BAB IV KESIMPULAN Keadaan biologis kaum perempuan yang tidak memiliki penis, yang notabene merupakan simbol dari kekuasaan dan dominasi, dijadikan sebagai faktor pendukung dari konstruksi sosial yang menilai bahwa perempuan memang ditakdirkan untuk menjadi mahluk yang inferior. Kebudayaan patriarki bertanggung jawab dalam menciptakan sebuah pandangan yang berpendapat bahwa kaum perempuan sudah seharusnya menjadi sosok yang lemah dan bergantung pada kaum laki-laki. Selain itu, kebudayaan juga mengkontruksi konsep femininitas atau sifat kewanitaan yang ideal pada kaum perempuan, seperti sifat penurut, pasif, sabar dan pemaaf, kemudian membuat perempuan percaya bahwa mereka seharusnya menjadi seperti itu. Watak tokoh Jeanne merefleksikan inferioritas yang dialami oleh perempuan. Sebagai seorang gadis muda, Jeanne berpendapat bahwa memiliki suami dan melahirkan anak merupakan tujuan hidupnya, walaupun dia berpendidikan dan memiliki harta kekayaan. Cinta serta tubuhnya merupakan sarana yang dapat dia gunakan untuk memperoleh tujuan hidupnya tersebut. Pola pikir Jeanne seperti itu merupakan hasil yang dibentuk dari kebudayaannya, apalagi mengingat masa muda Jeanne yang berlangsung pada awal abad ke-19 saat budaya patriarki masih sangat kental dalam kehidupan bermasyarakat dan kaum perempuan dijauhkan dari ranah politik, ekonomi, dan sains. Pengetahuan kaum perempuan yang minim akan 65 kebebasan yang mereka miliki atas tubuh dan diri mereka menyebabkan kaum perempuan dengan gampang mengikuti konstruksi yang dibentuk oleh kebudayaan patriarki akan tubuh serta perilaku perempuan. Kaum perempuan menjadi percaya begitu saja bahwa tubuh mereka serta peran mereka dalam masyarakat akan bermakna ketika mereka dicintai oleh suaminya dan ketika berhasil menjalankan fungsi reproduksinya yaitu melahirkan seorang anak. Selain itu peran kaum perempuan menjadi terbatas dalam kehidupan sosialnya serta penilaian yang berlebihan terhadap cinta juga bertanggung jawab atas inferioritas perempuan yang dialami oleh Jeanne. Sebagai seorang istri, Jeanne menjadikan rasa cinta yang diperoleh dari pasangannya sebagai pondasi kepercayaan dirinya, sehingga ketika pasangannya berselingkuh dan tidak mencintai dirinya lagi, kepercayaan diri Jeanne hancur dan dia mengalami inferioritas. Di samping faktorfaktor kebudayaan, terdapat juga faktor personal yang menyebabkan inferioritas pada Jeanne, yaitu kegagalan untuk hidup sesuai dengan konsep diri idealnya. Bagi Jeanne, konsep diri idealnya adalah seorang perempuan yang memiliki sebuah keluarga bahagia dan sangat dicintai oleh suami dan anak-anaknya. Tetapi kenyataannya, Jeanne tidak memiliki keluarga yang bahagia dan dia tidak dihargai oleh suami dan anaknya. Hal tersebut menyebabkan Jeanne merasa telah gagal dalam kehidupannya dan juga menyebabkan inferioritas dalam diri Jeanne. Pada pembahasan mengenai bentuk-bentuk inferioritas, tampak bahwa Jeanne mengalami inferioritas psikologis karena dia memiliki penilaian yang rendah terhadap dirinya sendiri dan merasa kehidupannya tidak berarti. Jeanne juga mengalami 66 inferioritas sosial yang ditunjukkan melalui sikapnya yang membiarkan orang lain mengambil kontrol atas kehidupannya dan dia selalu memanfaatkan serta bergantung pada orang lain dalam mengurus kehidupannya sendiri. Dalam pembahasan mengenai dampak dari inferioritas, tiga hal utama yang dilakukan oleh tokoh utama yang mencerminkan perubahan kepribadian Jeanne sebagai dampak dari inferioritas yang dialaminya adalah perilaku submisif, dependen dan masokistik. Perilaku Jeanne yang hanya pasrah terhadap penindasan yang dilakukan suaminya dan sangat bergantung pada orang-orang di sekitarnya dan tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri menunjukkan dampak dari inferioritas perempuan melalui perilaku yang submisif dan dependen. Perilaku submisif Jeanne tampak dari sikapnya yang sama sekali tidak berani menentang pendapat Julien sebagai suaminya dan dengan pasrah menerima perilaku semena-mena Julien terhadapnya. Selanjutnya, perilaku dependen Jeanne tercerminkan melalui ketidakmampuan Jeanne dalam mengatasi berbagai permasalahan dalam hidupnya tanpa bantuan orang-orang di sekitarnya. Dampak dari inferioritas yang dialami oleh Jeanne juga terefleksikan melalui perilaku masokistik yang dilakukannya. Masokisme atau kecenderungan untuk tahan terhadap penderitaan atau rasa sakit sangat sering dikorelasikan dengan femininitas yang ada pada diri seorang perempuan, seperti rasa sakit saat menstruasi dan melahirkan. Masokisme tidak hanya sekedar sebuah fenomena seksual tetapi lebih kepada hasil dari konflik tertentu dalam hubungan interpersonal yang buruk atau tidak sehat yang menyebabkan individu membiarkan dirinya disakiti secara fisik atau 67 psikologis oleh orang lain. Perilaku masokistik Jeanne terlihat dari kepasrahan dirinya dalam menerima berbagai penindasan yang dilakukan oleh suaminya. Jeanne sangat menderita akan sikap suaminya, tetapi dia hanya meratapi penderitaan dan tidak berusaha untuk melawan perlakuan suaminya sama sekali. Selain itu, Jeanne juga gemar menyiksa dirinya dengan terus-menerus memikirkan dan mencari anaknya yang telah menghabiskan seluruh karta kekayaannya, kemudian menelantarkan Jeanne. Kasih sayang dan cinta yang diberikan dari suami dan anaknya menjadi sumber kebahagiaan dan kepercayaan diri perempuan, sehingga perempuan memiliki ketergantungan emosional yang sangat besar terhadap suaminya dan keluarganya. Hal tersebut menyebabkan Jeanne lebih rela untuk menderita daripada kehilangan cinta yang diperoleh dari suami dan anaknya, sebab cinta yang diberikan oleh keluarganya menjadi satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan afeksinya dan juga merupakan sumber dari kehormatan, rasa aman dan kebahagiaannya. Dengan demikian, penelitian ini telah mencapai tujuannya untuk menguraikan bentuk-bentuk inferioritas yang dialami oleh tokoh Jeanne serta penyebab dan dampak dari inferioritas tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anatomi tubuh perempuan yang tidak memiliki penis tidak memiliki korelasi terhadap inferioritas dan keadaan psikologis yang dialami oleh perempuan. Kebudayaan partiarki menciptakan sebuah ideologi yang memandang perempuan sebagai jenis kelamin yang lemah. Kaum perempuan seharusnya menyadari bahwa dirinya memiliki kebebasan untuk menentukan peran serta tujuan hidupnya sendiri. Keadaan 68 biologis perempuan yang tidak memiliki penis, memiliki rahim serta mengalami menstruasi seharusnya tidak dijadikan sebagai hambatan bagi kaum perempuan dalam mengembangkan keterampilan serta kepribadiannya. Dalam mewujudkan keseteraan gender dalam masyarakat, kebudayaan patriarki seharusnya merubah cara pandang bahwa merupakan kodrat perempuan untuk memiliki kedudukan di bawah laki-laki dan merasa inferiori karena hal tersebut. Masyarakat seharusnya melihat bahwa laki-laki dan perempuan memang diciptakan berbeda, tetapi setara. Selain itu, seorang perempuan seharusnya memiliki kepercayaan diri bahwa dia memiliki kemampuan dalam berbagai bidang sama seperti laki-laki, sehingga dapat menjadi seseorang yang independen dan tidak selalu bergantung terhadap orang lain. Keadaan biologis yang berbeda antara kedua jenis kelamin seharusnya tidak dijadikan sebagai penentu jenis kelamin mana yang lebih baik atau kuat. Perbedaan keadaan biologis tersebut seharusnya dilihat sebagai keistimewaan dari masingmasing jenis kelamin yang membuat kaum laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi untuk menghasilkan generasi yang lebih baik bagi tahapan kehidupan manusia selanjutnya. 69