HUBUNGAN KADAR GLIAL FIBRILLARY ACIDIC PROTEIN (GFAP) DENGAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PENDERITA CEDERA OTAK TRAUMATIK TERTUTUP Artikel Asli Muhammad Rivai, Djoko Widodo Departemen Ilmu Bedah Divisi Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ABSTRAK. Cedera otak masih merupakan masalah besar bagi kesehatan masyarakat dan telah lama disebut sebagai silent epidemik karena dapat mengakibatkan kecacatan dan kematian. Adanya massa intrakranial akibat cedera otak menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, iskemik, dan inflamasi yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan otak. Dalam pengelolaan pasien cedera otak dapat timbul penyulit yang dapat memperburuk prognosis, leukositosis merupakan salah satu komplikasi cedera otak. Salah satu biomarker pada cedera otak yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kerusakan otak adalah Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP). Pada penelitian ini akan dihubungkan antara kadar GFAP sebagai biomarker cedera otak dengan jumlah leukosit yang berperan dalam proses inflamasi sebagai salah satu penyebab secondary brain injury terhadap derajat cedera otak tertutup. Penelitian dilakukan secara cross sectional pada 52 pasien cedera otak yang masuk di IRD RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Pemeriksaan kadar GFAP dan leukosit dilakukan setelah penilaian tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Score (GCS) dan pemeriksaan CT scan kepala. Kadar GFAP meningkat sesuai beratnya derajat cedera otak (p<0,001) dimana perbedaan signifikan terdapat pada kelompok cedera otak ringan-berat dan sedang-berat. Jumlah leukosit meningkat berdasarkan derajat cedera otak (p=0,016) dengan perbedaan signifikan pada kelompok cedera otak ringan-berat. Kadar GFAP dengan jumlah leukosit mempunyai hubungan signifikan terhadap cedera otak ringan (p=0,007) sedangkan pada cedera otak sedang dan berat tidak bermakna. Terdapat hubungan kadar GFAP dan jumlah leukosit terhadap cedera otak traumatitk tertutup Kata kunci : GFAP, silent epidemik, leukosit, GCS ABSTRACT Brain injury is still a major public health problem and has long been called the silent epidemic because it can lead to disability and death. The presence of intracranial mass due to brain injury causes increased intracranial pressure, ischemic, and inflammation that ultimately lead to brain damage. In the management of patients with brain injuries can arise complications that may worsen the prognosis, leukocytosis is one of the complications of brain injury. One biomarker in a brain injury that can be used to assess the degree of brain damage is Glial fibrillary Acidic Protein (GFAP). This research will be connected between GFAP levels as a biomarker of brain injury with the value of leukocytes that play a role in the inflammatory process as one of the causes of secondary brain injury on the degree of closed brain injury. Cross-sectional study was conducted on 52 patients with brain injury who entered in IRD dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar. GFAP levels and leukocyte examination carried out after an assessment of the level of awareness with the Glasgow Coma Score (GCS) and a CT scan of the head. GFAP levels increased accordingly degree of brain injury severity (p <0.001) in which there is a significant difference in the group of mild to severe brain injury and moderate to severe. The value of leukocytes increased based on the degree of brain injury (p = 0.016) with no significant difference in the group of mild to severe brain injury. GFAP levels with a Berkala Ilmiah Arsip Ilmu Bedah, Vol VII,No 1 (Januari), 2016: hal : 28 – 42 28 29 Muhammad Rivai, dkk significant value of leukocytes have links to the mild brain injury (p = 0.007) whereas in moderate and severe brain injury was not significant. There is a relationship GFAP levels and the value of leukocytes to the closed traumatic brain injury Keywords: GFAP, a silent epidemic, leukocytes, GCS PENDAHULUAN Cedera otak masih merupakan masalah besar bagi kesehatan masyarakat karena dapat mengakibatkan kecacatan dan kematian, sehingga seseorang yang mengalami kecacatan tidak dapat bekerja untuk beberapa waktu bahkan dapat selamanya. Dalam suatu penelitian dilaporkan tingkat kematian mencapai 23.9% pada pasien dengan cedera difus dan 40.4% pada pasien dengan cedera fokal. Cedera kepala traumatik telah lama disebut sebagai ‘silent epidemik’. Di Amerika Serikat terjadi 1,5 juta kasus cedera otak setiap tahunnya dengan 250.000 pasien menjalani rawat inap dan 52.000 meninggal. Angka perawatan pasien cedera otak traumatik meningkat dari 79 per 100.000 tahun 2002 menjadi 87,9 per 100.000 tahun 2003. ( Winn R H, 2011). Umumnya penderita berusia muda dan dalam usia produktif, sehingga menyebabkan beban sosial dan keuangan yang signifikan bagi keluarga dan sistem kesehatan masyarakat. Dampak keuangan akibat cedera kepala di Amerika Serikat di perkirakan melebihi 56 milyar dollar Amerika pertahunnya sedangkan di Australia tahun 2008 diperkirakan 8,6 milyar dollar Australia (Woodcook et al, 2013) Kejadian cedera otak akibat trauma semakin meningkat dengan angka mortalitas dan morbiditas yang relatif tinggi. Di Indonesia, walaupun belum tersedia data secara nasional, cedera otak merupakan kasus yang sangat sering dijumpai di setiap rumah sakit. Pada tahun 2005, di RS Cipto Mangunkusomo Jakarta terdapat 434 pasien cedera otak ringan, 315 pasien cedera otak sedang, dan 28 pasien cedera otak berat (Irawan H eal, 2010). Data di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar pada tahun 2007 berjumlah 1078 kasus, tahun 2008 berjumlah 1346 kasus.di dapatkan sekitar 24% menderita cedera otak sedang dan 17% cedera otak berat (Widodo D, 2012). Metode yang sering digunakan dalam menilai derajat keparahan berdasarkan tingkat kesadaran cedera otak adalah Glasgow Coma Score (GCS) yang dapat dibagi menjadi cedera otak ringan, sedang dan berat (Daeli NR, 2008). Pada cedera otak, terutama cedera otak berat, nampaknya mengalami dua masalah utama yakni kerusakan otak sendiri dan gangguan sistemik yang bersifat tidak langsung. Pada kondisi ini, tubuh merespon secara lokal dengan inflamasi dan merespon secara umum yang merupakan mekanisme proteksi tubuh dan mengadakan energi untuk reparasi. (Miller JD et al, 1996). Hubungan Kadar GFAP Dengan Jumlah Leukosit Pada Penderita Cedera Otak Traumatik Tertutup 30 Dalam pengelolaan pasien cedera otak dapat timbul penyulit atau komplikasi yang dapat memperburuk prognosis (Miller JD et al, 1996). Leukositosis merupakan salah satu komplikasi cedera otak. Epinefrin dan kortisol dianggap salah satu yang berperan di dalam terjadinya leukositosis. Selain itu, masih ada mekanisme lain yang diperantarai oleh mediator-mediator inflamasi (Hsu CY et al, 1996). Kenaikan jumlah leukosit tersebut berhubungan dengan outcome yang buruk pada pasien cedera otak (Gurkanlar D et al, 2009). Akumulasi leukosit ke area otak yang cedera sangat penting untuk tingkat peradangan dan kerusakan otak sekunder . (Dardiotis E et al, 2010) Inflamasi, seperti halnya organ lain, juga merupakan bagian terpenting dari patomekanisme cedera otak traumatika. Pada suatu kejadian cedera otak perlu terjadi keseimbangan antara sitokin yang menimbulkan reaksi inflamasi, dengan tujuan untuk membatasi dan memulihkan kerusakan yang terjadi, serta sitokin anti inflamasi Interleukin 10 (IL-10) yang membatasi agar kerja dari sitokin inflamasi ini tidak berlebihan, yang bila terjadi justru akan menimbulkan efek yang merugikan (Widodo D, 2002). Biomarker serum secara luas digunakan untuk evaluasi penderita dengan berbagai macam penyakit akut, terutama yang terdapat ketidaksesuaian antara klinis dan gambaran radiologis, serta untuk mengetahui prognosis pada penderita dengan penyakit berat (Abadier MZ et al, 2012). Salah satu biomarker pada cedera kepala yang dapat digunakan adalah Glial Fibrillary Acidic Protein ( GFAP ). GFAP merupakan protein intermediate filament ( IF ) yang ditemukan dalam sitoskeleton astroglia. GFAP berperan penting dalam mempertahankan bentuk dan motilitas dari proses astrositik dan kontribusi terhadap arsitektur dari substansia alba, myelinasi dan integritas sawar darah otak. GFAP ditemukan sangat spesifik di otak, oleh karena itu kadar GFAP dalam keadaan sehat tidak disekresikan aktif dalam darah atau terdapat dengan kadar yang sangat rendah (Foerch C et al, 2012). Pelepasan GFAP dari jaringan otak ke sirkulasi menandakan hilangnya integritas struktur astrosit karena nekrosis dan pengaruh mekanik serta menandakan adanya disintegritas sawar darah otak (Mayer CA et al, 2013). Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa GFAP dapat berfungsi sebagai penanda serum cedera otak traumatis yang dilepaskan setelah kerusakan sel sistem saraf pusat (Lumpkins et al, 2008). METODOLOGI Penelitian dilakukan secara cross sectional terhadap 52 pasien cedera otak tertutup yang datang ke instalasi rawat darurat RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Maret sampai Juli 2015. Sampel serum kemudian diperiksa kadar GFAP di laboratorium RSP Unhas / NECHRI dan pemeriksaan leukosit di laboratorium RSUP dr Wahidin Sudirohusodo. Kriteria 31 Muhammad Rivai, dkk inklusi meliputi pasien dengan cedera otak tertutup yang disertai pemeriksaan CT scan kepala, onset cedera di bawah 24 jam, bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani informed consent oleh pasien atau keluarganya. Kriteria ekslusi meliputi sampel hemolisis, penderita tumor otak, stroke, infeksi otak sebelum mengalami cedera otak, pasien cedera otak penetrans dan multitrauma. Dari 52 kasus cedera otak tertutup yang didapat kemudian dikelompokan dalam derajat cedera otak ringan, sedang dan berat. Data kemudian diolah dengan SPSS 22.00. HASIL Terdapat 52 pasien cedera otak tertutup yang memenuhi kriteria sampel penelitian terdiri dari 37 laki-laki (71,2%) dan 15 perempuan (28,8%) dengan umur minimal 5 tahun dan maksimal 81 tahun. Berdasarkan pembagian umur, di bawah 20 tahun ada 18 penderita (34,6%), umur 20-39 tahun terdapat 19 penderita (36,5%), umur 40-59 tahun terdapat 9 penderita (17,3%), dan umur ≥ 60 tahun terdapat 6 penderita (11,5%). Berdasarkan derajat kesadaran penderita terdiri dari 13 cedera otak ringan, 23 cedera otak sedang dan 16 cedera otak berat. Tabel 1. Karakteristik penderita cedera otak traumatik n=52 % <20 tahun 18 34,6 20-39 tahun 19 36,5 40-59 tahun 9 17,3 ≥60 tahun 6 11,5 Laki-Laki 37 71.2 Perempuan 15 28.8 Ringan 13 25,0 Sedang 23 44,2 Berat 16 30.8 Umur Jenis Kelamin Derajat cedera otak Sumber: Data primer Pemeriksaan kadar GFAP menurut derajat cedera otak didapatkan hasil pada pada kelompok cedera otak ringan nilai median 0,75 ng/ml dengan nilai GFAP minimum 0,39 ng/ml Hubungan Kadar GFAP Dengan Jumlah Leukosit Pada Penderita Cedera Otak Traumatik Tertutup 32 dan nilai maksimum 1,43 ng/ml. Pada kelompok cedera otak sedang didapatkan nilai median 0,94 ng/ml dengan nilai GFAP minimum 0,35 ng/ml dan nilai maksimum 1,98 ng/ml. Pada kelompok cedera otak berat didapatkan nilai median GFAP 1,53 ng/ml dengan nilai minimum 0,83 ng/ml dan nilai maksimum 3,01 ng/ml. Tabel 2. Perbandingan kadar GFAP berdasarkan derajat cedera otak pada penderita cedera otak traumatik GFAP (ng/mL) Derajat cedera n=52 Median (min-max) Ringan 13 0.75 (0.39-1.43) Sedang 23 0.94 (0.35-1.98) Berat 16 1,53 (0.83-3.01) P <0, 001 Sumber: Data primer. Uji Kruskal-Wallis. Uji post-hoc Mann-Whitney: ringan vs sedang p=0,295; ringan vs berat p=0,000; sedang vs berat p=0,001 Pada tabel 2 hasil uji Kruskal-Wallis didapatkan nilai p<0,001. Karena nilai p<0,05, maka terdapat perbedaan kadar GFAP antara dua kelompok derajat cedera otak. Untuk mengetahui kelompok cedera otak mana yang mempunyai perbedaan, maka dilanjutkan dengan menggunakan analisis post-hoc dengan uji Mann-Whitney didapatkan nilai p=0,295 untuk kelompok cedera otak ringan dan sedang; p=0,000 untuk kelompok cedera kepala ringan dan berat; dan p=0,001 untuk kelompok cedera otak sedang dan berat. Dari hasil di atas diketahui bahwa kelompok yang mempunyai perbedaan signifikan adalah kelompok cedera otak ringan dan berat serta kelompok cedera otak sedang dan berat, sedangkan perbedaan kadar GFAP kelompok cedera otak ringan dan sedang tidak signifikan. Pemeriksaan jumlah leukosit berdasarkan derajat cedera otak didapatkan hasil pada kelompok cedera otak ringan median jumlah leukosit 12,09.103/µl dengan jumlah leukosit minimum 5,3.103/µl dan maksimum 22,9.103/µl. Pada kelompok cedera otak sedang median jumlah leukosit 16,97. 103/µl dengan jumlah leukosit minimum 7,1. 103/µl dan maksimum 51. 103/µl. Pada kelompok cedera otak berat median jumlah leukosit 19,16. 10 3/µl dengan jumlah leukosit minimum 11,6. 103/µl dan maksimum 32,7. 103/µl. 33 Muhammad Rivai, dkk Tabel 3. Perbandingan Jumlah Leukosit berdasarkan derajat cedera otak pada penderita cedera otak traumatik Leukosit (103/µl) Derajat cedera n=52 Median (min-max) Ringan 13 12,09 (5,3-22,9) Sedang 23 16,97 (7,1-51) Berat 16 19,16 (11,6-32,7) P 0, 027 Sumber: Data primer Uji Kruskal-Wallis. Uji post-hoc Mann-Whitney: ringan vs sedang p=0,078; ringan vs berat p=0,019; sedang vs berat p=0,34. Pada tabel 3 hasil uji Kruskal-Wallis didapatkan nilai p= 0,027. Karena nilai p<0,05, maka terdapat perbedaan jumlah leukosit antara dua kelompok derajat cedera otak. Untuk mengetahui kelompok cedera otak mana yang mempunyai perbedaan, maka dilanjutkan dengan menggunakan analisis post-hoc dengan uji Mann-Whitney didapatkan nilai p=0,078 untuk kelompok cedera otak ringan dan sedang; p= 0,019 untuk kelompok cedera kepala ringan dan berat; dan p=0,34 untuk kelompok cedera otak sedang dan berat. Dari hasil di atas diketahui bahwa kelompok yang mempunyai perbedaan signifikan adalah kelompok cedera otak ringan dan berat, sedangkan perbedaan jumlah leukosit kelompok cedera otak ringan dan sedang dan kelompok cedera otak sedang dan berat tidak signifikan. Tabel 4. Hubungan derajat cedera otak dengan kadar GFAP pada penderita cedera otak traumatik Kadar GFAP Derajat Cedera Otak R -0,517 p <0,001 n 52 Sumber: Data primer Uji korelasi Spearman Hasil uji korelasi Spearman pada tabel 4 didapatkan nilai signifikan p<0,001 yang menunjukkan bahwa korelasi antara derajat cedera otak dengan kadar GFAP adalah bermakna. Nilai korelasi Speraman (r) sebesar 0,517 menunjukkan bahwa arah korelasi negatif dengan kekuatan korelasi sedang. Hal ini dapat kita dilihat pada grafik 1 yang menunjukkan bahwa semakin berat derajat cedera otak semakin tinggi kadar GFAP pada penderita cedera otak. Hubungan Kadar GFAP Dengan Jumlah Leukosit Pada Penderita Cedera Otak Traumatik Tertutup 34 Grafik 1. Hubungan derajat cedera otak (GCS) dengan kadar GFAP pada pasien cedera otak traumati Tabel 5. Hubungan derajat cedera otak dengan Jumlah Leukosit pada penderita cedera otak traumatic Jumlah Leukosit Derajat Cedera Otak R p n -0,333 0,016 52 Sumber: Data primer Uji korelasi Spearman Hasil uji korelasi Spearman pada tabel 5 didapatkan nilai signifikan p=0,016 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa korelasi antara derajat cedera otak dengan jumlah leukosit adalah bermakna. Nilai korelasi Speraman (r) sebesar 0,333 menunjukkan bahwa arah korelasi negatif dengan kekuatan korelasi rendah. Hal dapat dilihat pada grafik 2 yang menunjukkan bahwa semakin berat derajat cedera otak maka semakin tinggi jumlah leukosit yang ditemukan pada penderita cedera otak Grafik 2. Hubungan derajat cedera otak (GCS) dengan jumlah leukosit pada pasien cedera otak traumatik 35 Muhammad Rivai, dkk Tabel 6. Hubungan Kadar GFAP dan Jumlah Leukosit terhadap Derajat Cedera Otak Ringan Kadar GFAP dan Jumlah Leukosit Derajat Cedera Otak Ringan R 0,709 p 0,007 n 13 Sumber: Data primer Uji korelasi Spearman Tabel 7. Hubungan Kadar GFAP dan Jumlah Leukosit terhadap Derajat Cedera Otak Sedang Derajat Cedera Otak Sedang R Kadar GFAP dan Jumlah Leukosit 0,02 p 0,929 n 23 Sumber : Data primer. Uji korelasi Spearman Tabel 8. Hubungan Kadar GFAP dan Jumlah Leukosit terhadap Derajat Cedera Otak Berat Derajat Cedera Otak Berat R Kadar GFAP dan Jumlah Leukosit -0,338 p 0,2 n 16 Sumber: Data primer Uji korelasi Spearman Hasil uji korelasi Spearman pada tabel 6 didapatkan nilai signifikan p=0,007 (p<0,01) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kadar GFAP dan jumlah leukosit pada cedera otak ringan. Nilai korelasi Spearman(r) sebesar 0,709 menunjukkan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi kuat, sedangkan hasil uji korelasi Spearman pada tabel 7 dan 8 menunjukkan hubungan kadar GFAP dan jumlah leukosit pada cedera otak sedang dengan nilai p=0,929 serta pada cedera otak berat dengan nilai p=0,20 tidak bermakna. Hal ini dapat dilihat pada grafik 3, pada kelompok cedera otak ringan didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara peningkatan kadar GFAP dengan peningkatan jumlah leukosit, sedangkan pada kelompok cedera otak sedang dan berat tidak ditemukan adanya korelasi yang bermakna antara kadar GFAP dengan jumlah leukosit. Hubungan Kadar GFAP Dengan Jumlah Leukosit Pada Penderita Cedera Otak Traumatik Tertutup 36 Grafik 3. Hubungan Kadar GFAP dengan Jumlah Leukosit terhadap Derajat Cedera Otak PEMBAHASAN Pemeriksaan kadar GFAP berdasarkan derajat cedera otak didapatkan bahwa secara umum kadar GFAP pada kelompok cedera otak berat lebih tinggi dibanding pada cedera otak sedang serta cedera otak sedang lebih tinggi dari cedera otak ringan. Hasil uji korelasi Spearman didapatkan adanya korelasi yang bermakna antara derajat cedera otak dengan kadar GFAP yaitu korelasi negatif dengan kekuatan korelasi yang sedang. Jadi semakin berat derajat cedera otak maka semakin tinggi kadar GFAP pada penderita cedera otak traumatik. Hal ini berarti bahwa semakin berat derajat cedera otak maka semakin berat kerusakan sel astrosit maupun proses inflamasi di jaringan otak yang ditandai dengan meningkatnya kadar GFAP di sirkulasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pelinka dkk (2004), menyimpulkan bahwa GFAP dilepaskan setelah cedera otak yang berhubungan dengan beratnya cedera otak dan outcome setelah cedera otak. Dan penelitian yang dilakukan oleh Lumpkins dkk (2008), yang menyimpulkan bahwa GFAP adalah penanda serum dari cedera otak traumatik, dan peningkatan persisten pada hari ke dua memprediksi peningkatan mortalitas. Serta penelitian Vos P.E, et al.(2010) yang mendapatkan kadar GFAP dapat membantu menilai kerusakan jaringan otak akibat cedera yang disebabkan oleh trauma. Cedera yang terjadi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, iskemia atau hipoksia, astrosit menjadi reaktif yang berperan penting dalam mempertahankan lingkungan ekstraseluler dan melindungi sel-sel saraf (Ri Li D, 2009). Astrosit yang reaktif disebut astrogliosis yang ditandai dengan ekspresi GFAP yang cepat dan banyak oleh sel astrosit dan dapat dideteksi melalui pemeriksaan serum penderita (Nylen et al, 2003). Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) ditemukan sangat spesifik di otak, oleh karena itu kadar GFAP dalam keadaan sehat tidak disekresi aktif dalam darah atau terdapat dengan kadar yang sangat rendah (Foerch, 2012). Oleh karena itu pada cedera kepala ringan menandakan 37 Muhammad Rivai, dkk kurangnya jumlah sel-sel astrosit yang mengalami kerusakan atau teraktivasi karena inflamasi yang minimal sehingga kadar GFAP yang diekspresikan dalam serum juga sedikit. Jadi semakin banyak sel-sel astrosit yang mengalami kerusakan atau semakin luas proses peradangan yang mengaktivasi astrosit (astrogliosis) maka semakin banyak GFAP yang dilepaskan ke dalam sirkulasi. Pemeriksaan jumlah leukosit berdasarkan derajat cedera otak didapatkan secara umum bahwa jumlah leukosit pada cedera otak berat lebih tinggi dibandingkan dengan cedera otak sedang dan ringan. Hal ini berarti bahwa semakin berat cedera otak penderita maka semakin besar tingkat inflamasi yang dialami penderita. Hasil uji korelasi Spearman didapatkan adanya korelasi yang bermakna antara derajat cedera otak dengan jumlah leukosit yaitu terdapat korelasi negatif dengan kekuatan korelasi yang ringan. Jadi semakin berat derajat cedera otak maka semakin tinggi jumlah leukosit pada penderita cedera otak traumatik. Akumulasi leukosit ke daerah otak yang cedera sangat penting untuk tingkat peradangan dan kerusakan otak sekunder. Leukosit diyakini penting dalam inisiasi dan perkembangan inflamasi setelah cedera otak. Peningkatan infiltrasi leukosit dikaitkan dengan peningkatan kerusakan otak. Leukosit terutama neutrofil dapat mencetuskan perubahan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi kebocoran plasma dan pembentukan edema pada proses inflamasi akut. Ketika sampai pada lokasi perdarahan, sel ini akan melepaskan ROS, protease, dan sitokin proinflamasi sehingga berpengaruh kepada gangguan integritas sawar darah otak. Leukosit sangat berperan dalam proses fagositosis bekuan darah pada kasus perdarahan otak. Peningkatan jumlahnya dapat berkaitan dengan proses ini maupun luasnya perdarahan dan kerusakan pembuluh darah otak. (Kenne et al, 2002). Pada cedera otak berat kerusakan yang ditimbulkan pada neuron akibat trauma lebih besar dibandingkan pada cedera otak sedang dan ringan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rovlias et al (2001) yang meneliti 624 pasien dengan cedera otak dimana ditemukan pasien dengan cedera otak berat memilki peningkatan signifikan jumlah leukosit dibandingkan pada cedera otak sedang dan ringan. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hoffbrand dan Petit, 2000; Wang dan Doré, 2007; Yabluchanskiy, 2012, yang menemukan bahwa tingginya jumlah leukosit dikatakan berkorelasi dengan perburukan klinis neurologis awal pada pasien. Demikian juga Gurkanlar D et al, 2009 menemukan korelasi yang tinggi antara GCS score dengan kadar leukosit pada cedera otak traumatik. Perdarahan dalam otak membuat infiltrasi yang cepat pada komponen darah termasuk eritrosit, leukosit, makrofag, protein plasma (trombin, plasmin dan sebagainya) ke tempat terjadinya perdarahan. Respon inflamasi yang mengikuti infiltrasi ini termasuk pelepasan Hubungan Kadar GFAP Dengan Jumlah Leukosit Pada Penderita Cedera Otak Traumatik Tertutup 38 mediator inflamasi, migrasi sel-sel inflamasi, aktivasi protease, aktivasi mikroglia dan astrosit, sehingga dapat menginduksi kerusakan jaringan otak atau kemudian terjadi perbaikan jaringan otak itu sendiri (Van Rossum dan Hanisch, 2004; Wang, 2010). Data penelitian berdasarkan hubungan kadar GFAP dengan jumlah leukosit pada kelompok cedera otak, didapatkan hasil kelompok cedera otak ringan lebih bermakna dibandingkan kelompok cedera otak sedang dan berat. Hal ini berbeda dengan penelitian Rovlias et al (2001) yang meneliti 624 pasien dengan cedera otak dimana ditemukan pasien dengan cedera otak berat memilki peningkatan signifikan jumlah leukosit dibandingkan pada cedera otak sedang dan ringan. Demikian pula pada penelitian oleh Gurkanlar D et al (2009) yang menemukan korelasi kuat antara peningkatan jumlah leukosit dengan penurunan GCS pasien cedera otak. Okonkwo et al (2013) yang menemukan kadar GFAP meningkat signifikan terhadap penurunan GCS dan Zettenber H et al (2013) yang menyatakan kadar GFAP meningkat pada pasien cedera otak dan berkorelasi dengan GCS dan penemuan neurologik saat pasien masuk rumah sakit. Hasil penelitian yang kami dapatkan berbeda dengan penelitian lainnya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan baik akibat kelainan intrakranial maupun ekstrakranial. Hubungan kadar GFAP dengan jumlah leukosit pada cedera otak ringan yang signifikan oleh karena pada cedera otak ringan keterlibatan cedera otak sekunder akibat kelainan ekstrakranial yang menyertai dapat dieliminasi sehingga benar-benar murni suatu cedera otak. Sedangkan hubungan kadar GFAP dengan jumlah leukosit pada cedera otak sedang dan berat tidak signifikan kemungkinan diakibatkan adanya cedera ditempat lain selain cedera otak yang mempengaruhi peningkatan jumlah leukosit (faktor ekstrakranial), disamping adanya riwayat penggunaan antibiotik dan anti inflamasi sebelum terjadinya trauma. Dari hasil penelitian juga didapatkan adanya kelainan morfologi di otak yang ringan seperti kontusio serebri tetapi terletak di batang otak yang menyebabkan penurunan GCS yang berat tetapi menghasilkan kadar GFAP yang kecil, demikian juga pada kelainan berupa epidural hematom yang menghasilkan efek kompressi pada otak akan mengakibatkan penurunan kesadaran berat tetapi hanya menghasilkan kadar GFAP yang kecil pula. Faktor-faktor intrakranial dan ekstrakranial di atas yang mempengaruhi hasil penelitian sehingga didapatkan derajat cedera otak sedang dan berat hasilnya tidak signifikan bila dihubungkan dengan kadar GFAP dan jumlah leukosit. 39 Muhammad Rivai, dkk KESIMPULAN Pada penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut : 1. Kadar glial fibrillary acidic protein (GFAP) serum pada penderita cedera otak berat lebih tinggi dari penderita cedera otak sedang dan cedera otak ringan dengan perbedaan kadar yang signifikan pada kelompok cedera otak ringan dan berat serta pada kelompok cedera otak sedang dan berat.. 2. Jumlah leukosit pada penderita cedera otak berat lebih tinggi dari penderita cedera otak sedang dan cedera otak ringan dengan perbedaan kadar yang signifikan pada pada kelompok cedera otak ringan dan berat. 3. Terdapat hubungan korelasi antara derajat cedera otak dengan kadar GFAP yaitu semakin berat cedera otak semakin tinggi kadar GFAP. 4. Terdapat hubungan korelasi antara derajat cedera otak dengan jumlah leukosit yaitu semakin berat cedera otak semakin tinggi jumlah leukosit. 5 Terdapat hubungan antara kadar GFAP dengan jumlah leukosit pada cedera otak ringan yaitu semakin tinggi kadar GFAP pada pasien cedera otak ringan maka semakin tinggi peningkatan jumlah leukositnya. Hubungan Kadar GFAP Dengan Jumlah Leukosit Pada Penderita Cedera Otak Traumatik Tertutup 40 KEPUSTAKAAN 1. Abadier MZ, Eliwa GH, Moneim M. 2012. Plasma Glial Fibrillary Acidic Protein: A Panel for Differential Diagnosis of Acut Stroke. Journal of American Science. 267-72 2. Adhimarta W, 2014. Peranan Proinflamasi dan Intervensi Antiinflamasi pada Cedera Kepala Berat. 3. Anderson H, 2011. Reaktive Gliosis in The Injured Brain: The Efek of Cell Communication and Mediated Cellular Defence, Institute of Neuroscience and Physiology University of Guthenberg, Swedia. 4. Artner J, 2002. Atlas of Human Skeletal Anatomy.p. 7. Available at: www.jurajartner.com 5. ATLS 8th. 2008: Fildes John; Meredith Wayne J. Head Trauma. American College of Surgeon Committee on Trauma, p.131-50.. 6. Baratawidjaja KG, 2009. Inflamasi. Dalam: Imunologi Dasar Edisi 8. Hal 257-264. 7. Butcher K, Emery D. 2010. Acute Stroke Imaging Part I:Fundamentals. Can J Neur Sci. 37(1):4-16 8. Chang L, Goldman RD. 2004 Intermediate-filament classification, structure and assembly. In: Nature Reviews Molecular Cell Biology 5. Pp. 601-13. 9. Cusabio. 2013. Human glial fibrillary acidic protein (GFAP glial fibrillary acidic protein (GFAP) ELISA Kit). 10. Daeli NR. 2008. Karakteristik Penderita Cedera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Darat yang Rawat Inap di RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2005-2007. Skripsi Mahasiswa USU Medan.. 11. Dawodu ST. 2013. Traumatic Brain Injury (TBI), Definition, Epidemiology, Pathophysiology. In: Medscape online. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/326510-overview. 12. Erta M. 2012. Interleukin, a Major Cytokine in The Central Nervous System. International Journal of Biologycal Sciences. 13. Fawcett DW, 2002. Jaringan Saraf. Dalam: Buku Ajar Histologi Edisi 12. Hal.277-320. 14. Flierl MA, Smith WR, Morgan SJ, Stahel PF. 2009. Molecular mechanisms and management of traumatic brain injury – missing the link?. In: World Journal of Emergency Surgery. 4(10). Pp. 1-2. 15. Foerch C et al. 2012. Diagnostic of Accuracy of Plasma Glial Fibrillary Acidic Protein for Differentiating Intracerebral Hemorrhage and Cerebral Ischemia in Patient with Symptoms of Acute Stroke. Clin Chem. 58(1):237-245. 16. Gallucci M, Capoccia S, Catalucci A. 2006. Radiographic Atlas of Skull and Brain 41 Muhammad Rivai, dkk Anatomy. 17. Hadi WS. 2013. Glial Fibrillary Acidic Protein Sebagai Prediktor Kematian Cidera Kepala. Universitas Gadjah Mada. 18. Irawan H, Setiawan F, Dewi, Dewanto G. 2010. Disabilitas Pasien Trauma Kepala di Rumah Sakit Atma Jaya. Dalam: Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 60(10). Hal.437-42. 19. Kaul N, Dash HH. 2003. What’s New in Monitoring in Severe Head Injury. Muscat-Oman: Khoula Hospital. p.1-7. 20. Kenne, E. 2012. Neutrophil Depletion Reduces Edema Formation and Tissue Loss Following Traumatic Brain Injury in Mice. Journal of Neuroinflammation, 9(17): 1-11. 21. Lumpkins KM et al. 2008. Glial Fibrillary Acidic Protein is Highly Correlated With Brain Injury. J Trauma.65(4):778-82 22. Mayer CA et al. 2013. Blood levels of Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) in Patients with Neurological Disease. PLOS ONE.8(4):1-5 23. Missler U, Wietmann M, Wiesmann, G. 2004. Measurement of glial fibrilary acidic protein in human blood: analytic method and preliminary clinical results. Clinical chemistry J. p 138-41. 24. Mondello S, et al. 2011. Blood-based diagnostics of traumatic brain injuries. In: Expert Rev Mol Diagn.Vol 11(1): 65–78. 25. Muhlis Arif. 2014. Analisis Kadar Glial Fibrillary Acidic Protein pada Penderita Cedera Kepala Traumatika. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddi. Pp 1-74. 26. Netter FH et al. 2002. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology, Selections from the Netter Collection of Medical Illustrations. P.2-3 27. New Zealand Guidelines Group (NZGG). 2007. Evidence-Based Best Practice Guideline Summary. Traumatic Brain Injury: Diagnosis, Acute Management and Rehabilitation. Pp. 1-40. 28. Nylen K, Nellgard B, Rosengren L. 2003. Increased levels of serum Glial fibrilary acidic protein (GFAP) in patient with severe head injury. In: Biochemical markers for brain damage. Lund, Sweden. p. 78. 29. Pelinka LE et al. 2004. Glial Fibrillary Acidic Protein in Serum After Traumatic Brain Injury and Multiple Trauma. In: The Journal of Trauma Injury, Infection, and Critical Care. 57:1006–1012 30. Padmosantjojo, Cedera Kepala. Dalam: Tindakan Bedah Saraf. Bagian Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 31. Pekny M, Wilhelmsson U. 2006. GFAP and Astrocyte Intermediate Filaments. In: Hubungan Kadar GFAP Dengan Jumlah Leukosit Pada Penderita Cedera Otak Traumatik Tertutup 42 Handbook of Neurochemistry and Molecular Neurobiology. Pp. 289-314. 32. Pekny M, Nilson M. 2005. Astrocyte activation and reactive gliosis. In: Glia, special issue: Role of Glia in Cerebral Ischemia. Volume 50. Pp. 427-34. 33. Retnaningsih, 2008. Cedera Kepala Traumatik. Dalam: Neurologi update Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) bekerjasama dengan RSUP Dr.Kariadi. 1-5 34. Ri Li D et al. 2009. Histopathological changes of the hippocampus neurons in brain injury. In:Histology and Histopathology Cellular and Molecular Biology. 24:1113-1120. 35. Rohkamm R. 2004. Color Atlas of Neurology. Neurological Clinic Nordwest-Krankenhaus Sanderbusch Sande, Germany 36. Rosner MJ. 2002. Pathophysiology and management of intracranial pressure monitoring. In: Andrew BT.Editor. Neurosurgical intensive care. 3 rd ed. New York: Mc Graw-Hill. p. 122-9. 37. Rovlias A. 2001. The Blood Lekocyte Count and Its Prognostic Significance in Severe Head Injury. In : World Neurosurgery Vol 55. P190-96. 38. Sande A. 2010. Traumatic Brain Injury: A Review of Pathophysiology and Management. In: J Vet Emerg Crit Care(San Antonio). Volume 20(2): 177-90. 39. Sobotta. 2006. Atlas of Human Anatomy. 22nd Edition. Elsevier GmbH, Munich. Vol.1. p. 261. 40. Soertidewi L. 2002. Updates in Neuroemergencies. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 41. Sriyanto. 2007. Hubungan antara peningkatan volume hematoma epidural (EDH) dengan peningkatan kadar Glial Fibrilary Acidic Protein (GFAP) plasma. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.1-64. 42. WalkerKR, Tesco G. 2013. Molecular mechanisms of cognitive dysfunction following traumatic brain injury. In: Frontiersin Aging Neuroscience Volume 5. Pp. 1-25 43. Widodo D. 2012. Dinamika Kadar Glukosa, Laktat dan Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) serum sebagai prediktor luaran pasien cedera otak tertutup. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar.1-46. 44. Willoughby KA.Et al. 2004.S100B protein is released by in vitro trauma and reduces delayed neuronal injury. J Neurochem 91:1284-91. 45. Winn R. 2011. Youmans Neurological Surgery, Sixth Edition, Elsevier Saunders. Vol 4. 46. Zetterberg H, Smith DH, Blennow K. 2013. Biomarkers of Mild Traumatic Brain Injury in Cerebrospinal Fluid and Blood. In: Nature Review Neurology. Vol. 9. Pp. 201–10.