbentuk nasab, waris, dan wali nikah.Hak yang dapat dituntut anak di luar perkawinan yang tidak diatur fikih, antara lain, berupa hak menuntut pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain. Intinya adalah hak-hak perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah, atau hak perdata apa pun yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip munakahat sesuai fikih.( Padang Express Kamis, 29/03/2012 12:16 WIB) Selanjutnya, pembuktian di pengadilanlah yang akan menentukan nasib anak apakah benar anaknya atau tidak, yaitu dengan menggunakan sarana ilmu pengetahuan atau teknologi yang tersedia dan diakui secara hukum. Adapun untuk perkawinan sirri menurut Umar tidak ada masalah dalam Islam. Sebab, Nikah Sirri diakui secara sah dalam syariat Islam. Seandainya di belakang hari laki-laki mengelak tidak mengakui perkawianan tersebut maka tinggal dibuktikan di pengadilan. Umar juga menegaskan “Bedanya kalau anak yang lahir di luar perkawinan dia tidak mendapat hak waris. Tapi kalau lahir dalam perkawinan sirri maka secara agama tetap dapat hak waris, nasab, nafkah, biaya pendidikan dan sebagainya” (Majalah Konstitusi edisi February 2012 halaman 17): , 108 Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 ini menjadikan anak luar kawin sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (persona in judicio) dalam perkara kewarisan di pengadilan dan berhak memperoleh harta warisan ayah biologisnya dengan keharusan mampu membuktikan adanya hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum.(http://news.detik.com/read/2012/02/20/085328/1846287/103/pengak uan-hak-keperdataan-anak-luar-kawin diunduh tanggal 2 November 2012 pukul 22:58) Dalam bahan diskusinya A Mukti Arto menyebutakan Hubungan perdata yang timbul akibat dari adanya hubungan darah ini meliputi hubungan hukum, hak dan kewajiban antara anak dengan ayah dan ibunya yang dapat berupa: (1)hubungan nasab; (2) hubungan mahram; (3) hubungan hak dan kewajiban; (4) hubungan pewarisan (saling mewarisi) yang merupakan pelanjutan hubungan hak dan kewajiban karena nasab ketika mereka sama-sama masih hidup; dan (5) hubungan wali nikah bagi anak perempuan. Dalam kaitanya dengan hak keperdataan seperti yang telah diuraikan Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng menuturkan dalam wawancaranya dikantor MUI Jateng tanggal 13 February 2013 Pukul 13.50 sebagai berikut : 109 “apabila anak luar kawin mempunya hubungan keperdataan dengan kedua orang tuanya itu sah-sah saja. Dalam konteks hubungan keperdataan selain hubungan waris ya, seperti biaya pendidikan,biaya hidup dan biaya-biaya yang lain. Jangankan kepada anaknya kepada orang lain yang kita tidak kenal saja kita boleh memberikan hak keperdataan misalakan saya memberikan uang untuk biaya pendidikan kepada orang yang tidak saya kenal itu tidak ada masalahkan dan tidak di halangi. Apabila putusan Mahkamah Konstitusi mengkaitakan semua anak luar kawin mempunyai hubungan kepedataan anak luar kawin dengan waris yang dalam hal ini nasab tentu tidak biasa. Karena seperti yang sebelumnya saya jelaskan bahwa anak luar kawin ada tiga macam dan ketiga-tiganya boleh mendapatkan hubungan keperdataan namun untuk hubungan nasab hanya anak luar kawin dalam perkawinan sirri dan anak luar kawin yang kemudian ibunya dikawini oleh bapak biologi si anak yang mendapatkanya” Apabila dilihat dari uraian dan pendapat bapak Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng, maka anak luar kawin dari perkawinan sirri sama dengan anak sah hal itu sejalan dengan Hukum Islam, sehingga dalam kaitanya dengan warisan anak luar kawin tersebut mendapatkan porsi seperti anak sah pada umumnya. Menurut penulis Anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 merupakan anak dari bapaknya dan merupakan anak yang lahir atas suatu perkawinan yang sah sehingga apabila dilihat dari sebab – sebab saling mewarisi, maka anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 memenuhi sebab mewarisi Al-Qarabah (pertalian darah) dan Al – Musahrah (hubungan perkawinan). Apabila anak 110 luar kawin tidak mempunyai hubungan dari kedua sebab mewarisi tersebut, misalkan anak luar kawin zina maka tidak akan ada saling mewarisi. 4. Al-Qarabah (pertalian darah) Al-Qarabah (pertalian darah) disini diartikan bahwa sebab saling mewarisi berasal dari hubungan pertalian darah, dimana semua ahli waris yang mempunyai hubungan darah mendapatkan bagianya sesuai dengan dekat jauhnya kekerabatanya. Baik itu laki-laki, perempuan dan anak-anak, bahkan bayi yang masih dalam kandunganpun memiliki hak yang sama dengan orang dewasa. 5. Al – Musahrah (hubungan perkawinan) Sebab saling mewarisi Al – Musahrah berasal dari perkawinan yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan, baik menurut hukum agama dan kepercayaan maupun hukum negara yang menyebabkan adanya hubungan saling mewarisi. Setelah adanya sebab mewarisi dari anak dan sang ayah, kemudian harus dilihat dulu apakah sang ahli waris memang pantas menjadi ahli waris dan tidak memiliki penghalang saling mewarisi, seperti apakah ahli waris tersebut bukan seorang pembunuh, apakah ahli waris tersebut merupakan ahli waris yang beragama Islam dan apakah ahli waris tersebut bukan merupakan seorang budak. 111 Hal ini dikarenakan saling mewarisi tidak akan terlaksana apabila ahli warisnya memiliki penghalang saling mewarisi. Penghalang saling mewarisi terdiri atas : (Baidhowi, 2010:41 ) 1. Pembunuhan Sesuai dengan Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 2. Berbeda Agama Didalam Pasal 171 huruf c menyatakan Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. 3. Perbudakan Budak menjadi penghalang mewarisi, karena status dirinya yang dipandang sebagai tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Setelah ahli waris anak luar kawin tersebut sudah bisa saling mewarisi dengan sang bapaknya karena sebab saling mewarisi terpenuhi dan bukan 112 merupakan penghalang mewarisi, maka selanjutnya menurut penulis apakah ahli waris tersebut merupakan ahli waris Ashabah atau tidak Ashabah merupakan ahli waris yang menunggu sisa pembagian dari ahli waris yang telah ditentukan bagiannya, dengan keistimewaan ashabah ini ia akan mengambil pengahiban dari harta sisa yang telah dibagikan sebelumnya. Secara umum Ashabah dibagi atas 2 yaitu Ashabah Nasabiyah dan Ashabah Ma’al Ghair. 1. Ashabah Nasabiyah yaitu seorang ahli waris menjadi Ashabah dikarenakan adanya hubungan darah dengan si pewaris. Ashabah Nasabiyah terbagi atas 3 yaitu : a) Ashabah bi Nafsi, yaitu ia menjadi ashabah dengan dirinya sendiri maksudnya disebabkan karena kedudukanya. Adapun ahli waris ini ialah seluruh ahli waris yang laki-laki kecuai suami dan saudara laki-laki seibu. b) Ashabah bil Ghair, menjadi ashabah disebabkan orang lain. Hal ini terjadi pada ahli waris perempuan dimana sebelumnya dia bukan merupakan ashabah, namun dengan adanya ahli waris laki-laki yang sederajat dengannya maka ia menjadi ashabah. 113 c) Ashabah Ma’al Ghair , menjadi ashabah karena mewarisi bersama orang lain. Yang menjadi ahli waris ini ialah saudara seibu sebapak karena mewarisi bersama anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya. 2. Ashabah Sababiyah yaitu menjadi ashabah dikarenakan adanya sesuatu sebab. Sebab yang dimaksud karena adanya kemerdekaan si mayat dari perbudakan. Setelah mengetahui hal-hal yang ada dalam pewarisan sebelum harta peninggalan dibagikan oleh si pewaris, selanjutnya mengetahui porsi setiap ahli waris dalam pewarisan Islam. Namun sebelum dibagikan harta peninggalan sebelum dibagi sebagai harta waris terlebih dahulu harus diselesaikan masalah hutang piutang pewaris (yang meninggal) dan biaya pemakaman serta wasiat yang dibolehkan (bila ada). Disamping itu bila si mayit meninggalkan istri (janda) atau suami (duda) dan masih terikat perkawinan perlu dipisahkan lebih dahulu antara harta bawaan (harta yang dipunyai sebelum menikah) dan harta bersama (harta yang diperoleh setelah perkawinan atau harta bersama). Jadi yang menjadi harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhis), pembayaran hutang dan pemberian kerabat (Pasal 171 huruf (e ) Kompilasi Hukum Islam ). 114 Setelah semua urusan dari sipewari telah selesai, barulah harta warisan itu dibagikan sesuai dengan porsi ahli waris masing-masing. Dr Muhyidin M.Ag selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jateng menuturkan dalam wawancaranya dikantor MUI Jateng tanggal 13 February 2013 Pukul 14.30 sebagai berikut : Harta warisan dalam kaitanya dengan anak luar kawin sirri yang dimana merupakan nikah sirri poligami seperti kasusnya Machica Moctar merupakan harta murni dari sang ayah / suami, yang sudah dipisahkan terlebih dahulu dengan harta bersama dengan istri pertamanya. Misalkan Murdiono mempunyai harta 10 M, namun harta 10M tersebutkan bukan milik Murdiono seluruhnya. Karena harta tersebut ada pada masa perkawinan maka biasa disebut harta gono-gini / harta bersama. Dimana sebelumnya kan harus dibagikan atau dipisah dlum, mislkan harta Bu Murdiono 5M dan milik Murdiono 5M. Maka harta yang akan dibagikan atau didapat oleh anak Machica Moctar buka dari harta yang 10 M melaikan dari harta yang 5M tersebut. Penulis mengingatkan kembali bahwa sebelum diadakannya pembagian waris anak luar kawin menurut prosedur Hukum Islam. Harus dilihat terlibih dahulu apakah anak luar kawin tersebut laki-laki atau perempuan, karena seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa porsi laki-laki dan porsi perempuan berbeda. Setelah mengetahui jenis kelamin dari ahli waris, kemudian dilihat apakah ahli waris tersebut Sebelumnya telah dijelaskan tentang Tabel, Bagan maupun sebab-sebab saling mewarisi. Pembagian warisan seperti yang diuraikan sebelumnya 115 diatas tiap orang dengan kedudukan dan posisinya sudah mempunyai porsi dan bagian-bagian masing-masing. Porsi-porsi dalam pembagian waris terdiri atas ½,1/3,1/4,1/6,1/8 dan ¾. Tiap bagian atau prosi sudah terbagi sendiri sesuai dengan kedudukan orang tersebut. Namun penulis tidak akan membahas mengenai bagian waris orang lain artinya yang akan dibahas disini hanya mengenai pembagian/ porsi anak luar kawin, baik anak luar kawin laki-laki maupun perempuan. Dalam sistem kewarisan Islam juga mengenal adanya Aul dan ar-Radd. Pasal 192 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan Aul ialah Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli warisnya Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisnya dibagi secara aul menutu angka pembilang. Sedangkan dalam Pasal 193 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan ar-Radd ialah Apabila dalam pembarian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah,maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masingmasing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka. Aul terjadi karena makin banyaknya ahli waris Dzawil furud sehingga harta yang dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian.Dalam keadaan seperti itulah maka harus menaikan atau 116 menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi Dzawil furud yang ada, meski ada bagian mereka yang berkurang (Baidhowi,2010:51) Namun tidak semua pokok masalah dapat diaulkan, karena pokok masalah yang dapat diaulkan adalah enam, duabelas dan dua puluh empat. Sedangkan pokok masalah dua, tiga, empat dan delapan tidak bisa diaulkan. (Baidhowi,2010:52) ar-Radd merupakan berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian Ashhabul Furudh. Namun ar-Radd tidak dapat terjadi apabila tidak adanya Ashhabul Furudh, adanya ‘ashabah dan tidak ada sisa harta waris. Karena ar-Radd mempunyai tiga syarat yaitu adanya Ashhabul Furudh, tidak adanya ‘ashabah dan adanya sisa harta warisan . (Baidhowi,2010:55) Selain itu ada ahli waris yang berhak mendapatkan ar-Radd ialah Ashhabul Furudh . Adapun Ashhabul Furudh yang menerima hanya 8 orang yaitu anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,saudara kandung perempuan,saudara perempuan seayah,ibu kandung,nenek sahih, saudara perempuan saeibu dan saudara laki-laki saibu. Setelah semua hal tentang mewarisi dan hal sebelum dibagikannya warisan sudah dijelaskan oleh penulis, kemudia masuklah kepada bagian-bagian ahli warisnya. 117 Anak perempuan apabila sendiri atau hanya seorang maka akan mendapatkan bagian ½ dan apabila anak perempuan tersebut lebih dari satu orang maka akan mendapatkan 2/3. Satua anak perempuan jika ia mewarisi bersama 1 atau lebih cucu perempuan, maka perempuan mendapatkan ½ dan satu atau lebih cucu perempuan mendapatkan 1/6. (Lubis, 2004:106) Anak perempuan akan mendapatkan sisa apabila bersama-sama dengan anak laki-laki. Anak perempuan mendapatkan 1 bagian dan anak laki-laki mendapatkan 2 bagian. Sesuai yang dituliskan dalam Pasal 176 KHI anak perempuan bila hanya seorang ia mendapatkan separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapatkan dua pertiga bagian dan apabila bersama-sama anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Apabila ahli waris anak laki-laki akan mendapatkan 2 kali lipat dari porsi anak perempuan. Apabila anak perempuan 1 maka anak laki-laki mendapatkan 2. Berdasarkan uraian yang telah penulis jelaskan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa anak luar kawin mendapatkan ahli waris sama dengan anak sah, apabila anak luar kawin tersebut lahir dalam perkawinan yang sah atau nikah sirri. Namun ketika anak luar kawin tersebut sama sekali tidak lahir dalam perkawinan atau anak zina, maka tidak akan mendapatkan ahli waris sama sekali. 118 Dalam kaitanya Hukum Islam, meskipun perkawinan nikah sirri maka itu disebut nikah sah dan anak yang dihasilkan juga sah menurut islah. Tidak perlu diadakannya itsbat nikah untuk mengesahkan perkawinan tersebut, apabila dilihat dari hukum nasional berdasarkan surat edaran dari Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi Agama Semarang maka diperlukannya itsbat nikah untuk nikah sirri dan pengakuan anak luar kawin oleh Pengadilan Agama. Bagaian / porsi dari masing-masing ahli waris ditentukan berdasarkan jenis kelamin dan dimana ahli waris tersebut digolongkan. 119 BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 maka penulis menyimpulkan sebagai berikut : 1. Pandangan Hukum Islam terhadap bagian waris anak luar Kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 1) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 merupakan seluruh anak luar kawin yang lahir diluar perkawinan yan ketentuan ataupun syaratnya tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. 2) Anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tergolong dalam tiga golongan yaitu anak luar kawin yang dalam Perkawinan yang sah menurut agama Islam namun tidak dicatatkan atau biasa disebut dengan 120 Kawin sirri, anak luar kawin yang dimana ibu dari anak tersebut kemudian dikawini oleh bapaknya sianak atau sering disebut Perkawinan wanita hamil dan yang terakhir anak luar kawin yang sama sekali tidak dalam Perkawinan yang sah atau sering kita sebut dan kenal dengan anak zina. 3) Anak Luar Kawin yang ada dalam penelitian penulis merupakan anak luar kawin yang ada didalam suatu perkawinan yang belum atapun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatat nikah atau nikah sirri 4) Berdasarkan hasil penelitian penulis, anak luar kawin yang berada dalam perkawinan sirri merupakan anak yang sah dan kedudukan anak tersebut sama dengan anak sah lainnya termasuk dalam hal saling mewarisi. 2. Berapakah bagian waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar Kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 1) Untuk bagian waris anak luar kawin dalam Perkawinan sirri sama dengan bagian waris dalam Perkawinan yang sah. 2) Untuk Anak perempuan apabila sendiri atau hanya seorang maka akan mendapatkan bagian ½ dan apabila anak perempuan tersebut lebih dari satu orang maka akan mendapatkan 2/3 bagian. Satu anak perempuan jika ia mewarisi bersama 1 atau lebih cucu perempuan, maka 121 perempuan mendapatkan ½ bagian dan satu atau lebih cucu perempuan mendapatkan 1/6 bagian. 5.2 Saran Saran yang dapat peneliti kemukakan berdasarkan hasil pembahasan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi pemerintah kewenangan khususnya membuat pejabat Undang-undang yang dan mempunyai peraturan- peraturan. Untuk permasalahan anak luar kawin sangat luas dan menyangkut dengan nasib seorang anak. Hendaknya lebih cepat dan lebih peduli untuk membuat kepastian anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010. Agar seluruh masyarakat dan pejabat lain yang terkait dapat bertindak dengan benar. 2. Bagi masyarakat janganlah mendiskriminasikan anak luar kawin, karena pada hakikatnya anak tetaplah anak bagi kedua orang tuanya. 3. Janganlah melakukan Perkawinan Sirri karena perkawinan Sirri mendapatkan kepastian hukum. 122 DAFTAR PUSTAKA Dari Buku: Ali, Mohammad Daud. 2004. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Abdurrahman, Muslan.2009. Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum Cetakan Pertama. Malang: UMM Press Baidhowi. 2010. Buku Ajar Hukum Kekeluargaan dan Waris Islam. Semarang: Unnes. Hadikusuma, Hilam. 1990. Hukum Perkawinan Adat. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hadikusuma, Hilam. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Bandung: Mandar Mandur. Johni, Ibrahim.2006. Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayu Media Publishing. Komariah. 2005. Hukum Perdata. malang: UMM Malang Kie,Tan Thong. 2000 Studi Notariat:Serba-Serbi Praktek Notaris Buku I, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve. Lubis, Suhrawardi K dkk .2004. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Marzuki, Peter Mahmud. 2008 Penerlitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup 123 Moleong,Lexy.2007.Metodologi Rosadakarya. Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Murtiningdyah,Etty.2005.Tesis dengan Judul Peranan Wali Nikah Dalam Perkawinan Dan Pengaruhpsikologis Adanya Wali Nikah Dalam Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam.Semarang:Universitas Diponegoro. Manah, Abdul.2008. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia.Jakarta: Prenada Media. Prodjodikoro,R.Wirjono. 1974. Hukum Perkawinan di Indonesia.Bandung: Sumur Bandung Ramulyo, H.M. Idris. 2004. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika Ramulyo, Mohammad Idris. 2000. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut KUHPer (BW). Jakarta: Sinar Grafika Rofiq, Ahmad. 2003. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Saebani, Beni Ahmad. 2008. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Pustaka Setia Shidieqy, Ash Hasbi. 1983. Hukum Waris dalam Syariat Islam. Jakarta: Bulan Bintang Syarifuddin,Amir.2002. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakat Dan Undang-Undang Perkawinan.Jakarta: Prenada Media Group Soekanto, Soerjono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press 124 Salman, H.R. Otje dan Mustofa Haffas. 2006. Hukum Waris Islam. Bandung: PT Refika Aditama Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif .Yogyakarta; Graha Ilmu; Wiranto,D.Y. 2012. Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan. Jakarta: Prestasi Pustaka. -------2005. Curah Gagasan (Pengantar Penulisan Karya Ilmiah) Semarang: Rumah Indonesia Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNNES. Dari Peraturan dan Undang-Undang : Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Kompilasi Hukum Islam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia SEMA No 7 Tahun 2012 Tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 03 S/D 05 Mei 2012. SEMA Pengadilan Tinggi Agama No W11-A/863/HK.00.8/III/2012 tertanggal 19 Maret 2012. Fatwa MUI No 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya. 125 Keputusan Komis B Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Tahun 2006 Tentang Masail Waqi'iyyah Mu'asyirah dimana disebutkan Nikah Di Bawah Tangan Dari Jurnal : Konstitusi, Mahkamah. 2012. Majalah Konstitusi Edisi 61. Jakarta: Mahkamah Konstitusi. Risalah sidang putusan perkara NO 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Febuari 2012. Artikel Dari Diskusi Putusan MK Soal Anak Nikah oleh Pengurus Wilayah Lembaga Bahtsul Masail NU Sumatra Barat Di Aula PWNU Sumbar 9 Mei 2012. Makalah Nasab Anak Diluar Perkawinan Pasca Putusan MK oleh Drs. H Syamsul Anwar.S.H.,M.H (ketua pengadilan agama kelas 1a majalengka) DRS. Isak Munawar, M.H. Hakim pada Pengadilan Agama Kelas I A Majalengka.Tahun 2012. Artikel Mencari Alternatif Hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010 oleh Asep Ridwan H, SHI, M.Ag tahun 2012 Makalah Bahan Diskusi Hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon Bersama Pejabat Kepanitreaan pada tangal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA tentang Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUUIIIV/2010 Tanggal 27 Februari 2012 Tentang Perubahan Pasal 43 UUP, oleh A. Mukti Arto Hakim Tinggi/WKPTA Ambon. Makalah dengan Judul Anak Lahir Diluar Nikah (Secara Hukum) Berbeda Dengan Anak Hasil Zina Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO. 46/PUU-VII/202.Yang disampaikan pada Seminar Status Anak Di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang. Disampaikan Oleh Chatib Rasyid. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang. 126 Makalah berjudul Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Status Anak dan Status Harta Perkawinan Yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H. Guru Besar Fakultas Syari’ah, IAIN “SMHB”, Fakultas Hukum UNTIRTA dan Fakultas Hukum UNMA Banten., dalam acara “Penelitian dan Pengkajian Aspek Hukum Itsbat Nikah” yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 14-16 Mei 2012, bertempat di Hotel Le Dian Serang, Banten. Artikel berjudul Nasab Anak Luar Nikah perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional yang ditulis oleh Jumni Nelli, M.Ag, Dosen Tetap Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Suska. Makalah berjudul Anak Lahir Di Luar Perkawinan Pasca Putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 yang disampaika oleh Chatib Rasyid Ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang. Disampaikan pada Seminar Nasional Dengan Topik “ Kebijakan Pemerintah Jawa Tengah Terhadap Fenomena Bersama Perkawinan Di luar Undang-undang Perkawinan Di Indonesia “ Tanggal 30 April 2012, yang diselenggarakan oleh Badan Kerjasa Organisasi Wanita (BKOW) Propinsi Jawa Tengah. Majalah Lensa Kasus Kontrversi Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK edisi Mei 2012. Muh Rasyid Ridha .2009, Studi Komparasi Warisan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Anisatul Murtasyidah 2012. Tentang Kedudukan Hukum Ayah Biologis Sebagai Wali Nikah Terhadap Anak Yang Lahir Sebelum Enam Bulan Sejak Perkawinan (Kajian Komparasi Antara Hukum Perkawinan Nasional Dengan Fiqh Islam). Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang. Dari Internet: http://badilag.net/artikel/10609-nasab-anak-di-luar-perkawinan-paska-putusanmahkamah-konstitusi--drs-h-syamsul-anwar-sh-mh-dan-drs-isak-munawarmh164.hmtl&sa=U&ei=eUTUZ6lII7jkgWo9YCoDA&ved=0CAkQFjAB&c lient=internal-uds-cse&usg=AFQjCNGwfIcptnaDVIH52Y9kCRMc44Nx-Q 127 http://badilag.net/data/ARTIKEL/MAKALAH2MAKNA%2520ANAK.pdf&sa= U&ei=eUTUZ6lII7jkgWo9YCoDA&ved=0CA4QFjAD&client=internaluds cse&usg=AFQjCNGDptOQyVCPmSZ2_M6LGIS94HwuDQ http://www.akilmochtar.com/?s=Ulama+Pecah+Jadi+Dua+Pasca+MK+Mengabul kan+Uji+Materi+UU+Perkawinan http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/02/29/178749/Putus an-MK-Angin-Segar-Perlindungan-Anak-Indonesia. http://politik.kompasiana.com/2012/08/18/suryadharma-ali-bahas-kasus-machicamochtar-dengan-para-ulama-486418.html http://hukum.kompasiana.com/2012/02/19/status-hukum-anak-diluar-nikah/ http://hukum.kompasiana.com/2012/02/20/mahkamahkonstitusikabulkanujimateri -anak-di-luar-nikah-436884.html http://hukum.kompasiana.com/2012/05/25/pro-kontra-anak-luar-kawin-paskaputusan-mk-459941.html http://news.detik.com/read/2012/02/20/085328/1846287/103/pengakuan-hakkeperdataan-anak-luar-kawin http://news.detik.com/read/2012/03/28/162308/1879155/10/soal-putusan-statusanak-di-luar-nikah-ketua-mk-nilai-mui-tak-paham http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/17/horeeeee-orang-indonesia-bolehpunya-anak-di-luar-nikah-439838.html http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f632f5e9f2fa/inidiafatwamuitentanganak-hasil-zina http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f633ebb2ec36/pro-kontra-statusanak-luar-kawin 128 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f7475cd1eb4d/putusanmktakbermanf aat-untuk-anak-luar-kawin http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f573e2151497/putusan-mk-sematalindungi-anak-luar-kawin http://irmadevita.com/2011/bagaimana-agar-anak-yang-lahir-dari-perkawinan-siribisa-mendapatkan-warisan-dari-ayah-kandungnyah http://firman.ngetik.com/2012/05/prokontrastatusanakluarkawin.html http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f4629da0424c/putusanmkbikinrepotp embagianwaris http://www.negarahukum.com/hukum/perkawinansiridananakluarkawin.html http://www.negarahukum.com/hukum/eksistensianakpascaputusanmahkamahkons titusidalamjudicialreviewpasal43ayat1uuno1tahun1974tentangperkawinan.ht ml http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=489 81:muiajakormasislamtolakputusanmk&catid=70:islamindonesia&Itemid=3 58 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f79272c66780/implementasiketentua n-anak-luar-kawin-dalam-uu-perkawinan-pasca-putusan-mk http://www.jurnas.com/halaman/5/2012-03-30/204029 http://www.voaislam.com/news/indonesiana/2012/03/21/18304/miumidukungsika pmuidanminta-putusan-mk-soal-anak-zina-dianulir/ 129 http://www.tempo.co/read/news/2012/02/20/063385270/MKTolakDisebutLegalka n-Perselingkuhan http://www.suara-islam.com/read4334-Ketua-Mahkamah-Konstitusi-LecehkanMUI.html http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,37852-lang,idc,nasionalt,Putusan+MK+Soal+Anak+Luar+Nikah+Munculkan+Pemahama n+Beragam-.phpx http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=199:peri hal-kontroversi-nikah-sirri-&catid=47:materi-konsultasi&Itemid=66