3.2 Tujuan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender

advertisement
PANDUAN
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER
UNTUK PENCAPAIAN SPM DAN MDGs
Penulis :
Sri Mastuti
Penyunting :
Theresia Erni
Desain sampul dan tata letak :
Rosalin
Dicetak di Jakarta – Juli 2014
Publikasi ini didanai oleh Department of Foreign Affairs, Trade and Development (DFATD) Canada
melalui Proyek BASICS. Sebagian atau seluruh isi buku ini, termasuk ilustrasinya, boleh diperbanyak
dengan syarat disebarkan secara gratis dan mencantumkan sumbernya. Versi elektronik dokumen ini
dapat diunduh dari situs internet www.basicsproject.or.id
SEKILAS TENTANG PROYEK BASICS
BASICS (Better Approaches for Service Provision through Increased
Capacities in Sulawesi) atau Peningkatan Pelayanan Dasar melalui
Pengembangan Kapasitas di Sulawesi, adalah proyek kerjasama
antara Pemerintah Kanada melalui Department of Foreign Affairs,
Trade and Development (DFATD) dengan Pemerintah Indonesia
melalui Kementerian Dalam Negeri. Cowater International dipilih
sebagai penyedia bantuan teknis serta pengelola dana bantuan
dari Pemerintah Kanada sesuai kesepakatan yang dimuat dalam
dokumen Project Implementation Plan (PIP).
Sejak tahun 2009 Proyek BASICS bekerja di 10 Kabupaten/
Kota di Propinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara dalam
rangka berkontribusi bagi percepatan pencapaian Standar
Pelayanan Minimal (SPM) dan Tujuan Pembangunan Milenium
(Millenium Development Goals/MDGs) pada sektor kesehatan
dan pendidikan, Lima kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara
terdiri dari: Kota Bitung, Kab. Minahasa, Kab. Minahasa Utara, Kab.
Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, dan Kab. Kepulauan Sangihe.
Sedangkan lima kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara
meliputi Kota Baubau, Kab. Buton Utara, Kab. Wakatobi, Kab.
Konawe Selatan dan Kab. Kolaka Utara. Pada tahun 2014, Proyek
BASISC menambah empat Kabupaten sebagai mitra kerja di
Propinsi Sulawesi Utara (Kab. Kepulauan Talaud dan Kab. Minahasa
Tenggara) dan Propinsi Sulawesi Tenggara (Kab. Bombana dan
Kab. Konawe Utara).
Proyek BASICS mempunyai dua komponen utama. Komponen
pertama
adalah
pengembangan
kapasitas
(Capacity
Development) yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
para pihak (eksekutif, legislatif, organisasi masyarakat sipil) di
daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan dasar kesehatan
dan pendidikan, melalui: (1) peningkatan kapasitas Pemerintah
Daerah dalam perencanaan dan penganggaran; (2) penguatan
kapasitas DPRD dalam melakukan fungsi legislasi, budgeting, dan
pengawasan terkait penyediaan pelayanan dasar yang berkualitas
bagi masyarakat; (3) penguatan kapasitas organisasi masyarakat
sipil dalam mendukung dan mengawasi kinerja penyelenggaraan
pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan di daerah; dan (4)
pengarusutamaan gender dalam perencanaan dan penganggaran
pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan.
Komponen kedua adalah BASICS Responsive Initiative (BRI)
yang merupakan dana hibah yang diberikan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk mendukung inovasi atau praktik cerdas
yang dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan
dasar kesehatan dan pendidikan untuk percepatan pencapaian
Standar Pelayanan Minimal (SPM) kesehatan dan pendidikan dan
Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/
MDGs). Informasi lebih lanjut tentang Proyek BASICS dapat dilihat pada
www.basicsproject.or.id
Daftar Isi
DAFTAR ISIi
KATA PENGANTARiii
DAFTAR ISTILAHiv
BAB I PENDAHULUAN1
1.1 Latar Belakang1
1.2 Tujuan Penyusunan Panduan3
1.3 Ruang Lingkup Panduan3
1.4 Landasan Hukum Penyusunan Panduan3
1.5 Proses Penyusunan Panduan 3
BAB IIKONSEP GENDER DAN ANGGARAN RESPONSIF GENDER
7
2.1 Konsep Gender 7
2.2 Anggaran Responsif Gender8
2.2.1 Pengertian 8
2.2.2 Ciri Anggaran Responsif Gender 8
2.2.3 Prinsip Anggaran Responsif Gender9
2.2.4 Prasyarat Anggaran Responsif Gender
9
BAB III URGENSI PPRG UNTUK PENCAPAIAN SPM & MDGs
3.1 Arti PPRG untuk Pencapaian SPM dan MDGs
3.2 Tujuan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender
3.3 Dasar Hukum PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs
13
13
17
17
BAB IV KONSEP PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER
UNTUK PENCAPAIAN SPM DAN MDGS22
4.1 Kharakteristik Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender
untuk Pencapaian SPM dan MDGs22
4.2. Penerapan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender
dalam Anggaran Berbasis Kinerja24
BAB V PENGINTEGRASIAN PPRG UNTUK PENCAPAIAN SPM DAN MDGs
DALAM DOKUMEN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
31
5.1 Analisa Gender dalam Perencanaan dan Penganggaran
31
5.2 Pengintegrasian PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs
dalam Dokumen Perencanaan Daerah33
5.3 Pengintegrasian PPRG dalam Dokumen Penganggaran
35
BAB VI INSTRUMEN PPRG UNTUK PENCAPAIAN SPM DAN PERCEPATAN MDGS
37
6.1 Gender Analisis Pathway (GAP)37
6.2. Gender Budget Statement (GBS)41
6.3 Monitoring dan Evaluasi 43
DAFTAR PUSTAKA45
LAMPIRAN 146
LAMPIRAN 249
LAMPIRAN 352
LAMPIRAN 453
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
i
Daftar Tabel,
Kotak & Gambar
Tabel
Tabel 1
Indeks IPM, IPG, dan IDG 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2011
16
Tabel 2
Langkah-langkah Pengintegrasian Gender dalam Dokumen Perencanaan
34
Tabel 3
Langkah-Langkah Pengintegrasian Gender dalam Dokumen Penganggaran 36
Tabel 4
Matrik Gender Analysis Pathway
39
Tabel 5
Format Gender Budget Statement
42
Tabel 6
Keterkaitan GAP dan GBS
43
Tabel 7
Alur Monitoring dan Evaluasi PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan
MDGS
44
Kotak
Kotak 1
Empat Alasan Pentingnya Perencaan dan Penganggaran Responsif Gender
13
Kotak 2
Dasar Hukum PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs
18
Kotak 3
Karakteristik Perencanaan dan Penganggaran Berbasis SPM, MDGs, dan
Berkesetaraan Gender
23
Kotak 4
Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah
25
Kotak 5
Contoh Isu Gender dalam SPM Bidang Kesehatan
31
Kotak 6
Contoh Isu Gender dalam SPM Bidang Pendidikan
32
Kotak 7
Langkah-Langkah PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs
37
Kotak 8
TIPS Dalam Melakukan Analisis GAP
41
Gambar 1
Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran dengan SPM, MDGs, dan
Gender
22
Gambar 2
Konsep Kerangka Kinerja
26
Gambar 3
Ilustrasi Analisis Gender dalam Dokumen Perencanaan dan Penganggaran
33
Gambar 4
Alur Perencanaan Program dan Penganggaran
36
Gambar 5
Proses Perencanaan & Penganggaran
43
Gambar
ii
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
P
Kata Pengantar
royek BASICS merupakan satu program kerjasama antara Pemerintah Kanada 1 dan Pemerintah
Indonesia2 untuk mendukung perbaikan pelayanan publik dalam pencapaian Standar Pelayanan
Minimal (SPM) dan Millenium Development Goals (MDGs) atau Tujuan Pembangunan Milenium,
khususnya di sektor pendidikan dan kesehatan, dalam era desentralisasi. Proyek BASICS memiliki
komitmen yang kuat untuk mengarusutamakan gender dalam seluruh program dan kegiatan yang
dilakukan. Upaya tersebut sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan
strategi pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan pembangunan yang telah memperlihatkan
kemajuan yang signifikan dalam lima tahun terakhir, baik di pusat dan daerah.
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000, pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG)
diwajibkan kepada seluruh kementerian maupun lembaga pemerintah dan non pemerintah di pemerintah
nasional, provinsi maupun kabupaten/kota untuk menyusun program dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi dengan mempertimbngkan permasalahan kebutuhan aspirasi perempuan
pada pembangunan dalam kebijakan, program, dan kegiatan. Strategi tersebut dilaksanakan melalui
sebuah proses memasukkan analisa gender ke dalam program kerja pengintegrasian pengalaman,
aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan perempuan dan laki-laki dalam proses pembangunan. Terbitnya
Surat Edaran Bersama (SEB) antara Bappenas, Kementerian Keuangan, Kemneterian Dalam Negeri, dan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak3 tahun 2012 yang diikuti dengan
terbitnya Permendagri Nomor 27 Tahun 20134 semakin memperkuat landasan hukum pelaksanaan
perencanaan dan penganggaran responsif gender di tingkat pemerintah daerah.
Selama ini, masih ada anggapan bahwa melakukan analisis gender berarti menambah beban
pekerjaan. Namun, sesungguhnya perencanaan dan penganggaran rensponsif gender bukanlah
berarti melakukan dua kali perencanaan, tetapi hanya memastikan bagaimana agar perspektif gender
dapat diintegrasikan dalam setiap tahapan perencanaan dan penganggaran. Karena itulah, sebuah
perencanaan dan penganggaran responsif gender akan mendiagnosa dan memberikan jawaban yang
lebih tepat kebutuhan program dan anggaran pendidikan dan kesehatan bagi perempuan dan lakilaki, dan pada akhirnya mendukung tercapainya target indikator kinerja kegiatan yang telah ditetapkan
menuju pencapaian SPM dan MDGs.
Buku Panduan ini disusun untuk memberikan informasi dan langkah-langkah di dalam menyusun
kebijakan, program, dan kegiatan di bidang pendidikan dan kesehatan dengan pendekatan anggaran
responsif gender dalam rangka pencapaian SPM dan MDGs. Kemudian sebagai pelengkap panduan
BASICS juga menerbitkan Modul Pelatihan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk
Pencapaian SPM Urusan Pendidikan dan Kesehatan.
Secara khusus kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Joanne Prindivile, Bapak Timothy Babcock,
Ibu Maya Rostanty, Bapak Sahabuddin, Ibu Waode Muslihatun, dan Ibu Fanty Frida Yanti, yang
telah memberikan masukan yang berharga dalam penyusunan buku panduan ini. Semoga panduan ini
dapat memberikan manfaat dalam mengimplementasikan perencanaan dan penganggaran pelayanan
dasar pendidikan dan kesehatan yang responsif gender di daerah menuju pencapaian SPM dan MDGs.
Jakarta, Maret 2014
Bill Duggan
Project Director BASICS
1
2
3
4
BASICS didukung oleh Department of Foreign Affairs, Trade and Development (DFATD) dari Pemerintah Kanada
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) adalah mitra dari pihak Pemerintah Indonesia untuk BASICS.
Surat Edaran Bersama Menteri yaitu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 270/M.PPN/11/ 2012, No.SE-­‐33/MK-­‐02/2012, No.050/4379A/SJ, No.SE 46/MPP-­‐PA/11/2012 tentang Strategi
Percepatan Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) Melalui Perencanaan Dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG)
Permendagri Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2014
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
iii
Daftar Istilah
Analisis Gender
iv
Identifikasi secara sistematis tentang isu-isu gender
yang disebabkan karena adanya pembedaan peran
serta hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki.
Analisis gender perlu dilakukan, karena pembedaanpembedaan ini bukan hanya menyebabkan adanya
pembedaan diantara keduanya dalam pengalaman,
kebutuhan, pengetahuan, perhatian, tetapi juga
berimplikasi pada pembedaan antara keduanya
dalam memperoleh akses dan manfaat dari hasil
pembangunan, berpartisipasi dalam pembangunan
serta
penguasaan
terhadap
sumberdaya
pembangunan.
Anggaran Berbasis Kinerja
ABK
Penyusunan anggaran yang didasarkan atas
perencanaan kinerja. ABK terdiri dari program dan
kegiatan yang akan dilaksanakan serta indikator
kinerja yang ingin dicapai oleh suatu entitas anggaran
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah
APBD
Rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah
yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah
daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
Anggaran Responsif Gender
ARG
Anggaran yang merespon kebutuhan, permasalahan,
aspirasi dan pengalaman perempuan dan laki-laki
yang tujuannya untuk mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender.
Bersifat Indikatif
Data dan informasi, baik tentang sumber daya
yang diperlukan maupun keluaran dan dampak
yang tercantum di dalam dokumen rencana, hanya
merupakan indikasi yang hendak dicapai dan tidak
kaku.
Beijing Declaration and Platform BDPFA
for Action
Landasan Aksi Beijing yang merupakan hasil dari
Konferensi Dunia tentang Perempuan ke IV yang
diselenggarakan di Beijing dan merupakan landasan
aksi bagi Negara-negara di dunia untuk melaksanakan
CEDAW dengn fokus pada 12 area kritis untuk
melaksanaan pemberdayaan perempuan.
Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination
Against Women
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan. Suatu instrumen internasional
yang menetapkan persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan di semua bidang – politik, ekonomi,
sosial, budaya dan sipil. Konvensi ini ditetapkan oleh
Perserikatan Bangsa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
18 Desember 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3
Desember 1981.
CEDAW
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Data Terpilah
Data terpilah menurut jenis kelamin, status dan
kondisi perempuan dan laki-laki di seluruh bidang
pembangunan yang meliputi kesehatan, pendidikan,
ekonomi dan ketenagakerjaan, bidang politik dan
pengambilan keputusan, bidang hukum dan sosial
budaya dan kekerasan.
Gender
Perbedaan sifat, peranan, fungsi, dan status antara
perempuan dan laki-laki yang bukan berdasarkan
pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan relasi
sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur
masyarakat yang lebih luas. Jadi, gender merupakan
konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai
perkembangan zaman.
Gender Analysis Pathway
GAP
Disebut juga alur kerja analisis gender, merupakan
model/alat analisis gender yang dikembangkan oleh
Bappenas bekerjasama dengan Canadian International
Development Agency (CIDA), dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (KPP&PA) untuk membantu para perencana
melakukan pengarusutamaan gender.
Gender Budget Statement
GBS
Pernyataan anggaran responsif gender atau Lembar
Anggaran Responsif Gender adalah dokumen
pertanggungjawaban spesifik gender yang disusun
pemerintah yang menunjukkan kesediaan instansi
untuk melakukan kegiatan berdasarkan kesetaraan
gender dan
mengalokasikan anggaran untuk
kegiatan-kegiatan tersebut.
Gender Development Index
GDI
Disebut juga Indeks Pembangunan Gender, yaitu
indikator yang dikembangkan oleh UNDP yang lebih
menaruh perhatian pada penggunaan kapabilitas
dan pemanfaatannya dalam kesempatan-kesempatan
dalam hidup. GDI mengukur pencapaian dimensi dan
variabel yang sama dengan HDI (Human Development
Index), namun menangkap ketidakadilan dalam hal
pencapaian antara perempuan dan laki-laki.
Hasil (outcome)
Segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya
keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program.
Indikator Kinerja
Instrumen untuk mengukur kinerja, yaitu alat ukur
spesifik secara kuantitatif dan/atau kualitatif untuk
masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, dan/atau
dampak yang menggambarkan tingkat capaian kinerja
suatu program atau kegiatan. Untuk mengukur output
pada tingkat Kegiatan digunakan instrumen Indikator
Kinerja Kegiatan (IKK), sedangkan untuk mengukur
hasil pada tingkat Program digunakan instrumen
Indikator Kinerja Utama (IKU).
Indeks Pemberdayaan Gender
IPG
Indikator komposit yang diukur melalui partisipasi
perempuan di bidang ekonomi, politik, dan
pengambilan keputusan.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
v
Indeks Pembangunan Manusia
Indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan
manusia yang dibangun melalui pendekatan tiga
dimensi dasar yang meliputi harapan hidup, tingkat
pendidikan, dan pendapatan.
Isu Gender
Suatu
kondisi yang menunjukkan kesenjangan
perempuan dan laki-laki atau ketimpangan gender.
Kondisi ketimpangan gender ini diperoleh dengan
membandingkan kondisi yang dicita-citakan (kondisi
normatif )
dengan kondisi gender sebagaimana
adanya (kondisi subyektif ).
Keadilan Gender
Perlakuan adil bagi perempuan dan laki-laki dalam
keseluruhan proses kebijakan pembangunan nasional,
yaitu dengan mempertimbangkan
pengalaman,
kebutuhan, kesulitan, hambatan sebagai perempuan
dan sebagai laki-laki untuk mendapat akses dan
manfaat dari usaha-usaha pembangunan; untuk ikut
berpartisipasi dalam mengambil keputusan (seperti
yang berkaitan dengan kebutuhan, aspirasi) serta
dalam memperoleh penguasaan (kontrol) terhadap
sumberdaya seperti dalam mendapatkan/penguasaan
keterampilan, informasi, pengetahuan, kredir dan lainlain.
Kebijakan Umum Anggaran
vi
IPM
KUA
Dokumen yang memuat kebijakan bidang
pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi
yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun.
Kegiatan
Bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu
atau beberapa SKPD sebagai bagian dari pencapaian
sasaran terukur pada suatu program, dan terdiri dari
sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya
baik yang berupa personil (sumber daya manusia),
barang modal termasuk peralatan dan teknologi,
dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua
jenis sumber daya tersebut, sebagai masukan (input)
untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk
barang/jasa.
Kegiatan Prioritas
Kegiatan yang ditetapkan untuk mencapai secara
langsung sasaran program prioritas.
Keluaran (output)
Barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan, yang
dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran
dan tujuan program dan kebijakan.
Kesenjangan Gender (gender
gap)
Ketidakseimbangan atau perbedaan kesempatan,
akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara
perempuan dan laki-laki yang dapat terjadi dalam
proses pembangunan.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Kesetaraan Gender
Kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan
laki-laki untuk memperoleh kesempatan dan hakhaknya sebagai manusia, agar mampu berperan
dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi,
sosial budaya, pendidikan, pertahanan, keamanan
nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil yang
dampaknya seimbang.
Kinerja
Prestasi kerja berupa keluaran dari suatu kegiatan atau
hasil dari suatu program dengan kuantitas dan kualitas
terukur.
Millenium Development Goals
MDGs
Disebut juga Tujuan Pembangunan Milenium adalah
hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari
189 negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
mulai dijalankan pada September 2000, dan mencakup
delapan sasaran untuk dicapai pada 2015, yaitu: (1)
mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, (2) pendidikan
universal, (3) kesetaraan gender, (4) kesehatan anak,
(5) kesehatan ibu, (6) , penanggulangan HIV/AIDS, (7)
kelestarian lingkungan, dan (8) kemitraan global.
Pengarusutamaan Gender
PUG
Strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan
gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan.
Perencanaan
Perencanaan dan
Penganggaran Responsif
Gender
Suatu proses untuk menentukan tindakan masa
depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
PPRG
Instrumen untuk mengatasi adanya perbedaan atau
kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat
pembangunan bagi perempuan dan laki-laki dengan
tujuan untuk mewujudkan anggaran yang lebih
berkeadilan.
Perencanaan yang Responsif
Gender
Perencanaan yang dibuat oleh seluruh lembaga
pemerintah, organisasi profesi, masyarakat dan
lainnya yang disusun dengan mempertimbangkan
empat aspek seperti: peran, akses, manfaat dan kontrol
yang dilakukan secara setara antara perempuan dan
laki-laki. Artinya adalah bahwa perencanaan tersebut
perlu mempertimbangkan aspirasi, kebutuhan
dan permasalahan pihak perempuan dan laki-laki,
baik dalam proses penyusunannya maupun dalam
pelaksanaan kegiatan.
Program
Bentuk instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih
kegiatan yang dilaksanakan oleh SKPD atau masyarakat,
yang dikoordinasikan oleh pemerintah daerah untuk
mencapai sasaran dan tujuan pembangunan daerah.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
vii
Rencana Kerja
Rencana Kerja dan Anggaran
RKA
Dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi
rencana pendapatan, rencana belanja program dan
kegiatan SKPD serta rencana pembiayaan sebagai
dasar penyusunan APBD.
Rencana Kerja Pembangunan
Daerah
RKPD
Dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu)
tahun atau disebut dengan rencana pembangunan
tahunan daerah.
Rencana Kerja
RENJA
Dokumen perencanaan SKPD untuk periode 1 (satu)
tahun.
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah
RPJMD
Dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima)
tahun.
Rencana Strategis
RENSTRA
Dokumen perencanaan SKPD untuk periode 5 (lima)
tahun.
Responsif Gender
Perhatian dan kepedulian yang
konsisten dan
sistematis
terhadap
perbedaan-perbedaan
perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat yang
disertai upaya menghapus hambatan-hambatan
struktural dan kultural dalam mencapai kesetaraan
gender.
Sasaran
Target atau hasil yang diharapkan dari suatu program
atau keluaran yang diharapkan dari suatu kegiatan.
Standar Pelayanan Minimal
Satuan Kerja Perangkat Daerah
viii
Dokumen rencana yang memuat program dan
kegiatan yang diperlukan untuk mencapai sasaran
pembangunan, dalam bentuk kerangka regulasi dan
kerangka anggaran.
SPM
Ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar
yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak
diperoleh setiap warga secara minimal.
Stranas
PPRG
Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan
Gender Melalui Perencanaan dan Penganggaran Yang
Responsif Gender
SKPD
Perangkat Pemerintah Daerah (Provinsi maupun
Kabupaten/Kota)
yang
bertugas
membantu
penyusunan kebijakan, koordinasi, dan pelaksanaan
kebijakan yang menjadi urusan daerah. Ke dalam SKPD
termasuk Sekretariat Daerah, Staf-staf Ahli, Sekretariat
DPRD, Dinas-dinas, Badan-badan, Inspektorat Daerah,
lembaga-lembaga daerah lain yang bertanggung
jawab langsung kepada Kepala Daerah, Kecamatankecamatan (atau satuan lainnya yang setingkat), dan
Kelurahan/Desa (atau satuan lainnya yang setingkat).
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Pengarusutamaan Gender adalah
strategi untuk menghilangkan
hambatan yang menyebabkan
tidak tercapainya kesetaraan dan
keadilan gender.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
ix
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) pada tahun 1980 yang dengan tegas
menolak segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Sebagai wujud komitmen tersebut,
Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAW5 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan. Kemudian pada tahun 1995, Indonesia juga mendukung Beijing Platform for Action
(BPFA)6 atau Landasan Aksi Beijing.
Komitmen internasional dalam kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan juga tertuang
dalam Millenium Development Goals (MDGs)7 atau Tujuan Pembangunan Milenium pada tahun
2000 yang merupakan deklarasi bersama dari 189 negara yang berkomitmen untuk bersamasama mewujudkan pembangunan yang berpusat pada kesejahteraan manusia dengan 8 tujuan
utama. Tujuan ke-3 MDGs secara khusus mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan. Tujuan MDGs lainnya terkait dengan pengurangan kemiskinan, pendidikan,
kesehatan ibu dan anak, penanggulangan penyakit menular, kelestarian lingkungan hidup, dan
mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Indonesia merupakan salah satu
negara yang ikut menandatangani Deklarasi Milenium tersebut. Dengan demikian, Pemerintah
Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan demi meningkatkan
kesejahteraan rakyat dengan menghormati prinsip kesetaraan gender.
Dalam rangka mempercepat pencapaian MDGs pada tahun 2015, Pemerintah Indonesia telah
menetapkan Standar Pelayanan Minimal bagi pelayanan dasar. Standar Pelayanan Minimal
yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang
merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Sampai
dengan tahun 2011 telah ditetapkan Standar Pelayanan Minimal dari 13 Kementrian/Lembaga
yang selanjutnya menjadi pokok-pokok acuan bagi pemerintah daerah dalam penerapan SPM.
Peraturan tentang SPM yang dikeluarkan Kementrian/Lembaga tersebut menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dalam proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, dan
pertanggungjawaban di daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada
masyarakat dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. Tantangannya kemudian adalah
memastikan bahwa pelayanan dasar yang diberikan oleh Pemerintah dapat dirasakan manfaatnya
baik oleh laki-laki maupun perempuan sesuai dengan kebutuhan dan pengalamannya.
5
6
7
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada 18 Desember 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981. CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, di semua bidang – politik, ekonomi,
sosial, budaya dan sipil. Lihat http://cedaw-seasia.org/docs/indonesia/CEDAW_text_Bahasa.pdf.
Beijing Declaration and Platform For Actions atau biasa disebut Beijing Platform for Actions (BPFA) merupakan rekomendasi dan hasil Konferensi tingkat Dunia
tentang Perempuan ke IV yang diselenggarakan di Beijing, China, pada tahun 4-15 September 1995. Konferensi yang bertema : Persamaan, Pembangunan, Perdamaian ini telah menghasilkan sejumlah rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota PBB dalam upaya meningkatkan akses dan kontrol
kaum perempuan atas sumber daya ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
MDGs merupakan Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan
pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Targetnya adalah tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015. Target ini merupakan tantangan utama dalam pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam Deklarasi Milenium, dan diadopsi oleh 189
negara serta ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
1
Sejak tahun 1997 Indonesia telah berkomitmen untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender yang tertuang sebagai salah satu tujuan dari GBHN 1997-2002. Namun komitmen tersebut
mengalami beberapa kendala dalam implementasinya, karena masih banyak yang memaknai
komitmen tersebut sebagai pengalokasian program khusus bagi perempuan. Hal ini berdampak
pada munculnya resistensi dan kesalahpahaman tentang upaya tersebut. Oleh karenanya
kemudian dikenalkanlah strategi pengarusutamaan gender (PUG).Strategi ini dituangkan dalam
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional, yang ditujukan kepada seluruh instansi pemerintah, swasta dan masyarakat baik di
pusat dan di daerah.
Kemudian untuk memastikan pelaksanaanya PUG di daerah, dikeluarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 (yang kemudian disempurnakan dan diperbaiki melalui
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011) tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender di Daerah. Bahkan pada tahun 2012 Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan Surat Edaran
Nomor : 270/M.PPN/11/2012, Nomor : SE-33/MK.02/2012, Nomor: 050/4379A/SJ, dan Nomor: SE
46/MPP-PA/11/2012 Tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender Melalui
Perencanaan dan Penganggaran Yang Responsif Gender (Stranas PPRG).
Penerapan perencanaan dan penganggaran responsif gender menunjukkan komitmen
pemerintah terhadap kondisi dan situasi kesenjangan perempuan dan laki-laki yang masih terjadi,
sekaligus juga melaksanakan konvensi internasional yang telah diratifikasi (seperti CEDAW) dan
kesepakatan internasional yang sudah ditandatangani (seperti Landasan Aksi Beijing dan MDGs).
Persoalannya inisatif untuk melaksanakan berbagai komitmen dan kebijakan tersebut masih
dilakukan secara terpisah dan belum terintegrasi. Hal ini tak jarang berdampak pada tingkat
efisiensi dan efektifitas pencapaian hasil dari masing-masing komitmen. Padahal banyak inisiatif
dan alat-alat yang telah dikembangkan untuk masing–masing isu yang sering menguras tenaga,
waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Upaya untuk mengintegrasikan sesungguhnya sudah dimulai dengan dikeluarkannya Petunjuk
Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender bagi Pemerintah Daerah yang
terlampir dalam Stranas PPRG. Disini ada upaya mengintegrasikan PPRG untuk pencapaian MDGs.
Sementara tentang SPM juga telah disinggung namun baru sebatas sebagai salah satu fokus
dari pelaksanaan PPRG pada program dan kebijakan untuk penyelenggaraan pelayanan kepada
masyarakat.
Upaya lain juga tampak pada Permendagri Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan
Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah tahun 2014. Dalam bagian penjelasan dalam
Permendagri ini juga diamanahkan agar memprioritaskan belanja untuk pelaksanaan urusan wajib
agar sesuai dengan SPM yang telah ditetapkan. Selain itu juga diamanahkan untuk melakukan
perencanaan dan penganggaran responsif gender. Namun Kementrian Dalam Negeri dalam hal
ini Direktorat Jenderal Keuangan Daerah tidak mengatur lebih lanjut bagaimana SPM dan PPRG
ini dilakukan dan dapat saling menguatkan. Padahal berdasarkan pengalaman BASICS dan para
mitra kerja di daerah untuk penyusunan perencanaan dan penganggaran responsif gender dalam
rangka percepatan pencapaian SPM dan MDGs dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan
khusus.
Oleh karena itu BASICS terpanggil untuk berkontribusi dengan mendokumentasikan instrumen
dan pengalaman yang digunakan dalam mendampingi mitra kerja di daerah dalam melakukan
PPRG untuk pencapaian SPM dan Percepatan MDGs. Panduan ini berupaya mengintegrasikan
SPM, MDGS dan gender dalam menyusun perencanaan dan penganggaran, sehingga dapat
berkontribusi dalam mendorong mekanisme dan sistem perencanaan dan penganggaran yang
lebih baik.
2
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
1.2 Tujuan Penyusunan Panduan
Tujuan dari penyusunan Panduan ini adalah untuk:
1. Memberikan pedoman bagi para perencana dalam menyusun Anggaran Responsif Gender
(ARG), khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan, dalam upaya pemenuhan SPM
pendidikan dan kesehatan serta pencapaian MDGs.
2. Memampukan para perencana untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam setiap
tahap perencanaan dan penganggaran, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan.
1.3 Ruang Lingkup Panduan
Ruang lingkup dari Panduan ini dibatasi pada perencanaan dan penganggaran responsif gender
(PPRG) di bidang pendidikan dan kesehatan, dengan menggunakan:
1. Teknik Gender Analysis Pathway (GAP); dan
2. Teknik penyusunan Gender Budget Statement (GBS).
Dalam panduan ini diulas bagaimana melakukan perencanaan program dan kegiatan
pembangunan dalam mendorong percepatan pencapaian SPM dan MDGs Pendidikan dan
Kesehatan. Hal baru yang ditawarkan adalah bagaimana kebijakan untuk pencapaian SPM, MDGs
dan kesetaraan gender benar-benar diacu dan diterjemahkan dalam penyusunan perencanaan
dan penganggaran. Dari sisi perencanaan dan penganggaran responsif gender (PPRG) panduan
ini menawarkan bagaimana instrumen PPRG bisa digunakan untuk mendukung pencapaian SPM
dan MDGs.
1.4 Landasan Hukum Penyusunan Panduan
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJP-N) Tahun 2005-2025;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Antara
Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
4. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional;
5. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional Tahun 2010;
6. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan;
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender di Daerah;
8. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2013 tentang Perubahan
atas Permendiknas Nomor 15 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan
Dasar;
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan
Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah Tahun 2014.
10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 741/MENKES/PER/2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota;
11. Surat Edaran Bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas,
Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Nomor 270/M.PPN/11/2012, Nomor SE-33/MK-02/2012, Nomor
050/4379A/SJ, Nomor SE 46/MPP-PA/11/2012 tentang Strategi Percepatan Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender Melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
3
1.5 Proses Penyusunan Panduan
Panduan ini disusun berdasarkan penilaian kebutuhan dalam workshop persiapan penyusunan
yang melibatkan focal point gender yang meliputi unsur Bappeda, BKBPP, Dinas Kesehatan, Dinas
Pendidikan dan Organisasi Masyarakat Sipil dari kabupaten/kota dan provinsi wilayah kerja BASICS.
Kemudian draft panduan disusun, diujicoba secara terbatas pada Dinas Pendidikan Kota Bau-Bau
dan Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan, dan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara.
Uji coba baru dilakukan untuk perencanaan dan penganggaran tahunan di sektor pendidikan dan
kesehatan pada program terpilih saja.
Kemudian draft panduan ini juga telah direview oleh reviewer terpilih yaitu: Ibu DR. Ir. Sulikanti,M.
Sc (Deputi PUG Bidang Ekonomi KPP dan PA), Ibu Hj. Nur Endang Abbas, SE, MSi (Kepala BPPKB
Provinsi Sultra, saat ini menjabat sebagai Kepala BKD Provinsi Sultra ), Bapak Drs. Sudjiton, M.M
(Kepala Bappeda Kota Bau Bau, sekarang menjabat sebagai Sekda Kabupaten Wakatobi), dan
Bapak Noldy Tuerah, Ph.D (Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Utara, periode 2011-2013). Selain
itu juga telah mendapat masukan dari peserta Lokakarya Nasional Pencapaian SPM melalui
Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Percepatan MDGs yang dilakukan pada
tanggal 26-28 September 2012 di Jakarta.
Gender merupakan konstruksi
sosial budaya tentang peran,
perilaku, tanggung jawab,
serta karaketeristik yang dianggap
pantas untuk perempuan dan
laki-laki.
Bab II
Konsep Gender
dan Anggaran Responsif Gender
2.1 Konsep Gender
Gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggungjawab perempuan dan laki-laki
yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial budaya masyarakat (WHO, 2010).
Istilah gender relatif baru masuk dalam khazanah pembangunan, termasuk pembangunan
kesehatan, sehingga masih banyak terjadi kerancuan dalam memahaminya apalagi
mengaplikasikannya. Kerancuan itu bermula dari pemahaman yang keliru tentang ‘gender’ yang
sering diartikan sebagai jenis kelamin, khususnya perempuan; padahal, istilah ‘jenis kelamin/ sex’
berbeda dengan gender.
Jenis kelamin mengacu pada perbedaan karakteristik biologis dan fisiologis yang membedakan
perempuan dan laki-laki. Jenis kelamin bersifat kodrati dan universal (berlaku di mana saja) dan
tidak bisa dipertukarkan satu sama lain. Contoh dari sifat jenis kelamin antara lain: Perempuan
dapat melahirkan, menstruasi, menyusui, laki-laki tidak; Perempuan mempunyai payudara yang
berfungsi untuk menyusui, sedangkan laki-laki tidak memilikinya; Laki-laki mempunyai jakun,
mempunyai testis, menghasilkan sperma, sedangkan perempuan tidak.
Gender mengacu pada peran, perilaku, kegiatan serta karakteristik sosial lainnya yang dibentuk
oleh suatu masyarakat atau budaya tertentu berdasarkan persepsi yang pantas untuk perempuan
atau pantas untuk laki-laki. Persepsi gender dipraktikkan melalui perbedaan cara perempuan dan
laki-laki dibesarkan, diajari berprilaku, dan diharapkan untuk ‘menjadi perempuan’ dan ‘menjadi
lelaki’ menurut budaya masyarakatnya. Praktik ini direproduksi secara turun temurun.
Gender beragam, bisa berubah-ubah dan bersifat dinamis. Contohnya antara lain:
1. Beberapa pekerjaan yang dulu dianggap hanya cocok untuk laki-laki saja (seperti dokter,
pilot, montir mobil, supir, dll) atau hanya cocok untuk perempuan saja (seperti guru TK,
penjahit, juru masak, pekerja salon, dll) sekarang sudah dapat dilakukan baik oleh perempuan
maupun laki-laki.
2. Peran sebagai pencari nafkah bagi keluarga sekarang dapat dilakukan baik oleh laki-laki
maupun perempuan, demikian juga dengan peran dalam mengurus rumah tangga serta
merawat dan membesarkan anak.
3. Peran di bidang sosial kemasyarakatan dan politik yang dulu dianggap sebagai dunia lakilaki, sekarang sudah banyak digeluti oleh perempuan. Dan tidak sedikit perempuan yang
berperan sebagai politisi, anggota legislatif, pemimpin organisasi masyarakat sipil, bahkan
pemimpian negara.
4. Perbedaan dan peran gender sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang tidak menimbulkan
ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Namun demikian, kondisi ideal tersebut belum
tercipta karena masih terjadi ketidakadilan dan ketidaksetaraan atau diskriminasi gender.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
7
Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dapat terjadi dalam beberapa bentuk atau manifestasi,
yakni :
1. Stereotipe, yaitu menempatkan wanita sebagai mahluk lemah, mahluk yang perlu dilindungi,
tidak penting, tidak punya nilai ekonomi, orang rumah, bukan pengambil keputusan, dan
lain-lain;
2. Subordinasi : yaitu menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki karena
steorotipnya sebagai mahluk lemah, tidak boleh mengambil keputusan dibandingkan lakilaki, tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk bekerja atau berproduksi, pendidikan,
dan lain-lain;
3. Marginalisasi, yaitu kondisi terpinggirkan, tidak diperhatikan atau diakomodasi dalam
berbagai hal yang menyangkut kebutuhan, kepedulian, pengalaman, dan lain-lain;
4. Beban majemuk, artinya perempuan bekerja lebih beragam daripada laki-laki, dan lebih lama
waktu kerjanya, misalnya fungsi reproduktif dan peran sebagai pengelola rumah tangga,
termasuk bekerja di luar rumah;
5. Kekerasan terhadap perempuan, artinya perempuan mendapatkan serangan fisik, seksual
atau psikologis tertentu yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan. Kekerasan bisa
berbentuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik, tempat kerja, atau dalam kehidupan
rumah tangga.
Untuk mengurangi bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender tersebut diatas, maka perlu
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pembuat kebijakan (policy maker) dan pelaksana
kebijakan tentang konsep dan isu gender, karena jika para pembuat dan pelaksana kebijakan
masih memiliki pola pikir, sikap dan tingkah laku yang buta gender akan menghasilkan kebijakan
netral atau bias gender karena tidak mempertimbangkan pengalaman, aspirasi, dan kebutuhan
laki-laki dan perempuan yang berbeda. Oleh karena itu, para pembuat dan pelaksana kebijakan
perlu sensitif gender agar dapat menghasilkan kebijakan, program dan kegiatan yang memastikan
laki-laki dan perempuan memperoleh keadilan dan kesetaraan dalam akses, partisipasi, kontrol
dan manfaat dalam setiap bidang pembangunan.
Isu gender dalam bidang pendidikan dan kesehatan adalah masalah kesenjangan perempuan
dan laki-laki dalam hal akses, peran atau partisipasi, kontrol dan manfaat yang diperoleh mereka
dalam pembangunan kesehatan. Kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara
perempuan dan laki-laki dalam upaya atau pelayanan kesehatan secara langsung menyebabkan
ketidaksetaraan terhadap status kesehatan perempuan dan laki-laki, sehingga kesenjangan
tersebut harus menjadi perhatian dalam menyusun kebijakan/program sehingga kebijakan/
program bisa lebih terfokus, efi sien dan efektif dalam mencapai sasaran. Oleh karena itu, isu
kesehatan tidak boleh hanya dilihat pada masalah service delivery (penyediaan layanan) saja,
tetapi juga perlu melihat pada hubungan sosial budaya yang menyebabkan perbedaan status dan
peran perempuan dan laki-laki dan relasi antara keduanya di masyarakat.
2.2 Anggaran Responsif Gender
2.2.1 Pengertian
Anggaran Responsif Gender (ARG) merupakan sistem penganggaran yang mengakomodasikan
keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses, manfaat, berpartisipasi
dalam mengambil keputusan dan mengontrol terhadap sumber-sumber daya serta kesetaraan
terhadap kesempatan dan peluang dalam memilih dan menikmati hasil pembangunan bidang
kesehatan.
2.2.2 Ciri Anggaran Responsif Gender
Ciri utama ARG adalah menjawab kebutuhan perempuan dan laki-laki, serta memberikan
manfaat kepada perempuan dan laki-laki secara setara. Melalui anggaran responsif gender
kesenjangan gender diharapkan dapat dihilangkan atau setidaknya dapat dikurangi.
Anggaran Responsif Gender dibagi atas 3 kategori, yaitu:
1. Anggaran khusus target gender, yaitu alokasi anggaran yang diperuntukkan untuk
memenuhi kebutuhan dasar khusus perempuan atau laki-laki. Contoh : Program Making
Pregnancy Safer (MPS), pengadaan kondom gratis bagi laki-laki, dan lain-lain.
8
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
2. Anggaran kesetaraan gender, yaitu alokasi anggaran untuk mengatasi masalah
kesenjangan gender. Melalui analisis gender akan diketahui adanya kesenjangan
dalam relasi antara laki-laki dan perempuan dalam akses, partisipasi, kontrol dan
manfaat terhadap sumber daya. Kategori ARG ini juga termasuk untuk alokasi program/
kegiatan untuk keperluan kebutuhan strategis gender, untuk mengejar kekurangan/
ketertinggalannya. Contoh : program beasiswa dengan kuota khusus bagi perempuan/
laki-laki untuk mencapai kesetaraan partisipasi dan manfaat dalam jenjang pendidikan
tertentu, suami siaga, penolong persalinan oleh tenaga kesehatan laki-laki untuk daerah
terisolir, Jumantik laki-laki dan perempuan di setiap RT.
3. Anggaran pelembagaan kesetaraan gender. Merupakan alokasi anggaran untuk
penguatan kelembagaan PUG. Contoh: penyusunan pedoman PUG dan PPRG,
penyusunan profil gender, pembentukan kelompok kerja PUG.
2.2.3 Prinsip Anggaran Responsif Gender
ARG bekerja dengan cara menelaah dampak dari belanja suatu kegiatan terhadap perempuan
dan laki-laki, dan kemudian menganalisa apakah alokasi anggaran tersebut telah menjawab
kebutuhan perempuan serta kebutuhan laki-laki. Oleh karena itu ARG melekat pada struktur
anggaran (program, kegiatan, dan output) yang ada dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA)
SKPD. Suatu output yang dihasilkan oleh kegiatan akan mendukung pencapaian hasil
(outcome) program. Hanya saja muatan subtansi/materi output yang dihasilkan tersebut
dilihat dari sudut pandang (perspektif ) gender.
Dengan perkataan lain, tujuan dari ARG bukan berfokus pada penyediaan anggaran dengan
jumlah tertentu untuk pengarusutamaan gender, tapi lebih luas lagi, yaitu bagaimana
anggaran keseluruhan dapat memberikan manfaat yang adil untuk laki-laki dan perempuan.
Prinsip tersebut mempunyai arti:
1. ARG bukanlah anggaran yang terpisah untuk laki-laki dan perempuan;
2. ARG sebagai pola anggaran yang akan menjembatani kesenjangan status, peran dan
tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan;
3. ARG bukanlah dasar yang “valid” untuk meminta tambahan alokasi anggaran;
4. Adanya ARG tidak berarti adanya penambahan dana yang dikhususkan untuk program
perempuan;
5. Bukan berarti bahwa alokasi ARG hanya berada dalam program khusus pemberdayaan
perempuan;
6. ARG bukan berarti ada alokasi dana 50% laki-laki – 50% perempuan untuk setiap kegiatan;
7. Tidak harus semua program dan kegiatan mendapat koreksi agar menjadi responsif
gender, namun ada juga kegiatan yang netral gender
2.2.4 Prasyarat Anggaran Responsif Gender
Pada dasarnya setiap perencanaan dan penganggaran program diharapkan bisa menerapkan
ARG, namun demikian penerapan ARG bisa berlangsung dengan baik apabila didukung
dengan prasyarat sebagai berikut:
1. Kemauan politik yang tertera dalam dokumen perencanaan strategis suatu Kementerian/
Lembaga termasuk kemauan dari para perencana program di K/L untuk menerapkan
ARG;
2. Ketersediaan data yang terpilah menurut jenis kelamin;
3. Sumberdaya manusia yang memadai (perencana dan penanggungjawab program yang
mampu melakukan analisis gender);
4. Kemampuan untuk mengembangkan dan melakukan pemantauan dan evaluasi
kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
9
PPRG merupakan instrumen
untuk mengatasi kesenjangan
antara laki-laki dan perempuan
dan mewujudkan keadilan
dalam pembangunan.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
11
Bab III
Urgensi PPRG
untuk Pencapaian SPM & MDGs
3.1 Arti PPRG untuk Pencapaian SPM dan MDGs
Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) bukan merupakan model perencanaan
dan penganggaran yang terpisah dari mekanisme yang telah ada. PPRG juga tidak berarti meminta
atau pun memberikan beban tambahan bagi anggaran. PPRG dilakukan untuk memastikan agar
perencanaan dan penganggaran responsif terhadap kebutuhan laki-laki dan perempuan, serta
berkontribusi untuk mengurangi kesenjangan penerima manfaat pembangunan. Ada beberapa
alasan PPRG penting diantaranya seperti yang diulas di bawah ini.
Kotak 1
Empat Alasan Pentingnya Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender
1.Instrumen untuk menerjemahkan dan melaksanakan komitmen, kebijakan dan
regulasi pemerintah ke dalam tataran praksis.
2.Instrumen untuk melaksanakan fungsi dan tujuan negara untuk mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan seluruh warga negara.
3. Membuat perencanaan dan penganggaran menPjadi lebih efektif dan efisien.
4.Berkontribusi untuk mengurangi kesenjangan tingkat penerima manfaat
pembangunan.
1) Perencanaan dan penganggaran responsif gender merupakan instrumen untuk
menerjemahkan dan melaksanakan komitmen, kebijakan dan regulasi pemerintah.
Indonesia terikat pada komitmen untuk melaksanakan CEDAW atau Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Beijing Platform for Actions atau Landasan
Aksi Beijing, dan MDGs.
CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status
perkawinan mereka, di semua bidang – politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Konvensi
mendorong diberlakukannya perundang-undangan nasional yang melarang diskriminasi
dan mengadopsi tindakan-tindakan khusus-sementara untuk mempercepat kesetaraan de
facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktek-praktek kebiasaan dan
budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran
stereotipe untuk perempuan dan laki-laki8.
Beijing Platform for Actions merupakan landasan aksi bagi negara-negara di dunia untuk
melaksanakan CEDAW yang fokus pada 12 area kritis, yaitu : (1) Perempuan dan kemiskinan;
(2) Perempuan dan pendidikan; (3) Perempuan dan kesehatan; Kemudian (4) Kekerasan
terhadap perempuan; (5) Perempuan dan konflik bersenjata; (6) Perempuan dan ekonomi;
(7) Perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; (8) Mekanisme kelembagaan
untuk memajukan perempuan; (9) Hak-hak azasi untuk perempuan; (10) Perempuan dan
media masa; (11) Perempuan dan lingkungan hidup; (12) Anak perempuan9.
8
9
Lihat http://cedaw-seasia.org/docs/indonesia/CEDAW_text_Bahasa.pdf.
Lihat www.un.org.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
13
Sedangkan MDGs atau Tujuan Pembangunan Milenium adalah hasil kesepakatan kepala
negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) berupa delapan
butir tujuan untuk tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015.
Adapun ke-8 tujuan itu adalah : (1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) Mencapai
pendidikan dasar untuk semua; (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan;( 4) Menurunkan angka kematian anak; (5) Meningkatkan kesehatan ibu; (6)
Memerangi HIV AIDs, malaria, dan penyakit menular lainnya; (7) Memastikan kelestarian
lingkungan hidup; dan (8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan10.
Kemudian dalam rangka mendorong percepatan pencapaian MDGS, Pemerintah Indonesia
telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan
Minimal.
Saat ini telah terdapat 15 Kementerian/Lembaga yang telah menyusun SPM, diantaranya
Permendiknas No. 15 Tahun 2010 yang telah disempurnakan oleh Permendiknas No. 23 Tahun
2013 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar Kabupaten/Kota. SPM bidang
kesehatan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 828/
Menkes/SK/IX/2008 tentang Petunjuk Teknis SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.
Dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, Pemerintah
Indonesia juga telah menetapkan berbagai kebijakan yang menjadi landasan bagi
urgensi pelaksanaan PPRG diantaranya: Intsruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah.
Implikasi dari peraturan tersebut dibutuhkan adanya kelembagaan dan penguatan kapasitas
serta fasilitas agar Pengarusutamaan Gender benar-benar dapat diimplementasikan dalam
berbagai bidang pembangunan. Oleh karenanya perlu didukung oleh perencanaan dan
penganggaran yang responsif gender.
2) Instrumen melaksanakan fungsi dan tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan dan
keadilan bagi seluruh warga negara.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menetapkan bahwa tujuan negara adalah
melindungi, mencerdaskan, mensejahterakan dan mewujudkan keadilan. Oleh karena
demikian, tujuan negara ini juga menjadi tujuan dari pembangunan Indonesia. Dalam rangka
mencapai tujuan pembangunan, pemerintah telah mengubah paradigma pembangunan dari
paradigma pembangunan tradisional yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan
penimbunan modal menjadi paradigma baru yang menekankan pada growth (pertumbuhan)
and equity (keadilan).
Di tingkat internasional, Millenium Development Goals (MDGs) menjadi tujuan pembangunan
yang hendak dicapai. Salah satunya adalah perlunya diwujudkan keadilan pembangunan
agar bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun
perempuan yang secara terus-menerus diupayakan oleh Gerakan Perempuan di dunia.
Gerakan Perempuan kontemporer menggunakan pendekatan Gender and Development
(GAD), yang fokus untuk mengubah ketimpangan gender dengan melihat relasi laki-laki dan
perempuan dan menginginkan perempuan dan laki-laki memperoleh manfaat bersama dari
pembangunan. Sebelumnya, pendekatan yang digunakan adalah Women in Development
(WID) yang memusatkan perhatian pada perempuan dan mendorong perempuan
diikutsertakan dalam pembangunan yang dikongkritkan dalam bentuk program khusus
perempuan menjadi pendekatan
10
14
Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Tujuan_Pembangunan_Milenium#
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Instrumen yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan, antara lain: birokrasi, regulasi,
anggaran, sumberdaya manusia dan masyarakat sipil (organisasi masyarakat, pers dan
perguruan tinggi) yang memerankan sebagai pelaku kontrol sosial. Pasal 23 ayat 1 UndangUndang Dasar 1945 menyatakan bahwa anggaran negara harus dikelola secara transparan
dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, anggaran
merupakan alat untuk mewujudkan tujuan dan menjalankan fungsi negara. Kebijakan
anggaran yang disusun merupakan refleksi dari prioritas dan keberpihakan pemerintah dalam
pembangunan.
3) PPRG membuat perencanaan dan penganggaran menjadi lebih efektif dan efisien.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara merupakan aturan yang
menandai perubahan sistem anggaran dari anggaran tradisional ke anggaran berbasis kinerja
(performance based budgeting). Undang-Undang ini kemudian diturunkan dalam aturanaturan pelaksanaannya, yaitu: Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dan
revisinya, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut perencanaan dan
penganggaran harus berbasis kinera.
Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) adalah penyusunan anggaran yang didasarkan atas
perencanaan kinerja. ABK terdiri dari program dan kegiatan yang akan dilaksanakan serta
indikator kinerja yang ingin dicapai oleh suatu entitas anggaran. Anggaran berbasis kinerja
fokus pada pemberian layanan. Jika anggaran tradisional hanya melaporkan jumlah dana yang
dialokasikan dan dibelanjakan, maka anggaran kinerja melaporkan apa yang telah dilakukan
dengan uang yang ada. Oleh karena itu, dalam ukuran keberhasilan tidak ditentukan oleh
habis/tidaknya anggaran melainkan ditentukan oleh tercapai/tidaknya indikator kinerja yang
telah ditetapkan. Dengan demikian, indikator kinerja merupakan elemen utama yang perlu
diperhatikan. Penganggaran berbasis kinerja bertujuan untuk membuat anggaran lebih
ekonomis11 , efisien12 dan efektif13 .
4) Penerapan PPRG didasarkan atas semangat yang sama untuk membuat anggaran menjadi
lebih ekonomis, efisien dan efektif. PPRG dapat berkontribusi positif untuk mewujudkan
tujuan dari penganggaran berbasis kinerja karena pada PPRG dilakukan analisis situasi/
analisis gender.
Dalam analisa situasi dilakukan pemetaan peran perempuan dan laki-laki, kondisi perempuan
dan laki-laki, kebutuhan perempuan dan laki-laki serta permasalahan perempuan dan lakilaki. Dengan demikian analisis gender akan melihat, meneliti dan memberikan jawaban yang
lebih tepat untuk memenuhi kebutuhan perempuan dan laki-laki melalui penetapan program/
kegiatan dan anggaran, menetapkan kegiatan apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi
kesenjangan gender, dan siapa yang sebaiknya dijadikan target sasaran dari sebuah program/
kegiatan, kapan dan bagaimana program/kegiatan akan dilakukan.
5) Mengurangi kesenjangan tingkat penerima manfaat pembangunan
Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 telah jelas disebutkan tentang
Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah, yang biasa disebut dengan 10 asas umum
pengelolaan keuangan daerah, yaitu : tertib, taat pada peraturan perundang undangan,
efektif, efisien, ekonomis,transparan, bertanggung jawab, keadilan, kepatutan, dan manfaat
untuk masyarakat.
Dari peraturan tersebut secara jelas diamanahkan agar dalam pengelolaan keuangan daerah
dimana didalamnya termasuk APBD harus mengedepankan keadilan, kepatutan dan manfaat
untuk masyarakat. Ini berarti setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan berhak
untuk memperoleh manfaat yang setara dari pembangunan baik di desa maupun di kota.
Namun realitasnya masih ditemukan kesenjangan penerima manfaat pembangunan,
diantaranya seperti yang dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
11
12
13
Ekonomis berarti memperoleh masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah.
Efisien bermakna mencapai hasil maksimum dengan pengeluaran tertentu
Efektif berbarti membandingkan pengeluaran dengan hasil yang diperoleh. Melihat pencapaian hasil program dengan target yang telah ditentukan.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
15
Tabel 1 Indeks IPM, IPG, dan IDG 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2011
Provinsi
IPM
IPG
IDG
1.Nanggroe Aceh Darussalam
72,16
65,76
52,06
2.Sumatera Utara
74,65
70,34
67,39
3.Sumatera Barat
74,28
69,55
64,62
4.Riau
76,53
66,17
65,34
5.Jambi
73,3
63,95
58,59
6.Sumatera Selatan
73,42
66,84
68,34
7.Bengkulu
73,4
68,45
69,33
8. Lampung
71,94
63,5
65,86
9. Bangka Belitung
73,37
60,79
56,03
10. Kepulauan Riau
75,78
64,69
60,62
11.DKI Jakarta
77,97
74,01
74,7
12. Jawa Barat
72,73
63,25
68,08
13. Jawa Tengah
72,94
66,45
68,99
14.Yogyakarta
76,32
73,07
77,84
15.Jawa Timur
72,18
65,61
68,52
16. Banten
70,95
63,35
66,58
17.Bali
72,84
58,24
58,59
18.Nusa Tenggara Barat
66,23
56,7
56,57
19.Nusa Tenggara Timur
67,75
65,33
58,9
20.Kalimantan Barat
69,66
64,78
56,39
21. Kalimantan Tengah
75,06
69,8
69,48
22. Kalimantan Selatan
70,44
65,59
62,99
23.Kalimantan Timur
76,22
61,07
61,29
24. Sulawesi Utara
76,54
68,6
68,61
25. Sulawesi Tengah
71,62
63,03
66,08
26. Sulawesi Selatan
72,14
62,75
63,38
27. Sulawesi Tenggara
70,55
64,79
65,26
28. Gorontalo
70,82
57,67
62,12
29.Sulawesi Barat
70,11
65,86
64,62
30.Maluku
71,87
67,76
76,51
31. Maluku Utara
69,47
65,35
59,38
32. Papua Barat
69,65
59,24
57,54
33. Papua
65,36
62,69
57,74
Indonesia
72,71
67,8
69,14
Sumber: Diolah dari Data Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2006-2012
Kerjasama BPS dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Data di atas menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antar daerah berbeda satu
sama lainnya, demikian juga dengan Indeks Pembangunan Gender (IPG) maupun Indeks
Pemberdayaan Gender (IDG). Jika dicermati daerah yang IPM-nya tinggi belum tentu memiliki
IPG dan IDG yang tinggi juga. Ini menunjukkan bahwa kesenjangan antara penerima manfaat
pembangunan tidak saja terjadi antar wilayah tetapi juga antara laki-laki dan perempuan
dalam satu wilayah yang sama.
16
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Disinilah letak pentingnya PPRG karena membantu para perencana untuk menemukan faktor
kesenjangan dan penyebab kesenjangan. Apakah yang berasal dari internal organisasi (sumber
daya manusia, leadership, budaya organisasi, dan lain sebagainya) maupun yang berasal dari
eksternal organisasi (budaya, kondisi ekonomi, lingkungan, dan lain sebagainya). Hal ini
dapat diidentifikasi dengan menggunakan analisis gender. Dengan berhasil ditemukannya
akar masalah dari kesenjangan penerima manfaat maka para perencana akan dapat dengan
tepat menyusun rencana program dan kegiatan yang akan dilakukan untuk mengatasi
kesenjangan penerima manfaat.
3.2 Tujuan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender
PPRG merupakan sebuah pendekatan penyusunan perencanaan dan penganggaran yang
bertujuan untuk:
1. Memberikan pedoman dalam melaksanakan program/kegiatan dan pengelolaan anggaran
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.
2. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman para pengambil keputusan tentang isu-isu
gender dalam kebijakan/program/kegiatan dan anggaran pemerintah.
3. Mendorong kesetaraan akses, kontrol, partisipasi dan penerima manfaat pembangunan,
baik laki-laki dan perempuan.
4. Mewujudkan perencanaan dan penganggaran yang ekonomis, efisien, efektif, dan adil.
5. Mendorong akuntabilitas pemerintah dalam menjalankan komitmennya untuk mewujudkan
kesetaraan gender dan kesejahteraan semua anggota masyarakat, laki-laki dan perempuan.
3.3 Dasar Hukum PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs
Inpres 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional telah
menginstruksikan kepada Menteri; Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen; Pimpinan
Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara; Panglima Tentara Nasional Indonesia;
Kepala Kepolisian Republik Indonesia; Jaksa Agung Republik Indonesia; Gubernur; Bupati/
Walikota diantaranya untuk : “Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta
kewenangan masing-masing.”
Dasar hukum yang secara eksplisit mengamanahkan tentang perencanaan dan penganggaran
responsif gender diantaranya:
1. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pengarusutamaan Gender di Daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk
masing-masing Provinsi, Kabupaten dan Kota sekurang-kurangnya minimal sebesar 5 %
(lima persen) dari APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota. Namun dalam perkembangannya
Kepmendagri ini direvisi oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 yang
tidak lagi memberikan alokasi anggaran khusus untuk gender karena dalam prakteknya
sering terjadi kesalahan pahaman dimana anggaran responsif gender hanya untuk BPPKB
atau pun khusus anggaran perempuan. Padahal idealnya perencanaan dan penganggaran
responsif gender harus dilakukan oleh semua institusi.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Dalam Permendagri ini Pasal yang secara
khusus mengatur tentang perencanaan dan penganggaran responsif gender ada pada
pasal 4, 5, dan 6 (mengatur tentang perencanaan responsif gender) serta pasal 26,27, dan
28 (mengatur tentang pendanaan). Namun belum secara khusus menyebutkan tentang
penganggaran responsif gender. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah daerah
berkewajiban menyusun kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif
gender yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau
RPJMD, Rencana Strategis SKPD, dan Rencana Kerja SKPD. Penyusunan kebijakan, program,
dan kegiatan pembangunan berperspektif gender sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui analisis gender.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
17
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender di Daerah. Perubahan dilakukan terhadap pasal 1, pasal 4, pasal
5 dan penambahan pasal 5A, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11 dan pasal
12. Pasal yang secara khusus mengatur PPRG ada dalam Pasal 1, pasal 4, pasal 5 dan pasal
5A. Hal yang baru dan belum ada sebelumnya adalah tentang amanah penyusunan Gender
Budget Statement (GBS) dalam Pasal 5A ayat 1.
4. Surat Edaran Nomor : 270/M.PPN/11/2012, Nomor : SE-33/MK.02/2012, Nomor: 050/4379A/SJ,
dan Nomor: SE 46/MPP-PA/11/2012 Tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan
Gender Melalui Perencanaan dan Penganggaran Yang Responsif Gender (STRANAS).
Kebijakan PPRG ke depan diarahkan pada: (1) Pelembagaan PPRG dengan membangun
komitmen pejabat tertinggi dan tinggi K/L dan Pemerintah Provinsi; (2). Koordinasi instansi
penggerak dengan K/L teknis dan SKPD teknis; dan (3)Peningkatan kapasitas K/L dalam
melakukan analisis gender untuk menyusun Lembar ARG.
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2014. Dalam bagian lampiran V yang
mengatur Hal Khusus Lainnya point 40 mengamanahkan untuk melaksanakan PPRG dengan
mengacu kepada SE Nomor : 270/M.PPN/11/2012, Nomor : SE-33/MK.02/2012, Nomor:
050/4379A/SJ, dan Nomor: SE 46/MPP-PA/11/2012 Tentang Strategi Nasional Percepatan
Pengarusutamaan Gender Melalui Perencanaan dan Penganggaran Yang Responsif
Gender (STRANAS). Kemudian dalam implementasi untuk perencanaan dan penganggaran
responsif gender mengacu dan tidak bertentangan dengan payung hukum perencanaan,
penganggaran, standar pelayanan minimal, dan gender.
Kotak 2
Dasar Hukum PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs
Perencanaan
• UU No.25 /2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
• UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah;
• UU No.12/2008 tentang Pemerintahan Daerah;
• PP No. 8/2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Pembangunan Daerah;
• Permendagri No.54/ 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
• Permendagri Nomor 23 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyusunan, Pengendalian
dan Evaluasi Rencana Kerja Pembangunan Daerah Tahun 2014.
18
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Kotak 2
Dasar Hukum PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs
Penganggaran
• UUD 19 45 tentang Konstitusi Negara;
• UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara;
• UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara;
• UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara;
• UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah;
• PP No. 58/2005 tentang Keuangan Daerah;
• Permendagri 13/2006 yang disempurnakan oleh Permendagri 59/2007 tentang Tata
Cara Pengelolaan Keuangan Daerah;
• Permendagri No. 27 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2014 SPM Pendidikan dan Kesehatan;
• Peraturan Pemerintah No. 65/ 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal;
• Peraturan Pemerintah No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/
Kota;
• Peraturan Pemerintah No. 79/2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Pencapaian Standar Pelayanan Minimal;
• Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 741/Menkes/PER/VII/2008 Tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota;
• Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 15/ 2010 tentang Standar Pelayanan
Minimal Pendidikan Dasar Kabupaten/Kota.
Gender
• UU No. 7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan;
• Inpres No.9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional;
• Inpres Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan;
• Permendagri 15/ 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan PUG di Daerah
• Permendagri 67/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan PUG di daerah
• Surat Edaran Nomor : 270/M.PPN/11/2012, Nomor : SE-33/MK.02/2012, Nomor:
050/4379A/SJ, dan Nomor: SE 46/MPP-PA/11/2012 Tentang Strategi Nasional
Percepatan Pengarusutamaan Gender Melalui Perencanaan dan Penganggaran
Yang Responsif Gender (Stranas PPRG)
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
19
PPRG memastikan pelayanan
dasar yang manfaatnya dapat
dirasakan secara adil
oleh laki-laki dan perempuan.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
21
BAB IV
KONSEP PERENCANAAN DAN
PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER
UNTUK PENCAPAIAN SPM DAN MDGS
4.1Kharakteristik Perencanaan dan Penganggaran
Gender untuk Pencapaian SPM dan MDGs
Responsif
Perencanaan dan penganggaran responsif gender bukanlah suatu upaya penyusunan rencana
dan anggaran yang terpisah. Perencanaan dan penganggaran responsif gender untuk pencapaian
SPM dan percepatan MDGs merupakan sebuah pendekatan penyusunan perencanaan dan
penganggaran untuk menjawab kebutuhan pelaksanaan SPM dan pencapaian MDGs dengan
didahului oleh analisis gender. Dengan demikian masalah yang menyebabkan pencapaian
SPM belum seperti diharapkan dapat ditelaah dan ditemukan akar masalahnya sehingga dapat
diidentifikasikan tindakan-tindakan atau pun kegiatan yang harus dilakukan untuk mengatasinya.
Dengan demikian pengalokasian anggaran dapat disusun dengan lebih tepat. Berikut gambar
keterkaitan SPM, MDGs dan gender dengan perencanaan dan penganggaran.
Gambar 1
Keterkaitan perencanaan dan penganggaran
dengan SPM, MDGs, dan Gender
IPM/IPG/IDG
Dampak
MDGS
Gender
Hasil
Gender
SPM
Penganggaran
Perencanaan
Keluaran
Proses
4E
Gender
sumber: Sri Mastuti, 2012
Gambar di atas memperlihatkan bahwa perencanaan dan penganggaran merupakan sebuah
proses untuk mencapai keluaran yang berupa pencapaian SPM, yang kemudian akan berkontribusi
untuk pencapaian MDGs dimana pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup manusia yang
terefleksi pada IPM. Serta meningkatnya keadilan penerima manfaat pembangunan bagi laki-laki
dan perempuan yang terefleksi pada IPG maupun pemberdayaan perempuan yang terefleksi dari
IDG.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
23
Demi menjamin agar dampak peningkatan kualitas hidup manusia yang secara berkeadilan itu
tercapai maka dalam proses perencanaan perlu menggunakan 4E yaitu ekonomis, efisien, efektif
dan equity. Ekonomis artinya bagaimana agar terjadi penghematan dari sisi sumber daya yang
digunakan. Kemudian bagaimana dengan sumber daya yang terbatas tercapai hasil-hasil yang
diharapkan sesuai dengan target yang optimal, dengan demikian efisiensi tercapai. Tetapi yang
juga tidak kalah pentingnya juga efektifitas dimana tujuan dapat tercapai sesuai rencana. Equity
juga harus menjadi pertimbangan agar menjamin adanya pemerataan distribusi sumber daya
dan pengurangan kesenjangan penerima manfaat. Agar 4 E dapat diterapkan secara proporsional
maka perspektif gender sangat diperlukan.
Penyusunan perencanaan penganggaran berbasis SPM, MDGs dan responsif gender hendaknya
berbasis pada data terpilah baik data kuantitatif maupun data kualitatif yang tersedia. Jika datanya
belum tersedia maka perlu dilakukan pengumpulan data. Kemudian data-data tersebut mesti
dikaji dan dianalisa secara kritis. Hal ini penting mengingat hasil analisa yang dilakukan nantinya
akan menjadi acuan bagi penentuan kegiatan dan anggaran prioritas yang akan dialokasikan
untuk percepatan pencapaian SPM dan MDGS. Data yang digunakan dapat berupa data kualitatif
maupun kuantitatif. Di sini keberadaan data gender yang memberikan informasi tentang
keterkaitan isu-isu gender dengan data terpilah berdasarkan jenis kelamin akan menjadi penting
dan sangat membantu mempertajam hasil analisa.
Perencanaan penganggaran berbasis SPM, MDGs dan responsif gender tetap menjunjung
prinsip-prinsip perencanaan dan penganggaran yang baik sebagaimana yang telah ditetapkan
dalam Undang Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Prinsip-prinsip tersebut
adalah mengedepankan transparansi, partisipasi, akuntabel, ekonomis, efisien, efektif, tertib, dan
responsif.
Nilai tambah dari perencanaan penganggaran berbasis SPM, MDGs dan responsif gender,
justru terletak dari penggunaan perspektif gender dalam mengidentifikasikan kebutuhan,
pengalokasian, dan mengkaji dampak anggaran bagi laki-laki maupun bagi perempuan.
Kotak 3
Karakteristik Perencanaan dan Penganggaran
Berbasis SPM, MDGs dan Berkesetaraan Gender
1. Mengintegrasikan SPM, MDGs dan kesetaraan gender dalam penyusunan
perencanaan dan penganggaran.
2.Bukan merupakan mekanisme perencanaan dan penganggaran terpisah dari
mekanisme yang sudah ada.
3.Perencanaan dan penganggaran yang didahului oleh analisa data dengan
menggunakan perspektif gender untuk mengidentifikasikan permasalahan dalam
pencapaian SPM dan MDGs serta isu gender yang ada.
4.Perencanaan dan penganggaran yang tetap mengedepankan prinsip-prinsip
tatalaksana pemerintahan yang baik ( good governance)
Perencanaan dan penganggaran berbasis SPM, MDGs dan responsif gender dapat dibagi atas tiga
kategori, yaitu:
1) Alokasi anggaran untuk mendukung pencapaian SPM dan MDGS yang menjawab
kebutuhan khusus gender.
Di sini alokasi anggaran untuk pencapaian SPM dan MDGs diperuntukkan bagi pemenuhan
kebutuhan praktis gender. Artinya jika terdapat alokasi anggaran ini maka kebutuhan khusus
laki-laki dan atau kebutuhan khusus perempuan untuk dapat menjalankan peran domestik
dan sosialnya dapat berjalan dengan baik. Namun dampak dari alokasi ini tidak sampai pada
perubahan relasi atau pun kesenjangan sosial, politik dan ekonomi yang ada antara laki-laki
dan perempuan. Contoh: Alokasi anggaran untuk program/kegiatan menurunkan angka
kematian ibu melalui peningkatan cakupan peserta K4 dan cakupan persalinan oleh tenaga
kesehatan terlatih.
24
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
2) Alokasi anggaran untuk memberikan perlakuan khusus sementara (tindakan afirmatif)
demi menjamin kesempatan dan percepatan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan.
Alokasi ini diperuntukkan bagi upaya mengatasi kesenjangan gender akibat perbedaan
akses, partisipasi, kontrol dan manfaat karena konstruksi sosial dan budaya setempat. Latar
belakang sosial, budaya, pendidikan, lingkungan, dan keyakinan ikut berkontribusi dalam
mempengaruhi kedudukan dan posisi laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya.
Akibatnya jika tidak dilakukan analisis terlebih dahulu terhadap kebutuhan sasaran program/
kegiatan, maka salah satu kelompok, baik laki-laki atau pun (umumnya) pada perempuan,
mengalami kesenjangan dalam penerimaan akses dan manfaat dari layanan publik atau pun
manfaat pembangunan secara menyeluruh. Oleh karenanya untuk mengurangi kesenjangan,
maka perlu memberikan perlakuan khusus sementara (tindakan afirmatif ) kepada kelompok
yang tertinggal.
Contoh: Alokasi anggaran untuk pemerataan layanan pendidikan melalui peningkatan
partisipasi sekolah anak laki-laki dan perempuan, di mana ada perbedaan yang nyata dalam
tingkat partisipasi antara anak laki - laki dan anak perempuan. Contoh lainnya: Program
peningkatan mutu pendidikan melalui kegiatan sertifikasi guru sekolah dengan memberikan
perlakuan khusus sementara bagi kelompok guru perempuan yang berada di daerah tertinggal
dan terisolir, karena umumnya guru perempuan tidak atau sulit meninggalkan keluarga dan
tempatnya bekerja.
3) Alokasi anggaran untuk program dan kegiatan umum yang terkesan netral, termasuk
kegiatan yang mendukung.
Dalam kategori ini perlu dilakukan analisa gender untuk mengidentifikasikan isu-isu gender
yang ada pada SPM/MDGs. Analisa gender hendaknya dilakukan oleh para perencana sendiri
atau pun bekerjasama dengan focal point gender di SKPD yang bersangkutan dan juga
organisasi masyarakat sipil termasuk kalangan perguruan tinggi. Hal ini sangat penting dan
diutamakan karena program dalam setiap tujuan MDGs maupun indikator SPM, sesungguhnya
terdapat isu gender yang jika diabaikan dapat berakibat pada kurang efektifnya pencapaian
SPM dan MDGs.
Contoh: Alokasi anggaran untuk peningkatkan cakupan peserta keluarga berencana (KB)
aktif. Biasanya kegiatan ini hanya ditujukan kepada para istri saja, sehingga para suami jarang
yang menjadi peserta KB. Tak jarang juga ada istri yang tidak bersedia menjadi peserta KB
karena tidak diijinkan suaminya. Ketika istri dihadapkan pada kondisi tidak cocok dengan
semua jenis alat kontrasepsi, para suami juga masih jarang yang bersedia menjadi asebtor
KB. Kurangnya pengetahuan akan alat kontrasepsi pria bahkan tak jarang terjadi kesalah
pahaman berkontribusi bagi masih rendahnya minat para suami menjadi peserta KB. Oleh
karena demikian, kegiatan komunikasi informasi dan edukasi KB hendaknya mencakup
peserta laki-laki dan perempuan.
4.2. Penerapan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender
dalam Anggaran Berbasis Kinerja
Anggaran memiliki fungsi yang cukup strategis dalam pelaksanaan pembangunan. Fungsi
anggaran dapat dilihat dari perspektif ekonomi dan perspektif administrasi.
Dari perspektif ekonomi anggaran memiliki fungsi:
1. Fungsi alokasi, yaitu instrumen untuk penyediaan barang dan jasa guna pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Dalam kontek PPRG untuk pencapaian SPM dan percepatan MDGS,
anggaran merupakan instrumen belanja guna memenuhi kebutuhan baik barang maupun
jasa dengan memberikan kesempatan yang setara bagi laki-laki dan perempuan untuk
menerima manfaat. Kebutuhan di sini meliputi kebutuhan praktis maupun kebutuhan
strategis gender.
2. Fungsi distribusi, yaitu alat untuk memastikan pembangunan memberikan manfaat
yang adil bagi rakyat. Anggaran menjadi instrumen untuk mendistribusikan pendapatan
dan belanja untuk memastikan setiap anggota masyarakat memperoleh manfaat dari
pembangunan baik laki-laki maupun perempuan, anak perempuan dan anak laki-laki.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
25
3. Fungsi stabilisasi, merupakan alat untuk memastikan terjadinya pembangunan yang
berkelanjutan dengan mengontrol angka pertumbuhan dan menekan inflasi. Dalam rangka
mengendalikan pertumbuhan dan inflasi keberadaan pekerja sektor informal dan industri
kecil tentu tidak dapat diabaikan. Di sini peran perempuan yang pada umumnya banyak
bekerja di sektor informal dan industri kreatif tentu perlu diperhatikan.
Fungsi anggaran dari perspektif administrasi yaitu: (1) Fungsi perencanaan. (2) Fungsi manajemen.
(3) Fungsi pengawasan. (4) Fungsi Evaluasi. Dalam konteks perencanaan dan penganggaran
responsif gender, fungsi administrasi diimplementasikan sebagai alat untuk mewujudkan visi,
misi maupun penerapan strategi dan pelaksanaan program dan kegiatan.
Dalam banyak visi, misi maupun strategi pembangunan di daerah mencantumkan peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan prima. Bahkan ada daerah seperti Provinsi Sulawesi
Tenggara dalam RPJMD 2009-2013 mencantumkan secara eksplisit bahwa pengarusutamaan
gender menjadi salah satu strategi pembangunannya. Oleh karena itu, dalam penyusunan
anggaran daerah sudah semestinya dinyatakan secara eksplisit program, kegiatan dan anggaran
responsif gender untuk pencapaian SPM dan MDGs. Pelaksanaannya mesti dimonitor dan
dievaluasi.
Penerapan anggaran responsif gender untuk pencapaian SPM dan MDGs sejalan dengan semangat
asas umum pengelolaan keuangan daerah yang mengedepankan pada prinsip ekonomis, efektif,
efisien dan adil.
Kotak 4
Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah
Dalam pasal 4 Permendagri No. 13 Tahun 2006 telah jelas disebutkan tentang Asas Umum
Pengelolaan Keuangan Daerah, yaitu:
1) Tertib. Keuangan daerah dikelola secara tepat waktu, tepat guna yang didukung
dengan bukti – bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan;
2) Taat pada peraturan perundang-undangan. Pengelolaan keuangan daerah
berpedoman pada peraturan perundang-undangan;
3) Efektif. Membandingkan pengeluaran dengan hasil yang diperoleh. Melihat
pencapaian hasil program dengan target yang telah ditentukan;
4) Efisien. Pencapaian hasil maksimum dengan pengeluaran tertentu;
5) Ekonomis. Memperoleh masukan dengan kualitas tertentu pada tingkat harga yang
terendah;
6) Transparan. Memakai prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat
untuk mengetahui dan mendapatkan akses dan informasi seluas-luasnya tentang
keuangan daerah;
7) Bertanggungjawab. Merupakan perwujudan kewajiban seseorang untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan
pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan;
8) Keadilan. Keseimbangan distribusi dan pendanaan dan/atau keseimbangan distribusi
hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif;
9) Kepatutan. Tindakan yang dilakukan harus proporsional dan wajar;
10) Manfaat untuk masyarakat. Keuangan daerah diutamakan dimanfaatkan untuk
memastikan ketersediaan pelayanan dasar. Alokasi anggaran diperlukan untuk
pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM).
26
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Semangat dari penganggaran bukan lagi pada berapa banyak input dan seberapa banyak
penyerapan anggaran, tetapi lebih kepada kinerja. Penerapan anggaran berbasis kinerja untuk
daerah di dasarkan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU
ini merupakan aturan yang menandai perubahan sistem anggaran dari anggaran tradisional ke
anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting). UU No 17 ini kemudian diturunkan
dalam aturan-aturan dibawahnya, yaitu PP No 58 tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah, Permendagri No 13 Tahun 2006 dan revisinya, yaitu Permendagri No 59 Tahun
2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) adalah penyusunan anggaran yang didasarkan atas perencanaan
kinerja. ABK terdiri dari program dan kegiatan yang akan dilaksanakan serta indikator kinerja
yang ingin dicapai oleh suatu entitas anggaran. Anggaran berbasis kinerja fokus pada pemberian
layanan. Jika anggaran tradisional hanya melaporkan jumlah dana yang dialokasikan dan
dibelanjakan, maka anggaran kinerja melaporkan apa yang telah dilakukan dengan uang yang
ada. Oleh karena itu, dalam ukuran keberhasilan tidak ditentukan oleh habis/tidaknya anggaran
melainkan ditentukan oleh tercapai/tidaknya indikator kinerja yang telah ditetapkan. Dengan
demikian, indikator kinerja merupakan elemen utama yang perlu diperhatikan. Secara umum,
ada tiga indikator kinerja yang biasa digunakan, yaitu input (masukan), output (keluaran) dan
outcome (hasil).
Gambar 2
METODE PENYUSUNAN
Konsep Kerangka Kinerja
Dampak
Hasil Pembangunan yang
diperoleh dari pencapaian
outcome
Hasil/
Outcome
Manfaat yang diperoleh dalam
Jangka menengah untuk
beneficiries tertentu
sebagai hasil dari output
Produk/barang/jasa
yang dihasilkan
Keluaran/
Output
Kegiatan
Proses/kegiatan menggunakan
input menghasilkan output
yang diinginkan
Apa yang ingin diubah
Apa yang ingin dicapai
Apa yang dihasilkan
(barang)
atau dilayani (jasa)
Apa yang dikerjakan?
METODE PELAKSANAAN
Input
Sumberdaya yang menghasilkan
kontribusi dalam
menghasilkan output
Apa yang digunakan
dalam bekerja
2
sumber: Yusuf Suphiandi, 2012
Secara lebih rinci maksud dan tujuan penganggaran berbasis kinerja adalah:
1. Mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dan dampak (outcome) atas alokasi
belanja (input) yang ditetapkan;
2. Disusun berdasarkan sasaran tertentu yang hendak dicapai dalam satu tahun anggaran;
3. Program dan kegiatan disusun berdasarkan renstra/tupoksi SKPD.
4. Pada dasarnya penganggaran berbasis kinerja akan mengubah fokus pengukuran
pencapaian program/kegiatan yang akan dilaksanakan oleh satuan kerja. Jika sebelumnya
lebih menekankan pada input namun sekarang lebih menekankan pada keluaran dan hasil.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
27
Indikator pengukuran kinerja terdiri dari:
1. Indikator input (masukan) merupakan jumlah sumber daya yang digunakan untuk
menjalankan suatu kegiatan atau program. Input terdiri atas uang, tenaga kerja, data, waktu
dan teknologi.
2. Indikator output (keluaran) adalah unit barang/jasa yang dihasilkan suatu kegiatan atau
program. Contoh output misalnya jumlah barang yang dihasilkan, kualitas barang yang
dihasilkan, tenaga ahli, tenaga terlatih.
3. Indikator outcome (hasil jangka menengah), merujuk pada perubahan pada keadaan
kelompok sasaran program sebagai akibat dari pelaksanaan jasa/pelayanan program.
Contoh outcome diantaranya menurunnya angka kematian ibu, menurunnya anak putus
sekolah, dan lain sebagainya.
Dengan penerapan tiga pendekatan tersebut maka sistem perencanaan dan penganggaran multitahunan yang lebih berbasis hasil dapat diterapkan. Sistem tersebut dicirikan oleh pelaksanaan
review kebijakan dan program, dan mencerminkan tekanan dari berbagai sumber temasuk
masukan dari masyarakat, yang utama berasal dari perkembangan politik, fluktuasi ketersediaan
sumber daya, dan informasi baru mengenai efisiensi dan efektifitas program yang didukung oleh
anggaran.
28
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Penerapan PPRG menunjukkan komitmen
pemerintah untuk mengatasi kesenjangan
antara perempuan dan laki-laki
dalam pemanfaatan hasil pembangunan.
BAB V
PENGINTEGRASIAN PPRG
UNTUK PENCAPAIAN SPM DAN MDGs
DALAM DOKUMEN PERENCANAAN DAN
PENGANGGARAN
5.1 Analisa Gender dalam Perencanaan dan Penganggaran
Analisa gender merupakan tahapan yang paling penting untuk dilakukan sebelum penyusunan
dokumen perencanaan dan penganggaran. Dalam analisis gender dilakukan identifikasi secara
sistematis tentang isu-isu gender. Isu- isu ini muncul karena disebabkan adanya pembedaan
peran serta hubungan sosial yang timpang antara perempuan dan laki-laki.
Analisis gender perlu dilakukan, karena pembedaan-pembedaan ini menyebabkan adanya
pembedaan diantara keduanya dalam pengalaman, kebutuhan, pengetahuan, dan perhatian.
Pembedaan tersebut juga berimplikasi pada pembedaan antara keduanya dalam memperoleh
akses dan manfaat dari hasil pembangunan, berpartisipasi dalam pembangunan serta penguasaan
terhadap sumberdaya pembangunan
Kotak 5
Contoh Isu Gender dalam SPM Bidang Kesehatan
Kasus
Angka cakupan kunjungan ibu hamil (K4) di Kabupaten Kepulauan X pada tahun 2011
sebesar 73,89%, padahal target SPM yang harus dicapai pada tahun 2015 cakupan K4
sebesar 95%.
Masalah
Cakupan kunjungan ibu hamil (K4) di Kabupaten Kepulauan X masih jauh lebih rendah dari
target SPM yang turut berkontribusi terhadap tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) 76/1000
padahal target MDGs 32/1000 pada tahun 2015.
Isu Gender
1. Faktor kesenjangan
a. Akses: ibu hamil sulit menjangkau tempat yang menyediakan layanan K4
b. Partisipasi: kurangnya partisipasi suami dan keluarga dalam memotivasi dan
mendampingi Ibu hamil dalam melaksanakan K4
c. Kontrol: perempuan tidak dapat pergi sendiri untuk memperoleh layanan K4 dalam
kondisi hamil besar dan kondisi geografis yang sulit
d. Manfaat: belum semua Ibu hamil memperoleh manfaat dari ketersediaan layanan K4
2. Penyebab kesenjangan
a. Selama ini penyuluhan tentang pemeriksaan kehamilan hanya ditujukan kepada Ibu
hamil sementara suami dan keluarga tidak dilibatkan sebagai Kelompok sasaran.
b. Ketersediaan tempat layanan K4 yang jauh dari lokasi tempat tinggal Ibu hamil
ditambah kondisi geografis yang sulit untuk menjangkau tempat layanan.
c. Kurangnya kesadaran ibu hamil, suami dan keluarga pentingnya untuk melaksanakan
K4.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
31
Kotak 6
Contoh Isu Gender SPM Bidang Pendidikan
Kasus
SPM/MTs di Kabupaten X belum semua guru mata pelajaran tersedia. Dari 653 kebutuhan
guru mata pelajaran untuk SMP baru 525 yang tersedia. Jadi masih belum tersedia 128
guru untuk mata pelajaran terutama guru matematika, IPS, Pendidikan Kesehatan Jasmani,
Muatan lokal. Padahal salah satu indikator SPM Pendidikan mengharuskan setiap SMP
memiliki minimal satu guru mata pelajaran untuk daerah khusus tersedia satu orang guru
untuk setiap rumpun mata pelajaran.
Masalah
SPM tentang ketersediaan guru untuk semua mata pelajaran di Kabupaten X belum
tercapai karena masih kurang 128 guru. Hal ini kemudian berdampak pada masih
kurangnya kualitas dan mutu lulusan SMP di Kabupaten X.
Isu Gender
1. Faktor kesenjangan
a. Akses: tidak semua siswa laki-laki dan perempuan yang belajar di sekolah di Kab. X
memperoleh akses terhadap semua guru mata pelajaran sesuai dengan kompetensi.
b. Partisipasi: jumlah guru baik laki-laki dan perempuan yang bersedia bekerja di daerah
terpencil sangat kurang.
c. Kontrol: guru mata pelajaran perempuan yang ditempatkan di daerah terpencil sering
meminta pindah kembali ke kota dengan alasan mengikuti suami.
d. Manfaat: adanya kesenjangan penerima manfaat antara anak perempuan dan laki-laki
yang bersekolah di daerah terpencil dengan yang bersekolah di perkotaan.
2. Penyebab Kesenjangan
a. Kurangnya koordinasi antara Badan Kepegawaian Daerah yang mengatur tentang
penempatan guru dengan Dinas Pendidikan selaku pengguna.
b. Kurang konsisten dan tegasnya penerapan aturan tentang penempatan, distribusi, dan
perpindahan guru .
c. Aturan bahwa kepala keluarga adalah laki-laki sering dijadikan alasan pengesahan
untuk meminta pindah dengan alasan mengikuti suami sebagai kepala keluarga.
d. Sistem rekruitmen guru yang tidak memberikan afirmasi kepada putra daerah
sehingga yang diterima umumnya dari luar daerah terpencil yang kemudian sering
meminta pindah ke daerah perkotaan.
Tahap analisis gender dalam proses PPRG dapat dilakukan dengan menggunakan metode Gender
Analysis Pathway (GAP). Bagaimana teknik analisis gender model GAP akan diulas pada point 6.1.
Panduan ini.
32
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Gambar 3
Ilustrasi Analisis Gender
dalam Dokumen Perencanaan dan Penganggaran
ANALISIS GENDER
GAB
RPJMD
RENSTRA SKPD
RKPD
RENJA SKPD
KUA
GBS
PPAS
RKA SKPD
RKA SKPD 1
RKA SKPD 2
RKA SKPD 3
APBD
Dokumen Perencanaan dan Penganggaran
di tingkat Pemda
Dokumen Perencanaan dan Penganggaran
di tingkat SKPD
Sumber: KPP dan PA, Petunjuk Pelaksanaan PPRG Daerah, 2013, hal. 19
Gambar diatas memperlihatkan betapa strategisnya analisis gender karena hasilnya merupakan
input bagi tahapan penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran baik untuk dokumen
strategis maupun dokumen operasional yang bersifat jangka menengah maupun perencanaan
tahunan.
5.2 Pengintegrasian PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGs
dalam Dokumen Perencanaan Daerah
Sejak tahun 2008 SPM Kesehatan telah ditetapkan meliputi empat layanan dan sebanyak 18
indikator yang mesti dicapai paling lambat pada tahun 2015. Sedangkan untuk SPM pendidikan
dasar ditetapkan pada tahun 2010 meliputi dua layanan dengan 27 indikator yang diharapkan
dapat dicapai pada tahun 2014. Target MDGs juga telah menjadi komitmen internasional untuk
dicapai pada tahun 2015. Demi untuk mempercepat pencapaian SPM dan MDGs maka dalam
perencanaan dan penganggaran perlu dilakukan langkah-langkah konkrit untuk pengintegrasian
SPM, MDGs dan gender. Jika mengacu pada siklus perencanaan dan penganggaran tahapan yang
paling rentan (crucial) adalah pada waktu penyusunan.
Dalam perencanaan daerah terdapat beberapa dokumen yang menjadi pedoman bagi daerah,
yaitu: RPJMD, RKPD, Renstra SKPD, dan Renja SKPD. Oleh karenanya dalam penyusunan dokumendokumen tersebut, perlu dilakukan pengintegrasian analisis gender dalam mengkaji kondisi
capaian SPM maupun MDGs. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menjamin
agar dokumen-dokumen perencanaan tersebut sesuai yang diharapkan dapat dilihat dalam tabel
berikut.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
33
Tabel 2
Langkah-langkah Pengintegrasian Gender dalam Dokumen Perencanaan
DOKUMEN
RPJMD
RKPD
RENSTRA
SKPD
*
**
34
Langkah-Langkah yang perlu dilakukan
•
Memasukkan data terpilah menurut jenis kelamin baik yang bersifat umum
seperti jumlah penduduk, angka kemiskinan, angka pengangguran, serta
data lainnya baik data terpilah kuantitatif maupun kualitatif mengenai
capaian SPM dan MDGs di lembar formulir Bagian Kondisi Saat Ini.
•
Mengidentifikasi kesenjangan yang ada antara target SPM dan MDGs
dengan capaian daerah.
•
Melakukan analisa masalah dan akar masalah dengan menggunakan alat
analisa gender. Dalam hal ini disarankan menggunakan Gender Analisa
Pathway* yang telah dikembangkan oleh Pemerintah .
•
Memasukkan isu gender baik berkenaan dengan akses, partisipasi,
kontrol dan manfaat yang ditemukan dari hasil analisa masalah dengan
menggunakan perspektif gender, serta mengidentifikasi program prioritas
yang dibutuhkan untuk mengatasinya.
•
Memasukkan isu gender ke dalam isu prioritas dan menjadikan
pengarusutamaaan gender (PUG) sebagai salah satu strategi pelaksanaan
RPJMD
•
Memasukkan program untuk menjawab isu gender dalam program
prioritas daerah yang mendukung prioritas nasional.
•
Memasukkan indikator gender dalam Indikator kinerja daerah yang
dikembangkan berdasarkan baseline data terpilah kuantitatif dan
kualitatif saat ini.
•
Menggunakan Gender-related Development Index (GDI)/Indeks
Perkembangan Gender (IPG) dan Gender Empowerment Measure (GEM)/
Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) dalam evaluasi tahunan, GDI/IPG,
GEM/IDG.
•
Menggunakan data capaian SPM dan MDGS terpilah yang diperbaharui(up date) per tahun sebagai dasar bagi penyusunan rencana.
•
Prioritas dan sasaran pembangunan untuk menyasar isu gender yang ada
dalam RPJMD
•
Rencana program dan kegiatan prioritas: memasukkan program/kegiatan
spesifik gender, program/kegiatan yang bertujuan memberikan perlakuan
khusus sementara (afirmasi) demi menjamin kesempatan setara bagi lakilaki dan perempuan, serta program dan kegiatan umum yang terkesan
termasuk SPM /MDGs netral.
•
Memasukkan data terpilah atau data gender menurut jenis kelamin baik
yang bersifat umum seperti jumlah penduduk, angka kemiskinan, angka
pengangguran, serta data lainnya baik data terpilah kuantitatif maupun
kualitatif mengenai capaian SPM dan MDGs yang terkait dengan sektor
pada lembaga formulir di bagian Kondisi Saat Ini.
•
Mengidentifikasi kesenjangan yang ada antara target SPM dan MDGs
dalam sektor dengan capaian di sektor daerah.
•
Melakukan analisa masalah dan akar masalah dengan menggunakan
alat analisa gender. Dalam hal ini disarankan menggunakan Gender
Analisa Pathway** Memasukkan isu gender baik berkenaan dengan
akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang ditemukan dari hasil analisa
masalah dengan menggunakan perspektif gender serta mengidentifikasi
program prioritas yang dibutuhkan untuk mengatasinya.
Lihat penjelasan khusus tentang ini pada bab 4 dalam point 4.1.
Lihat penjelasan khusus tentang ini pada halaman 43 sampai 46
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Tabel 2
Langkah-langkah Pengintegrasian Gender dalam Dokumen Perencanaan
DOKUMEN
Renja SKPD
Langkah-Langkah yang perlu dilakukan
•
Memasukkan isu gender ke dalam isu prioritas dan menjadikan
pengarusutamaaan gender (PUG) sebagai salah satu strategi pelaksanaan
Renstra SKPD
•
Memasukkan program/kegiatan spesifik gender, program/kegiatan yang
bertujuan memberikan perlakuan khusus sementara (afirmasi) demi
menjamin kesempatan setara bagi laki-laki dan perempuan, dan program/
kegiatan umum yang terkesan netral namun sudah dilakukan analisa
gender, termasuk SPM /MDGs netral .
•
Indikator kinerja yang dibuat berdasarkan baseline data terpilah yang
tidak saja mencapai kinerja SPM dan MDGs secara umum tetapi juga
berkontribusi terhadap upaya mengurangi kesenjangan gender dan
pemenuhan kebutuhan gender.
•
Kelompok sasaran: memasukkan kelompok rentan (perempuan, anak,
orang miskin, disabilitas, dan lansia).
•
Identifikasikan kesenjangan yang ada antara capaian SPM dan MDGs
dengan target yang ingin dicapai .
•
Lakukan analisis gender untuk mengetahui faktor kesenjangan dan akar
masalah yang menyebabkan kesenjangan itu terjadi baik di internal SKPD
maupun di eksternal SKPD .
•
Menyusun rencana kerja yang mengacu pada rencana aksi yang harus
diambil untuk mengatasi akar masalah gender atau pun akar masalah
kesenjangan gender untuk internal SKPD maupun eksternal SKPD.
•
Menetapkan indikator kinerja sebagai alat untuk mengukur kinerja
pelaksanaan kegiatan/program yang telah ditetapkan dengan
menggunakan perspektif gender.
•
Mencantumkan biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan
dengan mengacu pada unit cost sesuai standar biaya daerah.
5.3 Pengintegrasian PPRG dalam Dokumen Penganggaran
Perencanaan dan penganggaran merupakan dua proses yang saling terkait. Penganggaran
merupakan penerjemahan dari perencanaan. Dokumen yang memperlihatkan apakah terdapat
konsistensi antara dokumen perencanaan dengan dokumen penganggaran dapat dilihat dalam
KUA/PPAS. Demikian pula halnya dengan penerapan perencanaan dan penganggaran responsif
gender untuk pencapaian SPM dan percepatan MDGs.Dokumen penganggaran semestinya
mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan program/kegiatan yang responsif gender untuk
pencapaian SPM dan percepatan MDGs.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
35
Gambar 4
Alur Perencanaan & Penganggaran
Pedoman
Pedoman
RPJP
NASIONAL
Pedoman
Pedoman
RKA - KL
RINCIAN
APBN
RPJM
NASIONAL
dijabarkan
RKP
Pedoman
RAPBN
APBN
diserasikan melalui MUSTRENBANGDA
PRJM
DAERAH
dijabarkan
RKPD
Pedoman Pedoman
KUA
Pedoman
RAPBD
APBD
PPAS
RENSTRA
SKPD
Pedoman
RENJA
SKPD
Pedoman
PERENCANAAN PROGRAM
RKA-SKPD
PENJABARAN
APBD
PENGANGGARAN
Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 3
Langkah – Langkah Pengintegrasian Gender dalam Dokumen Penganggaran
Dokumen
KUA– PPAS
RKA/ DPA SKPD
***
****
36
Langkah-langkah yang perlu dilakukan
•
Memastikan konsistensi antara KUA/PPAS dengan RPJMD , dan RKPD.
•
Memastikan program /kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan
strategis maupun kebutuhan praktis gender untuk pencapaian SPM
dan MDGs.
•
Memastikan isu strategis dan prioritas pembangunan untuk
pencapaian SPM dan MDGs baik untuk isu penyelenggaraan layanan,
penyediaan infrastruktur, maupun dalam penyusunan kebijakan.
•
Alokasi dana untuk program/kegiatan spesifik gender, program/
kegiatan yang bertujuan memberikan perlakuan khusus sementara
demi menjamin kesempatan setara bagi laki-laki dan perempuan, dan
program dan kegiatan umum yang terkesan termasuk SPM /MDGs
netral dimana gender diarusutamakan.
•
Susunlah RKA dengan mengacu pada hasil analisa gender .
•
Pada bagian urusan pemerintahan dan organisasi mengacu pada
Permendagri tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
•
Pada bagian program dan kegiatan perlu diperhatikan apa kontribusi
program/kegiatan terhadap pencapaian SPM dan percepatan MDGs.
Perlu juga dipastikan bahwa program/kegiatan apakah masuk dalam
katagori alokasi anggaran yang spesifik, afirmatif atau mendorong
kesetaraan gender.
•
Pada indikator kinerja hendaknya mengacu pada indikator yang
dibuat dari hasil analisa gender GAP langkah 9 ***
•
Melampirkan Gender Budget Statement (GBS) ****
Lihat penjelasan tentang ini pada poin 6.1 dan Lampiran 1 tentang Contoh Gender Analysis Pathway (GAP).
Lihat penjelasan tentang ini pada poin 6.2 dan Lampiran 2 tentang Contoh Gender Budget Statement (GBS).
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
PEMERINTAH
DAERAH
RPJP
DAERAH
Pedoman
diacu
diperhatikan
diacu
RENJA
KL
PEMERINTAH
PUSAT
RENSTRA
KL
Keberhasilan penerapan PPRG
untuk pencapaian SPM & MDGs hanya dapat
terlaksana dengan adanya komitmen dan
dukungan semua pihak
BAB VI
INSTRUMEN PPRG UNTUK PENCAPAIAN
SPM DAN PERCEPATAN MDGS
6.1 Gender Analisis Pathway (GAP)
GAP merupakan intrumen analisis gender yang diperuntukkan bagi para perencana untuk
menganalisis kebijakan/program/kegiatan dengan menggunakan perspektif gender. Instrumen
ini dikembangkan oleh Bappenas bersama Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak dengan dukungan CIDA (sekarang menjadi DFATD) 14
Kotak 7
Langkah-Langkah PPRG Untuk Pencapaian SPM
dan Percepatan MDGs
1. Mengidentifikasikan kesenjangan capaian SPM dan MDGs
2. Melakukan analisis gender untuk mengetahui faktor penyebab kesenjangan atau akar
masalah
3. Mengidentifikasikan Program/Kegiatan yang diperlukan untuk mengatasi akar masalah
4. Menyusun indikator kinerja dengan mengacu pada hasil analisis gender
5. Menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran
6. Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan PPRG untuk pencapaian SPM dan Percepatan
MDGs
GAP terdiri atas sembilan langkah15 , yaitu:
Langkah 1.
Pilih kebijakan/program/kegiatan pembangunan yang akan dianalisa, baik yang sudah ada
maupun yang akan dibuat (baru) terutama yang terkait dengan upaya pencapaian SPM dan MDGS.
a) Pastikan di tingkat apa yang akan dianalisis, apakah di tingkat kebijakan, program atau
kegiatan. Misalnya di tingkat kebijakan, analisis bisa mencakup kebijakan itu sendiri, dan/
atau rincian dari kebijakan itu, yaitu dalam (satu atau lebih) program, dan/atau (satu atau
lebih) kegiatan.
b) Periksa rumusan tujuannya, apakah responsif terhadap isu gender, karena kebijakan/
program/kegiatan yang netral gender, dan/atau tidak bermaksud diskriminatif terhadap
jenis kelamin tertentu, dapat berdampak berbeda terhadap perempuan dan laki-laki.
Langkah 2
Sajikan data pembuka wawasan, upayakan yang merupakan data gender atau pun data
terpilah menurut jenis kelamin untuk melihat apakah ada kesenjangan gender.
a) Data pembuka wawasan hendaknya diisi dengan kondisi pencapaian SPM dan MDGs,
kesenjangan antara target indikator SPM dan MDGs serta realita kondisi capaian SPM dan
MDGs yang ada, data capaian SPM dan MDGs secara terpilah atau yang menggambarkan
kondisi laki-laki dan perempuan.
14
15
CIDA (Canadian International Development Agency) sekarang berubah menjadi DFATD (Department of Foreign Affairs, Trade and Development)
Diadaptasi dari Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Daerah yang Responsif Gender untuk Pemerintah Daerah,Jakarta: KPP dan PA, 2013 , hal.11-13
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
39
b)
Data pembuka wawasan bisa berupa data statistik yang kuantitatif dan/atau kualitatif, yang
dihimpun dari baseline survey, dan/atau hasil FGD, dan/atau review pustaka, dan/atau
hasil kajian, dan/atau hasil pengamatan, dan/atau kearifan lokal (local knowledge ), dan/
atau hasil intervensi kebijakan/program/ kegiatan (jika sedang/sudah dilakukan). Data profil
gender atau pun pendataan pendidikan dan kesehatan yang telah dilakukan secara terpilah
hendaknya digunakan dalam analisa gender.
Langkah 3
Temu-kenali isu gender di proses perencanaan kebijakan/program/kegiatan dengan
menganalisa data pembuka wawasan dan dengan memperlihatkan 4 (empat) faktor
kesenjangan, yaitu: akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat.
a) Apakah kebijakan/program/kegiatan memberikan perempuan dan laki-laki akses yang sama
terhadap sumber-sumber pembangunan;
b) Apakah kebijakan /program/kegiatan memberikan perempuan dan laki-laki kontrol
(penguasaan) yang sama terhadap sumber-sumber pembangunan;
c) Apakah kebijakan/program/kegiatan memberikan perempuan dan laki-laki partisipasi yang
sama dalam berbagai tahapan pembangunan termasuk dalam pengambilan keputusan ;
d) Apakah kebijakan/program/kegiatan memberikan manfaat yang sama terhadap perempuan
dan laki-laki.
Langkah 4
Temu-kenali isu gender di internal lembaga dan/atau budaya organisasi yang (dapat)
menyebabkan terjadinya isu gender, misalnya: produk hukum, kebijakan, pemahaman tentang
gender yang masih kurang di antara personil (pengambil keputusan, perencana, staf, dan lainnya),
serta political will dari pengambil kebijakan.
Langkah 5
Temu-kenali isu gender di eksternal lembaga pada proses pelaksanaan.
a) Apakah pelaksanaan program tidak/kurang peka terhadap kondisi isu gender di masyarakat
yang jadi target program;
b)
Kondisi masyarakat sasaran (target group) yang belum kondusif, misalnya, budaya patriarki,
dan gender stereotype (laki-laki yang selalu dianggap sebagai kepala keluarga; dan
pekerjaan tertentu dianggap sebagai pekerjaan perempuan atau pekerjaan laki-laki).
Langkah 6
Rumuskan kembali tujuan kebijakan/program/kegiatan pembangunan, yang terdapat pada
Langkah 1, sehingga menjadi responsif gender.
Langkah 7
Susun rencana aksi yang responsif gender dengan merujuk pada isu gender yang telah
teridentifikasi (Langkah 3-5) dan sesuai dengan tujuan kebijakan/program/ kegiatan yang telah
direformulasi (Langkah 6).
a) Identifikasikan apa rencana aksi yang harus dilakukan untuk menjawab faktor penyebab
kesenjangan gender yang berasal dari internal organisasi (SKPD).
b) Identifikasikan apa rencana aksi yang harus dilakukan untuk menjawab faktor kesenjangan
gender dari eksternal organisasi .
Langkah 8
Tetapkan baseline yaitu data dasar yang dipilih untuk mengukur kemajuan (progress)
pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan. Data dasar tersebut dapat juga diambil dari data
pembuka wawasan (Langkah 2). Data dasar di sini merupakan kondisi yang ada sebelum sebuah
kegiatan atau programan dilaksanakan.
40
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Langkah 9.
Tetapkan indikator kinerja yang responsif gender. Di sini digambarkan perubahan apa yang
diharapkan terjadi setelah program/kegiatan dilaksanakan. Indikator kinerja yang responsif
gender dapat berupa ukuran kuantitatif maupun kualitatif untuk:
a) Memperlihatkan apakah kesenjangan gender telah mengilang atau berkurang.
b) Memperlihatkan apakah telah terjadi perubahan perilaku pada internal maupun eksternal
lembaga.
c) Memperlihatkan apakah terjadi perubahan relasi gender di rumah ataupun di masyarakat.
Adapun formulir matrik analisa GAP dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini. Sedangkan contoh
analisa GAP dapat dilihat dalam Lampiran 1.
Tabel 4 Matrik Gender Analysis Pathway
Langkah 1
Langkah 2
SKPD
Diisi dengan nama SKPD
Program
Lihat dokumen Renstra/Renja dan pilih satu
program/kegiatan yang akan dianalisis.
Kegiatan
Catatan:
GAP dapat dsesuaikan sesuai dengan tujuannya
yang akan menentukan analisis dilakukan di
tingkat program/kegiatan atau atau di tingkat
sektor tertentu
Tujuan
a) Jika analisis dilakukan oleh POKJA PUG yang
beranggotakan lintas SKPD, analisis lebih baik
di lakukan di tingkat sektor, misalnya GAP
sektor pendidikan, GAP sektor kesehatan, dan
seterusnya. Hasilnya adalah isu gender strategis
sektoral dan program/kegiatan prioritas yang
bersifat lintas SKPD. Di tingkat ini langkah
pertama adalah data pembuka wawasan sektor,
dan dilanjutkan dengan identifikasi penyebab
dan intervensi yang dilakukan.
b) Jika analisis dilakukan di tingkat program/
kegiatan maka analisis mencakup SKPD
tertentu dan tidak bisa lintas SKPD. Analisis di
tingkat program akan menghasilkan isu gender
relevan terkait program yang lebih strategis
dibandingkan jika analisis dilakukan di tingkat
kegiatan.
Data Pembuka
Wawasan
Isi dengan data dan informasi yang relevan,
terutama data terkait SPM dan data statistik
gender. Data SPM adalah data yang terkait dengan
target dan capaian SPM yang disusun berdasarkan
indikator SPM. Sedangkan data statistik gender
adalah data terkait isu gender yang ingin diperbaiki,
dapat berupa data terpilah maupun data tidak
terpilah/data spesifik gender.
Contoh data statistik gender berupa data terpilah:j
umlah peserta KB laki-laki dan perempuan, angka
partisipasi sekolah laki-laki dan perempuan.
Contoh data statistik gender berupa data non
pilah/data spesifik gender: angka kematian ibu
melahirkan, jumlah penderita kanker prostat.
Jika data kuantitatif tidak tersedia, dapat
menggunakan data-data proksi dari sumber
lainnya.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
41
Tabel 4 Matrik Gender Analysis Pathway
Langkah 1
SKPD
Faktor
Kesenjangan/
Permasalahan
Akses,
Partisipasi,
Kontrol, Manfaat
ISU GENDER
Langkah 3
Diisi dengan nama SKPD
Isi dengan identifikasi faktor-faktor penyebab
terjadinya isu gender :
1.akses, yaitu identifikasi apakah kebijakan/
program pembangunan telah memberikan
ruang dan kesempatan yang adil bagi
perempuan dan laki-laki;
2.manfaat, yaitu identifikasi apakah kebijakan/
program memberikan manfaat yang adil bagi
perempuan dan laki-laki
3.partisipasi, yaitu identifikasi apakah kebijakan
atau program pembangunan melibatkan
secara adil bagi perempuan dan laki-laki
dalam menyuarakan kebutuhan, kendala,
termasuk dalam pengambilan keputusan; 4.
Kontrol,kesempatan yang sama bgi perempuan
dan laki-laki untuk mengontrol sumberdaya
pembangunan
4.kontrol, yaitu identifikasi apakah kebijakan/
program memberikan kesempatan penguasaan
yang sama kepada bagi perempuan dan laki-laki
untuk mengontrol sumberdaya pembangunan
Prioritas analisis dilakukan untuk aspek akses dan
manfaat.
Langkah 4
Sebab
Kesenjangan
Internal (di
SKPD)
Menemu kenali sebab kesenjangan di internal
lembaga (budaya organisasi) yang menyebabkan
terjadinya isu gender.
Langkah 5
Sebab
Kesenjangan
Eksternal
Menemu kenali sebab kesenjangan di eksternal
lembaga, yaitu di luar unit kerja pelaksana program,
sektor lain, dan masyarakat/lingkungan target
program.
Langkah 6
Tujuan Responsif
Gender
Langkah 7
Menyusun rencana aksi, menetapkan prioritas,
output dan hasil yang diharapkan dengan merujuk
Prioritas/Kegiatan/
isu gender yang telah diidentifikasi. Rencana aksi
Indikator
tersebut merupakan rencana kegiatan untuk
mengatasi kesenjangan gender.
Pengukuran
Langkah 8
Langkah 9
Reformulasi tujuan kebijakan, program dan kegiatan
pembangunan menjadi responsif gender (bila
tujuan yang ada saat ini belum responsif gender).
Reformulasi ini harus menjawab kesenjangan dan
penyebabnya yang diidentifikasi di langkah 3,4,
dan 5.
Baseline
Menetapkan base-line atau data dasar yang dipilih
untuk mengukur suatu kemajuan atau progres
pelaksanaan kebijakan atau program. Data dasar
tersebut dapat diambil dari data pembuka wawasan
yang relevan dan strategis untuk menjadi ukuran.
Indikator Kinerja
Isi dengan indikator kinerja sesuai dengan
Permendagri No 13, berupa indikator Masukan,
Keluaran dan Hasil untuk masing-masing rencana
aksi.
Sumber: Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Daerah yang Responsif Gender
untuk Pemerintah Daerah,Jakarta: KPP dan PA, 2013
42
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Kotak 8
TIPS Dalam Melakukan Analisis GAP
Hal yang harus dihindari
1) Data pembuka wawasan yang disajikan terlalu umum dan tidak merefleksikan kondisi
terkait kebijakan/program/kegiatan yang dianalisis.
2) Tidak konsistennya antara apa yang diisi dalam kolom 1 sampai kolom 9. Terutama
antara faktor kesenjangan dan faktor penyebab kesenjangan serta rencana aksi yang
ditetapkan.
3) Faktor penyebab kesenjangan internal sering disalah pahami sebagai faktor internal dari
perempuan atau juga ada yang menafsirkan sebagai faktor internal dalam masyarakat.
4) Dalam mengisi baseline masih sering ada yang mengisinya dengan target yang ingin
dicapai padahal semestinya data baik kuantitatif maupun kualitatif yang ada saat ini.
5) Indikator kinerja responsif gender sering tidak menggambarkan perubahan yang ingin
dicapai untuk program/kegiatan yang diusulkan dalam rencana aksi. Indikator sering diisi
dengan perubahan umum yang diharapkan terjadi tapi tidak bisa dijadikan dasar untuk
pengukuran kinerja bagi program/kegiatan.
Hal yang dianjurkan dilakukan:
1. Perhatikan dan mengikuti petunjuk langkah-langkah analisis GAP.
2. Pastikan adanya konsistensi dalam pengisian form langkah 1-9 GAP.
3. Jika untuk kebijakan yang sama sekali baru bisa memulainya dengan data pembuka
wawasan.
4. Penyusunan rencana aksi mengacu kepada hasil analisis faktor penyebab kesenjangan
internal dan faktor penyebab kesenjangan eksternal.
5. Langkah 9 diisi dengan indikator kinerja yang tepat untuk masing-masing usulan
rencana aksi.
6. Dalam pengisian indikator kinerja hendaknya mengedepankan prinsip spesifik,
rasional,dapat diukur, dapat dicapai,dan mempertimbangkan ketersediaan yang dimiliki
untuk bisa mencapainya.
Sumber: Pembelajaran penulis dari pengalaman melatih dan mendampingi para perencana
dalam mengembangkan PPRG.
6.2. Gender Budget Statement (GBS)
Gender Budget Statement (GBS) atau Pernyataan Anggaran Gender disebut juga dengan
Lembar Anggaran Responsif Gender (Lembar ARG). GBS merupakan dokumen akuntabilitas
yang berperspektif gender dan disusun oleh lembaga pemerintah untuk menginformasikan
suatu kegiatan telah responsif terhadap isu gender yang ada. Dengan GBS dapat apakah telah
dialokasikan dana untuk kegiatan yang diusulkan sebagai rencana aksi untuk mengatasi
kesenjangan gender yang ada. GBS disusun setelah dilakukan analisis gender (GAP) dan dalam
proses persiapan RKA SKPD.GBS disusun oleh para perencana dan atau penyusun anggaran di
SKPD . Kemudian GBS harus disertakan dalam lampiran ketika pengajuan RKA SKPD kepada Biro
Keuangan. Adapun format GBS dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
43
Tabel 5 Format Gender Budget Statement
PERNYATAAN ANGGARAN GENDER
(GENDER BUDGET STATEMENT)
SKPD
: (Nama SKPD)
TAHUN ANGGARAN
: (Tahun Anggaran)
PROGRAM
Isilah dengan nama program
KODE PROGRAM
Isilah dengan Kode Program (Sesuai dengan Form RKA 2.2.1)
ANALISIS SITUASI
Isilah dengan informasi sebagai berikut:
•
Capaian SPM dan gap antara target capaian SPM dan
kondisi saat ini
•
Kendala dan Hambatan dalam mencapai target SPM
•
Identifikasi Isu gender, dengan melihat beberapa aspek
sebagai berikut:
1. dan perbedaan pelayanan yang diterima antara
laki-laki dan perempuan dan anak laki-laki dan anak
perempuan.
2. Fokuskan pada perbedaan akses antara perempuan
dan laki-laki dalam mendapatkan layanan tersebut
3. Identifikasi apakah ada perbedaan manfaat atas
layanan yang diterima oleh perempuan dan laki-laki
4. Identifikasi apakah kebutuhan spesifik gender sudah
terakomodasi
•
Identifikasi faktor-faktor penyebab atas terjadinya isu
gender yang telah teridentifikasi, terutama di tingkat
penerima layanan (masyarakat).
Untuk memperkuat informasi, sertakan Data Statistik Gender
yang relevan. Data statistik gender dapat berupa data terpilah
(misalnya: angka partisipasi KB antara laki-laki dan perempuan)
dan data spesifik gender yang relevan (misalnya: cakupan
kunjungan K4 bagi ibu hamil)
1. Tolok Ukur
Isilah dengan tolok ukur kinerja yang ingin dicapai di
tingkat outcome
CAPAIAN PROGRAM
2. Indikator dan Target Kinerja
Isilah dengan indikator hasil (outcome) yang sesuai
Informasinya sama dengan yang ada dalam form 2.2 RKA SKPD
RENCANA AKSI
Isilah dengan dengan rencana aksi yang dilakukan untuk
mengatasi masalah/isu dan faktor penyebab yang telah
teridentifikasi di analisis situasi. Pastikan ada hubungan yang
logis antara analisis situasi, rencana aksi dan indikator kinerja
Pastikan bahwa kegiatan yang dipilih adalah kegiatan prioritas
Isi dari bagian ini sama dengan informasi yang ada dalam
Form RKA 2.2.1
Kegiatan 1
JUMLAH ANGGARAN PROGRAM
Masukan
Keluaran
Hasil
44
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Rp
Kegiatan 2
Sama dengan penjelasan di kegiatan 1
Masukan
Rp
Keluaran
Hasil
Penanggung Jawab Kegiatan,
(..........................................)
Pangkat/Golongan
Dalam proses penyusunan GBS hendaknya mengacu kepada GAP. GAP dan GBS memiliki keterkaitan
yang erat. Adapun hubungan keduanya dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 6 Keterkaitan GAP dan GBS
Tahapan
GAP
GBS
Langkah 1
Kebijakan/program/kegiatan
Program, kegiatan, IKK,output kegiatan
Langkah 2
Data pembuka wawasan
Analisis situasi
Langkah 3
Faktor kesenjangan
Analisis situasi
Langkah 4
Sebab kesenjangan internal
Analisis situasi
Langkah 5
Sebab kesenjangan eksternal
Analisis situasi
Langkah 6
Reformulasi tujuan
Tujuan output/sub output
Langkah 7
Rencana aksi
Rencana aksi (komponen-komponen yang
berkontribusi pada kesetaraan gender)
Langkah 8
Data sasar (baseline)
Dampak/hasil output kegiatan
Langkah 9
Indikator gender
Dampak/hasil output kegiatan
Adapun contoh dari penyusunan GBS yang telah dilakukan di daerah dapat dilihat dalam lampiran 2
dari panduan ini.
6.3 Monitoring dan Evaluasi
Gambar 5 Proses Perencanaan dan Penganggaran
Pelaksanaan
Penyusunan
Tahapan
Perencanaan
dan
Penganggaran
Monitoring
Evaluasi
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
45
Gambar diatas menunjukan proses umum perencanaan dan penganggaran yang terdiri atas empat
tahapan utama, yaitu penyusunan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. GAP dan GBS disusun
sebagai instrumen untuk membantu dalam penyusunan Renja dan RKA SKPD yang responsif
gender. Dokumen ini menjadi acuan dalam pelaksanaan perencanaan dan penganggaran
responsif gender.
Namun perencanaan yang sudah responsif gender tidak menjamin bahwa pelaksanaannya juga
sudah responsif gender. Oleh karenanya diperlukan monitoring. Sedangkan untuk mengetahui
kontribusi pelaksanaan anggaran responsif gender bagi pengurangan kesenjangan gender
maupun kesenjangan pencapaian SPM dan MDGS hanya dapat diketahui jika dilakukan evaluasi
terhadap pelaksanaan anggaran program /kegiatan.
Adapun alur monitoring dan evaluasi PPRG untuk pencapaian SPM dan percepatan MDGs dapat
dilihat dalam tabel 7.
Tabel 7 Alur Monitoring dan Evaluasi PPRG untuk Pencapaian SPM dan Percepatan MDGS
Item yang perlu dilihat
Penyusunan
Pelaksanaan
Pertanggungjawaban
•
Apakah telah dilakukan analisa gender ?
•
Apakah permasalahan/isu gender, faktor kesenjangan dan faktor
penyebab kesenjangan gender telah diidentifikasikan secara tepat?
•
Apakah program/kegiatan yang diusulkan telah sesuai dengan hasil
analisa gender?
•
Apakah program/kegiatan responsif gender untuk pencapaian SPM
dan Percapatan MDGs memperoleh alokasi anggaran?
•
Apakah telah disusun Gender Budget Statement untuk dilampirkan
dalam RKA?
•
Apakah kegiatan terlaksana sesuai rencana?
•
Apakah indikator yang telah ditetapkan tercapai?
•
Berapa jumlah alokasi anggaran yang terealisasi dibandingkan dengan
anggarannya?
•
Apa perubahan yang terjadi setelah pelaksanaan program/kegiatan?
•
Apakah terjadi pengurangan kesenjangan penerima manfaat?
•
Apakah ada kemajuan dalam pencapaian SPM dan MDGs?
Keberhasilan penerapan perencanaan dan penganggaran responsif gender untuk pencapaian SPM dan
percepatan MDGs hanya dapat terlaksana tanpa adanya komitmen dan dukungan semua pihak. Peran
Pokja dan focal point gender serta TAPD sangatlah menentukan. Proses perencanaan dan penganggaran
responsif gender untuk pencapaian SPM dan MDGs perlu dimonitoring dan dievaluasi. Selain instansi
teknis yang bersangkutan juga perlu peran serta 4 instansi driver PPRG di daerah yaitu Bappeda, Biro
Keuangan, BPPKB dan Inspektorat. Dengan penerapan PPRG diharapkan pencapaian SPM dapat lebih
fokus dan efektif. Dengan demikian dapat berkontribusi dalam rangka percepatan pencapaian MDGs.
46
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Daftar Pustaka
Gunawan, Nardho dan Sri Mastuti, Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bidang
Kesehatan, Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Kesehatan dan UNFPA, 2008.
Mastuti, Sri, et.all, Panduan Menilai APBD Berkeadilan, Jakarta: LGSP dan CiBa, 2009
Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Daerah yang Responsif Gender untuk Pemerintah
Daerah,Jakarta: KPP dan PA, 2013.
Rostanty, Maya dan Sri Mastuti, Draft Modul Pelatihan Perencanaan Penganggaran Responsif Gender
untuk Pencapaian SPM Urusan Pendidikan dan Kesehatan, Jakarta: BASICS.
Sundari, Eva K,dkk , Modul Pelatihan Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja
CIDA, PATTIRO dan The Asia Foundation, Jakarta, 2008.
Responsif Gender,”
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
47
LAMPIRAN 1
Contoh Gender Analysis Pathway (GAP)
Langkah 1
Langkah 2
Langkah 4
ISU GENDER
Langkah 3
SKPD
Dinas Kesehatan
Provinsi xxxxxx
Program
Program Peningkatan Keselamatan Ibu Melahirkan dan
Anak
Tujuan
Menurunkan tingkat kematian ibu melahirkan
Data Pembuka
Wawasan
Capaian SPM Pelayanan bagi Ibu Hamil dan bayi baru
lahir:
•
Cakupan kunjungan ibu hamil K4 tahun 2012
sebesar 75,59% dan target di tahun 2015 sebesar
95%
•
Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani di
tahun 2012 sebesar 58,84% dan target di tahun 2015
sebesar 80%
•
Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan di
tahun 2012 sebesar 77,14% dan target di tahun 2015
sebesar 90%
•
Cakupan pelayanan nifas di tahun 2012 sebesar
85,44% dan target di tahun 2015 sebesar 90%
•
Angka kematian Ibu di tahun 2012 : 9 kasus, terdiri
dari 8 kasus ibu bersalin l dan 1 kasus ibu nifas
Faktor
Kesenjangan/
Permasalahan
Akses, Partisipasi,
Kontrol, Manfaat
Faktor penyebab kematian ibu melahirkan terdiri dari 2,
yaitu faktor klinis dan faktor non klinis
Faktor Klinis:
• Sebagian besar kematian ibu disebabkan oleh
penyebab langsung yaitu pendarahan, infeksi,
eklampsia (darah tinggi), persalinan lama dan
abortus.
• ibu hamil tidak bisa mengakses layanan kesehatan
yang tersedia
• ibu hamil terlambat mendapatkan pertolongan
petugas medis
Sebab
Kesenjangan
Internal (di SKPD)
•
•
•
48
Minimnya kapasitas petugas kesehatan di Puskesmas
dalam menangani komplikasi kebidanan
Kemitraan bidan-dukun belum berjalan secara
optimal padahal masih banyak ibu hamil yang
persalinannya ditolong oleh dukun karena alasan
ketiadaan biaya maupun kultural
Sebaran bidan desa tidak merata yang
mengakibatkan ibu hamil di daerah terpencil dan
kepulauan sulit mengakses layanan kesehatan.
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Langkah 5
Sebab
Kesenjangan
Eksternal
Faktor ekonomi menyebabkan ibu hami dari keluarga
kurang mampu sangat bergantung pada layanan yang
berkualitas dengan harga terjangkau
• Tingkat pendidikan yang rendah sehingga ibu hamil
kurang peduli untuk menjaga kesehatan selama
kehamilan
• Kedudukan dan peran perempuan di masyarakat
mengakibatkan ibu hamil harus melaksanakan
peran domestik mengurus rumah tangga. Bagi ibu
hamil dengan resiko tinggi, tugas domestik rumah
tangga semakin memperbesar resiko. Bagi ibu
hamil yang memiliki anak kecil, alasan tidak/jarang
memeriksakan kehamilan karena tidak ada yang
menjaga anaknya di rumah.
• Kedudukan dan peran laki-laki/suami di masyarakat
dalam mengambil keputusan mengakibatkan
ibu hamil terlambat dibawa ke penyedia layanan
kesehatan
• Minimnya transportasi untuk rujukan kasus,
khususnya di daerah terpencil dan kepulauan
sehingga banyak kasus kematian ibu melahirkan
disebabkan terlambat mendapatkan pertolongan
medis karena jarak yang jauh.
Langkah 6
Tujuan Responsif 1. Menurunkan tingkat kematian ibu melahirkan
Gender
melalui :
2. Meningkatkan cakupan pelayanan kunjungan ibu
hamil K4
3. Meningkatkan cakupan pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi
kebidanan
4. Meningkatkan peran aktif suami dan masyarakat
dalam mencegah kematian ibu melahirkan
Langkah 7
Rencana Aksi
Prioritas/
Kegiatan/
Indikator
1. Pelatihan Pelayanan Obstetri dan Neonatal
Emergensi Dasar (PONED) bagi petugas medis
Puskesmas dengan memberikan kesempatan
yang setara kepada petugas medis laki-laki dan
perempuan
•
Keluaran: Jumlah petugas medis terlatih, baik
petugas medis laki-laki maupun perempuan
•
Hasil : Petugsa medis di Puskesmas mampu
menangani komplikasi kebidanan
2. Penyuluhan kesehatan reproduksi kepada pasangan
suami-istri
•
Keluaran: jumlah pasanagan suami istri (kondisi
istri hamil) yang mengikuti penyuluhan
kesehatan reproduksi.
•
Hasil: Meningkatnya peran suami dalam
memberikan dukungan kepada istri selama
hamil dan persalinan
3. Penyuluhan kesehatan reproduksi kepada tokoh
masyarakat dan kepala desa
•
Keluaran: jumlah tokoh masyarakat dan kepala
desa yang mengikuti penyuluhan
•
Hasil: Meningkatnya peran tokoh masyarakat
dan kepala desa dalam mencegah kematian ibu
melahirkan
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
49
4. Pelayanan “mobile service” oleh Bidan Desa
•
Keluaran: jumlah ibu hamil yang dilayani oleh
bidan desa dengan sistem ‘jemput bola’
•
Hasil: Meningkatnya cakupan pelayanan ibu
hamil
5. Kemitraan Dukun-Bidan
Langkah 9
50
Baseline
Pengukuran Hasil
Langkah 8
Indikator Kinerja
•
Keluaran : jumlah dukun yang menjalin
kemitraan dengan bidan dalam proses
menolong persalinan
•
Hasil: meningkatnya jumlah persalinan yang
ditolong oleh bidan
Data capaian tahun 2012:
•
Cakupan kunjungan ibu hamil K4 tahun 2012
sebesar 75,59%
•
Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani di
tahun sebesar 58,84%
•
Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan di
tahun 2012 sebesar 77,14%
•
Cakupan pelayanan nifas di tahun 2012 sebesar
85,44%
•
Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani di
tahun 2013 sebesar 65,89%; tahun 2014 sebesar
72,94% dan tahun 2015 sebesar 80%
•
Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan
di tahun 2013 sebesar 81,42%; tahun 2014 sebesar
85,7% dan tahun 2015 sebesar 90%
•
Cakupan pelayanan nifas di tahun 2013 sebesar
86,96%, tahun 2014 sebesar 88,48% dan tahun 2015
sebesar 90%
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
LAMPIRAN 2
Contoh Gender Budget Statement (GBS)
PERNYATAAN ANGGARAN GENDER
(GENDER BUDGET STATEMENT)
SKPD : DINAS KESEHATAN KABUPATEN XXX
TAHUN ANGGARAN : 2014
Program
Program Peningkatan Keselamatan Ibu Melahirkan dan Anak
Kode Program
1.02.xx.32
Analisa Situasi
1. Data Pembuka Wawasan
•
Capaian SPM Pelayanan bagi Ibu Hamil :
•
Cakupan kunjungan ibu hamil K4 tahun 2012 sebesar 75,59%
dan target di tahun 2015 sebesar 95%
•
Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani di tahun 2012
sebesar 58,84% dan target di tahun 2015 sebesar 80%
•
Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki kompetensi kebidanan di tahun 2012 sebesar 77,14%
dan target di tahun 2015 sebesar 90%
•
Cakupan pelayanan nifas di tahun 2012 sebesar 85,44% dan
target di tahun 2015 sebesar 90%
•
Angka kematian Ibu di tahun 2012 : 9 kasus, terdiri dari 8 kasus
ibu bersalin dan 1 kasus ibu nifas
2. Faktor Penyebab Kematian Ibu Melahirkan
Faktor penyebab kematian ibu melahirkan terdiri dari 2, yaitu faktor
klinis dan faktor non klinis
Faktor Klinis:
•
Sebagian besar kematian ibu disebabkan oleh penyebab
langsung yaitu pendarahan, infeksi, eklampsia (darah tinggi),
persalinan lama dan abortus.
Faktor non klinis:
•
ibu hamil tidak bisa mengakses layanan kesehatan yang
tersedia
•
ibu hamil terlambat mendapatkan pertolongan petugas medis
3. Kendala dalam Upaya Mengatasi Kematian Ibu Melahirkan
•
Minimnya kapasitas petugas kesehatan di Puskesmas dalam
menangani komplikasi kebidanan
•
Kemitraan bidan-dukun belum berjalan secara optimal padahal
masih banyak ibu hamil yang persalinannya ditolong oleh
dukun karena alasan ketiadaan biaya maupun kultural
Sebaran bidan desa tidak merata yang mengakibatkan ibu hamil
di daerah terpencil dan kepulauan sulit mengakses layanan
kesehatan
4. Isu Gender
•
Faktor ekonomi menyebabkan ibu hami dari keluarga kurang
mampu sangat bergantung pada layanan yang berkualitas
dengan harga terjangkau
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
51
Capaian Program
•
Tingkat pendidikan yang rendah sehingga ibu hamil kurang
peduli untuk menjaga kesehatan selama kehamilan
•
kedudukan dan peran perempuan di masyarakat
mengakibatkan ibu hamil harus melaksanakan peran domestik
mengurus rumah tangga. Bagi ibu hamil dengan resiko tinggi,
tugas domestik rumah tangga semakin memperbesar resiko.
Bagi ibu hamil yang memiliki anak kecil, alasan tidak/jarang
memeriksakan kehamilan karena tidak ada yang menjaga
anaknya di rumah.
•
Kedudukan dan peran laki-laki/suami di masyarakat dalam
mengambil keputusan mengakibatkan ibu hamil terlambat
dibawa ke penyedia layanan kesehatan
•
Minimnya transportasi untuk rujukan kasus, khususnya di
daerah terpencil dan kepulauan sehingga banyak kasus
kematian ibu melahirkan disebabkan terlambat mendapatkan
pertolongan medis karena jarak yang jauh.
1. Tolok Ukur
Turunnya kasus kematian ibu melahirkan
2. Indikator Kinerja dan Target Kinerja
•
Cakupan kunjungan ibu hamil K4 tahun 2013 sebesar 82,06%;
tahun 2014 sebesar 88,53% dan tahun 2015 sebesar 95%
•
Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani di tahun 2013
sebesar 65,89%; tahun 2014 sebesar 72,94% dan tahun 2015
sebesar 80%
•
Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki kompetensi kebidanan di tahun 2013 sebesar 81,42%;
tahun 2014 sebesar 85,7% dan tahun 2015 sebesar 90%
•
Cakupan pelayanan nifas di tahun 2013 sebesar 86,96%, tahun
2014 sebesar 88,48% dan tahun 2015 sebesar 90%
Jumlah Anggaran Program
Rp 2.115.000.000
Rencana Aksi
Kegiatan 1
Pelatihan Pelayanan Obstetri dan Neonatal
Emergensi Dasar (PONED) bagi petugas medis
Puskesmas dengan memberikan kesempatan
yang setara kepada petugas medis laki-laki dan
perempuan
Masukan : Rp. 225.000.000,Keluaran : 45 petugas medis terlatih, baik petugas
medis laki-laki maupun perempuan
Hasil : Petugas medis di Puskesmas mampu
menangani komplikasi kebidanan
Kegiatan 2
Penyuluhan kesehatan
pasangan suami-istri
reproduksi
kepada
Masukan : Rp 160.000.000
Keluaran : 400 jumlah pasangan suami istri (kondisi
istri hamil) yang mengikuti penyuluhan kesehatan
reproduksi.
Hasil
: Meningkatnya peran suami dalam
memberikan dukungan kepada istri selama hamil
dan persalinan
Kegiatan 3
Penyuluhan kesehatan reproduksi kepada tokoh
masyarakat dan kepala desa
Masukan : Rp 180.000.000
52
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Keluaran : 500 tokoh masyarakat dan kepala desa
yang mengikuti penyuluhan
Hasil
: Meningkatnya peran tokoh masyarakat
dan kepala desa dalam mencegah kematian ibu
melahirkan
Kegiatan 4
Pelayanan “mobile service” oleh Bidan Desa
Masukan : Rp 1.000.000.000
Keluaran : 2000 ibu hamil di desa terpencil yang
dilayani oleh bidan desa dengan sistem ‘jemput
bola’
Hasil : Meningkatnya cakupan pelayanan ibu hamil
Kegiatan 5
Kemitraan Dukun-Bidan
Masukan : Rp 550.000.000
Keluaran : 200 dukun yang menjalin kemitraan
dengan bidan dalam proses menolong persalinan
Hasil : meningkatnya jumlah persalinan yang
ditolong oleh bidan
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
53
LAMPIRAN 3
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 741/Menkes/PER/VII/2008
Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota
A. Pelayanan Kesehatan Dasar :
1. Cakupan kunjungan Ibu hamil K4 95 % pada Tahun 2015;
2. Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani 80 % pada Tahun 2015;
3. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan
90% pada Tahun 2015;
4. Cakupan pelayanan nifas 90% pada Tahun 2015;
5. Cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani 80% pada Tahun 2010;
6. Cakupan kunjungan bayi 90%, pada Tahun 2010;
7. Cakupan Desa/Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) 100% pada Tahun 2010;
8. Cakupan pelayanan anak balita 90% pada Tahun 2010;
9. Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak usia 6 - 24 bulan keluarga miskin
100 % pada Tahun 2010;
10.Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 100% pada Tahun 2010;
11.Cakupan Penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat 100 % pada Tahun 2010;
12.Cakupan peserta KB aktif 70% pada Tahun 2010;
13.Cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit 100% pada Tahun 2010;
14.Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin 100% pada Tahun 2015.
B. Pelayanan Kesehatan Rujukan
15.Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin 100% pada Tahun 2015;
16.Cakupan pelayanan gawat darurat level 1 yang harus diberikan sarana kesehatan (RS) di
Kabupaten/Kota 100 % pada Tahun 2015;
C. Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa /KLB;
17.Cakupan Desa/ Kelurahan mengalami KLB yang dilakukan penyelidikan epidemiologi < 24 jam
100% pada Tahun 2015.
D. Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
18.Cakupan Desa Siaga Aktif 80% pada Tahun 2015.
54
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Lampiran 4
STANDAR PELAYANAN MINIMAL PENDIDIKAN DASAR
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun
2013 tentang Perubahan atas Peraturan menteri Pendidikan Nasional Nomor 15
Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota
A. Pelayanan pendidikan dasar oleh Kabupaten/Kota :
1. Terrsedia satuan pendidikan dalam jarak yang terjangkau dengan berjalan kaki yaitu maksimal
3 km untuk SD/MI dan 6 km untuk SMP/MTs dari kelompok permukiman permanen di daerah
terpencil;
2. Jumlah peserta didik dalam setiap rombongan belajar untuk SD/MI tidak melebihi 32 orang,
dan untuk SMP/MTs tidak melebihi 36 orang. Untuk setiap rombongan belajar tersedia 1 (satu)
ruang kelas yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang cukup untuk peserta didik dan guru,
serta papan tulis;
3. Di setiap SMP dan MTs tersedia ruang laboratorium IPA yang dilengkapi dengan meja dan
kursi yang cukup untuk 36 peserta didik dan minimal satu set peralatan praktek IPA untuk
demonstrasi dan eksperimen peserta didik;
4. Di setiap SD/MI dan SMP/MTs tersedia satu ruang guru yang dilengkap dengan meja dan kursi
untuk setiap orang guru, kepala sekolah dan staf kependidikan lainnya; dan di setiap SMP/MTs
tersedia ruang kepala sekolah yang terpisah dari ruang guru.
5. Di setiap SD/MI tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap 32 peserta didik dan 6 (enam) orang
guru untuk setiap satuan pendidikan, dan untuk daerah khusus 4 (empat) orang guru setiap
satuan pendidikan;
6. Di setiap SMP/MTs tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap mata pelajaran, dan untuk daerah
khusus tersedia satu orang guru untuk setiap rumpun mata pelajaran;
7. Di setiap SD/MI tersedia 2 (dua) orang guru yang memenuhi kualifikasi akademik S1 atau D-IV
dan 2 (dua) orang guru yang telah memiliki sertifikat pendidik;
8. Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik S-1 atau D-IV sebanyak 70% dan
separuh diantaranya (35% dari keseluruhan guru) telah memiliki sertifi kat pendidik, untuk
daerah khusus masingmasing sebanyak 40% dan 20%;
9. Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki
sertifi kat pendidik masing-masing satu orang untuk mata pelajaran Matematika, IPA, Bahasa
Indonesia, dan Bahasa Inggris;
10.Di setiap Kabupaten/Kota semua kepala SD/MI berkualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan telah
memiliki sertifi kat pendidik;
11.Di setiap kabupaten/kota semua kepala SMP/MTs berkualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan
telah memiliki sertifi kat pendidik;
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
55
12.Di setiap kabupaten/kota semua pengawas sekolah dan madrasah memiliki kualifi kasi
akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik;
13.Pemerintah kabupaten/kota memiliki rencana dan melaksanakan kegiatan untuk membantu
satuan pendidikan dalam mengembangka kurikulum dan proses pembelajaran yang efektif;
14.Kunjungan pengawas ke satuan pendidikan dilakukan satu kali setiap bulan dan setiap
kunjungan dilakukan selama 3 jam untuk melakukan supervisi dan pembinaan.
B. Pelayanan pendidikan dasar oleh satuan pendidikan :
15.Setiap SD/MI menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah
mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia,Matematika, IPA, dan IPS dengan perbandingan
satu set untuk setiappeserta didik;
16.Setiap SMP/MTs menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah
mencakup semua mata pelajaran dengan perbandingan satu set untuk setiap perserta didik;
17.Setiap SD/MI menyediakan satu set peraga IPA dan bahan yang terdiri dari model kerangka
manusia, model tubuh manusia, bola dunia (globe), contoh peralatan optik, kit IPA untuk
eksperimen dasar, dan poster/carta IPA;
18.Setiap SD/MI memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10 buku referensi, dan setiap SMP/MTs
memiliki 200 judul buku pengayaan dan 20 buku referensi;
19.Setiap guru tetap bekerja 37,5 jam per minggu di satuan pendidikan, termasuk merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing atau
melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas tambahan;
20.Satuan pendidikan menyelenggarakan proses pembelajaran selama 34 minggu per tahun
dengan kegiatan tatap muka sebagai berikut :
a) Kelas I – II : 18 jam per minggu;
b) Kelas III : 24 jam per minggu;
c) Kelas IV - VI : 27 jam per minggu; atau
d) Kelas VII - IX : 27 jam per minggu;
21.Satuan pendidikan menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sesuai ketentuan
yang berlaku;
22.Setiap guru menerapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun berdasarkan
silabus untuk setiap mata pelajaran yang diampunya;
23.Setiap guru mengembangkan dan menerapkan program penilaian untuk membantu
meningkatkan kemampuan belajar peserta didik;
24.Kepala sekolah melakukan supervisi kelas dan memberikan umpan bali kepada guru dua kali
dalam setiap semester;
25.Setiap guru menyampaikan laporan hasil evaluasi mata pelajaran serta hasil penilaian setiap
peserta didik kepada kepala sekolah pada akhir semester dalam bentuk laporan hasil prestasi
belajar peserta didik;
26.Kepala sekolah atau madrasah menyampaikan laporan hasil ulangan akhir semester (UAS)
dan Ulangan Kenaikan Kelas (UKK) serta ujian akhir (US/ UN) kepada orang tua peserta didik
dan menyampaikan rekapitulasinya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau Kantor
Kementerian Agama di kabupaten/kota pada setiap akhir semester;
27.Setiap satuan pendidikan menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS).
56
Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender untuk Pencapaian SPM & MDGs
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000, pelaksanaan Pengarusutamaan Gender
(PUG) diwajibkan kepada seluruh kementerian maupun lembaga pemerintah dan non pemerintah
di pemerintah nasional, provinsi maupun kabupaten/kota untuk menyusun program dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dengan mempertimbngkan permasalahan
kebutuhan aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program, dan kegiatan.
Strategi tersebut dilaksanakan melalui sebuah proses memasukkan analisa gender ke dalam
program kerja pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan perempuan
dan laki-laki dalam proses pembangunan. Terbitnya Surat Edaran Bersama (SEB) antara Bappenas,
Kementerian Keuangan, Kemneterian Dalam Negeri, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak tahun 2012 yang diikuti dengan terbitnya Permendagri Nomor 27 Tahun
2013 semakin memperkuat landasan hukum pelaksanaan perencanaan dan penganggaran responsif
gender di tingkat pemerintah daerah.
Selama ini, masih ada anggapan bahwa melakukan analisis gender berarti menambah beban
pekerjaan. Namun, sesungguhnya perencanaan dan penganggaran rensponsif gender bukanlah
berarti melakukan dua kali perencanaan, tetapi hanya memastikan bagaimana agar perspektif gender
dapat diintegrasikan dalam setiap tahapan perencanaan dan penganggaran. Karena itulah, sebuah
perencanaan dan penganggaran responsif gender akan mendiagnosa dan memberikan jawaban
yang lebih tepat kebutuhan program dan anggaran pendidikan dan kesehatan bagi perempuan
dan laki-laki, dan pada akhirnya mendukung tercapainya target indikator kinerja kegiatan yang telah
ditetapkan menuju pencapaian SPM dan MDGs.
Buku Panduan ini disusun untuk memberikan informasi dan langkah-langkah di dalam menyusun
kebijakan, program, dan kegiatan di bidang pendidikan dan kesehatan dengan pendekatan anggaran
responsif gender dalam rangka pencapaian SPM dan MDGs.
Download