BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hantaman

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hantaman krisis yang menerpa suatu negara tentunya menyisakan kenangan pahit akibat
konsekuensi biaya penanganan krisis yang sangat mahal serta waktu pemulihan kondisi ekonomi
yang tidak sebentar.
Cerita dari krisis keuangan di masa lalu telah menunjukan bahwa pertumbuhan kredit yang
berlebihan seringkali membawa perekonomian pada penciptaan risiko sistemik atas kestabilan
keuangan, yang kemudian mewujudkan krisis sistemik perbankan (Alessi & Detken, 2014). Dalam
Dell’Ariccia, et al. (2012), ledakan kredit (credit boom) telah mendahului berbagai krisis
perbankan terbesar dalam 30 tahun terakhir: Chili (1982), Denmark, Finlandia, Norwegia, dan
Swedia (1990/1991), Mexico (1994), dan Korea, Malaysia, Filipina, dan Thailand (1997/1998).
Di sisi lain, menurut Taylor (2012), selama siklus bisnis, apakah itu berakhir dalam resesi
krisis keuangan ataukah hanya resesi normal, ada hubungan yang sangat kuat antara pertumbuhan
kredit (relatif terhadap PDB) ketika dalam kondisi ekspansi, dengan kedalaman jatuhnya PDB
selanjutnya ketika kondisi kontraksi. Sedangkan menurut IMF (2004), sekitar 75% dari ledakan
kredit (credit boom) di negara-negara berkembang (emerging market) berkaitan dengan krisis
perbankan, sedangkan 85% ledakan kredit (credit boom) berkaitan dengan krisis mata uang.
Oleh karena itu, menurut Borio dan Lowe (2002), Mendoza dan Terrones (2008),
Schularick dan Taylor (2009), dan Mitra, et al. (2011) dalam Dell’Ariccia, et al. (2012),
pertumbuhan kredit dapat menjadi prediktor krisis keuangan yang paling bagus.
Penyaluran kredit di Indonesia masih menjadi penempatan utama dana perbankan
dibandingkan penempatan lainnya. Hal ini dapat ditelusuri dari besarnya pangsa kredit terhadap
total aset perbankan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 1.1).
Gambar 1.1 Rasio Kredit per Total Aset Perbankan Tahun 2005-2014
(%)
80
60
40
20
0
1 6 11 4 9 2 7 12 5 10 3 8 1 6 11 4 9 2 7 12 5 10 3 8
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Sumber: Bank Indonesia (2014)
Berdasarkan perhitungan data kredit Indonesia dari Januari 2003 hingga Desember 2014
(y o y) (Gambar 1.2), pertumbuhan kredit di Indonesia acapkali terkena kejutan eksternal, antara
lain pada pertengahan tahun 2005 ke pertengahan tahun 2006 akibat adanya peningkatan harga
pangan dan minyak bumi dunia, juga sepanjang tahun 2009 hingga kuartal pertama 2010 akibat
dampak krisis keuangan global di Amerika Serikat, sehingga pertumbuhan kredit mengalami
penurunan yang cukup tajam. Pasca krisis keuangan global, pertumbuhan kredit di Indonesia
mengalami kenaikan yang cukup signifikan akibat kondisi perekonomian yang kian membaik,
yakni tercatat pertumbuhan kredit nominal dan riil pada akhir tahun 2011 masing-masing 24,6%
dan 20,1%, namun kemudian berangsur-angsur mengalami penurunan hingga pada akhir tahun
2014 pertumbuhan kredit nominal dan riil Indonesia masing-masing hanya sebesar 11,6% dan 3%.
Gambar 1.2 Pertumbuhan Kredit di Indonesia Tahun 2004-2014
(%)
50
40
30
20
10
0
-10
13579111357911135791113579111357911135791113579111357911135791113579111357911
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
gkreditriil
gkreditnominal
Sumber: Bank Indonesia (2014), data diolah
Sedangkan berdasarkan besaran pangsa kredit terhadap PDB nominal di Indonesia
(Gambar 1.3), porsi kredit terhadap PDB nominal justru cenderung meningkat pasca terkena imbas
dari krisis keuangan global tahun 2009. Pada kuartal keempat tahun 2014, pangsa kredit per PDB
nominal menempati urutan tertinggi sejak tahun 2003 yakni sebesar 41,5%.
Gambar 1.3 Rasio Kredit per PDB Nominal Tahun 2003-2014
(%)
50
40
30
20
10
0
123412341234123412341234123412341234123412341234
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Sumber: Bank Indonesia (2014), data diolah
Sektor keuangan, dalam hal ini perbankan, punya peranan penting dalam mendorong
perekonomian lewat fungsi intermediasinya yakni menghubungkan antara tabungan masyarakat
dan investasi produktif di sektor riil. Salah satu fungsi intermediasi ini diwujudkan melalui kredit
perbankan. Seluruh dan yang dihimpun perbankan dari masyarakat disalurkan kembali untuk
mendanai aktivitas ekonomi di sektor riil. Hal ini lah yang menjadi motor penggerak roda
perekonomian dan menciptakan multiplier yang menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Sebagian besar porsi modal jangka pendek didapatkan dari kredit. Sebesar 68% penyaluran
dana oleh perbankan hampir seluruhnya dialokasikan ke kredit (Gambar 1.4). Sedangkan bila
dilihat dari portofolio kreditnya, 99% kredit perbankan disalurkan pada pihak ketiga dan sisanya
disalurkan ke bank lain (Gambar 1.5). Ini menunjukan besarnya kontribusi kredit perbankan
menunjang aktivitas ekonomi rumah tangga masyarakat, sektor publik, maupun sektor swasta.
Tersedianya kredit bagi masyarakat memungkinkan rumah tangga melengkapi kebutuhan
konsumsinya. Bagi sektor swasta, kredit perbankan dapat dimanfaatkan sebagai sumber dana
tambahan untuk kegiatan operasional perusahaan serta untuk berinvestasi sehingga output yang
dihasilkan akan meningkat yang pada gilirannya menyerap tenaga kerja-tenaga kerja baru dalam
rangka pemenuhan peningkatan permintaan rumah tangga agar lebih efektif.
Tingginya porsi kredit perbankan dengan kata lain mengindikasikan bahwa masih
tingginya ketergantungan sektor swasta terhadap kredit bank. Sehingga, ketika krisis melanda
perbankan, kegiatan investasi sektor swasta dapat terganggu.
Gambar 1.4 Penyaluran Dana Perbankan (Bank Umum)
Kredit
0%
Penempatan pada bank lain
0%
2% 4%
Penempatan ke BI
11%
Surat berharga
11%
68%
Penyertaan
Cadangan Kerugian Penurunan
Nilai Aset Keuangan (CKPN)
4%
Tagihan spot dan derivatif
Tagihan lainnya
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (BI, September 2014)
Gambar 1.5 Penyaluran Kredit Perbankan (Bank Umum)
pihak ketiga
antarbank
1%
99%
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (BI, September 2014)
Bila dilihat dari besarnya kredit perbankan dan disagregasi kreditnya, peningkatan yang
terjadi pada kredit perbankan tidak hanya kuantitasnya, namun juga kualitas. Dominasi penyaluran
kredit perbankan terletak pada kredit produktif. Porsi kredit terbesar disalurkan ke kredit modal
kerja, diikuti oleh kredit konsumsi, dan kredit investasi dengan tren yang terus meningkat (Gambar
1.7). Namun meskipun penyaluran kredit investasi adalah yang paling kecil porsinya,
pertumbuhannya adalah yang tertinggi dari tahun 2011 hingga 2014 (Gambar 1.6).
Gambar 1.6 Kredit Bank Komersial dan Disagregasinya Tahun 2004-2014
(%)
60
50
40
30
20
10
0
-10 1 6 11 4 9 2 7 12 5 10 3 8 1 6 11 4 9 2 7 12 5 10 3 8 1 6 11
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
total kredit
kredit modal kerja
kredit investasi
kredit konsumsi
Sumber: Bank Indonesia (2014)
Gambar 1.7 Proporsi Kredit yang Disalurkan oleh Bank Komersial Tahun 2003-2014
100%
80%
60%
40%
20%
0%
1 7 1 7 1 7 1 7 1 7 1 7 1 7 1 7 1 7 1 7 1 7 1 7
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
total kredit
kredit modal kerja
kredit investasi
kredit konsumsi
Sumber: Bank Indonesia (2014)
Negara berkembang membutuhkan pertumbuhan kredit yang pesat di fase awal
pembangunan ekonominya sehubungan dengan kebutuhan akan investasi dan modal kerja yang
kemudian akan mendorong pertumbuhan ekonominya (Feurst, 1995). Ekspansi kredit yang pesat
umumnya akan menstimulasi permintaan agregat, proses ini didukung oleh meningkatnya tingkat
pemberian peminjaman bank yang mendorong konsumsi dan permintaan import (Vu, 2010).
Di Indonesia, pertumbuhan kredit yang tinggi dipandang normal sebagai konsekuensi
positif dari financial deepening yang makin meningkat. Namun demikian, pertumbuhan tingkat
kredit yang terlalu pesat memicu peningkatan exposure bank terhadap risiko sehingga menurunkan
kualitas neraca keuangan bank, apalagi bila dibarengi dengan melemahnya current account, di
kemudian hari dapat berujung pada risiko terjadinya krisis perbankan. (Demirguc-Kunt dan
Detragiache, 1997; Bernanke, et al., 1997; dalam Prasetyo, 2012)
Apabila kredit digunakan untuk menyokong konsumsi, maka pertumbuhan kredit sektor
swasta yang berlebihan dapat memberikan stimulasi yang berlebihan pada permintaan agregat
melebihi batas output potensial sehingga perekonomian akan mengalami overheating. Hal ini pada
akhirnya akan memberikan dampak pada tingkat inflasi yang meningkat, defisit neraca
pembayaran, tingkat suku bunga, dan nilai tukar riil. (Gersl dan Seidler, 2010)
Terkait antisipasi pertumbuhan kredit yang berlebih telah diwaspadai oleh Bank Indonesia
sebagai otoritas kebijakan moneter di Indonesia salah satunya dengan mengeluarkan Peraturan
Bank Indonesia No.5/8/PBI/2013 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum,
Peraturan Bank Indonesia No.7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank
Umum, Peraturan Bank Indonesia No.14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang Perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia No.11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK).
Gambar 1.8 Prosiklikalitas Pertumbuhan Kredit
Sumber: Kajian Stabilitas Keuangan BI (2014)
Pertumbuhan kredit yang senantiasa searah pergerakannya dengan pertumbuhan ekonomi
menunjukan pola prosiklikalitas. Prosiklikalitas perbankan merupakan perilaku penyaluran kredit
bank yang berlebihan sehingga mendorong perekonomian tumbuh lebih cepat ketika kondisi
ekspansi (upturn) dan mempercepat penurunan kegiatan ekonomi ketika dalam kondisi kontraksi
(downturn). (Bank Indonesia, 2014)
Berdasarkan penelitian Bank Indonesia dalam Kajian Stabilitas Sistem Keuangan (2014),
ketika Indonesia diterpa krisis tahun 2005 dan 2008, indikasi perilaku prosiklikalitas perbankan
muncul dimana terjadi peningkatan perilaku risk taking dalam penyaluran kredit yang dicirikan
oleh ketidakseimbangan antara penyaluran kredit perbankan dengan kebutuhan perekonomian
pada saat itu. Akan tetapi, sejak awal tahun 2014, berbagai upaya kebijakan makroprudensial
(LTV dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.15/40/DKMP tanggal 24 September 2013, GWM
LDR dalam Peraturan Bank Indonesia No.15/7/PBI/2013 tanggal 26 September 2013 & Surat
Edaran No.15/41/DKMP tanggal 1 Oktober 2013, dan SBDK dalam Surat Edaran Bank Indonesia
No.15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013) serta supervisory action yang ditempuh berhasil membuat
laju pertumbuhan kredit yang berlebihan sesuai dengan pola trend jangka panjangnya.
Kebijakan makroprudensial yang pertama kali diperkenalkan oleh Basel Committee for
Banking Supervision (BCBS) pada bulan September 2010 kemudian disahkan oleh para pemimpin
G20 pada Seoul Summit di bulan November 2010 pada dasarnya ditujukan untuk prosiklikalitas
yang merupakan perilaku sistem keuangan yang mendorong perekonomian tumbuh lebih cepat
ketika ekspansi dan memperlemah perekonomian ketika siklus kontraksi, dan common exposure
yang mana instrumen yang digunakan sebagai aturan kehati-hatian pada masing-masing institusi
perbankan. (Bruno dan Hyun, 2013: 9; Nijathaworn, 2009: 23; Lim et al., 2011: 12, dalam Nasir,
2014 ).
Penentuan apakah pertumbuhan kredit tersebut adalah konsekuensi pertumbuhan ekonomi
yang meningkat dalam level wajar ataukah sudah mengarah pada credit boom membutuhkan
perhitungan yang matang dan komprehensif terkait seberapa besar batas (threshold) pertumbuhan
kredit yang optimal.
1.2
Rumusan Masalah
Adanya pertumbuhan kredit yang cukup tinggi ketika perekonomian sedang dalam kondisi
yang kondusif mencerminkan bahwa terdapat hubungan prosiklikal antara variabel ekonomi dan
kredit. Saat pertumbuhan ekonomi naik dan perekonomian senantiasa stabil (perekonomian dalam
kondisi baik), maka kepercayaan diri dan optimisme para pelaku ekonomi ikut naik sehingga
mendorong aliran modal masuk, hal ini kemudian memicu naiknya harga aset dan nilai kolateral.
Naiknya nilai kolateral ini pada gilirannya akan memperbaiki neraca bank dan perusahaan
sehingga meningkatkan permintaan dan penawaran akan kredit. Prosiklikalitas kredit
sesungguhnya adalah konsekuensi logis peran kredit membiayai tumbuhnya perekonomian.
Namun, akan timbul permasalahan apabila prosiklikalitas ini terjadi secara berlebihan. Dalam
tulisan Utari, et al. (2012) hasil studi empiris yang dilakukan oleh Craig, et al. (2006) di beberapa
negara berkembang dan negara-negara OECD menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit yang
tinggi dan penggelembungan harga aset umumnya mendahului terjadinya penurunan siklus usaha
(business cycle). Sebagaimana halnya dengan Indonesia, periode krisis 1999 di Indonesia
didahului oleh peningkatan kredit yang cukup tajam.
Stabilitas sistem keuangan bukanlah hal yang dapat diperoleh dengan cuma-cuma,
melainkan harus diupayakan dan terus dipelihara sehingga terhindar dari berbagai kemungkinan
terjadinya krisis atau dapat meminimalkan dampaknya. Dengan melihat akibat dari krisis
keuangan dan perbankan Indonesia tahun 1997 terhadap beban fiskal yang hampir mencapai enam
ratus lima puluh triliun rupiah serta berbagai akibat tidak langsungnya, perlu menjadi pelajaran
bagi otoritas kebijakan untuk mewaspadai terjadinya periode krisis lanjutan melalui antisipasi
risiko penyaluran kredit yang berlebihan.
Identifikasi kapan dan sejauh mana pertumbuhan kredit dapat ditolerir oleh otoritas
kebijakan serta sejauh mana pertumbuhan kredit perlu diwaspadai sebagai suatu sinyal yang
berpotensi menimbulkan resiko bagi perbankan dan besar kemungkinannya berekskalasi hingga
membahayakan perekonomian akan dibahas dalam penelitian ini.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pertanyaan penelitian yang hendak dijawab oleh
penulis adalah:
1. Berapakah batas atas dan bawah tingkat pertumbuhan kredit optimal yang diperkirakan
tidak berdampak negatif bagi perbankan di Indonesia?
2. Berapakah probabilitas terjadinya tingkat pertumbuhan kredit tinggi, sedang, maupun
rendah di Indonesia?
3. Berapakah besar volatilitas dan ekspektasi durasi rejim pertumbuhan kredit tinggi, sedang,
maupun rendah di Indonesia?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis berapa batas atas dan bawah tingkat pertumbuhan kredit optimal yang
diperkirakan tidak berdampak negatif bagi perbankan di Indonesia menggunakan Markov
Switching Model.
2. Menganalisis besar probabilitas terjadinya tingkat pertumbuhan kredit kredit tinggi,
sedang, maupun rendah di Indonesia.
3. Menganalisis besar volatilitas dan ekspektasi durasi rejim pertumbuhan kredit tinggi,
sedang, maupun rendah di Indonesia.
1.5 Batasan Penelitian
Terdapat banyak pendekatan yang digunakan untuk menganalisis pertumbuhan kredit,
namun berdasarkan kekurangan pendekatan studi empiris dalam penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya maka penulis menggunakan pendekatan model Markov switching autoregressive 3
rejim berdasarkan Hamilton (1989) yang kemudian dikembangkan oleh Krolzig (1997).
Penulis hanya menganalisis kredit yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial, termasuk
di dalamnya bank-bank BUMN, bank-bank komersial valuta asing, bank-bank komersial nonvaluta asing, dan bank-bank milik asing, tidak termasuk di dalamnya BPR dan bank-bank syariah,
dari bulan Januari 2003 hingga Desember 2014.
1.6 Manfaat Penelitian
Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan masukan indikator kuantitatif yang eksplisit bagi pemerintah pusat khususnya
otoritas kebijakan sehingga menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang tepat
diambil dalam rangka penanganan pertumbuhan kredit berlebih (excessive credit growth).
2. Menjadi sumber informasi, pembelajaran, dan penelitian yang dapat dikembangkan
selanjutnya oleh masyarakat luas, khususnya para peneliti.
1.7 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder bulanan yang diperoleh dari CEIC
Macroeconomic Dashboard FEB UGM yang bersumber dari Bank Indonesia dalam rentang
bulan Januari 2003 hingga bulan Desember 2014. Dalam penelitian ini, metode analisis
Hodrick Prescott (HP) Filter digunakan untuk mengidentifikasi adanya pertumbuhan kredit
yang berlebih di Indonesia. Metode ini digunakan untuk mendapatkan hasil estimasi komponen
tren jangka panjang suatu series yang smooth. Tren yang diestimasi dari HP filter dipandang
sebagai ekuilibrium dan credit boom didefinisikan sebagai kredit yang melebihi threshod
tertentu di sekitar tren (Utari, et al., 2012). Threshold ini ditentukan sebagai nilai deviasi relatif
dari trennya. (Gourichas, et al., 2001 dan IMF, 2004 dalam Utari, et al., 2012)
Selanjutnya, penelitian ini menggunakan model Markov regime switching
autoregressive 3 rejim berdasarkan Hamilton (1989) dan kemudian di kembangkan oleh
Krolzig (1997). Model ini mengandung beberapa struktur (persamaan) yang dapat
menggambarkan karakteristik data time series pada rejim yang berbeda. Maka, model tersebut
yang paling optimal digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini.
1.8 Sistematika Penulisan
Penelitian ini ditulis dalam empat bab dengan rincian sebagai berikut:
1. Bab I Pendahuluan
Bagian ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan
penelitian, batasan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika
penulisan.
2. Bab II Landasan Teori dan Metodologi
Bagian ini berisi landasan teori, studi literatur terdahulu, teknik analisis, dan alat analisis.
3. Bab III Analisis dan Pembahasan
Bagian ini menjelaskan tentang hasil penelitian yang didapat melalui prosedur dan data
yang sesuai serta pembahasannya, terdiri atas deskripsi statistik, deskripsi data dan
variabel, spesifikasi model, juga hasil estimasi dan interpretasi.
4. Bab IV Kesimpulan dan Saran
Download