5 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Padi

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Tanaman Padi
Tanaman
padi
(Oryza
sativa
L.)
dalam
sistematika
tumbuhan
diklasifikasikan ke dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo
Poales, famili Graminae dan genus Oryza (Griest 1986). Genus Oryza termasuk
kecil, hanya sekitar 25 spesies, di mana 23 adalah spesies liar dan dua yang
banyak dibudidayakan yaitu Oryza sativa L. dan Oryza glaberrima Steud.
(Vaughan 2003; Vaughan et al. 2008). Vaughan (2003) mengusulkan tata nama
baru untuk padi budidaya dan tipe liar di Asia yaitu Oryza sativa subspesies
indica dan japonica, dan Oryza rufipogon dengan subspesies nivara dan
rufipogon. Oryza sativa adalah spesies yang paling banyak ditanam sebagai
tanaman budidaya, dengan wilayah meliputi negara-negara Asia, Amerika Utara,
Amerika Selatan, Uni Eropa, Timur Tengah dan Afrika. Oryza glaberrima hanya
dibudidayakan di negara-negara Afrika Barat. Padi asal persilangan Oryza sativa
dan glaberrima-sativa telah menggantikan Oryza glaberrima di beberapa bagian
Afrika karena daya hasil yang lebih tinggi (Linares 2002). Karakterisasi pada padi
budidaya di Asia lebih lanjut diidentifikasi sebagai subspesies indica, tropical
japonica (javanica) dan japonica (Garris et al. 2005).
Padi merupakan tanaman semusim dengan sistem perakaran serabut.
Terdapat dua macam perakaran padi yaitu akar seminal yang tumbuh dari akar
primer radikula pada saat berkecambah dan akar adventif sekunder yang
bercabang dan tumbuh dari buku batang muda bagian bawah. Akar adventif
tersebut menggantikan akar seminal. Perakaran yang dalam dan tebal, sehat,
mencengkeram tanah lebih luas serta kuat menahan kerebahan memungkinkan
penyerapan air dan hara lebih efisien terutama pada saat pengisian gabah (Suardi
2002).
Batang padi berbentuk bulat, berongga dan beruas-ruas. Antar ruas
dipisahkan oleh buku. Ruas-ruas sangat pendek pada awal pertumbuhan dan
memanjang serta berongga pada fase reproduktif. Pembentukan anakan
dipengaruhi oleh unsur hara, cahaya, jarak tanam dan teknik budidaya. Batang
berfungsi sebagai penopang tanaman, mendistribusikan hara dan air dalam
6
tanaman dan sebagai cadangan makanan. Kerebahan tanaman dapat menurunkan
hasil tanaman secara drastis. Kerebahan umumnya terjadi akibat melengkung atau
patahnya ruas batang terbawah, yang panjangnya lebih dari 4 cm (Makarim dan
Suhartatik 2009).
Daun padi tumbuh pada batang dan tersusun berselang-seling pada tiap
buku. Tiap daun terdiri atas helaian daun, pelepah daun yang membungkus ruas,
telinga daun (auricle) dan lidah daun (ligule). Daun teratas disebut daun bendera
yang posisi dan ukurannya tampak berbeda dari daun yang lain. Satu daun pada
awal fase tumbuh memerlukan waktu 4-5 hari untuk tumbuh secara penuh,
sedangkan pada fase tumbuh selanjutnya diperlukan waktu yang lebih lama, yaitu
8-9 hari. Jumlah daun pada tiap tanaman bergantung pada varietas. Varietasvarietas baru di daerah tropis memiliki 14-18 daun pada batang utama (Makarim
dan Suhartatik 2009).
Bunga padi secara keseluruhan disebut malai. Tiap unit bunga pada malai
dinamakan spikelet yaitu bunga yang terdiri atas tangkai, bakal buah, lemma,
palea, putik, dan benang sari serta beberapa organ lainnya yang bersifat inferior.
Tiap unit bunga pada malai terletak pada cabang-cabang bulir yang terdiri atas
cabang primer dan sekunder. Tiap unit bunga padi pada hakekatnya adalah floret
yang hanya terdiri atas satu bunga, yang terdiri atas satu organ betina (pistil) dan
enam organ jantan (stamen). Stamen memiliki dua sel kepala sari yang ditopang
oleh tangkai sari berbentuk panjang, sedangkan pistil terdiri atas satu ovul yang
menopang dua stigma (Makarim dan Suhartatik 2009). Malai terdiri atas 8-10
buku yang menghasilkan cabang-cabang primer yang selanjutnya menghasilkan
cabang sekunder. Tangkai buah (pedicel) tumbuh dari buku-buku cabang primer
maupun cabang sekunder (Yoshida 1981).
Gabah terdiri atas biji yang terbungkus oleh sekam. Bobot gabah beragam
dari 12-44 mg pada kadar air 0%, sedangkan bobot sekam rata-rata adalah 20%
bobot gabah. Perkecambahan terjadi apabila dormansi benih telah dilalui. Benih
tersebut berkecambah apabila radikula telah tampak keluar menembus koleorhiza
diikuti oleh munculnya koleoptil yang membungkus daun (Yoshida 1981;
Makarim dan Suhartatik 2009).
7
Pertumbuhan tanaman padi dibagi dalam tiga fase, yaitu fase vegetatif
(awal
pertumbuhan
sampai
pembentukan
bakal
malai/primordial),
fase
generatif/reproduktif (primordial sampai pembungaan), dan fase pematangan
(pembungaan sampai gabah matang). Fase vegetatif merupakan fase pertumbuhan
organ-organ vegetatif, seperti pertambahan jumlah anakan, tinggi tanaman, bobot,
dan luas daun. Lama fase reproduktif untuk kebanyakan varietas padi di daerah
tropis umumnya 35 hari dan fase pematangan sekitar 30 hari. Perbedaan masa
pertumbuhan ditentukan oleh lamanya fase vegetatif. Varietas IR64 matang dalam
110 hari mempunyai fase vegetatif 45 hari, sedangkan IR8 yang matang dalam
130 hari fase vegetatifnya 65 hari (Makarim dan Suhartatik 2009).
Varietas Padi
Varietas padi yang saat ini telah dikembangkan antara lain padi inbrida
Unggul Baru (VUB), inbrida Tipe Baru (PTB), dan padi hibrida. Varietas inbrida
merupakan galur murni yang perbanyakan benihnya dilakukan melalui
penyerbukan sendiri, dengan komposisi genetik homozigos homogen (Satoto et
al. 2009). Varietas hibrida adalah produk persilangan antara dua tetua padi yang
berbeda secara genetik, dengan komposisi genetik heterozigos homogen. Apabila
tetua-tetua diseleksi secara tepat maka hibrida turunannya akan memiliki vigor
dan daya hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua tetua tersebut (IRRI
2008). Umumnya padi hibrida dihasilkan menggunakan tiga galur yaitu galur A,
galur B dan galur R. Galur A merupakan galur mandul jantan atau CMS
(Cytoplasmic Male Sterile). Galur B merupakan galur pelestari atau pemelihara
(maintainer), digunakan untuk melestarikan dan memperbanyak galur A. Secara
genetik galur B identik dengan galur A, hanya berbeda pada sifat mandul
jantannya. Galur R merupakan galur pemulih kesuburan (restorer). Benih hibrida
(F1) diproduksi dengan melakukan persilangan galur A dengan galur R (Satoto et
al. 2009; Syukur et al. 2009)
Padi Tipe Baru (PTB) merupakan salah satu alternatif dalam peningkatan
produksi padi di Indonesia. Padi tipe ini dicirikan oleh jumlah anakan yang lebih
sedikit (8-10 anakan) namun semua produktif, malai lebat (200-250 gabah/malai)
dan bernas, tinggi tanaman sedang (80-100 cm), daun tegak, tebal dan berwarna
hijau tua, umur sedang (110-130 hari), perakaran dalam, serta tahan terhadap
8
hama dan penyakit utama (Abdullah et al. 2008; Syukur et al. 2009). Dengan
sifat-sifat tersebut PTB dapat menghasilkan 13 ton/ha (Abdullah et al. 2008).
Pada awal program PTB banyak varietas padi lokal Indonesia dari subspesies
javanica (padi bulu) digunakan sebagai sumber gen atau tetua, karena padi
javanica mempunyai batang kokoh, anakan sedikit, malai panjang, dan jumlah
gabah per malai banyak, seperti Genjah Wangkal, Ketan Lumbu, dan Soponyono
(Fagi et al. 2001). Indonesia telah melakukan penelitian PTB sejak 1995 dan pada
tahun 2003 telah melepas satu varietas PTB yaitu Fatmawati. Varietas ini
memiliki karakter malai lebat dan potensi produksi 8 ton/ha. Nilai produksi ini
lebih tinggi 4-13% dari varietas Ciherang dan 4-32% lebih tinggi daripada IR64.
Beberapa karakter dari varietas tersebut masih perlu diperbaiki antara lain gabah
hampa yang relatif tinggi, tidak mudah rontok, serta kurang tahan terhadap
penyakit blas dan hawar daun (Abdullah et. al. 2008; Syukur et.al. 2009).
Safitri (2010) melakukan perakitan untuk mendapatkan padi gogo tipe
baru melalui kultur antera. Penelitian ini menggunakan varietas dan galur harapan
padi tipe baru yaitu Fatmawati dan BP360E-MR-79-2, serta varietas lokal Pulau
Buru yaitu Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat (Lampiran 1). Fulan Telo
Gawa mempunyai warna beras putih, sedangkan Fulan Telo Mihat mempunyai
warna beras merah. Kedua varietas lokal ini mempunyai karakter antara lain umur
agak genjah, malai panjang dan pengisian gabah yang baik, sedangkan Fatmawati
dan BP360E-MR-79-2 adalah varietas dan galur harapan padi sawah tipe baru
yang mempunyai karakter antara lain tanaman tegak, batang kekar dan malai
lebat, tetapi pengisian gabah kurang baik. Evaluasi karakter agronomi terhadap
turunan F1 hasil kultur antera persilangan padi gogo lokal dengan padi tipe baru
menunjukkan bahwa genotipe F1 persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan
resiproknya menghasilkan galur-galur dihaploid dengan keragaan paling baik.
Teknik Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman
Tanaman haploid merupakan tanaman yang mengandung jumlah
kromosom sama dengan kromosom gametnya atau tanaman dengan jumlah
kromosom setengah dari jumlah kromosom somatiknya. Teknik kultur antera
merupakan metode paling sederhana untuk induksi tanaman haploid. Tanaman
haploid umumnya lebih kecil dibandingkan dengan diploid, anakan banyak,
9
berbunga, tetapi tidak berbiji (steril). Tanaman dihaploid dapat diperoleh dengan
pemangkasan atau pemberian kolkisin. Tanaman dihaploid mempunyai morfologi
seperti diploid biasa dan fertil (Dewi dan Purwoko 2011). Prosedur produksi
tanaman haploid terdiri atas persiapan eksplan, sterilisasi eksplan, kultur in vitro
antera (meliputi tahap inokulasi/penanaman eksplan dan regenerasi tanaman dari
kalus), aklimatisasi, pengamatan tahap perkembangan mikrospora, pengamatan
kromosom pada akar, dan penggandaan kromosom (Dewi dan Purwoko 2011).
Secara konvensional, untuk menghasilkan suatu varietas unggul dengan
sifat-sifat yang diinginkan perlu ditempuh prosedur penelitian yang sistematik,
mulai dari pemilihan tetua, persilangan, seleksi galur, pengujian daya hasil dan
perbanyakan benih, diakhiri dengan pelepasan varietas unggul, sehingga
memerlukan waktu 7-10 tahun (Dewi dan Purwoko 2001). Tanaman homozigos
atau galur murni dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan seleksi per generasi
(6-8 generasi) dan membutuhkan waktu lama. Teknologi dihaploid dapat
menghasilkan tanaman homozigos pada generasi pertama, sehingga akan
mempersingkat siklus pemuliaan, memproduksi galur homozigos diploid melalui
penggandaan kromosom, dan isolasi sifat resesif penting pada tingkat sporofitik,
yang tidak terekspresi pada populasi heterozigos diploid. Tanaman dihaploid yang
dihasilkan melalui kultur antera bersifat homozigos penuh dan breed true yang
sangat diperlukan dalam pemuliaan tanaman. Tanaman haploid juga dapat
digunakan untuk mendeteksi mutasi dan rekombinan yang unik. Mutasi resesif
tidak muncul dalam keadaan heterozigos diploid (Shivanna dan Sawhney, 1997).
Pembentukan galur murni (galur dihaploid) melalui teknik kultur antera
memerlukan waktu kurang lebih 30 bulan (Sasmita 2007).
Hambatan yang terjadi dalam produksi tanaman haploid antara lain pada
perubahan dari kalus dan embrio ke planlet. Regenerasi yang telah dilaporkan
sebagian besar melalui fase kalus, yang akan meningkatkan kemungkinan variasi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi regenerasi planlet dari kalus atau embrio
yaitu tahap perkembangan mikrospora, adanya pra-perlakuan dalam induksi, dan
komposisi nutrisi pada media yang digunakan (Guzman dan Arias 2000).
10
Daya Adaptasi, Uji Daya Hasil dan Uji Multilokasi
Interaksi antara genotipe dan lingkungan dapat digunakan untuk mengukur
daya adaptasi dan stabilitas suatu genotipe. Interaksi genotipe dengan lingkungan
dapat dikelompokkan menjadi interaksi genotipe x lokasi, interaksi genotipe x
musim, dan interaksi genotipe x lokasi x musim. Pentingnya interaksi genotipe x
lingkungan dalam pemuliaan antara lain untuk mengembangkan kultivar spesifik
wilayah, alokasi sumberdaya yang efektif dalam pengujian genotipe dalam musim
dan lokasi, dan stabilitas penampilan hasil (Baihaki 2000). Adaptabilitas dan
stabilitas adalah kemampuan tanaman untuk tetap hidup dan berkembangbiak
dalam lingkungan yang bervariasi (Djaelani et al. 2001).
Salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan daya adaptasi
atau stabilitas suatu genotipe adalah nilai koefisien regresi dan simpangan regresi.
Genotipe yang mempunyai stabilitas tinggi akan mempunyai koefisien regresi 1,0
dan simpangan koefisien regresi sama dengan nol. Genotipe yang mempunyai
koefisien regresi lebih dari 1,0 akan beradaptasi baik pada lingkungan yang subur,
sedangkan genotipe yang mempunyai koefisien regresi kurang dari 1,0 akan
beradaptasi baik pada lingkungan kurang subur (Haryanto et al. 2004).
Hasil dan mutu padi gogo pada lingkungan tumbuh berbeda dipelajari oleh
Wahyuni et al. (2006) yang menunjukkan bahwa hasil benih dari pertanaman di
lahan sawah pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan dengan di lahan
kering pada musim hujan. Saraswati et al. (2006) mempelajari interaksi genotipe
x lingkungan jagung hibrida di 10 lokasi yang berbeda di Pulau Jawa. Analisis
gabungannya memperlihatkan adanya interaksi genotipe x lingkungan untuk
semua karakter yang diamati. Informasi daya adaptasi, stabilitas, dan interaksi
genotipe x lingkungan bermanfaat dalam menentukan pemilihan galur unggul
sebagai kultivar stabil atau kultivar spesifik lokasi.
Uji Daya Hasil terdiri atas Uji Daya Hasil Pendahuluan dan Uji Daya
Hasil Lanjutan. Kedua bentuk pengujian tersebut bertujuan untuk menilai
pengaruh faktor lingkungan yang tidak dapat dikendalikan pada respon tanaman.
Pada Uji Daya Hasil Pendahuluan biasanya jumlah galur yang dimiliki masih
banyak, tetapi dengan jumlah benih yang terbatas sehingga dilakukan pengujian
pada satu lokasi dan satu musim. Penanaman di lapangan hanya berupa petak
11
tunggal atau hanya beberapa baris (± 5) sepanjang 3-4 m dengan 1 biji/lubang.
Pada Uji Daya Hasil Lanjutan biasanya jumlah galur sudah berkurang dengan
jumlah benih yang lebih banyak dibandingkan dengan yang ada pada Uji Daya
Hasil Pendahuluan, sehingga pengujian dapat dilakukan pada beberapa lokasi,
satu musim atau beberapa musim, satu lokasi. Tahap selanjutnya yaitu Uji
Multilokasi, di mana pelaksanaannya harus mengikuti prosedur pelepasan varietas
tanaman yaitu jumlah lokasi pengujian, jumlah musim, jumlah ulangan, jumlah
genotipe dan jumlah varietas pembanding (Syukur et al. 2009).
Kementerian Pertanian menetapkan syarat pengujian multilokasi untuk
pelepasan varietas padi gogo melalui Peraturan Menteri Pertanian
Nomor
61/Permentan/OT.140/10/2011 tanggal 5 Oktober 2011 tentang Pengujian,
Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas. Peraturan yang baru ini
mensyaratkan pengujian multilokasi untuk pelepasan varietas padi gogo yaitu di 8
lokasi dalam satu tahun/musim atau 4 lokasi dalam dua tahun/musim. Peraturan
ini menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Pertanian Nomor
37/Permentan/OT.140/8/2006
juncto
Peraturan Menteri Pertanian
Nomor
65/Permentan/OT.140/12/2008 yang mensyaratkan pengujian multilokasi untuk
padi gogo di 16 lokasi dalam satu tahun/musim atau 8 lokasi dalam dua
tahun/musim.
Analisis Stabilitas
Stabilitas merupakan kemampuan tanaman untuk mempertahankan daya
hasil terhadap perubahan kondisi lingkungan (Baihaki 2000). Lin et al. (1986)
membagi konsep stabilitas ke dalam tiga tipe. Stabilitas tipe 1 yaitu suatu genotipe
dianggap stabil bila keragaman di antara lingkungannya kecil. Genotipe stabil
memiliki penampilan yang relatif tidak berubah dengan kondisi lingkungan yang
bervariasi. Menurut Becker dan Leon (1988) stabilitas tipe 1 disebut stabilitas
statis atau biologis. Konsep stabilitas ini berguna untuk karakter-karakter
kualitatif, ketahanan penyakit atau cekaman lingkungan. Stabilitas tipe 1 ini
digunakan oleh Francis dan Kannenberg (1978) dengan menggunakan parameter
koefisien keragaman (KK) untuk masing-masing genotipe sebagai parameter
stabilitas dan keragaman genotipe terhadap lingkungan (Si2).
12
Stabilitas tipe 2 yaitu suatu genotipe dianggap stabil jika respon terhadap
lingkungan paralel dengan rata-rata respon dari semua genotipe yang diuji.
Genotipe yang stabil tidak menyimpang dari respon umum terhadap lingkungan.
Stabilitas ini didasarkan pada set genotipe yang diuji, sehingga suatu genotipe
ditentukan stabil di antara satu set genotipe, mungkin menjadi tidak stabil jika
dianalisis di set genotipe yang lain. Becker dan Leon (1988) menyatakan stabilitas
tipe 2 ini sebagai stabilitas dinamis atau agronomis. Finlay dan Wilkinson (1963)
menggunakan koefisien regresi (bi), dan Shukla (1972) menggunakan keragaman
stabilitas (ζ2) untuk menghitung stabilitas tipe 2 ini.
Stabilitas tipe 3 yaitu suatu genotipe dikatakan stabil jika kuadrat tengah
sisa dari model regresi pada indeks lingkungannya kecil. Indeks lingkungan
adalah rata-rata hasil semua genotipe pada masing-masing lokasi dikurangi rataan
total dari semua genotipe di semua lokasi. Stabilitas tipe 3 ini juga merupakan
bagian dari stabilitas dinamis atau agronomis menurut Becker dan Leon (1988).
Metode yang menjelaskan stabilitas tipe 3 ini adalah metode Eberhart dan Russell
(1966), Perkins dan Jinks (1968) dan Tai (1971). (Lin et al. 1986). Becker dan
Leon (1988) menyatakan bahwa semua prosedur stabilitas yang berdasarkan
kuantitatif pengaruh interaksi genotipe x lingkungan termasuk ke dalam konsep
stabilitas dinamis.
Kemampuan adaptasi genotipe tanaman dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu genotipe yang beradaptasi luas dan genotipe yang beradaptasi spesifik.
Suatu genotipe dianggap memiliki adaptasi luas apabila genotipe tersebut mampu
tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang baik pula dalam kisaran
lingkungan tumbuh spasial yang luas. Genotipe dikatakan beradaptasi spesifik
apabila genotipe tersebut mampu tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang
baik pula pada lingkungan tumbuh yang tertentu saja (spesifik) dengan fluktuasi
musim pada lingkungan tumbuh yang spesifik tersebut (Baihaki dan Wicaksana
2005).
Terdapat tiga model pendugaan stabilitas yaitu analisis ragam, analisis
regresi, dan teknik multivariat. Pada analisis ragam, penetapan stabilitas suatu
genotipe dilakukan dengan membandingkan genotipe yang diuji dengan kultivar
13
kontrol, dan melihat nilai kuadrat tengah interaksi. Beberapa metode pengukuran
stabilitas menggunakan analisis ragam yaitu:
1. Analisis Stabilitas menurut Francis dan Kannenberg (1978)
Ragam lingkungan (𝑆𝑖2 ) dan koefisien ragam (CVi) digunakan untuk
menentukan kestabilan suatu genotipe.
𝑆𝑖2
CVi =
π‘Œπ‘–π‘œ
x 100%
Di mana:
CVi = Koefisien keragaman genotipe
𝑆𝑖2 = Kuadrat tengah dalam genotipe
π‘Œπ‘–π‘œ = Nilai rata-rata genotipe ke-i pada seluruh lingkungan ke-q
Berdasarkan pengukuran tersebut, semakin kecil nilai koefisien keragaman
genotipenya, semakin stabil genotipe tersebut.
2. Analisis Stabilitas Wricke Ekovalens (Wi2)
Wi2 =
𝑗
π‘Œπ‘–π‘— − π‘Œπ‘–0 − π‘Œ0𝑗 + π‘Œ ²
Di mana:
Wi2 = Wricke ekovalens
π‘Œπ‘–π‘— = Rata-rata nilai pengamatan pada genotipe ke-i dan lingkungan ke-j
π‘Œπ‘–0 = Nilai rata-rata genotipe ke-i pada seluruh lingkungan ke-q
π‘Œ0𝑗 = Nilai rata-rata pengamatan lingkungan ke-j untuk seluruh genotipe
π‘Œ = Nilai rata-rata total seluruh pengamatan
𝑗
π‘Šπ‘–2 = SS(GE) = Jumlah kuadrat interaksi genotipe x lingkungan
Ukuran perbedaan kestabilan merupakan nilai konsistensi dari suatu
genotipe pada semua lingkungan. Genotipe yang memiliki nilai ekovalens
(Wi2 ) terkecil merupakan genotipe yang paling stabil.
3. Analisis Stabilitas Shukla (1972)
Analisis ini merupakan sebuah estimasi varians genotipe i untuk seluruh
lingkungan dengan dasar perhitungan residu pada interaksi G x E.
14
πœŽπ‘–2 =
𝑖
𝑝
𝑝−2)(π‘ž−1
𝑆𝑆(𝐺𝐸)
−
π‘Šπ‘–2 = SS(GE) = Wi2 =
𝑝−1) 𝑝−2 (π‘ž−1
𝑗
π‘Œπ‘–π‘— − π‘Œπ‘–0 − π‘Œ0𝑗 + π‘Œ ²
Di mana:
p = banyaknya genotipe
q = banyaknya ulangan
Genotipe stabil adalah genotipe yang memiliki nilai paling minimum untuk πœŽπ‘–2
atau
2
𝑖 π‘Šπ‘–
Beberapa analisis stabilitas dengan penggunaan regresi yaitu analisis
stabilitas menurut Finlay dan Wilkinson (1963), Eberhart dan Russel (1966), serta
Perkins dan Jinks (1968).
1. Analisis stabilitas menurut Finlay dan Wilkinson (1963)
Pada analisis stabilitas Finlay dan Wilkinson digunakan regresi antara
varietas dengan rataan varietas di setiap lingkungan dalam skala log. Rata-rata
hasil semua varietas pada tiap lingkungan digunakan sebagai absis, dan hasil
tiap varietas pada tiap lingkungan digunakan sebagai ordinat.
Spesifik beradaptasi
pada lingkungan baik
1.0
kurang
beradaptasi
stabilitas
rata-rata
beradaptasi baik
pada semua lingkungan
Spesifik beradaptasi
pada lingkungan kurang baik
Rerata hasil
Gambar 1 Interpretasi umum tentang nilai bi dari pola populasi genotipe ketika
koefisien regresi genotipe diplot terhadap nilai rata-rata hasil
genotipe (Finlay dan Wilkinson 1963)
Suatu genotipe yang memiliki koefisien regresi bi yang lebih besar dari
satu dan signifikan menunjukkan bahwa genotipe tersebut peka terhadap
perubahan lingkungan, sehingga beradaptasi baik pada lingkungan yang subur,
sedangkan genotipe dengan nilai bi yang lebih kecil dari satu tidak sensitif
15
terhadap perubahan lingkungan, karena itu beradaptasi pada lingkungan
kurang subur. Genotipe dengan nilai bi = 1 dianggap stabil dan mampu
beradaptasi pada lingkungan yang luas (Baihaki 2000).
2. Analisis stabilitas menurut Eberhart dan Russel (1966)
Model regresi yang digunakan dalam analisis stabilitas Eberhart dan
Russel adalah:
Yij = m + βiIj + δij
Di mana:
Yij = Hasil/ komponen hasil rataan dari genotipe ke-i di lingkungan ke-j
m = Rataan umum untuk hasil/komponen hasil genotipe ke-i dari semua
lingkungan
βi = Koefisien regresi, mengukur respon genotipe ke-i pada lingkungan
yang berbeda
Ij = Indeks lingkungan yaitu rata-rata semua varietas pada lingkungan ke-j
dikurangi rata-rata seluruh percobaan
𝑖 π‘Œπ‘–π‘—
Ij =
𝑔
𝑖
−
𝑗
π‘Œπ‘–π‘—
𝑔𝑙
δij = Simpangan regresi dari genotipe ke-i pada lingkungan ke-j
Parameter stabilitasnya:
𝑗
1. Koefisien regresi (bi); bi =
2. Simpangan dari regresi
Di mana
𝑆𝑒2
π‘Ÿ
π‘Œπ‘–π‘— 𝐼𝑗
2
𝑗 𝐼𝑗
(𝑆𝑑2 );
𝑆𝑑2
=
2
𝑗 𝛿 𝑖𝑗
𝑙−2
−
𝑆𝑒2
π‘Ÿ
= dugaan galat gabungan
𝛿𝑖𝑗2
𝑗
π‘Œπ‘–π‘—2
=
𝑗
π‘Œπ‘–2
−
−
𝑔
(
𝑗 π‘Œπ‘–π‘— 𝐼𝑗 )
2
𝑗 𝐼𝑗
2
Pengukuran stabilitas ini didasarkan kepada simpangan regresi (𝑆𝑑2 ) nilai ratarata genotipe pada indeks lokasi (lingkungan). Suatu genotipe dikatakan stabil
apabila kuadrat tengah sisa dari garis regresi adalah kecil.
16
3. Analisis stabilitas menurut Perkins dan Jinks (1968)
Model analisis stabilitas Perkins-Jinks adalah:
Yij = m + di + ei + gij + eij
Di mana:
m = Rataan umum untuk semua lingkungan dan galur
di = Pengaruh aditif genetik dari galur ke-i
ej = Pengaruh aditif lingkungan ke-j
gij = Pengaruh interaksi genotipe-lingkungan dari galur ke-i dan lingkungan
ke-j
eij = Galat percobaan
Model regresi yang digunakan adalah (di + gij) = m + biej + dij. Galur dikatakan
stabil apabila b=0.
Dalam teknik multivariat salah satu metode yang dapat digunakan untuk
menganalisis stabilitas adalah Additive Main Effect Multiplicative Interaction
(AMMI). Analisis ini menggabungkan pengaruh aditif pada analisis ragam dan
pengaruh multiplikatif pada analisis komponen utama. Asumsi yang harus
dipenuhi antara lain galat harus menyebar normal dan ragam homogen. Pengujian
homogenitas ragam galat dilakukan melalui uji Bartlett. AMMI sangat efektif
menjelaskan interaksi genotipe dengan lingkungan. Penguraian interaksi
dilakukan dengan model bilinear, sehingga kesesuaian tempat tumbuh bagi
genotipe dapat dipetakan. Selain itu biplot yang digunakan memperjelas pemetaan
genotipe dan lingkungan secara simultan (Sumertajaya 2007).
Tahap-tahap penyusunan dalam analisis AMMI adalah sebagai berikut:
1. Melihat pengaruh aditif galur dan lokasi melalui analisis ragam
Analisis ragam menggunakan rancangan lingkungan kelompok lengkap dan
rancangan faktorial dua faktor (faktor pertama adalah genotipe dan faktor
kedua adalah lingkungan). Asumsi-asumsi yang mendasari analisis ragam
adalah galat percobaan menyebar saling bebas mengikuti sebaran normal
dengan ragam homogen.
2. Menyusun matriks pengaruh interaksi galur dan lokasi, kemudian melakukan
penguraian bilinier terhadap matriks tersebut melalui analisis komponen
utama. Model AMMI dapat dituliskan sebagai berikut:
17
Yger = µ + g + βe +
πœ†π‘— πœ‘π‘”π‘— πœŒπ‘’π‘— + 𝛿𝑔𝑒 + εger
Di mana :
Yger = nilai pengamatan pada genotipe ke -g, lingkungan ke-e dan kelompok
ke-r
µ
= rataan umum
g = pengaruh aditif dari pengaruh utama genotipe ke-g
βe = pengaruh aditif dari pengaruh utama lingkungan ke-e
πœ†π‘— = nilai singular untuk komponen bilinier ke-n
πœ‘π‘”π‘— = pengaruh ganda genotipe ke-g melalui komponen bilinier ke-n
πœŒπ‘’π‘— = pengaruh ganda lokasi ke-e melalui komponen bilinier ke-n
𝛿𝑔𝑒 = simpangan dari pemodelan linier
εger = pengaruh acak pada genotipe ke-g, lokasi ke-e dan kelompok ke-r
Tiga manfaat utama penggunaan analisis AMMI yaitu: (1) Analisis AMMI
dapat digunakan sebagai analisis pendahuluan untuk mencari model yang lebih
tepat; (2) Analisis AMMI dengan biplotnya dapat menjelaskan pola hubungan
antar genotipe, antar lingkungan, dan antara genotipe x lingkungan; dan (3)
Analisis AMMI meningkatkan keakuratan dugaan respon interaksi genotipe x
lingkungan (Sumertajaya 2007).
Alat yang digunakan untuk menginterpretasi hasil metode AMMI adalah
biplot AMMI. Pada dasarnya metode ini berupaya untuk memberikan peragaan
grafik terhadap suatu matriks dalam suatu plot dengan menumpangtindihkan
vektor-vektor dalam ruang berdimensi dua. Vektor-vektor yang dimaksud yaitu
vektor yang mewakili nilai skor komponen lingkungan dan skor komponen
genotipe. Biplot AMMI2 adalah plot antara skor komponen utama interaksi
terbesar pertama (KUI1) dengan skor komponen utama interaksi terbesar kedua
(KUI2) dari hasil penguraian singular (SVD) matriks interaksi (I). Biplot AMMI2
menggambarkan pengaruh interaksi antara genotipe dan lingkungan. Titik-titik
amatan yang mempunyai arah yang sama berarti titik-titik amatan tersebut
berinteraksi positif (saling menunjang), sedangkan titik-titik yang berbeda arah
menunjukkan bahwa titik-titik tersebut berinteraksi negatif (Sa’diyah dan Mattjik
2011).
Download