TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Industri Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri disebutkan bahwa kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri. pengelola suatu zona / wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai kegiatan industri. Di dalam zona perindustrian tersebut, terdapat industri yang sifatnya individual (yang berdiri sendiri) dan industri– industri yang sifatnya mengelompok dalam kawasan industri (Industrial Estate). Di Indonesia pada tahun 2005 sudah terdapat 203 kawasan industri yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dengan luas + 67.000 Ha. Dari jumlah tersebut baru beroperasi 64 kawasan dengan total area + 20.000 Ha, dan rata-rata tingkat pemanfaatan + 44% yang di dalamnya terdapat + 60.000 industri (Subagya, 2008). Kawasan peruntukan industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang bersangkutan. Zona industri adalah satuan geografis sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya kegiatan industri, baik berupa industri dasar maupun industri hilir berorientasi kepada konsumen akhir dengan populasi tinggi sebagai penggerak utama yang secara keseluruhan membentuk berbagai kawasan yang terpadu dan beraglomerasi dalam kegiatan ekonomi dan memiliki daya ikat spasial. Perusahaan kawasan industri wajib melakukan kegiatan penyediaan atau penguasaan tanah, penyusunan rencana tapak tanah, rencana teknis kawasan, penyusunan analisis tapak tanah, pemasaran kapling industri, Pemerintah sendiri telah banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk mendorong terciptanya kawasan industri di berbagai daerah-daerah untuk menarik para investor asing untuk menanamkan modalnya di kawasan perindustrian yang sudah ada. Salah satu kebijakan pemerintah adalah dengan strategi pengembangan FTZ (Free Trade Zone) atau SEZ (Special Economic Zone). Dimana kebijakan ini 11 diberlakukan di suatu kawasan industri berupa pemberian fasilitas dan insentif fiskal yang amat menarik dan bersifat khusus sehingga investor dapat tertarik untuk membuka pabriknya pada kawasan industri tersebut. Selain itu usaha pemerintah yang lain untuk pengembangan kawasan industri adalah dengan pembangunan kelengkapan infrastruktur yang menunjang usaha-usaha produksi di kawasan industri ini (Subagya, 2008). Kunci untuk menentukan kelayakan suatu lokasi bagi aktivitas manufaktur adalah akumulasi jumlah ton-mil terendah di suatu lokasi. Penentuan lokasi terbaik tergantung pada karakter bahan baku yang digunakan yaitu : 1) Ubiquitous dari bahan, artinya bahan baku yang tersedia di mana saja sehingga tidak ada kendala produksi, 2) Bahan baku setempat berpengaruh spesifik terhadap lokasi. (Rustiadi et al., 2008). Agroindustri Agroindustri adalah industri yang mempunyai kaitan yang kuat dengan pertanian. Kaitannya dapat berbentuk sumber input atau output yang digunakan di bidang pertanian. Agroindustri merupakan salah satu sub sistem penting dalam sistem agribisnis, memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi karena pangsa pasar dan nilai tambah yang relatif besar dalam produksi nasional. Agroindustri dapat mempercepat transformasi struktur perekonomian dari pertanian ke industri. Agroindustri juga dapat menjadi wahana bagi usaha mengatasi kemiskinan karena daya jangkau dan spektrum kegiatannya yang luas. Tidak kalah pentingnya, agroindustri umumnya dapat diselaraskan dengan usaha pelestarian lingkungan karena keterkaitannya dengan budidaya pertanian ( Saragih 2001, dalam Moravia, 2009 ). Agroindustri mampu menunjukkan kemampuannya untuk menjadi katup pengaman untuk mencegah terjadinya keterpurukan ekonomi. Hal ini karena agroindustri memiliki ciri-ciri terkait erat dengan karakteristik komoditas pertanian, yaitu: (a) bersifat musiman, (b) mudah rusak, (c)memakan tempat, (d) amat beragam, (e)transmisi harga rendah, dan (f) struktur pasar monopsonis (Arifin 2003, dalam Djamhari, 2004). Peningkatan produktivitas agroindustri 12 diarahkan sehingga matarantai kegiatan agroindustri dalam negeri tidak lagi mengandalkan produk atau bahan baku impor. Kemandirian ini perlu diwujudkan, sehingga kegiatan agroindustri diarahkan untuk mendukung substitusi impor, sehingga nilai tambah yang diciptakan dapat dinikmati pelaku agroindustri domestik, misalnya berupa penciptaan lapangan kerja baru ( Djamhari, 2004). Pengembangan Wilayah Menurut Misra (1985) dalam Djakapermana (2005), pengembangan wilayah adalah upaya agar wilayah tersebut dapat berkembang mencapai tingkat yang diinginkan. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya alam secara harmonis melalui pendekatan yang komprehensif pada aspek fisik, ekonomi, sosial dan budaya untuk pembangunan berkelanjutan. Salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah dengan penataan ruang yang dimanfaatkan sebagai leverage agar wilayah berkembang mencapai tujuan yang ditetapkan. Penataan ruang merupakan proses yang mencakup penyusunan rencana tata ruang wilayah, pemanfaatan ruang melalui serangkaian program pelaksanaan pembangunan agar sesuai rencana serta pengendalian pelaksanaan pembangunan agar sesuai dengan rencana tata ruang. Menurut Adisasmita (2008), aspek ruang dalam pemanfaatan wilayah mencakup aspek lokasi wilayah dan aspek dimensi wilayah. Aspek lokasi wilayah berkaitan, di satu pihak dengan fungsi lindung, dan di lain pihak dengan masalah pilihan atas lokasi bagi tempat permukiman ataupun kegiatan usaha, yakni dalam rangka memperoleh tingkat kemudahan yang diinginkan atau sebaliknya. Bagi kegiatan usaha yaitu dalam mempertinggi tingkat kemudahan bagi masyarakat di wilayah tertentu, baik dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun mengembangkan kegiatan usahanya. Aspek dimensi wilayah berkaitan dengan masalah tata guna tanah, yaitu yang memberikan petunjuk tentang batas-batas wilayah, baik sehubungan dengan kemampuannya maupun fungsi lindung dalam rangka pemanfaatan wilayah secara optimal. 13 Teori Lokasi Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumbersumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial. Lokasi berbagai kegiatan seperti rumah tangga, pertokoan, pabrik, pertanian, pertambangan, sekolah, dan tempat ibadah tidaklah asal saja/acak berada di lokasi tersebut, melainkan menunjukkan pola dan susunan (mekanisme) yang dapat diselidiki dan dapat dimengerti (Tarigan, 2005). Menurut Tarigan (2005) dalam mempelajari lokasi berbagai kegiatan, terlebih dahulu membuat asumsi bahwa ruang yang dianalisis datar dan kondisinya sama di semua arah. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana manusia mengatur kegiatannya dalam ruang, baru kemudian asumsi ini dilonggarkan secara bertahap sehingga ditemukan kondisi dalam dunia nyata. Dalam dunia nyata, kondisi dan potensi setiap wilayah adalah berbeda. Dampaknya menjadi lebih mudah dianalisis karena telah diketahui tingkah laku manusia dalam kondisi potensi ruang adalah sama. Salah satu unsur ruang adalah jarak. Jarak menciptakan “gangguan” ketika manusia berhubungan/bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Jarak menciptakan gangguan karena dibutuhkan waktu, tenaga dan biaya untuk mencapai lokasi yang satu dari lokasi lainnya. Selain itu jarak juga menciptakan gangguan informasi,sehingga makin jauh dari suatu lokasi makin kurang diketahui potensi/karakter yang terdapat pada lokasi tersebut. Makin jauh jarak yang ditempuh, makin menurun minat orang untuk bepergian dengan asumsi faktor lain semuanya sama. Terkait dengan lokasi, salah satu faktor yang menentukan apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas adalah tingkat kemudahan untuk mencapai suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya. Tingkat aksesibilitas antara lain dipengaruhi jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tesebut. Di sisi lain, berbagai hal yang disebutkan di atas sangat terkait dengan 14 aktivitas ekonomi yang terjalin antara dua lokasi. Artinya, frekuensi perhubungan sangat terkait dengan potensi ekonomi dari dua lokasi yang dihubungkannya. Dengan demikian, potensi mempengaruhi aksesibilitas, tetapi di sisi lain, aksesibilitas juga menaikkan potensi suatu wilayah. Menurut Hanafiah (1982), pemerintah sebagai penentu lokasi mempunyai kekuatan atau kewenangan yang dapat mempengaruhi penentuan lokasi berbagai kegiatan ekonomi rumah tangga dan perusahaan melalui kegiatan masyarakat yang tersebar secara spasial, dan bertujuan untuk memaksimumkan pelayanan kepada masyarakat melalui penyebaran fasilitas pelayanan secara merata. Analisis Spasial Perencanaan pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Nugroho dan Dahuri, 2004). Proses perencanaan pembangunan wilayah selalu berhadapan dengan obyekobyek perencanaan yang memiliki sifat keruangan (spasial). Oleh karena itu dalam analisis perencanaan wilayah, analisis yang menyangkut obyek-obyek dalam sistem keruangan (analisis spasial) menjadi sangat penting (Rustiadi, et al 2008). Menurut Rustiadi et al., (2008), analisis spasial dipahami secara berbeda antara ilmuwan berlatar belakang geografi dan berlatar belakang sosial (termasuk ekonomi). Perbedaan keduanya bersumber dari perbedaan 2 hal, pertama perbedaan pengertian kata spasial atau ruang itu sendiri dan kedua fokus kajiannya. Pandangan geografi, pengertian spasial adalah pengertian kata spasial adalah pengertian yang bersifat rigid (kaku), yakni segala hal yang menyangkut lokasi atau tempat. Definisi suatu tempat atau lokasi secara geografis sangat jelas, tegas dan lebih teratur karena setiap lokasi di atas permukaan bumi dalam ilmu geografi dapat diukur secara kuantitatif. Fokus kajian para ahli geografi dalam analisis spasial tertuju pada cara mendeskripsikan fakta, dengan kata lain lebih memfokuskan pada aspek ”apa” dan ”bagaimana” yang terjadi di atas permukaan 15 bumi dan bahkan ”dimana”. Domain kajian ilmu geografi lebih banyak menekankan pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial. Oleh karenanya ilustrasi-ilustrasi spasial dengan ”peta” yang memiliki akurasi informasi spasial di dalamnya sangat penting. Analisis mengenai pola-pola spasial (pemusatan, penyebaran, kompleksitas spasial dan lain-lain) kecenderungan spasial, bentukbentuk dan struktur interaksi spasial secara deskriptif menjadi kajian-kajian yang banyak mendapat perhatian dari ahli geografi. Semuanya dikaji tanpa harus mendalami permasalahan sosial ekonomi yang ada di dalamnya. Sementara dalam perspektif ekonomi, analisis spasial lebih menekankan pada ”apa yang menjadi masalah” (what) dan ”mengapa masalah itu terjadi” (why). Aspek-aspek spasial tidak didefinisikan dalam bahasa-bahasa posisi yang memiliki pengertian lebih kuantitatif, melainkan lebih pada masalahnya. Bahkan aspek spasial lebih dianggap memiliki makna jika ada kejelasan masalah di dalamnya. Segala aspek spasial yang dijelaskan di bidang ilmu geografi hanya akan memiliki arti spasial dalam kacamata ilmu sosial ekonomi jika dipahami ada masalah dan ada permasalahan sosial ekonomi terhadapnya. Menurut Rondinelli (1985) dalam Ansoriudin (2008), analisis spasial hanya menyediakan beberapa hasil perhitungan atau olahan data yang dibutuhkan untuk menyusun pendapat secara rasional dan dapat dipertanggungjawabkan dengan cara mengkombinasikan dengan hasil-hasil analisis lainnya. Di samping perkembangan metode-metode analisis spasial, peranan Sistem Informasi Geografis (SIG) di dalam visualisasi data spasial akhir-akhir ini semakin signifikan. Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai suatu perangkat alat untuk mengumpulkan, menyimpan, memanggil kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari aspek-aspek permukaan bumi (Burrough 1989, dalam Barus dan Wiradisastra, 2000). Komponen utama SIG terbagi 4 kelompok yaitu perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pemakai. Porsi masing-masing komponen tersebut berbeda dari satu sistem ke sistem lainnya, tergantung dari tujuan dibuatnya SIG tersebut (Barus dan Wiradisastra, 2000). Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), kelebihan sistem informasi geografis adalah merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. 16 Dalam SIG, data dipelihara dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibandingkan dalam bentuk peta cetak, tabel dan bentuk konvensional lainnya. Dalam SIG tidak hanya data yang berbeda dapat diintegrasikan, prosedur yang berbeda juga dapat dipadukan. Sebagai contoh, prosedur penanganan data sepertipengumpulan data, verifikasi data dan pembaharuan data. Prosedur juga dapat diintegrasikan seperti pemisahan operasi menjadi beberapa tahap, misalnya dalam melakukan registrasi lahan maka secara langsung dalam kegiatan tersebut menghasilkan data yang dapat digunakan dalam pemantauan penggunaan lahan, dalam hal ini keduanya berada dalam SIG yang sama. Dalam hal ini SIG digunakan untuk mengecek keakuratan perubahan, zona mana yang kena dampak dan pada saat yang bersamaan memperbaiki peta dan data tabel yang relevan. Dengan cara ini pemakai mendapatkan lebih banyak informasi baru dan dapat memanipulasinya sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan.