5 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Padi Tanaman padi (Oryza sativa L.) dalam sistematika tumbuhan diklasifikasikan ke dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Poales, famili Graminae dan genus Oryza (Griest 1986). Genus Oryza termasuk kecil, hanya sekitar 25 spesies, di mana 23 adalah spesies liar dan dua yang banyak dibudidayakan yaitu Oryza sativa L. dan Oryza glaberrima Steud. (Vaughan 2003; Vaughan et al. 2008). Vaughan (2003) mengusulkan tata nama baru untuk padi budidaya dan tipe liar di Asia yaitu Oryza sativa subspesies indica dan japonica, dan Oryza rufipogon dengan subspesies nivara dan rufipogon. Oryza sativa adalah spesies yang paling banyak ditanam sebagai tanaman budidaya, dengan wilayah meliputi negara-negara Asia, Amerika Utara, Amerika Selatan, Uni Eropa, Timur Tengah dan Afrika. Oryza glaberrima hanya dibudidayakan di negara-negara Afrika Barat. Padi asal persilangan Oryza sativa dan glaberrima-sativa telah menggantikan Oryza glaberrima di beberapa bagian Afrika karena daya hasil yang lebih tinggi (Linares 2002). Karakterisasi pada padi budidaya di Asia lebih lanjut diidentifikasi sebagai subspesies indica, tropical japonica (javanica) dan japonica (Garris et al. 2005). Padi merupakan tanaman semusim dengan sistem perakaran serabut. Terdapat dua macam perakaran padi yaitu akar seminal yang tumbuh dari akar primer radikula pada saat berkecambah dan akar adventif sekunder yang bercabang dan tumbuh dari buku batang muda bagian bawah. Akar adventif tersebut menggantikan akar seminal. Perakaran yang dalam dan tebal, sehat, mencengkeram tanah lebih luas serta kuat menahan kerebahan memungkinkan penyerapan air dan hara lebih efisien terutama pada saat pengisian gabah (Suardi 2002). Batang padi berbentuk bulat, berongga dan beruas-ruas. Antar ruas dipisahkan oleh buku. Ruas-ruas sangat pendek pada awal pertumbuhan dan memanjang serta berongga pada fase reproduktif. Pembentukan anakan dipengaruhi oleh unsur hara, cahaya, jarak tanam dan teknik budidaya. Batang berfungsi sebagai penopang tanaman, mendistribusikan hara dan air dalam 6 tanaman dan sebagai cadangan makanan. Kerebahan tanaman dapat menurunkan hasil tanaman secara drastis. Kerebahan umumnya terjadi akibat melengkung atau patahnya ruas batang terbawah, yang panjangnya lebih dari 4 cm (Makarim dan Suhartatik 2009). Daun padi tumbuh pada batang dan tersusun berselang-seling pada tiap buku. Tiap daun terdiri atas helaian daun, pelepah daun yang membungkus ruas, telinga daun (auricle) dan lidah daun (ligule). Daun teratas disebut daun bendera yang posisi dan ukurannya tampak berbeda dari daun yang lain. Satu daun pada awal fase tumbuh memerlukan waktu 4-5 hari untuk tumbuh secara penuh, sedangkan pada fase tumbuh selanjutnya diperlukan waktu yang lebih lama, yaitu 8-9 hari. Jumlah daun pada tiap tanaman bergantung pada varietas. Varietasvarietas baru di daerah tropis memiliki 14-18 daun pada batang utama (Makarim dan Suhartatik 2009). Bunga padi secara keseluruhan disebut malai. Tiap unit bunga pada malai dinamakan spikelet yaitu bunga yang terdiri atas tangkai, bakal buah, lemma, palea, putik, dan benang sari serta beberapa organ lainnya yang bersifat inferior. Tiap unit bunga pada malai terletak pada cabang-cabang bulir yang terdiri atas cabang primer dan sekunder. Tiap unit bunga padi pada hakekatnya adalah floret yang hanya terdiri atas satu bunga, yang terdiri atas satu organ betina (pistil) dan enam organ jantan (stamen). Stamen memiliki dua sel kepala sari yang ditopang oleh tangkai sari berbentuk panjang, sedangkan pistil terdiri atas satu ovul yang menopang dua stigma (Makarim dan Suhartatik 2009). Malai terdiri atas 8-10 buku yang menghasilkan cabang-cabang primer yang selanjutnya menghasilkan cabang sekunder. Tangkai buah (pedicel) tumbuh dari buku-buku cabang primer maupun cabang sekunder (Yoshida 1981). Gabah terdiri atas biji yang terbungkus oleh sekam. Bobot gabah beragam dari 12-44 mg pada kadar air 0%, sedangkan bobot sekam rata-rata adalah 20% bobot gabah. Perkecambahan terjadi apabila dormansi benih telah dilalui. Benih tersebut berkecambah apabila radikula telah tampak keluar menembus koleorhiza diikuti oleh munculnya koleoptil yang membungkus daun (Yoshida 1981; Makarim dan Suhartatik 2009). 7 Pertumbuhan tanaman padi dibagi dalam tiga fase, yaitu fase vegetatif (awal pertumbuhan sampai pembentukan bakal malai/primordial), fase generatif/reproduktif (primordial sampai pembungaan), dan fase pematangan (pembungaan sampai gabah matang). Fase vegetatif merupakan fase pertumbuhan organ-organ vegetatif, seperti pertambahan jumlah anakan, tinggi tanaman, bobot, dan luas daun. Lama fase reproduktif untuk kebanyakan varietas padi di daerah tropis umumnya 35 hari dan fase pematangan sekitar 30 hari. Perbedaan masa pertumbuhan ditentukan oleh lamanya fase vegetatif. Varietas IR64 matang dalam 110 hari mempunyai fase vegetatif 45 hari, sedangkan IR8 yang matang dalam 130 hari fase vegetatifnya 65 hari (Makarim dan Suhartatik 2009). Varietas Padi Varietas padi yang saat ini telah dikembangkan antara lain padi inbrida Unggul Baru (VUB), inbrida Tipe Baru (PTB), dan padi hibrida. Varietas inbrida merupakan galur murni yang perbanyakan benihnya dilakukan melalui penyerbukan sendiri, dengan komposisi genetik homozigos homogen (Satoto et al. 2009). Varietas hibrida adalah produk persilangan antara dua tetua padi yang berbeda secara genetik, dengan komposisi genetik heterozigos homogen. Apabila tetua-tetua diseleksi secara tepat maka hibrida turunannya akan memiliki vigor dan daya hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua tetua tersebut (IRRI 2008). Umumnya padi hibrida dihasilkan menggunakan tiga galur yaitu galur A, galur B dan galur R. Galur A merupakan galur mandul jantan atau CMS (Cytoplasmic Male Sterile). Galur B merupakan galur pelestari atau pemelihara (maintainer), digunakan untuk melestarikan dan memperbanyak galur A. Secara genetik galur B identik dengan galur A, hanya berbeda pada sifat mandul jantannya. Galur R merupakan galur pemulih kesuburan (restorer). Benih hibrida (F1) diproduksi dengan melakukan persilangan galur A dengan galur R (Satoto et al. 2009; Syukur et al. 2009) Padi Tipe Baru (PTB) merupakan salah satu alternatif dalam peningkatan produksi padi di Indonesia. Padi tipe ini dicirikan oleh jumlah anakan yang lebih sedikit (8-10 anakan) namun semua produktif, malai lebat (200-250 gabah/malai) dan bernas, tinggi tanaman sedang (80-100 cm), daun tegak, tebal dan berwarna hijau tua, umur sedang (110-130 hari), perakaran dalam, serta tahan terhadap 8 hama dan penyakit utama (Abdullah et al. 2008; Syukur et al. 2009). Dengan sifat-sifat tersebut PTB dapat menghasilkan 13 ton/ha (Abdullah et al. 2008). Pada awal program PTB banyak varietas padi lokal Indonesia dari subspesies javanica (padi bulu) digunakan sebagai sumber gen atau tetua, karena padi javanica mempunyai batang kokoh, anakan sedikit, malai panjang, dan jumlah gabah per malai banyak, seperti Genjah Wangkal, Ketan Lumbu, dan Soponyono (Fagi et al. 2001). Indonesia telah melakukan penelitian PTB sejak 1995 dan pada tahun 2003 telah melepas satu varietas PTB yaitu Fatmawati. Varietas ini memiliki karakter malai lebat dan potensi produksi 8 ton/ha. Nilai produksi ini lebih tinggi 4-13% dari varietas Ciherang dan 4-32% lebih tinggi daripada IR64. Beberapa karakter dari varietas tersebut masih perlu diperbaiki antara lain gabah hampa yang relatif tinggi, tidak mudah rontok, serta kurang tahan terhadap penyakit blas dan hawar daun (Abdullah et. al. 2008; Syukur et.al. 2009). Safitri (2010) melakukan perakitan untuk mendapatkan padi gogo tipe baru melalui kultur antera. Penelitian ini menggunakan varietas dan galur harapan padi tipe baru yaitu Fatmawati dan BP360E-MR-79-2, serta varietas lokal Pulau Buru yaitu Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat (Lampiran 1). Fulan Telo Gawa mempunyai warna beras putih, sedangkan Fulan Telo Mihat mempunyai warna beras merah. Kedua varietas lokal ini mempunyai karakter antara lain umur agak genjah, malai panjang dan pengisian gabah yang baik, sedangkan Fatmawati dan BP360E-MR-79-2 adalah varietas dan galur harapan padi sawah tipe baru yang mempunyai karakter antara lain tanaman tegak, batang kekar dan malai lebat, tetapi pengisian gabah kurang baik. Evaluasi karakter agronomi terhadap turunan F1 hasil kultur antera persilangan padi gogo lokal dengan padi tipe baru menunjukkan bahwa genotipe F1 persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiproknya menghasilkan galur-galur dihaploid dengan keragaan paling baik. Teknik Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman Tanaman haploid merupakan tanaman yang mengandung jumlah kromosom sama dengan kromosom gametnya atau tanaman dengan jumlah kromosom setengah dari jumlah kromosom somatiknya. Teknik kultur antera merupakan metode paling sederhana untuk induksi tanaman haploid. Tanaman haploid umumnya lebih kecil dibandingkan dengan diploid, anakan banyak, 9 berbunga, tetapi tidak berbiji (steril). Tanaman dihaploid dapat diperoleh dengan pemangkasan atau pemberian kolkisin. Tanaman dihaploid mempunyai morfologi seperti diploid biasa dan fertil (Dewi dan Purwoko 2011). Prosedur produksi tanaman haploid terdiri atas persiapan eksplan, sterilisasi eksplan, kultur in vitro antera (meliputi tahap inokulasi/penanaman eksplan dan regenerasi tanaman dari kalus), aklimatisasi, pengamatan tahap perkembangan mikrospora, pengamatan kromosom pada akar, dan penggandaan kromosom (Dewi dan Purwoko 2011). Secara konvensional, untuk menghasilkan suatu varietas unggul dengan sifat-sifat yang diinginkan perlu ditempuh prosedur penelitian yang sistematik, mulai dari pemilihan tetua, persilangan, seleksi galur, pengujian daya hasil dan perbanyakan benih, diakhiri dengan pelepasan varietas unggul, sehingga memerlukan waktu 7-10 tahun (Dewi dan Purwoko 2001). Tanaman homozigos atau galur murni dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan seleksi per generasi (6-8 generasi) dan membutuhkan waktu lama. Teknologi dihaploid dapat menghasilkan tanaman homozigos pada generasi pertama, sehingga akan mempersingkat siklus pemuliaan, memproduksi galur homozigos diploid melalui penggandaan kromosom, dan isolasi sifat resesif penting pada tingkat sporofitik, yang tidak terekspresi pada populasi heterozigos diploid. Tanaman dihaploid yang dihasilkan melalui kultur antera bersifat homozigos penuh dan breed true yang sangat diperlukan dalam pemuliaan tanaman. Tanaman haploid juga dapat digunakan untuk mendeteksi mutasi dan rekombinan yang unik. Mutasi resesif tidak muncul dalam keadaan heterozigos diploid (Shivanna dan Sawhney, 1997). Pembentukan galur murni (galur dihaploid) melalui teknik kultur antera memerlukan waktu kurang lebih 30 bulan (Sasmita 2007). Hambatan yang terjadi dalam produksi tanaman haploid antara lain pada perubahan dari kalus dan embrio ke planlet. Regenerasi yang telah dilaporkan sebagian besar melalui fase kalus, yang akan meningkatkan kemungkinan variasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi regenerasi planlet dari kalus atau embrio yaitu tahap perkembangan mikrospora, adanya pra-perlakuan dalam induksi, dan komposisi nutrisi pada media yang digunakan (Guzman dan Arias 2000). 10 Daya Adaptasi, Uji Daya Hasil dan Uji Multilokasi Interaksi antara genotipe dan lingkungan dapat digunakan untuk mengukur daya adaptasi dan stabilitas suatu genotipe. Interaksi genotipe dengan lingkungan dapat dikelompokkan menjadi interaksi genotipe x lokasi, interaksi genotipe x musim, dan interaksi genotipe x lokasi x musim. Pentingnya interaksi genotipe x lingkungan dalam pemuliaan antara lain untuk mengembangkan kultivar spesifik wilayah, alokasi sumberdaya yang efektif dalam pengujian genotipe dalam musim dan lokasi, dan stabilitas penampilan hasil (Baihaki 2000). Adaptabilitas dan stabilitas adalah kemampuan tanaman untuk tetap hidup dan berkembangbiak dalam lingkungan yang bervariasi (Djaelani et al. 2001). Salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan daya adaptasi atau stabilitas suatu genotipe adalah nilai koefisien regresi dan simpangan regresi. Genotipe yang mempunyai stabilitas tinggi akan mempunyai koefisien regresi 1,0 dan simpangan koefisien regresi sama dengan nol. Genotipe yang mempunyai koefisien regresi lebih dari 1,0 akan beradaptasi baik pada lingkungan yang subur, sedangkan genotipe yang mempunyai koefisien regresi kurang dari 1,0 akan beradaptasi baik pada lingkungan kurang subur (Haryanto et al. 2004). Hasil dan mutu padi gogo pada lingkungan tumbuh berbeda dipelajari oleh Wahyuni et al. (2006) yang menunjukkan bahwa hasil benih dari pertanaman di lahan sawah pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan dengan di lahan kering pada musim hujan. Saraswati et al. (2006) mempelajari interaksi genotipe x lingkungan jagung hibrida di 10 lokasi yang berbeda di Pulau Jawa. Analisis gabungannya memperlihatkan adanya interaksi genotipe x lingkungan untuk semua karakter yang diamati. Informasi daya adaptasi, stabilitas, dan interaksi genotipe x lingkungan bermanfaat dalam menentukan pemilihan galur unggul sebagai kultivar stabil atau kultivar spesifik lokasi. Uji Daya Hasil terdiri atas Uji Daya Hasil Pendahuluan dan Uji Daya Hasil Lanjutan. Kedua bentuk pengujian tersebut bertujuan untuk menilai pengaruh faktor lingkungan yang tidak dapat dikendalikan pada respon tanaman. Pada Uji Daya Hasil Pendahuluan biasanya jumlah galur yang dimiliki masih banyak, tetapi dengan jumlah benih yang terbatas sehingga dilakukan pengujian pada satu lokasi dan satu musim. Penanaman di lapangan hanya berupa petak 11 tunggal atau hanya beberapa baris (± 5) sepanjang 3-4 m dengan 1 biji/lubang. Pada Uji Daya Hasil Lanjutan biasanya jumlah galur sudah berkurang dengan jumlah benih yang lebih banyak dibandingkan dengan yang ada pada Uji Daya Hasil Pendahuluan, sehingga pengujian dapat dilakukan pada beberapa lokasi, satu musim atau beberapa musim, satu lokasi. Tahap selanjutnya yaitu Uji Multilokasi, di mana pelaksanaannya harus mengikuti prosedur pelepasan varietas tanaman yaitu jumlah lokasi pengujian, jumlah musim, jumlah ulangan, jumlah genotipe dan jumlah varietas pembanding (Syukur et al. 2009). Kementerian Pertanian menetapkan syarat pengujian multilokasi untuk pelepasan varietas padi gogo melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/10/2011 tanggal 5 Oktober 2011 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas. Peraturan yang baru ini mensyaratkan pengujian multilokasi untuk pelepasan varietas padi gogo yaitu di 8 lokasi dalam satu tahun/musim atau 4 lokasi dalam dua tahun/musim. Peraturan ini menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37/Permentan/OT.140/8/2006 juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 65/Permentan/OT.140/12/2008 yang mensyaratkan pengujian multilokasi untuk padi gogo di 16 lokasi dalam satu tahun/musim atau 8 lokasi dalam dua tahun/musim. Analisis Stabilitas Stabilitas merupakan kemampuan tanaman untuk mempertahankan daya hasil terhadap perubahan kondisi lingkungan (Baihaki 2000). Lin et al. (1986) membagi konsep stabilitas ke dalam tiga tipe. Stabilitas tipe 1 yaitu suatu genotipe dianggap stabil bila keragaman di antara lingkungannya kecil. Genotipe stabil memiliki penampilan yang relatif tidak berubah dengan kondisi lingkungan yang bervariasi. Menurut Becker dan Leon (1988) stabilitas tipe 1 disebut stabilitas statis atau biologis. Konsep stabilitas ini berguna untuk karakter-karakter kualitatif, ketahanan penyakit atau cekaman lingkungan. Stabilitas tipe 1 ini digunakan oleh Francis dan Kannenberg (1978) dengan menggunakan parameter koefisien keragaman (KK) untuk masing-masing genotipe sebagai parameter stabilitas dan keragaman genotipe terhadap lingkungan (Si2). 12 Stabilitas tipe 2 yaitu suatu genotipe dianggap stabil jika respon terhadap lingkungan paralel dengan rata-rata respon dari semua genotipe yang diuji. Genotipe yang stabil tidak menyimpang dari respon umum terhadap lingkungan. Stabilitas ini didasarkan pada set genotipe yang diuji, sehingga suatu genotipe ditentukan stabil di antara satu set genotipe, mungkin menjadi tidak stabil jika dianalisis di set genotipe yang lain. Becker dan Leon (1988) menyatakan stabilitas tipe 2 ini sebagai stabilitas dinamis atau agronomis. Finlay dan Wilkinson (1963) menggunakan koefisien regresi (bi), dan Shukla (1972) menggunakan keragaman stabilitas (ζ2) untuk menghitung stabilitas tipe 2 ini. Stabilitas tipe 3 yaitu suatu genotipe dikatakan stabil jika kuadrat tengah sisa dari model regresi pada indeks lingkungannya kecil. Indeks lingkungan adalah rata-rata hasil semua genotipe pada masing-masing lokasi dikurangi rataan total dari semua genotipe di semua lokasi. Stabilitas tipe 3 ini juga merupakan bagian dari stabilitas dinamis atau agronomis menurut Becker dan Leon (1988). Metode yang menjelaskan stabilitas tipe 3 ini adalah metode Eberhart dan Russell (1966), Perkins dan Jinks (1968) dan Tai (1971). (Lin et al. 1986). Becker dan Leon (1988) menyatakan bahwa semua prosedur stabilitas yang berdasarkan kuantitatif pengaruh interaksi genotipe x lingkungan termasuk ke dalam konsep stabilitas dinamis. Kemampuan adaptasi genotipe tanaman dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu genotipe yang beradaptasi luas dan genotipe yang beradaptasi spesifik. Suatu genotipe dianggap memiliki adaptasi luas apabila genotipe tersebut mampu tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang baik pula dalam kisaran lingkungan tumbuh spasial yang luas. Genotipe dikatakan beradaptasi spesifik apabila genotipe tersebut mampu tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang baik pula pada lingkungan tumbuh yang tertentu saja (spesifik) dengan fluktuasi musim pada lingkungan tumbuh yang spesifik tersebut (Baihaki dan Wicaksana 2005). Terdapat tiga model pendugaan stabilitas yaitu analisis ragam, analisis regresi, dan teknik multivariat. Pada analisis ragam, penetapan stabilitas suatu genotipe dilakukan dengan membandingkan genotipe yang diuji dengan kultivar 13 kontrol, dan melihat nilai kuadrat tengah interaksi. Beberapa metode pengukuran stabilitas menggunakan analisis ragam yaitu: 1. Analisis Stabilitas menurut Francis dan Kannenberg (1978) Ragam lingkungan (ππ2 ) dan koefisien ragam (CVi) digunakan untuk menentukan kestabilan suatu genotipe. ππ2 CVi = πππ x 100% Di mana: CVi = Koefisien keragaman genotipe ππ2 = Kuadrat tengah dalam genotipe πππ = Nilai rata-rata genotipe ke-i pada seluruh lingkungan ke-q Berdasarkan pengukuran tersebut, semakin kecil nilai koefisien keragaman genotipenya, semakin stabil genotipe tersebut. 2. Analisis Stabilitas Wricke Ekovalens (Wi2) Wi2 = π πππ − ππ0 − π0π + π ² Di mana: Wi2 = Wricke ekovalens πππ = Rata-rata nilai pengamatan pada genotipe ke-i dan lingkungan ke-j ππ0 = Nilai rata-rata genotipe ke-i pada seluruh lingkungan ke-q π0π = Nilai rata-rata pengamatan lingkungan ke-j untuk seluruh genotipe π = Nilai rata-rata total seluruh pengamatan π ππ2 = SS(GE) = Jumlah kuadrat interaksi genotipe x lingkungan Ukuran perbedaan kestabilan merupakan nilai konsistensi dari suatu genotipe pada semua lingkungan. Genotipe yang memiliki nilai ekovalens (Wi2 ) terkecil merupakan genotipe yang paling stabil. 3. Analisis Stabilitas Shukla (1972) Analisis ini merupakan sebuah estimasi varians genotipe i untuk seluruh lingkungan dengan dasar perhitungan residu pada interaksi G x E. 14 ππ2 = π π π−2)(π−1 ππ(πΊπΈ) − ππ2 = SS(GE) = Wi2 = π−1) π−2 (π−1 π πππ − ππ0 − π0π + π ² Di mana: p = banyaknya genotipe q = banyaknya ulangan Genotipe stabil adalah genotipe yang memiliki nilai paling minimum untuk ππ2 atau 2 π ππ Beberapa analisis stabilitas dengan penggunaan regresi yaitu analisis stabilitas menurut Finlay dan Wilkinson (1963), Eberhart dan Russel (1966), serta Perkins dan Jinks (1968). 1. Analisis stabilitas menurut Finlay dan Wilkinson (1963) Pada analisis stabilitas Finlay dan Wilkinson digunakan regresi antara varietas dengan rataan varietas di setiap lingkungan dalam skala log. Rata-rata hasil semua varietas pada tiap lingkungan digunakan sebagai absis, dan hasil tiap varietas pada tiap lingkungan digunakan sebagai ordinat. Spesifik beradaptasi pada lingkungan baik 1.0 kurang beradaptasi stabilitas rata-rata beradaptasi baik pada semua lingkungan Spesifik beradaptasi pada lingkungan kurang baik Rerata hasil Gambar 1 Interpretasi umum tentang nilai bi dari pola populasi genotipe ketika koefisien regresi genotipe diplot terhadap nilai rata-rata hasil genotipe (Finlay dan Wilkinson 1963) Suatu genotipe yang memiliki koefisien regresi bi yang lebih besar dari satu dan signifikan menunjukkan bahwa genotipe tersebut peka terhadap perubahan lingkungan, sehingga beradaptasi baik pada lingkungan yang subur, sedangkan genotipe dengan nilai bi yang lebih kecil dari satu tidak sensitif 15 terhadap perubahan lingkungan, karena itu beradaptasi pada lingkungan kurang subur. Genotipe dengan nilai bi = 1 dianggap stabil dan mampu beradaptasi pada lingkungan yang luas (Baihaki 2000). 2. Analisis stabilitas menurut Eberhart dan Russel (1966) Model regresi yang digunakan dalam analisis stabilitas Eberhart dan Russel adalah: Yij = m + βiIj + δij Di mana: Yij = Hasil/ komponen hasil rataan dari genotipe ke-i di lingkungan ke-j m = Rataan umum untuk hasil/komponen hasil genotipe ke-i dari semua lingkungan βi = Koefisien regresi, mengukur respon genotipe ke-i pada lingkungan yang berbeda Ij = Indeks lingkungan yaitu rata-rata semua varietas pada lingkungan ke-j dikurangi rata-rata seluruh percobaan π πππ Ij = π π − π πππ ππ δij = Simpangan regresi dari genotipe ke-i pada lingkungan ke-j Parameter stabilitasnya: π 1. Koefisien regresi (bi); bi = 2. Simpangan dari regresi Di mana ππ2 π πππ πΌπ 2 π πΌπ (ππ2 ); ππ2 = 2 π πΏ ππ π−2 − ππ2 π = dugaan galat gabungan πΏππ2 π πππ2 = π ππ2 − − π ( π πππ πΌπ ) 2 π πΌπ 2 Pengukuran stabilitas ini didasarkan kepada simpangan regresi (ππ2 ) nilai ratarata genotipe pada indeks lokasi (lingkungan). Suatu genotipe dikatakan stabil apabila kuadrat tengah sisa dari garis regresi adalah kecil. 16 3. Analisis stabilitas menurut Perkins dan Jinks (1968) Model analisis stabilitas Perkins-Jinks adalah: Yij = m + di + ei + gij + eij Di mana: m = Rataan umum untuk semua lingkungan dan galur di = Pengaruh aditif genetik dari galur ke-i ej = Pengaruh aditif lingkungan ke-j gij = Pengaruh interaksi genotipe-lingkungan dari galur ke-i dan lingkungan ke-j eij = Galat percobaan Model regresi yang digunakan adalah (di + gij) = m + biej + dij. Galur dikatakan stabil apabila b=0. Dalam teknik multivariat salah satu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis stabilitas adalah Additive Main Effect Multiplicative Interaction (AMMI). Analisis ini menggabungkan pengaruh aditif pada analisis ragam dan pengaruh multiplikatif pada analisis komponen utama. Asumsi yang harus dipenuhi antara lain galat harus menyebar normal dan ragam homogen. Pengujian homogenitas ragam galat dilakukan melalui uji Bartlett. AMMI sangat efektif menjelaskan interaksi genotipe dengan lingkungan. Penguraian interaksi dilakukan dengan model bilinear, sehingga kesesuaian tempat tumbuh bagi genotipe dapat dipetakan. Selain itu biplot yang digunakan memperjelas pemetaan genotipe dan lingkungan secara simultan (Sumertajaya 2007). Tahap-tahap penyusunan dalam analisis AMMI adalah sebagai berikut: 1. Melihat pengaruh aditif galur dan lokasi melalui analisis ragam Analisis ragam menggunakan rancangan lingkungan kelompok lengkap dan rancangan faktorial dua faktor (faktor pertama adalah genotipe dan faktor kedua adalah lingkungan). Asumsi-asumsi yang mendasari analisis ragam adalah galat percobaan menyebar saling bebas mengikuti sebaran normal dengan ragam homogen. 2. Menyusun matriks pengaruh interaksi galur dan lokasi, kemudian melakukan penguraian bilinier terhadap matriks tersebut melalui analisis komponen utama. Model AMMI dapat dituliskan sebagai berikut: 17 Yger = µ + ο‘g + βe + ππ πππ πππ + πΏππ + εger Di mana : Yger = nilai pengamatan pada genotipe ke -g, lingkungan ke-e dan kelompok ke-r µ = rataan umum ο‘g = pengaruh aditif dari pengaruh utama genotipe ke-g βe = pengaruh aditif dari pengaruh utama lingkungan ke-e ππ = nilai singular untuk komponen bilinier ke-n πππ = pengaruh ganda genotipe ke-g melalui komponen bilinier ke-n πππ = pengaruh ganda lokasi ke-e melalui komponen bilinier ke-n πΏππ = simpangan dari pemodelan linier εger = pengaruh acak pada genotipe ke-g, lokasi ke-e dan kelompok ke-r Tiga manfaat utama penggunaan analisis AMMI yaitu: (1) Analisis AMMI dapat digunakan sebagai analisis pendahuluan untuk mencari model yang lebih tepat; (2) Analisis AMMI dengan biplotnya dapat menjelaskan pola hubungan antar genotipe, antar lingkungan, dan antara genotipe x lingkungan; dan (3) Analisis AMMI meningkatkan keakuratan dugaan respon interaksi genotipe x lingkungan (Sumertajaya 2007). Alat yang digunakan untuk menginterpretasi hasil metode AMMI adalah biplot AMMI. Pada dasarnya metode ini berupaya untuk memberikan peragaan grafik terhadap suatu matriks dalam suatu plot dengan menumpangtindihkan vektor-vektor dalam ruang berdimensi dua. Vektor-vektor yang dimaksud yaitu vektor yang mewakili nilai skor komponen lingkungan dan skor komponen genotipe. Biplot AMMI2 adalah plot antara skor komponen utama interaksi terbesar pertama (KUI1) dengan skor komponen utama interaksi terbesar kedua (KUI2) dari hasil penguraian singular (SVD) matriks interaksi (I). Biplot AMMI2 menggambarkan pengaruh interaksi antara genotipe dan lingkungan. Titik-titik amatan yang mempunyai arah yang sama berarti titik-titik amatan tersebut berinteraksi positif (saling menunjang), sedangkan titik-titik yang berbeda arah menunjukkan bahwa titik-titik tersebut berinteraksi negatif (Sa’diyah dan Mattjik 2011).