bahasa indonesia: kajian bentuk yang benar dan lazim dalam

advertisement
LAPORAN HASIL PENELITIAN
BAHASA INDONESIA:
KAJIAN BENTUK YANG BENAR DAN LAZIM
DALAM PEMAKAIANNYA
Oleh
I Wayan Teguh
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Mahakuasa berkat rahmat-Nya
laporan hasil penelitian berjudul “Bahasa Indonesia: Kajian Bentuk yang Benar dan yang Lazim
dalam Pemakaiannya” ini dapat diselesaikan.
Dalam penyusunan laporan hasil penelitian ini terdapat banyak masukan dari berbagai
pihak. Sehubungan dengan itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang
telah memberikan masukan dan saran demi terwujudnya karya ilmiah ini.
Laporan hasil penelitian ini tentu tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena itu, saransaran perbaikan demi kesempurnaannya, penulis terima dengan kerendahan hati. Semoga laporan
hasil penelitian ini bermanfaat.
Denpasar, Desember 2015
Penulis
2
BAHASA INDONESIA:
KAJIAN BENTUK YANG BENAR DAN LAZIM
DALAM PEMAKAIANNYA
1. Pendahuluan
Ketika “Gerakan Disiplin Nasional” dicanangkan pada acara peringatan hari Kebangkitan
Nasional, 20 Mei 1995 Presiden Soeharto mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ajakan yang melibatkan seluruh warga
bangsa itu cukup arif dan wajar karena bahasa Indonesia dituturkan oleh bangsa Indonesia
sehingga upaya pembinaan dan pengembangannya merupakan tanggung jawab bangsa
Indonesia juga. Hal itu berarti bahwa semua warga negara Indonesia mempunyai tanggung
jawab moral terhadap upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Salah satu
upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam hubungannya dengan pembinaan bahasa
Indonesia adalah dilaksanakannya penghapusan tiga buta/tuna dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Satu di antara penghapusan tiga buta/tuna yang dimaksud adalah “buta/tuna bahasa
Indonesia”. Kegiatan ini tentu saja mempunyai dampak yang positif terhadap pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia.
Pada prinsipnya upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dilakukan melalui
berbagai jalur. Upaya itu ditempuh mengingat pembinaan bahasa berarti pembinaan pikiran,
gagal berbahasa juga berarti gagal berpikir (Widyamartaya, 1990:4). Jalur pembinaan yang
ditempuh, misalnya melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah (semua jenis dan jenjang
pendidikan). Pembinaan bahasa Indonesia juga diadakan di media massa, baik media massa
cetak (surat kabar) maupun media massa elektronik (televisi). Di samping itu, juga ada
pembinaan dalam bentuk lain, seperti penataran-penataran, ceramah-cermah, dan kursus3
kursus. Semua upaya yang dilakukan itu dimaksudkan untuk mempercepat proses
pemasyarakatan pemakaian bahasa Indonesia, terutama bahasa Indonesia yang benar dan baik.
Sesungguhnya pemakaian bahasa Indonesia yang benar dan baik sudah lama didengungdengungkan oleh pemerintah melalui Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta.
Bahkan, hampir setiap kesempatan dimanfaatkan oleh pemerintah untuk keperluan
pemasyakatan konsep itu, lebih-lebih sejak dicanangkannya Bulan Bahasa (1980) yang
kemudian dinamakan Bulan Bahasa dan Sastra. Sejak Bulan Bahasa (1980) itulah upaya
pemasyarakatan konsep bahasa Indonesia yang benar dan baik lebih terarah dalam kegiatan
perayaan Bulan Bahasa yang diselenggarakan setiap tahun, yaitu bertepatan dengan
peringatan Sumpah Pemuda (bulan Oktober). Hingga saat ini kegiatan Bulan Bahasa dan
Sastra sudah berlangsung lebih dari tiga puluh kali. Akan tetapi, ternyata hasil yang dicapai
dalam upaya pemasyarakatan pemakaian bahasa Indonesia yang benar dan baik belum
memuaskan. Belum memuaskannya hasil pemasyarakatan konsep bahasa Indonesia yang
benar dan baik itu cenderung disebabkan oleh faktor kelaziman. Faktor kaidah sebagai
penentu bahasa yang benar dan situasi sebagai faktor yang berpengaruh terhadap pemakaian
bahasa yang baik tidak diperhatikan akibat keterbiasaan menggunakan bentuk atau struktur
yang lazim. Sehubungan dengan hal itu, berikut dibicarakan secara ringkas konstruksi yang
benar dan lazim dalam pemakaian bahasa Indonesia. Pembicaraan ini pun hanya meliputi
beberapa hal yang frekuensi pemakaiannya cukup mencolok.
2. Bahasa Indonesia: Kajaian Bentuk yang Benar dan Lazim dalam Pemakaiannya
Tujuan berbahasa tidak hanya sekadar terkomunikasikannya ide atau gagasan yang
hendak disampaikan kepada pihak lain. Hal itu berarti bahwa bahasa juga bersistem dan
4
sebagai alat berpikir di samping sebagai alat komunikasi. Pemakaian bahasa secara tertib
merupakan pencerminan cara berpikir yang tertib dan pada gilirannya akan menjadi
landasan yang kuat untuk bertindak yang tertib pula (Tim Koordinasi, 1996:v). Oleh karena
itu, berbahasa juga bertujuan menerapkan kaidah yang berlaku sehingga terwujud
pemakaian bahasa yang berkaidah atau bahasa yang benar, termasuk dalam pemakaian
bahasa Indonesia. Untuk mencapai tujuan itu, sejumlah kaidah atau norma bahasa perlu
dipahami, dihayati, dan diterapkan dalam pemakaiannya. Hal itu berarti bahwa di dalam
pemakaian bahasa Indonesia yang benar perlu diterapkan kaidah, aturan, atau norma yang
dimiliki di samping harus diperhatikan pula situasinya.
Pemakaian bahasa Indonesia yang benar harus memperhatikan kosakata dan tata bahasa.
Kedua aspek tersebut selalu dipentingkan pada saat berbahasa, baik pada saat berbahasa
lisan maupun tulis. Di samping kedua hal itu ada aspek lain yang perlu dicermati, yaitu
lafal dan ejaan. Akan tetapi, aspek lafal memegang peranan sangat penting dalam bahasa
lisan, sedangkan ejaan diperlukan pada bahasa tulis. Dengan demikian, sesungguhnya ada
empat hal penting yang perlu dicermati pada saat berbahasa. Keempat hal penting yang
dimaksud adalah lafal, ejaan, kosakata, dan tata bahasa.
Struktur suatu bahasa umumnya dibedakan atas struktur di dalam tataran fonologi,
morfologi, dan sintaksis.Berbicara tentang struktur suatu bahasa berarti membicarakan
hubungan antarunsur yang terdapat dalam bahasa itu. Hubungan yang dimaksud dapat
berwujud hubungan bunyi dengan bunyi (tataran fonologi), hubungan morfem dengan
morfem (tataran morfologi), hubungan kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau klausa
dengan klausa (tataran sintaksis). Ketiga tataran tersebut dibicarakan secara ringkas satu
5
per satu sehubungan dengan adanya fenomena konstruksi yang benar dan yang lazim dalam
pemakaian bahasa Indonesia.
2.1 Pelafalan
Hal yang dibicarakan dalam tataran fonologi di sini adalah lafal, yakni ketepatan
pengucapan nama huruf yang digunakan. Ketepatan pengucapan nama huruf yang
dimaksud, yaitu apabila ditemukan bentuk yang tertulis dengan huruf /g/, misalnya, harus
diucapkan atau dilafalkan sesuai dengan namanya /ge/. Dengan demikian, kata dialog,
logaritma, biologi, dan logis tidak dilafalkan dialoh,loharitma, biolohi, dan lohis.
Ketepatan pelafalan itu perlu diperhatikan karena kesalahan atau ketidaktepatan
pelafalan dapat memengaruhi perubahan makna, terutama apabila kesalahan tiu sampai
pada taraf perubahan fonem yang cenderung terjadi pada pelafalan kata yang berhomograf.
Misalnya, kata teras akan sulit dilafalkan secara mandiri karena pelafalan yang tepat
ditentukan oleh konteks yang melingkupinya. Perbedaan pelafalan kata teras itu mengarah
kepada perbedaan fonemik. Oleh karena tiu, diperlukan kecermatan penutur atau pemakai
bahasa memilih alternatif nama yang tepat atas huruf yang digunakan. Pelafalan kata teras
itu jelas pada konteks berikut.
(1) Sejak tadi Cintya duduk di teras (dilafalkan teras atau bagian rumah).
(2) Upacara pamarisuda karipubaya di Legian, Kuta itu dihadiri pejabat teras
(dilafalkan teras atau pejabat tinggi).
Kesalahan atau ketidaktepatan pelafalan lain di samping yang sampai pada taraf
perubahan fonem dan perbedaan makna adalah pelafalan alofonis. Pada taraf alofonis
perbedaan pelafalan hanya sebagai varian tertentu atas kata yang berangkutan
6
sehingga tidak menimbulkan perbedaan makna. Akan tetapi, apa pun jenis kesalahan
pelafalan itu sebaiknya dihindari pemakaiannya. Sehubungan dengan hal itu, berikut
dicantumkan sejumlah kata yang lazim dan yang benar
pelafalannya dalam
pemakaian bahasa Indonesia.
TERTULIS
abc, Ahad
YANG LAZIM
abese; Ahat
PELAFALAN
YANG BENAR
abece; Ahad
BCA
Be Se A
Be Ce A
antropologi
antropolohi
antropologi
apotek; atlet
apotit; atlit
apotek; atlet
arkeologi
arkelohi
arkeologi
definisi; fonem
difinisi
definisi
emblem; fragmen
emblim; frahmen
emblem; fragmen
filologi
filolohi
filologi
geologi
geolohi
geologi
organisasi
orhanisasi
organisasi
2.2 Kata Bersaing
Cakupan tataran morfologi yang dibicarakan pada kesempatan ini adalah pemakaian kata
dan istilah. Kedua hal itu perlu dicermati dalam pemakaian bahasa Indonesia yang benar
karena ada aturan, norma, atau kaidah yang harus ditaati. Ketidaktepatan terhadap aturan
atau norma yang dimaksudkan akan menghasilkan pemakaian bahasa yang tidak benar.
Masalah kebahasaan di Indonesia menyangkut tiga kelompok bahasa, yaitu
bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Bahasa-bahasa tersebut berpadu dalam
7
pemakaiannya di Indonesia (Halim, 1980:15; Alwi, 1995:6). Adanya perpaduan ketiga
bahasa itu menyebabkan terjadinya tuturan yang heterogen, baik dalam pemakaian kata
maupun istilah. Ketidakhomogenan atau keheterogenan tuturan yang terjadi cenderung
disebabkan oleh tipe aglutinasi bahasa Indonesia, yang antara lain bersifat reseptif. Sifat
yang reseptif itulah yang memberikan peluang masuknya unsur bahasa lain, baik bahasa
daerah maupun bahasa asing, ke dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa asing dalam
berbagai bidang kehidupan di Indonesia apabila dibiarkan tidak terkendali, cenderung akan
semakin meningkat dan meluas.
Masuknya unsur-unsur bahasa lain itu memang menguntungkan dalam pembinaan
dan pengembangan bahasa Indonesia. Dewasa ini di dalam tuturan bahasa Indonesia
tampak digunakan kata dan istilah yang tidak bersumber dari satu asal. Kata dan sitilah
yang dipakai dalam bahasa Indonesia itu ada yang berasal dari bahasa daerah, bahasa
asing, dan bahasa Indonesia. Sumber utamanya adalah bahasa Indonesia sendiri. Akan
tetapi, apabila di dalam bahasa Indonesia tidak ada kata atau istilah yang dimaksud, dapat
diambil dari bahasa serumpun, yaitu bahasa daerah dan terakhir diupayakan dari bahasa
asing. Sehubungan dengan itu, bahasa asing dan bahasa daerah perlu dimanfaatkan dengan
sebaik-sebaiknya untuk keperluan pemantapan bahasa Indonesia. Tujuannya adalah agar
bahasa Indonesia benar-benar dapat digunakan sebagai sarana atau wahana komunikasi
yang efektif dan efisien. Sementara itu, bahasa Indonesia yang baik dan benar perlu secara
terus-menerus ditingkatkan mutu pemakaiannya.
Dalam upaya mempermantap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia,
pemerintah telah menetapkan Politik Bahasa Nasional yang merupakan aturan yang tegas.
Dengan adanya hal itu terjadi kemunginan bahwa bahasa Indonesia yang digunakan hanya
8
mengarah kepada kepentingan bahasa yang baik. Hal itu berarti bahwa bahasa Indonesia
yang benar akan semakin jauh dari harapan. Salah satu aturan yang erat kaitannya dengan
pemakaian kata dan istilah itu adalah sistem prioritas penerimaan atau pemasukan kata dan
istilah. Ada tiga prioritas yang perlu diperhatikan dalam pemasukan kata dan istilah ke
dalam bahasa Indonesia. Ketiga prioritas yang dimaksud adalah (a) menggali bahasa
Indonesia, (b) menggali bahasa serumpun atau bahasa daerah, dan (c) menyerap bahasa
asing (Alwi,1995:6).
Istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan suatu
makns konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu (Pedoman
Umum Pembentukan Istilah, 1994:5). Sejumlah contoh istilah adalah abortus, buku
besar, diagonal, embrio, fonem, irigasi, linguistik, matriks, moneter, pengacara,
plankton, radiologi, dan vonis. Di pihak lain kata adalah unsur bahasa yang diucapkan
atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat
digunakan dalam berbahasa atau satuan bahasa terkecil yang dapat diujarkan sebagai
bentuk bebas dan dapat berdiri sendiri (Depdikbud, 1995:451). Beberapa contoh kata
ialah bermain, diambil, gemetar, makanan, mandi, menyapu, pemalu, pukul, dan tarikmenarik.
Contoh di atas menunjukkan bahwa istilah sebenarnya kata juga, tetapi dipakai
dalam bidang atau lapangan kehidupan terbatas, bersifat teknis, bermakna pasti, dan
cenderung tidak dipengaruhi oleh konteks kalimat. Sebaliknya, kata dipakai dalam
berbagi bidang kehidupan dan maknanya tidak pasti karena sering begantung kepada
konteks kalimat.
9
Pembicaraan ini menitikberatkan pada pemakaian kata bersaing dalam bahasa
Indonesia. Kata bersaing muncul karena dalam bahasa Indonesia ditemukan sejumlah
kata yang bentuknya mirip, maknanya sama, dan distribusinya juga sama. Apabila tidak
diperhatikan secara cermat, kata bersaing seolah-olah sama dengan kata bersinonim.
Akan tetapi, baik kata bersinonim maupun kata bersaing mempunyai kekhasan masingmasing. Kata bersinonim adalah kata yang bentuknya berbeda, maknanya mirip, dan
distribusinya kadang-kadang sama, kadang –kadang berbeda seperti tampak berikut ini.
KATA BERSAING
KATA BERSINONIM
apotek, apotik
asli, tulen, murni
konkret, konkrit
besar, raya, agung
penasihat, penasehat
buku, kitab
personalia, personil
bundar, bulat
penerjemah, penterjemah
kawan, teman, sahabat
menyukseskan, mensukseskan
pokok, baku
Berikut dicantumkan sejumlah kata bersaing lain yang ditemukan di dalam
pemakaian bahasa Indonesia. Kata-kata tersebut menyulitkan pemakai bahasa Indonsia
menggunakannya, khususnya dalam bahasa Indonesia ragam ilmiah.
KATA BERSAING YANG BENAR
KATA BERSAING YANG LAZIM
atlet
atlit
bersistem
bersistim
film
filem
10
kuitansi
kwitansi
lazim
lajim
manajemen
managemen
menerapkan
menterapkan
metode
metoda
perubahan
perobahan
rasional
rasionil
terampil
trampil
tim
team
Semua pasangan kata tersebut dapat saling menggantikan. Akan teapi, kalau
pemakaian bahasa Indonesia yang benar diinginkan, kata yang benar atau kata yang baku
yang digunakan, bukan kata yang lazim. Kata bersinonim tidak demikian keberadaannya
karena kata-kata itu tidak selalu dapat saling menggantikan dalam semua konteks
pemakaian.
Contoh:
(3) … jaksa agung. Kata agung dalam konstruksi ini tidak mungkin digantikan
dengan kata raya sehingga menjadi jaksa raya walaupun kata agng dan raya
merupakan kata yang bersinonim.
(4) … pelajaran tata buku. Konstruksi ini pun tidak mungkin dapat digantikan
dengan tata kitab meskipun kedua kata itu—buku dan kitab—bersinonim.
11
2.3 Pola Pemasifan
Upaya untuk mengutamakan bagian kalimat pada hakikatnya dapat ditempuh
dengan empat cara. Cara-cara yang dimaksud adalah (a) mengubah bentuk kata, (b)
mengubah urutan kata, (c) menambah partikel, dan (d) memberikan tekanan keras pada
bagian yang diutamakan. Cara lain yang dapat dilakukan dalam kaitan dengan
pengutamakan bagian kalimat di samping keempat cara di atas adalah pemasifan.
Pemasifan yang benar harus mengikuti pola aspek + pelaku + tindakan. Pola inilah
yang harus diterapkan dalam pemakaian bahasa Indonesia yang benar, termasuk dalam
karya tulis ilmiah.
Contoh:
(5) Dana yang terkumpul akan kita ambil segera.
(6)Majalah tersebut belum kami terima hingga saat ini.
(7) Surat Anda sudah saya baca.
Di dalam pemakaian bahasa Indonesia yang lazim ditemukan bukan seperti (5)--(7) di
atas, melainkan sebagai berikut.
(5a) Dana yang terkumpul kita akan ambil segera.
(6a) Majalah tersebut kami belum terima hingga saat ini.
(7a) Surat Anda saya sudah baca.
Contoh lain yang juga lazim ditemukan dalam pemakaian bahasa Indonesia
adalah seperti di bawah ini.
(8) Surat kabar Kompas ia sedang baca.
(9) Tugas tersebut kami belum laksanakan.
12
Struktur (5a)—(9) yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia ternyata tidak
sesuai dengan kaidah atau pola pemasifan yang benar. Semua struktur tersebut berpola
pelaku + aspek + tindakan, sedangkan pola yang benar adalah aspek + pelaku + tindakan.
Oleh karena itu, yang lazim belum tentu benar dan yang benar belum tentu lazim
digunakan. Hal itu terjadi karena sebagian besar penutur bahasa Indonesia sudah terbiasa
menggunakan bentuk dan struktur yang lazim tanpa memperhatikan kaidah atau norma
yang berlaku.
2.4 Pemakaian Pleonasme
Ploenasme bermakna ‘pemakaian kata yang mubazir’. Hal itu berarti bahwa
pleonasme sebenarnya termasuk dalam pembicaraan makna kata.
Akan tetapi,
mengingat pleonasme itu berkaitan erat dengan struktur bahasa, lebih-lebih
pembahasan frasa, maka di sini pleonasme dikaitkan dengan keberadaan kalimat.
Dengan demikian, pleonasme dibicarakan dalam konteks kalimat.
Sejumlah tipe atau model pleonasme ditemukan dalam pemakaian bahasa
Indonesia. Apabila diinginkan pemakaian bahasa Indonesia yang benar, penggunaan
kata yang mubazir harus dihindari. Maksudnya, hanya salah satu wujudnya yang perlu
dipertahankan dalam konteks. Hal yang selalu perlu diingat dalam hubungan dengan
pleonasme adalah tidak setiap wujudnya dapat saling menggantikan mengingat
memang tidak ada sinonimi mutlak. Sehubungan dengan hal itu, berikut dikemukakan
sejumlah model pleonasme yang lazim ditemukan dalam pemakaian bahasa Indonesia,
termasuk bahasa Indonesia karya ilmiah.
13
2.4.1 Pleonasme Kata dengan Frasa
Pleonasme tipe ini ditemukan dalam sejumlah kalimat. Kata dan frasa yang
membentuknya saling berkaitan makna. Berdasarkan keterkaitan maknanya itulah
diperlukan adanya pertimbangan dan kecermatan pemakaiannya.
Contoh:
(10) Akhir-akhir ini nilai investasi di Indonesia terus merosot ke bawah.
(11) Akibat ledakan bom itu mereka pasrah dan menengadah ke atas sambil berdoa.
(12) Pasukan GAM yang semula bertahan itu akhirnya mundur ke belakang karena terusmenerus didesak oleh pasukan TNI.
Apabila diperhatikan secara saksama, ternyata ketiga contoh di atas menunjukkan
bentuk yang sejenis. Artinya, dengan menggunakan satu unsur saja sebenarnya telah
memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang benar dan tidak mubazir. Berdasarkan
konteksnya, cenderung unsur pertama yang lebih tepat digunakan dalam ketiga contoh
tersebut. Apabila unsur yang kedua digunakan, makna yang terkandung di dalamnya akan
berubah. Dengan demikian, tuturan yang lazim itu akan menjadi benar jika dijadikan
seperti berikut.
(10a) Akhir-akhir ini nilai investasi di Indonesia terus merosot.
(11a) Akibat musibah ledakan bom itu mereka pasrah dan menengadah dambil berdoa.
(12a) Pasukan GAM yang semula bertahan itu akhirnya mundur karena terus-menerus
didesak oleh pasukan TNI.
14
2.4.2 Pleonasme Partikel dengan Kata Ulang Berimbuhan
Pleonasme tipe ini menunjukkan kesejajaran makna antara partikel dan kata ulang
yang membentuknya. Pola atau tipe pleonasme ini umumnya dibentuk oleh partikel
saling.
Contoh:
(13) Setiap orang cenderung berusaha saling tolong-menolong dengan sesamanya.
Pemakaian konstruksi saling tolong-menolong di dalam kalimat itu mubazir
karena saling menyatakan makna ‘berulang-ulang’ dan tolong-menolong mencerminkan
makna ‘perbuatan yang tidak hanya dilakukan satu kali’. Dengan demikian, kemubaziran
akan hilang jika konteks (13) dijadikan seperti berikut.
(13a) Setiap orang cenderung berusaha saling menolong dengan sesamanya.
(13b) Setiap orang cenderung berusaha tolong-menolong dengan sesamanya.
Bentuk lain yang sejenis dengan pola itu adalah pemakaian pola saling tukarmenukar dan saling bantu-membantu. Kedua bentuk tersebut seharusnya masing-masing
diwujudkan menjadi saling menukar atau tukar-menukar dan saling membantu atau
bantu-membantu sehingga tidak memunculkan pola yang mubazir.
2.4.3 Pleonasme Kata Depan dengan Kata Ulang Murni
Pleonasme tipe ini ditemukan berupa pemakaian kata yang bermakna jamak
digabungkan dengan kata ulang yang bermakna jamak juga. Penggabungan kata banyak,
para, dan semua dengan kata ulang cenderung menimbulkan kemubaziran.
Contoh:
(14) Semua provokator-provokator kerusuhan harus ditangkap dan diadili.
15
Pemakaian kata semua yang bergabung dengan kata ulang provokator-provokator
pada kalimat (14) di atas menimbulkan kemubaziran. Konstruksi yang benar tampak di
bawah ini.
(14a) Semua provokator kerusuhan harus ditangkap dan diadili.
(14b) Provokator-provokator kerusuhan harus ditangkap dan diadili.
Penggunaan kata banyak dan para yang lazim ditemukan dalam bentuk
pleonasme, misalnya sebagai berikut.
(15) Sebelum krisis ekonomi dan moneter telah banyak daerah-daerah di Indonesia yang
berhasil meningkatkan taraf hidup warganya.
(16) Para petugas-petugas wajib memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat.
2.5 Pemakaian Keposesifan
Keposesifan yang tidak sesuai dengan kaidah atau norma bahasa Indonesia, tetapi
sangat lazim ditemukan adalah pemakaian kata dari dan daripada. Kedua kata
tersebut, baik dari maupun daripada tidak dapat digunakan untuk menyatakan
keposesifan di dalam bahasa Indonesia. Kata dari berfungsi menyatakan tempat asal,
bahan, serta sama artinya dengan sejak dan sebab, sedangkan kata daripada berfungsi
menyatakan perbandingan (Suparni, 1991:96). Akan tetapi, kedua kata tersebut sering
digunakan sebagai penanda keposesifan.
Contoh:
(17) Rumah daripada para korban bencana alam itu akan diperbaikai oleh warga
setempat.
16
(18) Joice belum dapat melaksanakan kewajiban sesuai dengan kemauan dari ibunya.
Kedua kalimat di atas masing-masing mengandung kata daripada dan dari yang
menunjukkan bahwa rumah itu dimiliki oleh para korban bencana alam dan kemauan
dimiliki oleh ibu. Hubungan rumah dengan para korban pada (17) dan kemauan
dengan ibunya pada (18) sebenarnya telah menyatakan posesif. Adanya kata daripada
dan dari justru menyebabkan ketidaktepatan . Jadi, struktur yang benar adalah sebagai
berikut.
(17a) Rumah para korban bencana alam itu akan diperbaikai oleh warga
setempat.
(18a) Joice belum dapat melaksanakan kewajiban sesuai dengan kemauan ibunya.
2.6 Upaya yang Dapat Ditempuh
Pemakaian bentuk atau struktur yang lazim dalam bahasa Indonesia, terutama bahasa
Indonesia yang benar tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Semakin memasyarakatnya
pemakaian bentuk dan struktur yang lazim akan semakin menjauhkan keberadaan bahasa
Indonesia yang benar. Sehubungan dengan itu, semua warga negara Indonesia mempunyai
tanggung jawab moral untuk membina dan mengembangkna bahasa Indonesia.
Penghapusan “buta bahasa Indonesia” dalam kehidupan bangsa Indonesia merupakan
upaya awal yang dilakukan pemerintah untuk membina dan mengembangkan bahasa
nasional bangsa Indonesia. Keberhasilan langkah awal itu akan mempunyai makna dan
sekaligus berdampak positif bagi upaya ke arah terwujudnya pemakaian bahasa Indonesia
yang benar dan baik.
17
Upaya mendasar yang dapat dilakukan untuk memeperkecil atau sekurangkurangnya membendung keterbiasaan memanfaatkan bentuk atau struktur yang lazim
dalam pemakaian bahasa Indonesia yang benar adalah memasyarakatkan konsep bahasa
Indonesia yang benar. Artinya, perlu dimasyarakatkan semua kaidah atau norma yang
berlaku yang harus ditaati oleh pemakai bahasa Indonesia. Di samping itu, satu hal yang
justru lebih penting dilakukan dalam upaya mengubah keterbiasaan itu adalah
mempertinggi kesadaran setiap pemakai bahasa Indonesia. Para penutur bahasa Indonesia
hendaknya menyadari situsai dan konteks pemakaian bahasa. Dengan upaya ini diharapkan
pemakaian bentuk dan struktur yang lazim dapat dikurangi. Hal ini perlu ditempuh karena
hanya dengan menyadari kekeliruan atas keterbiasaan menggunakan hal-hal lazim,
kelaziman pemakaiannya dapat diperkecil. Hal itu berarti bahwa kaidah atau norma bahasa
Indonesia yang benar dan baik semakin mempunyai peluang untuk digunakan sesuai
dengan situasinya.
Upaya-upaya tersebut sesungguhnya merupakan sebagian kecil dari kegiatan yang
telah dilakukan selama ini. Acara pembinaan bahasa Indonesia di layar televisi, media
massa cetak, dan melalui jalur pendidikan formal di sekolah-sekolah menunjukkan hasil
yang berdampak positif. Di samping itu, kegiatan yang berupa penataran, ceramah, dan
penyuluhan juga mempunyai peranan yang cukup penting di dalam upaya pembinaan (dan
pengembangan) bahasa Indonesia. Hal lain yang perlu dicermati adalah adanya usaha
memperbanyak buku yang berkaitan dengan keberadaan bahasa Indonesia yang benar dan
baik mempunyai andil yang cukup besar pula. Upaya itu memugkinkan setiap pembaca
yang telah memahami hakikat bahasa Indonesia yang benar dan baik dapat berperan
sebagai pembina bahasa Indonesia di ligkungannya masing-masing. Dengan demikian,
18
diharapkan konsep bahasa Indonesia yang benar semakin cepat dipahami oleh
pemakainya.
3. Penutup
Pemakaian bahasa Indonesia yang benar belum memasyarakat di sebagian
penuturnya. Hal itu cenderung disebabkan oleh belum dipahami dan belum dihayatinya
konsep tentang kaidah bahasa Indonesia yang benar. Di samping itu, juga disebabkan oleh
adanya keterbiasaan penutur menggunakan bentuk dan struktur bahasa Indonesia yang
telah lazim di dalam pemakaian walaupun tidak memenuhi tuntutan kaidah yang benar.
Bahasa Indonesia yang beanr memang terasa agak asing dibandingkan dengan yang telah
lazim digunakan. Oleh karena itu, kelaziman yang tidak benar hanya mungkin diperbaiki
apabila disertai dengan adanya kesadaran penutur masing-masing. Upaya tersebut akan
lebih berhasil apabila di dalamnya diikutsertakan juga kegiatan memasyarakatkan konsep
bahasa Indonesia yang benar secara berkesinambungan.
Kaidah bahasa Indonesia yang benar yang ternyata sangat sering kurang diperhatikan
di dalam pemakaian adalah kaidah di bidang pelafalan, pemakaian kata bersaing, pola
pemasifan, pleonasme, dan bentuk keposesifan. Dalam tuturan bahasa Indonesia lebih
lazim dipakai pelafalan dialoh daripada dialog, apotik daripada apotek; lebih lazim
digunakan struktur saya sudah baca daripada sudah saya baca, merosot ke bawah daripada
merosot; rumah dari para korban daripada rumah para korban. Kenyataan itu
menunjukkan bahwa konstruksi yang benar belum tentu lazim di dalam pemakaian,
sedangkan konstruksi yang lazim dipakai belum tentu benar atau sesuai dengan kaidah
yang berlaku.
19
Pemakaian bentuk dan struktur yang lazim akan dapat diperbaiki secara bertahap
apabila konsep bahasa Indonesia yang benar telah dipahami disertai dengan adanya
kesadaran untuk menggunakannya. Bahasa Indonesia yang baik dipengaruhi oleh faktor
situasi dan ragam bahasa, bahasa Indonesia yang benar ditentukan oleh ketaatan terhadap
pemakaian kaidah, sedangkan pemakaian bantuk atau struktur yang lazim dipengaruhi oleh
faktor keterbiasaan. Mengubah keterbiasaan memang sulit apabila tanpa didasari oleh
kesadaran yang tinggi di samping tujuan yang jelas. Jadi, harus diupayakan dengan
sungguh-sungguh agar bentuk dan struktur yang lazim tidak dimanfaatkan di dalam
pemakaian bahasa Indonesia yang beanr, terutama pada karya-karya ilmiah.
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, 1995. “Strategi Pengindonesiaan Bahasa Asing di Tempat Umum”. Dalam
Nuansa: Bina Bahasa dan Sastra. Edisi Perdana. Oktober 1995. Denpasar: Balai
Penelitian Bahasa Denpasar.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
PN Balai Pustaka.
Halim, Amran. 1980. “Fungsi Politik Bahasa Nasional”. Dalam Politik Bahasa Nasional 1.
Jakarta: PN Balai Pustaka.
Sukarta, I Nengah, I Nyoman Suparwa, I G.N.K. Putrayasa, I Wayan Teguh. 2015. Bahasa
Indonesia Akademik untuk Perguruan Tinggi. Denpasar: Udayana University Press.
Suparni. 1991. Penuntun Bahasa Indonesia. Bandung: Ganesa Exact.
Tim Koordinasi. 1996. Panduan Penertiban Penggunaan Bahasa Asing di Tempat Umum.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Widyamartaya. 1990. Bahasa dan Pikiran. Yogyakarta: Kanisius.
20
Download