Membangun Wawasan Kebhinekaan melalui Penanaman Nilai

advertisement
B. A. Rukiyanto, S.J.
Pokok Bahasan
 Pengantar
 Pandangan Katolik mengenai Pluralisme Agama
 Tiga Paradigma dalam Dialog Antaragama
 Peran Dialog dalam Pluralitas Religius
 Masalah dalam Relasi Antarkelompok
Pengantar
Pengantar
 Meledaknya bom di hotel JW Marriott Jakarta dan The
Ritz-Carlton menyadarkan kita bahwa terorisme dan
fundamentalisme agama masih kuat mengancam di
Indonesia.
 Kekerasan terhadap agama kadang masih terjadi di
bumi Nusantara ini. Perbedaan agama seringkali
dijadikan sebagai salah satu faktor pemicu lahirnya
konflik di antara umat yang berlainan kepercayaan.
 Agama seringkali dijadikan sebagai tempat perdebatan
yang tidak pernah kunjung selesai persoalannya.
 Maka, tidak heran jika konflik antar agama kadang-
kadang masih kita dengar terjadi di beberapa daerah,
karena masing-masing kelompok mengklaim
agamanya sebagai kebenaran mutlak dibandingkan
dengan agama-agama lain.
 Singkatnya, sikap eksklusif seperti ini membuat setiap
kelompok agama mengasingkan diri dari agamaagama lain, sehingga segala usaha dan upaya yang
dilakukan untuk mewujudkan perdamaian dan
keselarasan di antara umat beragama menjadi semakin
sulit untuk dikonkritkan dalam kehidupan beragama.
 Dengan kata lain, ketertutupan terhadap agama lain
membuat setiap agama berada dalam
ketidakharmonisan dengan agama-agama lain.
 Di lain pihak, dialog antaragama juga semakin
merebak di mana-mana untuk mewujudkan
perdamaian di dalam kehidupan bersama.
 Menjadi tantangan kita bersama, bagaimana kita
mewujudkan perdamaian di tengah kemajemukan
agama-agama yang ada di Indonesia ini.
 Mungkinkah dialog menjadi landasan utama untuk
memerangi setiap konflik, ketegangan dan kekerasan
yang ada dalam realitas kemajemukan masyarakat
kita?
 Mungkinkah dialog antarumat beragama sebagai
“dialog kehidupan” dapat diwujudkan dalam
membangun solidaritas bersama?
 Mungkinkah dialog dikembangkan guna
menanggulangi masalah kemanusiaan kontemporer,
menghadirkan kedamaian dan sekaligus dapat saling
memperkaya kehidupan beriman dalam konteks
majemuk Indonesia?
 Dalam konteks pluralisme agama dan budaya, peran
kita sebagai guru dan pengajar agama sangat penting
untuk menanamkan nilai-nilai agama yang terbuka
dan dialogis yang nantinya mampu membangun
wawasan Bhineka Tunggal Ika.
Pandangan Katolik mengenai
Pluralisme Agama
 Konsili Vatikan II (1962-65) merupakan cikal bakal
lahirnya dialog antarumat beragama.
 Sikap Gereja sebelum Konsili Vatikan II cenderung
menutup diri serta kurang memandang secara positif
agama-agama lain. Sikap ini didasarkan pada
pernyatan yang terkenal: “extra ecclesiam nulla salus”
(di luar Gereja tidak ada keselamatan - Konsili Firenze
-1442- sebutan untuk orang kafir). Akibatnya, Gereja
memegang sikap eksklusif, tertutup dan
mengasingkan diri dari agama-agama lain.
 Pengaruh Karl Rahner dalam Konsili Vatikan II:
keinginan Allah untuk menyelamatkan seluruh
umat manusia, sehingga Allah melaksanakannya
dengan memberikan rahmat supaya manusia
selamat – eksistensial supernatural (setiap orang
terarah kepada realitas transenden/yang ilahi).
 Konsili Vatikan II menyerukan adanya “dialog” dengan
agama-agama dan ekpercayaan lain, yang dicetuskan
dalam Nostra Aetate (NA).
 Melalui dokumen ini Konsili mengatakan: “Gereja
mendorong para putranya supaya dengan bijaksana
dan penuh kasih, “berdialog” dan “bekerjasama”
dengan penganut agama-agama lain, sambil
memberikan kesaksian tentang iman serta peri hidup
Kristiani, mengakui, memelihara dan
mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral
serta nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat pada
mereka (NA 2).
 Berangkat dari kesadaran ini, Konsili Vatikan II
mencoba membuka lembaran baru dalam kehidupan
beragama dengan orang lain yang selama ini terjerat
dalam sebuah kubangan paradigma eksklusivisme.
 Kesadaran Konsili ini memunculkan dua unsur
penting dalam menyuburkan dialog antara umat
beragama:
 Pertama: Konsili Vatikan II mengubah paradigma
“ecclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada
keselamatan) dengan mengatakan bahwa keselamatan
juga mungkin bagi agama-agama lain.
 Kedua: Konsili mengakui bahwa dalam tradisi-tradisi
keagamaan bukan kristiani terdapat unsur-unsur yang
benar dan baik (OT 16), unsur-unsur religius dan
manusiawi (GS 92), benih-benih kontemplasi (AG 18),
unsur-unsur kebenaran dan rahmat (AG 9), benihbenih Sabda (AG 11, 25), dan sinar kebenaran yang
menerangi semua orang (NA 2).
 Konsili Vatikan II juga mengatakan bahwa Gereja
Katolik tidak menolak apa pun yang dalam agamaagama itu apa yang benar dan suci.
 Singkatnya, Konsili Vatikan II membuka pintu selebar-
lebarnya bagi perkembangan dialog dengan agamaagama lain sebagai upaya untuk menciptakan agamaagama yang saling memahami satu dengan yang lain.
 Atas dasar sikap seperti inilah, Gereja Katolik tidak
lagi mengambil sikap “oposisi” dengan agama-agama
lain, melainkan menjalin “persahabatan” yang
relasional dan bekerjasama dengan mereka yang
berkehendak baik walaupun mereka tidak mengimani
Allah.
Tiga Paradigma dalam
Dialog Antaragama
Tiga Paradigma dalam Dialog
Antaragama
 Kemajemukan agama seringkali melahirkan konflik
dan berbagai pemikiran yang menghantar agamaagama pada sikap fanatik dan ketertutupan terhadap
agama-agama lain. Sikap semacam ini membuat
konflik tidak dapat dielakkan dalam kehidupan
keberagamaan.
 Pertanyaannya: apa yang melatarbelakangi munculnya
konflik dalam agama-agama itu?
 Ada tiga paradigma dalam dialog antaragama, yaitu
eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.
Eksklusivisme
 Eksklusivisme dimengerti sebagai paham yang
mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri
dari masyarakat, menjauhkan diri dari, mengasingkan
diri dari, mencegah masuknya, mengecualikan,
mengucilkan, menutup pintu bagi.
 Singkatnya, eksklusivisme adalah paham yang
menutup diri dari agama-agama lain dan memandang
agamanya sebagai satu-satunya yang benar menuju
jalan keselamatan.
 Paradigma eksklusivisme dalam setiap agama melahirkan
sejumlah konsekuensi yang tidak hanya merusak
hubungan antaragama itu sendiri, melainkan juga sikap ini
mematahkan dan menghancurkan relasi antar sesama
manusia. Sebab, sikap yang mengganggap agamanya
sebagai satu-satunya yang benar, tidak memungkinkan
lahirnya “dialog” dengan agama-agama lain untuk saling
mengerti, saling memahami dan saling menghargai antara
satu dengan yang lain, karena pengakuan terhadap adanya
kebenaran dalam agama-agama lain itu jauh dari harapan.
 Akibatnya, muncul sikap intoleransi, kesombongan dan
penghinaan terhadap agama-agama lain.
Inklusivisme
 Paradigma inklusivisme dimengerti sebagai paham
yang mengatakan bahwa kelompoknya memiliki
kebenaran, tetapi juga dalam kelompok-kelompok lain
itu terdapat unsur-unsur kebenaran.
 Tampaknya paham inklusivisme menghadirkan
sebuah pemahaman yang universal dengan mengakui
adanya kebenaran dalam agama-agama lain. Tetapi
dibalik sikap demikian, paham inklusivisme hanyalah
sebuah wacana pengakuan adanya kebenaran dalam
agama-agama lain.
 Paham ini sesungguhnya lebih mengedepankan
kebenaran di dalam agamanya sendiri.
 Pengakuan akan adanya kebenaran dalam agamaagama lain bukanlah sebuah pengakuan yang
“lengkap” atau “penuh,” melainkan sebuah pengakuan
yang parsial.
 Raimundo Panikkar: paham inklusivistik mengandung
konsekuensi, yaitu melahirkan sikap kesombongan,
karena kelompok itu sendiri yang menganggap
memiliki sikap toleransi, sedangkan yang lain tidak.
Pluralisme
 Pluralisme agama merupakan sebuah paham yang
mengakui bahwa semua kelompok keagamaan
memiliki ajaran dan praktek religius yang valid (sah).
 Oleh karena kelompok-kelompok tersebut memiliki
ajaran yang valid dan sah, maka paham ini
menekankan “kesetaraan hak” semua agama untuk
mengungkap diri sebagai jalan keselamatan atau
pemilik kebenaran.
 Paul Knitter: pengakuan “kesetaraan hak” dalam
agama-agama, pertama-tama bukan untuk
merealisasikan bahwa semua agama itu memiliki
kebenaran yang sama dan baik, melainkan pengakuan
“kesetaraan hak” dalam level dialog.
 Artinya dengan cara seperti ini agama-agama yang
berbeda dimungkinkan untuk merealisasikan dirinya
dalam melahirkan dialog untuk mencapai sebuah
pemahaman dalam realitas perbedaan yang ada dalam
setiap agama.
 Dengan cara seperti ini, mustahil setiap agama berada
dalam posisi ketidakmengertian antara satu dengan
yang lain.
 Teologi pluralis mengakui bahwa Allah sebagai
Sumber kebenaran dan transformasi memiliki banyak
pengungkapan akan kebenaran dan bentuk-bentuk
transformasi lainnya.
 Teologi pluralis tidak hanya mengakui adanya
berbagai perbedaan antar-agama yang mencolok
bahkan tak terbandingkan, tetapi juga mengakui nilai
dan keabsahan dari dunia yang serba berbeda ini.
Agama-agama lain bukan hanya sangat berbeda,
namun bisa juga sangat bernilai.
 Teologi pluralistik mendorong agar umat beragama
mengkomunikasikan dan membagikan kandungan
yang bernilai dari agama mereka.
 Agama-agama harus berdialog. Kebenaran setiap
agama bukan untuk dirinya sendiri dan mengabaikan
yang lain, tetapi untuk dipertemukan sehingga terjadi
proses belajar yang memperdalam kebenaran masingmasing.
 Hakikat agama jelasnya relasional dan dialogis. Jadi
semua agama perlu berbicara dan bertindak bersama.
Perbedaan dalam masing-masing agama tidak
menghalangi hubungan antar sesama di antara
mereka.
Peran Dialog dalam
Pluralitas Religius
Peran Dialog dalam Pluralitas
Religius
 Bagaimana peran Gereja dalam membangun dialog di
tengah realitas kemajemukan agama-agama?
 Paus Yohanes Paulus II merupakan salah satu tokoh
yang selalu menekankan dialog sebagai jembatan
menuju perdamaian antarsesama manusia.
 Yohanes Paulus II mengajak Gereja untuk secara aktif
melibatkan diri sepenuhnya dalam membangun dialog
dengan agama-agama lain.
 Keterlibatan Gereja dalam membangun dialog dengan
agama-agama lain merupakan suatu pengakuan
bahwa hanya dengan dialog, setiap kelompokkelompok keagamaan dapat saling mengerti, saling
memahami antara satu dengan yang lain.
 Keterlibatan Gereja dalam mengupayakan lahirnya
perdamaian melalui dialog, merupakan suatu
ungkapan imannya akan kasih Allah, iman yang
memperbarui kehidupan.
 Dialog merupakan unsur mendasar bagi Gereja
sekaligus sentral dalam pemikiran etis umat manusia,
sebab setiap orang ingin mengenal apa yang baik,
benar, dan adil dalam pribadi maupun kelompok lain.
 Hanya dialog memungkinkan manusia dari pihak
mana pun untuk mengakui serta menerima secara
terbuka adanya perbedaan dan sekaligus berusaha
mencari apa yang dibutuhkan oleh setiap manusia di
tengah segala perbedaan yang ada, kendatipun usaha
ini kadang berada dalam situasi ketegangan.
 Dialog antar-agama bukan bertujuan menciptakan
satu agama tunggal dan final, melainkan kepelbagaian
yang semakin berkembang dan berarti dalam agamaagama.
 Dialog korelasional ini harus disertai dengan
tanggungjawab global dan karena itu pendekatannya
bukanlah eklesiosentris, kristosentris atau teosentris,
melainkan soteriosentris.
 Dasar bersama bagi dialog antar-agama adalah soal
penderitaan manusia dan kerusakan ekologi atau
dengan kata lain kesejahteraan manusia dan
lingkungan.
 Dasar bersama dialog ini penting ditetapkan agar
tidak terjadi kelesuan atau kesepian moral sehingga
dapat mengambil keputusan etis bersama demi
kesejahteraan manusia dan Bumi. Terobosan kongkret
yang dapat dibuat adalah merumuskan suatu etika
global bagi tindakan bersama.
 Etika global ini dapat menjadi kenyataan jika
dilakukan dialog global terlebih dahulu sehingga
akhirnya tanggung jawab global dapat dilakukan
bersama.
 Di sini menjadi religius berarti menjalani kehidupan
yang bertanggung jawab secara global.
 Dengan tanggung jawab global yang menjadi tugas
etis bersama, maka semua umat beragama bisa lebih
saling menghidupkan dan memperbarui.
Bentuk-bentuk Dialog
 (1) dialog kehidupan di mana masing-masing
memelihara solidaritas dan kebersamaan;
 (2) dialog dalam tindakan lewat kerjasama
mengusahakan kedamaian dan keadilan
 (3) dialog spiritualitas lewat ibadah dan doa bersama
dari beragam agama; dan
 (4) dialog melalui percakapan di mana para ahli
mempercakapkan ajaran agama mereka masingmasing.
Tujuan Dialog
 (1) memupuk persaudaraan lintas agama,
 (2) merayakan bersama hari raya agama dan nasional,
 (3) menghindari sikap intoleran dan mencegah konflik
komunal, dan
 (4) mengupayakan keadilan sosial dengan merancang
berbagai pendekatan konstruktif terhadap masalahmasalah sosial.
Masalah dalam Relasi
Antarkelompok
Masalah dalam relasi
antarkelompok
 Tidak cukup memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang
akan menyebabkan kurangnya penghargaan dan
sekaligus akan mudah memunculkan sikap curiga
yang berlebihan.
 Perbedaan kebudayaan karena tingkat pendidikan
yang tidak sama, juga masalah bahasa yang sangat
peka dalam kelompok-kelompok tertentu.
 Faktor-faktor sosial politik dan beban ingatan
traumatis akan konflik-konflik dalam sejarah.
 Pemahaman yang salah mengenai beberapa istilah
yang biasa muncul dalam dialog, misalnya pertobatan,
pembaptisan, dst.
 Merasa diri cukup dan paling sempurna sehingga
memunculkan sikap-sikap defensif dan agresif.
 Kurang yakin terhadap nilai-nilai dialog antaragama;
sejumlah orang menganggapnya sebagai tugas para
ahli, atau melihat dialog sebagai tanda kelemahan
atau malahan pengkhianatan iman.
 Kecenderungan berpolemik bila mengungkapkan
keyakinan gagasan.
 Permasalahan zaman sekarang: materiaisem,
sekularisme, acuh tak acuh dalam hidup beragama,
banyak sekte-sekte keagamaan fundamentalis yang
memunculkan kebingungan dan persoalan-persoalan
tertentu.
 Sikap tidak toleran yang kerap kali diperparah oleh
faktor-faktor politik, ekonomi, ras, etnnis, dan aneka
kesenjangan lainnya.
Simpulan
 Dalam era globalisasi, agama-agama tetap memainkan
peranan penting agar masyarakat tidak hanyut dalam
arus fundamentalisme dan liberalisme, karena
keduanya tidak peduli dengan eksistensi orang lain.
 Jika agama-agama tidak dapat berdialog, maka
kekerasan atas nama agama dapat mencederai
kesatuan bangsa dan menciptakan ketakutan dalam
masyarakat.
 Pluralisme agama menjadikan dikotomi mayoritas-
minoritas tidak relevan lagi sebab semua umat
beragama berpotensi sama baiknya membangun
kehidupan bersesama secara damai dalam bingkai
kepelbagaian dalam kesatuan (bhineka tunggal ika)
 Menjadi tugas kita bersama untuk menerangkan dan
menjalankan terus-terus dialog sejati supaya
perdamaian semakin bisa dirasakan di dalam
masyarakat.
Download