LAPORAN HASIL PENELITIAN BAHASA INDONESIA: KAJIAN BENTUK YANG BENAR DAN LAZIM DALAM PEMAKAIANNYA Oleh I Wayan Teguh FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 1 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Mahakuasa berkat rahmat-Nya laporan hasil penelitian berjudul “Bahasa Indonesia: Kajian Bentuk yang Benar dan yang Lazim dalam Pemakaiannya” ini dapat diselesaikan. Dalam penyusunan laporan hasil penelitian ini terdapat banyak masukan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan masukan dan saran demi terwujudnya karya ilmiah ini. Laporan hasil penelitian ini tentu tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena itu, saransaran perbaikan demi kesempurnaannya, penulis terima dengan kerendahan hati. Semoga laporan hasil penelitian ini bermanfaat. Denpasar, Desember 2015 Penulis 2 BAHASA INDONESIA: KAJIAN BENTUK YANG BENAR DAN LAZIM DALAM PEMAKAIANNYA 1. Pendahuluan Ketika “Gerakan Disiplin Nasional” dicanangkan pada acara peringatan hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1995 Presiden Soeharto mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ajakan yang melibatkan seluruh warga bangsa itu cukup arif dan wajar karena bahasa Indonesia dituturkan oleh bangsa Indonesia sehingga upaya pembinaan dan pengembangannya merupakan tanggung jawab bangsa Indonesia juga. Hal itu berarti bahwa semua warga negara Indonesia mempunyai tanggung jawab moral terhadap upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam hubungannya dengan pembinaan bahasa Indonesia adalah dilaksanakannya penghapusan tiga buta/tuna dalam kehidupan bangsa Indonesia. Satu di antara penghapusan tiga buta/tuna yang dimaksud adalah “buta/tuna bahasa Indonesia”. Kegiatan ini tentu saja mempunyai dampak yang positif terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Pada prinsipnya upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dilakukan melalui berbagai jalur. Upaya itu ditempuh mengingat pembinaan bahasa berarti pembinaan pikiran, gagal berbahasa juga berarti gagal berpikir (Widyamartaya, 1990:4). Jalur pembinaan yang ditempuh, misalnya melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah (semua jenis dan jenjang pendidikan). Pembinaan bahasa Indonesia juga diadakan di media massa, baik media massa cetak (surat kabar) maupun media massa elektronik (televisi). Di samping itu, juga ada pembinaan dalam bentuk lain, seperti penataran-penataran, ceramah-cermah, dan kursus3 kursus. Semua upaya yang dilakukan itu dimaksudkan untuk mempercepat proses pemasyarakatan pemakaian bahasa Indonesia, terutama bahasa Indonesia yang benar dan baik. Sesungguhnya pemakaian bahasa Indonesia yang benar dan baik sudah lama didengungdengungkan oleh pemerintah melalui Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta. Bahkan, hampir setiap kesempatan dimanfaatkan oleh pemerintah untuk keperluan pemasyakatan konsep itu, lebih-lebih sejak dicanangkannya Bulan Bahasa (1980) yang kemudian dinamakan Bulan Bahasa dan Sastra. Sejak Bulan Bahasa (1980) itulah upaya pemasyarakatan konsep bahasa Indonesia yang benar dan baik lebih terarah dalam kegiatan perayaan Bulan Bahasa yang diselenggarakan setiap tahun, yaitu bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda (bulan Oktober). Hingga saat ini kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra sudah berlangsung lebih dari tiga puluh kali. Akan tetapi, ternyata hasil yang dicapai dalam upaya pemasyarakatan pemakaian bahasa Indonesia yang benar dan baik belum memuaskan. Belum memuaskannya hasil pemasyarakatan konsep bahasa Indonesia yang benar dan baik itu cenderung disebabkan oleh faktor kelaziman. Faktor kaidah sebagai penentu bahasa yang benar dan situasi sebagai faktor yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa yang baik tidak diperhatikan akibat keterbiasaan menggunakan bentuk atau struktur yang lazim. Sehubungan dengan hal itu, berikut dibicarakan secara ringkas konstruksi yang benar dan lazim dalam pemakaian bahasa Indonesia. Pembicaraan ini pun hanya meliputi beberapa hal yang frekuensi pemakaiannya cukup mencolok. 2. Bahasa Indonesia: Kajaian Bentuk yang Benar dan Lazim dalam Pemakaiannya Tujuan berbahasa tidak hanya sekadar terkomunikasikannya ide atau gagasan yang hendak disampaikan kepada pihak lain. Hal itu berarti bahwa bahasa juga bersistem dan 4 sebagai alat berpikir di samping sebagai alat komunikasi. Pemakaian bahasa secara tertib merupakan pencerminan cara berpikir yang tertib dan pada gilirannya akan menjadi landasan yang kuat untuk bertindak yang tertib pula (Tim Koordinasi, 1996:v). Oleh karena itu, berbahasa juga bertujuan menerapkan kaidah yang berlaku sehingga terwujud pemakaian bahasa yang berkaidah atau bahasa yang benar, termasuk dalam pemakaian bahasa Indonesia. Untuk mencapai tujuan itu, sejumlah kaidah atau norma bahasa perlu dipahami, dihayati, dan diterapkan dalam pemakaiannya. Hal itu berarti bahwa di dalam pemakaian bahasa Indonesia yang benar perlu diterapkan kaidah, aturan, atau norma yang dimiliki di samping harus diperhatikan pula situasinya. Pemakaian bahasa Indonesia yang benar harus memperhatikan kosakata dan tata bahasa. Kedua aspek tersebut selalu dipentingkan pada saat berbahasa, baik pada saat berbahasa lisan maupun tulis. Di samping kedua hal itu ada aspek lain yang perlu dicermati, yaitu lafal dan ejaan. Akan tetapi, aspek lafal memegang peranan sangat penting dalam bahasa lisan, sedangkan ejaan diperlukan pada bahasa tulis. Dengan demikian, sesungguhnya ada empat hal penting yang perlu dicermati pada saat berbahasa. Keempat hal penting yang dimaksud adalah lafal, ejaan, kosakata, dan tata bahasa. Struktur suatu bahasa umumnya dibedakan atas struktur di dalam tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis.Berbicara tentang struktur suatu bahasa berarti membicarakan hubungan antarunsur yang terdapat dalam bahasa itu. Hubungan yang dimaksud dapat berwujud hubungan bunyi dengan bunyi (tataran fonologi), hubungan morfem dengan morfem (tataran morfologi), hubungan kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau klausa dengan klausa (tataran sintaksis). Ketiga tataran tersebut dibicarakan secara ringkas satu 5 per satu sehubungan dengan adanya fenomena konstruksi yang benar dan yang lazim dalam pemakaian bahasa Indonesia. 2.1 Pelafalan Hal yang dibicarakan dalam tataran fonologi di sini adalah lafal, yakni ketepatan pengucapan nama huruf yang digunakan. Ketepatan pengucapan nama huruf yang dimaksud, yaitu apabila ditemukan bentuk yang tertulis dengan huruf /g/, misalnya, harus diucapkan atau dilafalkan sesuai dengan namanya /ge/. Dengan demikian, kata dialog, logaritma, biologi, dan logis tidak dilafalkan dialoh,loharitma, biolohi, dan lohis. Ketepatan pelafalan itu perlu diperhatikan karena kesalahan atau ketidaktepatan pelafalan dapat memengaruhi perubahan makna, terutama apabila kesalahan tiu sampai pada taraf perubahan fonem yang cenderung terjadi pada pelafalan kata yang berhomograf. Misalnya, kata teras akan sulit dilafalkan secara mandiri karena pelafalan yang tepat ditentukan oleh konteks yang melingkupinya. Perbedaan pelafalan kata teras itu mengarah kepada perbedaan fonemik. Oleh karena tiu, diperlukan kecermatan penutur atau pemakai bahasa memilih alternatif nama yang tepat atas huruf yang digunakan. Pelafalan kata teras itu jelas pada konteks berikut. (1) Sejak tadi Cintya duduk di teras (dilafalkan teras atau bagian rumah). (2) Upacara pamarisuda karipubaya di Legian, Kuta itu dihadiri pejabat teras (dilafalkan teras atau pejabat tinggi). Kesalahan atau ketidaktepatan pelafalan lain di samping yang sampai pada taraf perubahan fonem dan perbedaan makna adalah pelafalan alofonis. Pada taraf alofonis perbedaan pelafalan hanya sebagai varian tertentu atas kata yang berangkutan 6 sehingga tidak menimbulkan perbedaan makna. Akan tetapi, apa pun jenis kesalahan pelafalan itu sebaiknya dihindari pemakaiannya. Sehubungan dengan hal itu, berikut dicantumkan sejumlah kata yang lazim dan yang benar pelafalannya dalam pemakaian bahasa Indonesia. TERTULIS abc, Ahad YANG LAZIM abese; Ahat PELAFALAN YANG BENAR abece; Ahad BCA Be Se A Be Ce A antropologi antropolohi antropologi apotek; atlet apotit; atlit apotek; atlet arkeologi arkelohi arkeologi definisi; fonem difinisi definisi emblem; fragmen emblim; frahmen emblem; fragmen filologi filolohi filologi geologi geolohi geologi organisasi orhanisasi organisasi 2.2 Kata Bersaing Cakupan tataran morfologi yang dibicarakan pada kesempatan ini adalah pemakaian kata dan istilah. Kedua hal itu perlu dicermati dalam pemakaian bahasa Indonesia yang benar karena ada aturan, norma, atau kaidah yang harus ditaati. Ketidaktepatan terhadap aturan atau norma yang dimaksudkan akan menghasilkan pemakaian bahasa yang tidak benar. Masalah kebahasaan di Indonesia menyangkut tiga kelompok bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Bahasa-bahasa tersebut berpadu dalam 7 pemakaiannya di Indonesia (Halim, 1980:15; Alwi, 1995:6). Adanya perpaduan ketiga bahasa itu menyebabkan terjadinya tuturan yang heterogen, baik dalam pemakaian kata maupun istilah. Ketidakhomogenan atau keheterogenan tuturan yang terjadi cenderung disebabkan oleh tipe aglutinasi bahasa Indonesia, yang antara lain bersifat reseptif. Sifat yang reseptif itulah yang memberikan peluang masuknya unsur bahasa lain, baik bahasa daerah maupun bahasa asing, ke dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa asing dalam berbagai bidang kehidupan di Indonesia apabila dibiarkan tidak terkendali, cenderung akan semakin meningkat dan meluas. Masuknya unsur-unsur bahasa lain itu memang menguntungkan dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Dewasa ini di dalam tuturan bahasa Indonesia tampak digunakan kata dan istilah yang tidak bersumber dari satu asal. Kata dan sitilah yang dipakai dalam bahasa Indonesia itu ada yang berasal dari bahasa daerah, bahasa asing, dan bahasa Indonesia. Sumber utamanya adalah bahasa Indonesia sendiri. Akan tetapi, apabila di dalam bahasa Indonesia tidak ada kata atau istilah yang dimaksud, dapat diambil dari bahasa serumpun, yaitu bahasa daerah dan terakhir diupayakan dari bahasa asing. Sehubungan dengan itu, bahasa asing dan bahasa daerah perlu dimanfaatkan dengan sebaik-sebaiknya untuk keperluan pemantapan bahasa Indonesia. Tujuannya adalah agar bahasa Indonesia benar-benar dapat digunakan sebagai sarana atau wahana komunikasi yang efektif dan efisien. Sementara itu, bahasa Indonesia yang baik dan benar perlu secara terus-menerus ditingkatkan mutu pemakaiannya. Dalam upaya mempermantap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, pemerintah telah menetapkan Politik Bahasa Nasional yang merupakan aturan yang tegas. Dengan adanya hal itu terjadi kemunginan bahwa bahasa Indonesia yang digunakan hanya 8 mengarah kepada kepentingan bahasa yang baik. Hal itu berarti bahwa bahasa Indonesia yang benar akan semakin jauh dari harapan. Salah satu aturan yang erat kaitannya dengan pemakaian kata dan istilah itu adalah sistem prioritas penerimaan atau pemasukan kata dan istilah. Ada tiga prioritas yang perlu diperhatikan dalam pemasukan kata dan istilah ke dalam bahasa Indonesia. Ketiga prioritas yang dimaksud adalah (a) menggali bahasa Indonesia, (b) menggali bahasa serumpun atau bahasa daerah, dan (c) menyerap bahasa asing (Alwi,1995:6). Istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan suatu makns konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu (Pedoman Umum Pembentukan Istilah, 1994:5). Sejumlah contoh istilah adalah abortus, buku besar, diagonal, embrio, fonem, irigasi, linguistik, matriks, moneter, pengacara, plankton, radiologi, dan vonis. Di pihak lain kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa atau satuan bahasa terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk bebas dan dapat berdiri sendiri (Depdikbud, 1995:451). Beberapa contoh kata ialah bermain, diambil, gemetar, makanan, mandi, menyapu, pemalu, pukul, dan tarikmenarik. Contoh di atas menunjukkan bahwa istilah sebenarnya kata juga, tetapi dipakai dalam bidang atau lapangan kehidupan terbatas, bersifat teknis, bermakna pasti, dan cenderung tidak dipengaruhi oleh konteks kalimat. Sebaliknya, kata dipakai dalam berbagi bidang kehidupan dan maknanya tidak pasti karena sering begantung kepada konteks kalimat. 9 Pembicaraan ini menitikberatkan pada pemakaian kata bersaing dalam bahasa Indonesia. Kata bersaing muncul karena dalam bahasa Indonesia ditemukan sejumlah kata yang bentuknya mirip, maknanya sama, dan distribusinya juga sama. Apabila tidak diperhatikan secara cermat, kata bersaing seolah-olah sama dengan kata bersinonim. Akan tetapi, baik kata bersinonim maupun kata bersaing mempunyai kekhasan masingmasing. Kata bersinonim adalah kata yang bentuknya berbeda, maknanya mirip, dan distribusinya kadang-kadang sama, kadang –kadang berbeda seperti tampak berikut ini. KATA BERSAING KATA BERSINONIM apotek, apotik asli, tulen, murni konkret, konkrit besar, raya, agung penasihat, penasehat buku, kitab personalia, personil bundar, bulat penerjemah, penterjemah kawan, teman, sahabat menyukseskan, mensukseskan pokok, baku Berikut dicantumkan sejumlah kata bersaing lain yang ditemukan di dalam pemakaian bahasa Indonesia. Kata-kata tersebut menyulitkan pemakai bahasa Indonsia menggunakannya, khususnya dalam bahasa Indonesia ragam ilmiah. KATA BERSAING YANG BENAR KATA BERSAING YANG LAZIM atlet atlit bersistem bersistim film filem 10 kuitansi kwitansi lazim lajim manajemen managemen menerapkan menterapkan metode metoda perubahan perobahan rasional rasionil terampil trampil tim team Semua pasangan kata tersebut dapat saling menggantikan. Akan teapi, kalau pemakaian bahasa Indonesia yang benar diinginkan, kata yang benar atau kata yang baku yang digunakan, bukan kata yang lazim. Kata bersinonim tidak demikian keberadaannya karena kata-kata itu tidak selalu dapat saling menggantikan dalam semua konteks pemakaian. Contoh: (3) … jaksa agung. Kata agung dalam konstruksi ini tidak mungkin digantikan dengan kata raya sehingga menjadi jaksa raya walaupun kata agng dan raya merupakan kata yang bersinonim. (4) … pelajaran tata buku. Konstruksi ini pun tidak mungkin dapat digantikan dengan tata kitab meskipun kedua kata itu—buku dan kitab—bersinonim. 11 2.3 Pola Pemasifan Upaya untuk mengutamakan bagian kalimat pada hakikatnya dapat ditempuh dengan empat cara. Cara-cara yang dimaksud adalah (a) mengubah bentuk kata, (b) mengubah urutan kata, (c) menambah partikel, dan (d) memberikan tekanan keras pada bagian yang diutamakan. Cara lain yang dapat dilakukan dalam kaitan dengan pengutamakan bagian kalimat di samping keempat cara di atas adalah pemasifan. Pemasifan yang benar harus mengikuti pola aspek + pelaku + tindakan. Pola inilah yang harus diterapkan dalam pemakaian bahasa Indonesia yang benar, termasuk dalam karya tulis ilmiah. Contoh: (5) Dana yang terkumpul akan kita ambil segera. (6)Majalah tersebut belum kami terima hingga saat ini. (7) Surat Anda sudah saya baca. Di dalam pemakaian bahasa Indonesia yang lazim ditemukan bukan seperti (5)--(7) di atas, melainkan sebagai berikut. (5a) Dana yang terkumpul kita akan ambil segera. (6a) Majalah tersebut kami belum terima hingga saat ini. (7a) Surat Anda saya sudah baca. Contoh lain yang juga lazim ditemukan dalam pemakaian bahasa Indonesia adalah seperti di bawah ini. (8) Surat kabar Kompas ia sedang baca. (9) Tugas tersebut kami belum laksanakan. 12 Struktur (5a)—(9) yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia ternyata tidak sesuai dengan kaidah atau pola pemasifan yang benar. Semua struktur tersebut berpola pelaku + aspek + tindakan, sedangkan pola yang benar adalah aspek + pelaku + tindakan. Oleh karena itu, yang lazim belum tentu benar dan yang benar belum tentu lazim digunakan. Hal itu terjadi karena sebagian besar penutur bahasa Indonesia sudah terbiasa menggunakan bentuk dan struktur yang lazim tanpa memperhatikan kaidah atau norma yang berlaku. 2.4 Pemakaian Pleonasme Ploenasme bermakna ‘pemakaian kata yang mubazir’. Hal itu berarti bahwa pleonasme sebenarnya termasuk dalam pembicaraan makna kata. Akan tetapi, mengingat pleonasme itu berkaitan erat dengan struktur bahasa, lebih-lebih pembahasan frasa, maka di sini pleonasme dikaitkan dengan keberadaan kalimat. Dengan demikian, pleonasme dibicarakan dalam konteks kalimat. Sejumlah tipe atau model pleonasme ditemukan dalam pemakaian bahasa Indonesia. Apabila diinginkan pemakaian bahasa Indonesia yang benar, penggunaan kata yang mubazir harus dihindari. Maksudnya, hanya salah satu wujudnya yang perlu dipertahankan dalam konteks. Hal yang selalu perlu diingat dalam hubungan dengan pleonasme adalah tidak setiap wujudnya dapat saling menggantikan mengingat memang tidak ada sinonimi mutlak. Sehubungan dengan hal itu, berikut dikemukakan sejumlah model pleonasme yang lazim ditemukan dalam pemakaian bahasa Indonesia, termasuk bahasa Indonesia karya ilmiah. 13 2.4.1 Pleonasme Kata dengan Frasa Pleonasme tipe ini ditemukan dalam sejumlah kalimat. Kata dan frasa yang membentuknya saling berkaitan makna. Berdasarkan keterkaitan maknanya itulah diperlukan adanya pertimbangan dan kecermatan pemakaiannya. Contoh: (10) Akhir-akhir ini nilai investasi di Indonesia terus merosot ke bawah. (11) Akibat ledakan bom itu mereka pasrah dan menengadah ke atas sambil berdoa. (12) Pasukan GAM yang semula bertahan itu akhirnya mundur ke belakang karena terusmenerus didesak oleh pasukan TNI. Apabila diperhatikan secara saksama, ternyata ketiga contoh di atas menunjukkan bentuk yang sejenis. Artinya, dengan menggunakan satu unsur saja sebenarnya telah memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang benar dan tidak mubazir. Berdasarkan konteksnya, cenderung unsur pertama yang lebih tepat digunakan dalam ketiga contoh tersebut. Apabila unsur yang kedua digunakan, makna yang terkandung di dalamnya akan berubah. Dengan demikian, tuturan yang lazim itu akan menjadi benar jika dijadikan seperti berikut. (10a) Akhir-akhir ini nilai investasi di Indonesia terus merosot. (11a) Akibat musibah ledakan bom itu mereka pasrah dan menengadah dambil berdoa. (12a) Pasukan GAM yang semula bertahan itu akhirnya mundur karena terus-menerus didesak oleh pasukan TNI. 14 2.4.2 Pleonasme Partikel dengan Kata Ulang Berimbuhan Pleonasme tipe ini menunjukkan kesejajaran makna antara partikel dan kata ulang yang membentuknya. Pola atau tipe pleonasme ini umumnya dibentuk oleh partikel saling. Contoh: (13) Setiap orang cenderung berusaha saling tolong-menolong dengan sesamanya. Pemakaian konstruksi saling tolong-menolong di dalam kalimat itu mubazir karena saling menyatakan makna ‘berulang-ulang’ dan tolong-menolong mencerminkan makna ‘perbuatan yang tidak hanya dilakukan satu kali’. Dengan demikian, kemubaziran akan hilang jika konteks (13) dijadikan seperti berikut. (13a) Setiap orang cenderung berusaha saling menolong dengan sesamanya. (13b) Setiap orang cenderung berusaha tolong-menolong dengan sesamanya. Bentuk lain yang sejenis dengan pola itu adalah pemakaian pola saling tukarmenukar dan saling bantu-membantu. Kedua bentuk tersebut seharusnya masing-masing diwujudkan menjadi saling menukar atau tukar-menukar dan saling membantu atau bantu-membantu sehingga tidak memunculkan pola yang mubazir. 2.4.3 Pleonasme Kata Depan dengan Kata Ulang Murni Pleonasme tipe ini ditemukan berupa pemakaian kata yang bermakna jamak digabungkan dengan kata ulang yang bermakna jamak juga. Penggabungan kata banyak, para, dan semua dengan kata ulang cenderung menimbulkan kemubaziran. Contoh: (14) Semua provokator-provokator kerusuhan harus ditangkap dan diadili. 15 Pemakaian kata semua yang bergabung dengan kata ulang provokator-provokator pada kalimat (14) di atas menimbulkan kemubaziran. Konstruksi yang benar tampak di bawah ini. (14a) Semua provokator kerusuhan harus ditangkap dan diadili. (14b) Provokator-provokator kerusuhan harus ditangkap dan diadili. Penggunaan kata banyak dan para yang lazim ditemukan dalam bentuk pleonasme, misalnya sebagai berikut. (15) Sebelum krisis ekonomi dan moneter telah banyak daerah-daerah di Indonesia yang berhasil meningkatkan taraf hidup warganya. (16) Para petugas-petugas wajib memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. 2.5 Pemakaian Keposesifan Keposesifan yang tidak sesuai dengan kaidah atau norma bahasa Indonesia, tetapi sangat lazim ditemukan adalah pemakaian kata dari dan daripada. Kedua kata tersebut, baik dari maupun daripada tidak dapat digunakan untuk menyatakan keposesifan di dalam bahasa Indonesia. Kata dari berfungsi menyatakan tempat asal, bahan, serta sama artinya dengan sejak dan sebab, sedangkan kata daripada berfungsi menyatakan perbandingan (Suparni, 1991:96). Akan tetapi, kedua kata tersebut sering digunakan sebagai penanda keposesifan. Contoh: (17) Rumah daripada para korban bencana alam itu akan diperbaikai oleh warga setempat. 16 (18) Joice belum dapat melaksanakan kewajiban sesuai dengan kemauan dari ibunya. Kedua kalimat di atas masing-masing mengandung kata daripada dan dari yang menunjukkan bahwa rumah itu dimiliki oleh para korban bencana alam dan kemauan dimiliki oleh ibu. Hubungan rumah dengan para korban pada (17) dan kemauan dengan ibunya pada (18) sebenarnya telah menyatakan posesif. Adanya kata daripada dan dari justru menyebabkan ketidaktepatan . Jadi, struktur yang benar adalah sebagai berikut. (17a) Rumah para korban bencana alam itu akan diperbaikai oleh warga setempat. (18a) Joice belum dapat melaksanakan kewajiban sesuai dengan kemauan ibunya. 2.6 Upaya yang Dapat Ditempuh Pemakaian bentuk atau struktur yang lazim dalam bahasa Indonesia, terutama bahasa Indonesia yang benar tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Semakin memasyarakatnya pemakaian bentuk dan struktur yang lazim akan semakin menjauhkan keberadaan bahasa Indonesia yang benar. Sehubungan dengan itu, semua warga negara Indonesia mempunyai tanggung jawab moral untuk membina dan mengembangkna bahasa Indonesia. Penghapusan “buta bahasa Indonesia” dalam kehidupan bangsa Indonesia merupakan upaya awal yang dilakukan pemerintah untuk membina dan mengembangkan bahasa nasional bangsa Indonesia. Keberhasilan langkah awal itu akan mempunyai makna dan sekaligus berdampak positif bagi upaya ke arah terwujudnya pemakaian bahasa Indonesia yang benar dan baik. 17 Upaya mendasar yang dapat dilakukan untuk memeperkecil atau sekurangkurangnya membendung keterbiasaan memanfaatkan bentuk atau struktur yang lazim dalam pemakaian bahasa Indonesia yang benar adalah memasyarakatkan konsep bahasa Indonesia yang benar. Artinya, perlu dimasyarakatkan semua kaidah atau norma yang berlaku yang harus ditaati oleh pemakai bahasa Indonesia. Di samping itu, satu hal yang justru lebih penting dilakukan dalam upaya mengubah keterbiasaan itu adalah mempertinggi kesadaran setiap pemakai bahasa Indonesia. Para penutur bahasa Indonesia hendaknya menyadari situsai dan konteks pemakaian bahasa. Dengan upaya ini diharapkan pemakaian bentuk dan struktur yang lazim dapat dikurangi. Hal ini perlu ditempuh karena hanya dengan menyadari kekeliruan atas keterbiasaan menggunakan hal-hal lazim, kelaziman pemakaiannya dapat diperkecil. Hal itu berarti bahwa kaidah atau norma bahasa Indonesia yang benar dan baik semakin mempunyai peluang untuk digunakan sesuai dengan situasinya. Upaya-upaya tersebut sesungguhnya merupakan sebagian kecil dari kegiatan yang telah dilakukan selama ini. Acara pembinaan bahasa Indonesia di layar televisi, media massa cetak, dan melalui jalur pendidikan formal di sekolah-sekolah menunjukkan hasil yang berdampak positif. Di samping itu, kegiatan yang berupa penataran, ceramah, dan penyuluhan juga mempunyai peranan yang cukup penting di dalam upaya pembinaan (dan pengembangan) bahasa Indonesia. Hal lain yang perlu dicermati adalah adanya usaha memperbanyak buku yang berkaitan dengan keberadaan bahasa Indonesia yang benar dan baik mempunyai andil yang cukup besar pula. Upaya itu memugkinkan setiap pembaca yang telah memahami hakikat bahasa Indonesia yang benar dan baik dapat berperan sebagai pembina bahasa Indonesia di ligkungannya masing-masing. Dengan demikian, 18 diharapkan konsep bahasa Indonesia yang benar semakin cepat dipahami oleh pemakainya. 3. Penutup Pemakaian bahasa Indonesia yang benar belum memasyarakat di sebagian penuturnya. Hal itu cenderung disebabkan oleh belum dipahami dan belum dihayatinya konsep tentang kaidah bahasa Indonesia yang benar. Di samping itu, juga disebabkan oleh adanya keterbiasaan penutur menggunakan bentuk dan struktur bahasa Indonesia yang telah lazim di dalam pemakaian walaupun tidak memenuhi tuntutan kaidah yang benar. Bahasa Indonesia yang beanr memang terasa agak asing dibandingkan dengan yang telah lazim digunakan. Oleh karena itu, kelaziman yang tidak benar hanya mungkin diperbaiki apabila disertai dengan adanya kesadaran penutur masing-masing. Upaya tersebut akan lebih berhasil apabila di dalamnya diikutsertakan juga kegiatan memasyarakatkan konsep bahasa Indonesia yang benar secara berkesinambungan. Kaidah bahasa Indonesia yang benar yang ternyata sangat sering kurang diperhatikan di dalam pemakaian adalah kaidah di bidang pelafalan, pemakaian kata bersaing, pola pemasifan, pleonasme, dan bentuk keposesifan. Dalam tuturan bahasa Indonesia lebih lazim dipakai pelafalan dialoh daripada dialog, apotik daripada apotek; lebih lazim digunakan struktur saya sudah baca daripada sudah saya baca, merosot ke bawah daripada merosot; rumah dari para korban daripada rumah para korban. Kenyataan itu menunjukkan bahwa konstruksi yang benar belum tentu lazim di dalam pemakaian, sedangkan konstruksi yang lazim dipakai belum tentu benar atau sesuai dengan kaidah yang berlaku. 19 Pemakaian bentuk dan struktur yang lazim akan dapat diperbaiki secara bertahap apabila konsep bahasa Indonesia yang benar telah dipahami disertai dengan adanya kesadaran untuk menggunakannya. Bahasa Indonesia yang baik dipengaruhi oleh faktor situasi dan ragam bahasa, bahasa Indonesia yang benar ditentukan oleh ketaatan terhadap pemakaian kaidah, sedangkan pemakaian bantuk atau struktur yang lazim dipengaruhi oleh faktor keterbiasaan. Mengubah keterbiasaan memang sulit apabila tanpa didasari oleh kesadaran yang tinggi di samping tujuan yang jelas. Jadi, harus diupayakan dengan sungguh-sungguh agar bentuk dan struktur yang lazim tidak dimanfaatkan di dalam pemakaian bahasa Indonesia yang beanr, terutama pada karya-karya ilmiah. Daftar Pustaka Alwi, Hasan, 1995. “Strategi Pengindonesiaan Bahasa Asing di Tempat Umum”. Dalam Nuansa: Bina Bahasa dan Sastra. Edisi Perdana. Oktober 1995. Denpasar: Balai Penelitian Bahasa Denpasar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Halim, Amran. 1980. “Fungsi Politik Bahasa Nasional”. Dalam Politik Bahasa Nasional 1. Jakarta: PN Balai Pustaka. Sukarta, I Nengah, I Nyoman Suparwa, I G.N.K. Putrayasa, I Wayan Teguh. 2015. Bahasa Indonesia Akademik untuk Perguruan Tinggi. Denpasar: Udayana University Press. Suparni. 1991. Penuntun Bahasa Indonesia. Bandung: Ganesa Exact. Tim Koordinasi. 1996. Panduan Penertiban Penggunaan Bahasa Asing di Tempat Umum. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Widyamartaya. 1990. Bahasa dan Pikiran. Yogyakarta: Kanisius. 20