tinjauan pustaka

advertisement
6
TINJAUAN PUSTAKA
Lanjut Usia
Perkembangan kehidupan manusia dibagi dalam dua tahap, yaitu masa
pertumbuhan (bayi, anak, remaja) dan masa dewasa, dimana tidak terjadi lagi
pertumbuhan. Tahap lanjut dari masa dewasa yaitu kelompok manusia usia
lanjut. Pada masa ini kematangan fisik dan fisiologis telah tercapai dan
terlampaui (Nasoetion & Briawan 1993). Usia lanjut dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu usia lanjut kronologis atau usia berdasarkan kalender, dan usia
lanjut biologis (Astawan & Wahyuni 1988).
Departemen Kesehatan (1991) membuat pengelompokkan usia lanjut
menjadi:
1. Kelompok pertengahan umur ialah kelompok usia dalam masa virilitas,
yaitu masa persiapan usia lanjut, yang menampakkan keperkasaan fisik
dan kematangan jiwa (45-54 tahun).
2. Kelompok usia lanjut dini ialah kelompok dalam masa prasenium, yaitu
kelompok yang mulai memasuki usia lanjut (55-64 tahun).
3. Kelompok usia lanjut ialah kelompok dalam masa senium (65 tahun ke
atas).
Lansia adalah mereka yang telah berusia 65 tahun ke atas, menurut
Durmin (1992) membagi lansia menjadi young elderly (65-74 tahun) dan older
elderly (≥75 tahun). Sementara Munro et al. (1987) dalam Arisman (2002)
mengelompokkan older elderly ke dalam dua bagian, yaitu 75-84 tahun dan 85
tahun. Menurut Astawan & Wahyuni (1988), untuk negara-negara yang sudah
maju, dengan ekonomi, gizi, dan kesehatan yang telah baik, batas lanjut usia
adalah sekitar 65 tahun ke atas, sedangkan PBB menetapkan batas lansia
adalah 60 tahun ke atas.
Menurut Patmonedowo et al. (2001), ketuaan menjadikan manusia rentan
terhadap berbagai penyakit. Dibandingkan dengan usia lain, kesehatan para
lansia ditandai oleh menurunnya fungsi berbagai organ tubuh. Penyakit lansia
memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. saling terkait, kronis sehingga cenderung mengalami komplikasi
b. degeneratif, sering menimbulkan kacacatan bahkan kematian
c. akut tetapi ada juga penyakit yang berkembang perlahan-lahan
d. terjadi karena pengaruh obat-obatan
7
Proses Penuaan
Proses penuaan (aging) merupakan proses menua atau proses yang
terus menerus (berlanjut) secara alamiah. Proses penuaan ini dimulai sejak
proses pembuahan dan umum dialami oleh semua makhluk hidup serta
berlangsung berbeda-beda pada setiap orang. Proses kelahiran, pertumbuhan,
dewasa dan manula adalah bagian dari penuaan yang normal dan penuaan ini
berakhir saat makhluk hidup mati (Cooper et al. 1963).
Turner et al. (1991) menyatakan bahwa proses penuaan terbagi menjadi
penuaan eksternal dan internal. Poses penuaan eksternal merupakan proses
penuaan yang gejalanya dapat dilihat. Perubahan-perubahannya dapat diamati
dari kulit, rambut, gigi, dan postur tubuh. Penuaan internal adalah penuaan yang
gejalanya tidak dapat dilihat, yaitu perubahan degeneratif yang terjadi di dalam
tubuh.
Perubahan
tersebut
terjadi
pada
sistem
saraf,
kardiovaskular,
pernapasan, pencernaan, urinari, dan sistem imun. Penuaan dapat disebabkan
karena faktor umur juga dapat terjadi karena faktor psikososial seperti stress,
sosial ekonomi, lingkungan, makanan (gizi) dan kesehatan.
Menurut Wirakusumah (2002), ada beberapa yang mempengaruhi
kecepatan seseorang menjadi tua, baik yang dapat dikendalikan maupun yang
tidak dapat dikendalikan.
1. Faktor genetika yang merupakan faktor bawaan (keturunan) yang
berbeda pada setiap individu.
2. Faktor lingkungan dan faktor gaya hidup. Faktor ini berkaitan dengan diet,
kebiasaan merokok, minum alkohol, kafein, tingkat polusi, pendidikan,
pendapatan, dan sebagainya.
3. Faktor endogenik. Terkait proses penuaan, yaitu perusakan sel yang
berjalan seiring perjalanan waktu.
Selain umur, proses penuaan yang terjadi pada seseorang dapat juga
terjadi karena faktor psikososial seperti stress, sosial ekonomi, lingkungan,
kesehatan, dan gizi. Faktor-faktor ini saling mempengaruhi dan pada setiap
individu berbeda-beda prosesnya.
Keadaan Kesehatan Lansia
Status kesehatan lansia tidak boleh terlupakan karena berpengaruh
dalam penilaian kebutuhan zat gizi. Ada lansia yang tergolong sehat dan ada
lansia mengidap penyakit kronis. Disamping itu sebagian lansia masih mampu
mengurus diri sendiri. Sementara sebagian lain masih sangat tergantung pada
8
belas kasihan orang lain. Kebutuhan zat gizi mereka tergolong aktif biasanya
berbeda dengan orang dewasa sehat. Penuaan tidak begitu berpengaruh
terhadap kesehatan mereka.
Hal tersebut memunculkan istilah Lansia Risiko Tinggi (High Risk Elderly)
dengan kriteria (a) usia diatas 80 tahun, (b) hidup sendiri, (c) depresi, (d)
gangguan intelektual, (e) jatuh beberapa kali, (f) inkontinensia urin, dan (g) di
masa lalu tidak dapat menyesuaikan diri (Arisman 2007).
Kecukupan Gizi Pada Lansia
Lansia adalah mereka yang telah berusia sama dengan diatas 60 tahun.
Lansia mengalami penurunan fungsi organ tubuh yang mengakibatkan
aktivitasnya menurun dibandingkan pada masa dewasa ataupun remaja. Hal ini
mengakibatkan kecukupan gizi lansia pada umumnya lebih rendah dibandingkan
pada kedua masa tersebut (Hardinsyah dan Martianto 1988). Wirakusumah
(2002) menyatakan bahwa pada lansia penggunaan energi semakin menurun
karena proses metabolisme basalnya juga semakin menurun, kenyataan ini juga
berimplikasi pada penurunan kebutuhan energi lansia.
Adanya perubahan pada tubuh lansia menghendaki pola konsumsi
pangan yang berbeda dibandingkan pada usia yang lebih muda. Pada prinsipnya
kebutuhan akan macam zat gizi pada lansia akan tetap seperti yang dibutuhkan
oleh orang dengan usia yang lebih muda, hanya saja terdapat perbedaan pada
jumlah dan komposisinya (Astawan dan Wahyuni 1988).
Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (LIPI 2004), angka
kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan untuk lansia adalah:
Tabel 1 Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan untuk usia lanjut
Zat gizi
Energi (kkal)
Protein (g)
Vitamin A (µg RE)
Vitamin D (µg)
Vitamin E (mg)
Vitamin K (µg)
Thiamin (mg)
Riboflavin (mg)
Niasin (mg)
Sianokobalamin (µg)
Asam Folat (µg)
Vitamin C (mg)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Angka Kecukupan Gizi
50-64 tahun
≥65 tahun
1750
1600
50
50
500
500
10
15
15
15
55
55
0.9
0.8
1.1
1.1
14
14
2.4
2.4
400
400
75
75
800
800
600
600
9
Seseorang
yang
berusia
70
tahun
akan
mengalami
penurunan
metabolisme basal sebesar 20% dibandingkan dengan mereka yang berusia 30
tahun (Astawan & Wahyuni 1988). Studi mengenai pemilihan makanan pada
manusia melibatkan banyak faktor yang saling berinteraksi mulai dari mekanisme
biologis, perilaku makan secara psikologis, sosial, budaya, hingga kesehatan
umum (David & Annie 2004).
Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi
setiap hari bagi hampir semua orang, menurut golongan umur, jenis kelamin,
ukuran tubuh dan aktifitas untuk mencegah terjadinya defisiensi maupun
kelebihan gizi. Kecukupan gizi seseorang akan lebih besar dibandingkan
kebutuhan gizinya. Dalam perhitungan kecukupan gizi, sudah diperhitungkan
faktor variasi kebutuhan individual kecuali untuk energi setingkat dengan
kebutuhan rata-rata ditambah dengan dua kali simpangan bakunya.
Angka Kecukupan Energi (AKE) pada WNPG VIII bagi orang dewasa
didasarkan pada Oxford Equation yang merupakan hasil meta analisis untuk
estimasi energi basal metabolisme (EBM) berdasarkan berat badan. Komponen
utama yang menentukan kecukupan energi adalah Energi Basal Metabolik (EBM)
atau Basal Metabolic Rate (BMR). Menurut Manual of Medical Nutritional
Therapy (2011), EBM adalah pengeluaran energi seseorang yang diukur pada
saat status post-absorptif (tidak ada konsumsi makanan dalam 12 jam terakhir)
setelah beristirahat selama 30 menit dalam lingkungan dengan temperatur
normal.
Perhitungan EBM Oxford Equation lebih sesuai karena dalam sampelnya
termasuk populasi Asia (China dan Filipina) yang postur tubuhnya mirip orang
Indonesia. Disamping studi yang dilakukan di Malaysia dan Filipina juga
menunjukkan bahwa Schofield Equation yang digunakan FAO/WHO (1985)
overestimate sekitar 10-15% tergantung usia dan jenis kelamin. Tingkat kegiatan
diadopsi dari review kajian di Filipina (FNRI 2003). Koreksi umur bagi orang
dewasa setelah usia 30 tahun juga dilakukan (FAO/WHO 1985 & IOM 2002).
Penurunan kebutuhan energi 5% pada usia 30-64 tahun dan 10% pada usia >65
tahun. Hasil estimasi AKE bagi wanita dewasa disajikan dalam Tabel 2.
Tingkat Kegiatan Fisik (TKF) dalam perhitungan bagi orang dewasa
adalah pada tingkat kegiatan ringan. Faktor tingkat kegiatan fisik, menggunakan
hasil berbagai penelitian Guzman et al. yang direview oleh FNRI (2003), yaitu
1.58 dan 1.45 masing-masing bagi pria dan wanita kegiatan ringan; 1.67 dan
10
1.55 bagi pria dan wanita kegiatan sedang; dan 1.88 dan 1.75 bagi pria dan
wanita kegiatan berat. Angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan faktor tingkat
kegiatan FAO/WHO (1985) terutama untuk wanita. AKE pria dan wanita dewasa
menggunakan tingkat kegiatan fisik sedang.
Tabel 2 Proses estimasi AKE wanita dewasa berdasarkan EBM yang menggunakan
Oxford Equation
Umur
Wanita
19-29
30-49
50-64
65+
BB
(Kg)
Rumus EBM
EBM
(kkal)
TKF
(ringan)
Koreksi
umur
52
55
55
55
13.4B + 517
9.59B + 687
9.59B + 687
9.59B + 608
1214
1214
1214
1135
1.55
1.55
1.55
1.55
1.00
0.95
0.95
0.90
AKE
(kkal/hr)
1882
1788
1788
1583
AKE
diperhalus
1900
1800
1750
1600
Angka Kecukupan Protein (AKP) wanita dewasa didasarkan pada ratarata kebutuhan protein dikalikan berat badan, ditambah sejumlah safe level
(24%) dan dikoreksi dengan faktor koreksi mutu sebesar 1.2. Tambahan 24%
didapat dari review FAO/WHO (1985) yang masih valid menurut IOM (2002),
yaitu berasal dari koefisien variasi 12% (2 x koefisien variasi). Koreksi mutu
protein didasarkan pada kenyataan bahwa pangan hewani hanya berkontribusi
sekitar 4% terhadap total energi, artinya mutu protein makanan penduduk
Indonesia masih rendah, sehingga perlu adanya faktor koreksi mutu yaitu
sebesar 1.2.
Pola Konsumsi Pangan
Nasoetion et al. (1992) mendefinisikan pola konsumsi pangan sebagai
susunan jenis atau ragam pangan yang biasa dikonsumsi seseorang atau
sekelompok orang di daerah tertentu. Pengelompokkan pola konsumsi pangan
dapat dibentuk berdasarkan kegunaan atau fungsi pangan dalam tubuh meliputi
pola konsumsi pangan pokok, pola konsumsi pangan sumber protein, pola
konsumsi sayuran, dan pola konsumsi buah-buahan.
Pola konsumsi pangan dapat juga diartikan sebagai frekuensi bahan
makanan yang dikonsumsi seseorang sehari-hari dan merupakan ciri khas pada
suatu kelompok masyarakat tertentu. Konsumsi pangan merupakan faktor utama
untuk memenuhi kebutuhan gizi seseorang (Harper et al. 1985).
Supariasa et al. (2002) menjelaskan bahwa dalam penelitian konsumsi
pangan terdapat tiga metode yang digunakan, yaitu metode kualitatif, metode
kuantitatif, serta gabungan keduanya. Metode kualitatif digunakan untuk
mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan pangan,
dan menggali informasi tentang kebiasaan makan. Metode kuantitatif digunakan
11
untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung
asupan zat gizi.
Menurut Riyadi (1996) pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak
faktor, diantaranya yaitu, (1) ketersediaan pangan, jenis, dan jumlah pangan
dalam pola makanan di suatu daerah tertentu. Bila pangan tersedia secara
kontinyu maka akan membentuk kebiasaan makan, (2) pola sosial, budaya, dan
pola kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam memilih pangan. Pilihan
pangan biasanya ditentukan oleh adanya faktor-faktor penerimaan atau
penolakan terhadap pangan oleh seseorang atau sekelompok orang. Pola
konsumsi pangan yang baik hendaknya diartikan dengan membudayakan makan
yang memenuhi konsumsi makanan yang bermutu, beragam, bergizi seimbang,
dan sesuai kebutuhan serta aman dan halal.
Metode food recall 24 jam adalah salah satu metode dalam melakukan
penilaian konsumsi pangan dengan tujuan untuk mengetahui kebiasaan makan
dan gambaran tingkat kecukupan bahan pangan dan zat gizi pada tiap kelompok,
rumah tangga, dan individu serta faktor-faktor yang mempengruhi konsumsi
pangan. Prinsip dari metode ini adalah melakukan pencatatan jenis dan jumlah
bahan pangan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Data yang
diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Data kuantitatif didapatkan dengan
menanyakan secara lebih rinci jumlah makanan yang dikonsumsi dengan
menggunkan alat ukuran rumah tangga (URT) seperti sendok, gelas, piring, dan
lain-lain (Supariasa et al. 2002).
Penyakit Asam Urat (Gout)
Gout adalah salah satu penyakit artritis yang disebabkan oleh
metabolisme abnormal purin yang ditandai dengan meningkatnya kadar asam
urat dalam darah. Hal ini diikuti dengan terbentuknya timbunan kristal berupa
garam urat di persendian yang menyebabkan peradangan sendi pada lutut dan
atau jari (Bagian Gizi RS.Dr.RSCM dan Persagi 2005).
Menurut Price dan Wilson (2002) gout merupakan gangguan metabolik
yang sudah dikenal oleh Hipokrates pada zaman Yunani kuno. Pada waktu itu
gout dianggap sebagai penyakit kalangan sosial elit yang disebabkan karena
terlalu banyak makan, minum anggur, dan seks. Sejak saat itu banyak teori
etiologis dan terapeutik yang telah diketahui mengenai penyakit gout, dan tingkat
keberhasilannya juga tinggi.
12
Gout merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan
metabolik, sekurang-kurangnya ada sembilan gangguan, yang ditandai oleh
meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Gout dapat bersifat primer
maupun sekunder. Gout primer merupakan akibat langsung pembentukan asam
urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat. Gout
sekunder disebabkan karena pemebentukan asam urat yang berlebihan atau
ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian
obat-obat tertentu.
Masalah akan timbul jika terbentuk kristal-kristal monosodium urat
monohidrat pada sendi-sendi dan jaringan sekitarnya. Kristal-kristal berbentuk
seperti jarum ini mengakibatkan reaksi peradangan yang jika berlanjut akan
menimbulkan nyeri hebat yang sering menyertai gout. Jika tidak diobati, endapan
kristal akan menyebabkan kerusakan yang hebat pada sendi dan jaringan lunak.
Gout merupakan salah satu penyakit tertua yang tercatat sepanjang
sejarah kesehatan yang merupakan kegagalan metabolisme purin yang level
akumulasi asam urat dalam darahnya di atas normal (hyperurisimia). Sebagai
konsekuensinya, sodium urat dibentuk dan disimpan sebagai tophi dalam tulang
sendi kecil dan mengelilingi jaringan. Penyakit ginjal terjadi dan asam urat
nephrolithiasis dapat terjadi. Pada penyakit gout, titik yang biasa terjadi adalah di
sekitar telinga, kemudian titik tersebut menjadi pelebaran jempol atau siku
(Mahan & Stump 2008).
Prevalensi gout meningkat (Choi dan Curhan 2005 dalam Mahan dan
Stumb 2008), penyakit ini biasanya terjadi setelah usia 35 tahun dan didominasi
oleh laki-laki. Tetapi, ini dapat menyebar merata pada kedua jenis kelamin pada
usia lanjut (Sag dan Choi 2006 dalam Mahan dan Stumb 2008).
Gout dicirikan oleh nyeri atritis pada suatu tempat dengan serangan
mendadak dan akut yang biasanya dimulai pada ibu jari dan berlanjut ke kaki.
Pada sebuah kajian retrospektif pada keluarga yang menderita gout mempunyai
serangan 7.5 tahun lebih awal dibandingkan dengan kelompok subjek dengan
kadar serum trigliserida, kolesterol, dan hipertensi terendah dibandingkan
dengan keluarga tanpa penyakit guot (Chen et al. 2001 dalam Mahan dan Stumb
2008). Simpanan urat dapat merusak jaringan sendi, menunjukkan gejala artritis
kronis.
Salah satu yang membentuk gout adalah obesitas (WHO 2002 dalam
Mahan dan Stumb 2008). Peningkatan jaringan adiposa viseral sepertinya
13
memberatkan risiko resistensi insulin dalam gout dan dapat membuat pasien
lebih berisiko untuk penyakit aterosklerosis (Takashi et al. 2001 dalam Mahan
dan Stumb 2008). Meskipun penurunan berat badan kelihatan melindungi (Choi
et al. 2005; Dessein et al. 2000 dalam Mahan dan Stumb 2008), ketosis dikaitkan
dengan puasa atau diet rendah karbohidrat juga dapat menurunkan serangan.
Ada kalanya gangguan tersebut disebabkan oleh pembedahan. Sebagai
penyakit yang maju, gejala yang terjadi lebih berfrekuensi dan lebih lama. Luka
yang parah atau di luar yang biasa terjadi dapat mempercepat episode dan
serangan yang berhubungan dengan lingkungan. Hipertensi dan penggunaan
diuretik menjadi faktor risiko gout yang tepat (Choi et al. 2005b dalam Mahan dan
Stumb 2008). Kajian epidemiologi menunjukan adanya hubungan antara gout
dengan dislipidemia, diabetes mellitus, dan sindrom resistensi insulin (Fam 2005
dalam Mahan dan Stumb 2008).
Asam urat merupakan hasil akhir dari metabolisme purin pada satwa
primata, baik purin yang berasal dari bahan pangan maupun dari hasil
pemecahan purin asam nukleat tubuh. Dalam plasma, urat terutama berada
dalam bentuk natrium urat sedangkan dalam saluran urin, urat dalam bentuk
asam urat. Namun pada umumnya disebutkan sebagai asam urat tanpa
menunjukkan tempat keberadaannya (Yenrina 2001).
Kandungan normal natrium urat dalam plasma kurang dari 7 mg/dl (Martin
et al. 1984). Berdasarkan penelitian laboratorium klinis, kadar natrium urat
normal untuk wanita berkisar berkisar 2.4-5.7 mg/dl dan untuk pria berkisar 3.4-7
mg/dl. Jika natrium urat plasma melebihi standar ini disebut hiperurisemia.
Enzim penting yang berperan dalam sintesis asam urat adalah xantin
oksidase yang sangat aktif bekerja dalam hati, usus halus, dan ginjal. Tanpa
bantuan enzim ini asam urat tidak dapat dibentuk (Martin et al. 1984).
Mekanisme turn over asam urat dapat dilihat pada Gambar 1.
14
Prekusor bukan
purin
Sintesa de novo
Purin jaringan
nukleotida
Nukleoprotein
makanan
Asam Nukleat
Jaringan
Katabolisme
Pool Asam
Urat
Ekskresi
melalui ginjal
Ekskresi melalui
saluran cerna
Gambar 1 Mekanisme Turn Over Asam Urat
Peningkatan kadar asam urat dalam plasma dapat disebabkan oleh
meningkatnya produksi asam urat atau menurunnya pengeluaran asam urat.
Apabila produksi asam urat meningkat akan terjadi peningkatan pool asam urat,
hiperurisemia, dan pengeluaran asam urat melalui urin meningkat. Peningkatan
produksi asam urat dapat disebabkan oleh tingginya konsumsi bahan pangan
yang mengandung purin atau meningkatnya sintesis purin dalam tubuh
(Krisnatuti et al. 2000).
Menurut Passmore dan Eastwood (1987), penyebab hiperurisemia dibagi
dua yaitu primer dan sekunder. Hiperurisemia primer disebabkan oleh faktor
genetik dan lingkungan. Hiperurisemia sekunder disebabkan adanya komplikasi
dengan penyakit atau obat dari penyakit ginjal, hipertensi, diabetes mellitus,
hyperlipidemia, pisoriasis, hipotiroid, dan leukemia sedangkan faktor kegemukan
dan minum alkohol dapat memicu terjadinya hiperurisemia.
15
Gambaran Klinis
Pada keadaan normal kadar asam urat serum pada laki-laki mulai
meningkat setelah pubertas. Pada perempuan kadar urat tidak meningkat sampai
setelah menopause karena estrogen meningkatkan ekskresi asam urat melalui
ginjal. Setelah menopause, kadar urat serum meningkat seperti pada pria.
Terdapat empat tahap perjalanan klinis dari penyakit gout yang tidak
diobati. Tahap pertama adalah hiperurisemia asimtomatik. Nilai normal asam urat
serum pada laki-laki adalah 5.1 ± 1.0 mg/dL dan pada perempuan adalah 4.0 ±
1.0 mg/dL. Nilai-nilai ini meningkat sampai 9-10 mg/dL pada seseorang dengan
gout. Dalam tahap ini pasien tidak menunjukkan gejala-gejala selain dari
peningkatan asam urat serum. Hanya 20% dari pasien hiperurisemia asimtomatik
yang berlanjut menjadi serangan gout akut (Price & Wilson 2002).
Pengelompokkan Bahan Makanan Menurut Kadar Purin dan Anjuran Makan
Kelompok 1 merupakan bahan makanan dengan kandungan purin tinggi
(100-1000 mg purin/100 g bahan makanan). Kelompok bahan makanan ini
sebaiknya dihindari. Kelompok tersebut terdiri dari otak, hati, jantung, ginjal,
jeroan, ekstrak daging/ kaldu, bouillon, bebek, ikan sardine, makarel, remis, dan
kerang.
Kelompok 2 adalah bahan makanan dengan kandungan purin sedang ( 9100 mg purin/100 g bahan makanan). Kelompok bahan makanan ini dibatasi
maksimal 50-75 g (1-1 ½ potong) daging, ikan atau unggas, atau 1 mangkok
(100 g) sayuran sehari. Kelompok bahana makanan tersebut terdiri dari daging
sapi dan ikan (kecuali yang terdapat dalam kelompok 1), ayam, udang ; kacang
kering dan hasil olahannya, seperti tahu dan tempe; asparagus, bayam, daun
singkong, kangkung, daun dan biji melinjo.
Kelompok 3 merupakan bahan makanan dengan kandungan purin
rendah, sehingga dapat diabaikan dan dapat dimakan setiap hari. Kelompok
bahan makanan ini adalah nasi, ubi, singkong, jagung, roti, mie, bihun, tepung
beras, cake, kue kering, puding, susu, keju, telur; lemak dan minyak; gula;
sayuran dan buah-buahan, kecuali sayuran dalam kelompok 2 (Bagian Gizi
RS.Dr.RSCM dan Persagi 2005).
16
Purin
Purin adalah molekul yang terdapat dalam sel dalam bentuk nukleotida.
Asam amino dan nukleotida berhubungan satu sama lain. Keduanya adalah unit
dasar dalam biokimiawi pembawa sifat genetik. Nukleotida unsur pemberi sandi
asam nukleat, bersifat essensial pada pemeliharaan dan pemindahan informasi
genetik. Asam amino merupakan unit pembangun protein dan dibutuhkan untuk
ekspresi informasi genetik (Lehninger 1991).
Nukleotida yang paling dikenal adalah purin dan pirimidin sebagai pra-zat
monomerik asam ribonukleat (RNA) dan asam deoksiribonukleat (DNA). Purin
apabila berdiri sendiri disebut basa purin, jika basa purin berikatan dengan gula
pentosa disebut nukleosida, jika basa purin berikatan dengan gula pentosa dan
asam phospat disebut nukleotida purin. Basa purin terdiri dari adenin, guanin,
hipoxantin (inosin) dan xantin (Bondy dan Rosenberg 1980, Martin et al. 1984
dalam Yenrina 2001).
Basa-basa purin yang terdapat pada nukleotida berasal dari substitusi
struktur cincin zat dasar purin. Adenin dan guanin terdapat pada makhluk hidup
sedangkan xantin dan hipoxantin terdapat sebagai zat antara pada metabolisme
adenin dan guanin (Martin et al. 1984).
Fungsi utama nukleitida purin bersama-sama dengan nukleotida pirimidin
adalah sebagai pro-zat pembentuk asam nukleat yaitu asam deoksiribonukleat
(DNA) dan asam ribonukleat (RNA). Selain itu nukleotida purin berperan sebagai
komponen dari molekul berenergi tinggi yaitu adenosin tripospat (ATP), adenosin
dipospat (ADP), adenosin monopospat (AMP), dan guanosin monopospat
(GMP), guanosin dipospat (GDP), dan guanosin tripospat (GTP) (Yenrina 2001).
Fungsi Purin
Asam deoksiribonukleat (DNA) berkaitan dengan sifat-sifat genetik, pada
mikroorganisme satu untai DNA menyimpan informasi genetiknya. Pada
organisme tingkat tinggi, DNA terdapat sebagai nukleoprotein di dalam
kromosom, sebagian besar DNA terdapat di dalam inti sel, sejumlah kecil di
dalam mitokondria dan kloroplas.
DNA menyediakan cetakan bagi sintesis protein di dalam sel, sifat
keturunan diwariskan melalui proses replikasi yang melibatkan peranan sejumlah
protein dan enzim (Suhartono 1989 diacu oleh Yenrina 2001). DNA dibutuhkan
dalam pertumbuhan dan pembelahan sel, unit monomer DNA adalah adenin,
17
guanin, sitosin, dan timin. Unit-unit monomer DNA dijadikan bentuk polimer oleh
ikatan 3’5’ fosfodiester.
Asam ribonukleat tersebar luas diseluruh sel, sebagian RNA terdapat di
dalam sitoplasma sebagai RNA terlarut dan RNA ribosom sebagian kecil terdapat
di dalam inti sel dan di dalam mitokondria. Asam ribonukleat dibutuhkan dalam
sintesis protein, unit monomer RNA adalah adenin, guanin, sitosin, dan urasil
(Yenrina 2001).
Metabolisme Purin
Di dalam bahan pangan, purin terikat dalam asam nukleat berupa
nukleoprotein. Di dalam usus, asam nukleat dibebaskan dari nukleoprotein oleh
enzim pencernaan, dan asam nukleat dipecah menjadi mononukleotida.
Selanjutnya mononukleotida dihidrolisis menjadi nukleosida.
Nukleosida sudah dapat langsung diserap dan sebagian dipecah lebih
lanjut menjadi purin dan pirimidin. Purin teroksidasi menjadi asam urat yang
dapat diabsorpsi melalui mukosa usus dan diekskresikan melalui urin (Martin et
al. 1984). Mamalia dan sebagian besar vertebrata bersifat prototrofik untuk purin
dan pirimidin yaitu mampu mensintesis nukleosida purin dan pirimidin de novo
sehingga tidak tergantung pada asam nukleat dan nukleotida dari bahan pangan.
Berbagai macam nukleosida hasil dari pemecahan nukleoprotein dapat
diserap atau dipecah lebih lanjut oleh posporilase usus menjadi purin atau
pirimidin bebas. Basa guanin dioksidasi menjadi xantin dan kemudian menjadi
asam urat, nukleosida adenosin dapat dirubah menjadi inosin, hipoxantin, dan
kemudian menjadi asam urat.
Pada manusia dan mamalia lainnya, nukleotida purin disintesis untuk
memenuhi kebutuhan organisme akan pra-zat monomer asam nukleat dan untuk
fungsi lainnya. Pada beberapa organisme seperti burung, amphibi, dan reptilia,
sintesis purin mempunyai fungsi tambahan sebagai alat ekskresi produk buangan
nitrogen sebagai asam urat. Organisme ini dinamakan urikotelik, sedangkan
organisme yang membuang produk nitrogennya dalam bentuk urea seperti
manusia dinamakan ureotelik. Organisme urikotelik mensintesis nukleotida purin
dengan kecepatan yang relatif lebih besar dari pada organisme ureotelik, akan
tetapi langkah yang diperlukan dalam sintesa de novo nukleotida purin sama
(Yenrina 2001).
Sintesis purin melibatkan dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur
penghematan (salvage pathway).
18
1. Jalur de novo melibatkan sintesis purin dan kemudian asam urat melalui
prekursor nonpurin. Substrat awalnya adalah ribosa-5-fosfat, yang diubah
melalui serangkaian zat antara menjadi nukleotida purin (asam inosinat,
asam guanilat, asam adenilat). Jalur ini dikendalikan oleh serangkaian
mekanisme yang kompleks, dan terdapat beberapa enzim yang
mempercepat reaksi yaitu: 5-fosforibosilpirofosfat (PRPP) sintetase dan
amidofosforibosiltransferase (amido-PRT). Terdapat suatu mekanisme
inhibisi umpan balik oleh nukleotida purin yang terbentuk, yang fungsinya
untuk mencegah pembentukan yang berlebihan.
2. Jalur penghematan adalah jalur pembentukan nukleotida purin melalui
basa purin bebasnya, pemecahan asam nukleat, atau asupan makanan.
Jalur ini tidak melalui zat-zat perantara seperti pada jalur de novo. Basa
purin bebas (adenin, guanin, hipoxantin) berkondensasi dengan PRPP
untuk membentuk prekursor nukleotida purin dari asam urat. Reaksi ini
dikatalisis oleh dua enzim: hipoxantin guanin fosforibosiltransferase
(HGPRT) dan adenin fosforibosiltransferase (APRT) (Murray et al. 2006)
Asam urat yang terbentuk dari hasil metabolisme purin akan difiltrasi
secara bebas oleh glomerulus dan diresorpsi di tubulus proksimal ginjal.
Sebagian kecil asam urat yang diresorpsi kemudian diekskresikan di nefron distal
dan dikeluarkan melalui urin.
Pengetahuan Gizi
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu, di mana sebagian besar dari
pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting bagi
terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo
1993 dalam Sukandar 2007).
Lebih lanjut dijelaskan oleh Notoatmodjo (1993) dalam Marga (2007),
tingkat pengetahuan mencakup 6 tingkatan, yaitu (1) Tahu atau dapat mengingat
materi yang sebelumnya; (2) Memahami, yaitu kemampuan untuk menjelaskan
dan menginterpretasikan dengan benar objek yang diketahui; (3) Aplikasi yaitu
menggunakan materi yang telah dipelajari pada kondisi yang sebenarnya; (4)
Analisis yaitu kemampuan menjabarkan materi kedalam komponen-komponen;
(5) Sintesis yaitu kemampuan menghubungkan bagian-bagian menjadi satu
19
kesatuan yang baru; (6) Evaluasi yaitu kemampuan melakukan penilaian
terhadap suatu objek.
Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan ini terjadi setelah melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Brieger (1992) mengemukakan
bahwa pengetahuan umumnya datang dari pengalaman yang dapat diperoleh
dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, keluarga, teman, buku,
surat kabar dan majalah. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa pengetahuan adalah proses untuk mengetahui sesuatu yang dilakukan
oleh manusia berdasarkan pengalaman, perasaan, pola pikirnya terhadap objek
tertentu.
Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam pembentukan
kebiasaan makan seseorang, sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang
dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Harper et al. 1985).
Menurut Sanjur (1982) yang diacu dalam Sukandar (2007), pengaruh
pengetahuan gizi terhadap konsumsi makanan tidak selalu linier, artinya semakin
tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu rumah tangga, belum tentu konsumsi
makanan
menjadi
baik.
Konsumsi
makanan
jarang
dipengaruhi
oleh
pengetahuan gizi secara tersendiri, tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan
keterampilan gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan
cenderung memilih makanan yang murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi,
sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan dan minum
sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi. Seseorang yang
memiliki pengetahuan positif tentang makanan maka akan memiliki kualitas
makanan yang lebih baik. Kualitas yang dimaksud adalah ketersediaan zat gizi
dalam jumlah dan jenis yang cukup bagi kesehatan tubuh.
Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang
sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan.
Penilaian status gizi dapat memberikan gambaran tentang baik atau tidaknya
status gizi orang tersebut (Gibson 2005). Status gizi adalah ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari
keadaan gizi dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa et al. 2001). Penilaian
status gizi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu melalui konsumsi
makanan, antropometri, biokimia, dan klinis. Menurut Riyadi (2001), penilaian
20
status gizi dapat dilakukan secara tunggal dengan satu indikator atau dapat
menggunakan beberapa indikator gabungan agar didapat hasil yang lebih efektif.
WHO
(2000)
menyatakan
bahwa
wanita
cenderung
mengalami
peningkatan penyimpanan lemak. Kekurangan dan kelebihan gizi pada orang
dewasa adalah masalah penting karena akan menimbulkan resiko penyakit
tertentu.
Pemantauan
keadaan
tersebut
perlu
dilakukan
secara
berkesinambungan salah satunya adalah dengan mempertahankan berat badan
normal. Menurut Manual Of Medical Nutritional Therapy (2011), penentuan status
gizi seseorang juga dapat dilakukan dengan menggunakan persentase berat
badan aktual terhadap berat badan ideal.
Tabel 3 Kriteria status gizi berdasarkan persentase berat badan aktual terhadap berat
badan ideal
Persentase Berat Badan Ideal (%)
≥200
≥150
≥120
80-90
70-79
≤69
Kriteria
Obesitas II
Obesitas I
Overweight
Gizi kurang I
Gizi kurang II
Gizi kurang III
Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan teknologi tepat guna untuk
memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan
normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih
panjang. Berikut ini merupakan tabel Indeks Massa Tubuh berdasarkan usia.
Tabel 4 Indeks Massa Tubuh Berdasarkan Usia
Usia (Tahun)
IMT (Berat/Tinggi [kg/m2])
19-24
19-24
20-25
25-34
21-26
35-44
22-27
45-54
23-28
55-65
24-29
>65
Sumber : Food and Nutrition Board, Committee on Diet and Health, National Research
Council: Implications for reducing chronic diseases risk 1989 dalam Mahan and Stump
2000.
21
Penggunaan IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu
hamil, dan olahragawan. Selain itu IMT dapat diterapkan pada keadaan khusus
(penyakit) lainnya seperti edema, asites, dan hepatomegali (Supariasa et al.
2002).
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot-otot tubuh dan
system penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan
energi di luar metabolismenya untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru
memerlukan tambahan energi untuk menghantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke
seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi
yang dibutuhkan tergantung pada berapa berat pekerjaan yang dilakukan
(Almatsier 2003). Riyadi (1996) menyatakan bahwa jika diketahui jumlah energi
tubuh yang dikeluarkan selama aktivitas sehari maka sebenarnya jumlah tersebut
merupakan kebutuhan energi seseorang, dengan asumsi aktivitas harian
tersebut merupakan aktivitas normal.
Perubahan terbesar yang terjadi pada usia lanjut adalah kehilangan
massa tubuhnya, termasuk tulang, otot, dan massa organ tubuh, sedangkan
massa lemak meningkat (Doewes 1996). Peningkatan massa lemak dapat
memicu resiko penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit
degeneratif lainnya. Penurunan aktivitas fisik pada usia lanjut harus diimbangi
dengan penurunan asupan kalori. Hal tersebut untuk mencegah terjadinya
obesitas. Jika asupan kalori tidak diimbangi dengan penggunaan kalori maka
akan dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit degeneratif (Wirakusumah
2001).
Program Pemberdayaan Wanita Pra Lanjut Usia dan Wanita Lanjut Usia
Program ini merupakan program pemberdayaan wanita lanjut usia.
Program ini diadakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional yang bekerjasama
dengan Yayasan Aspirasi Muslimah Indonesia (YASMINA). Program ini bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan, keterampilan dan produktivitas wanita lanjut
usia. sasaran dan peserta dalam kegiatan adalah ibu-ibu usia lanjut dan/atau
keluarga
Terdapat 6 kegiatan yang dilaksanakan dalam program pemberdayaan
wanita pra lanjut usia dan wanita lanjut usia. Kegiatan yang dilaksanakan pada
program ini adalah penyuluhan tentang perawatan dan pengasuhan lanjut usia,
pelatihan daur ulang sampah plastik, pelatihan menyulam pita dan mayet,
22
pelatihan kelembagaan, pendampingan, dan pemeriksaan kesehatan (klinis)
lanjut usia. Kegiatan-kegiatan tersebut menjalin kemitraan dengan Yayasan
Emong Lansia (YEL), Puskesmas Dramaga, Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor,
Koperasi Usaha Kecil Menengah (UKM) Trashion, Posdaya Desa Babakan, serta
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kewirausahaan IPB.
Download