Pengaruhnya terhadap Komunitas Terumbu Karang Coral Bleaching

advertisement
Hayati, September 2001, hlm. 86-90
ISSN 0854-8587
Vol. 8, No.3
ULASAN
Pemutihan Karang: Pengaruhnya terhadap
Komunitas Terumbu Karang
Coral Bleaching: Influences on the Coral Reef Communities
CHAIR RANI
lurusan Hmu Kelllutan, Fakultas Ilmu Kelllutan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin
lallln Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea, Makasar 90245, TeL +62-411-585189, E-mail: [email protected]
Diterima 5 April 200lJDisetujui 26 Juli 2001
Coral reefs are among the most sensitive ecosystems to long-term climate change. In addition, between 50% and 70% of
all corals reefs are directly threatened by human activities. One of the natural phenomena in coral reefs is bleaching, as a
consequence of stress of climate changed (possibly due to the increase in temperature). Six major episodes of coral bleaching
have occurred since 1979, with massive mortalities of coral affecting reefs in every part of the world. Entire reef systems have
died following bleaching events. I would like to represent three important factors i.e. biological, physiological and ecological
have significantly influenced the bleaching of coral reef communities. The biological influences were responsible in increasing
coral mortality, decreasing of growth and calcification as well as reproduction capacity. The physiological influences involved decreasing photosynthesis and photosynthetic efficiency. The principal consequences of excess irradiance absorption
are photoinhibitory damage to the photosystem n reaction center and generalized damage to membranes and proteins by
singlet oxygen, superoxide and other free radicals. While, ecological influences include decreasing of coral reef condition,
productivity and biodiversity, as well as the changes in communities structure. The reduced ability to grow and calcification
may also translate into a reduced ability to compete space with other organisms.
Terumbu karang adalah ekosistem laut yang paling
spektakuler dan beragam di planet bumi. Terumbu karangjuga
sangat kompleks dan produktif. Banyak spesiesnya sampai
saat ini belum diketahui, diduga ada sekitar satu juta spesies,
namun hanya sekitar 10% yang dapat digambarkan (ReakaKudla 1996).
Terlepas dari hal tersebut di atas, terumbu karang
diproyeksikan akan menjadi ekosistem yang lebih peka
terhadap perubahan iklim dalam waktu yang panjang (IPCC
1988). Selain perubahan iklim, sekitar 50-70% terumbu karang
juga secara potensial terancam oleh aktivitas manusia (Goreau
1992, Sebens 1994). Pemanfaatan dan pembangunan kawasan
pesisir, praktik penangkapan ikan yang merusak, polusi laut,
dan aliran air dari penggundulan hutan dan pertanian
merupakan ancaman terbesar bagi terumbu karang.
Fenomena alam lain yang berdampak besar terhadap"
kondisi dan kerusakan terumbu karang ialah peristiwa """
pemutihan karang (coral bleaching). Pemutihan merupakan
akibat dari cekaman (stress) sewaktu terjadi perubahan besar
pada organisasi jaringan dan sitokimia dalam polip karang
(Hayes & Goreau 1992). HasH akhir dari proses ini
menyebabkan koloni karang menjadi putih, baik sebagian
ataupun seluruh koloni. Beberapa contoh pemutihan terutama
berhubungan dengan ;terdegradasinya pigmen-pigmen klorofil
pada zooxantela yang disebabkan oleh pecahnya atau
terjadinya foto-oksidasi klorofil (Asada & Takahashi 1987,
Brown 1997). HasH pengamatan di Lautan PasifIk oleh Brown
dan Ogden (1993) pada tahun 1982-1983 memperlihatkan
adanya peningkatan suhu permukaan laut yang mengakibatkan
keluarnya alga yang bersimbiosis dengan hewan terumbu.
Hewan karang yang kehilangan simbionnya ini kemudian mati
dan diperkirakan menurun dari 70% sampai 95%. Dengan
demikian hewan ini masih menjadi faktor alam yang memberi
kontribusi utama terhadap penurunan kondisi terumbu karang
(Glynn 1993, Hoegh-Guldberg et al. 1997). Enam episode
utama dari peristiwa pemutihan karang terjadi sejak tahun
1979 dan menyebabkan kematian massal populasi karang.
Setelah peristiwa itu hampir seluruh sistem yang ada di
terumbu karang menghilang (Hoegh-Guldberg 1999).
Melihat besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh
peristiwa pemutihan terhadap kerusakan karang dan sistem
yang terkait pada terumbu karang maka tulisan ini
mengulasnya ditinjau dari biologi, fisiologi, dan ekologinya.
BIOLOGI
Selama peristiwa pemutihan, karang kehilangan 60-90%
darijumlah zooxantelanya dan zooxantela yang masih tersisa
dapat kehilangan 50-80% pig men fotosintesisnya (Glynn
1996). Gangguan yang berkepanjangan dapat menyebabkan
kematian, sebagian atau keseluruhan, tidak hanya pada
individu koloni, tetapi juga terumbu karang secara luas.
I
I
Vol. 8,2001
Pemutihan dapat pula terjadi pada organisme lain yang
berasosiasi dengan terumbu karang seperti karang lunak,
anemon, dan beberapa spesies kirna raksasa tertentu (Tridacna
spp.), yang juga memiIiki alga simbiosis dalarn jaringannya
(Hoegh-Guldberg & Jones 1999). Sarna seperti karang,
organisme ini dapat juga mati apabila kondisi yang mengarah
kepada pemutihan cukup parah.
Pada beberapa spesies karang, pemutihan menyebabkan
perturnbuhan jaringan dan pengendapan kapur (kalsifikasi)
terhenti, demikian pula proses reproduksi secara seksual
terharnbat. Karang dapat bertahan hidup jika tekanan hanya
berlangsung dalam waktu yang singkat, tetapi akan mati jika
dalam waktu yang lama. Meskipun demikian, peristiwa
tekanan subletal dapat membuat karang sangat peka terhadap
infeksi oleh berbagai penyakit. Ledakan penyakit (epizootik)
yang terjadi dapat menyebabkan kematian karang secara nyata
(Pomerance et al. 1999).
Pendugaan kematian karang yang mengalami peristiwa
pemutihan massal, mendekati nol pada kasus pemutihan yang
ringan (Harriot 1985) sarnpai mendekati 100% seperti yang
terlihat pada beberapa terurnbu perairan dangkal di Indonesia
(Brown & Suharsono 1990) dan terurnbu di bagian barat
Pasifik yang mengalarni peristiwa EI Nino pada tahun 19821983. Kematian yang meningkat pada peristiwa pemutihan
ditentukan oleh peningkatan suhu dan larnanya suhu berada
di atas suhu rata-rata maksimum musim panas. Kematian
populasi karang dilaporkan setelah lima minggu peristiwa
pemutihan di bag ian tengah Great Barrier Reef (Baird &
Marshall 1998, Marshall & Baird 1999). Kematian ini
didominasi oleh karang bercabang dari Acroporidae, yaitu
Acropora hyacinthus dan A. gemmifera yang mencapai 7080%.
Studi lain juga dilakukan untuk melihat pengaruh tekanan
panas terhadap kemarnpuan reproduksi dari karang-karang
pembangun terumbu. Dua ratus koloni karang yang tumbuh
di rataan terumbu (reef flat) Pulau Heron telah dicobakan
setelah terjadi peristiwa pemutihan pada tahun 1988, yaitu
dengan membandingkan fekunditas antara koloni karang yang
mengalarni pemutihan dan yang tidak. Hasil pengamatan
tersebut menunjukkan bahwa pengaruh tekanan pemutihan
pada karang, secara umum sangat mengurangi aktivitas
reproduksi. Koloni Acropora humilis, Favia sp., Goniastrea
sp., Montipora sp., Platygyra daedalea, dan Symphyllia sp.
yang diarnati tidak mengandung telur, meskipun semuanya
diduga melakukan reproduksi pada bulan berikutnya (HoeghGuldberg 1999). Pada pengarnatan yang dilakukan selarna
priode pemijahan pada bulan November terlihat bahwa
karang-karang yang mengalarni pemutihan tersebut telah
pulih, tetapi tidak melakukan pemijahan.
Pada spesies karang lain yang subur di rataan terumbu,
jumlah telur dari spesies yang mengalami pemutihan sangat
rendah dibandingkan dengan yang tidak mengalami
pemutihan, seperti Acropora aspera, A. palifer, A. pulchra,
dan Montipora digitata (Hoegh-Guldberg 1999). Rendahnya
perkembangan reproduksi yang kemudian diikuti dengan
kematian massal setelah peristiwa pemutihan berakibat
terhadap lambatnya laju pemulihan pada populasi karang.
ULASAN
87
Karang-karang pembangun terurnbu secara proporsiona)
memberikan kontribusi mendasar terhadap produktivitas
ekosistem terumbu karang (Muscatine 1980, 1990). Karang
pembangun terumbu yang berada di bawah pengaruh
pemutihan terlihat pertumbuhan dan kemampuan untuk
pemulihannya berkur.mg. Pengaruh utarna pada peningkatan
suhu menyebabkan hilangnya zooxantela pada karang
pembangun terumbu dan invertebrata lainnya yang
bersimbiosis dengan zooxantela. Secara prinsip, zooxantela
adalah mesin produksi primer pada organisme tersebut. Oleh
karen a itu, pemutihan menyebabkan laju produktivitas
fotosintetik pada karang pembangun terumbu dan organisme
simbiotik lainnya turun secara drarnatis (Coles & JokieI1977).
Aktivitas fotosintesis dari zooxanthella adalah sumber
energi utama dalarn proses pengapuran (Muscatine 1980,
1990). Pengurangan kemampuan tumbuh dan pengapuran
dapat juga diterjemahkan ke dalam suatu pengurangan
kemampuan untuk berkompetisi terhadap ruang dengan
organisme lain, seperti rumput laut, dan akhirnya akan
membatasi sebaran karang-karang pembangun terumbu.
FISIOLOGI
Suhu perairan akan mempengaruhi laju metabolisme
pelbagai karang dan simbionnya. Pengaruh suhu terhadap
produksi bergantung pada respons fotosintesis dan respirasi
dari zooxantela dan hewan-hewan terhadap perubahan suhu
yang terjadi. Kemampuan karang untuk mengadakan
penyesuaian terhadap perubahan suhu dapat bervariasi
menurut spesies dan tempat hidup karang. Sebagai contoh,
karang laut dangkal dapat menyesuaikan diri pada suatu
kisaran suhu yang luasjika dibandingkan dengan karang laut
dalarn (Muller-Parker & D'Elia 1995).
Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi
stabilitas dari simbiosis karang pada tingkat individu dan
secara pasti dalarn Iingkup yang lebih luas, yaitu terurnbu
karang (Glynn 1991). Meskipun batas toleransi karang
terhadap suhu bervariasi antarspesies atau antardaerah pada
spesies yang sarna, tetapi dapat dinyatakan bah wa karang dan
organisme terumbu hidup pada suhu dekat dengan batas atas
toleransinya (Johannes 1975), oleh karen a itu dapat
disimpulkan bahwa hewan-hewan karang relatif sempit
toleransinya terhadap suhu. Peningkatan suhu hanya beberapa
derajat sedikit di atas arnbang batas (=:2-3OC) dapat mengurangi
laju pertumbuhan atau kematian yang luas pada spesies karang
secara umum (Neudecker 1987, Jokiel & Coles 1990).
Dalarn kasus cekarnan suhu, kenaikan suhu mengganggu
kemampuan zooxantela untuk berfotosintesis dan dapat
memicu produksi senyawa kimia berbahaya yang akhirnya
merusak sel-sel mereka (Jones et al. 1998, Hoegh-Guldberg
& Jones 1999). Akibat dari kehilangan zooxantela dan
penurunan pig men fotosintesis menyebabkan penurunan dan
efisiensi fotosintesis padazooxantela (Brown 1997). Studijuga
dibuat untuk mengidentifikasi tempat-tempat khusus yang
mengalarni kerusakan pada peristiwaipemutihan oleh suhu
tinggi. Warner et al. (1996) mempelajari zooxantela dari
spesies yang hidup di belakang daerah terumbu, Siderastrea
88
ULASAN
Hayati
radians lebih tahan terhadap suhu dibandingkan karang
Montastrea annularis dan Agaracia lamarkii yang hidup di
bagian depan terumbu. Zooxantela pada M. annularis tampak
lebih peka terhadap kerusakan yang disebabkan oleh suhu
pada atau dekat pusat reaksi fotosistem II, sedangkan
zooxantela pada S. radians tetap mampu menghilangkan
energi yang dibangkitkan melaluijalur nonfotokimia, dengan
demikian akan melindungi fotosistem kerusakan selama terjadi
peningkatan suhu.
Dalam peningkatan suhu tersebut, tampaknya zooxantela
mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri dari
peningkatan penyinaran dan suhu. Owens (1994)
menggambarkan keterkaitan antara laju penyerapan foton dan
laju penggunaan foton pada proses fotosintesis (Gambar 1).
Respons jangka pendek pada organisme fotosintetik
digambarkan oleh kurva fotosintesis penyinaran (F-P) dengan
laju fotosintesis diplotkan terhadap intensitas penyinaran.
Kurva F-P memperlihatkan kej~nuhan kinetik, jika
peristiwa intensitas cahaya melebihi kisaran fisiologi karang
maka laju penyerapan cahaya ialah linear terhadap intensitas
cahaya tersebut. Perbedaan antara dua kurva (digambarkan
dalam daerah yang diarsir) menunjukkan penyerapan energi
cahaya yang melampaui kapasitas fotosintesis yang akan
digunakan. Konsekuensi mendasar pada kelebihan cahaya
yang diserap ialah kerusakan foto-inhibitor pada pusat reaksi
fotosistem II dan secara umum merusak membran dan protein oleh adanya oksigen tunggal, superoksida, dan radikal
bebas lainnya. Radikal bebas diketahui terlibat sebagai mediator dalam peristiwa pemutihan (Lesser et al. 1990). Suatu
respons terhadap peningkatan suhu dan penyinaran telah
dicobakan pada zoantid, Palythoa caribaeorum. Kerusakan
yang ditimbulkan dari kelebihan cahaya yang diserap dapat
disebabkan oleh perubahan pada faktor lingkungan lain,
seperti beberapa gangguan (peningkatan suhu) yang
menyebabkan suatu penurunan dalam laju fotosintesis dan
selanjutnya kurva F-P akan menurun dan mengarah pada suatu
penyerapan cahaya yang berlebih.
Kerja terakhir terhadap karotenoid, diadinoxantin, dan
diatoxantin dalam zooxantela karang menunjukkan bahwa
terjadi perubahan atau pengaliran yang nyata selama suatu
peristiwa pemutihan yang diakibatkan oleh radiasi matahari
yang tinggi. Inter-conversion dari karotenoid pada zooxantela
merupakan siklus xantofil yang bertanggung jawab terhadap
Kejadian intensitas cahaya (W/m2)
Gambar 1. Hubungan antara laju penyerapan foton (-----) dan laju
pemanfaatan foton ( - ) dalam fotosintesis (Owens 1994).
penghilangan suhu oleh pembangkitan energi yang berlebih
pada organ fotokimia. Proses pembangkitan energi yang
berlebih ini tidak dapat digunakan untuk fotosintesis dan akan
dihilangkan dengan suatu cara yang aman dan terkontrol
segera setelah penyerapan. Karotenoid lainnya yang
teridentifikasi dalam karang, mungkin memiliki suatu peran
fotoproteksi sebagai pengikat oksigen tunggal atau bebas dan
sebagai pemecah rantai antioksidan (Shick et al. 1996).
EKOLOGI
Karang-karang pembangun terumbu tidak semuanya sarna
dalam kepekaannya menerima pengaruh dari peningkatan
suhu. Sebagai contoh, karang mas if (Porites spp.) relatiftahan
terhadap tekanan suhu dan jika mengalami pemutihan
cenderung pulih dengan sedikit atau tanpa peningkatan
kematian. Sedangkan Acropora (karang bercabang) terlihat
lebih peka oleh peningkatan suhu perairan. Dalam kasus ini
bisa mencapai 95% dari koloni yang mengalami pemutihan
dan mati dalam 3-6 bulan berikutnya (Gleason & Wellington
1993). Perubahan struktur komunitas juga dilaporkm oleh
Brown (1997) di Pulau Pari yang rataan terumbunya
didominasi oleh komunitas Acropora bercabang sebelum
peristiwa pemutihan pada tahun 1983, namun pada tabun 1994
tempat tersebut telah didominasi oleh Porites bercabang dan
masif.
Salah satu dampak yang juga ditimbulkan oleh pemutihan
ialah perubahan secara dramatis kekayaan spesies pada
komunitas terumbu (Glynn 1988, 1990). Kepunahan lokal
pada spesies karang telah dilaporkan dan pada satu kasus dari
spesies hidrokoral telah mendekati kepunahan total di bagian
timur Pasifik (de Weerdt & Glynn 1991). Bagaimana
perubahan spesies akan mempengaruhi stabilitas dalamjangka
panjang dari suatu terumbu karang sampai saat ini belum
diketahui.
Peristiwa pemutihan yang luas dan berlangsung lama juga
dapat menurunkan produktivitas ekosistem terumbu karang.
Penurunan produktivitas tersebut diperkirakan berpengaruh
besar terhadap organisme lain, terutama burung dan mamalia
laut, namun sedikit studi yang mengukur dampak tersebut.
Beberapa kejadian EI Nino berhubungan kuat dengan
kematian burung dan berkurangnya populasi penyu.
Penurunan produktivitas terumbu karang selama awal tahun
di Pulau Heron dan Pulau One Tree di bagian ujung selatan
Great Barrier Reef tampaknya bertanggung jawab terhadap
penurunan populasi ikan yang menjadi mangsa burung dan
mamalia laut (Hoegh-Guldber 1999).
Koloni karang yang memutih, apakah mereka mati
seluruhnya atau hanya sebagian menjadi lebih rapuh terhadap
perkembangan alga yang berlebihan, penyakit dan organisme
pelubang (boring organism) yang menjangkiti karang akan
melemahkan struktur terumbu (Rowan et al. 1997). Jika
kematian tinggi, terumbu mati yang memutih berubah secara
cepat menjadi abu-abu kecokelatan yang pupus seiring dengan
perkembangan alga yang menutupi mereka. Bila dampak
pemutihan yang terjadi sangat parah maka alga yang
berkembang secara meluas dapat mencegah rekolonisasi
,
Vol. 8, 200}
karang-karang baru dan secara dramatis mengubah pola
keanekaragaman jenis karang dan menyebabkan
restrukturisasi komunitas terumbu.
Adapun dampak dari menurunnya pertumbuhan karang
yang terkena pemutihan ialah mengurangi kemampuan karang
untuk berkompetisi terhadap ruang dengan organisme bentik
lainnya, seperti turf algae, alga koralin, makroalga, sepon,
briozoa, dan tunicata. Hasil pengamatan di Costa Rica,
Panama, Kepulauan Galapagos, dan Indonesia menunjukkan
bahwa alga bentik dengan cepat turnbuh menutupi karang yang
hampir mati atau mati pada terurnbu~terumbu yang rusak oleh
peristiwa pemanasan EI Nino (Glynn 1993).
Penurunan kapasitas reproduksi pada karang-karang yang
mengalami pemutihanjuga diduga memberi dampak ekologi
yang negatif dalam proses peremajaan karang dan terutama
sangat kritis untuk menghasilkan spesies secara tahunan dan
bahkan tidak dapat bereproduksi (Jokiel & Guinther 1978).
Peristiwa pemutihan juga berdampak terhadap kelimpahan
karang jika peristiwa tersebut mematikan karang-karang
dewasa sebelum mereka matang dan bereproduksi. Sebagai
contoh, karang-karang Acroporidae yang memerlukan waktu
sekitar 4-5 tahun untuk matang (Harrison & Wallace 1990)
apabila dikaitkan dengan peristiwa pemutihan yang terjttdi
rata-rata setiap 3-4 tahun dan frekuensi ini terus meningkat,
maka umumnya karang Acroporidae akan gagal untuk
bereproduksi. Masalah yang lebih buruk bagi karang ialah
lebih lamanya waktu yang dibutuhkan untuk matang dan
murigkin pada akhimya yang terseleksi ialah karang-karang
yang tergolong dalam r-strategist, yaitu karang yang mampu
bereproduksi lebih awal dalam sejarah hidup mereka. Karang
ini memiliki pertumbuhan yang cepat dengan bentuk
pertumbuhan bercabang dan melebar seperti daun yang pada
umumnya bersifat hermafrodit brooding dan bereproduksi
secara bulanan sepanjang tahun. Karang-karang dengan
strategi ini memiliki tingkat keberhasilan reproduksi yang
tinggi dan menghasilkan planula dengan masa larva yang
relatif singkat dan melekat di sekitar koloni induk sehingga
spesies ini sering kali mendominasi suatu habitat di terumbu
karang (Szmant 1986). Berlawanan dengan hal tersebut ialah
karang-karang dengan k-strategist, yaitu karang yang berurnur
panjang sebingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
bereproduksi (Hoegh-Guldberg 1999). Karang-karang dengan
k-strategist ini memiliki bentuk pertumbuhan yang masif dan
seperti tiang yang umumnya bereproduksi melalui pemijahan
(Harriot 1983, Szmant 1986). Strategi reproduksi yang seperti
ini memiliki tingkat keberhasilan reproduksi yang relatif lebih
rendah jika dibandingkan dengan spesies-spesies r-strategist,
namun menghasilkanjumlah telur yang lebih banyak. Spesies
inijuga dikenal memiliki kemampuan fisik untuk hidup pada
habitat yang ekstrem atau habitat yang mengalami gangguan
fisik (Szmant 1986).
Dampak pemutihan yang juga dapat memberikan pengaruh
terhadap perubahan struktur komunitas karang ialah ledakan
penyakit. Beberapa peristiwa pemutihan terjadi bersamaan
atau sangat dekat dengan epizootik penyakit karang.
Kemungkinannya ialah karang-karang yang sakit lebih mudah
mengalami pemutihan atau karang-karang yang mengalami
ULASAN
89
cekaman oleh peristiwa pemutihan menjadi lebih peka
terhadap berbagai penyakit karang (Williams & Bunkley_
Williams 1990).
Dampak peristiwa pemutihan terhadap struktur komunitas
ikan mengikuti teori umum interaksi antara habitat ikan dan
terumbu karang. Terlepas dari pemanfaatan itu sendiri,
beberapa faktor yang memberi sumbangan terhadap komposisi
komunitas ikan di terumbu semuanya berhubungan dengan
struktur fisik dan kekompleksan terumbu karang. Pertama
ialah kompetisi makanan yang menjadi faktor penting dalam
menentukan keanekaragaman dan kelimpahan ikan. Pada
terumbu karang sehat, keragaman dan kuantitas makanan
tinggi dan berdampak positif langsung terbadap keragaman
dan kelimpahan ikan. Sedangkan pada terumbu yang ~~g
sehat atau karang mati akan cepat ditumbuhi oleh alga secara
berlebihan, alga ini kemudian dirnakan oleh herbivora seperti
ikan kakatua (Scarus spp.) dan akhirnya populasi dari jenis
ikan ini akan meningkat. Pemangsaan alga dalam jumlah besar
oleh ikan ini di satu sisi akan membatasi pertumbuhan alga,
namun di sisi lain juga merusak struktur terumbu karena
menyebabkan erosi pada kerangka kapur karang (Robertson
& Gaines 1986).
Dampak peristiwa pemutihan terhadap perubahan struktur
komunitas ikan terumbu sangat sukar ditentukan (Ohman
1999). Secara umum ikan-ikan terumbu karang sangat
terasosiasi dengan habitat terurnbu karena peristiwa pemutihan
cenderung mematikan karang dan mengubah struktur terumbu.
Pemutihan diduga mempengaruhi struktur komunitas ikan,
namun karena populasi ikan-ikan terumbu memiliki karakter
yang sangat kompleks maka berbagai faktor dapat mengontrol
jumlah mereka dan pengaruhnya dapat bervariasi dari satu
terumbu ke terumbu lainnya. Semuanya bergantung pada
komposisi komunitas ikan, interaksi habitat sebelum dan
sesudah dampak, dinamika peremajaan, serta struktur habitat
sebelum dan sesudah gangguan. Jika spesies-spesies karang
yang dominan terpengaruh oleh dampak pemutihan dan
terdapat keterkaitan erat antara karang-karang dan populasi
ikan yang ada, maka perubahan dalam komunitas mungkin
dapat terjadi. Jika karang-karang mati menjadi pecahanpecahan karang (rubble), peluangnya ialah akan ada suatu
penurunan besar terhadap kelirnpahan darrkeragaman ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Asada K, Takahashi M. 1987. Production and scavenging of active oxygen
in photosynthesis. Di dalam: Kyle OJ, Osmond CB, Arntzen CJ (cd).
Photoinhibition. Amsterdam: Elsevier. hlm 228-287.
Baird AH, Marshall PA. 1998. Mass bleaching of corals on the Great Barrier Reef. Coral Reefs 17:376.
Brown BE. 1997. Coral bleaching: causes and consequences. Coral Reefs
16:S129-S138.
Brown BE, Ogden JC. 1993. Coral bleaching. Sci Amer 268:64-70.
Brown BE, Suharsono. 1990. Damage and recovery of coral reefs effected
by El Nino related seawater warming in the Thousand lslands, Indonesia. Coral Reefs 8:163-170.
Coles SL, Jokiel PL. 1977. Effects of temperature of photosynthesis and
respiration in hermatypic corals. Mar Bioi 43:209-216.
de Weerdt WH, Glynn PW. 1991. A new and presumably extinct species of
Millepora (Hydrozoa) in the eastern Pacific. Med Leiden 65:267-276.
j
90
ULASAN
Gleason OF, Wellington GM. 1993. Ultraviolet radiation and coral bleaching. Nature 365:836-838.
'
Glynn PW. 1988. EI Nino-Southern Oscillation 1982-83: nearshore population, community, and ecosystem responses. Ann Rev Ecol Systemat
19:309-345.
Glynn PW. 1990. Cora1 mortality and disturbances to coral reefs in the
tropical eastern Pacific: Di daIam: Proc Glob Ecol Conseq 1982-83 El
Nino-Southern OsciL Amsterdam: Elsevier. him 55-126.
Glynn PW. 1991. Coral reef bleaching in the 1980s and possible connections with global warming. Trends Ecol EvoI6:175-179.
Glynn PW. 1993. Cora1 reefbleaching:ecological perspectives. Coral Reefs
12:1-17.
Glynn PW. 1996. Coral bleaching: facts, hypotheses and implications. Glob
Change Bioi 2:495-509.
Goreau TI. 1992. Bleaching and reef community change in Iamaica: 19511991. Amer ZooI32:683-695.
Harriot VI. 1983. Reproductive ecology of four scleractinian species at Lizard Island, Great Barrier Reef. Coral Reefs 2:9-18.
Harriot VI. 1985. Mortality rates of scleractinian corals before and during a
mass bleaching event Mar Ecol Prog Ser 21:81-88.
Harrison PL, Wallace CC. 1990. Reproduction, dispersal and recruitment
of scleractinian corals. Di daIam: Oubinsky Z (ed). Coral Reefs: Ecosystems of the World. Amsterdam: Elsevier. him 13-207.
Hayes RI, Gareau TI. 1992. Histology of Caribbean and south Pacific
bleached corals. Proc. 7* Int. Coral ReefSymp. Guam 1:71.
Hoegh-Guldberg O. 1999. Climate change, coral bleaching and the future
of the world's coral reefs. Mar Freshwat Res 50:839-866.
Hoegh-Guldberg 0, Berkelmans R, Oliver 1. 1997. Coral bleaching: implications for the Great Barrier Reef Marine Park. Di daIam: Conference
in Research and reefmanagement proceedings. Townsville, 24-26 Nov
1996. him 171-193.
Hoegh-Guldberg O,Iones R. 1999. Photoinhibition and photoprotection in
symbiotic dinoflagellates from reef-building corals. Mar Ecol Progr
Ser 183:73-86.
lPCC. 1988. The Regional1mpacts of Climate Change: An Assessment of
Vulnerability. Oi daIam: Watson RT, Zinyowera MC, Moss RH (ed).
Intergovernmental Panel on Climate Change. New York: Cambridge
University Pr.
Johannes RE. 1975. Pollution and degradation of coral reef communities.
Di daIam: Wood ElF, Iohannes RE (ed). Trop Mar Pollut 12:13-50.
Jokiel PL, Coles SL. 1990. Response of Hawaiian and other Indo-Pacific
reef corals to elevated temperature. Coral Reefs 8:155-162.
Jokiel PL, Guinther EB. 1978. Effects of temperature on reproduction in
the hermatypic coral Pocillopora damicomis. Bull Mar Sci 28:786789.
Jones R, Hoegh-Guldberg 0, Larkum AWL, Schreiber U. 1998. Temperature induced bleaching of corals begins with impairment of dark metabolism in zooxanthellae. Plant Cell Environ 21:1219-1230.
Lesser MP, Stochaj WR, Tapley OW, Shick 1M. 1990. Bleaching in coral
reef anthozoans: effects of irradiance, ultraviolet radiation, and temperature on the activities of protective enzymes against active oxygen.
Coral Reefs 8:225-232.
Hayati
Marshall PA, Baird AH. 1999. Bleaching of coral in the Central Great Barrier Reef: variation in assemblage response and taxa susceptibilities.
Mar Ecol Progr Ser 183:87-96.
Muller-Parker G, O'Elia CF. 1995. Interaction between corals and their
symbiotic algae. Di dalam: Birkeland C. Life and Death ofCoral Reefs.
New York: International Thomson. him 96-113.
Muscatine L. 1980. Productivity of Zooxanthellae. Di dalam: Falkowski
PG (ed). Primary Productivity in the Sea. New York. Plenum. him 381402.
Muscatine L. 1990. The role of symbiotic algae in carbon and energy flux
in reef corals. Di dalam: Dubinsky Z (ed). Coral Reefs: Ecosystems of
the World 25. Amsterdam: Elsevier. him 75-87.
Neudecker S. 1987. Environment effects of power plants on coral reefs and
ways to minimize them. Di dalam: Salvant B (ed). Human Impacts on
Coral Reefs: Facts and Recommendations. Papetoai: Antenne de Tahiti Museum EPHE. him 103-118.
Ohman MC. 1999. Coral bleaching effects on reef fish communities and
fisheries. Di dalam: Jernelov A, Hewawasam I, Graulund A, Persson
GA, Kristofersm L (ed). Coral reef degradation in the Indian Ocean:
Status repons and project presentations. Stockholm: CORDIO. him
71-77.
Owens TG. 1994. Excitation energy transfer between chlorophylls and
carotenoids. A proposed molecular mechanism for non-photochemical
quenching. Di dalam: Baker NR, Bowyer JR (ed). Photoinhibition of
Photosynthesis from Molecular Mechanisms to the Field. Oxford: Bios.
him 53-76.
Pomerance R, Reaser JK, Thomas PO. 1999. Coral bleaching, coral mortality, and global climate change. The U.S. coral reef taskforce. http://
www.state.gov/www/globaUglobaCissues/coral_reefs/ 990305_
coralreeC rpthtrul.
.
Reaka-Kudla ML. 1996. The global biodiversity of coral reefs: a comparison with rainforest Di dalam: Reaka-Kudla ML, Wilson DE, Wilson
EO. (ed). Biodiversity II: Understanding and protecting our natural
resources. Washington DC: National Academy. him 83-108.
Robertson DR, Gaines SO. 1986. Interference competition structures habitat use in a local assemblage of coral reef surgeonfishes. Ecology 67:
1372-1383.
Rowan R, Knowlton N, Baker A,Iara J. 1997. Landscape ecology of algal
symbionts creates variation within episodes of corla bleaching. Nature
388:265-269.
Sebens KP. 1994. Biodiversity of coral reefs: What are we losing and why?
Amer Zool 34:115-133.
Shick 1M, Lesser MP, Jokiel PL. 1996. Ultraviolet radiation and coral stress.
Glob Change Bioi 2:527-545.
Szmant AM. 1986. Reproductive ecology of Caribbean reef corals. Coral
Reefs 5:43-54.
Warner ME, Fitt WK, Schmidt GW. 1996. The effects of elevated temperature on the photosynthetic efficiency of zooxanthellae in hospite from
four different species of reef coral: a novel approach. Plant Cell Environ
19:291-299.
Williams EH Ir, Bunkley-Williams L. 1990. The world-wide coral reef
bleaching cycle and related sources of coral mortality. Atoll Res Bull
335:1-71.
Download