MAHAR SUAMI MENINGGAL QOBLA AL-DUKHUL

advertisement
MAHAR SUAMI MENINGGAL QOBLA AL-DUKHUL
(Analisis Terhadap Perbedaan Mazhab dan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh :
SURINA MOHAMAD NAPIAH
NIM : 107044103853
K O N S E N T RA S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2009M/1430H
KETENTUAN MAHAR SUAMI MENINGGAL DUNIA
QOBLA AL-DUKHUL
(Analisis Terhadap Perbedaan Mazhab Dan Kompilasi Hukum Islam)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh :
SURINA BINTI MOHAMAD NAPIAH
NIM : 107044103853
Pembimbing :
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A.
NIP : 150 169 102
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430H : 2009
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul MAHAR SUAMI MENINGGAL QOBLA AL-DUKHUL
(Analisis Terhadap Perbedaan Mazhab dan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada 11 Maret 2009.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum
Islam (SHI) pada Program Ahwal Syakhshiyah (Peradilan Agama).
Jakarta, 11 Maret 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH,MA,MM
NIP. 150210422
PANITIA UJIAN
1. Ketua
: Drs.H.A. Basiq Djalil, SH,MA.
NIP. 150169102
(……………….......…)
2. Seketaris
: Kamarusdiana, S. Ag., MH.
NIP. 150285972
(...................................)
3. Pembimbing
: Drs.H.A. Basiq Djalil, SH,MA.
NIP. 150169102
(....……………………)
4. Penguji I
: Drs. H. Sayed Usman, SH,MH.
NIP. 150216755
(.....................................)
5. Penguji II
: Dr. KHA. Juaini Syukri,Lcs,MA.
NIP. 150256969
(....................................)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yaang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 Februari 2009
Surina
KATA PENGANTAR
ِِْ
‫ِِْ اِ ا
َِْ ا‬
Segala puji bagi Allah, Pencipta dan Penguasa alam semesta yang telah
melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis terutamanya dalam rangka
penyelesaian skripsi ini. Selanjutnya shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah menyelamatkan umat dari alam kegelapan ke alam
terang benderang.
Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna memperoleh
gelar strata satu (S.1), pada jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang berjudul: “MAHAR SUAMI MENINGGAL
QOBLA AL-DUKHUL (Analisis Terhadap Perbedaan Mazhab dan Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia).”
Untuk menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat petunjuk dari
berbagai pihak, baik secara langsung atau tidak langsung. Dalam hal ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak:
1. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma MA., SH., MM. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dengan kewenangan yang
dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun
skripsi ini.
2. Drs. H.A. Basiq Djalil SH., MA. dan Drs. Kamarusdiana Sag, MA, masingmasing selaku ketua dan sekretaris jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah yang telah
banyak memberikan motivasi kepada penulis.
3. Drs. H.A. Basiq Djalil SH., MA. selaku dosen bimbingan yang dengan penuh
kesabaran dalam memberi arahan dan masukan kepada penulis hingga
tuntasnya sudah skripsi ini, hanya Allah saja yang selayaknya membalas
jasanya.
4. Drs. H. Sayed Usman, SH, MA. dan Dr. KH. A. Djuaini Syukri, Lcs, MA.
selaku penguji I dan penguji II yang telah memberikan saran-saran dan kritik
yang sangat berguna untuk lebih sempurna dalam tulisan ini.
5. Seluruh bapak-bapak dosen Fakultas Syariah dan Hukum khususnya Ahwal
Al-Syakhshiyah, serta kepada karyawan dan staff perpustakaan, yang banyak
membantu penulis hingga selesainya skripsi ini.
6. Seluruh pihak Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia yang banyak membantu
penulis hingga selesainya skripsi ini.
7. Seluruh para dosen Akademi Pengajian Islam dan Dakwah terutama Bapak
Rektor Al-Fadhil Ustaz Edeey Ameen yang telah banyak memberikan
sokongan dan dukungan kepada penulis hingga dapat meneruskan pengajian
di bumi Indonesia ini.
8. Teristimewa buat ayahanda, ibunda, abang, kakak dan adik
disayangi
yang amat
terima kasih atas perhatian segala doa dan kesabaran atas jerih
payah dan segala pengorbanan yang tidak terbalas serta senantiasa
memberikan semangat dan harapan tanpa jemu hingga penulis dapat
menyelesaikan pengajian.
9. Baik teman-teman malaysia maupun teman-teman Indonesia terima kasih
karena turut mendoakan dan memberikan pastisipasi, sumbangan berupa
pikiran serta semangat kepada penulis.
10. Kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu di sini,
penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga.
Akhirnya, ’Sirru a’la barakatillah’ dan semoga skripsi ini dapat memberikan
masukan yang positif kepada pembaca sekalian, semoga bantuan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat imbalan dari Allah yang Maha Kuasa. Penulis amat
menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini tidak luput dari kekhilafan dan
kesalahan, maka kritikan dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan di
dalam rangka perbaikan dan kesempurnaan penulisan ini.
-Amin Ya Rabbal A’lamin-
Jakarta, 16 Februari 2009 M
20 Safar 1430 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................. ..........................................................v
DAFTAR ISI ........................................................................................................viii
BAB I
PENDAHULUAN...........................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..............................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................4
D. Metode Penelitian .......................................................................4
E. Sistematika Penulisan...................................................................6
BAB II
BEBERAPA PENGERTIAN..........................................................8
A. Pengertian Ketentuan....................................................................8
B. Pengertian Mahar...........................................................................9
C.Pengertian Suami meninggal..........................................................9
D.Pengertian Dukhul.........................................................................10
E. Pengertian Kompilasi Hukum Islam............................................11
BAB III
EKSISTENSI MAHAR DALAM PERKAWINAN....................12
A. Mahar Dan Dasa Hukumnya.......................................................12
B. Kedudukan Mahar.......................................................................28
C. Jenis-jenis Mahar........................................................................34
D. Syarat Sahnya Mahar Dan Hikmah Mahar.................................37
BAB IV
MAHAR
SUAMI
YANG
MENINGGAL
QOBLA
AL-
DUKHUL.........................................................................................46
A. Pendapat Para Ulama Secara Umum .........................................46
B. Kompilasi Hukum Islam.............................................................65
Sebelum Ditetapkan Mahar.........................................................68
C. Setelah Ditetapkan Mahar ...........................................................70
D. Dalil-dalil yang Digunakan.........................................................72
E. Analisis Penulis...........................................................................74
BAB V
PENUTUP………………………………………………...………79
A. Kesimpulan……………………………………………………..79
B. Saran-saran...................................................................................80
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................81
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat
atau
miitsaaqan
ghaliidhan
untuk
mentaati
perintah
Allah
dan
melaksanakannya merupakan ibadah.1 Perkawinan merupakan fitrah yang
dianugerahkan pada setiap manusia sejak zaman azali, yaitu ketika diciptakannya
Adam dengan istrinya Hawa. Perkawinan bukan saja dambaan setiap insan, tetapi
merupakan naluri atau tabiat bagi makhluk hidup lainnya. Melalui perkawinan,
Allah SWT mengkaruniakan kepada manusia rasa cinta, kasih dan sayang di antara
suami dan istri.
Ketika membicarakan masalah perkawinan, banyak hal yang harus
diperhatikan antara lain adalah mahar, karena salah satu hubungan hukum yang
timbul dari sebab perkawinan adalah kewajiban calon suami untuk memberi mahar.
Mahar yang diberikan kepada seorang istri merupakan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh seorang suami yang ingin melangsungkan perkawinan. Menurut
hukum perkawinan dalam Islam, suatu perkawinan dapat dilakukan walaupun tanpa
menentukan kadar mahar atau menyebutnya dalam ‘aqad. Hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh Islamiy Wa
1
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, CV. Akademika Pressindo
2007), Cet. Kelima, h.114.
Adillatuhu bahwa dibolehkan ‘aqad nikah dengan tanpa menyebutkan mahar
terlebih dahulu.2
Dengan demikian jelaslah bahwa perkawinan yang berlangsung tanpa
menyebutkan mahar atau menentukan mahar dalam ‘aqad akan menimbulkan
beberapa alternatif yaitu mahar tersebut akan diperlakukan seperti mahar mitsil jika
telah terjadi dukhul (hubungan suami istri) atau mahar tidak diwajibkan bagi suami
kecuali mut’ah (pemberian).
Sebagian fuqaha’ (tidak termasuk Maliki) mengatakan bahwa mahar dalam
perkawinan tidak termasuk dalam rukun dan bukan syarat sahnya ‘aqad nikah
karena menghilangkan mahar dengan sengaja tidak menyebabkan batalnya
perkawinan.3
Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat Imam Malik yang mengatakan
bahwa menghilangkan mahar dengan sengaja jelas dapat merusak perkawinan
karena mahar adalah salah satu rukun dalam rukun-rukun perkawinan dan
merupakan syarat sahnya suatu pernikahan, kecuali mahar yang belum diselesaikan
oleh suami yang meninggal dunia qobla al-dukhul
Selain itu, permasalahan lain yang dapat diteliti dalam persoalan ini adalah
bahwa sebagian fuqaha’ berpendapat mahar dapat digugurkan secara keseluruhan
dari tanggungan suami apabila terlaksananya perkawinan tafwidh yaitu tidak
ditentukan mahar dalam ‘aqad kemudian berlaku perceraian qobla al-dukhul. Akan
2
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Islamiy Wa ‘Adillatuhu, (Beirut-Lebanon: Dar At-Fikr, t.t),
h.255.
3
Yusof Hamid Al-Alim, Maqasid Al-A’mmah Al-Syari’ah Al-Islami, (Khurtum: Dar AlSudaniyah, t.t), h. 427.
tetapi jika terjadi kematian suami dalam keadaan qobla al-dukhul, terjadi perbedaan
pendapat di kalangan fuqaha’. Menurut mazhab Hanafi mahar tersebut akan
dianggap sebagai mahar mitsil.4 Menurut mazhab Maliki terdapat hal yang
demikian, tidak akan dikenakan mahar dan uang mut’ah sedikit pun. 5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan masalah:
Dalam penelitian ini penulis memfokuskan penelitian terhadap konsep mahar
qobla al-dukhul menurut ulama fiqih dan pendapat mazhab Maliki mengenai
eksistensi mahar dan dalil-dalil yang digunakan`.
2. Rumusan masalah:
Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
“Pada dasarnya mahar yang sudah diberikan tidak boleh ditarik kembali,
namun di dalam kitab-kitab fikih, ulama’ beda pendapat tentang apabila suami
meninggal qobla al-dukhul. Ada yang berpendapat mahar mitsil dan ada yang
berpendapat kembalikan semua. Hal ini yang penulis ingin telusuri dalam penulisan
ini”.
Rumusan tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut;
a. Bagaimanakah konsep mahar menurut ulama fikih?
4
Ibnu Rusyd , Biadatul Mujtahid, (Ter. Abdurrahman, Haris Abdullah), (Semarang: CV Asy
Syiea’, 1990), Jilid 2, h. 404.
5
164.
Ibnu Rusyd, Al-Mudawwanah Al-Kubra, (Beirut-Lebanon: Dar Asy-Shadir, t.t,) Jilid 2, h.
b.Bagaimana pendapat ulama mazhab Maliki mengenai eksistensi mahar yang
tidak ditetapkan dalam ‘aqad dan qobla al- dukhul suami meninggal?
c.Dalil apakah yang digunakan oleh mazhab Maliki terhadap mahar yang tidak
ditetapkan dalam ‘aqad dan qobla al- dukhul suami meninggal?
d.Bagaimana persepsi mahar suami yang meninggal qobla al-dukhul menurut
Kompilasi Hukum Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Subjek aktivitas yang ditulis oleh seseorang pasti memiliki tujuan tersendiri,
demikian juga halnya dalam pembahasan judul ini di mana penulis mempunyai
tujuan yang tertentu pula. Berdasarkan uraian terdahulu, maka penelitian ini
bertujuan untuk;
1. Mengetahui konsep mahar menurut ulama Fiqih.
2. Mengetahui pendapat mazhab Maliki tentang mahar yang tidak ditetapkan dalam
‘aqad dan qobla al- dukhul suami meninggal.
3. Mengetahui dalil apakah yang digunakan oleh mazhab Maliki terhadap eksistensi
mahar yang tidak ditetapkan dalam ‘aqad dan qobla al- dukhul suami meninggal.
4. Mengetahui persepsi mahar suami yang meninggal qobla al-dukhul menurut
Kompilasi Hukum Islam.
D. Metode Penelitian
Untuk memperolehi sesuatu hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah,
maka penggunaan metode pengumpulan data yang diperlukan untuk penulisan
tersebut akan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini yang sangat
mempengaruhi sampai tidaknya isi penulisan itu kepada tujuan yang ingin dicapai.
Dengan demikian penggunaan metode pembahasan bagi suatu penulisan merupakan
suatu hal yang menentukan bermutu atau tidaknya dari penulisan yang
bersangkutan.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Penentuan Jenis Data
Dalam kajian ini data yang diteliti adalah data yang berhubung dengan topik
yang dikaji, yaitu Mahar Suami Meninggal Qobla al-Dukhul: (Analisis Terhadap
Perbedaan Mazhab Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia).
2. Sumber Data
a) Data Primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber
pertamanya6. Data ini meliputi kitab-kitab fiqh dan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia,
b) Data Sekunder merupakan data pelengkap yang terdiri daripada majalah, jurnal,
ensiklopedia, kamus dan sebagainya.
3. Pengumpulan Data
Merupakan library research yaitu melakukan penelitian kepustakaan dan
mengumpulkan data seperti kitab-kitab yang muktabar antaranya: Kitab-kitab fiqh
Maliki seperti, Kitab Al-Muwattha’, Al-Mudawwanah Al-Kubra dan kitab-kitab
fiqh lainnya seperti, Fiqh Sunnah, Bidayatul Mujtahid, Al-Mizan Al-Kubra, AlFiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu dan lainnya.
4. Teknik Analisis Data
6
1, h. 39.
Sumadi Suryabrata. Metedologi Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1983), cet.
Yaitu pengumpulan data-data melalui bacaan, penelusuran kitab-kitab dan
lain-lain yang mempunyai kaitan dengan masalah yang akan dibahaskan dan
kemudian dianalisis terhadap masalah yang ada sehingga menjadi suatu karya
tulisan yang rapi dan utuh.
5. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis berpandukan pada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2007.
E. Sistematika Penulisan
Pembahasan skripsi ini terdiri daripada lima bab utama yang akan dibahaskan
berdasarkan variable masing-masing dengan sistematikanya sebagai berikut:
Bab satu Merupakan pendahuluan yang memuatkan latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua pada bab ini, penulis menguraikan tentang pengertian istilah
mengenai ketentuan, mahar, suami meninggal, dukhul dan Kompilasi Hukum Islam.
Bab ketiga pembahasan tentang eksistensi mahar dalam perkawinan yang
berisikan sub bahasan mahar, dasar hukumnya, kedudukan mahar, jenis-jenis
mahar, syarat sahnya mahar dan hikmah mahar.
Bab keempat adalah pembahasan mengenai mahar suami yang meninggal
qobla al-dukhul, dengan sub bahasan, pendapat para ulama secara umum,
Kompilasi Hukum Islam, sebelum dan setelah ditetapkan mahar, dalil-dalil yang
digunakan serta pemahamannya dan analisis penulis.
Bab kelima merupakan penutup dari semua bab yang telah dibahaskan terdiri
dari kesimpulan dan sarana-sarana.
BAB II
PENJELASAN ISTILAH
Untuk menghindari kekeliruan dan kesalahpahaman dalam memahami istilahistilah yang terdapat dalam judul ini, maka perlu dijelaskan pengertian istilah
sebagai berikut:
A.
Pengertian Ketentuan
B.
Pengertian Mahar
C.
Pengertian Suami Meninggal
D.
Pengertian Dukhul
E.
Pengertian Kompilasi Hukum Islam
A. Pengertian Ketentuan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ketentuan diartikan sebagai “sesuatu
yang tentu atau yang telah ditentukan; ketetapan; kepastian; dengan syarat tentu”.7
Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan ketentuan adalah berupa suatu
yang telah dipastikan atau ditentukan atau ditetapkan dengan memenuhi syaratsyarat tertentu.
7
h. 1054.
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta Balai Pustaka, 1976),
B. Pengertian Mahar
Dalam Kamus Munjid, mahar berarti harta yang diberikan kepada seorang
perempuan yang bermanfaat baginya menurut syara’, diberikan kepadanya dengan
segera ataupun memakai tempo (hutang).8 Sedangkan menurut istilah fiqh, mahar
adalah nama harta yang wajib diberikan kepada seorang perempuan pada saat ‘aqad
nikah sebagai imbalan untuk bersenang-senang dengannya. 9
Dengan demikian, mahar yang penulis maksudkan dalam pembahasan skripsi
ini adalah maskawin (mahar) berupa harta pemberian dari mempelai laki-laki
kepada mempalai wanita yang merupakan hak istri dan disebutkan ketika ‘aqad
nikah berlangsung.
C. Pengertian Suami Meninggal
Kalimat “suami meninggal” terdiri dari dua kata yaitu “suami” dan
“meninggal”. Dalam Kamus Bahasa Arab dijelaskan, bahwa pengertian suami
adalah pria yang sudah menjadi pasangan hidup secara dengan seorang wanita.10
Berdasarkan pengertian ini suami adalah seorang yang jenis kelamin laki-laki dan
sudah terjadi ikatan pernikahan secara sah dengan seorang wanita yang
disenanginya.
8
Louis Ma’luf, Kamus Al-Munjid, (Beirut-Lebanon: Maktabah Asy-Sya’qiyah, 1986), h. 77.
9
Abdurrahman Al-Jaziry, Al-Fiqhu ‘Ala Mazahib Al-Arba’ah, (Kairo: At-Tijariyyah, 1996),
Jilid 4, h.94.
10
h.860.
Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah Al-Quran, Kamus Bahasa Arab, (Jakarta: 1973),
Dalam Kamus Hukum, makna suami adalah kepala dalam perkawinan atau
persatuan suami istri atau yang bertanggung jawab dan harus melindungi keluarga
serta isi rumahnya.11
Sedangkan makna meninggal yang diterangkan dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia adalah “berupa meninggal sesuatu, misalnya banyak orang meninggal
kewajiban; meninggalkan sekolah, tidak masuk sekolah; atau meninggal dunia,
berpulang (mati); contohnya; ibunya telah meninggal”.12
Jadi yang dimaksud dengan kalimat suami meninggal dalam penulisan skripsi
ini adalah seorang laki-laki yang sudah mengikat hubungan dengan seorang wanita
melalui ‘aqad nikah yang sah dan ia bertanggungjawab atas seisi keluarga yang
dibinanya, namun kemudian ia meninggal dunia sebelum sempat memenuhi atau
menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang suami.
Karena pada dasarnya laki-laki dipercayakan oleh syariat untuk melindungi
wanita terutama istri dan memberikan nafkah secara lahir dan batin sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya.
D. Pengertian Al-Dukhul
Dalam Kamus Istilah Fikih menyebutkan bahwa dukhul itu adalah masuknya
zakar (kemaluan laki-laki) ke dalam farji (kemaluan perempuan).13 Dengan demikian
dukhul adalah proses terjadinya hubungan suami istri antara kedua belah pihak, (lakilaki dan perempuan) yang sudah diikat oleh suatu ikatan yang resmi yaitu pernikahan.
11
12
J.C.T Simorangkir dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 66.
W.J.S Poerwadarminta, (Op.cit.), h. 1076.
13
M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi’ah, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta:Penerbit Pt
Pustaka Firdaus, 1994),h. 63.
Dari semua penjelasan istilah di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan “Mahar Suami Meninggal Qobla Al-Dukhul ” adalah suatu ketetapan atau
ketentuan yang berisi kewajiban untuk memenuhi sejumlah syarat-syarat berkaitan
dengan persoalan mahar atau pemberian suami kepada wanita yang diperistrinya,
yang belum ditetapkan atau disebutkan jumlahnya ketika ‘akad nikah berlangsung,
namun kemudian suami meninggal sebelum memenuhi kewajibannya.
E. Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari
berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama fiqh yang biasa dipergunakan sebagai
referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke
dalam satu himpunan. Himpunan tersebut inilah yang disebut kompilasi. 14
Materi atau bahan-bahan hukum dimaksudkan telah diolah melalui proses dan
metode tertentu, kemudian dirumuskan dalam bentuk yang serupa dengan peraturan
perundang-undangan (yaitu dalam pasal-pasal tertentu). Bahan ini kemudian
ditetapkan berlakunya melalui sebuah Keputusan Presiden yang untuk selanjutnya
dapat digunakan oleh para Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili
dan memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya sebagai pedoman.
14
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007),
Cet. kelima, h. 14.
BAB III
EKSISTENSI MAHAR DALAM PERKAWINAN
A. Mahar dan Dasar Hukumnya
1. Mahar.
“Kata Mahar berasal dari bahasa Arab yaitu Al-mahr, jamaknya muhur dan
muhurah.”15 Asal katanya ialah
َ‫أََْرُاََْْأة‬
ٌَْ (mahar) sedangkan pemakaian katanya ialah
yang artinya ia memberikan mahar (maskawin) kepada seorang
perempuan.16
Dalam Kamus Al-Munjid dijelaskan bahwa mahar adalah:
َْ‫َ ََُْ َِْرْأَةِ َِ اَْْل ُِْ ِ َرًْ َﻥِْ ُ َُ!"ً أ‬
17
ً"!َ‫ُؤ‬
Artinya : Harta yang diberikan kepada seorang perempuan yang bermanfaat baginya
menurut syara’ yang diberikan padanya segera ataupun tempo (hutang).
Menurut bahasa kata Al-Mahar bermakna Al-Shadaq yang dalam bahasa
Indonesia mempunyai arti maskawin, contohnya dalam kalimat:
15
Ibnu Mandhurn Al-Ifriqy, Lisan Al-Arab, (Mesir: Dar Shadir, 1958), Jilid 5 , h. 184.
16
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta:Hida Karya Agung,1990). h.431.
17
Louis Ma’luf, Kamus Al-munjid, (Beirut-Lebanon: Maktabah Al-Syarqiyah, 1886), h 77.
18
َ‫ْ ََر اَْرْأَة‬.َ-َ‫و‬
Artinya: Seseorang telah memberi maskawin kepada perempuan itu.
Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya “Al-fiqhu ‘ala Mazahib Al-Arba’ah”
memberikan definisi mahar sebagai berikut:
ِ:ََِ ْ7ِ6 ِ‫ِ اﻥِآًح‬.ْ َ ْ7ِ6 ِ‫ُ َِْرْأَة‬5َِ ْ‫ُ اْﻡَلِ ا!ذِي‬1ْ0ِ‫إ‬
ٍَُْ‫ْ وَ=ْءٍ ﺵ‬7َِ َِ ِ‫َِْْع‬0ِ;‫ ا‬19ٍ.ِ0ٍ ‫اَوِْآَح‬
Artinya: Nama harta yang wajib diberikan kepada seorang perempuan pada saat
‘aqad nikah, sebagai imbalan untuk bersenang-senang dengannya, dan
kerana jadinya wathi syubhah atau wathi pada nikah fasad.
Untuk pengertian yang sama digunakan juga kata-kata sinonim (muradif) AlMahar yaitu Al-Shadaq, nihlah, faridhah, ajr, hiba’, ‘uqr, ala’iq, thaul, dan nikah.20
Allah SWT berfirman pada surat an-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi:
(٤-D‫ً…)ﺱرة اﻥﺱ‬:َْFِ‫ُ َﺕِِ! ﻥ‬.َE َDCَ0ِ‫ﺕُْا اﻥ‬Aَ
Artinya: “Berikan maskawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai suatu
pemberian dengan penuh kerelaan”… (An-Nisa’:4).
Firman Allah SWT selanjutnya pada surat An-Nisa’ ayat 24 yang berbunyi:
☺
☺...
!
"#%&' 18
Ibid.
19
Abdurrahman Al-Jaziriy, Al-Fiqh ‘ala Mazahib Al-Arba’ah, (Mesir: Al-Tijiriya, 1996), Jilid
20
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr, t.t),Juz
4, h. 94.
7, h. 251
.
456789:; 23% *0"1 / ()*+,-.
D =?@AB. ☺<
LM IJK / )*+,-.⌧G7H E
( ٢٤:‫ء‬0‫ )ﺱرة اﻝ‬P☺<Q6 O☺<: JN⌧D
Artinya:...Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu21. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa’ 24)
Menurut istilah, para ulama’ berbeda pendapat tentang redaksinya, tetapi
maksud dan tujuannya adalah sama. Golongan Hanafiyah, mendefinisikan mahar
sebagai berikut:
َْ‫ِ َََْ ا‬.ْ َِْ ََِْN ْ7ََ ُ:ََْNْ‫ُ ا‬M ِFَ‫ْﺕ‬0َ ْ‫اََْلُ ا!ذِى‬
22
ً:َ ِْ-َF َِ ِ‫ُوْل‬Oُ.ِْ
Artinya:Harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya ‘aqad atau
dukhul.
Menurut golongan Syafi’iyah mahar, yaitu:
.23‫ٍ َْرًا‬SْRِ ِQَِْْ َْ‫ْءٍ ا‬Pَ َْ‫َ ِآَحٍ ا‬5ََ َ ُ!َِ
Artinya: Sesuatu yang menjadi wajib dengan adanya ‘aqad nikah atau watha’ atau
karena merusakkan kehormatan wanita secara paksa (memperkosa).
Menurut golongan Hanabilah, Mahar adalah:
21
Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah
ditetapkan.
22
Ibid., h. 252.
23
Ibid., h. 252.
ُYَ.َْ َ‫ِ أَوْ ُرِض‬.ْ َْْ‫ْ ا‬Xِ ْX!َ0 ٌD‫ََا‬0 ،ِ‫َح‬Vِّ‫ْ ا‬7ِ ُ‫َِﻥ!ُ اَِْوَض‬
ِ:َُْْ‫ِ ا‬Dْ=َ‫َو‬V ِ‫َح‬Vِّ‫ِْ ا‬Fَ ْXِ ُ[ََِْ‫ْ ا=َرَْْنِ أَْ ا‬XِR‫ِرَا‬
ِ:َ‫ِ اَْآُْه‬Dْ=ََ
24
Artinya: Suatu imbalan dalam nikah baik disebutkan di dalam ‘aqad atau diwajibkan
sesudahnya dengan kerelaan kedua belah pihak atau hakim, atau imbalan
dalam hal-hal yang menyerupai nikah seperti watha’ syubhat dan watha’
yang dipaksakan.
Sedangkan menurut mazhab Malikiyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab
Al-Fiqh Islamiy Wa Adillatuhu, disebutkan bahwa definisi mahar ialah:
َِ ِ‫َِْْع‬0ِ;ْ‫ْ ﻥَ^ِْرِ ا‬7ِ ِ:ََْNِْ ُ‫ِ]َ!ُ َ ََْل‬
25
Artinya: Sesuatu yang diberikan kepada istri sebagai ganti (imbalan) dari istimta’
(bersenang-senang) dengannya.
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa definisi yang dikemukakan
golongan Hanafiah membatasi mahar itu hanya dalam bentuk harta, sementara
definisi yang dikemukakan oleh mazhab-mazhab lain (termasuk di dalamnya mazhab
Maliki) tidak mengadakan pembatasan hanya pada harta saja. Dari sini dapat
dipahami bahwa selain golongan Hanafiyah yang salah satunya Maliki, memasukkan
24
Ibid., h. 253.
25
Ibid., h. 253.
jenis atau bentuk-bentuk lain selain harta dalam pengertian mahar, seperti; jasa atau
manfaat, mengajarkan beberapa ayat Al-Quran dan sebagainya.
Dengan kata lain bahwa mahar itu boleh berupa barang (harta kekayaan) dan
boleh juga berupa jasa atau manfaat. Jika berbentuk barang atau harta, disyaratkan
haruslah barang tersebut berupa sesuatu yang mempunyai nilai atau harga, halal lagi
suci. Sedangkan bila maharnya berbentuk jasa atau manfaat, maka disyaratkan harus
dalam arti yang baik26.
Dari beberapa pengertian mahar yang telah disebutkan baik menurut mazhab
Maliki atau menurut mazhab yang lain, pada dasarnya mahar adalah pemberian wajib
dari setiap calon suami kepada istri yang melalui pemberian mahar itu dapat
menghalalkan terjadinya hubungan suami istri. Jadi, mahar itu benar-benar menjadi
hak penuh bagi istri yang menerimanya, bukan hak bersama dan bukan juga hak
walinya.
Mahar yang diberikan oleh laki-laki (suami) terhadap istri adalah sudah
menjadi hak mutlak bagi istri yang tidak dapat diambil atau dimanfaatkan oleh orang
lain terkecuali berdasarkan keizinan atau kerelaan istri. Sejajar dengan hal ini, Yusuf
Hamid Al-Amin mengatakan dalam kitabnya “Maqashid Al-A’mmah Al-Syari’ah AlIslami ” bahwa:
26
Ibid., h.254.
`‫َق‬F َ‫ِ َهُو‬.ْ-ََْ‫ُ ُ ضِ ا‬Qُْaَ َِْ‫َو‬N ََ ِ:َْ‫!و‬Nِ `‫َق‬F
ِdcَِ ٌQَِ‫ﺙ‬
27
Artinya: Hak istri atas suaminya itu ditetapkan sebab tuntutan ‘aqad dan dia (mahar)
hak yang sabit (tetap) berdasarkan nash.
Pemberian mahar kepada istri adalah kebenaran yang juga dilakukan oleh
umat manusia, di mana kebiasaan ini seolah-olah sudah menjadi kesepakatan umum
yang secara tidak langsung untuk mewajibkannya.
Berdasarkan definisi di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa mahar itu
adalah suatu pemberian yang wajib ditunaikan oleh calon suami kepada calon istri
serta disebut dalam sighat ‘aqad nikah sebagai tanda persetujuan dan kerelaan untuk
hidup bersama sebagai suami istri. Mahar atau maskawin dalam ajaran agama Islam,
sama sekali bukanlah dimaksud sebagai harga, pengganti atau nilai tukar bagi wanita
(calon istri) yang akan dinikahi. Mahar adalah sebagai sebagian dari lambang atau
simbol atau tanda bukti bahwa suami menaruh cinta kasih terhadap wanita calon istri
yang akan dinikahinya. Mahar juga berfungsi sebagai tanda ketulusan niat dari calon
suami untuk membina suatu kehidupan berumah tangga bersama calon istrinya. 28
Mahar yang diberikan pada acara ‘aqad nikah tersebut, dapat juga dinilai
sebagai bukti pendahuluan bahwa setelah hidup berumah tangga nanti, suami akan
senantiasa memenuhi tanggung jawabnya, berupa memberi nafkah bagi istri dan
27
Yusuf Hamid Al-Amin, Maqashid Al-A’mmah Al-Syari’ah Al-Islami, (Sudan: Dar AlSudaniyah, t.t), h. 426.
28
Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas, Nihayah Al-Muhtaj, (Mesir: Mushthafa Al-Baby
Al-Halaby, 1938), Juz 6 h. 238. Dan Lihat Abdurrahman Al-Jaziriy, (op.cit.), h. 108
keturunannya kelak. Hal tersebut ditunjukkan oleh seorang calon suami pada saat
awal pernikahannya, yaitu dengan kerelaan hati memberikan sebagian dari hartanya
kepada seorang (calon) yang akan menjadi istrinya. Demikian pula sebaliknya, calon
istri dengan kesediannya menerima mahar dari calon suami, membuktikan pula
bahwa ia dengan rela hati bersedia untuk menjadi istri dari calon suaminya, atau ia
rela menerima kekuasaan dan kepimpinan suami terhadap dirinya29.
2. Dasar Hukum Mahar
Para ulama telah menyepakati bahwa hukum memberi mahar atau maskawin
itu adalah wajib. Hal ini berdasarkan pada dalil-dalil sebagai berikut:
a. Al-Quran:
Dalam surat An-Nisa’ ayat 4 disebutkan:
"MAST3H
R
""1
^_ J] / Z[7\ V☺WNXEAY
aS7Gb (T '`⌧  456H
‫ )ﺱرة‬ZG,cd ZG8( 9
:6
(٤:‫ء‬0‫اﻝ‬
Artinya: Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan30. kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa’: 4)
Jihat dilalah dari ayat di atas adalah bahwa Allah SWT telah memerintahkan
pada suami-suami untuk membayar mahar pada istrinya. Karena perintah tersebut
29
30
Ibid., h.109.
Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua
pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
tidak disertai dengan qarinah yang menunjukkan kepada hukum sunat atau mubah,
maka ia menghendaki kepada makna wajib. Jadi mahar hukumnya wajib bagi suami
untuk diberikan kepada istrinya, karena tidak ada qarinah yang memalingkan dari
makna wajib kepada makna yang lain.
Dari segi lain, nihlah dalam ayat di atas juga bermakna Al-Faridhah AlWajibah (ketentuan yang wajib). Dengan begitu, makna ayat adalah: “dan berikanlah
kepada wanita (istrimu) mahar sebagai sebuah ketentuan yang wajib”.
Pemberian tersebut juga sebagai tanda eratnya hubungan dan cinta yang
mendalam, di samping jalinan yang seharusnya menaungi rumah tangga yang mereka
bina. Namun demikian, seandainya istri merasa suka atau rela memberikan kepada
suaminya sesuatu dari maharnya tanpa merasa dirugikan dan tanpa unsur paksaan
atau tipuan, maka suami boleh mengambil atau menggunakan pemberian itu dengan
senang hati dan tidak ada dosa bagi suami untuk mengambil serta menerimanya.
Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa Islam sangat memperhatikan dan
menghargai kedudukan seseorang wanita dengan memberikan hak kepadanya, di
antaranya yaitu hak untuk menerima maskawin. Mahar hanya diberikan oleh calon
suami kepada colon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapa saja, meskipun
sangat dekat hubungan dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi
menggunakannya, bahkan oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan
istri sendiri.
Di kalangan masyarakat, telah menjadi suatu tradisi yang dijalankan secara
turun temurun yaitu, bahwa mereka tidak cukup hanya dengan pemberian mahar saja,
tetapi dibarengi pula dengan anekaragam hantaran (hadiah) lainnya, baik berupa
makanan, pakaian, peralatan rumah tangga dan lain-lain sebagai penghargaan dari
calon suami kepada colan istri tercinta yang bakal mendampingi hidupnya31.
Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa’ ayat 20:
fE4g
5e<"#1'
JK"1
hi1j
lN⌧mI
hi1j
XnoE9K
=?@""1
( R18
q[ *⌧ 3#p(N
rb18s[1'
/
78⌧L
‫ )ﺱرة‬33@mt P☺7=K"1 33Wn
(٢٠:‫ء‬0‫اﻝ‬
Artinya: Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain32, sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? (AnNisa’ : 20)
Firman-Nya lagi dalam surat An-Nisa’ ayat 21 :
EN"1
rb18
q[
78⌧D"1
wx
/v9wK 45umu+
/`A`71'
OKWP8T
5um(
l8s1'"1
(١٢ :‫ء‬0‫( )ﺱرة اﻝ‬u8:⌧z
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
(Surat An-Nisa’ : 21)
Dalam ayat di atas disebutkan, bahwa mahar ini wajib diberikan kepada istri
sebagaimana dinyatakan sendiri oleh kata “mahar”. Ia merupakan jalan yang
31
32
Ibid., h. 110.
Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang
baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta
kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
menjadikan istri senang hatinya dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada
dirinya, seperti firman Allah SWT seperti berikut:
v9
l|N
fN-{.H
M *}~+ ☺ MAST3H
M☺"1 wx
/v9 =Xn*+
... 45nH"71' RuK⌧Gb1'
(٣٤:‫ء‬0‫)ﺱرة اﻝ‬
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka... (An-Nisa’: 34).
Kemudian pada ayat 24 surat An-Nisa’ Allah SWT juga berfirman:
s
u€W23AX☺7H"1
€69:
~0K
MAST3H
M
A:WD
R
45um3W☺,1'
I
56H
I}&'"1
/
456789:;
R?4m J1' 45umH‚ "M"#"1
"…4.⌧z ^ƒ3Q7v 56H"71[
☺ ☺ / †ƒQGWAS
23% *0"1 / ()*+,-. !
"#%&'
=?@AB.
☺<
456789:;
)*+,-.⌧G7H E
D O☺<:
JN⌧D
LM
IJK
/
(٢٤ : ‫ء‬0‫ )ﺱرة اﻝ‬P☺<Q6
Artinya:
33
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki33 (Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu, dan dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian34 (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini
Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-
samanya.
34
Ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisa' ayat 23 dan 24.
bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri)
di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu35. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana. (Surat An-Nisa : 24)
Al-istimta’ dalam ayat di atas artinya bersenang-senang dan Al-ita’ mencakup
pengertian memberikan dan mengharuskan. Sedangkan Al-ujur bisa diartikan dengan
mahar36.
Mahar dinamakan dengan ajr (upah), karena ia merupakan upah atau imbalan
dari kesediaan bersenang-senang. Jadi makna yang terkandung dalam ayat ini,
(seperti yang dikemukakan oleh Mujahid dan lain-lain) adalah: Manfaat dan
kesenangan yang diperoleh seorang laki-laki dari seorang wanita (istrinya) ketika
melakukan hubungan suami istri yang disahkan melalui jalur pernikahan dan
memberikannya dalam bentuk mahar.37
Jihad dilalah dari ayat ini sangat jelas, yaitu ketika Allah SWT berfirman:
!ُ‫ُ أُُْرَهُ! َ]ُْه‬:َRِْ‫ َر‬.
Perintah di sini cukup tegas menunjukkan
kepada hukum wajib, sebab tidak ada sama sekali qarinah yang memalingkan kepada
makna lain seperti mubah atau sunat38.
35
Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah
ditetapkan.
36
Abi Abbas, Nihayah Al-Muhtaj, h. 112.
37
Ibid., h. 112.
38
Ibid., h. 113.
Dari ayat tersebut, jelaslah bahwa Allah SWT mengatakan, wanita maupun di
antara wanita-wanita yang dihalalkan bagi kalian (kaum laki-laki) untuk kalian
kawini, maka berikanlah imbalannya, yaitu maskawin yang telah kalian wajibkan
sebagai imbalan dari kenikmatan yang kalian rasakan itu.
Hikmah yang terkandung di dalamnya adalah, bahwa ketika Allah SWT
memberikan kepada kaum laki-laki hak untuk mengatur wanita, hak untuk memimpin
rumah yang mereka tempati, dan hak menggauli istrinya. Sebagai konsekuensinya,
Allah SWT mewajibkan kepada laki-laki untuk memberikan hak istrinya sebagai
bentuk balasan atau penghargaan yang akan menyenangkan dirinya dan menjamin
terwujudkan keadilan antara istri dan suami.
Mahar ditetapkan pada waktu melangsungkan ‘aqad nikah kemudian berada di
dalam kekuasaan orang yang diberi. Telah menjadi adat, bahwa mahar diberikan
seluruhannya atau sebagian besarnya sebelum (dukhul) persetubuhan. Akan tetapi,
mahar itu tidak wajib diberikan seluruhnya, kecuali jika dukhul telah berlangsung.
Bagi siapa yang telah diceraikan sebelum terjadinya dukhul, maka suami hanya
berkewajiban memberikan separuhnya saja, bukan seluruhnya. Sedangkan bila suami
belum memberikan sesuatu sebelum dukhul, maka dia berkewajiban membayar
seluruh mahar sesudahnya.39
Selanjutnya Allah SWT juga menjelaskan, bahwa tidak ada halangan bagi
setiap pasangan suami istri untuk mengurangi jumlah mahar setelah ditentukan
sebelumnya, atau meninggalkan seluruhnya sama sekali, atau menambahkannya
39
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Beirut-Lebanon : Dar Al-Fikr, 1983), Jilid 2, h. 140-141.
dengan syarat keridhaan dari kedua belah pihak, terutama istri. Karena tujuan dari
berlangsungnya suatu pernikahan adalah agar keduanya hidup dalam keadaan saling
meridhai, saling mencintai, saling mengasihi, tenang dan tenteram dalam rumah
tangga.40
Lebih dari itu, Allah SWT pencipta syari’at Maha Bijaksana, tidak
meletakkan bagi kalian kecuali apa-apa yang mengandung kebahagiaan individu dan
ummat, serta menjunjung tinggi urusan-urusan pribadi dan umum. Dengan
kebijaksanaan-Nya, Allah SWT menetapkan syari’at-syari’at bagi para hamba-Nya,
yang di dalamnya berisi kemaslahatan jika mereka berpegang teguh kepada-Nya. Di
antaranya, Allah SWT mewajibkan kepada mereka, ‘aqad nikah untuk memelihara
harta dan keturunan; mewajibkan kepada orang yang ingin menikmati wanita untuk
membayar mahar yang mencukupinya sebagai tanda ia menerima untuk dikuasai dan
dipimpin; serta mengizinkan bagi semua suami istri untuk melakukan yang baik bagi
mereka atas dasar saling meridhai, seperti menggugurkan seluruh atau sebagian
mahar, mengurangi atau menambahnya.41
Mahar itu wajib dibayar suami kepada istrinya. Namun setelah pasti ketentuan
pembayarannya, tidak tertutup kemungkinan bagi pasangan suami istri yang saling
cinta-mencintai, ridha-meridhai menjadi patri mesra dalam sebuah rumah tangga
untuk menghadiahkan kembali mahar itu kepada suaminya, demi kepentingan dan
kesenangan bersama karena harta itu telah menjadi harta istri.42
40
Ibid., h. 142.
41
42
Ibid., h. 143.
Ibid., h. 144.
Hal ini, dapat kita melihat contoh yang diberikan oleh Khadijah selama masa
perkawinannya dengan Nabi Muhammad SAW lima belas tahun sebelum ia menjadi
Rasulullah SAW. Mahar Khadijah dibayar penuh oleh Nabi Muhammad SAW.
Setelah maskawin itu menjadi miliknya dan telah tergabung dengan harta yang lain,
demi cintanya kepada Rasulullah SAW dan untuk membantu perjuangannya, bukan
hanya jiwa dan raganya saja yang diserahkan kepada suaminya, bahkan hartanya pun
turut diserahkan semua. Sehingga pembelanjaan Rasulullah SAW dalam melakukan
penyebaran Islam di zaman perjuangan pertama itu, sebagian besar adalah dari harta
Khadijah. Demikianlah suri teladan yang patut diikuti dari kehidupan perkawinan
Khadijah dengan Rasulullah SAW terutama dari sisi manfaat mahar.
b. Al-Sunnah
Terdapaat banyak hadits Rasulullah SAW sebagai dalil yang menyatakan
bahwa mahar adalah suatu kewajiban yang harus dipikul setiap calon suami yang
akan menikahi calon istrinya. Di antaranya ialah:
َ1!َ0َ ََِْ ُg7!َE ِg‫ُوْلَ ا‬0َ‫"أَ! ر‬، ْ‫ِي‬.َِ‫ِ اْﺱ‬.ََ0 ُْ ٍ‫َْل‬0 َْ
ْ‫ َ ََت‬.َjَ ْXِ‫ وَهَْتُ ﻥَْﺱ‬7h‫ِ إِﻥ‬g َ‫ُْل‬0َ َ :ْQََ-َ ،ٌ‫َُْ إَِْأَة‬Dَ
َِ َjَ ُْ‫َِْْ إِْ َمْ َآ‬hَN، ِg ُُْ0َ‫ َر‬:ٌ‫َ َلَ رَُل‬، ً"ِْ‫=َو‬
!nِ‫ِيْ إ‬.ِْ َ :َ‫ َُ؟ َ َل‬h.َ‫ٍ ُﺹ‬DْXَ ْ‫َ ِن‬jَ.ِْ َْ‫ ه‬:َ‫ َ َل‬.ٌ:ََF
ِْ‫َ إ‬jََ‫ا‬:َِ‫َ!م‬0َ‫ُ ََِْ و‬g 7!َ‫ِ ﺹ‬g ُُْ0َ َ‫ َ َل‬.‫َا‬oَ‫َارِيْ ه‬Nِ‫إ‬
:‫ ل‬.ُ.َِ‫ ﻡَأ‬:َ‫ َ َل‬.ًrَْ ْqََِْ َjََ‫َ اَر‬n َ‫َ و‬Qْ0ََ ََْ‫أَْ=َی‬
ََ َ، ًrَْ‫َ ََمْ َِدْ ﺵ‬qَََْ :ََ .ٍ.ِْ‫َد‬F ْ‫َﺕِﻡً ﻡِن‬t ََْ ْ‫اِْﺕَﻡِس‬
:َ‫ٌ؟ َل‬vَ ِ‫ن‬Aُْ ْ‫َ َِ ا‬jََ ْ‫ هَل‬:َ‫َ!م‬0َ‫ُ ََِْ و‬g 7!َE ِg ُ‫ُوْل‬0َ
ِg ُ‫ُوْل‬0َ‫َ َلَ ر‬، َ‫ََه‬0 ٍ‫ُوَر‬0ِ ،‫َا‬oَ‫ُوْرَةٌ آ‬0َ‫و‬، ‫َا‬oَV ٌ‫ُوْرَة‬0 ،ْ‫ََم‬
″.َِ‫َ ِنَ اْ ُرْا‬jََ َِ ََVََُْN :َ1!َ0َ ََِْ ُg 7!َE
43
( ‫ي‬o‫ار‬Y‫)روا‬
Artinya: Dari Sahl bin Sa’idi, sesungguhnya Rasulullah SAW kedatangan tamu
seorang wanita yang mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku
serahkan diriku kepadamu”. Lalu wanita itu berdiri cukup lama sekali.
Kemudian tampil seorang laki-laki dan berkata: “Ya Rasulullah SAW,
nikahkanlah aku dengannya jika memang engkau tidak ada minat
kepadanya”. Rasulullah SAW lalu bertanya: “Apakah kamu mempunyai
sesuatu yang bisa diberikan sebagai maskawin kepadanya?” Laki-laki itu
menjawab: “Saya tidak mempunyai apa-apa kecuali kain sarung yang
sedang saya pakai ini ”. Nabi berkata lagi: “Jika sarung tersebut engkau
berikan kepadanya, maka engkau akan duduk dengan tidak mengenakan
kain sarung lagi. Karena itu carilah yang lain”. Lalu ia mencari tapi tidak
mendapatkan sesuatu. Nabi bersabda lagi kepadanya: “Carilah, meskipun
hanya sebentuk cincin dari besi”. Lelaki itu pun mencoba mencarinya
namun tidak mendapatkan apa-apa. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi
kepada laki-laki tadi: “Apakah kamu hafal sedikit saja dari ayat-ayat AlQuran”. Lelaki tadi menjawab: “Tentu saja, aku hafal surah ini dan surah
ini”. Ada beberapa surat yang ia sebutkan. Lalu Rasulullah SAW bersabda
kepadanya: “Kalau begitu aku nikahkan kamu dengannya dengan
maskawin surat Al-Quran yang kamu hafal”. (Diriwayatkan oleh AtTirmidzi).
Wajah dilalah dari hadits ini adalah perintah Rasulullah SAW sendiri pada
laki-laki tersebut untuk mencari sesuatu yang dapat dijadikan mahar. Perintah itu
menunjukkan kepada wajib karena Nabi SAW tetap menyuruhnya untuk mencari
sampai beberapa kali, sampai beliau mengatakan: “Meskipun sebentuk cincin dari
besi”.44
43
Abu Isa Muhammad ibn Surah At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Muhammad Jamil AlA’thar), Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr, t.t.), Juz 2, h. 360-361.
Dalam hadits di atas, pertama sekali Nabi SAW menyuruh mencari sesuatu
untuk dijadikan mahar. Kata “sesuatu” pada dasarnya mencakup segala sesuatu yang
baik bernilai atau yang tidak bernilai. Namun ketika Rasulullah SAW mengatakan
“meskipun sebentuk cincin dari besi” dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud
dengan “sesuatu” sebagai mahar dalam hadits di atas adalah sesuatu yang bernilai.
Maka tidak bisa dijadikan mahar benda yang tidak bernilai seperti sebiji padi. 45
Berdasarkan hadits di atas dan juga hadits-hadits yang lain, jelaslah bahwa
mahar adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap calon suami yang
akan menikahi calon istrinya. Oleh karena itu tidak mungkin diadakan persetujuan
(ijma’) untuk meniadakannya. Namun masih perlu dikaji apakah mahar merupakan
salah satu rukun atau syarat sahnya nikah. Jumhur ulama tetap berpendirian bahwa
mahar tidak bisa dikatakan sebagai rukun nikah atau syarat sahnya nikah, tetapi hanya
sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan ‘aqad nikah.
Jelaslah mahar adalah wajib, ia boleh berupa barang (harta kekayaan) dan
boleh juga berupa jasa atau manfaat. Kalau berupa barang, disyaratkan haruslah
barang itu berupa sesuatu yang berupa sesuatu yang mempunyai nilai atau harga,
halal lagi suci. Sedangan kalau berupa jasa atau manfaat haruslah berupa jasa atau
manfaat dalam arti yang baik.46
c. Ijma’
44
Ibid., h. 362.
45
Ibid., h. 362.
46
Ibid., h. 363.
Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mahar itu wajib hukumnya dalam
pernikahan dan mahar juga merupakan bagian dari syarat sahnya nikah, yang harus
dipikul oleh setiap calon suami terhadap calon istrinya.47
B. Kedudukan Mahar
Salah satu dari keistimewaan Islam adalah memperhatikan dan menjunjung
tinggi kedudukan wanita. Penghargaan tersebut berupa memberikan hak kepada kaum
wanita untuk memegang urusannya (menerima mahar). Pada zaman Jahiliyah hak
wanita dihilangkan dan disia-siakan. Sehingga para wali dapat dengan semena-mena
memanfaatkan hartanya dengan tidak memberi kesempatan kepada wanita yang di
bawah perwaliannya itu untuk mengurus atau menggunakan harta miliknya sendiri.
Kemudian datanglah Islam yang membawa rahmat keseluruh alam. 48
Begitu pula untuk kaum wanita, kehadiran Islam menghilangkan belenggu
tradisi tersebut. Wanita diberikan hak untuk memperoleh mahar, sedangkan laki-laki
diwajibkan memberikan mahar, bilamana ia hendak mempersuntingkan seorang
wanita menjadi istrinya. Mahar diberikan langsung kepada wanita yang dimaksudkan,
bukan kepada wali atau ayahnya atau kepada orang yang mempunyai hubungan
terdekat sekalipun. Selain wanita yang bersangkutan, tidak ada yang boleh
mengganggu gugat mahar itu, kecuali atas izin dan kerelaannya sendiri. 49
47
Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas, Op.cit., h. 328.
48
Ibid., h. 329.
49
Ibid., h. 330.
Berdasarkan ijmak, baik dari masa Rasulullah SAW hingga saat ini, masalah
mahar menjadi sesuatu yang penting dalam setiap perkawinan. Bukti dari kepedulian
umat Islam mementingkan kedudukan dan eksistensi (keberadaan) mahar adalah,
bahwa sangat jarang ditemukan adanya adat atau tradisi suatu masyarakat yang
meniadakan atau menghilangkan mahar dalam perlaksanaan perkawinan. Para fuqaha
mengantisipasikan hal tersebut dengan memberikan ancaman hukuman, jika terjadi
suatu usaha untuk menggugurkan hak memberi mahar. Sebagai mana yang dikutip
dalam kitab “Maqashid Al-A’mmah Al-Syari’ah Al-Islami” yang mengatakan:
َ.َْ َِْْ‫َمُ ا‬.َ ِِْ6 َ=ِ‫ِيْ ُر‬o‫آَحِ ا!ﻝ‬h‫ ا‬Xِ ُDَ‫َ اَُْﻡ‬xََ‫ْﺕ‬tِ‫إ‬
50
.ِYِْVِo ِْ‫ُو‬.ِ ِ.ْ-َْ‫ِ ا‬:!FِEْ‫ْ ََِْ ََازُ ا‬1ِِ-َ!‫إِﺕ‬
Artinya: Para ulama telah berbeda pendapat pada pernikahan yang mensyaratkan
tidak ada mahar di dalamnya setelah mereka sepakat atas kebolehan
sahnya ‘aqad dengan tidak menyebutkan mahar.
Dari kutipan di atas, dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan pendapat di
kalangan fuqaha, yaitu adanya membolehkan dan ada yang tidak membolehkan
sesuatu perkawinan yang berlangsung dengan menghilangkan atau meniadakan
mahar dengan sengaja. Sementara itu hukum tidak menyebutkan, bahwa mahar dalam
‘aqad nikah adalah boleh, kebolehan tersebut merupakan ijma’ ulama yang di
dasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 236 sebagai berikut:
7K‡:_ JK 46789:; "(% ~0
@S☺ 45H "MAST3H
… / ()*+,-. XnH RuB-.7G 11'
( ٢٣٦-Y-‫)ا‬
50
Yusuf Hamid Al-Amin, Op.cit., h. 427.
Artinya: “Tidak mengapa bagi kamu (tidak berdosa) jika kamu menceraikan istriistri kamu yang belum kamu gauli atau belum menetap bagi mereka
maharnya…”(Al-Baqarah:236)
Mahar merupakan konsekuensi dan salah satu hukum dari sebagian hukum
yang berhubungan dengan suatu perkawinan yang shahih dan berhubungan sebadan
sesudah terjadinya perkawinan fasid serta hubungan sebadan yang disebabkan
kesamaran (ketidakjelasan). Mahar diwajibkan atas suami untuk diberikan kepada
istri dengan didahului oleh ‘aqad nikah yang sah. Kewajiban itu menjadi semakin
kuat dengan terjadinya hubungan kelamin dengan istri atau bersenang-senang yang
sewajarnya dengannya ataupun karena kematiannya. Baik mahar itu disebutkan
dalam ‘aqad nikah dengan penyebutan yang benar atau tidak disebutkan atau
ditiadakan ataupun disebutkan dengan penyebutan yang tidak benar. Hanya saja, bila
mahar itu disebutkan dalam ‘aqad nikah dengan penyebutan yang benar, maka yang
telah disebutkan itu secara langsung (positif) menjadi hak istri dengan adanya ‘aqad
tersebut. Jika tidak disebutkan, maka digantikan dengan mahar mitsil (persamaan)
yang tetap menjadi hak istri.51
Mahar wajib pula atas suami kepada istrinya dengan terjadinya hubungan
badan suami istri (dukhul), apabila hal itu terjadi setelah ‘aqad nikah yang fasad
(batal, tidak sah) seperti perlaksanaan nikah tanpa dihadiri saksi-saksi atau setelah
terjadinya kesamaran yang diakui keberadaannya, tanpa melalui pernikahan sama
sekali. Sebagaimana seorang laki-laki menemui seorang perempuan di atas tempat
51
Ibid., h. 428.
tidurnya, kemudian ia menyangka perempuan itu istrinya dan lalu berhubungan badan
dengannya. Pada hal ternyata perempuan itu adalah orang lain, bukan istrinya. Tetapi
dalam hal ini, mahar itu menjadi sangat wajib sejak permulaan yaitu karena telah
terjadinya hubungan badan.52
Selanjutnya, bila hubungan sebadan itu dilakukan setelah terjadi kesamaran,
maka yang wajib untuk perempuan itu adalah mahar mitsil secara mutlak. Kemudian
apabila hubungan sebadan itu terjadi sesudah ‘aqad nikah yang fasid, maka jika
mahar disebutkan ketika ‘aqad, wajib bagi perempuan itu menerima haknya dalam
jumlah yang lebih kecil antara mahar mitsil dan mahar musamma (yang disebutkan).
Jika mahar tidak disebutkan, maka wajib bagi laki-laki tersebut untuk memberikan
mahar mitsil kepada wanita itu secara mutlak. 53
Dalil melalui kewajiban mahar atas suami untuk istrinya adalah Al-Quran AlKarim, di antaranya firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 4 (sebagai mana
yang disebutkan dalam pembahasan sub bab terdahulu), juga terdapat di dalam
sunnah Nabi baik Qauliyyah (sabda), Amaliyah (amalan) dan Takririyah (penetapan).
Di antaranya adalah apa yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits
seorang perempuan yang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah SAW, sementara
beliau
tidak
berminat
untuk
menikahinya.
Kemudian
Rasulullah
SAW
mengawinkannya dengan salah seorang yang hadir dalam pertemuan itu disertai izin
dari perempuan tersebut terlebih dahulu. Beliau berkata kepada laki-laki yang
mengawini perempuan itu:
52
Ahmad Al-Hajji Al-Qurdi, “Ahkamul Mar’ati Fi Fiqhil Islamy” Hukum-hukum Wanita
dalam Fiqh Islam, (Terj. Moh. Zuhri. Ahmad Qarib), (Semarang: Dina Utama, 1986), h.33.
53
Ibid., h. 34.
54
...ٍ.ِْ.َF ِْ ًَِt ََْ ْqَِِْ‫… ا‬
Artinya:…Carilah, sekalipun hanya sebuah cincin dari besi…
Hadits lainnya yaitu, sebagaiman yang diriwayatkan oleh Abdul Rahman bin
‘Auf ketika ia ditanya oleh Rasulullah SAW tentang keadaannya, maka ia menjawab:
“Saya telah mengawini seorang perempuan dengan maskawin seberat biji-bijian dari
emas”. Rasulullah SAW bersabda:
55
…ٍ‫ اَوِْمْ وََوْ ِﺵَة‬،َjَ ُg َjَ‫…َر‬
Artinya: ….Semoga Allah SWT memberkatimu, adakanlah walimah walaupun dengan
seekor kambing.…
Rasulullah SAW nikah beberapa kali dan pernikahan itu tidak pernah terlepas
dari mahar.56 Begitu pula ketika beliau mengawinkan empat orang puterinya dan
mensyaratkan mahar untuk mereka. Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan
mahar sangat penting di dalam suatu perkawinan. Mahar merupakan suatu pemberian
dalam perkawinan dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dan khusus
menjadi harta miliknya sendiri.
Islam telah mengangkat derajat kaum wanita, karena mahar itu diberikan
sebagai suatu tanda penghormatan kepadanya. Bahkan andai kata perkawinan itu
54
Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authar, (Terj. Adib Bishriy Musthofa), (Semarang: AsySyifa’, 1994), Jilid 6, h. 613.
55
Ibid., h. 614.
56
Ibid., h. 615.
berakhir dengan perceraian (talak) maka maskawin itu tetap merupakan hak milik
istri dan suami tidak berhak mengambilnya kembali.
C Jenis-Jenis Mahar
Ulama fikih telah sepakat bahwa mahar itu ada dua jenis yaitu mahar
musamma dan mahar mitsil57.
1. Mahar Musamma
Mahar musamma yaitu: mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan
besarnya ketika ‘aqad nikah atau mahar yang dinyatakan kadar atau jumlahnya pada
waktu ‘aqad nikah.58 Ulama fikih sepakat bahwa dalam perlaksanaannya, mahar
musamma harus diberi secara penuh apabila telah bercampur (berhubungan badan)
dan salah satu dari suami istri meninggal dunia. Mahar musamma juga wajib dibayar
secara keseluruhan apabila suami telah bercampur dengan istrinya dan ternyata
nikahnya rusak (fasid) dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram
sendiri atau dikira perawan ternyata telah janda atau hamil dari bekas suami
terdahulu. Tetapi kalau istri diceraikan sebelum bercampur, maka mahar hanya wajib
dibayarkan setengah dari jumlah yang telah disebutkan dalam ‘aqad.59 Dasarnya
adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
J1' ˆ}4mN X☺?7K‡:_ JK"1
i‰ =?B. EN"1 @S☺
57
Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr, 1983) h. 15.
58
Ibid., h. 15.
59
Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor:Kencona, 2003), h. 93.
) ..... B. X3 ()*+,-.
. (٢٣٧Y‫ا ر‬
Artinya: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum bercampur dengan mereka,
padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah
seperdua dari mahar yang telah kaum tentukan itu.... ”(Al-Baqarah:237).
2. Mahar Mitsil
Mahar mitsil ialah mahar yang seharusnya diberikan kepada perempuan atau
diterima oleh perempuan yang sama jumlahnya dengan yang diterima perempuan
lainnya, umurnya, kecantikannya, hartanya, akalnya, agamanya, gadisnya, janda dan
negerinya.60 Dengan kata lain, mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar
jumlahnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan atau mahar yang
diukur (sepadan atau disamakan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga
terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya dengan mengingat status sosial,
kecantikan dan sebagainya.
Bila terjadi hal demikian (mahar itu tidak disebut besar kadarnya pada saat
sebelum atau ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara
perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi, anak perempuan
bude). Apabila tidak ada, maka mahar mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain
yang sederjat dengannya. Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan berikut:61
60
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj. Moh. Thalib), (Bandung: Al-ma’arif, t.t), Jilid , h. 65-
61
Abdur Rahman Ghazaly, (Op.cit.), h. 94.
66.
a. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung ‘aqad
nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri atau meninggal sebelum
bercampur.
b. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur
dengan istri atau meninggal sebelum bercampur.
Wajibnya mahar dalam suatu perkawinan pada umumnya telah diketahui oleh
umat Islam secara menyeluruh, hal ini dipahami di samping adanya nash, karena
adanya praktek ‘aqad nikah yang jelas dan terbuka. Kewajiban memberi mahar
tersebut tidak ada ketentuan ukurannya, karena Islam tidak menetapkan jumlah (besar
atau kecilnya) mahar. Disebabkan adanya perbedaan kondisi (kaya dan miskin),
mudah dan sulitnya rezeki serta tradisi yang membudayakan (dipakai). Oleh karena
itu Islam menyerahkan masalah jumlah mahar berdasarkan kemampuan masingmasing orang.62 Dengan demikian, syari’at Islam tidak menetapkan besar atau
kecilnya jumlah mahar yang harus diberikan oleh calon suami kepada calon istri,
karena di samping untuk menghindari dari kesulitan juga bertujuan untuk mencari
ketulusan yang murni.
D. Syarat Sahnya Mahar Dan Hikmah Mahar
1. Syarat-syarat Sahnya Mahar
Mahar yang diberikan oleh seorang laki-laki (suami) terdapat seorang calon
istri adalah suatu kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan atau dihilangkan, bahkan
62
Sayyid Sabiq, (Terj. Moh. Thalib), (Op. cit)., h.54.
tidak dapat pula kurang dari syarat-syarat yang telah ditentukannya. Para fuqaha
dalam hal ini menetapkan bahwa syarat-syarat mahar tersebut adalah:
a. Benda yang halal dan suci
Suatu benda yang akan dijadikan mahar harus benar-benar terhindar dari
unsur-unsur haram, karena itu mahar harus boleh dimiliki atau diperjual belikan atau
dimanfaatkan. Dalam kitab Al-Fiqhu ‘ala Mazahib Al-Arba’ah disebutkan:
ُ‫َا‬.َEْ‫ ا‬M~ِEَ َ"َ، ِِ ُ‫َِِْع‬nْ‫ ا‬M~ِEَ ٌ‫اَْ َآُوْنَ =َهَِة‬
ََ َ:َِْ َn َDََْْ‫ِ ا‬Yِoَ‫ِ ِَ! ه‬:َ‫ِ وَاَْْﺕ‬1M.‫ِیْرِ وَا‬Nْ‫ِﻥ‬tْ‫َْرِوَ ا‬tِْ‫ﺏ‬
ِ:!َِ"ْ0ِ;ْ‫ِ ا‬:َِْ‫ َ‚ِْا!ر‬7ِ
63
Artinya: Bahwa keadaan suci, sah dimanfaatkan dengannya, maka tidak sah mahar
dengan minuman keras, babi, darah, dan bangkai karena yang demikian
itu tidak ada harganya menurut pendapat syariat Islam.
Tidak dibenarkan benda-benda yang disebutkan di atas seperti minuman
keras, babi, darah dan bangkai sesuai menurut penjelasan Al-Quran surat Al-Maidah
ayat 3, yang berbunyi:
)7<☺7H 56789:; €-{.
.,-3,7Œ 57Œ"1 Š‹M"1
M
…4.H
I}&'
M"1
. (٣‫دة ـ‬r‫ … )ا‬
Artinya: “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi dan sesuatu
(binatang) yang disembelih atas nama selain Allah SWT dengannya….”
(Al-Maidah : 3)
63
Abdur Rahman Al-Jaziriy, (Op. cit.), h. 97.
Dari pengertian ayat di atas dan hubungannya dengan kutipan yang
mengharamkannya mahar dengan benda yang tidak bermanfaat menurut Islam, maka
dapat diambil perhatian bahwa segala benda yang haram untuk dipergunakan atau
dimanfaatkan haram pula dijadikan mahar.
b. Benda yang berharga
Di samping tidak dibolehkannya mahar dengan benda-benda yang telah
diharamkan dalam Islam, mahar juga tidak dibenarkan dengan benda-benda atau
sesuatu yang tidak ada harganya, seumpama sampah, biji buah-buahan, buah-buahan
yang busuk dan lain sebagainya. Hal ini dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhu ‘ala
Mazahib Al-Arba’ah sebagai berikut:
ٍ:ََِ‫َِْ َُ آ‬-َn ْ‫ِي‬o!‫ِیْرِا‬0َِْ M~ِEََ"َ ،َِْ ََُ ًnَ َْ‫ُو‬Vَ َْ‫أ‬
.64 dِ ْ‫ِن‬
Artinya: Mahar adalah sesuatu harta benda yang mempunyai harga, maka tidak sah
mahar dengan harganya murah yang tidak mempunyai harga seperti biji
gandum.
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahawasanya mahar tidak dibenarkan
dengan sesuatu benda yang tidak ada harga atau nilai, meskipun benda tersebut halal.
Karena demikian itu terlalu mempermudah, seharusnya mahar tersebut hendaklah
yang dipandang baik sebagaimana menurut pemahaman yang dapat diambil dari surat
Al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi:
64
Ibid., h. 96.
^ŽNLM
nt,1[‡W,
RuKGb1'
R("
(٢٦٧:‫ )ا ة‬... 1=?4‰AS* €Wm{<_
Artinya: “Hai orang –orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah SWT)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik… ”
(Al-Baqarah:267)
Hal ini juga dapat dilihat pada hadits Nabi SAW:
7ِ!‫ٌ اﻥ‬:َ‫َْﺝ‬N َ:َِ‫َ]ََتْ َﺉ‬0 :َ‫َل‬- ِ‫َْن‬F!‫ِ ِْ َْدِ ار‬:َََ0 7َِ‫َْ أ‬
‫َ؟‬1!َ0َ ِْ‫ِ ََی‬g ُِْ0َ ُ‫َا‬.َE ََ‫ْ آ‬1َV :َ‫َ!م‬0َ ََِْ ُg 7!َE
:Qََ-َ ،ً!َ ً:َ‫ ََرَ أَْ ِی‬7ََْaِ‫َْاِِ ا‬Nَ]ِ‫ٌ ﻝ‬:َ ‫َا‬.َE َ‫ آَن‬:ْ‫ََت‬
ُqَْt َjَِْ ،ٍ:َِ ُْ‫ُ ا‬xْEِ‫ ﻥ‬:ْQََ- ،َn :ْQََ- :َ‫َل‬- ‫؟‬M‫ْرِى َ اَْش‬.ََ‫ا‬
َ‫َ!م‬0َ‫ُ ََیِْ و‬g 7!َE ِg ُِْ0َ ُ‫َا‬.َE ‫َا‬oََ .ٍ1َ‫ِرْه‬. ِ:َ‫ِﺉ‬
65
(‫م‬0 Y‫َْاِِ )روا‬Nَ
Artinya: Dari Abi Salamah bin Abdurrahman berkata: Saya bertanya kepada Aisyah
istri RasulullahSAW, berapa maskawin Rasulullah SAW? Aisyah menjawab:
maskawin kepada istri-istrinya adalah dua belas uqiah dan nash. Aisyah
bertanya: tahukah engkau akan nash itu? Saya menjawab: tidak tahu.
Aisyah berkata: setengah uqiyah, maka yang demikian itu lima ratus
dirham.
Inilah
maskawin
Rasulullah
bagi
istri-istrinya.
(H.R Muslim)
Hadits di atas menunjukkan benda yang berharga seperti mata uang, karena
itu ia (mata uang) dapat dijadikan mahar. Hal seperti ini terdapat dalam masyarakat
sekarang, di mana pihak pengantin pria menyerahkan sejumlah uang kepada pihak
pengantin wanita pada saat ‘aqad nikah sebagai maskawin.
65
Imam Nawawy, Shahih Muslim Bi Syarhi Al-Nawawy, (Mesir: Al-Mathba’ah Al-Misriyah
Wa Maktabuha, 1924), Juz 3, h. 585.
c. Benda yang dimiliki
Di samping mahar tersebut sesuatu (benda) yang halal dan berharga, mahar
juga harus benda yang dimiliki oleh seseorang dan dapat diserah kepada pengantin
perempuan tersebut, dengan demikian mahar tidak boleh seperti burung yang terbang
di udara atau ikan di laut yang belum dimiliki. Hal ini dijelaskan juga dalam kitab AlFiqhu Islamiy Wa Adillatuhu sebagai berikut:
ٌ.َِ ٌِْ َnَ ٌَِ‫ٌ ا‬.َْ ِِْ ُNَُْ َ"َ ،ِ‫َْمَ َِ اْ‡َرَر‬0َ َْ‫أ‬
66
َُُِْ
Artinya: Bahwa benar mahar itu terhindar dari tipuan, maka tidak boleh mahar itu
seorang hamba sahaya yang lari (hamba sahaya tersebut tidak ada di
depan mata) unta yang sesat (unta yang tidak ada di depan mata) atau
sesuatu yang serupa keduanya.
Kutipan di atas menunjukkan tidak sah dijadikan mahar benda yang bukan
miliknya, seperti barang titipan orang kepadanya dan tidak sah juga menjadikan
mahar kalau tidak sanggup menyerahkannya, seperti miliknya yang telah dirampas
orang dan tidak sanggup mengambilnya kembali.
2. Hikmah Mahar
Salah satu dari usaha Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan
wanita, yaitu memberikan hak untuk memegang urusannya, seperti hak untuk
66
Wahbah Az-Zuhaily, (Op.cit.), h. 259.
menerima mahar dan mengurusnya. Suami diwajibkan memberi mahar kepada
istrinya bukan kepada ayahnya.67
Pensyari’atan mahar dalam perkawinan mengandung arti yang sangat dalam,
antara lain: sebagai penghormatan terhadap yang dicintai, mengikat jalinan kasih
sayang kepada istri serta mempererat hubungan antara keduanya, bukan dianggap
pemberian atau ganti rugi.68 Pemberian mahar merupakan salah satu jalan yang dapat
menjadikan istri berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suami terhadap
dirinya.
Pemberian mahar itu kepada istrinya bukanlah harga dari wanita itu, dan
bukan pula sebagai pembelian wanita itu dari orang tuanya, akan tetapi pensyari’atan
mahar tersebut merupakan salah satu syarat yang dapat menghalalkan hubungan
suami istri antara keduanya, yaitu hubungan timbal balik dengan senang hati dan
penuh kasih sayang, dengan meletakkan status kepemimpinan dalam rumah tangga
secara tepat dan bertanggungjawab.69
Dengan adanya kewajiban memberi mahar kepada istri, terentanglah
tanggungjawab yang besar dari suami untuk memberikan nafkah di dalam kehidupan
rumah tangga secara layak. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT:
v9
l|N
fN-{.H
M *}~+ ☺ MAST3H
M☺"1 wx
/v9 =Xn*+
/ 45nH"71' RuK⌧Gb1'
( ٣٤‫ـ‬D0‫)ا‬
67
Ibid., h. 260.
68
Ibid., h. 261.
69
Ibid., h. 262.
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah SWT telah
melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), oleh karena itu laki-lakilah yang menafkahkan hartanya…”.
(An-Nisa’: 34).
Hikmah pensyari’atan mahar dalam perkawinan Islam antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Untuk menghalalkan hubungan antara pria dengan wanita, karena antara
keduanya saling membutuhkan. Kebutuhan tersebut baru dapat terpenuhi
melalui ikatan perkawinan (‘aqad nikah). Mahar itu hanya ada dengan sebab
‘aqad nikah. Adapun pemberian seorang pria kepada seorang wanita di luar
ikatan perkawinan (bukan karena ‘aqad), itu bukanlah dinamakan mahar
sekalipun pemberian itu banyak sekali, dan pemberian seperti itu tidaklah
menghalalkan antara keduanya.Rasulullah SAW pernah bersabda:
ْ‫ َن‬:َ‫َ َل‬1!َ0َ‫ُ ََِْ و‬g 7!َE !7ِ!‫ اَ! اﻥ‬:ِg ِ.َْ ِْ َِِ َْ
ْ.َ َ ‫َِْ ً اَْ َْرًا‬0 ٍ:ََِV َ‫َاقِ إَِْأَةٍ ِلْء‬.َE 7ِ ْ7َ=َْ‫ا‬
70
(.‫او‬.‫ا‬Y‫ْﺕَﺡَ! )وا‬0ِ‫ا‬
Artinya: “Dari Jabir bin Abdillah RA bahwa Nabi SAW bersabda: Barangsiapa
memberi tepung atau kurma kepada wanita sebagai maskawin, maka
70
Abu Daud Sulaiman bin Al-Ays’ats bin Ishaq bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin ‘Amar
bin Imran Al-Sisijstani, Mukhtashar Sunan Abi Daud, (Terj. H. Bey Arifin A. Syinqithy Djamaluddin),
(Semarang: Cv Asy Syifa’, 1992), h. 41.
sesungguhnya ia telah menjadikan wanita itu halal. ” (Diriwayatkan oleh
Abu Daud).
2. Untuk menjadi suatu penghargaan terhadap wanita, dalam arti bukan
pembelian. Karena itu tidak ada tawar-menawar dalam soal mahar. Makanya
dalam hukum agama Islam, setiap suatu yang berharga boleh dijadikan mahar,
walaupun hanya sepasang sandal. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah
hadits.
ََaَ.َFَ:ٍ.َِْ0 ِْ َXْFَ َِa.َF ،ٍ‫ُ ِْ َِر‬.َFُ َ‫َﺙ‬.َF
ُ:ََْ ََ‫َﺙ‬.َF :‫َُْا‬- ،ٍََْ ُْ ُ.َFُ َ ‫ِى‬.َْ ِْ َِْF‫َْدَا‬
ِْ َِِ ُْ ِg ُ.َْ ُ‫َِْت‬0 ََ- ،ِg ِ.َُْ ِْ ِ1ِEَ َْ
7ََ ْQََNَ ٍ‫َاَة‬Nَ ْXَِ ِْ ً‫ أَ اَِْأَة‬:َِِْ‫ٍ َْ أ‬:ََِْ
ِjِ0َْ ْ‫ِ ِن‬QِْRَ‫ أَر‬:َ1َ0َ‫ُ ََِْ و‬g 7َE ِg ُ‫ُوْل‬0َ ََ َ ،ََِْْ
.ُYَNَََ :َ‫ ََل‬،ْ‫ ﻥََم‬:ْ‫وََُكِ ََِْْنِ؟ ََت‬
71
(‫ي‬o‫ اﺕ‬Y‫)را‬
Artinya: Diberikan oleh Muhammad bin Basyar, diberitakan oleh Yahya bin Saad
dan diberitakan oleh Abdurrahman bin Mahdi dan Muhammad bin Ja’afar,
ia berkata: diberitakan oleh Syu’bah dari ‘Ashim bin Ubaidillah, ia
berkata: saya mendengar dari Abdullah bin Amir bin Rabiah dari ayahnya:
bahwasanya seorang perempuan dari Bani Fazarah kawin dengan
maskawinnya sepasang sandal. Rasulullah bertanya kepada perempuan
tersebut: Relakah engkau dengan maskawin sepasang sandal? perempuan
71
269.
Imam At-Iirmidzi, Jami’ Tirmidzi, (Riyadh: Darussalam Lin-Nasyr Wa-Tauzi’, 1999), h.
itu menjawab: Ya. Berkata Rasulullah SAW maka aku membenarkannya.
(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).
3. Untuk menjadi suatu pegangan bagi istri, yang bahwa perkawinan mereka
telah diikat dengan suatu ikatan yang kuat, sehingga suami tidak mudah
mencampakkan istri dengan begitu saja. Firman Allah SWT dalam Al-Quran:
fE4g 5e<"#1' JK"1
hi1j
lN⌧mI
hi1j
XnoE9K
=?@""1
( R18
q[ *⌧ 3#p(N
(٢٠‫۔‬D0‫… ) ا‬78⌧L
Artinya: “Jika kamu ingin menggantikan istrimu dengan istri yang lain sedang
kamu telah memberi kepada salah seorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang
sedikitpun...” (An-Nisa’: 20)
Firman Allah SWT lagi dalam surat An-Nisa’ ayat 21:
EN"1
rb18
q[
78⌧D"1
wx
/v9wK 45umu+
/`A`71'
OKWP8T
5um(
l8s1'"1
(u8:⌧z
( ٢‫ ا‬- D0‫) ا‬
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu
telah bergaul dengan yang lain sebagai suami istri, dan mereka (istrimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (An-Nisa’:21)
Adapun hikmah pensyari’atan mahar menurut penulis adalah sebagai berikut:
1. Sebagai suatu motivasi dan tanggungjawab moral bagi setiap laki-laki yang ingin
melangsungkan perkawinan.
2. Sebagai suatu kebebasan dari larangan hukum yang mutlak kepada yang
membenarkan di dalam pergaulan.
3. Sebagai suatu bukti balasan penyerahan diri terhadap suami dari istri, sehingga
terwujudnya rasa kebersamaan dengan pengertian yang sangat luas.
4. Terjalinnya hubungan dengan kasih sayang yang pantas dikenang oleh kedua
belah pihak.
5. Sebagai penetapan status atau martabat wanita yang sudah dijunjung tinggi.
Dengan demikian, hikmah dari diwajibkan mahar bagi istri atas suami adalah
menunjukkan dan mengangkat tinggi kepentingan hubungan ini.Mahar merupakan
dasar pembanggunan masyarakat yang benar, menciptakannya dan mengajarinya,
selanjutnya diwajibkan mahar atas suami secara khusus, di mana suamilah yang lebih
mampu untuk bekerja dan memberi nafkah. Dalam hal ini terkadang isyarat kepada
apa yang diharuskan atas suami, berupa memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan dan
nafkah. Jadi suami harus sudah merasakan bertanggung jawab sejak awal lagi.
Sebagaimana mahar mengandung suatu penghormatan kepada wanita yang berada di
bawah perlindungannya atau pimpinannya serta taat kepadanya sebagai kepala rumah
tangga.
BAB IV
MAHAR SUAMI MENINGGAL QOBLA AL- DUKHUL
A. Pendapat Para Ulama Secara Umum
Mahar disebutkan dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 4 :
"MAST3H
R
"1"
^_ J] / Z[7\ V☺WNXEAY
aS7Gb (T '`⌧  456H
‫ء‬0‫ )ﺱرة اﻝ‬ZG,cd ZG8( 9
:6
( ٤:
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan72. kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya. (An-Nisa : 4 )
Mahar merupakan pemberian pertama seorang suami kepada istrinya yang
dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan
timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa
perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian mahar itu
suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban materiil
berikutnya.73
Mahar dalam Islam bukan berarti sebagai nilai tukar seorang anak perempuan
kepada suaminya dalam transaksi jual beli. Mahar juga bukan seperti maskawin
72
Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak,
karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
73
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007),
Cet. Kedua, h. 87.
bangsa Eropah kuno, di mana ayah memberikan maskawin yang banyak kepada anak
perempuannya sendiri ketika anak perempuan itu kawin, kemudian maskawin
pemberian ayah perempuan itu dianggap harta yang menjadi milik suami. Hal inilah
yang menjadi sebab seorang pria mengawini wanita di Eropah kuno. Begitu pula yang
dipraktekkan di tengah umat Kristen dan Hindu di daerah Kerala dan beberapa
wilayah lain di India. Pada zaman Arab Jahiliyah, maskawin dianggap sebagai harta
milik bagi wali perempuan. Jumlah maskawin bervariasi sesuai dengan tingkat
pendidikan, profesi, kekayaan, status sosial dan derajat anak laki-laki. 74
Dalam Islam, persoalanan maskawin atau mahar jauh berbeda dengan keadaan
atau tradisi yang berlaku di luar ajaran Islam. Mahar dalam Islam merupakan
pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dalam perkawinan.
Kemudian mahar ini menjadi milik mempelai itu sendiri, bukan milik sesiapa pun
selain dia. Islam telah mengangkat derajat kaum perempuan, karena mahar itu
diberikan sebagai tanda penghormatan kepada kaum hawa.75 Bilamana pernikahan itu
berakhir dengan perceraian, maka perkawinan itu tetap menjadi hak milik istri dan
suami tidak berhak mengambil kembali maharnya kecuali dalam kasus khulu’
(perceraian yang terjadi lantaran permintaan dari pihak istri). Dalam hal istri yang
meminta cerai, hendaknya mengembalikan semua mahar yang telah diberikan
kepadanya. Dengan kata lain, maskawin itu adalah sejumlah uang atau harta benda
lainnya yang dijanjikan suami kepada istrinya karena ikatan pernikahan.
74
A. Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Terj. Zaimudin
dan Rusydi Sulaikan), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 208.
75
12, h. 52.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Terj. Moh. Thalib), Jilid 7, (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), Cet
Semua yang telah dikemukakan di atas adalah mengenai persoalan mahar dan
tradisi yang dilakukan secara umum dalam suatu perkawinan. Ketentuan yang telah
disebutkan itu, ialah dalam hal perberian mahar dari seorang laki-laki kepada calon
istrinya yang telah ditetapkan terlebih dahulu jumlahnya ketika berlangsung ‘aqad
nikah, sehingga kemudian bisa menghalalkan hubungan suami istri bagi kedua
mempelai. Sedangkan dalam hal mahar yang tidak atau belum ditetapkan terlebih
dahulu pada saat ‘aqad nikah berlangsung dan ternyata kemudian suami meninggal
dunia, sementara belum sempat terjadi hubungan suami istri di antara kedua
mempelai, maka dalam Islam terdapat ketentuan tersendiri mengenai hal tersebut.76
Mengenai mahar yang belum ditetapkan dalam perkawinan oleh suami yang
meninggal dunia qobla al-dukhul, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Menurut pendapat para ulama secara umum, di antaranya Imam Abu Hanifah, Imam
Ahmad bin Hanbal, Imam Abi Daud dan fatwa Imam Syafi’i yang paling rajih (kuat)
mengatakan bahwa, bila suami meninggal sementara ia belum sempat melakukan
hubungan suami istri dengan perempuan yang dinikahinya dan suami pun belum
menetapkan jumlah mahar yang harus diberikan kepada calon istrinya ketika ‘aqad
berlangsung, maka istri berhak memperoleh mahar mitsil (mahar yang diberikan
kepada perempuan atau diterima oleh perempuan disamakan dengan perempuan
lainnya, baik dari segi umur, kecantikan, harta, kepribadian, agama, perawan atau
janda dan daerah asalnya ketika ‘aqad nikah berlangsung) dan juga warisan. 77
76
Ibid., h. 53.
77
Ibid., h. 54.
Menurut mereka, bagi istri yang ditinggal mati oleh suami yang belum sempat
bercampur dengannya dan tidak ditetapkan mahar sebelumnya, maka ia berhak
mendapatkan mahar seperti perempuan lain yang dinikahi pada umurnya, dengan
jumlah yang tidak kurang dan tidak lebih. Baginya juga terkena kewajiban
menjalankan iddah (masa menunggu) dan berhak pula menerima warisan. Menurut
mereka pendapat ini sesuai dengan putusan yang dijatuhkan oleh Rasulullah SAW
dalam kasus Barwa’ binti Wasyiq yang dinikahi oleh suaminya, namun kemudian
suami meninggal dunia sebelum sempat menggaulinya sementara mahar belum
ditetapkan sebelum ‘aqad nikah78.
Para ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat, bahwa apabila suami telah
menggauli istrinya atau berkhalwat (berduaan) dengannya atau ditinggal mati oleh
suaminya, maka bagi istri berhak menerima mahar yang disebutkan atau mahar mitsil
sesuai dengan cara yang telah dikemukakan. Setelah itu mahar itu tidak bisa gugur
selain selain dengan ibra’ (pembebasan) yang benar (dalam kasus pernikahan anakanak). Selanjutnya jika suami istri terjadi perceraian qobla dukhul, maka jika
perceraian itu disebabkan oleh suami seperti talak atau suami murtad atau atau
penolakannya untuk masuk agama Islam, sedangkan bila mahar itu adalah mahar
yang telah disebutkan dalam ‘aqad, bagi istri berhak memperoleh sebagian dari
jumlah keseluruhannya.79 Namun begitu, kapan mahar tidak ditetapkan sebelumnya
atau disebutkan secara tidak benar maka istri tidak berhak selain mut’ah.
78
Ibid., h. 65.
79
Ahmad Al-Hajji Al-Kurdi, “Ahkamul Mar’ati Fi Fiqhil Islamy” Hukum-Hukum Wanita
Kemudian apabila penceraian itu terjadi disebabkan oleh istri, seperti ia
murtad, menolak memeluk Islam atau ia memilih dirinya sendiri untuk bebas setelah
ia baligh atau dewasa (hal ini terjadi dalam kasus pernikahan yang dilangsungkan
ketika masih kecil atau anak-anak), maka gugur pula maharnya dan istri tidak berhak
menerima sesuatu pun, baik maharnya disebutkan atau tidak disebutkan atau
ditetapkan terlebih dahulu ketika berlangsung ‘aqad nikah.80
Dalam hal kematian suami qobla al-dukhul karena dibunuh oleh istri, maka
mazhab Syafi’iyah berpendapat, bahwa ia tidak berhak mendapat mahar sebagaimana
bunyi kaedah berikut:
81
َِِْ‫َر‬Fِ َ5ِ ْ‫َْْلَ اَ ََْ أَْ أَُ ُو‬0ِ‫َنْ إ‬
Artinya: Barangsiapa yang menyegerakan sesuatu sebelum masanya maka ia
dihukum dengan terhalangnya sesuatu itu.
Para ulama mazhab Hanafiah dan Hanabilah berpendapat bahwa istri tersebut
berhak akan maharnya secara mutlak. Sebab kematiannya dianggap sama dengan
hubungan sebadan dalam menetapkan mahar bagi istri secara mutlak. Namun jika
istri membunuh suami setelah melakukan hubungan suami istri, maka istri berhak
memperolah mahar secara utuh disebabkan terjadinya hubungan sebadan itu.
Demikian juga sebaliknya, apabila suami membunuh istri sebelum melakukan
hubungan sebadan atau sesudahnya, terhadap istri (meskipun sudah meninggal) tetap
Dalam Fiqh Islam, (Terj. Moh. Zuhri. Ahmad Qarib), (Semarang:Dina Utama, 1986), h. 33.
80
Ibid., h. 66.
81
Ibid.,h. 48.
berhak menerima mahar secara utuh, karena kematian adalah seperti hubungan
sebadan dalam hukum ketetapan mahar82.
Dari persepsi para ulama di atas berhubungan dengan persoalan mahar yang
belum ditetapkan dalam perkawinan oleh suami yang meninggal sebelum dukhul,
dapat dilihat bahwa para ulama tersebut tidak mempersoalkan apakah setelah
berlangsungnya ‘aqad nikah suami telah melakukan hubungan suami istri dengan
mempelai perempuannya atau belum, baik suami masih hidup atau sudah meninggal,
suami tetap harus menunaikan kewajibannya terhadap istri dalam perkawinan yaitu
memberi mahar terhadap pasangannya (istrinya) itu. Mengenai jumlah mahar karena
tidak ditetapkan sebelumnya ketika ‘aqad nikah berlangsung, maka pemberian mahar
kepada istri yang ditinggalkan mati oleh suami tersebut berupa mahar mitsil dan ia
juga berhak mendapatkan bagian harta warisan dari peninggalan suaminya.83
Apa yang telah dilakukan di atas adalah pendapat dari para ulama secara
umumnya. Dalam hal tersebut, tidak semua ulama (termasuk mazhab yang empat)
sepakat dengan pernyataan itu. Kalangan ulama yang berpendapat jauh berbeda
dengan para ulama secara umumnya di dalam hal mahar yang belum ditetapkan oleh
suami yang meninggal dunia qobla al-dukhul yaitu golongan mazhab Maliki beserta
pengikutnya.84
82
Ibid., h. 48.
83
Ibid., h. 49.
84
Ibid., h. 50.
Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 35 Ayat (1) Suami yang
mentalak istrinya qobla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang ditentukan
dalam akad nikah. Ayat (2) Apabila suami meninggal dunia qobla al-dukhul seluruh
mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istri. Ayat (3) Apabila perceraian
terjadi qobla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib
membayar mahar mitsil85. Maka jelaslah menurut Kompilasi Hukum Islam, istri
berhak mendapat seluruh mahar yang telah ditetapakan apabila suami meningal dunia
qobla al-dukhul.
Pada dasarnya, perbedaan pendapat mengenai persoalan tersebut disebabkan
oleh adanya pertentangan antara qiyas dengan hadits. Hadits tersebut sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud ra., yang ketika ditanya masalah itu maka ia
mengatakan:
،ْX‫َ=ًَ َِﻥ‬t َََ‫ وَإِْ آ‬،ِg َ‫َوَاً َِن‬E ََV ِْŒَ ٍ‫اَ ُوْلُ َِْ ِرَأْي‬
ََََْ ،ٍPَPََnَ‫ٍ و‬qَ‫َوَآ‬n َ‫َِﺉ‬0ِ ْ‫َاُ إِْرَأَةٍ ﻡِن‬.َE ََ ‫إِن‬
َ‫ َ َل‬،ْXََِْَ‫َرِ ا‬0َ ِ‫ِلُ اِْن‬-َْ‫َ ﻡ‬1َ-َ ،ُ‫ةُ وَََ اِْرَاث‬.َِْ‫ا‬
Xِ َ1َ0َ‫ِ ََِْ و‬g 7َ‫ِ ﺹ‬g ُِْ0َ َِRَ-ِ َِْ َQْ‫َی‬Rَ-َ ُ.ََْ‫ا‬
.(.‫او‬.‫ او‬Y‫ )را‬.‫ِ وَاِق‬Qْ‫َرْوَعٍ ِﻥ‬
86
85
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo,
2007),Cet 5, h. 121.
86
Abu Daud Sulaiman bin Al-Ays’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin ‘Amar bin Imran
Al-Sisijstani, Sunan Abi Daud, (Beirut-Lebanon: Dar asy-Sya’b), t.t, h. 231.
Artinya: Mengenai masalah ini, aku mengatakan dengan pendapat aku. Jika benar,
maka itu datangnya dari Allah SWT dan jika salah maka itu berasal dari
diriku sendiri, yaitu bahwa istri memperoleh mahar seperti mahar wanita
dari golongan (mahar mitsil) tanpa pengurangan atau berlebihan dan
berlaku atasnya ‘iddah dan memperoleh bagian dari warisan. Lalu
berdirilah Ma’qil bin Yasar Al-Asyja’iy dan berkata, aku bersaksi bahwa
dalam masalah ini engkau benar telah menghukum dengan putusan
Rasulullah SAW terhadap Barwa’ binti Wasyiq. (H.R. Abu Daud).
Segi pertentangan qiyas dengan hadits tersebut, bahwa mahar adalah sebagai
pengganti. Oleh karena mahar itu belum diterima, maka pengganti tersebut tidak
diwajibkan sebab dipersamakan dengan jual beli. Mengenai persoalan ini, Al-Muzani
dari golongan mazhab Syafi’i mengatakan, bahwa apabila hadits Furu’ binti Wasyiq
di atas kedudukan shahih, maka tidak ada perkataan (alasan) lain yang bisa dipegang
dibandingkan dengan hadits87.
Dengan demikian dapat difahami bahwa secara keseluruhan, pendapat para
ulama secara umum dalam masalah mahar yang belum diterapkan dalam perkawinan
oleh suami yang meninggal dunia sebelum terjadinya hubungan suami istri dengan
perempuan yang dinikahinya, maka mahar tersebut harus tetap ditunaikan
pemberiannya oleh pihak keluarga suami yang meninggal dunia itu kepada istri.
Meskipun belum sempat berhubungan badan atau sudah, dan suami masih
hidup atau kemudian meninggal, atas nama berlangsungnya ‘aqad nikah dan ikatan
perkawinan itu telah sah dari sisi hukum, maka mahar terhadap istri tetap harus
diberikan. Jadi istri berhak untuk memperoleh maharnya dan juga berhak untuk
87
Ibnu Rusyd, Bidayat’ul Mujtahid, (Terj. Abdurrahman dan Haris Abdullah), (Semarang:
Asy. Syifa’, 1990), Jilid 2, h. 405.
mendapat bagian warisan dari harta peninggalan suaminya. Para ulama yang
berpendapat seperti ini, mendasarkan penyataan mereka kepada hadits di atas, qiyas
serta ijma’ bersama.88
Para ulama sepakat apabila seorang suami meninggalkan hutang mahar
(maskawin) yang sudah ditetapkan sebelumnya dalam ‘aqad nikah, kemudian mereka
bercerai karena talak, maka istri berhak atas mahar tersebut, meskipun mereka belum
melakukan hubungan sebadan sekalipun. Jumlah mahar yang harus diberikan adalah
separuh dari seluruh mahar yang telah ditetapkan dan itu menjadi harta milik sah istri.
Mereka menetapkan hal tersebut berdasarkan kepada Al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 237.
ˆ}4mN X☺?7K‡:_ JK"1
=?B. EN"1 @S☺ J1'
X3
()*+,-.
i‰
11' luG
, J1' ‘0K B.
9E"8
NLM
R"uG
,
J1'"1
/
’N6T(H
2E7K
/ 6“"7K”:H _\.7N1' RuG
*}+⌧G7H
R•AS3
*0"1
☺
LM
IJK
/
456"(@
(٢٣٧-D‫ )ﺱرة اﻥﺱ‬z….Q J
:☺
Artinya: Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika
isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang
ikatan nikah89, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan
janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya
88
89
Ibid., h. 406.
Ialah suami atau wali. kalau Wali mema'afkan, Maka suami dibebaskan dari membayar
mahar yang seperdua, sedang kalau suami yang mema'afkan, Maka Dia membayar seluruh mahar.
Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. (Surat AlBaqarah:237)
Kemudian para ulama juga sepakat, bahwa bagi perempuan yang jumlah
maharnya belum ditentukan dan belum pernah pula dicampuri, maka baginya hanya
berhak memperoleh mutah90 saja. Kesepakatan ini juga di dasarkan pada Al-Quran
surat Al-Baqarah ayat 236:
7K‡:_ JK 46789:; "(% ~0
@S☺ 45H "MAST3H
/ ()*+,-. XnH RuB-.7G 11'
!–Qb— v9 
9?"1
…˜7KX☺7H
v9"1
r9•#EN
☺
W
r9•#EN
v9 ™K R Q1•c☺7H
(٢٣٦-D‫(ƒ^ )ﺱرة اﻥﺱ‬QSb—
Artinya: Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum
kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah
(pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut
yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang
berbuat kebajikan. (Surat Al-Baqarah:236)
Pada ayat 236 surat Al-Baqarah dinyatakan bahwa suatu pernikahan yang
berlangsung tanpa menyebutkan atau menetapkan terlebih dahulu jumlah maharnya,
maka pernikahan itu hukumnya sah. Dalam pembahasan kitab fiqh, pernikahan yang
90
Lafaz mut’ah dengan dhammah mim, dalam bahasa berarti manfaat. Sedangkan dalam
istilah fuqaha di sini adalah: “Harta yang diserahkan oleh suami kepada istri yang diceraikannya selain
maskawin, untuk menghibur dirinya, dan sebagai ganti dari pedihnya perceraian”. Ahmad Al-Hajjis
Al-Kurdi, Op.cit., h. 50.
demikian disebut dengan nikah tafwidh yaitu suatu pernikahan yang dilaksanakan
tanpa menyebutkan atau menetapkan terlebih dahulu mahar pada waktu ‘aqadnya. 91
Mengenai kebolehan melaksanakan nikah tafwidh, para ulama telah sepakat
bahwa hukumnya jaiz (boleh)92. Hal ini didasarkan kepada ayat tersebut di atas.
Dalam ayat itu diterangkan bahwa, tidak dipandang berdosa apabila suami
mencaraikan istrinya sebelum digauli dan belum pula ditetapkan jumlah mahar
tertentu kepada istrinya tersebut. Karena perceraian pada dasarnya hanya terjadi
setelah adanya pernikahan. Bila seseorang laki-laki melangsungkan pernikahan tanpa
menetapkan terlebih dahulu bahwa mensyaratkan ‘aqad nikahnya tanpa pemberian
mahar sama sekali, golongan Malik dan Ibnu Hazm berpendapat perkawinan itu tidak
sah hukumnya atau bahkan batal nikahnya. 93
Sedangkan syarat di atas sudah jelas menyalahi hukum Allah SWT, oleh
karena itu batal pula hukumnya dan perkawinannya di pandang tidak sah selama
syarat yang menyebabkan hukum batal itu (mengenai mahar) tidak dipenuhi segera.
Meskipun demikian mazhab Hanafi menyatakan boleh hukumnya, karena menurut
mereka mahar tidak termasuk dalam rukun dan syarat sahnya suatu perkawinan. Di
samping itu, dalam ayat tersebut juga dijelaskan, bahwa istri yang ditalak oleh
91
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Islamiy Wa ‘Adillatuhu, Beirut-Lebanon: Dar At-Fikr, t.t,h. 255.
92
Ibid., H. 256.
93
Sayyid Sabiq, Op.cit., h. 64.
suaminya qobla al-dukhul, sementara mahar belum ditetapkan ketika ‘aqad nikah
berlangsung, maka bagi istri hanya berhak memperoleh bagian mut’ah.94
Selanjutnya, mengenai persoalan mahar yang belum ditetapkan oleh suami
ketika ‘aqad nikah berlangsung dan ternyata kemudian suami meninggal dunia
sebelum sempat menggauli istrinya, merupakan suatu masalah yang diperselisihkan
atau terjadi perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha’. Sebagaimana disebutkan
dalam salah satu kitab fiqh yaitu Kifayatul Akhyar yang menyatakan sebagai berikut:
ُ‫ َُْر‬5َِ ْ‫ِ ََل‬DْPَ َ ِ‫َرْض‬6‫َْلَ ا‬- ِ‫َْْن‬N‫ُ ا‬.َ‫َ َوْ َتَ أَﺡ‬
95
.ٌxَ"ِt ِِْ ٌvَ‫ُ ﺵ‬5ََِn َْ‫اِْﺙْلِ ا‬
Artinya: Jika salah seorang suami istri meninggal dunia sebelum menetapkan mahar
dan belum pula berhubungan suami istri (wathi’) maka adalah kewajiban
atasnya mahar mitsil atau tidak wajib sesuatu apapun, dalam hal ini terjadi
perbedaan pendapat.
Dalam masalah ini, mazhab Maliki berpendapat bahwa mahar istri
yang belum ditetapkan terlebih dahulu ketika berlangsungnya ‘aqad nikah
suami yang kemudian meninggal dunia sebelum melakukan dukhul, maka
bagi istri tidak mempunyai hak untuk memperoleh mahar dari suaminya
94
Ibid., h. 65.
95
Imam Taqiyuddin Abi Bakar, Kifayatul Akhyar, Semarang: Dar Al-Ihya, 1989, h. 62.
yang telah meninggal dunia tersebut. Sebagaimana di dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW:
ِ.َْN ُQِْ َُ‫ وَأ‬،ٍَُ ِْ ِg ِ.َُْ َ:َِْ‫ٍ أَ ا‬Sَِ َْ ٍjَِ َْ
ْ‫َل‬Oْ.َ ْ‫َ ََم‬Qََ ٍَُ ِْ ِg ِ.َِْ ِِْ‫ْتَ ا‬Fَ ْQَ‫َﻥ‬V ،ِ5=َtْ‫ِْ ا‬
ِْ ِgُ.َْ َ‫ َ َل‬،ََ ‫َا‬.َ‫ْ أُﻡَ ﺹ‬Qَ‡َ‫ً َْﺕ‬-‫َا‬.َE ََ ْ1ُ0َ ْ1ََ َِ
ْ‫ِآُْ وََم‬0ُْ‫َاٌ َمْ ﻥ‬.َE ََ ََV ََْ، ٌ‫َا‬.َE ََ َqَْ :ٍ‫َُر‬
،ٍ‫ُ ِْ ﺙَِت‬.َْN ْ1َُ‫ َََُوْا َْﻥ‬،َjَِo َ‫ َ]ََتْ أَُ أَْ ﺕَ َْل‬،َْ‫ﻥَظُْﻡ‬
(j Y‫)روا‬.ُ‫ وَََ اِْیْرَاْث‬،ََ َ‫َا‬.َE َn ْ‫ْ أَن‬7َRَ َ
96
Artinya: Bersumber dari Malik dan Nafi, bahwasanya anak dari Abdullah bin Umar
dan anak Zaid Ibn Khattab. Adalah ia menikah dengan anak laki-laki
Abdullah Ibnu Umar, maka ia meninggal dunia dan belum bercampur
dengannya dan tidak pula menyebutkan mahar baginya. Maka menuntutlah
ibunya akan maharnya, maka berkatalah Abdullah ibn Umar, jika adalah
baginya mahar tidaklah menahannya, dan tidak pula menzaliminya. Maka
bersih keraslah ibunya menuntut mahar tersebut. Kemudian disampaikanlah
di antaranya sesama mereka tersebut kepada Zaid bin Tsabit, maka
memutuskanlah ia tidak ada mahar baginya dan baginya hanyalah harta
warisan. ( Diriwayatkan oleh Imam Malik)
Qaul Al-Sahabah atau ijtihad Zaid bin Tsabit pada masalah ini dijadikan
pegangan oleh Imam Malik dalam memperkuat pendapatnya. Terhadap hadits di atas,
Al-Zarqany menjelaskan dalam kitabnya yaitu Syarah Al-Zarqaniy ‘ala AlMuwattha’, bahwa menurut Ali bin Abi Thalib, jumhur sahabat berikut jama’ah
mereka, mahar itu hukumnya menjadi wajib diberikan karena disebabkan kematian
96
Abu ‘Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Al-Harits ibn Ghaiman ibn Khutsail ibn ‘Amr
ibn Al-Harits Al-Ashbahiy Al-Humairi, Al-Muwattha’, juz 2,Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al‘Ilmiyah, t.t., h. 527.
salah satu dari kedua pasangan suami istri, setelah berlangsungnya ‘aqad nikah.
Sedangkan menurut Imam Syafi’i hal tersebut terasa ganjil untuk dilakukan, artinya
kematian salah satu dari pasangan suami istri itu tidak menyebabkan wajibnya
pemberian mahar.97
Pendapat Imam Syafi’i ini kemudian dikuatkan pula oleh Ibnu Arabi serta
yang lainnya, sebagaimana menurut Abu Daud dan Tirmidzi bahwa hadits yang
dipakai sebagai dasar pendapat itu kedudukannya adalah hasan shahih di mana dalam
hadits dari Ma’qil bin Yasar tersebut diceritakan tentang kasus bahwa Barwa’ binti
Qasyiq yang melaksanakan pernikahan tanpa menetapkan mahar terlebih dahulu
kemudian suaminya meninggal sebelum menyentuhnya serta tidak meninggalkan
mahar untuknya. Lalu Rasulullah SAW menetapkan kepadanya bagian warisan dari
harta peninggalan suaminya. Namun, dalam hal ini, Imam Malik menolak pendapat
yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah berbuat yang seperti itu.98
Dengan demikian, bila pendapat Imam Malik sebagaimana disebutkan di atas,
secara tidak langsung bertentangan dengan hadits serupa yang diriwayatkan dari AlQamah sebagai berikut:
َQَ 1ُ‫َََ ٌَُ ﺙ‬Nَ ٍ‫ إِْرَأَة‬7ِ ِg ُ.َْ ْ7َ‫َْ َْ ََِ َلَ ا‬
َِِْ‫ْﺕََُوْا إ‬Oَ َ‫ٌَ َِ َل‬Oَ‫ً ََمْ َآُْ د‬-‫َا‬.َE ََ ُ‫َﻥَْ َْرِض‬
ُ‫ة‬.َِْ‫َﺉَِ وَََ اَِْْرَاثُ َََیَْ ا‬0ِ ِ‫َ َلَ أَرَىْ ََ ِﺙْلَ َْر‬
97
Imam Al-Zarqaniy, Syarah Al-Zarqaniy ‘ala Al-Muwattha’, (Beirut-Lebanon: Dar AlKutub Al-‘Ilmiyah, t.t.), Juz 3, h. 170.
98
Ibid., h. 171.
َ1َ0َ ِْ‫ُ ََی‬g 7َE َ7ِ‫ْ أََ اﻥ‬7ََِْْ‫ِﻥَِن ا‬0 ُْ ُ‫َ ُ ْ ل‬.َََ
‫ﺡ‬FE :0‫ﻡ‬O‫ ا‬Y‫ )روا‬.ْ7َRَ- َ‫ِ َاِ ِﺙْلَ ﻡ‬:َِْ‫ ﺏَْوَعٍ إ‬7ِ6 7َRَ
99
(‫ى‬o‫ارﻡ‬
Artinya: Bersumber dari Al-Qamah, dia berkata: Abdullah pernah datang kepada
seorang wanita yang dinikahi oleh seorang yang kemudian meninggal
dunia, padahal dia belum menentukan mahar kepadanya dan dia belum
sempat menggaulinya. Para ulama telah berselisih pendapat mengenai
masalah itu. Menurut saya, wanita tersebut berhak mendapatkan mahar
seperti mahar yang diterima oleh wanita-wanita lainnya dan dia juga
berhak mendapatkan bagian warisan serta harus beriddah. Kemudian
Ma’qil bin Sannan Al-Asyja’i menguatkan bahwa Rasulullah SAW pernah
memutuskan mengenai kasus Barwa’ binti Wasyiq seperti apa yang
diputuskan olehnya. (HR. Imam yang lima dan dishahihkan oleh Tirmidzi).
Dalam hadits tersebut mengandung keterangan, bahwa seorang wanita
mempunyai hak memperoleh mahar secara penuh dari seorang laki-laki yang
memperistrinya dan belum menunaikan pemberian mahar, meskipun suami belum
menunaikan pemberian mahar, meskipun suami belum pernah menyetubuhi istrinya.
Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Sirin, Ibnu Abu Laila, Imam Abu Hanifah
berikut seluruh sahabatnya yaitu Ishaq dan Imam Ahmad bin Hanbal. 100
Sedangkan pendapat ini diikuti dari Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Imam Malik,
Al-Auzai, Al-Laits, Al-Hadi, Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya
(sebagaimana yang telah diterangkan di atas) serta Al-Qasimm menegaskan bahwa
99
Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar (Terj. Abid Bisri Mustafa dkk), (Semarang: Asy-Syifa’,
1994), Jilid 6, h.616.
100
Ibid,. h. 617.
wanita tersebut hanya berhak menerima warisan saja. Jadi istri tidak berhak
memperoleh mahar yang belum ditunaikan, juga mut’ah. Karena mut’ah itu hanya
diberikan kepad wanita yang ditalak saja, sementara mahar itu diberikan sebagai ganti
menggaulinya, meskipun ia belum sempat disentuh oleh suaminya yang telah
meninggal tersebut.101
Tetapi Ali menyatakan, bahwa dia tidak bisa menerima pendapat seorang
sahabat untuk dijadikan sebagai argumen, apalagi kalau pendapat tersebut sampai
menyalahi Al-Quran dan hadits. Menurutnya, yang disebut dalam Al-Quran bukan
mahar wanita sebelum digauli serta belum dibayarkan, bukan mahar wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya. Karena pada dasarnya ketetapan hukum yang berkaitan
dengan kematian jelas berbeda dengan hukum yang menyangkut talak. Kalimat yang
menyatakan, bahwa wanita itu berhak memperoleh warisan adalah berdasarkan ijma’
ulama. Hal ini disebabkan ia sudah terikat oleh ‘aqad pernikahan yang sah, sehingga
bisa dibenarkan menurut syara’, di mana ia berhak menerima bagian warisan dari
harta suaminya yang telah meninggal.102
Kembali kepada pendapat mazhab Maliki sebagaimana juga terdapat dalam
kata Madawwanah Al-Kubra yang menyatakan:
101
Ibid., h. 618.
102
Ibid., h. 619.
ََ ْ[َِْ ْ1ََ ً‫َجَ إَِْأَة‬Nَ
ً!َُ ‫َ َْ أَن‬Qَْ‫ُ( أََأ‬Qُْ-
)
َِْ‫َاقٌَ ِﺙ‬.َE ََ ُ[ِ‫ٍ وََْر‬jَِ َ.ِْ ٌNِrَ ُ‫َح‬V‫ اَﻥ‬:(َ‫َا ً؟ ) َل‬.َE
َََ ،ٍ‫َا‬.َE 7ََ َ‫ِی‬R‫َْلَ أَْ َﺕَرَا‬- ََ َ= ِْ‫َلَ َِ وَإ‬Oَ. ِْ‫إ‬
ََ ٌ:َْ‫ َ"َ ُﺕ‬،ٍ‫َا‬.َE 7ََ َِR‫ََْ أَْ َﺕَرَا‬- َQَ ِْ‫ُ َإ‬:ََُْْ‫ا‬
103
.ُ‫َاٌ َََ اَﻝَِْْاث‬.َE َnَ
Artinya: (Aku katakan) engkau lihat jika seorang laki-laki menikahi seorang
perempuan dan ia tidak menetapkan mahar baginya, (ia menyatakan) nikah
tersebut boleh menurut Imam Malik dan ditetapkan bagi perempuan
tersebut mahar mitsil, jika ia (suami) meninggal dunia sebelum menetapkan
mahar kepada istrinya, maka istri tidak berhak memperoleh mut’ah dan
mahar, tetapi ia berhak menerima bagian warisan (dari harta suami yang
meninggal tersebut).
Dari keterangan di atas dapat dipahami, bahwa menurut Mazhab Maliki, suatu
pernikahan yang tidak disebutkan atau ditetapkan lebih dahulu jumlah maharnya
dalam ‘aqad nikah, tidak diwajibkan kepada suami untuk memberikan mahar mitsil
kecuali karena terjadinya dukhul antara suami istri tersebut. Sedangkan bila suami
meninggal dunia qobla al-dukhul sekalipun serta belum menentukan mahar ketika
‘aqad nikah dilangsungkan, maka gugurlah kewajiban kepada pihak suami dan
keluarganya (wali) yang meninggal itu untuk membayar mahar kepada istrinya, baik
berupa mahar mitsil ataupun mut’ah, kecuali hanya harta warisan saja yang berhak
diterima istri.104
103
Ibnu Rusyd, Mudawwanah Al-Kubra, Jilid 2, Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah,
t.t, h. 164.
104
Ibid., h. 164.
Hal di atas adalah pendapat Imam Malik dalam satu versi dan dapat dikatakan
sebagai pendapat klasik atau qaul qadim, sebagaimana banyak terdapat dalam kitabkitab fiqh mazhab Maliki. Namun, dalam versi lain mazhab Maliki juga berpendapat
bahwa dalam persoalan istri yang ditinggal mati suaminya belum sempat digauli dan
belum ditetapkan mahar pada waktu ‘aqad nikah, berhak memperolehi mut’ah dan
warisan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh ulama kontemporer yang
mengangkat dan memahami pendapat mazhab Maliki atau bisa juga disebut qaul
jadid (pendapat yang terbaru), sebagaimana yang tertera di bawah ini:
ََ‫ُوْلِ َِ َŒِْ آ‬t.‫َاِ وَ َْلَ ا‬.E‫َ ا‬:َِْ‫َْلَ َﺱ‬- ُ‫َْج‬Nْ‫َ ا‬Qَ‫إِذْ ﻡ‬
:َ‫َاقٌ َََ اْﻡُﺕ‬.َE َqَْ ‫ْ ََُوْا‬7َِNْ‫َو‬nْ‫َ ُُ َا‬FْEَ‫ٍ وَ أ‬jَِ
105
.ُ‫وَاِْْرَاث‬
Artinya: Apabila suami meninggal dunia sebelum menetapkan mahar dan belum
pula berhubungan (dukhul) dengan istrinya, maka Imam Malik beserta
sahabatnya (pengikutnya) dan Al-Auzaiy menetapkan tidak ada mahar
bagi istri kecuali mut’ah dan harta warisan.
Dalam keterangan di atas dapat dipahami dengan jelas, bahwa mazhab Maliki
memang meniadakan kewajiban membayar mahar dalam kasus istri yang ditinggal
mati suami sebelum sempat digauli dan belum ditetapkan maharnya ketika ‘aqad
nikah. Istri hanya berhak memperolah mut’ah dan warisan saja. Mut’ah yang
105
Ibnu Rusyd, Op.cit., hlm. 20.
dimaksudkan di sini ialah pemberian yang tidak dapat disamakan dengan mahar mitsil
dan mahar musamma, bahkan setengan dari mahar pada segi nilainya. Mut’ah itu bisa
berupa pemberian hewan atau makanan atau apapun yang bermanfaat serta tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
106
Dengan catatan, mut’ah tersebut diberikan
oleh pihak suami (walinya) menurut kemampuan yang ada. Oleh karena itu, ukuran
mut’ah ini bisa saja berbeda-beda sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan pihak
suami.107
B. Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur sama sekali mahar dalam
perkawinan; namun Kompilasi Hukum Islam mengatur mahar secara panjang lebar
dalam Pasal-pasal 30, 31, 32 ,33 ,34 ,35 ,36 ,37, 38, yang hamper keseluruhannya
mengadopsi dari kitab fiqh menurut jumhur ulama.Lengkapnya adalah sebagai
berikut108:
Pasal tiga puluh menyebutkan bahwa calon mempelai pria wajib membayar
kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh
kedua belah pihak.
Sebenarnya yang wajib membayar mahar itu bukan calon mempelai laki-laki
karena kewajiban itu baru ada setelah berlangsungnya akad nikah. Demikian pula
106
Sa’diy Abu Jib, Kamus Fiqhiyah, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr, 1987), hlm. 335.
107
Wahbah Zuhaily, Op.cit.,h. 20.
108
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2007), cet. ke-5, edisi pertama, h. 120-121.
yang menerima bukan calon mempelai wanita, tetapi mempelai wanita karena dia
baru berhak menerima mahar setelah adanya akad nikah.
Pasal tiga puluh satu menyebutkan bahwa penentuan mahar berdasarkan asas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Pasal tiga puluh
dua menyebutkan bahwa mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita
dan sejak itu menjadi hak pribadinya.
Pasal tiga puluh tiga menyebutkan bahwa ayat satu: penyerahan mahar
dilakukan dengan tunai; ayat dua: Apabila calon mempelai wanita menyetujui,
penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian.
Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang (calon) mempelai pria.
Pasal tiga puluh empat menyebutkan bahwa ayat satu: Kewajiban penyerahan
mahar bukan merupakan rukun dalam pernikahan; ayat dua: Kelalaian menyebut jenis
dan jumlah mahar pada waktu ‘aqad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan.
Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya
perkawinan.
Pasal tiga puluh lima menyebutkan bahwa ayat satu: Suami yang menalak
istrinya qobla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan
dalam ‘aqad nikah; ayat dua: Apabila suami meninggal dunia qobla al-dukhul seluruh
mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya; ayat tiga: Apabila perceraian
terjadi qobla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib
membayar mahar mitsil.
Pasal tiga puluh enam menyebutkan bahwa apabila mahar hilang sebelum
diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan
jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai
dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal tiga puluh tujuh mengatakan bahwa apabila terjadi selisih pendapat
mengenai selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,
penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal tiga puluh lapan mengatakan bahwa ayat satu: Apabila mahar yang
diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi (calon) mempelai wanita tetap
bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas; ayat dua:
Apabila menolak menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan
mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap
masih belum dibayar.
Jelaslah menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa apabila suami meninggal
qobla al-dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.
C. Sebelum Ditetapkan Mahar
Jika suami meninggal sebelum sempat bersenggama istrinya berhak mendapat
mahar mitsil109 dan warisan.110 Abu Mas’ud, "Menurutku sendiri, jika benar, ia dari
Allah, dan jika salah, ia dari aku sendiri. Perempuan yang ditinggal mati oleh
suaminya dan belum dijimak berhak mendapat mahar seperti perempuan-perempuan
lain. Ia tidak boleh dikurangi dan tidak lebih. Dia wajib beriddah dan berhak
mendapat warisan".111
Imam Malik beserta para pengikutnya dan Auza’i berpendapat bahwa istri
tidak memperoleh maskawin, tetapi ia memperoleh mut’ah dan warisan. Imam
Hanifah pula berpendapat bahwa istri memperoleh maskawin mitsil dan warisan.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ahmad dan Daud. Kedua pendapat ini juga
diriwayatkan dari Imam Syafi’i. Tetapi pendapat yang dipegangi di kalangan
pengikutnya ialah seperti pendapat Imam Malik.112
Silang pendapat ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara qiyas dengan
hadits. Hadits tersebut adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud r.a ketika ditanya tentang
persoalan tersebut, ia menegaskan:
109
Mahar mitsil adalah mahar yang seharusnya yang diberikan kepada perempuan atau
diterima oleh perempuan sama dengan mahar yang biasa diterima oleh perempuan –perempuan
selainnya yang sepadan dengannya, baik dari segi usia, kecantikan, harta, akal, agama, kegadisan,
kejandaan, maupun negerinya, ketika akad nikah dilangsungkan.
453.
110
Saayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007) Cet. 2, h. 48-49.
111
Ibid., h. 49.
112
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Jilid 2, Cet. 3, h. 452-
َ‫َاق‬.َ‫ أَن ﻝََ ﺹ‬،ْ$%َِ ً]َ=َO َ‫ وَإِنْ آَن‬،ِ# ََِ6 ً‫َŒِنْ آَنَ ﺹََاﺏ‬6 ْXِ‫َِْ ﺏَِأْی‬6 ُ‫أَ ُْل‬
ُ<ْ‫ُ ﺏ‬:ِ8ْ َ‫َمَ ﻡ‬8َ ُ‫َاث‬6ْ2ِ‫ةُ وَﻝَ'َ اْﻝ‬4ِ ‫ْ'َ اْﻝ‬2ََ1َ‫ و‬،َ/َ.َ- َ‫َ وَﻝ‬,ْ‫َ&ِ'َ ﻝَ وَآ‬0ِ‫إِﻡَْأَةٍ ﻡِْ ﻥ‬
َ‫ِ وَ>َم‬Lْ2ََ1 ُ# ‫َی‬J ِ# ِ‫ْل‬Iُ‫َءِ رَﺱ‬Eَ8ِ‫ْ'َ ﺏ‬2ِ َFْ2َEَ8َ‫ُ ﻝ‬4َ'ْ-َ‫ أ‬:َ‫َل‬8َ $ِ َAْ-َ@ْ‫یَ>َرِ ا‬
113
V‫ داود‬I‫ وأﺏ‬S>‫ ﻡ‬L‫ﺝ‬6U‫أ‬Q .Oِ-‫ِ وَا‬FْNِ‫ْوَعٍ ﺏ‬6َ‫ِ
ﺏ‬
Artinya : “ `Mengenai masalah ini, aku mengatakan dengan pendapatku. Jika benar,
maka itu dari Allah. Dan jika salah, maka itu dariku sendiri. Yaitu bahwa istri
memperoleh maskawin seperti maskawin wanita dari golongannya (mahar mitsil),
tanpa pengurangan atau berlebihan, dan atasnya beriddah dan memperoleh
warisan.` Lalu berdirilah Ma’qil bin Yasar al-Asyja’i dan berkata, `Aku bersaksi,
bahwa dalam masalah ini engkau benar-benar telah menghukumi dengan keputusan
Rasulullah SAW terhadap Barwa’ binti Wasyiq.`” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Segi pertentangan qiyas dengan hadits itu ialah pemahaman maskawin itu
pengganti. Dan karena maskawin belum diterima, pengganti tersebut tidak diwajibkan
karena diqiyaskan dengan jual beli.114 Menurut Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia
pasal tiga puluh lima ayat tiga bahwa apabila perceraian terjadi qobla al dukhul tetapi
besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.115
D. Setelah Ditetapkan Mahar
113
Ibid., h. 453.
114
Ibid., h. 454.
115
Abdurrahman, Kompilasi hukum Islam Di Indonesia, h. 121.
Jika suami meninggal setelah memberikan ketentuan mahar, segolongan
fuqaha mengatakan bahwa istri memperoleh separuh maskawin. Segolongan lainnya
mengatakan bahwa istri tidak memperoleh sesuatu pun, karena dasar penentuan
maskawin tidak terdapat pada waktu akad nikah dilaksanakan. Pendapat ini
dikemukakan oleh oleh Imam Hanifah dan para pengikutnya.Firman Allah SWT:
J1' ˆ}4mN X☺?7K‡:_ JK"1
i‰ =?B. EN"1 @S☺
‘0K B. X3 ()*+,-.
R"uG
,
11'
luG
,
J1'
2E7K
9E"8
NLM
RuG
J1'"1 / ’N6T(H
R•AS3 *0"1 / 6“"7K”:H _\.7N1'
LM IJK / 456"(@ *}+⌧G7H
: ‫ة‬-‫ اﻝ‬Y‫ﺱر‬Q z….Q J
:☺
☺
V ٢٣٧
Artinya : Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika
isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang
ikatan nikah116, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan
janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. (Surat Al-Baqarah:
237)
Fuqaha berselisih pendapat tentang seorang wanita yang memberikan
maskawinnya kepada suaminya, kemudian ia diceraikan sebelum digauli. 117 Bagi
fuqaha yang berpendapat bahwa separuh maskawin itu terletak pada macam barang
116
Ialah suami atau wali. kalau Wali mema'afkan, Maka suami dibebaskan dari membayar
mahar yang seperdua, sedang kalau suami yang mema'afkan, Maka Dia membayar seluruh mahar.
117
Ibnu Rusyd, h. 459.
maskawin mengatakan bahwa terdapat istri tidak ditagih sesuatu pun, karena suami
telah menerima kembali seluruh maskawin.118
Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa separuh maskawin tersebut
terletak pada tanggungan istri mengatakan bahwa suami berhak menagih kepada
istrinya seperti jika istri memberi hartanya yang lain kepada suami. Dalam hal ini
Imam
Hanafi
mengadakan
pemisahan
antara
penerimaan
dengan
bukan
penerimaan.119
Dia mengatakan bahwa jika istri telah menerima maskawin, maka suami
berhak menagih separuhnya, tetapi jika istri belum menerima maskawin tersebut,
kemudian ia memberikannya kepada suaminya, maka suami tidak memperoleh
sesuatu pun. Jadi, seolah ia mengatakan bahwa hak atas maskawin adalah selama istri
belum menerimanya, maka hal tersebut menjadi tanggungan istri.120
Menurut Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, pasal tiga puluh lima ayat dua
mengatakan apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul seluruh mahar yang
ditetapkan menjadi hak penuh istri.121
E. Dalil-Dalil Yang Digunakan
Terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab mengenai mahar
istri yang belum ditetapkan ketika ‘aqad nikah oleh suami yang kemudian meninggal
118
Ibid., h. 460.
119
Ibid., h. 461.
120
Ibid., h. 462.
121
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 121.
dunia qobla al-dukhul, disebabkan oleh berbagai hal yaitu perbedaan pemahaman dan
penafsiran terhadap persoalan yang ada serta pertentangan antara qias dan asar (qaul
shahabiy)122.
Dalam menetapkan pendapatnya terhadap persoalan tidak berhaknya istri
memperoleh mahar dari suaminya yang belum ditetapkan dalam ‘aqad nikah, dan
kemudian
suami
meninggal
sebelum
menggauli
istrinya,
mazhab
Maliki
menggunakan dalil-dalil yang dapat diterima oleh hukum syara’, di antaranya
adalah:123
1. Qiyas
Dalil qiyas yang digunakan oleh mazhab Maliki, sebagaimana yang
diterangkan seperti berikut:
ْ1َ ََ6 ٌ[َ‫َاقَ ِو‬.E‫َا َُوَ أَ ا‬oَِ ُ‫َِسُ اَُْرَض‬-ْ‫َأَ ا‬
124
.ِSَْْ‫ ا‬7ََ ٌqَِ ُ[َ‫ْ اَِْو‬5Aَ‫َ ِْ[ْ اََُْو[ُ مْ ی‬
Artinya: Adapun qiyas yang dimaksudkan dalam hal ini yaitu mahar tersebut adalah
sebagai ganti (penukar), maka selama benda yang akan diganti tersebut
tidak diambil, tidak pula diwajibkan memberi gantinya sebagaimana
diqiyaskan kepada jual beli.
122
Ibnu Rusyd, Op.cit., hlm. 20.
123
Ibid., h. 21.
124
Ibid., h.21.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa mazhab Maliki menguatkan
pendapatnya dengan mengqiyaskan hal tersebut kepada jual beli. Secara logika, jual
beli itu pada hakikatnya adalah tukar menukar sesuatu atau benda, jika benda atau
sesuatu tersebut tidak diambil oleh pembeli, maka penukarannya pun tidak mesti
diberikan. Begitu pula halnya dengan mahar yang diqiyaskan kepada jual beli,
dimana bila tidak ditentukan terlebih dahulu jumlah mahar ketika ‘aqad nikah
dilangsungkan, maka tidak dapat ditentukan pula berapa pembayarannya. 125
Namun demikian, penqiyasan mahar pada masalah tersebut di atas tidak dapat
diterapkan kepada masalah-masalah lain dalam artian terbatas pada masalah mahar
istri yang belum ditetapkan oleh suami yang meninggal dunia qobla al-dukhul.
Karena mengenai masalah ini tidak dapat dijumpai penjelasan yang qathiy dalam
nash serta berbedanya situasi dan kondisi berikut pemahamannya yang timbul.126
2. Qaul Shahaby
Selain dari qiyas di atas, mazhab maliki dalam menetapkan pendapatnya juga
tidak terlepas kepada dalil-dalil lainnya yaitu qaul shahaby yang di dalamnya
menerangkan tentang pernikahan putri Ubaidullah yang menikah dengan putra
Abdullah Ibnu Umar yang kemudian meninggal dunia sebelum bercampur dengan
istrinya dan tidak pula menyebutkan mahar untuk istrinya pada waktu ‘aqad nikah.
Lalu ibu pada istri tersebut menuntut kepada pihak suami anaknya untuk menunaikan
maharnya, hingga terjadi percekcokan dan pada akhirnya diputuskan oleh Zaid bin
125
Ibid., h. 21.
126
Ibid,. h. 22.
Tsabit, bahwa tidak ada pemberian mahar kepada wanita yang ditinggal mati
suaminya itu. Bagi istri tersebut hanya berhak memperolah warisan dari harta
peninggalan suaminya.127
F. Analisis Penulis
Dari keseluruhan
pendapat
yang
dikemukakan
dalam
uraian-uraian
sebelumnya berkaitan dengan persoalan mahar yang belum disebutkan atau
ditetapkan ketika ‘aqad nikah oleh suami yang meninggal dunia sebelum sempat
melakukan hubungan suami istri dengan wanita yang dipersuntingnya, terdapat
beberapa akibat hukum atau konsekuensi. Namun demikian, tidak dapat dikatakan
bahwa pendapat yang satu lebih baik dibandingkan dengan pendapat yang lainnya.
Begitu pula dengan pendapat mazhab Maliki yang berbeda dengan pendapat
jumhur ulama dalam menetapkan status hukum mahar tersebut. Karena semua
pendapat para ulama mazhab itu disertai dengan dalil-dalil atau alasan-alasan yang
mereka pilih serta digunakan untuk menguatkan masing-masing pendapat mereka.
Tinggal bagaimana saja bagi generasi-generasi berikutnya untuk memilih dan
menetapkan salah satu pendapat tersebut yang dianggap relevan untuk masa sekarang
bila kasus-kasus serupa ini terjadi dalam masyarakat.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bagi jumhur fuqaha’ atau
kebanyakan ulama mazhab, berkaitan dengan persoalan di atas, mahar harus tetapi
diberikan kepada istri yang ditinggal mati suaminya tersebut, mahar yang diberikan
adalah mahar mitsil dan bagi istri juga berhak menerima harta warisan suaminya.
127
Ibid., h. 23.
Mahar tersebut harus tetap ditunaikan meskipun suami belum menggaulinya.
Konsekuensinya atau akibat hukumnya di sini adalah wajibnya pemberian mahar
tersebut secara utuh kepada istri, karena sebab kematian itu disamakan dengan
melakukan hubungan suami istri dan juga karena telah berlangsung ‘aqad nikah yang
sah.128
Sedangkan bagi mazhab Maliki, mahar tersebut menjadi gugur seluruhnya
karena sebab kematian suami dan karena sebab belum digaulinya istri oleh suami
yang meninggal dunia itu.129 Menurut mazhab ini pernikahan yang belum ditetapkan
maharnya itu diqiyaskan dengan jual beli, di mana setelah barang atau sesuatu yang
mau dibeli itu diambil, maka ketika itu pulalah penukaran atau gantinya harus
diberikan. Berkaitan dengan persoalan di atas yaitu sebab mahar tidak ditetapkan dan
sebab istri belum digauli, maka hukum pembayaran mahar tersebut pun ditiadakan. 130
Dalam hal ini konsekuensi hukumnya adalah kewajiban membayar mahar
terhadap istri yang ditinggal mati oleh suaminya itu menjadi gugur dikarenakan
jumlah maharnya belum ditentukan sementara suami meninggal dunia sebelum
menggauli istrinya. Jadi konsekuensi yang harus dipenuhi dalam masalah ini,
menurut mazhab Maliki adalah pihak suami (walinya) hanya harus membayar mut’ah
dan memberikan bagian warisan kepada istri. 131
128
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 140.
129
Ibnu Rusyd, Mudawwanah Al-Kubra, h. 165.
130
Ibid., h. 165.
131
Ibid., h. 166.
Dalam masalah ini mazhab Maliki mendasari pendapatnya pada asar dan qias.
Terhadap masalah ini dapat dilihat dengan jelas bahwa para fuqaha’ tidak ada satupun
yang menggunakan dalil nas Al-Quran, karena tidak ada ayat yang qat’iy
menjelaskannya. Adapun Surat al-Baqarah ayat 236 tidak dapat dijadikan dalil karena
masalahnya sudah berbeda yaitu, mahar istri yang belum ditetapkan oleh suami dalam
‘aqad nikah bercerai qobla al-dukhul.
Dalam pengambilan hukum mazhab Maliki adalah salah satu dari mazhab
yang mempergunakan hadits ahad sebagai hujjah, dan ia menentukan juga keabsahan
hadits tersebut. Sehingga dikatakan bahwa hadits ahad dan asar (perkataan) sahabat
yang sahih meskipun tidak masyhur, tetapi perbuatan penduduk Madinah dan ijma’
ulamanya lebih kuat darinya dan didahulukan dari hadits ahad.132
Dengan cara mengeluarkan hukum seperti ini adalah dasar pengambilan
hukum Imam Malik yang menegaskan bahwa hadits ahad dapat dijadikan dasar
hukum demikian juga dengan qaul sahabah, meskipun tidak masyhur akan tetapi
perbuatan penduduk Madinah dan ijma’ ulamanya lebih kuat daripada hadits ahad
yang dha’if.133
Perbuatan penduduk Madinah tidaklah terlepas dari perkataan dan ijtihad para
sahabat, dengan demikian asar yang telah menetapkan bahwa tidak ada mahar bagi
suami yang meninggal dunia qobla al-dukhul dan maharnya belum ditetapkan yaitu
132
Ibid., h. 167.
133
Ibid., h. 167.
seperti ijtihad Zaid bin Tsabit di atas adalah dasar hukum dari antara dasar hukum
yang dapat diterima dan dijadikan hujjah. Bahkan dikatakan dalam kitab Liwasith Fi
Ushul Fiqh Al-Islam bahwa:
ً:ُ‫َ ﺡ‬qْ‫ٌ َی‬.َِ‫وْلُ إِْﺕ‬Wَ‫ اﻝ‬7َِFE‫وْلَ ا‬W َ‫ أ‬7ِ6 ًRْ‫َ أَی‬xَ"ِOَnَ‫و‬
ِ‫َﺙِیٍْ َِ اَْ>َﺉِل‬V 7ِ ‫ْﺕََُوْا‬Oِ‫َ إ‬:ََ‫ﺡ‬E‫َرَ ِَ ا‬Oَ‫ْ أ‬7َِ‫َﺡ‬E 7ََ
‫ْ هَذَا‬1ِْ‫ْ ِﻥ‬7ِ‫ِ َ ﺕَ]ْﺕ‬Yْ‫ َی‬7ََ ٌ:ُF ْ1ِ‫ِ ه‬.َFَ‫َوْلُ أ‬- َ‫وََوْ آَن‬
134
.ُxَ"ِOْ‫ا‬
Artinya: Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa perkataan sahabat adalah ijtihad
yang tidak dapat dikalahkan oleh sahabat yang lain, karena sahabat
tersebut berbeda pendapat banyak terjadi dalam permasalahan ini. Jika
perkataan seorang mereka menjadi hujjah yang lain niscaya tidak terjadi
perbedaan pendapat ini.
134
Wahbah Al-Zuhaili, Liwasith Fi Ushul Fiqh Al-Islam, (Damesqi: 1979), h. 541.
BAB V
PENUTUP
Dari uraian terdahulu penulis mengambil beberapa kesimpulan dan saransaran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
1. Mahar adalah wajib ada dalam pernikahan bagi mengangkat darjat wanita.
2. Pernikahan menyebutkan mahar (mahar musamma) wajib dipenuhi pada saat
‘aqad nikah atau sampai pada batas waktu yang telah ditentukan, terkecuali
terjadi perceraian sebelum hubungan suami istri, maka kewajiban suami
memberi separoh mahar yang telah ditentukan. Sedangkan mahar yang tidak
disebutkan dalam ‘aqad nikah akan dihitung sebagai mahar mitsil jika suami
telah dukhul dengan istrinya.
3. Menurut mazhab Maliki suami tidak wajib memenuhi mahar yang tidak
ditentukan atau disebutkan yang meninggal qobla al-dukhul. Menurut
pendapat mazhab Maliki tidak wajib karena tidak ada penjelasan qat’i yang
jelas dari Al-Quran dan hadits.
4. Mazhab Maliki menyamakan pernikahan dengan jual beli dan kesamaan
bahwa mahar tidak wajib dibayar karena mahar (harga) tidak ditetapkan dan
benda yang diperjual belikan tidak diambil. Meskipun mahar dalam masalah
ini tidak wajib dipenuhi suami, namun pihak suami wajib mengeluarkan harta
warisan kepada istrinya, karena sebab ‘aqad nikah, maka harta warisan dapat
diterima.
5. Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia suami meninggal dunia qobla
al-dukhul seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.
6. Menurut mazhab Hanafi pula, mahar dari suami yang meninggal dunia qobla
al-dukhul dianggap sebagai mahar mitsil.
B. Saran-Saran
Setelah penulis membuat beberapa kesimpulan pada skripsi ini, maka sesuai
dengan kondisi dan keadaan yang memungkinkan penulis meyampaikan saran-saran
sebagai berikut:
a. Mahar itu harus jelas ketika dalam akad nikah karena peristiwa itu sakral
(ada kaitan dengan Allah) dalam perkawinan.
b. Mahar qobla al- dukhul perlu dimasukkan di dalam kurikulum baik
tsanawiyah maupun aliyah.
c. Penjelasan mengenai mahar qobla al-dukhul perlu disosialisasikan melalui
pidato, khutbah Jumat dan ceramah agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abburrahman, Kompilasi Hukum
Akademika Pressindo, 2007.
Islam
Di
Indonesia,
Jakarta:
CV.
Al-Quran dan Terjemahan, Departemen Agama RI, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab
Suci Al-Quran, 1985.
Abdur Rahman I Doi., Penjelasan lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Terj.
Zaimudin dan Rusydi Sulaikan), Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.
………….., Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1998.
Abdub Bary Al-Munir Al-Qurtuby, Al-Kafi fi Fiqh Ahlil Madinah Al-Maliki, BeirutLebanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, t.t.
Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Bogor: Kencona, t.t.
Abdurrahman Al-Jaziriy, Al-Fiqhu ‘ala Mazahib Al-Arba’ah, Jilid 4,Mesir: AlTijariya 1996.
Abi Muwahib Abdul Wahhab, Al-Mizan Al-Kubra, Juz 1, Beirut-Lebanon: Dar AlFikr, 1978.
Abu Daud Sulaiman bin Al-Ays’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin ‘Amar bin
Imran Al-Sisijstani, Sunnan Abi Daud, Beirut-Lebanon: Dar asy-Sya’b, t.t.
………….., Mukhtashar Sunan Abi Daud, (Terj. H. Bey Arifin. A. Syinqithy
Djamaluddin ) Semarang: Cv Asy Stifa’, 1992.
Abu ‘Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Anas ibn Al-Harits ibn Ghaiman ibn
Khutsail ibn ‘Amar ibn Al-Harits Al-Ashbahiy Al-Humairi, Al-Muwattha’,
Juz. 2, Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, t.t.
Abu Isa Muhammad ibn Surah At-Tirmidzi, Sunan Al-Turmidzi, (Muhammad Jamil
Al-A’thar), Juz. 2, Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr, t.t.
Ahmad Al-Hajji al-Kurdi, “Ahkamul Mar’ati Fi Fiqhil Islamy” Hukum-Hukum
wanita Dalam Fiqh Islam, (Terj. Moh. Zuhri Ahmad Qarib), Semarang: Dina
Utama, 1986.
Ahmad Al-Syurbasi, Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab, Jakarta: Bumi
Askara, 1991.
Hasan Kamil Al-Multhawy, Fiqh Al-Muamalat ‘ala Mazahib Al-Imam Malik, BeirutLebanon: Dar Al-Fikr, 1970.
Ibnu Mandhur Al-Ifriqy, Lisan Al-Arab, Jilid 5, Mesir: Dar Shadir, 1958.
Rusyd, Ibnu. Bidayatu’l Mujtahid, Jilid 2, Terj. Abdurrahman dan Haris Abdullah,
Semarang: Asy. Syifa’, 1990.
..............., Bidayatu’l Mujtahid, Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr, 1983.
...............,Mudawwanah Al-Kubra, Jilid 2, Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al‘Ilmiyah, t.t.
Imam Al-Zarqany, Syarah Al-Zarqany ‘ala Al-Muwattha’, Juz.3, Mesir: AlMathba’ah al-Misriyah Wa Maktabuha, 1924.
Imam Taqiyuddin Abi Bakar, Kifayatul Akhyar, Semarang: Dar Al-Ihya, 1989.
Imam At-Tirmidzi, Jami’ Tirmidzi, Riyadh: Darussalam Lin-Nasyr Wa-Tauzi’, 1999.
J.C.T Simorangkir dkk., Kamus Hukum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Louis Ma’luf, Kamus Al-Munjid, Beirut-Labanon: Maktabah Al-Syarqiyah, 1886.
Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi’ah, Kamus Istilah Fikih, Jakarta:
Penerbit Pt Pustaka Firdaus, 1994.
Mahmoud Syaltot, Islam Aqidah dan Syari’ah, Jakarta: Pustaka Amani, 1986.
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1990.
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Mazahib Al-Fiqhiyyah, Mesir: Al-Mudna, t.t.
Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama,
1991.
Sa’diy Abu Jib, Kamus Fiqhiyah, Beirut-Labanon : Dar Al-Fikr, 1987.
Said Muhammad Musa, Al-Ijtihad, Mesir: Dar Al-Kutub Al-Hadditshah, t.t.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnah, Jilid 2, Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr, 1983.
………….., Fiqh Sunnah, (Terj. Moh. Thalib), Jilid 7, Bandung: Al-Ma’arif, t.t.
Syamsuddin Muhammad bin bi Abbas, Nihayah Al-Muhtaj, Juz. 6, Mesir: Mushthafa
Al Baby Al-Halaby, 1938.
Wahbah Al-Juhaily, Liwasith Fi Ushul Fiqh Al-Islam, Damesqi: 1979.
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Islamiy Wa Adillatuhu, Juz 7, Beirut-Lebanon: Dar AlFikr,t.t.
Yayasan Penyelenggaraan Penterjemahan
Jakarta:1973.
Al-Quran,
Kamus
Bahasa
Arab,
Yusuf Hamid Al-Amin, Maqashid Al-A’mmah Al-Syari’ah Al-Islami, Sudan: Dar AlSudaniyah, t.t.
Download