TA_Widitama_Prabanu_BAB 5

advertisement
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Dalam re-desain heat exchanger Propane Desuperheater
dengan menggunakan baffle tipe single segmental, variasi
jarak baffle dan baffle cut menentukan besarnya koefisien
perpindahan panas dan pressure drop yang terjadi pada
heat exchanger yang sedang dirancang. Umumnya, ketika
ingin didapatkan pressure drop yang rendah, maka
didapatkan pula koefisien perpindahan panas yang
rendah, sehingga diperlukan suatu analisa optimasi untuk
menentukan baffle spacing dan baffle cut yang optimum.
a. Untuk baffle spacing yang sama besar, pressure
drop semakin kecil dengan bertambahanya baffle
cut dari 20%, 25%, dan 30%. Penambahan baffle
cut akan menyebabkan lintasan aliran yang melalui
sisi shell tidak berbelok terlalu tajam ketika
memasuki area di antara 2 baffle, sehingga
pressure drop yang terjadi lebih kecil.
b. Koefisien perpindahan panas yang maksimal
didapatkan ketika baffle cut
sebesar 25%.
Koefisien perpindahan panas pada baffle cut 20 %
dan 30% besarnya tidak berbeda jauh.
c. Untuk baffle cut yang sama besar, pressure drop
paling kecil didapatkan ketika baffle spacing
sebesar 55%. Pressure drop paling tinggi
didapatkan ketika baffle spacing lebih kecil, yaitu
50%.
d. Koefisien perpindahan panas yang maksimal
didaptkan ketika baffle spacing sebesar 50%.
Namun ketika baffle spacing diperbesar menjadi
55%, terjadi penurunan yang cukup drastis.
e. Dalam perancangan, digunakan baffle spacing
sebesar 45% dan baffle cut sebesar 25% dari
diameter shell.
139
140
2. Perubahan laju air massa dari masing-masing fluida
mempengaruhi kinerja heat exchanger. Parameternya
adalah heat transffered, temperatur outlet dari sisi shell
dan sisi tube.
a. Penurunan laju alir massa fluida panas menyebabkan
heat transfer yang terjadi semakin berkurang.
Berkurangnya laju alir massa menyebabkan
berkurangnya
kapasitas
fluida
untuk
melepas/menerima panas. Hal ini menunjukkan
dominasi pengaruh variabel Cmin terhadap Qactual
yang terjadi pada heat exchanger.
b. Penurunan Qactual memiliki gradien paling besar
adalah pada saat Cr = 0.233. Hal ini disebabkan oleh
karena pada Cr yang semakin kecil, perbandingan
antara fluida pendingin dan fluida panas semakin
besar, sehingga untuk perubahan laju alir massa yang
relatif sedikit, mengakibatkan perubahan Qactua yang
relatif lebih besar.
c. Untuk laju alir massa yang besarnya sama, besarnya
Tho semakin kecil untuk Cr yang lebih kecil. Hal ini
dikarenakan untuk nilai Cr yang semakin kecil
perbandingan kapasitas fluida pendingin dan
kapasitas fluida yang didinginkan semakin besar.
Sehingga Qactual lebih besar dan ∆T yang terjadi juga
semakin besar, sehingga temperatur outlet fluida
panas meningkat.
d. Peningkatan laju alir massa menyebabkan Qactual,cold
dan Ccold bertambah besar, namun bertambahnya
Ccold mendominasi peningkatan Qactual,cold sehingga
∆Tcold yang terjadi berkurang. Untuk temperatur inlet
yang diasumsikan konstan, maka temperatur outlet
fluida dingin berkurang
3. Tube yang disumbat mereduksi luasan sisi tube dan
luasan perpindahan area keseluruhan. Untuk laju alir
massa sisi tube yang sama, dengan berkurangnya jumlah
Widitama Prabanu – 2104.100.022
141
tube efektif, maka kecepatan aliran di masing-masing
tube akan meningkat. Peningkatan kecepatan di sisi tube
menyebabkan pressure drop meningkat dan koefisien
perpindahan panas juga meningkat. Namun karena faktor
pengurangan luasan lebih mendominasi, maka total
perpindahan panas yang terjadi menjadi berkurang
walaupun koefisien perpindahan panas bertambah.
a. Kecepatan di masing-masing tube bertambah akibat
berkurangnya jumlah tube efektif. Menyebabkan
peningkatan pressure drop aliran di sisi tube
b. Terlihat bahwa dengan penyumbatan yang dilakukan
terhadap sebanyak 20% dari total jumlah tube,
pressure drop yang terjadi sudah 50% lebih besar
daripada saat tidak ada penyumbatan.
c. Kecepatan di sisi tube yang meningkat menyebabkan
Reynold Number meningkat dan Nusselt Number
meningkat. Sehingga koefisien perpindahan panas
akan meningkat. Namun karena luasan perpindahan
panas berkurang dan pengurangan tersebut
mendominasi
faktor
peningkatan
koefisien
perpindahan panas, maka perpindahan panas yang
terjadi menjadi berkurang.
d. Terlihat bahwa dengan penyumbatan yang dilakukan
terhadap sebanyak 20% dari total jumlah tube, heat
transfer yang terjadi berkurang sekitar 10% daripada
saat tidak ada penyumbatan.
e. Analisa optimasi berdasarkan grafik (Q/∆P)
menunjukkan bahwa penurunan pressure drop
mendominasi kenaikan heat transfer yang terjadi
untuk setiap penambahan presentase penyumbatan.
Tren grafik yang terjadi adalah exponensial pangkat
satu. Diperlukan analisa lebih lanjut secara
matematis untuk mendapatkan titik optimum yang
menunjukkan persentase penyumbatan maksimal
yang dapat dilakukan dalam proses maintenance HE.
Widitama Prabanu – 2104.100.022
142
f.
Berkurangnya perpindahan panas yang terjadi akibat
adanya penyumbatan menyebabkan ∆Thot juga
berkurang. Ketika penyumbatan sebanyak 20%,
temperatur outlet fluida panas meningkat sebanyak
3%.
g. Berkurangnya perpindahan panas yang terjadi akibat
adanya penyumbatan menyebabkan ∆Tcold juga
berkurang. Hal tersebut menyebabkan temperatur
outlet fluida dingin menjadi turun. Ketika
penyumbatan sebanyak 20%, temperatur outlet fluida
dingin berkurang sekitar 1%.
5.2 Saran-Saran
1. Program HED dapat dikembangkan lagi sehingga
dapat membentuk suatu database hasil perhitungan
penyumbatan pada suatu range tertentu. Kemudian
dapat ditampilkan dalam bentuk grafik. Sehingga
pengolahan data dapat dilakukan dalam satu perangkat
lunak saja.
2. Desain heat exchanger propane desuperheater dapat
dilakukan lagi dengan mengganti jenis baffle dengan
rod baffle.
3. Penelitian tentang pengaruh tube penyumbatan dapat
dilakukan lagi pada skala laboratorium dengan metode
eksperimental yaitu dengan metode π Buckingham
atau similitude method.
4. Pada penelitian berikutnya dapat dilakukan analisa
optimasi (Q/∆P) / (Q/∆P)* secara matematis sehingga
didapatkan persentase penyumbatan maksimum yang
dapat diterapkan pada HE yang sedang dimaintenance.
Widitama Prabanu – 2104.100.022
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, Edward Dimas. Simulasi Perancangan Kondenser
Tipe Shell And Tube Dengan Perangkat Lunak Delphi.
Surabaya, 2004.
Alam, M Agus J. Belajar Sendiri Borland Delphi 6. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo, 2002.
Bejan, Adrian, and Allan D. Krauss. HEAT TRANSFER
HANDBOOK. New Jersey: John Wiley & Sons, 2003.
Bell, Dr.K.J, and Dr. A.C. Mueller. Wolverine Engineering
Data Book II. 2001.
Hussaini, Irfan Saif. Performance Evaluation of Shell-andTube Heat Exchangers : A Numerical Approach. Dhahran:
King Fahd University of Petroleum and Minerals, 1998.
Incropera, Frank P., and David P. Dewitt. Fundamentals Of
Heat and Mass Transfer 5th edition. Singapore: John Wiley
& Sons, 2002.
K.C.Leong, K.C.Toh, and Y.C.Leong. Shell and Tube Heat
Exchanger Design Software for Educational Applications.
Vol. 14. Singapore: TEMPUS Publication, 1998.
Kakac, Sadic, and Hongtan Liu. Heat Exchangers Selection,
Rating, and Thermal Design 2nd Ed. Boca Raton, Florida:
CRC Press, 2002.
143
144
Kuppan, T. Heat Exchanger Design Handbook. New York:
Marcel Dekker,Inc., 2000.
McKee, Joe. Newsletter Vol I-1.
Mukherjee, Rajiv. Effectively Design Shell-and-Tube Heat
Exchangers. New Delhi, India: Chemical Engineering
Process, 1998.
Pranata, Antony. Pemrogaman Borland Deplhi 6 Edisi 4.
Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta, 2003.
Thome, John R. Wolverine Engineering Databook III. 2004.
TUBULAR
EXCHANGER
MANUFACTURERS
ASSOCIATION, INC. STANDARDS OF TUBULAR
EXCHANGER MANUFACTURERS ASSOCIATION Nineth
Edition. New York, 2007.
Widitama Prabanu – 2104.100.022
Download