BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Teori tentang Budaya Organisasi 2.1.1. Pengertian Budaya Organisasi Menurut Schein dalam Munir (2007:23) menyatakan bahwa : “budaya organisasi adalah pola dari suatu asumsi-asumsi dasar yang dipelajari oleh kelompok atau organisasi selama proses pemecahan persoalan dan pengambilan keputusan dalam rangka melakukan adaptasi dengan lingkungan eksternal dan melakukan integrasi internal, yang selama ini telah terbukti efektif sehingga dirasa perlu untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara pandang, berpikir, merasa, dan bertindak yang benar.” Robbins (2002:63) menyatakan bahwa : “budaya organisasi (organization culture) sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain”. Lebih lanjut, Robbins (2002:65) menyatakan bahwa : “sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi (“a system of shared meaning held by members that distinguishes the organization form other organization. This system of shared meaning is, on closer examination, a set of key characteristics that the organization values”). Susanto (2007:58) menyatakan bahwa : “budaya organisasi adalah sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak dan berperilaku”. Universitas Sumatera Utara Luthans (2003:15) menyatakan bahwa ; “budaya organisasi merupakam norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku organisasi”. Agar dapat diterima oleh lingkungannya, maka setiap anggota organisasi akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku pada organisasi tersebut. Jadi budaya organisasi berhubungan dengan lingkungan yang merupakan gabungan dari asumsi, perilaku, cerita, ide dan pemahaman penting untuk menentukan bagaimana seharusnya bekerja dalam suatu organisasi. Muijen (1997:23) menyatakan bahwa : ”budaya perusahaan dapat digambarkan sebagai kumpulan dari nilai, norma, ungkapan, dan perilaku yang ikut menentukan bagimana orang-orang dalam perusahaan saling berhubungan.” Hofstede (1994:98) mengemukakan : “ bahwa pada tingkat organisasi, budaya merupakan serangkaian asumsi, keyakinan, dan nilai-nilai dan persepsi dari anggota organisasi yang mempengaruhi dan membentuk sikap dan perilaku kelompok yang bersangkutan”. 2.1.2. Proses Terbentuknya Budaya Organisasi Budaya bisa dilihat sebagai “fenomena” yang mengelilingi kehidupan orang banyak dari hari ke hari, bisa direkayasa dan dibentuk. Jika budaya dikecilkan ruang lingkupnya ke tingkat organisasi atau bahkan ke kelompok yang lebih kecil, akan dapat terlihat bagaimana budaya terbentuk, ditanamkan, berkembang, dan akhirnya direkayasa, diatur dan diubah. Universitas Sumatera Utara Budaya diturunkan dari filsafat pendirinya. Selanjutnya budaya itu akan mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan pegawai. Tindakan dari manajemen puncak menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima baik dan yang tidak. Bagaimana bisa disosialisasikan akan tergantung pada tingkat sukses yang dicapai dalam mencocokkan nilai-nilai pegawai baru dengan nilai-nilai organisasi. Perusahaan-perusahaan dari mancanegara seperti Citicorp, General Electric, Nokia, Toyota, Samsung, Temasek Holdings, Petronas dan lain-lain yang sekarang menguasai pasar diakui sangat kuat dalam menerapkan budaya perusahaan. Berbasis pengalaman ini dan aneka tuntutan tersebut maka kesadaran bagi perusahaan untuk memperkuat budayanya menjadi tak terbantahkan. Agung (2007:52) merinci ada tiga macam proses terbentuknya budaya perusahaan. Proses pertama adalah budaya memang diciptakan oleh pendirinya. Contohnya Walt Disney dengan Disneyland dan Disney Corporation, Akio Morita bersama Sony, Soedarpo Sastrosatomo melalui Universitas Sumatera Utara Samudera Indonesia, dan Boenyamin Setiawan lewat Kalbe Group. Proses kedua, budaya terbentuk sebagai upaya menjawab tantangan dan peluang dari lingkungan internal dan eksternalnya. Perusahaan yang mempraktikkan cara ini adalah Coca Cola, Astra International, Bank BNI, dan Indosat. Proses ketiga adalah budaya diciptakan oleh tim manajemen sebagai cara untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara sistematis. Contoh paling populer adalah ketika Jack Welch didaulat menjadi CEO General Electric kemudian bersama tim manajemen menyusun budaya perusahaan yang baru. Perusahaan lokal yang mempraktikkan cara ini adalah Bank NISP, Adira Finance dan Wijaya Karya. Kotter dan Heskett dalam Soetjipto (2007:74) berdasarkan penelitian yang dilakukan selama sebelas tahun menghasilkan kesimpulan bahwa budaya sangat mempengaruhi kinerja jangka panjang organisasi (perusahaan), yakni menghasilkan peningkatan pendapatan dan pendapatan bersih yang jauh lebih besar (682% versus 166% dan 756% versus 1%). Semakin kuat (strong) budaya, semakin besar pengaruhnya. Kekuatan budaya organisasi dapat dilihat dari tiga faktor berikut ini : 1. Stabilitas. Budaya organisasi yang kuat mampu membuat organisasi tak terombang-ambing keadaan, baik internal maupun eksternal, karena budaya yang kuat mampu memberikan identitas pada (orang-orang di dalam) organisasi. 2. Kedalaman. Budaya organisasi yang kuat mampu menjelma menjadi nilai yang dianut oleh para individu di dalam organisasi. Nilai ini secara tidak disadari mengatur perilaku kerja mereka. Universitas Sumatera Utara 3. Cakupan. Budaya organisasi yang kuat mampu menjangkau sebanyak mungkin individu dan aspek pekerjaan. Semakin banyak individu menganut budaya dimaksud dan semakin banyak aspek pekerjaan yang mengacu padanya, semakin kuat budaya tersebut. 2.1.3. Tingkatan Budaya Organisasi Menurut Daft (2002:63), terdapat tiga tingkatan budaya, yaitu : 1. Artifak (artifact), adalah budaya organisasi tingkatan pertama, yaitu hal-hal yang dilihat, didengar dan dirasa ketika seseorang berhubungan dengan suatu kelompok baru. Artifak bersifat kasat mata (visible), misalnya lingkungan fisik organisasi, cara berperilaku, cara berpakaian, dan lain-lain. Karena antara organisasi yang satu dengan organisasi lainnya artifaknya berbeda-beda, maka anggota baru dalam suatu organisasi perlu belajar dan memberikan perhatian terhadap budaya organisasi tersebut. 2. Nilai (espoused values), merupakan alasan yang diberikan oleh sebuah organisasi untuk mendukung caranya melakukan sesuatu. Ini adalah budaya organisasi tingkat kedua yang mempunyai tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artifak. Pada tingkat ini, baik organisasi maupun anggota organisasi memerlukan tuntunan strategi, tujuan dan filosofi dari pemimpin organisasi untuk bersikap dan bertindak. Oleh karena itu, untuk memahami expoused values ini, seringkali dilakukan wawancara dengan anggota kunci organisasi misalnya, atau menganalisa kandungan artifak seperti dokumen. Universitas Sumatera Utara 3. Asumsi dasar (basic assumption) merupakan bagian penting dari budaya organisasi. Asumsi ini merupakan reaksi yang dipelajari yang bermula dari nilainilai yang didukung karena merupakan keyakinan yang dianggap sudah ada oleh anggota suatu organisasi seperti kepercayaan, persepsi, ataupun perasaan yang menjadi sumber nilai dan tindakan. Budaya organisasi tingkat ketiga ini menetapkan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dalam sebuah organisasi, yang seringkali dilakukan lewat asumsi yang tidak diucapkan. Suatu kesimpulan penting yang bisa ditarik dari sejumlah penelitian adalah bahwa cara mengelola manusia, tidak bisa dilepaskan dari lingkungan budaya dimana mereka bekerja dan tinggal. Model gunung es (the iceberg model) dari Mc Bain dan Rees (2003:56) menjelaskan hubungan antara perilaku, sistem manejemen dan landasan budaya. Model ini mengindikasikan hubungan antara struktur atas (superstructure) budaya bisnis dengan struktur dasarnya (bedrock) yang digambarkan sebagai berikut : Perilaku ‘Apa yang Anda lihat’ Stereotip budaya Sejarah ’saat ini’ Sistem dan Operasi Bagaimana bisnis ditata Filsafat/ gaya manajemen kontemporer Dasar Budaya Keyakinan dan nilai-nilai, Kerangka sosial ekonomi, Budaya Intern Organisasi Sumber : David Rees dan Richard Mc Bain (2003) Gambar 2.2 Hubungan antara perilaku, sistem manajemen, dan landasan budaya Universitas Sumatera Utara 2.1.4. Fungsi dan Manfaat Budaya Organisasi Budaya organisasi memiliki beberapa fungsi dalam organisasi yaitu (1) memberi batasan untuk mendefinisikan peran, sehingga memperlihatkan perbedaan yang jelas antar organisasi; (2) memberikan pengertian identitas terhadap anggota organisasi; (3) memudahkan munculnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar dibanding minat anggota organisasi secara perorangan; (4) menunjukkan stabilitas sistem sosial; (5) memberikan pengertian dan mekanisme pengendalian yang dapat dijadikan pedoman untuk membentuk sikap serta perilaku para anggota organisasi; (6) membantu para anggota organisasi mengatasi ketidakpastian, karena pada akhirnya budaya organisasi berperan untuk membentuk pola pikir dan perilaku anggota organisasi (Robbins, 2002). Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh kedua belah pihak, baik organisasi maupun para anggotanya, manakala suatu organisasi menerapkan budaya organisasi, dalam pengertian memberi perhatian pada sistem nilai yang dianut organisasi. Manfaat tersebut adalah: yaitu 1) Sebagai sarana untuk mengendalikan diri masing-masing anggota organisasi 2) Perekat anggota organisasi untuk membangun kepentingan organisasi dan kepentingan bersama 3) Perekat solidaritas antara anggota organisasi untuk hidup saling menghargai dan saling mendukung (Robbins, 2002). Memperhatikan fungsi dan manfaat tersebut di atas, maka budaya dalam suatu organisasi sangat penting. Oleh karena itu budaya senantiasa dipelihara dan Universitas Sumatera Utara dikembangkan karena disadari budaya merupakan alat (tool) dalam setiap melaksanakan kegiatan-kegiatan organisasi serta menjadi stimulasi untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Meski demikian, budaya organisasi dapat menjadi bumerang karena apabila budaya tersebut tidak tepat maka organisasi akan dibawa ke arah yang salah dan pada akhirnya menjerumuskan organisasi. Hal ini disebabkan budaya organisasi yang kuat menciptakan kekakuan budaya (culture rigidity). Saking kakunya, arah yang salah tadi tak dapat lagi diubah. Untuk menghindari kekakuan tersebut, Kotter dan Heskett menyarankan agar organisasi mengembangkan budaya dengan fokus tak sekadar pada nilai dan norma yang menjadi tradisi melainkan juga pada dinamika tuntutan pemangku kepentingan (stakeholders) – terutama pelanggan, pemegang saham dan pegawai – agar budaya organisasi menjadi adaptif dan fleksibel serta tidak kaku dalam mengikuti keadaan. Dari sisi kinerja, Kotter dan Heskett dalam Djokosantoso (2007:78) mendapati bahwa perusahaan berbudaya kuat namun adaptif (antara lain Hewlett Packard, Shell dan Pepsi Co) memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan perusahaan-perusahaan berbudaya kuat tetapi kurang adaptif (seperti Citicorp, Goodyear, dan Procter & Gamble). 2.1.5. Karakteristik Budaya Organisasi Robbins (2002:156), menyatakan ada 10 (sepuluh) karakteristik yang apabila dicampur dan dicocokkan, akan menjadi budaya organisasi. Kesepuluh karakteristik budaya organisasi tersebut adalah sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 1. Inisiatif Individual Yang dimaksud inisiatif individual adalah tanggung jawab, kebebasan atau independensi yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi/ perusahaan. 2. Toleransi terhadap Tindakan Berisiko Dalam budaya organisasi perlu ditekankan, sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif dan mengambil risiko. Suatu budaya organisasi dikatakan baik, apabila dapat memberikan toleransi kepada anggota para pegawai untuk dapat bertindak agresif dan inovatif untuk memajukan organisasi/ perusahaan serta berani mengambil risiko terhadap apa yang dilakukannya. 3. Pengarahan Pengarahan dimaksudkan sejauh mana suatu organisasi/ perusahaan dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi, misi, dan tujuan organisasi. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap kinerja organisasi/ perusahaan. 4. Integrasi Integrasi dimaksudkan sejauh mana suatu organisasi/ perusahaan dapat mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Universitas Sumatera Utara Kekompakan unit-unit organisasi dalam bekerja dapat mendorong kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dihasilkan. 5. Dukungan Manajemen Dukungan manajemen dimaksudkan sejauh mana para manajer dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap bawahan. Perhatian manajemen terhadap bawahan (karyawan) sangat membantu kelancaran suatu organisasi/ perusahaan. 6. Kontrol Alat kontrol yang dapat dipakai adalah peraturan-peraturan atau norma-norma yang berlaku dalam suatu organisasi atau perusahaan. Untuk itu diperlukan sejumlah peraturan dan tenaga pengawas (atasan langsung) yang dapat digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai dalam suatu organisasi. 7. Identitas Identitas dimaksud sejauh mana para anggota/ karyawan suatu organisasi/ perusahaan dapat mengidentifikasi dirinya sebagai satu kesatuan dalam perusahaan dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu atau keahlian propfesional tertentu. Identitas diri sebagai satu kesatuan dalam perusahaan sangat membantu manajemen dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi/ perusahaan. 8. Sistem Imbalan Sistem imbalan dimaksudkan sejauh mana alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai bukan sebaliknya didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya. Sistem Universitas Sumatera Utara imbalan yang didasarkan atas prestasi kerja pegawai dapat mendorong pegawai/ karyawan suatu organisasi/ perusahaan untuk bertindak dan berperilaku inovatif dan mencari prestasi kerja yang maksimal sesuai kemampuan dan keahlian yang dimilikinya. Sebaliknya, sistem imbalan yang didasarkan atas senioritas dan pilih kasih, akan berakibat tenaga kerja yang mempunyai kemampuan dan keahlian dapat berlaku pasif dan frustasi. Kondisi semacam ini dapat berakibat kinerja organisasi/ perusahaan menjadi terhambat. 9. Toleransi terhadap Konflik Sejauh mana para pegawai/ karyawan didorong untuk mengemukakan konflik dimana kritik secara terbuka. Perbedaan pendapat merupakan fenomena yang sering terjadi dalam suatu organisasi/ perusahaan. Namun, perbedaan pendapat atau kritik yang terjadi bisa dijadikan sebagai media untuk melakukan perbaikan atau perubahan startegi untuk mencapai tujuan suatu organisasi/ perusahaan. 10. Pola Komunikasi Sejauh mana komunikasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Kadang-kadang hierarki kewenangan dapat menghambat terjadinya pola komunikasi antara atasan dan bawahan atau antar karyawan itu sendiri. 2.1.6. Sumber-sumber Budaya Organisasi Isi dari suatu budaya organisasi terutama berasal dari tiga sumber (Robbins 2002), yaitu : a. Pendiri organisasi. Pendiri sering disebut memiliki kepribadian dinamis, nilai yang kuat, dan visi yang jelas tentang bagaimana organisasi seharusnya. Pendiri Universitas Sumatera Utara mempunyai peranan kunci dalam menarik karyawan. Sikap dan nilai mereka siap diteruskan kepada karyawan baru. Akibatnya, pandangan mereka diterima oleh karyawan dalam organisasi, dan tetap dipertahankan sepanjang pendiri berada dalam organisasi tersebut, atau bahkan setelah pendirinya meninggalkan organisasi. b. Pengalaman organisasi mengahadapi lingkungan eksternal. Penghargaan organisasi terhadap tindakan tertentu dan kebijakannya mengarah pada pengembangan berbagai sikap dan nilai. c. Karyawan. Hubungan kerja karyawan membawa harapan, nilai, sikap mereka ke dalam organisasi. Hubungan kerja mencerminkan aktivitas utama organisasi yang membentuk sikap dan nilai. Jadi budaya organisasi sering dibentuk oleh pengaruh orang-orang yang mendirikan organisasi tersebut, oleh lingkungan eksternal dimana organisasi beroperasi, dan oleh karyawan serta hakekat dari organisasi tersebut. Nilai-nilai budaya apabila dikaitkan dengan kehidupan organisasi, seyogyianya dijadikan sebagai budaya organisasi dengan peran dan fungsi antara lain: 1. Pengendalian diri masing-masing anggota organisasi. 2. Perekat anggota organisasi untuk membangun kepentingan organisasi dan kepentingan bersama. 3. Perekat solidaritas antara anggota organisasi untuk hidup saling menghargai, menghormati dan saling mendukung. Universitas Sumatera Utara Budaya organisasi yang berfungsi seperti itu dalam suatu organisasi akan menjadikan alat untuk menyemangati dan mendorong aktivitas-aktivitas pada SDM tersebut dalam rangka mewujudkan cita-cita dan perjuangan organisasinya. Prinsip “saling mendukung” dalam kehidupan organisasi tidak kalah pentingnya, oleh karena esensinya adalah terwujudnya kebersamaan dalam rangka melaksanakan tugas, fungsi dan atau misi suatu organisasi.tanpa kebersamaan jangan diharapkan dapat terwujudnya tujuan organisasi sebagaimana telah ditetapkan. Kebersamaan dalam organisasi, dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu kebersamaan terhadap intern organisasi dan kebersamaan terhadap ekstern organisasi atau pihak-pihak terkait (stakeholders). Di antara kedua dimensi itu perlu dipelihara dan dikembangkan sehingga saling bersinergi, saling mendukung yang pada akhirnya memberi manfaat terhadap peningkatan produktivitas organisasi (organization performance). Apabila berbicara mengenai kebersamaan, maka tidak dapat dilepaskan dari budaya organisasi yang telah ditetapkan dan menjadi komitmen masing-masing individu atau semua pihak dalam organisasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kerjasama baik yang dituangkan dalam bentuk kerja tim, hubungan kerja sebagai akibat fungsionalisasi, maupun karena sinergisme akan sangat bermanfaat dan merupakan sarana yang handal untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Variabel dimensi budaya organisasi yang dijadikan dasar pengukuran diturunkan dari 6 (enam) dimensi budaya organisasi yang dikemukakan oleh Hofstede (1994:102) yang meliputi : Universitas Sumatera Utara 1. Profesionalisme, merupakan ukuran kecakapan atau keahlian yang dimiliki oleh pekerja dalam organisasi. Suatu jabatan yang ditempati oleh seorang pekerja yang profesional atau suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh pekerja yang profesional akan membuahkan hasil yang optimal. Dalam organisasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme semua pekerjaan akan mencurahkan perhatiannya pada pekerjaan sebagi bentuk dari tanggung jawab yang harus ditunaikan. Seorang pekerja yang profesional akan menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya tanpa banyak mengeluh, karena ia yakin bahwa ia dapat menyelesaikannya walaupun di bawah tekanan (under pressure), seperti harus memenuhi deadline yang ketat. Untuk keyakinan dan kemampuannya menyelesaikan tugas, seorang profesional cenderung akan menuntut penghasilan yang lebih baik atau reward yang berbeda dari pekerja lainnya. 2. Kepemimpinan, yaitu tingkat keterlibatan atasan terhadap masalah-masalah di luar pekerjaan yang dialami oleh bawahan. Hubungan antarpribadi yang terbina baik akan memungkinkan terciptanya iklim kerja yang cerah. Adanya hubungan antarpribadi juga dapat mempengaruhi penilaian terhadap pekerja. Dalam hal melakukan promosi, atau mempertahankan orang-orang yang dinilai baik bagi suatu divisi juga melibatkan hubungan antarpribadi. Seorang atasan mungkin akan mempertahankan seorang bawahan bagi divisinya yang menurut penilainnya bertipe loyal dan mudah dibina walaupun mungkin potensinya belum tentu lebih baik dari pekerja lainnya. Universitas Sumatera Utara 3. Kepercayaan kepada rekan sekerja, yaitu interaksi yang terbina antar sesama pekerja dalam organisasi. Sikap yang terbuka, ramah dalam pergaulan dan perilaku yang menunjukkan rasa persaudaraan yang tinggi diantara sesama pekerja, karena merasa senasib dan seperjuangan akan menumbuhkan kepercayaan dan perilaku yang positif. Dengan adanya rasa percaya kepada rekan sekerja yang tertanam dengan baik, masalah-masalah pekerjaan ataupun masalah pribadi akan dapat diatasi dengan perhatian dari rekan-rekan sekerja yang rela membantu memberikan saran. 4. Keteraturan, yaitu kondisi lingkungan kerja yang menunjukkan adanya aturanaturan atau ketentuan yang harus dipatuhi oleh anggota organisasi. Tujuannya adalah untuk menjamin keseragaman dalam pelaksanaan, memudahkan koordinasi dan pengawasan. Adanya aturan yang ditetapkan oleh organisasi harus berlaku sama untuk semua orang atau departemen dalam organisasi, sehingga mencerminkan adanya rasa keadilan. 5. Konflik, yaitu adanya pertentangan dan ketidakharmonisan dalam suatu organisasi yang menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja. Ini berpotensi pada penurunan motivasi kerja dan berdampak negatif terhadap perilaku pekerja. Kompetisi yang tidak sehat antardepartemen dalam suatu organisasi, dimana orang-orang mungkin saling merasa curiga yang menyebabkan terhambatnya komunikasi dan koordinasi serta sulitnya bergaul antar individu. Di samping itu karyawan baru mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi, Universitas Sumatera Utara diterima sebagai anggota organisasi dan merasa nyaman bekerja pada lingkungan barunya tersebut. 6. Integrasi, yaitu iklim yang terbentuk dalam organisasi dimana pekerja merasa memiliki ikatan yang kuat dengan organisasi. Dalam kondisi seperti ini, pekerja akan menunjukkan loyalitas kepada organisasi. Pekerja akan merasa bangga karena menjadi bagian dari organisasi dan merasa aman dengan pekerjaannya karena merasa dihargai dan dipenuhi kebutuhan hidupnya. Lingkungan kerja yang menyenangkan ini juga didukung oleh kerja sama yang terjalin baik di antara sesama pekerja atau sesama departemen. 2.2 Teori tentang Pengawasan 2.2.1 Pengertian Pengawasan Pengawasan merupakan fungsi manajerial yang keempat setelah perencanaan, pengorganisasian, dan pengarahan. Sebagai salah satu fungsi manajemen, mekanisme pengawasan di dalam suatu organisasi memang mutlak diperlukan. Pelaksanaan suatu rencana atau program tanpa diiringi dengan suatu sistem pengawasan yang baik dan berkesinambungan, jelas akan mengakibatkan lambatnya atau bahkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditentukan. Hal ini berarti bahwa pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga mengandung arti memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan. More dalam Winardi (2000:22) menyatakan bahwa: “… there’s many a slip between giving works, Universitas Sumatera Utara assignments to men and carrying them out. Get reports of what is being done, compare it with what ought to be done, and do something about it if the two aren’t the same”. Pengertian tentang pengawasan sangat beragam dan banyak sekali pendapat para ahli yang mengemukakannya, namun demikian pada prinsipnya kesemua pendapat yang dikemukan oleh para ahli adalah sama, yaitu merupakan tindakan membandingkan antara hasil dalam kenyataan (dassein) dengan hasil yang diinginkan (das sollen), yang dilakukan dalam rangka melakukan koreksi atas penyimpangan penyimpangan yang terjadi dalam kegiatan manajemen. Berikut beberapa pengertian tentang pengawasan dari para ahli: Controlling is a systematic effort by business management to compare performance to predetermined standard, plans, or objectives to determine whether performance is in line with theses standards and presumably to take any remedial action required to see that human and other corporate resources are being used in the most effective and efficient way possible in achieving corporate objectives. Konsep pengawasan dari Mockler dalam Certo (2006:480) menyebutkan pengawasan menekankan pada tiga hal, yaitu (1) harus adanya rencana, standar atau tujuan sebagai tolak ukur yang ingin dicapai, (2) adanya proses pelaksanaan kerja untuk mencapai tujuan yang diinginkan, (3) adanya usaha membandingkan mengenai apa yang telah dicapai dengan standard, rencana, atau tujuan yang telah ditetapkan, dan (4) melakukan tindakan perbaikan yang diperlukan. Dengan demikian konsep pengawasan dari Mockler ini terlihat bahwa ada kegiatan yang perlu direncanakan Universitas Sumatera Utara dengan tolak ukur berupa kriteria, norma-norma dan standar, kemudian dibandingkan, mana yang membutuhkan koreksi ataupun perbaikan-perbaikan. Handoko (2004:367) mendefinisikan “pengawasan sebagai suatu proses untuk menjamin tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai”. Pengertian pengawasan disini menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat dengan perencanaan karena perencanaan memiliki fungsi utama untuk menetapkan tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi. Fungsi pengawasan juga berhubungan erat dengan fungsi-fungsi manajerial lainnya, seperti ditunjukkan dalam gambar berikut ini : Perencanaan Pengorgani sasian Penyusunan Personalia Pengarah an Pengawasan PENGAWASAN Sumber : Handoko (2004) Gambar 2.3 Hubungan Pengawasan dengan Fungsi Manajerial lainnya Pengawasan atau pengendalian (controlling) menurut Mockler yang dikutip dan diterjemahkan oleh Sujamto (2003:45) mendefenisikan : “Control is to determine what is accomplished evaluated, and apply corrective measures, in needed to insure result in keeping with the plan (Pengawasan adalah untuk menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasnya dan mengambil tindakan-tindakan perbaikan, bilamana diperlukan untuk meyakinkan agar hasil kerja sesuai dengan rencana)”. Universitas Sumatera Utara Sedangkan pendapat Newman dalam Sujamto (2003:47) mengenai pengawasan adalah : “Control is assurance that the performance conform to plan (Pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan sesuai dengan rencana)”. Pendapat kedua pakar tersebut di atas lebih cenderung untuk menjelaskan tujuan pengawasan, sedangkan Henry Fayol dalam Sujamto (2003:47) memberikan pengertian pengawasan sebagai berikut : “Control consist in verifying whether every thing occur in conformity with the plan adopted, the instruction issued and the principles established. It has for object to point out weaknesses and errors in order to rectify then and prevent reccurance (Pengawasan terdiri dari pengujian apakah segala sesuatu berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditentukan dengan intstruksi yang telah diberikan dan dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan)”. Ada (lima) pendekatan dalam memahami pengawasan yaitu : 1. Pendekatan klasik, pendekatan ini merupakan pendekatan awal sewaktu manusia mengenal sistem pengawasan. Biasanya sistem ini dilaksanakan pada organisasi dimana mereka yang diawasi belum memiliki skills dan moralitas yang baik. Pada lingkungan perusahaan yang sudah lebih maju, masyarakat sudah semakin ahli, etis dan dipercaya maka pendekatan ini kurang tepat karena berpotensi menghambat kreativitas dan inisiatif pribadi. 2. Pendekatan Struktural, pendekatan ini masih menggunakan berbagai komponen klasik, namun bedanya adalah bahwa pendekatan ini membagi-bagi fungsi manajemen atas berbagai fungsi yaitu fungsi perencanaan, pengorganisasian, perintah, koordinasi dan pengawasan. Dalam pendekatan ini pimpinan yang Universitas Sumatera Utara bertanggung jawab mencapai tujuan membagi fungsi dan membuat struktur organisasi. Fungsi pengawasan dilakukan melalui struktur yang sudah ada berdasarkan fungsi yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan fungsi pengawasan mengalir melalui struktur organisasi mulai dari atas atau pusat, ke seluruh struktur. Pendekatan struktural disini adalah stuktur organisasi perusahaan dijadikan sebagai alur dan media pengawasan. Di Indonesia pendekatan yang banyak dipakai adalah model klasik dan model struktur ini. 3. Pendekatan kekuasaan atau power merupakan dasar seorang pimpinan melakukan pengawasan. Kekuasaan yang dimiliki ini digunakan untuk mempengaruhi dan memaksanakan agar orang lain mengikuti keinginan pimpinan. 4. Pendekatan sistem, pengawasan dianggap sebagai salah satu sistem dari general sistem yang ada. Sistem adalah suatu set bagian-bagian yang saling berhubungan yang memiliki ketergantungan yang satu dengan lainnya. Semua kegiatan dianggap merupakan satu kegiatan terpadu, bukan merupakan hal yang terpisah atau bebas dari yang lainnya. 5. Pendekatan Human Relation (Behavior), pengawasan dilihat dari segi manusianya. Dalam hal ini yang diperhatikan adalah hubungan antar manusia. Ilmu manajemen dan organisasi pada awalnya memberikan perhatian kepada kemampuan non human untuk mencapai tujuan organisasi. Manusia dialienasikan dari organisasi sehingga unsur-unsur negatif yang dimiliki oleh manusia dapat dipisahkan untuk memudahkan mencapai tujuan organisasi. Universitas Sumatera Utara Dalam pendekatan struktural, fungsi pengawasan ini diserahkan kepada lembaga tersendiri yang bertanggung jawab untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Untuk menjamin terlaksananya fungsi ini secara efektif harus diperhatikan kedudukan lembaga ini dalam struktur organisasinya. Persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu lembaga pengawasan berhasil dalam fungsinya adalah : 1. Bebaskan lembaga ini dari fungsi operasional atau kegiatan operasional perusahaan. Hal ini dimaksudkan agar posisinya dalam pengawasan itu bebas dari kepentingan pribadi dan bagian. 2. Usahakan agar lembaga ini tetap dalam posisi independen dalam fungsi operasional maupun secara individual. Ia harus independen secara nyata dan bebas dari unsur-unsur yang kelihatannya tidak independen. 3. Harus memiliki kemampuan, keahlian yang lengkap bahkan melebihi kemampuan yang diawasi. 4. Memiliki integritas pribadi, kejujuran dan bersih dari segala kemungkinan penyelewengan. Dalam pendekatan sistem, pengawasan dilakukan melalui seluruh urutan prosedural (hubungan antara subsistem) yang dianut dalam dalam menyelesaikan kegiatan rutin perusahaan/ lembaga, sistem ini harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak menguntungkan dan harus menjamin keefisienan serta diarahkan untuk mencapai tujuan perusahaan secara maksimum. Hal inilah yang disebut internal control (pengawasan intern). Universitas Sumatera Utara Pada mulanya pengawasan dianggap sebagai kegiatan yang sifatnya pemaksaan kekuasaan sampai akhirnya merupakan fungsi yang difokuskan pada sikap perilaku individu yang mempunyai multidimensi dan berbagai sifat. Satu hal yang harus diingat bahwa pengawasan yang efektif adalah cost benefit ratio. Artinya biaya pelaksanaan pengawasan harus lebih kecil dari keuntungan yang diperoleh dari hasil pengawasan itu sendiri. 2.2.2 Proses Pengawasan Proses pengawasan menurut Stoner (2006:75) disebutkan “proses pengawasan adalah menetapkan standar dan metode, mengukur prestasi kerja dan mengambil tindakan korektif”. Tidak Standar dan 2.3.1. Metode yang ditetapkan Mengukur prestasi kerja Apakah prestasi memenuhi standar Ambil tindakan korektif Ya Standar dan Metode yang ditetapkan Sumber : Stoner dan Wankel (2006) Gambar 2.4 Proses Pengawasan Berdasarkan gambar 2.4. dapat diambil pernyataan dari pendapat Stoner dan Wankel untuk dijadikan sebagai indikator yang dapat mengukur pengawasan yaitu : 1. Pengawasan harus menetapkan standar dan memilih metode apa yang akan dipakai dalam upaya mengukur hasil yang akan dicapai. Universitas Sumatera Utara 2. Mengadakan pengukuran hasil kerja yang telah dicapai oleh pelaksana. 3. Mengukur apakah hasil yang dicapai memenuhi standar yang ditetapkan atau tidak. 4. Diadakan perbaikan jika ada penyimpangan, kemudian koreksinya terhadap pengukuran prestasi kerja, sehingga bisa dilaksanakan kembali dengan lebih meningkatkan hasil kerja yang memenuhi standar. Koontz (2001:124) mengemukakan proses pengawasan sebagai berikut : “Proses pengawasan dimanapun penerapannya atau apa saja yang diawasi meliputi tiga tahap yaitu : menetapkan standar, mengukur prestasi kerja, dan membetulkan penyimpangan”. 2.2.3 Ciri-ciri Pengawasan Untuk mencapai efektivitas pengawasan, tidak hanya didasarkan pada prosedur dan teknik pengawasan yang harus dimiliki oleh berbagai pihak yang terlibat dalam pengawasan, terutama untuk diketahui dan dijadikan pedoman bagi para pengawas. Siagian (2004:23) mengemukakan bahwa : “Pengawasan akan efektif apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pengawasan harus merefleksikan sifat dan berbagai kegiatan yang diselengggarakan. 2. Pengawasan harus segera diberikan petunjuk tentang kemungkinan adanya deviasi dari rencana. 3. Pengawasan harus menunjukkan pengecualian pada titik-titik strategi tertentu. 4. Objektivitas dalam melakukan pengawasan. 5. Keluwesan pengawasan. 6. Pengawasan harus memperhitungkan pola dasar organisasi. 7. Efisiensi pelaksanaan pengawasan. 8. Pemahaman sistem pengawasan oleh semua pihak yang terlibat. Universitas Sumatera Utara 9. Pengawasan mencari apa yang tidak beres. 10. Pengawasan harus bersifat membimbing”. Dari ciri-ciri pengawasan tersebut, menunjukkan beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, yang pada pelaksanaannya sering diabaikan. Pada ciri yang ketiga, sejalan dengan prinsip manajemen adalah “management by exception”. Prinsip ini pada dasarnya berarti bahwa karena aneka ragam kegiatannya dan karena luasnya cakupan tanggung jawab, seorang pimpinan harus mampu menentukan kegiatan apa yang perlu dilakukan sendiri dan kegiatan apa yang sebaiknya didelegasikan kepada orang lain. Demikian juga dengan ciri yang kesembilan, terkandung makna pengawasan bukan sekadar mencari kesalahan dan siapa yang salah, tetapi juga untuk menemukan kebenaran. Aspek penting pada ciri kesepuluh, pengawasan harus bersifat membimbing, dalam arti jika telah ditemukan apa yang tidak beres, siapa yang salah dan telah diketahui faktor-faktor penyebabnya, pimpinan harus mengambil tindakan yang dipandang paling tepat sehingga kesalahan yang diperbuat tidak terulang kembali. Dengan bimbingan individu para bawahan dapat meningkatkan kemampuannya untuk tugas pekerjaan selanjutnya. Tinggi rendahnya pencapaian tujuan suatu institusi merupakan tanggung jawab pimpinan unit kerja yang bersangkutan, walaupun pelaksanaannya bersamasama bahkan lebih dominan dilakukan oleh bawahan (staf). Untuk itulah fungsi pengawasan melekat menjadi sangat penting artinya untuk mencegah terjadinya Universitas Sumatera Utara penyalahgunaan wewenang, sehingga memungkinkan seorang pimpinan melakukan tindakan perbaikan sedini mungkin. Menurut Nawawi (2005:52) : “Pengawasan melekat sebagai salah satu kegiatan pengawasan merupakan tugas dan tanggung jawab setiap pimpinan yang harus menyelenggarakan manajemen yang efektif dan efisien dilingkungan organisasi unit kerja masing-masing, baik di bidang pemerintahan maupun swasta”. Dalam kenyataannya setiap pimpinan organisasi selalu ingin mengetahui keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan berbagai kegiatan dalam lingkup tanggung jawabnya. Berusaha untuk mengetahui apakah semua kegiatan sudah berlangsung sesuai perencanaan, peraturan yang berlaku dan kebijakan yang telah digariskan sebelumnya. Untuk itu setiap pimpinan harus melakukan fungsi pengendalian, termasuk dengan melakukan pengawasan terhadap berbagai kegiatan yang dikerjakan oleh bawahannya. Certo dalam Siagian (2004:33) mengemukakan 3 (tiga) jenis kontrol ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya debagai berikut : 1. Pre control-feed forward, kontrol ini dilakukan sebelum pekerjaan dimulai, misalnya melalui rekrut pegawai yang selektif. Kita hanya memilih pegawai yang benar-benar diharapkan dapat memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya. Pegawai terus menerus mendapat pelatihan, executive sabbatic yaitu pegawai diberi kesempatan cuti sambil mencari pengalaman di tempat lain. 2. Concurrent control, yaitu pengawasan yang dilakukan secara serentak dan sejalan dengan pelaksanaan pekerjaan. 3. Feedback control, dilaksanakan setelah pekerjaan selesai, misalnya dengan melakukan self correcting dan non correcting system. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, untuk mempermudah dalam merealisasi tujuan, pengawasan harus perlu dilalui beberapa fase atau urutan pelaksanaan yang terdiri dari : 1. Menetapkan alat ukur (standar) Alat penilaian atau standar bagi hasil pekerjaan pegawai, pada umumnya terdapat baik pada rencana keseluruhan maupun pada rencana-rencana bagian. Dengan kata lain, dalam rencana itulah pada umumnya terdapat standar bagi pelaksanaan pekerjaan. Agar alat pekerjaan itu diketahui benar oleh bawahan, maka alat pekerjaan itu harus dikemukakan, dijelaskan pada bawahan. Dengan demikian, atasan dan bawahan bekerja dalam menetapkan apa yang menjadi standar hasil pekerjaan bawan itu. 2. Mengadakan penilaian (evaluasi) Dengan menilai dimaksudkan membandingkan hasil pekerjaan bawahan (actual result) dengan alat pengukur (standar) yang sudah ditentukan. Jadi, pimpinan membandingkan hasil pekerjaan yang senyatanya dengan standar sehingga dengan perbandingan itu dapat dipastikan terjadi tidaknya penyimpangan. 3. Mengadakan tindakan perbaikan (corective action) Dengan tindakan perbaikan diartikan, tindakan yang diambil untuk penyesuaian hasil pekerjaan nyata yang menyimpang agar sesuai dengan standar atau rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Tindakan perbaikan itu tidak serta merta dapat meyesuaikan hasil pekerjaan yang senyatanya dengan rencana atau standar. Oleh karena itulah, perlu sekali adanya laporan-laporan berkala sehingga segera sebelum terlambat dapat diketahui terjadinya penyimpangan-penyimpangan, serta Universitas Sumatera Utara dengan adanya tindakan perbaikan yang akan diambil. Pekerjaan pelaksanaan seluruhnya dapat diselamatkan dengan rencana (Manulang, 2004). 2.3 Teori tentang Produktivitas 2.3.1 Pengertian Produktivitas Pada dasarnya setiap organisasi akan berupaya untuk meningkatkan produktivitasnya, karena dengan peningkatan produktivitas akan meningkatkan efisiensi dan meminimumkan biaya yang harus dikeluarkan dan memaksimalkan keluaran yang diharapkan. Produktivitas mempunyai arti yang beragam, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Produktivitas dapat berarti lebih banyak hasil dengan mempertahankan biaya tetap, mengerjakan suatu pekerjaan dengan benar sesuai dengan aturan, bekerja lebih cerdik dan lebih keras atau untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat dan lebih banyak. Menurut Greenberg dalam Sinungan (2008:12) : “Produktivitas sebagai perbandingan antara totalitas pengeluaran pada waktu tertentu dibagi totalitas masukan selama periode tersebut”. Menurut Internal Labour Office dalam Introduction Work Study dalam Hasibuan (2003:114) menyebutkan : “Produktivitas sebagai perbandingan antara pengeluaran (output) dengan pemasukan (input)”. Paul Mali dalam Hasibuan (2003:114) juga mengungkapkan pendapat yang hampir sama, yakni : “Produktivitas Universitas Sumatera Utara adalah bagaimana menghasilkan atau meningkatkan hasil barang dan jasa setinggi mungkin dengan memanfaatkan sumber daya secara efisien”. Jadi dalam pengertian ini produktivitas sering diartikan sebagai rasio antara keluaran dan masukan dalam satuan waktu tertentu, yang secara matematis dinyatakan dengan bilangan, sebagimana diungkapkan Whitemore dalam Hasibuan (2003:115) yaitu : “Productivity is measure of the use of the resources of an organization and is usually expressed as a ratio of the resources employed”. Dewan Produktivitas Nasional dalam Rivianto (2005:25) mendefinisikan “Produktivitas sebagai suatu sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini”. Definisi tersebut memiliki indikator: (1) cerdas (2) profesional (3) kreatif dan inovatif (4) berprestasi (5) semangat kerja. Berdasarkan uraian dan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa : “Produktivitas kerja pegawai adalah perbandingan antara output yang dihasilkan dengan segala sumber daya baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya (input), dalam pencapaian tujuan organisasi secara efektif dalam pelaksanaan tugasnya dan efisien dalam penggunaan sumber-sumber daya, yang meliputi jumlah, mutu hasil kerja yang ditandai oleh adanya kemampuan menyelesaikan pekerjaan, kemampuan memanfaatkan sarana dan kemampuan dalam mengatasi masalah pekerjaan”. Universitas Sumatera Utara 2.3.2 Jenis-Jenis Produktivitas Menurut Kusriyanto (2005:15), model pengukuran produktivitas yang paling sederhana adalah pendekatan dengan menggunakan rasio output dibagi dengan input. Pengukuran produktivitas berdasarkan pendekatan ini, akan menghasilkan dua jenis ukuran produktivitas, antara lain : 1. Produktivitas Parsial Produktivitas parsial sering juga disebut dengan produktivitas faktor tunggal (single-factor produkctivity) yang menunjukkan perbandigan antara output dengan salah satu faktor yang dipergunakan untuk menghasilkan output tersebut. Berikut ini adalah beberapa contoh dari produktivitas parsial, yaitu : a. Produktivitas Tenaga Kerja merupakan ukuran produktivitas parsial bagi input tenaga kerja yang diukur berdasarkan : Produktivitas Tenaga Kerja = Output Total Input Tenaga Kerja Produktivitas tenaga kerja sering kali disebut sebagai man hour yang berarti sejumlah pekerjaan yang dikerjakan oleh seorang pekerja dengan kemampuan rata-rata dalam waktu satu jam. Input yang dimaksud adalah total waktu yang dibutuhkan oleh pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya tanpa adanya interupsi apapun. Adapun jenis-jenis interupsi yang dimaksud adalah istirahat, makan dan kegiatan-kegiatan tubuh lainnya yang tidak dapat dicegah. Oleh karenanya disini digunakan waktu yang dibutuhkan oleh pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya tanpa ada interupsi tetapi juga ditambahkan waktu Universitas Sumatera Utara allowance. Keuntungan adanya konsep man-hour adalah dapat digunakan untuk memperkirakan dampak dari perubahan yang dialami oleh pekerja sehubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Beberapa contoh produktivitas tenaga kerja antara lain : Produktivitas Tenaga Kerja = Total Jam Tenaga Kerja Biaya Kompensasi Tenaga Kerja Produktivitas Tenaga Kerja = Total Jam Kerja yang Hilang Total Jam Kerja per Waktu Tertentu Produktivitas Tenaga Kerja = Jumlah Unit yang Diproduksi Jumlah Jam Kerja Menurut Kusriyanto (2005:65), “produktivitas tenaga kerja dapat sebagai faktor penentu dari produktivitas total karena : 1. Besarnya biaya yang dikorbankan untuk tenaga kerja merupakan bagian dari biaya yang terbesar untuk pengadaan produk dan jasa, 2. Masukan sumber daya manusia lebih mudah dihitung daripada masukan dari faktor-faktor lain, dan 3. Kemajuan teknologi yang mempermudah cara pembuatan barang berkembang dan berasal dari kemajuan tenaga kerja. Produktivitas individu merupakan cerminan dari pribadi yang produktif, yang menggambarkan potensi persepsi dan kreativitas seseorang yang senantiasa ingin menyembangkan kemampuannya agar bermanfaat bagi diri dan lingkungannya”. b. Produktivitas Modal merupakan ukuran produktivitas parsial bagi input modal yang diukur berdasarkan : Produktivitas Modal = Output Total Input Modal Universitas Sumatera Utara c. Produktivitas Material merupakan ukuran produktivitas parsial bagi input material yang diukur berdasarkan : Produktivitas Material = Output Total Input Material d. Produktivitas Energi merupakan ukuran produktivitas parsial bagi input energi yang diukur berdasarkan : Produktivitas Energi = Output Total Input Energi e. Efektivitas produksi merupakan ukuran produktivitas parsial kegiatan produksi berdasarkan output yang dihasilkan dengan target yang telah ditetapkan. Berikut adalah ukurannya : Efektivitas produksi = Output Total Target Produksi Keuntungan pengukuran produktivitas parsial adalah : • Mudah dipahami, data mudah diperoleh, dan mudah dalam menghitung indeks produktivitas. • Beberapa indikator data produktivitas parsial (seperti output per jam kerja) tersedia atau mudah didapat pada perindutrian pada umumnya. • Alat diagnosa yang baik untuk bagian-bagian yang perlu ditingkatkan produktivitas, jika digunakan dengan indikator produktivitas total. Keterbatasan pengukuran produktivitas total adalah : Universitas Sumatera Utara • Bila yang digunakan hanya pengukuran ini saja, hasilnya belum dapat dijadikan patokan perbaikan sehingga dapat menyebabkan kerugian. • Tidak dapat menjelaskan kenaikan biaya secara keseluruhan. • Cenderung untuk melakukan perbaikan hanya pada bagian yang diukur. • Tidak baik dipakai untuk pengontrolan profit. 2. Produktivitas Total Produktivitas yang menunjukkan perbandingan atara total output dengan jumlah dari semua faktor input. Jadi pengukuran produktivitas total merupakan semua bagian yang tergolong input dalam upaya menghasilkan output (Kusriyanto, 2005). Produktivitas = Output Total/ Input Total Keuntungan pengukuran produktivitas total adalah : • Mempertimbangkan semua faktor output dan input yang dapat dihitung, sehingga lebih akurat dalam mencerminkan keadaan ekonomi perusahaan yang sesungguhnya. • Bila digunakan dengan pengukuran produktivitas parsial, dapat menarik perhatian pihak manajemen untuk melakukan tindakan yang lebih efektif. • Analisisi sensitivitas lebih mudah digunakan. • Mudah dihubungkan dengan total biaya. Keterbatasan pengukuran produktivitas total : • Data untuk perhitungan relatif sulit diperoleh pada level produk dan level konsumen. Universitas Sumatera Utara • Faktor yang intangible (tidak nyata) tidak dipertimbangkan. 2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Masalah produktivitas selalu mendapatkan perhatian dalam manajemen karena sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi. Produktivitas karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organsisasi lain termasuk : kuantitas output, kualitas output, jangka waktu output, kehadiran di tempat kerja dan sikap kooperatif. Dimensi lain dari produktivitas mungkin tepat untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, tetapi yang didata ini adalah yang paling umum, yang mengidentifikasikan elemen-elemen yang paling penting dari suatu pekerjaan. Sebagai contoh, dalam sektor perbankan, pekerjaan di bagian pemasaran (marketing) memiliki kriteria pekejaan seperti mencari nasabah untuk mencapai target yang ditetapkan, mengedukasi nasabah, melayani nasabah dan mengadministrasikan rekening nasabah secara tertib, baik dalam sistem komputer (soft copy) maupun dalam bentuk kertas (hard copy). Kriteria pekerjaan adalah faktor yang terpenting dari apa yang dilakukan orang dipekerjaannya. Kriteria pekerjaan menjelaskan yang sudah dibayar oleh organisasi untuk dikerjakan oleh karyawannya. Oleh karena itu, kriteria-kriteria ini penting dan harus diukur, dibandingkan dengan standar yang ada. Hasilnya harus dikomunikasikan kepada setiap karyawan. Pekerjaan hampir selalu memiliki lebih dari satu kriteria atau dimensi untuk dinilai, dan ini berarti bahwa si karyawan mungkin berproduktivitas lebih baik dalam satu kriteria dibandingkan kriteria Universitas Sumatera Utara lainnya. Beberapa kriteria mungkin memiliki nilai lebih penting daripada kriteria lainnya. Pembobotan adalah suatu cara untuk menunjukkan hal ini. Misalnya, di beberapa sektor perbankan, pencapaian target dana maupun penyaluran kredit memiliki bobot lebih besar dibandingkan dengan pengadministrasian maupun pelayanan. Pada saat mengukur produktivitas, adalah penting menentukan kriteria yang relevan. Umumnya, kriteria itu relevan ketika difokuskan pada aspek yang paling penting dari pekerjaan si karyawan. Sebagi contoh, menilai seorang petugas pelayanan kepuasan konsumen dalam suatu perusahaan dari “penampilan”, tentu saja kurang relevan dibandingkan dengan jumlah telepon yang ditanganinya. Contoh ini menekankan bahwa kriteria pekerjaan yang terpenting harus diidentifikasi dan dikaitkan dengan deskripsi pekerjaan. Operasional organisasi yang tinggi, baik menyangkut masalah sumber daya manusia maupun yang lainnya sebagai input tidak diimbangi denga keluaran (output) yang tinggi atau dengan kata lain hasil kerja yang tidak meningkat, berarti produktivitas suatu organisasi akan menurun. Bila dilihat dari segi personil, menurunnya produktivitas disebabkan kurangnya pengawasan dan disiplin kerja yang rendah. Untuk mengubah perilaku semacam itu diperlukan waktu, tenaga dan biaya yang memadai. Upaya tersebut misalnya dengan mengikutsertakan pekerja dalam pendidikan dan pelatihan. Universitas Sumatera Utara Untuk meningkatkan produktivitas kerja diperlukan adanya suatu sistem pengawasan yang baik sehingga pegawai bekerja dengan penuh tanggung jawab. Menurut Sedarmayanti (2004:29) produktivitas dikatakan meningkat apabila : 1. Volume/ kuantitas keluaran bertambah besar tanpa menambah jumlah masukan. 2. Volume/ kuantitas keluaran tidak bertambah, akan tetapi masukannya berkurang. 3. Volume/ kuantitas keluaran bertambah besar, sedangkan masukannya berkurang. 4. Jumlah masukan bertambah asalkan kuantitas keseluruhan bertambah berlipat ganda. Dalam suatu organisasi yang selalu berusaha menggunakan manajemen yang berorientasi pada mutu (manajemen pengedalian mutu), yang dalam pelaksanaannya diintegrasikan dengan manajemen yang berorientasikan pada hasil (manajemen berdasarkan objek) terlihat keberhasilan itu dengan berbagai indikator, antara lain : tingkat kesadaran yang tinggi, ia merasa rugi jika tidak hadir dalam pekerjaan, selalu terdorong jiwanya untuk berprestasi dan menaati segala ketentuan/ tata tertib. Apabila produktivitas naik hanya dimungkinkan oleh adanya peningkatan efisiensi (waktu, bahan, tenaga) dan sistem kerja, teknik produksi, dan adanya peningkatan keterampilan tenaga kerja. Produktivitas kadang-kadang dipandang sebagai penggunaan intensif terhadap sumber-sumber konversi seperti tenaga kerja dan mesin yang diukur secara tepat dan benar-benar menunjukkan suatu penampilan yang efisiensi. Menurut Blunchor dan Kapustin yang dikutip oleh Sinungan (2008:9), faktorfaktor peningkatan produktivitas, pertama, perbaikan terus menerus, yaitu upaya Universitas Sumatera Utara meningkatkan produktivitas kerja salah satu implementasinya ialah bahwa seluruh komponen harus melakukan perbaikan secara terus-menerus. Pandangan ini bukan hanya merupakan salah satu kiat tetapi merupakan salah satu etos kerja yang penting sebagai bagian dari filsafat manajemen mutakhir. Suatu organisasi dituntut secara terus-menerus untuk melakukan perubahan-perubahan, baik secara internal maupun eksternal. Perubahan internal contohnya, yaitu: (a) perubahan strategi organisasi; (b) perubahan kebijakan tentang produk; (c) perubahan pemanfaatan teknologi; (d) perubahan dalam praktek-praktek sumber daya manusia sebagai akibat diterbitkannya perundang-undangan baru oleh pemerintah. Perubahan eksternal, meliputi: (a) perubahan yang terjadi dengan lambat atau evolusioner dan bersifat acak; (b) perubahan yang tinggi secara berlahan tetapi berkelompok; (c) perubahan yang terjadi dengan cepat karena dampak tindakan suatu organisasi yang dominant peranannya di masyarakat; dan (d) perubahan yang terjadi cepat, menyeluruh dan kontinyu. Kedua, peningkatan mutu hasil pekerjaan. Peningkatan mutu hasil pekerjaan dilaksanakan oleh semua komponen dalam organisasi. Bagi manajemen, misalnya, perumusan strategi, penentuan kebijakan, dan proses pengambilan keputusan. Yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan kegiatan organisasi yaitu mutu laporan, mutu dokumen, mutu penyelenggaraan rapat, dan lain-lain. Ketiga, pemberdayaan sumberdaya manusia. Memberdayakan sumberdaya manusia mengandung kiat untuk: (a) mengakui harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang mulia, mempunyai harga diri, daya nalar, memiliki kebebasan memilih, akal, perasaan, dan berbagai kebutuhan yang beraneka ragam; (b) manusia Universitas Sumatera Utara mempunyai hak-hak yang asasi dan tidak ada manusia lain (termasuk manajemen) yang dibenarkan melanggar hak tersebut. Hak-hak tersebut yaitu hak menyatakan pendapat, hak berserikat, hak memperoleh pekerjaan yang layak, hak memperoleh imbalan yang wajar dan hak mendapat perlindungan; (c) penerapan gaya manajemen yang partisipasif melalui proses berdemokrasi dalam kehidupan berorganisasi. Dalam hal ini pimpinan mengikutsertakan para anggota organisasi dalam proses pengambilan keputusan. Keempat, kondisi fisik tempat bekerja yang menyenangkan. Kondisi fisik tempat kerja yang menyenangkan memberikan kontribusi nyata dalam peningkatan produktivitas kerja, antara lain: (a) ventilasi yang baik; (b) penerangan yang cukup; (c) tata ruang rapi dan perabot tersusun baik; (d) lingkungan kerja yang bersih; dan (e) lingkungan kerja vang bebas dari polusi udara. Kelima, umpan balik. Pelaksanaan tugas dan karier karyawan tidak dapat dipisahkan dari penciptaan, pemeliharaan, dan penerapan sistem umpan balik yang objektif, rasional, baku, dan validitas yang tinggi. Objektif dalam arti didasarkan pada norma-norma yang telah disepakati bukan atas dasar emosi, senang atau tidak senang pada seseorang. rasional dalam arti dapat diterima oleh akal sehat. Jika seseorang harus dikenakan sanksi disiplin, status berat-ringannya disesuaikan dengan jenis pelanggarannya. Validitas yang tinggi, dalam arti siapapun yang melakukan penilaian atas kinerja karyawan didasarkan pada tolok ukur yang menjadi ketentuan. Menurut Dessler (1997:10), pentingnya peningkatan produktivitas dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi adalah: (a) peningkatan produktivitas dapat Universitas Sumatera Utara berarti peningkatan hasil yang dicapai dengan penggunaan sumberdaya secara efektif dan efisien; dan (b) hal tersebut akan memberikan sumbangan besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih kuat. Kaitannya dengan upah meliputi: (a) aspek peningkatan produktivitas dapat berupa penurunan biaya produksi dan peningkatan kemampuan bersaing karena hasil jumlah produksi bertambah dan harga ditekan lebih rendah; (b) apabila hal tersebut dibarengi dengan pembinaan pasar maka keuntungan akan meningkat; (c) bertambah besarnya keuntungan antara lain dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan tingkat upah dan perluasan usaha. Hubungannya dengan aspek kesejahteraan mencakup: (a) peningkatan produktivitas dapat mempengaruhi kenaikan taraf hidup dan (b) jika upah meningkat maka dapat untuk membiayai kebutuhan hidup akan lebih baik. 2.4 Kerangka Konseptual Setiap perusahaan mendambakan adanya suatu budaya organisasi yang menjadikan pegawai-pegawainya produktif yang pada akhirnya bermuara pada pencapaian laba dan peningkatan reputasi. Untuk mencapai hal tersebut pihak manajemen suatu perusahaan membutuhkan pengawasan (supervisi) agar antara perencanaan yang ditetapkan di awal berjalan sesuai dengan hasil (output). Menurut Hasibuan (2001) bahwa : ”produktivitas adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu”. Produktivitas merupakan gabungan dari tiga faktor penting yaitu, kemampuan dan minat seorang Universitas Sumatera Utara pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas, serta peran dan tingkat pengawasan pada seorang pekerja. Budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu. Riset yang dilakukan Chatman dan John dalam Tunggal (2004) mengemukakan dimensi-dimensi budaya organisasi yang digambarkan sebagai berikut : Inovasi dan Mengambil Risiko Perhatian pada detail Rendah…..Tinggi Rendah…..Tinggi Stabilitas Rendah…..Tinggi Orientasi Hasil Budaya Organisasi Rendah…..Tinggi Orientasi Individu Agresivitas Rendah…..Tinggi Orientasi Tim Rendah…..Tinggi Rendah…..Tinggi Sumber: Chatman dan John (dalam Tunggal 2004:5) Gambar 2.5. : Dimensi-dimensi Budaya Organisasi Gambar tersebut menerangkan dimensi-dimensi budaya organisasi yang meliputi : 1). Inovasi dan pengambilan risiko. Sejauh mana para karyawan didorong Universitas Sumatera Utara untuk inovatif dan mengambil risiko; 2). Perhatian terhadap detail. Sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian terhadap detail; 3). Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen lebih fokus pada hasilhasil dan keluaran dari pada kepada teknik-teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai keluaran tertentu; 4). Orientasi terhadap individu. Sejauh mana keputusankeputusan yang diambil manajemen ikut untuk mempertimbangkan efek-efek hasil terhadap individu yang ada dalam organisasi; 5). Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja lebih diorganisasi dalam tim, bukan secara perorangan; 6). Agresivitas. Sejauh mana orang-orang berlaku agresif dan bersaing dan tidak bersikap santai, dan 7). Stabilitas, sejauh mana kegiatan-kegiatan keorganisasian lebih menekankan status quo dibanding dengan pertumbuhan. Dengan perubahan global sekarang ini, organisasi menghadapi tantangan untuk mengadopsi budaya organisasi yang tidak hanya harus fleksibel, tetapi juga harus sensitif terhadap berbagai perbedaan budaya yang dihadapi oleh anggota organisasi. Djokosantoso (2003) menyatakan bahwa : “ada keterkaitan hubungan antara budaya organisasi dengan kinerja organisasi. Semakin baik kualitas faktorfaktor yang terdapat dalam budaya organisasi, maka makin baik kinerja organisasi tersebut”. Fungsi pengawasan adalah merupakan fungsi yang inheren dalam sistem dan dalam diri semua orang yang terlibat dalam organisasi yang sepakat untuk mencapai tujuan. Handoko (2004) menyatakan bahwa ”Pengawasan sebagai suatu proses untuk menjamin tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai”. Beliau juga mengatakan Universitas Sumatera Utara bahwa pada pokoknya controlling atau pengawasan adalah keseluruhan dari kegiatan yang membandingkan atau mengukur apa yang sedang atau sudah dilaksanakan dengan kriteria, norma-norma, standar atau rencana-rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Kedua hal tersebut (budaya organisasi dan pengawasan) mendukung tercapainya tujuan suatu organisasi. Dalam hal ini, tujuan suatu organisasi digerakkan oleh sumber daya manusianya yaitu pegawai. Hal yang dapat diukur dan diteliti dari pegawai adalah produktivitas. Pemikiran ini dituangkan dalam gambar berikut : Budaya Organisasi Produktivitas kerja Pengawasan Gambar 2.6. Kerangka Berpikir 2.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir, yang menjadi hipotesis penelitian adalah Budaya Organisasi dan Pengawasan berpengaruh terhadap Produktivitas Pegawai PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Medan. Universitas Sumatera Utara