Validitas peraturan daerah berkaitan dengan adanya perubahan undangundang yang menjadi landasan pembentukannya dan implikasinya terhadap kebijakan penegakan hukum Oleh : Widiarso NIM: S. 310907026 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum mengandung arti bahwa dalam membangun sistem hukum harus dapat mewujudkan cita-cita negara hukum, mewujudkan supremasi hukum dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta jaminan perlindungan hukum terhadap hak dan kepentingan masyarakat. Di dalam prinsip negara hukum, dikenal suatu asas bahwa peraturan perundangundangan yang lebih rendah selalu melaksanakan apa yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan perundangundangan yang mengesampingkan lebih atau rendah tidak bertentangan boleh dengan menyimpang atau peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Kemudian dikenal juga asas bahwa dalam hal suatu peraturan perundang-undangan mengatur hal yang tertentu yang sama, maka peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian membatalkan peraturan perundang-undangan terdahulu. Secara teoritis peraturan perundang-undangan merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki dan tidak membenarkan adanya pertentangan antara unsurunsur dan bagian-bagian di dalamnya. Peraturan perundang-undangan saling berkaitan dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Di samping itu, sistem pemerintahan negara yang dianut dalam UUD 1945 adalah pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi atau hukum dasar. UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Prinsip pemerintahan atas dasar sistem konstitusi, meletakkan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Dengan demikian semua norma hukum dalam setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat taat asas dan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma dalam konstitusi. Norma konstitusi inilah yang kemudian melahirkan tertib tata urutan peraturan perundang-undangan. Dalam negara yang bersistem konstitusional atau hukum dasar, terdapat suatu hirarki perundang-undangan. Undang-Undang Dasar berada di puncak piramida, sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain berada di bawah konstitusi.1 Prinsip negara hukum dan pemerintahan atas dasar sistem konstitusi, menghendaki adanya suatu tata hukum. Keharusan adanya suatu tata hukum, merupakan prinsip yang pertama-tama harus ada dalam negara hukum. Suatu tata hukum yakni setiap norma hukum harus terkait dan tersusun dalam suatu sistem, artinya norma hukum yang satu tidak boleh mengesampingkan norma hukum yang lain. Dengan demikian suatu sistem hukum harus diwujudkan dalam tata susunan norma hukum secara hirarkis, tidak dibenarkan adanya pertentangan di antara norma-norma hukum baik pertentangan secara vertikal maupun pertentangan secara horisontal.2 Sebagai negara hukum yang mengidealkan prinsip supremasi hukum, instrumen peraturan perundang-undangan sebagai perangkat hukum tertulis mempunyai peranan yang sangat penting. Karena itu, penataan mengenai bentuk, susunan, penamaan, prosedur penyusunan, penetapan, 1 Kusnu Goesniadhi, Harmoniisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Spesialis Suatu Masalah), PT Temrina Media Grafika, Surabaya, 2006., h. 31 2 Ibid. h. 33 pengundangan, pencabutan atau pembatalannya serta pengelolaan informasi dan pendokumentasiannya perlu diatur secara tertib dan sistematis.3 Untuk merespon tuntutan reformasi 1998 supaya daerah diberi otonomi daerah dan keadilan dalam pengelolaan sumber-sumber potensial keuangan daerah, pada 1999 Pemerintah menggulirkan antara lain UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (UUPKPD). Melalui UU tersebut daerah diberi kewenangan otonomi yang seluas luasnya, kecuali untuk urusan peradilan, moneter, pertahanan dan keamanan, luar negeri, dan agama. Sejak saat itu Daerah mulai menata diri untuk menyambut era baru desentralisasi dalam hubungan pusat dan daerah. Namun Peraturan Pemerintah yang mengatur kewenangan otonomi kabupaten/kota seperti diamanatkan oleh UUPD tidak kunjung hadir. Sampai akhirnya pada 2004 terjadi pergantian terhadap kedua Undang-Undang tersebut dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah diamandemen dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian dikukuhkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang, kemudian mengalami amandemen lagi yaitu dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 3 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, 2004, h. 24. 4 Ni’matul Huda, ”Problematika Yuridis di Seputar Pembatalan PERDA”, dalam Jurnal Konstitusi, Nomor 1, volume 5, Juni, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, h. 46. Salah satu argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bahwa pemerintah daerah harus mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan fungsi pokok dari pemerintah daerah yaitu mensejahterakan masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah.5 Ada 2 jenis pelayanan, yaitu pelayanan dasar (basic servis) dan pelayanan sektor unggulan (core competence). pelayanan tersebut, maka ada dua Dari dua kelompok varian yang dihasilkan pemerintah daerah yaitu: 1. Public goods; barang-barang publik yang umumnya berbentuk hardware seperti jalan, jembatan, gedung, rumah sakit, sekolah dan sebagainya; 2. Public regulation; pengaturan-pengaturan yang dilakukan pemerintah daerah seperti akte kelahiran, akte perkawinan, KTP, IMB, HO dan sebagainya.6 Di dalam meregulasi Peraturan Daerah, semestinya diperhatikan adanya prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah. Di dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 terdapat prinsip-prinsip tersebut yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah. 2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. 3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas. 5 I Made Suwandi, ”Pelayanan Publik dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)”, dalam Drajat Tri Kartono dkk. Reformasi Pemerintahan Daerah, Surakarta, Pustaka Cakra, 2004, h.83 6 Ibid, h. 88-89 4. Pelaksanaan otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah. 5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah Administrasi. Demikian pula di kawasan kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom. 6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. 8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga mengatur beberapa prinsip mengenai pembentukan Peraturan Daerah yang pada pokoknya sebagai berikut. 1. Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD. 2. Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas pembantuan dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. 3. Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah lain, atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 4. Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan beban biaya paksaan penegakan hukum, atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima juta rupiah. 5. Keputusan kepala daerah ditetapkan untuk melaksanakan Peraturan Daerah. 6. Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang mengatur, dimuat dalam Lembaran Daerah. 7. Peraturan Daerah dapat menunjuk pejabat tertentu sebagai Pejabat Penyidik Pelanggaran Peraturan Daerah (PPNS Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah). Dalam kenyataannya, semenjak otonomi daerah diperluas, ternyata banyak Peraturan Daerah yang bermasalah dan kemudian dibatalkan oleh Pusat. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Ni'matul Huda, pada bulan Mei 2002 sampai dengan Oktober 2006, ditemukan 550 Peraturan Daerah yang sudah dibatalkan oleh Pusat7. Dalam kaitannya dengan public regulation dan praktek penegakan hukum mengenai Peraturan Daerah, tentu kita maklum bahwa sebenarnya masih banyak lagi Peraturan Daerah bermasalah baik yang ada setelah tahun 2002 maupun sebelum tahun 2002. Sebagai contoh kasus adalah mengenai Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 tentang Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Surat Keterangan Pendaftaran Penduduk Sementara dan Perubahan Dalam Rangka Pelaksanaan Pendaftaran Penduduk. Dalam konsideran bagian menimbang, mendasarkan pada 7 Ibid. h. 51 Undang-undang dan Peraturan perundang-undangan lainnya yang telah diubah, terutama Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang diamandemen dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian dikukuhkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, kemudian mengalami amandemen lagi yaitu dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada tahun 2006 telah lahir Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang memiliki muatan materi sejenis dengan Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 dan isinya jauh lebih lengkap, namun dalam kenyataanya Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 masih digunakan sebagai landasan penegakan hukum oleh aparatur pemerintah maupun oleh aparatur penegak hukum untuk Wilayah Kabupaten Sukoharjo. Adolf Merkl menyatakan bahwa norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah, yaitu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma-norma hukum yang ada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula.8 Jika mendasarkan pada teori tersebut, maka sesungguhnya Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990 telah kehilangan validitasnya. Penulis dalam suatu observasi terlibat, pernah mempersoalkan nilai validitas Peraturan Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 35 Tahun 1990, baik terhadap para Hakim yang mengadili perkara pelanggaran Peraturan Daerah tersebut maupun kepada aparat PPNS Peraturan Daerah dari Pemerintah Daerah Tingkat II Sukoharjo yang terlibat dalam hal ini, namun dalam kenyataannya pada dasarnya hampir semua berpendapat bahwa Peraturan Daerah tersebut masih valid karena belum ada pencabutan maupun penggantian dengan Peraturan Daerah lain. Pandangan-pandangan tersebut tentu dapat dimaklumi, hal ini karena secara teori dikenal adanya berbagai pendapat dari para ahli mengenai nilai validitas suatu peraturan perundang-undangan dan mengenai soal kebatalan dari peraturan perundang-undangan. Di dalam teori dikenal prinsip legitimitas yang menyatakan bahwa suatu norma tetap berlaku dalam suatu sistem hukum sampai daya lakunya diakhiri melalui suatu cara yang ditetapkan dalam sistem hukum, atau digantikan oleh norma lain yang diberlakukan oleh sistem hukum tersebut.9 Norma hukum selalu valid, norma hukum ini tidak bisa batal (null), tetapi dapat dibatalkan (annullable). Namun demikian terdapat derajat kebatalan yang berbeda-beda.10 Tatanan hukum dapat memberi wewenang kepada organ tertentu untuk menyatakan batalnya (tidak berlakunya) suatu norma. Jika hak uji itu diberikan kepada hakim disebut judicial review atau review oleh lembaga peradilan. Jika kewenangan untuk menguji itu diberikan kepada lembaga legislatif, maka 8 Maria Farida Indrati, Op.Cit. h. 41-42 9 10 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Penerjemah Raisul Muttaqien, Penyunting Nurainin Mangunsong, cetakan I, Nusa Media, Bandung, 2006, h. 37 Ibid. h. 229 namanya legislative review. Jika yang melakukan pengujian itu adalah pemerintah maka disebut executive review.11 Dengan demikian tidak mudah untuk menyatakan valid atau tidak valid suatu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Daerah ketika ada perubahan undang-undang yang menjadi landasan lahirnya suatu Peraturan Daerah sebagaimana dalam konsiderannya. Menurut Maria Farida Indrati S. Sejak berlakunya Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik lndonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik lndonesia, kemudian Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, sampai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, permasalahan tentang jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia tersebut belum berakhir; oleh karena itu diskusi panjang dan kajian terhadap permasalahan tersebut perlu dilakukan, agar kepastian hukum dapat dicapai dengan maksimal.12 Berdasarkan perihal sebagaimana diuraikan di atas, Peraturan Daerah semacam itu menarik untuk dikaji lebih mendalam agar dapat diketahui argumen, teori, atau konsep sebagai preskripsi yang diharapkan mampu menawarkan penyelesaian ditentukan arah pengambilan kebijakan penegakan hukum yang tepat. Pengkajian tersebut disajikan dalam suatu tesis dengan BERKAITAN judul “VALIDITAS DENGAN ADANYA PERATURAN DAERAH PERUBAHAN UNDANG- UNDANG YANG MENJADI LANDASAN PEMBENTUKANNYA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM” 11 Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, cetakan ketiga, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, h. 6-7 12 Maria Farida Indrati, Ilmu Penundang-undangan (1), Kanisius, Yogyakarta, 2007, h. 108. B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah perubahan Undang-undang yang menjadi landasan lahirnya suatu Peraturan Daerah sebagaimana disebut dalam konsideran akan berpengaruh terhadap validitas suatu Perda? 2. Apakah validitas Perda memiliki implikasi terhadap kebijakan penegakan hukum? C. TUJUAN PENELITIAN : Menurut Peter Mahmud Marzuki, tujuan penelitian hukum adalah untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.13 Sedangkan menurut Johnny Ibrahim, ilmu hukum (normatif) bertujuan untuk mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkrit.14 Untuk itu dalam penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi berkaitan dengan permasalahanpermasalahan sebagaimana terurai di atas, sehingga diharapkan akan dapat mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkrit berkaitan hal-hal sebagai berikut: 1. Berkaitan dengan eksistensi dan validitas Peraturan Daerah, terkait perubahan undang-undang yang menjadi dasar lahirnya suatu perda sebagaimana disebut dalam konsiderannya; 2. Berkaitan dengan ada atau tidaknya implikasi validitas terhadap kebijakan penegakan hukum. D. 13 14 MANFAAT PENELITIAN Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2006, h. 35 Johnny Ibrahim, Toeri dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia Publishing, cetakan keempat, Juli 2008, h. 62 Dengan argumentasi, teori atau konsep sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, maka diharapkan dapat memberikan penegasan tentang validitas suatu perundang-undangan pada umumnya dan Peraturan Daerah pada khususnya terutama yang berkaitan dengan adanya perubahan undang-undang yang menjadi dasar lahirnya suatu Peraturan Daerah sebagaimana disebut dalam konsideran serta mengetahui implikasi terhadap kebijakan penegakan hukum, dan pada gilirannya dapat mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkrit berupa saran-saran tertentu, sehingga para pelaksana hukum dapat menjalankan kebijakan penegakan hukum dengan lebih baik.