dasar-dasar penentuan kebijakan makro dan mikro dalam usaha

advertisement
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000
DASAR-DASAR PENENTUAN KEBIJAKAN MAKRO DAN MIKRO
DALAM USAHA PETERAKAN SAPI POTONG
A . PRIYANTI' ;'E. MASBULAN', K . DIWYANTO I , I GEDE PUTU2, A.R. SIREGAR, P . SITEPU Z , dan S .O . BUTAR-BUTAR'
'Pusat Penelitian Peternakan
Jalan Raya Pajajaran Kav. B. 59, Bogor 16151, Indonesia
1Balai Penelitian Ternak
P. O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia
ABSTRAK
PRIYANTI, A., E. MASBULAN, K . DIWYANTO, I GEDE PUTU, A.R. SIREGAR, P. SITEPU, dan S .O. BUTAR-BUTAR . 1999/200 0 . Dasardasar penentuan kebijakan makro dan mikro dalam usaha petrnakan sapi potong . Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi
Peternakan ARMP-II : 155-164.
Usaha peternakan sapi potong diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata guna memproduksi daging untuk
mencukupi kebutuhan secara nasional . Berbagai kebijakan telah dilakukan untuk memacu peningkatan produktivitas usaha
Trnak di dalam negeri, diantaranya adalah program pengembangan temak sapi potong di kawasan yang sesuai dengan agro
ekosistem maupun kebijakan lainnya seperti program Inseminasi Buatan (IB) . Dilihat dari kinerja program yang sedang berjalan
saat ini, diperlukan kebijakan pengembangan usaha yang lebih tepat karena perubahan kondisi dan situasi yang relatif cepat.
Salah satu upayanya adalah dengan memacu program penggemukan baik penggemukantradisional maupun feedloter (komersial)
dengan memanfaatkan bakalan lokal maupun impor secara komplementer. Perubahan lingkungan yang terjadi berkaitan dengan
aspek permintaan daging sapi yang sangat cepat, sedangkan perubahan pada struktur produksi dirasakan sangat lambat, dimana
hal tersebut tidak terlepas karena adanya pengaruh faktor internal dan eksternal . Untuk menjawab tantangan yang dihadapi
tersebut diperlukan adanya kajian yang dapat memberikan dasar penentuan kebijakan baik mikro maupun makro dalam usaha
pengembangan temak sapi potong terntama yang berkaitan dengan aspek teknis sebagai bahan rekomendasi pengembangan sapi
potong di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan metode sintesa informasi termasuk hasil-hasil peneli6an untuk menghasilkan
rekomendasi opsi desain kebijakan publik . Diskusi intensif dengan instansi terkait melalui forum workshop dilaksanakan dalam
studi ini untuk memperkaya khasanah dan informasi di lapangan yang saat ini sedang berlangsung. Untuk membandingkan
dengan kondisi yang terjadi dilapangan sesuai dengan spesifikasi lokasi, dilakukan pula kajian survey berstruktur terhadap
peternak, pasar, maupun perusahaan, serta ditunjang dengan data sekunder yang diperlukan. Kenyataan menunjukkan bahwa
kebijakan pengembangan sapi potong tidak terlepas dari kondisi keseimbangan jundah pasokan daging dan permintaan
konsumsi . Yang menjadi perhatian utama, ternyata kemampuan produksi daging sapi dalam negeri tidak mampu mengimbangi
pemtintaan konsumsi di dalam negeri dimana trendnya tow meningkat setiap tahun, sehingga kenyataan-impor sapi bakalan dan
daging juga terus meningkat . Pengembangan MINI RANCH merupakan salah satu altematif kebijakanvAng diharapkan dengan
skala usaha yang relatif besar sesuai dengan spesifikasi lokasi yang terintegrasi dengan pemanfaatan pakan lokal, yang
kemudian berkembang ke arah komersial . Berpatokan pada permasalahan yang dihadapi, maka dasar-dasar penentuan
kebijakan dalam usaha petemakan sapi potong harus berdasarkan pada kebijakan produksi, pemasaran, pola kerjasama kemitraan
dan kebijakan makro .
Kata kunci : Kebijakan mikro, kebijakan makro, sapi potong,
ABSTRACT
PRIYANI7, A ., E . MASBULAN, K . DIWYANro, I GEDE PuTu, A .R . SIREGAR, P . Srruu, and S .O . BUTAR-BUrAR . 1999/2000 . The
Principle determination of macro and micro policy for beef cattle enterprises in Indonesia . Laporan Bagian Proyek Rekayasa
Teknologi Peternakan ARMP-II : 155-164.
The development of beef cattle enterprises in Indonesia is aimed to give significant contribution to meet the national demand
for beef meat . Various policies have been implemented in order to increase cattle productivity in the nation, such as a program
on the development of beef cattle in the production center based on its agroecological zone and an artificial insemination
program . From the fact of on going situation, it tends to need a policy that fits into the development of beef cattle enterprises in
Indonesia anticipating a rapid changes in the global era . One of the alternative approach is a policy to support the production
sector through the development of beef cattle for the smallholder farmers towards a later stagd into traditional feedlotter. This
approach has to utilize local resources optimally. A rapid changes in beef meat consumption aspeetAwas-seemod'nohbalanced
with the changes in its production sector, and this imply that internal and external factors have affected into the situation . An
assessment to determine principal factors mainly on technically aspect which may have impacts of macro and micro policy for
beef cattle enterprises has been conducted during the fiscal year of 1999/2000 . The study has been done by a method of
syntheses information included the research results to achieve an option for designing public policy . Intensive discussion with
155
A. PRIYANTI et al. : Dasar-Dasar Penentuan Kebijakan Makro dan Makro
the institution linkages along with the survey to the beef cattle market channel has been done for the study. The results showed
that a policy to support the beef cattle enterprises in Indonesia will have not been spitted by its equilibrium on supply and
demand . First consideration was regional beef production could not meet the demand, therefore imports on feeder cattle and
frozen beef meat tend to increase yearly . The development of MINI RANCH is one of alternative options to solve the problems
on feeder cattle scarcity, in which this model is aiming towards commercialization feedlotter under the medium size of scale .
The model has not fit into optimum utilization based on local resources under its agro ecological zone. From the problem raised,
the principal determination for building a policy on beef cattle enterprises in Indonesia should be based on the policies of
production aspect, marketing, nucleus estate scheme and the macro policies .
Key words: Micro policy, macro policy, beef cattle
PENDAHULUAN
Pada awalnya dalam sejarah usaha pengembangan ternak sapi potong di Indonesia, pada umumnya peternak
lebih memperhatikan ternak sapi sebagai tenaga ternak untuk mengolah lahan, menarik barang, angkutan (gerobak,
delman) dan sebagai simbol status sosial . Hal tersebut kemudian berkembang menjadi temak penghasil pupuk
(kompos) dalam era pertanian untuk menghasilkan pangan (green revolution). Bersamaan dengan peran tersebut,
fungsi ternak sapi sebagai tabungan hidup menjadi motivasi utama dalam usaha peternakan, sedangkan sebagai
penghasil daging masih menjadi fungsi sambilan .
Sejalan dengan berkembangnya zaman, perubahan kondisi ekonomi dan preferensi konsumen, maka produk
daging menjadi komoditas utama dalam pengembangan usaha peternakan sapi potong. Sayangnya, perubahan
fungsi ini tidak diikuti oleh kemajuan pada sektor budidaya sehingga dapat mengimbangi laju permintaan terhadap
daging sapi . Seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi dan peningkatan daya beli masyarakat, terjadi
ledakan permintaan daging sapi yang cukup signifikan . Hal ini disebabkan pula oleh meningkatnya pertambahan
penduduk yang cukup besar, sehingga terjadi kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri . Perhatian dari
Pemerintah cukup serius dalam mengatasi kekurangan daging sapi ini, antara lain adalah dengan adanya ijin
importasi sapi bakalan yang dimulai sekitar awal tahun 90-an. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pengembangan
usaha peternakan sapi potong banyak berinteraksi dengan faktor-faktor eksternal maupun internal .
Keragaman kondisi sumber daya berdasarkan wilayah agroklimat mengakibatkan variasi regional dalam
produksi ternak sapi potong . Hal ini dapat menciptakan zona surplus dar zona defisit, sehingga terjadilah
perdagangan antar daerah atau antar pulau. Sebaiknya, zona surplus berkonsentrasi untuk produksi bakalan dan
diutamakan kepada usaha pembibitan, sedangkan zona yang lain lebih difokuskan pada usaha penggemukan sapi
siap potong di wilayah-wilayah pusat konsumen yang berdekatan dengan pusat pasar.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, diperlukan adanya kajian-kajian yang dapat memberikan dasar
penentuan kebijakan dalam usaha pengembangan ternak sapi .potong terutama dalam kebijakan teknis, aspek mikro
dan makro. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.
2.
Mernpelajari faktor-faktor makro dan mikro yang dapat mempengaruhi terhadap usaha pengembangan
ternak sapi potong .
Merekomendasi altematif kebijakan yang dapat memperkuat usaha pengembangan temak sapi potong di
Indonesia.
Output yang diharapkan dari studi ini adalah :
1.
2.
Informasi tentang pengaruh faktor-faktor makro dan mikro ekonomi terhadap pengembangan usaha
peternakan sapi potong .
Rekomendasi yang memperkuat landasan kebijakan dalam pengembangan usaha peternakan sapi potong
di Indonesia.
KERANGKA ANALISIS
Dasar pengembangan usaha peternakan sapi potong adalah adanya keseimbangan antara jumlah kenaikan
populasi temak (foundation stock) dengan jumlah kelahiran, importasi, pemotongan, ekspor dan kematian . Secara
matematis kondisi ini dapat dituliskan sebagai berikut:
Peningkatan populasi = kelahiran + impor - pemotongan - ekspor - kematian
15 6
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 1999/2000
Faktor kelahiran dan kematian sangat erat berhubungan dengan perkembangan . dan adopsi teknologi yang
dihasilkan, sedemikan sehingga faktor-faktor impor, pemotongan dan ekspor yang memberikan pengaruh terhadap
peningkatan populasi temak sapi potong . Aspek mikro dan makro ekonomi apa sajakah yang sekiranya dapat
mempengaruhi terhadap kegiatan impor, ekspor dan pemotongan yang akan menjadi fokus dalam studi ini.
Komponen mikro ekonomi yang akan dianalisa adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Perkembangan aspek produksi temak
Perkembangan harga dan biaya produksi
Pengembangan pola usaha, clan
Pemasaran, transportasi, distribusi dan kelembagaan petemak.
Sedangkan faktor makronya adalah :
1.
2.
3.
4.
Nilai tukar rupiah terhadap US dollar
Pajak dan pungutan
Kelancaran perdagangan antardaerah, clan
Investasi.
Berdasarkan aspek-aspek tersebut di atas, diharapkan bahwa keluaran studi kebijakan ini dapat tercapai .
Langkah awal pelaksanaan studi ini dimulai dari identifikasi permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha
petemakan sapi potong . Hal ini dilakukan melalui pelaksanaan workshop dan diskusi intensif dengan organisasi dan
institusi terkait, seperti Direktorat Jenderal Peternakan, APFINDO, ASPIDI dan petemak/praktisi . Langkah
selanjutnya adalah mengetahui perkembangan dan komponen instrumen kebijakan dalam periode tertentu. Hasil
analisis tersebut kemudian diikuti oleh kondisi komponen usaha petemakan sapi potong. Tabel I menjelaskan
sistematika analisis dan uraian lebih detail tentang aspek kebijakan mikro dan makro beserta komponen sasaran dan
instrumen kebijakan yang digunakan.
WILLIAM (1971) serta WEINER dan VINING (1989) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah cara atau
kegiatan mensintesa informasi termasuk Hasil-hasil penelitian untuk menghasilkan rekomendasi opsi desain
kebijaksanaan publik. Sintesa pemaduan berbagai informasi dilakukan pula dalam studi kebijakan ini dan ditindak
lanjuti dengan upaya klarifikasi permasalahan yang ada di lapang . Survey di lapang dilakukan melalui metode
wawancara dengan menggunakan kuesioner berstruktur yang telah dipersiapkan sebelumnya . Survey ini
dilaksanakan terhadap sasaran pembuat kebijakan dan unsur pelaksana di daerah, dan kelembagaan terkait seperti
kelompok petemak, BIB/BET, pasar dan petemakan komersial. Beberapa informasi/data yang dikumpulkan dalam
studi ini meliputi informasi program pengembangan beserta impledientasinya -dan kinerja usaha petemakan sapi
potong yang tercakup sebagai parameterzlcebijakan aspek mikro dengan sasaran efisiensi dan produktivitas
sebagaimana tercantum dalam Tabel 1 .
A . PILIYANTI et al. : Dasar-Dasar Penentuan Kebijakan Makro dan Mikro
Tabe11 . Instrumen kebijakan dalam usaha pengembangan sapi potong
Aspek
Mikro
Sasaran
Efisiensi clan produktivitas
Instrumen kebijakan
1 . Skala usaha
2. Kebijakan breeding dan zona penghasil bakalan
dan penggemukan
3. Zona dan tata ruang produksi (perkebunan,
padang rumput, sawah), sumber daya pakan
4. Umur potong optimal
5. Larangan pernotongan hewan betina
6. Larangan ekspor antar daerah bagi temak dengan
bobot hidup < 250 kg yang dapat menciptakan
diskriminasi harga per kg bobot hidup
7. Pola usaha / kemitraan
8. Harga input dan output
Makro
Stabilisasi
I.
2.
3.
4.
Fiskal, meliputi perpajakan, pungutan, retribusi,
subsidi per daerah produksi
Moneter, seperti tingkat suku bunga kredit, nilai
tukar, inflasi
Perdagangan antar daerah serta impor dan ekspor
(tariff)
Kemampuan menyerap investasi pada sektor
tradisional sangat terbatas .
PERKEMBANGAN SUPPLY DAN DEMAND
Salah satu dasar utama dalam penentuan kebijakan usaha pengembangan ternak sapi potong adalah kondisi
supply clan demand produk sapi potong . Apakah dalam neraca supply sudah swa sembada 100% dari produksi lokal,
kalau belum bagaimana proporsinya? Berapa jumlah yang harus diimpor clan berasal dari negara mana? Bagaimana
preferensi pasar tentang kualitas produk yang diminta (hal ini akan mengarah kepada pola usaha yang tepat), berapa
harganya dan apakah ada insentifyang diberikan,dalam program investasi? Teknologi apa kiranya yang tepat untuk
diaplikasikan kepada pengguna? Hal-hal ini merupakan beberapa faktor mikro ekonomi yang perlu mendapat
perhatian. Kemudian untuk memperlancar pengembangan dan pemenuhan supply dan permintaan akan produk
daging sapi, faktor makro ekonomi yang mana yang perlu dikembangkan, seperti halnya pada aspek fiskal clan
moneter.
Secara umum kondisi supply dan permintaan saat ini di Indonesia disajikan dalam Tabe12 berikut ini .
Tabel 2. Perkembangan kondisi supply clan demand daging sapi
Parameter
Produksi dalam negeri (000 ton) 8)
Impor sapi bakalan (ekor)
Impor daging sapi (ton)')
Ekspor daging sapi (ton)
Konsumsi daging sapi (ton)
Sumber : °~ DrrJENNAK, 1999
b) APFINDO, 2000
`) ASPIDI, 2000
15 8
1990
259.000
830
64
259 .766
Tahun
1999
354.335
150.000
17.197
1,2
578 .700
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-Il Th. 199912000
Dari Tabel 2 dan persamaan matematis dalam kerangka analisis kenaikan populasi ternak sapi potong,
tampak bahwa kemampuan supply dalam negeri (lokal) menurun cukup tajam, sehingga perlu dilakukan impor sapi
bakalan dsn daging . Trend kegiatan impor ini meningkat lebih besar dari produksi dalam negeri . Fakta ini
menunjukkan bahwa jumlah kelahiran anak sapi sangat kurang clan jumlah sapi bibit tidak cukup untuk memenuhi
permintaan. Oleh karena itu, kebijakan dalam hal ini diarahkan kepada investasi yang lebih besar pada sektor
pembibitan serta pengembangan kawasan yang khusus untuk pengembangan bibit penghasil bakalan dengan
dukungan sumber daya pakan yang kuat. Kebijakan investasi ini diarahkan bagi pengembangan MINI RANCH
dengan skala usaha 50 ekor sapi induk dengan sistem gembala dalam kawasan spesifik dan mampu dipelihara oleh
anggota keluarga.
Peluang investasi dalam usaha peternakan sapi potong seharusnya mempunyai potensi besar untuk dapat
dikembangkan . Hal ini atas dasar (a) pssar dalam negeri yang sangat besar, (b) pemanfaatan clan peluang ekspor
dengan adanya globalisasi perdagangan seperti WTO, AFTA dan APEC, (c) semakin berkembangnya industri
industri yang membutuhkan bahan baku daging sapi, dan (d) pemanfaatan diversifikasi produk . Upaya nyata yag
harus dilakukan dalam hal ini adalah Pemerintah perlu berupaya meningkatkan promosi investasi di bidang
petemakan agar lebih efektif
POLA USAHA
Kelanjutan dari kondisi supply clan permintaan produk sapi potong tersebut diatas serta berkembangnya
preferensi konsumen terhadap mutu produk, maka pola usaha juga ikut berkembang . Gambar 1 memperlihatkan
bagaimana keterkaitan antara pola yang perlu dikembangkan agar kontinuitas produksi dapat terjamin . Tabel 2
menunjukkan bahwa industri peternakan sapi potong kekurangan pasokan ternak sapi bakalan. Hal ini disebabkan
oleh lemahnya sektor pembibitan pada usaha peternakan rakyat . Sampai saat ini, investasi pada sektor pembibitan
sapi bakalan boleh dikatakan sangat kecil. Sebenarnya dengan kenaikan harga riil temak sapi beserta produk
ikutannya, hal ini harus mampu merangsang tumbuhnya usaha pembibitan ternak sapi penghasil bakalan. Kebijakan
di sektor ini harus diarahkan pada pola tradisional dan MINI RANCH dengan sistem gembala yang terintegrasi
dengan pemanfaatan sumber pakan lokal spesifik . Namun pada kenyataannya, pola usaha yang berkembang
langsung menuju usaha penggemukan yang komersial, sehingga terjadi struktur produksi yang lemah landasannya.
Pola MINI RANCH adalah pola transisi dalam usaha pengembangan produksi bakalan sapi . Pola ini pada
skala usaha minimal 50 ekor induk dengan sistem gembala merupakan usaha yang ekstensif Teknologi dengan
eksternal input yang rendah clan lebih tepat guna sudah ada untuk memanfaatkan biomass dari kawasan perkebunan,
padang rumput, ataupun di lokasi spesifik lainnya. Model transisi ini diharapkan akan menjadi perekat antara
petemakan rakyat dengan industri peternakan sapi potong. Tabel B menysjikan ringkasan komponen-komponen
landasan pengembangan usaha peternakan sapi potongxgang memerlukan dukungan kebijakan. Kesenjangan
kebijakan yang terjadi antara pengembangan usaha pembibitan dan penggemukan sangat nyata karena rendahnya
pasokan ternak bakalan untuk program pembibitan, sementara di lain pihak bagi usaha penggemukan hal tersebut
sangat tinggi .
A . PRiYANTi et at. : Dasar-Dasar Penentuan Kebiyakan Makro dan Makro
POLA MINI RANCH
(MODEL TRANSISI)
Pola usaha
integrasidengan
biomass produk pertanian
00
Kualitas Produk
Biasa
Pola usaha
komersial intensif
10
Penggemukan
(feed lot)
Kualitas produk
khusus
Gambar 1. Pola Usaha dan Fungsinya
Usaha pengembangan temak sapi potong yang berkelanjutan dengan berdasar kepada efisiensi sulit dicapai
apabila landasan pengembangan ini tidak diperkuat dan dimanfaatkan . Pada prinsipnya, Indonesia memiliki
landasan sumber daya pakan yang mempunyai keunggulan komparatif seperti zona padang rumput yang masih
cukup luas, zona perkebunan (kelapa, karet, tebu, dlsb,), zona palagung, tlan zona industri tanaman lainnya.
Beberapa komponen landasan pengembangan ini terdiri dari :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia
Mengoptimalkan integrasi ternak dengan zona yang mempunyai keunggulan komparatif
Teknologi yang mendukung program integrasi berdasarkan potensi sumber daya lokal bagi ternak sapi
Peningkatan kualitas sumber daya ternak lokal
Memperkuat pola produksi
Program stabilisasi melalui aspek pemasaran, prosesing dan perdagangan antar pulau
Dukungan kredit, akses ke kapital dan subsidi dari pemerintah dengan tingkat bunga yang terjangkau.
Landasan pengembangan ini akan bermuara pada suatu titik dimana akan timbul suatu pertanyaan apakah
Indonesia mampu self sufficiency dalam mengembangkan usaha peternakan sapi potong? Hal ini akan sangat sulit
untuk dilaksanakan, dengan alasan antara lain :
1.
2.
3.
16 0
Kesulitan penyediaan devisa untukjangka pendek
Apakah Indonesia cukup kompetitif dalam menghasilkan ternak sapi bakalan dibandingkan negara lain,
seperti Australia, New Zealand, dlsb.? Apabila ditinjau dari segi sumber daya, memang Indonesia
memiliki keunggulan komparatif, namun potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Boleh
dikatakan bahwa Indonesia lebih kompetitif dari sisi input produksi, dan amat sulit dicapai jika
Indonesia tidak mempunyai sumber daya yang dapat diunggulkan .
Sampai saat ini produk daging belum dianggap sebagai produk strategis seperti halnya pada komoditas
beras.
ranBagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-// Th. 199912000
Tabel 3. Landasan pengembangan usaha peternakan sapi potong
Komponen
Kegiatan
1 . Sumber day& manusia (SDM)
2. Lahan clan zona produksi
Kualitas SDM agar lebih responsif terhadap harga
Keunggulan komparatif zona perkebunan, palagung clan padang
rumput lebih dioptimalkan
O Memperkuat pengembangan teknologi tepat guna dalam
upaya mengoptimalkan bahan pakan lokal spesifik
O Eksplorasi dan uji coba kawasan baru yang feasible bagi
pengembangan ternak sapi potong .
Kebijakan pembibitan
O Pola tradisional
O Pola kawasan clan zona baru (MINI RANCH)
O Penggemukan (feedlot)
O Pola kerjasama kemitraan
Stabilisasi supply clan demand serta harga, dengan jalur tata
niaga yang melibatkan kelompok peternak
Adanya dukungan finansial dengan tingkat suku bunga kredit
yang terjangkau .
3 .Teknologi
4. Ternak lokal
5. Pola produksi clan kemitraan
6. Pemasaran clan perdagangan
7. Kapital clan kredit sistem
KEGIATAN IMPOR
Pada bagian terdahulu telah dibahas landasan kebijakan apa saja yang dapat memperkuat supply bakalan
dalam negeri . Bagaimana hubungannya antara kegiatan impor dengan pengembangan usaha peternakan sapi potong
sebagaimana digambarkan oleh persamaan matematis sebelumnya?
Dalam kegiatan impor ini, pengaruh perdagangan global sangat terasa, seperti yang diperlihatkan oleh
perkembangan volume impor clan nilai tukar rupiah mulai dari tahun 1990 sampai dengan 1999 . Tabel 4 clan 5 akan
meringkaskan secara rinci mengenai pengaruh global ini. Parameter kebijakan yang dapat mempengaruhi adalah
perkembangan nilai tukar rupiah terhadp US dollar, bea masuk (tariff) ternak hidup ke Indonesia clan harga daging
disesuaikan dengan perkembangan supply daging dalam negeri .
Sasaran utama dari kegiatan impor sapi bakalan clan daging (Australia, New Zealand) adalah untuk
memperkuat pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri, sekaligus stabilisasi harga. Namun kenyataannya, sasaran
ini ticlak tercapai, karena meskipun tariff impor bakalan diturunkan menjadi nol persen, harga daging di tingkat
konsumen tetap meningkat, begitu pula halnya dengan harga ternak sapi per kg berat hidup (Tabel 4) . Hal ini
menunjukkan bahwa pasar tujuan sapi bakalan clan daging sapi impor merupakan pasar dengan segmen tertentu
(quality market) yang harganya memang relatif cukup tinggi clan pembelinya adalah masyarakat kelompok
menengah keatas . Sehingga pertanyaan yang cukup rasional akhimya timbul, yakni apakah penurunan tariff
tersebut yang pada prinsipnya merupakan subsidi pemerintah diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah
keatas? Aspek ini perlu menjadi bahan pertimbangan sebagai clasar penentuan kebijakan, siapa yang menikmati
subsidi (tariff) clan kelompok mana sasarannya?
Jadi, setiap penentuan kebijakan harus jelas dampak clan sasarannya baik pada kelompok masyarakat, sektor
produksi, pemasaran clan konsumen akhir. Bagi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan antar departemen/instansi
perlu mengkaji bagaimana pengaruhnya terhadap fungsi (misi) departemen/instansi lain .
A. PRIYANTI et al. : Dasar-Dasar Penentuan Kebijakan Makro dan Makro
Tabel 4. Perkembangan jumlah impor sapi bakalan clan daging sapi serta harga yang berlaku di pasaran
Tahun
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
Sumber :
Bakalan
(ekor)
Daging
(ton)
Harga sapi
(US$/kg BH )
Harga daging
(US$/kg)
Nilai tukar
(Rp/US$)
0
2.300
19 .100
35 .400
78 .200
186.300
378 .200
386.600
150.000
200.000
9 .800
11 .000
12 .000
10 .620
12 .057
17 .000
17 .772
12 .764
3 .528
17 .197
1,251
1,371
1,433
2,068
1,454
1,545
1,362
1,81
1,90
1,860
2,039
2,131
3,075
2,163
2,298
2,025
1,960
2,050
1905
1997
2074
2118
2205
2305
2385
5219
9856
8256
STATISTIK INDONESIA,
1991-1999 .
Gejolak global yang berhubungan dengan perubahan nilai tukar rupiah terhadap US dollar sangat
mempengaruhi kegiatan impor sapi bakalan clan pengembangan sektor penggemukan temak sapi . Kemampuan
impor sapi bakalan menurun drastis sesuai dengan melemahnya nilai tukar rupiah . Hal ini dapat dibuktikan dengan
semakin berkurangnya jumlah perusahaan penggemukan (feedloter). Sebagai contoh di Lampung pada awalnya
hanya 2 perusahaan kemudian meningkat menjadi 7 buah, clan saat ini hanya tinggal 3 perusahaan yang masih
mampu mengimpor sapi bakalan dari Australia (Tabel 5) . Namun pada saat harga sapi per kg berat hidup mencapai
minimal Rp .8 .000, dengan nilai tukar rupiah sekitar Rp.7.000,- per 1 US dollar, maka perusahaan feedloter mulai
bergairah kembali karena imbangan nilai tukar rupiah dengan harga sapi bakalan lokal dapat berimbang dengan
harga sapi bakalan impor.
Sebenarnya dengan meningkatnya harga sapi bakalan impor, sektor pembibitan dalam negeri harus mampu
memberikan insentif kepada petemak. Tetapi perhatian Pemerintah pada sektor ini masih sangat kurang, sehingga
konsep terbentuknya MINI RANCH di kawasan lokasi spesifik belum tampak. Untuk itu perlu dikaji mengenai
kendala clan permasalahan dalam pembentukan model ini baik aspek tata ruang, permodalan, input teknologi
maupun pemasaran/distribusi . Kebijakan ke arah pengembangan sektor pembibitan ini sangat diperlukan (MINI
RANCH vs tradisonal) .
Tabel 5. Perkembangan jumlah impor temak di propinsi Lampung
Tahun
Jumlah sapi impor (ekor)
Jumlah perusahaan feedlot (buah)
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
4.726
9.272
25 .761
48 .402
58 .875
109.571
141 .636
10 .367
32 .475
2
2
2
3
7
8
7
3
3
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000
PEMOTONGAN TERNAK SAPI
Kegiatan pemotongan temak sapi memperlihatkan adanya pasokan daging dan akan beredar di pasaran .
Jumlah ini sangat dipengaruhi oleh supply ternak sapi yang masuk ke pasar hewan (bagi yang mempunyai pasar
hewan) . Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pemotongan ternak erat berhubungan dengan kegiatan perdagangan
sapi .
Berdasarkan data pemotongan di lokasi tertentu seperti Bandarlampung dan Malang, tampak bahwa jumlah
ternak sapi yang dipotong (tercatat) setiap bulan hampir tidak mengalami perubahan, sedangkan harga daging
melonjak drastis dari Rp .11 .900,-/kg pada tahun 1997 menjadi Rp.24.000,-/kg pada tahun 1999 . Fakta ini
memperlihatkan bahwa elastisitas permintaan daging sapi terhadap perubahan harga relatif sangat kecil (in-elastic),
yang berarti bahwa konsumen daging sapi pada periode krisis ekonomi (1997 - sekarang) adalah masyarakat
menengah ke atas atau kelompok berpenghasilan tinggi. Pada kelompok masyarakat ekonomi rendah, hal tersebut
tidak mengalami perubahan, karena kelompok ini akan keluar dari pasar konsumen dan mencari alternatif substitusi
untuk daging sapi, seperti daging ayam, ikan, tahu, tempe, dan lain sebagainya. Fakta ini berhubungan dengan suatu
kesalahan sasaran tariff impor sapi bakalan maupun daging sapi yang pada akhimya Pemerintah justru mensubsidi
kelompok ekonomi kuat, bukan peternak produsen sapi potong . Sekali lagi, perlu diperhatikan dalam penentuan
kebijakan (mikro dan makro) agar sistem ekonomi usaha pengembangan peternakan (daging sapi) dikaji secara utuh
untuk meminimalkan kesalahan sasaran.
KESIMPULAN
Kepincangan yang terjadi pada supply dan permintaan komoditas daging sapi serta besarnya peranan impor
dan lemahnya produksi daging dalam negeri memerlukan kebijakan yang tepat yang dapat mengantisipasi masalah
serta dapat memberikan solusi yang benar. Dasar penentuan kebijakan dimulai dari permasalahan-permasalahan
yang ada. Beberapa hasil diskusi mengenai pengembangan usaha peternakan sapi potong di Indonesia dewasa ini
adalah :
1 . Kurangnya pasokan bakalan ternak sapi dalam negeri
2. Dengan berkurangnya pasokan bakalan dalam negeri, impor ternak hidup mempunyai peranan yang
cukup besar dan ini berarti pengurasan devisa negara. Gejolak pada perubahan nilai rupiah akan
berdampak pada jumlah dan volume impor, dan sistem tarif perlu diberlakukan kembali.
3 . Permintaan produk sapi potong (daging dan ikutannya) sangat musiman dan sudah menjadi tradisi,
terutama dalam menghadapi hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan Tahun Baru . Karena struktur
supply yang lemah, maka harga tidak pernah turun sebagaimana layaknya hukum ekonomi.
4. Masalah produktivitas' ternak sapi potong memerlukan penkembangan penelitian dan penerapan
teknologi, pola usaha yang tepat, dukungan sumber daya lahan, pakan danjenis bibit yang benar.
5. Skala usaha pemilikan yang relatif kecil dan persepsi peternak kurang berorientasi pada pasar yang
menguntungkan, sehingga mungkin diperlukan pola-transisi (MINI RANCH) .
Untuk mengantisipasi alternatif pemecahan masalah-masalah tersebut diatas, maka dasar-dasar penentuan
kebijakan harus terdiri dari komponen kebijakan produksi, pemasaran, kerjasama pola kemitraan dan kebijakan
makro. Beberapa parameter kebijakan yang dapat dikembangkan disajikan secara ringkas dalam Tabel 6. Parameter
tersebut sating terkait satu sama lain dalam suatu sistem pengembangan . Sebagai contoh adalah apabila tarif impor
nol persen (seperti saat ini), sedangkan biaya-biaya lain naik seperti biaya produksi, pajak-pajak dan pungutan,
biaya pemasaran, maka hal ini akan tetap melemahkan sistem produksi dalam negeri . Oleh karenanya sistem tariff
harus benar-benar disesuaikan dengan kondisi produksi dalam negeri, sehingga pasar dapat tetap stabil .
Begitu pula halnya dengan perdagangan antar daerah . Apabila terjadi pembatasan dalam perdagangan antara
daerah surplus dengan daerah defisit (pusat konsumen), hal ini dapat menghilangkan nilai insentif bagi daerah
surplus pada saat harga dan permintaan naik. Sehingga apabila akan merubah atau memperbaiki suatu parameter
kebijakan, perlu dikaji dampaknya terhadap parameter lain yang erat hubungannya.
A. PRIYAmI et al. : Dasar-Dasar Penentuan Kebiyakan Makro dan Makro
Tabel 6. Parameter-parameter kebijakan mikro dan makro yang sating terkait.
Kebijakan
A. Kebijakan sektor produksi
Parameter
1.
2.
3.
4.
5.
B. Kebijakan sektor pemasaran
1.
2.
3.
4.
C. Kebijakan makro
1.
2.
3.
4.
D. Kebijakan infrastruktur
1.
2.
3.
Pilihan jenis sapi yang tepat di setiap kawasan berdasarkan agro
ekosistem
Pola usaha lokasi spesifik
Sumber daya pakan dan alternatif di setiap musim agar terdapat
stabilisasi supply pakan yang dapat berpengaruh terhadap biaya
produksi
Penerapan teknologi tepat guna
Sistem penyuluhan dan pembinaan kepada peternak .
Kelompok peternak yang terkait dengan kelembagaan pemasaran
seperti outlet pasar, tata niaga yang tidak monopolistik,
transportasi dan standarisasi mutu
Kebijakan biaya pemasaran, seperti tarif angkutan, retribusi,
pajak serta pungutan
Kebijakan margin usaha yang wajar bagi peternak
Kebijakan dalam mengurangi distorsi harga.
Fiskal yang wajar, tepat sasaran dan insentif bagi peternak,
seperti perpajakan, pungutan, tariff dan subsidi
Moneter yang merangsang sektor produksi, seperti kredit, tingkat
suku bunga dan nilai tukar rupiah
Perdagangan antar daerah yang tidak menghambat arus lalu lintas
temak
Investasi diarahkan pada sektor pembibitan penghasil bakalan .
Kepastian kawasan usah~ atau tata ruang
Kelembagaan pendukung dan pendamping di kawasan spesifik
lokasi
Pasar hewan.
DAFTAR PUSTAKA
Peranan feedloter dalam pengembangan pembibitan untuk menggali sumber bakalan dalam negeri . Seminar
Nasional Swasembada Daging 2005 . Jakarta, 20 Juni 2000.
APFINDO. 2000 .
ASPIDI . 2000.
2000.
Hambatan dan tantangan agribisnis sapi potong. Seminar Nasional Swasembada Daging
2005 .
Jakarta,
20
Juni
1999 . Buku Statistik Petemakan. Direktorat Jenderal Petemakan Departemen Pertanian dan Asosiasi Obat Hewan
Indonesia. Jakarta.
DITJENNAK.
STATISTIK INDONESIA.
Berbagai terbitan mulai 1991-1999. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
D. L. and A. R. Vinning. 1989 . Policy analysis : Concept and Practices. Prentice Hall Inc . Englewoods, N. J., USA.
WILLIAMS, W. 1971 . Social Policy Research and Analysis. American Elsmier Publishing Company. New York, USA.
WEIMER,
Download