PANDUAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER UNTUK PENCAPAIAN SPM DAN MDGs Penulis : Sri Mastuti Penyunting : Theresia Erni Desain sampul dan tata letak : Rosalin Dicetak di Jakarta – Juli 2014 Publikasi ini didanai oleh Department of Foreign Affairs, Trade and Development (DFATD) Canada melalui Proyek BASICS. Sebagian atau seluruh isi buku ini, termasuk ilustrasinya, boleh diperbanyak dengan syarat disebarkan secara gratis dan mencantumkan sumbernya. Versi elektronik dokumen ini dapat diunduh dari situs internet www.basicsproject.or.id SEKILAS TENTANG PROYEK BASICS BASICS (Better Approaches for Service Provision through Increased Capacities in Sulawesi) atau Peningkatan Pelayanan Dasar melalui Pengembangan Kapasitas di Sulawesi, adalah proyek kerjasama antara Pemerintah Kanada melalui Department of Foreign Affairs, Trade and Development (DFATD) dengan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Dalam Negeri. Cowater International dipilih sebagai penyedia bantuan teknis serta pengelola dana bantuan dari Pemerintah Kanada sesuai kesepakatan yang dimuat dalam dokumen Project Implementation Plan (PIP). Sejak tahun 2009 Proyek BASICS bekerja di 10 Kabupaten/ Kota di Propinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara dalam rangka berkontribusi bagi percepatan pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs) pada sektor kesehatan dan pendidikan, Lima kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari: Kota Bitung, Kab. Minahasa, Kab. Minahasa Utara, Kab. Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, dan Kab. Kepulauan Sangihe. Sedangkan lima kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara meliputi Kota Baubau, Kab. Buton Utara, Kab. Wakatobi, Kab. Konawe Selatan dan Kab. Kolaka Utara. Pada tahun 2014, Proyek BASISC menambah empat Kabupaten sebagai mitra kerja di Propinsi Sulawesi Utara (Kab. Kepulauan Talaud dan Kab. Minahasa Tenggara) dan Propinsi Sulawesi Tenggara (Kab. Bombana dan Kab. Konawe Utara). Proyek BASICS mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama adalah pengembangan kapasitas (Capacity Development) yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas para pihak (eksekutif, legislatif, organisasi masyarakat sipil) di daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan, melalui: (1) peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah dalam perencanaan dan penganggaran; (2) penguatan kapasitas DPRD dalam melakukan fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan terkait penyediaan pelayanan dasar yang berkualitas bagi masyarakat; (3) penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil dalam mendukung dan mengawasi kinerja penyelenggaraan pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan di daerah; dan (4) pengarusutamaan gender dalam perencanaan dan penganggaran pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan. Komponen kedua adalah BASICS Responsive Initiative (BRI) yang merupakan dana hibah yang diberikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mendukung inovasi atau praktik cerdas yang dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan untuk percepatan pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) kesehatan dan pendidikan dan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/ MDGs). Informasi lebih lanjut tentang Proyek BASICS dapat dilihat pada www.basicsproject.or.id Daftar Isi DAFTAR ISIi KATA PENGANTARiii DAFTAR ISTILAHiv BAB I PENDAHULUAN1 1.1 Latar Belakang1 1.2 Tujuan Penyusunan Panduan3 1.3 Ruang Lingkup Panduan3 1.4 Landasan Hukum Penyusunan Panduan3 1.5 Proses Penyusunan Panduan 3 BAB IIKONSEP GENDER DAN ANGGARAN RESPONSIF GENDER 7 2.1 Konsep Gender 7 2.2 Anggaran Responsif Gender8 2.2.1 Pengertian 8 2.2.2 Ciri Anggaran Responsif Gender 8 2.2.3 Prinsip Anggaran Responsif Gender9 2.2.4 Prasyarat Anggaran Responsif Gender 9 BAB III URGENSI PPRG UNTUK PENCAPAIAN SPM & MDGs 3.1 Arti PPRG untuk Pencapaian SPM dan MDGs 3.2 Tujuan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender 3.3 Dasar Hukum PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs 13 13 17 17 BAB IV KONSEP PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER UNTUK PENCAPAIAN SPM DAN MDGS22 4.1 Kharakteristik Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM dan MDGs22 4.2. Penerapan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender dalam Anggaran Berbasis Kinerja24 BAB V PENGINTEGRASIAN PPRG UNTUK PENCAPAIAN SPM DAN MDGs DALAM DOKUMEN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN 31 5.1 Analisa Gender dalam Perencanaan dan Penganggaran 31 5.2 Pengintegrasian PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs dalam Dokumen Perencanaan Daerah33 5.3 Pengintegrasian PPRG dalam Dokumen Penganggaran 35 BAB VI INSTRUMEN PPRG UNTUK PENCAPAIAN SPM DAN PERCEPATAN MDGS 37 6.1 Gender Analisis Pathway (GAP)37 6.2. Gender Budget Statement (GBS)41 6.3 Monitoring dan Evaluasi 43 DAFTAR PUSTAKA45 LAMPIRAN 146 LAMPIRAN 249 LAMPIRAN 352 LAMPIRAN 453 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs i Daftar Tabel, Kotak & Gambar Tabel Tabel 1 Indeks IPM, IPG, dan IDG 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2011 16 Tabel 2 Langkah-langkah Pengintegrasian Gender dalam Dokumen Perencanaan 34 Tabel 3 Langkah-Langkah Pengintegrasian Gender dalam Dokumen Penganggaran 36 Tabel 4 Matrik Gender Analysis Pathway 39 Tabel 5 Format Gender Budget Statement 42 Tabel 6 Keterkaitan GAP dan GBS 43 Tabel 7 Alur Monitoring dan Evaluasi PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGS 44 Kotak Kotak 1 Empat Alasan Pentingnya Perencaan dan Penganggaran Responsif Gender 13 Kotak 2 Dasar Hukum PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs 18 Kotak 3 Karakteristik Perencanaan dan Penganggaran Berbasis SPM, MDGs, dan Berkesetaraan Gender 23 Kotak 4 Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah 25 Kotak 5 Contoh Isu Gender dalam SPM Bidang Kesehatan 31 Kotak 6 Contoh Isu Gender dalam SPM Bidang Pendidikan 32 Kotak 7 Langkah-Langkah PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs 37 Kotak 8 TIPS Dalam Melakukan Analisis GAP 41 Gambar 1 Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran dengan SPM, MDGs, dan Gender 22 Gambar 2 Konsep Kerangka Kinerja 26 Gambar 3 Ilustrasi Analisis Gender dalam Dokumen Perencanaan dan Penganggaran 33 Gambar 4 Alur Perencanaan Program dan Penganggaran 36 Gambar 5 Proses Perencanaan & Penganggaran 43 Gambar ii Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs P Kata Pengantar royek BASICS merupakan satu program kerjasama antara Pemerintah Kanada 1 dan Pemerintah Indonesia2 untuk mendukung perbaikan pelayanan publik dalam pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Millenium Development Goals (MDGs) atau Tujuan Pembangunan Milenium, khususnya di sektor pendidikan dan kesehatan, dalam era desentralisasi. Proyek BASICS memiliki komitmen yang kuat untuk mengarusutamakan gender dalam seluruh program dan kegiatan yang dilakukan. Upaya tersebut sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan strategi pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan pembangunan yang telah memperlihatkan kemajuan yang signifikan dalam lima tahun terakhir, baik di pusat dan daerah. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000, pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) diwajibkan kepada seluruh kementerian maupun lembaga pemerintah dan non pemerintah di pemerintah nasional, provinsi maupun kabupaten/kota untuk menyusun program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dengan mempertimbngkan permasalahan kebutuhan aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program, dan kegiatan. Strategi tersebut dilaksanakan melalui sebuah proses memasukkan analisa gender ke dalam program kerja pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan perempuan dan laki-laki dalam proses pembangunan. Terbitnya Surat Edaran Bersama (SEB) antara Bappenas, Kementerian Keuangan, Kemneterian Dalam Negeri, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak3 tahun 2012 yang diikuti dengan terbitnya Permendagri Nomor 27 Tahun 20134 semakin memperkuat landasan hukum pelaksanaan perencanaan dan penganggaran responsif gender di tingkat pemerintah daerah. Selama ini, masih ada anggapan bahwa melakukan analisis gender berarti menambah beban pekerjaan. Namun, sesungguhnya perencanaan dan penganggaran rensponsif gender bukanlah berarti melakukan dua kali perencanaan, tetapi hanya memastikan bagaimana agar perspektif gender dapat diintegrasikan dalam setiap tahapan perencanaan dan penganggaran. Karena itulah, sebuah perencanaan dan penganggaran responsif gender akan mendiagnosa dan memberikan jawaban yang lebih tepat kebutuhan program dan anggaran pendidikan dan kesehatan bagi perempuan dan lakilaki, dan pada akhirnya mendukung tercapainya target indikator kinerja kegiatan yang telah ditetapkan menuju pencapaian SPM dan MDGs. Buku Panduan ini disusun untuk memberikan informasi dan langkah-langkah di dalam menyusun kebijakan, program, dan kegiatan di bidang pendidikan dan kesehatan dengan pendekatan anggaran responsif gender dalam rangka pencapaian SPM dan MDGs. Kemudian sebagai pelengkap panduan BASICS juga menerbitkan Modul Pelatihan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM Urusan Pendidikan dan Kesehatan. Secara khusus kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Joanne Prindivile, Bapak Timothy Babcock, Ibu Maya Rostanty, Bapak Sahabuddin, Ibu Waode Muslihatun, dan Ibu Fanty Frida Yanti, yang telah memberikan masukan yang berharga dalam penyusunan buku panduan ini. Semoga panduan ini dapat memberikan manfaat dalam mengimplementasikan perencanaan dan penganggaran pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan yang responsif gender di daerah menuju pencapaian SPM dan MDGs. Jakarta, Maret 2014 Bill Duggan Project Director BASICS 1 2 3 4 BASICS didukung oleh Department of Foreign Affairs, Trade and Development (DFATD) dari Pemerintah Kanada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) adalah mitra dari pihak Pemerintah Indonesia untuk BASICS. Surat Edaran Bersama Menteri yaitu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 270/M.PPN/11/ 2012, No.SE-­‐33/MK-­‐02/2012, No.050/4379A/SJ, No.SE 46/MPP-­‐PA/11/2012 tentang Strategi Percepatan Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) Melalui Perencanaan Dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) Permendagri Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2014 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs iii Daftar Istilah Analisis Gender iv Identifikasi secara sistematis tentang isu-isu gender yang disebabkan karena adanya pembedaan peran serta hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki. Analisis gender perlu dilakukan, karena pembedaanpembedaan ini bukan hanya menyebabkan adanya pembedaan diantara keduanya dalam pengalaman, kebutuhan, pengetahuan, perhatian, tetapi juga berimplikasi pada pembedaan antara keduanya dalam memperoleh akses dan manfaat dari hasil pembangunan, berpartisipasi dalam pembangunan serta penguasaan terhadap sumberdaya pembangunan. Anggaran Berbasis Kinerja ABK Penyusunan anggaran yang didasarkan atas perencanaan kinerja. ABK terdiri dari program dan kegiatan yang akan dilaksanakan serta indikator kinerja yang ingin dicapai oleh suatu entitas anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD Rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Anggaran Responsif Gender ARG Anggaran yang merespon kebutuhan, permasalahan, aspirasi dan pengalaman perempuan dan laki-laki yang tujuannya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Bersifat Indikatif Data dan informasi, baik tentang sumber daya yang diperlukan maupun keluaran dan dampak yang tercantum di dalam dokumen rencana, hanya merupakan indikasi yang hendak dicapai dan tidak kaku. Beijing Declaration and Platform BDPFA for Action Landasan Aksi Beijing yang merupakan hasil dari Konferensi Dunia tentang Perempuan ke IV yang diselenggarakan di Beijing dan merupakan landasan aksi bagi Negara-negara di dunia untuk melaksanakan CEDAW dengn fokus pada 12 area kritis untuk melaksanaan pemberdayaan perempuan. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Suatu instrumen internasional yang menetapkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di semua bidang – politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Konvensi ini ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 18 Desember 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981. CEDAW Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Data Terpilah Data terpilah menurut jenis kelamin, status dan kondisi perempuan dan laki-laki di seluruh bidang pembangunan yang meliputi kesehatan, pendidikan, ekonomi dan ketenagakerjaan, bidang politik dan pengambilan keputusan, bidang hukum dan sosial budaya dan kekerasan. Gender Perbedaan sifat, peranan, fungsi, dan status antara perempuan dan laki-laki yang bukan berdasarkan pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang lebih luas. Jadi, gender merupakan konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Gender Analysis Pathway GAP Disebut juga alur kerja analisis gender, merupakan model/alat analisis gender yang dikembangkan oleh Bappenas bekerjasama dengan Canadian International Development Agency (CIDA), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) untuk membantu para perencana melakukan pengarusutamaan gender. Gender Budget Statement GBS Pernyataan anggaran responsif gender atau Lembar Anggaran Responsif Gender adalah dokumen pertanggungjawaban spesifik gender yang disusun pemerintah yang menunjukkan kesediaan instansi untuk melakukan kegiatan berdasarkan kesetaraan gender dan mengalokasikan anggaran untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Gender Development Index GDI Disebut juga Indeks Pembangunan Gender, yaitu indikator yang dikembangkan oleh UNDP yang lebih menaruh perhatian pada penggunaan kapabilitas dan pemanfaatannya dalam kesempatan-kesempatan dalam hidup. GDI mengukur pencapaian dimensi dan variabel yang sama dengan HDI (Human Development Index), namun menangkap ketidakadilan dalam hal pencapaian antara perempuan dan laki-laki. Hasil (outcome) Segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program. Indikator Kinerja Instrumen untuk mengukur kinerja, yaitu alat ukur spesifik secara kuantitatif dan/atau kualitatif untuk masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, dan/atau dampak yang menggambarkan tingkat capaian kinerja suatu program atau kegiatan. Untuk mengukur output pada tingkat Kegiatan digunakan instrumen Indikator Kinerja Kegiatan (IKK), sedangkan untuk mengukur hasil pada tingkat Program digunakan instrumen Indikator Kinerja Utama (IKU). Indeks Pemberdayaan Gender IPG Indikator komposit yang diukur melalui partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs v Indeks Pembangunan Manusia Indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar yang meliputi harapan hidup, tingkat pendidikan, dan pendapatan. Isu Gender Suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan perempuan dan laki-laki atau ketimpangan gender. Kondisi ketimpangan gender ini diperoleh dengan membandingkan kondisi yang dicita-citakan (kondisi normatif ) dengan kondisi gender sebagaimana adanya (kondisi subyektif ). Keadilan Gender Perlakuan adil bagi perempuan dan laki-laki dalam keseluruhan proses kebijakan pembangunan nasional, yaitu dengan mempertimbangkan pengalaman, kebutuhan, kesulitan, hambatan sebagai perempuan dan sebagai laki-laki untuk mendapat akses dan manfaat dari usaha-usaha pembangunan; untuk ikut berpartisipasi dalam mengambil keputusan (seperti yang berkaitan dengan kebutuhan, aspirasi) serta dalam memperoleh penguasaan (kontrol) terhadap sumberdaya seperti dalam mendapatkan/penguasaan keterampilan, informasi, pengetahuan, kredir dan lainlain. Kebijakan Umum Anggaran vi IPM KUA Dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun. Kegiatan Bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa SKPD sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program, dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut, sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Kegiatan Prioritas Kegiatan yang ditetapkan untuk mencapai secara langsung sasaran program prioritas. Keluaran (output) Barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan, yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan. Kesenjangan Gender (gender gap) Ketidakseimbangan atau perbedaan kesempatan, akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara perempuan dan laki-laki yang dapat terjadi dalam proses pembangunan. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Kesetaraan Gender Kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan dan hakhaknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan, keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil yang dampaknya seimbang. Kinerja Prestasi kerja berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu program dengan kuantitas dan kualitas terukur. Millenium Development Goals MDGs Disebut juga Tujuan Pembangunan Milenium adalah hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, dan mencakup delapan sasaran untuk dicapai pada 2015, yaitu: (1) mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, (2) pendidikan universal, (3) kesetaraan gender, (4) kesehatan anak, (5) kesehatan ibu, (6) , penanggulangan HIV/AIDS, (7) kelestarian lingkungan, dan (8) kemitraan global. Pengarusutamaan Gender PUG Strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. Perencanaan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. PPRG Instrumen untuk mengatasi adanya perbedaan atau kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan bagi perempuan dan laki-laki dengan tujuan untuk mewujudkan anggaran yang lebih berkeadilan. Perencanaan yang Responsif Gender Perencanaan yang dibuat oleh seluruh lembaga pemerintah, organisasi profesi, masyarakat dan lainnya yang disusun dengan mempertimbangkan empat aspek seperti: peran, akses, manfaat dan kontrol yang dilakukan secara setara antara perempuan dan laki-laki. Artinya adalah bahwa perencanaan tersebut perlu mempertimbangkan aspirasi, kebutuhan dan permasalahan pihak perempuan dan laki-laki, baik dalam proses penyusunannya maupun dalam pelaksanaan kegiatan. Program Bentuk instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh SKPD atau masyarakat, yang dikoordinasikan oleh pemerintah daerah untuk mencapai sasaran dan tujuan pembangunan daerah. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs vii Rencana Kerja Rencana Kerja dan Anggaran RKA Dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi rencana pendapatan, rencana belanja program dan kegiatan SKPD serta rencana pembiayaan sebagai dasar penyusunan APBD. Rencana Kerja Pembangunan Daerah RKPD Dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun atau disebut dengan rencana pembangunan tahunan daerah. Rencana Kerja RENJA Dokumen perencanaan SKPD untuk periode 1 (satu) tahun. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMD Dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun. Rencana Strategis RENSTRA Dokumen perencanaan SKPD untuk periode 5 (lima) tahun. Responsif Gender Perhatian dan kepedulian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan-perbedaan perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat yang disertai upaya menghapus hambatan-hambatan struktural dan kultural dalam mencapai kesetaraan gender. Sasaran Target atau hasil yang diharapkan dari suatu program atau keluaran yang diharapkan dari suatu kegiatan. Standar Pelayanan Minimal Satuan Kerja Perangkat Daerah viii Dokumen rencana yang memuat program dan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai sasaran pembangunan, dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka anggaran. SPM Ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Stranas PPRG Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender Melalui Perencanaan dan Penganggaran Yang Responsif Gender SKPD Perangkat Pemerintah Daerah (Provinsi maupun Kabupaten/Kota) yang bertugas membantu penyusunan kebijakan, koordinasi, dan pelaksanaan kebijakan yang menjadi urusan daerah. Ke dalam SKPD termasuk Sekretariat Daerah, Staf-staf Ahli, Sekretariat DPRD, Dinas-dinas, Badan-badan, Inspektorat Daerah, lembaga-lembaga daerah lain yang bertanggung jawab langsung kepada Kepala Daerah, Kecamatankecamatan (atau satuan lainnya yang setingkat), dan Kelurahan/Desa (atau satuan lainnya yang setingkat). Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Pengarusutamaan Gender adalah strategi untuk menghilangkan hambatan yang menyebabkan tidak tercapainya kesetaraan dan keadilan gender. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs ix Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) pada tahun 1980 yang dengan tegas menolak segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Sebagai wujud komitmen tersebut, Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAW5 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kemudian pada tahun 1995, Indonesia juga mendukung Beijing Platform for Action (BPFA)6 atau Landasan Aksi Beijing. Komitmen internasional dalam kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan juga tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs)7 atau Tujuan Pembangunan Milenium pada tahun 2000 yang merupakan deklarasi bersama dari 189 negara yang berkomitmen untuk bersamasama mewujudkan pembangunan yang berpusat pada kesejahteraan manusia dengan 8 tujuan utama. Tujuan ke-3 MDGs secara khusus mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Tujuan MDGs lainnya terkait dengan pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan ibu dan anak, penanggulangan penyakit menular, kelestarian lingkungan hidup, dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani Deklarasi Milenium tersebut. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menghormati prinsip kesetaraan gender. Dalam rangka mempercepat pencapaian MDGs pada tahun 2015, Pemerintah Indonesia telah menetapkan Standar Pelayanan Minimal bagi pelayanan dasar. Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Sampai dengan tahun 2011 telah ditetapkan Standar Pelayanan Minimal dari 13 Kementrian/Lembaga yang selanjutnya menjadi pokok-pokok acuan bagi pemerintah daerah dalam penerapan SPM. Peraturan tentang SPM yang dikeluarkan Kementrian/Lembaga tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban di daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. Tantangannya kemudian adalah memastikan bahwa pelayanan dasar yang diberikan oleh Pemerintah dapat dirasakan manfaatnya baik oleh laki-laki maupun perempuan sesuai dengan kebutuhan dan pengalamannya. 5 6 7 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 18 Desember 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981. CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, di semua bidang – politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Lihat http://cedaw-seasia.org/docs/indonesia/CEDAW_text_Bahasa.pdf. Beijing Declaration and Platform For Actions atau biasa disebut Beijing Platform for Actions (BPFA) merupakan rekomendasi dan hasil Konferensi tingkat Dunia tentang Perempuan ke IV yang diselenggarakan di Beijing, China, pada tahun 4-15 September 1995. Konferensi yang bertema : Persamaan, Pembangunan, Perdamaian ini telah menghasilkan sejumlah rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota PBB dalam upaya meningkatkan akses dan kontrol kaum perempuan atas sumber daya ekonomi, politik, sosial, dan budaya. MDGs merupakan Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Targetnya adalah tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015. Target ini merupakan tantangan utama dalam pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam Deklarasi Milenium, dan diadopsi oleh 189 negara serta ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 1 Sejak tahun 1997 Indonesia telah berkomitmen untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender yang tertuang sebagai salah satu tujuan dari GBHN 1997-2002. Namun komitmen tersebut mengalami beberapa kendala dalam implementasinya, karena masih banyak yang memaknai komitmen tersebut sebagai pengalokasian program khusus bagi perempuan. Hal ini berdampak pada munculnya resistensi dan kesalahpahaman tentang upaya tersebut. Oleh karenanya kemudian dikenalkanlah strategi pengarusutamaan gender (PUG).Strategi ini dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, yang ditujukan kepada seluruh instansi pemerintah, swasta dan masyarakat baik di pusat dan di daerah. Kemudian untuk memastikan pelaksanaanya PUG di daerah, dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 (yang kemudian disempurnakan dan diperbaiki melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011) tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Bahkan pada tahun 2012 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan Surat Edaran Nomor : 270/M.PPN/11/2012, Nomor : SE-33/MK.02/2012, Nomor: 050/4379A/SJ, dan Nomor: SE 46/MPP-PA/11/2012 Tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender Melalui Perencanaan dan Penganggaran Yang Responsif Gender (Stranas PPRG). Penerapan perencanaan dan penganggaran responsif gender menunjukkan komitmen pemerintah terhadap kondisi dan situasi kesenjangan perempuan dan laki-laki yang masih terjadi, sekaligus juga melaksanakan konvensi internasional yang telah diratifikasi (seperti CEDAW) dan kesepakatan internasional yang sudah ditandatangani (seperti Landasan Aksi Beijing dan MDGs). Persoalannya inisatif untuk melaksanakan berbagai komitmen dan kebijakan tersebut masih dilakukan secara terpisah dan belum terintegrasi. Hal ini tak jarang berdampak pada tingkat efisiensi dan efektifitas pencapaian hasil dari masing-masing komitmen. Padahal banyak inisiatif dan alat-alat yang telah dikembangkan untuk masing–masing isu yang sering menguras tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Upaya untuk mengintegrasikan sesungguhnya sudah dimulai dengan dikeluarkannya Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender bagi Pemerintah Daerah yang terlampir dalam Stranas PPRG. Disini ada upaya mengintegrasikan PPRG untuk pencapaian MDGs. Sementara tentang SPM juga telah disinggung namun baru sebatas sebagai salah satu fokus dari pelaksanaan PPRG pada program dan kebijakan untuk penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. Upaya lain juga tampak pada Permendagri Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah tahun 2014. Dalam bagian penjelasan dalam Permendagri ini juga diamanahkan agar memprioritaskan belanja untuk pelaksanaan urusan wajib agar sesuai dengan SPM yang telah ditetapkan. Selain itu juga diamanahkan untuk melakukan perencanaan dan penganggaran responsif gender. Namun Kementrian Dalam Negeri dalam hal ini Direktorat Jenderal Keuangan Daerah tidak mengatur lebih lanjut bagaimana SPM dan PPRG ini dilakukan dan dapat saling menguatkan. Padahal berdasarkan pengalaman BASICS dan para mitra kerja di daerah untuk penyusunan perencanaan dan penganggaran responsif gender dalam rangka percepatan pencapaian SPM dan MDGs dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus. Oleh karena itu BASICS terpanggil untuk berkontribusi dengan mendokumentasikan instrumen dan pengalaman yang digunakan dalam mendampingi mitra kerja di daerah dalam melakukan PPRG untuk pencapaian SPM dan Percepatan MDGs. Panduan ini berupaya mengintegrasikan SPM, MDGS dan gender dalam menyusun perencanaan dan penganggaran, sehingga dapat berkontribusi dalam mendorong mekanisme dan sistem perencanaan dan penganggaran yang lebih baik. 2 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 1.2 Tujuan Penyusunan Panduan Tujuan dari penyusunan Panduan ini adalah untuk: 1. Memberikan pedoman bagi para perencana dalam menyusun Anggaran Responsif Gender (ARG), khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan, dalam upaya pemenuhan SPM pendidikan dan kesehatan serta pencapaian MDGs. 2. Memampukan para perencana untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam setiap tahap perencanaan dan penganggaran, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. 1.3 Ruang Lingkup Panduan Ruang lingkup dari Panduan ini dibatasi pada perencanaan dan penganggaran responsif gender (PPRG) di bidang pendidikan dan kesehatan, dengan menggunakan: 1. Teknik Gender Analysis Pathway (GAP); dan 2. Teknik penyusunan Gender Budget Statement (GBS). Dalam panduan ini diulas bagaimana melakukan perencanaan program dan kegiatan pembangunan dalam mendorong percepatan pencapaian SPM dan MDGs Pendidikan dan Kesehatan. Hal baru yang ditawarkan adalah bagaimana kebijakan untuk pencapaian SPM, MDGs dan kesetaraan gender benar-benar diacu dan diterjemahkan dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran. Dari sisi perencanaan dan penganggaran responsif gender (PPRG) panduan ini menawarkan bagaimana instrumen PPRG bisa digunakan untuk mendukung pencapaian SPM dan MDGs. 1.4 Landasan Hukum Penyusunan Panduan 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) Tahun 2005-2025; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Antara Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 4. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional; 5. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010; 6. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan; 7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah; 8. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Permendiknas Nomor 15 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar; 9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah Tahun 2014. 10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 741/MENKES/PER/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota; 11. Surat Edaran Bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 270/M.PPN/11/2012, Nomor SE-33/MK-02/2012, Nomor 050/4379A/SJ, Nomor SE 46/MPP-PA/11/2012 tentang Strategi Percepatan Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 3 1.5 Proses Penyusunan Panduan Panduan ini disusun berdasarkan penilaian kebutuhan dalam workshop persiapan penyusunan yang melibatkan focal point gender yang meliputi unsur Bappeda, BKBPP, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan Organisasi Masyarakat Sipil dari kabupaten/kota dan provinsi wilayah kerja BASICS. Kemudian draft panduan disusun, diujicoba secara terbatas pada Dinas Pendidikan Kota Bau-Bau dan Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan, dan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara. Uji coba baru dilakukan untuk perencanaan dan penganggaran tahunan di sektor pendidikan dan kesehatan pada program terpilih saja. Kemudian draft panduan ini juga telah direview oleh reviewer terpilih yaitu: Ibu DR. Ir. Sulikanti,M. Sc (Deputi PUG Bidang Ekonomi KPP dan PA), Ibu Hj. Nur Endang Abbas, SE, MSi (Kepala BPPKB Provinsi Sultra, saat ini menjabat sebagai Kepala BKD Provinsi Sultra ), Bapak Drs. Sudjiton, M.M (Kepala Bappeda Kota Bau Bau, sekarang menjabat sebagai Sekda Kabupaten Wakatobi), dan Bapak Noldy Tuerah, Ph.D (Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Utara, periode 2011-2013). Selain itu juga telah mendapat masukan dari peserta Lokakarya Nasional Pencapaian SPM melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Percepatan MDGs yang dilakukan pada tanggal 26-28 September 2012 di Jakarta. Gender merupakan konstruksi sosial budaya tentang peran, perilaku, tanggung jawab, serta karaketeristik yang dianggap pantas untuk perempuan dan laki-laki. Bab II Konsep Gender dan Anggaran Responsif Gender 2.1 Konsep Gender Gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggungjawab perempuan dan laki-laki yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial budaya masyarakat (WHO, 2010). Istilah gender relatif baru masuk dalam khazanah pembangunan, termasuk pembangunan kesehatan, sehingga masih banyak terjadi kerancuan dalam memahaminya apalagi mengaplikasikannya. Kerancuan itu bermula dari pemahaman yang keliru tentang ‘gender’ yang sering diartikan sebagai jenis kelamin, khususnya perempuan; padahal, istilah ‘jenis kelamin/ sex’ berbeda dengan gender. Jenis kelamin mengacu pada perbedaan karakteristik biologis dan fisiologis yang membedakan perempuan dan laki-laki. Jenis kelamin bersifat kodrati dan universal (berlaku di mana saja) dan tidak bisa dipertukarkan satu sama lain. Contoh dari sifat jenis kelamin antara lain: Perempuan dapat melahirkan, menstruasi, menyusui, laki-laki tidak; Perempuan mempunyai payudara yang berfungsi untuk menyusui, sedangkan laki-laki tidak memilikinya; Laki-laki mempunyai jakun, mempunyai testis, menghasilkan sperma, sedangkan perempuan tidak. Gender mengacu pada peran, perilaku, kegiatan serta karakteristik sosial lainnya yang dibentuk oleh suatu masyarakat atau budaya tertentu berdasarkan persepsi yang pantas untuk perempuan atau pantas untuk laki-laki. Persepsi gender dipraktikkan melalui perbedaan cara perempuan dan laki-laki dibesarkan, diajari berprilaku, dan diharapkan untuk ‘menjadi perempuan’ dan ‘menjadi lelaki’ menurut budaya masyarakatnya. Praktik ini direproduksi secara turun temurun. Gender beragam, bisa berubah-ubah dan bersifat dinamis. Contohnya antara lain: 1. Beberapa pekerjaan yang dulu dianggap hanya cocok untuk laki-laki saja (seperti dokter, pilot, montir mobil, supir, dll) atau hanya cocok untuk perempuan saja (seperti guru TK, penjahit, juru masak, pekerja salon, dll) sekarang sudah dapat dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki. 2. Peran sebagai pencari nafkah bagi keluarga sekarang dapat dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan, demikian juga dengan peran dalam mengurus rumah tangga serta merawat dan membesarkan anak. 3. Peran di bidang sosial kemasyarakatan dan politik yang dulu dianggap sebagai dunia lakilaki, sekarang sudah banyak digeluti oleh perempuan. Dan tidak sedikit perempuan yang berperan sebagai politisi, anggota legislatif, pemimpin organisasi masyarakat sipil, bahkan pemimpian negara. 4. Perbedaan dan peran gender sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Namun demikian, kondisi ideal tersebut belum tercipta karena masih terjadi ketidakadilan dan ketidaksetaraan atau diskriminasi gender. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 7 Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dapat terjadi dalam beberapa bentuk atau manifestasi, yakni : 1. Stereotipe, yaitu menempatkan wanita sebagai mahluk lemah, mahluk yang perlu dilindungi, tidak penting, tidak punya nilai ekonomi, orang rumah, bukan pengambil keputusan, dan lain-lain; 2. Subordinasi : yaitu menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki karena steorotipnya sebagai mahluk lemah, tidak boleh mengambil keputusan dibandingkan lakilaki, tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk bekerja atau berproduksi, pendidikan, dan lain-lain; 3. Marginalisasi, yaitu kondisi terpinggirkan, tidak diperhatikan atau diakomodasi dalam berbagai hal yang menyangkut kebutuhan, kepedulian, pengalaman, dan lain-lain; 4. Beban majemuk, artinya perempuan bekerja lebih beragam daripada laki-laki, dan lebih lama waktu kerjanya, misalnya fungsi reproduktif dan peran sebagai pengelola rumah tangga, termasuk bekerja di luar rumah; 5. Kekerasan terhadap perempuan, artinya perempuan mendapatkan serangan fisik, seksual atau psikologis tertentu yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan. Kekerasan bisa berbentuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik, tempat kerja, atau dalam kehidupan rumah tangga. Untuk mengurangi bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender tersebut diatas, maka perlu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pembuat kebijakan (policy maker) dan pelaksana kebijakan tentang konsep dan isu gender, karena jika para pembuat dan pelaksana kebijakan masih memiliki pola pikir, sikap dan tingkah laku yang buta gender akan menghasilkan kebijakan netral atau bias gender karena tidak mempertimbangkan pengalaman, aspirasi, dan kebutuhan laki-laki dan perempuan yang berbeda. Oleh karena itu, para pembuat dan pelaksana kebijakan perlu sensitif gender agar dapat menghasilkan kebijakan, program dan kegiatan yang memastikan laki-laki dan perempuan memperoleh keadilan dan kesetaraan dalam akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dalam setiap bidang pembangunan. Isu gender dalam bidang pendidikan dan kesehatan adalah masalah kesenjangan perempuan dan laki-laki dalam hal akses, peran atau partisipasi, kontrol dan manfaat yang diperoleh mereka dalam pembangunan kesehatan. Kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara perempuan dan laki-laki dalam upaya atau pelayanan kesehatan secara langsung menyebabkan ketidaksetaraan terhadap status kesehatan perempuan dan laki-laki, sehingga kesenjangan tersebut harus menjadi perhatian dalam menyusun kebijakan/program sehingga kebijakan/ program bisa lebih terfokus, efi sien dan efektif dalam mencapai sasaran. Oleh karena itu, isu kesehatan tidak boleh hanya dilihat pada masalah service delivery (penyediaan layanan) saja, tetapi juga perlu melihat pada hubungan sosial budaya yang menyebabkan perbedaan status dan peran perempuan dan laki-laki dan relasi antara keduanya di masyarakat. 2.2 Anggaran Responsif Gender 2.2.1 Pengertian Anggaran Responsif Gender (ARG) merupakan sistem penganggaran yang mengakomodasikan keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses, manfaat, berpartisipasi dalam mengambil keputusan dan mengontrol terhadap sumber-sumber daya serta kesetaraan terhadap kesempatan dan peluang dalam memilih dan menikmati hasil pembangunan bidang kesehatan. 2.2.2 Ciri Anggaran Responsif Gender Ciri utama ARG adalah menjawab kebutuhan perempuan dan laki-laki, serta memberikan manfaat kepada perempuan dan laki-laki secara setara. Melalui anggaran responsif gender kesenjangan gender diharapkan dapat dihilangkan atau setidaknya dapat dikurangi. Anggaran Responsif Gender dibagi atas 3 kategori, yaitu: 1. Anggaran khusus target gender, yaitu alokasi anggaran yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan dasar khusus perempuan atau laki-laki. Contoh : Program Making Pregnancy Safer (MPS), pengadaan kondom gratis bagi laki-laki, dan lain-lain. 8 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 2. Anggaran kesetaraan gender, yaitu alokasi anggaran untuk mengatasi masalah kesenjangan gender. Melalui analisis gender akan diketahui adanya kesenjangan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan dalam akses, partisipasi, kontrol dan manfaat terhadap sumber daya. Kategori ARG ini juga termasuk untuk alokasi program/ kegiatan untuk keperluan kebutuhan strategis gender, untuk mengejar kekurangan/ ketertinggalannya. Contoh : program beasiswa dengan kuota khusus bagi perempuan/ laki-laki untuk mencapai kesetaraan partisipasi dan manfaat dalam jenjang pendidikan tertentu, suami siaga, penolong persalinan oleh tenaga kesehatan laki-laki untuk daerah terisolir, Jumantik laki-laki dan perempuan di setiap RT. 3. Anggaran pelembagaan kesetaraan gender. Merupakan alokasi anggaran untuk penguatan kelembagaan PUG. Contoh: penyusunan pedoman PUG dan PPRG, penyusunan profil gender, pembentukan kelompok kerja PUG. 2.2.3 Prinsip Anggaran Responsif Gender ARG bekerja dengan cara menelaah dampak dari belanja suatu kegiatan terhadap perempuan dan laki-laki, dan kemudian menganalisa apakah alokasi anggaran tersebut telah menjawab kebutuhan perempuan serta kebutuhan laki-laki. Oleh karena itu ARG melekat pada struktur anggaran (program, kegiatan, dan output) yang ada dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) SKPD. Suatu output yang dihasilkan oleh kegiatan akan mendukung pencapaian hasil (outcome) program. Hanya saja muatan subtansi/materi output yang dihasilkan tersebut dilihat dari sudut pandang (perspektif ) gender. Dengan perkataan lain, tujuan dari ARG bukan berfokus pada penyediaan anggaran dengan jumlah tertentu untuk pengarusutamaan gender, tapi lebih luas lagi, yaitu bagaimana anggaran keseluruhan dapat memberikan manfaat yang adil untuk laki-laki dan perempuan. Prinsip tersebut mempunyai arti: 1. ARG bukanlah anggaran yang terpisah untuk laki-laki dan perempuan; 2. ARG sebagai pola anggaran yang akan menjembatani kesenjangan status, peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan; 3. ARG bukanlah dasar yang “valid” untuk meminta tambahan alokasi anggaran; 4. Adanya ARG tidak berarti adanya penambahan dana yang dikhususkan untuk program perempuan; 5. Bukan berarti bahwa alokasi ARG hanya berada dalam program khusus pemberdayaan perempuan; 6. ARG bukan berarti ada alokasi dana 50% laki-laki – 50% perempuan untuk setiap kegiatan; 7. Tidak harus semua program dan kegiatan mendapat koreksi agar menjadi responsif gender, namun ada juga kegiatan yang netral gender 2.2.4 Prasyarat Anggaran Responsif Gender Pada dasarnya setiap perencanaan dan penganggaran program diharapkan bisa menerapkan ARG, namun demikian penerapan ARG bisa berlangsung dengan baik apabila didukung dengan prasyarat sebagai berikut: 1. Kemauan politik yang tertera dalam dokumen perencanaan strategis suatu Kementerian/ Lembaga termasuk kemauan dari para perencana program di K/L untuk menerapkan ARG; 2. Ketersediaan data yang terpilah menurut jenis kelamin; 3. Sumberdaya manusia yang memadai (perencana dan penanggungjawab program yang mampu melakukan analisis gender); 4. Kemampuan untuk mengembangkan dan melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 9 PPRG merupakan instrumen untuk mengatasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dan mewujudkan keadilan dalam pembangunan. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 11 Bab III Urgensi PPRG untuk Pencapaian SPM & MDGs 3.1 Arti PPRG untuk Pencapaian SPM dan MDGs Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) bukan merupakan model perencanaan dan penganggaran yang terpisah dari mekanisme yang telah ada. PPRG juga tidak berarti meminta atau pun memberikan beban tambahan bagi anggaran. PPRG dilakukan untuk memastikan agar perencanaan dan penganggaran responsif terhadap kebutuhan laki-laki dan perempuan, serta berkontribusi untuk mengurangi kesenjangan penerima manfaat pembangunan. Ada beberapa alasan PPRG penting diantaranya seperti yang diulas di bawah ini. Kotak 1 Empat Alasan Pentingnya Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender 1.Instrumen untuk menerjemahkan dan melaksanakan komitmen, kebijakan dan regulasi pemerintah ke dalam tataran praksis. 2.Instrumen untuk melaksanakan fungsi dan tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan seluruh warga negara. 3. Membuat perencanaan dan penganggaran menPjadi lebih efektif dan efisien. 4.Berkontribusi untuk mengurangi kesenjangan tingkat penerima manfaat pembangunan. 1) Perencanaan dan penganggaran responsif gender merupakan instrumen untuk menerjemahkan dan melaksanakan komitmen, kebijakan dan regulasi pemerintah. Indonesia terikat pada komitmen untuk melaksanakan CEDAW atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Beijing Platform for Actions atau Landasan Aksi Beijing, dan MDGs. CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, di semua bidang – politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Konvensi mendorong diberlakukannya perundang-undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakan khusus-sementara untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktek-praktek kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki8. Beijing Platform for Actions merupakan landasan aksi bagi negara-negara di dunia untuk melaksanakan CEDAW yang fokus pada 12 area kritis, yaitu : (1) Perempuan dan kemiskinan; (2) Perempuan dan pendidikan; (3) Perempuan dan kesehatan; Kemudian (4) Kekerasan terhadap perempuan; (5) Perempuan dan konflik bersenjata; (6) Perempuan dan ekonomi; (7) Perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; (8) Mekanisme kelembagaan untuk memajukan perempuan; (9) Hak-hak azasi untuk perempuan; (10) Perempuan dan media masa; (11) Perempuan dan lingkungan hidup; (12) Anak perempuan9. 8 9 Lihat http://cedaw-seasia.org/docs/indonesia/CEDAW_text_Bahasa.pdf. Lihat www.un.org. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 13 Sedangkan MDGs atau Tujuan Pembangunan Milenium adalah hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) berupa delapan butir tujuan untuk tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015. Adapun ke-8 tujuan itu adalah : (1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) Mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;( 4) Menurunkan angka kematian anak; (5) Meningkatkan kesehatan ibu; (6) Memerangi HIV AIDs, malaria, dan penyakit menular lainnya; (7) Memastikan kelestarian lingkungan hidup; dan (8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan10. Kemudian dalam rangka mendorong percepatan pencapaian MDGS, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal. Saat ini telah terdapat 15 Kementerian/Lembaga yang telah menyusun SPM, diantaranya Permendiknas No. 15 Tahun 2010 yang telah disempurnakan oleh Permendiknas No. 23 Tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar Kabupaten/Kota. SPM bidang kesehatan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 828/ Menkes/SK/IX/2008 tentang Petunjuk Teknis SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan berbagai kebijakan yang menjadi landasan bagi urgensi pelaksanaan PPRG diantaranya: Intsruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Implikasi dari peraturan tersebut dibutuhkan adanya kelembagaan dan penguatan kapasitas serta fasilitas agar Pengarusutamaan Gender benar-benar dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang pembangunan. Oleh karenanya perlu didukung oleh perencanaan dan penganggaran yang responsif gender. 2) Instrumen melaksanakan fungsi dan tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh warga negara. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menetapkan bahwa tujuan negara adalah melindungi, mencerdaskan, mensejahterakan dan mewujudkan keadilan. Oleh karena demikian, tujuan negara ini juga menjadi tujuan dari pembangunan Indonesia. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan, pemerintah telah mengubah paradigma pembangunan dari paradigma pembangunan tradisional yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan penimbunan modal menjadi paradigma baru yang menekankan pada growth (pertumbuhan) and equity (keadilan). Di tingkat internasional, Millenium Development Goals (MDGs) menjadi tujuan pembangunan yang hendak dicapai. Salah satunya adalah perlunya diwujudkan keadilan pembangunan agar bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan yang secara terus-menerus diupayakan oleh Gerakan Perempuan di dunia. Gerakan Perempuan kontemporer menggunakan pendekatan Gender and Development (GAD), yang fokus untuk mengubah ketimpangan gender dengan melihat relasi laki-laki dan perempuan dan menginginkan perempuan dan laki-laki memperoleh manfaat bersama dari pembangunan. Sebelumnya, pendekatan yang digunakan adalah Women in Development (WID) yang memusatkan perhatian pada perempuan dan mendorong perempuan diikutsertakan dalam pembangunan yang dikongkritkan dalam bentuk program khusus perempuan menjadi pendekatan 10 14 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Tujuan_Pembangunan_Milenium# Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Instrumen yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan, antara lain: birokrasi, regulasi, anggaran, sumberdaya manusia dan masyarakat sipil (organisasi masyarakat, pers dan perguruan tinggi) yang memerankan sebagai pelaku kontrol sosial. Pasal 23 ayat 1 UndangUndang Dasar 1945 menyatakan bahwa anggaran negara harus dikelola secara transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, anggaran merupakan alat untuk mewujudkan tujuan dan menjalankan fungsi negara. Kebijakan anggaran yang disusun merupakan refleksi dari prioritas dan keberpihakan pemerintah dalam pembangunan. 3) PPRG membuat perencanaan dan penganggaran menjadi lebih efektif dan efisien. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara merupakan aturan yang menandai perubahan sistem anggaran dari anggaran tradisional ke anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting). Undang-Undang ini kemudian diturunkan dalam aturanaturan pelaksanaannya, yaitu: Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dan revisinya, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut perencanaan dan penganggaran harus berbasis kinera. Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) adalah penyusunan anggaran yang didasarkan atas perencanaan kinerja. ABK terdiri dari program dan kegiatan yang akan dilaksanakan serta indikator kinerja yang ingin dicapai oleh suatu entitas anggaran. Anggaran berbasis kinerja fokus pada pemberian layanan. Jika anggaran tradisional hanya melaporkan jumlah dana yang dialokasikan dan dibelanjakan, maka anggaran kinerja melaporkan apa yang telah dilakukan dengan uang yang ada. Oleh karena itu, dalam ukuran keberhasilan tidak ditentukan oleh habis/tidaknya anggaran melainkan ditentukan oleh tercapai/tidaknya indikator kinerja yang telah ditetapkan. Dengan demikian, indikator kinerja merupakan elemen utama yang perlu diperhatikan. Penganggaran berbasis kinerja bertujuan untuk membuat anggaran lebih ekonomis11 , efisien12 dan efektif13 . 4) Penerapan PPRG didasarkan atas semangat yang sama untuk membuat anggaran menjadi lebih ekonomis, efisien dan efektif. PPRG dapat berkontribusi positif untuk mewujudkan tujuan dari penganggaran berbasis kinerja karena pada PPRG dilakukan analisis situasi/ analisis gender. Dalam analisa situasi dilakukan pemetaan peran perempuan dan laki-laki, kondisi perempuan dan laki-laki, kebutuhan perempuan dan laki-laki serta permasalahan perempuan dan lakilaki. Dengan demikian analisis gender akan melihat, meneliti dan memberikan jawaban yang lebih tepat untuk memenuhi kebutuhan perempuan dan laki-laki melalui penetapan program/ kegiatan dan anggaran, menetapkan kegiatan apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi kesenjangan gender, dan siapa yang sebaiknya dijadikan target sasaran dari sebuah program/ kegiatan, kapan dan bagaimana program/kegiatan akan dilakukan. 5) Mengurangi kesenjangan tingkat penerima manfaat pembangunan Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 telah jelas disebutkan tentang Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah, yang biasa disebut dengan 10 asas umum pengelolaan keuangan daerah, yaitu : tertib, taat pada peraturan perundang undangan, efektif, efisien, ekonomis,transparan, bertanggung jawab, keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Dari peraturan tersebut secara jelas diamanahkan agar dalam pengelolaan keuangan daerah dimana didalamnya termasuk APBD harus mengedepankan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Ini berarti setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk memperoleh manfaat yang setara dari pembangunan baik di desa maupun di kota. Namun realitasnya masih ditemukan kesenjangan penerima manfaat pembangunan, diantaranya seperti yang dapat dilihat dalam tabel berikut ini. 11 12 13 Ekonomis berarti memperoleh masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah. Efisien bermakna mencapai hasil maksimum dengan pengeluaran tertentu Efektif berbarti membandingkan pengeluaran dengan hasil yang diperoleh. Melihat pencapaian hasil program dengan target yang telah ditentukan. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 15 Tabel 1 Indeks IPM, IPG, dan IDG 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2011 Provinsi IPM IPG IDG 1.Nanggroe Aceh Darussalam 72,16 65,76 52,06 2.Sumatera Utara 74,65 70,34 67,39 3.Sumatera Barat 74,28 69,55 64,62 4.Riau 76,53 66,17 65,34 5.Jambi 73,3 63,95 58,59 6.Sumatera Selatan 73,42 66,84 68,34 7.Bengkulu 73,4 68,45 69,33 8. Lampung 71,94 63,5 65,86 9. Bangka Belitung 73,37 60,79 56,03 10. Kepulauan Riau 75,78 64,69 60,62 11.DKI Jakarta 77,97 74,01 74,7 12. Jawa Barat 72,73 63,25 68,08 13. Jawa Tengah 72,94 66,45 68,99 14.Yogyakarta 76,32 73,07 77,84 15.Jawa Timur 72,18 65,61 68,52 16. Banten 70,95 63,35 66,58 17.Bali 72,84 58,24 58,59 18.Nusa Tenggara Barat 66,23 56,7 56,57 19.Nusa Tenggara Timur 67,75 65,33 58,9 20.Kalimantan Barat 69,66 64,78 56,39 21. Kalimantan Tengah 75,06 69,8 69,48 22. Kalimantan Selatan 70,44 65,59 62,99 23.Kalimantan Timur 76,22 61,07 61,29 24. Sulawesi Utara 76,54 68,6 68,61 25. Sulawesi Tengah 71,62 63,03 66,08 26. Sulawesi Selatan 72,14 62,75 63,38 27. Sulawesi Tenggara 70,55 64,79 65,26 28. Gorontalo 70,82 57,67 62,12 29.Sulawesi Barat 70,11 65,86 64,62 30.Maluku 71,87 67,76 76,51 31. Maluku Utara 69,47 65,35 59,38 32. Papua Barat 69,65 59,24 57,54 33. Papua 65,36 62,69 57,74 Indonesia 72,71 67,8 69,14 Sumber: Diolah dari Data Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2006-2012 Kerjasama BPS dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Data di atas menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antar daerah berbeda satu sama lainnya, demikian juga dengan Indeks Pembangunan Gender (IPG) maupun Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Jika dicermati daerah yang IPM-nya tinggi belum tentu memiliki IPG dan IDG yang tinggi juga. Ini menunjukkan bahwa kesenjangan antara penerima manfaat pembangunan tidak saja terjadi antar wilayah tetapi juga antara laki-laki dan perempuan dalam satu wilayah yang sama. 16 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Disinilah letak pentingnya PPRG karena membantu para perencana untuk menemukan faktor kesenjangan dan penyebab kesenjangan. Apakah yang berasal dari internal organisasi (sumber daya manusia, leadership, budaya organisasi, dan lain sebagainya) maupun yang berasal dari eksternal organisasi (budaya, kondisi ekonomi, lingkungan, dan lain sebagainya). Hal ini dapat diidentifikasi dengan menggunakan analisis gender. Dengan berhasil ditemukannya akar masalah dari kesenjangan penerima manfaat maka para perencana akan dapat dengan tepat menyusun rencana program dan kegiatan yang akan dilakukan untuk mengatasi kesenjangan penerima manfaat. 3.2 Tujuan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender PPRG merupakan sebuah pendekatan penyusunan perencanaan dan penganggaran yang bertujuan untuk: 1. Memberikan pedoman dalam melaksanakan program/kegiatan dan pengelolaan anggaran dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. 2. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman para pengambil keputusan tentang isu-isu gender dalam kebijakan/program/kegiatan dan anggaran pemerintah. 3. Mendorong kesetaraan akses, kontrol, partisipasi dan penerima manfaat pembangunan, baik laki-laki dan perempuan. 4. Mewujudkan perencanaan dan penganggaran yang ekonomis, efisien, efektif, dan adil. 5. Mendorong akuntabilitas pemerintah dalam menjalankan komitmennya untuk mewujudkan kesetaraan gender dan kesejahteraan semua anggota masyarakat, laki-laki dan perempuan. 3.3 Dasar Hukum PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs Inpres 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional telah menginstruksikan kepada Menteri; Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen; Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara; Panglima Tentara Nasional Indonesia; Kepala Kepolisian Republik Indonesia; Jaksa Agung Republik Indonesia; Gubernur; Bupati/ Walikota diantaranya untuk : “Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing.” Dasar hukum yang secara eksplisit mengamanahkan tentang perencanaan dan penganggaran responsif gender diantaranya: 1. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender di Daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk masing-masing Provinsi, Kabupaten dan Kota sekurang-kurangnya minimal sebesar 5 % (lima persen) dari APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota. Namun dalam perkembangannya Kepmendagri ini direvisi oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 yang tidak lagi memberikan alokasi anggaran khusus untuk gender karena dalam prakteknya sering terjadi kesalahan pahaman dimana anggaran responsif gender hanya untuk BPPKB atau pun khusus anggaran perempuan. Padahal idealnya perencanaan dan penganggaran responsif gender harus dilakukan oleh semua institusi. 2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Dalam Permendagri ini Pasal yang secara khusus mengatur tentang perencanaan dan penganggaran responsif gender ada pada pasal 4, 5, dan 6 (mengatur tentang perencanaan responsif gender) serta pasal 26,27, dan 28 (mengatur tentang pendanaan). Namun belum secara khusus menyebutkan tentang penganggaran responsif gender. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah daerah berkewajiban menyusun kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif gender yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD, Rencana Strategis SKPD, dan Rencana Kerja SKPD. Penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif gender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui analisis gender. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 17 3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Perubahan dilakukan terhadap pasal 1, pasal 4, pasal 5 dan penambahan pasal 5A, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11 dan pasal 12. Pasal yang secara khusus mengatur PPRG ada dalam Pasal 1, pasal 4, pasal 5 dan pasal 5A. Hal yang baru dan belum ada sebelumnya adalah tentang amanah penyusunan Gender Budget Statement (GBS) dalam Pasal 5A ayat 1. 4. Surat Edaran Nomor : 270/M.PPN/11/2012, Nomor : SE-33/MK.02/2012, Nomor: 050/4379A/SJ, dan Nomor: SE 46/MPP-PA/11/2012 Tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender Melalui Perencanaan dan Penganggaran Yang Responsif Gender (STRANAS). Kebijakan PPRG ke depan diarahkan pada: (1) Pelembagaan PPRG dengan membangun komitmen pejabat tertinggi dan tinggi K/L dan Pemerintah Provinsi; (2). Koordinasi instansi penggerak dengan K/L teknis dan SKPD teknis; dan (3)Peningkatan kapasitas K/L dalam melakukan analisis gender untuk menyusun Lembar ARG. 5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2014. Dalam bagian lampiran V yang mengatur Hal Khusus Lainnya point 40 mengamanahkan untuk melaksanakan PPRG dengan mengacu kepada SE Nomor : 270/M.PPN/11/2012, Nomor : SE-33/MK.02/2012, Nomor: 050/4379A/SJ, dan Nomor: SE 46/MPP-PA/11/2012 Tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender Melalui Perencanaan dan Penganggaran Yang Responsif Gender (STRANAS). Kemudian dalam implementasi untuk perencanaan dan penganggaran responsif gender mengacu dan tidak bertentangan dengan payung hukum perencanaan, penganggaran, standar pelayanan minimal, dan gender. Kotak 2 Dasar Hukum PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs Perencanaan • UU No.25 /2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; • UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; • UU No.12/2008 tentang Pemerintahan Daerah; • PP No. 8/2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Daerah; • Permendagri No.54/ 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah; • Permendagri Nomor 23 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Rencana Kerja Pembangunan Daerah Tahun 2014. 18 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Kotak 2 Dasar Hukum PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs Penganggaran • UUD 19 45 tentang Konstitusi Negara; • UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara; • UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara; • UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; • UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; • PP No. 58/2005 tentang Keuangan Daerah; • Permendagri 13/2006 yang disempurnakan oleh Permendagri 59/2007 tentang Tata Cara Pengelolaan Keuangan Daerah; • Permendagri No. 27 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2014 SPM Pendidikan dan Kesehatan; • Peraturan Pemerintah No. 65/ 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal; • Peraturan Pemerintah No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota; • Peraturan Pemerintah No. 79/2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal; • Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 741/Menkes/PER/VII/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota; • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 15/ 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar Kabupaten/Kota. Gender • UU No. 7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan; • Inpres No.9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender dalam Pembangunan Nasional; • Inpres Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan; • Permendagri 15/ 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan PUG di Daerah • Permendagri 67/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan PUG di daerah • Surat Edaran Nomor : 270/M.PPN/11/2012, Nomor : SE-33/MK.02/2012, Nomor: 050/4379A/SJ, dan Nomor: SE 46/MPP-PA/11/2012 Tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender Melalui Perencanaan dan Penganggaran Yang Responsif Gender (Stranas PPRG) Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 19 PPRG memastikan pelayanan dasar yang manfaatnya dapat dirasakan secara adil oleh laki-laki dan perempuan. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 21 BAB IV KONSEP PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER UNTUK PENCAPAIAN SPM DAN MDGS 4.1Kharakteristik Perencanaan dan Penganggaran Gender untuk Pencapaian SPM dan MDGs Responsif Perencanaan dan penganggaran responsif gender bukanlah suatu upaya penyusunan rencana dan anggaran yang terpisah. Perencanaan dan penganggaran responsif gender untuk pencapaian SPM dan percepatan MDGs merupakan sebuah pendekatan penyusunan perencanaan dan penganggaran untuk menjawab kebutuhan pelaksanaan SPM dan pencapaian MDGs dengan didahului oleh analisis gender. Dengan demikian masalah yang menyebabkan pencapaian SPM belum seperti diharapkan dapat ditelaah dan ditemukan akar masalahnya sehingga dapat diidentifikasikan tindakan-tindakan atau pun kegiatan yang harus dilakukan untuk mengatasinya. Dengan demikian pengalokasian anggaran dapat disusun dengan lebih tepat. Berikut gambar keterkaitan SPM, MDGs dan gender dengan perencanaan dan penganggaran. Gambar 1 Keterkaitan perencanaan dan penganggaran dengan SPM, MDGs, dan Gender IPM/IPG/IDG Dampak MDGS Gender Hasil Gender SPM Penganggaran Perencanaan Keluaran Proses 4E Gender sumber: Sri Mastuti, 2012 Gambar di atas memperlihatkan bahwa perencanaan dan penganggaran merupakan sebuah proses untuk mencapai keluaran yang berupa pencapaian SPM, yang kemudian akan berkontribusi untuk pencapaian MDGs dimana pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup manusia yang terefleksi pada IPM. Serta meningkatnya keadilan penerima manfaat pembangunan bagi laki-laki dan perempuan yang terefleksi pada IPG maupun pemberdayaan perempuan yang terefleksi dari IDG. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 23 Demi menjamin agar dampak peningkatan kualitas hidup manusia yang secara berkeadilan itu tercapai maka dalam proses perencanaan perlu menggunakan 4E yaitu ekonomis, efisien, efektif dan equity. Ekonomis artinya bagaimana agar terjadi penghematan dari sisi sumber daya yang digunakan. Kemudian bagaimana dengan sumber daya yang terbatas tercapai hasil-hasil yang diharapkan sesuai dengan target yang optimal, dengan demikian efisiensi tercapai. Tetapi yang juga tidak kalah pentingnya juga efektifitas dimana tujuan dapat tercapai sesuai rencana. Equity juga harus menjadi pertimbangan agar menjamin adanya pemerataan distribusi sumber daya dan pengurangan kesenjangan penerima manfaat. Agar 4 E dapat diterapkan secara proporsional maka perspektif gender sangat diperlukan. Penyusunan perencanaan penganggaran berbasis SPM, MDGs dan responsif gender hendaknya berbasis pada data terpilah baik data kuantitatif maupun data kualitatif yang tersedia. Jika datanya belum tersedia maka perlu dilakukan pengumpulan data. Kemudian data-data tersebut mesti dikaji dan dianalisa secara kritis. Hal ini penting mengingat hasil analisa yang dilakukan nantinya akan menjadi acuan bagi penentuan kegiatan dan anggaran prioritas yang akan dialokasikan untuk percepatan pencapaian SPM dan MDGS. Data yang digunakan dapat berupa data kualitatif maupun kuantitatif. Di sini keberadaan data gender yang memberikan informasi tentang keterkaitan isu-isu gender dengan data terpilah berdasarkan jenis kelamin akan menjadi penting dan sangat membantu mempertajam hasil analisa. Perencanaan penganggaran berbasis SPM, MDGs dan responsif gender tetap menjunjung prinsip-prinsip perencanaan dan penganggaran yang baik sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Prinsip-prinsip tersebut adalah mengedepankan transparansi, partisipasi, akuntabel, ekonomis, efisien, efektif, tertib, dan responsif. Nilai tambah dari perencanaan penganggaran berbasis SPM, MDGs dan responsif gender, justru terletak dari penggunaan perspektif gender dalam mengidentifikasikan kebutuhan, pengalokasian, dan mengkaji dampak anggaran bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Kotak 3 Karakteristik Perencanaan dan Penganggaran Berbasis SPM, MDGs dan Berkesetaraan Gender 1. Mengintegrasikan SPM, MDGs dan kesetaraan gender dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran. 2.Bukan merupakan mekanisme perencanaan dan penganggaran terpisah dari mekanisme yang sudah ada. 3.Perencanaan dan penganggaran yang didahului oleh analisa data dengan menggunakan perspektif gender untuk mengidentifikasikan permasalahan dalam pencapaian SPM dan MDGs serta isu gender yang ada. 4.Perencanaan dan penganggaran yang tetap mengedepankan prinsip-prinsip tatalaksana pemerintahan yang baik ( good governance) Perencanaan dan penganggaran berbasis SPM, MDGs dan responsif gender dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu: 1) Alokasi anggaran untuk mendukung pencapaian SPM dan MDGS yang menjawab kebutuhan khusus gender. Di sini alokasi anggaran untuk pencapaian SPM dan MDGs diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan praktis gender. Artinya jika terdapat alokasi anggaran ini maka kebutuhan khusus laki-laki dan atau kebutuhan khusus perempuan untuk dapat menjalankan peran domestik dan sosialnya dapat berjalan dengan baik. Namun dampak dari alokasi ini tidak sampai pada perubahan relasi atau pun kesenjangan sosial, politik dan ekonomi yang ada antara laki-laki dan perempuan. Contoh: Alokasi anggaran untuk program/kegiatan menurunkan angka kematian ibu melalui peningkatan cakupan peserta K4 dan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih. 24 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 2) Alokasi anggaran untuk memberikan perlakuan khusus sementara (tindakan afirmatif) demi menjamin kesempatan dan percepatan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan. Alokasi ini diperuntukkan bagi upaya mengatasi kesenjangan gender akibat perbedaan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat karena konstruksi sosial dan budaya setempat. Latar belakang sosial, budaya, pendidikan, lingkungan, dan keyakinan ikut berkontribusi dalam mempengaruhi kedudukan dan posisi laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya. Akibatnya jika tidak dilakukan analisis terlebih dahulu terhadap kebutuhan sasaran program/ kegiatan, maka salah satu kelompok, baik laki-laki atau pun (umumnya) pada perempuan, mengalami kesenjangan dalam penerimaan akses dan manfaat dari layanan publik atau pun manfaat pembangunan secara menyeluruh. Oleh karenanya untuk mengurangi kesenjangan, maka perlu memberikan perlakuan khusus sementara (tindakan afirmatif ) kepada kelompok yang tertinggal. Contoh: Alokasi anggaran untuk pemerataan layanan pendidikan melalui peningkatan partisipasi sekolah anak laki-laki dan perempuan, di mana ada perbedaan yang nyata dalam tingkat partisipasi antara anak laki - laki dan anak perempuan. Contoh lainnya: Program peningkatan mutu pendidikan melalui kegiatan sertifikasi guru sekolah dengan memberikan perlakuan khusus sementara bagi kelompok guru perempuan yang berada di daerah tertinggal dan terisolir, karena umumnya guru perempuan tidak atau sulit meninggalkan keluarga dan tempatnya bekerja. 3) Alokasi anggaran untuk program dan kegiatan umum yang terkesan netral, termasuk kegiatan yang mendukung. Dalam kategori ini perlu dilakukan analisa gender untuk mengidentifikasikan isu-isu gender yang ada pada SPM/MDGs. Analisa gender hendaknya dilakukan oleh para perencana sendiri atau pun bekerjasama dengan focal point gender di SKPD yang bersangkutan dan juga organisasi masyarakat sipil termasuk kalangan perguruan tinggi. Hal ini sangat penting dan diutamakan karena program dalam setiap tujuan MDGs maupun indikator SPM, sesungguhnya terdapat isu gender yang jika diabaikan dapat berakibat pada kurang efektifnya pencapaian SPM dan MDGs. Contoh: Alokasi anggaran untuk peningkatkan cakupan peserta keluarga berencana (KB) aktif. Biasanya kegiatan ini hanya ditujukan kepada para istri saja, sehingga para suami jarang yang menjadi peserta KB. Tak jarang juga ada istri yang tidak bersedia menjadi peserta KB karena tidak diijinkan suaminya. Ketika istri dihadapkan pada kondisi tidak cocok dengan semua jenis alat kontrasepsi, para suami juga masih jarang yang bersedia menjadi asebtor KB. Kurangnya pengetahuan akan alat kontrasepsi pria bahkan tak jarang terjadi kesalah pahaman berkontribusi bagi masih rendahnya minat para suami menjadi peserta KB. Oleh karena demikian, kegiatan komunikasi informasi dan edukasi KB hendaknya mencakup peserta laki-laki dan perempuan. 4.2. Penerapan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender dalam Anggaran Berbasis Kinerja Anggaran memiliki fungsi yang cukup strategis dalam pelaksanaan pembangunan. Fungsi anggaran dapat dilihat dari perspektif ekonomi dan perspektif administrasi. Dari perspektif ekonomi anggaran memiliki fungsi: 1. Fungsi alokasi, yaitu instrumen untuk penyediaan barang dan jasa guna pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dalam kontek PPRG untuk pencapaian SPM dan percepatan MDGS, anggaran merupakan instrumen belanja guna memenuhi kebutuhan baik barang maupun jasa dengan memberikan kesempatan yang setara bagi laki-laki dan perempuan untuk menerima manfaat. Kebutuhan di sini meliputi kebutuhan praktis maupun kebutuhan strategis gender. 2. Fungsi distribusi, yaitu alat untuk memastikan pembangunan memberikan manfaat yang adil bagi rakyat. Anggaran menjadi instrumen untuk mendistribusikan pendapatan dan belanja untuk memastikan setiap anggota masyarakat memperoleh manfaat dari pembangunan baik laki-laki maupun perempuan, anak perempuan dan anak laki-laki. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 25 3. Fungsi stabilisasi, merupakan alat untuk memastikan terjadinya pembangunan yang berkelanjutan dengan mengontrol angka pertumbuhan dan menekan inflasi. Dalam rangka mengendalikan pertumbuhan dan inflasi keberadaan pekerja sektor informal dan industri kecil tentu tidak dapat diabaikan. Di sini peran perempuan yang pada umumnya banyak bekerja di sektor informal dan industri kreatif tentu perlu diperhatikan. Fungsi anggaran dari perspektif administrasi yaitu: (1) Fungsi perencanaan. (2) Fungsi manajemen. (3) Fungsi pengawasan. (4) Fungsi Evaluasi. Dalam konteks perencanaan dan penganggaran responsif gender, fungsi administrasi diimplementasikan sebagai alat untuk mewujudkan visi, misi maupun penerapan strategi dan pelaksanaan program dan kegiatan. Dalam banyak visi, misi maupun strategi pembangunan di daerah mencantumkan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan prima. Bahkan ada daerah seperti Provinsi Sulawesi Tenggara dalam RPJMD 2009-2013 mencantumkan secara eksplisit bahwa pengarusutamaan gender menjadi salah satu strategi pembangunannya. Oleh karena itu, dalam penyusunan anggaran daerah sudah semestinya dinyatakan secara eksplisit program, kegiatan dan anggaran responsif gender untuk pencapaian SPM dan MDGs. Pelaksanaannya mesti dimonitor dan dievaluasi. Penerapan anggaran responsif gender untuk pencapaian SPM dan MDGs sejalan dengan semangat asas umum pengelolaan keuangan daerah yang mengedepankan pada prinsip ekonomis, efektif, efisien dan adil. Kotak 4 Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam pasal 4 Permendagri No. 13 Tahun 2006 telah jelas disebutkan tentang Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah, yaitu: 1) Tertib. Keuangan daerah dikelola secara tepat waktu, tepat guna yang didukung dengan bukti – bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan; 2) Taat pada peraturan perundang-undangan. Pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada peraturan perundang-undangan; 3) Efektif. Membandingkan pengeluaran dengan hasil yang diperoleh. Melihat pencapaian hasil program dengan target yang telah ditentukan; 4) Efisien. Pencapaian hasil maksimum dengan pengeluaran tertentu; 5) Ekonomis. Memperoleh masukan dengan kualitas tertentu pada tingkat harga yang terendah; 6) Transparan. Memakai prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses dan informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah; 7) Bertanggungjawab. Merupakan perwujudan kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan; 8) Keadilan. Keseimbangan distribusi dan pendanaan dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif; 9) Kepatutan. Tindakan yang dilakukan harus proporsional dan wajar; 10) Manfaat untuk masyarakat. Keuangan daerah diutamakan dimanfaatkan untuk memastikan ketersediaan pelayanan dasar. Alokasi anggaran diperlukan untuk pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM). 26 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Semangat dari penganggaran bukan lagi pada berapa banyak input dan seberapa banyak penyerapan anggaran, tetapi lebih kepada kinerja. Penerapan anggaran berbasis kinerja untuk daerah di dasarkan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU ini merupakan aturan yang menandai perubahan sistem anggaran dari anggaran tradisional ke anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting). UU No 17 ini kemudian diturunkan dalam aturan-aturan dibawahnya, yaitu PP No 58 tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri No 13 Tahun 2006 dan revisinya, yaitu Permendagri No 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) adalah penyusunan anggaran yang didasarkan atas perencanaan kinerja. ABK terdiri dari program dan kegiatan yang akan dilaksanakan serta indikator kinerja yang ingin dicapai oleh suatu entitas anggaran. Anggaran berbasis kinerja fokus pada pemberian layanan. Jika anggaran tradisional hanya melaporkan jumlah dana yang dialokasikan dan dibelanjakan, maka anggaran kinerja melaporkan apa yang telah dilakukan dengan uang yang ada. Oleh karena itu, dalam ukuran keberhasilan tidak ditentukan oleh habis/tidaknya anggaran melainkan ditentukan oleh tercapai/tidaknya indikator kinerja yang telah ditetapkan. Dengan demikian, indikator kinerja merupakan elemen utama yang perlu diperhatikan. Secara umum, ada tiga indikator kinerja yang biasa digunakan, yaitu input (masukan), output (keluaran) dan outcome (hasil). Gambar 2 METODE PENYUSUNAN Konsep Kerangka Kinerja Dampak Hasil Pembangunan yang diperoleh dari pencapaian outcome Hasil/ Outcome Manfaat yang diperoleh dalam Jangka menengah untuk beneficiries tertentu sebagai hasil dari output Produk/barang/jasa yang dihasilkan Keluaran/ Output Kegiatan Proses/kegiatan menggunakan input menghasilkan output yang diinginkan Apa yang ingin diubah Apa yang ingin dicapai Apa yang dihasilkan (barang) atau dilayani (jasa) Apa yang dikerjakan? METODE PELAKSANAAN Input Sumberdaya yang menghasilkan kontribusi dalam menghasilkan output Apa yang digunakan dalam bekerja 2 sumber: Yusuf Suphiandi, 2012 Secara lebih rinci maksud dan tujuan penganggaran berbasis kinerja adalah: 1. Mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dan dampak (outcome) atas alokasi belanja (input) yang ditetapkan; 2. Disusun berdasarkan sasaran tertentu yang hendak dicapai dalam satu tahun anggaran; 3. Program dan kegiatan disusun berdasarkan renstra/tupoksi SKPD. 4. Pada dasarnya penganggaran berbasis kinerja akan mengubah fokus pengukuran pencapaian program/kegiatan yang akan dilaksanakan oleh satuan kerja. Jika sebelumnya lebih menekankan pada input namun sekarang lebih menekankan pada keluaran dan hasil. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 27 Indikator pengukuran kinerja terdiri dari: 1. Indikator input (masukan) merupakan jumlah sumber daya yang digunakan untuk menjalankan suatu kegiatan atau program. Input terdiri atas uang, tenaga kerja, data, waktu dan teknologi. 2. Indikator output (keluaran) adalah unit barang/jasa yang dihasilkan suatu kegiatan atau program. Contoh output misalnya jumlah barang yang dihasilkan, kualitas barang yang dihasilkan, tenaga ahli, tenaga terlatih. 3. Indikator outcome (hasil jangka menengah), merujuk pada perubahan pada keadaan kelompok sasaran program sebagai akibat dari pelaksanaan jasa/pelayanan program. Contoh outcome diantaranya menurunnya angka kematian ibu, menurunnya anak putus sekolah, dan lain sebagainya. Dengan penerapan tiga pendekatan tersebut maka sistem perencanaan dan penganggaran multitahunan yang lebih berbasis hasil dapat diterapkan. Sistem tersebut dicirikan oleh pelaksanaan review kebijakan dan program, dan mencerminkan tekanan dari berbagai sumber temasuk masukan dari masyarakat, yang utama berasal dari perkembangan politik, fluktuasi ketersediaan sumber daya, dan informasi baru mengenai efisiensi dan efektifitas program yang didukung oleh anggaran. 28 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Penerapan PPRG menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengatasi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam pemanfaatan hasil pembangunan. BAB V PENGINTEGRASIAN PPRG UNTUK PENCAPAIAN SPM DAN MDGs DALAM DOKUMEN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN 5.1 Analisa Gender dalam Perencanaan dan Penganggaran Analisa gender merupakan tahapan yang paling penting untuk dilakukan sebelum penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran. Dalam analisis gender dilakukan identifikasi secara sistematis tentang isu-isu gender. Isu- isu ini muncul karena disebabkan adanya pembedaan peran serta hubungan sosial yang timpang antara perempuan dan laki-laki. Analisis gender perlu dilakukan, karena pembedaan-pembedaan ini menyebabkan adanya pembedaan diantara keduanya dalam pengalaman, kebutuhan, pengetahuan, dan perhatian. Pembedaan tersebut juga berimplikasi pada pembedaan antara keduanya dalam memperoleh akses dan manfaat dari hasil pembangunan, berpartisipasi dalam pembangunan serta penguasaan terhadap sumberdaya pembangunan Kotak 5 Contoh Isu Gender dalam SPM Bidang Kesehatan Kasus Angka cakupan kunjungan ibu hamil (K4) di Kabupaten Kepulauan X pada tahun 2011 sebesar 73,89%, padahal target SPM yang harus dicapai pada tahun 2015 cakupan K4 sebesar 95%. Masalah Cakupan kunjungan ibu hamil (K4) di Kabupaten Kepulauan X masih jauh lebih rendah dari target SPM yang turut berkontribusi terhadap tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) 76/1000 padahal target MDGs 32/1000 pada tahun 2015. Isu Gender 1. Faktor kesenjangan a. Akses: ibu hamil sulit menjangkau tempat yang menyediakan layanan K4 b. Partisipasi: kurangnya partisipasi suami dan keluarga dalam memotivasi dan mendampingi Ibu hamil dalam melaksanakan K4 c. Kontrol: perempuan tidak dapat pergi sendiri untuk memperoleh layanan K4 dalam kondisi hamil besar dan kondisi geografis yang sulit d. Manfaat: belum semua Ibu hamil memperoleh manfaat dari ketersediaan layanan K4 2. Penyebab kesenjangan a. Selama ini penyuluhan tentang pemeriksaan kehamilan hanya ditujukan kepada Ibu hamil sementara suami dan keluarga tidak dilibatkan sebagai Kelompok sasaran. b. Ketersediaan tempat layanan K4 yang jauh dari lokasi tempat tinggal Ibu hamil ditambah kondisi geografis yang sulit untuk menjangkau tempat layanan. c. Kurangnya kesadaran ibu hamil, suami dan keluarga pentingnya untuk melaksanakan K4. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 31 Kotak 6 Contoh Isu Gender SPM Bidang Pendidikan Kasus SPM/MTs di Kabupaten X belum semua guru mata pelajaran tersedia. Dari 653 kebutuhan guru mata pelajaran untuk SMP baru 525 yang tersedia. Jadi masih belum tersedia 128 guru untuk mata pelajaran terutama guru matematika, IPS, Pendidikan Kesehatan Jasmani, Muatan lokal. Padahal salah satu indikator SPM Pendidikan mengharuskan setiap SMP memiliki minimal satu guru mata pelajaran untuk daerah khusus tersedia satu orang guru untuk setiap rumpun mata pelajaran. Masalah SPM tentang ketersediaan guru untuk semua mata pelajaran di Kabupaten X belum tercapai karena masih kurang 128 guru. Hal ini kemudian berdampak pada masih kurangnya kualitas dan mutu lulusan SMP di Kabupaten X. Isu Gender 1. Faktor kesenjangan a. Akses: tidak semua siswa laki-laki dan perempuan yang belajar di sekolah di Kab. X memperoleh akses terhadap semua guru mata pelajaran sesuai dengan kompetensi. b. Partisipasi: jumlah guru baik laki-laki dan perempuan yang bersedia bekerja di daerah terpencil sangat kurang. c. Kontrol: guru mata pelajaran perempuan yang ditempatkan di daerah terpencil sering meminta pindah kembali ke kota dengan alasan mengikuti suami. d. Manfaat: adanya kesenjangan penerima manfaat antara anak perempuan dan laki-laki yang bersekolah di daerah terpencil dengan yang bersekolah di perkotaan. 2. Penyebab Kesenjangan a. Kurangnya koordinasi antara Badan Kepegawaian Daerah yang mengatur tentang penempatan guru dengan Dinas Pendidikan selaku pengguna. b. Kurang konsisten dan tegasnya penerapan aturan tentang penempatan, distribusi, dan perpindahan guru . c. Aturan bahwa kepala keluarga adalah laki-laki sering dijadikan alasan pengesahan untuk meminta pindah dengan alasan mengikuti suami sebagai kepala keluarga. d. Sistem rekruitmen guru yang tidak memberikan afirmasi kepada putra daerah sehingga yang diterima umumnya dari luar daerah terpencil yang kemudian sering meminta pindah ke daerah perkotaan. Tahap analisis gender dalam proses PPRG dapat dilakukan dengan menggunakan metode Gender Analysis Pathway (GAP). Bagaimana teknik analisis gender model GAP akan diulas pada point 6.1. Panduan ini. 32 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Gambar 3 Ilustrasi Analisis Gender dalam Dokumen Perencanaan dan Penganggaran ANALISIS GENDER GAB RPJMD RENSTRA SKPD RKPD RENJA SKPD KUA GBS PPAS RKA SKPD RKA SKPD 1 RKA SKPD 2 RKA SKPD 3 APBD Dokumen Perencanaan dan Penganggaran di tingkat Pemda Dokumen Perencanaan dan Penganggaran di tingkat SKPD Sumber: KPP dan PA, Petunjuk Pelaksanaan PPRG Daerah, 2013, hal. 19 Gambar diatas memperlihatkan betapa strategisnya analisis gender karena hasilnya merupakan input bagi tahapan penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran baik untuk dokumen strategis maupun dokumen operasional yang bersifat jangka menengah maupun perencanaan tahunan. 5.2 Pengintegrasian PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs dalam Dokumen Perencanaan Daerah Sejak tahun 2008 SPM Kesehatan telah ditetapkan meliputi empat layanan dan sebanyak 18 indikator yang mesti dicapai paling lambat pada tahun 2015. Sedangkan untuk SPM pendidikan dasar ditetapkan pada tahun 2010 meliputi dua layanan dengan 27 indikator yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2014. Target MDGs juga telah menjadi komitmen internasional untuk dicapai pada tahun 2015. Demi untuk mempercepat pencapaian SPM dan MDGs maka dalam perencanaan dan penganggaran perlu dilakukan langkah-langkah konkrit untuk pengintegrasian SPM, MDGs dan gender. Jika mengacu pada siklus perencanaan dan penganggaran tahapan yang paling rentan (crucial) adalah pada waktu penyusunan. Dalam perencanaan daerah terdapat beberapa dokumen yang menjadi pedoman bagi daerah, yaitu: RPJMD, RKPD, Renstra SKPD, dan Renja SKPD. Oleh karenanya dalam penyusunan dokumendokumen tersebut, perlu dilakukan pengintegrasian analisis gender dalam mengkaji kondisi capaian SPM maupun MDGs. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menjamin agar dokumen-dokumen perencanaan tersebut sesuai yang diharapkan dapat dilihat dalam tabel berikut. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 33 Tabel 2 Langkah-langkah Pengintegrasian Gender dalam Dokumen Perencanaan DOKUMEN RPJMD RKPD RENSTRA SKPD * ** 34 Langkah-Langkah yang perlu dilakukan • Memasukkan data terpilah menurut jenis kelamin baik yang bersifat umum seperti jumlah penduduk, angka kemiskinan, angka pengangguran, serta data lainnya baik data terpilah kuantitatif maupun kualitatif mengenai capaian SPM dan MDGs di lembar formulir Bagian Kondisi Saat Ini. • Mengidentifikasi kesenjangan yang ada antara target SPM dan MDGs dengan capaian daerah. • Melakukan analisa masalah dan akar masalah dengan menggunakan alat analisa gender. Dalam hal ini disarankan menggunakan Gender Analisa Pathway* yang telah dikembangkan oleh Pemerintah . • Memasukkan isu gender baik berkenaan dengan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang ditemukan dari hasil analisa masalah dengan menggunakan perspektif gender, serta mengidentifikasi program prioritas yang dibutuhkan untuk mengatasinya. • Memasukkan isu gender ke dalam isu prioritas dan menjadikan pengarusutamaaan gender (PUG) sebagai salah satu strategi pelaksanaan RPJMD • Memasukkan program untuk menjawab isu gender dalam program prioritas daerah yang mendukung prioritas nasional. • Memasukkan indikator gender dalam Indikator kinerja daerah yang dikembangkan berdasarkan baseline data terpilah kuantitatif dan kualitatif saat ini. • Menggunakan Gender-related Development Index (GDI)/Indeks Perkembangan Gender (IPG) dan Gender Empowerment Measure (GEM)/ Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) dalam evaluasi tahunan, GDI/IPG, GEM/IDG. • Menggunakan data capaian SPM dan MDGS terpilah yang diperbaharui(up date) per tahun sebagai dasar bagi penyusunan rencana. • Prioritas dan sasaran pembangunan untuk menyasar isu gender yang ada dalam RPJMD • Rencana program dan kegiatan prioritas: memasukkan program/kegiatan spesifik gender, program/kegiatan yang bertujuan memberikan perlakuan khusus sementara (afirmasi) demi menjamin kesempatan setara bagi lakilaki dan perempuan, serta program dan kegiatan umum yang terkesan termasuk SPM /MDGs netral. • Memasukkan data terpilah atau data gender menurut jenis kelamin baik yang bersifat umum seperti jumlah penduduk, angka kemiskinan, angka pengangguran, serta data lainnya baik data terpilah kuantitatif maupun kualitatif mengenai capaian SPM dan MDGs yang terkait dengan sektor pada lembaga formulir di bagian Kondisi Saat Ini. • Mengidentifikasi kesenjangan yang ada antara target SPM dan MDGs dalam sektor dengan capaian di sektor daerah. • Melakukan analisa masalah dan akar masalah dengan menggunakan alat analisa gender. Dalam hal ini disarankan menggunakan Gender Analisa Pathway** Memasukkan isu gender baik berkenaan dengan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang ditemukan dari hasil analisa masalah dengan menggunakan perspektif gender serta mengidentifikasi program prioritas yang dibutuhkan untuk mengatasinya. Lihat penjelasan khusus tentang ini pada bab 4 dalam point 4.1. Lihat penjelasan khusus tentang ini pada halaman 43 sampai 46 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Tabel 2 Langkah-langkah Pengintegrasian Gender dalam Dokumen Perencanaan DOKUMEN Renja SKPD Langkah-Langkah yang perlu dilakukan • Memasukkan isu gender ke dalam isu prioritas dan menjadikan pengarusutamaaan gender (PUG) sebagai salah satu strategi pelaksanaan Renstra SKPD • Memasukkan program/kegiatan spesifik gender, program/kegiatan yang bertujuan memberikan perlakuan khusus sementara (afirmasi) demi menjamin kesempatan setara bagi laki-laki dan perempuan, dan program/ kegiatan umum yang terkesan netral namun sudah dilakukan analisa gender, termasuk SPM /MDGs netral . • Indikator kinerja yang dibuat berdasarkan baseline data terpilah yang tidak saja mencapai kinerja SPM dan MDGs secara umum tetapi juga berkontribusi terhadap upaya mengurangi kesenjangan gender dan pemenuhan kebutuhan gender. • Kelompok sasaran: memasukkan kelompok rentan (perempuan, anak, orang miskin, disabilitas, dan lansia). • Identifikasikan kesenjangan yang ada antara capaian SPM dan MDGs dengan target yang ingin dicapai . • Lakukan analisis gender untuk mengetahui faktor kesenjangan dan akar masalah yang menyebabkan kesenjangan itu terjadi baik di internal SKPD maupun di eksternal SKPD . • Menyusun rencana kerja yang mengacu pada rencana aksi yang harus diambil untuk mengatasi akar masalah gender atau pun akar masalah kesenjangan gender untuk internal SKPD maupun eksternal SKPD. • Menetapkan indikator kinerja sebagai alat untuk mengukur kinerja pelaksanaan kegiatan/program yang telah ditetapkan dengan menggunakan perspektif gender. • Mencantumkan biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan dengan mengacu pada unit cost sesuai standar biaya daerah. 5.3 Pengintegrasian PPRG dalam Dokumen Penganggaran Perencanaan dan penganggaran merupakan dua proses yang saling terkait. Penganggaran merupakan penerjemahan dari perencanaan. Dokumen yang memperlihatkan apakah terdapat konsistensi antara dokumen perencanaan dengan dokumen penganggaran dapat dilihat dalam KUA/PPAS. Demikian pula halnya dengan penerapan perencanaan dan penganggaran responsif gender untuk pencapaian SPM dan percepatan MDGs.Dokumen penganggaran semestinya mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan program/kegiatan yang responsif gender untuk pencapaian SPM dan percepatan MDGs. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 35 Gambar 4 Alur Perencanaan & Penganggaran Pedoman Pedoman RPJP NASIONAL Pedoman Pedoman RKA - KL RINCIAN APBN RPJM NASIONAL dijabarkan RKP Pedoman RAPBN APBN diserasikan melalui MUSTRENBANGDA PRJM DAERAH dijabarkan RKPD Pedoman Pedoman KUA Pedoman RAPBD APBD PPAS RENSTRA SKPD Pedoman RENJA SKPD Pedoman PERENCANAAN PROGRAM RKA-SKPD PENJABARAN APBD PENGANGGARAN Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 3 Langkah – Langkah Pengintegrasian Gender dalam Dokumen Penganggaran Dokumen KUA– PPAS RKA/ DPA SKPD *** **** 36 Langkah-langkah yang perlu dilakukan • Memastikan konsistensi antara KUA/PPAS dengan RPJMD , dan RKPD. • Memastikan program /kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan strategis maupun kebutuhan praktis gender untuk pencapaian SPM dan MDGs. • Memastikan isu strategis dan prioritas pembangunan untuk pencapaian SPM dan MDGs baik untuk isu penyelenggaraan layanan, penyediaan infrastruktur, maupun dalam penyusunan kebijakan. • Alokasi dana untuk program/kegiatan spesifik gender, program/ kegiatan yang bertujuan memberikan perlakuan khusus sementara demi menjamin kesempatan setara bagi laki-laki dan perempuan, dan program dan kegiatan umum yang terkesan termasuk SPM /MDGs netral dimana gender diarusutamakan. • Susunlah RKA dengan mengacu pada hasil analisa gender . • Pada bagian urusan pemerintahan dan organisasi mengacu pada Permendagri tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. • Pada bagian program dan kegiatan perlu diperhatikan apa kontribusi program/kegiatan terhadap pencapaian SPM dan percepatan MDGs. Perlu juga dipastikan bahwa program/kegiatan apakah masuk dalam katagori alokasi anggaran yang spesifik, afirmatif atau mendorong kesetaraan gender. • Pada indikator kinerja hendaknya mengacu pada indikator yang dibuat dari hasil analisa gender GAP langkah 9 *** • Melampirkan Gender Budget Statement (GBS) **** Lihat penjelasan tentang ini pada poin 6.1 dan Lampiran 1 tentang Contoh Gender Analysis Pathway (GAP). Lihat penjelasan tentang ini pada poin 6.2 dan Lampiran 2 tentang Contoh Gender Budget Statement (GBS). Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs PEMERINTAH DAERAH RPJP DAERAH Pedoman diacu diperhatikan diacu RENJA KL PEMERINTAH PUSAT RENSTRA KL Keberhasilan penerapan PPRG untuk pencapaian SPM & MDGs hanya dapat terlaksana dengan adanya komitmen dan dukungan semua pihak BAB VI INSTRUMEN PPRG UNTUK PENCAPAIAN SPM DAN PERCEPATAN MDGS 6.1 Gender Analisis Pathway (GAP) GAP merupakan intrumen analisis gender yang diperuntukkan bagi para perencana untuk menganalisis kebijakan/program/kegiatan dengan menggunakan perspektif gender. Instrumen ini dikembangkan oleh Bappenas bersama Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan dukungan CIDA (sekarang menjadi DFATD) 14 Kotak 7 Langkah-Langkah PPRG Untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs 1. Mengidentifikasikan kesenjangan capaian SPM dan MDGs 2. Melakukan analisis gender untuk mengetahui faktor penyebab kesenjangan atau akar masalah 3. Mengidentifikasikan Program/Kegiatan yang diperlukan untuk mengatasi akar masalah 4. Menyusun indikator kinerja dengan mengacu pada hasil analisis gender 5. Menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran 6. Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan PPRG untuk pencapaian SPM dan Percepatan MDGs GAP terdiri atas sembilan langkah15 , yaitu: Langkah 1. Pilih kebijakan/program/kegiatan pembangunan yang akan dianalisa, baik yang sudah ada maupun yang akan dibuat (baru) terutama yang terkait dengan upaya pencapaian SPM dan MDGS. a) Pastikan di tingkat apa yang akan dianalisis, apakah di tingkat kebijakan, program atau kegiatan. Misalnya di tingkat kebijakan, analisis bisa mencakup kebijakan itu sendiri, dan/ atau rincian dari kebijakan itu, yaitu dalam (satu atau lebih) program, dan/atau (satu atau lebih) kegiatan. b) Periksa rumusan tujuannya, apakah responsif terhadap isu gender, karena kebijakan/ program/kegiatan yang netral gender, dan/atau tidak bermaksud diskriminatif terhadap jenis kelamin tertentu, dapat berdampak berbeda terhadap perempuan dan laki-laki. Langkah 2 Sajikan data pembuka wawasan, upayakan yang merupakan data gender atau pun data terpilah menurut jenis kelamin untuk melihat apakah ada kesenjangan gender. a) Data pembuka wawasan hendaknya diisi dengan kondisi pencapaian SPM dan MDGs, kesenjangan antara target indikator SPM dan MDGs serta realita kondisi capaian SPM dan MDGs yang ada, data capaian SPM dan MDGs secara terpilah atau yang menggambarkan kondisi laki-laki dan perempuan. 14 15 CIDA (Canadian International Development Agency) sekarang berubah menjadi DFATD (Department of Foreign Affairs, Trade and Development) Diadaptasi dari Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Daerah yang Responsif Gender untuk Pemerintah Daerah,Jakarta: KPP dan PA, 2013 , hal.11-13 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 39 b) Data pembuka wawasan bisa berupa data statistik yang kuantitatif dan/atau kualitatif, yang dihimpun dari baseline survey, dan/atau hasil FGD, dan/atau review pustaka, dan/atau hasil kajian, dan/atau hasil pengamatan, dan/atau kearifan lokal (local knowledge ), dan/ atau hasil intervensi kebijakan/program/ kegiatan (jika sedang/sudah dilakukan). Data profil gender atau pun pendataan pendidikan dan kesehatan yang telah dilakukan secara terpilah hendaknya digunakan dalam analisa gender. Langkah 3 Temu-kenali isu gender di proses perencanaan kebijakan/program/kegiatan dengan menganalisa data pembuka wawasan dan dengan memperlihatkan 4 (empat) faktor kesenjangan, yaitu: akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat. a) Apakah kebijakan/program/kegiatan memberikan perempuan dan laki-laki akses yang sama terhadap sumber-sumber pembangunan; b) Apakah kebijakan /program/kegiatan memberikan perempuan dan laki-laki kontrol (penguasaan) yang sama terhadap sumber-sumber pembangunan; c) Apakah kebijakan/program/kegiatan memberikan perempuan dan laki-laki partisipasi yang sama dalam berbagai tahapan pembangunan termasuk dalam pengambilan keputusan ; d) Apakah kebijakan/program/kegiatan memberikan manfaat yang sama terhadap perempuan dan laki-laki. Langkah 4 Temu-kenali isu gender di internal lembaga dan/atau budaya organisasi yang (dapat) menyebabkan terjadinya isu gender, misalnya: produk hukum, kebijakan, pemahaman tentang gender yang masih kurang di antara personil (pengambil keputusan, perencana, staf, dan lainnya), serta political will dari pengambil kebijakan. Langkah 5 Temu-kenali isu gender di eksternal lembaga pada proses pelaksanaan. a) Apakah pelaksanaan program tidak/kurang peka terhadap kondisi isu gender di masyarakat yang jadi target program; b) Kondisi masyarakat sasaran (target group) yang belum kondusif, misalnya, budaya patriarki, dan gender stereotype (laki-laki yang selalu dianggap sebagai kepala keluarga; dan pekerjaan tertentu dianggap sebagai pekerjaan perempuan atau pekerjaan laki-laki). Langkah 6 Rumuskan kembali tujuan kebijakan/program/kegiatan pembangunan, yang terdapat pada Langkah 1, sehingga menjadi responsif gender. Langkah 7 Susun rencana aksi yang responsif gender dengan merujuk pada isu gender yang telah teridentifikasi (Langkah 3-5) dan sesuai dengan tujuan kebijakan/program/ kegiatan yang telah direformulasi (Langkah 6). a) Identifikasikan apa rencana aksi yang harus dilakukan untuk menjawab faktor penyebab kesenjangan gender yang berasal dari internal organisasi (SKPD). b) Identifikasikan apa rencana aksi yang harus dilakukan untuk menjawab faktor kesenjangan gender dari eksternal organisasi . Langkah 8 Tetapkan baseline yaitu data dasar yang dipilih untuk mengukur kemajuan (progress) pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan. Data dasar tersebut dapat juga diambil dari data pembuka wawasan (Langkah 2). Data dasar di sini merupakan kondisi yang ada sebelum sebuah kegiatan atau programan dilaksanakan. 40 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Langkah 9. Tetapkan indikator kinerja yang responsif gender. Di sini digambarkan perubahan apa yang diharapkan terjadi setelah program/kegiatan dilaksanakan. Indikator kinerja yang responsif gender dapat berupa ukuran kuantitatif maupun kualitatif untuk: a) Memperlihatkan apakah kesenjangan gender telah mengilang atau berkurang. b) Memperlihatkan apakah telah terjadi perubahan perilaku pada internal maupun eksternal lembaga. c) Memperlihatkan apakah terjadi perubahan relasi gender di rumah ataupun di masyarakat. Adapun formulir matrik analisa GAP dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini. Sedangkan contoh analisa GAP dapat dilihat dalam Lampiran 1. Tabel 4 Matrik Gender Analysis Pathway Langkah 1 Langkah 2 SKPD Diisi dengan nama SKPD Program Lihat dokumen Renstra/Renja dan pilih satu program/kegiatan yang akan dianalisis. Kegiatan Catatan: GAP dapat dsesuaikan sesuai dengan tujuannya yang akan menentukan analisis dilakukan di tingkat program/kegiatan atau atau di tingkat sektor tertentu Tujuan a) Jika analisis dilakukan oleh POKJA PUG yang beranggotakan lintas SKPD, analisis lebih baik di lakukan di tingkat sektor, misalnya GAP sektor pendidikan, GAP sektor kesehatan, dan seterusnya. Hasilnya adalah isu gender strategis sektoral dan program/kegiatan prioritas yang bersifat lintas SKPD. Di tingkat ini langkah pertama adalah data pembuka wawasan sektor, dan dilanjutkan dengan identifikasi penyebab dan intervensi yang dilakukan. b) Jika analisis dilakukan di tingkat program/ kegiatan maka analisis mencakup SKPD tertentu dan tidak bisa lintas SKPD. Analisis di tingkat program akan menghasilkan isu gender relevan terkait program yang lebih strategis dibandingkan jika analisis dilakukan di tingkat kegiatan. Data Pembuka Wawasan Isi dengan data dan informasi yang relevan, terutama data terkait SPM dan data statistik gender. Data SPM adalah data yang terkait dengan target dan capaian SPM yang disusun berdasarkan indikator SPM. Sedangkan data statistik gender adalah data terkait isu gender yang ingin diperbaiki, dapat berupa data terpilah maupun data tidak terpilah/data spesifik gender. Contoh data statistik gender berupa data terpilah:j umlah peserta KB laki-laki dan perempuan, angka partisipasi sekolah laki-laki dan perempuan. Contoh data statistik gender berupa data non pilah/data spesifik gender: angka kematian ibu melahirkan, jumlah penderita kanker prostat. Jika data kuantitatif tidak tersedia, dapat menggunakan data-data proksi dari sumber lainnya. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 41 Tabel 4 Matrik Gender Analysis Pathway Langkah 1 SKPD Faktor Kesenjangan/ Permasalahan Akses, Partisipasi, Kontrol, Manfaat ISU GENDER Langkah 3 Diisi dengan nama SKPD Isi dengan identifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya isu gender : 1.akses, yaitu identifikasi apakah kebijakan/ program pembangunan telah memberikan ruang dan kesempatan yang adil bagi perempuan dan laki-laki; 2.manfaat, yaitu identifikasi apakah kebijakan/ program memberikan manfaat yang adil bagi perempuan dan laki-laki 3.partisipasi, yaitu identifikasi apakah kebijakan atau program pembangunan melibatkan secara adil bagi perempuan dan laki-laki dalam menyuarakan kebutuhan, kendala, termasuk dalam pengambilan keputusan; 4. Kontrol,kesempatan yang sama bgi perempuan dan laki-laki untuk mengontrol sumberdaya pembangunan 4.kontrol, yaitu identifikasi apakah kebijakan/ program memberikan kesempatan penguasaan yang sama kepada bagi perempuan dan laki-laki untuk mengontrol sumberdaya pembangunan Prioritas analisis dilakukan untuk aspek akses dan manfaat. Langkah 4 Sebab Kesenjangan Internal (di SKPD) Menemu kenali sebab kesenjangan di internal lembaga (budaya organisasi) yang menyebabkan terjadinya isu gender. Langkah 5 Sebab Kesenjangan Eksternal Menemu kenali sebab kesenjangan di eksternal lembaga, yaitu di luar unit kerja pelaksana program, sektor lain, dan masyarakat/lingkungan target program. Langkah 6 Tujuan Responsif Gender Langkah 7 Menyusun rencana aksi, menetapkan prioritas, output dan hasil yang diharapkan dengan merujuk Prioritas/Kegiatan/ isu gender yang telah diidentifikasi. Rencana aksi Indikator tersebut merupakan rencana kegiatan untuk mengatasi kesenjangan gender. Pengukuran Langkah 8 Langkah 9 Reformulasi tujuan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan menjadi responsif gender (bila tujuan yang ada saat ini belum responsif gender). Reformulasi ini harus menjawab kesenjangan dan penyebabnya yang diidentifikasi di langkah 3,4, dan 5. Baseline Menetapkan base-line atau data dasar yang dipilih untuk mengukur suatu kemajuan atau progres pelaksanaan kebijakan atau program. Data dasar tersebut dapat diambil dari data pembuka wawasan yang relevan dan strategis untuk menjadi ukuran. Indikator Kinerja Isi dengan indikator kinerja sesuai dengan Permendagri No 13, berupa indikator Masukan, Keluaran dan Hasil untuk masing-masing rencana aksi. Sumber: Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Daerah yang Responsif Gender untuk Pemerintah Daerah,Jakarta: KPP dan PA, 2013 42 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Kotak 8 TIPS Dalam Melakukan Analisis GAP Hal yang harus dihindari 1) Data pembuka wawasan yang disajikan terlalu umum dan tidak merefleksikan kondisi terkait kebijakan/program/kegiatan yang dianalisis. 2) Tidak konsistennya antara apa yang diisi dalam kolom 1 sampai kolom 9. Terutama antara faktor kesenjangan dan faktor penyebab kesenjangan serta rencana aksi yang ditetapkan. 3) Faktor penyebab kesenjangan internal sering disalah pahami sebagai faktor internal dari perempuan atau juga ada yang menafsirkan sebagai faktor internal dalam masyarakat. 4) Dalam mengisi baseline masih sering ada yang mengisinya dengan target yang ingin dicapai padahal semestinya data baik kuantitatif maupun kualitatif yang ada saat ini. 5) Indikator kinerja responsif gender sering tidak menggambarkan perubahan yang ingin dicapai untuk program/kegiatan yang diusulkan dalam rencana aksi. Indikator sering diisi dengan perubahan umum yang diharapkan terjadi tapi tidak bisa dijadikan dasar untuk pengukuran kinerja bagi program/kegiatan. Hal yang dianjurkan dilakukan: 1. Perhatikan dan mengikuti petunjuk langkah-langkah analisis GAP. 2. Pastikan adanya konsistensi dalam pengisian form langkah 1-9 GAP. 3. Jika untuk kebijakan yang sama sekali baru bisa memulainya dengan data pembuka wawasan. 4. Penyusunan rencana aksi mengacu kepada hasil analisis faktor penyebab kesenjangan internal dan faktor penyebab kesenjangan eksternal. 5. Langkah 9 diisi dengan indikator kinerja yang tepat untuk masing-masing usulan rencana aksi. 6. Dalam pengisian indikator kinerja hendaknya mengedepankan prinsip spesifik, rasional,dapat diukur, dapat dicapai,dan mempertimbangkan ketersediaan yang dimiliki untuk bisa mencapainya. Sumber: Pembelajaran penulis dari pengalaman melatih dan mendampingi para perencana dalam mengembangkan PPRG. 6.2. Gender Budget Statement (GBS) Gender Budget Statement (GBS) atau Pernyataan Anggaran Gender disebut juga dengan Lembar Anggaran Responsif Gender (Lembar ARG). GBS merupakan dokumen akuntabilitas yang berperspektif gender dan disusun oleh lembaga pemerintah untuk menginformasikan suatu kegiatan telah responsif terhadap isu gender yang ada. Dengan GBS dapat apakah telah dialokasikan dana untuk kegiatan yang diusulkan sebagai rencana aksi untuk mengatasi kesenjangan gender yang ada. GBS disusun setelah dilakukan analisis gender (GAP) dan dalam proses persiapan RKA SKPD.GBS disusun oleh para perencana dan atau penyusun anggaran di SKPD . Kemudian GBS harus disertakan dalam lampiran ketika pengajuan RKA SKPD kepada Biro Keuangan. Adapun format GBS dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 43 Tabel 5 Format Gender Budget Statement PERNYATAAN ANGGARAN GENDER (GENDER BUDGET STATEMENT) SKPD : (Nama SKPD) TAHUN ANGGARAN : (Tahun Anggaran) PROGRAM Isilah dengan nama program KODE PROGRAM Isilah dengan Kode Program (Sesuai dengan Form RKA 2.2.1) ANALISIS SITUASI Isilah dengan informasi sebagai berikut: • Capaian SPM dan gap antara target capaian SPM dan kondisi saat ini • Kendala dan Hambatan dalam mencapai target SPM • Identifikasi Isu gender, dengan melihat beberapa aspek sebagai berikut: 1. dan perbedaan pelayanan yang diterima antara laki-laki dan perempuan dan anak laki-laki dan anak perempuan. 2. Fokuskan pada perbedaan akses antara perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan layanan tersebut 3. Identifikasi apakah ada perbedaan manfaat atas layanan yang diterima oleh perempuan dan laki-laki 4. Identifikasi apakah kebutuhan spesifik gender sudah terakomodasi • Identifikasi faktor-faktor penyebab atas terjadinya isu gender yang telah teridentifikasi, terutama di tingkat penerima layanan (masyarakat). Untuk memperkuat informasi, sertakan Data Statistik Gender yang relevan. Data statistik gender dapat berupa data terpilah (misalnya: angka partisipasi KB antara laki-laki dan perempuan) dan data spesifik gender yang relevan (misalnya: cakupan kunjungan K4 bagi ibu hamil) 1. Tolok Ukur Isilah dengan tolok ukur kinerja yang ingin dicapai di tingkat outcome CAPAIAN PROGRAM 2. Indikator dan Target Kinerja Isilah dengan indikator hasil (outcome) yang sesuai Informasinya sama dengan yang ada dalam form 2.2 RKA SKPD RENCANA AKSI Isilah dengan dengan rencana aksi yang dilakukan untuk mengatasi masalah/isu dan faktor penyebab yang telah teridentifikasi di analisis situasi. Pastikan ada hubungan yang logis antara analisis situasi, rencana aksi dan indikator kinerja Pastikan bahwa kegiatan yang dipilih adalah kegiatan prioritas Isi dari bagian ini sama dengan informasi yang ada dalam Form RKA 2.2.1 Kegiatan 1 JUMLAH ANGGARAN PROGRAM Masukan Keluaran Hasil 44 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Rp Kegiatan 2 Sama dengan penjelasan di kegiatan 1 Masukan Rp Keluaran Hasil Penanggung Jawab Kegiatan, (..........................................) Pangkat/Golongan Dalam proses penyusunan GBS hendaknya mengacu kepada GAP. GAP dan GBS memiliki keterkaitan yang erat. Adapun hubungan keduanya dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 6 Keterkaitan GAP dan GBS Tahapan GAP GBS Langkah 1 Kebijakan/program/kegiatan Program, kegiatan, IKK,output kegiatan Langkah 2 Data pembuka wawasan Analisis situasi Langkah 3 Faktor kesenjangan Analisis situasi Langkah 4 Sebab kesenjangan internal Analisis situasi Langkah 5 Sebab kesenjangan eksternal Analisis situasi Langkah 6 Reformulasi tujuan Tujuan output/sub output Langkah 7 Rencana aksi Rencana aksi (komponen-komponen yang berkontribusi pada kesetaraan gender) Langkah 8 Data sasar (baseline) Dampak/hasil output kegiatan Langkah 9 Indikator gender Dampak/hasil output kegiatan Adapun contoh dari penyusunan GBS yang telah dilakukan di daerah dapat dilihat dalam lampiran 2 dari panduan ini. 6.3 Monitoring dan Evaluasi Gambar 5 Proses Perencanaan dan Penganggaran Pelaksanaan Penyusunan Tahapan Perencanaan dan Penganggaran Monitoring Evaluasi Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 45 Gambar diatas menunjukan proses umum perencanaan dan penganggaran yang terdiri atas empat tahapan utama, yaitu penyusunan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. GAP dan GBS disusun sebagai instrumen untuk membantu dalam penyusunan Renja dan RKA SKPD yang responsif gender. Dokumen ini menjadi acuan dalam pelaksanaan perencanaan dan penganggaran responsif gender. Namun perencanaan yang sudah responsif gender tidak menjamin bahwa pelaksanaannya juga sudah responsif gender. Oleh karenanya diperlukan monitoring. Sedangkan untuk mengetahui kontribusi pelaksanaan anggaran responsif gender bagi pengurangan kesenjangan gender maupun kesenjangan pencapaian SPM dan MDGS hanya dapat diketahui jika dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan anggaran program /kegiatan. Adapun alur monitoring dan evaluasi PPRG untuk pencapaian SPM dan percepatan MDGs dapat dilihat dalam tabel 7. Tabel 7 Alur Monitoring dan Evaluasi PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGS Item yang perlu dilihat Penyusunan Pelaksanaan Pertanggungjawaban • Apakah telah dilakukan analisa gender ? • Apakah permasalahan/isu gender, faktor kesenjangan dan faktor penyebab kesenjangan gender telah diidentifikasikan secara tepat? • Apakah program/kegiatan yang diusulkan telah sesuai dengan hasil analisa gender? • Apakah program/kegiatan responsif gender untuk pencapaian SPM dan Percapatan MDGs memperoleh alokasi anggaran? • Apakah telah disusun Gender Budget Statement untuk dilampirkan dalam RKA? • Apakah kegiatan terlaksana sesuai rencana? • Apakah indikator yang telah ditetapkan tercapai? • Berapa jumlah alokasi anggaran yang terealisasi dibandingkan dengan anggarannya? • Apa perubahan yang terjadi setelah pelaksanaan program/kegiatan? • Apakah terjadi pengurangan kesenjangan penerima manfaat? • Apakah ada kemajuan dalam pencapaian SPM dan MDGs? Keberhasilan penerapan perencanaan dan penganggaran responsif gender untuk pencapaian SPM dan percepatan MDGs hanya dapat terlaksana tanpa adanya komitmen dan dukungan semua pihak. Peran Pokja dan focal point gender serta TAPD sangatlah menentukan. Proses perencanaan dan penganggaran responsif gender untuk pencapaian SPM dan MDGs perlu dimonitoring dan dievaluasi. Selain instansi teknis yang bersangkutan juga perlu peran serta 4 instansi driver PPRG di daerah yaitu Bappeda, Biro Keuangan, BPPKB dan Inspektorat. Dengan penerapan PPRG diharapkan pencapaian SPM dapat lebih fokus dan efektif. Dengan demikian dapat berkontribusi dalam rangka percepatan pencapaian MDGs. 46 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Daftar Pustaka Gunawan, Nardho dan Sri Mastuti, Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bidang Kesehatan, Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Kesehatan dan UNFPA, 2008. Mastuti, Sri, et.all, Panduan Menilai APBD Berkeadilan, Jakarta: LGSP dan CiBa, 2009 Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Daerah yang Responsif Gender untuk Pemerintah Daerah,Jakarta: KPP dan PA, 2013. Rostanty, Maya dan Sri Mastuti, Draft Modul Pelatihan Perencanaan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM Urusan Pendidikan dan Kesehatan, Jakarta: BASICS. Sundari, Eva K,dkk , Modul Pelatihan Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja CIDA, PATTIRO dan The Asia Foundation, Jakarta, 2008. Responsif Gender,” Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 47 LAMPIRAN 1 Contoh Gender Analysis Pathway (GAP) Langkah 1 Langkah 2 Langkah 4 ISU GENDER Langkah 3 SKPD Dinas Kesehatan Provinsi xxxxxx Program Program Peningkatan Keselamatan Ibu Melahirkan dan Anak Tujuan Menurunkan tingkat kematian ibu melahirkan Data Pembuka Wawasan Capaian SPM Pelayanan bagi Ibu Hamil dan bayi baru lahir: • Cakupan kunjungan ibu hamil K4 tahun 2012 sebesar 75,59% dan target di tahun 2015 sebesar 95% • Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani di tahun 2012 sebesar 58,84% dan target di tahun 2015 sebesar 80% • Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan di tahun 2012 sebesar 77,14% dan target di tahun 2015 sebesar 90% • Cakupan pelayanan nifas di tahun 2012 sebesar 85,44% dan target di tahun 2015 sebesar 90% • Angka kematian Ibu di tahun 2012 : 9 kasus, terdiri dari 8 kasus ibu bersalin l dan 1 kasus ibu nifas Faktor Kesenjangan/ Permasalahan Akses, Partisipasi, Kontrol, Manfaat Faktor penyebab kematian ibu melahirkan terdiri dari 2, yaitu faktor klinis dan faktor non klinis Faktor Klinis: • Sebagian besar kematian ibu disebabkan oleh penyebab langsung yaitu pendarahan, infeksi, eklampsia (darah tinggi), persalinan lama dan abortus. • ibu hamil tidak bisa mengakses layanan kesehatan yang tersedia • ibu hamil terlambat mendapatkan pertolongan petugas medis Sebab Kesenjangan Internal (di SKPD) • • • 48 Minimnya kapasitas petugas kesehatan di Puskesmas dalam menangani komplikasi kebidanan Kemitraan bidan-dukun belum berjalan secara optimal padahal masih banyak ibu hamil yang persalinannya ditolong oleh dukun karena alasan ketiadaan biaya maupun kultural Sebaran bidan desa tidak merata yang mengakibatkan ibu hamil di daerah terpencil dan kepulauan sulit mengakses layanan kesehatan. Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Langkah 5 Sebab Kesenjangan Eksternal Faktor ekonomi menyebabkan ibu hami dari keluarga kurang mampu sangat bergantung pada layanan yang berkualitas dengan harga terjangkau • Tingkat pendidikan yang rendah sehingga ibu hamil kurang peduli untuk menjaga kesehatan selama kehamilan • Kedudukan dan peran perempuan di masyarakat mengakibatkan ibu hamil harus melaksanakan peran domestik mengurus rumah tangga. Bagi ibu hamil dengan resiko tinggi, tugas domestik rumah tangga semakin memperbesar resiko. Bagi ibu hamil yang memiliki anak kecil, alasan tidak/jarang memeriksakan kehamilan karena tidak ada yang menjaga anaknya di rumah. • Kedudukan dan peran laki-laki/suami di masyarakat dalam mengambil keputusan mengakibatkan ibu hamil terlambat dibawa ke penyedia layanan kesehatan • Minimnya transportasi untuk rujukan kasus, khususnya di daerah terpencil dan kepulauan sehingga banyak kasus kematian ibu melahirkan disebabkan terlambat mendapatkan pertolongan medis karena jarak yang jauh. Langkah 6 Tujuan Responsif 1. Menurunkan tingkat kematian ibu melahirkan Gender melalui : 2. Meningkatkan cakupan pelayanan kunjungan ibu hamil K4 3. Meningkatkan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan 4. Meningkatkan peran aktif suami dan masyarakat dalam mencegah kematian ibu melahirkan Langkah 7 Rencana Aksi Prioritas/ Kegiatan/ Indikator 1. Pelatihan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED) bagi petugas medis Puskesmas dengan memberikan kesempatan yang setara kepada petugas medis laki-laki dan perempuan • Keluaran: Jumlah petugas medis terlatih, baik petugas medis laki-laki maupun perempuan • Hasil : Petugsa medis di Puskesmas mampu menangani komplikasi kebidanan 2. Penyuluhan kesehatan reproduksi kepada pasangan suami-istri • Keluaran: jumlah pasanagan suami istri (kondisi istri hamil) yang mengikuti penyuluhan kesehatan reproduksi. • Hasil: Meningkatnya peran suami dalam memberikan dukungan kepada istri selama hamil dan persalinan 3. Penyuluhan kesehatan reproduksi kepada tokoh masyarakat dan kepala desa • Keluaran: jumlah tokoh masyarakat dan kepala desa yang mengikuti penyuluhan • Hasil: Meningkatnya peran tokoh masyarakat dan kepala desa dalam mencegah kematian ibu melahirkan Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 49 4. Pelayanan “mobile service” oleh Bidan Desa • Keluaran: jumlah ibu hamil yang dilayani oleh bidan desa dengan sistem ‘jemput bola’ • Hasil: Meningkatnya cakupan pelayanan ibu hamil 5. Kemitraan Dukun-Bidan Langkah 9 50 Baseline Pengukuran Hasil Langkah 8 Indikator Kinerja • Keluaran : jumlah dukun yang menjalin kemitraan dengan bidan dalam proses menolong persalinan • Hasil: meningkatnya jumlah persalinan yang ditolong oleh bidan Data capaian tahun 2012: • Cakupan kunjungan ibu hamil K4 tahun 2012 sebesar 75,59% • Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani di tahun sebesar 58,84% • Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan di tahun 2012 sebesar 77,14% • Cakupan pelayanan nifas di tahun 2012 sebesar 85,44% • Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani di tahun 2013 sebesar 65,89%; tahun 2014 sebesar 72,94% dan tahun 2015 sebesar 80% • Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan di tahun 2013 sebesar 81,42%; tahun 2014 sebesar 85,7% dan tahun 2015 sebesar 90% • Cakupan pelayanan nifas di tahun 2013 sebesar 86,96%, tahun 2014 sebesar 88,48% dan tahun 2015 sebesar 90% Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs LAMPIRAN 2 Contoh Gender Budget Statement (GBS) PERNYATAAN ANGGARAN GENDER (GENDER BUDGET STATEMENT) SKPD : DINAS KESEHATAN KABUPATEN XXX TAHUN ANGGARAN : 2014 Program Program Peningkatan Keselamatan Ibu Melahirkan dan Anak Kode Program 1.02.xx.32 Analisa Situasi 1. Data Pembuka Wawasan • Capaian SPM Pelayanan bagi Ibu Hamil : • Cakupan kunjungan ibu hamil K4 tahun 2012 sebesar 75,59% dan target di tahun 2015 sebesar 95% • Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani di tahun 2012 sebesar 58,84% dan target di tahun 2015 sebesar 80% • Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan di tahun 2012 sebesar 77,14% dan target di tahun 2015 sebesar 90% • Cakupan pelayanan nifas di tahun 2012 sebesar 85,44% dan target di tahun 2015 sebesar 90% • Angka kematian Ibu di tahun 2012 : 9 kasus, terdiri dari 8 kasus ibu bersalin dan 1 kasus ibu nifas 2. Faktor Penyebab Kematian Ibu Melahirkan Faktor penyebab kematian ibu melahirkan terdiri dari 2, yaitu faktor klinis dan faktor non klinis Faktor Klinis: • Sebagian besar kematian ibu disebabkan oleh penyebab langsung yaitu pendarahan, infeksi, eklampsia (darah tinggi), persalinan lama dan abortus. Faktor non klinis: • ibu hamil tidak bisa mengakses layanan kesehatan yang tersedia • ibu hamil terlambat mendapatkan pertolongan petugas medis 3. Kendala dalam Upaya Mengatasi Kematian Ibu Melahirkan • Minimnya kapasitas petugas kesehatan di Puskesmas dalam menangani komplikasi kebidanan • Kemitraan bidan-dukun belum berjalan secara optimal padahal masih banyak ibu hamil yang persalinannya ditolong oleh dukun karena alasan ketiadaan biaya maupun kultural Sebaran bidan desa tidak merata yang mengakibatkan ibu hamil di daerah terpencil dan kepulauan sulit mengakses layanan kesehatan 4. Isu Gender • Faktor ekonomi menyebabkan ibu hami dari keluarga kurang mampu sangat bergantung pada layanan yang berkualitas dengan harga terjangkau Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 51 Capaian Program • Tingkat pendidikan yang rendah sehingga ibu hamil kurang peduli untuk menjaga kesehatan selama kehamilan • kedudukan dan peran perempuan di masyarakat mengakibatkan ibu hamil harus melaksanakan peran domestik mengurus rumah tangga. Bagi ibu hamil dengan resiko tinggi, tugas domestik rumah tangga semakin memperbesar resiko. Bagi ibu hamil yang memiliki anak kecil, alasan tidak/jarang memeriksakan kehamilan karena tidak ada yang menjaga anaknya di rumah. • Kedudukan dan peran laki-laki/suami di masyarakat dalam mengambil keputusan mengakibatkan ibu hamil terlambat dibawa ke penyedia layanan kesehatan • Minimnya transportasi untuk rujukan kasus, khususnya di daerah terpencil dan kepulauan sehingga banyak kasus kematian ibu melahirkan disebabkan terlambat mendapatkan pertolongan medis karena jarak yang jauh. 1. Tolok Ukur Turunnya kasus kematian ibu melahirkan 2. Indikator Kinerja dan Target Kinerja • Cakupan kunjungan ibu hamil K4 tahun 2013 sebesar 82,06%; tahun 2014 sebesar 88,53% dan tahun 2015 sebesar 95% • Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani di tahun 2013 sebesar 65,89%; tahun 2014 sebesar 72,94% dan tahun 2015 sebesar 80% • Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan di tahun 2013 sebesar 81,42%; tahun 2014 sebesar 85,7% dan tahun 2015 sebesar 90% • Cakupan pelayanan nifas di tahun 2013 sebesar 86,96%, tahun 2014 sebesar 88,48% dan tahun 2015 sebesar 90% Jumlah Anggaran Program Rp 2.115.000.000 Rencana Aksi Kegiatan 1 Pelatihan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED) bagi petugas medis Puskesmas dengan memberikan kesempatan yang setara kepada petugas medis laki-laki dan perempuan Masukan : Rp. 225.000.000,Keluaran : 45 petugas medis terlatih, baik petugas medis laki-laki maupun perempuan Hasil : Petugas medis di Puskesmas mampu menangani komplikasi kebidanan Kegiatan 2 Penyuluhan kesehatan pasangan suami-istri reproduksi kepada Masukan : Rp 160.000.000 Keluaran : 400 jumlah pasangan suami istri (kondisi istri hamil) yang mengikuti penyuluhan kesehatan reproduksi. Hasil : Meningkatnya peran suami dalam memberikan dukungan kepada istri selama hamil dan persalinan Kegiatan 3 Penyuluhan kesehatan reproduksi kepada tokoh masyarakat dan kepala desa Masukan : Rp 180.000.000 52 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Keluaran : 500 tokoh masyarakat dan kepala desa yang mengikuti penyuluhan Hasil : Meningkatnya peran tokoh masyarakat dan kepala desa dalam mencegah kematian ibu melahirkan Kegiatan 4 Pelayanan “mobile service” oleh Bidan Desa Masukan : Rp 1.000.000.000 Keluaran : 2000 ibu hamil di desa terpencil yang dilayani oleh bidan desa dengan sistem ‘jemput bola’ Hasil : Meningkatnya cakupan pelayanan ibu hamil Kegiatan 5 Kemitraan Dukun-Bidan Masukan : Rp 550.000.000 Keluaran : 200 dukun yang menjalin kemitraan dengan bidan dalam proses menolong persalinan Hasil : meningkatnya jumlah persalinan yang ditolong oleh bidan Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 53 LAMPIRAN 3 STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 741/Menkes/PER/VII/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota A. Pelayanan Kesehatan Dasar : 1. Cakupan kunjungan Ibu hamil K4 95 % pada Tahun 2015; 2. Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani 80 % pada Tahun 2015; 3. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan 90% pada Tahun 2015; 4. Cakupan pelayanan nifas 90% pada Tahun 2015; 5. Cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani 80% pada Tahun 2010; 6. Cakupan kunjungan bayi 90%, pada Tahun 2010; 7. Cakupan Desa/Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) 100% pada Tahun 2010; 8. Cakupan pelayanan anak balita 90% pada Tahun 2010; 9. Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak usia 6 - 24 bulan keluarga miskin 100 % pada Tahun 2010; 10.Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 100% pada Tahun 2010; 11.Cakupan Penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat 100 % pada Tahun 2010; 12.Cakupan peserta KB aktif 70% pada Tahun 2010; 13.Cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit 100% pada Tahun 2010; 14.Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin 100% pada Tahun 2015. B. Pelayanan Kesehatan Rujukan 15.Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin 100% pada Tahun 2015; 16.Cakupan pelayanan gawat darurat level 1 yang harus diberikan sarana kesehatan (RS) di Kabupaten/Kota 100 % pada Tahun 2015; C. Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa /KLB; 17.Cakupan Desa/ Kelurahan mengalami KLB yang dilakukan penyelidikan epidemiologi < 24 jam 100% pada Tahun 2015. D. Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat 18.Cakupan Desa Siaga Aktif 80% pada Tahun 2015. 54 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Lampiran 4 STANDAR PELAYANAN MINIMAL PENDIDIKAN DASAR Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota A. Pelayanan pendidikan dasar oleh Kabupaten/Kota : 1. Terrsedia satuan pendidikan dalam jarak yang terjangkau dengan berjalan kaki yaitu maksimal 3 km untuk SD/MI dan 6 km untuk SMP/MTs dari kelompok permukiman permanen di daerah terpencil; 2. Jumlah peserta didik dalam setiap rombongan belajar untuk SD/MI tidak melebihi 32 orang, dan untuk SMP/MTs tidak melebihi 36 orang. Untuk setiap rombongan belajar tersedia 1 (satu) ruang kelas yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang cukup untuk peserta didik dan guru, serta papan tulis; 3. Di setiap SMP dan MTs tersedia ruang laboratorium IPA yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang cukup untuk 36 peserta didik dan minimal satu set peralatan praktek IPA untuk demonstrasi dan eksperimen peserta didik; 4. Di setiap SD/MI dan SMP/MTs tersedia satu ruang guru yang dilengkap dengan meja dan kursi untuk setiap orang guru, kepala sekolah dan staf kependidikan lainnya; dan di setiap SMP/MTs tersedia ruang kepala sekolah yang terpisah dari ruang guru. 5. Di setiap SD/MI tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap 32 peserta didik dan 6 (enam) orang guru untuk setiap satuan pendidikan, dan untuk daerah khusus 4 (empat) orang guru setiap satuan pendidikan; 6. Di setiap SMP/MTs tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap mata pelajaran, dan untuk daerah khusus tersedia satu orang guru untuk setiap rumpun mata pelajaran; 7. Di setiap SD/MI tersedia 2 (dua) orang guru yang memenuhi kualifikasi akademik S1 atau D-IV dan 2 (dua) orang guru yang telah memiliki sertifikat pendidik; 8. Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik S-1 atau D-IV sebanyak 70% dan separuh diantaranya (35% dari keseluruhan guru) telah memiliki sertifi kat pendidik, untuk daerah khusus masingmasing sebanyak 40% dan 20%; 9. Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifi kat pendidik masing-masing satu orang untuk mata pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris; 10.Di setiap Kabupaten/Kota semua kepala SD/MI berkualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifi kat pendidik; 11.Di setiap kabupaten/kota semua kepala SMP/MTs berkualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifi kat pendidik; Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs 55 12.Di setiap kabupaten/kota semua pengawas sekolah dan madrasah memiliki kualifi kasi akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik; 13.Pemerintah kabupaten/kota memiliki rencana dan melaksanakan kegiatan untuk membantu satuan pendidikan dalam mengembangka kurikulum dan proses pembelajaran yang efektif; 14.Kunjungan pengawas ke satuan pendidikan dilakukan satu kali setiap bulan dan setiap kunjungan dilakukan selama 3 jam untuk melakukan supervisi dan pembinaan. B. Pelayanan pendidikan dasar oleh satuan pendidikan : 15.Setiap SD/MI menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia,Matematika, IPA, dan IPS dengan perbandingan satu set untuk setiappeserta didik; 16.Setiap SMP/MTs menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup semua mata pelajaran dengan perbandingan satu set untuk setiap perserta didik; 17.Setiap SD/MI menyediakan satu set peraga IPA dan bahan yang terdiri dari model kerangka manusia, model tubuh manusia, bola dunia (globe), contoh peralatan optik, kit IPA untuk eksperimen dasar, dan poster/carta IPA; 18.Setiap SD/MI memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10 buku referensi, dan setiap SMP/MTs memiliki 200 judul buku pengayaan dan 20 buku referensi; 19.Setiap guru tetap bekerja 37,5 jam per minggu di satuan pendidikan, termasuk merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing atau melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas tambahan; 20.Satuan pendidikan menyelenggarakan proses pembelajaran selama 34 minggu per tahun dengan kegiatan tatap muka sebagai berikut : a) Kelas I – II : 18 jam per minggu; b) Kelas III : 24 jam per minggu; c) Kelas IV - VI : 27 jam per minggu; atau d) Kelas VII - IX : 27 jam per minggu; 21.Satuan pendidikan menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sesuai ketentuan yang berlaku; 22.Setiap guru menerapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun berdasarkan silabus untuk setiap mata pelajaran yang diampunya; 23.Setiap guru mengembangkan dan menerapkan program penilaian untuk membantu meningkatkan kemampuan belajar peserta didik; 24.Kepala sekolah melakukan supervisi kelas dan memberikan umpan bali kepada guru dua kali dalam setiap semester; 25.Setiap guru menyampaikan laporan hasil evaluasi mata pelajaran serta hasil penilaian setiap peserta didik kepada kepala sekolah pada akhir semester dalam bentuk laporan hasil prestasi belajar peserta didik; 26.Kepala sekolah atau madrasah menyampaikan laporan hasil ulangan akhir semester (UAS) dan Ulangan Kenaikan Kelas (UKK) serta ujian akhir (US/ UN) kepada orang tua peserta didik dan menyampaikan rekapitulasinya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau Kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota pada setiap akhir semester; 27.Setiap satuan pendidikan menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS). 56 Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000, pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) diwajibkan kepada seluruh kementerian maupun lembaga pemerintah dan non pemerintah di pemerintah nasional, provinsi maupun kabupaten/kota untuk menyusun program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dengan mempertimbngkan permasalahan kebutuhan aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program, dan kegiatan. Strategi tersebut dilaksanakan melalui sebuah proses memasukkan analisa gender ke dalam program kerja pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan perempuan dan laki-laki dalam proses pembangunan. Terbitnya Surat Edaran Bersama (SEB) antara Bappenas, Kementerian Keuangan, Kemneterian Dalam Negeri, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2012 yang diikuti dengan terbitnya Permendagri Nomor 27 Tahun 2013 semakin memperkuat landasan hukum pelaksanaan perencanaan dan penganggaran responsif gender di tingkat pemerintah daerah. Selama ini, masih ada anggapan bahwa melakukan analisis gender berarti menambah beban pekerjaan. Namun, sesungguhnya perencanaan dan penganggaran rensponsif gender bukanlah berarti melakukan dua kali perencanaan, tetapi hanya memastikan bagaimana agar perspektif gender dapat diintegrasikan dalam setiap tahapan perencanaan dan penganggaran. Karena itulah, sebuah perencanaan dan penganggaran responsif gender akan mendiagnosa dan memberikan jawaban yang lebih tepat kebutuhan program dan anggaran pendidikan dan kesehatan bagi perempuan dan laki-laki, dan pada akhirnya mendukung tercapainya target indikator kinerja kegiatan yang telah ditetapkan menuju pencapaian SPM dan MDGs. Buku Panduan ini disusun untuk memberikan informasi dan langkah-langkah di dalam menyusun kebijakan, program, dan kegiatan di bidang pendidikan dan kesehatan dengan pendekatan anggaran responsif gender dalam rangka pencapaian SPM dan MDGs.